Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 7
alasan nginep. Emang kenapa sih harus tanya Abang? Lo nggak
bisa mutusin sendiri? Kan... HMPPH!"
Inov melepaskan bekapan tangannya begitu Mima melotot.
"Sabar. Oke?" 155 Entah kenapa tatapan Inov bikin Mima langsung diam dan nggak
membantah lagi. Biarpun dengan muka cemberut keki karena lagilagi mulutnya dibekap Inov.
Semenit kemudian Abang muncul. "Ada yang bikin kacau," kata
Abang dengan tampang kesal.
"Siapa, Bang?" Abang duduk di samping sofa dengan muka frustrasi. "Operasi
ini kan melibatkan kepolisian di beberapa wilayah Bandung.
Memang ada satu kepala polisi yang ngotot untuk menangkap
semua anggota gerombolan ini dulu, baru setelah itu mengejar Big
Boss. Menurut dia, kalau nunggu sampe si Big Boss datang,
kelamaan. Operasi bisa bocor dan gerombolan ini bisa lolos. Tapi
yang lain nggak setuju. Karena incaran utamanya kan jelas-jelas si
Big Boss. Kalo anggotanya ditangkap semua sekarang, dia nggak
mungkin muncul. Nggak nyangka, dia malah bergerak sendiri tadi!
Kacau! KACAAAU!" Abang mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai,
emosi. "Terus gimana, Bang? Operasi ini tetap jalan, kan?"
Abang mengangguk. "Ya, tetap jalan. Makanya tadi gue bilang
sama lo, kita nggak boleh ketangkep. Kalo kita ketangkep di depan
mereka, berarti operasi ini selesai. Kita kan nggak mungkin
ditangkep, lalu dibebasin. Bisa-bisa mereka curiga. Kita nggak bakal
bisa nembus mereka lagi."
"Kok mereka tau sih, Bang, lokasi kita?"
"Gue kan harus report terus, Nov. Tim selalu mantau kita. Kalo
ada apa-apa, mereka tau kita ada di mana."
Inov menghela napas cemas. "Sekarang gimana, Bang?"
"Lo anter dulu Mima pulang. Tapi jangan pake motor. Takutnya
tadi lo sempet keliatan dan mereka nggak tau persis siapa lo. Nanti
malah jadi masalah," saran Abang serius.
"Terus, Bang, naik apa?"
"Terpaksa lo berdua jalan kaki dari sini ke jalan besar, terus naik
156 angkot. Sori, Nov, tapi ini demi keamanan lo berdua. Ini juga Beny
udah SMS gue, besok kita harus kumpul. Lo cek HP, pasti dia SMS
lo juga." Inov releks ngeluarin ponselnya dan ngecek. Ternyata betul, dia
juga dapat SMS kumpul darurat besok.
Mima lega. Jalan kaki kek, naik motor kek, dijemput helikopter
kek, gelinding kek, terserah deh gimana caranya, yang penting hari
ini dia bisa pulang dan nggak harus nginep di luar rumah dalam
suasana mencekam kayak gini.
"Mi, ayo. Gue anter lo pulang. Lo tetep di sini kan, Bang? Nanti
gue ke sini lagi." Abang ngangguk. KROOOK! "AHHH!!!" Mima melompat sambil teriak histeris dan releks
memeluk lengan Inov. "Suara apaan tuh???"
"Kodok, Mi. Masa belum pernah denger?" Dalam hati Inov lega
ternyata itu cuma kodok. Tadi juga dia sempat kaget soalnya.
Mima tetap jalan serapat mungkin dengan Inov. "Ya, pernah.
Tapi di halaman rumah. Bukannya di jalan sepi yang serem kayak
gini. Pede banget sih lo bilang itu kodok."
Alis Inov mengernyit heran. "Emangnya selain kodok, binatang
apa lagi yang suaranya begitu?"
GLEK. Mima menelan ludah ngeri. "Siapa tau itu bukan binatang,"
desis Mima pelan dan takut-takut. "Lo pernah denger nggak,
makhluk halus... bisa... bisa niruin suara binatang? Malahan bisa
niruin... bentuk binatang."
"Makhluk halus. Maksud lo... setan?"
"Inov!" Mima mencengkeram lengan Inov kuat-kuat. "Jangan
sembarangan ngomong!" Mima nggak tahan untuk nggak celingukan dengan waspada, mengamati kebun singkong di kanan-kiri
mereka. 157 Sekarang Mima menemukan jawaban kenapa di ilm horor tokoh?
tokohnya bukannya lari waktu ada sesuatu yang aneh, tapi malah
nyamperin. Ternyata rasa penasaran manusia memang besar. Biarpun takut, manusia bukannya langsung kabur, malahan penasaran
dulu. Kayak Mima sekarang. Dia jelas-jelas takut, ngapain coba pake
ngecek ke kebun singkong untuk memastikan ada "sesuatu" atau
nggak? Inov mendelik. "Yang sembarangan siapa? Lo yang tiba-tiba
ngomong aneh. Emang lo nggak tau, yang begituan bisa muncul
kalo diomongin." "AHHH! INOV! SSST! SSST!" Mima jejeritan panik. Nggak cuma
jejeritan, Mima malah melepaskan lengan Inov dan diganti dengan
menggabruk punggungnya dari belakang.
Inov mendadak kaku. Darahnya serasa meluncur dengan kecepatan kilat, kompak menuju jantung, sampai bikin jantungnya
jedag-jedug dengan irama acak kadut. Ampun deh, Mima! Dia pikir
Inov nggak serbasalah dipeluk mendadak kayak gini? Apalagi,
kayaknya sejak putus dari almarhumah Saira dan hidupnya beran?
takan gara-gara kasus narkoba sialan itu, sampai saat ini cewek
yang pernah meluk dan dipeluk Inov ya cuma Mima. "Mi, kenapa
sih?" "Lo ngomongnya jangan nakut-nakutin gitu dong." Mima masih
memeluk Inov dari belakang dengan muka menempel di punggung
Inov karena ketakutan sendiri.
"Siapa yang nakut-nakutin sih?"
SREEEK! Lalu Inov dan Mima kompak terdiam di tempat.
SREEEK! SREEEK! Suara benda berat diseret yang barusan terdengar satu kali, lalu
terdengar lagi. Dan semakin dekat dari tengah-tengah kebun singkong.
Dalam keadaan normal, Mima pasti nggak bisa konsen mencium
wangi parfum Inov kayak gini. Tapi suara benda diseret tadi...
158 "N-Nov... suara apaan tuh?" Tenggorokan Mima kering saking
takutnya. Ya Tuhan, belum cukup ya tadi dia jantungan, ngebutngebutan naik motor dikejar polisi? Masa harus ketemu setan juga
pada hari yang sama? SREEEK... SREEEK... "Noovv, sumpaaah... itu bunyi apaan sih?"
Kalau ada kata yang namanya "malu", kayaknya sekarang Mima
hapus dulu dari kamusnya. Dia betul-betul nggak bisa ngerasain
apa pun selain takut. Kayaknya dia nggak punya waktu buat mikirin
malu karena berdiri makin nemplok di punggung Inov kayak gini.
Inov berdiri tegak. Waspada. Itu bunyi benda berat diseret
menakutkan. Persis bunyi?bunyian di ilm horor. Dan jangan pikir
Inov nggak takut. Sok jago banget kalau Inov bilang dia nggak
takut apa pun termasuk makhluk-makhluk dunia lain. Kalau
manusia, seenggaknya Inov bisa lawan pakai bogem. Lha, kalau
setan? Inov nggak yakin tau doa-doa yang tepat buat ngusir
setan. Yang jelas Inov nggak mungkin terang-terangan nunjukin rasa
takutnya sekarang, sementara Mima menempel di punggungnya
dalam usaha ngumpet. Kalau Inov panik ketakutan, gimana Mima?
Bisa-bisa cewek itu pingsan kejang-kejang. Dan kalau Mima pingsan,
artinya Inov harus keluar dari jalan kecil ini sambil menggendong
dia. SREEEK... SREEEK... Inov mundur selangkah sambil memasang kuda-kuda. Biarpun
dia hampir seratus persen yakin bahwa yang muncul adalah suster
ngesot atau kuntilanak, jenis makhluk kebal tinju.
"Inooov, apaan sihhh ituuu...?" suara Mima mengecil. Nyalinya
menciut, nge-drop sampe level yang lebih kecil daripada upil
kuman. "Gue juga nggak tau, Mi," jawab Inov dengan suara nggak kalah
pelan. Mata Inov terus tertuju ke kebun singkong, asal suara
misterius itu. SREEEK... SREEEK... suara benda berat diseret itu semakin
dekat. Inov terbelalak tegang waktu pohon-pohon singkong nggak jauh
dari tempat mereka berdiri, bergoyang kayak disenggol sesuatu.
Inov menyipitkan mata, berusaha melihat apa yang bikin pohon
singkong itu bergoyang. Jantungnya berdegup panik. Releks Inov
mundur selangkah. Bikin Mima curiga dan makin ketakutan.
"N-Nov, kok mundur???" tanya Mima dengan muka masih terbenam di punggung Inov.
"Pohonnya... goyang, Mi. Kayak ada... yang nyenggol," Inov
menjawab hati-hati. "Apa?" pekik Mima dengan suara kecekik.
Pohon-pohon singkong masih bergoyang dengan suara benda
diseret yang makin jelas. Semakin lama semakin mendekat... Inov
menelan ludah. Ada sosok yang samar-samar terlihat di antara
pepohonan. Sial! Kenapa sosok itu jalan sambil menunduk dan
pelan begitu? Sosok itu bergerak pelan tapi pasti, mendekat ke
arah pepohonan di lapisan paling luar di depan Inov. SREEEK...
SREEEK... SREEEK... Inov releks menggenggam tangan Mima yang memeluk pung?
gungnya. Kalau ada apa-apa dan nggak ada yang bisa dilakukan,
satu-satunya cara adalah... kabur.
SREEEK... SREEEK... "Punten ah, ngiring ngaliwat..."
Inov melongo. Saking melongonya, dia sampai lupa buang napas
setelah detik-detik menegangkan tadi bikin dia menahan napas.
Yang muncul dari kebun singkong bukan pocong, bukan suster
ngesot, bukan kuntilanak, dan bukan warga dunia hantu lainnya.
Yang berdiri di depannya sekarang adalah bapak-bapak setengah
baya yang menyeret karung besar dan tampak berat banget yang
berisi... pastinya singkong.
Inov mengangguk garing. Lalu si bapak meneruskan jalannya
160 sambil terseok-seok menyeret karung singkong. SREEEK... SREEEK...
SREEEK... Inov menepuk-nepuk tangan Mima. "Mi, Mi..."
"Aduhhh, Inov, apaan sih? Gue nggak mo liaaat... ngeri banget!
Noov, ayo donggg. Kita harus cepet pergi dari sini. Tadi apaan
siiihhh?" "Ya, gimana mo cepet kalo lo nemplok kayak gini? Udah, nggak
ada apa-apa kok. Cuma orang nyeret karung singkong."
Mima menarik kepalanya menjauh dari punggung Inov, lalu
pelan-pelan ngintip dari samping bahu Inov. "Masa?"
"Tuh!" Inov nunjuk si bapak yang masih terseok-seok berjalan
menuju perkampungan. Setelah yakin keadaan aman, Mima melepaskan pelukan dari
punggung Inov dan pindah posisi ke samping Inov. Ia menatap
cowok itu. Inov balas menatap Mima. "Asli, yang tadi si bapak itu?" tanya Mima melongo. Buset,
antiklimaks banget. Udah takut setengah mati, ternyata orang habis
panen singkong. Eh, tapi Mima bersyukur itu orang. Kalau setan,
mungkin Mima bakalan kejengkang dan pingsan sampai bikin geger
semua warga kampung. "Hmmph..." Tau-tau Inov terkekeh pelan.
Mima mengernyit. "Kenapa lo?"
Inov malah ngeliatin Mima. "Bukan setan, Mi, orang panen
singkong. Bilang aja lo mo curi-curi kesempatan meluk-meluk
gue." "Hah?" Mima mengeplak bahu Inov. "Ge-er!"
"Emang iya, kan?"
Mima mendelik. "Ge-er! Emang tadi gue ketakutan kok, wek!"
"Iya percaya. Udah ah. Ayo." Inov meraih tangan Mima, lalu
berjalan sambil menggandeng tangan Mima. "Kita gandengan
tangan sampe jalan raya. Biar lo nggak takut."
161 Napas Mima tertahan. Ya ampun, mereka jalan gandengan. Oke,
tadi sih lebih ekstrem karena masuk kategori pelukan. Tapi rasanya
beda karena tadi kan pelukan ketakutan. Tapi yang sekarang, Inov
menggandeng tangan Mima karena pengin melindungi.
Mima tercekat. Kenapa deg-degannya gini banget sih? Apa ini
sama aja Mima udah mengkhianati Gian?
Kata orang, masalah kadang datang susul-menyusul. Satu masalah datang, lalu masalah lain menyusul. Terbukti. Paling nggak
untuk sekarang. Misalnya ada jubah Harry Potter yang bisa bikin dia menghilang
nggak keliatan, sekarang juga, berapa pun harganya, kayaknya
Mima bakalan bayar. Apa lagi yang bisa menolong Mima sekarang
selain jubah Harry Potter? Apa yang bisa bikin Mima kabur tanpa
ketahuan Gian, selain jubah Harry Potter. APA?!
Jantung Mima seolah nyaris melompat ke luar waktu dia dan
Inov turun dari taksi dan masuk ke pekarangan rumah Mima.
Gimana nggak nyaris lompat, ternyata Mima udah ditunggu!
Oh, tunggu, ralat, bukan Mima. Tapi Mima dan Inov. Berdua.
Di teras rumah Mima, Gian duduk dengan tampang keruh.
GIAN! 162 Empat Belas NI yang namanya ketangkap basah. Nggak ada jalan untuk kabur
dan nggak ada ide untuk bohong. Gian pasti udah nanya ke Mama
soal Mima. Cowok itu pasti udah tau Mama sama sekali nggak
nyuruh Mima ke apotek. Yang lebih parah lagi, kayaknya udah lebih
dari seratus missed call Gian nggak Mima tanggapi, setelah tadi dia
kabur ninggalin Gian gitu aja di sekolah. SEMPURNA! Ini bisa
disebut... MANTAP! "Apa maksudnya ini, Mi?" Sekarang Gian berdiri menghadap
Inov dan Mima yang masih berdiri di rumput halaman rumah Mima.
Kalimatnya nggak meledak-ledak dengan nada tinggi, tapi tajam
dan nyelekit. "Aku..." Sumpah, Mima nggak kepikiran alasan apa pun untuk
ngeles. Otaknya mendadak nggak bisa memproduksi kibulan apa
pun! Gian maju selangkah. Matanya menatap Mima lurus-lurus.
"Kenapa tadi nggak nunggu aku, malah pergi gitu aja? Mama kamu
bilang dia nggak nyuruh kamu ke apotek. Dan mamamu bilang,
kamu izin pulang malam karena nganterin Inov. Kamu bohong, Mi,
sama aku?" Mima gelagapan. Dia harus jawab apa coba?
Gian melangkah maju mendekati Mima. Lalu SAT! Tangannya
menyambar pergelangan tangan cewek itu. "Sini, Mi..."
"Eh, Gi!" Inov releks mengikuti langkah Gian yang menarik Mima
ke halaman, menjauh dari pintu rumah.
163 "Gian, apaan sih?" Mima menyentakkan tangannya agar lepas
dari genggaman Gian. Gian menatap Mima muram. "Aku nggak mau kedengaran ributribut sama orang rumah kamu. Nggak enak. Sekarang kamu jawab
aku, kenapa kamu bohong sama aku? Kenapa kamu juga bohong
sama mama kamu?!" "Aku nggak bohong sama Mama kok. Emang beneran aku
nganterin Inov."
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampang Gian bertambah keruh. "Tapi kamu bohong sama aku,
kan? Kamu kabur dari aku. Kenapa? Memangnya kamu nganter dia
ke mana? Kenapa demi dia, kamu bohongin aku, Mi? Memangnya
dia siapa kamu? Selingkuhan kamu?! Sejak kapan kamu jadi tukang
selingkuh? Aku pikir kamu perempuan setia."
Mima menelan ludah, getir.
Inov tersentak. Sembarangan aja Gian ngomong. "Eh, Gi...
tunggu dulu. Kenapa lo ngomong gitu sama Mima?"
"Jangan ikut campur, Nov. Ini bukan urusan kamu!" sembur Gian
tajam. "Tentu aja ini urusan gue, Gi. Lo bawa-bawa nama gue dan nuduh
yang nggak-nggak. Gue denger, gue liat, jadi gue nggak mungkin
diem aja," balas Inov nggak kalah tajam.
Mima mematung tegang. Dia harus gimana? Suasananya jadi
mencekam, tapi Mima sama sekali nggak punya ide harus ngomong
apa sama Gian. "Memangnya ada yang salah sama omonganku, Nov? Aku rasa
semua omonganku tadi bener. Mima memang kabur ninggalin aku
di sekolah dan pergi sama kamu. Dia bohong soal ke apotek. Dan
dia lebih milih nganter kamu, kan? Apa yang salah dari pertanyaanku?
Nggak ada, kan? Kalau emang aku salah, aku minta penjelasan.
Kenapa Mima milih pergi sama kamu daripada aku, pacarnya
sendiri? Denger ya, Nov, kalo emang dari awal kamu naksir sama
dia, ngapain kamu sok heroik jodohin aku sama dia? Kenapa nggak
kamu pacarin sendiri?"
164 "CUKUP, GI!" BUAKKK! Emosi Inov mentok sampai ubun-ubun dan meledak dengan
sukses. Bogem Inov juga ekstrasukses menghajar muka penuh
wibawanya Gian. Mima terbelalak syok. "INOV!"
Belum sempat Mima maju mendekat, tau-tau saja BUAK!!!
Gian yang tadi terhuyung kena bogem sudah maju dan membalas
bogeman Inov tepat di pipinya. "MUNAFIK KAMU, NOV!"
Inov menyeka pipinya sekilas. Matanya melotot marah. Sampaisampai kayaknya Mima bisa melihat api berkobar-kobar di mata
Inov. Inov melompat maju dengan geram. "Jaga mulut lo!"
BUAK! Tinju Inov tepat kena batang hidung Gian. Dan currr!
Darah mengucur dari hidung Gian, kayak mimisan.
Mima nggak bisa diam aja. Dengan nekat dia lari menerjang
perut Inov waktu cowok itu mengangkat tangan, siap melayangkan
bogem selanjutnya. Inov tersentak mundur karena didorong Mima.
"Inov, udah! Cukup!" Mima tau Gian nggak jago bela diri. Kalau
adu berantem ini diterusin, dijamin seratus persen yang bakal babak
belur nggak berbentuk pasti Gian. Sambil terus memeluk perut
Inov, Mima mendorong cowok itu mundur.
"Mi, apaan sih? Lepasin gue!"
"Gue bilang cukup!" Mima melepaskan pelukannya, lalu berdiri
tegak dan mendorong Inov mundur. Napas Mima terengah-engah
karena panik. Matanya terbelalak emosi ke arah Inov.
Dada Inov juga naik-turun. Dia nggak kalah ngos-ngosan setelah
emosinya meledak habis-habisan. Inov mengatur napas. "Dia kelewatan, Mi," kata Inov dengan nada lebih teratur.
Mima terdiam. Kelewatan? Apa iya Gian kelewatan? Bukannya
Mima yang kelewatan? Kalau dipikir matang-matang, rasanya wajar
kalo Gian marah. Mima pacarnya dan kepergok bohong. Kepergok
165 jalan sama cowok lain pula. Mima pening. Kalau mau fair, diputarbalik kayak gimana juga, dalam situasi ini kayaknya memang Mima
yang salah. Gian nggak tau apa-apa soal operasi rahasia ini. Jadi
pasti Gian mengira Mima bohong demi Inov tanpa alasan. Kemungkinan terbesarnya ya selingkuh.
"Tapi gue emang bohong sama dia, Nov..." jawab Mima berat.
Gian yang masih terduduk dengan hidung berdarah, mengamati
Mima dan Inov dengan perasaan gusar. Kepalanya masih pusing
untuk langsung berdiri. Mata Inov menyipit, nggak terima karena Mima belain Gian. "Yah
tetep aja, Mi, dia..."
"Nov," potong Mima tegas, langsung bikin Inov batal meneruskan kalimatnya. "Gue mohon lo pulang dulu, ya? Gue harus nyelesein ini sama Gian."
Inov terenyak, nggak setuju. Gimana mungkin dia ninggalin
Mima, padahal jelas-jelas masalah Mima dan Gian ada hubungannya
sama dia? Pengecut amat Inov kalau membiarkan Mima ngeberesin
ini sendiri. "Tapi, Mi..."
"Kamu denger dia bilang apa, Nov. Mendingan kamu pulang.
Nggak usah sok jadi pahlawan!" sambar Gian.
"EH...!" "NOV!" Mima mengadang badan Inov yang nyaris melompat
maju buat menyerang Gian lagi. Sambil kedua tangannya memegang
lengan Inov, Mima menatap cowok itu, memohon. "Tolong deh,
Nov, lo pulang. Tolong," kata Mima serius.
Inov membuang napas keras, lalu mundur dengan kasar. "Oke."
Dengan marah, Inov berbalik pergi.
Mima nggak bisa melepaskan pandangannya dari punggung Inov
yang menjauh pergi. "Mi..." Mima tersadar waktu tangan Gian menyentuh pundaknya. Sial!
Sekarang masalah yang sebenarnya dimulai. Dia harus menjelaskan
166 sama Gian. Mima berbalik menghadap Gian. Cowok itu berdiri
dengan sisa-sisa darah di hidungnya, diam dan menatap Mima
keruh, menunggu penjelasan.
"Jadi, apa penjelasannya, Mi?" tanya Gian akhirnya, nggak tahan
menunggu lebih lama. "Maain aku, Gi, aku emang bohong sama kamu. Tapi aku emang
nganter Inov kok. Dia harus ke tempat orang yang jual spare part
motor dan nggak tau jalan. Makanya aku anterin." Mima mencoba
menjelaskan setenang mungkin. Soal spare part motor, Mima nggak
sepenuhnya bohong. Komplotan curanmor kan memang berhubungan sama spare part motor. Nggak salah dong.
Gian menyipit. Ekspresinya bukannya lebih tenang setelah
mendapat penjelasan, malah makin gusar. "Kenapa sih, Mi, kamu
nggak terus terang? Apa yang kamu sembunyiin?"
"Nggak terus terang gimana sih? Nyembunyiin apa? Barusan kan
aku udah jelasin sama kamu bahwa aku nganterin Inov ke..."
"Bukan itu," potong Gian cepat.
Mima memandang Gian, nggak ngerti. "Maksudnya? Maksud
kamu terus terang soal apa?"
Tetap dengan ekspresi gusar yang sama, Gian menatap Mima
lurus-lurus. Penuh selidik. "Kamu cuma jelasin soal kamu nganter
dia ke mana. Tapi kamu nggak jelasin kenapa kamu kabur dan
ninggalin aku di sekolah. Kamu nggak jelasin kenapa kamu lebih
milih pulang bareng dia daripada aku. Sampe kamu bohong soal
ke apotek segala. Kamu ada apa sama dia, Mi?"
Tenggorokan Mima langsung kering.
Gian makin nggak sabar. "Kenapa diem, Mi? Kenapa nggak
jawab?" Gila! Mima betul-betul nggak punya alasan apa pun untuk
menjawab Gian. Rasanya semua jawaban salah, tapi nggak jawab
juga salah. "Mi!" panggil Gian lagi. Urat-urat dahinya mulai menonjol, Gian
167 setengah mati menahan emosi. Termasuk emosi karena harga
dirinya hari ini jatuh habis-habisan. "Aku mohon kamu jawab
jujur." Haduuuh! Kepala Mima rasanya mau pecah. Dia nggak pernah
mimpi ada di posisi ini. Kayaknya, masa-masa sama Gian lebih
menyenangkan waktu mereka masih pedekate dulu. Setelah jadi
pacar, sebetulnya Mima baru sadar bahwa Gian bukannya kalem
dan pemalu, tapi lebih kaku dan banyak aturan.
Nggak, Mima bukannya nyesel jadian sama Gian. Gian baik kok.
Dia cuma yah... "Aku nggak ada apa-apa sama Inov, Gi," jawab
Mima serak. Ekspresi Gian makin keruh. Jawaban Mima betul-betul nggak
meyakinkan dan nggak bisa dipercaya. Gian menggeleng kesal.
"Kalo nggak ada apa-apa, ngapain kamu sampe segitu bela-belain
dia, Mi? Bohong ke aku demi dia rasanya udah kelewat batas."
"Terus kamu maunya apa, Gi? Kamu maunya aku bilang aku ada
apa-apa sama dia, gitu?"
Rahang Gian mengeras. Emosinya kayaknya naik satu level lagi.
"Bukan gitu, Mi. Tapi nggak masuk akal aja kamu bohong sama
pacar kamu demi cowok lain. Kamu bahkan sampe kabur ninggalin
aku di sekolah. Kalo kamu emang mau ada apa-apa sama dia atau
ada niat selingkuh sama dia, mendingan kamu bilang sama aku
sekarang. Aku lebih milih kamu jujur daripada punya pacar nggak
setia dan diam-diam lebih milih cowok lain daripada aku. Aku lebih
baik putus daripada diselingkuhin!"
"Gian, setop! Inov lagi menyamar! Dia orang sipil yang lagi
bekerja sama dengan polisi untuk menyamar dalam misi rahasia.
Semacam agen lepas kepolisian. Buat bongkar... eng... komplotan
curanmor besar di Bandung." Sedetik setelah mengatakan semuanya rasanya Mima pengin nyemplung ke kolam penuh belut
listrik. Biar aja dia mati kesetrum! Apa-apaan Mima nggak bisa
menahan diri dan membocorkan semua itu cuma karena dia nggak
rela disebut cewek setia yang berniat selingkuh?
168 Tunggu, tunggu, bukan cuma itu. Di hati kecilnya, Mima juga
nggak rela Gian menganggap Inov cowok kayak gitu?cowok yang
ngajak-ngajak Mima selingkuh. Mima kelepasan membocorkan
semua itu karena membela dirinya sendiri dan Inov.
Gian mematung menatap Mima. Kaget.
Bagus! Sekarang Mima harus menjelaskan semua sekali lagi.
Detail. Kayaknya udah nyaris semenit Gian nggak ngedip. Kayaknya dia
terlalu takjub dengar cerita Mima soal Inov. Sampai-sampai semenit
setelah Mima selesai cerita, Gian masih melongo nggak percaya
dan nggak berkedip. Ini Mima cerita serius atau terlalu semangat
ngarang sampai ceritanya heboh dan kedengeran nggak masuk
akal? "Gi...?" Mima melambai-lambai di depan mata Gian.
Akhirnya Gian berkedip. "Mi, kamu serius? Nggak bohong?"
Hampir aja Mima menepak jidat Gian keras-keras. Gila aja dia
pikir Mima bohong. "Ngapain aku bohong, Gi? Ini membahayakan
diri aku juga. Makanya seminggu ini aku nggak bisa keliatan pacaran
sama kamu. Kalo sampe ketauan mereka, bisa kacau semua, Gi.
Inov bisa celaka. Aku juga."
"Seminggu. Berarti sebentar lagi kita bebas, bisa sama-sama
lagi, kan?" Betul juga. Sekitar tiga hari lagi harusnya mereka udah bebas
dari pengawasan, kan? Mima mengangguk ragu-ragu. "Harusnya
sih... gitu." "Oke," jawab Gian pendek.
"Jadi kamu bisa ngerti sekarang kan, Gi? Terus, jangan sampe
info ini bocor ke mana pun ya, Gi. Aku, aku juga tadi keceplosan
bocorin ke kamu karena aku nggak mau kamu nuduh aku dan Inov
aneh-aneh kayak gitu."
Raut muka Gian langsung serius. "Mi, aku ketua OSIS. Masa
kamu nggak percaya aku bisa pegang rahasia?"
Mima meringis, maksain diri untuk senyum. Gian sangat meyakinkan. Biarpun Mima nggak paham apa hubungan ketua OSIS
dan pegang rahasia. Begini jadinya. Mima nggak bisa tidur. Dari tadi dia cuma berbaring
sambil bolak-balik mengubah posisi. Hari ini betul-betul luar biasa.
Kabur dari Gian di sekolah, digerebek polisi, ngebut di jalan raya,
nyaris pingsan ketakutan di kebun singkong, lalu ditutup dengan
huru-hara di halaman rumah.
Perasaan Mima nggak tenang. Dia nggak bisa berhenti mikirin
rahasia Inov yang udah nggak sengaja dia bongkar ke Gian. Apa
bakal aman? Apa Gian betul-betul bakal memegang janjinya? Mima
cemas setengah mati kalau semua jadi kacau gara-gara malam
ini. Sebetulnya ada satu lagi sih yang bikin Mima nggak bisa tidur.
Ada satu hal yang dari tadi bikin pikirannya terganggu. Waktu Gian
ngancem minta putus, rasanya Mima mencegah bukan karena dia
nggak mau kehilangan Gian. Releks Mima membocorkan rahasia
Inov, ternyata sama sekali bukan karena dia takut kehilangan Gian.
Sekarang Mima lebih daripada yakin bahwa apa yang dia lakukan
tadi cuma karena dia nggak terima kalau sampai dianggap cewek
nggak setia yang selingkuh. Rasanya, ego Mima teriak dari dalam
untuk nunjukin di depan Gian bahwa dia nggak selingkuh. Egonya
yang teriak, bukan perasaan takut kehilangan.
Mima terenyak. Apa iya dia memang nggak takut putus dari
Gian? Tapi Gian nggak salah apa-apa. Mima yang salah. Ini pasti
efek kebanyakan masalah. Pikirannya jadi kacau.
"AGHHH!!" Mima menutup mukanya pakai bantal, lalu menjeritjerit nggak jelas. Seandainya ada remote control yang bisa fast
170 forward hari, Mima mau pencet tombol Skip supaya bisa langsung
sampai ke hari di mana semua ini udah selesai!
171 Lima Belas ALAU begini caranya, Mima bisa telat. Mima melirik jam
tangannya sekali lagi. Kok Inov belum datang juga ya buat
jemput dia sekolah? Padahal biasanya Inov nggak pernah
telat. Ke mana sih dia? Ditelepon juga nggak diangkat. Tau gini
Mima naik angkot. "Lho, kamu belum berangkat, Mi? Telat lho, udah jam segini."
Mika muncul di belakang Mima yang sibuk mondar-mandir di
teras. Nah! Kebetulan. "Ka, tumben kamu jam segini masih di rumah?
Biasanya sebelum ayam selesai berkokok kamu udah berangkat ke
sekolah. Ih, kok pake baju bebas? Mo bolos, ya?" tuduh Mima
sambil mengamati Mika yang nggak pakai seragam. Lalu Mima
sadar pertanyaanya ekstrabloon. Mika mana mungkin bolos
sekolah, kecuali tiba-tiba sekolahnya dibom atau ada gunung
meletus di halaman sekolah.
Mika memutar bola matanya, keki. "Aku nggak kayak kamu,
tukang bolos. Ada acara Pekan Sains di sekolah. Masuk siang."
"Nah!" Mima langsung menggandeng Mika sambil nyengir.
"Kamu naik apa?" tanya Mima, begitu demi melihat bawaan Mika
banyak banget. Nggak mungkin kakak kembarnya naik angkot.
"Taksi. Tuh, taksinya udah di depan."
"Ikut!" kata Mima cepat.
Mika juga langsung mengernyit cepat. "Ikut ke mana?"
172 Mima nyengir makin lebar, tapi matanya dibuat sememelas
mungkin. "Ikut ke sekolah lah. Anterin aku dulu ya, Ka, please? Inov
nggak jemput kayaknya."
"Hah? Enak aja, sekolah kamu kan beda arah. Ongkos taksinya
gimana?" protes Mika nggak rela.
"Kaaa... please. Kamu kan kakak aku, masa tega sih kalo aku
kesiangan? Lagian kata kamu sekolah itu penting dan harus serius.
Masa aku udah kepepet gini, nggak mo nolongin? Kamu kan masuk
siang, ngapain dateng kepagian? Mending ke sekolahku dulu. Ya,
Ka? Kalo aku bilang Mama, Mama juga pasti bakal mendukung
seratus persen kamu berbaik hati nolongin nganter aku ke..."
"SSST! Oke! Oke! Berisik banget. Udah nebeng, pake pidato lagi!
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayo!" YESSS! Mima jingkrak-jingkrak di dalam hati. Kalau naik taksi ,dia
nggak bakal telat. Untung ada Mika.
Inov sama sekali nggak ngasih kabar. Sepanjang jalan ke sekolah,
Mima berkali-kali coba ngontak Inov, tapi tetap nggak ada jawaban.
Cowok itu ke mana sih? Masa iya dia ngambek karena Mima suruh
pulang tadi malam? Mima makin cemas. Hari ini kan harusnya Mima
masih "wajib" sama-sama Inov.
"Inov, kenapa nggak jemput?" Mika melirik Mima yang masih
sibuk dengan teleponnya. Mima mengangkat bahu. "Nggak tau. Nggak ada kabar."
"Lagi berobat kali."
Secepat kilat Mima noleh ke Mika. "Berobat kenapa? Emang dia
kenapa? Kamu tau dari mana, Ka? Siapa yang bilang?"
Nggak nyangka bakal diberondong pertanyaan panik yang
bertubi-tubi gitu, Mika mendadak cengo. Kenapa Mima jadi heboh?
Mika kan cuma bercanda. "Bercanda woy. Santaiii... Maksud aku,
siapa tau dia kena serangan kuping congek gara-gara berhari-hari
dengerin kamu merepet."
173 Keterlaluan ah, Mika! Mima langsung cemberut. "Kamu nih, aku kan serius."
"Kenapa sampe heboh gitu sih, Inov nggak dateng jemput? Eh,
emang dia udah dapet sekolahan?"
"Sekolahan?" Mima malah nanya balik.
"Iya, sekolahan. Kan kamu bilang si Inov nggak ke Surabaya dulu
dan extend tinggal di Bandung karena mo cari sekolahan. Udah
dapet belum?" Oh iya, soal sekolah. Kok Mima bisa lupa sih? "Ooh, itu. Kayaknya... belum deh. Terakhir sih dia bilang belum beres surveinya."
"Ya, kali aja dia lagi sibuk urusan survei cari sekolah, makanya
nggak jemput kamu hari ini. Dia ke sini kan ada urusan, bukannya
mo jadi petugas anter-jemput," kata Mika yakin banget dengan
analisisnya. Sibuk cari sekolah. Haha! Mima cuma nyengir.
"Kamu masih pacaran sama Gian? Apa udah ganti pacaran sama
Inov?" Mata Mima seolah nyaris lompat keluar. "Hah? Ngomong apaan
sih kamu, Ka? Ya masih sama Gian-lah. Ngarang aja deh. Kok bisa
kepikiran aku ganti pacar segala? Sama Inov lagi."
"Nebak aja. Kan akhir-akhir ini kamu lebih sering sama Inov.
Udah gitu, begitu Inov nggak nongol kamu segitu cemasnya. Kali
aja ada apa-apanya."
Mima mencibir. "Sok tau ah."
Seharian ini Inov misterius dan nggak ada kabar. Jam istirahat
pertama Mima ngecek belum ada tuh jawaban SMS, WhatsApp,
Line, apalagi telepon balik dari Inov. Istirahat kedua, Mima cek lagi
juga belum ada kabar. Sepanjang pelajaran Mima nggak tenang
karena pikirannya ke mana-mana. Inov sendiri yang bilang, demi
keamanan Mima harus pulang dan pergi bareng, tapi kok hari ini
dia yang ngilang nggak jelas ke mana.
174 Apa Inov baik-baik aja? Apa ada hubungannya sama penggerebekan tadi malam ya? Lagian, emangnya Inov nggak khawatir
sama Mima? Kasih kabar kek, biarpun pesan singkat doang. Ini,
sampai jam segini, hampir jam pulang sekolah, belum ada kabar
juga. "Oke, anak-anak, jangan lupa tugas kliping dikumpulkan minggu
depan. Saya tidak akan menerima keterlambatan. Paham semua?"
Pak Yos, guru sejarah, akhirnya menutup pelajaran.
"Pahaaam..." jawab seisi kelas kompak.
Mima membuang napas lega.
Akhirnya pulang. Dia beres-beres kilat. Semua yang ada di meja
dia cemplungin asal-asalan ke tas. Kira-kira Inov bakal muncul jemput Mima nggak ya? Kalau cowok itu ternyata ada di parkiran belakang dan sekarang lagi nunggu Mima seperti kemarin-kemarin,
awas aja! Mima bakal ngamuk dan ngomel abis-abisan karena Inov
nggak ngasih kabar dan bikin dia cemas. Ah, nanti aja mikirin
omelannya. Yang penting sekarang Mima harus buru-buru mastiin
Inov ada di parkiran belakang sekolah atau nggak. Dan Mima
berharap Inov ada di sana, supaya dia tenang.
"Eh, Nona mendadak misterius, mo ke mana lo?"
Langkah Mima tertahan karena tali tasnya tiba-tiba ditarik dari
belakang. Ternyata Kiki si pipi tembem. Riva dan Dena ikut berdiri
di belakang Kiki. "Ki, aduh, ngapain sih narik-narik tas gue? Untung nyantolnya
di bahu. Coba kalo di leher. Gue bisa mati kecekek, tau nggak!"
Dengan bibir manyun Mima ngomel-ngomel.
Kiki, Riva, dan Dena kompak memutar bola mata sambil barengbareng bilang, "Heuhhh...."
"Di mana-mana juga tas di bahu. Cuma orang stres yang nyantolin tali tas di leher. Duduk dulu." Kiki bukannya ngelepasin tali
tas Mima, justru menarik Mima mundur, agar duduk kembali di
kursinya. 175 "Eh, ngapain sih, Ki? Pada kenapa sih? Kok ngeliatin gue kayak
gitu?" Dena menarik kursi, lalu duduk di hadapan Mima. Posisinya udah
kayak mau menginterogasi maling kolor yang tertangkap warga.
Riva ikut-ikutan duduk di samping Dena. Sementara Kiki pose ala
satpam, berdiri di belakang Mima, seolah-olah ngejagain Mima biar
nggak kabur. "Harusnya kami yang nanya, lo kenapa sih?" Dena melempar
balik pertanyaan Mima. Matanya menyipit biar kesannya serius.
Atau sakit mata? "Emang gue kenapa?" Pertanyaan Dena dilempar balik lagi sama
Mima. Kiki mendengus pelan. Ikut-ikutan duduk di hadapan Mima. "Lo
aneh. Sejak dari Halo Corner waktu itu, lo jadi misterius, tau nggak?
Pulang sekolah buru-buru. Diajak jajan dulu sepulang sekolah nggak
pernah mau. Kayaknya sekarang lo juga jarang bareng Gian pas
pulang sekolah. Biasanya, biarpun lo beda angkot, kan keluar
sekolah nunggu angkotnya bareng. Lo putus sama Gian?" tembak
Kiki. "Nggak. Gue sama Gian masih jadian kok. Hubungan kami baikbaik aja. Teman-teman wartawan dapet kabar dari mana, ya?"
"Amit-amit lo, Mi! Nggak pantes lo jadi artis papan atas. Serius
deh." Riva langsung pasang pose tangan dilipat di dada. Dasar
kebanyakan nonton CSI, pose aja sok detektif.
Bagus! Dalam keadaan nggak jelas gini, Mima malah ketangkep
buat diinterogasi. Diliat dari tampang mereka bertiga, udah pasti
mereka penasaran banget. "Tanya aja Gian kalo nggak percaya.
Kami berdua tuh baik-baik aja. Cuma lagi sama-sama sibuk aja.
Udah, kan? Udah, ya?" Mima menjiplak jawaban artis yang dicurigai
rumah tangganya diambang perceraian karena perselingkuhan
dengan asisten pribadinya yang brondong dan selalu pakai baju
ketat. 176 "Buset. Apa banget deh jawaban lo. Artis papan bapuk, lo mah
bukan papan atas!" semprot Riva keki. "Gian sih okelah, kami
percaya dia sibuk. Nah, lo sibuk apaan?"
"Ralat. Gue nggak pernah bilang gue sibuk. Gian yang sibuk.
Karena dia sibuk, jadi jadwalnya nggak ketemu. Wajar, kan? Biasa
aja deh. Kalian nggak usah sampe nginterogasi gue lebay gini.
Lagian kalian menghina banget deh. Kesannya gue nggak mungkin
banget sibuk. Bisa aja kan kalo gue sebenernya part time jadi
direktur, tapi nggak bilang-bilang kalian? Hayo!"
Kiki, Riva, dan Dena lirik?lirikan. Selalu releks seperti itu kalau
ada yang aneh. Mereka udah cukup lama sahabatan, jadi mereka
berempat udah cukup mengenal baik satu sama lain. Nah, gelagat
Mima yang kayak gini jelas-jelas lagi ngeles atau bohong. Pasti ada
yang disembunyiin! "Khayalan lo soal part time jadi direktur tadi kami skip dulu deh,
nggak penting. Emang Gian jabatannya apaan lagi sih selain ketua
OSIS? Wakil Presiden Amerika Serikat? Menteri Perdagangan Rusia?
Dukun pijat laris manis?"
Idih! Dahi Mima langsung berkerut-kerut gara-gara pertanyaan
Kiki tadi. "Apaan sih, Ki?"
"Maksud gue, Gian kan ketua OSIS sekolah kita doang. Jadi
nggak sesibuk itu deh, sampe nggak sempet pulang bareng segala.
Lagian biasanya lo nungguin dia selesai rapat OSIS, kan? Duh, jangan
berbelit-belit kenapa sih, Mi? Jawab jujur aja. Lo nyembunyiin apa
dari kami?" Kiki menatap Mima penuh selidik. Tau-tau matanya
melebar, teringat sesuatu. "Ah, iya! Apa keanehan lo ada hubungannya sama Inov? Kayaknya lo makin aneh sejak sering dianter Inov
ke sekolah. Jangan-jangan lo ada apa-apa sama Inov?"
Mima menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Duuuh, kenapa
semua disambung-sambungin ke Inov sih? Gian nyambungin ke
Inov, tadi Mika juga nyambungin ke Inov, sekarang kalian juga,"
keluh Mima spontan saking pusingnya diinterogasi berturut-turut
sejak tadi malam. 177 "Tunggu, tunggu, Gian juga udah nanya soal ini? Dia juga curiga
soal lo sama Inov?" todong Riva tanpa ampun. Nggak peduli
tampang Mima udah lebih kusut daripada rambut kribo yang nggak
disisir sejak zaman Pithecanthropus erectus masih jadi pangeran
dambaan wanita. "Kalo sampe begitu, artinya emang sikap lo
emang aneh dan mencurigakan."
"Haduuuh!" BRAK! Mima berdiri tiba-tiba. "Udah ah. Udah dibilangin nggak ada
apa-apa, kalian masih ngotot aja! Nanti deh, kalo udah waktunya
gue jelasin. Tapi nggak sekarang. Oke? Nanti gue bikin konferensi
pers khusus buat lo bertiga. Lo semua siapin deh pertanyaanpertanyaannya. Jangan lupa undang wartawan infotainment. Sip?
Setuju? Jangan lupa undang One Direction buat jadi bintang
tamu." Jawaban Mima malah bikin yang lain tambah penasaran.
"Mi, eh, tunggu! Jadi emang ada yang lo sembunyiin?" Dena
mengadang Mima yang siap kabur.
Kepala Mima semakin mumet. Sebentar lagi kepalanya kayaknya
bakalan meledak deh. Terlalu banyak kehebohan dalam dua hari.
Lama-lama korslet otaknya. Mima menatap Dena penuh ancaman.
"Lo semua sabar aja nunggu sampe waktunya tepat atau gue nggak
bakalan ceritain sama sekali dan rahasia ini akan gue bawa sampe
mati. Pilih mana?" Saking kusut dan horornya ekspresi Mima, tiga sahabatnya jadi
yakin ancaman Mima nggak main-main. Akhirnya mereka terpaksa
pasrah waktu Mima melenggang pergi buru-buru.
Ini rumahnya, Mima yakin. Sekarang Mima ada di depan rumah
kecil mirip markas zombi, tempat tinggal Inov dan Bang Rudi alias
Abang. Dua kali Mima ke sini, dia yakin nggak salah rumah. Tapi
sepi banget ya? 178 Tadi Mima pulang sekolah naik ojek Mang Udan. Inov nggak
muncul buat jemput Mima dan Mima juga belum berhasil kontak
sama Inov. Mima nggak mungkin pulang dengan mendem rasa
penasaran kayak gini. Jadi Mima mutusin untuk nyamperin Inov ke
rumah kontrakannya. "Neng yakin cowok Neng teh manusia?" Mang Udan nyeletuk
sambil melirik Mima yang masih nangkring di boncengan ojeknya
dari kaca spion. "Maksud Mang Udan?"
Sambil meringis ngeri, Mang Udan mengamati rumah kontrakan
Inov. "Ya, maksudnya rumah ini teh siang-siang gini aja serem. Neng
kenalan sama cowoknya di mana? Kuburan? Masa iya manusia
tinggal di tempat kayak sarang dedemit gini? Neng, jangan-jangan
cowok Neng teh... set..."
"Woi!" Mima menepak bahu Mang Udan keras-keras. "Ngomong
jangan sembarangan, Mang Udan. Pertama, dia bukan pacarku.
Kedua, dia manusia, baru pindah ke rumah ini, makanya belum
diberesin. Makanya jangan kebanyakan nonton reality show misteri
yang manggil-manggil setan," sembur Mima. Padahal dia juga panik.
Soalnya rumah ini kalau diliat-liat memang nakutin. Mirip rumahrumah terbengkalai di ilm horor yang memancing tokoh?tokohnya
masuk ke dalam, kejebak, dan dikerjain setan sampai mati.
Mima mengusap tangannya cepat-cepat karena bulu kuduknya
jadi merinding gara-gara khayalannya sendiri. "Mang Udan tunggu
di sini. Aku turun dulu." Mima melompat turun.
"Ongkosnya, Neng?" tanya Mang Udan penuh harap.
Mima langsung merengut. "Ongkosnya nanti pas sampe rumah.
Kalo dibayar sekarang, jangan-jangan Mang Udan kabur ninggalin
aku kalo ada apa-apa."
Mang Udan meringis. Ya, memang terlintas di pikiran sih, untuk
stand by dengan motor menyala dan siap ngegas kalau tau-tau
yang bukain pintu ternyata nona kunti.
Mima mengetuk pintu rumah kontrakan Inov. Dua-tiga kali
diketuk nggak ada jawaban. Mima ketuk sekali lagi. "Nov... Inov.
Ini gue, Mima. Inooov..." TOK TOK TOK! Panggil Mima sambil
mengetuk pintu lagi. Hening. "Inov...." Tetap nggak ada jawaban.
"Nggak ada orangnya kali, Neng!" celetuk Mang Udan dari
tempat dia parkir. Mima mengibaskan tangan, lalu mengetuk pintunya lagi.
"Nov..." Berkali-kali Mima ketuk, tetap nggak ada jawaban. Kayaknya dia
harus percaya Mang Udan bahwa di rumah ini nggak ada orangnya.
Mima menempelkan mukanya ke kaca jendela. Berusaha ngintip
ke dalam. Dan memang sepi. Nggak ada tanda-tanda orang di
dalam. Cuma kain gorden jendela bergoyang halus karena ditiup
angin atau... di... GLEK. Mima menelan ludah panik. Kan katanya
makhluk-makhluk halus suka di tempat sepi. Gimana kalau Mang
Udan benar? Bang Rudi dan Inov penghuni rumah ini memang
manusia. Tapi siapa tau...
Hiii! Mima melompat mundur dan lari buru-buru ke arah ojek Mang
Udan. "Mang, kita pulang," perintah Mima begitu naik ke jok motor
dan pakai helm. "Bener kan, Neng, nggak ada orang?"
"Iya bener. Udah, jalan. Buruan!"
"Beres, Neng!" Mang Udan langsung menekan gas motor
dengan sukacita. Di boncengan ojek Mang Udan, Mima makin nggak bisa berhenti
mikir. Di mana sih Inov? Kok di rumah juga nggak ada? Ini pasti ada
hubungannya sama kejadian tadi malam. Mima tau-tau ingat.
Sebelum nganter Mima pulang, Inov sempat bilang sama Abang
180 bahwa dia bakal balik lagi ke rumah di tengah kebun singkong,
tempat mereka sembunyi. Apa mungkin mereka masih di situ? Apa
mendingan Mima susulin ke rumah itu? Kayaknya Mima masih ingat
deh letak rumah itu. "Neng, ini teh langsung ke rumah, kan?" tanya Mang Udan waktu
mereka berhenti di lampu merah.
"Iya, Mang, langsung ke rumah aja." Mima mutusin untuk nggak
nekat nyusul ke rumah di tengah kebun singkong itu karena udah
terlalu sore. Mima akan menunggu sampai besok. Kalau besok
belum ada kabar juga dari Inov, Mima bakal coba menyusul ke
rumah itu. Dan kalau nggak ketemu juga, Mima terpaksa mengambil
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah pamungkas: nelepon Tante Helena untuk memastikan
keadaan Inov. Gimanapun Mima kan udah telanjur kecebur dalam
masalah ini. 181 Enam Belas IAPA pun manusianya yang nelepon Mima bertubi-tubi
subuh-subuh begini, nggak ada ampun. Bakal Mima hukum
dia dengan tidur telentang di kolam pemandian buaya.
Tangan Mima menggapai-gapai ke meja di samping tempat tidur,
berusaha meraih ponsel yang menjerit-jerit heboh. Dengan susah
payah Mima membuka mata dan mengintip ke arah jam dinding di
kamar. BUSET! Ini baru jam setengah lima pagi!
"Haaa...looo?" jawab Mima tanpa ngintip ke layar untuk ngecek
siapa yang nelepon. "Mima, gue di depan rumah lo."
"Siapaaa nihhh?"
"Gue. Inov!" Inov?! Mima yang tadi setengah sadar langsung duduk tegak. "Inov?!
Gila lo ya, lo di mana?"
"Di depan rumah lo. Kan gue udah bilang barusan. Sekarang lo
keluar, gue tunggu. Nggak usah mandi lama-lama. Jangan pake
seragam." "Hah? Maksudnya? Emang kita mo ke mana? Terus gue ke sekolah pake apa?"
"Nanti gue jelasin. Lo nggak bisa sekolah hari ini. Lo cari aja
alasan buat bilang sama orang rumah lo. Gue tunggu. Sekarang."
"Eh, Nov..." Sia-sia Mima manggil Inov, sambungan teleponnya
182 keburu putus. Mima melongo. Bolos? Pagi-pagi begini lagi! Inov
kebiasaan. Enak aja dia nyuruh Mima mikirin alasannya buat orang
rumah. Harusnya kalau dia yang ngajak, pikirin kek alasannya
sekalian. Paling nggak kasih ide, bukan Mima yang dibikin pusing
sendirian kayak gini. Mima buru-buru melompat turun dari ranjang dan mandi. Dari
suara Inov, kayaknya penting.
Mima berjingkat-jingkat keluar kamar. Dari kamar mandi dekat
kamar Mama terdengar suara shower. Yesss! Aman. Berarti Mama
lagi mandi. Papa pasti lagi salat Subuh.
Mima mengetuk pintu kamar mandi Mama. "Ma, Mima berangkat dulu!"
"Berangkat? Kok cepet amat, Mi?" sahut Mama dari dalam.
"Eng... iya, Ma, ada tes olahraga. Aku jalan ya, Ma..." Mima
buru-buru pergi. Aman! "Ini, Mi, pake helmnya!"
"Idih, main suruh pake helm aja. Jelasin dulu ke mana lo kemaren
seharian nggak ada kabar? Terus sekarang kita mo ke mana pagipagi begini, sampe nyuruh gue bolos sekolah segala? Nggak bisa
apa ntar aja pulang sekolah?" serbu Mima, nggak tahan untuk
nggak ngomel masalah Inov yang menghilang kemarin.
Inov menggeleng tegas. "Nggak bisa. Harus sekarang. Ini urgen.
Kemaren gue kumpul darurat dari pagi. Sekarang kita harus kumpul
darurat lagi," kata Inov gusar. Nada suaranya kedengeran nggak
tenang dan cemas berlebihan.
"Kumpul darurat lagi? Terus emang kemaren lo kumpul seharian
sampe nggak bisa ngasih kabar sama sekali? Lagian, kalo kumpul
darurat bukannya gue nggak harus ikut?"
"Kemaren kumpulnya bukan di Bandung, tapi di Tasikmalaya. Di
183 rumah salah satu penadah. Beny ngerasa kemaren nggak aman
kumpul di Bandung. Gue baru pulang semalem. Sori, Mi, tapi
situasinya tegang, gue sama sekali nggak kepikiran untuk ngabarin
lo. Dan tadi subuh Beny kontak kami lagi, minta semua kumpul
tanpa kecuali. Termasuk para pacar."
Mima merinding. Perasaannya jadi nggak enak. "Emang ada apa?
Bukannya para pacar nggak terlibat urusan ?bisnis??" tanya Mima
cemas. Inov mengetuk-ngetuk tangki motornya gelisah. Cowok itu turun
dari motor dan berdiri di hadapan Mima. Tangannya memegang
bahu Mima dan menatap Mima lurus-lurus. "Ini gawat, Mi. Beny
marah besar soal penggerebekan polisi di kafe itu. Dia yakin ada
informan orang dalam yang ngebocorin. Buat Beny, ini situasi
genting karena pertemuan sama Big Boss tinggal sebentar lagi?
acara besar komplotan ini. Makanya Beny mau ketemu kita semua,
untuk mastiin nggak ada satu pun dari kita yang penyusup."
Darah Mima serasa menguap sampai kering. Mima yakin mukanya pucat ketakutan. Jangankan mukanya, kayaknya ujung jempol
kakinya pun pucat saking takutnya. "M-maksudnya, Nov, gue sama
pacar anggota komplotan yang lain bakal... di...interogasi, gitu?"
Sumpah, sumpaaah... Mima takut banget. Kalau melihat penampilan cewek-cewek lain, nggak usah diragukan lagi mereka pasti
cewek brandalan betulan. Nggak kayak Mima. Mima memang
bukan informan, tapi juga bukan pacar Inov betulan. Bisa aja kan
kebohongan mereka kebongkar dan akhirnya malah bikin penyamaran Inov dan Abang juga terbongkar? Mima harus gimanaaa???
"Mi..." Inov meremas pelan bahu Mima. Tatapan Inov yang tadi
keliatan tajam dan tegas berubah jadi teduh dan melindungi. "Lo
pasti takut. Tapi gue minta lo percaya sama gue. Gue bakal
lindungin lo. Lo cukup tunjukin bahwa lo emang pacar gue. Oke?
Semua bakal baik-baik aja. Mereka nggak ada alasan untuk curiga
sama gue. Karena gue ada di sini atas perintah Revo."
184 Mima diam. Apa dia bisa percaya sama omongan Inov? Apa
mungkin saat berada di tengah-tengah komplotan curanmor yang
lagi penuh ketegangan dia bisa baik-baik aja? Mima takut. Takut
banget. Rasanya dia sanggup disuruh ngapain aja, asal nggak usah
ikut Inov ke sana. Disuruh belai-belai kepala kobra atau disuruh
dansa sama gorila, Mima mau asal nggak usah ikut pergi sekarang.
Dulu Mima berani sok nekat ngelawan dan belain Inov di depan
geng Revo karena masalahnya cuma duit. Dia cuma perlu bantu
Inov cari uang setoran, lalu semua beres. Karena saat itu Revo
cuma nggak mau ngebiarin Inov hidup tenang dan pemasukannya
berkurang. Tapi sekarang? Ini semua jauh di atas level itu. Revo dendam. Dan komplotan
ini bukan komplotan sembarangan.
"Nov, tapi..." "Gue janji, Mi," potong Inov dengan suara rendah dan kayaknya
itu suara Inov paling lembut yang pernah Mima dengar. "Gue janji
akan pastiin lo baik-baik aja. Gue janji ini semua bakal segera selesai
setelah Big Boss datang dan lo bisa hidup tenang lagi."
Mima menarik napas panjang. Bukannya dia nggak percaya Inov,
dia cuma takut. "Ini, Mi, helmnya."
Terpaksalah Mima ngangguk. Tangan Mima setengah gemetar
waktu mengancingkan tali helm. Lain kali Mima bersumpah, lain
kali dia nggak bakalan kelewat nekat dan nggak mikir panjang.
Harusnya waktu melihat yang mencurigakan soal Inov, dia nggak
perlu sok detektif pakai mengintai segala. Harusnya dia nunggu
sampai Inov sendirian dan bertanya pada Inov dengan membeberkan
semua fakta yang dia liat sampai Inov ngaku. Kalau begitu Mima
pasti nggak bakalan ketangkep basah Beny dan gengnya.
Nyali besar bagus. Setia kawan dan khawatir sama keadaan
185 teman juga bagus. Tapi lebih bagus lagi kalau semuanya pakai akal
sehat dan nggak lupa sama keselamatan diri sendiri. Gimana mau
nolongin teman kalau kita sendiri nggak selamat?
Mima naik ke boncengan motor Inov dengan jantung deg-degan.
Oke, dia percaya sama Inov. Dia HARUS percaya sama Inov. Karena
sekarang, cuma Inov yang bisa Mima percaya.
Please, jangan ngeliatin Mima. Please, jangan ngeliatin Mima.
Mima dalam hati berkomat-kamit supaya Beny si Bos Kecil yang
lagi mondar-mandir sambil menatap satu-satu anggota komplotan
dengan pandangan berdarah dingin nggak mendaratkan tatapannya
ke Mima. Ini momen paling menakutkan dalam hidup Mima. Lebih
menakutkan daripada waktu dia menyangka ada setan di kebun
singkong. Pagi ini Beny mengumpulkan semuanya di gudang usang dekat
Pasar Induk Gedebage. Gudang tua ini kayaknya dulu tempat
penyimpanan stok dagangan pasar. Mima menebak dari baunya.
Segala macam bau kayaknya berkolaborasi jadi satu. Bau ikan asin,
pete, pepaya busuk, jengkol, sampai bau ayam mati juga ada.
Sungguh, ini salah satu momen menakutkan dalam hidup Mima,
sekaligus ini tempat paling bau yang pernah Mima kunjungi seumur
hidup?mengalahkan bau kamar Imet, sepupunya yang bau
keringat, cowok yang jarang mandi.
"Lo semua udah paham kan kenapa gue kumpulin di sini?"
Semua ngangguk. Nggak ada satu orang pun yang nggak tegang
di ruangan ini. "Sekali lagi gue bilang sama lo semua. Kita beruntung karena
nggak ada satu pun yang ketangkep. Tapi seperti yang gue bilang
di Tasik kemaren, gue nggak bisa diem aja sampe kita tau siapa
informan yang bocorin kegiatan kita. Makanya hari ini gue minta
186 lo semua kumpul dan bawa semua orang yang tau soal kita.
Termasuk cewek-cewek lo semua. Siapa pun orangnya, gue nggak
mau ada penyusup dan pengkhianat!"
DEG! Jantung Mima berdegup makin heboh. Napas Mima sampai
agak sesak karena ritme jantungnya kelewat ngebut.
"Tapi lo semua tenang aja," lanjut Beny lagi dengan suara
bengisnya. "Bukan cewek-cewek kalian yang bakal gue urus malem
ini. Mereka gue suruh bawa ke sini, biar bisa liat apa yang bakal
terjadi sama penyusup!"
Semua keliatan kaget. Cuma Anting dan Otot yang tampak
tersenyum bengis dengan kompak.
Beny mengangkat dagu ke arah Anting dan Otot. Semacam kode,
entah untuk apa. "Eh, apa-apaan nih?"
Detik berikutnya semua menatap kaget begitu Anting dan Otot
melesat cepat ke arah Abang dan memiting tangan Abang ke
belakang, lalu memegangnya kuat-kuat, disusul teriakan kaget
Abang yang meronta-ronta minta dilepas.
Mima menahan napas. Di sebelah Mima, Inov juga menahan
napas tegang. Ini sama sekali nggak ada di bayangan Inov.
Sepertinya yang tau soal ini memang cuma Beny, Anting, dan
Otot. Abang masih meronta-ronta di pitingan Anting dan Otot.
Beny dengan muka dingin mendekati Abang dan berdiri tepat
di depannya, lalu tersenyum sadis. "Abang... Abang. Gue nggak
nyangka, ternyata pengkhianatnya lo!" tuding Beny sambil terkekeh
dengan menyeramkan. "Maksud lo apa, Bos?! Eh, apaan sih! Anting! Otot! Lepasin
gue!" BUAKKK! Malah tinju Beny yang melayang, menghantam rahang Abang.
Sudut bibir Abang langsung berdarah.
187 "Hmmph!" Mima membekap mulutnya sendiri biar nggak
menjerit. Kenapa jadi gini? Mima melirik Inov. Cowok itu menatap
tegang ke arah Abang, tapi sebelah tangannya releks meraih Mima
ke dalam rangkulannya. Berusaha menenangkan Mima, padahal
dirinya sendiri juga panik dan bingung.
Beny mengibas-ngibaskan tangannya yang tadi digunakan untuk
meninju muka Abang. Mata Beny menatap Abang marah. "Heh, Bang, lo denger gue
baik-baik. Sekarang mendingan lo ngaku aja. Karena lo ngaku atau
nggak, lo tetep bakal abis! Tapi kalo lo ngaku, paling nggak lo nggak
bakalan terlalu babak belur. Kalo lo ngaku, paling cuma hidung lo
yang patah. Yang lain gue usahain utuh. Emang sih gue yakin semua
anggota bakal marah begitu tau siapa lo!"
Abang diam. Mulutnya tertutup rapat, tapi menatap Beny tajam.
"Gue nggak ngerti lo ngomong apa, Bos."
BUAKK! Kali ini bogem melayang ke tulang hidung Abang. Darah
segar langsung mengucur. Mima releks memalingkan muka, ngeri, dan berlindung di balik
lengan Inov. Lututnya langsung gemetar. Apa yang bakal terjadi
sama Abang? Kenapa Inov diam aja? Dari tampang sadisnya, Mima
yakin Beny belum selesai ngerjain Abang.
SATTT! Beny menjambak rambut Abang, lalu menariknya sampai
kepala Abang yang lagi tertunduk kesakitan mendongak. Abang
meringis dengan hidung dan bibir yang masih berdarah-darah.
Astaga! Seumur hidup kayaknya baru sekarang Mima menyaksikan
darah sebanyak itu. Ini persis adegan ilm action waktu penjahat
menangkap dan menyiksa mata-mata yang menyusup ke komplotan
mereka. Ini terlalu horor!
Kalau di ilm, Mima tau itu cuma akting. Bonyok?bonyok di muka
aktornya cuma hasil kerja make up artist. Bahkan habis syuting,
penjahat dan jagoannya ngopi bareng sambil ketawa-ketawa. Tapi
ini beda! Ini betulan! Abang dihajar betulan dan mungkin masih ada
pukulan-pukulan selanjutnya.
188 "Lo semua kenalin nih. Rudi Radjasa. Intel dari Polres Bandung
yang menyamar!" kata Beny dengan suara parau menggelegar
sambil melepas pegangannya dari rambut Abang dengan sentakan
keras. PLOK PLOK PLOK! Beny bertepuk tangan lambat-lambat sambil
berjalan mondar-mandir di hadapan Abang. "Hebat. Heee...bat!
Selama ini kita semua ketipu sama dia! Kalo kemaren kita nggak
mergokin dia diam-diam ketemu sama teman polisinya, kita nggak
bakalan tau dia siapa. Dan proyek besar kita sama Big Boss bisa
berantakan! Pinter juga lo!"
BUKKK! Tinju yang kali ini mendarat di perut Abang.
"HMPPH!!!" Abang melenguh keras. Kesakitan.
Bulu kuduk Mima berdiri. Tengkuknya terasa dingin dan lututnya
lemas selemas-lemasnya. Dia nggak sanggup menyaksikan Abang
disiksa live kayak gini. Ah, Mima nggak akan sanggup menyaksikan
siapa pun disiksa di depan matanya. Seandainya dia punya kekuatan
super atau paling nggak jago ilmu perdukunan, pasti sekarang Mima
bakal diam-diam melempar segala jenis ilmu santet pada Beny dan
semua komplotannya. Habis itu polisi nggak usah repot-repot
nangkep mereka. Tinggal ciduk aja, karena mereka udah Mima bikin
terkapar dengan santet-santet sadis nan mujarab.
Mima merasa telapak tangan Inov yang sedang merangkul bahu
Mima mengepal keras. BUKKK! Belum puas, Beny menendang perut Abang keras-keras.
"Masih nggak mo ngaku juga lo, hah?!"
Abang masih menutup mulutnya rapat-rapat. Dia cuma meringis,
menahan sakit. Beny terkekeh jahat. "Oke. Jadi begitu ya?! Buat yang lain,
perhatiin! Ini yang bakal terjadi sama lo kalo sampe di antara kalian
jadi pengkhianat! Hari ini gue lagi baik dan pengin polisi-polisi
brengsek itu tau mereka nggak bisa macam-macam sama kita. Jadi
gue kasih lo semua jatah satu kali ngehajar dia. Jangan ragu-ragu!
Ingat, orang ini nyaris bikin rencana kita berantakan. Biar mereka
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mikir-mikir kalo mo kirim orang buat ganggu kita!!!"
Semua dapat jatah satu kali menghajar Abang? Mima bergidik
ngeri. "Gue duluan!" kata Beny lantang. Lalu DUAAAK! Tendangan
Beny mendarat lagi di perut Abang. Saking kerasnya, Anting dan
Otot yang bertugas megangin Abang tersentak mundur karena
kedorong badan Abang. Selanjutnya terjadilah adegan sadis yang Mima pikir cuma bisa
berlangsung di ilm perang. Semua anggota komplotan berbaris
antre dan satu-satu gantian meninju atau menendang Abang
dengan tenaga yang nggak kira-kira. Mima tercekat.
Inov juga ikutan antre. Mima tau cowok itu nggak ada pilihan.
Dia harus ikutan untuk membuktikan dia memang bagian mereka
dan bukan penyusup. Tapi... masa Inov tega menghajar Abang.
Mima lebih nggak tega lagi melihat keadaan Abang. Laki-laki itu
lunglai di pegangan Anting dan Otot. Bajunya kotor karena darah
dari hidung dan mulutnya.
Satu orang lagi, lalu giliran Inov. Tangan Inov gemetar, nggak
sanggup menyaksikan Abang yang babak belur. Tapi Inov tau dari
tatapan Abang yang sekilas melirik ke arah dia tadi, Abang minta
Inov untuk tetap tenang, supaya jangan sampai ketahuan.
"Inooov! Lo harus paling keras ngasih dia jatah! Karena lo yang
paling ketipu sama dia. Tinggal serumah pula sama dia! Untung lo
nggak dijadiin kaki tangan dia." Suara parau Beny mengultimatum
Inov. "Ayo... beri!" Beny menepuk punggung Inov.
Mima berdiri tegang. Inov bakal ngapain Abang? Ninju? Nendang?
Tangan Inov gemetar meraih kedua bahu Abang. Abang mendongak, lalu menatap Inov lemah. Inov menahan napas. Membalas
tatapan Abang, lalu bilang "sori, Bang" tanpa suara. Dengan cepat
Inov mengayunkan lututnya... sampai kena perut Abang.
"Hmph!" Mima membungkam mulutnya lagi, entah keberapa
kalinya selama ada di sini. Jantungnya serasa ikut berhenti waktu
liat bahu Abang berguncang pas lutut Inov menyentuh perutnya.
Iya, Mima tau Inov harus melakukan ini. Tapi apa dia harus menghajar Abang sekeras itu?
Terakhir Anting dan Otot masing-masing memberi Abang jatah
satu kali pukulan. Mima nggak habis pikir, kok ada orang-orang
sesadis ini. Nyiksa orang dengan ekspresi girang kayak gitu.
Semakin orangnya kesakitan, mereka malah semakin senang. Gila.
Nggak masuk ke akal sehat Mima. Sakit jiwa semua!
Abang jatuh berlutut. BUK! Dorongan keras Beny bikin Abang tersungkur ke depan.
"Tau rasa lo sekarang! Semoga temen-temen polisi lo cukup pinter
untuk baca pesan kita lewat lo! Bilang sama mereka, jangan beraniberani ganggu komplotan ini lagi, atau aksi-aksi selanjutnya bakalan
makin sadis! Satu lagi. Semua info yang lo pernah denger tentang
proyek di dalam kelompok ini, semua mentah!!! Semua rencana
yang lo denger, BATAL!!! Lo masuk komplotan ini, cuma sia-sia!"
Lalu Beny ngakak sejadi-jadinya. "Ayo, kita cabut!!! Biar mampus
dia di sini!" Semua berbondong-bondong keluar gudang. Kaki Mima serasa
dipaku ke lantai. Mana tega dia ninggalin Abang begitu aja. Siapa
yang bakal nolong dia? Apa dia bakalan selamat? Gimana kalau dia
mati? Mima nggak bakalan sanggup dihantui seumur hidup kalau
sampai Abang mati karena nggak ditolong.
"Mi, ayo!" Tarikan Inov bikin Mima tersentak kaget.
Mima gelagapan dengan mata berkaca-kaca.
"HP Abang masih ada di saku celananya. Dia masih sanggup
panggil bantuan. Nanti kalo situasi udah aman, gue juga akan minta
bantuan untuk dia. Oke?" bisik Inov seolah-olah bisa baca pikiran
Mima. Mima melirik Abang yang masih tersungkur dan meringkuk
kesakitan. "Ayo, Mi, kita harus pergi." Inov merengkuh Mima, lalu membimbing Mima keluar dari sana.
Mima nangis sejadi-jadinya sambil terus mukulin dada Inov membabi
buta. Sementara Inov cuma diam kaku, membiarkan Mima puas
menangis dan melepaskan segala emosi yang sejak tadi pasti
setengah mati cewek itu tahan.
Inov sengaja ngajak Mima ke lapangan kosong dekat kompleks
perumahan kontrakan Inov. Motornya diparkir di pojokan lapangan.
Di bawah pohon kersen yang rimbun.
"Jahat! Lo jahat, Nov! Lo Jahaaat!" Mima sesenggukan sambil
terus mukulin Inov. Pukulannya udah nggak sekeras tadi, tapi Mima
belum bisa berhenti. Dia masih emosi. Masih histeris. "Orang-orang
itu juga jahat semuanya! JAHAAAT!"
"Mereka emang penjahat, Mi," sahut Inov pelan.
Pukulan Mima makin pelan, makin pelan, dan berhenti. Dengan
penuh air mata Mima menatap Inov nanar. Kejadian hari ini bikin
Mima linglung. "Kenapa sih lo harus ngehajar Abang sekeras itu,
Nov? Tega banget sih lo, Nov! Kenapa lo nggak tampar dia aja?"
Mata Inov membesar, nggak percaya. Mima serius berharap dia
cuma nampar Abang. Inov releks tersenyum getir. Nampar. Yang
benar aja! "Kenapa lo senyum, Nov? Ini nggak lucu. Kalian tadi habis
menganiaya orang, dan lo juga sama aja nggak punya perasaan.
Gue nggak nyangka! Lo buta ya, Nov? Abang babak belur kayak
gitu. Darahnya... darahnya banyak banget, Nov."
Tangan Inov mengepal mendengar omongan Mima. Inov
menatap Mima serius. "Mi, daripada gue nampar Abang, mendingan
gue ngaku aja sekalian. Atau lo suruh aja gue jambak Abang. Supaya
gue sama Abang keliatan kayak bencong berantem."
"Tapi tadi lo terlalu keras ngehajar Abang pake dengkul lo! Kalo
Abang koma gimana? Kalo Abang mati gimana? Mereka ngehajar
Abang habis-habisan, Nov. Mereka menganiaya Abang." Mima
ngotot. Kepalan Inov semakin kuat. Matanya gusar menatap Mima yang
sekarang juga lagi menatap Inov, menuntut penjelasan. "Gue... ke
sana dulu." Inov menunjuk ke rumah kosong di dekat mereka.
Nggak salah nih jawaban Inov? Mima mengernyit nggak ngerti.
Gimana sih, Inov? Bukannya jawab, malah tiba-tiba mau ke rumah
kosong itu. "Hah? Ngapain? Kita lagi ngomong, Nov. Apaan coba, tiba-tiba
lo mo ke situ? Gue ikut. Kita belum selesai."
Inov memandang tajam. "Gue mo kencing, Mi, di belakang
rumah kosong itu. Mo ikut?" Tanpa nunggu jawaban Mima, Inov
pergi meninggalkan Mima dan pergi ke arah rumah kosong yang
dia tunjuk tadi. Sinting si Inov. Kumat lagi otak robot somplaknya. Orang lagi
serius bukannya dijawab dulu, eh malah kencing. Sekebelet itukah
Inov sampai nggak bisa nahan sebentar buat jawab pertanyaan
Mima? Sebetulnya Mima gemas setengah mati, pengin menyambar
baju Inov dan menahan si robot program rusak itu untuk nyelesaiin
dulu pembicaraan mereka, baru kencing. Tapi dipikir-pikir, kalau
dia betulan kebeletnya memang di level tak tertahankan, Mima
lebih milih menunggu daripada liat Inov ngompol.
DUAK! DUAK! BUGG! Mima yang lagi bersandar di bodi motor releks menegakkan
berdirinya. Suara apa itu? Kenapa suaranya kayak benda keras
dipukul dan arahnya dari rumah tempat Inov kencing tadi?
DUAK! DUAK! DUAK! Ini pasti ada yang nggak beres. Jelas kok ini bunyi benda dipukul.
Tapi, kenapa nggak ada suara Inov? Padahal suaranya berasal dari
tempat Inov. Apa sih yang dipukul sampai bunyinya sekencang itu?
Atau malah... SIAPA yang dipukul? Jangan-jangan... jangan-jangan
ada anak buah Beny di sini dan sekarang dia mukulin Inov?!
Jantung Mima berdegup kencang. Dia takut, tapi nggak mungkin
diam aja. Mima berjalan cepat ke arah rumah kosong itu. Makin
lama langkahnya makin cepat. Tadi dia nggak bisa berbuat apa-apa
dan terpaksa ninggalin Abang begitu aja. Kalau sampai sekarang
ada apa-apa sama Inov dan Mima diam aja, dia nggak bakalan bisa
tenang seumur hidup. Mudah-mudahan Inov nggak kenapakenapa.
Mima menarik ponselnya keluar. Sambil jalan, dia menekan
nomor telepon darurat yang dia dapat dari Abang. Kalau ada apaapa, Mima tinggal pencet Call.
"Inov! Lo... nggak pa-pa?" Langkah Mima terhenti. Mima terdiam
kaget, nggak nyangka yang sekarang dia saksikan bukan Inov yang
digebukin orang, melainkan Inov yang berdiri menghadap tembok
sambil meninju-ninju keras tembok dengan tertunduk. Bahunya
berguncang. Inov nangis? Cowok itu nggak menjawab pertanyaan Mima, tapi berhenti
mukulin tembok dengan posisi berdiri, masih memunggungi Mima
dan berpegangan ke tembok. Bahunya nggak berguncang kayak
tadi, tapi tampak naik-turun karena napasnya ngos-ngosan.
Mima mematung. Jadi Inov cuma pura-pura kencing? Pelan-pelan
Mima maju mendekati Inov. Tangan Mima terulur hati-hati, menyentuh lengan Inov. "Nov... lo kenapa?"
"Tinggalin gue, Mi." Inov menepis tangan Mima.
"Hah? Lo kenapa sih?"
"GUE BILANG TINGGALIN GUE!!!" Inov menepis tangan Mima
lagi, lebih kencang sampai Mima oleng dan terdorong mundur.
"Aw! Inov!" pekik Mima releks karena kaget.
Inov berbalik menghadap Mima. Sejenak Inov hampir maju dan
meraih tangan Mima karena takut Mima mental dan jatuh akibat
sentakan tangannya tadi. Begitu liat Mima baik-baik aja, Inov malah
melorot sampai duduk dengan punggung bersandar ke tembok.
Inov menelungkupkan kepalanya di antara tangan dan menunduk
dalam-dalam. "Mi, tinggalin gue..." katanya lagi. Kali ini suara Inov
pelan. Superpelan dan lemah.
Mima tertegun, tapi nggak lama. Lima detik kemudian Mima
bukannya pergi, malah maju dengan lantang. "Tinggalin lo? Enak
aja!" Inov yang lagi tertunduk dalam-dalam dengan kedua tangan
meremas rambut langsung mendongak, menatap Mima bingung.
Mima balas menatap Inov lurus-lurus. "Jangan kumat ya lo, Nov.
Dalam keadaan kayak gini, lo masih berani-beraninya minta
ditinggalin sendirian? Denger ya, Inov, udah nggak ada lagi rahasiarahasiaan di antara kita. Lo sendiri yang bilang, kita harus hati-hati.
Itu artinya kita harus kompak nyelesein semua ini. Semua yang lo
tau, gue juga harus tau. Gimana gue mo percaya sama lo kalo lo
sendiri masih sembunyi-sembunyi kayak gini?" semprot Mima
panjang-lebar sampai napasnya terengah-engah karena sempat
lupa buang napas. Inov diam. Dengan muka kusut dia menatap Mima gusar.
"Lo kenapa sih? Katanya pipis, ternyata kok... kayak gini?" tanya
Mima dengan nada jauh lebih lembut setelah dia duduk bersandar
di tembok di sebelah Inov. Mima mengernyit begitu sadar bukubuku jari Inov lebam dan lecet. Jelas aja, dia mukulin tembok sekuat
tenaga gitu. "Ya ampun, Nov, tangan lo... mending diobatin deh. Bengkak
gini. Jangan?jangan tulangnya ada yang retak." Mima releks meraih
tangan Inov. Inov tersenyum tipis sambil mengamati lecet-lecet di tangannya.
"Ini bukan apa-apa kan, Mi, dibanding sakitnya Abang dihajar tadi.
Lecet gini doang, berapa persennya dari Abang tadi sih? Dan gue
cuma bisa diem ngeliatin, gue cuma bisa mengutuk mereka dalam
hati, gue... gue nggak bisa nolongin dia... gue malah sibuk ketakutan
mikirin diri gue sendiri kalo sampe ketauan. Gue..." suara Inov
tercekat. Napasnya nggak beraturan. Inov menelungkup lagi.
"Gimana... kalo Abang kenapa-kenapa, Mi? Gimana... kalo Abang
nggak selamat?" suara Inov bergetar.
Tenggorokan Mima langsung kering. Inov kalut memikirkan nasib
Abang. Bodoh banget tadi Mima sempat marah-marah nggak jelas
dan menuduh Inov tega sama Abang. Harusnya Mima mikir, yang
paling khawatir tentang keadaan Abang saat ini ya pasti Inov. Inov
rekan satu misinya Abang, mereka tinggal bareng. Abang yang
selalu melindungi Inov, tapi waktu Abang dihajar habis-habisan,
Inov nggak bisa apa-apa, bahkan harus ikut menghajar Abang.
Mima melirik Inov. Cowok itu masih menunduk dalam-dalam
dengan tangan menopang lutut.
Mana mungkin Mima bilang "Abang baik-baik aja" untuk
menghibur Inov, sedangkan dia sendiri nggak yakin gimana keadaan
Abang sekarang. Tapi Mima nggak tega liat Inov kayak gini. Mima
nggak tega liat si robot somplak ini jadi lemah dan putus asa
begini. Nggak tau dapat dorongan dari mana, Mima melingkarkan
tangannya, memeluk lengan Inov, lalu merebahkan kepalanya di
bahu Inov. Mima bisa merasakan napas Inov yang nggak teratur,
kayak berusaha menetralkan emosinya. Mima cuma diam. Dia nggak
mau bilang apa-apa. Mima cuma pengin Inov tau dia nggak sendirian. Bahwa Mima bakal membantu Inov sampai selesai. Bahwa
mereka akan menyelesaikan ini berdua.
Inov menyipit, menatap Mima dalam-dalam. "Jadi lo percaya gue
bisa sesadis itu?" tanya Inov setelah sepuluh menit Mima dan Inov
cuma duduk diam dan saling bersandar.
Mima menegakkan duduknya, lalu menoleh cepat. Pertanyaan
macam apa itu? Mima menatap Inov, bingung. "Gue juga maunya
nggak percaya. Tapi tadi gue liat sendiri kan, lo... hajar Abang pake
dengkul." Inov menggeleng pelan. "Parah lo, Mi, nuduh gue bisa sejahat
itu. Denger ya, Mi, tadi gue sengaja pake dengkul gue. Makanya
gue pegang bahu Abang supaya waktu gue pura-pura ngehajar
perutnya pake dengkul, gue bisa sentakin bahunya dan keliatan
beneran kena. Gue nggak mungkin nyakitin Abang. Dia yang
ngelindungin gue selama ini, Mi."
Mima terdiam. Mencerna semua kalimat Inov, lalu bernapas lega.
"Jadi lo nggak beneran, Nov?"
"Nggaklah, Mi."
Mima menghela napas lega sekali lagi. "Eh, tapi gimana keadaan
Abang, Nov? Lo nggak bisa ngecek?"
"Kalo Abang masih sadar, gue yakin dia pasti udah kontak
kesatuannya. Sekarang gue juga mo kontak salah satu tim Abang."
Inov mengeluarkan ponsel, lalu mengetik SMS. Setelah terkirim,
Inov buru-buru menghapus pesan di Sent Item. Menghapus jejak
kalau suatu saat Beny atau anggotanya iseng ngecek.
Nggak lama ada balasan. Buru-buru Inov baca.
"Gimana, Nov? Apa katanya?"
Inov menepuk bahu Mima pelan. "Mereka udah menuju lokasi
buat nolong Abang. Mereka juga mo bicara sama gue setelah
keadaan aman. Sementara mereka bakal kirim instruksi lewat SMS
buat gue. Memperkecil kemungkinan ada yang nguping. Ini, mereka
bilang, gue harus bertahan di dalam. Mereka minta gue nerusin
misi Abang. Sampe Big Boss datang. Sekarang, gue satu-satunya
informan mereka." Mima mengangguk gamang. Nggak tau harus lega atau gimana.
Rasanya semua serbagambang. Apa jadinya Inov di dalam komplotan itu tanpa Abang? Lalu siapa yang akan membantu? Gimana
kalau ada apa-apa? Tunggu, tunggu, apa tadi Inov bilang? Dia yang nerusin misi
Abang? Itu artinya sekarang Inov yang jadi "intel"?
"Nov, tapi... tapi itu kan bahaya. Gimana kalo kebongkar kayak
Abang? Lo bakalan abis, Nov."
"Bakalan lebih bahaya kalo gue ditarik sekarang. Mereka bisa
tau siapa gue dan bisa nyelakain kita dengan atau tanpa permintaan
Revo, Mi. Belum lagi kalo Revo juga sampe tau. Lebih baik gue
terusin misi ini dan akhirnya mereka semua ditangkep, semua
masuk penjara, dan nggak bisa ganggu kita. Termasuk Revo. Tim
Abang bakal back up gue dari luar semaksimal mungkin. Gue udah
pernah ketemu mereka semua dan percaya sama mereka, Mi.
Apalagi mereka betul-betul pengin membabat habis komplotan
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini." Ini nih yang namanya buah simalakama. Nerusin misi artinya
bahaya, nggak diterusin lebih bahaya. Tapi penjelasan Inov masuk
akal. Mima juga pengin ini berakhir tuntas sehingga para penjahat
ini nggak bisa ganggu dia dan Inov lagi.
"Mi," panggil Inov pelan.
"Hm?" "Sori..." suara Inov agak tercekat.
Mima mendongak. "Hah?" Begitu bertatapan Mima terkesiap.
Sejak kapan Inov punya tatapan teduh dan bikin deg-degan begini?
Apa Mima aja yang baru sadar karena baru sekarang dia benarbenar merhatiin? Tau-tau aja pipi Mima terasa panas. Helow! Situasi
lagi genting begini, bukan waktu yang tepat juga buat salting.
Apalagi Mima kan bukan cewek jomblo. Mima menelan ludah getir.
Teringat Gian. "K-kenapa, Nov?"
"Sori keadaannya jadi kayak gini. Harusnya gue jujur sejak awal
supaya lo nggak penasaran dan ngikutin gue segala. Tapi gue nggak
yakin waktu mo jujur sama lo pertama kali. Karena... yah, lo gitu
lho, Mi." Mima menyipit. "Gue gitu lho maksudnyaaa?"
"Maksudnya, kayaknya kalo gue kasih tau dari awal, lo tetep
bakalan penasaran dan ngerecokin gue, Mi. Kayak dulu." Inov
meringis nggak enak karena terpaksa jujur. "Makanya gue pikir
lebih aman bikin lo menjauh tanpa sepengetahuan lo aja. Tapi
ternyata jiwa detektif lo tinggi. Malah jadi kayak gini. Sori, ya?"
Inov kedengeran tulus bilang sori, biarpun kalimat-kalimat sebelumnya ngeselin banget. Kesannya keponya Mima akut banget.
"Hhh, udahlah, Nov, udah kejadian. Gue juga salah, terlalu
penasaran dan nggak pake perhitungan. Nggak hati-hati. Coba
bayangin, gimana nasib gue kalo ternyata lo penjahat beneran?
Kayaknya gue harus lebih hati-hati kalo bertindak. Yang penting,
Nov, gimana caranya semua ini bisa beres tanpa kita berdua kenapakenapa."
Inov ngangguk. "Satu lagi, Mi. Kayaknya sampe masalah ini
selesai, lo jangan bareng-bareng Gian dulu selain di dalam sekolah.
Jangan jalan berduaan Gian dulu sampe operasi ini beres. Termasuk
pergi dan pulang sekolah. Lo masih harus sama-sama gue, Mi."
"Jadi, bukan seminggu, Nov?"
"Mi, seminggu itu dalam keadaan normal. Lo ngerti kan ini
keadaan genting? Mereka akan mengawasi kita lebih serius. Semua
pasti dicurigai. Kalo sampe mereka tau lo ada apa-apa sama
Gian..." Mima mengangkat telunjuknya. "Gue ngerti, gue ngerti." Nyutnyutan di kepala Mima yang tadi udah mulai hilang, mendadak balik
lagi rame-rame. Alias lebih nyut-nyutan daripada sebelumnya. Mima
sih mulai bisa mengakui bahwa dia nggak ada masalah kalo nggak
bisa berduaan sama Gian. Tapi yang jadi masalah, gimana jelasinnya
sama Gian? Padahal Gian udah maklum kalau cuma seminggu. Toh
besok juga udah bebas lagi. Tapi sekarang?
"Gimana, Nov, semurnya, enak?"
Inov mengangguk sambil senyum ke Mama. "Enak, Tante. Masakan Tante selalu enak kok."
Senyum Mama langsung mengembang. Cara paling gampang
mengambil hati Mama memang dengan muji-muji masakannya.
Biarpun lagi cemberut, begitu masakannya dipuji biasanya Mama
langsung semringah. "Jadi, kapan kamu pulang ke Surabaya? Tante
mo nitip oleh?oleh buat bunda kamu."
Releks Mima yang lagi sibuk motongin daging semur pakai
sendok mendongak dan menatap Inov.
Inov tetap tenang. Cowok itu malah melempar senyum lagi ke
Mama sambil menjawab kalem. "Belum tau, Tante, mungkin bulan
depan. Nyari sekolahnya biar santai. Sama uhm... biar sekalian bisa
ketemu temen-temen lama, Tan. Mumpung kamar kos yang aku
sewa itu udah dibayar buat sebulan."
Mama mengangguk-ngangguk.
"Emang kamu kos di daerah mana, Nov?" Papa yang sejak tadi
diam karena fokus makan akhirnya nyeletuk juga.
Kayaknya ini pertanyaan yang belum sempat Inov pikirin
jawabannya. Mima bisa liat jelas Inov mendadak panik karena nggak
kepikiran mau nyebut daerah mana sebagai materi ngibul. "E...eh,
di... di..." "Dipati Ukur," sambar Mima cepat. "Nama daerah kos lo itu
Dipati Ukur. Masa lupa?" Dengan jantung deg-degan Mima
berusaha nyengir semeyakinkan mungkin.
"Iya, itu. Dipati Ukur."
"Di daerah sana banyak kampus sih ya, jadi pasti gampang cari
kos-kosan," Mika ikut-ikutan komentar.
Inov ngangguk. "Iya."
Setelah kejadian menggemparkan hari ini, Inov mutusin untuk
mampir ke rumah Mima. Kata Inov, mereka udah cukup ngalamin
banyak kekacauan dalam seminggu dan jangan jadi makin kacau
kalau sampai orang rumah Mima curiga. Tapi belakangan Mima
ngerasa, Inov mampir bukan karena alasan itu. Dari tadi Inov bikin
perhatian Mama, Papa, dan Mika terpusat ke Inov. Papa, Mama,
dan Mika gantian nanya segala macam ke Inov. Sampai-sampai...
mereka nggak sempat ngeuh kalau sepanjang malam Mima banyak
bengong karena masih syok sama kejadian hari ini.
200 Mima ngerasa Inov mampir ke rumahnya karena cowok itu mau
"melindungi" Mima dan memastikan Mima baik-baik aja.
Nggak sengaja mata Mima bertemu mata Inov. "Makasih..." kata
Mima tanpa suara. Inov cuma mengangkat dagu dan menaikkan alis seolah bilang,
"Tenang, semua akan baik-baik aja." Sambil terus membahas
bumbu rendang sama Mama. Tenang aja dari HongKong?! Mima nggak akan pernah bisa
tenang sampai semua ini selesai.
201 Tujuh Belas UKA Mima betul-betul kayak zombi. Mima menatap
kaca, putus asa. Lingkaran hitam di matanya betul-betul
horooor. Tinggal pakai baju compang-camping, terus
jalan nyeret-nyeret sedikit, dan jangan lupa kepala rada dimiringin,
dijamin dia persis zombi. Semalaman tidurnya nggak nyenyak sama
sekali. Tidurnya sebentar-sebentar karena bolak-balik kebangun.
Ternyata betul ya, keadaan psikologis berpengaruh sama kualitas
tidur?kata artikel di majalah sih.
Seandainya hari ini nggak ada tes bahasa Inggris, Mima kepikiran
buat pura-pura sakit, terus berhibernasi aja seharian di dalam kamar. Tapi mana mungkiiin! Mrs. Diana nggak mengenal kata
"susulan" kecuali betul-betul sakit dengan surat dokter.
"Neng, lapor, udah dijemput tuh." Tampang semringah Teh Jul
mejeng di depan Mima begitu Mima buka pintu kamar.
Mima tercengang syok. Perasaan baru sehari dia nggak ketemu
Teh Jul, kenapa rambutnya jadi keriting megar begitu?
"Teh, itu rambut kenapa???"
"Yah dikeriting atuh, Neng, di salon. Keren, ya?"
Mima menowel ujung rambut megar Teh Jul jail sambil cekikikan.
"Ini sih namanya kribo. Bukan keriting. Ini namanya gagal, Teh!"
Muka Teh Jul langsung berubah syok. Rambut keriting baru
kebanggaannya yang kata mbak-mbaknya model Lordeh apa Lodeh
gitu, dibilang gagal. "Eh, Neng, ini emang modelnya, Neng. Model
Lordeh." 202 "Hah? Hahahaha... Lorde maksudnya, Teh? Ini sih model Ahmad
Albar, Teh. Kribo... gagal! Udah ah, aku berangkat." Dengan sadis
dan nggak mikirin Teh Jul yang syok, Mima melenggang melewati
Teh Jul. "Neng! Neng! Lordeh, Neng! Lordeh!!!" Teh Jul yang baru bangun
dari syoknya menjerit-jerit nggak terima.
Mima cuek berjalan ke pintu depan sambil tertawa-tawa. Lumayan, hiburan banget tuh rambut Teh Jul buat hari yang muram ini.
Semoga mata zombinya segera sembuh karena ngetawain Teh Jul.
Atau... mungkin nggak juga. Tawa Mima langsung lenyap, menghilang total begitu buka pintu dan liat siapa yang duduk di teras.
"Pagi, Mi..." Gian. Mima mematung menatap Gian yang berdiri di hadapan Mima
dengan seragam licin, senyum lebar penuh wibawa, dan rambut
tersisir rapi. "Gi...Gian? Kok kamu... di sini?"
"Aku jemput kamu, Mi. Hari ini kita udah bisa sama-sama lagi,
kan? Aku pikir nggak ada salahnya aku jemput kamu. Apalagi akhirakhir ini kita banyak debat. Kayaknya kita harus banyak ngobrol
berdua lagi, kan?" Duh, gawat! Mima langsung gelisah. Dia sama sekali belum
kepikiran gimana caranya ngomong ke Gian soal "perpanjangan"
waktu jaga jarak mereka. Nggak tau deh, akhir-akhir ini Mima malah
jadi pusing kalau mikirin hubungannya sama Gian. Kalau dipikir-pikir,
rasanya pas Gian berantem sama Inov dan menyinggung soal putus
waktu itu, mendingan Mima bilang iya aja. Pasti jadinya nggak ribet
kayak gini. Tapi kalau waktu itu bilang iya, sama aja Mima ngakuin
tuduhan Gian soal dia ada apa-apa sama Inov dong?
"Kok malah bengong, Mi?"
"Hah? Aku..." "Eh, Mi," potong Gian.
"Ya?" 203 Gian menunjuk kemeja Mima. "Itu, kamu masukin kemejanya,
belum rapi. Buru-buru, ya? Keliatan kusut banget kamu, Mi." Gian
tersenyum polos, seolah-olah info barusan itu PENTING banget dan
dia udah jadi pahlawan Mima hari ini.
Mima melongo. Ya, emang sih bagian depan kemejanya belum
dimasukin dengan rapi. Tapi itu bukan masalah besar deh. Mima
tau, masuk gerbang sekolah bajunya harus udah rapi semua. Jadi,
sebelum masuk gerbang semuanya pasti udah rapi. Yah, ngerapiinnya juga nggak selalu dari rumah. Bisa di angkot, bisa pas turun
dari motor Inov, bisa di parkiran.
Sebetulnya sih nggak salah juga Gian ngasih tau Mima soal
bajunya. Tapi makin ke sini Mima makin nggak nyaman sama "aturan-aturan" Gian. Bahkan yang sederhana kayak tadi. Maksudnya,
Gian kan lagi nunggu Mima menjawab pertanyaannya soal kenapa
Mima bengong. Harusnya Gian lebih fokus menunggu jawaban
Mima, kan? Kok masih sempat fokus ke kemeja Mima.
Karena malas debat, Mima merapikan ujung kemejanya yang
masih belum rapi. Bibir Gian langsung tersenyum senang. "Nah, gitu kan bagus.
Lebih enak kalo udah rapi dari rumah, kan?"
Mima cuma jawab dengan senyum basa-basi. Dalam hati rasanya
Mima pengin menegaskan sama Gian bahwa selera manusia
berbeda-beda. Ada yang suka ngakak, ada yang nggak. Ada yang
cerewet, ada yang nggak. Ada yang teratur dan selalu rapi, ada
juga yang nggak. Memang perbedaan kan yang bikin manusia unik?
Kebayang betapa membosankannya kalau kita pacaran sama orang
yang sama persis dengan kita. ARGHHH! Pokoknya Mima cuma
pengin Gian sadari satu hal, bahwa nggak semua orang penuh
aturan kayak dia. "Ya udah, kita berangkat. Nanti telat sampe sekolah. Taksinya
juga udah nunggu tuh," ajak Gian
Waduh! Mima tersadar kembali ke masalah sebenarnya. Dia
204 belum bisa berangkat sekolah bareng Gian hari ini. Anggota komplotan Beny pasti ngawasin dia dan Inov untuk mastiin Mima masih
"bagian" kelompok mereka atau nggak setelah liat apa yang terjadi
sama Abang di gudang pasar waktu itu.
Seperti kata Inov, sekarang ini semua dicurigai. Apalagi "orang
luar ? kayak Mima dan pacar anggota komplotan lainnya. Mereka
harus ekstra waspada. Terutama Mima. Dia sama sekali nggak mau
identitas Inov kebongkar. Inov bisa celaka.
"Gi, tapi aku... Aku nggak bisa berangkat ke sekolah bareng
kamu. Belum bisa." "Belum bisa? Kok gitu? Bukannya udah seminggu?"
"Ya, belum bisa. Soalnya..."
Gian mengangkat tangannya. "Menyangkut penyamaran Inov
dan kamu? Mi, kan udah seminggu. Lagian cuma pergi sekolah
bareng, apa masalahnya sih? Kita juga perginya naik taksi. Sekolah
kita nggak jauh. Nggak bakal ada yang liat kayak kalo kita naik
angkot, kan? Lagian, masa sih polisi nggak ngawasin kalian? Kok
kayaknya kekhawatiran Inov berlebihan banget. Kayak cuma alasan
untuk mengikat kamu aja."
Bisa-bisanya Gian bilang kekhawatiran Inov berlebihan. Yah, tapi
Gian memang nggak tau sih. Dan Mima nggak mau membongkar
lebih banyak lagi rahasia misi ini. Mima menatap Gian ragu. "Ya,
tapi, Gi..." "Yang pacar kamu sebetulnya aku atau Inov sih? Kok kayaknya
kamu belain dia mati-matian. Tapi buat aku, kamu nggak mau
berkorban sedikit pun? Padahal cuma menghargai aku dengan
berangkat sekolah bareng."
Mima tercekat. "Kamu kok ngomongnya gitu sih?"
"Emang kenyataannya, kan? Buktinya, cuma pergi ke sekolah
sama aku aja kamu nolak mentah-mentah."
"Ya, karena keadaannya belum aman, Gi," tandas Mima.
"Oke. Karena kalian takut diawasi atau keadaannya belum aman.
205 Tapi kamu kan nggak bilang apa-apa sama aku. Aku telanjur dateng
ke rumahmu, apa kamu nggak bisa menghargai aku? Sehari ini aja,
emang nggak bisa ya lebih belain aku daripada Inov?"
Mima membuang napas berat. Memang salah Mima juga, harusnya dia kasih tau Gian soal mereka masih harus jaga jarak. Kalau
Mima kasih tau, Gian nggak mungkin jemput Mima hari ini. Kalau
Mima jadi Gian, yah Mima pasti ngerasain hal yang sama sih kayak
Gian. Sekarang Mima jadi merasa bersalah.
Yah, mungkin hari ini ada baiknya Mima menurut aja pergi
sekolah bareng Gian. Toh cuma hari ini. Lagian Inov juga belum
datang dan sepertinya cowok itu bakal telat jemput Mima. "Oke,
Gi, aku berangkat sama kamu."
Gian langsung tersenyum puas karena Mima akhirnya setuju.
Di dalam taksi, Mima buru-buru mengetik pesan untuk Inov.
Cowok itu pasti marah banget begitu nerima pesan Mima. Mudahmudahan Inov bisa ngerti bahwa Mima nggak bisa gitu aja nyuekin
hubungannya sama Gian. Mima melirik Gian yang duduk di sampingnya sambil sibuk
membaca buku. Betul-betul pelajar teladan sejati. Padahal dia
jemput Mima buat pergi sekolah bareng, tapi begitu berdua, Gian
malah sibuk baca buku. Mima baru sadar, dia dan Gian memang jarang ngobrol. Giliran
ngobrol, nggak jauh-jauh soal kegiatan sekolah, pelajaran, atau
obrolan lain yang serius. Lagi nunggu bioskop pun Gian bisa-bisanya
ngomongin program OSIS. Gian juga jarang bercanda.
Tapi yah, Gian baik. Dan dulu, bukannya Mima yang kesengsem
sama Gian yang santun dan penuh wibawa? Yang Mima nggak
kebayang, ternyata pacaran pun Gian penuh wibawa dan banyak
aturan. Sekali lagi, biarpun maksudnya baik, tapi... aneh aja. Kaku.
Bisa dibilang status Mima memang pacar Gian, tapi kayaknya dia
nggak lebih dekat sama Gian. Malahan kayaknya Venni si wakil
bendahara OSIS lebih dekat sama Gian daripada Mima. Omongan
mereka keliatan nyambung.
206 "Hhh..." Mima membuang napas pelan.
Yang Mima dan Gian nggak sadar, dua orang bermotor di
samping taksi mengamati mereka dengan saksama dari balik
helm. Wajah Inov ditekuk. Muka bulldog juga kayaknya kalah nekuk.
Begitu Mima nongol, Inov nggak mengucapkan sepatah kata pun.
Cowok itu cuma menyodorkan helm sambil diam. Sebetulnya Mima
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udah siap mental, pokoknya siap lahir-batin deh kalau Inov ngamuk
gara-gara tadi pagi dia pergi sekolah naik taksi sama Gian. Tapi
ternyata Inov mengunci mulut.
Mima menerima helm dari tangan Inov dengan perasaan nggak
enak. Nggak perlu ditanya juga udah jelas banget bahwa Inov lagi
marah. Biasanya Mima paling nggak betah kalau dicemberutin dan
didiemin orang kayak begini. Dia pasti bakal langsung merepet
minta kejelasan. Tapi kali ini kayaknya Mima harus menahan diri.
Jelas-jelas tadi pagi Mima yang salah. Yah, biarpun bisa dibilang
tadi pagi Mima terdesak omongan Gian yang ngambek. Kayaknya
Mima harus minta maaf deh. "Nov, gue..."
"Naik," perintah Inov, dengan sadis memotong omongan Mima.
Mima merengut. Galak banget sih. "Nov, ntar dulu. Gue mo minta..."
"Gue bilang naik," kata Inov lagi tetap dengan nada sadis dan
serasa menohok di dada. Tadinya Mima serbasalah dan nggak enak, tapi sekarang malah
jadi kesal. Iya, dia tau dia salah, tapi kasih kesempatan ngomong
kek. Ke mana perginya hak warga negara untuk membela diri?
"Nov, dengerin dulu kek. Naik, naik. Udah kayak kenek Metromini
lo, cuma nyuruh-nyuruh naik. Sekalian aja bilang, ?awas kepala,
awas kepala!?" sembur Mima sambil melotot kesal.
207 Inov berdeham pelan karena kaget melihat reaksi Mima yang
tengil. Lalu Inov menatap Mima dalam-dalam. "Oke, lo mo
ngomong apa?" tanya Inov datar.
Ugh! Kalau bukan Mima yang salah, rasanya dia pengin getok
jidat Inov pakai helm. Kumat lagi tuh robot korsletnya. Dan itu
menyebalkan. BANGET! Mima menarik napas biar nggak emosi. "Gue mo minta maaf
soal tadi pagi. Gue terpaksa pergi sama Gian soalnya dia muncul di
rumah gue pagi-pagi. Jadi gue..."
"Oke," potong Inov pendek.
"Lho?" Inov memakai helm. "Lo minta maaf, kan? Gue bilang oke. Sekarang naik." Lalu Inov menurunkan kaca helmnya.
Gila! Nih cowok emang butuh digetok helm pakai tenaga dalam
dibantu tenaga surya kali ya? Gitu banget sih. "Eh, tapi..."
Inov membuka kaca helm lagi. "Lo minta maaf, kan? Ya udah,
gue bilang oke. Sekarang lo naik. Mo minta apa lagi?"
HAH? HAH?! DOBEL HAH?! Sumpah, nyebelin! Tapi, Inov juga
nggak salah. Mima minta maaf dan Inov udah bilang oke. Cuma
kok kayak nggak ikhlas gitu sih?
Mima menggeleng. "Nggak, nggak minta apa-apa lagi."
"Ya, ayo. Naik."
Mima memasang helm. Sebetulnya masih banyak kalimat yang
siap meluncur dari bibir Mima, tapi kayaknya kalau dia ngotot
sekarang percuma. Mendingan dia diam dulu supaya emosi Inov
reda. Mima naik ke boncengan motor Inov. Begitu Mima melingkarkan
tangannya di pinggang Inov, cowok itu langsung tancap gas.
Biarpun nggak kebut-kebutan, Mima bisa ngerasa Inov bermotor
dengan penuh emosi. Ngepot kanan, ngepot kiri, dan semua yang
menghalangi jalan kena klakson. Bahkan kucing nyebrang aja dari
jauh udah diklakson bertubi-tubi.
208 Tiba-tiba motor Inov menepi di pinggir jalan.
"Kok berhenti di sini, Nov? Kenapa? Mogok? Pecah ban?"
"Halo?" Inov membuka helm, langsung menjawab telepon tanpa
menjawab pertanyaan Mima yang berentet tadi. "Di mana? Iya...
sekarang? Oke. Iya, gue paham. Oke." Inov memutus sambungan
telepon dan menyelipkan kembali ponselnya ke saku celana. "Ada
urusan yang harus gue kerjain dulu."
"Apa? Di mana?"
Nggak dijawab. Inov cuma buru-buru memasang helm kembali
dan tancap gas. Huh! Betul-betul minta ditampol pakai wajan.
Jawab dulu kek! Setelah nyaris setengah jam melaju di jalan raya, sekarang motor
Inov melonjak-lonjak di tanjakan berbatu. Mereka nggak lagi berada
di jalan raya, tapi di jalan kecil, persisnya menaiki daerah perkebunan
teh di daerah Lembang. Mima nggak punya petunjuk sama sekali
mereka mau ke mana. Tapi, dari telepon tadi udah jelas sih ini pasti
ada hubungannya dengan geng Beny. Yah, urusan Inov di Bandung
kan sebetulnya memang cuma geng Beny.
Motor Inov terus melompat karena batu di jalanan kecil ini ukurannya besar-besar. Dalam hati Mima berdoa semoga Inov nggak
hilang keseimbangan, terus motornya selip, lalu mereka berdua
nyungsep di batu. Kepala sih memang ketutup helm ya, tapi hiii...
kayaknya lecet-lecet di bagian badan yang lain bakalan pedih
banget kalau kena bebatuan di jalanan ini.
"Nov, kita mo ke mana sih?" kata Mima setengah teriak. Akhirnya
nggak tahan juga, penasaran banget, ngapain mereka naik ke
daerah perkebunan teh yang sepi ini.
Mima memandang ke atas. Oh, ralat, bukan daerah perkebunan
teh yang sepi. Tapi, sepi banget. Sepanjang mata memandang cuma
ada hamparan kebun teh. Dan setau Mima, siang-siang begini
memang bukan jam para pemetik teh bekerja. Di kejauhan ada
hutan pinus dengan pohon-pohonnya yang tinggi menjulang.
"Nov!" Mima menowel punggung Inov karena cowok itu nggak
menjawab pertanyaannya?entah cuek, entah budek!
Inov tetap nggak menjawab dan sama sekali nggak ngurangin
kecepatan motor. Tangan kiri Inov terangkat dari setang, minta
Mima jangan nanya apa-apa dulu.
Sepuluh menit kemudian Inov memarkir motor di pondok
pemetik teh yang sepi dan tampak terbengkalai. Sepertinya nggak
terpakai lagi. Di seberang jalan ada sederet rumah sangat kecil
yang juga terbengkalai. Sepanjang jalan ke sini beberapa kali Mima
melihat ada rumah-rumah dengan model sama, tapi berpenghuni.
Sepertinya itu rumah untuk para pekerja kebun teh, khususnya
para pemetik teh. Inov menggantungkan helm, lalu menatap Mima serius. "Lo
tunggu di sini. Gue harus ke salah satu rumah kosong itu."
"Ngapain? Terus gue di sini sama motor lo? Kenapa nggak parkir
di sana aja sih? Jadi kan nggak jauh," protes Mima. Lagian masa
Mima ditinggal sendirian sih?
Yang didapat Mima malah tatapan tajam Inov yang seakan-akan
bilang, "Bercanda lo, Mi?"
Mima mengernyit. "Kenapa ngeliatinnya kayak gitu?"
"Motor gue nggak boleh keliatan di sana. Tunggu di sini."
Kalimat terakhir Inov adalah kalimat perintah.
Kayak jenderal aja main perintah. Huh! Sebetulnya sih Mima
masih berniat memperjuangkan haknya untuk nggak ditinggal
sendirian begini. Tapi... dari intonasi kalimatnya jelas-jelas perintah
si robot Inov tadi nggak bisa dibantah. Satu lagi, kalau ini menyangkut geng Beny, yang terbaik memang Mima nurut aja sama
Inov. Cowok itu minta dia nunggu di sini pasti demi keselamatannya,
atau bisa juga untuk jagain motor. "Oke, Bos!" desis Mima sinis.
Inov nggak menjawab dan langsung menyeberangi jalan, menuju
deretan rumah kosong itu.
210 Setelah ditinggal Inov, Mima cuma bisa celingukan cemas. Untung ini masih siang, jadi dia nggak takut-takut amat ditinggal
sendirian. Serius, memangnya kalau bukan jam metik teh, perkebunan teh sepi banget gini ya? Ke mana ya orang-orangnya?
Tidur? Nonton TV? Nggak ada yang jalan-jalan atau ngapain kek
gitu lewat sini. Tapi kalau dipikir-pikir, ngapain juga ya jalan-jalan
lewat sini? Kalau pengin jalan-jalan mungkin mereka turun gunung
buat ke warung atau ke pasar.
Bisa dibilang ini bagian paling atas hamparan perkebunan teh
dan berbatasan langsung dengan hutan pinus. Di belakang deretan
rumah kosong itu menjulang pohon-pohon pinus yang tinggi. Nah,
kayaknya gara-gara itu deh deretan rumah itu kosong. Penghuninya
sepertinya direlokasi ke rumah-rumah yang lokasinya agak di bawah
dan dekat ke jalan raya. KRUYUK! Mima tersentak kaget karena bunyi perutnya sendiri.
Kan katanya kalau orang kelaparan banget naga di perutnya teriak.
Yah, yang di perut Mima bukan naga sih. Tapi kodok. Monster
kodok! Gila! Sekarang Mima baru sadar. Uhm, mungkin Inov juga belum
makan siang. Tadi dari sekolah kan Inov langsung bawa dia ke sini.
Nggak ada acara mampir beli gorengan kek, bakpau kek, cilok kek.
Kalau tau bakal disuruh nunggu lumayan lama gini kan Mima bisa
siap-siap bawa bekal. Mima melempar pandangannya ke seberang jalan berbatu di
depannya. Matanya menyipit, berusaha mencari Inov di deretan
rumah kosong itu. Tapi nggak ada tanda-tanda keberadaan Inov.
Entah cowok itu tadi masuk ke rumah yang mana.
Gila ya, kayaknya geng Beny jago banget dapetin tempat-tempat
sepi kayak gini. Lokasi merah yang di dekat kontrakan Inov, gudang
pasar tempat mereka menganiaya Abang waktu itu, dan sekarang
ini. Kayaknya tempat ini juga pernah dikuasai salah satu geng motor
yang terkenal di Bandung, XYZ. Terbukti dinding tiga rumah yang
211 posisinya di tengah dicoret-coret pakai Pylox besar-besar. XYZ. Satu
rumah huruf X, satu rumah huruf Y, dan satu rumah lagi huruf Z.
Kalau ingat kelakuan geng motor yang satu itu, rasanya Mima
pengin jatuhin bom di markas mereka. Gila aja, waktu beberapa
orang anggotanya terjaring razia polisi di salah satu wawancara
yang tayang di TV, mereka bilang bahwa mereka gabung di geng
motor demi gengsi. Gengsi? Gengsi apanya? Yang ada mereka
disumpahin semua orang karena meresahkan. Keliatan keren juga
nggak. Malah keliatan sok jagoan karena beraninya keroyokan.
Merasa kuat, padahal pengecut. Giliran kena tembak polisi, pada
nangis! Mima menimang-nimang ponselnya. Apa ditelepon aja ya? Lama
banget Inov di dalam. Jangan-jangan kenapa-kenapa.
Baru aja berniat ngetik SMS, Mima menangkap sosok Inov keluar
dari salah satu rumah dan berjalan buru-buru kembali ke arah
Mima. "Lama banget," dumel Mima begitu Inov sampai.
Inov nggak menjawab. Cowok itu sibuk memasukkan amplop
tebal ke kemejanya. Dari bentuknya sih kayaknya uang?yang
banyak banget. "Apaan tuh?" "Uang," jawab Inov pendek?judes.
Hih! Mima mendelik keki. Ya, tau itu uang. Masa jawabnya uang
doang? Masa Inov sebego itu sih? Harusnya dia jawab Mima dengan
bilang itu uang apa, punya siapa, buat apa, kenapa diambil di sini,
dan bla bla bla. Ya, penjelasan sejelas mungkin lah, secara Mima
juga dibawa ke sini. Dia berhak tau dong demi apa dia disuruh
nunggu sendirian sampai kelaparan di pos yang bau pipis kucing.
Campur pipis kadal. Campur pipis makhluk-makhluk lain yang
pernah pipis di sini. "Punya lo?" "Bukan." Suara Inov tetap pendek dan judes. Cowok itu siap-siap
naik ke motor. 212 Nggak bisa dibiarkan! Ini ngeselinnya tingkat dewa. Mima
menarik ujung baju Inov, bikin cowok itu batal naik ke jok motor.
"Lo kenapa sih?!"
"Apa?" UGH! Seandainya Mima punya jurus toyor misterius, kayaknya
Mima udah menoyor jidat Inov bertubi-tubi dengan kekuatan
tenaga dalam. "Apa? Ya, ini. Lo kenapa sih? Judes banget sama gue. Lo masih
marah sama gue gara-gara tadi pagi gue pergi sama Gian? Gue kan
udah minta maaf." "Ngomong apaan sih? Gue udah bilang gue maain lo, kan?"
Mima memutar bola matanya, kesal. "Maain tapi nggak ikhlas
kali maksud lo. Bilangnya aja udah maain gue, tapi dari tadi lo jadi
aneh dan judes banget. Nov, gue cewek, segala model ngambek
juga gue paham, kali! Perasaan gue juga masih berfungsi dengan
baik. Jadi gue tau lo masih marah sama gue. Lo pikir sekian lama
kenal lo, gue nggak tau lo kayak gimana? Udah deh, ngaku aja
kenapa sih bahwa lo masih marah?"
Biarpun samar-samar, keliatan muka Inov memerah. Cowok itu
menatap Mima lebih tajam. "Iya, gue masih marah sama lo.
Puas?" Mima terbelalak kaget. "Kok gitu?! Gue kan udah minta maaf.
Kok lo nggak sportif sih, orang udah minta maaf tapi nggak lo
terima? Gue udah sportif minta maaf sama lo karena nyadar gue
salah. Harusnya lo gentleman dooong. Masa ngambek sih! Nggak
nyangka ih gue bahwa lo pendendam. Lo tau nggak sih dendam
nggak membawa kebaikan sama sekali, cuma mengundang penderitaan berkepanjangan?" Kalimat Mima mulai dangdut karena
kelewat menggebu-gebu. "Gue nggak dendam," bantah Inov dengan rahang mengeras.
"Yah, terus apa namanya? Gue udah minta maaf tapi masih
dijutekin. Masih belum percaya dendam cuma membawa penderitaan? Perlu contoh-contoh, gitu?"
213 Inov mengangkat tangan. "Mi, setop! Lo nggak ngerti ya ini
bukan masalah yang bisa selesai cuma dengan maaf? Lo sadar
nggak sih lo mancing bahaya? Gue harus ngasih tau lo dengan
kalimat yang gimana lagi buat bikin lo paham bahwa kita diawasi?
Lo ngomong maaf sejuta kali sama gue, nggak ada gunanya kalo
lo udah ketauan sama komplotan Beny. Gue cuma minta, sampe
masalah ini selesai, tahan diri lo dulu untuk ketemu Gian. Demi
keselamatan lo. Keselamatan kita. Segitu susahnya ya buat lo
paham?" Inov nggak teriak-teriak, tapi urat-urat di dahinya bertonjolan saking setengah matinya dia menahan emosi untuk menjaga
suaranya tetap rendah. Dia nggak mau sampai ribut dan malah
mengundang orang ke sini. Biarpun nggak yakin ada orang, mereka
tetap harus waspada. Mima membuang napas karena omelan panjang Inov tadi releks
bikin dia menahan napas. Emosi Mima yang tadi meletup-letup
agak mereda karena jelas banget Inov marah karena khawatir.
"Makanya gue minta maaf juga karena ngerasa salah, Nov," kata
Mima pelan. "Tapi kan udah lewat. Lagian, ternyata aman?aman
aja, kan? Gue dan Gian sampe ke sekolah dengan selamat. Sekarang
juga nggak ada reaksi apa-apa kan soal tadi pagi?"
Inov menarik napas dalam sebelum menjawab Mima. "Nggak
ada reaksi belum tentu mereka nggak liat, Mi. Namanya juga orang
ngintai, Mi. Kita nggak tau kapan mereka liat kita, kapan nggak.
Sekali lagi gue bilang, mendingan jangan ambil risiko. Lo ngerti,
kan?" "Ngerti, Nooov, ngerti... gue cuma..."
KRUYUK! "..." "Lapar?" Mima meringis. "Namanya juga belum makan."
Inov tertawa getir. Releks. Bunyi perut Mima tadi betul?betul
mengganggu konsentrasi. "Kalo lapar, ngomong."
ROBOT SOMPLAAAAK! Mima maunya juga ngomong!
214 Delapan Belas EREKA memang pemain pro. Makin lama makin jelas
komplotan Beny memang profesional dan terorganisasi.
Kejadian di lampu merah barusan masuk salah satu
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bikin Mima makin ngeuh bahwa mereka bukan komplotan
main-main dan memang berbahaya. Pernah ngerasa ketakutan
padahal ada di tempat terbuka dan ramai orang? Mima barusan aja
ngalamin kayak begitu. Waktu motor Inov berhenti di lampu merah di kawasan Setiabudi
yang ramai, entah datang dari mana, tau-tau ada empat motor
yang merapat dengan posisi mengelilingi motor Inov. Satu di kanan,
satu di kiri, dua di belakang.
Sebelum lampunya hijau, amplop di dalam baju Inov sudah
pindah ke tangan orang yang duduk di boncengan motor sebelah
kanan, yang berlagak nanya jalan. Tiga motor lainnya berhenti
sangat rapat dengan motor Inov, dengan maksud menghalangi
pandangan pengemudi di sekitar mereka. Begitu lampunya hijau,
keempat motor itu mencar dan pergi ke arah berbeda. Mulus.
Nggak bakalan ada yang curiga.
Mima tau pasti itu komplotan Beny karena biarpun nggak hafal
namanya satu-satu, Mima ingat tampang mereka semua.
Motor Inov melaju menembus kemacetan Bandung. Kayaknya
masih agak lama nih Mima harus menahan lapar. Mima berusaha
tetap anteng duduk di boncengan. Mungkin urusannya belum
215 selesai. Untungnya jalanan lagi ramai dan berisik minta ampun, jadi
suara kruyuk-kruyuk yang bersahut-sahutan nggak bikin heboh
jalan raya. Kalau kelaparan banget, Mima bisa minta Inov minggir
sebentar buat beli gorengan. Paling nggak biar dia nggak pingsan
kalau urusan Inov selesainya masih lama.
"Ayo." Mima melongo begitu sadar motor Inov betul-betul parkir di
PVJ. "Ngapain kita ke mal?"
"Katanya lo lapar. Yah, kita makan."
"Lo ngajak gue makan?" Mima malah nanya balik.
Inov menatap Mima aneh. "Bukannya tadi perut lo bunyi?"
"Biasa aja deeeh... nggak usah diungkit-ungkit. Suka banget
kayaknya ngeledek," Mima mendengus protes.
"Gue nggak ngeledek. Lo lapar ya gue ajak makan. Kalo tadi lo
bilang sakit gigi, ya gue bawa ke dokter," jawab Inov lempeng.
Inov menyambar pergelangan tangan Mima. "Udah, jangan debat
melulu. Ayo." Tiba-tiba kayak ada sentakan menjalar dari tangan Inov ke tangan
Mima, bikin Mima kayak kesetrum voltase kecil di seluruh badan.
Inov melepas pegangannya begitu menginjak pintu masuk mal,
tapi setrumnya masih nyisa. Rasanya kayak kesemutan, tapi di hati.
Mima menggeleng pelan. Pikirannya udah mulai ngaco.
"Tadi itu uang apaan sih, Nov? Kok lo yang ngambilin ke rumah
kosong di perkebunan tadi?" tanya Mima yang sekarang duduk
berhadapan sama Inov di teras restoran fast food.
Inov yang lagi fokus membaca sesuatu di ponselnya mendongak.
"Gue nggak tau. Gue cuma diperintah Beny buat ngambil duit itu
ke tempat tadi, ya... terus di lampu merah anggota lain ngambil
dari gue. Lo liat sendiri kan tadi?"
"Jadi lo ngerjain tugas yang lo sendiri nggak tau apaan? Bukannya lo berhak tau ya soal apa yang lo kerjain? Masa lo disuruh, tapi
nggak tau apa-apa? Nggak fair dong."
216 Bibir Inov tersenyum tipis. Super duper tipis. "Mi, mereka komplotan penjahat, bukan kantor. Ukuran fair nggaknya beda sama
orang umum. Apalagi gue orang baru. Selain gue diawasi ketat,
nggak semua urusan, mereka anggap gue perlu tau sampe gue jadi
anggota ?beneran?." "Elo bilang kan Revo minta lo masuk ke komplotan ini buat
beraksi dan nantinya uang hasil rampasan lo digunakan buat nebus
dia dari penjara. Target lo... udah tercapai?"
"Satu mobil dan dua motor lagi. Minimal," jawab Inov pelan dan
gusar. Mima mengetuk-ngetuk meja, cemas. "Tapi aksi lo bohongan,
kan? Kan lo bilang target-target lo semua diatur polisi. Semua agen
yang memang tergabung di misi ini kayak waktu itu, kan?"
Inov menghela napas berat. "Harusnya sih gitu."
"Hah? Kok nggak yakin gitu sih?"
"Abang kan leader misi ini. Sampe saat ini sih tim Abang bilang
semua tetap sesuai rencana. Dalam komplotan ini Abang sama gue
setim. Gue sama Abang di-set dari awal supaya bisa jalanin aksi
yang meyakinkan. Sekarang gue sendirian."
Mima menegakkan duduknya, menatap Inov penasaran. "Terus,
mereka bakal biarin lo beraksi sendirian?"
Inov sempat cerita bahwa aksi di komplotan Beny nggak dikoordinasi langsung oleh komplotan. Para anggota terbagi jadi tim-tim
kecil yang akan beraksi masing-masing untuk memenuhi target
rampasan. Mereka semua tetap wajib lapor, dan selama target
terpenuhi, Beny dan pentolan geng nggak ambil pusing. Selama
ini nggak ada yang beraksi sendirian, anggota komplotan beraksi
minimal berdua. Pasangan Inov ya Abang. Dan sekarang Inov
Dibatasi Dua Kamar 3 Sherlock Holmes - Petualangan Biarawan Tak Berkepala Sekutu Iblis 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama