Ceritasilat Novel Online

Lukisan Horor 6

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Bagian 6


tampangnya cupu gitu, sepertinya dia bukan orang
sembarangan." "Emang bukan!" seru Andra penuh semangat. "Dia
dan temannya itu yang nyerbu ke Dragon Pool malam
itu dan ngalahin puluhan anggota geng motor gue!
Saran gue, lebih baik kita bunuh aja dia!"
"Selain Chalina, nggak ada bunuh-bunuhan!" tegas
Okie. "Itu kesepakatan kita dari awal."
"Tapi kita nggak tau semuanya bakalan serumit ini! Kita
nyaris ketauan, tau!" bentak Andra. "Gue nggak akan sudi
mendekam dalam penjara. Setidaknya kita ha?rus lakuin
sesuatu terhadap cewek itu! Gue rasa rantai aja nggak
cukup buat nahan dia. Dia terlalu pinter, Kie!"
"Oke, oke." Okie mengenakan kembali topeng musang?
nya. "Kalo gitu, kita rantai dia aja. Ayo, lo bantu gue!"
Kedua orang itu segera menghilang ke ruang bawah
tanah, dan aku menoleh pada dua cowok yang sedari
tadi menguping bersamaku.
365 Isi-Omen2.indd 365 011/I/13 "Gimana?" tanyaku. "Kita serbu ke bawah aja?"
Les mengerutkan kening. "Ada yang nggak beres.
Rasanya aneh dua orang yang begitu berlawanan mau
bersekutu. Sepertinya ada sesuatu yang belum kita tau."
"Tapi kita nggak mungkin kalah ngelawan mereka,"
tukasku. "Kalian berdua masing-masing tahan satu
algojo, sementara gue bebasin Val dan tawanan-tawanan
lain. Abis itu, gue dan Val bisa bergabung untuk nge?
lumpuhin dua algojo itu. Gimana menurut lo, Jek?"
Si Ojek berpikir sejenak. "Sepertinya rencana itu cukup
bagus, tapi gue juga sama curiganya dengan Les."
"Gue juga curiga!" bentakku tertahan. "Tapi kalian ber?
dua mau nunggu sampe kapan?"
"Begini aja, kita..."
Ucapan Les terhenti saat mendengar suara ribut-ribut
dari bawah. "Ada sesuatu yang terjadi," kataku sambil melesat ke
tangga bawah tanah. "Val! Pasti Val yang bikin ulah!"
Aku menuruni tangga dengan tergopoh-gopoh, tak
peduli langkah kakiku terdengar keras pada tangga besi
itu. Di ujung tangga terdapat pintu besi berdaun dua.
Aku bersiap-siap membukanya dengan sekuat tenaga,
atau mendobraknya kalau perlu, tapi lalu kulihat pintu
itu ternyata tidak sepenuhnya tertutup.
Sip. Kami bisa masuk dengan gampang.
Sambil memasang muka garang, aku pun membuka
pintu itu. 366 Isi-Omen2.indd 366 011/I/13 Dan pandanganku langsung tertuju pada algojo ber?
muka musang yang nongol dengan parang mengerikan
pada masing-masing tangannya, dengan salah satu pa?
rang mengancam leher Valeria, sahabatku.
367 Isi-Omen2.indd 367 011/I/13 SEMUA ini bermula dari kejadian di Ruang Kesenian
itu. Saat itu, kupandangi kedua algojo yang siap me?
nyerang?ku dengan kedua parang di tangan mereka, lalu
beralih pada Rima sambil menyembunyikan emosi yang
berkecamuk di dalam hatiku.
"Lo salah satu dari mereka juga?" tanyaku dengan
suara dingin. "Nggak," sahut Rima seraya menatapku dari balik tirai
rambutnya. "Aku juga nggak tau apa-apa. SMS yang
barus?an kuterima berasal dari salah satu anggota Klub
Kesenian, Preti." Preti? Tapi orang yang kami curigai adalah Okie! Dan
tidak mungkin algojo yang lain adalah Preti. Tak banyak
cewek yang bisa menandingi Erika dalam per?tempuran
fisik, tidak peduli menggunakan parang atau bazoka
sekalipun. Lagi pula, seandainya orang itu adalah cewek,
Erika pasti tahu. Kesimpulannya, algojo lain itu pasti
cowok. Tapi, apa hubungannya Preti dalam masalah ini?
Mendadak terdengar bunyi yang pastinya adalah tanda
368 Isi-Omen2.indd 368 011/I/13 Rima menerima SMS lagi. Kulihat salah satu algojo mem?
beri tanda supaya Rima membaca SMS-nya, dan cewek
itu melakukannya tanpa banyak cincong.
"Valeria, menyerahlah." Rima membaca SMS-nya keraskeras. "Kalau tidak, kami akan membantai Rima di depan?
mu." Rima menaikkan pandangannya pada?ku. "Lagi-lagi
dikirim oleh Preti."
"Mungkin mereka nyolong ponsel Preti untuk keperlu?
an ini." Aku memandangi kedua algojo itu dengan tatap?
an merendahkan. "Supaya mereka sama sekali nggak
perlu mengungkapkan jati diri mereka. Aduh, kalian
emang?nya segitu lemahnya sampe-sampe takut banget
ketauan identitas asli kalian, ya?"
Kedua algojo itu tampak kepingin maju untuk me?
nyerangku, tapi sepertinya mereka agak takut padaku
karena mereka tetap bergeming. SMS untuk Rima tiba
lagi, dan sekali lagi Rima membacanya keras-keras.
"Valeria, penawanmu akan menutup matamu dan meng?
ikat tanganmu. Jangan melawan, kalau tidak ingin temanmu
celaka." Rima menatap kedua algojo itu. "Kalian pikir
aku mau-mau aja dijadikan tawanan?"
Aku melongo melihat ketabahan cewek itu. Lebih
shock lagi, cewek itu meraih terpal yang menutupi salah
satu boks kayu dengan kecepatan mengagumkan, lalu
melemparkan terpal itu sehingga menutupi salah satu
algojo. Tentu saja aku tidak membiarkan kesempatan ini
terbuang percuma. Kuraih salah satu kanvas yang ter?
geletak dan kulemparkan ke muka algojo yang lain. Rima
berusaha membuka pintu, namun pintu itu terkunci
rapat. Kami menggedor dan menjerit, berharap ada orang
di luar sana yang mendengar kami.
369 Isi-Omen2.indd 369 011/I/13 Sayangnya, keberuntungan memang jarang nongol di
saat kita sedang berharap banget.
Aku tersentak saat rambut Rima dijambak, tapi Rima
tidak menjerit sama sekali. Dia juga tidak mengeluh
sedikit pun saat algojo keparat yang bersikap kasar
banget itu melemparkannya pada algojo yang satu lagi.
Cewek itu benar-benar tangguh untuk ukuran cewek
yang sama sekali tidak bisa membela diri.
Arghhh, sial. Sekarang, berhubung Rima sudah ditawan
mereka, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Lagi pula,
mungkin menyerahkan diri bukanlah ide buruk. Aku bisa
menyelidiki di mana markas mereka dan mem?beritahu?
kan tempatnya pada Erika, yang tentunya tak akan
datang sendirian, melainkan bersama Les dan Vik. Aku
hanya akan melawan kalau mereka benar-benar kelewat
batas. Oke, aku akan menyerahkan diri.
Aku merogoh sakuku dan diam-diam menekan tanda
redial, yang sudah kuatur supaya nomornya adalah
nomor Les. Aku tahu, aku tak bakalan bisa memberitahu?
nya apa yang terjadi, tapi aku tahu dia pasti akan me?
nyelidikinya. Maka kubiarkan saja algojo kasar itu men?
dekat dan mulai mengikat tanganku. Tunggu dulu. Bau
ini... Astaga, ini kan bau tengik si Andra! Apakah dia
algojo yang satunya lagi? Kalau iya, kenapa Erika tidak
menyadarinya tadi malam? Ingatan Erika seharusnya tak
bercela, kan? Mataku ditutupi dengan selembar kain hitam, dan
kegelapan langsung melingkupiku. Sial, kain yang mereka
gunakan benar-benar tebal. Aku tidak bisa melihat apaapa. Oke, aku sekarang mungkin buta, tapi aku masih
370 Isi-Omen2.indd 370 011/I/13 bisa menggunakan indraku yang lain. Aku yakin bakalan
bisa melakukan sesuatu. Setelah mataku ditutup, mulutku disumpal pula se?
hingga aku tidak bisa berteriak. Yang lebih menyebalkan
lagi, ponselku diambil. Ah, sudahlah, ponsel gampang
dibeli lagi. Yang penting aku sudah sempat menekan
nomor telepon Les. Aku didorong masuk ke dalam boks
kayu. Sambil meraba secarik kertas yang tertempel di
dinding boks kayu itu, yang sudah sempat kulihat se?
belum?nya, aku berpura-pura menahan diri supaya tidak
masuk ke dalam boks, padahal sebenarnya aku berusaha
mencabik kertas itu. Saat akhirnya kertas itu berhasil
masuk ke dalam tanganku, aku pun menyerah dan mem?
biarkan diriku dimasukkan ke dalam boks.
Tak lama kemudian Rima bergabung denganku di
dalam boks kayu. Boks tersebut cukup besar sehingga
kami bisa duduk berdampingan. Sepertinya dia menerima
perlakuan yang sama denganku?tangan diikat, mata
ditutup, mulut disumpal?karena sama sekali tidak ada
reaksi apa pun darinya. Terdengar suara pembicaraan teredam, dan aku segera
menajamkan telingaku. "Ayo, cepat buka kostum kita sebelum teman-teman
mereka mulai bertanya-tanya."
"Akhirnya! Pengap banget sih kostum jelek ini!"
"Jangan ngeluh. Cepat, keluarkan kotak ini! Kita
langsung ke lapangan parkir!"
Oh, sial. Kotak itu mulai bergerak, sementara tak ada
infor?masi lagi yang bisa kudapatkan. Aku menekankan
jariku pada salah satu paku yang mencuat sampai ber?
darah, lalu mulai menulis di kertas kecil itu. Kedengaran?
371 Isi-Omen2.indd 371 011/I/13 nya gampang, padahal tidak sama sekali. Aku kan tidak
terbiasa menulis dalam kondisi tangan terikat begini.
Tapi aku tak punya pilihan lain. Untungnya, tanganku
di?ikat di depan dan bukannya di belakang. Lagi pula,
aku hanya perlu menuliskan tiga buah kata. Boks dan T4
parkir. Semoga tulisanku yang mirip sandi rumput itu
bisa terbaca. Selesai menulis, aku berusaha mengeluarkan kertas itu
melalui sela-sela kayu pada dinding boks. Aku tahu ini
tidak banyak, tapi kurasa ini bisa memberi gambaran
pada teman-temanku, ke mana harus mencariku. Temantemanku kan bukan orang-orang bodoh.
Memikirkan teman-temanku membuatku galau sendiri.
Erika sudah pasti akan khawatir dan mencariku dengan
sekuat tenaga. Vik, meski tak peduli dengan hidup dan
matiku, pasti akan membantu Erika mencari?ku pula
berhubung dia tergila-gila banget pada sobatku itu. Jadi
aku tidak perlu memikirkannya dengan terlalu berlebih?
an. Tapi bagaimana dengan Les? Dia pasti akan khawatir
dan ikut mencariku, aku yakin itu. Yang ingin aku tahu
adalah, apakah dia merasa bersalah karena membiarkanku
pergi sendirian. Aku harap tidak, soalnya semua ini kan
kesalahanku sendiri. Aku sendiri yang ceroboh. Celaka?
nya, kalau sampai ada apa-apa denganku, aku cukup
yakin cowok itu bakalan menyalahkan dirinya sendiri.
Dan kemungkinan besar ayahku yang hobi menyalah?
kan orang itu bakalan menyiksa hati nurani Les?dan
mungkin fisiknya juga?seumur hidup.
Oh, God. Aku harus selamat. Demi Les!
"Nanti mampir dulu di rumah gue." Aku mendengar?
kan lagi saat boks mulai bergerak. "Kita harus ngisi
perbekalan untuk tawanan kita."
"Untuk apa? Biarin aja mereka kelaparan dan kehaus?
an!" "Jangan ngaco!" bentak orang pertama, yang kini ku?
kenali suaranya sebagai suara Okie. "Lo boleh jadi
penjahat, tapi gue bukan orang seperti itu."
Wah, rupanya dua penjahat kita berbeda pendapat
sekaligus kelihatannya saling membenci. Menarik, sekali?
gus menimbulkan banyak pertanyaan. Okie dan satu lagi
orang yang kemungkinan besar adalah Andra. Kenapa
dua orang yang saling membenci bisa bersekongkol?
Aku tidak membuang-buang waktu dan segera meng?
goreskan dua kata lagi di dinding boks di depanku.
Rumah O. Sekali lagi aku harus menekankan jariku ke
paku. Rasanya sakit banget, tapi tidak seberapa dibanding
kekhawatiranku bahwa aku bakalan terkena tetanus.
Tiba di tempat parkir, kami dikeluarkan dari boks.
Untunglah, karena boks itu benar-benar tertutup rapat
dan dengan adanya kami berdua, udara benar-benar
minus di dalam situ. Kukira kami bakalan mati karena
kehabisan oksigen kalau harus mendekam di dalamnya
lebih lama lagi. Kami didorong masuk ke sebuah mobil
yang, dari ketinggian dan bentuk jok belakangnya, se?
perti?nya adalah mobil SUV. Mobil langsung melesat
keluar dari sekolah. Selama beberapa saat, kedua penawan kami tidak ber?
bicara. Sepertinya mereka tidak mau identitas mereka
ketahuan. Buktinya, selain tidak berbicara di depan kami,
372 Isi-Omen2.indd 372 011/I/13 mereka juga menutup mata kami. Percakapan yang
dilakukan di luar boks tadi pastilah karena mereka tidak
menduga kami bisa mendengar mereka.
Setelah beberapa lama, mobil yang kutumpangi ber?
henti juga. Mesin mobil dimatikan, lalu terdengar pintu


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibanting. Tentunya kami sudah tiba di rumah Okie, dan
cowok itu keluar untuk melaksanakan rencana?nya.
Aku berpikir keras. Oke, sekarang tersisa Andra di
mobil ini bersama kami. Kalau hanya dia sih, kurasa dia
bisa dihadapi. Aku tak butuh kabur sekarang juga, karena
entah apa yang akan dilakukan oleh Okie pada para
tahanan lain kalau kami berhasil kabur. Tapi aku butuh
informasi ke mana kami akan pergi, dan aku harus men?
dapatkan informasi itu dari Andra.
Aku menyentuh sekelilingku, membayangkan diriku
berada di dalam mobil Freed. Dari posisi pintu, aku tahu
aku duduk di belakang kursi penumpang di samping
sopir. Meski tanganku terikat, aku masih bisa menggerak?
kannya dengan cukup bebas. Aku menguji gerakanku.
Sip! Berhubung Andra sudah bangkrut dan bergabung de?
ngan geng motor, mobil ini pastilah milik Okie. Hubung?
an yang sedari tadi ditampakkan mereka membuatku
yakin Okie tak bakalan sudi mengizinkan Andra menge?
mudikan mobilnya. Kalau begitu...
Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku mengalungkan
tanganku ke tempat duduk di depanku, yaitu tempat
duduk penumpang di samping sopir. Sesuai dugaanku,
aku berhasil mendapatkan tangkapan yang lang?sung me?
ronta-ronta histeris. Malang baginya, aku juga berhasil
373 Isi-Omen2.indd 373 011/I/13 memosisikan tali yang mengikat kedua tanganku di leher?
374 Isi-Omen2.indd 374 011/I/13 nya. Alhasil, suaranya kayak ayam kecekik saat ber?teriakteriak minta ampun.
"Jangan celakain gue! Lo mau apa? Mau gue bebasin?
Sini, gue bebasin!" Aku melonggarkan sedikit saja cekikanku, cukup mem?
beri Andra kesempatan untuk melakukan janjinya. Tak
kuduga, cowok itu benar-benar ketakutan. Tali peng?ikat
tanganku langsung dilepaskannya. Aku tidak mem?buangbuang waktu. Dalam waktu sekejap kubuka penutup
mata dan kulepaskan sumpalan di mulutku. Setelah itu,
aku pun melepaskan Rima. Di lain pihak, begitu kulepas, Andra langsung ngacir
dari dalam mobil dan berusaha masuk ke rumah Okie.
Sekali lagi cowok bau itu tidak beruntung. Rupanya Okie
sempat mengunci pintu. Mungkin dia takut Andra
bakalan diam-diam masuk ke dalam rumahnya untuk
mengutil. Apa pun alasannya, hal itu membuat Andra
menggedor-gedor tanpa hasil. Meski agak telat keluar
dari mobil, dalam sekejap aku berhasil mengejar cowok
itu dan mengirimkan satu tendangan yang mem?buatnya
nemplok di jendela depan rumah Okie.
"Di mana lo menyekap tawanan lainnya?" bentakku.
"Cepat jawab!" "Tawanan?" balas Andra ketakutan. "Tawanan apa?"
"Nggak usah pura-pura!" Aku menekannya semakin
kuat pada kaca, dan Andra mulai menggelepar-gelepar.
Dia pasti takut banget kaca jendelanya bakalan pecah
dan membuat tampangnya yang sudah tidak ganteng itu
bertambah jelek. "Lo kira kami semua bodoh? Udah jelas
kalian yang nyulik Bu Rita dan lainnya, dan sekarang
hendak nyulik kami juga! Semuanya udah di depan mata
dan lo masih mau berkelit? Benar-benar muka badak
banget! Udah, sekarang begini aja. Lo buruan kasih tau
di mana Bu Rita dan lainnya, atau gue pecahin kaca
jendela rumah konco lo ini pake bodi lo!"
"Jangan, jangan!" Andra langsung berteriak-teriak lagi
saat aku menekannya semakin keras. "Gue akan ceritain
semuanya! Bu Rita dan lainnya ada di pabrik kosong di
luar perumahan..." "Pabrik mana?" Aku tetap menekannya keras-keras
tanpa belas kasihan. Bisa kurasakan kacanya rada ber?
getar karena tenaga kami yang saling mengadu, tapi tak
masalah. Kalau memang kaca itu pecah dan mengenaiku,
itu tetap tidak sebanding dengan apa yang sudah dialami
Bu Rita dan yang lainnya. "Kan banyak pabrik kosong di
luar perumahan!" "Yang terletak di ujung jalan!" sahut Andra cepatcepat. "Serius, gue nggak bohong...!"
Terdengar jeritan Rima yang membuatku menoleh
dengan kaget. Kulihat Rima sedang mencakari muka
Okie (ternyata cewek itu, selain punya rambut panjang
me?ngerikan seperti Sadako, juga punya kuku panjang
seperti kuntilanak) yang entah muncul dari mana. Kurasa
Okie berhasil melihatku menawan Andra, lalu memutus?
kan untuk menyelinap ke luar rumahnya melalui pintu
samping untuk menyerang Rima yang lebih lemah.
Memang, Rima bukan tandingan Okie. Dalam sekejap
tangannya dipiting oleh Okie. Yang mengagum?kan, muka
seram itu sama sekali tidak mengernyit ke?sakit?an, melain?
kan tetap datar seperti biasa.
375 Isi-Omen2.indd 375 011/I/13 Apa sebenarnya dia memang mati rasa, ya?
376 Isi-Omen2.indd 376 011/I/13 "Lepasin temen gue!" perintah Okie dingin. "Cepat!
Sebelum gue silet muka temen lo ini!"
Aku semakin kaget saat menyadari Okie sudah me?
ngeluar?kan sebilah pisau dan mengacungkannya di muka
Rima. Mau tak mau aku pun melepaskan Andra. Sial,
begitu cowok itu bebas, dia langsung meninju mukaku.
Dasar cowok yang tidak ada respek-respeknya sama sekali
pada cewek. Bisa kurasakan darah memenuhi mulutku,
membuatku terpaksa meludah meski itu bakalan
membuatku kelihatan mirip cewek brutal.
"Cewek ini bangsat banget!" kata Andra pada rekan?
nya. "Kita harus bikin dia benar-benar nggak berkutik.
Kalo nggak, bisa-bisa kita kerepotan gara-gara dia."
"Kali ini kita ikat tangannya di belakang aja," kata
Okie muram, lalu berpaling kepadaku. "Sori, ini bakalan
bikin sakit, tapi gue nggak bisa ambil risiko lo bikin ulah
lagi. Rencana kami jauh lebih penting dibanding semua?
nya." "Rencana apa yang jauh lebih penting?" tanyaku se?
men?tara Andra mulai mengikat tanganku dengan kasar
di belakang punggung. "Membalaskan dendam Reva dan
Indah?" "Ya," sahut Okie dengan suara dingin seraya mengikat
Rima. "Semua yang udah bikin nasib Reva dan Indah
berakhir tragis, harus menerima akibatnya!"
"Semua?" balasku. "Termasuk gue yang baru terlibat
be?lakangan ini? Dan apa hubungannya Rima dengan
Reva atau Indah?" "Kalian berdua hanyalah collateral damage." Kini aku
tidak bisa melihat Okie lantaran mataku ditutup oleh
Andra, tapi aku bisa merasakan nada bersalah dalam
377 Isi-Omen2.indd 377 011/I/13 suara?nya. "Tapi sangat diperlukan supaya rencana ini
ber?jalan dengan baik."
"Dan setelah ini kalian bakalan melenyapkan kami
juga?" tanya Rima dengan suara rendah. "Pathetic."
Aku nyaris tertawa mendengarnya. Rupanya cewek ber?
tampang seram ini berani juga, bisa-bisanya mencerca
para penawan kami di saat-saat kami tak berdaya be?
gini. "Mereka emang udah gila, Rim," ucapku akhirnya.
"Semua orang hanya bisa saling menyalahkan dan nggak
mau mengakui kebodohan sendiri. Kalo mereka emang
peduli sama Reva dan Indah, kenapa harus nunggu
sekarang baru bales dendam? Kenapa bukan dari duludulu?"
Andra angkat bicara. "Karena..."
"Diam lo, Ndra!"
Hmmm, ada rahasia yang disembunyikan di sini.
Menarik. Aku yakin rahasia inilah yang membuat dua
orang yang saling tidak menyukai ini bisa bersatu padu
dalam rencana gila dan mengerikan ini. Rahasia yang
seharusnya tadi kukorek-korek mumpung si pengecut
Andra ada dalam kekuasaanku. Sayang sekali aku tak
punya cukup waktu untuk melakukannya.
Mulutku kembali disumpal, jadi acara pengumpulan
informasi terpaksa ditunda lagi. Aku didorong kembali
ke dalam mobil secara kasar?ini berarti Andra yang men?
dorongku. Aku sempat tersungkur di atas jok, menimpa
kotak tisu, dan tanganku yang terikat di belakang lang?
sung menyambar selembar. Waktunya untuk meninggalkan jejak lagi.
Di dalam mobil, sulit bagiku untuk mencari sesuatu
378 Isi-Omen2.indd 378 011/I/13 yang bisa kugunakan untuk melukai jariku. Untungnya,
setelah meraba-raba sejenak, kutemukan bolpoin nyelip
di dalam lipatan jok. Aku tidak ingin mengambil risiko
tinta bolpoin itu sudah mengering, jadi alih-alih meng?
gunakan bolpoin itu untuk menulis pesan, aku malah
menggunakannya untuk melukai jariku. Setelah merasa?
kan darah membasahi jariku, aku mulai menulis dengan
huruf-huruf besar pada tisu. Kali ini jauh lebih sulit lagi,
karena tanganku kini diikat di belakang punggung.
Pabrik kosong luar HBS, ujung jalan, begitu isi pesanku
kali ini. Agak panjang, mana tulisanku besar-besar karena
takut darah merembes pada tisu dan membuat tulisannya
tak terbaca. Setelah ini aku akan minta transfusi darah
yang banyak. Masalah berikutnya: tisu kan gampang terbang. Aku
bisa melipat-lipatnya supaya massanya lebih padat dan
tidak gampang terbang, tapi lipatan itu harus diikat
supaya tidak terbuka lagi. Jadi aku pun merenggut
pinggiran bawah baju seragamku, mencoba mencari
benang yang terurai. Untungnya baju seragam ini dibuat
dari bahan yang tidak mahal-mahal amat (maklum ke?
banyakan murid di sekolah kami tidak punya duit), jadi
gampang saja aku menemukan benang yang bisa
kucabut. Nah, sekarang paketku sudah kuikat dengan manis
dan siap dibuang ke luar.
Menekan tombol jendela supaya terbuka tidaklah
susah. Toh dari bunyi-bunyian yang ada, Okie dan Andra
sedang sibuk menaikkan barang-barang, jadi mereka tak
akan memperhatikannya selama celahnya kecil. Masalah?
nya adalah bagaimana aku membuang paket itu ke luar
379 Isi-Omen2.indd 379 011/I/13 tanpa menggunakan gerakan yang mencolok. Nungging
ke arah jendela? No way! Meski nyawaku terancam
bahaya, aku tetap tak sudi mengorbankan reputasiku
untuk menyelamatkannya. Kalian tahu kan, gajah mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan
belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Aku tak
mau namaku dikenal sebagai "Cewek yang Nungging di
Kaca Jendela Mobil pada Saat-saat Terakhirnya". Bisa me?
ngenaskan banget. Pasti ada cara lain yang lebih keren
dan tidak perlu mencoreng reputasi.
Oh, ya, aku akan berlagak melarikan diri saja. Pintu
mobil dikunci supaya tidak bisa dibuka dari dalam, jadi
aku akan berlagak kabur melalui jendela mobil. Aku me?
nurunkan kaca jendela, berharap mereka tidak memper?
hatikannya. Dengan kepala aku menguji seberapa turun
kaca jendela. Setelah kaca itu turun seluruhnya, aku pun
"berusaha" keluar.
"Hei, cewek itu hendak kabur!"
Aku bisa merasakan Andra melesat menghampiri dan
mendorongku kembali ke dalam mobil. Untungnya,
sesaat sebelum aku didorong, aku berhasil menjatuhkan
paket kecil itu. Semoga saja teman-temanku memper?
hatikannya, dan semoga saja benda itu berhasil memberi
petunjuk pada mereka. Gara-gara kejadian itu, Andra menjaga kami dengan
ketat, tapi aku sudah tidak berniat melarikan diri. Senang
juga bikin cowok bau itu paranoid. Hahaha.
Tak lama kemudian mobil kembali meluncur di jalan.
Suara-suara klakson yang terdengar berasal dari truk,
menandakan kami memang menuju ke jalan raya di luar
perumahan, jalan raya yang dipenuhi pabrik-pabrik. Tak
380 Isi-Omen2.indd 380 011/I/13 lama kemudian kami berbelok ke jalan yang cukup
mulus, lalu membelok lagi ke jalanan yang sepertinya
rada rusak. Pabrik-pabrik yang masih aktif biasanya
menjaga jalanan di depan pabrik mereka tetap terawat
baik demi melancarkan jalan truk-truk yang membawa
barang. Tidak ada belokan lagi, hanya ada sekali berhenti
untuk membuka gerbang, setelah itu mesin dimatikan.
Jadi memang benar kata Andra, para tawanan berada di
pabrik kosong di ujung jalan. Untunglah, dia tidak
memberiku informasi yang salah.
Kami dipaksa turun dengan kasar. Dari bau yang ter?
cium tentulah ini ulah Andra.
"Ndra, lo jangan kasar-kasar dong sama cewek-cewek!"
bentak Okie. "Dasar banci!" Nada suara Andra terdengar mencibir.
"Lo takut mereka nyakar elo?"
"Ngomong tuh mikir dulu, ya! Bukan gue yang baru?
san dihajar cewek dan bocorin semua rahasia!"
Andra langsung melontarkan umpatan jorok begitu


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar sindiran telak Okie, yang sama sekali tidak
ditanggapi oleh Okie. Aku mendengar pintu besar dan
berat dibuka, lalu kami masuk ke dalam ruangan yang
cukup sejuk meski tak kurasakan adanya AC ataupun
kipas angin. "Kita ganti kostum dulu."
"Buat apa?" rengek Andra. "Kan dua cewek ini udah
mengenali kita!" "Tapi yang lain belum. Selama kita nggak membuka
ikatan mulut mereka, identitas kita aman."
"Ngerepotin aja. Kostum itu kan panas dan bau!"
Astaga, Andra memang perlu disuruh becermin. Kurasa
381 Isi-Omen2.indd 381 011/I/13 dia sendirilah yang bikin kostum-kostum itu bau. Dari
dengusan Okie, kurasa cowok itu juga memikirkan hal
yang sama. "Pokoknya jangan sampai identitas kita diketahui yang
lain. Ini perintah!"
Dari cara bicara Okie, aku tahu itu bukan perintah
darinya, melainkan dari orang lain. Jadi memang ada
orang ketiga. Aduh, aku penasaran banget siapa orang?
nya! Setelah menunggu beberapa saat, aku merasakan pung?
gungku didorong-dorong lagi. Kali ini oleh tangan ber?
lapis sarung tangan, menandakan mereka mengenakan
kostum mengerikan itu lagi.
"Awas, tangga."
Berkat peringatan baik hati dari Okie, aku tidak jatuh
terguling-guling ke bawah tangga. Dari pendengaranku,
sepertinya Rima juga berhasil menuruninya dengan baik.
Cewek itu memang punya daya tahan yang jauh lebih
baik daripada manusia-manusia normal lainnya. Meski?
pun sering tertangkap, dia tidak menyerah?kan diri begitu
saja, melainkan melawan dengan sekuat tenaga. Tapi
kalau menurutku, dengan tampang seperti itu, seharus?
nya dia juga punya kemampuan menghilang.
Terdengar bunyi kunci pintu diputar lagi, disertai bu?
nyi pintu berat dibuka. Kurasa ini ruang?an para tawanan
berada. "Rima dan Val!" Benar kan dugaanku? Saat kami
masuk, Bu Rita langsung berteriak-teriak marah. "Kenapa
mereka pun kalian tawan di sini? Memangnya apa salah
mereka?" "Sampai kapan kami disekap di sini?" tangis Chalina.
382 Isi-Omen2.indd 382 011/I/13 "Orangtua saya pasti sudah khawatir. Dan luka saya
mulai bernanah!" Tapi kedua cowok itu tidak mengucapkan apa-apa.
Pastilah mereka tidak ingin suara mereka membuka
identitas mereka. Meskipun Bu Rita masih terus bertanyatanya dan Chalina masih terus menjerit serta menangis,
mereka tetap diam saja. Aku tidak mendengar suara
Daniel, Welly, dan Amir sama sekali. Tak lama kemudian,
terdengar pintu dikunci. "Anak malang," kata Bu Rita. "Mulut mereka di?sumpal,
bahkan tangan Valeria diikat ke belakang. Gimana kalau
mereka mau makan atau buang air?"
Rasanya ngeri memikirkan aku tak berdaya saat lapar
atau kepingin buang air, tapi tentunya aku tak semalang
itu. Saat Andra mengikat tanganku, diam-diam aku me?
nahan sedikit tali di tanganku, gerakan yang tentunya
tak disadari si bodoh itu. Kini setelah mereka pergi dan
aku berhasil menemukan para tawanan, aku pun segera
melepaskan tali, membuat ikatanku longgar banget,
sehingga dalam sekejap aku sudah melepaskan ikatan
tangan, mata, dan sumpalan mulutku. Aku agak kaget
saat mendapati diriku berada di ruangan yang dipenuhi
kegelapan, tak beda jauh dengan dunia yang kutatap saat
mataku ditutup, tetapi setidaknya sekarang aku bisa
bebas bergerak dan bicara.
"Bu Rita," bisikku sambil menggapai-gapai tempat
yang kuingat sebagai sumber suara Bu Rita. "Saya datang
untuk menolong Ibu."
Tak kuduga-kuduga, Bu Rita malah menjerit, "Tidak!
Ja?ngan!" Kusadari matanya yang berkilat dalam kegelapan me?
383 Isi-Omen2.indd 383 011/I/13 mandang ngeri ke arah belakangku. Hal yang sangat
aneh, karena ruangan itu sangat gelap dan beliau tak
mungkin bisa melihat dalam kegelapan. Tapi tetap saja,
aku ikut memandang ke belakang.
Dan melihat kilatan parang mengayun ke arahku.
Oh, God. Ternyata ada algojo ketiga!
384 Isi-Omen2.indd 384 011/I/13 TANPA sempat berpikir lagi, aku langsung mengelak.
Parang itu menghantam tempat aku tadi sempat ber?
lutut. Napasku tersentak saat merasakan ujung parang
merobek kulit di betisku. Perasaanku berkecamuk antara
sakit, bingung, sekaligus panik. Aku tidak terbiasa ber?
tarung dalam kegelapan total seperti ini, sementara
musuh?ku sepertinya bisa melihat dengan baik. Satusatunya yang bisa kuandalkan pada saat-saat seperti ini
hanyalah reaksi refleksku.
Setelah beberapa lama menghindar dan kabur dari si
algojo dengan susah payah, aku mulai bisa melihat se?
berapa besar ruangan itu. Rupanya, setelah membiasa?kan
diri melihat dalam kegelapan, ruangan itu memiliki
sedikit penerangan dari ventilasi sehingga, meskipun
samar-samar, aku bisa melihat semuanya dengan jelas.
Ruangan itu tidak terlalu luas dan sangat sesak, dipenuhi
para tawanan: Rima di dekat pintu, Bu Rita tak jauh
darinya bersama-sama dengan Chalina, lalu tubuh-tubuh
yang saling menimpa?sepertinya mereka adalah Daniel,
Amir, dan Welly yang sedang pingsan (aku sem?pat
menyenggol mereka dan masih terasa hangat, jadi
385 Isi-Omen2.indd 385 011/I/13 mereka tak mungkin sudah mati). Ada semacam toilet
darurat di pojokan, tercium bau pesing memuakkan yang
pastinya ditolerir oleh para tawanan karena mereka
sangat memerlukannya. Aku juga menyadari bahwa meskipun si algojo ketiga
yang bertubuh lebih besar daripada Okie dan Andra tidak
segan-segan mengayunkan parang dengan kuat ke arahku,
dia tidak berani melukai para tawanan. Aku hanya perlu
me?nyembunyikan diri di antara para tawanan, dan dia pun
segera menahan serangannya. Dan yang lebih asyik lagi,
Rima dan Bu Rita membantuku dengan berusaha men?jegal
kaki si algojo setiap kali si algojo melewati mereka. Intinya,
aku beruntung banget. Andai tidak dibantu oleh para
tawanan, aku pasti sudah tertangkap dengan mudah.
Habis, meski mataku sudah terbiasa dalam ke?gelapan, isi
ruangan itu tetap sulit terlihat. Mana si algojo bersenjata
lengkap sementara aku tidak.
Yang membuatku lebih beruntung lagi, meski serangan
si algojo cukup brutal, tidak ada keributan berarti yang
tercipta. Selain Chalina yang masih menangis dan
sedikit-sedikit menjerit, semua berusaha tidak bersuara.
Si algojo, demi melindungi identitasnya, juga tidak
berani mengucapkan sepatah kata pun. Aku cukup yakin
perkelahian kami tak terdengar oleh kedua oknum di
atas. Kalau sampai ketahuan mereka, tak pelak lagi, aku
pasti dikeroyok tiga orang?dan aku pasti kalah telak.
Begini saja, selain luka yang tercipta pada serangan per?
tama yang mengagetkan itu, dia juga sempat me?ngenai
bahu dan lenganku. Darah membasahi pakaianku, dan
aku hanya bisa berdoa semoga aku tidak mati ke?habisan
darah. 386 Isi-Omen2.indd 386 011/I/13 Meski begitu, tak ada gunanya aku hanya lari-lari ke
sana kemari sampai pingsan kelelahan. Tujuanku kan
bukannya cuma menyelamatkan diri sendiri?yang pasti
sudah kulakukan sejak awal kalau aku hanya me?mikirkan
keselamatan diri sendiri?melainkan me?nyelamat?kan
semua orang yang ada di situ. Ini berarti, aku harus
merobohkan algojo ketiga yang misterius ini. Namun
bagaimana caranya kalau satu-satunya hal yang bisa
kulakukan di sini hanya mengelak dari serangan?nya?
Mendadak aku punya rencana saat sedang berada di
dekat tumpukan tubuh Daniel-Amir-Welly. Sepertinya si
algojo ketiga semakin berhati-hati saat mendekati
tumpuk?an tubuh ketiga cowok itu. Tebersit dalam pikir?
anku, jangan-jangan masalah ini berhubungan dengan
uang. Kan ketiga cowok itu tajir banget. Bu Rita juga
lumayan, meski tidak bakalan disebut konglomerat.
Belum lagi Gordon yang berhasil diselamatkan juga tajir.
Satu-satunya yang berasal dari keluarga berekonomi ku?
rang hanyalah Chalina, tapi seandainya semua masalah
ini memang menyangkut kematian Reva dan Indah,
Chalina memang tak bakalan lolos dari hukuman.
Kalau memang semua penculikan ini adalah gara-gara
masalah duit, tumpukan tiga cowok tajir itu pasti sangat
berharga bagi tiga algojo itu. Jadi yang perlu kulakukan
ha?nya?lah... melemparkan tubuh Welly ke arah si
algojo! Yep, aku beruntung sekali. Tubuh Welly yang notabene
paling kecil dari antara ketiga cowok itu ditumpuk di
tumpukan paling atas (jelas, kalau dia berada di tumpuk?
an paling bawah, mungkin dia sudah mati tergencet
kedua temannya yang berbodi raksasa). Begitu menyadari
387 Isi-Omen2.indd 387 011/I/13 dialah yang berada di bagian paling atas, aku tidak
segan-segan lagi. Kutarik kedua tangannya yang panjang
itu dan kuempaskan badannya ke arah si algojo ketiga.
Welly, maafkan aku ya. Sesuai dugaanku, saat aku melemparkan Welly pada?
nya, spontan si algojo ketiga menangkap cowok itu de?
ngan kedua tangannya yang memegangi parang. Akibat?
nya, tentu saja pegangannya pada kedua senjata itu
melemah. Kesempatan yang hanya secuil ini kugunakan
untuk merebut kedua parang itu. Parang pertama bisa
kurebut dengan mudah, tetapi parang kedua langsung
dipegangnya erat-erat setelah melepaskan tubuh Welly
begitu saja. Malang betul nasib cowok kurus itu, tapi dia
kok tidak bangun-bangun ya, meski sudah diperlakukan
dengan kasar? Apakah cowok-cowok itu memang sudah
di?bius sampai betul-betul tak sadarkan diri?
Aku dan si algojo ketiga saling membetot parang yang
tersisa di tangan si algojo. Tenaganya kuat betul, berbeda
dengan tenaga Okie maupun Andra, dan dalam sekali
betot saja aku sudah langsung menyadari aku tak bakal?
an menang adu tenaga begini. Selain tenagaku kalah
kuat, tubuhku juga dipenuhi luka-luka yang menyakitkan.
Tidak sanggup beradu tenaga lebih lama lagi, aku meng?
hantam moncong musangnya dengan gagang parang
yang ada di tangan kananku.
Si algojo mengaduh, tapi, tak sesuai harapanku, dia
tetap memegangi parangnya dengan erat. Kugebuki lagi
mukanya dengan keras, dan lagi-lagi dia tetap ber?tahan.
Aduh, masa sih aku harus menghajarnya terus-menerus
dengan gagang parang ini? Syukur-syukur kalau dia cuma
pingsan. Bagaimana kalau dia sampai mati? Me?mang dia
388 Isi-Omen2.indd 388 011/I/13 cowok, lumayan kuat pula, jadi tenagaku pasti kalah
jauh. Tapi itu tidak berarti dia tak bisa mati. Kalau aku
terlalu brutal, bisa-bisa setelah semua kejadian ini selesai,
aku ikutan jadi warga baru di penjara.
Sedang ngotot-ngototnya rebutan parang dengan si
algojo ketiga yang misterius, mendadak terdengar bunyi
kunci pintu diputar. Astaga! Bisa gawat kalau aku ter?
tangkap basah dalam keadaan begini. Sudah pasti aku
tak bisa lolos. Lebih parah lagi, mungkin aku bakalan
di?rantai dengan ketat sampai tak bisa bikin ulah lagi.
Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.
Mungkin inilah yang namanya gelap mata. Tidak tahu
apa yang harus kulakukan lagi, aku pun mengayunkan
parang yang bebas di tangan kananku hingga mata
parang ada di atas lagi. Lalu dengan mata parang itu,
aku menyerang si algojo. Secara insting, aku tahu aku tak bakalan benar-benar
menyerangnya, melainkan hanya mengancam. Tapi si
algojo tidak tahu itu. Dia mengira aku serius banget
ingin menghabisi nyawanya. Langsung saja dia melepas?
kan parang yang kami perebutkan setengah mati, melari?
kan diri ke arah pintu keluar, dan membukakan pintu
bagi para rekannya. Dari balik pintu, dua orang yang mengenakan kostum
algojo nongol. Tidak perlu tebak-tebakan lagi, yang ber?
ada di balik kedok musang itu pastilah Okie dan Andra.
Tapi sedikit pun aku tidak gentar melihat kedatangan
pasukan tambahan ini. Meskipun mereka cowok-cowok
ber?tenaga kuat, aku punya teknik menyerang yang jauh
lebih baik (apalagi kini aku juga punya parang, hal yang
jelas bikin kedudukan kami berimbang).
389 Isi-Omen2.indd 389 011/I/13

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi tanpa membuang-buang waktu lagi, aku me?laku?
kan serangan pertama dengan menebas ke arah muka
mereka. Yep, aku mulai menikmati strategi melancarkan
serangan-serangan berbahaya dan mengancam jiwa (yang
tentunya akan kutahan kalau lawan-lawanku tidak
sanggup mengelak). Serangan pembuka yang mengerikan
ini langsung membuat kedua lawan baruku terkejut se?
tengah mati. Salah satunya langsung meloncat dan me?
rapat pada dinding, sementara yang satu lagi langsung
men?jatuhkan tubuh dan memegangi kepala de?ngan
kedua tangan seakan-akan ingin menjaga kepalanya agar
tetap utuh. Sedangkan si algojo ketiga, berhubung sudah
kehilangan senjata, tidak ikut maju dan meng?umpet saja
di pojokan. Kurasa algojo yang merapat pada dinding adalah Okie,
karena setidaknya algojo yang itu lebih bernyali. Setelah
pulih dari kekagetannya, dia mulai menyerangku. Tapi
kali ini semua lebih gampang karena pintu yang me?reka
buka tadi tidak sepenuhnya tertutup kembali, se?hingga
suasana tidak segelap tadi lagi. Kutangkis serang?annya
yang ternyata lebih kuat daripada dugaanku, mem?buat
tanganku kesemutan. Tak kusangka aku jadi lemah
begini. Apa karena luka-lukaku yang sedari tadi terus
mengucurkan darah? Pada saat aku sedang meragukan kemampuanku,
mendadak algojo yang melawanku itu jatuh terjengkang.
Ah, rupanya lagi-lagi Rima beraksi! Dengan kakinya yang
panjang dia menjegal algojo itu sampai terjatuh. Tidak
tanggung-tanggung, kepala algojo itu ter?bentur dinding
belakang dan dia tidak sanggup bangkit kembali. Astaga,
semua ini berkat Rima! Cewek seram itu benar-benar
390 Isi-Omen2.indd 390 011/I/13 hebat. Sudah berkali-kali dia menolongku dengan cara
yang sederhana tapi ampuh. Aku benar-benar berutang
nyawa padanya. Namun belum sempat aku bernapas lega, algojo yang
satunya lagi, yang tentunya adalah Andra, maju untuk
membacokku. Oke, tampaknya ini juga serangan nekat
membabi buta berhubung aku sudah mengalahkan dua
di antara mereka. Jelas orang ini tidak peduli lagi dengan
keselamatanku. Satu-satunya tujuannya hanyalah me?
lumpuh?kanku, hidup atau mati tak masalah. Aku ber?
usaha mengelak atau menangkisnya, tapi serangannya
ter?lalu beruntun sehingga aku tak punya waktu untuk
me?lancarkan serangan balasan.
Yang membuatku ngeri, rupanya si algojo ketiga, yang
tadinya sempat kurebut parangnya dan ngumpet di
pojok?an, kembali bergerak. Dibantunya Okie untuk bang?
kit kembali. Lalu, bersama-sama, keduanya men?dekati?ku
dengan langkah pelan namun pasti.
Matilah aku. Menghadapi satu saja aku sudah kerepot?
an, apalagi tiga! Kali ini sudah pasti aku tak bakalan
lolos. Aku merapat ke dinding, merasa tidak berdaya di?
kepung tiga orang begini. Seberapa pun Rima berusaha
membantuku, kali ini aku tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Aku tak sanggup balas menyerang. Luka-lukaku
terlalu parah dan tenagaku nyaris tak bersisa. Kesal rasa?
nya, tapi kurasa ini saatnya aku menyerah. Setidak?nya,
aku tak perlu melakukan perlawanan sia-sia.
Pada saat aku sedang putus asa begitu, mendadak pin?
tu terbuka, membuat kami semua kaget banget. Sontak
si algojo di depanku, yang tentunya adalah Andra, lang?
391 Isi-Omen2.indd 391 011/I/13 sung menerkamku dengan parang menempel di leherku,
sementara algojo yang lain langsung merebut kedua
parangku. Yang lolos dari perhatianku adalah algojo ter?
akhir yang langsung mundur dan lenyap dalam ke?
gelapan. Dari balik pintu, muncullah wajah sangar Erika yang
tampak gelap dan brutal, sementara cahaya menyeruak
dari belakang punggungnya. Dia tampak seperti malaikat
ke?matian yang mengerikan. Les dan Vik muncul meng?
apit dirinya, tampak seperti dua eksekutor yang siap
meng?ambil nyawa siapa saja yang diperintahkan Erika.
Hatiku dipenuhi kelegaan luar biasa saat melihat ke?
munculan mereka, namun rasa sesal mulai memenuhi
hati?ku saat melihat tatapan Les padaku. Tatapan itu
jelas-jelas menunjukkan kesedihan, kemarahan, ber?
campur rasa bersalah. Benar kan dugaanku, dia menyalah?
kan dirinya sendiri lantaran aku tertangkap.
Oh, God. Kenapa dulu aku pernah marah padanya?
Erika benar. Les melakukan semua hal menyakitkan itu
ka?rena dia peduli padaku. Dan tak peduli aku mem?benci?
nya setelah itu, dia tetap memedulikan dan menjagaku.
Aku yang sudah salah sangka terhadap kebaikannya, su?
dah membencinya untuk alasan yang salah.
Aduh, sekarang aku jadi merasa bersalah banget pada?
nya. "Kamu nggak apa-apa, Val?" tanyanya dengan suara
rendah yang terdengar lembut di telingaku.
"Ya," anggukku setenang mungkin untuk menunjukkan
kondisiku masih oke-oke saja, tak peduli kini aku men?
jadi sandera dan sudah berdarah-darah. "Mereka ini
gampang?an kok." 392 Isi-Omen2.indd 392 011/I/13 Erika tertawa datar. "Emang gampangan. Berkat lo,
kami jadi tau lokasi tempat ini. Thanks, Val. Sekarang
serah?in sisanya pada kami."
"Kalian kira semudah itu?" Andra berkata dengan
suara dibuat-buat dengan harapan tak ada yang me?
ngenalinya. "Nyawa cewek ini ada di tangan kami,
tau!" "Lalu, emangnya kenapa?" balas Erika sambil men?
dengus. "Emangnya kalian pikir kalian bisa lolos setelah
semua ini, hei, Andra Mukti dan Okie Laksana?"
Dari gerakan parang yang rada berkedut, aku tahu
Andra terkejut mendengar nama lengkapnya disebut oleh
Erika. Demikian pula algojo di sebelahnya.
Astaga, siapa ya algojo di sebelahnya ini? Okie, atau?
kah algojo ketiga? Aku tidak bisa membedakan mereka
kalau mereka tidak bicara. Habis, tinggi badan mereka
hampir sama sih. Omong-omong, ke mana algojo yang satu lagi?
"Kaget?" Erika mendengus. "Bukan cuma itu. Gue
hafal alamat rumah kalian, dan nggak sulit bagi gue
untuk melacak nomor HP kalian, dan ke mana aja kalian
bakalan ngumpet seandainya kalian berhasil kabur dari
sini, meski gue ragukan hal itu. Kenyataannya, kalian
cuma berdua, sementara kami bertiga..."
"Mereka nggak cuma berdua!" seruku memperingatkan.
"Masih ada orang ketiga, tapi gue nggak tau dia ada di
mana..." Aku membelalak saat melihat algojo terakhir muncul
dari balik pintu. Tepatnya di belakang punggung Erika.
"Erika, awas!" jeritku.
Erika langsung berbalik, tepat saat kedua parang milik
393 Isi-Omen2.indd 393 011/I/13 algojo ketiga itu diayunkan ke arahnya. Untung saja
reaksi cewek itu cepat. Dia langsung meloncat ke sam?
ping sambil berteriak heran, "Lho, siapa lagi keparat satu
ini?" Vik beranjak untuk membantu Erika, tapi algojo yang
satu lagi?aku tidak tahu apakah itu Okie atau si algojo
misterius?menghadangnya. Jadi kini tinggal aku, Les,
dan Andra yang sedang menyanderaku.
"Lepasin dia, Andra!" kata Les sambil memandangi
Andra dengan tatapan tajam dan dingin yang menusuk,
yang bahkan membuat aku, yang bukan sasaran ke?
marahannya, jadi bergidik. Cowok yang biasanya santai
dan manis ini benar-benar mengerikan kalau sedang
marah. "Gue janji, kalo lo sekarang lepasin dia, gue akan
lepasin lo juga. Tapi kalo nggak, lo jangan harap bisa
hidup tenang setelah ini!"
"Lo kira gue bodoh?" Uh-oh, sepertinya si Andra mulai
histeris. Mungkin dia panik menyadari dirinya bukan
tandingan Les. "Begitu gue lepasin dia, lo pasti akan
bunuh gue!" "Gue udah bilang akan lepasin lo." Suara Les yang
rendah benar-benar menakutkan. Aku sama sekali tidak
bisa menyalahkan Andra yang gemetaran saat ini. "Setiap
perkataan gue adalah janji. Jadi, seandainya lo nggak
berniat lepasin dia, gue akan terus bikin hidup lo men?
derita selamanya!" Mendengar gertakan terakhir yang diucapkan dengan
keras itu, Andra langsung melepaskanku. Spontan aku
langsung menghambur pada Les yang langsung me?
nyambutku. Wajahnya yang tadinya garang langsung
ber?ubah lega saat aku dilepaskan, tapi lalu mendadak
394 Isi-Omen2.indd 394 011/I/13 wajah itu berubah shock. Sebelum aku sempat mencari
tahu kenapa, dia memutar tubuh kami dengan amat
sangat cepat hingga posisi kami berbalik dalam sekejap.
Dan dari posisi itu aku melihat Andra mengayunkan
parang ke punggung Les. Sekuat tenaga aku memutar tubuh Les, tapi cowok itu
tetap bertahan pada tempatnya seolah-olah memang ingin
menggunakan tubuhnya untuk memerisaiku. Oh, God. Ini
tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin cowok yang baru
kukenal ini rela mengorbankan nyawanya untuk?ku,
sementara semua orang yang kukenal sejak kecil bahkan
tak memedulikanku! Ini pasti cuma bayang?anku, khayalan
gila yang kualami gara-gara diper?mainkan tiga algojo
sinting di ruangan gelap. Ya, kan? Ya, kan?
Tapi darah hangat yang menyembur ke wajahku dan
mem?basahi tanganku bukanlah khayalan, juga tubuh
berat yang kini terjatuh ke dalam pelukanku.
Oh, God. Oh, God! "Les," bisikku. "Les!"
Aku bisa merasakan, susah payah cowok itu meng?
angkat wajah dan tubuhnya dariku. Tubuhnya gemetar
menahan sakit, tapi dia tetap tersenyum untukku. "Sana,
kalahkan pecundang sialan itu buatku."
Sambil menahan air mata, aku mengangguk. Me?
rasakan serangan Andra mendekat lagi, aku terpaksa
melepaskan Les yang langsung terhuyung ke belakang,
menempel pada tembok. Aku memiringkan tubuhku ke
belakang untuk menghindari parang Andra sekaligus
melancarkan tendangan ke arah perut algojo busuk itu.
Selama sepersekian detik yang singkat ketika gerakan
Andra tertahan karena kesakitan, aku mencuri pandang
395 Isi-Omen2.indd 395 011/I/13 ke arah Les. Cowok itu tampak pucat dan kesakitan di
tengah-tengah kegelapan ini, tapi setidaknya dia tidak
terkapar dalam kondisi sekarat. Untunglah.
Aku harus mengakhiri pertarungan ini secepatnya.
Belum pernah aku bertarung seperti ini. Biasanya aku
bertarung hanya dalam latihan. Pertarungan pertama
yang benar-benar kulakukan adalah beberapa waktu lalu,
saat menolong Erika yang sedang disandera. Yang kedua
kali, waktu dikepung oleh anggota geng motor Rapid
Fire. Yang ketiga adalah saat bertarung dengan Okie yang
mengenakan kostum algojo di Ruang Kesenian pada
malam hari. Semua pertarungan itu tidak ada apa-apanya
di?bandingkan dengan rasa dingin tak berbelas kasihan
yang kini merayap di hatiku. Aku tak peduli nasib
Andra, aku tidak peduli dia hidup atau mati. Aku hanya
ingin pertarungan ini cepat berakhir dan aku bisa segera
menolong Les. Meski biasanya pengecut, saat ini Andra tampak
beringas. Kurasa dia juga mengerti bahwa aku tidak akan
memberinya ampun setelah dia melukai Les seperti itu.
Hanya saja, cowok tolol itu bukanlah tandinganku saat
ini. Apa pun yang terjadi, aku harus menang. Jadi, meski
tadinya gerakanku sudah melambat dan melemah, kini
tenagaku seolah pulih kembali dan kecepatanku seolah
kembali seperti semula. Mungkin, inilah yang di?nama?kan
kekuatan alam bawah sadar. Dalam satu gerak?an sigap,
aku berhasil menangkap pergelangan tangan Andra.
Sedikit pun aku tidak merasa ragu waktu me?matahkan
tangan itu ke arah yang berbeda dengan sendi. Semen?
tara Andra berteriak histeris, aku merebut parang yang
dilepaskan tangan tersebut.
396 Isi-Omen2.indd 396 011/I/13 "Dasar cewek sial!" teriak Andra. "Akan gue bunuh
lo!" Aku tertawa dingin, tawa dingin yang terdengar asing
sekaligus familier. Tawa yang mengingatkanku pada ayah?
ku. "Kita liat aja, siapa bunuh siapa!"
Aku mengayunkan parang dengan cepat, membuat
Andra langsung meloncat ketakutan. Tapi aku tak mem?
berinya ampun. Gerakanku cepat, menyilang, dan ganas.
Andra sama sekali tidak sanggup membalasku dan hanya
bisa mundur, mundur, dan mundur, sampai dia terpojok
di sudut ruangan. Saat dia berusaha menyerangku de?
ngan satu parang yang tertinggal, aku mengadunya de?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan tenaga yang lebih kuat sehingga parangnya ter?
pental ke bawah. "Ampun, Val, ampuni gue!" ucapnya ketakutan sambil
melepaskan topengnya, menampakkan wajahnya yang
lebih jelek dan menyebalkan dibanding topeng musang
yang tadi dikenakannya. "Gue tadi kalap! Gue pikir
kalian cuma mau nipu gue. Gue nggak bisa terperangkap
di sini! Semua ini bukan salah gue! Bukan gue yang ren?
canain semua ini! Gue cuma nurutin perintah orang!
Yang bikin rencana itu dia!" Dia menunjuk orang yang
sedang sibuk berantem dengan Erika. "Itu Pak Vinsen!"
Vinsen? Nama itu rasanya pernah kudengar.... Oh, ya
ampun, itu kan nama satpam yang pernah dilukai Andra
tahun lalu! Kenapa mereka bisa berkomplot?
Perkelahian antara Erika dan algojo ketiga langsung
berhenti, demikian pula perkelahian Vik dan Okie.
"Vinsen?" Mendadak Bu Rita yang sedari tadi diam
saja langsung berbicara. "Kamu yang merencanakan se?
mua ini?" 397 Isi-Omen2.indd 397 011/I/13 Algojo itu melepaskan topengnya, menampakkan seraut
wajah klimis yang letih dan muram. "Ya, ini saya, Bu."
Di sisi lain ruangan, Okie juga ikut melepaskan to?peng
musangnya. "Kenapa kamu melakukan semua ini, Vinsen?" Bu Rita
menuntut penjelasan. "Karena keponakan-keponakan saya dibunuh oleh pe?
rempuan itu!" Dia menuding Chalina yang tampak ke?
takutan. "Dan nggak ada yang berbuat apa-apa untuk
membalasnya!" "Gue nggak bunuh Reva!" jerit Chalina. "Dia jatuh
sen?diri! Lo juga liat sendiri kan, Kie?"
Okie menatap Chalina dengan penuh kebencian. "Gue
liat lo siram dia dengan air sabun yang licin!"
"Tapi itu cuma iseng. Gue nggak nyangka dia bakalan
mati...." "Apa pun yang terjadi, pada saat itu Reva sudah ke?
buru meninggal," kata Bu Rita dengan suara datar. "Apa?
kah itu berarti saya harus menghancurkan hidup seorang
siswi lain?" "Tentu saja!" teriak Vinsen berang. "Itu yang namanya
keadilan! Mana bisa Bu jadi kepala sekolah kalau yang
begini saja nggak paham?"
"Sebaliknya, saya tidak akan bisa jadi kepala sekolah
kalau saya tidak memaafkan," balas Bu Rita. "Andra,
misal?nya. Seharusnya saya menyerahkan dia ke polisi se?
telah dia mendobrak kantor saya, tapi buktinya saya ha?
nya memetieskan kasus itu."
"Tapi Ibu mengeluarkan saya!" Kini Andra ikut ber?
teriak. Rupanya dia masih dendam karena dikeluarkan.
"Kenapa Ibu nggak mengeluarkan Chalina juga?"
398 Isi-Omen2.indd 398 011/I/13 "Karena kamu sengaja dan Chalina tidak," sahut Bu
Rita. "Saya tahu, banyak yang menganggap Chalina
salah, tapi saat itu Chalina benar-benar tidak sengaja.
Saya tahu itu karena saya ada di sana. Dia menangis dan
ge?metaran, jelas-jelas menunjukkan rasa takut dan ber?
salah. Karena itu, kejadian itu hanya kecelakaan. Tapi,"
beliau menoleh pada Chalina, "saya tidak tahu apa yang
terjadi pada Indah."
"Itu karena Ibu nggak mau menyelidiki sama sekali!"
Kemarahan Vinsen lagi-lagi beralih pada Bu Rita. "Ibu
cuma memikirkan reputasi sekolah dan nggak pernah
me?mikirkan nasib anak-anak!"
Kali ini Bu Rita terdiam mendengarnya.
"Lalu?" tanyaku akhirnya. "Kenapa yang lain turut di?
libatkan?" "Gordon mengadu pada Chalina bahwa Indah tahu
rahasianya, dan itu yang bikin Indah dibunuh. Seharus?
nya anak sialan itu mampus juga!" Vinsen memandangi
tumpukan tubuh Daniel, Amir, dan Welly. "Tiga anak ini
hanya memikirkan uang. Mereka yang mengalihkan per?
hatian semua orang sampai-sampai nggak ada yang me?
lihat Reva didorong Chalina. Mereka harus membayarnya.
Dan kalian yang sisanya juga harus ditangkap supaya
rencana kami berhasil!"
"Kalian udah gila!" teriak Erika. "Yang nggak salah
tetep aja ditangkap dan dilukai. Ngaku aja, kalian cuma
mau morotin semua orang di sini lalu kabur dengan duit
banyak, kan? Cuma itu yang kalian pikirin! Ngomong
sampe berbusa-busa soal balas dendam, kenyataannya
kalian hanya mau duit!"
"Lebih baik kami mengambil uang mereka daripada
399 Isi-Omen2.indd 399 011/I/13 nyawa mereka!" balas Vinsen. "Setidaknya kami bisa
meng?gunakan uang itu untuk membantu keluarga yang
ditinggalkan. Apa kalian tahu seluruh keluarga kami
hancur berantakan setelah Reva dan Indah meninggal?
Apakah ada yang peduli? Nggak ada, kan? Makanya saya
yang harus bertindak. Keadilan harus diperjuangkan. De?
ngan cara legal terlalu mahal, jadi hanya ini yang bisa
kami laku?kan." Sesaat kami semua tepekur memikirkan kata-kata
Vinsen. Aku tidak bisa menyalahkannya karena dia ingin
membela keluarganya. Mungkin dia juga benar, dengan
cara legal terlalu mahal dan tak terjangkau oleh keluarga
mereka. Tapi betapa sedihnya, keluarga yang sudah men?
derita begitu banyak, kini harus menderita semakin
banyak lagi. "Eh, tapi kalo tujuan Om memang sekeren itu," sela
Erika di tengah-tengah keheningan itu, "ngapain Om
ngajak-ngajak si Andra yang bejat itu?"
Vinsen menyunggingkan senyum yang tampak rada
tak wajar. "Bagus sekali kamu bertanya soal itu. Itu ka?
rena dia adalah salah satu penyebab kematian Reva."
Vinsen menatap Andra dengan penuh kebencian. "Dia
yang bikin Chalina selalu menindas Reva, tapi dia nggak
pernah membela Reva. Dia juga yang selalu berkoar-koar
ingin balas dendam, bahkan meminta bantuan saya
untuk men?dobrak kantor Bu Rita. Tapi pada waktu itu
teman satu shift saya muncul mendadak. Dan supaya
tidak ke?tahuan, dia melukai saya sampai saya pincang.
Bahkan saya curiga dia juga terlibat dalam kematian
Indah. Betul kan, kamu yang bilang pada Gordon soal
Indah men?curigai Chalina?!"
Andra tampak tergagap. "Bukan, Om, bukan saya..."
"Apa kamu pernah menduga, Andra?" tanya Vinsen
dengan suara sedingin es. "Sebenarnya, kamulah korban
terakhir dari Tujuh Lukisan Horor!"
"Awas!" Mendadak saja sesuatu yang berkilat mengarah padaku,
dan aku ditubruk dengan sangat keras hingga aku me?
nabrak dinding. Orang yang menubrukku adalah Les
yang sedari tadi masih tampak sangat sadar kendati
wajah?nya pucat banget. "Kamu nggak apa-apa?"
Aku mengangguk, dan wajah Les yang tadinya cemas
tampak lega. Dia segera menoleh ke belakang dan kami
semua mengikuti arah pandangnya. Kami sama-sama
terpana melihat sebuah parang menancap di bahu Andra,
sementara si korban hanya bisa ternganga dengan mata
terbelalak pada penyerangnya. Tubuh Andra tampak ber?
kelojotan karena shock dan kesakitan sebelum akhirnya
terkulai pingsan. Yep, melihat arah senjata itu menancap,
sepertinya tak mungkin gara-gara itu dia mati, meskipun
dia mungkin saja mati nanti karena kehabisan darah
kalau kami tidak buru-buru memanggil polisi.
"Om benar-benar gila!" teriak Erika sambil memiting
Vinsen. "Kenapa setelah semua nyaris berakhir, Om ma?
lah melakukan semua ini?"
"Justru inilah yang ingin saya lakukan dari awal.
Pangkal masalah ini adalah Andra. Tanpa dia, keluarga
kami nggak akan hancur. Sekarang, dendam keluarga
kami sudah terbalas!"
400 Isi-Omen2.indd 400 011/I/13 "Apanya yang terbalas?" tanyaku pahit. "Sekarang Om
401 Isi-Omen2.indd 401 011/I/13 harus masuk penjara, sementara Reva dan Indah nggak
akan hidup lagi." "Setidaknya, saya sudah memberitahu orang-orang
yang sudah menyakiti keluarga kami," kata Vinsen te?
nang. "Mereka nggak akan pernah bisa melarikan diri
dari dosa mereka. Seumur hidup, mereka akan me?
nanggung dosa itu dan saya adalah saksinya."
Aku menghela napas. Tak kusangka, tragedi keluarga
ini pada akhirnya menyakiti begitu banyak orang. Tapi
setidaknya tidak ada nyawa tak bersalah yang lenyap
(dalam arti, yep, aku tak peduli dengan hidup-matinya
Andra). Aku berpaling pada Les yang masih merangkul ping?
gangku. "Kamu sendiri nggak apa-apa?" tanyaku cemas.
Les tertawa pelan. "Sekarang sih udah nggak apa-apa,
begitu tau kamu selamat."
"Maksudku, lukamu..."
Tapi Les tidak mendengar ucapanku lagi. Pandangan?
nya yang biasanya tajam mulai buyar, lalu seluruh tubuh?
nya ambruk menimpaku. 402 Isi-Omen2.indd 402 011/I/13 AKU duduk termenung di depan kamar rawat inap VVIP.
Ada keinginan yang amat sangat untuk memasuki ruang?
an itu, untuk duduk di samping Les dan me?mandangi?
nya hanya untuk meyakinkan diriku bahwa dia bakal?an
baik-baik saja, untuk menjadi orang pertama yang dia
lihat saat dia membuka mata dan mengatakan hal yang
sudah ingin kukatakan sejak kemarin: "Thank you, Les.
Tanpa kamu, nggak akan ada aku yang sekarang ini."
Tapi aku tidak boleh melakukannya.
Kurasakan Erika mengenyakkan diri di samping?ku.
"Lo sebenarnya berhak masuk ke dalam sana," katanya
dengan suara rendah. Aku menggeleng. "Nana nggak ngasih gue masuk."
"Cih, emangnya dia siapa?" cela Erika. "Lo yang bawa
si Obeng ke rumah sakit ini, lo yang bayarin biaya
rumah sakit, lo yang tungguin dia sampe dia keluar dari
ICU. Emangnya lo kudu ngapain lagi supaya boleh
masuk? Donor darah? Padahal lo sendiri juga nyaris mati
dua hari lalu." Erika lebay banget deh. Tentu saja aku tidak nyaris
mati. Memang aku kehilangan banyak darah, tapi karena
403 Isi-Omen2.indd 403 011/I/13 adrenalin, aku nyaris tak menyadarinya sampai divonis
paramedis yang nongol bersama Ajun Inspektur Lukas.
Tampang si ajun inspektur tampak bete karena lagi-lagi
dia dipanggil di saat semua aksi seru sudah berakhir.
Erika berkoar-koar bahwa dia tidak sempat menelepon si
ajun begitu tiba di pabrik kosong karena dia belum
yakin pabrik ini adalah tempat penahanan para tawanan.
Berhubung ada secuil kenyataan dalam alasannya, si ajun
hanya bisa menggerutu panjang lebar seraya memelototi
kami. Vinsen dan Okie langsung diangkut ke penjara, semen?
tara Andra masih harus dirawat di ICU selama beberapa
hari. Seperti yang kuduga, lukanya tidak terlalu parah.
Memang Andra saja yang terlalu penakut dan tak tahan
sakit. Dalam waktu singkat, dia bakalan menyusul kedua
rekannya?atau, mungkin lebih tepat, kedua musuhnya?
ke penjara. Para tawanan ternyata tidak menderita luka-luka se?
parah yang kami duga. Chalina misalnya, sempat ter?
gores di bagian wajah. Goresan itu sempat berdarah ba?
nyak sekali dan membuatnya histeris saking takut
ke?cantikannya yang tak seberapa itu dirusak, tapi dari
yang kudengar, bekas luka itu akan bisa dihilangkan
dengan operasi plastik (kalau ada yang berbaik hati mem?
biayai tentunya, karena orangtuanya pasti tidak mampu).
Sudah untung, entah bagaimana caranya, malam itu dia
bisa menghindari bacokan parang para algojo pada pung?
gungnya, dan hanya mengenai wajahnya. Yang jelas, dia
bakalan diadili juga untuk kejahatannya terhadap Indah.
Kemungkinan besar dia juga bakalan mendekam di
penjara. 404 Isi-Omen2.indd 404 011/I/13 Luka Bu Rita sedikit lebih parah, di salah satu lengan?
nya. Untungnya tidak ada kerusakan permanen akibat
luka itu. Daniel, Welly, dan Amir sama sekali tidak mengalami
luka berdarah, tetapi mereka mendapatkan banyak
memar yang cukup mengerikan. Menurut dugaan Ajun
Inspektur Lukas, sepertinya mereka dipukuli dengan
batangan besi dalam kondisi tidak sadar. Betul dugaanku.
Seperti diceritakan Ajun Inspektur Lukas berdasarkan
peng?akuan Okie, Andra, dan Pak Vinsen, mereka meng?
anggap lebih mudah melumpuhkan Daniel, Welly, dan


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amir dengan cara Okie pura-pura mengundang mereka
ke rumahnya, lalu memberikan minuman yang me?
ngandung obat bius. Berusaha mengalahkan ketiganya
lewat perkelahian face to face, alih-alih berhasil me?
ngalahkan lalu melukai mereka dengan cara seperti di?
gambarkan pada lukisan-lukisan itu, bisa-bisa malah diri
ketiga algojo itu sendiri yang jadi korban.
Tentunya yang mengalami luka terparah adalah Les.
Di satu sisi, untunglah hantaman parang tidak me?
nyebabkan kerusakan pada tulang?yang akan sulit di?
sembuhkan?tetapi hal itu menyebabkan luka yang
cukup dalam. Namun setelah beberapa operasi, dokter
mengatakan dia akan sembuh total.
"Gara-gara ngurusin biaya rumah sakit si Obeng, lo
jadi bangkrut, kan?" Aku hendak membantahnya, tapi
Erika terus mencerocos. "Nggak usah ngeles. Gue denger
pembicaraan lo kemaren dengan Andrew di telepon."
Oh, sial. Aku lupa cewek ini tukang nguping. Yah,
memang biayanya cukup mahal. Habis, Les juga mem?
butuhkan transfusi darah yang sangat banyak. Setelah
405 Isi-Omen2.indd 405 011/I/13 semua operasi selesai, dia ditempatkan di kamar VVIP.
Jelas dong, mana mungkin aku menempatkan penolong?
ku di kamar yang lebih jelek daripada kamar ini? Jadi,
masa bodoh banget deh tabunganku ludes dan aku harus
meminjam sedikit dari Andrew. Kalian tahu apa kata
orang bijak, uang selalu bisa dicari.
"Dan semua itu nggak seberapa dibanding kalo masa?
lah ini ketauan si beruang raksasa."
Aku nyaris tertawa mendengar julukan yang diberikan
Erika untuk ayahku, tapi kata-katanya benar banget.
Andai beliau tahu masalah ini, bisa-bisa aku dikurung di
rumah dan dilarang berteman dengan Erika lagi.
"Soal itu gue nggak khawatir," ucapku. "Gue nggak
bilang apa-apa sama Andrew. Gue cuma bilang gue beli
lukis?an yang kelewat mahal alias lukisan Welly. Rima
bilang, dia bakalan minta salah satu anggota Klub
Kesenian untuk nganterin lukisan itu ke rumah."
"Emangnya lukisan itu kelihatan mahal?" tanya Erika,
tumben-tumbenan terlihat bingung.
"Yep." "Sulit dipercaya, di tengah-tengah kejadian mengerikan
ini, kita jadi nemuin bakat terpendam Welly si begeng
ajaib." Erika menggeleng-geleng. "Semoga aja dia per?
gunain bakatnya itu untuk kebenaran, bukannya untuk
malsuin lukisan beken sejenis Monalisa." Erika meng?
amatiku dengan teliti, dan rasanya risi banget di?pandangi
seperti itu oleh orang yang punya daya ingat foto?grafis.
Nggak tahu deh, apa yang diingatnya soal aku. "Udah
ah, nggak usah nungguin si Obeng lagi. Mending?an lo
sekarang istirahat aja. Udah malam lho. Lagian, lo pasti
masih inget apa kata dokter. Tubuh lo masih lemah, dan
jahitan-jahitan luka lo masih baru. Kalo lo mau me?matamatai kondisi si Obeng, lo kan bisa ngirim gue..."
"Lo dan gue sama-sama nggak boleh masuk ke ruang?
an itu," selaku datar.
"Dan itu salah siapa?"
Salahku, tentu saja. Dua hari lalu, setelah mengurus
masalah rumah sakit Les sampai selesai, aku berkata,
"Kita harus telepon Nana dan ngasih tau dia kondisi
Les." Erika memandangiku seolah-olah aku sudah gila, dan
sebagian dari diriku juga merasa begitu. Tapi, aku ingat
cerita Les. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
Dua orang yang terdekat dengannya, dua orang yang di?
anggapnya sebagai keluarga sendiri, adalah Vik dan
Nana. Dan aku tak boleh egois. Dia pasti menginginkan dua
orang itu berada di dekatnya pada saat-saat seperti ini.
Tidak kuduga, saat Nana tiba, yang pertama dilakukan?
nya adalah menginterogasi kami. "Apa yang terjadi?"
Aku menceritakan apa yang terjadi sesingkat mung?
kin?dan tanggapan Nana cukup jelas.
Dia menamparku kuat-kuat.
"Apa-apaan lo?" teriak Erika sambil mendorong cewek
itu. "Lo kerasukan, ya?"
"Kerasukan?" Nana menatap kami berdua dengan air
mata tertahan di matanya. Anehnya, cewek itu tampak
cantik dan kuat di saat-saat begini. "Kalian berdua yang
nggak tau diri! Kalian baru kenal dia berapa lama? Se?
minggu? Dua minggu? Bisa-bisanya kalian langsung bikin
406 Isi-Omen2.indd 406 011/I/13 dia celaka begini!" 407 Isi-Omen2.indd 407 011/I/13 Aku terdiam. Kata-kata Nana memang benar. Seharus?
nya aku tidak menyeret Les ke dalam jurang bahaya.
Tapi Erika sama sekali tidak setuju. "Hei, denger,
Neng!" Dia menunjuk-nunjuk dada Nana dengan berang.
"Pertama, bukan kami yang bikin dia celaka. Emangnya
kami yang nusuk dia dari belakang pake golok? Kedua,
dia sendiri yang kepingin gabung sama kami. Kami
nggak pernah tuh maksa dia. Kalo dia mau ikut, ya kami
oke-oke aja, tapi kalo nggak, no problemo. Dan ketiga,
bukan?nya kehidupan geng motor kalian lebih bahaya
daripada kehidupan kami? Seharusnya, temenan dengan
kalianlah yang bikin kami jadi lebih gampang celaka!
Ngerti nggak!" Sesaat Nana tidak bisa berkata-kata, entah karena dia
merasa ucapan Erika benar ataukah karena dia shock
disembur-sembur dengan ludah begitu. Namun akhirnya
dia menjawab dengan tak kalah galak, tidak peduli Erika
mirip naga seram dengan lubang hidung berasap, "Kalian
emang selalu merasa diri kalian benar. Buktinya, sekarang
yang berbaring di dalam sana bukan kalian, tapi Les!
Dan asal tau aja, dia satu-satunya ke?luarga gue di dunia
ini! Kalo sampe ada apa-apa dengan dia, gue nggak akan
maafin kalian seumur hidup gue!"
Sambil berkata begitu, dia berjalan masuk ke kamar
Les. Dengan muka suram lantaran habis dimaki-maki,
aku dan Erika mengikutinya. Tak dinyana, dia mem?????
balikkan tubuh dan berkacak pinggang.
"Apa-apaan kalian?" bentaknya.
"Tentunya mau ikut masuk," sahut Erika dengan muka
mendongkol. "Emangnya cuma elo yang khawatir sama
si Obeng?" 408 Isi-Omen2.indd 408 011/I/13 "Dia nggak butuh kehadiran kalian," dengus Nana.
"Yang dia butuhin cuma gue."
"Dasar cewek..."
Aku menahan Erika yang sudah naik darah. "Udahlah,
Ka. Nggak baik bikin keributan di rumah sakit."
Akibat menahan Erika yang sudah hendak melabrak
Nana, jahitan di pinggangku terasa nyeri. Aku cukup
yakin aku tidak mengeluh atau sekadar mendesis, tapi
Erika menyadari rasa sakitku.
"Napa? Ada yang sakit lagi?" tanyanya khawatir.
Aku mengecek perban di pinggangku dan merasa lega
tak ada warna merah yang nongol di sana. "Nggak apaapa kok."
"Elo sih, baru aja selesai dirawat udah kelayapan ke
mana-mana!" omel Erika. "Yuk, gue anterin ke kamar lo
aja." Lalu dia memelototi Nana. "Urusan kita belum selesai,
ya. Kalo semua ini udah beres, gue akan cari lo lagi."
"Silakan," tantang Nana. "Kapan aja lo kepingin nyari
masalah, silakan datang."
Erika memapahku pergi sambil mendumel kesal. "Da?
sar cewek nyebelin. Dia yang mulai semua masalah ini,
kok sekarang tau-tau nuduh gue yang nyari masalah?
Gue paling benci cewek model begitu!"
Sejak kejadian itu, aku belum sempat bertemu Les lagi.
Memang, menurut kabar dari perawat, Les belum benarbenar siuman. Sesekali dia terbangun dalam kondisi tidak
sadar, tapi lalu tertidur lagi karena pengaruh obat bius
yang diberikan untuk mengatasi rasa sakit di punggung?
nya. Aku lega mendengar kabar itu. Setidaknya, ini ber?
arti cowok itu tidak koma. Dia akan segera sembuh dan
sehat kembali. 409 Isi-Omen2.indd 409 011/I/13 "Eh, asal tau aja ya, Val," Erika melipat tangan di
depan dada dengan muka sengak, "gue nggak masuk ke
dalam situ bukan lantaran takut sama si cewek posesif,
tapi karena lo yang ngelarang gue. Tapi sekarang gue
udah mulai bete nih. Kenapa juga kita harus jadi orang
buangan begini se?mentara si cewek posesif sok-sokan di
ruang VVIP?" "Gue juga bukannya takut sama dia, Ka," sahutku mu?
ram. "Gue cuma nggak mau bikin keributan. Pertengkar?
an nggak akan terjadi kalo ada salah satu pihak yang
mengalah, dan gue rasa lebih mungkin kita yang ngalah
daripada dia." "Emang, tampangnya nyolot abis!" Erika manggutmanggut. "Gue juga mikir, kalo gue jadi Les, lagi enakenak koma, pas mau siuman, tau-tau ada yang berantem
di depan gue, mending gue back to commatose lagi."
Aku mendorongnya dengan bahuku seraya menahan
tawa. "Les nggak koma, tau. Dia cuma lagi dibius supaya
nggak terlalu sakit."
"Yah, kalo gitu lo seharusnya nggak pasang muka pe?nuh
duka gitu dong," cela Erika. "Kalo dinilai dari tam?pang lo,
orang bisa mengira nyawa si Les udah di ambang maut."
"Iya deh." Aku menghela napas, berusaha meng?
enyah?kan kesedihan karena tidak bisa melihat Les meski
cuma sedetik. "Mungkin lebih baik kita pulang aja."
"Pulang?" tanya Erika terkejut. "Gimana dengan lukaluka lo?"
Aku mengangkat bahu. "Udah nggak serius lagi. Gue
udah dibekali perban waterproof, jadi nggak perlu dateng
lagi buat ganti perban. Palingan gue datang sekali-sekali
buat ngecek." 410 Isi-Omen2.indd 410 011/I/13 "Jadi lo mau nyerah?" sergah Erika tak senang. "Hanya
karena dihalangi cewek seperti itu, lo mau kabur begitu
aja? Gimana perasaan Les saat dia bangun nanti, tau
kalo cewek yang dia lindungi dengan nyawanya malah
cabut gitu aja?" "Tentu aja nggak," sahutku tenang. "Gue pulang ka?
rena gue harus ketemu orang. Tapi, justru karena harus
pulang, demi sopan santun, seharusnya kita pamit dong.
Dan waktu pamitan, berhubung Les masih nggak sadar,"
aku mengeluarkan secarik kertas dari kantong celanaku,
"udah sewajarnya gue tinggalin surat."
Erika ternganga sejenak. "Lo ternyata licik ya, Val."
Aku nyengir mendengar komentar Erika. "Yang jelas,
gue nggak bisa dilarang begitu aja. Beruang raksasa aja
nggak bisa menghalangi gerakan gue, apalagi cuma mu?
sang kecil." Erika terkekeh. "Mantap lo! Oke deh. Yuk, gue temen?
in!" Untuk memudahkan para perawat masuk ke ruang
rawat inap, setiap ruangan tidak diperlengkapi dengan
kunci pintu. Tidak terkecuali ruang VVIP yang ditempati
Les. Jadi, kami sama sekali tidak mengalami kesulitan
masuk ke ruangan itu. Namun tak pelak lagi, kami di?
sambut dengan muka masam sang penjaga ruang?an alias
Nana. "Ngapain kalian masuk?" tanyanya seraya berdiri dan
ber?kacak pinggang. "Dasar cewek-cewek nggak tau malu!
Bukannya kalian udah gue larang masuk?"
"Kami datang untuk pamit," sahutku berusaha mem?
pertahankan kesopanan. Bisa kudengar gertakan gigi
Erika di sampingku. Semoga saja sahabatku itu tidak lang?
411 Isi-Omen2.indd 411 011/I/13 sung menerkam cewek judes itu dan menggigit lehernya
sampai putus. "Hari ini kami akan pulang."
"Kalo mau pulang, pulang aja!" hardik cewek itu.
"Nggak ada yang butuh pamit lo!"
"Ya ampun, belum pernah gue ketemu cewek sejutek
elo!" teriak Erika yang pastinya sudah kehilangan kesabar?
an. "Lo belum pernah dilempar orang, ya?"
Cewek itu tampak kaget setengah mati saat Erika me?
megangi kedua lengannya. Mungkin pada saat inilah dia
menyadari Erika, yang selalu terlihat lebih kurus daripada
aslinya akibat tubuhnya yang tinggi, ternyata kuat
setengah mati. "Mau apa lo?"
"Perlu gue jelasin satu-satu?" tanya Erika. Tampak jelas
cewek itu sedang menyembunyikan kegirangannya ka?
rena bisa mengerjai Nana. "Pertama-tama, gue akan
mindahin badan lo ke sini."
Nana menjerit saat Erika menyeret badannya dengan
ke?kuatan super yang tak bisa dilawan dan memindah?
kannya ke depan pintu. "Setelah itu, gue singkirin elo dari ruangan ini!" De?
ngan gerakan ringan dan tak terduga, Erika mendorong
cewek itu, lalu memegangi hendel pintu supaya Nana
tidak bisa kembali ke dalam ruangan. "Val, gue bawa
cewek ini jalan-jalan ke luar dulu, ya! Have fun!"
Aku menatap kepergian Erika dengan geli. Sahabatku
itu selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh. Meski
begitu, dia selalu bisa diandalkan. Sekarang pun, tanpa
perlu rencana ini dan itu, mendadak saja dia memberiku
kesempatan untuk berdua saja dengan Les.
Sesuatu yang sudah sangat kuinginkan sejak dua hari


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu. 412 Isi-Omen2.indd 412 011/I/13 Aku memandangi Les yang sedang tertidur. Cowok itu
benar-benar ganteng. Keningnya tertutup poninya yang
panjang, alis yang tebal dan bulu mata yang lentik,
hidung besar dan mancung, bibir yang pucat namun
indah. Sayang, semua keindahan itu tampak memilukan
dengan adanya infus dan bau obat-obatan yang kental.
Aku duduk di kursi di samping ranjang. Setelah ragu
sejenak, aku mengeluarkan kertas yang kutulis untuknya.
Lalu kuraih tangannya dan kuselipkan surat itu ke dalam
tangannya, lalu kugenggam tangan itu erat-erat.
"Cepat sembuh, ya," bisikku. "Habis itu..."
"Habis itu?" Oh, sial. Dia sudah bangun rupanya! Spontan aku lang?
sung menarik tanganku dan berdiri, siap untuk kabur.
Tapi tanganku keburu ditangkap oleh Les yang mes?ki
masih dalam posisi berbaring, sudah cengar-cengir-ria.
Aku membetot tanganku, tapi dia tidak melepaskan?nya.
Malahan, cengkeramannya cukup kuat untuk orang yang
sempat terkapar tak sadarkan diri selama dua hari.
Yang membuatku tambah shock, cowok itu langsung
membuka surat yang kuselipkan di tangannya, yang ku?
maksudkan supaya dia membacanya pada saat aku sudah
ngacir sejauh-jauhnya dari tempat ini.
"Dear Les." Dia membacanya keras-keras. "Thank you,
buat semua yang udah kamu lakukan buat aku dan temantemanku. Maaf, aku nggak bisa menungguimu sampai kamu
siuman. Dan juga maaf, aku udah salah paham atas sikap?
mu. Cepet sembuh ya. God bless you." Dia mengernyit
sejenak, lalu mendongak dan menatapku. "Salah paham?
Salah paham soal apa?"
Aduh, aku harus jawab apa? Oh, God, kenapa aku bisa
413 Isi-Omen2.indd 413 011/I/13 menulis surat sekonyol itu? Aku benar-benar goblok
dalam urusan percintaan begini!
"Ehm, ada yang aneh dengan mukaku, ya? Soalnya
kamu keliatan kaget banget."
Oh, sial. Baru kusadari mulutku sedang ternganga
lebar bagaikan kuda nil yang sedang menguap dan dipause. Buru-buru aku mengatupkannya. Lalu mendadak
aku menyadari sesuatu. Capek-capek aku meng?khawatir?
kan cowok ini, memikirkan kondisinya siang dan malam,
bahkan menungguinya di luar kamar, ternyata dia sudah
siuman dan sudah bisa cengar-cengir dengan begitu
cerianya. Dasar cowok kurang ajar.
"Katanya kamu masih dibius!" tuduhku sambil me?me?
lototinya dengan kesal. "Oh, itu." Les terkekeh sejenak. "Sebenarnya, baru
pagi tadi berhenti dikasih obat bius. Cuma di badanku
masih ada sisa-sisa obat, jadi seharian ini aku cuma se?
paruh sadar. Baru malam ini aku merasa lebih baik."
Oh. Tapi aku masih tidak berniat melunak. "Tadi,
kamu beneran tidur atau bohongan?"
"Bohongan." Kali ini wajahnya agak malu. "Sebenernya
aku tadi lagi ngobrol sama Nana waktu kamu dan Erika
masuk. Begitu kalian masuk, aku langsung pura-pura
tidur." Arghhh, menyebalkan! Pura-pura tidur saja sudah mem?
buatku kesal, tapi pengakuannya soal ngobrol dengan
Nana (dan bukannya mencariku) membuatku semakin
panas. "Begitu," sahutku dengan suara sedingin es. "Jadi aku
udah ngeganggu obrolanmu dong. Sori kalo begitu. Akan
kupanggil Nana masuk lagi."
414 Isi-Omen2.indd 414 011/I/13 "Jangan!" Les mempererat cengkeramannya pada ta?
nganku. "Justru aku ngobrol sama dia tentang kamu.
Aku nanya kamu ada di mana, dan dia bilang kondisiku
masih belum cukup kuat buat ketemu-ketemuan. Jadi
aku minta tolong dia manggilin kamu. Tapi nggak tau?
nya kamu malah datang sendiri."
Ups. Dari kalimat terakhir ini kesannya aku datang
me?nyerahkan diri. Kelakuanku benar-benar memalukan.
Tapi, aku senang dia juga ingin mencariku.
"Hei." Meski tenaga yang digunakannya biasa-biasa
saja, aku menurut saja saat dia menarikku mendekatinya.
"Kamu sendiri nggak apa-apa? Aku dengar-dengar dari
Nana, kondisimu kurang bagus. Kamu dapat berapa jahit?
an?" "Ah, sedikit banget dan nggak ada yang parah," sahut?
ku sengaja mengelak dari pertanyaan itu. "Luka-luka
kamu yang jauh lebih serius."
Les tertawa. "Aku udah lama main sama anak-anak
geng motor, Val. Luka-luka beginian mah udah sering
kualami." "Emang sih, tapi semua luka lain itu kan kamu dapat
demi kepentinganmu sendiri, sedangkan yang sekarang
ini demi nyelamatin aku."
Les tertawa lagi. "Yang sekarang ini juga demi kepen?
ting?anku kok." Oh, God. Hanya dengan satu kalimat itu, hatiku lang?
sung serasa meleleh. Tidak boleh. Aku tidak boleh meleleh. Dia bilang dia
mengerti kemauan ayahku dan akan menurutinya. Se?
telah ini, kami tak akan bertemu lagi.
"Jadi, kamu udah mau pulang?"
415 Isi-Omen2.indd 415 011/I/13 Aku mengangguk tanpa suara, takut kalau sedikit
jawab?an pun akan mengungkapkan perasaanku terlalu
banyak. "Jahitannya udah kering? Dokter bilang apa?"
Aduh. Sekali lagi aku tersentuh dengan perhatiannya.
"Dokter bilang, aku udah boleh pulang."
"Baguslah kalo begitu." Les mengangkat surat yang
kutulis untuknya. "Jadi, maksudnya salah paham?"
Oh, God. Kenapa begini sulit mengakui kesalahan diri
sendiri? Aku berdeham dan berkata dengan seanggun mungkin,
"Aku minta maaf karena sempat mengira kamu egois,
jahat, dan suka mempermainkan cewek karena kabur be?
gitu aja setelah ditakut-takuti ayahku."
Kini giliran Les yang melongo. "Hah?"
Aduh, kenapa aku merasa konyol banget? "Nah, seka?
rang aku udah minta maaf, kan? Jadi semuanya udah
selesai, ya?" "Apanya yang udah selesai?" Tangan Les lagi-lagi me?
nahanku, kali ini dengan lebih bertenaga. "Val, kamu
benar-benar ngirain aku seperti itu?"
Meski aku sudah mengerti, rasanya tetap pahit saat
ter?ingat kejadian itu. "Kalo bukan, apa lagi?"
"Val." Les menghela napas. "Hanya karena aku se?
tuju dengan ayahmu, nggak berarti aku nggak mau ber?
hubungan sama kamu lagi. Aku hanya ingin... menjaga
jarak dulu." Dia terdiam sebentar. "Apa kamu merasa
juga, Val, kalo perasaan kita berkembang terlalu cepat?
Saat pertemuan pertama aja, rasanya udah sulit sekali
me?lupakan kamu. Lalu percakapan kita di bengkel,
bagaimana itu diakhiri dengan salah paham yang bikin
416 Isi-Omen2.indd 416 011/I/13 aku bertanya-tanya sepanjang malam, apa kesalahan
yang udah kulakukan sampai bikin kamu dan Erika
berang begitu, juga soal pembicaraan kita di taman? Aku
nggak pernah cerita begitu panjang pada siapa pun
selain kamu, Val. Bahkan pada Vik pun nggak pernah."
Oke, sekarang aku benar-benar tersentuh mendengar
kata-katanya. "Tapi mungkin pertama kali aku benar-benar jatuh cinta
sama kamu waktu malam kita pergi ke Dragon Pool."
Oh, God. Apa yang dia bilang? Dia jatuh cinta pada?ku?
"Sori, bukan maksudku bikin suasana jadi canggung,"
kata Les tampak salah tingkah. "Tapi aku ingin jujur de?
ngan perasaanku sendiri. Rasanya, semua ini begini
cepat. Kalo kita terusin, bisa-bisa akhir tahun ini aku
udah ngelamar kamu."
"Apa?!" Kurasa, inilah pertama kalinya dalam hidup?ku
aku berteriak saking kagetnya.
"Tenang, itu cuma permisalan kok." Les tertawa.
"Mana mungkin aku berani ngelamar kamu? Pacaran aja
belum. Lagian, malu banget kalo masih belum punya
apa-apa begini. Rasanya cuma bakalan ngajakin sengsara
bareng. Tapi intinya, perasaan kita emang terlalu cepat
berkembang, dan kurasa lebih baik aku menjaga jarak
supaya semuanya nggak semakin parah. Setidaknya, sam?
pai ayahmu mengakui aku cukup baik untukmu."
Aku tepekur memikirkan perkataannya. Tentu saja, me?
nurutku Les cukup baik untukku?ralat, terlalu baik
malah. Habis, selama ini aku salah paham melulu dan
mencurigai karakternya, sementara dia malah tidak raguragu mengorbankan nyawanya demi aku. Kalau dipikirpikir lagi, aku benar-benar keterlaluan.
417 Isi-Omen2.indd 417 011/I/13 Tapi di sisi lain, dia benar juga. Perasaan kami terlalu
cepat berkembang. Seumur hidup, belum pernah aku
terlibat dalam emosi yang begini dalam dengan sese?
orang. Jujur saja, semua kesalahpahaman yang kurasakan
adalah karena aku tidak siap terlibat secara emosional
sedalam ini. "Oke, aku ngerti," sahutku. "Tapi, kita akan tetap ber?
teman, kan?" "Pasti." Les tersenyum. "Dan aku berharap bisa men?
jalani petualangan-petualangan seru semacam ini lagi
dengan kamu." "Beneran?" tanyaku geli. "Meski sampe bikin kamu
ter?kapar di ICU?" "Ah, tenang aja." Les mengibaskan tangan. "Nyawa?ku
banyak kok. Nggak gampang membunuh orang yang
udah berjuang mati-matian untuk hidup selama dua
puluh tahunan, kan?"
"Iya deh." Aku nyengir. "Kalo begitu, kapan-kapan aku
ajakin lagi." "Aku tunggu." Les balas nyengir. "Jadi, aku masih bo?
leh datang ke rumahmu?"
"Kamu nggak takut sama ayahku?" tanyaku seraya
meng?angkat alis. "Takut dong," akunya terus terang, dan aku tak sang?
gup menahan tawa. "Tapi yah, selama aku nggak me?
lakukan sesuatu yang salah, dia nggak akan mengusirku,
kan?" "Entah, ya." Aku menyeringai. "Tapi untung buat kamu,
kemungkinan kamu nggak perlu ketemu ayahku lagi.
Soalnya sebentar lagi aku bakalan ganti alamat baru."
"Oh, ya?" tanya Les kaget. "Kamu mau pindah?"
418 Isi-Omen2.indd 418 011/I/13 "Yep," anggukku bangga. "Udah waktunya aku lebih
mandiri." "Kalo butuh jasa pindah-pindah, bilang ya."
Aku menahan tawa. "Thank you, tapi saat ini kamu
ba??ngun aja nggak bisa. Mendingan nanti kamu jadi
tamu pertama aja." "Oke, oke," sahut Les. Wajahnya berubah serius. "Tapi
aku jangan jadi tamu pertama deh."
"Oh, ya?" Aku mengangkat alis. "Jadi kamu maunya
jadi tamu keberapa?"
"Bukan tamu keberapa. Aku maunya jadi tamu satusatunya."
Aku menahan senyum mendengar kata-kata yang
diucapkannya dengan tegas itu. "Jadi aku nggak boleh
punya tamu? Bahkan Erika?"
Les berpikir sejenak. "Kalo gitu, tamu cowok satusatunya."
Aku tersenyum. "Kalo itu sih oke."
Senyum cowok itu turut mengembang. "Kalo begitu,
selamat pindah-pindah. Oh ya, satu lagi. Kalo boleh,
jangan terlalu deket sama Daniel, ya!"
Daniel? Kenapa tahu-tahu dia menyinggung Daniel?
"Kenapa emangnya?"
"Entahlah." Les mengangkat bahu. "Aku rada merasa
terancam aja setiap kali liat dia."
"Dasar cowok aneh," senyumku. "Tapi oke, aku nggak
akan deket-deket dia."
"Thank you." Aku membuka mulut, ingin mengatakan bahwa aku
juga ingin dia tidak terlalu dekat dengan Nana. Tapi lalu
aku teringat arti Nana baginya. Jadi aku pun mengubah
pikiranku. "Aku pulang dulu, ya. Nanti aku akan datang
lagi." Les tersenyum dan mengangguk. "Oke. Sampai ketemu
lagi, Val." Sampai ketemu lagi, Les. *** 419 Isi-Omen2.indd 419 011/I/13 Jalan Kapuas Nomor 47. Itulah alamat yang diberikan
oleh si makelar padaku setelah kami berkorespondensi
(awal?nya melalui SMS dan dilanjutkan dengan BBM
setelah kami sudah saling memercayai). Menurut si
makelar, tempat itu sangat cocok untukku yang meng?
inginkan tempat yang sulit dicari orangtua yang pro?
tektif. Apabila aku tidak menyukainya, aku selalu bisa
meninggalkan tempat itu. Aku bahkan tidak perlu mem?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayar komisinya, sebab dia sudah akan mendapatkan
bagiannya melalui si pemilik rumah.
"Alamat yang aneh," kata Erika yang ikut mencari
bersamaku. Daerah itu sepertinya merupakan salah satu
bagian dari perumahan yang belum dibangun. Tapi,
kalau memang begitu, kenapa si makelar memberi kami
alamat itu? "Apa lo yakin lo nggak dikerjain?"
"Sepertinya dia serius," sahutku waswas. "Tapi, di?
kerjain atau nggak, nggak ada salahnya kita periksa."
"Masalahnya, si Chuck udah mulai kewalahan."
"Iya, Non!" teriak Chuck dari belakang becak. "Saya
capek banget genjotnya! Jalannya rusak banget sih!"
"Jangan banyak protes, Chuck!" balas Erika ceria. Se?
perti?nya dia malah senang menyiksa Chuck. "Jadi orang
harus tahan banting."
420 Isi-Omen2.indd 420 011/I/13 "Ini mah bukan dibanting, Non. Ini digilas!"
"Halah, kayak lo pernah digilas aja. Eh, tunggu dulu!
Itu apaan?" Erika menunjuk ke bangunan yang ter?
sembunyi di balik pepohonan lebat. "Chuck, kami turun
dulu deh. Lo tunggu di sini."
"Dari tadi kek, Non."
Kami meloncat turun dari becak dan mulai berjalan
memasuki jalan setapak berbatu yang sulit dilewati.
"Kalopun lo jadi tinggal di sini, gimana cara lo
pulang-pergi sekolah?" gerutu Erika sambil meloncati se?
buah batu besar. "Apa lo bakalan beli helikopter? Atau
pasang sayap sekalian?"
Aku juga sama sekali tak punya bayangan.
Kami harus menerjang semak-semak sebelum akhirnya
tiba di depan bangunan aneh itu. Bangunan itu tidak
mirip rumah, tidak mirip pabrik, sedikit mirip gudang.
Ada pintu besar dari besi yang tampak sudah karatan
dan tidak bisa digunakan lagi. Bangunan itu sama sekali
tak memiliki jendela, yang ada hanyalah ventilasiventilasi yang sepertinya ditutupi sarang laba-laba tebal.
Dinding bangunan itu dipenuhi tanaman merambat
sehingga bentuknya semakin tidak jelas saja.
"Ini ada penghuninya nih?" tanya Erika sangsi.
Aku pun ragu-ragu. "Menurut si makelar sih ada."
"Hantu kali, maksudnya."
Aku memelototi Erika. Jujur saja, aku mulai takut me?
lihat bangunan itu. Ada sesuatu yang mengerikan, yang
membuatku merasa ingin melarikan diri secepatnya.
"Gimana caranya kita masuk...? Arghhh!"
Erika menjerit kaget, sementara jantungku serasa mau
copot saat dari balik tanaman rambat ada pintu terbuka.
421 Isi-Omen2.indd 421 011/I/13 Dan di depan kami, berdirilah cewek bergaun putih
de?ngan rambut menutupi mukanya.
Rima? "Halo." Dari balik tirai rambut itu, sepasang mata te?
nang tanpa perasaan menatap kami. "Kalian penyewa
baru rumahku?" "Rumah lo?" teriak Erika setengah histeris. "Ini rumah
lo?" "Tepatnya, studioku."
Studio apaan? Setahuku studio untuk para pelukis
biasanya dipenuhi sinar matahari. Sementara studio ini
lebih layak dihuni oleh makhluk-makhluk sejenis Rima
dan Sadako. "Kalian mau liat-liat ke dalam?"
Aku tidak ingin. Aku benar-benar tidak ingin. Tapi
entah kenapa, kakiku bergerak sendiri. Perlahan, aku ber?
jalan memasuki bangunan itu. Di belakangku, kurasakan
Erika mengikutiku. Meski dia tidak bilang apa-apa, aku
tahu Erika juga merasakan sensasi mengerikan yang sama
denganku. Seolah-olah Rima berhasil membuat kami bergerak
melawan keinginan kami. Mustahil. Pasti hanya kami yang terlalu kaget dengan
semua kejadian ini sampai-sampai tidak bisa berpikir.
Sebelum aku berhasil mencerna semua kejadian ini, men?
dadak kusadari Rima sudah lenyap dari hadapan kami.
"Eh, ke mana dia?" teriak Erika di belakangku. "Apa
dia ngilang begitu aja?"
"Nggak tau." Aku berbalik pada Erika. "Dia..."
Wajahku memucat melihat Rima sudah berdiri di be?
lakang Erika. 422 Isi-Omen2.indd 422 011/I/13 "Ada apa...?" Erika berbalik dan berteriak kaget. "Holy
crap!" Bibir Rima naik seraya memandangi kami berdua.
Mata?nya yang hitam gelap seolah-olah menyedot kami
ke dalamnya saat berkata, "Kalian akan menyewa rumah?
ku, dan kita akan berteman baik."
Erika tertawa kecut. "Kepedean lo! Siapa juga yang
mau nyewa rumah seserem ini?"
"Kalian pasti mau," kata Rima sambil menelengkan
kepalanya. Astaga, dalam kegelapan ini, dia betul-betul
menakutkan. "Aku beritahukan rahasia kecilku."
Lalu, dengan suara berbisik, dia berkata, "Aku memang
bisa melihat masa depan."
Oh, God. Profil Pengarang Lexie Xu adalah penulis kisah-kisah
bergenre misteri dan thriller. Seorang
Sherlockian, penggemar sutradara
J.J. Abrams, suka banget dengan
serial televisi Alias, dan fanatik sama
angka 47. Muse alias dewa inspirasi?
nya adalah F4/JVKV. Saat ini Lexie
tinggal di Bandung bersama anak
laki-lakinya, Alexis Maxwell.
Sejauh ini, karya Lexie yang sudah beredar adalah Omen dan
serial Johan Series yang terdiri atas empat buku: Obsesi, Pengurus
MOS Harus Mati, Permainan Maut, dan Teror.
Kepingin tahu lebih banyak soal Lexie?
Silakan samperin langsung TKP-nya di www.lexiexu.com. Kalian
juga bisa bergabung dengannya di Facebook di www.facebook.
com/lexiexu.thewriter, follow di Twitter melalui akun @lexiexu, atau
email ke lexiexu47@gmail.com.
Link-link lain: Lexie Xu di website Gramedia Pustaka Utama:
http://www.gramediapustakautama.com/penulis-detail/37490/
Lexie-Xu Lexie Xu di Goodreads: http://www.goodreads.com/author/show/4400204.Lexie_Xu
Johan Series di Facebook:
http://www.facebook.com/johan.series
423 Isi-Omen2.indd 423 011/I/13 xoxo, Lexie 011/I/13 GRAMEDIA penerbit buku utama
Isi-Omen2.indd 424 Isi-Omen2.indd 6 OMEN #2 File 2 : Kasus lenyapnya sejumlah orang secara misterius di SMA Harapan
Nusantara. Tertuduh : Algojo bertampang monster dan bersenjata parang yang
mengerikan, yang konon keluar dari Tujuh Lukisan Horor karya
Rima Hujan. Gosipnya, dia berniat menjatuhkan hukuman kepada
orang-orang yang terlibat dalam tragedi tahun lalu. Tidak diketahui
apakah tokoh ini nyata atau hasil imajinasi.
Fakta-fakta : Sebuah surat ancaman dilayangkan ke Kepala Sekolah SMA
Harapan Nusantara, menyebabkan kami dilibatkan dalam
peristiwa ini. Dengan bantuan mantan tukang ojek bermuka
masam dan montir baik hati garis miring bos geng motor, kami
pun mengadakan berbagai penyelidikan mengenai tragedi tahun
lalu. Namun, satu demi satu orang yang terlibat dalam kejadian
ini mulai lenyap. Yang tertinggal hanyalah ruangan berantakan
akibat pergulatan dan lukisan yang menggambarkan hukuman
mengerikan yang diterima oleh orang-orang tersebut. Tidak
diketahui orang-orang ini masih hidup atau tidak.
Misi kami : Menemukan orang-orang yang lenyap dan menyelamatkan mereka
sekaligus membekuk pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Penyidik Kasus, Erika Guruh & Valeria Guntur
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
tujuh lukisan horor.indd 1
Batu Bertuah 2 Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor Penjara Terkutuk 1

Cari Blog Ini