Ceritasilat Novel Online

Satria November 8

Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 8


sendirian. Mengingat aksi Abang dan Inov, termasuk korbannya, adalah
setting-an alias pura-pura, tentunya kalau salah satu anggota
komplotan diposisikan buat gantiin Abang, bisa-bisa ketauan dong.
217 Well, antara dua sih, ketauan atau... Inov terpaksa merampok
betulan. "Nov?" panggil Mima karena Inov belum jawab.
"Nggak tau, Mi. Gue nggak tau. Gue belum dipanggil untuk
ngomongin itu. Tapi Bang Iwan di kepolisian bilang bahwa mereka
udah siap dengan segala kemungkinan. Sebisa mungkin kalopun
nanti ada anggota komplotan yang bakal beraksi bareng gue, tetap
harus gue yang eksekusi." Inov bikin tanda kutip dengan jarinya
waktu menyebut kata "eksekusi".
Mima bergidik. Kata eksekusi itu kedengaran horor banget ya?
"M-maksudnyaaa..?"
"Maksudnya ya gue yang eksekusi. Gue yang sergap. Karena
gue cuma pura-pura ngehajar dan korbannya nanti cuma pura-pura
pingsan. Kalo orang lain yang eksekusi kan mukulnya nggak mainmain."
Suasana mendadak mencekam. Ngeri juga ya kalau Inov harus
setim sama anggota komplotan, lalu mereka mengambil alih
eksekusi. Orang yang menyamar jadi korban itu bisa-bisa celaka
betulan. Mima mendadak nggak nafsu makan. Dia pengin semua
ini cepat selesai, tapi waktu kayaknya jadi berjalan lambat.
Makanan Inov hampir habis. Mima melirik makanannya sendiri
yang masih banyak dan baru dimakan tiga suap. Padahal tadi
perutnya lapar banget sampai bunyi heboh malu-maluin. Sekarang
dia malah nggak semangat makan. Perutnya nggak enak. Rasa
mulesnya aneh karena gugup dan takut. Gimanapun, selama ini
dengan keberadaan Abang di dalam komplotan bersama Inov bikin
Mima tenang dan yakin Inov dan Abang akan baik-baik aja.
Inov meyakinkan Mima bahwa tim kepolisian tetap fokus dan
mengawasi mereka. Tapi mereka kan ada di luar lingkaran. Gimana
kalau terjadi apa-apa "di dalam" yang di luar jangkauan mereka?
"Nov, lo nggak takut?"
Pertanyaan Mima langsung bikin Inov meletakkan gelas minum218 annya, lalu menatap Mima. "Mana mungkin gue nggak takut, Mi?
Yah gue takut lah. Gue ada di posisi inti sekarang. Tim Abang
mengandalkan gue untuk keberhasilan operasi ini. Tadinya gue
masuk cuma buat misi sampingan, membungkam Revo sekalian
bantu Abang." "Kenapa mereka nggak masukin orang lagi sih, gantiin Abang?"
Dan sedetik kemudian Mima langsung merasa bego udah melontarkan pertanyaan bloon tadi. Jelas aja nggak mungkin mereka
masukin polisi lagi ke situ. Yang sudah ada di dalam, terutama anak
baru, sekarang diawasi ketat, mana mungkin mereka ambil risiko
dengan masukin anggota baru lagi.
"Nggak usah dijawab, Nov. Pertanyaan bodoh," potong Mima
pas Inov baru aja mau buka mulut. "Tapi lo nggak keliatan takut,
Nov. Lo hebat," komentar Mima sambil menatap piring kosong
Inov. Inov tertawa pelan. "Gue makan atau nggak makan kan tetep
aja harus jalanin semua ini. Jadi mendingan makan."
Betul juga. Beef pepper rice di piring Mima tiba-tiba keliatan
menggiurkan lagi. Seolah-olah nasi dan irisan-irisan daging sapi di
hot plate berjoget-joget minta dimakan. Mima jadi teringat tadi dia
lapar setengah edan sampai-sampai perutnya kruyuk-kruyuk.
HAP! HAP! Mima makan dengan lahap, eh, rakus maksudnya.
Laparnya merajarela. Inov mengamati Mima. "Lo laper banget, ya? Kalo mo nambah
pesen lagi aja, Mi. Mumpung lagi enak makan, makan deh yang
banyak." Suapan Mima terhenti. Baru nyadar dia makan kayak kingkong
kesurupan, yang udah pasti nggak ada manis-manisnya. Bagai
wanita kaum barbar banget. Dipikir-pikir dengan gaya makannya
kayak gini, Mima lebih cocok makan paha burung dodo raksasa
sambil duduk di gua daripada hot plate di resto fast food.
"Kenapa berhenti?"
Mima menelan pelan-pelan makanan yang dia kunyah. Entah
kenapa dia kebayang reaksi Gian seandainya cowok itu yang lagi
makan sama Mima sekarang. Makan bakso panas-panas aja Mima
dikomenin supaya niup dulu karena keliatan nggak manis buat
cewek. Apalagi kalau dia liat Mima makan kayak orang kesetanan
gini. Gian pasti protes serius. Catat ya: serius.
Setiap kali Gian komen soal sesuatu yang cowok itu rasa nggak
pas pada diri Mima, semua diungkapin dengan serius, bukan sambil
bercanda. Akibatnya suasana jadi nggak enak dan Mima serasa
dihakimi, dinilai, dan "diubah". Yang tentunya dengan alasan demi
kebaikan Mima sendiri. "Nggak papa. Gue makan kayak orang kalap banget, ya? Malu
nggak sih lo, Nov, ntar orang-orang lewat nyangkain lo jalan sama
cewek barbar?" Inov malah tersenyum tipis. "Namanya juga orang laper. Lo
nggak setiap kali makan kayak gini juga, kan? Kan tadi gue bilang,
kita harus bersyukur masih bisa makan enak. Gue udah pernah
ngerasain perut gue lapar, tapi nggak bisa makan."
Sekarang ternyata Inov jadi lebih bijak. Mima jadi kagum.
"Eh, Mi, habis ini main ice skating yuk?"
"Hah? Main ice skating?"
Inov ngangguk. "Mau nggak?"
Mima tertegun. Sejak pertama Ice Garden?tempat ice skating
di roof top mal ini?buka, Mima belum pernah nyobain main ice
skating. Bukannya nggak mau, cuma entah kenapa nggak kepikiran
aja buat nyobain. Kiki, Riva, dan Dena juga nggak pernah usul main
ke sana, apalagi Gian. Kalau ke mal, tujuan utama cowok itu adalah
toko buku, habis itu palingan juga nonton. Gian bukan tipe orang
yang suka hal-hal spontan kayak gitu. Tapi Mima juga nggak
kebayang sih manusia kayak Inov bisa ngajakin ice skating. Boleh
juga. "Ayo." 220 *** "Gile lo, Nov, kirain lo bisa!" seru Mima sambil sibuk pegangan ke
pinggiran ring ice skating. Inov nggak ada bedanya, juga lagi
pegangan ke pinggiran ring persis di depan Mima. Mereka kayak
lagi baris sambil merayap. Sejak pertama masuk ke arena ice skating
ini, mereka cuma bergerak pelan-pelan sambil pegangan dengan
rekor nyaris nyungsep setiap setengah meter sekali. Kalau mereka
lagi jalan di pinggir jurang di atas sungai, bisa dibilang mereka udah
beberapa kali tewas karena jatuh dari tebing dan beberapa kali
dimakan buaya. Inov menoleh ke belakang dengan ekspresi masih konsentrasi
pada pegangan. "Siapa yang bilang bisa?"
Mima mengernyit. "Lha lo ngajak-ngajakin ice skating, kirain lo
bisa!" Dengan lempeng Inov menggeleng. "Nggak bisa."
Hih! Kalau aja Mima bisa lepas tangan, tanpa kakinya releks
ngangkang karena es licin atau oleng dan bikin dia nyaris
kejengkang, pasti Mima jitakin Inov bertubi-tubi. Pengalaman
pertama ice skating-nya buruk banget. Dia nggak bisa ice skating,
dan ber-ice skating barengan orang yang sama-sama nggak bisa.
Mereka cuma bisa melipir di pinggir. Kalo berani lepas tangan,
mereka pasti nyungsep. "Aneh-aneh aja sih lo. Kalo nggak bisa ngapain ngajakiiin?"
Susah payah Inov memutar badannya yang saat ini memunggungi
Mima. Setelah goyang maju-mundur nyaris jatuh tapi nggak jadi,
Inov berhasil berdiri tegak sambil menghadap Mima. "Iseng aja.
Gue tau akhir-akhir ini lo stres gara-gara urusan komplotan Beny.
Gue pengin ngajak lo seneng-seneng aja. Nggak tega gue liat lo
kecemplung masalah ini."
Mima terenyak. "Kan gara-gara gue juga yang sok jagoan pake
acara nguping. Risiko."
221 "Lo nggak bakalan nguping kalo lo nggak curiga. Gue tau lo
peduli sama gue. Dan gue makasih." Suara Inov berubah mellow.
Dada Mima serasa penuh. Efeknya bikin mata mendadak panas.
Mima jadi terbawa suasana. Kalimat Inov tadi tulus banget dan
langsung bikin Mima terharu. Sumpah, ini sih sebentar lagi Mima
bisa nangis membayangkan betapa beratnya hidup Inov. Apa Inov
bakal baik-baik aja menyelesaikan semua ini?
Mima menelan ludah supaya nggak perlu ada adegan nangisnangis memalukan di sini.
"Kenapa jadi mellow gitu sih cuma gara-gara nggak bisa ice
skating? Nyantai aja lagi, Nooov. Kalo lo nggak ngajakin gue ke sini,
kayaknya gue nggak bakalan pernah nyobain lho. Gue seneng kok.
Menurut gue, ini namanya bukan acara ice skating, tapi... melipir
di es!" Mima cekikikan sendiri karena mereka betulan konyol.
Apalagi menyaksikan anak kecil yang lagi berputar-putar ala atlet
olimpiade di tengah ring. Gaya tangan terentang, kaki menendang,
sampai punggung mendongak ke belakang, anak itu bisa! Luar
biasa! Lha, kalo Inov dan Mima jangankan berputar gaya gasing gitu,
ke ujung arena aja dari tadi nggak sampai-sampai.
"Udah ah, Nov, ayo maju!" PLAK! Mima menepuk bahu Inov.
"Eh... eh! Mima!" Dan tepukan Mima kayaknya terlalu bersemangat sampai bikin Inov mendadak oleng dan goyang-goyang ke
segala arah, berusaha tetap berdiri. "Mi, Mima!" Inov makin oleng
sementara tangannya mulai bikin gerakan putaran baling-baling.
"Ya ampun, Nov!" Mima releks menangkap tangan Inov. Tin?
dakan bodoh yang sangat sukses! Begitu Mima menangkap tangan
Inov, releks pegangannya lepas dari pinggiran ring. "AAAA!" Yak!
Yang ada bukannya nolongin Inov biar seimbang, badan Mima
malah ikut kompak bergoyang-goyang ke segala arah, lalu roboh
ke depan, dan mendorong Inov ke belakang.
"AAAH!" 222 BUKKK!!! Inov dengan mulus jatuh terduduk.
Dan BUK!! Mima jatuh berlutut ke depan, nyaris menubruk badan
Inov. Inov meringis kesakitan. Mima masih duduk berlutut dengan
kepala menunduk dan tangan bertumpu ke lantai es. Tiba-tiba bahu
Mima berguncang hebat. "Mi, lo kenapa? Ada yang sakit? Kita ke rumah sakit ya? Bentar,
gue panggil petugas."
TAP! Inov yang mau berusaha berdiri kaget karena sebelah
tangannya Mima tarik sambil menunduk dengan posisi yang sama
dan bahu yang masih berguncang naik-turun.
"Mi, lo sakit banget? Kita ke rumah sakit?"
"Hihihi..." Lho? "Mi..?" Inov memanggil Mima pelan karena nggak yakin suara
tadi itu Mima nangis atau cekikikan.
"Hihihi..." Suara Mima makin kencang dan makin heboh lagi
waktu mendongak. "Lo mo bawa gue ke rumah sakit apa, Nov?
Rumah sakit umum? Gue nggak sakit, Nov. Kalo mo bawa ke rumah
sakit, ke rumah sakit jiwa aja. Cari obat penyembuh cekikikan. Perut
gue sampe keram nih!"
Inov melongo. Mima menepuk lengan Inov pelan. "Eh, makasih ya, Nov. Gue
seneng kok lo ajak ke sini. Beneran. Seru! Tapi lain kali kalo mo
ngajak gue lagi, gimana kalo kita nonton, atauuu... berenang, atau...
berburu babi. Gimana?"
"Lo bisa berburu?"
Mima ngakak sejadi-jadinya. Sumpah, muka melongo Inov
spektakuler banget gara-gara ajakan berburu babi tadi.
"Yah nggak bisa laaah, Nooov. Liat babi hutan palingan gue
kabur. Kan sama aja kayak lo, penyuka tantangan. Udah tau nggak
bisa ice skating, malah ngajakin ice skating. Kalo gitu, apa salahnya
223 kita nyoba berburu babi, ya nggak? Paling banter kita diseruduk
celeng, Nov." "Mima..." Saking speechless-nya Inov nggak bisa komentar apaapa. Cowok itu memutar posisi duduknya sampai bisa bersandar
di pinggiran ring. Mima ikutan duduk bersandar di samping Inov
sambil cekikikan. Lama?lama Inov ikut ketawa. Bingung sama diri sendiri, kok bisa
kepikiran ngajak Mima ice skating. Kenapa nggak ngajak naik
wahana 4D atau ngasih makan parkit di mini bird park persis di
sebelah ice ring. Atau... ngasih makan kambing sama kelinci yang
juga ada di area itu. Kalau Inov ngajak Mima ke bird park atau ke
mini farm, pasti sekarang mereka lagi nyengir lebar foto-foto
bersama parkit dan bukannya duduk di lantai es dengan celana
yang kayaknya mulai basah.
"Inov, Inov... lo emang manusia aneh! Aneh, tapi mewarnai hidup
gue. Kalo nggak ada lo, hidup gue nggak seru kali. Gariiing!"
Inov tertawa pelan. "Kayak lo nggak aneh aja."
Mima cekikikan lagi. Senang rasanya bisa ketawa lepas setelah
semua kejadian mengerikan ini. Tapi nggak lama. Tawa Mima
langsung lenyap begitu sadar siapa yang mengamati mereka di sisi
seberang ring. Gian. Cowok itu tampak berdiri kaku menatap ke arah Mima dan Inov
dengan sebelah tangan menggandeng anak kecil yang Mima tau
adalah adiknya. "Gian..." gumam Mima pelan.
Inov melirik. "Kenapa, Mi?"
"Ada Gian..." Baru aja Mima mau berdiri, bermaksud nyamperin
Gian, tapi cowok itu buru-buru mengemasi tas adiknya dan berbalik
sambil menggandeng adiknya pergi. Detik itu juga Mima sadar, ini
bakal jadi masalah. 224 Sembilan Belas O kenapa sama Gian, Mi?" tanya Riva sambil sibuk masukin
semua peralatan sekolahnya ke tas.
Kiki dan Dena langsung ikut merapat. Muka keponya
mencrang tiada tara, alias kentara banget penasaran.
"Emang kenapa gue sama Gian?" Dengan harapan sikap sok
bloonnya berhasil, Mima balik nanya.
TUK TUK! Tau-tau Kiki malah mengetuk-ngetuk jidat Mima pakai
telunjuknya yang ditekuk. "Heeelll...laaaw... ditanya malah nanya
balik. Pake berlagak oon lagi. Udah deh, jawab jujur, cepetan! Lo
kan belakangan ini semakin sok artis, susah banget diajak ngumpul."
Mima merengut. Enak aja ngatain orang sok artis. "Yeee, maksud
pertanyaannya apa coba? Kalo nanya tuh yang jelas. Detail. Pake
penjabaran. Kalo gue dukun, nah itu baru gampang. Lo semua
tinggal pelototin gue, terus gue baca semua pikiran lo. Habis itu
gue jawab pake telepati."
Riva, Kiki, dan Dena langsung saling lirik.
"Ribet lo ya," dumel Riva sebal. "Nih ya gue jabarkan sejabarjabarnya. Pertanyaannya itu, lo ada masalah apa sama Gian? Lo lagi
marahan sama dia? Kalian makin aneh aja deh. Beberapa hari lalu
waktu kami tanya, lo jawab belum waktunya, sekarang apa?"
Ah, itu dia! Riva sukses ngingetin Mima. Mima menutup ritsleting


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tasnya, lalu berdiri mantap. "Nah, jawaban itu masih berlaku sampe
225 sekarang. Ini belum waktunya. Gue akan ceritain semuanya nanti,
kalo udah waktunya. Oke?"
"Eh, tapi, Mi..."
Mima menyipitkan mata. "Kiki, perjanjian yang gue bilang waktu
itu juga masih berlaku. Kalian tunggu sampe udah waktunya gue
cerita, ataaau... gue nggak bakalan cerita sama sekali dan rahasia
ini gue bawa sampe mati."
Begitu liat tiga sahabatnya bengong, Mima buru-buru ngabur.
"Gue duluan ya! Daaah...!" Mima berjalan cepat keluar kelas.
Fiuhhh... bohong memang nggak enak. Apalagi sama orang-orang
terdekat. Rasanya kayak ditendang dari zona nyaman dan zona
aman. Hari ini jam pulang sekolah lebih cepat karena ada rapat guru.
Inov pasti belum datang. Tapi biarin deh, mendingan Mima nunggu
di gerbang belakang ketimbang kena interogasi lagi oleh ketiga
sahabatnya kalau dia ketauan masih nunggu di dalam sekolah.
"Mi, aku mau bicara."
Langkah Mima spontan terhenti. Suara dan kalimat serius kayak
barusan, siapa lagi kalau bukan Gian. Cowok itu berdiri di depan
pintu keluar gerbang belakang sekolah, menunggu Mima. Kaki
Mima langsung membeku. Mulut Mima juga ikutan membeku dan
rasanya nggak sanggup ngucapin satu patah kata pun. Cuma mata
Mima yang balas menatap tatapan gusar Gian.
"Kamu jujur, Mi, sama aku. Sebetulnya hubungan kamu sama
Inov gimana? Apa kamu bohong soal situasi yang belum aman dan
kalian masih harus sama-sama? Yang aku liat kemarin di tempat ice
skating, kalian bukan seperti orang yang lagi bermasalah sama
sindikat penjahat." Suara Gian terdengar dingin.
"Aku nggak bohong, Gi." Emang sih, siapa pun yang liat Mima
dan Inov di Ice Garden kemarin pasti nggak bakalan nyangka mereka lagi stres karena berurusan sama sindikat curanmor. Acara
melipir di pinggiran ring berduaan, jatuh, lalu ketawa-ketawa, pasti
tampak kayak orang... pacaran.
226 Mima menelan ludah karena salting sendiri. Ya, tetap aja Mima
nggak bohong. Keadaan sekarang memang genting kok. "Aku
nggak ada hubungan apa-apa sama Inov," tambah Mima.
Bibir Gian mengerucut. Cowok itu kayak berusaha mati-matian
mengontrol diri dan menjaga sikap supaya tetap tenang dan
berwibawa. "Gimanapun dari luar keliatannya kalian terlalu akrab.
Sikapmu menentukan penilaian orang, Mi. Aku nggak ngerti kenapa
kamu sampai perlu main ice skating berdua sama dia. Masa kamu
nggak bisa sih menjaga sikap?"
Omongan Gian lebih seperti bapak-bapak lagi marahin anaknya
daripada pacar yang cemburu. Mima jadi ngerasa dihakimi.
Kesannya sikapnya jelek dan nggak sopan banget. Padahal Inov
kan teman dekatnya. "Kemaren itu nggak direncanain, Gi. Refreshing spontan aja.
Lagian kamu kok ngomongnya gitu sih, Gi? Nggak bisa ya kamu
ngomong biasa-biasa aja, jangan kayak nasihatin murid brandalan?"
Kalau dipikir-pikir sebetulnya Gian wajar aja cemburu. Tapi sekarang,
Mima sensi kalau Gian komentar soal kepribadiannya. Dia capek
dinilai melulu. "Oke. Jadi kamu beneran nggak ada apa-apa sama Inov?"
Mima menggeleng. "Nggak."
"Kalau gitu, sekarang kamu pulang bareng aku."
"Hah? Tapi kan, Gi, masalahnya..."
"Mi, waktu itu kita berangkat bareng nggak ada masalah, kan?
Kalo gitu, sekali ini pulang bareng juga nggak ada masalah dong?"
desak Gian. Mima terdiam. Setelah dia berangkat bareng Gian memang sih
nggak ada masalah. Satu-satunya masalah adalah Inov marah. Yang
pastinya, Inov bakal lebih marah lagi kalau Mima sekarang nekat
pulang bareng Gian. Apalagi, anak buah Beny nggak bisa diprediksi
ada di mana dan kapan mengintai.
"Aku nggak bisa, Gi."
227 "Nggak bisa gimana?!"
Mima menatap Gian, yakin. "Yah, nggak bisa. Aku tau kamu
nggak bisa mengerti soal semua ini. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak
mau membahayakan Inov dan diri aku sendiri. Aku ngerti kalo kamu
marah. Jadi, marah aja."
Mata Gian melebar, sama sekali nggak nyangka bakal dapat
jawaban kayak gitu dari Mima. "A-apa?"
"Aku minta pengertian kamu, Gi. Masalah aku sama Inov bukan
masalah kecil. Aku tau kamu pasti kesel. Tapi, yah, aku nggak bisa
jelasin apa-apa lagi. Aku cuma minta kamu percaya bahwa aku jujur.
Aku... nunggu Inov dulu di depan." Mima melangkah melewati
Gian. Duh, Inov belum datang lagi. Dia nggak terlambat sih, tapi dalam
situasi kayak gini semua juga rasanya lambat.
"Kita belum selesai ngomong, Mi..."
Mima tercekat. Kaget karena Gian kembali ada di sampingnya.
"Gian? Kamu ngapain ke sini sih? Kan aku udah bilang, aku
mau..." "Nunggu Inov?" sambung Gian dingin. "Yang kamu utamain
akhir-akhir ini dia melulu. Sepertinya aku udah bukan prioritas kamu.
Jangan-jangan kamu nolak tawaranku buat jadi sekretaris OSIS juga
gara-gara dia?" Wajah Mima mengeras nggak suka. "Gi, soal itu nggak ada
hubungannya sama sekali. Masalah sekretaris OSIS, sekali lagi aku
ngomong sama kamu ya, aku ngerasa kamu nggak ngehargain
pendapat aku dengan nyalonin aku tanpa bilang-bilang. Kamu
jangan bawa-bawa Inov, nggak nyambung, Gi."
Dahi Gian berkerut. Air mukanya langsung butek, lebih butek
daripada air cucian beras. "Lagi-lagi kamu belain Inov."
"Apaan sih, Gi? Siapa yang belain Inov?"
"Barusan. Kamu kayaknya nggak rela aku ?nuduh? Inov." Gian
bikin tanda petik dengan jarinya sambil memasang tampang
sinis. 228 Ini ngeselin! Betul-betul ngeselin dan menguji kesabaran. Kalau
aja Gian bukan pacar Mima, pasti udah Mima semprot habis-habisan
karena nuduh Mima dan Inov yang nggak-nggak. Bukan cuma
disemprot, kalau perlu dikurung di kandang budidaya ulat bulu.
Gatel-gatel, gatel-gatel deh!
"Kamu kenapa sih, Gi? Kayaknya maksa banget pengin aku ngaku
bahwa aku ada apa-apa sama Inov. Sampe-sampe masalah yang
nggak ada hubungannya sama dia, kamu bawa-bawa. Harus pake
bahasa apa sih aku ngomong sama kamu bahwa aku nggak ada
hubungan apa-apa sama Inov?!"
TAP! Tau-tau Gian menyambar lengan Mima emosional.
"Eh , Gi... ngapain?!"
"Aku bisa yakin kamu kali ini belain aku, bukan Inov."
"A-apa?" Gian mencengkeram pergelangan tangan Mima. "Kamu pulang
sama aku hari ini. Yang pacar kamu itu aku, bukan Inov," kata Gian
ngotot dan meluap-luap. Selama ini dia kan cowok baik-baik,
berprestasi, "pejabat sekolah", dan selalu mengarahkan Mima ke
jalan yang "baik". Tapi kenapa Mima malah lebih milih belain cowok
banyak masalah macam Inov? Gian udah nggak bisa jaim lagi. "Ayo!"
Gian menarik tangan Mima dan satu tangan lagi merangkul Mima.
Jelas banget Gian berusaha memperjelas posisinya di mata Mima.
Baru satu langkah Gian menarik tangan Mima ke arah pangkalan
taksi, napas Mima serasa berhenti mendadak. Bukan karena
digandeng dan dirangkul Gian serta dipaksa pulang bareng, tapi
karena tiba-tiba ada dua motor yang masing-masing ditumpangi
dua orang memepet dan mengepung mereka. Jantung Mima
berdegup nggak keruan. Feeling-nya langsung nggak enak. Takut.
Ini nggak beres. "Maaf, kami mau lewat..." Gian yang kayaknya nggak curiga,
malah dengan polosnya minta permisi.
Empat orang di dua motor itu nggak peduli kata "permisi" Gian,
malah turun dari motor tanpa mencopot helm dan berdiri mengelilingi Gian dan Mima. Dari gaya berdirinya aja, Mima tau mereka
bukan orang baik-baik atau orang nyasar yang mau nanya jalan.
Dalam hati Mima khusyuk berdoa, semoga dugaannya tentang
orang-orang ini salah. Badan Gian menegang. Kayaknya dia mulai merasa ada yang
nggak beres. Dalam hati dia juga berdoa, semoga ini bukan tandatanda dia harus berantem. Karena kalau sampai kejadian, jurus
yang paling Gian kuasai hanyalah... ngibrit pontang-panting. Waktu
dia tonjok-tonjokan sama Inov pun, setelahnya tangan Gian sakit
setengah mati dan badannya serasa bonyok. "K-kalian mau apa ya?
Jangan ganggu kami... atau kami akan..."
"Teriak? Teriak aja kalo berani," ancam salah satu dari mereka
yang pakai helm biru. Mima langsung pucat, begitu sadar tangan cowok itu memegang
pisau lipat. Gian spontan menutup mulut. Dari auranya, orang-orang ini jelas
nggak main-main. Si Helm Biru mendekatkan pisaunya ke arah Gian. "Kalian ikut
ke sini. Santai, jangan bikin curiga. Kami cuma mo ngobrol. Ayo!"
katanya dengan nada rendah tapi berupa perintah penuh ancaman
yang nggak bisa dibantah.
Gian dan Mima menurut digiring ke pojok jalanan yang lebih
sepi. Dua orang berjalan di kanan-kiri Mima dan Gian, termasuk si
Helm Biru yang nodongin pisau, dan dua orang lagi bertugas
membawa motor. "Kalian... siapa? Mau apa?" Dengan sisa keberanian yang tinggal
sekecil kelingking amuba, Gian nekat bertanya begitu mereka
sampai ke pojok jalan sepi.
Tapi kepala si Helm Biru malah menoleh ke arah Mima tanpa
menjawab Gian. "Lo Mima, kan? Pacar Inov? Apa hubungan lo sama
230 dia?" Dengan tangannya yang memegang pisau lipat, si Helm Biru
menuding Gian. Suer, Mima bisa liat darah Gian kayak mendadak kering. Mukanya
langsung pucat mirip vampir kena darah rendah.
Ternyata tebakan Mima benar. Ini komplotan Beny. Orang-orang
yang sering dia dan Inov liat nongkrong di warung seberang jalan
sekolah. Orang-orang yang bertugas mengawasi mereka. Mima
tergagap, "Di...dia temen sekolah gue. Ketua OSIS sekolah gue."
Empat cowok berhelm full face itu terkekeh bareng-bareng.
Habis itu gantian si Helm Putih ber-air brush tengkorak bertaring
buka suara. "Lo bohong ya? Masa temen doang pegang-pegang
tangan kayak gitu. Waktu itu dia juga yang jemput lo ke rumah,
kan?" Apa?! Mima menelan ludah. Mereka tau waktu Mima pergi
sekolah bareng Gian? Terus kenapa mereka diam aja?
"Kenapa lo bingung gitu?" lanjut si Helm Putih Tengkorak
bertaring. "Kaget kami tau lo pergi bareng dia tapi diem aja? Kami
bukan diem, tapi nunggu bukti lebih banyak dan waktu yang pas.
Kayak sekarang! Lo tau kan peraturan komplotan? Orang luar yang
membahayakan harus disingkirin. Dan orang luar yang udah nggak
ada hubungannya sama orang dalam, nggak boleh ada di lingkungan
komplotan lagi. Termasuk... mantan." Suara parau si Helm Tengkorak menekankan kata "mantan".
Kaki Mima releks mundur selangkah. Dia ketakutan karena tau
apa yang dia hadapi sekarang dan di sampingnya cuma ada Gian
yang kemampuan jurus-jurus bela dirinya meragukan.
"Kenapa lo mundur? Daripada urusan ini panjang, mendingan lo
jujur deh sekarang. Lo udah putus sama Inov? Hah?! Terus pacar lo
sekarang dia? Atau jangan-jangan, selama ini lo emang bukan pacar
si Inov, hah?! Wah, parah kalo kayak gitu!" si Helm Biru ngoceh
sendiri. "Kalo emang lo sama Inov nggak ada hubungan apa-apa,
231 berarti waktu di lokasi merah, anak baru itu cuma sok heroik
ngelindungin lo doang, gitu?"
"Kenapa lo diem aja sih! JAWAB! Mana yang bener?" si Helm
Merah mulai nggak sabaran. Tangannya mencengkeram lengan
Mima. "Komplotan kita anti pembohong, anti pengkhianat! Lo
pacarnya si Inov apa bukan?"
Cowok yang yang berhelm hijau mulai gelisah. "Nggak akan
beres di sini, bray, udah angkut aja dulu dua-duanya, kita desak di
tempat lain. Di sini nggak aman kita interogasinya!"
Dari balik helm, cowok-cowok itu saling tatap dan kayaknya
saling setuju. Mereka ngangguk kompak.
"Kita bawa aja!" kata si Helm Biru sambil siap-siap menggiring
Mima. "Ceweknya aja, nih cowok nggak guna, ngerepotin. Habis
itu panggil Inov, suruh dia datang. Biar dia yang jelasin, apa
maksudnya nih kayak gini."
"Tunggu!" Spontan Gian mencegah dengan suara panik gemetaran. "Jangan bawa dia! Dia cewek saya. Bukan dia yang harus
kalian tangkap." Mima releks menoleh. Gian apa?apaan sih? Ngapain dia bilang
Mima ceweknya? Bodoh, betul-betul bodoh!
Empat cowok berhelm itu langsung kompak menghadap Gian.
"Maksud lo apa?"
Tangan Gian mengepal gelisah. "Lepasin dia. Dari awal juga dia
cewek saya. Kalian jangan ganggu dia lagi karena dia nggak sengaja
nguping urusan kalian dan Inov. Yang pengkhianat itu Inov.
Dia..." Mata Mima terbelalak ngeri. "GIAN, CUKUP!!!"
"Heh, diem lo!!!" Si Helm Biru menyentakkan tangan Mima kasar
supaya Mima diam. "Pegang!" Lalu dia mendorong Mima ke arah
si Helm Tengkorak sementara dia nyamperin Gian. "Inov apa? Lo
mo ngomong apa?" Seperti baru kena getok palu godam raksasa, Gian tersadar dia
udah terpojok karena ulahnya sendiri.
232 "Kenapa lo diem? Lo mo ngomong apa tadi? Inov apa? Apa perlu
ini yang maksa lo!" si Helm Biru menodongkan pisau lipatnya
lagi. "Oh... oke. Oke. Inov... dia... suruhan polisi!"
Astaga! Mima menatap Gian nggak percaya. Tega banget sih dia!
Harusnya dia melindungi Mima dengan meyakinkan komplotan ini
bahwa dirinya dan Mima nggak ada hubungan apa-apa. Bukannya
menyelamatkan diri sendiri dengan membongkar penyamaran Inov.
Dasar pengecut! "Apa lo bilang?" Suara parau si Helm Biru terdengar marah. Tadi
dia juga udah marah, tapi sekarang lebih marah daripada sebelumnya. "Si Inov... suruhan polisi?!"
"Tanya aja dia!" Gian masih berani menunjuk Mima dan malah
menyuruh Mima mendukung omongannya. Dari jauh pun Mima
bisa liat Gian gemetar ketakutan. "Tapi lepasin dulu dia!"
"Aww!" Mima memekik begitu merasa pipinya dipencet keras.
Ternyata si Helm Tengkorak. "Bener si Inov suruhan polisi, hah?!"
tanyanya kasar sambil terus memencet pipi Mima.
Mima menggeleng cepat supaya pipinya dilepas. Tapi tekanan
jari si Helm Tengkorak malah makin kencang dan bikin sakit.
"JAWAB!" bentak si Helm Tengkorak lagi.
"Mima!!!" Lutut Mima langsung lemas begitu mendengar suara Inov. Lemas


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena lega Inov datang dan lemas karena takut membayangkan
apa yang bakal empat orang berhelm ini lakuin pada Inov. Mima
melirik. Inov tampak memarkir motornya asal-asalan, lalu berjalan
cepat ke arah mereka. Dengan berani Inov menyeruak masuk di
antara mereka. "Apa-apaan nih?!"
Sambil memain-mainkan pisau lipatnya, si Helm Biru mendekati
Inov. Berdiri tepat di hadapannya. "Kata dia..." Helm Biru menunjuk
Gian, "lo suruhan polisi. Dan cewek lo ini sebetulnya cewek dia.
Bener?" tanyanya tanpa basa-basi.
233 Biarpun muka Helm Biru ketutupan helm, entah gimana Mima
bisa membayangkan tampang di balik helm ini pasti bengis dan
penjahat banget. Inov tercekat, releks melirik Gian, lalu berganti melirik Mima.
"HEH!" Si Helm Biru menyentak pipi Inov supaya menghadap
dia. "Nggak usah celingak-celinguk lo! Jawab!"
"Lo percaya sama dia?" jawab Inov setenang mungkin.
"Yang pasti waktu itu kami liat dia jemput cewek lo ke rumah,
dan tadi gandeng-gandeng cewek lo pas pulang sekolah. Menurut
lo gimana?" Mata Inov melebar kaget. Lalu sekilas melirik Mima, bukan
dengan tatapan sinis atau marah, tapi dengan tatapan pasrah putus
asa. Tatapan Inov seolah-olah bilang "tuh bener kan yang gue
bilang, mereka ngawasin kita." Detik itu juga Mima merasa bersalah. Harusnya dia bisa menolak Gian pagi itu. Dan harusnya, kalau
Gian peduli sama keselamatannya, Gian bisa ngerti.
"Ahhh, udah deh, bray! Kelamaan. Mendingan kita bawa aja ke
Bos Kecil. Kita buktiin dia ada hubungannya sama polisi atau nggak.
Nih gue udah SMS Bos Kecil. Tinggal tunggu jawaban, kita harus
bawa dia ke mana. Kalo dia nggak bisa buktiin bahwa dia bukan
kaki tangan polisi, paling-paling nasib dia kayak si Abang. Gue yakin
si Bos Kecil bakal nyuruh dia beraksi spontan dengan target yang
kita tunjuk untuk pembuktian."
Si Helm Biru dan dua orang lainnya langsung meringkus Inov.
"Eh, lepasin dia! LEPASIN!" teriak Mima panik.
"Nih cewek gimana?" tanya si Helm Tengkorak yang kebagian
megangin Mima yang sekarang meronta-ronta.
"Tinggalin aja di sini! Dia cuma nambah urusan kita. Bikin repot.
Gue yakin si Bos mau beresin Inov doang. Lagian nih cewek udah
nggak ada urusannya sama kita. Nggak ada gunanya," perintah si
Helm Biru. Tangan Mima dilepas, lalu Mima didorong menjauh. Empat orang
234 itu menggeret Inov ke arah motor mereka sambil menodongkan
pisau. Apa yang bakal mereka lakukan pada Inov? Inov sendirian.
Gimana kalau Inov gagal membuktikan bahwa dia bukan kaki
tangan polisi? "Lepasin dia!" Dengan modal nekat yang entah datang dari
mana, Mima menerjang si Helm Biru dan mencengkeram tangannya
yang memegang Inov. "Eh, cewek nekat, lepasin tangan gue!"
Mima tetap mencengkeram lengan si Helm Biru. "Lepasin dia
dulu! Gue bisa teriak panggil bantuan! Pasti ada yang denger.
Lepasin dia!" "Mima, lo jangan nekat, gue bisa tanganin ini!" perintah Inov
panik. "Nggak! TO...!"
BUKKK! "Diem lo!"
"AH!!" Mima nggak tau jelas apa yang terjadi. Yang dia ingat
cuma ada dorongan keras di bahunya tepat sebelum dia berteriak
meminta tolong. Dorongan itu kelewat keras sampai Mima terjengkang dan samping kepalanya menghantam sesuatu yang keras,
mungkin trotoar. Lalu samar-samar Mima dengar suara Inov dan
Gian, sama-sama berteriak memangil namanya. Semua terasa dalam
slow motion. Mima nggak merasa sakit, tapi seluruh badannya
lemas dan nggak bisa bergerak. Dia cuma terkapar dengan mata
setengah terbuka dan semua yang dia liat buram berbayang-bayang
hitam. Dia ingat waktu menoleh pelan, dia liat Inov digeret menjauh.
Samar-samar dia juga masih mendengar suara para cowok berhelm
itu. "Wah, mampus nggak tuh cewek?"
"Alaaah, udah, ntar juga ada yang nolong. Yang penting kata
Bos Kecil, kita bawa Inov ke X! Ayo, sebelum ada orang ke sini!"
"Mima! MIMA!" suara Inov yang teriak-teriak memanggil nama
Mima semakin lama semakin jauh dan akhirnya nggak kedengaran
235 lagi. Lalu semuanya gelap. Hal terakhir yang Mima bisa rasain adalah
sepertinya Gian mengguncang-guncang bahunya. Setelah itu Mima
nggak merasa apa-apa lagi. Dia pingsan.
236 Dua Puluh NOV." Mima releks berusaha duduk, tapi langsung ambruk lagi
karena kepalanya sakit banget, nyut-nyutan dan pusing
setengah mati. Mima mengerjap-ngerjapkan mata. Lalu semuanya
gelap. Gelap. Hening. "Mima, kamu udah sadar, Sayang? Gimana, apa yang sakit?
Mama panggil dokter ya?" Selanjutnya suara Mama menyerbu
Mima dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Tunggu, tunggu. Mama? Kok ada Mama?
Mima langsung melihat ke sekeliling ruangan. Langit-langit putih,
dinding putih, bau obat, dan ranjang elektris. Jelas dia ada di rumah
sakit. Ada Mama, Papa, Mika, dan Gian, yang berdiri mengelilingi
ranjang dengan cemas. Terus Inov? Inov gimana?
"Aku... aku pingsan berapa lama?" tanya Mima panik.
"Dua jam lebih, Mi," jawab Mama sabar. Dari ekspresinya, Mima
tau Mama penasaran banget dan banyak pertanyaan yang Mama
mau tanyain ke Mima. "Hah? D-dua jam lebih? L-lama banget. Ma...! Ma, HP Mima mana,
Ma? HP Mima..." Mima harus nelepon Abang. Atau kantor polisi.
Inov dalam bahaya! Mama menepuk-nepuk paha Mima. "Mi, kamu tenang dulu.
237 Tenang dulu..." kata Mama berusaha menenangkan Mima. Sementara Mika tampak berjalan keluar ruangan dengan ekspresi serius.
"Tapi, Ma, aku harus nelepon, Ma. Inov..." kalimat Mima terhenti
waktu Mika balik lagi masuk ke kamar bareng dua laki-laki tegap
berjaket. Mereka mengangguk sopan pada Mama dan Papa, lalu
berjalan mendekati Mima. Muka mereka ramah, tapi tegas dan
berwibawa. Salah satu laki-laki tegap yang berjaket kulit mengangguk pelan
sambil tersenyum kalem pada Mima. "Mima, gimana keadaan
kamu? Kenalkan, saya Iwan dari kepolisian. Ini rekan saya, Jaya."
Mima tertegun mengingat-ingat soal nama Iwan. Iwan. Bang
Iwan. Oh, ini Bang Iwan yang dimaksud Inov waktu itu. Bang Iwan
tim Abang. "Kamu pasti sudah kenal Abang, kan? Bang Rudi?" tanya Bang
Iwan hati-hati. Mima mengangguk pelan, lalu langsung cemas teringat Abang.
"Gimana keadaan Abang?" Mima menelan ludah. Mengingat
terakhir kali dia ketemu Abang adalah waktu Abang dihajar ramerame di gudang bau dekat pasar induk.
"Dia sudah stabil. Tapi belum bisa kembali ke lapangan. Mima,
kami datang ke sini setelah mendapat laporan dari Ibu Helena
tentang kejadian yang menimpa kamu dan Inov."
Tante Helena? Tau dari mana?
"Mama yang kasih tau Tante Helena, Mi. Gian kasih tau Mama
bahwa Inov dibawa orang-orang itu. Mama udah tau semuanya."
Seolah bisa membaca pikiran Mima, Mama buru-buru menjelaskan.
Mima mengangguk. Biarpun kepalanya masih terasa sakit banget, Mima maksain diri duduk. "Bang Iwan harus menolong Inov.
Aku sempet denger mereka mau ngebuktiin Inov penyusup atau
bukan. Mereka juga bilang, kalo sampe Inov ketauan ada hubung238 annya sama polisi, mereka... mereka akan kasih pelajaran dan bikin
Inov kayak Abang. Kalian harus tolongin Inov! Mereka semua
sadis." "Tenang dulu, Mima, tenang dulu. Kami memang mau menolong
Inov. Anggota kami sudah bergerak, tapi agak sulit karena kami
tidak memegang informasi akurat. Kami sudah ke beberapa lokasi
yang infonya kami dapat dari Abang, termasuk lokasi merah dekat
kontrakan mereka, dan gudang di pasar induk. Semuanya nihil.
Untuk itu kami perlu bertanya padamu, siapa tau kamu ingat punya
info lain yang bisa membantu kami. Informasi sekecil apa pun
sangat berarti." Mereka bawa Inov ke mana? Gimana keadaan cowok itu sekarang? Jantung Mima berdegup nggak beraturan. Panik, cemas,
takut. Tapi, dia harus tenang. Dia harus mikir, mengingat-ingat apa
pun yang bisa jadi info untuk kepolisian dalam usaha menyelamatkan
Inov. Mima menekan-nekan keningnya, pelan-pelan adegan-adegan
lashback kayak berputar di kepala Mima. Waktu orang-orang itu
mengancam Mima, mengancam Inov, waktu mereka menangkap
Inov, lalu waktu Mima didorong keras sampai jatuh. Biarpun kepalanya nyut-nyutan pusing, samar-samar Mima seperti bisa mendengar obrolan para brandalan berhelm itu.
Mima menggeleng-geleng cepat. "Nggak, nggak, Inov nggak
dibawa ke lokasi merah, bukan di gudang itu. X. Mereka bilang,
Bos Kecil nyuruh Inov dibawa ke X..."
Bang Iwan dan Bang Jaya saling tatap.
"X? Itu pasti nama lokasi. Jay, coba kamu calling Rudi, tanya soal
lokasi X." "Siap!" Bang Jaya buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengontak Abang.
Kepala Mima masih berdenyut-denyut. Ya, mereka bawa Inov
ke X. Nama lokasi? X... "Gimana, Jay?" Bang Iwan menatap rekannya nggak sabar.
Bang Jaya menggeleng dengan wajah serius. "Rudi buntu. Dia
bilang dia belum pernah tau lokasi X. Sepertinya baru," jawabnya
cemas. Tunggu! Mima menegakkan duduknya, teringat sesuatu. Rumahrumah itu! Rumah terbengkalai di atas gunung, di tengah-tengah
perkebunan teh yang dindingnya dicoret Pylox besar-besar. Huruf
X, huruf Y, dan huruf Z. Pasti rumah itu!
"Bang, aku tau, aku tau lokasi X."
Semua mata kompak beralih menatap Mima.
"Tapi aku tau di mana tempatnya! Aku bisa nunjukin!" teriak
Mima ngotot. "Pokoknya aku ikut!"
"Mi, kamu nyadar nggak sih kepala kamu masih diperban kayak
gitu? Lagian bahaya. Nanti kamu malah ngerepotin." Mika berusaha
membujuk Mima supaya berhenti ngotot ikut tim kepolisian ke
lokasi. Bang Iwan mengangguk setuju. "Kakak kamu benar, Mima.
Informasimu sudah cukup untuk kami. Sebaiknya kamu istirahat.
Kami berjanji akan berusaha semaksimal mungkin mengeluarkan
Inov dari situasi ini dengan aman."
"Tapi kalo nggak langsung ketemu tempatnya gimana? Kalo aku
yang nganter kan lebih cepet. Iya, kan?" Mima masih ngotot sambil
menatap para intel kepolisian itu penuh harap.
Bang Iwan menghela napas panjang. "Maaf, Mima, kami nggak
bisa mengajakmu." "Tapi..." "Mi..." Mama mengelus punggung Mima lembut. Memohon
pada Mima untuk menurut. Mima akhirnya mengangguk pelan
dengan mata berkaca-kaca. Rasanya dia nggak berguna banget.
Pada saat Inov nggak jelas keadaannya gimana, Mima cuma bisa
duduk di rumah sakit sambil menunggu. Cuma berdoa yang bisa
Mima lakukan untuk Inov sekarang ini.
240 Gian mendekat, duduk di samping ranjang Mima. Bang Iwan dan
Bang Jaya udah pergi. Mama, Papa, dan Mika ke kafetaria mencari
makanan. Mima curiga mereka memang sengaja ninggalin Mima
dan Gian berdua. "Mi," panggil Gian pelan.
Mima yang sejak tadi menunduk sambil memandangi ponselnya?berharap mendapat kabar apa pun dari Inov?mendongak
pelan. Dengan kaku Gian menggosok-gosokkan telapak tangannya.
Salah tingkah karena Mima nggak menjawab dan cuma menatap
dia dengan tampang datar nggak semangat. "Soal tadi..."
"Gi, bisa nggak kita ngomongnya nanti aja?" potong Mima cepatcepat. "Aku masih pusing." Mima langsung memegang-megang
dahinya supaya lebih meyakinkan dia betulan pusing.
"Tapi, Mi..." "Gi, kayaknya kamu dari tadi di sini belum makan apa-apa deh.
Kamu mendingan pulang dulu aja. Nanti kita ketemu di sekolah.
Aku kayaknya pengin tidur."
"Oke. Aku... pulang dulu." Sebetulnya Gian masih pengin
memaksa Mima membahas soal mereka berdua dan apa yang
terjadi hari ini dan kemarin-kemarin sejak Mima kepergok dalam
misi berbahaya bersama Inov. Tapi kalimat Mima tadi... jelas-jelas
Mima ngusir Gian secara halus.
Mima cuma mengangguk sekilas.
Setelah Gian pergi, Mima cuma bolak-balik berdoa dan memandangi ponsel. Berharap Tuhan segera menjawab doanya dengan
memberi kabar soal Inov lewat ponselnya dari siapa pun di
lapangan. Atau malah lebih baik... dari Inov sendiri.
Apa tim kepolisian udah sampai lokasi? Apa betul lokasinya di
situ? Apa Inov baik-baik aja? Kenapa belum juga ada kabar?
Mima menekan lagi nomor telepon Inov. Dan masih sama kayak
seratus panggilan sebelumnya, teleponnya nggak aktif.
241 *** "Penyergapan komplotan pencurian kendaraan bermotor
atau curanmor hari ini berjalan dramatis. Lebih dari lima belas
komplotan curanmor yang sudah lama meresahkan warga
Bandung dengan aksi-aksinya berhasil dibekuk. Salah satu
anggota komplotan yang dibekuk diketahui sebagai pemimpin
yang memegang kendali aksi komplotan ini.
Lima anggota komplotan yang sempat berusaha melarikan
diri berhasil diringkus dengan melepaskan tembakan. Dua orang
terkena tembakan di kaki, sedangkan tiga orang lainnya berhasil
diringkus setelah terjatuh dari motor.
Seorang remaja yang identitasnya belum kami dapatkan
ditemukan tidak sadarkan diri dan terluka parah. Saat ini remaja
yang masih dirahasiakan identitasnya itu sudah dibawa ke
rumah sakit oleh pihak kepolisian.
Dengan adanya penangkapan komplotan ini, selanjutnya
kepolisian akan menggelar operasi besar untuk menangkap
bandar besar yang diduga berada di balik aksi komplotan ini.
Demikian Breaking News malam ini. Saya, Tini Muriani,
melaporkan langsung dari lokasi kejadian."
Mima menahan napas. Kekacauan yang terjadi di lokasi bikin
Mima merinding. Ternyata dugaannya tepat. Lokasi X adalah rumah
di perkebunan teh itu. Rumah yang di dindingnya ada coretan Pylox
huruf X besar. Di layar TV Mima masih bisa melihat polisi sibuk
memasang police line. Lingkungan sekitar rumah itu tampak
berantakan dan warga berkumpul berdesak-desakan, pengin menyaksikan langsung lokasi penggerebekan geng motor merangkap
pelaku curanmor kelas kakap di Bandung.
Mereka tertangkap. Semuanya. Tapi Mima belum bisa lega. Mima
nggak liat sedikit pun gambar Inov di TV. Sepertinya waktu
242

Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wartawan datang, Inov udah dibawa pergi ke rumah sakit. Reporter
tadi bilang, Inov ditemukan nggak sadarkan diri dan terluka parah.
Memang sih dia nggak menyebut nama Inov. Tapi siapa lagi yang
bakal mereka hajar sampai babak belur kalau bukan Inov?
Separah apa luka Inov sampai dia nggak sadarkan diri? Apa Inov
babak belur kayak Abang waktu itu? Mima meremas ujung seprai
tempat tidur rumah sakit. Bang Iwan, Bang Rudi alias Abang, Tante
Helena, nggak ada yang menjawab teleponnya. Padahal Mima cuma
perlu mastiin keadaan Inov.
Nggak lama kemudian Mama masuk ke kamar rawat Mima
dengan raut muka khawatir. Mama duduk di samping Mima sambil
memandangi Mima lembut. Sepertinya Mama ragu dengan apa
pun yang mau Mama omongin.
"Ada apa, Ma? Mama kok ngeliatin aku kayak gitu?"
Mama meraih tangan Mima, menepuk-nepuk punggung tangannya. "Mi, Inov udah sampe ke rumah sakit ini. Inov... kritis."
Dari luka-luka di sekujur badan dan mukanya yang lebam di manamana, Inov pasti dihajar habis-habisan. Mima udah pernah menyaksikan gimana sadis dan tanpa ampunnya komplotan itu
menganiaya Abang, jadi yakin mereka pasti melakukan hal yang
sama pada Inov. Malah mungkin lebih sadis. Cowok itu masih nggak
sadar, di badannya ada selang infus dan oksigen. Belum lagi kabelkabel yang menempel untuk memonitor tanda-tanda vitalnya. Ini
jauh lebih parah daripada yang dulu.
Waktu masuk rumah sakit karena geng Revo dulu, Inov masih
sadar dan bisa bicara. Dia malah masih bisa berusaha melotot,
minta Mima nggak bocorin apa-apa ke bundanya. Tapi sekarang?
"Jangan terlalu lama ya..." Suster yang baru aja menyuntikkan
obat ke infus Inov berpesan.
Mima mengangguk gamang. "I-iya, Sus."
243 Suster itu mengangguk pelan. "Saya keluar dulu. Permisi."
Mima balas mengangguk, sopan.
Mata Inov bengkak dan biru. Sudut bibirnya juga biru dan ada
luka sobek. Dasar Beny dan komplotannya manusia-manusia barbar!
Mereka gaulnya sama apa sih? Setan penghuni neraka? Kingkong
rabies? Tega-teganya menghajar orang lain sampai kayak gini. Habis
itu, bisa-bisanya mereka ketawa-ketawa bangga, seolah-olah nyiksa
orang sama enaknya kayak makan burger.
Pelan-pelan Mima meraih tangan Inov. "Nov, ini gue. Mima. Lo
denger gue nggak?" Hening. Kalau ada bagian tubuh Mima yang harus dinobatkan jadi bagian
tubuh yang paling nggak nurut saat ini, jawabannya super duper
gampang: mata. Padahal otak Mima udah kirim perintah "jangan
nangis, jangan nangis, jangan nangis", air matanya tetap aja bandel
berleleren keluar. Bahkan ingus pun ikut-ikutan nggak nurut. Ikutan
meluncur bebas meler dari lubang hidung Mima. Mukanya pasti
kacau banget. Mima sesenggukan terduduk di samping ranjang Inov sambil
menggenggam tangan Inov yang nggak ada infusnya. Kalau cowok
ini bangun dan liat Mima mewek begini, pasti bakal ngeledek Mima
dengan tampang dinginnya, terus bilang "Cengeng lo," atau "Muka
lo jelek banget kalo mewek," atau apa pun deh. Yang pasti
sekarang Mima lebih memilih Inov melek dan ngeledek dia habishabisan daripada melihat cowok ini terbaring kritis dan nggak
sadar. "Nov, sadar dong. Buka mata. Beny sama komplotannya udah
ketangkep. Sukurin tuh mereka, biar busuk dimakan kecoak penjara. Biarin aja mereka bau dan budukan di penjara! Gue mau usul
mereka dilarang mandi, biarin aja mereka jadi panuan sebadan
gara-gara nggak mandi. Biar pada garuk-garuk... huhu... garukgaruk... huhuhu... "Akhirnya Mima cuma bisa nangis sesenggukan
nggak tertahankan. 244 Hening. Cuma suara alat pompa oksigen yang menjawab Mima.
Mima menyeka air mata yang masih keras kepala dan terjun
bebas dari matanya. "Nooov, bangun dong, please. Gue takut liat
lo kayak gini. Beneran." Suara Mima berubah merengek, dan
tentunya sama sekali nggak ngefek. Inov tetap aja diam.
Mima menggenggam erat tangan Inov. Berdoa khusyuk dalam
hati. 245 Dua Puluh Satu AU obat-obatan bercampur antiseptik menyergap begitu
Mima melangkah masuk ke lobi rumah sakit. Mima sudah
bertekad ngejenguk Inov tiap hari sampai cowok itu sembuh. Ponsel Mima berbunyi. Mima melirik screen-nya.
Gian. Angkat nggak ya? Sejak kejadian itu Mima belum masuk
sekolah. Pihak kepolisian menganggap lebih baik Mima berdiam di
rumah dulu, menenangkan diri beberapa hari sebelum kembali ke
sekolah. Selain itu juga untuk alasan keamanan memang sebaiknya
Mima nggak ke sekolah dulu. Polisi masih mengawasi lingkungan
sekolah Mima karena khawatir ada anggota komplotan Beny yang
masih mengincar Mima. "Halo? Aku di rumah sakit. Kenapa? Sori, Gi, nggak bisa. Uhm,
nggak, nggak tau. Sori ya, Gi. Udah dulu ya." KLIK. Mima menekan
tombol End. Sejak terakhir ketemu Gian di rumah sakit ini waktu
itu, Mima belum ketemu cowok itu lagi. Hampir tiap hari Gian
berusaha ngajak Mima ketemuan, tapi Mima selalu berhasil
menghindar. Termasuk hari ini. Sekarang kayaknya Mima mau fokus
sama Inov dulu. Dia mau liat Inov sembuh.
Mima menarik napas panjang sebelum tangannya mendorong
pintu kamar rawat Inov. Dia harus mengatur emosinya dulu supaya
di dalam nanti nggak nangis. Mima tau Inov memang belum sadar,
tapi dia nggak mau bawa aura sedih ke dekat Inov. Mima maunya
246 Inov merasakan semangat Mima supaya Inov juga semangat untuk
cepat sembuh. Mima memasang senyum lebar. Inov memang nggak bisa liat,
tapi Mima yakin Inov bisa merasakan. "Selamat siaaang..."
"Siang. Wah, kamu pasti perwakilan Peduli Manula ya?"
Hah? Apa? Peduli Manula? Mima mematung bengong di ambang
pintu. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka ada di kamar Inov?
Tunggu, tunggu, kakek tua yang tiduran di ranjang Inov itu siapa?
Inov mana? "M-maaf, kayaknya saya salah kamar deh."
Wanita seusia Mama yang tadi menjawab salam Mima menatap
heran. "Memangnya mau ke kamar berapa?"
"Ke kamar 203."
"Betul dong. Ini kamar 203. Kamu perwakilan dari Yayasan Peduli
Manula yang mau menjenguk ayah saya, kan?"
Jadi ini betul kamar 203? Betul dong ini kamar Inov. Apa Inov
udah pindah kamar? "B-bukan, Tante. Saya bukan perwakilan Peduli Manula. Saya
mau jenguk teman saya. Tadinya dia dirawat di kamar ini."
Wanita itu mengangguk paham. "Oh, begitu. Mungkin teman
kamu sudah keluar. Soalnya ayah saya masuk kamar ini tadi pagi.
Kamar ini sudah kosong kok."
Mima tertegun. Lho, kalau gitu berarti Inov keluar sebelum tadi
pagi dong? Kok nggak ada yang kasih kabar ke Mima ya?
Mima berjalan buru-buru di koridor rumah sakit. Masa iya sih
Inov udah keluar dari rumah sakit? Berarti dia udah sembuh
dong. "Mbak, saya mau tanya. Pasien dari kamar 203 yang namanya
Inov, eh... Satria November ke mana ya, Mbak?" tanya Mima nggak
sabar begitu sampai meja resepsionis.
"Sebentar ya, saya cek." Perempuan muda beralis kelewat rapi
yang duduk di kursi resepsionis itu mengetikkan sesuatu di key247 board komputer. "Pasien 203 atas nama Satria November sudah
keluar, Mbak, tadi malam."
"Yang bener, Mbak?"
Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum sopan. "Betul,
Mbak. Menurut data kami begitu."
Dahi Mima berkerut. Bukannya keadaan Inov kemarin masih
belum stabil dan belum sadar? Kalaupun tadi malam Inov sadar,
masa iya langsung dibawa pulang?
"Mbak, memangnya pasiennya udah sadar dan udah sembuh
ya? Kok bisa tiba-tiba pulang gitu? Kemarin saya kan jenguk ke sini.
Kata dokter, kondisinya belum stabil. Dia bahkan belum sadar."
Resepsionis itu tersenyum sopan lagi. "Aduh maaf, Mbak, kalau
data medis pasien tidak ada di data saya. Saya cuma mengurus
administrasi." Mendadak perasaan Mima jadi nggak tenang. Ini aneh. Rasanya
nggak mungkin deh kalau begitu sadar Inov bisa langsung dibawa
pulang. Jangankan yang kondisinya parah kayak Inov, dulu aja
waktu Mika kena demam berdarah, dia baru bisa pulang sehari
setelah dokter menyatakan trombositnya bagus. Menurut dokter,
tambahan sehari itu untuk observasi bahwa pasien benar-benar
udah stabil dan bisa pulang. Terus, kok Tante Helena nggak
ngabarin ya? Telepon Inov. Mima harus nelepon Inov.
Mima menekan nomor ponsel Inov yang dalam waktu singkat
berhasil dia hafal. "Nomor telepon yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada
di luar jangkauan..."
Nggak aktif. Mima menekan tombol Call sekali lagi.
"Nomor telepon yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada
di luar jangkauan..."
Tetap nggak aktif. Mungkin Inov masih perlu istirahat dan belum ngaktiin pon?
selnya. Mendingan Mima coba nelepon Tante Helena aja.
248 "Nomor telepon yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada
di luar jangkauan..."
Kok nggak aktif juga? Oke, sekarang Mima betul-betul gelisah. Gelisahnya berubah jadi
panik setelah dia minta tolong Mama untuk nelepon Tante Helena
ke rumahnya di Surabaya. Mama bilang telepon rumah Inov juga
nggak diangkat. Kalau nggak pulang ke rumahnya di Surabaya,
terus Inov dan Tante Helena ke mana? Ke Jakarta? Seingat Mima,
Mama pernah cerita bahwa rumah Tante Helena di Jakarta sudah
dikontrakkan untuk lima tahun sejak mereka pindah ke Surabaya.
Mima duduk di kursi tunggu lobi rumah sakit. Kok jadi menghilang
gini sih? Kalau Mima tanya sama dokter, nggak mungkin juga dokter
tau. Urusan dokter kan sebatas medis aja. Terus dia harus cari info
ke mana? Terlalu aneh kalau Inov keluar dari rumah sakit semisterius
dan semendadak ini. Nggak mungkin kalau nggak ada apa-apa.
Mima harus cari tau. Tapi ke manaaa...???
Mima mengetuk-ngetuk ujung jarinya ke layar ponsel. Mikir.
Tanya siapa ya? Siapa? Sia...
Bang Iwan. Betul banget. Mima harus tanya Bang Iwan. Kalau ada sesuatu
di balik alasan mendadaknya Inov keluar dari rumah sakit, polisi
pasti tau. Inov kan sedang di bawah pengawasan tim kepolisian.
"Inov udah nggak di Bandung. Dia udah nggak berada di sini. Dan
untuk sementara waktu Mima nggak bisa ketemu Inov. Ini untuk
kebaikan dan keamanan kalian. Kasus ini masih dalam penanganan
lanjutan. Kemungkinan anggota komplotan ini masih berkeliaran
dan mengincar kalian sangat tinggi sekarang ini. Sampai situasi
benar-benar stabil, Inov harus kami pastikan dalam perawatan di
tempat aman. Begitu juga kamu, Mima, saat ini kamu lebih aman
tidak berada satu lingkungan dengan Inov."
Mama mengusap-usap punggung Mima sementara Bang Iwan
menjelaskan semuanya pada Mima. Setelah Mima nelepon Bang
Iwan dan ngotot minta informasi soal Inov, akhirnya Bang Iwan
dan timnya datang ke rumah Mima untuk ngasih penjelasan.
Ternyata Inov memang dipindahkan diam-diam dari rumah sakit
itu ke rumah sakit lain di luar kota dengan pengawalan ketat. Inov
dan Tante Helena sementara ini masih dalam perlindungan pihak
kepolisian untuk mengantisipasi kalau-kalau ada aksi susulan akibat
penggerebekan itu. Dan demi keamanan Mima juga, pihak
kepolisian memutuskan Mima dan Inov sebaiknya dipisahkan agar
nggak memancing kemungkinan masih adanya anggota geng yang
mengincar Inov lewat Mima.
Sumpah, Mima sedih banget karena setelah semua yang dia dan
Inov lewati, tau-tau aja mereka berpisah dengan cara kayak gini.
Yang bikin Mima makin sedih, katanya, kondisi Inov sama sekali
belum stabil dan masih dalam tahap kritis.
"Jadi Inov belum stabil, Bang?" tanya Mima dengan suara
bergetar. Mima betul-betul cemas. Mau dibilang apa juga, nggak
ada yang bisa menyangkal bahwa hubungan Mima dan Inov jelas
semakin dalam setelah semua petualangan yang mereka lalui
bareng-bareng. Mima jadi tau Inov berani berkorban demi dia.
Sebaliknya juga begitu, Mima juga jadi tau dirinya bisa nekat dan
berkorban demi Inov. Bang Iwan menggeleng prihatin. "Maaf, Mima, sayangnya belum. Inov memang sudah sadar, tapi masih sangat tidak stabil.
Dokter memutuskan untuk lebih banyak ?menidurkan? Inov demi
menstabilkan kondisinya, sekaligus mempercepat penyembuhan
luka-lukanya, dan meredakan rasa sakitnya."
Mata Mima terasa panas. Kirain dulu setelah Revo dan komplotan
narkobanya tertangkap, semua masalah selesai dan Inov bisa hidup
tenang. Ternyata itu pikiran naif! Mima nggak kepikiran bahwa kriminal macam Revo pasti dendam dan mencari cara buat membalas
250 Inov lantaran pernah bikin mereka tertangkap. Penjahat pasti
berteman dengan penjahat. Terbukti, akhirnya Inov sampai celaka
karena terpaksa terlibat dengan komplotan curanmor Beny. Demi
melindungi Mima dan Mika, Inov nekat terjun dalam operasi
berbahaya ini. "Terus, kapan aku bisa nengokin Inov, Bang? Emang dia
dipindahin ke mana sih, Bang? Masa nengokin aja nggak boleh?"
Bang Iwan berdeham pelan dan menatap Mima, maklum. "Maaf,
Mima, kalian pasti bisa bertemu lagi setelah situasi aman."
"Mi, kamu harus sabar. Ini bukan hal sepele. Menyangkut
keselamatan kalian. Kamu nurut aja sama mereka, ya? Besok kamu
mulai sekolah. Kamu harus konsentrasi." Mama menepuk-nepuk
lembut punggung tangan Mima.
Ternyata dugaan Mima benar. Keluarnya Inov dari rumah sakit
memang ada hubungannya dengan kasus ini. Ya, kalau udah
perintah dari kepolisian Mima bisa apa? Biarpun dia maksa sambil
meraung-raung juga, kalau belum waktunya, pihak kepolisian nggak
bakalan mungkin ngasih info. Rasanya Mima susah banget nerima
kenyataan bahwa dia cuma bisa pasrah
"Mi, Mima..." Suara Mama terdengar di depan kamar Mima, disusul
ketukan pelan di pintu. "Keluar dulu, Mi, ada yang cari kamu tuh
di depan." Ada yang cari Mima? Siapa ya? Rasanya Mima nggak ada janji
sama siapa-siapa. Setelah Bang Iwan dan anggota kepolisian
pulang, Mima langsung masuk kamar dan mutusin untuk nggak
ngapa-ngapain hari ini. Dia mau menenangkan diri.
Mima menutup laptop sebelum membuka pintu kamar. Mama
masih berdiri di depan pintu. "Siapa, Ma?"
"Kamu liat aja ke depan. Mama ke dapur dulu."
"Eh, Ma?" Tapi Mama keburu ngeloyor ke dapur. Apaan sih hari


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

251 ini? Semua serbamisterius. Inov misterius, sekarang tamunya juga
ikutan misterius. Mima melirik jam tangan, lalu mengira-ngira siapa
yang nunggu dia di teras.
Jam segini udah jam pulang sekolah. Hm... mungkin sahabatsahabatnya yang mampir untuk nengokin Mima. Sejak peristiwa
heboh itu kan mereka belum sempat ketemu. Mereka cuma ngobrol
lewat grup WhatsApp khusus mereka berempat. Kalau yang datang
Kiki, Riva, atau Dena, biarpun nggak ada rencana kayaknya Mima
bakalan senang banget. Meski dia tetap nggak bisa cerita tentang
apa yang sebenarnya terjadi.
"Hai, Mima. Aku ganggu waktu istirahat kamu, ya?"
Mood Mima langsung drop begitu melihat Gian yang ada di teras
rumahnya, bukan sahabat-sahabatnya. "Gian? Ada apa?"
Alis Gian langsung mengernyit dengar sambutan Mima yang
nggak semangat. "Aku ke sini karena khawatir sama kamu, Mi."
Mima tersenyum datar. "Aku baik-baik aja."
"Syukurlah kalau kamu baik-baik aja, Mi. Susah banget mau
ketemu kamu, makanya aku datang ke rumah kamu, Mi. Kalau
kamu baik-baik aja, kenapa kamu nggak masuk sekolah, Mi? Apa
kamu nggak takut ketinggalan pelajaran? Biarpun hanya beberapa
hari, tapi pasti kamu ketinggalan lumayan banyak," lanjut Gian
dengan tampang polos tanpa dosa.
Serius nih pertanyaan Gian tadi? Dia mempertanyakan kenapa
Mima nggak masuk sekolah? Gian kan tau apa yang terjadi sama
Mima dan Inov. Status Gian kan masih pacar Mima, harusnya dia
justru nyuruh Mima istirahat dulu untuk menenangkan diri dan
nggak mikirin apa-apa. Kejadian yang Mima lewati itu betul-betul
berbahaya dan mengerikan, tapi Gian malah lebih mikirin soal Mima
izin sekolah beberapa hari. Ya oke, Mima juga tau dia bisa ketinggalan beberapa materi pelajaran, tapi masa Gian nggak mikirin
kejiwaan dan keamanan Mima sih? Pihak sekolah aja setuju untuk
ngasih Mima dispensasi. 252 "Jadi, kapan kamu masuk sekolah lagi, Mi?" tanya Gian tanpa
menyadari ekspresi kecut Mima.
"Besok." Masih nggak ngeuh sama ekspresi asem Mima, Gian malah nanya
lagi dengan polosnya. "Aku jemput kamu, ya?"
Mima terdiam. "Mima?" Mima menatap Gian canggung. Selama ini kayaknya udah cukup
waktu untuk Mima mikir. Dan sekarang dia harus berani ngomong.
"Gi, kayaknya kita... udahan aja deh."
Lalu hening. Gian menatap Mima, nggak percaya. Bibirnya bergerak-gerak
samar sambil berusaha mencerna kalimat Mima barusan. "Maksud
kamu, kita putus?" tanya Gian masih kurang yakin.
Mima mengangguk pelan. "Iya, Gi, putus."
"Tapi kenapa? Memangnya aku salah apa, Mima? Tolong, aku
butuh penjelasan karena kamu mutusin hubungan kita secara
sepihak." Ya ampun, Gian. Bahkan saat putus sama pacar pun kalimatnya
kaku dan baku kayak gitu. Dulu Mima memang naksir dan terpesona
habis-habisan sama Gian. Tapi sekarang?
"Yah, karena aku sadar bahwa kita ternyata nggak cocok, Gi.
Tepatnya aku sih yang nggak bisa nyocokin diri sama kamu. Aku
bukan cewek yang tepat buat jadi pacar kamu. Aku nggak selevel
sama kamu. Soal gaya hidup, soal pelajaran... aku beda sama
kamu." "Aku nggak paham. Nggak tepat gimana? Aku kan selalu berusaha bimbing kamu."
"Nah itu dia!" pungkas Mima cepat. "Kamu berusaha ngebentuk
aku jadi cewek yang ideal buat kamu, Gi. Aku nggak bisa ngikutin
aturan kamu. Harus serbadisiplin, ketawa jangan ngakak, dicalonin
jadi pengurus OSIS, pake baju harus begini harus begitu. Aku nggak
bisa, Gi. Itu bukan aku. Sori ya, Gi."`
253 Gian yang tadinya masih berusaha jaim, ekspresinya berubah
tegang. Matanya mengamati Mima penuh selidik.
"Kenapa ngeliatin kayak gitu?"
"Ini pasti karena Inov, kan? Kamu betul-betul jadian kan sama
dia sekarang?" Hati Mima berjengit kesal. Kok Gian tega sih nuduh Mima begitu?
Bawa-bawa Inov lagi. Padahal Inov celaka karena Gian keceplosan
membocorkan rahasia penyamaran Inov. Memang hubungan Mima
merenggang berbarengan dengan kasus Inov ini. Tapi masa setelah
apa yang Mima jelasin barusan, Gian bukannya introspeksi diri sih?
Malah nuduh-nuduh Inov. "Kok bawa-bawa Inov sih, Gi?" Mima jadi emosional. Tegateganya Gian ngomong begitu. Padahal keadaan Inov kritis! Padahal
Mima bahkan nggak tau di mana Inov sekarang. "Penjelasan aku
tadi kayaknya udah cukup jelas deh, Gi. Ini nggak ada hubungannya
sama Inov. Ini betul-betul karena aku nggak bisa lagi menyesuaikan
diri sama kamu. Aku lebih nyaman jadi diriku sendiri daripada jadi
orang yang ?lebih baik? versi kamu."
Gian berdiri terpaku di hadapan Mima. Mukanya antara syok dan
nggak terima. "Kalau kamu nggak setuju sama aku, harusnya kamu
bilang, Mi." Mima menarik napas panjang, lalu mengembuskannya keraskeras. Menahan diri supaya nggak makin meledak-ledak atau malah
nggak bisa menahan diri untuk nggak mencakar-cakar Gian sambil
menoyor-noyor jidatnya, supaya otak geniusnya yang ternyata
pikun ini bisa ingat kembali.
"Bukannya aku udah sering ngomong, Gi? Tapi kamu selalu
begitu lagi. Udahlah, Gi, mendingan kita nggak usah berdebat.
Maain aku ya. Aku masuk dulu. Masih pengin istirahat." Tanpa
menunggu jawaban Gian, Mima berbalik dan masuk ke rumah.
Gian memang nggak jahat, tapi Mima juga nggak bisa kalau harus
terus maksain diri cocok sama Gian.
254 Mima harus mengakui rasa sukanya sama Gian ternyata memang
dangkal banget. Sejak awal memang dia naksir Gian karena pesona
kulit luarnya aja. Selama mereka pacaran yang bikin Mima senang
hanya karena dia berhasil dapetin cowok yang dia incar, tapi nggak
benar-benar dekat sama Gian.
Dipikir-pikir, Inov malah kebalikannya. Penampilan luarnya
nyebelin dan dingin kayak robot begitu, tapi ternyata Mima merasa
begitu dekat sama Inov. Mima menatap ponselnya. Inov, lo di mana sih?
"Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar
jangkauan..." Masih nggak aktif. 255 Dua Puluh Dua O nyicipin jus gue nggak, Mi?" Dena menyodorkan
gelas jusnya ke hadapan Mima.
Mima menggeleng pelan. "Nyobain kerak telor gue aja nih. Enak. Sumpah." Gantian Riva
nyodorin kerak telor. "Nggak ah," tolak Mima sambil mendorong balik piring kerak
telor Riva. "Kalo..." "Nggak, Ki. Gue nggak mo nyicip cendol lo," potong Mima
sebelum Kiki selesai ngomong. Dari gelagatnya Mima udah tau Kiki
bakalan ikut-ikutan nyodorin gelas cendolnya ke Mima. "Kalian
pada kenapa sih? Ngapain coba, gantian nawarin makanan? Kalo
mau, gue udah beli sendiri deh."
Trio sahabat Mima kompak saling lirik.
"Yah, habisnya lo beda banget dari Mima yang biasanya. Masa
di food court segede gini lo mesen es teh manis doang? Dari tadi
cuma diminum satu seruput doang lagi." Mata Kiki menatap khawatir gelas es teh manis Mima yang masih penuh. Bagaimana
mungkin Kiki dan yang lain nggak khawatir, makin lama Mima makin
aneh. Sekarang aja di food court Istana Plaza yang penuh makanan
enak, dia cuma minum. "Emangnya kenapa sih? Gue emang lagi pengin es teh manis."
Mima mendelik risi. Memangnya ada aturan di food court ini nggak
boleh pesan es teh manis doang?
256 "Mi, kami bertiga tau kok lo pasti bete banget karena Gian baru
putus sama lo dua minggu dan sekarang langsung jadian sama si
Gea, ketua Klub Sains. Ya, kan?"
"Idih. Siapa yang mikirin Gian?" Nada suara Mima langsung naik
beberapa oktaf dari nada normal. Biarpun nggak salah sih sahabatsahabatnya nyangka kayak begitu. Mereka kan nggak tau apa-apa.
Semua kejadian yang menimpa Mima dan Inov dirahasiakan pihak
sekolah. Atas saran pihak kepolisian, Mima juga diminta nggak
perlu menceritakan pada siapa pun. Katanya, semakin sedikit yang
tau akan semakin baik. Yang teman-teman Mima tau, waktu Mima
nggak masuk sekolah dua minggu lalu itu karena Mima sakit. Kiki,
Riva, Dena memang sempat datang ke rumah Mima buat menjenguk
sahabat mereka itu. Dan Mima betulan keliatan lagi sakit. Gian juga
mendapat pengarahan khusus dari polisi untuk nggak bicara apaapa.
"Gue malah udah lega nggak pacaran lagi sama Gian."
Semua langsung kompak melempar tatapan penuh tanya. "Terus
lo kenapa dong, Mi? Sejak lo masuk sekolah lagi lo berubah. Jadi
suka bengong, pendiem, jarang makan. Lo kayak orang patah
hati." "Atau kayak orang cacingan." Dengan asal Kiki menyambung
omongan Dena. "Kesimpulannya kami bertiga curiga kondisi lo lagi antara patah
hati atau cacingan, Mi," kata Riva ikut-ikutan.
Mima merengut. Ngaco banget sih mereka. "Gue nggak patah
hati. Gue nggak cacingan. Gue..."
"Lo kenapa, Mi? Lo nyembunyiin sesuatu dari kami ya, Mi? Ceritain kek. Apa lo udah nggak percaya lagi sama kami bertiga?"desak
Kiki nggak sabar. Mima menatap sahabatnya satu-satu. Ragu-ragu. "Gue..."
"Lo kenapa?" Riva menarik kursinya lebih dekat ke meja supaya
lebih dekat sama Mima. 257 "Gue mikirin Inov." Ya, sudahlah. Mima nggak tahan lagi memendam ini sendiran. Dia butuh sahabat-sahabatnya. Dia butuh
tempat curhat. Mima juga yakin sahabat-sahabatnya nggak bakalan
bikin masalah, biarpun mereka tau masalah ini.
Kiki, Riva, dan Dena melongo bareng-bareng.
"Ya ampuuun! Jadi lo jatuh cinta sama Inov? Ya wajar sih ya,
biarpun semacam robot begitu, dia kan sebenernya keren. Terus
kejadian dulu itu pasti jadi pengalaman tak terlupakan dan bikin
kalian deket, kan? Yaelah, Mi, maju aja. Udah deket ini. Lo
mendingan telepon dia deh, langsung lancarkan PDKT," cerocos
Kiki yakin dan kegirangan. Kiki betul, peristiwa dengan bandar
narkoba dulu itu bikin Mima dan Inov jadi dekat. Tapi mereka
bertiga nggak tau Mima dan Inov baru aja melewati petualangan
yang lebih dahsyat dan bikin mereka jauh lebih dekat.
"Iya, Mi, kami semua mendukung kok lo jadian sama Inov.
Apalagi ternyata dia perhatian sama lo. Buktinya dia sampe ke
Bandung cuma buat kasih lo surprise ulang tahun. Terus dia juga
kayaknya nerima lo apa adanya. Nggak ngomelin dandanan lo dan
tahan sama kebawelan lo. Ya, kan?" Riva ikut nyerocos penuh
semangat. Nggak perlu ada prospek PDKT, nggak perlu jadian, dan Inov
nggak perlu punya perasaan sama Mima. Cukup tau di mana dan
gimana keadaan Inov sekarang, Mima pasti lega dan bahagia
banget. Cukup itu aja. Dua minggu lebih bukan waktu sebentar.
Apa keadaan belum aman? Tapi buktinya Mima baik-baik aja ke
sekolah. Atau... jangan-jangan Inov sengaja nggak mau ketemu
Mima lagi. Bisa aja kan Inov sengaja jauhin Mima karena takut
mereka kecebur masalah lain lagi? Waktu itu aja Inov marah banget
karena Mima ketauan nguntit Inov.
Ya Tuhan, jangan sampai begitu....
"Lho, Mi? Lo kenapa, Mi, kok nangis? Mima?"
"Iya, Mi, lo kenapa sih?"
258 Sahabat-sahabat Mima langsung panik begitu sadar Mima
sedang tertunduk sambil sesenggukan.
Mima mendongak, memandangi ketiga sahabatnya dengan mata
berleleran air mata. Mima yakin seyakin-yakinnya mukanya pasti
jelek banget sekarang. Pasti mukanya sembap menyedihkan dan
memancing banget buat diliatin, lalu digosipin sambil bisik-bisik
oleh semua orang yang lalu-lalang di dekat meja mereka. Tapi Mima
nggak peduli. "Gue... pengin cerita..." kata Mima dengan suara
pelan bergetar. Sekarang bukan cuma air mata yang mengucur
deras. Ingus pun ikut-ikutan.
Bengong adalah reaksi pertama Kiki, Riva, dan Dena mendengar
cerita yang mengalir dari mulut Mima. Sekarang mereka sudah tau
semuanya. Semuanya dalam arti sebenarnya. Tanpa sensor.
Kiki meraih tangan Mima dengan ekspresi masih kaget. "Ya
ampun, Mi. Maaf ya, kami semua nggak tau selama ini lo sama Inov
ngalamin hal kayak gitu."
"Kalian nggak salah. Kan emang gue nggak cerita." Sekarang
dada Mima jauh lebih plong. Lega rasanya, kayak ada beban yang
superberat terangkat dan hilang begitu aja.
Dena menggeser kursinya lebih rapat ke kursi Mima. "Terus, Mi,
sekarang lo nggak tau keadaan Inov?"
Mima menggeleng. "Gue nggak tau. Gue bener-bener takut Inov
ternyata..." "Mi, lo nggak boleh ngomong gitu. Kita harus positive thinking
dan berdoa Inov baik-baik aja. Belum tentu Inov udah meninggal."
"Hah? Lo ngomong apaan sih, Ki?"
Mima meringis heran. "Yang nyangka Inov meninggal itu
siapa?" "Yah, tadi lo..."
Mima mengusap cepat hidungnya sebelum ingusnya meluncur
turun. "Bukan ituuu. Gue takut Inov ternyata emang sengaja
menghindari gue. Lo kan tadi udah denger sendiri cerita gue. Gue
bisa terlibat sejauh itu karena gue kepo dan penasaran sampe
nguntit Inov segala. Bisa aja kan dia sengaja supaya gue nggak
terlibat masalah sama dia lagi? Tapi gue nggak mau kayak gituuu...
gue kan khawatir sama keadaan dia."
Riva menepuk pelan punggung tangan Mima."Siapa tau dia
memang belum sembuh atau keadaannya belum dianggap aman
sama kepolisian, Mi. Lo sabar aja."
"Sabar? Gimana gue bisa sabar? Kalian kan tau gue. Gue
penasaran banget. Nggak tenang. Udah dua minggu lebih lho. Itu
kan lama banget." Kiki, Riva, dan Dena lirik-lirikan.
"Mi, lo bener-bener cinta sama si Inov, ya?" tanya Dena hatihati.
"Apa? Kok... pertanyaannya malah gitu sih?"
Dena mengangkat bahu. "Habis lo kayaknya khawatir banget.
Lo kangen ya sama dia?"
WHAAAT?! Ini kenapa omongan sahabat-sahabatnya jadi ngaco
gini sih? "Ya ampun, kenapa pikirannya jadi ke mana-mana sih? Ini
bukan waktunya mikirin soal cinta-cintaan kayak gitu. Gue khawatir
sama Inov, titik. Nggak usah ada embel-embel apa-apa. Setelah
semua yang terjadi, wajar, kan?" Mima menyeruput es teh manis
sampai habis karena frustrasi. Pokoknya sekarang Mima khawatir
sama keadaan Inov. Nggak tau apa ada embel-embel lain di balik


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa khawatirnya. Pokoknya Mima khawatir.
Tapi apa mungkin... dia punya perasaan kayak gitu pada Inov?
260 Dua Puluh Tiga ALU masukkan bawang merah, bawang bodas yang sudah
direndos dengan halus, tambahkan udang yang sudah
di-wash sampe clean, lalu... Neng? Halo... Neng?? Helloww... Neng Mimaaa..." Telapak tangan Teh Jul yang bau bawang
melambai-lambai di depan muka Mima.
"Duh, apa sih, Teh?"
Teh Jul malah menatap Mima dengan delikan mata ala-ala pemeran pembantu sinetron. "Yah, Neng Mima teh kumaha sih?
Katanya tadi mau diajarin bikin sambel goreng udang. Ehhh, lagi
dipraktikin malah bengong. Why, Neng whyyy?"
"Aku merhatiin kok," jawab Mima sambil menepis tangan
bawang Teh Jul dari depan hidungnya.
"Yakiiin...? Beneeer? Ar yu suuur? Kalo gitu, coba tadi gimana,
coba jelasin." Mima memutar bola matanya, sebal. "Masukin yang itu, itu,
sama itu, terus masukin udang. Ya, kan?" Dengan pede Mima
menunjuk mangkok-mangkok kecil yang tadi berisi ulekan bawang
dan teman-temannya. Biarpun sebetulnya Mima nggak merhatiin
sih. Kan logikanya kalau mangkok-mangkok kecil itu kosong, berarti
udah dimasukin ke wajan. Hidung Teh Jul berkerut-kerut dengan ekspresi penuh selidik.
Ekspresi yang bikin Teh Jul jadi lebih mirip marmut daripada
detektif. "Ya itu, itu, itu teh naon wae, Neng, bahannya?"
261 "Emangnya harus disebutin lagi?"
"Ya, harus atuh. Kalo nggak hafal bahan-bahannya, gimana?
Bisa-bisa Neng Mima numis susu kambing sama timun suri buat
bikin sambel goreng udang."
Dasar bawel. Mima melempar pandangan malas. Tadi siapa juga
yang minta diajarin bikin sambel goreng udang? Mima kan cuma
lagi lewat dapur diseret Teh Jul dan ditawarin belajar bikin sambel
goreng udang. Berhubung akhir-akhir ini level galaunya lagi nggak
normal dan lagi sering bengong, juga ngelamun, yah Mima iya-iya
aja. Sebetulnya, begitu sadar ada di dapur, Mima udah mau kabur.
Tapi akhirnya nggak tega liat Teh Jul yang semangat banget pengin
ngajarin masak. TING TONG! "Permisiii..." Saved by the bell. "Teh, ada tamu tuh. Aku buka pintu dulu." Mima melesat secepat
kilat meninggalkan dapur. Mudah-mudahan aja tamunya bukan
sales keliling yang nawarin produk semacam vacuum cleaner,
pengaman tabung gas, atau obat antinyamuk demam berdarah.
Kalau tamunya sales keliling, berarti Mima berhasil kabur dari dapur
lalu terjebak masalah baru. Sales keliling yang sering mampir ke
kompleks Mima terkenal pantang menyerah dan punya seribu satu
cara buat maksa orang beli.
"Selamat siang. Saya dari jasa Titipan Kilat. Betul di sini tempat
tinggalnya... hm, Mima?" Laki-laki berseragam hijau tua itu melirik
sekilas ke arah tulisan di amplop cokelat besar yang dia pegang.
"Oh, saya sendiri. Ada apa ya, Mas?"
"Ada kiriman buat Mbak. Silakan, ini tanda terimanya ditandatangani dulu ya." Petugas Titipan Kilat itu menyodorkan kertas dan
pulpen pada Mima. "Ini dokumennya, Mbak."
"Makasih ya, Mas."
Kiriman dari siapa ya? Kok ada yang kirim dokumen segala ke
262 Mima? Mima membaca nama dan alamatnya yang tertera di belakang amplop. Nama dan alamat Mima tercetak jelas di kertas stiker
yang ditempelkan di permukaan amplop. Di salinan kertas yang
Mima tandatangani tadi ada cap "DOKUMEN PENTING".
Pelan-pelan mata Mima tertuju pada tulisan nama dan alamat
pengirim. Dan napas Mima langsung tercekat.
Inov. Jantung Mima berdegup nggak beraturan. Mendadak Mima jadi
gugup. Dengan nggak sabar Mima merobek ujung amplop dan
menarik keluar isinya. Mima mengerjapkan mata nggak percaya,
melihat isi amplop yang Inov kirimkan.
Dua hari kemudian... Inov berdiri dibantu tongkat, yang harus dia pakai sampai retak di
kakinya sembuh total. Luka-luka di badannya sudah mulai sembuh.
Lebam-lebamnya juga mulai memudar. Dokter yang merawat Inov
di Surabaya bilang bahwa Inov masih harus banyak istirahat karena,
biarpun luka luar tampak pulih dengan cepat, luka dalam akibat
pukulan keras masih perlu perhatian khusus. Lega rasanya dia sudah
bisa keluar dari rumah sakit dan boleh mulai beraktivitas.
"Permisi... permisi..." Bandara Djuanda hari ini penuh, kalau Inov
nggak jalan sambil bilang "permisi" bisa-bisa dia disenggol orang.
Inov menatap papan jadwal pesawat yang tulisannya berganti-ganti
cepat. "Aw... aduh..." Inov meringis ngilu karena kakinya yang retak
tiba-tiba nyut-nyutan. Dokter udah mulai mengurangi dosis pain
killer Inov. Akibatnya ya begini deh, sakitnya lebih terasa. Mendingan Inov duduk dulu sambil menunggu informasi penerbangan
dari pengeras suara. Ponsel Inov berdering. Bunda. "Halo. Aku di bandara, Bunda. Iya. Oke. Nggak, nggak usah. Aku
263 bisa sendiri. Bunda nggak usah khawatir ya. Iya... iya, pasti aku
kabarin. Iya... Dah..." Sambil menghela napas Inov memasukkan
kembali ponselnya ke saku celana. Baru sekarang dia merasa nggak
berdaya seperti ini. Yang jelas dia bersyukur masih hidup. Komplotan
itu bisa aja menghabisi Inov dan dia masih beruntung karena
mereka "cuma" ngasih pelajaran. Biarpun kata Bang Iwan, kalau
waktu itu Mima nggak teringat lokasi X yang dimaksud sehingga
Inov terlambat diselamatkan, dia bisa mati karena pendarahan
dalam. Mima. Gimana kabar cewek bawel itu sekarang? Dia pasti sebal setengah mati karena Inov diungsikan diam-diam ke Surabaya. Bang
Iwan cerita bahwa Mima sempat ngotot minta dikasih tau keberadaan Inov. Inov tersenyum geli sendiri, kebayang muka ngototnya
Mima yang kocak dan ngegemesin itu. Kalau Inov yang menyembunyikan informasi dari Mima, cewek itu pasti bakal ngotot habishabisan. Cewek itu pasti gondok banget karena dia nggak mungkin
ngotot ke Bang Iwan dan tim kepolisian. Mukanya pasti merah
padam. Terus dia pasti...
"Heran, tiap pergi pasti beraninya kirim surat."
Inov tercekat. Tangannya menyambar tongkat, lalu buru-buru
berdiri dan berbalik. "Mima..."
Di hadapan Inov, Mima berdiri. Matanya menatap lurus Inov
dengan ekspresi paling aneh yang pernah Inov liat. Kalau dianalisis,
kayaknya ekspresi itu campuran antara marah, kaget, lega, senang,
dan pengin nangis. Semakin lama, yang semakin jelas adalah
ekspresi pengin nangisnya.
Mima mengerjap nggak percaya. Ternyata Inov benar-benar ada
di sini. Ternyata setelah mengirimkan surat dan tiket pesawat lewat
Titipan Kilat untuk Mima, Inov betul-betul menjemput Mima di
bandara ini. Di Surabaya.
Mima nggak tau perasaan apa aja yang memenuhi dadanya
264 sekarang. Yang jelas dia lega melihat Inov sudah mulai pulih,
biarpun masih harus dibantu tongkat saat berdiri. Yang penting ini
beneran Inov yang ada di depan dia.
Mata Mima mulai buram karena air matanya mulai merembes
nggak terkontrol. "Eh, M-Mima... lo kena..."
"INOOOV... Huhuhu..." BRUK! Mima melepas travel bag-nya
sampai jatuh ke lantai sambil melompat ke depan dan memeluk?
lebih tepatnya menggabruk?Inov sambil menangis drama.
"E, eh, aduh... aduh... Mi, sakit, Mi, aduh... badan gue masih
sakit, Mi...!" "Biarin! Huhuhu... Sakitan mana sama gue yang ditinggal gitu
aja tanpa tau lo masih hidup atau udah mati? Huhuhu... Sakitan
mana sama gue yang bertanya-tanya keberadaan lo yang nggak
jelas? Sakitan manaaa... huhuhu... sakitan manaaa...?"
"Hmpfft!" Hampir aja Inov kelepasan ngakak kalau nggak buru?
buru ditahan, saking gelinya mendengar kalimat Mima yang mendadak penuh drama tadi. Akhirnya Inov rela menahan sakit demi
membiarkan Mima memeluk dia sambil sesenggukan heboh.
265 Dua Puluh Empat IH, minum dulu. Sisanya dipake cuci muka juga nggak
pa-pa. Muka lo kayak orang habis ikut tinju profesional." Inov menyodorkan botol minuman pada
Mima. Setelah adegan pelukan penuh drama tadi, Inov ngajak Mima
duduk di kafetaria kecil di area bandara. Masalahnya, kalau Inov
nggak segera ngajak Mima melipir ke kafetaria, bisa-bisa mereka
jadi tontonan gratis orang-orang di bandara.
Dengan bibir manyun dan muka sembap, Mima membuka botol
minuman dari Inov. "Kalo mo nyuruh gue sekalian cuci muka,
beliinnya air mineral dong. Masa gue cuci muka pake jus jambu."
"Masih aja galak," komentar Inov pendek sambil sibuk membuka
botol minumannya sendiri. "Kalo galak jangan cengeng."
"Ih, robot somplak! Udah sembuh dari babak belur masih aja
korslet. Kirain otaknya udah dibenerin sama dokter. Nyebelin! Baru
juga ketemu udah ngajak berantem. Lo nyadar nggak sih, gue
khawatir kayak apa waktu lo dibawa pergi sama komplotan Beny?
Habis itu liat keadaan lo kritis. Belum lagi ditambah lo diungsiin
tiba-tiba. Terus..."
"Mi, Mi..." Inov mengangkat telapak tangan, berusaha minta
Mima tenang. "Apaan sih? Gue belum selesai ngomong! Terus ya, lo udah bikin
gue..." "Mi, Miii..." 266 "Gue panik, kesel, bingung... cemas! Lo mikir nggak sih?"
"Mima!" Mima terdiam melongo. Kok dibentak sih? Mima menyipit tajam
ke arah Inov. "Apaan sih?!"
Inov balas menatap mata Mima lurus-lurus. "Sori."
Butuh sekitar tiga detik untuk Mima bengong dan sadar bahwa
Inov barusan?kayaknya?minta maaf. Bibir Mima mengerucut.
"Itu tadi minta maaf?"
"Memangnya sori artinya apa lagi?"
Hih. Emang dasaaar, sekali terlahir sebagai manusia berkelakukan
robot selamanya akan terus jadi manusia berkelakuan robot. Yah,
biarpun terakhir kali Mima ketemu Inov, dia udah lumayan mirip
manusia dan lebih keliatan punya emosi, tapi ternyata sisa?sisa
kerobotannya masih ada. "Ada orang minta maaf kayak gitu doang?
Kayak nggak ikhlas. Sori. Apaan tuh? Minta maaf, tapi datar, nggak
berperasaan. Padahal gue udah bela-belain mau datang ke sini
dengan tiket yang lo kirim demi mastiin lo baik-baik aja, tau..."
"Maain gue ya, Mima."
Mima spontan berhenti nyerocos. "Bilang apa?"
Inov melipat tangannya di atas meja sambil terus memandang
Mima serius. "Gue bilang, maain gue, Mima. Makasih lo udah
khawatir sama gue. Makasih juga lo mau datang ke sini dan nemuin
gue karena gue belum bisa keluar dari Surabaya."
Mima nggak bisa menahan diri untuk nggak senyum senang
karena Inov bisa minta maaf dengan penuh perasaan kayak tadi.
"Iya, gue maain. Gue seneng, Nov, liat lo udah seger kayak
sekarang. Terus gimana perkembangan kasusnya, Nov?"
"Menurut polisi, penggerebekan kemarin itu berhasil menyapu
bersih komplotan mereka. Polisi juga baru-baru ini berhasil nangkep
bos besar mereka." "Syukur deh. Berarti kita aman dong?"
Inov mengangguk. 267 "Terus, Revo gimana?"
"Revo dapat tuntutan pasal baru, terbukti terlibat. Dia bakal
diadili lagi dan dijatuhi hukuman untuk kasus baru. Dia akan diawasi
lebih ketat. Yang jenguk dia juga nggak boleh bawa alat komunikasi
apa pun." "Bagus deh. Syukurin mereka. Biar dimakan kecoak di penjara!"
gerutu Mima geram. "Terus lo bakal nerusin sekolah di sini,
Nov?" "Rencananya setelah sembuh total gue... bakal sekolah di
Bandung lagi." Mima menatap Inov kaget. "Serius? Tante Helena gimana?"
"Iya, Bunda juga bakalan pindah bareng gue ke Bandung. Tapi
mungkin gue duluan. Gue lebih nyaman di Bandung, Mi. Bunda
juga. Karena di Bandung Bunda bisa dekat lagi sama keluarga dan
sahabat-sahabatnya, termasuk mama lo, Mi."
"Gue tunggu deh lo masuk ke sekolah gue lagi. Yang pasti kalo
lo bikin masalah, gue bakal getok lo pake ulekan sambel Teh
Jul." "Mi..." panggil Inov pelan.
"Hm?" "Lo baik-baik aja, kan? Waktu itu gue inget lo didorong keras
sama salah satu dari mereka."
"Gue baik-baik aja kok. Waktu itu gue sempet pingsan sih, sekitar
tiga jam gitu. Tapi tenang ajaaa, efek sesudahnya gue cuma pusingpusing doang sama benjol kok. Nggak sampe gila atau amnesia
gitu." Mima nyengir.
Kangen. Ternyata Inov betul-betul kangen sama Mima. Begitu
kondisinya stabil dan kesadarannya kembali seratus persen, yang
pertama dia ingat adalah Bunda dan Mima. Sekarang cewek bawel
yang hobi protes, juga kepo sama urusan orang itu, ada di
hadapannya. Dia masih sama seperti yang selalu Inov ingat.
Senyumnya masih sama. Matanya yang membulat kalau lagi
268 ngomel-ngomel heboh, semuanya masih sama dan bikin Inov
gemas. Mima. Rasanya cewek yang bisa sedekat ini sama Inov baru
Mima. Dekat yang terasa hangat sampai ke hati.
"Nov, lo kenapa bengong mendadak sih? Pusing? Masih sakit,
Nov? Bawa obat nggak?"
"Gue nggak pusing, Mi."
"Terus kenapa bengong?" Mima malah makin khawatir.
Inov menatap Mima lempeng. "Emangnya orang bengong
berarti pusing?" "Yeee, ya mana tau! Makanya gue nanyaaa... lo kan baru
sembuh, wajar dong gue khawatir lo masih suka pusing-pusing.
Gue aja waktu bangun dari pingsan pusingnya lama, apalagi lo
yang... HMPPHH!!!" Tiba-tiba telapak tangan Inov membekap mulut
Mima yang merepet bagai remnya blong.
"Ssst!" Inov menempelkan telunjuknya di bibir, sementara
sebelah tangannya masih membekap mulut Mima. Tapi begitu
Mima melotot penuh ancaman sadis, Inov buru-buru melepas
bekapannya. PLUK! Mima melempar gumpalan tisu dengan penuh dendam
ke jidat Inov. "Rese banget sih, masih main bekep orang sembarangan! Nyebelin!"
"Kirain habis kejedot sampe pingsan, lo udah nggak merepet
lagi." "Reseee!" Mima heboh mengulurkan tangannya menyeberangi
meja, berusaha menoyor jidat Inov. Tapi dengan lihai Inov ngeles
dan menangkap tangan Mima yang badannya juga sudah nyaris
menyeberangi meja karena penasaran banget pengin menoyor jidat


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inov. Akibatnya... posisi mereka sekarang kelewat dekat. Wajah Mima
dan Inov cuma berjarak satu jengkal. Mata mereka otomatis sejajar
dan bertatapan. Kenapa jantung Mima jadi deg-degan begini?
Lututnya juga mendadak lemas. Tatapan Inov kayak bikin dia
meleleh. Perut Mima juga rasanya geli. Kata orang, itu lho, sensasi
kupu-kupu di dalam perut karena saking gugupnya.
Inov juga, kenapa tangan Mima nggak dilepas-lepas sih? Terus...
kenapa matanya juga nggak berhenti menatap Mima kayak gini?
Kalau begini terus beberapa detik lagi sih Mima bisa pingsan.
Pingsan karena grogi. Pingsan karena deg-degan yang nggak jelas.
Ini... udah kelewat dekat deh...
"Ih, lo kesempatan banget sih pegang-pegang tangan gue."
Dengan muka merah padam akhirnya Mima melepas genggaman
Inov. Inov tersentak kaget. Ya ampun, apa-apaan tadi? Kenapa
jantungnya kayak dipompa begitu gara-gara berdekatan sama Mima
coba? "Ge-er." "Terus, gue udah di Surabaya nih. Kita ngapain lagi?"
"Kita jalan-jalan."
"Jalan-jalan?" Inov mengangguk mantap. "Iya, jalan-jalan. Ayo." Inov meraih
tangan Mima dan menariknya pelan supaya Mima berdiri.
"Jalan-jalan ke mana sih?"
"Udah... pokoknya kita seneng-seneng. Kita kan udah kelewat
stres belakangan ini. Gue juga udah repot neleponin nyokap lo
supaya lo diizinin pergi kalo gue kirimin tiket. Ayo!" Inov menggandeng Mima keluar kafetaria menuju pool taksi.
Inov melirik Mima yang berjalan di sampingnya. Dia ngirimin
tiket untuk Mima bukan cuma karena dia pengin ketemu Mima tapi
karena dia belum bisa keluar dari Surabaya. Tekadnya, kalau Mima
betul-betul datang ke Surabaya dengan tiket yang dia kirim, Inov
pengin lebih dekat lagi sama Mima.
Mima menatap punggung Inov yang berdiri di depannya. Sementara cowok itu menyandarkan tongkatnya di badan, dia melambai memanggil taksi. Tangannya yang sebelah lagi masih menggandeng tangan Mima. Dari tadi Inov nggak melepaskan tangan
Mima. Kali ini rasanya aneh dan beda digandeng Inov. Jelas hari ini
270 Inov menggandeng Mima bukan karena dia harus melindungi Mima
dari ancaman. Inov bukan menggenggam pergelangan tangan Mima
kayak anak kecil seperti biasanya. Inov menggenggam telapak tangan
Mima. Jangan-jangan... Inov suka sama Mima? Buktinya... jantung
Mima nggak berhenti-berhenti deg-degan kayak gini.
Mima menatap punggung Inov lagi. Dasar robot korslet tapi
pengecut, ngajak ketemuan aja beraninya ngirim tiket pake surat.
Mima releks senyum?senyum sendiri teringat isi surat Inov yang
cupu banget itu. Dear Mima, Sori gue baru kasih kabar sekarang. Lo baik-baik aja, kan?
Ketemuan yuk? Tapi di Surabaya.
Ini tiketnya gue kirim sekalian. Gue jemput lo di bandara.
Gue juga udah minta izin sama nyokap lo. Katanya, boleh.
Kalo lo nggak bisa dateng juga nggak pa-pa sih.
Gue pengin liat lo, tapi belum cukup it buat keluar dari
Surabaya. Kalo lo nggak bisa, jangan maksain.
Gue tunggu lo di bandara.
-Inov"Mi, apa kabar Gian?"
Lamunan Mima langsung buyar. "Gian? Nggak tau. Gue udah
putus." Inov tersenyum diam-diam. Pertanda baik. Berarti Inov bisa
melanjutkan misinya. Misi PDKT sama Mima. Misinya, Mima harus
jadi pacarnya sebelum cewek itu terbang pulang ke Bandung.
271 Pro?l Pengarang I am still me. A rider who loves to write, a writer who loves to
ride. Hope you enjoy the book. Feel free to contact me: Facebook Page: Mia Arsjad
Twitter: @miaarsjad Instagram: miaarsjad XOXO Inov?! Kok tiba-tiba dia ada di Bandung lagi?
Oh iya, masih ingat Inov, kan? Itu lho, cowok yang kelakuannya
mirip robot, anak sahabat Mama yang "dititipkan" di rumah Mima
setelah keluar dari rehabilitasi narkoba.
Setelah nyaris seminggu bikin Mima bingung karena menghilang
tanpa jejak, tau-tau aja cowok itu muncul di hadapan Mima.
Ah, Mima tau! Inov pasti datang ke Bandung karena mau ngasih
kejutan di hari ulang tahun Mima.
Tapi... tunggu dulu. Kali ini Inov terlibat apa lagi sih? Siapa
orang-orang mengerikan yang Mima lihat bersama Inov? Dan
siapa sosok yang Mima lihat diangkut Inov bersama orang-orang
itu? Apa orang itu masih hidup?
Baru aja lepas dari geng narkoba, sekarang Inov terlibat
komplotan apa lagi sih? Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 8 Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Balas Dendam Seorang Kakak 1

Cari Blog Ini