Ceritasilat Novel Online

Ranjang Ranjang Bergoyang 1

Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Ranjang Ranjang Bergoyang
Karya Abdullah Harahap Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu : Kang Ozan Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 31 Juli 2018
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!! *** Abdullah Harahap RANJANG RANJANG BERGOYANG
Jakarta Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan belaka. Cerita ini adalah fiktif.
RANJANG RANJANG BERGOYANG
Karya : Abdullah Harahap Diterbitkan oleh : Nur Agency, Jakarta Cetakan pertama :
Hak penerbitan ada pada Nur Agency Dilarang mengutip. memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit. *** TIDAK banyak orang di dalam cafe ketika aku masuk.
Sungguh sangat beruntung buatku ketika aku melihat sebuah meja kosong tidak jauh dari pintu. Aku langsung menuju meja itu dan menggeser sebuah kursi tanpa memperdulikan sebuah desisan pendek seorang lelaki yang sedang menghadapi meja penuh makanan bersama dua orang temannya.
"Bihun babat....". kataku perlahan pada pelayan yang segera datang mendekati mejaku.
Ia sedikit mengangguk. "Minumannya?" Aku melirik ke bar. Tetapi mataku tidak lari ke deretan minuman yang bersusun di rak, dan juga tidak pada daftar menu yang tercantum pada sebuah papan besar di atasnya. Pandanganku jatuh pada seorang lelaki bertubuh gemuk, tinggi besar dengan kepala bagian atas belakangnya sedikit botak dan hanya dilapisi oleh helai rambut dari bagian depan yang sengaja disisir ke belakang. Sedikit bergidik tubuhku ketika kepala itu berputar dan sepasang sorot mata yang tajam melihat sekilas padaku. Cuma sekilas, dan kemudian lelaki itu kembali asyik dengan gelas dan botol er-ce di masing-masing tangannya.
"Air jeruk....", aku bersungut.
"Dingin?" "Panas!" Pelayan itu pergi. Dan aku menatap meja di depanku. Berlapis marmer tipis mengkilap. dan barusan dilap oleh si pelayan ketika ia muncul. Namun bekas beefstick masih tercercah sejemput. dan seekor lalat terbang mengaung di' atasnya. Lalat itu berputar-putar sebentar, lalu hinggap di dekat potongan daging yang cuma sebesar ujung kuku itu. terbang lagi dan berputar lagi. Tiba-tiba ia menurun dan hinggap di atas potongan daging
itu. Aku terbatuk. Terbang lalat itu seketika. _
Aku melihatnya dengan mataku. tetapi yang terpandang olehku ialah sepasang mata yang menyipit dan sebentuk bibir yang dikuncupkan.
"Monyong!". aku memaki dalam hati dan cepat mengalihkan mataku ke jalan raya melalui kaca depan cafe. Aku hampir muntah mendengar suara tertawa kecil dari lelaki yang duduk di meja pertama bersama kawan-kawannya di arah pintu masuk itu.
Ketika pelayan datang mengantarkan pesananku. aku melahapnya dengan buru-buru dan tanpa bersemangat. Bisik-bisik kecil meningkat di meja yang kulewati ketika masuk itu. dan bisik-bisik itu menyebabkan aku betul betul kehabisan selera. aku menjentik tangan pelayan lain yang kebetulan lewat di dekatku dan sekaligus menyuruh buat bon.
Pelayan itu tercengang melihat ke porsi basoku yang masih penuh dan ke gelas air jeruk yang masih belum kusentuh.
. "Cepatlah. saya diburu waktu...". gerutuku.
Pelayan itu menuliskan bon, menyerahkannya kepadaku dan setelah membacanya aku mengeluarkan dua lembar uang lima ratusan.
"Sisanya untukmu!", aku menggerutu lagi dan secepat itu aku bangkit dan bergegas meninggalkan cafe. Selintas sempat kutangkap ketiga lelaki itu tercengang, saling pandang dan kemudian mereka tertawa. Monyong!
Aku baru beberapa langkah berada di luar ketika di sebelahku telah ada lelaki gemuk dan tinggi besar itu. Ia tidak melihat kepadaku. dan aku pun tidak mau menoleh padanya.
Kami berjalan berdampingan melalui etalase demi etalase toko dan berusaha menghindar dari tubrukan dengan banyak orang yang memenuhi trotoir sepanjang Ahmad Yani.
Beberapa ratus langkah dari cafe, si lelaki turun ke jalan, membukakan pintu sebuah "Capella" biru muda. Ia memandang padaku tanpa respect apa-apa di wajahnya. dan aku pun membalas pandangannya dengan emosi yang sama.
Setelah aku masuk ke dalam mobil, ia menutupkan pintunya dan masuk melalui pintu sebelah. Ia terbatuk sewaktu duduk di belakang stir dan memutar konci kontak. Sekejap kemudian "Capella" itu meluncur di jalan raya yang ramai menuju perapatan lima. lurus ke jalan Asia Afrika dengan kecepatan yang tidak terlalu buru-buru.
"Jadi kau Noni?". tanyanya tiba-tiba
setelah kami membisu saja selama lebih dari sekian puluh detik.
Aku mengangguk. "Tadinya aku takut kalau aku salah alamat. Banyak potongan tubuh dan rambut yang sama dari perempuan. Tetapi setelah kau memesan baso dan air jeruk, lantas aku mulai menduga bahwa kaulah Noni. Lebih-lebih setelah kau menyelesaikan makanmu sebegitu kau memulainya...."
"Itukah identitas yang diberikan Tono?"
"Hem, ya. Tetapi ia tidak menceritakan bahwa makanmu tergesa-gesa.
"Lelaki itu kurang ajar...."
Ia menoleh padaku, sebentar. Lalu ia membelokkan mobil memasuki jalan Tamblong.
"Yang di dekat pintu?", ia bertanya sambil tersenyum.
"Oom melihat mereka juga?"
Ia tertawa. "Tentu. Tentu. Aku melihat setiap orang, karena aku khawatir orang-orang itu bisa menggagalkan rencana ku.?"
"Dan apa rencana Oom sekarang?"
"Kau sudah tahu toh?", ia balas bertanya.
"Hotel mana yang Oom tuju?"
"Hotel?" ia angkat bahu. "Terlalu konyol buatku..."
*** Aku pandangi wajahnya dari samping. Hampir-hampir tak ada gurat-gurat itu. kecuali di sudut matanya. Dahinya lebar dan menandakan ia orang berpikir. jasnya cukup mentereng, dan aku merasa yakin yang "Capella" ini bukanlah taksi sewaan dari perusahaan liar.
"Kita ke Lembang...", katanya kemudian. Dan memang tanpa terasa aku kemudian menyadari bahwa kami telah berada di jalanan yang mulai menanjak. Setyabudhi. "Aku punya bungalow disana...".
Wouw, pikirku. Kalau begitu hari ini aku akan bisa pulang dengan menyisakan sebagian uang yang kuterima masuk ke tabungan mika persis berbentuk dan sebesar ayam jantan di dalam lemariku di rumah.
Aku merasa gembira dengan pikiran ini, dan otomatis membuatku mendekatkan tubuh ke si lelaki.
"Oh ya, berapa tahun sih umurmu?"
"Oom kira berapa?". tanyaku seraya membetulkan helai rambut yang tertiup angin yang masuk melalui sela-sela kaca jendela.
"Sembilan belas?"
"Hai, tepat sekali!", kataku riang,
"Soalnya aku punya anak seumur kau...."
"Oh" "Ia anakku yang terbesar-?"
"Kalau begitu om baru sekitar 40 dong. ya?"
Ia tertawa kecil. "Sepuluh tahun lebih tua....".
"Dan isteri Oom?"
"Hampir dua kali usiamu....".
Aku mendesah. "Masih muda..".
"Dan cantik!" Perasaanku tidak enak tiba-tiba.
"jangan takut....". ia menepuk-nepuk pahaku yang tersembunyi melalui rok miniku, dan mengelusnya dengan jari-jarinya yang kasar. Naik bulu-bulu di kudukku.
"Aku tentu menolak permintaan Tono kalau aku tak yakin bahwa kau pun cantik adanya!"
Barulah aku bisa tersenyum.
"Ia kurang menberi kepuasan kepada Oom?"
"Tono?" "Isteri Oom!" Lelaki itu terdiam sebentar. Lalu:
"Yang pasti ia telah memberikan sejumlah anak padaku!"
"Hasil kepuasan bersama?"
Tercengang. ia melihatku. Aku mengerdipkan mataku, tersenyum. Perlahan iapun turut tersenyum, dan sebentar kemudian jarinya
telah mencubit pahaku. Aku terpekik. Sungguh, bukan dibuat-buat. Manja.
"Kau nakal...". katanya. "Terserah. kau benar. Atas dasar kepuasan bersama. Tentu, yaaaa... tidak selalu disaat yang bersamaan!".
Dan aku teringat Tono. Ia selalu bisa mengimbangiku. Dan selalu berusaha agar aku mendahuluinya dan memberi kepuasan padaku. Di atas ranjang Tono adalah seorang yang tabah. Tetapi setelah turun dari ranjang... akh, aku tak mau melihat lalu memikirkan hal-hal yang negatif mengenai dirinya. Aku tidak boleh memandangnya dari segi lain. kecuali sebuah keabadian: bahwa ia adalah Tono, dan tetap Tono! Tono yang kukenal!.
"Kalau begitu kenapa Oom masih memerlukan perempuan seperti saya?", tanyaku untuk mengalihkan pikiranku yang gundah.
"Supaya jangan bosan!"
"Bosan" Apakah suami isteri yang berbahagia bisa mengalami kebosanan?"
"Aku memandangnya setiap hari. Setiap jam malah. Dan telah mengetahui seluruh sifat-sifatnya, dan seluruh kelebihan-kelebihan pada dirinya. Tetapi setelah kau mengenal seseorang begitu dalam, maka kau akan lebih banyak melihat kekurangan atau keburukannya....".
"Aneh...". gumamku.
"Kau tak akan mengatakan demikian kalau suatu ketika kau akhirnya berumah tangga .He. apa memang kau belum pernah kawin?"
"Kawin?". aku tertawa. "Beberapa saat lagi pun saya akan kawin!"
"Ah. kau. Bisa saja. Maksudku. menikah!"
"Menurut penilaian Oom?"
"Aku cuma suka menilai isteriku. Kurang suka menilai perempuan lain!"
"0h, itu sebabnya Oom takut bosan dengan isteri Oom!"
"Mungkin.?". mobil membelok memasuki pekarangan sebuah gedung mungil sedikit di luar kota kecil Lembang. "Kita telah sampai".
Udara sore yang dingin menusuk tubuhku ketika aku melangkah ke luar mobil setelah seorang lelaki tua membukakan pintunya. Lelaki tua itu tak melihatku. tetapi ketika membukakan pintu sebelah lainnya. ia tebatuk-batuk kecil di sela-sela senyumnya.
"Kau boleh istirahat sampai besok. mang Kojol". kata si Oom.
?". terima kasih. juragan.?"
"Nih. untuk anak-anak di rumah...", selembar uang ribuan di keluarkan si Oom dan disodorkan ke saku si lelaki itu. Lelaki tua itu terbungkuk-bungkuk sambil mengucapkan terimakasih tidak berkeputusan. "...jangan lupa besok pagi kau sudah harus di sini lagi!'
Setelah lelaki tua itu pergi, aku mengikuti Oom memasuki bungalow mungil yang bagian depannya dipenuhi oleh 5 buah kolam ikan berair mancur dan dikiri kanannya ditumbuhi oleh bunga kol diselang-seling bunga-bunga gunung.
"Menyenangkan!", gumamku setelah kami berada di dalam. "Oom tidak khawatir isteri Oom curiga?"
"Ah, ia hanya tahu bahwa kami mengisi rumah ini hanya setiap akhir minggu... Dan itu telah cukup memuaskannya, setelah seharian ia merasa lelah mengurus anak-anak di tengah kesibukan kota Bandung yang mulai semakin tidak mengenakkan itu!"
Ketika ia membuka jasnya. aku melempar tasku ke atas sebuah sofa. dan melangkah memasuki sebuah kamar yang kukira sebuah kamar tidur. Didalamnya terdapat sebuah ranjang lebar ke atas mana kemudian aku melompat. membuang nafas yang menyesakkan dada. Dan ketika beberapa detik kemudian si lelaki tinggi besar muncul di pintu, mulailah jantungku berdegup. Dan. tiba-tiba aku sadar apa yang harus kulakukan. dan apa yang harus kuusahakan demi kepuasan orang yang kuhadapi supaya ia jangan menyesal mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan ke tanganku. "
Dan, bersamaan dengan aku melepas blousku, perlahan-lahan akupun merasakan keperihan pada kedua mataku. Selalu dan selalu begitu. Aku terlupa siapa aku di saat-saat apa yang harus kulakukan belum sampai waktunya. Tetapi begitu aku berada di atas ranjang dengan seorang lelaki lain mendekat padaku, maka rasa perih itupun datang. Perih yang mendorong tangisku ke luar.
Tetapi tidak. Aku tidak boleh menangis. Harus kupelajari hal-hal di mana aku harus membiasakan diri. Harus kutanamkan dalam diriku. bahwa aku tidak akan berbuat begini selamanya. Aku akan hidup secara wajar, hidup seperti yang pernah kuimpikan semasa aku remaja putri: bersama seorang lelaki yang kucintai dan mencintaiku. Dan kini."..
"....tunggu!". si tinggi besar berkata perlahan. Ia mendekat. "Bangkitlah".
Aku heran, bangkit dari baringku tanpa berusaha menutup dadaku.
"Kau tidak montok...", katanya seraya melihati dadaku.
Perkataan itu menyebabkan kedua lenganku otomatis menutupi dada. Tetapi mukaku telah merah sejadi-jadinya. Aku memandangi lelaki itu dengan mulut bergetar oleh perasaan sakit hati, amarah dan berbaur oleh perasaan malu.
Ia telah rapat ke sisi ranjang, kedua tangannya terjulur ke depan dan di detik berikutnya aku telah berdiri rapat ke tubuhnya.
"Mereka benar. Bibirmu luar biasa menariknya...", ia bersungut-sungut. Dapat kurasakan degup jantungnya melalui dadaku. Dan itu memberi isyarat padaku untuk segera bertindak. Kulepas tangan dari dada, dan aku mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia tidak mengenakan kaus singlet, dan dadanya berbulu. Aku merangkap kedua lenganku ke belakang tubuhnya. Aku dengar ia mengeluh, lalu wajahku di tengadahkannya.
"Benar. henar.".", sungutnya. "Bibirmu, bibirmu...". dan sungutan itu berakhir ketika mulutnya menggeser di mulutku. Begitu permukaan bibirnya tiba di bibirku dan nafasnya mendengus menyapu wajahku. aku merenggut rambutnya dan menekan wajahnya lebih ke bawah. Dan sebentar kemudian lelaki itu telah melumat bibirku.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku melayang. Aku terangkat, tetapi di saat berikutnya aku telah terlempar ke atas ranjang.
*** KEMBALI dari kamar mandi, aku melihat si lelaki masih menelungkup di atas ranjang. Di saat begitu aku mulai melihat, bahwa lelaki itu sungguh terlalu besar buatku, dan bahwa tubuhnya begitu tambun dan rasanya hanya berisi daging dan daging melulu, dingin dan tidak mendatangkan selera.
Ia membalikkan tubuhnya. ketika mendengar aku-masuk kamar dan menggeser kursi jok di depan toilet. Lewat kaca rangkap tujuh, aku melihat tujuh rangkap raut tubuhnya. Dadanya seperti dada perempuan, sedikit menggelembung. Hanya bulu-bulu itu yang menandakan ia lelaki. Matanya merah. dan baru kini aku melihatnya. Selagi ia duduk di tepi ranjang begitu dengan tubuh yang lunglai, aku coba menghitung lipatan perutnya. Ah, sebenarnya hanya lipatan dada lalu lipatan perut. Hanya itu.
"Sudah mandi?" Aku mengangguk sambil merias wajahku dengan alat make-up yang kudapati di laci toilet. Kuoleskan lipstick ke bibirku, tetapi seketika aku terkejut sendiri. Apakah lipstick ini milik isterinya, atau khusus disediakan untuk perempuan-perempuan yang menemaninya"
Dengan berhanduk, aku ke luar kamar, mengambil tasku di atas sofa di kamar depan. dan duduk di sofa itu. Aku memakai lipstick sendiri, itu adalah lebih menyenangkan..Dan di lapisan atas sebelah dalam tasku terdapat sebuah kaca di mana aku melihat wajahku yang pucat.
Aku mendengar langkah-langkah kaki yang berat samar-samar menuju kamar mandi, dan ketika aku kembali ke kamar. si lelaki ternyata meninggalkan ranjang yang awut-awutan. Aku membetulkan sprei lalu melipat selimut serta membetulkan susunan bantal yang terlempar ke sana ke mari dan sebuah di antaranya terlempar di alas lantai.
Sekali waktu, pikirku, aku pun ingin menganggap ini adalah tugasku. Tetapi sungguh, di rumah aku tidak begitu banyak bisa berbuat. Segala sesuatu telah hampir habis dan sisa-sisanya terlalu sedikit untuk kususun setiap hari buat memaniskan isi rumah.
Duduk kembali di depan toilet, aku melihat wajahku lagi.
Ada butir air mata mengalir ke luar dari mataku. Buru-buru aku menyekanya. Dan menutupi bekas-bekasnya dengan bedak merah jambu.
Aku telah selesai mengenakan pakaianku kembali ketika si lelaki muncul di kamar.
"Tergesa-gesa mau pulang?". tanyanya seraya mengenakan celana dalamnya.
Aku mengangguk. Hanya mengangguk. Seperti tadi. Alangkah kaku. Sekaku pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkannya. Sekaku sikap kami berdua. Alangkah bedanya dengan keadaan sebelum naik ke ranjang tidak sampai dua jam berselang.
"Akupun harus sudah tiba di rumah sebelum jam sembilan....", katanya sambil mengenakan jasnya tanpa mengancingkannya. "Ibunya anak-anak harus tetap percaya bahwa sebelum waktu tidur selalu aku telah kembali bersama mereka....".
Ia mencium bibirku di pintu depan sebelum ia membukakannya.
Kami berdiam diri saja ketika berjalan keluar lalu masuk ke mobil. Dan terus berdiam diri setelah "Capella" biru muda itu meluncur sepanjang jalan raya Lembang lalu kemudian mulai menurun menuju Bandung.
"Apakah aku mengecewakanmu?" tiba-tiba ia bertanya sehingga aku terkejut dibuatnya. Aku menoleh padanya dalam kegelapan yang samar-samar, lalu mengalihkan perhatianku pada jalanan hitam di depan mobil yang meluncur mengikuti berkas cahaya lampu-lampunya yang terang benderang.
"Seharusnya sayalah yang menanyakan itu buat Oom".
"Ah, sebagai seorang perempuan kau mesti tahu bahwa aku telah mencapai apa yang kuharapkan." Kau toh telah berpengalaman?"
Oh. Andai saja di dalam mobil waktu itu keadaannya terang. pastilah ia akan menangkap rona merah di wajahku dan mengerti kenapa telingaku serasa terbakar hangus bagaikan bara.
"Itu bukan sebagai penjelasan resmi....". sungutku.
"Bagaimana kalau kukatakan. bahwa aku masih ingin memakaimu lain waktu?"
Memakai! Mual perutku mendengarnya.
Selalu begitu. Kebanyakan mereka mengatakan demikian-itu kepadaku. Ingin memakaiku kembali. Memakai, seperti aku ini sebuah barang tak berharga yang hanya dibutuhkan apabila dikehendaki saja. tanpa aku bisa menolak atau mengajukan protes.
"Oom cukup baik. Terima kasih!"., aku menjawab dengan suara diramahkan. "Tetapi apa Oom tidak akan menjadi bosan nanti?"
"Toh kau bukan isteriku....".
Dia bermaksud mengantarkan aku langsung ke rumah tetapi aku minta diturunkan di Alun alun saja. Aku tidak memperdulikan berapa jumlah yang diberikannya. tetapi diam saja ketika ia menyelipkan beberapa lembar uang ke dalam tasku.
Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat malam, aku turun dari' mobil langsung naik ke dalam Honda bemo pertama yang menuju Cicadas. Begitu aku lepas dari si lelaki, begitu aku merasa lega. Namun sepanjang perjalanan tidak bisa kuhilangkan pikiran. bahwa untuk ke sekian kalinya benih seorang lelaki lain telah tertanam di dalam tubuhku.
bagaimana Jadinya kalau suatu ketika, benih benih ini kemudian tumbuh menjadi sebuah gumpalan yang tak terelakkan" Kubuang"
Toh, aku pernah ingin memiliki seorang anak. hari sampai sekarang. keinginan itu masih melekat di hatiku. Tetapi kalau gumpalan ini Jadi dan terdiri dari banyak campur tangan lelaki, masihkah aku mempertahankan keinginan itu"
"kita akan ciptakan seorang anak oleh kita sendiri. Noni", kuingat ucapan Tono.
"Beberapa orang anak...". aku menimpali.
"Ya. beberapa orang anak!"
Tetapi kini aku bertanya dalam hati. apakah anak-anak yang akan terlahir di masa yang akan datang. bersih dari campur tangan lelaki lain, selain suamiku. lelaki yang akan dipanggil anak-anakku sebagai ayah mereka"
Aku menggigit bibir menahan air mataku yang mau terbit ke luar.
*** TURUN dari Honda di Cicadas. aku jalan kaki di antara banyak orang yang masih ramai lalu lalang di Pasar Mambo dan tidak jauh dari bioskop Cahaya aku tidak dapat menahan air mataku lagi.
Begitu aku berada di gang menuju rumah. akupun menangis.
Aku berjalan bergegas dengan perasaan mengharu biru. Sampai kapankah Tono menyiksaku seperti ini" Tetapi, pasti. Pasti ia juga tersiksa. Ia juga tersiksa. Seringkali aku melihatnya bermuram durja. dan
memandangku dengan belas kasihan.
"Cintailah aku, jangan kasihani!", hanya itu yang bisa kukatakan padanya, dan aku pun selalu kemudian lagi dalam dekapannya. dan menangis di dadanya.
Tono telah tidur ketika aku masuk.
Capai sekali rasanya badanku. Tanpa mengganti pakaianku dengan satu-satunya gaun malam kepunyaanku yang masih bersisa, aku langsung naik keranjang dan berbaring di sebelah Tono. menghadap ke arahnya.
Ia tidak terganggu oleh kehadiranku.
Syukurlah. Ia mesti lelap tidur. Ia harus beristirahat. Tidak dari tekanan phisik. tetapi dari siksaan bathinnya. di kala ia terbangun, dia adalah manusia yang paling menghibakan hati di atas dunia ini dan seolah hidup ini tidak berarti lagi baginya. alangkah bedanya dengan Tono yang kukenal beberapa tahun yang lalu. Bersama datangnya matahari bersama itu pula terbitlah dunia yang selalu serba baru dan menarik hati baginya. Demikian menariknya, sampai malam haripun baginya adalah bagaikan siang. Selalu hidup. selalu ramai dan selalu penuh kenikmatan.
Dan kini ia hanya memperoleh kenikmatan itu. setelah malam tiba, kantuknya datang dan diapun jatuh tertidur yang berarti dalam hidup ini baginya, setelah diriku. .
Aku mengelus wajahnya. Dan tiba-tiba ia tersenyum.
Senyum dalam tidurnya. Alangkah polos. Senyum kekanak-kanakan. Senyum yang menjadi ciri khasnya. Senyum yang pernah membuat aku jatuh cinta pada dirinya. Jatuh cinta pertama kali. Pada seorang lelaki. Dan setiap wanita selalu menginginkan cinta pertamanya adalah juga cinta terakhir. Demikian pula aku. Tono adalah cintaku yang pertama dan terakhir. Tetapi, kenapa begini sukar mewujudkan cinta yang tidak mengalami persaingan ini"
Aku menciumnya. "Mimpi apa kau sayang?", aku berbisik di telinganya.
Ia tak menjawab. Tentu saja.
"Kau lihat aku datang dalam tidurmu?"
Aku pandangi wajahnya lagi.
"Apakah kau lihat juga aku di dalam dekapan lelaki itu?"
Entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba tersembul dari bibirku. Aku tidak mengharapkannya, tetapi aku tidak bisa menolak'kemunculannya. Dan munculnya pertanyaan itu menghadirkan pula prasangka yang bukan-bukan dalam diriku. Apakah dalam tidurnya Tono telah memperoleh seorang mangsa baru buat ia sodorkan padaku"
tentunya mangsa yang lebih empuk dan lebih makmur _dari lelaki terakhir yang meniduriku. Dan dalam mimpinya. Tono sedang menghitung uang yang diperolehnya melalui keahlianku menggoncangkan selera lelaki di atas ranjang.
"Tono.?", aku mengeluh. Terkulai kepalaku di bantal.
"Aku terkadang-kadang benci padamu. Benci!" dan akupun tidak dapat menahan air mataku kembali. "Aku ingin meninggalkanmu, tetapi selalu aku tak dapat! Tak dapat! O. kenapa aku begitu cinta kepadamu" Kenapa Tono?"
Kubiarkan air mataku membanjir ke luar, dan melelehi pipiku untuk kemudian jatuh membasahi bantal. Kugigit bibir, tetapi toh aku tidak bisa menahan air mata ini. Sebagai perempuan. aku cuma punya senjata tunggal itu. Aku melepaskannya, dan setelah itu aku akan bisa merasakan sedikit ketenangan.
Aku menangis diam-diam. Tono, aku menangis diam-diam." KETIKA aku terbangun, Tono lagi membuka jendela kamar .Matahari pagi menyengat wajahku, dan aku mengerdipkan mataku yang perih.
Tono berbalik ketika mendengar suara ranjang berderit.
"Sayangku....", katanya dengan kedua tangannya terkembang lebar mendapatkanku. "Kau sudah bangun" Apakah aku mengganggu tidurmu, sayang?"
Ia mendekapku, dan aku membiarkan ia mencium ujung hidungku.
"Matamu merah. Noni. Kau tidak tidur semalaman?"
"Tidur....", "lalu kenapa?", ia naik ke ranjang, menggoncang bahuku dengan lembut. "Apakah ia menyiksamu?"
Kupandangi mukanya. "Laki-laki kemaren. Ia menyiksamu, Noni" Ia membuatmu sakit?"
Kugelengkan kepalaku. Ia mendekapku dengan erat.
"Syukurlah", bisiknya di telingaku. "Kalau ia sampai menyakitimu, aku akan membunuh dia hari inijuga!"
"Kau bukan seorang pembunuh, Tono.... dan lagi. dia tidak menyakiti aku".
"Lalu kenapa sayang?"
"Kau mimpi apa tadi malam?", aku menuntut. Memandangnya dengan curiga.
"Hai, kenapa kau melihatku begitu?"
"Kau mimpi apa tadi malam?"
Dahinya mengernyit. "000. itu. Aku mimpi papa datang bersama-sama. Membawa uang banyak. Buat kita. lalu papa bilang...". tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Papa bilang. uang itu bukan untuk kita. Uang itu untuk Tenny!"
Aku mengusap wajahnya. ' "Papa telah tiada, sayang. Mamamu juga. Dan Tenny telah punya suami, bukan" Kenapa kau menjadi begitu muram?"
"Papa jahat!" Aku terkejut. "Papa jahat!", ulangnya lagi. "Dan mama juga jahat. Mama menurutkan saja apa kata papa! Papa tidak cinta padaku. Mama tak cinta padaku!"
Aku merangkulnya. "jangan sebut-sebut hal-hal buruk tentang yang meninggal, Tono. jangan!"
Ia menangis di dadaku. ' "..... mereka tak cinta padaku!"
"Mereka pasti cinta padamu, Tono. Mereka pasti cinta!" _
"Mereka cinta Tenny. Mereka cinta Tenny"
"Tenny perempuan. Tono. Tentu saja mereka".".
"Tenny anak angkat. Kenapa Tenny lebih disayang?"
"Kau laki-laki. sayang. Mereka tak mau memperlihatkan mereka cinta padamu. Mereka takut kau jadi manja. Kau laki-laki. dan mereka ingin kau bertindak dan bersikap sebagai lelaki....".
"Dengan cara memberikan semuanya kepada Tenny?"
"Tenny membutuhkannya, Tono. Dan bukankah kita bisa berusaha sendiri?"
"Tapi aku tak percaya mereka cinta padaku. Apalagi kini. Kini. setelah papa datang bersama mama. Ketika aku mau menyambut mereka. keduanya meninggalkan aku, dan pergi menemui Tenny".
"Mereka tahu aku ada bersamamu. Tono. Mereka tahu aku mencintaimu. dan aku masih bisa menemanimu. Aku bisa menggantikan papa dan mamamu".
Tono menyelusup di dadaku. Dapat kurasakan air matanya hangat membasahi blouseku.
"Kau tak akan meninggalkan aku?", tanyanya.
"Gila kau. Tono!"
' kau tak kecewa denganku"
"Hei. apa-apaan...."
"Kau tak benci padaku?"
Dan aku teringat apa yang tersirat di hatiku semalam.
"Kalau aku benci, aku sudah lama pergi!"
Wajahnya lari dari dada ke leher, terus ke dagu dan kemudian aku merasa mulutnya menjalar di permukaan bibirku.
"Sungguh?". tanyanya di permukaan bibirku.
Aku melingkarkan lenganku ke belakang kepalanya, merenggutkannya dan kemudian menciuminya sepuas hatiku.
"Matipun aku mau. asal untuk kebahagiaanmu. sayang?".
"Laki laki kemaren baik hati ya?". tanyanya di antara dengus nafasnya.
Aku tak menjawab. "Aku telah periksa isi tasmu. Kita belum pernah memperoleh sebanyak itu. bukan?"
"Jangan bicarakan orang lain, Tono. Pokoknya. saat ini jangan berbicara. Tetapi berbuatlah. Berbuatlah, manis. Berbuatlah. Aku tidak puas dengan lelaki itu. Dan aku tidak pernah puas dengan lelaki-lelaki lainnya.
Dan keringat membercik dari pori-pori tubuhmu.....
*** KEMESRAAN itu cuma berlangsung tidak sampai dua belas jam.
Ketika aku selesai mempersiapkan makanan esok siangnya, Tono memang pulang seperti biasanya. Meskipun kerjanya cuma keluyuran tidak karuan atau around the world bersama sejumlah teman-teman prianya, Tono selalu menepati waktu di mana ia harus sudah berada di sisiku. Aku bangga dengan kedisiplinannya berumah tangga dan aku sering sekali tidak merasa menyesal telah mengambilnya sebagai suami .Suatu ketika, bila keadaan
telah berubah, pastilah manisnya Cinta itu bisa kunikmati dengan sesungguh-sungguhnya.
Akan tetapi. selama makan Tono tidak memperlihatkan wajah gembira.
?" apakah kau menyesal". tanyaku bimbang.
"Hah?"' ia terkejut, menghentikan sendok di permukaan bibirnya.
"Tentang jamahan lelaki lain. Tadi malam....".
Matanya melebar. tetapi kemudian ia tersenyum. Senyum kekanak-kanakan itu, yang mengharu birukan hati. Tetapi betapa hambarnya. kini.


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku yang menjerumuskanmu...". ia menunduk. "seharusnya kau tidak mengucapkan perkataan itu.".!"
Bahunya goncang. "Tono!" aku bangkit dari kursiku, dan setengah berlari memutari meja. memeluk tubuhnya dari belakang. "Aku tidak menyesali kau, sayang. janganlah bersedih seperti itu. Aku... aku hanya takut. setiap kali aku selesai dengan seorang lelaki lain, setiap kali itu pula kau memandangku dengan muram.".".
"Aku merasa sedih...."
"Bukankah kau telah menyadari itu mula pertama kau melibatkan aku?"
Ia tengadah. Sedikit memutar kepala, ke
arahku. "Melibatkan kau?"
"... dalam dukamu, sayang. Dan aku senang ikut terlibat dalam dukamu!", aku buru buru berkata setelah melihat matanya yang sedikit menyipit.
"Oh!", ia menangkupkan kepalanya di telapak tangannya yang bertelekan kemeja. Aku mengusap punggung tangannya dan kemudian mengusap wajahnya di bagian yang terbuka.
"Tetapi kini terjadi lagi!". ia mengeluh.
"Tono!" "Kini terjadi lagi!"
"Kau....", pelukanku merenggang, "Kau terjerumus lagi!"
Tiba-tiba kedua kepalan tangannya menggumpal dan jatuh sekaligus di alas meja sehingga berderak suaranya. dan sebuah gelas terjatuh dan membanting piring yang segera menjadi pecah sisinya.
"Ya. Aku terjerumus lagi!", ia menggerutu. "Dan aku kalah. Kalah lagi!"
Aku menarik mundur kedua lenganku. dan berdiri lunglai.
Kupandangi Tono dengan muram. sedangkan mataku telah mulai terasa perih.
"Kau tentu mencari-cari semua uang yang kau peroleh tadi malam, bukan?". tanyanya
dengan wajahnya menempel di meja.
Aku tak menjawab. "Untuk makan siang ini pasti kau telah mengorek tabunganmu...".
Ia benar. Dan kebenaran itu semakin memerihkan mataku.
"Kau marah aku telah menghabiskan penghasilanmu?"
Aku melepas nafas panjang yang menyesaki dada.
"....tidak". "Suaramu parau", ia menuduh.
Aku bungkam. "Kau marah?" Dan tiba-tiba aku tidak tahan lagi. Aku menjatuhkan diri ke samping. bertahan ke tapi meja untuk tidak sampai sungguh-sungguh menjatuhkan tubuhku ke atas ubin.
"Aku tak memarahimu....", tangisku pun meledak. "Mengenai uang itu. Aku... aku hanya sakit hati. Kau pergunakan untuk.... Tono...!", aku memandang mukanya. "Lihatlah!"
Ia tak berani melihatku. "Lihatlah isterimu. Lihatlah dirimu"
"Lihatlah hasil perbuatanmu!"
Diapun mulai menangis. "Semua karena judi! judi! judi! Dan... dan kini kau kalah lagi!"
"Hanya untuk terakhir kalinya, sayang....."
"Kau telah berulang kali berkata"
"Tetapi kali ini..."
"Kau kalah lagi!", aku menukas dengan marah. "Dan aku yang harus menebusnya, bukan?"
Ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Rumah ini.....!"
"Hah" aku terperanjat. "Rumah yang kita sewa ini?", tawaku meledak diantara isak tangisku. Tawa yang parau. "Sejak kapan pula kau berpikir, rumah sewa ini bisa kita jual?"
"Aku tau.....", ia mendengus. "Aku tau bahwa diam-diam kau telah membayar cicilan Noni. kau telah membayar hampir setengah rumah ini, dan itu berani kita telah memilikinya setengah pula. Dan aku menjual yang setengah itu...."
"Tonoooooooooo...!". aku menjerit dan jatuh di lantai.
Ia menghambur dari kursinya. Aku melihat wajahnya membesar, lalu mengecil, membesar, mengecil semakin samar, samar dan aku dengar ia menangis. Setelah itu aku tidak melihat apa-apa lagi. Aku tidak mendengar apa-apa lagi.....
*** AKU telah berada di atas ranjang waktu aku siuman.
Dan Tono masih tetap menangis. Menangis di dadaku, dan tidak tau kalau aku telah membuka mataku.
"jangan....". ia sesenggukan. "jangan tinggalkan aku, Noniku. jangan tinggalkan aku!". hidungnya menyenggak seperti selesma. Ia menyedotnya berulang-ulang di antara isak tangisnya, dan berulang-ulang ia menyeka wajahnya yang bersimbah air mata.
"Marahilah aku, pukullah aku, makilah aku...,". ia sesenggukan terus. "Tapi jangan begini, kan". Noni!". ia merangkulkan kedua lengannya ke lingkaran punggungku. "Kau hanya pingsan bukan" Kau tidak tinggalkan aku bukan?"
Ia menggoncangkan kepala, sementara dadaku terus dihangati oleh air matanya. Aku tidak bisa membiarkannya lama-lama demikian. Tidak bisa. Aku tak sanggup melihat suamiku berada dalam kekanak-kanakannya. lama-lama.
"Papa dan mama sudah menjauhiku_ Dan kalau kau, kau... kau bilang kau masih ada untukku, masih ada. Kalau kau ikut papa, kau ikut mama".".
Aku menggerakkan tanganku dengan susah. membelai rambutnya.
" Tono".". .
Tangisnya terenggut hilang. Seketika kepalanya terenggut pula, menatapku. Wajahnya basah oleh air matanya. Berulang-ulang ia menyeka matanya itu, dan berulang-ulang ia menatapku dengan takjub. Akhirnya. ia menyerbuku dalam rangkulan yang padat.
"Kau tidak meninggalkan aku!". "Dan kau tidak membenciku seperti papa dan mama membenciku!"
"Aku isterimu, Tono...."
"Ya, ya, kau isteriku!"
"Dan aku cinta padamu!"
"Ya, ya kau cinta padaku...."
"Kau cinta pada isterimu. Tono?"
Ia mengangguk-angguk di dadaku.
"Kau sayang?" Ia mengangguk lagi. "Ucapkanlah!" "Aku cinta padamu...."
"Dan?" "Dan aku sayang padamu!"
"lalu?" "Aku harus. harus melindungimu!"
"Tetapi kau membuatku sebagai tebusan lagi!"
Ia terdiam. "Dari mana kau tahu aku telah membeli setengah rumah ini?"
"Dari anak Pak Gondo!"
Anak pak Gondo. pemilik rumah. Aku sampai lupa. bahwa anak itu, Masto, sesekali ada berteman dengan Tono.
"Ia ikut kemaren berjudi. Ia kalah juga, dan memanasiku!"
Lalu. ia pun beritahu apa yang harus dirahasiakannya, demikian lanjutan ucapan Tono, pikirku. Apa yang harus dirahasiakan Masto, seperti apa yang telah lama di rahasiakan pak Gondo. Aku melihat gejala tak baik semenjak aku kawin dengan Tono. dan pak Gondo juga melihatnya. Ia menyarankan agar sebagian perhiasanku kuberikan padanya sebagai cicilan rumahnya. Perhiasan itu akan dilempar Tono ke meja judi. tetapi rumah. Tono tak tahu. Tono cuma tahu bahwa aku membayarkan sewa rumah itu untuk tiga tahun kontrak.
Pak Gondo benar. Perhiasanku yang bersisa. akhirnya terlempar juga ke meja judi. dan hilang pula satu persatu perabotan rumah tangga yang berharga untuk membelanjai hidup kami sehari-hari. dan untuk memenuhi hasrat Tono yang seperti gila sehabis berjudi dan... menang sekali, kalah selusin kali!.
Tapi kini, kini... ia tidak saja tau kalau sebagian rumah ini telah menjadi milik kami. tetapi malah telah menjualnya! Tepatnya. menggadaikannya. Di meja judi! Setelah ia berjanji tidak akan berjudi lagi.
Tak sanggup aku menahan tangisku.
"Kau menangis, sayang?"
"Aku terharu....". bohongku padanya.
"Tertawalah kalau begitu!"
Aku mencobanya, tetapi aku tak bisa. Malah tangisku kian meninggi juga.
"Masto jahat", makiku.
"Iya, Masto jahat...."
"Ia menghasutmu, bukan?"
Tono mengangguk. "Biarlah.?". gumamku. "Orang berjudi selalu panas memanasi!"
"Iya, panas memanasi.?"
"lalu. kalau kau tau begitu, kenapa tak kau tinggalkan?"
Ia bungkam. "Tono!". aku membelai rambutnya. "Lihatlah padaku".
Ia mematuhinya. Dan memandangku dengan matanya yang polos. matanya yang bersinar cerahnya. Ia 19 tahun, seperti aku juga yang berusia 19. Tetapi demikian dramatisnya hidup yang kualami, sehingga aku menjadi lebih dewasa dari Tono. Dan selamanya seorang perempuan lebih cepat dewasa dari seorang lelaki. Tapi Tono suamiku, pikirku. Dan pikiran itu selalu menghantuiku. Selalu pula aku mengambil keputusan yang sama. usaha yang sama: aku harus lebih mendewasakannya.
"Baiklah....". gumamku. "Rumah ini akan sangat berharga kalau kita jual suatu ketika. Dan dengan uang simpananku yang akan bertambah juga mudah-mudahan kita bisa pindah. membeli rumah baru. Biar sederhana tetapi asal bisa kita tempati. Di suatu kota, kelak. di mana kau suka. Dan sisa uangnya masih cukup banyak untuk hidup berbulan-bulan. sampai kau memperoleh pekerjaan..."
"Kau tidak akan kecewa?"
"Tidak. selagi kau masih bersamaku!"
"Tentang yang ini, hari ini....."
"Tidak. Aku tidak kecewa. Asal itu sebagai penutup kebiasaanmu berjudi...."
"Aku berjanji". Matanya berkilat. Kuharap ia bersungguh-sungguh. "Hanya kali ini. jadi...." ia menjilat bibir. "Kau mau menemani orang itu nanti malam. bukan?"
"Siapa namanya?"
"Barda!" Di luar dugaanku. Barda ternyata seorang lelaki yang masih muda.
"aku belum kawin". katanya menerangkan setiba aku di kamar di mana ia indekost.
"Karenanya aku bukan seorang lelaki yang mengerti tentang kompleksnya masalah persuami-isterian. Jelasnya, aku bukanlah seorang moralis!"
"Apa perjanjianmu dengan Tono?". aku bersungut.
"Tono...." ia tersenyum kecil. "Tokoh menarik. Kecil mungil, manis dan maafkan. bodoh! Ia seorang amatir. Dengan kartu domino yang kurang lincah di sela jari jemarinya..."
"Apa perjanjianmu dengannya?". aku menukas, memandangi wajahnya.
Sebenarnya, ia tampan. Dan tidak mengecewakan seorang pemuda setampan dia. Tetapi, oh, Dan aku pcrnah bercita-cita bahwa orang yang berhak berbuat itu. hanya Tono. Dan cita-cita itu selalu menyebabkan aku tidak pernah merasa kegembiraan apa-apa tiap kali berhubungan dengan lelaki lain, betapapun gagah dan tampannya.
"Oh?", ia menatapku. Menjilat sekujur tubuhku.
"Aku tidak berjanji apa-apa..."
"Aku serius!" "Dan aku tidak main-main...."
"juga ketika kalian berjudi, bukan?"
"juga ketika kami berjudi!"
"Dan kau menguras Tono habis-habisan...."
"Barangkali. begitulah...."
"Tentang rumah itu...."
"Aku tidak tertarik".
"Lalu. kenapa?"
Ia tersenyum. "Maksudku. aku tidak tertarik dengan rumah kalian, setelah ia menawarkan sesuatu yang lain".
Aku merasa telingaku merah. Tentu aku yang dimaksudnya.
"Lakukanlah..."
"Akan!" "Ayolah!". aku membuka bajuku.
"Tidak tergesa-gesa, itulah prinsip hidup. Dan itulah yang menyebabkan aku bisa memenangkan pertaruhanku dengan suamimu...."
"Sama saja. Terutama buatku. Khususnya. profesi ini!"
"Profesi?". matanya menyipit. "jadi, kau sudah berulang kali melakukannya?"
Aku terhenyak di ranjang. Menutupi dadaku. !
?" terpaksa " Barda mengangkat bahu. "Setiap perempuan begitu selalu mengatakan yang sama!" .
' "perempuan begitu?", aku mendelik.
"kau toh melakukan yang begitu!"
"Setan". aku memaki.
Ia tertawa. "Kau cantik kalau marah. Lebih cantik. Dan aku semakin tertarik". ia menjilat bibirnya. "Berapa jam kau bisa tahan?"
"Setan!", aku memaki lagi.
Dan ia tertawa pula lagi.
*** IA melonjorkan kakinya. "Kemarilah....!"
Aku bangkit dari ranjang. Mendekat ke kursi yang ia duduki. Matanya melotot memandang dadaku yang sengaja kubiarkan terbuka.
"Baru kumengerti sekarang..." Aku tertegun.
Teringat si Oom yang membawaku dengan "Capella" ke Lembang.
"Kau kecewa dengan dadaku?"
"Apa kau bilang?". ia tercengang.
Kutegakkan dadaku. "Ini. Tidak begitu besar. Kau kecewa?"
"Bukan.?", ia menggelengkan kepala"Mendekatlah ke mari, jangan tegak saja begitu. Aku bukan seorang sutradara, dan bukan seorang calon bintang layar putih!"
Aku menurut dengan patuh.
"jongkoklah di depanku".
Heran. aku tetap patuh. Aku berlutut di atas kedua kakiku.
"jongkok tak enak?". aku bergumam.
"Ya, begitu sajalah. Ke depanku sedikit lututmu...."
Dan kini salah satu lututku menyentuh betisnya.
"... aku tak kecewa denganmu", katanya. gugup.
"Kenapa kau?", tanyaku, melihat perubahan sikapnya.
"." tidak apa-apa. Eh, jangan ngomong padaku. Biarkan aku ngomong sendiri!", ia menukas dengan gelisah. Matanya liar.
"Dadamu kempes. Baru aku mengerti kenapa". hehe, Tono bilang kalian belum punya anak, bukan?"
"Kami baru beberapa bulan kawin..."
"He, jangan ngomong kubilang!", ia marah. "Kau cukup mengangguk atau menggeleng-gelengkan kepala. Betul ya" Kalian belum
punya anak?" Kuanggukan kepalaku. "Rabahlah lututku.?"
Aku mematuhinya. "jangan tamplokan begitu saja. Geser-geserkanlah telapak tanganmu... he, jangan keras-keras dan buru-buru begitu. Perlahan-lahan dan... dan dengan penuh perasaan!". ia mengerang lalu;
"Perempuan berdada kempes susah melahirkan anak!"
"Ha!", aku terpana.
"Sssssttt. diam.".
"Oh!", aku mengeluh. Tak sadar. Tetapi iapun memprotes. Mukanya telah memerah, dan ada keringat membercik di ujung bahunya.
"Pantas kau tak segan-segan dengan lelaki lain....", ia menutup mulutku dengan jarinya. karena aku sudah siap melemparkan protes.
Aku segera berdiri. "Husy, duduk!", ia menjadi marah lagi.' Ingat rumahmu...."
jengkel, aku patuh. Duduk di lantai, setengah berlutut. Simpatiku terhadap pemuda tampan ini lenyap, oleh sikapnya yang aneh.
"Nah, begitu. Kau menurunkan seleraku...."
Aku mengeluh. "Kau harus membangkitkannya kembali"
Kupandangi dia dengan muka kesal.
"Persetan, begitupun kau tetap cantik. Ayo gigit lututku..."
Kugigit lututnya. "Auwww!", ia terpekik dan menarik lututnya seketika. Membekas warna merah yang dalam bekas gigi taringku.
"Kurang ajar kau!". ia menarik. "Tapi... hehe. enak juga. Gigi! lagi..."
Aku menggigitnya. Lebih perlahan.
Aku mematuhinya. meski perasaanku menjadi semakin tidak enak.
"Terus?", suaranya menjadi lirih.
"Apa-apaan ini?", aku ngomong tiba-tiba.
"He teruskanlah. Rumahmu. rumahmu...." Kugigit keras-keras lututnya.
"Persetan!", ia setengah menjerit.
Aku sudah hampir muntah ketika kedua telapak tangannya hinggap di bahuku. Dan sekaligus merentakkan aku berdiri. Ia tidak memelukku seperti yang kuduga dan kemudian langsung melemparkan tubuhku ke atas ranJang.
Ia cuma mendorong tubuhku ke kursi dan sambil menutup matanya ia merintih :
"Kudukku...kudukku!" _
Aku terpana. heran. tak mengerti.
"Gigit!", ia menjerit
Aku buru-buru mematuhinya.
"Hoiihhhh....!", ia mengeluh.
Ketika ia terhenyak di kursi. aku merasa lega
"Kau masih hidup!". aku setengah memekik.
Ia mengangguk. "Sehat walafiat....", lepas suaranya yang perlahan. Menyusul sebuah senyuman dibibirnya. Senyuman kepuasan.
"Kau lihat?" Aku menurut pandangan matanya.
Mual perutku seketika. "Itulah sebabnya kenapa sampai sekarang aku belum kawin?", ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Matanya nyalang ke langit-langit kamar.
Aku mencarinya di lemari yang tidak terkunci, dan memberikan kain yang banyak kulihat terlipat di dalam.
"Aku lemah sekali...." ia menerima kain itu melebarkannya dan kemudian menyelusupkan tubuhnya ke dalamnya, dan setengah tubuhnya bagian bawah kemudian telah berselubung kain itu.
".... tak ada perempuan-perempuan yang mau kukawini!", suaranya dalam, dan tidak bersemangat. "Karena mereka bisa memberikan aku kepuasan. Sedang aku, apa yang bisa kuberikan pada mereka?" "
Aku mengurut dada. Bersyukur bahwa betapa pun muda dan jeleknya suamiku. toh aku beruntung memiliki seorang Tono. Seorang Tono yang sehat, bukan seorang lelaki seaneh Barda ini.
"Kau... kau tak bisa?"
"Bisa. 'Tetapi"!.
"Kau sempurna".
"Iya. tetapi tidak akan sempurna bekerja". ia menggeleng-gelengkan kepala dengan susah. "Dan aku jijik".
Bergidik kudukku. Mau rasanya aku lari dari tempat itu. Tetapi ah harus memperoleh kepastian.
"Rumah?" Ia melihat ke mataku. Tersenyum dia. "Ambillah....". ia bergerak dengan susah, membuka laci dan mengeluarkan selembar kertas bersegel dari dalamnya. Kertas bersegel itu sudah mulai mumal, dan setelah melihat apa isinya. aku menjadi kecewa pada Tono. Ternyata suamiku telah berhasil mencuri surat perjanjian perumahan dengan pak Gondo, yang selama ini kusimpan dengan teliti di antara berkas-berkas surat-surat cinta kami selagi masih remaja." .
*** ,"HANYA secara kebetulan!", Tono angkat bahu setiba aku di rumah dan sekaligus melancarkan protes.
"Masto. menceritakan tentang rumah itu. jadi. akupun mencari-cari' di mana kira-kira kau menyimpannya....", ia tersenyum. "Salahkah, kalau aku punya kebiasaan membuka surat cinta kita?"
Aku terduduk di dipan. menangis.
"Hanya untuk menebalkan kekuatan cintaku?". katanya.
"Dengan mencuri surat berharga itu?"
"Dengan mengulangi membaca surat-surat cinta kita...."
"Toh aku telah kawin denganmu".
"Iya, Tetapi kalau kau berada dalam pelukan lelaki lain...", ia mengeluh. "Aku takut kepercayaanku hilang. Lalu kubaca surat itu!"
"Terlalu!". aku memaki.
Langkah kakinya memenuhi telingaku ketika ia mendekat.
"Kau marah?" Aku masih menangis. Menangkupkan wajahku ke bantal.
"Kau marah?" Ia duduk di dipan. Mengelus rambutku.
."Noni, kau marah ?" Rambutku dibelainya. Mesra. "Noni, jawablah. Kalau tidak, kalau .
tidak.... . suaranya mulan parau dan tersendat sendat.
Aku membalik. menangkap warna matanya yang telah berkilau, dan seketika aku merangkulnya, mendekapnya rapat-rapat dan kemudian menangis di dadanya.
"Sudahlah, sayang", ratapku. "Aku tak marah lagi. Tak marah lagi!"
kau memang ratuku. Dewiku. Yang melindungiku!", ia menyelusupkan bibirnya di sela sela rambutku, lalu di sekujur permukaan wajahku. "Kalau kau tak ada. dewiku, maka aku telah lama mati. Bersama papa. Bersama mama!"
"jangan katakan itu. Tono"
"Iya. Aku akan mati bersama mereka. Tetapi, lihat!". ia tiba-tiba merenggutkan tubuhnya, dan ia memandang lurus ke depan. Ke depannya, dan aku cuma tau dan sangat yakin, yang ada di depannya, di belakang tubuhku hanya dinding kamar. Dari tembok. yang dikapur putih. Tanpa embel-embel. tanpa sesuatu yang aneh atau menarik untuk dilihat!
"Bahkan di sana juga mereka tak menerimaku!"
"Tono!". aku menjerit, dan melayangkan tanganku bertubi tubi wajahnya terombang ambing oleh tamparanku, dan ketika bekas memerah itu semakin banyak. akhirnya matanya yang melotot tadi berkedip, mengerjap perlahan. Ia menjatuhkan dirinya ke sisiku, dan aku merangkulnya.
"Kau kemasukan lagi!", aku menangis. "Kemasukan oleh hantu ketakutanmu sendiri"
"Noni, Noni" tolonglah. Tolonglah!", ia memelukku.
"Aku ada bersamamu, Tono. Ingatlah. Aku ada bersamamu!"
"Oh!", ia mengeluh. Wajahnya pucat pasi, dan keringat membercik di jidatnya. Aku bisa mengetahui, kalau itu adalah keringat dingin.
"Kenapa kau membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Tono" Kenapa" bukankah papa dan mamamu telah lama mati?"


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"... tapi mereka sering muncul!", ia mengeluh. "Muncul begitu saja, di depanku, dan bersama-sama kedua pasang tangan mereka terangkat. Mau melemparkan aku.... sering, Noni. Seringkali....."
Aku mengangguk. "Aku tahu sayang. Dalam tidurmu. Dalam mimpimu!"
"Setiap saat!", ia memberengut. "Rasanya hampir setiap saat...."
"Karena kau takut!"
"Ya. Aku takut"
"Apa yang kau takuti?"
"Papa. Dan Mama'"
Mama telah mati. Karena kau kawin dengan anak ingusan itu! Demikian bunyi telegram Nina, tidak sampai setengah tahun yang lalu. Dan papa juga ingin mati!, kata Nina lagi.
Aku terhenyak di dipan. "Mereka telah pergi. Tono. Lupakanlah...." dan dalam hati aku menghibur diriku sendiri. Mama telah pergi. Dan aku harus melupakannya, untuk tidak menyiksa diriku sendiri. Tetapi toh aku perempuan. Mama perempuan. Mama meninggal karena kelemahannya sebagai perempuan. Dan aku membuatnya lemah, karena memilih seorang laki-laki yang tak disenanginya untuk menjadi suamiku. Aku memilih lelaki itu karena aku perempuan. Karena kelemahanku sebagai perempuan.
Tetapi, apakah aku memilih Tono, karena aku lemah"
Tidak. Cinta adalah kekuatan!.
Kekuatan!. "Tono....". aku berbisik di telinganya. "Kau terlalu menyiksa dirimu. Kau tidak menceritakannya padaku. Tetapi akupun tak mau menanyakannya..."
"Kau baik hati, Noni".
"Tetapi suatu saat aku bisa jahat...."
Ia terduduk. "Tak mungkin....", sungutnya.
"Kenapa tidak?"
"Kau dewi. Dan dewi biasanya tak jahat...."
"Aku bisa jadi Purbararang...?"
"Tak ada Purbasarinya?"
"Terhadap laki-laki. Bukan terhadap saudara perempuan...."
"Kau bukan Purbararang!"
"Bisa. Kalau kau menyalahi janjimu.?"
Ia terdiam. "Kau harus setia, Tono. Itu baru kau menepati janji...."
"Itu?". Ia mendengus, dan kedua lengannya kembali memelukku. Ia mencium kedua mataku. Cupil hidungku. menggigitnya sedikit sehingga aku terpekik. Manja. Dan jeritanku terputus oleh ciumannya di bibirku. "Aku justru takut kalau kau yang tidak setia...."
Aku tersenyum. "Misalnya. Kalau kau ketemu laki-laki semacam Barda!"
Bergidik tubuhku. "jijik....", ia menggerutu.
'Kenapa?" "Ia seperti binatang!"
"Kenapa?" Aku tak ingin menceritakannya. Aku tatap mata suamiku. dan berkata pasrah:
jangan tanya aku. Tapi ciumlah!
*** HABlS bibirku dilumatnya. Kukatupkan mataku. Rapat-rapat. Kuingin menikmatinya dengan sepuasnya... Kubiarkan tangannya menjelajahi tubuhku. Sampai akhirnya ia mendengus sendiri. Kelelahan. Lulu tergolek disampingku.
"Tono?" "....nghh, ya?", nafasnya terengah-engah.
"Aku takut". Tubuhnya terangkat, bertelekan pada kedua sikunya.
"Hai....". parau suaranya. "Kau juga mengenal takut?"
"Setiap manusia punya ketakutan sendiri, Tono"
Ia terdiam. Lalu manggut.
"Apa yang kau takutkan?"
"Apa yang telah kau kerjakan..."
Ia melihatiku. Tajam. "Kau terlambat mens?"
Aku menggeleng. Teringat Barda. Perempuan berdada kecil akan lama sekali baru melahirkan anak, begitu katanya. Tapi bukan itu yang kutakutkan. Justru yang kutakutkan adalah orangnya. Barda. Atau lelaki semacam dia.
"Barda membuat aku takut..."
"He, tadi kau katakan jijik..."
"Iya. _jijik yang menimbulkan takut".
"Kalau begitu, mudah saja. jangan temui lagi dia....".
"Memang tidak...".
"Nah. lantas?" "Aku takut". Ia berbaring. mengeluh. "Itu lagi yang kau katakan...". Ia membuang beberapa gumpalan nafas.
"Apa yang kau takutkan sebenarnya. sayang?"
"Orang semacam Barda".
"Kubilang, jangan temui dia. Kan sudah!"
"Dia. Dan orang-orang lain sesudah dia!"
"He!" "Tono". Ia mengelus wajahku. "Mengapa kau. Noni?"
"Aku serius". "Lalu?" "Aku ingin berhenti!"
Dia terlonjak duduk. "Kau aneh". "Aneh?", aku mulai memelas. "Bergayut terus dalam jamahan lelaki lain" Sampai kapan, Tono" Sampai kapan?"
"Sampai uang kita cukup!". aku bersungut, jengkel.
"Kenapa?" "Sudah kubilang. Aku takut...."
"Hanya karena Barda?"
"Bukan Barda-nya. Tetapi jiwanya... ia gila. Gila."!", mataku perih, dan akupun mulai tersedu.
"Noni.?". "Barda membuatku ketakutan. Ia gila. Dan aku takut, bakal ada lelaki lain yang lebih gila. Yang membuatku lebih takut....".
Ia membelai rambutku. ~ "Cup, diamlah....", bujuknya seperti kepada bayi. Ia mengecup kedua mataku, tersenyum. Ah, senyum kekanak-kanakan itu. Yang meruntuhkan hati ini. Yang menenggelamkan
segala busa-busa yang mengotori perasaan ini.
"Tidak semua lelaki seperti dia. Ah kau tak menceritakan bagaimana kau sampai berasa jijik padanya. Kukira kau terpikat. Tak taunya sebaliknya. Baiklah. Anggap sebagai pelajaran...".
"Aku tak mau belajar jadi orang gila, Tono".
"Bukan jadi orang gila. Tapi dengan orang gila...".
"Dan jadi gila pula?"
"Tidak. Supaya kau lebih tabah..."
"Tabah!", aku menggerutu. "Lantas, kalau suatu ketika korban kita adalah seorang sex maniac?"
"larilah...". "Kalau bisa.....".
"Harus bisa!". ia menggampangkan
Aku terdiam. Dia juga. Lama. Lantas: "Tono. Begini saja. Uang yang ada kita pergunakan mulai sekarang".
"Pindah?" "Ke kota mana" Tak cukup'"
"lalu kita mau bercokol di kota ini?"
"Bisa kita coba?". kubalikkan badanku, menghadapnya. Kupandangi kedua matanya yang membulat memandangiku! dan mulutnya yang sedikit ternganga tidak membunyikan apa-apa dalam keheranannya. Ia polos. Sungguh mati, aku senang kalau dia selalu bersikap polos. Meski itu berarti ia semakin kekanak-kanakan. Biar. Aku cinta padanya. Kalau seorang wanita jatuh cinta, ia tak akan perduli apakah yang dicintainya seorang lelaki yang telah punya wanita lain. Atau seorang lelaki yang telah punya sekian orang cucu. Apalagi Tono. Muda. Kekanakkanakan. Yang dalam beberapa waktu mendatang-kuharapkan-akan menjadi lebih matang. Lebih dewasa. Lebih bertanggung jawab. Tidak lagi lebih dewasa. Lebih bertanggung jawab. Tidak lagi atas diriku, ataupun dirinya. Tetapi atas diri anak-anak yang terlahir dari pernikahan kami....
"Tono. dengarlah.?", kuusap wajahya dengan jari jemariku. "Pekerjaan gila ini kita hentikan saja.... cukup kau saja lelaki yang menjamahi tubuhku. Kita pergunakan saja uang yang ada. Buka warung kek misalnya, dan?".
Ia tiba-tiba merandeng, duduk dengan gelisah.
"Dan setiap orang akan bergunjing____", ia setengah berteriak membuat aku terkejut"
lihat! Si lelaki yang dihidupi bininya!"
"Tono....". "Baiklah. Kuakui, gunjingan itu benar.
Tapi akan tahankah aku kalau guncingan itu berkobar jadi kabar keseluruh kota" Lihat, bininya menjejali mulut lakinya dengan menjual tubuh kepada lelaki lain" Dan, lihat! Perempuan itu bekasku. Lakinya cuma ke bagian sisaku. Hiiii!".
"Tono!", aku terpekik.
"Tidak....", ia masih merandeng. "Kita tidak bisa hidup dalam keadaan seperti itu!"
Aku menangis. "Kau terlalu berprasangka. Tono.?". kataku tersendat-sendu. "Belum pasti gunjingan itu ada...".
"Apa" Belum pasti" Toh kenyataan !".
"Iya, tapi siapa yang tau" Kita baru berhubungan dengan sejumlah orang yang barangkali baru sepersejuta lelaki di Bandung ini".
"Dan. di antaranya kebetulan adalah kenalanku!".
Aku terkulai. Tono benar. Lelaki pertama yang menja mahku atas "prakarsa" suamiku sendiri. adalah orang dekat dengannya, bahkan kenal baik padanya. Ia adalah Barnas, pemilik "Sempurna Motor", perusahaan service mobil dan motor di mana Tono bekerja sebagai salah seorang pegawainya.
Aku tak akan pernah lupa pada lelaki itu
Juga pada lelaki lain setelan Barnas tetapi tanpa Barnas, lelaki lain itu barangkali tidak akan pernah hadir dalam hidupku. Tidak akan pernah hinggap ditubuhku. Tidak akan pernah merasuk ke dalam kehormatan sampai kecelah-celah sumsumku.
Setelah kawin denganku, sebenarnya Tono bisa jadi anak yang baik.
Tak kusangka. kalau justru setelah ia bekerja, ia menjadi rusak.
Tak kusangka. Dan inilah hasilnya. Yang kini kami cicipi. Terpaksa kami cicipi. Meskipun terasa tidak saja pahit, malah terkadang sangat busuk dan mengerikan.
".... memang yang lainnya mengenal aku sebagai perantara, paling tidak sebagi saudara tirimu!", Tono bersungut-sungut di atasku. "Tetapi mereka. yang mula-mula mengotori rumah kita?"
"Tono" aku menghimbau. "Baiklah. Baiklah. Kita akan pindah....".
"Tapi tidak sekarang!"
"Ya. tidak sekarang...". aku mengalah.
"Setelah cukup uang!"
"Dan aku dapat pekerjaan tetap".
"Ya, kau punya kerja tetap....".
"Nah, begitu".!". ia tersenyum.
Aku juga tersenyum. Mencoba tersenyum."
Tetapi aku juga tidak bisa menahan air mataku yang mengalir ke luar dengan derasnya. aku tak bisa menahan sayatan yang menyakitkan yang mencercah jantungku dan menyebabkan aku semakin runtuh di puing-puing bangunan yang kutegakkan sendiri.
Inikah kebahagiaan yang pernah kubayangkan, mula pertama aku mendapat pernyataan dari mulut Tono bahwa ia akan memperisteriku. Apapun yang akan terjadi"
Ia memang memberikan kebahagiaan itu. Karena dirinya adalah lambang segala kebahagiaan buatku. Dan ia memang memberikan kemanisan itu. Karena cintanya adalah lebih manis dari segala sesuatu yang paling manis yang pernah kukenal dan diperkenalkan dunia padaku.
Tetapi, begini rupakah bentuknya"
".... Noni!", Tono memelukku. Mengelus eluskan pipinya ke pipiku.
Aku tersendat. Aku menyukai Tono. karena ia tahu memberi kelembutan padaku. Ia tidak pernah kasar. Ia meminta. bahkan memaksa, tetapi tidak pernah kasar. Mula pertama ia menyatakan cintanya padaku, ketika aku masih remaja puteri dan masih duduk di bangku sekolah lanjutan atas, ketika dia masih perjaka yang banyak diincar kawan-kawan sekelas. kawan sesekolah bahkan rasanya gadis
gadis sekota Bandung. ketika dia masih dalam kehidupannya yang bebas bagaikan burung di cakrawala di musim bunga. Tono tidak langsung menciumku. Ia menggeserkan pipinya ke pipiku. hanya itu. Tetapi alangkah lembutnya. Alangkah mempesonanya. Alangkah mengharukannya. Dan alangkah abadinya!.
"Tono-ku. Tono-ku?". aku membalas merangkulnya.
"janganlah menangis, sayang. Aku tak tahan melihat kau mencucurkan air matamu.... Aku. aku.?".
"Tidak. Tono!", desauku. "Tidak, aku tak akan menangis lagi!"
"Sungguh?" Aku mengusap air mataku. Mencoba tersenyum. Ya, Tuhan, mudah-mudahan aku berhasil.
Dan Tono balas tersenyum. Yang seperti senyum bayi itu.
Amboi!. "Noni....". "Ngg?" Di gigitnya cupil telingaku. Aku menggelinjang. Geli.
"Besok juga kau tak akan menangis?"
"Besok juga. Besok ke besok....".
"Kau berjanji?"
"Selagi kau tak menyakiti aku...".
"Menyakitimu?", tiba-tiba ia menggigit telingaku keras-keras. Aku terpekik.
Ia tertawa. "Habis. kau minta sih!"
Baru aku bisa tertawa. Bersamanya.
"Kau!" kataku sengit. Kucubit pantatnya yang berada diatas perutku.
Ia yang terpekik kini. "Nakal!", sungutnya, lalu dalam sebuah rangkulan yang padat, aku tenggelam dalam lipatan tubuhnya. Mulutku terbenam dalam kecupan bibirnya. Dan aku melemaskan seluruh urat-urat tubuhku. Membiarkan ia melumat-lumat tubuhku.
"Noni...." "Nggg?" "Hiii". "Kenapa hii?" "jangan begitu ah. Geli!", ia menarikkan telinganya "Noni...."
".... ng. ya?".
"Aku akan cari sasaran yang lebih empuk..."
?" sasaran?" "Maksudku, korban!"
Lemah lagi tubuhku. "Laki-laki?" "Iyalah..apalagi"
Kupejamkan mataku. Oh. Air mata. Bersahabatlah denganku. tetapi janganlah Keluar tanpa persetujuanku. Oh. Air mata Air mata. Tolonglah aku.
"Mmm. jangan keburu marah, sayang?", ia berbisik di telingaku. "Tidak sekarang. Tidak besok. Ya, kapan-kapan saja... tetapi, secepatnya. Secepatnya sayang. Dan secepatnya pula kita akan menghilang. Dari kota ini. yang terkutuk ini!".
Tiba-tiba mataku membuka lagi.
"Korban terakhir, Tono?"
"Benar...". Aku memeluknya. "Sungguh?" Ia mencium bibirku. Lalu mengangguk.
Aku makin merapatkan pelukanku.
"Aku berbahagia. Tono. Berbahagia sekali....".
"Tetapi.....". Kelopak mataku saling merapat.
"Tetapi apalagi. Tono?"
"Kau harus... harus memerasnya!"
Aku melepaskan pelukanku. Kupandangi matanya dengan wajah pucat.
"Maksudmu.?". "Kau mengerti bukan, sayang" Ia adalah lelaki terakhir. Tetapi ia adalah yang terkaya.
Dan... apa boleh buat, sayang. Kau harus menemaninya, untuk beberapa lama!"
Air mata! Air mata! Tahanlah, tahanlah keinginanmu untuk meloncat ke luar. Air mata. air mata. Oh!.
".... tapi kau harus kembali padaku!". gumamnya. "Aku menunggumu, sayang. Sampai kapanpun. Kembalilah secepatnya padaku. Aku cinta padamu, dan aku menunggumu dengan seluruh cintaku!"
Kembali aku lupa akan kekecewaanku, dan kembali aku lebih ingin ia menciumku. menghancurkanku. daripada berbicara lebih banyak padaku.
*** KETIKA aku terbangun dari tidur tanpa impian. hari sudah siang. Aku mendengar suara ribut. Semula kukira suara tetangga sedang bertengkar. Tetapi ketika aku melongok keluar jendela. aku tidak melihat siapa-siapa. Cuma suara itu lebih jelas kudengar :
"Aku tak butuh. Kubilang, keluar kau....".
Suara bersungut itu cukup kukenal.
Tono. Aku terkejut. Bergegas ke kaca, merapikan rambutku yang kusut dan mengancingkan pakaianku.
"Sekali ini. Tono....", kudengar lagi Suara yang halus.
"Ke luar!" "Ini pesan Tenny, Tono"
"Tenny! Babi! Dia. Kau juga. Babi!. Keluar!"
Aku menghambur ke luar kamar, terus ke kamar depan di mana aku melihat kang'Dadang, suami Tenny duduk terkulai di kursi. Dan Tono berkacak pinggang di depannya. Mukanya merah bagaikan bara.
"Tono.?", aku tertegun di pintu.
Suamiku membalik, dan kang Dadang melihatku dengan mata memelas.
"Masuk kau, Noni. Dan he,.?". ia menunding pada kang Dadang. "Ke luar. kubilang..?".
Kang Dadang melihat terus padaku. Matanya memancarkan rasa belas, dan alangkah banyak yang ingin ia ucapkan lewat pancaran matanya yang berkilau itu.
"Eh....", Tono tiba-tiba bergerak. "Berani pula kau pandangi isteriku!", dan tanpa kuduga sama sekali, sebuah tinjunya melayang ke muka kang Dadang.
Aku terpekik ketika lelaki itu terjungkal bersama kursinya, melintang di lantai.
"Tono!", aku berlari, memeluk suamiku.
Tetapi Tono merenggutkan tubuhnya dari
pelukanku, dan seketika ia lepas, seketik itu pula ia membungkuk. Kerah baju kang Dadang disambarnya, sehingga tamu kami yang malang itu terlonjak berdiri. Tetapi sebelum tegaknya lurus. Tono telah melayangkan sebuah pukulan lagi, sebuah lagi, di pipi. di dada. di perut di dagu dan kang Dadang terhuyung menuju pintu ke luar.
Aku menutup mataku. Rasa takut malah membuat air mataku tidak bisa keluar. Aku mau memekik. Memekik. Memekik. Memekik Tetapi toh suarakupun tak bisa keluar.
Sampai kemudian kudengar suara yang berat :
".". kau sudah keterlaluan. Tono!"
Lalu aku mendengar suaru suamiku yang tersengguk di leher. Sebuah pukulan yang deras rupanya telah membuatnya terpacak di tempatnya berdiri. Dan ketika mataku kubuka. aku terpukau. melihat bagaimana tubuh Tono yang langsung meluncur turun dan jatuh dengan suara berdebuk di lantai.
Barulah aku tersadar, dan memburunya sambil meratap.
"Tono, Tono-ku sayang...", aku merangkul tubuhnya, mendekapkan kepalanya ke dadaku, mengusap-usap wajahnya.
"Maafkan. Noni. Aku terpaksa melakukan nya?", ku dengar lagi suara berat itu. Kang Dadang!.
Air mataku membanjir membasahi wajah Tono.
"Bangunlah, Tono. Kau_ tak apa-apa. bukan" Kau tak apa-apa bukan?"
"Noni....", kang Dadang memegang bahuku.
Aku tengadah. Menatapnya, tetapi aku tidak berhasil memperlihatkan wajah kebencian padanya. Kebencian itu tenggelam bersamaan dengan saat aku melihat wajah kang Dadang yang memelas. dan sorot matanya yang penuh penyesalan.
"Tono tak apa-apa....", gumamnya.
Aku hanya menangis. "Aku hanya menyampaikan pesan Tenny padanya. Tetapi Tono marah sekali, dan belum apa-apa ia sudah mengusirku. Ah sayang, ia tak menyukai wajahku rupanya...."
Setelah berkata begitu. kang Dadang mundur, dan ke luar lalu melangkah bergegas menuju pekarangan, dan menghilang di gang menuju jalan ke Cicadas.
Kuusap wajah Tono. Aku panik, tak tahu mau berbuat apa. Dan aku cuma bisa menyebut-nyebut namanya serta berulang-ulang menciumi.
Akhirnya ia membuka matanya.
?".. Setan itu telah pergi?". pertanyaannya yang pertama.
Aku manggut, lega melihat ia telah sadar_
Kubantu ia berdiri. "Syukurlah.....-", sungutnya. "Kalau tidak aku terpaksa menendangnya..?".
Aku tersenyum. "Dan ia akan memukulmu. Sampai mati!"
"Apa" Memukulku?", Tono tertatih-ratih ketika aku membawanya ke ruangan dalam karena di depan gang aku melihat beberapa orang tetangga mulai menjengukkan kepala "Ia boleh coba...".
"Kau sanggup?", aku menjadi jengkel.
"Sanggup!", ia membusungkan dada.
Aku makin jengkel. Kulepaskan ia dari bahuku, dari peganganku, dan..... ia jatuh terduduk di lantai!
"Ouhhhh!", ia mengeluh.
"Nah. berdiri saja kau tak sanggup. Baru sekali pukul, Tono!", aku tertawa seraya menyeka air mata.
"Aku lagi lengah ketika ia memukulku."."
Ampun, membangkangnya ini orang. pikirku dengan hati geli.
Terhibur hatiku oleh tingkah Tono. Sungguh, masih lama ia baru bisa menjadi dewasa. Dan sungguh. aku terkadang menyukai ia begini saja. Polos, kekanak-kanakan. Ah!
"Aku berani bertaruh. kang Dadang tak
akan suka lagi memperlihatkan muka di rumah ini..".", kududukkan Tono di kursi.


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena ia tak berani.".".
"Ya ampun, Tano", aku menggelengkan kepala.
"Soalnya, pantatku masih sakit!". ia bersungut-sungut.
"Ketika kau jatuh dipukulnya?"
"Ketika kau menjatuhkan aku. Persis di pantatku. busyet!"
Aku tertawa. Dan Tono perlahan-lahan tersenyum.
"Kau nakal, Noni. Akan kubalas kau!" ia mengacungkan tinjunya ke mukaku. Tetapi kemudian tinjunya itu melebar. lalu tangannya yang lain juga terkembang. Di saat berikutnya. aku tenggelam dalam pelukannya.
"Lupakanlah apa yang terjadi hari ini. Noniku sayang..... Ah, hanya karena aku tak mau melihat tampang si Dadang itu. Ia merebut Tenny!"
Aku terhenyak. "Kau.... kau menaruh minat pada Tenny?"
"Saudara angkatkU", Tono tergelak. "Yang lumpuh itu?"
"lantas.... kenapa kau cemburu pada kang Dadang?"
"Karena ia mengawini Tenny!"
"Itu hak TennY mas !"
"Tetapi mengawini Tenny, berarti ia juga mengawini harta peninggalan ayah bundaku!"
"Itu haknya sebagai suami Tenny. sayang'
"Semua harta itu hak-ku", ia menjadi marah.
"Kau berangan-angan terlalu muluk_ Tono. Bukankah orang tuamu mewariskan seluruhnya kepada Tenny?"
"Mereka salah!"
"Tapi mereka tak bisa lagi memperbaiki kesalahan mereka. Mereka telah mati. Dan kau pun tak mungkin mendatangi mereka ke kuburnya. Lalu meminta mereka memperbaiki kesalahan mereka...... Itupun kalau mereka benar-benar salah!"
Tono menangkupkan kepala ke kedua telapak tangannya.
"Terlalu...?", suaranya tersendat. "Papa dan mama terlalu membenciku! Begitu burukkah aku" Begitu burukkah aku, Noni, sehingga mereka membenciku" Padahal aku anak kandung mereka!"
Jengkelku hilang, segera berganti dengan rasa kasihan.
Aku memeluknya. Mendekapkan kepalanya ke perutku. _
"Sabarlah, sayang. Mereka tau kau lakilaki, dan kau bisa berusaha. Bukankah itu sudah kubilang berulang kali" Dan TennY
perempuan, lumpuh pula lagi....."
"Ia hanya anak angkat!"
"Mula-mula. Tetapi aku bisa mengerti karena kemalangan itu kemudian mereka anggap sebagai adik kandungku sendiri"
"Aku tahu. Aku tahu. Masa laluku buruk. Bergaul Playboy kecil-kecilan. Playboy mentah! Yang menghabiskan uang papa. Yang membikin pusing mama! Yang.... yang.... yang kata mereka membuat malu keluarga!"
"Tono....", kubelai wajahnya. "Sudahlah. Jangan merengek lagi. Kalau tidak, aku akan marah, dan tak mau menyediakan sarapan!"
Ia terdiam. "Sekarang. mandilah. Setelah itu, berbuatlah sesukamu. Pergilah berjalan-jalan untuk menyegarkan pikiranmu, untuk menghiburmu." awas. jangan kau tak kembali! Okey?"
Ia tengadah, menatap wajahku.
Aku tersenyum. Iapun ikut tersenyum. Kukecup bibirnya. Lembut. *** AKU pijit bel dan menunggu. Dulu. ketika aku belum kawin dengan Tono serta orang tuanya belum meninggal dunia, sebagai perempuan, terus terang aku juga pernah menghayalkan akan bisa menghuni rumah gedung yang mewah ini.
Tetapi orang tua Tono meninggal.
Tono tersisih. Hayalanku terpencil, makin kecil, dan akhirnya lenyap sama sekali. Dan kini, setelah aku berada di rumah ini, sungguh mati, aku tak ingin membangkitkan hayalan itu kembali. Bukan karena tak mungkin. Tetapi sungguh, karena aku tak ingin.
Aku telah memiliki Tono. Dan sebagai permulaan, itu telah cukup.
Pintu terbuka. Seorang perempuan tua muncul di hadapanku.
"...... ada Tenny?"
Matanya menyidik wajahku. Ah, memang salahku. jarang sekali berkunjung ke sini. Bahkan. boleh dikata tidak pernah setelah aku membentuk rumah tangga sendiri dengan Tono. Dan itu telah berlangsung hampir setahun.
"Jangan lupa, mbok. Aku Noni....."
Matanya melebar. "Ha......", mulutnya juga ikut melebar. "Begitu kurus kau sekarang!" "
Pintu dilebarkannya. "Masuklah" Neng. Tapi.....", ia menyidik wajahku kembali ketika aku melangkah masuk. "Kau masih tetap cantik. Neng. Dan Tono baik-baik saja?"
Aku mengangguk. dan duduk.
Perempuan tua itu berlari-lari masuk ke dalam.
Ah. kursi yang kududuki. Alangkah empuk. juga meja sice di depanku Oi, indahnya. Pigura di dinding itu. aku sangat mengaguminya sejak dulu. Pahatannya. dan warnanya. Lalu susunannya yang bagus. Muda mudi Bali lagi menari. Tapi apa tak tahu betul aku. Sayang, aku bukan penggemar tari, meski aku tak bisa mengatakan bahwa aku tak menyukainya.
Sebuah kereta dorong mendatangi dari ruang dalam.
Di belakangnya, 'kang Dadang. Ia yang mendorong kereta itu, dan tersenyum padaku ketika aku tercenang melihat pelipis kirinya di plester dan mata kirinya bengkak-bengkak biru.
"Si cabe rawit itu berhasil melukaiku..".", katanya sambil tertawa ketika mengulurkan tangan padaku.
Aku menyambutnya. menjabat tangannya.
"Kalau rajin berlatih, ia bisa menjadi
seorang petinju yang baik!"
"Tapi Akang telah memukulnya sekali jatuh.".."
"Dan knock-out!". Tenny meningkah, tersenyum bangga memegang tangan suaminya "Apa kabar, Noni?"
Aku mendekat, menerima uluran tangannya. _
Tetapi ia menarikku lebih dekat, dan kemudian".. mencium kedua pipiku!
Aku terduduk, menangis terisak-isak.
"Hai, datang-datang kok menangis. Kenapa kau?"
'aku terharu!" "Ah!" Tenny membelai-belai rambutku. "Bukankah aku saudaramu?"
"Aku pernah mengalami hal yang sama. Ciuman seorang saudara perempuan di pipi kiri dan kananku. juga dari ibuku. Tetapi itu telah lama berlalu?", kuusap air mataku. Kupandangi Tenny. lalu kang Dadang yang menundukkan muka.
"Aku datang untuk meminta maaf....."
"Eh, apa-apaan pula kau?". Tenny tiba tiba tersinggung.
"Tono. Perlakuannya pada Akang.?".
Kang Dadang angkat bahu. "Anak muda....", ia tersenyum. "Biasa. Darah panas......"
"Tetapi apa yang diperbuatnya..."
"Noni!". Tenny berbicara dengan tandas. "seharusnya akangmu yang harus minta maaf. Ia harus membimbing adiknya, bukan memukulnya!"
Aku semakin terharu. "Tapi ya. sudahlah...?". Tenny memelas. 'Yang penting, kami gembira kau datang. Memang kami telah lama megharapkannya....."
Aku tercengang. Dan kang Dadang menerangkan :
"Tadi aku ke rumah kalian. mengundang kalian datang ke mari..... tapi Tono keburu mempersilakan aku angkat kaki!". ucapnya diakhirinya dengan ketawa kecil.
Mau tak mau, aku tersenyum.
"Okey. Noni. Bersenanglah... aku mau ke toko dulu".
Kang Dadang masuk ke rumah. sebentar ke luar lagi sambil membersihkan kaca mata!: .
?".." sebenarnya aku kurang suka mengenakan ini!". ia melonjorkan kaca matanya. "Tetapi kali ini, apa boleh buat.....".
Ia mencium kedua mata Tenny.
"Baik-baik di rumah. sayang!", bisiknya di telinga perempuan itu. lalu sambil mengangkat jari padaku. kemudian melangkah ke luar rumah.
Aku memandangnya naik vespa sprint dan kemudian menghilang dijalan raya.
"Noni......" Aku menoleh. "Aku mau membicarakan sesuatu yang serius".", kata Tenny. "Tentang dirimu, marilah kita ke dalam!"
*** TENNY menggerakkan kursi rodanya dengan kedua tangannya. Tetapi aku cepat memburu. dan membantunya mendorongnya ke dalam.
"Terima kasih!", Tenny bergumam.
Interior di dalam rumah sungguh mendatangkan rasa kagum pada diriku. Pernah aku memasuki ruangan ini, tetapi tidak seindah sekarang keadaannya.
"Akangmu yang melaksanakannya........", kata Tenny melihat kekagumanku. "Aku apalah. bergerak dari kursi inipun tak bisa. Bahkan ke tempat tidur harus dibantu......"
"Suamimu punya jiwa halus. Tenny. Lukisan-lukisan dinding memang sudah membosankan. idenya sangat baik menjadikan dinding tembok sendiri sebagai bahan baku ukiran-ukirannya....?"
"Dia cuma perencana, Noni", Tenny merendah. "Kau pernah mendengar nama pemahat Abas" Ia berpengalaman banyak di Paris, dan dialah yang melaksanakan semua ini.."."
"Oh!" cetusku. Aku memang tak tahu dan bahkan tak pernah mendengar nama Abas. Seperti pada tari. pada seni lukis juga aku tidak banyak perhatian. Tidak, sebelum aku melihat hasilnya. sekarang ini.....
"Kau makan siang di sini saja ya?", ujar Tenny setelah aku duduk pada sofa di depan kursi dorongnya.
Aku menggeleng. "Tono akan segera pulang. Aku harus berada di rumah secepatnya"."
"Ah, si petualang itu?"
"Ia selalu menepati janjinya, Tenny!"
Tenny memandang kagum padaku.
"Kau berhasil menjadikannya, kalau begitu...".."
"Dalam beberapa hal kecil. Tidak dalam hal yang besar.....".
Ia manggut. "Itulah sebabnya aku tertarik untuk memanggil kalian berdua ke mari'. Tetapi setelah kau sendiri datang ya cukuplah. lagipula, hal ini lebih Banyak menyangkut tentang dirimu.".. .
"Apakah seperti Tono, aku juga telah berbuat kesalahan?"
"Benar sekali!"
Aku tercengang. "Noni. aku tak tahan mendengar desas desus itu"..."
Semakinlah aku tercengang.
"Semuanya benar. bukan" Karena akangmu telah pernah melihat kau diantar pakai mobil. Di suatu malam. Dan akangmu juga melihat lelaki yang bersamamu ia bukan Tono. tentu menciummu. Ketika kau akan ke luar dari mobil!"
Aku tertegak berdiri, dengan wajah pucat pasi. Tubuhku gemetar.
Tenny menggeleng-gelengkan kepala.
"jangan keburu marah. Noni. Aku tidak bermaksud mencampuri urusan rumah tanggamu!"
"Kau telah mencampurinya.....". kataku. "Sebaiknya aku pulang!"
"Noni, tunggu!"
Aku duduk lagi. Lemas di kursi.
Kini wajahku serasa terbakar. merah.
Tapi aku tak berani melihat muka Tenny.
"Aku sebenarnya tidak mau membicarakan itu.... hanya", ia menjilat bibir. "Hanya. untuk sampai kepada maksudku, aku harus memulainya dengan masalah itu!".
"Katakanlah cepat-cepat!" sahutku gusar.
"Dinginkanlah hatimu, Noni....."
Aku diam. "Tono pernah bilang, kau adalah perempuan terbaik yang pernah dikenalnya...."
Aduh, lenyap itu perasaan gusar.
"Akangmu juga mengatakan yang sama...." Tenny tersenyum, aku melihatnya ketika aku tertengadah mendengar ceritanya tentang Tono.
"Bahkan secara berkelakar. akangmu bilang kalau ia ketemu kau lebih dulu dari aku. maka kaulah yang beruntungjadi isterinya...."
Merah mukaku. "Tapi toh kau sudah jadi isteri Tono. Dan aku isteri' kang Dadang! Lagi pula, ah.." itu hanya kelakar. Yang penting, mereka mengatakan hal yang sama. Sebenarnya, kau perempuan yang baik.....".
Tanpa sengaja, aku melihat jam berukir di dinding. Aku terkejut.
"Ah. sudah hampir waktunya Tono pulang ke rumah......".
"Tunggulah sebentar, Noni. Katakan saja
nanti pada Tono bahwa..."
"Bahwa aku baru pulang dari sini"! wah!! Ia akan ngamuk besar!"
Muka Tenny jadi berubah murung.
"Ia masih tetap membenciku......"
Ah, menyesal aku mengucapkan hal tadi. Tapi. yang sudah jadi.
"Itu dimulai Jejak kecil....", Tenny molayangkan matanya ke jendela samping. menatap taman kecil di sebelah kiri luar rumah. Matanya lurus ke sana, dan lekat di sana. Perempuan yang tadi membukakan pintu muncul dan meletakkan dua cangkir coklat susu dan beberapa piring kecil. kueh kering dan taart di depan kami.
"Minumlah.?". Tenny seolah berbicara di alam mimpi.
Aku mengangguk. tetapi tidak menyentuh cangkir, di depanku.
"..... ketika itu aku baru berumur sepuluh tahun. Dan Tono delapan tahun. Ia sungguh sungguh dimanja, dan suka sekali bikin ribut. Anak-anak tetangga yang sebaya dengannya melayaninya. dan berakibat mama sering bertengkar dengan ibunya anak-anak tetangga itu. Kalau terjadi keributan. tentu. Dan Tono kemudian disekap oleh Papa. Celakanya. selagi dia disekap, kemarahannya yang tak terlunaskan pada lawannya. dilampiaskan Tono pada
diriku.....". Baru kali ini aku mendengar tentang masa kecil Tono.
Dan harus diakui kebenaran ucapan Tenny, karena pada nyatanya, selagi Tono satu sekolah denganku, dia telah banyak bikin keonaran. Dia terkenal tidak saja karena punya wajah simpatik dan banyak uang. Tapi juga kebiasaannya yang suka berlagak jagoan, meski kemudian aku melihat sendiri, seringkali ia kalah. Tetapi kekalahannya tidak pernah membuatnya takut atau jadi pengecut. Malah semakin melecutnya, menempanya menjadi lebih pemberani. Sebenarnya. lebih brutal!
"Satu hari.... aku ingat betul, menjelang ulang tahunku yang kesepuluh. Tono disekap lagi. Tetapi yah, kemanjaan. Papa menyekap, mama mendekap. Lalu karena tak diperbolehkan ke luar rumah. ia mencari pasal denganku...." Tenny tersenyum halus.
"Aku sedang gembira-gembiranya menghadapi hari ulang tahunku. Aku marah diganggu olehnya. Sebuah boneka hadiah papa. dipecahkannya. Kami berkelahi. Mama datang berlari-lari, melerai. Tetapi sebelum mama datang, Tono telah memukul lututku dengan linggis yang didapatnya di gudang. Pukulannva keras sekali......".
mata Tenny berkilau_ Dan mataku sendiri. terbelalak.
Kutahan nafasku yang sesak.
"Aku jatuh terduduk, bergelimang darah. Dan aku terus terduduk, meski sejumlah dokter telah berusaha menolongku. Persambungan lututku remuk, dua-duanya. Tak seorang dokterpun berhasil menyempurnakannya kembali. Dan papa tak sanggup membeli lutut baru yang kabarnya ada di Singapur. Papa hanya menangis melihat aku hanya bisa duduk. Duduk terus, sampai sekarangan ini..... kau lihat, akupun hanya bisa duduk di hadapanmu. Di kursi roda ini!"
Aku melihat air mata titik dari kedua kelopak matanya, tetapi ia toh tersenyum.
Kurangkul dia. "Aku pasrah!", katanya di telingaku. "Duduklah di depanku seperti tadi, Noni. Marilah kuceritakan seterusnya...."
Aku turut dengan patuh. Gemetar tanganku ketika menyentuh cangkir, dan meneguk minumanku dengan susah payah. Cangkir satunya lagi kuserahkan pada Tenny, yang meneguk isinya dengan nikmatnya.
"Mama telah berhasil menjadikan aku seorang anak perempuan yang pasrah pada nasib.... dan do'a papa selalu berhasil. Meminta rejeki Tuhan atas diriku. Yang paling tak"
bisa kulupakan ialah do'a papa beberapa hari sebelum ia meninggal. Agar aku mendapatkan jodoh yang cocok. Lalu akangmupun datang!"
"Kau sungguh beruntung......". jawabku sejujur-jujurnya.
Ia mengangguk. "Tuhan mentakdirkan aku selalu bernasib untung, meski Tuhan sebaliknya menghadiahkan keadaan ini padaku. Lumpuh!"
Ia meneguk minumannya pula.
"Aku terlahir dari sebuah keluarga yang sial......", katanya. "Ayahku telah menceraikan ibu ketika aku masih di dalam kandungan. Ketika aku lahir di rumah sakit. aku sungguh sungguh telah berdiri. Ibuku meninggal saat itu juga!"
Ia mengatupkan matanya. Dan ketika ia buka, kembali aku melihat kilauan yang tadi.
Aku terharu. "Berbulan-bulan aku dipelihara di rumah sakit, sampai kemudian sebuah keluarga yang baik hati mengambilku dan mengangkatku sebagai anak mereka sendiri. Mereka memberikan nama Tenny padaku!"
"Ayah Tono?" Tenny mengangguk. "Papa dan mama telah kawin selama sepuluh tahun lebih, tetapi belum dikaruniai
anak. Kau tahu kebiasaan orang Sunda sini. Mengukut anak. Dan mereka kemudian mengukutku, menjadikan aku sebagai pancingan. Benar saja. Tidak sampai dua tahun setelah aku menjadi anggota keluarga mereka. Tono pun lahir. Satu-satunya anak mereka yang ke luar dari rahim mama sampai Tuhan memanggil mereka kembali ke pangkuan-Nya!"
"Semoga mereka diterima Tuhan di sisiNya", aku bergumam.
"Semoga!", ia memejamkan kedua matanya. "Dan semoga pula permusuhanku dengan Tono segera berakhir.....", ia membuka matanya pula. "Aku tidak akan tenteram, Noni, sebelum Tono merubah sifat lamanya, terlebih setelah ia mengetahui aku cuma anak kutukan..?". ia kembali menjilat bibir. "Papa dan mama tak berhasil menempa Tono jadi anak yang baik. Dan Tuhan jugalah yang menakdirkan, bahwa beberapa waktu sebelum papa dan mama meninggal, secara diam-diam mereka telah membuat testamen. Semua di atas namakan pada diriku!"
"Itulah masalahnya.....", kataku dengan susah. "Tono tidak menyukai hal yang satu ini......"
"Tono keliru. Seharusnya ia memperhatikan bagian terakhir dari surat testamen itu. Bahwa warisan ini akan dibagi dua. bila Tono
telah merubah segala tingkah lakunya..?"
"Akan lama sekali, Tenny!"
Ia mengangguk. "Bukan itu saja. Kalaupun ia berubah. toh takkan menerima bagiannya. Ia seorang yang keras kepala. Pendiriannya terkadang sangat tetap dan sukar di goyang oleh siapa pun. Sekali ia menolak. ia akan tetap menolak...."
"Ia pernah mengatakan, ia ingin seluruhnya. Dan dialah yang kemudian akan membaginya...", kataku jujur.
"Itulah sayangnya", wajah Tenny muram. "Akhirnya, beginilah jadinya. Kita bermusuhan, padahal aku tak menginginkannya. Terlebih-lebih setelah mengetahui keadaan kalian berdua."ah!" ia tiba-tiba menegakkan kepala. "Aku telah menyimpang dari masalahnya semula".
"Aku sendiri justru melupakannya!", kata
"Tapi aku tidak.....". ia memandangi mukaku. "Begini. Noni. Tono sudah berulang kali menolak uang atau apa saja yang kami berikan padanya jauh sebelum kalian berumah tangga. Ia memisahkan diri. Sungguh sayang sekali?".
"Kau punya usul baru?" tanyaku ketika mataku terantuk lagi pada jam dinding. Tono kini sedang menuju ke rumah, pikirku dengan
gundah. Aku sangat khawatir kalau ia tidak menemuiku menyambutnya di pintu. Ia akan marah dan......
"Benar sekali!", Tenny mengejutkan lamunanku. Ia memandangi mataku lebih tajam. "Kuharap. kau lain dari Tono. PikirkanIah sungguh-sungguh, ini menyangkut masa depan. Terutama" ya, kehormatanmu!"
"Blak-blakanlah......". sahutku ketus.
"Kuharap kau tak menolak. Hem, berapa jumlah yang kalian butuhkan sampai rencana ah, pekerjaan gila-gilaan kalian itu dihentikan?"
Merah padam mukaku. "Kau tau cukup banyak....."
"Aku saudaramu!", sahutnya.
"Apalagi yang kau ketahui?"
"Rencana pindah ke kota lain, memang lebih baik. Tono sudah berbuat terlalu banyak untuk menahannya lebih lama di kota ini."
"lalu. kau akan menyumbang!"
"jangan sakit hati, Noni. Anggaplah ini bagian kekayaan Tono. bukan sumbangan!"
"Tono tidak punya kekayaan. menurut testamen. jadi, tidak ada persoalan..."
Tenny mulai marah. _ "lalu kau akan teruskan pekerjaan terkutuk itu?"
Aku berdiri. "Anggaplah itu terkutuk! Tetapi kami akan mencoba berdiri dari hasil terkutuk itu. Apa boleh buat. kami telah memulainya. Dan kami pulalah yang harus menyelesaikannya!"
"Bila?" Bila" Ya. bila"
Tersayat jantungku. "Tergantung keadaan.....", jawabku akhirnya.
"Kalian menunggu keadaan".
"Apa boleh buat."..."
"Kalian bisa merubahnya. Bahkan mengadakannya!"
"Benar. Tetapi dengan hasil jerih payah kami sendiri.."..."
"Noni...?". Aku hampir menangis. Kupegang pundaknya.
"Terimakasih atas perhatianmu, Tenny. Namun, tcrkutuklah aku, kalau aku menerima apa yang telah ditolak Tono. Aku isterinya, Tenny. Dan aku harus mengabdi pada kemauannya..?"
Aku mencium kedua pipinya sebagaimana ia perbuat padaku ketika aku masuk.
"Maafkan aku!" Lalu aku bergegas ke luar.
*** SUDAH empat pria yang mengulurkan tangan padaku, dan telah empat kali aku mengikuti arus pasangan demi pasangan yang memenuhi lantai dansa di lobby hotel "Preanger". Keringat sudah membasahi ketiak dan sedikit di punggung. Tetapi tetap aku tak bisa menolak mereka. Karena, aku sendiri. Tak mungkin sendiri.
Ketika aku terbebas dari lelaki keempat yang mengantarkan aku ketempat dudukku, aku membalas ucapan terimakasihnya secara sambil lalu.
Tono telah duduk di kursinya semula.
"Terlalu kau!". aku setengah memaki.
Ia tersenyum. Dalam cahaya remang, senyumnya itu seperti amukan laut yang membinal. Dan aku tenggelam. tak bisa melawan amukan yang dahsyat itu.
"Marah?" tanyanya simple.
Kuseka wajahku yang berpeluh dengan sapu tangan. Tetapi segera aku memasukkannya lagi. Saputangan itu telah basah karena seringnya kupergunakan, hanya dalam dua jam terakhir ini.
"Siapa perempuan itu?". aku balas bertanya setengah bersungut.
"Yang mana?" "Yang menemanimu semenjak cocktail tadi terakhir...."
"Ah. hanya teman biasa?". ia angkat bahu
"Ia cantik ya?"
"Begitu penilaianmu?", ia tertawa kecil.
Aku jadi dongkol. "Kau naksir dia ya?"
"Lha. Kau kok semakin banyak menilai".."
"Lalu. kenapa aku kau lepaskan pada pria pria lain?"
"Lantas aku mengikatmu dan mengatakan kepada setiap yang berminat padamu: sorry.
Noni tidak boleh diganggu?"
Aku terdiam. Tapi kedongkolanku tetap membuhul. _
"dan ingat, sayang. Kau bisa cari kesempatan malam ini!"
Mendengar perkataannya, mukaku menjadi merah. Ingin aku memakinya. tetapi Tono sudah tersenyum lagi.
"Hallo". Kami sama-sama menoleh. Dan kini, mukaku menjadi lebih merah. Pasti. Pasti lebih merah. Dan darahku menggemuruh. jantungku menggemuruh. Dadaku menggemuruh. Kepalaku menggemuruh. Sakitnya.
"Kau tentu Noni bukan?", tanya pendatang itu yang lantas duduk seenaknya pada tangan kursi yang diduduki Tono.
Aku tak menjawab. Tak juga mengangguk.
Tono buru-buru menarik tanganku. mengulurkannya pada perempuan itu.
"He. berkenalanlah kalian!"
"Mini!". perempuan itu menyebut namanya, diiringi senyumnya. Manis sekali, amboi. Pastilah lebih manis dariku. Wajahnya sederhana, tapi agung. Pastilah lebih agung dariku. Hidungnya mancung, dan bibirnya mungil. Pipinya lembut. Pastilah lebih lembut dariku. Dalam kegelapan. matanya bersinar. Pastilah lebih bersinar dari mataku. Sakitnya hatiku!
"Noni....", Tono memecahkan cekikan yang mengganjal leherku untuk bersuara. Bersamaan dengan itu, ujung sepatunya menekan sedikit ujung sepatuku. "Kau tentu bisa menyukai Mini, bukan?"


Ranjang Ranjang Bergoyang Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha?", aku terperanjat, tetapi sepatu Tono telah menyepak ujung sepatuku lagi. Aku terduduk lemas di kursiku.
"Entah....." "Never mind, dear".". perempuan itu mengelus pundak Tono.
Merinding bulu kudukku. "Mungkin Noni masih malu", sambungnya lagi. Lantas ia berdiri, memandang dengan segenap perasaan pada Tono yang hanya tersenyum padaku.
Mata Tono mengerdip, oh, rasanya membelah mukaku dengan pisau besar tapi tumpul. Sakitnya.
".... aku tak bisa meninggalkan adikku sendirian, Mini!"
Adikku. Amboi! Ujung sepatunya menyepak sepatuku lagi.
Aku berdiri, mau lari. Tetapi tangan Tono telah terulur menyambar pinggangku, lantas mendudukkan aku kembali di kursi.
Perempuan bernama Mini itu melihatku sebentar. tersenyum dan kemudian setelah
mengatakan maaf, lalu pergi.
"Aku tahu!", katanya sambil menjauh.
Dan apa yang diketahuinya itu tak lama kemudian ia perlihatkan.
Aku baru saja bertengkar berbisik dengan Tono mengenai keterlaluannya mau dirayu wanita di hadapanku. Wanita yang menemaninya dansa, minum dan bisik-bisik di keremangan lobby sementara aku dibiarkannya gelisah dalam dekapan dan ayunan kaki lelaki lain.
"Ini hanya siasat! Tak boleh seorangpun tahu kita bersuami isteri!", Tono menggerutu di telingaku.
Ia mulai marah. Dan setiap kali Tono marah, setiap kali aku harus mengalah.
Mini telah ada di depan kami.
"Perkenalkan!" katanya.
Aku tak bersemangat melihat orang yang datang bersamanya. Orang yang dia maksudkan dengan "aku tahu"nya. Tetapi Tono telah berdiri, menjabat tangan orang itu. dan kemudian setengah tersenyum setengah memaksa melalui matanya, ia tujukan padaku.
"Nah, kini ada yang menemanimu dansa!".
Ia berdiri. tapi membungkuk lagi.
Diciumnya kedua pipiku. Sayang sekali. tetapi perasaan sayang itu
segera lenyap terasa ketika sambil mencium pipiku, ia berbisik halus:
"Makanan empuk, kelihatannya.....!"
Ketika kemudian Tono pergi digandeng Mini, aku hampir saja menangis.
Tetapi aku segera sadar di mana aku berada. Bahkan aku tidak punya kesempatan untuk menangis, andaipun aku tidak sadar situasi saat itu. Karena orang yang datang bersama Mini, telah menarik kursi yang diduduki tadinya oleh Tono, lebih dekat ke kursiku.
Aku tunduk, tak suka melihat dia.
"janganlah malu-malu", terdengar suaranya. Ramah. "Saya hanya ingin menemanimu sementara Tono pergi bersama Mini!"
Aku tiba-tiba tertarik. "Oom kenal Tono?", tanyaku seraya memandang wajahnya.
Ia adalah lelaki kira-kira umur lima puluhan. dengan rambut tipis. dahi lebar serta wajah yang tidak begitu jelek.
"Ah?", ia angkat bahu. Tersenyum. "Hanya melalui beberapa kalimat dari Mini".
"Oh!" Kami terdiam beberapa saat.
Lalu: "Oom kenal Mini?"
"Mini?", ia memonyongkan mulutnya. "Teenager yang pasti menyenangkan buat
ditemani .Ia anak sahabatku. Anak tunggal, kau tau. Banyak peminat.... ah, aku berbicara apa ini?", ia tiba-tiba gelisah melihat aku menjadi murung.
Sepi lagi. Yang terdengar bisik-bisik di sekitar kami, lalu musik yang ramai dari "The Preanger's" mengiringi tamu-tamu yang sedang relax di lantai dansa.
"Kita turun?" Aku tak bisa lain berbuat. kecuali mengangguk.
Lelaki itu kemudian berdiri lebih dulu. Tubuhnya tinggi, dan baru kuperhatikan kancing kemejanya kuning keemasan. Bentuknya bagus. Perutnya tidak terlalu besar, meski secara samar-samar aku menduga ia tentunya salah seorang pedagang besar dan cukup bonafid. Karena yang hadir malam ini adalah kepala-kepala cabang dari PT. "Danu". sebuah perusahaan import export yang berpusat di jakarta.
Makanan empuk, menurut Tono. Oh!.
Di antara pasangan-pasangan lainnya, Lelaki itu merangkulku satu tangannya ke pinggangku, dan satunya lagi menggenggam jarijari tangan kiriku. Dengan enggan aku meletakkan sebelah tanganku di pundaknya.
"Kau tidak capek?"
Aku tengadah. "Dari tadi aku memperhatikan engkau. Seperti Mini juga. Banyak peminat!", ia tersenyum, menerangkan.
Aku balas tersenyum. Sebagai perempuan, aku senang dengan ucapannya.
Dan aku mencoba menikmatinya, sambil dance mengikuti gerakan lelaki itu. "The Preanger's" menyemarakan genggaman tangan lelaki itu di tanganku melalui musik bluesnya.
"Siapa namu-nu?"
"Noni". "Manis. Itu saja?"
"Itu saja". "Noni.....". Aku tengadah. "Nah. gitu dong. Lihat aku kalau ngomong. Biar aku bisa menikmati kemanisanmu!"
Tertegun aku oleh ucapannya.
"He....". ia menggeserku. "Nanti kita ditabrak orang".
Aku tersadar, lalu mengikuti langkah langkahnya kembali.
"Kau marah oleh ucapanku?"
Aku menggelengkan kepala.
"Aku tulus lho!"
"Terima kasih...."
"Ah. engga usahlah formil begitu...", tangannya di pinggangku menekanku lebih rapat di tubuhnya. Dan musik-musik blues dari "The Preanger's" semakin semarak.
"Kau tidak keberatan aku menemanimu sampai acara bebas ini berakhir?"
"Saya senang sekali!", jawabku.
Tetapi perasaan senang itu hanya di mulutku. Di hati. mana aku bisa" Coba. itu lihat. Pasangan yang menuju pintu ke luar. Mini dan Tono!.
Tangan Geledek 15 Pesawat Ark Two Tom Swift 07 Hijaunya Lembah Hijaunya 14

Cari Blog Ini