Ceritasilat Novel Online

Penganut Ilmu Hitam 1

Dewa Arak 08. Penganut Ilmu Hitam Bagian 1


Dewa Arak - 08. Penganut Ilmu Hitam
karya Aji Saka Pembuat Djvu : web Tirai Kasih dan Abu Keisel
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
selesai di edit : 26 Juli 2018,situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat membaca ya !!! *** PENGANUT ILMU HITAM Oleh Aji Saka Cetakan pertama Penerbit Cintamedia. Jakarta
Penyunting : Asman M. Gambar sampul oleh Pro"s
Hak cipta pada Penerbit .Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode: Penganut Ilmu Hitam
128 hal. ; 12 x 18 cm *** "Hiya...! Hiyaaa...!"
Sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda berpacu cepat merambah sebuah hutan. Sang kusir ternyata seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh tahun dan pakaiannya berwarna biru muda. Gadis itu tak henti-hentinya melecutkan cemeti ke punggung kuda itu, dalam usahanya memacu laju kudanya secepat mungkin.
Wajah gadis itu menampakkan kecemasan yang hebat. Jelas ada sesuatu yang ditakutinya. Dan itu memang benar! Di belakangnya, hanya berjarak sekitar beberapa tombak, belasan orang berkuda mengejarnya.
Sedikit demi sedikit jarak di antara mereka kian dekat Tak lama kemudian, para pengejar yang berada di bagian terdepan, mulai menyusul kuda itu. Sudah dapat ditebak maksudnya. Apalagi kalau bukan menyalip kereta kuda itu.
Ketika dua orang pengejar itu'sudah menyusul. mereka masing masing berada di kanan kiri kereta kuda. Tirai yang menutupi pintu kanan dan kiri kereta kuda itu tersingkap. Dan dari balik tirai yang tersingkap itu, muncul masing masing sebuah tangan yang langsung mengibas.
Singgg...! singgg...! Sebilah pisau melesat dari masing-masing pintu kereta, dan mengarah pada pengejar yang menyusul kereta kuda itu.
Peristiwa selanjutnya terjadi begitu cepat.
"Akh...! Akh..!"
Jerit lengking kematian terdengar ketika pisaupisau itu mengenai tubuh dua pengejar yang menyusul kereta kuda itu. Seketika itu juga tubuh mereka roboh ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Tentu saja melihat kejadian itu, para pengejar yang berada di belakang kedua orang yang sial itu menjadi gusar bukan kepalang. Dua di antara mereka yang terdepan, segera menggerakkan tangannya.
Singgg...! Singgg...! Dua bilah pisau berwarna putih mengkilat melesat cepat ke arah dua ekor kuda yang menarik kereta.
Cappp...! Cappp...! Telak dan keras sekali dua bilah pisau menembus leher dua ekor kuda itu. Seketika Itu Juga dua ekor kuda penarik kereta meringkik keras, kemudian roboh ke tanah, mati.
Tentu saja dengan matinya dua ekor kuda itu, laju kereta pun terhenti diiringi suara hiruk pikuk.
Wanita cantik berusia dua puluh tahun yang menjadi kusir itu melompat turun dari keretanya.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kaki gadis berpakaian biru muda "Ia hinggap di tanah" di bagian belakang
kereta. Tepat berada di depan para penunggang yang mengejarnya. Menilik dari sikapnya, terlihat jelas kalau ' gadis itu berusaha melindungi isi keretadari para pengejarnya
"Hup...!" Belasan orang pengejar kereta kuda itu pun berlompatan turun dari kudanya, begitu melihat gadis cantik berpakaian biru muda itu bersikap menghalangi. Di tangan gadis itu terhunus sebilah pedang.
"Ke mana pun kalian pergi, tetap akan kami kejar. Orang seperti kau dan kedua orang tuamu itu harus mati, Malini! " seru salah seorang dari belasan pengejar itu yang berusia setengah baya, berpakaian warna kuning emas. Cambang yang cukup lebat menghiasi pipinya. Wajah dan sikapnya gagah. seperti juga belasan orang lainnya Tidak ada potongan perampok ataupun penjahat sama sekali baik pada wajah maupun sikap mereka.
Gadis berpakaian biru muda yang dipanggil Malini itu tersenyum sinis. Ditatapnya wajah laki-laki berpakaian kuning emas. Sorot matanya memamerkan cemoohan.
"Kalian tidak lebih baik dariku atau orang tuaku! Kalian yang menyebut diri sendiri sebgai pendekar dan tokoh golongan putih, nyatanya tidak malu-malu Untuk melakukan pengeroyokan terhadap keluarga kami. Kalian tidak berani melawan kami satu persatu. Begitu pula dengan kau, Pendekar Baju Emas."
Sekujur wajah laki-laki berbaju kuning emas yang dipanggil Pendekar Baju Emas memerah.
Tutup mulutmu, wanita liar! Menghadapi kau dan orang tuamu tidak perlu segala aturan! Kalian sekeluarga bukan manusia, tapi iblis! Kalian tidak patut dibiarkan hidup! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian kuning emas itu melompat menerjang Malini. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah leher. Ada suara mendesing yang cukup nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Tapi gadis berpakaian biru muda itu hanya tersenyum mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, digeser kakinya ke samping kanan., sehingga tusukan pedang itu lewat di samping lehernya. Dan begitu serangan lawan telah berhasil dielakkannya, Malini menyabetkan pedangnya ke tangan Pendekar Baju Emas.
Tapi orang berpakaian kuning itu bukan orang lemah. Buru-buru ditarik kembali serangannya se hingga babatan pedang gadis berpakaian biru muda itu mengenai tempat kosong. Bersamaan ditarik kembali serangannya, kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan lawannya.
Takkk..! "Aaakh...!" Gadis berpakaian biru muda Itu terpekik .Serangan Pendekar Baju Emas begitu mendadak datangnya, sehingga tak sempat lagi dihindarinya. Telak dan keras sekali tendangan Itu mengenai pergelangan tangannya. Seketika itu juga pedangnya terlempar dari pegangan.
Trang!! Laki laki berbaju kuning emas itu menyarungkan kembali pedang ke dalam sarungnya.
"Kawan kawan"! Urus suami istri iblis itu! Biar aku yang akan mengurus wanita liar ini!" seru Pendekar Baju Emas itu keras.
Mendengar seruan itu, belasan orang yang sejak tadi hanya mengawasi sekeliling dengan sikap waspada, serentak bergerak menghampiri kereta.
"Keparat...! Jangan harap kalian akan dapat menyentuh kedua orang tuaku, selama aku masih ada di sini!" seru gadis berpakaian biru muda keras. Sekali digerakkan kakinya, maka tubuh yang ramping dan menggiurkan itu telah menghadang di depan belasan orang yang hendak menuju kereta.
"Teruskan tugas kalian!" seru Pendekar Baju Emas.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu segera melesat menerjang gadis berpakaian biru muda. Tangan kanannya menyampok keras ke arah pelipis, sementara tangan kirinya terpalang di depan dada. Berjaga jaga apabila lawan melancarkan serangan.
Wuttt..! Angin cukup keras berhembus ketika serangan itu menyambar. Tanpa ragu-ragu Marini menggerakkan tangan kiri menangkis serangan itu.
Plakkk...! Tubuh gadis berpakaian biru muda terhuyung dua langkah ke belakang. Dari mulutnya terdengar suara
pekikan kaget. 'Tangan yang berbenturan dengan tangan Pendekar Baju Emas itu terasa ngilu. Seolah-olah yang beradu dengan tangannya tadi bukan tangan manusia yang terdiri dari kulit dan daging, melainkan batang baja yang keras"
Bukan hanya itu saja yang dirasakan Malini. Dadanya pun dirasakan sesak bukan main. Sementara laki-laki berpakaian kuning itu hanya tergetar saja tangannya. Jelas terbukti keunggulan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Baju Emas.
Kembali laki laki berbaju kuning emas ini melompat menyerang Malini. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
*** Melihat gadis berpakaian biru muda yang tadi berdiri menghadang jalan telah dihadapi oleh Pendekar Baju Emas, rekan-rekannya pun segera bergerak menuju kereta kuda.
Srat..! Srat...! Semakin dekat mereka menghampiri kereta kuda itu, langkah belasan orang itu semakin hati-hati. Senjata senjata pun telah terhunus semua di tangan mereka. Sikap mereka tampak waspada.
"Hantu Putih! Keluar kau"! Atau kami bakar gerobakmu ini!" seru salah seorang yang mendekati kereta.
Belasan orang itu menunggu sejenak. Tapi, tidak
tampak tanda-tanda kalau orang yang berada dalam kereta akan keluar. Jangankan keluar, menyahut pun tidak.
"Baik, Hantu Putih! Jangan katakan kejam, kalau kami bakar keretamu ini!"
Setelah berkata demikian, salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi besar dan bersenjatakan gada berduri, segera menyalakan obor.
_ "Kami beri kau kesempatan sekali lagi, Hantu Putih! Keluar, atau kereta ini kami bakar!"
Orang yang bersenjatakan gada berduri Itu menunggu sejenak. Tapi, seperti kejadian sebelumnya, lama sekali tidak ada sahutan dari dalam kereta yang tertutup rapat kedua pintunya itu. '
"Kesempatan untukmu telah kau sia siakan sendiri, Iblis! Terimalah kematianmu..!"
Orang yang bersenjatakan gada berduri. melemparkan obor yang sejak tadi digenggamnya. ke arah kereta kuda itu.
Obor itu pun melayang cepat ke arah kereta. Sudah dapat dipastikan kalau kereta kuda itu akan menjadi kobaran api.
Mendadak terdengar suara beritakan keras.
"Manusia terkutuk...!"
Belum juga gema suara itu habis, angin keras berhawa panas menyengat, menderu memapak obor yang melayang ke arah kereta itu.
Prattt...! Terdengar suara berdetak keras ketika tangkai
obor itu hancur berkeping keping dan berserakan entah ke mana. Apinya pun seketika itu juga padam.
"Orang gila dari mana yang berani unjuk gigi di hadapan Gada Pencabut Nyawa?" teriak orang yang bersenjatakan gada berduri. Sepasang matanya menatap liar ke arah angin keras itu berasal.
Beberapa tombak di depan Gada Pencabut Nyawa, berdiri seorang pemuda tampan berwajah ganteng. Rambutnya putih keperakan dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak perak
"Kau"! Siapa kau, Anak Muda" Mengapa kau menghalangi pekerjaanku"!" tanya Gada Pencabut Nyawa setengah membentak
Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah orang-orang di sekelilingnya. Sorot matanya tajam menusuk.
"Aku Arya, seorang pengelana. Dan memang sudah menjadi sifatku untuk tidak tinggal "diam begitu saja melihat adanya kesewenang wenangan di depan mataku" tandas pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya alias Dewa Arak. Tak terlihat Melati di sampingnya, karena gadis berpakaian serba putih itu dimintai pertolongannya oleh Prabu Nalanda sehubungan dengan terjadinya kemelut di Kerajaan Bojong Gading.
"Huh...," Gada Pencabut Nyawa mendengus. "Jangan berlagak menjadi pahlawan. bocah sombong! Menyingkirlah cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"
Dewa Arak tersenyum pahit. Kemarahannya timbul mendapat ucapan seperti itu. Tapi buru buru di
tahannya. Pengalaman selama ini telah mengajarkan pemuda berambut putih keperakan itu untuk tetap tidak terpengaruh emosi. Kemarahan hanya akan menyempitkan pandangan. Dan Arya tidak ingin hal itu terjadi pada dirinya.
"Aku tidak akan bergeming dari tempatku, selama kau belum meninggalkan tempat ini!" tegas dan mantap kata-kata Dewa Arak
'. "Keparat...!" maki Gada Pencabut Nyawa" Kemarahannya sudah tidak bisa ditahannya lagi. "Orang seperti kau harus diberi pelajaran! Kalau tidak, akan menjadi sombong dan kurang ajar! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Gada Pencabut Nyawa segera menerjang Dewa Arak. Gada panjang berduri di tangannya diayunkan deras ke arah kepala Dewa Arak.
Wuuuttt..! Angin berhembus keras mengiringi tibanya serangan gda itu. Suatu bukti nyata kekuatan tenaga dalam yang dimiliki oleh Gada Pencabut Nyawa.
Tapi Dewa Arak bersikap tenang. Sama sekali tidak dikeluarkan ilmu andalannya. Arya hanya mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Segera didoyongkan badannya ke belakang, sehingga babatan gada itu lewat sejengkal di depan wajahnya
Gada Pencabut Nyawa bertambah murka melihat serangannya dapat dielakkan begitu mudah oleh pemuda berambut putih keperakan itu. Sebagai akibat nya, serangan gadanya pun semakin dahsyat. Menderu-deru seperti angin topan mengamuk.
Tapi Dewa Arak benar benar membuktikan kelihaiannya. Sungguhpun serangan gada berduri itu datang bertubi-tubi, susul-menyusul seperti angin topan mengamuk, tetap saja Arya tidak mengalami kesulitan mengelakkannya. Tak terasa lima belas jurus telah berlalu. Dan selama itu, Dewa Arak sama sekali tidak pernah membalas serangan lawannya, hanya mengelak saja, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
Memang, dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan, tidak sulit bagi Arya untuk mengelakkan setiap serangan. Enak saja tubuhnya menyelinap, di antara kelebatan gada berduri lawannya
Gada Pencabut Nyawa meraung murka. Sikap tenang dan menganggap enteng dari Dewa Arak menyebabkan kemarahannya memuncak. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak bersungguh sungguh menghadapinya. Arya sama sekali tidak pernah balas menyerang, dan hanya menghindar saja. Sebagai seorang tokoh persilatan, Gada Pencabut Nyawa merasa terhina sekali melihat sikap Dewa Arak. Dan sebagai akibatnya, amukannya pun semakin dahsyat dan membabi buta.
Begitu melihat Gada Pencabut Nyawa telah terlibat perkelahian dengan pemuda berambut putih keperakan, rekan-rekan Gada Pencabut Nyawa segera menghampiri kereta yang kedua pintunya masih tertutup rapat. Entah tokoh macam apa yang berada di dalam kereta sehingga membuat belasan orang gagah
itu bersikap khawatir sekali
"Hiyaaa...!" Seraya mengeluarkan suara jerit melengking nyaring, Dewa Arak melenting ke atas. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu berputar beberapa kali di udara, kemudian mendarat ringan tanpa suara di tanah, di hadapan belasan orang itu.
Tentu saja hal ini membuat belasan orang gagah itu menjadi geram. Kini mereka sadar bahwa Dewa Arak harus disingkirkan lebih dahulu kalau niat mereka terhadap orang yang berada di dalam kereta ingin terlaksana.
Tanpa sungkan sungkan lagi belasan orang gagah Itu menyerbu Arya. Gada Pencabut Nyawa pun semakin bersemangat melihat rekan rekannya ikut membantu.
Kini Dewa Arak tidak berani hanya mengelak saja seperti tadi. Tapi sungguhpun begitu, Arya masih tetap belum mengeluarkan ilmu andalannya. Masih digunakan juga ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau" andalannya.
"Hiaaattt...!" teriak Gada Pencabut Nyawa keras. Tokoh ini memang sejak tadi sudah geram bukan main pada pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Serangan laki-laki bertubuh pendek gemuk Ini selalu membawa ancaman maut.
Wuuuttt...! Gada berduri menyambar deras ke arah kepala Dewa Arak. Di saat itu dari arah belakang Arya. meluncur pula sebilah pedang yang menyambar cepat ke arah lehernya. Sementara dari sebelah kanannya menyambar deras sebuah cambuk yang melecut deras ke arah kepalanya. Sungguh tiga buah serangan maut yang berbahaya. Dan sulit untuk mengelakkannya.
Dewa Arak pun menyadari hal itu. Tapi tidak membuatnya menjadi gugup. Dengan perhitungan yang matang, ditundukkan tubuhnya. Sehingga serangan gada dan tusukan pedang lewat begitu saja di atas kepalanya. Sementara lecutan cambuk itu disambutnya dengan tangan, secepat kilat kaki kanannya menyentil ke belakang. Ke arah orang yang menusukkan pedang
Prattt...! Tappp...! Bukkk...!
"Hih..!" "Hugh"! Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tubuh dua orang penyerang itu segera berpentalan. Si penyerang yang bersenjatakan pedang terjengkang ke belakang ketika tendangan Dewa Arak telak dan keras mengenai perutnya. Untung Arya hanya mengerahkan sebagian kecil saja dari tenaga dalam yang dimilikinya. Kalau tidak, tentu penyerang itu akan tewas dengan seluruh isi perut berantakan
Si penyerang yang bersenjatakan cambuk agak lebih baik nasibnya ketimbang rekannya yang bersenjatakan pedang. Cambuk yang melecut ke arah leher pemuda itu, ternyata tidak hanya ditangkis oleh pemuda itu melainkan dibelit dan langsung disentakkan. Keras bukan main" sentakan Dewa Arak, sehingga
tanpa ampun lagi tubuh si penyerang yang bersenjatakan cambuk itu terlempar ke atas
"Hup...!" Sungguhpun dengan agak terhuyung-huyung, si penyerang yang bersenjatakan cambuk itu masih juga dapat mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Tapi belum juga Dewa Arak menghela napas lega, Belasan orang lainnya telah kembali menyerang, Sesaat kemudian Dewa Arak pun kembali terlibat dalam pertempuran sengit .
Sementara itu pertarungan antara Malini dan Pendekar Baju Emas semakin berlangsung sengit. Dalam hal tenaga dalam memang gadis berpakaian biru muda ini berada di bawah lawannya. Tapi kekalahannya itu tertutup oleh kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Alhasil pertarungan berjalan seimbang!
'Tiga puluh lima jurus telah berlalu, namun belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Baju Emas yang merupakan seorang tokoh persilatan cukup ternama, menjadi geram bukan kepalang. Betapa tidak" Menghadapi seorang gadis muda saja tidak mampu mengalahkannya"
Tanpa seorang pun yang melihat, pintu kereta yang sejak tadi tertutup itu pelahan-lahan terbuka.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun! Kemudian dari dalam pintu kereta yang terbuka itu melesat keluar dua sosok tubuh. Yang satu seorang laki-laki setengah tua bertubuh kurus kering. bergigi tonggos, dan berpakaian putih. Inilah tokoh yang berjuluk Hantu Putih.
Sedangkan yang seorang lagi, adalah istrinya yang berjuluk Hantu Merah. Pakaiannya merah menyala dengan sebuah cadar tipis berwarna hitam menutupi sebagian wajahnya. Suami istri inilah yang di dunia persilatan mendapat julukan Sepasang Hantu!
Kemudian kedua orang ini melangkah pelahan meninggalkan tempat itu. Menilik dari gerakan mereka berdua, dapat diketahui kalau kedua orang ini tengah menderita luka dalam yang parah.
Dengan langkah pelahan lahan dan kepala yang selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada yang melihatnya, kedua orang ini mendekati tempat pertarungan antara Malini dan Pendekar Baju Emas.
Pendekar Baju Emas yang berada dalam posisi membelakangi dua orang yang tengah berindap-indap mendekatinya, tentu saja tidak melihat adanya bahaya yang mengancam. Tapi tidak demikian halnya Malini. Gadis berpakaian biru muda itu tentu saja melihat jelas kedatangan dua orang tua yang sebenarnya adaLah ayah dan ibunya. Tapi dia berpura pura tidak tahu ketika melihat adanya isyarat dari Ibunya.
Pendekar Baju Emas baru sadar adanya bahaya mengancam ketika mendengar desiran angin menyambar ke arahnya. Padahal saat itu. Malini tengah menerjang ke arahnya. Pedang di tangan gadis Itu meluncur cepat ke arah dada!
Laki-laki berbaju kuning emas itu menjadi gugup. Ia tolehkan kepalanya ke belakang, untuk mengetahui apa yang berkesiur ke arahnya itu. Seketika wajahnya pucat begitu melihat sehelai selendang yang tengah meliuk liuk ke arah pelipisnya.
Tak ketinggalan juga sebuah kerikil yang meluncur ke lehernya. Tapi bukan kedua serangan itu yang membuat Pendekar Baju Emas ini kaget, melainkan dua orang penyerangnya. Dikenalinya betul kedua penyerang itu. Dua orang yang tengah dikejar oleh dia dan rekan rekannya.
Sungguhpun perasaan gugup dan kaget melanda dirinya," Pendekar Baju Emas masih mampu untuk menghindarkan selendang yang menotok ke arah pelipisnya. Tapi dua buah serangan lainnya tidak mampu dihindarinya
Tukkk..! Kerikil kecil yang dilemparkan salah seorang dari dua orang tua itu tepat sekali mengenai urat gagunya. Bersamaan pedang di tangan Malini menyambar tiba.
Crottt' !!! Pendekar Baju Emas menggelepar ketika pedang di tangan gadis berpakaian biru muda Itu menghunjam dalam di perutnya hingga tembus ke punggung. Darah langsung muncrat dari perut yang terobek lebar. Tapi tidak ada suara yang keluar dan mulut Pendekar Baju Emas, karena urat gagunya telah tertotok oleh batu yang dilontarkan laki-laki tua bergigi tonggos.
Beberapa saat lamanya tubuh Pendekar Baju Emas menggelepar gelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan mata terbeliak lebar!
Tanpa mempedulikan mayat lakilaki gagah berbaju kuning emas itu, Malini bersama ayah dan ibunya meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian tubuh ketiga orang itu telah lenyap ditelan kelebatan pepohonan dan semak semak.
Sementara, Dewa Arak masih terlibat pertarungan sengit menghadapi belasan orang gagah itu. Sudah ada lima sosok tubuh yang tergeletak di tanah, tidak mampu melanjutkan pertarungan lagi. Sungguhpun begitu, tidak satu pun di antara mereka yang tewas. Dewa Arak memang tidak ingin sembarangan membunuh. Apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan urusannya.
Gada Pencabut Nyawa menggertakkan gigi menahan geram. Pertarungan sudah berlangsung lebih dari tiga puluh jurus, dan selama itu, tak satu pun serangan salah seorang dari mereka yang mengenai pemuda berambut putih keperakan Itu. Jangankan menyarangkan pukulan, mendesak pun tidak mampu. Padahal, Dewa Arak terlihat tidak bersungguh-sungguh menghadapi mereka.
"Hiyaaa...!" Didahului suara melengking nyaring, salah seorang dari delapan orang pengeroyok itu menusukkan tombak pendeknya ke arah perut Dewa Arak. Sementara dari arah belakang, Gada Pencabut Nyawa tengah mengayunkan gadanya ke arah kepala. Sedangkan dari arah kanan dan kiri Arya, menyambar pula babatan golok dan tusukan pedang.
"Hih...!" Dewa Arak melompat ke atas sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di udara, kemudian hinggap di tanah beberapa tombak dari situ .
Gada Pencabut Nyawa dan tujuh orang rekannya menjadi geram, melihat lawan mereka untuk yang kesekian kalinya berhasil meloloskan diri dari serangan mereka. Berbondong-bondong mereka kembali bergerak menyerbu. Tapi tiba tiba....
"Tahan...!" Suara beritakan keras terdengar lantang. Dan sebelum suara bentakan itu lenyap, di hadapan delapan orang pengeroyok ltu telah berdiri sesosok tubuh pendek gemuk, bercambang lebat. Sekujur tubuhnya yang tidak tertutup pakaian terlihat penuh ditumbuhi
bulu-bulu hitam yang lebat. Dalam dunia penilaian laki-laki ini berjuluk Singa Hitam .
Gada Pencabut Nyawa dan rekan rekannya rekannya mengenal Singa Hitam, terbukti begitu mereka melihat si pendek gemuk yang bercambang lebat itu mereka serentak menahan gerakannya
Singa Hitam menatap Dewa Arak sekilas. Lalu dialihkan pandangannya pada Gada Pencabut Nyawa. Ditatapnya laki laki tinggi besar itu tajam tajam.
"Apa yang kau lakukan, Gada"! Lupakah kau dengan tugasmu"!" tanya Singa Hitam. Nada suaranya mengandung teguran .
"Aku tidak lupa dengan tugasku, Singa Hitam! Bahkan aku tengah bertempur dengan kawan iblis itu." sahut Gada Pencabut Nyawa. Tegas dan mantap. katanya.
"Lalu, iblis itu mana, Gada?" tanya Singa Hitam lagi.
Gada Pencabut Nyawa tersentak kaget. Baru teringat kembali olehnya akan iblis itu. Dan seketika itu pula teringat kembali pada Pendekar Baju Emas yang tengah bertempur melawan Malini. Apakah pendekar itu telah berhasil mengalahkan gadis berpakaian biru muda itu"
Seiring munculnya pertanyaan itu, kepalanya pun menoleh ke arah tempat Pendekar Baju Emas bertarung menghadapi Malini. Hati lakilaki tingi besar ini tercekat ketika melihat tempat itu telah sepi. Tap di tanah, tergolek ,sesosok tubuh berpakaian kuning. Gada Pencabut Nyawa tercekat begitu mengenali
tubuh yang tergolek itu adalah Pendekar Baju Emas! Lalu ke mana perginya gadis berpakaian biru muda itu"
"Iblis itu mana, Gada?" desak Singa Hitam ketika melihat Gada Pencabut Nyawa tercenung bingung
setelah menolehkan kepalanya ke sekelilingnya.
"Di kereta," jawab si tinggi besar itu ragu.
"Tidak ada!" sergah Singa Hitam keras.
. "Apa"!" Sepasang mata Gada Pencabut Nyawa terbelalak. Kegelisahan tampak jelas membayang pada wajahnya. Tapi, beberapa saat kemudian, wajahnya kembali berseri ketika sorot matanya tertuju ke arah Dewa Arak yang sejak tadi hanya diam saja.
"Kita bisa tanyakan pada kawannya!" ucap Gada Pencabut Nyawa sambil menunjuk Dewa Arak "Dia lah yang telah menyebabkan iblis itu lolos! "
Singa Hitam menoleh. Ditatapnya wajah Dewa Arak lekat-lekat.
"Benarkah kau kawan iblis itu, Kisanak" Rasanya
sulit kupercaya! Ciri-cirimu, mengingatkanku pada seseorang. Siapakah kau, Kisanak?" tanya Singa
Hitam. Dewa Arak menghembuskan napas panjang. Sedikit banyak dari pembicaraan kedua orang di hadapannya, sudah bisa dikira-kira kalau dia telah menyelamatkan orang yang salah. Dan itu membuatnya merasa tidak enak .
"Aku Arya, seorang pengelana yang kebetulan lewat di sini. Aku sama sekali tidak mengenal orang
yang kalian sebut iblis itu, " jawab pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa...," gumam Singa Hitam pelahan. "Apakah nama lengkapmu Arya Buana?"
Dewa Arak menganggukkan kepalanya.
"Tepat dugaanku! Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak yang menggemparkan itu?" ucap laki laki pendek gemuk itu lagi memastikan.
Kembali Dewa Arak menganggukkan kepalanya!
"Beginilah orang menjuluki... Julukan yang terlalu berlebihan," sahut Arya merendah.
Gada Pencabut Nyawa dan tujuh orang rekannya yang tadi bertempur melawan Dewa Arak terperanjat kaget manakala mengetahui pemuda di hadapan mereka adalah tokoh yang menggemparkan itu
"Kalau begitu..., ada kesalahpahaman yang terjadi...," ucap lakilaki tinggi besar ini. Suaranya pelahan sekali, mirip desahan .
"Hhh..!" desah Arya pelahan. "Akulah yang salah. Kalau boleh kutahu, siapakah sebenarnya orang yang kalian kejar itu?"
Singa Hitam tercenung sejenak
"Dia adalah seorang tokoh hitam yang mengerikan," jawab tokoh yang sekujur tubuhnya penuh bulu-bulu hitam itu. "Kepandaiannya amat tinggi. Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah ilmu ilmu hitam yang dimilikinya."
Singa Hitam menghentikan ceritanya sejenak, seraya melihat tanggapan pemuda berambut putih
keperakan itu sebelum melanjutkan ceritanya kembali.
"Selama ini dia selalu membuat teror. Seluruh desa di Kadipaten Malaya tidak ada yang luput dari terornya. Adipati Malaya lalu meminta bantuan kepada semua perguruan silat dan tokoh-tokoh persilatan yang ada di wilayah kekuasaannya. Kami pun berbondong bondong menyerbu ke sana. Pasukan Kadipaten Malaya pun ikut Dalam pertarungan itu, enam orang ketua perguruan silat tewas di tangan suami istri iblis yang berjuluk Sepasang Hantu itu. Tapi kedua iblis itu pun terluka parah. Sayang berhasil dibawa kabur anaknya. Cerita selanjutnya telah kau ketahui sendiri, Dewa Arak. "
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini telah dimengertinya masalah yang membuat dia dan belasan orang gagah ini salah paham .
"Belasan orang gagah, di bawah pimpinan Pendekar Baju Emas dan Gada Pencabut Nyawa melakukan pengejaran. Sementara aku dan yang lainnya mengadakan pembersihan. Membunuh semua orang yang ada di tempat iblis itu, lalu membumihanguskan tempat tinggalnya. Sungguh tidak kusangka kalau iblis yang terluka parah itu akhirnya lolos juga. Berbahaya sekali! Dunia persilatan akan geger kembali apabila iblis itu telah pulih kembali seperti sediakala."
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat kuat .
"Maafkan atas kecerobohanku, Singa Hitam," ucap Dewa Arak meminta maaf.
"Kau tidak sepenuhnya salah, Dewa Arak, " bantah Gada Pencabut Nyawa. "Kalau saja aku bersikap bijaksana, mungkin kesalahpahaman itu tidak akan terjadi."
"Tapi, betapapun juga akulah yang telah membuat orang yang amat berbahaya itu lepas. Biarlah aku yang akan mencarinya.," sambut Dewa Arak ingin menebus kesalahannya.
"Hati-hati, Dewa Arak! Iblis itu memiliki banyak Ilmu hitam yang keji-keji!" ujar Singa Hitam memberitahu.
"Akan kuingat pesanmu itu, Singa Hitam...!"
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini melangkahkan kakinya. Langkahnya tampak pelahan saja, tapi sekali diayunkan kakinya, tubuhnya sudah berada pada jarak sepuluh tombak dari tempatnya semula.
"Hebat...!" desis Singa Hitam penuh takjub.
Kesembilan orang itu menatap terus punggung
Dewa Arak, sehingga lenyap di kejauhan. Baru kemudian mereka melangkah pergi meninggalkan tempat
itu. Membawa teman teman mereka yang terluka dan meninggal.
*** Suara jangkrik dan binatang malam lainnya menyemaraki kesunyian malam yang mencekam. Bulan sepotong yang nampak di langit, tiupan angin dingin membekukan tulang. dan suara lolong anjing di kejauhan semakin menambah seramnya suasana. dan hanya akan membuat orang berpikir beberapa kali untuk keluar di malam seperti itu.
Tapi rupanya ada juga orang yang tidak merasa
takut untuk keluar rumah pada malam yang cukup seram itu. Terbukti dalam keremangan sinar rembulan di atas langit, tampak sekelebatan bayangan melesat .
Sosok bayangan itu ternyata memiliki kepandaian
yang cukup tinggi. Terbukti gerakannya terlihat cepat dan gesit sekali.
Langkah kaki sosok bayangan itu baru terhenti
ketika tiba di depan sebuah daerah pekuburan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sosok bayangan ini jelas takut kalau ada orang yang melihatnya.
Dalam keremangan sinar rembulan, terlihat samar samar perawakan dan wajah sosok bayangan itu .Sosok bayangan itu ternyata seorang gadis berpakaian biru muda. Rambutnya digelung ke atas. Siapa lagi
gadis itu kalau bukan Malini!
Setelah yakin tidak ada yang melihatnya, gadis itu melangkah memasuki areal pemakaman itu. Kali ini seperti juga tadi, Malini mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya, berlari melalui jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat gundukan tanah yang berjejer. Cukup jauh juga gadis berpakaian biru muda ini berlari, melalui jalan yang berkelak kelok. Sampai akhirnya tak jauh di depannya," nampak sebuah rumah kecil berdinding bilik. Cahaya remang-remang tampak dari dalam rumah kecil itu.
Malini menghentikan langkahnya. Kemudian di
ambilnya sebuah kain hitam dari lipatan sabuknya. Lalu diikatkan ke wajahnya. Dijadikan cadar. Baru kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri rumah kecil berdinding bilik itu.
Tok, tok tok! Kelihatannya pelahan saja gadis berpakaian biru muda itu mengetukkan tangannya pada daun pintu. Tapi akibatnya pintu itu seperti dipukul oleh palu besi. Mengeluarkan suara ribut.
"Siapa?" terdengar suara sahutan dari dalam. Tapi Malini sama sekali tidak menjawab.
"Siapa di luar?" suara dari dalam kembali terdengar. Tapi kali ini diiringi bunyi derit dan langkah langkah mendekati pintu.
Kriiittt...! Suara berderit nyaring terdengar begitu daun pintu itu terkuak. Dan seraut wajah kasar dari seorang lakilaki setengah baya segera terpampang di hadapan Malini.
Sepasang mata laki-laki berwajah kasar itu menjad liar, begitu melihat seraut wajah di hadapannya. Sungguhpun sebagian wajah itu tertutup cadar, dapa diketahuinya kalau pemilik wajah itu adalah seorang wanita cantik. Dengan sorot mata liar, dirayapinya sekujur tubuh wanita itu.
Malini pun merasakan adanya gelagat yang tidak baik. Segera dipungutnya sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang kelihatan keras sekali. Kemudian digerakkan tangannya meremas. Kelihatannya pelahan
saja. Tapi, akibatnya batu itu hancur luluh jadi tepung.
Wajah kasar laki-laki setengah baya itu kontan memucat, Sepasang matanya terbelalak melihat pertunjukan tenaga dalam yang menakjubkan itu. Sinar matanya pun berubah. Tidak lagi kurang ajar dan liar seperti tadi. Tapi menyiratkan perasaan takut
"S... si... siapakah kau, Nisanak?" tanya laki-laki setengah baya itu agak gugup.
"Tidak perlu tahu siapa aku...," desis Malini tajam. "Aku datang kemari membawa keuntungan bagimu...."
"Ke... keuntungan buatku?"
"Ya!" jawab Malini. "ini!"
Entah dari mana dan kapan mengambilnya, di tangan gadis berpakaian biru muda itu telah tergenggam sekantung uang. Suara berkerincingan terdengar begitu gadis itu menggoyang-goyangkan tangannya.
Sepasang mata laklaki setengah tua itu terbelalak. Kedua biji matanya bergerak mengikuti ayunan kantung uang itu.
"Bagaimana?" tanya Malini lagi.
"Apa... apa yang harus kulakukan?" tanya laki-laki setengah baya itu. Jakunnya turun naik Sepasang matanya tak lepas memandang kantung uang itu
"Mudah saja, " sahut Malini. "Bukankah kau yang bertugas menggali makam di sini?"
"Iya, Nini. Lalu...," jawab laki-laki setengah baya yang ternyata adalah penggali makam itu. Ki Samura
namanya. Malini menatap lakilaki setengah tua itu tepat pada bola matanya _
"Apakah ada orang yang belum lama meninggal dan dikubur di sini?"
"Ada, Nini. Ada" tapi aku belum mengerti maksudmu, Nini?" tanya Ki Samura belum mengerti.
"Gali makam itu, dan berikan mayatnya padaku!" tegas dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut Malini.
Mulut laki-laki setengah tua itu ternganga. Sepasang matanya membeliak lebar seperti melihat hantu.
"Tapi..., Nini?"
"Kau mau uang ini atau tidak"!" sergah Malini cepat
"Mau, Nini," jawab si penggali makam itu cepat" "tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian...!" bentak Malini "Katakan saja cepat, mau atau tidak! Titik!"
Ki Samura tercenung sejenak. Dahinya berkerut dalam. Jelas kalau dalam benak laki-laki setengah baya ini ada pertentangan yang hebat. Antara menerima atau menolak tawaran itu.
"Cepat putuskan, aku tidak punya banyak waktu." selak Malini tidak sabar.
"Baiklah, Nini! Aku terima pekerjaan ini!" sahut penjaga makam itu mengalah.


Dewa Arak 08. Penganut Ilmu Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, cepatlah...!"
"Tunggu sebentar, Nini," ujar Ki Samura seraya berlari masuk ke dalam. Malini hanya memandang
pula. Sepasang bibirnya yang indah dan tersembunyi di balik cadar menyunggingkan sebuah senyuman.
Tak lama kemudian, penjaga makam itu telah kembali. Di tangannya tergenggam sebuah cangkul
"Mari, Nini," ajak laki-laki setengah baya itu pada Malini seraya berjalan mendahului. Tanpa banyak bicara, gadis berpakaian biru muda ini melangkah mengikuti.
*** Di bawah keremangan sinar bulan. Ki Samura dan Malini melangkah melewati jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat gundukan tanah makam .
Cukup jauh juga kedua orang itu berjalan. Melalui jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemudian berhenti dekat sebuah pohon kamboja"
"Inilah makam orang yang baru kemarin meninggal, Nini," ucap Ki Samura seraya menunjuk sebuah gundukan tanah merah yang terlihat masih baru.
Malini meratap makam itu dengan sinar mata berbinar-binar.
"Cepat gali...," perintah gadis berpakaian biru muda Itu dengan suara mendesis tajam.
Tanpa diperintah dua kali. lalu-laki setengah baya itu mengayunkan cangkulnya.
Crab! Sebongkah demi sebongkah gundukan tanah itu mulai menciut" Ki Samura mengayunkan cangkulnya
penuh semangat. Setiap kali cangkul di tangannya diayunkan. kantung uang di tangan gadis berpakaian biru muda itulah yang terbayang di benaknya" Setelah lubang itu tergali cukup dalam, laki-laki setengah baya itu mulai mengayunkan cangkulnya hati-hati. Tak lama kemudian. tampaklah sebuah peti di dalam lubang makam itu.
"Hup...!" Ki Samura melompat turun ke lubang itu. Dibukanya tutup peti mati itu dengan mempergunakan mata cangkulnya.
Sepasang mata Malini menatap ke dalam peti itu. Kepalanya terangguk-angguk ketika dilihatnya ada sesosok tubuh berkain putih yang terbaring di sana. Hidung gadis berpakaian biru muda yang dilindungi cadar hitam tipis itu tampak mendengus-dengus begitu mencium bau kurang sedap yang menyeruak dari dalam peti
"Cukup...!" sentak Malim. "Tutup kembali peti itu!"
Tanpa menunggu diperintah dua kali, K1 Samura kembali menutup peti mati Itu. Sejenak dia termangu mangu di bawah sana. Bagaimana mungkin dia mampu mengangkat peti itu ke atas"
Malini rupanya tahu kebingungan yang melanda penggali makam itu.
"Naiklah. Biar aku yang akan mengeluarkannya," perintah gadis berpakaian biru muda itu.
Ki Samura terkejut mendengar ucapan itu. 'Tidak
salahkah apa yang didengarnya barusan!
"Apa, Nini?" tanya penggali makam itu untuk lebih meyakinkan pendengarannya tadi.
"Naiklah! Biar aku yang akan mengurus peti itu!" sahut Malini.Kali ini suaranya lebih keras ketimbang yang pertama kali.
Kini Ki Samura yakin kalau pendengarannya tidak salah. Dan tanpa banyak membantah lagi segera dia kembali naik ke atas.
' Setelah laki-laki setengah baya itu berada di atas. Gadis berpakaian biru muda itu pun melompat turun. indah dan manis sekali gerakannya.
"Hup...!" Ringan tanpa suara kedua kakinya hinggap di dasar lubang.
Malini terdiam sebentar. Sepasang tangannya di rangkapkan di depan dada. Mulutnya komat kamit mengucapkan gumaman-gumaman tidak jelas. Sesaat kemudian, tubuh gadis itu menggigil. Semakin lama getaran pada tubuhnya semakin kuat. Dan tiba tiba saja....
Hah.--!', Dug! Gadis berpakaian biru muda ini menjejakkan kaki kanannya keras ke tanah. Ajaib! Tiba tiba saja, peti mati ini terlontar naik ke atas, bagai didorong dari bawah.
Begitu peti mati itu telah melewati lubang makam, tubuh Malini melesat ke atas.
"Hup...!" Tappp...! Sebelum peti mati itu jatuh ke tanah, Malini telah lebih dulu melesat dan menahannya dengan kedua tangan Kemudian mendarat ringan di tanah.
Mata Ki Samura terbeliak menatap semua kejadian itu. Sampai Malini menurunkan peti mati itu, laki-laki setengah baya itu masih terkesima. Tapi Malini sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Segera dilemparkannya kantung uang yang dijanjikannya tadi
"Lusa aku datang lagi...."
Setelah berkata demikian, Malini melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Padahal di bahunya terpanggul sebuah peti mati yang berat dan berisikan mayat seorang manusia! Tapi tetap saja gadis itu berlari seperti layaknya orang yang tidak membawa beban apa-apa.
Ki Samura menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat kesaktian yang dimiliki gadis berpakaian biru muda itu.
*** Ki samura berjalan mandar mandir di dalam rumahnya. Sudah seminggu lamanya dia terlibat dengan pekerjaan barunya. Menyediakan mayat untuk seorang wanita berpakaian biru muda! Urusan yang sangat menguntungkannya. Sudah tiga kali dia menjual mayat pada gadis itu. Tanpa ada seorang penduduk pun yang tahu perbuatannya
Tapi kali ini, Ki Samura dilanda kebingungan yang amat sangat. Betapa tidak" Kemarin malam. gadis berpakaian biru muda itu datang lagi. Kini permintaannya lain lagi. Gadis itu meminta mayat yang meninggal malam bulan purnama. Bahkan kali ini tidak hanya satu mayat, melainkan tiga mayat!
Dan sekarang bulan di langit telah tampil sempurna, malam bulan purnama. Ki Samura mondar-mandir di dalam rumahnya. Perasaan gelisah yang amat sangat menghantui hatinya. Bagaimana bila malam bulan purnama ini tidak ada yang meninggal" Andaikata ada pun sulit rasanya sampai berjumlah tiga orang. Terbayang kembali, di benaknya kedatangan gadis itu malam kemarin .
"Lusa aku datang kembali, Samura! Dan ingat, mayat pesananku harus ada!" ucap gadis berpakaian biru muda itu. Datar dan dingin suaranya .
"Siap Nini. bagaimana bila malam bulan purnama nanti tidak ada penduduk yang meninggal?" tanya ki Samura waktu itu .
"Kalau tidak meninggal wajar, usahakanlah oleh mu sendiri jalan yang tidak wajar! Pokoknya mayat itu harus meninggal malam bulan pumama!"
"Malam, Nini?" tanya Ki Samura tidak mengerti.
Malini menatap Ki Samura tepat pada kedua bola matanya. Laki-laki setengah baya ini yang sudah tahu betul kesaktian gadis di hadapannya ini segera menundukkan kepalanya. Tak sanggup menantang mata gadis itu.
"Kau belum mengerti maksudku, Samura?" tanya gadis berpakaian biru muda itu" Nada suaranya terdengar penuh selidik
' "Belum, Nini," jawab Ki Samura tetap menundukkan kepalanya.
"Dungu kau, Samura!" desis Malini tajam. Ki Samura hanya diam saja dimaki seperti itu. Kepalanya masih tetap tertunduk .
"Kalau tidak ada penduduk yang meninggal pada malam bulan purnama, terpaksa kau yang harus mengusahakan agar ada penduduk yang meninggal pada malam Itu!"
Berubah hebat wajah Ki Samura. Sudah dapat di duganya maksud ucapan gadis pakaian biru muda itu.
"Maksud, Nini?" Ki Samura menahan jawabannya.
"Ya." sahut Malini seraya menganggukkan kepalanya. Gadis berpakaian biru muda Itu telah tahu jawaban yang akan diucapkan penggali makam itu "Kau yang harus membunuhnya!"
"Ah...!" Ki Samura terpekik kaget. Sungguh jawaban seperti itu sudah diduganya, tapi tak urung hatinya terguncang mendengarnya.
"Mengapa tidak kau saja, Nini?" tanya laki laki setengah baya itu heran. Dengan kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian biru muda itu, jangankan tiga, dua puluh mayat penduduk pun bisa didapatkannya dalam malam bulan purnama.
Malini menatap wajah penggali makam itu tajam tajam. Sungguh tidak disangkanya kalau laki-laki setengah baya itu mengajukan pertanyaan demikian. Tidak dapat disangkal, kalau dia mampu mendapatkan mayat Itu dengan kepandaian yang dimilikinya. Tapi untuk apa" Kalau dia yang membunuhnya, mayat-mayat Itu tidak akan berguna! Mayat mayat itu hanya akan berguna, apabila meninggal bukan oleh tangannya. Itulah sebabnya dia mengadakan kerjasama dengan penggali makam ini.
"Kau tidak usah banyak tanya, Samura! Cukup kau laksanakan saja perintahku! 'tidak perlu mengutak atik urusanku! Paham"!" hardik Malini dengan raut muka bengis.
"Paham. Nini," sahut penggali makam itu cepat cepat.
"Auuunggg..!" Suara lolong anjing hutan menyadarkan Ki Samura dari lamunannya.
"Hhh..! Kalau besok tidak ada penduduk yang meninggal, celakalah aku!" desah laki-laki setengah baya ini mendesah. Kebingungan tampak terlihat di wajahnya.
"Apa boleh buat! Aku masih belum ingin mati!"
Setelah berkata demikian, Ki Samura melangkah masuk ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi. Sebuah golok yang masih bersarung tercekal di tangannya.
Srattt..! Ki Samura menghunus golok itu. Sinar terang mengkilat ketika golok itu keluar. Ki Samura memperhatikan golok yang berwarna putih mengkilap itu penuh perhatian. Lalu dimasukkan kembali ke sarungnya dan diselipkan di pinggang .
Kemudian dengan langkah lebar penggali makam Itu berjalan meninggalkan rumahnya. Menyusuri jalan
tapak yang di kanan kirinya terhampar gundukan tanah.
Tak lama kemudian, laki laki setengah baya ini sudah berada di depan areal pemakaman. Sesampainya disana Ki Samura kembali bimbang, antara meneruskan langkahnya ataukah kembali ke rumahnya.
Tapi hanya sesaat saja perasaan itu mengganggunya. Ancaman Malini membuatnya memilih meneruskan langkah. Sepanjang perjalanan, benak Ki Samara terus berputar, siapakah yang akan menjadi korbannya nanti" Malam malam seperti ini rasanya tak akan ada penduduk yang keluar rumah. Semuanya tertidur lelap di peraduannya masing-masing.
Entah sudah berapa jauh, laki-laki setengah baya ini melangkahkan kakinya, tapi yang jelas jantung dalam dadanya berdebar tegang ketika melihat sebuah rumah yang terletak menyendiri jauh dari rumah yang lainnya.
Dengan jantung berdegup kencang, dan kaki agak gemetar. Ki Samura melangkahkan kakinya mendekati rumah yang letaknya menyendiri itu. Ki Samura tahu kalau rumah itu ditinggali oleh sepasang suami istri yang telah berusia tua. Anakanaknya telah berkeluarga dan tidak tinggal di situ lagi. Hanya ada seorang gadis kecil yang tinggal di rumah itu untuk membantu segala keperluan kakek dan nenek itu.
Sesampainya di depan rumah kecil berdinding bilik ini, Ki Samura mengatur napasnya yang agak terengah-engah. Perasaan tegang yang melanda hatinya menjadi penyebabnya.
Setelah alur napasnya mulai normal. laki-laki setengah baya ini mengambil selubung yang diselipkan di lipatan pinggangnya. Kemudian dikenakannya.
Tangan penggali makam itu tampak agak gemetar ketika mendorong pintu itu. Suara berderit pelan terdengar. Rupanya pintu itu sama sekali tidak terkunci.
Dengan detak jantung yang semakin kencang, Ki Samura menutupkan daun pintu kembali. Seumur hidupnya belum pernah laki laki setengah baya itu membunuh orang. Jangankan membunuh, mengkha yalkan untuk membunuh orang pun belum pernah. Maka tidak aneh kalau penggali makam ini merasa tegang bukan main.
Dalam keremangan cahaya obor, terlihat oleh Ki 'samura dua sosok tubuh yang tertidur di balai-balai bambu. Sungguhpun suasana di situ remang-remang, laki-laki setengah baya ini mampu mengenali sosok tubuh yang terbaring itu. Sosok tubuh seorang wanita tua dan seorang anak gadis kecil. Ke mana sang kakek Itu" tanya Ki Samura dalam hati. Sepasang matanya liar mengamati sekeliling. Tapi tetap saja tidak dijumpainya kakek itu di situ.
Persetan dengan tua bangka itu. Dia bisa dibereskan belakangan. Yang penting bereskan yang ada dulu! teriak laki-laki setengah baya ini dalam hati.
Srattt...! Dicabutnya golok yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Dengan golok terhunus di tangan, penggali "makam ini melangkah pelahan-lahan mendekati balai balai bambu.
Sebelum mengayunkan goloknya, Ki Samura lebih dulu mengambil segumpal kain yang telah dipersiapkan, untuk meredam suara teriakan si korban.
Kreppp...! Kain itu ditekapkan tepat ke mulut si nenek. Karuan saja hal itu membuat si nenek bangun dan meronta kaget. Di saat itulah golok di tangan Ki Samura terayun deras ke arah perut si nenek.
Crottt...! Tidak ada suara jeritan yang terdengar dari mulut
si nenek yang malang ini. Sepasang matanya membeliak lebar. Tangan dan kakinya meronta-ronta meregang nyawa. Tapi itu hanya berlangsung sekejap, Sesaat kemudian tubuhnya pun terkulai lemas seiring dengan lepasnya nyawa dari badannya .
Tidak ada yang tahu kematian nenek yang malang itu. Bahkan gadis kecil di sebelahnya pun tidak mengetahui. Rupanya anak itu terlalu letih setelah seharian penuh bekerja.
Hal yang sama pun berulang pada gadis kecil itu. Ia pun tewas dibacok golok penggali makam itu. KI Samura tersenyum di balik selubungnya. Tak pernah dibayangkan, kalau pekerjaannya akan semudah ini. Kini hanya tinggal menunggu sang kakek. Ke mana lagi malam malam begini kalau bukan buang air. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, penggali makam ini bergegas berjalan ke pintu belakang dan bersembunyi di baliknya.
Dugaan penggali makam Ini tidak salah. Belum berapa lama dia berdiri di situ, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Jantung Ki Samura berdegup keras, terbawa perasaan tegang yang melanda dirinya
Kriit"! Terdengar suara derit keras pintu yang terbuka. disusul dengan melangkah masuknya sesosok tubuh tua.
Ki Samura mengayunkan tangannya. Menghantam tengkuk kakek itu dengan sisi telapak tangan miring.
Bukkk..! "Hekh...!" Kakek yang sial itu pun roboh ke lantai. Pukulan
tangan miring penggali makam ini memang keras bukan main. Maklum pekerjaannya sehari hari memang memerlukan tenaga kuat.
Ki Samura tertawa dalam hati. Tidak disangkanya kalau pekerjaannya akan bisa terlaksana semudah ini. tanpa membuang buang waktu lagi diayunkan goloknya ke punggung kakek yang telah pingsan itu.
Crottt...! Tak ada sedikit pun suara yang terdengar begitu golok itu menghunjam dalam di punggung kakek itu.
Ki Samura mencabut kembali goloknya. Cairan darah kental mengalir deras begitu golok itu tercabut. Penggali makam ini menyeringai puas, lalu dimasukkan golok itu kembali ke sarungnya setelah terlebih dulu disekanya golok yang berlumuran darah itu dengan pakaian sang kakek .
Ki Samura lalu membungkukkan tubuhnya memeriksa kakek itu. Khawatir kalau korbannya belum mati.Baru setelah yakin kakek itu telah benar benar tewas, Laki-laki setengah baya ini membuka pintu dan berlari meninggalkan tempat itu.
*** "Hhh..!" Ki Samura berdesah resah. Sudah sejak tadi dia
menunggu kedatangan gadis berpakaian biru muda. Pegal rasanya sepasang matanya dibelalakkan ke arah gadis itu biasa datang.
Kembali ditundukkan kepalanya. Menatap ke arah tiga buah peti mati yang berjajar di dekat kakinya. Berlainan dengan biasanya, kali ini Ki Samura sudah menggali dan sekaligus menaikkannya ke atas sehingga bila gadis berpakaian biru muda itu datang, hanya tinggal membawanya saja. Tentu saja penggali makam ini tidak mungkin melakukannya sendirian. Diajaknya seorang keponakannya untuk membantu, dan tentu saja dijanjikan upah yang memuaskan.
Di benak Ki Samura terbayang kembali peristiwa pembunuhan itu. Seluruh penduduk desa gempar ketika mengetahui adanya korban pembunuhan. Ki Bacan, sang kepala desa, dan Bajuri, seorang guru silat desa itu. berusaha keras mencari si pembunuh, tapi akhirnya mereka gagal.
Lamunan Ki Samura sirna seketika, tatkala dilihatnya tiga sosok bayangan yang berkelebat cepat menuju ke arahnya. Sungguhpun suasana masih remang remang, laki-laki setengah baya ini dapat mengenali kalau sosok tubuh yang berada paling depan adalah sosok tubuh dari gadis berpakaian biru muda.
' Ketiga sosok bayangan itu semakin lama mendekat dengan penggali makam itu. Di tengah tengah suasana malam agak remang remang, Ki Samura masih bisa mengenali kedua sosok bayangan yang datang bersama Malini.
Sekejap kemudian, ketiga sosok tubuh Itu telah
berada di depan Ki Samura. Laki laki setengah baya ini melirik sekilas ke arah dua orang yang datang bersama Malini. Dan seketika itu juga bulu di sekujur tubuhnya merinding. Betapa tidak"
Sosok tubuh pertama adalah seorang lakilaki
tengah baya bertubuh kurus kering, bergigi tonggos. Tapi bukan itu yang membuat Ki Samura merasa seram, melainkan sinar mata laki-laki itu. Sorot mata kakek itu begitu mengerikan. Begitu juga sorot mata dari tubuh orang kedua, yang ternyata adalah seorang wanita setengah baya berpakaian merah dan bercadar hitam.
"Bagaimana, Samura" Sudah kau dapatkan pesananku?" tanya Malini.
Penggali makam itu hanya dapat menganggukkan kepalanya. Tangannya menunjuk ke arah tiga buah peti mati yang berjajar di bawah kakinya. Kengerian yang masih mencekam, membuatnya belum mampu mengeluarkan suara sedikit pun.
Malini membungkukkan tubuhnya. Kemudian jarinya yang halus dan mungil itu terjulur ke arah peti mati. Pelahan saja kelihatannya jari-jari tangan berkulit halus itu bergerak. Tapi akibatnya suara menderak keras terdengar ketika tutup peti mati itu terbuka.
Ayah dan Ibu gadis berpakaian biru muda itu tidak berpangku tangan saja, mereka pun segera membuka tutup peti mati itu.
Serentak anak beranak itu melongokkan kepala melihat isi peti mati itu.
"Bagaimana, Ayah" Benar mereka tewas pada malam bulan purnama?" tanya Malini.
Laki-laki setengah baya itu hanya menganggukkan kepala. Terdengar suara gumaman tidak jelas dari mulutnya
"Mari kita pergi, Malini," ajak sang ibu. "Tapi, jangan lupa. Berikan imbalan atas jerih payah orang suruhanmu ini."
Malini hanya menganggukkan kepalanya. Sementara Ki Samura menunggu dengan perasaan tegang. Sudah bisa dipastikan kalau upahnya kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya .
"Ini upahmu, Samura...." desis Malini tajam, seraya mengulurkan tangannya ke arah wajah penggali makam itu. Cepat bukan main gerakannya sehingga sebelum laki-laki setengah baya itu tahu apa yang terjadi, jari jari tangan gadis berpakaian biru muda itu telah mencengkeram keras rahangnya.
"Akh...!" Ki Samura berteriak keras. Tulang rahangnya sakit luar biasa seperti bukan dicengkeram oleh tangan halus seorang gadis, melainkan oleh jepitan baja yang amat kuat .Semakin lama cengkeraman jari-jari tangan gadis itu semakin kuat dan menyakitkan.
Terdengar suara bergemeretakan keras ketika tulang rahang Ki Samura hancur berantakan. Darah manyembur deras dari mulut laki laki setengah baya yang malang itu.
Tapi pekerjaan Malini tidak hanya sampai di situ saja.
Tangan kanannya kembali bergerak mengibas. kelihatannya pelahan saja.
Plakkk..! Suara berderak keras terdengar mengiringi remuknya tulang tulang pelipis Ki Samura. Tubuh penggali makam itu terpelanting dan jatuh di tanah. lakilaki setengah baya itu menggelepar-gelepar sesaat
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Malini mengebut ngebutkan tangannya. Dipandanginya tubuh yang tergolek diam itu sejenak. Baru
setelah itu dihampirinya peti mati yang berjajar, lalu diambilnya satu dan diangkatnya. Sementara yang dua lagi, dibawa oleh ayah dan ibunya.
"Dengan mayat mayat ini, dunia persilatan akan kubuat gempar-...!!" ucap kakek bergigi tonggos itu suaranya terdengar aneh. Pelan tapi bergaung,
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu melesat pergi dari situ. Dikuti oleh istri dan anaknya. Dalam sekejap mata bayangan tiga sosok tubuh itu telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Kini kesunyian kembali melanda daerah pekuburan itu. Yang tampak hanyalah sesosok tubuh tak bernyawa dari seorang laki laki setengah baya. Tubuh Ki Samura.
*** Seorang pemuda berambut putih keperakan menepuk punggung tangan kirinya. Dan begitu tapak tangan kanannya digeserkan, tampaklah bangkai seekor semut merah di punggung tangan kirinya itu.
"Hhh..!" desah pemuda yang ternyata adalah Dewa Arak ini. Dijulurkan tangannya mengambil guci arak yang digantungkan di salah satu cabang pohon. Memang Arya saat ini tengah beristirahat di atas sebuah cabang pohon.
Bagi orang seperti Dewa Arak, merupakan hal yang biasa tidur dan beristirahat di atas pohon. Tapi kali ini rupanya nasib sial tengah melanda dirinya. Baru saja sepasang matanya terpejam, seekor semut merah besar telah menggigitnya. Sehingga membuat tidurnya terjaga.
Tapi baru saja Arya mengangkat guci arak ke atas kepala untuk dituangkan ke mulutnya, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki ringan yang berlari cepat ke arahnya. Perasaan ingin tahu mendorong pemuda berbaju ungu ini untuk menolehkan kepalanya.
Begitu kepalanya menoleh, dilihatrya tiga sosok bayangan melesat lewat di bawahnya. Karuan saja
Dewa Arak menyipitkan matanya untuk lebih jelas melihat orang yang di malam Selarut ini masih berlari lari.
Hati Arya tercekat begitu melihat agak jelas. Betapa tidak" Ketiga sosok tubuh yang berlari cepat itu semua membopong sebuah peti mati" Hantukah mereka" tanya Dewa Arak dalam hati. Seketika dada nya berdebar tegang.
Tapi hantu atau bukan, yang jelas kelakuan mereka sangat mencurigakan. Penculikkah ketiga orang Ini" duga Dewa Arak lagi dalam hati
"Hup...!" Dewa Arak melompat turun dari atas pohon. Di batalkan maksudnya untuk meminum arak. Kembali guci arak disampirkan di punggung. Kemudian pemuda berambut putih keperakan ini berlari mengejar ke arah tiga bayangan itu melesat. Masih terlihat olehnya ketiga sosok tubuh yang berlari dalam jarak puluhan tombak di depannya.
Tiga sosok tubuh yang berlari cepat sambil memanggul peti mati itu, adalah Malini bersama ayah dan Ibunya, yang baru saja pergi setelah membunuh Ki Samura.
"Ada orang yang mengikuti kita," bisik laki laki setengah baya bergigi tonggos itu pada anak dan istrinya.
"Biar kubereskan dia, Ayah, " sahut Malini menawarkan diri.
"Jangan," cegah Hantu Putih. "Kau terus saja
lanjutkan perjalanan bersama ibumu. Biar Ayah yang akan mengurus penguntit berani mati itu!"
Malini dan ibunya tidak membantah. Terus saja keduanya melanjutkan lari mereka. Sedangkan Hantu Putih berhenti berlari, kemudian dibalikkan tubuhnya menanti kedatangan si pengejar. Peti mati yang sejak tadi dibopongnya, diletakkan di tanah.
Dewa Arak menghentikan langkahnya ketika melihat salah satu dari tiga orang yang dikejar menunggunya. Dalam jarak sekitar tiga tombak, Arya menatap sosok tubuh yang berdiri di hadapannya tajam tajam. Kemudian pandangannya beralih pada peti mati yang tergeletak di tanah dekat kaki orang itu.
"Siapa kau, Kisanak'" Dan mengapa di malam selarut ini berlari-lari dengan membawa bawa peti. Boleh kutahu, peti mati milik siapakah itu?"
Ayah Malini mengerutkan dahi, sepertinya dia pernah melihat pemuda berambut putih keperakan ini Tapi dia lupa, kapan dan di mana" Betapapun telah diusahakannya untuk mengingat-ingat, tapi tetap saja Hantu Putih tidak mampu mengingatnya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya tatkala pertanyaannya sama sekali tidak dijawab laki laki setengah baya di depannya. Arya menjadi bertambah curiga. Sikap laki-laki bergigi tonggos itu terlalu mencurigakan. Apalagi jika melihat potongannya. Potongan Hantu Putih mengingatkan Dewa Arak pada orang-orang yang berkelakuan tidak baik.
"hup...!" Mendadak saja Hantu Putih melesat menerjang,
tangan kanannya menyampok pelipis Dewa Arak
Wuutt..! Angin keras berkesiur mengiringi tibanya serangan nu. Dewa Arak tidak berani bersikap gegabah. Sama
sekali tidak ingin ditangkisnya serangan itu sebelum mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Memang begitulah sifat Dewa Arak, selalu bersikap hati hati dalam menghadapi setiap persoalan.
Arya mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga sampokan tangan yang berbentuk cakar itu lewat sejengkal di depan wajahnya. Angin yang berkesiur keras membuat rambutnya berkibar.
Wuih..! Kini tangan kiri laki-laki bergigi tonggos itu yang ganti menyambar begitu serangan pertamanya lolos. Tangan yang berbentuk cakar itu menyampok keras dagu Dewa Arak dari arah bawah ke atas.
Kini Arya tidak ragu-ragu lagi. Dari angin serangan lawannya tadi, sudah dapat diketahui kekuatan tenaga dalamnya. Kekuatan tenaga dalam lawan ternyata mencapai tiga perempat tenaga dalamnya. Maka Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisannya. Tangan kirinya digerakkan ke bawah untuk menjegal tibanya serangan Itu.
Takkk..! "Akh...!" Lelaki bergigi t0nggos itu terpekik kaget. Sekujur tangannya terasa lumpuh. Dadanya pun dirasakan sesak. Apalagi tulang-tulang tangannya yang berbenturan dengan tulang tulang tangan pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Tulang-tulang itu nyeri dan sakit bukan kepalang. Seolah-olah yang beradu dengan tulang tangannya bukan tangan manusia yang terdiri dari daging dan tulang. melainkan sebatang baja yang amat kuat.
Dewa Arak yang tidak mempunyai urusan dengan orang di hadapannya, tidak membalas dengan serangan susulan. Dia hanya ingin mengetahui, mengapa orang ini berlari-lari sambil memanggul peti mati pada malam hari.
Hantu Putih menggeram. Rasa sakit yang dideritanya akibat benturan tadi, menimbulkan kemarahan yang amat sangat. Tapi di samping kemarahan, timbul pula rasa khawatir. Pemuda di hadapannya ini adalah seorang lawan yang amat tangguh .Rasanya akan sangat memakan waktu bila terlibat pertarungan. Sementara malam telah semakin larut, bahkan telah mulai menjelang dinihari" Dia harus cepat pergi dari sini, sebelum pagi tiba.
Laki-laki setengah baya itu memejamkan matanya sejenak. Kedua tangannya dibuka dan segera dirapatkan di depan dada. Mulutnya komat-kamit sebentar. seperti mengucapkan sesuatu. Sesaat kemudian terlihat tangan yang kedua telapaknya menempel itu. tergetar hebat.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia sama sekali tidak mengetahui apa yang akan dilakukan lawannya. Tapi, yang jelas pemuda berambut putih keperakan tahu kalau lawan tengah mengeluarkan ilmunya. Entah ilmu apa yang akan digunakannya, Dewa Arak sama sekali tidak mengetahui.
Beberapa saat kemudian, kedua tangan yang menempel itu terbuka dan bergerak pelan seperti melambai-lambai.
Semula Arya sama sekali tidak mengerti. Tapi saat kemudian, keterkejutan yang amat sangat pun melandanya. Tubuhnya tiba tiba saja tertarik ke depan. Karuan saja tarikan tiba tiba tanpa sepengetahuan Dewa Arak, membuat tubuh pemuda berambut putih keperakan ini terhuyung-huyung ke depan!
Arya sadar akan adanya bahaya besar yang mengancamnya, kalau dia tidak segera mematahkan daya tarik aneh pada tubuhnya. Seketika itu juga, Dewa Arak sadar kalau dirinya kembali berhadapan dengan tokoh persilatan yang mempunyai ilmu aneh. Maka bergegas dijejakkan kedua kakinya sambil mendoyongkan tubuh ke belakang, untuk memusnahkan daya tarik aneh pada tubuhnya.
Tapi kejadian yang tidak disangka sangka Dewa Arak kembali terjadi. Selagi pemuda ini berkutet menahan tarikan kuat aneh yang memaksanya ke depan, tiba-tiba tangan laki laki setengah baya itu mengibas ke depan. Dan akibatnya mengejutkan Dewa Arak. Daya tarik yang membetotnya ke depan tiba-tiba hilang secara mendadak, berganti dengan daya dorong ke arah belakang! '
Tentu saja perubahan yang terjadi secara tiba-tiba Ini membuat Dewa Arak yang tidak menduga hal itu
tidak berdaya. Pada saat Itu, tengah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menarik tubuhnya ke belakang. Maka karuan saja begitu daya tarik itu berubah menjadi daya dorong, Arya tidak sempat berbuat sesuatu.
Jangankan daya tarik itu berubah menjadi daya dorong, daya tarik itu hilang saja, sudah cukup untuk membuat Dewa Arak terjengkang ke belakang. Apalagi setelah tubuhnya mendapat tambahan daya dorong. Maka kekuatan yang mendorongnya ke belakang pun semakin bertambah kuat.
Tak pelak lagi, tubuh Dewa Arak pun terjengkang jauh ke belakang, tanpa pemuda itu mampu untuk berbuat sesuatu.
Brukkk...! Dengan mengeluarkan suara berdebuk keras. Tubuh Dewa Arak jatuh di tanah. Dan sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, Hantu Putih menghentakkan kakinya ke tanah sekali.
Dem! Begitu Hantu Putih menghentakkan kakinya di tanah, sepasang mata Dewa Arak terbelalak ketika menyadari tubuhnya tidak mampu bangkit berdiri. Ada kekuatan aneh yang membuat tubuhnya terpaku kaku di tanah. Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mematahkan kekuatan tak nampak yang menekannya.
Hantu Putih tidak menyia nyiakan kesempatan itu. Selagi Dewa Arak belum mampu membebaskan diri dari pengaruh ilmunya, segera dia melompat menyerang.
Arya berusaha keras untuk memberontak lepas dari tekanan kekuatan aneh itu" Tapi, walaupun telah dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya, tetap saja pemuda itu tidak mampu membebaskan diri. Sedangkan serangan dari Hantu Putih semakin menyambar dekat.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak. Dengan posisi tubuh setengah berjongkok itu, dimainkannya jurus 'Pukulan Belalang. Kedua tangannya dihentakkan ke depan ke arah tubuh laki-laki bergigi tonggos yang tengah menerjang ke arahnya.
Wess."! Angin keras berhawa panas menderu dahsyat ke arah tubuh Hantu Putih. Laki-laki bergigi tonggos ini terbeliak kaget. SunggUh tidak disangkanya kalau pemuda berambut pulih keperakan itu memiliki ilmu pukulan yang begitu dahsyat. Serangan itu datang begitu tiba-tiba, padahal tubuhnya sedang berada di udara. Sebisa bisanya digeliatkan tubuhnya. Tidak berani dia menangkis pukulan jarak jauh yang dahsyat Itu.
Usaha untung-untungan yang dilakukan Hantu Putih membuahkan hasil juga. Angin keras berhawa panas itu menyambar lewat di samping kiri pinggangnya.
"Hup...!" Dengan wajah pucat penuh keringat dingin, Hantu Putih mendaratkan kedua kakinya di tanah. Hampir saja nyawanya melayang! keluhnya dalam hati. Dengan punggung tangan. diusap keringat dingin yang membasahi wajahnya.
"Hiya...!" Arya mengeluarkan teriakan nyaring melengking tinggi dalam upayanya untuk membebaskan diri dari tekanan aneh ilmu lawannya. Suara teriakan ini membuktikan kalau Dewa Arak telah mengerahkan tenaga dalam yang dimiliki sampai ke puncaknya.
Hantu Putih merasa betapa dadanya terguncang. Telinganya pun dirasakan sakit bukan main. Laki-laki bergigi tonggos ini tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Dia tidak berani mencoba menyerang Dewa Arak lagi. Walaupun pemuda itu telah dibuatnya tidak mampu berganti posisi, tapi tetap membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membinasakannya. Sementara waktunya sangat terbatas.
Hantu Putih tahu, seorang sakti seperti pemuda berambut putih keperakan itu tidak akan dapat ditahan lama dengan pengaruh ilmunya. Mumpung pemuda itu belum mampu bangkit, Hantu Putih bergegas mengangkat peti yang tergeletak di tanah. Kemudian melesat kabur dari situ, setelah sebelumnya menghentakkan kakinya sekali lagi ke tanah untuk membuat pemuda itu agak lama membebaskan diri.
"Ahhh...!" keluh Arya dalam hati. Pemuda berbaju ungu ini baru saja merasakan
kuatan aneh yang menekan sekujur tubuhnya sudah mulai berkurang, tapi kembali menguat begitu Hantu Putih menghentakkan kakinya sekali lagi. Dewa Arak merasa penasaran bukan main. Kembali dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari Ilmu aneh Hantu Putih. Urat urat di sekujur tubuhnya menggembung ketika Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki sampai ke puncaknya.
"Kenapa kau. Anak Muda?" terdengar di telinga Dewa Arak suara lembut menegurnya. Luar biasa! Seiring dengan hilangnya gema suara teguran itu, pantekan pada sekujur tubuhnya lenyap secara mendadak .
Bergegas Dewa Arak bangkit dari posisinya yang setengah berjongkok. Peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya, diusap dengan punggung tangan.
Dewa Arak menatap wajah orang yang menegurnya tadi. Tapi secepat sepasang matanya melihat wajah orang itu, secepat itu pula dialihkan sepasang matanya dari orang yang berdiri di hadapannya.
Orang itu ternyata adalah seorang kakek yang sudah berusia sangat tua. Alis, kumis, cambang, dan jenggotnya telah memutih semua. Bahkan panjang jenggotnya pun sampai melewati dada. Pakaian kakek itu putih bersih. Rambutnya digelung, Di tangan kanannya tergenggam seuntai tasbeh .
Tapi bukan hal itu yang membuat Dewa Arak mengalihkan pandangan. Sekujur tubuh kakek itu bersinar. Apalagi wajahnya. Sinar yang membuat orang tidak kuat untuk menatap lama lama.
"Tidak. Kek. Aku tidak apa apa...," sahut Dewa
Arak. Ditatapnya wajah kakek itu sekilas.
"He he he...! Kau tidak jujur, Anak Muda," ucap kakek berpakaian putih bersih itu lagi. "Kau baru saja terbebas dari pantekan Ilmu lawanmu, bukan?"
Diam-diam Dewa Arak terkejut. Kakek tua ini ternyata mengetahui keadaan yang dialaminya!
"Apa yang Kakek katakan memang benar. Tapi aku pun sama sekali tidak berbohong. Bukankah aku tidak apa-apa?" bantah Arya.
Kakek berpakaian serba putih itu mengangguk anggukkan kepalanya. Mulutnya menyunggingkan seulas senyuman lebar. Tapi, tiba tiba dahinya berkerut ketika melihat punggung Dewa Arak.
"Dari mana kau dapatkan guci Itu, Anak Muda?" tanya kakek itu lagi. seraya menuding ke arah guci yang tersampir di punggung Dewa Arak .
"Kata adik guruku, guci ini pemberian dari guruku, Kek," jawab Dewa Arak (Untuk jelasnya, bacalah Serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang Bintang").
"Hm... siapa kau, Anak Muda. Siapa pula yang kau sebut guru dan adik dari gurumu itu?" desak kakek itu lagi.
"Namaku Arya, Kek. Arya Buana...."
"Arya Buana?" gumam kakek berpakaian putih itu mengulang. "Lalu, siapa gurumu dan adik gurumu itu?"
"Maafkan aku, Kek. Sebelum kuberitahukan nama guru dan adik guruku itu, bolehkah aku tahu siapa Kakek?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa terkekeh. "Aku" Aku sendiri hampir lupa dengan namaku. Bahkan nama adik kandungku sendiri saja aku sudah lupa. Tapi julukannya aku tidak lupa. Ular Hitam, begitu julukan adik kandungku."
Arya sampai terlonjak ke belakang mendengar jawaban ini .Ular Hitam hanya mempunyai seorang kakak kandung. Dan kakak kandung Ular Hitam itu adalah guru Dewa Arak, bernama Ki Gering Langit. Jadi kakek berpakaian putih bersih di hadapannya. Inikah yang bernama Ki Gering Langit"
"Jadi..., jadi... Kakek ini guruku" Kakek Ular Hitam adalah adik kandung guruku.,.," ucap Arya terbata-bata. Ada rasa keharuan yang melanda hati nya. Memang sudah sejak lama pemuda ini ingin bertemu dengan gurunya. Karena selama ini Arya belum pernah bertemu langsung. Dia hanya belajar di bawah pengawasan Ular Hitam, adik gurunya ini (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang"). Maka tentu saja pertemuan yang tidak disangka-sangka ini membuatnya seolah olah sedang bermimpi.
Orang berpakaian putih yang ternyata Ki Gering Langit, menepuk-nepuk pundak Dewa Arak .
"Sudah kuduga..., begitu melihat guci di punggungmu, aku sudah menduga kalau kau adalah muridku. O ya, Arya. Aku tidak melihat adanya Pedang Bintang .Ke mana pedang itu?" tanya Ki Gering Langit.
"Kusimpan di tempat tinggal Kakek Ular Hitam. Guru," jawab Dewa Arak "Di sebuah tempat yang aman dan tidak akan mungkin orang tahu."
Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"O ya, Arya.... Bagaimana keadaan Ular Hitam sekarang?"
Seketika itu juga wajah Dewa Arak berubah mendung. Pertanyaan gurunya itu membuatnya teringat kembali akan kematian Kakek Ular Hitam dan ibunya yang tewas di tangan Darba (Untuk jelasnya. bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar").
Tanpa mendapat jawaban lagipun, Ki Gering langit sudah dapat mengetahui kalau ada kejadian buruk yang telah menimpa adik kandungnya itu. Tapi meskipun begitu, tanpa mendengar berita itu sendiri
dari mulut muridnya, dia masih kurang yakin "Katakanlah, Arya. Seburuk apa pun berita yang kuterima, masih lebih baik daripada dilanda ketidak pastian mengenai nasib adik kandungku." Dewa Arak menghela napas panjang, "Kakek Ular Hitam telah tewas, Guru," ucap pemuda berambut putih keperakan itu pelan. _ Tidak ada perubahan sama sekali yang terlihat pada wajah Ki Gering Langit. Wajah itu masih tetap seperti semula. Tenang, Hati Arya kagum melihat hal ini. Sama sekali pemuda berambut putih keperakan Ini tidak mengetahui kalau berita itu bagi kakek berpakaian putih bersih itu, lebih terasa mengejutkan daripada halilintar menyambar di dekatnya. Tapi berkat kematangannya, sungguhpun hatinya kaget bukan main, wajahnya sama sekali tidak menampakkan perasaan apa-apa.
"Bagaimana dia bisa tewas, Arya?" tanya Ki Gering Langit lagi penuh rasa ingin tahu.
Dewa Arak pun menceritakan semua yang telah terjadi. Sementara Ki Gering Langit mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tak sekali pun kakek berpakaian putih bersih ini menyela cerita muridnya hingga Arya menghentikan ceritanya.
"Beginilah kejadiannya, Guru." ucap Dewa Arak menutup ceritanya.
Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepalanya .
"Tidak usah disedihkan lagi, Arya. Yang sudah
terjadi biarlah berlalu," ucap kakek berpakaian putih bersih itu memberi nasehat "O ya, tadi aku melihat kau sepertinya tidak mampu bangkit. Apa yang telah terjadi, Arya?"
"Entahlah, Guru. Aku pun tidak mengerti," sahut Dewa Arak pelahan. Memang pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengerti apa yang di alaminya tadi.
"Ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantu," sambut Ki Gering Langit.
Dewa Arak tercenung sebentar. Kemudian diceritakan semua kejadian yang dialaminya. Dari mulai dia melihat tiga sosok bayangan berkelebatan membawa peti mati, sampai akhirnya Hantu Putih kabur setelah membuat dirinya tidak berdaya.
Ki Gering langit mengangguk-anggukkan kepalanya .
"Rupanya kau berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu hitam, Arya. Dan peti mati yang kau lihat itu sudah pasti berisi mayat manusia. Sudah bisa kutebak kalau orang itu pasti menggunakannya untuk mendapatkan sebuah ilmu"
"Lalu, ilmu apakah yang dipergunakan oleh lawanku tadi, Guru?"
"Semacam ilmu yang kumiliki. Hanya saja, ilmu yang dimiliki orang itu didapatkan melalui jalan hitam. Yahhh..., seperti yang kau ceritakan tadi. Mencuri mayat! Mendengar ceritamu tadi, ilmu yang dipergunakan orang itu mirip dengan aji 'Tarik Raga'. dan aji "Tolak Raga". Sedangkan ilmu yang membuatmu
terpaku di tanah tanpa mampu berbuat apa-apa adalah ilmu 'Pantek Raga'!"
"Apakah Guru juga memiliki ilmu-ilmu itu?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Ki Gering Langit menganggukkan kepalanya.
"Maukah Guru mengajarkannya padaku?" pinta Arya penuh harap.
"Sayang sekali, Arya," jawab Ki Gering Langit '.'Ilmu itu tidak bisa kau dapatkan, karena Ilmu 'Belalang Sakti" yang kau miliki, menjadi penghambat untuk bisa menguasai ilmu ilmu itu. Tapi aku bisa memberikan padamu cara untuk menangkal ilmu ilmu seperti Itu"
Dewa Arak pun terdiam .

Dewa Arak 08. Penganut Ilmu Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kau ingin tahu, aku bisa mempertunjukkan Ilmu-ilmu itu kepadamu. Terutama sekali Ilmu yang bernama 'Pitunduk'!"
"'Pitunduk'...?" ulang Arya Buana. Sepasang alis nya berkerut pertanda pemuda itu dilanda perasaan heran "Ilmu apa itu, Guru?"
Ki Gering Langit tersenyum lebar.
"Pengertian ilmu 'Pitunduk', adalah ilmu yang menyempurnakan raga manusia." sahut Ki Gering Langit menjelaskan.
Semakin banyak kerut merut di dahi Dewa Arak. Penjelasan gurunya semakin membuat dirinya bertambah bingung. .
"Aku belum mengerti. Guru," ucap Arya jujur.
"Memang susah untuk dimengerti, Arya. Dan kau
tidak akan bisa mendapatkannya sampai kapan pun. Namun secara kasar dapat kuberi penjelasan. Dengan ilmu 'Pitunduk' itu. kau dapat memperlakukan orang atau benda apa pun sesuai kehendakmu. "
"Maukah Guru memperlihatkannya padaku?" pinta Dewa Arak .
Ki Gering Langit menganggukkan kepalanya.
"Bersiaplah kau, Arya," ucap kakek berpakaian putih bersih itu .
Dewa Arak pun melangkah mundur tiga tindak .
"Serang aku dengan seluruh kemampuan yang kau miliki," perintah Ki Gering langit .
Dewa Arak memberi hormat.
"Maafkan aku, Guru," ucap Dewa Arak sebelum memulai penyerangan. Diambilnya guci yang tersampir di punggungnya. Kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk.. gluk.. gluk...! Terdengar suara tegukan begitu arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga hawa hangat yang melanda perut pemuda berambut putih keperakan itu menyebar. Dan terus naik ke kepala.
"Hiyaaa...!" Dewa Arak melompat menerjang Ki Gering Langit. Guci peraknya diayunkan ke arah bahu gurunya.
Angin keras berhembus sebelum serangan guci itu tiba. Tapi kakek berpakaian putih bersih itu masih terlihat tenang saja. "tidak tampak melakukan suatu gerakan apa pun.
Baru setelah serangan Itu menyambar dekat. Ki
Gering Langit menghentakkan kakinya sekali ke tanah seraya berseru keras.
"Rubuh...!" Akibatnya hebat sekali! Tubuh Dewa Arak yang tengah melompat itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, dan langsung ambruk ke tanah seperti karung basah.
Dewa Arak menyeringai. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Dan ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Biasanya setiap kali menggunakan ilmu "Belalang Sakti', jangankan lemas seperti ini, tenaganya berkurang pun tidak pernah!
Untuk yang kedua kalinya Ki Gering Langit kembali berteriak seraya menghentakkan kakinya ke tanah.
Dem! "Naik!!" Ajaib! Tubuh Dewa Arak yang tergolek lemah di tanah itu tiba tiba terangkat naik sampai setinggi dua tombak, dan diam terapung di udara. Tentu saja hal ini membuat Arya kaget setengah mati. Walaupun pemuda berambut putih keperakan itu berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh, tetap saja usahanya itu sia-sia.
"Selama aku belum memerintahkan turun, kau tidak akan pernah turun, Arya. Sampai kapan pun...." jelas Ki Gering Langit .
Dewa Arak hanya dapat menganggukkan kepalanya. Pemuda berbaju ungu ini masih terlalu kaget melihat kemukjizatan ilmu 'Pitunduk' itu, sehingga tidak mampu berkata kata.
Setelah berkata demikian, kakek berpakaian putih bersih itu kembali menghentakkan kakinya ke tanah.
"Jatuh..!" teriak Ki Gering Langit keras.
Begitu teriakan kakek berpakaian putih bersih itu selesai diucapkan. Tubuh Dewa Arak meluncur jatuh.
Brukkk..! Dewa Arak menyeringai menahan rasa nyeri yang amat sangat pada pantatnya. Betapa tidak" Dia meluncur jatuh dari ketinggian dua tombak tanpa mampu mengerahkan ilmu meringankan' tubuh. Teriakan teriakan dan hentakan hentakan kaki Ki Gering Langit telah membuat seluruh tubuhnya lemah lunglai tanpa daya .
"Sudah jelas, Arya?" tanya kakek berpakaian putih bersih itu.
Dewa Arak hanya mampu menganggukkan kepalanya. Lidah dan bibirnya terasa kelu .
"Pulihkan dulu kekuatanmu, Arya," perintah Ki 'Gering langit Lembut dan pelahan saja suaranya.
Dewa Arak sama sekali tidak membantah. Segera dia duduk bersila. Kemudian dirapatkan kedua tangannya di depan dada, bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Sesaat kemudian pemuda berambut putih keperakan Itu pun sudah tenggelam dalam semadinya.
Tak lama kemudian, setelah dirasakan tenaganya telah pulih kembali, Arya pun menghentikan semadinya. Tapi, gurunya sudah tidak terlihat lagi. Dewa Arak menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari.
"Guru..." panggil pemuda berambut putih keperakan itu pelahan.
"Aku pergi dulu, Arya. Aku akan menjenguk kuburan adikku," terdengar suara Ki Gering Langit menggema di sekitar tempat itu.
"lalu, bagaimana janji Guru untuk mengajarkan padaku ilmu yang dapat memunahkan ilmu hitam lawanku tadi?" tanya Dewa Arak bernada mengingatkan.
"Sebutlah namaku tiga kali, kemudian hentakkan kakimu sekali ke tanah...."
"Guru..," panggil Dewa Arak lagi .Tapi kini tidak terdengar suara sahutan lagi. Jelas, Ki Gering Langit telah pergi meninggalkan tempat itu.
'"Pitunduk'...," desah Dewa Arak. Ada nada kengerian tatkala pemuda berambut putih keperakan itu mengucapkannya. "Sungguh sebuah ilmu mukjizat!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak bangkit dari duduk bersilanya. Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Arya kini mempunyai sebuah tugas. Mencari dan menangkap Hantu Putih beserta anak dan Istrinya .
Pendekar Pemanah Rajawali 16 Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Putri Ular Putih 1

Cari Blog Ini