Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari Bagian 3
"Ada urusan rupanya."
"Ya. Berkunjung ke sini."
Farida tertawa oleh keterusterangan itu.
"Jadi ada sesuatu urusan dengan saya?"
"Ya. Ingin ketemu dan berbincang-bincang. Itu kan urusan juga namanya. Urusan orang dewasa."
"Sebagai penggemar?"
"Ah nggak. Nggak cuma itu. Sebagai teman. Bisa juga lebih. Saya senang sekali bisa berkenalan denganmu. Tempo hari kita cuma bicara sebentar. Boleh saya tiap Sabtu datang ke sini?"
"Boleh saja." "Terima kasih. Tommy belum datang?"
"Belum. Biasanya nanti siang atau sore. Tergantung jam berapa dia pulang dari sekolah dan
ada tidaknya kegiatan ekstra kurikuler. Kadangkadang dia tak pulang bila ada acara belajar bersama. Maklum sudah dekat ujian. Tapi biasanya kalau dia tidak pulang dia menelepon lebih dulu malam harinya."
Frans mengangguk dan bersyukur bahwa dia sudah memilih saat itu untuk datang. Tak ada pengganggu. Lain kali dia sudah tahu kapan sebaiknya berkunjung ke sini.
"Mau jalan-jalan, Da" Kau kan sudah jadi orang Bogor, barangkali mau mengantarkan saya melihat-lihat kota."
Farida tertawa geli. "Males ah," katanya tanpa segan.
"Kalau nggak sekarang mungkin lain kali." Frans tidak kecewa.
"Emangnya kau belum pernah datang ke sini" Jakarta-Bogor kan dekat. Lihat saja kalau hari libur sebagian besar mobil yang berseliweran di sini adalah mobil Jakarta. Merekalah yang membuat harga buah-buahan menjadi naik nggak kira kira. Orang Jakarta dianggap banyak duit."
"Kita piknik ke Kebun Raya," kata Frans tanpa peduli.
"Huh, bosan." "Bosan" Apa karena sudah sering?"
"Belum pernah."
"Lho, kan belum."
"Males. Nggak kepingin."
"Sekali-sekali kau perlu menghirup hawa segar. Melemaskan Otot. Senang-senang. Masa di rumah
terus. Mengarang terus. Kan capek. Nggak sehat itu."
"Di lingkungan sini hawanya jauh lebih segar. Bersih. PaSti jauh lebih segar dibanding di Kebun Raya saat orang berjubel."
"Belum dicoba sudah menilai. Nggak baik tuh."
"Iya deh lain kali. Sama-sama Tommy, ya?"
Frans tertegun. Bukan itu yang diinginkannya. Tapi ia harus menjawab. "Iya tentu saja," katanya berat.
Farida tersenyum. Dia merasa enak mengobrol dengan Frans karena bisa mengeluarkan komentar dan pendapat dengan seenaknya juga. Tak perlu berhati-hati karena kekhawatiran menyinggung perasaan. Entah kenapa dia bisa berani begitu. Mungkin karena pembawaan Frans sendiri.
Lalu telepon berdering. Farida pamit dulu untuk mengangkatnya karena pesawat terletak di ruang tengah sedang Bi Icah diketahuinya sedang memasak. Lagi pula telepon itu pasti untuk dia.
Ternyata Irawan. "Maaf, Bu Ida. saya mengganggu?"
"Sama sekali tidak."
"Ada teman lama rupanya."
"Oh bukan. Dia penggemar."
"Yang Ibu kenal waktu di pesta itu?"
"Betul sekali," sahut Farida, sempat merasa heran oleh daya ingat Irawan.
"Begini. Bu. Saya tadi naik ke atas genteng untuk membetulkan yang bocor. Lalu saya melihat genteng Ibu juga perlu diperbaiki. Ada yang
merosot kelihatannya. Pasti bocor kalau hujan. Bagaimana kalau saya perbaiki sekalian?"
"Oh, terima kasih, Pak. Tentu saja saya senang sekali. Soalnya saya nggak berani naik ke atas genteng."
Irawan tertawa. "Ah, jangan dong. Mana saya sampai hati melihat Ibu naik-naik. Kalau jatuh gimana..."
"Baiklah. Silakan naik saja, Pak."
"Saya akan naik lewat tembok saja, Bu. Jadi nggak perlu tangga."
"Silakan." "Kalau saya bikin gaduh maaf saja. Bu."
"Nggak apa-apa. Hati-hati saja, Pak."
Tapi yang kemudian merasa kaget adalah Frans. Irawan membuat kegaduhan yang lumayan keras tepat di atas mereka. Pikir Frans, rumah akan runtuh menimpa kepalanya.
"Ada genteng merosot," Farida menjelaskan.
"Tapi kerjanya kok gebrak-gebruk begitu" Tukang itu mesti dimarahi, Da. Sembrono amat," Frans menggerutu kesal.
Farida tertawa. "Dia bukan tukang. Tetangga sebelah kok."
Frans keheranan. "Tetangga yang itu?" tegasnya sambil menunjuk. "Mungkin orang yang tadi saya lihat itu. Saya memang bertanya sama dia tadi. Dia juga bertanya apa saya dari penerbit. Kau sudah terkenal di sini."
"Ah nggak. Cuma kebetulan saja dia juga suka membaca buku saya."
"Penggemar juga!"
"Katanya sih begitu."
Tiba-tiba Frans merasa iri. Tak ada yang lebih dekat lagi selain tetangga. Sementara dia harus menempuh jarak belasan kilometer.
"Dia berkeluarga?" tanyanya harap-harap cemas.
"Ah, kita kok ngomongin tetangga sih."
"Nggak apa-apa. Kepingin tahu saja."
"Dia duda." Frans tertegun. Ah, kok sama.
"Baik betul dia mau memperbaiki genteng orang lain."
"Ali, itu sih biasa di sini."
"Biasa?" "Ya. Di sini orang suka gotong royong. Saling membantu gitu."
"Oh begitu...," desah Frans lega.
Tapi tak lama setelah suara gaduh itu berangsur lenyap, pertanda bahwa pekerjaan di atap rumah itu sudah selesai, kembali telepon berdering.
"Sudah selesai, Bu," lapor Irawan. "Maaf berisik betul tadi."
"Nggak apa-apa. Terima kasih banyak lho, Pak. Saya pikir Anda jatuh tadi."
"Oh ya" Ibu kaget?"
"Sedikit." "Eh begini, Bu. Malu juga saya mengatakannya. Kalau boleh, saya ingin ikut berbincangbincang. Kan sama-sama penggemar Ibu. Tapi kalau boleh tentunya."
Mula-mula Farida keheranan. Tapi kemudian ia merasa geli. Ya, kenapa tidak"
"Boleh saja, Pak. Silakan datang. Anda tak khawatir dilihat Bu Nur?" Farida tertawa.
"Ah. persetan sama dia."
"Baiklah. Saya tunggu."
Di sana Irawan bersiul-siul gembira. Dia memuji dirinya sendiri. Tentu saja, sebenarnya tak ada genteng yang merosot. Tak ada yang perlu diperbaiki, baik atap rumahnya maupun atap rumah Farida.
Kini perbincangan berlangsung antara tiga orang. Sedikit canggung pada mulanya, tapi lama lama lancar dan akhirnya menjadi seru.
Frans kecewa. Ia sungguh-sungguh merasa terganggu. Tetangga sialan, makinya dalam hati. Lalu ia melipur kekecewaannya dalam pembicaraan yang seru, mendebat apa saja kata Irawan bila ada kesempatan untuk itu.
Sementara irawan tercengang dan heran ketika mendapati bahwa Farida dan Frans bisa berbincang-bincang begitu enak seolah memang teman lama. Bayangkan. Mereka sudah saling memanggil nama padahal antara dia dengan Farida yang sudah saling mengenal lebih lama dan lebih akrab masih terikat oleh tata krama dan sopan santun berbasa-basi. Dengan penasaran ia segera mengikuti jejak Frans.
Farida keheranan tapi kemudian menikmati situasi itu. Terasa lucu. Demikian pula isi pembicaraan yang berlangsung. Tapi ia juga merasa tertarik. Bagaimana mungkin orang bisa menilai dan menafsirkan ceritanya begitu berbelit dan mendalam, hingga membingungkan dirinya sendiri sebagai si pembuat cerita" Waktu membuat cerita itu pikirannya tak sampai ke sana. Dia menciptakan alur dan situasi hanya karena keyakinannya akan bentuk ceritanya sendiri. Semua harus begitu karena tuntutan cerita. Tapi ternyata penafsiran orang bisa begitu beragam. Bahkan dinilainya aneh dan rumit. Apakah memang begitu pula cara orang menafsirkan kehidupan" Selalu berbeda antara satu dengan lainnya" Sesuatu yang sebenarnya sederhana saja ternyata bisa dianggap begitu sulit dan kompleks.
Akhirnya ia memutuskan untuk jadi pendengar saja. Ia memperhatikan dan mendengarkan dengan takjub bagaimana kedua orang itu meresensi bukunya lalu mempertahankan pendapat masing masing. Keduanya sama-sama penuh semangat. Sesekali ia merasa geli, lain kali ia terheran-heran, dan lain kali lagi ia bangga serta terharu. Yang diperdebatkan itu toh karyanya.
Tak terasa waktu berlalu terus. Tahu-tahu sudah siang. Farida meninggalkan kedua orang yang masih sibuk "bertarung" itu untuk menjenguk dapur. Ia sudah berpesan pada Bi Icah untuk memasak lebih banyak dari biasanya. Hari Sabtu kalau Tommy pulang memang biasanya begitu.
tapi kali ini lebih banyak lagi. Ia ingin menjamu kedua tamunya.
"Sudah beres, Bi?" ia bertanya dengan iba. Bi Icah kerja sendirian.
"Hampir, Bu." Farida melihat sendiri bahwa kata-kata itu benar. Bi Icah memang cekatan.
"Jadi nggak perlu dibantu, Bi?"
"Nggak usah, Bu," sahut Bi Icah dengan sesungguhnya. Bila dibantu dia malah jadi tambah repot.
"Kalau sudah beres siapkan meja sekalian, Bi. Lalu kasih tahu."
"Ya, Bu." Farida kembali menemani tamunya.
"Yang sekarang sedang ditulis judulnya apa, Da?" tanya Frans.
"Belum tahu. Judulnya belakangan saja. Gampang."
"Itu memang kebiasaan Farida," kata Irawan sok tahu.
Frans mengerutkan kening. Dia tak tahu bagaimana caranya mengenyahkan tetangga sialan ini. Rupanya'dia memang sudah salah langkah hari ini.
Untung kemudian Tommy datang. Dia menjadi penyelamat suasana.
Sudah tentu Tommy terheran-heran melihat kedua tamu itu. Soalnya mereka hadir berbarengan. Tapi dia menyimpan rasa herannya. Dia sudah cukup dewasa untuk memahami betapa tidak
sopannya bila perasaan seperti itu diperlihatkan terang-terangan.
Kemudian mereka makan bersama. Dan tak lama setelah acara ini selesai Frans minta diri. Juga Irawan. Memang tak ada gunanya lagi bertahan untuk jadi orang paling akhir yang pulang, karena bagaimanapun tak ada untungnya. Sudah ada Tommy. Farida tak sendiri lagi.
"Kok aneh, Ma" Dua-duanya ada di sini," Tommy segera menyemburkan keingintahuannya begitu tinggal berdua.
Farida mengangkat bahunya. "Nggak tahu kenapa bisa begitu," katanya. Tapi ia toh menceritakan semuanya.
Tommy terbahak. "Kenapa kau tertawa?"
"Lucu sih. Dua orang pengagum Mama datang untuk memperebutkan Mama."
"Ah kamu. Jangan suka mengada-ada."
"Bener kok. Lihat aja lagak mereka. Dan Oom Irawan itu kan nggak pernah ke sini. Setelah datang Oom Frans buru-buru dia pun datang. Itu artinya dia ngiri."
"jangan suka nyangka jelek, Tom. Barangkali dia kepingin ikut ngobrol. Kan dia nggak ada temannya. Wah, kamu nggak lihat aja bagaimana mereka berdua berdebat. Seru deh. Bayangin. Buku Mama diributin. Sampai melotot-melotot lagi ngomongnya. Tapi buat Mama lebih senang begitu daripada berdua aja sama Oom Frans. Soalnya dia ngajak jalan-jalan..."
Tommy membelalakkan matanya. "Betul, Ma. Lebih baik begitu. Lain kali kalau Oom Frans datang kasih tahu aja Oom Irawan. Biar mereka..."
"Hus. jangan begitu ah. Kita nggak boleh begitu. Oom Irawan sudah baik hati mau memperbaiki genteng kita."
"Saya juga bisa betulin, Ma."
"Sudahlah. Hei, Mama sudah ngetik banyak tuh, Tom," Farida mengalihkan.
Kata-kata itu manjur. Tommy melupakan kekesalannya.
"Hei, ada kursi malas!" serunya senang.
Ketika Tommy duduk santai dengan melonjorkan kakinya di kursi malas sambil membaca, diam-diam Farida memperhatikan. Dia merasa tegang. Apakah Tommy bisa menemukan kesamaan antara ceritanya dengan realitas" Tapi dia tidak pernah menceritakan perkembangan pohon pohon bunga tasbih itu. Demikian pula dengan bunga dari pohon yang mereka curi dulu. Toh Tommy ikut serta dengan pengalaman mencuri itu.
"Wah, bagus, Ma!" puji Tommy setelah selesai membaca. "Jantung saya jadi deg-degan deh. Mama pinter mengolah cerita beneran jadi bohongan. Kayak yang bener-beneran semuanya."
Farida tersenyum. Tommy memang tidak menyadari. Ataukah dia kurang kritis" Tapi Farida tidak yakin apakah sepatutnya ia menceritakan hal-hal yang telah dialaminya. Demikian pula hal
hal yang mengganggu pikirannya. Dia tidak ingin memberi beban bagi Tommy. Ujian sudah dekat.
"Nanti mayatnya dipindahkan ke mana, Ma?"
"Belum tahu. Mama masih memikirkan."
"Menurut saya, yang pasti sih ke dalam rumah. Ke mana lagi dong" Kalau di halaman tentu nggak mungkin. Bisa dilihat orang. Pohonnya pun mesti dibuang dulu."
"Ya. Pasti di dalam rumah...," gumam Farida.
Tapi pikiran Tommy sudah beralih.
"Ma, entar malam nonton di Bioskop Sukasari, yuk" Filmnya bagus. Di sini karcisnya murah. Lagi pula saya belum pernah nonton bioskop di sini. Yuk, Ma?"
Farida berpikir sebentar lalu mengangguk. "Baik. Tapi jangan yang terlalu malam."
"Jam tujuh, Ma."
"Ngomong-ngomong, kamu nggak ingat sama SOnia lagi?"
"Memangnya kenapa, Ma" Apa dia menanyakan saya?"
"Ah nggak. Cuma kayaknya kamu sudah kehilangan perhatian. Sudah bosan?"
"Bukan bosan. Ma. Takut."
"Lho?" "Dia bawel dan cerewet. Belum apa-apa, baru berteman biasa, sudah melarang ini itu. Ngatur ini itu. Kalau nggak dituruti dia sewot. Mendingan keponakannya Tante Ratih."
"Yang namanya Lydia?"
"Bukan, Ma. Ada lagi yang lain."
Farida tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tante Ratih punya segudang keponakan yang cakep-cakep rupanya."
"Dan dia juga baik, Ma. Kemarin dulu dia mampir ke tempat kos saya untuk nganterin kue. Kebetulan lagi lapar."
"Lalu?" "Lalu apa, Ma?" balik tanya Tommy heran. "Dia cuma nganter kue kok."
"Jadi nggak ngomong apa-apa" Barangkali ada pesan apa-apa untuk Mama."
"Nggak kok. Eh, ngomong sih ngomong, tapi nggak penting."
"Ya sudah." Sorenya, ketika bersiap-siap untuk pergi, Farida merasa senang sekali. Itulah pertama kalinya ia berjalan-jalan bersama Tommy sejak tinggal di Bogor. Dan atas inisiatif Tommy pula. Selama ini ia sendiri tak berani mengajak. Masih ada dalam ingatannya kekhawatiran Tommy dulu, kalau-kalau ia disangka jadi gigolonya tante-tante.
Ketika mereka melewati halaman, ada kepala melongok dari balik tembok. Irawan ada di sana.
"Wah, mau ke mana, Da?"
"Mau nonton, Pak," sahut Farida spontan. Sejak kedatangan Frans, panggilan Irawan kepadanya serta merta berubah sementara dia sendiri masih merasa risi. Memang apalah artinya panggilan, asal sopan saia. Tapi akan besar artinya bagi
orang seperti Bu Nur. Akan halnya Frans tidak jadi persoalan. Dia bukanlah tetangga.
"Di Sukasari, Da" Saya sudah lihat. Filmnya bagus," kata Irawan.
"Ya. Mungkin ke sana. Mari, Pak?"
"Oom?" sapa Tommy sopan. Sangat sopan.
Irawan melambaikan tangan.
"Kok Mama bilang-bilang kita mau nonton. Nanti dia menyusul," Tommy menggerutu setibanya di jalan.
"Kan dia bilang sendiri bahwa dia sudah nonton?"
"Tujuan dia kan bukan filmnya."
"Ah kamu. Sudahlah, jangan mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu benar."
"Tahu-tahu dia duduk di sebelah Mama."
Farida mencubit. Tommy mengaduh sambil tertawa keras.
Setelah duduk di bioskop dan menikmati keripik serta minuman ringan Tommy tidak memasalahkan lagi soal itu. Dia sudah membuangnya. Tapi Farida tidak. Ketika lampu dipadamkan dan kemudian ada orang menempati kursi kosong di sebelahnya ia kaget. Untuk sesaat ia menyangka orang itu adalah Irawan. Pikiran yang membuatnya malu sendiri dan juga jengkel kepada Tommy.
Setelah Farida bersama Tommy lenyap dari pandangan mata, Irawan mendekat ke tembok.
"Bi! Bi Icah!" serunya.
Bi Icah segera muncul. "Ada apa, Pak?" tanyanya dengan perasaan bersalah karena panggilan itu membuat ia membayangkan rezeki.
"Bu Ida kan pergi nonton. Paling cepat juga dua jam baru kembali. Mau nggak Bibi tolong saya lagi?"
"Tolong apa, Pak?"
"Biasa. Saya kepingin baca tulisannya."
Bi Icah ragu-lagu. Dia membayangkan Irawan akan masuk rumah lagi. Tapi menolak pun ia segan.
"Kalau sudah membantu itu nggak boleh setengah jalan, Bi. Sekalinya baca harus baca terus sampai selesai. Kan penasaran, Bi?"
"Tapi saya nggak tahu apa..."
"Pasti sudah tambah banyak, Bi. Saya dengar bunyi mesin tiknya kayak senapan mesin kok. Mau ya, Bi?" Irawan merayu.
Bi Icah tersenyum malu-malu.
"Saya nggak perlu ke situ, Bi. Biar saya baca di sini aja. Bibi sodorin mapnya lewat tembok sini. Nanti kalau sudah selesai baca saya kembalikan lagi. Gampang, kan?"
"Tapi... jangan sampai ada yang hilang, ya Pak. Jangan dikotOrin. Bu Ida orangnya teliti. Saya ngeri..."
"Beres deh, Bi. Saya pasti hati-hati. Kan saya juga takut kalau Bu Ida marah. Pokoknya kita kerja sama yang baik, deh."
Bi Icah menyerah juga. Ia menyerahkan map berisi naskah Farida kepada Irawan.
"jangan lama-lama, ya Pak. Siapa tahu Ibu nggak jadi nontonnya."
"Beres, Bi. Bibi duduk aja di teras, supaya kalau saya panggil cepat datang. Saya juga bacanya di teras "
Lalu dengan bernafsu Irawan mencari lembaran-lembaran kertas terakhir yang belum dibacanya. Itu disisihkannya dari lembaran lain yang sudah dibacanya dan tetap dibiarkan di dalam map.
Dia membaca dan kemudian menjadi tegang. Tubuhnya kaku. Pandang matanya bersinar-sinar. Dia marah. Betul-betul marah. Tapi dia juga mengagumi. Sosok Farida terbayang. Cantik dalam anggapannya, cerdas, teliti, dan sangat tanggap. Seseorang yang penuh tantangan dan karenanya membangkitkan semangat hidup. Bukankah dia sangat merindukan orang seperti itu" Seorang wanita pendamping hidup mestinya bukan cuma mendampingi saja. Tapi betapapun banyaknya potensi yang dimiliki seorang wanita dia harus menemukan pasangan yang tepat agar apa yang dimilikinya itu bisa terungkap ke luar. Dan irawan yakin, dialah laki-laki yang tepat untuk itu. Tapi dia juga sadar bahwa keinginan dan tekadnya itu pun merupakan ancaman bagi dirinya!
Dia memandangi pohon belimbing di mukanya. Tak bisa diragukan lagi, pohon itu akan tumbuh subur. Dasar pohon sialan, pikirnya dengan kebencian dalam tatap matanya. Barangkali jauh
lebih baik bila semua pohon yang ada di halamannya dibabat dan dimusnahkan saja lalu mengubah halamannya menjadi lapangan semen. Tak akan ada lagi masalah dengan pohon yang merana atau yang menghasilkan bunga di luar kewajaran! Tapi itu juga bukan penyelesaian. Selalu ada tetangga yang heran lalu menganggapnya tak wajar. Tetangga sialan. Ah, bukan Farida tentu saja. Farida adalah makhluk paling menyenangkan. Baru kali inilah dia merasakan segala yang dirasakannya sekarang terhadap seorang wanita. Dorongan dorongan terasa begitu kuat dan nafsu persaingan timbul saat menyadari adanya laki-laki lain yang juga bermaksud mencuri perhatian Farida. Nafsu ingin menguasai dan ingin menang itu kuat mendominasi dirinya hingga mengalahkan segala rasa tak enak. Bahkan segala rasa tak enak itu justru dirasakan sebagai tantangan yang meningkatkan semangat hidupnya. Dia harus menang!
Dan kemenangan itu kini terasa kian dekat. Dia selalu bisa mengikuti jalan pikiran Farida sementara Farida tidak bisa. Farida hanya mengikuti nalurinya. Farida hanya mengandalkan kekuatan imajinasi yang sebegitu kuatnya hingga sepertinya mampu menembus realitas. Suatu kekuatan yang patut dikagumi dan tak boleh dianggap remeh. Tapi itulah yang menantang. Dia akan mengatur rencananya mengikuti jalan pikiran Farida. Perubahan demi perubahan akan dilakukannya. Konsentrasi akan diarahkannya ke sana. Suatu pertarungan.
Mendadak Irawan sadar. Saking asyik merenung dia tidak mendengar suara panggilan.
"Pak! Pak! Pak Irawan! Paaaaak...!"
Itu suara Bi Icah yang meredup dan melemah oleh kepanikan. Suaranya sudah bercampur tangis. Entah sudah berapa lama dia memanggil manggil tanpa mendapat sahutan. Tentu dia sudah ketakutan kalau-kalau map majikannya tidak dikembalikan.
Irawan melompat bangun. Dia sadar, Bi Icah tidak boleh dibiarkan ketakutan. Nanti bisa kapok lalu tak mau membantunya lagi.
"Bi, tunggu sebentar ya. Saya rapikan dulu," katanya untuk menenangkan.
"Aduuuh, Pak, orang manggil-manggil udah sejam.?" keluh Bi Icah.
Irawan menyodorkan map berikut uang lima ribu rupiah.
Bi Icah tersipu tapi girang.
"Kok lamaaa sih, Pak?"
"Kan banyak, Bi. Bagus lagi ceritanya. Bu Ida benar-benar hebat. Saya sampai ketagihan deh. Lain kali bantu saya lagi, ya Bi?"
"Tapi...," Bi Icah tahan harga.
"Begini, Bi. Setiap kali Bu Ida pergi dan saya ada di rumah, Bibi kasih saya baca lagi, ya" Panggil saya dan sodorin lewat tembok. Beres, kan" Setiap kali Bibi akan saya persen lima ribu. Mau, Bi?"
Tawaran itu terlalu menarik untuk ditolak. Orang geblek, pikir Bi Icah.
*** TAPI selama beberapa hari Farida tidak menulis. Bunyi mesin tiknya tidak kedengaran oleh Irawan bila ia berada di rumah. Sesuatu yang terasa janggal baginya walaupun selalu ada kemungkinan bahwa Farida mengetik di pagi hari saat ia sendiri bekerja.
Tak tahan lagi Irawan menanyakan lewat telepon.
"Saya lagi kehabisan ide, Pak. Pikirannya lagi buntu. Memang suka begitu kok."
"Oh begitu. Saya kira kau punya kesibukan lain. Tapi ngomong-ngomong kok kau masih saja menyebut saya Pak sih. Memangnya nama saya susah disebut?"
Bukan gitu. Tapi kebiasaan sih, Pak, eh... Namamu panjang sih. Tiga suku kata."
"Namamu juga tiga suku kata."
"Baiklah, Wan."
"Nah begitu Saya ngiri sama Frans. Kau menyebut namanya tanpa canggung padahal baru kenal."
"Iya deh." Jadi itulah sebabnya, pikir Irawan. Dia tidak
sabar menunggu tapi tentu saja tidak mungkin mengutarakannya.
Tapi ternyata bukan cuma Irawan saja yang resah karena Farida mengalami kemacetan. Bi Icah ikut cemas. Walaupun dengan perasaan bersalah toh ia berharap agar majikannya terus menulis. Semakin banyak lembaran kertas hasil ketikan baru yang dihasilkan semakin cepat pula ia beroleh persen. Memang dialah orang yang paling tahu mengenai apa saja yang dilakukan majikannya sepanjang hari. Ia senang kalau melihat Farida mulai duduk di depan meja tulis, tapi kecewa kalau ternyata tak ada sesuatu pun yang diketik. Farida cuma duduk dan merenung.
"Memang bener, Pak. Ibu belum nulis lagi," kata Bi Icah kepada Irawan ketika ditanyakan pada suatu kesempatan.
"Habis Ibu ngapain aja?"
"Cuma bengong, Pak. Kayaknya mah mikir, gitu."
"Bibi nggak tanyain?"
"Nggak berani atuh, Pak."
"Saya kepingin baca, Bi."
"Iya. Abis gimana atuh, Pak. Belum ada sih. Tommy juga kecewa waktu pulang nggak ada yang bisa dibaca."
"Tommy nggak tanya apa-apa?"
"Nanya sih nanya, Pak."
"Terus Ibu jawab apa?"
"Katanya...," Bi Icah ragu-ragu. Ia tidak yakin
apakah menyampaikan pembicaraan majikannya itu tepat. Ia memang tidak mengerti.
"Katanya apa, Bi." Saya kan teman Bu Ida. Nggak ada salahnya dikasih tahu dong," desak Irawan.
"Ngomongnya nggak ngerti sih, Pak. Katanyi lagi macet soal mayat. Nggak tahu mesti dipindahin ke mana. Apa di dalam rumah aja. Tapi kalau di dalam itu di mana. Apa di kamar, di dapur" Ih, kok ngomong soal mayat segala sih ya. Saya jadi merinding, Pak."
"Itu kan cuma cerita, Bi. Bohong-bohongan."
"Oh iya. Abis Ibu ngomongnya kayak yan bener-beneran."
"Lalu Tommy bilang apa?"
"Katanya, dikira-kira aja di mana. Nggak perlu susah-susah."
"Ibu bilang apa?"
"Ibu bilang...," Bi Icah berpikir dulu. Dia lupi lupa ingat. Tapi terdorong harus menjawah. Irawan kelihatan begitu mengharapkan jawab." nya. Ia meneruskan dengan ragu-ragu, "Eh, oh ya" Kata Ibu, meStinya bisa lihat sendiri di tempatnya. Ya, kira-kira kayak gitu ngomongnya. Terus Tommy kelihatan bengong. Heran gitu. Dia bilang, Mama ini apa-apaan sih" Terus... Ah saya nggak tahu lagi, Pak. Abis ngomongnya lebih pelan. Saya nggak bisa dengar lagi."
Tapi Irawan sudah cukup puas.
Hari Sabtu pagi-pagi Farida pergi ke pasar sendiri. Irawan melihatnya lalu menawarkan untuk mengantarkan. Tentu saja Farida menolak dengan ramah. Tawaran itu memang cuma basabasi.
Bi Icah yang ditinggal sendiri lalu membersihkan rumah dan halaman. Ada penyesalan kenapa majikannya tak kunjung menghasilkan lembaran ketikan yang baru. Kalau ada pasti pada saat seperti itu dia bisa memberikannya kepada Irawan hingga tabungannya akan bertambah.
Dia bekerja dengan rajin sampai kemudian mendengar deru mobil di rumah sebelah. Itu bunyi biasa. Mobil sedang dipanaskan. Tapi itu juga berarti pemiliknya akan memakainya. Irawan akan pergi. Pasti bukan untuk bekerja. Bi Icah sudah tahu bahwa hari Sabtu adalah hari libur bagi Irawan.
Pekerjaannya cepat selesai. Dia tinggal menunggu majikannya pulang. Merasa iseng dia pergi ke tembok setelah mengambil sebuah bangku kecil di samping rumah. Bangku itu diletakkan di sisi tembok lalu ia naik di atasnya. Hal itu biasa dilakukannya bila akan menyerahkan map kepada Irawan. Tubuhnya terlalu pendek. Dengan demikian mungkin dia bisa bertukar kata sepatah dua dengan Irawan sebagai pengisi keisengan. Setelah terjalinnya "kerja sama" antara mereka berdua dia tidak lagi merasa segan kepada Irawan.
Kepalanya nongol sedikit di atas tembok. Tak begitu kentara terhalang pepohonan. Sepintas lalu
tampak seperti kucing sedang mendekam di atas tembokan.
Dia melihat mobil Irawan sudah dikeluarkan dari garasi dan diletakkan tepat di depan teras. Tutup bagasinya terbuka. Rupanya akan dimasuki barang. Irawan tidak kelihatan.
Bi Icah menunggu. Tak lama kemudian Irawan muncul dengan menarik sesuatu. Bi Icah membelalakkan matanya. Barang yang tengah diseret itu sebuah bungkusan besar dalam kantung plastik berwarna kebiru-biruan. Kelihatannya lumayan berat. Kemudian kantung itu diangkat Irawan untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Bajunya kelihatan dekil terkena barang itu. Ia menepiskannya dengan tangan.
Bi Icah mulai bersuara. "Mau pergi, Pak?"
Irawan terlompat saking kaget. Mukanya pucat. Rambutnya yang pendek seolah tegak berdiri. Dan matanya membelalak sangat besar.
Bi Icah geli tapi juga tak mengerti. Kenapa Irawan harus sekaget itu padahal dia bertanya dengan suara yang perlahan" Tapi ia tak berani tertawa melihat raut muka Irawan. Di situ ada kegeraman.
"Maaf, Pak. Saya... saya...," Bi Icah tergagap dengan ngeri.
Kegeraman di wajah Irawan cepat lenyap. Ia tersenyum.
"Aduuh, Bi. Untung saja jantung saya nggak copot," katanya sambil meletakkan tangan di dadanya.
"Maaf, Pak. Saya nggak tahu Bapak orangnya kagetan," sahut Bi Icah lega.
"Ya sudah. Nggak apa-apa. Cuma lain kali jangan gitu lagi, ah. Kalau saya mati kaget gimana, Bi?"
"Betul nggak berani lagi deh. Pak," kata Bi Icah dengan sesal.
"Eh, emangnya ada apa, Bi" Barangkali Bibi mau kasih tahu sesuatu" Ibu menulis lagi?"
"Ah nggak, Pak. Saya cuma... cuma iseng," sahut Bi Icah malu.
"Lain kali kalau nggak ada keperluan nggak usah panggil-panggil, ya Bi?"
Kata-kata itu diucapkan dengan nada yang ramah tapi tegas. Muka Bi Icah menjadi merah Sepertinya dia disadarkan bahwa perbuatannya barusan itu suatu kelancangan. Sama sekali tidak pantas.
"Iya, Pak. Lain kali nggak berani lagi. Maaf, Pak," katanya cepat-cepat sambil buru-bum turun dari kursi lalu berlari masuk rumah. Bayangkan kalau Irawan mengadukan perbuatannya itu kepada majikannya. Tapi tidak mungkin. Bukankah Irawan sendiri punya salah" Mereka samasama bersalah. Jadi yang satu tidak akan menuduh yang lain. Pikiran itu membuat ia lebih tenang.
Tapi 'Irawan yang ditinggalkan masih tetap berdiri di tempatnya. Tatapannya masih ke arah tembok. Kegeraman yang tadi kembali lagi di wajahnya.
Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Farida pulang ia melihat bangku kecil itu. Itulah bangku yang digunakannya saat bersama Tommy memasuki halaman rumah Irawan untuk mengambil pohon bunga tasbih itu. Ia heran.
"Bi, kenapa bangku itu di situ?"
Bi Icah terkejut. Dia sudah melupakan bangku itu. Dan dia juga melupakan bahwa majikannya sangat peka terhadap setiap perubahan dan kejanggalan. Padahal tentu saja dia tidak mungkin bercerita terus terang. Keterusterangan berarti membuka rahasia dan itu pun berarti celaka untuknya. Nalurinya mengatakan, majikannya tidak akan merelakan perbuatan selingkuh terhadapnya. Padahal dia senang bekerja di situ. Sudah beberapa kali dia ganti majikan karena tak ada satu pun yang baik di matanya.
"Oh..., tadi saya...," gagapnya sambil memikirkan jawaban. Dia memang tidak menyiapkan jawaban karena tidak menyangka hal itu akan terjadi.
Bi Icah tertolong oleh dering telepon.
"Halo, Da" Saya mau ke Jakarta. Ada titipan?" tanya Irawan.
"Ah nggak. Saya nggak ada keperluan apa-apa kok," sahut Farida.
"Barangkali kau perlu ke Jakarta juga" Kita sekalian."
Farida merasakan pertanyaan itu sebagai gurauan belaka. Ia tertawa.
"Ngapain ke jakarta" Panas."
"Barangkali mau titip sesuatu untuk Bu Ratih" Atau Tommy?"
"Nggak juga. Sebentar kan Tommy pulang."
"Atau lainnya?"
"Sungguh nggak ada. Terima kasih. Kau akan menginap?"
"Rencananya sih tidak. Saya cuma mau mencari beberapa peralatan elektronik. Dan mungkin juga belanja sedikit. Karena itu kalau kau memerlukan sesuatu katakan saja."
"Apa-apa yang saya perlukan selalu bisa saya dapatkan di sini kok, Wan. Jadi nggak perlu jauhjauh. Terima kasih lho."
Setelah percakapan telepon selesai, Bi Icah sudah memperoleh jawaban yang cocok. Ia mempunyai waktu cukup untuk memikirkannya dulu.
"Saya habis ngelus kucing, Bu. Ada kucing belang tiga bagus sekali lagi nangkring di situ. Saya kepingin megang, Bu."
Farida tak ingin mempersoalkan lagi. "Ya sudah," katanya.
Bi Icah bergegas untuk memindahkan bangku itu ke tempat semula. Tapi Farida yang masih memperhatikan mengerutkan kening. Ia melihat Bi Icah tersenyum diam-diam. Ataukah itu cuma perasaannya saja" Dan bangku itu dibawa Bi Icah
ke samping rumah, tak jauh dari sisi tembok yang tadi. Bedanya sekarang benda itu tak kelihatan lagi karena letaknya yang tersembunyi. Seingat Farida, bangku itu ditaruhnya di belakang rumah setelah ia selesai menggunakannya tempo hari.
"Memang di situ tempatnya, Bi?" ia bertanya.
Bi Icah tertegun. Ia tak menyangka majikannya punya ingatan yang begitu kuat. Tentu saja bangku itu memang diambilnya dari belakang rumah, tapi sekarang ia pindahkan ke samping karena lebih mudah mengambilnya.
Tapi Farida memutuskan untuk tidak cerewet. "Ya sudah. Biar sajalah di situ," katanya. Lalu ia memberikan beberapa instruksi memasak kepada Bi Icah.
Setelah Bi Icah masuk sambil membawa keranjang belanjaannya, Farida duduk di teras membaca koran. Pekerjaan rutin setiap pagi. Dan seperti biasa halaman kriminalnya atau berita kriminalnya mendapat perhatiannya paling dulu. Tidak ada peristiwa kriminal yang luar biasa, pikirnya.
Lalu ia mendengar deru mobil Irawan yang meluncur keluar rumahnya. Kemudian berhenti di tepi jalan. Pasti untuk mengunci dulu pintu pagar, pikir Farida. Beberapa saat kemudian ia melihat mobil itu melintasi rumahnva. Terlihat Irawan di balik kemudi. Dia tidak menoleh. Pandangnya lurus ke depan.
Farida meletakkan korannya: Ia berdiri lalu menuju tembok, tempat di mana tadi Bi Icah meletakkan bangku itu. Di situ memang merupakan tempat yang paling strategis untuk memandang ke Sebelah.
Ia membayangkan. Saat Bi Icah mengelus kucing di Situ, tentunya ia juga bisa melihat ke sana. Apakah Irawan melihatnya juga" Kalau itu
terjadi tentunya terjalin komunikasi antara keduanya. Apakah Irawan suka bertanya-tanya tentang dirinya kepada Bi Icah" Nyatanya Bi Icah tadi senyum-senyum. Farida menjadi penasaran. Tapi kurang enak kalau dia menanyakannya sekarang, siapa tahu Bi Icah akan menyangka macam macam.
Dia berjingkat dan melayangkan pandang. Untuk bisa melihat ke halaman rumah Irawan ia memang tidak membutuhkan bangku. Lalu ia tertegun dan menggerak-gerakkan cuping hidungnya. Serasa ada aroma yang aneh menusuk hidungnya. Suatu bau yang belum pernah tercium selama hidupnya. Bau yang tidak enak tapi disamarkan oleh harum kenanga dan melati yang tumbuh di dekat situ.
Saat itu angin memang sedang bertiup. Ia menyimpulkan bau itu berasal dari tempat yang jauh dan datang karena terbawa angin. Tapi ia tak ingin berlama-lama di situ. Bau itu memuakkan dan juga memusingkan kepalanya.
Ia berlari masuk rumah, mengambil minyak wangi dan menggosokkannya ke hidungnya. Juga ke keningnya. Terlalu banyak jadi memabukkan, tapi juga mampu melenyapkan kesan yang tadi. Dia perlu merebahkan tubuhnya sebentar di kursi malas. Mungkinkah rasa semacam ini yang disebut teler"
Bi Icah mendekati dengan maksud menanyakan perihal masakan. Ia tercengang melihat majikannya terbujur lesu.
"Kenapa, Bu?" Farida teringat. "Tadi Bibi kan berdiri di tembok situ" Nah, Bibi mencium bau aneh apa nggak?" ia bertanya sambil memandang tajam.
Bi Icah keheranan sebentar. Tapi ia menjawab cepat, "Nggak, Bu. Nggak ada bau apa-apa. Biasa aja. Emangnya kenapa, Bu?"
"Coba sekarang Bibi ke sana lagi. Cepat! Pakai hidung Bibi dengan baik, ya."
"Tapi..." "Ayo." Farida setengah menyeret Bi Icah ke luar. Terpaksa Bi Icah menurut meskipun jantungnya deg-degan. Ia teringat akan kesalahannya.
Bangku kecil di samping rumah kembali diambil, lalu dia naik. Kepalanya diteleng-telengkan. Lubang hidungnya kembang kempis. Tingkahnya seperti anjing sedang membaui sesuatu. Mestinya menggelikan tapi Farida tidak bisa tertawa.
Bi Icah menggelengkan kepalanya, lalu menoleh kepada Farida.
"Nggak ada bau apa-apa, Bu. Emangnya ada bau apa sih?"
"Betul nggak ada bau?"
"Betul. Coba deh Ibu sekarang ke sini."
Tapi Farida mundur dengan kaget. Tidak, dia tak akan mengulang yang tadi lagi. Sebenarnya, bukan semata-mata karena perasaan yang tak enak itu tapi dia juga takut!
Tanpa mempedulikan ocehan Bi Icah dia kembali ke kursi malasnya. Di sana dia merenung.
Sebegitu penakutnyakah dia" Tommy pernah mengatai dia penakut. Tapi itu sebelum mereka melakukan usaha pencurian pohon itu. Sekarang pandangan Tommy sudah berubah. Mama sekarang jadi pemberani, begitu pujinya. Dan dia merasa terbuai oleh pujian itu, hingga yakin akan kebenarannya. Tapi sekarang"
Pertanyaan itu membangkitkan tantangan. Tapi toh dia tetap tidak mau mengulang pengalaman tadi. Apakah untuk itu sesungguhnya memang diperlukan keberanian" Bau itu!
Ketika Tommy pulang ia tak menceritakan pengalamannya itu. Bukan karena khawatir dikatai penakut atau dianggap mengada-ada, tapi ia yakin Tommy kurang mampu menghayati apa yang dirasakannya. Salah-salah reaksi dan komentar Tommy cuma menambah beban. Padahal dia sungguh sadar betapa bodohnya bila dia membiarkan dirinya tertimpa beban. Sesungguhnya dia adalah orang yang bebas dan mandiri, tanpa problem. Jadi jauh dari beban!
Ketika malam tiba, rumah sebelah tetap gelap. Berarti Irawan belum pulang. Itu tentu hal yang biasa saja. Wajar bila seorang pria yang tinggal sendirian untuk pergi dan pulang semaunya. Tapi pikiran Farida justru tertarik ke sana. Muncul suatu keinginan yang sukar dimengerti. Dia ingin mencoba membuktikan lagi bau yang tercium tadi pagi!
Tommy mengikuti langkah Farida menuju tembok.
"Ma, mau ngapain lagi?" ia bertanya cemas.
"Nggak apa-apa. Cuma mau lihat-lihat."
Farida berjingkat, siap menerima yang terburuk dari indria penciumannya. Sementara Tommy juga diam menunggu. Ia tak mengerti apa yang mau dilihat ibunya dalam kegelapan seperti itu. Diam-diam ia berharap agar ibunya tak lagi mengulang pengalaman yang dulu. Jangan sampai ibunya punya ide macam-macam lagi.
Pada mulanya Farida takut-takut menghirup udara. Tapi karena mau tak mau ia harus bernapas maka dengan sendirinya terhirup iuga. Ternyata tak ada bau apa-apa. Udaranya segar seperti biasa. Dia merasa lega bukan karena bau-bauan itu tak ada lagi tapi karena dia sudah berhasil mengalahkan rasa takutnya. Mungkin saja karena ada Tommy di sampingnya, tapi ia yakin tanpa Tommy pun ia berani. Toh bukan dia yang mengajak Tommy ikut serta.
Tommy memandang cemas. "Ma, apakah Mama bermaksud mencari mayat?" tanyanya hampir tanpa dipikir lagi.
Farida terkejut. Pertanyaan itu seperti membangunkan sesuatu yang tidur dalam dirinya.
"Ah ya. kenapa tidak?" gumamnya.
"Mama bilang apa?" tanya Tommy, menyesali pertanyaannya barusan.
"Nggak. Sudah ah. Kita masuk?"
Tommy lega. Ibunya tidak mengajaknya melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Tapi tentu saja ia tidak tahu apa yang tengah berkecamuk dalam diri ibunya.
*** SENIN malam Irawan menelepon.
"Besok pagi-pagi sekali saya harus ke luar kota lagi, Da. Kali ini ke Surabaya. Mungkin untuk dua hari. Bisa juga lebih. Jadi saya bermaksud menitipkan kunci rumah. Takut hilang atau ketinggalan. Soalnya saya sudah pengalaman sampai susah sendiri. Bisa, Da?"
"Tentu saja bisa."
"Kalau begitu saya berikan sekarang saja."
"Lho kok sekarang" Kalau besok kau pergi menguncinya gimana?"
"Saya bawa kunci serep. Cukup dua saja. Kunci gembok pagar dan kunci rumah. Yang dua itu pula yang akan saya titipkan."
"Baik kalau begitu. Biar saya ambil sekarang lewat tembok."
"Kalau kau sibuk, suruh si Bibi saja."
"Saya nggak sibuk."
"Masih belum menulis?"
"Belum. Masih macet. Biasanya kalau macet tidak selama ini."
"Gunakan saja waktumu untuk membaca."
"Ya. Saya sedang membaca bukumu "
"Bagus," kata Irawan senang.
Kemudian mereka bertemu di tembok batas. Irawan menyerahkan dua buah kunci. Saat serah terima itu tangan mereka bersentuhan sebentar. Lalu dengan cepat Irawan memegang tangan Farida sebelum yang bersangkutan keburu menarik kembali.
"Terima kasih, Da. Kau baik sekali."
"Itu bukan apa-apa kok."
"Karena saya besok berangkat pagi-pagi, maka saya pamitan sekarang saja, Da."
"Ya. Selamat jalan."
Tangan Farida dibelai Irawan dan ia membiarkan. Kelihatan Irawan enggan melepaskan. Dan ketika akhirnya lepas juga, tangan itu terasa panas.
Selasa malam. Farida berdiri sendirian di sisi tembok batas. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ dalam kegelapan. Rumah Irawan gelap karena penghuninya pergi. Sedang kuncinya berada di tangan Farida!
Dia berpakaian celana panjang hitam dengan kaus biru tua. Penampilan gelap seperti saat dia meloncati tembok itu bersama Tommy dulu. Dia memang tengah menimbang-nimbang untuk melakukan hal yang sama!
Tapi masih ada keraguan. Kali ini tanpa Tommy. Dan apa yang mau dilakukannya jauh
lebih berat karena bukan cuma sekadar masuk halaman, tapi masuk rumah!
Ini gila, pikirnya berulang-ulang. Toh kegilaan itu ingin sekali dilakoninya. Ingin sekali. Mama mau mencari mayat" Begitu pertanyaan Tommy beberapa hari yang lalu. Pertanyaan itu membangkitkan niat. Tapi sesungguhnya dia memang tidak bermaksud mencari mayat di rumah Irawan. Cuma dalam khayalannya dia membayangkan ada mayat di sana dan dia harus menemukan tempatnya. Itu untuk kepentingan ceritanya dan dia ingin menggambarkannya serealistis mungkin. Begitu realistisnya hingga dia menemui kesulitan untuk mengkhayalkannya. Padahal dia bisa saja mengikuti saran Tommy. Kenapa susah-susah amat sih, Ma" Dikira-kira sajalah. Bisa di kamar, di dapur, atau di ruang tamu. Tapi dia tidak mau mengikuti saran itu, karena justru yang susah itulah yang menyenangkan! Getar sensasinya terasa sampai ke ujung-ujung jari. Bahkan juga saat ini, ketika ia belum melakukan apa-apa!
Dia merasa sudah terlanjur memasuki dunia yang merupakan pembauran antara yang nyata dan yang khayal itu. Di mana dia melihat kenyataan berdasarkan khayalan dan menggambarkan khayalannya berdasarkan kenyataan. Suatu keterlanjuran yang membuat ia susah menarik diri. Tak bisa melepaskannya begitu saja. Novelnya harus selesai. Kerjanya harus dituntaskan. Tapi untuk itu dia harus menjelajahi dulu dunia yang terlanjur dimasukinya ini. Tentu ini bukan
suatu kesimpulan berdasarkan logika. Sematamata berdasarkan kepekaan perasaan saja. Sepertinya ada indria keenam yang punya peranan, lalu mendorong dan memaksanya.
Nyatanya dia masih ragu-ragu padahal bangku kecil sudah siap dekat kakinya. Dia bisa menginjaknya lalu melompat ke sisi tembok sebelah sana. Tapi keraguan ini bukan karena tak adanya orang yang membantu. Jelas tak ada Tommy yang nanti bisa mendorong tubuhnya agar bisa melompati tembok dari sebelah sana. Dalam hal itu ia tak lagi merisaukan. Ia sudah menemukan tempat dari mana ia bisa menaiki tembok dengan lebih mudah bila ia sudah berada di sebelah sana, yaitu dari teras. Takut" Sepertinya juga bukan. Bila orang sudah terdorong melakukan sesuatu dengan keyakinan dan kesungguhan maka rasa takut menjadi sangat tipis.
Akhirnya dia menyadari bahwa keraguan terusmenerus adalah kesia-siaan. Maju tidak, mundur pun tidak sementara waktu terbuang habis. Maka ia menaiki bangku lalu dengan hanya berbekal senter dan kunci ia melompat.
Suatu keuntungan bahwa Irawan tidak membiarkan lampu teras menyala terus. Dengan demikian ia bisa masuk tanpa terlihat mencolok dari jalan. Di tempat yang gelap sekali ia bisa mengandalkan senternya.
Dengan gemetar ia mencoba kedua kunci. Mana yang cocok dengan pintu. Ketika pintu terbuka dan engselnya berderit ia menahan napas dan
berdiri diam sebentar. Sepertinya ada suatu bunyi dari dalam. Tapi ketika ia memasang telinganya tajam-tajam tak ada kedengaran apa-apa. Mungkin tikus atau kucing, pikirnya.
Ia masuk dan merapatkan pintu lalu menyalakan senternya. Ia tidak berani menyalakan lampu ruangan karena khawatir terlihat dari jalan. Walaupun jendela tertutup gorden tebal tapi cahaya terang masih bisa menembus. Pak Ganda, ronda malam, akan menaruh curiga. Lebih-lebih bila Irawan sudah menitipkan rumahnya sebelum pergi seperti kebiasaan sebelumnya.
Tanpa tergesa-gesa ia mengarahkan senternya ke segala penjuru. Keadaan di situ Sudah dikenalnya. Tak ada yang istimewa. Demikian pula ruang duduk di mana ia pernah duduk-duduk bersama Tommy. Rak buku masih di situ. Lalu ia terus ke belakang. Dapur, kamar mandi dilaluinya setelah puas mengamati. Di situ ia tidak merasa khawatir menyalakan lampu ruangan. Walaupun agak berantakan tapi cukup berSih keadaannya. Tapi ia belum merasakan suatu getaran atau perasaan yang dapat dijadikan pertanda bahwa ia sudah menemukan tempat yang dicarinya. Tak mungkin tempat seperti itu dijadikan tempat persembunyian mayat.
Ia membuka pintu belakang yang menuju kebun. Luas kebun itu kurang lebih sama dengan kebun miliknya sendiri di belakang rumah. Kecil saja. Cuma ada beberapa pepohonan semak yang tidak terurus. Sama sekali tidak ada tanda-tanda
bekas penggalian Tanahnya keras secara merata. Tapi sesudah menyimpulkan hal itu ia tertegun. Ah, kembali dia mengacaukan realitas dengan khayalan. Ingatlah, dia bukan mencari jejak yang sesungguhnya. Dia semata-mata mencari tempat yang cocok untuk ceritanya. Sesuatu yang membangkitkan getar-getar sensasi. Tapi, di mana tempat yang cocok dan mana pula getar-getar itu" Hanya tinggal kamar-kamar yang belum dimasukinya.
Gila dan bodoh, kata hatinya. Tapi dia jalan terus. Dia mulai dari kamar paling belakang. Mungkin kamar pembantu. Tapi ternyata tak bisa dibuka. Terkunci. Dia mencoba kunci yang ada di tangannya, tapi tak cocok. Dengan gemas dia menggebrak-gebrak, tapi tentu saja tetap tak bisa dibuka. Ketidakmampuan itu justru merangsangnya. Kalau tak ada apa-apanya kenapa harus dikunci" Atau memang semua kamar biasa dikunci" Dia mencoba mengintip lewat lubang kunci. Seperti persangkaannya, tak mungkin bisa terlihat sesuatu di dalam kamar yang gelap pekat. Tapi ketika hidungnva melintas di lubang itu ia tersentak kaget. Ia sampai jatuh terduduk karenanya. Bau yang menyengat hidungnya persis seperti bau yang tercium olehnya di hari Sabtu pagi yang lalu! Tapi kesan itu cuma selintas. Ketika dengan memberanikan diri dan siap menerima akibatnya ia sengaja meletakkan hidungnya di muka lubang kunci, ternyata sudah tak ada lagi kesan yang tadi. Bau tadi tak ada lagi! Apakah bau
itu memang berasal dari dalam kamar atau dari tempat lain"
Ia berjalan terus. Ada kamar lagi. Dibukanya dan ternyata tak dikunci. Kosong sama sekali. Satu perabot pun tak ada. Pintu ditutupnya lagi. Satu kamar lain di sebelahnya juga tak dikunci. Tapi isinya barang rongsokan. Mungkin dijadikan gudang. Itu pun ditutupnya kembali. Masih ada satu kamar lagi di sebelah depan, satu ruangan dengan ruang duduk. Itu pasti kamar Irawan. Tapi di situ jelas bukan tempat yang dicarinya. Rasanya mustahil.
Kecurigaannya kembali terarah pada kamar belakang. Bila kamar-kamar lain dibiarkan tak terkunci, kenapa justru yang satu itu dikunci" Ia kembali ke sana, mencoba lagi. Tapi tetap tak berhasil.
Ia berpikir sebentar. Mungkin kuncinya ada di kamar Irawan. Padahal ia tak bermaksud menjenguk kamar itu. Ada rasa segan yang membuat malu dan risi. Walaupun orangnya tak ada, itu toh kamarnya.
Ternyata kamar Irawan juga tak dikunci. Ia membukanya pelan-pelan. Senternya diarahkan sepanjang tembok untuk mencari letak sakelar. Tapi ketika melangkah maju lagi kakinya tersandung sesuatu. Ia jatuh tertelungkup. menimpa tubuh seseorang! Senternya terpental entah ke mana. Ia memekik kaget, lebih-lebih setelah merasakan dekapan yang kuat dan erat. Sekuat tenaga ia berontak dengan menggunakan kaki dan tangan, juga giginya!
"Lepaskan! Lepaskan!" serunya.
"Hei, Ida! Kenapa kau?"
Serta merta Farida menjadi lunglai. Orang itu adalah Irawan!
Ketika lampu dinyalakan keduanya berdiri saling memandang. Wajah Irawan kusut dan kelihatan sangat heran.
"Kenapa kau di sini, Da" Ada apa?"
Farida tertunduk. la tidak tahu di mana harus menyembunyikan mukanya. Malunya tak kepalang. Kalau saja ia bisa lari pergi. Pokoknya menjauh dari tatapan lrawan. Lalu menganggap semuanya hanya sebagai mimpi.
Irawan mendekat lalu memegang kedua bahu Farida.
"Katakan, Da" Kenapa?" ia bertanya lembut.
"Saya... ah, saya minta maaf, Wan. Saya sudah memasuki rumahmu secara lancang. Saya salah."
"Nggak apa-apa. Saya nggak marah kok. Pasti ada alasannya, bukan" Kau orang yang hebat. Tak mungkin kau melakukan sesuatu tanpa alasan. Saya percaya."
Kata-kata yang diucapkan dengan penuh pengertian itu sangat menyentuh hati. Farida merasa luluh karenanya. Karena itu ia membiarkan dirinya dipeluk. Bahkan ia pun balas memeluk. Tangan Irawan yang membelai punggungnya terasa nyaman dan menenangkan. Perlahan-lahan perasaannya pulih kembali.
"Katanya kau ke Surabaya."
"Keberangkatan ditunda. Mungkin juga tak
jadi. Saya belum sempat memberi tahu kau. Pulang-pulang capek sih."
"Kenapa kau tidur di lantai?" .
"Saya biasa begitu kalau kepanasan."
Dengan sabar ia menjawab segala pertanyaanku, padahal semestinya akulah yang harus lebih dulu menjawab pertanyaannya, pikir Farida. Pelan-pelan ia melepaskan diri dari pelukan.
"Saya akan menjelaskan..."
"Tunggu. Bagaimana kalau kita bicara di ruang duduk" Nanti saya ambilkan minum. Kau kelihatan masih kaget."
Dengan rasa terima kasih Farida mengikuti anjuran itu. Minuman dingin mampu membuat ia berpikir tenang. Situasi ini membuat ia mau tak mau harus menjelaskan apa motivasi perbuatannya. Dan berpikir tentang masa depan ia tambah yakin akan kebenaran tindakannya. Bila novelnya sudah rampung Irawan akan membacanya lalu tentu saja ia membutuhkan penjelasan kenapa ceritanya seperti itu. Jadi lebih baik sekarang saja. Kelak beban itu tak ada lagi.
Farida bercerita. Tapi ia menyembunyikan persoalan bau itu. Kurang enak rasanya.
"Maafkan saya, Wan. Cerita seperti itu bisa menyinggung perasaanmu. Saya jadi ragu-ragu sekarang apakah harus meneruskannya atau tidak. Saya pikir, bila disimpulkan cerita itu seolah-olah menuduh..."
Irawan tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau tak perlu berpikir demikian. Lakukan saja apa yang menurutmu terbaik. Memang terus terang saya kaget mendengar ceritamu itu. Saya jadi ngeri pada diri sendiri."
Farida memandang dengan sesal.
"Saya toh sedang macet dengan cerita itu. Mungkin sebaiknya saya mulai dengan cerita lain saja."
Wajah Irawan tampak berubah. Di situ ada kelegaan.
"Sebenarnya ceritanya bagus. Sungguh-sungguh menegangkan. Tapi..."
"Tapi kurang mengenakkan buatmu, bukan?" sambung Farida ketika Irawan menghentikan ucapannya. "Saya mengerti, Wan. Seharusnya saya menghargai perasaan orang lain. Saya bertindak terlalu jauh."
"Ya. Khayalmu luar biasa. Kau pengarang yang hebat. Memang seperti itukah caramu dalam mengarang?" "
"Tidak. Baru sekarang," jawab Farida sejujurnya.
Irawan memandang heran. "Ya. Kau tidak mengerti, bukan" Saya juga tidak mengerti," kata Farida.
Irawan terdiam. "Kau tak usah risau, Wan. Saya akan menghentikan cerita itu," kata Farida pasti.
"Kau sudah capek-capek menulisnya. Garagara saya kau mengorbankan jerih payahmu. Terima kasih. Da "
"Sekarang saya harus pulang. Malam sudah larut."
"Tunggu. Sebenarnya ada satu hal yang perlu dijernihkan dulu, Da."
Farida memandang tegang. Ada apa lagi"
"Bukankah katamu tadi kau telah mencoba membuka pintu kamar di belakang" Kau ingin tahu apa isinya" Yuk kita lihat sekarang" Ini kesempatan paling baik. Kapan lagi kau bisa ke sini?"
Farida tersipu. "Tidak. Saya tidak perlu melihat. Yang tadi kan cuma bagian dari khayalku."
"Tidak apa-apa, kan" Nanti kau penasaran. Yuk?"
Ajakan itu sebenarnya mencemaskan Farida. Tiba-tiba ia merasa ngeri, bagaimana kalau bau itu menyerangnya lagi" Tapi Irawan kelihatan serius. Kurang enak juga kalau menolak. Tadi dia datang dengan segala keberanian. Terpaksa dia mengikuti langkah Irawan. Ia membiarkan Irawan memeluk bahunya sambil berjalan. Inilah pengalaman paling aneh selama hidupku, pikirnya.
Irawan membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Lalu menyalakan lampu. Tidak ada bau apa-apa. Tapi pemandangan yang terlihat membuat Farida tercengang. Itu merupakan kamar paling berantakan yang pernah dilihatnya. Ada lemari, meja besar dengan kursi, ada peralatan besar yang tak diketahuinya apa nama dan kegunaannya. Sedang di atas meja bertebaran segala macam alat kecil-kecil, kabel, obeng, dan
entah apa lagi. Hampir-hampir tak ada permukaan meja yang kosong karena terisi oleh berbagai peralatan itu.
"Inilah kamar kerja saya," kata Irawan sambil tersenyum.
Farida memalingkan mukanya dengan malu.
Mereka berjalan keluar lagi.
"Saya harus pulang "
"Ah, betapa menyenangkan ada kau di sini. Kalau saja saya bisa memintamu untuk tinggal."
"Tentu tidak bisa, Wan. Kalau tetangga melihat saya berada di sini, wah..."
"Persetan dengan tetangga."
"Ah, jangan begitu. Sudahlah sampai di sini saja. Saya tak usah diantar," kata Farida setibanya di muka pintu.
"Kau akan melompati tembok lagi?"
"Tentu saja." "Saya bantu?" "Nggak usah." "Ah, kau hebat. Diam-diam kau berjiwa petualang, Da."
Farida tersipu. ' "Tunggu, Da." Ketika Farida tertegun, Irawan memegang kedua bahunya. Dalam kegelapan Farida dapat merasakan pandang mata Irawan mencoba menelusuri wajahnya. Ia bersyukur akan kegelapan itu. Embusan napas Irawan yang menyapu kulitnya membuat ia berdebar. Bukankah ia belum siap menghadapi hal seperti itu" .
Embusan napas itu terasa kian dekat.
"Saya mencintaimu, Da. Sejak belum mengenalmu saya sudah jatuh cinta lewat buku-bukumu. Sungguh, Da. Saya serius."
Sama sekali tidak mengagetkan, pikir Farida. Ia sudah bisa menduga. Cepat atau lambat Irawan akan mengungkapkannya. Tapi yang terasa mengagetkan baginya adalah reaksinya sendiri. Dia merasakan aliran panas dalam tubuhnya. Darahnyakali yang bergolak" Ada pula desir dan getaran yang aneh. Sensasi yang menyenangkankah" Tapi perasaannya juga seperti mabuk. Lalu gerak tangannya seolah hilang kendali. Atau itu yang disebut spontanitas" Kedua tangannya yang semula tergantung ke bawah tahu-tahu sudah diulurkannya melingkari tubuh Irawan!
Sentuhan itu bagaikan angin baik bagi Irawan. Detik berikut ia memeluk Farida lalu menciumnya!
Farida terbuai. Sudah lama dia melupakan halhal seperti itu. Tak pernah terpikir bahwa dia akan mengalaminya lagi. Sesuatu untuk dirinya sendiri. Tanda bahaya yang disuarakan nuraninya hampir hampir tak berperan. Rayuan dan belaian Irawan memabukkan dan melenakan, membuat dia serasa tak punya pertahanan. Dia membiarkan saja dirinya hanyut. Apakah itu karena pengaruh suasana" Dia berada di rumah Irawan dan dia telah melakukan kesalahan. Tapi pikiran itu cuma muncul sekilas. Dia terlalu mabuk.
Tiba-tiba dia terkejut. Bau itu tiba-tiba tercium
lagi! Ia terbatuk dan menjadi kaku. Tapi Irawan tak ingin melepaskan dekapannya. Farida berontak keras. Dia sungguh muak. Dia sesak napas. Tapi dia juga sekaligus sadar. Apa gerangan yang tengah diperbuatnya" Dia yang sejak dulu selalu bisa bersikap tenang dan dingin menghadapi rayuan laki-laki ternyata kini bertingkah tolol.
Dengan segan Irawan melepaskan Farida. Tapi tangannya masih menghalangi.
"Saya mau pulang, Wan!" seru Farida.
"Katakan dulu bahwa kau pun mencintaiku!"
"Ya, ya!" Begitu lepas Farida menghambur ke pintu dan membukanya cepat-cepat. Ia tidak tahan lagi. Ia sungguh-sungguh memerlukan udara segar. Dan di luar memang udaranya segar. Tidak ada bau itu. Ia menghirup udara dengan rakus.
"Kenapa kau?" tanya Irawan heran.
"Saya ingin pulang," sahut Farida lalu berlari menuju teras sebelum Irawan sempat menyentuhnya.
Dengan lincah dia melompat dulu ke pinggiran teras baru dari situ melompat ke atas tembok batas. Di atas tembok itu ia membungkukkan badan sambil berjalan cepat menuju tempat di mana bangku kecilnya terletak di balik tembok. Senternya tak terbawa hingga dia hanya mengirangira saja. Masih ada cahaya bulan walaupun redup dan juga ada sinar lampu dari teras rumahnya sendiri. Kemudian dia melompat turun tanpa menoleh lagi. Lalu dia berlari menuju rumahnya.
Ketika ia sudah berada di dalam rumah, ia terduduk lemas. Segala tenaga seperti meninggalkan tubuhnya. Tapi ia lega. Serasa ia baru saja memperoleh kebebasannya!
Di sebelah sana Irawan sama sekali tidak mengikuti langkah Farida. Ia hanya memandangi saja dari depan pintu. Bahkan ia tidak berniat untuk menjenguk dari balik tembok untuk melihat apakah Farida sudah aman dan selamat. Ia cuma memandang sambil tersenyum!
*** HARI Rabu esoknya, menjelang siang baru Farida bangun dari tidur. Memang waktu pulang dari rumah Irawan sudah dinihari dan ia tak bisa segera tidur.
Ia disambut Bi Icah. "Kesiangan, Bu?"
"Ya." "Tadi pagi ada telepon dari Pak Irawan. Katanya, kalau masih tidur mah jangan dibangunin. Nanti sore dia mau telepon lagi."
"Ya." "Nggak enak badan, Bu?"
"Nggak. Bikinin saya kopi kental aja, Bi."
Bi Icah berlalu dengan lega. Bahwa majikannya bangun begitu siang merupakan hal yang baru. Ia sudah membayangkan yang buruk-buruk.
Sementara itu Farida kembali membayangkan peristiwa semalam dengan perasaan malu yang masih tetap menghantui. Tapi rasa malu itu membuat ia sukar berpikir secara kritis. Ia segan membayangkannya walaupun ingin merenungkannya kembali. Ada sesuatu yang salah dalam peristiwa itu dan dia terus-menerus menganggap
dirinya bodoh. Anggapan yang membangkitkan sesal tak habis-habis. Dia dalam pelukan Irawan! Dan ah, apakah dia pun mengatakan cinta" Aduh, betapa lancangnya dia. Sejak dulu dia tak pernah percaya akan cinta yang kilat. Harus ada proses saling mengenal yang panjang lebih dulu. Orang tak boleh sembarangan dengan cinta kecuali niatnya hanya untuk cinta-cintaan.
Tentu dia menyenangi Irawan. Tapi menyenangi dan mencintai itu tidak sama walaupun dari senang itu bisa saja lahir cinta. Yang demikian itu pun suatu proses namanya. Lantas, apakah dia terlalu impulsif semalam" Ataukah memang karena pengaruh suasana seperti yang terpikir selintas waktu itu" Kini dia mencoba memikirkannya kembali secara lebih kritis. Harus kritis. Tapi rasa malu dan jengah itu sukar benar dibuang.
Farida menghirup kopinya pelan-pelan. Enak sekali. Lalu di kursi malasnya itu ia duduk santai sambil memejamkan mata. Tanpa dikehendaki terbayang Gunawan dan Ines. Perbuatan mereka berdua rendah sekali di matanya. Memalukan. Mesum. Tidak bermoral. Bukan cuma karena pengkhianatannya tapi lebih-lebih karena sifat perbuatannya. Sementara dia menjunjung tinggi kesetiaan. Selama perkawinannya dia tidak pernah bercanda dengan pria lain walaupun cuma gurau. Itu karena dia ingin menjaga perasaan Gunawan. Tapi kehati-hatiannya itu ternyata tidak membuahkan perlakuan yang sama terhadap dirinya.
Tanpa sadar dia membandingkan dengan perbuatannya semalam. Begitu mudahkah pertahanan iman seseorang runtuh dalam situasi seperti itu" Sebesar itukah godaan yang menghantam dan mendera" Tanpa terasa dia jadi membayangkan kembali semuanya secara mendetil. Dan tentunya juga kritis. Hambatan rasa malu pun lenyap.
Dia berhasil menyimpulkan banyak hal. Pertama-tama dia tersentuh oleh perhatian dan pengertian vang diberikan Irawan. Tapi sebelumnya jelas ada pengaruh rasa menyukai itu. Bayangkan betapa leganya dia karena Irawan ternyata tidak marah ataupun curiga ketika tiba-tiba di tengah malam dia muncul dan jatuh menimpa tubuhnya. Lalu dengan terus terang dia mengakui, betapa menyenangkan belai dan cumbu yang diterimanya. Sampai-sampai terasa bagaikan dambaan yang tiba-tiba terpenuhi. Mungkinkah karena yang demikian itu juga merupakan kebutuhan seseorang"
Kesimpulan kedua disadarinya dengan kaget. Pada akhirnya dia memang berhasil menahan godaan Irawan. Dia tidak perlu merasa malu. Tak ada hal-hal yang melewati batas. Tapi dia tidak merasa telah melakukannya atas kehendak sendiri. Ada yang telah menyelamatkannya. Bau itu!
Farida mengeluh dalam-dalam. Buru-buru ia membuka matanya supaya tak teringat lagi akan bau yang memuakkan itu. Ia menghirup lagi kopinya. Lalu melihat Bi Icah mendekatinya dengan ragu-ragu.
"Nggak ke pasar, Bu?"
"Malas ah, Bi. Masak yang ada aja ya" Apa sudah nggak ada persediaan?"
"Ada kok, Bu. Masih ada sayur dan ikan. Tapi..."
"Tapi apa, Bi?"
"Ada yang aneh, Bu. Bangku itu ada lagi dekat tembok padahal saya mah nggak mindahin ke situ. Sumpah deh, Bu."
"Nggak usah sumpah, Bi."
Sesaat Farida merasa geli. Tentu saja dia yang membawanya ke sana semalam lalu lupa memindahkannya kembali. Dulu dia yang menanyai Bi Icah tentang hal itu, sekarang giliran dia yang ditanyai tentang hal yang sama.
"Abis siapa yang mindahin, Bu?" tanya Bi Icah waswas.
"Mana saya tahu. Tuyul kali."
"Ih, Ibu nakut-nakutin aja. Tempo hari bilangnya ada bau-bauan. Sekarang..."
Farida sadar, Bi Icah sebaiknya jangan ditakut takuti. Nanti dia bisa susah sendiri.
"Sudahlah, Bi. Bangku itu memang saya yang bawa kok. Saya mau petik kenanga," katanya menenangkan.
Bi Icah menjadi tenang. Dia pergi ke belakang meninggalkan Farida dalam renungannya kembali.
Ia memutuskan untuk tidak memikirkan lagi soal bau itu. Masih ada hal lainnya. Yang penting adalah sikap Irawan yang membangkitkan tanda tanya. Sesuatu yang semula tak terpikir tapi
sekarang tanda tanyanya makin lama makin besar. Wajarkah sikap penuh pengertian yang ditunjukkan Irawan itu" Dia memang kelihatan kaget tapi tampaknya begitu mudah hilang. Kontrol dirinya luar biasa. Wajarkah"
Lalu kegelapan rumah itu. Biasanya tak pernah segelap itu bila penghuninya ada di rumah. Dia tahu betul. Lain halnya kalau lampu memang padam dari sononya. Lagi pula mana enak tidur dalam rumah yang gelap total seperti itu" Setidaknya ada ruangan yang diberi cahaya temaram. Bayangkan betapa repotnya kalau mau berjalan ke sana sini. Orang yang sedang tidur pun terkadang harus bangun untuk ke belakang.
Kemudian keberisikan yang ditimbulkannya ketika memasuki rumah itu. Ketika itu dia berlaku seenaknya karena yakin tak ada penghuninya. Memang suara yang ditimbulkannya masih dalam batas tak sampai terdengar oleh tetangga. Misalnya saja dia menggebrak-gebuk pintu kamar belakang waktu mendapatinya dalam keadaan terkunci. Tidakkah segala bunyi-bunyian itu mampu membangunkan tidur Irawan" Adakah orang yang tidurnya begitu lelap hingga tak bisa mendengar apa-apa"
Kemudian masih ada lagi yang paling mengejutkan dari semua. Dia sudah menjanjikan untuk menghentikan ceritanya! Mana mungkin dia bisa berSikap sebodoh itu" Nyatanya memang mungkin. Tapi jelas pula betapa bedanya suasana semalam dengan sekarang. Sekarang dia bisa
menilai perbuatannya itu dengan cara dan sikap yang berbeda. Padahal semalam dia juga yakin akan kebenaran sikap yang telah diambilnya. Mungkinkah itu berarti bahwa saat itu dia sebenarnya tidak sungguh-sungguh berani" Rasa takutnya juga besar. Mungkin itu penyebab stres karena dia tak mampu menahan dorongan untuk tetap melakukannya. Keberaniannya cuma semu. Dalam keadaan seperti itulah dia berhadapan dengan Irawan. Mungkinkah Irawan menyadari hal itu juga lalu memanfaatkannya" Dia semestinya tahu sejak dulu, bahwa Irawan orang yang cerdas.
Dia meraih mapnya, membukanya lalu membalik-balik halamannya. Dia Sudah sampai ke halaman seratus dua puluh lima. Dan ceritanya sedang menanjak menuju klimaks. Sekarang, ketika sedang merenungi naskahnya itu bangkit lagi kerinduannya untuk meneruskan. Padahal dia sudah berjanji...
Sekarang dia menyesali janji itu. Dia menyesali perbuatannya semalam. Kalau saja dia mengikuti saran Tommy, Tidak usah macam-macamlah. Dilihat dari pandangan Tommy perbuatannya itu pastilah sangat tidak masuk akal. Mengada-ada dan membebani diri dengan kesulitan yang tidak perlu.
Sebenarnya dia bisa saja meneruskan dengan diam-diam. Irawan tidak akan tahu. Kalaupun nanti tahu dia bisa menjelaskan. Itu urusan belakangan. Tapi semalam Irawan kelihatan senang sekali ketika dia mengucapkan janji itu. Rupanya cerita itu menyinggung perasaannya. Tapi, bukankah itu cuma cerita" Cuma bohong bohongan" Seharusnya Irawan tidak perlu memusingkan. Orang yang tersinggung dan merasa terkena setelah membaca sebuah cerita mungkin menandakan bahwa dia memang menemukan kemiripan yang lebih dari sekadar mirip. Padahal kemiripan yang nyata antara cerita itu dengan kehidupan Irawan hanyalah seputar istri yang hilang. Sebagian besar yang lain adalah hasil rekaan. Memang ada yang aneh dalam proses menemukan hasil rekaan itu karena dia mencocok-cocokkannya dengan realitas. Toh itu tetap khayalan. Dia sudah menceritakan hal itu kepada Irawan. Jadi yang tahu cuma mereka berdua. Orang luar tidak tahu dan tidak perlu menyangka macam-macam. Karena itu semestinyalah Irawan tidak berkeberatan akan cerita itu. Apalagi kalau Irawan memang seorang penggemar fanatik seperti yang pernah diakuinya, tentunya dia justru akan mendorong supaya cerita itu diselesaikan. Maka sikap kontradiktif yang diperlihatkannya mungkin saja disebabkan karena dia memang seorang...
Farida terkejut oleh pikirannya sendiri. Sudah cukup. Dia tidak ingin memikirkannya lagi. Lalu mencoba berkonsentrasi pada karyanya. Tapi sekali lagi pikirannya macet. Tak bisa berkembang. Jelas tak bisa dipaksakan. Mungkin lebih baik bila dia memulai cerita lain saja. Tapi biasanya dia tak pernah begini. Sekali memulai
sebuah cerita dia selalu mantap sampai selesai. Tak pernah ia meninggalkan sebuah cerita tanpa penyelesaian. Ia memang tidak senang meninggalkan kerja yang tak selesai.
Dia merasa frustrasi. Dengan sedih dia merapikan isi mapnya lalu berdiri ragu-ragu sebentar di depan rneja tulisnya. Tidak patut lagi map itu terletak di atas meja. Jadi dimasukkannya ke dalam laci. Biarlah di sana sampai ia menemukan sesuatu keputusan.
Tak disadarinya bahwa diam-diam Bi Icah memperhatikan semua gerak-geriknya. Baru ketika ia menutup laci kembali, Bi Icah pun bergegas pergi ke dapur. Termakan rayuan dan uang, tanpa sadar Bi Icah telah menjadi mata-mata!
Sore harinya ia membawa beberapa buku ke dalam kamar tidurnya.
"Bi, kepala saya rasanya pusing. Saya mau tiduran dan makan obat tidur supaya bisa pulas. Malam tadi saya kurang tidur. Sekarang saya nggak tahan. Jadi saya jangan diganggu. Kalau ada telepon bilang aja saya tidur, nggak usah ngomong macam-macam. Kalau ada pesan Bibi catat saja. Ya?"
"Ya, Bu. Tapi... kalau yang telepon Pak Irawan" Kan dia udah janji mau nelepon lagi."
Farida mengerutkan kening karena jengkel. "Yang janji kan dia, bukan saya. Sudahlah, Bi. Siapa pun yang telepon saya nggak mau terima."
"Ya, Bu." Farida masuk kamar dan mengunci pintunya.
Tentu saja dia berbohong tentang obat tidur itu. Maksudnya supaya Bi Icah benar-benar tidak mengganggu. Dia tidak ingin bicara dengan Irawan pada saat itu. Dia perlu waktu untuk menentukan dan memulihkan sikap.
Sejam kemudian telepon berdering. Farida menuju pintu dan melekatkan telinganya.
"Oh, Pak Irawan?" demikian suara Bi Icah yang lantang. Lalu suara lantangnya menurun, tapi karena jenis suaranya seperti itu masih tetap terjangkau pendengaran Farida. "Ibu tidur, Pak. Ya betul. Tidur. Tuh nggak ada suaranya. Tadi sebelum masuk kamar katanya mau makan obat tidur. Rasanya mah udah lama. Ada kali pukul empat waktu masuk kamar."
Farida melotot geram. Lancang benar Bi Icah itu. Sudah dipesan untuk cukup mengatakan bahwa ia sedang tidur tapi malah cerita banyak banyak. Toh ia heran. Cara bicara Bi Icah itu sepertinya mengandung kelancangan, kurang respek dan kurang hormat. Sama sekali berbeda dibanding kalau ia bicara dengan orang lain walaupun sama-sama lewat telepon.
"Ya, betul begitu, Pak." Bi Icah masih bicara dengan suara yang lebih perlahan lagi. Tapi, entah karena pendengarannya kurang atau karena jenis suaranya yang nyaring, masih saja tertangkap telinga Farida. Yang jelas, suasana sekitar yang sunyi sangat menolong.
Farida terpaksa tersenyum ketika mendengar ucapan Bi Icah.
"Saya ngomong udah perlahan kok, Pak. Orang tidur mah nggak bisa denger atuh. Abis di mana" Di pinggir tembok" Eh... iya, Pak. Entar."
Telepon diletakkan. Farida membuka pintu pelan-pelan. Dia tidak bisa memandang ke arah di mana pesawat telepon diletakkan, tapi bila Bi Icah akan ke luar harus melewati kamarnya. Ternyata dia cuma melihat sekilas punggung Bi Icah yang berjalan dengan cepat.
Farida melepaskan sandalnya lalu menguntit. Untung Bi Icah tidak menengok ke belakang. Tapi Farida tidak terus mengikuti. Ia sudah tahu ke mana tujuan Bi Icah. Cukup dari balik jendela dia bisa melihatnya.
Bi Icah menaiki bangku kecil yang masih tetap di situ sejak semalam. Lalu terlihat kepala Irawan. Mereka berbicara. Tapi sayang sekali, Farida tidak bisa menangkap suara mereka. Toh itu sudah cukup untuknya. Dia bergegas masuk kembali dan menuju meja tulisnya lalu mengeluarkan mapnya dari laci. Dengan map itu di pangkuannya ia duduk menunggu.
Bi Icah masuk. Mula-mula jalannya lurus tanpa menoleh. Tapi kemudian langkahnya direm mendadak. Ia menoleh. memekik kaget lalu wajahnya serentak menjadi ungu. Lebih-lebih setelah matanya tertuju ke map di pangkuan Farida.
"Duduk, Bi," kata Farida dengan suara tegas . Ia menunjuk kursi di depannya. Tangannya yang satu lagi menepuk-nepuk mapnya.
Bi Icah duduk dengan patuh.
"Maaf... Bu. Sa...ya minta ma...af," ia tergagap dengan mata basah.
"Ceritakan saja, Bi," kata Farida dengan suara tak berubah.
Lalu betapa takjubnya dia ketika Bi Icah memuntahkan ceritanya tanpa dipaksa atau dibujuk. Padahal dia sama sekali belum punya petunjuk atau perkiraan sampai ke sana. Dia tidak punya pegangan apa-apa untuk ditanyakan, apalagi bukti. Yang ada hanya kecurigaan bahwa Bi Icah melakukan komunikasi dengan Irawan perihal dirinya. Tapi justru karena tak punya pegangan itulah maka dia bersikap seakan sudah tahu semuanya lalu tinggal menunggu pengakuan Bi Icah. Sedang map itu diambilnya supaya ada sesuatu untuk dipegang hingga dapat memberinya kekuatan. Ternyata dia berhasil.
Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah bercerita, kembali Bi Icah tergagap gagap meminta maaf.
"Sudahlah, Bi. Lain kali jangan gampang dibujuk orang. Orang yang gampang kena bujuk itu bisa ditipu. Apalagi perbuatan sembunyi-sembunyi begitu kan nggak baik."
"Lain kali nggak berani lagi, Bu," janji Bi Icah dengan senang. Kalau masih ada lain kali berani dia selamat dari pemecatan.
Farida kembali menepuk mapnya.
"Kalau begitu, pantas saja saya jadi nggak bisa nulis lagi, Bi. Pikiran saya macet. Tahunya ada yang nyolong baca. Itu pantangan lho, Bi. Kalau
Tommy sih lain. Dia kan anak saya, orang paling dekat dengan saya."
Bi Icah kaget. Sesalnya menggunung. Sungguh dia baru tahu kalau orang menulis buku juga ada pantangannya. Padahal dia paling ngeri menghadapi soal begituan. Kembali dia tergagap meminta maaf.
Farida harus bersusah payah menahan geli. Tiba-tiba saja dia merasa lebih cerah. Frustrasinya hilang. Dia tidak lagi meraba-raba. Dia tidak lagi berada dalam kegelapan total seperti keadaan rumah Irawan semalam.
"Sekarang begini saja, Bi. Kalau nanti ditanyain lagi sama Pak Irawan, bilang aja saya belum nulis lagi."
"Tapi... dia bisa dengar kalau Ibu ngetik."
"Kalau begitu bilang aja kertasnya dimasukkan dalam laci yang dikunci."
"jadi jangan dikasih tahu, Bu?"
"Dikasih tahu apa?"
"Ibu habis marahin saya. Kalau dibilangin gitu dia kan nggak berani lagi, Bu."
Farida kaget. Tentu itu bukan cara yang baik. Irawan sebaiknya tetap tidak tahu.
"jangan, Bi. Nggak enak nanti. Dia kan tetangga. Kalau dimusuhin gimana" Jadi mendingan kita pura-pura aja. Saya pura-pura nggak tahu. Dan Bibi juga pura-pura nggak ada kejadian apa-apa. Jadinya yang bodoh kan dia"
Bi Icah setuju sekali. Itu memang paling baik. Dengan demikian dia pun terhindar dari kemungkinan dimarahi Irawan.
Setelah Bi Icah berlalu Farida kembali merenungi semuanya. Pengakuan Bi Icah itu benarbenar seperti kunci yang melepaskannya dari kebuntuan. Kini dia bisa menilai semuanya dengan cara yang berbeda.
Jadi Irawan sudah mengetahui isi ceritanya dari permulaan sampai yang terakhir ditulisnya. Dia sudah tahu apa obsesinya. Lalu diaturnya sebuah sandiwara. Ada kunci yang dititipkan. Ada rumah yang digelapkan. Begitu pula sikap penuh pengertian yang luar biasa itu. Semua tanda tanya yang semula menghantui itu kini terjawab dengan mudah. Tapi, kenapa" Seharusnya orang mempunyai tujuan dari jerih payahnya. Farida sungguh penasaran. Tapi dia juga sadar, Irawan orang yang cerdas. Tak akan semudah itu baginya untuk menemukan apa motivasi perbuatan Irawan itu.
Baru malam harinya telepon berdering. Farida tak lagi ragu mengangkatnya karena sudah merasa pasti akan sikap yang harus diambilnya dalam menghadapi Irawan.
Ternyata suara riang di sebelah sana bukan milik Irawan melainkan dari Frans Darmo. Farida ikut riang dibuatnya. Ada selingan.
"Wah, saya sudah kangen sekali ingin ngobrol lagi. Da. Ingin ketemu juga. He he. Tapi belum sempat."
"Sibuk terus rupanya."
"Bukan sibuk, Da. Tapi cemas. Nggak bisa tidur. Nggak bisa konsentrasi. Baru sekarang saya bisa ketawa. Lega."
"Lho, memangnya kenapa sih, Frans?"
"Anak-anak saya kena demam berdarah. Tapi sekarang sudah sembuh." .
"Syukurlah. Ya, saya juga baca di koran. Kabarnya di Jakarta sedang mewabah."
"Hati-hati lho. Orang Bogor juga bisa kena. Apalagi sekarang penyakit itu juga bisa menyerang orang dewasa."
"Ah, jangan ngomong begitu dong. Nanti saya benar-benar kena."
"Jangan dong. Jangan ikut-ikutan. Saya akan sedih sekali. Pokoknya kalau kau sampai kena saya akan mendampingi terus. Saya angkat kau dari rumahmu itu.?"
Farida tertawa. "Hi ngeri bener. Nggak mau ah."
"Eh ngomong-ngomong, tetanggamu itu masih hidup, ya?"
Farida tertawa lagi. Dia tahu siapa yang dimaksud Frans dan ia menjadi geli karena memang sedang jengkel kepada Irawan.
"Tetangga yang mana sih" Kan banyak," katanya pura-pura.
"Masa nggak tahu sih. Itu lho yang sebelah rumahmu. Apa dia biasa begitu, kalau ada tamu ikut nimbrung" Jangan-jangan dia agak sakit, ya."
"Wah, nggak tahu, ya."
"Saya sebenarnya ingin sekali ke rumahmu, tapi saya nggak senang pada tetanggamu yang usil itu. Eh, bukannya saya bisa ngobrol denganmu, malah berdebat dengan dia."
Farida cuma tertawa. "Sudah ketemu Ratih, Frans?"
"Tentu saja sudah. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Lama juga dia nggak menelepon."
"Coba nanti saya tanyain."
"Nggak usah. Biar saya saja yang menghubungi dia."
"Gimana Tommy?"
"Baik. Dia sudah dekat ujian."
Cukup lama mereka berbincang-bincang membicarakan berbagai hal yang sama sekali tidak penting.
"Saya tidak mengganggumu bila saya menelepon malam-malam seperti ini?"
"Tentu saja tidak. Asal jangan terlalu malam."
"Saya ingin sering-sering ngobrol denganmu, Da."
"Lama-lama bisa kehabisan bahan "
"Ah, nggak mungkin. Saya punya banyak kok."
Dia sudah membuktikannya, pikir Farida. Telinganya sampai pegal ketika akhirnya telepon itu diletakkan. Tapi beberapa detik kemudian telepon itu berdering lagi. Dia memandanginya sebentar, hampir yakin akan siapa yang menelepon itu.
Dugaannya benar. "Halo, Da" Gimana, sudah sehat?" tanya Irawan dengan suara yang hangat.
"Sudah. Cuma kepala saya masih pusing. Mungkin pengaruh obat tidur yang saya makan tadi," kata Farida dengan maksud supaya Irawan tidak mengajak bicara lama-lama.
"Saya mengerti. Tapi tadi lama sekali kau bicara. Sudah lebih dari setengah jam saya mencoba menghubungi tapi bicara terus. Siapa itu, Da?"
"Oh, Frans," sahut Farida acuh tak acuh.
"Dia" Mau apa sih dia?" Suara Irawan kurang senang.
"Ngobrol. Memangnya salah?" Farida juga kurang senang.
Di sana diam sebentar. "Oh, tentu saja nggak salah. Tapi ngomongnya lama amat."
"Biarin. Yang bayar telepon kan dia."
"Ah, saya tentu nggak bisa melarang. Tapi sebaiknya jangan dikasih hati. Nanti dia bisa semaunya."
"Kok sentimen amat sih, Wan?"
"Bukan begitu. Tapi kau harus mengerti, Da. Ingat dong perasaan saya."
"Ada apa dengan perasaanmu?"
"Saya kan mencintaimu. Kita saling mencintai. Jadi, jangan beri hati pada laki-laki lain."
Farida terdiam. Hatinya panas. Cinta" Apakah cinta bisa dijadikan alasan untuk menguasai dan memonopoli" Betapa piciknya. Untuk apa cinta semacam itu baginya" Itu akan sama dengan memasukkan dirinya ke dalam sangkar. Hilanglah sudah kebebasan dan kemandirian!
"Tidak, Wan. Saya tidak mau begitu. Saya ingin berteman baik dengan siapa saja yang berniat baik juga."
"Dia menaruh hati padamu. Kalau kau baikbaik padanya nanti disangkanya kau mau juga sama dia."
"Itu cuma prasangkamu saja."
"Nggak, Da. Saya kan lelaki. Kita memerlukan ketegasan. Saya juga ingin supaya hubungan kita diketahui orang. Tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Tidak ada salahnya kan" Biarlah tetangga tahu. juga Bu Nur itu."
"Saya sudah memikirkannya, Wan. Dengan kepala dingin sekarang. Semalam saya terlalu impulsif," kata Farida hati-hati. Ia juga tak ingin melukai perasaan Irawan. Bagaimanapun ia memang bersalah.
"Jadi?" Ada ketegangan dalam pertanyaan itu.
"Saya memang menyukaimu, Wan. Tapi saya belum yakin apakah itu cinta. Dalam hal itu saya tak ingin sembarangan. Maafkan saya, Wan."
"Tapi..." Irawan tak meneruskan. Dia diam sebentar. Napasnya kedengaran lebih cepat. Marahkah dia" pikir Farida ngeri.
"Begini, Wan. Kuharap kau mengerti. Saya punya anak dan dia sudah dewasa. Saya harus
menghargai perasaan dan keinginannya. Ini terlalu mendadak untuknya dan untuk saya sendiri. Saya tidak ingin melakukan kesalahan. Bagi orang seperti saya cinta itu bukan main-main."
"Baiklah, saya mengerti. Tapi saya masih punya harapan, kan" Kau masih mencintai saya?"
"Ah, saya menyukaimu. Saya tidak tahu..."
"Okelah, kau menyukaiku. Bagi saya, tetap berarti cinta!" '
Ketika telepon diletakkan, beberapa menit kemudian berdering lagi.
"Da, saya ingin ketemu kau besok sore. Bisa saya ke rumahmu?"
Farida ragu-ragu. "Atau kita ketemu di suatu tempat" Kurang lebih antara jam empat sampai jam lima."
Farida berpikir. Itu terlalu merepotkan untuknya.
"Baiklah. Kau datang saja ke rumah," katanya kemudian.
"Terima kasih, Da. Saya perlu bicara. Kalau tidak saya akan merasa bersalah."
Ternyata janji yang dibuat itu memberi beban untuk Farida. Ia merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Naluri atau sekadar perasaan"
Mereka bicara di ruang tamu. Irawan tampil serius. Farida mencoba bersikap santai, tapi ternyata sulit baginya untuk menghilangkan ketegangan.
"Saya ingin mengaku dosa padamu, Da," katanya mula-mula.
Farida segera berdebar. Di luar dugaannya, ternyata Irawan menceritakan persekongkolannya dengan Bi lcah. Tak lebih
dan tak kurang daripada apa yang telah diceritakan Bi Icah.
"Saya harap kau jangan memarahinya. Itu semua salah saya. Sayalah yang membujuknya dan mengiming-imingnya dengan uang. Tadinya dia tidak mau. Tapi saya bilang, saya sangat ingin membaca ceritamu. Saya penggemarmu."
"Kemudian?" "Saya tahu apa penyebab kemacetan itu. Kau bingung di mana sebaiknya lokasi mayat itu. Kau ingin melakukan sesuatu, ingin serealistis mungkin, bukan?"
Farida diam. Ia menahan keinginannya untuk mengatakan bahwa hal itu diketahui Irawan dari Bi Icah. Bi Icah sudah mengaku bahwa dia telah menyampaikan percakapannya dengan Tommy kepada Irawan. Biarlah Irawan menyombongkan diri untuk sementara.
"Lantas kau mengatur sandiwara," katanya tak tahan lagi. Tidak sepatutnya bila Irawan menganggapnya bodoh.
"Ah, kau pintar. Da. Maafkan saya lho. Pasti ada kejanggalan yang kautemukan, bukan" Bagus."
"Tapi kau belum menceritakan semuanya. Bagaimana dengan pohon bunga tasbih itu?"
Irawan tercengang sebentar.
"Maksudmu?" ia bertanya.
Tapi Farida yakin, ia cuma pura-pura tidak mengerti.
"Kau tentu sudah tahu bahwa saya pernah
melompati tembok itu untuk mengambil pohonmu. Gara-gara sekopku ketinggalan. Hal itu tentunya memperkuat dugaanmu bahwa saya pasti akan menyatroni rumahmu lagi bila punya kesempatan dan ada dorongan untuk itu Ya, kan ?"
"Kau pintar!" seru Irawan kagum.
"Tapi bagaimana kau bisa menyimpulkan begitu" Bukankah sudah saya katakan, bahwa sekop itu saya gunakan untuk melempar kucing?"
"Saya melihat bekas galian. Tanahnya gembur di situ," Irawan mengakui.
"Waktu itu tahukah kau ada pohon yang hilang?"
"Tidak. Saya sama sekali tidak tertarik pada pohonnya."
"Lantas, apa motivasi sandiwaramu itu?"
"Karena saya mencintaimu!"
jawaban itu diberikan dengan mantap, hingga Farida tercengang.
"Ya. Saya pikir itu akan menyenangkan sekali. Kapan lagi kau akan memasuki rumahku" Malam malam lagi. Itu kesempatan paling baik bagi saya untuk menyatakan cinta dan... dan berdekatan denganmu."
Muka Farida memerah. Dia tersipu membayangkan peristiwa malam itu.
"Kau nggak marah, kan" Saya tidak bermaksud main-main. Saya melakukannya karena saya mencintaimu. Saya ingin ketemu dan berdekatan tapi kok susah amat. Banyak tetangga usil. Dan kau
sangat hati-hati. Kau mau mengerti, bukan" jadi sekali lagi saya minta maaf."
"Sudahlah. Kau tak perlu minta maaf. Tapi, kenapa kau berharap saya menghentikan cerita itu" Kan itu cuma fiksi."
Irawan memandang aneh sebentar.
"Bayangkan saja bila kau berada di tempatku. Saya kan punya perasaan, Da. Memang ceritamu cuma fiksi. Tapi sebagian besar sama."
Farida memandang heran. "Sebagian besar?" ulangnya.
Irawan tertegun. Kelihatannya gugup sebentar. Tapi segera tenang kembali. "Ya. Ada yang aneh dalam ceritamu. Kau menggambarkan si istri yang hilang itu persis seperti Salmah. Ya, fisiknya. Ya, wataknya."
Farida memandang wajah Irawan yang tampak sayu. Ah, tentunya dia harus bisa memaklumi perasaan Irawan. Tapi kemudian dia menjadi bimbang. Jadi motivasi sandiwara Irawan itu adalah cinta! Tapi. cuma itukah"
*** TOMMY sangat kecewa. "Aduh, Ma, jangan diputusin dong ceritanya! Sayang amat!" serunya.
"Mama cuma menyimpannya. Lalu Mama akan menulis yang lain."
"Yang itu gimana?"
"Terserah nanti. Kita lihat saja."
"Ah, sayang bener. Cerita itu bagus sekali, Ma. Ayolah, Ma, diterusin," desak Tommy.
"Kalau ngomong sih gampang."
"Macetnya itu kayak gimana sih, Ma" Apa kayak benang kusut gitu" Mau nggak saya bantu mikirin?"
Farida tertawa. Ia sebenarnya juga sedih. Ia tak ingin mengecewakan Tommy.
"Apa betul macetnya cuma karena soal mayat yang nggak tahu mau dipindahin ke mana?" tegas Tommy.
Farida tertawa lagi karena kalimat yang diucapkan Tommy. Dia pun merasa terhibur. "Ya. Memang betul, Tom," sahutnya.
"Entar saya pikirin, Ma."
Lalu Tommy duduk dengan wajah serius sekali.
Farida memandangnya dengan geli. Tapi Tommy tidak sedang melawak. Dia memang tengah berpikir. Dan Farida juga membiarkan tanpa mengganggu.
Tak lama kemudian Tommy berteriak. "Gampang, Ma!"
Farida tersenyum. Segalanya bagi Tommy memang gampang.
"Saya pikir, repot amat kalau orang mesti mindahin mayat ke dalam rumah. Dia kan mesti menggali" Wah, seberapa dalam dan lebarnya tuh lubang" Apalagi dia sendirian. Bisa jebol atuh! Mana rumahnya jadi jelek."
Farida tertarik. Gelinya lenyap seketika.
"Habis menurutmu yang paling wajar itu gimana?"
"Yang paling gampang sih buang aja ke luar. Beres. Apalagi kalau nggak ada yang lihat. Buangnya di mana kek. Di jalan, di jurang, di hutan, di laut, di tempat sampah, wah... bisa di mana-mana."
"Kau pintar, Tom!" seru Farida. Dia sungguh sungguh.
Tommy tersenyum senang. "Gini-gini saya juga punya bakat dong," sahutnya bangga.
Tapi kemudian Farida membayangkan situasi rumah Irawan. Dia harus menepiskan bayangan itu dengan paksa. Bagaimanapun dia tak ingin menceritakan pengalamannya itu kepada Tommy. Mungkin kelak, tapi tidak sekarang.
"Itu ide yang bagus sekali, Tom. Mama akan memikirkannya."
"Betul, Ma. Coba aja Mama pikir. Rumah yang ada mayatnya kan nyusahin banget. Ditinggalin serem. Mau dijual takut ketahuan. Entar yang beli mau merombak rumahnya tahu-tahu nemu mayat. Kelenger sih kelenger kali. Tapi orang kan bisa curiga."
"Kau betul, Tom. Pikiran yang bagus sekali."
Wajah Tommy berseri-seri. "Jadi Mama mau nerusin?"
"Mama harus pikir dulu dong. Harus sesuai dengan ceritanya."
"Yang penting Mama nggak simpan terus di laci."
"Ya deh. Sabar sajalah."
"Ide saya tadi bisa dipakai, Ma?"
"Kayaknya sih bisa. Bagus sekali lho."
Tommy terpaksa puas. Dia sebenarnya ingin mendapat jawaban yang lebih pasti.
*** Sore itu Irawan menelepon dan diterima oleh Tommy yang kemudian menyerahkannya pada Farida.
"Da, sebentar malam kita nonton, yuk" Ajak Tommy sekalian. Filmnya bagus. Saya pikir, kalian pasti suka."
"Wah...," Farida ragu-ragu memandang Tommy. Yang dipandang ada di dekatnya, sengaja ingin ikut mendengarkan.
"Cobalah tanyakan dia."
"Ya. Tunggu sebentar."
Farida meletakkan telepon.
"Mau apa sih dia, Ma?" tanya Tommy sebelum Farida sempat bertanya. '
"Dia mau mengajak kita nonton."
"Kita" jadi saya juga?"
"Iya." "Ah, apa nggak salah tuh, Ma" Pasti maunya ngajak Mama doang. Sukur-sukur kalau saya nggak mau."
"Jangan sinis begitu, Tom. Kalau kamu nggak mau, Mama juga nggak mau."
"Emangnya Mama mau" Kalau Mama mau biar Mama aja berdua dia. Saya mendingan di rumah."
"Ngambek?" "Nggak kok. Tapi rasanya lucu sih kalau saya jadi pengawal. Dan saya juga nggak punya hak untuk melarang. Cuma sebel aja."
Farida memandang jengkel kepada Tommy. Tentu bukan karena dia kepingin pergi nonton bersama Irawan. Dia punya alasan lain. Ada yang ingin dipelajarinya dari diri Irawan. Sampai saat itu penilaian dan kesimpulannya tentang Irawan selalu meleset. Sepertinya ada sisi gelap yang tak bisa ia tembus. Dan hal itu menimbulkan rasa penasaran.
"Ya sudah," katanya sambil kembali menuju pesawat telepon.
Tommy memperhatikan, ingin tahu apa yang dikatakan ibunya.
"Halo" Sori saja, Wan. Tommy mau belajar. Dan saya bermaksud menemaninya."
Irawan tidak memaksa. Ia juga tak mengajak ngobrol lama-lama seperti biasanya.
"Mama marah ?" tanya Tommy sambil mempelajari wajah ibunya.
"Nggak." "Bohong ah. Tapi tadi saya sungguh serius, Ma. Nggak sinis kok. Kalau Mama mau, pergi aja. Saya kan nggak usah ditemenin."
Farida diam. Pergi berdua saja dengan Irawan" Ah, dia segan. Dia tak ingin Irawan mengulang kembali rayuannya seperti malam itu.
"Kok Mama diam aja."
"Lagi mikir." "Nggak mau nulis kok mikir."
"Lho biarin. Kamu cerewet amat."
"Bener, kan" Mama lagi sewot."
Akhirnya Farida tertawa. Tommy menarik napas lega. Orang tertawa berarti tidak marah.
"Saya udah beberapa kali dikuliahin Tante Ratih, Ma. Ngomongnya sih muter-muter, tapi saya ngerti maksudnya. Katanya, Mama punya kebebasan pribadi yang harus dihargai. Saya boleh prOtes tapi nggak boleh melarang. Ada hak anak, hak orang tua. Ada kewajiban anak, kewajiban
orang tua. Macam-macamlah. Saya pikir... wah, barangkali itu unek-unek Mama."
Farida tersenyum. Ia suka cara bicara Tommy yang blak-blakan seperti itu. Kadang-kadang nyelekit tapi terasa benarnya.
"Ya, terus terang memang Mama membicarakan tentang hal itu dengan Tante Ratih. Bukannya Mama nggak senang sama caramu. Sebaliknya malah. Sering kali Mama merasa terkesan dan tersentuh. Seperti waktu pembicaraan kita di bis tentang Papa. Tapi Mama khawatir nanti kau terlalu berlebihan memperhatikan Mama. Itu kan nggak baik, Tom. Serba berlebihan itu nggak baik."
"Ya. Saya ngerti, Ma. Udah dikasih tahu kok sama Tante Ratih. Bosan dengar lagi. Kalau gitu. nanti unek-unek saya sama Mama saya kasih tahu dulu pada Tante Ratih, ya?"
"Wah, kalau bisa sih langsung aja, Tom. Nggak usah pakai perantara."
Mereka tertawa sama-sama.
"Eh, Mama betul nggak kepingin nonton sama Oom Irawan" Biar saya yang telepon nanti. Mama mau, Oom!"
Farida cemberut. "Ah, kamu."
"Serius, Ma." "Nggak. Siapa yang mau?"
"Saya pikir... Nggak jadi ah. entar marah lagi. Saya sih nggak senang sama dia. Nyebelin."
"Coba katakan. apanya sih yang membuat kau tak senang padanya" Bukan apa-apa. Tapi Mama perlu tahu. jangan main-main lho ngomongnya."
"Matanya suka jelalatan. Ngomongnya manismanis. Kayaknya pura-pura deh."
"Cuma itu?" "Iya. Orang kayak gitu pasti nyebelin."
Tapi dia juga cerdas, Tom. Berhadapan dengan
dia Mama sering kali merasa seakan sedang bertarung. Mama pakai naluri, dia pakai otak. Sebenarnya Mama bisa saja mencintai orang seperti itu. Dia bisa menyenangkan. Tapi. . juga mengerikan!
Apa yang diutarakannya itu memang cuma dalam hati.
*** Senin pagi. Sambil menghirup kopinya Farida menikmati koran pagi terbitan Jakarta langganannya. Matanya segera tertarik pada berita di halaman pertama. judulnya, "Penemuan kerangka manusia terbungkus tanah di tempat pembuangan sampah".
Isi berita itu menggetarkan perasaannya. Diceritakan bagaimana seorang gelandangan yang sedang mengais-ngais sampah menemukan kerangka manusia di dalam sebuah kantong plastik besar berwarna biru. Kerangka itu dilekati tanah tebal bercampur rerumputan hingga bila melihat sepintas lalu orang akan menyangka isi kantong itu melulu tanah. Hal itu dinyatakan pula oleh beberapa gelandangan lainnya yang sering mencari barang yang masih bisa dimanfaatkan di tempat itu. Mereka sama-sama telah mengorek kantong itu tapi kemudian meninggalkannya karena mengira isinya cuma tanah. Tapi sudah berapa lama kantong itu di sana tak ada yang bisa memastikan. Ada yang bilang sudah seminggu, ada pula yang
menyatakan cuma beberapa hari. Itu tentu tergantung kapan mereka pertama kali melihat benda itu. Tapi gelandangan terakhir yang kemudian menemukan isi sebenarnya bermaksud memanfaatkan kantongnya. Karena itu ia menumpahkan isinya. Setelah menyadari apa isinya dengan ketakutan ia berteriak. Polisi yang dipanggil memasukkan kembali semua isinya ke dalam kantong untuk diteliti. Kerangka siapa itu dan kenapa bisa ada di situ tentunya memerlukan pengusutan yang panjang.
Farida segera teringat akan percakapannya dengan Tommy hari Sabtu yang lalu. Ma, yang paling gampang adalah membuang mayat itu ke luar rumah. Bisa di jurang, di hutan, di tempat sampah... Itulah kata-kata Tommy. Tapi maknanya menjadi lain sekarang.
Getaran itu kembali lagi. Dia tahu betul. Dia sudah mengenalnya. Itulah panggilan untuk meneruskan ceritanya. Tak ada kesulitan lagi untuk menentukan lokasi mayat yang kini sudah menjadi kerangka. Dia bisa menggunakan ide Tommy. Tapi hal sama terulang. Ide dicampurkannya dengan fakta. Tapi sudah jelas dia tidak tertarik pada ide Tommy itu kalau saja tidak ada berita tersebut.
Apakah dia akan menulis" Hanya menulis" Terus menulis" Tapi tiba-tiba ada tantangan dalam dirinya. Tentangan itu terasa kuat. Sesuatu yang tak ada sebelumnya. Kau sudah kehilangan dirimu, Da! Mana identitasmu sebagai pengarang"
Mana bakatmu yang biasa, yang asli dan utuh dari dirimu sendiri" Semua yang telah kautulis itu, betapapun bagus dan menegangkan,! bukanlah karyamu yang asli! Kau cuma dituntun dan diarahkan. Tanganmu dan pikiranmu sudah dimanfaatkan.
Farida tertegun. Dengan kaget dia menyadari semuanya. Terasa seperti shock. Dia menatap dan menatap. Tapi yang tampak cuma benda mati. Toh di luar sana ada kekuatan yang mengendalikan dan memanfaatkan dirinya. Sekarang, haruskah dia melawannya"
"Bu, kenapa?" Bi Icah bertanya cemas. Ia melihat majikannya duduk kaku dengan wajah pucat. Matanya pun seperti tak melihat apa-apa.
"Kantong plastik biru...," gumam Farida tanpa sadar.
"Apa Bu" Kantong plastik biru?" ulang Bi Icah heran. "Oh, yang dibawa Pak Irawan?"
Farida terkejut. Ia seperti baru menyadari kehadiran Bi Icah di dekatnya.
"Bibi bilang apa" Dibawa siapa?" ia bertanya dengan bernafsu.
"Kantong plastik biru yang dibawa Pak Irawan."
Farida memandang heran. "Ayo duduk, Bi. Ceritakan semuanya."
Bi Icah juga keheranan. "Nggak ada ceritanya, Bu. Saya cuma lihat Pak Irawan bawa kantong plastik biru muda. Besarnya segini," Bi Icah menggambarkan dengan kedua tangannya. "Kayaknya berat juga. Diseret-seret sih. Terus dimasukin bagasi mobil."
"Bagasi mobil" Jadi dibawa pergi" Ke mana?"
"Nggak tahu, Bu."
"Kapan Bibi lihatnya?"
"Hari Sabtu yang lewat, Bu. Tuh waktu Ibu nanyain kenapa bangku kecil ada di dekat tembok. Saya kan abis melongok ke sebelah. jadi saya bisa lihat. Terus saya nanya. Ah, ngomong apa ya saya teh" Oh ya, saya bilang, 'Mau pergi, Pak." Eh, ditanya sebegitu aja masa kagetnya setengah mati, Bu. Kayak orang digebah aja."
Farida merasakan dadanya gemuruh. Tapi kali ini bukan karena dorongan menulis.
"Ayo, Bi, cepat dandan. Kita ke jakarta sekarang!" serunya.
*** FARIDA mengajak Bi Icah ke Kodak Metro Jaya.
Melihat papan nama itu Bi Icah segera menghentikan langkah. Mukanya pucat. Kakinya gemetaran. "Bu, emangnya saya teh punya dosa apa" Kok saya dibawa ke kantor polisi?" rintihnya dengan suara memelas.
Farida menyadari kekeliruannya, Dia memang tidak menjelaskan apa maksudnya. "Bi, tenang aja. Jangan takut. Bibi nggak punya salah. Tapi Bibi bisa jadi saksi untuk penemuan sebuah kantong plastik biru. Bibi pernah lihat, kan" Nanti kalau melihatnya lagi Bibi bisa mengenali apa memang itu yang pernah Bibi lihat. Saya juga mau melapor. Nanti Bibi bisa dengar sendiri. Yuk, Bi?"
"Entar, Bu. Emangnya di dalam kantong itu ada apa?"
"Ada kerangka manusia."
"Masya Allah," desah Bi Icah.
"Ayolah," Farida menariknya.
Setelah menyampaikan maksudnya kepada petugas di luar, ia dipertemukan dengan Mayor Polisi Sukardi. Ia menceritakan semuanya. Tapi
betapa jengkelnya ketika ia menyadari bahwa Sukardi tampak bosan dan terkantuk-kantuk mendengar ceritanya. Sesungguhnya, dia memang lebih pandai menulis daripada bercerita. Apalagi dia pun menyadari bahwa apa yang disampaikannya bukanlah bukti dan fakta. Sedang kesaksian Bi Icah tentang kantong plastik warna biru itu juga tidak punya kekuatan, karena tak bisa dipastikan punya hubungan dengan kantong berisi kerangka itu. Setiap orang di mana-mana bisa saja melihat kantong serupa, baik bentuk maupun ukurannya, karena kantong seperti itu bukanlah satu-satunya. Ia merasakan benar betapa bodohnya penampilan mereka berdua. Hanya demi sopan santun saja Sukardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi Farida sangat ingin meyakinkan pendengarnya itu karena masih mempunyai tujuan lain.
"Bolehkah saya melihat isi kantong itu, Pak?" akhirnya ia bertanya setelah tidak tahu lagi bagaimana memberi kesan yang diharapkannya itu.
"Untuk apa?" tanya Sukardi heran.
"Barangkali ada yang bisa saya kenali."
Sukardi menggeleng-gelengkan kepalanya. Roman mukanya seakan menyatakan, betapa bodohnya orang yang bertanya seperti itu.
"Apakah Ibu pernah melihat kerangka manusia" Semua orang kalau sudah jadi kerangka tidak bisa dikenali lagi. Para ahli saja mesti susah payah tanpa bisa menggambarkan dengan pasti kayak apa kerangka itu waktu masih berdaging."
Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Farida menelan hinaan itu. Ia berpikir dengan cepat.
"Ngomong-ngomong, Pak, apakah Pak Robin Saragih dinas di sini?"
Sukardi tercengang sebentar "Pak Robin Saragih yang Letkol Polisi?" tegasnya.
"Ya." "Dia atasan saya. Di sini baru beberapa bulan. Kasus ini pun berada di bawah penanganannya. Kenapa Ibu tanyakan?"
Oh Tuhan, terima kasih, kata Farida dalam hati.
"Pak Robin kenalan baik saya, Pak," sahutnya berbangga. "Tapi sudah lama tidak ketemu. Terakhir bertemu pangkatnya baru Kapten. Oh, sungguh senang sekali. Apa saya bisa bertemu dan bicara dengan beliau?"
"Wah, sayang. Pak Robin sedang keluar, Bu," sahut Sukardi dengan sikap mulai berubah.
"Dulu Pak Robin sering memberi petunjuk yang berguna untuk menyelesaikan buku saya, Pak. Dan Pak Robin juga seorang penggemar saya," kata Farida setengah berbuai.
Memang tak semua perkataannya itu bualan. Tapi sebagian besar benar. Robin Saragih adalah kenalan baik Gunawan yang kemudian dikenalkan kepadanya. Tapi Robin bukanlah penggemarnya karena dia tidak suka membaca novel. Toh dalam masalah sekarang ini membual terasa sebagai keharusan.
Sukardi memandang Farida dengan respek sekarang.
"Jam berapa Pak Robin kembali, Pak" Biar saya tunggu saja."
"Wah, saya kurang tahu, Bu. Nggak tahu pastinya Sih. Tapi...," Sukardi berpikir sebentar. Barangkali tidak ada salahnya memberi tahu. Wanita ini rupanya tidak sebodoh sangkaannya semula. Apalagi dia kenalan baik Pak Robin. "Pak Robin pergi ke Lembaga Kriminologi UI. Di sanalah kerangka itu sedang dipelajari..."
Belum selesai ucapan itu Farida sudah melompat dari duduknya.
"Saya akan menyusul ke sana!" serunya antuSias.
"Tunggu sebentar, Bu. Tenang dulu. Saya kan perlu mencatat dulu laporan Ibu."
Farida menggerutu dalam hati. Tadi diam saja tak mau mencatat, karena tentunya menganggap bukan sesuatu yang penting untuk dicatat. Terpaksa dia menunggu dan itu serasa seabad. Dia sudah ingin sekali terbang ke LKUI. Kalau bisa.
Di sebelahnya Bi Icah duduk hampir tak bersuara. Sesekali dia melirik ke arah majikannya dengan kekaguman tak kepalang. Pengalaman seperti ini belum pernah ia peroleh sepanjang hidupnya.
Akhirnya Sukardi selesai. Lalu Farida dan Bi Icah menandatangani.
"Ibu bawa mobil?"
"Tidak. Saya bisa naik taksi."
"Tahu di mana LKUI itu?"
"Tahu. Pak. Saya bisa tanya kalau tidak tahu."
"Tenang, Bu. Bukankah sebaiknya saya telepon dulu ke sana" Siapa tahu Pak Robin sedang dalam perjalanan pulang ke sini" Sia sia dong. Nanti tidak ketemu."
Farida mengakui kebenaran pendapat itu.
Sukardi menelepon. Ternyata Robin Saragih masih di sana. Setelah bicara sendiri dengan Robin, sengaja Sukardi melaporkan perihal kenalan baik Robin bemama Farida Gunawan. Sementara Farida mendengarkan sambil memaki dalam hati. Sialan. dia mau mengecek kebenaran bualanku, pikirnya.
Tapi Sukardi mengangguk puas. Farida sudah diakui sebagai kenalan baik oleh Robin. Dan laporannya harus dianggap serius. Dia seorang pengarang yang punya otak, begitu kata Robin.
"Kata Pak Robin, Ibu bisa ke sana sekarang. Sudah ada penemuan dan kesimpulan di sana," kata Sukardi setelah meletakkan telepon.
"Hore!" seru Farida tanpa kendali. Lalu mukanya memerah melihat pandang heran Sukardi. Antusiasmenya memang keterlaluan.
*** Farida disambut oleh Robin. Mereka bersalaman erat.
"Ibu baik-baik saja selama ini?"
"Baik. Lihat saja," kata Farida tertawa.
"Ya. Saya lihat sendiri memang. Masih seperti dulu," kata Robin dengan pandang kagum di matanya membuat Farida tersipu.
"Bagaimana Tommy?"
"Baik juga. Dan Ibu Robin gimana?"
"Dia sudah meninggal, Bu. Tak lama setelah Gunawan..."
"Oh, saya menyesal sekali. Saya tidak tahu," kata Farida sungguh-sungguh menyesal. Dalam kesedihannya dulu dia tak pernah berpikir bahwa ada orang lain yang juga mengalami kesedihan serupa.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti."
Lalu pembicaraan beralih ke masalah sesungguhnya. Farida menceritakan kembali semua pengalamannya. Lebih sistematis sekarang. Kemudian Bi Icah yang semula disuruh menunggu di tempat lain dipanggilnya juga. Setelah Bi Icah mengulang ceritanya dia kembali lagi ke tempat semula. Itu dilakukannya dengan senang hati karena ia memang tak ingin ikut melihat tengkorak. Ia sangat takut.
Robin mengajak Farida memasuki ruangan di mana kerangka itu sedang diselidiki. Di atas sebuah meja panjang beralas marmer terletak kerangka itu, berserakan terpisah-pisah. Di bawahnya terletak karung plastik biru berisi gumpalan tanah dengan sedikit rumput di sana-sini. Selain benda-benda itu di situ juga ada dua orang lain, pria berbaju putih.
Sebelum mendekat Farida menghentikan langkahnya. Hidungnya kembali kembang kempis. Bau itu! Ya, bau itu persis sama. Pandangnya kini hanya tertuju pada kerangka di atas meja. Jelas
bau itu datang dari sana. Semakin dekat semakin keras baunya. '
"Kenapa, Bu Ida?" tanya Robin. '
"Baunya sama, Pak," katanya lalu menjelaskan.
Robin tak memberi komentar. Ia cuma mengangguk. Lalu memperkenalkan Farida dengan kedua Orang di Situ. Dokter Lukas dan Dokter Bima.
Mereka mendekat ke meja. Segera mata Farida melol0t. Lalu berseru tertahan. Wajahnya pucat seketika. Salah satu lengan kerangka jari jarinya dalam keadaan mengepal, mencengkeram sesuatu erat-erat. Dan sesuatu yang dicengkeram itulah yang membuat Farida kaget. Bunga tasbih putih!
"Ya. Bunga tasbih," kata Robin memahami kekagetan Farida. "Cocok dengan cerita Ibu. Tapi itu sangat mengherankan. Tak mungkin bisa dijelaskan secara ilmiah, bahkan juga oleh pemikiran awam. Memang kerangka itu sudah dibersihkan dari tanah yang melekat, demikian pula bunga itu ikut bersih kena air. Bagaimana mungkin" Taruhlah sewaktu meninggal mayat itu mencengkeram bunga tadi, tapi setelah dikubur dalam tanah hingga menjadi kerangka mestinya bunga itu pun busuk menjadi tanah pula. Tapi ini lihat, dia cuma layu!"
"Boleh... saya pegang?" tanya Farida.
"Boleh." Dengan tangan gemetar Farida meraih kelopak bunga yang mencuat di atas tulang jari lalu
membentangkannva untuk melihat bagian dalamnya. Kembali ia berseru tertahan. "Lihat, Pak! Sama!"
Bagian dalam kelopak bunga itu putih dengan bercak-bercak merah! Sepintas kelihatan seperti tanah melekat, tapi bila dielus terasa licin dan tidak bisa hilang.
Tiga pasang mata ikut mengamati.
Cepat Farida membuka tasnya. Dia tidak lupa membawa simpanan bunga keringnya yang dimasukkannya di antara lembaran sebuah buku karyanya. Kepada ketiga orang yang keheranan ia menjelaskan riwayat pohon dan bunganya itu.
"jadi. saya kira pasti ada hubungannya," katanya bersemangat.
Kedua dokter saling memandang.
"Menurut haSil penelitian kami, memang kerangka ini milik seorang wanita yang umurnya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Itu bisa dilihat dari tulang pinggulnya," kata Dokter Lukas.
"Apa dia memang korban pembunuhan, Dok ?"
"Ya. Itu tak bisa diragukan lagi. Tempurung kepalanya retak hebat bekas pukulan dengan benda keras. Lihat," Dokter Lukas mengangkat tongkorak kepala lalu memperlihatkan bagian belakangnya. Jari-jarinya menunjuk bagian yang retak.
"Jadi mayat ini memang tadinya dikubur lalu digali kembali untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik, bukan?" tanya Farida.
"Benar, Bu. Dan orang yang melakukannya serba terburu-buru hingga tanahnya terbawa sekalian," jawab Dokter Bima. '
"Tapi mungkin juga dia sengaja melakukannya supaya orang yang menemukannva mengira isinya cuma tanah saja. Semakin lama ditemukan tentu semakin baik," komentai Robin.
"Dan kalau saja dia tidak membaca cerita saya tentu tak akan dilakukannya hal seperti itu. Dia akan membiarkan saja mayat itu terkubur di tempat semula."
"Dia" Dia siapa?" tanya kedua dokter hampir berbarengan.
"Irawan, suami k0rban," kata Farida dengan keyakinan dalam suaranya.
"Ibu begitu pasti. Adakah bukti yang lebih nyata, Bu?" tanya Robin.
"Ya. Saya sudah menduga, Anda akan menanyakan hal itu. Cerita saya lebih mirip fiksi, bukan" Cuma naluri. Tak ada saksi. Tak ada bukti kongkret. Tapi lihatlah bunga itu! Lihatlah keajaiban yang diperlihatkannya. Tidakkah kejanggalan itu sengaja diciptakan untuk menarik perhatian?" kata Farida penasaran.
"Tapi kita tidak bisa menangkap orang hanya dengan petunjuk seperti itu, Bu. Dalam hukum duniawi tidak ada undang-undang yang menyinggung soal keajaiban alam."
Farida terpaksa membenarkan. Ada orang yang jadi kOrban salah tangkap, tapi ada juga orang salah yang tak bisa ditangkap.
Matanya kembali mengamati kerangka di atas meja. Lalu berhenti lama di satu tempat. Dan juga tempat lain.
"ibu memang awas," kata Robin yang mengikuti pandang Farida. "Kerangka ini tidak lengkap. Ada bagian yang hilang. Beberapa jari tangan dari lengan satunya lagi dan beberapa jari kaki. Mungkin terserak di tempat penemuan. Sedang tanah yang masih di dalam kantong itu sudah diteliti. Tak ada di sana."
Mendadak Farida melompat. Rupanya sudah jadi kebiasaannya untuk melompat-lompat belakangan ini. Antusiasmenya benar benar tak terbendung.
"Pak, bila bagian kerangka yang hilang itu bisa ditemukan di tempat asal ia dikubur, bisakah itu dijadikan alasan bagi tuduhan dan penangkapan ?" ia bertanya.
IYa',, "Kita harus mencarinya, Pak!"
Tiga pasang mata menatap Farida dengan pandang takjub.
"Bagaimana bila kita tidak menemukan apa-apa di sana?" tanya Robin.
"Saya akan bertanggung jawab. Saya yang melapor, bukan" Tapi kita harus secepatnya. Hari ini juga!"
Penggalian dilakukan oleh suatu tim gabungan
polisi jakarta dan Bogor yang dipimpin langsung oleh Robin Saragih.
Farida menunjukkan lokasinya, yaitu petak tanah yang sekarang dihuni pohon belimbing. Maka pohon yang malang itu terpaksa dicabut dan dikeluarkan untuk sementara. Suatu keadaan yang membuatnya jadi tak jelas, apakah akan hidup terus atau mati.
Sementara penggalian berlangsung Irawan tak banyak bicara. Ia bersikap tenang. Tapi tatapannya kepada Farida sangat dingin dan geram. Farida ngeri. Ia harus menabahkan hati dengan duduk berdampingan di teras saat penggalian berlangsung.
"Bagaimana kalau tidak ada apa-apa?" desis Irawan.
Farida tidak menoleh. "Saya akan bertanggung jawab," sahutnya. "Saya bersedia dituntut dan dihukum."
"Tidak. Saya tidak akan menuntutmu secara hukum. Tapi kau harus mengaku kalah dan bersalah kepadaku secara pribadi!"
"Baik," kata Farida tanpa keberatan.
Irawan pasti tidak tahu bahwa kerangka itu tidak lengkap, pikirnya. Hal itu tidak diberitakan. Yang menjadi kecemasannya hanyalah kalau kalau bagian tak lengkap itu memang tercecer di tempat pembuangan sampah di mana ia ditemukan.
Akhirnya penggalian sudah menghasilkan lubang cukup dalam. Setiap bongkahan tanah diteliti. Tapi belum menghasilkan apa-apa. Peluh sudah berleleran di wajah dan tubuh para penggali.
Farida juga ikut berkeringat dingin. Lalu ia mendengar Irawan tertawa mengejek. Sangat menyakitkan hatinya. Ia tak tahan lagi. Lalu ia melompat bangun dan turun ke halaman. Spontan ia ikut membantu dengan memecahkan bongkahan tanah atau mengais-ngais tanah yang dikeluarkan dari lubang. Ia melakukannya dengan tekun. Cacing yang terpegang pun tak membuatnya jijik.
"Sudahlah. Ibu tak usah membantu," kata Robin dengan iba. _
"Tidak apa-apa, Pak. Mungkin saya bisa menemukan sesuatu."
Pandang mencemooh dari Irawan yang tertangkap matanya membuat ia serasa tercambuk. Lalu meneruskan kerjanya dengan giat. Tak lama kemudian peluhnya pun berleleran.
Tiba-tiba ia berteriak keras. Suaranya seperti pekik kemenangan. Semua orang dibuat terkejut dan segera mengerumuninya. Tak terkecuali Irawan yang ingin tahu. Farida menemukan segumpal rambut! Ketika tangannya yang berlepotan tanah mencoba merapikan dan mengurai gumpalan rambut itu ternyata hasilnya adalah rambut lurus dengan panjang beraturan dan yang panjangnya pun sama dengan rambut yang sudah ditemukan sebelumnya.
Penemuan itu membuat mereka lebih giat lagi mencari. Dan ternyata penemuan pertama itu pun
seolah menggampangkan penemuan berikutnya. Ada yang menemukan tulang jari tangan, lainnya menemukan tulang jari kaki. Sepotong, dua potong. Semua itu dicocokkan Robin dengan catatan yang sudah dibuatnya sebelumnya. Bagian apa saja yang tak lengkap itu. Akhirnya, setelah mereka tak bisa menemukan apa-apa lagi dengan keyakinan yang sedalam-dalamnya, Robin menemukan semuanya telah lengkap. Kini kerangka itu menjadi lengkap! Tak ada kekurangan, tak pula ada sisa yang tercecer.
Irawan tak membantah ketika tangannya diborgol.
"Ternyata saya yang kalah. Saya mengaku kalah," katanya kepada Farida.
"Bukan saya yang menang, Wan. Tapi istrimu," sahut Farida.
Irawan tampak pucat. Beberapa jam kemudian Robin menelepon sesuai janjinya sebelumnya kepada Farida.
"Dia sudah mengaku tanpa perlu diinterogasi berbelit-belit, Bu! Memang dia telah membunuh Salmah, istrinya, dua tahun yang lalu. Suatu jangka waktu yang cukup lama untuk menikmati kemenangan."
"Apa motivasinya. Pak?"
"Kebosanan dan kebencian, Bu. Dia pun telah menghabiskan harta istrinya lalu jadi kesal karena
ditanyai dan didesak terus-terusan. Oh ya, tentang bunga tasbih itu. Dia memaStikan tidak ada bunga apa pun yang sedang dipegang istrinya saat tewas, apalagi bunga tasbih. Ketika itu mereka tidak menanam pohon bunga tasbih di halaman. Dia pun mengatakan tidak tahu apakah ada bunga dalam cengkeraman kerangka ketika menggalinya kembali. Yang jelas, bukan dia pula yang menyelipkan!"
*** TOMMY sangat gembira. "Ayo, Ma, cepat diterusin ceritanya!" serunva. "Kok masih disimpan di laci sih" Kan penyelesaiannya udah didapat. PaSti gampang."
Farida cuma tersenyum. "Dan kalau udah jadi buku, saya yakin pasti laris, Ma. Mumpung beritanya lagi gempar. Orang-orang film itu pun kabarnya pada ngebet kepingin memfilmkan. Ini kesempatan baik, Ma!"
Farida menggelengkan kepalanya.
"Lho, kenapa, Ma?"
"Mama tidak akan menyelesaikannya, Tom. Biar saja seperti itu. Memang Mama akan menulis lagi tapi yang lain. Idenya sudah ada."
"Tapi kenapa, Ma?" tanya Tommy dengan wajah geregetan. "Apa karena Mama takut sama Oom Irawan?"
"Tentu saja bukan. Masalahnya adalah harga diri Mama, juga pertimbangan moral dan spiritual." "Ah, apa sih itu, Ma" Saya nggak ngerti."
"Itu bukan karya asli Mama. Memang ditulis dengan gaya dan cara Mama sendiri, tapi idenya bukan. Itu datang dari luar lalu merasuk ke dalam
diri Mama, mendorong dan memaksa. Mama hanyalah alat semata. Tom. Tujuannya bukan untuk membantu Mama menghasilkan karya tulis, melainkan sebaliknya yaitu minta bantuan Mama untuk mengungkapkan ketidakadilan itu."
"T api, bukankah dulu Mama pernah juga merasakan yang aneh-aneh kalau sedang menulis" Mama yang cerita sendiri. Misalnya waktu Mama menulis Misteri Peti Mati itu."
"Tapi itu lain, Tom. Jelas lain."
"Toh tak ada salahnya kalau cerita Mama itu diterusin sampai jadi buku," kata Tommy penasaran.
"Memang tak ada salahnya. Tapi harga diri Mama tidak mengizinkan."
Tommy tak bisa bicara lagi. Kalau sudah begitu ia tahu tak mungkin bisa mempengaruhi ibunya.
Malamnya telepon berdering.
"Dari Oom Frans," kata Tommy.
Farida mendengar suara riang Frans. Jauh lebih riang daripada biasanya.
"Selamat, Da! Kau Sudah jadi bintang lho."
"Ah, jangan memuji lagi. Saya malu."
"Ya, nggak lagi deh. Tapi betul kan antipati saya sama tetanggamu itu" Ternyata dia pembunuh berdarah dingin. Hiii..."
"Kita juga punya potensi untuk jadi pembunuh lho, Frans."
"Ah, masa iya. Tergantung orangnya dong. Tapi saya senang dia sudah diciduk. Kalau saya ke rumahmu tak akan ada lagi yang suka nimbrung."
"Tetanggaku bukan cuma dia seorang. Frans. Masih banyak lainnya," goda Farida.
"Wah... kalau begitu pindah lagi saja ke jakarta."
"Nggak ah. Saya sudah kerasan di sini."
"Tidak takut karena rumah sebelahmu itu bekas peristiwa pembunuhan?"
"Nggak. Saya malah senang."
"Kau memang hebat."
Setelah percakapan berakhir baru Farida merasa lega.
Tommy menertawakan. "Bawel amat Oom Frans itu. Pasti nyebelin kalau jadi suami," katanya, sengaja memanasi.
"Tambahan lagi disuruh ngasuh anak kecil," Farida menimpali.
Tommy tertawa senang. Ia sadar, Oom Frans itu pasti bukan calon ayah tirinya.
Kemudian telepon berdering lagi.
"Dari Oom Robin," kata Tommy. Ia menyerahkan pesawat kepada ibunya lalu duduk berdekatan sambil memperhatikan.
Farida berbicara sambil tersenyum sesekali.
"Boleh saja, Pak. Tentu boleh. Sama sekali tidak mengganggu," katanya ramah.
Masih dengan pesawat telepon melekat di telinganya mata Farida terarah kepada Tommy. Senyumnya melebar melihat wajah keki putranya itu. Ia mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat menggoda dengan menggoyang-goyangkan telunjuknya.
Tommy jadi tersenyum juga.
Ketika akhirnya pesawat telepon diletakkan Farida, tak tahan lagi Tommy berseru, "Oh, Mamaaa...! Tak habis-habisnya oom-oom itu!"
Farida tertawa. "Ah, kamu." Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,28 Juli 2018 Terimakasih Tamat Si Kangkung Pendekar Lugu 2 Dewa Linglung 21 Tangan Darah Api Di Bukit Menoreh 26
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama