Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 4
Gian yang nyaris melenggang pergi, berhenti dan menoleh.
"Eh, hai, Nov...," sapa Gian canggung. Padahal tadi dia udah
bersyukur Inov nggak melihat dia dan dia nggak perlu menyapa Inov.
Susah payah Inov bergeser mendekat ke Mima yang masih
manyun. Dan sekarang ditambah kaget karena shock Inov
memanggil-manggil Gian. Mima menatap Inov dengan tatapan setajam gigi Drakula. Penuh tanda tanya.
"Ada apa, Nov?" tanya Gian ramah dan hangat. Padahal hati
sih panas. 209 "Bisa tolong gue, Gi?"
Gian melirik Mima. Mima mengangkat bahu sekilas. Nggak
tahu. "Gue... gue lagi sakit. Kayaknya gue nggak sanggup jalan.
Kalo cuma si bawel satu ini yang nopang gue pulang, kayaknya dia nggak bakal kuat. Lo bisa tolong?" tanya Inov serak
dan mata memelas. "Tolong... nganterin kamu pulang, maksudnya?" tanya Gian
nggak yakin. Inov mengangguk. "Iya. Bisa? Mima pasti nggak kuat. Gue
takut pingsan." Hah! Betapa nggak adilnya buat Gian. Udah harus nyaksiin
cewek pujaannya jalan sama cowok lain alias Inov berkali-kali,
sekarang dia masih harus menolong cowok itu?! Gian terdiam.
Mikir. Kalau dia nggak membantu Inov, apa berarti Mima
bakal memapah Inov sendirian? Mapah dia sendiran? Huh!
Dan kalau dia membantu Inov sekarang, artinya dia bisa
sama-sama Mima lebih lama, kan?! Gian juga nggak mau
dianggap cowok yang nggak suka menolong, apalagi kalau
dia nggak mau nolongin Inov padahal cuma dimintain tolong
begitu doang.... Gian nggak mau Mima punya kesan negatif tentang dirinya. Akhirnya Gian mengangguk mantap. "Oke, nggak masalah. Mau pulang naik apa, Mi?" Gian menatap Mima dalam.
Jantung Mima sampe deg-degan. Langsung salting. Nyengir nggak enak, diam juga nggak enak. Melek nggak, merem
apalagi. "Eng, naik?"
"Taksi," potong Inov.
TAKSI?! Mima mendelik ke arah Inov. Dia pikir mereka baru
ketiban karung duit, apa?! Sok-sok naik taksi! Udah jelas uang
biar satu sen pun lagi dikumpulin buat membayar setoran ke
210 Revo, si bandar goblok itu. Sekarang ngakunya mau naik
taksi?! Lagi migren kali ni anak! "Taksi?" desis Mima.
Inov ngangguk. "Iya, taksi. Kayaknya gue nggak kuat naik
angkot. Panas. Gue bawa uang kok..."
Monyooong! Sekarang malah bongkar rahasia ekonomi
mereka di depan Gian. Yah, terutama rahasia ekonomi Mima.
Kesannya Mima khawatir banget nggak bisa bayar taksi.
Harga diri Mima bagaikan dilempar dari puncak Monas, dicelup ke limbah beracun, terus ditemplokin ke pantat gajah!
Rusak serusak-rusaknya! Bibir Mima nggak tahan untuk nggak
manyun. "Terserah..."
"Itu taksi!" Gian tiba-tiba lari ke pinggir jalan.
PAK! Mima menepak bahu Inov. "Bagus! Biar gue kelihatan
pelit, mabok AC, dan nge-fans sama kenek angkot, ya? Kesannya gue pengin banget naek angkot!" desis Mima galak.
Inov menjawab datar, "Memang gue lagi nggak enak badan. Nggak kuat naik angkot."
Bibir Mima makin bermanuver. Bukan monyong biasa.
Udah jadi ekstramonyong. Dan buru-buru senyum sok imut
lagi pas Gian balik sehabis mencegat taksi.
"Tuh, taksinya. Kita naek sekarang?"
Mima mengangguk. Gian langsung bantu Inov berdiri.
"Eh, tunggu!" seru Inov begitu tangan Mima menyentuh
handle pintu depan, berniat duduk di depan.
"Apaan lagi?" Inov malah terseok-seok ke pintu depan. "Gue duduk di
depan..." "Hah?! Terus, terus, gimana?"
Mata Inov menatap Mima lurus-lurus. "Kaki gue pegel banget. Pengin selonjoran. Lo sama Gian di belakang, ya?"
211 WHAT?! Ini anak bener-bener gila! "Ya, terus... maksudnya...."
"Maksudnya gue di depan, kalian di belakang...."
Mima bengong. Gian ikutan bingung. Inov malah dengan santai masuk, duduk, dan tutup pintu.
"Eh, ya udah, masuk, yuk?" Gian membukakan pintu buat
Mima. Duuuh, serasa tuan putri, dibukain pintu segala. Mima tersenyum malu-malu. "Makasih...."
Ini maksudnya apa sih? Inov bener-bener bikin Mima dan
Gian mati gaya duduk di belakang gini.
Mima nggak sanggup ngomong duluan karena salah tingkah, nggak enak, dan serbasalah karena berkali-kali "kepergok" Gian lagi sama-sama Inov. Pasti Gian udah nyangka ada
apa-apa antara Mima dan Inov. Dan kayaknya penyangkalan
bukan jurus yang tepat sekarang. Helooo, berkali-kali Mima
milih ngurusin Inov daripada Gian. Mo nyangkal sampe rambut, bibir, dan gigi keriting juga nggak ngaruh kayaknya.
Action speaks louder than words!
Gian? Sama aja. Dia juga nggak bisa ngomong duluan karena... ya sama juga. Salah tingkah, nggak enak, dan serbasalah karena berkali-kali "mergokin" Mima sama Inov. Pikiran
Gian, nggak mungkin nggak ada apa-apa antara Mima dan
Inov. Sekarang dia duduk berduaan dengan Mima di jok belakang taksi, dengan perasaan aneh dan nggak enak sama Inov
kalau kelihatan dekat atau malah kelihatan lagi pedekate ke
Mima. Jadi kayaknya diam memang udah paling mantap...
biarpun nggak enak.... "Stop, stop." Akhirnya Mima ngomong juga?sama sopir
taksi. 212 Taksi menepi di depan gerbang rumah Mima.
.... Mima bengong. Kok Inov diem aja sih? Kan dia yang mestinya bayar. "Nov, bayar, buruaaan..."
"Neng, ini temennya dari tadi tidur... apa pingsan ya,
Neng?" celetuk Pak Sopir.
Nah lho! Kepala Mima nongol di sela-sela jok sopir dan
Inov. "Nov, Nov! Nyampe!" Mima menjawil-jawil bahu Inov.
Nggak ada reaksi. "NOV! Banguuun! Udah sampeee!" Jawilan
berubah jadi guncangan.
Inov malah mengerang pelan. "Nov!" Mima menepuk pipi
Inov pelan. Ya ampun! Kok panas banget! "Nov?" suara Mima
berubah panik. "Kenapa, Mi?" Gian mendekat, ikut khawatir. "Coba..." Tangan Gian ikut menyentuh dahi Inov. "Kok panas banget,
Mi?" Mima mengangkat bahu. Panik. "Nov?"
Mata Inov terbuka pelan. Dan sedikit. "Gue... pusing banget..."
Mampus! Mana Mima nggak bawa duit, lagi. Tapi terus
gimana dong? Masa Inov yang lagi sekarat gini dimintain
uang? Apa kata du?eh, kata Gian? Gimana do?
"Ini, Pak..." Tiba-tiba tangan Gian melewati samping pipi
Mima, menyodorkan uang ke Pak Sopir. "Ambil aja kembaliannya, Pak. Ayo, Mi, kita bawa Inov turun."
Cring... cring.... Mima serasa dapat pangeran penolong. Sebelum dia menjatuhkan gengsinya lebih parah daripada yang
di halte tadi dengan minjem uang sama Gian, Gian lebih dulu
dengan heroik menolong ekonomi seret dan ketololan Mima
nggak meminta uang taksi ke Inov pas di halte tadi. "Ma-makasih ya, Gi. Aku malah bengong. Soalnya aku..."
Tangan Gian menepuk bahu Mima lembut. Dan menatap
213 mata Mima lembut banget. "Udahlah, nggak pa-pa, Mi. Aku
tahu kamu khawatir banget sama keadaan Inov. Apa nggak
sebaiknya kita ke rumah sakit aja, Mi?"
Rumah sakit? Mima menangkap Inov menggeleng pelan.
"Nggak, nggak usah... di rumah aja..."
"Oke, ayo, Nov, pegangan ke aku, pelan-pelan aja, ya..." Dengan tulus dan telaten Gian membantu Inov turun dari
taksi. Mima memandangi dengan nanar dan agak-agak shock.
Apa tadi Gian bilang? "Aku tahu kamu khawatir banget sama
keadaan Inov?" HUUH! Iya! Emang Mima khawatir. BUT NOT
THAT WAY! Bukan khawatir yang kayak gitu! Mima cuma khawatir... ya khawatir biasa! Sebagai teeemeeen! Nada ngomongnya Gian kok kesannya Mima khawatirnya lebih daripada itu,
kesannya Mima khawatir sebagai... pacar. TIDAAAK!
"Mi? Kok bengong? Ayo..." suara lembut Gian membuyarkan
lamunan Mima. "Hah? Iya, iya..."
Keadaan Inov memang payah banget. Gian betul-betul harus menyeret dia sampai ke depan pintu rumah.
"Mi, kamu yakin nggak mau ke rumah sakit aja? Badannya
panas banget." Gian kelihatan makin khawatir.
Orang-orang rumah pada ke mana lagi nih?! Dari tadi mencet bel nggak ada yang bukain pintu! Mima menatap Inov
yang terkulai lemas dipapah Gian. Mengirim kode "lo kayaknya beneran harus ke rumah sakit deh". "Nov?" tanya Mima,
meyakinkan jawaban Inov atas pertanyaan lewat kode tatapan mata tadi.
Memang dasar manusia robot keras kepala, Inov menggeleng. "Nggak..."
TING TONG TING TONG! Mima makin nafsu menekan bel
pintu. Sampai akhirnya dia sadar, kalo ada orang di rumah,
214 nggak mungkin pintu nggak dibuka dari tadi. Mika bukan
orang yang tahan dengar bel berisik. Mama apalagi. Teh Jul
juga sama. Baru TING belum TONG, dia udah ngibrit dari mana
pun dia berada ke pintu depan. Jadi, kemungkinan nggak ada
siapa-siapa di rumah. Mima melirik pot besar di pojok teras.
Betul, kan?! Ada surat nyelip di situ. Ya pasti buat Mima. Karena
beginilah perjanjian di rumah ini. Kalau satu-satunya orang
yang tersisa di rumah terpaksa pergi, dia harus ninggalin surat
di tempat rahasia yang udah disepakati bersama.
Dir Neng Mima, Neng, kuncinya Teh Jul umpetin di bawah pot ini.
Teh Jul harus ke minimarket.
Teh Jul M, jadinya harus beli soptek.
Oke, Neng?! Bener, kan? Nggak ada orang. Mima buru-buru jongkok,
mo ngambil kunci yang Teh Jul umpetin di bawah pot.
"Ughhh!" Cerdas banget! Ternyata pot ini berat!
"Mi? Ngapain?" Gian menatap Mima bingung. Semua orang
juga pasti heran, dalam keadaan panik gini Mima malah latihan angkat pot raksasa. Orang pusing juga tahu Mima
nggak mungkin kuat ngangkat pot itu.
"Ughhh! Ini si Teh Jul, masa naro kunci di bawah pot! Dikira
aku istrinya Samson, apa?! Ughhh! Berat banget!"
Gian mengulum senyum. Istri Samson?! Hati-hati Gian membantu Inov duduk di kursi teras. "Sori, Nov, duduk di sini sebentar, ya? Aku bantu Mima dulu...."
Inov cuma senyum tipis. Itu juga kayaknya udah pake seluruh tenaga yang tersisa.
"Coba, Mi, biar aku...." Gian jongkok di samping Mima. Bikin
jantung Mima mendadak itnes. Deg?degan.... Tangan Gian
215 ternyata kekar juga ya? Padahal dari tampilan keseluruhan,
Gian bukan tipe penggila olahraga, yah, normal-normal ajalah gitu. Tapi... SEKALI tarik, potnya langsung terangkat.
WOW! Sebelah tangan lho! Bukan dua tangan. Dan nggak pake
ngeden sampe mukanya merah karena keberatan. Waaahhh...
ternyata Gian.... "Mi? Kuncinya mo diambil nggak?"
"Ha?! Oh iya, iya...." Mima buru-buru menyambar kunci depan yang dengan geniusnya disembunyiin Teh Jul di bawah
pot. EH, bentar, bentar. Kok Teh Jul bisa naro kunci itu di
situ?! Masa sih Teh Jul yang kecil, mungil, kerempeng, genit,
dan pecicilan itu kuat ngangkat pot segede anak panda
gini?! Mima membuka pintu lebar-lebar. "Masuk, Gi, masuk...."
Huh, bukan kunjungan kayak gini yang Mima harap dari Gian.
Kencan atau apa kek gitu. Ini malah nganter orang pingsan!
Mima menutup pintu depan lagi. "Ayo, Gi, ke atas. Langsung
ke kamarnya aja." Mima membantu Gian memapah Inov naik
tangga. Enak banget jadi Inov. Bisa bikin Mima begitu khawatir
kayak sekarang ini, batin Gian seraya melirik Mima yang matimatian membantu Gian memapah Inov naik tangga. Mulutnya
bergerak-gerak lucu karena keberatan. "Mi, kalo kamu nggak
kuat biar aku aja, nggak pa-pa."
"Hhhah... hahh... nggak pa-pa, nggak pa-pa. Bisa kok,
bisa...." Tuh, kan, Mima bahkan nggak peduli dia keberatan ngangkat Inov naik tangga. Gian makin gelisah. Merasa peluangnya
mendapatkan Mima makin lama makin kecil.
DUK! Mima menendang pintu kamar Inov sampe terbuka.
"Ayo, langsung baringkan di tempat tidur aja, Gi."
216 Keringat Inov mengucur deras di dahinya. Mukanya pucat.
Dan nggak berhenti mengerang pelan kesakitan.
Mima memandang Gian serbasalah. "Thanks ya, Gi."
"Nggak masalah. Aku seneng, ehem... bisa bantu kamu.
Sama Inov," lanjut Gian kikuk.
Mima tersenyum masam. Sekarang Gian malah bawa-bawa
Inov. Kesannya nggak boleh kalo cuma bantu Mima. "Gi,
kamu mo minum? Aku mo ke bawah. Ngambil kompres buat
Inov, kayaknya demamnya parah banget. Biasanya dikompres."
Ups, salah ngomong! BIASANYA? GENIUSS! BRILIAAAN!
Biasanyaaaa??? "Eh, ng, maksud aku..."
"Nggak usah, nggak pa-pa kok," potong Gian kayak bisa
membaca pikiran Mima yang nggak mungkin bisa jelasin
apa-apa. "Kamu tolongin aja Inov. Kasian dia. Aku pulang
ya?" "Eh!?Kamu nggak minum dulu, Gi?"
Gian tersenyum hangat. "Nggak usah. Makasih banget. Bukannya nggak mau, Mi, aku ditunggu Ibu, harus nganter
arisan. Next time, ya?"
Mima ngangguk. Dalam hati menyanyikan lagu dangdut
yang berisi kekecewaan dan patah hati. Dia masih pengin
Gian di sini. "Aku pulang dulu ya," pamit Gian di depan pintu.
"Oke. Makasih sekali lagi ya, Gi...."
"No problem. Dah, Mi, sampe ketemu di sekolah." Gian berbalik.
"EH, GI!" pekik Mima tiba-tiba. Sumpah nggak sadar! Ngapain dia manggil Gian lagi?!
Gian berbalik lagi menghadap Mima. "Ada apa, Mi?"
Ada apa ya? Ada apa dong?! Ada apa niiih?! Mima meringis
bingung. "Ada... eng, ...anu, itu uang taksi yang tadi nanti
217 diganti di sekolah, ya?" Waduh! Parah! Ngeles yang parah! Malah ngomongin utang. Kenapa nggak sekalian aja ngasih info
Bu Jejen di sebelah rumah ngreditin ember sama panci?
Huuuh! "Hah?" Gian terlongo beberapa detik. Kaget pastinya. "Oh,
itu. Udahlah, nggak usah. Santai aja, Mi."
Mima nyengir garing. "Eng, nggak bisa dong, Gi. Utang
adalah utang... hehehe... ya, kan?" Makin kacau!
Gian makin bengong. "Oh, oke. Ya udah, nanti di sekolah,
ya?" Mima ngangguk kecewa. Biarpun jayus, norak, dan amat,
sangat nggak penting, dia sebenarnya berharap Gian mendebat dia. Supaya ngobrolnya jadi lebih lama. Tapi... "Oke,
makasih ya, Gi." Gian pun berlalu.... DUK DAK DUK DAK! Mima berlari-lari heboh naik tangga menuju kamar Inov.
"Nov, lo nggak bisa kayak gini, tau! Ayo kita ke dokter aja!"
repet Mima begitu sampai di sisi ranjang Inov.
Dengan muka pucat dan banjir keringat, Inov masih juga
geleng-geleng. Mima melotot kesal. "Ya terus gimana dooong? Lo sadar
nggak sih lo kelihatan kayak orang sekarat?! Nov, jangan gini
dooong!" "Mi, ambilin gue?uhuk!?obat demam aja, ya? Ada,
kan?"
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi?" Inov menggenggam tangan Mima lemah. Panas, gemetaran, dan lembap karena keringat. "Please, Mi...."
Please, please, please.... Dan kenapa Mima nggak pernah
bisa nolak "please"-nya Inov? Dari satu please ke please yang
218 lain?! Apa memang bener gara-gara Mima udah telanjur kasihan sama bunda Inov dan Inov sendiri? Atau karena Mima
udah telanjur nyemplung ke kebohongan ini dan akhirnya
jadi takut ketahuan?! Apa sekarang Mima justru mikirin diri
sendiri karena takut ketahuan bohong?!
"Oke, bentar, Nov. Tapi kalo makin parah harus ke dokter,
ya?" mohon Mima setengah hati. Karena dia betul-betul berharap Inov bakal baik-baik aja dengan minum obat demam.
Inov nggak ngangguk. Cuma matanya menatap Mima lurus
dan dalam. "Inooov, lo bikin gue pusiiing!" keluh Mima sambil bangkit
dari pinggir ranjang. Inov cuma membalas dengan senyum lemah penuh terima
kasih. Mima berjalan cepat keluar kamar. Kayaknya Mama nyimpen obat demam deh di lemari obat. Waktu Mika demam
tinggi banget, abis minum obat itu, demamnya cepet turun.
Mima ingat. Nama obatnya?DUG!
"Aduh! Teh Jul!" Mima mengusap bibirnya yang serasa jontor nabrak jidat Teh Jul.
"Yeee, Neng Mima tuh yang jalannya sambil ngelamun..."
"Ya Teh Jul dong, pulang nggak bilang-bilang! Lewat
mana?" "Pintu belakang dong, Neeeng..."
Mima manyun. "Ya udah, Neng, Teh Jul mo nyapu!"
Dasar genit turunan Hercules?eh.... "TEH JUL!"
"Apaan lagi, Neng?"
"Teteh kok bisa naro kunci di bawah pot?! Itu pot beratnya
kan amit-amit!" Teh Jul bingung. "Ya emang berat, Neng! Makanya Teteh
ngangkatnya berdua sama Den Mika."
219 HAH! "APA?! Berdua?! Kok ada Mika?"
"Pas Teh Jul mo pergi, Den Mika juga mo keluar. Sampe
malem, katanya. Makanya kita putusin kuncinya ditaruh di
situ. Diangkat, eh, berdua," katanya polos dan bikin darah
tinggi. Mima merengut. Mika! Sama aja tololnya! Nggak mikir apa
Mima juga nggak mungkin kuat ngangkat sendirian?! Sebel.
"Ya udah, Teh, sana nyapu!" Mima melesat ke lemari obat.
Pokoknya Inov harus sembuh!
220 AAAHHH. Senangnya bangun kepagian. Sarapan bisa tenaaang! Papa masih mandi, Mika masih mandi, Mama masih
dandan. Hehehe. Mima cengengesan sendiri di meja makan
sambil menatap lapar sepiring mie goreng bakso di depannya. "Ini baru namanya sarapan. Aaaa...."
PLOK! "...duh!!!?Aduh!" Mima melempar pelototan maut ke arah
manusia yang berani mengganggu sarapan eksklusifnya dengan menggetok kepalanya pake gulungan koran. "Inov!
Apaan sih?" Susah memang ngomong sama robot rusak. Kalau ditanya
jarang langsung dijawab. Apalagi kalo habis sakit kayak kemarin. Mungkin kabelnya ada yang putus. Atau baterainya
meledak. Makin nggak nyambung, kan?! Lihat aja, Inov bukannya jawab, malah narik kursi dan duduk di hadapan Mima.
Mukanya masih kelihatan sembap.
"Lo mo sekolah?" tanya Mima, ngeh Inov udah siap dengan
seragam lengkap. "Emang lo udah sembuh?" tanya Mima sok
221 cuek, padahal lega Inov nggak mati tadi malam. Berarti obat
demamnya sukses. Keistimewaan robot Inov adalah suka makan roti. Nih buktinya: bukannya menjawab pertanyaan penting Mima yang
menyangkut kesehatan dan kelangsungan hidupnya, dia lebih
milih ngambil roti dan konsentrasi mengoles-oles mentega.
Konsentrasi lho! "Helooo!!! Yuhuuu! Woooiii!" Mima melambai-lambai di depan mata Inov sebel.
Yang lebih nyebelin lagi, cowok itu cuma bereaksi ngangkat alis sebelah. Itu pun sedikit! Kayak alisnya seberat Bu RT
aja sampe susah banget ngangkatnya. Bikin nafsu makan
ilang aja nih! "Nov, gue nggak mau lagi ya, bolos sekolah gara-gara lo
pingsan di depan terus kita harus ke rumah sakit. Kalo masih
sakit mending tidur deh, di rumah," kata Mima galak.
Tangan Inov berhenti mengoles mentega, lalu menatap
Mima tajam. "Bego."
APAAA?! Emang dasar minta ditampol! Minta disetrum!
Minta diolesin pipis gajah! Orang khawatir malah dikatain
bego! Baru aja Mima mau buka mulut protes, tahu-tahu?
"Sengaja gue ngajak si Gian, sepanjang jalan di taksi malah
pada diem kayak orang bisu."
WHUAPAAA?! "Ohok! Ohok!!!" Mie goreng yang lagi asyikasyik meluncur di tenggorokan Mima tiba-tiba kejang-kejang
bikin keselek. "Apaan sih? Kok lo tau? Lo kan pingsan?!"
"Ya pingsan lah! Sepi sih! Pingsan kegaringan."
DUK! "Gila!" Mima releks dan dengan penuh dendam me?
nimpuk Inov pake gulungan serbet. "Udah ah! Gue pergi.
Awas, lo jangan pingsan di jalan sendirian!"
Mima ngabur dengan muka merah padam. Bohong banget
kalo pingsannya Inov kemarin itu pura?pura. Tapi Mima yakin,
222 niatnya buat sengaja mengajak Gian itu bukan pura-pura.
Apaan sih Inov? Ikut campur urusan Mima sama Gian. Nggak
membantu! Malah bikin keadaan makin nggak enak. Huh!
Yang ada sekarang Gian makin nyangka ada apa-apa antara
Mima dan Inov. Mima melangkah makin cepat. Hari ini dia
OGAH berangkat bareng Inov. Mima NGAMBEK pokoknya!
"Udah dong manyunnya." Fuhhh!!! Kiki meniup Mima pake
sedotan es teh. "IH! Jorok banget sih?! Nyiprat, tau! Jigong lo ikut terbang
tuh!" Kiki malah meleletkan lidah. "Siapa suruh bengong sambil
manyun. Kombinasinya nggak enak banget! Bikin pusing, sakit mata..."
"Bodo! Siapa suruh ngeliatin? Mo monyong, bengong, nyengir, ngupil, itu Hak Asasi Manusia, tau! Emangnya lo berani
ngelarang Pak Dodo ngupil?! Atau nyuruh Bu Ismet berhenti
bengong? Ato berani nyuruh orang gila di depan sekolah
berhenti nyengir? Hayo, soalnya, ya, Ki, yang namanya bengong, ngupil, nyengir?"
"Tidaaak...!" Sok heboh Kiki tutup kuping pake tangan sambil geleng-geleng.
"Apaan sih, Ki?"
"Terserah deh mo bengong sambil manyun pake nungging
sama tari uler juga, terseraaah.... Tapi please jangan pidato.
Ya? Ya? Ya?" "Huuu! Sialan!"
Kiki cekikikan sambil menyeruput kuah bakso dari sendoknya. Sampai tiba-tiba alis Kiki sibuk naik-turun dan matanya
mendelik-delik... "Kenapa sih, Ki...?"
Delik-delik-delik... 223 "Apaan sih?" "Hei, Mi..., Ki..., belum pulang?"
Ini sebabnya. GIAN. Hwaduh... nggak siap, nggak siap...!!!
"Aku duduk sini, ya?"
"I-iya, iya, duduk aja. Bukan bangku aku juga, Gi. Bebas
kok. Itu kan bangkunya Bu Kantin. Semua orang juga boleh
duduk selama Bu Kantin ngasih izin. Kecuali kalo misalnya...
aw aw aw aaaw!?Apaan sih?!" Mima mendelik murka ke arah
Kiki yang menendang tulang keringnya dengan sukses dan
sangat tepat sasaran. Telunjuk Kiki dengan pelan menempel di bibirnya yang
monyong. "Ssst. Semua juga tau ini bangku Bu Kantin."
Efek salting memang mengerikaaan! Mima langsung sadar
dia udah ngomong nggak penting dan berlebihan gara-gara
salting. Emang Gian pikirin ini bangku punya Ibu Kantin atau
bukan? Informasi "penting banget" sih! Sampe Gian duduk,
pesan es teh manis dan pisang keju, efek saltingnya masih
berlanjut. Mima cuma senyam-senyum dan cengar-cengir
nggak jelas, nggak bisa ngomong apa-apa.
Efek salting menular nggak, ya? Soalnya Gian tingkahnya
nggak jauh beda. Tadi aja negur duluan sok-sok mau duduk
di sini, tapi sekarang sama kikuknya dan nggak bisa mulai
ngobrol duluan. Tahu-tahu.... "Uhuk!" Mima dan Gian batuk grogi barengbareng.
Kiki cekikikan. "Kirain cuma Trio Macan doang yang kompak. Batuk juga bisa kompak, ya?"
Jreeeng! Mima melotot. Kiki langsung sok-sok gerogotin
kerupuk. Belum pernah Mima salting parah kayak gini. Makin
hari makin parah, lagi. "Eng, Gi, makasih ya. Udah nolongin,
eng..." "Santai, Mi, nggak pa-pa kok. Lagian tolong-menolong kan
224 wajar sesama manusia ya, nggak? Apalagi kita hidup di negara Pancasila, gotong royong dan Bhinneka Tunggal Ika?"
"Ketularan lo, ya?" celetuk Kiki nggak tahan.
Gian langsung diam. Sadar dia ngomong nggak jelas bawabawa Pancasila segala. "Maksud aku, maksud aku tuh..."
Inov? Mata Mima menyipit ke ujung koridor. Inov berjalan
lemas sambil sebelah tangan meremas-remas kepala dan sebelah lagi memegang HP di kupingnya. Ekspresinya serius
dan tegang banget. Mima buru-buru melirik tanggalan di jam
tangannya. SIAL! Kenapa Inov nggak ngajak Mima sih?!
Ngapain dia nekat mau ke sana sendiri?!
"...gimana, Mi?"
Itu orang bener-bener nggak mikir, apa?! Emang dia punya
uang? Bukannya uangnya habis? Badan lagi drop gitu emang
dia bisa ngelawan kalo diapa-apain?! Gimana sih?! Mima makin cemas melihat nggak ada tanda-tanda Inov mau ngajak
dia. Cowok itu kelihatan lempeng dan mantap jalan keluar
sendiri... "MI!!!" pekikan Kiki bikin Mima meringis.
"Apa sih, Ki?! Kuping normal bisa budek, tau, kalo lo ngejerit kayak tadi!"
Kiki mendelik sebel. "Lo tuh yang ngelamun kayak orang
stres! Itu, Gian dari tadi nanyain lo. Nanya apa tadi, Gi?" Tanpa
basa-basi Kiki melempar pertanyaan ke Gian yang senyam-senyum nggak enak.
Gian tersenyum kikuk. "Nggak kok, nggak pa-pa. Nggak
penting juga pertanyaannya, Mi, bener deh...."
SIAAALLL! Lihat nih! Gara-gara Inov lagi nih! Harusnya sekarang Mima bisa "memperbaiki" kekakuannya sama Gian kemarin. Harusnya sekarang Mima bisa mulai meluruskan bahwa nggak ada apa-apa antara dia dan Inov. Tapi gimana bisa,
kalo Mima tahu persis mau ke mana Inov dan mau ngapain
225 Inov dengan keadaannya yang nggak keruan itu?! BRAK!
Mima releks tiba?tiba berdiri.
Sat! Kiki menahan tangan Mima. "Kenapa lo? Mo ke mana
lo?" Biar nggak ngomong sepatah kata pun, Gian juga melem?
par pertanyaan yang sama. Lewat tatapan matanya.
Ughhh! "G?gue... a?aku.... Aduuuh, aku lupa banget hari ini
tuh ada janji sama Mama." Mata Mima nggak bisa berhenti
melirik?lirik ke arah Inov yang makin dekat ke gerbang se?
kolah. "Barengan Inov, ya?" potong Gian yang ternyata sadar
kenapa mata Mima melirik?lirik cemas ke arah koridor.
Kiki releks mengikuti pandangan Gian. Mengernyit. Lalu
menatap Mima minta konirmasi.
Mima menyambar tasnya. "Sori, yaaa? Tapi beneran deh, ini
urusan keluarga. Aku duluan, ya? Eng, Gi..., itu ongkos taksi?
nya nanti aku..." Gian tersenyum getir. "Udaaah, nggak usah dipikirin, Mi.
Gih, sana, ntar telat lho."
Mima tercenung sepersekian detik. Sadar Gian kecewa ka?
rena dia jelas tahu Mima bakal pergi sama Inov. Belum lagi
Mima bilang itu acara "keluarga" yang malah makin meyakin?
kan bahwa Inov memang "sedekat" itu sama Mima. Dan
nggak ada celah untuk menjelaskan. Mima sadar banget, ma?
kin dia ngotot nyangkal sekarang ini, dia bakal makin ke?
lihatan bohongnya. Mima terdiam. Ternyata jadi orang yang
NGGAK egois itu susah, ya? Susah banget ngorbanin kepen?
tingan kita demi membantu orang lain yang betul?betul bu?
tuh kita. Mima menghela napas. Membuang sedikit rasa
nggak ikhlas yang tersisa karena lagi?lagi dia harus milih Inov
dibanding Gian. "Sori ya, Gi..." Mima menatap Gian memelas
sebelum pergi. 226 "INOV!" Langkah Inov terhenti begitu sebelah lengannya ditahan
Mima. "Mima? Ngapain lo..."
PLAK! Mima menepak bahu Inov dengan dongkol. "Lo tuh
yang ngapain?! Lo mo nemuin mereka sendirian, Nov? Udah
gila lo? Lo kan nggak punya duit. Udahlah, Nov, jangan lo
temuin dulu! Mendingan lo ngumpet. Sampe duitnya ada,
baru kita temuin mereka! Lo bisa mati konyol kalo kayak gini
caranya." Inov melepaskan tangannya dari genggaman Mima pelanpelan. "Nggak bisa, Mi."
"Nggak bisa gimana, Nov?"
"Gue harus nemuin mereka. Gue bakal bilang kalo gue butuh waktu. Kalaupun gue bakal dipukulin, seenggaknya mereka nggak bakal nemuin bunda gue dan bocorin semuanya."
Alasan itu lagi. Mima mati kutu. Mima nggak mungkin maksa Inov soal ini. "Terus?" tanya Mima bingung mau ngomong
apa. Inov memegang kedua pundak Mima lalu menatapnya
lurus-lurus. "Gue mo nemuin mereka. Lo pulang aja, ya?"
Alis Mima berkerut. "Pulang?"
Remasan jari Inov terasa lebih kencang di bahu Mima. Inov
mengangguk. "Iya, Mi, biar gue sendiri. Ini bahaya, Mi. Gue
nggak mau lo kenapa-kenapa. Ya, Mi?"
Mata Mima membulat. "Lo pikir gue mau lo kenapakenapa? Lo itu lagi sakit. Terus lo mo nekat ke sana sendirian?
Kalo ada apa-apa, siapa yang nolongin lo, Nov?!"
"Mi, please, mereka nggak bakal bunuh gue, Mi. Gue tau.
Mereka cuma mau uangnya. Tapi gue nggak mau lo diapa227
apain. Lo tau gue nggak mungkin ngelawan meraka sendirian, Mi. Kalo gue sendiri, mereka cuma bakal ngancem
gue. Habis itu mereka pergi...."
Maksudnya Inov udah ikhlas dan nrima gitu, dia bakal babak belur dipukulin? Kalau tahu-tahu salah pukul, ditambah
kondisinya lagi nggak bagus kan bisa mati?! Nggak nonton
TV, apa? Lihat tuh ospek-ospek yang makan korban! Itu jelasjelas nggak niat ngebunuh, tapi mati juga, kan?! Di manamana juga nggak ada yang namanya kekerasan itu baik!
"Sekarang lo pulang, Mi. Ntar orang rumah khawatir."
Mima mematung. "Kalo gue nggak balik, lo tau kan gue ada di mana? Tapi
please, Mi, jangan bocorin rahasia kita sama Bunda, ya?"
Mima terpaku. Inov melompat ke angkot yang lewat di depan mereka,
sementara Mima masih berdiri kaku.
Sampai angkot itu menjauh, makin jauh, dan hilang di tikungan.
"INOOOVVV!!!" jerit Mima, tersadar kalo Inov betul-betul
dalam bahaya. Dengan panik Mima menyetop angkot penuh
yang lewat. Dia harus nyusul Inov!
"Mang, cepetan dong jalannyaaa!!! Lambat banget sih!"
Kenek angkot yang lagi asyik bergelantungan menatap
Mima keki. "Yeeee, Neng, ini angkot, bukan mobil balaaap!
Namanya angkot ya begini ini! Kalo mo ngebut mah sana
minta dibonceng Valentino Rossi!"
Mima mendelik. "Gimana jalanan nggak macet, gimana
nggak banyak yang telat masuk kantor kalo lelet gini," sungut
Mima sebal.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si kenek lempeng dan ngitung duit.
Mima makin gelisah mikirin Inov. Cowok itu pasti udah
sampe ke gedung tua rahasia itu. Semoga Inov masih baik228
baik aja. "Huuuh! Kalo lelet gini lari juga lebih cepet sampe!"
SET! Si kenek melirik judes. "Ya udah atuh, Neng, lari aja.
Biar betisnya gede."
Huh! BUGHH!!! Langkah Mima terhenti. Tenggorokannya mendadak kering.
Pelan-pelan Mima merapat ke dinding. Sumpah, nyalinya mendadak ciut.
"Udah, man, udah, dia kok kayak mo mampus gitu sih?!
Heh! Ngomong dong lo!"
"Erghhh..." DEG! Jantung Mima terasa kesetrum mendengar erangan
kesakitan Inov. Mima makin merapat ke dinding. Makin ciut.
"Lo beneran mo mati, ya?! Berani-beraninya lo nggak nepatin janji setor! HAH!!!"
"Gue... gue butuh... waktu..." Suara Inov kedengaran miris
dan ketakutan. Lutut Mima mendadak lemas. Kayaknya Mima
nggak bakalan sanggup lari kalau ada apa-apa. Tangan Mima
mencengkeram dinding berlumut. Sekujur badannya nempel
ke dinding. Berharap mendadak dapat ilmu bunglon. Berubah
warna sesuai benda yang ditempelin. Mima betul-betul ketakutan.
"Tumben bodyguard-nya yang tengil itu nggak nongol!
Heh, tengil-tengil lumayan juga ya, bodyguard lo itu?! Lo udah
kasus nih. Kalo dia ntar sok-sok jagoan lagi, awas aja!"
DEG! Mima nyaris pingsan. Rasanya betul-betul mirip terjun
bebas ke jurang! Terlibat terlalu dalam, dan nggak mungkin
keluar lagi. "Jangan ganggu dia..." Dengan suara selemas itu, senggak
229 berdaya itu, kata-kata Inov masih bisa terdengar marah dan
mengancam. "Alaaah! Udah deh! Percuma kita basa-basi sama dia! Duit
aja nggak ada! Denger ya, kita tahu apa yang lo takutin. Nyokap lo, kan?!"
"Jangan bawa-bawa nyokap gue," ancam Inov parau.
Preman-preman sialan itu malah ngakak. "Terserah! Itu semua tergantung lo! Denger! Kalo sampe dalam tiga hari lo
nggak bisa bayar, kami bongkar semua ke nyokap lo!!! Ngerti?!
Juga ke polisi!!!" BRUAAAK! Terdengar suara benda jatuh berantakan.
"Ayo! Percuma kita ke sini! Sialan lo!"
Mima menahan napas. Merapat ke dinding dengan sekujur
badan gemetar. Komat-kamit berdoa semoga mereka nggak
sadar Mima ada di situ.
..... ..... ..... Mima mengintip dari balik tembok. Celingukan. Aman.
Mima mengendap-endap keluar. "Nooov...? Inov?"
Nggak ada suara. Hening.
"Nooov?!" Mata Mima mencari-cari Inov. Kenapa dia nggak
jawab? "Uhuk... uhuk..."
"INOV!!!" Mima kontan lari heboh ke rimbunan ilalang di
dekat tangga lumutan tempat mereka duduk. Inov tergeletak
nggak berdaya di antara ilalang dan semak-semak nggak bergerak. "Nov, lo nggak pa-pa, Nov?"
Mata Inov susah payah membuka. Menatap Mima nanar.
"Mi...ma? Kok...?"
Air mata Mima mendadak mengambang di pelupuk mata,
sadar muka Inov lebam babak belur, badannya panas, napas230
nya tersengal-sengal.... Mima ketakutan setengah mati! "Nov,
jawab, Nov! Lo nggak pa-pa, kan, Nov?" Mima mengusap air
matanya. "Lo sih, gue bilang juga jangan ke siniii... Inoovvv...
jangan merem dong, Nooovvv! Lo nggak pa-pa, kaaan?!"
"Gue... gue sakit, Mi." Badan Inov mendadak lunglai. Matanya tertutup.
"INOV! BANGUN, NOV! Ya ampuuun, Inooov, banguuun,"
Mima panik mengguncang-guncang badan Inov. Cowok itu
diam. Nggak bereaksi. Udara dari napasnya terasa panas di
tangan Mima. Bibirnya pucat. "Nooov, gue harus gimanaaa?
Bangun dong, Nooovvv... gue takuuuttt!!!"
Inov nggak bereaksi. Pingsan di pangkuan Mima.
Dengan panik Mima menyambar tas sekolahnya. Kalap
mengobrak-abrik isinya mencari-cari ponsel. Berleleran air
mata, Mima menekan nomor telepon Mika.
"Halo?" "Huhuhuhuhu..."
"Mi?! Kenapa kamu, Mi?! Mima?"
"Kaaa, tolongin aku, Kaaaa.... Inovvv...."
"Inov kenapaaa???"
Mima sadar ini bukan lagi waktunya berbohong. Bukan lagi
waktunya untuk main rahasia-rahasiaan. Mima nggak bisa
hadapin ini sendirian. Dan yang paling bisa Mima percaya di
seluruh dunia ini adalah keluarganya.
Mika bengong, shock mendengar semua yang keluar dari
mulut Mima. 231 MIMA duduk gemetaran di kursi tunggu rumah sakit, nggak
tahu harus ngapain. Begitu sampai di rumah sakit, Inov yang
pingsan langsung didorong ke dalam ruang tindakan.
Kalau saja Mika nggak cepat datang bersama ambulans,
mungkin bukan cuma Inov yang didorong dalam keadaan
pingsan begini, tapi Mima juga. Tadi dia betul-betul panik
campur shock sendirian sama Inov yang pingsan nggak
bereaksi. Mika duduk di samping Mima, menyodorkan segelas air
mineral. "Kamu minum dulu, Mi...."
Tangan Mima gemetaran meraih gelas dari tangan Mika.
"Inov gimana, Ka...? Dia, dia nggak pa-pa, kan?" Air mata
Mima mulai menggenang di pelupuk mata.
Releks Mika merangkul adiknya menenangkan, "Kita tung?
gu aja, Mi, dokter masih meriksa dia. Mudah?mudahan dia
nggak pa?pa." Tangis Mima langsung pecah. "Ini salahku, Kaaa, harusnya
aku jangan mau disuruh kompakan nyimpen rahasia sialan
232 ini sama Inooov! Harusnya aku jujur dari awaaalll!!! Huhuhuhu... ini salahku..."
Mika menatap Mima dalam. "Mi, udahlah, kamu nggak perlu nyeselin semuanya sekarang. Aku ngerti waktu itu kamu
pengin bantu Inov jaga perasaan bundanya, kan? Aku tahu
kamu galak tapi nggak tegaan. Aku tahu kamu pasti nggak
sanggup nolak. Bukan salah kamu kalo kamu baik, Mi.
Udahlah, yang penting sekarang ada hikmahnya, kan?"
Mima tercenung. Membayangkan Inov yang pasti lagi berjuang melawan sakitnya di dalam sana. Mima memandang
kakaknya sedih. "Mama sama Papa pasti marah sama aku, Ka,
bundanya Inov juga...."
Mika tersenyum hangat menenangkan Mima. "Kamu jangan sembarangan ambil kesimpulan, Mi, kita tunggu aja,
ya?" Mima ngangguk. Dia setuju. Ya harus setuju. Memangnya
apa lagi yang bisa Mima lakuin sekarang? Selain nurut dan
nunggu apa yang bakal terjadi setelah ini.
Inov menatap Tante Helena nanar. Mima nggak tahu apa arti
tatapan Inov. Malu, marah, sedih, bingung... apa? Mama merangkul bahu Mima erat. Seolah bilang nggak ada yang nyalahin Mima atas semua ini.
Dari mulai datang tadi, Tante Helena nggak berhenti nangis. Malah kayaknya sepanjang perjalanan ke rumah sakit
Tante Helena nangis. Matanya sembap dan bengkak, mukanya
kelihatan sedih dan frustrasi. "Inooovvv, ngomong sama
Bunda, Nooov... ngomooong...! Kenapa kamu diem ajaaaa?!
Kenapa bisa kayak gini, Nooov?! Bunda mohon, Noooovvv...
kenapa kamu diem ajaaa...??? Apa salah Bundaaa???"
Inov tetap diam. Ekspresinya datar. Matanya menatap lurus
dan tajam ke Tante Helena. Kasihan Tante Helena. Pasti dia
233 sedih banget. Pasti dia ngerasa ini semua salah dia. Pasti dia
ngerasa Inov ngerasa nggak nyaman sama dia. Pasti dia ngerasa Inov nggak percaya sama dia. Pasti dia ngerasa dia kurang perhatian sama Inov. Dia pasti... dia pasti... sedih banget.
Mima menatap Tante Helena iba. Kenapa sih Inov diem aja?!
Kenapa dia nggak ngomong sepatah kata pun dari tadi?!
Tante Helena mengusap wajah Inov sayang, sambil menangis bercucuran air mata. "Nooov... ngomong sama Bunda,
Nooov, kenapa kamu nggak cerita sama Bundaaa? Kenapa
kamu bisa sampe kayak giniii? Nooov, kenapa kamu nggak
bilang mereka masih gangguin kamuuu...?"
Inov tetap diam. Entah gimana caranya, kali ini Mima bisa
membaca tatapan Inov: sedih dan merasa bersalah.
"Ngomong, Noov, Bunda mohoon, ngomong sama Bundaaa...."
Mima nggak tahan. Mima betul-betul nggak tahan lihat
Tante Helena begitu sedih dan menderita. Mima juga nggak
tahan lihat Inov mematung dan mengunci mulutnya, nggak
mau jujur tentang semuanya.
"Inov takut, Tante."
Jeeeeeng! Kontan semua mata langsung beralih ke Mima.
Dan Mima nggak gentar biarpun Inov spontan menatap
Mima tajam dan tanpa suara mengancamnya tutup mulut.
Tante Helena menatap Inov, lalu menatap Mima bingung.
"T-takut?" Mima mengangguk mantap. Lalu menatap Inov tajam sekilas. "Iya, Tante. Inov takut. Inov takut kalo Tante tahu nanti
Tante kepikiran. Inov takut kalo Tante tahu Tante jadi susah
lagi gara-gara Inov. Inov takut kalo Inov selalu bikin Tante
malu, soalnya Inov takut...." Mima menelan ludah. Melirik Inov.
Inov masih menatapnya tajam.
"Mima!!! Ngomong apa sih, lo?!" sergah Inov serak.
234 "Kenapa sih, Nov?! Ini udah kayak gini lo masih mo nyembunyiin semua dari nyokap lo?!"
Tante Helena menatap nggak ngerti. "Mima, Inov... apa?
Apa yang kalian sembunyikan? Inov? Ada apa, Sayang?!
Mima! Kasih tahu Tanteee..."
Mima dan Inov saling tatap tajam.
"Gue mohon, Mi," desis Inov pelan.
Mima menggeleng. Cukup! Rahasia ini udah kelewat batas!
Tante Helena menatap Mima dalam. "Soalnya Inov takut
apa, Mi?" Mima menarik napas panjang. "Soalnya Inov takut, kalo dia
nggak nurut ke mereka, mereka bakal kasih tahu Tante..."
"Mi, please...," desis Inov lagi.
Mima tak gentar. "Mereka akan kasih tahu Tante bahwa
pelaku pembobolan kas sekolah waktu itu adalah... Inov. Mereka juga mengancam akan lapor polisi."
Tante Helena terkesiap kaget. Shock. Ruangan mendadak
hening. Papa, Mama, dan Mika ikut terkesiap kaget.
Dengan pelan Mima berbalik lagi menatap Inov. Air matanya menggenang di pelupuk mata.
"Inov juga sakit, Tante. Dia... dia kena infeksi paru-paru dan
harus dirawat intensif. Dokter bilang sebelum... sebelum terlambat...."
Tante Helena makin shock. Air matanya mulai mengucur
lagi. Menatap Inov sedih. "Apa semua itu benar, Nov? Apa
benar kamu sakit?"
Inov diam. "Kenapa, Nov? Jadi cuma demi menyembunyikan rahasia
itu kamu rela menuruti mereka dan terus terlibat dengan mereka, Nov? Cuma demi menyembunyikan itu dari Bunda?!
Inov, Bunda sudah maafkan semua kesalahan kamu di masa
235 itu, kenapa kamu ngerasa harus menyimpan semua itu dari
Bunda? Kenapa kamu nggak bilang kamu sakit, Inooovvv?!
Gimana kalo ada apa-apa sama kamuuu...?"
Tahu-tahu Inov tertunduk. Menutup mukanya dengan tangan, frustrasi.
"Apa kamu tahu Bunda akan lebih sakit melihat kamu seperti ini, Nov?! Kenapa kamu harus ambil risiko cuma demi
rahasia bodoh itu, Nov?! Kenapaaa?! Kenapa kamu nggak cari
Bunda kalo kamu sakit, Sayaaang? Kenapaaa?"
Tiba-tiba bahu Inov berguncang.
Mima tercekat. Inov nangis. Dia betul-betul nangis sesenggukan. Inov yang dingin, yang galak, yang rese... nangis.
Inov mendongak, menatap Tante Helena sambil bercucuran
air mata. "Soalnya... soalnya Inov... nggak mau ngecewain
Bunda... lagi.... Bunda bilang, Bunda... Bunda bersyukur Inov
nggak masuk penjara... kalo mereka lapor polisi... kalo Inov
masuk penjara, gimana, Bunda...? Gimana..., Bundaaa?"
"Ya ampun, Inooovvv!" Tante Helena menghambur memeluk Inov haru. "Nggak mungkin Bunda nggak maain
kamuuu, Nooov... Bunda sayaaang sama kamuuu, Bunda
nggak mungkin nggak maain kamuuu, Nooov..."
Inov nangis sesenggukan lagi di pelukan Tante Helena.
"Maain Inov, Bundaaa, maain Inov..., tapi Inov, Inov nggak
mau bikin Bunda malu lagi... Inov udah... Inov udah ke?
banyakan bikin Bunda maluuu.... Inov pake narkoba, Inov
masuk rehab... Inov tahu Bunda maluuu... Inov tahu Bunda
maluuu... kalo Bunda sampe tahu Inov juga maling. Kalo Bun?
da tahu Inov sakit..., Inov bikin susah Bunda lagiii.... Inov terus
bikin susah Bundaaa..."
"Udah, Sayang, udaaah..." Tante Helena mendekap Inov erat.
"Cukup, Nooov..."
"Inov sayang sama Bunda, tapi yang Inov bisa cuma bikin
236 Bunda malu.... Yang Inov bisa cuma, cuma... merusak diri sendiri...."
"Cukup, Nooov... cukuuup..."
Mima mengusap air matanya. Dia lega. Dia ikut senang
melihat Inov bisa terbuka lagi sama Tante Helena setelah masalah narkoba sialan dan konco-konconya itu. Tapi ada masalah yang belum selesai. Mima menyambar HP Inov. "Gue
pinjem HP lo..." Inov menatap Mima bingung. "Buat apa, Mi?"
Mima nggak jawab dan langsung lari keluar. Dia harus melakukan sesuatu.
237 "IYA, gue pasti dateng." Mima menekan tombol END di HPnya dengan muka serius.
Mika menatap Mima khawatir. "Mi, kamu yakin berani sendirian?"
Mima mengangguk mantap. "Udah, kamu tenang aja, Ka.
Aku nggak mau mereka ganggu-ganggu Inov lagi. Aku nggak
tega sama Tante Helena."
Mika tetap menatap Mima khawatir. "Bahaya, Mi..."
Mima menatap Mika tajam. "Kamu jangan khawatir deh,
Ka... aku tahu apa yang aku lakuin kok. Soalnya aku juga
nggak mau lagi berurusan sama mereka."
Mika diam. "Udaaahhh... kamu tenang aja. Aku yakin pasti beres." Mima
tersenyum lebar. Meninggalkan Mika terdiam dengan khawatir di situ.
Mima berjalan tegang ke dalam gedung tua tempat Inov dan
orang?orang sinting pemakai narkoba itu biasa bertransaksi.
238 Kali ini dia sendirian. Entah kenapa Mima bisa senekat ini.
Menyambar HP Inov di rumah sakit waktu itu, lalu mencari
tahu nomor telepon mereka buat mengatur pertemuan hari
ini. Mima betul-betul udah kesal sama mereka. Urusan ini
harus diselesaikan. "Gue kirain dia nggak bakalan nongol, coooy... Taunya nongol juga!"
Si ceking sialan itu! Selama ini Mima nahan diri untuk
nggak ngulek muka ceking sialan itu pake kaki kebo dan hari
ini Mima nggak tau apa masih bisa nahan atau nggak.
"Berani juga ni cewek imut satu, ya? Nyamperin kita lhooo..."
Si rambut jigrak menyambut dengan sumringah. Pengin
rasanya Mima menimpuk mukanya pake bakiak masjid.
Mima menatap judes. "Udah deh, nggak usah banyak basabasi. Langsung aja."
Si ceking melirik satu cowok yang baru Mima lihat hari ini.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gimana, Bos? Tengil juga kan nih anak?! Berani lhooo!"
Cowok yang dipanggil "Bos" itu melirik Mima dengan tatapan tajam.
Mima berusaha tetap sok berani.
"Lo bawa duitnya?!" tanyanya galak.
Mima menatap menantang. "Ya bawa lah. Kalian bawa
barangnya, nggak?!"
Mereka saling pandang penuh arti. Si Bos mengangguk
kasih kode ke si jigrak. Si jigrak membuka tas yang dia bawa.
"Nih, barang bagus nih. Khusus kami pilihin karena lo mau
setor untuk tiga bulan penuh. Hebat juga lo, ya, berkorban
demi si Inov..." Mima menatap mereka tajam. "Sini barangnya!"
Si Bos menatap Mima tajam. "Sini dulu uangnya. Barang ini
langsung jadi milik kalian."
239 Mima maju beberapa langkah mendekat. Menyodorkan
kantong uangnya. "Ini."
Si jigrak menyodorkan tas berisi barang haram sialan nggak
berguna itu. Mima mundur menjauh beberapa langkah. Matanya menatap ke segala arah. Meyakinkan diri kalo sekarang
saatnya, udah aman. "Lain kali boleh juga kalo begini terus," kata si ceking cengengesan.
Mima tersenyum sinis. "Tapi kayaknya kalian nggak perlu
uang itu deh...." Tiga preman menyebalkan itu menatap Mima bingung.
"Maksud lo?" tanya si Bos bingung.
Mima menarik napas panjang. Mundur ke posisi aman. Menatap mereka dramatis. "Karena kalian nggak akan perlu
uang itu di penjara...."
"Angkat tangan!!!"
Mereka menatap Mima tajam dan panik. Polisi bermunculan
dari berbagai arah, mengacungkan senjata, berjalan cepat
meringkus mereka bertiga. Mima tercengang. Semua kayak
mimpi. Bagaikan aksi live adegan ilm action. Sampe Pak
Ferdy, Kanit narkoba yang memimpin operasi ini, menepuk
pundak Mima pelan. "Tugas kamu udah selesai. Semua udah berakhir. Sekarang
kamu tenang aja, kami yang akan tangani mereka." Pak Ferdy
tersenyum hangat. Mima balas menatap Pak Ferdy lega. "Makasih ya, Pak."
"Kami yang berterima kasih sama kamu. Karena kamu su?
dah memutuskan untuk melapor dan membantu kami men?
jebak mereka. Kami akan ungkap jaringan ini. Dan bilang
sama teman kamu Inov, dia juga akan baik?baik aja."
Mima mengangguk. "Oke, kami pamit dulu. Harap bersiap ya kalo dalam waktu
240 dekat kalian berdua harus datang ke kantor untuk memberi
keterangan." Mima mengangguk lagi. "Iya, Pak. Apa pun untuk menghukum mereka."
Pak Ferdy dan timnya pamit sambil menggiring penjahatpenjahat itu pergi.
Mima mematung, masih setengah nggak percaya pada apa
yang barusan dia lewati.
"Mima... kamu baik-baik aja, kan?!" Tahu-tahu Mika nongol
dengan wajah khawatir yang sama seperti sebelum Mima
pergi tadi. Mima mengangguk, langsung memeluk kakak kembarnya.
"Makasih ya, Ka...."
"Kamu emang hebat, Mi, kamu udah jadi pahlawan buat
Inov." Mima menangis lega di pelukan Mika.
241 HARI ini Inov bakal pergi.
Mima dan Inov berdiri berhadap-hadapan. Diam. Canggung. Padahal Mima paling nggak tahan diam lama-lama.
"Selamat jalan ya, Terminator rusak. Jangan bikin repot orang
lagi di Surabaya nanti. Dan lo harus sembuh...."
Inov membalas uluran tangan Mima. "Nggak bakalan.
Kayaknya yang tahan dibikin repot cuma lo doang. Dokterdokter di sana tahan nggak, ya?"
Mima mencibir keki. "Gue terpaksa, tahu! Gara-gara rayuan
cemen lo!" Inov tersenyum kocak. Memandang Mima dalam dan lama.
"Makasih ya, Mi..."
Mima terdiam. Akhirnya Tante Helena memutuskan pindah
kerja ke Surabaya sekalian untuk pengobatan Inov. Selain di
sana banyak kerabatnya, Tante Helena juga pengin Inov jauh
dari Jakarta. Tante Helena pengin penyembuhan Inov lancar.
Apalagi penyakit paru-paru Inov akibat narkoba itu memang
242 harus dirawat intensif. Tante Helena betul-betul nggak mau
"kehilangan" Inov lagi.
"Makasih buat semuanya.... Ternyata biarpun lo bawel dan
rese, lo udah jadi pahlawan gue..."
Mima melotot. "Mo muji aja pake menghina dulu!"
Inov menatap Mima hangat, meraih tangan Mima yang
satu lagi, lalu tersenyum teduh. "Makasih ya, Mi. Serius?makasih buat semuanya. Gue beruntung kenal sama lo."
Muka Mima langsung merah padam tersipu-sipu. Kalau lagi
kayak gini ternyata Inov bisa bikin Mima ge-er setengah
mati. TUING! Tahu-tahu Inov menjawil hidung Mima jail. "Baru
gitu aja mukanya udah jadi tomat rebus," kata Inov dengan
muka datar Terminator-nya.
Mima mendelik sebal. "Ih! Lo tuh yang ge-er! Ge-er mikir
gue ge-er gara-gara elo! Wek! Udah ah, sana! Buruan pergi
deh sana. Menuh-menuhin Bandung aja!"
Inov senyam-senyum. Mama, Mika, dan Tante Helena yang ada di situ juga ikutan
senyam-senyum melihat kelakuan Mima dan Inov.
"Jangan kangen, ya," kata Inov datar kepedean.
Mima menepuk bahu Inov pelan. "Nyebelin..."
Lalu mereka terdiam. Sampe tiba-tiba Inov menarik Mima
ke pelukannya dengan mata berkaca-kaca. "Makasih ya, Mi,
sekali lagi makasih. Kamu salah satu orang terbaik yang pernah aku kenal...."
Mima tercekat. Pelan-pelan Mima membalas memeluk Inov
erat. Mungkin ini yang namanya lega. Lega semuanya sudah
selesai. Lega karena dia bisa melihat Inov baik-baik saja. "Gue
seneng lo baik-baik aja."
Nggak perlu kata-kata lagi. Mima dan Inov cuma perlu berpelukan sebentar. Baru sekarang Mima tersadar kalau ternyata
243 dia sudah sedekat ini sama Inov. Dan bikin mereka sadar, bahwa ada rahasia yang lebih baik tersimpan rapat-rapat, tapi
ada juga rahasia yang lebih baik diungkapkan. Seperti rahasia
Inov pada Tante Helena. Karena di antara semua orang di dunia ini, cuma keluarga yang mau membantu apa pun untuk
kita, yang mau ikhlas memaafkan apa pun kesalahan kita.
Inov melepas pelukannya, lalu menatap Mima. "Gue pergi,
ya..." Mima menyusut air matanya. Mengangguk dengan muka
sedih. Tahu-tahu Inov tersenyum jail. "Jangan manyun dong. Nanti
kencannya gagal, lagi."
Mima mengernyit. "Kencan?"
Inov mengangguk. "Iya, kencan. Lo kan ada kencan hari
ini." Hah? Kencan? "Apa...? Kencan apa? Sama siapa? Apa sih,
Nov?" Senyum Inov menyungging tengil. "Jangan gagal lagi ya.
Gue repot-repot lho ngaturnya."
Mima makin nggak ngerti. "Apa sih, Nov? Kencan sama
siapa?" "Tuh..." Inov menunjuk ke belakang Mima....
Mima berbalik?ya ampun! "Gian?"
"Aku telat, ya?"
Telat? Mima gelagapan. Telat gimana? Janjian aja nggak...
Inov nyengir lalu memeluk Mima sekali lagi. "Gue pergi
dulu..." Lalu menyalami Gian. "Gue jalan dulu. Kalo Mima bawel, tabah aja..."
Mima melotot. "Dah, Mima.... Baik-baik ya...."
Inov pergi. Mima berdiri terpaku. Semuanya kayak mimpi.
Hari-hari pertama kedatangan Inov, rahasia Inov, preman244
preman narkoba itu, kantor polisi... semuanya. Mima serasa
melompat keluar dari setting ilm setelah Inov pergi.
"Mi..." Suara Gian membuyarkan lamunan Mima. Dan balik ke du?
nia nyata! Gian! Gian, cowok impiannya, ada di depan mata!
Bikin Mima gelagapan. Ngapain dia di sini?! Kencan? Tadi Inov
bilang kencan, kan?! "Gi... k?kamu... kamu kok?"
Gian mengeluarkan dua tiket dari sakunya. "Ini dari Inov.
Katanya... ehem... katanya ilmnya bagus," kata Gian grogi.
Inooovvv!!! Gimana siiihhh?! Kalo tahu mau disuruh nonton
berduaan sama Gian, pasti Mima dandan dong! Nggak sekena?
nya kayak sekarang! Rencananya kan cuma mau nganter Inov
ke travel menuju airport doaaanggg! "K?kok bisa..."
"Kemarin Inov nyamperin aku. Dia bilang... ehem... dia... dia
beli tiket ini buat kita."
SIIING! Mima terdiam. Mamaaa! Mima bakalan nonton ber?
dua sama Giaaaannn!!! Makasih, Inooov! Makasiiihhh!!! Biarpun
bikin Mima terpaksa jalan sama Gian pake baju standar kayak
gini. Mima nggak bisa berhenti senyam?senyum dan lirik?lirik ke
Gian yang duduk di sebelahnya. Filmnya belum mulai, tapi
lampunya udah mati. Mima jadi bebas ngeliatin Gian. Nggak
konsen sama sekali nih kayaknya nonton ilmnya. Jantungnya
nggak berhenti?berhenti joget padang pasir. Deg?degaaannn!
"Eh, Mi..." "Hah?" Mima menatap Gian dengan muka konyol.
Gian menyodorkan amplop yang dilem rapat ke Mima.
"Aku hampir lupa. Kata Inov, dia titip ini buat kamu. Katanya
kamu harus baca, pas udah di dalem bioskop."
Mima menaikkan alisnya bingung sambil menerima amplop
dari Inov. 245 Harus dibaca di dalem bioskop?! Dasar Terminator bobrok!
Masa baca di dalem bioskop? Dari zaman bedil sundut juga
bioskop tuh buat nonton ilm, bukan buat baca surat!!!
Mima merobek amplop itu penasaran. Apa sih isinya?
Dan isinya sukses bikin Mima melotot gemes....
Cuma mo pengakuan aja. Sebenernya tiket itu gue beli buat gue nonton berdua sama
lo. Tapi dipikir-pikir, kayaknya lo bakalan lebih seneng kalo
nontonnya sama Gian. Sebagai cowok berjiwa besar, bertanggung jawab, dan heroik
kayak gue, ya gue ikhlasin deh.
Kalo habis ini Gian masih maju-mundur nggak nembaknembak, bilang sama gue.
Biar gue aja yang nembak lo. Soalnya... sebenernya gue juga
nggak keberatan kok punya cewek bawel, judes, galak, suka
demo, dan hobi jerit-jerit kayak lo. J
Sekali lagi, maain gue ya, Mi, selama ini bikin lo susah. J
PS: Awaaasss... jangan macem-macem sama Gian di dalem
bioskop yaaa.... -INOVIdih! Mima mendelik kesal. "Ihhhhh!!! Siapa juga yang mo
punya pacar robot korslet?!
Gian melirik kaget. Begitu juga orang?orang seisi bioskop
yang langsung heboh ber?pssst!?pssst!?berisik banget sih?
norak deh?kampungan! ke arah Mima yang mendadak
berisik. Mima nyengir salting. "Ng?nggak, Gi, nggak! Keingetan
246 sesuatu yang nyebelin! Hehe?maaf ya, sodara-sodara! Maaf
yaaa...." Gian menatap Mima bingung.
Ternyata narkoba memang bikin orang beneran berubah
180 derajat, ya? Buktinya, lepas dari itu, ternyata Inov orang
yang menyenangkan.... Mima senyam-senyum sendiri lalu mendekap surat dari
Inov. Mendadak wajah dinginnya yang kadang tengil melintas
di kepala Mima. Berikut semua kenangan anehnya bersama
Inov. Ternyata tu robot bisa jail juga.
Hmmm... kayaknya kalo Gian beneran nggak nembak dia,
boleh juga minta ditembak Inov. Mima juga rasanya nggak
keberatan punya cowok bermuka dingin, mirip robot, dan
tengil kayak Inov. Semoga Inov cepet sembuh. Cepet sehat.
Dan bisa ngunjungin Mima lagi di Bandung. Belum juga 24
jam, rasanya Mima udah kangen banget sama Inov. Si robot
korslet. 247 Keep in touch! J e-mail: crazywrite@yahoo.com,
friendster: crazywrite@yahoo.com, visionaireme@yahoo.com,
Facebook: premiermia@yahoo.com
http://withmia.blogspot.com
Cuma mo pengakuan aja. Sebenernya tiket itu gue beli buat gue nonton berdua sama lo.
Tapi dipikir-pikir, kayaknya lo bakalan lebih seneng kalo nontonnya sama
Gian. Sebagai cowok yang berjiwa besar, bertanggung jawab, dan heroik kayak gue,
ya gue ikhlasin deh. Kalo habis ini Gian masih maju-mundur nggak nembak-nembak, bilang
sama gue. Biar gue aja yang nembak lo. Soalnya... sebenernya gue juga nggak keberatan
kok punya cewek bawel, judes, galak, suka demo, dan hobi jerit-jerit kayak lo.
Sekali lagi, maain gue ya, Mi, selama ini udah bikin lo susah.
PS: Awaaasss jangan macem-macem sama Gian di dalem bioskop
yaaa.... -INOV- Idih! Mima mendelik kesel. Ihhh! Siapa juga yang mo punya
pacar robot korslet?! Mima mendekap surat dari Inov sambil
senyam-senyum sendiri. Inov. Semua kenangan, ketengilan, dan rahasianya yang bikin
repot dan nyaris membahayakan mereka itu, nggak mungkin bakal
Mima lupain seumur hidup.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 4-5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com Cerita sebelumnya... Hidup Mima berubah nggak tenang waktu Inov?anak sahabat
Mama?yang baru keluar dari rehabilitasi narkoba dititipkan di
rumah Mima. Kata Mama, Inov sengaja dipindahkan dari Jakarta
ke Bandung supaya cowok yang kaku bagai robot itu jauh dari
lingkungan negatifnya yang dulu.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebetulnya Mima sebel banget sama mama-papanya karena
nerima Inov gitu aja tanpa diskusi dulu sama Mima dan kakak
kembarnya, Mika. Feeling Mima, nerima orang yang pernah berurusan dengan narkoba di rumah kita pasti bisa bikin masalah.
Benar saja. Nggak lama setelah Inov tinggal di rumah Mima dan
sekolah di sekolah Mima, hidup Mima berubah heboh dan
menegangkan. Tanpa sengaja Mima tau rahasia-rahasia yang Inov
sembunyikan rapat-rapat. Ternyata diam-diam Inov masih sering sakaw. Bukan itu aja,
ternyata Inov belum betul-betul lepas dari Revo and the gank.
Komplotan pengedar narkoba itu nggak melepas Inov begitu saja.
Mereka masih memeras Inov dan mewajibkan cowok itu menyetor
uang hasil penjualan narkoba secara rutin biarpun dia bukan
pemakai lagi. Karena kalau nggak, mereka akan membocorkan
sebuah rahasia besar Inov pada bundanya.
Belum cukup bikin Mima "terlibat" dengan bandar narkoba, Inov
juga bikin urusan percintaan Mima kacau. Pedekatenya dengan
Gian si ketua OSIS berantakan karena Mima harus selalu mementingkan Inov.
Sampai akhirnya Mima nggak tahan lagi. Mima nggak sanggup
liat Inov kayak orang hampir mati gara-gara narkoba. Mima kesal
dan marah membayangkan Revo dan gengnya tetap berkeliaran
bebas. Cuma satu jalan keluarnya. Akhirnya Mima membongkar
semuanya. Nggak ada yang lebih bikin lega melihat Inov bebas dari
cengkeraman Revo dan gengnya. Biarpun setelah itu Inov diungsikan ke Surabaya supaya bisa tenang melanjutkan pengobatan
dan jauh dari lingkungan yang sudah bikin hidupnya hancur.
Inov nggak pergi begitu saja. Sebelum pergi, cowok itu sempatsempatnya mengatur kencan untuk Mima dan Gian. Dan meninggalkan surat yang isinya bikin Mima senyum-senyum sendiri.
Satu Mau pengakuan aja. Sebenernya tiket itu gue beli buat gue nonton berdua sama
lo. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya lo bakalan lebih
seneng kalo nontonnya sama Gian.
Sebagai cowok yang berjiwa besar, bertanggung jawab, dan
heroik, ya gue ikhlasin deh.
Kalo habis ini Gian masih maju-mundur nggak nembaknembak, bilang sama gue.
Biar gue aja yang nembak lo. Soalnya... sebenernya gue juga
nggak keberatan kok punya cewek bawel, judes, galak, suka
demo, dan hobi jerit-jerit kayak lo.
Sekali lagi, maain gue ya, Mi, selama ini udah bikin lo susah.
PS: Awaaasss... jangan macem-macem sama Gian di dalem
bioskop yaaa. -INOV- IMA menghela napas menatap surat dari Inov di tangannya. Apa kabar ya Inov? Sejak cowok ajaib itu
pindah dari Bandung ke Surabaya untuk menjalani
pengobatan paru-parunya, Mima sesekali masih saling kontak sama
cowok itu. Selain saling tanya kabar, juga saling cerita. Eh, nggak
ding, lebih banyak Mima yang suka curhat colongan biarpun
respons Inov nggak berubah: tetep lempeng dan datar kayak robot.
Tapi karena di sekolah Mima lagi banyak tugas, kayaknya terakhir
mereka ber-WhatsApp ria hampir dua minggu lalu.
Setelah kasus dengan bandar narkoba yang cukup heboh sekitar
empat bulan lalu itu, Inov masih dalam pengawasan pihak kepolisian
untuk menjalankan pengobatan dan rehabilitasi lanjutan. Mima
kembali sibuk dengan kehidupannya sehari-hari, termasuk dengan
predikatnya yang nggak jomblo lagi.
Mima teringat empat bulan lalu surat itu diserahkan oleh Gian
di dalam bioskop. Hari itu, sebelum berangkat ke Surabaya untuk
berobat, Inov sempat-sempatnya mengatur kencan buat Mima dan
Gian. Tapi kalau dipikir-pikir nih, waktu itu yah wajar banget Inov
sampe harus bela-belain ngatur kencan demi mendekatkan Mima
dan Gian. Bayangin aja, selama cowok itu tinggal di rumah Mima
dan satu sekolahan sama Mima, selama itu pula urusan PDKT Mima
dan Gian kalau-balau karena Mima kebanyakan ngurusin Inov.
Ganggu urusan percintaan Mima banget deh!
Satria November alias Inov.
Bayangan sosok Inov melintas di kepala Mima. Cowok kurus,
berkulit pucat, dan (sebetulnya) manis, bisa masuk kategori
ganteng kalau aja dia bisa lebih banyak senyum dan nggak datar
kayak robot rusak. Mima juga masih inget gimana kekinya dia waktu
Mama dan Papa memutuskan menerima Inov, yang baru keluar
dari rehabilitasi narkoba tinggal di rumah mereka tanpa diskusi
sama Mima dan kakak kembarnya, Mika. Dan nggak perlu waktu
lama buat Mima ngasih julukan "robot Terminator rusak" untuk
Inov. Karena cowok itu betul-betul kayak robot Terminator
rusak. Sampai waktu itu Mima malah kecemplung dalam masalah Inov
dan terpaksa membantu cowok itu menghadapi gerombolan
bandar narkoba yang ternyata masih mengincar Inov. Akhirnya
Mima juga tau, di balik sikap Inov yang nyebelin dan aneh, sebenarnya cowok itu baik dan punya banyak masalah.
Pokoknya, pengalaman Mima sama Inov beberapa bulan lalu itu
nggak terlupakan deh. Seumur hidup, pertama kalinya Mima liat
orang sakaw ya Inov. Pertama kali liat barang haram yang namanya
narkoba juga gara-gara Inov. Pertama kali liat orang digebukin
sampai babak belur ya gara-gara Inov juga. Pertama kalinya Mima
nekat membentak-bentak bandar narkoba dan menyerahkan uang
jajannya pada orang-orang mengerikan itu juga demi menyelamatkan
Inov. Dan pertama kalinya Mima ketakutan melihat orang yang dia
kenal dekat nyaris mati di depan matanya... ya sama Inov juga.
"MIMAAA!!!" Tau-tau suara cempreng mix histeris Mama membahana dari arah ruang tamu.
Mima buru-buru memasukkan kembali surat Inov ke laci meja
belajar. Surat itu memang selalu Mima simpan di tumpukan paling
atas di dalam laci kecilnya. Dan setiap kali dia harus ngambil sesuatu
dari laci, surat itu sering banget mengundang untuk dibaca ulang.
Semacam reminder bahwa Mima pernah kecemplung dalam
petualangan heboh bersama Inov. Dia selalu menyimpan surat itu
baik-baik. Karena apa yang Mima alami bareng Inov bukan
petualangan biasa, melainkan luar biasa. Bayangin: memenjarakan
sindikat pengedar narkoba!
"MIMAAA!" panggilan kedua. Sekarang suara Mama lebih
melengking. "IYAAA, MAAA!" "ADAAA GIAAAN NIHHH!"
Mendadak Mima berasa jadi keluarga Tarzan, satu teriak dari
pohon, yang lainnya teriak dari pinggir kali. Mima buru-buru
menyambar tas, lalu melesat keluar kamar.
"Astagirullah, Neeeng... Aduhhh!"
"Aduhhh!" pekik Mima histeris begitu badannya mental ke
belakang gara-gara bertabrakan dengan Teh Juliet alias Teh Jul si
asisten rumah tangga yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Mulai
belajar jadi ninja kali dia. Mima berdiri dan menyaksikan Teh Jul
susah payah berdiri setelah terjengkang akibat tabrakan tadi.
"Teh, please deh, ngapain sih tiba-tiba berdiri di depan pintu
kamar aku?" Teh Jul manyun. "Yeee, si Eneng, Neng Mima yang apa-apaan
coba, buka pintu tiba-tiba? Teh Jul mah mau ngasih tau ituuu, ada
Den Gian di depan. Disuruh Ibu. Aduhhh, untung pantat Teh Jul teh
tebel, Neng. Jadi ngejengkang kayak tadi juga nyut-nyutannya
dikit." "Gendut kali maksudnya. Makanya Teh Jul jangan asal nongol
di depan pintu. Ngetuk pintu dulu kek, assalamualaikum kek, apa
kek. Coba Teh Jul bayangin, gimana kalo tadi pas kita tabrakan
kepalanya Teh Jul kejedot lantai terus aku kejedot ujung meja?
Bahaya banget, kan? Bisa-bisa kita..."
"Neeeng! Setooop!" Tau-tau telapak tangan Teh Jul nangkring
di depan muka Mima. Mima mengernyit dengan ekspresi nggak terima. "Apaan sih,
Teh?" "Bukan waktunya kumat ceramah panjang-panjang, Neng. Neng
teh harus buru-buru, kan Den Gian udah nungguin. Nggak baik
nyuruh pacar nunggu lama-lama. Nanti dia ilpil. Gawat atuh. Bisa
putus." Mima mendelik. Saking hafalnya seisi rumah sama sifat Mima,
sampai-sampai Teh Jul pun menyetop Mima yang lagi merepet
bagai petasan banting dengan acungan telapak tangannya yang
bau bawang campur terasi udang. "Ilpil, ilpil... upil kali!" Mima
melengos melewati Teh Jul.
Gian tampak duduk manis di ruang tamu. Bukan Gian namanya
kalau nggak terlihat rapi dan berwibawa. Ketua OSIS gitu lho.
Biarpun hari ini rencana kencan mereka cuma makan piza, Gian
tetap rapi dengan kemeja dan celana chino krem muda. Rambutnya
juga tampak cling karena baru dicukur dan disisir rapi.
Mima langsung tersenyum manis begitu berdiri di depan Gian.
Catet ya, senyum manis. Dulu, awal-awal Mima selalu tersenyum
lebar. Dalam arti lebar yang sebenarnya. Istilahnya, kuda nil nggak
mungkin mangap tanpa pamer gigi. Dulu Mima juga gitu, selalu
tersenyum lebar ceria dan memamerkan gigi-giginya. Tapi sebulan
lalu, tiba-tiba aja Gian menunjuk foto Mima yang sedang tersenyum
manis nan kalem di ponselnya sambil bilang, "Aku lebih suka liat
kamu senyum kayak gini. Kayaknya kamu paling cantik kalo
senyumnya kayak gini. Kalem dan nggak berlebihan."
Nah! Langsunglah Mima teringat senyuman lebar ala kuda nil
pamer giginya. Nggak perlu punya kekuatan ganda buat baca
pikiran, udah jelas banget maksudnya Gian nggak suka pose nyengir
kuda nil mangap ala Mima.
Bukan cuma cengiran lebar Mima yang pernah dikomentari Gian.
Rasanya banyak banget sifat dan sikap Mima yang kena teguran
Gian karena dirasa kurang pas, kurang sopan, atau kurang feminin.
Sejak hari itu Mima menahan diri untuk nggak senyum lebar kuda
nil mangap dan menggantinya hampir permanen dengan senyum
manis, kalem, dan memancarkan aura ketenangan alam semesta.
"Udah lama, Gi?"
"Nggak juga. Udah siap?"
Mima ngangguk. "Siap dong. Aku pamit dulu ya. MAMAAA!
MIMA SAMA GIAN JALAN DULUUU, YAAA. KAMI MAU KE..." Tautau lengan Mima ditowel. Mima melirik. Ternyata Gian.
Mata Gian menatap Mima kalem. "Mi, kalau mama kamu di
kamar mandi, kamu ke pintu dong, ketuk. Jangan teriak-teriak gitu.
Masa pamit sama Mama begitu? Kamu hidup di kota, Mi, bukan di
gua." Kali ini Mima nggak sempat nahan. Bagai releks yang ditem?
bakkan langsung dari langit, tau-tau Mima nyengir lebar ala mangap
kuda nil. Gian memang ketua OSIS sejati, berwibawa, dan menjunjung tinggi keteraturan dalam hidup. Terbukti sejak pacaran
sama Gian, Mima udah kayak dapat kursus privat cara-cara menjadi
cewek yang baik dan benar. Eng... yah, nggak pa-pa juga sih. Ya
nggak sih? Ya, kan? Ya dong. Biarpun kalau mau jujur Mima sering
banget kesal karena aturan-aturan Gian kelewat kaku.
"IYAAA! HATI-HATI, YAAA!"
Daaan... cengiran kuda nil Mima makin lebar begitu mendengar
Mama nyaut dari dalam kamar mandi tepat sebelum Mima
melangkah menuju pintu kamar mandi buat ngetuk pintu dan
pamitan. "Nah, tuh nyaut, Gi..."
Gian meringis aneh. Kelakuan tarzan Mima dan mamanya sangat
nggak sesuai dengan norma-norma yang dia pegang. "Ya udah,
yuk..." "Eh, Mi, mo ke mana?"
Gian berbalik ke arah suara Mika. Kakak kembar Mima itu berdiri
di depan kulkas yang terbuka sambil sibuk nuangin jus ke gelas.
"Eh, Mika. Ini, aku mau ngajak Mima makan di restoran piza baru
di Jalan Progo. Cuma makan piza sih, nggak bakalan pulang terlalu
malam. Misalnya ada apa-apa, kamu telepon aku aja, Ka. Nomornya
ada, kan? Aku janji Mima bakal aman-aman aja makan piza sama
aku." "Oooh... ya. Oke."
Sumpah, tampang Mika terlihat ajaib. Ya habis dia nggak tau
harus berekspresi kayak gimana. Tadi itu, pertanyaan "Mi, mo ke
mana?" basa-basi doang. Kenapa jawaban Gian jadi panjang-lebar
dan penuh penjelasan gitu? Ditambah janji soal Mima akan amanaman aja makan piza sama dia. Selama makan pizanya di restoran
piza dan nggak di tengah sarang anakonda atau di bawah kolong
pesawat tempur sih harusnya acara makan piza memang amanaman aja. "Hati-hati ya, Mi, jangan keselek. Kasian Gian kalo kamu
kenapa-kenapa." SET! Mima melempar tatapan sinis penuh dendam ke arah Mika.
Awas aja kakak kembarnya itu nanti malam, bakal dia sumpal pake
kutang Teh Jul yang belum dicuci!
Sejak Mima jadian sama Gian, Mika hobi banget ngeledekin.
Mulai dari membandingkan kepribadian Mima dan Gian yang bagai
manusia dan kingkong lah?ya, tentunya manusianya Gian,
kingkongnya Mima. Atau bagaikan kuda kerajaan dan jangkrik
sawah. Nggak usah dijelasinlah ya, siapa kuda kerajaan siapa
jangkrik sawah. Intinya Mima dan Gian beda spesies. Kata Mika,
Mima kewalahan ngimbangin Gian yang penuh disiplin, berwibawa,
dan ketua OSIS. Huh! Gian mengernyit begitu melihat Dena, Kiki, dan Reva melenggang
masuk ke resto piza sambil melambai-lambai heboh dan mengeluarkan suara-suara melengking. "Mimaaa... lo di sini jugaaa?" sapa
Dena begitu berdiri di depan meja Mima dan Gian.
Mima mengangguk semangat. "Iya dong. Tau sendiri, piza ini
nggak kalah sama Pizza Hut. Harganya juga bersaing. Padahal nih
ya, bawang bombay-nya, dagingnya, jamurnya, kejunya, gue yakin
kualitasnya oke semua. Ini namanya berjualan yang jujur. Nggak
ngambil untung gila-gilaan. Nggak mencekik konsumen. Jadi kita
juga sebagai pengunjung..."
"Interupsi!" Kiki dengan tengil nyeletuk dan mengangkat tangan
ala mau jawab pertanyaan di kelas. "Ke sini mo makan, bukan
denger analisis bisnis restoran piza," sambung Kiki mantap, biarpun
ditatap Mima dengan dahi berkerut-kerut mirip lipatan kulit pipi
bulldog. Mima manyun. Tau-tau Gian menyentuh lengan Mima pelan.
"Iya, Mi, mereka kan mo pada makaaan..."
Dena, Kiki, Reva saling lirik.
"Eh, kalian duduk di sini aja. Gabung. Ya kan, Gi? Biar seru."
Sebelum Gian sempat menjawab iya atau nggak, trio sahabat
Mima itu udah duduk manis. Gian berdeham pelan. Sebetulnya ini
kan acara kencan ya, masa kencan rame-rame? Tapi berhubung
Dena, Kiki, Reva udah kepalang duduk, ya mana mungkin dia usir.
Bisa-bisa Mima langsung angkat spanduk dan demo atas dasar
membela asas-asas kesopanan dan kesetiakawanan. Jadi Gian
pasrah aja, sambil berharap semoga bukan dia yang nanti mesti
bayar semuanya. SROOOTTT! Mima menyeruput loat sampe abis, lalu sambil nyengir lebar ia
menatap Gian. "Beneran nggak pa-pa kan, Gi, kamu pulang duluan?
Aku pengin ikutan ngobrak-ngabrik diskonan aksesori sama mereka.
Hemat banget, kan? Bayangin, dengan harga normal aku cuma bisa
dapet satu, kalo diskon lima puluh persen kan dengan harga sama
aku bisa dapet dua barang. Terus ya..."
"Mi, Mi..." Gian mengangkat tangan.
Mima spontan berhenti nyerocos dengan tampang cengo.
"Aku tau artinya diskon..."
Mima meringis. "Heh... eng... maksudnya bukan ngatain kamu
nggak tau artinya diskon. Tapi, kan tadi aku datengnya bareng
kamu, nah terus sekarang karena ada diskon aku jadi nggak pulang
bareng kamu. Makanya, aku kan perlu menjelaskan keuntungankeuntungan dan alasan-alasan aku pengin ikut ngobrak-ngabrik
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barang diskonan. Soalnya..."
"Mi, Mi..." Gian mengangkat tangan lagi.
Alis Mima mengernyit. Kenapa jadi kayak cerdas cermat gini ya?
Tiap kali Mima lagi ngomong, Gian angkat tangan. "Ya...?" tanya
Mima dengan nada yang bisa disambung dengan kalimat "silakan
jawabannya Adik dari SDN 03?"
"Aku nggak keberatan kok kamu pulang sama Kiki, Dena, dan
Riva. Santai aja. Kamu nggak perlu jelasin panjang-lebar begitu."
Nggak lama kemudian Gian membayar tagihan makannya dan
Mima, lalu pamitan pergi.
Mima menghela napas. Semakin lama pacaran sama Gian
ternyata makin jauh dari bayangannya dulu. Ya, Gian baik. Tetep
memesona karena wibawanya. Tapi...
Dua ASAR ratu drama tak bernyali lo, Mi." Riva melempar
gumpalan kertas bungkus sedotan dan PLUKKK!
Mendarat dengan sukses di jidat Mima, lalu mental dan
mendarat di atas es krim.
Bibir Mima langsung mengerucut nggak terima. "Hah? Apa
maksudnya tuh ngatain gue ratu drama nggak bernyali?"
Riva memutar mata. "Hellaawww... udah jelas banget kali
maksudnya. Nggak perlu jadi genius yang bisa menemukan cara
alien berkembang biak untuk ngerti kalimat gue tadi."
Mima mengerutkan hidung. "Ngapain ada penelitian tentang
cara berkembang biak alien kalo aliennya aja nggak jelas ada atau
nggak? Harusnya tuh ya, penelitian itu baru ada kalo alien udah
bener-bener ditemuin. Nah, kalo gitu kan..."
"WOOOIII! Interupsiii!" Riva mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
"Kenapa jadi ngebahas alien berkembang biak sih?"
"Ya, elo duluan kan tadi?"
Riva menepak jidatnya sendiri. Sebetulnya sih kalau mengikuti
hasrat hati dia lebih nafsu menepak jidat Mima dengan bantuan
tenaga dalam Power Rangers. "Ngeles aja lo, Mi, kayak bajaj. Maksud gue, kalo lo bukan ratu drama tak bernyali, ngapain coba lo
bikin drama kayak tadi? Ngapain nyuruh gue, Kiki, sama Dena ke
sini terus akting sok-sok nggak sengaja ketemu? Buat nyelametin
lo, kan? Karena lo mati gaya berduaan sama Gian, kan?"
KRUK! Mima bukannya langsung jawab malah mengunyah es
batu sambil mendelik. "Mi..." panggil Kiki dengan tampang serius.
"Hmm?" Pipi Mima bergerak-gerak, masih mengunyah sisa es
batu dengan sok cool. "Mi!" Kali ini suara Riva naik satu oktaf. "Liat sini! Tatap mata
gue!" "PFFFTT!" Kiki hampir aja bikin adegan dukun sembur kalau
telapak tangannya nggak releks menutup mulutnya yang lagi
penuh lemon squash. Sejak kapan Riva ikutan kursus hipnotis
praktis bersama Dedi Corbuzier?
Riva langsung melotot. "Kiki, jangan ketawa! Ini serius."
Dengan muka merah padam, Kiki susah payah menelan lemon
squash di mulutnya sambil ngangguk-ngangguk dan mengangkatangkat sebelah tangan tanda dia janji nggak bakalan ketawa.
Biarpun mukanya yang merah padam dan pipi chubby-nya semakin
oversized mengatakan sebaliknya.
"Udah, Mi, tatap mata Riva! Buruan. Dan jawab pertanyaanya,"
kata Dena santai dan kalem sambil mengunyah chicken wings. Dena
lagi menjalankan program "pendewasaan diri" yang dia ciptain
sendiri. Tahap pertamanya adalah menjadi cewek kalem dan selalu
tenang. Padahal semua juga tau Dena begitu karena lagi ngecengin
teman sepupunya yang kutu buku dan udah kuliah. Modus yang
sangat blakblakan! Mima memutar bola matanya, sebal. "Apaan sih kalian pake
tatap mata-tatap mata segala? Lagian, lo kalo mo ngomong mah
ngomong aja, Va. Ngapain nyuruh gue tatap mata lo segala? Lo
punya hak bicara, nah gue juga punya hak menatap ke mana pun
gue suka waktu ngomong sama lo. Mulut, mulut lo, nah mata, mata
gue. Jadi lo ngomong aja, dan gue bebas mo menatap mata lo kek,
mata abang-abang parkir kek, mata cecak yang lagi nemplok di
dinding kek, ataaauuu... menatap rumput yang bergoyang, padi
yang menguning..." "...ikan asin yang dijemur, nenek-nenek nyari kutu..."
"Kiki!" Mima melempar tatapan protes.
Kiki cekikikan. "Ya, habisnya panjang banget bahasan lo cuma
gara-gara disuruh natap mata Riva. Tinggal bilang nggak aja pake
pidato, sampe bawa-bawa hak dan kewajiban segala. Padi
menguning nggak bersalah, Mi, itu takdir. Jangan dibawa-bawa.
Kebiasaan." Mima mendengus. "Ya udah!" Riva mengangkat tangan, memutus perdebatan yang
tampaknya akan semakin melenceng dan nggak nyambung.
"Intinya, Mi, lo jujur deh sama kami, lo sama Gian mulai ngerasa
nggak nyambung, kan? Uhm... mulai ngerasa nggak... cocok? Ya,
kan?" Releks Mima menegakkan duduknya. Hening sejenak. Kiki dan
Dena kompak ikutan menatap Mima penasaran. Kiki malah pake
acara melebarkan mata sedikit, tanda nggak sabar dan kode biar
Mima buru-buru menjawab. Mima berdeham pelan, lalu menatap sahabat-sahabatnya. "Kata
siapa tuh?" Riva, Kiki, dan Dena langsung saling lirik penuh kode. Pokoknya
di antara lirikan mereka hampir bisa keliatan kode-kode beterbangan
penuh arti. "Nah, itu kenapa kalian tatap-tatapan begitu? Pada kenapa
sih?" Riva geleng-geleng pelan. Nyerah kalau harus nanya lagi ke
Mima. Akhirnya gantian Kiki yang buka suara. "Soalnya menurut
kami bertiga, elo denial. Semua juga bisa liat lo udah mulai nggak
nyaman sama Gian. Akhir-akhir ini, setiap kali kencan, lo selalu
ngatur drama kayak gini supaya kesannya nggak sengaja ketemu.
Lama-lama kita bisa ketauan saking nggak kreatifnya. Inget, Mi,
Gian ketua OSIS yang notabene otaknya lebih encer daripada kita.
Mungkin dia terlalu baik aja, makanya pura-pura nggak tau dramadrama ciptaan lo ini."
Dahi Mima berkerut. "Nggak nyaman gimana sih? Gian nggak
ada masalah. Baik?baik aja kok dia. Kenapa gue nggak nyaman?
Kalian jangan nyimpulin tanpa fakta lho, itu namanya itnah. Fitnah
lebih kejam daripada pembunuhan, tau! Emangnya salah kalo gue
pengin bagi rata waktu gue sama Gian dan sama kalian?"
Tangan Kiki mengetuk-ngetuk ujung meja. Setelah sekitar
sepuluh ketukan, Kiki menatap Mima lagi. "Jadi lo minta fakta?
Fakta pertama, sejak lo sama Gian, lo berubah, Mi. Lo jadi... hm...
gimana ya, jadi berubah lebih... hmm... jinak."
"Hah?" Mima mendelik. "Jinak? Lo kira gue singa?"
"Nah!" Kiki mengacungkan telunjuk. "Itu... lo bagai singa yang
tertekan!" Mima melongo. Nggak nyangka beneran dikatain singa. Mending
kalo dikatain singa doang, ini singa yang tertekan! Lebih ancur
daripada judul sinetron. Kenapa nggak ngatain Mima putri yang
dikhianati gitu, ataaau... gadis yang terbelenggu, atau apa kek yang
lebih manis daripada singa yang tertekan. "Eh, Ki..."
"Sssst!" Kiki mengacungkan lagi telunjuknya, meminta Mima
jangan bicara dulu. "Dengerin dulu. Gue, Riva, dan Dena udah kenal
lo sampe ke bapuk-bapuknya elo, Mi. Jadi keliatan banget begitu
lo berubah. Kayaknya lo kalo di depan Gian nahan diri banget biar
nggak terlalu cablak kayak biasanya. Bahkan kalo di depan dia
ketawa lo jadi aneh. Lo kayaknya ketakutan banget kalo ngakak lo
bakalan mati. Pokoknya lo jadi beda deh. Dan di mana-mana tuh
ya, Mi, orang pacaran penginnya berduaan, bukannya malah nggak
betah kayak lo gini."
Mima terdiam mikir. Ya emang, Gian sering ngingetin dia bahwa
cewek harus terlihat anggun dan elegan, jangan terlalu meledakledak kayak knalpot rusak. Gian juga bilang Mima lebih manis dan
anggun kalo ketawanya "terkontrol" alias nggak ngakak kayak
teriakan burung gagak. Tapi... "Ohhh, ituuuu!" Mima nganggukngangguk. "Kalian bukannya seneng sih gue berubah ke arah yang
lebih baik? Kan lo bertiga yang ngatain gue berisik, knalpot rusak,
tukang demo, tukang protes. Coba, apa lagi yang kalian pernah
katain ke gue? Dan lo bertiga pernah ngebungkem mulut gue kan
gara-gara itu? Nyablak dikatain berisik, nahan diri dikatain aneh.
Terus di mana hak gue untuk menentukan sikap gue sendiri dan...
HMMMPPPH!!!" Tau-tau ada tangan membekap mulut Mima. Dari
bau bawang goreng, kacang, campur cabe bubuk, pasti tangan
Riva! Soalnya sebelum makan piza, itu anak sempat-sempatnya
jajan kerak telor. "AWWW! Kok gigit sih, Mi?!" Riva buru-buru melepaskan
bekapannya, lalu heboh mengibaskan telapak tangannya yang
nyut-nyutan. Mima mendelik keki. "Tenang aja, gue udah disuntik rabies. Salah
sendiri main bekap mulut orang!"
"Nah ini!" Tiba-tiba Dena menuding Mima dengan mantap dan
yakin. "Ini maksudnya, Mi. Lo di depan Gian beda dengan di
belakang Gian. Lo berubah lebih baik kalo di depan Gian doang.
Tapi di belakang Gian, lo tetep aja kayak biasa. Itu artinya apa?"
Kiki tampak membuka mulut, berniat menjawab pertanyaan
Dena, tapi Dena langsung jawab pertanyaannya sendiri. "Itu artinya
lo ngebohongin diri lo sendiri dan ngebohongin Gian juga. Artinya
perubahan sikap lo itu cuma akting di depan Gian, bukan dari hati
lo. Itu artinya di depan Gian lo nggak bisa jadi diri sendiri. Terus,
emangnya lo nyaman pacaran sama orang yang bikin lo harus
berakting terus? Berarti dia nggak nerima lo apa adanya dong?"
Rasanya tiba-tiba ada yang menohok dada Mima. Efeknya
langsung bikin otaknya mendadak lemot, bergerak slow motion
kayak HP kepenuhan memori dan akhirnya loading melulu. Mima
mendadak bengong. "Terus, kalo ternyata lo berdua nikah nih, lo bakal akting seumur
hidup, gitu? Yah, kalo gitu sih mendingan lo jadi aktris daripada jadi
ibu rumah tangga," sambung Kiki seenaknya.
Ini saat-saat Doraemon jadi makhluk yang paling ditunggutunggu. Dalam hati Mima berandai-andai, kalau aja Doraemon
nyata, detik ini juga bakalan dia undang secara eksklusif untuk
nongol di sini. Dan begitu dia nongol, Mima bakal langsung
mengobrak-abrik kantong ajaibnya. Pasti ada yang bisa dipake
untuk situasi ini. Telapak tangan raksasa pembungkam mulut
cerewet yang tidak diinginkan. Atau... pintu menuju peradaban
purba. Apa aja deh. "Ihhh... khayalan lo kejauhan deh, Ki. Lulus
SMA aja belum, pacaran juga baru empat bulanan, masih jauh
banget dari nikah. Nikah butuh proses panjaaang. Pencocokan
visi-misi, perkenalan keluarga, persiapan biaya, terus belum
lagi..." "Amanat pembina upacara. Istirahat di tempaaat... GRAAK!"
ledek Riva sambil cekikikan.
Bibir Mima langsung manyun. "Ih, jahat banget sih lo! Orang lagi
ngomong juga." "Omongan lo seperti biasa... melenceeeng dari topik utama.
Ngapain sampe bahas tahap-tahap menuju pernikahan sih? Coba
deh fokus... fokus sama inti masalahnya."
Mima menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya
pelan-pelan sambil menatap ketiga sahabatnya. "Lo bertiga juga
jangan bertele-tele deh. Jadi intinya apa?"
Ketiga sahabat Mima saling melempar tatapan kembali. Kali ini
tatapan mereka kayak lagi melempar undian siapa yang bakal maju
untuk ngomong sama Mima. Tentu saja korbannya Kiki. Karena
Kiki-lah yang paling nggak berdaya setelah Dena dan Riva kompak
melempar tatapan yang sama ke arahnya. Tatapan elo-aja-deh-Ki.
Kiki menatap Mima serius. "Gini, Mi... intinya kami pengin nanya,
elo yakin... hubungan lo sama Gian... uhm... nggak maksain?"
Mima menatap Kiki nggak percaya. Lalu menatap Riva dan Dena
dengan tatapan sama. "Maksudnya... kalian nyuruh gue... putus?!"
Tiga MIMA: Nov! inggu pagi. Begitu bangun tidur Mima langsung buruburu memegang ponsel dan mengirim pesan buat Inov.
Minggu yang cerah ini Mima memilih diem di rumah
aja. Obrolannya dengan Kiki, Reva, dan Dena semalam betul-betul
bikin rusak mood. Mima menatap layar ponsel, menunggu jawaban WhatsApp dari
Inov. Udah lima belas menit menunggu, masih belum dijawab juga.
Padahal Mima kirim WhatsApp dari tadi malam lho. Tadi malam
juga nggak dibalas sama sekali. Mima pikir semalam Inov pasti udah
tidur. Tapi masa jam segini belum bangun sih?
Mima: INOOOV!!! Yuhuuu! Tetap aja, nggak ada jawaban. Padahal hampir satu jam lalu
Mima kirim pesan?Mima mulai gelisah. Serius deh, Inov ke mana
sih? Kenapa sih? Di-WhatsApp, di-Line, di-SMS, di-Facebook
messenger, semua nggak dibalas. Ditelepon juga nggak diangkat.
Padahal biasanya biarpun jawabannya selalu pendek-pendek dan
seperlunya yang khas Inov banget, cowok itu selalu cepat membalas
pesan Mima. Dan beberapa bulan sejak Mima jadian sama Gian, Inov juga jadi
tempat curhat Mima untuk masalah-masalah yang dia nggak bisa
atau memilih untuk nggak curhat kepada tiga sahabatnya. Termasuk
masalah Gian. Biarpun Inov di Surabaya dan Mima di Bandung, dengan segala
macam aplikasi chatting dan banyaknya social media, masalah
komunikasi jadi serbagampang. Semua jalur udah Mima coba untuk
menghubungi Inov, cowok itu malah menghilang. Padahal Mima
pengin curhat banget setelah obrolannya dengan Kiki, Reva, dan
Dena bikin tertohok kemarin.
Mima: INOV! INOV! INOV! Lo ke mana sih?! NOOOV!!!
Kok chat gue nggak dijawab?
Telepon gue juga nggak diangkat. INOOOV!
Tapi sampe Mima selesai sarapan, baca tabloid gosip, ketiduran
dan bangun dari ketiduran, Inov belum juga menjawab. Mau nggak
mau perasaan Mima yang awalnya cuma "mulai gelisah" meningkat
jadi "gelisah" dan sekarang naik tingkat lagi jadi "gelisah banget".
Kalau dua-tiga jam nggak bisa dihubungi, ya kemungkinan dia sibuk
atau lagi terapi. Tapi ini udah hampir setengah hari. Jangan-jangan
Inov kenapa-kenapa? Seingat Mima, Minggu adalah jadwal terapi
ringan yang nggak makan waktu lama.
Mima bangkit dan turun dari ranjang. Dia nggak bisa diem aja
nih. Harus mencari tau. Tiba-tiba dia takut. Gimana kalau terjadi
sesuatu pas pengobatan, terus Inov koma, kritis... atau malah...
meninggal?! Hiii!!! "Neng, setop!" Tau-tau Teh Jul mengadang Mima di dekat ruang
makan. Begitu Teh Jul berdiri di depan Mima, langsung deh aroma
terasi yang berkolaborasi ikan asin menguar di udara, tak lupa
disusul aroma petai. Mima releks mengibas?ngibaskan telapak tangan di depan
lubang hidungnya. "Apaan sih, Teh?"
PREK! Teh Jul malah mengibaskan serbet yang tadi tersampir di
bahunya. Lalu dari aroma terasi, ikan asin, dan petai langsung
berubah jadi aroma-aroma ajaib yang sulit dianalisis hidung manusia
normal. "Yeeeh, si Eneng teh malah ngeyel. Dibilangin sama Teh
Jul tuh nurut ajaaa. Nih ya, Neng Mima ke ruang makan pasti mau
makan siang, kan? Percuma Neng ke ruang makan sekarang maaah,
belum mateng makanannya, Neng. Ini Teteh masih masak tumis
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikan asin petai. Jadi mendingan Neng nunggu di kamar, daripada
tersiksa nunggu di ruang makan nyium wangi masakan yang belum
mateng. Ntar Neng Mima ngerusuhin Teh Jul, nyuruh masak buruburu. Wah, jadi nggak tenang atuh, Neng, masaknya. Mengganggu
konsentrasi." Ih?! Mima mendelik. "Mama mana? Aku mo ketemu Mama."
Teh Jul malah geleng-geleng lebay dengan muka serius. Asli deh,
sejak Teh Jul berniat ikutan casting sinetron untuk peran Asisten
Rumah Tangga yang Teraniaya, tingkahnya yang udah kelebihan
dosis makin penuh drama. "Ya ampun, Neng, nggak percaya amat
sih. Mama Neng juga bakal bilang yang sama, masakannya belum
mateng." "Ih, siapa juga yang mo makan sih? Udah ah, Teh, minggir." Mima
mendorong pelan Teh Jul ke samping supaya dia bisa lewat.
"Neng, tunggu!" Teh Jul mengulurkan sebelah tangan sambil
memanggil Mima dramatis. Persis adegan pemeran pembantu yang
mencegah pemeran utama masuk kamar karena di dalam kamar
ada si pemeran antagonis yang lagi masang boneka santet.
Mima menoleh malas. "Apa?"
"Mama Neng ada di... di taman."
Yaelah! Kirain apaan. Mima cuma ngangguk asal-asalan, lalu buru-buru menuju taman.
Dan di sanalah Mama berada. Meleset dari dugaan Mima semula
yang menebak Mama lagi berkebun dan merapikan bunga-bunga,
ternyata Mama lagi err... nungging? Dengan sebelah kaki ke udara.
Itu pun kakinya nggak lurus, tapi bengkok. Mama memang betulbetul kecanduan yoga.
Mima meringis melihat gerakan Mama. Sejak sekitar tiga minggu
lalu, seminggu dua kali Mama ikut latihan di studio yoga, selebihnya
Mama bertekad untuk yoga di rumah setiap hari. Tapi ya, kalau
nggak salah, yoga kan lebih ke stretching otot-otot, termasuk
meluruskan otot-otot yang keseleo. Melihat gerakan Mama
sekarang, kayaknya yoga ala Mama bukannya stretching otot, malah
berisiko bikin Mama digotong ke IGD karena otot melintir dan
serangan encok mendadak. "Ma..." Masih dengan posisi nungging dan kaki sebelah di udara, Mama
menunduk lebih dalam supaya bisa melihat Mima dari sela-sela
pahanya. "Kenapa, Mi?"
"Ma, Mama masih suka teleponan sama mamanya Inov?"
Mama mengernyit. "Tante Helena maksud kamu?"
Mima ngangguk semangat. "Iyalah, Ma, siapa lagi coba? Emangnya mama Inov ada berapa? Cuma Tante Helena, kan? Kecuali kalo
Inov punya mama tiri, baru deh Mama harus mastiin mama Inov
yang mana. Mima nggak nyebut nama mama Inov soalnya mamanya
cuma satu, jadi..." "SSST!" Tau-tau aja Mama udah berdiri di dekat Mima dan
menempelkan telunjuk di bibir Mima dengan sadis. Disebut sadis
soalnya bukan sekadar menempelkan telunjuk. Gerakan Mama lebih
tepat disebut menghantamkan telunjuk ke bibir Mima yang lagi
merepet. "Mama ngerti, Mama ngerti. Kamu nanya kabarnya Tante
Helena?" "Nah!" Mima mengacungkan jempol tanda Mama benar.
"Tante Helena baik-baik aja. Sehat," jawab Mama sambil siapsiap kembali nungging.
"Inov?" Mama batal nungging, lalu menatap Mima aneh. "Lho, kok nanya
Mama? Bukannya kamu masih suka kontak sama Inov? Emang kalian
nggak saling kontak lagi?"
Mima buru-buru menggeleng . "Oh, kontak kok, Ma, kontak.
Yah, Mima nanya aja, siapa tau kan Tante Helena cerita-cerita soal
Inov juga ke Mama. Gimanapun kan dia lama tinggal di sini dan ada
di bawah asuhan Mama dan Papa. Lagian, Mima terakhir kontak
sama dia uhm... tiga hari lalu lah. Mima kan agak sibuk di sekolah,"
kata Mima bohong, "Emang Mama kapan terakhir kontak sama
Tante Helena?" Dahi Mama berkerut. "Lupa, tapi kayaknya seminggu lalu Mama
telepon Tante Helena, nanya kabar. Katanya ya itu, mereka semua
baik-baik aja. Terus Mama tanya kondisi Inov, ya jawabannya baikbaik aja, pengobatannya juga lancar. Tapi masih cuti sekolah. Gitu.
Emang kamu nggak pernah nanya kondisi Inov pas kontak-kontakan
sama dia?" Duh, kenapa malah Mama yang kepoin Mima sih? Jurus ngelesnya
harus dikeluarkan lebih canggih. Mima nggak mungkin bilang sama
Mama bahwa hari ini Inov nggak balas pesan Mima sama sekali.
Bisa-bisa Mama nyangka mereka ada masalah apa, terus urusannya
jadi panjang. Mima juga nggak mungkin terang-terangan minta
Mama nanyain keadaan Inov ke Tante Helena, nanti ketahuan Mima
sama Inov lost contact mendadak. Terus nanti apa kata Inov kalau
Mima segitu keponya nyari-nyari dia lewat mamanya? Kesannya
Mima nyari Inov karena ada hal penting, padahal cuma perlu tempat
curhat alias ngomel. Yang ada Inov bisa sebel dan ilil sama
Mima. Mendadak hati Mima bergetar aneh. Mendengar Tante Helena
bilang bahwa Inov baik-baik aja di sana, hati Mima bukannya
tenang, malah makin gelisah tak terkendali. Benaknya mulai bikin
kesimpulan aneh. Kenapa Inov mendadak menghilang begini ya?
Apa Mima bikin salah sama Inov sampai dia nggak mau bales pesan
Mima? Atau ada sesuatu yang terjadi dalam dua minggu selama
Mima sibuk dan nggak kontak Inov?
Mima menggigit-gigit bibirnya.
"Itu namanya suuzan," komentar Kiki pendek sambil menggigit
risoles. Mima mendadak panik dan butuh curhat, uhm... lebih tepatnya
memuntahkan curhatan dengan meledak-ledak?segera! Gimana
nggak butuh curhat coba? Inov betul-betul menghilang. Dari
Minggu kemarin sampai hari ini, Inov sama sekali belum menjawab
satu pun pesan Mima. Begitu pulang sekolah, Mima langsung menyeret tiga sahabatnya, Kiki, Riva, dan Dena ke Kafe Cisangkuy.
Di antara menjamurnya kafe-kafe modern dengan berbagai
konsep di Bandung, Kafe Cisangkuy yang jadul dan homey masih
jadi salah satu favorit Mima. Dia paling suka duduk di pekarangannya
yang rimbun, dengan kursi dan meja yang menurut Mama udah
ada sejak zaman Mama dan Papa pacaran. Sungguh kursi yang
panjang umur. "Iya, paranoid lo, Mi," sambung Riva mantap.
Yang satu bilang suuzan, yang satu bilang paranoid. Mima melirik
Dena yang tampak siap membuka mulut dan ikutan berkomentar.
"Elo... mo bilang gue apa?" Dengan sadis telunjuk Mima menuding
Dena. Dena mendelik. "Ih, siapa juga yang mo bilang sesuatu? Gue
mangap mo makan siomay." Karena kepergok dan sepertinya
berniat berkomentar yang nggak beda-beda jauh, akhirnya Dena
menojos satu potong besar siomay dan melahapnya sekaligus demi
gengsi. Sebelah tangannya stand by memegang botol minuman
dingin. Kalau-kalau keselek, dia bakalan menolong diri sendiri tanpa
harus panik minta tolong sahabat-sahabatnya yang malah berisiko
diketawain sampai kejang perut?misalnya dia selamat dan nggak
mati karena keselek. Suuzan, paranoid, enak aja ngomong begitu. Mima orang paling
logis sedunia dan bisa dipastikan nggak bakalan panik tanpa alasan.
"Yeee, gue nggak suuzan, juga bukan paranoid!"
"Terus apa? Akibat khayalan liar semata?"
Mima, Riva, dan Dena langsung kompak menatap Kiki dengan
takjub. "Sejak kapan obrolan ini berubah jadi kontes membuat judul
ilm terjijay di dunia? Berbau?bau mesum pula!" Mima mengedik?
ngedikkan bahu. Kiki spontan melotot. "Berbau-bau mesum apa? Siapa juga yang
ngomongin judul ilm? Gue serius."
Mima ikutan melotot. "Ya, gue juga serius. Ini nggak ada hubungannya sama khayalan gue. Kalian kan udah tau gue, gue nggak
mungkin panik tanpa alasan. Istilahnya, nggak ada asap kalo nggak
ada api, ada aksi ada reaksi, ada gula ada semut. Gue ngomong
kayak gini berdasarkan fakta."
Kiki mengunyah potongan terakhir risolesnya. Dena menyeruput
yoghurt stroberi sampe tinggal setengah. Dan Riva, asyik-asyik foto
selie sebelum check in di Path. Nggak ada yang komentar sambil
nunggu kalimat Mima selanjutnya. Mereka tau banget Mima belum
selesai ngomong. Kalau diibaratkan buku, kalimat Mima tadi baru
judulnya doang. "Gini deh," Mima buka suara lagi, "udah dua minggu ini gue
sama Inov nggak saling kontak. Terus kemarin dan hari ini gue
WhatsApp, Line, Facebook, SMS, bahkan telepon pun nggak
dibales. Aneh deh, Inov nggak pernah kayak gitu. Ini kan sama aja
dia udah menghilang dua hari. Emang ya, Inov kalo jawab chat gue
sama aja kayak kalo dia ngomong. Pendek-pendek, kayak robot
kekurangan kosakata. Atau sejenis robot kuno yang diprogram
buat ngiris cabe, bukan ngobrol. Tapi dia selalu jawab chat gue.
Nggak pernah menghilang kayak gini. Terus, kata nyokap gue, Tante
Helena bilang semua baik-baik aja. Jadi makin aneh, kan? Kalo
semua baik-baik aja, logikanya dia bisa dong bales semua message
gue? Kecuali dia sakit, atau HP-nya rusak, atau nomernya ganti, ada
gempa bumi, gunung meletus, atau..."
"Aduhhh peniiing!" Tau-tau Dena memencet-mencet keningnya.
Bibir Mima langsung manyun. "Kenapa sih, Den? Lo pusing?"
"Nyut-nyutan kepala gue, Mi, denger analisis lo panjang benerrr,
kayak uler lagi baris-berbaris. Intinyaaa...???"
Ternyata betul ya, sahabat sejati selalu bicara jujur dan apa
adanya. Termasuk level sadis yang juga apa adanya. Orang lagi
curhat kok dipotong dengan nggak berperasaan gitu. Dikatain
analisisnya kepanjangan kayak uler berbaris segala!
Mima mendengus. "Intinya, jangan-jangan gue bikin salah sama
Inov sampe dia menghilang kayak gini. Soalnya kalo dia baik-baik
aja kan nggak ada alasan buat menghilang tiba-tiba kayak gini. Kalo
emang dia sibuk kan dia bisa bilang. Ya, kan?"
"Mungkin aja," jawab Riva sok yakin.
Hah? Jawaban macam apa tuh? Mima mengetuk-ngetukkan jari
ke tepian piring sate. Sebetulnya, kalau nggak ingat dia baru aja
merapikan rambut sebahunya di salon, rasanya Mima pengin
mengacak-acak rambut dengan brutal karena sebal. "Mungkin aja
gimana? Udah jelas banget kan ini berarti dia ngehindarin gue? Pasti
ada apa-apa deh. Gimana dong kalo dia beneran ngejauhin gue?
Gimana caranya gue tau kalau dia nggak ngomong, coba?!"
Kepanikan Mima tau-tau masuk level heboh ekstrem. Bukannya
apa-apa. Biarpun sudah sekitar empat bulan nggak ketemu, mereka
masih intens saling kontak. Biarpun cuma basa-basi pendek, Inov
selalu rajin nanyain kabar Mima. Tentu saja Mima yang paling heboh
sendiri, selalu cerewet WhatsApp, Line, dan lain-lain ke Inov duluan
buat curhat atau ngobrol-ngobrol nggak penting. Entah deh,
setelah semua yang mereka alami sama-sama, Mima merasa Inov
jadi bagian hidupnya sehari-hari. Mereka dekat, dalam konsep yang
aneh. Bukan dekat ala-ala pedekate atau naksir-naksir. Rasanya
lebih jauh daripada itu karena Mima pernah "menyelamatkan" Inov
dan Inov juga sering "melindungi" Mima.
Petualangan mereka membebaskan Inov dari sindikat narkoba
waktu itu bikin Mima merasa punya ikatan khusus sama Inov. Dan
Mima yakin Inov juga ngerasa begitu. Jadi... kalau Inov mendadak
menghilang gini, apa salah Mima? Apa Mima pernah bikin Inov
tersinggung? Ngambek? Marah?
"Lo tau nggak kenapa lo panik, Mi?" Mata Riva menatap lurus
ke arah Mima. Mima mengangguk mantap. "Ya tau lah. Karena salah satu
sahabat gue menghilang begitu aja nggak bisa dihubungin. Wajar,
kan?" "TETOT! Salah!" tangkis Riva dengan muka kepedean yang
nyebelin. "Hah?" Mima melongo. Gimana sih Riva, dia yang nanya, udah
dijawab di-"TETOT salah" kayak kuis. "Salah dari mananya? Karena
gue nggak mau lah kehilangan orang yang deket sama gue. Gue
nggak mau lah dia ngejauhin gue dan ngehindarin gue kayak
gini." "TETOT! Salah lagi!" Riva malah menetot Mima lagi.
Mata Mima melebar tanda emosi. "Tetot! Tetot! Apanya yang
salah lagi?!" Riva mengangkat kedua telapak tangan, lalu menyatukannya di
depan hidung, dan menggosok-gosokkannya dengan serius.
Dengan gerakan dramatis Riva menatap mata Mima. "Mo tau
pendapat gue?" "Sebetulnya nggak pengin-pengin tau amat. Emang pendapat
lo apaan sih, Va? Sok-sok serius gitu mukanya. Udah, cepetan
ngomong atau gue daftarin lo ke kontes nyanyi antarkelas buat
tujuh belas Agustus!" ancam Mima dengan ekspresi nggak kalah
serius. Nih ya, Mima kasih tau, kelemahan Riva adalah nyanyi, puisi,
dan apa pun itu yang harus diucapkan pakai nada. Dia contoh
remaja buta nada yang sesungguhnya. Kalau Riva nyanyi, bisa-bisa
segerombolan kecoak yang tinggal di dekatnya merasa perlu
mengungsi dan mencari kehidupan baru yang bebas dari teriakan
mak lampir keselek biji salak ala Riva.
Riva cemberut, tapi menjawab juga. "Menurut gue, lo heboh
sendiri gara-gara pikiran ngarang lo sendiri. Itu kan lo yang nyimpulin. Belum denger alasan si Inov, lo udah panik narik kesimpulan.
Orang nggak ngangkat telepon dan nggak balas message kan
alasannya bisa banyak banget. HP-nya rusak, jaringan lemot, lagi
semadi di gua dan nggak bawa HP, sakit gigi..."
"Jawab chat nggak perlu pake mulut kaliii... sakit gigi nggak
ngefek!" protes Mima.
"Ya, kalo gitu, sakit jempol. Kalo jempol somplak atau keseleo
kan nggak bisa ngetik, hayo?" tandas Riva nggak mau kalah.
"Pokoknya lo jangan ngambil kesimpulan aneh-aneh deh. Cari tau
yang bener dulu, jangan nebak-nebak."
Di seberang Mima, alis Kiki tampak berkerut-kerut mengikuti
gerakan matanya yang mengamati Mima.
"Kenapa, Ki, ngeliatinnya gitu amat? Di muka gue ada apa? Ada
kecantikan yang bertambah nyata, ya?"
"Idih! Males banget sih. Gue lagi mikir aja, Mi. Lo segitu paniknya
si Inov nggak ada kabar, padahal baru dua hari. Kayaknya takut
banget gitu. Inget nggak waktu Gian ada kegiatan team building
OSIS di Puncak bulan lalu?" Mimi merepet, eh, lebih ke arah mencicit sih, secara suara Kiki cemprengnya ngalah-ngalahin tikus.
Mima ngangguk dengan muka bingung. "Iya, inget. Emang
kenapa?" "Waktu itu kan Gian nggak bisa dihubungi dan nggak ngehubungin lo selama di sana karena masalah sinyal. Kok lo nggak
panik kayak sekarang? Lo biasa aja sampe dia balik dan ngejelasin.
Menyambung obrolan kita kemaren, sekarang malah keliatan fakta
baru nih. Kayaknya perasaan lo lebih gede buat Inov daripada Gian
deh. Jangan-jangan sebetulnya yang lo suka bukan Gian, tapi..."
"Ehhh, setop! Setop! Jangan ngaco deh. Ngomongnya kok jadi
melenceng ke mana-mana sih? Gue khawatir sama Inov karena dia
jauh di Surabaya. Kalo Gian waktu itu kan perginya sama tim
sekolah, ke gunung pula. Ya, gue udah nebak aja kalo dia nggak
bisa dihubungi kemungkinan besar masalah sinyal. Wajar dong gue
nyantai. Kalian nih ah, dimintain pendapat malah pada ngaco. Gue
cuma khawatir sama Inov, titik. Gue sama dia kan deket." Mima
Romantika Sebilah Pedang 8 Via Karya Dirgita Devina Harimau Kemala Putih 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama