Mawar Jepang Karya Rei Kimura Bagian 2
"Tolong," teriak Sayuri pada seorang petugas pembantu yang kebetulan lewat. "Tentara ini baru saja meninggal."
"Kita tidak punya waktu untuk mereka yang sudah mati, sekarang yang hidup yang harus didahulukan," jawab petugas itu. "Akan ada yang datang dan membawanya turun ke ruang jenazah kalau ada waktu."
Secara otomatis, seperti yang diajarkan kepadanya, Sayuri memeriksa kantong tentara itu untuk mencari identitas yang dapat dicatat di daftar korban meninggal. Lalu selembar foto terjatuh keluar, menampakkan wajah tersenyum seorang gadis cantik berbalut yukata musim panas dengan tanda hati digambar besar mengelilinginya. Sayuri dengan susah payah menelan sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya.
Tentara ini adalah suami atau kekasih seseorang, dan sekarang ia hanyalah sebaris angka yang akan dibawa ke kamar jenazah "kalau ada waktu," dan senyum gadis muda di foto itu akan segera berubah menjadi air mata duka dan rasa tak percaya.
Perlahan Sayuri meletakkan foto itu di dada tentara yang sudah mati itu, tepat di sebelah dadanya, lalu lekas berjalan pergi.
"Pagi itu hatiku memulai proses pengerasannya dan suatu kemarahan baru terbentuk di dalamku. Tapi kemarahan itu begitu halusnya sehingga aku tak tahu ia ada sampai lama kemudian."
Apa pun yang akan terjadi, api dari tujuan terpendam yang selama ini diperam Sayuri terpantik hari itu dan terus membesar dalam bulan-bulan mendatang.
Bab 10 HARI berubah menjadi minggu dan dampak mengerikan -dari perang tidak pernah berakhir. Malah bertambah buruk, sebab neraca kekuatan sudah berubah dan Jepang mulai kehilangan posisinya di perang itu."
Suatu malam, sirine meraungkan bunyi yang sudah begitu familiar ketika Sayuri bersiap-siap kembali ke kamarnya. Secara naluriah, ia buru-buru turun menuju bunker anti bom bersama dengan banyak orang yang menyelamatkan diri. Mereka sudah terbiasa dengan bom-bom beringas itu, tapi malam ini berbeda. Serangan bom di seluruh Tokyo begitu dahsyat sehingga bahkan bunker anti bom itu bergetar oleh keberingasan dan dendam bom-bom itu.
Sambil gemetar, Sayuri dan Reiko berpelukan dan duduk meringkuk di atas beton yang keras dan dingin dari bunker itu sementara bom-bom berjatuhan memporakporandakan kota mereka bagai gelombang ledakan tiada henti. Ketika semuanya berakhir, mereka tahu bahwa serangan yang begitu intens itu akan mengakibatkan begitu banyak jumlah orang terluka dan mati dan pemandangan yang sungguh memilukan hati. Tetapi selama beberapa jam mereka meringkuk di dalam bunker itu, tak ada seorang pun yang ingin memikirkan tugas yang menanti mereka.
Di saat serangan udara itu berhenti, suatu kesunyian yang mengerikan membungkus kota berpenduduk jutaan orang itu, seakan-akan semua orang menahan napas mereka sambil menghitung jumlah korban meninggal dan terluka. Ketika mereka tersaruk keluar bunker untuk menghadapi kekacauan yang siap menyongsong mereka, Sayuri hanya bisa merasa lega bahwa setidaknya ia berada di sini, di Tokyo, membantu negaranya menghentikan darah dari luka yang menganga dan mengubur mereka yang gugur daripada bersembunyi di desa dan tidur di atas futon bersih yang baru dicuci.
Reiko terisak dan Sayuri menoleh ke arahnya sambil bertanya panik, "Ada apa? Apa kau terluka di dalam bunker tadi?"
"Tidak." Reiko menggelengkan kepala, dan ketika mereka berhenti sejenak, membiarkan kerumunan orang yang keluar dari bunker anti bom bergegas melewati mereka, ia meletakkan tangan di dadanya dan berkata di sela-sela isakannya, "Aku merasakan sesuatu di dalam sini, Sayuri. Sesuatu telah terjadi malam ini dan meski aku belum tahu apa itu, tapi perasaan ini sungguh menekan berat hatiku."
"Jangan bicara seperti itu, Reiko chan," jawab Sayuri. "Kita harus berhadapan dengan kenyataan dan kengerian perang setiap hari, jadi wajar kalau terkadang bayang-bayang dan pertanda mengerikan memasuki pikiran kita, terutama setelah pengeboman malam ini yang paling parah dari yang pernah kita alami."
"Tapi tidakkah kau sadar bahwa paling tidak kita ada di sini, melaksanakan tugas kita untuk Jepang. Biarlah itu membuat kita tenang dan bangga, sebab kita tak punya apa-apa lagi untuk membuat kita terus berusaha dan bertahan." "Tentu saja. Kau benar," jawab Reiko. "Betapa konyolnya aku jadi begitu lembek setelah semua resolusi yang kubuat untuk ada di sini kalau-kalau Yukio membutuhkanku. Besok kita punya waktu istirahat beberapa jam, kita sebaiknya pergi mencari Hiro dan Yukio mulai dari pusat pendaftaran. Kalau kita punya data unit dan nomor resimen mereka, setidaknya kita bisa melacak apa mereka masih ada di Jepang atau sudah dilayarkan ke Asia Tenggara."
"Oh, Sayuri, kengerian ini tak bisa diungkapkan. Tak ada kabar berita, tak tahu apa tunanganku hidup atau mati, dan apa saat ini ia sedang terluka, terbaring di salah satu rumah sakit dan memanggil-manggilku."
"Ya, aku tahu, ingat kan kalau aku juga punya adik di luar sana? Jadi mari kita lewati hari ini dan besok kita akan mulai pencarian kita. Bayangkan saja, dalam waktu beberapa tahun setelah perang selesai, kau akan menikah dengan Yukio, dan kita akan mengenang hari ini dengan lega karena kita tidak menyerah!"
"Ya, kurasa kau benar, dan seandainya aku bisa seperti dirimu, begitu kuat dan teguh hati. Kau selalu menjadi pihak yang lebih kuat di antara kita berdua, Sayuri, bahkan sejak kita masih kanak-kanak dan bermain di pantai. Kau akan menarikku menjauh dari ombak kalau kita berdiri terlalu dekat laut," kenang Reiko.
"Tidak selalu. Apa kau lupa hari ketika kau menemukanku telanjang dan menangis meratap di kamar mandi?" Sayuri meringis. "Aku hampir tak kuat lagi hari itu! Kurasa sekarang rasa marahlah yang membuatku terus maju dan penuh tekad untuk menghentikan setiap tetes darah yang ingin ditumpahkan oleh musuh-musuh kita."
"Jangan bicara seperti itu, Sayuri. Kalau kau bicara seperti itu penuh amarah, aku jadi takut," jawab Reiko. "Aku tidak membenci siapa pun. Ini perang dan darah semua orang tertumpah di semua pihak, dan pada akhirnya, tak ada yang benar-benar menang."
Nanti, jauh di kemudian hari, Sayuri mengingat kata-kata ini ketika Reiko terbaring di dalam pelukannya, dan ia merasakan penderitaan serta rasa sakit yang tak dapat dihapuskan oleh apa pun atau siapa pun juga. Amarah di dalam dirinya begitu liar hingga ia nyaris pingsan oleh intensitas kekuatannya.
Seperti robot tanpa perasaan dengan tangan mekanis, Sayuri merawat para korban yang terluka. Sebagian terluka begitu parah hingga tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain berpindah ke orang berikutnya yang masih bisa diselamatkan.
"Jangan berhenti, jangan berhenti," katanya kepada dirinya sendiri. Sebab, begitu ia melibatkan perasaannya, ia tak akan mampu bertahan.
Suara erangan dari tempat tidur di belakangnya tidak menarik perhatiannya hingga akhirnya suara itu mengucapkan satu kata.
"Reiko... Reiko," erang suara itu dengan cukup jelas dan Sayuri menahan napasnya.
"Jangan menoleh, jalan terus," katanya kepada dirinya sendiri. "Tapi bagaimana kalau itu memang dia? Tidak, tidak mungkin, terlalu kebetulan!"
"Kendalikan dirimu, ingatlah pelatihan dasarmu. Jangan pernah menunjukkan emosimu, tak peduli apa pun yang kau lihat atau dengar karena itu akan membuat pasienmu sedih..."
"Reiko..." ujar erangan tadi, dan kali ini ia terdengar sedih dan lemah. Sayuri tak dapat menahan dirinya, dan bahkan sebelum ia berbalik, ia sudah tahu apa yang akan ia lihat.
Tarikan napasnya terhenti di mulut lalu keluar sebagai erangan mendesis, sebab dari sisi wajah yang tidak hancur berantakan itu Sayuri dapat mengenali Yukio.
Tangan yang hanya berjari dua itu terangkat dan menunjuk ke arahnya, lalu sebelah matanya yang masih bias melihat tampak bersinar aneh dan menatap lurus kepadanya. Tahulah Sayuri bahwa Yukio mengenalinya dan ingin memberikan pesan kepadanya.
Sayuri membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu, kata-kata yang menenangkan atau menguatkan, tapi tidak ada yang keluar. Saat itu, yang ia inginkan adalah supaya Yukio segera meninggal dan berpindah ke alam kematian yang tenang, sebab itulah satu-satunya cara untuk membuatnya lepas dari penderitaan ini.
"Pergilah, Yukio, pergilah!" Akhirnya ia berhasil berbisik juga. "Reiko akan baik-baik saja, akan kupastikan ia baik-baik saja, aku janji!"
Kepala yang terkoyak dan hampir tak dapat dikenali itu memberikan satu anggukan samar dan setelah satu tarikan napas pendek yang pelan namun mengerikan, Yukio telah pergi. Ia memang ingin mendengar kata-kata itu sebelum ia bisa pergi.
Lama Sayuri berdiri di sana, di samping jenazah tunangan sahabatnya, dan satu-satunya yang terpikir olehnya adalah, "Hari ini tanggal enam belas September, mereka seharusnya menikah minggu depan, tanggal dua puluh tiga September, Hari Ekuinoks...." Lalu ia mencari dan dengan pelan melepas talisman yang mengalungi leher Yukio, talisman yang diberikan Reiko kepadanya di hari ia meninggalkan Matsumoto. Suatu hari nanti Sayuri akan akan memberitahu Reiko bahwa ia ada di sana ketika tunangannya meninggal dan kata terakhir yang diucapkan laki-laki itu adalah nama Reiko.
Ia mendengar suara Reiko memanggilnya, seakan dari jauh, "Sayuri, jangan berdiri di sana dan melamun. Kita harus menyelesaikan sebanyak mungkin pekerjaan sehingga kita bisa selesai lebih awal dan pergi ke Biro untuk mencari unit pasukan Hiro dan Yukio!"
Reiko... tidak... ia tidak boleh melihat Yukio, tidak dalam kondisi ini....
Dengan susah payah Sayuri menarik kain menutupi wajah dari tubuh penuh koyakan di hadapannya tepat ketika Reiko muncul di sisinya dan berkata, "Ada yang meninggal lagi? Laki-laki yang malang. Tapi kita harus merawat mereka yang masih hidup! Ayo, Sayuri!"
Reiko bergidik saat ia melihat terakhir kalinya ke arah tubuh yang ditutupi kain yang telah penuh darah itu lalu berkata, "Kuharap ia tidak terlalu menderita!"
"Ia menderita sebentar, tapi sekarang ia sudah tenang," jawab Sayuri pelan dan bersyukur bahwa Reiko tidak tahu siapa yang ada di bawah kain itu.
Tetapi kemudian Sayuri merasa jantungnya seakan berhenti ketika Reiko mendekati kain bersimbah darah itu dan berkata, "Tahu tidak, sampai sekarang aku mencoba untuk tidak melihat korban-korban meninggal dan tubuh-tubuh yang cacat. Mungkin satu-satunya cara untuk menerima kenyataan yang ada adalah dengan benar-benar menatap salah satu wajah mereka. Kulihat saja yang satu ini sebagai permulaan dan mungkin saja akhirnya aku akan bisa menyingkirkan rasa takutku?"
"Tidak, Reiko, tidak, jangan yang ini. Kondisinya tidak enak untuk dilihat." Sayuri memegang temannya itu dan dengan pasti menariknya pergi, berharap Reiko tidak merasakan tangannya yang gemetar. "Mungkin kau harus mulai dengan yang tidak terlalu kacau keadaannya!"
Ia melihat Reiko memandangnya dengan aneh, namun ia bisa bernapas lega ketika Reiko berkata, "Ya, kurasa kau benar, itu hanya akan merusak hariku. Kau memang terlihat sedikit gemetar, jadi kondisinya pasti benar-benar parah!"
Reiko tak akan pernah tahu betapa nyarisnya ia melihat sesuatu yang akan menghantuinya seumur hidup, pikir Sayuri.
Tapi seharian itu ia tak dapat berkonsentrasi pada apa pun yang dikerjakannya. Bayangan tubuh Yukio yang nyaris tak berbentuk tidak mau pergi dari benaknya, dan bersamaan dengan itu, muncul pikiran mengerikan lainnya yaitu apakah ia melakukan hal yang benar dengan mencegah Reiko mengetahui kebenaran dan melihat tunangannya untuk terakhir kali? Mungkin Reiko ingin melihat Yukio bagaimanapun keadaannya? Apa ia berhak bertindak seperti Tuhan dan mengambil keputusan sepenting itu bagi temannya?
Sayuri bergegas menuju bangsal tempat ia menemukan Yukio, tapi semua jenazah telah dipindahkan dan tak ada yang tahu ke mana Yukio dibawa. Ia telah mengambil kesempatan terakhir Reiko untuk melihat tunangannya, dan Sayuri hanya bisa berharap suatu hari Reiko akan paham bahwa ia terlalu mencintai sahabatnya itu sehingga tak bisa membiarkan Reiko melihat Yukio.
Bab 11 BEBERAPA hari setelahnya, Sayuri dan Reiko berhasil mendapatkan izin meninggalkan rumah sakit selama beberapa jam, dan mereka menggunakannya untuk berdesak-desakan di ruang tunggu kantor pendaftaran bersama dengan kerumunan begitu banyak orang yang terdiri dari keluarga-keluarga yang mencari informasi tentang orang-orang tercinta mereka yang telah didaftar masuk Angkatan Bersenjata Kerajaan. Mereka sampai di sana pagi-pagi bahkan sebelum pintu kantor dibuka, dan menjelang makan siang mereka masih menunggu.
Ketika jendela kaca loket yang tak rata dan buram itu ditutup untuk istirahat makan siang, tak seorang pun beranjak. Sayuri serta Reiko memutuskan untuk tetap di sana untuk mempertahankan antrean mereka, sementara mereka mengunyah bekal biskuit kering dan keras, berusaha meredakan perihnya rasa lapar. Meski begitu, baru menjelang tengah sore mereka akhirnya mencapai depan loket dengan panel kaca yang menjengkelkan itu. Jantung Sayuri berdegup begitu kuat hingga ia khawatir jantungnya akan terluka!
Apa yang akan mereka temukan? Sampai detik itu Sayuri belum bisa memberitahu Reiko bahwa tunangannya telah meninggal. Apa temannya itu akan mengetahuinya hari ini? Rasa asin tercecap di mulurnya ketika kuku yang seharian ini digigiti oleh Sayuri akhirnya patah dan berdarah.
Dan bagaimana dengan adiknya sendiri, Hiro? Apa ia juga sudah meninggal atau terluka di suatu tempat?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggedor-gedor kepalanya, masing-masing menuntut jawaban yang tak dapat diberikannya. Maka Sayuri bersandar pada dinding beton yang dingin untuk menenangkan dirinya.
Waktu giliran mereka tiba, perempuan di loket melihat seragam perawat mereka dan tersenyum ramah. Kedua gadis ini mengabdi pada negara mereka dan layak diperlakukan dengan baik.
"Kami datang untuk mencaritahu tentang dua orang anggota keluarga yang didaftar masuk Angkatan Bersenjata Kerajaan beberapa bulan lalu," Sayuri memulai.
"Tuliskan nama, alamat rumah, dan nomor kartu identitas mereka di secarik kertas ini," petugas itu cepat memotong dan menunggu sementara Sayuri melakukan apa yang diminta dengan tangan yang begitu gemetar sehingga huruf-huruf yang tertulis di sana sulit dibaca.
"Maaf," bisiknya, "saya benar-benar gugup!"
"Tidak apa-apa, saya bisa membacanya," tukas petugas itu. "Semua orang yang datang kemari begitu gugup hingga kami mendapatkan tulisan-tulisan tangan yang jauh lebih buruk dari ini. Baik, tunggu saja di sana dan saya akan meneriakkan nama dua orang prajurit ini begitu saya menemukan data mereka."
Penantian lima belas menit itu serasa tak berujung, dan karena sibuk dengan pikiran masing-masing, tak ada satu pun dari kedua gadis itu yang berbicara. Di atas kekhawatirannya terhadap adiknya, Sayuri benar-benar takut pada momen ketika Reiko mengetahui tunangannya telah tiada. Ia berdoa supaya petugas yang akan memanggil mereka, entah bagaimana, tak akan bisa menemukan arsip Yukio sehingga untuk sementara waktu Reiko masih dapat menghidupi mimpinya bahwa perang akan segera usai dan ia akhirnya akan bisa menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Mimpi tentang hidup di surga yang sudah mengabu bahkan sebelum dimulai...
"Hiro Miyamoto," teriak perempuan itu sambil memeriksa isi map coklat tipis. "Ditulis di sini ia ada di Resimen Dua, Unit A, yang sekarang ini ada di suatu lokasi rahasia di Tokyo utara, menunggu diberangkatkan ke Asia Tenggara. Saya tidak bisa mengatakan lokasi persisnya sebab kami tidak ingin anggota keluarga mengerubungi tentara-tentara kami dan melemahkan tekad mereka untuk bertempur."
Sayuri melepaskan napas lega. Paling tidak Hiro masih hidup, tapi dengan keberangkatannya yang segera ke Asia Tenggara, tak ada yang tahu berapa lama ia masih bisa hidup.
Sebelum Sayuri bisa bernapas normal, Reiko menghambur ke depan dan bertanya dengan cemas, "Dan bagaimana dengan Yukio Aoyama? Ia tunangan saya, apa Anda punya kabar tentangnya?"
Hati Sayuri mencelos ketika ia melihat tatapan muram di wajah petugas itu sebelum ia menengadah dari berkas yang dibawanya dan berkata tanpa ekspresi, "Sepertinya data korban terakhir kami menunjukkan bahwa Yukio Aoyama tewas pada insiden pengeboman di Tokyo pada tanggal enam belas September."
Untuk sesaat, yang terdengar hanya gumam tak sabar dari orang-orang di belakang mereka. Tiba-tiba terdengarlah suara pukulan beruntun ketika Reiko menghantamkan kepalan tangannya ke loket berulang-ulang dan berkata tegas, "Tewas? Tidak, Anda pasti salah, tunangan saya tidak mungkin tewas! Kami akan menikah segera setelah perang ini selesai! Ini pasti lelucon yang tidak lucu, bukan?"
"Seandainya saja memang begitu, tapi tidak salah lagi, Yukio Aoyama tewas pada...."
Bahkan sebelum petugas itu menyelesaikan kalimatnya, Reiko menyerbu ke depan, meraih melewati panel kaca yang terbuka itu dan merampas map itu darinya. Dengan jemari yang begitu gemetar hingga map itu terkepak bagai sayap burung yang hendak terbang, Reiko menyusuri daftar nama di selembar kertas di dalamnya dengan kop "Korban."
"Yukio Aoyama," ucapnya seakan keheranan. Lalu dengan ratapan yang menggetarkan seluruh ruangan yang tiba-tiba sunyi itu, Reiko berteriak, "Tidak! Tidak! Tidak!...." Lalu ia pingsan di pelukan Sayuri.
Beberapa orang datang membantu dan bersama-sama mereka membopong Reiko ke suatu bangku. Dan meskipun sedang bingung, Sayuri melihat kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar terdiri dari perempuan menangis tersedu-sedu. Timbul suatu kelegaan aneh dalam dirinya bahwa mereka tidak berduka sendirian.
Tiga puluh menit kemudian barulah Reiko tersadar. Lalu air mata itu mulai mengalir mengiringi isakan-isakan memilukan yang lahir dari rasa sakit tak tertahankan milik jiwa dan hati yang terluka. Tak ada yang dapat dilakukan Sayuri selain memeluk temannya dengan segenap cinta dan dukungan yang dapat diberikan oleh tubuhnya serta membisikkan kata-kata penghiburan dengan suara serak dan rasa tak berdaya, sebab ia sendiri terluka oleh hilangnya masa muda, harapan, dan kebahagiaan Reiko yang lenyap bersama kematian Yukio pada malam serangan bom yang mengerikan itu.
Kemudian ia merasakan genggaman tangan Reiko menguat di saat sahabatnya itu duduk dan berbisik parau, "Hari itu di rumah sakit, waktu kau tak memperbolehkanku melihat jenazah yang kau tutupi dengan kain... itu Yukio, bukan?"
"Ya, Reiko, itu dia," jawab Sayuri. "Aku tak sanggup membiarkanmu melihatnya seperti itu, bisakah kau pahami itu? Kau harus mengingatnya sebagaimana ia biasanya, dengan senyum miring dan lucu yang kau sukai dan tangan pemain biolanya yang indah."
"Tidak, Sayuri, aku mau melihat jenazahnya. Itu satu-satunya cara aku bisa yakin kalau itu memang dia," jawab Reiko, suaranya terdengar datar dan rapuh. "Aku mencintainya, tak peduli bagaimana rupanya. Bawa aku kepadanya, aku mau melihat Yukio-ku."
"Apa kau yakin, Reiko?" tanya Sayuri, khawatir melihat wajah pasi temannya dan ketenangan yang tak lazim serta mengintimidasi yang ditunjukkannya. "Aku bahkan tak tahu apa ia masih ada di kamar jenazah rumah sakit... sudah lima hari yang lalu...."
Reiko tak menjawab, tapi ia sudah bangkit dan berjalan ke arah pintu. Sayuri mengikutinya sebab ia tahu tak ada yang bisa menghentikan Reiko. Dan kedua gadis itu berjalan sepuluh blok kembali ke rumah sakit dalam diam yang hanya sesekali diusik oleh suara penjual mi di jalan-jalan dan gang.
Sayuri harus berlari untuk bisa mengimbangi langkah-langkah lebar Reiko yang digerakkan oleh tenaga teramat besar dari duka yang mendalam. Tapi setidaknya Reiko tidak terpuruk oleh berita kematian tunangannya. Mereka terus berjalan hingga sampai di rumah sakit dan langsung menuju ke kamar jenazah. Sayuri tersiksa oleh penderitaan baru, apakah Reiko akan pernah memaafkannya atas hari ketika ia mengambil keputusan itu sendiri dan melenyapkan kesempatan Reiko untuk melihat Yukio terakhir kalinya?
Untungnya perawat jaga malam itu kenal Sayuri dan segera memeriksa daftar jenazah yang dibawa ke sana beberapa hari terakhir. Salah seorang perawat yang bernama Kyoko memandang dengan khawatir Reiko yang berdiri di pojok, seperti melamun. Kyoko berbisik, "Apa kau yakin ini ide yang baik memperbolehkan temanmu melihat tunangannya. Kau tahu, bukan, bahwa mereka semua nyaris tak ada yang sampai di kamar jenazah dalam keadaan utuh? Ada seorang gadis bulan lalu yang langsung histeris saat melihat suaminya dan ia sekarang dirawat di rumah sakit jiwa. Mereka bilang kecil kemungkinannya untuk sembuh."
"Aku tak tahu harus bagaimana lagi, tapi ia merasa inilah yang harus dilakukannya. Dan tak peduli apa yang kurasakan atau kupikirkan, aku tak bisa menghentikannya sekarang," jawab Sayuri. "Kurasa tak seorang pun berhak mencegahnya, maka meskipun bertentangan dengan keinginanku, kubawa ia kemari."
Kyoko mengangguk dan kembali memeriksa daftar itu sebelum kemudian mengangkat wajahnya dengan kerut di dahi.
"Mungkin masalah kita sudah selesai dengan sendirinya," bisiknya penuh makna kepada Sayuri penuh sebelum berkata dengan suara lebih keras, "sepertinya Yukio Aoyama sudah tidak di sini. Ia sudah dikremasi bersama dengan korban lainnya tiga hari lalu, sebab seperti yang kau tahu, tempat ini terlalu penuh. Maaf, tapi aku tak dapat membantumu."
"Dan... abunya...?" bisik Reiko.
"Abunya akan dikirimkan langsung ke keluarganya," jawab Kyoko. "Seandainya ada yang bisa kulakukan untukmu..."
"Tidak apa-apa... tidak apa-apa...." Reiko mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang. Dan dengan air mata deras menuruni wajahnya, ia melangkah pergi.
Selama dua hari, teman Sayuri yang remuk hatinya itu menolak makan dan minum, hanya berbaring di fiiton kotornya dan menangis di atas bantal yang masih lembap oleh aliran air mata sebelumnya.
"Biarkan aku mati," bisiknya ketika Sayuri mencoba membuatnya minum. "Aku mau bersama dengan Yukio, tolong tinggalkan aku dan biarkan aku mati!"
Pada hari ketiga, lemah karena kurang makan dan minum, Reiko tak sadarkan diri. Dan Sayuri sadar bahwa bagaimana pun caranya, ia harus memasukkan nutrisi ke tubuh Reiko atau menyaksikannya meninggal.
Perang berkecamuk di sekitar mereka dan persediaan medis yang sedikit itu hanya diperuntukkan untuk membantu mereka yang ingin hidup, bukan yang ingin mati. Sayuri yakin ia tak akan mendapatkan simpati dari rumah sakit tempat mereka melayani mati-matian, maka ia mengambil cara yang dulu pernah dipakainya menyelamatkan seekor anak anjing yang nyaris mati di Matsumoto.
Sayuri mengendap-endap masuk ke ruang perbekalan rumah sakit dan memasukkan dua kaleng sup ayam serta beberapa jarum suntik ke dalam tas kain kecil yang selalu dibawanya ke mana pun, lalu ia berlari kembali ke Reiko yang terbaring tak sadar di asrama mereka.
Sayuri hampir menangis waktu ia tak dapat menemukan pembuka kaleng di dapur kecil itu, tapi dengan penuh kesungguhan ia meraih sebilah pisau tajam dan menghunjamkannya ke kaleng sup ayam itu. Dengan itu ia berhasil membuat satu lubang kecil yang cukup untuk dimasuki jarum suntik dan ia menarik sup itu keluar. Tapi, ketika ia menyingkirkan pisau dari kaleng itu, pegangannya tergelincir dan pisau itu mengiris tangannya. Dan untuk sesaat, rasa sakit yang menusuk dan tiba-tiba itu nyaris merobohkannya.
"Bagus sekali! Persis yang kubutuhkan!" seru Sayuri sambil menenangkan dirinya di meja dapur yang tidak mulus dan membungkus lukanya dengan sapu tangan.
Kemudian ia lupa dengan rasa sakitnya sendiri ketika ia menghabiskan dua jam berikutnya menggunakan jarum suntik untuk pelan-pelan memompa sup ayam itu ke dalam mulut Reiko. Dan ia nyaris menangis lega waktu ia melihat temannya secara naluriah menelan cairan itu.
Satu jam sekali selama dua puluh empat jam Sayuri terus memasukkan air dan sup ke mulut Reiko, dan ketika napas temannya itu mulai teratur dan rona mukanya tak lagi pucat pasi, Sayuri tahu ia akan selamat.
Hanya mereka berdua di kamar itu, sebab teman-teman sekamar mereka tidak mau tidur di kamar tempat seseorang mungkin akan mati dan lebih memilih tidur di kamar lain. Sayuri merasa lega dengan kedamaian dan privasi yang diberikan oleh keputusan itu. Tetapi tetap saja ironis bahwa para perawat yang terbiasa dengan kematian dan luka bahkan dalam bentuk paling mengerikan bisa merasa takut untuk tidur di kamar tempat seorang rekannya mungkin akan mati!
Di subuh hari, Reiko bergerak dan berbisik parau, "Air... tolong beri aku air...."
Sayuri yang telah jatuh tertidur langsung terjaga mendengar suara temannya dan meraih tangan yang terulur ke arahnya itu. Tangan itu hangat dan nadinya kuat.
"Kau akan baik-baik saja sekarang, Reiko chan," katanya. Sayuri begitu lega hingga ia tak mampu bergerak sampai Reiko sekali lagi meminta air kepadanya. Maka ia langsung melompat berdiri dan berlari ke dapur untuk memenuhi satu gelas besar dengan air, lalu memandang dengan penuh semangat ke arah Reiko yang meminum air itu banyak-banyak.
"Ia benar-benar sudah pergi, Yukio-ku sudah pergi," kata Reiko datar ketika ia meletakkan gelas itu di atas tatami di samping futon-nyz. Matanya terlihat semakin besar dan bercahaya dalam kondisi penuh trauma dan keletihan yang sangat ini, tetapi tangannya secara mengherankan begitu bertenaga ketika ia mencabut dengan kuat simpang siur benang di futon yang sudah tak bagus kondisinya itu.
"Terima kasih telah merawatku, Sayuri. Aku baik-baik saja sekarang, aku hanya butuh waktu sendirian sebentar untuk mengenang masa-masa bersama Yukio."
"Baiklah, Reiko. Aku ada di luar kalau kau membutuhkanku. Dan jangan melakukan hal-hal bodoh! Aku tidak mau usaha dua puluh jam tanpa tidur untuk menyelematkanmu itu terbuang sia-sia!"
Sendirian di kamarnya, Reiko merebahkan diri kembali dan pandangannya diam menatap satu titik coklat di langit-langit. Titik itu membesar dan memenuhi ruangan, menyingkirkan kondisi memelas dan membosankan yang dimilikinya. Reiko berada kembali di Matsumoto dan sang omimai atau mak comblang resmi baru saja meninggalkan rumahnya setelah mengatur pertunangan Reiko dan Yukio.
Mereka akhirnya secara resmi bertunangan dan tanggal pernikahan sudah ditentukan. Dan bahkan sebelum pintu rumah itu menutup di belakang kepergian Tomoko san, mak comblang paling terkenal kota itu, Reiko sudah berlari riang menyeberangi halaman yang memisahkan rumahnya dengan rumah Yukio.
Biasanya, Rumiko, ibu Yukio yang membukakan pintu untuknya, tapi hari ini pintu itu terbuka dan Reiko langsung masuk.
"Aneh," pikirnya. "Sepi sekali. Di mana orang-orang?"
Lalu ia terlonjak kaget sewaktu sepasang lengan kuat melingkar di pinggangnya dan Yukio berbisik, "Kita sudah resmi bertunangan dan di Hari Ekuinoks kita akan menikah!"
"Oh, Yukio, kau membuatku takut," jawab Reiko. Tapi ia tertawa karena ia akan menikah dengan laki-laki yang dicintainya melebihi dirinya sendiri, sesuatu yang tak bisa dialami oleh begitu banyak gadis di masyarakat yang menjadikan perjodohan yang direstui oleh orangtua kedua pihak sebagai suatu syarat penting bagi pernikahan bahagia dan awet, sementara cinta hanya memiliki derajat yang rendah dalam urusan ini.
Di sore musim panas yang indah itu, tampaknya tak akan ada hal buruk yang bisa terjadi, meskipun awan perang sudah membayang di kejauhan cakrawala.
Orangtua Yukio ternyata pergi ke desa mereka yang berjarak seratus enam puluh kilometer untuk menghadiri perayaan tahunan obon musim panas, dan tahun ini Yukio memutuskan untuk tidak ikut karena urusan pertunangannya. Ketenangan dan kenyamanan sore itu begitu menggoda, dan tanpa sadar, mereka sudah berada di kamar Yukio. Mereka begitu terbawa oleh cinta dan nafsu sehingga apa yang terjadi kemudian terasa wajar dan tak terhindarkan.
Ketika selesai, mereka berpelukan lembut dan Yukio bergumam berulang-ulang di sela-sela rambut Reiko, "Maafkan aku, aku tak seharusnya melakukan itu, memanfaatkan kesempatan... "
Seks sebelum menikah sangat tak disetujui di masyarakat itu dan Reiko tahu ia seharusnya merasa shock dengan apa yang baru saja dilakukannya atau paling tidak menyesal. Tapi yang dirasakannya hanyalah rasa puas dan bahagia yang begitu dalam karena mereka telah bercinta dan ia telah memberikan dirinya kepada Yukio.
Bahkan nanti, ketika ia berbaring di atas futon-nya mendengarkan suara ibunya di dapur, perasaan itu masih terasa. Dan ketika datang surat yang memerintahkan Yukio untuk mendaftarkan diri ke wajib militer, satu-satunya penghiburan yang dimiliki Reiko adalah bahwa ia telah memberikan dirinya, dan apa pun yang terjadi, mereka telah memiliki saat-saat yang membuat cinta mereka tergenapi.
Reiko mengenang sore yang hangat dan penuh gairah itu serta suatu petang penuh suka duka tepat sebelum Yukio berangkat ke Tokyo untuk bergabung dengan kemiliteran, petang ketika mereka bercinta lagi di bawah mendung perpisahan yang menggelayut dan ketakutan akan penugasan ke luar negeri. Pada akhirnya, Yukio bahkan tak sempat dikirim ke luar negeri, melainkan mati di sini, di Tokyo. Mungkin itu yang diinginkannya, sebab Reiko tak bisa membayangkan tunangannya yang lembut dan terpelajar itu membunuh siapa pun dalam kondisi apa pun.
Yukio telah berjanji tak akan meninggalkannya, tapi ia telah pergi sekarang. Dan yang dimiliki Reiko saat ini hanyalah kenangan dan kerinduan abadi atas kehidupan yang hilang serta ingatan yang tak pupus atas dua sore menakjubkan saat mereka menggenapi cinta mereka. Ia teringat kata-kata para prajurit muda di jalanan, "Apa gunanya memberi kami ikat pinggang seribu jahitan ini? Toh kami akan mati, jadi kalian lebih baik membiarkan kami mencicipi tubuh kalian sehingga kami tidak mati tanpa pernah bercinta dengan perempuan!" Dan Reiko lega tunangannya tidak meninggal tanpa pernah bercinta dengannya, bahwa ia tidak mati sebagai perjaka.
Kehidupan mereka berdua telah berakhir bahkan sebelum dimulai, dan Reiko gemetar oleh akhir dari maut yang begitu nyata. Ia ingin sesegera mungkin kembali ke Matsumoto, tapi sebelum meninggalkan Tokyo, Reiko akan memastikan abu Yukio dikirim ke keluarganya atau kuil Yasukuni sehingga mereka akan selalu punya tempat untuk mendoakannya. Saat ini tak ada yang bisa dilakukannya selain mengatasi kenyataan kematian Yukio.
Bab 12 "APA kau yakin mau ikut denganku?" tanya Sayuri.
"Kau bahkan belum pulih dari traumamu sendiri, dan meskipun dengan segenap hati aku menginginkanmu menemaniku, tapi aku tak bisa memintamu melakukan ini."
Dua sahabat itu membicarakan ke putusan Sayuri untuk meninggalkan rumah sakit selama beberapa hari untuk mencoba mencari adiknya di unit pasukannya di suatu tempat di Tokyo. Awalnya mereka ragu untuk pergi tanpa pamit, tapi seorang perawat berkomentar tegas, "Kita ada di zona perang dan kita bisa saja mati waktu berjalan di luar sana. Kalau ada perawat yang tidak masuk, mereka hanya akan mengangkat bahu dan bilang kalau ia mungkin terbunuh dalam serangan udara atau yang lain, dan tak ada yang akan mempermasalahkannya!"
Tapi Reiko berkeras untuk pergi dengan Sayuri. Tak ada lagi yang bisa menahannya untuk terus ada di rumah sakit dan setiap hari menghadapi begitu banyak orang terluka, sekarat, dan meninggal tak akan mampu menghiburnya. Kematian Yukio telah membuatnya memiliki fobia perpisahan, rasa takut apabila ia berpisah dengan orang yang disayanginya, ia tak akan melihat mereka lagi. Reiko telah memutuskan bahwa ia tak mau lagi ditinggal dan melepas orang yang disayanginya pergi.
"Apa kau mau aku sendirian di rumah sakit tanpa dirimu dan mulai memikirkan tentang Yukio lagi?" serunya. "Aku jauh lebih baik pergi bersamamu daripada diam di sini!" Akhirnya Sayuri mengalah. Di suatu pagi kelabu dengan asap sisa serangan udara semalam masih menggelayut di udara, dua gadis itu meninggalkan asrama rumah sakit dengan hati-hati, hanya membawa satu tas kain kecil berisi baju ganti, beberapa biskuit kering, dan air.
"Aku tidak tahu kita akan naik apa," erang Sayuri ketika mereka mengamati kekacauan yang terjadi di sekitar mereka. Transportasi umum sudah lumpuh akibat pengeboman berulang-ulang yang menghancurkan kabel-kabel trem dan rel-rel kereta, dan beberapa bus kota reyot yang masih beroperasi biasanya penuh sesak serta kacau jadwalnya.
"Berjalan untuk mencapai Resimen Dua yang saat ini ada di utara Tokyo bisa memakan waktu berhari-hari dan kita tak punya waktu sebanyak itu! Aku tahu, kita harus berusaha mendapatkan sepeda. Hanya Tuhan yang tahu di mana dan bagaimana mendapatkannya, tapi kita harus berusaha." Setelah berjalan lebih dari sepuluh blok, Reiko melihat satu toko sepeda di gang kecil dan ia memanggil Sayuri dengan semangat, "Di sana ada toko sepeda. Mungkin aku bisa menukarkan kalung emasku untuk satu sepeda?"
Kedua gadis itu berjalan berhati-hati melewati genangan-genangan air hasil dari hujan semalam, menuju ke pemilik toko, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang membuat mereka tak nyaman dengan caranya memandangi mereka. Insting pertama mereka mengatakan untuk lari dari pandangan kurang ajar itu.
Sebelum Sayuri sempat berubah pikiran dan pergi dari sana, ia mengeluarkan gelang emasnya dari saku dan berkata, "Kami butuh sepeda dan bersedia menukarnya dengan gelang emas ini dan kalung emas milik temanku ini."
Pemilik toko masuk ke tokonya lalu mengeluarkan satu sepeda yang meskipun sudah jelek, tetap bisa digunakan. Sayuri berdoa supaya gelang emas ini sudah cukup untuk membuat pemilik itu memberikan sepeda ini.
Sayuri mencoba untuk mengabaikan sinar licik di mata pemilik toko dan caranya memandang, khususnya ke arah Reiko yang memang lebih cantik.
"Namaku Watanabe, dan ya, aku bisa memberimu sepeda ini, tapi tidak dengan imbalan perhiasan-perhiasan itu," kata laki-laki itu. Rasa dingin menjalari tulang punggung Sayuri. Laki-laki itu menatap tajam ke arah mereka, khususnya Reiko, dan apa yang diinginkannya tampak jelas dalam tatapan yang berkilat itu.
Sayuri mulai melangkah pergi sebab mereka tak mungkin melakukan perbuatan semacam itu untuk satu sepeda meskipun mereka sangat membutuhkan sepeda itu untuk mencari Hiro di Tokyo yang begitu kacau dan luas ini. Berani-beraninya laki-laki ini menghina mereka dengan tawaran yang keterlaluan ini?
"Ayo pergi, Reiko, ini bukan tempat untuk kita," katanya. Dan ketika temannya itu bergeming, Sayuri mencoba menariknya.
"Ayo pergi dari sini," desisnya dan mencengkeram lengan Reiko dengan begitu kuat sehingga mulai memerah dengan cepat. "Kau tak mungkin berpikir menyetujui tawarannya yang gila dan kurang ajar itu kan? Ayo pergi!"
"Aku memang memikirkannya," jawab Reiko datar. "Kita butuh sepeda saat ini, dan dengan kematian Yukio, tak ada lagi yang berarti bagiku."
"Kau bicara apa?" bisik Sayuri dengan marah. "Apa kau sudah gila? Ayo pergi dan kita akan cari cara lain."
Tapi Reiko sudah berjalan ke arah Watanabe dan berkata, "Aku akan melakukannya, tapi serahkan dulu sepedanya ke temanku dan kau harus memakai kondom."
Sayuri begitu terkejut sehingga untuk sesaat ia hanya mampu berdiri mematung. Dan ketika ia tersadar kembali dan mengejar Reiko sambil berteriak, "Jangan, Reiko, jangan lakukan itu!" temannya telah masuk ke dalam toko bersama Watanabe dan pintu masuk toko dibanting menutup di depan wajahnya disertai bunyi kunci diputar. Suara kunci itu akan menghantui Sayuri dalam waktu lama setelahnya.
Tak ada yang bisa dilakukannya selain jatuh berlutut dan berdoa meminta maaf pada Yukio karena ia tak dapat memenuhi janjinya untuk menjaga Reiko.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi? Apa yang dilakukan perang ini pada kami? Bahkan Reiko-ku yang begitu baik rela menjual dirinya demi sepeda?"
"Tidak, ini tidak mungkin terjadi, aku harus menghentikannya!"
Sayuri bangkit berdiri dan mulai menggedor-gedor pintu, menendang dan menggedor dengan sekuat tenaganya, tapi pintu kokoh itu dibuat untuk tahan serangan perampok, maka ia bergeming.
"Reiko! Keluarlah, tolong jangan lakukan itu!" teriaknya. Tapi hanya keheningan menusuk dan gema bunyi gedoran pintu yang sia-sia itu yang menjawabnya.
Ia hanya berdoa ini akan segera berakhir dan insiden itu tak akan menjatuhkan Reiko semakin dalam, sebab Reiko saat ini ada di sana, di tubir, menunggu untuk jatuh ke dalam kedalaman tanpa jalan kembali.
Reiko ada di dalam sana kurang dari setengah jam, tapi bagi Sayuri itu terasa bagai waktu tak terhingga tempat sirnanya harapan dan mimpi. Dan di dalam dirinya timbul suatu kemarahan getir yang baru terhadap pengeboman oleh pasukan Sekutu yang telah membunuh Yukio dan menjadikan Reiko seekor binatang. Pada saat itu, kalau saja ia memiliki kesempatan, Sayuri akan membunuh setiap orang dari musuhnya dengan tangan kosong. Kebengisan perasaan dan amarahnya membuatnya merasa takut sekaligus takjub. Ya Tuhan, apa ia juga menuju ke tubir jurang itu?
Pintu itu dibuka dan Reiko keluar sambil menatap lurus-lurus. Ia meraih sepeda yang sudah diempaskan Sayuri ke tanah ketika hendak mencegah temannya merendahkan diri untuk seorang laki-laki bernama Watanabe, lalu tanpa berkata-kata ia terus berjalan keluar gang menuju sinar matahari di jalan utama, tetap menatap lurus. Ekspresi di wajahnya begitu dingin dan kaku hingga membuat Sayuri terkejut dan tak mampu mengeluarkan kata-kata celaan yang telah siap di ujung lidah.
Sayuri berlari menyusulnya dan tak ada yang berbicara sampai mereka telah berjalan dua puluh blok dari trauma dan keterkejutan mereka itu. Reiko menyandarkan sepedanya ke tembok, berbalik dan menatap langsung ke arah Sayuri.
"Aku tahu kau pikir aku sudah gila melakukan itu," katanya. Ada semacam kekakuan baru di suaranya. "Tetapi jiwa dan rohku mati bersama Yukio dan tubuh kosong ini tak punya makna bagiku. Mungkin kau tidak tahu, Sayuri, tapi Yukio dan aku menggenapi cinta kami sebelum ia didaftar masuk militer, dan bagiku itulah kali terakhir tubuhku mampu mencintai seorang laki-laki. Apa yang terjadi barusan di sana tak ada artinya bagiku. Sekedar cara untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan. Dan tak perlu khawatir tentang penyakit atau kehamilan, aku menyuruhnya memakai kondom. Kalau kau mengkhawatirkan aku menyerahkan keperawananku pada laki-laki menjijikkan itu, aku toh sudah bukan perawan lagi.
"Aku tahu kau marah dan ingin memarahiku atas apa yang kulakukan, tapi aku tak butuh itu. Jadi bagaimana kalau kita tak akan membicarakan insiden ini lagi? Kita sudah punya sepeda dan kita bisa mulai mencari Hiro. Itu yang terpenting."
Meskipun Sayuri tak pernah membahas hal ini lagi karena ia sudah berjanji, tapi persoalan ini terus menggerogoti pikirannya, menghadirkan kembali gambar Reiko dan pintu yang menutup tepat di depan wajahnya di toko sepeda itu. Kemarahan membuncah atas insiden itu telah memantik ide baru yang sangat berani di pikirannya. Ide itu begitu ganjil sehingga bahkan Sayuri sendiri menganggapnya konyol dan tak mungkin. Tapi ia juga tahu bahwa bila saatnya tiba, rencana itu akan dijalankan. Tapi untuk saat itu mereka harus menemukan Hiro. Dan meskipun ia tak sampai hati menyentuh sepeda yang telah dibayar Reiko dengan tubuhnya, mereka berdua telah sangat lelah sehingga Sayuri mengalah dan mereka bergantian mengayuh dan duduk di boncengan sepeda itu.
Bab 13 SEPANJANG hari itu mereka bersepeda menyeberangi Tokyo, mengayuh sekuat tenaga menuju utara. Menjelang petang, mereka akhirnya sampai di suatu rumah sakit yang memasang spanduk besar berisi pengumuman mencari perawat.
"Yuk coba mendaftar di sana," usul Sayuri. "Setidaknya kita akan punya tempat bermalam dan makanan selama kita menyisir daerah ini untuk menemukan unit pasukan Hiro."
"Kalian diterima dengan senang hati. Kami benar-benar membutuhkan orang-orang dengan keahlian perawat dan keadaannya benar-benar buruk untuk setiap rumah sakit di Tokyo," kata petugas administrasi rumah sakit yang terlihat begitu bersemangat ketika kedua gadis itu tampak percaya diri menuju ke arah meja pendaftaran yang sudah jelek itu.
Setelah prosedur pendaftaran selesai, ia memberi masing-masing dari mereka dua set seragam dan menunjuk ke arah bangunan gelap yang terhubung dengan bangunan itu.
"Asrama perawat," katanya. "Kalian akan menemukan banyak tempat kosong di lantai atas sebab hanya sedikit perawat yang mau susah payah naik ke sana setelah jadwal jaga mereka berakhir!"
Ia benar, dan meskipun mereka nantinya mendapati tangga sempit yang seakan tak berujung itu sebagai sesuatu yang sungguh menyusahkan, saat itu mereka bersyukur mendapatkan tempat bermalam.
Ketika Sayuri menyandarkan sepeda berharga mereka di pegangan tangga lantai bawah, ia merasa lega karena tadi menghabiskan uang terakhir mereka membeli rantai kokoh dengan gembok. Lalu ia memaksa dirinya menaiki anak tangga yang mengintimidasi ini menuju lantai yang sedikit diminati orang itu.
Rumah sakit ini hanya ukurannya saja yang lebih kecil daripada yang di Tokyo pusat. Satu kesamaan yang begitu mencolok adalah selalu adanya hal yang mengingatkan mereka pada perang yang masih berkecamuk, mulai dari sedikitnya tenaga perawat, persediaan medis, hingga peralatan.
Dengan sistem administrasi yang lebih fleksibel di rumah sakit ini, Sayuri akhirnya memberanikan diri untuk meminta waktu istirahat beberapa jam setiap minggunya dan mereka memanfaatkan waktu yang sangat berharga ini untuk bersepeda menyisir daerah itu, mencari pasukan Hiro. Sampai sejauh ini mereka belum mendapatkan apa-apa dan Sayuri mulai merasa tertekan, tak yakin apakah mereka akan pernah menemukan adiknya.
Suatu hari, secara kebetulan, Sayuri bertemu dengan seorang prajurit yang terluka sewaktu latihan tembak. Dan sementara Sayuri merawat lukanya, ia bercerita tentang adiknya dan bagaimana ia dan Reiko telah berusaha mati-matian mencari unit pasukannya.
"Dia di resimen berapa?" tanya prajurit itu sambil lalu. Tapi ketika Sayuri memberitahunya nomor resimen dan unit Hiro, ia jadi bersemangat.
"Kebetulan sekali! Itu unitku!"
Sayuri begitu girang hingga menjatuhkan kotak perban yang dipegangnya dan gerakannya yang tiba-tiba itu menarik lepas perban yang membungkus luka prajurit itu sehingga si prajurit menjerit kesakitan.
"Maafkan aku! Aku hanya tak menyangka kau ada di unit yang sama dengan adikku! Tolong beritahu aku di mana dia!"
Prajurit itu mengeluarkan secarik kertas dan pensil lalu menuliskan sebaris alamat.
"Ini lokasi persisnya," katanya. "Tapi kalau kau mau menemui adikmu, sebaiknya cepat, karena seluruh resimen akan diberangkatkan ke Singapura minggu depan."
Malam itu, tanpa mempedulikan bahaya bepergian setelah gelap, Sayuri dan Reiko menyelinap keluar rumah sakit dan berjalan hampir satu kilometer untuk mencapai satu kompleks gedung berwarna abu-abu kusam yang dijaga oleh begitu banyak tentara bersenjata.
"Kalau Hiro memang ada di sini, apa menurutmu mereka akan mengizinkan kita bertemu dengannya?" bisik Reiko. Suaranya yang gemetar hebat menunjukkan dengan jelas bahwa ia terkesima oleh keberadaan pasukan bersenjata dalam jumlah besar itu.
Tapi dengan cepat ia menguasai diri lalu berjalan dengan berani dan tersenyum sangat manis kepada seorang prajurit yang terlihat paling muda.
"Bisakah kau membantu kami?" tanyanya membuka pembicaraan. "Temanku mencari adiknya, Hiro Miyamoto, yang tergabung dalam Resimen Dua Unit A, yang katanya ditempatkan di sini. Kami berdua perawat yang mengabdi kepada negara, sama sepertimu, dan kami sudah berjalan jauh dari rumah sakit kami di Kichijoji."
"Keluarga tidak diperbolehkan berada di sini, jadi aku harus meminta kalian untuk pergi," jawab prajurit itu dengan tegas. Tapi dari keengganan yang terdengar di nada bicaranya serta caranya mencuri pandang pada dada Reiko yang penuh, mereka berpikir ia akan bisa ditaklukkan dengan sedikit rayuan.
Mereka benar. Setelah "pesona perempuan" Reiko me-naklukannya, beberapa menit kemudian, ia menyuruh mereka menunggu sementara ia masuk untuk memanggil Hiro dan menyelundupkannya ke pos penjaga. Menit-menit berlalu dengan begitu lambat dan mereka sudah berpikir akan diusir sewaktu-waktu.
Mereka sudah sangat ketakutan ketika mendengar langkah-langkah cepat di jalan berkerikil itu, tetapi rasa takut mereka berubah menjadi suka cita ketika sosok Hiro yang begitu mereka kenal tampak berlari ke arah mereka dengan senyum tak percaya menggaris di wajahnya.
"Sayuri! Aku tak percaya kau ada di sini! Apa yang kaulakukan di Tokyo?"
"Reiko dan aku berangkat ke Tokyo untuk menjadi perawat dan mencarimu. Oh, Hiro, kami hampir menyerah mencarimu di kota yang begitu besar dan kacau ini!"
"Kau terlihat berbeda, Hiro," kata Reiko. "Lebih kurus dan kulitmu begitu coklat."
Juga lebih keras dan sinis, pikirnya. Tapi ia tak mengatakan itu, tak ada gunanya.
"Ya, gara-gara semua latihan yang kami jalani," jawab Hiro, dan mereka seakan melihat perubahan wajah yang menunjukkan bahwa ia tak mau membicarakan latihan-latihan itu. "Apa kalian tahu unitku akan dikirim ke suatu pulau bernama Singapura? Kami berangkat minggu depan dengan kapal Hino Maru."
Pengumuman Hiro itu disambut oleh kesunyian yang panjang, sebab tak satu pun dari mereka dapat menemukan kata-kata untuk menanggapi sesuatu yang begitu mengancam dan menakutkan, suatu kemungkinan yang mereka takutkan selama ini.
Lalu sosok prajurit muda yang bangga itu berubah menjadi adik Sayuri yang biasanya ketika ia berkata dengan suara rendah, "Meskipun aku bangga bisa mengabdi kepada bangsa kita, jauh di dalam hatiku aku sangat takut, Sayuri!" Kakak beradik itu lalu berpelukan dalam diam. Masing-masing merasakan ketakutan dan kesedihan yang sama atas perpisahan yang telah dekat serta pertanyaan kapan mereka akan bertemu lagi, jika mereka memang bertemu lagi.
"Apa kau akan memberi tahu ayah dan ibu tentang ini?" tanya Hiro pada akhirnya. Sayuri melihat mata adiknya berkaca-kaca dan ia merasa lega bahwa di dalam diri prajurit yang terbakar matahari dan tampak tangguh ini masih ada sosok adiknya yang memiliki ambisi berkobar-kobar untuk meraih gelar sarjana hukum di Universitas Tokyo begitu perang ini berakhir.
Kemudian kebersamaan mereka disela oleh prajurit yang tadi membawa Hiro keluar. Ia buru-buru menghampiri dan berbisik, "Atasan kami sedang menuju kemari. Cepat, ia harus kembali. Kami akan dihukum sangat berat kalau ketahuan melanggar aturan militer."
Setelah satu pelukan singkat, Hiro buru-buru melewati pos penjaga, kembali ke dunia latihan militernya yang keras, hanya membalikkan badannya sekali untuk melambai kepada mereka. Akhirnya sosok sedih yang berusaha kuat dalam balutan seragam militer itu berbelok, menghilang ke dalam suatu dunia rahasia di luar jangkauan mereka.
Sayuri menangis ketika mereka berjalan meninggalkan kamp militer itu karena adiknya akan pergi ke tempat yang paling ditakuti oleh setiap keluarga yang anggotanya mengikuti dinas militer, daerah tropis tempat mereka harus membunuh atau dibunuh.
Minggu berikutnya, saat Sayuri beristirahat sejenak di ruang staf rumah sakit, terdengar siaran radio dipotong oleh berita keberangkatan Hino Maru yang membawa pasukan tambahan ke Asia Tenggara. Sayuri berdoa untuk keselamatan kapal itu dalam perjalanannya melintasi Samudera Pasifik.
Beberapa hari kemudian, Hino Maru kembali menjadi berita. Tapi kali ini karena kapal itu telah tenggelam ditor-pedo oleh kapal selam Amerika. Semua muatan dan semua yang berlayar dengannya tak ada yang selamat.
Sayuri sendiri terkejut mendapati dirinya begitu tenang meskipun Hiro berada di kapal itu. Dan bahkan sebelum pihak militer mengeluarkan daftar orangyang tenggelam bersama dengan Hino Maru, Sayuri sudah tahu adiknya telah tiada. Tetapi pada hari-hari setelahnya, ketenangan menakjubkan itu dikalahkan oleh amarah yang bergelora. Sayuri bersumpah ia akan membalas mereka karena membunuh adiknya. Dann gagasan ganjil yang selama ini bercokol di pikirannya kini semakin menguat dan mewujud.
Minggu berikutnya adalah hari ulang tahun Reiko. Mereka memutuskan menggunakan uang saku mereka untuk makan malam di kedai yakitori dekat sana. Sayuri meminjam kamera milik salah satu dokter yang berusaha mendekatinya selama berminggu-minggu dengan janji akan mempertimbangkan pergi berkencan dengannya asalkan ia mampu meminjamkan kameranya malam itu.
Bagi kedua gadis itu, malam itu tak terlupakan. Aroma harum daging sate yang dibakar mengingatkan mereka pada rumah dan sate buatan ibu mereka yang memenuhi seluruh rumah dengan asap harum ketika dibakar di atas panggangan arang.
Mereka mengabadikan kejadian malam itu dengan kamera yang dipinjam Sayuri. Foto Reiko tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan foto mereka berdua di belakang piring-piring berisi yakitori panas dan sake mu-rahan di zaman perang.
Malam itu tak ada bunyi sirine yang menakutkan maupun bumbungan asap sisa dari bom musuh. Bahkan langit terlihat sedikit berselimut bintang.
Tetapi ketentraman yang indah itu tak bertahan lama. Beberapa hari setelahnya, ketika mereka bersiap pergi ke rumah sakit untuk giliran jaga agak siang, sirine berbunyi diikuti oleh kegopohan orang-orang menuju bunker anti-bom terdekat. Ketika mereka bergegas keluar dari asrama, tiba-tiba Reiko berhenti dan hendak kembali.
"Apa yang kaulakukan?" teriak Sayuri menengahi raungan suara sirine.
"Kau pergilah dulu, akan kususul," Reiko balas berteriak.
"Kalungku yang berliontinkan foto Yukio tertinggal di dalam. Aku harus kembali untuk mengambilnya."
"Jangan, Reiko, biarkan saja. Setelah peringatan bom ini berakhir, kita akan mengambilnya. Cepat, kita harus masuk ke bunker! Kembali ke sana sangat berbahaya. Ayolah, cepat!"
Ia mencoba meraih lengan Reiko, tapi temannya itu sudah berlari ke arah asrama meskipun raungan sirine terdengar semakin keras dan orang-orang berhamburan ke segala arah. Setelah itu, dan sepanjang hidupnya kelak ketika ia berusaha mengingat kejadian mengerikan pagi itu, Sayuri tak tahu apa persisnya yang terjadi, yang jelas tiba-tiba ada kilatan-kilatan cahaya dan ia merasa tubuhnya tersapu oleh gelombang puing-puing dan tubuh-tubuh manusia menuju satu lubang hitam yang menelannya.
"Jangan dorong aku ke dalam! Keluarkan aku dari sini!" Hanya itu yang ia ingat diteriakkannya sebelum ia tersedot ke dalam kegelapan yang pekat dan merampas ingatannya.
Bab 14 KETIKA siuman, Sayuri seakan merasa terperangkap, sekujur tubuhnya seperti diikat jadi satu dan ia tak dapat menggerakkan masing-masing anggota tubuhnya. Ia berharap mati dalam ledakan itu sebab begitu lebih mudah daripada harus bangun dan kembali menghadapi hidup. Demi Tuhan, kenapa ia masih hidup?
Ia mencoba bangun. Tapi setiap kali ia menggerakkan anggota tubuhnya, sakit yang ia rasakan membuatnya kembali tak sadarkan diri. Hari-hari berikutnya sebagian besar dihabiskan Sayuri dengan tidur, tapi terkadang ia berada dalam keadaan setengah sadar dan merasakan orang-orang bergerak dan berbicara di sekitarnya. Kian hari kian berkurang sakit yang dirasakannya saat bergerak.
Dengan kesadaran yang semakin pulih, ingatan tentang ledakan itu mulai kembali dan ia ingat melihat Reiko berlari kembali ke asrama untuk mengambil liontinnya... Reiko... apa sesuatu terjadi padanya? Terkutuklah rasa sakit dan perban-perban yang menahannya dari bangun untuk mencari temannya!
"Reiko... mana Reiko?" panggil Sayuri berulang-ulang sambil berusaha menggerakkan tangannya untuk mendapatkan perhatian orang. Tapi gerakannya begitu lemah sehingga tak lebih dari gestur tak berarti dan tak ada suara keluar dari bibir keringnya yang pecah-pecah....
Bahkan ketika seorang perawat datang untuk memeriksa kondisinya, ia berusaha bertanya tentang Reiko tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Hanya suara-suara tak jelas yang tak dapat dipahami.
Seseorang mencolok kakinya dan Sayuri meringis kesakitan. Lalu sosok berbaju putih itu menggangguk dan berkata, "Inderanya mulai bereaksi, jadi yang satu ini akan sembuh dalam hitungan minggu."
"Hitungan minggu," erang Sayuri. "Aku tak bisa dikurung oleh perban-perban ini selama berminggu-minggu. Aku harus bangun dan mencari Reiko."
Akhirnya, berkat kemauan bajanya, dibutuhkan kurang dari dua minggu untuk mengobati tulang dan organ-orang tubuh Sayuri, dan dua minggu lagi untuk membuatnya mampu berjalan kembali setelah melewati latihan-latihan teramat menyakitkan di ruang rehabilitasi.
Selama rentang waktu itu, ia telah bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya tentang Reiko tapi tak ada seorang pun yang tahu. Terlalu banyak korban luka atau meninggal di setiap pengeboman sehingga rumah sakit tak bisa mengingat setiap pasien atau jenazah. Begitu ia bias berjalan, Sayuri menyeret dirinya memeriksa setiap bangsal menyedihkan rumah sakit ini demi mencari temannya. Sementara pikiran mengerikan terus mengganggu benaknya, suatu pikiran yang tak mau diterimanya. Reiko telah berlari ke arah asrama ketika bom dijatuhkan dan menghancurkan seluruh bangunan....
"Tidak," pikirnya. "Selama aku tak punya bukti bahwa ia telah tiada, aku harus memusatkan diri pada kenyataan bahwa ia masih hidup, di suatu tempat, menungguku menemukannya."
Tetapi seiring bergantinya hari, harapannya menyurut, dan hanya tersisa satu hal untuk dilakukan. Sayuri kembali ke asrama yang telah rata dengan tanah itu untuk mencari petunjuk apa pun yang bisa memberitahunya tentang nasib Reiko. Puing-puing beton dan baja dari yang dulunya kompleks hunian besar itu langsung menyadarkan Sayuri bahwa tak ada seorang pun yang berada di dekat bangunan ini pagi itu akan selamat. Dihadapkan pada kenyataan pahit itu, Sayuri jatuh berlutut, tak peduli dengan batu-batu tajam yang melukai kakinya dan menangis juga akhirnya.
"Kau sudah pergi, benar kan, Reiko? Karena itu kau membawaku ke sini untuk memberitahuku kan?"
"Tapi aku tak bisa terima ini, aku tak bisa terima kau sudah pergi dan aku tak akan pernah mendengar suara tawamu."
Terdengar langkah seseorang di belakang Sayuri dan tampaklah salah seorang perawat yang tinggal di lantai yang sama dengan mereka.
"Kau mencari Reiko ya?" tanyanya. "Kurasa ia terbunuh dalam ledakan itu."
"Kenapa kau bisa yakin?"
"Karena di antara jenazah yang dibawa ke rumah sakit, aku mengenalinya lewat jam tangan besar milik tunangannya yang selalu dipakainya, dan setelah itu, di daftar korban yang coba disusun oleh pihak rumah sakit, namanya tercantum," jawab perawat itu, nyaris terdengar senang sebab ia bisa memberikan bukti dari pernyataannya.
Sayuri tak mau mendengarkan lagi dan dengan isakan tertahan ia berpaling dari perawat itu dan mulai berjalan pelan ke arah bangunan yang hancur tempat Reiko terbunuh, tersandung puing-puing dan menitikkan air mata terakhir dalam hidupnya.
Sesuatu diterbangkan angin lembut di antara puing-puing itu, angin yang selembut suara Reiko yang menenangkan. Lalu Sayuri membungkuk, menemukan foto temannya itu yang tertawa ke arahnya sambil memegang dua tusuk yakitori yang dibuat membentuk tanda V Foto yang mereka ambil pada makan malam terakhir mereka di kedai yakitori untuk merayakan ulang tahun Reiko itu entah bagaimana selamat dari ledakan dan tergeletak di sana, menunggu Sayuri untuk menyelamatkan dan menyimpannya selama sisa hidupnya.
Seketika perasaan putus asa dan kesepian yang dalam membanjiri Sayuri, lalu ia merasakan rasa sakit itu berubah menjadi sekeras baja. Sayuri berbisik pada foto tersenyum Reiko, "Aku akan membalas dendam pada orang-orang yang melakukan ini padamu, Yukio, dan adikku Hiro. Dan mulai sekarang aku hanya akan hidup untuk tujuan itu, aku berjanji kepadamu. Beristirahatlah dalam damai, temanku!"
Dalam pikirannya yang kalut, angin sepoi itu mulai menguat menjadi badai kecil dan ia mendengar suara Reiko berbisik dari jauh, "Tidak, Sayuri, jangan. Lanjutkan hidupmu, cobalah bertahan hingga akhir perang dan bangun kembali hidupmu. Jangan pikirkan tentang balas dendam! Ingat apa yang selalu kita katakan? Perang ini membuat orang-orang menjadi gila dan jumlah yang kita bunuh sama banyaknya dengan jumlah orang-orang kita yang terbunuh... ini saatnya untuk memaafkan dan melupakan semuanya...."
"Tidak, Reiko," teriak Sayuri. "Kau tak mengerti. Kau sudah mati, jadi kau tak merasakan beban berat tak tertahankan untuk hidup dan mengingat semuanya. Tak akan ada maaf dan demi Tuhan, aku akan membalas dendam pada orang-orang yang menghapus senyummu dan mencabut nyawa adikku!"
Angin dan suara Reiko perlahan menghilang, digantikan oleh kesunyian yang sedih. Tubuh Sayuri gemetar hebat atas ketidaksetujuan dan kesedihan mendiang temannya itu, tapi ia tak akan menyerah.
Bab 15 DUA minggu berselang setelah pengeboman yang merenggut nyawa Reiko, Sayuri masih saja tak mampu berkonsentrasi pada pekerjaannya di rumah sakit. Ia dipenuhi oleh keinginan mewujudkan rencana ganjil untuk balas dendamnya tapi tak tahu harus mulai dari mana. Menjadi perawat sudah tak ada artinya lagi baginya dan ia ingin ada di garis depan, menembak dan membunuh sampai semua kemarahan ini terpuaskan.
Tahun baru datang dan pergi, dan mereka telah memasuki tahun 1945 tetapi Sayuri masih belum bisa melupakan kema-tian Reiko yang tragis atau menemukan unit kemiliteran Jepang yang mau menerima perempuan sebagai prajurit. Ia menghabiskan setiap saat luangnya di ruang staf, tekun mendengarkan radio tua yang menyiarkan berita kekalahan Jepang dalam perang, sementara di malam hari ia terbaring gelisah di atas/z/to72-nya. Lalu pada suatu petang, suatu program radio merebut perhatiannya. Siaran itu mengumumkan bahwa sang jenderal sedang merekrut para pilot sebagai senjata terakhir mereka dalam menghancurkan musuh, yaitu dengan menabrakkan pesawat-pesawat mereka pada kapal pembawa pesawat terbang yang sedang bergerak menuju Jepang. Para pemuda dengan kemarahan yang sama yang dimiliki Sayuri berbondong-bondong menanggapi pengumuman itu, para pemuda dari keluarga-keluarga dan universitas-universitas terhormat.
Sayuri menajamkan telinganya untuk menangkap keterangan apa ada perempuan yang bergabung di antara mereka. Tidak ada. Semuanya laki-laki.
"Mengapa harus khusus laki-laki?" pikirnya marah. "Perempuan juga punya hak untuk merasakan dan diberi pilihan untuk mengorbankan dirinya!"
Malam itu sebelum tidur, ia mengeluarkan foto tersenyum Reiko dan berbisik, "Aku ingin jadi pilot pesawat tempur. Aku bisa mendengarmu menertawakanku dan memintaku untuk realistis karena perempuan tak bisa jadi pilot pesawat tempur. Tapi kau tahu, Reiko? Aku akan menemukan cara untuk ada di atas sana, di dalam pesawat yang kupacu mesinnya menuju musuh kita sampai mereka terbakar layaknya kau terbakar hidup-hidup waktu itu, tanpa ampun!"
Orang tua Sayuri datang ke Tokyo beberapa minggu kemudian dan mencoba membujuknya kembali bersama mereka ke Matsumoto.
"Di mana-mana orang bilang bahwa pengeboman yang dilakukan Amerika terhadap kota-kota besar macam Tokyo akan semakin parah, dan tiap hari kami bertambah tua karena mengkhawatirkanmu," kata ayahnya. "Kumohon, pulanglah bersama kami. Aku tak bisa berjanji kita akan lebih aman berada di Matsumoto, tapi paling tidak kita akan bersama-sama. Tolonglah, Sayuri, kami sudah kehilangan seorang putra, kami tak bisa kehilanganmu juga."
Untuk sesaat Sayuri tergoda untuk melupakan saja tentang perang, balas dendam, dan rencana-rencana ganjilnya, lalu pulang saja ke Matsumoto, dimanjakan oleh keluarganya dan kembali menjalani kehidupan biasa. Tapi lalu tekadnya membulat dan ia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa, Ayah. Tidak sebelum aku menyelesaikan apa yang harus kulakukan."
Mereka makan bersama, dan ketika ia melambaikan tangan kepada mereka di stasiun, Sayuri tahu bahwa bila berhasil menjalankan misi berbahayanya itu, ia mungkin tak akan bertemu mereka lagi.
Tapi tiga bulan setelahnya, ia masih mendapati dirinya berada di rumah sakit, sedikit pun tak beranjak mendekati tujuan yang ingin dicapainya. Dan meskipun ia mendengarkan setiap propaganda tentang pilot-pilot Jepang yang tak terkalahkan, tak satu pun memberi tahu ke mana seseorang harus pergi atau kepada siapa ia harus menghadap bila tertarik untuk bergabung dalam program itu. Seakan-akan orang yang ingin menjadi pilot sudah langsung tahu harus pergi ke mana!
Lantas suatu petunjuk datang secara kebetulan. Sayuri tengah merawat luka-luka dua orang prajurit selama hampir seminggu dan tak terlalu memperhatikan mereka selain berbasa-basi dan merasa mereka sedikit berbeda. Merasa ingin tahu, ia memerika catatan medis mereka dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya yang telah menjadi begitu bosan kini hidup kembali, seakan baru dikejutkan oleh arus listrik.
"Kapten T. Higuchi dan Kapten Y. Nagano, pilot angkatan udara," bacanya pelan.
Tidak sulit untuk mengobrol dengan dua orang pilot yang terluka, kebosanan, dan terkurung di rumah sakit, serta sangat membutuhkan teman perempuan, tak peduli perempuan itu berminyak hidungnya, berseragam kusut, dan memiliki ide-ide gila.
Sayuri lalu mengetahui bahwa mereka adalah pilot-pilot yang pesawatnya jatuh ditembak, namun mereka menggunakan parasut untuk menyelamatkan diri meskipun tak luput dari patah tulang dan luka bakar. Dan setelah dipulangkan dari rumah sakit, mereka akan kembali ke unit mereka dan menerbangkan pesawat tempur lagi.
"Pasti diperlukan keberanian besar untuk berada di atas sana, mengendalikan dan menerbangkan mesin-mesin besar berbahaya itu," kata Sayuri santai ketika ia mengganti perban pada luka Kapten Higuchi.
"Awalnya memang begitu, tapi sekarang itu sudah mengalir di darah kami," jawab pilot muda itu. "Dan kami tak sabar untuk kembali ke unit kami dan terbang lagi."
Jantung Sayuri berdegup begitu kencang sampai ia sulit bernapas, tapi ia meneruskan dengan tenang, "Ada banyak pemberitaan di radio dan surat kabar belakangan ini tentang pilot. Sepertinya bangsa kita sekarang lebih banyak bergantung pada angkatan udara untuk menghancurkan musuh ya?"
"Ya," jawab Kapten Nagano, pilot yang satu lagi. "Dan kami ingin ikut ambil bagian."
"Apa semua pilot itu laki-laki, atau perempuan juga boleh bergabung?"
"Tidak, semuanya laki-laki. Militer tidak percaya perempuan punya keberanian dan tekad baja untuk menerbangkan jet tempur dan pesawat pengebom," jawab Higuchi.
"Kenapa tidak? Misalnya aku. Aku bisa saja ingin jadi pilot pesawat tempur."
"Kau?" Nagano memandang Sayuri dengan tak percaya. "Apa kau tahu bagaimana berbahayanya berada di udara yang dipenuhi oleh pesawat musuh? Seperti hara kiri di udara. Hanya saja hara kiri itu mati untuk kehormatan diri, sedangkan kami terbang dan mati untuk kehormatan bangsa."
"Hm, aku sendiri tidak melihat alasan mengapa perempuan tidak bisa jadi pilot," kata Higuchi.
"Terima kasih telah berpikir seperti itu!" Sayuri tersenyum, lalu bertanya dengan santai sebab ia tak terlihat terlalu agresif atau bersemangat sehingga membuatnya takut. "Ke mana kalian akan pergi untuk mendaftar di program pilot itu?"
"Oh, pangkalan perekrutan utama ada di daerah Mitaka, dan besok lusa kami akan langsung ke sana setelah keluar dari rumah sakit. Tak ada waktu yang boleh terbuang, sebab setiap hari kapal-kapal musuh itu semakin mendekati Jepang dan mereka harus dihentikan," jawab Nagano.
"Apa kalian takut berangkat menjalankan misi yang begitu berbahaya sehingga setiap tinggal landas bisa berarti kematian kalian?" tanya Sayuri.
Kapten Nagano menggelengkan kepala dan menjawab, "Mungkin aku akan merasa takut di saat-saat menjelang kematianku, tapi tidak sekarang. Tidakkah kau tahu, tak ada cara lain untuk menyelamatkan Jepang, dan begitu pasukan Sekutu mengambil alih Okinawa, kita tamat! Menurut pen-dapatku, kita harus melindungi kaisar kita, negara kita, ibu kita dan saudara perempuan kita meskipun itu berarti mengorbankan nyawa kita!"
Di hari kedua pilot itu meninggalkan rumah sakit, Sayuri mendapatkan alamat pangkalan udara itu dan ia melepas kepergian mereka di tangga rumah sakit. Ia tahu besar kemungkinan mereka tak akan selamat dalam perang ini, lalu ia menuruti dorongan hatinya dan mencium pipi mereka. Wajah kedua pilot tangguh itu masih bersemu ketika mereka membalikkan badan untuk melambaikan tangan ke arah Sayuri sebelum berbelok dan menghilang, mungkin untuk selamanya.
Sayuri memandangi mereka hingga keduanya telah menghilang di kejauhan, lalu ia bergegas kembali ke asrama. Ia menghabiskan dua hari berikutnya memikirkan apa yang harus ia lakukan, tapi pada hari ketiga Sayuri bangun dengan kebulatan tekad bahwa ini saatnya untuk memilih antara mewujudkan rencana nekatnya atau kembali ke Matsumoto untuk menjalani kehidupan di masa perang tanpa ada penyesalan sedikit pun.
Sayuri ragu-ragu selama lima menit sebelum akhirnya memutuskan. Dan sebelum ia terkesima oleh keberanian keputusannya, ia buru-buru mengemasi beberapa barang miliknya ke dalam tas kain kecil dan mengikatnya sambil berusaha mengabaikan perlawanan yang timbul dalam dirinya. Hari masih gelap dan subuh baru saja akan menjelang, tapi itulah waktu terbaik untuk pergi, sebelum ada yang terbangun dan menanyainya.
Ia menahan tawa kaku ketika memikirkan apa yang akan dikatakan para perawat lain jika mereka tahu ia akan pergi untuk meretas baju zirah Angkatan Bersenjata Kerajaan yang kuat, tak terkalahkan, dan kejam itu dan mencoba mendaftar menjadi pilot.
"Gila! Tak tahu diri! Mustahil!"
Mawar Jepang Karya Rei Kimura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara tawa mengejek mereka membahana di ruangan, memantul di dinding-dinding dan menusuk telinganya. Tapi ia segera mengenyahkan bayangan itu dan menuliskan catatan untuk seorang perawat di tempat tidur sebelah, Yumiko, yang telah menjadi cukup akrab dengannya.
Sayuri menuliskan bahwa ia pulang ke Matsumoto untuk keperluan keluarga yang mendesak dan meletakkan catatan itu pada hiasan kecil berbentuk hati yang disukai perawat yang sekarang masih tertidur itu, tepat di sampingnya, sebelum Sayuri keluar diam-diam dari ruangan itu.
Udara pagi di luar begitu menyegarkan dan Sayuri menghirupnya dalam-dalam, mengisi paru-parunya. Itu berhasil membersihkan kepalanya dari sisa rasa kantuk dan keraguan tentang kebenaran tindakannya.
Mitaka terlalu jauh untuk dicapainya dengan sepeda, maka Sayuri memutuskan untuk naik kereta pertama pukul enam pagi. Ia telah meninggalkan sepedanya di asrama beserta catatan untuk Yumiko agar mempergunakannya sebaik mungkin sebab ia tak akan membutuhkannya lagi. Air mata menggenang di matanya ketika ia mengingat apa yang dilakukan Reiko supaya mereka mendapatkan sepeda itu, dan Sayuri mengusap sepeda merah kusam itu untuk terakhir kalinya.
Kereta dipenuhi oleh orang-orang yang berangkat di pagi hari serta kerumunan prajurit berseragam yang berpindah dari satu kamp militer ke kamp militer lain. Dan ketika orang-orang yang berdesak-desakan itu mendorong Sayuri masuk, ia tiba-tiba diserang rasa panik dan berusaha keluar dari ruangan tertutup yang menyesakkan itu. Tapi sudah terlambat, pintu-pintu gerbong sudah tertutup dan kereta sudah bergerak meninggalkan stasiun, awalnya pelan lalu kian lama kian cepat diiringi bunyi gesekannya dengar rel yang telah tua.
Sayuri menemukan pangkalan udara Mitaka dengan mudah. Jika ia mengharapkan suatu bangunan yang spektakuler, ia tentu kecewa. Pangkalan udara itu hanya sekelompok gedung abu-abu yang seragam, yang nyaris tak terlihat di balik tembok beton tinggi dengan lapisan pagar kawat berduri yang mencengangkan. Namun pangkalan udara itu tetap memiliki aura wibawa yang mengintimidasi, dan jantung Sayuri berdegup begitu liar ketika ia berjalan menuju para prajurit bersenjata yang berjaga di pos jaga berkelilingkan kawat berduri yang tampaknya tak mungkin bisa ditembus.
"Aku seorang perawat dan aku datang untuk menemui atasanmu untuk bertanya apa ada posisi kosong di sini yang dapat kuisi untuk membantu pasukan kita," katanya, dan selain suaranya yang sedikit gemetar, tak ada yang bisa tahu betapa takutnya Sayuri.
Tetapi ia sedang beruntung, sebab penjaga yang memeriksa dokumen identitasnya dan mendaftarkannya pagi itu adalah orang baru dan dengan penuh semangat patriotis meyakini bahwa siapa pun yang datang ingin mengabdi pada bangsanya tidak boleh ditolak. Ia mempersilakan Sayuri masuk dan menunjuk ke arah bangunan abu-abu rendah dan panjang di sebelah kiri.
"Pintu ketiga di bangunan itu. Tapi kau mungkin harus menunggu agak lama karena ini masih sangat pagi," katanya.
"Terima kasih, terima kasih banyak. Tak apa-apa, aku akan menunggu," jawab Sayuri lalu buru-buru melewati pos pemeriksaan untuk menuju bangunan yang ditunjukkan kepadanya sebelum penjaga itu berubah pikiran.
Dengungan suara mesin dari lapangan udara di belakang sana menjadi satu-satunya tanda bahwa kompleks sederhana ini adalah pangkalan udara bagi para pilot pemberani yang dielu-elukan sebagai pahlawan oleh masyarakat. Sayuri ingat pernah melihat poster-poster hitam putih terpampang di seluruh Tokyo yang menunjukkan bagaimana orang-orang mencium tanah dan berlutut setiap kali satu pesawat tempur melintas sebab pilot itu membahayakan jiwanya bagi negaranya dan kepada keberanian dan kehormatannyalah mereka berutang nyawa.
Pintu ketiga bangunan yang ditunjuk tadi membuka ke suatu ruangan besar dengan dinding abu-abu dan lantai linolium hijau yang jelek. Perabot yang ada berwarna coklat standar militer, dan seorang gadis duduk di balik salah satu meja, tampak tidak bahagia dan nyaris menangis menekan tuts-tuts mesin ketik tua.
Ia mendongak ketika Sayuri mendekati meja dan berkata dengan menyedihkan, "Apa kau datang untuk bertemu Kapten Taniguchi? Ia baru datang sejam lagi, jadi kau bisa duduk di sana dan menunggu. Ini adalah area dengan pengamanan ketat jadi pengunjung tak diperbolehkan berkeliling kompleks kecuali ditemani oleh petugas, jadi kurasa aku tak bisa mengizinkanmu keluar dari ruangan ini."
Terdengar dengungan keras di atas mereka ketika suatu pesawat terbang rendah dan gadis itu meringis seakan-akan suara itu menyakitinya.
Untuk orang yang bekerja di pangkalan udara, ia jelas membenci suara pesawat, pikir Sayuri terkesima, sebab baginya itu adalah suara paling menarik yang pernah didengarnya. Suara itu mengencangkan keberaniannya dan ia ingin berada di atas sana bersama dengan dengung mesin penuh tenaga itu.
Wajah tak ramah gadis itu tak menunjukkan tanda-tanda mau berbasa-basi, maka Sayuri duduk di kursi kayu keras dengan dudukan dari anyaman yang telah terkelupas hingga menusuk-nusuk Sayuri tanpa ampun selama sejam penuh. Lalu, seperti yang dikatakan, pintu itu terbuka dan seorang laki-laki tegap berseragam abu-abu melangkah masuk.
Gadis itu memberi hormat kepadanya namun suaranya tetap terdengar menyedihkan ketika mengumumkan, "Gadis ini datang untuk menemui Anda, Pak."
Meskipun batinnya bergemuruh tak karuan, Sayuri sendiri terkejut ketika ia mengambil tempat di kursi yang ditunjuk oleh Kapten Taniguchi dan dengan ketenangan menakjubkan ia menyatakan maksud kedatangannya dengan suara penuh keyakinan dan percaya diri. Ia tak pernah berkedip atau mengalihkan pandangan dari tatapan tajam pemimpin pasukan yang tampak tak suka basa-basi ini.
"Nama saya Sayuri Miyamoto dari Matsumoto, dan saya sebenarnya datang ke Tokyo untuk bekerja sebagai perawat. Dua penugasan terakhir saya adalah di rumah sakit di pusat Tokyo dan tugas sehari-hari saya adalah merawat korban pengeboman," katanya memulai.
"Baik, saya tidak punya waktu untuk mendengar semua itu," jawab Kapten Taniguchi tidak sabar, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah ketukan sepatu bot mengkilap di lantai beton yang dingin. "Intinya, apa tujuanmu kemari? Seperti yang kau lihat, ini pangkalan udara, bukan rumah sakit."
Sikap kapten itu sangat mengintimidasi dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mau berlama-lama berbicara. Tetapi Sayuri tak tergoyahkan, dan ia melanjutkan dengan penuh tekad, "Ya, saya tahu, Pak, ini pangkalan udara yang sangat khusus untuk melatih para pilot. Intinya, Pak, adik dan sahabat saya terbunuh oleh musuh, dan saya memiliki hasrat yang berkobar-kobar untuk membalaskan dendam mereka. Singkatnya, Pak, saya ingin direkrut sebagai pilot. Saya pikir tidaklah pantas saya hidup dan merasa aman sementara mereka meninggal."
Keheningan yang tiba-tiba melingkupi mereka, dan bahkan wajah gadis malang yang tanpa ekspresi itu menampilkan rasa shock atas permintaan absurd itu. Tetapi, di luar sangkaan Sayuri, Kapten Taniguchi tidak tertawa terbahak-bahak, suatu respons standar yang dikeluarkan oleh semua orang yang diberitahu tentang niatnya itu.
Malah, kapten itu memandangnya lekat-lekat seakan baru pertama kali menganggap Sayuri ada dan berkata dengan sangat serius, "Saya menghormati keputusanmu, dan secara pribadi, saya sama sekali tidak melihat alasan mengapa seorang perempuan tidak bisa menjadi pilot. Tapi peraturan militer dari para pemimpin tertinggi melarang kami untuk merekrut perempuan. Jadi saya khawatir saya harus menolak tawaranmu."
"Tapi," lanjutnya, "hasrat di hati orang-orang muda untuk mengabdi kepada bangsanya tidak boleh diacuhkan atau diubah begitu saja, dan saya berpikir kalau setidaknya yang bisa saya tawarkan kepadamu adalah pekerjaan di pangkalan udara ini. Kami memang membutuhkan juru masak, memang sama sekali bukan yang kauharapkan ketika datang kemari, tapi ini hal terbaik yang bisa saya tawarkan kepadamu, bekerja di pangkalan udara dan melayani pilot-pilot kita. Bagaimanapun, dengan memberi makan pilot-pilot ini, kau secara tak langsung terlibat dalam misi mereka. Kau akan menjadi salah satu dari beberapa perempuan di pangkalan ini dan, seperti yang akan kau lihat, pada dasarnya ini adalah kamp khusus laki-laki."
Sayuri tak bisa mempercayai nasib baiknya. Ia menyangka akan dipermalukan dan diusir keluar. Dan meskipun ini bukan yang diinginkannya, Kapten Taniguchi benar, ini hal terbaik dan yang paling mendekati menjadi pilot. Dan siapa tahu ia nanti pada akhirnya diperbolehkan menerbangkan pesawat. Kalau ia harus memasak untuk mencapai itu, maka ia akan melakukannya!
"Terima kasih, Pak, terima kasih," katanya, dan matanya bersinar oleh perasaan yang meluap-luap karena diberi kesempatan untuk bekerja di sana, tepat di samping para pilot pemberani, hidup, bekerja, bernapas, dan makan tepat bersama-sama mereka. Membayar semuanya itu dengan memasak tidak jadi masalah pada saat itu.
Ia diberi satu kamar sempit dengan ranjang dari baja dan satu kursi, dan hanya ada satu jendela kecil yang letaknya begitu tinggi hingga ia tak bahkan tak bisa mengintip keluar meskipun berjinjit. Meskipun lebih terasa seperti sel penjara, bagi Sayuri ruangan itu adalah surga jika dibandingkan dengan asrama rumah sakit yang penuh sesak, yang hanya memberimu sekitar setengah meter sebagai jarak terjauh dari teman sekamarmu.
Tapi tekanan dari beberapa hari terakhir mulai memengaruhi Sayuri dan malam itu ia kembali bermimpi buruk.
Ia bermimpi tentang Hiro, adiknya yang selalu takut dengan air sehingga tak ada bujukan, ancaman, bahkan olok-olok dari teman-temannya yang sanggup membuatnya masuk ke laut setiap kali mereka pergi ke pantai. Jadi mengapa ia ada di atas kapal, wajahnya pucat karena mabuk laut yang parah? Lalu, ketika ia bersandar di pagar geladak untuk muntah ke laut, satu bola api mendarat di kapal dan diiringi oleh jerit kesakitan, kobaran api yang telah membakar mereka kini mengepungnya dan menyedotnya ke dalam pusaran merah mendidihnya dengan jilatan-jilatan lidah api yang lincah dan rakus.
Kapal itu miring dan mengeluarkan bunyi erangan yang menyeramkan menyambut akhir nasibnya lalu patah menjadi dua. Ia melihat Hiro terseret dari asap berapi itu oleh gulungan air yang gelap lalu dilemparkan pada kedalaman samudera untuk menderita selamanya.
Sambil terengah-engah Sayuri terbangun, mendapati sekujur tubuhnya basah oleh keringat dan kedua tangannya berdarah karena kuku-kukunya sendiri yang menancap dengan kejam lantaran ia menggenggam kuat-kuat, turut merasakan derita adiknya, Hiro.
"Oh, Hiro," bisiknya. "Kau pasti menderita di dasar samudera itu, terkubur di bawah berton-ton air yang selalu sangat kau takuti! Apakah jiwamu akan tenteram kalau aku menjadi seorang pilot dan membunuh mereka yang telah menempatkanmu di makam berair itu? Akankah begitu?"
Bab 16 KEESOKAN harinya, ketika Sayuri menempati posisinya di dapur, ia menyadari kalau ini bukan pekerjaan mudah. Hanya ada satu lagi juru masak dan dua petugas dapur, dan bersama-sama mereka harus menyajikan makan tiga kali sehari kepada seluruh platon tentara angkatan udara yang lapar. Ukuran peralatan-peralatan dapurnya saja sudah begitu besar dan ketika ia mencoba mengangkat panci yang hampir separuh ukuran tubuhnya, ia hampir jatuh terguling.
"Aku tak akan bisa melakukan ini dan mereka akan menyuruhku pulang," ratapnya.
"Jangan terlalu khawatir, tak lama kau akan terbiasa dengan monster-monster ini," juru masak satunya, yang memperkenalkan diri sebagai Takagi, meyakinkannya. Ia seorang laki-laki pendek yang gempal dengan wajah bulat yang ceria yang selalu tampak siap tersenyum. Sayuri langsung menyukainya. Ia mengajak Sayuri keliling dapur dan menunjukkan cara mengoperasikan kompor terbuka raksasa yang kini sedang memasak sepanci besar sup miso shiro yang sudah mendidih untuk sarapan.
"Menu di sini sebenarnya sangat sederhana," jelas Takagi ketika merasakan kegugupan Sayuri. "Nasi, sup miso shiro, dan acar untuk sarapan, sup miso shiro, acar, dan ikan bakar untuk makan siang dan malam. Jadi, selama kau tahu bagaimana merebus sup dan membakar ikan serta memasak nasi, kau akan baik-baik saja di sini!"
"Nanti, ketika mereka membungkuk di atas panci-panci besar berisi nasi, keringat mengalir turun dari wajah mereka karena panas api sementara mereka mengaduk nasi kasar zaman perang dengan sendok kayu," Takagi bertanya, "Aku bisa melihat kau bukan juru masak, jadi apa persisnya alasanmu berada di sini?"
Sayuri diam cukup lama, bertanya-tanya berapa banyak yang dapat diceritakannya pada juru masak yang kebapakan ini, lalu ia menjawab, "Ini mungkin terdengar agak aneh, tapi aku sebenarnya datang kemari untuk menjadi pilot, tapi seperti yang bisa kautebak, aku ditolak karena aku perempuan. Lalu pemimpin tempat ini menawariku pekerjaan ini sebagai gantinya. Dan, yah, kupikir berada di sini sebagai juru masak lebih baik daripada tidak berada di sini sama sekali."
"Perempuan pilot," ulang Takagi hati-hati. "Yah, aku sama sekali tak melihat alasan mengapa militer memiliki segala macam aturan ini, tapi secara pribadi aku tidak setuju orang-orang muda sepertimu, tak peduli laki-laki atau perempuan, dikirim ke sana untuk bunuh diri. Apa kau tahu berapa lama dan berapa banyak usaha yang dibutuhkan bagi orantua untuk membesarkan seorang anak?"
"Ya Tuhan, aku benci perang ini, dan meskipun sepertinya Jepang mulai kalah, aku hanya ingin perang ini berakhir!"
Takagi membanting satu panci dan suara benturan baja dan tembaga itu memberi penekanan pada ledakan emosinya, dan Sayuri memutuskan bahwa ia bukanlah orang yang dapat dimanfaatkannya untuk melanjutkan rencananya. Tapi ia senang dengan juru masak yang kebapakan ini dan ia menikmati cerita-cerita laki-laki itu tentang desanya di Tohoku sementara mereka bekerja bersisian dalam panas menyengat di dapur pangkalan yang berventilasi buruk itu.
Suatu petang, Sayuri mengambil risiko sanksi indisipliner dengan berjalan ke lapangan udara untuk melihat dan menyentuh pesawat-pesawat yang ada. Itu juga pertama kalinya ia menyentuhkan jari-jarinya ke permukaan kelabu kehijauan suatu pesawat. Logam keras yang dingin itu mengirimkan arus energi yang begitu kuat ke dalam dirinya, dan pada saat itu ia bersumpah untuk naik pesawat itu, menggunakan hidupnya untuk membalas dendam kepada mereka yang telah mengambil nyawa Hiro dan Reiko, dan kenyataan pahit bahwa ia seorang perempuan tak akan menghentikannya.
Tapi hitungan minggu berubah menjadi bulan, dan Sayuri mulai khawatir ia akan terhenti di dapur ini selama perang berlangsung dan tak akan ke mana-mana. Suatu malam, ketika ia berbaring di ranjangnya yang sempit, ia memutuskan bahwa ini saatnya untuk bertindak nekat. Pagi tadi Takagi memberitahunya bahwa sekelompok relawan pilot dari Hokkaido dijadwalkan tiba besok dan dengan santai Sayuri bertanya bagaimana mereka bisa mendaftar untuk tugas itu.
"Mereka ini relawan untuk menjadi pilot kamikaze, kau tahu kan pilot kamikaze? Ada dua macam pilot kamikaze," jelas Takagi. "Adik lelaki terkecilku seorang pilot di pangkalan udara Kaneko dan beberapa minggu lalu, pemimpin mereka mengumpulkan seluruh unit di suatu aula besar dan menjelaskan bagaimana Jepang akan segera menghadapi serangan dari ribuan kapal musuh yang sedang mendekat dan para pilot diperlukan untuk menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal itu sebanyak mungkin untuk menghancurkannya dan menghentikan serangan terhadap tanah air mereka."
"Pemimpin mereka menjelaskan bahwa Jendral Ugaki telah membentuk unit-unit penyerangan khusus pilot kamikaze dan mereka membutuhkan relawan. Siapa pun yang siap mengorbankan diri mereka bagi negara diminta untuk maju ke depan dengan urutan Sangat Bersemangat, Bersemangat, Tidak Terlalu Bersemangat, dan mereka yang tidak ingin mengorbankan diri untuk menyelamatkan negara mereka bisa diam di tempat."
"Tak satu pun dari pilot-pilot itu yang berani berkata
tidak, malah mereka berebut untuk berada di kelompok Sangat Bersemangat atau setidaknya Bersemangat. Adikku menulis surat terakhir untukku sebelum ia terbang dengan misi kamikaze pertama yang mengemban misi satu arah. Dalam suratnya, ia mengaku bahwa ia takut mati tapi dengan begitu besarnya semangat rekan-rekan unitnya untuk mati demi negara mereka, ia tak punya pilihan selain bergabung dengan kelompok Bersemangat."
"Ia baru berumur dua puluh dua tahun dan ingin menjadi dokter, tapi ia tak pernah mendapatkan kesempatan itu," suara Takagi menjadi serak oleh pedihnya kehilangan yang dialaminya. "Adikku yang selalu bangga menjadi yang paling muda dan akan hidup lebih lama dari kami semua! Pendapat seperti apa yang kauharapkan dariku tentang pilot kamikaze?"
Sayuri mendengarkan cerita ini dengan takjub dan ia sekarang dapat merasakan perutnya menegang.
"Pilot kamikaze? Kamikaze... Angin Tuhan!" bisiknya.
"Ya, mereka diciptakan oleh Jendral Ugaki di bulan Februari tahun ini sebagai upaya terakhir Jepang untuk mengusir pasukan Sekutu dan misi mereka adalah menerbangkan pesawat mereka menabrak kapal-kapal pengangkut pesawat yang sekarang bergerak menuju pantai-pantai kita," jawab Takagi.
"Dan ini pangkalan untuk melatih pilot-pilot kamikaze?" bisik Sayuri.
"Tentu saja! Tidakkah kau tahu itu setelah berada di sini berbulan-bulan?" tanya Takagi. "Kau pikir tempat apa ini?" "Kau tak apa-apa?" tanyanya lagi sambil mengamati dari dekat wajah Sayuri yang telah berubah pucat aneh.
Sayuri mengangguk, tapi ketika cairan familiar itu mulai bergerak naik kerongkongannya, ia langsung berlari dan sampai di toilet tepat sebelum ia muntah. Cukup kebetulan, ia telah pergi ke pusat pelatihan pilot kamikaze, kelompok pilot elit yang dimuliakan oleh bangsa ini, yang menerbangkan pesawat mereka tidak untuk kembali. Akhir-akhir ini, radio meneriakkan propaganda yang intens atas "Angin Tuhan" Jepang, dan meskipun ia memuja mereka sebagaimana semua orang di Jepang, Sayuri tak seberani itu untuk menyamakan keinginannya yang semakin menguat ini dengan menjadi pilot bersama dengan para "Angin Tuhan" ini.
Perasaan-perasaan yang menjalari tubuhnya saat itu begitu meluap-luap dan nyaris tak tertahankan, dan jantung Sayuri mulai melompat-lompat liar sebab pada saat itulah rencana samarnya untuk menjadi pilot mengkristal menjadi suatu tujuan yang teramat jelas. Akhirnya ia tahu dan merasa sangat yakin bahwa ia ingin menjadi pilot kamikaze.
Meskipun sebelumnya Sayuri pernah memberitahu Takagi alasan sebenarnya ia datang ke kamp itu adalah untuk menjadi seorang pilot, ia sekarang tahu bahwa ini bukan sembarang pangkalan udara melainkan pangkalan udara yang melatih para pilot kamikaze yang prestisius dan yang tak akan menerima pelanggaran aturan militer macam apa pun. Maka Sayuri tak bisa mengambil risiko membuat seorang pun curiga, termasuk Takagi. Dengan satu kekuatan yang tiba-tiba timbul, ia menghapus semua jejak muntah dari mulutnya dan kembali ke dapur.
Takagi telah berhasil menguasai dirinya ketika ia kembali, dan Sayuri mendorongnya untuk meneruskan cerita tadi.
"Kau tadi bilang ada kelompok pilot kamikaze satu lagi, Takagi san?" tanyanya.
"Oh ya, grup kedua adalah para relawan kamikaze yang berasal dari segala penjuru negeri dan mereka menanti di ruang tunggu untuk diperiksa, didaftarkan dan mulai pelatihan esok harinya," jelas Takagi. Dan meskipun Sayuri mendengarkan secara sungguh-sungguh suara Takagi yang dalam dan ekspresif, suatu rencana nekat mulai terbentuk dalam kepala Sayuri.
"Bagaimana dengan pangkalan ini? Apa mereka juga datang ke sini?" tanyanya santai.
"Oh ya, secara rutin mereka berdatangan ke pangkalan udara ini, berebut untuk mati bagi negara mereka," jawab Takagi. "Ketika aku melihat wajah-wajah muda yang penuh kesungguhan itu, sebagian bahkan remaja yang masih belasan tahun dan tak akan hidup untuk merayakan ulang tahun keduapuluh mereka, aku tak kuasa untuk tidak menangis dalam hati sebab mereka adalah anak, saudara, kekasih, atau bahkan suami seseorang!"
Seharian itu Sayuri tidak dapat membendung semangatnya, mengabaikan peringatan dan argumen yang timbul dalam kepalanya tentang apakah ia benar-benar bisa melakukan rencana ini tanpa ketahuan?
Rencana itu begitu nekat dan melampaui batas logika, tapi itu satu-satunya kesempatan yang dimilikinya untuk menjadi seorang pilot kamikaze. Bila ia tak mengambilnya, mungkin tak akan ada kesempatan lagi. Pada waktu istirahat makan siang, Sayuri menyelinap ke dalam ruang persediaan, dan sambil dicekam rasa takut, ia memasukkan dua setel seragam pilot berwarna abu-abu ke dalam tas sambil berdoa ia mengambil ukuran yang benar. Ia juga memasukkan sepasang sepatu bot, topi, dan kacamata terbang, lalu ia kembali ke "sel" miliknya untuk menyembunyikan barang jarahannya di bawah ranjang.
Sulit baginya untuk melalui hari itu, tapi ia berhasil dan hanya mendapatkan komentar khawatir dari Takagi, "Apa kau baik-baik saja? Kau kelihatan agak pucat dan gugup! Kalau kau tak enak badan, aku bisa membebaskanmu dari tugas hari ini, meskipun aku akan kerepotan menyiapkan makan malam sendirian."
Sayuri ragu-ragu sejenak, beberapa jam istirahat tentu akan sangat membantu, tapi ia tak tega membiarkan Takagi san yang malang itu bekerja sendirian. Mengingat apa yang akan diperbuat Sayuri terhadapnya tak lama lagi, Sayuri memutuskan bahwa setidaknya ia harus tetap bekerja dan membiarkan juru masak itu menikmati hari tenangnya yang terakhir. Maka ia menggeleng dan menjawab, "Aku tak apa-apa, sungguh, Takagi san. Tapi sekedar bertanya, kalau aku sakit dan harus cuti beberapa hari, bagaimana kau mengatasi pekerjaan yang ada?"
"Yah, itu akan sulit tapi bukannya mustahil untuk menangani tempat ini sendirian. Aku hanya perlu meminta salah satu petugas dapur itu untuk membantuku, dan seperti yang kau lihat, makanan yang kita masak bukanlah suatu tantangan kuliner yang susah, setidaknya tidak bagiku yang dulu membuka salah satu kedai sushi terbaik di Sendai!"
"Terima kasih telah membuatku merasa sangat dibutuhkan!" Sayuri tertawa, tapi ia lega sebab setidaknya, bila ia pergi, Takagi tak akan terlalu kewalahan. Di satu sisi, ia merasa sedih karena tak bisa memberitahu Takagi tentang rencananya, tapi laki-laki itu tak akan pernah setuju dan nyawanya akan terancam kalau rencana itu bocor. Meskipun ia cukup emosional atas hari terakhirnya bekerja dengan Takagi san yang merupakan batu karang kebijaksanaan dan logikanya di dunia yang semakin bertambah kacau dan penuh kebencian setiap harinya, Sayuri harus mengendalikan perasaannya dan berpura-pura tak ada yang akan terjadi dan ini hanyalah satu lagi hari penuh kerja keras di dapur.
Tetapi ketika piring logam terakhir telah selesai dicuci malam itu dan mereka menggantungkan kain-kain lap dapur supaya kering untuk esok hari, Sayuri memberi pelukan kecil kepada atasan tak resminya itu sebelum mereka berpisah. Ia akan sangat merindukan keberadaannya yang waras dan menenangkan itu sebab Takagi san adalah sosok terdekat yang mengingatkannya pada rumah di tengah-tengah dunia yang berputar tak terkendali ini.
"Ah, sudahlah, pergi sana," juru masak gempal itu berkata, sedikit malu. Seperti halnya sebagian besar orang Jepang, ia tak terbiasa menunjukkan perasaannya, tapi Sayuri tahu kalau laki-laki itu merasa senang.
"Aku ingin memberimu pelukan kecil sebab kau begitu baik dan kau mengingatkanku pada rumah dan ayahku sendiri," jawab Sayuri. Dan ia tetap berdiri di sana, memandangi sampai Takagi berbelok di gedung area tempatnya tinggal dan menghilang dari pandangan.
"Ya Tuhan, Takagi san pasti berpikir aku begitu konyol malam ini," erang Sayuri. Lalu ia melupakan segalanya ketika ia buru-buru kembali ke "sel" miliknya, bersyukur bahwa sebagai satu-satunya perempuan yang tinggal di pangkalan ini, ia memiliki area tempat tinggal tersendiri.
Hal pertama yang harus dilakukannya adalah memotong rambutnya, dan Sayuri ragu-ragu cukup lama di depan cermin tua jelek yang diselamatkannya dari "tempat rongsokan" pangkalan itu, menatap pantulannya yang miring-miring. Ia melepaskan jepit-jepit rambutnya dan membiarkan rambut mengkilapnya yang hampir sepinggang itu jatuh terurai, matanya berkaca-kaca penuh emosi. Sayuri mencintai rambut panjang hitam legam miliknya, rambut yang membuatnya merasa cantik dan percaya diri. Memotongnya seperti memotong sebagian hidupnya.
Lalu ia mengejek dirinya sendiri, demi Tuhan, apa artinya rambut ini bila ribuan manusia mati setiap harinya? Dan, dengan terampil, sebelum ia sempat berubah pikiran, Sayuri mengambil gunting dan memotong segenggam penuh rambutnya, tak berhenti sampai semuanya lenyap dan yang tersisa di kepalanya yang bagus hanyalah rambut teramat pendek yang membuatnya terlihat seperti remaja laki-laki. Setetes air mata menyelinap turun di ujung matanya dan Sayuri menghapusnya dengan marah. Mulai saat ini ia akan menjadi seorang laki-laki dan seorang pilot kamikaze. Ia tak butuh air mata dan tanda-tanda kelemahan lainnya yang hanya akan membongkar penyamaran paling nekat di sepanjang sejarah kemiliteran ini. Dalam banyak hal, memotong rambutnya merupakan simbol putusnya hubungan dengan masa lalunya dan suatu permulaan memasuki dunia tanpa wajah dan nama dari pilot kamikaze.
"Aku harus membuat diriku tampak lebih tua dan lebih tegap." Sayuri meringis melihat pantulannya di cermin ketika ia melepaskan bajunya dan mengenakan seragam pilot yang dicurinya tadi. Tapi pada akhirnya, dengan topi ditarik agak menutupi mukanya dan bantalan busa di bahunya, ia terlihat sedikit lebih besar dan bisa tampil meyakinkan sebagai seorang pemuda di akhir usia remajanya. Dan meski-pun ia selalu mengeluh bagaimana ia tak memiliki lekukan tubuh layaknya perempuan, Sayuri sekarang merasa lega dadanya nyaris tak tampak di balik seragam pilot yang tebal dan biasa-biasa saja itu, dan ia terlihat berdada rata seperti pemuda-pemuda lain.
Kelompok rekrutmen baru akan tiba malam itu, dan mengesampingkan gangguan tak terduga, Sayuri memperkirakan bahwa di dalam kegelapan malam, tak akan terlalu sulit baginya untuk langsung bergabung dengan kelompok itu ketika mereka berjalan melewatinya dan ia akan ikut dengan mereka untuk mendaftarkan diri di ruang tunggu. Setelah terakhir kalinya memandangi sel yang telah secara ironis menjadi rumah yang begitu menenangkan baginya selama beberapa bulan terakhir, Sayuri menyelinap keluar gedung dan bergerak menuju pos penjagaan utama. Ia memastikan dirinya tetap terlindung oleh bayangan semak-semak sehingga lampu sorot yang kadang-kadang digerakkan dari menara pos penjaga itu tak akan menangkapnya. Ia berdoa supaya para relawan itu belum datang lalu mengambil risiko ketahuan, ia mengendap-endap menuju bangunan rendah berwarna abu-abu tempat ruang tunggu itu berada. Ruangan itu kosong meskipun satu meja panjang dan sejumlah kursi telah disiapkan. Sayuri mengembuskan napas lega. Para relawan itu belum datang dan ia tidaklah terlambat.
Ia mengendap-endap menuju jajaran semak lebat dekat post penjagaan dan bersiap-siap untuk suatu penantian yang lama. Tapi hampir tiga puluh menit ia berjongkok, terdengarlah suara sekelompok orang dari kejauhan sedang dipersilakan lewat pos penjagaan.
Sayuri menahan napasnya, menyadari bahwa para rela-wan itu telah datang dan sekaranglah saatnya untuk melaksanakan rencana nekatnya. Dengan keringat dingin menuruni punggungnya, ia melangkah keluar dari semak-semak dengan tenang ketika orang terakhir hendak lewat, dan ia langsung berada di antara para relawan pilot kamikaze baru yang jumlahnya sekitar tiga puluh orang itu. Sibuk dengan energi mereka sendiri yang sarat ketegangan dan rasa gugup, tak seorang pun dari mereka yang menyadari atau peduli dengan adanya anggota tambahan itu!
Sayuri tak percaya ini jauh lebih mudah daripada yang dibayangkannya, tapi ia memeringatkan dirinya untuk tetap waspada sebab berhasil melampaui tantangan pertama bukan berarti ia sudah aman. Masih ada proses registrasi yang sulit untuk dilewati, dan dengan pengamatan para petugas rekrutmen yang telah ahli, besar kemungkinan ia akan ketahuan di tahap itu.
Ia sudah memutuskan akan menggunakan nama adiknya, Hiro Miyamoto. Dan ia sekali lagi bersyukur karena suaranya cukup rendah sehingga ia bisa saja disangka seorang remaja laki-laki dengan suara halus dan agak tinggi.
Jodoh Rajawali 16 Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Bumi Manusia 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama