Ceritasilat Novel Online

Omen 1

Omen Karya Lexie Xu Bagian 1


Prolog Eliza APAKAH kalian percaya dengan yang namanya pertanda?
Bukannya aku percaya takhayul, tapi aku sangat memercayai pertanda. Seumur hidup, aku selalu berhasil
menghindari berbagai masalah berkat pertanda-pertanda
di sekelilingku. Namun, malam ini, aku memercayai pertanda yang salah, dan tahu-tahu saja hidupku yang
indah dan sempurna berakhir.
Martinus-lah yang membujukku untuk datang ke
pestanya. Marty sebenarnya punya reputasi jelek lantaran
sombong banget dan punya hobi menindas orang, bukan
tipe cowok yang biasa kuajak bergaul. Tapi bagiku Marty
cukup menyenangkan. Dia lumayan ganteng, kaya, dan
selalu bersikap baik padaku. Pokoknya, tak ada alasan
bagiku untuk memusuhinya.
Meski begitu, aku tidak bisa begitu saja menerima
undangannya. Hidupku dipenuhi banyak aturan yang
berhasil membuatku menjadi salah satu cewek populer
di sekolah, dan salah satunya karena bersikap jual mahal
saat diajak pergi oleh cowok. Aku tahu, undangan ke
Isi-Omen.indd 7 ain pesta bukan berarti dia mengajakku kencan, tapi aku
akan tetap memasang sikap jual mahal.
Hanya untuk membuatnya semakin ngebet.
"Orangtua gue nggak ngasih gue keluar malem-malem
begini, Mar." "Halah, orangtua kuno," cemoohnya. "Orangtua gue
nggak pernah ngelarang gue tuh. Ayolah, Za. Kalo lo
nggak dateng, pestanya nggak akan seru."
Melihatku masih ragu-ragu, dia menambahkan dengan
licik, "Gue juga ngundang Ferly lho."
Kak Ferly! Jantungku serasa berhenti sedetak saat mendengar nama
kakak kelas superganteng yang sudah lama kutaksir itu.
Lebih tepatnya lagi, sejak aku masuk SMA. Dan aku tidak
bertepuk sebelah tangan, karena Kak Ferly jelas-jelas
menunjukkan perasaan sukanya padaku. Dia selalu
mengajakku ngobrol di sekolah, meneleponku di rumah,
menungguiku sampai pulang ekskul?singkatnya, semua
hal yang dilakukan oleh cowok-cowok yang sedang
pedekate. Dan semua itu tak luput dari pengamatan semua
orang, membuat kami langsung dijuluki sebagai pasangan
paling populer di seluruh SMA Harapan Nusantara.
Namun sayangnya, cowok itu cowok terlarang untukku, dan aku cewek terlarang untuknya?setidaknya untuk
saat ini. Ini semua gara-gara Erika, kakakku?atau lebih tepatnya lagi, kakak kembarku, yang hanya lebih tua lima
menit daripada aku?yang selalu membuat onar di manamana. Meski secara fisik kami kembar identik, kepribadian kami berdua sangat bertolak belakang, bagaikan langit
dan bumi, api dan air, surga dan neraka.
Isi-Omen.indd 8 Ya, sebenarnya aku tidak ingin menyinggung masalah ini. Aku tidak suka mengungkapkan keburukan
keluarga sendiri. Buatku, itu bagaikan mencoreng muka
sendiri?dan seperti yang mungkin sudah kalian ketahui, aku cewek yang jaim banget. Tapi reputasi Erika
yang buruk itu memang sudah terkenal, sampai-sampai
kuduga kalian sudah pernah mendengarnya. Lebih parah lagi, dia bertingkah seolah-olah semakin buruk reputasinya, dia semakin bangga. Rajin bolos, tidak pernah bikin PR, sering membantah guru-guru, selalu
melibatkan diri dengan setiap konfrontasi di sekolah.
Sepertinya tujuan hidupnya hanya melanggar setiap
peraturan yang ada. Satu-satunya kelebihan yang menolongnya adalah
nilai-nilainya yang termasuk luar biasa tinggi. Tanpa
pernah belajar dan mengerjakan tugas, dia merupakan
peraih tetap rangking satu di kelasnya. Hanya itulah?
dan harapan guru-guru bahwa suatu hari mereka bakalan
sanggup menjinakkannya?yang membuat Erika belum
dikeluarkan dari sekolah.
Dengan sifat seperti itu, Erika mengundang banyak
musuh?dan salah satunya adalah aku, adik kembarnya
sendiri. Di sekolah, kami berdua saling tak memedulikan,
seolah-olah kami orang asing yang tak saling mengenal.
Akibatnya, meski punya kakak kembar yang begitu menakutkan, aku tak mengalami masalah pergaulan di sekolah dan tetap menjadi cewek populer seperti biasanya.
Oke, kalian yang tidak mengenalku akan mengira aku
membenci Erika. Kalian salah besar. Tidak ada setitik pun
sifat jelek pada diriku yang membuatku sanggup berpikir
Isi-Omen.indd 9 sejahat itu. Bagaimanapun, Erika saudara kembarku, dan
tidak peduli apa pendapatnya tentang diriku, aku sayang
sekali padanya. Itulah sebabnya aku menggunakan setiap
waktu yang kupunya di rumah untuk menegurnya dan
memberinya tips-tips supaya dia bisa berubah jadi cewek
yang jauh lebih baik. Kalau aku menghindarinya di
sekolah, itu hanya karena aku tidak ingin tertimpa
masalah akibat ulahnya yang luar biasa banyaknya.
Lagi pula, aku sadar bahwa semua yang dilakukan
Erika akibat rasa iri hati dan kecemburuannya padaku.
Yah, kan bukan salahku kalau sedari kecil aku selalu
lebih disayang orangtua kami, guru-guru kami, juga
teman-teman kami. Bukan salahku kalau aku dianggap
jauh lebih cantik, lembut, dan menyenangkan. Bukan
salahku kalau semua orang menertawakan Erika karena
dia kalah dalam segala hal dibanding saudara kembarnya
sendiri. Jujur, aku kasihan pada Erika, tapi aku juga kesal padanya. Seandainya saja dia mau mengikuti dan meneladaniku, nasibnya tak akan seperti ini. Kami kan saudara
kembar, jadi seharusnya tidak sulit berpura-pura menjadi
seperti aku. Tapi setiap kali aku menyarankan hal ini, dia
malah ngambek, bersikap menyebalkan, dan menganggapku musuh terbesarnya. Jadi, sebenarnya semua ini salahnya sendiri, kan?
Dan sekarang, kejadian yang melibatkan Kak Ferly
makin mempertajam permusuhan kami.
Sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang terjadi.
Pokoknya, tahu-tahu saja seluruh sekolah sudah heboh
saat aku tiba di sana. "Hai, ada apa pagi-pagi begini?" tanyaku sambil men10
Isi-Omen.indd 10 dekati mading, tanpa menyadari bahwa semua orang
langsung membuka jalan untukku. "Kok ramai sekali?
Ada yang seru?" Kata-kataku terhenti begitu saja. Mataku tertuju pada
foto yang ditempelkan dengan sembarangan di atas
mading yang tertata rapi, tanda keberadaan foto itu
belum mendapatkan persetujuan dari pihak sekolah. Itu
adalah foto Kak Ferly bersama Erika pada malam hari.
Tangan Kak Ferly melingkari bahu Erika, tatapan mereka
terlihat tegang, seolah-olah takut dipergoki atau apa.
Pemandangan itu langsung membuatku mual. Aku bisa
mendengar bisikan-bisikan tertahan di sekelilingku.
"Idih, amit-amit. Nggak cukup jadi anak rusak, sekarang jadi cewek nggak bener."
"Nyambernya cowok adiknya, lagi. Cih, nggak tau
malu!" "Kayak lo nggak tau aja. Erika kan udah naksir Ferly
setengah tahunan ini."
"Eh, kasian tuh si Liza. Kayaknya udah mau nangis."
"Gimana nggak nangis? Gue kalo punya kakak kayak
gitu, udah bunuh diri dari kapan-kapan, kali."
Ya, ucapan mereka memang betul. Rasanya sedih
dan malu banget dikasihani seperti itu. Kenapa Kak
Ferly dan Erika tega membuatku berada dalam posisi
seperti ini? Bukannya aku tidak tahu Erika juga menyukai Kak
Ferly. Maksudku, bukan sekadar suka. Hal itu tak sulit
kuketahui, karena Erika bukan tipe cewek yang hobi bermanis-manis dengan cowok yang tak disukainya. Tentu
saja, dia juga bukannya langsung menjelma menjadi
cewek feminin saat bersama Kak Ferly. Tapi aku bisa
Isi-Omen.indd 11 merasakan suasana hatinya yang berubah lebih cerah
dan lembut saat dia berdekatan dengan Kak Ferly. Ya,
kami kan saudara kembar, wajar kalau kami bisa saling
merasakan suasana hati (ini juga yang membuatku mengenal isi hati Erika jauh lebih banyak daripada yang
ditampakkannya). Tapi kukira dia tak bakalan mendekati Kak Ferly demi
aku. Dan kukira Kak Ferly juga tak akan menyentuh
Erika karena sudah memilihku. Tapi kenapa?
Tidak, aku tidak boleh kehilangan kendali di sini. Aku
adalah Eliza yang populer dan percaya diri. Aku tidak
akan menjadi korban yang memalukan.
Setelah berhasil menenangkan diri, aku menebarkan
senyum ke sekelilingku dan berkata, "Ya ampun, memangnya kenapa kalo mereka jalan berduaan? Kan itu
nggak berarti ada apa-apa di antara mereka. Kalo iya,
lalu kenapa?" "Tapi bukannya Ferly itu pacar lo, Za?"
"Iya," timpal yang lain. "Nggak etis, tau, ngedeketin
pacar sodara sendiri! Sodara kembar pula!"
"Erika itu udah keterlaluan, Za! Sekali-sekali harus lo
omongin, biar tau diri!"
Aku masih ingin terus menjawab semua pertanyaan
yang ada untuk membangun harga diriku, namun tibatiba terdengar suara keras menyela kami.
"Weleh, weleh. Rame bener di sini. Memangnya ada
gosip menarik apa di mading jelek ini?"
Mendengar suara itu, aku mengerang dalam hati.
Aduh, kenapa dia harus muncul pada saat-saat kayak
gini? Buat yang hanya sekilas mengamati kami, tak ada
Isi-Omen.indd 12 ain yang bakalan mengira kami kembar. Aku selalu tampil
dengan rambut panjang dan lurus dengan hiasan pita
yang feminin. Garis tubuhku halus dan lembut dengan
seragam putih cemerlang dan disetrika rapi, dipertegas
dengan gerak-gerik yang halus, anggun, dan, dalam
beberapa kesempatan, agak berkesan sombong. Sementara
Erika malah sengaja memotong rambutnya hingga mirip
cowok?bahkan rambut itu sengaja di-gel dengan model
jabrik seperti Delon. Seragamnya yang sudah mulai dekil
dihiasnya dengan tulisan-tulisan dari spidol hitam.
Linkin? Park rulez. Eminem rockz. Eat my short. Dan tubuhnya yang langsing cenderung kurus namun berotot itu
tampak kasar, mirip truk yang tidak segan-segan melindas siapa pun yang menghalangi jalannya. Dia lebih
kurus dibandingkan aku yang cenderung berisi, dan karena itu pula dia tampak lebih tinggi. Yah, mungkin saja
tubuhnya sedikit lebih tinggi daripada tubuhku. Entahlah. Kami tidak pernah mengukurnya.
Wajah kami yang seharusnya mirip pun terlihat berbeda. Sebagai ABG, kami diam-diam bereksperimen
dengan alat rias, namun kami semua melakukannya
sambil berusaha sebisa mungkin untuk tidak mencolok.
Karena itulah, meski menggunakan lip gloss dan pensil
alis, wajahku kelihatan alami. Namun Erika malah tampil
dengan gaya gotik yang sangat aneh. Garis matanya ditebalkan dengan eyeliner, sementara bibirnya dipoles
lipstik berwarna cokelat tua. Aku tahu, dia merias wajahnya bukan karena dia ingin kelihatan cantik, tapi hanya
karena dia ingin membuktikan bahwa dia tidak takut
dengan larangan sekolah. Alasan yang benar-benar kekanak-kanakan.
Isi-Omen.indd 13 Air muka kami juga sangat bertentangan. Sementara
aku selalu menjaga supaya ekspresiku tampak dingin dan
agak sombong?wajah cewek populer seharusnya begitu,
kan??Erika selalu menampakkan air muka sengak dan
jail. Namun saat ini, wajahnya yang sok langsung membeku saat tatapannya jatuh pada foto yang membuat
gara-gara itu. "What the f?" "Erika!" bentakku, cukup untuk menahan Erika supaya
tidak mengucapkan kata-kata kasar di depan umum.
Meski tidak melanjutkan makiannya lagi, Erika tidak
memedulikan diriku. Dengan ganas dia mencabut foto
itu dari mading, lalu meremasnya. Matanya yang nyalang mengedar ke sekelilingnya, dan berhenti saat menatapku.
Oke, apa dia menuduhku pelakunya?
Aku membalas tatapannya dengan sorot mata memohon, berharap supaya dia tidak mempermalukan kami
berdua dengan bertengkar di depan umum?dan topiknya mengenai rebutan cowok pula! Ini akan sangat
menghancurkan reputasi kami berdua. Aku nyaris mengkeret saat dia berjalan ke arahku, menjejalkan remasan
foto itu ke tanganku, dan berkata dengan suara rendah
namun jernih dan terdengar oleh semua orang di sekitar
kami. "Suatu saat gue bakalan bunuh lo buat yang satu ini."
Aku ingin membela diri, mengatakan bahwa bukan
aku pelakunya, namun lidahku kelu. Soalnya, ancaman
itu benar-benar terdengar mengerikan.
Seolah-olah dia memang sanggup membunuhku.
Yang membuatku lebih buruk lagi, sepertinya Kak Ferly
Isi-Omen.indd 14 ain juga tidak punya penjelasan yang lebih masuk akal
untukku. "Sori, Za," ucapnya penuh sesal. "Kamu cuma perlu
tau kalo semua ini hanya kesalahpahaman. Nggak ada
apa-apa antara aku dan Erika kok. Sumpah!"
Sebetulnya, hanya penjelasan itulah yang kubutuhkan.
Aku percaya pada Kak Ferly. Dia bukan cowok yang
gampang berpindah ke lain hati. Masalahnya, setelah
semua kejadian itu, aku tidak mungkin tetap bersikap
seolah-olah aku pacar Kak Ferly lagi. Bisa-bisa semua
orang menertawakan aku, Kak Ferly, dan Erika karena
cinta segitiga yang memalukan ini. Jadi, untuk menjaga
nama baik semua orang, kuputuskan untuk menjaga
jarak dengan Kak Ferly. Hanya untuk sementara waktu kok. Sampai gosip soal
Kak Ferly dan Erika lenyap dengan sendirinya.
Atau mungkin aku harus melakukannya sendiri.
Maka, saat Marty mengatakan Kak Ferly akan datang
ke pestanya, terlintas dalam pikiranku bahwa ini kesempatan yang sangat tepat untuk mendapatkan Kak
Ferly kembali. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa aku akan
membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.
Aku berhasil berdandan dan keluar dari rumah tanpa
bertemu dengan Erika. Andai aku bertemu dengannya
sebelum tiba di pesta, bisa-bisa dia menggagalkan semua
rencanaku. Tapi memang sih, sejak insiden dengan Kak
Ferly, Erika selalu menghindariku.
Itu bukannya cerita baru. Dari dulu Erika tidak pernah
suka menghabiskan waktu denganku. Tapi sekarang semuanya semakin parah saja. Perasaanku selalu mem15
Isi-Omen.indd 15 buruk setiap kali tanpa sengaja bertemu dengannya, dan
aku tahu dia juga merasakan hal yang sama.
Aku tiba di rumah Marty tiga jam lebih lambat daripada
jam undangannya. Jelas dong, memangnya aku mau cengok
di pesta yang masih sepi? Apalagi ini pesta Marty, cowok
yang notabene tidak terlalu populer di kalangan anak-anak.
Sebagai cewek populer, aku harus jadi orang yang ditunggu,


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan orang yang menunggu.
Melihat rumah Marty untuk pertama kalinya, aku jadi
kecewa. Rumah Marty tidak spektakuler seperti yang sering dibualkan dan didengung-dengungkannya. Memang
sih, rumah itu jauh lebih besar daripada rumah kami
semua, tapi desainnya terlalu asal-asalan, nyaris berkesan
kampungan. Mau tak mau, kata "orang kaya baru" jadi
tebersit dalam pikiranku, dan jujur saja, tipe seperti itu
bukanlah teman kesukaanku.
Di depan pintu, Marty menunggu dengan dada membusung penuh kebanggaan. Kuperhatikan dia hanya berdiri sendirian, tak ada yang sudi menemaninya, membuatku jadi makin menyesali kedatanganku ke sini.
Seharusnya aku berteman dengan orang yang lebih
bonafide, bukan cowok murahan seperti ini.
"Eliza!" serunya dengan kedua tangan terbentang lebar
seolah-olah ingin memelukku. "Aduh, lo cakep banget
malem ini!" Kulemparkan tatapan tajam padanya, dan Marty langsung mengurungkan niatnya sambil tertawa salah tingkah. Hmm, setidaknya dia masih tetap bersikap manis
padaku. "Pestanya boleh juga, ya," kataku sambil mengedarkan
pandangan. Yah, mengingat reputasi Marty yang jelek
Isi-Omen.indd 16 banget, keramaian pesta ini benar-benar mencengangkan.
"Iya dong," ucap Marty pongah. "Semua orang nggak
sabar pengin melihat rumah gue. Lo tau sendiri, tementemen kita kere semua. Kapan lagi mereka bisa bertamu
ke rumah sehebat ini?"
Aku berusaha menahan tawa saat mendengar ucapan
Marty yang kelewat sombong. Asal tahu saja, kebanyakan
teman-teman kami bersedia hadir di sini bukan karena
mereka ingin ikut merasakan kemewahan rumah Marty
yang sama sekali tidak mewah-mewah amat ini. Mereka
hanya datang karena aku sudah menyanggupi untuk datang. Seperti kata Erika (yang sangat kusetujui), "Percuma
lo show off, Nus, kalo kelakuan lo kayak orang pedit yang
lagi susah. Kalo bukan gara-gara omongan lo, gue pasti
ngira elo orang paling miskin di sekitar sini, tau?"
Ya, agak kasar memang. Tapi itulah Erika, selalu blakblakan dan tepat mengenai sasaran.
Merasa sudah cukup berbasa-basi dengan Marty, aku
celingak-celinguk mencari Kak Ferly. Hmm, cowok itu ada
di mana ya? Sama sekali tidak terlihat sosoknya, padahal
biasanya dia gampang kelihatan karena postur tubuhnya
yang tinggi. Baru saja aku ingin bertanya pada Marty, tiba-tiba
terdengar bunyi prang yang cukup keras.
"Sial, dia melakukannya lagi!" teriak Marty frustrasi.
"Apa itu?" tanyaku ingin tahu.
"Kakak lo!" Ternyata Erika memang ada di sini. Yah, itu akan menambah efek baik terhadap rencanaku?kalau aku berhasil ketemu Kak Ferly, tentu saja.
Isi-Omen.indd 17 "Dari tadi dia ngelemparin kaca jendela rumah gue
pake batu!" lanjut Marty.
Aku nyaris tertawa saat melihat muka Marty yang
kelihatan jengkel banget namun tak berdaya. Tapi tidak
sepantasnya aku menertawakan si tuan rumah. Bisa-bisa
aku malah disangka berkomplot dengan Erika. Amit-amit
deh. Maka kupasang muka malu dan berkata, "Aduh,
maafin ulah Erika ya, Mar! Dia sebenarnya nggak jahat
kok, cuma suka bikin keonaran di mana-mana."
"Makanya lo suruh bokap lo hukum dia yang keras
dong!" teriak Marty tak senang. "Orang kayak gitu nggak
bisa dibaekin. Harus tegas!"
Aku ingin mengingatkannya bahwa baru beberapa
waktu yang lalu dia bilang orangtua kami seharusnya
tidak melarang-larang kami. Jadi sebenarnya apa pun
yang dilakukan Erika tak perlu diurusi orangtua kami.
Tapi supaya Marty tidak semakin kalap, aku hanya mengangguk-angguk.
"Akan gue sampaikan ke orangtua gue, Mar."
"Bagus. Pastikan dia dapet hukuman yang berat, ya!"
"Iya, iya." Prang! "Ahhh! Brengsek!"
Mendengar jeritan frustrasi Marty, aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Untunglah Marty sudah meninggalkanku. Aku tidak tahu apa yang bakal dia lakukan.
Sudah jelas dia tak sanggup menghadapi Erika sendirian.
Mungkin dia bakalan memanggil satpam setempat.
Mungkin juga dia bakalan menyuap Erika untuk pergi,
yang mungkin malah akan menggunakan kesempatan ini
Isi-Omen.indd 18 untuk memeras Marty. Coba aku bisa menemukan Kak
Ferly sebelum Marty mengusir Erika.
Jantungku berhenti sejenak saat melihat sosok gelap
mengerikan melintas di luar jendela.
Ya ampun, itu kan Erika. Dengan tampang brutalnya,
dia betul-betul kelihatan seperti hantu penasaran. Lupa
dengan permusuhan kami, aku langsung menghampiri
jendela. "Psst, Ka!" Erika menoleh. Wajahnya kelihatan aneh saat berpaling menatapku. "Apa?"
"Apa yang lo lakuin dari tadi?" todongku tanpa memedulikan tanggapannya yang kasar. "Apa betul lo yang
bikin hancur rumah Marty?"
"Siapa lagi kalo bukan gue?" Erika menyeringai jail. "Biar
tuh anak kapok bikin pesta. Lo juga ngapain muncul di
sini? Kalo lo kagak ada, anak-anak lain pasti pulang."
Tersinggung dengan nada menuduh dalam suaranya,
aku menyahut kesal, "Ya suka-suka gue dong."
Erika menatapku dengan mata disipitkan. "Sebenarnya,
apa sih permainan lo kali ini?"
Aku mendecak. Kakakku ini selalu mengira aku punya
niat tersembunyi. Padahal semua juga tahu, dialah yang
sebenarnya selalu memiliki niat tersembunyi. Yah, bukannya dia salah-salah amat sih, tapi aku hanya ingin
mempertahankan apa yang menjadi milikku?dan itu
bukan sesuatu yang salah, kan?
"Memangnya salah kalo gue dateng ke pesta temen
gue sendiri?" "Temenan sama cacing pun elo mau. Dasar menjijikkan."
Isi-Omen.indd 19 Oke, aku makin kesal saja dibuatnya.
"Sodaraan sama ular pun gue nggak masalah, kenapa
harus takut temenan sama cacing?"
Erika menatapku penuh kebencian. "Ya udah, terserah
elo deh. Gue pulang aja. Males gue keliaran nggak jelas
di sini." Dalam sekejap, dia pun menghilang dari hadapanku.
Bagus, ini berarti dia tidak bakalan memergokiku menjalankan rencanaku. Tapi omong-omong, di mana Kak
Ferly? Rencana ini tidak bakalan berjalan dengan baik
tanpa dirinya. Aku berusaha mencarinya di antara keramaian yang memenuhi rumah Marty, tapi cowok itu
sama sekali tidak kelihatan. Saat akhirnya aku ketemu
Marty lagi, aku sudah sangat berang.
"Mar, elo sebenernya nggak ngundang Kak Ferly, kan?"
tanyaku tanpa basa-basi. "Ya nggak, dong," sahut Marty tanpa merasa bersalah.
"Kalo ada dia, mana bisa gue ngecengin elo?"
"Nggak ada dia pun, elo nggak bisa ngecengin gue,
tau!" ucapku ketus. Tanpa mengindahkan ocehan Marty yang berusaha
membela diri, aku keluar dari rumah itu.
Gawat! Rencanaku bisa gagal total. Tapi tidak juga.
Mungkin aku bisa membuat beberapa perubahan. Mungkin...
Sambil merenung aku berjalan kaki menjauhi rumah
Marty. Terlintas dalam pikiranku tentang orang-orang
dari Jakarta dan sekitarnya yang menghilang secara
misterius beberapa waktu lalu, termasuk dua orang siswa
sekolah kami?cewek dan cowok dari kelas XII, yang
kabarnya berpacaran. Hingga saat ini, orang-orang itu
Isi-Omen.indd 20 tidak pernah diketemukan, hidup ataupun mati. Memikirkan kejadian itu membuatku bergidik. Tapi aku tetap
meneruskan langkahku. Seumur hidup aku selalu beruntung, dan aku yakin malam ini keberuntungan juga
akan memihakku. Ketika mendekati sebuah bangunan setengah jadi berpagar seng, mendadak perasaanku jadi tidak enak.
Sepertinya ada yang mengikutiku.
Aku berjalan lebih cepat seraya menajamkan telingaku.
Tidak salah lagi, ada langkah-langkah kaki mengikutiku.
Siapakah orangnya? Marty yang menyebalkan itu?
Erika yang selalu mencari perkara denganku? Ataukah
Kak Ferly yang akhirnya memutuskan untuk menyusulku
meski sudah rada terlambat?
Aku ingin menoleh ke belakang, ingin mengetahui
siapa orang yang mengikutiku, tapi aku tahu aku tidak
boleh sembrono. Mungkin saja salah satu dari mereka
berniat jahat padaku. Kalau tidak, mereka tak akan diamdiam mengikutiku, bukan? Lebih baik aku membelok
masuk ke dalam bangunan ini, lalu bersembunyi dan
mencari tahu siapa mereka. Setelah itu, barulah aku
memutuskan apa yang harus kulakukan dengan semua
ini. Aku memasuki bangunan setengah jadi yang gelap,
sepi, dan tampak mengerikan itu. Dalam kondisi biasa,
aku tak bakalan sudi masuk ke sana dan mengotori
diriku. Tapi cewek harus bisa mempertahankan diri. Pada
saat-saat seperti ini, aku harus berani melakukan segala
yang tak kusukai demi kebaikan diriku sendiri.
Banyak tumpukan bahan bangunan di dalam bangunan itu, dan aku segera bersembunyi di balik salah satu
Isi-Omen.indd 21 tumpukan balok yang ada. Aku mengawasi jalan masuk,
bertanya-tanya siapa orang yang sudah membuntutiku.
Setelah beberapa saat, tak ada yang masuk, dan aku
mulai tak sabar. Apa aku sudah salah menduga? Mungkinkah bunyi langkah tadi hanyalah bunyi langkahku sendiri yang bergema? Aku berdiri dan keluar dari tempat
persembunyianku, lalu melongokkan kepala ke luar jalan
masuk. Tidak ada siapa-siapa. Oke, semua ini benar-benar aneh.
Mendadak aku menyadari sesuatu. Ada bayangan lain
di bawah kakiku. Aku membalikkan tubuh dengan cepat,
tapi sepertinya aku kalah cepat. Mataku terbelalak melihat sosok berlumuran darah itu. Rasa takut menyergap
hatiku. "Sekarang giliranmu."
Dan seperti itulah, kehidupan sempurna yang kujalani
selama ini berakhir. Berbaliklah sekarang juga!
Tapi aku tetap nekat dan berjalan terus.
Saat itulah, sebuah sosok muncul dari kegelapan dan
menerkamku. Isi-Omen.indd 22 Erika Dua minggu sebelumnya. HARI ini aku sial banget.
Yah, nggak heran sih. "Sial" adalah nama tengahku.
Erika "Sial" Guruh, lengkapnya. Rasanya, aku dilahirkan
di dunia ini khusus untuk menjalani kehidupan supersial. Kira-kira seperti Donal Bebek dalam film-film kartun
Walt Disney deh. Oke, sebelum kalian menuduhku lebay, dengar dulu
pengalamanku pagi ini. Pertama-tama, aku ketahuan
bangun telat. Yah, harus kuakui, bangun telat adalah kebiasaanku sehari-hari. Aku nggak suka banget bangun
pagi. Kalian tahu peribahasa bahasa Inggris, "Early bird
gets all the worms"? Nah, gimana kalau kita yang berperan sebagai cacingnya? Kita bisa mati sebelum waktu
yang ditentukan kalau kita berlagak sok rajin dan bangun pagi-pagi. Jadi, demi menjaga nyawaku yang cuma
satu-satunya ini, aku memilih untuk bangun telat setiap
hari. Jadi, bukan bangun telat yang kusebut sial, tapi
Isi-Omen.indd 23 ketahuan bangun telat. Lagi enak-enak tidur, tahu-tahu
saja aku mendengar suara bentakan keras.
"Erikaaa!" Mengenali itu sebagai suara ibuku, aku langsung duduk tegak?dan jidatku yang superjenong langsung menyundul jidat ibuku.
Dug! Aku hanya bisa melongo, sementara wajah ibuku semakin memerah karena marah. Saat ibuku mengayunkan
tangannya untuk memukulku, aku sudah pulih dari rasa
shock dan mendapatkan gerak refleksku kembali. Aku
meloncat dari atas tempat tidur, lalu mendarat dengan
mulus di depan pintu kamar.
"Erika, sini kamu!"
Enak saja. Memangnya aku mau menyerahkan diri
untuk dihajar? "Sori, Ma. Aku udah telat banget nih. Sekolah dulu,
ya!" "Erika!" Aku tidak memedulikan teriakan ibuku lagi. Kusambar
sikat gigiku, juga tas, baju dan rok seragamku yang tergantung di dekat meja setrika. Buset, seragamku masih
kusut! Aku lupa menyetrikanya tadi malam!
Ah, masa bodoh. Memangnya siapa yang bakalan
ribut-ribut soal seragam kusut? Masih banyak urusan di
dunia ini yang perlu dipikirkan. Perdamaian dunia,
masalah kelaparan, kepadatan penduduk, kontrasepsi....
Yep, masalah seragam tak disetrika cuma urusan kecil.
Yang meributkannya pasti punya hati sempit atau tak
punya kerjaan lain. Aku bisa mendengar ibuku mengejarku, jadi aku
Isi-Omen.indd 24 menderap ke pekarangan belakang, meloncati pagar, lalu
tengok kiri-kanan. Ah, brengsek. Ojek pribadiku belum
nongol. Terpaksa aku nyungsep ke dalam becak terdekat.
"SMA Harapan Nusantara, Bang!" perintahku pongah.
"Yo?i, Non." Si abang becak langsung menggenjot dengan kekuatan
maksimal, meninggalkan rumahku yang suram dan ibuku
yang masih berteriak-teriak jauh di belakang.
Yes! Rintangan pertama berhasil dilalui! Level up!
Baru saja aku mulai bernapas, tahu-tahu si abang becak sudah menjerit histeris, "Awaaasss!"
Mulutku ternganga lebar saat sebuah motor Ninja
menerjang ke arah kami. Sedetik sebelum motor itu
menghantam becak yang kutumpangi, motor itu membelok tajam dan berhenti. Si pengemudi motor gila membuka helmnya. Dengan sedikit gerakan kepala, rambut
depannya jatuh ke wajahnya dengan sempurna bak
cowok jagoan. Sayangnya, kuperkirakan usianya sudah
dua puluh tahun, mungkin lebih malah. Intinya, dia sudah terlalu tua untuk tampil sebagai cowok jagoan dalam kisah-kisah anak remaja.
"Sori telat," ketusnya dengan muka masam, membuatku curiga kalau-kalau permintaan maafnya tidak tulus.
"Ayo, naik." Sambil bersungut-sungut aku turun dari becak. Kusodorkan selembar uang dua ribuan pada si abang becak
yang tampak pucat. Mungkin dia sempat mengira nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Haishh, dasar abang
becak yang malang. Isi-Omen.indd 25 "Udah, udah." Aku menepuk bahunya seraya menghibur. "Bahaya udah berlalu, Bang."
"Kamu masih pake kaus dan celana pendek?"
Aku beralih pada si tukang ojek langganan sambil
nyengir. "Gosok gigi juga belum, Jek. Coba, cium."
Si tukang ojek langsung membekap hidungnya saat


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mendekat dengan mulut terbuka lebar. "Jangan!
Tolong! Aku masih kepingin hidup!"
Sial. "Makanya, jangan banyak omong." Aku menyambar
helm yang disodorkannya. Sambil memasang benda itu
di kepalaku, aku bertengger di belakang si tukang ojek.
"Ayo, jalan, Jek. Bye, Abang Becak!"
"Jek, Jek," gerutu si tukang ojek tak senang. "Namaku bukan Jek, tau!"
"Sebodo amat. Buat gue, nama lo Ojek, titik."
"Ya udah, terserah kamu, Ngil."
"Aduh, gue dipanggil Mungil?"
"Enak aja. Maksudnya Tengil, tau!"
Tukang ojek sialan. "Jadi gitu cara lo memperlakukan pelanggan?"
"Cuma sama kamu, Ngil."
Aku masih ingin memprotes, tapi si tukang ojek sudah
memacu motornya. Seperti biasa, motor kami menembus
kemacetan dengan kecepatan mengagumkan bagaikan
dikejar anjing neraka. Awalnya aku selalu sport jantung
dibuatnya, tapi sekarang sih aku sudah terbiasa. Apalagi,
berkat kecepatan seperti inilah aku bisa tiba di sekolah
dalam waktu singkat. "Jek, kita lewat pintu belakang aja."
"Memangnya sekolahmu ada pintu belakang, Ngil?"
Isi-Omen.indd 26 "Halah, nggak usah belagak pilon. Maksud gue, pagar
belakang tempat gue biasa manjat itu."
"Ooh, kirain itu namanya pintu darurat."
Dasar banyak bacot. "Whatever deh. Buruan anter gue
ke sono." "Siap, Ngil." Kami memutar ke pekarangan belakang sekolah dan
berhenti tepat di bawah salah satu dari deretan pohon
akasia yang mengelilingi sekolahku?atau lebih tepatnya
lagi, pohon ini satu-satunya pohon yang bisa membawaku masuk ke dalam sekolah tanpa terdeteksi guru-guru
yang tidak segan-segan menangkap murid yang terlambat
dan menyerahkannya ke dalam tangan Rufus. Rufus ini
bukanlah penjaga sekolah, hansip, apalagi algojo sekolahan?kalian kira sekolahku sekolah apaan, pakai algojo
segala??melainkan guru piket biasa yang suka berlagak
haus darah padahal berhati lembut, dan hal paling mengerikan yang bisa kita dapatkan darinya adalah ceramah
yang berbuntut pada tangisan seorang guru yang kecewa
pada diri sendiri. Amit-amit. Mendingan aku menghindari
masalah dengan menyelinap melalui pintu belakang,
atau pintu darurat, atau apa sajalah, selama tidak perlu
berhadapan dengan si guru piket gila itu.
"Bantuin gue manjat dong!"
"Hei," tegur si Ojek masam. "Apa kamu sadar kalo
kamu ini ngerepotin banget?"
"Berani komplen sama Nona Besar? Gue nggak bayar,
baru tau rasa lo!" Si Ojek mendengus. "Naik ojek aja minta dipanggil
Nona Besar. Nggak kebayang kalo orang kayak kamu
naik Mercy." Isi-Omen.indd 27 "Kalo gue naik Mercy, lo ganti nama jadi Sopir.
Panggilan akrabnya Sop. Panggilan imutnya Cop. Atau
sekalian nama lo jadi Copet aja."
"Ah, berisik. Nggak heran kamu telat melulu. Sono,
panjat tuh pohon." "Ya deh, Cop, eh, Jek."
Si Ojek memelototiku, tapi tampangnya sama sekali
tidak kelihatan sangar. Sebenarnya dia tergolong cukup
ganteng untuk ukuran om-om. Tubuhnya tinggi, agak
kurus, tapi penuh otot dan tenaga. Rambutnya dipotong
pendek dengan model shaggy dan dicat cokelat. Matanya
selalu menyorotkan sinar tajam, seolah-olah tatapannya
sanggup menembus hingga ke dasar hati. Hidungnya
besar dan mancung, kontras dengan mulutnya yang kecil
dengan bibir tipis yang selalu cemberut. Kalau aku boleh
ngasih tips, seharusnya dia memperbaiki tampang masamnya yang seolah-olah mengisyaratkan bahwa hidupnya
dipenuhi hal-hal yang bikin kesal melulu. Pasti dia
bakalan lebih populer daripada sekadar jadi tukang ojek
tak bernama yang punya nama kecil Ojek. Atau mungkin
saja dia hanya bertampang masam saat berada di dekatku? Yah, memang sih, aku kan hobi bikin kesal orangorang di sekitarku.
"Ngil, hari gini kamu masih pake celana pendek Mr.
Bean?" "Memangnya apa salahnya dengan Mr. Bean?"
"Jelas salah. Jelek banget gitu lho."
Oke, bukan cuma aku yang hobi bikin kesal orangorang. "Jelek atau nggak, itu bukan urusan lo, Jek.
Lagian, kenapa juga lo ngintip-ngintip?"
"Aku nggak ngintip. Ini ada di depan mata gini kok."
Isi-Omen.indd 28 "Tutup mata dong. Nggak etis liat-liat celana gadis
muda, tau!" "Gadis muda?" Si Ojek tertawa. "Ternyata masih inget
jenis kelamin diri sendiri ya, Ngil? Ouch!"
Rasanya puas banget bisa menginjak muka tukang ojek
sialan itu. "Sori, cabut dulu, bye-bye!"
"Hei, mana bayarannya?"
"Ntar pulangnya! Jangan lupa jemput, ya!"
Tanpa mengindahkan si tukang ojek yang sepertinya
memaki-maki alas kakiku yang bau, aku meloncat turun
dari pagar dan mendarat dengan sempurna di pekarangan belakang sekolah?atau tepatnya, di secuil pekarangan
di belakang toilet cewek. Seperti yang kujelaskan tadi,
tempat ini adalah jalan rahasia terbaik untuk menyelinap
ke dalam sekolah tanpa diketahui siapa pun. Aku masuk
ke dalam toilet cewek melalui pintu janitor, mengganti
kausku yang bermotif sapi terbang dengan seragam
sekolahku yang sangar lantaran kutato dengan tulisantulisan bernada provokatif, melepaskan celana pendekku
dan memakai rok, merias wajahku sekadarnya supaya
para guru terprovokasi untuk mengomentarinya, mengolesi rambutku yang pendek dengan gel superbanyak,
lalu menjejalkan celana pendek dan kausku yang bau iler
ke dalam tas ransel sekolahku yang segede karung.
Lalu, mendadak kusadari sesuatu.
Buset, aku masih memakai sandal bulu berbentuk
kepala sapi yang serasi dengan kausku! Sandal itu sudah
jelek, separuh bulukan, tapi aku senang memakainya
karena nyaman. Terlintas dalam ingatanku bahwa si Ojek
sempat berteriak-teriak soal alas kaki. Rupanya dia
hendak memperingatkan aku soal sepatu. Ternyata aku
Isi-Omen.indd 29 malah tidak mengerti niat baiknya. Dasar tukang ojek
yang malang. Yah, sudahlah. Aku kan sudah berusaha semampuku.
Memangnya kenapa kalau disetrap hanya gara-gara salah
pakai alas kaki? Tunggu dulu. Aku tidak mungkin berkeliaran di sekolah dengan sandal kepala sapi yang bulukan. Bisa-bisa
imejku sebagai cewek sangar tercoreng. Sepertinya jauh
lebih keren kalau aku nyeker saja. Bukannya aku belum
pernah nyeker?yah, harus kuakui, aku sudah melakukan
banyak hal aneh di sekitar sekolahan?jadi bisa dibilang
ini bukan masalah besar untukku.
Setelah menjejalkan sandal bauku ke dalam tasku yang
lebih bau lagi, aku melenggang keluar dari toilet sambil
menyiulkan lagu Justin Bieber, Stuck in the Moment?
cocok untuk lagu telat masuk sekolah akibat memenuhi
panggilan alam?dan berjalan menuju kelas X-E. Siulanku terhenti saat mendengar suara yang sudah sangat
kukenal. "Dengar-dengar sebentar lagi sekolah kita akan mengadakan karyawisata. Nonton pertunjukan sulap, katanya."
Itu suara Ferly, cowok yang sudah kutaksir habis-habisan sejak masuk SMA! Yeah, kalian tidak salah dengar.
Biarpun gayaku kayak cewek jagoan yang hobi tendang
kiri-kanan dan tidak mungkin pernah memikirkan
adegan romantis, aku tidak bisa melawan keinginan hati
untuk jatuh cinta. Bahkan, sejujurnya, baru saat ini aku
tahu aku punya hati dan bisa jatuh cinta. Kukira, aku
ditakdirkan untuk jadi biksu gundul sakti yang kerjanya
membabat habis penjahat-penjahat yang malang
Isi-Omen.indd 30 melintang di dunia persilatan. Ups. Kok omonganku
kayak buku silat saja? Yah, maklum deh, itu kan satusatunya jenis buku penuh tulisan yang kubaca. Sisanya...
yah... paling komik-komik yang tulisannya minim, kayak
Kungfu Boy gitu lho. Yang tulisannya lebih banyak
daripada itu hanya akan membuatku mengantuk.
"Kalau jadi, mau ikut mobilku nggak?"
Buset, ternyata Ferly sedang merayu cewek lain! Tapi
tunggu dulu, mungkin saja dia sedang mengajak teman
cowoknya yang lain. Tapi tidak mungkin. Suaranya itu
lho, genit banget, beda dengan saat bicara denganku.
Aku nyaris tersedak ludah sendiri saat mendengar
suara tawa yang terdengar mirip dengan suara tawaku?
hanya saja suara tawa ini jauh lebih feminin dibanding
suara tawaku yang cablak.
"Memangnya kenapa aku harus ikut mobil Kak Ferly?"
Oke, sekali lagi: sial. Itu suara adik kembarku, Eliza.
Yeah, kalian tidak salah dengar. Yang bentuknya seperti
aku ada DUA di dunia ini. Tapi kalian jangan panik
dulu. Adik kembarku ini sekarang sama sekali tidak
mirip denganku. Dulu waktu kecil, kami seperti pinang
dibelah dua. Kini tidak ada lagi pinang yang disebutsebut saat orang-orang menyinggung soal kemiripan
kami. Ini semua berkat usahaku. Ya, akulah yang sengaja membuat kami berdua tidak mirip sama sekali.
Kenapa? Yah, ceritanya panjang. Akan kuceritakan nanti?kalau aku ingat.
"Ya harus dong, Liza. Masa kamu mau naik bus yang
panas dan sumpek itu?"
"Ya nggak apa-apa. Murid-murid lain juga naik bus
kok." Isi-Omen.indd 31 "Tapi kamu kan spesial kalo dibanding murid-murid
lain." "Ah, masa? Termasuk Erika juga? Kan aku mirip sama
Erika." Ya ampun, pakai nada suara sok muram, lagi. Memangnya aku tidak tahu apa yang dia lakukan? Dia sedang
berusaha memancing Ferly supaya merasa kasihan
padanya! Ya, di dunia ini, selain aku, tidak ada yang
tahu seberapa licik adik kembarku ini. Mengenaskan memang!
"Nggak mirip kok. Kamu jauh lebih cantik dan manis."
"Masa? Jadi Kak Ferly nggak suka sama Erika?"
"Nggak sesuka aku sama kamu."
Aku mengertakkan gigiku. Dasar cewek brengsek! Lagilagi dia melakukannya. Lagi-lagi dia sengaja menggiring
orang-orang untuk membanding-bandingkan kami berdua
dan mengakui kelebihannya dibandingkan denganku.
Terlebih lagi, kali ini korbannya Kak Ferly!
Sesuatu yang gelap mulai menguasai hatiku yang dipenuhi amarah dan dendam. Sesuatu yang gelap dan
jahat. Kubayangkan Ferly dan Eliza berpisah di dekat
pintu toilet. Sepeninggal Ferly, aku akan menarik Eliza
ke dalam toilet, lalu mulai memukuli wajahnya yang
cantik itu, berkali-kali, sampai mukanya hancur berantakan. Setelah itu, aku akan menyeretnya ke belakang toilet.
Di pekarangan kecil tempat aku biasa turun dari pohon
itu, aku akan menguburnya. Hidup-hidup.
Dan, masalahku akan beres untuk selamanya.
Hanya saja, aku juga akan hidup selamanya sebagai
"Omen". Isi-Omen.indd 32 Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan gelap itu. Tidak, aku tidak akan melakukannya.
Boleh-boleh saja aku membayangkannya. Kurasa setiap
orang pasti pernah membayangkan untuk membunuh
seseorang, kan? Tapi perbedaannya terletak pada apakah
kita benar-benar melakukannya atau tidak. Banyak orang
di dunia ini bisa menjalani hidup normal dan bahagia
karena mereka tidak menuruti keinginan gelap yang ada
di dalam hati mereka. Dan, biarpun hidupku sekarang tidak normal dan bahagia, aku tetap tidak ingin menuruti keinginan gelapku.
Biarlah itu jadi keinginan gelap belaka.
Cih, menyebalkan. Kenapa aku harus berlagak jadi
orang baik begini? Ini sama sekali bukan sifatku. Lebih
baik aku mencari masalah dan kembali jadi anak badung.
Aku berbalik dan kembali ke toilet cewek. Dengan
garang mataku menyapu ruangan sempit dan kusam itu,
mencari-cari apa yang bisa kurusak. Mataku berserobok
dengan satu-satunya cewek yang sedang berada di situ,
cewek culun berkacamata dengan rok kepanjangan.
Sebuah ide tebersit di kepalaku.
"Eh, lo!" bentakku. "Sepatu lo buat gue!"
"Hah? Tapi" "Buruan!" Mungkin karena tampangku memang sudah mirip
orang yang siap memulai karier jadi pembunuh berantai,
cewek itu buru-buru melepaskan sepatunya. Buset, sekalisekalinya malak sepatu, dapatnya sepatu merek termurah.
Untung banget ukuran sepatunya pas dengan kakiku.
Tapi tak apalah. Yang penting aku tidak nyeker.
Isi-Omen.indd 33 "Kaus kakinya mau?"
Anak ini bego atau apa sih? Pakai menawarkan kaus
kaki segala. "Nggak usah. Buat lo aja."
"Makasih." Beneran bego rupanya. Aku sudah siap meninggalkan toilet itu tatkala aku
teringat sesuatu. Sejahat-jahatnya aku, hingga saat ini
aku belum pernah mengambil barang dari orang miskin.
Dan dari merek sepatunya, cewek ini memang kere banget. Aku tidak masalah punya reputasi jadi anak rese
atau badung, tapi aku tidak ingin dikenal sebagai penindas kaum lemah.
"Siapa nama lo?" tanyaku.
"Valeria." "Kelas berapa?"
"X-A." Kelas anak-anak pintar rupanya. "Besok gue balikin
sepatu lo kalo gue inget, ya."
"Iya, makasih."
Ampun deh. Anak ini benar-benar culun habis.
Saat keluar dari toilet, aku tidak memikirkan si cewek
cupu lagi. Pikiranku dipenuhi dengan Eliza, permainan
kotornya yang harus kuikuti sejak kecil, dan bagaimana
aku dijerumuskannya sampai tenggelam serendah ini.
Isi-Omen.indd 34 SEJAK kecil aku dikenal dengan julukan "Omen".
Buat kalian yang pandai berbahasa Inggris atau punya
kamus Inggris yang bagus, kalian akan tahu bahwa secara harfiah, omen berarti "pertanda". Arti yang netral.
Bisa saja itu berarti pertanda bagus, bisa juga itu berarti
pertanda buruk. Namun, kalau kalian sudah nonton film
The Omen, kalian akan tahu bahwa kata Omen itu


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merujuk pada seorang anak kecil yang jahat dan
mengerikan, penjelmaan seorang Anti-Kristus, yang hobi
membunuh-bunuhi orang seenak jidatnya. Bagiku, yang
tumbuh di keluarga besar yang akrab dan hobi nonton
film horor bareng seperti orang-orang lain nonton
pertandingan sepak bola bareng, menyandang julukan
itu benar-benar membuat masa kecilku terasa bagaikan
di neraka. Bukannya aku terlahir dengan tampang dan sifat mirip
anak kecil di film The Omen itu. Waktu lahir, aku
normal-normal saja seperti kalian semua. Muka lucu dan
polos, badan kecil tak berdaya. Satu-satunya yang agak
berbeda dalam diriku adalah ternyata aku punya ingatan
Isi-Omen.indd 35 fotografis. Artinya, aku tidak akan melupakan apa pun
yang sudah kulihat. Bahkan sebenarnya, aku juga tak
pernah melupakan apa pun yang pernah kudengar. Itulah sebabnya aku jauh lebih cepat bisa bicara dibandingkan Eliza, dan pengetahuanku pun bertambah luar biasa
cepat. Karena Eliza belum bisa bicara sama sekali, aku mengira diriku pun belum bisa bicara. Namun, pada saat
merayakan ulang tahun kami yang pertama, saking
girangnya melihat kue ulang tahun untuk yang pertama
kalinya, aku berkata dengan lidah cadelku, "Lika mau
lebih banyak dalipada punya Lica."
Itulah pertama kalinya aku melihat ekspresi horor di
wajah orangtuaku. Mereka menatapku seolah-olah aku
sedang kesurupan. Belakangan, aku tahu memang itulah
yang mereka pikirkan. Bahwa anak pertama mereka sudah
kerasukan roh jahat. Sama sekali tidak terlintas dalam
pikiran mereka bahwa aku sanggup berbicara lebih cepat
daripada Eliza karena aku jauh lebih pandai.
Tapi saat itu, aku masih belum tahu apa-apa. Aku senang bisa bicara dan mengungkapkan isi hatiku, tanpa
menyadari bahwa isi hatiku sering kali membuat orangtuaku ketakutan.
"Baju Lika cobek. Lika mau pakai baju Lica aja."
Yang mereka dengar adalah: Rika sengaja menyobek
bajunya sendiri supaya bisa mengambil baju Liza.
"Ada cemut di baju Lica, jadi Lika bunuh bial mati."
Kecil-kecil dia sudah mengerti konsep membunuh, padahal
tidak ada yang mengajarinya.
"Dalipada belalangnya loncat-loncat pelgi, Lika patahin
aja dua kaki belakangnya."
Isi-Omen.indd 36 Dia menyiksa binatang malang itu untuk kesenangannya
sendiri. Dari mana sifat kejamnya itu berasal?
Dalam waktu singkat, semua itu menyebar ke sanak
keluarga yang lain. Setiap kali aku lewat, semua langsung
berbisik-bisik. "Padahal mereka begitu mirip, kenapa hati mereka bisa
begitu berbeda ya?" "Liza begitu manis. Coba lihat senyumnya, menggemaskan banget. Sedangkan senyum Rika tampak licik dan
kejam." "Lihat, betapa beda aura kedua anak itu. Aura Liza begitu putih bersinar, sementara aura Rika gelap dan hitam.
Mengerikan sekali." "Dia itu persis anak kecil yang ada di film The Omen.
Kalian semua ingat, kan?"
"Kalau begitu, kita panggil dia Omen saja."
Dan begitulah, sejak usia dua tahun, aku pun sudah
terkenal dengan julukan Omen.
Tapi, eitss, jangan salah. Bukannya aku sudi dilecehkan
begitu saja. Meski tidak mengerti maksud mereka, aku
bisa merasakan kebencian mereka semua padaku. Jadi,
kukerjai saja mereka satu per satu. Kuoleskan cat di kursi
kesayangan Tante Remi dan kunodai bagian pantat si
tante dengan dua bulatan kuning lucu yang, sayangnya,
menurutnya vulgar banget. Kucukur kumis kesayangan
Om Yusman, membuat pria malang itu nyaris menangis
saat melihat bayangannya di cermin. Kuikat ekor kucingkucing kesayangan Nenek sampai-sampai tidak bisa
dilepas kembali karena kucing-kucing itu bertekad untuk
mencakari siapa saja yang berani mendekat.
Jelas saja, ulahku membuat aku makin dibenci. Lalu,
Isi-Omen.indd 37 memangnya kenapa? Tanpa semua itu pun mereka sudah
mengecapku macam-macam. Setidaknya, dengan cara ini,
aku puas bisa memberi mereka pelajaran. Biar mereka
tahu bahwa biarpun aku masih kecil, aku tidak bisa diremehkan begitu saja.
Nah, kalau kalian pernah membaca buku tentang
kembar yang kompak, kuberitahu sesuatu?tidak semua
saudara kembar bersikap seperti itu. Eliza menolak bekerja sama denganku untuk mengusili orang-orang dewasa yang mengesalkan itu. Lebih parah lagi, bukannya
membelaku, dia malah memihak mereka.
"Lika badung cih," katanya sok bijak sambil meninabobokan boneka bayinya yang jelas-jelas benda mati dan
tidak butuh perhatian yang begitu banyak. "Coba Lika
manic kayak Lica. Cemua juga akan cayang cama Lika."
Kesal setengah mati, aku tidak menyahutinya, melainkan merampas boneka bayinya. Lalu, entah apa yang
kupikirkan, aku mulai mencabuti organ tubuh boneka
itu, termasuk rambutnya, hingga akhirnya boneka itu
tinggal potongan-potongan yang tak ada gunanya lagi.
Dan selama aku memutilasi bonekanya, Eliza terus
menangis sambil menjerit-jerit sampai orangtua kami
datang. "Apa-apaan ini?!" jerit ibuku, sementara ayahku hanya
terperangah. "Anak macam apa kamu, melakukan kekejaman seperti ini?"
Aku langsung menatap ibuku dengan pandangan menantang, yakin bahwa ibuku akan memukuliku lagi seperti biasanya.
Namun ibuku hanya membalas tatapanku dengan sorot mata yang kini kuketahui sebagai sorot mata ke38
Isi-Omen.indd 38 takutan. "Kamu ini benar-benar mengerikan! Anak seperti
kamu sebaiknya dikurung untuk selama-lamanya!"
Itulah pertama kalinya aku dikurung di Toilet-Setan.
Toilet-Setan adalah toilet yang letaknya di ujung belakang rumah kami. Toilet itu seharusnya digunakan
oleh pengurus rumah, tapi keluarga kami tidak kaya-kaya
amat dan tidak butuh pengurus rumah. Jadilah toilet itu
ditelantarkan begitu saja?kotor karena lama tidak dibersihkan, gelap karena lampunya yang rusak tidak
pernah diganti, sumpek karena tidak ada exhaust fan.
Belum lagi ada banyak kecoak berkeliaran di dalam.
Di situlah aku dikurung semalaman. Kini giliranku
yang menangis dan menjerit-jerit, tapi tidak ada yang
mendengarkanku karena dinding toilet yang tebal dan
letaknya yang terlalu jauh dari ruang-ruang utama di
rumah kami. Pada saat pintu akhirnya dibuka, mataku
sudah membengkak sampai sebesar telur, sementara
tenagaku habis sama sekali. Selama tiga hari aku hanya
sembunyi di dalam kamar dan tidak mau keluar.
"Jadi itulah rahasianya." Kudengar ibuku berkata pada
ayahku. "Dia memang harus dikurung supaya bisa berubah."
Sejak saat itu, dari sekian banyak orang di dunia ini,
aku paling takut pada orangtuaku?atau lebih tepatnya
lagi, ibuku?karena beliaulah satu-satunya orang di dunia
ini yang tahu kelemahanku dan tidak segan-segan menggunakannya untuk menghukumku.
Semakin dewasa, citra Eliza sebagai malaikat cantik
dan menyenangkan semakin melekat pada dirinya,
sampai-sampai aku bisa mencium ketakutannya kalau dia
kehilangan imej tersebut. Dia menolak bersenang-senang,
Isi-Omen.indd 39 mulai dari menolak makan dengan gaya rakus?jelas
dong, kan tidak anggun jadinya?hingga menolak
nonton bioskop bareng teman-teman?soalnya dia harus
membantu orangtua di rumah dan uang sakunya harus
ditabung untuk membantu orangtua kami membayar
uang sekolah. Yeah, memang banyak orang mengaguminya dan memujinya sebagai anak teladan, tapi aku sering
bertanya-tanya dalam hati, apakah pengorbanannya
untuk menjaga reputasi tersebut sebanding dengan kesenangan yang didapatkannya?
Lebih gawat lagi, aku mulai menyadari modus
operandi yang dilakukan Eliza untuk mempertahankan
imejnya itu. Dia tidak segan-segan memperalat anak lain,
membongkar rahasia teman-temannya, bahkan menuduh
seseorang melakukan perbuatan jahat?semuanya dilakukan secara tersirat dan sangat halus sampai-sampai tak
ada yang menyadarinya. Selain aku, tentu saja, dan ini
bukan karena kepintaranku, melainkan karena pertalian
batin kami yang tadinya kukira tidak ada.
Sementara itu, aku, tentu saja, tumbuh ke arah yang
sebaliknya. Yep, menjadi Omen yang dibilang mirip denganku itu lho. Seperti kataku, sudah kepalang tanggung,
buat apa aku bersusah payah menjadi anak baik jika
belum apa-apa aku sudah dianggap buruk? Lagi pula, aku
menikmati peran jadi anak badung kok. Aku bisa mengerjai siapa saja yang aku mau dan melakukan apa saja
yang kuinginkan. Intinya, aku manusia bebas?tidak
seperti Eliza yang terkungkung dalam penjara peraturan
secara sukarela. Namun, diam-diam aku merasakan sesuatu tumbuh di
dalam hatiku. Sesuatu yang gelap dan jahat, yang men40
Isi-Omen.indd 40 dorongku untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
lebih jauh lagi dibanding saat ini. Mencuri dompet dan
ponsel teman-teman sekelas yang selalu slebor meletakkan barang-barang pribadi mereka, memukuli anak-anak
yang menjengkelkanku sampai bersimbah darah, dan
dorongan terkuat yang kurasakan: membunuh Eliza. Ya,
sudah berkali-kali aku berharap, seandainya saja Eliza
tidak ada di dunia ini, tidak ada lagi yang akan membanding-bandingkan aku dengannya. Aku akan memiliki
semuanya sendirian. Orangtuaku, teman-teman, juga
Ferly. Hidupku akan jauh lebih menyenangkan.
Aku terus-menerus melawan kegelapan itu. Aku tidak
ingin menjadi pencuri, penindas, apalagi pembunuh. Terlebih lagi, aku tidak betul-betul ingin menjadi Omen
seperti yang diramalkan semua orang. Aku tidak ingin
memberikan kepuasan itu pada mereka semua. Akan
kutunjukkan bahwa meski aku badung dan nakal, aku
tetap jauh lebih baik daripada mereka semua.
Kuharap aku tak akan pernah menyerah pada kegelapan itu.
Isi-Omen.indd 41 OMONG-OMONG, nasib sialku belum berakhir.
Baru saja aku menginjak lantai keramik gedung sekolah yang sudah pecah-pecah, aku mendengar namaku
dipanggil dengan suara khas yang membuatku langsung
ingin menjedukkan kepalaku ke dinding.
"Errrika!" Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku dengan gaya senorak itu. Rufus, si guru piket yang ternama.
"Apa lagi, Pak?" tanyaku sambil memasang wajah sepolos mungkin. "Saya nggak telat, kan? Dari tadi saya
udah di dalam toilet kok. Sumpah."
"Jangan bermain-main dengan sumpah kamu, Nak,"
tegur si Rufus dengan muka sok welas asih, sementara
rambut kribonya membuatku diam-diam menahan tawa.
"Nanti terjadi hal-hal yang tidak enak, kamu baru tahu
rasa." "Biasanya sih yang bikin saya mengalami hal-hal
nggak enak itu Bapak," sahutku sekenanya.
"Itu karena kamu yang menantang saya," balas si
Isi-Omen.indd 42 Rufus seraya mengamatiku dari atas ke bawah. "Kenapa
seragam kamu dekil begini, Errrika, sementara seragam
Eliza putih bersih dan sangat rapi?"
Aku langsung cemberut karena dibandingkan terangterangan begitu. "Yah, namanya juga lain bapak lain
ibu." Si Rufus terheran-heran mendengar jawabanku. "Bagaimana bisa begitu?"
"Ya, bapak-ibu Eliza sayang sama dia, bapak-ibu saya
benci sama saya." "Errrika, Errrika." Si Rufus menggoyang-goyangkan jari
telunjuknya. "Tidak baik ngomong begitu soal orangtuamu sendiri, Nak."
"Lho, itu memang bener, Pak. Dan Bapak jangan panggil
saya ?Nak? begitu deh. Saya kan bukan anak Bapak." Aku
melambaikan tanganku. "Udah ya, Pak. Kalau sampai saya
diomelin guru kelas, saya bakalan nyalahin Bapak."
Pada saat aku mengira aku sudah bakalan lolos, tibatiba si cewek cupu keluar dari toilet dengan kaki tanpa
sepatu. Sial, bisa gawat kalau si Rufus tahu aku sudah
merebut sepatu murid lain!
"Pak, ada lebah di kepala Bapak!" teriakku spontan.
"Mana? Mana?" jerit si Rufus kaget sambil mendongak
ke sana kemari dan mengibas-ngibaskan tangan ke arah
rambut keritingnya dengan gugup. Mengambil kesempatan
itu, aku langsung memberi isyarat pada si cewek cupu
untuk ngacir secepat kilat. Si cewek cupu segera memahami
isyaratku, tapi tidak ngacir secepat yang kuinginkan.
"Hei, hei! Tunggu dulu. Siapa itu yang tidak pakai
sepatu?" Buset, mata guru ini sakti bener! Sementara si cewek
Isi-Omen.indd 43 cupu menghentikan langkahnya dengan muka pucat, aku
bergerak-gerak heboh ala kiper futsal supersibuk sambil
berusaha menutupi si cewek cupu.
"Lebahnya ada dua, Pak, eh tiga, eh lima ding! Dia
kira rambut Bapak sarangnya, kali."
"Minggir kamu, Errrika, kamu menghalangi pandangan
saya!" Kurang ajar, aku dianggap pemandangan jelek. Tapi
aku tetap bertahan, sementara si Rufus menarik-narikku
dengan tidak sabar. Tentu saja aku tetap bergeming.
"Kamu ini apa-apaan, Errrika? Mau ngajak saya berantem, ya?"
"Memangnya Bapak menang lawan saya?" seringaiku
sambil berkacak pinggang, lupa dengan tujuanku bermain hadang-hadangan dengan si Rufus. Aku hanya bisa
melongo saat si Rufus berhasil menarik si cewek cupu
dari belakangku. "Kenapa kamu tidak pakai sepatu?" hardik si Rufus
sambil memasang muka supergalak yang sama sekali
tidak menakutkan. "Siapa namamu? Dari kelas mana?
Dan ke mana sepatumu?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, si cewek cupu
makin pucat saja?meski tampang tenangnya saat menghadapi serangan beruntun Rufus patut mendapatkan
acungan jempol. Aku memutuskan untuk menyelamatkan
si cewek cupu dari kondisi yang tidak mengenakkan
ini?sekalian dong menyelamatkan diriku (sebenarnya,
itulah maksud utamanya). "Sudahlah, Pak. Hal kecil seperti ini jangan dibikin
jadi masalah besar. Coba Bapak liat, muka anak malang
ini sampai hijau gara-gara Bapak, gara-gara bentakan
Isi-Omen.indd 44 Bapak yang tidak manusiawi. Ke mana hati nurani Bapak, hah?!"
"Justru hati nurani saya berteriak-teriak saat ini,
Errrika. Anak ini tidak kelihatan familier, dan itu berarti
dia jarang dihukum. Jangan-jangan dia tidak pakai
sepatu lantaran dia dikerjai temannya" Suara si Rufus
hilang saat menatap sepatuku. "Kok tahu-tahu kamu
pakai sepatu baru?" "Ini?" Aku tertawa rikuh sambil menyembunyikan
salah satu kakiku di belakang kakiku yang lain. "Ini mah
sepatu lama, Pak, cuma jarang keliatan. Habisnya ini
sepatu murah banget sih."


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ini memang bukan sepatu baru, tapi ini juga
bukan sepatumu yang biasa. Kamu biasanya tidak pernah
pakai sepatu dengan benar, sering kamu injak bagian
belakangnya, tapi yang ini masih tegak sekali." Si
Rufus memelototiku dengan mata nyaris keluar dari
rongganya. "Errrika, kamu yang rebut sepatu anak ini,
ya?" Gila. Tak kusangka si Rufus punya ilmu deduksi sedalam Shinichi Kudo!
"Ehm, saya punya penjelasan, Pak," sahutku sambil memasang muka kalem. "Penjelasan saya agak panjang sih,
Pak..." "Bagus! Ayo kita dengar penjelasanmu di ruang piket."
"Eh, tapi saya ada kelas Geografi sebentar lagi."
"Kalaupun kamu masuk kelas, memangnya kamu bakal
mendengarkan omongan Pak Tarmono?"
"Kok Bapak gitu sih? Apa itu kata-kata yang pantas
didengar dari seorang guru?"
Isi-Omen.indd 45 Meski masih tetap nyolot, dalam hati aku harus memuji si Rufus yang sudah mengerti banget sifatku.
"Tidak usah mangkir lagi," balas si Rufus dengan muka
sewot. "Cepat kamu masuk penjara?eh, maksudnya,
ruang piket." Yah, memang masuk ruang piket tidak ubahnya masuk
penjara kok. Setidaknya, di penjara dikasih makan. Di
ruang piket kita cuma bisa ngelihatin guru makan. Di
penjara ada toiletnya. Di ruang piket kita disuruh nahan
pipis sampai lonceng berikutnya berbunyi. Di penjara
kita bisa ngeledekin sipirnya. Di ruang piket nasib kita
bisa malang kalau kita berani ngeledekin guru. Hmm,
kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya penjara malah lebih
bagus ketimbang ruang piket.
Si Rufus duduk di singgasananya yang terletak di
puncak tangga menuju papan tulis, gayanya mirip hakim
neraka yang siap mengirim kami semua ke tempat pemanggangan paling dahsyat.
"Nah, sekarang ceritakan pada saya apa yang terjadi."
Si cewek cupu tetap mingkem bagaikan orang bisu,
sementara aku ogah banget mengakui kesalahanku dan
menjerumuskan diri sendiri ke dalam masalah.
"Kamu!" tegur si Rufus, membuat si cewek cupu mengangkat wajahnya, memperlihatkan wajah tenang yang
lagi-lagi patut kukagumi. "Namamu siapa? Dari kelas
mana?" "Nama saya Valeria Guntur, Pak," sahutnya datar.
"Saya dari kelas X-A."
"Hmm, sudah saya duga, kamu bukan murid
sembarangan...." Isi-Omen.indd 46 "Hei!" protesku tersinggung. "Jadi maksud Bapak, saya
murid sembarangan, gitu?"
"Kamu sih murid luar biasa," sahut si Rufus, dan aku
langsung mengangguk-angguk setuju. "Dengan nilainilaimu, seharusnya kamu juga masuk kelas X-A, tapi
karena kelakuanmu yang minus itu..."
Aku langsung cemberut lagi. "Pak, kalo muji ya muji
aja, nggak usah diakhiri dengan penghinaan sedalam
lautan gitu!" "Eh, Errrika, kamu pernah dengar pepatah ini tidak?
Kalau mau eksis, jangan lebay, plis!"
Astaga, guru ini benar-benar minta dicolok lubang
hidungnya! Bisa-bisanya dia bicara sok gaul begitu.
"Berani-beraninya Bapak ngatain saya nggak eksis,
padahal Bapak yang bercandanya garing banget, nggak
gaul, bikin ilfil." "Kamu ini memang banyak omong kalau komplen
pada guru," tukas si Rufus dengan tampang kepingin bunuh diri. Yah, memang banyak sih orang-orang yang
memasang tampang seperti itu kalau sudah depresi menghadapiku. "Coba sekarang kamu gunakan kecerewetanmu
untuk menceritakan kasus sepatu ini."
Kasus. Cih, siapa yang lebay sekarang? Saat aku membuang muka dan berpaling ke arah pintu ruangan, kudengar si Rufus menghela napas melalui lubang hidungnya yang besar.
"Ya sudah. Bagaimana denganmu, Valeria? Apa yang
bisa kamu ceritakan pada saya?"
Dengan cepat aku menoleh pada si cewek cupu yang
mengangkat bahu sambil menyunggingkan senyum
polos. "Saya cuma lupa memakai sepatu, Pak."
Isi-Omen.indd 47 "Kamu tahu kan, kalau kamu ketahuan berbohong,
semua ini akan berakibat fatal?"
Si cewek cupu hanya diam seraya memandangi si
Rufus dengan bola matanya yang besar.
"Kamu akan ketinggalan pelajaran hari ini, dan kalau
ada ulangan, kamu tidak akan diberi remedial."
Reaksi si cewek cupu tetap sama, seolah-olah dia membeku di tempat dengan pose menatap-Rufus-denganmuka-blo?on, sementara aku mulai gelisah. Sepertinya
pantatku agak gatal. "Kejadian ini juga akan masuk ke dalam data murid,
dan orangtuamu akan dipanggil."
Uh-oh. Itu baru menyeramkan. Wajah si cewek cupu
memucat seperti tembok rumah sakit, dan aku pun tidak
tahan lagi. "Udah deh, Pak!" teriakku seraya memaki-maki diriku
sendiri yang selalu lemah melihat air mata cewek.
"Nggak usah ngancem ini-ono lagi! Iya, saya yang ngerebut sepatunya! Puas?"
"Lho, saya tidak mengancam, Errrika. Yang saya katakan tadi, semuanya benar."
Tapi tampang guru piket itu memang tampak puas
sekali, dengan senyum penuh kemenangan yang tidak
pada tempatnya. Huh, coba kutarik bibirnya yang tebal
banget itu, biar tahu rasa dia kalau tak bisa senyum
lagi! "Sekarang kamu jadi anak yang baik ya, Errrika, dan
kembalikan sepatunya."
"Sejak kapan saya bisa jadi anak yang baik?"
Meski sambil mendumel, kulepas juga sepatu itu dan
kukembalikan pada yang punya.
Isi-Omen.indd 48 "Sori ya," ucap si cewek cupu perlahan seraya menerima kembali sepatunya.
Cewek ini benar-benar gawat. Seharusnya kan aku
yang bilang sori. Tapi tentu saja, aku tidak mungkin
menghiburnya dengan cara lembut dan feminin, jadi aku
mendengus dan berkata, "Nggak usah malu-malu. Semuanya memang salah gue kok."
"Nah, Valeria, kamu boleh kembali ke kelas."
Dari sudut mataku, aku bisa melihat si cewek cupu
sempat berdiri ragu-ragu di depan pintu ruang piket?
seolah-olah sempat mempertimbangkan untuk menarikku
kabur?sebelum akhirnya pergi seorang diri.
Sementara itu, dengan gembira si Rufus mulai memberiku tugas detensi yang tidak sulit tapi membosankan.
"Sedangkan kamu, Errrika, kamu harus membuat karya
tulis tentang pentingnya mengenakan sepatu ke sekolah."
Apa??? "Pak, nggak usah dijelasin juga semua orang pake sepatu"
Kata-kataku terputus saat melihat seringai lebar dan
jelek si Rufus. "Buktinya, kamu tidak pakai sepatu. Makanya, di dunia ini cuma kamu yang perlu membuat karya tulis soal
pentingnya pakai sepatu. Jadi tidak usah protes lagi. Ini
kertas folionya, tulis sampai penuh, ya!"
Aku menatap kertas folio yang terdiri atas dua lembar
itu. "Bolak-balik?"
"Iya dong. Kalau tidak, kenapa ada garis-garis di baliknya?"
Arghh! Isi-Omen.indd 49 Dengan bete aku mengambil tempat duduk dan mulai
menulis. Pentingnya Mengenakan Sepatu ke Sekolah
Alasanku menuliskan karya tulis tolol yang tak bakalan
dibaca orang ini Sejarah pembuatan sepatu tidak bisa ditemukan di manamana karena terlalu boriiiinnngggg
Benda paling malang di dunia ini adalah sepatu, soalnya
kerjaannya diinjak-injak orang sejak pertama kali diciptakan
Sebenarnya, buatku tidak penting mengenakan sepatu,
sandal, atau bahkan nyeker ke sekolah. Namun rupanya pendapatku ini tidak diterima oleh semua orang, terutama oleh
para guru. Dan khususnya oleh Pak Rufus, guru piket kami.
Oleh karena itu, pada suatu hari, ketika aku tidak sengaja
lupa pakai sepatu ke sekolah, aku disetrap dan disuruh menuliskan karya tulis yang tidak berguna ini.
Zaman sekarang, sepatu adalah salah satu benda yang
sama sekali tidak penting ketimbang saudaranya, sandal.
Dari segi kepraktisan, sandal menjadi pilihan utama semua
orang. Selain enak dipakai dan memberikan akses udara
segar pada jari-jari kaki kita yang gampang bau, sandal juga
murah meriah dan bisa dibeli oleh segala kalangan.
Sayangnya, pihak sekolah tidak pernah mengizinkan para
murid untuk mengenakan sandal ke sekolah. Diam-diam
saya curiga, ada konspirasi besar antara pihak sekolah dan
pabrik sepatu untuk menjual sepatu-sepatu yang tidak laku
kepada murid-murid, sehingga pabrik sepatu tidak rugi, sementara pihak sekolah mendapat jatah keuntungan. Hal ini
Isi-Omen.indd 50 bisa dibuktikan dari kepala sekolah kami, Ibu Rita, yang
baru-baru ini mengganti mobilnya dengan Innova baru. Juga
Pak Idris yang tahu-tahu saja membawa motor One Heart,
bahkan menyiulkan lagu tersebut di dalam toilet guru.
Eh, yang benar saja. Aku tidak boleh menyinggung
soal toilet guru. Bisa-bisa aku dicurigai sering membuat
ulah di sana. Yah, bukannya aku tidak pernah sih. Waktu
aku memergoki Pak Idris, aku memang sedang menyembunyikan gayung-gayung dari toilet guru ke dalam
gudang. Tapi mereka kan tidak tahu siapa pelaku tindakan kejahatan itu, dan mereka tidak perlu tahu.
Suara dengkuran membuatku terduduk tegak. Ya
ampun, si Rufus sudah enak-enakan ngorok di singgasananya! Kudekati si Rufus, siap mencabuti rambutnya
yang kribo banget, ketika tiba-tiba terlintas ide yang
lebih baik di kepalaku. Ya, daripada aku ngetem di ruangan tak berguna sambil menuliskan karya tulis tak berguna, lebih baik aku kabur sebentar ke warung bakmi
dan kembali secepatnya setelah menyikat habis satu-dua
mangkuk bakmi. Dan si tukang ngorok ini tidak bakalan tahu.
Aku berjingkat-jingkat mendekati pintu. Gerakanku
terhenti di udara saat bunyi dengkuran menghilang.
Dengan jantung berdebar-debar, aku menoleh ke belakang, dan langsung menghela napas lega saat melihat
si Rufus masih terlena di kursinya yang bulukan. Dengan
kecekatan seorang maling terlatih, aku berhasil membuka
pintu tanpa suara dan menutupnya dengan sangat perlahan.
Beres! Warung bakmi tersayang, ini aku datang!
Isi-Omen.indd 51 Warung bakmi yang terletak di pengkolan di dekat
sekolah adalah markas anak-anak badung di sekolahku.
Berbeda denganku yang punya akses keluar-masuk
sekolah yang langsung-aman-bebas-dan-rahasia, semua
anak yang ngetem di warung bakmi adalah anak-anak
yang telat masuk dan lebih memilih bolos ketimbang
mendapat jatah hukuman di ruang piket. Berbeda dengan kantin sekolah, warung bakmi itu tidak pernah digerebek oleh pihak sekolah (atau lebih tepatnya lagi, si
Rufus). Kalaupun tahu-tahu ada guru yang nongol, letak
strategis warung itu memudahkan kami untuk mengetahui kedatangan guru dari jarak jauh dan memberi kami
kesempatan untuk melarikan diri tanpa terlihat. Keuntungan plus lain, warung ini punya bakmi yang enak
banget dan lebih murah daripada bakmi di kantin sekolah. Pokoknya, warung ini warung idaman deh.
"Lo telat lagi, Mir?" tanyaku saat melihat Amir yang
sepertinya sedang menyikat bakmi porsi ketiga kalau
melihat tumpukan dua mangkuk di depannya.
"Ngantre kamar mandi sama adik gue, Ka," sahut Amir
setelah menelan bakminya dengan susah payah. Bibirnya
yang merah tampak jeder akibat kepedasan. "Lo tahu
sendiri adik gue pesolek banget. Mandi aja dua jam."
"Terus lo tungguin?"
"Ya, kagaklah. Gue terpaksa pergi tanpa mandi, tapi
tetap telat juga." Ternyata bukan aku satu-satunya yang tidak mandi di
sekitar sini. "Lo kenapa, Wel?"
Welly, sohib Amir yang bodinya superbegeng dengan
gerakan mirip robot yang membuat semua orang percaya
Isi-Omen.indd 52 saat dia mengaku kirinya android, langsung menyahut
dengan penuh semangat, "Solider dong, men. Masa temen
sebangku gue madol, gue tetep masuk sekolah? Jadi orang
harus setia kawan. Kalo nggak, negara kita bisa hancur
berantakan. Apa lo kagak nonton televisi, politikus saling
menuduh dan menyalahkan? Enek kan ngeliatnya!"
"Halah, banyak bacot. Bilang aja lo males ngeliat
muka guru-guru di sekolahan."
"Ya, itu juga sih."
"Lo, Niel?" tanyaku seraya menonjok Daniel yang
tinggi besar. Gosipnya, di waktu luang dia hobi main
piano. Tapi aku belum pernah membuktikan kebenarannya. Dia ini termasuk cowok yang lumayan diincar di
sekolah. Kadang harus kuakui, gayanya yang mirip perayu profesional itu memang menarik. Tapi yah, dia kan
Daniel si anak rusak. Tak ada yang bisa diharapkan darinya deh.
"Gue? Gue mah mejeng aja, Ka. Tuh, di depan sono ada
halte, sering ada mahasiswi-mahasiswi cantik nangkring di
situ. Sayang kan kalo dilewatkan begitu aja."
Dasar playboy cap kucing.
"Lo sendiri gimana, Ka? Kok nggak muncul bareng si
tukang ojek?" "Gue mah anak rajin, kagak kayak elo bertiga," sahutku sok. "Dari tadi gue udah di sekolah. Sayangnya, gue
lupa pake sepatu. Jadinya gue kena setrap sama si Rufus.
Karena laper, gue cabut dulu. Jadi, beda sama elo-elo,
gue harus buru-buru kembali biar nggak ketauan kabur.
Lo tau kan, sejak ada murid SMA kita yang hilang, guruguru jadi gampang parno kalo ada yang menghilang
tanpa sebab." Isi-Omen.indd 53 Yep, sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama.
Belasan orang menghilang begitu saja dari daerah Jakarta
dan sekitarnya, termasuk daerah sekitar sekolah dan
rumah kami, juga termasuk pasangan dari kelas XII SMA
kami. Tidak ada permintaan uang tebusan ataupun
tanda-tanda kekerasan yang menunjukkan mereka dipaksa, sehingga polisi tidak bisa menyimpulkan kejadiankejadian ini sebagai penculikan, pembunuhan, atau apa
sajalah. Intinya, mereka juga bingung banget, dan satusatunya yang bisa mereka lakukan adalah meminta kami
tidak kelayapan seenak jidat.
Tatapanku beralih pada cowok yang diam di ujung
bangku dan wajahku berubah masam. "Heh, kenapa ada
si Anus di sini?" Si Anus, alias Martinus?yang minta semua orang
memanggilnya Marty tapi kami semua lebih suka memanggilnya Anus?adalah cowok paling menyebalkan
di seluruh angkatan kami. Orangnya gempal, tapi tidak
segemuk Amir yang mirip gentong menggelinding.
Mukanya mengesalkan, selalu memasang tampang
angkuh, dengan hidung dan mulut yang selalu mengernyit, seolah-olah di muka bumi ini tidak ada
orang yang cukup baik?atau wangi?untuknya. Kalau
mau bicara soal lebay, si Anus adalah cowok paling
lebay di sekolah kami. Dia mengira dirinya anak paling kaya, paling ganteng, dan paling kuat di sekolah
kami. Kenyataannya, kekayaannya hanya karena ayahnya pemilik toko yang terkenal pelit luar biasa, tampangnya tidak lebih keren daripada si Daniel?bahkan,
bagiku Welly pun masih lebih enak dilihat?dan soal
kuat atau tidak, itu sih tidak usah diomongin lagi. Co54


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen.indd 54 wok itu pernah kutonjok sampai nangis. Apanya yang
kuat dari cowok cengeng begitu?
"Gue juga kagak tau," dengus Welly. "Tau-tau aja dia
ngumpet di situ." "Gue bolos, tau!" kata Anus dengan nada sok, seakanakan bolos adalah pekerjaan yang membanggakan. Padahal, kami semua bolos bukan karena ingin kelihatan
keren, tapi karena tidak punya pilihan lain yang lebih
menyenangkan. "Dasar anak bau kencur," cibir Amir. "Bolos aja bangga."
"Tonjok lagi aja dia, Ka, biar nangis," kata Daniel sambil terkekeh.
Aku memelototi Anus, yang langsung mengacungkan
dua tinjunya di depan muka. Aku mendelik sekali lagi
sambil mendekatinya, dan kedua tinju itu langsung digunakannya untuk melindungi kepalanya.
"Pergi lo, sono!" bentakku seraya mengibaskan tangan
mengusirnya. Dengan muka merah padam dan langkah tergopohgopoh dia keluar dari warung. Sedetik kemudian, kepalanya nongol di pintu warung.
"Gue aduin lo semua ke kepala sekolah!" ucapnya
dengan tatapan tertuju padaku, menandakan ancaman
itu terutama dialamatkannya padaku. Hmm, menarik.
Rupanya cowok ini dendam padaku.
Amir yang paling dekat dengan pintu, segera mengayunkan tinjunya, dan si Anus yang malang langsung
kabur secepat kilat. "Dasar anak nggak berguna," gerutu Welly. "Oknum
kayak gitu cuma bikin malu nama kita-kita aja."
Isi-Omen.indd 55 "Yah, di mana-mana juga anak kayak gitu ya ada," kata
Amir santai. "Biarin aja. Dia nggak berbahaya kok."
"Justru bahaya," kata Daniel sok tahu. "Kita mah
dapet predikat anak badung karena kita semua terlalu
males buat sekolah."
"Dan kita emang agak bego," tambah Welly.
"Itu sih elo aja," tukas Daniel. "Nah, alasan kita mungkin macam-macam, tapi kita nggak punya niat ngejahatin orang lain. Tapi si Anus itu beda. Dia punya sifat
sadis." Daniel berpaling padaku. "Lo hati-hati aja, Ka.
Kayaknya dia masih nggak bisa terima gara-gara elo
mukulin dia di depan umum sampe nangis."
Aku mengibaskan tanganku. "Halah, setan aja gue
nggak takut, apalagi cowok lembek kayak gitu. Tenang
aja, dia nggak bakalan bisa ngapa-ngapain gue."
"Jangan sok lo, Ka," tegur Welly. "Lo emang termasuk
kuat untuk ukuran cewek, tapi kekuatan bukan segalanya."
"Halah, lo ngomong gitu kan karena lo begeng aja."
"Iya juga sih," aku Welly sambil misuh-misuh, lalu dia
melanjutkan, "tapi bukannya nggak beralasan, kan?"
"Iya deh, gue akan hati-hati sama si Anus." Padahal,
di dalam hati aku tetap meremehkan anak sombong tak
berotak itu. "Eh, gue lupa bawa duit nih. Bayarin gue
makan bakmi dong, Niel."
"Iya, iya," sahut Daniel.
"Sip. Mang, bakmi dua porsi. Pake pangsit, bakso,
sama tahu ya! Terus teh botolnya juga dua!"
Si tukang bakmi segera mengacungkan jempolnya.
"Iya, Non!" "Yah, mentang-mentang gue yang bayar, elo jadi
Isi-Omen.indd 56 semena-mena," gerutu Daniel. "Terus, gimana sama si
tukang ojek seram yang lo tumpangin itu? Lo bayar pake
apa?" "Ngutang dong. Zaman sekarang, semua kan serbakredit."
"Hati-hati, tukang ojek lo nggak mirip tukang ojek
sembarangan," goda Amir. "Kalo lo kagak bayar, tau-tau
lo udah dianter ke neraka lho."
"Yeee, sama Anus gue harus hati-hati, sama tukang
ojek gue juga harus hati-hati. Jadi kapan dong gue
rileksnya?" "Yah, namanya anak SMA, kita nggak bisa rileks, Ka,"
kata Welly sambil tidur-tiduran. "Perjuangan kita keras
supaya kita bisa lulus SMA tanpa perlu naik terbang."
"Naik terbang?"
Daniel segera menjelaskan. "Maksudnya, kalo nggak
naik kelas, kita nyogok sekolahan biar kita dinaikin, tapi
kita harus pindah ke sekolah lain. Kayak gue waktu SMP.
Makanya gue berakhir di SMA jelek gini."
"Eh, jangan ngatain sekolah kita dong!" protes Welly.
"Jelek-jelek gini, itu sekolah kita, men."
"Wel, lo hari ini kok banyak ngumbar kata-kata jijay
sih?" ledekku. "Ah, dia mah tiap hari juga bikin jijay," tukas Amir.
"Pertama kali gue temenan sama dia, gue kira dia tuh
anak alim, bisa bantuin gue berjalan ke arah yang benar.
Nggak taunya, sekarang gue malah tambah rusak."
"Yah, namanya juga temen, Mir. Gue bikin lo tambah
rusak, lo bikin gue tambah jelek."
"Yee... nggak usah bawa-bawa gue dong. Lo kan
emang udah jelek dari sononya."
Isi-Omen.indd 57 ain "Eh, Ka," ujar Daniel yang duduk di sampingku sambil
memutar tubuhnya menghadapku, tanda dia kepingin
bicara serius. "Jujur nih, kita-kita ini kan emang udah
hopeless dari sononya. Mau rajin pun nggak nolong nilainilai kami yang minus banget itu. Tapi elo kan beda.
Nggak rajin pun lo udah jadi anak paling jenius yang
pernah gue temui...."
"Halah, itu kan karena temen lo yang lain bego-bego,
Niel," ledekku, mengundang protes dari Amir dan Welly.
"Dasar anak kurang ajar!" teriak Amir.
"Lo belum pernah ngerasain tinju gue ya, Ka?" ancam
Welly sambil mengacungkan tinjunya yang rada gepeng
dan sama sekali tidak menakutkan.
"Diem lo berdua, dasar anak-anak tolol!" bentak
Daniel dengan muka garang. Tapi saat kembali menoleh
padaku, mukanya sudah berubah jadi cowok perayu
seperti biasanya lagi. "Jadi gimana, Ka? Kata-kata gue
bener nggak?" "Bener, Niel." Aku manggut-manggut bak selebriti yang
sedang diwawancara. "Sebenarnya, udah banyak yang
nanyain gue soal itu. Tapi gue nggak pernah tertarik tuh
nerima job jadi anak alim. Tanggung jawabnya berat."
"Bener juga sih." Amir manggut-manggut. "Gue kadang heran lihat adik lo, si Liza, kayaknya dia berusaha
setengah mati hanya karena ingin jaga imej. Apa nggak
capek, gitu?" "Tapi dia termasuk cewek paling cakep di sekolah kita
lho," kata Welly dengan nada bersemangat. "Kayaknya
malah paling cakep."
"Iya nih," timpal Daniel sambil melirikku penuh arti.
"Sementara kakaknya malah tengil kayak gini."
Isi-Omen.indd 58 "Lebih mirip cowok malah," sambung Welly sambil
nyengir, membuatku langsung mengusap-usap rambutku
yang memang pendek banget. "Memangnya kalian
bener-bener kembar? Kok nggak ada mirip-miripnya sama
sekali?" Buset, kenapa tahu-tahu topik pembicaraan kami jadi
menyebalkan begini? "Yah, namanya juga bukan kembar identik," dustaku
dengan tampang secuek mungkin. Untunglah pada saat
itu si tukang bakmi menyela percakapan kami dengan
meletakkan dua mangkuk bakmi di hadapanku. "Udah
ah, gue mau makan. Jangan ganggu gue lagi deh."
"Ya udah, kita bicara soal yang lain aja," kata Daniel.
"Jadi, lo semua bakalan ikut karyawisata?"
"Karyawisata apa?" tanyaku sambil menyeruput bakmi
dengan suara keras. "Katanya kita mau lihat semacam pertunjukan sulap
gitu," jelas Daniel. "Katanya ada ilusionis beken segala."
"Ilusionis?" Kini Welly yang bertanya heran. "Apaan
tuh?" Aku mengibaskan sumpitku. "Halah, itu cuma istilah
baru buat tukang sulap. Biar keren, gitu."
"Hei, kuah bakmi lo nyembur ke gue, Ka!" seru Amir
sambil mengusap hidungnya.
"Ups, sori," sahutku tanpa merasa bersalah. "Yah, intinya sih gue nggak tertarik sama pesulap gitu. Gue nggak
ketipu sama ilusi mereka."
"Iya deh, yang jenius emang beda."
Kami lalu membicarakan hal-hal lain. Ulangan remedial, rencana akhir minggu, film bioskop terbaru. Meski
begitu, pikiranku selalu kembali pada Eliza. Oke, hidupku
Isi-Omen.indd 59 memang bukan hidup idaman setiap remaja, dan kesialanku juga bukannya sesuatu yang luar biasa bagi para
remaja lain. Tapi seandainya saja tidak ada Eliza, kesialanku pasti akan berkurang separuhnya. Tak ada lagi yang
membanding-bandingkan diriku dengannya?orangtua,
guru, teman-teman. Juga Ferly.
Seandainya saja dia lenyap, pasti nasib sialku akan berakhir juga.
Isi-Omen.indd 60 PULANG sekolah, aku melampiaskan kekesalanku di
warnet Om Sugeng. Eitss, jangan berprasangka yang tidak-tidak dulu. Aku
tidak memalaki Om Sugeng atau main tanpa bayar,
apalagi melempar-lempar komputer di sana. Begini-begini
kan aku bukan residivis. Aku bahkan tak main Point
Blank seperti tiga temanku yang maniak online game.
Tapi harus kuakui, keberadaanku di warnet Om Sugeng
bukan demi tujuan yang baik. Sebaliknya, aku menggunakan komputer publik untuk melakukan transaksi
ilegal. Tenang saja, aku bukan pengedar narkoba atau
semacamnya. Amit-amit deh, begini-begini aku masih
cukup waras untuk tidak menyentuh obat-obatan perusak
otak itu. Lebih baik aku menggunakan kecerdasanku
untuk membuat crack program-program yang suka minta
bayaran mahal untuk versi lengkapnya, lalu menjualnya
dengan harga-harga yang lebih murah daripada para
pemorot tersebut. Bukan berarti itu transaksi ilegalku. Memangnya aku
bodoh, mau menceritakan pekerjaan gelapku pada orangorang?
Isi-Omen.indd 61 Yang tidak kalah asyiknya adalah kemunculan anakanak preman dari sekolah lain yang tidak tahu kami
sering ngetem di situ. Kalau anak-anak preman di sekolah kami sih sudah tahu kebiasaan kami, makanya
jarang ada yang berani mati dan muncul di sini. Tapi
banyak anak preman dari sekolah lain yang nyasar di
situ, muncul dengan modal tampang sengak dan niat
main gratis. Niat mereka yang tidak mulia itu kebanyakan langsung pupus saat aku, Daniel, Welly, dan Amir
menghadang mereka di pintu warnet. Tapi bila ada juga
yang masih tetap nekat, kami akan mengajak mereka ke
tempat parkir untuk mengurus masalah ini (yeah, memangnya kami gila, mau berantem di antara komputerkomputer supersensitif itu?).
Dan bukannya aku sok, tapi kami selalu menang?dan
Om Sugeng selalu berhasil mendapatkan uangnya. Sementara kami mendapat insentif berupa jatah main di
warnet gratis. Kami baru keluar dari warnet pada saat perut kami sudah
menuntut untuk diisi. Seperti biasa, kami makan di warung
mi instan Pak Mamat yang tak jauh dari warnet Om Sugeng.
Lagi enak-enak menyeruput mi instan, Amir menyenggolku
sampai-sampai aku nyaris tersedak. Cowok sialan itu
memang tidak sadar kalau tenaganya kuat banget.
"Eh, bodyguard lo udah muncul tuh."
Aku menjulurkan leherku dan melihat helm hitam
gelap yang tidak asing lagi. Yep, tidak salah lagi, itu si
tukang ojek. "Setia banget ya dia, jemput elo tiap hari," kata Daniel
sambil nyengir. "Kalo gue kagak tau selera lo, gue pasti
udah nyangka lo ada main sama dia."
Isi-Omen.indd 62 "Eh, jangan ngawur lo," tegurku. "Yang bener aja. Gue
kan remaja yang masih innocent. Lah dia, om-om yang
udah uzur banget." "Mana uzurnya sih, Ka?" tanya Welly heran. "Palingpaling usianya dua-tiga tahun di atas kita. Malah sebenernya dia ganteng kok, rada kebagusan juga buat elo."
Sial. "Kalo lo mau, gue kasih deh," timpalku.
"Jangan," sergah Daniel sebelum Welly sempat mencelaku. "Kasihan Amir, nanti nggak ada gandengan lagi."
"Lo berdua emang minta mati," gerutu Welly sementara aku dan Daniel saling tos.
"Ya udah, anak teladan pulang dulu. Anak-anak yang
butuh teladan, jangan pulang malem-malem, ya!"
Begitu keluar dari warung mi, aku disambut dengan
ucapan masam yang sama sekali tidak bersahabat,
"Nggak ada duit, nggak boleh minta bonceng!"
Kupelototi si tukang ojek sialan. "Sejak kapan lo jadi
matre, Jek?" "Ini bukan masalah matre," balasnya, "tapi masalah
kerjaan. Kalo nggak dibayar-bayar, bisa-bisa besok aku
stop ngojek nih." "Halah, gitu aja ngambek, Jek."
"Bukan karena ngambek," tukas si Ojek tampak
depresi?seperti yang sudah kubilang, banyak orang yang
nyaris bunuh diri hanya karena ngobrol denganku?"tapi
karena aku nggak ada duit buat beli bensin!"
"Kalo nggak ada duit buat beli bensin, ya udah,
ngojek pake sepeda aja. Gue nggak keberatan kok."
"Aku yang keberatan!" cetus si Ojek dengan suara keras.
Isi-Omen.indd 63 Hmm, segitu ngototnya hanya karena duit sepuluh
ribu perak. Mungkin dia memang sedang bokek berat.
Yah, sebagai orang yang senasib sepenanggungan, seharusnya aku lebih pengertian.
"Ya udah. Niel, ceban, sini!"
"Eh, masa gue lagi yang lo porotin?" protes Daniel
dari balik jendela warung. "Giliran si Welly dong!"
Sebuah tangan kurus dan putih yang menyeramkan terulur dari jendela, menyodorkan selembar sepuluh ribuan.
"Kalo balikinnya minggu depan, jadi dua belas ribu, ya!"
Dasar cowok begeng sialan. Pantas langsung mengulurkan tangan begitu. "Eh, lintah, masa bunganya seminggu
dua puluh persen?" "Yah, abis kalo nggak gitu, lo nggak akan balikin tepat
waktu, Ka. Emangnya gue kagak tau sifat lo?"
Masuk akal sih, meski posisiku berubah dari yang
morotin menjadi yang diporotin. "Ya udah deh. Besok
ya, kalo gue inget."
Tanpa menunggu jawaban dari Welly lagi, aku duduk
di belakang si Ojek. "Ayo, Jek, lo udah bikin gue terjerat
lintah darat nih. Sekarang buruan balas budi dengan
bawa gue ngacir dari sini!"
"Baik, Nona Besar."
Cih, begitu ngasih duit, aku langsung menjelma jadi
Nona Besar. Dunia ini memang sudah sinting.
Motor kami menderu kencang melewati mobil-mobil
yang berbaris dengan canggung. Lagi asyik-asyik ngebut,
mendadak terasa getaran dari dalam tasku. Aku merogohrogoh tasku dan menemukan ponselku yang sedang berkedap-kedip dengan ceria. Napasku terhenti saat membaca tulisan pada layarnya.


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen.indd 64 Ferly Erika, bs ktm skrg jg? Plis. Pntg nih. Aq tunggu di halte
dpn mal ya. Jgn smpe ga dtg y. N tlg jgn blg siapa2
jg. Ada beberapa poin dalam SMS itu yang belakangan
membuatku heran, tapi sekarang ini yang tebersit dalam
benakku hanyalah: Ferly membutuhkanku. Tanpa berpikir
panjang lagi, aku mencowel bahu si Ojek. "Jek, Jek, ubah
haluan. Kita ke mal aja!"
"Ngapain kamu ke mal? Duit bayar ojek aja minjem."
"Ah, nggak usah ribut. Bawa aja gue ke sono!"
Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah tahu si
tukang ojek pasti sedang bete berat. Yah, tidak kusuruhsuruh saja tampangnya sudah masam, apalagi di saat aku
main bentak begini. Tapi aku tidak memedulikannya
sama sekali. Yang lebih penting bagiku saat ini adalah
menemui Ferly secepatnya dan menanyakan apa urusan
penting yang membuatnya ingin bertemu denganku
sekarang. Semoga dia baik-baik saja.
Meski harus memutar untuk menuju mal, kami berhasil mencapai halte dalam waktu sepuluh menit. Namun aneh, aku sama sekali tidak menemukan sosok
Ferly. Apakah dia masih dalam perjalanan menuju kemari, ataukah dia sudah pergi karena menunggu terlalu
lama? "Sebenarnya kamu mau ngapain di sini?" tanya si
Ojek. Sambil tetap mencari-cari Ferly, aku menyahut, "Mau
ketemu temen." Isi-Omen.indd 65 "Cowok atau cewek?"
Aku mengerling ke arah si tukang ojek dengan tidak
senang. "Kenapa sih tau-tau pengin tau urusan gue?"
"Yah, lihat jam dong, Non," tukas si tukang ojek
jengkel. "Ini udah jam berapa? Memangnya wajar kalo
ada temen cowok yang minta ketemu jam segini?"
"Halah, tadi aja gue main sama Daniel, Welly, dan
Amir sampe jam segini."
"Yah, itu sih beda," balas si tukang ojek. "Kalian kan
main di warnet rame-rame. Ini minta ketemu berduaan
aja. Apa itu nggak aneh?"
Harus kuakui, semua ini memang aneh. Ferly tidak
pernah mengajakku ketemu di luar sekolah, apalagi berduaan saja. Tapi tentu saja aku tidak mau mengakui hal
ini pada si tukang ojek. "Ini bukan urusan lo." Oke, aku jadi seram juga saat
melihat wajah si Ojek berubah dingin, tapi tetap saja
kuteruskan ucapanku. "Udah, lo pulang aja. Sampai ketemu besok, ya."
Aku berjalan meninggalkan si Ojek. Bisa kurasakan
tatapan dingin si Ojek menghunjam punggungku. Setelah beberapa saat, aku menoleh ke belakang.
Si Ojek sudah menghilang.
Oke, kenapa aku jadi merasa takut?
Tenang, Erika. Kamu udah biasa pulang malem. Kali ini
pun kamu akan baik-baik saja.
Aku menghela napas, lalu meneruskan langkahku, menembus sekelompok orang yang sedang menunggu bus,
tiga pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya padaku, dan dua pengamen yang langsung mengikutiku.
Isi-Omen.indd 66 "Ceeewek, baru pulang sekolah? Malem sekali. Suka
sekolah, ya?" "Sekolah di mana, Neng? Kelas berapa?"
"Udah punya cowok belum, Neng?"
Buset, pengamen terakhir ini berani-beraninya menyentuh lenganku. Padahal tadinya aku mau melepaskan
mereka. Sekarang sih, sori-sori saja, aku sudah kesal berat
karena tidak menemukan Ferly. Aku mengayunkan kakiku dan menendang muka pengamen yang berani menyentuhku. Temannya langsung ikut menyerangku, tapi
aku berhasil merebut gitarnya dan memukuli kepalanya
dengan benda itu. Kurasakan sebuah tangan meraih
bahuku dan aku langsung melayangkan tinjuku.
"Hei, Ka, ini aku!"
Ups. Ferly rupanya. Sepertinya dia baru pulang dari
kursus atau semacamnya, karena dia mengenakan pakaian bebas, tapi masih membawa tas ransel yang biasa dibawanya ke sekolah. Dia tampak luar biasa ganteng
dengan rambutnya yang selalu di-gel dengan model
awut-awutan yang sedang beken, tapi tentu saja aku tak
akan mengatakan hal itu di hadapannya. Dengan gayanya yang khas dan berwibawa, dia mengedikkan kepalanya ke arah dua pengamen yang tampak ciut melihat
bodi Ferly yang tinggi besar.
"Mereka gangguin kamu, Ka?"
Hmm, kasihan juga kalau dua pengamen ini dihajar
Ferly sampai babak belur. "Nggak juga. Aku cuma lagi
kesel, jadi gampang naik darah."
Oke, mungkin kalian merasa aku culun, mendadak menggunakan kata ganti "aku". Yah, jelaslah. Mana mungkin
aku ber-gue-elo sama cowok yang aku taksir berat?
Isi-Omen.indd 67 "Oh, gitu." Kayaknya aku terlalu berlebihan, mengira Ferly bakalan
memukuli kedua pengamen itu demi aku. Soalnya, sikapnya gelisah banget, seolah-olah dia sedang memikirkan
sesuatu. Bahkan, sepertinya dia tidak sadar kedua pengamen itu sudah ngibrit.
"Ka, kenapa kamu panggil aku ke sini?"
Hah? "Bukannya kamu yang suruh aku ke sini?" tanya Ferly
lagi. "Nggak tuh." "Yang bener, Ka?"
Buset, dia kira aku tukang bohong?
"Kalo nggak percaya, nih buktinya. Aku dapet SMS
dari kamu kok." Ferly membaca tulisan di ponselku.
"Iya, ya, itu memang nomor HP-ku. Tapi bukan aku
yang ngirim SMS itu. Sumpah."
"Jadi siapa dong yang ngirim?" tanyaku heran.
"Aku juga nggak tau, Ka," jawab Ferly bingung sambil merogoh tasnya. "Lho, ponselku kok hilang? Gawat.
Ibuku bisa marah-marah lagi nih."
Aku tidak mengindahkan Ferly yang sibuk dengan
tasnya. Bagiku, masalah ini terasa sangat ganjil. Sepertinya ada yang mencoba menjebak kami. Kalau dipikirpikir, dalam SMS yang dikirimkan padaku, ada tulisan
yang menyuruhku merahasiakan pertemuan ini.
Tapi, kalau memang ada yang bermaksud menjebak
kami, untuk apa dia?atau mereka?melakukannya?
"Fer, kamu tadi bilang aku yang manggil kamu ke sini,
kan?" Isi-Omen.indd 68 "Lalu?" tanya Ferly defensif. "Kamu kira aku hanya
mengarang-ngarang cerita? Aku nggak bohong kok. Ini
buktinya." Tanpa menjelaskan bahwa aku tidak berniat menuduhnya, kuterima secarik kertas dari tangan Ferly.
Fer, aku tunggu kamu di halte depan mal nanti malem
jam 7 ya. Penting nih. Jangan sampe nggak dateng, dan
jangan cerita pada siapa pun. Erika.
Hmm, tulisan pada surat itu jelas-jelas bukan tulisanku. Goresannya yang lembut menandakan penulisnya
adalah seorang cewek, sementara tulisanku lebih mirip
tulisan dokter?atau sandi rumput?dan tidak bisa dipastikan jenis kelamin penulisnya.
Tapi intinya, pesan yang kami terima sama. Ketemu di
mal, jangan sampai tidak datang, jangan cerita pada
siapa-siapa. Aku mengacungkan surat itu di depan wajah Ferly,
sama sekali tidak menyadari sikapku yang rada mengancam. "Kamu dapat surat ini dari mana, Fer?"
"Nggak dari mana-mana," sahut Ferly takut-takut.
"Langsung ada di dalam tasku, Ka. Aku juga bingung
siapa yang naruh." Jelas, siapa pun yang menaruh surat itu ke dalam tas
Ferly, pasti punya kesempatan untuk mengambil ponselnya
dan menggunakannya untuk mengirim SMS padaku.
"Siapa aja yang punya akses ke tasmu?"
"Semua orang juga bisa, Ka. Biasanya kalo aku lagi
main basket, aku geletakin aja tasnya di pinggir lapangan."
Isi-Omen.indd 69 Hmm, aku harus mempersempit waktu kejadian. "Memangnya kapan kamu dapet surat itu?"
"Waktu pulang sekolah."
Buset, itu berarti semua orang di sekolah bisa jadi tertuduh, mulai dari abang-abang pemotong rumput lapangan sampai guru di kelas.
"Awaaas!" Kudengar suara si tukang ojek yang mendekati kami
dari seberang dengan motornya. Sesaat aku berpikir, kenapa tukang ojek tolol itu masih saja berkeliaran di sini?
Apakah karena dia tidak tega meninggalkanku malammalam begini? Tapi semua pikiran itu lenyap seketika
saat kurasakan Ferly menarikku ke dalam pelukannya.
What the h? Aku langsung mengerti tatkala melihat sebuah motor
lain melesat kencang dekat sekali di sampingku. Kalau
saja Ferly tidak menarikku, pasti aku sudah terkapar di
jalan dengan tubuh berdarah-darah (oke, mungkin tak
separah itu, tapi pasti harus dilarikan ke rumah sakit).
Ada kilatan menerpa kami, tapi aku tidak sempat memikirkannya lebih lanjut karena drama yang sedang
terjadi di depanku. Beberapa saat kemudian, kulihat si tukang ojek menatap Ferly dan aku dengan tampang yang sulit didefinisikan. Marah? Cemas? Cemburu? Heh, aku sudah berpikiran terlalu jauh. Yang jelas, tampangnya jauh lebih
masam daripada biasanya. Tapi, yang lebih penting dari itu, aku bisa merasakan
tubuh Ferly yang besar dan hangat, begitu dekat denganku. Kurasakan debaran jantungnya di dekat tanganku
yang secara spontan menahannya supaya tidak me70
Isi-Omen.indd 70 melukku terlalu erat, dan napasnya yang segar tercium
olehku. Ya ampun, aku deg-degan banget.
"Hei, Ngil, kamu nggak apa-apa?" bentak si tukang
ojek, mengembalikanku ke dunia nyata.
"Yah, masih hidup kok," sahutku dengan suara terbata-bata, lebih karena pelukan Ferly ketimbang nyaris
ditabrak motor sampai hancur lebur.
"Dasar pengendara motor gila!" umpat Ferly sambil
menatap ke arah perginya motor itu. "Sekarang ini semua orang emang nyetir nggak pake mata!"
"Cukup, cukup!" sergah si Ojek sambil merenggutku
dari pelukan Ferly. "Nggak perlu lama-lama kan meluknya!"
"Oh." Ferly tampak tersipu. "Sori, Ka, aku nggak sengaja merangkulmu tadi."
Kurang ajar. Kenapa sih dia harus bilang tidak sengaja?
Aku kan jauh lebih senang kalau dia sengaja!
"Omong-omong, lo siapa ya?" Pertanyaan Ferly ini ditujukan pada si Ojek.
"Tukang ojek langganan gue," sahutku sebelum si Ojek
menyahut yang tidak-tidak. "Lo ngapain masih di sini,
Jek?" "Takut kamu ditangkap orang terus dijual ke luar
negeri!" ketusnya. "Tapi kalo dipikir-pikir, dijual ke luar
negeri juga nggak akan laku kalau buasnya kayak gini."
Aku memelototi si Ojek. Cowok ini benar-benar minta
diinjak mukanya. Kalau bukan karena bodinya gede banget?memang tidak segede Ferly, tapi tetap saja bukan
tandinganku?aku pasti sudah cari gara-gara dengannya.
Isi-Omen.indd 71 "Ya udah, karena kita nggak ada urusan lagi di sini,
gimana kalo kita pulang aja?" tanya Ferly menengahi.
"Kamu perlu kuantar pulang, Ka?"
"Nggak usah," si Ojek langsung menjawab dengan semena-mena. "Biar aku yang anterin kamu pulang,
Ngil." Aku ingin memprotes, tapi Ferly sudah keburu mengangguk. "Okelah kalo begitu. Aku jalan duluan, ya.
Mobilku ada di mal, soalnya. Mana ya, kunci mobilku?"
Dia merogoh-rogoh tas ranselnya lagi, lalu mengeluarkan
sebotol Mizone untuk memudahkannya menggali-gali
ranselnya itu. "Oh ya, aku jadi ingat harus traktir Eliza.
Tadi dia beliin Mizone buatku."
Aku merasakan simpul mengetat dalam perutku.
"Eliza?" "Iya, ini dari dia," sahut Ferly dengan tampang bangga.
"Tadi waktu aku sedang kecapekan latihan basket, dia
membelikanku minuman ini."
"Dia yang memasukkan botol ini ke tas kamu?"
"Iya," sahut Ferly dengan wajah tidak mengerti yang
membuatnya kelihatan superbodoh. "Memangnya kenapa?"
Aku mengertakkan gigi. Tidak salah lagi. Adikku yang brengsek itulah pelakunya.
Isi-Omen.indd 72 JADI tebak, apa yang kulakukan?
Melabrak Eliza? Meninju mukanya? Membunuhnya? Plis deh, aku tidak sebrutal itu kok. Malahan, aku tidak melakukan apa-apa melainkan hanya menunggu.
Soalnya begini. Saat ini aku tidak punya bukti bahwa
Eliza-lah yang menjebakku. Kalau aku mengikuti kemarahanku dan pergi menjambak rambutnya yang selalu
rapi dan lurus laksana di-smoothing itu, lalu dia minta
bukti dan aku tidak sanggup menyediakannya, bisa-bisa
aku yang kelihatan seperti orang tolol.
Dan aku tidak suka kelihatan seperti orang tolol.
Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan melihat,
apa sebenarnya yang diinginkan oleh adikku yang (kelihatannya) manis itu.
Ternyata aku tidak perlu menunggu lama-lama.
Keesokan paginya, saat aku melenggang keluar dari
toilet sekolah?tentu saja karena aku telat, bukan karena
hobi ngetem di toilet setiap pagi?aku menemukan
Isi-Omen.indd 73 semua orang sedang asyik mengerumuni mading. Aku
heran, semua orang hobi membaca sampah yang ditempel di sana. Ramalan bintang, misalnya. Itu bahkan
bukan ramalan dari Mama Lauren (kalau iya, seram juga,
berhubung peramal terkenal itu sudah almarhumah), tapi
cuma karangan Tina, kakak kelas yang menganggap dirinya separuh cenayang. Tina selalu mengingatkanku pada
guru Kelas Ramalan si Harry Potter, Profesor Trelawney.
Soalnya, ramalannya selalu mengisahkan nasib buruk
orang-orang. Cih, memangnya nasib kita-kita ini kurang
buruk, apa? Hanya karena iseng, aku menghampiri kerumunan
itu. "Weleh, weleh," kataku cempreng. "Rame bener di
sini. Memangnya ada gosip menarik apa di mading jelek
ini?" Mendadak saja semua suara bisikan dan teriakan
lenyap. Yang terdengar hanyalah suara napasku yang
mengingatkanku bahwa aku belum sempat mengupil
pagi ini. Belum habis rasa heranku, tatapanku tertumbuk
pada foto yang ditempel serampangan di atas tumpukan
artikel pada mading. Brengsek! Itu fotoku dan Ferly yang diambil tadi malam, dan kelihatannya mesum banget!
Tanpa berpikir panjang lagi, aku mencabut foto itu
dari tempatnya, meremasnya, lalu melayangkan pandanganku ke sekeliling, mencari-cari sosok yang kelihatan
mencurigakan di tengah-tengah kerumunan. Tatapanku
berhenti pada cewek yang kelihatannya sedih setengah
mati di barisan depan. Yeah, siapa lagi kalau bukan Eliza?
Isi-Omen.indd 74 Tanpa ragu aku menghampiri dia. Kujejalkan gumpalan
foto keparat itu ke dalam tangannya, lalu aku berbisik
dengan nada suara sejahat mungkin, "Suatu saat gue
bakalan bunuh lo buat yang satu ini."


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia terperangah, seolah-olah dialah korban dalam kejadian ini?bukannya aku. Dasar ratu drama. Dalam
kondisi apa pun, dia selalu bisa menempatkan dirinya
sebagai pihak yang patut dibela.
Capek deh! Tanpa mengindahkan tatapan tajam dan bisik-bisik
orang, aku berjalan menuju kelasku. Seorang cewek menghampiriku dan aku sudah siap untuk menerjangnya.
"Gue percaya sama elo, Ka."
Tidak mengharapkan pernyataan seperti itu, aku menatap cewek yang mengucapkannya. Oh, ternyata si
cewek cupu. Tampangnya tenang, dan suaranya pun
penuh keyakinan, seolah-olah yang dia ucapkan adalah
kenyataan yang tidak perlu dimungkiri lagi.
"Elo bukan cewek yang akan ngelakuin hal-hal yang
nggak bener." Meski senang mendengar ucapannya, aku malah berkata ketus, "Elo kan nggak kenal gue sama sekali."
Mendengar jawabanku, dia terdiam.
Melihat keragu-raguannya, aku hanya tersenyum sinis,
lalu berjalan pergi. Sendirian. Saat menginjak ambang pintu ruang kelasku yang
suram banget, aku langsung menyadari perubahan
atmosfer. Setiap pasang mata memandang ke segala arah
kecuali ke arahku, dan keheningan yang ada terasa begitu ganjil.
Isi-Omen.indd 75 Cih, jadi malas masuk. Aku menoleh ke samping dan melihat si Anus sedang
mengintip-intip dari jendela kelasnya.
"Liat-liat apa?" bentakku. "Kepingin gue pancung, ya?"
"Masih berani sombong," balas Anus dengan muka
keren yang hanya bisa ditampakkannya kalau dia berada
di posisi aman yang menjaminnya tak bakalan digebuk
orang. "Gara-gara perbuatan lo yang menjijikkan, Eliza
jadi sedih. Apa lo nggak kasihan?"
"Suruh siapa cengeng gitu?" balasku ketus. "Lagian,
memangnya perbuatan gue yang mana yang menjijikkan?
Coba lo sebutin!" "Ya, yang mana lagi?" Anus mengernyitkan hidungnya
seolah-olah sedang membicarakan sesuatu yang busuk
banget. "Cewek baik-baik mana yang mau pelukan dengan cowok pada malam hari? Di tengah jalan, lagi!"
"Hei, blo?on!" sergahku jengkel. "Justru kalo terjadi di
tengah jalan, nggak masalah! Yang perlu dicurigai itu
yang terjadi di pojokan gelap, tolol!"
"Yah, gue sih anak polos," kata Anus dengan muka
minta dijotos. "Gue mana tau hal-hal kotor kayak gitu?"
"Cih! Kalo orang kayak lo polos, dunia ini udah nggak
butuh penjara!" "Butuh dong, buat ngasih pelajaran cewek-cewek bejat
kayak lo!" Gila, cowok ini benar-benar kurang ajar!
Tanpa memberi peringatan, aku menjambak rambut
cowok itu sekuat tenaga sampai kepalanya ikut tertarik
ke luar jendela. Awalnya Anus meronta-ronta hebat, tapi
dalam waktu singkat dia belajar bahwa gerakan liar itu
hanya akan membuatnya semakin kesakitan. Jadi dia
Isi-Omen.indd 76 pun menahan gerakannya dan hanya bisa menjerit-jerit,
"Bu Guruuu! Tolooong! Erika nih, Buuu!"
"Dasar pengecut," kataku keji, menikmati perasaan puas
karena bisa menyiksa cowok tak berguna itu. "Bisanya
manggil Bu Guru. Anak mami ya? Hah?! Ayo, ngaku!"
Sayangnya, pada saat itulah dering bel sekolah yang
mirip bel sepeda namun lebih stereo itu berbunyi. Untuk
mengakhiri kesenanganku, kujedukkan kepala si Anus ke
ambang jendela. "Kali ini lo boleh beruntung," kataku dingin. "Lain
kali nggak akan ada yang bisa nyelamatin elo."
Tanpa memedulikan Anus yang mengaduh-aduh
sambil memegangi kepalanya, aku masuk ke kelas dan
duduk di bangkuku di pojok paling belakang. Seperti
biasa, kursi sebelahku sudah ditempati Daniel.
"Hei," sapanya ceria. "Kapan lo sempet maen gila
sama Ferly? Abis maen gila sama gue?"
"Kurang ajar," gerutuku. "Siapa juga yang mau maen
gila sama elo?" "Banyak, kali. Kan gue ganteng."
"Hoek!" Aku langsung bergaya-gaya kepingin muntah, padahal
aku tahu ucapan narsis itu sebenarnya beralasan. Memang banyak cewek yang naksir Daniel. Cowok itu tidak
kalah dengan Ferly, malah.
Welly dan Amir yang duduk di depan kami segera memutar tubuh mereka dan ikut-ikutan nimbrung dalam
pembicaraan kami. "Kalo si Eliza emang lagi kosong, biar buat gue aja
deh," kata Welly. "Gue udah naksir dia dari hari pertama
masuk sekolah nih." Isi-Omen.indd 77 "Gue juga," kata Amir.
"Sono lo berdua rebutan, pemenangnya tetep akan
ditolak juga," kataku jutek. "Gue sama Ferly nggak ada
apa-apanya kok." "Masa nggak ada apa-apanya?" tanya Welly tak percaya. "Itu foto didapat dari mana?"
"Gue dijebak, tau!" tukasku.
"Itu jawaban semua orang yang ketangkep basah sedang melakukan affair," kata Daniel sok tahu. "Gue juga
biasanya gitu, kalo ketauan pacaran sama cewek yang
udah punya cowok." "Ngapain lo pacaran sama cewek yang udah punya
cowok?" tanyaku tak habis mengerti.
"Namanya juga lebih bikin deg-degan."
Dasar konyol. "Itu sih deg-degan karena takut ketangkep. Capek deh
ngomong sama elo." "Nggak usah ngalihin topik dong," kata Welly. "Serius,
Ka, lo rebut aja Ferly dari Eliza. Kan kalian kembar. Kalo
lo permak tampang lo dikit, pasti lo mirip Eliza juga.
Biar Ferly jadian sama elo, gue jadian sama Eliza."
"Ngaco!" bentakku kesal. "Siapa juga mau mirip sama
cewek sok jaim gitu?"
"Temen macam apa lo?" Anehnya, Welly tahu-tahu
emosi. "Lo nggak kasian sama gue? Lo tau nggak, gue
udah nembak Eliza sembilan kali, tau!"
Aku mencibir. "Lo aja yang bego. Udah ditolak sembilan
kali, masih aja mau sama dia."
"Dasar, lo berdua emang nggak punya hati"
"Udah, udah," sela Daniel. "Apa ini masalah utangnya
Isi-Omen.indd 78 si Erika? Tadi pagi gue baru malak nyokap gue. Nih, gue
bayarin aja." "Ini bukan masalah utang!" ketus Welly. "Lo bayangin
aja, Niel, kita tuh bantuin dia tiap hari, tapi waktu kita
mau pedekate sama adiknya, emang dia pernah bantuin
kita?" "Eh, gue sih mau aja bantuin lo, selama nggak ada
sangkut pautnya sama Eliza," balasku tidak kalah kesal.
"Emangnya kalo bukan soal itu, lo sanggup bantuin
apa lagi?" "Ada apa ini?" Kami semua terdiam saat si Rufus nongol di depan
pintu. "Apa ada masalah?"
"Nggak, Pak," sahut kami berempak serentak.
"Errrika, ayo keluar. Kamu dipanggil Kepala Sekolah."
Arghh. Sial, sial, sial! Dengan bete aku berdiri sampai menyenggol meja dengan keras. Sambil mengentakkan kaki keras-keras, aku
berjalan keluar dari kelas.
"Tidak usah dengar kata orang, Nak."
Aku mendongak, terheran-heran mendengar nada
simpati dalam suara si Rufus.
"Tentu saja, selama kamu tidak salah."
"Saya memang nggak salah kok," tegasku.
"Saya tahu. Kali ini kamu memang tidak bersalah."
Sial si bapak ini, pakai menekankan kata "kali ini" segala.
"Kamu memang nakal, tapi kamu tidak pernah melakukan hal-hal yang kelewat batas."
Aku mengangkat alis. "Maksud Bapak, selama ini saya
kurang nakal?" Isi-Omen.indd 79 Si Rufus mendengus. "Kalau kamu lebih nakal dari ini,
saya bisa mati lebih cepat dari jadwal."
"Memangnya kapan jadwal Bapak mati?"
Si Rufus tampak bete. Kelihatan banget dari rambutnya
yang makin kribo. "Dasar tidak sopan. Sana masuk,
temui Bu Rita." "Iya, iya," gerutuku. "Nggak usah dorong-dorong kali,
Pak." Aku merasa lebih lega saat si Rufus ikut menyempil ke
dalam kantor kepala sekolah yang sumpek banget itu.
Aku tahu, ini kedengaran gila, tapi adanya si guru piket
bersamaku membuatku merasa punya beking.
Tapi perutku langsung serasa ditonjok saat melihat
Ferly juga sedang berdiri di dalam ruangan itu. Namun
begitu melihatku, dia malah langsung memalingkan wajah, membuat hatiku terasa perih.
Kukeraskan hatiku, lalu kualihkan tatapan ke arah Bu
Rita. Kepala sekolah kami itu sedang mengamati kami
berdua dari balik kacamata yang ujungnya menaik bagaikan mata kucing. Ekspresinya tidak berubah saat melempar fotoku dan Ferly di atas meja.
"Ibu ingin tahu, apa penjelasan kalian tentang foto
ini." Kupandangi lembaran foto yang masih mulus itu. "Ibu
dapat foto ini dari mana?"
"Apa?" Tidak menduga akan mendapat tanggapan seperti itu
dariku, Bu Rita menatapku dengan sorot mata kebingungan?dan berhubung kepala sekolah yang galak ini jarang
kebingungan, aku jadi agak-agak ge-er.
Isi-Omen.indd 80 "Begini." Oke, aku tahu aku kedengaran sok, tapi aku
tidak bisa menahan diri. "Foto yang tadi ditempel di
mading sudah saya rusak, sementara foto yang Ibu
punya masih dalam kondisi baik. Ini berarti, orang yang
mengambil foto ini juga mengirimkan selembar kopinya
pada Ibu. Jadi Ibu pasti tahu identitas orang yang
mengambil foto ini."
Sesaat Bu Rita hanya menatapku penuh pertimbangan,
lalu dia menyahut dengan suara cempreng yang menyebalkan, "Hal itu bukan urusan kalian. Yang ingin Ibu
ketahui, apa yang kalian lakukan malam-malam berduaan."
"Kami nggak melakukan apa-apa," tukasku jengkel.
"Kami ketemu di tengah jalan lantaran disuruh orang
nggak jelas, terus tau-tau saya nyaris disenggol motor
dan Ferly nyelamatin saya. Gitu aja kok ceritanya."
Bukannya manggut-manggut penuh pengertian, Bu
Rita malah mencecarku dengan keras kepala, "Memangnya siapa yang menyuruh kamu ke sana?"
"Mana saya tau?!" Nada suaraku terdengar sewot dan
jelas tidak sopan. "Pokoknya saya dapat SMS dari Ferly,
tapi kata Ferly dia nggak pernah ngirim SMS itu ke saya.
Lagian, HP Ferly juga kemarin hilang"
"Ehm, HP-nya udah ketemu tadi pagi," sela Ferly
dengan suara nyaris menghilang.
"Hah?!" seruku kaget. "Kapan? Di mana?"
"Di dalam tas, tadi pagi."
Aku menatapnya tak percaya. "Jadi tau-tau aja HP lo
nongol lagi dengan ajaib?"
"Iya." Isi-Omen.indd 81 Tanpa sadar aku berteriak, "Bohong!"
"Sumpah!" balas Ferly kesal. "Tadi waktu aku habis
dari toilet, kan tanganku basah, jadi aku ambil saputangan dari dalam tas. Lalu, tau-tau aja"
"Toilet?" selaku tak sabar. "Toilet mana?"
"Toilet sekolahan."
"Terus, waktu kamu pipis, kamu bawa-bawa tasmu
nggak?" Wajah Ferly memerah. "Ya nggak lah. Aku taruh di
mejaku di dalam kelas."
Oke, aku tahu cowok ini ganteng dan sebagainya, tapi
dia tolol banget! "Berarti ada yang masukin HP itu lagi ke dalam tasmu
waktu kamu lagi pergi ke toilet!" Dengan susah payah
aku menelan panggilan bodoh yang seharusnya menempel di akhir ucapanku. "Dan itu berarti, HP itu
nggak nongol dengan ajaib!"
Mendengar teriakanku, Ferly terperangah dengan wajah superblo?on. "Betul juga, ya. Jadi menurutmu, siapa
yang masukin HP itu lagi ke dalam tasku?"
"Yah, orang yang sama dengan orang yang ngirim
SMS itu ke aku dan orang yang nulis surat ke kamu dan
juga orang yang ngambil foto keparat ini!"
"Errika!" Si Rufus buru-buru menegur. "Jaga ucapanmu
di depan Ibu Kepala Sekolah."
Oke, aku memang sedikit lupa daratan. "Sori, Bu."
Bu Rita berdeham sejenak, mungkin supaya suaranya
yang cempreng jadi terdengar lebih berwibawa. "Jadi menurut Erika, kalian berdua dijebak?"
"Ya, Bu." Aku mengangguk tegas.
Isi-Omen.indd 82 Bu Rita diam sebentar. "Bagaimana pendapat Pak
Rufus?" Suara si Rufus yang biasanya centil langsung berubah
jadi suara om-om biasa. "Karena saya terbiasa menangani
Errika, saya jadi lumayan mengenal pola kenakalannya.
Yang ini bukan sesuatu yang biasa dilakukannya. Jadi,
ya, saya percaya padanya."
Tuh kan. Sudah kubilang, si keriting ini bisa diandalkan sebagai bekingan.
Bu Rita mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kita akan
selidiki masalah ini lebih lanjut. Sementara ini kalian
tidak akan dikenakan hukuman, tapi ada baiknya kalian
jangan melakukan hal-hal yang mencolok dulu."
"Baik, Bu," sahut Ferly patuh.
Bu Rita mengangkat sebelah alis.
"Erika?" "Ya, Bu," sahutku tanpa ada niatan untuk menepatinya. Jelas dong. Kalau aku begitu gampang disuruh bertobat, sudah dari dulu aku meninggalkan predikat burukku.
"Baiklah. Kalau begitu, kalian boleh kembali ke kelas."
Aku dan Ferly segera ngacir dari kantor itu.
Masih sakit hati dengan sikap dingin Ferly tadi, aku
langsung berjalan pergi tanpa bicara dengannya.
"Erika..." Mau minta maaf? Dikiranya semuanya akan kulupakan
segampang itu? Tapi okelah, aku ingin tahu apa yang
akan dikatakannya. "Apa?" tanyaku ketus.


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ehm, sori, tapi sebaiknya untuk sementara kita jaga
jarak dulu." Isi-Omen.indd 83 Mulutku ternganga lebar. "Hah?"
"Kamu tahu sendiri apa yang mereka gosipin tentang
kita," kata Ferly salah tingkah. "Rasanya lebih bijaksana
kalau kita berdua saling menjauh dulu sampai gosipnya
mereda. Bener nggak?"
Sesaat aku tidak sanggup bicara. Lalu kurasakan rasa
sakit itu, rasa sakit yang membuat mataku terasa perih.
Tapi aku tidak sudi menangis di depannya. Kutelan semua rasa sakit itu, lalu kusunggingkan senyum sinis
Api Di Bukit Menoreh 1 Trio Detektif 06 Misteri Pulau Tengkorak Suramnya Bayang Bayang 9

Cari Blog Ini