Mawar Jepang Karya Rei Kimura Bagian 1
Bab 1 AYUMI memandangi nomor terakhir dari tiga nomor yang tertulis di secarik kertas lusuh di hadapannya lalu dengan perlahan menelepon. Ia menahan napasnya ketika di seberang terdengar suara seorang perempuan muda menyahut, "Halo? Halo? Siapa ini?"
"Halo," akhirnya Mayumi menjawab dan berharap ini nomor telepon yang dicarinya, sebab kalau tidak, riset intensif yang dilakukannya selama berminggu-minggu itu akan sia-sia dan ia akan kembali lagi ke tahap meneliti data-data di sekian banyak museum, kantor arsip, dan perpustakaan! "Bisa saya bicara dengan Nyonya Rika Kobayashi?"
"Tentu saja, itu nenek saya. Tunggu sebentar, akan saya panggilkan," jawab suara di seberang sana dan Mayumi menghela napas panjang. Sejauh ini lancar, tapi kemungkinan untuk salah masih ada. Bagaimanapun Rika Kobayashi adalah nama yang lazim, bahkan bagi seorang perempuan tua yang usianya cocok dengan orang yang dicarinya.
Rasanya ia sudah menunggu selamanya meskipun kenyataannya tak mungkin lebih dari dua atau tiga menit. Lalu terdengar suara datar yang jelas milik seorang perempuan tua dengan nada tajam yang menyiratkan nuansa "sebaiknya ini penting" lantaran ia diganggu dari urusan lain yang lebih berguna daripada menerima telepon. "Mushi mushi... halo? Siapa ini?"
Itu bukan tipe suara yang membuatmu mau mengobrol panjang dan jantung Mayumi berdebar cepat tak karuan seperti setiap kali ia nyaris mendapatkan jawaban dari pencarian yang panjang dan sulit. Mayumi buru-buru menjawab, "Halo, mungkinkah Anda Sayuri Miyamoto?"
Sudah. Ia sudah menyebutkan nama itu keras-keras dan bila memang itu Sayuri, pasti akan ada reaksi. Bila tidak, berarti memang nasibnya dan mau tidak mau ia harus beralih ke rencana B.
Satu tarikan napas yang tiba-tiba serta keheningan panjang yang hanya disela oleh suara napas yang berat menjadi jawaban atas pertanyaan itu dan ini seakan kabar gembira bagi Mayumi bahwa mungkin saja nomor telepon terakhir itu membuatnya mendapatkan apa yang ia inginkan dan pencariannya akan berakhir di sini.
"Siapa ini? Dan mengapa kau memanggilku dengan nama ini? Nama ini sudah tidak pernah dipakai selama enam puluh tahun!" Suara datar yang gusar itu berubah menjadi bisikan yang pelan dan gemetar, seperti erangan binatang terluka, dan itu membuat Mayumi merasa tak enak atas campur tangan tak diundang yang dilakukannya terhadap masa lalu seseorang yang jelas-jelas menyakitkan.
Namun ia adalah seorang sejarawan yang dibayar mahal untuk memecahkan suatu kasus dan ini bukan waktunya untuk bersimpati pada siapa pun, maka Mayumi menjawab dengan mantap, "Nama saya Mayumi Onodera dan saya dikontrak oleh seorang produser acara dokumenter di NHK untuk menemukan Anda..
"Tidak... tidak... tidak ada televisi atau media, pergi dan tinggalkan saya sendiri!" teriak suara sedih di seberang sana. "Sayuri Miyamoto sudah mati, terkubur bersama semua korban perang di Kuil Yasukuni! Pergi dan cari saja dia di sana!"
"Tunggu... tolong, jangan tutup teleponnya," Mayumi memohon. "Ini bukan soal media atau keinginan komersil untuk mendapatkan kisah bagus semata, ini bukan seperti yang Anda kira, Miyamoto san. Ini tentang Sayuri dan tempat yang selayaknya baginya di sejarah Jepang, jadi tolong jangan mengusir saya begitu saja. Setidaknya dengarkan saya!
"Hanya satu pertemuan singkat. Saya janji, dan bila Anda tidak suka dengan apa yang Anda lihat atau dengar, saya akan pergi dan tak akan ada yang mengganggu Anda lagi," lanjut Mayumi sementara keheningan di seberang sana berlanjut. Tetapi ada secercah harapan sebab setidaknya Sayuri Miyamoto tidak memutus teleponnya dan sepertinya sedang menyimak.
Itu kejadian seminggu lalu dan kini Mayumi ada di sini, tepat di depan gerbang kayu sederhana yang membuka ke jalan batu yang terpelihara rapi dan mengarah ke satu pintu geser tradisional dari rumah kecil namun indah terawat di tengah-tengah kota kecil Kurihashi. Setelah pencarian berminggu-minggu serta panggilan telepon yang sangat penting itu, Mayumi akhirnya berhasil melacak Sayuri Miya-moto hingga ke rumah sederhana di suatu daerah di Jepang yang tak akan terpikir oleh orang. Ketika ia memandangi rumah bersahaja dengan nuansa kayunya yang polos ini, Mayumi sulit memercayai rumah ini mungkin menaungi satu simpul sejarah Jepang yang dibungkam selama sekian dekade serta yang tak akan pernah benar-benar diakui atau diterima.
Untuk sesaat ia ragu, takut untuk membuka kotak pandora yang akan menggemparkan sejarah perang Jepang yang memang kontroversial dan mungkin sebaiknya dibiarkan tak terusik. Tetapi kemudian dengan mantap ia menyingkirkan keraguan yang membayangi itu, mengangkat tangannya untuk menggeser pintu depan hingga terbuka dan berseru lembut, "Konichi wa, halo, ada orang di rumah?"
Di kota kecil Kurihashi, sebagian besar penduduknya saling mengenal dan hampir tak mempunyai rahasia untuk disembunyikan, atau paling tidak begitulah yang mereka kira. Tidak ada pencuri atau perampok, sehingga seperti kebanyakan rumah di sana, pintu depan rumah Sayuri sering dibiarkan tidak terkunci. Tetapi di balik pintu hati Rika
Kobayashi yang tertutup terdapat rahasia masa lalu yang tersembunyi dari teman-teman dan bahkan keluarga yang selama ini hidup bersamanya di Kurihashi yang hangat.
Mayumi menahan napasnya ketika terdengar gesekan langkah kaki di atas koridor kayu mengkilap dan muncullah seorang perempuan cantik berusia dua puluh tahunan yang kemudian membungkuk hormat dan meletakkan sepasang sendai rumah di depan Mayumi. Cucu perempuan Rika Kobayashi tampak begitu normal dan biasa sehingga Mayumi merasakan semacam kelegaan menggelikan. Mungkin ia salah dan di sini tidak ada apa-apa, serta bahwa sebenarnya memang tidak ada Sayuri Miyamoto atau ia memang terkubur di Kuil Yasukuni bersama dengan rahasia miliknya dan potongan sejarah Jepang yang sebaiknya tak diotak-atik.
Mayumi hendak berbalik pergi ketika gadis muda itu berbicara dan tanpa bisa dijelaskan, Mayumi merasakan arus adrenalin yang familiar dan, entah bagaimana, ia tahu ia tidak boleh pergi sebab ada sesuatu atau seseorang di rumah ini yang menanti untuk ditemukan!
"Masuklah, nenek saya sudah menanti Anda," kata cucu Rika Kobayashi sambil mengambil mantel tipis musim semi Mayumi dan menggantungnya di gantungan mantel yang menempel di salah satu sisi dinding.
Mayumi mengikuti gadis muda itu melewati koridor pendek yang mengarah pada ruang keluarga kecil dengan perabotan sederhana berupa sofa ala barat berwarna krem yang diletakkan menghadap meja kayu warna gelap berpelitur serta dua kursi bersandaran tinggi. Furnitur barat itu terlihat tak sesuai dengan seisi ruangan, termasuk pintu-pintu geser tradisional Jepang dan alas tatami. Tetapi yang paling menarik perhatian dan memesona Mayumi adalah satu foto hitam putih yang diam tergantung namun jelas-jelas mendapatkan tempat istimewa di dinding itu, di atas pajangan berupa karangan bunga. Foto itu menunjukkan dua orang pemuda dalam balutan seragam pilot lengkap dengan kacamata pelindung yang bertengger seenaknya di atas kepala, berpose di depan satu pesawat tempur Jepang. Tulisan cetak tebal di sudut kiri bawah foto itu berbunyi " April, 1945."
Seluruh ruangan itu terang dan segar karena udara yang bebas keluar masuk. Tidak ada satu gorden pun menghalangi sinar matahari dari luar, seakan pemiliknya tidak bisa melewatkan satu pun berkas cahaya matahari atau semilir angin!
Kursi goyang yang menghadap jendela ke arah taman bebatuan yang kecil dan terawat dengan saksama, lengkap dengan satu pohon pinus nan elegan serta satu kolam khas yang penuh dengan ikan-ikan warna-warni, terlihat bergerak. Seorang perempuan tua berbalut kimono perak yang indah memutar badan untuk melihat Mayumi.
Garis-garis yang memahat wajahnya dengan jelas menunjukkan usianya, namun di tengah jejak waktu itu, masih terlihat seorang perempuan yang pernah memiliki kecantikan klasik yang memukau di masa mudanya.
Di bawah naungan pelupuk matanya yang keriput, perempuan tua itu mengamati gadis muda yang terlihat gugup duduk di pinggiran kursi yang terletak di seberangnya. Sayuri tidak tahu mengapa setelah bertahun-tahun mengasingkan diri dan mengubur rahasia ini ia kini bersedia menemui seorang sejarawan yang entah dari mana datangnya. Tapi mungkin keterusterangan dan ketulusan sejarawan muda inilah yang mengingatkannya pada masa mudanya dan itulah yang mengena di hatinya.
Setiap tahun, pada tanggal 24 April, perempuan itu melakukan perjalanan ke Kuil Yasukuni di Tokyo untuk berdoa bagi jiwa-jiwa korban perang serta Takushi-nya tercinta yang dikuburnya dalam-dalam di sudut hatinya, sudut yang tak seorang pun bisa menjamah. Ia selalu masuk kuil sendirian, tak pernah mengizinkan suaminya, Hiroshi, atau putrinya, Mika, untuk ikut masuk. Sebab di Yasukuni itulah ia berbicara dengan Takushi dan itulah saat-saat pribadi mereka berdua. Tak seorang pun memiliki hak atau izin mengganggunya.
Yasukuni selalu mampu menggetarkan hatinya, sebab kuil nan tenang dan damai bercorakkan warna-warna alam yang terletak di taman yang asri dan tertata rapi di daerah sepi ini ternyata memiliki hubungan dengan ratusan ribu jiwa tersiksa milik orang-orang yang hidup dan mati dalam perang bersamanya. Sebagian dari mereka meninggal dengan terhormat dan sebagian lagi mati berkalang aib. Tapi semua akibat perang itu, orang-orang baik, jahat, maupun yang di tengah-tengah; semuanya berakhir di Yasukuni.
Perjalanan tanggal 24 April terakhirnya ke Yasukuni baru lewat beberapa minggu lalu. Sayuri berkata kepada Takushi bahwa ia semakin bertambah tua dan renta serta tidak yakin apa masih mampu menempuh perjalanan panjang yang melelahkan ke Tokyo ini tahun depan. Mungkin rasa kesepian dan hasrat kuat untuk terhubung kembali dengan masa lalunya itu yang melunakkan hati Sayuri dan membuatnya setuju bertemu dengan sejarawan tak dikenalnya ini.
Hari ini Sayuri Miyamoto mengenakan kimono terbaiknya dan membiarkan cucu perempuannya menata rambutnya hingga tersanggul elegan sebab ia ingin tampil sebaik mungkin untuk sejarawan dari NHK.
Pada saat Mayumi duduk di kursi berjok krem dan memegang erat-erat bolpoin serta buku catatannya seolah hidupnya tergantung di sana, Sayuri bisa melihat betapa gugupnya gadis itu. Kerapuhan manusiawi yang ditampilkannya itu dengan ganjil terasa akrab dan menenangkan, dan perempuan tua itu mendadak merasakan suatu kerinduan untuk membagi kisahnya dan membebaskan emosi yang kian lama kian berat dan sulit untuk ditanggung sendirian. Tetapi pertama-tama ada beberapa hal yang harus diketahuinya.
"Katakan padaku," katanya sambil menatap dengan begitu tenang ke mata Mayumi, "kenapa kau datang mencariku? Dan bagaimana kau menemukanku?"
Bab 2 SEBELUMNYA, seiring dengan taksi membawanya kian dekat ke alamat yang dengan cepat ditulisnya di buku kecil, Mayumi memikirkan kejadian-kejadian beberapa bulan terakhir dan bagaimana janji temu makan siang yang tiba-tiba berhasil membawa kasus aneh ini kepadanya di saat ia sama sekali tak menduganya.
Desember pagi itu udara dingin menggigit dan Mayumi baru saja memutuskan bahwa ia berhak mengambil cuti untuk bergelung di apartemen bersama kucingnya ketika telepon berdering. Terlanjur merasa nyaman dan hangat, ia membiarkan saja telepon itu berdering sampai mesin penjawab berbunyi dan terdengarlah suara melengking khas milik Sumiko, temannya, menuntut jawaban.
"Mayumi, angkat teleponnya, aku tahu kau di sana! Aku akan makan siang dengan seseorang yang menurutku harus ditemui oleh sejarawan berkualitas manapun macam dirimu dan aku mau kau bergabung dengan kami."
Mayumi diam saja. Telepon kembali berbunyi dan suara melengking yang sama terdengar bersikeras, "Ayo, keluar dari futon-mu dan temui kami. Kau tak akan menyesal!"
Mayumi mengerang, ia benar-benar tidak ingin keluar dengan cuaca seburuk ini tetapi pesan Sumiko itu tidak mungkin diabaikan sebab ia akan ribut sendiri bertanya-tanya bagaimana kalau memang ada sesuatu atau seseorang yang seharusnya ia temui? Lagipula, ia tahu Sumiko akan terus menelepon sampai ia menjawab, jadi tak ada gunanya bersikeras dan pura-pura tidak sedang di rumah!
Lalu ia berubah sedikit santai dan tersenyum memikirkan Sumiko serta beragam cara yang dimilikinya untuk menghibur diri, termasuk ke "bar khusus perempuan" di daerah mewah Shinjuku yang pernah mereka datangi bersama setelah Sumiko menyogoknya. Ternyata tempat itu adalah bar tempat para perempuan membayar untuk minum dan tip besar untuk membuat para lelaki muda yang sebagian bahkan masih remaja mengobrol dengan mereka dan menyanjung mereka dengan pujian-pujian berlebihan! Mayumi duduk selama tiga jam, menikmati pujian-pujian spektakuler yang datang dari seorang pemuda dengan paras mulus yang sangat pandai berbicara lengkap dengan rambut di-gel mati-matian. Mereka akhirnya meninggalkan bar, kenyang dengan hal-hal menakjubkan tentang mereka yang begitu menyenangkan hati namun tidak nyata.
Dua jam kemudian, Mayumi memberanikan diri menerjang hari yang oleh televisi dinobatkan sebagai hari terdingin bulan Desember dalam lima puluh tahun terakhir demi menemui Sumiko dan temannya di suatu restoran Itali di Shinjuku.
"Awas kalau tidak penting," ujarnya tanpa suara dengan bibir nyaris membeku ke arah Sumiko yang sudah duduk di meja pojok bersama seorang lelaki yang membelakangi Mayumi.
Teman Sumiko ternyata seorang produser program dokumenter kontroversial di NHK bernama Sugamo Arai. Dan di saat Mayumi bertatap muka dengannya, ia langsung tahu kalau kedatangannya tidak sia-sia.
Arai adalah laki-laki agak eksentrik dengan gaya avant garde dan tidak peduli dengan perkenalan bertele-tele penuh sopan santun menyebalkan yang biasa dilakukan kalangan profesional Jepang. Mayumi selalu tidak tahan dengan perkenalan macam itu dan karenanya ia langsung menyukai Arai. Laki-laki itu bahkan punya sepasang anting dan rambut hitam panjangnya diikat gaya ekor kuda, gaya yang jelas-jelas tak akan membuatnya diterima di dunia perusahaan Jepang yang "pantas." Mayumi tersenyum lagi saat mengambil tempat duduk di seberang Sugamo Arai.
"Saat ini aku sedang mencoba menggarap dokumenter yang hanya dapat kujelaskan sebagai sesuatu yang, jujur saja, teramat sulit dibuat," kata Arai begitu perkenalan singkat dan ritual bertukar kartu nama selesai dilakukan. "Tapi, seperti yang akan disampaikan Sumiko, aku cukup gila, dan semakin sulit suatu kisah untuk dibuat, semakin tertantang aku untuk mengerjakannya!"
"Aku sedang mencari seseorang yang bisa membantuku menggali dalam-dalam sejarah Jepang, dan waktu Sumiko memberitahuku bahwa kau adalah sejarawan berhidung tajam yang tak akan melepaskan topik apa pun begitu kau melakukan pencarian, kupikir mungkin kau orang yang tepat untuk kisahku ini."
"Aku tak tahu apa aku pantas menerima kehormatan ini," jawab Mayumi sambil diam-diam mengeluhkan gaya pemasaran Sumiko yang terlalu antusias atas kemampuannya. "Tapi kalau kau mau menceritakan kisah macam apa yang coba kaukerjakan, mungkin aku bisa mendapatkan gambaran lebih baik apakah ia termasuk wilayah hidung tajamku atau tidak! Tapi baiklah, coba saja!"
Arai menggeser beberapa lembar kertas di atas meja dengan dramatis dan mulai bercerita, "Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sedang membuat dokumenter tentang Perang Dunia Kedua, khususnya tentang apa yang secara etis disebut kamp ?re-edukasi? para pilot yang didirikan menjelang perang berakhir. Serangkaian penyelidikanku membawaku ke kamp sangat misterius bernama Shinbu dan secara kebetulan, suatu hari ketika aku sedang minum di suatu bar di kota, aku berbicara dengan laki-laki tua yang dulunya menyuplai barang-barang ke kamp itu."
"Tampaknya ia sudah sering mampir ke bar untuk bicara dengan siapa pun yang mau mendengarkan pengalamannya di masa perang. Dan malam itu ia sedang beruntung, sebab untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menemukan seorang pendengar yang bersemangat. Ada satu ceritanya yang begitu menarik perhatianku, yaitu ketika ia menceritakan rumor yang beredar di kota bahwa ada seorang perempuan di antara pilot-pilot itu. Ia menganggap rumor itu absurd dan berlebihan sampai suatu hari ia menerima catatan dari seseorang di kamp. Catatan itu cuma bertuliskan "Terima kasih" dan bertandatangankan Sayuri Miyamoto. Ia bingung dan bertanya-tanya siapa di antara sekian banyak penghuni Shinbu yang biasa ia bantu menyelundupkan surat untuk keluarga dan orang-orang tercinta mereka yang mengiriminya catatan itu.
"Sayuri, nama seorang perempuan, membuat catatan itu semakin misterius. Tapi ia akhirnya hanya menganggap itu sebagai nama samaran bagi seorang homoseksual yang ada di kamp itu. Namun ada sesuatu yang membuatnya terus menyimpan kertas itu, dan ia mencari-cari di kantongnya sebelum kemudian menyodorkannya kepadaku sambil berkata, "Ini, ambil saja untukmu, toh kau sedang mengerjakan dokumenter tentang perang itu dan sudah mau meluangkan waktu mendengarkan ocehan seorang laki-laki tua.
"Entah mengapa, cerita ini begitu mengusikku dan aku memutuskan untuk langsung mencaritahu. Aku berhasil meminta seorang teman yang bekerja di kantor arsip perang di Tokyo untuk mencari di dalam dokumen-dokumen rahasia tentang kamp itu dan hasil temuannya membuatku bingung, kamp itu punya dua daftar, satu untuk pilot-pilot yang "masuk" dan satu untuk mereka yang "keluar."
"Aku mendapati nama Sayuri Miyamoto di daftar masuk tetapi tak ada satu pun catatan yang menunjukkan bahwa ia pernah "keluar" karena semua nama yang lain di daftar itu ada di daftar keluar. Hal lain yang menggangguku adalah ada satu nama yang tidak ada di daftar masuk, tetapi muncul di daftar "keluar," dan itu nama Rika Kobayashi. Jadi intinya adalah di mana Sayuri Miyamoto dan apa yang terjadi padanya bila itu memang nama samaran salah satu pilot laki-laki, dan siapakah Rika Kobayashi dan mengapa tidak ada catatan tentang dia masuk ke kamp?"
"Aku mencoba mencaritahu siapa Sayuri Miyamoto, apa yang terjadi padanya, dan apakah ada hubungan antara ia dengan Rika Kobayashi. Tapi sejauh ini semua penyelidikanku nihil. Jadi kuputuskan mungkin sudah saatnya meminta bantuan ahli dari seorang sejarawan yang sangat direkomendasikan dan itulah mengapa kita bertemu siang ini." "Ya Tuhan, cerita yang mencengangkan," bisik Mayumi. "Tapi seorang perempuan di kamp pilot yang semuanya laki-laki? Tidak ada catatan sejarah apa pun yang mendukung anggapan ini dan, sebagai sejarawan, sulit bagiku menerima klaim sejanggal ini kecuali ada bukti-bukti yang mendukung!"
"Persis," jawab Arai. "Tidakkah kau lihat? Ada kekuatan dan upaya yang mencoba menghapus fakta itu dari sejarah kita karena mereka merasa malu atasnya. Tetapi entah bagaimana, seperti kanker, satu sel kecil berhasil lolos dan kita harus menemukan sel itu. Ia begitu kecil, begitu susah ditangkap, tapi kita harus menemukannya. Tapi sekali lagi, kita juga harus siap menerima bahwa ternyata semuanya ini hanya berita omong kosong saja dan Rika Kobayashi hanyalah seorang pembantu atau petugas kebersihan di kamp itu."
Di saat mereka menikmati hidangan penutup, Mayumi sudah mendapati dirinya menyanggupi mengerjakan kasus ini. Dan setelah ?tinggal? di sekian banyak kantor arsip dan sipil, museum, serta perpustakaan selama tiga bulan berikutnya, Mayumi akhirnya berhasil mempersempit pencariannya menjadi satu daftar nama mencengangkan berisi 104 Rika Kobayashi yang tersebar di seluruh Jepang.
"Dan begitulah bagaimana dan mengapa saya mencari Anda," kata Mayumi kepada perempuan tua yang bersandar pada kursinya, memejamkan mata dan mengerutkan kening dalam-dalam seakan sedang merasa sangat kesakitan.
"Tolong tinggalkan saya sekarang, saya butuh beristirahat," bisik perempuan bernama Sayuri Miyamoto itu tiba-tiba. "Mungkin kita bisa melanjutkan pembicaraan ini besok..."
Hati Mayumi terempas. Apa ia mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan Sayuri Miyamoto dan membuatnya berubah pikiran? Apa pun bisa terjadi pada perempuan setua itu dalam waktu 24 jam ke depan, tapi ia tak melihat hal lain yang bisa dilakukannya saat itu, dan memberi tekanan kepada perempuan itu jelas tak akan membawa keuntungan apa-apa. Maka ia bangkit dari duduknya tanpa bersuara dan mengikuti cucu Sayuri yang menunggui mereka ke arah pintu depan lalu keluar dari rumah itu.
Mayumi menghabiskan sesorean mencari hotel untuk ditinggalinya selama kira-kira beberapa hari ke depan demi membuat Sayuri mau bercerita. Tidak banyak pilihan yang ada di kota kecil yang tidak ramai wisatawan ini, jadi Mayumi akhirnya memilih tinggal di satu penginapan kecil. Pilihan yang kemudian terbukti memiliki keunggulan berupa onsen atau pemandian air panas yang menyenangkan.
Pemilik ryokan yang gemar mengobrol merupakan satu bonus lagi, terutama karena ia pindah ke daerah ini tepat setelah perang dan ia memastikan dirinya mengenal setiap orang yang tinggal di sekitar sana. Tetapi Sayuri Miyamoto menyimpan rahasianya dengan sangat baik bahkan dari mata dan telinga yang paling ingin tahu sekali pun, menimbulkan kesan bahwa perempuan tua itu sedikit aneh dan begitu menutup diri sehingga ia pastilah menyembunyikan sesuatu. Pemilik ryokan itu tidak tahu apa-apa tentang si penyendiri di kota itu kecuali bahwa ia hidup nyaman dengan uang hasil membuat kerajinan tangan indah dari buah pohon pinus yang dijual ke seluruh Jepang.
Meskipun futon di penginapan itu lembut, empuk dan nyaman dengan sempurnanya, serta kegiatan berendam yang sungguh menyegarkan di spa telah mengendorkan setiap otot tubuhnya yang tegang, kantuk tak juga kunjung mendatangi Mayumi. Ia terbaring nyalang, memikirkan seorang perempuan tua yang terbebani oleh rahasia masa lalunya, dan ia tak sabar menunggu pagi datang.
Kejadian itu sudah lebih dari tiga bulan yang lalu dan Mayumi tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, tetapi ia pulang dari makan siang itu sambil memegang satu berkas tipis berisi beberapa lembar kertas bertuliskan instruksi-instruksi secara umum, dan satu kasus sejarah serta satu janji untuk mendapatkan apa yang disebut Arai dengan "sel yang berhasil lolos."
Bab 3 25 April 1941 memberikan salah satu petang musim panas yang hangat dan lembap dengan tonggeret ramai berbunyi di pepohonan di luar sana, sementara keluarga Miyamoto mengelilingi meja makan pendek untuk menikmati menu makan malam mereka berupa nasi, ikan bakar, dan sup miso shiro mengepul yang tak pernah absen. Keluarga itu terdiri dari empat orang: Sayuri, Hiro adiknya, dan Michio serta Tomi, ayah dan ibu mereka. Michio baru pulang dari tempat kerjanya, satu bangunan pabrik berwarna abu-abu yang sama sekali tidak mencolok, namun di sanalah kimono-kimono terbaik dan paling indah di Jepang dibuat, dengan pelanggan kelas atas dan bahkan para anggota keluarga Kerajaan.
Sayuri telah mengamati ibunya melakukan ritual penyajian sake panas bagi suaminya di musim dingin dan sake dingin di musim panas serta sepiring buncis rebus atau mame. Dalam keadaan apa pun, ritual ini tetap sama, dan Sayuri yakin ibunya bisa melakukannya bahkan dalam tidurnya. Belakangan ini, semakin mendekati ulang tahunnya yang kesembilan belas, Sayuri mulai bertanya-tanya akan seperti apa hidupnya nanti, apa ia akan berakhir persis seperti ibunya yang menjalani ritual menjadi istri lalu ibu tanpa menginginkan apa-apa lagi dalam hidup ini.
Kegembiraan dalam kehidupan mereka akhir-akhir ini adalah tentang pengumuman bahwa ayahnya menerima bonus besar untuk tahun itu dan membawa pulang satu radio baru dengan lapisan kayu mengkilap. Pada petang musim panas yang hangat itu, sumber suka cita mereka adalah mendengarkan musik koto yang mengalun lembut dan memenuhi ruangan keluarga yang tenang itu dengan kedamaian dan harmoni yang bagaikan mimpi. Tiba-tiba, tanpa ada peringatan apa-apa, terjadilah momen yang akan terus membekas di pikiran begitu banyak orang Jepang. Musik itu dipotong oleh satu suara gemerisik yang dengan mantap mengumumkan bahwa militer Jepang mungkin telah berhasil menyerang dan menghancurkan pangkalan Amerika bernama Pearl Harbor di Hawaii.
Semua kegiatan di meja makan kecil itu berhenti seakan ada yang memencet satu tombol dan mengubah seluruh anggota keluarga Miyamoto menjadi batu. Sayuri tak akan pernah lupa saat-saat hening ketika semuanya terhenti itu sementara si suara serak terus berkata-kata, mengagungkan kemenangan Jepang.
"Apa kau dengar itu di radio? Jepang telah menyerang dan berhasil menang dari orang-orang Amerika di Pearl Harbor," akhirnya Michio mengulangi berita itu dengan nada takjub.
"Ya, kami dengar itu, Ayah, tapi orang-orang Amerika sangat kuat, aku jadi cemas. Entahlah, aku merasa mungkin kita baru saja membangunkan macan tidur dan ini hanya suatu permulaan," jawab Sayuri, dan pemikiran itu membuat punggungnya terasa dingin.
"Jangan bicara seperti itu, Sayuri, kau harus setia pada bangsa kita," tegur ayahnya keras. "Mungkin ini akan membuat orang Amerika memperlakukan kita dengan hormat dan menghapuskan embargo mereka. Tahukah kau berapa banyak kerugian Jepang atas embargo itu?"
Meja makan bergetar sedikit ketika Tomi meletakkan mangkok supnya kuat-kuat hingga sebagian isinya tumpah.
"Berhenti bicara tentang serangan dan perang di meja makan ini," katanya. "Aku sudah cukup ketakutan! Kita cuma penduduk kota kecil, jadi serahkan saja masalah politik ke orang-orang di Tokyo."
"Tapi, Ibu, kalau perang benar-benar terjadi, kita semua harus berperang demi negara kita. Semua orang yang bisa mengangkat senjata harus berjuang, tak peduli kita dari Tokyo atau kota-kota kecil! Aku mau ada di sana membunuh musuh!" tukas Hiro.
"Hentikan, Hiro!" jerit Tomi. "Apa kau sadar apa yang kau katakan itu? Ini bukan mainan perang-perangan di kalangan anak-anak, ini perang sungguhan dengan darah asli! Berhenti membicarakan ini dan mari kita makan dengan tenang!"
Tomi berjalan ke arah radio dan mematikannya, mematikan siaran berita khusus tentang Pearl Harbor, seakan-akan dengan melakukan itu ia bisa menyelamatkan keluarganya dari kenyataan yang terjadi di Jepang. Makan malam itu diteruskan dalam keheningan yang suram.
Esoknya, segera setelah mencuci peralatan makan siang, Sayuri pergi dengan temannya, Reiko, ke suatu bukit kecil yang subur sekitar beberapa ratus meter dari rumah mereka. Keranjang mereka penuh dengan bunga-bunga yang mereka petik dari padang rumput yang mereka lewati dan beberapa lebah tampak terbang bermalasan. Sore yang tenang. Genderang perang dan akibat dari serangan Pearl Harbor serasa sejuta mil dari sana.
Reiko baru saja menginjak usia delapan belas tahun dan sedang tergila-gila dengan kekasihnya yang adalah teman masa kecilnya, Yukio. Dan sore ini ia mengajak sahabatnya ke tempat kesukaan mereka untuk mengumumkan bahwa ia dan Yukio telah mendapat restu dari kedua orang tua mereka untuk menikah di musim gugur tahun itu.
"Oh, aku ikut berbahagia untukmu, Reiko!" Sayuri memeluknya. "Aku sudah tahu dari dulu kalau kalian berdua akan segera menikah, aku bahkan sudah mulai membuat hadiah pernikahan buat kalian berdua. Sekarang aku harus menyelesaikan hadiah itu sebelum musim gugur tiba!"
"Terima kasih, Sayuri," jawab Reiko. Lalu dengan nada serius ia bertanya, "Bagaimana denganmu? Apa kau tak ingin menikah juga?"
"Kukira aku akan menikah juga pada akhirnya nanti. Bagaimanapun itu takdir setiap anak perempuan!" Sayuri menjawab sambil tertawa ringan. "Tapi, Reiko, janji kau takkan tertawa mendengar apa yang akan kukatakan ini ya? Aku merasa ada sesuatu yang harus kulakukan dulu sebelum aku berumah tangga."
"Janji. Kau tahu bagaimana aku selalu menganggap serius apa yang kaukatakan," jawab Reiko sungguh-sungguh. "Mungkin kau berpikir untuk pergi ke Tokyo dan menjadi perawat di salah satu rumah sakit tentara?"
"Ya, itu mungkin, tapi bagaimana menurutmu kalau aku bilang bahwa aku berpikir untuk bergabung dengan angkatan udara dan menjadi pilot pesawat tempur?"
Kini giliran Reiko tertawa terbahak-bahak, reaksinya lebih sebagai rasa takjub daripada senang.
"Ya, ya, aku tahu aku sudah berjanji untuk tidak tertawa, tapi pilot pesawat tempur? Kau tahu itu tidak mungkin! Pertama, para pilot itu semuanya laki-laki. Selain itu, kau tidak pernah sekali pun ada di dekat pesawat dan kau tak tahu apa-apa tentang pesawat! Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?"
"Maafkan aku, Sayuri," tambahnya cepat-cepat ketika dilihatnya wajah Sayuri berubah murung. "Aku tak bermaksud menghina atau mengecilkan hatimu tapi kau tahu betapa sedikitnya hal-hal yang dapat dilakukan seorang perempuan di Jepang, dan menjadi pilot pesawat tempur jelas bukan salah satunya! Dan kau tahu tidak? Aku merasa lega dengan kondisi itu karena aku tak mau kau melakukan sesuatu yang sinting seperti itu lalu mati meninggalkanku! Tolong, Sayuri, berjanjilah padaku kalau kau tak akan pernah memikirkan hal mengerikan semacam itu lagi!"
"Meskipun aku merasa tidak enak karena banyak penduduk kita tidak sabar untuk berperang untuk melindungi kita sementara kita tidak ikut ambil bagian, tapi kurasa sebagian dari kita harus tetap hidup untuk membangun kembali negara kita menjadi negara yang kuat setelah perang selesai. Kau paham maksudku kan?" Reiko menambahkan penjelasan terakhir itu sebab pikirannya terusik oleh rasa bersalah atas keinginan mencari aman dan tak mau berkorban apa pun, terutama mengorbankan tunangannya, Yukio.
Melihat kesedihan Reiko, wajah Sayuri berubah cerah dan ia sekali lagi memeluk temannya itu. Ia tak perlu bersikap terlalu keras pada Reiko yang sangat mengaguminya dan tak akan pernah terang-terangan menghinanya. Reiko hanyalah seorang gadis sederhana dengan keinginan yang juga sederhana, sehingga begitu terkejut mendengar pernyataan gila dan tak disangka-sangka dari Sayuri tadi. Hanya itu!
"Tidak apa-apa, Reiko! Aku tahu kau tak bermaksud seperti itu, lagi pula aku tak seharusnya memikirkan itu!
Kadang-kadang pikiran-pikiran gila seperti itu masuk ke kepalaku dan aku mengatakannya begitu saja! Mungkin ini cuma ketertarikan sementara yang akan berlalu sebentar lagi."
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya dengan riang membicarakan rencana pernikahan Reiko dan kimono indah yang mulai disiapkan oleh ibu Reiko untuknya. Perang telah membuat barang-barang mewah susah didapat, dan beruntunglah ibu Reiko adalah seorang penjahit handal yang dapat mengubah beberapa helai kain indah yang disimpannya selama ini menjadi kimono pengantin yang spektakuler untuk putrinya.
Tetapi, dalam per jalan pulang, keriangan mereka surut oleh adanya beberapa pesawat militer yang begitu berisik membelah langit. Mereka terbang sangat rendah sampai-sampai kedua gadis itu refleks membungkukkan badan sambil berlari pulang. Belakangan ini semakin banyak pesawat yang melintasi langit mereka seperti sedang mengamati daerah itu. Dan Sayuri gemetar merasakan perang yang datang dengan pasti ke tempat mereka.
Beberapa minggu setelahnya, Michio pulang dari pabrik membawa sejumlah tiket untuk menonton film tentang serangan Jepang yang "sukses" atas Pearl Harbor di satu-satunya bioskop kota itu. Awalnya Tomi menolak untuk pergi menonton, tapi setelah dibujuk akhirnya seluruh anggota keluarga pergi ke bioskop dan bergabung dengan kerumunan orang yang sudah mengantre tempat duduk di sana.
"Orang-orang begitu bersemangat, dan aku bisa merasakan jantung mereka berdegup sebagai satu kesatuan dengan rasa bangga dan patriotisme yang membara. Ketika layar menayangkan gambar pilot-pilot pemberani kita melakukan manuver penyerangan beruntun bagai gelombang laut pada musuh yang begitu kuat, bahkan ibuku yang anti-perang pun tergerak hatinya."
Setelah film selesai, keluarga itu bergabung dengan sekian banyak orang yang begitu bersemangat merayakannya dengan sake dan senbei yang dibagikan gratis di jalan-jalan, dan itu adalah kali terakhir mereka bisa berkumpul bersama seperti ini, gembira merayakan sesuatu.
Bab 4 TIGA hari kemudian, bel yang tergantung di pintu depan dibunyikan bertubi-tubi. Michiko, bibi Sayuri dari Tokyo, datang ke rumah mereka untuk mengungsi selama tiga hari. Ibu Sayuri harus memberinya tiga gelas teh hijau panas dan menenangkannya selama lima belas menit sebelum ia bisa berbicara dengan jelas.
"Seminggu lalu, sepucuk surat datang dari Angkatan Bersenjata Kerajaan Jepang untuk putraku, Toshiki, yang memintanya melapor pada pusat komando di Tokyo untuk bergabung dalam militer," isaknya setelah ibu Sayuri berhasil menenangkannya. "Aku begitu takut ini akan terjadi sejak mereka mulai mewajibkan pendaftaran dan aku tidak percaya ini benar-benar terjadi! Aku bahkan sempat berpikir untuk menyembunyikan Toshiki, tapi tak ada tempat yang dapat dijadikan persembunyian. Kempetai pasti akan menemukan kami dan hukuman atas percobaan melarikan diri dari pendaftaran itu akan lebih berat dan kejam!"
"Dan sekarang mereka telah mengambil Toshiki-ku, anakku satu-satunya! Ia baru saja berumur dua puluh tahun, tahu apa ia soal perang dan berjuang? Tahukah kau kalau ia bahkan tak tega membunuh seekor serangga karena binatang itu mungkin saja punya keluarga yang harus ditanggungnya? Aku dengar dari ibu-ibu yang lain bahwa mereka akan melatih anak-anak kami untuk membunuh kalau tak mau dibunuh, lalu mengirimkan mereka ke Asia Tenggara! Oh Tomi, aku takut tak akan pernah bertemu lagi dengan Toshiki-ku yang malang!"
Meskipun Tomi menenangkan saudaranya dengan sebaik mungkin, Sayuri bisa melihat ketakutkan yang tiba-tiba membayang di mata ibunya. Sebab ia juga memiliki seorang putra yang akan berumur delapan belas tahun dalam beberapa minggu. Ia merasa sedikit tenang mengetahui bahwa efek perang lebih hebat dan cepat merambah kota-kota besar daripada kota-kota kecil dan pedesaan yang tersembunyi di pelosok Jepang. Tapi ini hanya kelegaan sementara, sebab semua orang tahu bahwa cepat atau lambat, tangan militer akan menjangkau dan meraih putra-putra mereka.
Bahkan keadaan di pabrik Michio pun berubah. Dengan genderang yang ditabuh pasti mengiringi naiknya bendera perang di Jepang, pesanan kimono bertahap menurun, dan ada rumor bahwa tak lama lagi pabrik itu akan diperintahkan untuk mengganti produksinya dengan seragam tentara.
"Seragam tentara?" seru Tomi, merasa terkejut karena pabrik tempat suaminya bekerja yang menghasilkan ki-mono-kimono terindah di Jepang akan segera berubah menjadi pabrik penghasil seragam tentara yang jelek dan kasar.
Namun sampai saat ini satu-satunya tanda-tanda perang di kota kecil yang tentram tempat Sayuri tinggal adalah deru mesin pesawat yang kadang-kadang terbang begitu rendah di langit sampai rumah mereka bergetar. Pesawat-pesawat ini terbang atas "misi" atau pelatihan, jelas ayahnya sambil lalu, sama sekali tidak menyadari ketertarikan putrinya atas monster-monster kelabu yang melintasi langit mereka dan mengotori udara bersihnya dengan jejak asap yang meman-jang.
"Aku tidak peduli mereka mau ke mana," jawab Tomi. "Aku hanya mau kalian semua berlari pulang atau berlindung ketika kau dengar salah satu pesawat itu terbang mendekat. Apa jadinya kalau mereka jatuh atau menjatuhkan sesuatu dan kau sedang berada di tempat terbuka tanpa perlindungan?"
"Memangnya rumah ini akan bisa melindungi kita kalau pesawat itu sungguh-sungguh jatuh?" pikir Sayuri masam. Tapi ia diam saja karena ia tahu bahwa ibunya hanya berusaha mati-matian membuat keluarganya aman, dan setidaknya yang bisa ia lakukan adalah membiarkan ibunya merasa tenang dengan ilusi keselamatan yang salah ini.
Tetapi mereka tidak akan terus-terusan aman dalam waktu lama. Beberapa bulan kemudian, sekelompok petugas tanpa seragam datang dari Tokyo untuk mendirikan pusat rekrutmen di balai kota, sesuatu yang menimbulkan semangat dan kekhawatiran di wilayah Matsumoto. Orang-orang itu tiap hari menyusuri jalanan kota dan mengetuk pintu tiap-tiap rumah sambil membawa pemberitahuan wajib militer bagi pemuda berusia dua puluh tahun ke atas.
Bahkan, meskipun kesal, Tomi harus mengakui bahwa para petugas rekrutmen dapat benar-benar memengaruhi dan mengumpulkan jiwa-jiwa muda untuk berperang demi bangsanya. Hanya dalam waktu sehari, mereka bisa mendapatkan sejumlah besar pemuda mengantre untuk bergabung dalam militer.
Pada hari kedua, bahkan Michio yang cinta damai pun tergugah rasa patriotismenya dan ikut mengantre meskipun istrinya menangis memohon-mohon agar ia tak melakukannya. Akhirnya sang istri bisa terduduk lega ketika Michio ditolak atas dasar cacat di tangan kanannya karena kecelakaan di pabrik. Tetapi kelegaan Tomi tidak berlangsung lama, sebab Sayuri ternyata mulai menunjukkan minat "tidak sehat" pada pesawat tempur dan kemenangan Jepang yang digembar-gemborkan di Pearl Harbor.
Tomi berusaha mengalihkan ketertarikan anaknya pada sesuatu yang dianggapnya tidak feminin dan terlalu mencampuri "daerah kekuasaan laki-laki" ini dan terus-terusan mengomeli suaminya untuk berhenti mendorong Sayuri membicarakan tentang politik. Ia berusaha membuat Sayuri lebih berkonsentrasi meningkatkan kemampuan memasaknya, menjahit, dan seni mencari suami yang baik untuk memenuhi yang seharusnya menjadi mimpi dan keinginan setiap gadis, meskipun gulungan gelap awan perang mulai mendekat dan bersiap pecah bagai badai yang tak terelakkan.
Di tahun 1941 banyak kejadian di Jepang yang membuat mayoritas rakyat Jepang bingung dan ketakutan. Semua membicarakan tentang kaisar yang memerintahkan tentara bangsa ini berangkat menaklukkan dunia. Orang-orang tidak bisa memercayai perubahan yang terjadi pada kaisar mereka yang lembut, suka melamun, tampak ramah, dan sepertinya tak mampu melukai seekor lalat pun! Dan semakin brutal serta kejam para pemimpin negara itu, semakin ingin Tomi membuat anak-anaknya tidak tahu apa yang terjadi demi melindungi mereka.
Tetapi Michio punya pemikiran yang berbeda dengan istrinya, dan ia percaya bahwa anak-anaknya harus tahu apa yang sedang terjadi dan bersiap untuk melaksanakan kewajiban mereka terhadap Jepang bila waktunya tiba. Maka setiap hari ia pulang sambil membawa cerita tentang serbuan Jepang ke Cina dan radio mungil mereka menyiarkan suara gemerisik yang menginformasikan pasukan Jepang di berbagai daerah serbuan dan kemenangan mereka di luar negeri, membangkitkan rasa bangga dan patriotisme di dada hampir setiap orang Jepang di negeri ini. Bahkan bagi Sayuri muda, propaganda militer yang sangat kuat itu membuat segalanya terasa pas dan jantung seluruh bangsa Jepang dibuat berdegup seirama demi kepentingan Matahari Terbit.
Tentu saja masih ada orang-orang yang meragu seperti Tomi, tapi suara mereka dengan cepat dikalahkan oleh kegairahan yang melanda seluruh Jepang bagai suatu gelombang laut tak terbendung, jauh sebelum divisi polisi dan mata-mata yang disebut kempetai ikut campur untuk menghukum setiap pemikiran dan tindakan non-patriotis.
Itulah pertama kalinya Sayuri menyadari perubahan yang terjadi dalam dirinya. Ia tidak lagi seorang gadis periang yang hanya sedikit lebih serius daripada remaja putri di kota kecil itu, yang menyukai bepergian ke onsen atau kolam air panas di akhir pekan dengan keluarganya, yang memetik bunga-bunga liar di musim semi, mengamati bintang-bintang pada malam musim panas yang cerah, dan kadang-kadang bergosip dengan sesama teman perempuannya di pemandian umum. Sayuri mendapati dirinya semakin tertarik pada suara gemerisik di radio yang mengumandangkan berita-berita kemenangan Jepang di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Slogan-slogan patriotis mulanya meminta orang-orang secara sukarela bergabung dengan militer. Dan meskipun para pemuda dan pemudi bergegas mengajukan diri, rupanya pihak militer menganggap hal itu tidak cukup cepat. Akhirnya mereka mendekati sang Kaisar untuk mengeluarkan perintah yang memaksa setiap pemuda untuk bergabung dengan militer dan berjuang demi negaranya.
Tomi masih bisa merasa lega karena pewajiban itu hanya berlaku bagi para pemuda berusia dua puluh tahun ke atas, sehingga Hiro, putranya yang bahkan belum berumur delapan belas tahun, untuk sementara selamat. Maka rasa tenang yang menggelisahkan melingkupi keluarga Miyamoto.
"Sebagai orang Jepang, kita diajarkan untuk percaya bahwa mati demi sang Tenno (Kaisar) dan negara adalah kejayaan tertinggi yang bisa dicapai serta merupakan semacam kewajiban religius. Dan perintah tegas dan mutlak dari sang Panglima Perang, Jenderal Tojo, kepada setiap prajurit adalah untuk tidak pernah "hidup dalam aib" serta memastikan dirinya mati dengan cara yang tidak mendatangkan aib bagi negaranya," ucap Sayuri Miyamoto tua kepada Mayumi di hari kedua wawancara mereka. Suaranya bergetar oleh muatan emosi dan rahasia yang telah terlalu lama dikuburkan di dalam hatinya.
Dingin yang menggigit, onggokan salju, serta salju yang turun di salah satu musim dingin terparah di Jepang itu sepertinya mulai mereda. Dan akhirnya muncullah tanda pertama datangnya musim semi tahun 1942, menampakkan tanda-tanda kehidupan di pohon-pohon gundul. Michio dengan susah payah berjalan ke pabrik setiap hari dan pulang dengan luka-luka dari mesin-mesin yang sekarang dipakai untuk menghasilkan seragam militer kasar, dan suatu hari ia pulang dengan muka depresi yang lebih dari biasanya.
"Setiap laki-laki sehat jasmani di pabrik sudah dipanggil untuk mendaftar di militer, dan para perempuan di sini akan diminta untuk menggantikan pekerjaan mereka di pabrik," ujarnya dengan perasaan berat. "Setiap laki-laki kecuali mereka yang memiliki cacat seperti aku sehingga ditolak oleh militer dan harus tetap tinggal untuk bekerja bersama para perempuan!"
Meskipun Tomi diam-diam mengucap syukur atas luka yang membuat suaminya tetap berada di sisinya, ia tahu bahwa suaminya benar-benar merasa bersalah dan malu atas ketidakmampuannya untuk berjuang demi negaranya, maka ia berkata menghibur, "Aku yakin, seperti setiap laki-laki di negara ini, kau ingin melakukan kewajibanmu, Michio. Tapi itu bukan salahmu kau memiliki luka yang membuatmu tak bisa bergabung dalam militer."
Michio terdiam untuk waktu yang lama sebelum melanjutkan, "Kupikir Sayuri harus pergi dan bekerja di pabrik. Mungkin saja setelah semua laki-laki pergi, para perempuan akan diminta bekerja di sawah. Bekerja di pabrik jelas lebih ringan daripada kerja keras semacam itu."
"Tidak, Ayah, aku tidak mau bekerja di pabrik sebab aku punya rencana lain," jawab Sayuri.
Kemarahan pribadi Michio kepada dirinya sendiri atas ketidakmampuannya mengabdi pada negaranya tiba-tiba membuncah dan ia menampar Sayuri keras-keras sambil berteriak, "Hentikan pikiran tidak patriotismu itu! Orang Jepang tidak boleh bersikap seperti itu!"
Shock atas kekerasan yang tiba-tiba keluar dari ayahnya serta pedihnya tamparan itu, Sayuri lari keluar ruangan dengan air mata menuruni wajahnya. Ia menangis semalaman, menangisi perang tak diundang yang membawa pergi kaum laki-laki serta memecah belah keluarga harmonis seperti miliknya menjadi kepingan-kepingan yang berselisih.
Bab 5 SORE yang damai dan biasa-biasa saja di Matsumoto terkoyak oleh deru keras dan bising dua pesawat tempur yang melintas di langit dan meninggalkan jejak asap yang masih terlihat lama setelah keduanya pergi. Kerangka kayu sederhana milik rumah-rumah di sana bergetar terkena daya yang ditimbulkan dan ditinggalkan kedua pesawat itu.
Sayuri berdiri diam di luar rumah, mengamati hingga kedua pesawat itu hilang dari pandangan. Dadanya penuh dengan rasa bangga pada kedigdayaan negaranya. Tampilan ribuan pesawat tempur berwarna gelap laksana bala pasukan belalang di angkasa kembali memenuhi pikirannya dan Sayuri merasakan tarikan kuat untuk menjadi bagian dari rantai manusia yang melindungi negaranya itu. Tetapi ia seorang perempuan dan ia sama sekali tidak punya gambaran bagaimana ia bisa melakukan itu.
Malam itu Michio membawa pulang sekotak belut asap yang jarang mereka dapati, yang dihadiahkan oleh para pengawas di pabrik kepada keluarganya. Mereka semua dengan penuh semangat menanti Tomi menghidangkan belut itu untuk makan malam. Radio baru menyiarkan program berita dan mereka mendengarkan laporan yang seperti biasa menceritakan tentang perkembangan dan kemenangan Jepang di Asia Tenggara. Lalu program itu dipotong oleh satu pengumuman khusus: pemimpin militer telah mengeluarkan perintah bagi seluruh pemuda Jepang berusia tujuh belas tahun ke atas yang masih tersisa di setiap kota dan desa di Jepang untuk secepatnya mendaftar wajib militer. Terdengar tarikan napas pendek dan suara pecah ketika mangkok nasi yang dipegang Tomi tergelincir dari tangannya dan jatuh ke lantai.
Sayuri menoleh dan mendapati wajah pucat ibunya saat ia merintih, "Tidak! Jangan Hiro anakku!"
Tak ada lagi yang ingat pada kotak belut asap yang mewah itu ketika kenyataan tentang perang dan pengorbanan yang harus mereka lakukan kini menggenangi pikiran mereka. Seperti yang dikatakan Bibi Michiko beberapa minggu lalu, bila ini terjadi, tak ada tempat untuk lari atau sembunyi.
Kelak, sepanjang hidupnya, Sayuri akan selalu ingat bagaimana kotak kecil berisi belut asap yang berharga itu tergeletak di tengah-tengah meja makan dan kemudian didorong ke tepi, dilupakan.
Anak laki-laki berusia hampir delapan belas tahun itu, Hiro, yang tidak pernah meninggalkan kota ini atau keluarganya, perasaannya bercampur antara takut akan kerasnya hidup seorang prajurit dan bangga karena akhirnya dipanggil untuk mengabdi pada negaranya. Tetapi propaganda patriotis yang gencar disiarkan di radio telah berhasil membakar dada para pemuda polos itu dan menyalakan semangat yang tepat sehingga pada akhirnya rasa bangga berhasil mengalahkan ketakutan itu dan Hiro tidak sabar lagi menyerahkan hidupnya kepada militer.
Hanya para ibu seperti Tomi yang tak bisa dibohongi tentang apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan dilakukan Angkatan Bersenjata Kerajaan yang ambisius terhadap putra-putra mereka. Pemuda-pemuda itu, yang sebagian berpotensi menjadi lulusan universitas-universitas terbaik di Jepang, akan dijadikan para pembunuh berdarah dingin atas nama nasionalisme dan kehormatan demi melindungi kaisar dan negara.
"Apa gunanya kehormatan kalau putra-putra kita menantang maut setiap hari?" seru Tomi. "Aku lebih memilih hidup daripada kehormatan dan aku tidak merasa malu karenanya!"
"Hentikan, berhenti membuat pernyataan-pernyataan tak patriotis semacam itu," bentak suaminya. "Apa kau mau kempetai mendatangi kita? Seminggu lalu, seorang rekan kerjaku dihukum berat karena lupa menaikkan kembali bendera Jepang di depan rumahnya setelah selesai mencucinya. Kempetai ada di mana-mana dan tidakkah kau sadar bahwa sudah menjadi kodrat kita untuk mengorbankan apa pun yang diminta demi bangsa kita."
"Jangan keras-keras, Michio!" pinta istrinya. "Seperti yang kau bilang, kempetai ada di mana-mana. Apa kau mau mereka mendengar kita?"
Esok harinya, ketukan di pintu depan yang mereka takutkan terdengar juga. Dan setelah dua petugas rekrutmen itu memberi tanda pada nama Hiro di buku catatan mereka, adik Sayuri itu dibawa ke balai kota untuk pendaftaran resmi. Ketika ia melompat masuk ke mobil militer yang menunggu di luar, Hiro menoleh untuk menunjukkan talisman yang dikalungkan di lehernya oleh ibunya untuk perlindungan. Dua jam setelahnya Hiro kembali membawa berita bahwa ia harus berangkat ke Tokyo dengan kereta esok dan malam ini mereka akan makan malam bersama terakhir.
Lalu, seakan dinas militer Hiro yang mendadak belumlah cukup, keesokannya, tepat sebelum keberangkatan adiknya, Reiko muncul di rumah Sayuri dengan muka pucat dan sedih.
"Mereka datang dan membawa pergi Yukio ke Tokyo dan aku tak tahu apa aku akan pernah melihatnya lagi," isaknya. "Kami semestinya menikah di musim gugur, Sayuri, tidakkah mereka bisa menunggu setelahnya?"
"Aku tahu perasaanmu, Reiko," jawab Sayuri sedih. "Adikku Hiro juga pergi dan semalaman ibuku menangisinya begitu hebat hingga aku tak tahu harus berbuat apa. Tak lama, semua pemuda akan pergi dan hanya para perempuan dan laki-laki tua yang tersisa di sini."
"Aku ingin ikut dia ke Tokyo," kata Reiko. "Aku akan mendaftar sebagai perawat di salah satu rumah sakit di sana. Aku begitu mencintainya sampai-sampai aku tak sanggup membayangkan hanya duduk diam di sini menanti kabar darinya! Maukah kau mendaftar bersamaku, Sayuri? Lagipula kau selalu berkata mau melakukan sesuatu untuk negara kita!"
Udara langsung senyap dan Sayuri ingat berpikir betapa anehnya ketika pada akhirnya Reiko yang tak punya ambisi lebih dari menikah dan menjadi istri serta ibu yang baik itulah yang mengambil langkah pertama untuk terlibat dalam perang ini.
"Tolong katakan kau akan pergi bersamaku," pinta Reiko ketika Sayuri masih saja ragu-ragu. Keraguan itu bukan atas dasar keengganan, tetapi dari rasa malu karena ia bukanlah yang pertama mengusulkan untuk terlibat langsung dalam urusan perang ini.
"Yukio-ku yang malang akan dikapalkan ke Asia Tenggara bersama dengan adikmu dan kita mungkin tak akan pernah bertemu dengan mereka lagi. Aku mau berada di sana, di Tokyo, ketika hal itu terjadi!" Reiko melanjutkan dan suaranya seperti datang dari kejauhan ketika suatu ide tiba-tiba terbentuk di pikiran Sayuri.
"Kami semestinya menikah dan merasa bahagia! Ibuku baru saja menyelesaikan kimono pengantinku dan baju itu akan hanya tergantung di kamarku tanpa bisa mengemban tugasnya hingga Yukio kembali."
"Tetapi, sejujurnya, aku bahkan tidak tahu apa ia akan pernah kembali dan berapa lama kimono itu akan terus tergantung di dinding kamarku! Di dalam hatiku aku punya firasat bahwa ini akhir dari kami berdua dan aku tak akan pernah memakai kimono itu!"
Dan seakan menegaskan pikiran buruk Reiko, satu pesawat terbang menderu melintasi langit dan meninggalkan jejak asap. Dan tepat pada saat itu Sayuri memutuskan bahwa ketika Reiko naik kereta yang berangkat ke Tokyo, ia akan berada di sampingnya.
Ketika Sayuri menatap wajah penuh tekad sahabatnya yang dihiasi air mata dan bibir melengkung indahnya kini membentuk satu garis lurus yang tegas, tahulah ia bahwa mereka berdua telah berubah dalam waktu semalam dan tak lama mereka juga akan terisap ke dalam pusaran perang yang sarat emosi itu sebab dunia mereka yang damai dan aman telah mulai runtuh.
Makan malam terakhir untuk Hiro pada malam sebelum keberangkatannya dipenuhi dengan emosi dan air mata. Tetapi wajah remaja laki-laki dan ayahnya itu bersinar oleh rasa bangga dan harapan. Tomi mengkhianati rasa percayanya yang kuat bahwa anaknya tak akan terjamah oleh perang ketika ia diam-diam membuat ikat pinggang tradisional dari seribu jahitan untuk perlindungan yang dilingkarkannya pada pinggang putranya. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk melindungi putranya dalam perjalanannya menuju peperangan yang jarang memulangkan prajurit itu.
Keesokan harinya Hiro berangkat bersama peserta lain dan Tomi tak sanggup datang ke stasiun untuk melepasnya pergi. Namun akhirnya ia tak dapat menahan dirinya untuk tidak datang dan saat gerbong-gerbong kereta api yang dipenuhi oleh para pemuda yang bersorak-sorai mulai bergerak, Sayuri melihat ibunya berlari di samping gerbong Hiro sambil berteriak, "Hiro! Hiro! Pulanglah dengan selamat!" Di kejauhan, mereka melihat tangan terjulur dari gerbong yang bergerak dengan cepat itu, melambaikan syal hijau yang mereka kenal baik. Maka tahulah mereka bahwa Hiro telah melihat ibunya datang ke stasiun untuk melepas kepergiannya.
"Setelah Hiro dibawa pergi dari kami, segalanya berubah. Tawa dan kesenangan yang masih kami miliki di rumah kini padam dan rasa murung seakan menaungi tiap-tiap dari kami. Ibuku sering menangis. Ia menangis waktu menerima surat bulanan dari Hiro dan tangisnya kian menjadi bila surat itu datang terlambat. Ayahku menarik diri ke dalam dunianya sendiri, diam dan jauh."
Dan seolah keadaan tak bisa jadi kian buruk, delapan bulan setelah Hiro diikutkan wajib militer, sepucuk surat dari Hiro memberitahu keluarganya bahwa ia akan dikirim ke Asia Tenggara. Jemari dingin rasa takut dan ngeri pun mencengkeram mereka kian erat.
"Semua orang tahu bahwa bila seorang prajurit dikirim ke Asia Tenggara, kecil kemungkinan baginya untuk kembali
Bab 6 AKU melarangmu pergi ke Tokyo, Sayuri," seru ibunya.
"Dengan perang yang berkecamuk dan pasukan Sekutu tak henti-hentinya mengebom ibukota, Tokyo menjadi tempat paling berbahaya saat ini! Aku sudah mengorbankan putraku demi bangsa ini, apa aku harus mengorbankan putriku juga?"
Meskipun reaksi Tomi seperti yang telah disangkanya, hati Sayuri tetap terenyak.
"Tapi, Ibu, ada ribuan prajurit yang terluka di Tokyo dan mereka sangat membutuhkan perawat," protesnya. "Aku merasa tidak berguna bersembunyi di sini dari perang, dan bahkan Reiko pun akan mendaftarkan diri sebagai perawat perang! Kemungkinan kami akan bertugas di rumah sakit dan rumah tinggal yang sama, dan kami bisa saling menjaga. Kau akan lihat, Ibu, bahwa semuanya akan baik-baik saja." "Tapi kau dan Reiko tidak tahu apa-apa soal menjadi perawat. Ingat bagaimana kau dulu muntah bila melihat darah? "Tomi bersikeras. "Bagaimana kau bisa tahan merawat para prajurit yang terluka parah, yang mungkin sudah kehilangan tangan dan kakinya? Coba pikir, Sayuri, pikir.
Rumah sakit itu akan dipenuhi oleh orang-orang yang mati, sekarat, terluka, dan cacat. Kau harus menyaksikan semua itu setiap hari! Bagaimana kau bisa menghadapinya?"
"Aku sudah memikirkan ini, Ibu, dan aku tahu aku bisa melakukannya! Mereka membutuhkan setiap perempuan yang bisa mereka dapatkan dan mereka akan melatih kami," jawab Sayuri pelan. "Kurasa saat-saat seperti ini bisa membuat seseorang menjadi sangat kuat. Aku terbaring nyalang di malam hari, berpikir bahwa suatu hari mungkin saja itu adikku tersayang, Hiro, yang terbaring kesakitan di rumah sakit itu sementara aku ada di sini di balik futon-ku yang nyaman dan tak melakukan apa pun untuk menolongnya. Tidakkah kau lihat, Ibu, aku harus ada di sana. Aku harus melakukan sesuatu!"
Sayuri berdoa supaya ibunya segera luluh. Reiko sudah menunggunya selama lebih dari dua minggu, dan tidaklah adil untuk membuatnya menunggu tanpa kepastian. Sayuri dapat memahami ketidaksabaran temannya itu untuk segera sampai di Tokyo dan berada dekat dengan Yukio-nya tercinta, meskipun Reiko mungkin tak akan bisa bertemu dengannya. Meskipun ia sudah berusia sembilan belas tahun dan bisa saja langsung naik kereta ke Tokyo tanpa izin ibunya, meskipun ia memiliki begitu banyak ambisi dan ide untuk kemajuan, di lubuk hatinya, Sayuri tetaplah seorang putri konvensional Jepang dan tak dapat mengambil langkah sebesar itu tanpa restu ibunya.
Jadi ia menunggu hampir satu minggu lagi agar Tomi melunak. Dan akhirnya, mendekati akhir pekan, ibu Sayuri datang dan berkata pasrah, "Ayahmu benar, dan bila kau begitu bertekad untuk pergi dan berbakti bagi bangsa kita, aku tak akan menghalangimu. Lagipula satu demi satu anak muda di kota ini mulai pergi dan terisap melalui caranya masing-masing ke dalam perang ini, dan makanan serta persediaan lainnya kian lama kian susah didapat. Hanya karena ayahmu bekerja di pemerintah setempat sajalah kita masih bisa memiliki makanan yang cukup di atas meja."
Air mata yang tertahan di mata Sayuri selama berhari-hari kini tumpah dan mengalir deras membasahi wajahnya bersama rasa lega ketika ia memeluk ibunya dalam diam, terlalu bahagia untuk bisa merangkai kata-kata.
"Terima kasih, Ibu." Akhirnya ia berucap. "Aku akan menjadi perawat terbaik di seluruh Jepang dan membuat kalian berdua bangga atasku."
"Pergilah, Nak," jawab Tomi dengan suara serak, tak ingin emosi apa pun melemahkan niatnya untuk tak menghalangi putrinya. "Ada kereta ke Tokyo yang akan berangkat esok lusa, dan kau punya waktu kurang dari dua hari untuk mempersiapkan semuanya."
Lalu ia buru-buru pergi agar Sayuri tidak melihat matanya yang berkaca-kaca. Tomi tidak tahu apa ia seharusnya bersikeras dan menolak mengizinkan Sayuri pergi ke Tokyo. Apa yang dikatakan Higuchi san, tetangganya yang berjarak
Jadi ia menunggu hampir satu minggu lagi agar Tomi melunak. Dan akhirnya, mendekati akhir pekan, ibu Sayuri datang dan berkata pasrah, "Ayahmu benar, dan bila kau begitu bertekad untuk pergi dan berbakti bagi bangsa kita, aku tak akan menghalangimu. Lagipula satu demi satu anak muda di kota ini mulai pergi dan terisap melalui caranya masing-masing ke dalam perang ini, dan makanan serta persediaan lainnya kian lama kian susah didapat. Hanya karena ayahmu bekerja di pemerintah setempat sajalah kita masih bisa memiliki makanan yang cukup di atas meja."
Air mata yang tertahan di mata Sayuri selama berhari-hari kini tumpah dan mengalir deras membasahi wajahnya bersama rasa lega ketika ia memeluk ibunya dalam diam, terlalu bahagia untuk bisa merangkai kata-kata.
"Terima kasih, Ibu." Akhirnya ia berucap. "Aku akan menjadi perawat terbaik di seluruh Jepang dan membuat kalian berdua bangga atasku."
"Pergilah, Nak," jawab Tomi dengan suara serak, tak ingin emosi apa pun melemahkan niatnya untuk tak menghalangi putrinya. "Ada kereta ke Tokyo yang akan berangkat esok lusa, dan kau punya waktu kurang dari dua hari untuk mempersiapkan semuanya."
Lalu ia buru-buru pergi agar Sayuri tidak melihat matanya yang berkaca-kaca. Tomi tidak tahu apa ia seharusnya bersikeras dan menolak mengizinkan Sayuri pergi ke Tokyo. Apa yang dikatakan Higuchi san, tetangganya yang berjarak dua rumah? Bahwa putra dan putrinya telah dikirim ke Asia Tenggara dan tak ada yang tahu di mana mereka sekarang? Higuchi dan suaminya hampir setiap hari datang ke kantor pemerintah setempat, ribut meminta kabar dari para petugas birokrasi yang dingin itu tentang anak-anaknya, tetapi selalu tidak ada berita apa-apa. Dan sekarang giliran Michio serta dirinya untuk kehilangan anak-anak mereka. Baru hampir delapan bulan yang lalu Hiro pergi, dan sekarang Sayuri bersiap pergi.
Kesunyian udara di luar tiba-tiba dikoyak oleh satu lagi pesawat tempur yang menjelajah langit, dan Bumi gemetar meskipun di dalam ruangan itu hangat. Apa Hiro ada di dalam pesawat itu, dikirim ke suatu tempat sambil memegang senjata yang tak terlalu dikuasainya? Selain panggilan telepon dari Tokyo yang samar dan terasa jauh, mereka tak mendapat kabar apa pun darinya selama dua bulan terakhir. Dan bagi Tomi dan Michio, penderitaan menanti putranya kembali dalam keadaan hidup atau mati barulah dimulai.
Petang itu, sebelum mereka berangkat ke Tokyo keesokan harinya, Sayuri dan Reiko untuk terakhir kalinya berjalan ke tempat kesukaan mereka, yaitu satu tebing batu yang menjorok di atas aliran sungai yang melintasi daerah mereka. Sayuri mengenang sekian banyak rahasia yang mereka bagi sambil berbaring bersisian di permukaan batu yang datar itu musim demi musim, mulai dari musim semi, musim panas, musim gugur yang keemasaan dengan pohon-pohon berkilau dan langit cerah, serta musim dingin yang putih.
"Apa kau takut, Sayuri?" tanya Reiko. "Aku tak pernah pergi ke Tokyo dan berada di sana sendirian tanpa keluarga bersama dengan sekian banyak prajurit, oh Sayuri, aku sangat takut. Tapi aku harus berani, sebab Yukio-ku ada di sana, dan suatu hari bila ia dibawa dalam keadaan terluka, aku harus ada di sana untuknya."
Wajahnya berubah sedih dan ia mulai menangis, "Aku begitu merindukannya dan betapa membingungkannya kehidupan kami tercerai-berai seperti ini. Semalam aku bermimpi tentangnya di suatu hutan dengan serangga terbang mengelilinginya. Ia berteriak memanggilku dan ketika ia membalikkan badan, aku melihat lubang di salah satu sisi wajahnya, lalu darah mulai keluar dari sana. Sungguh mengerikan, Sayuri, dan aku terbangun dengan keringat membanjiri tubuhku."
"Jangan bicara seperti itu, Reiko," jawab Sayuri, sebab ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakan. "Saat perang usai, kita semua akan kembali kemari dan merayakan pernikahan paling megah di Matsumoto untukmu dan Yukio."
Sayuri tidak mengatakan kepada temannya bahwa ia tak akan pernah menghadiri pernikahan itu sebab ia tahu persis tujuan utamanya dan ia mungkin tak akan kembali ke Matsumoto dalam keadaan hidup.
Keseriusan keputusan itu begitu menakutkan sehingga, untuk mengalihkan pikirannya dari akibat yang mungkin timbul, Sayuri mengeluarkan gunting kecil dari kantong kain mungilnya, menggunting seikat rambutnya lalu berkata riang, "Beri aku seikat rambutmu, dan akan kusatukan dengan milikku di dalam kantong ini yang akan kita letakkan di bawah batu sebagai lambang keselamatan dan keberuntungan. Siapa pun yang kembali lebih dulu akan datang kemari untuk mengambilnya dan menunggu yang satu lagi kembali."
Sambil mengusap air matanya, Reiko mengambil gunting Sayuri dan memotong seikat rambutnya yang kemudian ia masukkan ke dalam kantong itu. Kedua sahabat itu lalu mengangkat batu besar dan berat di sana dan menyelipkan kantong itu di bawahnya.
Itu adalah janji keberuntungan yang mereka kenal dari hidup di kota yang sarat dengan cerita rakyat dan tahayul. Tetapi kantong berisi rambut itu juga dikubur sebagai simbol dikuburkannya masa muda mereka yang riang. Apa pun yang terjadi nanti, mereka berdua tahu semuanya tak akan sama lagi.
"Itulah saat bahagia terakhir yang kubagi dengan Reiko di kota kecil kami sebelum perang mengambil alih kehidupan kami," kata perempuan itu dengan sedih. Dan ketika menatap ke dalam mata Sayuri Miyamoto yang dalam dan sayu, tahulah Mayumi bahwa perempuan tua itu telah membawa dirinya kembali ke tempat dan orang-orang yang begitu dikenalnya.
"Setelah perang usai, aku kembali ke tempat itu dan kantong berisi rambut yang Reiko dan aku kuburkan masih ada di bawah batu itu. Benda itu telah menepati janjinya untuk menjagaku dan membawaku kembali dengan selamat, tetapi ia tidak melindungi Reiko, orang yang seharusnya hidup dan bukannya aku. Karena kecewa dan teramat sedih atas pengkhianatan ini, aku mengambil kantong itu dan melemparkannya dengan segenap tenaga dan jiwaku yang terluka ke sungai di bawah."
"Aku merasa lebih baik setelah itu sebab itu seperti melepaskan jiwa kami yang terkoyak perang ke sungai yang mengalir tenang dan mulai menyembuhkannya kembali."
Bab 7 BAGI saat kedua gadis itu berangkat ke Tokyo, langit berwarna kelabu dan hujan turun diiringi udara dingin. Padahal, beberapa hari sebelumnya udara terasa hangat meski tergolong ganjil untuk musim itu. Bagi Sayuri, suasana itu seakan menandakan langit yang diam-diam menangisi semua orang di stasiun itu yang melepas kepergian orang yang dicintainya, suami, putra, putri, atau kekasih. Pemandangan yang sarat emosi, yang menampilkan perpisahan nan sedih serta janji yang sulit dan berani untuk kembali dengan selamat, janji tanpa kepastian sama sekali.
Namun di antara rasa takut dan gelisah yang membanjiri setiap anggota keluarga yang berdiri di stasiun pada pagi yang dingin dan basah itu, terdapat pengharapan dan kebanggaan yang terpancar dari wajah-wajah para pemuda dan pemudi yang berangkat dengan keyakinan bahwa mereka bisa membantu bangsa mereka yang sedang bergejolak. Inilah akhir dari diskusi panjang, pertengkaran menyakitkan, ketakutan yang terpendam, serta air mata yang mengalir deras. Dan mulai saat itu, tidak bisa lagi ada kata mundur.
Ketika terbangun pagi itu, Sayuri sesaat merasa ragu dan panik, dan pertanyaan yang berusaha dihindarinya selama berhari-hari kini memenuhi kepalanya, membuatnya merasa pusing dan lemah. Benarkah yang mereka lakukan ini, pergi ke Tokyo, tepat ke jantung kericuhan dan bahaya di masa perang? Apa yang ingin dicapainya dengan melakukan itu dan apa ia bisa mengubah sesuatu? Setelah mengguyur wajahnya dengan air sedingin es, barulah ia bisa merasa cukup tenang untuk bisa terlihat wajar di ruang makan. Sayuri tahu ia harus memasang tampang berani dengan cara apa pun, sebab itu satu-satunya cara untuk membuat ibunya bertahan dari tekanan melepaskan kepergian putrinya menyusul putranya ke medan perang.
Ritual melipat fiiton di kamarnya untuk terakhir kalinya pagi itu serta makan pagi bersama yang begitu sedih sebelum mereka berangkat ke stasiun adalah peristiwa yang begitu sering diingatnya di bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang, termasuk tatapan mata ibunya yang diam-diam memohon agar Sayuri mengubah pikirannya.
"Tidak, Ibu, aku harus pergi. Bangsa ini membutuhkanku," jawabnya pada permohonan tanpa suara dari ibunya itu.
"Bangsa ini akan mengambil siapa pun yang siap mati untuknya," ucap Tomi. Namun setelah itu, dengan susah payah ia memaksakan satu senyum dan meminta maaf, "Maafkan aku, Sayuri chan, tak seharusnya aku berkata seperti itu. Hari ini adalah hari penting bagimu, ketika kau melangkah pergi dari sini sebagai seorang perempuan dewasa untuk melakukan apa yang kau yakini. Tapi aku seorang ibu, dan hati seorang ibu pasti akan melakukan apa saja untuk melindungi dan menjaga anak-anaknya agar tetap selamat "
Ia buru-buru keluar dari ruangan itu, dan Sayuri tahu bahwa ibunya pergi ke taman mungil di luar untuk menghirup udara dingin dan menenangkan dirinya. Untuk sesaat ia berpikir untuk menyusul Tomi dan mengusir kesedihan itu dengan memeluknya, tapi diurungkannya. Begini lebih baik. Saat ini, apa pun bisa menjadi alasan untuk Sayuri membatalkan keputusannya, dan menuruti luapan emosi mendadak ibunya bisa menjadi salah satu hal yang menggoyahkan niatnya.
Pagi itu, kesunyian yang ada di bangunan kayu stasiun kereta yang kecil dan dilengkapi dengan dua bangku yang cat putihnya sudah mengelupas di sana-sini berubah hiruk-pikuk oleh begitu banyak orang dan pesan serta salam perpisahan yang dilontarkan oleh teman-teman dan keluarga. Hampir seluruh penduduk kota datang untuk mengantar kepergian para pemuda dan pemudinya menuju pusat-pusat pelatihan yang keras, rumah-rumah sakit yang minim tenaga, serta kamp-kamp militer di Tokyo. Seseorang memainkan lagu kebangsaan dan kerumunan orang itu menjadi lebih tenang dan berbicara lebih pelan, dan Sayuri dapat merasakan gelombang nasionalisme penuh kebanggaan datang dari jantung setiap orang yang ada di stasiun itu.
"Itu emosi yang sangat kuat dan meluap-luap hingga terasa bagai tsunami atau gelombang pasang yang menyapu kami semua dan mengisap kami ke dalam pusarannya." Hanya itu penjelasan yang mampu diberikan Sayuri tentang apa yang ia rasakan bersama semua orang yang hendak berangkat menaiki kereta pagi itu.
Dengan caranya sendiri, emosi itu mengalihkan mereka dari rasa sedih karena meninggalkan keluarga mereka dan menjadikan perpisahan itu lebih tertahankan. Tak ada yang terasa nyata, dan Sayuri merasa menjadi seseorang yang menonton adegan drama yang dimainkan di hadapannya dan ketika kereta sarat muatan itu mulai bergerak meninggalkan stasiun, barulah efek perpisahan itu mulai sungguh-sungguh terasa.
"Gambaran dan ingatan terakhirku tentang ibu adalah sosok yang berlari seiring gerbong yang kutumpangi sejauh yang ia bisa dengan air mata mengalir di wajahnya dan bibirnya mengucapkan kata-kata yang tak bisa lagi kudengar ketika mesin kereta yang bising itu semakin meraung keras dan kereta bergerak semakin cepat, meninggalkan kerumunan sanak saudara yang menangis dan melambaikan tangan di stasiun yang tampak kian lama kian jauh."
Di atas kereta, teriakan "Banzai" yang penuh semangat masih terdengar jauh setelah para pendukung gerakan rekrutmen yang sangat antusias itu tertidur pulas, kelelahan oleh muatan emosi mereka sendiri serta keluarga mereka yang berkumpul di stasiun untuk melepas mereka pergi.
"Itu adalah ekspresi rela berkorban dan cinta tanpa pamrih terhadap kaisar dan negara nan begitu menyentuh hati dan meluap-luap yang sulit dilupakan."
Bab 8 MALAM itu, setelah Mayumi pergi dengan permintaan supaya mereka melanjutkan wawancara dan rekaman ini besok, Sayuri masuk ke dalam kamarnya dan mengambil yang terkubur di dalam oshire-nya, kopor coklat butut yang dibawanya di hari ia berangkat ke Tokyo.
Ada stiker smiley face yang sudah terkelupas di sana-sini yang ditempelkan Reiko di bagian depan kopor itu untuk menghiburnya di akhir hari yang sangat melelahkan di rumah sakit sehari setelah tentara Amerika melakukan pengeboman balasan terhadap Tokyo.
Di Tokyo yang miskin dan poranda karena perang, Sayuri tidak habis pikir di mana Reiko bisa mendapatkan stiker-stiker lucu seperti itu untuknya, tetapi wajah-wajah tersenyum warna kuning terang itu membuat hatinya ngilu selama bertahun-tahun karena ia memikirkan wajah sahabatnya yang cantik dan baik hati dan bahwa ia telah meninggal tanpa pernah merasakan usia tua yang sering mereka bicarakan.
"Kita akan membeli rumah yang bersebelahan dan menanam sendiri sayuran serta buah-buahan kita," kata Reiko. "Dan siapa tahu kita akan menjadi orang paling tua di dunia!"
Satu tetes air mata bergulir dari mata Sayuri ketika ia mengusapkan jemarinya pada stiker itu. Sudah bertahun-tahun ia tak kuasa membuka kopor itu dan butuh waktu cukup lama bagi jemarinya yang kaku karena artritis untuk membuka kuncinya.
Setelah bertahun-tahun lewat dan usia senja membuat hari kian terasa panjang, Sayuri belum sanggup mendekati kopor tuanya dan menengok orang-orang yang begitu dicintainya dan yang telah diambil darinya. Hari ini, untuk pertama kalinya, ia merasa butuh mengubur dirinya dengan kenangan-kenangan dari kopor coklat tuanya dan memandangi foto-foto pudar keluarganya, Reiko dan teman serta kekasihnya, Takushi. Ia menyimpan seragam perawat yang terakhir dipakai Reiko dan seragam pilot Takushi di kopor itu dan ketika ia membenamkan wajahnya pada pakaian-pakaian berdebu itu, ia hampir bisa merasakan aroma dan kehadiran mereka.
"Aku sangat merindukan mereka, bahkan sampai di usia tuaku," bisiknya. Dan air mata yang telah berusaha ditahannya kini turun membasahi wajahnya, menetes pada wajah tersenyum Reiko yang berpose di sebelah lampion kertas besar kedai yakitori, meninggalkan jejak-jejak percikan kecil debu yang basah. Sayuri ingat foto itu. Waktu itu ulang tahun terakhir Reiko dan mereka diam-diam meninggalkan rumah sakit untuk merayakannya di suatu kedai yakitori kecil di kelokan jalan, meminum beberapa cangkir sake sambil menikmati beberapa tusuk sate ayam yang lezat dan tentunya didapatkan secara ilegal, sementara sirine peringatan meraung-raung.
Untuk mengabadikan kenangan saat itu, Sayuri meminjam kamera seorang dokter di rumah sakit yang jatuh cinta dengannya. Dan itu adalah foto terakhir Reiko tepat sebelum ia terbunuh dan keadaan jadi tak terkontrol lagi bagi Sayuri yang bersumpah untuk membalas kematian sahabatnya itu. Lalu ada foto Takushi-nya tercinta. Gigi yang begitu putih dan senyuman indah itu tetap bersinar di foto yang telah dimakan usia dan tertutup debu sekian lama!
Berat baginya untuk menjadi tua dan yang terakhir meninggal. Tahun demi tahun, dari satu ulang tahun ke ulang tahun berikutnya, Sayuri hidup dengan membawa beban kenangan dan cinta yang begitu sedih dan terus menggerogotinya tanpa mau pergi, bahkan di hari pernikahannya dengan Hiroshi. Pernikahan yang dilakukannya agar ia tidak harus beradaptasi dengan hidup pasca perang sendirian. Hiroshi yang malang. Ia adalah laki-laki yang baik dan berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya bahagia. Namun, meskipun Sayuri perlahan-lahan mulai menyukainya, ia nyaris merasa lega ketika Hiroshi meninggal. Dan setelah melaksanakan tugasnya mengadakan upacara pemakaman yang besar dengan segenap cinta dan rasa hormat seorang istri, Sayuri akhirnya bebas menanti hari ia dipersatukan dengan Takushi dalam kehidupan yang pernah mereka bicarakan malam sebelum mereka berdua melakukan serangan udara terakhir mereka.
Sekarang Sayuri mengenang tentang kunjungan yang pernah dilakukannya bersama Reiko dan adiknya, Hiro, ke suatu kuil. Mereka membayar mahal untuk diramal nasibnya. Kepada Sayuri dikatakan ia akan dikaruniai umur yang sangat panjang, dan ketika Hiro serta Reiko diberitahu tak akan hidup terlalu lama, keduanya tak ambil pusing dan berjalan pergi sambil dengan ringan berkata kalau mereka sebenarnya tidak percaya ramalan. Tetapi hidup di masyarakat yang tumbuh bersama tahayul dan pembacaan ramalan di kuil membuat Sayuri tahu bahwa mereka jauh merasa terganggu dengan ramalan itu daripada yang mereka katakan! Dan pada akhirnya terbukti bahwa peramal itu memang benar.
Sambil mengembuskan napas panjang Sayuri melihat terakhir kalinya pada foto-foto yang telah mengabadikan banyak momen dalam hidupnya itu, menutup kopor itu, dan meletakkannya di samping meja riasnya. Besok ia akan menunjukkan sebagian barang-barang itu kepada si sejarawan muda, Mayumi.
"Aku tahu kita sepakat untuk hidup dan menjadi orang-orang tertua di dunia," bisik Sayuri. "Tapi demi Tuhan, aku tidak bermaksud untuk terus hidup seperti ini, sendirian!"
Lalu ia duduk di kursi goyang kesayangannya, memejamkan mata, dan membiarkan gerakan mengayun yang dilakukannya membawa ruangan besar dan lapang itu menjelajah waktu, saat di mana rumah berarti suatu ruangan suram dan sempit yang hanya mampu menampung enam alas tatami yang dibaginya dengan Reiko serta dua perawat lain, terletak beberapa blok dari rumah sakit tempat mereka ditugaskan.
Perjalanan dari Matsumoto ke Tokyo begitu gerah, sesak, dan melelahkan. Dan di saat mereka berpikir udara pengap di kereta itu tak akan mampu lagi menampung orang sebanyak itu, kereta kembali berhenti dan mereka mendapatkan tambahan penumpang lagi. Bangku yang biasanya ditempati tiga orang pada hari itu diduduki oleh setidaknya lima orang, dan ada lebih banyak lagi orang yang berdiri di koridor-koridor sempit itu. Bahkan angin yang masuk melalui jendela-jendela gerbong kereta yang melaju kencang tak dapat menggerakkan udara di gerbong-gerbong yang penuh sesak itu.
Sayuri sangat menyukai kereta api dan ketika masih kanak-kanak, ayahnya senang membawanya ke stasiun untuk melihat kereta lewat. Dan di suatu hari yang tak terlupakan, ketika ia berusia delapan tahun, orangtuanya membawanya naik kereta dalam perjalanan panjang mengunjungi neneknya di desa. Tetapi untuk perjalanan yang dilakukannya sekarang, ia harap ini akan segera berakhir. Ketika berebut mencari tempat duduk, Reiko terpisah darinya dan di tengah lautan wajah gelisah ini, ia hanya bisa melihat wajah temannya yang telah berubah pucat karena mabuk darat. Dan ia berdoa Reiko mampu bertahan untuk tidak muntah sampai mereka tiba di Tokyo. Seorang perempuan baru saja muntah di belakang sana, dan bau tidak sedap muntahan itu semakin menambah bau tak menyenangkan yang mengisi gerbong.
Pada suatu saat, Reiko menoleh dan pandangan mereka bertemu. Sayuri membentuk huruf V dengan jemarinya sambil menggerakkan bibirnya, mengucapkan kata-kata untuk menyemangati temannya dan Reiko membalas dengan senyum lemah serta anggukan kecil. Dari seberang kerumunan manusia yang memadati gerbong kereta yang selalu berderak oleh tekanan dan muatan emosi, Reiko meyakinkan temannya bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan baik-baik saja.
Menjelang petang, ketika temperatur udara di kereta sudah mulai turun, terdengar derit keras rem dan suara serak di pengeras suara menyebutkan bahwa mereka sudah sampai di Tokyo. Terdengar desahan napas lega, lalu sorakan dan tepuk tangan beberapa tentara dikalahkan oleh keriangan massal karena perjalanan mereka yang begitu tidak nyaman akhirnya selesai.
Terlalu lelah untuk berebut dengan orang-orang yang berbondong-bondong menuju satu-satunya pintu keluar sempit gerbong itu, Sayuri dan Reiko adalah sebagian orang yang terakhir meninggalkan kereta. Dan kini ketika mereka telah sampai di Tokyo, keduanya merasakan keengganan yang aneh untuk meninggalkan rasa aman yang diberikan oleh kereta itu demi kota yang kacau oleh perang di luar sana. Kekhawatiran melanda dirinya, sebab meskipun ia berbohong kepada ibunya bahwa mereka sudah diterima menjadi perawat dan ada tempat tinggal yang menanti mereka di Tokyo, yang ia miliki sebenarnya hanyalah secarik kertas lusuh bertuliskan alamat Bibi Michiko. Bagaimana kalau mereka tak dapat menemukannya? Ke mana mereka akan pergi?
Kedua gadis itu melangkah keluar dari kereta ketika mereka menyadari bahwa hampir semua orang sudah keluar. Mereka berdiri diam untuk sesaat, bingung atas begitu banyaknya orang dan ukuran stasiun yang begitu besar.
"Bagaimana kita akan menemukan rumah Bibi Alichiko?" bisik Reiko.
"Jangan khawatir, Reiko, kita akan menemukannya," jawab Sayuri dengan nada yang lebih yakin daripada perasaannya sendiri. Tetapi sebagai orang yang bertekad bulat untuk pergi ke Tokyo, ia begitu tenang dan dengan penuh kepastian berjalan di depan Reiko keluar dari stasiun, berhenti hanya untuk menanyakan petugas stasiun arah menuju alamat yang tertulis di kertas.
Mereka merasa lega ketika petugas stasiun menunjuk ke jalan di arah kiri stasiun dan mengatakan bahwa rumah yang mereka cari hanyalah lima belas menit berjalan kaki. Bersemangat untuk mencapai tujuan mereka secepat mungkin supaya bisa membilas semua debu yang menempel di tubuh lelah mereka, kedua gadis itu lari sepanjang jalan hingga mencapai rumah bernomor dua puluh dua.
Reiko membelalak tak percaya ketika melihat mulai nomor dua puluh dua dan setelahnya, rumah-rumah di sana sudah hangus terbakar. Sebagian masih menyisakan beberapa pilar kayu sedangkan yang lain hanya tumpukan sisa-sisa kusen pintu dan lantai tatami yang telah menjadi arang.
"Sayuri, kau lihat? Tidak ada rumah nomor dua puluh dua sebab sepertinya ia sudah rata terbakar habis!" seru Reiko. "Rumah Bibi Michiko-mu sudah lenyap dan aku tak tahu apa yang harus kita lakukan!"
"Sebentar, Reiko. Kukira ini rumahnya, dan lihat, ada semacam pondok kecil yang dipakai sebagai gudang yang kelihatannya masih utuh sebagian. Kita bermalam saja di situ malam ini dan kita lihat apa yang bisa kita lakukan besok," jawab Sayuri sambil mulai menyingkirkan tumpukan puing di lantai gudang kecil itu.
Sebagian besar dinding gudang itu sudah terbakar habis, tetapi paling tidak atapnya?entah bagaimana?masih utuh dan bisa menaungi mereka, dan mereka bersyukur di dalam sana masih cukup hangat dan setidaknya mereka tidak akan mati kedinginan.
Sayuri bisa mendengar Reiko terisak pelan dan ia merasa lega orangtuanya tidak tahu soal situasi mereka yang menyedihkan ini. Hampir semalaman ia tak bisa memejamkan mata, menahan napas cemas setiap kali ada ranting patah dan angin yang berembus di sela pepohonan menghasilkan suara-suara menakutkan.
Akhirnya pagi datang juga dan Sayuri sudah tidak sabar meninggalkan gudang terbakar ini lalu mulai mencari solusi dari keadaan mereka sebelum malam menjelang.
"Bangun, Reiko." Ia menguncang lembut temannya yang masih tidur itu. "Aku menemukan kolam kecil di belakang sana dan airnya cukup jernih untuk kita pakai membasuh."
Mereka berdua sangat lapar, tetapi selain dua bungkus biskuit rumput laut dan sebotol kecil teh hijau, tak ada lagi yang bisa dimakan. Dengan bodohnya mereka bergantung pada anggapan bahwa mereka akan setidaknya punya makanan dan tempat tinggal sementara di rumah bibi Sayuri, sambil mereka memikirkan cara untuk menemukan Hiro dan Yukio serta mengatur rencana kegiatan selama di Tokyo. Sekarang mereka harus mencukupkan diri dengan bekal sesedikit itu untuk hari ini sampai mereka menemukan Bibi Michiko atau memperoleh pekerjaan. Seribu yen yang mereka miliki berdua pasti tak akan bertahan lama di Tokyo.
Labirin jalan raya dan jalan kecil yang membentang dari stasiun utama itu begitu kompleks dan membingungkan kedua gadis yang seumur hidupnya tinggal di kota kecil yang hanya punya satu jalan utama dan dua ribu penduduk.
Mereka benar-benar terkesima melihat jumlah orang yang ada di kota yang nantinya mereka tahu tidak pernah sepi ini. Tetapi jejak-jejak perang juga begitu nyata terlihat di sini, gedung-gedung bekas dibom, antrean panjang untuk jatah makanan, dan tentara di mana-mana. Pemandangan yang mengganggu namun juga memaksa orang untuk tetap berpijak pada tanah.
Mereka tidak tahu ke mana harus pergi atau bagaimana harus mulai mencari pekerjaan. Mereka membiarkan diri tersapu arus orang lalu-lalang sampai mereka tiba di semacam alun-alun tempat para perempuan aktivis membagi-bagikan ikat pinggang "pelindung" dengan seribu jahitan kepada setiap prajurit yang membutuhkan.
"Aku akan mati sebentar lagi, jadi lebih baik kau menawarkan tubuhmu daripada ikat pinggang seribu jahitan ini! Paling tidak aku tak akan mati tanpa pernah bercinta dengan perempuan!" seru seorang prajurit kepada seorang gadis muda cantik yang dengan sopan mengabaikan permintaannya itu dan melanjutkan mengikatkan ikat pinggang itu padanya tanpa banyak bicara. Bagaimanapun juga pemuda-pemuda ini semuanya pahlawan dan apa pun yang mereka katakan atau perbuat dapat dimaafkan.
Seorang perempuan yang lebih tua, yang tampak jelas pemimpin kelompok perempuan aktivis ini, salah mengira Sayuri dan Reiko sebagai relawan sehingga memberikan seutas ikat pinggang kepada mereka dan langsung pergi sebelum keduanya bisa mengatakan apa-apa.
"Berhubung kita tidak punya hal lain untuk dilakukan, sekalian saja membantu di sini, dan nanti mungkin kita bisa bertanya pada kelompok perempuan aktivis ini bagaimana kita bisa mendapatkan pekerjaan atau setidaknya tempat untuk bermalam selama beberapa hari," bisik Sayuri.
"Ya, lagipula senang rasanya melakukan sesuatu untuk prajurit kita," Reiko setuju, dan air mata yang menggenang di matanya membuat Sayuri mengerti bahwa ia sedang memikirkan Yukio dan apa mereka bisa bertemu dengannya sebelum ia dilayarkan keluar Jepang menuju Asia Tenggara.
Ketika siang tiba, perut mereka berbunyi karena kelaparan, dan keduanya melahap mi panas yang telah disediakan oleh relawan lain bagi mereka di kompor kecil di trotoar sebelah sana.
Sayuri memutuskan bahwa ini satu-satunya kesempatan mereka untuk meminta tolong sebelum senja turun. Ia menepuk bahu salah satu perempuan di sana dengan pelan.
"Temanku dan aku datang dari Matsumoto kemarin untuk tinggal bersama bibiku, tetapi waktu kami sampai di rumahnya, barulah kami tahu rumah itu sudah terbakar habis dan sekarang kami tidak tahu harus ke mana," katanya. "Apa kau tahu tempat kami bisa mendapatkan pekerjaan atau tempat bermalam?"
"Oh malangnya kalian!" jawab perempuan itu, khawatir. "Tokyo sekarang ini bukanlah tempat bagi dua gadis muda tanpa kerabat atau tempat tujuan. Tunggu di sini sebentar, aku ingat sepupuku di sana memberitahuku tentang rumah sakit di dekat sini yang benar-benar butuh perawat."
Ia buru-buru pergi ke sekelompok perempuan paruh baya yang sedang memilah-milah tumpukan ikat pinggang, dan dalam lima menit ia kembali membawa nama dan alamat rumah sakit pemerintah yang dituliskan dengan terburu-buru di kertas pembungkus sumpit.
"Kalau kalian cepat, kalian masih mungkin direkrut oleh rumah sakit ini hari ini dan bisa mendapatkan tempat tinggal," katanya. "Rumah Sakit Ohashi hanya sekitar sepuluh menit jalan kaki dari sini dan mereka sedang membutuhkan banyak perawat, bahkan yang tidak terlatih."
"Oh, terima kasih! Kau tak tahu betapa berartinya ini bagi kami!" Sayuri begitu lega sehingga ia nyaris menangis. Ia sudah takut membayangkan akan bermalam lagi di gudang hangus dengan serangga merambati tubuh mereka.
Dengan mudah mereka menemukan Rumah Sakit Ohashi yang berupa bangunan besar jelek berwarna abu-abu, dan mereka disambut dengan hangat oleh seorang perempuan bertubuh mungil yang mengenakan seragam perawat senada dengan warna gedung itu. Ia memakai topi putih yang kebesaran dan menyambut mereka dengan pernyataan yang agak berlebihan bahwa setiap pasang tangan sangat dibutuhkan di rumah sakit yang dijejali oleh para prajurit terluka dan korban bom setiap hari.
"Tidak masalah kalian tidak pernah dilatih atau punya pengalaman sebagai perawat, kami akan mengajari kalian. Dan begitu kalian langsung dihadapkan pada hal yang sesungguhnya, kalian akan belajar dengan sangat cepat," jawabnya pada kekhawatiran Sayuri tentang apakah tanpa keahlian perawat sama sekali mereka akan mampu bekerja dengan baik di rumah sakit. "Tunggu saja di sini sebentar, seseorang akan datang dan mengantar kalian ke bangsal perawat supaya kalian bisa meletakkan barang-barang kalian."
Orang yang diutus untuk mengantar Sayuri dan Reiko lebih tidak ramah daripada perempuan sebelumnya. Perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun dan terlihat lelah itu bahkan tidak memperkenalkan diri dan hanya memberi isyarat kepada mereka untuk mengikutinya. Lelah karena pengalaman buruk mereka semalam, Sayuri dan Reiko dengan senang membiarkan perempuan itu berjalan mendahului mereka, dengan lihai menembus labirin rumah sakit berupa bangunan-bangunan dan koridor yang tak teratur, melintasi beberapa jalan besar yang dipenuhi oleh orang mengantre jatah makanan serta para prajurit yang berpatroli dengan gagah, lalu masuk ke suatu jalan kecil. Di sana, satu bangunan besar berwarna kelabu telah diubah menjadi kamar-kamar suram berukuran kecil, tempat kembalinya para perawat perang tahan banting di pengujung hari atau dari giliran tugas mereka di berbagai rumah sakit yang tersebar di seluruh Tokyo untuk merawat para prajurit dan penduduk yang terluka yang kian banyak saja jumlahnya.
"Para perawat dengan bercanda menamainya "Rumah Anggur dan Mawar," tetapi pada kenyataannya, ia lebih merupakan rumah kengerian, terutama bagi orang-orang seperti kami yang terbiasa dengan kelegaan yang ada di kota kecil serta lahan yang kami miliki. Kami merasa tertekan oleh jalan-jalan yang sempit di sekitar rumah sakit yang dipenuhi rumah-rumah yang begitu dekat satu sama lain hingga tak ada lagi jarak di antara mereka!" Sayuri bercerita kepada Mayumi yang datang lebih awal pagi itu dengan harapan menemui narasumbernya dalam kondisi lebih segar dan komunikatif. "Lima perempuan dipaksa tidur di ruangan seukuran enam alas tatami, nyaris tanpa ada tempat untuk membalikkan badan, dan dengan giliran jaga sampai dengan enam belas jam di rumah sakit tergantung pada berapa banyak tempat yang dibom, tak satu pun dari kami bahkan punya waktu untuk melipat futon kami. Dengan segala kebobrokan dan kondisi mengenaskan yang ada di tempat yang kami tinggali, adalah suatu keajaiban tak seorang pun pernah sakit parah!"
Bab 9 SAYURI dan para perawat baru lainnya harus menjalani pelatihan intensif selama tiga hari, mempelajari prosedur-prosedur dasar yang sudah diketahui Sayuri dan Reiko dari pelajaran pertolongan pertama yang mereka ikuti di kantor pemerintah di Matsumoto beberapa bulan lalu.
Reiko merasa gelisah sebab ia ingin mencaritahu keberadaan Yukio secepatnya, tetapi dengan terbatasnya waktu dan ukuran Tokyo yang begitu besar, ia tidak tahu harus mulai dari mana.
"Apa yang harus kulakukan, Sayuri?" ujarnya suatu malam sementara mereka duduk di futon yang basah oleh keringat, mengantre kamar mandi setelah mengalami hari yang melelahkan di rumah sakit tempat mereka ditugaskan. Hari itu untuk pertama kalinya Sayuri mengalami langsung kejamnya perang, bagian-bagian tubuh yang terkoyak, wajah-wajah yang nyaris hancur terkena ledakan, dan segala macam kondisi tubuh yang membuat Sayuri mual dan buru-buru berlari ke toilet untuk muntah hingga nyaris pingsan. "Hari pertama di rumah sakit?" tanya seorang perawat yang kebetulan lewat dengan muka suram ketika Sayuri keluar dari toilet sambil masih terengah-engah. "Jangan khawatir, kau akan segera terbiasa dengan semua ini! Kita semua juga begitu, dan setelahnya, satu-satunya hal yang mengganggu pikiran kita adalah bagaimana menyambungkan organ-organ tubuh itu di tempat yang pas dan membersihkan kekacauan yang ada!"
"Pembohong! Bagaimana mungkin orang terbiasa dengan ini?" bisik Sayuri ketika satu lagi usungan dibawa melewatinya dengan terburu-buru. Seprainya yang tipis sudah kuyup oleh darah. Kali ini, tubuh tentara itu begitu tak karuan sehingga ia tak tahu lagi bagian mana yang kesakitan!
Ia berpikir untuk lari meninggalkan rumah sakit dan kembali ke Matsumoto. Hanya pikiran bahwa adiknya, Hiro, ada di suatu tempat di Tokyo dan janjinya untuk membantu Reiko mencari Yukio-lah yang membuatnya tetap bertahan.
Pada malam kedelapan mereka di Tokyo, sirine serangan udara berbunyi dan semua orang lari masuk ke bunker anti bom di ruang bawah tanah rumah sakit. Lalu dua jam kemudian ketika mereka keluar, mereka mendapati sebagian besar kantor pemerintahan di dekat daerah mereka telah rata oleh bom Amerika. Dalam satu jam, orang-orang yang terluka dan sekarat mulai membanjiri rumah sakit, dan satu-satunya suara yang terdengar malam itu adalah teriakan-teriakan mereka yang terluka dan sekarat.
Mawar Jepang Karya Rei Kimura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paginya, tepat ketika berkas sinar matahari yang pertama mulai menerangi langit, Reiko dan Sayuri berhasil mencapai kamar mereka dengan terhuyung-huyung dan roboh di atas futon mereka yang berantakan tanpa punya kekuatan untuk membersihkan kotoran dan darah dari rumah sakit yang melekat di seragam mereka.
Saat ia tertidur kelelahan, Sayuri bermimpi ia ada di Matsumoto. Kamarnya begitu cerah dan bersih, dan futon yang bersih terasa bagai sutra di tubuhnya. Ia dapat mendengar ibunya menggumamkan suatu lagu di dapur dan aroma ikan panggang kesukaannya, aji, terbawa angin hingga ke kamarnya.
Aroma itu begitu menggoda sehingga Sayuri terbangun. Ia langsung melompat, tetapi hanya untuk mendapati bahwa ia berada di suatu kamar suram yang penuh oleh bau tubuh-tubuh kotor, termasuk miliknya, dan bau keringat yang menguar dari futon-nya seperti bau jalanan terbakar matahari di sore musim panas yang sangat terik.
Sambil berseru ia cepat merangkak melewati teman-teman sekamarnya yang tertidur, muntah karena bau busuk darah di tubuhnya sendiri, lalu cepat-cepat ke kamar mandi. Di sana ia menggosok setiap kotoran yang melekat di tubuhnya, terus menggosok dengan keras hingga berdarah.
Lalu ia jatuh terduduk ke lantai dan menangisi semua darah yang tertumpah, organ-organ tubuh yang terpisah dan dijahitkan kembali, mata yang tak akan bisa melihat
lagi, serta jenazah yang terbaring di kamar jenazah darurat, tubuh-tubuh yang masih hangat yang kini harus ditumpuk di atas satu sama lain.
"Mereka itu suami atau istri seseorang, putra atau putri seseorang... mungkin salah satu dari mereka adalah Hiro, adikku, atau Yukio tercinta Reiko," bisiknya berulang-ulang setengah sadar. Dan ia masih dalam keadaaan seperti itu, duduk di lantai kamar mandi sambil telanjang bulat dan gemetar memeluk lututnya, ketika Reiko menemukannya sejam kemudian.
"Tenangkan dirimu, Sayuri chan," kata Reiko sambil membungkus Sayuri dengan yukata yang dibawanya serta ke Tokyo. Yukata itu masih menyimpan bau segar setelah di cuci di rumah dan Sayuri membenamkan wajahnya di sana, menghirup dalam-dalam aroma pinus dan kelopak mawar dari kebun ibu Reiko yang terkenal.
"Terima kasih, Reiko, telah menyadarkanku kembali menggunakan aroma kampung halaman yang begitu menyenangkan," kata Sayuri. "Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Tapi kau tahu, seperti yang selalu dikatakan ibuku, harus ada tangisan pertama dan kadang-kadang keadaan harus menjadi bertambah buruk sebelum berubah menjadi lebih baik atau paling tidak, dapat ditoleransi. Kurasa malam ini aku memang membutuhkan tangisan pertama itu!"
"Lihat, Sayuri, aku punya satu lagi hal yang pasti akan menghibur kita." Kali ini giliran Reiko berbisik, dan seperti seorang pesulap, ia mengeluarkan satu botol kecil bening berisi sake prem dengan buah prem hijau di dalamnya.
Setiap musim panas, ibu mereka akan menyuruh mereka mengangkat berkeranjang-ke ranjang prem hijau mentah dan botol-botol terbesar yang dapat mereka temukan untuk membuat sake prem. Dan semenjak mereka diperbolehkan untuk mencicipi minuman keras itu, dengan alasan bahwa mereka harus "mencicipi sake prem tahun ini" untuk ibu mereka, minuman itu telah menjadi minuman kesukaan kedua gadis itu.
Dengan berteriak girang Sayuri mengambil botol itu dari tangan sahabatnya dan menelan satu teguk penuh, membiarkan cairan penyembuh dari kampung halaman itu mengaliri kerongkongannya dengan rasa hangat yang menakjubkan. Ia bahkan nyaris bisa merasakan lengan ibunya yang hangat dan penuh perlindungan itu memeluknya!
Selama satu jam berikutnya, kedua gadis itu tetap duduk berdampingan di lantai sempit di luar kamar mandi, meminum obat penderitaan mereka sampai habis, lalu kembali ke futon mereka untuk tertidur lelap sampai pengeras suara itu menjerit, memanggil semua perawat untuk segera bertugas di rumah sakit tempat pasien-pasien baru yang terluka dan meninggal menunggu untuk segera diurus.
Seperti ada yang menekan tombol suatu mesin, para perawat yang tertidur itu berusaha bangkit berdiri bersamaan dan berebut pancuran air. Satu pancuran bisa digunakan oleh tiga perawat sekaligus dan mereka menyikat gigi langsung di bawah kucuran air itu.
Masih setengah mengantuk, Reiko dan Sayuri bergabung dengan para perawat lain untuk mengenakan seragam mereka dan berjalan beberapa blok menuju rumah sakit tempat segala kekacauan itu telah menanti mereka. Tempat tidur di sana sudah tak cukup lagi menampung pasien yang terluka dan para dokter merawat mereka di atas meja, di lantai, atau di mana pun asalkan dengan permukaan rata. Seorang tentara baru saja ditempatkan di satu kursi hanya karena tidak ada lagi permukaan rata yang bisa dipakai. Dan ketika Sayuri melihatnya, tentara itu kejang-kejang dan darah mengalir dari mulutnya, lalu terhuyung ke depan. Bahkan sebelum Sayuri memeriksa nadinya, ia tahu tentara itu sudah meninggal.
Topan Di Borobudur 3 Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama