Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs Bagian 4
Senja mulai merambat malam. Bulan separo tanggal telah menggelantung di langit untuk menemani bintang-bintang yang bertaburan menghias langit. Lampu-lampu minyak dan lentera mulai dinyalakan. Baik di dalam rumah maupun di sudut halaman, untuk menyisihkan pekatnya malam.
Di rumah induk bagian tengah sebelah kanan, ada kamar yang disebutnya dengan kamar pengantin. Namun sejak diset pertama kali yaitu pada waktu Sagotra dan Winihan diresmikan sebagai suami isteri hingga sekarang kamar tersebut belum pernah dipakai. Namun walaupun begitu, kamar tersebut selalu harum semerbak, rapi dan bersih. Jika bunga yang ada mulai layu, akan segera diganti dengan yang baru. Setiap hari Sagotra memasuki kamar tersebut dengan tujuan untuk sebuah harapan. Harapan yang selalu dihidupi dan diperbaharui setiap hari. Harapan sebuah kepastian, bahwa pada saatnya nanti ia dan isterinya dapat mengfungsikan kamar pengantin tersebut sebagai mana mestinya.
Malam itu, hari yang ke 369 sejak pernikahannya, Sagotra dan Winihan beriringan memasuki kamar pengantin. Ada tanda-tanda bahwa harapan Sagotra akan segera terwujud. Harapan untuk mengfungsikan kamar pengantin benar-benar sebagai kamar pengantin. Setelah keduanya memasuki kamar, sebentar kemudian suara pintu berderit lembut, dan kamarpun tertutup rapi. Tidak ada lagi sarana yang dapat menggambarkan betapa nikmat dan mulianya malam itu. Malam pertama bagi pasangan Sagotra dan winihan.di kamar pengantin yang telah diset lebih dari setahun lalu. Dan kidung malam pun menggema di dasar sanubari kedua insan yang sedang memadu kasih.
bagaikan anak kidang haus akan telaga. entah berapa waktu dapat bertahan
jikalau tak mendapatkan seteguk pelepas dahaga beruntunglah ketika kekeringan
belum benar-benar kering air mata masih menetes dan cinta pun masih tersisa
langit bermurah hati mengguyur segar lingga dan yoni
dewa dan dewi kesuburan berdendang suka
membaca mantra asmara dhuh Gusti nikmat-Mu adalah abadi mengabadikan nikmat kami malam ini malam pertama "Rara Winihan, apa yang engkau inginkan?
"Anak laki-laki yang gagah dan sakti Kakang?
"Mengapa tidak menginginkan anak perempuan yang cantik?
"Siapakah nanti yang akan melindungi?"
"Tentu saja aku "
"Sungguh Kakang? Jika yang mengancam Prabu Dwaka?"
"E .. e e. Mendengar nama Prabu Dwaka atau lebih sering disebut Prabu Baka, Ki Lurah desa Sagotra tersebut mendadak kelu lidah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Badannya menjadi semakin dingin ketika angin pagi yang membawa embun mulai membasahi genteng dan dinding rumah lurah desa Kabayakan. Sagotra menyesali, kenaapa pada saat-saat yang sangat membahagiakan ini tiba-tiba saja pembicaraan mereka meski sampai kepada nama Prabu Baka? Tidak saja bagi Sagotra, nama Prabu Baka adalah nama yang mampu membuat banyak orang ketakutan. Terutama bagi rakyat di seluruh wilyah negara Ekacakra, termasuk desa Kabayakan.
Prabu Dwaka atau Baka adalah raja yang berkuasa di negara Manahilan atau Ekacakra. Ia bertulang besar, berkekuatan seribu gajah dan saktimandraguna. Namun sayang kedahsyatannya sang raja tidak diperuntukan untuk mengayomi kawula, tetapi justru untuk menancapkan sifat arogansi yang tidak manusiawi demi untuk memuaskan nafsu pribadinya. Perlu diketahui bahwa Prabu Baka mempunyai kebiasaan yang mengerikan dan sekaligus menjijikkan. yaitu, setiap bulan tua ia meminta disediakan satu orang manusia untuk disantap. Kebiasaan itulah yang telah menebar rasa takut dan kengerian yang berlebihan bagi setiap rakyatnya. Namun karena dia raja yang berkuasa, kuat dan sakti, tidak ada yang berani menentangnya, termasuk juga Ki Lurah Sagotra.
Ketidak beranian Lurah Sagotra untuk melindungi warganya itulah yang menyebabkan Rara Winihan dan warga Desa Kabayakan kecewa. Padahal sebelum Sagotra dipilih menjadi Lurah, ia dengan lantang berjanji akan melindungi serta membela warganya dari berbagai ancaman bahaya, baik dari dalam maupun dari luar negara.
Namun setelah dipilih dan diangkat oleh penduduk menjadi lurah desa Kabayakan, Sagotra tidak menepati janji. Lurah Muda tersebut tidak berani melindungi salah satu warganya yang diambil paksa oleh utusan Prabu Baka untuk dijadikan korban. Yang lebih memukul warga kabayakan adalah bahwa pengambilan paksa tersebut dilakukan pada saat warga Desa Kabayakan sedang punya gawe, yaitu malam midodareni perkawinannya Lurah Muda Sagotra dengan Rara Winihan. Atas kejadian tersebut, warga Desa Kabayakan sangat kecewa dengan sikap Lurah Sagotra yang membiarkan salah satu warganya ditangkap diikat dan dimasukan ke dalam gerobag, untuk kemudian dibawa ke Ekacakra..
Sepeninggal utusan Prabu Baka, desa Kabayakan berkabung Rangkaian Upacara Perkawinan di rumah Rara Winihan tetap berlangsung, tetapi tidak ada suka cita di sana.. Rara Winihan yang mejadi pusat dan pelaku utama upacara perkawinan justru menunjukan wajah yang gelap dan sedih. Dibanding Sagotra, Rara Winihan lebih dapat merasakan jeritan ketakutan warga Kabayakan. Ia sangat kecewa mempunyai seorang Lurah yang tidak dapat dijadikan pelinndung warganya. Apalagi Lurah tersebut sebentar lagi akan menjadi suaminya. Lalu bagaimana jika nantinya dirinya yang terancam? Apakah ia berani melindungi? Aku tidak mau mempunyai seorang suami penakut, tidak berani melindungi isterinya dan tidak peduli dengan rakyatnya.
Oleh karena kekecewaan Rara Winihan atas diri Lurah Sagotra, ia berjanji dalam hati, tidak mau menjadi isteri Sagotra jika Sagotra tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pelindung bagi isterinya dan rakyatnya. Walaupun waktu itu, Rara Winihan tetap diresmikan menjadi Isteri Sagotra, lebih dari setahun ia tidak mau melayani Sagotra sebagai suami. Beruntunglah pada hari ke 369 sejak ia menikah dan sejak tragedi di Kabayakan, pertolongan datang. Ada sebuah peristiwa yang menjadikan Sagotra berperan sebagai pelindung atas Rara Winihan yang ketakutan dibuntuti Harjuna. Dan buahnya adalah: Malam Pertama.
Kidung Malam?59 Warga desa Sendangkandayakan atau Kabayakan sangat beruntung mempunyai Ibu Lurah Rara Winihan, yang mampu membesarkan hati warganya disaat ketakutan menghantui setiap hati. (karya : Herjaka HS 2010)
Harapan Baru Tidak seperti biasanya, pagi itu dusun kabayakan kelihatan masih sepi, khususnya di rumah kepala desa Kabayakan. Rara Winihan dan Lurah Sagotra belum bangun. Hanya ada dua orang sekabat atau pembantu Lurah yang sedang membersihkan meja kursi di pendapa. Baru setelah tabuh sepuluh, ada satu, dua orang yang mulai berdatangan untuk bertemu dengan Lurah Sagotra.
Sementara itu perjalanan Bima dalam mencari dua bungkus nasi untuk adiknya Sadewa dan Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi itulah Bima mendapat keterangan bahwa daerah ini masih dibawah kerajaan Manahilan atau kerajaan Ekacakra. Yang bertahta adalah seorang raja bertulang besar dan bergigi tajam, bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap bulan sekali Prabu Baka meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan hidangan istimewa berupa ingkung manusia (daging manusia utuh) Tentu saja hal tersebut membuat rakyatnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Banyak diantara mereka yang secara diam-diam mengungsi ke negara Pancala untuk meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra semakin sepi. Di sana-sini banyak dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui keadaan yang seperti itu, Prabu Baka marah-marah. Ia menyerukan agar semua penduduk tidak boleh meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar perintah tersebut akibatnya akan lebih mengerikan.
Sejak diberlakukan aturan itu suasana tambah mencekam. Para warga semakin ketakutan. Mau meninggalkan Ekacakra takut jika ketahuan oleh para perajurit. Tetapi jika tetap tinggal di negara Ekacakra juga takut karena akan mendapat giliran korban keganasan raja. Pantas saja Desa-desa di seluruh pelosok negeri bagaikan desa mati, yang tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.
Para pengungsi yang ketemu Bima disore itu adalah mereka yang mengambil langkah untung-untungan. Dari pada tinggal di Ekacakra hidup dalam kecemasan terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka mencari celah-celah yang kemungkinan besar dapat lolos dari penjagaan perajurit.
Namun ternyata para pengungsi yang ketemu Bima tersebut belum beruntung. Walaupun telah memperhitungkan waktu dan tempat dengan cermat untuk dapat lolos dari pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para pengungsi dihadang oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka tidak lebih banyak daripara pengungsi, mereka membawa senja lengkap yang siap merajam atau jika memungkinkan menangkapnya hidup-hidup untuk dipersembahkan kepada Prabu Dwaka
Melihat dan merasakan penindasan dan penderitaan sesama, naluri Bima tergugah. Sebelum para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima lebih dahulu menerjang perajurit yang rata-rata berbadan besar dan bergigi tajam. Para perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah rakyat di negeri ini mempunyai keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yang menyeruak diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa pengungsi yang bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub. Sedangkan pengungsi yang lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan banyak waktu untuk melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun yang mampu mengimbangi kesaktian Bima. Belum sampai lecet kulitnya, merela lari ketakutan.
Para pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira. Sementara pengungsi yang lain keluar dari persembunyiannya. Ucapan terimakasih terlontar tanpa disuruh dari mulut mereka. Wajahnya yang penuh dengan garis-garis ketakutan mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi yang telah berkumpul itu menghaturkan sembah kepada Bima.
"Ampun Raden, hamba semua ini orang bodoh, sehingga tidak tahu bahwa pada hari ini, desa kami telah kedatangan tamu istimewa yang akan mengentaskan kami dari rasa ketakutan yang berkepanjangan. Maafkan hamba Raden atas kesalahan kami. Bolehkan kami mengetahui siapa sesungguhnya Raden ini?"
"Namaku Bima. Aku adalah anak Prabu Pandudewanata yang nomor dua."
"Ooo Raden Bima? Pantas saja mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sekali lagi maafkan hamba yang tidak menghormat pada awal berjumpa. Sungguh kami tidak tahu sebelumnya bahwa Raden adalah salah satu pewaris tahta Hastinapura."
"Sudahlah kami maafkan semuanya, namun jangan menghormatiku secara berlebihan seperti ini. Aku sampai ditempat ini sesungguhnya mencari dua bungkus nasi untuk adik saya yang lelaparan."
Dengan senang hati para pengungsi tersebut berebut menawarkan sebagian bekalnya untuk adik Bima yang kelaparan.
"Dimanakah adik Raden Bima berada?"
"Diujung desa yang berbatasan dengan Gunung?"
"Ooo di Giripurwa. Apakah di rumah Resi Hijrapa?"
"Aku tidak tahu. Tetapi rumah itu kosong tidak berpenghuni."
Setelah menerima dua bungkus nasi, Bima segera meninggalkan para pengungsi yang mengagumi Bima tak berkesudahan.
Setelah Bima jauh meninggalkannya, para pengungsi tersebut kembali menyadari bahwa jiwa mereka belum bebas sepenuhnya dari ancaman. Ketakutan mulai merambati lagi. Dikhawatirkan para perajurit yang dikalahkan Bima akan mengejar mereka dalam jumlah yang lebih besar. Maka lebih baik mereka tidak meneruskan perjalanannya mengungsi ke Negara Pancala, tetapi mengikuti Bima menuju ke Giripurwa.
Siang itu, pendapa Kabayakan mulai menggeliat. Rara Winihan mendahului suaminya, menemui para warga yang butuh pelayanannya. Para warga yang datang pada intinya menyatakan keprihatinannya bahwa pada minggu ini, desa Kabayakan mendapat giliran untuk menyediakan korban bagi Prabu Dwaka. Mendapat pengaduan itu Rara Winihan tidak memperlihatkan kecemasan. Wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya yang tipis merah.
"Para bebahu Desa yang aku banggakan. Jangan khawatir akan hal itu. Prabu Baka boleh saja mengirimkan hulu-balangnya ke desa kita untuk mengambil korban manusia, tetapi kita juga punya hak untuk tidak menyediakan baginya."
Rara Winihan memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan diatas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
herjaka HS Kidung Malam?60 Kunthi menghibur Nakula dan Sadewa yang kelaparan (karya Herjaka HS)
Membalas Budi Mendengar penuturan mimpi Rara Winihan, para bebahu desa Kabayakan tersebut mulai timbul keberaniannya. Mereka sepakat untuk tidak menyediakan korban bagi Prabu Baka. Rara Winihan menyarankan agar salah satu bebahu desa menghadap Resi Hijrapa di padepokan Giripurwa, untuk memohon agar Resi Hijrapa berani menolak korban untuk Prabu Baka. Dua orang bebahu desa segera berangkat menuju ke rumah Resi Hijrapa.
Kembali kepada Kunthi yang sedang menunggui anaknya Nakula dan Sadewa yang kelaparan. Hati Kunthi teriris-iris melihat Nakula dan Sadewa menangis kelaparan. Hingga terucap dalam bibirnya yang pecah dan kering. Jika pun aku harus mengiris dagingku demi untuk Nakula dan Sadewa, aku akan lakukan. Kunthi semakin gelisah menghadapi tangis Nakula dan Sadewa yang semakin serak. Walupun Kunthi sudah mengutus Bima dan Arjuna untuk mencari makan bagi si kembar, Kunthi masih berupaya untuk mendapatkan makanan secepatnya, agar tangis si kembar segera berhenti. Pada saat mengbibur si Kembar, Kunthi mendengar ada suara di dalam rumah yang sebelumnya dikira tidak berpenghuni.
"Puntadewa ke sinilah, rupanya ada orang sengaja bersembunyi di dalam rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada beberapa orang sedang berbicara? Tolong Punta temui mereka, siapa tahu ada makanan yang dapat dibagikan untuk Nakula dan Sadewa. Puntadewa bergegas pergi menemui orang yang berdialog di rumah dalam. Kunthi tinggal sendirian menunggui anak kembarnya yang merengek menyedihkan. Tak lama kemudian Puntadewa datang dengan membawa sedikit makanan dan minuman. Makanan tersebut sedikit untuk ukuran orang dewasa, juga belum mencukupi untuk ukuran anak-anak. Namun makanan yang didapat dari pemilik rumah tersebut sungguh dapat menolong untuk sementara, sembari menunggu usaha Bima dan Arjuna.
Tak beberapa lama makanan yang sedikit itu segera habis. Nakula dan Sadewa masih lapar, namun sudah tidak menangis lagi. Kunthi sangat lega, ingin mengucapkan terimakasih kepada tuan rumah yang telah menyambung nyawa anak kembarnya. Dengan membawa Nakula Sadewa dan diiringi Puntadewa, Kunthi menemui si pemilik rumah yang bernama Resi Hijrapa.
"Dengan apakah kami harus membalas? Jika tidak sekarang, nanti pasti aku balas kebaikan Sang Resi. Karena jika kebaikan itu tidak aku balas, aku seperti seorang pepriman yang kerjanya ke sana-ke mari hanya untuk minta-minta.
Resi Hijrapa tersenyum getir mendengar pernyataan Kunthi. Di jaman seperti ini, masih adakah seseorang yang merasa wajib untuk membalas budi? Tentu saja semua orang tua bisa berbicara seperti apa yang dikatakan oleh ibu setengah baya tersebut, atas nama kebaikan budi, manakala anaknya dibebaskan dari bahaya kelaparan, kesakitan atau pun kematian. Namun jika bahaya kematian masih mengacam anaknya, masihkah orang tua itu mampu berbicara tentang kebaikan budi? Jikapun pernyataan ibu setengah baya tersebut sungguh-sungguh, tidak sekedar basa-basi, apakah ia dapat gantian membebaskan anaknya dari bahaya kematian? Jika dapat, tentunya gantian aku yang mebicarakan tentang kebaikan budi.
Resi Hijrapa adalah pengasuh sebuah Padepokan yang berada di wilayah Giripurwa. Ia hidup bersama isteri dan tiga anaknya. Sebelumnya, rumah besar ini menjadi pusat kegiatan cantrik-cantriknya. Namun sayang, sekarang rumah besar tersebut menjadi tidak terurus. Tidak ada lagi cantrik yang datang. Tinggal Resi Hijrapa dan keluarga yang menunggui rumah itu. Itu pun bersembunyi di ruang paling dalam, takut jika diketahui oleh perajurit Ekacakra.
Kelemahan Resi Hijrapa itulah yang menyebabkan para cantrik-cantriknya tidak lagi berguru kepada Resi Hijrapa. Mereka kecewa kepada gurunya yang takut membela para korban kekejaman Prabu Baka. Bahkan ketika Resi Hijrapa pada gilirannya diharuskan mengorbankan salah satu anaknya untuk Prabu Baka, Resi Hijrapa tidak berani menolak. Maka kecuali keluarganya, hampir semua warga giripurwa termasuk cantrik-cantriknya mengungsi ke negara Pancalradya
Oleh karenanya kedatangan enam orang asing di rumahnya membuat hati Resi Hijrapa berkurang ketakuatannya. Mereka untuk sementara waktu boleh menempati di rumah depan. Kunthi mengucap terimakasih atas kebaikannnya.
Menjelang sore hari Arjuna datang dengan membawa dua bungkus nasi. Kunthi tidak berkenan dengan cerita Harjuna. Dua bungkus nasi ditolaknya, karena dua bungkus nasi tersebut didapatkannya dengan cara meminta belas kasihan dari seseorang? Aku tidak mau darah anakku akan mengalir darah seorang pepriman yang pekerjaannya meminta-minta. Harjuna diam, ia meletakan dua bungkus nasi tersebut di depan kaki Ibu Kunthi. Sebelum Kunthi mengambil tindakan mau diapakan nasi hasil dari minta-minta tersebut, Bima datang dengan membawa dua bungkus nasi. Kepada Ibu Kunthi, Bima bercerita tentang para pengungsi yang memberikan sebagian dari bekalnya karena telah ditolong dan diselamatkan. Kunthi menerima dua bungkus nasi dari tangan Bimasena.
Sementara itu hampir bersamaan Nakula dan Sadewa yang masih merasa lapar segera mengambil bungkusan nasi dan kemudian memakannya. Nakula mengambil bungkusan nasi yang dibawa Arjuna sedangkan Sadewa memakan nasi yang dibawa Bimasena. Kunthi membiarkannya nasi yang dibawa Arjuna dimakan oleh Nakula. Namun hal itu merupakan hutang budi kepada orang yang memberi. Dan tentunya ia akan beruasaha membalasnya seperti yang akan dilakukan kepada Resi Hijrapa
herjaka HS Kidung Malam?61 Resi Hijrapa bertanya kepada Raden Rawan, mengapa dirinya sanggup menjadi korban untuk Prabu Dwaka (karya Herjaka HS 2010)
Raden Rawan Malam itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yang hampir separonya terdiri dari daerah pegunungan, meniupkan hawa dingin yang berselimut kabut. Bunyi kentongan dari beberapa rumah warga yang masih berpenghuni, bersusul bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai dari suara yang paling jauh hinngga suara yang paling dekat.
Irama doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut mencapai tingkat suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin tentram.
Namun tidak untuk malam itu. suara doro-muluk yang di bunyikan warga yang masih tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan tenteram, melainkan merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari rasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra, termasuk keluarga Resi Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri dari isteri dan ketiga anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang memutuskan bahwa salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan untuk santapan raja.
Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan korban bakaran secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah ?ingkung? manusia.
Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan untuk menolak perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu anaknya, ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi, tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia tidak berani menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi Hijrapa membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.
Dalam situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak nomor dua menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua saudaranya terharu. Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tersebut, Resi Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk memilih salah satu diantara ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai pangewan-ewan raja..
Dimata orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai keistimewaan. Selain tidak cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya Raden Rawan adalah anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali waktu, terutama pada saat-sat yang sulit, muncul pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yang tidak terduga sebelumnya
Seperti yang terjadi pada saat itu, malam dingin beku, dan embunpun mulai turun, tiba-tiba dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan untuk menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi ?tawur agung." Resi Hijrapa ingin tahu apa yang mendasari keberanian anaknya tersebut. Dengan jujur raden Rawan mengatakan dihadapan Bapak, ibu, kakak serta adiknya.
"Bapak dan Ibu, maafkan anakmu ini, jika pernyataanku menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi santapannya, kare di keluarga ini aku adalah anak yang paling tidak berarti. Menurut yang aku rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku dan Ibu sangat mengasihi adikku. Sehingga jika aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera lupa kesedihannya, lupa akan aku dan cepat pulih kembali"
"Rawaaaan! Ooh Rawaaaan!"
Hampir bersamaan Resi Hijrapa dan Nyai Resi menubruk Rawan anaknya. Kedua orang tua itu menangis seperti anak kecil. Pernyataan Rawan yang jujur dan polos itu.sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja ia telah melakukan ?mban cindhe, mban siladan.? Mengemban anaknya yang satu dengan kain cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya dengan siladan, sesetan bambu hitam yang tajam dan melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi telah pilih kasih dalam mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika padepokan Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, karena guru utamanya saja tidak berhasil dalam mengatasi ketakutan dan membagi keadilan di dalam keluarga. Akibatnya para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi bebahu desa di Kalurahan Kabayakan.
"Tidaaaak! Tidak anakku, engkau tidak boleh menjadi korban. Biar aku saja, orang tua ?balilu? yang tak tahu malu. Orang tua bangka yang tak banyak guna". Resi Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Namun Rawan tetap pada niatnya, bahwa ia ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya yang numpang di emper bagian depan. Bahkan telinga Kunthi telah mendengar semua yang dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
Bersamaan dengan suara kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa mulai reda. Mau tidak mau mereka harus mengakui kebenaran Raden Rawan. Bahwa untuk memperkecil bencana keluarga, dirinyalah yang harus dikorbankan. Kecuali jika Resi Hijrapa berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka, dan berani mengatakan bahwa hal tersebut adalah jahanam, aku tidak sudi untuk melaksanakan. Huh!
Ketika fajar nampak merekah diufuk timur, dan sinarnya mulai membagi terang dan kehidupan bagi yang jahat, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa kecuali, keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada Matahari yang saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya untuk berlaku adil kepada semua ciptaan.
Kidung Malam?62 Tiga Hari Lagi Pada hari-hari yang masih tersisa, sikap Resi dan Nyai Hijrapa berubah 180 derajat terhadap Raden Rawan. Mereka ingin menebus kesalahan dalam mendampingi anak-anaknya. Raden Rawan telah menyadarkan kedua orang tuanya, bahwasannya mereka telah pilih kasih dalam memperlakukan ke tiga anaknya. Jika sebelumnya Resi Hijrapa lebih memperhatikan dan mencintai anak sulungnya, dan Nyai Hijrapa lebih dekat dengan anak bungsunya, sekarang mereka lebih memperhatikan Raden Rawan anak yang lahir nomor dua.
Sesungguhnya Raden Rawan merasa risih atas perlakuan kedua orang tuanya yang berlebih. Namun ia tidak akan mengungkapkannya kepada ke dua orang tuanya. Raden Rawan sendiri ingin mengisi hari-hari terakhirnya dengan kebaikan dan kedamaian. Beberapa hari sebelum ia siap mati untuk menjadi korban keganasan Prabu Dwaka, ia berpamitan kepada beberapa teman-temanya dan beberapa orang yang ia hormati, termasuk diantaranya Lurah Sagotra dan Rara Winihan.
Di mata Raden Rawan, Rara Winihan adalah pemimpin yang luar biasa. Ia mampu memberikan semangat dan keberanian untuk mengatasi ketertindasan dan memerangi ketidak adilan. Ia peduli terhadap warganya yang mengalami kesulitan. Beberapa hari yang lalu Rara Winihan mengutus dua bebahu desa menemui ayahnya, agar menolak menyediakan korban untuk Prabu Dwaka. Namun ayahnya menolak usulan itu dengan halus. Ia tidak berani melawan Prabu Dwaka.
Keteladanan Rara Winihan itulah yang membuat Raden Rawan berani menjadi korban dengan dada membusung dan muka tengadah. Apalagi ia juga mempunyai keyakinannya bahwa keberanian dan ketulusan akan dapat menghancurkan kesewenang-wenangan.
Rara Winihan mengagumi Raden Rawan (karya herjaka HS)
"Aku bangga, engkau jujur dan pemberani. Terlebih engkau mempunyai keyakinan yang kuat bahwa kesewenang-wenangan akan hancur oleh keberanian dan ketulusan. Maju terus Rawan aku dan para bebahu desa Kabayakan berada dibelakangmu."
"Terimakasih Ibu Rara, aku mohon diri."
Hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya, tinggal tiga hari lagi, Rara Winihan memutar otak, mencari strategi yang tepat untuk menghadapi Prabu Dwaka, pada saat menghidangkan korban Raden Rawan.
Ketika malam menjelang, di Kobongan Senthong tengah, Rara Winihan mendapat pencerahan. Tiba-tiba ia teringat kepada Harjuna yang mempunyai jasa luar biasa pada kehidupan rumah tangganya. Ia ingin menghadap Harjuna yang bersama keluarganya berada di rumah Resi Hijrapa. Diajaknya Ki Lurah Sagotra untuk menemui ibu dan saudara-saudara Harjuna.
Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan ditemui oleh Ibunda Kunthi dan para Putra.
"Dhuh Ibu Kunthi dan para putra, saya beserta suami, sebagai yang dituakan, mewakili seluruh warga desa Kabayakan menyampaikan terimakasih. Kedatangan Ibu dan para putra membawa berkat yang melimpah kepada warga Desa Kabayakan dan Giripurwa. Saya bersama pasangan saya telah mendapatkan berkah kerukunan itu melalui Raden Harjuna. Demikian pula beberapa warga yang mengungsi juga telah mendapatkan berkah pertolongan melalui Raden Bima. Aku meyakini bahwa Hyang Maha Agung telah menuntun Ibunda Kunthi dan para putra untuk singgah di wilayah ini dan melimpahkan berkahnya bagi seluruh warga."
"Rara Winihan, aku dan anak-anakku adalah orang orang yang numpang makan dan tidur di tempat ini. Seharusnya kamilah yang mengucapkan terimakasih kepada semua warga Desa Kabayakan dan Giripurwa, karena mereka telah memberikan tempat dan makanan dengan ramah dan ikhlas. Aku secara pribadi mohon maaf karena telah merepotkan banyak orang."
"Kerendahan hati seorang permaisuri Raja sungguh menakjubkan. Dengan kerendahan hati seorang ibu sejati, aku berkeyakinan bahwa Ibunda Kunthi tidak tega melihat penderitaan putra-putrinya."
"Benar katamu Rara Winihan, aku tidak tega ketika melihat anakku kembar kelaparan. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang wanita yang lemah dan miskin."
"Bukankah ibu tinggal memerintahkan putra-putranya yang perkasa?"
"Tetapi aku kecewa dengan Harjuna, ia hanya meminta-minta makanan kepadamu"
"Ampun Ibunda Kunthi, dua bungkus nasi bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan berkah yang ditinggalkan. Oleh karena kehadiran Raden Harjuna, aku dan suamiku boleh menikmati kebahagiaan suami isteri yang telah kami tunggu hampir setahun lamanya."
"Jika yang terjadi adalah kebaikan, itu bukan karena Harjuna, melainkan karena kebaikan-Nya."
"Iya Ibunda Kunthi, aku sependapat dengan Ibunda, termasuk juga berkat kebaikan-Nya yang akan dilimpahkan kepada semua warga Kabayakan dan Giripurwa melalui putra-putra Ibunda yang perkasa. Baru beberapa hari Ibunda Kunthi dan para putra tinggal di rumah ini, semakin banyak warga yang datang di tempat ini. Mereka yang telah mengetahui siapakah sesungguhnya Ibunda Kunthi dan putra-putranya, ingin meminta perlindungan atas kesewenang-wenangan Prabu Dwaka"
"Rara Winihan, aku telah mendengarnya dari keluarga Resi Hijrapa yang mendapat kewajiban mengorbankan salah satu anaknya kepada Prabu Dwaka. Aku tidak tega ketika Rawan akan dikorbankan. Aku telah membujuk anakku Bima untuk menolong keluarga Hijrapa, dengan menjadi silih korban. Namun Bima belum menyanggupi, dengan alasan karena Resi Hijrapa tidak memintanya."
Kecerdasan dan kecekatan Rara Winihan telah menangkap sebuah peluang yang sangat penting untuk sebuah pengharapan yang membebaskan. Bermula dari rasa iba Ibunda Kunthi terhadap ketakutan dan penderitaan keluarga Resi Hijrapa, khususnya Raden Rawan yang akan dikorbankan. Ibu Kunthi membujuk Bima agar mau menolongnya. Bima mau menolongnya tetapi dengan syarat, agar Resi Hijrapa-lah yang meninginkan pertolongan tersebut. Ibunda Kunthi memakluminya kepada anak nomor dua ini. Orangnya sederhana dan jujur, tentunya kalau tidak diminta, ia sungkan untuk menawarkan kemampuannya, karena hal tersebut akan menggiring kepada kesombongan.
Rara Winihan tahu, tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakan jika semuanya akan menjadi beres, yaitu Resi Hijrapa mau datang memohon belaskasihan kepada Kunthi untuk menolongnya.
"Ibunda Kunthi, jika Resi Hijrapa tahu siapakah sesungguhnya orang-orang yang menumpang di rumahnya, tentu tanpa diminta pun ia akan tergopoh-gopoh bersujud meminta perlindungan. Namun karena saat ini ia sedang mengalami tekanan yang luar biasa, Resi Hijrapa tidak memperhatikan orang-orang disekitarnya. Baginya Ibunda Kunthi dan para putra sebatas seorang penggembara yang numpang sementara di rumahnya. Sehingga Resi Hijrapa beranggapan bahwa Ibunda Kunthi dan para putra tidak dapat menolongnya. Oleh karenanya biarlah aku yang menghadap Resi Hijrapa untuk mengatakan hal ini."
Tanpa menunggu jawaban Ibunda Kunthi, Rara Winihan undur diri, dan segera menemu Resi Hijrapa.
Herjaka HS Kidung Malam?63 Bima Bothok Rara Winihan tidak mau membuang waktu, setelah mohon diri, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Harjuna dan sikembar Nakula, Sadewa ditinggalkannya. Ia menemui Resi Hijrapa diruang dalam. Sebelum Rara Winihan masuk, Rawan mendahului keluar menyambut dengan wajah berseri-seri. Bocah remaja itu mengalami sukacita didatangi Ibu Lurah dan Bapak Lurah yang sangat ia kagumi. Apalagi di hari-hari terakhir sebelum ia dikorbankan, kehadiran seseorang yang menjadi idola dapat menjadi kekuatan dan penghiburan.
"Bapa Resi, dua bebahu desa yang kami utus menghadap Bapa Resi melaporkan bahwa Bapa Resi tetap akan mengorbankan Rawan, tidak adakah jalan lain?
"Kami tidak menemukan jalan lain. Kecuali jika kami menolak. Dan itu fatal akibatnya, seluruh keluargaku akan ditumpas."
"Apakah tidak meminta tolong"
"Orang yang mau menolong kami artinya ia mau menjadi silih korban anakku. Saya tidak percaya bahwa ada orang yang bersedia menolong kami dengan berani menggantikan anakku menjadi santapan Prabu Dwaka."
"Bapa Resi, tahukah Bapa Resi siapakah sesungguhnya seorang janda beserta ke lima anaknya yang numpang di rumah Bapa Resi?"
"Ibu Lurah, hatiku gelap dan pikiranku kalut sehingga tidak pernah menanyakan siapakah mereka sesungguhnya."
"Bapa Resi, merekalah yang akan menjadi dewa penolong, jika Bapa mau menemuinya untuk memohon pertolongan."
"Ibu Lurah, siapakah sesungguhnya mereka?"
"Mereka adalah Ibu Kunthi dan Pandhawa Lima"
"Benarkah Ibu Lurah?
Rara Winihan mengganguk mantap. Pernyataan Rara Winihan bagaikan matahari yang tiba-tiba muncul memecah mendung kelabu. Wajah Resi Hijrapa berseri. Secercah harapan baru menyembul dari sanubarinya. Dengan tergopoh-gopoh, Resi Hijrapa berjalan menuju ruang depan, tempat Kunthi dan anak-anaknya menumpang. Rara Winihan, Lurah Sagotra dan Raden Rawan mengikutinya.
Sesampainya di depan Kunthi, Resi Hijrapa bersimpuh dan menghaturkan sembah di depan kaki Kunthi, untuk memohon pertolongan.
"Ibu Prameswari maafkan hamba si tua bangka yang bodoh ini, jauhkan dari tulah sarik, dari kutuk dan dari hukuman, karena kesalahan hamba. Hamba telah memperlakukan Ibu Prameswari dan para pewaris tahta Hastinapura dengan sangat tidak layak."
"Bapa Resi janganlah merendahkan dan menghinakan dirimu sendiri, duduklah, dan bicaralah dengan wajar, katakanlah apa yang engkau inginkan dari kami."
"Dhuh Ibu Prameswari, ampunilah kesalahanku, karena penyambutanku di rumah ini tidak sesuai denga kedudukan Sang Ibu Kunthi beserta para putra."
"Sudahlah Bapa Resi. Bapa Resi tidak bersalah. Kamilah yang telah merepotkan Bapa resi dan keluarga. Tetapi bukankah ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu. katakanlah Bapa Resi"
Karena kehalusan budi dan kerendah hati dan belas-kasih Sang Ibu Kunthi, Resi Hijrapa memberanikan diri untuk menceritakan masalah berat yang dihadapi oleh keluarganya dan kemudian memohon pertologannya. Dewi Kunthi yang sudah mendengar dan mengetahui semuanya, bahkan sudah berembug masalah ini dengan Bima anaknya, menyarankan kepada Resi Hijrapa agar langsung meminta bantuan kepada anaknya yang nomor dua yang bernama Bimasena. Karena dialah orangnya yang tepat untuk melakukan pertolongan ini.
Bima adalah sosok yang sederhana dan jujur, ia selalu siap memberikan pertolongan kepada siapapun yang membutuhkan, apalagi jika yang bersangkutan datang memohon langsung kepada dirinya, maka akan semakin mantaplah ia melakukan pertolongan. Ketika ditemui Resi Hijrapa, Bima bersedia dikorbankan sebagai ganti Rawan anaknya. Resi Hijrapa sangat lega, terbebas dari beban berat yang menindihnya.
Sesaat setelah Bima menyanggupkan diri menjadi sesaji yang akan dipersembahkan kepada Prabu Dwaka, datang serombongan perajurit Ekacakra dengan jumlah yang lebih banyak dari jumlah perajurit yang kemarin lusa mencegat para pengungsi. Mereka melacak keberadaan seorang tinggi perkasa yang telah menolong para pengungsi dan mengalahkannya. Ketika kemudian mereka menemukan orang yang dimaksud yaitu Bima di rumah Resi Hijrapa, maka kemudian mereka datang dengan maksud menawan Bima. Bima dengan dibantu oleh Harjuna bermaksud melawannya.
Namun sebelum peperangan terjadi Lurah Sagotrra didampingi Rara Winihan menyerukan kepada pemimpin perajurit Ekacakra, agar mau bersabar. Kecerdasan Rara Winihan berhasil mempengaruhui pimpinan perajurit untuk membatalkan niatnya nenangkap Bima. Dengan alasan bahwa Bima telah menyanggupkan diri sebagai korban untuk Prabu Dwaka.
"Di rumah ini segala sesuatunya telah disiapkan. Jika pimpinan perajurit mau menangkap Raden Bima dan Raden Bima melawan, maka akan terjadi pertempuran. Jika pertempuran terjadi di rumah ini maka semuanya yang ada bakal rusak dan hancur. Termasuk juga ubarampe sesaji yang telah dipersiapkan. Jika hal ini benar-benar terjadi, artinya para perajurit telah menghancurkan persiapan sesaji yang akan dipersembahkan kepada raja, termasuk calon korbannya yaitu Raden Bimasena. Jika pemimpin perajurit akan nekat memaksakan kehendak, aku sebagai lurah di wilayah ini akan menghadap raja dan menghaturkan bahwa calon sesaji yang telah dipersiapan dirusak oleh perajurit Ekacakra sendiri."
Mendengar seruan Ibu Lurah yang lantang tersebut, pemimpin perajurit tanpa berucap sepatah kata pun membalikan kudanya bersama dengan pasukannya meninggalkan rumah Resi Hijrapa. Mereka takut jika tindakannya menangkap orang tinggi perkasa dianggap mengacaukan persiapan korban terbesar sepanjang tahun yang akan diadakan besok lusa.
Kabar kesanggupan Bima mau menjadi korban santapan menggantikan Rawan cepat tersebar di Desa Sendangkandayakan dan pertapaan Giripurwa. Mereka berdatangan di rumah Resi Hijrapa. Ketika ditemuinya ada Lurah Sagotra dan Rara Winihan, semakin mantaplah mereka bergabung.
Ketika tiba saatnya, hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya, Resi Hijrapa telah siap dengan sesajinya. Rara Winihan berperan besar dalam pembuatan sesaji. Ia telah menutupi badan Bima dengan parutan kelapa muda yang dimasak bothok.
Pagi itu mereka membawa sesaji komplit meninggalkan Rumah Resi Hijrapa, menuju keraton Ekacakra. Selain Bima sendiri, yang mengiringi sesaji dari Giripurwa adalah : Harjuna, Rawan, Rara Winihan, Lurah Sagotra, Resi Hijrapa, warga Sendangkandayakan dan Giripurwa. Dengan keberadaan Bima diantara mereka, mereka tidak takut, karena mereka percaya dengan nama besar Pandhawa Lima dan sebagian dari mereka telah melihat kesaktian Bima waktu menolong para pengungsi.
Prabu Dwaka mendekati sesaji yang berupa manusia dibumbu bothok.
(karya herjaka HS) Sesampainya di balairung keraton Ekacakra, sesaji dari Giripuwa yang berupa Bima dibumbu bothok menarik perhatian banyak orang termasuk Sang Prabu Dwaka, karena sosok Bima yang tinggi besar sepadan dengan Prabu Dwaka.
Setelah segalanya siap, upacara sesaji dimulai dengan pemukulan gong beri tiga kali. Selesai gaung gong yang ketiga, mereka mulai melakukan pembakaran aneka macam daging dan ikan secara serentak. Di tengah-tengah membumbungnya asap bakaran, Prabu Baka berjalan keliling sebelum mendekati korban mausia yaitu Bima Bothok. Baru setalah langkahnya tertuju kepada Bima Bothok, perutnya mulai keroncongan, dan air liurnya mengumpul di ujung lidahnya.
Herjaka HS Kidung Malam?64 Prabu Dwaka roboh di tanah (karya Herjaka HS)
Puncak Korban Sitihinggil Ekacakra penuh dengan asap korban bakaran. Prabu Dwaka mulai merasa lapar mencium bau asap dari daging yang dibakar. Terlebih ketika melihat Bima yang diberi bumbu bothok, ia mengarahkan langkah dan pandangannya menuju korban yang di sajikan dari Giripurwa. Selangkah demi selangkah kaki yang besar dan berat itu menginjak bumi, dan menimbulkan getar disekitarnya. Bimasena, Arjuna, Lurah Sagotra, Rara Winihan, Rawan dan para pengiring mulai meningkatkan kewaspadaan. Kecuali Bima dan Arjuna, jantung mereka berdetak semakin cepat merasakan getar tanah yang ditimbulkan oleh langkah Prabu Dwaka, hawa dingin mulai mengalir dari ujung kaki dan telapak tangan mereka. Prabu Dwaka semakin tidak kuasa menahan lapar, melihat sosok Bima yang berbadan tinggi besar, berotot kuat dan kencang, berlumuran bumbu bothok kesukaannya. Karena tertariknya dengan sosok Bima, Prabu Dwaka tidak memperhatikan rangkaian korban yang lain yang telah disiapkan oleh Rara Winihan di dalam sebuah gerobak. Tangan Prabu Dwaka yang besar kuat, penuh dengan bulu, mendulit bumbu bothok di tubuh Bima.
"Hmm enaaak" Bima tidak gentar menghadapi Prabu Dwaka. Sejak ia sanggup menjadi korban untuk menggantikan Rawan, ia sudah siap lahir batin. Ditatapnya Prabu Dwaka dihadapannya dengan ketajaman mata laksana burung hantu. Otot tubuh yang menjadi daya kekuatan Bimasena mulai dikencangkan.
Prabu Dwaka tidak sabar, dengat cepat ia menyahut Bima. Jika pada korban sebelumnya, baik yang bulanan maupun yang tahunan, korban hanya dapat menjerit dan kemudian diam, kali ini tidak ada jeritan. Bima mampu menepis tangan Prabu Dwaka dengan kekuatan yang lebih besar. Prabu Dwaka terkejut bukan kepalang, merasakan kekuatan besar yang keluar dari calon koorbannya. Ulah Bima yang belum pernah dilakukan oleh para korban sebelumnya, justru meningkatkan selera Prabu Dwaka. Ia dengan tawa sinisnya mengelilingi Bima, ingin mempermainkan calon korbannya sebelum disantapnya.
Namun yang apa yang terjadi sungguh mengejutkan, terutama bagi Prabu Dwaka. Bima dengan cepat dan tiba-tiba melayangkan kakinya ke dada Prabu Dwaka. Prabu Dwaka senggoyoran hampir jatuh. Ia baru sadar, bahwa korban yang disajikan kali ini bukan orang sembarangan. Prabu Dwaka menatapnya Bima dengan kemarahan puncak. Bima tidak mau kalah, ia balas menatapnya sembari berdiri teguh, seteguh batu karang. Dengan menghimpun kekuatan, Prabu Dwaka menerkam Bima. Kali ini Bima menghindar. Prabu Dwaka semakin marah. Dan sebentar kemudian terjadilah pertepuran yang dahsyat. Dikarenakan keduanya tidak merasa leluasa bertempur di pelataran sitihinggil, maka tanpa kesepakatan pertempuran bergeser keluar dari sitihinggil menuju ke alun-alun.
Korban besar tahunan menjadi kacau. Para pelaku korban, petugas jaga, para perajurit dan pengawal raja, menghentikan aktifitasnya. Mereka bersama-sama menyaksikan pertepuran langka. Bahkan orang-orang mulai berdatangan ke alun-alun untuk menyaksikan pertempuran dahsyat sepanjang abad.
Para pajurit yang setia kepada raja, ikut geram kepada Bimasena. Namun dibalik kegeramannya, mereka mengakui keberanian Bima untuk melawan raja mereka. Karena selama mereka mengabdi kepada Prabu Dwaka, belum pernah ia menjumpai seseorang yang berani kepada raja mereka. Barulah sekarang untuk yang pertamakali ia menyaksikan ada orang yang berani melawan raja mereka dengan tidak menampakkan ketakutannya.
Walaupun diantara mereka pernah menyaksikan dan merasakan kesaktian Bima ketika menolong para pengungsi, mereka semakin tergetar keberaniannya menyaksikan kehebatan Bima saat melawan Prabu Dwaka.
Sementara itu, bagi mereka, baik para perajurit atau kawula Ekacakra yang selama ini tidak senang dengan raja mereka, sangat berharap agar Bima berhasil memenangkan pertempuran.
Hari semakin siang, matahari telah hampir berada di tengah. Pertempuran berlangsung semakin seru. Keduanya saling mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Debu mengepul, mengelilingi dan menutupi Prabu Dwaka dan Bimasena. Para penonton tidak dapat lagi melihat keduanya dengan jelas. Namun melalui suara yang ditimbulkan mereka dapat ikut merasakan bahwa pertempuran tersebut semakin dahsyat. Oleh karenanya para penonton semakin mundur dengan perasaan cemas, sehingga tempat bertempur pun menjadi semakin luas.
Beberapa saat kemudian, debu yang membumbung perlahan-lahan pergi dibawa angin. Dari kejauhan, tampaklah Bimasena dan Prabu Dwaka berdiri berhadapan. Rupanya mereka sepakat untuk beristirahat sejenak sambil mengatur napas mereka masing-masing. Tidak beberapa lama kemudian, pertempuran dilanjutkan kembali.
Prabu Dwaka yang lapar karena belum berhasil menyantap korban, bertempur dengan membabi buta. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Namun lawannya bukanlah orang sembarangan, ia mempunyai ilmu tingkat tinggi yang jarang ada tandingannya. Oleh karenanya, Prabu Dwaka menjadi frustasi karena tidak dapat segera mengalahkan Bimasena. Sebaliknya, Bimasena menjadi semakin tenang dan mantap. Sehingga dengan demikian ia dapat dengan jelas melihat kelemahan daya pertahanan lawannya. Pusaka Kuku Pancanaka andalan Bimasena telah disiapkan. Dan pada saat yang tepat, Bimasena berhasil menyarangkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Dwaka.
Terdengar suara teriakan menggelegar dan disusul dengan robohnya tubuh Prabu Dwaka yang tinggi besar. Sorak membahana gemuruh menyambut kemenangan Bimasena. Beberapa pengawal yang setia Raja mengarahkan mata tombaknya ke dada Bimasena, namun sebelum Bimasena luka, Arjuna dengan tangkas menarik busur dan melepaskan anak panahnya dalam jumlah banyak. Maka berjatuhanlah mereka. Pengawal yang lain tergetar hatinya, melihat kesaktian Arjuna dalam memananh.. Mereka mengurungkan niatnya membela rajanya, dan meyerah dihadapan Bimasena.
Setelah dipastikan bahwa Prabu Dwaka sudah gugur, para kawula Ekacakra memohon agar badan Prabu Dwaka yang sudah tidak bernyawa dipisahkan, yang satu ditanam di gunung gamping barat yang satu ditanam di gunung gamping Timur. Menurut kepercayaan, hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan energi negatif yang akan ditimbulkan oleh raga Prabu Dwaka.
Pada puncak korban tahunan kali ini, tidak ada lagi kawula yang dikorbankan, melainkan Prabu Dwaka sendiri dan beberapa pengawalnya yang menjadi korban.
Herjaka HS Kidung Malam?65 Bimasena nampak kelelahan setelah mengalahkan Prabu Dwaka
(karya herjaka HS) Hari Bersejarah Prabu Baka atau Prabu Dwaka yang menjadi sumber ketakutan kawula Ekacakra telah dihancurkan oleh Bimasena. Para pejabat, pengawal perajurit dan pengikut yang selama ini berada di lingkaran pusat kekuasaan merasa terancam keberadaannya. Pengawal raja lapis pertama yang mengandalkan insting jika rajanya ada dalam bahaya dengan cepat menyerang Bima yang telah mencelakai tuannya, namun dengan cepat pula dilumpuhkan oleh panah Arjuna.
Walaupun tenaganya belum pulih, setelah mengalahkan Prabu Dwaka, Bima sendiri juga telah bersiaga untuk menghadapi para pengawal dan pengikut Prabu Dwaka yang tidak terima akan kematian Rajanya. Namun tidak ada lagi yang menyerang Bima setelah serangan pengawal lapis pertama gagal total. Mereka keder juga menyaksikan kesaktian Bima yang menggetarkan.
Ditambah lagi bahwa rombongan pembawa korban dari Giripurwa terdapat orang sakti selain Bima, yang ahli menggunakan senjata panah. Kesaktiannya dalam memanah telah ditunjukkan ketika membendung serangan para pengawal raja lapis pertama yang hendak mengeroyok Bimasena. Orang sakti tersebut adalah adik Bimasena yang bernama Arjuna. Ia memang sengaja mennunjukan kesaktiannya agar yang lain jera, sehingga dengan demikian akan mengurangi korban.
Kesaktian memanah yang ditunjukan Arjuna dengan melumpuhkan puluhan korban dalam waktu sekejab merupakan ilmu terbaik Sokalima. Ditambah pula dengan pusaka ali-ali ampal dari Prabu Ekalaya raja Paranggelung, membuat ilmu memanah Arjuna tidak tertandingi. Maka jika pun pengawal lapis dua berniat melawan Bima dan Arjuna dapat dipastikan nasibnya akan sama seperti pengawal lapis pertama yang dalam sekejap roboh bersamaan.
Untung saja gebrakan awal Arjuna berhasil membuat nyali para pengawal raja menciut, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk melawan Bima dan Arjuna. Karena sudah tidak punya nyali untuk melawan, para pejabat, pengawal dan pengikut setia Prabu Dwaka kini sudah tidak setia lagi, mereka meletakan senjata dan menyerah.
Sorak sorai membahana. Kawula Ekacakra merayakan kemenangan. Korban bakaran yang sedianya diperuntukan untuk kehormatan dan kekuasaan raja menjadi korban sukacita dan pesta kemenangan rakyat Ekacakra. Bimasena dielu-elukannya dan juga Arjuna. Hal yang lebih membanggakan dirasakan oleh rombongan korban dari Giripurwa. Karena berawal dari Bima yang hadir di wilayahnya dan bersedia menjadi silih korban menggantikan Rawan, akhirnya mampu menumbangkan angkaramurka dan menanamkan ketamakan Prabu Baka di gunung Gamping yang beku.
Gugurnya Prabu Baka membuat keadaan negeri Ekacakra secara keseluruhan berbalik 180 derajat. Jika sebelumnya rasa takut dan suasana mencekam melanda setiap hati kawula Ekacakra, kini setelah Prabu Baka gugur, suasana berubah menjadi sukacita dan lepas bebas dari takut dan cemas. Seluruh rakyat menjadi tenteram karenanya.
Dengan perubahan itu, beberapa bebahu desa Kabayakan teringat akan kata-kata Rara Winihan yang memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang begitu besar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan di atas sungai dan kakinya tidak menyentuh air.
Dan benarlah, makna yang terselubung dalam mimpi, bahwa jika orang yang bermimpi berjalan di atas air, akan mendapat kabegjan anugerah yang luar biasa. Kini mimpi Rara Wunihan telah menjadi kenyataan.
Selain Bima dan Arjuna nama Rara Winihan menjadi semakin berkibar. Banyak kawula Giripurwa menginginkan Ibu Lurah tersebut menempati jabatan yang lebih tinggi lagi. Namun Rara Winihan menolaknya. Ia justru menjadi malu, karena sesungguhnya ia hanyalah seorang yang tidak berarti dibandingkan dengan Bimasena dan Arjuna, atau dengan Ibu Kunthi. Ia hanyalah istreri Lurah Sagotra, Kanca Wingking yang seharusnya hanya berada di wilayah belakang.
Ambisi para bebahu yang ingin mengangkat dirinya menduduki jabatan yang lebih tinggi, justru telah menyadarkan dirinya, bahwa langkah yang ia jalankan selama ini telah kemajon, atau terlalu ke depan dibandingkan dengan peran yang seharusnya ia jalani, yaitu sebagai isteri Lurah, tidak lebih.
Pada keesok harinya ketika semuanya berkumpul di Rumah Resi Hijrapa, tak satupun rasa takut menyusup di hati dan pikiran mereka. Sehingga yang nampak adalah wajah-wajah ceria yang terbebas dari kecemasan. Dalam kesempatan tersebut, Resi Hijrapa, Rawan, Lurah Sagotra dan Rara Winihan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu Kunthi, Bimasena dan Arjuna. Selain itu Resi Hijrapa dan kemudian diikuti oleh Rawan, Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan menyatakan diri, jika kelak terjadi perang besar antara Pandhawa dan Korawa yang disebut Bharatayudha mereka siap membantu Pandhawa sebagai tawur awal pada perang tersebut. Kunthi dan Pandhawa sangat terharu merasakan ketulusan yang dinyatakan mereka untuk siap berkorban bagi Pandhawa.
Sepeninggal Prabu Dwaka, kerajaan Ekacakra komplang, tanpa raja. Untuk sementara sebelum sampai kepada orang yang paling berhak menduduki tahta, kebijaksanaan kerajaan dipasrahkan kepada Prabu Durpada yang memerintah di negara Pancala. Karena wilayah Ekacakra bergandengan dengan wilayah Pancala.
herjaka HS Kidung Malam?66 Arimbi tiba-tiba muncul dan bersimpuh dihadapan Kunthi dan Bima (karya Herjaka HS) JB
Mencari Bimasena Banyak orang tidak percaya Prabu Baka atau Prabu Dwaka telah gugur. Lalu siapa yang berani melawannya, bahkan sampai berhasil mengalahkan dan membunuhnya? Kalau ia manusia pastilah ia bukan manusia biasa, tetapi manusia keturunan dewa. Atau malah mungkin ia seorang dewa yang menyamar jadi manusia?. Untuk memastikan kebenaran kabar itu, orang-orang berduyun-duyun menuju Padepokan Giripurwa.
Sesampainya di Giripurwa orang banyak telah lebih dahulu berada di sana. Kedatangnya mereka selain untuk memastikan kebenaran tentang gugurnya Raja pemakan manusia itu, mereka juga ingin melihat dari dekat kesatria yang telah berhasil membunuh Prabu Dwaka.
Selama sepekan, terhitung sejak gugurnya Prabu Dwaka, pada setiap harinya padepokan Giripurwa dibanjiri oleh orang-orang dari berbagai penjuru negeri Ekacakra. Ekspresi kelegaan dan sukacita memancar dari wajah mereka. Bimasena menadat ucapan terimakasih krena keberhasilannya menyingkirkan angkaramurka yang menjadi sumber kecemasan dan ketakutan.
Setelah semua menjadi reda, suasana kembali normal, bahkan ketentraman dan kedamaian mulai dirasakan, Ibu Kunthi dan kelima anaknya berpamitan kepada resi Hijrapa, meninggalkan Giripurwa. Tidak lupa mereka juga berpamitan kepada Lurah Desa Kabayakan, Kyai Sagotra dan Rara Winihan, beserta seluruh warganya.
Rasa haru meremas kalbu. Tak kuasa mereka menahan tetesan air mata dari bola-bola mata yang bening bersahaja. Sesungguhnya mereka mengharapakan para kesatria Pandhawa dan Ibu Kunthi yang luhur budi agar berkenan tinggal untuk memimpin negeri. Mereka merindukan sosok pemimpin yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Pemimpin yang mengayomi dan mencintai rakyatnya. Namun tangan-tangan mereka tak kuasa menahannya. Lambaian tangan mengantar kepergian Kunthi dan Pandhawa.
Walaupun setelah membelok di sudut desa, Kunthi dan Pandhawa sudah tidak nampak lagi, mata hati mereka justru semakin jelas memandang ketulusan hati yang telah dikorbankan oleh Ibu Kunthi dan anak-anaknya.
Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan sikembar Nakula Sadewa telah jauh meninggalkan Padepokan Giripurwa. Mereka tidak ingin kembali ke Hastinapura. Peristiwa Bale Sigala-gala telah membuat mereka trauma. Walaupun ketika tinggal di kahyangan Saptapertala, Kunthi telah berusaha agar Sadewa dan Nakula dapat melupakan peristiwa yang mengerikan di Bale Sigala-gala, hingga saat ini si kembar belum mau memasuki bumi Hastina
Oleh karenya Kunthi dan kelima anaknya bertekad hidup seperti layaknya seorang Brahmana yang sedang menjalani laku tapa, berjalan tanpa tujuan, masuk keluar hutan dalam waktu yang tak terbatas. Mereka menggunakan pakaian dari kulit binatang, memakan buah-buahan dan akar-akaran yang ditemuinya di hutan.
Siang malam Bima dan Arjuna selalu waspada menjaga ibu dan saudara-saudaranya dari serangan binatang buas dan juga raksasa hutan.
Kabar gugurnya Prabu Dwaka terdengar jauh sampai di negara Pringgandani. Prabu Arimba raja Pringgandani yang bermuka raksasa ini masih terhitung sahabatnya Prabu Baka, terbakar hatinya mendengar kabar tersebut. Ia mengutus Arimbi adiknya, yang bermuka raseksi, untuk mencari tahu siapkah orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Jika sudah ketemu, Arimbi diberi kuasa untuk membunuhnya. "Namun jika kamu tidak dapat membunuhnya, segeralah pulang ke Pringgandani, biar aku sendiri yang akan membunuhnya." kata Prabu Arima kepada Arimbi adiknya.
Saat itu juga Arimbi, meninggalkan Negara Pringgandani sendirian, menuju Negara Ekacakra. Sesampainya di Ekacakra ia mendapat keterangan untuk menuju ke Padepokan Giripurwa. Namun sesampainya di Giripurwa, yang dicari sudah tidak ada. Arimbi kecewa. Ia kemudian mencari keterangan mengenai ciri-ciri orang yang telah membunuh Prabu Dwaka
Setelah mendapat keterangan cukup jelas dari salah seorang warga Desa Kabayakan, mengenai ciri-ciri kesatria yang telah membunuh Prabu Dwaka, Arimbi segera mencari keberadaannya. Berkat pengalamannya dan daya penciumannya yang tajam Arimbi tidak kesulitan menemukan jejaknya.
Di Hutan Waranawata Kunthi dan kelima anaknya berada. Dan Arimbi telah menemukannya. Arimbi mengamati mereka dari balik lebatnya pepohonan. Menurut ciri-ciri yang disampaikan oleh warga Desa Kabayakan, sungguh benarlah bahwa keenam orang itu adalah Kunthi dan ke lima anaknya. Salah satu diantara anak Kunthi, adalah pembunuh Prabu Dwaka. Namanya Bimasena. orangnya tinggi perkasa.
Arimbi mengarahkan pengamatannya kepada orang yang dimaksud. Namun ketika ia melihat Bimasena, hatinya berdesir. Ada gelombang magnet yang luar biasa besar, yang menarik-narik hatinya. Arimbi tak kuasa menahan gejolak itu. Pada pandangan pertama, hati Arimbi telah tertambat kepada sosok perkasa yang mempesona.
Terdorong oleh hasratnya yang tak mungkin dibendung, Arimbi bergerak ringan menghampiri Bimasena yang sedang duduk bersama Ibunda Kunthi. Keduanya terkejut, terlebih Bima, yang tidak tahu dari mana arah datangnya, tiba-tiba ada sosok raseksi bersimpuh dihadapannya.
Sesampainya di depan Kunthi dan Bima, Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu Dwaka. Ketika mata Arimbi menatap Bima dari jarak dekat, ia terkena panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona. Kunthi menyapa dengan lembut, apa maksud kedatangannya? Arimbi tidak segera dapat menjawab pertanyaan Kunthi. memang pada semula ia bermaksud membuat perhitungan dengan orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Namun kenyataannya Arimbi tidak berdaya setelah menemukan orang yang dimaksud. Bahkan ia dengan terus terang menyatakan jatuh cinta kepada Bimasena. Kunthi tersenyum lembut. Ia memahami hati seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaannya dibandingkan dengan pikirannya.
Kidung Malam?67 Arimba ingin mengadakan perhitungan dengan Bimasena (karya: Herjaka HS)
Musuh Yang Mempesona Arimbi yang diutus oleh Prabu Arimba raja Pringgandani, untuk mencari pembunuh Prabu Dwaka, telah menemukan orangnya di Hutan Waranawata, yang bernama Bimasena Dengan tidak terduga pula, ternyata Bimasena adalah anak Pandhudewanata, raja Hastinapura yang telah membunuh ayah Arimbi yang bernama Prabu Tremboko, raja Hastinapura sebelum Prabu Arimba..
Namun hal tersebut tidaklah mampu menyulut dendam dan kebencian Arimbi kepada Bimasena. Karena Arimbi telah terkena panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona sang Bimasena. Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang membunuh Prabu Dwaka..
Arimbi, yang adalah seorang rasaksa wanita, mempunyai postur yang tinggi besar, melebihi postur wanita pada umumnya, wanita biasa yang bukan raseksi, sangatlah mendambakan sosok tinggi besar dan gagah perkasa. Apalagi sosok tinggi besar dan gagah perkasa tersebut bukan dari golongan raksasa, tetapi dari golongan kesatria seperti halnya Bimasean. Tentu saja Arimbi terpana.
Sebagai seorang raseksi, Arimbi tidak sungkan-sungkan menyatakan gejolak hatinya yang meluap-luap, di depan Ibu Kunthi dan Bimasena, bahwa ia telah jatuh cinta kepada Bimasena pada pandangan pertamanya. Kunthi menanggapi pernyataan Arimbi, dengan senyum dan kelembutan. Namun Bima justru merasa risih dan tidak senang, sembari menggerutu, dasar raseksi, tidak tahu diri.
Atas sikap Bimasena tersebut, Arimbi menangis, memohon pertolongan Kunthi, agar Bimasena mau memperisterinya. Kunthi tidak dapat berbuat apa-apa. Karena pada dasarnya semuanya itu bergantung kepada Bimasena yang menjalaninya. Namun Kunthi menyarankan agar Arimbi mau bersabar.
Arimbi tidak sakit hati ditolak Bimasena. Ia justru semakin mengagumi sosok Bima yang jujur dan tegas. Panah Asmara yang tidak pernah dilepaskan Bimasena kepada Arimbi, pada kenyatanya telah menembus sangat dalam di lubuk hati Arimbi. Ajaib memang. Cinta membuat segalanya baru. Pandangan Arimbi terhadap Bimasena berubah seratus delapan puluh derajat. Dari musuh menjadi orang yang digandrunginya.
Walaupun Bimasena tidak pernah mempedulikannya, bahkan tidak senang, Arimbi tetap saja mengikuti kemana Bima dan keluarganya pergi. Nasihat Kunthi agar bersabar, menjadi kekuatan bagi Arimbi untuk bertahan dalam menyalakan api cintanya kepada Bimasena. Karena ia menyakini, dibalik kesabaran yang dijalaninya dengan tulus, ada sebuah harapan. Harapan bahwa jika tiba pada waktunya, ia dapat bersanding dengan pujaan hatinya. Saat itulah dapat diibaratkan seperti rumput kering yang mendamba siraman air hujan, untuk tumbuh menghijau.
Hingga sampai hitungan bulan, Bima tidak menampakkan perubahan sikap kepada Arimbi. Bahkan Bima semakin merasa risih terhadap tingkah laku Arimbi yang ditujukan kepada dirinya dan juga kepada keluarganya. Namun tidaklah demikian dengan Ibunda Kunthi. Kunthi justru merasa iba kepada Arimbi, yang tidak hanya mengikutki kemana Pandhawa pergi, tetapi juga selalu membantu, melayani dan menyediakan apa saja yang menjadi kebutuhan Kunthi dan Pandhawa.
Disuatu pagi nan cerah, datanglah beberapa punggawa Pringgandani yang diutus Prabu Arimba menemui Arimbi. Arimbi merasa dirinya telah mengkianati perintah kakaknya. Maka dengan jujur Arimbi berkata kepada utusan raja, bahwa ia tidak kuasa untuk berperang kepada orang yang membunuh Prabu Dwaka, apalagi sampai mencelakainya, karena ia telah jatuh cinta kepadanya.
Dengan baik-baik Arimbi memerintahkan beberapa punggawa utusan, untuk pulang dan melaporkan kepada raja apa adanya.
Prabu Arimba tak mampu mengendalikan emosinya, tatkala para punggawa memberikan laporan tentang keberadaan Arimbi dan juga sikap Arimbi yang telah membelot bersama musuh. Apalagi dalam laporan tersebut diungkapkan pula, bahwa Bimasena pembunuh Prabu Dwaka adalah anak Pandudewanata.
Braaak! Prabu Arimba memecah meja di depannya. Para punggawa gemetar ketakutan. Suara gemuruh didada Prabu Arimba menimbulkan hawa panas. Hawa panas tersebut memenuhi Balairung Negara Pringgandani.
Arimbi adalah satu-satunya adik perempuan dan sangat dicintainya. Namun ia sangat murka bilamana Arimbi jatuh cinta kepada anak Pandudewanata yang telah membunuh ayahanda Prabu Tremboko.
Semenjak naik tahta menggantikan Prabu Tremboko yang gugur di tangan Pandudewanata, Prabu Arimba ingin mengadakan perhitungan dengan Pandudewanata. Namun niat itu tidak kesampaian, dikarenakan Pandudewanata telah meninggal di pertapaan. Namun setelah diketahui dari laporan punggawa utusan, bahwa Pandudewanata mempunyai lima anak laki-laki, Prabu Arimba akan mengadakan perhitungan dengan mereka. Khususnya Bimasena yang sekaligus adalah pembunuh Prabu Dwaka, saudaranya.
Selagi bara dendam dihatinya mulai menyala kembali, Prabu Arimba segera memerintahkan perajurit pengawal raja, untuk mengikutinya memasuki hutan Waranawata, guna mengadakan perhitungan dengan Bimasean.
Lima adik Raja Arimba yang kesemuanya laki-laki kecuali Arimbi, ikut bersamanya. Mereka masing-masing adalah: Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala Bendana.
Kidung Malam?68 Prabu Arimba dan Bimasena bertempur dengan hebat (karya herjaka HS)
Perang hebat Kemarahan Prabu Arimba belum juga reda. Ingin rasanya ia menghajar Arimbi adiknya, yang telah berkhianat kepadanya, dengan mengabaikan perintahnya. Pada awalnya Arimbi menyanggupi perintah kakanya untuk mengadakan perhitungan dengan pembunuh Prabu Dwaka yang masih saudaranya. Namun setelah melihat pelakunya yang bernama Bimasena, Arimbi jatuh hati. Ia menjadi tak berdaya untuk melaksanakan perintah kakaknya. Oleh karenanya dengan jujur Arimbi mengatakan kepada utusan kakaknya bahwa Arimbi tidak mempunyai daya untuk melukai Bimasena, terlebih membunuhnya.
Oleh karenanya Arimba ingin segera menuju ke hutan Waranawata untuk menghukum Arimbi dan kemudian membunuh Bimasena dan saudaranya.
Di siang yang terik, Prabu Arimba dengan diiringi beberapa pengawal pilihan meninggalkan negara Pringgandani. Dadanya gemuruh karena kemarahan. Akibatnya matanya memerah dan kedua tangannya bergetar. Para pengawal tahu bahwa raja Arimba sedang dalam keadaan marah besar, dan jika tidak hati-hati dalam melayaninya, sedikit saja membuat kesalahan akan berakibat fatal.
Di hutan Waranawata, Arimbi merasa cemas. Ia tahu bahwa kakaknya akan sangat marah mendapat laporan utusannya, bahwa Arimbi telah jatuh hati kepada musuhnya. Maka dari itu, sebelum Arimba sampai di tengah hutan, tempat Kunthi dan anak-anaknya berada, Arimbi menyonsong kakanya di pinggir hutan. Benarlah apa yang perkirakan Arimbi, dari kejauhan ia melihat kakaknya yang diikuti beberapa pengawalnya menampakkan kemarahannya. Maka dari itu, sebelum Prabu Arimba melampiaskan kemarahannya, Arimbi mendahuluinya memeluk kakinya. Sembari menangis, Arimbi memohon belaskasihan kepada Prabu Arimba.
"Dhuh Kakanda Prabu, pada siapa lagi aku sesambat kalau bukan kepada Kakanda Prabu yang menjadi silih orang tuaku. Jikapun aku harus mendapat hukuman, hukumlah aku karena aku telah mengkianati Sang Raja. Bahkan jikapun aku harus dihukum mati, aku rela menerimanya. Namun sebelumnya aku akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa aku sebagai wanita yang sudah dewasa, sedang jatuh cinta kepada seseorang. Rasa kasmaran itu tiba-tiba menyergapku. Dan aku tak kuasa melepaskannya. Walau aku tahu bahwa ia yang telah membuatku jatuh cinta tersebut adalah musuh kita. Kakanda Prabu salahkah aku?"
Dada Prabu Arimba naik turun, nafasnya tidak beraturan. Kemarahannya yang sudah mencapai puncak dicoba untuk ditahan. Sebetulnya dilubuk hati yang paling dalam, Prabu Arimba sangat menyayangi satu-satunya adik perempuannya. Sepeninggal ayahnya Prabu Tremboko, Prabu Arimba yang kemudian naik tahta menyadari perannya sebagai pengganti orang tuanya. Maka ketika Arimbi mengingatkan peran yang seharusnya diemban, kemarahan Prabu Arimba berangsur-angsur mereda. Air mata Arimbi yang membasahi kaki Prabu Arimba merambat naik dan menyiram dada yang panas gemuruh.
Walaupun dada masih tetap membusung dan kedua tanganya masih berkacak pinggang, tatapan mata Prabu Arimba mulai merunduk. Dipandanginya adiknya yang masih menangis memeluk kakinya. Pelan-pelan rasa iba telah menyusup di hatinya. Ia menyadari, bahwa adiknya telah tumbuh menjadi dewasa, tanpa ditunggui orang tua, dan sekarang sedang jatuh cinta. Jika saja prabu Tremboko masih hidup alangkah senangnya dia. Namun gara-gara Pandu ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Tiba-tiba Prabu Arimba berteriak lantang
"Bangsat Pandudewanata, engkau telah memisahkan aku dan adik-adikku dengan ayahku. Terkutuklah engkau dan keturunanmu. Rama Prabu Tremboko, akan aku habisi hari ini keturunan Pandu, agar engkau berdiam di alam baka dengan damai..
Prabu Arimba lari meninggalkan Arimbi, masuk hutan ingin membinasakan keturunan Pandu. Belum jauh Prabu Arimba meninggalkan Arimbi, Bimasena menghadang di jalan. Prabu Arimba terkejut dengan keberanian orang ini. Apakah ini yang bernama Bimasena. Jika benar ini adalah Bimasena, pantas jika adiknya jatuh cinta kepadanya.
Sebelum terjadi perang tanding diantara keduanya, Arimbi telah menyusul dan mengatakan kepada Arimba bahwa itu adalah Bimasena, dan memohon agar sang Prabu tidak membunuhnya.
Jeritan Arimbi yang melaranganya agar kakaknya tidak berperang kepada Bimasena, justru membakar hati Arimba untuk segera menghabisi Bimasena. Dengan tenaga yang berlebih, Arimba menerjang Bimasena. Sejenak kemudian terjadilah perang tanding yang hebat.
Kidung Malam?69 Arimbi mengipasi Bimasena yang lemas kehabisan tenaga (karya Herjaka HS)
Arimba dan Bima
Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perang tanding yang dahsyat antara Bimasena dan Prabu Arimba berlangsung dipinggiran hutan Waranawata, disaksikan oleh Arimbi dan para perajurit pengawal dari Pringgandani. Dalam perang tersebut Prabu Arimba dan Bimasena saling mengeluarkan kesaktiannya. Daya kesaktian diantara keduanya sampai menimbulkan debu tanah yang bergulung-gulung, laksana awan mendung. Beberapa kali terjadi suara ledakan keras, menggoncang beberapa ranting pohonan yang berada disekitarnya. Akibatnya merontokan sebagian daun dan ranting pohon di hutan tersebut.
Melihat pertempuran yang kian sengit, Arimbi semakin cemas. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Ia kawatirkan jika salah satu diantaranya cidera atau bahkan mati. Oleh karenanya tak henti-hentinya ia berteriak, memohon agar peperangan dihentikan. Namun teriakan-teriakan Arimbi tak ada yang menghiraukannya. Perang tanding terus berlangsung. Bahkan semakin dahsyat.
Mereka yang menyaksikan terpaksa menjauhi arena perang tanding. Kecuali Arimbi yang tidak mau beranjak dari tempat semula. Ia begitu dekat dengan mereka yang berperang. Ia tidak mempedulikan dirinya sendiri. Ia lebih mencemaskan yang sedang berperang tanding. Baik itu Arimba maupun Bimasena.
Setelah peperangan berjalan beberapa lama, tiba-tiba Bimasena terlempar keluar arena, dibarengi suara tawa yang menggelegar-glegar. Arimbi segera mendekatinya, ditangisinya tubuh Bimasena yang tergeletak lemas di tanah. Ia tahu bahwa tenaga Bima telah tersedot habis oleh ilmu andalan yang dimiliki kakaknya.
Arimbi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap Bima untuk memulihkan tenaganya. Namun ia tidak tega membiarkannya tubuh Bimasena tergeletak sendirian. Dikipasinya Bimasena yang pucat pasi tak sadarkan diri.
Arimba memandangi adiknya, yang sedang menunggui musuhnya dengan setia. Ada rasa iba dihatinya. Adiknya memang benar benar jatuh cinta kepada Bimasena. Disadarinya bahwa, ada kuasa dari atas yang menghendaki benih cinta itu bersemi di hati adiknya, dengan tanpa dapat ditolaknya.
Diakui pula bahwa Bimasena bukan orang sembarangan. Tubuhnya yang tinggi perkasa menjadi ideal jika berpasangan dengan raseksi Arimbi. Demikian pula wajahnya dan kesaktiannya, pantaslah jika adiknya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Namun sayang, bagi Arimba pesona Bimasena tidaklah mampu menutup luka batin karena gugurnya Ramanda Prabu Tremboko dari tangan Pandu.ayah Bimasena. Masih tergambar jelas peristiwa puluhan tahun lalu, ketika Pandudewanata yang kala itu menjadi raja di Hastinapura, mengirim surat tantangan kepada Ramanda Prabu Tremboko. Pada hal yang ia ketahui bahwa, Prabu Pandudewanata adalah sahabat Ramanda Prabu Temboko.
Walaupun Ramanda Prabu Arimba masih meragukan kebenaran surat tantangan tersebut, Prabu Pandudewanata dan para perajurit terbaiknya telah menggempur Pringgandani menyusul Patihnya, Gandamana yang lebih dahulu menyerang Pringgandani.
Perang yang tidak jelas penyebabnya pun akhirnya terjadi. Dan bahkan menjadi perang yang sangat hebat, antara dua negara besar yaitu Hastinapura dan Pringgandani. Dalam catatan sejarah perang besar tersebut dinamakan dengan Perang Pamukswa.
Di dalam perang Pamukswa itulah Rama Prabu Tremboko Gugur di tangan Pandudewanata. Aku sangat terpukul karenanya. Sebagai anak tertua aku harus bertanggungjawab atas kerusakan bangunan negara Pringgandani, serta para perajurit yang tercerai berai dan menjadi korban. Dalam kondisi yang belum siap, sembari melakukan pembenahan di sana-sini, Ibunda Ratu menyarankan agar aku menduduki tahta Pringgandani.
Maka tidak lama dari waktu gugurnya Prabu Tremboko, aku naik tahta disaksikan oleh seluruh kekuatan Pringgandani yang masih tersisa. Dalam acara resmi penobatanku, aku berjanji akan mengadakan perhitungan dengan Pandudewanata. Tepuk tanganpun bergemuruh mendukung tekadku.
Kini aku telah berhadapan dan berperang tanding dengan keturunan Pandu, dan sekarang ia dalam tak berdaya dihadapanku. Jika aku berniat membunuhnya, ibaratnya tinggal membalikan tangan. Tetapi aku tidak mau melakukannya. Karena jika aku lakukan, artinya aku tidak berwatak kesatria. Walaupun wujudku adalah raksasa, di dalam hatiku telah terpatri watak kesatria yang diajarkan dan diteladankan oleh Ramanda Prabu Tremboko. Maka aku akan menunggu kekuatan Bimasena pulih, dan kembali bertanding denganku.
Bimasena anak nomor dua yang lahir dari Ibunda Kunthi tersebut sesungguhnya bukanlah anak Pandudewanata. Ia adalah anak dari Dewa Bayu. Dewa yang berkuasa atas angin. Berkaitan dengan hal tersebut, secara tidak sengaja apa yang dilakukan oleh Arimbi untuk memulihkan tenaga Bimasena dengan cara dikipasi adalah tepat. Karena melalui angin yang menerpa wajah Bima, Dewa Bayu telah membelai putranya dan memulihkan tenaganya.
Maka sebentar kemudian, setelah Arimbi mengipasi Bima, kekuatannya pulih kembali seperti semula, dan bahkan menjadi semakin segar. Bimasena kemudian meloncat untuk menghampiri Prabu Arimba.
Kidung Malam?70 Perang tanding babak ke dua antara Arimba dan Bima berlangsung lebih sengit
(karya: Herjaka HS) Perang Babak Dua Berkat pertolongan Arimbi tubuh Bima yang lunglai karena tersedot oleh limu Arimba telah pulih kembali. Ia bangun dan menghampiri Arimba. Kini keduanya siap melanjutkan perang tanding. Sebentar kemudian perang tanding babak kedua terjadi. Lagi-lagi tenaga Bima cepat menyusut, sedangkan tenaga Arimba malah semakin bertambah.
Arimbi dapat memahami apa yang dilakukan Arimba kakanya, bahwa untuk menghadapi lawan setangguh Bima tiada pilihan lain kecuali mengeluarkan ilmu andalan Pringgandani yang khusus diwariskan kepada pemegang tahta. Ilmu andalan tersebut mempunyai daya sedot tenaga lawan. Proses penyedotan berlangsung pada saat terjadi benturan badan. Maka semakin sering dan semakin cepat badan beradu, akan semakin cepat pula tenaga tersedot.
Demikian yang terjadi pada diri Bima, tenaganya cepat menyusut tanpa diketahui penyebabnya. Hanya beberapa saat setelah perang tanding babak ke dua berlangsung, Bima sudah kehabisan tenaga. Ia tak mampu lagi melanjutkan perang tanding. Ia heran dengan apa yang terjadi pada dirinya. Semakin ia bernafsu melumpuhkan lawannya, semakin cepat tenaganya hilang.
Kesedihan menggumpal di hati Bima. Sedhih bukan karena ia takut kalah dan takut mati, melainkan ia meratapi mengapa dirinya tidak mampu berbuat banyak.
Dengan tenaga yang masih tersisa, ia mencoba berteriak memberi khabar kepada Ibu dan saudara-saudaranya, untuk pamit mati. Namun dikarenakan tenaganya sangat lemah, tidak ada teriakan, yang ada adalah rintihan kekalahan yang hampir tak terdengar.
"Ibu Kunthi aku kalah. Aku pamit mati. Anakmu tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kunthi Ibuku aku mohon ampun, Punta kakakku dan adik-adikku maafkan aku."
Matahari di ujung kulon semakin redup sinarnya. Sebentar lagi ia akan masuk keperaduan. Seakan-akan ia sengaja meninggalkan Bimasena karena tak sampai hati melihat orang terkuat di Pandhawa itu jatuh dalam ketidak berdayaan.
Sementara itu, Arimba yang melihat Bima tidak berdaya, hanya tertawa ringan. Ia tidak melakukan tindakan apapun juga terhadap lawannya yang sudah tidak berdaya. Arimba masih mencoba menghidupi jiwa kesatrianya, seperti yang diteladankan ayahnya Prabu Tremboko. Ia meninggalkan musuhnya dalam ketidak berdayaan, untuk memberi kesempatan memulihkan tenaganya.
Malam merambat pelan, sayup-sayup terdengar kidung pilu ditengah gulitanya hutan. Kunthi Puntadewa, Arjuna dan si kembar Nakula Sadewa berada dalam kecemasan. Mereka menanti Bima yang tak kunjung datang. Arjuna diutus menerobos lebatnya pepohonan dalam malam yang pekat, untuk menemukan Bima.
Pada waktu yang bersamaan dengan usaha Arjuna mencari Bima. Arimbi mendekati Bima dengan hati-hati. Disadarinya bahwa Bima tidak menyukai dirinya, membenci raut mukanya yang berparas raseksi. Namun Arimbi tahu bahwa Bima tak kuasa mengusirnya atau bahkan meninggalkan dirinya. Seperti ketika dikipasi dengan daun jati, Bima hanya pasrah.
Setelah berada disamping Bima, Arimbi melakukan hal yang sama, seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu mengipasi wajah Bima. Karena dengan cara demikian tenaga Bima cepat pulih. Walaupun Arimbi heran, mengapa semudah dan secepat itu tenaga Bima pulih, ia tidak menemukan jawabannya.
Tidak seorangpun tahu kecuali Bima, bahwa pada saat Arimbi meniupkan anginnya ke wajah Bima melalui kipas, Dewa Bayu, datang bersamaan semilirnya angin malam, mengusap tubuh Bima sehingga menjadi kuat dan segar.
Bima segera meloncat berdiri dan siap untuk bertempur. Namun hari telah gelap, dan Arimba musuhnya tidak ada di depannya, yang ada hanyalah Arimbi si raseksi yang ia benci. Segeralah Bima meninggalkan tempat itu untuk menghindari Arimbi yang menjijikan.
Bima ingin menemui Kunthi dan saudara-saudaranya, sembari menunggu mentari pagi untuk meneruskan perang tanding melawan Arimba. Disepanjang langkahnya, Bima mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi pada saat berperang tanding melawan Arimba? Ia heran mengapa tenaganya cepat menjadi susut? Namun Bima tidak menemukan jawabannya.
Belum jauh Bima meninggalkan Arimbi yang diam tak bergerak, bertemulah ia dengan Arjuna adiknya, keduanya berlangkulan lega. Untuk kemudian bersama-sama menuju ke tempat Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya berada.
Kidung Malam?71 Kunthi menghetikan pikirannya yang mengembara dari peristiwa
yang satu ke peristiwa.yang lain. (karya Herjaka HS)
Derita Tidak Berhenti Setelah bertemu dengan Harjuna, Bima kembali berkumpul dengan Ibu dan saudara-saudaranya. Di hadapan mereka, Bima bercerita peri hal pertemuannya dan pertempurannya dengan Arimba kakak dari Arimbi, anak Prabu Tremboko. Prabu Arimba raja Negara Pringgandani yang sakti tersebut ingin menumpas anak-anak Pandudewanata, sebagai balas dendam atas meninggalnya Prabu Tremboko.
Mendengarkan cerita Bima si kembar Nakula dan Sadewa menampakan ekspresi ketakutan. Kunthi prihatin bahwa kepergian Pandudewanata suaminya ke alam baka, masih meninggalkan dendam. Dendam itu ditanam pada waktu terjadi perang besar yang bernama perang Pamukswa. Dendam tersebut kini diwarisi oleh Prabu Arimba, dan akan ditumpahkan kepada keturunan Pandu sang pembunuh Prabu Tremboko. Kelima anaknya yang tidak tahu-menahu atas perbuatan orangtua sebelumnya, menjadi sasaran dendam.
Kunthi teringat masa lalu, disaat perang besar Pamukswa terjadi. Ada satu hal yang sampai sekarang masih diselubung misteri, yaitu surat penantang Perang yang dilayangkan Prabu Pandudewanata kepada Prabu Tremboko. Menurut pengakuan Prabu Pandu, ia tidak pernah menulis surat penantang perang. Hubungan keduanya pada waktu itu cukup baik. tidak ada masalah yang berarti. Sehingga cukup mengherankan jika gara-gara surat tantangan perang yang belum jelas asal-usulnya, kedua negara sahabat itu saling menghancurkan dan saling membinasakan. Ada kuasa gelap yang merasuki raja Hastinapura dan Raja Pringgandani, sehingga pecah perang besar yang dicatat sebagai tragedi kemanusiaan dan disebut perang Pamukswa.
Kunthi mencoba menghubungkan antara kejadian yang satu dengan kejadian yang lainnya. Mulai kabar resmi dari perajurit sandi yang menyatakan bahwa Negara Hastinapura akan diserang oleh Negara Pringgandani. Kemudiaan ada wacana dari para petinggi raja Hastina, bahwa dari pada menunggu diserang, lebih baik menyerang lebih dahulu.
Patih Gandamana diperintahkan untuk mengatur barisan dan memimpin penyerangan ke Pringgandani. Sementara itu Negara Pringgandani juga telah menyiapkan perajuritnya untuk menyerang Negara Hastina. Maka kemudian Perang besar pun tak dapat dihindarkan. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Didalam perang bubruh yang kacau itu tersebar kabar bahwa Patih Gandamana berhasil diringkus dan menjadi tawanan. Pandu terbakar kemarahannyanya. Ia mengerahkah semua kekuatan Ngastinapura dan memimpinnya sendiri untuk menyerang Pringgandani, dan membebaskan Patih Gandamana
Pringgandani berhasil dbedah, Prabu Tremboko Gugur di tangan Pandu, namun Patih Gandamana tidak ditemukannya. Ia hilang bagai ditelan bumi Perajurit sandi telah disebar, tetapi tidak ada yang mendapatkan jejak Patih Gandamana, baik hidup ataupun mati.
Pandudewanata sangat berduka kehilangan Patih Gandamana yang sangat disayangi. Ketidak beradaan Patih, apalagi Patih seperti Gandamana yang sakti, negara Ngastina berkurang kekuatannya. Pandu tidak menginginkan jabatan patih kosong terlalu lama. Mengingat masih dalam suasana perang, kekosongan jabatan yang strategis sangat beresiko. Maka diangkatlah Trigantalpati sebagai Patih menggantikan Patih Gandamana.
Pengangkatan Trigantalpati cukup mengherankan banyak pihak, mengapa Prabu Pandudewanata memilih Trigantalpati? Kunthi tahu bahwa Kakanda Pandu sangat mencintai dan mengormati kakak sulungnya yang bernama Destarastra. Maka ketika Destarastra mengusulkan Trigantalpati, adik iparnya menduduki jabatan patih, Prabu Pandudewanata tak kuasa menolaknya.
Kunthi menghetikan pikirannya yang mengembara dari peristiwa yang satu ke peristiwa.yang lain dimasa lalu. Nama Trigantalpati yang kemudian menjadi popular dengan julukan Patih Sengkuni, ternyata telah benyak membuat anak-anaknya sengsara.
Kakanda Prabu Pandu, aku tidak sampai hati melihat anak-anak sengsara. Namun aku juga lebih tidak sampai hati jika aku meninggalkan mereka untuk menyusulmu di alam keabadian. Dosa siapakah ini Kakanda Prabu?. Jika Patih Sengkuni yang diangkat kakanda ternyata telah berulang kali menyengsarakan anak-anak kita. Ditambah lagi saat ini, anak Prabu Tremboko yang telah Kakanda bunuh, sekarang menuntut balas. Besok bersamaan dengan merekahnya fajar Ia yang bernama Arimba akan membinasakan Bima dan saudaranya.
Ibunda Kunthi sangat prihatin, hatinya berduka, melihat anak-anaknya belum bahagia. Ia tidak mengingkari bahwa Pandu suaminya yang dulu menjadi raja besar di Hastinapura, tidak meninggalkan tahta dan kekayaan Hastinapura kepada anak-anaknya, melainkan meninggalkan dua hal buruk yang berdampak kepada anak-anaknya. hal buruk yang nomor satu adalah pengangkatan Patih Sengkuni dan hal buruk yang lainnya adalah membunuh Prabu Tremboko. Kedua hal buruk itulah yang menjadi batu sandungan, bahkan menjadi sumber penderitaan bagi anak-anak Pandudewanata.
Anak-anakku maafkan Prabu Pandudewanata yang telah menimpakan beban kesalahan kepada kalian. Hanya satu kalimat pendek yang meluncur dari bibir Ibunda Kunthi yang kering dan pecah. Tidak ada tanggapan atas kata-kata itu. Semuanya diam dan beku.
Kidungan binatang malam justru semakin jelas terdengar, memecah gelapnya malam. Bersautan tak putus-putusnya, seperti derita yang dialami anak-anak Pandudewanata.
Kidung Malam?72 Kunthi merasakan kesedihannya (karya: Herjaka HS)
Kesedihan Kunthi Mendengar permohonan maaf Kunthi atas kesalahan Pandudewata, Puntadewa dan adik-adiknya menjadi semakin sedih. Sedih bukan karena tidak mau memberi maaf ayahnya yang sudah meninggal, atau sedih bukan pula karena ditinggal Pandu untuk selamanya, namun sedih karena melihat Ibunda Kunthi bersedih.
"Ibunda Kunthi, janganlah Ibunda bersedih karena kesalahan Ramanda Prabu Pandu sewaktu hidupnya. Jika pun aku dan adik-adikku harus ikut menanggung akibat buruk dari perbuatan Ramanda, kami akan menjalaninya dengan ketulusan hati. Bahkan kami berlima mau melakukan apa saja yang diperlukan demi untuk permohonan ampun atas kesalahannya, sehingga Ramanda segera mendapatkan surga mulia."
Bagai diiris sembilu hati Kunthi mendengar pernyataan Puntadewa. Walaupun ada kebanggaan besar atas sifat mulia yang dimiliki anak-anaknya, kesedihan Kunthi semakin mendalam. Dalam kesendiriannya, Kunthi merasa tak berdaya untuk membahagiakan anak-anaknya. Ketika beberapa kali anak-anaknya mendapat sasaran aniaya, ia tak dapat berbuat apa-apa.
Malam menjadi semakin larut. Hutan Waranawata gelap pekat tanpa hadirnya bulan. Beberapa lampu minyak yang dipasang di rumah darurat dari kayu, menari-nari dihembus angin malam. Kunthi dan ke lima anaknya merebahkan diri dalam tidur.
Diwaktu yang sama Arimbi menemui kakaknya Prabu Arimba di kemah pinggir hutan.
"Kakanda Prabu, tidak lebih baikkah jika Kakanda berdamai dengan Bimasena.?" Prabu Arimba tidak segera menjawab. Hatinya sesak dan marah terhadap pertanyaan Arimbi. Bukankah adiknya tahu bahwa ketika upacara wisuda raja, aku bersumpah dihadapan rakyat Pringgandani, bahwa aku akan menagih hutang nyawa kepada Pandudewanata.
"Aku masih ingat, pada waktu penobatan raja, Kakanda berjanji akan mengadakan perhitungan hanya dengan Pandudewanata, tidak kepada anak-anaknya. Bimasena adalah anaknya. ia tidak berdosa, berdamailah dengannya Kakanda"
Benar juga kata Arimbi. Bima tidak bersalah, ayahnya yang bersalah. Tetapi ayahnya sudah meninggal. Tidak mungkin mengadakan perhitungan dengan orang yang sudah mati. Yang mungkin dilakukan adalah mengadakan perhitungan dengan yang masih hidup. Dan wajarlah jika kesalahan dan dosa orang tuanya ditimpakan kepada anaknya. Seperti halnya kepopuleran, kehormatan dan nama baik orang tua, anaknyalah yang ikut merasakan keuntungannya.
"Arimbi aku sudah bersumpah akan mengadakan perhitungan dengan Pandudewanata. Dengan darahnya yang masih mengalir di dalam pribadi anak-anaknya. jika engkau lebih menyayangi Bimasena, berpihaklah kepadanya dan lawanlah aku."
Arimbi menangis. Ia tidak dapat memilih diantara ke duanya. Ia menghormati dan mencintai Arimba sebagai pengganti orang tuanya. Tetapi ia jatuh cinta kepada Bimasena.
Arimba habis kesabarannya. Adik yang sesungguhnya ia cintai tersebut diusir dari hadapannya. Dengan terisak Arimbi meninggalkan Arimba. Arimba menatap kepergian Arimbi dengan dingin. Hingga gelap malam menelan bayangnya.
Tatkala pagi tiba, Arimbi sudah berada di halaman rumah kayu tempat Kunthi dan ke lima anaknya tinggal. Bima menampakan wajah gelap. Tidak senang atas kehadiran Arimbi. Maka kemudian Arimbi diusirnya. Kunthi merasa kasihan kepada Arimbi.
"Sena anakku, jangan memperlakukan sesamamu tidak dengan hormat dan merendahkan martabatnya. Kalau pun engkau tidak senang jangan begitu caranya."
"Ibunda, sejak awal aku sudah mengatakan tidak senang, tetapi ia selalu membuatku risih dan jijik."
Memang akhirnya Kunthi dapat ikut merasakan apa yang dirasakan Bima, maka disarankannya agar Arimbi untuk sementara menjauhi tempat itu.
Matahari belum begitu tinggi.Prabu Arimba bergegas mendatangi Bimasena untuk segera membinasakan.anak-anak Pandu. Gara-gara Arimbi, perang tak kunjung usai. Maka kali ini naluri raksasanya lebih diberi tempat jika dibandingkan dengan sifat kesatrianya. Dengan keganasannya ia ingin secepatnya membinasakan semua keturunan Pandu sebelum matahari sepenggalah.
Bima cukup terkejut dan belum siap mendapat serangan mendadak dari Prabu Arimba. Beruntung ia masih sempat menghindar kesamping dan menusukkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Arimba. Namun dada tersebut sangat ulet, tidak mampu ditembus Kuku Pancanaka. Arimba tak mau melepaskan lawannya, segera ia menyusul dengan serangan berikutnya
Perang dahsyatpun terjadi lagi. Mereka saling serang dan masing-masing berusaha untuk menjatuhkan lawannya. Kunthi, Puntadewa, Harjuna, Nakula dan Sadewa, termasuk juga Arimbi cemas dibuatnya. Sedangkan para pengawal Pringgandani. tenang-tenang saja. Bahkan sesekali diantara mereka melempar senyum ejekan kepada kubu Bimasena.
Arimba mulai mengetrapkan ajian andalannya, maka setahap demi setahap tenaga Bima tersedot. Semakin banyak tenaga yang dikeluarkan semakin banyak pula tenaga yang tersedot.
Herjaka HS Kidung Malam?73 Arimbi yang sudah berubah berparas cantik menghaturkan sembah kepada Bima
(karya herjaka HS) Arimba Gugur Perang tanding antara Prabu Arimba dan Bimasena tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan perang tanding sebelumnya. Ketika Prabu Arimba mulai mengetrapkan ajian andalanya yang dapat menyedot tenaga lawan, maka kekuatan Bimasena susut dengan cepat. Tidak hanya itu, selain dapat menyedot tenaga lawan, ajian andalan Prabu Arimba menjadikan kulitnya alot seperti janget, tidak luka oleh segala macam senjata tajam, termasuk juga kuku Pancanaka.
Bima menyadari bahwa lawannya mulai mengetrapkan ajian andalannya, yang dapat mencuri tenaga lawan dengan tidak diketahui dan dirasakan oleh lawannya. Dua kali Bima menjadi korban ajian tersebut, sehingga ia kehabisan tenaga di peperangan. Untunglah, pada saat itu Arimba tidak mengabiskan Bima pada saat Bima tak berdaya. Namun untuk perang tanding yang ke tiga ini, jauh berbeda dengan perang tanding sebelumnya. Prabu Arimba tidak lagi menampakkan sifat kesatrianya, tetapi menonjolkan naluri raksasa yang ganas. Sepak terjangnya tidak lagi tenang dan mantap, tetapi kasar dan nagwur. Maka jika kali ini Bima sampai kehabisan tenaga di peperangan, pastilah Arimba akan melumatkannya. Bima tidak mau jatuh di peperangan melawan Arimba untuk ke tiga kalinya. Oleh karenanya Bima telah mempelajari bagaimana cara menghadapi ilmu andalan Prabu Arimba, yaitu dengan mengurangi sentuhan langsung dengan badan Arimba. Terlebih pada saat mengeluarkan tenaga besar, karena tenaga yang akan tersedot juga besar.
Selain mengurangi benturan langsung, Bima mengetrapkan ajian Angkusprana, angkus artinya kait dan prana artinya nafas atau angin. Dengan mengetrapkan aji angkusprana, Bima dapat mengkait dan menghimpun kekuatan angin dari Sembilan saudara tunggal bayu termasuk dirinya, yaitu: Dewa Bayu, Dewa Ruci, Anoman, Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda, Naga Kuwara, Garuda Mahambira, dan Begawan Mainaka. Sembilan kekuatan angin yang dihimpun menjadi satu, membuat tenaga Bima mampu bertahan dan mengimbangi aji andalan Arimba. Sehingga perang tanding semakin panjang dan rame. Namun satu hal yang menggelisahkan Bima, bahwa Prabu Arimba tidak dapat luka oleh kuku pusaka Bimasena.
Menjelang tengah hari, Prabu Arimba meningkatkan serangannya dan sangat berambisi untuk segera menghabisi Bima. Bima kesulitan membendung serangannya dan mulai terdesak. Hantaman, tendangan dan gigitan acap kali menghampiri tubuh Bima. Hingga pada akhirnya Prabu Arimba berhasil menguasai Bimasena. Pada saat Bima akan dihabisi, tepat matahari bertahta pada puncaknya, Arimbi berteriak nyaring
"Bima! Tusuk pusarnya!!"
Keduanya sama-sama terkejut. Arimba memandang adiknya dengan ekspresi kemarahan. Jahanam Arimbi! engkau bocorkan titik kelemahanku. Sehabis hatinya mengumpat adiknya, Arimba memandang ke langit, kearah matahari yang persis berada di atas kepalanya. Pada saat itulah, Bima yang berada dalam cengkeramannya memanfaatkan kesempatan. Kuku ditangan Bima modot, muncul keluar dan segeralah ditusukkan di pusar Arimba. Raja raksasa sebesar anak gunung menggerang keras.. Bima kemudian menarik kukunya dan menjauhi lawannya.
Pusar Arimba menganga karena luka. Ia berjalan sempoyongan mendekati Arimbi adiknya. Bumi bergetar-getar karena langkahnya yang berat. Arimbi sangat kecemasan. Ia menanti dan pasrah apa yang akan dilakukan kakaknya, untuk menebus kesalahannya. Kunthi juga mencemaskan keselamatan Arimbi dan memberi isyarat kepada Arjuna untuk waspada. Semua mata tertuju kepada Arimba yang semakin gontai mendekati Arimbi.
Ketika tepat berada di depan Arimbi, raja Raksasa yang tinggi besar tersebut jatuh bertumpu pada dua tangan dan lututnya. Dugaan mereka yang mengamati peristiwa itu meleset. Prabu Arimba tidak menumpahkan kemarahannya kepada Arimbi. Dengan nada berat dan patah-patah ia berpesan kepada Arimbi, untuk menitipkan Negara Pringgandani dan merestui hubungannya dengan Bima yang sakti perkasa dan kesatria.
Tangis Arimbi memecah hutan Waranawata, mengiring gugurnya Kakanda Prabu Arimba, pengganti orang tuanya yang ia hormati dan cintai. Arimbi sangat bersedih, dirinya merasa berdosa, atas kepergian Kakanda Arimba ke alam keabadian
Siang hari itu, di saat matahari sedikit bergeser dari puncaknya, para pengawal Pringgandani membawa pulang rajanya yang sudah tidak bernyawa. Mereka tidak berani mengganggu Arimbi yang telah diwarisi kekuasaan Negara Pringgandani secara lesan oleh Prabu Arimba.
Sepeninggalnya para pengawal Pringgandani, Kunthi mendekati Arimbi, yang telah menyelamatkan nyawa Bimasena dan saudara-saudaranya. Sebagai tanda terimakasihnya, Kunthi membisikan mantra sakti ditelinganya. Dengan sepenuh hati Arimbi mendengarkan dan mngucapkan apa yang dibisikan Kunthi.
Sebentar kemudian keajaiban terjadi, Arimbi si raseksi perempuan berubah menjadi putri cantik, berkulit kuning langsat dengan postur tubuh yang tinggi besar. Naluri lelaki Bima terpana, ia mendekati Arimbi dan Arimbi pun segera menghaturkan sembah.
Semua mata memandang keduanya, dalam hati mereka berkata sungguh mereka adalah pasangan yang pantas dan ideal.
Kidung Malam?74 Kesaktian Bima salah satunya diperoleh ketika berguru kepada Pandita Durna di Sokalima
(karya: herjaka HS) Bima dan Arimbi Bima menundukkan kepalanya untuk menatap Arimbi yang bersimpuh menyembah dan memeluk kaki Bima. Raseksi Arimbi yang sudah menjelma menjadi seorang wanita nan cantik menawan mampu membuat Bima terpana. Jika menuruti nalurinya sebagai lelaki, Bima ingin membungkuk, memegang ke dua pundak Arimbi untuk diangkatnya dan kemudian dipeluknya erat-erat, agar payudaranya menghangatkan dadanya. Jika hal itu yang dilakukan, dapat dipastikan bahwa Arimbi bakal menyambut hangat pelukan Bima. Dikarenakan Arimbilah yang pada awal mula jatuh cinta kepada Bima.
Namun gejolak keinginan Bima tidak dengan serta merta dituruti. Sebagai seorang kesatria Bima berusaha untuk menjaga citranya. Maka dibiarkannya tangan Arimbi memeluk kakinya. Tidak seperti sebelumnya ketika masih berujud rakseksi, Bima merasa jijik dan selalu menghindari Arimbi.
Kunthi, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa memandangi keduanya dengan perasaan senang. Dalam hati mereka sepakat bahwa pasangan Bimasena dan Arimbi merupakan pasangan yang serasi. Mereka juga bersyukur karena Bimasena tidak lagi membenci Arimbi yang telah banyak membatu Kunthi dan para Pandawa.
Arimbi merasa lega karena sembahnya diterima Bima. Titik terang mulai memancarkan harapan bahwa cinta Arimbi bakal diterima Bima. Ketika harapan mulai terbuka, Arimbi memberanikan diri untuk maju selangkah lagi dengan melakukan ngaras pada yaitu mencium kaki Bima. Ketika bibir Arimbi menyentuh kaki Bima, seluruh tubuh Bima bergetar, terutama detak jantungnya yang berdetak semakin cepat. Untuk menormalkan kembali detak jauntungnya, Bima memegang kedua pundak Arimbi, untuk di tarik ke atas, agar bibir yang basah bak delima merekah tidak lagi menempel dikaki Bima. Arimbi menuruti pundaknya diangkat Bima untuk berdiri berhadapan dengan Bima. Ke dua pasang mata saling menatap. Entah apa yang terbaca di palung hati mereka yang terdalam.
Hari-hari selanjutnya, Arimbi mengikuti penggembaraan Kunthi dan Pandawa di hutan Waranawata. Hubungan Arimbi dan Bima semakin intim. Kunthi mencoba membaca perasaan anak-anaknya selain Bima, terutama Puntadewa, apakah ada sesuatu yang mengganjal dihatinya melihat semakin dekatnya hubungan Bima dan Arimbi.
Untuk memastikannya Kunthi menemui Puntadewa secara khusus.
"Puntadewa anakku, seperti yang kita lihat bersama bahwa pertemuannya Bima dan Arimbi bukan aku yang merencana. Demikian kedekatan mereka yang semakin dekat bukan pula karena aku."
"Aku paham Ibunda Kunthi, bahwa semuanya itu telah diatur oleh Sang Hyang Widiwasa"
"Jika demikian tentunya engkau sebagai saudara sulung rela dan ikhlas seandainya adikmu Bima akan mempunyai dua isteri."
"Sungguh Ibunda Kunthi aku rela dan ikhlas."
Kunthi lega mendengar pernyataan Puntadewa, walaupun dibalik kelegaan ada rasa kasihan terhadap Puntadewa.
Hari berikutnya seluruh anggota keluarga termasuk Arimbi dikumpulkan oleh Kunthi. Hal tersebut dilakukan demi membicarakan hubungan Bima dan Arimbi. Pada kesempatan tersebut Kunthi menghendaki agar hubungan antara Bima dan Arimbi diresmikan menjadi suami isteri. Mengingat bahwa diantara keduanya telah terjalin benang asmara yang sedang bertumbuh, saling mengikat dan saling membutuhkan, sehingga jika dipisahkan akan melukai keduanya.
Semua saudara Bima menyetujui kehendak ibu Kunthi. Maka segera setelah memilih hari yang baik bagi pasangan Bima dan Arimbi, mereka diresmikan sebagai suami isteri dengan selamatan yang sederhana.
Perkawinan Bima dengan Arimbi yang adalah bangsa raksasa menyusul perkawian Bima dengan Nagagini yang adalah bangsa ular merupakan wujud bahwa Pandawa Lima bisa manjing ajur ajer, luluh menjadi satu dengan semua golongan manusia. Bima kesatria yang gagah perkasa patuh, sederhana, berani, sakti, dan jujur memang pantas menjadi idaman banyak wanita. Oleh karena kejujuran dan kesederhanaannya Bima tak pernah berpikir yang macam-macam, tak pernah menolak dengan apa yang memang sudah menjadi tugasnya dan kewajibannya.. Hidup ini dijalaninya dengan apa adanya, mung saderma nglakoni hanya sebatas menjalani saja, karena sudah ada yang mengatur. Bagaikan air, Bima mengalir begitu saja sesuai dengan kehendakNya. Oleh karenanya ketika dipertemukan dengan Arimbi yang cantik Bima tak kuasa menolaknya.
Dengan pemahaman tersebut Bima tidak merasa bersikap kurang ajar terhadap Puntadewa kakaknya yang telah dua kali dilangkahi. Bima juga tidak merasa mengkianati Nagagini pada saat ia bercengkerama dengan Arimbi.
Sedangkan dipihak Arimbi Bima adalah segalanya. Hidup bersanding dengan Bima ibarat kejatuhan bulan di saat purnama, mendapat keberuntungan penuh. Oleh karenanya Arimbi tega mengorbankan Arimba Kakaknya demi cintanya kepada Bima.
Namun walaupun Arimbi telah bahagia bersanding dengan pujaan hati, hatinya sedih juga saat mengingat gugurnya Arimba yang sangat menyayangi dirinya. Sesungguhnya Arimbi tidak rela kalau dianggap membunuh kakanya melalui kekasihnya. Yang dilakukan adalah membela yang lemah tak berdaya. Jika akhirnya yang terjadi adalah kematian Kakaknya, itu sungguh diluar perhitungannya. Arimbi tahu bahwa jika Prabu Arimba ditusuk pusarnya ia akan lemas untuk sementara sehingga Bima dapat melepaskan cengkeramannya. Namun ia tidak tahu bahwa pada saat Arimbi berteriak "tusuk pusarnya" tepat pada saat bedug tengange, saat mata hari berada persis dipuncak ketinggian. Saat itulah kulit Arimba menjadi lunak seperti gethuk dan dengan mudah dikoyak dengan benda tajam. Dengan pembenaran tersebut Arimbi memperoleh keringanan beban hatinya.
Beberapa bulan berlalu, Bima dan Arimbi menjalani masa bualan madu.
"Kakanda Bima aku sunguh bahagia karena benih dari buah cinta kita berdua telah tumbuh di rahimku. Aku mendambakan anak laki-laki, agar nantinya dapat mewarisi Negara Pringgondani. Apakah Kanda Bima setuju?" tanya Arimbi manja. Bima menganguk-angguk sembari membetulkan posisi duduknya, agar Arimbi tidak jatuh dari pangkuannya. Angin hutan meniup perlahan mengusap sekujur tubuh mereka yang berpasihan.
herjaka HS Kidung Malam?(75) Hutan Kamiyaka menampakan kelebatannya. (karya: herjaka HS)
Dendam Menjadi Cinta Malam itu bulan penuh. Bintang bertaburan di langit yang tidak berawan, sehingga sinar bulan tak terhalang mencium bumi. Namun tidak untuk bumi di kawasan hutan Waranawata dan hutan Kamiyaka, karena lebatnya daun dan rapatnya ranting pepohonan, akibatnya sinar bulan mengalami kesulitan untuk menembusnya. Hanya sebagian kecil yang dapat menembus lebatnya hutan dan mencium bumi Kamiyaka. Dari sebagian kecil sinar bulan yang masuk hutan Kamiyaka itupun tidak semuanya mengenai tanah, ada beberapa yang terpaksa menerpa wajah dua sejoli yang sedang merenda cinta. Sementara itu Kidung malam yang timbul dari suara aneka macam binatang hutan dan aneka warna serangga membuat malam itu semakin syahdu.
Arimbi sangat bahagia bisa bersanding dan bersatu dengan Bima pujaan hatinya. Ia tidak meyangka sebelumnya bahwa Bima yang tinggi besar perkasa, kekar kaku, berotot, ternyata adalah sosok lelaki yang sangat lembut dan romantis. Saat-saat yang indah tersebut benar-benar ingin dinikmati sepenuh hati oleh Bima dan terutama Arimbi. Kehadiran pohon-pohon raksasa di hutan Kamiyaka ibaratnya payung agung yang memberi rasa aman dan keagungan bagi pasangan Bima Arimbi yang telah dipersatukan dalam cinta yang mendamaikan.
Rasa damai di hati Arimbii diawali ketika pertama kali ia melihat Bima. Niatnya untuk membinasakan Kunthi dan Pandawa urung karena Bima telah lebih dahulu menghujamkan panah asmara ke hati Arimbi. Akibatnya Arimbi jatuh tidak berdaya. Ia bertekuk lutut di kaki Bima.
Rasa damai dengan keturunan Pandu yang ada di dalam hati Arimbi telah ditawarkan kepada kakaknya Arimba, namun dengan tegas Arimba menolak tawaran damai tersebut. Dan oleh karena penolakannya, Arimba gugur di tangan Bima.
Sesaat sebelum gugur, Arimba memasrahkan negara Pringgandani kepada Arimbi adik yang paling tua. Arimbi berjanji dalam hati, bahwa sebelum ia menggantikan Prabu Arimba menjadi raja di Pringgandani, ia akan mencoba menawarkan kedamaian kepada adik-adiknya di Pringgandani dengan keturunan Pandu.
"Kakanda Bima alangkah indahnya hutan ini ketika tidak ada permusuhan di dalam hati. Alangkah bahagianya setiap orang yang mampu menggubah permusuhan menjadi perdamaian, seperti yang kita alami, benarkah kakanda Bima?" kata Arimbi kepada Bima dengan nada manja.
"Iya benar Arimbi. Tetapi kalau ditanya caranya bagaimana?"
"Caranya merubah permusuhan menjadi perdamaian?" tanya Arimbi menandaskan.
"iya" jawab Bima mantap.
Arimbi tidak dapat menjawab. Karena ia sendiri tidak pernah mempunyai rencana untuk merubah permusuhan dengan keturunan Pandu menjadi perdamaian. Pencariannya Arimbi atas keturunan Pandu adalah untuk melampiaskan sebuah dendam kepada pembunuh orang tuanya. Namun ketika bertemu dengan yang di cari, tiba-tiba hatinya dirubah. Ada kuasa besar yang menggunakan Bima dan Kunthi untuk merubah hati Arimbi yang dendam menjadi cinta, bahkan cinta yang tulus.
"Saya tidak tahu Kakanda bagaimana caranya merubah dendam menjadi cinta. Tetapi saya merasakan bahwa yang merubah dendam menjadi cinta adalah, adalah Kakanda Bima," jawab Arimbi sembari memeluk manja. Bima menyambut hangat pelukan Arimbi sembari mengelus-elus kepala Arimbi dengan penuh sayang.
Setelah beberapa saat keduanya bermesraan, Arimbi melepaskan pelukannya dan bertanya kepada Bima "Kalau yang merubah sikap permusuhan Kakanda Bima menjadi cinta kepadaku siapa Kakanda?"desak Arimbi. Walaupun sebetulnya sudah tahu jawabannya, Arimbi ingin mendengar jawaban itu keluar dari mulut Bima yang berkumis lebat.
Pendekar Baja 6 Dewi Ular Gadis Penunggu Jenazah Pedang Keramat Thian Hong Kiam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama