Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu Bagian 4
diri, dan maunya sama abang kita satu-satunya!"
"Anjrit!" Randy memukuli kepala Donny sambil mainmain. "Abang satu-satunya?! Jadi gue bukan abang lo?!
241 Isi-Omen6.indd 241 Bapak kita sama, emak kita sama, usia gue lebih tua, itu
semua nggak ada artinya buat elo?!"
"Gila, gue salah ngomong dikit aja sampe disemprot
gitu," Donny bersungut-sungut. "Jaga imej dong, Ran!
Kalo nggak, seumur hidup kita nggak akan dapet cewek,
apalagi yang cantik dan lemah lembut kayak Val!"
"Ya udah, biar Val sama si Les, kita kan masih punya
Nana!" celetuk David dari belakang.
Mendadak keheningan yang canggung merebak. Satusatunya yang terdengar hanyalah kekehan David yang
dihentikan secara paksa oleh sikutan tangan entah
siapa. Tidak heran. Semua orang selalu menganggap hubung?
anku dan Les berjalan mulus dan lancar. Yah, ku?akui,
aku dan Les sama-sama punya sifat tenang, sa?ling
mengalah, dan tidak suka memperkarakan masalah kecil.
Itu sebabnya kami jarang bertengkar. Tetapi, bukannya
kami tidak punya masalah sama sekali. Sebenarnya kami
punya masalah seberat lima puluh tiga kilogram bernama
Nana. Cewek itu tetangga Les, teman masa kecilnya,
yang menganggap Les adalah milik?nya. Aku tidak bisa
menyalahkannya. Di film-film atau komik-komik ro?
mantis, biasanya orang-orang sering jadi?an dengan
teman masa kecil. Gara-gara itu, aku pu?nya perasaan tak
enak bahwa sebenarnya dalam kisah ini, akulah tokoh
antagonisnya. Aku si cewek jahat yang menghalangi
cinta dua teman masa kecil, di mana si cowok masih
belum sadar bahwa cewek yang dia cintai adalah teman
masa kecilnya. Orang bijak berkata, "If you love someone, set him free.
If he?s back, he?s yours. If he isn?t, he never was."
242 Isi-Omen6.indd 242 Sayangnya, aku tidak sebijak itu. Aku belum bisa melepas?
kan orang yang kusayangi dan mengambil risiko harus
melihatnya berbahagia dengan cewek lain Mungkin suatu
saat aku akan sanggup melakukannya. Tapi bukan se?
karang. Saat ini aku masih terlalu egois dan kekanakkanakan. Saat ini aku belum sanggup menjadi orang
dengan jiwa se?besar itu.
Mungkin seumur hidup aku takkan pernah jadi orang
berjiwa besar. "Ayo, Val." Suara Les yang rendah namun jernih me?
mecahkan keheningan. "Kita cari tempat yang enak
untuk makan, yang aman dari gangguan anak-anak kepo
yang hobi menyinggung topik-topik sensi."
Kejujuran ucapan Les membuatku tersenyum. Setidak?
nya dia tidak membantah bahwa itu topik sensitif di
antara kami. Jadi seperti biasa, aku pun mengenyahkan
topik itu tanpa banyak cincong. "Oke, kita mau makan
di mana?" Les menyeringai. "Tentu saja, kantor baruku."
"Kantor baru?" tanyaku heran.
Sebelum Les menjelaskan, dari belakang sudah ter?
dengar banyak teriakan lagi.
"Dia udah naik pangkat, Val! Sekarang jadi general
manager!" "Cepet minta beliin berlian!"
"Jalan-jalan ke luar negeri! Ke Bali, ke Bali!"
"Bali itu masih di Indonesia, bego!"
"Tapi kok banyak bulenya?"
Les menarikku masuk ke dalam bengkel sambil meng?
acungkan tinjunya pada teman-temannya, lalu berpaling
padaku dengan tampang meminta maaf. "Sori, mereka
243 Isi-Omen6.indd 243 ribut banget. Mana ketauan lagi begonya. Maklumlah,
ke?banyakan dari mereka udah putus sekolah dari kapanka?pan, bukan karena nggak punya duit, tapi karena nilai?
nya nggak ketolong lagi. Omong-omong, bukan general
manager kok. Nggak sekeren itu. Cuma supervisor."
"Bukannya itu pangkat paling tinggi di bengkel ini?"
tanya?ku geli. Les mengacak-acak rambutnya dengan salah tingkah.
"Iya sih..." "Kalo gitu, ini berita hebat dong!" Aku meng?ulur?kan
tangan. "Congrats ya, Les. Semoga bengkel ini makin
sukses." "Thanks," senyum Les sambil menyambut tanganku.
"Maunya sih bukan cuma jabatan tangan, tapi minimal
dipeluk gitu, cuma aku tau diri deh, aku jorok banget
soalnya..." Kata-kata cowok itu lenyap saat aku memeluk ping?
gangnya erat-erat. Selama beberapa saat, aku cukup yakin
dia menahan napas. "Val," akhirnya dia berkata, "nanti seragam kamu jadi
kotor gimana?" "Nggak apa-apa," ucapku sambil menyandarkan wajah?
ku di dadanya yang kokoh dan bernoda oli. "It?s totally
worth it. Kalo baju kotor, tinggal dicuci aja kok. Tapi
momen ini, kalo lewat ya lewat aja, nggak akan kembali
lagi." Cowok itu terdiam lama. "Kata-kata yang bijak, tapi
kok sedih ya." "Kok sedih sih?" Aku mendongak padanya dan ter?
senyum. "Aku kan cuma ngomongin kenyataan. Se?kali
lagi, congrats ya. I?m so proud of you."
244 Isi-Omen6.indd 244 "Thanks," ucap Les seraya menunduk untuk me?
mandangiku dan nyengir. "Siap masuk untuk pertama
kali?nya ke kantor supervisor yang kesannya keren tapi
se?benarnya mirip sel penjara?"
"Mau dong," ucapku seraya melepaskan pelukan kami.
"Di mana?" "Di sini." Les membuka sebuah pintu kayu di pojok
be?lakang bengkel. "Tadaaa!"
Ruangan itu tidak besar dengan perabot se?cukup?nya,
se?buah meja besar dan banyak lemari arsip serta be?
berapa kursi lipat. Meski begitu, kantor itu juga cukup
bersih?kontras dengan kondisi di luar?dan diper?
lengkapi dengan pendingin ruangan, komputer dengan
layar LCD berukuran standar, serta kulkas penuh minum?
an dingin. Aku menatap kantor itu dengan bangga.
"Waduh, memandang bedanya dengan tempat nong?
krong montir-montir lain, sepertinya kenaikan gajinya
lumayan nih!" ucapku. "Bisa beli berlian beneran?"
"Bisa dong," ucap Les. "Meski mungkin ukurannya
keciiil banget. Mau?"
Aku kaget saat melihat wajah Les yang serius. "Ah,
nggak! Daripada beli berlian, mendingan kamu mulai
nabung buat beli rumah. Nggak usah gede-gede, yang kecil
dulu aja, yang penting ada. Dari semua harta benda, yang
paling penting itu punya rumah. Di saat lagi kere pun,
setidaknya bisa nongkrong di rumah aja."
"Bener juga." Les manggut-manggut. "Selama ini
rumahku masih rumah kontrakan, gara-gara duitku selalu
abis buat motor. Oke deh, nanti aku tanya-tanya, siapa
tau rumah yang sekarang aku tinggalin itu mau dijual.
Thanks ya, Val. Saranmu keren banget!"
245 Isi-Omen6.indd 245 Aku senang sekali karena dipuji begitu, tapi sejujurnya,
saranku tidak terlalu hebat, kan? "Yah, saranku yang
terbaik cuma terbatas begini saja kok. Kalo Aya yang di?
mintai saran, bisa-bisa kamu langsung tajir mendadak."
Les terkekeh. "Yah, aku nggak buru-buru. Cewek yang
ku?tunggu masih SMA."
Gila, cowok ini selalu bisa membuatku tersipu-sipu.
Su?paya aku tidak salah tingkah, aku buru-buru meng?
alihkan topik. "Omong-omong soal sekolah, ada sesuatu
yang terjadi di sekolah tadi."
"Sesuatu yang nggak menyenangkan?" tanya Les seraya
mengamati wajahku. "Ya," anggukku muram. "Ceritanya agak menjijikkan.
Kamu keberatan nggak aku cerita sembari kita makan?"
"Nggak apa-apa," senyum Les. "Perutku kuat kok."
Sementara kami makan, aku pun menceritakan semua
ke?jadian tadi secara terperinci, sementara Les men?dengar?
kan tanpa menyela sedikit pun. Cowok ini memang
sabar banget. Saat aku menyelesaikan ceritaku, cowok itu
tampak seperti merenungi kotak styrofoam bakmi yang
sudah kosong. "Kasus kali ini sepertinya setingkat lebih sadis dari
biasanya," ucapnya perlahan. "Nggak mematikan, tetapi
sa?ngat menyiksa. Dan orang yang sanggup menjamin
manu?sia yang masih hidup, bukan dengan tujuan me?
nyembuhkan tetapi untuk menyakiti, pastilah sangat
keji. Celakanya, dengan semua saksi yang ada, pelaku
yang dituduh adalah Rima dan Putri."
Aku mengangguk muram. "Cepat atau lambat, kurasa
aku dan Aya akan segera dapat giliran. Tapi itu cuma
masalah kecil dibandingkan korban-korban yang akan
246 Isi-Omen6.indd 246 berjatuhan. Setidaknya akan ada dua korban lagi, kalo
calon tertuduhnya aku dan Aya. Nggak terbayang rasa?
nya, gimana kalo kami telat menemukan korban-korban
itu. Bagaimana kalo pengaruh obat biusnya habis se?
belum mereka ditemukan? Seperti Tini tadi." Aku ber?
gidik. "Untung saja Erika bertindak cepat dengan nonjok
dia sampai pingsan lagi. Gimana kalo ide itu nggak
terpikir oleh Erika? Pasti akan ada pertunjukan horor!"
"Anak itu memang otaknya cepet ya," seringai Les, lalu
menatapku prihatin. "Kalian masih belum ngobrol?"
Aku menggeleng. "Eliza nempel padanya seperti lintah.
Ditambah lagi Erika sempet bersaksi melawan Putri tadi,
kurasa hubungan kami makin rusak saja. Vik nggak
ngomong apa-apa soal Erika?"
"Nggak." Kali ini Les yang menggeleng. "Tapi kami
jarang menggosipi pacar-pacar kami kok. Kalo masalah
seperti ini, nah lain lagi ceritanya. Kecuali kamu nggak
ingin aku cerita padanya."
Aku menimbang-nimbang sejenak. "Kalo Erika cerita
juga, ya nggak apa-apa kalian membahasnya. Tapi kalo
Erika nggak cerita, lebih baik kamu jangan singgung
masalah ini depan Vik. Soalnya, kalo sampai Erika nggak
cerita, aku yakin dia punya alasan yang baik."
"Oke," angguk Les. "Nah, masalah korban terbangun
tadi. Menurutku itu kemungkinannya kecil sekali, Val.
Soalnya begini, si pelaku pasti ingin korban segera di?
temu?kan dalam kondisi seperti yang dia atur. Itu sebab?
nya ada raket badminton dan bola sepak yang dilibatkan.
Benda-benda itu hanya pengalih perhatian, tapi berguna
kan untuk publik? Nah, pastinya dia akan menggunakan
obat bius yang cukup banyak. Kejadian pertama itu
247 Isi-Omen6.indd 247 mungkin kecelakaan, karena pelakunya baru pertama kali
melakukannya. Untuk selanjutnya, dia pasti akan me?
masti?kan orang-orang datang lebih cepat lagi. Belum
lagi, dia perlu menciptakan alasan untuk menuduh
kalian. Karena itu dia menempatkan korban di tempat
publik yang pastinya akan ada orang yang datang. Di
kejadian kedua, dia malah menempatkannya di lapangan
futsal. Menurutku itu tindakan yang sangat berani.
Bagaimana kalo ada yang mengenali dia yang sebenar?
nya?" "Si pelaku pandai menyamar," ucapku menegaskan
sesuatu yang sudah jelas. "Itu sebabnya dia pede banget
meski berada di tengah-tengah orang banyak. Selain itu,
posturnya harus mirip dengan kami pula. Putri memang
lebih pendek dari kami, tapi dari jauh nggak akan terlalu
kelihatan. Pastinya potongan rambut dan penampilan
yang lebih signifikan. Masalahnya, sekarang Inspektur
Lukas berang banget dan melarang kami tinggal di
sekolah. Aku takut besok semua jejak sudah lenyap."
"Memangnya kenapa dia bisa berang banget?" tanya
Les heran. "Katanya dia dikunci orang di toilet."
Kami berdua bertatapan, lalu tawa kami sama-sama
menyembur. "Udah sepantasnya dia berang banget!" ucap Les se?
telah tawanya mereda. "Udah ganteng, baru naik pang?
kat pula, eh telat datang ke TKP karena terkurung di
toilet! Kayaknya imejnya jadi turun sejuta level! Tapi,"
cowok itu menambahkan dengan lebih serius, "pasti
yang ngurung dia si pelaku ya!"
"Atau partner kejahatannya," aku mengangguk setuju.
248 Isi-Omen6.indd 248 "Andaikan dia ngasih kami kesempatan keluyuran di se?
kolah sejenak, mungkin kami bisa mendapatkan sesuatu.
Sayang dia keburu marah. Padahal..."
"Padahal?" Aku menatap Les, ingin sekali bercerita tentang rekam?
an suara masa kecilku yang kini terdengar mengerikan,
tapi akhirnya aku mengurungkan niatku. Ber?cerita
tentang rekaman itu berarti aku harus mencerita?kan kirakira siapa yang mengirimkanku rekaman itu, dan aku
belum ingin membicarakan ibuku saat ini. Aku belum
ingin mengakui betapa jahatnya ibuku. Bagaimana kalau
Les jadi takut padaku? Bagaimana kalau dia takut suatu
saat aku akan mewarisi penyakit ibuku? Wajah kami
begitu mirip. Bagaimana kalau sifat dan kepribadian
kami mirip juga? "Kenapa, Val? Kok jadi diem?"
"Ah, nggak," gelengku. "Mendadak aku jadi inget, aku
harus kembali buru-buru."
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begitu?" Sepertinya Les tidak begitu memercayai ucap?
an?ku, tapi dia tidak menanyaiku lebih lanjut. "Oke kalo
gitu. Aku antar ya?"
"Ah, jangan. Kamu kan udah jadi supervisor, udah
nggak bisa bolos kerja lagi seenaknya." Aku tersenyum
padanya. "Tenang saja, aku kan cewek tangguh. Masa
pulang sendiri saja nggak bisa?"
Les tampak ragu-ragu untuk beberapa saat. "Oke, tapi
begitu sampe di rumah, kamu harus kabarin aku ya!"
Aku mengangguk. "Oke."
Les mengantarku keluar bengkel. Di sepanjang jalan,
teman-teman montir Les yang sudah kembali bekerja
melambai-lambai padaku, menimbulkan perasaan hangat
249 Isi-Omen6.indd 249 dalam hatiku. Tidak heran Les senang bekerja di sini.
Soal?nya, semua orang adalah teman?bahkan mungkin,
bagi Les, semua orang adalah keluarga. Kurasa, dibanding?
kan dengan tempat tinggalnya saat ini, bengkel ini lebih
terasa seperti rumah untuk Les.
Saat aku naik ke atas motorku, Les memasangkan
helm?ku. "Jaga baik-baik pacarku ya!" ucapnya.
Aku membalas senyumnya. "Sama-sama. Jagain pacar?
ku juga. Kalo ada apa-apa sama dia, biarpun cuma ke?
jepit pintu, aku bisa nangis banget."
"Waduh. Berhubung aku cowok yang pantang bikin
cewek nangis, aku pasti bakalan jagain pacarmu dengan
segenap jiwa dan raga." Les meremas tanganku. "Sampai
ketemu besok?" Aku mengangguk. "Sampai ketemu besok."
Aku pun menjalankan motorku. Tanpa menoleh pun
aku tahu Les masih memandangi punggungku hingga
akhir?nya motorku membelok dan lenyap dari pandangan?
nya. Senang sekali rasanya punya cowok yang penuh
perhatian. Apa pun yang terjadi di sekolah, aku tahu aku
selalu bisa mengandalkannya untuk membuatku merasa
lebih baik... Hmm. Ada dua pengendara motor di belakang yang
tampak?nya mengemudi secara ugal-ugalan. Keduanya
mengebut sementara bunyi knalpot mereka mendengung
keras. Aku berjanji tak bakalan seperti itu.
Waduh, ternyata mereka tidak hanya berdua. Ada tiga
lagi yang muncul dari belokan yang baru saja kulalui.
Oke, ini tidak beres. Bukannya aku kege-eran, tapi seperti?
nya mereka mengincarku. 250 Isi-Omen6.indd 250 Oh, sial. Pasti mereka mengincarku. Aku bisa melihat
tempelan stiker Rapid Fire pada dua motor terdekat.
Rapid Fire adalah geng motor yang tidak saja memiliki
repu?tasi buruk, tetapi sudah menjurus ke arah kriminal.
Di masa lalu kami pernah bersinggungan dengan me?
reka?aku, Les, Vik, dan Erika. Tentu saja, semuanya
berakhir dengan acara berantem gila-gilaan?mungkin
acara berantem paling seru dalam hidupku. Maklum, saat
itu kami dikeroyok puluhan anak Rapid Fire. Untung
saja, karena kebanyakan dari mereka punya gaya hidup
yang buruk?merokok, minum alkohol, bahkan me?
ngonsumsi narkoba, serta tidak pernah olahraga?kami
berhasil melawan mereka semua. Meski masih dengan
susah payah sih. Kami kan bukan Bruce Willis yang
tidak bisa mati di film Die Hard.
Setidaknya, aku punya keunggulan. Motor mereka tam?
pak seperti benda peninggalan masa lalu dibandingkan
motor BMW-ku yang, omong-omong, membuatku harus
berutang pada ayahku dan harus kubayar selama tiga
tahun dengan memotong uang saku plus menerima
beberapa pekerjaan darinya. Kini aku bersyukur karena
jatuh cinta pada motor ini, karena dalam sekejap aku
ber?hasil meninggalkan lima motor itu jauh di belakang?
ku. Aku hanya tidak menyangka ada yang mencegatku di
depan. Motor-motor yang membentuk pagar itu sama sekali
tidak minggir saat aku menerjang mereka. Mereka semua
jelas-jelas sudah gila. Berbeda dengan mereka, aku masih
waras dan tidak mau menabrak mereka dan menjadi
tajuk berita dengan julukan "motor BMW maut". Aku
251 Isi-Omen6.indd 251 m?e?ngerem sebisanya, namun tetap saja sepertinya aku
bakalan menabrak mereka. Jadilah aku membelokkan
motor?keputusan yang salah, tentu saja. Di kemudian
hari, aku sering menyesali tindakanku yang goblok ini,
namun saat ini aku memang belum berpengalaman sama
sekali. Tanpa bisa dicegah, aku menabrak pembatas jalan,
lalu terpelanting ke ruas jalan sebelah?dengan motor?ku
menimpa kakiku. Untung saja lalu-lintas sedang sepi.
Kalau tidak, sudah pasti aku berakhir seperti salah satu
korban dalam film Final Destination.
Saat ini pun rasanya aku sudah seperti habis di?tabrak
truk. Seluruh tubuhku terasa sakit, terutama sendi-sendi
siku dan seluruh bagian kaki yang ditindih motor. Helm
berhasil melindungi kepalaku dari bahaya yang lebih
besar, namun tak urung benda itu membentur wajah?ku
sehingga bagian dalam pipiku tergigit diriku sendiri. Aku
harus membuka helm untuk meludahkan darah yang
sempat menggenang di dalam mulut, lalu menatap tanpa
daya saat semua preman yang mengena?kan helm
mengelilingiku. Salah satunya yang bertubuh sebesar kingkong mem?
buka helm. Ah, aku ingat mukanya. Dia kan si gorila
yang menjadi ketua geng Rapid Fire.
"Sepertinya lo belum lupa sama gue," seringai cowok
itu. Aku menggigit bibir, berusaha menahan tawa karena
si gorila kini memelihara kumis. Tampangnya jadi kocak
alih-alih seram. "Gue juga belum lupa sama elo. Elo
pacar? Leslie Gunawan, kan?"
"Lo mau apa?" tanyaku berusaha menepis tawa dan
rasa takut. Yep, meski lawanku punya tampang lucu,
tidak berarti aku tidak sadar dengan gentingnya situasi
252 Isi-Omen6.indd 252 yang kuhadapi. Kalau orang-orang ini berniat me?
ngerubutiku, aku tidak bakalan bisa selamat.
Aku menjerit kesakitan saat si gorila menginjak motor?
ku, yang rasanya seperti meremukkan tulang-tulang kaki?
ku. "Saat ini, hanya peringatan." Oke, aku tahu aku pe?
ngecut banget, tapi saat ini aku merasa lega luar biasa.
Ha?nya peringatan, itu saja. Berarti aku tidak akan di?
celakai lebih dari ini. Habis, rasanya konyol banget kalau
aku harus menyerah tanpa perlawanan begini. "Tapi lo
harus tau, sekarang ini lo adalah pengganggu nomor
satu bagi bos kami. Minggir deh lo, biar si Bos lakukan
apa yang dia inginkan."
Bos? "Memangnya apa yang dia inginkan?" Meski kesakitan
setengah mati, aku masih berusaha memancing.
"Tentu saja," senyum si gorila, "lenyapin semua temen
kepo lo." Aku mengertakkan gigi. "Kalo gue nolak?"
"Kalo gitu, lo akan merasakan kesakitan yang jauh
lebih parah lagi daripada sekarang ini."
Aku menjerit sekali lagi saat si gorila menginjak-injak
motorku. "Dasar anak bau kencur! Baru belajar motor aja udah
sok-sokan pake motor keren! Itu sebabnya gue benci
orang kaya!" Si gorila meludah, tapi untunglah cairan menjijikkan
itu tidak mengenaiku. Kelegaanku bertambah besar saat
gerombolan itu akhirnya meninggalkanku.
Setelah mereka pergi, mendadak beberapa orang me?
ngelilingiku. Tukang becak, penjaga warung, juga penjual
253 Isi-Omen6.indd 253 jamu. Tukang becak dan penjaga warung buru-buru
meng?angkat motorku hingga berdiri. Aku lega sekali saat
melihat luka-luka yang kuderita tidak separah yang ku?
duga. Hanya lecet-lecet biasa yang tampak tidak ber?
bahaya. "Neng, Eneng nggak apa-apa?"
"Ya Allah, saya pikir Eneng bakalan diculik atau diper?
kosa!" "Perlu dibawa ke rumah sakit, Neng?"
Aku bersyukur, sungguh-sungguh bersyukur, meski
dunia ini penuh orang-orang jahat, masih saja ada
orang-orang baik yang menawarkan bantuan di saat aku
sedang tidak berdaya. Tapi aku juga tahu, aku tidak
berhak menerima kebaikan dan waktu mereka. Jadi aku
hanya berkata, "Makasih ya. Saya nggak apa-apa kok.
Tapi bisa bantu saya pinggirkan motor saya ini?"
Celakanya, aku bukannya tidak apa-apa. Aku nyaris
tidak bisa bergerak. Untung saja si ibu penjual jamu
cukup kuat untuk membawaku duduk di tepi jalan.
"Neng, kayaknya Eneng nggak akan sanggup pulang
sendiri," ucap si tukang becak khawatir.
"Iya, tapi saya bisa panggil temen saya kok," ucapku
seraya tersenyum. "Kalo Eneng nggak mau ke rumah sakit, kita obati saja
dulu lukanya, Neng," kata si penjaga warung. "Bapak
pu?nya Betadine, Neng."
"Makasih, Pak. Boleh deh saya minta satu botol. Be?
rapa harganya?" "Ah, gratis aja, Neng..."
"Jangan, Pak, saya udah sangat berterima kasih BapakBapak dan Ibu mau nolongin saya," ucapku. Si bapak
254 Isi-Omen6.indd 254 pemilik warung tampak sungkan saat menerima uangku.
"Makasih ya, semuanya. Kalian semua baik sekali."
"Aduh, apa baiknya, Neng?" Si ibu penjual jamu tam?pak
nyaris menangis. "Kami tadi menonton semua itu tapi
nggak berani mendekat. Takut ikut dipukuli, Neng."
"Iya, nggak apa-apa kok. Saya juga takut tadi." Aku
ter?senyum lagi. "Maaf ya, saya menelepon dulu."
"Oh iya, silakan, Neng, silakan."
Aku mengeluarkan ponselku yang, puji Tuhan, ter?
nyata tidak retak sama sekali apalagi rusak. Rasanya ter?
goda sekali untuk menekan nomor telepon Les dan me?
mintanya datang ke sini. Bayangan tentang Les yang
men?derap ke sini dalam waktu singkat dan mengurusku
membuatku nyaris merasa lebih baik. Akan tetapi, tentu
saja aku tidak boleh melakukan hal itu. Seandainya dia
tahu apa yang terjadi, dia pasti bakalan melabrak markas
Rapid Fire yang lebih mirip sarang penyamun. Dan aku
tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin Les membahaya?
kan dirinya untukku. Jadi, aku pun menekan nomor telepon Putri.
"Jemput gue dong. Gue ada di depan warung di Jalan
Ternate. Iya, yang beberapa blok dari Montir Gila. Thanks
ya. Oh iya, jangan bilang-bilang Les."
Aku menutup telepon, lalu memandang ke arah langit.
Tanpa perlu dijelaskan lagi, aku tahu siapa bos yang di?
maksud si gorila. Ibuku. Tidak salah lagi. Beberapa saat lalu ibuku sempat meng?
gunakan salah satu anggota Rapid Fire?namanya
Andra?untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Dulu
aku sempat bertanya-tanya untuk apa ibuku mengguna?
255 Isi-Omen6.indd 255 kan Andra yang pecundang banget dan nyaris tak ber?
guna. Rupanya, dari Andra beliau bisa mengenal Rapid
Fire dan kini mempergunakan mereka.
Untuk menyakitiku. Ada hunjaman rasa sakit di hatiku. Rasa sakit yang
jauh melebihi semua luka yang kuderita saat ini. Tegatega?nya ibu kandungku sendiri menyuruh orang me?
nyakitiku, hanya untuk memberikan peringatan yang
sebenarnya bisa dilakukan dengan kata-kata. Toh tidak
akan ada bedanya. Aku tidak akan melakukan apa pun
yang diinginkannya. Hanya untuk saat ini, di saat semua orang tidak ada,
di depan warung asing yang tidak pernah kusinggahi se?
belumnya, aku melakukan hal yang ingin sekali kulaku?
kan dari berbulan-bulan lalu.
Aku menangis sejadi-jadinya.
256 Isi-Omen6.indd 256 Aria Topan Aku cukup yakin aku bakalan menjadi korban berikut?
nya. Bukan jadi korban yang terbaring dengan jahitan di
mana-mana, tentu saja. Amit-amit deh. Aku pasti akan
melawan sampai gila kalau sampai aku disentuh oleh
orang-orang tak jelas yang membawa obat bius.
Barangkali aku sendiri kudu bawa-bawa kloroform juga.
Siapa pun yang berani menyergapku mendadak, akan
kubikin pingsan dalam sewaktu setengah detik.
Eh, jangan ding. Kalau ketahuan polisi, aku pasti
langsung dibekuk sebagai pelaku.
Nah, dari tadi yang kumaksud adalah, aku cukup
yakin kalau ada korban berikutnya, sudah pasti aku jadi
tertuduh berikutnya pula. Setelah Rima dan Putri, siapa
lagi calon pelaku potensial? Jawabannya jelas: aku, Aria
Topan yang malang dan tidak berdosa, yang tidak per?
nah memikirkan hal lain selain mencari duit sebanyakbanyaknya. Aku ini pengusaha, bukan pembunuh!
Haishh. Percuma aku berteriak-teriak di dalam hati.
Tidak bakalan ada yang mendengar. Lebih baik aku
257
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Isi-Omen6.indd 257 melakukan sesuatu untuk mencari jejak apa pun yang
ditinggalkan oleh si pelaku di sekolah ini. Orang-orang
sudah disuruh pulang, termasuk teman-temanku. Tapi
aku, Aria Topan, memiliki kelebihan unik yang tidak di?
miliki oleh teman-temanku yang lain.
Aku punya seragam petugas kebersihan.
Yep. Bukan cuma Valeria Guntur yang suka menyamar.
Aku juga suka, hanya saja tidak sering. Tapi terkadang
aku harus melakukan hal-hal yang tidak lazim sebagai si
Makelar. Misalnya menyerahkan barang tertentu yang
di?inginkan oleh klien tertentu, yang berarti aku harus
men-drop barang tanpa dicurigai si klien. Samaransamaran?ku berkisar antara petugas kebersihan sekolah,
pemulung jalanan, penjaja koran, bahkan pernah sekali
aku menyamar menjadi pembunuh psikopat (tidak ter?
lalu sulit kok, yang terakhir ini. Aku hanya perlu me?
ngenakan topiku, mengenakan jaketku yang biasa,
mengenakan masker murahan, dan bawa-bawa sabit di
tengah malam buta. Aku sudah berencana, kalau sampai
digerebek polisi, akan kukatakan aku anak tukang taman
kota yang sedang membantu pekerjaan orangtua di
tengah malam). Aku sadar, aku juga tidak boleh bertindak sembarang?an.
Salah-salah aku malah terjerumus ke dalam jebakan si
pelaku sehingga malah membuatku jadi tersangka. Jadi,
aku membawa dua tuyul yang belakangan ini sudah
merepotkanku. Kebetulan aku punya dua se?ragam ekstra,
meski sepertinya agak kekecilan untuk mereka.
Oke, "agak kekecilan" mungkin istilah yang terlalu ha?
lus. Sebenarnya, kedua cowok itu tampak seperti Hulk
dengan pakaian kekecilan yang siap robek setiap saat.
258 Isi-Omen6.indd 258 "Ay, celananya jadi kayak celana tiga perempat gitu,"
keluh Gil. "Nggak apa-apa," hiburku. "Kan lo jadi kayak rapper
sungguhan." "Beneran?" Wajah Gil tampak bersinar-sinar. "Kayak
Eminem?" "Lebih tepatnya kayak Eminem waktu masih melarat,"
kata OJ sambil mematut-matut diri di depan kaca jen?
dela. "Ini bener-bener baju paling jelek yang pernah gue
pake, padahal gue pernah pake baju yang berlumuran
lumpur waktu membantu petani menanam padi."
"Memangnya Klub Pecinta Alam membantu petani me?
nanam padi?" tanya Gil heran.
"Bukan Klub Pecinta Alam," sahut OJ dengan muka
ber?sahaja, "tapi Klub Meditasi. Menanam padi adalah
me?ngerti tentang ritme alam yang damai."
Gil menoleh padaku. "Memangnya kita punya Klub
Meditasi?" Aku berpikir sejenak. "Kayaknya itu klub yang ditolak
pem?bentukannya gara-gara anggotanya cuma tiga
orang." "Tapi kami tetap aktif kok," ucap OJ kalem. "Kami ti?
dak melawan, tapi mengikuti arus pergerakan."
"Waduh, omongan tingkat tinggi kayak gini cuma bikin
gue ngantuk," kata Gil seraya menguap. "Mending?an kita
langsung action. Lo mau kita ngapain?"
"Tentu dong, mencari jejak yang ditinggalkan pelaku,"
sahutku. "Di mana?" Giliran OJ yang bertanya.
Aku berpikir sejenak. "Di lapangan badminton. Mum?
pung kebanyakan polisi ada di kantin, plus sepertinya di
259 Isi-Omen6.indd 259 sana ruang lingkupnya lebih terbatas, nggak kayak la?
pang?an futsal dan padang rumput yang gedenya kayak
sa?wah." "Nah, kalo di bagian situ, kita suruh OJ saja," saran
Gil, "sekalian dia belajar ritme merumput."
OJ menatap Gil dengan jengkel. "Lo kira gue sapi?"
"Lah, kok bete?" tanya Gil tak mengerti. "Memangnya
gue salah apa?" OJ mendengus pada Gil?oke, sekarang aku jadi me?
rasa dia mirip-mirip sapi?lalu berpaling padaku. "Tapi,
memangnya menurut lo itu nggak terlambat? Lapangan
badminton udah diperiksa polisi. Tambahan lagi, kalo
me?mang pelakunya meninggalkan jejak, pastinya dari
tadi dia udah mencari-cari kesempatan untuk mengaman?
kan segala bukti. Kita telat banget, Ay."
OJ benar. Memang kami sudah telat banget. Kuakui di
sini, kami sudah salah langkah?benar-benar salah. Se?harus?
nya kami langsung bertindak begitu korban pertama
ditemukan. Meskipun ada Inspektur Lukas yang menyalaknyalak laksana anjing buldog ganteng, seharusnya kami
tidak memedulikannya dan terus menyelidiki TKP secara
diam-diam. Kalau perlu, kami bolos sekolah sekalian.
Namun entah kenapa, setelah kejadian itu kami semua
malah seperti orang bego. Val seperti terbenam da?lam
pikirannya sendiri, Rima terlalu shock setelah dituduh
sebagai pelaku, dan kuakui aku sendiri agak-agak
disibukkan dengan pikiran tentang tuyul-tuyul ini. Bukan?
nya kami tidak bertindak sih. Hanya saja, menurutku kami
tidak menyelidiki semaksimal mungkin. Yah, se?tidak?nya
kejadian Putri menjadi tersangka berhasil me?nampar?ku dan
membuatku terlempar kembali pada ke?nyataan.
260 Isi-Omen6.indd 260 Dan pada dasarnya, menurutku, tidak pernah ada kata
terlambat. Kerugian selalu bisa berbalik arah dan meng?
hasil?kan keuntungan, asal kita mau mengoreksi diri dan
melakukan hal-hal ekstrem. Seperti menyamar jadi pe?
tugas kebersihan dan betul-betul melakukan bersih-bersih
jika dipergoki. Maksudku, tentu saja dua cowok ini yang
bersih-bersih. Buat apa aku membawa-bawa mereka kalau
bukan untuk melakukan pekerjaan kotor?
Beberapa petugas polisi masih berjaga-jaga di TKP per?
tama?atau tepatnya, hanya dua orang. Kami benar-benar
beruntung. Kami hanya perlu melewati mereka dan
berjalan ke arah koridor menuju ruang ganti...
"Hei, tunggu!" Jantungku serasa berhenti berdetak.
"Kalian mau ke mana?"
OJ menoleh, dan aku berani bersumpah tampangnya
men?dadak kelihatan seperti bapak-bapak petugas kebersih?
an. "Maaf, Pak, tapi ini sudah waktunya membersihkan
lapangan ini." "Untuk hari ini, lapangan ini jangan dibersihkan dulu,"
tegas salah satu petugas polisi. "Kami tidak mau ada jejak
yang terhapus." "Tapi," kata Gil dengan suara nge-bass yang tidak
kalah mirip om-om, "kata Bu Rita daerah sana sudah
selesai di?proses." "Masa?" Kedua polisi itu berpandangan. "Kita tanya
Inspektur dulu." Shoot. Masa rencana brilianku harus gagal sampai di
sini saja? "Oh, Inspektur Lukas!" seruku mendadak. "Bapak itu
bosnya kalian ya? Kelihatannya masih muda ya!"
Ucapanku jelas-jelas menyiratkan, "Kok kalian jadi
261 Isi-Omen6.indd 261 bawahan padahal lebih tua?" dan, sesuai dugaanku, ber?
hasil membuat kedua polisi itu bete berat.
"Nggak usah tanya-tanya Inspektur," ucap salah satu
polisi. "Kalian boleh masuk. Asal jangan sembarangan
masuk ke daerah pita kuning ya!"
"Siap, Pak!" Kami bertiga segera terbirit-birit menuju koridor.
"Keren banget lo," Gil menyikutku. "Bisa-bisa kepikir
kata-kata begitu!" Aku tersenyum pongah. "Semua orang punya ego, dan
salah satu cara untuk membuat orang menuruti kemauan
kita adalah memanfaatkan ego tersebut. Itu yang gue
pelajari selama menjadi..."
"Menjadi apa?" tanya OJ penuh perhatian.
"Ehm, tentu dong menjadi bendahara OSIS." Shoot.
Nyaris saja aku menyinggung samaranku sebagai si
Makelar. Selain teman-temanku, tidak ada yang tahumenahu tentang samaranku ini. "Kalo nggak pandai be?
gini?an, mana bisa gue nagih-nagih duit dari berbagai
pihak yang nggak mau melepaskan duitnya?"
"Benar juga." Kedua cowok itu manggut-manggut.
Aku memang hebat. "Ini ruangannya." Waduh, saking bangganya aku pada
diri sendiri, sampai nyaris melewati gudang penyimpanan
bola. Setelah masuk ke dalam, aku buru-buru menutup
pintu supaya segala kegiatan detektif kami tidak di?
pergoki orang-orang yang tidak berkepentingan. "Me?
nurut Rima, seharusnya ini tempat pelaku mencegat
kor?ban dan melakukan semua aktivitas jahit-menjahit?
nya." Kami memandangi ruangan butut yang dipenuhi
262 Isi-Omen6.indd 262 keranjang-keranjang rotan berisi berbagai macam bola
yang kami mainkan, mulai dari bola basket, bola voli,
bola sepak, hingga kok dan bola tenis. Lemari-lemari
besar berderet-deret, semuanya tertutup rapi. Semuanya
tampak normal. Lebih parah lagi, bahkan di lantai tidak
ada sampah setitik pun. Benar-benar mengecewakan.
Memangnya apa yang kuharapkan di sini? Perangkat
jahit-menjahit dengan sidik jari di atasnya? Saputangan
berbau kloroform dengan nama si pelaku tersulam di
sana? Surat pengakuan tertulis dari si pelaku?
Aku benar-benar tolol, mengira kami bisa mendapatkan
sesuatu di sini. Eh, tunggu dulu. Ada bunyi-bunyian tidak jelas di da?
lam ruangan ini. Aku menempelkan jariku pada bibirku
untuk menyuruh kedua cowok itu diam, lalu berusaha
mendengarkan dengan lebih saksama.
Ya Tuhan! Bunyi itu berasal dari dalam lemari raksasa
yang menempel pada dinding!
Aku langsung saling berpandangan dengan Gil dan OJ.
Sejenak kami bertiga hanya bisa terpaku ketakutan me?
lihat pintu lemari yang bergerak-gerak. Mendadak OJ
memberi isyarat-isyarat rumit yang tidak kumengerti.
"Kenapa lo?" bisik Gil dengan suara tertahan yang
cukup keras. "Gagu?"
OJ memelototinya. "Gagu? Kan dari tadi gue ngomong
segitu ba?nyak!" "Abis tau-tau pake bahasa isyarat," sahut Gil membela
diri. "Siapa tau mendadak sakit apa gitu."
"Bukannya begitu, kan gue nggak mau..." Lalu alih-alih
bicara, OJ melanjutkan kalimatnya dengan me?nunjuknunjuk lemari atas, kemudian mulai memberi isyarat263
Isi-Omen6.indd 263 isyarat aneh lagi, membuat Gil cengar-cengir. Jelas, cowok
itu sama sekali tidak mengerti isyarat OJ.
"Lo kayak lagi nari robot," ucapnya dengan muka
riang dan rada nge-blank.
OJ mendelik, lalu menarik dan menghela napas be?
berapa kali seolah-olah sedang mengumpulkan segenap
ke?sabarannya, lalu menoleh padaku. "Jadi?"
"Kok tau-tau gue?" bentakku dengan suara tertahan.
"Kalian dong yang buka pintunya! Kan kalian berdua
cowok, nyalinya pasti lebih gede!"
Gil menelan ludah. "Kita buka barengan ya, OJ?"
Kali ini OJ sama sekali tidak berniat bertengkar dengan
Gil dan langsung mengangguk. "Oke. Itung sampe tiga
ya. Satu, dua, tiga... HUAAAAA!!!"
Bukan hanya OJ yang menjerit ketakutan. Gil juga
langsung menjerit histeris. Sementara aku sendiri nyaris
kena serangan jantung saat melihat seorang cewek tinggi
kurus dengan rambut panjang terurai keluar dari dalam
lemari. Lagi-lagi Rima nyaris berhasil membuat roh-roh kami
nyaris keluar dari tubuh kami.
Di belakang Rima, lebih mengerikan lagi, adalah Putri
Badai yang tampak emosi berat. Yah, memandang hidup
Putri yang selalu diberi tempat terbaik, sepertinya ber?
sembunyi di dalam lemari penuh peralatan olahraga
mem?buatnya merasa turun derajat.
"Apa-apaan kalian?" bentaknya dengan mata terarah
padaku. "Kenapa bisa-bisanya kalian bertiga ke sini?"
"Nggak usah ngamuk gitu dong," jawabku cemberut.
"Kan tujuan kita sama."
264 Isi-Omen6.indd 264 "Yah, tapi nggak usah bawa satu geng gitu! Membahaya?
kan kita semua, tau nggak?"
"Ouch," Gil meringis. "Setelah ditakut-takuti, hatiku
disakiti. Putri Badai memang keji..."
Dipelototi Putri Badai, Gil langsung melangkah mun?dur.
"Eh, sori, Mbak. No offense dong. Kan cuma ber?usaha
puitis." "Kalo mau puitis nggak usah libat-libatin aku!" Putri
meng?geram, dan kini Gil nyaris menemplok pada din?
ding saking takutnya. Untung bagi Gil?dan sial bagiku?
sorot mata mengerikan itu kini ditujukan padaku lagi.
"Apa yang kamu dapat?"
Oke, meski seram, maaf-maaf saja, aku tidak berniat
di-bully si Putri. Aku kan si Makelar yang sudah meng?
hadapi berbagai jenis orang. Masa sama Putri Badai saja
takut? "Apa yang lo dapet?"
"Kami belum sempat dapet apa-apa kok," Rima yang
menyahut. "Kalian keburu datang ke sini soalnya. Karena
nggak tau siapa yang bakalan datang, kami langsung
ngumpet." "Lho, begitu kami di sini, kok kalian nggak langsung
keluar dari lemari?" tanyaku heran.
"Ehm, ternyata agak susah nguping dari dalam lemari.
Kami berusaha buka lemari supaya bisa mendengar lebih
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas," Rima mengangkat bahu, "tapi sepertinya itu ma?
lah bikin kami ketauan."
"Iya, lemarinya kayak lagi kerasukan," timpal OJ.
"Untung kami nggak melarikan diri."
"Memang nggak, tapi jeritan histeris kalian bisa aja
bikin polisi-polisi berdatangan," ketus Putri.
"Nggak dong, kan pintunya tertutup," ucapku mem?
265 Isi-Omen6.indd 265 bela kedua tuyulku. "Udahlah, nggak usah ngomel lagi.
Asal lo tau aja, gue bawa dua tuyul ini karena mereka
pen?ting untuk jadi saksi kita. Bahwa kita nggak melaku?
kan hal-hal mencurigakan, melainkan juga membantu
penyelidikan polisi."
Rima mengangguk setuju. "Pemikiran yang bagus, Ay."
Aku menatap Putri dengan penuh kemenangan. Se?
baliknya, cewek itu sama sekali tidak tampak malu ka?
rena sudah marah-marah dari tadi, melainkan hanya
men?dengus pongah. "Asal mereka nggak ganggu penye?
lidikan kita ya!" "Nggak dong," ucap Gil cepat. "Kami akan membantu
dengan sekuat tenaga. Bener nggak, OJ?"
"Bener," OJ mengangguk-angguk, "selama nggak ada
adegan-adegan seram kayak tadi lagi. Kan jantung gue
cuma satu." "Sayangnya, adegan-adegan semacam itu selalu muncul
tanpa diduga-duga," ketus Putri lagi. "Jadi daripada ber?
harap yang mustahil, lebih baik kuatin jantungmu."
"Memang keji...," Gil terdiam melihat wajah Putri, lalu
melanjutkan dengan muka polos, "...hidup ini."
"Sebaiknya kita terbagi dalam dua kelompok," saran
Rima. "Yang pertama memeriksa jejak. Menurutku lebih
baik yang ngelakuin adalah Aya, Gil, dan OJ, karena se?
perti kata Aya tadi, Gil dan OJ berguna untuk jadi saksi.
Nah, yang kedua, kita berdua, Put, bertugas memeriksa
alibi semua orang yang kita curigai. Kita kan punya hak
untuk meriksa daftar absen dan daftar nilai, serta bisa
menginterogasi guru-guru."
"Kalau guru-guru itu masih mau bekerja sama dengan
kita," Putri memberengut. "Kita kan udah jadi ter?tuduh."
266 Isi-Omen6.indd 266 "Tentunya ada guru yang masih pro kita," bantah
Rima. "Setidaknya ada satu."
Putri diam sejenak, lalu tersenyum. "Pak Rufus."
"Tepat," angguk Rima, "dan aku yakin beliau mau
mem??bantu kita. Jadi, tadi aku sudah sempat ngirim SMS
ke ye-be-es..." "Ye-be-es?" tanya OJ bingung.
"Yang bersangkutan," jelasku. "Lo terlalu banyak di
luar negeri, sampe udah nggak tau bahasa ibu sendiri.
Nggak keren, tau?" Putri sama sekali tidak mengindahkan percakapan kecil?
ku dengan OJ, melainkan langsung meneruskan topik
de?ngan Rima, "Jadi kamu udah kontak Pak Rufus?"
"Ya," angguk Rima. "Dan beliau balas, ?siap!?."
"Memang hebat The Judges," OJ menggeleng-geleng.
"Sampe wakil kepala sekolah pun tunduk."
"The Judges?" tanya Gil heran. "Apaan tuh?"
Ups. Aku sendiri juga lupa, cowok ini belum tahu apaapa soal The Judges. Mengingat betapa embernya dia?
dan bagaimana seluruh pengetahuan yang dimilikinya
sering jadi lirik lagu?sebaiknya kami tetap merahasia?
kannya. "Nggak tau tuh, si OJ. Lagi ngelantur kayak?
nya." "Yang lebih penting lagi, ada satu yang perlu ditanyai
sekarang juga." Tiba-tiba Putri merangsek ke depan Gil
yang kini benar-benar menemplok pada dinding. Bisa
kulihat dari raut wajah Gil seolah-olah nyawanya sedang
ber?ada di ujung tanduk. "Tadi kenapa kamu bilang
Damian ada di tempat latihan, hah?! Memangnya dia
ada di tem?pat latihan terus?!"
"Ay, tolong gue..."
267 Isi-Omen6.indd 267 "Jangan mengiba-iba gitu!" salak Putri di depan muka
Gil. "Nggak pantes, tau?! Dan cepat jawab pertanyaanku!
Itu bukan pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab,
kan?" "Jelas susah! Rumit, Put, ceritanya!" teriak Gil dengan
suara seperti sedang terjepit pintu. "Awalnya dia memang
latihan kok, tapi abis itu dia pergi, katanya mau ke
toilet, tapi nggak balik-balik..."
"Kenapa tadi nggak ngomong waktu di lapangan?"
sem?prot Putri lagi. Oke, seanggun-anggunnya Putri, pasti
ada beberapa titik ludah tersembur ke luar bersama
emosinya. "Gue udah mau bilang, tapi udah keburu disela Damian!
Gue mau bales sela lagi, tapi kayaknya saat itu semua pada
lomba-lombaan teriak! Damian, Erika, semuanya seramseram! Gue kalah suara, man... eh, woman!"
"Heh, jangan panggil aku woman!"
"Sori, sori," ucap Gil buru-buru sambil memejamkan
mata rapat-rapat. Berani taruhan, perasaan Gil pasti
mirip dengan orang yang sedang dipojokkan hari?mau di
kandang. "Gue sumpah, Put, gue nggak ber?maksud
nuduh elo! Posisi gue susah, Put! Kalo gue tau-tau buka
suara, nanti gue dibilang nuduh Damian, pada?hal dia
kan sobat gue. Lagian, belum tentu dia ber?salah!"
"Kalo dia lagi sama aku, ya dia nggak salah! Kan kami
sama-sama nggak ada di TKP! Tapi kalo dia nggak lagi
bareng aku, aku dianggap bersalah!"
"Oh iya, betul juga. Nanti gue jelasin deh ke si bapak
inspektur. Sekarang jauh-jauh dong! Gue kejepit tembok
nih!" "Mana ada orang yang kejepit tembok? Dasar bodoh!"
268 Isi-Omen6.indd 268 Putri menarik diri dengan tampang puas. "Cepetan se?
karang juga kamu jelasin ke Inspektur Lukas!"
"Baik, baik!" "Eh, jangan dulu!" teriakku sebelum Gil melarikan
diri. "Ganti dulu bajunya!"
"Baik, baik!" Cowok itu buru-buru melepaskan seragam petugas ke?
bersihan seraya memperbaiki baju seragam kusut di balik?
nya. "Jangan terburu-buru," saran Rima. "Santai aja."
"Baik, baik!" "Bener, pelan-pelan, Gil," tambah OJ. "Nanti muka lo
tambah jelek." "Baik, baik..." Gil memelototi OJ seraya memasukkan
kemeja seragam yang berantakan ke dalam celana abuabunya. "Lo nggak usah ikut-ikutan, keleus!"
"Apa tuh keleus?" tanya OJ bingung.
"Makanya jangan terlalu banyak di luar negeri," cibir
Gil meniruku, "sampe udah nggak tau bahasa ibu sen?
diri. Nggak keren, keleus!"
"Nggak usah diulang-ulang, keleus!" balas OJ.
"Idih, lo ngomong keleus kayak nggak alami, keleus!"
"Ah, berisik!" bentakku. "Kalian berdua kalo mau be?
rantem, di luar aja, di depan polisi sekalian..."
Tiba-tiba ponsel Putri berbunyi.
"Halo?" Putri tertegun sejenak. "Ternate? Yang di deket
bengkel itu? Baik, aku segera datang. Iya, tenang aja."
Cewek itu mematikan telepon. "Valeria minta dijemput."
Aku mengerutkan alis. "Val bukannya bawa motor hari
ini?" "Makanya," Putri menyahut dengan muka kelam, "aku
269 Isi-Omen6.indd 269 punya firasat buruk soal ini. Apalagi suaranya... Entahlah,
semoga tidak ada apa-apa. Kalian jangan ikut. Lebih baik
teruskan saja penyelidikan kalian. Biar aku urus Valeria,
oke?" Meski juga mencemaskan Valeria, aku dan Rima meng?
angguk. Semoga saja memang tidak ada apa-apa.
270 Isi-Omen6.indd 270 Rima Hujan Sebenarnya aku sudah punya teori.
Memang aku tidak punya bukti, tapi semuanya jelas
dari sudut logika. Dari semua cara yang mungkin, hanya
inilah satu-satunya cara untuk berhasil melakukan per?
buatan yang mengerikan itu.
Itu berarti, aku juga sudah punya dugaan siapa saja
pelakunya. Masalahnya, bagaimana caraku untuk membuktikan
semua teoriku ini? "Jadi gimana, Rim?" tanya Aya setelah Putri dan Gil
me?ninggalkan kami. "Lo nggak apa-apa, menyelidiki sen?
diri?" "Iya," sahutku seraya tersenyum. Sepertinya memang
lebih baik begitu. Kalau bersama seseorang, aku tidak
ingin mereka mulai bertanya-tanya tindakan aneh apa
yang sedang kulakukan. Aku sendiri tidak suka menjelas?
kan teoriku sebelum semuanya bisa dibuktikan. Secara
hukum, teori tanpa bukti adalah tuduhan tak berdasar.
Itu sebabnya, meski polisi sudah tahu dengan jelas siapa
271 Isi-Omen6.indd 271 dalang dari berbagai kejadian, mereka tidak bisa di?
tangkap. Termasuk beberapa anak di sekolah kami yang jelasjelas berbahaya dan punya otak psycho.
"Kalo gitu, kami akan terus menyelidiki di sini," kata
Aya memaparkan rencananya. "Gue kepingin periksa
ruang ganti juga. Meski mungkin nggak ada hubungan?
nya, siapa tau ada yang menarik."
"Aduh," ucap OJ dengan wajah merah. "Gue nggak
ikut?an kalo ke situ, Ay."
"Lho, kenapa?" tanya Aya heran. "Kan nggak ada ce?
wek?nya! Kalo ada ceweknya dan lo berani masuk, gue
pasti gebukin sampe muka lo kagak berbentuk!"
"Iya sih, tapi," OJ menggeleng-geleng dengan keras
kepala, "pokoknya rasanya nggak pantes."
"Ya udah!" bentak Aya tidak senang. "Kalo gitu gue
bawa orang lain aja! Rima, ayo!"
Eh? Tapi aku punya rencana lain. "Tapi tadi kan kita
udah sepakat buat menyelidiki secara terpisah..."
"Nggak usah sama genggesnya dengan anak ini deh,"
tukas Aya. "Asal lo tau aja, tertuduh berikutnya ke?
mungkinan besar gue! Jadi harap dimaklumi kalo saat ini
gue punya banyak rencana untuk memecahkan kasus ini
dan nggak seneng rencana gue dirusak orang."
"Iya, aku ngerti perasaanmu kok," sahutku mengalah.
Memang Aya berhak uring-uringan saat ini. Aku sendiri
juga shock banget waktu dituduh sebagai pelaku. Tidak
apa-apa, nanti-nanti aku masih bisa melakukan penye?
lidik?anku sendirian. Lagi pula, tidak ada salahnya me?
ngecek TKP. "Oke, ayo kita ke ruang ganti."
"Kalo gitu lo jaga di depan ruang ganti, OJ," perintah
272 Isi-Omen6.indd 272 Aya. "Siapa pun yang mendekat, alihkan aja perhatian?
nya dengan segenap kekuatan lo."
"Siap, Bu," ucap OJ lega karena tidak dipaksa meng?
geledah ruang ganti cewek lagi.
Aku dan Aya memasuki ruang ganti cewek. Berbeda
de?ngan setting ruang ganti cewek di film-film, ruangan
ini sama sekali tidak keren, mewah, apalagi seksi. Hanya
ada sebuah lemari besar dengan rak-rak berbentuk kotak
untuk menyimpan barang-barang kami selama jam pe?l?
ajaran olahraga, beberapa bangku panjang, serta sebuah
cermin besar dengan tong sampah di sampingnya. Bah?
kan gudang peralatan pun masih jauh lebih mentereng.
Hanya dengan selayang pandang, kami sudah bisa
menyimpulkan tidak ada yang bisa kami dapat di sini.
"Yah," keluh Aya. "Kayaknya memang nggak ada apaapa di sini ya."
Aku memandangi cermin besar itu. Dari sana aku bisa
melihat pintu gudang. Tentu saja, kalau pintu ruang
ganti ditutup, tidak ada yang bakalan bisa melihat apaapa. Tatapanku turun pada tong sampah yang tidak ber?
tutup. Berbagai tisu, kapas, bungkus permen, dan remas?
an kertas bercampur di situ...
Remasan kertas di ruang ganti cewek? Memang tidak
aneh, tapi bukan sesuatu yang umum. Tak ada salahnya
aku memeriksanya. Aku ingat untuk menggunakan saputangan untuk meng?
angkat kertas itu, lalu meluruskannya di bangku panjang
terdekat. "Apa itu?" tanya Aya seraya duduk di sampingku.
"Entahlah," ucapku. "Cuma kepingin lihat aja, mung?kin
nggak ada apa-apa..."
273 Isi-Omen6.indd 273 Suaraku lenyap saat melihat tulisan dalam surat itu.
Sekarang. Pancing dia ke gudang.
"Eh, eh, gila!" teriak Aya. "Ini tulisan siapa? Nggak mi??rip
tulisan lo, kan?" "Untungnya nggak," ucapku seraya berpikir keras.
"Tulisan ini sengaja dijelek-jelekkan supaya nggak mirip
tulisan aslinya, tapi tetap aja ceroboh banget membuang
surat semacam ini begitu saja ke tong sampah. Sepertinya
orang yang membuang sedang panik dan nggak ingin
surat ini ditemukan pada dirinya."
"Atau," tambah Aya bersemangat, "diletakkan dengan
sengaja untuk menjerumuskan pihak-pihak tertentu."
"Menurutku sih kemungkinan pertama lebih besar,"
kataku. "Tapi kita memang nggak bisa mengesampingkan
ini cuma jebakan. Yang penting sekarang adalah kita
harus mengamankan bukti ini. Ada kantong plastik?"
"Ada," sahut Aya sambil mengeluarkan kantong plastik
dari saku besar yang ada pada seragam petugas ke?
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersihannya itu. "Akhirnya ada bukti juga yang bisa kita
pake. Semoga saja kita bisa menyingkap kasus ini se?
cepat-cepatnya." "Iya, sama, aku juga ngarep begitu," ucapku. "Seka?
rang, Ay, aku harus pergi. Kalo kamu bisa, coba pergi ke
lapangan rumput deket lapangan futsal dan cari jejak."
"Jejak apa?" tanya Aya heran.
"Jejak kaki beneran," senyumku. "Pelakunya pasti
ninggalin jejak kaki di TKP. Berhubung di sana rumput
se?mua, mungkin agak susah nemunya, tapi kalo ada
pasti bagus sekali."
274 Isi-Omen6.indd 274 "Ah, TKP cuma secuil gitu, bisalah dicari, kalo jejaknya
memang ada," kata Aya penuh tekad. "Oke, gue akan ke
lapangan futsal sama anak-anak cowok..."
"Kalem dulu, Anak-anak."
Kami berdua berdiri dengan tegang saat Inspektur
Lukas menyerbu masuk diikuti Gil, OJ, dan beberapa
bawah?annya, termasuk dua orang polisi yang berjaga di
TKP lapangan badminton tadi. Yang membuatku degdegan, tepat di samping Inspektur Lukas, berdirilah
Daniel dengan wajah kaku.
Oke, aku tahu aku memang bersalah. Tadi aku ber?
pamitan padanya, mengatakan bahwa aku akan lang?sung
pulang. Namun di sinilah aku, tertangkap basah sedang
melakukan penyelidikan di TKP di mana aku dituduh
menjadi pelakunya. Ada sengatan rasa ber?salah saat me?
nyadari bahwa Daniel pasti sangat kecewa padaku
lantaran aku sudah membohonginya.
"Apa-apaan kalian?" bentak Inspektur Lukas. "Siapa
yang bilang kalian boleh berkeliaran di sini?"
Dari sudut mataku aku melihat Aya memelototi Gil,
dan bisa kulihat pula Gil menyembah-nyembah di bela?
kang Inspektur Lukas. Maaf, gue nggak sengaja ngasih tau kalian ada di sini.
Aku beralih memandangi Inspektur Lukas, dan rasa
takut yang tidak masuk akal merebak di hatiku. Demi
segala iblis penggoda manusia, aku kan tidak bersalah
sama sekali! Yah, bukannya aku tidak punya kesalahan
sama sekali sih. Aku bersalah karena cemburu pada
cewek-cewek yang mengelilingi Daniel di saat aku tidak
ada. Aku bersalah karena lupa menyapu rumah tadi pagi,
karena ada hal penting yang harus kukerjakan di se?
275 Isi-Omen6.indd 275 kolah. Aku bersalah karena sudah membohongi Daniel.
Tapi aku tidak bersalah sedikit pun dalam kasus ini.
Kenapa aku malah begini takut di hadapannya? Setiap
kali melihat Inspektur Lukas, aku langsung merasa yakin
aku memang bersalah dan harus dijebloskan ke dalam
penjara saat ini juga. "Maaf, Inspektur Lukas," ucapku seraya menyingkirkan
perasaanku dan berusaha memasang wibawa ketua OSIS
yang terbaik. "Tapi tadi saya sudah minta izin pada
polisi yang berjaga di luar bahwa saya akan masuk ke
sini. Jadi kami tidak melanggar peraturan, bukan?"
"Minta izin?" Mata Inspektur Lukas menyipit. "Lalu
untuk apa Aria Topan memakai baju seragam overall
untuk petugas kebersihan itu?"
"Euh," Aya tergagap sejenak mendengar pertanyaan
itu. "Ini memang penyamaran, Pak. Supaya murid-murid
lain nggak merasa tempat ini sudah boleh dimasuki."
"Alasan yang bagus," dengus Inspektur Lukas, "tapi
tidak cukup bagus untuk membenarkan tindakan kali?
an..." "Ini!" seruku cepat-cepat seraya menyerahkan kantong
plastik di tanganku. Lagi-lagi mata Inspektur Lukas menyipit. "Apa itu?"
"Surat yang kami temukan di tong sampah," jelasku.
"Ke?mungkinan besar memang berhubungan dengan ka?
sus ini." Jantungku serasa berhenti sejenak saat Daniel yang
maju untuk mengambil kantong itu. Wajah cowok itu
tidak menunjukkan ekspresi sedikit pun. Gawat! Aku
sama sekali tidak bisa menebak perasaannya.
Aku benar-benar sudah mengacaukan segalanya.
276 Isi-Omen6.indd 276 Aku mengalihkan perhatianku, memandangi Inspektur
Lukas yang sedang bicara dengan para bawahannya. "Ke?
napa tidak ada yang memeriksa tong sampah di sini?"
"Katanya sudah diproses kok," ucap salah satu bawah?
annya. "Bukan," sela yang lain. "Katanya tidak usah karena
me?mang tidak ada apa-apa."
"Katanya, katanya!" tukas Inpektur Lukas tidak sabar.
"Kata siapa?" "Kata Kepala Sekolah," sahut kedua polisi itu se?
rempak, lalu salah satunya menambahkan dengan suara
kecil, "kalau tidak salah."
"Kepala Sekolah sendiri bilang begitu?" tanya Inspektur
Lukas tidak percaya. "Bukan," sahut kedua polisi itu malu-malu.
"Jadi kalian dengar dari siapa?" bentak Inspektur
Lukas. Salah satu polisi itu menoleh pada Aya. "Dari pe?tugas,
eh, murid yang itu."
Sesaat Inspektur Lukas tampak seperti mau meledak,
tapi untunglah beliau berhasil mengendalikan diri.
Untung??lah, karena kalau tidak, Aya pasti sudah men?
dapat kesulitan meski tidak dituduh sebagai pelaku ke?
jahatan garis miring tukang jahit. "Daniel, kemarikan
kantongnya." Lagi-lagi, tanpa bicara, Daniel menyerahkan kantong
plastik berisi surat itu pada Inspektur Lukas.
"Ini tidak berarti kalian dimaafkan karena sudah me?
langgar batas TKP," ketus Inspektur Lukas pada kami.
"Se?karang sebaiknya kalian pulang. Paham?"
"Maaf, tapi kami nggak bisa ngelakuin hal itu."
277 Isi-Omen6.indd 277 Entah apa yang merasukiku hingga berani membantah
Inspektur Lukas. Sejujurnya, aku juga kaget. Habis, aku kan
takut setengah mati padanya! Tapi karena kata-kata itu
sudah kukeluarkan, aku akan mempertahankannya se?baik
mungkin. Aku menatap Inspektur Lukas lurus-lurus.
"Inspektur, Inspektur sudah sering datang ke sini.
Memang?nya Inspektur nggak tau karakter saya seperti
apa? Memangnya Inspektur nggak tau Putri Badai seperti
apa? Tapi, tanpa mengindahkan kenyataan bahwa kami
sudah sering membantu Inspektur memecahkan kasus,
Inspektur percaya begitu saja pada tuduhan bahwa kami
sanggup melakukan perbuatan sekeji itu. Jadi maaf-maaf
saja, kami juga tidak percaya Inspektur akan membantu
kami seandainya bukti-bukti berkata sebaliknya. Lebih
baik kami berusaha hingga titik darah penghabisan
untuk membela diri kami, daripada menyerahkan nasib
kami pada pihak berwajib yang kaku, yang hanya meng?
andalkan saksi-saksi yang nggak bisa diandalkan, serta
nggak mempertimbangkan semua jasa yang sudah kami
lakukan untuk pihak kepolisian."
Inspektur Lukas diam sejenak. "Maaf, Rim, tapi katakata?mu itu juga digunakan oleh politisi yang mengingin?
kan kemudahan di mana-mana."
"Beda sekali," bantahku. "Memangnya selama ini kami
membantu kepolisian dengan pamrih? Nggak sama se?
kali! Tapi di saat kami diserang, pihak kepolisian malah
ikut menyerang kami hanya dengan mengandalkan katakata yang nggak berdasarkan apa-apa. Itu sebabnya, lebih
baik kami bertindak sendiri meski harus diam-diam dan
nggak mematuhi peraturan. Siapa lagi yang akan mem?
bela kami kalau bukan diri kami sendiri?"
278 Isi-Omen6.indd 278 Lagi-lagi Inspektur Lukas terdiam.
"Pak Inspektur, dia bener banget, tau?" Tiba-tiba Gil
angkat bicara. "Kalian orang dewasa memang payah.
Mentang-mentang banyak orang nuduh ABG itu alay
atau ababil, kalian menganggap remeh kata-kata kami.
Padahal nggak semua kami ini alay, ababil, atau hidup
nyante. Banyak juga yang hidup serius, dengan banyak
masa?lah selain percintaan yang nggak berbalas. Memang
satu-satunya masalah saya saat ini, Aya nggak mau pacar?
an dengan saya, jadi saya nggak termasuk orang yang
barusan saya ceritain tadi. Lagian saya juga tau, Aya
nggak bermaksud menolak saya. Hanya saja, dia punya
banyak prioritas penting dalam hidupnya. Dia harus
meng?hidupi diri sendiri, nggak tau gimana masa depan?
nya kalo dia sendiri nggak punya simpenan. Belum lagi
keluarganya. Apa Bapak pikir anak seperti ini mau mem?
buang-buang waktu hanya karena ngurusin temen
sekolah yang belagu? Apalagi pake adegan jahit-menjahit
segala. Apa Bapak pikir dia bisa menjahit?!"
"Heh!" teriak Aya dengan tampang sakit hati. "Kenapa
lo malah hina gue? Lo kira gue nggak bisa ngelakuin hal
secetek itu?" "Emangnya lo bisa jahit?" Gil balas bertanya.
Aya diam sejenak. "Nggak bisa."
"Tuh kan!" Gil menoleh pada Inspektur Lukas. "Bapak
pasti sekarang lagi mikir, ocehan saya nggak juntrungan
dan nggak ada kaitannya dengan kasus ini. Bapak salah
besar. Beda dengan saya, Aya itu termasuk anak-anak
yang saya sebut tadi, anak-anak yang serius menjalani
hi?dup. Dan dari pengamatan saya selama berteman de?
ngan Rima dan Putri, saya yakin mereka juga sama
279 Isi-Omen6.indd 279 seperti Aya. Ada banyak hal yang jauh lebih penting
daripada sekadar mengurusi ketidaksukaan pada temen
satu klub atau sirik pada wakil ketua kelas atau hal-hal
konyol yang entah apa lagi jenisnya. Mungkin Bapak
pikir se?mua ini cuma pembelaan seorang teman karena
kesetia?kawanan. Asal Bapak tau saja, muka saya memang
bo?doh, tapi hati saya tidak. Saya nggak akan membela
temen yang salah. Kalo saya membela temen yang salah,
itu bakalan malu-maluin bapak, emak, nenek moyang,
serta keluarga besar Goriabadi. Jadi, Pak, harap Bapak
juga pikir-pikir lagi sebelum nuduh macam-macam."
Oke, selama ini aku salah menilai Gil. Kupikir cowok
itu tipe easy going yang tidak bakalan suka memikirkan
masalah-masalah serius. Tapi kini, melihat betapa berapiapinya dia membela kami?dengan pidato yang bagus
pula?aku jadi punya penilaian tinggi terhadap cowok
ini. Dengan mengesampingkan bahwa tadi dia sempat me?
nyebut hatinya tidak bodoh, tentu saja.
Gara-gara ceramah Gil yang panjang lebar, Inspektur
Lukas jadi terdiam lama. Kami semua mulai cemas saat
wajah polisi itu berubah jadi berkerut-kerut seolah-olah
sedang merasakan kesakitan yang amat sangat. Apakah
ucapan Gil sudah berlebihan dan menyakiti hati In?
spektur Lukas...? Mendadak aku tersadar. Inspektur Lukas sedang ber?
usaha setengah mati untuk menahan tawa. Kalau begitu,
ternyata sejak awal polisi itu memang tidak mencurigai
kami! Jadi, sikap galak dan penuh tuduhannya hanyalah
akting untuk menipu pelaku yang sebenarnya, juga
semua orang yang mungkin ditanya oleh sang pelaku.
280 Isi-Omen6.indd 280 Jangan-jangan, kerancuan informasi di kalangan polisi
yang menyebabkan kami bisa memasuki TKP dengan
gampang juga berkat polisi tersebut!
Oke. Kalau begitu ceritanya, aku harus membantu
akting tersebut! "Maafkan kami, Inspektur Lukas," ucapku cepat-cepat.
"Maafkan Gil yang udah bicara kelewatan. Maafkan kami
udah menerobos ke dalam TKP. Kami memang sudah
ber?salah, Pak." Inspektur Lukas menatapku dengan kerlingan tajam.
Jadi aku benar! Sang inspektur memang hanya berpurapura, dan kini beliau juga sudah tahu aku mengetahui
aktingnya! Memang luar biasa polisi ini. Kami semua
benar-benar sudah meremehkan kemampuannya.
"Baik," ucapnya seraya menggeram, yang aku yakin
di?laku?kannya untuk menutupi tawanya yang nyaris me?
nyembur ke luar. "Asal kalian tidak mengganggu lagi,
kali ini saya akan lepaskan kalian dengan peringatan
ringan. Tapi tidak ada lain kali. Kalau sampai kalian me?
lakukan hal-hal aneh lagi..."
"Maafkan kami, Pak," selaku cepat. "Kami pasti nggak
akan mengganggu lagi."
Inspektur Lukas mengangguk kaku. "Kalau begitu, saya
tidak akan mengecek lagi. Saya percaya pada kalian. Pasti?
kan kalian tidak menyalahgunakan kepercayaan saya."
"Baik, Pak." Aku menyadari pandangan teman-temanku yang me?
nyorot tak senang dan tertuju padaku, tapi aku hanya
me?mandangi kepergian Daniel yang mengikuti Inspektur
Lukas. Sebelum meninggalkan ruangan, cowok itu sem?
pat mengangguk pelan padaku.
281 Isi-Omen6.indd 281 Dia juga tahu Inspektur Lukas hanya berpura-pura,
dan dia tahu aku mengetahuinya!
Mendadak saja semangatku bangkit lagi.
"Ay, sesuai rencana, kamu ke lapangan futsal, dan aku
akan nyari Pak Rufus."
Bukan hanya Aya yang melongo mendengar ucapanku,
melainkan juga dua pengikut Aya yang setia.
"Yang bener lo?" bisik Aya padaku sambil melirik ke
arah kepergian Inspektur Lukas. Padahal rombongan
polisi itu sudah cukup jauh sehingga tidak mungkin
masih bisa mendengar suara kami meski dalam volume
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
normal, jadi sebenarnya Aya tidak perlu berbisik-bisik
segala. "Tadi lo barusan bilang sama Inspektur Lukas..."
Selama beberapa detik cewek itu tergagap-gagap, jadi dia
pun melanjutkan dengan kalimat lain, "Dan Inspektur
Lukas pesen sama kita..."
"Tenang saja." Aku memegangi kedua bahunya. "Per?
caya saja sama aku, oke?"
Aya memandangiku selama beberapa saat. "Mau per?caya
gimana? Barusan elo ngebohongin Inspektur Lukas!"
"Aya," tegurku seraya memberinya tatapan penuh ha?
rap. Namun alih-alih anggukan, aku malah merasakan
bahu Aya tergetar. "Ih, jangan ngeliatin gue kayak gitu, Rim! Tampang lo
makin kayak hantu!" Demi Medusa dan kepala berambut ularnya! Oke, oke,
aku juga tahu tampangku memang tidak banyak eks?presi.
Dalam susah maupun senang, pada saat takut atau?pun
berani, waktu jujur maupun bohong, tampangku ya
begini-begini saja. Mirip hantu sumur, maksudnya. Tapi
dia kan sobatku. Seharusnya dia bisa menarik kesimpulan
282 Isi-Omen6.indd 282 dari ekspresiku yang sedikit. Memangnya sampai se?
karang dia masih belum mengenal diriku dan bagaimana
aku bereaksi? Masa di saat aku berharap dia mengerti
isyaratku, aku malah dikatai semakin mirip hantu?
"Udah, Ay." Aku melihat Gil menarik-narik lengan
baju Aya. "Gue juga jadi makin takut. Yuk, kita turuti
dia aja. Cepetan kita pergi sejauh-jauhnya dari sini."
"Gue setuju," gumam OJ yang sudah merapat pada
pintu keluar seraya berusaha menghindar dari tatapan?
ku. Jadi begitu. Kalau Aya sudah bosan dengan dua cowok
ini, aku hanya perlu menghantui mereka. Pasti ke?dua?nya
tak bakalan berani muncul lagi dalam kehidupan kami
untuk selama-lamanya. "Oke." Akhirnya Aya menyahut dengan tatapan tertuju
padaku. "Lo yakin kita nggak akan bikin Inspektur Lukas
makin berang sama kita?"
Aku tersenyum. "Asal kita dapet hasil, aku yakin kita
akan baik-baik saja."
"Kalo gitu, mendingan gue cabut deh." Aya meng?
angguk padaku. "Good luck, Rim."
"Sama-sama. Kamu juga."
Aku mengikuti Aya yang keluar mengikuti kedua
cowok yang nyaris seperti lari terbirit-birit itu. Namun
ketika dia menuju lapangan futsal, aku berbelok dan
berjalan menuju gedung sekolah. Tujuanku, tentu saja,
adalah kantor guru. Akan tetapi, sebelum aku memasuki gedung tersebut,
mendadak saja aku ditarik ke celah sempit di antara
gedung sekolah dan lapangan badminton.
"Halo." Aku hanya bisa membelalak ngeri saat melihat
283 Isi-Omen6.indd 283 seringai Damian Erlangga yang licik, dengan wajah gan?
teng??nya yang mirip banget dengan pangeran kegelapan
yang tampan dan keji, yang sanggup membujuk para
ma?nu?sia berhati lemah berlari-lari ceria menuju kemati?
an. "Kita ketemu lagi."
Demi para malaikat! Bagaimana caranya aku lolos dari
iblis licik ini? 284 Isi-Omen6.indd 284 Putri Badai OKE, aku tidak menduga bakalan ketemu Valeria dalam
kondisi babak belur. Namun sebelum aku membuka mulutku, Valeria sudah
menghunjamku dengan tatapan supertajam yang meng?
ingatkanku pada tatapan berang ayahnya.
"Jangan nanya dulu," geramnya seraya memasuki mo?
bil. Asal tahu saja, aku bukan orang yang gampang ke?
takutan, tapi saat ini aku sama sekali tidak berani mem?
bantahnya. Cewek ini, kalau mau, bisa sama seramnya
dengan bapaknya. "Pak Mul, nanti tolong balik ke sini
untuk ambil motor saya ya. Masukkan ke bengkel yang
berbeda dari biasanya, jangan ke Montir Gila. Dan kalo
bisa, rahasiain ini dari Mr. Guntur."
Sopir keluarga Guntur yang setia banget itu hanya
melirik dari kaca spion. "Ya, Miss Valeria."
Aku cukup yakin setelah semua urusan ini diberes?kan?
nya, dia pasti bakalan melapor pada Mr. Guntur.
Aku melirik Valeria yang bersandar di sebelahku. Aku
tidak perlu diberitahu untuk mengetahui bahwa cewek
itu baru saja menangis. Sudah beratus-ratus kali aku me?
285 Isi-Omen6.indd 285 lihat orang menangis, hampir semuanya disebabkan oleh?
ku (atau lebih tepatnya, disebabkan oleh diri mereka
sendiri, karena aku tidak bakalan mengamuk kalau me?
reka bekerja dengan benar). Valeria cukup pandai untuk
menutupi bekas tangisannya, tapi aku tidak bisa di?
bohongi. Kelopak matanya masih sedikit membengkak,
se?mentara bagian bawah matanya agak sembap. Akibat?
nya, ukuran matanya jadi sedikit lebih kecil dari biasa?
nya. Sepasang mata Valeria sangat lebar, dengan dua
bola mata yang berbeda warna, membuatnya tampak
jauh lebih cantik dan memukau daripada boneka Barbie.
Se?dikit saja perubahan membuat kecantikan itu tidak
sempurna lagi, seolah-olah retak atau apa.
Setidaknya, begitulah menurut pandanganku. Bisa saja
orang lain tidak berpendapat begitu. Lagi pula, aku kan
jauh lebih jeli dan perfeksionis dibanding orang-orang
lain. "Sudah cukup tenang untuk bercerita?"
Aku bisa merasakan lirikan jengkel Valeria yang di?
arah??kan?nya padaku. Pasti dia menyadari arti ter?se?
lubung dari kata-kataku. "Tadi aku biarin kamu nggak
cerita karena kamu kelihatan histeris, shock, ketakutan,
dan mengalami pen?deritaan yang mendalam." Atau kirakira seperti itulah. Pokoknya, dia harus tahu aku tidak
men?cecarnya dengan banyak pertanyaan karena dia ter?
lihat malang banget, bukan karena aku takut lantaran
di?pelototi olehnya. Tadi aku memang rada gentar sih. Tapi kurasa Valeria
tidak perlu mengetahui informasi tak penting tersebut.
"Sori, tapi ini urusan pribadi."
Kurang ajar. Berani-beraninya dia menjutekiku setelah
286 Isi-Omen6.indd 286 aku bersusah payah datang ke sini untuk menolongnya.
Dia kira aku ini siapa? Pelayan pribadinya?
"Sori," aku membalasnya dengan nada suara yang tidak
kalah jutek, "di antara kita nggak ada masalah pri?badi."
"Yeah, silakan ngomong gitu lagi waktu ada Rima."
"Ini beda dong dengan situasi Rima," sergahku. "Se?
andainya tadi kita nggak berada di depan publik, aku
yakin kita pasti bisa mendesak Rima untuk ceritain apa
pun juga yang dia sembunyikan tadi. Sedangkan di sini
hanya ada aku dan kamu..."
"Dan Pak Mul." "Maaf ya," sela Pak Mul dari depan. "Anggap saja saya
tidak ada." Cewek ini memang pandai bicara. Hanya dengan tiga
kata pendek, dia berhasil menyudutkanku dan mem?buat?
ku speechless. "Maaf, Pak Mul. Bukan maksud saya be?
gitu." "Sebaliknya, Miss Putri," sahut Pak Mul dengan suara
datar. "Saya senang kalau saya dianggap tidak ada. Itu
berarti kehadiran saya tidak mengganggu kalian sama
sekali, dan itu juga berarti saya sudah melakukan tugas
saya dengan baik sekali."
Oke. Pak Mul berhasil mengembalikan rasa percaya
diriku. Aku kembali menatap Valeria yang langsung
meng?alihkan pandangannya. Ternyata perasaanku benar:
cewek ini memang sengaja menjebakku dan membuatku
malu sehingga berhenti bicara. Dia tidak menduga Pak
Mul tidak berada di pihaknya.
Ha-ha-ha. Satu-nol untukku.
"Jadi?" tanyaku sengak. "Sekarang kamu lebih enak
bicara, kan?" 287 Isi-Omen6.indd 287 Valeria terdiam lama sekali. "Tadi gue diserang anakanak Rapid Fire."
Aku mengerutkan alis. Nama itu terdengar familier,
seperti?nya pernah disinggung belakangan ini secara tidak
penting, sampai-sampai aku tidak mengingatnya lagi.
Aku kan bukan Erika Guruh yang punya daya ingat foto?
grafis. "Geng motor?"
"Ya, dan mereka itu teman-teman Andra."
Ah, ya. Aku ingat semuanya. Andra adalah salah satu
anggota komplotan Nikki yang belakangan dikorbankan
oleh mereka, mungkin karena anak itu pecundang ba?nget.
Pada waktu itu terdapat spekulasi bahwa ke?mung?kin??an
Andra direkrut hanya demi koneksinya dengan geng motor
Rapid Fire, yang merupakan geng motor yang tidak segansegan melakukan kriminalitas hanya untuk kesenangan
belaka. Sekarang semuanya jadi nyam?bung.
"Jadi mereka bener-bener join dengan Nikki?" tanyaku.
"Apa keuntungannya buat mereka? Apa mereka punya
se?macam sponsor atau gimana?"
Hanya sekilas, tapi aku bisa melihatnya, wajah Valeria
berubah. Tapi lalu dia mengangkat bahu dengan ringan.
"Yah, lo tanya aja sama Damian kenapa dia stuck dengan
Nikki padahal sepertinya dia benci bener sama cewek
itu." "Oh ya?" Aku menatapnya dengan penuh rasa tertarik.
Dalam sekejap, aku lupa dengan sekilas kesan yang
kudapatkan tadi, bahwa Valeria menyembunyikan sesuatu
dariku. Kini aku lebih tertarik dengan kenyataan bahwa
Damian tidak menyukai Nikki. Habis, aku sama sekali
tidak tahu soal itu lho. Malahan, tadinya kupikir dia dan
Nikki punya hubungan yang tidak kumengerti. Mungkin
288 Isi-Omen6.indd 288 dia semacam eks pacar Nikki atau apa... Oke, yang ini
sih rasa cemburu yang berbicara. Tidak mungkin Nikki
meng?ajak eks pacarnya untuk mengacau di sekolah kami.
Lebih mungkin lagi, mereka bersaudara atau se?jenis?nya.
"Kok kamu tau dia nggak suka Nikki?"
"Itu kan jelas banget," seringai Valeria. "Cowok itu ke?
lihat?an anti banget dekat-dekat Nikki kok. Me?mangnya
tiap kali lo lihatin Damian, yang lo lihat apa?nya? Muka?
nya doang?" Sekarang aku jadi speechless sungguhan. Di sini hanya
ada Pak Mul, tapi sungguh, rasanya seperti rahasiaku
yang paling memalukan disiarkan ke seluruh dunia dan
semua orang langsung menertawakan cintaku yang tak
terbalas. Melihat wajahku yang berubah, Valeria buru-buru ber?
kata, "Eh, sori, sori banget. Gue salah ngomong, ya?"
Otakku berputar cepat. Aku tahu, dalam kesempatan
yang sangat sempit ini aku harus berhasil mendapatkan
simpati Valeria. Dalam sepersekian detik, aku memutus?kan
untuk memelototinya seraya memasang muka se?betebetenya. "Ya jelas dong! Kamu juga tau itu kejadian yang
nggak kepingin kuungkit-ungkit! Apalagi tadi justru dia
yang nuduh aku jadi pelaku dan mojokin aku, padahal..."
Aku membuang muka karena, sialnya, meski awalnya
cuma akting, kini aku benar-benar ingat pada Damian.
Aku ingat bagaimana dia mengatakan bahwa cewek yang
dia suka hanya aku dan membuatku tersipu-sipu bahagia.
Tapi lalu, beberapa saat kemudian, dia membuat semua
kebahagiaan itu hancur berantakan dengan mengatakan
bahwa dia tidak pernah bersamaku dan bahwa akulah
orang yang sudah mencelakakan Bima.
289 Isi-Omen6.indd 289 Dasar cowok iblis kurang ajar! Benar-benar selalu ber?
hasil membuatku depresi dan darah tinggi! Jika suatu
saat aku berhasil menangkapnya melakukan kejahatan,
aku akan... aku akan... "Ehm, Put?" Aku merasakan jari-jari Valeria menyentuh
tanganku perlahan, dan semua khayalan jahat mengenai
Damian pun buyar. "Gue bener-bener sori banget. Gue
pikir, ehm, kita bisa bicarain soal Damian dengan, ehm,
lebih terbuka..." "Nggak mungkin bisa terbuka," tukasku. "Itu masalah
pribadi, tau?" Valeria diam sejenak. "Sori."
"Udahlah, lupain aja." Aku mendengus. "Tapi, bicara soal
pri?badi, kenapa kamu bilang soal kamu diserang itu masa?
lah pribadi? Bukannya itu berkaitan dengan kasus kita?"
Aku berusaha menahan senyum puas saat melihat
Valeria kelabakan. "Ehm, soalnya... Lo tau kan, gue dulu
pernah berurusan sama Andra?"
"Oh ya?" tanyaku tak percaya. "Kapan?"
"Waktu kasus pameran Tujuh Lukisan Horor Rima itu
lho. Waktu itu memang lo belum terlibat, tapi gue yakin
lo pernah mendengar kasus itu."
Tentu saja aku pernah mendengar kasus itu, dan aku
juga tahu bahwa kasus itu sama sekali tidak berkaitan
de?ngan Valeria secara pribadi. Cewek itu hanya mengadaada, dan itu membuatku semakin yakin ada yang disem?
bunyi?kan olehnya. Berhubung dia tidak ingin mengata?
kannya, aku memutuskan untuk berpura-pura percaya
pada?nya, lalu menyelidiki hal ini secara diam-diam.
"Iya, kamu benar juga," sahutku akhirnya. "Aku nyaris
aja lupa soal kasus itu."
290 Isi-Omen6.indd 290 Aku melirik Valeria, dan melihat cewek itu akhirnya
ber?sandar dengan tampang lebih santai. Sekali lagi aku
mendapat konfirmasi bahwa dugaanku benar: Valeria
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembunyikan sesuatu, dan dia sama sekali tidak
berniat memberitahukannya padaku meski aku sudah
maksa banget. Maaf, Valeria. Seperti kataku tadi, di antara kita nggak
ada yang namanya masalah pribadi. Masalahmu ya masalah?
ku juga. Aku nggak mungkin akan berpangku tangan me?lihat?
mu dicederai seperti ini, demikian juga Aya beserta Rima.
Jadi sori ya, kalau kami kepo.
Akhirnya kami tiba di rumah sakit. Aku menemani
Valeria ke IGD, dan dia harus dirontgen di seluruh
tu?buh?nya untuk mencari tahu apakah ada tulang yang
retak, lalu di-CT-scan untuk memeriksa kemungkinan
ada???nya gegar otak. Setelah semua luka luar?yang di
luar dugaan cukup parah, padahal selama di mobil
cewek itu tidak mengeluh sedikit pun?akhirnya ber?
hasil diobati, hasil-hasil pemeriksaan akhirnya keluar
juga. Untung sekali, tubuh cewek itu ternyata cukup
kuat. Tidak ada bagian dalam yang terluka akibat ke?
celakaan itu. "Syukurlah," ucapku saat kami sudah selesai mem?
bayar. "Apa kamu akan ceritain ini ke Mr. Guntur?"
"Sepertinya nggak perlu. Pak Mul pasti akan cerita
begitu selesai nganterin kita pulang." Ternyata cewek itu
juga menyadari di mana kesetiaan utama Pak Mul ter?
letak. Tentu saja Pak Mul tidak sering-sering melaporkan
kegiatan kami pada Mr. Guntur. Akan tetapi, kali ini
masa?lah?nya menyangkut Valeria, dan kurasa Mr. Guntur
akan mengamuk kalau beliau tidak diberitahu soal ke?
291 Isi-Omen6.indd 291 celakaan yang menimpa anaknya. "Kalo dia nggak nge?
lapor, ya ada keuntungan buat kita. Saat ini campur
tangan bokap gue cuma mengganggu aja. Kita kan masih
ada kasus yang harus dipecahkan."
"Kasus yang hingga sekarang nggak ada titik terang?
nya," gumamku murung, "dan dari waktu ke waktu ber?
tambah rumit." "Semangat dong, Put," senyum Valeria. "Ini kan baru
sehari. Kita pasti akan bisa mecahinnya. Masa kita kalah
sama Nikki dan komplotannya itu?"
"Memang sih," geramku. "Nggak sudi banget kita ka?
lah dari mereka. Apa kita perlu kembali ke sekolah lagi?
Tadi waktu aku ke sini, Rima dan Aya masih di sekolah?
lho." "Sekarang mereka di mana?" tanya Valeria tampak
tertarik. "Coba telepon mereka dulu. Kamu telepon Aya,
aku tele?pon Rima." Aku langsung meraih teleponku dan menekan speed
dial. Dalam waktu singkat, aku mendengar suara rendah
menyahut di seberang. "Talk."
Dasar anak kurang ajar! Dia pikir aku kliennya? "Ini
Putri Badai." "Udah tau. Gue nggak bodoh. Ada nama lo gede-gede
di layar hape gue." "Kalau gitu, sopan sedikit kek," ketusku. "Ada per?
kembangan apa?" "Ada deh," jawab anak mata duitan itu dengan suara
pongah. Sebelum aku sempat menyemprotnya, Aya su?
dah menambahkan, "Tenang aja. Nanti akan gue cerita?in
semuanya di rumah nanti."
"Jadi aku dan Valeria nggak usah balik ke sekolah lagi?"
292 Isi-Omen6.indd 292 "Nggak usahlah. Nggak ada lagi yang bisa kita lakukan
di sini." "Oke," sahutku. "Mau dijemput?"
"Nggak perlu. Buat apa gue piara dua tuyul nggak
guna begini? Jelas-jelas untuk diperbudak, kan?" Ter?
dengar protesan-protesan di belakang, tapi Aya sama
sekali tidak mengindahkan mereka. "Dan nggak usah
khawatir soal Rima. Nanti kami akan pulang bareng."
"Oke kalo gitu," ucapku seraya menahan tawa. "Sam?
pai ketemu di rumah nanti."
"Daaah!" Aku mematikan telepon dan melihat Valeria masih
ber?kutat dengan teleponnya dengan wajah bingung.
"Ada apa?" "Mmm, ini si Rima, dari tadi diteleponin nggak di?
angkat. Sedangkan BBM, WA, dan SMS nggak dibales."
"Oh ya?" Ini benar-benar aneh. Kami semua punya
prinsip, kalau tidak bisa mengangkat telepon, minimal
BBM, WA, atau SMS. Kalau memang tidak ada sinyal
atau sedang tidak sempat membalas, missed call kembali.
"Coba aku yang telepon."
Terdengar nada tunggu saat aku menekan speed dial
untuk nomor HP Rima. Sama seperti yang dialami
Valeria, tidak ada balasan dari seberang sana hingga nada
tunggu berubah menjadi suara operator. Aku mematikan
sambungan dan menekan sekali lagi. Hasilnya sama.
"Kita perlu khawatir nggak nih?" tanya Valeria sambil
memandangiku. "Aku nggak tau," gelengku, tapi tak bisa kusangkal, aku
mulai cemas. Dari antara kami semua, Rima-lah yang
paling lemah. Kalau sampai terjadi apa-apa pada?nya...
293 Isi-Omen6.indd 293 Aku menggeleng lebih keras lagi. "Dia pasti akan baikbaik aja. Satu kelebihan Rima, dia paling pandai me?
larikan diri." "Itu bener banget," seringai Valeria. "Dan seharusnya
nggak semua orang berani macam-macam pada sang
Peramal. Memang nggak semua orang percaya dengan
kemampuan Rima itu. Tapi siapa sih yang mau ngambil
risiko dikutuk sial seumur hidup?"
Ah ya. Karena terlalu lama bergaul dengan Rima, aku
lupa dia dianggap punya kemampuan mistis oleh orangorang lain. Padahal, di luar tampangnya yang seram
banget, Rima termasuk anak yang cenderung normal.
Setidaknya dibanding kami-kami yang lain.
"Benar katamu," aku mengangguk. "Lagi pula, kata
Aya, dia akan cari Rima. Aya bisa diandalkan, jadi kita
bisa tenang." "Oke deh," ucap Valeria. "Kalo gitu, kita langsung
pulang aja." Tidak membutuhkan waktu lama bagi Pak Mul untuk
mengantar kami ke depan rumah kami di kompleks ter?
bengkalai. Hari sudah mulai sore, dan di kompleks kami
matahari turun lebih cepat. Langit sudah mulai temaram
saat kami selesai mandi dan menyiapkan makan malam.
Biasanya, kalau Rima ada, dialah yang menyiapkan ma?
kan malam. Terkadang Andrew, pengurus rumah keluarga
Guntur, mengirim makanan yang cukup untuk beberapa
hari. Hanya di saat-saat tertentu, saat Rima ber?halangan
dan tidak ada makanan dari Andrew, kami ter?paksa
turun tangan. Lagi pula, kami tidak benar-benar
memasak kok, melainkan hanya menggoreng semua yang
ada di freezer: nugget, sayap ayam, kentang goreng,
294 Isi-Omen6.indd 294 pokoknya segala makanan cepat saji yang kondisi gizinya
patut dipertanyakan. Meski begitu, aku tetap tidak senang. Soalnya aku
tidak pandai dan tidak suka memasak. Berbeda dengan
Valeria yang bernyanyi-nyanyi kecil saat mencemplungcemplungkan bahan makanan yang membekukan jari,
aku rasanya ingin menimpuk-nimpukkan bahan-bahan
beku itu ke arah pintu untuk menyambut Rima dan Aya
yang belum nongol-nongol juga.
"Kenapa harus kita yang capek-capek siapin makan
malam begini?" gerutuku. "Di mana sih dua anak itu?
Kenapa lama banget? Apa mereka makan dulu di luar
bareng dua tuyul piaraan Aya? Kalo gitu ngapain kita
siapin makanan untuk mereka?"
"Put, jangan merepet terus. Kalo lo nggak enjoy masak,
biar gue aja. Kan gampang gini lho."
Enak saja dia ngomong. Bapaknya itu majikanku, jadi
mana mungkin aku membiarkan anaknya memasak
untukku? Seresek-reseknya aku, aku masih tahu diri. Jadi,
aku pun menutup mulutku dan terus bekerja di samping
Valeria. "Menurut lo, mereka berdua baik-baik aja, kan?"
"Kenapa?" Aku melirik Valeria. "Kamu masih mikirin
soal Rima nggak angkat telepon?"
"Iya, aneh aja soalnya."
Tak bisa kusangkal, ada kepanikan kecil yang me?
ngepak-ngepak di perutku saat memikirkan hal itu. "Tapi
kalo memang ada apa-apa dengan Rima, Aya pasti udah
nelepon kita lagi, kan?"
"Iya sih. Cuma gue tetep mikir, Rima itu kan..."
"Rima itu kenapa?"
295 Isi-Omen6.indd 295 Aku dan Valeria menjerit keras saat tiba-tiba Rima
muncul di tengah-tengah kami. Serius, kenapa sih cewek
ini bisa bergerak tanpa suara sama sekali? Memangnya
dia datang ke sini dengan cara terbang?
"Rima!" Jeritan Valeria berubah jadi seruan girang. "Lo
nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa." Aneh. Meskipun cewek itu memang
ke?lihatan baik-baik saja, dia hanya menunduk dan tidak
mem?balas pandangan kami. Lebih parah lagi, pada dasar?
nya kulit cewek itu sudah pucat, dan kini makin parah
sampai-sampai tampak rada kehijauan. "Maaf, tadi aku
mau menelepon balik, batere hapeku habis."
"Oh ya, nggak apa-apa," sahut Valeria sebelum aku
sempat menyemprot Rima. "Tapi lo kelihatannya kurang
sehat. Apa lagi sakit?"
"Nggak, aku baik-baik saja," geleng Rima. "Mau aku
yang terusin masak?"
"Jangan, udah kepalang tanggung. Lo istirahat aja,"
senyum Valeria. "Thanks," ucap Rima, lalu menghilang secepat ke?
munculannya. Saat Rima tak terlihat lagi, Valeria berkata perlahan,
"Dia nyembunyiin sesuatu."
"Pasti," anggukku muram. "Dia bahkan nggak me?
nyadari kamu penuh perban begitu, padahal biasanya dia
kan selalu penuh observasi."
"Halo!" Aya muncul sambil melambai. "Wah, kalian
yang masak! Kita makan apa? Makanannya belum kedalu?
warsa, kan?" Cewek itu mengeluarkan suara tercekik saat
aku mencekal kerahnya. "Apa-apaan, Put?"
296 Isi-Omen6.indd 296 "Kita harus bicara," ketusku. "Jauh dari si hantu su?
mur." "Oh, itu," seringai Aya. "Tenang. Gue juga punya sesuatu
yang mau gue ceritain."
297 Isi-Omen6.indd 297 Erika Guruh ENTAH kenapa sepanjang sisa hari ini aku begitu sadar
akan kehadiran Eliza. Mungkin karena apa yang dilakukannya pada waktu
merayakan ulang tahun si Ojek tadi. Bagaimana dia me?
rencanakan pesta kejutan untuk si Ojek tanpa mem?beri?
tahuku. Bagaimana dia memasang fotoku yang terburuk
bersanding dengan fotonya yang terbaik. Bagaimana dia
berpura-pura malu saat dipasangkan dengan si Ojek,
bahkan sama sekali tidak menolak, padahal dia tahu si
Ojek adalah pacarku. Setelah menyingkirkan teman-temanku, kini dia ingin
merebut pacarku? Apa dia kira aku ini semacam santa
dan mau-mau saja menerima semua perlakuannya pada?
ku? Kalau begitu, itu berarti dia belum mengenalku. Aku
salah satu orang yang memercayai ungkapan ini: "Ke?
percayaan itu ibarat selembar kertas. Sekali kita me?remas?
nya, ia takkan kembali sempurna." Dulu dia pernah
meng?khianatiku begitu dalam, dan aku masih saja me?
mercayainya. Tapi dia tidak tahu, keper?cayaanku padanya
itu rapuh banget. Sekali dia menunjuk?kan tanda-tanda
298 Isi-Omen6.indd 298 ingin menusukku dari belakang lagi, aku sudah siap.
Kalau dia tidak hati-hati, bisa-bisa aku me?nusuk?nya dulu?
an. Jangan bilang aku keterlaluan. Ingat, aku ini Omen.
Pada dasarnya aku memang bukan anak baik kok. Jadi
jangan mengharapkan hal-hal mustahil dariku. Aku tidak
berbaik hati atau penuh kasih dan selalu mengampuni.
Kalau aku memang sebaik itu, tak bakalan ada yang men?
julukiku Omen. Intinya, hari ini radarku sensitif banget. Apa pun yang
Eliza lakukan, atau ke mana pun dia pergi, aku segera
mengetahuinya meski aku masih duduk di bangkuku dan
mengerjakan program yang menjadi tanggung jawabku.
Aku memperhatikannya saat dia buru-buru pergi ke
pantry saat si Ojek mengambil minum. Aku juga mem?per?
hatikannya saat dia berpura-pura men?jatuhkan dokumen
saat si Ojek melewati mejanya.
Aku masih memperhatikannya saat dia mendadak ke?
luar dari kantor waktu jam tiga sore. Pada saat itu jam
kantor masih belum berakhir, jadi bukan sesuatu yang
wajar kalau dia menyelinap pergi. Mana dia sama sekali
tidak memberitahuku, padahal seharusnya kami pulang
bersama. Jadi, aku pun menguntitnya.
*** Ini jelas bukan pekerjaan gampang. Pertama-tama, sudah
jelas aku tidak boleh terlihat oleh objek penye?lidik?anku.
Padahal Eliza tampak begitu berhati-hati. Setiap kali dia
melakukan sesuatu yang cukup signifikan, seperti ber?
299
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Isi-Omen6.indd 299 belok atau membuka pintu, dia akan mengecek sekitar?
nya dulu. Akibatnya, aku harus buru-buru menyatu de?
ngan kondisi sekitar. Aku harus berjongkok di belakang
meja, nemplok pada ceruk di dinding, bahkan sekali wak?
tu aku harus tiarap di lantai dan berharap pot tanaman
berbentuk kotak panjang bisa menutupi diriku.
Yang tidak kalah sulit, aku juga harus menyelinap
keluar dari kantor tanpa ketahuan. Padahal para pegawai
kantor kami sudah cukup bete denganku lantaran jam
kerjaku yang sedikit. Yah, bukannya aku tidak menyadari
hal itu. Aku kan tidak bodoh. Lagi pula, pendapat me?
reka kan tidak penting. Aku tidak merasa perlu tuh ber?
sikap seperti Eliza yang menjilat-jilat mereka dengan
ber?bagai pujian dan mengeluh soal sulitnya pelajaran
sekolah hanya untuk mendapatkan belas kasihan. Yang
penting aku jago dalam pekerjaanku dan semua orang
puas dengan hasilnya. Habis perkara.
Tapi sekarang semua orang serasa jadi musuh. Kalau
sam?pai mereka tahu aku kabur dari kantor, pasti semua?
nya jadi masalah besar. Mungkin mereka bakalan men?
desak si Ojek untuk memberiku SP alias Surat Peringatan.
Mungkin aku akan disidang (dengan si Ojek sebagai
saksi). Apa pun juga yang mereka ingin lakukan, aku
tahu, semuanya akan merepotkan si Ojek. Bukannya aku
ke?beratan merepotkan si Ojek. Dia kan cowokku, jadi
satu, dua, atau tiga kali?atau ribuan kali?dia memang
harus repot demi aku. Tapi aku tidak senang dia repot
ka?rena masalah-masalah bodoh begini. Memalukan diriku
saja. Oke, sejauh ini aku ternyata cukup hebat. Sudah ber?
hasil menguntit Eliza hingga ke taman indah di depan
300 Isi-Omen6.indd 300 gedung kantor kami, tidak ada orang kantor yang me?
mergokiku. Sekarang aku hanya perlu memutuskan apa?
kah aku harus menguntit Eliza dengan menggunakan bus
atau alat transportasi apa pun juga yang dia gunakan,
ataukah aku kabur sejenak untuk mengambil si Butut...
"Eh, dasar maling! Ngapain ngumpet di sini?"
Gawat! Ternyata ada yang memergokiku... Ah, cuma si
Ojek. "Pssst!" Aku mendesis dan menariknya supaya ikut
ngumpet. "Jangan berisik, dasar culun! Dan sadis amat
lo manggil gue maling! Gimana kalo kedengeran satpam
atau polisi terus gue diciduk?"
"Nggak apa-apa, nanti tinggal aku tebus dari pen?jara,"
si Ojek menyeringai dengan gaya menyebalkan yang
sialnya malah terlihat ganteng. Mungkin cowok ini me?
mang sengaja bergaya-gaya menyebalkan karena tahu
de?ngan pose itulah dia tampak ganteng.
"Daripada lo tebus-tebus, mendingan duitnya sini buat
gue," celaku. "Udah ah, jangan gangguin gue lagi! Tuh
kan si Eliza keburu naik taksi! Yah... gara-gara lo bawel
sih, gue jadi nggak konsen nguntit dia!"
"Nggak usah panik." Si Ojek berjalan dengan santai ke
jalan raya di depan kantor kami, tepatnya menuju ?sebuah
mobil BMW yang tampak kinclong di bawah sinar mata?
hari sore. "Melihat kamu mengendap-endap kayak maling
kampung tadi, aku sudah menduga niatmu. Jadi aku suruh
sopir valet bawa mobilku ke depan sini."
Seorang petugas berseragam keren menghampiri si
Ojek, memberikan kunci mobil dan menerima selembar
uang gobanan. Hmm, sepertinya pekerjaan sebagai pe?
tugas valet cukup menjanjikan juga.
301 Isi-Omen6.indd 301 "Ayo, masuk, Ngil! Kamu mau ketinggalan?"
Aku buru-buru menyelinap ke kursi penumpang di se?
belah kursi pengemudi. "Masih berani nyuruh-nyuruh
lagi?" salakku. "Salah lo sampe kita terbirit-birit gini!"
"Nggak salah kok." Belum selesai aku mengenakan sa?
buk pengaman, si Ojek sudah tancap gas. "Memang?nya
kamu pikir Eliza nggak akan sadar dikuntit kamu kalo
kamu bawa si Butut? Mobil jelek mencolok gitu!"
"Eh, tolong ya, Mas Bro!" cetusku. "BMW memangnya
kagak mencolok ya?" Si Ojek terdiam sejenak, tampak berperang antara
ingin membela diri dan terpaksa mengakui ketololannya
yang luar biasa itu. "Yah, sama aja deh. Tapi setidaknya
BMW bisa jadi disetir siapa aja, si Butut sopirnya cuma
kamu." "Cih, masih berani-beraninya nyinggung si Butut yang
malang," celaku. "Lo ngasih gue mobil yang nyaris
almarhum, sementara lo sendiri bawa BMW?"
"Ini pinjeman, Non. Aku kan udah general manager,
jadi berhak meng?gunakan mobil perusahaan dong."
Aku mendengus, teringat motor BMW Val. "Kenapa
sih orang-orang kaya seneng banget pake BMW?"
"Memangnya siapa lagi yang pake BMW?" tanya si
Ojek terheran-heran. "Val." "Oh ya? Sekarang dia bawa mobil sendiri?"
"Motor," jawabku tanpa bisa menahan rasa iri di hati?
ku. "Dia kelihatan keren naik motor gitu."
"Yah, kalo kamu mau belajar bawa motor, bilang aja.
Kan bisa kuajarin." 302 Isi-Omen6.indd 302 "Mau sih. Tapi lo jangan diktator lagi kayak waktu lo
ngajarin gue bawa mobil."
"Maaf ya. Tanpa guru yang killer, murid nggak akan
bisa maju. Omong-omong, sepertinya Eliza kembali ke
sekolah." "Nenek-nenek juga tau kalo cuma itu mah."
"Gitu ya? Coba aku turun, tanya nenek-nenek yang
lagi jualan kaus kaki itu..."
"Gila," aku menatap si Ojek dengan pandangan meng?
hina. "Lo berani ganggu hidup seorang nenek hanya
supaya bisa mempermalukan gue, padahal lo tau gue
muka badak dan nggak mungkin bisa malu cuma garagara beginian? Benar-benar rendah!"
"Justru nenek-neneknya pasti seneng kalo aku samper?
in," tukas si Ojek. "Selain semua cewek pasti seneng di?
samperin cowok ganteng, aku juga bakalan beli semua
kaus kakinya." "Nggak usah pamer kekayaan!" cibirku. "Dan buat apa
kaus kaki sebanyak itu? Buat dibagi-bagiin ke orang kan?
tor?" "Ide bagus," si Ojek manggut-manggut. "Terutama aku
ke?nal seorang cewek yang kaus kakinya bolongbolong..."
"Ha-ha-ha, lucu," aku tertawa palsu, lalu terdiam. "Eh,
mak?sud lo gue, kan? Atau ada cewek lain lagi?"
Si Ojek menghela napas panjang. "Haduh, ngurusin
kamu aja aku nyaris nggak sanggup, ngapain lagi aku
ngurusin cewek lain?"
"Bagus." Aku tersenyum puas. "Memang tujuan gue
ber???tingkah adalah, supaya lo jadi repot. Aslinya sih gue
manis dan baik hati."
303 Isi-Omen6.indd 303 "Itu namanya denial, Ngil, atau delusional," cetus si
Ojek. "Nah, sebaiknya aku berhenti di sini daripada
parkir di dekat sekolahan dan menarik perhatian Eliza."
"No problem," sahutku. "Gue kenal tukang parkir di
sini. Nanti ya, gue suruh dia jagain mobil lo yang cuma
pinjeman ini." Aku keluar dari mobil dan menghampiri tukang parkir
yang mengenakan seragam oranye. "Sep, Sep, gue titip
mobil gue ini ya. Awas kalo sampe ada apa-apa. Sedikit
lecet aja, akan gue kejer lo sampe ke neraka."
Si tukang parkir hanya cengengesan menanggapi
ancam?anku yang mengerikan. Habis, bodinya gede
banget, tidak kalah dengan Ade Rai. Tidak percuma dia
dijuluki Bisep oleh anak-anak sekolahan kami. Nama
aslinya sih Asep tok. "Siap, Non. Tapi bukannya mobil
Non biasanya butut?"
"Diem lo, Sep."
Setelah membereskan masalah parkiran ini?dan tentu?
nya ditambah lembaran goban lagi dari si Ojek, yang
membuatku betul-betul serius mempertimbangkan karier
sebagai petugas valet garis miring tukang parkir elite?
kami berdua berjalan menuju sekolah. Dari jauh kami
bisa melihat Eliza menebar pesona pada satpam yang
men?jaga pintu gerbang. "Boleh masuk sebentar ya, Pak," aku bisa mendengar?
nya bicara. "Ada barang yang ketinggalan."
Seperti biasa, satpam-satpam itu terpesona pada
senyum Eliza dan membiarkannya masuk. Sementara aku
dan si Ojek tak bakalan mendapat kesempatan yang
sama. Lagi pula, rasanya lebih baik kalau satpam-satpam
itu tidak mengetahui keberadaan kami.
304 Isi-Omen6.indd 304 "Jek, kita manjat pager aja," usulku seraya mendekati
pagar tempat aku biasa menyelinap masuk. Dari sana
aku tinggal memanjat pohon dan meloncat melewati
pagar sekolah yang lumayan tinggi.
"Eh," cetus si Ojek waswas, "bukannya jalan masuk ini
nembus ke toilet cewek?"
"Sori ngecewain, tapi jam segini udah nggak ada ce?
wek kali di toilet."
"Tetep aja," gumam si Ojek dengan muka penuh harga
diri. "Aku ini Viktor Yamada, tau? Aku nggak pernah ma?
suk ke toilet cewek."
"Kalo gitu kali ini lo kudu berkompromi sebentar,"
ucapku bete. "Kecuali lo kepingin nunggu di luar sini,
mendingan lo ikutin cara gue."
Wajah si Ojek berubah masam, wajah yang sebenarnya
adalah wajahnya pada kondisi biasa. Hanya pada waktu
bersamaku saja wajahnya tak masam-masam amat. Tapi
kini dipaksa melanggar prinsipnya, si Ojek tampak bete
berat. "Kalo sampe kejadian ini tersebar, kamu orang pertama
yang kucekik ya." "Tenang, Jek, gue bisa jaga rahasia."
Untunglah si Ojek tidak banyak bacot lagi, melainkan
mengikutiku memanjat pohon dengan tampang bete dan
tertekan. Dalam sekejap, kami sudah berada di da?lam
sekolah. Kami memasuki toilet cewek yang, sesuai
dugaanku, kosong melompong, lalu keluar dari sana se?
telah memastikan bagian luar toilet aman.
"Polisinya sudah sisa sedikit," gumamku melihat satudua polisi yang masih berkeliaran. "Tapi TKP masih di?
kasih pita kuning. Dasar payah. Memangnya mereka kira
305 Isi-Omen6.indd 305 pita kuning itu sejenis pita jampi-jampi yang bisa bikin
anak-anak menjauh?" "Yah, sedikit banget anak-anak di sekolahmu yang
nggak takut dipenjara barang satu-dua malam karena
melanggar TKP." "Kalo gitu lo udah lupa rasanya jadi anak SMA. Se?
makin dilarang, rasanya kami semakin gatel kepingin
nge?langgar." Si Ojek berpikir sejenak. "Yah, rasanya aku juga pernah
kayak gitu. Kali ini kamu bener juga, Ngil."
Cih, baru tahu ya, aku selalu benar?
Kami berhasil menemukan Eliza yang berjalan dengan
sangat hati-hati dan waspada terhadap sekelilingnya. Se?
pertinya dia juga menghindari sedikit polisi yang masih
berjaga di TKP. Untunglah, di sekolah kami lebih banyak
pepohonan, tiang, dinding, dan semak-semak yang bisa
kami gunakan untuk bersembunyi dari pengamatan Eliza
yang sepertinya rada-rada paranoid. Apalagi langit sore
sudah mulai temaram. Rasanya tugas menguntit ini jadi
semakin gampang... Ups. Tidak juga. Jantungku serasa mencelus saat Eliza menoleh ke arah
kami. Untung saja, pada detik-detik terakhir si Ojek me?
nyambar tanganku dan menarikku merapat ke dinding?
atau, lebih tepatnya lagi, merapat pada dirinya. Aku bisa
mendengar bunyi jantung si Ojek yang berdetak cepat,
sama cepatnya dengan detak jantungku setiap kali berada
di dekatnya. Rasanya agak melegakan, bahwa bukan ha?
nya aku yang bereaksi sekonyol ini. Lagian, bukannya
pe?rasaan ini tidak menyenangkan...
Oke, stop berpikir yang aneh-aneh. Sekarang kami
306 Isi-Omen6.indd 306 nyaris ketahuan Eliza. Matanya menyipit ke arah kami,
menandakan dia sempat melihat sesuatu yang men?curiga?
kan. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Miaw." Arghhh. Apa sih yang kulakukan?! Lagi-lagi aku me?
laku?kan sesuatu tanpa berpikir. Ini semua gara-gara daya
ingat fotografis keparat. Mendadak saja ada adegan film
yang terlintas dalam pikiranku, tentang tokoh utama
yang mengeong saat dia nyaris dipergoki waktu meng?
untit penjahat. Tapi itu kan tidak berarti aku harus me?
niru adegan klise tersebut!
Eh, tidak disangka-sangka, Eliza terkecoh oleh meong?
an?ku. Dengan muka lebih santai dia berjalan pergi
lagi. Kurasakan badan si Ojek terguncang-guncang. Sialan,
dia sedang menertawaiku! Dengan mangkel aku me?
nyodok ketiaknya. "Jangan berisik dong! Lagian, apa sih
yang lucu, hah?" "Nggak sih," si Ojek buru-buru memasang sikap lebih
tenang. "Cuma, ehm, kamu memang mirip kucing
garong besar yang menakutkan..."
Grrr. Enak saja kucing. Aku ini lebih mirip harimau,
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu? Eliza menyelinap masuk ke dalam gedung eskul dan
langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Uh-oh, gawat.
Satu-satunya tangga di sekolah kami yang masih meng?
gunakan tangga kayu adalah tangga gedung eskul, dan
tangga itu sudah reyot banget. Setiap kali kami meng?
injaknya, terdengar bunyi berderit yang seolah-olah meng?
gema ke seluruh sekolah. Pokoknya, menaiki tangga itu
sama saja dengan mengumumkan keberadaan kami.
307 Isi-Omen6.indd 307 Satu-satunya cara adalah bergelantungan pada pegang?
an tangga seperti monyet, tapi kurasa cara itu hanya bisa
dilakukan olehku. Kalau si Ojek yang melakukannya, de?
ngan tinggi 180 cm dan berat badan hampir 70 kg, ku?
rasa pegangan tangga yang sudah rapuh itu tak bakalan
sanggup me?nahannya. Dalam waktu singkat aku bakalan
melihatnya terjun bebas dengan tangan menggapai-gapai
mirip pen?jahat dalam film Die Hard. Lalu, berhubung
cowok ini juga die hard alias susah matinya, dia hanya
akan meng?alami patah tulang di seluruh tubuhnya.
Kemudian aku akan dituntut oleh keluarga besar Yamada
yang pastinya bakalan menggunakan pengacara paling
top di negeri ini, dan pada akhirnya aku akan berakhir
di penjara. Dan semua kejadian naas itu terjadi gara-gara
dia nekat ber?gelantungan di pegangan tangga yang
sudah reyot ini. "Jek, mendingan lo tunggu di sini aja," bisikku. "Lo
nggak akan bisa naik tanpa bikin keributan, jadi enakan
gue naik sendirian."
Si Ojek berpikir sejenak. "Nope. Aku harus ikut naik."
"Buat apa?" Gila, bisa-bisanya si Ojek memilih saatsaat seperti ini untuk bertingkah! "Memangnya lo pikir
gue nggak sanggup ngadepin Eliza sendirian?"
"Ngadepin dia sih bisa, cuma aku takut ini hanya jebak?
an. Kalo ada apa-apa, kamu butuh aku sebagai saksi."
Oke, kata-kata si Ojek benar juga sih. "Tapi gimana
cara lo naik ke atas? Lo nggak mungkin bisa naik de?
ngan cara gelantungan kayak gue. Bisa-bisa pegangan
tangga?nya patah gara-gara lo terlalu berat."
"Kalo gitu, aku akan cari jalan lain. Tenang aja, Ngil.
Kamu naik dulu aja sendiri."
308 Isi-Omen6.indd 308 Aku mengangguk pada si Ojek, lalu mulai memanjat.
Tak ada sedikit pun keraguan di hatiku bahwa si Ojek
tak sanggup mencari jalan lain untuk naik. Jelek-jelek
begitu kan dia Viktor Yamada, cowok yang kecerdas?
annya nyaris setara denganku meski tanpa daya ingat
fotografis. Dengan segala cara dia pasti bisa menyusulku,
jadi aku hanya perlu fokus pada diriku sendiri.
Namun, bahkan hanya dengan begitu pun, aku masih
kepayahan. Rupa-rupanya Eliza naik ke lantai empat, dan
aku harus mengejarnya dengan kecepatan tinggi tanpa
ter?lihat olehnya. Rasanya tanganku nyaris putus dibuat?
nya. Beberapa kali tanganku nyaris terlepas dari pegang?
an dan aku sudah yakin ini bakal menjadi kemati?an?ku
yang tragis serta bodoh dan memalukan, tapi rupanya
Tuhan masih belum kepingin melihatku mejeng di surga.
Entah bagaimana caranya aku berhasil ber?tahan, dan
tahu-tahu saja aku sudah tiba di lantai empat. Rasanya
benar-benar melegakan karena akhirnya bisa berjalan
seperti manusia normal lagi.
Pada saat aku tiba di atas, pintu ruang OSIS terbuka
lebar. Aku tahu Rima selalu mengunci ruangan itu setiap
kali pulang sekolah, jadi pasti Eliza-lah yang mem?buka?
nya. Aku beringsut-ingsut mendekati ruangan itu, dan
melihat Eliza sedang sibuk di dalamnya. Sepertinya dia
sedang mempreteli loker-loker para pengurus inti OSIS?
dan itu berarti Rima dan/atau Aya. Yah, ada Daniel juga
sih, tapi aku punya feeling Daniel tidak menarik untuk
di?kerjai. Sampai titik ini aku sudah tidak bisa menyangkal lagi.
Yep, sudah pasti Eliza terlibat dalam kasus yang terjadi
hari ini. Aku tidak tahu seberapa dalam keterlibatannya,
309 Isi-Omen6.indd 309 apa?kah dia pelaku sebenarnya atau hanya membantu si
pe?laku melakukan rencananya, tetap saja ini semua mem?
buktikan dia ada di pihak Nikki. Kenyataan ini memukul?
ku telak pada wajahku. Bagaimana tidak? Selama ini ke?
percayaanku padanya sia-sia belaka. Aku bahkan sudah
membuang teman-temanku demi dirinya. Tetapi, ternyata
dia sama sekali tidak berubah. Sejujurnya saja, daripada
ulahnya berusaha merebut si Ojek dariku, hal ini jauh
lebih menyakitiku. Rasanya saat ini aku bisa membunuh Eliza atas peng?
khianatannya padaku. Tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikir begitu. Kini
yang harus kulakukan adalah mencari cara bagaimana
me?mecahkan kasus ini dan menjebloskan Eliza ke pen?
jara. Mungkin, seluruh kasus ini bergantung padaku.
Itu?lah sebabnya kali ini aku tidak boleh melakukan ke?
salahan. Aku tidak boleh terbawa emosi lantas melabrak
Eliza. Aku harus berkepala dingin dan memikir?kan tindak?
anku masak-masak. Seandainya saja si Ojek ada di sampingku saat ini. Aku
yakin perasaanku tak bakalan sekacau ini.
Oke, fokus, Erika. Bukan cuma kali ini elo dikhianatin
orang yang sama. Jadi jangan manja. Sekarang lo punya
misi penting?menyelamatkan teman-teman yang lo tinggal?
kan demi orang yang sepertinya punya tujuan menghancurkan
mereka. Jadi bertanggungjawablah dan jangan gagal!
Aku mengamati Eliza lagi, kali ini dengan hati yang
tidak sepanas tadi. Dari dua anggota OSIS yang mung?kin
akan dikerjain Eliza saat ini, Rima sudah men?dapat gilir?
annya hari ini. Jadi yang berikutnya pastilah Aya.
Eliza berbalik, tampak puas dengan dirinya. Rasanya
310 Isi-Omen6.indd 310 aneh melihat wajah yang menyerupai wajahku sendiri
menyeringai licik seperti itu. Kurasa tampangku agak me?
nyebalkan, pongah, terkadang angker dan brutal, tetapi
tidak pernah begitu licik dan mengerikan.
Atau mungkin aku jarang mengaca. Siapa tahu tam?
pangku sebenarnya memang mirip psikopat.
Aku buru-buru bersembunyi di balik partisi depan
toilet lantai empat saat Eliza keluar. Kini, tampak lebih
santai, dia menuruni tangga. Setelah yakin Eliza tidak
bakalan balik lagi, aku kembali ke kelas.
Tepat pada saat si Ojek memanjat masuk dari luar
jendela. Sesuai dugaanku, cowok itu berhasil menemukan
cara untuk naik ke lantai empat tanpa menggunakan
tangga dan, sepertinya, dengan cara yang lebih tidak me?
nyakitkan dibanding caraku. Mungkin lain kali sebaiknya
aku memanjat lewat jendela juga.
"Lo lihat tadi?" tanyaku padanya.
Si Ojek mengangguk. Wajahnya yang biasanya masam
dan pongah kini berhias simpati. "Sori, tapi kurasa dia
memang terlibat dalam kasus yang kamu ceritain tadi."
Aku mengangguk murung. "Sepertinya dia ngelakuin
se?suatu pada loker Aya. Ayo, kita cek."
Tepat seperti yang kuduga: di dalam loker Aya ter?
geletak jarum besar, benang nilon, dan kloroform. Me?
lihat benda-benda ini, jantungku terasa ditusuk-tusuk.
"Dia pelakunya," ucapku. "Kalo bukan, tetap aja dia
yang membantu si pelaku."
"Bisa saja dia membeli semua itu lalu sengaja me?nimpa?
kan semuanya pada Aya, tanpa benar-benar tau siapa
pelakunya," kata si Ojek. "Tapi, kalo inget kepribadi?an
Eliza, sepertinya nggak mungkin dia nggak ter?libat..."
311 Isi-Omen6.indd 311 Aku sudah tidak mendengarkan si Ojek lagi. Pandang?
anku terpaku pada sesuatu yang familier di atas lantai.
Aku tidak ingat Eliza menjatuhkan benda ini di lantai,
tapi kemungkinan dia melakukannya pada saat aku
sedang sibuk mengumpet. Aku memungut benda itu.
"Hei," tegur si Ojek, "itu benda bukti, jangan dipegang
begitu aja dong! Nanti sidik jari kamu nempel gimana?"
"Sidik jadi gue udah nempel kok," sahutku datar. "Ini
dompet gue." "Lho?" Si Ojek tampak benar-benar terkejut. "Kamu
punya dompet?" "Lo kira duit gue disimpen di mana? Kantong plas?
tik?" "Yah, kupikir kamu nggak pernah bawa duit, abis kerja?
nya malak terus. Omong-omong, kamu perlu banget beli
dompet baru. Dompet yang kamu pegang sekarang ini
kayak dompet cowok."
"Yah, kelihatannya lebih efisien daripada dompet
cewek soalnya," kilahku seraya membuka dompet itu.
"Gila, kapan dia ngambil dompet gue sih?"
"Mungkin waktu tadi kamu di kantorku?"
"Oh ya, bener juga." Aku memandangi dompet itu de?
ngan murung. "Jadi semua ini maksudnya bukan untuk
mengambinghitamkan Rima, Putri, maupun Aya. Ini
untuk mengambinghitamkan gue."
"Tapi kamu kan punya alibi pada saat kejadian-kejadi?
an itu," cetus si Ojek.
"Alibi gue ya dia." Aku benar-benar bodoh. Tidak ku?
sangka, semua kejadian dulu terulang kembali. Pada
akhirnya, aku lagi yang akan dituduh sebagai pelakunya.
"Gue harus gimana sekarang?"
312 Isi-Omen6.indd 312 Si Ojek hanya menatapku dengan prihatin tanpa ber?
niat menyahutku. Kurasa, di dalam hati dia sedang ber?
pikir, "Dari dulu gue juga udah tau lo salah."
Ya, aku tahu aku bodoh banget.
Sekarang waktunya memperbaiki semua kesalahanku.
313 Isi-Omen6.indd 313 Aria Topan SEJAK bangun pagi, aku sudah dihantui firasat buruk.
Shoot. Rasanya malas banget ke sekolah, mengetahui
bakal?an ada peristiwa tak menyenangkan yang me?
nyambut?mu. Rasanya seperti menyerahkan diri dengan
suka?rela untuk dimakan harimau. Sayangnya, bolos se?
kolah tidak bakalan menyelesaikan masalah. Bisa saja
masalah itu setia menungguku dan meledak di saat-saat
aku tidak mengharapkannya?atau, lebih parah lagi, ber?
ganti menimpa teman-temanku. Lebih baik aku meng?
hadapinya dengan gagah berani. Setidaknya, saat ini aku
tahu apa yang akan kuhadapi.
Sayangnya, aku sama sekali tidak gagah berani. Aku
tipe orang yang tidak suka mengambil risiko dan tidak
suka menghadapi kekalahan maupun kerugian. Biasanya
aku selalu melarikan diri dari situasi-situasi semacam itu.
Kini aku mengais-ngais segenap keberanian yang hanya
secuil itu, lalu memaksakan diri untuk pergi ke sekolah
tepat pada saat bel berbunyi. Yep, alih-alih datang ke
sekolah bersama Putri dan Rima menggunakan Benz Pak
Mul yang mentereng, aku malah putar-putar di seluruh
314 Isi-Omen6.indd 314 perumahan dengan angkot demi menunda-nunda pergi
ke sekolah. Pengecut banget, kan? (Kalau Val sih datang
sendiri dengan menggunakan motor kerennya yang tadi
pagi sudah diantarkan juga oleh Pak Mul. Gosipnya, ke?
celaka?an yang dialami Val lumayan parah, namun motor
itu ternyata tidak mengalami kerusakan berarti. Seperti
motoku, kualitas tinggi layak dibeli de?ngan harga berapa
pun.) Belum lagi tindakan itu ternyata tolol banget, setelah
ku?pikir-pikir lagi. Seharusnya aku lebih cerdik dalam
meng?hadapi semua ini. Sayangnya, ketakutan melumpuh?
kan pikiranku dan membuatku melakukan kebodohan
demi kebodohan. Kalau bukan berkat campur tangan
teman-temanku, kurasa aku sudah jadi narapidana dan
meng?huni penjara Blok C bersama-sama pe?rampok, pe?
merkosa, pembunuh berantai, dan zombie (oke, aku
terlalu banyak nonton The Walking Dead, jadi lupakan
saja soal zombie tadi). Pokoknya, pada saat akhirnya aku tiba di sekolah,
suasana tidak enak sudah terasa. Tampak beberapa polisi
berjaga-jaga di pintu gerbang, dan kedua tuyul pe?lihara?
anku mencegatku sebelum aku mendekati sekolah.
"Lo ke mana aja, baru dateng jam segini?" tuntut Gil
de?ngan tampang depresi yang tidak biasanya ditampak?
kannya. "Kok nggak baca BBM gue?"
"Sori, biasa ngangkot," sahutku berusaha tampak te?
nang. "Kenapa? Kok jam segini belum bel? Dan kenapa
banyak polisi?" "Mau bel gimana," kata OJ seraya mengiringiku ma?
suk. "Pagi-pagi katanya ada laporan masuk ke kantor
polisi. Katanya, hari ini bakalan ada kejadian lagi."
315 Isi-Omen6.indd 315 "Yah, pelakunya belum ketangkep, sudah pasti masih
ada korban," ucapku. "Lalu kenapa kalian mencegat gue
kayak gini?" "Ehm, cuma mau ngasih tau," suara Gil merendah.
"Denger-denger, katanya polisi-polisi disuruh ngawasin
elo." "APA?!?" Meski sudah menduga hari ini aku bakalan
mendapat tuduhan-tuduhan tak mengenakkan, aku tetap
rada shock mendengar berita ini. "Siapa yang suruh?!"
"Entahlah," OJ menyahut. "Tapi bukannya elo dituduh
macem-macem lho, Ay. Gue denger..."
Ucapan OJ terhenti saat Inspektur Lukas muncul di
Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan gerbang diikuti oleh Daniel yang, omong-omong,
belakangan ini nempel banget dengannya. Baru kali ini
rasanya aku kepingin terbirit-birit saat melihat polisi
ganteng yang selalu tampak berwibawa di saat-saat
genting ini. "Selamat pagi, Aria." Ugh. Aku selalu merasa mual
setiap kali dipanggil dengan nama asliku. Habis, biasanya
itu terjadi di saat aku melakukan kesalahan dan harus
dihukum. Dan kali ini rasa-rasanya bakalan mirip juga,
soalnya suara Inspektur Lukas tajam banget. "Sepertinya
kamu sudah mendengar berita yang beredar dari kedua
temanmu yang setia ini. Tapi ada baiknya kamu men?
dengarnya secara resmi."
Aduh, semoga aku tidak disuruh mengulurkan tangan
untuk diborgol! "Jadi begini. Kami mendapat informasi yang bisa
diandalkan tentang akan ada lagi korban hari ini, korban
yang akan dicelakai dengan cara yang sama dengan
korban-korban kemarin, dan satu-satunya cara untuk
316 Isi-Omen6.indd 316 men?cegah hal itu adalah dengan mengawalmu terus
sepanjang hari ini."
Oke, tidak ada tuduhan terang-terangan yang ter?
kandung dalam kalimat itu. Tapi sikap Inspektur Lukas,
caranya menatapku seolah-olah ingin memakanku, dan
suaranya yang ya-ampun-serem-banget-man membuatku
merasa disalahkan untuk sesuatu yang bahkan belum
terjadi. Rasanya tidak adil, tapi hei, dia kan polisi. Kalau
aku memakinya bego?hal yang sebenarnya sangat ingin
kulakukan?bisa-bisa aku langsung ditangkap karena
meng?hina aparat negara (meski kemungkinan besar ini
tidak berlaku untuk murid-murid yang penuh jasa seperti
kami, soalnya aku sudah beberapa kali mendengar Erika
menghina si inspektur ini dan buktinya cewek itu masih
belum meringkuk di balik jeruji penjara).
Aku berpaling pada Daniel yang berdiri di samping
Inspektur Lukas. Cowok yang biasanya tengil dan baik
hati itu kini tampak serius dan muram. Kelihatannya dia
sama sekali tidak berniat membelaku, jadi aku beralih
lagi pada Inspektur Lukas.
"Tapi, Inspektur," aku mencoba membantah dengan
sopan namun juga jujur, "memangnya apa salah saya?
Apa setelah kemarin temen-temen saya dituduh ngelaku?
in sesuatu yang nggak mereka lakukan, hari ini giliran
saya? Ini semua nggak masuk akal dan nggak adil, Ins?
pektur Lukas!" "Yah, seperti kata saya tadi, kami dapat tips dari
sumber yang bisa diandalkan," kata si inspektur dengan
muka datar tanpa ekspresi. "Saya akan mencari petugas
yang bersedia mengawalmu. Sementara ini, Inspektur
Mariska, tolong sita tasnya dan geledah dia."
317 Isi-Omen6.indd 317 APA?! Rasanya aku nyaris menangis saat tasku yang berharga
dirampas dariku, sementara tubuhku diperiksa dengan
mendetail?sampai-sampai aku harus melepas sepatu?
oleh polwan yang tampangnya tidak kalah jutek di?
banding Putri Badai. Semua ini benar-benar ke?lewatan!
Tanpa bukti atau apa pun juga, hanya berdasar?kan tips
gaje yang entah berasal dari mana, aku diper?laku?kan
seperti penjahat begini! Polisi-polisi ini memang bodoh
atau bagaimana sih? Yang lebih memalukan lagi, aku harus ditonton semua
orang. Bukan saja oleh Gil dan OJ yang tampak risi dan
siap ngacir (tapi mungkin karena mereka setia pada
majikan mereka alias aku, mereka tetap berusaha ber?
tahan di posisi mereka), melainkan juga oleh Val, Rima,
dan Putri yang berdiri di pekarangan sekolah serta
tampak shock melihat apa yang terjadi padaku. Yah,
setidaknya Inspektur Lukas dan Daniel sudah pergi, jadi
berkuranglah dua penonton potensial.
Yang paling parah adalah, aku melihat Nikki yang
sedang bersembunyi di balik pohon, menampakkan diri
hanya untuk menertawakanku. Ya, dia menyunggingkan
senyum lebarnya yang membuat mulutnya terlihat nyaris
robek, khusus untuk diriku. Yuck, amit-amit banget!
Eh, tunggu dulu. Dia sedang bersama seseorang. Apa?
kah itu Damian... Shoot. Itu Eliza! Oke, aku tahu secara fisik Erika dan
Eliza kini mirip sekali. Tapi aku selalu merasa keduanya
memiliki perbedaan yang lumayan mencolok, terutama
dalam soal sikap tubuh. Sampai kapan pun, gaya Erika
akan selalu sengak dan sok jagoan, sementara Eliza,
318 Isi-Omen6.indd 318 tanpa berusaha, selalu tampak anggun dan feminin. Ku?
rasa, meski jarang membicarakannya, semua orang juga
berpendapat sama denganku.
Oke, ini aneh sekali. Bukannya menurut Erika, dia dan
Eliza punya kesepakatan bahwa Erika tidak akan ber?
teman dengan kami lagi asal Eliza tidak berteman de?
ngan Nikki lagi? Lalu mengapa Eliza dan Nikki bertemu
lagi secara diam-diam begini?
Hanya ada satu penjelasan yang masuk akal.
"Aya!" Pengamatanku terhalang oleh teman-temanku yang
menyerbu ke depan. "Inspektur Lukas!" bentak Putri Badai tanpa takut di?
anggap mengasari aparat negara. "Apa-apaan ini? Kenapa
teman saya diperlakukan seperti ini?"
Si polwan memasang tampang sama galaknya dengan
Putri Badai. "Maaf, saya hanya menjalankan perintah."
"Tapi ini omong kosong!" sergah Putri. "Teman saya
nggak ngelakuin kesalahan apa pun! Coba cek tas?nya,
nggak ada barang-barang yang mencurigakan, kan? Dia
bisa pergi sekarang, kan?"
"Maaf, dia harus tetap di sini sampai ada yang me?
ngawalnya," tegas si polwan tanpa takut sedikit pun
pada amukan Putri. Sebenarnya tontonan ini lumayan
juga, soalnya biasanya bahkan orang dewasa pun takut
pada Putri. Tapi polwan ini malah tampak lempenglempeng saja. Sepertinya Putri ketemu lawan yang
setimpal. "Inspektur Lukas, plis dong," Val menggunakan pen?
dekatan yang lebih halus. Aku memandangi Val dengan
kagum. Kemarin cewek itu tampak seperti dilindas truk,
319 Isi-Omen6.indd 319 tapi hari ini, berkat riasan dan jaket yang dikena?kannya,
dia tampak normal banget. "Temen saya nggak salah
apa-apa. Dia kan baru sampe di sekolah."
"Baru sampe di sekolah bukan berarti dia baru tiba di
sekolah untuk pertama kalinya hari ini. Bisa saja dia
sudah melakukan sesuatu lalu pergi lagi, kan?"
Aku hanya bisa ternganga mendengar jawaban itu.
Habis, rasanya tidak bisa dipercaya, semua ini terjadi
pada??ku! Menggunakan keterlambatanku sebagai alasan
untuk mencurigaiku? Semua ini benar-benar gila!
"Tapi itu hanya keterlambatan biasa!" Val membelaku.
"Ayolah, Inspektur! Kami sudah menyaksikan kejahatan
banyak orang, tapi orangnya nggak bisa diapa-apain
hanya karena kurang bukti, dan sekarang teman kami
yang nggak melakukan apa-apa ditahan, digeledah, dan
barang-barangnya disita hanya karena sebuah tips?"
"Maaf, sekali lagi, saya hanya menjalankan perintah.
Kalau kalian terus-terusan merecoki saya, kalian akan
saya tahan juga karena sudah menghalangi pekerjaan
polisi." Aku agak terhibur melihat wajah Val dan Putri yang
bete banget. Namun, yang mengecewakan, Rima sama
sekali bungkam dan tidak membelaku sepatah kata pun.
Padahal, dari antara mereka, hanya dialah yang tumbuh
bersamaku. "Sori ya, Ay," ucap Val sedih, "kami pasti nggak akan
tinggal diam. Pokoknya kami pasti akan membekuk
pelaku sialan yang udah mengambinghitamkan kita
ini!" Aku mengangguk lesu. Sebenarnya aku ingin meng?
ucap?kan terima kasih pada Val dan Putri yang sudah
Pelangi Dilangit Singosari 13 Wiro Sableng 079 Ninja Merah Tiga Dara Pendekar 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama