Ceritasilat Novel Online

Malam Karnaval Berdarah 2

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu Bagian 2


Dan sementara itu, hubunganku dengan ibuku se?
makin berubah. Kini beliau bukan hanya ibuku. Beliau
teladanku, sahabat terdekatku, orang kepercayaanku, dan
orangtua yang sangat kubanggakan.
Isi-Omen4.indd 84 "Yah, aku tau Mama sibuk." Aku merangkul ibuku.
"Jadi nggak heran Mama nggak lihat perubahanku. Tapi
serius, Ma, mungkin sekarang Mama nggak akan bisa
ngenalin aku di sekolahan. Aku udah jadi murid sekolah
yang normal lho." "Wah, itu memang perubahan yang fantastis!" Ibuku
menatapku dengan penuh perhatian. "Sebegitunya kamu
suka sama cewek ini?"
Aku mengangguk. "Dan nggak ada perasaan romantis yang terlibat?"
Aku cemberut lagi. "Kenapa sih Mama curiganya ke
arah sono melulu?" "Habis, nggak biasanya kamu begitu. Sama Erika aja
kamu biasa-biasa aja."
"Erika kan cowok."
Ibuku tertawa dan mengacak-acak rambutku. "Yah, ter?
serah kamu deh. Kamu tau yang terbaik buat kamu sen?
diri. Tapi Mama hanya kepingin bilang, jangan terusmenerus meyakinkan diri bahwa dia hanya teman.
Mung?kin, setelah kamu membuka pikiran, ada kemung?
kin?an lain untuk kalian berdua."
Aku menyangsikan hal itu, tapi tidak akan membantah
ibuku. Lagi pula, ada hal lain yang perlu kubicarakan
dengannya. "Ma, soal hari Minggu ini."
"Kenapa? Kamu ada acara lain? Nggak apa-apa, kita
masih bisa pergi kapan-kapan kok."
Ya, mengenai ucapanku tadi di hadapan cewek-cewek
itu, aku sama sekali tidak berbohong. Ibuku memang ter?
kenal dan sangat sibuk, dan waktu bersamanya sangatlah
berharga. Tapi bukannya ibuku sulit meluangkan waktu
untukku. Sebaliknya, beliau tidak pernah menolak saat
Isi-Omen4.indd 85 aku kepingin menghabiskan waktu dengannya. Tapi tak
ada salahnya menggunakan hal itu untuk menolak ajak?
an yang tak kuinginkan. "Minggu ini ada yang ngajakin pergi. Aku sebenernya
nggak terlalu kepingin, tapi kalo aku nggak pergi, acara?
nya bakalan batal. Sementara Amir dan Welly kayaknya
kepingin banget pergi."
Ibuku tersenyum. "Ya sudah, kalau gitu kamu pergi
saja. Demi temen gitu lho."
"Iya, tapi sepertinya aku nggak akan enjoy," keluhku
seraya memikirkan Cecil, Nina, dan entah siapa lagi?
tapi terutama Nikki. Kini, memikirkan cewek itu, rasanya
aku jadi merinding. Bukan saja karena aku tidak suka
di?cium olehnya, melainkan juga karena ada sesuatu da?
lam diri cewek itu yang menakutkan. "Rasanya bete,
meng?ganti acara kita dengan acara yang membosankan
begitu." "Hmm." Ibuku berpikir sejenak. "Gimana kalau kamu
ajak cewek itu?" Hah? "Cewek mana?"
"Cewek yang bikin kamu berubah mati-matian itu lho.
Daripada kamu bosan, lebih baik kamu gunakan acara
itu untuk sesuatu yang lebih berguna, kan?"
BENAR JUGA! Ibuku memang paling top deh.
Isi-Omen4.indd 86 Rima PAGI ini aku benar-benar kelabakan.
Rupanya anak-anak benar-benar bersemangat dengan
karyawisata. Terbukti pagi-pagi aku sudah diserbu oleh
perwakilan setiap kelas dengan proposal mereka me?
ngenai kios yang akan mereka kelola. Tidak cukup hanya
dengan proposal, mereka rupanya merasa perlu meyakin?
kanku dengan penjelasan lisan yang semuanya terdengar
sama di telingaku. Gara-gara itulah aku telat masuk kelas. Padahal kami
akan ulangan fisika di jam pertama. Terpaksa aku
pontang-panting mengejar ketertinggalanku. Untung saja
soal-soal ulangan kali ini sesuai perkiraanku. Jadi aku
bisa menjawabnya dengan yakin. Biasanya aku cuek
dengan nilai-nilaiku, tapi sekarang aku duduk di kelas
yang dipenuhi anak-anak genius. Memalukan kan, kalau
ketua OSIS mendapat ranking buntut, tidak peduli di
kelas genius sekalipun? Aku baru bisa menghela napas lega saat bel istirahat
ber?bunyi. Namun gara-gara semua adrenalin pagi ini, aku
jadi tidak bernafsu jajan pagi-pagi. Jadilah aku berjalan
Isi-Omen4.indd 87 menuju pekarangan belakang sekolah, melewati pohonpohon besar yang rindang, padang rumpun dandelion
yang sudah tinggi-tinggi, dan ruang musik lama yang
digosipi ada hantunya... Irama piano samar-samar mengalun lembut, mem?
bangkit?kan bulu kudukku dan membuat seluruh tubuhku
seketika menegang. Aku bergerak sehalus mungkin, hingga aku bisa me?
lewati padang rumput dandelion tanpa menimbulkan
bunyi, dan merapat pada dinding ruang musik. Perlahanlahan aku mengintip melalui jendela, menatap bagian
da?lam ruang musik yang kotor dan berdebu itu. Di
tengah-tengah ruangan, terdapat sebuah piano tua ber?
warna hitam. Dan di depan piano itu, duduklah cowok paling gan?
teng di sekolah, jari-jarinya yang panjang menari-nari di
atas tuts piano, sementara matanya terpejam menikmati
alunan musik yang dimainkannya.
Ya deh, aku mengaku. Aku melewati pekarangan be?la?
kang sekolah bukan sekadar kebetulan. Aku memang
berharap mendengar permainan piano Daniel. Dulu se?
kali, waktu pertama kali masuk kelas sepuluh, memang
kebetulan banget aku lewat di sini. Saat itu aku sedang
kepingin menyendiri. Kalian tahu kan, awal-awal masuk
sekolah baru selalu berat? Namun ternyata yang kudapat?
kan jauh lebih oke dari sekadar menyendiri?aku di?
temani permainan piano terbaik di dunia. Bukan berarti
aku sering mendengarkan permainan piano lho. Tapi
beberapa kali aku mencoba mendengarkan permainan
pianis terkenal, ternyata aku lebih suka permainan
Daniel. Yah, aku memang rada subjektif dalam soal ini.
Isi-Omen4.indd 88 Bagaimanapun, sejak hari itu aku jatuh cinta pada per?
mainan Daniel?dan mungkin juga padanya.
Lagu yang dimainkan Daniel, menurut cowok itu, ber?
judul Canon. Lagu yang mengalir lembut, namun me?
ngandung keceriaan yang tidak pernah gagal mengusir
awan-awan gelap yang hobi bercokol di hatiku. Aku ber?
sandar pada dinding kayu, merasakan otot-otot meng?
gumpal di bahuku mulai melemas, sementara semilir
angin yang sangat lembut membelai rambut dan wajah?
ku. Saat ini, segalanya terasa sempurna.
Mendadak kusadari, suasana berubah hening. Aku
mem?balikkan tubuhku ke arah jendela?dan jantungku
nyaris meloncat keluar saat wajahku nyaris menabrak
wajah Daniel. "Hei," sapa cowok itu seraya nyengir.
Aku cukup yakin mukaku kelihatan blo?on banget?de?
ngan mata melotot dan mulut ternganga lebar?sampaisampai cengiran Daniel bertambah lebar, tapi demi
Medusa dan ular-ular di rambutnya, sulit banget bicara
pada saat-saat seperti ini.
"Orang bilang, ruang musik ini ada hantunya,"
seringai Daniel. "Dan sejujurnya, pertama kali gue main
di sini, gue rada percaya karena sepertinya ada yang
ngawasin gue diam-diam. Tapi, lama-kelamaan gue jadi
nggak tahan. Gue kepingin tau, seperti apa sih hantu
yang hobi nyatronin ruang musik. Ternyata," cowok itu
menarik rambut depanku dengan lembut sehingga sama
sekali tidak sakit, namun membuatku tersentak karena
kaget, "cuma Rima Hujan."
Cuma Rima Hujan? Apa dia tidak tahu betapa mengeri?
Isi-Omen4.indd 89 kannya aku di mata murid-murid lain? Apa dia tidak
me?rasa disatroni aku lebih mengerikan daripada hantuhantu yang tak kasatmata?
Entah kenapa, pemikiran itu malah membuatku se?
nang. "Akhir minggu ini, lo ada rencana, Rim?"
Eh? "Kalo nggak ada yang penting, mau nggak temenin
gue jalan-jalan?" Oke, bukan salahku kalau mataku makin melotot dan
mulutku makin ternganga lebar. Kurasa mukaku saat ini
lebih aneh daripada kuda nil yang sedang menguap (se?
tidak?nya, kuda nil tidak menguap dengan mata terbuka
lebar), tapi aku tidak bisa bereaksi lain. Maksudku, demi
Cupid yang dicium Dementor, apa kupingku tidak salah
dengar? Daniel mengajakku pergi bareng? Apakah ini
kencan? Astaga, apakah kencan pertamaku seumur hidup ada?
lah bersama Daniel Yusman?
"Berdua aja?" tanyaku masih dengan muka bodoh.
"Mmm, nggak sih. Ada Amir dan Welly sama temanteman cewek mereka." Sudah kuduga ini terlalu bagus
untuk menjadi kenyataan. "Tapi nggak ada yang asyik,
Rim. Bisa-bisa gue mati bosen di sana. Temenin gue ya?
Pliiis!" Aku menatapnya tanpa kedip. "Aku nggak akan jadi
kambing congek di situ?"
"Nggak," tegas Daniel. "Nanti akan gue temenin setiap
detik. Kecuali pas lo lagi ke toilet. Janji."
Dan seperti itulah, aku pun menyanggupinya.
Isi-Omen4.indd 90 *** Einstein bilang, waktu itu relatif.
Sisa minggu itu lewat dengan cepatnya. Mirip adeganadegan film yang kita percepat lantaran tidak penting.
Aku menyetujui beberapa proposal pembuatan kios dan
menolak sisanya. Aku pergi ke taman hiburan, mengurus
sewanya, dan meneken kontrak dengan orang-orang
yang bisa mengoperasikan wahananya. Aku juga berusaha
mencari-cari, adakah yang membuntutiku belakangan ini
(dan jawabannya, beberapa kali, tapi aku tidak berhasil
menemukan pelakunya). Aku mencari-cari baju yang
tepat untuk hari Minggu, dan menggantinya dengan
baju lain di hari berikutnya.
Demi segala hal bodoh di dunia ini, apakah aku sudah
gila, menyanggupi kencan dengan Daniel, ditonton oleh
dua temannya dan teman-teman cewek mereka yang
barangkali cewek-cewek populer di seluruh sekolah?
Hari Senin aku akan menjadi bahan tertawaan seluruh
sekolah. Aku memandangi pakaian-pakaian yang sudah kupilih:
kemeja dan rok panjang putih yang membuatku makin
kelihatan mirip hantu, kaus hitam dan celana panjang
jins yang membuatku tampak seperti adik sok keren si
hantu, gaun bunga-bunga yang membuatku seperti ibu
seram si hantu. Pakaian apa yang harus kukenakan supaya aku tidak
menyerupai hantu atau kerabatnya?
Daripada makin depresi saja, sebaiknya aku bersihbersih rumah. Meski itu tak bakalan mengurangi kadar
stresku, setidaknya rumah akan terlihat kinclong...
Isi-Omen4.indd 91 Kudengar jeritan keras di dekat telingaku. Aku meng?
angkat wajah, dan melihat Erika sedang memegangi
bahu Valeria. Oke, untunglah keduanya tampak pucat.
Kalau tidak, sudah pasti aku akan mencurigai keduanya
membuntutiku. Habis, koridor rumah ini sangat panjang
dan rumit. Tidak gampang bagi para penghuninya untuk
bersilang jalan. "Lo kenapa sih, gentayangan melulu?" gerutu Erika
sambil menepuk-nepuk tangannya, seolah-olah dia malu
sudah menjadikan Valeria tamengnya tadi. "Apa nggak
punya kerjaan laen?"
"Aku bukannya tak punya kerjaan," ralatku. "Aku se?
dang menyapu." "Yah, maksud gue, kerjaan yang nggak melibatkan ke?
layap?an ke mana-mana..."
"Jangan dengerin dia, Rim!" sela Valeria riang. "Kami
denger hari ini lo bakalan kencan sama Daniel, ya?"
Ya Tuhan, bahkan dua orang ini pun mendengarnya!
Kalau sampai hari ini terjadi sesuatu yang memalukan,
aku tak bakalan berani pulang lagi.
"Lo udah punya pakaian yang cocok?"
Aku menggeleng sedih. "Sini." Valeria menyambar tanganku. "Gue punya gaun
yang tepat buat lo."
Eh? Tapi... "Sapuku!"
"Ah, sapu lo nggak terbang ke mana-mana kok," sahut
Erika yang ikut berlari-lari di samping kami. "Eh, bener,
kan? Sapu itu cuman sapu biasa, kan?"
Oke, setelah begitu sering dikira hantu, sekarang aku
jadi tukang sihir juga? Salah satu hakku sebagai induk semang, meski Erika
Isi-Omen4.indd 92 dan Valeria tidak tahu letak kamarku, aku tahu persis
letak kamar-kamar mereka. Bahkan, terkadang aku me?
masukinya tanpa izin mereka. Yah, aku kan perlu mem?
bersihkan kamar-kamar itu. Kan aku tak punya periperi?ataupun tikus-tikus?yang bisa membantuku bersihbersih.
Valeria mendorongku masuk ke kamarnya, lalu me?
narik selembar gaun dari dalam lemarinya sementara
Erika menutup pintu. "Ini. Ayo, coba dipakai."
Aku memandangi gaun pendek berwarna cokelat de?
ngan motif kotak-kotak. Gaun itu terlihat terlalu imut
untuk?ku. "Sepertinya nggak akan cocok."
"Siapa bilang?" Erika merebut gaun itu dari Valeria
dan menjejalkannya padaku. "Cepet dipake, sebelum lo
keburu telat dan terpaksa pake celemek jelek itu buat


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi." Mendadak kusadari aku hanya mengenakan pakaian
sehari-hariku?kemeja putih dan rok abu-abu panjang
yang mirip seragam sekolah, hanya saja lebih jelek?
ditambah celemek kucel yang dulunya bergambar muka
koki terkenal Gordon Ramsay (kini muka itu hanya ter?
lihat samar-samar, lebih mirip hantu Gordon Ramsay).
Seandainya aku benar-benar mengenakan pakaian ini
untuk acara hari ini, sudah pasti aku akan disangka
pembantu yang dibawa untuk melayani Daniel, Amir,
Welly, dan teman-teman cewek mereka.
Dan nantinya, di kamus bahasa Inggris, fotoku bakalan
terpampang di bawah penjelasan kata "disaster".
Berhubung aku tidak ingin semua imajinasi mengeri?
kan itu berubah menjadi kenyataan, aku pun kabur ke
Isi-Omen4.indd 93 kamar mandi Valeria dan mengganti pakaianku. Saat me?
mandang bayangan di cermin, aku tercengang.
Bayangan di cermin itu sama sekali tidak terlihat se?
perti Rima Hujan. Atau setidaknya tubuhnya. Tentu saja, wajahnya masih
wajahku, dengan rambut menutupi hampir seluruh muka?
ku. Akan tetapi tubuhnya terlihat sangat berbeda. Gaun
pendek itu menonjolkan tubuh yang tinggi, kurus,
anggun, sekaligus halus, dengan kulit pucat dan rapuh
yang kontras dengan warna rambutku. Berhubung gaun
itu tidak berlengan, kedua lenganku jadi terlihat pan?
jang?sementara pendeknya gaun itu membuat kakiku
terlihat jenjang. Tambahan lagi, motif kotak-kotaknya
ber?hasil mengusir suasana suram yang biasanya me?
lingkupi?ku. "Hei, udah belum?" teriak Erika dari luar kamar man?
di. "Jangan bilang lo ambil kesempatan ini buat nge?
buang muatan atau..."
Aku cepat-cepat membuka pintu sebelum Erika me?
lanjutkan tuduhannya yang bahkan sanggup mencoreng
reputasiku yang sudah buruk ini.
Aku cemberut saat cewek itu mengendus-endus sejenak
sebelum masuk ke dalam kamar mandi dan bergabung
denganku di depan cermin.
"Wow!" reaksi Valeria lebih hangat dan menyenangkan.
"Lo cakep sekali, Rim!"
"Gaunnya yang cantik," ucapku jujur. "Aku tetap Rima
Hujan." "Elo," Valeria berdiri di belakangku, "adalah Rima
Hujan yang cantik." Aku tersentak saat cewek itu menarik rambut sebelah
Isi-Omen4.indd 94 kiriku ke belakang. Untunglah dia tidak melakukannya
pada rambutku yang sebelah kanan.
Tapi, jangan-jangan dia tahu rahasiaku?
Aku tidak sempat berpikir terlalu jauh. Valeria sudah
mengikat rambutku yang sebelah kiri dengan asal-asalan,
menggunakan pita cokelat kotak-kotak yang sama persis
motifnya dengan gaunku. "Lo sangat cocok jadi model Burberry," ucapnya sam?bil
memandangku melalui cermin. "Gimana, Rim? Can?tik,
kan?" Aku terpesona. Bayangan di cermin itu masih tetap
diri?ku?wajahnya masih tetap wajahku, tapi aku tidak
per?nah terlihat begini cerah.
Apa bayangan itu benar-benar aku?
"Wow," kini giliran Erika yang memuji, "Rima akhir?
nya jadi manusia juga!"
Kata-kata Erika benar-benar tepat mengenai sasaran.
Akhirnya aku lebih mirip manusia ketimbang hantu.
Valeria memutar tubuhku supaya berhadapan dengan?
nya. "Sekarang lo hanya perlu sedikit," kurasakan sesuatu
yang basah menyentuh bibirku, "sedikit lipbalm, gue
pilih yang glossy supaya terlihat lebih cerah. Lalu bedak,
biar wajah lo nggak terlalu pucat. Dan..."
"Deodoran!" seru Erika sambil mengangkat lenganku
tinggi-tinggi dan membubuhkan sesuatu yang berbau fe?
mi?nin di sana. "Biar nggak ada yang pingsan saat lo ke?
ringetan gara-gara grogi."
Meski kelakuan Erika rada konyol, aku jadi terharu.
Ke?dua cewek ini benar-benar memperhatikan kebutuh?
anku. "Thanks ya."
Isi-Omen4.indd 95 "Belum, Rim, masih ada satu lagi." Valeria merunduk,
lalu mengangkat sepasang sepatu bot berwarna cokelat.
"Ini senjata terakhir! Keren, kan?"
*** Tidak peduli keren atau tidak, senjata terakhir itu nyaris
membunuhku. Bagaimana tidak, meski haknya berbentuk wedges,
tinggi?nya tujuh sentimeter. Bagi jenis-jenis manusia se?
perti aku yang belum pernah menggunakan sepatu ber?
hak seumur hidup, tindakan ini benar-benar mem?per?
taruh?kan nyawaku sendiri. Benar-benar mengerikan.
Demi keselamatanku?juga reputasiku, supaya aku tidak
salto mendadak?aku terpaksa berjalan dengan kecepatan
satu meter per jam. Beberapa menit setelah aku berangkat, Daniel me?
neleponku. "Rim, gue jemput lo sekarang ya!"
Aku terdiam sejenak, sama sekali tidak menyangka co?
wok itu ingin menjemputku. "Aku sudah berangkat kok."
"Oh ya? Sama siapa?"
"Sama Chuck." Oke, sebelum kalian menarik kesimpulan yang tidaktidak, Chuck adalah tukang becak yang dulunya adalah
langganan Erika dan Valeria, sebelum Erika punya si
Butut. Tukang becak ajaib ini memang lebih suka di?
panggil "Chuck" daripada "Cak". Biasanya Chuck selalu
takut padaku, tapi hari ini dia bahkan tidak me?ngenali?
ku. Itu sebabnya kini aku duduk di becaknya, me?
lenggang dengan canggung sementara Chuck mencerocos
ten?tang defisitnya income yang dia dapatkan sejak ke?
Isi-Omen4.indd 96 hilangan customer tetap (ya, tak disangka-sangka, Chuck
jago banget menggunakan jargon-jargon ekonomi) juga
tentang kelegaannya karena tidak disuruh mengantar
"teman Non Erika dan Non Valeria yang mengerikan".
Mungkin aku harus melepas ikatan rambut ini dan
me?nunjukkan padanya siapa sebenar?nya penumpang?
nya. "Oh, sama Chuck?" Daniel tertawa. "Dia nggak takut?"
"Dia nggak ngenalin aku."
"Oh ya?" Kini suara Daniel terdengar penuh antisipasi.
"Jadi kepingin ketemu elo secepatnya, Rim. Maunya sih
suruh Chuck kebut secepatnya, tapi nanti dia jadi slebor.
Bilang ke dia ya, kalo sampe terjadi sesuatu sama elo,
akan gue buang becaknya ke laut."
"Akan aku sampein." Setelah menutup telepon, aku
berkata pada Chuck, "Daniel pesan, kalo terjadi sesuatu
padaku, dia akan buang becakmu ke laut."
Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu. Soalnya, be?
gitu mendengar ucapan itu, Chuck langsung memper?
lambat genjotannya secara drastis. Kalau begini caranya
sih, barangkali aku akan tiba lebih cepat dengan berjalan
kaki?kalau saja aku tidak mengenakan sepatu bot pem?
bunuh kaki ini. Akhirnya kami tiba di Mal Hadiputra Grandeurs. Se?
telah membayar Chuck, yang tampak jauh lebih tua
dibanding saat kami berangkat tadi, aku pun memasuki
mal itu. Jantungku berdebar-debar. Akankah orang-orang
mengenaliku? Apakah mereka akan menganggapku cantik
seperti yang dilakukan Erika dan Valeria, ataukah mereka
akan menghina upayaku untuk tampil lebih baik dari?
pada biasanya? Isi-Omen4.indd 97 Aku menahan napas saat tiba di lobi depan. Dari jauh
saja aku sudah mengenali tubuh besar Daniel yang se?
dang bersandar pada tiang seraya menyeruput minuman.
Gila, dia benar-benar ganteng hari ini, mengenakan ke?
meja lengan panjang berwarna putih yang beberapa kan?
cing atasnya tidak dikancing, dipadukan secara sembrono
dengan jins abu-abu, membuatnya makin mirip bad boy.
Amir dan Welly duduk di kursi di dekatnya, tampak le?
bih ganteng dan rapi dibanding biasanya dengan kemeja
glossy, dikerubungi cewek-cewek yang, ya Tuhan, semua?
nya adalah cewek-cewek cantik dan populer di sekolah
kami. Demi sepatu bot dari neraka, kenapa sih aku mencari
mati dengan datang ke sini? Seharusnya aku tahu diri.
Ini bukanlah tempatku dan takkan menjadi tempatku.
Bahkan aku tidak bisa menjadi Rima Hujan, melainkan
harus berpura-pura menjadi orang lain dengan gaun, ikat
rambut, lipbalm, dan sepatu bot ini.
Oke, mereka belum sempat melihatku. Aku masih bisa
kabur. Ayo, satu, dua, tig...
"Rima!" Oh Tuhan. Aku membalikkan tubuh, dan mataku langsung ber?
tabrakan dengan Daniel yang, dalam waktu sedetik, su?
dah berpindah hingga beberapa langkah di depanku.
Astaga, memangnya cowok ini punya kemampuan ber?
pindah tempat secepat kilat ala ninja ya?
"Pantas Chuck nggak ngenalin elo," ucap Daniel s?e?
men?tara tatapannya menelusuri penampilanku. "Lo me?
mang berbeda dari biasa."
"Lebih jelek?" tanyaku takut-takut.
Isi-Omen4.indd 98 "Berbeda aja," sahut Daniel ringan. "Tapi kalo soal je?
lek atau cakep, lo tetep cakep kok, mau berpenampilan
se?perti apa pun. Yuk, gue kenalin dengan yang lain?
nya." Ucapan Daniel membuatku lebih tenang, tetapi saat
se?mua tatapan terarah padaku, nyaliku langsung men?
ciut. "Hei, Niel, lo ajak siapa..." Mata Welly mendadak
mem?bulat. "Rima?"
"Hai, Wel," sapaku pada anak buahku di Klub Keseni?
an itu, agak geli karena dia nyaris tidak mengenaliku.
"Rupanya kerjaanmu di akhir minggu itu begini ya."
Welly gelagapan sejenak. "Nggak selalu kok. Biasanya
gue di rumah, nonton tipi, mangkas rumput, bantuin
Nyokap nyiapin arisan..."
"Kapan lo jadi anak rumahan gitu?" protes Amir. "Jadi
selama ini yang kelayapan sama gue itu foto lo yang
seukuran dengan elo yang sebenarnya..."
Ucapan Amir terhenti saat dia disikut Welly, berganti
de?ngan seringai penuh kesakitan. Yah, siapalah yang
tidak merasa sakit saat perutnya menjadi korban serang?
an siku Welly yang mirip golok? Mungkin rasanya mirip
dengan perasaan ditikam atau apalah.
"Tenang, Wel," ucapku. "Meski kamu berterus terang,
aku juga nggak akan minta kamu ajak-ajak aku dalam
se?tiap acaramu." Tampang Welly yang diwarnai kelegaan memberitahuku
bahwa memang tadinya dia takut aku akan me?nya?tro?
ninya. Hmm, tampangku boleh mirip Sadako, tapi sifat?
ku kan tidak. "Ketua OSIS." Isi-Omen4.indd 99 Oke, nyaliku yang tadi sempat kembali kini menciut
lagi saat Cecil maju seraya melipat tangan di depan
dada. Biasanya dia tidak pernah seberani ini?malah tadi?
nya aku mengira dia takut pada tampang hantuku. Tapi
kali ini dia tampak sengit, tampang cewek yang siap
untuk mempertahankan teritorinya. Kurasa pakaian bebas
ini membuatku jadi kehilangan wibawa Sadako.
"Ngapain sih Ketua OSIS datang ke sini?" tanyanya
de?ngan wajah tak senang. "Kan kami nggak ngajak!"
Jleb. "Apa nggak cukup nyuruh-nyuruh kami kerja waktu di
sekolah, sampe-sampe harus nyamperin kami ke sini?"
Jleb. "Mendingan Ketua OSIS pulang aja deh, daripada nge?
rusak acara kami bersenang-senang..."
"Jangan dong." Aku tersentak saat bahuku dirangkul
Daniel. "Kalo dia pulang, nanti gue yang sedih."
Bukan cuma aku yang kaget. Semua orang, termasuk
Amir dan Welly, tampak shock melihat perlakuan Daniel
padaku. "Kok... kok bisa begitu?" tanya Nina tergagap.
"Jelaslah, karena gue yang ngajak dia ke sini. Ya nggak,
Rim? Tadinya lo udah mau nolak, kan? Ayo, ngaku!"
Mana mungkin aku mengakui, "Iya, aku tadinya mau
nolak karena takut jadi kambing congek"?
"Lagian, seinget gue, kayaknya Rima nggak pernah
suruh-suruh kalian kerja deh. Kalian kan selalu cuma
ngobrol aja di ruang OSIS atau waktu lagi ada kegiatan.
Yang bantuin Rima ya, gue doang! Jelas dong, dia berhak
senang-senang sedikit, setelah ngerjain semua bagian
kalian!" 100 Isi-Omen4.indd 100 Kali ini mereka semua gelagapan.
"Kalo kalian merasa terganggu, ya nggak papa." Aku
semakin shock saat Daniel membimbingku memisahkan
diri dari kerumunan itu. "Kami bisa jalan sendiri. Sejujur?
nya, gue yang merasa terganggu dengan kehadiran
kalian. Tapi gue kasian aja. Nggak tega gue setelah kalian
mohon-mohon supaya gue main sama kalian."
Belum pernah aku mendengar Daniel, si playboy yang
hobi bermulut manis, mengucapkan perkataan panjang
lebar yang begitu keras dan menyakitkan. Aku bisa me?
lihat beberapa pasang mata yang berkaca-kaca, sementara
sisanya berwajah merah, sepertinya sedang menahan


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malu. "Udahlah, Niel, nggak usah ngebacot yang anehaneh!" tukas Amir mendadak. "Kami sih senang-senang
aja ditemenin sama Ketua OSIS. Bener nggak, girls?"
Jawaban yang diberikan terdengar suram, tidak ber?
semangat, dan nyaris tak membentuk kata apa pun, na?
mun tidak pelak lagi, mereka menyetujui ucapan Amir.
"Nah, Rim, lo mau maafin ocehan mereka tadi, kan?"
kata Amir dengan wajah ramah yang menyenangkan,
yang membuatku berpikir bahwa Colonel Sanders pasti
punya tampang seperti ini di masa abegenya. "Mereka
nggak bermaksud jahat kok. Biasalah, mereka takut harus
berebut perhatian cowok-cowok sama elo, soalnya hari
ini elo cakep sih." Oke, ternyata menurut Amir, hari ini
aku cantik. Tapi kata kuncinya adalah hari ini. Di hari
lain, Amir mungkin akan berpendapat lain. "Tapi nggak
usah khawatir, girls. Gue, Welly, dan Daniel nggak akan
nyuekin kalian kok. Bener nggak, guys?"
"Yo?i!" seru Welly dengan penuh semangat, sementara
101 Isi-Omen4.indd 101 Daniel hanya mengangkat sebelah alisnya untuk me?
nyahut. "Nah, sekarang kita mau ngapain?" tanya Amir dengan
suara penuh semangat. "Makan? Nonton?"
"Kamu udah bisa lepasin tanganmu," bisikku pada
Daniel, menyinggung soal tangannya yang masih me?
rangkul bahuku. "Nggak, takut elo kabur kalo gue lepas," seringai
Daniel. "Tapi ini memalukan banget," bisikku lagi.
"Begini aja deh." Daniel berpikir sebentar. "Gue akan
lepasin kalo nanti lo mau dianter pulang sama gue. Gi?
mana?" Sepertinya bukan perjanjian yang merugikan. Aku
meng?angguk, dan Daniel pun melepaskan rangkulan?
nya. "Terima kasih..."
Mendadak punggungku merasakan tatapan mengerikan
itu. Tatapan yang membuatku merinding, tatapan yang
kurasakan saat aku merasa dikuntit orang. Mendadak
saja, ketakutan begitu mencekikku, dan aku langsung
mem?balikkan tubuh, mencoba menangkap basah siapa
pun pemilik tatapan itu. Namun tidak ada orang sama sekali?atau setidaknya,
tidak ada yang kukenal. Amir, Welly, dan cewek-cewek
itu berdiri di depan kami, sementara orang-orang asing
lalu-lalang di belakang, tak ada satu pun yang sepertinya
memedulikanku. "Ada apa, Rim?" tanya Daniel seraya menatapku de?
ngan heran. "Nggak apa-apa," sahutku sambil berusaha menenang?
102 Isi-Omen4.indd 102 kan jantungku yang sempat terasa seperti berhenti ber?
detak. "Cuma perasaan saja."
Ya, kuharap begitu. 103 Isi-Omen4.indd 103 Daniel OKE, seharian ini aku tidak bisa berhenti tersenyum.
Tunggu dulu. Kalian jangan membayangkan yang
heboh-heboh dulu. Meski kemarin akhirnya aku berhasil
memaksa Rima jalan-jalan dan nonton denganku, kalian
tahu kan, dia itu cewek yang dingin banget?atau lebih
tepat lagi, tidak berperasaan. Jadi meski sekarang hubung?
anku dan Rima tidak penuh permusuhan seperti hubung?
an Taylor Swift dan Joe Jonas, masih ada jarak yang
lumayan lebar di antara kami.
Tapi aku tetap saja hepi banget. Bagiku, kedatangan
Rima kemarin sudah berarti banyak. Aku bisa melihat
betapa canggungnya dia berada di antara anak-anak yang
tidak memiliki persamaan sama sekali dengannya. Mung?
kin aku terdengar seperti menikmati penderitaannya, tapi
aku merasa dia imut banget. Cewek-cewek yang lain ter?
lihat begitu dewasa, begitu centil, penuh tipu muslihat?
sementara Rima begitu polos, jujur, dan apa adanya.
Dan bersamanya, aku bisa menjadi diriku apa adanya
juga. "Udah jam sembilan, bro. Tolong jangan ngebayangin
mimpi tadi malam lagi."
104 Isi-Omen4.indd 104 Aku nyengir pada Erika yang duduk di sampingku,
juga Val yang mengikuti di sebelahnya. Dua cewek ini
se?makin lama semakin mirip kembar siam. "Good
morning, my lovely ladies."
"Waduh, lagi error rupanya!" Erika menatapku ngeri.
"Mimpi apa lo tadi malam?"
"Ah, tidur yang nyenyak itu tidur yang tanpa mimpi
dong," sahutku pongah. "Lagian, kenyataan lebih indah
daripada sekadar mimpi."
"Itu berarti, hari Minggu sukses ya, kencan sama
Rima?" tanya Val. Eh? "Kok tau?" "Kami kan Agen Detektif 47, agen detektif terbaik di
Indonesia!" Kali ini Erika yang menjawab pongah.
"Nggak ada yang bisa nyembunyiin rahasia dari kami!"
Mendadak aku curiga. "Lo nguntit kami, ya?!"
"Yang bener aja!" balas Erika sengit. "Lo kira kami ku?
rang kerjaan? Val, coba lo jelasin kemaren kita ngapa?
in!" "Ehm," Val berpura-pura berpikir sejenak. "Nguntit
me?reka?" "Val!" "Iya iya. Kami double-date dengan Les dan Vik..."
"Di MHG?" tuduhku.
"Cih, cuma anak-anak kacangan yang mau pergi ke situ!"
cibir Erika. "Kami mah nggak level main ke situ!"
"Oh gitu," sahutku tidak kalah sinis. "Jadi lo pergi ke
mana? Singapura bareng pacar tajir lo?"
"Nggak lah, gue nggak punya paspor," sahut Erika
misuh-misuh. "Kami pergi bantuin Les di bengkelnya."
Oke, percaya atau tidak, Erika si cewek jagoan yang
105 Isi-Omen4.indd 105 pernah menghajar setiap cowok belagu di sekolah kami?
yep, termasuk aku?sudah punya pacar. Lebih ajaib lagi,
pacarnya adalah Viktor Yamada yang diberinya julukan
"si Ojek", julukan yang malang banget berhubung cowok
ini tajirnya luar biasa. Tidak kalah ajaib, Val berpacaran
dengan sohib dari Viktor Yamada, yaitu Leslie Gunawan
yang sama sekali tidak tajir. Menurutku Val kebagusan
banget untuk Leslie Gunawan si cowok montir yang
kere, tapi cewek itu tidak peduli sama sekali. Kurasa,
memang benar kata orang, cinta itu buta dan tolol.
"Jadi, kalian jadi kuli gratis?"
"Halah, diem deh!" tukas Erika. "Asal lo tau aja, se?
karang kalo mobil lo mogok, gue bisa bantu supaya
nyala lagi biarpun cuma sementara. Dan kalo tau-tau
mobil lo mogok, bisa jadi gue kriminalnya."
Sial, bertambah lagi satu alasan untuk takut pada
cewek menyeramkan ini. "Oke," aku berdeham. "Rupanya hari Minggu kalian
lumayan produktif." Gila, kata-kataku jelas-jelas menjilat banget. Bahkan
Erika dan Valeria pun cengengesan mendengarnya. Se?
harusnya aku tidak memperlihatkan rasa takutku. Soal?
nya, kalau sampai Erika tahu kelemahanku ini, sudah
pasti dia akan memanfaatkanku dengan sebaik-baiknya
dan tanpa belas kasihan. "Meski begitu, kalian tetep kalah sama gue. Tau nggak,
hari Minggu kemaren gue ngapain?"
"Kencan sama Rima?" ulang Val dengan wajah polos.
"Ah, itu kan kegiatan yang terlihat secara fisik," ucap?
ku sok. "Secara mental, gue membangun jembatan,
tau?" 106 Isi-Omen4.indd 106 "Halah, lo mana sanggup bikin jembatan!" cela Erika.
"Bisa-bisa yang nyeberang mati semua." Sialan. "Eh, Niel,
kami punya proposal buat lo. Diterima dong!"
"Dasar preman," gerutuku. "Belum dikasih tau apa-apa
udah disuruh terima."
"Biar lo tau ini proposal yang nggak boleh ditolak,"
seringai Erika. "Gini, Niel. Lo inget udah berapa lama
kita temenan?" "Baru setahun kok."
"Setahun lebih, kali," tukas Erika jengkel. "Dan meski
itu belum puluhan tahun, gue berharap nantinya bisa
mencapai puluhan tahun."
"Duh, gue mulai terharu, Ka."
"Jangan banyak menyela dong!"
"Ya, sori, sori." Aku nyengir. "Lanjut plis."
Masih tetap mendelik padaku, Erika melanjutkan,
"Yang namanya antarsahabat itu kan harus saling me?
mercayai, saling mengandalkan, dan rela berkorban. Nah,
Niel, lo mau nggak berkorban buat gue?"
"Udah gue duga," gerutuku. "Setelah pendahuluan
yang panjang dan meaningless, ending-nya pasti me?ngenas?
kan. Woi, Ka, yang bener aja. Awalnya cuma proposal,
belakangan gue disuruh berkorban. Ini ibaratnya dikasih
hati minta ampela!" "Eh, gue kan belum sampe minta hati-ampela elo!"
Sial, cewek ini benar-benar tidak mau kalah. "Kalo lo
minta hati-ampela gue, gue udah nggak bernyawa! Lo
tega bikin sobat lo tergeletak nggak bernyawa?"
"Niel," kata Val dengan nada menengahi, "maksud Erika
adalah, lo mau jadi mata-mata kami di OSIS nggak?"
Hah? "Buat apa?" Sebelum cewek-cewek itu menjawab,
107 Isi-Omen4.indd 107 aku menambahkan, "Maksud gue, kenapa kalian berdua
kayaknya anti banget sama The Judges?"
"Karena kami curiga," sahut Val, dan kali ini wajahnya
tidak selembut biasanya. Sinar matanya tajam, me?
nampak?kan otak brilian di balik fisik yang kelihatan
lemah itu. Yah, penampilan memang menipu. Siapa yang
bilang Val cewek lemah pasti akan kena batunya. "Ada
sesuatu yang aneh dengan The Judges. Menurut kami,
mereka nggak seperti yang ditampakkan. Mereka punya
rencana terselubung, Niel."
"Lho, organisasi itu kan memang misterius, Val," ucap?
ku heran. "Nggak heran kalo mereka punya rencana ter?
selubung." "Tapi kita kan anggotanya," sergah Erika. "Kenyataan?
nya, kita nggak pernah diajak ngebahas sesuatu. Semua?
nya udah direncanakan oleh Putri Badai atau siapalah
yang berada di belakangnya."
Mulutku ternganga. "Menurut kalian, ada seseorang di
balik Putri Badai?" "Pasti," angguk Val. "Putri Badai memang cerdas, tapi
kecerdasannya pun terbatas. Dia butuh satu tim hebat
untuk bikin rencana seperti karyawisata kita itu. Tapi se?
perti yang kita ketahui, semua anggota senior di atasnya
udah lulus, sementara anggota senior yang seangkatan
dengannya cuma King. King itu kan bodoh, dia nggak
mungkin bisa diandalkan dalam soal beginian. Sedangkan
para anggota junior, ya kita-kita ini. Tapi kita nggak
pernah diajak untuk menyusun rencana apa pun."
Hmm, masuk akal juga. "Lagian coba kita pikir lagi," giliran Erika me?nyam?bung.
"Dengan anggota-anggota cupu seperti sekarang ini, The
108 Isi-Omen4.indd 108 Judges tetap berkuasa seperti dulu. Dulu ya oke?lah, masih
ada anggota-anggota yang memang punya kekuasaan?atau
ortunya punya kekuasaan. Sekarang? Ortu paling heboh
juga nyokap lo, Niel, tapi gue nggak pernah denger nyokap
lo ngebantu apa pun atas nama The Judges."
Sekali lagi, masuk akal. "Selain nyokap gue, masih ada
bokap lo, Val." "Bokap gue nggak pernah tertarik sama kegiatan gue,"
sahut Val datar. "Dan setau gue dia nggak tau apa-apa
soal The Judges." "Nah, gue curiga nih," sela Erika tak sabar, "siapa pun
yang menjadi dalangnya menggunakan Putri Badai untuk
ngelakuin semua ini. Gue nggak tau Putri Badai ngelaku?
in ini dengan sukarela atau dia hanya dimanfaatkan, tapi
yang jelas, sisanya, kita-kita ini, sudah pasti dimanfaat?
kan. Gue, Val, elo, juga Rima. Memangnya lo rela kita
semua jadi alat yang bisa disuruh-suruh begitu aja?"
Membayangkan secara tidak sadar Rima disuruh untuk
melakukan perintah orang tak dikenal membuatku be?
rang. Apalagi, aku tahu jelas betapa kerasnya Rima
bekerja untuk OSIS. "Nggak," ucapku pelan. "Gue nggak rela." Aku me?
mandang Erika dan Val. "Tadi lo bilang, Ka, bahwa
sahabat itu harus bisa saling memercayai. Jadi gue nggak
akan ngelakuin apa pun juga yang menyakiti Rima.
Sedikit pun gue nggak akan mengkhianati kepercayaan
Rima ke gue. Ngerti?"
Mendadak wajah Erika dan Val berubah aneh sekali.
Val tampak menahan senyum dengan sekuat tenaga, se?
mentara Erika membekap mulutnya, jelas-jelas sedang
menyembunyikan tawanya dariku.
109 Isi-Omen4.indd 109 "Apa?" tanyaku curiga. "Kalian cuma ngerjain gue, ya?"
"Nggak," sahut keduanya dengan kekompakan yang
makin mencurigakan.

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu kenapa kalian ketawa-ketawa?" sergahku. "Apa
yang lucu?" "Gue nggak ketawa kok," sahut Val polos, "dan nggak
ada yang lucu." "Tapi Erika sampe mukul-mukul meja gitu!"
Yep, aku tidak melebih-lebihkan. Cewek brutal itu
memukuli meja seolah-olah benda itu sudah melakukan
dosa besar yang membuatnya layak babak belur.
"Gue bukannya ketawa lucu," sahut Erika akhirnya se?
telah puas melampiaskan kebrutalannya. "Tapi ketawa
puas." "Kenapa puas?" Sial, aku makin curiga saja. "Kalian
jebak gue?" "Sama sekali nggak ada jebakan," sahut Val sambil
nyengir. "Tapi kami jadi tau satu hal, Niel."
"Apa?" "Ternyata jembatan lo penting banget ya."
Oke, sekarang aku malah tersipu-sipu.
*** Setelah bersusah payah, akhirnya aku berhasil lolos dari
godaan Erika dan Val. Yah, tidak tanpa petuah-petuah penuh ancaman yang
bikin keder. Dalam hal ini, Val ternyata tidak kalah
sangar?nya dibanding Erika.
"Niel, kami nggak akan tinggal diam kalo lo cuma
main-main sama Rima."
110 Isi-Omen4.indd 110 Belum reda rasa shock lantaran dipelototi Val, Erika
menambahkan, "Iya, lo tau sendiri dia induk semang
kami. Kalo sampe ada apa-apa sama dia, gimana nasib
kebersihan rumah kami?"
Oke, sekarang aku diserang dari segala arah untuk se?
suatu yang belum kulakukan. Tapi, bukannya aku tidak
memahami tuduhan mereka. Aku sendiri juga terheranheran dengan kebutuhanku yang berlebihan untuk ber?
damai dengan Rima dan mengembalikan persahabatan
kami. Mungkin, seperti kata ibuku, kalau aku mau ber?
pikir secara terbuka, barangkali aku menganggap Rima
lebih dari sekadar teman biasa.
Masalahnya, aku belum pernah menemukan yang se?
perti ini. Aku belum pernah tertarik pada cewek yang
sudah menjadi sahabatku. Biasanya, aku selalu tertarik
pada seorang cewek pada pandangan pertama. Aku bu?
kan cowok munafik yang akan mengatakan "fisik bukan
segalanya". Ya, benar, fisik memang bukan segalanya,
tapi fisik adalah hal pertama yang kita perhatikan. Aku
kan tidak kurang kerjaan. Buat apa aku membuangbuang waktu dengan memperhatikan semua cewek yang
kutemui dengan saksama? Bisa-bisa aku dianggap cowok
aneh dan mengerikan. Dan tentunya, setelah hilang rasa tertarik itu, barulah
aku bisa menjadi teman mereka. Itu kalau cewek-cewek
itu tidak keburu benci padaku lantaran menganggapku
mempermainkan perasaan mereka. Yah, mau bagaimana
lagi? Kalau selama kencan-kencan awal aku sudah me?
nemu?kan kekurangan mereka yang sangat mengganggu?
cekakak-cekikik saat mendengar leluconku padahal me?
reka tidak mengerti apa lucunya, muka yang mendadak
111 Isi-Omen4.indd 111 nge-blank atau sibuk mengikir kuku saat aku sedang
curhat soal Liverpool, hobi ngupil diam-diam lalu pegang?
an tangan denganku?aku kan jadi ilfil. Sudah begitu,
masa aku harus memaksakan diri tetap bersama mereka?
Aku kan bukan masokis gitu lho.
Rima adalah satu dari sedikit cewek yang langsung
menjadi sahabatku tanpa melalui proses aneh-aneh. Oke,
hanya ada dua cewek dalam kategori ini?Erika dan
Rima. Kalau Erika sih tidak heran. Kurasa di dunia ini
cuma Viktor Yamada yang menganggap Erika adalah
cewek. Bukannya aku lebay, tapi kebanyakan cowok jadi
terlihat feminin kalau berdekatan dengan Erika. Entah
itu karena mereka takut banget pada cewek itu, ataukah
cewek itu yang luar biasa machonya. Rima, tentu saja,
jauh lebih feminin daripada Erika dan tak mungkin ku?
anggap sebagai cowok. Masalahnya, Rima adalah Rima. Segala sesuatu pada
dirinya selalu menakjubkan. Penampilannya, karakternya,
kemampuannya, bahkan tempat tinggalnya. Dengan
sikap yang begitu low profile, dia sanggup mengemban
tugas menjadi ketua Klub Kesenian, ketua OSIS, dan
induk semang bagi Erika dan Val sekaligus. Memangnya
di dunia ini ada berapa orang yang sanggup menunaikan
tanggung jawab sebesar itu sendirian?
Mana mungkin aku tidak respek pada cewek sehebat
itu? Entah kenapa kakiku sudah melangkah ke pekarangan
belakangan sekolah. Sebenarnya, ini selalu terjadi setiap
kali aku memikirkan Rima. Bahkan, bukannya aku lebay,
ini sudah terjadi sebelum aku mengenalnya.
Ceritanya begini. Awalnya, aku hanya kepingin main
112 Isi-Omen4.indd 112 piano di sekolah. Sialnya, kami tidak diizinkan main
piano di ruang musik baru karena, yah, segalanya masih
baru dan kinclong. Tak heran guru-guru takut aku me?
rusak di sana. Jadilah aku mencari alternatif lain yang
lebih masuk akal meski aku harus berjorok-jorok-ria: aku
menggunakan ruang musik lama yang sudah tak ter?
pakai. Berhubung ada gosip tak sedap mengenai roh-roh
halus yang menggentayangi ruang musik lama itu, sudah
belasan tahun tak ada yang berani masuk. Bahkan para
pe?tugas kebersihan pun ogah mempertaruhkan jiwa me?
reka untuk pekerjaan yang gajinya tak seberapa. Jadilah
aku aman dari segala gangguan, ditemani debu, sarang
laba-laba, dan tokek pendiam bermuka bete.
Dalam waktu singkat, aku menyadari ada yang diamdiam mengintaiku. Biasanya instingku lumayan tajam saat
mendeteksi keberadaan manusia?dan kali ini aku nyaris
tidak merasakan keberadaan pengintai itu. Namun suatu
saat tak sengaja aku melirik ke jendela... Ya Tuhan, ada
makhluk tak berwajah yang mengintaiku. Hantukah itu?
Bagaimanapun juga, ini adalah ruang musik ber?hantu.
Jangan-jangan, seiring dengan pertumbuhan umur, aku
jadi punya indra keenam. Aku sudah sempat ge-er, mengira diriku semacam
Bruce Willis dalam film beken The Sixth Sense itu. Apalagi
saat kutemukan pengintai tak berwajah itu ternyata ada
di mana-mana. Di kantin, di lapangan upacara, di ruang
kelas X-B. Namun kege-eranku musnah tak bersisa saat
cewek pengintai itu diajak bicara oleh murid-murid
lain?dan dia juga bukannya tak berwajah, hanya saja
rambutnya menutupi sebagian besar wajah itu.
Jadi dia hanyalah manusia biasa. Kalau begitu, paling113
Isi-Omen4.indd 113 paling dia cewek aneh yang berniat menguntitku. Sudah
terlalu banyak aku menemui cewek-cewek semacam ini.
Asal mereka tidak menggangguku, aku takkan bakalan
me?larang mereka mengintai seraya mengagumiku. Toh
diam-diam aku senang dikagumi.
Berhubung aku lumayan lihai dalam soal mengumpul?
kan informasi, dalam sekejap aku berhasil mengetahui
bahwa cewek itu ternyata bernama Rima Hujan?dan dia
bukan?lah cewek aneh yang berniat menguntitku (ter?
nyata aku terlalu narsis). Cewek itu memang senang me?
nyendiri, dan rupanya, sama sepertiku, dia sering meng?
habiskan waktunya di pekarangan belakang. Bukan itu
saja, dia salah satu alasan kenapa kebanyakan orang le?
bih memilih menjauhi ruang musik lama itu. Hantu Pe?
karangan Belakang, begitulah diam-diam orang-orang
menjulukinya. Namun, meski aku sudah mengetahui namanya, masih
butuh setengah tahun kemudian sebelum kami ber?
kenalan. Tidak selalu ada Rima saat aku datang ke tempat
ini?dan hari ini rupanya termasuk salah satunya. Aku
jadi tidak berniat main piano. Alih-alih masuk ke dalam
ruang musik lama, aku malah akhirnya tidur-tiduran di
dipan kayu yang terletak di balkon depan ruangan itu.
Pepohonan yang rindang dan angin yang bertiup semilir
membuatku pewe. Apa aku tidur saja ya? Mendadak tercium wangi lembut yang familier. Wangi
sampo green tea yang langsung memenuhi kedua lubang
hidungku yang besar-besar itu, menandakan si pemakai
sampo ini memiliki rambut yang panjang sekali.
114 Isi-Omen4.indd 114 Tanpa perlu membuka mata, aku tahu Rima di dekat?
ku. Sial, jantungku jadi berdebam-debam tak jelas begini.
Lebih baik aku pura-pura tidur saja daripada terbangun
dengan muka jelek. Lagi pula, aku kepingin tahu apa
yang akan Rima lakukan. Sedikit gerakan mengenai rambutku, menandakan
cewek itu duduk di dipan yang sama, di dekat kepalaku.
Buset, jantungku semakin berloncat-loncatan dengan
gaduh. Setengah mati aku menahan air mukaku supaya
kelihatan seperti orang yang sedang tidur?atau mungkin
malah lebih mirip orang mati, karena orang yang sedang
tidur pun terkadang masih bergerak.
Oke, aku mulai merasa konyol. Setelah lima menit ber?
lalu, cewek itu masih saja tidak memanggilku, me?nyen?
tuh?ku, ataupun menggebukiku. Intinya, aku benar-benar
blo?on berpura-pura tidur begini. Memangnya aku ber?
harap apa yang akan dilakukan Rima? Mem?bangunkanku
dengan suara manis? Mendorongku jatuh dari dipan?
Jantungku serasa nyaris berhenti berdetak saat terasa
rambut membelai wajahku. Rambut itu terasa melingkupi
wajahku, wanginya membuatku merasa seperti melayanglayang, dan kesadaran bahwa wajah Rima mendekat
padaku membuatku nyaris tercekik.
Apa yang akan Rima lakukan padaku?
Aku nyaris menjerit saat merasakan kuku-kuku panjang
mengorek kelopak mataku. Kali ini aku tidak bisa ber?
pura-pura lagi. Aku kan tidak mungkin membalikkan
bola mataku, soalnya itu berarti aku pura-pura mati. Lagi
pula, aku takut mataku benar-benar dikorek keluar.
Jadi tahu-tahu saja aku sudah bertatapan dengan Rima.
115 Isi-Omen4.indd 115 "Tega banget sih," tegurku seraya cemberut.
Ujung mulut cewek itu melengkung naik. "Aku cuma
kepingin periksa, apa kamu beneran tidur?"
"Tapi itu kan nggak berarti lo harus cabut mata gue
keluar!" "Siapa bilang aku akan cabut matamu?"
Kali ini cewek itu nyengir lebar, dan aku pun ter?
pesona. Jarang sekali aku bisa melihat cewek ini begitu
senang?dan wajah senangnya begitu... cantik. Memukau.
Membuatku ingin melihat wajah itu terus selamanya.
Jadi aku pun menyelipkan tanganku di belakang leher
cewek itu, menariknya mendekat, lalu menciumnya.
116 Isi-Omen4.indd 116 Rima DEMI segala sesuatu di seluruh penjuru bumi!
Berani sumpah, wajahku pasti merah banget saat ini.
Bukan cuma wajahku, melainkan telinga, leher, bahkan
jempol kaki! Soalnya seluruh badanku terasa panas ba?
nget seperti waktu aku harus pidato di depan Klub Ke?
senian untuk pertama kalinya. Waktu itu aku masih bisa
menutupi wajah dengan rambutku. Tapi saat ini, tangan
Daniel masih terus menahan leherku, dan sulit bagiku
melepaskan diri dari tenaga sekuat itu.
Bunyi bel tanda istirahat selesai menyentakkan kami
ber?dua. Sesaat pegangan Daniel melonggar. Menggunakan ke?
sempatan itu, aku pun melepaskan diri darinya. Aku
sudah siap melarikan diri saat tangannya menangkap
per?gelangan tanganku. Aduh, gawat. Aku tidak berani menoleh padanya. Dia
pasti akan melihat raut wajahku yang memalukan.
"Sori." Ucapan itu membuat seluruh tubuhku mem?
beku. "Sori, Rima. Tapi jangan kabur dulu, oke?"
117 Isi-Omen4.indd 117 "Buat apa?" Suaraku terdengar kering bahkan di te?
linga?ku sendiri. "Nggak ada yang perlu kita bicarakan."
"Nggak ada?" Suara Daniel terdengar bingung. Sepertinya cowok itu
juga tidak tahu kenapa dia melakukan hal itu.
"Semuanya hanya kesalahan," ucapku pelan. "Yang
tadi, hanya kesalahan. Kejadian kemarin, juga cuma ke?
salah?an. Pertemuan-pertemuan kita di sini, semuanya
juga cuma kesalahan. Perkenalan kita..."
"Rima" Perlahan-lahan Daniel membalikkan tubuhku. Jarinya
yang mengusap air mata di pipiku terasa lembut dan me?
nenangkan, tapi aku tahu, itu pun sebuah kesalahan.
"Sori. Gue tau, selama ini gue banyak ngecewain elo.
Reputasi gue, kelakuan gue, bahkan persahabatan yang
gue tawarkan ke elo. Mungkin, di masa yang akan da?
tang, gue masih akan terus ngecewain elo, dan elo masih
akan mendengar banyak sori dari gue. Tapi, Rim, semua
ini bukan kesalahan."
Aku mengangkat wajahku dan mendongak padanya.
"Bukan kesalahan?"
Daniel tersenyum dan menggeleng. "Sama sekali bu?
kan. Yah, mungkin lo nggak sadar Rim, karena gue ma?
sih jauh dari sempurna. Tapi gue udah berubah banyak
sejak pertama kali kita ketemu, kan?"
Sesaat aku ternganga. Ya, aku tahu, belakangan ini


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daniel banyak berubah. Tadinya kukira itu lantaran po?
sisi barunya sebagai wakil ketua OSIS. Tapi sekarang,
setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya Daniel memang
sudah berubah bahkan sebelum dia menjadi wakil ketua
OSIS. 118 Isi-Omen4.indd 118 "Awalnya, gue berubah secara nggak sengaja. Saat ber?
sama elo, gue otomatis lupa dengan sisi liar gue. Yang
gue inget adalah, rasa suka lo sama permainan piano
gue, kemampuan lo menganalisis orang, dan rasa asyik
saat menghadapi teka-teki bersama elo. Jujur aja, gue
suka sekali diri gue sendiri saat bareng lo" Aku ter?
sentak lagi saat cowok itu meraih dua tanganku dalam
geng?gamannya, "Rima, berapa lama lagi gue harus
ngoceh amburadul begini supaya lo tau gue sayang sama
elo?" Hah? "Gue serius, Rim," ucap cowok itu seraya mengamati?
ku. Entah apa yang dia lihat padaku, sampai-sampai
wajahnya tampak rada terluka. "Iya, gue tau. Beberapa
lama yang lalu gue masih suka sama Val. Sekarang pun
gue masih suka sama dia. Tapi itu hanya rasa suka.
Perasaan gue ke elo jauh lebih dalam dan rumit, sampesampe gue sendiri nggak ngerti kenapa bisa seperti ini.
"Gue nggak akan minta lo jadi cewek gue, Rim. Gue
tau gue masih jauh dari pantas untuk ngelakuin itu. Tapi
gue akan buktiin bahwa perasaan gue bukan main-main.
Karena itu, lihat gue, Rim, dan perhatiin gue baik-baik.
Semua yang gue lakuin, akan gue lakuin buat elo."
Aku memejamkan mata saat cowok itu mendekat lagi.
Kurasakan bibirnya menempel di dahiku, lembut dan
hati-hati, dan sesaat hatiku merasa bahagia sekali.
Namun saat aku membuka mataku, cowok itu sudah
menghilang. *** 119 Isi-Omen4.indd 119 Untunglah aku tidak sekelas dengan Daniel.
Setidaknya, dia tidak perlu melihat kecerobohanku se?
lama sisa hari ini. Aku dimarahi oleh guru biologi karena
terlambat masuk, dimarahi guru kimia saat di lab karena
salah mencampur bahan kimia dan, sebagai akibatnya,
membuat ledakan kecil, dimarahi guru PKN ka?rena
menyenggol jatuh kotak kapur dan membuat isinya
semua patah. Intinya, selama sisa hari ini aku kacau berat.
Mana mungkin aku tidak kacau? Semua yang ingin
kudengar darinya, semua yang diam-diam kuharapkan,
semua yang tadinya kukira mustahil bisa terwujud, se?
mua itu menjelma menjadi kenyataan hari ini. Dan se?
telah semua itu terjadi pun, aku masih merasa kenyataan
terlalu indah untuk dipercaya. Aku merasa seolah-olah
sedang mengambang di angkasa, terbang di antara
bintang-bintang, bahkan bulan dan matahari pun begitu
mudah dijangkau. Tidak heran aku terhuyung-huyung
melulu seharian ini. Tapi apa semua itu benar-benar nyata?
Dalam satu hal, Daniel berkata benar. Aku butuh me?
lihat bukti bahwa dia tidak main-main. Aku butuh
menge?tahui bahwa kali ini tidak sama seperti yang ter?
akhir dulu lagi. Aku tidak ingin di saat-saat antara hidup
dan mati, dia mendorongku untuk menjadi korban demi
menyelamatkan orang yang benar-benar disayanginya.
Aku tidak akan memikirkan semua ini. Aku tidak
boleh memikirkan semua itu. Aku punya banyak tugas,
dan aku harus fokus dengan semua tugas itu. Aku tidak
bisa membiarkan masalah percintaan ini mengacau?kan
pikiranku. Kalau Daniel memang serius, pada akhir?nya
120 Isi-Omen4.indd 120 aku akan melihat buktinya. Tapi kalau tidak, ya su?dah,
anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi.
Namun, mana mungkin aku bisa menganggap semua
itu tidak bisa terjadi? Rasa bibirnya masih tertinggal di
bibirku. Tatapannya yang lembut masih saja menghantui
pikiranku. Dan setiap ucapannya, astaga, benar-benar su?
dah memorakporandakan hatiku. Aku bukan robot. Aku
tidak bisa tidak menganggap semua itu tidak pernah
ada. Rasanya lega banget saat bel tanda sekolah berakhir
ber?bunyi. Namun saat aku berhasil menyelinap keluar
dari kelas tanpa melakukan satu kecerobohan lagi, se?
buah sosok melintas dengan sangat cepat seraya menye?
lip?kan segulungan kertas kecil ke telapak tanganku.
Aduh, apa lagi yang Putri inginkan dariku?
Demi "kerahasiaan" yang dipegang ketat oleh ketua
The Judges itu, aku terpaksa membaca pesannya di toilet
cewek. Surat ancaman baru. Punya tertuduh. Ketemu di ruang
musik lama sekarang juga.
Aku mengerang dalam hati. Belum bisa pulang? Lagi?
an, tidak kreatif amat memilih tempat pertemuan di
tem?pat itu. Sekarang bagaimana caranya aku mengenyah?
kan pikiranku dari Daniel dan apa yang dilakukannya
pada?ku tadi pagi? Oke, lebih baik aku berangkat sekarang. Putri tidak
suka orang terlambat, dan aku tidak ingin kena marah
lagi untuk yang sekian kalinya hari ini.
Aku berjalan secepat mungkin menuju tempat pertemu?
121 Isi-Omen4.indd 121 an kami seraya memastikan tidak ada yang mengikutiku.
Untunglah, salah satu kelebihan bertemu pada saat pu?
lang sekolah adalah, berhubung semua murid berlombalomba untuk keluar dari sekolah secepatnya, mereka ti?
dak sempat kepo lagi terhadap teman-teman lain. Jadi,
tanpa perlu bersusah payah, aku berhasil tiba di tempat
pertemuan tanpa menarik perhatian siapa pun.
Tentu saja, yang sudah menunggu di sana dengan
tampang tak sabaran adalah Putri Badai.
"Mana Aya?" tanyanya saat melihat kemunculanku.
Aku menggeleng. "Aku belum lihat dia hari ini."
Cewek itu mendecak tak sabar. "Kalian harus bergerak
lebih cepat. Kita hanya akan banyak buang-buang waktu
kalau begini terus. Kan kita semua bukannya nggak ada
kerjaan..." "Kami hanya ingin berhati-hati," selaku pelan. "Me?
mang?nya kamu ingin kami bertindak ceroboh dan mem?
buat hubungan kita bertiga ketahuan?"
"Tentu saja nggak," sergah Putri. "Tapi kalo aku saja
bisa datang dalam waktu singkat, kenapa kalian nggak
bisa?" "Itu karena elo paling nggak ada kerjaan di antara
kita." Aya melenggang masuk ke ruangan itu. "Amit-amit
banget, hari gini masih pake surat-suratan. Nggak pernah
denger yang namanya SMS?"
"Belum tentu kalian inget untuk ngecek SMS secepat?
nya, padahal aku butuh kita ngumpul sekarang juga,"
sahut Putri, sama sekali tidak terganggu dengan ucapan
Aya. Aya tidak menyahut. Wajahnya rada mengernyit saat
pandangannya menjelajahi ruangan yang kami gunakan.
122 Isi-Omen4.indd 122 "Tapi lain kali tolong jangan pake tempat sejelek ini
buat ketemuan dong. Kita bertiga ini kan pasukan elite.
Menurunkan harkat dan martabat kita aja ketemuan di
sarang tikus begini."
"Belum pernah ada tikus di sini kok," kilahku.
"Itu karena mereka ngumpet di saat kita nongol..."
"Kalian berdua bener-bener seneng ngabis-ngabisin
waktu," cela Putri. "Nggak usah ngomongin soal tikus lagi.
Yang penting mereka nggak gigit kita, abis perkara!"
"Sekali Putri Es, tetap Putri Es," gumam Aya, tapi Putri
sama sekali tidak mengindahkannya.
"Ini surat ancaman kedua. Isinya sama, tapi dengan
tambahan kalimat ?sisa waktu kalian dua minggu lagi?."
Dengan batas waktu yang mereka berikan, ini berarti
mereka akan melakukan "tindakan drastis" mereka pada
saat karyawisata sedang berlangsung.
Gawat. "Seperti surat pertama, benda ini ditemuin di lokerku
juga." Putri menghela napas. "Seperti yang kalian tau,
nggak banyak orang di sekolah ini, bahkan di dunia ini,
yang tau aku adalah anggota The Judges. Lebih sedikit
lagi yang tau aku pemimpinnya. Jadi, lebih mudah buat?
ku untuk mencari tahu di antara orang-orang yang tau
ini." Aku dan Aya menatapnya seraya tercengang.
"Jangan-jangan," ucap Aya menduga-duga, "Jason dan
Suzy yang kita keluarkan dari The Judges?"
"Mereka nggak hanya dikeluarkan dari The Judges, me?
lainkan juga dari sekolah ini," ucap Putri, tampak datar
meski menyinggung soal dua mantan anggota The Judges
sekaligus teman dekat yang pernah mengkhianatinya itu.
123 Isi-Omen4.indd 123 "Jadi berhubung mereka kini punya sedikit sekali akses
di sekolah kita, kecil banget kemungkinannya mereka
terlibat. Aku tau, bukannya nggak mungkin, tapi yang
aku prioritaskan adalah orang-orang yang lebih sanggup
ngelakuin ini. Orang-orang yang selama ini nggak seneng
sama OSIS dan The Judges, tahu soal The Judges, dan
punya kemampuan untuk memerangi kita adalah..."
"Valeria dan Erika," ucapku perlahan. "Tapi mereka
bukan orang jahat. Mereka nggak akan ngacauin karya?
wisata kita. Apalagi kalau sampai mereka tau motif
kita..." "Kalau sampai tau motif kita, mereka akan semakin
mem?benci kita," tegas Aya. "Gue lumayan yakin, kalo
sam?pe rahasia kita ketauan mereka, mereka akan lang?
sung mencap kita sebagai musuh besar."
Ucapan Aya membuatku terdiam. Meski sulit untuk
di?akui, Aya memang benar. Namun tetap saja, sedih rasa?
nya memikirkan aku berada di pihak yang bertentangan
dengan Erika dan Valeria.
"Dan jangan lupa, Erika itu Omen," tambah Putri.
"Pada dasarnya, dia itu jahat."
"Julukan itu kan cuma ilusi yang diciptakan adik kem?
bar?nya untuk mengkambinghitamkan dia," tukasku.
"Atau kamu ingin bilang kamu percaya dengan ilusi
itu?" "Adik kembarnya itu psikopat, dan mereka itu kembar
identik. Buatku, itu udah cukup untuk selalu berhati-hati
sama dia." "Gue setuju," sahut Aya muram. "Erika itu sebuah
variabel. Nilainya berubah-ubah dalam setiap persamaan.
Jadi, kita nggak akan bisa memprediksikan tindakannya."
124 Isi-Omen4.indd 124 Yah, berhubung aku kalah suara, aku bisa bilang apa
lagi? "Jadi, sekarang apa yang harus kita lakuin?"
"Kamu cukup ngelakuin tugas sehari-hari sebagai ketua
OSIS aja," kata Putri seraya berpikir. "Soal Valeria dan
Erika, biar aku dan Aya yang urus. Berhubung kamu
induk semang mereka, posisimu jadi terlalu rentan. Lagi
pula, kamu perlu menghadapi seseorang lagi yang
pastinya ditugasin mereka untuk mata-matain elo."
"Siapa?" Namun rasa dingin menjalari punggungku bahkan
sebelum aku mendengar jawabannya.
"Daniel, tentu saja." Sorot mata Putri yang tajam se?
rasa menghunjamku. "Belakangan ini dia banyak pede?
kate sama kamu kan, Rim. Sudah pasti dia ada maunya.
Kamu pasti akan berhati-hati, kan?"
"Tentu saja." Aya merangkulku. "Terakhir kali dia udah
nolak si Daniel abis-abisan kok. Gue jadi saksi idup?
nya." "Itu kan udah beberapa bulan lalu. Yang aku bicara?
kan, kemarin dia masih kencan sama Daniel, kan?"
Astaga, dari mana cewek ini tahu?
"Yang bener aja lo!" Saking shocknya, Aya meninju
bahuku. "Masa lo masih mau kencan sama dia setelah
di?perlakukan seperti dulu itu? Memangnya lo udah
maafin dia?" "Aku..." Sesaat aku tidak tahu harus berkata apa. Masa
aku harus mengaku bahwa hatiku langsung melemah
setiap kali Daniel bilang "plisss"? "Yang itu memang ke?
salahan. Aku nggak akan mengulanginya lagi."
"Sebaiknya begitu. Jangan sampe kamu jadi mata
rantai yang lemah di antara kita."
125 Isi-Omen4.indd 125 Terkadang kata-kata Putri yang tajam bikin aku sakit
hati. Yang lebih menyebalkan lagi, seringnya dia me?
mang benar. "Eh, serius, Daniel PDKT sama elo?" tanya Aya dengan
mata berbinar-binar. Aku mengangguk, berusaha mengusir semua bayangan
yang terlintas?terutama yang terjadi tadi pagi di balkon
depan ruangan ini. "Kalo gitu, kenapa lo nggak bales memperalatnya
saja?" 126 Isi-Omen4.indd 126 Daniel MUNGKIN ini hanya perasaanku, tapi sepertinya bela?
kang?an ini Rima menghindariku habis-habisan.
Harus kuakui, aku memang sudah berlaku spontan dan
impulsif, atau dengan kata lain, tolol banget. Hanya ka?
rena dia mau kencan denganku, aku jadi berasumsi Rima


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih punya perasaan padaku. Asumsi yang benar-benar
kelewat narsis. Orang bodoh pun tahu, Rima hanya se?
kadar memberi kesempatan padaku. Kini, kesempatan
yang cuma seiprit itu pun hancur tak bersisa lantaran
aku bertindak terlalu cepat, terlalu sembrono, terlalu
muka badak. Untung banget Rima tidak menamparku bolak-balik.
Tapi aku lebih senang ditampar bolak-balik, lalu di?
gebuki hingga babak belur, daripada didiamkan seperti
ini. Sedih banget rasanya, melihatnya membuang muka
setiap kali melihat kemunculanku. Bukan sekali-dua kali
aku dibenci oleh cewek, tapi baru kali ini aku di?benci
oleh cewek yang benar-benar berarti bagiku.
Haishh, aku benar-benar tolol, goblok, idiot.
Lebih menyedihkan lagi, sekarang aku harus mem?biar?
127 Isi-Omen4.indd 127 kannya bekerja sendirian. Bukannya aku tidak berusaha.
Aku sudah menawarkan, berkali-kali, dan semuanya di?
tolak mentah-mentah. Lalu tahu-tahu saja semua pe?
kerjaan sudah beres. Bayangkan, pekerjaan mengurus
karya?wi?sata pastinya tidak gampang, tapi cewek itu me???
laku???kannya sendirian. Bukannya orang lain tidak mau
mem??bantu sih. Kebanyakan hanya mau bekerja jika pe?
kerjaannya me?nyenang?kan?seperti mendirikan tenda
bersama teman-teman sekelas di taman hiburan. Tapi
untuk pekerjaan serius?mencari tukang, mengurus masa?
lah kebersihan, dan tetek bengek semacamnya?semua?
nya dilemparkan pada Rima. Seandainya saja aku tidak
me?lakukan sesuatu yang membuatnya harus menghindari?
ku, sudah pasti aku akan membantunya melakukan se?
mua itu. Sekali lagi, aku benar-benar tolol, goblok, idiot!
"Eh, Daniel lagi mau bunuh diri! Cepetan, semua
ngumpul!" Aku memelototi Welly dan Amir yang cengar-cengir
melihatku. Mendadak kusadari sedari tadi aku memeluk
tiang di dekat toilet cowok dan menjeduk-jedukkan
kepalaku di situ. "Huh, kalo gue mau bunuh diri, nggak akan gue pilih
lokasi nggak elite kayak gini," tukasku sambil melepaskan
pelukanku pada si tiang. "Minimal gue pilih loncat dari
Menara Eiffel, Tembok Raksasa, atau Menara Pisa, kali."
"Yah, kira-kira dong," balas Amir santai. "Kalo lo mati
di negara orang, paling-paling headline di surat kabar
tertulis, ?Turis Asing Gila Loncat dari Menara Eiffel?. Tapi
kalo lo mati di depan sekolah, minimal ?Daniel
Yusman?Bunuh Diri atau Korban Pembunuhan??."
128 Isi-Omen4.indd 128 Hmm, kalo dipikir-pikir, dia benar juga.
"Jadi, lo lagi kepingin bunuh diri, atau lo cuma lagi
iseng hancur-hancurin properti sekolah kita?" tanya
Welly seraya menatapku dengan tampang mirip hantu
penasaran yang jelek banget.
"Bukan dua-duanya," ketusku. "Gue cuma lagi frus?
trasi." "Halah, nggak menarik." Dua cowok brengsek itu lang?
sung berjalan meninggalkanku. "Udah pasti soal cewek.
Nggak minat denger."
"Harus!" Aku mencekal kerah keduanya sampai ke?dua?
nya terbatuk-batuk. "Apa gunanya lo berdua jadi temen
kalo bukan buat denger gue curhat soal kefrustrasian
gue?" "Temen apanya?" hardik Welly. "Gue nyaris mati kena
cekik nih!" "Halah, cepet amat lo matinya," celaku. "Cuma kena
gini aja lho. Lagian, ngapain kalian datang ke sini kalo
bukan buat denger curhatan gue?"
"Namanya orang pergi ke toilet, ya buat memenuhi
panggilan alam," balas Amir. "Kecuali kalo lo bersedia
curhat saat gue lagi nongkrong di toilet, itu lain masa?
lah." Sial, anak ini benar-benar jorok.
"Ya udah, kalo nggak mau ketemu gue," tukasku jeng?
kel. "Gue mau jajan dulu!"
"Eh, Niel, tunggu!"
Tuh kan. Sudah kukira mereka ada maunya. "Apa?"
"Lo ditanyain cewek-cewek waktu itu tuh."
Aduh, topik yang tidak menyenangkan. Aku sudah
ber?usaha keras menghindari mereka. Setiap kali mereka
129 Isi-Omen4.indd 129 memanggil-manggilku dengan ribut, aku hanya me?
lambai-lambai dengan gaya sok seleb sambil berjalan
pergi secepat mungkin. Belakangan mereka malah mulai
mengejarku, membuatku lari terpontang-panting. Sialnya,
satu-satunya kesempatan aku tidak bisa kabur dari me?
reka adalah waktu rapat OSIS. Alhasil, sementara Rima
menjaga jarak sejauh-jauhnya dariku, cewek-cewek itu
malah menempeliku bagai jamur menempeli celana
dalam yang sudah lama tidak dicuci.
Asal tahu saja, cewek-cewek itu membuatku ketakutan.
Bukan hanya sikap agresif mereka yang membuatku
salah tingkah, melainkan juga beberapa sikap lain yang
mencurigakan. Cecil misalnya, terus-terusan menjagaku
seolah takut ada yang merebutku darinya. Nina dan Kiko
terus mengajakku ngobrol sampai-sampai ludahku habis.
Belum lagi Ida yang hobi melaporkan kejelekan cewekcewek lain padaku (serius deh, aku tidak perlu tahu
cewek mana yang tidak pernah cuci tangan saat keluar
dari toilet). Namun di antara mereka semua, Nikki-lah yang paling
menakutkan. Meski dia jarang mendekat, tatapannya se?
lalu melekat padaku. Tatapan yang begitu tajam dan
po?sesif, seolah-olah dengan tatapan itu dia ingin me?
nerkamku. Bahkan saat pergi bareng Rima pun, Rima
juga kebagian merasakan tatapan itu sampai berkali-kali
dia menoleh ke belakang. Bahkan satu-dua kali dia ber?
tanya padaku apakah ada yang menguntit kami. Namun
mungkin karena kepiawaian Nikki menutupi tindakannya,
Rima sama sekali tidak mencurigainya.
Tapi bukan hanya sekali itu Nikki menebarkan tatap?
annya yang tidak menyenangkan. Aku cukup yakin, saat
130 Isi-Omen4.indd 130 kami berada di sekolah, cewek itu mengikutiku di manamana. Itulah sebabnya aku merasa lebih nyaman berada
di lingkungan para cowok?lapangan basket, ruang ganti,
toilet cowok. Ya, aku tahu, kedengarannya mengenaskan
banget, tapi itu pilihan yang jauh lebih masuk akal
daripada menghampiri Nikki dan berkata, "Tolong jangan
nguntit gue lagi. Serem, tau?"
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang diinginkan
Nikki, dan aku tidak ingin mengetahuinya. Rasa-rasanya,
kalau aku tahu apa yang ada di balik pikirannya, aku
bakalan langsung pindah sekolah?atau pindah kota
sekalian. "Cewek-cewek itu buat lo berdua aja," kataku sambil
berjalan pergi. "Gue mah udah pensiun dari arena. Lo
ber?dua harus berterima kasih sama gue karena udah ke?
hilangan saingan yang begitu dahsyat. Selamat bersaing
ya! Dahhhh..." "Tolonglah, man!"
Sial, sekarang giliran kerahku yang ditarik dua anak
tengil itu! Saking kesalnya, aku sengaja membatuki muka
mereka sampai keduanya gelagapan lantaran tersembur
ludahku. "Apa-apaan sih?" teriak Welly. "Dasar jorok!"
"Lo berdua yang, uhuk, nahan, uhuk, gue, kan?
UHUK!" "Tapi nggak usah tebar-tebar jigong gitu dong!" Amir
menepuk-nepuk tangannya seraya mengernyit. "Kulit gue
yang bagus jadi ternoda, tau nggak?"
"Sori... uhuk-uhuk-uhuk-uhuk-uhuk... Hei, hei!" Lelu?
con itu jadi tidak lucu saat keduanya mulai memukuliku.
"Hei, stop dong!"
131 Isi-Omen4.indd 131 "Enak aja! Gara-gara lo komedo gue nambah terus!"
"Ketek gue juga jadi tambah bau gini!"
"Emang gue batuk ke ketek lo?" semprotku pada
Welly. "Amit-amit, merusak reputasi aja! Dan jangan
jambak mahkota kebanggaan gue dong! Gimana kalo ke?
gantengan gue berkurang?"
"Hah! Cuma kegantengan berkurang! Gue akan permak
lo sampe jelek setengah mati kalo lo masih terus ber?
tingkah gitu!" "Oke, oke." Ancaman baru ini mengerikan juga. Tidak
peduli betapa tingginya tingkat kegantenganku, kalau
ditulari kejelekan mereka, pasti bisa drop banyak. "Jadi
kalian mau apa?" "Kami mau lo ikut kami berangkat bareng ke karya?
wisata..." "Ogah!" Sialan. Memangnya dia kira aku tidak punya
acara sendiri? Tapi tunggu dulu. "Kami? Siapa itu
kami?" "Yah, gue sama Welly lah."
Aku mendelik pada dua anak tengil itu.
"Juga cewek-cewek," aku Amir akhirnya.
Tuh kan. "Nggak. Gue udah janji sama orang lain."
Se?benarnya yang diajak janjian belum tahu apa-apa, tapi
sebentar lagi akan kuberitahu kok. Meski sepertinya
butuh usaha besar untuk membuatnya bersedia pergi de?
nganku. "Sama siapa? Rima?"
Sial, lagi-lagi Amir memamerkan kepandaiannya yang
jarang-jarang nongol itu dan menebak dengan tepat.
"Yep." "Yang bener aja lo!" seru Welly kaget bercampur sinis.
132 Isi-Omen4.indd 132 "Rima yang," dia langsung menutupi mukanya dengan
poninya yang rata keriting, "kayak gini?"
"Wel, lain kali tampil gitu aja, biar mata kami-kami
nggak rusak lagi gara-gara harus ngelihat muka jelek
lo." "Sial!" Tendangan Welly melesat saat aku berkelit.
"Tapi serius. Kenapa lo tiba-tiba menaruh minat sama
Rima? Kan bukan cuma sebentar kita kenal dia!"
Yah, gampang bagi Welly untuk bilang begitu. Dia kan
sudah kenal Rima lama sekali, sejak dia pertama kali jadi
anggota Klub Kesenian. Mungkin dia malah kenal Rima
lebih dulu daripada aku. Ah, brengsek, membayangkan Welly kenal Rima dulu?
an daripada aku membuatku jengkel.
"Lo aja yang nggak pernah pake mata," ketusku. "Gue
udah pedekate sama dia sejak berapa juta tahun lalu."
"Lho, terus Valeria..." Mulut Welly sesaat membentuk
huruf O besar. "Lo pedekate sama dua cewek cupu sekali?
gus? Gila, level lo makin meningkat aja!"
Dasar cacing yang minta diinjak sampai gepeng.
"Lo serius, Niel?" tanya Amir padaku. "Rima itu...
nggak mungkin betah sama cowok kayak elo."
Dasar gentong yang minta dibikin retak-retak. "Me?
mang?nya siapa yang bilang gitu?"
"Ya gue lah, barusan lo denger dari siapa?" Amir nyengir.
"Nggak perlu orang pinter, Niel, buat ngelihat dia sebener?
nya nggak suka pergi sama elo kemaren itu. Sementara
tampang lo berseri-seri, tampang dia kayak orang yang siap
lari kalo dikasih kesempatan. Belum lagi, sejak hari itu dia
udah nggak berani deket-deket elo, kan? Udah jelas dia
takut jadi mangsa lo yang berikutnya!"
133 Isi-Omen4.indd 133 Gila, rasanya terpukul banget saat fakta-fakta itu di?
papar?kan keras-keras. "Memangnya pas kita pergi itu, dia
nggak kelihatan hepi?"
Welly mendengus. "Elo memang layak nggak naik
kelas!" Kurang ajar. Memangnya dia nggak ngaca gitu?
"Me?mangnya lo nggak punya mata? Rima itu cuma
cewek lemah biasa. Dia bukan tipe yang bakal selamat
saat lo dikeroyok cewek-cewek, seperti kejadian waktu
itu. Seberapa pun lo berusaha protektif, dia pasti bakalan
menyingkir tanpa disuruh."
"Udah gitu," sambung Amir penuh semangat, "dia
pasti akan sering curiga. Apakah di antara cewek-cewek
itu, ada cewek yang menurut lo lebih cakep dari dia?
Apa?kah di antara mereka ada yang lebih cocok sama elo?
Apa?kah di antara cewek-cewek itu ada yang lo anggap
Miss Perfect? Udah jelas, setiap hari dia bakalan waswas
lo bakalan campakin dia seperti lo campakin Valeria!"
"Hei, bukannya gue yang campakin Valeria," protesku.
"Dia yang campakin gue, tau?"
"Sama ajalah," sahut Amir tak sabar. "Kalo gitu, dia
bakal?an waswas lo bakalan campakin dia kalo Valeria
nggak jadi campakin lo."
Ah, sial. Yang terakhir ini kedengarannya seperti se?
suatu yang akan dilakukan Rima.
Sepertinya Amir dan Welly bisa merasakan keraguan?
ku. "Sudahlah, Niel, lupain aja Rima," ucap Amir sambil
me?nepuk-nepuk bahuku. "Dia itu senengnya menyendiri,
sementara elo selalu menarik perhatian orang. Kalo mau
diibaratkan, dia itu gelap, elo itu terang. Seperti kata
orang, gelap dan terang nggak bisa sama-sama. Mending?
134 Isi-Omen4.indd 134 an kita have fun dengan pergi bareng cewek-cewek yang
selevel sama kita." "Bener, Niel," angguk Welly yang lebih blakblakan.
"Lagian, kalo nggak ada elo, mereka nggak mau pergi


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ba?reng kami." "Halah, berani pidato panjang lebar." Aku memelototi
Amir dan Welly. "Kalian juga layak nggak naik kelas. Se?
benernya buat apa sih kalian pergi sama cewek-cewek
yang kedengerannya nggak tertarik sama kalian sama
sekali?" "Yah, siapa tau nanti kondisi berubah," sahut Amir
de?ngan kepolosan yang tak diduga-duga. "Katanya kalo
se?makin sering ketemu, semakin mungkin jadi suka,
kan?" "Lagian nggak ada salahnya usaha," timpal Welly.
"Kami-kami ini nggak dilahirkan dengan segudang ke?
lebih?an seperti elo, tau?"
Wah, wah. Dalam hal ini Welly salah total. Andai saja
mereka melihat tampangku waktu masih SD. Tapi tentu
saja, aku tidak sudi mengungkapkan masa kelamku de?
ngan sukarela, meski masa-masa itu sudah lama ber?
lalu. "Yah, kalo kalian berpikir seperti itu, seharusnya kalian
juga ngerti kenapa gue berpikir bisa mengubah pikiran
Rima," ketusku. "Nggak seperti dugaan kalian, cowok
ganteng juga butuh usaha, tau? Nah, karena gue bisa
usaha sendiri tanpa bantuan orang lain, seharusnya kali?
an juga bisa. Good luck!"
"Jangan tega dong, man!" teriak Welly frustrasi. "Masa
lo lagi-lagi ninggalin kami demi keinginan sendiri? Dasar
egois!" 135 Isi-Omen4.indd 135 "Lo udah berubah, Niel," kecam Amir. "Sejak jadi wa?
kil ketua OSIS, lo jadi berubah."
Kata-kata Amir menghentikan langkahku. "Maksud
lo?" "Gue curiga lo sebenarnya mabok kekuasaan," kata
Amir tajam. "Lo sekarang pedekate sama Rima karena
dia ketua OSIS, karena bersama dia lo bisa mengatur se?
mua orang." "Lalu?" Oke, sekarang aku mulai tersinggung. "Dengan
ngatur semua orang, gue dapet apa?"
"Jadi idola cewek-cewek? Makin direspek anak-anak
cowok? Ngalahin Erika?"
Brengsek. "Tolong ya," ketusku. "Tanpa embel-embel
wakil ketua OSIS pun, gue udah jadi idola cewek-cewek
dan direspek sama anak-anak cowok. Sedangkan soal
Erika, gue nggak perlu ngalahin dia. Toh dia nggak per?
nah memperlakukan kita seperti anak buah..."
"Nggak usah berkelit deh," sergah Welly. "Amir bener,
Niel. Lo memang berubah sejak jadi wakil ketua OSIS.
Lo jadi jarang bergaul dengan kami. Kalopun kita ke?
temu, gaya lo udah sok alim banget. Lo sama sekali
nggak enak diajak main, dimintai bantuan pun nggak
mau. Yang paling parah, lo bahkan ikut-ikut ngusir
temen-temen preman kita yang udah nggak sekolah
lagi." "Singkatnya," kata Amir datar, "lo itu pengkhianat."
Aku tidak menyahutinya. Ucapan Welly yang tumben
panjang banget itu memang mengandung kebenaran.
Aku memang sudah berubah. Aku memang jadi jarang
bergaul dengan mereka. Habis, kami biasanya kompak
saat melakukan kenakalan?dan sekarang aku berusaha
136 Isi-Omen4.indd 136 tidak nakal lagi. Mungkin bagi mereka aku yang tidak
nakal jadi membosankan. Tapi aku bukan pengkhianat. Aku tidak pernah ber?
maksud mengusir teman-teman preman yang hobi nge?
tem di luar sekolah. Tetapi, aku tidak bisa memungkiri
terkadang mereka membuat anak-anak sekolah kami
merasa tidak nyaman berkeliaran di lingkungan sekolah.
Lebih parah lagi, terkadang mereka terlibat perkelahian
dengan sejumlah anak-anak badung di sekolah kami.
Harus kuakui, kepergian mereka akan lebih baik bagi
murid-murid sekolah kami. Tetap saja, pada hari pem?
bersihan itu, aku sebenarnya tidak ikut ambil bagian
(jelas dong, yang melakukannya adalah para petugas
sekuriti. Mana mungkin anak-anak OSIS berani melawan
anak-anak preman). Tetapi aku tidak akan membela diri.
Aku memang tidak menghalangi rencana itu.
"Jadi apa maksud kalian?" Akhirnya aku bertanya.
"Kita udah nggak berteman lagi nih?"
"Itu pilihan lo," jawab Amir. "Rima atau kami. Gelap
atau terang. Gampang aja, kan?"
Aku tertawa kaku. "Lucu juga kalian bilang diri kalian
terang sementara Rima yang gelap. Tapi asal tau aja, be?
gini ya sudut pandang gue. Bukan gue yang harus milih,
tapi kalian. Kalo otak lo berdua udah beres lagi, pikir
sekali lagi. Terima diri gue yang sekarang udah boring ini,
atau silakan pergi. Your choice, not mine."
Dengan berang, aku berjalan pergi. Sialnya, gaya keren?
ku dihentikan oleh sosok cewek yang berdiri di depanku
sambil melipat tangan di depan dada.
"Jangan berantem dong." Senyum Nikki tampak me?
nyeramkan. Yah, mana mungkin tidak menyeramkan
137 Isi-Omen4.indd 137 ka?lau ke toilet cowok pun aku dikuntit? "Kalian nggak
keren kalo nggak bersama-sama. Makanya, kita harus
pergi sama-sama ya!"
Omaygaaaat, cewek ini mendekatiku dari depan, lalu
ber?jinjit seraya mendongak ke wajahku. Rasanya seperti
hendak dicium?atau diterkam ular.
Oh Tuhan, tolong aku. Tolong aku, Tuhan!
Aku langsung meloncat mundur, menabrak batubatuan pembatas jalan, dan jatuh terjengkang di antara
semak-semak. Bukannya mundur, cewek itu malah mem?
bungkuk di atasku, membuatku nyaris mengkeret di
antara tanaman. Sial, aku berhasil memenangkan perdebatan panjang
dengan Welly dan Amir?dan dalam waktu kurang dari
tiga detik aku dibikin sampai mirip pecundang oleh
cewek ini? Aku melirik kedua temanku, yang saat ini
tam?pak takjub sekaligus keder. Keduanya sama sekali
tidak terlihat ingin membantuku. Dasar anak-anak
kurang ajar. Apa mereka tidak kasihan padaku?
"Idiiih, lo lucu banget, Niel!" Nikki tertawa kecil. Wa?
jah?nya yang sangat dekat padaku membuatku menyadari
sesuatu?kenapa sedari awal Nikki selalu tampak me?
ngerikan bagiku. Setiap kali dia tersenyum atau tertawa,
reaksi wajah itu tidak pernah mencapai matanya. Itu
sebabnya wajahnya selalu tampak palsu. "Takut sama
gue, ya?" Aku tertawa lemah. "Haha, iya nih."
"Tenang, gue nggak menggigit kok." Oke, aku tahu ini
per?kataan yang umum banget, bahkan aku sendiri meng?
gunakannya beberapa kali. Tapi kalau diucapkan cewek
ini, rasanya seolah-olah dia akan bilang "haha, bohong
138 Isi-Omen4.indd 138 deh" lalu mencaplok muka kita. "Kenapa lo nggak mau
pergi sama kami, Niel?"
Aku tidak berani menyahutnya. Aku tidak mau meng?
ucapkan nama Rima di depannya.
"Karena lebih suka pergi sama Rima?" Sial, dia sudah
tahu! Aku benar-benar goblok. Cewek penguntit begini,
sudah pasti dia sudah menguping pembicaraanku dengan
Amir dan Welly. "Kalo gitu ajak aja Rima."
Harus cari segala cara untuk menghindarkan Rima dari
cewek ini. "Mmm. Rima nggak akan mau pergi, terutama
kalo gue yang ajak."
"Kalo gitu, biar gue yang ajak."
Oh, sial. Sial. "Eh, Nikki..."
"Ssst." Omaygaaaat. Cewek itu menempelkan jari te?
lunjuk?nya di bibirku. Adegan yang sangat kampungan di
film-film, dan makin kampungan saja kalau benar-benar
dipraktikkan begini?tapi berhasil mem?bungkamku.
"Serahkan saja sama gue, Niel. Gue akan mem?buat dia
pergi dengan kita." Aduh, gawat. Maafkan aku, Rima. 139 Isi-Omen4.indd 139 Rima BELAKANGAN ini perasaanku tidak enak banget.
Ingat cewek-cewek yang pergi bareng aku dan Daniel
waktu itu? Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikan,
tapi belakangan kusadari ternyata mereka rekan-rekanku
sesama anggota OSIS. Lebih tepatnya lagi, mereka geng
cewek-cewek populer yang terdiri atas anggota-anggota
OSIS. Mereka tipe anak-anak yang kuhindari?cantik,
pan?dai bergaul, tidak menyukai pekerjaan serius. Aku
tahu aku tak bakalan bisa mengandalkan orang-orang ini
untuk membantuku mengerjakan tugas-tugas OSIS. Tapi
kurasa di mana-mana, cewek-cewek populer selalu men?
dapat jabatan dalam OSIS. Seolah-olah tidak terpilih jadi
anggota OSIS adalah penghinaan bagi mereka.
Biasanya anak-anak tidak pernah menggangguku.
Maklum?lah, dengan reputasiku yang lumayan menyeram?
kan, aku tidak termasuk dalam daftar anak-anak yang
bisa ditindas. Paling-paling mereka tidak memper?hati?
kanku. Kurasa ini semacam bakat, membuat diriku tak
terlihat oleh orang lain.
140 Isi-Omen4.indd 140 Namun sekarang ini aku mendadak sering jadi pusat
perhatian. Setidaknya oleh cewek-cewek itu. Sering sekali
tatap?an mereka menyambutku saat aku memasuki ruang
OSIS?atau kantin, atau mana sajalah?tatapan yang ke?
mudian dialihkan dengan sangat kentara, seolah-olah
mem?buang muka saat melihatku. Lalu saat aku sudah
me?lupakan mereka, mendadak mereka memandangiku
lagi seraya berbisik-bisik. Seolah-olah mereka ingin aku
tahu bahwa mereka sedang menggosipiku.
Lalu aku mulai membayangkan apa yang akan mereka
katakan. "Ih, apa cakepnya cewek itu, berani deket-deket sama
Daniel?" "Nggak ngaca ya. Tapi nggak heran sih. Hantu mana
bisa ngaca?" "Pasti dia kege-eran, mikir Daniel suka sama dia, pada?
hal mana mungkin!" "Yah, cewek kayak gitu palingan jadi sarapan Daniel
aja, abis itu dibuang kalo udah nggak butuh!"
"Aduh, kasian banget ya! Kalo gue jadi dia, mendingan
gue tahu diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya!"
Ah, gawat. Aku jadi sakit hati membayangkan semua
itu. Apakah ini permainan pikiranku saja? Siapa tahu, se?
benarnya mereka tidak memandangiku, melainkan sese?
orang yang lewat di dekatku. Siapa tahu, mereka tidak
menggosipiku, toh aku belum pernah mendengar secuil
pun omongan tentang diriku. Siapa tahu, semua ini
hanya?lah khayalanku, lantaran aku terlalu kege-eran.
Lantaran Daniel menciumku dan bilang suka padaku,
lalu aku mulai berhalusinasi macam-macam.
141 Isi-Omen4.indd 141 Aku harus menghentikan semua pikiran ini sebelum
jadi gila. "Hai, Rima." Jantungku nyaris meloncat keluar saat melihat Nikki
menghampiriku. Nikki anggota paling cantik sekaligus
paling diam dari geng cewek yang barusan kuceritakan.
Sejak awal, aku paling bingung dengan cewek satu ini.
Dia nyaris tak pernah ikut ngobrol dengan temantemannya dan beberapa kali terlihat agak memisahkan
diri, seolah dia tidak benar-benar merupakan bagian dari
geng tersebut. Namun sebaliknya, dia selalu mengikuti
geng itu ke mana-mana, penampilan mereka setipe, dan
geng itu juga memperlakukannya seolah-olah dia satu
dari mereka. Jadi mereka pasti berteman akrab, kan?
Lalu apa yang dia inginkan dari cewek yang tidak
disukai geng tersebut? Tenang dulu, Rima. Jangan terlalu banyak berpikir. Belum
tentu mereka tidak menyukaimu.
Namun rupanya bukan cuma aku yang kaget lantaran
disamperin Nikki. Dari ekor mataku, aku bisa melihat
banyak orang sedang memandangi kami. Konco-konco
Nikki. Erika dan Valeria. Putri. Aya. Amir dan Welly.
Dan, demi para roh halus penghuni sekolah kami,
Daniel. Tentu saja, pemandangan ini pasti sangat men?
colok. Cewek yang menempati meja populer di kantin
mendatangi cewek paling tidak populer di sekolah di
mejanya di pojokan kantin, terkucil dari semua orang.
Lebih gilanya lagi, aku melihat beberapa orang menjepret
kami dengan kamera ponsel.
"Ada apa?" tanyaku, berusaha kelihatan kalem meski
142 Isi-Omen4.indd 142 keringat dingin mulai mengaliri tengkukku, seperti yang
biasa terjadi kalau aku jadi pusat perhatian.
"Gue boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa?"
"Mungkin ini nggak pada tempatnya." Matilah aku.
Dia benar-benar akan menyuruhku bersikap tahu diri
dan menjauhi Daniel demi kebaikan diriku sendiri. Dan
semua ini bakalan disaksikan oleh seluruh isi sekolah.
Mungkin besok akan jadi berita utama di mading se?
kolah yang hobi memuat gosip-gosip terbaru. "Tapi
nanti pas karyawisata, elo mau nggak, datang bareng
kami?" Hah?! "Kami?" "Iya, gue, temen-temen gue, juga Amir, Welly, dan


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daniel." Matanya terus melekat padaku, membuatku
salah tingkah. Sulit bagiku menentukan mana yang lebih
membingungkan, permintaannya yang di luar dugaan
ataukah sikapnya padaku yang rada mengintimidasi.
"Katanya, Daniel nggak mau ikut kalo lo nggak ikut.
Pada?hal lo tau sendiri, Daniel kan kiyut banget. Jadi,
plis, mau nggak bantuin kami, Rim? Pliiis! Minimal hari
pertama deh!" Sesaat aku hanya bisa melongo, lalu menjawab oto?
matis, "Oke." "Waah, sungguhkah?" Nikki bertepuk tangan kecil.
"Thank youuu! Gue dan temen-temen gue bakalan ber?
utang gede sekali sama elo, Rim. Thanks banget ya!"
Entah kenapa, aku punya perasaan teman-teman yang
disebutkannya bukanlah teman-teman satu gengnya.
*** 143 Isi-Omen4.indd 143 "Jadi, yang barusan itu apa?"
Saat aku berjalan menuju kelas, Erika dan Valeria men?
jajari langkahku. Cukup aneh memang, karena biasanya
aku tidak bergaul dengan mereka. Bahkan, sejak Putri
mem?peringatkanku soal mereka, aku tidak berani dekatdekat lagi dengan mereka. Jadi, meskipun serumah, kami
hampir tidak pernah berhubungan.
Dan kini mendadak mereka mendekatiku. Sejujurnya,
ini memang aneh banget. "Nikki ngajakin aku datang bareng ke karyawisata
nanti," sahutku jujur.
"Whoaaa." Sekilas Erika mengerling ke arah Valeria.
"Sejak kapan lo akrab sama mereka, Rim?"
"Saat aku pergi dengan Daniel waktu itu, mereka kan
ada juga." "Yah, tapi nggak berarti lo harus deket sama mereka
dong." Dari nada bicara Erika, sepertinya dia juga sudah tahu
waktu itu kami pergi bersama. Aneh, atau memang
sudah seharusnya mengingat kecurigaan Putri?
Jangan-jangan selama ini perasaanku tidak salah, me?
mang benar ada yang menguntitku? Jangan-jangan
pelaku?nya adalah Erika dan Valeria?
"Aku cuma... nggak musuhan sama mereka kok.
Lagian, mereka ngajakin aku supaya Daniel mau ikut."
"Oh gitu." Valeria manggut-manggut. Sekali lagi, entah
kenapa, keduanya sama sekali tidak meragukan ucapanku
yang kedengarannya konyol dan sombong luar biasa.
Lambat-laun aku jadi merasa, sebenarnya mereka tahu
lebih banyak dibandingkan aku. "Ya udah, tapi hati-hati
aja ya." 144 Isi-Omen4.indd 144 "Kenapa?" "Cih, masa lo masih nggak tau?" Erika berkacak ping?
gang. "Lihat tampang mereka aja udah jelas. Mereka itu
grup tukang manipulasi. Mereka mau jadi anggota OSIS,
tapi nggak mau kerja sama sekali, jadi mereka gunain
orang lain untuk ngerjain bagian mereka. Mereka tuh
nggak pernah bikin PR, tapi nyuruh anak-anak pinter
yang cupu yang ngerjain PR mereka. Waktu ulangan,
kerj?a?an mereka duduk di samping anak-anak pinter
supaya mereka bisa nyontek. Dan denger-denger mereka
juga beli soal-soal ujian biar bisa naik kelas. Intinya, me?
reka datang ke sekolah dengan satu tujuan: mejeng."
"Dan elo sasaran empuk untuk jadi orang yang di?mani?
pulasi," ucap Valeria pelan. "Gue tau, selama ini nggak
ada yang berani manipulasi karena takut sama elo. Tapi
yang namanya Nikki itu... berbeda."
"Apa bedanya?" "Entahlah, perasaan gue aja." Valeria mengangkat bahu.
"Mungkin dari caranya yang begitu santai ngomong sama
elo. Padahal selama ini siapa sih yang berani sama elo,
Rim?" Astaga, itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam
pikiranku, tapi memang betul ucapan Valeria. Bahkan
dua teman serumahku yang superberani ini masih saja
sering terkaget-kaget saat aku muncul mendadak di
hadapan mereka. Kenapa Nikki sama sekali tidak terlihat
takut padaku? "Pokoknya berhati-hati ajalah, Rim," ucap Valeria sam?
bil menepuk bahuku. "Jangan sepelekan firasat lo. Kalo
lo ngerasa ada sesuatu yang nggak beres dan butuh
bantu?an kami, jangan segan-segan, oke?"
145 Isi-Omen4.indd 145 Aku memandangi kepergian dua orang sahabat itu.
Sikap mereka berdua sangat menyentuh. Tetapi, kata-kata
Putri kembali terngiang-ngiang dalam kepalaku.
Apakah sikap mereka itu tulus, ataukah mereka hanya
berpura-pura baik? Apakah ada niat terselubung di balik sikap penuh per?
hatian itu? Apakah mereka benar-benar akan mengacaukan karya?
wisata yang sudah kupersiapkan setengah mati itu?
*** "Rima, kamu dengar tidak apa yang saya katakan baru?
san?" Aku tersentak mendengar suara yang agak dikeraskan
itu. Saat aku mendongak, aku mendapati Pak Rufus se?
dang menatapku dengan tatapan tajam sekaligus pri?
hatin. Meski terkenal galak dan disiplin, diam-diam guru
piket ini punya hati yang lembut dan tulus terhadap
anak didiknya. Beliau juga suka ikut campur dalam
masalah murid-murid. Saat aku memintanya membantuku
mengurus masalah keamanan karnaval, beliau langsung
menyanggupi dengan penuh semangat. Tidak dinyana,
saat beliau sedang memaparkan, mengutip ucapannya
sendiri?"rencana genius"-nya untuk menjaga karnaval
dari segala ancaman, tantangan, dan halangan dari se?
gala pihak?aku malah melamun.
"Maaf, Pak," ucapku penuh rasa bersalah. "Pikiran saya
melantur ke mana-mana."
Bukannya mengomeliku, Pak Rufus malah manggutmanggut. "Ya, saya mengerti. Tugas ketua OSIS memang
146 Isi-Omen4.indd 146 tidak gampang. Tapi tidak seharusnya kamu kerjakan
semua?nya sendiri, Rima. Sebagai ketua, kamu harus me?
nguasai sebuah teknik luar biasa yang dimiliki setiap
pe?mimpin hebat yang pernah ada."
Aku mengedip-ngedipkan mata. "Teknik apa itu,
Pak?" "Namanya teknik mendelegasi," sahut Pak Rufus
pongah, seolah-olah dialah orang pertama yang men?
cetuskan teknik itu. "Sehebat-hebatnya seseorang, dia
tidak mungkin mengerjakan semua pekerjaan sendirian.
Pasti ada batasnya. Jadi, dia harus menggunakan
kemampuan orang lain."
Aku diam sejenak. "Nggak semua orang mau disuruh
kerja, Pak." "Tentu saja," senyum Pak Rufus. "Kalau segampang itu
menyuruh orang kerja, dunia tidak dipenuhi pe?ng?
angguran begini. Tapi, Nak, ada beberapa cara untuk
me?motivasi orang bekerja. Yang pertama, sadarkan me?
reka dengan tujuan pekerjaan itu sendiri. Misalnya karya?
wisata ini. Mereka mau bersenang-senang tidak? Mereka
mau acara yang meriah tidak? Ini yang harus kamu
tandaskan. Lalu yang kedua, tawarkan bidang pekerjaan
yang mereka minati. Seperti ini." Pak Rufus mengetukngetuk daftar yang sedang dibuatnya. "Kita akan me?
ngumpulkan petugas-petugas penjaga keamanan dari
kalangan siswa. Menurutmu, siapa yang kira-kira paling
bersemangat disuruh jadi satpam sementara?"
Hanya ada satu nama yang langsung teringat olehku.
"Erika?" "Benar," jawab Pak Rufus, sekali lagi tampak pongah,
seolah-olah nama anaknya sendirilah yang barusan di?
147 Isi-Omen4.indd 147 sebut?kan. Eratnya ikatan antara guru piket yang super?
disiplin dan anak bandel yang paling banyak bikin ulah
di sekolah memang sulit dipahami oleh orang-orang
awam sepertiku. "Bukan hanya dia. Amir dan Welly juga
pasti akan langsung kegirangan kalau ditawari pekerjaan
ini. Daniel juga akan menjadi orang yang cocok, tapi
berhubung sekarang dia wakil ketua OSIS, seharusnya dia
membantumu mengoordinasi semua ini, kan?"
"Eh..." "Rima," tegur Pak Rufus tajam. "Jangan segan-segan
bi?lang sama saya kalau Daniel berani males-malesan
bantu?in kamu. Saya akan beri dia pelajaran, biar dia
kapok seumur hidup..."
"Bukan, Pak. Bukan salah dia." Oh gawat. Sepertinya
kedengarannya aku sudah menyebabkan masalah besar
untuk Daniel. "Sebenarnya saya yang nggak enak minta
bantuan dia." "Kenapa?" tanya Pak Rufus. "Apakah dia pedekate
sama kamu? Apakah dia bersikap kurang ajar? Akan saya
sepak kepalanya..." Uh-oh. Kenapa semakin lama urusannya jadi semakin
gawat? "Bukan, Pak, bukan!"
"Jadi apa?" tuntut Pak Rufus. "Apa masalahnya? Apa?"
Belum pernah aku merasa terpojok seperti sekarang ini.
"Sebenarnya... sebenarnya saya yang suka sama dia..."
"Rima Hujan!" teriak Pak Rufus tak percaya. "Jangan
bilang kamu juga wanita seperti itu!"
Aku mengedipkan mata. "Wanita seperti apa, Pak?"
"Wanita yang hanya melihat dari fisik!" tukas Pak
Rufus kesal. "Kamu jangan sampai tertipu, Rima. Apa
kamu tidak tahu, cowok yang tampangnya kelewat
148 Isi-Omen4.indd 148 ganteng seperti Daniel itu tidak ada gunanya? Kalau
kamu mau cari cowok, lebih baik yang tampangnya
biasa-biasa saja, kalau perlu jelek sekalian, tapi baik hati,
setia, dan bertanggung jawab. Bukankah tiga hal itu
yang paling penting dari semuanya?"
Yah, sejujurnya, aku tidak tahu apa-apa soal cowok
ideal. Kenyataannya, aku jarang bergaul dengan cowokcowok?ataupun cewek-cewek. Singkatnya, aku tidak
tahu apa-apa soal manusia. Tapi, supaya Pak Rufus tidak
marah?dan karena Putri sudah memperingatkanku soal
Daniel yang mendekatiku dengan maksud terselubung?
aku pun mengangguk. "Mulai sekarang, kamu harus lupakan Daniel, me?
ngerti?" Sekali lagi aku mengangguk dengan rada ter?
paksa. Dalam hati aku mulai menyesal, kenapa sih tadi
aku harus mengakui perasaanku? Seharusnya kupendam
saja semuanya sampai mati. Habis perkara. "Setelah ini,
kamu akan pergi untuk berbagi tugas dengannya. Kalau
kamu merasa sulit berkomunikasi dengan anggota OSIS
lain, suruh dia yang melakukannya. Daniel itu tidak
punya kemampuan apa-apa selain mulut besarnya yang
pintar merayu, jadi gunakan itu baik-baik. Mengerti?"
Untuk ketiga kalinya, aku mengangguk dengan ter?
paksa namun patuh. "Sayang sekali karyawisata ini sudah hampir ram?
pung," kata Pak Rufus sambil mengetuk-ngetuk bibirnya
yang tebal dan lebar mirip Angelina Jolie. "Tapi pasti ada
hal yang bisa kamu kerjakan bareng Daniel..."
Astaga, belum cukupkah kekepoan ini?
Ternyata memang belum cukup. Soalnya, mendadak
aku didorong pergi. 149 Isi-Omen4.indd 149 "Itu dia Daniel. Cepat suruh dia bantu. Hei, Daniel,
sini! Rima mau bicara dengan kamu!"
Pelajaran penting hari ini: jangan pernah curhat de?
ngan guru. 150 Isi-Omen4.indd 150 Daniel OKE, pemandangan ini benar-benar ajaib banget.
Awalnya aku hanya bisa melongo saat si guru piket
tinggi dan kribo yang membawa penggaris besi panjang
menghampiriku dengan muka garang, sementara Rima
ikut bersamanya, setengah diseret setengah didorong.
Lalu, mendadak kusadari adegan ini terlalu familier.
Oh, sial. Ini adegan bapak-mertua-melarang-anaknyapacaran-dengan-cowok-playboy-dan-brengsek! Tidak heran
Pak Rufus datang sambil membawa-bawa samurainya
yang terkenal itu. Tanpa berpikir panjang, aku pun berbalik, siap kabur
sejauh-jauhnya. Tapi lalu aku ingat, ini bukan cewek
biasa. Ini Rima, cewek yang membuatku berjanji bahwa
aku akan berubah menjadi cowok baik. Itu berarti aku
tidak boleh kabur begitu saja dan meninggalkannya da?
lam cengkeraman Pak Rufus. Jadi aku berbalik lagi, tepat
pada saat penggaris besi yang kelihatan buas itu meng?
ayun ke arah jidatku. Spontan aku menjepitnya dengan
kedua tangan. "Heittt!" teriakku dengan suara mirip pendekar silat.
151 Isi-Omen4.indd 151 "Pak, memangnya apa dosa saya sampai nyawa saya mau
dicabut begini?" "Selama ini kamu membiarkan Rima mengerjakan
tugas OSIS sendirian. Laki-laki macam apa kamu ini?"
Oh. Soal itu rupanya. Aku sudah mengira yang tidaktidak. "Ah, Bapak! Memangnya Bapak belum kenal saya?
Memangnya saya pernah lari dari tanggung jawab?"
"Sering." Dasar bapak-bapak jahat. Apa dia tidak me?
rasa perlu membantuku jaim di depan Rima? "Apa kamu
tidak kasihan melihat dia mengerjakan semua itu seorang
diri? Dasar laki-laki tak punya hati..."
"Kasian kok," ucapku tulus, membuat mulut Pak Rufus
yang tadinya sudah membuka lebar-lebar, siap mencaplok


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalaku, langsung mengatup kembali. "Saya lebih dari
sekadar bersedia untuk membantu. Apa gunanya semua
otot dan otak ini kalo nggak dipake untuk membantu
Rima?" Pak Rufus menyipitkan mata. "Hanya untuk membantu
Rima?" "Membantu Bapak juga deh," sahutku seraya nyengir
dan menopangkan siku ke bahunya dengan gaya sok
akrab. "Gimana, Pak? Bapak perlu apa dari saya?"
"Asal kamu tidak bikin ulah, saya sudah puas," gerutu
Pak Rufus. "Tapi Rima memang butuh bantuan kamu.
Kamu sudah bilang mau bantu dia, jangan kabur di
tengah-tengah pekerjaan ya! Pria hebat akan menyelesai?
kan semua pekerjaan yang dimulainya."
"Ya, Sensei." Aku hanya memandangi Rima saat Pak Rufus me?
ninggalkan kami, sementara cewek itu tampak salah ting?
kah. Yah, cewek dingin itu memang masih terlihat te?nang,
152 Isi-Omen4.indd 152 tapi sama sekali tidak berani membalas pandang?anku.
Padahal, biasanya dia tidak pernah takut me?mandangi
lawan bicaranya, dan tatapannya selalu tajam menusuk
(sebenarnya, aku yakin itulah salah satu alasan orang-orang
takut padanya). Aku sengaja berdeham keras-keras untuk menarik per?
hatian cewek itu. Benar saja, Rima langsung mengangkat
kepala dan mendongak padaku.
"Jadi, apa yang bisa gue bantu?"
"Sebenarnya, semuanya udah hampir selesai kok..."
"Yah, tapi tetep aja gue harus melakukan sesuatu,"
ucap?ku tegas. "Memangnya lo seneng lihat gue diomelomelin Pak Rufus kayak tadi?"
Bibir Rima melengkung sedikit. "Lumayan."
Aku menatap cewek itu dengan gemas. "Tega banget
lo, Rim. Gue baru tau lo ternyata punya sisi sesadis ini.
Apa lo sama orang lain begitu juga?"
Cewek itu menggeleng, masih dengan senyum di
bibirnya. "Sama kamu aja."
"Nggak nyangka, ternyata gue spesial banget bagi lo,
Rim." Senyum itu mendadak lenyap, membuatku me?nyesal
sudah melontarkan ucapan itu. Cepat-cepat aku memper?
baiki kesalahanku. "Meski lo seneng gue disiksa Pak Rufus,
gue udah bosen ngabisin waktu sama dia. Mendingan gue
ngabisin waktu sama elo sekarang. Jadi, tadi lo bilang
semua udah hampir selesai. Yang belum itu apa aja?"
"Besok setelah pulang sekolah, ada pengecekan
wahana-wahana permainan di taman hiburan..."
"Oke, biar gue aja," selaku tegas. "Apa lagi?"
"Pengawasan pendirian tenda dan pemasangan barangbarang..."
153 Isi-Omen4.indd 153 "Itu biar gue juga. Terus?"
"Menyusun lokasi setiap stan, tapi itu nggak terlalu
sulit..." "Nggak apa-apa, gue akan bantuin," aku menyela un?tuk
yang ketiga kalinya. "Yuk, kita mau kerja di mana?"
Rima menimbang-nimbang. "Semua dokumen ada di
ruang OSIS." "Oke, kalo gitu, ayo kita ke ruang OSIS."
Ruang OSIS terletak di lantai teratas gedung eskul, jadi
kami butuh beberapa waktu untuk mencapai tempat itu.
Selama perjalanan yang rasanya tak selesai-selesai itu,
Rima tidak berbicara sedikit pun. Aku sempat me?lontar?
kan bermacam-macam topik, mulai dari topik cuaca yang
umum-namun-membosankan hingga topik prediksi
pemenang-pemenang pertandingan sepak bola liga
Inggris minggu ini. Semuanya ditanggapi dengan angguk?
an, gelengan, dan bahu mengangkat.
Cewek ini benar-benar pelit berkata-kata.
Kantor OSIS terletak di samping ruang rapat OSIS.
Ruang?annya tidak begitu luas, berisi sepuluh meja de?
ngan komputer di atasnya, dengan dinding yang di?
penuhi rak-rak besi. Jendela-jendelanya cukup besar, se?
hingga aliran di dalam ruangan cukup lancar, tapi tetap
saja kami membutuhkan beberapa kipas angin supaya
te?rasa sejuk. Biasanya ruangan ini berbau apak karena
banyaknya dokumen yang disimpan dan jarang dibuang,
tapi hari ini ruangan ini lebih bau dibanding biasanya.
Sebelum kami berdua mati karena tercekik bau-bauan tak
menyenangkan ini, buru-buru aku membuka semua
jendela. "Kayaknya ada binatang yang mati tuh di atap," ucap?
154 Isi-Omen4.indd 154 ku saat tindakanku sama sekali tidak membantu. Ruang?
an itu tetap berbau tak enak?makin lama makin busuk
saja. "Perlu suruh petugas kebersihan buat nyariin?"
"Nanti saja," sahut Rima sambil lalu seraya meng?
hampiri mejanya. "Nanti biar aku yang naik."
Aku terkejut. "Bahaya, Rim! Suruh petugas kebersihan
aja!" "Nggak apa-apa. Aku sudah biasa kok, merangkakrangkak di loteng."
Oke, aku lupa, cewek ini memang punya hobi mengeri?
kan yang beda dengan orang lain.
Meja Rima terletak di ujung ruangan dan menempel
de?ngan mejaku. Kedua meja itu tampak bertolak bela?
kang?meja Rima dipenuhi tumpukan dokumen, mejaku
kosong melompong. "Aku udah kelompokin dokumennya," kata Rima sam?
bil memisahkan dua tumpuk dokumen dan meng?angsur?
kannya ke mejaku. "Yang ini dokumen untuk stan-stan
per?mainan, yang ini dokumen untuk stan-stan makanan
dan suvenir. Kita akan bikin jadi grup-grup, grup A
untuk stan-stan permainan, grup B untuk stan-stan
makanan dan suvenir, grup C untuk stan-stan permainan
lagi, dan seterusnya. Aku udah dapetin petanya dari
penge?lola taman hiburan, jadi kita tinggal isi gambargambar tenda ini dengan huruf-huruf grup. Besok setelah
pulang sekolah, kamu bisa gunakan ini untuk mengawasi
persiapan tenda-tenda. Jangan lupa tendanya diperiksa,
siapa tau kurang kuat..."
"Tenang saja, Rim." Aku meraih tangannya. "Gue akan
ngerjain semuanya dengan baik. Percaya sama gue, oke?"
Tapi Rima tidak mendengarkan ucapanku lagi. Dia
155 Isi-Omen4.indd 155 hanya memandangi tangannya yang kupegang. Kusadari
tangan Rima begitu kecil, halus, dan rapuh?sangat ber?
beda dengan tanganku yang besar dan kasar. Mendadak
saja, menyentuh tangannya terasa tidak sopan banget?
apalagi dalam suasana yang sama sekali tidak romantis
lantaran udara yang aromanya tak menyenangkan itu.
"Sori," ucapku sambil cepat-cepat melepaskannya.
"Sengaja." Rasanya senang banget melihat cewek itu menggigit
bibir, menahan tawa. Bagiku, bikin Rima tertawa, atau
ingin tertawa, adalah prestasi luar biasa?dan hadiahnya
adalah jantung yang meloncat-loncat kegirangan bagai?
kan kelinci hiperaktif lagi disuntik steroid.
"Rim, sebenarnya lo nggak perlu ngerjain semua ini
sendirian, kan?" ucapku sambil memandanginya. "Lo tau
kan, selama ini gue kepingin bantuin lo? Tapi kenapa lo
harus hindarin gue? Jangan bilang karena elo nggak suka
sama gue. Soalnya itu bohong banget."
Rima mengerling padaku menembus tirai rambutnya.
"Bohong banget?"
"Yah, setidaknya gue yakin kok, lo nggak benci sama
gue." Sebenarnya sih, itu harapanku?dan sejujurnya,
terhadap Rima, aku tidak pernah pede. Cewek ini terlalu
datar dan tidak punya ekspresi. Bagaimana caranya aku
tahu aku sudah membuatnya senang atau, sebaliknya,
sudah membuatnya sedih? "Bener nggak?"
Aku menghela napas lega saat cewek itu menyahut,
"Aku memang nggak benci sama kamu, Niel. Tapi," uhoh, "aku juga nggak ingin terlalu suka sama kamu."
"Lho kenapa?" tanyaku. "Gue nggak keberatan kok."
"Aku yang keberatan." Kali ini suara Rima terdengar
156 Isi-Omen4.indd 156 tajam. "Aku sudah belajar, Niel, di dunia ini, satu-satu?
nya orang yang bisa melindungi perasaan kita adalah
kita sendiri. Aku nggak ingin berharap banyak, lalu di?
kecewakan. Aku nggak ingin memercayai, lalu dikhianati.
Aku nggak ingin menyayangi, lalu disakiti. Dan," dia
me?mandangku dengan tatapan murung yang membuatku
pedih, "kamu berpotensi besar untuk melakukan semua
itu padaku." "Tapi kan gue udah janji..."
"Aku nggak pernah berharap kamu memenuhi janji?
mu," Rima memotong perkataanku. "Buatku, ya adalah
ya. Nggak adalah nggak. Nggak perlu janji, nggak perlu
sum?pah. Cukup bukti."
"Kalo gitu akan gue buktiin," tegasku. "Tapi elo jangan
mungkir juga. Jangan sampe pas gue buktiin, lo malah
pura-pura nggak lihat atau, lebih parah lagi, nggak lihat
beneran!" Sekali lagi Rima menyunggingkan senyumnya yang
langka. "Jangan khawatir. Aku akan lihat kok." Lalu se?
olah-olah menyadari arti tersirat dari ucapannya, dia
buru-buru menambahkan, "Bukan berarti aku sering mer?
hati?in kamu ya." "Iya, gue tau kok," sahutku dengan nada sengak yang
kira-kira berarti aku-tahu-kamu-sering-perhatiin-aku-kok.
Sepertinya Rima juga menyadari arti tersirat ucapanku,
karena kelihatan banget dia berpura-pura sibuk dengan
mencari-cari dokumen atau apalah. Aku sudah nyaris
menggodanya lagi saat kusadari cewek itu mendadak me?
matung. Tatapannya terarah ke lemari bagian bawah
yang sedang dibukanya. "Ada apa, Rim..."
157 Isi-Omen4.indd 157 Bahkan sebelum melihat isi lemari itu, aku sudah bisa
menduga apa yang ada di dalamnya. Soalnya, udara
yang tadinya sudah berbau tak enak, kini dipenuhi bau
busuk kematian. Terdapat potongan-potongan tubuh binatang ber?
campur darah kental dan lengket?dan sepertinya bukan
hanya satu binatang. Dari kepala-kepala yang ada, aku
melihat paling tidak ada dua ekor tikus, seekor kucing,
dan seekor burung. Yang tak kalah mengerikan, ada se?
ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar tanda masih
hidup. Tanda semua itu baru saja diletakkan.
Jadi itulah sebabnya ruangan ini bau banget.
Di dinding bagian dalam lemari itu tertancap selembar
kertas dengan tulisan yang jelas-jelas berasal dari darah
binatang-binatang malang itu:
Kalau tidak ingin bernasib seperti binatang-binatang ini,
lakukan permintaan kami. Tertanda, Kelompok Radikal Anti-Judges
"Permintaan apaan?" Aku langsung meledak. "Nulis
surat nggak ada juntrungannya begini..."
Ucapanku terhenti saat melihat air muka Rima yang,
meski terlihat pucat, sama sekali tidak kaget.
"Lo udah pernah dapet surat seperti ini ya, Rim?"
tebak??ku. Rima mengangguk tanpa menyahut, dan secercah rasa
dingin serasa merambati punggungku.
158 Isi-Omen4.indd 158 "Dan lo nggak pernah cerita?" Melihatnya tidak ber?
niat menyahutiku, aku semakin berang. "Rima Hujan!
Kita nggak akan ke mana-mana nih, sebelum lo kasih
tau gue semuanya..."
"Putri yang dapat dua surat pertama," ucapnya per?
lahan. "Tapi semuanya cuma surat, nggak pernah ada
yang seperti ini." "Apa isi suratnya?" tanyaku tak sabar.
"Intinya, mereka mengancam akan bikin kacau karya?
wisata kita lantaran nggak terima soal susunan ke?anggota?
an OSIS yang dimanipulasi oleh The Judges..."
"Omong kosong!" ketusku. "Mana ada manipulasimani?pulasian?"
"Itu benar," sahut Rima, kali ini suaranya terdengar
ge?metar. "Kalo bukan karena dimanipulasi, nggak mung?
kin aku bisa jadi ketua OSIS..."
Aku memandangi Rima yang menunduk, kedua tangan?
nya terjalin di depan tubuhnya. Meski biasanya dia se?
lalu tampak jangkung karena tubuhnya yang kurus, saat
ini dia tampak begitu kecil dan rapuh. Ingin sekali aku
memeluknya, tapi mungkin tindakanku itu bakalan mem?
buatnya makin ketakutan. "Rim," tegurku lembut. "Nggak ada yang memanipulasi
struktur organisasi OSIS. Percaya deh sama gue." Melihat?
nya bergeming, aku meraih kedua tangannya dan meng?
genggamnya erat, sampai akhirnya dia mendongak pada?
ku. "Serius, Rim. Mungkin karena lo blo?on, lo nggak tau
kalo lo termasuk salah satu murid yang paling diandal?
kan sekolah kita." Entah karena aku mengatainya blo?on, ataukah karena
aku memujinya sebagai murid paling diandalkan, atau
159 Isi-Omen4.indd 159 karena jari-jari kami yang bertaut, tatapan Rima berubah.
Aku tidak tahu apakah itu bagus atau jelek, tapi setidak?
nya dia tidak kelihatan sesedih tadi.
"Dulu, waktu kita masih kelas sepuluh, lo satu-satunya
ketua klub eskul dari kelas sepuluh, dan Klub Kesenian
yang lo kelola adalah klub paling berhasil. Lo satusatunya murid di sekolah kita yang terkenal sampai ke
luar sekolah. Dan yang lebih penting lagi, lo inget apa
yang terjadi waktu pemilihan ketua OSIS?"


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rima menggeleng. "Lo mengeluarkan kemampuan lo dan berhasil me?
ramalkan ring basket yang jatuh dan menimpa salah satu
anggota tim basket sekolah kita. Tepatnya si Calvin."
"Itu kan gampang diduga," kata Rima seraya me?
mandangi?ku dengan tatapan aneh. "Ring itu udah tua,
nyaris putus, dan waktu itu aku berkomentar lantaran
Calvin sering ngelakuin dunk."
"Tetep aja, lo bisa melihat dengan jelas hal-hal yang
nggak kelihatan oleh manusia biasa," ucapku. "Bagi ba?
nyak orang, lo memiliki kemampuan khusus. Kemampu?
an yang pastinya akan sangat berguna sebagai seorang
ketua OSIS. Rima, lo jadi ketua OSIS dengan suara ter?
banyak, bukan karena diatur oleh The Judges." Lalu aku
mengangkat bahu. "Kecuali kalo malem-malem Putri
Badai menggergaji ring basket, itu lain perkara."
Oke, bayangan Putri Badai yang dingin dan angkuh
menggergaji ring basket malam-malam sepertinya terlalu
lucu. Tahu-tahu saja aku sudah menertawakan leluconku
sendiri. Lebih ajaibnya lagi, Rima tertawa.
Nah, nah. Itu pertanda dia masih suka padaku, kan?
160 Isi-Omen4.indd 160 Bukan karena aku berbakat jadi pelawak, kan? Aku kan
sama sekali bukan tipe orang yang suka melucu, jadi se?
betulnya aneh kalau aku bisa membuatnya begitu sering
tersenyum atau tertawa. Satu-satunya alasan pasti adalah,
karena dia memang suka padaku. Ya, kan? Ya, kan?
"Sekarang elo percaya kan, struktur organisasi OSIS
kita nggak diatur oleh The Judges?" tanyaku.
Rima tersenyum dan mengangguk.
"Jadi, orang-orang brengsek ini udah sembarang
nuduh," ucapku sambil kembali memandangi potonganpotongan binatang malang itu. "Udah sembarangan me?
nyakiti binatang pula. Benar-benar sadis. Jangan-jangan,
me?reka cuma nyari-nyari alasan untuk bikin kekacau?
an." "Mungkin," sahut Rima ragu. "Tapi aku merasa, me?
reka yakin banget dengan dugaan mereka itu." Aku me?
rasa kecewa saat Rima melepaskan tanganku. "Aku harus
bersihin semua ini."
"Lho," seruku kaget, "suruh petugas kebersihan aja,
Rim!" "Jangan, nanti ketahuan para guru..."
"Justru kita harus laporkan semua ini ke guru!" tegas?
ku. "Biar mereka juga bisa membantu kita menjaga se?
mua kemungkinan yang terjadi."
"Tapi kan bisa jadi pelakunya adalah salah satu atau
beberapa guru." Oh ya, itu mungkin saja. "Ya udah, minimal kita kasih
tau Pak Rufus gitu lho."
"Jangan!" "Kenapa?" Kali ini Rima membungkam.
161 Isi-Omen4.indd 161 "Rima?" "Aku... aku cuma nggak ingin kejadian ini tersiar ke
mana-mana dan sampe pada pelakunya."
"Tapi kan ini Pak Rufus gitu lho. Memangnya siapa yang
bakalan dia kasih tau..." Ucapanku terputus saat aku
menyadari arti ucapan Rima. "Lo mencurigai Erika?"
Meski dia tidak menyahut, air mukanya sudah men?
jawab segalanya. "Rima," ucapku tak percaya. "Erika dan Val nggak
mung?kin sejahat ini!"
"Aku tahu," sergah Rima, untuk pertama kalinya se?
perti kehilangan ketenangannya. "Tapi... aku nggak tau
ha?rus percaya siapa lagi. Sejak bergabung dengan The
Judges, yang aku punya cuma..."
Ucapan Rima terhenti, dan cewek itu kembali me?
nunduk. Kelihatannya dia benar-benar sedih, dan aku
tidak ingin membuatnya makin kacau.
"Oke, kita nggak akan ngasih tau Pak Rufus atau
Erika." Mendengar ucapanku, Rima mengangkat kepala
lagi. "Tapi ingat ya Rim, apa pun yang terjadi, elo akan
selalu punya gue. Ngerti?"
Rima menatapku lama, lalu tersenyum. "Ya."
Hanya dengan sepatah kata itu, semangatku pun jadi
bangkit. "Oke, kita nggak akan kasih tau siapa-siapa,
selain..." "Putri," sela Rima. "Putri harus tau soal ini."
Aku merasa aneh dengan cara Rima menyebut nama
Putri Badai. Kalian tahu kan, cara bicara Rima selalu so?
pan. Tapi dia menyebut nama Putri dengan santai ba?
nget, seolah-olah dia mengenal Putri lebih dekat daripada
yang seharusnya. 162 Isi-Omen4.indd 162 Namun kuputuskan untuk tidak mengindahkan hal itu
dan berkata, "Oke, kita hanya akan ngasih tau ke Putri.
Untuk selanjutnya, kalo ada apa-apa, kalian juga harus
bilang ke gue, ya?" Rima mengangguk. "Lo tadi bilang, mereka mengancam untuk bikin kacau
karyawisata kita, kan?" Sekali lagi Rima mengangguk.
"Oke, nanti lo harus deket-deket gue terus. Gue yakin,
dengan kemampun lo, kita pasti akan bisa nemuin siapa
pun yang berani mengacaukan karyawisata kita. Nanti,
biar gue yang bekuk pelakunya."
Ya, benar. Dengan adanya Rima dan aku, malang betul
orang yang berani bikin kekacauan. Dalam hal ini, ke?
lompok bodoh yang menamakan diri mereka Kelompok
Radikal Anti-Judges. Omong-omong, akhirnya aku punya alasan untuk
dekat-dekat dengan Rima waktu karyawisata nanti.
Cihuyyy! 163 Isi-Omen4.indd 163 Rima AKU benar-benar kecele. Tadinya kupikir ini hanya karyawisata. Biasanya muridmurid mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja waktu
karyawisata, kan? Sudah bagus aku membuat peraturan
untuk tidak perlu mengenakan seragam sekolah. Kupikir
anak-anak hanya akan pakai kaus santai dan celana jins.
Itu sebabnya aku mengenakan pakaian sekadarnya saja:
kaus hitam, jaket hitam, rok panjang hitam, dan sepatu
kets. Ternyata cewek-cewek lain menggunakan kesempatan
ini untuk tampil superkeren. Semuanya mengenakan
gaun pendek berwarna-warni dengan sepatu hak tinggi.
Secara pribadi aku merasa pakaian mereka terlalu bagus
untuk dikenakan ke karnaval yang ala kadarnya begini.
Tapi yah, siapa sih aku? Apa hakku untuk memprotes
me?reka? Penampilanku kebanting banget di?banding?kan
mereka. Rasanya aku jadi mirip bebek jelek di antara
angsa-angsa keren. Itu pun kalau aku ikut bergabung.
Ceritanya, alih-alih berangkat bareng, kami janjian
164 Isi-Omen4.indd 164 untuk berkumpul terlebih dahulu di kafe di dekat lokasi
karnaval. Mungkin karena kafe itu letaknya tak jauh dari
rumahku?atau karena aku hanya tepat waktu?aku tiba
paling awal meski hanya dengan berjalan kaki. Setelah
menunggu sekitar lima belas menit, muncullah Nina dan
Kiko yang datang berbarengan menggunakan Benz putih
Nina. Saat melihatku, keduanya hanya melambai, lalu
mengambil meja yang berbeda denganku.
Oke, situasi berubah menjadi tak terduga?dan rada
canggung. Apa ini berarti aku tidak jadi diundang ber?
gabung dengan mereka? Satu per satu angsa-angsa keren lain mulai berdatang?
an. Semuanya langsung menghampiri meja yang di?
tempati Nina dan Kiko, lalu berbisik-bisik seraya meliriklirik ke arahku. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah
me??reka bermaksud diam-diam mengataiku ataukah se?
ngaja melakukannya secara berlebihan supaya aku sadar
aku sedang dikata-katai. Yang jelas, semua ini mem?buat?
ku semakin canggung, tidak nyaman, dan kepingin
ngumpet saja. Ini bagaikan mimpi buruk yang menjadi
kenyataan. Kenapa sih dalam situasi seperti ini aku malah tampak
begitu jelas? Biasanya tidak ada yang memperhatikanku.
Malam ini, aku merasa kehadiranku sangat terekspos
sekaligus tidak diinginkan.
Ke mana ya Nikki? Dia yang mengundangku, tapi dia
juga satu-satunya anggota geng yang belum kelihatan.
Apa dia tidak datang? "Gue dan temen-temen gue bakalan berutang gede sekali
sama elo," begitu kata Nikki waktu itu. Benarkah be?
gitu? Kalau iya, kenapa teman-temannya tidak bersikap
165 Isi-Omen4.indd 165 seperti itu padaku? Malah sejujurnya aku curiga dia
tidak bi?lang apa-apa pada teman-temannya soal meng?
undang?ku. Dan, omong-omong, Daniel sendiri hilang ke mana
ya? Nikki bilang dia mengundangku supaya Daniel mau
ikutan datang. Tapi kenapa Daniel tidak nongol-nongol?
Aku kepingin mengirim SMS untuk menanyakan kabar?
nya, tapi sejujurnya, aku tidak punya keberanian itu.
Namun tanpa Daniel, rasanya keberadaanku di sini jadi
sia-sia. Gara-gara situasi yang bikin depresi ini, penantian
semenit pun rasanya seperti berabad-abad. Gawatnya,
aku mulai keringatan. Pakaian yang seharusnya cocok
untuk malam hari yang dingin mendadak berubah jadi
sauna pribadi di saat-saat lagi terjebak dalam situasi yang
tak menyenangkan. Dan rasanya jadi gatal-gatal pula.
Mung?kin sebaiknya aku pergi saja?atau minimal
ngumpet dulu di kamar mandi supaya aku bisa garukgaruk. Tidak lucu kan, mendadak aku bergaya-gaya
seperti monyet yang sedang diserang banyak kutu. Atau
Sadako yang kutuan. Hiii! "Halo, cewek-cewek!"
Kehadiran Amir dan Welly serasa mendominasi ruang?
an kafe yang imut-imut ini. Berbeda dengan kehadiranku
yang dicuekin secara terang-terangan, kedatangan mereka
disambut dengan sangat meriah. Apalagi, seperti cewekcewek itu, mereka juga tampil superrapi dengan kemeja
warna-warni dan celana jins warna mengilap.
"Jiyahh, Amir dan Welly cakep lho malam ini! Kayak
selebriti aja!" 166 Isi-Omen4.indd 166 "Selebriti apa?" tanya Welly, jelas-jelas senang men?
dengar komentar tersebut. "Udah jelas gantengan gue
dari??pada... Amit-amit jabang bayi! Kenapa ada Rima
Empat Mayat Aneh 2 Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan The Second Chance 2

Cari Blog Ini