Musyawarah Burung Karya Fariduddin Attar Bagian 3
Sabda Tuhan Kepada Daud Sang Pencipta Dunia bersabda kepada Daud dari balik tabir rahasia. "Segala yang ada, baik atau buruk, tampak atau tak tampak, bergerak atau tak bergerak, hanyalah barang pengganti semata jika semua itu bukan Aku sendiri yang tak akan kau temukan gantinya maupun kembarannya. Karena tiada satu pun yang dapat menggantikan Aku, janganlah kau memisahkan dirimu sendiri daripada-Ku. Aku perlu bagimu, kau terikat pada-Ku. Karena itu, kau dambakan apa yang menawarkan dirinya sendiri kalau itu bukan Aku."
Sultan Mahmud dan Berhala Somnat
Mahmud dan bala tentaranya menemukan di Somnat sebuah berhala bernama Lat, yang hendak dihancurkannya. Untuk menyelamatkan itu, orang-orang Hindu menawarkan emas seberat tujuh kali bobot berhala itu, tetapi Mahmud menolaknya dan memerintahkan membuat api besar untuk membakar patung pujaan itu. Kemudian salah seorang perwiranya memberanikan diri berkata, "Tuanku, tidakkah lebih baik menerima emas dan tidak membakar berhala itu?" "Perbuatan demikian akan menimbulkan pikiran padaku," kata Mahmud, "bahwa pada hari perhitungan penghabisan kelak, Al-Khalik tentulah akan mengatakan pada seluruh alam yang berkumpul: ?Perhatikan apa yang telah diperbuat Azaz dan Mahmud -si Azaz membuat berhala dan Mahmud menjualnya?."
Konon ketika berhala itu terbakar, seratus keranjang batu-batu berharga pun keluarlah, sehingga Mahmud mendapatkan harta pula. Katanya, "Lat telah mendapatkan apa yang patut didapatnya dan Tuhan telah mengganjar aku."
Cerita Kecil Lain tentang Mahmud
Ketika suluh para raja ini meninggalkan Gazna untuk berperang dengan orang-orang Hindu dan menghadapi bala tentara mereka yang besar, ia patah semangat, dan ia pun bersumpah kepada Malikulhakim bahwa bila ia menang, ia akan memberikan segala barang rampasan yang jatuh ke tangannya kepada para darwis. Ia mendapat kemenangan dan bala tentaranya dapat mengumpulkan sejumlah besar harta kekayaan. Ketika mereka yang berwajah hitam itu telah mundur meninggalkan barang-barang rampasan itu, Mahmud pun berkata, "Berikan ini pada para darwis, karena aku telah berjanji pada Tuhan untuk berbuat demikian, dan aku harus memegang teguh janjiku." Kemudian para perwiranya menyanggah dan berkata, "Mengapa memberikan begitu banyak emas dan perak pada segelintir orang yang tak ikut bertempur! Mengapa tak memberikannya pada bala tentara yang telah menanggung kesusahan pertempuran itu, atau setidak-tidaknya, menyimpannya dalam perbendaharaan kerajaan?"
Sultan pun ragu-ragu antara sumpahnya sendiri dan sanggahan-sanggahan itu. Sementara itu, Bu Hassein, seorang penggila Tuhan, yang cerdas tetapi tak terpelajar, lewat di jalan itu. Melihat dia, di jauhan Mahmud pun berkata, "Panggil si majenun itu; katakan padanya agar datang ke sini dan katakan apa yang mesti diperbuat, dan aku pun akan menaatinya; karena ia tak takut akan Sultan maupun tentara, ia akan memberikan pendapat yang tak berat sebelah." Ketika Sultan menyerahkan perkara itu pada Bu Hassein, orang itu pun berkata, "Tuanku, ini masalah dua obol, tetapi bila Tuanku ingin berbuat sepatutnya terhadap Tuhan, maka jangan pikirkan lagi, Tuan yang mulia, perkara dua obol ini; dan bila Tuan mendapatkan kemenangan lagi karena kemurahan-Nya, hendaklah Tuan malu menahan dua obol ini. Karena Tuhan telah menganugerahkan kemenangan pada Tuan, dapatkah apa yang teruntuk bagi Tuhan itu Tuan tahan bagi diri Tuan?"
Segera sesudah itu Mahmud pun memberikan harta kekayaan itu pada para darwis dan menjadi raja besar.
Pertanyaan Burung Kedua Puluh Satu
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Katakan pada kami, o kau yang ingin memimpin kami ke tempat Seri Baginda yang tak dikenal, apakah yang paling dihargai di istana itu? Bila menghadap kepada para raja perlu kiranya membawa persembahan-persembahan berharga; hanya mereka yang hina menghadap raja dengan tangan kosong."
Hudhud menjawab, "Kalau kau menuruti nasihatku, hendaknya kau bawa ke negeri Simurgh apa yang tak terdapat di sana. Adakah tepat kita membawa apa yang telah ada di sana? Pengetahuan sejati terdapat di sana, rahasia-rahasia terdapat di sana, kepatuhan terhadap yang lebih tinggi terdapat di sana. Maka bawalah nyala cinta dan kerinduan jiwa; tiada lain yang dapat diberikan kecuali ini. Jika sehelaan nafas cinta saja tertuju ke tempat itu, maka ia akan menghantarkan wangian hati. Tempat itu ditahbiskan bagi sari wangi jiwa. Siapa saja yang menarik sehelaan keluh pertaubatan yang tulus, seketika itu juga ia akan memiliki keselamatan."
Yusuf dan Zulaiha Di masa ketika Zulaikha menikmati pangkat dan martabatnya yang tinggi, ia menyuruh masukkan Yusuf ke dalam penjara, dan mengatakan pada salah seorang hambanya agar menderanya dengan tongkat lima puluh kali. "Pukul dia keras-keras," katanya, "sehingga aku dapat mendengar teriakan-teriakan kesakitannya." Tetapi hamba yang baik hati itu tak mau melukai Yusuf; maka diambilnya kulit binatang dan katanya, "Bila kupukul kulit itu, berteriaklah pada setiap kali deraan." Ketika Zulaikha mendengar teriakan Yusuf, ia pun pergi ke bilik penjara dan berkata, "Kau kelewat lunak terhadapnya, pukullah lebih keras lagi." Kemudian hamba itu berkata pada Yusuf, "O cemerlang surya! Kalau Zulaikha meneliti dirimu dan tak melihat sesuatu bekas pun, ia kan menghukumku dengan kejam. Maka telanjangkan pundakmu dan kuatkan hatimu serta tahankan pukulan-pukulanku. Bila kau berteriak karena pukulan-pukulan itu, maka ia tak akan begitu memperhatikan bekas-bekasnya." Yusuf pun menelanjangkan kedua belah bahunya, tongkat menimpa, dan teriakan-teriakan Yusuf melangit. Ketika Zulaikha mendengarnya, ia pun pergi mendekati dan katanya, "Teriakan-teriakan ini telah menimbulkan akibat yang diharapkan. Sebelum ini erang kesakitannya tak berarti; kini semua itu sungguh nyata."
Syaikh Bin Ali Tusi Bin Ali Tusi, salah seorang arif yang besar di zamannya, berjalan di lembah kewaspadaan dan kesiagaan. Tak pernah kukenal seorang yang memiliki keagungan dan mencapai kesempurnaan seperti itu. Suatu kali ia berkata, "Di dunia lain itu, orang-orang terkutuk yang malang akan melihat dengan jelas para penghuni sorga yang dapat menuturkan pada mereka tentang kegembiraan di tempat itu dan rasa persatumesraan. Orang-orang yang berbahagia itu akan berkata, "Kegembiraan yang rendah tak ada di sini, karena matahari keindahan ilahiat telah muncul pada kami, dan sedemikian terangnya sehingga kedelapan sorga pun tampak gelap karenanya. Dalam kegemilangan keindahan ini, tiada lagi yang tinggal dari keabadian itu, baik nama maupun bekasnya!" Kemudian mereka yang ada di neraka akan berkata, "Kami rasa apa yang kalian katakan itu benar, tetapi bagi kami di tempat yang mengerikan ini sudah jelas bahwa kami telah mendapat murka Tuhan, karena itu, kami telah dijauhkan dari wajah-Nya. Kami diingatkan akan api neraka oleh api sesal dalam hati kami."
Berusahalah menahan duka, derita, dan luka, dan dengan itu tunjukkan semangatmu. Bila kau luka, terimalah itu, dan jangan perturutkan sikap mengasihani diri sendiri.
Permohonan pada Muhammad Seorang lelaki dengan rendah hati mohon perkenan untuk bersembahyang di atas permadani Nabi, yang menolaknya dan mengatakan, "Tanah dan pasir panas terbakar. Bersujudlah di atas pasir yang panas terbakar dan di atas tanah jalanan itu, sebab mereka yang luka karena cinta harus punya bekas di wajahnya, dan bekas luka itu harus terlihat. Biarlah bekas luka hatimu terlihat, karena orang-orang yang ada di jalan cinta dikenal dari bekas lukanya."
Pertanyaan Burung Kedua Puluh Dua dan Pemerian Lembah Pertama atau Lembah Pencarian
Burung ini berkata pada Hudhud, "O kau yang tahu akan jalan yang telah kau katakan pada kami dan yang ingin agar kami mengikutimu di sana, bagiku jalan itu gelap, dan dalam kegelapan, jalan itu tampak amat sukar, dan bermil-mil jauhnya."
Hudhud menjawab, "Kita harus melintasi tujuh lembah dan hanya setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan menemukan Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini tiada akan pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin dikatakan berapa mil jarak yang ada di muka kita. Bersabarlah, o penakut, sebab semua mereka yang melintasi jalan ini sama halnya dengan keadaanmu.
Lembah pertama ialah Lembah Pencarian, yang kedua Lembah Cinta, yang ketiga Lembah Keinsafan, yang keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan, yang kelima Lembah Keesaan Murni, yang keenam Lembah Keheranan, dan yang ketujuh Lembah Kemiskinan dan Ketiadaan, lebih dari itu tiada yang dapat pergi lebih jauh lagi.
Bila kau memasuki lembah pertama, Lembah Pencarian, seratus kesukaran akan menyergapmu; kau akan mengalami seratus cobaan. Di sana, merak langit tak lebih dari seekor lalat. Kau harus melewatkan beberapa tahun di sana, kau harus melakukan upaya-upaya besar, dan harus mengubah keadaanmu. Kau harus meninggalkan segala yang tampak berharga bagimu dan memandang segala milikmu sebagai tak berarti apa-apa. Bila kau yakin bahwa kau tak memiliki suatu apa, kau masih harus melepaskan dirimu dari segala yang ada. Kemudian hatimu pun akan diselamatkan dari kehancuran dan kau akan melihat cahaya suci Keagungan Ilahiat dan hasrat-hasratmu yang sejati akan diperlipatgandakan menjadi tak terbatas. Siapa yang masuk ke sini akan dipenuhi kerinduan sedemikian rupa sehingga ia akan mengabdikan sepenuh dirinya dalam usaha pencarian yang dilambangkan oleh lembah ini. Ia akan minta seteguk anggur pada pelayan pembawa piala, dan setelah ia minum itu, tak ada lagi yang menjadi soal baginya selain mengejar tujuannya yang sejati. Maka ia pun tak akan takut lagi pada naga-naga penjaga pintu yang mau menelannya. Ketika pintu terbuka dan ia masuk, maka ajaran agama, keimanan dan kekufuran ?semua itu tiada lagi."
Sari dari Ganj-Nama, Kitab tentang Harta dari Osman Amru
Ketika Tuhan meniupkan nafas hayat yang suci ke tubuh Adam yang tak lain dari tanah dan air, Tuhan ingin agar para malaikat tak akan tahu tentang itu, dan tidak pula menaruh syak. Maka Tuhan pun bersabda pada mereka, "Bersujudlah di hadapan Adam? o Ruh Samawi!" Semua mereka pun bersujud, dan ketika mereka bersujud, Tuhan meniupkan nafas hayat ke dalam diri Adam dan tiada satu pun dari mereka yang tahu akan rahasia yang ingin disembunyikan Tuhan. Artinya, tiada satu pun kecuali Iblis, yang berkata dalam hati, "Tak ada yang akan melihat aku bertekuk lutut. Meski kepalaku bercerai dari badanku sekalipun, tidaklah itu akan sama celakanya dengan melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan. Aku tahu betul bahwa bukan karena masalah Adam akan ada di bumi itu saja, maka aku tak bersedia untuk bersujud dan untuk tak melihat rahasia itu." Dan demikianlah, Iblis tak bersujud, melainkan mengawasi saja, dan melihat rahasia itu. Akhirnya Tuhan pun bersabda, "O kau yang tinggal menunggu, kau telah mencuri rahasia itu, dan untuk itu kau pun akan kumatikan, sebab aku tak ingin ada makhluk yang mengetahui rahasia itu. Bila raja duniawi menyembunyikan harta kekayaannya, ia akan membunuh dia yang mengetahui harta yang disembunyikan itu. Dan engkaulah dia."
"Rabbi," kata Iblis, "beri kiranya pertangguhan, karena hamba ini abdi Tuan; dan tunjuki hamba kiranya bagaimana hamba dapat menebus dosa hamba." "Karena begitu permohonanmu," sabda Tuhan, "akan kuberikan padamu pertangguhan; namun sejak saat ini, akan kukenakan di lehermu kerah kutukan dan akan kulekatkan padamu nama pembohong dan pemfitnah, agar setiap orang akan waspada terhadapmu sampai hari kiamat."
Iblis berkata, "Apakah yang mesti hamba takutkan karena kutukan Tuan bila harta suci ini telah tersingkapkan bagiku? Bila kutukan datang dari Tuan, maka akan datang pula ampunan. Di mana ada racun, di sana ada pula penawarnya. Tuan mengutuk sebagian makhluk dan merestui yang lain. Kini karena hamba telah mendurhaka, maka hamba pun menjadi makhluk kutukan Tuan."
Bila kau tak dapat menemukan dan memahami rahasia yang kukatakan itu, bukanlah karena hal itu tak ada, tetapi karena kau tak mencarinya dengan benar. Bila kau suka pilih-pilih di antara apa-apa yang datang dari Tuhan, maka kau bukan penempuh Jalan Ruhani. Bila kau memandang dirimu sendiri dimuliakan dengan intan dan dihinakan dengan batu, maka Tuhan tak menyertaimu. Perhatikan baik-baik, janganlah kau menyukai intan dan menolak batu, karena keduanya datang dari Tuhan. Bila di saat kalap, kekasihmu melempari kau dengan batu, itu lebih baik daripada permata dari wanita lain.
Di jalan penyempurnaan diri, kita tak boleh lena sejenak pun. Bila sejenak saja kita berhenti menyempurnakan diri, kita akan tergelincir mundur.
Cerita tentang Majnun Seorang yang mencintai Tuhan melihat Majnun tengah mengayak1 tanah di jalanan dan berkata "Majnun, apa yang kaucari?" "Aku mencari Laila," katanya. Orang itu berkata lagi, "Adakah kau berharap mendapatkan Laila di situ?" "Aku mencari dia di mana-mana," kata Majnun, "dengan harapan akan mendapatkannya di suatu tempat."
Yusuf Hamdani Yusuf Hamdani seorang yang diagungkan di zamannya, seorang arif, yang mengerti akan rahasia-rahasia berbagai dunia. Katanya, "Segala yang tampak, baik di puncak maupun di dasar-setiap zarrah, sesungguhnya ialah Ya?kub lain yang mengharapkan kabar tentang Yusuf yang hilang daripadanya."
Di Jalan Ruhani cinta dan pengharapan keduanya perlu. Bila kau tak memiliki yang dua ini lebih baik kau meninggalkan pencarian itu. Kita harus berusaha menjadi sabar. Tetapi apakah pencinta pernah bersabar? Bersabarlah dan berusahalah dengan harapan akan mendapatkan penunjuk jalan. Kuasailah dirimu sendiri dan jangan biarkan kehidupan lahiriah menawanmu.
Cerita tentang Abu Sa?id Mahnah
Syaikh Mahnah ada dalam kebingungan yang amat sangat, hatinya sedih, ketika di kejauhan dilihatnya seorang tua dari desa dengan wajah yang salih sedang berjalan dengan malas, sementara dari badannya memancar cahaya yang terang. Syaikh itu memberi salam padanya lalu menceritakan padanya tentang kesedihan yang dialaminya. Orang tua dari desa itu mendengarkan, dan setelah berpikir sebentar, ia berkata, "O Bu Sa?id, andaikan orang mesti mengisi ruang dari tanah yang terendah sampai ke arasy Tuhan dengan jawawut, tidak hanya sekali melainkan seratus kali, dan andaikan seekor burung setiap kali mengambil sebutir jawawut selama seribu tahun dan kemudian terbang seratus kali keliling dunia, maka dalam waktu yang sekian lamanya itu pun jiwa Tuan tak juga menerima kabar tentang istana samawi, dan Tuan akan masih tetap jauh dari istana itu."
Kesabaran yang besar perlu bagi mereka yang menderita; tetapi tak ada yang bisa bersabar. Jika pencarian itu beralih dari yang batiniah kepada yang lahiriah, meskipun meluas pula ke seluruh alam, pada akhirnya pencarian itu tak akan memuaskan. Ia yang tak terlibat dalam pencarian kehidupan batin tak lebih dari seekor binatang-demikianlah dapat kukatakan. Bahkan dia itu tidak ada, dia sesuatu yang tak berarti, suatu bentuk tanpa jiwa.
Mahmud dan Pencari Emas Suatu malam, selagi berkuda seorang diri, Mahmud melihat seorang laki-laki sedang mengayak tanah mencari emas; kepalanya tunduk dan orang itu di sana-sini telah menimbun tumpukan-tumpukan debu yang sudah diayak. Sultan memandangnya, lalu melemparkan gelangnya di antara tumpukan-tumpukan itu dan kemudian pergi memacu kudanya bagai angin. Malam berikutnya Mahmud kembali dan mendapatkan laki-laki itu masih mengayak pula. "Apa yang kau dapat kemarin," kata sultan, "akan cukup buat membayar upeti bagi dunia, namun kau masih terus juga mengayak!" Laki-laki itu menjawab, "Hamba mendapatkan gelang yang Tuan lemparkan itu, dan karena hamba telah mendapatkan harta semacam itulah maka hamba harus terus mencari selama hidup hamba."
Jadilah seperti orang itu dan berusahalah mencari sampai pintu itu terbuka bagimu. Matamu tak akan tertutup selalu; carilah pintu itu.
Sebuah Kalimat dari Rabi?ah
Seorang laki-laki berdoa, "Ya Rabbi, bukakan pintu agar hamba dapat menghadap padamu." Mendengar doa laki-laki itu, Rabi?ah pun berkata, "O si gila! Adakah pintu itu tertutup?"
Catatan kaki: 1 menapis, menyaring. ? H.A.
Lembah Kedua atau Lembah Cinta
Hudhud melanjutkan, "Lembah berikutnya ialah Lembah Cinta. Untuk memasukinya kita harus menjadi api yang menyala ?begitulah dapat kukatakan. Kita sendiri harus menjadi api. Wajah pencinta harus menyala, mengilau dan berkobar-kobar bagai api. Cinta sejati tak mengenal pikiran-pikiran yang menyusul kemudian; dengan cinta, baik dan buruk pun tak ada lagi.
Tetapi akan halnya kau, yang tak acuh dan tak peduli, pembicaraanku ini tak akan menyentuhmu, bahkan tak akan terkerat oleh gigimu. Siapa yang setia mempertaruhkan uang tunai, bahkan mempertaruhkan kepala, untuk menjadi satu dengan sahabatnya. Yang lain-lain puas dengan menjanjikan apa yang akan mereka lakukan untukmu besok. Bila ia yang memulai perjalanan ini tak mau melibatkan diri seutuhnya dan sepenuhnya, ia tak akan bebas dari duka dan kemurungan yang memberatinya. Sebelum elang mencapai tujuannya, ia gelisah dan sedih. Jika ikan didamparkan ke pantai oleh ombak, ia menggelepar-gelepar hendak kembali ke dalam air.
Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani. Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat mengorbankan satu."
Seorang Koja yang Mabuk Cinta
Seorang Koja menjual segala yang ada padanya ? perabotan, para hamba dan segalanya, untuk membeli bir dari seorang penjual bir yang masih muda. Ia sama sekali jadi gila karena cinta akan penjual bir ini. Ia selalu lapar karena bila ia diberi roti, dijualnya roti itu untuk membeli bir. Akhirnya seseorang bertanya padanya, "Bagaimana sebenarnya cinta yang membawa kau dalam keadaan yang patut disayangkan ini? Ceritakan padaku rahasianya!" "Cinta memang sedemikian itu," jawab orang Koja itu, "sehingga kita mau menjual barang dagangan dari seratus dunia untuk membeli bir. Selama kita tak memahami ini, kita tak akan pernah menghayati perasaan yang sejati tentang cinta."
Cerita tentang Majnun Orang tua Laila melarang Majnun mendekati kemah mereka. Tetapi Majnun, yang dimabuk cinta, meminjam kulit domba dari seorang gembala di gurun, di mana suku Laila memancangkan kemahnya. Ia membungkukkan diri dan mengenakan kulit domba, lalu katanya pada gembala itu, "Dengan nama Tuhan, biarlah aku ikut merangkak di tengah domba-dombamu, kemudian bawalah kawanan domba itu melintasi kemah Laila, agar mudah-mudahan aku dapat mencium wewangiannya yang nikmat, dan dengan menyembunyikan diri dalam selubung kulit ini mudah-mudahan aku dapat mengusahakan sesuatu." Gembala itu berbuat seperti yang dikehendaki Majnun, dan ketika mereka melintasi kemah Laila, Majnun melihat gadis itu, lalu pingsan. Si gembala kemudian menggotongnya dari kemah itu ke gurun, lalu menyiram mukanya dengan air untuk menyejukkan cintanya yang menyala.
Di hari lain, Majnun ada bersama beberapa kawannya di gurun, dan salah seorang bertanya padanya, "Bagaimana dapat kau, seorang yang terhormat, pergi ke mana-mana dengan bertelanjang saja? Biarlah kucari pakaian untukmu jika kau ingin." Majnun berkata, "Tak ada pakaian yang kupakai akan layak bagi kekasihku, maka bagiku tiada yang lebih baik dari tubuhku yang telanjang atau selembar kulit domba. Laila, bagiku, seperti Ispand penangkal pengaruh jahat. Majnun tentulah akan senang memakai pakaian-pakaian sutera dan kain kencana, tetapi ia lebih suka dengan kulit domba ini, karena dengan memakai ini ia akan dapat melihat sepintas wajah Laila."
Cinta mestilah merobek-buangkan kehati-hatian. Cinta mengubah sikapmu. Mencinta adalah mengorbankan kehidupanmu yang biasa dan meninggalkan kesenangan-kesenanganmu yang menyolok mata.
Seorang Pengemis Mencintai Ayaz
Seorang darwis yang miskin suatu kali jatuh cinta pada Ayaz, dan kabar itu pun segera tersiar. Bila Ayaz berkuda di jalan yang bertaburkan wangian kesturi, darwis itu biasa menunggu dan kemudian lari mendapatkannya, lalu menatap padanya bagai pemain polo memancangkan matanya ke arah bola. Akhirnya orang-orang pun melaporkan pada Mahmud tentang pengemis yang mencintai Ayaz ini. Suatu hari, ketika Ayaz berkuda bersama sultan, maka sultan berhenti dan memandang darwis itu dan terlihat olehnya bahwa jiwa Ayaz bagai sebutir gandum dan wajah darwis itu bagai bulatan tepung adonan yang melingkungi butir gandum itu.
Tampak padanya bahwa punggung pengemis itu bungkuk bagai tongkat pemukul bola polo, dan kepalanya berputar-putar sepenuhnya bagai bola dalam permainan polo. Mahmud berkata, "Pengemis malang, inginkah kau minum dari satu gelas bersama Sultan?" "Meskipun Tuan sebut hamba ini pengemis," jawab darwis itu, "namun hamba tak kalah dengan Tuanku dalam permainan cinta. Cinta dan kemiskinan sejalan. Tuan orang yang berdaulat, dan hati Tuan bercahaya; tetapi untuk cinta, hati yang menyala seperti hamba ini perlu. Cinta Tuan kelewat biasa. Hamba menderita kesedihan karena perpisahan. Tuan bersama sang kekasih; tetapi dalam bercinta kita harus mengenal bagaimana menderita kesedihan karena perpisahan."
Sultan pun berkata, "O kau yang telah menarik diri dari kehidupan yang biasa, cinta bagimu bagai permainan polo?" "Begitulah," jawab pengemis itu, "karena bola selalu bergerak, seperti hamba, dan hamba pun seperti bola itu. Bola dan hamba punya kepala yang berpusing, meskipun kami tak bertangan maupun berkaki. Kami dapat bersama-sama membicarakan penderitaan yang ditimbulkan oleh tongkat pemukul pada kami; tetapi bola itu lebih beruntung daripada hamba, karena kuda menyentuhnya dengan kakinya setiap kali. Bola itu menerima pukulan tongkat pemukul pada badannya, tetapi hamba merasakan pukulan-pukulan itu dalam hati hamba."
"Darwis yang miskin," kata Sultan, "kau membanggakan kemiskinanmu, tetapi mana bukti yang dapat kauperlihatkan?"
"Hamba korbankan segalanya demi cinta," jawab darwis itu, "itulah tanda kemiskinan ruhani hamba. Dan bila Tuan, o Mahmud, pernah menghayati cinta yang sebenarnya, korbankanlah hidup Tuan untuk itu; bila tidak, Tuan tak berhak bicara tentang cinta."
Setelah berkata demikian, ia pun mati, dan dunia menjadi gelap bagi Mahmud.
Seorang Arab di Persia Suatu kali seorang Arab pergi ke Persia dan heran melihat adat kebiasaan negeri itu. Pada suatu hari kebetulan ia melalui permukiman sekelompok kaum Qalandar1 dan melihat beberapa laki-laki yang tak bicara sepatah kata pun. Mereka tak punya istri dan tak punya sekeping obol pun, tetapi mereka berhati suci dan bersih. Masing-masing memegang sebuah botol berisi anggur pekat yang dituangkannya dengan hati-hati sebelum duduk. Orang Arab itu merasa senang dengan mereka; ia pun berhenti dan pada saat itu hati dan pikirannya tertuju ke jalan itu.
Melihat ini kaum Qalandar itu berkata, "Masuklah, o orang yang tak berarti!" Maka begitulah, mau tak mau ia pun masuk. Ia diberi sepiala anggur dan segera ia pun tak sadarkan diri. Ia jadi mabuk dan kekuatannya hilang. Emas dan perak serta barang-barangnya yang berharga diambil oleh salah seorang dari kaum Qalandar, dan kepadanya diberikan anggur lebih banyak lagi, dan akhirnya ia pun dilemparkan ke luar rumah. Kemudian orang Arab itu pun pulang ke negerinya sendiri, bermata sebelah dan miskin, keadaannya berubah dan bibirnya kering. Setiba di tempat kelahirannya, kawan-kawannya bertanya padanya, "Ada apa? Kau pengapakan uang dan barang-barangmu yang berharga itu? Apakah dicuri orang ketika kau tidur? Adakah kau telah berbuat buruk di Persia? Ceritakan pada kami! Mungkin kami dapat menolongmu!"
"Aku ngeloyor ke sana-sini di jalan," katanya, "dan tiba-tiba saja aku bertemu dengan kaum Qalandar. Tak ada yang kuketahui lagi kecuali bahwa aku telah kehilangan semua milikku dan kini aku tak punya apa-apa lagi." Mereka minta padanya agar memberikan gambaran tentang kaum Qalandar itu. Jawabnya hanya, "Orang-orang itu cuma mengatakan padaku, ?Masuklah?."
Orang Arab itu seterusnya tetap dalam keadaan heran dan tercengang, seperti anak kecil, dan melongo karena kata "Masuklah".
Maka kau pun hendaknya melangkah maju. Bila kau tak mau, maka ikuti angan-anganmu. Tetapi bila kau lebih menyukai kerahasiaan cinta dari jiwamu, maka kau akan mengorbankan segalanya. Kau akan kehilangan apa yang kau pandang berharga, tetapi kau akan segera mendengar kata-kata khidmat, "Masuklah".
Si Pencinta yang Kehilangan Kekasihnya
Seorang laki-laki yang bercita-cita luhur jatuh cinta dengan seorang wanita muda jelita. Tetapi sementara itu wanita pujaan hatinya menjadi kurus dan sepucat ranting yang berwama kuning kunyit. Hari yang cerah lenyap dari hatinya; dan maut, yang menunggu dari jauh, datang mendekat. Ketika laki-laki yang mencintainya mengetahui ini, ia pun mengambil parang dan berkata, "Aku akan pergi membunuh kekasihku di tempat ia terbaring agar si jelita yang bagai lukisan yang mengagumkan ini tidak mati karena kodrat." Orang-orang pun mengatakan padanya, "Apa kau gila! Kenapa pula kau mau membunuh wanita itu di saat ia sudah mendekati ajalnya?" Si pencinta itu berkata, "Jika dia mati karena tanganku, maka orang-orang pun akan membunuhku, sebab aku dilarang membunuh diriku sendiri. Kemudian di hari kiamat kelak, kami akan bersama lagi sebagaimana kami sekarang ini. Jika aku dibunuh, karena gairah hasratku padanya, maka kami akan menjadi satu, seperti nyala terang pada sebatang lilin yang dinyalakan."
Para pencinta yang telah mempertaruhkan hidupnya demi cinta mereka telah memasuki jalan itu. Dalam kehidupan Ruh, mereka menyatu dengan tambatan kasih mereka.
Ibrahim dan Malakul Maut Ketika tiba saatnya sahabat Tuhan itu hendak wafat, ia enggan menyerahkan nyawanya pada Izrail. "Tunggu," katanya pada Izrail. "Adakah Malikulalam telah memintanya?" Tetapi Allah Ta?ala bersabda pada Ibrahim, "Jika kau benar-benar sahabatku, tidakkah kau ingin datang padaku? Ia yang menyesal memberikan hidupnya pada sahabatnya menghendaki hidupnya dirobek dengan pedang." Kemudian, salah seorang yang hadir di sana berkata, "O Ibrahim, Cahaya Dunia, mengapa Tuan tak menyerahkan hidup Tuan dengan suka hati pada Izrail? Para pencinta di Jalan Ruhani mempertaruhkan hidupnya demi cinta mereka; Tuan menganggap hidup Tuan berharga." Kata Ibrahim, "Bagaimana dapat aku melepaskan hidupku bila Izrail telah menghalangnya? Aku tak mengindahkan permintaannya, karena aku hanya ingat pada Tuhan. Ketika Nimrod melepaskan aku ke dalam api dan Jibril datang padaku, tak kuindahkan dia karena aku hanya ingat pada Tuhan. Karena aku memalingkan kepalaku dari Jibril dapatkah aku diharapkan akan menyerahkan nyawaku pada Izrail? Kalau kudengar Tuhan bersabda, ?Berikan hidupmu padaku!? maka hidupku pun tak lebih berharga dari sebutir gandum. Bagaimana mungkin aku memberikan hidupku pada seseorang kalau ia tidak memintanya. Itu saja yang mesti kukatakan."
Catatan kaki: 1 Kelompok kaum Darwis di Persia dan Arabia yang bertujuan mengembara senantiasa. Didirikan oleh Qalandar Yusuf al Andalusi dari Spanyol.
Lembah Ketiga atau Lembah Keinsafan
Hudhud melanjutkan, "Setelah lembah yang kubicarakan itu, menyusul lembah yang lain ? Lembah Keinsafan, yang tak bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk melintasinya tak dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi setiap penempuh perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya menampakkan dirinya dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan itu telah mengatasi kesalahan-kesalahan dan kelemahankelemahannya, tidur dan kemalasannya dan setiap penempuh perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing sesuai dengan usahanya. Meskipun seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai cara melintasi Lembah ini, dan semua burung tidaklah sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di Mihrab,1 yang lain pada arca pujaan.
Bila matahari keinsafan menerangi jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai dengan amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan baginya dalam menginsafi kebenaran. Bila rahasia hakikat segala makhluk menyingkapkan dirinya dengan jelas padanya, maka perapian dunia pun menjadi taman mawar. Ia yang berusaha akan dapat melihat buah badam yang terlindung dalam kulitnya yang keras itu. Ia tak akan lagi sibuk memikirkan dirinya sendiri, tetapi akan menengadah memandang wajah sahabatnya. Pada setiap zarrah ia akan dapat melihat keseluruhan; ia akan merenungkan ribuan rahasia yang cemerlang.
Tetapi berapa banyak yang telah tersesat dalam mencari penunjuk Jalan yang telah menemukan rahasia itu! Perlu kiranya mempunyai keinginan yang dalam dan tetap untuk menjadi sebagaimana keadaan kita semestinya buat melintasi lembah yang sulit ini. Sekali kau telah mengenyam rahasia-rahasia itu, maka kau pun akan sungguh-sungguh ingin memahami semua itu. Tetapi apa pun yang mungkin kau capai, jangan sekali-kali lupa akan sabda Quran, ?Adakah lagi yang lain??
Akan halnya kau yang tidur (dan aku tak dapat memuji kau karena yang demikian), mengapa tak bersedih? Kau yang tak melihat keindahan sahabatmu, bangunlah dan berusahalah mencari! Berapa lama kau akan tinggal tetap sebagaimana keadaanmu sekarang, seperti keledai tanpa tali leher!"
Airmata Batu Adalah seorang laki-laki di Cina yang mengumpulkan batu-batu tiada hentinya. Ia mengucurkan airmata berlimpahan, dan bila airmata itu jatuh ke tanah, berubahlah jadi batu, yang tiap kali dikumpulkannya. Kalau awan mesti mencucurkan airmata seperti itu, maka akan menimbulkan kesedihan dan keluhan.
Pengetahuan sejati menjadi milik pencari yang tulus. Jika diperlukan mencari pengetahuan ke negeri Cina, maka pergilah. Tetapi pengetahuan dirusakkan oleh pikiran dangkal, ia mengeras, bagai batu. Berapa lama lagi pengetahuan sejati akan terus salah dimengerti? Dunia ini, rumah kesedihan ini, ada dalam kegelapan; tetapi pengetahuan sejati ialah perrnata, ia akan menyala bagai lampu dan menunjukkan jalan padamu di tempat yang kelam ini. Bila kau remehkan permata ini, kau akan sungguh-sungguh patut disesalkan. Bila kau tercecer di belakang, kau akan menangis pedih. Tetapi bila kau hanya tidur sedikit di malam hari, dan puasa di siang hari, kau mungkin mendapatkan apa yang kaucari. Maka carilah, dan tenggelamkan dirimu dalam usaha mencari itu.
Pencinta yang Tidur Seorang pencinta, merasa cemas dan risau, dan letih karena mengeluh, tertidur di atas gundukan sebuah makam. Kekasihnya datang mendekatinya dan melihat dia tertidur, ditulisnya sepucuk surat kecil lalu disematkannya di jubah pencintanya itu. Ketika si pencinta bangun dan membaca apa yang telah ditulis kekasihnya itu, ia pun mengeluh sedih, karena surat itu berbunyi, "O laki-laki goblok! Bangkitlah, dan bila kau pedagang, berdaganglah dan dapatkan uang; jika kau seorang zahid, bangunlah malam hari dan berdoalah pada Tuhan dan jadilah hamba-Nya. Tetapi jika kau seorang pencinta, merasalah malu pada dirimu sendiri. Apa gunanya tidur bagi mata pencinta? Di siang hari pencinta berlomba dengan angin; di malam hari hatinya yang menyala membuat wajahnya bersinar seri dengan cemerlang cahaya bulan. Jika kau bukan laki-laki semacam itu, jangan lagi berlagak mencintai aku. Jika seseorang bisa tidur di tempat lain dan bukan di kuburnya, boleh kukatakan dia itu seorang pencinta-tetapi, pencinta dirinya sendiri."
Perajurit Pengawal yang Sedang Dalam Bercinta
Seorang perajurit sedang dalam bercinta. Selagi tidak mengawal pun ia tak bisa tidur. Akhirnya seorang kawan memintanya agar tidur beberapa jam. Kata perajurit itu, "Aku perajurit pengawal, dan aku sedang dalam bercinta. Bagaimana aku bisa istirahat? Seorang perajurit yang sedang bertugas tak boleh tidur, maka yang demikian itu akan merupakan keuntungan bagi dia dalam bercinta. Setiap malam cinta menguji diriku, dan karena itu aku dapat tetap berjaga dan mengawal benteng. Cinta ini sahabat bagi perajurit pengawal, karena keadaan jaga menjadi bagian dari dirinya; ia yang mencapai keadaan demikian akan selalu awas."
Jangan tidur, o insan, jika kau berusaha mendapatkan pengetahuan tentang dirimu sendiri. Kawal baik-baik benteng hatimu, karena banyak pencuri di mana-mana. Jangan biarkan para perampok mencuri permata yang kau bawa. Pengetahuan sejati akan datang pada dia yang dapat tetap berjaga. Ia yang dengan sabar berkawal akan sadar-tahu kapan Tuhan datang mendekat. Para pencinta sejati yang ingin menyerahkan diri dalam bius kemabukan cinta akan pergi menyendiri. Ia yang memiliki cinta ruhani menggenggam di tangannya kunci kedua dunia. Jika ia perempuan, ia akan menjadi laki-laki; dan jika ia laki-laki, ia akan menjadi lautan yang dalam.
Mahmud dan Si Gila Tuhan Suatu hari, di gurun, Mahmud melihat seorang fakir yang menundukkan kepala dengan sedih berpunggung bungkuk karena duka. Ketika Sultan mendekatinya, orang itu berkata, "Enyahlah! Atau akan kupukul kau seratus kali. Pergi, kataku, kau bukan raja, melainkan orang yang berpikiran hina, seorang kafir di mata Tuhan." Mahmud menjawab tajam, "Bicaralah padaku sebagaimana layaknya pada seorang sultan, jangan serupa itu." Jawab fakir itu, "Jika kau tahu, o si bodoh, bagaimana kau terjungkir-balik, kerajaan dan kekayaan pun tak ada artinya; kau akan meratap tiada hentinya dan membakar kepalamu."
Catatan kaki: 1 Ceruk di mesjid menghadap ke Mekah. (Tempat sembahyang bagi Imam yang memimpin sembahyang bersama. ? H.A.)
Lembah Keempat atau Lembah Kebebasan dan Kelepasan
Hudhud melanjutkan, "Kemudian menyusul lembah di mana tak ada nafsu untuk memiliki atau keinginan untuk menemukan. Dalam suasana jiwa yang demikian, angin dingin pun bertiup, begitu hebat sehingga dalam sejenak saja angin itu menimbulkan kerusakan yang luas tak terhingga: ketujuh lautan tak lebih dari sebuah lobang air, ketujuh kaukab hanya setitik bunga api, ketujuh langit hanya sebuah bangkai, ketujuh neraka hanya es yang hancur. Kemudian, sesuatu yang mengherankan, tak masuk akal! Seekor semut sama kuatnya dengan seratus gajah, dan seratus kafilah tewas sementara seekor gagak sedang mengisi temboloknya.
Agar Adam dapat menerima cahaya samawi, barisan malaikat yang berpakaian hijau dicekam duka. Agar Nuh dapat menjadi tukang kayu Tuhan dan membuat perahu, ribuan makhluk tewas di perairan. Puluhan ribu nyamuk menyerang tentara Abrahah agar raja itu tergulingkan. Ribuan bayi mati agar Musa dapat melihat Tuhan. Ribuan orang mengenakan ikat pinggang Nasrani agar Isa dapat memiliki rahasia Tuhan. Ribuan hati dan jiwa terampas agar Muhammad dapat bermikraj suatu malam ke langit. Di Lembah ini tiada apa pun yang baru atau yang lama akan berharga; kau boleh berbuat atau tidak berbuat. Bila kaulihat seluruh dunia terbakar dan segala hati tak lebih dari syisy kabab, itu baru impian saja dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika puluhan ribu jiwa harus tenggelam ke lautan yang tak terbatas, itu akan seperti setitik embun belaka. Bila langit dan bumi mesti meledak jadi bagian-bagian kecil, itu tak akan lebih dari setangkai daun yang jatuh dari pohon; dan bila segalanya mesti dimusnahkan, sejak dari ikan hingga bulan, akankah terdapat di dasar sumur kaki seekor semut yang lumpuh? Jika tiada lagi bekas jejak manusia maupun jin, rahasia setitik air, dari mana segala sesuatu terjadi, masih harus direnungkan."
Orang Muda yang Jatuh ke Dalam Sumur
Di desaku ada seorang laki-laki muda, tampan seperti Yusuf, yang jatuh ke dalam sumur dan tanah pun mengurungnya. Ketika orang-orang mengeluarkannya, dia dalam keadaan sedih. Orang muda yang terpuji ini bernama Muhammad, dan disukai setiap orang. Bapanya mengeluh ketika melihat dia dan katanya, "O Muhammad, kau cahaya mataku dan jiwa bapamu. O puteraku, bicaralah sepatah kata pada bapamu!" Sang putera pun mengucapkan sepatah kata lalu meninggal, demikianlah adanya.
O kau, yang menjadi murid muda di jalan pengetahuan ruhani, dan yang dapat meninjau merenungkan, pikirkanlah tentang Muhammad dan Adam; pikirkan tentang Adam dan zarrah-zarrah, keseluruhan dan bagian-bagian dari keseluruhan; bicaralah tentang bumi dan langit demi langit, tentang gunung-gunung dan lautan; bicaralah tentang peri dan dewa-dewa, tentang manusia dan malaikat, tentang seratus ribu jiwa suci, tentang saat-saat pedih melepas nyawa; katakan bahwa setiap pribadi, jiwa dan raga, tak berarti apa-apa. Jika kau lumatkan kedua dunia itu menjadi debu dan kau tapis seratus kali, bagaimana jadinya bagimu? Jadinya akan seperti istana terbalik, dan kau tak menemukan apa-apa pada permukaan penapisan itu
Lembah ini tak begitu mudah dilalui seperti yang mungkin kau kira dengan keluguanmu. Meskipun seandainya darah hatimu akan memenuhi lautan, kau hanya akan dapat memulai tahap pertama. Meskipun andaikata kau mesti pula menjelajahi segala jalan di dunia, namun kau akan tetap berada pada langkah pertama. Tiada musafir yang telah mengetahui batas-batas perjalanan ini dan tiada pula yang telah menemukan penawar cinta. Jika kau berhenti, kau akan membeku, atau bahkan akan mati; jika kau melanjutkan jalanmu, senantiasa maju, kau akan mendengar selamanya seruan: "Pergilah terus lebih jauh lagi." Kau tak dapat berjalan maupun tinggal berhenti. Tak ada manfaatnya baik hidup maupun mati.
Keuntungan apa yang telah kau dapat dari segala yang telah terjadi padamu? Apa yang telah kau peroleh dari kesulitan-kesulitan yang berhasil kau atasi? Tak banyak artinya apakah kau akan memukul-mukul kepalamu atau tidak. O kau yang mendengarkan aku, hendaklah tinggal diam dan berusaha dengan giat.
Tinggalkan tujuan-tujuanmu yang tak berguna dan kejarlah segala apa yang hakiki. Bersibuklah sedikit mungkin dengan hal-hal di dunia lahiriah, tetapi bersibuklah banyak-banyak dengan hal-hal di dunia batin. Maka kegiatan yang benar akan mengalahkan keadaan tak bergiat. Tetapi mereka yang tak menemukan penawar dalam bergiat, lebih baik tak berbuat apa-apa karena kau mesti tahu kapan harus bergiat dan kapan harus menahan diri dari kegiatan. Tetapi bagaimana mengetahui apa yang tak mungkin kauketahui? Namun masih mungkin bergiat seperti yang semestinya kau lakukan, meskipun tak kausadari. Lupakan segala yang telah kau perbuat hingga kini, dan berusahalah untuk bebas dan cukupdengan dirimu sendiri, meskipun kadang kau akan menangis dan kadang bergembira. Di Lembah Keempat ini cahaya kilat kemampuan, yang merupakan penemuan sumber-sumber dirimu sendiri, kecukupan dirimu sendiri, menyala sehingga panasnya membakar seratus dunia. Karena beratus dunia menjadi serbuk, adakah aneh kalau duniamu sendiri akan lenyap pula?
Ahli Nujum Pernahkah kau lihat seorang arif membentangkan papan ramalan dan memenuhi permukaannya dengan pasir? Di sana dibuatnya angka-angka dan coretan garis-garis dan ditempatkannya bintang-bintang dan kaukab, bumi dan langit. Kadang dibuatnya ramalan dari langit, kadang dari bumi. Juga dibuatnya gambar susunan bintang dan lambang-lambang rasi bintang, dan ditunjukkannya timbul dan tenggelamnya bintang-bintang, dan dari sini disimpulkannya ramalan-ramalan baik atau buruk. Setelah menujumkan nasib baik atau buruk, diangkatnya salah satu sudut papan ramalan itu dan diserakkannya pasir itu, dan adalah seakan segala lambang dan angka-angka itu tak pernah ada.
Permukaan dunia yang terjadi secara kebetulan ini serupa dengan papan ramalan itu. Bila kau tak berdaya melawan keinginan akan hal-hal yang dangkal di dunia ini, maka berpalinglah daripadanya dan duduklah di sudut. Banyak laki-laki dan perempuan menerima hidup ini tanpa sesuatu pikiran tentang dunia lahir dan dunia batin.
Lalat dan Madu Seekor lalat yang sedang mencari madu melihat sebuah sarang lebah di sebuah kebun. Hasrat akan madu telah membuatnya sedemikian rupa sehingga kita akan memandangnya sebagai seekor singa. Dan lalat itu pun berseru, "Akan kuberi se-obol siapa yang mau menolong membawa aku masuk ke dalam sarang ini." Ada yang merasa kasihan padanya, dan dengan upah se-obol ditolongnya lalat itu masuk. Tetapi begitu sampai di dalam, maka kaki lalat itu pun lekat pada madu. Meskipun ia mengepak-kepakkan sayap dan berloncatan ke sana-sini, namun keadaannya semakin menyedihkan, dan ia pun mengeluh, "Ini kelaliman, ini racun. Aku terjerat. Kuberikan se-obol tadi untuk masuk, tetapi kini dengan senang kuberikan dua obol untuk keluar."
"Di Lembah ini," kata Hudhud selanjutnya, "jangan ada yang tinggal bersikap tak giat, dan siapa pun hendaknya memasuki Lembah ini hanya setelah mencapai tingkat perkembangan tertentu.
Kini tiba saatnya untuk berusaha dan bukan tinggal dalam ketakpastian dan melewatkan waktu dengan tak peduli. Bangkitlah kau dari sikap masabodoh, tinggalkan keterikatan-keterikatan lahir dan batin, dan lintasi Lembah yang sulit ini; sebab bila kau tak meninggalkan semua itu, kau akan lebih bersikap tak peduli ketimbang kaum pemuja dewa-dewa, dan kau tak akan pernah merasa cukup dengan dirimu sendiri."
Kata-kata Syaikh pada Seorang Muridnya
Seorang murid minta jawaban dari gurunya atas sebuah pertanyaan yang tak berguna. Syaikh itu pun berkata, "Lebih dulu basuhlah mukamu. Dapatkah wangian kesturi tercium dalam bau kebusukan? Aku tak memberikan pengetahuan pada orang-orang yang mabuk."
Seorang Darwis Mencintai Puteri Pemelihara Anjing
Adalah pada suatu ketika seorang syaikh terpuji yang mengenakan khirka kemiskinan, tetapi ia jatuh cinta pada puteri seorang yang banyak memelihara anjing, dan dengan harapan akan dapat melihat puteri itu, ia pun hidup dan tidur di jalanan. Ibu si gadis mengetahui hal ini, lalu berkata pada syaikh itu, "Kau tentu saja tahu bahwa kami ini pemelihara anjing, tetapi karena kau jatuh hati pada puteri kami, maka kau boleh mengawininya setahun lagi, dan tinggal bersama kami; dan kau harus bersedia menjadi pemelihara anjing dan menerima cara hidup kami." Karena syaikh itu tak tanggung-tanggung cintanya, maka ia pun menanggalkan jubah Sufinya dan mulai bekerja. Setiap hari dibawanya seekor anjing ke pasar, dan yang demikian itu terus dilakukannya selama hampir setahun. Suatu hari, seorang Sufi lain, yang juga sahabatnya, berkata padanya, "O orang hina, selama tiga puluh tahun kau telah menekuni dan merenungi perkara-perkara ruhani, dan kini kau melakukan apa yang tak pernah dilakukan oleh orang-orang yang sejajar denganmu!"
Syaikh itu menjawab, "Kau tak melihat hal yang sebenarnya, maka janganlah menyanggah. Bila kau ingin mengerti, ketahuilah bahwa hanya Tuhanlah yang mengetahui kerahasiaan itu dan hanya Dialah yang dapat menyingkapkannya. Lebih baik tampak menggelikan ketimbang seperti kau, tak pernah memasuki kerahasiaan Jalan Ruhani."
Lembah Kelima atau Lembah Keesaan
Hudhud melanjutkan, "Kau seterusnya harus melintasi Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala yang menegakkan kepala di sini menegakkan kepala dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau seakan melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya hanyalah satu. Semua merupakan esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan keabadian sebagai yang dulu dan yang kemudian, dan karena kedua keabadian ini telah lenyap, jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?"
Jawaban Si Gila Tuhan Seseorang bertanya pada seorang arif, "Apakah dunia ini? Dengan apa dapat dibandingkan?" Jawabnya, "Dunia ini, paduan dari kengerian dan kejahatan ini, ialah bagai pohon-palma dari lilin dihiasi dengan seratus warna. Bila kauremas pohon itu, ia pun menjadi segumpal lilin; karena itu warna-warna dan bentuk-bentuk yang kaukagumi tidaklah berharga se-obol pun. Jika ada keesaan tak mungkin ada keduaan; baik ?Aku? maupun ?Engkau? tidaklah penting.
Tetapi apakah gunanya kata-kataku, meskipun itu timbul dari lubuk jiwaku, kalau kau tak merenungkannya. Bila kau telah tercebur ke dalam lautan kehidupan lahiriah, seperti ayam hutan dengan sayap dan lar yang tak dapat menopangnya, maka jangan sekali-kali berhenti memikirkan bagaimana mencapai pantai."
Syaikh Bu Ali Dakkah Seorang perempuan tua menyerahkan sekeping emas pada Bu Ali sambil berkata, "Terimalah ini dariku." Jawab Bu Ali, "Aku hanya dapat menerima apa-apa dari Tuhan." Perempuan tua itu menjawab dengan tepat, "Dari mana anda belajar melihat ganda? Anda bukan orang yang dapat menyimpul-uraikan. Sekiranya anda tak bermata juling, akan dapatkah anda melihat beberapa benda serempak?"
Tiadalah Ka?bah maupun Pagoda. Pelajarilah dari mulutku ajaran yang benar -adanya Wujud yang abadi. Kita jangan melihat siapapun yang lain kecuali Dia. Kita ada dalam Dia, karena Dia, dan bersama Dia. Kita mungkin pula berada di luar keadaan-keadaan ini. Siapa pun yang tak berendam dalam Lautan Keesaan tidaklah layak sebagai umat manusia.
Akan datang hari ketika Matahari akan menyingkapkan cadar yang menyelubunginya. Selama kau terpisah, baik dan buruk akan timbul dalam dirimu, tetapi bila kau meniadakan dirimu sendiri dalam Matahari Hakikat Keilahian, baik dan buruk itu akan teratasi oleh cinta. Selagi kau berlambat-lambat di jalan, kau akan tertahan oleh kesalahan-kesalahan dan kelemahan. Belumkah kau menyadari bahwa dalam dirimu ada kesombongan, kecongkakan, kebanggaan-diri, cinta-diri dan sifat-sifat lain yang kotor! Meskipun ular dan kalajengking mungkin mati tampaknya dalam dirimu, namun mereka hanya tidur; dan bila mereka tersentuh, mereka pun akan bangun dengan kekuatan seratus naga. Dalam masing-masing diri kita ada neraka ular. Bila kau dapat menyelamatkan dirimu dari makhluk-makhluk kotor ini, kau akan tinggal tenang; bila tidak, mereka akan menyakitkanmu dengan bisa meski kau di debu kubur sekalipun hingga hari perhitungan kelak.
Dan kini, o Attar, tinggalkan pembicaraanmu yang penuh ibarat dan kembalilah pada pemerian tentang lembah Keesaan yang penuh rahasia itu.
Hudhud pun melanjutkan, "Bila musafir ruhani memasuki Lembah ini, ia akan lenyap dan hilang dari pandangan, karena Wujud Tak Berbanding itu menampilkan dirinya; musafir itu akan diam karena Wujud ini akan bersabda.
Bagian akan menjadi keseluruhan, atau lebih tepat, tak akan ada lagi bagian maupun keseluruhan. Dalam kelompok Rahasia ini akan kaulihat ribuan orang dengan pengetahuan kecerdasan pikiran, bibir mereka ternganga diam. Apakah artinya pengetahuan kecerdasan pikiran di sini. Ia terhenti di ambang pintu seperti bocah yang buta. Ia yang menemukan sesuatu dari Rahasia ini memalingkan mukanya dari kerajaan kedua dunia itu. Wujud yang kubicarakan itu ada tidak secara terpisah; segalanya ialah Wujud ini; ada dan tiada ialah Wujud ini."
Doa Lukman Sarkhasi Lukman Sarkhasi berkata, "O Tuhan, hamba sudah tua, dan pikiran hamba rusuh; hamba telah tersesat dari Jalan itu. Bagi seorang abdi yang tua orang-orang biasa memberikan surat kebebasan. Dalam pengabdian hamba padamu, o Raja hamba, rambut hamba yang hitam sudah menjadi putih salju. Hamba seorang abdi, yang merasa sedih berilah kiranya hamba kini surat kebebasan."
Sebuah suara dari dunia batin menjawab, "Kau, yang terutama telah diperkenankan ke tempat suci ini, ketahuilah bahwa ia yang menghendaki kebebasan dari penghambaan, harus membuang pikirannya dan tidak membiarkan dirinya diliputi kecemasan dan ketakutan."
Lukman berkata, "O Tuhan hamba, hanya Engkau yang hamba dambakan, dan hamba tahu bahwa hamba tak boleh membiarkan diri dipengaruhi angan-angan atau kecemasan dan ketakutan." Setelah Lukman meninggalkan semua itu, ia pun berkata, "Kini hamba tak tahu siapa hamba. Hamba bukan abdi, tetapi siapakah hamba? Kedudukan hamba sebagai abdi sudah berakhir, tetapi kebebasan hamba tidak menggantikannya dalam hati hamba tiada suka maupun duka. Hamba tanpa sifat, namun hamba tak kehilangan sifat, Hamba seorang perenung, namun hamba tak punya renungan. Hamba tak tahu apakah Engkau hamba atau hamba Engkau; hamba telah menjadi tiada dalam Engkau dan keduaan pun lenyaplah."
Seorang Pencinta Menyelamatkan Kekasihnya dari Sungai
Seorang wanita muda jatuh ke dalam sungai, dan pencintanya pun terjun hendak menyelamatkannya. Ketika si pencinta itu dapat meraihnya, wanita itu berkata, "Oh, mengapa kau pertaruhkan hidupmu karena aku?" Jawab si pencinta, "Bagiku tiada orang lain kecuali kau. Bila kita bersama, maka sungguh aku ini kau, dan kau aku. Kita berdua ini satu. Kedua diri-kita satu, itu saja."
Bila keduaan lenyap, keesaan ditemukan.
Cerita Lain tentang Mahmud dan Ayaz
Ada diceritakan bahwa suatu kali Faruk: dan Masud hadir pada pameran barisan tentara Mahmud yang terdiri dari gajah, kuda dan pasukan perajurit yang tak terhitung banyaknya, sehingga bumi pun seakan tertutup dengan semut dan belalang. Ayaz dan Hassan menyertai Mahmud yang duduk di suatu tempat yang tinggi.
Ketika bala tentara yang hebat itu berjalan dalam barisan melalui mereka, raja besar itu dengan begitu saja berkata pada Ayaz, "Anakku, segala gajah, kuda dan perajuritku ini kini menjadi milikmu, karena cintaku padamu sedemikian rupa sehingga kupandang kau sebagai raja." Meskipun kata-kata itu diucapkan oleh Mahmud yang termasyhur itu, namun Ayaz tampak tak peduli dan tak bergerak; tiada ia berterimakasih pada raja maupun memberikan ulasan. Dengan heran, Hassan pun berkata padanya, "Ayaz, seorang raja telah memberikan kehormatan padamu, seorang hamba biasa, dan kau tak sedikit juga memperlihatkan tanda berterimakasih; kau pun tak pula membungkuk maupun bersujud sebagai tanda hormat." Ayaz sedikit berpikir dan kemudian katanya, "Mesti kuberikan dua jawaban atas celaanmu: yang pertama ialah bahwa bila aku, yang tak punya ketetapan dan kedudukan ini, hendak menunjukkan pengabdianku pada raja, maka aku hanya dapat menjatahkan diri pada debu di hadapannya dalam semacam kehinaan diri atau jika tidak demikian, menyanyikan pujian-pujian untuknya dengan suara melolong-lolong. Antara berbuat berlebih-lebihan dan berbuat kelewat sedikit, lebih baik tak berbuat apa-apa. Hamba ini hamba raja, dan hormatku pada raja dianggap sebagai sudah semestinya. Adapun tentang kehormatan yang telah dianugerahkan raja yang berbahagia ini kepadaku, seandainya kedua dunia mesti menyatakan pujian-pujian untuknya, kesaksian keduanya itu pun tak akan sebanding dengan kebaikan raja. Kalau aku tak menunjukkan kelakuan yang berlebihan, dan tak menyatakan kesetiaanku, adalah karena aku merasa diriku tak layak berbuat demikian."
Hassan berkata, "O Ayaz, aku tahu sekarang bahwa kau merasa berterima kasih dan aku menaruh percaya padamu karena kau layak mendapat seratus karunia." Kemudian tambahnya, "Kini katakan padaku jawaban yang kedua." Tetapi Ayaz berkata, "Tak dapat aku bicara dengan bebas di hadapanmu; itu hanya dapat kulakukan kalau aku sendirian saja dengan raja. Kau bukan mahram rahasia itu." Maka raja pun minta agar Hassan meninggalkan mereka, dan ketika tak ada lagi "kita" atau "aku", maka Ayaz pun berkata, "Ketika raja berkenan melemparkan pandangan pada diri hamba, ia memusnahkan adaku dengan kegemilangan cahayanya. Karena dalam cahaya mataharinya yang gemilang itu aku tak ada lagi, bagaimana aku akan bersujud diri? Ayaz ialah bayang-bayangnya, hilang dalam matahari wajahnya."
Lembah Keenam, Lembah Keheranan dan Kebingungan
etelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan. Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan perjalanan? Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh dan sekaligus juga hampa cinta."
Puteri yang Mencintai Hambanya
Seorang raja, dengan kerajaannya yang membentang hingga ke ufuk-ufuk jauh, mempunyai seorang puteri secantik bulan. Di hadapan kecantikannya, bahkan peri-peri pun merasa malu. Dagunya yang berlekuk serupa dengan sumur Yusuf,1 dan ikal rambutnya melukai seratus hati. Kedua alisnya busur kembar. Dan bila dilepaskannya panah-panah dari busur itu, ruang di antaranya pun menyanyikan pujian-pujian untuknya. Matanya, yang sayu bagai kembang narsis, melemparkan duri-duri bulu matanya di jalan para arif. Wajahnya bagai matahari ketika menggantikan keperawanan bulan. Malaikat Jibril tak dapat mengalihkan matanya dari mutiara-mutiara dan manikam-manikam mulutnya. Senyum bibirnya mengeringkan air hayat yang memandangnya, yang masih mengemis sedekah dari bibir itu juga. Siapa memandang dagunya akan jatuh terjungkir ke sumber air yang berbuih-buih.
Raja itu juga mempunyai seorang hamba, orang muda yang begitu tampan sehingga matahari pun menjadi pucat dan cahaya bulan suram. Bila orang muda itu berjalan di jalan-jalan dan di pasar, orang banyak pun berhenti hendak memandangnya.
Kebetulan pada suatu hari puteri raja melihat hamba itu, dan segera ia pun jatuh hati. Pikiran hilang dan cinta pun menguasainya. Menarik diri dari kawan-kawannya, puteri itu merenung-renung. Dan dengan merenung-renung dan membayangkan, ia mulai terbakar cinta. Maka dipanggilnya kesepuluh dayang kehormatannya yang muda-muda. Mereka pemusik-pemusik ulung, pemain alat-alat tiup dan seruling; suara mereka seperti suara bulbul, dan nyanyian mereka, yang mencabik-cabik jiwa, sebanding dengan nyanyian Daud. Setelah menyuruh mereka berkumpul di sekelilingnya, ia pun menceritakan keadaan dirinya dengan mengatakan bahwa ia bersedia mengorbankan nama, kemuliaan dan hidupnya demi cintanya terhadap orang muda itu: sebab bila orang begitu tenggelam dalam cinta, ia canggung bagi hal-hal yang lain. "Tetapi," katanya, "bila kukatakan padanya tentang cintaku, tak sangsi lagi dia akan melakukan sesuatu yang kurang pikir. Jika diketahui orang bahwa aku telah bermesraan dengan seorang hamba, maka dia maupun aku tentu akan menderita. Sebaliknya, bila ia tak memiliki aku, aku akan mati merana di balik tirai sanastri. Aku telah membaca seratus buku tentang kesabaran, namun aku tetap tak memiliki kesabaran itu. Apa dayaku! Aku harus mendapatkan jalan untuk menikmati cinta dari pohon saru yang lampai ini, sehingga gairah jasmaniku akan sejalan dengan kerinduan jiwaku ? dan ini harus dilakukan tanpa setahu dia."
Kemudian dayang-dayang yang bersuara merdu itu berkata, "Janganlah Tuanku Puteri bersedih. Malam nanti kami akan membawa dia ke mari tanpa setahu siapa pun, bahkan dia sendiri tak akan tahu sedikit pun tentang itu."
Segera salah seorang gadis remaja itu pergi dengan diam-diam mendapatkan hamba itu, dan seperti bermain-main, dimintanya hamba itu membawa dua piala anggur. Ke dalam salah satu piala itu dimasukkannya obat, sambil dicari-carinya akal agar hamba itu mau meminumnya. Segera hamba itu pun tertidur, sehingga si dayang dapat melaksanakan rencananya, dan orang muda yang berdada perak itu tetap tak kabarkan dirinya.
Ketika malam tiba, dayang-dayang kehormatan itu datang mengendap-endap ke tempat si hamba terbaring, lalu menaruh orang itu di atas tandu dan membawanya ke tempat tuan puteri. Kemudian mereka dudukkan hamba itu di atas singgasana kencana dan mereka kenakan rangkaian mutiara di kepalanya. Pada tengah malam, masih sedikit terbius oleh obat itu, si hamba membuka mata dan melihat istana seindah sorga, sedang di sekelilingnya tempat-tempat duduk dari kencana. Tempat itu diterangi dengan sepuluh lilin besar yang diberi wangian damar-harum, sedang kayu cendana yang semerbak terbakar dalam bejana-bejana. Dara-dara itu mulai menyanyi dengan lagu-lagu yang demikian merdu sehingga pikiran seakan mengucapkan selamat tinggal pada jiwa, dan jiwa pada raga. Kemudian matahari anggur pun berputar-putar sekeliling nyala lilin-lilin itu. Bingung karena kegembiraan di seputarnya dan silau karena kecantikan puteri raja, orang muda itu kehilangan kesadarannya. Ia benar-benar tidak lagi ada di atas dunia ini dan tidak pula di dunia lain. Dengan hati penuh cinta, dan raga dikuasai gairah damba, di tengah segala keriangan ini ia pun tenggelam dalam haru-gembira. Matanya terpancang pada kecantikan puteri raja itu dan telinganya pada bunyi seruling-seruling bambu. Lubang hidungnya menghirup wangian damar harum, dan anggur di mulutnya menjadi serupa api cair. Puteri raja itu menciumnya, dan si hamba mengucurkan air mata kegirangan, sementara sang puteri menyatukan airmatanya dengan air mata hamba itu. Kadang sang puteri menekankan ciuman manis di mulut si hamba, kadang ciuman itu dibumbui rasa garam; kadang sang puteri mengusutmasaikan rambut si hamba yang panjang itu, kadang kehilangan dirinya sendiri di mata si hamba. Hamba itu memiliki sang puteri; dan demikianlah mereka lewatkan waktu itu hingga fajar terbit di Timur. Ketika sepoi pagi berembus, hamba muda itu merasa sedih, tetapi mereka buat lagi dia tidur lalu mereka bawa kembali ke tempat kawan-kawannya.
Ketika dia yang berdada perak itu sadar, tanpa tahu kenapa, dia pun menangis. Orang boleh mengatakan bahwa peristiwa itu sudah selesai, maka apa gunanya diratapi. Hamba itu merobek-robek pakaiannya, menarik-narik rambutnya dan mengotori kepalanya dengan tanah. Mereka yang ada di sekelilingnya menanyakan kenapa ia berbuat demikian, dan apa yang telah terjadi. Kata hamba itu, "Tak mungkin menggambarkan apa yang telah kulihat, tiada orang lain yang mungkin pernah melihatnya kecuali dalam mimpi, karena apa yang telah terjadi padaku tak mungkin pernah terjadi pada siapa pun sebelumnya. Tiada lagi rahasia yang lebih menakjubkan."
Seorang kawannya berkata, "Bangunlah dan ceritakan pada kami setidak-tidaknya satu dari seratus peristiwa yang terjadi itu." Jawab si hamba, "Aku bingung sebab apa yang kulihat itu kualami dengan tubuh lain. Selagi tak mendengar apa-apa, aku mendengar segalanya; selagi tak melihat apa-apa, aku melihat segalanya."
Yang lain berkata, "Adakah kau telah kehilangan kesadaranmu atau adakah kau telah bermimpi?" "Ah," kata hamba itu, "aku tak tahu apakah aku mabuk atau sadar ketika itu. Apakah lagi yang lebih membingungkan daripada sesuatu yang tak tersingkap dan juga tak tersembunyi. Apa yang telah kulihat itu tak mungkin akan kulupakan, namun aku tak dapat membayangkan di mana peristiwa itu terjadi. Selama semalam suntuk aku bersuka-suka dengan seorang puteri jelita yang tiada bandingnya. Siapa dan apakah sebenarnya dia itu, aku tak tahu. Hanya cinta yang tinggal, itu saja. Tetapi Tuhan mengetahui yang sebenarnya."
Si Ibu dan Anaknya Perempuan yang Meninggal
Seorang yang sedang lewat, yang melihat seorang ibu sedang menangisi kubur anaknya perempuan, berkata, "Wanita ini lebih unggul daripada kami laki-laki, sebab ia tahu siapa yang telah hilang daripadanya dan dengan siapa dia telah berpisah. Beruntunglah perempuan, atau laki-laki, yang tahu siapa yang telah hilang daripadanya, dan siapa yang dia tangisi. Akan halnya diriku, meskipun aku duduk meratap dan airmataku mengucur bagai hujan, namun aku tak tahu siapa yang kutangisi. Perempuan ini menggondol bola keunggulan dari ribuan orang macam aku ini, sebab ia telah menemukan wangian makhluk yang telah hilang daripadanya."
Kunci yang Hilang Seorang Sufi mendengar orang berseru, "Adakah yang menemukan kunci? Pintuku terkunci dan aku berdiri di debu jalanan. Bila pintuku tinggal tertutup, apa yang mesti kulakukan?"
Sufi itu berkata padanya, "Mengapa kau risau? Karena pintu itu pintumu, tinggal saja di dekatnya, meskipun tertutup. Bila kau punya kesabaran untuk menunggu cukup lama tentulah seseorang akan membukakan pintu itu bagimu. Keadaanmu lebih baik dari keadaanku, sebab aku tak punya pintu maupun kunci. Doakan saja pada Tuhan semoga aku dapat menemukan pintu, yang terbuka ataupun tertutup.
Orang selalu hidup dalam angan-angan, dalam mimpi; tiada yang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Kepada dia yang mengatakan padamu, "Apa yang mesti kulakukan?" katakanlah padanya, "Jangan lakukan apa yang sudah biasa kau lakukan selama ini; jangan berbuat apa yang sudah biasa kau perbuat selama ini." Ia yang memasuki Lembah Keheranan ini cukup sedih memikirkan seratus dunia. Bagi diriku, aku bingung dan tersesat. Ke mana aku akan melangkah? Doakan pada Tuhan semoga aku tahu! Tetapi ingat, ratapan insan akan menurunkan kerahiman.
Murid yang Melihat Gurunya dalam Mimpi
Seorang murid pada suatu malam melihat almarhum gurunya dalam mimpi dan berkata padanya, "Macam mana kiranya keadaan di tempat Tuan berada sekarang? Sepeninggal Tuan, murid Tuan ini telah terjerat dalam kebingungan dan merana karena duka."
Sang guru menjawab, "Aku dalam keheranan sedemikian rupa sehingga aku hanya dapat menggigit punggung tanganku. Aku ada dalam lubang penjara, diam tercengang-cengang; dan aku lebih merasa terkejut daripada yang pernah kualami dalam hidup."
Catatan kaki: 1 Lekuk dagu sering dikiaskan dengan sumur atau mata air.
Lembah Ketujuh atau Lembah Keterampasan dan Kematian
Hudhud melanjutkan, "Terakhir dari semua itu menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita.
Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua ?mereka hanya sebanding dengan barang-barang tambang. Bila kayu cendana dan duri-duri menjadi abu, keduanya tampak sama ?tetapi mutu keduanya berbeda. Barang najis yang dimasukkan ke dalam air-mawar akan tetap tinggal najis karena sifat-sifat dasarnya semula; tetapi barang suci yang dijatuhkan ke lautan akan kehilangan wujudnya yang tersendiri dan akan menyatukan diri dengan lautan itu dengan segala geraknya. Dengan berhenti ada secara terpisah ia akan mendapatkan keindahannya. Ia ada dan tidak ada. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikiran tak dapat membayangkannya."
Fatwa Nassir Uddin Yang terkasih dari Tus, lautan rahasia-rahasia ruhani itu, berkata pada salah seorang muridnya, "Leburkan dirimu dalam api cinta hingga kau menjadi sekecil rambut, maka kau pun akan layak menduduki tempatmu di antara ikal rambut kekasihmu. Bila matamu kau arahkan ke Jalan itu dan bila kau awas, maka renungkanlah dan pikirkanlah, rambut demi rambut.
Ia yang membelakangi dunia ini untuk menempuh Jalan itu, akan mendapatkan kematian; ia yang mendapatkan kematian, akan mendapatkan kebakaan. O hatiku, bila kau telah herubah sepenuhnya, seberangilah jembatan Sirat1 dan api yang menyala; karena bila minyak dalam lampu itu terbakar, ia akan merupakan asap sehitam gagak tua, tetapi bila minyak itu diserap api, ia akan tak memiliki wujudnya yang kasar lagi.
Bila kau ingin sampai ke tempat yang luhur itu, lebih dulu bebaskan dirimu sendiri; kemudian keluarlah dari ketiadaan bagai Buraq2 kedua. Kenakan khirka kenihilan dan minumlah dari piala kemusnahan, kemudian kebatlah dadamu dengan ikat pinggang penafsiran dan kenakan di kepalamu kecemerlangan keadaan-tiada. Tempatkan kakimu pada sanggurdi ketakterikatan, dan pacu kudamu yang tak berguna itu ke tempat di mana tak ada apa pun lagi. Tetapi jika dalam dirimu masih tinggal nafsu kepentingan diri biar sedikit, maka ketujuh laut akan penuh kesengsaraan bagimu."
Cerita tentang Kupu-kupu Suatu malam, kawanan kupu-kupu berkumpul, disiksa hasrat hendak menyatukan diri dengan lilin. Kata mereka, "Kita harus mengutus salah satu dari kita yang akan membawa keterangan pada kita tentang sasaran cinta yang hendak kita cari itu." Maka salah seekor di antaranya berangkat dan tiba di sebuah puri, dan di dalam puri itu ia melihat cahaya sebatang lilin. Ia pun kembali, dan sesuai dengan pengertian yang diperolehnya, ia menceritakan apa yang telah dilihatnya. Tetapi kupu-kupu arif yang mengetuai pertemuan itu menyatakan pendapatnya bahwa utusan itu tak mengerti apa-apa tentang lilin. Maka kupu-kupu lain pun pergi ke sana pula. Ia menyentuh nyala lilin itu dengan ujung sayapnya, tetapi panas pun menghalaukannya. Oleh karena laporannya tak lebih memuaskan dari laporan yang pertama, maka kupu-kupu yang ketiga pun pergi pula. Yang seekor ini, karena dimabuk cinta, melontarkan diri ke dalam nyala lilin itu; dengan kaki depannya ia berpaut pada nyala lilin itu dan menyatukan dirinya dengan senang pada lilin itu. Dipeluknya lilin itu sepenuhnya, dan badannya pun menjadi semerah api. Kupu-kupu arif, yang mengawasi dari jauh, melihat bahwa nyala lilin dan kupu-kupu utusan itu tampak satu, dan katanya, "Ia telah dapat mengetahui apa yang ingin diketahuinya; tetapi hanya dia yang tahu, dan tak ada yang dapat menuturkannya."
Seorang Sufi yang Mendapat Perlakuan Buruk
Seorang Sufi tengah berjalan-jalan dengan malas ketika ia dipukul dari belakang. Ia pun menoleh dan mengatakan pada bedebah yang telah memukulnya itu, "Orang yang kau pukul ini sudah mati lebih dari tiga puluh tahun." Si bedebah menjawab, "Bagaimana dapat orang yang sudah mati bicara.? Hendaklah malu, kau tak menunggal dengan Tuhan. Bila kau terpisah biar serambut saja pun dari dia, maka adalah itu seakan kau terpisah sejauh seratus dunia."
Bila kau menjadi abu, termasuk juga barang-barangmu, maka sedikit pun kau tak akan merasa ada; tetapi bila, seperti pada Isa, masih tinggal padamu biar hanya sebatang jarum yang sederhana saja, maka seratus pencuri akan menghadangmu di jalan. Walau Isa telah membuang barang-barang bawaannya, namun jarum itu masih dapat menggores-gores wajahnya.3
Bila ada itu lenyap, tiada kekayaan maupun kerajaan, kehormatan maupun keagungan, akan berarti.
Pangeran dan Pengemis Adalah suatu ketika seorang raja mempunyai putera yang begitu menawan seperti Yusuf, penuh daya pesona dan keindahan. Putera raja itu dicintai setiap orang, dan semua yang melihatnya maulah rasanya dengan senang menjadi debu di bawah kakinya. Bila ia berjalan malam-malam, adalah seakan matahari baru telah terbit di atas gurun. Matanya bunga narsis hitam, dan bila mata itu memandang, dunia pun menyala karenanya. Senyumnya menebarkan gula, dan di mana saja ia berjalan seribu mawar akan berbunga, tak menunggu musim semi.
Maka adalah seorang darwis biasa yang terpikat hatinya pada pangeran muda ini. Siang dan malam ia duduk dekat istana sang pangeran, tidak makan tidak tidur. Mestinya ia sudah mati, bila tidak sekali-sekali dapat melihat sepintas pangeran muda itu ketika muncul di pasar. Tetapi bagaimana mungkin seorang pangeran yang semulia itu melipur seorang darwis miskin dalam keadaan demikian? Namun orang biasa ini, yang merupakan bayang-bayang, bagian dari sebutir zarrah, ingin mendekap matahari cemerlang itu di dadanya.
Suatu hari ketika pangeran itu sedang dijulang di kepala para abdinya, darwis itu bangkit berdiri dan berseru-seru, mengatakan, "Sudah gila hamba ini, hati hamba teramat sedih, hamba tak sabar dan tak kuat lagi menderita," lalu ia pun memukul-mukulkan kepalanya ke tanah di hadapan sang pangeran. Salah seorang pengawal istana hendak menyuruh bunuh darwis itu, lalu menghadap raja. "Tuanku," katanya, "seorang yang tak waras telah jatuh cinta kepada putera Tuanku."
Raja pun amat murka, "?Hukum si jahanam yang berani mati itu dengan hukum tusuk," katanya. "Ikat tangan dan kakinya, dan pancangkan kepalanya di atas tiang." Orang istana itu pun segera pergi menjalankan perintah raja. Orang-orang pun memasang tali jerat di leher pengemis itu lalu menyeretnya ke tiang. Tak seorang tahu apa yang akan terjadi dan tak seorang pun membela si pengemis. Setelah wazir menyuruh bawa dia ke bawah tiang perantaian, darwis itu pun menjerit sedih dan katanya, "Demi kasih Tuhan, beri hamba pertangguhan, agar setidak-tidaknya hamba dapat mengucapkan doa di bawah tiang perantaian." Ini dikabulkan, dan darwis itu pun bersujud dan berdoa, "O Tuhan, karena raja telah memerintahkan untuk membunuh hamba ?hamba yang tak berdosa ini? maka karuniai hamba, abdi yang bodoh ini, sebelum hamba mati, dengan kemujuran untuk melihat ? biar sekali saja pun ?wajah pangeran muda itu, sehingga hamba dapat menyerahkan diri hamba sebagai korban. O, Tuhan, Raja hamba, yang mendengarkan seribu doa, kabulkan permohonan hamba yang terakhir ini."
Begitu darwis itu selesai mengucapkan doa itu maka panah hasratnya pun segera mencapai sasarannya. Wazir pun mengetahui keinginannya yang tersembunyi itu dan menaruh kasihan padanya. Ia pun menghadap raja dan menjelaskan ihwal yang sebenarnya. Mendengar itu raja pun termenung; kemudian perasaan belas kasihan pun memenuhi hatinya, dan ia mengampuni darwis itu, lalu berkata pada sang pangeran, "Pergilah mendapatkan si miskin itu di bawah tiang perantaian. Berlakulah lemah lembut padanya, dan ajak dia minum bersama, karena dia telah mengenyam racunmu. Bawa dia ke tamanmu dan kemudian bawa dia ke mari."
Pangeran muda, Yusuf kedua itu, segera pergi ?matahari yang berwajah api itu datang bertemu muka dengan sebuah zarrah. Lautan mutiara-mutiara indah itu pergi mencari setitik air. Pukul-pukullah kepalamu karena gembira, tapakkan kakimu menari, dan bertepuk tanganlah! Tetapi darwis itu ada dalam putus asa; airmatanya membuat debu menjadi lumpur, dan dunia pun menjadi berat karena keluhan-keluhannya. Bahkan pangeran itu sendiri tak dapat menahan tangisnya, Ketika darwis itu melihat airmata sang pangeran, ia berkata, "O Pangeran, kini Tuan boleh mengambil nyawa hamba." Dan setelah berkata demikian, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, mati. Ketika mengetahui bahwa ia telah menjadi satu dengan yang dikasihinya, maka tak ada lagi keinginan-keinginan lain yang tinggal padanya.
O kau, yang ada namun sekaligus juga sesuatu yang tak berarti, dengan kebahagiaanmu yang bercampur dengan kesengsaraanmu, bila kau belum pernah mengalami kegelisahan, bagaimana kau akan menghargai ketenangan? Kau rentangkan tanganmu hendak mencapai kilat tetapi terhalang oleh timbunan salju yang tersapu. Berusahalah dengan berani, bakar-musnahkan pikiran, dan serahkan dirimu pada kedunguan. Bila kau ingin menggunakan ilmu alkimia4 ini, renungkanlah sedikit, dan ikuti contohku, tinggalkan dirimu sendiri; dari pikiranmu yang mengelana hendaklah kau menarik diri ke dalam jiwamu agar kau dapat sampai pada kepapaan ruhani. Akan halnya diriku, yang bukan aku dan bukan pula yang-lain-dari-aku, telah tersesat dari diriku sendiri, dan tak mendapatkan penawar lain kecuali putus asa.
Pertanyaan Seorang Murid pada Syaikhnya
Seseorang yang berusaha mengatasi kelemahannya pada suatu ketika bertanya pada Nuri, "Bagaimana aku akan dapat mencapai persatuan dengan Tuhan?" Nuri menjawab, "Untuk itu, kau harus menyeberangi tujuh lautan cahaya dan tujuh lautan api, dan menempuh jalan yang amat panjang. Bila kau telah menyeberangi dua kali tujuh lautan ini, seekor ikan akan menghela kau kepadanya, ialah macam ikan yang bila bernafas menyedot ke dadanya yang awal dan yang akhir. Ikan yang mengagumkan ini tak berkepala maupun berekor. Ia menahan diri di tengah lautan, diam dan terpisah; ia menyapu-hilangkan kedua dunia dan ia menyerap segala makhluk tanpa kecuali."
Catatan kaki: 1 Sirat (lengkapnya: Sirat al-Mustakim): Jalan Lurus, Jalan Benar. Juga: Jembatan yang melintang di atas jurang neraka; lebih halus daripada sehelai rambut, lebih tajam daripada pedang, penuh dengan duri dan semak-duri. Mereka yang baik akan lalu dengan selamat, tetapi mereka yang jahat akan jatuh ke dalam jurang itu.
2 Yang Terang Bersinar. Kendaraan Nabi Muhammad waktu melakukan Mikraj malam hari.
3 Waktu penyaliban, Tuhan menaikkan Isa ke langit ketujuh, dan kebetulan sebatang jarum dan kendi yang pccah terbawa olehnya. Karena barang-barang duniawi itu menjadi larangan Tuhan maka Isa diturunkan ke langit keempat. Di sana ia akan tetap tinggal dalam kemuliaan dan ia akan datang kembali pada Hari Kemudian.
4 Ilmu kimia kuno; tujuannya yang terutama ialah mengubah logam-logam biasa menjadi emas dan menemukan minuman yang dapat membuat orang tetap muda. Di sini tentu saja dipakai dalam arti metaforis. ? H.A.
Sikap Burung-Burung Setelah burung-burung mendengarkan pembicaraan Hudhud, kepala mereka pun terkulai, dan kesedihan mencucuk-cucuk hati mereka. Kini mereka mengerti betapa sulit bagi sekepul debu seperti mereka untuk meregang busur sehebat itu. Begitu besar gairah mereka sehingga banyak yang mati di tempat dan saat itu. Tetapi yang lain-lain, betapa sengsaranya pun, memutuskan untuk menempuh jalan panjang itu. Bertahun-tahun mereka mengembara melintasi gunung demi gunung dan lembah demi lembah, dan sebagian besar hidup mereka mengalir lalu di perjalanan itu. Tetapi bagaimana mungkin menuturkan segala yang telah terjadi pada mereka? Perlu berjalan bersama mereka dan mengetahui kesulitan-kesulitan mereka, serta mengikuti pengembaraan-pengembaraan di jalan panjang itu; barulah kita dapat menyadari penderitaan burung-burung itu.
Pada akhirnya, hanya sejumlah kecil dari kawanan yang besar itu dapat sampai ke tempat mulia yang ditunjukkan Hudhud. Dari ribuan burung itu hampir semuanya telah lenyap. Banyak yang hilang di lautan, yang lain binasa di puncak gunung-gunung tinggi, disiksa dahaga; yang lain lagi terbakar sayapnya, sedang hatinya mengering karena api matahari; sebagian dimangsa macan dan macan tutul, sebagian lagi mati kecapaian di gurun-gurun dan di hutan-hutan belantara, dengan bibir kering dan tubuh kepanasan: ada yang menjadi gila dan saling berbunuhan karena sebutir jawawut; ada pula yang karena lemah oleh penderitaan dan keletihan, jatuh di jalan dan tak kuat melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi; yang lain, bingung karena apa-apa yang mereka lihat, berhenti di tempat itu, tercengang-cengang; dan banyak, yang telah berangkat lantaran ingin tahu atau senang, tewas tanpa mendapat gambaran tentang apa yang mereka cari dalam perjalanan yang telah mulai mereka tempuh itu.
Karena itu, dari semua burung yang beribu-ribu itu, hanya tiga puluh saja yang dapat sampai ke tujuan perjalanan itu. Dan mereka ini pun kebingungan pula, letih, dan sedih, tak berbulu dan bersayap lagi. Tetapi kini mereka ada di muka pintu Yang Mulia, yang tak terperikan, dan yang hakikat dirinya tak terpahami ? Wujud yang mengatasi pikiran dan pengetahuan makhluk. Maka memancarlah kilat kepuasan, dan seratus dunia pun terbakar-musnah dalam sekejap saja. Dan mereka pun melihat ribuan matahari, masing-masing lebih gemilang dari yang lain, ribuan bulan dan bintang, semua sama indahnya, dan melihat semua itu, mereka pun keheranan dan bergairah bagai sebutir zarrah debu, dan mereka pun berseru, "O Paduka yang lebih cemerlang dari surya! Yang membuat surya tampak bagai sebutir zarrah, bagaimana mungkin kami terlihat di muka Baduka? Ah, mengapa kami telah menanggung segala penderitaan di Jalan itu dengan begitu sia-sia? Setelah meninggalkan segalanya dan diri kami sendiri, kami kini tak mungkin mendapatkan apa yang telah kami usahakan. Di sini tak penting lagi apakah kami ada atau tidak."
Maka burung-burung yang cemas sehingga mereka menyerupai ayam jago yang setengah mati itu tenggelam dalam putus-asa. Waktu yang lama pun berlalu. Ketika, pada saat yang baik, tiba-tiba pintu terbuka, keluarlah kepala rumah tangga keraton, salah seorang abdi keraton Seri Baginda. Ia memeriksai burung-burung itu dan mengetahui bahwa dari yang beribu-ribu itu hanya tiga puluh ekor burung itu yang tinggal.
Ia pun berkata, "Nah, wahai burung-burung, dari mana kalian datang, dan hendak mengapa kalian ke mari? Siapa nama kalian? Wahai kalian yang tak memiliki apa pun, di mana rumah kalian? Kalian disebut apa di dunia? Apa yang mungkin dilakukan dengan sekepul debu yang lemah macam kalian ini?"
"Kami datang," kata mereka. "Untuk mengakui sang Simurgh sebagai Raja kami. Karena cinta dan damba kami terhadapnya, kami telah kehilangan akal dan kedamaian pikiran. Di masa yang sudah begitu lama berlalu, ketika kami berangkat dalam perjalanan ini, kami beribu-ribu, dan kini hanya tiga puluh yang sampai ke keraton mulia ini. Kami tak mungkin percaya bahwa Raja akan memurkai kami setelah kami mengalami segala penderitaan itu. Ah, tidak! Ia hanya akan memandang kami dengan pandangan penuh kemurahan!"
Kepala rumah tangga keraton itu menjawab, "O kalian yang risau dalam hati dan pikiran, apakah kalian ada atau tak ada di alam semesta, Raja senantiasa kekal adanya. Beribu-ribu makhluk dunia tak lebih dari semut depan pintu gerbangnya. Kalian tak lain hanya membawa keluh dan ratapan. Kalau demikian kembalilah ke tempat asal kalian, o kepul tanah yang hina!"
Mendengar itu, burung-burung itu kejang-kaku karena heran. Namun begitu, ketika mereka sadar kembali, mereka pun berkata, "Akankah Raja agung itu menolak kami begitu hinanya? Dan jika memang demikian sikapnya pada kami, tak mungkinkah ia mengubah sikap itu terhadap yang patut mendapat kemuliaan? Ingatlah Majnun yang mengatakan, ?Jika semua orang yang tinggal di bumi ini ingin menyanyikan pujian bagiku, tak akan kuterima mereka; aku lebih senang menerima hinaan-hinaan Laila. Satu saja hinaannya bagiku lebih dari seratus pujian yang datang dari wanita lain!'"
"Kilat keagungannya akan memancar sendirinya," kata kepala rumah tangga keraton itu, "ia akan mengangkat pikiran dari segala jiwa. Apakah gunanya bila jiwa hancur karena seratus duka? Apakah gunanya pada saat ini berada dalam keagungan atau kehinaan?"
Burung-burung, yang dibakar cinta itu, berkata, "Bagaimana mungkin kupu-kupu menyelamatkan diri dari nyala api bila ia ingin menjadi satu dengan nyala api itu? Sahabat yang kita cari akan memuaskan kita dengan memperkenankan kita menyatukan diri padanya. Bila kini kami ditolak, apakah lagi daya kami? Kami seperti kupu-kupu yang menginginkan persatuan dengan nyala lilin. Banyak yang meminta pada kupu-kupu itu agar tak mengorbankan diri begitu konyol dan demi tujuan yang sedemikian langka pula, namun kupu-kupu itu mengucapkan terima kasih pada mereka atas nasihat itu dan mengatakan pada mereka bahwa karena hatinya telah diserahkan pada nyala lilin itu buat selamanya, maka tak ada lagi yang mesti dipersoalkan."
Setelah menguji burung-burung itu, maka kepala rumah tangga keraton itu pun membukakan pintu, dan ketika ia menyingkapkan seratus tabir, satu demi satu, maka sebuah dunia baru di balik tabir itu tersingkap. Kini cahaya dari segala cahaya memancar, dan sekalian burung-burung itu duduk di atas masnad,1 tempat duduk Yang Mulia dan Agung. Kepada mereka diberikan nas, dan mereka diminta membaca itu, dan setelah membaca dan merenungkan, mereka pun dapat memahami keadaan mereka. Ketika mereka sepenuhnya merasa tenang dan terlepas dari segala apa pun, mereka menjadi sadar bahwa sang Simurgh ada di sana bersama mereka. Segala yang telah mereka perbuat dahulu terhapus. Matahari keluhuran memancarkan sinarnya, dan dalam saling merenungi wajah sesama mereka, ketiga puluh burung (si-murgh) dari dunia luar ini menatap sang Simurgh dari dunia dalam. Ini amat menakjubkan sehingga mereka tak tahu apakah mereka masih tetap mereka atau apakah mereka telah menjadi sang Simurgh. Akhirnya, dalam suasana tafakur itu, mereka menyadari bahwa mereka sang Simurgh dan bahwa sang Simurgh ketiga puluh burung itu juga. Ketika mereka menatap sang Simurgh, mereka melihat bahwa sungguh sang Simurgh yang ada di sana itu, dan ketika mereka mengarahkan pandang ke diri mereka sendiri, mereka melihat bahwa mereka sendiri sang Simurgh. Dan mengamati keduanya serempak, yaitu diri mereka sendiri dan Dia, mereka pun menyadari bahwa mereka dan sang Simurgh itu wujud yang satu dan yang itu juga. Tiada siapa pun di dunia pernah mendengar tentang sesuatu yang seperti itu.
Kemudian mereka tenggelam dalam tafakur, dan sejenak kemudian, tanpa menggunakan kata-kata, mereka mohon pada sang Simurgh agar menyingkapkan pada mereka rahasia tentang rahasia keesaan dan kejamakan segala wujud. Sang Simurgh, juga tanpa kata-kata, memberikan jawaban ini, "Matahari keluhuranku ialah cermin. Siapa bercermin di sana melihat jiwa dan raganya, melihat semua itu sepenuhnya. Karena kalian telah datang sebagai tiga puluh burung, si-murgh, kalian pun akan melihat tiga puluh burung dalam cermin itu. Bila empat puluh atau lima puluh yang datang, tentu akan melihat sejumlah itu pula. Meskipun kalian kini telah berubah sepenuhnya, namun kalian melihat diri kalian sendiri sebagaimana keadaan kalian dahulu.
Dapatkah penglihatan seekor semut sampai ke bintang Kartika yang sayup? Dan dapatkah serangga mengangkat landasan? Pernahkah kalian melihat nyamuk mencaplok gajah? Segala yang telah kalian ketahui, segala yang telah kalian lihat, segala yang telah kalian katakan atau kalian dengar-semuanya bukan yang itu lagi. Bila kalian melintasi lembah-lembah Jalan Ruhani dan bila kalian melakukan kewajiban-kewajiban yang baik, kalian melakukan semua itu dengan kegiatanku yang menyertai kalian; dan kalian dapat melihat lembah-lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian yang hanya tiga puluh burung saja, sepantasnya merasa kagum, tak sabar dan heran. Tetapi aku lebih dari tiga puluh burung. Aku hakikat sang Simurgh yang sejati itu sendiri. Maka leburkan diri kalian dalam diriku dengan jaya dan gembira, dan dalam diriku kalian akan menemukan diri kalian sendiri."
Segera sesudah itu, burung-burung itu akhirnya meniadakan diri mereka sendiri dalam diri sang Simurgh ? bayang-bayang telah lenyap dalam cahaya surya, dan begitulah adanya.
Segala yang telah kau dengar, kau lihat atau kau ketahui bukan pula awal dari apa yang harus kau ketahui, dan karena permukiman yang bobrok di dunia ini bukan tempatmu, maka kau harus meninggalkannya. Carilah pokok pohon itu, dan jangan risaukan apakah cabang-cabangnya ada atau tidak ada.
Kebakaan Setelah Kemusnahan
Setelah seratus ribu keturunan berlalu, burung-burung fana itu dengan sendirinya menyerahkan diri pada kemusnahan sepenuhnya. Tiada siapa pun, baik muda maupun tua, dapat berbicara dengan tepat tentang kematian atau kebakaan. Sebagaimana jauhnya kedua hal ini dari kita, sedemikian pula pemerian tentang keduanya tak mungkin jelas atau pasti. Jika pembacaku mengharapkan penjelasan dengan amsal tentang kebakaan yang menyusul setelah kemusnahan, untuk itu perlu kutulis buku lain. Selama kau terikat dengan perkara-perkara dunia, kau tak mungkin menempuh Jalan itu, tetapi bila dunia tak lagi mengikatmu, kau akan dapat memasukinya seperti dalam mimpi; tetapi mengetahui tujuannya, kau pun akan melihat manfaatnya. Suatu benih diasuh di antara seratus pemeliharaan dan cinta sehingga ia dapat menjadi makhluk yang cerdas dan berkegiatan. Ia dididik dan diberi pengetahuan yang perlu. Kemudian maut datang dan segalanya terhapus, keagungannya tergulingkan. Demikianlah suatu makhluk telah menjadi debu jalanan. Berkali-kali ia telah dimusnahkan; tetapi sementara itu, ia telah dapat mengetahui seratus rahasia yang sebelumnya tak pernah disadarinya, dan pada akhirnya ia mendapat kebakaan, dan beroleh kehormatan sebagai ganti kehinaan. Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kenihilanmu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggaan diri, kesombongan dan cintadiri, kau tak akan dapat mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau tercampak dalam kehinaan dan terangkat dalam kehormatan.
Dan kini ceritaku pun selesai, tak ada lagi yang mesti kukatakan.
Catatan kaki: 1 tempat duduk raja-raja, yang cukup lebar buat beberapa orang.
Akhirul Kalam O Attar! Telah kautebarkan di dunia isi bejana wangian kerahasiaan itu. Segala ufuk dunia penuh dengan wangianmu dan para pencinta terusik karena kau. Sajak-sajakmu ialah capmu; dan itu dikenal sebagai Mantiq Uttair dan Makamat Uttiyur. Musyawarah dan percakapan serta pembicaraan burung-burung itu ialah tahapan-tahapan di jalan kebenaran; atau katakanlah, itu Dewan Kemabukan namanya.
Masuklah ke dewan ini dengan cinta. Bila Bulbul cintamu menggelepar lari dan kau mendambakan sesuatu, berbuatlah sejalan dengan dambamu. Cinta ialah penawar bagi segala sangsi, dan ia penawar jiwa di kedua dunia.
O kau yang telah melangkah di jalan kemajuan batin, jangan baca bukuku hanya sebagai karya puisi, atau sebagai buku sihir, tetapi bacalah dengan pengertian; dan untuk itu, orang harus lapar akan sesuatu, tak puas dengan dirinya sendiri dan dunia ini.
Ia yang tak mencium wangian pembicaraanku belum lagi menemukan jalan para pencinta. Tetapi ia yang mau membaca ini dengan cermat akan menjadi giat, dan akan layak menempuh Jalan yang kubicarakan itu.
Sehubungan dengan pembicaraanku ini, mereka dari dunia lahiriah akan serupa orang-orang yang mati tenggelam, tetapi orang-orang dari dunia batin akan memahami rahasianya. Bukuku ialah perhiasan zamannya; sekaligus ini persembahan bagi orang-orang terkemuka dan hadiah bagi orang kebanyakan. Bila seseorang sedingin es membaca buku ini, ia akan memancar bagai api dari dalam tabir yang menyembunyikan rahasia itu daripadanya. Tulisanku memiliki keistimewaan yang mengagumkan ?ia akan memberikan lebih banyak manfaat sesuai dengan bagaimana cara membacanya. Jika sering engkau membacanya, ia akan memberikan manfaat padamu lebih banyak lagi pada setiap kali. Cadar wanita sanastri ini akan tersingkap bagimu sedikit demi sedikit di tempat yang terhormat dan baik saja. Aku telah menebarkan mutiara-mutiara dari lautan renungan; dengan itu aku pun terbebas dari kewajiban yang mesti kupenuhi, dan buku ini ialah buktinya.
Tetapi bila aku kelewat banyak memuji diri sendiri, mungkin kau tak setuju; sungguhpun ia yang tak berat sebelah akan mengakui jasaku, sebab cahaya purnamaku tak tersembunyi. Jika diriku sendiri tak dikenang, aku akan dikenang sampai hari kiamat karena mutiara-mutiara puisi yang telah kutebarkan di atas kepala orang banyak. Kubah-kubah langit akan hancur sebelum sajak ini nanti sirna.
Pembaca; bila kau mengalami keadaan yang baik karena telah membaca sajak ini dengan penuh perhatian, kenang penulisnya dalam doa-doamu. Telah kutaburkan di sana-sini bunga-bunga mawar dari kebun. Kenang aku baik-baik, O sahabat-sahabatku! Setiap guru menyingkapkan gagasan-gagasannya dengan caranya sendiri yang khas, dan kemudian ia pun lenyap. Seperti mereka yang lebih dulu dari aku, aku telah memperlihatkan burung jiwaku pada orang-orang yang tidur. Mungkin tidur yang memenuhi hidupmu telah menjauhkan kau dari pembicaraan ini; tetapi, setelah mendengar ini, jiwamu akan dibangunkan oleh rahasia yang disingkapkannya.
Dan kini pikiranku hitam karena asap bagai mihrab yang diberi berlampu: Telah kukatakan dalam hati, "O kau yang begitu banyak bicara, ketimbang begitu banyak bicara, pukullah kepalamu dan carilah rahasia-rahasia itu. Apakah gunanya segala pembicaraan ini bagi orang-orang yang dirusakkan oleh nafsu mementingkan diri sendiri. Apakah yang mungkin timbul dari hati yang diliputi kesombongan dan kebanggaan diri?"
Bila kau mengharapkan lautan jiwamu tetap tinggal dalam gerak yang bermanfaat, kau harus mematikan diri terhadap hidupmu yang dulu, dan kemudian tinggal diam membisu.
Attar Faridu?d-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1120 Masehi dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Omar Khayyam). Tarikh wafatnya tak diketahui dengan pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar tahun 1230, sehingga ia hidup sampai usia seratus sepuluh tahun. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang dirinya bersifat legendaris, juga kematiannya di tangan seorang perajurit Jenghis Khan. Dari catatan kenang-kenangan pribadinya yang tersebar di antara tulisan-tulisannya agaknya dapat disebutkan bahwa ia melewatkan tiga belas tahun dari masa mudanya di Meshed. Menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi.
Darwis itu berkata, "Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunyai hanyalah khirka yang lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?" Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis. "Kita tunggu saja," kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam di hati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilan tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di permukiman-permukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para Sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran Sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia mengarang sekitar dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalal-uddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang Sufi mengatakan, "Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Rumi mengatakan, "Attar ialah jiwa itu sendiri."
Garcin de Tassy menuturkan bahwa dalam tahun 1862 Nicholas Khanikoff menemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggal Attar). Di situ terukir inskripsi dalam bahasa Parsi. Terjemahan Tassy atas inskripsi itu ke dalam bahasa Perancis dapat diterjemahkan pula sebagai berikut:
Allah Kekal Dengan nama Allah Yang Pengasih Yang Pengampun
Di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kollirium di mata langit; makam syaikh Attar Farid yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari Kaf ke Kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyhur ini. Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh dua tabun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Hulaku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-besaran yang terjadi ketika itu Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tingkatkanlah, o Rabbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hussein
Selebihnya, inskripsi itu menyatakan pujian terhadap Sultan. Agaknya tak ada catatan tertulis dewasa ini tentang bagaimana, bila, dan di mana dia meninggal dan dikuburkan.
Catatan Tentang Kaum Sufi
Sebutan Sufi diturunkan dari kata suf, bulu domba ?jubah bulu domba kaum zahid. Kaum Sufi mengikuti ajaran batiniah dari Quran. Bersama dengan sistem pemikiran yang berdasarkan petunjuk-petunjuk dari kitab suci mereka, mereka mempunyai metoda yang praktis untuk menyempurnakan diri sendiri, yang diajarkan secara lisan. Dengan latihan-latihan, pengambilan sikap dan tarian, tenaga-tenaga insan yang senantiasa terlucut dari dirinya, akan bisa dimanfaatkan dan diarahkan untuk pengembangan batin dan peningkatan kesadaran. Maksud dan tujuannya ialah persatuan jiwa dengan Tuhan. Mungkin ada saat-saat pendahuluan tentang ini ?saat-saat penyingkapan keinsafan (revelation) dan haru-gembira (ectasy)? "karunia-karunia", demikianlah biasa disebutkan, tetapi kesempurnaan, persatuan dengan Tuhan, harus diusahakan; harus ada usaha yang terus-menerus.
Ada satu Tuhan. Segala sesuatu ada dalam Dia, dan Dia ada dalam segalanya. Segala sesuatu, yang tampak dan tak tampak, adalah pancaran-pancaran daripadaNya. Agama-agama, pada hakikatnya, bukanlah yang terutama, meskipun agama-agama itu dapat berguna untuk memimpin manusia ke arah Kenyataan. Baik dan Buruk, sebagaimana kita mengartikannya, tidaklah ada sebenarnya, karena segalanya bertolak dari Wujud Yang Satu, Tuhan; tetapi serempak dengan itu, ada "baik sejati" dan "buruk sejati". Manusia tidak bebas dalam tindakan-tindakannya; ia tak memiliki kemauan bebas, meskipun ini dapat dilakukan dengan berusaha menempuh jalan yang benar. Ia terbelok ke sana-sini karena pengarah-pengaruh dari dalam dan dari luar dirinya -menjadi permainan setiap angin yang bertiap. Persatuan dicapai dengan dua upaya berupa pengorbanan dan pembebasan: pengorbanan keinginan-keinginan, kesombongan dan angan-angan kita sendiri di satu pihak, dan di pihak lain pembebasan dari perkara-perkara duniawi ?dari cinta akan kekuasaan, kemasyhuran, kekayaan dan kehormatan. Tetapi doa dan puasa juga dapat menjadi rintangan besar; kita dapat menjadi terikat dengan apa saja. Seorang Sufi, bagaimanapun juga, hendaknya tidak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan dan tidak menarik diri dari dunia. Ia harus ada di dunia tetapi tidak terikat dengan dunia. Adalah suatu rahmat yang besar memiliki apa yang perlu bagi badan jasmani. Seks dengan sendirinya bukan perkara dosa, seperti yang terjadi dalam agama Kristen ortodoks, melainkan suatu milik yang berharga. Arti dan guna tenaga seks dapat dimengerti. Seperti ditunjukkan Orage dalam esainya "Tentang Cinta", "Kesucian pancaindera (dahulu kala) diajarkan sejak awal masa kanak-kanak. Dengan cara demikian, erotisisma menjadi suatu seni dalam bentuk tertinggi yang pernah diketahui dunia. Gemanya yang sayup masih terdapat dalam sastra Persia dan sastra Sufi dewasa ini."
Jiwa (dalam arti bagian tertinggi dari manusia yang mendambakan kesempurnaan) ada lebih dulu daripada raga dan terkurung dalam raga itu seperti dalam sebuah sangkar. Hidup manusia ialah sebuah perjalanan yang dilakukan bertahap-tahap. Dan pencari Tuhan ialah seorang musafir penempuh perjalanan itu, yang harus melakukan usaha-usaha keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengertian yang benar.
Para pengikut sufisma mengatakan bahwa sufisma selalu ada dengan berbagai nama; dan bahwa sistem dan metoda, dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda, dikenal oleh orang-orang Mesir, Hindu, Buddha, Yahudi, Yunani dan Nasrani yang mula-mula ?dalam kenyataannya, oleh agama-agama besar pada mulanya. Sufisma ada di Barat dewasa ini.
Hanya bantuan mereka yang telah mencapai tingkat perkembangan tertentu dapat membimbing si musafir di Jalan itu. Asalkan ia memiliki kesanggupan untuk mentaati disiplin dan melakukan usaha, sehari saja ?atau bahkan satu jam saja, di kalangan orang-orang yang arif, akan lebih berharga daripada bertahun-tahun menjalankan pertarakan dan upacara-upacara lahiriah dalam peribadatan.
Di antara peraturan-peraturan bagi murid-murid di hadapan seorang guru dapat disebutkan yang berikut: "Perhatikan dan jangan banyak bicara. Jangan jawab pertanyaan yang tidak ditujukan padamu; tetapi jika ditanya, jawablah segera, dan jangan malu mengatakan, ?aku tak tahu?. Jangan berdebat demi perdebatan semata. Jangan menyombong di hadapan yang lebih tua. Jangan mencari tempat paling terhormat. Jangan bersikap kelewat khidmat. Patuhi adat kebiasaan sehari-hari, dan sesuaikan diri dengan keinginan-keinginan orang lain selama keinginan-keinginan itu tidak berlawanan dengan keyakinan batinmu. Jangan membuat kebiasaan apapun, kecuali jika itu kewajiban keagamaan atau yang berguna bagi orang-orang lain, sebab itu dapat menjadi berhala."
Kaum Sufi mengatakan bahwa hampir setiap orang dilahirkan dengan kesanggupan yang memungkinkan pengembangan batin, tetapi bahwa orang tuanya dan orang-orang sekelilingnya membuat dia menjadi seorang Yahudi, seorang Hindu, atau seorang Majusi, sehingga ia penuh dengan prasangka dan menerima saja apa yang dikatakan orang-orang lain tanpa mengingat pengalaman atau pemikirannya sendiri, dan ini menjadi batu penarung. Bila orang yang "beriman" orang yang telah menyempurnakan diri meninggal, jiwanya melayang ke langit yang sesuai dengan tingkat kesempurnaan yang telah dicapainya. Tetapi, betapapun banyak "pengetahuan" yang dimiliki seseorang, kalau ia tak menilik dirinya sendiri, dan mengakui dalam hati bahwa sesungguhnya ia tak mengerti apa-apa, maka segala yang telah didapatnya akan menjadi seperti "angin di tangan."
Imam Tanpa Bayangan 12 The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Legenda Kelelawar 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama