Ceritasilat Novel Online

Kidung Malam Mahabarata 5

Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs Bagian 5


Namun Bima tidak menjawab. Sebagai gantinya ia memeluk Arimbi dan menciumi pipinya yang ranum dengan penuh kegemasan. Arimbi tertawa kecil penuh suka-cita.
Keduanya bercengkerama di hutan yang lebat hingga malam, tidak ada yang mengganggunya. Satu dua kelelawar yang sering terbang rendah seakan-akan memberi selamat bagi pasangan yang berbahagia.
Pada kesempatan yang sangat baik itu tepatlah kiranya bagi Arimbi untuk mengeluarkan isi hatinya kepada Bima
"Kakanda Bima, sebelum usia kandungan anak kita ini semakin besar, dengan sangat aku memohon agar sudilah kira Kakanda menghantar aku ke Pringgandani, dengan tujuan untuk menawarkan perdamaian seperti yang telah aku lakukan kepada adik-adikku yaitu Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan Kala Bendana, dengan keturunan Pandu,. Selain itu aku juga ingin menata negara yang beberapa bulan ini komplang tidak mempunyai raja, karena gugurnya kakak Arimba. Bima menyanggupi permintaan Arimbi. Maka kebahagiaan Arimbi menjadi penuh.
Malam merambat pagi, Bima dan Arimbi sepakat untuk mengakhiri cengkerama malam itu. Keduanya menuju keperaduan. Sebentar kemudian mereka tidur pulas dalam kedamaian.
Beberapa hari kemudian Bima dan Arimbi memohon pamit kepada Kunthi dan saudara-saudaranya untuk mengantar pulang Arimbi di Pringgandani, dan beberapa waktu tinggal di Pringgandani. Kunthi memberi restu dan juga Puntadewa, Harjuna, Nakula dan Sadewa. Mereka menghantar Bima dan Arimbi sampai di mulut hutan Kamiyaka.
Sepeninggalnya Bima, Harjuna dipasrahi tanggunggjawab untuk menjaga keselamatan Kunthi, Puntadewa dan si kembar Nakula, Sadewa.
Kidung Malam?(76) Kala Bendana bergirang hati menyambut kedatangan Arimbi kakaknya
yang sudah menjadi cantik jelita
(karya : herjaka HS) Calon Raja yang Cantik Arimbi dan Bima meninggalkan hutan Kamiyaka menuju Negara Pringgandani. Arimbi yang sudah menjelma menjadi seorang putri cantik tinggi perkasa adalah seorang putri raja yang bakal menggantikan Arimba kakaknya menjadi raja di Pringgandani. Maka tidak mengherankan jika Arimbi mempunyai berbagai ilmu tingkat tinggi, salah satunya adalah ilmu meringankan tubuh. Sehingga ia bisa terbang tanpa menggunakan sayap. Demikian juga Bima pasangannya walaupun badannya besar perkasa, ia mempunyai ilmu Angkusprana yang dapat menghimpun kekuatan angin dari Sembilan saudara tunggal bayu termasuk dirinya, yaitu: Dewa Bayu, Dewa Ruci, Anoman, Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda, Naga Kuwara, Garuda Mahambira, dan Begawan Mainaka. Sembilan kekuatan angin tersebut membuat Bima dapat melompat sangat jauh seperti terbang. Sehingga dua sejoli itu laksana dua burung garuda perkasa terbang membelah langit biru.
Sekejap kemudian mereka telah menginjakan kakinya di Negara Pringgandani. Arimbi mengamati suasana Kraton Pringgandani tempat ia lahir dan dibesarkan. Suasana duka atas meninggalnya Prabu Arimba masih nampak pada pemasangan bendera, umbul-umbul dan rontek. Arimbi merasa berdosa, karena gara-gara dialah Prabu Arimba gugur di tangan Bima. Selagi merenung dalam kesedihan, Prajurit jaga menghentikan langkah Arimbi dan Bima di pintu gerbang utama bagian luar kraton. Arimbi menjelaskan bahwa dia adalah Arimbi raseksi yang sudah menjadi putri berkat pertolongan Kunthi ibu Bima. Oleh karenanya Arimbi minta jalan mau masuk kraton menemui adik-adiknya. Namun penjelasan Arimbi tidak dengan serta merta dipercaya oleh prajurit jaga. Karena menurut aturan bagi orang asing yang ingin memasuki wilayah inti kraton harus tinggal beberapa waktu di bilik panganti untuk diperiksa oleh beberapa petugas yang ada. Namun Arimbi tidak mau melakukannya. Bahkan Arimbi menjadi jengkel atas sikap para perajurit jaga yang sudah tidak mengenalnya lagi dan besikeras menahannya.
Sebagai salah satu pewaris tahta Pringgandani, perlakuan prajurit jaga sungguh menyakitkan. Arimbi dan Bima dipaksa memasuki bilik panganti untuk diperiksa seperti yang diberlakukan bagi orang asing. Kesabaran Arimbi tidak tersisa lagi. Prajurit jaga yang berlaku kasar terhadap dirinya dilumpuhkan dalam sekejap. Melihat rekannya tersungkur tak berdaya prajurit jaga yang lain mengepung Arimbi. Belum sempat mereka bergerak, Arimbi mendahului menyerang mereka. Satu gebrakan sudah cukup bagi Arimbi untuk melumpuhkan beberapa prajurit jaga sekaligus. Melihat beberapa rekannya jatuh tak berdaya panglima jaga memerintahkan untuk menutup pintu gerbang dan salah satu prajurit diperintahkan melapor kepada Brajadenta, salah satu adik Arimbi. Sementara itu Panglima jaga mempersiapkan prajuritnya yang masih tersisa untuk menjadi palang terakhir yang menghalangi Arimbi dan Bima masuk gerbang utama.
Arimbi menoleh kepada Bima, untuk memohon persetujuan kepada kekasihnya bagaimana sebaiknya yang dilakukan untuk menghadapi prajurit jaga yang sudah siaga penuh. Bima menggelengkan kepala tanda tidak menyetujui Arimbi melakukan kekerasan. Arimbi tersadar bahwa dirinya sudah bukan raseksi lagi. Arimbi adalah seorang dewi yang cantik jelita. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri dan juga malu kepada Bima. Bahkan dibalik itu ada rasa kawatir jika Arimbi berperangai kembali sebagai raseksi Bima akan segera meninggalkannya. Maka segeralah Arimbi menarik kembali amarahnya.
Ketika hatinya menjadi dingin, Arimbi diingatkan akan sebuah ilmu yang menyatukan anak-anak Prabu Tremboko yaitu aji pamomong. Dengan ilmu tersebut diantara anak-anak Tremboko dapat saling berhubungan saling mengingatkan dan saling menjaga walaupun mereka tidak berada dalam satu tempat. Sewaktu hidupnya, Prabu Tremboko menggunakan ajian pamomong untuk menyatukan anak-anaknya, mengetahui keberadaannya dan untuk melindunginya. Oleh karenannya Arimbi segera mengetrapkan aji pamomong untuk mengabarkan keberadaannya kepada adik-adinya. Para prajurit jaga siaga penuh mengira bahwa Arimbi sedang mempersiapkan serangannya. Namun lama ditunggu dalam ketegangan serangan tak kunjung datang. Bahkan dari pintu gerbang munculah adik-adik Arimbi mulai dari Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala Bendana. Mereka berhamburan menyambut Arimbi dengan gembira. Suasana berubah menjadi haru. Para prajurit jaga ikut hanyut dalam keharuan. Walaupun Arimbi sekarang sudah menjelma menjadi seorang dewi yang cantik jelita, mereka masih mengenali Arimbi lewat aji pamomong. Keenam adik-adik Arimbi tak berkedip dalam menatap Arimbi yang cantik. Terbayanglah diangan mereka, seorang raja putri yang cantik menawan yang bakal memerintah Negara Pringgandani untuk masa-masa yang akan datang.
Kedatangan Arimbi mengubah suasana duka menjadi gembira. Adik-adik Arimbi dan rakyat pringgandani yang sebagian besar adalah bangsa raksasa, akan terangkat derajatnya mempunyai pewaris tahta putri cantik bak bidadari kahyangan.
Namun ketika Arimbi mengenalkan Bima sebagai suaminya, Barajadenta dengan tegas menolak. Bima adalah musuh rakyat Pringgandani. Bima adalah pembunuh Prabu Arimba, maka harus dilenyapkan.
Pernyataan Brajadenta dengan cepat merubah suasana haru dan gembira menjadi tegang. Prajurit bersiaga kembali untuk mengamankan negara. Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Barajawikalpa dan Brajalamatan menantang Bima untuk mengadakan perhitungan atas meninggalnya Prabu Arimba. Bima sebelumnya sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Maka dengan tenang Bima meladeni tantangan adik-adik Arimbi.
Namun sebelum perang terjadi Arimbi mendekati Bima sambil berbisik, "jangan lakukan kekerasan, Kakanda Bima"
Kidung Malam?(77) Prabu Arimba meninggalkan senyum abadi bagi negara Pringgandani (karya: herjaka HS)
Watak Ksatria Jika boleh memilih tentunya Arimbi akan memilh diantara Bima dan adik-adiknya tidak perlu bertempur. Karena jika hal itu terjadi hati Arimbi akan dihimpit rasa cemas dari dua penjuru, seperti yang pernah dirasakan ketika Bima bertempur melawan Arimba. Disatu pihak Arimbi mencemaskan Bima suaminya, dipihak yang lain Arimbi juga mengkawatirkan adik-adiknya. Namun apa boleh buat, untuk menundukkan adik-adiknya tidak ada jalan lain kecuali bertempur. Harapannya agar Bima dapat memenangkan pertempuran melawan adik-adiknya dengan tidak menyisakan luka, baik luka di badan maupun luka di hati.
Dikarenakan tidak ada pilihan lain Bima pun meladeni tantangan adik-adik Arimbi. Dengan melangkah tenang namun berat Bima mendekati Brajadenta yang dipandang sebagai pimpinan diantara mereka. Sebelum Bima mendekat semakin dekat, Brajadenta telah memberi aba-aba kepada keempat adiknya untuk menyerang Bima secara serentak. Maka sebentar kemudian terjadilah pertempuran sengit. Bima dikeroyok oleh adik-adik Arimbi, kecuali Kala Bendana yaitu Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa dan Brajalamatan.
Arimbi yang menyaksikan pertempuran itu menilai bahwa pertempuran bakal berjalan seru dan dahsyat. Karena masing-masing dari mereka mempunyai ilmu-ilmu tingkat tinggi. Namun jika dibandingkan dengan Bima ilmu-ilmu yang dimiliki ke lima adik-adinya masih berada dibawahnya. Tetapi dikarenakan kekuatan kelimanya bergabung menjadi satu maka akan sungguh merepotkan Bima. Walaupun Bima merasakan bahwasannya tingkat ilmu adik-adik Arimbi masih berada di bawah Arimba, tidak ada niat di hati Bima untuk menganggap enteng serangan-serangan mereka. Bima selalu waspada menunggu serangan demi serangan yang dilancarkan adik-adik Arimbi jurus demi jurus secara bergantian. Bahkan kadang kala putra-putra Pringgandani tersebut melakukan serangan secara serentak. Menghadapi serangan beruntun Bima lebih memilih menunggu serangan dari pada mengambil inisiatif menyerang. Hal tersebut dilakukan karena Bima tidak berniat untuk menyakiti adik-adik Arimbi, seperti yang dibisikan Arimbi sebelumnya.
Setelah pertempuran berjalan cukup lama, adik-adik Arimbi yang pada mulanya membenci Bima sebagai seorang pembunuh Kakak Arimba, perlahan-lahan mulai mempertanyakan kebencian itu. Benarkah Bima seorang pembunuh yang kejam dan wajib dibenci dan dimusnahkan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul setelah mereka merasakan bahwa perilaku Bima tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya yaitu ganas dan kejam. Pada kenyataannya Bima adalah seorang kesatria sejati yang penuh tatakrama juga ketika Bima berada di medan laga. Dengan sifat Bima yang demikian dapat dimungkinkan bahwa gugurnya Arimba di tangan Bima akibat dari pembelaan diri Bima menghadapi serangan Prabu Arimba.
Watak ksatria yang melekat pada pribadi Bima telah mengusik watak ksatria anak-anak Pringgandani yang dahulu pernah ditanamkan oleh Prabu Tremboko. Dengan watak ksatria tersebut lalu munculah kesadaran bahwa ilmu mereka masih berada di bawah ilmu Bima. Walaupun mereka telah mengeroyok Bima, adik-adik Arimbi tersebut sulit untuk mengalahkannya. Bahkan kemudian munculah rasa malu di hati mereka karena mengeroyok seseorang adalah tindakkan yang jauh dari watak ksatria.
Oleh karenanya, seperti diberi aba-aba Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa dan Brajalamatan mengendorkan serangan, untuk kemudian menghentikan serangan. Para prajurit jaga pada heran melihatnya. Apa yang terjadi? Brajadenta dapat membaca apa yang diinginkan oleh keempat adiknya. Untuk itulah maka kemudian Brajadenta melangkah mendekati Bima. semua mata mengarahkan pandangannya kepada sosok Brjadenta. Apa yang akan diperbuat? Setelah tepat di depan Bima, Brajadenta berkata "Kami mengaku kalah."
Arimbi melonjak senang, tawaran damai yang dibawa Arimbi telah diterima oleh adik-adiknya. Selanjutnya terjadilah pemandangan yang mengharukan. Bima memeluk adik-adik Arimbi satu persatu. Mereka telah menerima Bima sebagai bagian dari keluarganya, tidak sebagai musuhnya.
Dengan menghidupi watak ksatria, para putra Pringgandani yang berparas rasaksa dapat ikhlas merelakan kematian Prabu Arimba dalam perang tading melawan Bima. mereka mengakui bahwa Bima memang seorang ksatria keturunan trah Girisarangan yang sakti. Maka dari itu ada rasa bangga di hati mereka ketika Bima telah menyunting Kakang Mbok Arimbi yang sudah menjadi jelita, dan menjadi satu keluarga di Pringgandani.
Dengan bergabungnya Bima di Pringgandani, para putra Pringgandani optimis menatap masa depan negara Pringgandani. Karena pasangan Bima dan Arimbi telah mampu menghidupi kembali watak ksatria yang telah diwariskan oleh para pendahulunya, tat kala membangun dan mendirikan negara Pringgandani. Karena dengan watak berani, bersih, jujur, dan tulus, yang menjadi ciri khas watak seorang ksatria, negara Pringgandani telah menjadi besar. Dan akan semakin besar dan jaya manakala nilai-nilai luhur yang telah diwariskan akan dihidupi dalam menjalankan pemerintahan negara Pringgandani.
Waktu merambat pelan, untuk beberapa waktu Bima tinggal di Pringgandani membantu dan mendampingi Arimbi dalam menata pemerintahan yang telah beberapa waktu komplang tanpa raja. Seiring dengan penataan kerajaan, kandungan Arimbi bertambah semakin besar. Ada secercah kebahagiaan dan harapan yang berkaitan dengan bayi yang dikandung. Tangan Bima dan Arimbi meraba lembut perut Arimbi dengan sebuah permohonan yang bulat dan utuh, jadikanlah anak ini seorang raja ksatria yang membawa kejayaan negara Pringgandani.
Suasana duka masih terasa sejak kepergian Raja besar Pringgandani untuk selamanya. Prabu Arimba telah mempercayakan negara Pringgandani kepada Arimbi. Senyum abadi yang ditinggalkan Prabu Arimba memberi semangat optimisme untuk mewujudkan harapan akan kebesaran dan kejayaan Negara Pringgandani.
herjaka HS Kidung Malam?78 Kunthi memakai pakaian brahmana ketika melakuan penyamarannya bersama anak-anaknya di?hutan (karya herjaka HS)
Fajar Mulai Merekah Berangsur-angsur mendung kesedihan yang menggelayut di langit Pringgandani tersibak. Negara mulai tertata dan pulih kembali seperti sebelum Prabu Arimba meninggal. Atas kesepakatan ke enam adik-adik Arimba, yang terdiri dari Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan Kala Bendana, Arimbi sebagai saudara paling tua ditunjuk menggantikan Prabu Arimba untuk menjalankan pemerintahan Pringgandani.
Beberapa bulan Bima menjalani hidup dengan Arimbi di Pringgandani. Jika menuruti perasaan hatinya Bima ingin mendampingi Arimbi, setidak-tidaknya sampai dengan kelahiran anak yang dikandung Arimbi. Namun hatinya gundah juga mengingat bahwa Bima telah berjanji kepada Ibu Kunthi untuk tidak meninggaklkan saudara-saudaranya terlalu lama. Kegundahan hati Bima diungkapkan kepada Arimbi, dan disepakati untuk sementara waktu Bima kembali menemui Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya di hutan Kamiyaka. Dan jika sampai pada saatnya bayi yang dikandung Arimbi lahir, Bima akan kembali ke Pringgandani.
Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, Bima telah sampai di hadapan Ibu dan saudara-saudaranya. Mendengar cerita bahwa pada akhirnya Bima diterima sebagai saudara tua oleh adik-adik Arimbi dan menjadi bagian dari Negara Pringgandani, Kunthi dan saudara-saudara Bima dipenuhi dengan rasa sukacita.
Pagi itu udara sungguh cerah. Kehangatan sinar mentari mampu menembus lebatnya dedaunan hutan Kamiyaka. Kunthi memandangi sepasang burung prenjak yang berkicau bersautan, tak henti-hentinya. Kicau sepasang burung Prenjak jantan dan betina tersebut selain membangkitkan suasana keceriaan alam semesta juga dapat dibaca sebagai pertanda alam bagi manusia.. Jika sepasang burung Prenjak tersebut berkicau di arah barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada tamu yang mengajak bertengkar. Jika sepasang burung Prenjak tersebut berkicau di arah Timur rumah, itu pertanda jelek juga, karena akan terjadi kebakaran. Jika sepasang burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki dari jerih payahnya. Jika sepasang burung Prenjak, berkicau bersautan di arah selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu bangsawan yang berkendak baik. Jika sepasang burung Prenjak berkicau di arah utara rumah, itu pertanda sangat baik, akan ada tamu seorang guru memberi wangsit yang benar dan suci.
Benarkah akan ada tamu agung, seorang resi, pandita atau begawan yang datang di Hutan Kamiyaka ini? Dengan menengarai sepasang burung Prenjak yang tak henti-hentinya berkicau bersautan di sebelah utara rumah kayu ini. Jika benar pertanda tersebut, Kunthi tidak bisa memperkirakan siapakah sesepuh yang bakal datang. Karena selain Resi Bisma, Yamawidura, Begawan Abiyasa dan Semar tidak ada lagi orang yang dianggap agung dan suci. Namun apakah mungkin salah satu di antara empat orang agung tersebut datang ke Hutan Kamiyaka ini?
Semenjak peristiwa bale sigala-gala, Kunthi dan anak-anaknya sengaja mengasingkan diri menyamar sebagai orang sudra yang hidup menggembara dari hutan ke hutan. Kunthi menitipkan pesan kepada Kanana abdi setia Yamawidura yang berjasa membuat terowongan rahasia yang dipakai oleh Hyang Antaboga dan Nagatamala untuk menyelamatkan Kunthi dan Pandawa dari peristiwa Balesigala-gala. Pesan yang disampakai kepada Kanana adalah bahwa Kunthi dan anak-anaknya janganlah dicari untuk diajak pulang ke Panggombakan. Biarlah anak-anaknya terutama sikembar Nakula dan Sadewa melupakan trauma prahara Balesigala-gala.
Matahari telah bergeser condong ke ujung kulon, pertanda hari telah beranjak dari siang. Tamu agung yang dinanti Kunthi dalam hati belum juga datang. Seperti biasanya, setelah panas matahari berkurang, Arjuna selalu menyempatkan diri mengajari adiknya Nakula dan Sadewa untuk berolah senjata panah. Sedangkan Kunthi, Puntadewa dan Bima melihat dari kejauhan. Mereka cukup puas melihat kecerdasan dan ketrampilan Nakula dan Sadewa. Pada saat Kunthi melupakan pertanda yang dikabarkan kicau sepasang burung Prenjak di sebelah utara rumah, mendadak dari kejauhan, arah matahari tenggelam ada dua orang yang datang dengan langkah ringan, Mereka adalah Begawan Abiyasa dan pamomongnya yaitu Semar. Dapat dibayangkan betapa mengharukan pertemuan itu. Setelah bertahun-tahun mereka tidak saling berjumpa, sekarang bertemu di hutan yang kotor, beratap daun dan berlantai tanah. Namun satu hal yang disyukuri bahwa mereka berjumpa dalam keadaan selamat dan sehat walafiat.
Abiyasa adalah sosok mertua yang sangat dihormati Kunthi lebih dari Prabu Basukunthi ayahnya sendiri. Oleh karena kedatangannya di Hutan Kamiyaka yang tak dinyana sebelumnya sungguh membuat hati Kunthi dan para Pandawa merasa tentram dan damai. Kunthi sangat terharu atas usaha panjang yang dilakukan rama Begawan Abiyasa untuk menemukan dirinya dan anak-anaknya. Tidak Nampak keletihan yang disandang pada kedua orang tua tersebut. Wajahnya tetap ceria berwibawa dan suci.
Tentunya selain ingin mendapati menantu dan cucu-cucunya dalam keadaan selamat, ada hal khusus dan penting yang ingin disampaikan oleh Abiyasa dan Semar. Di ruang yang tidak begitu luas dengan diterangi oleh lampu minyak Begawan Abiyasa menyampaikan beberapa hal khusus kepada Kunthi dan Pandawa Lima.
"Kunthi dan cucuku Pandawa, semenjak peristiwa Balesigala-gala, Negara Hastinapura mewartakan kabar resmi, bahwa Kunthi dan Pandawa Lima telah mati terbakar, Hanya Yamawidura dan Kanana abdinya yang mengetahui keadaan kalian yang sesungguhnya. Namun keadaan kalian yang selamat dari peristiwa Balesigala-gala tidak diungkapkan oleh Yamawidura kepada Prabu Destarastra, dengan pertimbangan, agar para Kurawa tidak memburu kalian untuk dilenyapkan. Oleh karenanya aku sengaja tidak memanggil kalian untuk pulang di Panggomabakan. Tetapi tanpa sepengetahuan kalian, aku telah mengutus Semar untuk selalu memomong kalian dari kejauhan.
Namun saat ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan dirimu kepada kawula Hastinapura dan para Kurawa bahwa Pandawa Lima selamat tidak kurang sesuatu apa pun. Tentunya rakyat akan mengelu-elukanmu dengan gegap gempita. Dan meyakini bahwa kalian adalah titah terpilih yang diutus dewa untuk memayu hayuning bawana."
"Kebetulan saat ini dibuka sayembara memanah di Cempalaradya," kata Semar. "Bukankah ndara Arjuna adalah ahli panah yang mumpuni. Itu artinya bahwa ndara Arjuna mendapat kesempatan emas untuk memenangkan sayembara. Pada hal bagi siapa yang berhasil akan mendapatkan putri Prabu Durpada yang bernama Durpadi."
herjaka HS Kidung Malam?79 Dewi Durpadi sedang menimba air kejernian (karya: herjaka HS)
Durpadi Sayembara Hari menjelang sore, suara kenthongan yang berasal dari pusat Kraton Pancalaradya atau Cempalaradya, menarik perhatian penduduk kotaraja. Seperti yang selalu ada di setiap banjar, pada sudut halaman ada bale duwur untuk menempatkan sebuah kentongan. Dengan kentongan tersebut setiap warga mendapatkan informasi mengenai kejadian penting untuk segera ditanggapi. Ada beberapa irama kentongan yang masing-masing irama menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung. Seperti irama khusus yang terdengar disore hari itu menandakan bahwa ada seorang gadis yang telah mengalami menstruasi atau datang bulang pertama. Artinya bahwa sang gadis tersebut telah menginjak usia dewasa, dan siap untuk dipinang seorang pria. Yang menarik perhatian bahwa suara kentongan tersebut berasal dari kotaraja. Tentunya ada gadis bangsawan yang menginjak dewasa dan siap dilamar. Lalu siapa gadis bangsawan tersebut? Akhirnya teka-teki pun terjawab bahwa Putri raja Cempalaradya tersebut adalah Dewi Durpadi, anak sulung Prabu Durpada.
Menyusul bunyi kenthongan yang menandakan bahwa masa kedewasaan Dewi Durpadi telah tiba, Prabu Durpada berencana menggelar sayembara untuk memilih dan memilah menantu yang pantas bagi pendamping Dewi Durpadi. Bagi siapa saja yang memenangkan sayembara, berhak menyunting Dewi Durpadi. Sayembara yang diadakan adalah mengangkat, menarik busur atau gendewa pusaka dan melepaskannya anak panah pada titik sasaran yang di sediakan. Sayembara terbuka bagi siapa saja dan di mana saja.
Beberapa bulan kemudian, kabar diadakannya sayembara di negara Pancalaradya telah tersebar jauh di negara-negara tetangga, bahkan sampai di seberang pulau.
Sepekan menjelang sayembara, kota raja Pancalarayadya sudah ramai oleh pendatang-pendatang dari manca nagara yang ingin mengikuti sayembara. Kesibukan kota meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dinbanding dengan hari-hari sebelumnya.
Pada hari yang ditetapkan, para raja muda, ksatria, brahmana, para bangsawan dan rakyat kebanyakan tamplek blek penuh berjejal di alun-alun kotaraja Pancalaradya. Diantara mereka yang hadir tampaklah para Kurawa, Bima dan Arjuna, para raja seberang pulau termasuk beberapa raja dari Atasangin,
Gendewa pusaka atau busur pusaka Pancalaradya telah disiapkan di panggung kehormatan. Ukuran gandewa pusaka itu lebih besar dan lebih berat dibandingkan dengan gandewa pada umumnya. Dari ujung ke ujung gandewa tersebut tinretes emas murni, sehingga ketika ditimpa sinar matahari cahayanya gumebyar menyilaukan mata. Peserta sayembara yang dinyatakan lolos dan menang dalam sayembara adalah peserta yang mampu melepaskan anak panahnya tepat di tengah titik yang telah ditentukan.
Suasana menjadi riuh gemuruh ketika Prabu Durpada dan permaisuri mengapit dewi Durpadi naik ke atas panggung kehormatan, diikuti oleh Gandamana. Para raja dari seribu negara, sungguh terpana melihat kecantikan Dewi Durpadi secara langsung. Karena selama ini banyak diantara mereka yang melihat dan bertemu Dewi Durpadi hanya melalui mimpi.
Ditengarai dengan pemukulan gong beri sayembara pun di mulai. Satu persatu para peserta sayembara naik ke panggung dan mencoba mengangkat gandewa pusaka Pancalaradya. Beberapa peserta telah naik ke panggung kehormatan dan mencoba mengangkat gandewa pusaka. Namun hingga sampai peserta ke delapan belas baru ada empat orang yang kuat mengangkat gandewa pusaka. Namun tidak kuat menarik gendewa pusaka, apalagi untuk melepaskan anak panahnya,
Menjelang tengah hari belum ada orang yang dapat memenangkan sayembara. Satu persatu para raja dari seribu negara gagal memenangkan sayembara. Prabu Durpada dan prameswari yang didampingi Gandamana berharap cemas dalam menanti orang yang dapat memenangkan sayembara. Sedangkan Dewi Durpadi yang duduk di antara Ibunda Ratu dan Prabu Durpada menampakan raut muka yang tenang, bahkan sesekali Durpadi menebar senyum ketika ada peserta sayembara yang jatuh karena tidak kuat mengangkat gendewa pusaka.
Pada saat keraguan untuk mendapatkan pemenang sayembara menghampiri Prabu Durpada, tiba-tiba diantara orang banyak yang berjubel, melompatlah dengan ringannya seorang muda rupawan naik di atas panggung. Menilik dari pakaiannya bahwa pemuda tersebut dari golongan sudra atau rakyat biasa. Namun dengan menyakinkan seperti laiknya ksatria, ia melangkah mendekati gendewa pusaka. Diamati sejenak gendewa yang berada didepannya untuk kemudian diangkatnya. Semua mata memandang ke arah pemuda rupawan yang dengan ringannya mengangkat tinggi-tinggi gendewa pusaka. Sejenak kemudian tangan kakannya menarik tali gendewa perlahan-lahan. Maka yang terjadi gendewa ditangan kiri semakin melengkung dan melengkung dengan tajam. Anak panah telah diarahkan kesasaran. Ketegangan tampak pada setiap raut muka yang menyaksikan. Diiringi dengan detak ribuan jantug yang berdegup semakin cepat.
Namun sebelum anak panah tersebut meluncur dari gendewa pusaka, Dewi Durpadi yang berada beberapa langkah di depannya bereriak lantang katanya, "Cukup! aku tidak mau sayembara ini dimenangkan oleh seorang sudra"
Pemuda rupawan itu terkejut, dan menampakkan raut muka yang tidak senang. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Maka untuk melampiaskan kejengkelannya anak panah yang telah siap meluncur tetap dilepaskan ke titik sasaran. Dan pemuda rupawan tersebut membuktikan bahwa ia pantas memenangkan sayembara. Anak panah menancap tepat di tepat di tengah sasaran. Sorak membahana gemuruh menyambutnya. Namun apakah keberhasilannya membidikkan panah tepat sasaran ini dinyatakan sebagai pepmenang atau tidak, ia tidak peduli. Yang terutama bagi dirinya bahwa ia yang adalah seorang sudra telah membuktikan kelebihannya dibandingkan dengan raja-raja seribu negara.
Kidung Malam?80 Pemuda Rupawan Sorak membahana ribuan manusia bergemuruh. Pohon-pohon beringin dan pohon-pohon Angsana di seputar alun-alun Cempalaradya tergetar karenanya. Beberapa daunnya berguguran, mengenai orang-orang yang berada di bawahnya. Bagaikan taburan bunga untuk menghormat pemuda rupawan yang telah berhasil melepaskan anak panahnya tepat ke titik sasaran.
"Tidak! Tidak! Aku tidak mau orang ini memenangkan sayemabara!" teriak Dewi Durpadi. Namun teriakan Dewi Durpadi tenggelam oleh gelombang suara gegap gempita. Tidak ada yang mendengar dan yang memperhatikan tingkah laku Durpadi. Yang menjadi pusat perhatian adalah pemuda rupawan yang dengan meyakinkan berhasil menarik busur pusaka dan melepaskan anak panahnya tepat ke sasaran.
Pemuda rupawan tersebut semakin jumawa menjadi pusat perhatian lautan manusia yang memenuhi alun-alun. Dengan tenang pemuda itu meninggalkan panggung kehormatan. Ia tidak memperdulikan penolakan Dewi Durpadi. Baginya dapat memenangkan sayembara merupakan kebanggaan tersendiri.
Dewi Durpadi yang sebelumnya menjadi satu-satunya pusat perhatian, kini tidak lagi. Satu-satunya pusat perhatian beralih kepada pemuda rupawan. Sejak melihat pertamakali, Dewi Durpadi tidak senang kepada orang sudra tersebut. Oleh karena ketika ia naik panggung kehormatan mengangkat dan menarik busur pusaka, Dewi Durpadi telah berteriak menolaknya. Namun pemuda rupawan tersebut sengaja tidak mendengarkan teriakan Dewi Durpadi. Anak panah tetap diluncurkan dari jemarinya yang halus. Dan hasilnya anak panah menancap tepat ke sasaran.
Suasana menjadi kacau. Orang-orang yang berada jauh dari panggung kehormatan menganggap bahwa sayembara telah selesai dan di menangkan oleh si pemuda rupawan. Namun bagi peserta sayembara yang berada di dekat panggung kehormatan mengetahui dengan jelas urut-urutan peristiwa. Bahwasannya Dewi Durpadi yang dijadikan hadiah sayembara sejak awal telah menolak pemuda rupawan untuk mengikuti sayembara. Namun pemuda rupawan itu nekat tetap menarik busurnya dan melepaskan anak panahnya ke sasaran yang telah disediakan. Oleh karenanya bidikan panah yang tepat mengenai sasaran tersebut dianggap tidak sah. Dalam situasi yang kacau tersebut Arjuna menghadang pemuda rupawan yang merasa tidak bersalah, pergi meninggalkan alun-alun Pancalaradya.
"Hei Ki Sanak berhentilah!" cegat Arjuna. Pemuda rupawan tersebut berhenti, dengan masih tetap menunjukkan ketenangannya. Orang banyak mengerumuninya. Arjuna mendekatinya dan berkata
"Engkau ini siapa? telah berani membuat kacau sayembara yang digelar oleh raja besar Cempalaradya."
"Aku tidak membuat kacau. Aku mengikuti sayembara dan berhasil," sanggah pemuda rupawan.
"Tetapi keberhasilanmu tidak sah, karena engkau tidak diperbolehkan ikut sayembara tetapi nekat."
"Kenapa tidak boleh, itu tidak adil"
"Karena Sang Dewi Durpadi menolak orang sudra"
" Aku tidak peduli apakah Dewi Durpadi mau menerimaku atau menolakku. Yang penting bagiku bahwa akulah satu-satunya orang di alun-alun ini yang dapat memenangkan sayembara.
Arjuna tidak dapat menerima kata-kata pemuda rupawan yang mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang dapat memenangkan sayembara. Karena sebelumnya Arjuna sangat optimis bahwa dirinyalah yang dapat memenangkan sayembara memanah. Karena semenjak wafatnya Ekalaya raja Paranggelung, satu-satunya orang yang dapat mengimbangi kemampuan Arjuna, tidak ada lagi orang yang dapat mengimbangi kesaktiannya dalam memanah. Apalagi Arjuna tahu bahwa busur pusaka negara Cempalaradya yang dibuat dari campuran besi dan tembaga tidak sembarang busur. Selain bobotnya ada kelebihan lain jika dibandingkan dengan busur-busur pusaka lainnya. Getaran enerjinya membuat orang yang mendekat tergetar hatinya. Oleh karenanya Arjuna berharap bahwa sebelum dirinya naik ke panggung sayembara belum ada orang yang mampu menarik busur pusaka. Namun perhitungan Arjuna meleset. Ada seorang pemuda rupawan yang dapat menggunakan busur pusaka dengan sempurna.
"Ki Sanak jangan dikira hanya engkaulah yang secara kebetulan mampu menarik busur pusaka dan memanahnya dengan tepat" kata Arjuna dengan nada ejekan"
Pemuda rupawan tersebut terbakar hatinya. Ia ingin menunjukkan bahwa kemampuan memanahnya tidak secara kebetulan. Maka dengan amat cepat ditarikanya busur yang ada di genggamannya mengarah ke langit.
Sebentar kemudian orang banyak yang mengerumuni tercengang dibuatnya. Ada ratusan burung sriti jatuh tertembus panah.
Arjuna yang masih muda panas hatinya, busur yang ada pada genggamannya ditarik kuat-kuat untuk kemudian dilepaskan. Orang-orang dialun-alun semakain takjub menyaksikan kehebatan panah Arjuna. Ribuan anak panah keluar dari busur Arjuna. Suaranya seperti kombang mengarah ke pohon angsana di pinggir alun-alun. Sebentar kemudian pohon itu gundul tinggal rantingnya. Sementara daunnya berguguran ke tanah.
Kidung Malam?81 Pemuda Rupawan itu (karya : herjaka HS)
Pada Suatu Saat Adu kesaktian memanah yang dipamerkan oleh Pemuda Rupawan dan Arjuna benar-benar mencengangkan semua orang yang memenuhi Alun-alun Cempalaradya. Lautan manusia yang semula ingin pulang karena sayembara dianggap sudah selesai mengurungkan niatnya. Malahan mereka terpaku pada tempatnya masing-masing ketika menyaksikan langit Alun-alun Cempalaradya hujan anak panah. Apa yang telah terjadi? Sebagian besar dari mereka belum tahu bahwa kemenangan Pemuda Rupawan tersebut ditolak Durpadi. Namun Pemuda Rupawan tersebut tidak peduli dengan penolakan Dewi Durpadi. Karena baginya mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kesaktiannya di depan orang dalam jumlah besar sungguh menjadi kebanggaan tersendiri. Oleh karena tanpa beban Pemuda Rupawan tersebut ingin meninggalkan alun-alun Cempalaradya yang sudah tidak menarik lagi setelah keberhasilanan memenangkan sayembara. Tetapi sebelum benar-benar meninggalkan Alun-alun, ia dicegat oleh Arjuna. Bagi Pemuda Rupawan pencegatan Arjuna juga menjadi daya tarik baru, dikarenakan ia kembali mendapat kesempatan untuk memamerkan kesaktiannya.
"Hai Kisanak! Lihatlah pohon Angsana yang telah kehilangan daunnya dalam sekejap. Lakukanlah seperti apa yang saya lakukan. Jika engkau mampu, engkau layak naik derajat menjadi seorang Ksatria," kata Arjuna dengan ketus kepada Pemuda Rupawan.
Pemuda Rupawan tersebut sepertinya tidak menanggapi tantangan Arjuna. Namun tangannya bergerak pelan menarik busur dan melepaskan anak panahnya. Sekejab setelah busur ditarik pelan penuh tenaga, ribuan anak panah lepas dari busurnya, mengarah ke pohon beringin yang berada di tengah Alun-alun. Bagaikan suara ribuan kombang gung yang mendengung memenuhi setiap pasang telinga, gerombolan anak panak itu menerabas pohon beringin. Suara kemerosak disusul dengan jatuhan hampir semua daun pohon beringin tersebut tinggal menyisakan ranting-rantingnya.
Seperti diberi aba-aba, lautan manusia tersebut menghadiahkan tepuk tangan dan teriak kagum kepada Pemuda Rupawan.
Di dasar hati terdalam, Arjuna mengakui bahwa si Pemuda Rupawan tersebut mempunyai kesaktian luar biasa, bisa menandingi kesaktiannya. Arjuna menjadi sangsi, benarkah pemuda rupawan tersebut seorang sudra? Namun di sisi lain sebagai lelaki muda, darah yang mengalir di sekujur tubuh Arjuna mendidih melihat sikap pemuda rupawan yang memandang sebelah mata kepada dirinya.
Melihat gelagat bahwa adu kesaktian memanah mengarah pada perang tanding, maka orang-orang yang berada di Alun-alun dengan sukarela saling memberi aba untuk mundur agar tercipta sebuah ruang lingkar yang leluasa untuk perang tanding antara dua orang sakti tersebut.
Dengan kejadian tersebut titik perhatian beralih dari panggung sayembara ke pinggir Alun-alun. Patih Gandamana yang menjadi penanggungjawab seyembara, naik pitam melihat kejadian demi kejadian yang tidak mengenakan, mulai dari penolakan Dewi Durpadi atas kemenangan Pemuda Rupawan, disusul dengan adu kesaktian antara Pemuda Rupawan dan Arjuna yang mengorbankan ratusan burung Sriti, merontokan daun pohon Angsana dan daun pohon beringin. Sehingga dengan demikian panggung sayembara yang belum selesai sudah tidak diperhatikan lagi. Sesuai sifatnya yang mudah meledak kemarahannya, kejadian-kejadian tersebut sudah sangat cukup untuk dijadikan alasan Gandamana melampiaskan kemarahannya.
Oleh karenanya sebelum Arjuna dan Pemuda Rupawan tersebut melanjutkan pertunjukkan kesaktiannya, Gandamana berteriak lantang dengan menggunakan tenaga dalamnya. Dada setiap orang yang berada di Alun-alun terasa di dodok mendengar suara Gandamana. Suara hiruk pikuk untuk sesaat cep diam, seperti orong-orong kepidak.
"Hai para raja, ksatria, brahmana dan siapa saja yang berada di Alun-Alun Cempalaradaya, bagi yang merasa dirinya sakti jangan memamerkan kesaktinmu di bawah panggung karena tidak semua orang dapat melihatmu. Ayo aku tunggu di atas panggung sayembara untuk memamerkan kesaktianmu berperang tanding melawan aku. Jika dapat mengalahkan aku, akan dinyatakan sebagai pemenang sayembara dan berhak memboyong Dewi Drupadi."
Tidak ada yang berani protes bahwasannya dengan enaknya sayembara dirubah dari sayembara memanah menjadi sayembara perang tanding. Berdasarkan mandat yang telah diserahkan Prabu Durpada dan Dewi Durpadi, Gandamana berani mengambil langkakh taktis. Rupanya keputusan yang diambil oleh Gandamana tersebut merupakan langkah terbaik untuk mengendalikan keadaan agar tidak semakin kacau dan mengembalikan panggung sayembara menjadi pusat perhatian kembali. Bahkan perubahan sayembara tersebut dianggap sebagai peluang baru bagi yang sudah gagal mengikuti sayembara memanah untuk maju lagi mengikuti sayembara dengan berperang tanding melawan Gandamana.
Tidak perlu lama menunggu, seorang raja berbadan besar melompat dengan ringannya naik ke panggung untuk menghadapi Gandamana. Teriakan dan tepuk tangan mengiringnya untuk member semangat.
Pada sayembara babak baru ini Sengkuni dan Para Korawa tidak tertarik lagi untuk mengikuti sayembara, karena mereka tahu kesaktian Gandamana dan pernah dikalahnyannya. Maka mereka memutuskan untuk tidak ikut sayembara. Mereka lebih tertarik untuk mengadakan pendekatan dengan Pemuda Rupawan yang mampu mengimbangi kesaktian Arjuna. Duryudana mengajak Pemuda Rupawan tersebut menyingkir dari hadapan Arjuna, untuk kemudian meninggalkan Alun-alun Cempalaradya.
Si Pemuda Rupawan tidak menolaknya. Ia sengaja membiarkan dirinya berada di tengah-tengah para Kurawa untuk dibawa kemana, ia pun hanya pasrah. Hanya satu yang menjadi keinginannya bahwa pada suatu saat ia dapat bertemu kembali dengan Arjuna dalam perang tanding yang sesungguhnya. "Ya pada suatu saat, entah kapan" kata Pemuda Rupawan dalam hati.
Kidung Malam?82 Bima ketika menjalani laku menuntut ilmu (karya herjaka HS)
Semakin Renta Hari semakin siang, sinar matahari bertambah panas. Lautan manusia di alun-alun Cempalaradya berusaha untuk bertahan dalam teriknya matahari. Karena bagi mereka sayembara perang tanding ini lebih menarik dan lebih menegangkan dibangdingkan dengan sayembara memanah. Panggung sayembara kembali menjadi pusat perhatian. Gandamana berdiri kokoh di atas kedua kakinya yang kokoh pula. Satu persatu peserta sayembara perang tanding telah dikalahkan. Sorak-sorai dan tepuk tangan tak henti-hentinya menyambut kemenangan Gandamana.
Menyaksikan kesaktian Gandamana, peserta sayembara semakin tergetar hatinya. Banyak diantara mereka telah mengurungkan niatnya untuk mengikuti sayembara. Mereka memutuskan untuk menjadi penonton saja. Oleh karenanya beberapa waktu ditunggu tak juga ada peserta baru yang mencoba naik ke atas panggung dengan muka tengadah dan dada membusung.
Udara yang panas menjadi semakin panas. Orang-orang mulai berteriak tak sabar menanti calon lawan Gandamana yang baru. Dalam situasi yang demikian, terlintas di pikiran Gandamana, adakah seseorang yang mampu memenangkan sayembara dengan mengalahkan diriku? Jika tidak ada artinya bahwa diantara lautan manusia itu tidak ada orang yang pantas menjadi pendamping Durpadi. Tetapi jika pun ada sesorang yang mampu mengalahkan aku, tentunya aku berharap agar Durpadi mau mengakui kemenangannya dan bersedia menjadi isterinya. Karena jika Durpadi menolaknya, seperti yang telah dilakukan kepada pemuda rupawan dari kalangan sudra, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena aku sudah dikalahkan bahkan bisa juga aku telah gugur.
Namun jika pun aku benar-benar gugur dalam sayembara ini, aku telah siap. Aku tidak akan menyesal. Karena itu artinya bahwa aku telah mengorbankan diri untuk Durpadi agar mendapat calon pendamping yang pantas dan berkualitas. Dan juga demi kebesaran negara Pancalaradya atau Cempalaradya.
Jika pun aku sudah tidak diberi waktu lagi untuk mengabdi, aku sadar bahwa diriku menjadi semakin renta dan ringkih. Aku harus tahu diri untuk generasi selanjutnya yang lebih muda dan yang lebih perkasa. Oleh karenanya aku bangga jika dikalahkan oleh orang muda jujur dan sakti.
Pada saat Gandamana menyusuri jalan pikirannya, tiba-tiba melompatlah di atas panggung sosok tinggi perkasa yang memakai pakaian Brahmana. Ia bernama Bima. Banyak orang mengetahui bahwa ia datang ke tempat sayembara bersama brahmana tampan yang telah menunjukkan kesaktiannya dalam hal memanah. Maka ketika saudara brahmana tampan dan sakti tersebut naik ke atas panggung sayembara, serentak lautan manusia menyambutnya dengan teriakan dan tepuk tangan, bak suara selaksa mesin tenun yang dijalankan para wanita di padang terbuka.
Sejenak kemudian sasana menjadi hening dan tegang, mengiring langkah Bima yang semakin dekat dengan Gandamana. Bima sudah sangat mengenal Gandamana bahkan kesaktian Gandamana. Karena Bima pernah berperang melawan Gandamana sewaktu di utus Pandita Durna untuk meringkus Gandamana dan Durpada. Namun rupanya Gandamana tidak ingat lagi akan sosok yang berada di depannya. Karena Bima sengaja menyamar menjadi seorang Brahmana.
Karena hari menjelang sore, dan matahari telah bergeser semakin jauh dari titik tertinggi, Gandamana dan Bima mempunyai keinginan yang sama yaitu untuk menyelesaikan sayembara ini secepatnya. Oleh karenanya segeralah keduanya bergerak cepat dan kuat. Melihat gelagat lawannya yang percaya diri, Gandamana langsung mengetrapkan aji Bandung Bandawasa dan Aji Wungkal Bener. Sedangkan Bima menggunakan aji Angkusprana. Decak kagum dan ketegangan tersembul dari wajah-wajah mereka yang menyaksikan. Oleh karena keduanya mengetrapkan ilmu-ilmu tingkat tinggi, hampir semua orang yang menjejali alun-alun Pancalaradya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Keduanya berkelebat sangat cepat, sehingga mata telanjang mereka tidak mampu membedakan dengan jelas antara Gandamana dan Bima.
Pertempuran paling sengit selama sayembara terjadi. Beberapa waktu berlangsung keadaan mulai berubah pelan. Aji Bandung Bandawasa yang mempunyai kekuatan sebanding dengan seribu gajah ternyata tidak lagi menjadi utuh. Hal tersebut diakibatkan oleh tenaga Gandamana yang susut dengan amat cepat. Otot-ototnya mulai kendor. Ia tidak mampu lagi mengetrapkan aji Bandung Bandawasa dengan sempurna. Demikian juga aji Wungkal Bener yang menjadi tidak efektif ketika harus berhadapan dengan Bima. Karena jika dilihat dari sifatnya, aji wungkal bener adalah aji yang berpihak pada bebener. Seseorang yang dapat mengetrapkan aji Wungkal Bener dengan sempurna adalah orang benar, dan meyakini kebenaran tersebut. Aji Wungkal Bener menjadi sangat efektif ketika lawan Gandamana adalah orang yang menentang kebenaran. Maka ketika berperang melawan Bima, seseorang yang berpihak pada kebenaran, aji Wungkal Bener ibarat ketemu batunya. Tidak dapat berbuat banyak.
Sebaliknya Bima, dengan ajian Angkusprana yang mampu menghimpun kekuatan angin, justru dapat bergerak semakin ringan dan bertenaga semakin perkasa. Gandamana mulai curiga atas lawannya. Siapakah sesungguhnya orang gagah perkasa yang memakai pakaian brahmana ini. Benarkah ia seorang Brahmana? Gandamana yang sudah berumur, sedikit teringat akan sepak terjang lawan yang dihadapi. Dahulu Gandamana pernah dikalahkan Bima, namun waktu itu Gandamana tidak dengan sungguh-sungguh berperang melawan Bima. Dan juga waktu itu tenaganya masih cukup perkasa. Namun kini aku tidak seperkasa dahulu lagi dan lawan yang aku hadapi lebih perkasa dibandingkan dengan BIma waktu itu. Tetapi ada kemiripan dalam hal sepak terjangnya. Apakah Brahmana ini Bima yang semakin matang? Benarkah engkau cucuku Bima? Jika benar aku lega dan bahagia. Lega karena gugur di tangan anak Prabu Pandu. Bahagia karena Durpadi mendapat pendamping yang pantas dan luhur.
Gandamana mendapat firasat bahwa inilah saatnya untuk meninggalkan segala-galanya dan meletakkan tugas-tugasnya. Generasi baru telah siap menggantikan darmanya. Dan ia yang menggantikan bukan orang lain. Ia adalah cucunya sendiri, anak Prabu Pandudewanata junjungannya. Oleh krena ia rela gugur di tangan Bima. Dan bahkan Gandamana akan mewariskan ilmu Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa kepada Bima.
herjaka HS Kidung Malam?83 Gandamana teringat saat menghajar Kumbayana hingga cacat seumur hidup (karya herjaka HS)
Sampai Pada Waktunya Sayembara perang tanding di Negara Cempalaradya masih berlangsung. Seorang brahmana yang mendapat kesempatan naik di panggung sayembara dan berhadapan dengan Gandamana bukanlah orang sembarangan. Ia mampu mengimbangi kesaktian Gandamana. Bahkan ilmu Wungkal Bener dan Aji Bandung Bandawasa yang menjadi andalan Gandamana tidak mampu membendung serangan lawannya. Oleh karenanya Gandamana mulai terdesak. Apalagi secara fisik umur Gandamana jauh berada di atas lawannya, sehingga daya tahannya susut dengan lebih cepat.
Lautan manusia yang masih bertahan di alun-alun menyaksikan bahwa Gandamana yang gagah perkasa dan sakti mandraguna semakin terdesak oleh lawannya. Perasaan para penonton dibawa ke dalam suasana tegang yang semakin memuncak. Tinggal menunggu saatnya, Gandamana terkapar di atas panggung sayembara yang dibuatnya sendiri.
Gandamana semakin yakin bahwa lawannya yang perkasa ini adalah Bima, anak Pandudewanata. Namun walau pun tahu bahwa yang menyamar sebagai barahmana itu adalah Bima, Gandamana tidak akan menghentikan perang tanding ini. Ia bertekad untuk menyelesaikannya. Walau pada akhirnya ia sendiri yang akan diselesaikan oleh Bima, Gandamana sudah siap.
Firasat yang dirasakan Gandamana semakin kuat bahwa inilah saatnya, sampai pada waktunya untuk melepaskan tugas pengabdianya untuk selamanya. Gandamana diingatkan saat saat kegetiran masalalu. Ia tidak pernah menemukan kebahagiaan dalam kedudukkan sebagai patih. Saat Gandamana menjadi patih Hastinapura, ia diperintahkan untuk maju perang melawan negara Pringgandani. Di tengah medan perang Gandamana dijebak di dalam luweng oleh Trigantalpati dan ditimbun tanah. Trigantalpati kemudian melaporkan kepada Prabu Pandudewanata bahwa Gandamana ditawan musuh dan dibunuh. Prabu Pandudewanata kemudian mengangkat Trigantalpati menjadi Patih Hastinapura menggantikan Gandamana.
Gandamana teringat akan masa-masa pengabdianya di negara Hastinapura di bawah pemerintahan Prabu Pandudewanata, aku sengaja dicelakai, dijerumuskan. Aku dikubur hidup-hidup. Semuanya menjadi gelap aku tidak ingat apa-apa.
Syukurlah bahwasannya maut belum mau memelukku. Aku berhasil diselamatkan oleh Yamawidura. Kesehatanku berangsur-angsur menjadi baik. Namun aku belum mampu mengingat awal mula peristiwa yang menimpaku sebelum semuanya menjadi gelap.
Setelah aku pulih aku berniat kembali ke Hastinapura untuk mengemban tanggung jawabku sebagai patih yang beberapa waktu aku tinggalkan. Yamawidura berpesan agar aku tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Karena hal itu tidak bakal menyelesaikan masalah, tetapi justru sebaliknya akan menimbulkan masalah baru yang tak berkesudahan seperti lingkaran setan. Aku pun setuju dengan apa yang diutarakan Yamawidura. Namun untuk apa hal itu harus dipesankan kepadaku ketika aku akan kembali ke Hastinapura? Ada apa dibalik pesan itu? Aku tahu bahwa Yamawidura adalah adik prabu Pandu yang bijaksana. Ia mempunyai ketajaman batin yang mampu melihat masa depan dengan tepat. Oleh karenanya aku ingin segera kembali ke Hastinapura untuk mengetahui kejadian apa yang bakal terjadi berkaitan dengan pesan Yamawidura.
Setibanya di Hastinapura Gandamana lupa akan pesan Yamawidura. Pikirannya hanya tertuju kepada jabatan patih yang ia tinggalkan. Ada kekawatiran pada dirinya bahwa Prabu Pandudewanata kerepotan mengatur jalannya pemerintahan tanpa kehadiran dirinya. Namun ternyata kekawatiran Gandamana tinggalah kekawatiran yang tidak untuk siapa-siapa kecuali untuk dirinya sendiri. Hastinapura tidak kacau, dan Prabu Pandudewanata tidak repot. Semuanya baik-baik saja. Jabatan patih yang ditinggal Gandamana telah diisi oleh Trigantalpati. Gandamana naik pitam. Darahnya mengalir sangat cepat disekujur badannya. Pada saat pasowann agung, Trigantalpati diseret keluar oleh Gandamana lalu dihajarnya hingga wajah dan badannya mengalami cacat seumur hidup. Tindakan Gandamana dicela oleh Prabu Pandudewanata, dianggap merendahkan martabat raja. Gandamana diusir dari bumi Hastinapura dan kembali ke Pancalaradya. Di Pancalaradya Gandamana diangkat menjadi Patih oleh Prabu Durpada kakaknya. Peristiwa lama terulang kembali. Gandamana menghajar Kumbayana hingga menderita cacat seumur hidup.
Gandamana termenung dalam. Kedudukan Patih tidaklah memberikan kebahagiaan, tetapi justru kegetiran. Pengabdian yang tulus tidaklah cukup, tetapi jperlu disertai dengan kewaspadaan terhadap lawan lawan politiknya. Gandamana tidak memikirkan itu. baginya jabatan patih adalah tanda dan sarana untuk mengabdi negara dan melayani rakyat. Dan Gandamana telah melakukannya dengan baik. Walau hasilnya adalah kegetiran.
Namun kali ini perang tanding melawan cucunya bukanlah sebuah kegetiran. Demikian pula jika harus mati ditangan cucunya. Blesss. Bersamaan dengan selesainya permenungan Gandamana, Kuku Pancanaka ditangan Bima telah menembus dadanya.
Kidung Malam?84 Gandamana meninggalkan semuanya termasuk jabatan Patih. Tidak adal lagi kegetiran, ia beristirahat?dalam damai abadi (gmbr: herjaka HS)
Gandamana Gugur Gandamana mengeluh lirih. Pusaka pancanaka yang berujud kuku dengan lembut telah melesak di dadanya. Benarlah apa yang diduga sebelumnya bahwa seorang berpakaian brahmana yang menjadi lawannya adalah Bima, salah seorang trah Bayu yang mempunyai pusaka andalan pancanaka. Gandamana telah terluka, namun tidak ada rasa sakit di tubuhnya. Ia masih mencoba untuk berdiri gagah dan tegar, namun usahanya tidak berhasil bahkan badannya yang tegap mulai menjadi lunglai. Pandangannya menjadi redup dan kabur. Ia merangkul Bima agar tidak jatuh terjerembab. Bima menyambutnya dengan keharuan. Ada banyak kesamaan diantara keduanya. Bima dan Gandamana adalah orang yang berwatak jujur, prasaja sederhana apa adanya dan mempunyai ketulusan dalam menjalankan tugas.
Oleh karena pengabdiannya yang tulus, Gandamana tidak merasa sakit di hatinya juga di sakit di tubuhnya ketika Kuku Bima melesak di dadanya dalam perang tanding sayembara. Ketulusan hati Gandamana itulah yang membuat cara memandang sebuah kematian pada saat menjalankan tugas negara berbeda dengan cara padang pada umumnya. Bagi Gandamana mati dalam tugas di medan laga adalah indah dan mulia. Indah karena ia telah menyelesaiakan tugasnya dengan baik dan sempurna. Mulia karena ia gugur pada saat menjalankan tugas. Kematian seperti yang dialami Gandamana juga dirasa merupakan pembebasan dari kegetiran yang selama ini menerpa hidup Gandamana, berkaitan dengan jabatan Patih.
Demikian pulalah Bima. dengan tulus ia menjalani tugas yang diberikan oleh eyang Begawan Abiyasa untuk mengikuti sayembara di Pancalaradya demi kakaknya Puntadewa. Jika sayembara dalam hal memanah yang ditugaskan untuk maju adalah Arjuna. Sedangkan jika sayembara berupa perang tanding maka Bima lah yang ditugaskan untuk mengikuti sayembara. Maka ketika sayembara yang semula diadakan adalah sayembara memanah dan kemudian diteruskan dengan sayembara perang tanding maka Bima lah yang bertugas naik ke panggung sayembara berhadapan melawan Gandamana eyangnya.
Sebagai seorang ksatria dalam arena perang tanding menang adalah merupakan pilihan. Dan Bima berhasil memenangkannya, dengan melesakkan pancanaka di dada Gandamana. Tidak ada sakit hati dan kebencian di sana. Yang terjadi adalah ketulusan dalam menjalanan tugas. Walaupun pada akhirnya keduanya mendapatkan hasil yang berbeda, Gandamana dan Bima telah menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. Keduanya adalah pahlawan. Bima menjadi pahlawan dikarenakan telah memenangkan peperangan. Sedangkan Gandamana menjadi pahlawan karena ia gugur dalam tugasnya di medan perang.
Bima mendekap erat tubuh Gandamana yang mulai dingin dan lemas. Dengan tenaga yang masih tersisa Gandamana mencoba menyambut hangat dekapan Bima. Bima meneteskan air mata. Dengan terbata-bata Bima berkata "maafkan aku Eyang, maafkan." Gandamana mengangguk-angguk. Tangannya bergetar lemah membelai kepala Bima untuk yang terakhir kali. Bibirnya mengulum senyum tipis tanda kebanggaan atas sebuah pribadi yang jujur, berani, teguh, tangguh dan tulus yang dimiliki oleh Bima cucunya.
Berada dalam pelukan Bima, Gandamana merasa tenang dan tentram untuk mengakhiri pengabdiannya, bahkan untuk mengakhiri hidupnya. Bima memperkokoh posisi kakinya agar kuat menyangga tubuh Gandamana yang semakin berat. Kesadaran Gandamana berangsur-angsur surut seiring dengan melemahnya detak jantung dan melambatnya aliran darah. Namun pada sisa kesadaran yang paling akhir Gandamana berniat melepaskan dua aji andalannya yaitu wungkal bener dan bandung bandawasa dan mewariskannya kepada Bima. Gandamana percaya bahwa Bima dapat menggunakan kedua ilmu sakti tersebut untuk memayu-hayuning bawana.
Panggung sayembara hening. Demikian pula lautan manusia yang berada di alun-alun Pancalaradya. Semuanya diam. Bahkan angin pun berhenti bertiup untuk sesaat. Semua memberi penghormatan terakhir kepada Gandamana sang pahlawan Pancalaradya.
Bersamaan berhentinya nafas Gandamana, matanya menutup untuk selamanya. Tidak ada tugas lagi yang diembannya. Ia beritirahat dalam damai
Ana tangis rayung-rayung tangise wong wedi mati gedhongana kuncenana wong mati mangsa wurunga.
Ada tangis mengharukan tangisnya orang yang takut mati
walaupun di masukan di gedung
dan dikunci orang mati tidak mungkin dibatalkan
Gandamana telah mati. Gugur di medan laga. Namun semangat pengabdiannya, keberanian dan kejujuran serta ketulusan hatinya juga kesaktiannya telah diwarisi oleh Bima orang nomor dua dari Pandawa Lima, anak Prabu Panndudewanata.
Kidung Malam?85 Kisah Sebelum Kematian Gandamana gugur dipangkuan Bima, setelah beberapa saat tak berdaya. Prabu Durpada dan kerabat tidak dapat membendung prahara dukacita di hatinya. Sang prameswari Dewi Gandawati dan putrinya Dewi Durpadi tak dapat menahan tangis kesedihan. Demikian halnya Prabu Durpada. Raut muka Sang Raja Pancala tersebut menampakkan dukacita yang dalam. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan agar matanya yang mulai basah tidak meneteskan air mata. Lautan manusia di alun-laun yang sebagian besar adalah rakyat Pancalaradya juga larut dalam suasana haru seperti yang terjadi di panggung sayembara. Bagaikan sebuah konser agung mereka menyenandungkan kidung perkabungan. Rakyat Pancalaradya mengakui bahwa Gandamana adalah beteng negara yang perkasa. Semenjak kepulangan Gandamana dari Hastinapura negara Pancala menjadi besar dan kuat, ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Namun kini setelah Gandamana gugur ada kekuatiran diantara mereka, siapa yang akan menjadi benteng perkasa Pancalaradya?
Beberapa punggawa raja mengurus raga Gandamana yang mulai layu. Tidak ada lagi denyut kehidupan di tubuh nan perkasa. Seorang abdi laki-laki yang sangat dekat dengan Gandamana akhir-akhir ini belum berhasil menjaga agar matanya tidak basah oleh air mata. Rupanya ia sengaja untuk menikmati kesedihan itu di depan raga Gandamana yang membujur kaku. Disela-sela linangan airmata ia menuturkan tentang beberapa hal yang disampaikan Gandamana kepada dirinya.
Beberapa tahun terakhir ini aku selalu bermimpi bertemu dengan Prabu Pandudewanata. Walaupun pada sebagian besar mimpi tersebut Prabu Pandudewanata tidak pernah berbicara sepatah kata pun, aku tahu apa yang menjadi kerinduannya. Seperti halnya Prabu Pandu, aku pun sesungguhnya rindu bersatu dengan Sang Prabu. Ada beban berat menindih sepanjang hidupku. Getir rasanya mengenang peristiwa lebih dari sepuluh tahun silam, ketika perang Pamukswa pecah. Perang negara Hastinapura dan Negara Pringgandani.
Perang besar itu terjadi karena siasat adu-domba yang dilakukan oleh Trigantalpati. Raden Trigantalpati adalah adik Dewi Gendari isteri Destarastra, kakak Prabu Pandudewanata yang menjadi adipati di Gajahoya. Sesungguhnya hubungan antara negara Pringgandani dengan negara Hastinapura sangat harmonis. Kedua raja yang berkuasa adalah saudara seperguruan. Namun karena Trigantalpati melayangkan surat tantangan atas nama Prabu Pandu raja Hastinapura kepada Prabu Tremboko raja Pringgandani maka perang pun pecah dan menjadi semakin besar hingga tak terkendali.
Dalam perang Pamukswa Gandamana yang waktu itu menjadi Patih, maju ke medan perang. Dengan aji bandung bandawasa dan wungkal bener, Gandamana mampu membuat lawannya kocar-kacir. Pada saat Patih Gandamana menggempur musuh, Trigantalpati mengarahkan agar Patih Gandamana melewati jebakan berupa luweng atau lubang di tanah yang telah disiapkan Trigantalpati. Dikarenakan yang menjadi perhatian adalah musuhnya, Gandamana kurang memperhatikan tanah yang diinjak, akhirnya Gandamana masuk ke dalam luweng. Dengan cepat Trigantalpati dan anak buahnya menimbun Gandamana. Gandaman dikubur hidup-hidup di tengan medan perang Pamukswa.
Gandamana hilang! Gandamana mbalela! Gandamana ditawan musuh! Gandamana mati! Kabar kegagalan Gandamana sengaja di tiupkan oleh Trigantalpati. Prabu Pandu terbakar hatinya mendapat kabar buruk yang menimpa patihnya yang amat dikasihi. Maka kemudian dikerahkannya seluruh kekuatan yang masih ada untuk menggempur Pringgandani.
Pada puncak perang Pamukswa, Prabu Tremboko gugur di tangan Prabu Pandu. Pringgandani menyerah. Dengan leluasa Prabu Pandu memasuki rumah-rumah tahanan dan bilik-bilik tawanan. Namun tidak menemukan Gandamana. Pandu bersedih. Dimanakah Gandamana?
Sepekan duapekan, sebulan dua bulan didengar tidak ada kabar beritanya, dicari tidak ketemu, ditunggu tidak datang jua. Dengan pertimbangan untuk menata secepatnya negara yang berantakan karena perang, berapa usulan dilontarkan agar Prabu Pandudewanata segera mengangkat patih baru menggantikan Gandamana. Entah bagaimana prosesnya, siapa yang mengusulkannya dan siapa pula yang menjadi otaknya, sehingga Prabu Pandudewanata mengangkat Raden Trigantalpati menjadi patih Hastinapura yang baru.
Perang telah usai. Yang menang dan yang kalah tidak mendapatkan apa-apa selain kerusakan dan kematian. Perang besar yang disebut dengan perang Pamukswa itu menyisakan puing-puing negri dan puing-puing hati. Hati yang diiris, hati yang digores, hati yang dipecah berkeping-keping karena kehilangan orang-orang yang amat dicintai.
Kidung Malam?86 Prabu Pandudewanata ketika sedang menjalani laku di hutan (herjaka HS)
Cerita Masa Lalu Trigantalpati resmi dilantik menjadi Patih Hastinapura menggantikan Gandamana. Orang yang paling bahagia pada pelantikan Trigantalpati adalah kakak perempuannya yang bernama Dewi Gendari atau Gandari. Dewi Gendari dan Trigantalpati adalah dua suadara diantara empat bersaudara anak Prabu Gandararaja raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini.
Pada waktu Trigantalpati akan mengikuti sayembara untuk memperebutkan Dewi Kunthi di negara Mandura, yang menemani adalah Dewi Gendari, saudara tertua. Sedangkan adik-adiknya yang bernama Arya Surabasata dan Arya Gajaksa di tinggal di Gandaradesa.
Dikarenakan negara kecil Gandaradesa letaknya jauh dari negara Mandura maka sesampainya di sitihinggil Mandura, sayembara telah selesai. Pemenangnya adalah Pandudewanata. Trigantalpati kecewa. Ia menantang Pandudewanata untuk merebut Dewi Kunthi. Pandu melayani tantangan Trigantalpati dengan perjanjian Jika Trgantalpati dapat mengalahkan Pandudewanata, Dewi Kunthi diserahkan kepada Trigantalpati. Tetapi jika Trigantalpati kalah, Dewi Gandari diserahkan kepada Pandudewanata. Dalam pertempuran itu Pandudewanata dengan mudah dapat mengalahkan Trigantalpati, maka Dewi Gendari menjadi milik Pandudewanata, menyusul dua putri sebelumnya yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Selanjutnya ke tiga putri tersebut di boyong Pandu ke Hastinapura.
Kekecewaan yang amat dalam dialami oleh dua kakak beradik dari Gandaradesa. Keduanya kecewa karena Pandudewanata. Trigantalpati kecewa karena telah dikalahkan Pandudewanata dalam sayembara. Sedangkan Dewi Gendari kecewa karena sebagai putri boyongan ia oleh Pandudewanata diberikan untuk kakaknya yang buta bernama Destarastra. Dua hati yang kecewa tersebut kemudian sepakat berjuang untuk menghancurkan Pandudewanata. Oleh karenanya Dewi Gendari sangat gembira ketika Trigantalpati adiknya berhasil menduduki jabatan patih. Karena dengan jabatan yang strategis tersebut Dewi Gendari dan Trigantalpati dapat dipermudah untuk menghancurkan Pandudewanata dari dalam.
Pandudewanata sebagai raja yang mengangkat Trigantalpati menjadi patih tidak menyadarinya akan hal itu, karena Dewi Gendari yang menjadi kakak iparnya dan Trigantalpati adik Gendari yang sebelum aktif membantu dalam hal tata keprajuritan tidak menunjukkan tanda-tanda membuat gerakkan yang mencurigakan
Belum genap hitungan tahun Trigantalpati menjabat sebagai patih, tiba-tiba kotaraja geger dengan munculnya Patih Gandamana yang dikabarkan telah gugur di medan perang Pamukswa. Prajurit jaga yang sedang bertugas diperbatasan mengenali untuk pertamakali kemunculan Patih Gandamana setelah dikabarkan gugur di medan perang.
"Gusti Patih Gandamana ? tidakkah aku sedang bermimpi? Paduka terhindar dari marabahaya?" tanya seorang prajurit jaga diperbatasan penuh keheranan.
"Seperti yang engkau lihat aku sedikit cidera, tetapi sudah pulih kembali." Jawab Gandamana sambil tersenyum.
Sejatinya Gandamana tidak mati seperti yang telah dikabarkan. Ia ditolong oleh Yamawidura adik Pandudewanata ketika Gandamana ditimbun dalam luweng. Pada saat-saat terakhir sebelum segalanya menjadi gelap, Gandamana melihat wajah Trigantalpati yang memerintahkan para Kurawa untuk menimbun dirinya. Ada senyum di bibir Trigantalpati. Senyum yang mengandung ejekan dan kebengisan.
Entahlah apa yang terjadi kemudian setelah aku tak sadarkan diri. Yang aku tahu kemudian bahwa aku telah diselamatkan Yamawidura, adik Prabu Pandu. Ia merawatku hingga pulih seperti sekarang ini. Namun ada satu hal yang sampai sekarang selalu membayang di anganku yaitu senyum Trigantalpati, senyum yang membuatku terpuruk," tutur Gandamana kepada sekelompok perajurit jaga di perbatasan.
Tahulah sekarang bahwa Trigantalpati yang menjadi otak dibalik semua ini, guman para prajurit dalam hati. Ternyata Trigantalpati telah merencanakan pembunuhan terhadap Patih Gandamana. Setelah berhasil menjebak Gandamana dalam luweng yang dibuatnya, Trigantalpati meniupkan kabar bahwa Gandamana telah gugur di medan perang. Entah apa yang kemudian dilakukan dan siapa saja yang berperan, karena tidak beberapa lama kemudian semenjak kabar gugurnya Gandamana ditiupkan Trigantalpati diangkat oleh Prabu Pandudewanata menjadi Patih menggantikan Gandamana.
Kasihan Gusti Patih Gandamana. Ia tidak tahu bahwa Hastinapura tidak lagi membutuhkan Gandamana sebagai Patih karena Prabu Pandudewanata telah mengangkat patih baru. Apa jadinya jika kemudian Gandamana tahu bahwa Hastinapura telah mempunyai patih baru yaitu Trigantalpati. Demikian kata yang terlontar dari bibir para prajurit jaga sembari menatap Gandamana yang melangkah ringan menuju kotaraja.
Gandamana melanjutkan ceritanya, sesampainya di kotaraja aku langsung menuju ke sitihinggil, tempat raja bertahta. Saat itu sedang ada pasowanan agung. Para Nayaka, Bupati, Demang, punggawa memenuhi bangsal sitihinggil. Aku meminta jalan untuk menghadap raja dan menunjukkan bahwa aku dalam keadaan selamat. Keadaan yang hening berubah. Semua mata memandangku. Banyak diantara mereka yang menyebut namaku "Gusti Patih Gandamana?" Tatapan mata mereka adalah tatapan keheranan. Gandaman masih hidup?
Sesampainya di depan Raja Pandudewanata, aku menyembah sembari mengucap "Ampun sang Prabu, ampunilah hamba yang lama tidak menghadap paduka"
Beberapa saat Pandudewanata tak dapat mengucap. Sembari sedikit memelototkan mata karena keterkejutannya dan keheranannya Prabu Pandudewanata berkata "Benarkah engkau Patih Gandamana?
Sebelum Gandamana menjawab, Trigantalpati berdiri dan berteriak lantang "Bukan dia sang Prabu! Inilah satu-satunya Patih Hastinapura, Trigantalpati."
Mendengar suara yang tidak asing lagi Gandamana menoleh, dan dilihatnya Trigantalpati memakai busana Patih berdiri sambil menepuk dada.
Ibarat jerami kering dilempar minyak dan api, maka seketika terbakarlah hati Gandamana melihat tampang dan sikap Trigantalpati. Tanpa menghiraukan keberadaan raja yang sedang bertahta, Gandamana berdiri membelakangi raja dan menyeret Trigantalpati ke luar pasowanan Agung. Trigantalpati tak berdaya dalam cengkeraman Gandaman yang sudah mengetrapkan mantra sakti aji Bandungbandawasa. Sesampainya di Alun-alun Trigantalpati dihajarnya habis-habisan.
Setelah raga Trigantalpati hancur, Gandamana meniggalkan Trigantalpati di alun-alun. Maksud hati ingin kembali ke pasowanan agung untuk menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Namun sayang, pisowanan agung telah dibubarkan. Tindakkan Gandamana tidak berkenan di hati Pandu karena telah meremehkan raja yang sedang bertahta. Bahkan Prabu Pandudewanata tidak mengijinkan lagi Gandamana menghadapnya.
Aku seperti dihempaskan dari Hastinapura. Tidak lagi tersisa sedikit pun jasaku di sana. Gandamana menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati pedih dan hancur ia meninggalkan bumi Hastinapuram yang selama ini telah memberikan kehangatan
herjaka HS Kidung Malam?87 Dengan hati berkeping Gandamana meninggalkan bumi Hastinapura
Nilai yang ditinggalkan Dengan hati yang remuk berkeping Gandamana kembali ke negara aslanya yaitu Cempalaradya, ingin menumpahkan serpihan hatinya kepada sang kakak Prabu Durpada.
"Kakang Prabu aku pulang Kakang"
Prabu Durpada menyambut kepulangan Gandamana adiknya dengan penuh gembira. Adik yang mempunyai banyak pengalaman dan kesaktian itu kemudian diangkatnya menjadi orang kedua setelah raja, setingkat dengan jabatan Patih, dengan tugas pokok sebagai benteng pertahanan negara Cempalaradya.
Gandamana merasa senang dengan tugas yang diberikan kakaknya, namun hal itu bukan berarti bahwa ia dapat begitu saja melupakan masa lalunya. Masa lalu yang getir, ketika ia ditikam dari belakang oleh Trigantalpati, kawannya, sehingga ia tersingkir dari jabatan patih.
Memang Gandamana puas setelah menghajar Trigantalpati hingga menderita cacat seumur hidup, tetapi jika mengingat hal itu Gandamana menyesal amat dalam, mengapa ia tidak kuasa mengendalikan gejolak hatinya yang dibakar dendam terhadap Trigantalpati. Sehingga Gandamana mengabaikan subasita tata aturan di depan raja yang sedang bertahta. Akibatnya Gandamana tidak diperkenankan lagi menghadap raja Prabu Pandudewanata.
Hal itulah yang sungguh menyakitkan hati Gandamana. Bukan karena Ia telah kehilangan jabatan patih dan terusir dari bumi Hastinapura. Tetapi terlebih karena ia sudah tidak diperkenankan lagi menghadap Prabu Pandudewanata. Ia telah dipisahkan dengan Pandudewanata yang paling ia hormati dan sangat ia cintai.
Hari demi hari setelah ia tidak lagi mengabdi Prabu Pandudewanata di negara Hastinapura, kerinduannya akan sosok Pandu tak pernah hilang dari budi dan angannya. Ibarat seekor rusa yang mendamba air di padang tandus kerinduan Gandamana tak pernah terpuaskan. Bahkan hingga Pandu dewatanata wafat kerinduan Gandamana yang semakin bertumpuk tersebut belum pernah terpenuhi.
Selanjutnya kerinduan yang masih diangan Gandamana tersebut kerap datang dalam wujud mimpi. Mimpi bertemu denga pandu yang mendahuluinya di alam keabadian.
Puluhan tahun berlalu, Gandamana tidak pernah membayangkan bahwa pada suatu waktu di Cempalaradya akan kedatangan ke lima anak-anak Pandudewata yaitu Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Nakula dan Sadewa, yang mengemban tugas dari pandita Durna, untuk mendundukan Gandamana dan Prabu Durpada. Gandamana tidak sampai hati melawannya. Ada tatapan Pandu dibalik mata Puntadewa dan keempat adiknya. Bahkah saat bertemu dengan anak-anak Pandu kerinduan Gandamana terobati sudah.
Tidak hanya Gandamana, Prabu Durpada pun berhutang budi kepada Prabu Pandudewanata. Keberhasilan memenangkan sayembara dan mempersunting Dewi Gandawati dan mewarisi tahta Pancalaradya karena jasa Prabu Pandu semata. Sehingga seperti Gandamana, Prabu Durpada tidak sampai hati mengadakan perlawanan kepada anak-anak Prabu Pandudewanata.
Oleh karenanya diantara Gandamana dan Prabu Durpada sepakat untuk tidak mengadakan perlawanan kepada anak-anak Pandu. Mereka berdua menyerahkan diri tanpa syarat kepada Bimasena sebagai tawanan untuk dibawa menghadap pandita Durna di Sokalima. Sebuah pertaruhan yang memerlukan pengorbanan besar demi rasa hormat dan cintanya kepada Prabu Pandu, lewat anak-anaknya.
Kejadian selanjutnya tidak pernah diduga sebelumnya, bahwa kerelaan untuk berkorban menjadi tawanan yang diberikan Prabu Durpada dan Gandamana kepada Bima demi nama besar Prabu Pandu telah dimanfaatkan dengan baik oleh Pandita Durna yang sengaja melampiaskan dendamnya. Prabu Durpada dan Gandamana telah dinistakan dan ditelanjangi harga dirinya di padepokan Sokalima di hadapan banyak orang. Sungguh sebagai seorang ksatria dan raja Gandamana dan Prabu Durpada merasa hidupnya tidak berharga tanpa hargadiri. Sepulangnya dari Sokalima hari-hari dilaluinya dalam kesedihan dan sakit hati.
Gandamana menjadi serba salah. Maksud hati untuk berkorban demi Prabu Pandu dan sekaligus tanda sesal atas kesalahan yang telah dibuatnya terhadap Prabu Pandu, tetapi akibatnya Prabu Durpada kakaknya ikut menderita karenanya.
Selama hidupnya memang Gandamana banyak mengalami kegetiran. Bahkan hingga akhir hidupnya kegetiran itu tidak lepas dari dirinya. Namun untunglah Bimasena anak Pandudewanata menyediakan diri untuk menampung kegetiran-kegetiran hidup Gandamana beserta dengan dua aji saktinya yaitu Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa.
Gandamana telah tiada dan bersama-kegetiran-kegetirannya. Namun semangat pengabdiannya masih menyala dalan dada Bimasena. Dan itulah satu-satunya nilai yang ditinggalkan Gandamana. Nilai pengabdian yang tulus bagi kehidupan
herjaka HS Kidung Malam?88 Puntadewa meneteskan air mata haru dihadapan Arjuna (karya Herjaka HS)
Mereka Masih Selamat Ada dua peristiwa getir yang selalu diceritakan berulang-ulang oleh Gandamana kepada orang-orang terdekatnya, yaitu fitnah Trigantalpati atau patih Sengkuni dan kepongahan Kumbayana atau Pandita Durna. Perilaku dua orang tersebut membuat Gandamana bertindak diluar batas nalar sehingga akibatnya Trigantalpati dan Kumbayana menderita cacat seumur hidup. Ada penyesalan yang mendalam bahwasannya perbuatannya yang tak terukur dengan nalar telah merugikan orang lain dan telah merugikan diri sendiri. Akibatnya Gandamana terpaksa berpisah dengan Prabu Pandudewanata, sosok yang dicintai dan dihormati, dan juga Gandamana berseteru dengan Pandita Durna, yang adalah saudara Prabu Durpada dan guru Bimasena. Kedua peristiwa itulah yang dikemudian hari senantiadsa membayangi hidupnya dan membuat hatinya serasa getir.
Ada alasan mengapa Gandamana selalu menceritakan dua peristiwa getir yang menimpa dirinya kepada orang-orang yang ada di dekatnya? Karena Gandamana beranggapan bahwa dua peristiwa getir yang dialaminya dapat menimpa siapa saja yang tidak dapat menahan diri ketika diperlakuan dengan semena-mena. Maka hendaknya hal tersebut dapat dijadikan pelajaran dan peringatan dalam menjalani sebuah kehidupan.
Dan benarlah sekarang setelah Gandamana berpulang ke alam baka, dua cerita getir tersebut masih diingat oleh orang-orang yang pernah mendengar cerita itu. Bahkan masih diingat banyak orang yang menjadi saksi hidup dalam dua peristiwa getir tersebut.
Gugurnya Gandamana di tangan brahmana perkasa yang adalah Bima menandakan bahwa sayembara perang tanding telah usai. Tidak seperti yang dirasakan terutama oleh Prabu Durpada dan Dewi Durpadi khususnya, lautan manusia di alun-alun Pancalaradya tidak menampakkan kesedihannya. Untuk sejenak perhatian mereka tidak sedang tertuju kepada gugurnya Gandamana, tetapi lebih tertuju kepada pemenang sayembara. Seorang brahmana muda gagah perkasa yang akhirnya diketahui bahwa ia adalah Bima orang nomor dua dari lima bersaudara laki-laki yang disebut dengan Pandawa. Apalagi tiidak berapa lama setelah Bima diumumkan secara resmi sebagai pemenang sayembara, Arjuna juga dengan mengenakan pakaian brahmana naik ke atas memberi selamat kepada Bima kakaknya, maka sebagian besar dari lautan manusia itu pun mulai menghubung-hubungkan antara Bima dengan brahmana tampan yang sejak awal sayembara datang bersama Bima. Maka mulailah orang-orang yang berdiri tidak jauh dari panggung mengenalnya dengan menyebut nama Arjuna, orang nomor tiga dari Pandawa yang paling tampan.
Satu, dua teriakan yang menyebut nama Bima dan Arjuna terucap, kemudian disusul oleh yang lain hingga merata di alun-alun Pancalaradya.
Horeee Bima! horeee Arjuna!
Teriakan dibarengi dengan lambaian tangan untuk mengelu-elukan Bima dan Arjuna sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari Hastinapura dan ditambah beberapa orang dari negara Wirata, negara Mandura dan juga negara Pancalaradya.
Sejak tragedi Bale sigala-gala, Kawula hastinapura khususnya menganggap bahwa Pandawa lima telah mati terbakar. Mereka merasa kehilangan ksatria utama anak-anak Pandudewanata yang merupakan pewaris tahta Hastinapura yang sah. Oleh karenanya dengan munculnya Bima di Pancalaradya sebagai pemenang sayembara, hati mereka melonjak gembira. Harapan mereka akan sebuah negara gemahripah lohjinawi tata titi tentrem kertaraharja yang selama ini sengaja disimpan di dalam hati, muncul dengan sendirinya ke permukaan wajah yang memancarkan keceriaan. Sinar mata mereka berbinar-binar haru menyaksikan anak-anak Pandu yang adalah pewaris tahta Hastinapura masih selamat.
Sepeninggalnya Prabu Pandu Dewanata, Destarastra yang dititipi negara Hastinapura tidak banyak berperan dalam menjalankan tata pemerintahan. Peranannya sebagai raja di Hastinapura diambil alih dan dijalankan oleh Patih Sengkuni yang bekerjasama dengan Dewi Gendari sang permaisuri raja. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat tidak pernah sampai kepada yang ber hak menerimanya.
Dendam Gendari kepada Pandu dan nafsu berkuasa Patih Sengkuni memungkinkan kedua kakak beradik tersebut untuk bekerjasama memainkan politik yang kotor dan kejam. Tragedi Bale Sigala-gala adalah bukti bahwa mereka telah merencanakan pembunuhan anak-anak Pandu sebagai pewaris tahta Hastinapura.
Namun Patih Sengkuni, Duryudana dan para Kurawa tidak mengetahui bahwa Pandawa masih hidup. Bahkan diawal sayembara ini Patih Sengkuni tidak menduga sama sekali bahwa yang mencegat pemuda rupawan dan mengajaknya bertanding adalah Arjuna.
Dengan munculnya Pandawa sebagai pemenang di sayembara perang tanding melawan Gandamana, rakyat Hastinapura khususnya semakin meyakini bahwa Pandawa benar-benar dikasihi dewa dan pada saatnya nanti Pandawa bakal mampu membawa kedamaian, kesejahteraan dan kejayaan Hastinapura.
Atas keberhasilannya, Bima diberi hak untuk memboyong Dewi Durpadi. Namun sebelum memboyong Durpadi, Arjuna mengabarkan keberhasilan sayembara kepada kakanda Puntadewa. Air mata Puntadewa menetes melalui bola mata yang bening. Air mata keharuan. Haru dikarenakan ketulusan hati kedua adiknya yang telah mempersembahkan kemenangan sayembara kepada dirinya.
Kidung Malam?89 Durpadi, berjanji akan mencintai Kakanda Puntadewa dalam keadaan sehat atau pun sakit?dalam keadaan suka atau pun duka, dan dalam untung atau pun malang. (karya herjaka HS)
Putri Boyongan Seiring dengan masa perkabungan atas kematian Gandamana, Dewi Durpadi mulai menata hati dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk meninggalkan negara Pancalaradya menjalani darma menjadi putri boyongan. Sebagai hadiah sayembara perang tanding tidak ada pilihan bagi Durpadi kecuali tunduk dan patuh kepada sang pemenang sayembara. Bima yang dalam hal ini sebagai pemenang sayembara akan mempersembahkan kemenangan ini untuk Puntadewa kakaknya. Keikutsertaan Bima dan juga Arjuna dalam sayembara di Pancalaradya tersebut tidak sekedar untuk memenangkan sayembara dan memboyong putri. Seperti niat semula yang disarankan Begawan Abiyasa bahwa hal terutama yang didapat dari kemenangan ini adalah agar rakyat mengetahui bahwa Pandawa belum sirna.
Beberapa pekan kemudian Bimasena dengan didampingi oleh Arjuna serta Begawan Abiyasa dan beberapa cantriknya datang ke Pancalaradya untuk memboyong Dewi Durpadi ke hutan Kamiyaka. Tidak ada kemewahan seperti layaknya boyongan putri raja. Yang ada adalah kebersahajaan dan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh Begawan Abiyasa. Namun justru Prabu Durpada merasa terharu dan sekaligus gembira menyambut kedatangan Begawan Abiyasa yang dianggap sebagai tamu agung. Bagaimana tidak, Begawan Abiyasa yang adalah raja dan sekaligus pandita, mumpuni dalam berbagai ilmu, amat arif dan bijaksana berkenan rawuh di Pancalaradya. Prabu Baratwaja, orang tua angkat Prabu Durpada, pernah berguru kepada Begawan Abiyasa. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa akhirnya Prabu Durpada dipertemukan dengan Begawan Abiyasa yang selama ini hanya mendengar ceritanya melalui Prabu Baratwaja.
Prabu Durpada merasa beruntung dan tersanjung bahwasannya Dewi Durpadi putrinya dipersunting oleh Pandawa. Dengan demikian artinya bahwa ia berbesanan dengan almarhum Prabu Pandudewanata, raja Hastinapura yang telah banyak membantu dirinya. Kejadian ini tidak lepas dari pengorbanannya seorang Gandamana. Sebagai wujud rasa syukurnya atas kedatangan Begawan Abiyasa, Prabu Durpada menyediakan beberapa kereta kencana dan pengawal untuk mengantar Dewi Durpadi ke hutan Kamiyaka, tempat Pandawa berada. Dengan membawa sisa duka yang masih singgah di hatinya karena kematian Gandamana, Dewi Durpadi naik kereta kencana meninggalkan negara Pancalaradya serta kemewahannya menerobos rimbunnya hutan Kamiyaka.
Di hutan Kamiyaka Dewi Kunthi, Puntadewa, Nakula, Sadewa dan di bantu beberapa pengikutnya mempersiapkan upacara penyambutan putri boyongan dengan amat sederhana, mengingat bahwa Kunthi dan Pandawa masih dalam masa penyamaran dan keprihatinan. Namun walaupun sangat sederhana, ada ungkapan rasa syukur nan agung dan rasa sukacita yang menggelora, bahwasanya anugerah besar telah diterimanya. Putri raja yang cantik jelita telah di karuniakan dan keberadaannya telah dimaklumkan. Pandawa telah menerima dua anugerah besar, yaitu Dewi Durpadi dan rakyat Hastinapura. Rakyat yang selama telah dibuat lupa kepada Pandawa, mendadak ingatannya dibangkitkan kembali bahwa inilah anak-anak Pandudewanata, pewaris tahta Hastinapura. Mereka tidak mati. Mereka dalam keadaan sehatwalafiat tidak kekurangan suatu apa pun.
Siang itu saat yang dinantikan tiba. Kunthi, Puntadewa, Nakula dan Sadewa serta beberapa pengikutnya terkejut. Tak disangka bahwasanya kedatangan Bima, Arjuna dan Abiyasa serta putri boyongan diantar oleh kereta kencana lengkap dengan simbol-simbol kebesaran negara Pancalaradya. Tidak hanya itu bahkan banyak orang yang dengan sukarela mengikuti iring-iringan itu hingga sampai di tempat Kunthi dan anak-anaknya berada. Mereka dengan tulus mengucapkan selamat atas keberhasilan Pandawa memenangkan sayembara dan memboyong putri Pancalaradya. Mereka menganggap bahwa iring-iringan putri boyongan ini sama halnya dengan iring-iringan calon pengantin putri yang dibawa kepada calon pengantin pria untuk dinikahkan. Seperti juga para pengiring pengantin pada umumnya, wajah mereka memancarkan kebahagiaan. Demikian pula halnya dengan para pengiring putri boyongan Dewi Durpadi. Mereka pun ingin merasakan kebahagiaan bersama-sama dengan calon pengantin berdua dan keluarga Pandawa yang berbahagia. Halaman tengah hutan yang sengaja di buat untuk keperluan tempat tinggal Kunthi dan anak-anak penuh dengan orang.
Kunthi terharu melihat semuanya itu. tak dapat ditahan air matanya menetes membasahi kedua pipi yang mulai menampakan keriputnya. Dalam sekejap tengah hutan Kamiyaka yang semula hening berubah menjadi meriah. Upacara boyongan dan dilanjutkan dengan upacara perkawinan yang semula direncanakan bersahaja menjadi berlimpah dan yang semula kelihatan sederhana berubah mulia. Kedatangan orang-orang pengiring sukarela yang jumlahnya hampir mencapai ribuan, tidak merepotkan Kunthi. Mereka membawa bekal makanan sendiri-sendiri. Bahkan ada yang dibawa khusus untuk calon pengantin.
Dewi Durpadi sebagai putri boyongan memang direncanakan menjadi calon pengantin putri bagi Puntadewa. Demikian halnya Puntadewa telah direncanakan sebagai calon pengantin pria bagi Dewi Durpadi. Keduanya telah direncanakan sejak kedatangan Begawan Abiyasa di hutan Kamiyaka. Dan sekarang tiba saatnya untuk digenapi. Rakyat mengelu-elukannya perkawinan itu. Tengah hutan Kamiyaka yang biasanya gemuruh oleh suara angin saat menerpa pepohonan besar kini bergemuruh oleh suara sorak-sorai bahagia para pengiring pengantin yang terdiri dari sebagian rakyat Pancalaradya, rakyat Hastinapura dan sekitarnya.
Puntadewa saudara sulung Pandawa, walaupun telah lama hidup jauh dari kemewahan kraton, ketika ditampilkan menjadi calon pengantin pria, aura wajahnya memancarkan praba sebagai mana keturunan raja. Sehingga dengan demikian menjadi pantaslah bersanding dengan Dewi Durpadi yang adalah putri sulung Prabu Durpada raja Pancalaradya yang sejak lahir hingga dewasa tidak pernah meninggalkan kemewahan. Kedua sejoli itu bagaikan dewa-dewi yang diutus untuk mengusir roh-roh jahat yang singgah di dalam belantara hutan Kamiyaka. Sehingga yang ada tinggalah roh-roh yang ikut mendoakan bagi keselamatan dan kelanggengan pengantin berdua.
Sorak-sorai semakin membahana. kemeriahan suasana semakin menyeruak dari hati rakyat, manakala mereka diingatkan bahwa sang pengantin merupakan calon raja Hastinapura.
Horee calon raja! Horeee! Hore calon permaisuri! Horeee! Dewi Durpadi lupa akan kesedihanya. Ia tenggelam ke dalam lautan kebahagiaan bersama Puntadewa yang berada disampingnya dan juga sekaligus berada di hatinya. Ia merasa sangat beruntung duduk di pelaminan bersanding dengan satria luhur calon raja yang tampan dan halus. Durpadi berjanji akan mencintai Puntadewa dalam keadaan sehat atau pun sakit dalam suka atau pun duka, dalam untung atau pun malang. Demikian halnya dengan Puntadewa, ia berjanji akan mencintai Durpadi hingga maut memisahkannya
Pada saat sukacitanya menjadi penuh berkelebatlah bayangan Gandamana di angannya. Dalam hati Dewi Durpadi berucap, terimakasih paman Gandamana kebahagiaanku ini adalah karena buah dari pengorbananmu. Semoga engkau bahagia di keabadian, seperti kebahagiaannku di hutan Kamiyaka, sekarang ini.
Kidung Malam?90 Gendari mencoba meredakan kemarahan Destarastra (karya: Herjaka HS)
Hari Baru

Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi itu hutan Kamiyaka sunggu amat cerah. Aneka burung leluasa berkejar-kejaranan. Burung Urang-urangan, burung kepodang, burung gogik, burung kutilang, dan burung slindhitan. Kicaunya lepas bebas bersautan bertumpangan. Hari baru dan hidup baru telah mulai dititi oleh pasangan yang berbahagia. Mereka bersama alam yang segar dan cerah meluapkan kegembiraannya atas perkawinan Puntadewa dan Dewi Durpadi. Beberapa orang yang masih berada di sekitar rumah kayu tempat Kunti dan Pandawa tinggal, merasakan kegembiraan itu. Mereka sengaja tinggal sampai hari ini agar mendapat kesempatan yang lebih leluasa untuk mendekat dan bertatap muka secara langsung dengan pengantin berdua.
Ekspresi wajah mereka yang polos dan tulus menggerakkan hati Puntadewa dan Dewi Durpadi untuk menghampiri orang-orang yang masih berada di tempat itu. Sapaan Puntadewa dan Dewi Durpadi memberi kelegaan, kesejukan dan kegembiraan bagi mereka. Seperti yang diharapkan dan diimpikan, mereka ingin berbicara langsung dengan pewaris Hastinapura yang selama ini telah dianggap mati terbakar pada peristiwa Bale Sigala-gala. Pada kesempatan tersebut Kunti, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa ikut mengucapkan terimakasih atas kedatangan, perhatian dan bantuan yang telah diberikan demi semaraknya upacara perkawinan antara Puntadewa dan Dewi Durpadi.
Puntadewa dan Dewi Durpadi merasakan banyak orang mencintai dirinya. Bahkan alam dan burung-burung pun juga mencintai dirinya. Mereka berdua berjanji di dalam hati untuk membalas cinta mereka. Jika pun nanti pada saatnya, kami benar-benar menjadi raja kami akan berusaha mengayomi mereka, mensejahterakan mereka dan mencintai mereka, juga mencintai alam beserta ciptaan yang lain. Aku akan menjadi raja yang memayu hayuning bawana, raja yang mampu membuat dunia menjadi indah baik dan selamat. Janji Puntadewa di dalam hati.
Mereka merasa puas dapat bertemu dan mengungkapan doa dan harapannya secara langsung kepada pengantin dan Pandawa. Sebelum matahari berada tepat di atas kepala, mereka memohon diri untuk kembali ke rumah masing-masing.
Kabar Kemenangan Bima pada sayembara di Pancalaradya dan dilanjutkan dengan perkawinan Puntadewa dan Dewi Durpadi telah sampai di tahta Hastinapura. Destarastra raja Hastina terkejut bukan kepalang ketika mendengar kabar bahwa Kunti dan Pendawa masih hidup. Ada perasaan bersalah karena ia telah membiarkan Patih Sengkuni dan Dewi Gendari mengangkat Duryudana menjadi pangeran pati untuk disiapkan menduduki tahta, menjadi raja Hastinapura. Pada hal tahta itu titipan dari Pandu adik Prabu Destarastra.
Sekali lagi, Destarastra merasa ditipu oleh Patih Sengkuni yang telah meyakinkan pada dirinya belasan tahun lalu bahwa Kunti dan Pandawa mati terbakar. Tetapi pada kenyataannya mereka masih hidup. Bahkan berhasil memenangkan sayembara yang juga diikuti oleh anak-anaknya. Itu artinya bahwa hingga saat ini anak-anaknya masih belum mampu menandingi kemampuan Pandawa.
"Tidak!!! Tidak boleh Duryudana menduduki tahta. Tahta itu milik anak-anahk Pandu" Ada gelombang kemarahan yang sengaja dibendung Destarastra.
Ketika Destarastra sulit mengedalikan amarahnya, Dewi Gendari yang piawai mendinginkan hati pasangannya segera meluncurkan kata-kata yang menyejukkan.
"Jangan cemas dan binggung Kakanda Prabu Destarastra. Memang benar tahta itu milik Pandu ketika itu. Namun sekarang Pandu telah wafat dan tahta warisan dari Ramanda Abiyasa tersebut kosong. Sehingga dengan demikian kedudukan Pandawa dan Kurawa adalah sama, yaitu cucu raja Abiyasa. Diantara para cucu Abiyasa, bukankah Duryudana merupakan cucu yang tertua? Apalagi secara lahir dan batin ia lebih siap menduduki tahta dibandingkan dengan Pandawa yang masih belia dan hidup tidak menentu di hutan. Oleh karenanya Kakanda tidak perlu merasa bersalah, dan menyalahkan aku serta Patih Sengkuni. Pengangkatan Duryudana sudah dipikirkan dengan matang."
"Gendari! Tidak hanya soal pengangkatan Duryudana, tetapi engkau dan Patih Sengkuni telah menipu aku, dengan mengatakan dan meyakinkan bahwa Kunti dan Pandawa telah mati terbakar. Tetapi pada kenyataannya mereka masih segar bugar." Destarastra berdiri, kata-katanya masih menunjukan kemarahannya
Dewi Gendari ikut berdiri sembari memapah Destarastra.
"Maaf Kakanda, hidup dan mati ada ditangan Tuhan. Aku dan Patih Sengkuni pun merasa tertipu ketika mendengar kabar bahwa Kunti dan Pendawa masih hidup. Ada rasa tidak percaya sebelum membuktikan dan melihat sendiri keberadaan Pandawa. Oleh karenanya ijinkanlah Patih Sengkuni dan Kurawa datang di hutan Kamiyaka untuk membuktikan apakah benar bahwa Kunti dan Pandawa masih selamat"
"Jika benar-benar Kunti dan Pandawa masih selamat apa yang akan kalian lakukan? bagaimana jika mereka menuntut hak tahta Hastinapura?" desak Destarastra.
Gendari mengusap dada Prabu Destarastra dengan jari-jarinya yang lembut. Kemudian kepala Gendari dibenamkan ke dada Destarastra yang bidang.
"Kakanda Prabu serahkanlah perkara ini kepadaku dan Patih Sengkuni. Aku berharap agar Pandawa menyetujui pengangkatan Duryudana."
Destarastra menghirup aroma bunga melati dirambut Gendari yang hitam lebat. Suara gemerisik rambutnya menggerakkan tangan Destarastra untuk membelainya. Kemudian bibir mereka berdua pun terdiam. Yang terjadi adalah dialog antar hati nan riuh.
Segera sesudah itu, Gendari menemui Patih Sengkuni. Rupanya pembicaraan diantara keduanya sangat rahasia. Terbukti tidak seorang pun yang diperbolehkan mendekat.
Apa yang mereka rencanakan hanya mereka berdua yang tahu. Yang pasti tentu tidak demi kebaikan Kunti dan Pandawa
herjaka HS Kidung malam?91 Saudara Tua Tidak pernah dibayangkan oleh Patih Sengkuni bahwasanya Kunti dan kelima anaknya masih hidup. Lalu siapakah enam mayat yang hangus terbakar pada peristiwa Bale Sigala-gala beberapa tahun lalu?
Masih jelas dalam ingatannya waktu itu ada enam mayat hangus menjadi abu. Berdasarkan temuan itu, Patih Sengkuni mengambil kesimpulan bahwa Kunti dan kelima anak laki-lakinya yang disebut Pandawa Lima mati terbakar. Jikapun ada yang menduga bahwa mayat yang terbakar tersebut bukan mayat dari Pandawa dan kunti melainkan mayat enam orang petapa yang singgah di Bale, mereka tidak berani membuka mulut. Dengan demikian hanya ada satu berita resmi dari istana bahwa Pandawa, pewaris tahta Hastinapura telah mati. Oleh karena kematian Pandawa, maka kemudian Sengkuni berhasil membujuk Destarastra mengangkat Duryudana menjadi putera mahkota.
Namun, dengan tidak terduga-duga, Pandawa muncul di Pancalaradya sebagai pemenang sayembara. Maka terkuaklah sebuah kebenaran dan terbukalah mata rakyat Hastinapura, bahwa Pandawa masih hidup, Bahkan Bima menjadi semakin perkasa, telah berhasil melumpuhkan Gandamana sapukawat negara Pancalaradya.
Sengkuni harus segera merubah strategi dan menyusun rencana baru, untuk menyingkirkan Pandawa agar tidak mengharubiru atas pengangkatan Duryudana sebagai putera mahkota Hastinapura.
Berdasarkan catatan peristiwa yang sudah berlalu, tidaklah mungkin Sengkuni mengandalkan para Kurawa untuk menyingkirkan para Pandawa dengan menggunakan cara-cara yang seharusnya dimiliki oleh seorang ksatria. Karena dengan cara itu para Kurawa yang jumlahnya jauh lebih banyak tidak pernah menang berperang tanding melawan Pandawa. Pada hal diantara Kurawa dan Pandawa telah diajarkan ilmu-ilmu yang sama oleh Pandita Durna di padepokan Sokalima. Namun pada kenyataannya, kemampuan menyerap dan menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan berbeda jauh antara Pandawa dan Kurawa.
Jika pun nanti, untuk menyingkirkan Pandawa terpaksa menempuh jalan perang tanding, tentunya bukanlah Kurawa yang melakukan, tetapi Kurawa akan menggunakan orang lain yang dapat mengimbangi kesaktian para Pandawa.
Sengkuni telah menemukan orang yang diharapkan dapat menandingi Pandawa, yaitu pemuda rupawan yang bertemu sewaktu mengikuti sayembara di Pancalaradya. Pemuda rupawan yang kemudian diketahui bernama Basukarno tersebut telah menunjukkan kesaktiannya. Ia sesungguhnya adalah pemenang sayembara karena mampu menarik busur pusaka. Namun dikarenakan ia mengenakan pakaian golongan sudra, sang putri Dewi Durpadi yang disayembarakan menolaknya.
Tidak hanya kesaktian menarik busur pusaka, Basukarno juga menunjukkan kemahiran berolah senjata panah, ketika ia ditantang oleh brahmana muda berparas tampan. Dengan disaksikan oleh Sengkuni dan para Kurawa Basukarno memamerkan kemampuannya memanah burung sriti yang terbang diudara. Dalam sekali bidik puluhan Sriti jatuh ke tanah. Melihat hal itu hati Brahmana muda tersebut tidak mau kalah, ia kemudian menggunduli pohon angsana dengan panahnya.
Saat itu Sengkuni telah curiga bahwa brahmana muda berparas tampan tersebut adalah Arjuna yang sengaja menyamar. Oleh karenanya ia mengajak Basukarno untuk bergabung dengan para Kurawa. Karena ialah orangnya dapat menandingi Arjuna dalam berolah senjata panah.
Setelah bergabung dengan para Kurawa, bibit permusuhan dengan Arjuna yang ada di lubuk hati Basukarno dijadikan tunas yang senantiasa disiram oleh Sengkuni dan Duryudana agar tumbuh mengakar dengat kuat. Dengan demikian pada saatnya kelak Basukarno mampu membuat Arjuna dan Pandawa celaka.
Basukarno yang adalah anak angkat dari seorang sais kereta kerajaan yang bernama Adirata merasa berharga diantara para Kurawa. Oleh Duryudana Basukarno diangkat menjadi saudara tua dan diberi kedudukan Adipati. Hubungan antara Duryudana dan Basukarno dari hari ke hari semakin akrab.
Kidung Malam?92 jauh di luar perkemahan Tegal Kurusetra, Dewi Kunti menemui Basukarno di pinggir sungai Gangga untuk membujuknya agar mau bergabung dengan adik-adiknya Pandawa pada perang Baratayuda. (lukisan karya: Herjaka HS)
Adipati Karno Basukarno tidak hanya menunjukkan kelasnya dalam hal ilmu berolah senjata panah, tetapi ia pun mampu menguasai dirinya dengan amat matang. Sikap Dewi Durpadi yang merendahkan dirinya di atas panggung sayembara, pada saat Basukarno berhasil menarik dengan sempurna busur pusaka Cempalaradya, serta penolakan Dewi Durpadi yang seharusnya menjadi putri boyongan setelah Basukarno berhasil membidik sasaran dengan tepat, tidak membuatnya menjadi kalap. Walaupun ada perasaan jengkel, Basukarno pemenang sayembara yang dibatalkan tanpa sebab, turun dari panggung kehormatan dengan penuh percayaan diri, tanpa sedikitpun rasa kecewa menggores di wajahnya.
Dengan tenang Basukarno meninggalkan panggung kehormatan. Ia tidak mempedulikan penolakan Dewi Durpadi. Baginya yang paling utama adalah mempertontonkan kemampuan ilmunya dihadapan orang banyak. Ia menyeberangi lautan manusia yang memenuhi alun-alun Cempalaradya waktu itu. Ribuan pasang mata mengikuti dan mengamati setiap gerak langkahnya. Demikian juga saat ketika ia meladeni Arjuna untuk beradu kebolehan ilmu memanah. Menyaksikan tingkat ilmu yang dimiliki Basukarno orang-orang dibuat penasaran, benarkah ia seorang sudra?
Biarlah semua orang menilaiku demikian, orang sudra! kelas bawah! Hal itu saya sadari bahwa aku memang seorang sudra anak sais kereta kerajaan yang bernama Adirata. Walaupun aku seorang sudra, kata mereka, aku adalah anak yang cerdas berani dan jujur. Aku tumbuh dan dibesarkan dibawah asuhan pasangan Adirata dan Nyai Rada.
Setelah menginjak dewasa, Basukarno sering berpetualang sendirian. Belajar kesana-kemari kepada orang-orang berilmu. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di Sokalima, ada dorongan yang amat kuat untuk mencecap ilmu kepada Pandita Durna. Namun dikarenakan ia adalah seorang sudra, Basukarno tidak berani berterus terang, karena tahu akibatnya, yaitu ditolak. Oleh karenanya ia memilih belajar secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui oleh siapa pun.
Selain berguru kepada Pandita Durna, Basukarno juga berguru kepada Ramaparasu guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah. Seperti halnya ketika belajar di Sokalima, di hadapan Ramaparasu, Basukarno tidak mau berterus terang. ia menyamar sebagai seorang brahmana penggembara. Hal tersebut dilakukan karena Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu. Dengan menyamar sebagai brahmana, Basukarno diterima menjadi murid Rama Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas.
Jika Basukarno ingin belajar ilmu setinggi mungkin, harapan Adirata sangatlah sederhana dan realistis. Ia menginginkan agar anaknya menjadi seorang sais kereta seperti dirinya. Agar harapan tersebut dapat tercapai, Adirata memberi kereta kuda kepada Basukarno, untuk belajar menjadi sais kereta. Basukarno tidak menolak pembereian ayahnya, malahan ia menggunakan kereka kuda tersebut untuk latihan perang-perangan.
Kini, ketika Basukarno telah menjelma menjadi pemuda berilmu tinggi, Sengkuni dan Duryudana telah memeluknya. Di tengah-tengah para Kurawa, Basukarno tidak lagi seorang sudra. Ia telah diangkat menjadi Adipati yang sederajat dengan para ksatria Pandawa. Adipati Karno, demikianlah nama yang pantas disandang setelah pengangkatannya.
Adipati Karno sungguh bahagia. Kebahagiaannya tidak semata-mata pengangkatan dirinya sebagai seorang adipati, melainkan dengan pengangkatan dirinya, jalan terbuka lebar untuk dapat berperang tanding melawan Arjuna, dikelak kemudian hari.
Kidung Malam?93 Basukarno, sesaat setelah diwisuda menjadi seorang Adipadi (lukisan: Herjaka HS)
Energi Matahari Di siang hari yang terik, Adipati Karno berjalan menyusuri tepi Sungai Gangga. Air sungai yang mengalir tenang mampu menampakkan wajah matahari secara utuh. Adipati Karno memilih memandangi wajah matahari tidak secara langsung, melainkan melalui gambaran yang dipantulkan oleh air sungai Gangga. Entah mengapa hal itu selalu dilakukukan oleh Adipati Karno sejak kanak-kanak hingga sekarang, saat dirinya telah diwisuda menjadi Adipati, oleh Duryudana.
Jika ditanya mengapa hal itu dilakukan, Adipati Karno tidak tahu. Hanya saja saat Karno melakukan hal itu, ada getaran energi yang mengalir di dalam tubuh. Energi yang didapat dari pantulan matahari sangat membantu saat dirinya berada pada suasana yang sedang tidak menguntungkan.
Seperti misalnya ketika masih remaja. Karno diolok-olok oleh murid-murid Sokalima saat dirinya ingin ikut bergabung belajar ilmu kepada Pandita Durna. Para murid Sokalima yang terdiri dari Kurawa dan Pandawa mengusir Karno dengan kata-kata:
"Anak kusir diusir, anak ratu dijamu"
Karno tidak menanggapi olok-olokan tersebut, ia berlari meninggalkan halaman padepokan Sokalima, bukan karena takut, tetapi agar tidak menjadi bulan-bulanan oleh mereka. Jika hatinya sedang kacau seperti itu, ada magnet yang amat kuat agar Karno mengadu kepada matahari. Namun dikarenakan matanya tidak kuat menatap secara langsung, ia menatap matahari melalui pantulan yang ada di air. Ajaibnya, pada waktu Karno melakukan hal itu, kegundahan hatinya segera sirna. Ada energi baru yang memungkinkan Karno untuk menghadapi segala olok-olok dan cercaan hidup dengan dada yang tegap dan penuh percaya diri.
Beberapa saat setelah menatap pantulan matahari, Karno pun kembali pada niat semula, yaitu belajar ilmu-ilmu tingkat tinggi di Sokalima.
Entah apa yang terjadi kemudian, senyatanya Karno dapat dengan leluasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Pandita Durna dari jarak jauh, tanpa diketahui oleh mereka dan tanpa olok-olok dari murid lain. Dengan penuh ketekunan, dalam beberapa waktu, Karno mengalami kemajuan yang pesat di dalam berolah senjata panah, tidak kalah jika dibandingkan dengan muri-murid Sokalima yang lain, bahkan murid-murid terbaik Sokalima, yaitu Ekalaya dan Arjuna
Adirata bapaknya dan Nyi Rada Ibunya, tidak tahu apa yang dilakukan Karno anaknya, namun kedua orang tua tersebut melihat bahwa anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang tampan, terampil, penuh percaya diri dan yang istimewa bahwa Karno tidak pernah mengeluh dalam segala macam kesulitan hidup.
Walaupun Karno tumbuh menjadi remaja yang mempunyai kelebihan dalam segala hal, jika dibandingkan dengan remaja-remaja pada umumnya, Adirata sebagai seorang sais kereta berpandangan sederhana, bahwa Karno diharapkan dapat mewarisi dirinya sebagai sais kereta. Oleh karenanya untuk menunjang hal itu, Adirata membelikan kereta kuda kepada Karno.
Menjadi anak yang berbakti kepada orang tua memang tidak mudah. Ada hal-hal yang perlu dikorbankan sebagai tanda bakti kepada orang tua. Seperti halnya yang dialami Karno, disatu sisi ia harus menerima pemberian orang tuanya berupa kereta kuda untuk belajar menjadi sais, disisi lain Karno tidak pernah bermimpi menjadi seorang sais kereta seperti bapaknya. Oleh karenanya agar tidak mengecewakan orang tuanya, Karno selalu menyisihkan waktu untuk berlatih mengendarai kereta kuda, tetapi tidak untuk menjadi sais kereta, melainkan untuk menjadi senapati perang dikelak kemudian hari.
herjaka HS Alice In Wonderland 2 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Raja Barbar Momok Romawi 7

Cari Blog Ini