Ceritasilat Novel Online

Misteri Organisasi Rahasia 1

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu Bagian 1


MEREKA semua mengenakan pakaian serbahitam, me?
nyatu dalam kegelapan ruangan tempat mereka mengada?
kan upacara. Lilin-lilin hitam menyala di sekeliling me?
reka, memberikan penerangan sekaligus aura gelap di
ruangan itu, sementara bau dupa yang mistis melayanglayang di udara.
Hakim Tertinggi keluar dari barisan, dan naik ke
panggung di depan mereka semua, tempat diletakkan
sebuah altar tua yang telah diwariskan selama dua belas
generasi berturut-turut. "Kita," teriaknya lantang seraya menghadap para
anggota dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi,
"ada?lah para pemimpin yang dipilih oleh para pen?
dahulu kita, untuk menjaga kedamaian dan menegakkan
keadilan di sekolah kita yang tercinta ini."
Semua anggota menyetujui sambil ikut meng?angkat
tangan mereka dengan penuh semangat.
"Kita adalah murid-murid istimewa!" teriak Hakim Ter?
tinggi lagi. "Kita diberi hak khusus melakukan apa saja
Isi-Omen3.indd 8 ain untuk melenyapkan murid yang mengganggu ketenangan
sekolah kita, dengan segala cara!"
Sekali lagi para anggota menyetujui sambil menonjoknonjok udara dengan ganas.
"Sebab kita adalah The Judges, para hakim Sekolah
Harapan Nusantara! Aut vincere aut mori! Menguasai atau
mati!" Kalimat aut vincere aut mori memenuhi udara dengan
dengungan kelam dan menyeramkan. Setiap kata seolaholah merasuki hati setiap anggota, memenuhi mereka
dengan keangkuhan dan kekejaman.
Tanpa membalikkan badan, sang Hakim Tertinggi
mengibaskan tangannya. Tirai di belakang altar terbuka,
menampakkan sepuluh foto yang diambil secara diamdiam. Dengungan itu pun langsung berhenti seketika.
"Kalian semua sudah tahu target-target kita. Semuanya
anak-anak terbaik SMA Harapan Nusantara. Jadi kita
tidak boleh ceroboh dalam menangani me?reka. Gunakan
otak kalian dan kerahkan kemampuan ter?baik kalian
untuk menghadapi mereka. Tetapi, ada anak-anak ter?
tentu yang harus kalian perhatikan secara khusus."
Mendadak saja dari balik lengan jubah, si Hakim Ter?
tinggi mengeluarkan sebilah pisau. Dalam sekejap, dia
berbalik dan melemparkan pisau itu ke antara foto-foto
yang terpampang, tepat mengenai foto seorang cewek
berambut pendek jabrik, lalu kembali menghadap para
anggota yang menatapnya dengan takzim.
"Erika Guruh. Murid genius sekolah kita saat ini?dan
mungkin murid paling genius yang pernah dimiliki
sekolah kita. Memiliki daya ingat fotografis, nilai sem?
purna, dan kemampuan fisik yang sulit ditandingi oleh
Isi-Omen3.indd 9 cowok sekalipun. Kelemahannya adalah, dia ti?dak punya
kemampuan mematuhi otoritas. Dia bisa menjadi sekutu
yang kuat dan bisa diandalkan, namun juga bisa menjadi
musuh yang sangat berbahaya."
Sekali lagi dia mengeluarkan pisau dan dengan gaya men?
dadak yang sama, dia melemparkannya ke foto ke?dua, foto
seorang cewek berkacamata yang tampak lemah.
"Valeria Guntur. Peraih juara umum kedua. Meski bu?
kan genius, nilai-nilainya hanya sedikit di bawah Erika
Guruh. Ini menandakan dia seorang pekerja keras yang
luar biasa. Meski kelihatannya lemah, dia pandai da?lam
bidang olahraga. Selain itu, dia juga anggota ber?bakat
Klub Drama. Yang membuatnya patut diper?hitung?kan
adalah kenyataan bahwa dia putri tunggal keluarga
Guntur. "Dan terakhir..." Tanpa membuang-buang waktu si
Hakim Tertinggi melemparkan pisaunya ke foto cewek di
ujung bawah, ke wajah yang hampir semuanya di?tutupi
rambut panjang yang mengerikan. "Rima Hujan. Ketua
Klub Kesenian, pelukis genius, sekaligus peramal sekolah
kita. Dialah yang paling berbahaya, sebab dia sanggup
mengetahui semua rahasia, trik, dan jati diri kita. Tapi
jangan khawatir, aku tahu cara mengatasi ke?mampu?
annya. Kalau dia melakukan hal-hal mencuriga?kan, lapor?
kan padaku, dan aku akan mengurus sisanya. Aut vincere
aut mori!" Dan dengungan menyeramkan itu pun kembali meme?
nuhi ruangan. Menandai permainan berdarah yang akan
segera di?mulai. Isi-Omen3.indd 10 Erika Guruh, X-E Isi-Omen3.indd 11 AKU benar-benar yakin nama tengahku adalah "Sial".
Serius deh, tidak pernah ada orang yang lebih sial dari?
pada aku dalam kehidupan sehari-hari. Seperti biasa, aku
bangun terlambat meski sudah memasang beker tiga kali
(mungkin ponselku yang berfungsi ganda sebagai alarm
dan kuberi nama si Butut sudah seharusnya kuganti, tapi
yah, nama tengahku yang lain adalah "Bokek", jadi tidak
heran aku belum punya duit untuk melakukannya). Lalu
saat aku sedang buru-buru mandi alias menghamburhamburkan air secara membabi buta ke tubuhku, men?
dadak rok seragamku jatuh ke lantai kamar mandi. Ber?
hubung aku tidak punya rok lain, terpaksa kukenakan
juga rok basah dengan bau air sabun itu. Lalu, waktu
aku sedang mencari-cari Chuck, tukang becak langgan?an?
ku yang punya ponsel lebih keren dibanding punyaku,
mendadak orang yang sedang kuhindari nongol dengan
VW jeleknya. "Hei!" bentaknya, alih-alih mengucapkan salam se?
lamat pagi yang manis dan sopan. "Cepat masuk ke mo?
bil!" Isi-Omen3.indd 12 "Ogah!" teriakku.
Cih, dasar kurang ajar. Malang baginya, tak ada yang
bisa menyaingiku dalam bidang kekurangajaran. "Mobil
lo banyak kutunya! Mana nggak ada AC, bikin ketek gue
gerah!" Oke, kalian pasti mengira aku sok borju atau apalah.
Percayalah, dalam diriku tak ada setitik pun keborjuan,
baik darah borju atau cuma sekadar sok borju. Aku su?
dah terbiasa hidup dalam dunia kelas bawah, naik
angkot atau becak ke mana-mana, makan di warteg pa?
ling bobrok, nonton di bioskop yang dipenuhi tikus-tikus
raksasa. Urusan shopping sama sekali tidak pernah ter?
lintas di kepalaku saking bokeknya. Jadi, naik mobil se?
bobrok apa pun sebenarnya oke-oke saja bagiku.
Yang jadi masalah adalah sopirnya. Sopir angkot atau
tukang becak biasanya kalah belagu dibandingkan de?
ngan?ku. Beberapa malah takut padaku lantaran tampang?
ku yang memang sangar. Yah, siapa yang tidak sangar
kalau tiap hari dibuntuti kesialan melulu? Jadi, aku tidak
terbiasa menemukan orang yang sama sekali tidak takut
padaku. Seperti cowok sialan pengemudi VW ini.
Buat yang belum kenal, cowok bertubuh tinggi kurus
namun berotot dan berambut cepak yang mengenakan
setelan keren dengan dasi Angry Bird ini bernama Viktor
Yamada. Yep, betul, Yamada yang itu?keluarga pemilik
Yamada Bank dan berbagai lembaga keuangan, kerajaan
media massa, plus entah tetek-bengek apa lagi yang me?
reka miliki. Namun, biasanya cowok ini kupanggil
"Ojek" karena dulu dia pernah ketiban peran jadi tukang
ojek pribadiku (jangan tanya kenapa, ceritanya panjang).
Isi-Omen3.indd 13 ain Tapi belakangan ini, si tukang ojek ini naik pangkat dan
kini menjadi mahasiswa perguruan tinggi elite UPI alias
Universitas Persada Internasional (yep, begini-begini dia
ma?sih mahasiswa. Tampangnya boros banget, ya!), sekali?
gus kerja sebagai pegawai kantoran sungguhan. Gosipnya,
dalam waktu singkat dia berhasil membuktikan diri dan
kini menjabat posisi general manager di bank milik ke?
luarganya itu. Dan sebagai bukti usahanya itu, dia tidak
mengendarai motor Ninja-nya yang keren itu lagi, me?
lainkan VW butut yang sepertinya sudah melanglang
buana sebelum aku lahir. Sungguh, aku tidak mengerti apa gunanya mengendarai
mobil kalau benda itu lebih jelek daripada bajaj.
Tapi bukan itu penyebab aku bete pada cowok ber?
muka masam itu. Pendapat pribadiku soal kejelekan
mobil itu sama sekali tidak penting dibanding kelakuan
cowok itu. Sudah tidak pernah takut padaku, dia juga
sengaja melakukan hal-hal yang membuatku se?bal. Aku
cukup yakin, dia membeli mobil ini hanya untuk
meledekku?mungkin supaya aku merasakan ke?naik?an
fasilitas dari naik ojek menjadi naik taksi butut.
Celakanya lagi, belakangan ini dia baru melakukan
suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan meng?
hinaku habis-habisan. Jangan tanya hal apa yang dia
lakukan. Begini-begini aku tak suka men?jelek-jelek?kan
orang-orang terdekatku, tak peduli sifat mereka yang
menyebalkan membuatku menjeduk-jedukkan ke?pala ke
dinding atau muntah darah. Inti?nya, cowok ini sudah
merendahkan harga diriku tanpa merasa ber?salah sama
sekali. Apa itu ti?dak menyebal?kan?
"Kenapa sih kamu masih marah sama aku?"
Isi-Omen3.indd 14 Tuh, kan. Dengar saja suara nyolotnya yang sok innocent
itu! Seolah-olah, di antara kami, dialah pihak yang lugu
dan aku yang bejat. Padahal kan jelas-jelas se?baliknya!
"Aku kan melakukan semua itu karena aku sayang
sama kamu...!" Astaga, bisa-bisanya cowok ini mengucapkan kata-kata
menjijikkan begitu! Spontan aku langsung mengeluarkan
suara-suara mirip orang muntah dengan heboh, lengkap
dengan gaya mencekik leher sendiri yang tentunya ha?
nya pura-pura karena aku bukan masokis yang senang
menyiksa diri sendiri. Bukannya malu, cowok itu malah jadi berang. "Kamu
sama sekali nggak ngerti perasaanku sih! Makanya kamu
nggak ngerti kenapa aku ngelakuin hal itu ke kamu!
Emang?nya salah kalo aku ingin hubungan kita lebih
dekat lagi...?" "Arghhh!" Aku menutup telingaku. "Stop! Bulu kuduk
gue rontok semua, tauuu, denger kata-kata jijay begitu!
Lagian gue nggak butuh hubungan kita lebih deket lagi.
Kayak gini aja gue udah sesak banget!"
Oke, aku tidak tahu kenapa ucapan itu terdengar tidak
enak, padahal tadinya aku tidak bermaksud begitu sama
sekali. Maksudku yang sebenarnya adalah, berada di de?
kat?nya selalu membuat jantungku berdetak di atas ke?
cepatan detak jantung normal manusia biasa, membuatku
merasa sewaktu-waktu aku bisa terkena serangan jantung
di usia muda kalau sering-sering berada di dekat cowok
ini. Dan aku tidak lebay saat mengatakan terkadang aku
tidak sanggup bernapas saat merasakan pandangannya
yang tajam itu menelusuri wajahku seolah-olah setiap
reaksiku sangat penting baginya.
Isi-Omen3.indd 15 ain Sialnya, cowok ini memasang tampang seolah-olah
mukanya baru saja ditinju olehku. Padahal, sumpah, aku
be?lum pernah meninju mukanya. Tapi kini dia me?
ngernyit de?ngan mulut terkatup rapat, seolah-olah se?
dang menahan diri supaya tidak menyemburku dengan
api neraka. "Ya udah." Akhirnya dia berkata dengan suara se?dingin
es yang membuatku mendadak menggigil. "Tapi aku
akan tetap nganterin kamu ke sekolah."
Sebelum aku sempat memprotes, dia melanjutkan lagi,
"Chuck udah kusuruh pergi. Kamu tau dia seperti apa,
dikasih gobanan aja udah pasti langsung ninggalin kamu
tanpa pamit." Aku mengertakkan gigi. Memang betul, itulah sifat
utama tukang becak langgananku yang tak bisa di?
andalkan itu! Sebagai sesama orang bokek, aku mengerti
ba?nget betapa pentingnya duit untuk membiayai kebutuh?
an hidup kita yang berjuta-juta banyaknya. Tapi itu tidak
berarti aku akan mengkhianati teman-temanku untuk
selembar gobanan! Kalau demi duit sejuta, aku masih
pikir-pikir, tapi kalau cuma lima puluh ribu perak, itu
kan bakalan habis dalam sekejap mata.
Dan kini, akibat keserakahan tukang becakku yang
tidak berpikir panjang itu, aku terdampar tanpa alat
trans?portasi dalam radius lima kilometer, sementara bel
sekolah sudah siap berkumandang mengagetkan para
siswa yang masih berada di luar pagar sekolah. Satu-satu?
nya orang yang bisa menyelamatkanku dari situasi pelik
ini hanyalah cowok garang yang sepertinya mau me?
nelanku ini. Akhirnya, aku menelan harga diri dan membuka pintu
Isi-Omen3.indd 16 di samping pengemudi, lalu mengempaskan diriku di jok
penumpang. Begitu kututup pintunya, mobil itu lang?
sung melesat dengan kecepatan tinggi yang mungkin
akan membuat banyak orang merasa ajalnya di ujung
tanduk, tetapi justru membuatku merasa tenang karena
tahu tidak bakalan berakhir di ruang piket. Lagi pula, si
Ojek ini pengemudi yang berhati-hati. Selama me?
ngemudi, dia jarang bicara dan selalu mencurahkan per?
hatian penuh pada jalan yang kami lewati.
Meski biasanya aku hepi-hepi saja berdiam-diaman de?
ngan si Ojek, hari ini keheningan ini terasa janggal dan
menyiksa. Aku melirik ke kanan, memandangi wajah
beku yang tak menyenangkan itu, dan mengakui di
dalam hati bahwa kali ini semuanya adalah salahku. Aku?
lah yang sudah mengucapkan kata-kata yang bermakna
tak menyenangkan. Tapi masa sih aku harus berlutut seraya memohon,
"Sori, bukannya gue bilang gue nggak suka lo deketdeket sama gue. Sebaliknya, gue suka lo deket-deket gue.


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, plis, jangan jauh-jauh, ya!" Amit-amit. Mau
aku me?mohon-mohon? Langkahi dulu deh mayatku!
Jadilah kami sama-sama membisu sampai akhirnya tiba
di sekolah. Aku membuka pintu mobil, cukup sopan
untuk menggumamkan sepatah kata "thanks" se?belum
keluar dari mobil. Tapi tanpa kuduga-duga, si Ojek
menahan lenganku. Astaga, aku sudah lupa betapa kuat?
nya cowok yang terlihat kurus ini, betapa intens tatap?an
yang ditujukannya padaku, dan yang paling pa?rah,
betapa sentuhannya membuat seluruh tubuhku se?rasa tak
bertenaga! "Kalo kamu merasa aku menghalangi kamu, oke, aku
Isi-Omen3.indd 17 akan menjaga jarak dan ngasih kamu ruang untuk ber?
gerak." Kata-kata itu terdengar seperti, "Gara-gara omongan
kasar lo, untuk sementara gue nggak sudi ngeliat muka
lo dulu." "Tapi, aku ingin kamu mikirin juga, memangnya kamu
mau ngapain denganku? Kalo perasaanmu sama dengan?
ku, ingin hubungan kita lebih dekat lagi, kamu harus
meng?izinkan aku ngelakuin hal-hal yang lebih dari se?
karang ini. Kalo kamu nggak suka aku dekat-dekat,"
ujung bibirnya naik sedikit, memperlihatkan seulas se?
nyum culas yang membuatku keder, "kamu harus me?
nyingkirkanku dengan paksa. Soalnya aku nggak akan
sudi disuruh pergi dengan sukarela. Perasaanku ke kamu
nggak sedangkal itu, tau?"
Ucapan ini diucapkan dengan nada ketus dan me?
nyebal?kan, membuat perasaanku campur-aduk antara
jengkel, terharu, dan kepingin meleleh sejadi-jadinya.
Tapi tentu saja aku tidak mungkin menampakkan pe?rasa?
anku yang sebenarnya di saat dia sedang berang be?gitu,
jadi aku hanya mengangguk kaku.
"Akan gue pikirin," kataku singkat.
Dia balas mengangguk. "Jangan bolos hari ini."
Dasar bapak-bapak. Kerjanya mengurusiku supaya aku
bertingkah laku yang benar. Padahal dulu dia antekku
saat aku kepingin bolos. Semenjak dia mendapatkan pro?
mosi sebagai?ehem?pacarku, mendadak dia jadi sok
alim dan menyuruhku hidup di jalan yang benar.
Sialnya, diam-diam aku agak menurut.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah, menyadari betul
pandangan tajam cowok itu masih mengikutiku. Astaga,
Isi-Omen3.indd 18 kenapa rasanya begitu sesak? Begitu tiba di dalam se?
kolah, aku baru menoleh ke belakang, dan kulihat mobil
VW jelek itu sudah lenyap. Ada rasa hampa menyadari
bahwa kepergiannya kali ini akan lama, bahwa aku tak
bakalan ketemu dengannya lagi dalam waktu dekat.
Ah, menyebalkan. Dalam hati aku merutuk. Pagi ini kesialanku benarbenar mencapai puncaknya. Hari belum dimulai, emosiku
sudah dibuat jungkir balik tak keruan begini. Bisa-bisa
sebelum hari usai, tampangku sudah tak ber?bentuk
lagi. Suasana sekolah agak aneh hari ini. Sepertinya agak
terlalu hening untuk masa-masa sekolah yang tinggal
beberapa hari lagi. Yep, kami baru saja menyelesaikan
UAS, sehingga kini kami datang ke sekolah cuma untuk
setor muka sementara guru-guru meng?isi rapor akhir
tahun kami. Aku tidak pernah peduli de?ngan kondisi
raporku. Toh dari tahun ke tahun hasilnya selalu begitubegitu saja. Nilai bagus, absensi jelek, ke?lakuan minus
habis. Dan dari tulisan panjang-lebar di kolom catatan
guru, aku bisa merasakan keinginan kuat dari wali kelas?
ku untuk mencoret kata "naik" dan me?nyisakan tulisan
"tidak naik". Untungnya, nilai sempurna?ku mencegah
mereka melakukan tindakan bodoh itu.
Meski sehari-hari kurang sensitif, biasanya instingku
lumayan peka dengan perubahan suasana seperti yang
ter?jadi hari ini. Namun kejadian dengan si Ojek begitu
me?nyita pikiranku sampai-sampai aku tidak memper?
hatikan kondisi sekitar. Aku bahkan tidak menyadari
raib?nya si guru piket yang biasa gentayangan di koridor
sekolah bagai malaikat pencabut nyawa siswa-siswi ba?
Isi-Omen3.indd 19 dung yang terlambat. Dengan gerakan kaku bak mayat
hidup, aku masuk ke kelasku, kelas X-E, dan duduk di
pojokan terjauh dari meja guru.
Hal yang akhirnya membuatku sadar dengan anomali ini
adalah sikap teman sebangkuku, Daniel, yang ceria?nya
berlebihan banget pagi-pagi begini. Habis, pada da?sar?nya
Daniel adalah tukang molor nomor wahid. Biasa?nya
sampai pelajaran ketiga pun dia masih sibuk "me?ngumpul?
kan nyawa" yang masih berpencar-pencar lantaran terpaksa
bangun pagi. Tapi hari ini tingkahnya rada hiperaktif.
Nongol-nongol, dia menepuk bahu?ku dengan centil
sebelum nangkring di tempat duduknya yang mendadak
jadi mini lantaran tubuh Daniel me?mang tinggi besar.
"Oh, annyonghaseyo, chingu-ya," ucapnya, jelas-jelas me?
niru Rain si cowok superkyut dari Korea yang digosipkan
mirip dengannya. Sejujurnya, aku sama sekali tidak me?
lihat kemiripan mereka kecuali sepasang mata sipit yang
ujung luarnya mencuat ke atas. "Tumben hari ini datang
on time. Diantar cowok lo, ya?"
Alih-alih menyahutnya, aku malah mencercanya, "Ke?
napa nggak nanya dalam bahasa Korea juga? Perbenda?
haraan kata lo cuma dua kata itu, ya?"
"Iya," kekeh Daniel tanpa malu-malu. Disibaknya ram?
but panjangnya yang menurutku menyebalkan, tetapi
charming menurut murid-murid cewek yang kebanyakan
memang mengganggap oknum ini ganteng kelas dewa.
"Ditambah, mi cyeo seo! Artinya, ?dasar gila?!"
Kekeh Daniel yang tidak lazim itulah yang menyadar?
kanku. "Kenapa lo pagi-pagi udah mi cyeo seo?"
"Iya nih." Daniel membungkuk di dekat telingaku dan
berbisik, "Gue ada kabar heboh. The secret."
Isi-Omen3.indd 20 "Ah, telat lo, Niel. The Secret mah udah beken dari be?
rapa tahun lalu." "Bukan itu," decak Daniel. "Maksud gue, kabar heboh
gue ini rahasia." Dasar anak tidak naik kelas, bicara saja tidak jelas.
"Kalo kudu dirahasiain, apa hebohnya?"
"Kasih tau nggak, ya?" Daniel melirik ke kiri dan ke
kanan dengan gaya bak pencuri takut kepergok nyolong.
Matanya yang sipit membuat mukanya makin penuh
dosa. "Gini. Lo tau The Judges?"
Aku mengangkat bahu, berharap Daniel mengerti ja?wab?
anku yang tersirat. Nggak tahu dan nggak kepingin tahu.
Sayangnya, Daniel tidak secerdas itu.
"Itu perkumpulan rahasia sekolah kita," bisiknya. "Ba?
nyak kasak-kusuk soal perkumpulan itu, tapi nggak ada
yang tau pasti perkumpulan itu beneran ada atau nggak.
Katanya, merekalah yang sebenarnya mengatur sekolah
ini. Pergantian kepala sekolah, susunan staf guru, struk?
tur keanggotaan OSIS, ketua-ketua klub ekskul, bahkan
kenaikan uang sekolah. Sedangkan susunan keanggotaan
mereka rahasia banget, cuma Kepala Sekolah dan guruguru yang tau soal mereka."
Aku menguap lebar-lebar, tapi Daniel tidak menya?
dari?atau berpura-pura tidak menyadari?ketidak?ter?
tarikanku pada organisasi sok keren yang membuatnya
bicara sampai berbusa-busa itu.
"Nah, setiap akhir tahun, seperti sekarang ini, mereka
akan milih anggota baru dari angkatan baru untuk ganti?in
anggota-anggota yang bakalan lulus. Gosipnya, mereka
mengundang murid-murid paling populer dan ber?pengaruh
di sekolah untuk menjalani proses seleksi se?lama seminggu,
Isi-Omen3.indd 21 dan di akhir minggu, sehari setelah pem?bagian rapor, me?
reka akan mengadakan upacara inisiasi anggota baru yang
lolos seleksi. Dan coba tebak, Ka!"
Meski sudah bisa menebak apa yang ingin dia katakan,
aku tetap bertanya, sekadar supaya teman sebangkuku
itu hepi, "Apa?"
"Gue dapet undangan untuk proses seleksi itu!" bisik
Daniel penuh semangat sampai kurasakan ada setitik
ludahnya yang menyembur ke telingaku.
Ewww! Siapa sih yang bilang dia ganteng? Percaya deh
sama aku, yang namanya cowok jorok tuh tidak ada yang
ganteng! Aku mengusap titik itu dengan gerakan bahuku. Sam?
bil mendengarkan ocehan Daniel tanpa ada minat sedikit
pun, aku merogoh-rogoh ke dalam laci meja, berharap
bisa menemukan buku yang cukup tebal untuk menutupi
wajah Daniel dari pandanganku. Dengan heran aku
mengeluarkan selembar kartu dengan simbol aneh di
atas?nya, yang jelas-jelas bukan merupakan milikku na?
mun namaku tertera di atasnya dalam tinta perak.
"Lo tau apa artinya? Ini artinya gue naik kelas, Ka!
Bah?kan mungkin gue dipilih jadi ketua OSIS! Asal lo tau,
setiap murid yang dapet undangan itu udah pasti calon
anak kelas sebelas yang bakalan jadi pemimpin di se?
kolah kita!" Kusodorkan kartu yang barusan kutemukan ke depan
muka Daniel. "Maksud lo, undangan kayak gini?"
Dengan puas kusaksikan air muka Daniel berubah bete.
Sepertinya, dia tak bakalan bawel lagi untuk beberapa
jam ke depan. Valeria Guntur, X-A Isi-Omen3.indd 22 MESKI bel sudah berdentang, aku tidak punya kewajiban
untuk buru-buru menyerbu masuk kelas seperti muridmurid malang lainnya.
Pasalnya, sejak ujian berakhir, aku punya pekerjaan
sampingan baru: membantu pengawas perpustakaan me?
nyortir buku dan mengembalikannya ke tempat semula.
Di masa-masa ujian, anak-anak menyerbu perpustakaan
se?bagai upaya terakhir untuk mengais-ngais ilmu penge?
tahuan yang selama setengah tahun ini tidak pernah
mereka pedulikan, meminjam buku sebanyak-banyaknya,
lalu meletakkannya di tempat-tempat yang tidak sepantas?
nya (bayangkan saja, aku menemukan buku One Direction
di?selipkan di antara buku-buku olahraga; nggak nyam?
bung banget deh). Ditambah dengan masuknya bukubuku baru untuk tahun pelajaran yang akan datang, Bu
Mirna, Ibu Kepala Perpustakaan yang perfeksionis, akhir?
nya merasa perlu mendapatkan bala bantuan. De?ngan
cara yang sangat tersirat, aku pun mengajukan diri.
Berhubung prestasiku oke banget sejauh ini?ditambah
dengan koneksi ke Ibu Kepala Sekolah?aku berhasil men?
dapatkan pekerjaan itu dengan sangat mudah. Gajinya
tidak besar, tentu saja, tapi cukuplah untuk biaya makan?
ku sehari-hari. Yep, sudah beberapa lama ini aku pindah dari rumah?
ku dan tinggal di rumah kontrakan yang baru. Semuanya
gara-gara aku berselisih paham dengan ayahku, si raja
diktator yang membuat Hitler kelihatan seperti anak
kucing. Oke, selisih paham mungkin istilah yang terlalu
halus untuk mengungkapkan pertentangan seumur hidup
di antara kami, tapi saat ini aku tidak ingin membahas?
nya lagi. Yang jelas, karena itulah aku ogah minta uang
jajan lagi pada ayahku yang menganggap duit bisa
menyelesaikan semua hal. Aku sudah memutuskan keluar
dari rumahnya. Ini berarti aku juga harus mandiri dan
mengurus hidupku sendiri. Untuk sementara, bekerja di
perpustakaan bisa membantu keuanganku sedikit. Tetapi
di masa depan, aku tahu, aku harus punya pekerjaan
lain yang lebih menjamin.
Aku mengangkat setumpuk buku yang langsung me?
nutupi penglihatanku. Ups, gawat. Meski tidak seberat
yang kusangka, tumpukan ini gampang oleng. Ini berarti
aku harus super hati-hati saat membawanya.
"Valeria!" teriak Bu Mirna dari kejauhan dengan suara
dicekam ketakutan. "Jangan bawa buku sebanyak itu!
Kan berat sekali!" "Nggak kok, Bu, ini nggak ada apa-apanya...."
"Empat buku itu beratnya satu kilo lebih, dan kamu
membawa lebih dari tiga puluh buku!"
Ah, aku cukup percaya diri dalam soal itu. Soalnya,
Isi-Omen3.indd 23 ke?kuatan fisikku memang lebih baik daripada anak-anak
pada umumnya. Bukan karena aku supergirl, melainkan
karena aku jago olahraga.
"Sudah, kamu tinggalkan dulu separuhnya di meja ter?
dekat. Biar Ibu bantu kamu bawa sebagian."
"Nggak usah, Bu, ini mah nggak ada apa-apanya buat
saya." Ada takhayul yang diam-diam kupercayai. Kalau kita
terlalu sombong dengan kemampuan kita, Tuhan akan
mematahkannya dengan memberi kita pe?l?ajaran yang
menyakitkan. Dan aku mengakui, aku me?mang rada sok
dengan jawabanku itu, seolah-olah ingin pamer pada Bu
Mirna. Akibatnya, aku jadi ceroboh. Tepat pada saat aku
mengucapkan kalimat itu, aku me?lewati pintu masuk
perpustakaan yang dibuka dari luar secara tiba-tiba. Aku
tidak sempat mengelak, dan pintu itu langsung me?
nabrak?ku beserta semua buku yang kuangkut, sampai
aku jatuh tertimbun buku-buku itu.
Sambil merapikan rambutku yang acak-acakan karena
terjatuh, aku mendongak dan memandang sosok yang
muncul dari balik pintu. Sosok itu seharusnya tidak me?
nakutkan karena dia hanyalah seorang cewek yang tinggi?
nya mungkin cuma sekitar 157 cm, sementara tinggi
tubuh?ku sekitar 162 cm (terakhir kali kuukur sih begitu).
Tubuh?nya langsing gemulai dan kulitnya putih bagaikan
pualam, dengan se?ragam berbalut rompi pink yang
cantik, rambut bob sebahu tergerai berhias bando berpita
yang senada dengan rompinya, mengingatkanku pada
penampilan Blair Waldorf dalam serial televisi Gossip
Girl. Wajahnya begitu cantik. Kulitnya yang putih ber?
Isi-Omen3.indd 24 padu dengan sepasang mata lebar, hidung mancung, dan


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen3.indd 25 bibir merah merekah, membuatnya terlihat lebih mirip
bule daripada cewek Indonesia.
Namun posturnya yang sempurna, sinar matanya yang
mencorong di balik kacamata berbingkai tanduk, dan
sikapnya yang dingin dan tegas menunjukkan cewek
yang cantik luar biasa ini memiliki karisma tinggi. Entah
kenapa, nyaliku yang biasanya cukup besar rada meng?
keret saat pandangannya mengarah padaku.
"Lo nggak apa-apa?" tanyanya datar.
Berhubung cewek itu tidak mengulurkan tangan untuk
membantuku berdiri, aku pun berusaha bangkit sendiri
dari posisiku yang memalukan. "Gue nggak apa-apa,
thank you." Dia mengangguk. "Lain kali, kalo jalan pake mata.
Bukan cuma lo yang jalan di sini, tau?"
Mulutku ternganga mendengar jawaban yang begitu
kasar dan jutek keluar dari mulut yang begitu manis. Be?
lum habis rasa kagetku, cewek itu berkata lagi, "Sekarang
beresin buku-buku itu. Kita nggak mau ada yang ter?
sandung, kan?" Lalu tanpa menunggu jawabanku, dia berpaling pada
Bu Mirna, "Bu, ini surat daftar buku tahun ini. Tolong
ditandatangani." "Oh, ya." Bu Mirna berubah gugup. "Sini, biar saya
cek dulu, Putri." Ya, betul. Nama cewek ini adalah Putri?atau lengkap?
nya, Putri Badai?dan rasanya tak berlebihan bila kukata?
kan dia cewek paling populer di sekolah kami. Cewek
yang terkenal cantik dan angkuh, sempurna da?lam segala
bidang, serta sangat ditakuti oleh semua orang karena
ucapan-ucapannya yang sinis dan tepat mengenai
Isi-Omen3.indd 26 sasaran. Lebih hebat lagi, dia ketua OSIS sekaligus ketua
Klub Memanah. Benar-benar putri sejati.
Sangat bertolak belakang denganku yang nyaris tak
kasatmata. Bukannya aku keberatan sih. Selain prestasiku sebagai
peraih rangking kedua dari lima kelas di angkatan kami,
aku nyaris tidak mencolok. Dan asal tahu saja, rasanya
jauh lebih enak menjadi cewek tak kasatmata daripada
orang yang selalu menarik perhatian ke mana pun kita
pergi. Tak pernah ada gosip menerpaku, tak pernah ada
orang yang kepo dengan masalah pribadiku, tak pernah
ada geng yang diam-diam membenciku.
Jadi cewek tak kasatmata memang damai.
"Putri, udah selesai urusannya?"
Saat aku sedang sibuk memunguti buku-buku, tiba-tiba
pintu terbuka lagi, dan kali ini aku cukup gesit untuk
menghindarinya. Tepat seperti dugaanku, cowok yang
baru muncul adalah Dicky Dermawan, pacar Putri, yang
tidak kalah terkenalnya. Cowok ganteng dan ramah yang
tajir luar biasa, juga dermawan seperti namanya, bintang
olahraga dan pandai melukis (kemampuan akademisnya
jarang disinggung-singgung, jadi kusimpulkan kemampu?
an?nya di bidang akademis agak di bawah rata-rata), serta
ketua Klub Judo yang sangat bergengsi. Berbeda dengan
sang pacar yang lebih serius, Dicky terkenal senang hurahura. Dia bahkan punya sepasukan pengikut yang kerja?
nya mengelu-elukannya di sekolah.
Pasangan ini adalah pasangan impian sekolah kami.
Pasangan yang sama-sama memiliki tampang cakep dan
kemampuan hebat. Keduanya sama-sama murid kelas se?
belas yang sangat berpengaruh serta berasal dari keluarga
Isi-Omen3.indd 27 yang berkuasa. Mereka bahkan disamakan dengan pasang?
an terkenal Brad Pitt dan Angelina Jolie. Hampir semua
murid di sekolah kami mengidolakan mereka dan
berharap bisa menjadi mereka.
Tidak semua, tentu saja, karena aku tidak berharap be?
gitu. Dan aku yakin sobatku Erika Guruh juga me?miliki
perasaan yang sama (sebenarnya, aku tidak yakin Erika
kenal mereka. Sobatku itu memang tidak suka ber?gosip).
Dicky menatapku dengan heran, seolah-olah tidak
menyangka ada orang lain di perpustakaan ini. Tentu
saja keheranannya masuk akal. Bu Mirna jarang sekali
mem?pekerjakan orang lain untuk membantunya. Hanya
ke?mampuan persuasifku yang luar biasalah yang mem?
buat kepala perpustakaan ini bersedia menerimaku.
Tapi keheranan itu hanya sekejap. Buru-buru dia mem?
bungkuk dan membantuku memunguti buku-buku yang
berserakan, lalu menyerahkan semua yang dipungutinya
sambil tersenyum padaku. "Terima kasih," gumamku sambil menampakkan sikap
malu-malu. "No problem," sahut cowok itu masih sambil ter?
senyum, sebelum akhirnya berpaling pada pacarnya.
"Udah selesai kan, Put? Yuk, kita jalan. Kita masih ada
rapat OSIS nih. Jangan sampe telat."
"Oke," angguk Putri sebelum berpaling pada Bu Mirna.
"Saya tunggu kabarnya ya, Bu."
Sepeninggal pasangan itu, aku berpaling pada Bu
Mirna, dan barulah kusadari wajah kepala perpustakaan
itu tampak keruh. "Ada apa, Bu?" tanyaku. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Ah, tidak." Cepat-cepat Bu Mirna menggeleng. "Tidak
Isi-Omen3.indd 28 ada apa-apa yang penting kok, Val. Lebih baik kamu
bawa buku-buku itu ke meja depan dan mulai me?
nyortirnya." "Baik, Bu." Sepertinya perhatian Bu Mirna benar-benar tersita pada
surat daftar buku yang dibawakan Putri tadi, ka?rena beliau
sama sekali tidak peduli saat aku membawa tumpukan
buku yang tinggi melewatinya. Tentu saja, kali ini aku lebih
berhati-hati supaya tidak menjatuhkan se?mua buku itu
lagi. Aku kan tidak mau dipecat gara-gara hobi melakukan
kegiatan akrobatik di dalam perpustaka?an.
Aku duduk di bangku di seberang kursi yang biasa di?
tempati Bu Mirna dan mulai mengelompokkan bukubuku itu berdasarkan jenisnya. Kedengarannya tidak su?
lit, tapi ada beberapa buku yang kategorinya tidak jelas.
Biografi David Beckham, misalnya. Pada dasarnya kita
akan memasukkannya ke kategori olahraga. Tetapi rupa?
nya buku itu juga cocok dengan kategori biografi. Dan
pada akhirnya, ternyata buku itu sebenarnya milik rak
kategori selebriti. Jadi petugas perpustakaan memang tidak gampang.
Mendadak sebuah amplop cokelat di atas meja
tertangkap mataku. Amplop itu memiliki lambang timbul
tanpa warna yang aneh, dengan gambar perisai berukir
pedang dan topeng di tengah-tengahnya. Di atas amplop
itu tertera huruf besar-besar: "VALERIA GUNTUR." Aneh.
Kenapa ada amplop untukku di meja Bu Mirna?
"Bu," panggilku. "Kok ada amplop buat saya di sini?"
"Amplop apa?" tanya Bu Mirna heran.
Saat aku mengacungkan amplop itu, dia tampak kaget.
"Tadi saya nggak melihat amplop itu."
Yah, berhubung Bu Mirna ikut mondar-mandir me?
ngumpulkan buku, tidak heran beliau tidak menyadari
keber?adaan benda itu. Aku berusaha mengingat-ingat, siapa
saja orang yang masuk ke dalam perpustakaan pagi ini.
Tidak banyak memang, tetapi aku tidak terlalu mem?per?hati?
kan mereka lantaran sibuk mengerjakan tugas-tugasku.
Ah, sudahlah. Lebih baik kubuka saja amplop ini.
Aku mengeluarkan selembar kartu undangan berwarna
hitam dengan simbol yang sama dengan yang ada di
amplop, hanya saja kali ini dengan warna merah dan
hitam yang tampak gagah namun misterius. Di bawah?nya
lagi-lagi tertera namaku. Aku membuka undangan itu.
SELAMAT! Kamu telah terpilih menjadi calon anggota The Judges,
organisasi rahasia yang menguasai Sekolah Harapan
Nusantara! Mulai hari ini kamu akan menjalani proses
seleksi untuk menentukan apakah kamu pantas menyandang
tanggung jawab besar ini.
Datanglah ke sekolah malam ini pukul 9 dengan me?
ngenakan seragam sekolah dan topeng.
Jangan beritahu siapa-siapa.
Tertanda, Hakim Tertinggi The Judges
PS: Dilarang membawa ponsel dan alat komunikasi lain?
nya dalam ujian. The Judges! Aku sudah mendengar banyak selentingan
mengenai organisasi rahasia ini. Kabarnya mereka adalah
penguasa sebenarnya sekolah kami. Siapa pun yang
Isi-Omen3.indd 29 berani menentang mereka atau tidak membela kepenting?
an organisasi itu akan disingkirkan, tidak peduli itu
kepala sekolah, guru, pengurus OSIS, klub-klub ekskul,
bah?kan anggota yayasan. Sedangkan mereka yang ber?
guna bagi organisasi akan menjadi orang-orang paling
berpengaruh di sekolah ini. Namun, sejauh ini tidak ada
yang benar-benar tahu organisasi itu eksis atau tidak.
Kini aku tahu, organisasi itu benar-benar ada?dan aku
terpilih sebagai salah satu calon anggotanya!
Pertanyaannya, mengapa? Oke, aku memang putri keluarga Guntur yang ter?
pandang, tapi tidak banyak orang di sekolah ini yang
mengetahuinya. Aku punya segudang kemampuan di
atas rata-rata, tapi karena keberadaanku yang nyaris tak
kasat?mata, hampir tak ada yang menyadarinya. Pe?
nampilanku cupu dan pergaulanku nyaris nol. Aku sama
sekali bukan murid populer. Organisasi ini tak akan men?
dapatkan apa-apa dengan merekrutku. Jadi buat apa me?
reka mengirim undangan untukku?
Aku melirik Bu Mirna yang masih gelisah dengan surat
yang diterimanya. Sekarang aku jadi curiga. Yang
membuatnya gelisah adalah surat yang dipegangnya itu,
ataukah undangan yang kini ada di tanganku? Apakah
Bu Mirna tahu soal The Judges? Dia pasti tahu, karena
gosip?nya, yang tahu identitas anggota-anggota organisasi
itu hanyalah para guru dan Kepala Sekolah.
Aku harus mengorek-ngorek keterangan darinya.
Aku memasukkan kembali undangan itu ke dalam
amplopnya, lalu menyisipkannya di balik rok belakangku.
Sip! Benda itu kini tersembunyi dengan baik. Kini aku
Isi-Omen3.indd 30 hanya harus berpura-pura sibuk bekerja dan mendadak
memikirkan topik terlarang.
Bu Mirna melipat surat yang diterimanya dari Putri
dan memasukkannya ke kantong kemejanya, lalu kem?
bali ke meja tempat aku bekerja dan mulai mem?bantuku
menyortir. Aku menunggu dengan sabar, dengan sopan
menanggapi keluhannya tentang makanan kantin yang
semakin lama semakin mahal dan berbasa-basi soal siapa
peraih juara umum kelas sepuluh tahun ini (padahal
tidak perlu dibahas lagi, sudah pasti posisi itu dipegang
oleh sobatku si pemilik daya ingat fotografis yang genius,
Erika Guruh). Lalu, setelah yakin pikiran Bu Mirna su?dah
merasa aman dari topik-topik berbahaya, aku pun me?
masang wajahku yang paling polos dan bertanya de?ngan
lugu, "Oh ya, Bu Mirna, apa Ibu pernah men?dengar soal
The Judges?" Bisa kurasakan udara di sekitar kami jadi tegang, pada?
hal aku bukan paranormal.
"The Judges?" Bu Mirna tertawa kecil namun terdengar
agak histeris. "Acara televisi apa itu?"
"Kayaknya sih bukan acara televisi deh, Bu," sahutku
pura-pura bodoh. "Saya denger teman-teman di kantin
meng?gosipkan bahwa itu semacam organisasi raha?
sia..." "Ssst!" desis Bu Mirna seraya membekap mulutku. "Ja?
ngan ucapkan dua kata terakhir itu keras-keras!"
Setelah aku mengangguk, barulah Bu Mirna melepas?
kanku. "Tapi, Bu, di sini kan hanya ada kita berdua."
"Tembok pun punya telinga," kata Bu Mirna sambil
melirik ke kanan dan ke kiri dengan muka parno. "Dan
orang-orang ini punya mata-mata di mana-mana."
Isi-Omen3.indd 31 Oke, sekarang aku mulai ikutan parno. "Apa organisasi
ini begitu hebat, Bu?"
"Begini," bisik Bu Mirna. "Dulu sekali, pernah ada ke?
pala sekolah yang tidak sudi diatur-atur anak-anak. Se?
telah mengumpulkan dukungan para guru, dia mengeluar?
kan semua anggota inti organisasi itu dari se?kolah dan
mengancam sisa anggotanya untuk me?nurut padanya.
Kalau tidak, dia akan mengeluarkan me?reka pula. Kamu
tahu apa yang terjadi?"
Aku bisa membayangkannya. "Apa yang terjadi, Bu?"
"Kepala sekolah dan guru-guru, semuanya langsung
di?ganti dengan orang-orang baru!" sahut Bu Mirna de?
ngan ngeri, mungkin di dalam hati beliau membayang?
kan hal itu terjadi pada dirinya. "Sementara anak-anak
yang dikeluarkan itu, kembali sekolah seolah-olah tak
pernah terjadi apa-apa. Setelah kejadian itu, tidak ada
lagi yang berani menentang organisasi itu."
"Jadi organisasi itu jahat?" tanyaku ingin tahu.
"Kalau dibilang jahat, ya tidak juga, karena mereka
ba?nyak melakukan hal-hal baik kok. Mereka meng?usaha?
kan perbaikan fasilitas sekolah, penurunan uang sekolah,
kenaikan gaji guru. Mereka juga ujung tombak sekolah
ini, karena kebanyakan dari mereka adalah murid-murid
berprestasi." "Hanya saja cara mereka nggak benar," kataku me?
nyimpulkan. Bu Mirna mengangguk. "Benar sekali."
"Jadi, kalau begitu, apa saya harus memenuhi undang?
an mereka?" Pertanyaan terakhir ini tidak keluar dari mulutku, me?
lainkan dari arah pintu. Aku dan Bu Mirna menoleh ke
Isi-Omen3.indd 32

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana, dan Bu Mirna langsung terpekik tertahan. Dari
celah pintu, tampak sosok tinggi kurus, mengena?kan
seragam sekolah kami, dengan rambut panjang dan
hitam menutupi hampir semua wajahnya. Sepasang mata
mengintip melalui celah kecil yang dibuat tirai rambut
itu, sepasang mata yang bersinar dingin, sementara
senyumnya terlihat sinis dan misterius. Melihat sosok
itu, rasanya seolah-olah film The Ring menjelma menjadi
hidup kita, membuat tubuh kita membeku dan hati kita
menjeritkan pertolongan. Berapa kali pun aku melihat
cewek ini, aku tidak pernah terbiasa dengan aura seram
yang dipancarkannya. Yang lebih mengerikan lagi, tangan yang panjang itu
terulur ke depan, rasanya seperti nyaris mencapai tempat
kita meski jarak sebenarnya cukup jauh...
Tunggu dulu. Tangan itu menyodorkan undangan The
Judges! "Rima!" seruku kaget bercampur girang pada cewek yang
menjadi induk semangku itu. "Lo juga diundang?"
Isi-Omen3.indd 33 Rima Hujan, X-B AKU memandangi Valeria dan Bu Mirna dari sela-sela
rambutku, tersenyum geli melihat betapa kagetnya
mereka saat menyadari kehadiranku.
Bukan maksudku hadir dengan tidak terduga begini.
Pada dasarnya, aku memang bukan orang yang suka
tergesa-gesa. Segalanya kulakukan dengan perlahan dan
penuh pertimbangan. Tidak ada gunanya melakukan se?
suatu secepat mungkin hanya untuk disesali di kemudian
hari. Tapi sebagai akibat dari kebiasaanku itu, orang-orang
sering terkejut, shock, bahkan ketakutan saat melihat
kemunculanku (untungnya, sejauh ini aku belum pernah
bikin orang terkena serangan jantung). Apalagi aku
punya penampilan yang tidak selazim manusia pada
umum?nya. Yah, jangan kira aku tidak menyadarinya.
Tentu saja aku tahu seharusnya aku tidak menutupi
wajah dengan rambutku begini. Namun, aku punya
alasan penting untuk melakukannya. Jadi, tak peduli
kasak-kusuk dan reaksi orang soal penampilanku, aku
me?milih untuk berpenampilan seperti ini.
Isi-Omen3.indd 34 Aku senang, meski masih tetap sering kaget melihat
ke?munculanku, kini Valeria tidak takut lagi padaku.
Maksudku, dia masih tetap takut, terlihat dari wajahnya
yang langsung memucat saat menyadari kehadiranku,
tapi kini dia tidak melangkah mundur atau bahkan
ngacir secepat mungkin seperti yang dilakukan orangorang lain. Tapi hidup dengan Valeria Guntur me?mang
membuatku menyadari satu hal: cewek bertampang
lemah ini punya keberanian dan kekuatan melebihi
manusia-manusia normal pada umumnya.
Kuamati cewek itu berjalan mendekatiku dengan sikap?
nya yang tenang dan anggun. Valeria sendiri tidak me?
nyadarinya, tapi dia memiliki pembawaan bak seorang
tuan putri. Dia berusaha menyamarkannya dengan gerak?
an kikuk dan canggung ala cewek kuper, tapi ke?anggun?
an itu tidak bisa dihapuskannya. Tubuh yang langsing,
tinggi, dan tegak, dagu yang agak terangkat, mata yang
me?natap langsung ke lawan bicaranya, pasti akan mem?
buat kita merasa kecil dan terintimidasi, kalau bukan
karena penampilannya yang lain: kacamata berbingkai
tipis yang manis, rambut hitam dan lembut yang kini
tergerai panjang (dulu pernah sekali dipotong olehnya),
kulit putih yang nyaris transparan, tas besar yang di?
sandangnya, dan buku-buku tebal yang selalu didekap?
nya. Sepintas dia mirip cewek alim, cupu, dan lemah.
Tapi aku tahu lebih baik. Valeria sama sekali tidak mirip
dengan apa yang ditampakkannya. Bagiku, dia cewek
bunglon yang bisa menjelma menjadi siapa saja. Meski
kami tinggal serumah, aku tidak pernah tahu bagai?mana
kepribadiannya yang sebenarnya.
Ya, betul. Valeria kini tinggal di rumahku. Tepatnya,
Isi-Omen3.indd 35 dia mengontrak rumahku dan aku boleh tetap tinggal di
sana untuk membantunya mengurus rumah. Tentu saja,
se?mua ini bukan kebetulan belaka, tapi berhubung cerita?
nya terlalu panjang, akan kuceritakan lain kali. Yang
jelas, tinggal serumah tidak langsung membuat kami jadi
sahabat baik. Valeria sering sibuk sendiri dengan berbagai
kegiatannya, sementara aku harus mengurus rumah dan
menekuni lukisanku. Jadi kami jarang main bareng.
Namun aku tahu satu hal: Valeria sangat pandai men?
cari informasi. Dengan posisinya sebagai cewek lemah
yang tidak diperhitungkan di mana-mana, semua orang
selalu memberinya informasi penting tanpa menyadari?
nya. Itu sebabnya aku harus berhati-hati dan menjaga
jarak dari?nya, supaya dia tidak menemukan hal-hal pri?
badi yang tak ingin kuberitahukan padanya. Dan itu
juga menjadi pe?nyebab aku mendatanginya saat menemu?
kan undang?an yang tampak misterius ini. Wajar banget
aku bertanya dan meminta pertimbangannya untuk halhal semacam ini.
"Rima!" seru Bu Mirna, kepala perpustakaan, tergagap
karena tak terbiasa denganku. "Kenapa kamu ada di sini?
Bukankah seharusnya kamu ada di kelas?"
Itu pertanyaan yang konyol sekaligus terlalu panjang
untuk kujelaskan, jadi aku hanya memandangi Bu Mirna.
Menyadari aku tidak berniat menjawab, Valeria meng??
gantikanku. "Rima kan ketua Klub Kesenian, Bu. Dia
punya tanggung jawab untuk membereskan ruangan klub
sebelum tahun ajaran berakhir."
"Oh ya, Ibu lupa," cetus Bu Mirna. "Habis kamu kan
anak kelas sepuluh, dan anak-anak kelas sepuluh jarang
ada yang jadi ketua klub ekskul."
Isi-Omen3.indd 36 "Bukan jarang lagi, Bu." Valeria tersenyum. "Rima me?
mang satu-satunya ketua klub ekskul dari kelas sepuluh.
Habis, kemampuan melukisnya kan memang luar biasa."
Aku tidak terlalu suka membanggakan kemampuan
melukisku. Bagaimanapun, itu bukanlah bakat, melainkan
hasil latihan terus-menerus, jadi yang lebih kubanggakan
adalah usahaku yang tak mengenal lelah. Tapi tidak ada
gunanya berbesar mulut mengenai diri sendiri, jadi aku
menghindari topik itu dan kembali pada tujuanku
datang ke sini. "Jadi, menurut Bu Mirna, sebaiknya saya
memenuhi undangan ini atau nggak?"
"Tentu saja harus," sahut Bu Mirna dengan tatapan
takjub mengarah ke undangan di tanganku, seolah-olah
benda itu makhluk langka yang cuma memberikan pe?
nampakan seribu tahun sekali. "Merupakan kehormat?an
besar terpilih sebagai calon anggota The Judges, Rima.
Itu berarti kamu murid populer dan bisa diandal?
kan." "Saya sama sekali nggak populer, Bu," ucapku pelan.
"Dan saya juga nggak punya kemampuan lain selain me?
lukis. Itu berarti saya nggak terlalu bisa diandalkan, bu?
kan?" "Siapa bilang?" kilah Bu Mirna. "Bukankah kamu pu?
nya kemampuan meramal dan melihat masa depan?"
Itu lagi. Aku tidak bisa menahan senyum saat "ke?
mampuan"-ku yang itu disebut-sebut. Sebenarnya, itu
sama sekali bukan kemampuan supernatural. Aku hanya
suka mengamati, diimbangi dengan kemampuan logika
yang cukup bagus. Pernah sekali aku mengamati kondisi
ruangan klub kami yang memprihatinkan. Ruangan yang
berantakan, kanvas-kanvas yang digerogoti, dan sebuah
Isi-Omen3.indd 37 lubang besar di pojok ruangan?semua itu meneriakkan
fakta "ada tikus di sekitar sini". Salah satu anggota klub
mencoba menaruh racun tikus pada keju di depan
lubang itu. Maka aku pun menggambar tikus mati di
daerah itu. Kebetulan, dua hari sesudahnya, memang
benar-benar ada tikus mati di situ. Tempatnya tidak
benar-benar pas dengan tempat tikus mati dalam lukisan?
ku, tapi gosip mengenai "kemampuan meramal"-ku lang?
sung merebak. Apalagi sekitar sebulan sebelumnya aku
pernah menggambar pohon yang patah disambar petir
dan belakangan kejadian itu benar-benar terjadi (tidak
sulit kok, pohon itu sudah lebih tinggi dari pe?nangkal
petir). Ditambah dengan tampangku yang tidak selazim
tampang manusia biasa, gosip itu menjalar secepat kilat
dan menjadikanku sebagai paranormal paling ternama di
sekolah kami. Awalnya aku berusaha membantah, namun tidak ada
yang percaya. Semua menganggapku berusaha menyem?
bunyikan kemampuan ajaibku, seperti Clark Kent dan
Peter Parker menyembunyikan identitas superhero me?
reka. Lama-kelamaan aku belajar memanfaatkan gosip
itu. Aku tidak perlu mengiyakan atau membantahnya,
melainkan hanya memberikan seulas senyum penuh arti,
dan semua langsung mengartikan yang terburuk. Kini
aku tidak hanya menjadi paranormal, melainkan juga
simbol kesialan. Tidak ada yang mau berurusan dengan?
ku. Bagusnya, setiap keinginanku biasanya dituruti. Jelek?
nya, aku jadi tidak punya teman?setidaknya di
lingkungan sekolah ini. Aku tidak punya masalah tak punya teman. Aku luma?
yan senang hidup sendiri. Tentu saja, ada beberapa hal
Isi-Omen3.indd 38 yang tak menyenangkan, tapi dalam hidup kita, tak ada
satu hal pun yang bisa benar-benar sempurna. Selalu saja
ada kekurangannya. Setidaknya, aku tidak perlu mem?
buang-buang waktu untuk berurusan dengan hal-hal atau
orang-orang yang tak kusukai.
"Nggak ada salahnya datang, Rim," saran Valeria. "Se?
telah datang, baru lo putuskan lo cocok atau nggak de?
ngan organisasi itu. Toh cuma acara seleksi."
Aku mengangguk setuju. "Baiklah, akan kucoba. Te?
rima kasih atas sarannya, Bu Mirna, Valeria."
Aku keluar dari perpustakaan, siap melangkah menuju
ruang?an Klub Kesenian...
Tunggu dulu. Kenapa Valeria bisa tahu soal acara selek?
si? *** Bel istirahat berbunyi, dan aku langsung menuju kantin
sekolah. Seperti orang-orang lain, aku juga kelaparan dan
menunggu-nunggu saat rehat. Biarpun sakti mandraguna,
paranormal kan butuh makan juga.
Aku membeli sekotak makanan berisi nasi hainan de?
ngan telur kecap dan ayam rebus, lalu berjalan melewati
meja-meja tengah yang ditempati anak-anak dengan
geng masing-masing, menuju deretan bangku jelek di
be?lakang, yang ditempati oleh anak-anak yang tak
populer dan tak punya geng. Tuh kan, sudah ku?bilang
aku bukan murid populer. Aku sama sekali tidak
mengerti kenapa aku dipilih mengikuti proses seleksi
anggota The Judges. "Rima!" Isi-Omen3.indd 39 Aku menoleh ke meja paling tengah dan paling besar,
yang ditempati oleh Valeria beserta sahabat baiknya,
Erika Guruh. Erika Guruh adalah cewek paling ajaib di
sekolah ini. Tubuhnya tinggi kurus dan berotot, dengan
rambut pendek yang dulunya agak jabrik dan sekarang
sudah lebih panjang (tapi tetap berantakan). Dari jauh,
dia mirip anak cowok yang bandel. Seragamnya pun di?
tulisi macam-macam dengan spidol hitam tebal. Namun
saat kita mendekat, kita akan melihat wajah cewek itu
dirias ala gotik, dengan pensil alis hitam dan tebal,
eyeliner cair berwarna hitam mengelilingi matanya, serta
lipstik berwarna gelap. Dulu dandanannya lebih menor
lagi, tapi belakangan ini, sejak berteman dengan Valeria,
dia tampak lebih normal. Meski penampilannya unik, yang membuat Erika
Guruh terkenal adalah reputasinya yang luar biasa. Dia
me?miliki daya ingat fotografis yang berarti dia bisa meng?
ingat apa pun yang dilihatnya, dan itu membuatnya
nyaris selalu mendapat nilai sempurna di sekolah. Akibat?
nya, dalam soal pelajaran akademis, dia selalu meraih
posisi teratas dan tak tergoyahkan.
Akan tetapi, kecerdasannya yang mendekati genius itu
dibarengi pula dengan kenakalan yang luar biasa. Suka
membolos, sering berantem, hobi memalaki anak-anak
tajir, dan rajin bertengkar dengan guru piket?semua itu
juga tak terkalahkan oleh murid-murid lain. Aku cukup
yakin, kepala sekolah dan para guru sudah lama tergoda
mengeluarkannya dari sekolah. Tetapi, mungkin selama
puluhan tahun ini mereka belum pernah bertemu murid
secerdas Erika. Itulah sebabnya, cewek itu tetap ber?keliaran
di sekolah dengan gayanya yang nakal dan cuek, yang
Isi-Omen3.indd 40 sedikit-banyak mengingatkanku pada G-Dragon-nya Big
Bang. "Ayo, Rim, duduk sama kami."
Setiap kali aku melewati meja itu, Valeria selalu meng?
undangku duduk dengan mereka. Aku tahu, itu bukan
basa-basi belaka, karena meski punya seribu kepribadian,
Valeria anak yang tulus dan baik. Tetapi, aku tidak
pernah menanggapi ajakannya. Habis, Erika Guruh terusmenerus memelototiku. Entah dia tidak suka padaku,
ataukah dia masih saja takjub melihat penampilanku.
Yang jelas, aku tidak nyaman menjadi bahan tontonan
begitu. Jadi, seperti biasa, aku tersenyum pada Valeria
dan berkata, "Thank you, tapi lebih baik aku duduk di
be?lakang sana aja."
Sebelum Valeria mencoba membujukku, aku sudah me?
ninggalkan meja itu. Baru saja beberapa langkah aku
ber?jalan, aku mendengar sebuah suara familier yang ber?
seru riang, "Hai, Val!"
Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara itu.
Daniel Yusman, cowok paling ganteng di angkatan kami.
Rambutnya agak panjang?tidak kelewat panjang sampai


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat menjijikkan, tetapi setidaknya lebih panjang
daripada cowok-cowok lain (dan jelas lebih panjang
daripada rambut Erika) dan berwarna cokelat muda.
Tubuhnya tinggi besar dan berotot, serta punya reputasi
sebagai tukang berantem nomor dua di sekolah kami
(nomor satu?nya, tentu saja Erika Guruh), tapi dia sama
sekali tidak kasar. Sebaliknya, cowok ini memiliki tangan
se?indah malaikat?dan wajahnya pun setampan malaikat.
Daniel juga memiliki sepasang alis tebal dan indah, mata
yang bersinar-sinar ceria, serta bibir yang selalu me?
Isi-Omen3.indd 41 nyunggingkan senyum jail. Orang-orang sering me?nyama?
kannya dengan Rain, dan aku tidak menyalahkan me?
reka. Memang Daniel agak-agak mirip Rain, hanya saja
kulitnya jauh lebih gelap.
Tidak banyak orang yang tahu hal ini, tapi Daniel
naksir berat pada Valeria. Biasanya cowok itu memang
sering ngumpul bareng Erika, tapi kini setiap kali men?
dekati meja tengah itu, yang dia panggil hanyalah
Valeria. Dalam berbagai kesempatan, aku juga tahu dia
sering menelepon Valeria malam-malam, ngobrol dengan?
nya, dan memainkan piano untuknya. Singkat kata, ro?
mantis banget. Dan jantungku langsung dihunjam rasa cemburu yang
amat sangat. Ah, sudahlah. Memangnya siapa aku, berharap diper?
hatikan cowok sehebat Daniel Yusman? Cowok itu ke?lewat
hebat untukku, dan tak mungkin dia tertarik pada para?
normal bermuka seram sepertiku. Dia memang cocok
untuk cewek cantik dan anggun seperti Valeria, dan lebih
baik dia bersama Valeria daripada dengan penggemarpenggemarnya yang lain, cewek-cewek centil tak berotak
yang kerjanya hanya mengejar-ngejar cowok. Tapi, pe?
nerimaan itu tidak berarti aku bisa mengendalikan pe?
rasaanku. Rasa sakit tetap mengimpit dadaku saat aku
berjalan meninggalkan meja itu.
Aku duduk sendirian di tempat dudukku yang biasa,
yaitu di pojokan meja panjang. Kusadari pengguna meja
lain tidak berani dekat-dekat denganku, tapi aku ber?
usaha tidak memedulikan mereka. Untungnya, rambut
pan?jang?ku menghalangi sebagian pandanganku, mem?
buat?ku tidak terlalu terganggu dengan ulah mereka.
Isi-Omen3.indd 42 Tatapanku terarah lurus ke depan, ke meja tengah
tempat dua cowok lain ikut bergabung. Amir, si cowok
paling gendut di sekolah kami (sebenarnya dia tidak ter?
lalu gendut, tapi karena dia juga tinggi, ukurannya jadi
XXXL banget), dan Welly, si kloningan tiang listrik.
Keduanya teman akrab Daniel sekaligus teman berantem?
nya, dan ketiganya bisa dibilang bawahan Erika Guruh,
si bos preman. Sepertinya Daniel menceritakan sesuatu
yang lucu pada Amir dan Welly sementara kedua cowok
yang baru nongol itu tertawa mendengar lelucon Daniel,
sedangkan Erika dan Valeria cengar-cengir men?dengarkan
pembicaraan lucu itu. Mereka kelihatan se?bagai geng
yang humoris, periang, dan menyenangkan.
Sementara aku duduk di pojokan gelap seorang diri.
Mendadak saja, aku merasa teramat sangat kesepian.
Isi-Omen3.indd 43 Erika Guruh, X-E ORANG-ORANG yang melihat kami sekilas mungkin me?
ngira kami sedang bercanda dengan akrab dan riang
gembira, tapi kenyataan tidak seindah bayangan m?e?
reka. Lebih tepatnya lagi, kenyataan sama sekali tidak indah.
Pertama-tama, aku masih bermuram durja akibat per?
tengkaranku dengan si Ojek pagi tadi. Mau diakui atau
tidak, keberadaan cowok itu memang berpengaruh besar
banget padaku. Membayangkan cowok itu tidak bakalan
nongol-nongol lagi untuk sementara waktu membuat
hidupku terasa sepi bagaikan kuburan, sementara orangorang lain yang berisik di sekitarku adalah zombi-zombi
keparat yang berusaha mengacaukan suasana.
Jadi sebenarnya aku rada terusik saat Daniel memulai
pertengkaran dengan dua cowok yang biasanya menjadi
konco seperjuangannya. "Eh, dua orang jelek mendingan minggir jauh-jauh
deh!" "Dasar bajingan!" cela konco A alias Welly, si ceking se?
putih tengkorak dengan gigi menyeringai bak teng?korak
Isi-Omen3.indd 44 pula. "Emangnya lo sendiri secakep apa? Mata nyaris nggak
ada, rambut nggak pernah dipotong, seragam udah paspasan..."
"Bener, bener." Konco B, si Amir yang bertubuh rak?
sasa?pokoknya kebalikan banget dari Welly?meng?angguk
menyetujui dengan muka welas asih. Saat me?masang
tampang seperti ini, dia sama sekali tidak ke?lihat?an seperti
tukang pukul kelas wahid yang merupakan pro?fesinya
sehari-hari. "Sekali-sekali lo potong rambut dong, Niel! Lo
merusak citra kita di depan murid-murid lain nih! Bisa-bisa
bentar lagi ada yang ngumpulin sumbangan buat lo,
ngirain lo nggak sanggup bayar tukang cukur!"
"Mau dihina seperti apa pun, sekali ganteng tetep gan?
teng, jadi gue nggak akan tersinggung," kata Daniel
pongah. "Tapi yang jelek tolong ngacir sejauh-jauhnya
dari sini! Merusak pemandangan, tau!"
"Punya temen kayak gini, lama-lama ngabisin kesabar?
an gue deh!" kata Welly seraya menyingsingkan kedua
lengan bajunya, memamerkan lengan atas yang rada
berotot tapi tetap sekurus tongkat. "Ayo, Mir, bantu gue
nge?lempar si brengsek ini ke tempat pembakaran
sampah! Nggak kuat gue kalo seorang diri ngangkatnya!
Soalnya otot gue ter?batas!"
"Tenang aja, gue nggak akan biarin lo memikul beban
ini seorang diri!" "Tunggu, tunggu!" Daniel mulai tampak panik saat ke?
dua teman dekatnya itu mulai menyeretnya. "Gue serius
nih, Wel, Mir! Gue lagi ada pembicaraan serius sama
cewek-cewek ini!" "Emangnya pembicaraan apa yang nggak boleh kami
denger?" bentak Welly.
Isi-Omen3.indd 45 "Mmm, masalah pribadi cewek-cewek ini...."
"Oh, kalo itu lebih baik kita jangan denger," kata Amir
cepat. Sebelum Welly sempat memprotes, dia menyergah,
"Serius, Wel, nggak ada gunanya kita ngurusin cewekcewek badung ini!"
Aku sudah biasa mendapat predikat cewek badung,
tapi baru kali ini aku mendengar Valeria disebut begitu.
"Apalagi yang bapaknya galak kayak bapaknya si
Valeria!" timpal Daniel dengan gaya diseram-seramkan.
Welly berpikir sejenak, lalu bangkit sambil menggamit
Amir. "Yuk, kita cari makan di tempat lain!"
"Halah!" Aku mendecak melihat kepergian Amir dan
Welly yang agak terlalu tergesa-gesa saat bapak Val yang
galak disinggung-singgung. "Orang-orang kayak gini
nanti nggak akan bertahan lama di bawah tekanan
mertua! Loyo bener, diancam pake bapaknya Val aja lari
tunggang-langgang. Hahaha. Tapi, emangnya ngapain
lo ngusir-ngusir mereka sih, Niel?"
"Tentu aja soal ini!"
Daniel menarik ujung undangan berwarna hitam itu
dari dalam bajunya. Buset, ternyata undangan yang di?
agung-agungkannya itu disembunyikannya di balik
baju! Aku melirik Val dan diam-diam terperanjat. Biarpun
cewek itu tampak kalem seperti biasa, matanya yang belo
itu semakin melebar, membuatnya tampak makin cantik.
Val sangat pandai berakting, kita tidak akan tahu
karakter sebenarnya yang begitu dingin, tegas, dan berani
kalau melihat penampilannya sehari-hari sebagai cewek
kuper dan pemalu (meski cewek itu tidak bisa se?penuh?
nya menutupi keanggunannya yang sudah men?darah46
Isi-Omen3.indd 46 daging itu). Tetapi, aku sudah cukup lama ber?teman de?
ngannya dan aku hafal beberapa reaksi kecil yang
me?nampakkan perasaannya yang sesungguhnya. Salah
satu?nya adalah, matanya selalu melebar sedikit setiap
kali dia kaget. Dan satu-satunya alasan yang terpikir olehku kenapa
Valeria bisa kaget adalah dia sendiri juga menerima
undangan itu. Tapi seperti biasa, cewek penuh rahasia itu tidak me?
ngata?kan apa-apa soal itu, melainkan hanya bertanya
de?ngan wajah polos yang selalu bisa menipu setiap
orang (kecuali aku si bocah genius), "Apa itu, Niel?"
Daniel yang blo?on langsung masuk ke dalam jebakan
si cewek lugu. "Ini undangan untuk menjadi anggota
organisasi paling rahasia di sekolah ini, The Judges.
Organisasi ini adalah organisasi paling berkuasa di
sekolah ini..." Dengan bosan dan suntuk aku mendengarkan Daniel
mengulangi penjelasannya yang panjang-lebar soal
organisasi sial itu, sementara Val mendengarkan tanpa
berkedip. Padahal, kalau mengingat kemampuan cewek
itu dalam bidang mengumpulkan informasi, kuduga dia
malah tahu lebih banyak soal organisasi ini ketimbang
Daniel si bocah sok tahu. Tanpa sadar pikiranku kembali
pada si Ojek, tatapan tajamnya yang mengikutiku saat
aku berjalan menuju sekolah, dan kekosongan yang ku?
rasakan saat aku berbalik dan melihatnya sudah pergi.
"...gosipnya, semua murid kelas sepuluh paling populer
dan bermasa depan cerah di sekolah ini mendapat
undangan ini." Suara Daniel lamat-lamat terdengar.
"Misal?nya Hadi?yang berhasil masuk sekolah ini dengan
Isi-Omen3.indd 47 beasiswa lantaran kemampuan sepak bolanya itu,
Ricardo?si jangkung yang jadi MVP baru di Klub Basket,
Helen?si bintang baru dari regu Paduan Suara. Yang
baru gue tau cuma segitu. Oh iya, Erika juga dapet."
Dasar mulut ember. Val langsung berpaling padaku. "Lo juga dapet?"
Aku mengangkat bahu dengan cuek. "No biggie. Kan
bukannya gue yang minta, gitu lho."
"Jadi kalian diundang untuk apa?" tanya Val, lagi-lagi
dengan wajah yang kelewat polos. "Pesta ramah-tamah
gitu?" "Tentu aja bukan!" Daniel terkekeh geli mendengar
per?tanyaan Val. Dasar cowok goblok. "Katanya, kita
akan diuji dengan berbagai macam tantangan untuk
mem?buktikan apakah kita pantas menjadi anggota The
Judges. Dalam uji seleksi itu semua akan pake topeng,
supaya nggak ada yang bisa saling mengenali. Jadi,
orang-orang yang nggak lolos seleksi nggak akan tau
siapa yang ikut ujian seleksi bareng ataupun penyeleng?
gara seleksi itu." Val masih saja mendengarkan dengan tekun. "Jadi, ada
berapa orang yang masuk seleksi?"
"Kabarnya, dari setiap angkatan mereka akan punya
enam anggota. Berhubung hanya anak-anak kelas sebelas
dan dua belas yang bisa jadi anggota, keseluruhan organi?
sasi itu hanya terdiri atas dua belas anggota?dua belas
anggota yang benar-benar berkemampuan. Saat ini,
setelah anak-anak tahun lalu lulus, hanya tersisa enam
orang di organisasi, dan merekalah yang akan menguji
kita." "Emangnya apa sih yang mereka uji?" celetukku sinis.
Isi-Omen3.indd 48 "Nama perusahaan bapak kita? Berapa banyak duit yang
bisa diporotin dari kita? Apa gelar kebangsawanan nenek
moyang kita yang kira-kira bisa kita warisi, gitu?"
"Sebenarnya," sahut Daniel sambil tersenyum-senyum
sok misterius, "yang diuji adalah keberanian kita."
Oke, ternyata ujiannya menarik juga. "Apa gunanya
itu untuk organisasi?"
"Katanya sih, yang bisa jadi leader cuma orang-orang
yang berani, baik dalam soal menghadapi bahaya mau?
pun mengambil risiko, serta berkemampuan mengambil
keputusan dan bertindak di bawah tekanan."
Wah, semua itu kan kelebihanku!
"Kedengerannya seru," ucap Valeria tulus. "Good luck
ya, Niel, Ka! Terlepas dari mau-nggaknya kalian jadi
anggota organisasi misterius itu, gue harap kalian bisa
lulus." *** Selesai melepaskan diri dari Daniel, kami berdua segera
ngacir ke toilet dengan gaya normal anak-anak yang
sedang kebelet. Sialnya, tidak semua orang bisa bersikap
pengertian terhadap kebutuhan yang sangat mendesak
ini. "Errrika! Valerrria! Kenapa kalian lagi-lagi pergi ke
toilet?" Arghhh! Aku berbalik dan berkacak pinggang. "Ishhh, ini orang,
nggak sopan banget sih cegat-cegat cewek yang lagi ke?
pingin pipis!" Oknum yang berani-beraninya menghentikan kami itu
Isi-Omen3.indd 49 adalah Rufus?maksudku Pak Rufus?guru piket bertubuh
tinggi dan berambut kribo, guru paling rese di seluruh
sekolah ini, sekaligus guru yang paling asyik diajak ber?
tengkar. "Jangan bohong kamu, Errrika!"
Oke, aku tahu si Rufus berhak menggunakan logat
Ambon yang merupakan logat kampung halamannya,
tapi dia sebenarnya bisa berbicara tanpa logat kok. Dia
memang sengaja menyebut namaku dan Val dengan
logat sekental-kentalnya hanya untuk membuat kami
bete. Menyebalkan banget, kan?
"Saya tahu kamu sering pergi ke toilet hanya untuk
bisik-bisik dengan Valerrria. Apa dosamu kali ini, Nak?"
Dasar guru sok tahu. "Siapa bilang saya bikin dosa?"


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau bukan bikin dosa, pasti akan bikin dosa. Ayo,
cepat ngaku sama saya!"
"Bapak!" teriakku emosi bercampur putus asa. "Orang
nggak bersalah kok dipaksa ngaku? Emangnya Bapak ini
diktator dari mana? Kalo saya nggak mau ngaku, terus
Bapak mau apa? Siksa saya?"
"Eh, tenang, Errrika!"
Sial, sekarang guru ini bersikap seolah-olah aku yang
nyolot, padahal kan dia yang memulai semua ini.
"Kamu ini terlalu banyak nonton film. Saya kan cuma
tanya. Soalnya hari ini ada kejadian menarik."
Wah, jangan-jangan guru ini lebih sakti daripada yang
kuduga. "Kejadian menarik apa, Pak?"
"Ada pergantian susunan organisasi..." Si Rufus me?nge?
rut?kan alisnya yang selebat ulat bulu raksasa. "Kalian
benar-benar tidak tahu soal ini?"
Isi-Omen3.indd 50 "Nope," sahutku pede sementara Val menggeleng de?
ngan muka polosnya yang sudah sering menipu banyak
orang. "Kalau kalian dengar-dengar soal ini, kalian akan kasih
tahu saya?" "Akan kami usahakan, Pak, soalnya kita kan hopeng,"
sahutku sambil menepuk-nepuk bahu si Rufus dengan
sok akrab. "Nah, sekarang kami boleh ke toilet? Udah
nyaris ngompol nih, Pak!"
"Ya ampun, jadi kalian benar-benar kebelet? Saya jadi
tidak enak hati. Sudah sana, kalian bereskan urusan kali?
an." Yes! Kami menyerbu masuk ke toilet cewek di bela?kang
sekolah yang, seperti biasa, kosong melompong ka?rena
letaknya yang jauh dari segala tempat. Val me?nutup
pintu?tanpa menguncinya, tentu saja, karena itu akan
membangkitkan kecurigaan orang yang berniat masuk?
sementara aku memeriksa bilik-bilik toilet. Aman.
Tanpa tedeng aling-aling aku segera melontarkan per?
tanyaan yang sedari tadi sudah di ujung lidah, "Jadi, lo
dapet juga undangannya?"
"Iya." Val meringis seraya bersandar pada pintu.
"Aneh, ya?" Sudah kuduga. "Apa anehnya? Organisasi segede itu
pasti tau lo putri keluarga Guntur. Belum lagi, mereka
pasti punya akses ke kepala sekolah, dan tentunya Rita
si sarang tawon bermulut ember udah ngasih tau bahwa
teman Isi-Omen3.indd 51 lo salah satu jagoan yang berhasil memecahkan teka-teki
Tujuh Lukisan Horor."
Rita yang kusebut-sebut dengan tidak hormat adalah
kepala sekolah kami yang dingin, sinis, dan sangat
dipuja oleh Rufus, si guru kribo yang ceria. Sebenarnya,
sulit bagiku membayangkan Rita melakukan hal-hal yang
tak terpuji. Tapi dari semua yang kudengar tentang
organisasi gelap ini, sepertinya mereka sanggup membuka
mulut si Rita meski mulut tersebut sudah digembok,
dirantai, dan dibuang ke laut (bukan berarti aku pernah
membayangkan ingin membuang kepala sekolah kami
yang tercinta ke dalam laut. Sebaliknya, kalau terhadap
si Rufus sih, aku sudah sering membayangkannya).
Sedangkan soal Tujuh Lukisan Horor yang kusebutkan
tadi, itu adalah teka-teki yang harus kupecahkan bersama
Val beberapa waktu lalu. Kejadian itu melibatkan lukisanlukisan mengerikan karya Rima, ketua Klub Kesenian
yang punya tampang superhoror bak Sadako-nya The
Ring. Sumpah mati, sampai detik ini jantungku masih
me?loncat-loncat tak keruan setiap kali cewek yang muka?
nya tertutup rambut itu nongol mendadak. Seperti tadi
waktu makan siang, aku lagi enak-enak ngobrol dengan
Val, tahu-tahu saja dia muncul dari belakangku! Kalau
bukan karena aku bermental baja, aku sudah menjerit
sejadi-jadinya sambil ngumpet di bawah rok Val. Hingga
saat ini, aku tidak pernah mengerti kenapa Val berani
tinggal berdua saja dengan Rima. Apa dia tidak takut
malam-malam disatroni hantu tanpa wajah?
"Mungkin juga," sahut Val dengan tampang tidak yakin,
seolah-olah semua kelebihannya yang baru saja kubeberkan
itu tidak cukup keren. "Lo mau datang ntar malem?"
Isi-Omen3.indd 52 Lagi-lagi aku mengangkat bahu. "Kayaknya lumayan
fun." "Jadi kita akan datang?" Val tersenyum lebar. "Kita
ajak Rima juga, ya?"
"Ngapain kita ngajak-ngajak hantu, malem-malem
pula." Mendadak sebuah fakta mengerikan terkuak di
hadap?anku. "Maksud lo, dia juga diundang?"
"Wajar, kan?" Val mengangkat alis dengan wajah geli.
"Dia kan ketua Klub Kesenian yang berbakat banget.
Inget nggak, bahkan Bu Rita mengadakan pa?mer?an lukis?
an nyaris khusus untuk dia, kan?"
"Dan tentu saja organisasi itu nggak akan ngelewatin
kesempatan untuk nyabet peramal setaraf Oracle dalam
film The Matrix," gerutuku, teringat kali pertama aku
men?datangi rumah kontrakan Val yang sebenarnya ada?
lah milik Rima. Bayangkan saja, tahu-tahu Rima raib dari
depan kami, lalu nongol di belakangku, dan berkata
dengan suara berbisik yang membuat rohku nyaris ter?
bang, "Aku punya rahasia kecil. Aku memang bisa me?
lihat masa depan lho!" Coba, manusia normal mana
yang berani-beraninya mengagetkanku seperti itu? Apa
dia tidak takut aku menghadiahinya satu-dua jotos?an?
(Untungnya aku tidak melakukannya lantar?an aku shock
banget dikagetin seperti itu.)
"Yah, itu emang daya tarik Rima yang kuat," kata Val
sambil nyengir. "Nggak keberatan kan, kita berangkat
bareng Rima?" "Naik becak?" "Kita bertiga kan kurus-kurus." Val melancarkan siasat
muka polosnya yang berbahaya. "Pasti muat deh. Kalo
Isi-Omen3.indd 53 emang harus pangku-pangkuan, biar gue yang mangku
si Rima." "Bukan masalah itu!" sahutku cemberut. "Lo kagak
kasian sama si Chuck? Dia kan pengecut banget, Val. Bisabisa dia mati ketakutan lantaran dapet penumpang kayak
gitu." "Jangan khawatirin dia." Mendadak terdengar bisikan
dari belakang punggungku. "Aku akan datang sendiri
aja." Matilah aku. Cewek itu nongol dari jendela ventilasi
di atas pintu toilet! Aku sama sekali bukan pengecut,
tapi untuk alasan yang tidak jelas, saat ini seluruh bulu
tubuhku rasanya rontok semuanya. Rasanya benar-benar
mengerikan. Aku menoleh kaku pada Val, berharap menemukan Val
yang juga sama shocknya denganku. Namun sobatku itu
tampak kalem. Dan air mukanya itu, astaga, apa dia
kecewa karena tidak bisa berangkat bareng Rima?
"Jad, masalah pertama udah beres," ucap Val ringan.
"Masalah kedua, topeng apa yang kira-kira cocok buat
acara nanti malam?" *** Sesorean itu kami habiskan dengan mencari topeng di
Pasar Kamboja. Pasar-pasar di daerah kami (yang juga
di?sebut pasar modern lantaran pasar-pasar itu sudah
berbentuk bangunan modern, bukannya tenda-tenda ala
kadarnya seperti pasar tradisional biasa) memang dinamai
sesuai nama-nama bunga. Pasar Mawar, Pasar Melati,
Pasar Flamboyan, Pasar Anggrek, Pasar Tulip. Yang paling
Isi-Omen3.indd 54 enak untuk jalan-jalan adalah Pasar Kamboja yang juga
memiliki toko-toko yang tak lazim dijumpai di pasar,
seperti toko buku bekas, toko pakaian bekas, toko
kostum-kostum aneh, dan masih banyak lagi.
Tentu saja, yang kami datangi adalah toko kostum.
Seperti toko-toko kostum lazimnya di negara kita, yang
dijual (atau disewakan) adalah kostum-kostum normal
pakaian adat daerah dan negara asing (jadi jangan harap
kita bisa mendapatkan pakaian ala Jack Sparrow di sini).
Kami mengulik-ngulik toko itu, mencoba mencari apa
pun yang bisa dijadikan topeng. Sialnya, satu-satunya
benda yang bisa kami gunakan sebagai topeng hanyalah
topeng-topeng wayang yang berbau cat lama.
Val, yang memang punya selera seni yang tak selazim?
manusia normal, tampak mengagumi keindahan topengtopeng itu, tapi bagiku topeng-topeng itu tak kalah
seram dengan muka Rima (kalau dipikir-pikir, Val juga
me?ngagumi lukisan-lukisan seram Rima). Dengan ceria
Val menyodor?kan topeng wayang bermata belo dan ber?
bibir monyong padaku, sementara dia mengenakan
topeng yang matanya sipit dan bibirnya selebar Angelina
Jolie. "Kita beli dua topeng ini aja, ya!" katanya antu?sias.
"Oke," sahutku, tanpa semangat lantaran masih me?
mikir?kan si Ojek meski aku sudah berusaha keras me?
nyingkirkannya dari pikiranku. Sial, cowok itu benarbenar muka badak, masih saja bercokol dengan kuat
dalam ingatanku! "Mungkin kita bisa nakut-nakutin
Daniel dan bikin dia pingsan sebelum acara seleksinya
dimulai. Jadi saingan kita berkurang satu."
"Jangan," cegah Val. "Kita takut-takutin yang lain aja.
Isi-Omen3.indd 55 Justru kita harus menjaga temen-temen kita supaya tetep
survive sampe terakhir."
"Maksud lo?" Aku mulai tertarik. Perlahan, wajah si
Ojek mulai memudar. "Lo mau kita menguasai organisasi
itu?" "Seru, kan?" Val menyeringai. "Kalo lo, gue, Daniel,
dan Rima jadi anggota tetap organisasi itu, tahun depan
organisasi itu bakalan jadi milik kita!"
Astaga, temanku yang bertampang kalem dan lembut ini
ternyata punya otak seorang penjahat culas kawak?an!
"Oke!" Kini aku yang menyeringai. "Ayo, kita bantai
anak-anak malang itu!"
Tak kuduga, kata-kata isengku akhirnya menjelma
menjadi kenyataan. Tapi tentu saja, pada saat itu kami
tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi. Pokoknya,
kami berdua jadi bersemangat mengikuti acara itu. Pu?
lang dari Pasar Kamboja, aku ikut Val kembali ke rumah
kontrakannya. Berapa kali pun aku melihat rumah itu, aku tetap
merasa takjub. Dari luar, rumah itu mirip gudang yang
terbengkalai, dikelilingi tanaman liar yang nyaris me?
nyerupai hutan dan menelan rumah itu sampai-sampai
sulit ditemukan. Jalanan menuju rumah itu pun rada
rusak, sehingga tidak ada kendaraan yang berani mati
melintasi daerah sepi dan jelek itu. Untuk naik angkutan
umum menuju sekolah, Val harus berjalan sekitar satu
kilometer. Bagian luar rumah itu sudah cukup mengesankan,
tetapi bagian dalamnya benar-benar tak terduga. Pada
saat melihat bentuk luarnya yang mirip gudang raksasa,
kita mungkin akan mengira bagian dalam rumah itu
Isi-Omen3.indd 56 kira-kira mirip ruangan studio yang luas dan lebar. Per?
kiraan itu ternyata salah total. Bagian dalam ru?mah itu
ter?diri atas banyak labirin yang kecil dan gelap, ter?
kadang mengarah naik dengan ketinggian yang tidak
ter?lalu berasa, dan terkadang menurun tanpa kita sadari.
Setelah beberapa kali berkeliaran, aku baru me?nyadari
bahwa labirin-labirin panjang dan tak berujung itu
sebenarnya membentuk putaran-putaran tak beraturan
yang terdiri atas lima tingkat!
Tapi itu bukanlah hal yang paling luar biasa, melain?
kan kenyataan bahwa dinding labirin itu dipenuhi
serangkaian panjang lukisan mengerikan yang sambungmenyambung dengan tidak beraturan, sesekali dihiasi
dengan cat-cat yang berpendar dalam kegelapan. Sekilas,
lukisan-lukisan itu tampak seperti sapuan ganas dari kuas
seorang pelukis yang tengah kesurupan. Benar-benar tak
ada artinya. Tapi kalau kita memandanginya de?ngan cara
tertentu?triknya adalah menganggap lukis?an itu mirip
lukisan 3D, meski lukisan yang ada tidak akan "timbul"
seperti gambar-gambar tiga dimensi pada umumnya?kita
bisa melihat potongan-potongan adegan seram ter?
kandung dalam coret-coretan itu: ABG-ABG se?usiaku
yang sedang melarikan diri dari kejaran monster tak
berwujud, orang-orang yang siap membunuh semen?tara
korban mereka berada dalam kondisi tak berdaya, bercakbercak darah, dan potongan-potongan badan di manamana.
Serius, lukisan-lukisan ini seharusnya dipasangi papan
peringatan: "Tidak cocok untuk segala umur" dan ada
tulisan merah-merah: "Awas, berbahaya untuk penderita
penyakit jantung dan wanita hamil!"
Isi-Omen3.indd 57 ain Lukisan-lukisan ini hanya dibuat oleh sang empunya
rumah, alias Rima Hujan, si ketua Klub Kesenian. Seperti
pelukis-pelukis genius pada umumnya, aliran yang di?
anutnya bukanlah aliran realisme yang berdasarkan ade?
gan kehidupan sehari-hari atau naturalisme yang me?
nekan?kan setting alam?contoh-contoh aliran seni yang
lebih gampang dinikmati oleh orang awam seperti?ku.
Sebaliknya, Rima menggunakan aliran surealisme yang
kalau dilihat sekilas mirip coret-coretan jelek tak jelas
beraura suram, tapi kalau dipelototi dengan mata nanar,
kita akan melihat gambar sebenarnya yang ter?nyata
horor banget. Yang lebih hebat lagi, adegan-adegan seram dalam
lukis?an itu sering menjelma menjadi kenyataan. Tidak
tahu apakah ini ada kaitannya dengan "kemampuan"
Rima yang terkenal ataukah hanya kebetulan belaka.
"Kok lukisan-lukisan itu bisa glow in the dark gitu?"
tanyaku pada saat pertama kali melihatnya, sama sekali
tidak sanggup untuk tidak terpesona.
"Aku tambahin fosfor dalam catnya," sahut Rima de?


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan suaranya yang rendah dan tidak kalah seram de?
ngan mukanya. Aku ingat, saat itu Val menatap lukisan-lukisan itu de?
ngan kagum. Sahabatku ini memang penggemar seni,
tapi aku tidak bisa membayangkan ada nilai estetika da?
lam lukisan-lukisan Rima. "Emangnya apa sih yang meng?
inspirasi lo bikin lukisan-lukisan kayak gini?"
"Mimpi," sahut Rima lagi dengan tenang, "dan peng?
lihat?an." Astaga. Seram banget sih cewek ini!
Saat pertama kali kami berjalan-jalan di situ, Rima
Isi-Omen3.indd 58 selalu menuntun kami?dan hal itu jelas-jelas sangat di?
perlukan. Tiba-tiba saja dia bisa menyuruh kami me?
loncat, merayap melalui tepian dinding, membelok ke
salah satu jalan dari perempatan gelap yang tampaknya
sama, atau bahkan mendorong salah satu lukisan yang
mem?bukakan sebuah pintu ke arah koridor lain.
Rasanya seperti bermain di maze atau labirin me?nyesat?
kan. Aku juga ingat waktu itu Rima menerangkan pada
kami. "Setiap penyusup yang berani masuk ke sini ter?
paksa harus menghadapi lukisan-lukisan itu selama
waktu yang sangat lama, dan aku jamin, yang mentalnya
lemah nggak akan bisa melepaskan diri dari lukisanlukisan itu selamanya."
Dalam remang-remang cahaya, aku melihat senyum
Rima tampak dingin dan keji. Holy crap! Sumpah, aku
tidak bakalan mau bikin masalah dengan cewek yang
satu ini. Waktu itu, aku sempat memperhatikan bahwa jalanan
yang kami lalui rada menurun.
"Apa kita sedang turun ke basement?" tanya Valeria
yang ternyata juga menyadari hal itu.
"Benar," angguk Rima. "Ada beberapa pilihan jalan
setiap beberapa saat. Pilihan jalan yang salah akan mem?
bawa kalian naik, sedangkan pilihan jalan yang benar
akan membawa kalian turun."
"Kok gitu?" protesku. "Harusnya mereka yang me?nyu?
sup dikurung di ruang bawah tanah dong!"
"Untuk apa?" Rima mengangkat bahu. "Lebih baik me?
reka dibawa ke atas dan tahu-tahu ada lubang di lantai
dan mereka jatuh ke luar sana." Melihat tatapan kami
Isi-Omen3.indd 59 yang horor banget, Rima tertawa kecil. "Tenang aja, m?e?
reka nggak akan mati. Banyak pepohonan yang bisa me?
nahan mereka kok. Yang jelas, mereka bakalan kapok
untuk kembali ke sini lagi, dan itu yang terpenting."
"Mungkin mereka akan kembali lagi sambil bawa
buldoser untuk ngerobohin gudang ini," candaku.
"Nggak mungkin," sahut Rima serius banget. Cewek
ini benar-benar tidak bisa diajak bercanda. "Dinding luar
gudang ini terbuat dari beton. Butuh sepasukan buldoser
berkekuatan tinggi untuk menghancurkan seluruh
gudang ini, dan itu nggak mungkin bisa dilakukan tanpa
me?narik perhatian. Intinya, kita aman dari para pe?
nyusup, perampok, atau pembunuh. Hati-hati dengan
langkah kalian!" Tiba-tiba Rima memperingatkan. "Ada
jebakan paku di lantai."
Oke, cewek ini mungkin adalah cewek paling paranoid
yang pernah kutemui. Perasaanku sempat tidak enak, membayangkan sahabat?
ku harus tinggal di rumah superaneh seperti ini. Valeria
Guntur adalah cewek yang sejak kecil terbiasa tinggal di
rumah laksana istana, dengan pemandangan ke arah
pekarangan yang tak kalah keren dengan Taman Bunga
Nusantara, tidur di kasur lateks terbaik dengan seprai
sutra dan bed cover tebal, dilengkapi dengan AC, kulkas,
dan makanan superenak dari surga. Mana mung?kin dia
bisa betah tinggal di tempat gelap dan suram seperti ini?
Dan siapa yang tahu kamar seperti apa yang dia dapat.
Mungkin kamar yang gelap dengan jendela teralis mirip
penjara, dengan dinding dipenuhi gambar-gambar ala
Rima yang bikin mimpi buruk setiap malam, sementara
kecoak dan tikus menjadi tetangga?nya.
Isi-Omen3.indd 60 Ternyata kamarnya laksana kamar putri bangsawan!
Kasur lateksnya berbentuk bulat dengan kanopi di
atasnya dan lampu baca yang menempel di salah satu
tiang kanopi, meja rias antik dari kayu mahogani yang
kokoh de?ngan sofa kecil untuk duduk, sederet rak kayu
mahogani antik untuk buku-buku, dan lampu modern
yang bisa diatur tingkat keredupannya sesuai keinginan
kita. Kamar itu bahkan dilengkapi dengan AC, kulkas,
dan televisi LCD raksasa. Yang bikin Val hepi banget, dia
men?dapatkan sebuah ruangan kecil sebagai ruang pakai?
an yang juga bisa menampung koleksi-koleksinya yang
aneh. Bagi Val, kamar ini tidak kalah asyik dibanding
kamar di rumahnya sendiri.
Aku sendiri juga enjoy bersantai di kamar ini. Bisa ku?
bayangkan, hidup bersama Val di sini akan sangat me?
nyenangkan (selama kita tidak nyasar dan mati di
tengah-tengah labirin akibat jebakan yang dipasang
Rima). Sayang, uang sewanya cukup tinggi, sementara
aku cewek superbokek yang sering meminta-minta uang
pada orang-orang yang berkelebihan?kalau istilah orangorang itu, aku sering memalaki mereka. Yah, apa pun
istilah yang digunakan, intinya aku tak punya duit lebih
untuk mengontrak rumah, apalagi yang seram dan tidak
sesuai selera begini. Untungnya, berhubung rumah ini begini luas, kami
tidak perlu sering-sering bertemu Rima. Sekali lagi,
bukannya aku anti-Rima. Menurutku, dia lumayan baik,
bahkan dia termasuk salah satu dari sedikit orang yang
kuanggap teman. Kalian pasti sudah tahu, aku ti?dak hobi
berteman. Buatku, pertemanan cuma meng?habiskan
waktu, tenaga, dan biaya. Aku sama sekali tidak suka
Isi-Omen3.indd 61 diajak ngobrol di kafe, cekikikan menggosipi cowok Anu
dan Ono, seraya menyesap cappuccino seharga seratus
ribu (eh, apa harga cappuccino di kafe semahal itu? Yah,
mana aku tahu. Aku kan belum pernah ke sana!). Belum
lagi drama-drama seperti: "Lo seharusnya ngebela gue
waktu gue jambak cewek sialan itu!", atau: "Kok kita
nggak kompakan pake celana dalam Cars?" (bukan
berarti aku punya celana dalam Cars lho!). Jadi lebih
enak menyendiri saja. Tapi nasib berkata lain. Tahu-tahu saja aku punya
teman baik, yaitu Valeria Guntur, si cewek paling aneh
yang pernah kukenal. Selain itu, masih ada Daniel,
Welly, dan Amir yang terlibat dalam pertemanan tidak
jelas denganku. Dan tentu saja Rima. Masalahnya, berteman dengan Rima berarti kita harus
punya jantung yang kuat, lantaran cewek ini punya hobi
mengagetkan kita (seperti nongol di jendela ventilasi
tadi). Belum lagi ucapannya yang kadang-kadang mem?
buat kita berasumsi yang aneh-aneh. Keberadaan Rima
selalu mengobrak-abrik akal sehat dan logika kita, mem?
buat kita jadi mempertanyakan keberadaan hantu dan
se?bagainya. Dan jujur saja, aku tidak terlalu menyukai
kemungkinan adanya makhluk-makhluk spiritual yang
tak bisa kutonjok atau kutendang.
Yang membuatku lega, hingga saat kami keluar dari
rumah pada jam delapan malam, kami tidak bertemu
Rima sama sekali. Aku dan Val berjalan keluar dari
daerah sepi dan terbengkalai itu, menuju jalan raya tem?
pat Chuck?tukang becak langgananku yang tak segan
mengantar kami ke mana saja dua puluh empat jam
Isi-Omen3.indd 62 sehari?menunggu. Ya, seperti manusia-manusia normal
lain, Chuck tidak bersedia memasuki daerah angker itu
untuk menjemput kami, tak peduli seberapa pun loyal?
nya dia. Bukan padaku, tentu saja, tapi pada duit. Chuck
memang matre berat. "Non!" serunya padaku dengan suara ceria seakan-akan
luar biasa senang melihatku. Aku yakin, dalam pandang?
an matanya, aku kelihatan seperti duit. "Maaf beribu
maaf soal tadi pagi. Saya nggak bisa nganterin Non ke
sekolah lantaran ada keperluan mendesak..."
"Si Ojek udah cerita, dia nyogok lo pake gobanan,"
selaku datar. Wajah si Ojek yang sempat memudar dalam ingatanku
kini terbayang lagi, bagaimana dia mengemudikan
mobilnya di sampingku, berusaha mengimbangi kecepat?
an jalanku yang agak terlalu lambat untuk diimbangi
mobil. "Saya betul-betul nggak kepingin menerimanya, Non!"
teriak Chuck seraya membela diri. "Tapi saya tergoda!
Duit gobanannya masih baru, Non, kayak habis disetrika?!
Masa Non nggak tergoda sih ngeliat yang be?gitu?an?"
Sial, harus kuakui duit gobanan baru memang meng?
giurkan. "Ya udah, lo nggak usah jejeritan lagi kayak
sapi diketekin! Sekarang gue lagi nggak minat ngomelin
lo. Gue cuma kepingin ke sekolah secepatnya."
"Siap, Non! Meski ke neraka sekalipun, saya akan tetap
nganterin Non!" "Jangan sembarangan ngomong!" Kujitak tukang becak
itu tepat di antara dua matanya. "Kalo sampe lo
nganterin gue ke neraka, gue pastiin lo temenin gue di
situ!" Isi-Omen3.indd 63 "Jangan, Non!" pekik Chuck ketakutan. "Saya masih
punya keluarga!" Iya deh, aku tidak punya keluarga, jadi tak apa-apa
kalau ke neraka. Dasar tukang becak ngaco.
Tak lama kemudian kami sudah dalam perjalanan me?
nuju sekolah. "Cepetan, Chuck!" teriakku bete. "Gara-gara lo merepet
tadi, kita bakalan telat nih!"
"Tenang, Non, kita pasti bisa tiba tepat waktu..."
Kurasakan Chuck mulai menggenjot dengan cepat.
Becak kami jadi serasa becak terbang.
"Wah!" Val memegangi bagian samping becak kuatkuat. "Kayaknya si Chuck takut sama ancaman lo!"
"Emang dia harus takut sama gue!" sahutku puas lalu
ber?teriak memuji, "Bagus, Chuck! Ayo, lebih cepat lagi!"
Seolah-olah menyahutku, Chuck menggenjot lebih
cepat lagi. Bahkan polisi tidur pun ditabraknya tanpa
tedeng aling-aling. "Hei, Chuck!" bentakku. "Jangan kasar gini dong! Gi?
mana kalo kami terlempar ke luar lalu kelindes becak ini
dan mati dengan usus terburai?"
Bukannya menjawabku dengan keceriwisannya yang
biasa, Chuck malah melolong dengan suara menyedih?
kan, diselingi dengan napas terengah-engah yang me?
nanda?kan dia betul-betul habis-habisan menggenjot
becak?nya. "Nooon...! Ada hantuuu! Ada hantu bersepeda ngejar
kita!" Isi-Omen3.indd 64 Valeria Guntur, X-A HANTU bersepeda itu tentu saja adalah Rima.
Rima memang aneh. Terkadang kita mengabaikan ke?
hadir?annya, lalu tiba-tiba kita menyadari dia sudah ber?
ada di dekat kita dengan penampilannya yang mengeri?
kan. Tidak heran semua orang selalu nyaris mati
ketakutan saat menyadari kehadiran Rima. Tapi sekarang
aku sudah rada terbiasa. Dia memang menakutkan, tapi
tidak berbahaya kok. Dan aku sudah sering melihatnya naik sepeda. Sebenar?
nya, dia selalu naik sepeda ke sekolah. Karena jarang ada
yang betul-betul memperhatikan, hampir tak ada yang
tahu soal itu. Tapi aku sering keluar dari rumah ber?
bareng?an dengannya, jadi aku tahu banget soal kebiasa?
annya yang satu ini. Dan seperti kebiasaan-kebiasaannya
yang lain, kebiasaannya naik sepeda juga sangat mengeri?
kan. Bayangkan saja, di satu waktu kita mengira tak ada
orang di sekitar kita, paling-paling hanya beberapa
pengen?dara sepeda biasa, lalu mendadak kita menyadari
salah satu pengendara sepeda itu mirip hantu. Mana
postur Rima memang mengerikan banget. Beberapa
Isi-Omen3.indd 65 orang agak membungkuk saat mengendarai sepeda, tapi
ber?hubung sepeda yang digunakannya adalah sepeda
mini, Rima duduk dengan sangat tegak?dan entah
kenapa, di saat rambut kebanyakan orang yang sedikit
panjang akan melambai-lambai saat naik sepeda, rambut
Rima malah lurus seperti biasa, seolah-olah angin pun
tak bisa meng?aturnya. Tidak heran Chuck ketakutan setengah mati saat me?
nya?dari dia dikuntit Rima dari belakang, malam-malam
begini pula. Sudah untung dia tidak terkena serangan
jantung. "Jangan panik, Chuck!" seru Erika dengan suara me?
nenangkan. "Itu Rima, temen sekolah kami!" Lalu sambil
merendahkan suaranya, Erika bertanya padaku, "Itu
beneran Rima kan, bukannya hantu sungguhan?"
Tadinya aku sudah yakin banget Rima-lah orang yang
menguntit kami, namun gara-gara nada suara Erika yang
cemas dan ngeri, aku ikut-ikutan merasa tidak pasti. Aku
melongok ke belakang. Tatapanku bertabrakan dengan
tatap?an Rima yang tanpa ekspresi. Bulu kudukku lang?
sung berdiri. "Iya," sahutku lemah. "Itu beneran dia."
"Tuh kan, Chuck," kata Erika menggurui, meski hanya
aku yang bisa mendeteksi getaran dalam suaranya. "Itu
cuma temen sekolah kami. Jangan pengecut gitu ah!"
"Non kenapa harus temenan sama cewek seram begitu
sih? Apa temen Non nggak ada yang normal?"
"Eh, lo jangan menghina temen yang di samping gue
dong!" tegur Erika tak senang.
"Eh, maksud saya, tadi saya bicara sama Non Valeria."


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tawaku nyaris menyembur, sementara Erika misuh66
Isi-Omen3.indd 66 misuh. "Sialan lo, Chuck! Jadi maksud lo, gue yang
kagak normal?" Chuck tertawa getir, tapi tidak berani menyahuti ucap?
an Erika. Mungkin dia takut digebuki sampai terkapar di
jalan, lalu dilindas si hantu cewek bersepeda.
Mungkin karena Chuck takut disusul si hantu cewek
bersepeda, kami tiba di sekolah dalam waktu jauh lebih
singkat daripada biasanya. Tentu saja, kami tidak berani
berhenti di depan sekolah, melainkan di bagian belakang?
nya. Baru saja aku mengeluarkan uang sepuluh ribu dari
dompetku, lembaran ungu itu sudah disambar Chuck
yang merasa uang itu adalah haknya.
"Makasih, Non. Saya nggak nungguin, ya."
Wajah Erika berubah cemberut, tapi kami berdua
sama-sama tidak tahu kapan kami bisa pulang. Apalagi
kami tidak membawa ponsel, yang berarti kami tak bakal?
an punya cara untuk menghubunginya. Jadi akhirnya
Erika berkata, "Ya udah, besok pagi jemput seperti biasa?
nya ya, Chuck." "Ya, Non." Kami memandangi kepergian Chuck, sementara ke?he?
ning?an semakin pekat di sekeliling kami. Gedung sekolah
di balik pagar tinggi tampak kosong dan menyeramkan.
Aku menghela napas. "Sekarang tinggal kita ber?
dua..." Kring-kring. Mendadak saja aku dan Erika nyaris diserempet sepeda
mini yang dikayuh dengan cepat. Untung saja kami
berdua segera meloncat sepersekian detik lebih cepat.
"Hei!" teriak Erika spontan, tapi kata-kata yang ingin
disemprotkannya tertahan saat si pengendara sepeda alias
Isi-Omen3.indd 67 Rima berpaling ke arah kami dengan senyum di balik
tirai rambutnya. "Reaksi kalian lumayan cepat juga," ucapnya dengan
suaranya yang pelan dan rendah.
Mau tak mau aku merasa geli dengan candaan yang
berbahaya ini. "Emangnya kalo kami nggak menghindar,
lo bakalan nabrak kami?"
"Nggak dong. Aku yang akan menghindar." Rima me?
natap dinding pagar yang tinggi. "Kalian akan masuk
lewat sini?" "Tentu aja," sahut Erika pongah. "Mana mungkin kami
mau nongol di pintu depan dan mau-maunya disergap
anggota organisasi diktator?"
"Kalo gitu, aku ikut."
Aku dan Erika melongo saat Rima turun dari sepeda?
dan mulai mengunci roda sepedanya. Erika me?
mandangiku dengan muka jelas-jelas mengatakan siapayang-mau-ngajak-dia, tapi aku menggeleng, berharap
Erika tidak melarang keputusan Rima. Bagaimanapun,
lebih baik kami bertiga?selaku orang-orang yang sudah
saling mengenal?menghadapi apa pun yang ada di
dalam sekolah bersama-sama.
Kami segera mengenakan topeng kami. Topengku dan
topeng Erika adalah topeng wayang yang buatannya
bagus dan halus. Topengku adalah topeng Shinta kekasih
Rama, sementara topeng Erika adalah topeng Srikandi,
istri Arjuna yang jago memanah. Aku ingin sekali tahu
topeng apa yang dipakai Rima, karena aku tahu topeng
itu adalah bikinannya sendiri?dan kalian tahu Rima
sangat pandai melukis. Ternyata topeng Rima tidak bergambar apa pun juga
Isi-Omen3.indd 68 alias kosong melompong. Kini dia tampak seperti hantu
de?ngan muka rata. Benar-benar menakutkan.
"Ayo, kita manjat," kata Erika datar. "Rim, lo naiknya
terbang aja, ya. Bisa, kan?"
Rima menoleh pada Erika dengan topengnya yang
putih banget, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Ya deh, gue bantu lo naik dulu," gerutu Erika.
Sudah berkali-kali kami masuk ke dalam sekolah de?
ngan memanjat pagar ini, jadi tidak sulit bagiku dan
Erika naik ke atas. Namun Rima tidak sama de?ngan
kami. Dia tidak pandai berolahraga, tapi untungnya
tubuhnya cukup lemas dan keseimbangannya bagus.
Dalam waktu singkat kami berhasil menariknya ke atas
batang pohon tempat kami bertengger saat ini. Pohon
itu terletak di sepetak tanah kecil di belakang toilet
cewek. Itulah sebabnya kami tidak perlu takut ketahuan.
Meski banyak cewek senang berlama-lama di toilet, me?
reka jarang sekali nongkrong di belakang toilet.
Setelah kami bertiga berhasil tiba di atas batang po?
hon, Erika meloncat turun, disusul olehku. Rima me?
manda?ngi kami berdua dari balik topeng datarnya, lalu
merayap turun melewati batang utama pohon.
"Gila, kayak Sadako lagi merayap keluar dari sumur,"
bisik Erika padaku, dan aku menyetujuinya dengan se?
penuh hati. Meski sudah mulai terbiasa dengan keber?
adaan Rima, ulahnya malam ini memang setingkat lebih
seram ketimbang biasanya.
Begitu Rima bergabung bersama kami, kami pun ma?
suk ke toilet. Seperti dugaan kami, ruangan itu ko?song
melompong. Kami becermin dan merapikan kos?tum
kami yang tak seberapa, cukup puas karena tak ada yang
Isi-Omen3.indd 69 bisa mengenali kami dari balik topeng. Erika bahkan
mengenakan seragam milikku?lantaran se?ragamnya
sendiri yang dipenuhi berbagai coretan gam?pang
dikenali?dan menggunakan rambut palsu putih yang
riap-riapan untuk menutupi rambut pendeknya yang
khas, membuatnya kelihatan seperti wayang sungguh?an.
Rima langsung tampak berbeda saat dia me?nyisipkan
tirai rambutnya ke belakang telinga?bah?kan postur
tubuhnya pun lebih tegap. Sementara aku, kurasa tak
ada yang bisa mengenaliku saat ini karena aku tak
mengenakan kacamata. Lagi pula, aku mengena?kan wig
pendek berwarna cokelat muda.
Saat keluar dari toilet, kami langsung melihat api
unggun yang dinyalakan di tengah-tengah lapangan bas?
ket. "Kita samperin tempat itu secara terpisah aja," bisik
Erika, seperti biasa langsung mengambil alih komando.
"Val, lo berlagak keluar dari gedung sekolah. Rima, lo
muter?in gedung ekskul. Gue akan masuk melalui gedung
lab. Nanti gue nongol duluan, abis itu elo, Rim. Yang
terakhir Val, oke?" Kami semua mengangguk, lalu segera bertindak sesuai
rencana Erika. Aku memasuki gedung sekolah sendirian dari arah bela?
kang, menyusuri koridor bawah yang sepi. Langkahku
bergema, tak keras-keras amat, tapi cukup mem?buat?ku
merasa rapuh dan gampang disergap. Tapi untung?nya,
hingga koridor itu berakhir, tak ada orang yang me?
nyerangku. Aku memandangi tujuan kami, lapangan
basket SMA Harapan Nusantara.
Sudah ada enam orang bertopeng yang berdiri di situ.
Isi-Omen3.indd 70 Meski semuanya sudah berusaha keras menyembunyikan
identitas mereka, aku langsung mengenali dua cowok
bertubuh tinggi?yang satu adalah Daniel, tampak jelas
dari rambut cokelatnya yang panjang sampai ke bawah
kuping, dan yang satu lagi adalah Ricardo, si pemain
basket harapan sekolah kami. Cowok kekar di dekat
Ricardo pastilah Hadi, bintang baru Klub Sepak Bola.
Cewek berambut panjang tergerai, yang berdiri di se?
berang Hadi, kurasa adalah Helen dari Kelompok Paduan
Suara yang disebut-sebut Daniel. Cowok bertubuh tinggi
kurus... hmm, bukankah itu si Dedi, cowok kutu buku
yang jago matematika itu? Satu-satunya yang tak bisa
kutebak adalah cewek tinggi berkucir yang berada di
samping Helen. Aku melihat Erika bergabung bersama mereka, berdiri
di dekat para cewek. Semenit kemudian, Rima menyusul
dan berdiri di samping si cewek bertubuh tinggi yang
postur tegapnya menandakan dia jago olahraga. Aku
sudah siap-siap maju saat kulihat seorang cowok tinggi
kurus menghampiri dengan heboh, terutama karena dia
tidak mengenakan topeng seperti yang lain.
"Gue udah telat, ya?" serunya riang. "Sori, topeng
Power Ranger gue tadi terbang gara-gara waktu ke sini,
gue kebut-kebutan naik motor! Tapi daripada cuma gue
yang nongol tanpa topeng, tadi gue ke toko fotokopi
buat beli kertas en bikin sendiri topengnya. Nih, keren,
kan!" Sambil berkata begitu, dia mengenakan topengnya
yang dibikin dari kertas folio. Topeng itu berbentuk
bujur sangkar, dibolongi di bagian mata dan dua lubang
untuk lubang hidung, dan bergaris-garis. Dengan susah
Isi-Omen3.indd 71 payah aku mendekat seraya menahan tawa, yakin bahwa
ini kesempatan baik untuk muncul tanpa menarik
perhatian saat semua orang ngakak-ngakak akibat lelucon
dari cowok yang baru nongol ini. Aku yakin, semua
asyik membayangkan cowok itu kebut-kebutan dengan
motor sambil mengenakan topeng Power Ranger, lalu
menggapai-gapai panik saat topeng itu terlepas.
"Dasar OJ, selalu ngebanyol aja kerjaan lo!" Cowok
tinggi kurus berdahi lebar yang menurutku adalah Dedi
menepuk-nepuk bahu cowok itu. "Lo kok bisa diundang
datang ke sini?" "Wah, itu ceritanya seru!" Cowok yang dipanggil OJ
balas menepuk-nepuk Dedi. "Ceritanya gini. Tadi pagi
gue liat ada anak megang-megang surat berwarna item
yang kayaknya keren. Lo inget kan, anak rangking satu
dari kelas X-E itu? Karena penasaran, gue rebut surat itu.
Si anak protes, tapi apa daya, gue lebih kuat. Tuh anak
gue gebuk?in sampe babak-belur. Pas gue baca, rupanya
ada pertemuan rahasia. Jadilah gue ikutan nongol di
sini." Oke, cerita ini jelas-jelas bohong. Pasalnya, anak
rangking satu dari kelas X-E adalah Erika Guruh, sohibku
yang terkenal garang, yang juga berada di sini gara-gara
undangan yang diterimanya (dan siapa pun yang berani
menyentuhnya bakalan dilempar ke liang kubur, jadi tak
mungkin OJ masih bisa nongol di sini kalau dia benarbenar sudah mencoba menggebuki Erika). Namun Dedi
tertipu. Suaranya terdengar gemetar saat dia bertanya,
"Lho, jadi lo ke sini dengan undangan nggak sah?"
"Begitulah," sahut OJ serius. "Nggak apa-apa, kan?
Kalian cuma main-main, kan? Lagian, percuma lo pake
Isi-Omen3.indd 72 topeng, Ded! Orang bodoh juga tau siapa lo saat ngeliat
bodi kerempeng lo yang cuma satu-satunya di sekolah
kita ini!" Meski tidak bisa melihat wajahnya, postur tubuh Dedi
yang langsung mundur menunjukkan betapa terpukulnya
dia saat identitasnya diumumkan.
"Jangan bongkar-bongkar rahasia gue dong!" protesnya.
"Lagian, ini organisasi elite. Kalo lo nggak diundang, lo
nggak berhak datang ke sini!"
"Berhak aja," sahut OJ seenaknya. "Siapa yang kuat,
dia yang menang. Lagian lo tau nggak, kita semua di?
kumpulkan di sini untuk diadu. Kalian tau, seperti film
The Hunger Games itu lho. Yang bisa bertahan bakalan
jadi anggota, sisanya ya dibiarin mati mengenaskan.
Berhubung gue nggak mau mati mengenaskan, sori ya
kalo gue terpaksa harus mencelakakan sebagian besar
dari kalian!" Kalimat terakhir ini diucapkan sambil memelototi
cowok-cowok yang langsung melangkah mundur tanda
mereka memercayai setiap kata yang dilontarkan cowok
yang sepertinya hobi mengarang-ngarang cerita itu.
Semua, kecuali Daniel yang tampak tenang-tenang saja.
Mungkin dia juga menyadari kejanggalan cerita itu
berhubung dia juga salah satu sohib si rangking satu dari
kelas X-E. Malahan, aku bisa merasakan tatapannya
mengarah padaku. Ups, apa dia mengenaliku?
Oke, bukannya aku ge-er, tapi sudah beberapa lama ini
Daniel PDKT padaku. Setiap malam dia rajin me?
neleponku, cerita-cerita layaknya sahabat akrab, diakhiri
dengan permainan piano yang romantis dan menyentuh
Isi-Omen3.indd 73 hati. Biasanya dia rada playboy, meloncat dari cewek satu
ke cewek lain. Namun belakangan ini dia tidak men?
dekati siapa-siapa selain aku. Jujur saja, aku tersanjung
berat mendapat perhatian dari cowok yang digandrungi
banyak cewek ini. Sayangnya, aku menyukai cowok lain.
Aku bisa mendengar dengusan dari arah Erika. Seperti?
nya dia sudah siap mendebat OJ yang sok jago dan
barusan memfitnah dirinya seenak jidat, tapi Erika masih
cukup bijak untuk menahan diri. Tidak lucu kalau belum
apa-apa identitasnya sudah ikut terbongkar.
"OJ berhak bergabung dengan kita malam ini."
Tiba-tiba muncul enam orang dari arah kantin, semua?
nya mengenakan pakaian berkerudung serbahitam yang
sama?tanpa membedakan cowok atau cewek?dan
topeng dengan warna yang sama pula. Sepertinya mereka
mengenakan pengubah suara atau apa, karena suara yang
barusan mengucapkan kata-kata itu terdengar mirip suara
kaset rusak. "Seperti yang lain, OJ juga diundang secara pribadi
karena prestasi-prestasinya yang luar biasa," kata orang
pertama dari deretan anggota berseragam serbahitam itu.
"Selain penggembira yang bersemangat, motivator ulung,
dan dianggap pemimpin oleh sebagian besar muridmurid sekolah kita, OJ juga merupakan satu-satunya
siswa yang menguasai lima bahasa asing."
Astaga! Cowok iseng ini sanggup menyaingiku? (Tentu


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja, kemampuanku ini sangat kurahasiakan dari orangorang lain.)
Seolah-olah ingin menjawab kesangsian orang-orang,
OJ langsung berkata sambil membungkukkan badan.
Isi-Omen3.indd 74 "Konbanwa. Boku wa OJ desu. Jal bu tak de rib ni da. Je
suis nouveau ici. Qing shuo man yidian." Lalu dengan
santai dia mengibaskan tangan seraya berkata, "Please, no
applause. This is nothing to me."
Semua orang melongo. "Itu bahasa beneran atau bercandaan?" tanya Dedi,
satu-satunya calon anggota yang berani bersuara selain
OJ yang tampaknya sama sekali tidak keberatan iden?
titasnya diketahui. "Say," sahut OJ dengan nada serius, membuat kami
se?mua merinding. Habis, bisa-bisanya cowok kayak Dedi
di?panggil "say". "Gue nggak pernah bercanda soal baha?
sa." Terdengar dengusan tak percaya di sana-sini. Yah, jelas
saja kata-kata itu terdengar konyol, diucapkan oleh orang
yang sepertinya dilahirkan di dunia ini untuk bercanda
saja. "Nah, berhubung semua orang yang diundang sudah
tiba, kami akan memulai acara ini," kata si orang per?
tama tersebut, yang hingga kini tidak jelas cowok atau
cewek, namun terlihat jelas adalah pemimpin organisasi
ini (mungkin dialah yang menandatangani undangan
kami dengan sebutan Hakim Tertinggi). Nadanya sama
sekali tak terdengar terusik oleh selaan OJ, menandakan
perasaannya terkendali dengan baik. "Kalian sudah tahu
"Selamat malam. Nama saya OJ," dalam bahasa Jepang.
"Senang bertemu denganmu, harap bantu saya," dalam bahasa Korea.
"Saya orang baru di sini," dalam bahasa Prancis.
"Harap bicara pelan-pelan," dalam bahasa Mandarin.
"Tolong jangan bertepuk tangan. Ini biasa saja bagi saya," dalam bahasa Inggris.
Isi-Omen3.indd 75 bahwa kalian kini tengah diundang oleh organisasi pa?
ling rahasia di sekolah ini yang disebut The Judges. Kita
adalah para hakim sekolah ini. Kita yang memutuskan
benar atau salah. Kita yang memberi keadilan bagi setiap
siswa dan kita yang memberi hukuman pada mereka
yang bersalah. Semboyan organisasi kita, aut vincere aut
mori! Menguasai atau mati!"
"Wah, gue belum bisa menguasai bahasa Latin," cele?
tuk OJ, tapi dengan satu pelototan setajam sinar laser
dari si Hakim Tertinggi, dia pun bungkam seribu ba?
hasa. "Selama empat hari ke depan, kalian akan diberi ujian
untuk menentukan apakah kalian cocok menjadi anggota
organisasi ini atau tidak. Dari sepuluh undangan, hanya
enam yang akan lulus. Sisanya tetap harus merahasiakan
semua yang terjadi selama empat hari ini. Sedikit ke?
bocoran saja, kami akan menyelidiki hingga tuntas. Siapa
yang diketahui melakukan pelanggaran, akan dikeluarkan
dari sekolah secara tidak hormat."
Nada suara kaset rusak itu begitu tenang, namun ada
ketegasan di dalamnya yang membuat kami semua yakin
ucapannya bukan ancaman belaka.
"Malam ini malam seleksi pertama. Tugas kali?an
adalah mencari sesuatu di seluruh penjuru sekolah, di
dalam setiap ruangan yang tidak terkunci. Sesuatu itu
adalah ini." Si Hakim Tertinggi mengeluarkan sebuah
barang mirip lencana dengan simbol seperti yang ada
pada amplop. Simbol perisai dengan ukiran pedang dan
topeng di atasnya, namun kali ini semuanya berwarna
emas. "Semuanya ada sembilan buah. Setiap orang yang
berhasil menemukan satu saja benda ini, bisa langsung
Isi-Omen3.indd 76 kembali ke sini lagi. Kalau kesembilan benda ini telah
ber?hasil ditemukan, kami akan membunyikan bel se?
banyak lima kali. Orang terakhir yang belum menemu?
kan benda ini dengan sendirinya akan dieliminasi.
"Waktu untuk mengerjakan misi ini adalah satu jam.
Setelah satu jam berakhir, bila hanya ada tujuh orang
yang menemukannya, itu berarti tiga orang dieliminasi
sekaligus. Bila hanya ada tiga orang yang me?nemu?
kannya, itu berarti tujuh dieliminasi dan kami akan men?
cari anggota baru lain yang lebih pantas mengikuti acara
seleksi ini. Nah, sekarang, begitu bel berbunyi tiga kali,
itu adalah tanda misi dimulai."
Teng-teng-teng! Tanpa banyak bacot, kami semua segera berlari ke
segala penjuru dan mulai mencari lencana yang
kelihatannya mirip banget dengan emas murni itu
(berhubung aku biasa bergaul dengan emas murni,
percayalah, pengamat?anku tidak sembarangan). Aku
spontan kembali ke arah kedatanganku, yaitu masuk ke
dalam gedung sekolah. Ber?beda dengan gedung lab dan
gedung ekskul yang ke?banyakan ruangannya dikunci,
gedung sekolah dipenuhi dengan ruang-ruang kelas yang
tertutup rapat namun tidak dikunci.
Aku melihat beberapa orang yang mengikutiku lang?
sung mengarah ke lantai atas, berhubung lantai bawah
dipenuhi dengan ruang guru, tata usaha, dan tempattempat lain yang sudah pasti dikunci. Lagi pula, secara
logika, mustahil orang-orang itu menyembunyikan len?
cana emas itu di lantai bawah yang pasti akan dilewati
semua orang. Tapi aku tahu ada sedikit ruangan yang
tidak terkunci di lantai bawah ini, dan siapa tahu orang77
Isi-Omen3.indd 77 orang itu menginginkan kami menggunakan pengetahuan
kami soal jalan pikiran para guru.
Meski kebanyakan ruangan itu dikunci, ada dua ruang?
an yang selalu dibiarkan terbuka. Yang pertama adalah
ruang makan para guru yang biasanya juga digunakan
se?bagai ruang rapat, dan yang kedua adalah gudang
janitor. Aku memasuki ruang makan para guru yang gelap guli?
ta. Semua jendela ditutup, namun ada sedikit sinar bulan
yang berhasil lolos dari celah jendela. Dengan bantuan
cahaya yang sangat sedikit itu, aku pun memeriksa ruang?
an itu. Tidak banyak perabotan di situ, yang ada hanya?
lah sebuah meja besar dan bangku-bangku kayu yang
mengelilinginya. Aku merunduk dan memeriksa bagian
bawah meja, yang sayangnya tidak ada apa-apa.
Derit pintu membuatku langsung waspada. Dengan
gerakan cepat, aku keluar dari bawah meja dan berdiri
tegak. Gerakan itu membuat rambutku acak-acakan, te?
tapi aku tidak sempat memikirkan hal itu.
Seseorang berdiri di depan pintu.
Aku menahan napas. Dalam kegelapan ini, aku tidak
bisa mengenali siapa orang yang berdiri di situ. Yang aku
tahu, dari postur badannya, orang itu adalah cowok.
Siapa?kah orangnya? Ricardo? Hadi? Daniel? OJ?
Diam-diam, aku mengatur kuda-kuda. Kita tidak tahu
apa yang terjadi di sini. Apakah semuanya bermain adil
sesuai peraturan, ataukah mereka tidak segan-segan me?
nyingkirkan lawan-lawan mereka demi menjadi anggota
organisasi paling berkuasa di sekolah ini?
Perlahan, cowok itu melangkah maju hingga jarak
kami hanya terpaut beberapa langkah.
Isi-Omen3.indd 78 "Val?" Aku tertegun. Itu suara Daniel!
"Beneran ini lo kan, Val?" bisik cowok itu, yang kini
tak kuragukan lagi adalah Daniel. Aku senang dia tidak
menyebut nama lengkapku, yang berarti, kalau bukan
aku yang dihampirinya, tak akan ada orang yang me?
nyangka akulah yang dipanggilnya.
Aku sedang menimbang-nimbang untuk memberitahu
identitasku atau tidak tatkala tangan Daniel terulur dan
melepaskan topeng yang kukenakan.
"As I expected," senyumnya girang. "Gue bener-bener
se?nang lo ada di sini sekarang, Val."
Oh, God. Entah kenapa, suasana jadi aneh. Terlalu
mesra, rasanya. Memang, selama ini Daniel jelas-jelas
me?lakukan PDKT padaku, tapi semua itu hanya melalui
telepon atau SMS. Yah, memang sih itu gara-gara aku
selalu menolak ajakannya. Sekarang aku rada bersyukur
selalu menolaknya, soalnya inilah pertama kali aku me?
rasakan pesona yang dipancarkan playboy sekelas Daniel.
Rupa-rupanya pesona itu membuatku sulit berbicara dan
hanya bisa menelan ludah.
"Topeng lo manis banget. Topeng Shinta, kan?"
Aku ingin menyahut, bahwa topeng Sonic the
Hedgedog dari karton yang dikenakan Daniel jelek
banget, tapi rasa?nya ucapan itu tidak pantas dikeluarkan
saat ini. Rasanya tidak pantas mengusik suasana ini.
Padahal, bukannya aku ingin di-PDKT oleh Daniel.
Buatku dia hanyalah teman, dan suasana mesra yang
tidak kuinginkan ini membuatku canggung.
Duh, biasanya aku begitu pandai berkelit dari situasi
Isi-Omen3.indd 79 yang tak kuinginkan, tetapi kenapa saat ini lidahku
terasa kelu? Tangan Daniel terulur ke arahku, seolah-olah ingin
merapikan rambutku yang sepertinya acak-acakan banget.
Aku ingin melangkah mundur, tapi seluruh tubuhku
terasa berat. Sedikit-banyak aku mulai tahu alasannya.
Aku tidak ingin mengusik suasana ini, aku tidak ingin
mengucapkan kata-kata penolakan, aku bahkan tidak bisa
menghindari tangan Daniel?semua itu karena aku tidak
ingin menyakiti hati cowok yang berarti bagiku ini.
Sebelum tangan Daniel sempat menyentuhku,
mendadak kusadari sebuah bayangan ada di dekat kami.
Aku dan Daniel sama-sama menoleh, dan kami berdua
sama-sama menjerit kaget.
Sesosok putih ada di dekat kami, terlalu dekat, dan
sangat aneh karena kami tidak menyadarinya mendekat.
Sosok itu berambut panjang, nyaris menutupi mukanya
yang tidak mengenakan topeng, dan mata Rima yang
dingin mengintip dari sela-sela rambutnya.
Oh, God, cewek ini benar-benar menakutkan!
Tangan Rima terangkat ke arah kami, seolah-olah ingin
mengutuk kami. Aku bisa merasakan Daniel siap angkat
kaki, sementara aku begitu shock sampai tidak bisa
bergerak. Tapi lalu kami menyadari bahwa Rima tidak
bermaksud mengutuk atau menyihir atau menjambak
kami. Dia memperlihatkan sebuah lencana emas di
tangan?nya. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum
miste?rius. "Aku menemukan satu."
Isi-Omen3.indd 80 Rima Hujan, X-B JANTUNGKU terasa nyeri saat menemukan Daniel dan
Valeria berduaan dalam ruangan gelap itu.
Aku tahu, Valeria tidak menyukai Daniel. Aku bisa me?
lihat secercah kelegaan di wajah Valeria saat rasa kaget
yang timbul akibat menyadari keberadaanku itu hilang.
Lalu, dengan penuh rasa tertarik, Valeria menatap
lencana emas yang barusan kutemukan itu.
"Cepet banget, Rim," komentarnya tanpa berani me?
nyentuh lencana yang kusodorkan itu, padahal aku tidak
keberatan dia melakukannya. "Emangnya lo nemu di
mana?" "Ruang guru." Daniel dan Valeria melongo.
"Eish, ruangan itu kan biasanya dikunci!" seru Daniel
dengan muka curiga, seolah-olah dia mengira aku diamdiam punya kemampuan untuk menembus dinding.
"Kok lo bisa sih masuk ke sana?"
"Pintu itu emang tertutup, tapi nggak dikunci kok." Aku
menatap mereka seraya memasang tampang sedatar mung?
kin. "Kalian lupa? Aku kan punya kemampuan meramal.
Aku udah tau benda itu ada di dalam ruang guru."
Isi-Omen3.indd 81 Puas melihat reaksi mereka yang shock, aku pun ber?
balik dan berjalan pergi. Baru saja aku keluar dari ruang?
an itu, seseorang memanggilku dari dalam ruangan
tadi. "Tunggu, Rima!"
Aku berhenti tapi tidak membalikkan badan, jadi
orang yang memanggilku harus berjalan ke depanku
supaya bisa bicara berhadapan muka. Kesannya aku sok
banget, ya. Padahal bukan begitu maksudku. Sejujurnya,
aku tidak membalikkan badan karena shock mendengar
orang itu memanggil namaku.
Orang itu adalah Daniel Yusman.
Jantungku yang biasanya selalu berdetak dengan ke?
cepatan biasa-biasa saja tak peduli apa yang terjadi, kini
berdetak berkali-kali lebih cepat sampai aku jadi panik.
Tidak lucu kalau aku mati mendadak di depan cowok
keren ini lantaran terkena serangan jantung. Bisa-bisa dia
akan mengenangku seumur hidup sebagai cewek paling
mengerikan, bukan hanya karena bertampang seram, tapi
juga karena mati mendadak di depan mukanya.
Amit-amit. "Hei." Aduh, cowok ini menyunggingkan senyumnya yang
mirip banget dengan Rain itu. Tampak polos sekaligus
jail, membuat kita geli dan tak mungkin marah padanya,
tak peduli andai dia bilang dia barusan membunuh
orang dan mengambinghitamkan kita sebagai pelaku?
nya. "Sekarang lo mau ke mana, Rim?"
"Tentu aja, kembali ke api unggun," sahutku datar.
Aku tidak bermaksud tidak sopan, tapi aku tidak bisa
Isi-Omen3.indd 82 ber??sikap manis, sesuatu yang jelas-jelas bukan sifat asli
diri?ku, di saat hatiku sedang cenat-cenut begini. "Bukan?
kah ini berarti misiku udah selesai?"
"Ya sih." Daniel berpikir sejenak. "Lo mau bantuin
gue, Rim?"

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bantuin apa?" "Bantuin gue nemuin lencana juga."
Daniel tersenyum lagi padaku, membuat hatiku lumer
hingga membentuk kubangan organ dalam tubuh yang
lengket. Oke, kedengarannya amat sangat tidak roman?
tis. "Kan lo bisa ngeliat masa depan. Lo pasti bisa nemuin
lencana yang satu lagi dengan gampang, kan? Keberatan
Pusaka Tongkat Sakti 3 Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead Mrs Mcginty Sudah Mati 2

Cari Blog Ini