Ceritasilat Novel Online

Last Demigods 1

The Last Demigods Karya Mrseven07 Bagian 1


cerita The Last Demigods karangan MrSeven07 ini di ambil dari http://www.wattpad.com/ .... thank to MrSeven07
PROLOGUE Aku terbangun di suatu gua. Gua itu sangat dingin, membuatku menggigil. Di atap gua, es-es tajam bergantungan, meneteskan air ke rambut pirangku yang acak-acakan, seperti setelah ditiup hairdryer super besar.
Aku tak tahu pasti apakah ini mimpi atau kenyataan. Aku mengenakan kaos biru muda dan celana pendek, persis seperti baju yang aku kenakan sebelum tidur. Aku mencubiti tanganku, berdoa semoga ini mimpi. Aku melihat seberkas cahaya di ujung gua, menurutku itu jalan keluar dari gua menyeramkan ini. Aku berjalan menuju cahaya itu.
Lalu tiba-tiba ada sebuah suara yang mengagetkanku. Jantungku serasa ingin copot saat mendengar suara besar itu.
'Hahaha! Selamat datang, Oliver Blackwood. Aku sudah mengawasimu sejak kau masih bayi. Akhirnya kita bertemu setelah sekian lama."
Suara itu dipenuhi kesenangan, kelicikan, sekaligus kemarahan. Aku menoleh sana-sini untuk mencari darimana suara itu berasal. Tapi tidak ada seorangpun dalam gua itu selain dia.
Lalu, akhirnya aku berhasil bertanya, "Si-siapa kau?! Dimana aku?"
Suara itu hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Lalu dia akhirnya menjawab,
"Aku Hades, Nak. Penguasa Dunia Bawah. Kau berada di salah satu gua di Dunia Bawah. Aku punya misi untukmu."
Mendengar kata 'Hades' saja sudah membuatku merinding. Apakah dewa-dewi Yunani benar-benar ada? Atau apakah ini hanyalah khayalan?
Aku mulai bersikap tenang, dan bertanya ke Hades. "Misi apa?"
Hades langsung menjawab dengan tegas, "Pergilah ke Alaska. Bebaskan Zeus. Dia ditawan Poryphorion, raja para raksasa, yang terkuat. Kau hanya punya 5 hari mulai dari besok."
Dia mengatakan kata Zeus dengan rasa marah dan jijik.
"Mengapa anda menyuruhku melakukan misi ini? Dan mengapa aku harus menuruti perintah anda?" tanyaku, tanpa rasa hormat. Kurasa Hades bakal langsung mengirimku ke Dunia Bawah untuk dihakimi karena sikap kurang ajarku, tapi ternyata tidak.
"Jangan salah, Nak. Aku juga tidak ingin membebaskan Zeus. Tapi tanpa dia, Olympus menjadi kacau balau. Dewa-dewi lainnya bertengkar memperebutkan takhta Olympus. Jika kondisi tidak membaik, anak-anak Gaea akan memanfaatkan kesempatan ini dan memusnahkan dewa-dewi, termasuk aku, untuk selamanya. Mereka juga akan memusnahkan kaum manusia."
Aku masih tidak percaya bahwa dewa-dewi ada, tapi sepertinya aku harus mendengarkan Hades. Kurasa ini masalah serius.
"Lalu, kenapa anda memilih aku untuk menjalankan misi ini? Masih banyak orang di dunia ini yang jauh lebih kuat dari aku. Aku bahkan masih 14 tahun!" teriakku.
"Kami dewa-dewi, memilihmu bukan karena kebetulan. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi kau adalah anakku. Kau seorang demigod, setengah dewa dan setengah manusia."
Aku melongo saat mendengarnya. Jika aku diberitahu seseorang bahwa aku adalah anak Hades, aku akan langsung menamparnya. Tapi jika Hades sendiri yang mengatakannya, ya, berarti benar. Tapi bukan berarti aku percaya. Bagaimana bisa aku adalah anak Dewa? Itu konyol.
"Anakmu?! Bagaimana mungkin?! Ini konyol!" teriakku.
"Mungkin sekarang kau takkan percaya, Nak. Tapi lama-lama kau akan percaya. Sekarang aku harus pergi. Selesaikan misi ini, atau manusia dan dewa-dewi akan musnah. Selamat tinggal, Oliver. Ada sesuatu yang menunggumu. Hadiah dariku."
Aku ingin membentaknya lagi, tapi pandanganku mulai kabur. Lalu semuanya menjadi gelap gulita.
Aku terbangun, badanku dipenuhi keringat. Aku berada di tempat tidurku, bukan lagi di gua itu. Hanya mimpi, pikirku. Aku berdiri dan mencari jam tanganku di meja. Tapi yang kutemukan adalah pedang berlogam hitam metalik sepanjang 1 meter. Ada kartu ucapan di sebelahnya, yang berisi sebuah tulisan. 'Hadiah dariku. Kau akan membutuhkannya.' Tentu saja itu dari Hades. Di gagang pedang itu, ada tulisan 'Gladius'. Kurasa itu nama pedang ini.
Aku mengangkat pedang itu. Pedang itu terasa pas di genggamanku. Logamnya sedingin es di gua itu, tak terlalu berat. Ada hiasan emas di gagangnya. Ini adalah pedang terindah yang pernah kulihat, kalau saja bukan dari Hades. Lalu aku menaruh pedang itu di meja. Tepat setelah aku menaruhnya, ibuku masuk. Dia menjatuhkan nampan berisi makananku. Sereal bertaburan di lantai, susu membasahi lantai. Matanya membelalak saat melihat pedang itu. Dia terlihat syok.
"O-Oliver, darimana pedang itu berasal?" tanyanya dengan rasa khawatir dan takut.
"Hades." jawabku. Aku memperhatikan ekspresi ibuku saat mendengar nama Hades. Dia sepertinya tambah syok.
"Mengapa ibu tidak memberitahuku bahwa ayahku adalah Hades?!" teriakku. Aku tidak peduli apa kata-kataku menyakiti ibu atau tidak.
Pasti ibuku akan menamparku keras-keras atau mengusirku keluar dari rumah. Tapi dia hanya mendesah. Air mata mulai turun dari matanya.
"Oliver, ayahmu adalah dewa. Jika aku memberitahumu tentang itu sebelumnya, pasti pikiranmu akan kacau. Tapi suatu saat pasti kau tahu kebenarannya, dan itu barusan terjadi. Ayahmu adalah dewa sehingga dia tidak bisa terus-menerus bersama kita." jawab ibuku dengan tenang.
Aku tidak bertanya lebih lanjut. Masih ada sejuta pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya, tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya. Lalu tiba-tiba ibuku melanjutkan penjelasannya.
"Kau adalah setengah dewa, Oliver. Kau jauh lebih kuat dari manusia biasa, tapi tetap bisa mati. Di dunia ini, dulu, ada banyak sekali demigod-demigod. Beberapa ada yang terkenal, seperti Napoleon Bonaparte. Dia anak Ares, sang dewa perang. Demigod biasanya mempunyai kekuatan yang supranatural. Tapi sekarang, hanya sedikit demigod yang tersisa, mungkin tidak sampai sepuluh. Beberapa dibunuh monster, beberapa ada yang hilang begitu saja."
Aku mendengarkan penjelasannya dengan detil. Lalu akhirnya aku bertanya, "Lalu apa kekuatanku? Mengubah pangeran menjadi katak?"
Di situasi lain, mungkin ibuku akan tertawa. Tapi ini situasi penting, sehingga dia bersikap serius.
"Aku tak tahu, Oliver. Kau akan mengetahuinya sendiri suatu saat." jawabnya.
"Apakah dewa-dewi Yunani benar-benar ada?" tanyaku.
"Ya, seiring perkembangan zaman, mereka tidak lagi menetap di Yunani. Terlalu berbahaya. Mereka menyamar di dunia manusia. Aku tak tahu mereka tinggal dimana." jelas ibuku.
Lalu ibuku melanjutkan. "Oliver, sekarang dewa-dewi berusaha melindungi anak mereka yang tersisa. Salah satunya adalah dirimu."
Aku hanya mengangguk. Lalu aku menjawab,
"Baiklah, aku ingin pergi keluar sebentar. Terima kasih, bu." jawabku.
Aku meninggalkan pedangku di meja dan memakai jaketku, lalu berjalan keluar rumah. Udara dingin menusuk tubuhku. Sekarang hari Sabtu, dan rumahku terletak di jantung kota Quebec, karena itu wajar banyak sekali orang-orang di jalan. Aku berjalan ke perpustakaan Caldwell, untuk mencari tahu tentang dewa-dewi Yunani. Sambil berjalan, aku memikirkan misi yang Hades berikan kepadaku.
Membebaskan Zeus yang ditawan Poryphorion? Dalam lima hari? Ya, Hades memang gila. Aku bahkan tak bisa menangkap tikus di rumah. Tapi dia bilang jika aku gagal, kaum manusia juga akan musnah. Sulit dipercaya, tapi nasib dunia ada di tanganku. Aku memggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan pemikiran itu.
Akhirnya aku sampai di perpustakaan Caldwell. Perpustakaan ini sangat besar, terbesar kedua di dunia. Pilar-pilarnya terbuat dari batu marmer. Ada dua patung singa di sebelah pintunya. Bangunan ini tampak seperti White House, hanya warna bangunannya yang berbeda. Aku berjalan menaiki tangganya dan memasuki perpustakaan itu.
Bentuk dalam perpustakaan itu juga tak kalah hebat. Puluhan rak-rak buku yang tinggi dan besar memenuhi ruangan ini. Perpustakaan ini memiliki 3 lantai. Lantai pertama adalah perpustakaan, di lantai 2 ada kafe dan restoran, dan di lantai 3 ada toko buku.
"Selamat datang, Oliver. Tumben kau datang pagi." sambut Ms Delia, sang penjaga perpustakaan. Kami akrab. Dia seperti bibiku. Hari ini dia memakai kacamatanya seperti biasa, baju ungu berkerah, dan celana jeans. Meskipun dia sudah berumur 50 tahun, dia tetap tampil modis.
"Halo, Ms Delia. Ya, aku sedang mencari buku tentang mitologi Yunani. Rak nomer berapa ya?" tanyaku dengan sopan.
Ms Delia mengamatiku seakan aku sudah gila. Ya, memang biasanya aku mencari buku tentang teknologi, bukan mitologi Yunani. Setelah beberapa detik, akhirnya dia menjawab, "Rak nomer 43, Oliver. Dekat jendela."
"Terima kasih." jawabku.
"Sama-sama." jawab Ms Delia.
Aku segera menuju rak nomer 43. Tak ada orang di bagian itu. Biasanya, banyak orang-orang yang membaca di dekat rak-rak. Mungkin tidak ada yang tertarik dan percaya dengan mitologi Yunani. Aku mendekati rak itu dan mengambil buku berjudul 'The Real Greek Mythology'. Tulisannya berwarna emas. Buku itu berwarna merah dan berisi sekitar 1000 halaman. Bagian luar buku itu diselimuti debu. Aku membersihkan buku itu dengan bajuku. Lalu aku membukanya pelan-pelan.
Aku melihat daftar isinya. Mataku langsung tertuju pada tulisan 'Bab 35 : Profil dan Kelemahan Para Raksasa (halaman 538)'. Aku langsung membuka halaman 538. Lalu aku mulai membaca. Ada 12 profil, yang menjelaskan masing-masing raksasa. Masing-masing raksasa dilahirkan untuk membunuh dewa-dewi yang berbeda. Alcyoneus dilahirkan untuk membunuh Hades, Polybotes untuk membunuh Poseidon, dll. Lalu akhirnya aku menemukan profil Poryphorion. Raksasa ini adalah yang terkuat, dilahirkan untuk membunuh Zeus. Aku bertanya-tanya mengapa Poryphorion tidak langsung membunuh Zeus.
Aku melanjutkan membaca. Lalu pada bagian bawah halaman itu, ada bagian tentang kelemahannya. Aku membacanya dengan detail. 'Kelemahan Poryphorion : Tidak Diketahui'. Mataku membelalak. Berarti sama saja aku akan bunuh diri saat menghadapinya. Saat aku menutup buku itu, sesuatu terjadi.
Aku melihat keluar lewat jendela. Awan-awan hitam bermunculan. Lalu aku melihat ada 3 pesawat. Tapi semakin mereka mendekat, aku baru sadar bahwa mereka adalah Gorgon, monster yang dikutuk para dewa-dewi.
Parahnya, mereka menuju ke arahku dengan kecepata n penuh.
Saat melihat mereka mendekat, aku langsung menjauh dari kaca. Aku lari ke gerbang perpustakaan. Saat aku berlari, aku melihat orang-orang berteriak histeris dan menyerbu gerbang perpustakaan agar bisa segera keluar. Tapi mataku tertuju pada Ms Delia. Dia berlari menuju rak 2 dan mengambil sebuah belati yang diselipkan di antara buku-buku geografi. Gagang belati itu terbuat dari perunggu. Logamnya juga terbuat dari perunggu dan sedikit melengkung. Belati itu tampak seperti belati Yunani. Lalu dia berteriak padaku, "Lari, Oliver! Jangan sampai mereka menangkapmu! Aku akan memperlambat mereka!"
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" teriakku. Aku tidak ingin melihat Ms Delia dicabik-cabik oleh para Gorgon itu. Apapun caranya, aku harus membantunya. Aku harap aku punya senjata, kecuali pedang dari Hades. Rasanya bakal jijik menggunakan pedang itu.
Para Gorgon menerobos masuk perpustakaan lewat jendela. Pecahan-pecahan kaca berjatuhan ke lantai. Rambut mereka penuh dengan ular. Kuku mereka setajam gigi singa. Kulit mereka sehijau kulit buaya, dipenuhi sisik. Aku punya firasat aku bakalan mati hari ini. Tapi aku tidak ingin mati tanpa perjuangan.
Ms Delia sudah bersiap-siap untuk bertarung. Dia memegang belatinya dengan erat. Aku bertanya pada diriku sendiri darimana dia mendapatkan belati itu, dan mengapa dia sangat ingin melindungiku. Padahal, dia bisa saja keluar dari perpustakaan ini dan tidak kembali lagi. Para Gorgon mulai menerjang ke arah Ms Delia. Mereka menampakkan gigi-gigi mereka yang tajam kepada Ms Delia. Aku segera bersembunyi di belakang salah satu rak.
"Mana anak itu?! Berikan dia pada kami!" teriak salah satu Gorgon.
"Kau harus melangkahi mayatku dulu jika ingin menangkapnya, dasar makhluk terkutuk!" balas Ms Delia. Aku terkesiap melihatnya. Dia tampak percaya diri di saat para Gorgon akan membunuhnya.
"Baiklah. Kami akan nembunuhmu duluan! Mudah-mudahan dagingmu lumayan lezat!" teriak Gorgon itu.
Mereka menerjang ke arah Ms Delia. Salah satu Gorgon mencoba mencakar muka Ms Delia, tapi dia menangkisnya dengan belatinya. Ms Delia bertarung seperti petarung yang sudah terlatih 10 tahun. Kecepatannya sangat memukau. Tapi aku tetap khawatir. 3 Gorgon melawan satu orang tetap saja terlalu banyak.
Salah satu Gorgon melucuti belatinya. Belati itu menancap di rak 15, hanya 2 rak dari rak dimana aku bersembunyi. Ms Delia mulai mundur ke belakang secara perlahan.
"Matilah kau, nenek tua!" teriak ketiga Gorgon itu berbarengan.
Ms Delia menoleh pada arahku, dan dia mengatakan sesuatu padaku tanpa suara seperti : 'Apa yang kau lakukan disini?! Cepat pergi!'.
Tiba-tiba, suatu ide melintas di benakku. Aku lari ke rak 15 dengan cepat. Jika aku bisa sampai disana tanpa terlihat oleh Gorgon-gorgon itu, aku bisa mengambil belatinya. Tapi kenyataannya tidak. Para Gorgon melihatku sebelum aku sampai. Mereka tersenyum dingin kepadaku.
"Akhirnya kau datang juga!" teriak para Gorgon itu.
"Lari, Oliver!" perintah Ms Delia.
Aku mengabaikan mereka dan terus berlari. Akhirnya aku sampai. Tapi salah satu Gorgon mulai terbang ke arahku. Aku mencoba menarik belatinya, tapi belati itu menancap lumayan dalam. Gorgon itu sekarang hanya 2 meter dariku. Aku berkonsentrasi, lalu menarik belati itu sekuat tenagaku. Gorgon itu hanya 50 cm dariku sekarang. Dia membuka mulutnya. Aku menarik belatinya sekuat tenaga dan akhirnya berhasil. Lalu kupotong leher Gorgon itu. Darah mengalir keluar dari lehernya. Lalu kepalanya menggelinding ke belakangku. 2 Gorgon lainnya hanya bisa melongo saat melihat saudaranya mati. Bahkan Ms Delia juga melongo melihatnya.
"Kau, kau membunuh saudara kami! Akan kubunuh kau!" teriak mereka. Sebelum aku sempat bereaksi, mereka sudah terbang ke arahku.
"Oliver, lari!" teriak Ms Delia. Dia berlari ke salah satu Gorgon dan menjatuhkannya. Lalu dia bergulat dengannya. Kemudian Ms Delia berteriak, "Berikan belatinya, Oliver!"
Aku segera melemparkan belatinya ke Ms Delia. Dia langsung menangkapnya dan menusuk dada Gorgon itu. Mati satu lagi. Sisanya tinggal satu. Tapi kelihatannya Gorgon yang terakhir ini lebih lincah dan kuat daripada 2 saudaranya. Saat Ms Delia membunuh saudaranya, dia menoleh belakang sebentar. Lalu dia memutar kepalanya ke arahku lagi. Dia menggeram marah.
"Lihat saja, Oliver. Kau dan teman tua mu itu akan merasakan kemarahanku!" teriaknya.
Aku lari menjauh dari Gorgon itu. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat Ms Delia sedang bertarung dengan Gorgon itu. Gorgon itu menyemburkan api - yang seharusnya tidak bisa dilakukan Gorgon - ke arah Ms Delia. Tapi semburannya meleset karena Ms Delia berguling ke samping dengan lincah. Lalu Ms Delia memotong tangan kiri Gorgon itu. Gorgon itu langsung berteriak kesakitan. Kukira Ms Delia pasti menang, tapi aku salah. Ms Delia menusuk dada Gorgon itu. Tapi setelah kulihat dengan jelas, cakar Gorgon itu juga menembus jantung Ms Delia. Darah keluar dari mulut keduanya. Sang Gorgon jatuh ke lantai dan langsung mati. Ms Delia jatuh juga, tapi dia masih bernapas secara pelan. Aku lari menghampirinya.
"Oliver..cepat pergilah ke Alaska. Bebaskan...Zeus." pinta Ms Delia. Dia batuk darah. Aku menangis melihatnya.
"Kenapa anda mencoba melindungi saya? Anda seharusnya bisa lari. Mereka hanya ingin menangkapku, bukan anda." tanyaku dengan menangis.
"Aku..aku diutus oleh Hades untuk melindungimu, Oliver. Dulu aku adalah mata-mata Hades." jawabnya. Aku kaget mendengarnya. Hades yang menyuruhnya melakukan ini?! Sekarang aku semakin benci pada ayahku. Tapi aku tahu ini bukan saatnya menangis. Sekarang aku punya alasan untuk membebaskan Zeus. Aku bertekad menghajar Gaea karena telah mengutus Gorgon-gorgon itu.
"Apa yang harus kulakukan untuk membebaskan Zeus?" tanyaku. Ms Delia memandangiku, lalu menjawab, "Pergilah ke Teluk Hudson. Disana kau akan tahu apa yang harus kau lakukan selanjutnya."
Teluk Hudson. Teluk itu lumayan jauh dari Quebec. Sekarang sisa waktuku untuk membebaskan Zeus hanya ada 4,5 hari. Bagaimana bisa aku menyelesaikan misi ini?
"Oliver, jangan beritahu ibumu jika kau pergi. Itu akan membuatnya stres. Dia akan tahu sendiri. Pedangmu dan tas ranselmu sudah menunggumu di luar." kata Ms Delia. Lalu dia memejamkan mata dan berbisik, "Selamat tinggal, Oliver." Aku hanya bisa menangis. Dia sudah seperti keluargaku sendiri. Dan dia sekarang mati karenaku. Sekarang aku harus membalas budi padanya.
Aku berlari keluar lewat pintu belakang karena aku mendengar polisi datang lewat pintu depan. Aku melihat pedang dan ranselku persis di depan pintu. Aku mengambilnya. Lalu aku berlari menuju pelabuhan.
Teluk Hudson. Itulah kemana aku akan pergi.
Orang-orang tidak terlalu memperhatikan pedang yang kubawa. Mungkin mereka mengira itu hanya mainan dan tidak berbahaya. Kalau saja mereka tahu yang sebenarnya, pasti mereka bakal menjerit-jerit dan histeris. Sebetulnya aku tak mau membawa Gladiusku. Tapi kurasa aku bakal membutuhkannya dalam perjalananku. Aku berhenti sebentar di depan toko bunga untuk mengecek isi ransel hitamku. Di dalamnya ada botol minum, baju cadangan, sebuah pisau, uang, dan 1 koin emas kuno. Aku tak tahu untuk apa koin emas itu. Tapi kurasa koin ini bakal bermanfaat, jadi kubiarkan di dalam ransel. Aku menutup risleting ranselku dan kembali berjalan ke pelabuhan.
Pelabuhan Quebec tak terlalu jauh dari pusat kota, hanya membutuhkan 10 menit dengan berjalan. Aku bisa melihat pelabuhan itu di depanku. Aku memasukkan pedangku ke dalam ransel besarku dan segera berlari masuk. Tidak banyak orang yang ada di pelabuhan hari ini, hanya beberapa turis dan pengemis. Aku segera menuju loket tiket untuk membeli sebuah tiket menuju Teluk Hudson. Di Teluk Hudson tidak banyak orang yang tinggal disana. Disana hanya ada sebuah kota kecil yang dikelilingi laut, tapi pemandangan dan pantainya sangat indah. Karena itu lumayan banyak turis yang pergi kesana untuk berselancar atau bersantai-santai. Perjalanan ke sana dengan kapal hanya butuh waktu 1 jam.
Tidak ada antrian di loket, untungnya. Aku segera membeli tiket dan naik ke kapal nomer 5. Aku menunjukkan tiket ke kapten kapal dan langsung duduk di kursi depan sendirian. Kapal itu sangat kecil, dan hanya menampung 7 orang, semuanya turis dewasa.
"Bersiap-siaplah! Kita akan segera berlayar!" teriak kapten kapal dari luar. Dia melepaskan tali pengikat dari kapal itu dan segera naik ke dalam kapal. Dia memakai topi bajak laut yang jelas kebesaran, kaos biru bertuliskan 'Kapten Paling Hebat', dan celana pendek tentara. Wajahnya dipenuhi jerawat dan kumisnya sangat tebal seakan tak pernah dicukur. Mungkin memang belum pernah.
Dia memandangi para penumpang termasuk aku. Saat dia melihatku, dia mengangkat alisnya seakan kaget. "Selamat datang, tuan dan nyonya sekalian!" sambutnya. Beberapa penumpang menjawabnya, tapi kebanyakan tidak memperhatikan sambutannya.
Aku memandang keluar lewat jendela. Lautan biru berkilau seperti emas, burung pelikan berterbangan sambil menangkap ikan, dan ada sebuah pulau di tengah. Pasti itu Teluk Hudson. Pulau itu tampak damai, indah, dan sepi. Tidak ada yang aneh disana jika dilihat dari sini. Aku semakin bingung apa yang harus kulakukan setelah sampai disana. Makan ikan cod? Kurasa tidak.
Saat aku memandangi pulau itu, tiba-tiba seekor merpati hitam terbang ke arahku. Dia hinggap di jendela yang terbuka di sampingku. Merpati itu tidak seperti merpati normal lainnya. Matanya merah, menunjukkan rasa marah. Merpati itu membuka sayapnya seakan menunjuk ke arah Teluk Hudson. Aku menoleh ke arah Teluk Hudson dan merinding. Pulau yang tadi indah pemandangannya, sekarang berubah menjadi pulau yang menyeramkan dan dikelilingi asap hitam. Pohon-pohonnya terbakar dan bangunan-bangunannya banyak yang hangus terbakar. Aku menoleh lagi ke merpati itu, tapi dia sudah tidak ada. Penumpang lain di kapal sepertinya tidak memperhatikan pulau yang terbakar itu. Mereka malah mengambil foto. Mungkin mereka tak bisa melihat itu. Mungkin hanya dewa dan demigod yang bisa. Tapi jika mereka juga ke Teluk Hudson, berarti mereka juga dalam bahaya. Aku harus memperingati mereka.
"Putar balik kapal ini! Kita tidak boleh ke Teluk Hudson!" teriakku kepada kapten. Semua orang memandangiku, kebingungan.
"Apa? Kau gila ya?! Memang ada apa di Teluk Hudson?" tanya kapten kapal. Penumpang-penumpang lainnya ikut mengangguk setuju.
"Kita akan berada dalam bahaya jika kita tetap menuju kesana! Mungkin kalian tak bisa melihatnya, tapi di pulau itu ada kebakaran yang besar!" teriakku. Mereka tetap tidak percaya. Hanya ada satu cara untuk menjauhkan mereka dari situ. Aku membuka ranselku dan mengambil Gladius. Orang-orang berteriak histeris, termasuk kapten kapal. Untuk meyakinkan mereka bahwa ini pedang asli, aku mengiris lenganku sedikit. Darah mengalir keluar.
"Dengar, kalau tidak ada yang mau terluka, cepat putar balikkan kapal ini!" teriakku kepada kapten.
Dia memandangi penumpang kapalnya, lalu menoleh ke arahku dengan marah. Lalu dia mengangguk. "Baiklah, tapi turunkan pedangmu dan jangan lukai siapa-siapa." Aku mengangguk, lalu menyimpan pedang itu di ranselku. Kapten kapal berjalan keluar kapal dan membelokkan kapal itu ke arah pelabuhan. Lalu aku keluar dan langsung melompat ke air. Untung tasku terbuat dari kulit, sehingga tahan air. Orang-orang di kapal terkejut melihatku. Saat mereka pulang, aku yakin mereka bakal menceritakan aku ke polisi. Tapi ada masalah yang lebih penting dari itu.
Aku berenang dengan gaya bebas ke arah pulau yang terbakar itu. Apinya semakin besar. Merpati itu memang berusaha memperingatiku. Tapi darimana ia berasal? Aku menebak bahwa Hades yang mengirimnya. Aku sudah semakin dekat dengan Teluk Hudson. Tapi apa yang akan kulakukan disana? Aku bakal terbakar habis, lagipula aku bukan anak Poseidon. Aku tidak bisa menyuruh lautan membasahi pulau itu. Lalu tiba-tiba aku melihat sebuah perahu nelayan menuju arahku.
Di atas perahu kecil itu berdiri seorang perempuan kira-kira seusiaku. Rambutnya pirang, matanya berwarna biru laut, dan dia memakai kaus biru dan jaket ungu. Wajahnya cantik. Dia mengulurkan tangan ke arahku. "Masuklah, demigod. Kau pasti butuh tumpangan kesana." Dia menoleh ke arah Teluk Hudson. Kebakarannya semakin parah. Aku memegang tangannya dan dia menarikku naik. Dia tadi memanggilku...demigod? Bagaimana dia bisa tahu?
"Terima kasih. Bagaimana kau tahu bahwa aku adalah seorang demigod?" tanyaku.
"Karena aku juga seorang demigod, satu-satunya anak Poseidon yang tersisa. Aku disuruh ayahku kesini untuk membantumu membebaskan Zeus. Namamu...Oliver kan? Anak Hades?" tanyanya.
"Iya, kalau kau?" tanyaku.
"Clara. Clara Findels." Dia tersenyum kepadaku.
"Oh. Ngomong-ngomong, apa yang harus kita lakukan sekarang? Ms..eh, temanku bilang aku akan mendapatkan bantuan untuk membebaskan Zeus."
"Akulah bantuanmu, Oliver. Hades hanya ingin engkau ke arah Teluk Hudson, bukan ke pulaunya. Para raksasa dan Titan mengira kau akan kesana jadi mereka menyiapkan pasukan. Hades langsung membunuh mereka dengan membakar pulau itu. Oh ya, perjalanan kita masih panjang. Tidurlah, aku akan mempercepat kapal ini. Kita hanya punya 3 hari lagi." jelasnya.
Aku masih tidak yakin apakah Clara seorang teman atau musuh. Mungkinkah ini hanya perangkap Gaea untuk menangkapku? Tapi aku memutuskan untuk mempercayainya. Entah mengapa, aku merasa dia adalah teman. Jadi aku memutuskan untuk tidur sebentar. Aku menggunakan ranselku sebagai bantal dan langsung tertidur.
"Bangun, Oliver! Kita dalam masalah!" teriak Clara. Aku langsung terbangun dengan kaget dan nyaris terjatuh dari kapal. Clara membantuku berdiri. Clara benar, kami sedang dalam bahaya. Perahu kami dikepung oleh sekitar 10 kapal besar. Di atas kapal-kapal itu berdiri banyak monster, mulai dari Cyclops sampai Centaurus. Semuanya terlihat lapar dan kejam melihat kami.
"Serahkan diri kalian atau kalian akan kami bunuh!" teriak salah satu monster dari entah kapal yang mana. Aku dan Clara sama-sama tidak menjawab. Clara terlihat takut, tapi dia berusaha untuk bersikap tenang dan percaya diri. Aku menggengam tangannya dan berkata, "Semua akan baik-baik saja. Tenang lah." Dia menjawab, "Terima kasih." Lalu dia tersenyum sebentar.
Salah satu kapal menembakkan sebuah meriam ke dekat kapal kami. Perahu kami bergetar dan tubuh kami basah kuyup sekarang. "Itu peringatan bagi kalian, bocah-bocah!" teriak monster lain. Monster lainnya ikut tertawa sehingga laut ini terasa seperti panggung konser rock. Lalu tiba-tiba suatu gagasan muncul di otakku. "Hei Clara, aku punya ide." Aku berbisik ke telinganya secara cepat tentang ideku. Lalu matanya terbuka lebar dan dia berkata, "Ide jenius, Oliver!" Dia memelukku samgat erat sampai aku hampir kehabisan napas. Lalu dia melepaskanku dan berbisik, "Eh, maaf."
Dia mulai melakukan rencanaku. Dia berjalan ke bagian depan kapal. "Baiklah. Kami menyerahkan diri. Tapi kami tidak bisa ke kapal kalian, jadi kirimkan pasukan untuk menjemput kami. Perahu kami macet dan bocor." Seorang Cyclops mengangkat alisnya sebentar, lalu berkata, "Kami akan kirim pasukan sekarang. Buang senjata kalian ke dalam air dulu." Sepasukan monster mulai menuju arahku dengan satu kapal kecil. Aku menoleh kepada Clara dan bersama-sama mengangguk.
"Ayo sini naik!" teriak salah satu monster. Lalu Clara dengan sengaja menjatuhkan diri sambil merintih ke sakitan dan memegangi pergelangan kakinya.
"Kakinya terkilir! Naiklah ke kapal kami dan bantu dia berjalan!" teriakku. Tanpa pikir panjang, 2 Cyclops menaiki kapalku yang jelas kelebihan bobot sekarang.
"Jangan naik!" teriak komandan monster-monster itu. Tapi dia terlambat.
Kapal kami mulai bergetar hebat. Aku menginjakkan kaki keras-keras ke bawah dan kapal kami langsung ambruk. Aku, Clara, dan 2 cyclops tadi tercebur ke laut. Untung aku dan Clara sama-sama bisa berenang dan bernapas di air. Aku membuka ranselku dan mengambil Gladiusku. Lalu aku menusuk salah satu cyclops yang kesulitan berenang karena bobotnya. Clara mengangkat kedua tangannya dan air pun menghempaskan cyclops satunya dan dia langsung hilang dari pandangan kami. Aku beruntung mempunyai anak Poseidon sebagai sekutuku. Aku juga merasa malu karena aku belum tahu kekuatanku.
Aku dan Clara langsung menyelam sejauh mungkin dari monster-monster itu. Setelah sudah mencapai 10 meter, kami berenang ke atas dan istirahat sejenak. Kapal-kapal penuh monster itu masih berada di sana, tak bergerak. Mereka pasti kehilangan jejak kami. Tapi jangan remehkan mereka, indra penciuman dan pendengaran mereka sangat tajam.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan? Vancouver masih jauh dan kita tak punya kapal." tanyaku putus asa.
"Aku tak tahu, Oliver. Waktu kita tinggal sedikit." Dia menunduk putus asa lalu menangis. Melihatnya menangis, aku otomatis memeluknya dan menepuk bahunya.
"Hei, tenang. Jangan menyerah dulu." Saat selesai bicara, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku cepat-cepat membuka ranselku dan mengambil koin emasku. "Clara, kau tahu benda apa ini? Fungsinya buat apa sih?"
Saat melihat koin yang kupegang, dia langsung bersemangat lagi. Dia meerebut koin itu dari tanganku. "Koin Drachma! Ini koin yang digunakan sebagai mata uang Yunani dahulu kala! Aku punya ide sekarang!" ujarnya. "Terima kasih, Oliver." Dia tersenyum kepadaku. "Sama-sama." jawabku.
Lalu Clara melakukan sesuatu yang membuatku melongo kaget sekaligus bingung. Dia melemparkan koin itu ke dalam air, lalu mengucapkan sesuatu seperti doa, "Ayah, tolong bantu kami. Kirimkan pegasusmu." Kami menunggu selama 15 menit, dan tidak terjadi apa-apa. Lalu sebelum aku sempat mengeluh, seekor pegasus muncul dari dalam air. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa.
Pegasus itu sangat rupawan! Tubuhnya berbulu putih, rambutnya berwarna pirang, dan matanya sebiru laut. Dia mengepakkan sayapnya dan menunduk. Clara menarik tanganku dan kami berdua cepat-cepat menaiki pegasus itu.
"Kita harus cepat pergi dari sini sebelum monster di ka-" Clara tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Lihat! Mereka disana! Tembakkan meriam!" teriak salah satu monster di kapal yang terpisah sejauh 10 meter dari kami. Aku dan Clara melihat sebuah tali kekang yang terikat pada pegasus itu. Clara cepat-cepat menarik tali kekang itu dan pegasus itu pun terbang menjauh tepat sebelum meriam mengenai kami. Meriam-meriam besar terus ditembakkan oleh monster-monster itu. Untuk pegasus yang kami tumpangi sangat lincah. Dia terbang dengan cepat sambil menghindari meriam-meriam itu hingga akhirnya kami sudah sangat jauh dari monster-monster itu. Aku mulai rileks, begitu juga Clara. Aku terkesan dengan caranya menunggangi pegasus.
"Kau sangat mahir dalam menunggangi pegasus, Clara." bisikku.
"Terima kasih." jawabnya dengan santai. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya, tapi aku samgat yakin dia sedang tersenyum.
"Jadi, kemana kita nanti saat sudah tiba di Vancouver?" tanyaku.
"Aku tidak tahu." jawabnya dengan murung.
Perjalanan kami menghabiskan waktu sekitar 1 setengah jam. Pegasus yang kami tumpangi sama sekali tidak lelah, padahal kami sudah muntah berkali-kali. Kami akhirnya sampai di Pelabuhan Vancouver. Begitu sampai, si pegasus langsung menurunkan kami lalu terbang meninggalkan kami dengan kecepatan supersonik. "Aku bakal merindukannya." ujar Clara dengan nada sedih." "Aku juga." balasku. Aku dan Clara segera mendatangi sebuah kafe di pelabuhan itu. Jam dinding disana menunjukkan pukul 07.00 pagi. Kami hanya punya 2 hari untuk menyelesaikan misi ini. Kami cepat-cepat memesan makanan. Aku memesan panekuk dan kopi hangat, sedangkan Clara memesan telur dadar dan coklat panas.
Makanan kami tiba dengan cepat. Kami langsung menghabiskannya dengan cepat karena sangat kelaparan. Aku melihat sekelilingku. Orang-orang di kafe itu tidak banyak, hanya sekitar 5-8 orang. Mereka semua membaca koran, kecuali satu orang. Dia duduk sekitar 3 meja dari kami. Rambutnya hampir botak, badannya agak gendut, dan dia mengenakan jas kerja dan dasi yang formal. Tapi yang membuatku merinding adalah, dia sedang memperhatikan kami sambil tersenyum dingin. Clara melihatku merinding dan bertanya, "Kau kenapa? Kok tiba-tiba merinding?" Aku tidak menjawab Clara meskipun aku mendengarnya. Aku melekatkan pandanganku pada orang gendut itu. Aku baru mengalihkan pandanganku setelah Clara menamparku dengan keras. Ternyata dia juga emosional. Aku memelototinya dan protes, "Hei! Sakit tahu!"
"Maaf, maaf. Tapi kau belum menjawabku!" balasnya. Saat dia marah, mukanya menjadi merah dan dia seakan bertambah cantik.
"Oke, Clara. Aku akan menjawabmu. Kau lihat orang di meja seberang sana?" Aku menunjuk kepada meja dimana orang gendut tadi duduk.
Clara menoleh dan mengerutkan kening, lalu menjawab, "Ya, dia..dia memandangi kita." Aku mengangguk.
Tiba-tiba, orang itu bangkit berdiri dan berjalan pelan ke arah kami. Jantungku berdebar kencang karena takut. Aku rasa Clara juga merasakan hal yang sama karena dia mulai berkeringat. Dia tersenyum dingin kepada kami dan menaruh sebuah amplop di tengah meja kami. Lalu dia berjalan menjauh dan keluar dari kafe itu entah kemana. Clara segera membuka amplop itu dan mendapatkan sebuah kertas. Clara membaca isi kertas itu dengan pelan : TEMUI AKU DI PANTAI. BERJALANLAH SEKITAR 2 METER DAN KAU AKAN SAMPAI.
Begitu Clara selesai membacanya, dia langsung menoleh kepadaku dengan panik. "Apa yang harus kita lakukan, Oliver?" Aku terdiam sejenak. Aku tidak bisa memutuskan. Jika kami mendatanginya, kami akan menanggung risiko dibunuh karena kami tidak tahu apakah dia seorang musuh atau teman. Tapi mungkin saja dia bisa memberi bantuan kepada kami. Saat aku sedang pusing memikirkannya, tiba-tiba sebuah suara muncul di pikiranku. Itu bukan suara Hades atau siapapun yang pernah kukenal. "Temuilah dia." kata suara itu. Singkat, tapi maknanya jelas. Aku harus menemui pria itu. Entah bagaimana, suara itu sangat persuasif. Aku menoleh ke arah Clara dan memutuskan, "Kita harus menemui pria itu." Dari ekspresi wajahnya, kurasa dia sedang berpikiran bahwa aku sudah mulai gila. "Percayalah padaku." ujarku dengan tegas. Dia akhirnya mengangguk.
Aku menaruh 10 dollar di meja dan langsung keluar dari kafe. Jauh di depan, aku dapat melihat lautan biru yang luas. Aku dan Clara segera berlari menuju pantai. Beberapa kali kami menabrak orang-orang dan mereka marah-marah, tapi kami tidak memedulikannya. Aku dan Clara akhirnya sampai. Clara menunjuk ke depan, dan di situlah orang gendut tadi duduk. Pantainya sepi, hanya ada dia, yang menurutku tidak masuk akal karena ini hari Minggu dan biasanya orang-orang pergi ke pantai untuk berjemur. Kami menghampirinya dan dia langsung menoleh dan berkata, "Duduklah." Kami menurutinya. Orang yang tadinya bersikap dingin, sekarang malah bersikap ramah. Dia tersenyum kepada kami dan membuka tasnya.
"Kau pasti heran siapakah aku. Baiklah, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Hermes." katanya. Sejenak aku dan Clara kaget.
"Her-Hermes? Kok nama anda persis seperti nama dewa pengantar pesan dan pencuri?" tanya Clara dengan bingung. Orang itu hanya tertawa mendengar pertanyaan Clara. Lalu akhirnya dia menjawab, "Aku memang seorang dewa, nak. Dewa Hermes. Hanya saja aku sedang menyamar menjadi manusia. Clara dan aku hanya bisa bengong.
"Aku kesini untuk memberimu sedikit bantuan. Pertama-tama, ambil ini. Sarung pedang ini untukmu, Oliver. Sedangkan busur dan kantong panah ini untukmu, putri Poseidon." ujarnya. Dia pasti membenci Hades, sama sepertiku, karena dia tidak memanggilku 'putra Hades'.
Clara segera mengambil busur panah itu dan menyandangkan kantong panah itu di punggungnya. Dia kelihatannya senang memanah. Aku mengambil sarung pedang itu dengan ragu-ragu dan memasukkan pedangku ke dalamnya. Lalu aku juga menyandangkan sarung itu ke punggungku.
"Jadi, bantuan apa yang akan engkau berikan, Tuan?" tanya Clara dengan sopan. Hermes memandanginya sejenak, lalu menjawab, "Aku bisa memberitahumu cara untuk membunuh Poryphorion. Tapi cara ini..sangat beresiko dan tak pernah dicoba sebelumnya."
Begitu mendengar kata 'beresiko', aku langsung merinding. Kelihatannya Clara juga. Hermes sepertinya telah membaca pikiranku. "Takut, Oliver?", tanyanya. Dia tersenyum dingin. Aku mengepalkan tanganku lalu menjawab, "Tidak. Beritahulah kami apa cara itu." Selama sedetik Hermes terlihat kaget, lalu akhirnya dia mengangguk.
"Kau punya keberanian, bocah. Kau akan butuh itu. Baiklah, akan kuberitahu caranya. Bumi akan hancur jika intinya dihancurkan, benar kan?"
"Tentu saja. Lalu?" jawabku.
"Teori itu berlaku pada Poryphorion. Tapi ada satu masalah."
"Apa itu?" tanya Clara dengan cepat.
"Inti bumi tidak diketahui lokasinya. Begitu juga dengan Poryphorion. Bahkan dewa-dewi sekalipun tidak tahu intinya. Tapi ada satu cara untuk mengetahui lokasinya dan menghancurkan inti Poryphorion. Pergilah ke para penyihir di Gunung Canadian Rockies. Waspadalah terhadap mereka. Jika tidak, nyawamu bisa diambil oleh mereka."
"Apa tidak ada cara lain?" tanya Clara. Hermes hanya menggeleng.
"Baiklah, kami akan pergi kesana." ujarku dengan percaya diri. Aku berpikir Clara bakal menentangku, tapi ternyata dia malah mengangguk setuju."
"Baguslah. Oh ya, Oliver. Akan kunasihati kau. Jangan mudah percaya." Lalu dia mengedipkan mata dan menghilang begitu saja.
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan 'Jangan mudah percaya.' Akankah ada orang dekat yang akan mengkhianatiku? Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengenyahkan pemikiran itu.
"Ada apa Oliver? Kau terlihat murung." tanya Clara.
"Eh, tidak apa-apa. Kita harus segera pergi ke Canadian Rockies. Sekarang sudah jam 12. Waktu kita tinggal sedikit."
"Oke." jawab Clara.
Aku tersenyum kepadanya, lalu kami berdua berlari menuju stasiun yang hanya beberapa meter dari pelabuhan.
Kereta terakhir ke Canadian Rockies berangkat pada jam 1 siang karena hari ini cuaca kurang bagus. Kami memesan 2 tiket, lalu membeli beberapa soft drink dan keripik kentang. Stasiun Vancouver sangatlah besar. Stasiun itu seperti airport. Ada bermacam-macam toko, kafe, dan lain-lain. Kereta berangkat masih satu jam lagi, jadi kami memutuskan untuk melihat-lihat sebentar. Clara membeli jaket Adidas baru berwarna ungu dan langsung memakainya. Sedangkan aku membeli sepatu baru karena sepatu yang kupakai sudah jebol.
"Jadi, bagaimana hidupmu sebagai seorang demigod?" tanyaku.
"Aku baru mengetahui bahwa ayahku adalah dewa saat aku masih kelas 4 SD. Pertama memang sulit menerima itu, tapi lama-kelamaan kemarahanku reda juga. Aku baru menemukan kekuatanku sekitar 6 bulan lalu. Aku belum terlalu mahir mengendalikannya, Oliver." jawab Clara dengan santai.
"Oh, jadi-". Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba ada sebuah ledakan di depan kami. Stasiun dipenuhi dengan asap yang membuatku sesak napas. Saat asap mulai reda, aku dapat melihat seorang monster besar bertangan seratus yang tingginya kira-kira 3 meter. Monster itu mirip Cyclops. Mereka sama-sama bermata satu, hanya saja monster ini bertangan seratus yang berarti dia seratus kali lebih kuat daripada Cyclops. Monster tangan seratus ini mengenakan baju tempur perunggu dan membawa sebuah kapak besar. Meskipun kami berdua dan dia hanya seorang diri, tetap saja dia jauh lebih kuat dari kami. Matilah kami, pikirku.
Orang-orang di stasiun berhamburan keluar yang untungnya tak dijaga monster. Mungkin monster ini memang hanya ingin menangkap kami. Sekarang hanyalah kami bertiga yang tersisa. "Dimanakah kau demigod?! Blane akan menghancurkan kalian!" teriak monster itu yang kuduga namanya Blane.
Clara mengeluarkan busurnya dan langsung mengisinya dengan dua anak panah, lalu berteriak "Disini, makhluk bodoh!"
Blane langsung menoleh ke arah kami. Begitu dia menoleh, Clara langsung melepaskan dua anak panah itu ke dadanya. Anak panah itu menancap di baju tempurnya, tapi tidak dapat menembus dadanya. Si tangan seratus hanya tertawa. "Hanya itu saja?"
Aku segera mengeluarkan Gladiusku dan berlari menuju Blane. Dia mengayunkan kapaknya ke arahku, tapi aku menunduk dan terus berlari. Blane menggunakan tangan kirinya yang kosong untuk meninjuku tapi tangannya tersangkut di dalam tanah. Sekarang giliranku. Aku melompat ke atas tangannya yang tersangkut dan berlari di atasnya. Blane menggeram marah, tapi sekarang dia tidak bisa melakukan apa-apa. Aku melompat ke arah mukanya dan menancapkan pedangku di matanya. Ichor, atau darah kaum abadi yang berwarna keemasan langsung menyembur keluar dari matanya. "AAAHHH!" teriak Blane. Clara bersorak gembira di belakangku. Tapi aku tahu kami belum menang. Blane terhuyung-huyung ke belakang, dan terjatuh.
"Kerja bagus, Oliver!" teriak Clara. Dia berlari dan memelukku.
"Belum selesai, demigod!" teriak Blane yang sekarang sudah berdiri tegak lagi. Dia melemparkan kapaknya ke arah kami. "Awas!" teriakku kepada Clara. Aku mendorong Clara menjauh, tapi akhirnya kapak itu menyayat punggungku. Rasanya sakit sekali, seperti dicabik-cabik. Aku jatuh sambil mengerang kesakitan. Clara berlari menujuku dan membilas lukaku dengan sedikit air. Melihatku tak berdaya, Blane hanya tertawa dingin. "Sekarang giliranmu, putri Poseidon!"
Clara menggeram marah padanya, lalu mengisi busurnya dengan sebuah anak panah. Lalu diluncurkannya anak panah itu ke leher sang monster. Memang anak panah itu tak cukup untuk membunuhnya, tapi cukup untuk menyakitinya. Blane mencabut anak panah itu dari lehernya dan melemparnya ke samping. "Sayang sekali demigod, padahal aku ingin menghabisimu sekarang juga, tapi bosku hanya ingin aku menangkap kalian." ujarnya. Lalu dia bersiul sangat keras dan dalam sedetik masuklah pasukan monster dari segala penjuru stasiun. "Tangkap mereka!" perintah Blane.
Clara berbisik kepadaku, "Lari, Oliver. Aku akan memperlambat mereka." Aku menggelengkan kepala, dan berkata, "Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu."
Clara tersenyum padaku, lalu meyakinkanku, "Percayalah padaku. Aku bisa menjaga diri." Aku tidak ingin meninggalkannya sendirian, tapi dia benar. Waktu kami tinggal sedikit, dan kami harus segera menbebaskan Zeus sebelum pasukan monster menghancurkan Olympus dan juga kaum manusia. Aku mengangguk pada Clara, lalu berlari ke pintu keluar stasiun dengan Gladius di tanganku. Ada 5 monster yang menjaga pintu keluar, dan secara bersama-sama mereka menyerangku. Aku memotong leher salah satu monster dan menebas monster lainnya dengan mudah. "Tangkap dia! Jangan sampai dia kabur!" perintah Blane. Lebih banyak monster menuju ke arahku dengan cepat, tapi Clara langsung menjatuhkan mereka dengan anak-anak panahnya. Selama sedetik aku menoleh ke Clara, melihatnya bertarung dengan banyak monster hanya dengan busurnya. Lalu aku berlari keluar dari stasiun.
Mobil-mobil polisi sudah mengelilingi stasiun sekarang, dan juga ada banyak wartawan. Saat mereka melihatku berlari keluar, ada ribuan pertanyaan yang diajukan ke arahku tentang apa yang terjadi di dalam. Tapi aku mengabaikan mereka dan terus berlari entah kemana. Dari jauh, aku tetap bisa mendengar pertarungan yang berlangsung di dalam sana. Aku memikirkan Clara, yang hanya seorang diri melawan monster-monster itu. Aku berhenti berlari, dan duduk di trotoar jalan, memikirkan apa yang harus kulakukan sekarang. Kulihat jam dinding di jalan, yang menunjukk an pukul 14.00 . Saat aku sedang sibuk memikirkan car a untuk pergi ke penyihir di Canadian Rockies, tiba-tiba seseorang berjalan di depanku dan melemparkan sebu ah gulungan kertas. Saat aku menoleh ke orang itu, tib a-tiba dia sudah hilang. Aku membuka gulungan itu dan menemukan sebuah puisi di dalamnya. Isinya seperti ini :
Tik tok tik tok, Hanya satu setengah hari yang tersisa,
Untuk membebaskan sang dewa,
Dari rantai maut yang mengikatnya,
Pergilah temui para penyihir,
Bukan dengan daratan tapi dengan lubang maut,
Yang terletak di suatu tempat,
Tempat yang tak pernah kosong tapi juga tak pernah ramai.
Sekarang aku mengerti. Aku tak bisa pergi ke Canadian Rockies dengan kereta. Satu-satunya jalan untuk pergi kesana adalah dengan lubang hitam, alat teleportasi milik Hades. Tapi dimana lubang itu? Apa maksud dari 'tempat yang tak pernah kosong tapi juga tak pernah ramai' ? Setelah berpikir keras, akhirnya aku menemukan jawabannya. Lalu aku segera pergi ke tempat itu.
Hotel Mason. Itulah tempat yang dimaksud dalam puisi itu. Hotel itu tak pernah kosong dulu, karena sangat banyak turis yang menginap disitu. Tapi semenjak kebakaran yang menewaskan semua turis di hotel itu, hotel itu tak pernah ramai lagi, malahan sekarang sudah ditutup. Aku naik taksi ke hotel itu dan membayar supirnya 2x lipat karena awalnya dia tidak mau mengantarku kesana. Ya, bisa dibilang aku menyuapnya.
Hotel itu sudah terlihat kuno dan kotor. Pilar besinya berkarat dan temboknya dipenuhi rayap. Pintu masuk hotel itu dikunci dengan rantai. Aku memotong rantai itu dengan mudah menggunakan pedangku. Kudorong pintu itu dengan susah payah dan menutupnya lagi. Hotel itu benar-benar sudah tidak terawat. Lampu-lampunya tidak bisa menyala, banyak kaca pecah, dan furnitur-furniturnya banyak yang sudah kusam dan robek-robek.
"Selamat datang di Hotel Mason!" sambut seorang wanita di meja lobi. Dia terlihat cantik, tapi sangat mungil.
Aku nyaris melompat kaget saat dia menyambutku. "Eh, kukira hotel ini kosong."
Si wanita itu mendesah. "Ya, sekarang hanyalah aku yang tersisa. Aku sangat mencintai hotel ini jadi kuputuskan untuk tinggal. Terkadang, ada beberapa turis yang datang untuk mengambil foto."
Aku semakin bingung. "Siapakah anda?"
Wanita itu tersenyum ramah kepadaku. "Oh, maaf. Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Liz. Karena kau se orang demigod, aku akan memberikan sedikit bocoran. Aku adalah seorang peri angin."
"Pe-peri angin?" tanyaku dengan terbata-bata.
"Ya, tentu saja manusia biasa tidak mengetahui itu. Oh ya, mengapa kau datang kesini?" tanyanya dengan curiga.
Aku mendekatinya, lalu menjawabnya, "Aku ingin menemukan lubang hitam milik Hades."
Saat mendengar kata 'lubang hitam', mata Liz langsung membelalak. Lalu dia berkata, "Kau tidak boleh melakukan itu, demigod. Itu sangat berbahaya."
"Berbahaya? Maksudmu?" tanyaku.
"Ya, terakhir kali seorang demigod menggunakan itu, dia malah menemui ajalnya. Hades bisa sangat menipu." jawabnya dengan murung.
"Tapi aku adalah anaknya. Anak Hades." ujarku dengan terpaksa.
"Itu tidak akan mengubah apapun. Hades hanya memedulikan dirinya sendiri." jawab Liz dengan dingin.
"Tolonglah aku. Bantu aku untuk menemukan lubang itu. Kumohon." paksaku.
"Hmm..baiklah. Tapi kuingatkan sekali lagi, resikonya sangat tinggi. Nyawamu lah tanggungannya." katanya.
Dia menuntunku masuk ke sebuah gudang di bawah tanah. Baunya sangat menyengat. "Tunggu sebentar." perintah Liz. Dia membuka sebuah peti dan mengambil sebuah buku tebal-yang kuduga buku sihir-dari peti itu. Lalu dia membuka buku itu dan membacakan sebuah sihir. Dalam sedetik, muncullah sebuah lubang hitam besar yang seperti portal.
"Ingat, kau harus berkonsentrasi dan sangat fokus. Foku skan pikiranmu pada tempat tujuanmu, dan kau akan s ampai. Tapi jika kau tak fokus, kau malah bisa menuju ajalmu sendiri." perintah Liz.
Aku mengangguk, lalu berterima kasih padanya. Lalu aku masuk ke dalam lubang itu.
Lubang itu sangatlah membuat kepalaku pusing. Ada banyak suara-suara aneh yang mengisi pikiranku. Aku mencoba tetap fokus, tapi lubang itu sangat menganggu konsentrasiku.
Tapi aku memikirkan Clara yang dalam bahaya, Ms Delia yang mati karenaku, dan ibuku yang pasti sangat khawatir. Akhirnya aku bisa fokus pada tujuanku. Ya, tak ada yang bisa menghalangiku sekarang.
Aku terjatuh dari lubang itu. Kepalaku sangat pusing seolah dunia berputar di depanku. Saat aku sudah mulai bisa fokus, aku dapat melihat rumput dan pohon hijau mengelilingiku. Aku berdiri, dan melihat sebuah tulisan di batang pohon di depanku. 'Selamat Datang Di Canadian Rockies'.
Aku mengepalkan tanganku. Sekarang saatnya ke para penyihir.
Sudah tidak ada lagi turis yang mendaki di Canadian Rockies karena hari sudah sore. Hanya aku yang tersisa. Aku berjalan terus entah kemana. Jujur, aku tidak tahu dimana para penyihir itu berada. Matahari semakin terbenam selagi aku berjalan. Luka di punggungku terasa semakin nyeri dan sakit.
Kuputuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang besar. Kubuka ranselku dan meminum sedikit air dari botol minumku. Lalu aku mengambil Gladiusku dan meletakkan ranselku di tanah. Aku memanjat sebuah pohon apel dengan lincah. Untung dulu saat kecil aku ikut pramuka, sehingga mendaki adalah hal yang mudah bagiku.
Aku memotong dahan-dahan pohon itu dan menjatuhkan beberapa apel ke tanah. Lalu aku melompat turun dan membawa apel itu ke tempat ku beristirahat. Apel itu berwarna merah dan sangat menggodaku. Jadi kumakan apel-apel itu dengan lahap.
Tapi lama-kelamaan kepalaku terasa sangat pusing. Lalu aku menyadari sesuatu. Apel-apel yang kuambil tadi pasti beracun! Sial. Aku memuntahkan apel-apel itu, tapi sudah terlambat. Racun di apel itu sudah memasuki tubuhku dengan cepat. Aku langsung pingsan.
--------------- "Oliver!" teriak seseorang yang suaranya kukenali.
Mataku perlahan-lahan terbuka dan melihat tubuh Clara diikat dengan rantai. Dahinya terluka dan pakaiannya compang-camping. Tangan dan kakinya juga diikat dengan rantai. Matanya bengkak seperti habis dipukuli.
"C-clara...apa yang terjadi? Dimana kita?" tanyaku. Pandanganku masih kabur.
"Aku tak tahu dimana kita berada. Tapi aku mendengar mereka menyebut tempat ini 'hutan terkutuk'. Blane menggunakanku sebagai umpan agar kau kesini. Oliver, dimana kau? Sosokmu kabur seperti hologram." jawabnya.
"Aku di Canadian Rockies, mencari para penyihir." jawabku.
Tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang sangat keras sehingga tanah yang kuinjak bergetar.
"Cepat, Oliver. Cari para penyihir. Para monster sedang melacakmu." perintah Clara.
"Clara..." bisikku.
Pandanganku mulai kabur. Lalu semuanya menjadi gelap gulita.
------------- Aku terbangun. Tidak lagi bersama Clara, tapi di Canadian Rockies. Aku mencoba duduk tegak dan melihat seorang laki-laki seusiaku berambut pirang yang badannya kekar sedang mencuci tangannya. Dengan cepat aku berguling ke samping dan mengambil Gladiusku.
"Siapa kau?!" teriakku.
Lelaki itu mendekatiku sambil membawa sebuah botol berisi cairan putih dan menjawab, "Tenang, Oliver. Namaku Marvel. Anak Ares terakhir." jawabnya.
"Apa isi botol itu?" tanyaku.
"Racun yang ada di tubuhmu. Aku baru saja selesai mengambilnya. Kau hampir saja mati jika aku tak datang." jawabnya.
"Terima kasih. Tapi apa yang kau lakukan disini? Sekarang sudah malam." tanyaku.
"Kudengar kau diberi misi yang sangat berat dan kujamin kau pasti tak bisa bertahan hidup sendirian. Jadi aku kesini untuk membantumu. Aku sudah melacakmu selama berhari-hari, dan akhirnya aku menemukanmu. jawabnya.
Meskipun dia terdengar sombong, tapi dia benar.
"Bagaimana aku bisa percaya bahwa kau adalah sekutuku?" tanyaku dengan curiga.
Marvel tertawa. "Jika aku musuhmu, kau pasti sudah mati sekarang juga."
"Baiklah. Aku percaya padamu. Sekarang apa yang harus kita lakukan? Temanku Clara sedang ditawan di hutan terkutuk." ujarku.
Marvel langsung kaget mendengarnya. "Hutan terkutuk? Itu sangat jauh dari sini! Waktu kita tinggal sedi-"
"Tidak! Kita harus menyelamatkan Clara!" potongku.
Marvel mendesah. "Pikirkanlah Oliver. Kau harus memilih. Selamatkan temanmu, atau selamatkan dunia."
Aku putus asa. Aku mencoba mencari solusi, tapi aku tidak bisa. Saat aku sedang berpikir, tiba-tiba ada suara geraman dari belakang semak-semak. Seekor serigala muncul. Matanya berwarna kuning dan giginya penuh dengan darah.
Aku memegang erat pedangku, sementara Marvel mengambil tombaknya. Kami saling berdekatan. Sekawanan serigala mulai datang mengelilingi kami.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.
"Satu-satunya jalan sekarang adalah........bertarung." ujar Marvel.
Satu demi satu serigala menyerang kami. Seekor serigala mencabik-cabik ranselku, tapi lehernya langsung kupenggal. Marvel melempar tombaknya dan langsung menghabisi 2 serigala sekaligus.
Kami terus menghabisi mereka, tapi mereka terus berdatangan dalam jumlah yang banyak. Akhirnya aku mulai lengah dan seekor serigala menggigit lengan kiriku. Aku mengerang kesakitan, dan dengan cepat Marvel langsung menusuk punggung serigala itu.
"Kita harus pergi! Kita tidak mungkin menang, kita kalah jumlah!" teriak Marvel. Dia menarik lenganku dan kami pun langsung berlari. Serigala-serigala itu mengejar kami.
Akhirnya kami menemukan sebuah gua yang dalam dan gelap. "Masuklah! Aku akan mengalihkan perhatian mereka!"
Aku mengangguk dan segera masuk. Marvel pun langsung berlari mengalihkan perhatian mereka.
Aku mengamati gua itu. Aneh, gua ini terasa sangat familier. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu....
Gua ini...sangat mirip dengan gua yang ada di mimpiku saat itu. Tapi itu mustahil. Hades bilang bahwa gua itu berada di Dunia Bawah. Aku berhenti berjalan saat menemukan jalan buntu. Lalu tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan mataku. Aku menutupi mataku dengan tanganku.
Saat cahaya sudah reda, aku melihat seseorang berjubah hitam. Hades. Darahku semakin mendidih di dalam tubuhku. Ingin rasanya kupenggal kepala Hades. Aku memegang erat Gladiusku.
"Lama tak bertemu, Oliver. Akhirnya kau menemukan gua ini. Gua ini memang di Dunia Bawah, Oliver. Kau sudah masuk ke inti salah satu gunung di Canadian Rockies." ujarnya dengan licik dan dingin.
"Mau apa kau disini? Kita sudah tidak punya urusan." balasku.
"Tentu kita punya, nak. Ngomong-ngomong, terima kasih kau sudah sampai sejauh ini. Sekarang, aku akan mengurusnya dari sini." ujarnya.
"A-apa yang kau maksud? Jadi..semua ini.."
"Benar. Kau hanya salah satu bonekaku, Oliver. Dan tanpamu, aku takkan bisa sejauh ini. Saudara-saudaraku bakal membunuhku jika aku melakukannya dari awal. Sekarang aku sudah tidak membutuhkanmu. Terima kasih telah melakukan sebagian pekerjaan kotorku." ujarnya.
"Kau dewa terkutuk!" teriakku.
"Cukup sudah. Saatnya kau mati sekarang, tapi aku akan membunuhmu dengan cara manusia. Selamat tinggal, Oliver." ujarnya.
Dalam sekejap, sebuah pedang yang jauh lebih besar dari Gladiusku muncul di tangannya. Bagus, sekarang aku melawan sang Pencabut Nyawa. Kemungkinan menangku..mungkin hanya 0,1 %. Tapi aku tidak mau mati tanpa perjuangan.
Aku berlari ke arahnya secepat kilat. Hades tetap diam, tapi saat aku menebasnya, yang kutebas hanyalah debu. Hades menghilang dari pandanganku. Lalu tiba-tiba dia muncul di belakangku dan menusuk punggungku. Untung tidak sampai jantungku. Hades tertawa.
"Hanya itu kekuatanmu? Jujur, aku kecewa. Kau tak akan bisa menang. Meskipun kau anakku, kau belum dapat melakukan teleportasi bayangan seperti apa yang kulakukan tadi."


The Last Demigods Karya Mrseven07 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tutup mulutmu, Hades. Dan jangan panggil aku anakmu lagi." ujarku.
Aku berbalik dan mencoba meninjunya, tapi dia menunduk dengan mudah. Lalu dia meninju perutku hingga aku batuk darah. Hades terlalu lincah dan kuat, aku tidak mungkin menang. Aku mengayunkan pedangku ke arahnya, tapi dia menepisnya dengan pedangnya.
Dia menyayat dadaku hingga bajuku robek. Daritadi aku tidak bisa menyentuhnya sedikit pun.
"Kau sangat membuatku malu, Oliver. Seharusnya kuhabisi kau sejak kau baru lahir." ujarnya sambil tertawa dingin.
"Diiiaaaaam!!!" teriakku. Tiba-tiba, terjadi sebuah gempa bumi. Es-es dan batu berjatuhan. Lalu aku sadar bahwa tubuhku terbakar. Terbakar sungguhan.
Aku merasakan energi yang sangat besar di dalam tubuhku. Tubuhku semakin panas sekarang. Mata Hades membelalak saat melihatku terbakar.
"Mustahil...ini mustahil. Kau seharusnya memiliki kekuatan dari Dunia Bawah, bukan kekuatan Hephaestus." ujarnya. Sebuah bola api terbentuk di tanganku. Lalu kulemparkan bola api itu ke arah Hades.
Hades membelahnya dengan pedangnya, dan bola api itu langsung meledak seketika. Dia terhuyung-huyung ke belakang. Gua itu sebentar lagi akan runtuh.
"Aku harus pergi dulu. Tapi tenang saja, kita akan bertemu lagi. Segera." ujar Hades. Dia langsung menghil ang dari gua itu.
Aku berlari ke mulut gua dan langsung melompat keluar. Gua itu langsung runtuh dan yang tersisa hanyalah batu-batu. Keringat membasahi tubuhku.
"Oliver!" teriak Marvel.
Marvel berlari menghampiriku. Pakaiannya compang-camping dan badannya luka-luka, tapi tidak ada luka yang serius. Dia berjongkok di depanku dan memeriksa luka di punggungku.
"Demi dewa-dewi, luka di punggungmu sangat dalam! Kau beruntung masih hidup! Apa yang terjadi di dalam sana?" seru Marvel.
Aku berdiri dan membersihkan celanaku yang kotor. Lalu aku menoleh pada Marvel. "Aku bertarung melawan Hades, dan saat bertarung tadi, aku menemukan kekuatanku. Api."
Marvel terlihat syok. Dia mengerutkan kening. "Api? Kudengar kau anak Hades. Dan api sama sekali bukan warisan dari Hades. Itu adalah warisan...Hephaestus."
"Ya, dan itulah yang membuatku bingung. Apa aku adalah anak Hephaestus? Tapi ibuku memberitahuku bahwa ayahku adalah Hades." ujarku kebingungan.
"Bisa saja kau anak Hephaestus. Mungkin ibumu merahasiakan itu darimu...entah kenapa." ujarnya murung.
Aku ingin mengetahui fakta yang sebenarnya, tapi aku sadar bahwa sekarang sudah malam. "Hei, jam berapa sekarang?"
Marvel melihat jam tangannya dan langsung melongo. "Sial! Sekarang sudah tengah malam! Sisa waktu kita tinggal 24 jam!"
"Kita harus cepat sebelum Hades menemukan Zeus terlebih dahulu. Jika itu terjadi, celakalah kita." kataku.
Marvel mengangguk, lalu kami berlari ke arah timur. Di tengah perjalanan, aku baru sadar sesuatu. Clara. Dia masih ditawan di hutan terkutuk. Jika kami tidak menyelamatkannya, Blane kemungkinan akan membunuhnya. Dan aku takkan membiarkan itu terjadi.
Aku berhenti berlari. "Tunggu."
"Kenapa?" tanya Marvel.
"Kita juga harus menyelamatkan Clara. Marvel, bisakah kau ke para penyihir tanpaku? Aku akan pergi ke hutan terkutuk. Kau tahu tempat itu dimana?" ujarku.
Marvel mengerutkan alisnya. "Itu sangat beresiko. Para penyihir sangat menipu dan kejam, begitu juga dengan para monster itu. Kita berdua takkan bisa bertahan hidup jika berpencar."
"Kita harus mengambil resiko, Marvel. Beritahu aku letak hutan terkutuk." ujarku dengan sikap memaksa.
Marvel mendesah. "Baiklah."
Dia menyayat sebuah batang pohon hingga berbentuk seperti selembar kertas. Lalu dia menggunakan pisaunya untuk menggambar jalan ke hutan itu. Dalam sekejap, peta itu sudah selesai dia buat.
Dia menggulung peta itu dan menyerahkannya kepadaku. Aku mengangguk dan memasukkan peta itu ke dalam saku celanaku, karena tas ranselku sudah dicabik-cabik oleh serigala tadi.
"Kita akan bertemu di tempat ini tepat 3 jam lagi. Jika aku dan Clara tidak datang, lanjutkanlah misi ini sendirian." ujarku.
Marvel menatapku dengan mata cokelatnya. Lalu dia menyalami tanganku. "Semoga sukses, Oliver."
Aku tersenyum. "Kau juga."
Lalu aku berlari ke barat sedangkan Marvel ke selatan.
------------ BAGIAN OLIVER Aku baru kenal Marvel, tapi entah mengapa, dia sudah seperti teman dekatku. Peta yang dia buat sangat membantuku menemukan hutan terkutuk. Untuk sampai di hutan itu, aku harus menyebrang Sungai Tigris. Lalu aku harus berjalan sekitar 25 kilometer. Kakiku sangat lelah, tapi aku berusaha sampai disana dengan cepat agar bisa menyelamatkan Clara. Entah mengapa, aku tidak bisa melanjutkan misi ini tanpanya.
Setelah berlari cukup lama, aku dapat melihat Sungai Tigris di depanku. Tapi ada satu masalah. Ada sebuah jurang yang memisahkan sungai itu dengan gunung ini. Aku melihat ke bawah. Jurang itu sangat dalam, yang bisa kulihat di bawahku hanyalah tumbuhan-tumbuhan kaktus. Sial.
BAGIAN MARVEL Aku tidak mungkin memberitahu Oliver alasanku mendatanginya yang sebenarnya. Jika aku memberitahunya, dia bakal langsung membunuhku. Aku telah membuat kesepakatan dengan Hades. Keluargaku akan dibunuh olehnya jika aku tidak membunuh Oliver. Tapi yang bisa kupikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya memaksa para penyihir itu agar memberitahuku dimana letak inti Poryphorion.
Tiba-tiba sebuah suara muncul di kepalaku. "Marvel..ingatlah kesepakatan yang telah kita buat." Suara Hades.
"Hades. Aku tentu ingat kesepakatannya. Tenang saja." ujarku. Aku mencoba meyakinkannya.
Hades tertawa. Kemudian suara itu menghilang. Aku mendesah. Lalu aku melanjutkan perjalananku ke para penyihir yang menurut legenda terletak di puncak gunung tertinggi.
BAGIAN CLARA Seorang cyclops memasuki penjaraku. Dia melepaskan rantai di tubuh dan kakiku, tapi tidak melepaskan borgol di tanganku.
"Bos ingin bertemu denganmu." ujarnya.
Dia menyeretku keluar dan menuntunku masuk ke sebuah aula yang besar. Seorang raksasa yang lebih besar daripada lainnya duduk di sebuah singgasana. Kulitnya biru, dan dia memiliki ekor yang mirip seperti ekor buaya. Polybetes, musuh bebuyutan ayahku. Pasukan monster mengelilingi aula itu. Saat melihatku, raksasa itu berdiri dari singgasananya. Dia tersenyum dingin saat melihatku.
"Wah, kau sudah tumbuh besar Clara." ujarnya.
"Polybetes." geramku.
Polybetes tertawa. Dia berjalan ke arahku dengan trisulanya dan menyuruh cyclops yang menuntunku untuk mundur.
"Mau apa kau?! " teriakku.
"Aku punya urusan dengan ayahmu. Tapi kupikir akan lebih baik untuk membunuh putrinya dahulu sebelum di a." katanya.
"Itu tidak akan terjadi." ujarku.
"Matilah kau, Clara!" teriaknya. Dia mengangkat trisulanya dan menghujamkannya ke tanah. Aku berguling ke samping menghindarinya.
Aku mencoba berdiri dan berlari ke arah jendela dekat singgasananya.
"Hentikan dia!" perintah Polybetes. Pasukannya langsung menghadang jalan dengan senjata-senjata mereka. Aku berhenti berlari.
Aku menoleh pada Polybetes. "Kau mau bertarung?! Lepaskan aku dan berikan aku busurku!"
Polybetes menyeringai. "Lakukan apa yang dia minta."
Tak lama, dua monster memasuki aula itu sambil membawa senjataku. Mereka melepaskan borgolku dan aku langsung mengambil senjataku.
"Maju." tantang aku.
Polybetes tertawa. "Kau punya nyali, putri Poseidon." Lalu dia berlari ke arahku dengan trisulanya. Aku mengisi busurku dengan panah dan kutembakkan ke kepalanya.
Dia menepisnya dengan trisulanya. Aku menembakkan beberapa anak panah lagi, tapi tidak cukup kuat untuk menyakitinya. Saat aku mulai putus asa, aku melihat sebuah air mancur yang besar di sudut aula. Jika aku bisa mengendalikan air mancur itu, aku bisa memperlambat Polybetes dan pasukannya agar aku bisa kabur.
Aku memejamkan mataku dan mengangkat tanganku. Keringat membasahi tubuhku. Air mulai terangkat dari kolam itu. Polybetes sepertinya tidak sadar. Dia melemparkan trisulanya ke arahku. Aku tidak bisa berkonsentrasi jika aku mencoba menghindari trisulanya.
Aku berdoa kepada ayahku, agar aku diberikan kekuatan. Kubuka tanganku, dan air pun langsung membanjiri aula itu. Pasukan Polybetes didorong keluar dari aula oleh air. Polybetes tetap berdiri tegak, tapi air memperlambat gerakannya. Jendela-jendela pecah, dan aku pun langsung menyelam dan melompat keluar lewat jendela.
Aku berlari dari tempat itu dan berlari ke dalam hutan. Dari jauh, aku dapat mendengar teriakan kemarahan Polybetes.
----------- BAGIAN OLIVER Aku melihat sebuah pohon besar di belakangku. Kubuat bola api dan kulemparkan pada pohon itu. Pohon itu langsung terbakar dan patah. Lalu batang pohon itu terjatuh di depanku, membentuk jembatan ke seberang.
Aku menaikinya pelan-pelan dan menyeimbangkan diri. Saat batang itu sudah seimbang, aku berlari dan langsung melompat ke seberang. Dan sampailah aku di Sungai Tigris.
Menurut legenda, sungai ini dapat membuat kita lebih kuat. Tapi hanya orang-orang terpilihlah yang boleh menyelam disana. Sungai itu dikawal oleh sang Dewa Pintu, Janus yang berkepala dua. Jika ada orang sembarangan yang berenang di sungai itu, Janus akan langsung membunuhnya. Tapi sejauh ini, hanya satu orang yang berhasil menyelam di sungai itu. Achilles, demigod yang paling kuat.
Aku berjalan ke sungai itu dan memberanikan diri untuk melompat. Sebelum aku sempat melompat, Janus muncul di hadapanku. Dia memegang sebuah pedang yang gagangnya terbuat dari tengkorak.
"Wah, wah, Oliver Blackwood. Beraninya kau datang kesini." ujarnya.
"Aku ingin menyelamatkan temanku. Tolong ijinkan aku untuk menyebrangi sungai ini." mohon aku.
Janus mengeluarkan sebuah buku catatan dari saku bajunya. Lalu dia membukanya lembar demi lembar.
"Sayang sekali, tapi namamu tak ada di daftar orang terpilih. Jadi, cepat pergi atau kau akan kujadikan pajangan di rumahku." perintahnya.
Aku tahu aku seharusnya tidak menentang dewa, sekalipun Janus adalah dewa minor. Tapi aku harus melakukannya untuk menyelamatkan Clara. Kuangkat Gladiusku dan kutusukkan ke perut Janus. Tapi dia menepisnya dengan mudah. Mukanya menjadi merah.
"Berani sekali kau! Akan kubunuh kau sekarang!" teriaknya.
Sebelum dia sempat memenggal kepalaku, seseorang tiba-tiba muncul dan meninjunya sampai dia terpental dan tercebur ke dalam sungai.
Pria itu memakai topeng sehingga aku tidak mengenalinya. Dia memakai baju perang yang unik dan sepatu besi.
"Cepat pergilah!" perintahnya. Suaranya kukenali, tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Janus segera keluar dari air. Dia memegang erat pedangnya. "Beraninya kau!"
Aku segera menyelam ke dalam sungai itu sementara mereka sedang bertempur. Saat aku sudah separuh perjalanan, aku mendengar teriakan kesakitan. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Janus menusuk pria itu. Lalu Janus melepas topeng pria itu. Aku dan Janus sama kagetnya sekarang.
Ternyata orang tadi bukan seorang pria, tapi seorang wanita. Dan yang lebih parah, dia ibuku. "Ibu!"
Janus cepat-cepat menghilang, sementara ibuku masih tergeletak disana, sekarat. Aku berenang ke ibuku dan menghampirinya. Air mata segera mengaliri pipiku.
"O-oliver, ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu." ujarnya.
"Ibu.." tangisku.
"Ayahmu...bukanlah Hades, tetapi Hephaestus." katanya. Ternyata selama ini aku benar.
Begitu dia selesai mengucapkannya, dia langsung memejamkan matanya. Satu orang lagi mati karenaku. Aku menangis sangat keras, lalu mengepalkan tangan. Targetku sekarang bukan hanya Hades atau Poryphorion, tapi juga Janus. Mereka telah merenggut seluruh keluargaku. Dan sekarang saatnya aku merenggut nyawa mereka.
Aku segera menyebrangi sungai itu dan berlari ke hutan terkutuk.
BAGIAN MARVEL Akhirnya aku sampai di gunung ini. Gunung tertinggi di pegunungan Canadian Rockies. Tapi bagaimana cara aku sampai di puncaknya? Sisa waktuku hanya sekitar 2 jam lagi. Gunung itu sangat tinggi sampai aku tidak dapat melihat puncaknya yang dikelilingi kabut tebal. Aku tak punya kekuatan super seperti terbang atau teleportasi. Kekuatan super yang kumiliki sekarang hanyalah teknik bertarung dan strategi.
Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ares pernah memberitahuku bahwa tombakku memiliki kemampuan khusus yang tersembunyi. Tapi sampai sekarang aku belum tahu apa itu. Saatnya mengetahui rahasia tombakku.
Aku mengambil tombakku dan mengamatinya. Tombak itu terlihat seperti tombak normal, tapi aku baru sadar ada yang aneh dengan ujung tombakku. Ujungnya runcing dan sedikit melengkung, dan bukan terbuat dari baja atau besi. Ujung tombakku terbuat dari batu mirip kristal, tapi berwarna biru kehijauan. Lalu tiba-tiba muncullah sebuah ide di otakku.
Aku menghujamkan tombakku ke dinding gunung itu, dan sebuah ledakan pun keluar. Aku terhempas dan membentur pohon, tapi untungnya tidak terlalu keras. Asap keluar dari sebuah lubang yang cukup untuk kulewati di dinding gunung tadi. Tombakku tergeletak di tanah.
Aku segera mengambil tombakku dan melihat ke dalam gunung lewat lubang itu. Di dalam gunung itu, sulit dipercaya, tapi ada sebuah tangga yang dapat mencapai puncak gunung ini! Tangga itu tangga yang sangat kuno desainnya, tapi sangat elegan. Aku segera memasuki gunung itu. Atmosfernya lembab, yang berarti gunung ini bukanlah gunung berapi. Syukurlah.
Tangga itu sangat panjang, mencapai separuhnya saja sudah hebat kalau tidak pingsan dahulu. Tapi hanya ini satu-satunya jalan untuk menuju ke puncaknya. Aku segera menaikinya dan berlari secepat mungkin.
---------- BAGIAN OLIVER Dulu ibuku sering membelikanku es krim vanilla dan selalu menyuruhku untuk menikmatinya. Dan sekarang dia belum sempat mencicipi es krim itu. Aku menangis sambil berlari di dalam hutan itu. Aku mengusap air mataku dengan cepat. Sekarang bukan waktunya untuk menangis, pikirku.
Hutan itu sangat gelap pada malam hari. Aku nyaris tak bisa melihat apa-apa. Aku sudah berlari selama 45 menit, tapi tidak menemukan sebuah bangunan atau penjara. Aku nyaris putus asa. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki seseorang di depanku. Kelihatannya dia juga sedang berlari dengan terburu-buru.
Topan Di Borobudur 1 06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 17

Cari Blog Ini