Ceritasilat Novel Online

Senyum Karyamin 1

Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari Bagian 1


SENYUM KARYAMIN Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalanannya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.
Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh, lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dieengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
"Bangsat!" teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
"Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus," kata Sarji yang diam- diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.
"Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya."
"Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!"
Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba- tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu dan selalu gagal mereka tangkap.
"Min!" teriak Sarji. "Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?"
Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang, Karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, Karyamin merasa demikian terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyamin sadar, dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.
Jadi, Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.
"Masih pagi kok mau pulang, Min?" tanya Saidah. "Sakit?"
Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
"Makan, Min?" "Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang."
"Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?"
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
"Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?"
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana, Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
"Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?" tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
"Tidak, Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan."
"Iya Min, iya. Tetapi...."
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang- ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. "Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang,"
Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.
Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik motif' tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.
"Nah, akhirnya kamu ketemu juga Min, Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?"
"Menghindar?" "Ya. Kamu memang mbeling. Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit."
Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar, Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi Karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.
"Kamu menghina aku, Min?"
"Tidak, Pak. Sungguh tidak."
"Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?"
Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kempong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.
JASA-JASA BUAT SANWIRYA Ranti dan aku patuh saja mengikuti perintah-perintah Sampir. Membukakan ikat pinggang Sanwirya dan membersihkan mukanya dari kotoran muntahan. Waras melekatkan telinganya ke dada Sanwirya untuk meyakinkan bahwa penderes itu tidak mati. Dua buah pongkor (seruas bambu untuk penadah nira kelapa) pecah di samping Sanwirya dan niranya tertumpah habis. Ini berarti bantingan dari ketinggian pohon kelapa itu cukup keras. Berarti pula Tuhan telah menyuruh dahan-dahan manggis menahan kecepatan tubuh Sanwirya sebelum ia mencapai tanah. Demikian cara Sampir mengaitkan nama Tuhan ke dalam urusan Sanwirya ini.
Sampir mundur ketika dukun datang. Ia pasti masih akan menggerak-gerakkan tangan Sanwirya bila dukun tidak mencegahnya. Sampir menoleh ke kiri ke kanan dan jadi mengerti bahwa perannya kini kurang dihargai. Maka ia memimpin kami duduk di atas lincak (bangku panjang terbuat dari bambu) di emper samping rumah. Aku mengintip ke dalam bilik. Dukun sedang menguruti tubuh Sanwirya dari ujung kaki sampai ke ubun- ubun. Kadang-kadang ia memijit dengan tumitnya. Rintihan Sanwirya dikembari oleh gumam dari mulut dukun. Ajian sangkal pulung sedang dibacakan.
"Jadi kawan-kawan," kata Sampir, "kita sudah sepakat sama-sama merasa kasihan pada Sanwirya. Begitu?"
Waras menoleh padaku, lalu Ranti.
"Paling tidak itu lebih lumayan daripada bertengkar," kataku.
"Syukur! Marilah. Ada banyak cara untuk merasa kasihan kepada penderes (peyadap nira kelapa) itu. Menyobek kaus yang sedang kupakai untuk membalut luka Sanwirya adalah sejenis rasa kasihan yang telah kulakukan. Oh, jangan tergesa, kita akan menentukan lebih dulu demi apa rasa kasihan itu kita adakan."
"Apa kataku! Yang seorang ini akan mulai dengan yang sulit-sulit. Kalau kau masih berbicara tentang aku akan lebih tertarik pada serabi," tukas Waras.
Sanwirya mengerang. Aku mengintip. Nyai Sanwirya sedang memegangi tengkuk suaminya. Air mata perempuan itu menetes dari hidungnya. Sampir meluruskan punggungnya lalu mengatur duduknya dengan mantap.
"Baik kalau itu menyulitkan kita singkirkan saja. Yang pertama-tama harus kita selenggarakan adalah makanan untuk keluarga Sanwirya. Siapa yang mengetahui ada peladang sedang mencabuti ubi kayu?"
Waras melirik ke samping menatap Sampir dengan benci.
"Kau menyuruh kami meminta ubi kayu? Tak mungkin! Musim ini semua orang hanya menanam ubi estepe sebab celeng dan monyet tak mau menyukainya. Kita takkan memberi makan Sanwirya dengan ubi beracun itu."
"Dengar!" ujar Ranti. "Yang berminat mencari makanan buat Sanwirya boleh datang ke lumbung desa. Atas nama penderes itu kita mengajukan pinjaman padi secukupnya."
"Tapi hanya penggarap-penggarap sawah saja yang boleh mendapat pinjaman. Sanwirya tidak menggarap apa-apa kecuali pongkor dan arit," kataku.
"Jelaskan Sanwirya tak mungkin mendapat pinjaman?" Tanya Sampir.
"Pasti!" "Itulah. Maka harus ada demi. Jadi, kita dapat berkata demi anu Sanwirya harus mendapat pinjaman padi. Meski ia tak menggarap sawah. Apa katamu Waras?"
Ketika semua terdiam, rintihan Sanwirya terdengar kembali. Sekarang suaranya datang dari pangkal tenggorokannya. Dukun melumuri tubuh si sakit dengan air kunyit. Nyai Sanwirya duduk di kaki suaminya. Menangis dan hidungnya merah.
"Pokoknya aku setuju kalau Sanwirya diberi pinjaman. Kelihatannya lumbung desa itu bukan tempat yang memalukan buat minta kasihan."
"Itu berarti Waras telah sepakat. Catat Ranti! Satu rencana jasa telah kita setujui. Selanjutnya saya bermaksud menjual jaketku sebagai upah dukun. Siapa yang akan menutup kekurangannya?"
"Tunggu Sampir. Biarkan jaketmu tetap di situ. Bila kau bertelanjang dada siapa yang akan mengurusi bengekmu?" kata Ranti.
"Kita akan menemui tengkulak yang biasa menerima gula Sanwirya. Kukira takkan sulit meminjam sembilan puluh rupiah darinya."
"Maksudmu agar Sanwirya nanti mengangsurnya? Pikiran yang bagus. Kalau semua sudah tidak keberatan kuminta Ranti menambah catatan! Satu lagi rencana jasa. Mudah- mudahan penderes itu takkan kesulitan mencari cara berterima kasih pada kita," ujar Sampir puas.
Suara batuk dan muntah dari balik dinding membuat Sampir mengurungkan gelaknya. Aku mengintip lagi. Dukun sedang menyilangkan tangan di dadanya. Nyai Sanwirya menggigil dan muntah itu berdarah. Tak ada yang bersuara. Baru ketika napas Sanwirya kembali wajar Sampir mengendur. Ia menyalakan rokok, tapi direbut oleh Waras. Sampir tampak tenang saja, menepuk dahinya sendiri, lalu:
"Satu perkara yang lebih besar ialah bagaimana melindungi Sanwirya. Maksudku agar ia tidak ditipu dua ons tiap kali menimbang gulanya. Agar dia dapat bertahan bila tengkulak menentukan harga gula terlalu rendah. Pokoknya agar harga gula tidak lagi menjadi pertanyaan yang mengerikan!"
"Berhenti," sela Waras. "Bung mau berbicara soal koperasi! Tunggu Sampir, aku mau menanyakan selain kepadamu apakah kesepakatan kita masih perlu berkepanjangan?"
"Tidak heran," teriak Sampir. "Semacam Waras pasti akan mengatakan selamat bangun tidur padaku. Kau pasti akan mengatakan semua ini omong kosong. Iya apa tidak?"
Waras menatapi mata Sampir sebentar, lalu menoleh padaku. Ranti tertawa pelan. Terdengar lagi keluhan panjang dari bilik Sanwirya.
"Akan kita buktikan siapa di antara kita yang tidak kehilangan separo akal sehat," sambung Sampir. "Dan kau Waras bisa meninggalkan lincak ini bila mau!"
"Bukan begitu. Sebaiknya di antara kita ada penyabar-penyabar. Maksudku agar kita memberi kesempatan kepada siapa yang akan membuktikan dirinya tidak kehilangan akal sehat," kata Hanti.
"Aku mengerti itu," ujar Waras pula.
"Nuh, begitu! Kita akan menunjukkan diri kita sebagai si putus asa sesudah bergelandang selama tujuh tahun. Setuju?"
"Ya, Sampir! Kata-kataku saya ganti. Aku tidak lagi mengatakan omong kosong. Kukatakan sekarang pikiranmu mirip ide adikku yang baru dipelonco. Tidak marah?"
"Hm. Sebuah koperasi berarti bagi Sanwirya adalah kesempatan berganti kain sarung. Dan itu telah kita sepakati. Satu lagi jasa buat Sanwirya. Catat Ranti!"
Lima anak kecil memandang Sampir yang terbahak. Mereka tidak menutupi kemaluannya masing-masing. Di atas pundak mereka ada seikat ranting bambu untuk memasak nira. Di antara mereka pasti sudah belasan tahun terlihat dari pundak mereka yang menebal dan punggung melengkung. Waras mengusir mereka.
"Dengar Sampir," kata Waras. "Kau harus menyetujui kata-kataku ini. Bahwa jasa-jasa buat Sanwirya seharusnya bukan merupakan hal yang tanggung. Semuanya baru memadai bila Sanwirya sudah memegang polis asuransi jiwa. Sebab semua penderes semestinya mati bila jatuh dari pohon kelapa. Sehingga akan terdengar suara semacam ini. Seorang penderes semacam Sanwirya telah menanggungkan nyawanya hingga bila ia jatuh dan mati, istrinya takkan kesukaran mencari kain kafan. Merdu mana dengan gamelan degung kedengarannya?"
"Hore hore!" teriak Sampir. "Sekarang percuma memberi gelar pemuda onani pada Waras. Ia hebat, Hore hore!" Kami bertiga memaksa Sampir berhenti berteriak. Ranti berbisik: "Sampir kau tak boleh membunuh Sanwirya dengan cara melolong seperti itu."
"Oh maaf. Tapi pikiran Waras itu sangat patut. Asuransi adalah tepat untuk perlindungan Sanwirya."
"Tapi kita tentukan dulu berapa harga yang pantas untuk nyawa penderes itu."
"Bahkan itu terlalu tergesa-gesa. Kita buktikan dulu apakah tubuh Sanwirya juga digerakkan oleh nyawa. Kalau benar nyawa kelas berapakah miliknya itu. Baru kita tentukan premi asuransinya."
Semua terdiam. Sampir menahan kagetnya lalu menatap Waras. Yang habis berbicara itu hanya mengangguk-angguk. Nyai Sanwirya kedengaran mengisak dan akhirnya meratap dengan panjang. Ranti memegangi lenganku erat-erat. Dan menggigil ketika tiba-tiba Nyai Sanwirya menjatuhkan diri di depan kami.
"Oalah pangeran... oalah gusti.,..??
"Tenanglah Nyai, tenang. Kami belum pergi dari sini karena kami sudah sepakat akan mengasihani suamimu. Kami sedang merencanakan banyak jasa untuk menolong kalian," ujar Sampir.
"Menolong? Oalah gusti... menolong?"
"Iya. Kalian tak suka kelaparan bukan?"
"Itukah sebabnya kalian mencarikan pinjaman ke lumbung desa dan ke tengkulak? Oalah pangeran... jangan lakukan itu. Wanti-wanti jangan. Kami takkan lebih senang dengan pinjaman-pinjaman itu. Kami tak pernah punya persoalan yang namanya lapar! Dan gusti pangeran..., kalian tadi ramai-ramai mau menentukan harga nyawa Kang Sanwirya? Mengharapkan dia cepat mati? Oalah... oalah...." "Bukan begitu maksud kami Nyai."
"Tak perduli yang mana maksudmu. Tapi kalau benar kalian mau menolong kami?"
"Itu benar," jawab Sampir cepat.
"Oalah gusti... panggilkan modin.... Kang Sanwirya hampir ajal...." Kami berempat mengintip ke dalam. Dukun sedang menyilangkan tangan Sanwirya lalu mengusap kelopak matanya agar tertutup. Sampir menjadi sangat pucat. Ia hendak lari dan kupegangi lehernya.
"Kau Sampir! Ada jasa yang masih dapat kau lakukan. Turuti permintaan Nyai Sanwirya memanggil modin!" Dan Sampir lari ke sana. Di bawah pohon manggis, aku lihat dia jatuh tersandung pongkor, bangun dan lari.
SI MINEM BERANAK BAYI Kasdu terus berjalan. Lepas dari perkampungan dia menapaki jalan sempit yang membelah perbukitan. Kiri-kanan jalan adalah tebing dengan cadasnya yang kering-renyah berbongkah-bongkah. Kala musim hujan, jalan itu adalah sebuah kali yang mengalirkan air dengan deras dari puncak bukit. Air yang keruh meluncur dari atas menggerus tanah, sehingga jalan itu makin lama makin dalam.
Akar-akaran menggantung pada tebing jalan itu. Menggapai-gapai seperti cakar-cakar mati yang ingin meraih tanah. Tetapi tanah makin menjauh, makin terkikis, dan longsor- longsor. Pepohonan yang telah kehilangan pegangannya di dalam tanah menjadi condong atau tumbang sama sekali.
Langkah Kasdu yang cepat diiringi suara ?krepyak- krepyak"; bunyi dedaunan kering yang remuk terinjak. Matahari, yang sudah hampir empat bulan memanggang perbukitan itu, naik hampir mencapai pucuk langit. Permainannya mengakibatkan kayu-kayu menjadi layu dan kering. Pelepah-pelepah pisang runduk. Amparan ilalang mengelabu. Rumput-rumput menyimpan tetes air terakhir dalam akar mereka di dalam tanah.
Di bawah matahari wajah Kasdu kelihatan makin keras. Alis mata menyembunyikan sorot yang berat. Wajah Kasdu memperlihatkan bekas-bekas tempaan yang pahit. Dia kelihatan begitu tua. Padahal tahun hidupnya belum mencapai jumlah dua puluh.
Pebukitan di kiri-kanan Kasdu adalah tumpukan besar cadas dan batu-batu kapur Perdu yang mengering serta ilalang bergerombolan di sana-sini. Atau tonggak dan kayu mati mencuat, membuat kesan kerontang makin membulat.
Ada beberapa anak laki-laki berkulit kering dan kelabu mengumpulkan sisa dahan dan ranting buat kayu bakar. Beberapa anak yang lain sedang menggali tanah yang membatu, mencari sisa-sisa ubi gadung.
Rasa haus mulai menggigit tenggorokan Kasdu. Dia baru sadar; sejak pagi hari perutnya belum diisi apa pun. Ah, Kasdu ingat di depan sana, di bawah sebatang pohon angsana yang besar ada mata air yang jernih. Dia akan menghilangkan rasa dahaganya di sana. Langkahnya dipercepat.
Di depan ceruk tanah yang biasa menampung mata air itu, Kasdu berdiri bisu. Tak ada air barang setetes. Ceruk itu penuh dengan daun angsana kering. Pohon itu sendiri meranggas hampir gundul. Kasdu tak bisa berbuat lain kecuali menelan liur sendiri yang telah pekat dan meneruskan perjalanan yang masih jauh.
Menyertai langkah-langkahnya yang mulai melambat, Kasdu teringat akan Minem, istrinya. Dan teringat akan kesalahan sendiri yang menyebabkan Minem kini terbaring di atas balai-balai. Seorang bayi sebesar lengan tergolek tak berdaya di sampingnya.
Bayi itu kecil, kecil sekali. Kasdu merasa sukar percaya bahwa sesuatu yang bergerak lemah dan bersuara nyaris mirip anak kucing itu adalah seorang bayi yang bisa menjadi manusia. Lebih sulit diterima oleh akal Kasdu, bahwa bayi kecil itu tidak lain adalah darah-dagingnya sendiri.
Mestinya Minem tidak perlu melahirkan bayinya hari itu. Bukan karena Minem baru empat belas tahun. Tetapi karena usia kandungannya belum genap tujuh bulan, demikian pikiran Kasdu yang mengusik selama perjalanannya. "Mestinya Minem beranak kelak dua bulan yang akan datang apabila kemarin aku tidak malas mengambil air ke seberang desa," sesal Kasdu tak habis-habisnya.
Tetapi bayi sebesar lengan itu terpaksa terhempas dari rahim Minem ketika Minem terjatuh selagi membawa tembikar penuh air. Kakinya tergelincir di sebuah tanjakan dan Minem terguling-guling ke bawah. Tembikar yang dibawanya pecah, airnya menyiram tanah yang sudah lama kerontang. Minem yang kelenger dipapah orang pulang ke rumah. Air ketuban sudah membasahi kainnya. Dukun bayi yang diundang kemudian mengatakan, bayi Minem sudah turun. Benar, beberapa jam kemudian Minem mengeluarkan anaknya yang pertama; seorang bayi kecil yang bersuara mirip kucing.
Kasdu melihat sendiri ketika Minem telentang dengan kedua lututnya yang terlipat. Mukanya merah padam dan napasnya tersengal. Orang-orang perempuan yang berpengalaman memberi petunjuk kepada Minem, bagaimana mengambil sikap hendak melahirkan. Dari mulut mereka terdengar dengung puji-puji keselamatan.
Masih terkesan amat dalam di hati Kasdu bagaimana Minem menyeringai menahan sakit. Bagaimana dia menutup saluran napasnya, kemudian mengerutkan urat-urat perut agar jabang bayi terdorong ke luar. Sesudah bayi keeil itu keluar, Minem diam tak bergerak. Wajahnya yang begitu pasi basah oleh keringat. Minem terus diam. Hanya denyut nadinya yang lemah menandakan dia tidak mati. Namun entahlah, karena Minem dan bayinya yang begitu keeil kelihatan sangat lemah. Dan Kasdu sungguh tidak mampu menolak datangnya kekhawatiran yang mempertanyakan keselamatan Minem maupun anaknya.
Kini Kasdu dalam perjalanan ke rumah mertuanya hendak melaporkan perihal Minem. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti adalah tanda tanya besar yang sedang menggalau hati Kasdu. Senang karena mendapat cucu? Atau marah besar karena Minem melahirkan terlalu dini akibat kemalasan suami mengambil air ke seberang desa? Apabila hal terakhir ini yang akan terjadi, Kasdu akan menjadi debu. Sudah terbayang oleh Kasdu urat-urat rahang mertuanya yang meregang, yang kelihatannya mampu meremuk batu gunung di antara jepitan gerahamnya. Atau jemarinya yang kokoh, yang mungkin akan segera melayang ke arah jidatnya.
Tidak tahu. Sungguh, Kasdu tidak tahu mana yang bakal terjadi. Seperti dia juga tidak tahu mengapa perkawinannya dengan Minem mesti menghasilkan seorang bayi yang sungguh kecil itu. Seperti dia juga tidak tahu apakah Minem dan si keeil itu kini masih hidup. Minem, ketika ditinggalkannya, kelihatan sangat memelas. Berbeda jauh dengan penampilannya di hari-hari biasa yang begitu segar dan hidup. Anaknya hanya bergerak-gerak lemah seperti ulat yang kena sengat tabuan.
Makin dekat ke rumah mertuanya, langkah-langkah Kasdu makin lambat. Bukan hanya karena lelah, tetapi terutama karena rasa bimbang yang mulai merayapi hati Kasdu.
Sekali Kasdu berhenti berjalan, berdiri termangu-mangu. Dia tergoda untuk berbalik karena tiba-tiba dia merasa enggan berhadapan dengan mertua yang mungkin akan memarahinya. Tetapi keraguan itu hanya sesaat mengendap dalam hati Kasdu. Kakinya kembali terayun meneruskan perjalanan.
Perjalanan di bawah matahari itu berakhir ketika Kasdu memasuki pekarangan rumah mertuanya. Berhenti sejenak buat menyeka peluh di dahi dengan punggung tangan, kemudian Kasdu menarik pintu depan. Deritnya terdengar bersama salam: kula nuwun!
Tanpa menunggu siapa pun Kasdu duduk. Dia ingin meredakan napas. Namun jantungnya malah berdenyut lebih cepat. Dan Kasdu gagal menyembunyikan kagetnya ketika mertuanya muncul. Mertua perempuan menyusul sambil membopong bayi yang masih merah.
"Lha, kamu datang?" sambut mertua laki-laki.
"Sendiri? Tidak bersama Minem?" sambung mertua perempuan.
"Ya, Mak. Saya datang sendiri," jawab Kasdu. Bibirnya bergetar. Kebimbangan yang muncul di wajahnya sempat tersimak oleh mertua perempuan.
"He, kau sangat pucat Kasdu, kau sakit?"
"Tidak, Mak. Aku cuma haus."
"Tunggu. Aku ambil air untukmu."
Sesudah minum segelas air, Kasdu masih pucat. Sikapnya canggung dan gamang. Mertua laki-laki merasa perlu bertanya agak keras.
"Apa tujuanmu datang kemari? Ada urusan penting?"
"Ya, penting Pak."
"Apabila penting mengapa kau celala-celili begitu?"
"Anu, Pak. Anu, Minem."
"Bagaimana si Minem?" ujar mertua perempuan memburu. "Minem sakit?"
"Tidak, Mak. Minem anu... melahirkan. Minem sudah melahirkan."
Dengan rasa tak menentu Kasdu menunggu tanggapan kedua orang mertuanya. Dilihatnya bagaimana suami-istri itu. saling berpandangan dengan mulut terbuka. Beberapa saat lamanya keadaan mereka tetap demikian. Akhirnya mertua perempuan memutar badannya. "Wah, Kang. Kau menjadi seorang kakek, dan aku menjadi nenek." Dan mertua laki-laki kurang terkesan oleh kata-kata istrinya.
"Nanti dulu. Kasdu. Si Minem sudah beranak?"
"Benar, Pak." "Nanti dulu! Apa yang dikeluarkannya?"
"Ya bayi, Pak." jawab Kasdu lugu.
"Soalnya, istriku baru melahirkan kemarin dulu. Dia, istriku itu. sudah berusia 29 tahun, jadi layak melahirkan seorang bayi. Sedangkan Si Minem masih seorang bocah. Betulkah seorang bocah mengeluarkan bocah lagi? Astaga! Aku belum percaya Minem melahirkan bayi. Jangan-jangan cuma daging atau telur."
"Betul. Minem beranak bayi. Memang sangat kecil karena belum lagi tujuh bulan masa kandungannya." kata Kasdu mulai dengan kata-kata yang lancar. "Bayi kecil itu perempuan."
Mertua perempuan menarik tangan suaminya. Bisik- bisiknya bisa terdengar oleh Kasdu. "Kau jangan banyak omong. Kang. Kau lupa. Minem sendiri dilahirkan ketika aku juga baru berusia empat belas tahun?"
"Ya, ya. Toh aku masih tetap merasa heran; bukan hanya perempuan dewasa, melainkan juga perempuan yang masih bocah bisa melahirkan seorang bayi."
Entahlah. Boleh jadi mertua laki-laki itu sungguh-sungguh merasa heran. Tetapi pada saat yang sama dia tersenyum karena bulan depan akan ada hajat lagi di rumahnya. Kali ini Minah, adik Minem yang berusia duabelas tahun akan memperoleh suami. "Anak-anakku memang laris," kala mertua laki-laki itu dalam hati. Bangga dia.
SURABANGLUS Bunga-bunga api kecil melentik ke udara ketika tangan Suing mengusik perapian. Tangan yang pucat dan bergerak lemah. Tengkuk dan dahi Suing berkeringat. Bukan karena terik matahari atau panasnya perapian, melainkan keringat dingin hasil pelepasan kalori terakhir sebelum seseorang jatuh pingsan karena kehabisan tenaga.
Agak jauh dari perapian, Kimin, teman Suing, duduk lemas bersandar pada sebuah tonggak. Keduanya merasa begitu letih setelah lari pontang-panting, menerobos semak dan melintasi tebing-tebing agar bisa lolos dari kejaran polisi kehutanan. Pelarian karena deraan rasa takut sebab para pengejar itu beberapa kali melepaskan tembakan peringatan.
Kini mereka merasa aman bersembunyi dalam sebuah belukar puyengan. Belukar itu tidak hanya memberi mereka kelindungan melainkan juga sedikit harapan. Sebatang singkong tumbuh tersembunyi di sana. Tiga gelintir ubinya kini dalam perapian. Dan sedang dikais-kais oleh Suing.
Tentulah singkong itu belum empuk. Tetapi tangan Suing terus mengusik perapian untuk mengeluarkan isinya. Asap mengepul bergulung ke atas, kemudian larut dalam udara. Angin yang berhembus menguapkan keringat dari sekujur tubuh Suing yang kemudian menggigil. Rasa perih menggigit lambungnya.
Tiga gelintir singkong sudah dikeluarkan. Suing memukul-mukulkan sepotong kayu untuk mematikan bara pada ujung-ujung singkong bakar itu. Membelahnya dengan tangan dan siap menyuapkannya ke dalam mulut. Tetapi gerakan tangan Suing tertahan karena Kimin berseru dari belakang.
"Tunggul Beranikah kau memakan singkong itu? Aku sudah mencium baunya. Kini aku yakin kita tak bisa memakannya. Jangan Wing, jangan! Bisa celaka kau nanti.??
Kimin memegangi tangan Suing yang bersikeras hendak menyuapkan singkong bakar itu. Suing meronta dan terjadi tarik-menarik. Jemari Suing mengejang sehingga makanan dalar genggamannya lumat. Kimin menepiskannya kuat- kuat.
"Tenanglah sahabatku. Sesungguhnya sejak semula aku ragu. Kini aku sudah yakin betul akan singkong yang kita bakar itu. Jangan gila, Munyuk dan monyet pun tak mau memakannya. Hanya perut celeng yang mampu bertahan terhadap racun singkong itu, singkong surabanglus (nama lokal sejenis singkong beracun). Suing, apa pun yang terjadi kau tak boleh memakannya!"
Kimin menghentikan kata-katanya karena melihat wajah Suing berubah menjadi topeng yang pasi. Matanya tak berkedip. Mulut setengah terbuka dengan bibir gemetar. Napasnya pendek-pendek. Dan wajah topeng itu tak bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Bahwa Suing akhirnya akan jatuh pingsan sudah dimengerti oleh Kimin. Tubuhnya menggigil, dingin seperti kulit kodok. Matanya terpejam dan Suing mulai goyah dalam jongkoknya. Suing suren (Pingsan karna lapar dan haus); kehabisan tenaga karena lapar dan haus. Seteguk air atau sejumput makanan akan mencegah Suing dari kepingsanan.
Tubuh Suing yang begitu lunglai direbahkan ke tanah. Karena bingung, Kimin hanya berdiri menatap temannya yang kini tergeletak tanpa daya. Ketika sadar harus berbuat sesuatu, Kimin membungkuk dan menggoyang tubuh yang terbujur itu.
"Suing, kamu masih kuat berjalan? Mari kita pulang. Aku akan memapahmu. Jangan takut kepada polisi kehutanan. Kukira mereka tak mau menangkap siapa pun yang dipapah. Ayo. Ayo, Suing! Kamu masih mendengar kata-kataku bukan?"
Bola mata yang pucat itu hanya bergulir perlahan. Bahkan napas Suing tersengal-sengal, membuat Kimin semakin tercekam rasa cemas. Laki-laki muda yang bingung itu ke luar dari belukar. Lembah dan lereng yang terhampar dihadapannya tak memberi harapan apa pun. Hanya ribuan tonggak sonokeling yang mati dan dasar-dasar jurang yang tidak lagi berair. Ataukah Suing harus dibopong sampai ke kampung yang hanya samar-samar jauh di tepi persil? Boleh jadi orang lain mampu melakukannya. Namun Kimin takkan sanggup karena tubuhnya yang lebih kecil.
Ah, setidaknya mata Kimin tanpa sengaja melihat sebatang pohon pisang sebesar lengan di balik semak. Dengan parang ditebasnya batang pisang itu. Kulit batangnya yang basah dilepas dalam potongan kecil-kecil lalu dibawanya ke tempat Suing tergeletak. Sepotong di antaranya terus disuapkan ke mulut temannya.
"Mamah ini supaya kau dapat mengisap airnya. Ayo, jangan menunggu sampai kau pingsan."
Mula-mula Suing tetap diam. Namun rahangnya bekerja rakus begitu dirasakan sesuatu yang dingin menempel di bibirnya. Potongan pertama cepat lumat. Beberapa tetes air melewati kerongkongan Suing bersama sejumput serat batang pisang. Selanjutnya, Kimin terus tetap memegangi potongan-potongan kulit batang pisang itu agar Suing tidak langsung menelannya.
Reka-reka Kimin berhasil membuat Suing menjadi lebih tenang. Wajah topengnya berangsur hidup. Namun Suing terjengkang kembali ketika dia berusaha duduk. Kedua tangannya masih gemetar.
"Sabar, sabar. Kau masih lemah. Seraup kulit batang pisang takkan memberimu cukup tenaga. Dan kau akan tetap demikian selama perutmu kosong. Maka dengarlah. Aku mau lari ke kampung mencari air dan makanan untukmu. Kau menunggu di sini. Dan ingat, wanti-wanti kau tidak boleh menjamah singkong bakar itu. Mengerti?"
Matahari berada di tengah juring langit bagian barat. Angin yang bertiup membawa bau tanah kering yang tersiram gerimis pertama. Dan serpih-serpih rumput serta bunga ilalang. Di lembah selatan terlihat padang rumput yang terbakar, seperti permadani hitam menutup lereng dan punggung bukit.
Kimin berlari turun. Dirinya menjadi satu-satunya titik yang bergerak di antara ribuan tonggak-tonggak yang berbaris mati. Dari jauh kepala Kimin timbul tenggelam di balik semak belukar. Sesekali dia berhenti buat mengintip keadaan. Betapapun dia masih takut terlihat oleh polisi kehutanan yang mungkin masih berada di sekitar tempat itu.
Setengah jam lamanya Kimin berlari merunduk-runduk, menempuh kali-kali kecil yang kering, dan sampailah dia ke kampung terdekat. Di sebuah warung, Kimin menghabiskan seteko air dan empat buah pisang kepok. Dibelinya juga sebungkus nasi dan sekantong plastik air. Sebagai pembayarannya Kimin menyerahkan golok; perkakas utama dalam hidupnya selama ini.
"Kau telah melihat polisi kehutanan turun dari bukit, Mak?" tanya Kimin kepada pemilik warung.
"Ya. Malah tadi mereka makan-makan di sini."
"Jadi, mereka sudah kembali ke pos?"
"Hari ini mereka akan tetap berjaga-jaga hingga malam hari. Akan menangkap dua pencuri kayu yang sempat meloloskan diri. Demikian kata mereka,"
"Oh!" "Kenapa? Kaukah pencuri kayu itu?"
"Benar, Mak." "Kalau demikian mana yang seorang lagi?"
"Masih di tengah persil. Dia tak mampu lagi berjalan. Temanku itu kini sedang suren, Mak."
"Lah! Jadi, air dan makanan itu untuk temanmu? Cepat, Nak! Nanti dia mati lemas. Cepat, Nak! Dan kali lain bila hendak mengambil kayu, jangan lupa membeli karcis."
"Apakah Mak mengira kami tidak membayar? Tadi pagi kami dimintai uang oleh mandor Dilam. Bangsat dia. Dia menghilang bila datang polisi kehutanan."
"Ya, ya. Aku tidak kaget. Tetapi temanmu itu, Nak. Ayo, cepat! Bila berjumpa polisi kehutanan, tunjukkan karcismu."
"Buset! Sudah lama karcis tak dijual. Tetapi mandor Dilam tetap meminta uang, dan kami diperbolehkan masuk persil. Lain mandor Dilam lain pula polisi kehutanan."
"Ya, ya. Aku tidak kaget. Lah, temanmu itu, Nak!"
Kimin ingin secepatnya sampai ke tempat Suing. Aneh, setelah perutnya kenyang, Kimin tak mampu berlari. Air yang memenuhi lambungnya, oplak bila dibawa bergerak cepat. Hanya karena air dan sebungkus nasi di tangannya, yang mungkin berarti nyawa Suing, Kimin membungkam rasa nyeri dalam lambung sendiri. Ikat pinggang dikencangkannya dan Kimin berlari mendekati bukit.
Perapian masih mengepulkan asap ketika Kimin mencapai belukar puyengan itu. Dia menyuruk ke dalam ingin cepat meyakinkan dirinya bahwa Suing masih hidup. Benar, Suing belum mati. Bahkan didapatinya Suing dalam keadaan duduk di dekat perapian. Goyah dan wajahnya kembali menjadi topeng.
Dengan giginya, Kimin membuat lubang pada sudut kantung plastik itu dan mengucurkannya langsung ke mulut Suing. Mula-mula Suing tetap diam sehingga air tumpah kembali membasahi dadanya. Tetapi kemudian dia berubah beringas. Direbutnya kantung air itu, disedot-sedotnya seperti orang kesetanan. Kimin terpaksa menarik kantung plastik itu karena Suing terus memamahnya meskipun air telah habis.
Lega. Kimin merasa begitu lega. Ditunggunya perubahan pada wajah Suing. Ditunggunya tanda-tanda kesembuhan pada diri sahabatnya itu. Dan apa yang diharapkannya tak kunjung muncul. Wajah Suing tetap beku dan bergoyang. Dia bahkan tak tanggap ketika Kimin menyodorkan nasi kepadanya.
Kimin bangkit, berjalan berputar-putar karena bingung. Dan matanya terbeliak melihat remah-remah di seputar perapian.
"Astaga! Suing, kau makan juga singkong surabanglus itu? Kau makan semuanya?" seru Kimin sambil mengocok pundak temannya.
"Dengar. Suing! Kau makan jugakah singkong itu?"
Suing bungkam, bahkan rebah ke tanah.
TINGGAL MATANYA BERKEDIP-KEDIP
Kami tidak menyangka akhirnya si Cepon, kerbau kami, rubuh di tengah sawah yang hendak dibajak. Benar-benar rubuh tak berdaya. Badannya yang besar dan bulat setengah terapung di atas lumpur. Keberingasannya yang kami kenal selama ini lenyap. Barangkali sisa tenaganya habis buat meronta; memberontak dari cengkeraman bajak yang membelenggu lehernya.
Keadaan si Cepon bertambah nista dengan darah yang terus menetes dari kedua lubang hidungnya yang dipasang kaluh\ tali kekang yang menembus cnigur-nya. Roman muka si Cepon, terutama matanya, bahkan ternyata bisa menunjukkan sikap pasrah total, suatu hal yang terlambat diketahui oleh anak seorang petani: aku.
Tidak seperti pada tahun-tahun yang lalu, musim penghujan kali ini ayah dibuat pusing oleh si Cepon. Kerbau itu menjadi binal. Ayah tak berhasil mengalungkan tali di lehernya apalagi memasangkan bajak. Maka ayah berbuat sesuatu yang pasti dibenarkan oleh para petani di kampung kami; memanggil Musgepuk untuk menjinakkan kembali si Cepon. Musgepuk, seorang laki-laki yang kuat dan bermuka kukuh sudah dikenal sebagai pawang bagi segala macam ternak yang dipelihara para petani. Ironisnya, pagi ini kerbau kami rubuh secara menyedihkan di tangan pawang itu.
"Hayo' Hiyah! Hiyyah!" teriak Musgepuk. Tangan kirinya menggoyang-goyangkan tangkai bajak. Tangan kanannya mengayunkan cambuk. Tetapi si Cepon tetap tak bergerak. Musgepuk mengulangi teriakannya lebih keras. Tali kekang disentakkannya kuat-kuat. Cambuknya melecut-leeut, menambah garis-garis memar di punggung si Cepon. Tetes darah makin sering meluncur dari hidung kerbau kami membuat rona merah di atas lumpur melebar dan melebar.
"Ah..., ayo. Ayolah,?? Musgepuk mencoba mengubah seruannya dengan suara yang lebih santun dengan harapan si Cepon akan menurut. Namun kali ini pun dia sia-sia. Kerbau itu tetap mengonggok tanpa gerak. Kepalanya seperti terpaku mati pada leher. Seakan dia telah mendapat pelajaran bahwa sedikit saja kepalanya bergerak berarti tali kaluh akan menggesek luka pada sekat lubang hidungnya.
Musgepuk bersungut-sungut. Dan uring-uringan. Semangatnya rontok. Aku, meskipun belum lama disunat, bisa mengerti perasaannya. Perasaan seorang laki-laki kukuh yang kebanggaannya sedang terancam. Kelebihannya sebagai pawang ternak sudah terkenal di seputar kampung. Dan kebanggaannya itu akan segera rusak bila Musgepuk gagal mengatasi ulah si Cepon.
Dua hari yang lalu ketika datang atas panggilan ayah, Musgepuk mulai menangani kerbau kami dengan tipu daya. Mula-muia dibawanya sepiku! daun tebu ke dalam kandang. Pada pintu kandang yang sengaja setengah terbuka dipasangnya taii besar sebagai jerat. Musgepuk dengan jitu berhasil membuktikan kepada kami bahwa dia lebih pintar dari si Cepon, Kerbau kami terjerat. Dan meskipun pagar kandang berantakan, si Cepon gagal membebaskan diri. Bahkan akhirnya dia jatuh terguling ketika Musgepuk, dengan jerat yang kedua, berhasil membelenggu kaki belakangnya.
Dalam keadaan terguling di tanah, kerbau kami tidak bisa berbuat banyak. Apalagi kemudian Musgepuk juga mengikat kedua kaki depannya. Juga sepasang tanduknya disatukan dengan kuat pada dua tonggak pemasung. Si Cepon yang murka hanya bisa mendengus-dengus. Matanya merah. Musgepuk mutlak sudah menguasainya.
"Nah, lihatlah," ujar Musgepuk sambil berdiri menghadap orang-orang yang menontonnya. "Aku seorang diri telah berhasil menangkap si Cepon dan merebahkannya. Seorang diri!"
Para penonton, termasuk aku dan ayah, mengangguk bersama. Entahlah, padahal aku sendiri tak mengerti mengapa aku ikut mengangguk. Setuju atas cara Musgepuk melumpuhkan si Cepon? Tidak, rasanya memang tidak. Boleh jadi kami terkesima karena kerbau kami yang perkasa telah terkalahkan.
"Ya, Musgepuk," kata Ayah. "Tapi tugas sampean yang sebenarnya adalah membuktikan bahwa si Cepon bisa diambil tenaganya untuk membajak. Dan hal itu belum terlaksana,"
"Oh, itu gampang. Gampang! Sampean akan melihat nanti si Cepon yang baru kujinakkan ini akan menggarap sawah sampean dengan gampang. Empat pelak sawah sampean akan diselesaikannya dalam waktu setengah hari. Percayalah!"
Bertentangan dengan perasaanku, orang-orang kembali mengangguk-angguk, membuat Musgepuk makin bergairah, Diinjaknya pantat si Cepon karena kerbau kami itu mencoba membuat gerakan-gerakan meronta.
Masih dengan sebuah kakinya menginjak pantat si Cepon, Musgepuk mulai meraut serpih bambu yang sejak tadi dipegangnya. Serpih bambu itu terus diraulnya hingga runeing seperti jarum besar lengkap dengan lubang di pangkalnya. Seutas tali ijuk sebesar lidi dimasukkannya pada lubang jarum bambu itu.
"Tunggu," seru Ayah. "Jadi sampean hendak memasang kaluh?"
"Ya, kenapa?" "Tidak cukup hanya dengan tali kekang biasa?"
"Memang, banyak kerbau yang bisa dikendalikan dengan tali kekang biasa. Tetapi buat si Cepon terang tidak cukup. Hidungnya harus dicucuk kaluh. Ah, untuk urusan seekor kerbau, akulah yang lebih tahu. Kalau tidak demikian, mengapa aku sampean undang kemari?"
Kulihat Ayah memaksakan dirinya untuk bungkam. Namun garis-garis samar pada wajah Ayah bisa kubaca: Aku tidak suka melihat darah. Memang ayahku tidak suka melihat darah. Sehingga Ayah selalu mencari orang lain bila Emak menyuruhnya memotong ayam. Nah, tak lama lagi kami akan melihat pekerjaan berdarah. Barangkali Ayah menyesal telah menyerahkan si Cepon kepada Musgepuk. Entahlah.
Beberapa orang perempuan menunjukkan rasa ngeri melihat jarum besar serta tali ijuk di tangan Musgepuk. Mereka menguneupkan bahu dan menutup wajah dengan telapak tangan. Terdengar suara-suara mendesis pertanda miris. Tetapi suara itu justru membuat Musgepuk makin bertingkah.
"Lho, lihat," kata Musgepuk sambil mendekat ke arah seorang perempuan. "Yang hendak kutusukkan ini bukan apa-apa, melainkan sekadar jarum bambu. Yang hendak kutusuk juga bukan apa-apa melainkan sekadar cingur kerbau dungu. Dasar perempuan. Apa yang membuat kau merasa ngeri?"
Wajah perempuan itu berubah masam. Musgepuk tertawa lebar karena merasa sayap kata-katanya sampai kepada sasaran dengan telak. Dia makin bergairah. Musgepuk kelihatan sadar betul bahwa dia berada pada saat yang tepat, yang jarang terjadi, untuk lebih menonjolkan kelebihannya. Dalam hal ini, kelebihan Musgepuk adalah kemampuannya melipatgandakan rasa tega sambil menghapus bersih rasa iba. Dan kami para penonton melihat dengan jelas bahwa Musgepuk sungguh menikmati kesempatan itu.
Jadi, sementara semua orang menahan rasa karena akan melihat darah mengucur dari hidung si Cepon, Musgepuk malah bermain-main, tepatnya mempermainkan perasaan orang. Dia, dengan ulah seperti anak kecil mendapat mainan, bersiap memasang kaluh. Sambil tertawa kecil, dan ini kukira dilakukannya buat menunjukkan kelebihannya dalam hal menumpas rasa kasihan, Musgepuk menusukkan jarum bambunya pada cingur si Cepon.
Hasil permainan Musgepuk segera terlihat. Darah mengucur membasahi tangannya. Tubuh si Cepon meregang. Melenguh-lenguh dan meronta sia-sia. Ekornya mengibas memukul-mukul bumi. Telinganya berputar sebagai baling- baling. Tetapi yang menjadikan perempuan memekik adalah semburan kencing dari kubul di Cepon. Disusul oleh gumpalan-gumpalan tinja yang terdorong keluar melalui duburnya.
Terbukti Musgepuk bersyaraf tangguh. Tangannya terus bekerja. Tak perduli apa pun. Tidak juga air mata si Cepon yang kelihatan mengambang ketika tali ijuk yang kasar menggesek luka yang masih segar. Bahkan Musgepuk menarik tali yang menyangkut luka itu ke belakang buat mengukur ketegangannya sebelum membuat simpul mati di antara kedua tanduk kerbau kami.
Tak ada manusia yang merasa lebih puas daripada dia yang baru saja berhasil menerangkan arti keberadaannya. Musgepuk telah membuktikan dengan gerakan dirinya sebagai seorang pawang. Dia lebih perkasa daripada si Cepon. Dia merasa bangga dengan kelebihannya.
*** Adalah si Cepon yang tergolek dan setengah mengapung di atas lumpur dua hari kemudian. Atau, apakah yang mengonggok itu masih layak disebut seekor kerbau bila dia nyaris kehilangan kepentingannya untuk bereaksi. Dia membiarkan puluhan lalat merubung darah yang mengental di kedua lubang hidungnya. Ekornya tidak lagi mengibas mengusir agas yang mengusik balur-balur luka di kulit dan menaruh telur di sana. Seekor lintah berenang dengan gerakan vertikal mendekat dan perlahan-lahan melekatkan dirinya pada kulit leher si Cepon. Langau pun mulai berdatangan dengan satu tujuan; hinggap pada kulit kerbau kami dan mengisap darahnya sepuas hati.
Aku dan ayah berdiri agak jauh dari pematang. Kami melihat Musgepuk menggeleng-gelengkan kepala. Sebelum melampiaskan keputusasaannya, dia sekali lagi mengayunkan cambuk dan menyentak tali kekang. Si Cepon yang hanya mengedipkan mata tepat ketika tali cambuk merapat di kulitnya. Atau tepat ketika tali kekang menyentak ke belakang.
Di bawah matahari yang mulai panas, aku dan ayah menyaksikan Musgepuk menjatuhkan pundak lalu pergi meninggalkan si Cepon tanpa bicara sedikit pun. Aku menoleh pada ayah dan beliau hanya mengangguk-anggukkan kepala. Boleh jadi ayah kecewa karena sawahnya gagal dibajak atau karena si Cepon rubuh dan menyedihkan. Atau kedua-duanya. Manakah yang benar aku tak mengerti. Dan aku lebih tak mengerti lagi kata-kata ayah yang kemudian diucapkannya.
"Musgepuk jadi tak berdaya justru setelah Cepon rubuh dan tak mau melawannya. Dia, Musgepuk, telah kehilangan motivasi. Seorang pawang baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar dan mau bekerja sama. Di hadapan mata kerbau yang hanya bisa berkedip-kedip, Musgepuk kehilangan arti dan nilainya. Dia bukan apa-apa."
AH, JAKARTA Kedatangannya pada suatu malam di rumahku memang mengejutkan. Sudah lama aku tidak melihatnya. Lama sekali, mungkin tiga tahun atau lebih. Selama itu, aku hanya mengetahui keadaannya lewat cerita teman yang sering melihatnya di Jakarta. Dari cerita teman itulah aku mengerti bagaimana kehidupannya di Ibukota. Bahwa dia tidak lagi menjadi sopir sebuah keluarga di Jalan Cim Menteng. Tidak juga berkumpul dengan orang tuanya di Lampung. Dia sudah lain.
Malam itu dia datang. Jalannya terpineang-pincang. Lima jari kaki kanannya luka. Perbannya sudah kumal. Maka pertama-tama aku membantunya mengganti perban itu. Baru kemudian aku mengajaknya ngobrol. Hati-hati, sebab wajah temanku itu jelas gelap.
"Aku mau lihat koran kemarin, atau hari ini," pintanya. "Ada apa?"
"Nanti kuceritakan."
"Ceritakan dulu. Kamu harus memulai pertemuan ini dengan keterbukaan. Ingat siapa aku dan siapa kamu."
Matanya menatapku sebentar. Lalu menunduk. Lehernya kelihatan kecil. Masih ada sisa kebagusan wajahnya yang kukenal sejak kami masih kanak-kanak. Dia mulai cerita. Sedan yang disewanya menabrak tiang listrik di Jalan Matraman. Tiga temannya tidak bisa bangun, mungkin mati. Dia duduk di jok belakang ketika itu. Karena bekas sopir, dia tahu suasana kritis dalam kendaraan. Ketika mobil mulai gontai karena slip dia meringkuk seperti trenggiling. Benturan dengan tiang listrik terasa begitu hebat. Tidak ada secuil pun dia cidera. Luka di kaki karena tergores kaca belakang ketika dia berusaha lolos keluar. Orang-orang berdatangan. Dan dia menyelinap lalu menjauh. Dia tidak mungkin lama di situ. Di dalam mobilnya ada golok, ada gunting kawat buat melumpuhkan kunci gembok sebesar apa pun, dan ada Clurit.
"Kami baru berangkat operasi."
"Oh, jadi begitulah kamu sekarang. Mengapa?"
"Ah, Jakarta." "Ya, tapi mengapa justru kamu?"
"Ah, mana koran kemarin?"
Kuberikan koran yang diminta, dibukanya langsung halaman tiga. Tidak ada. Diambilnya koran hari berikut. Ada. Dia membaca dengan kening berkerut. Lalu koran itu dilemparkannya kepadaku.
"Ini, baca sendiri."
Dia tidak bohong. Apa yang telah diceritakannya termuat sepenuhnya. Dadaku menyesak. Di hadapanku kini duduk seorang karib yang pasti buronan. Aku langsung teringat konsekuensi hukum bagi orang yang menyimpan oknum yang sedang dicari polisi. Tapi detik itu juga kuputuskan, menerima karibku seperti biasa. Aku tak ingin kehilangan rasa persahabatan, Tidak ingin menyilakannya pergi, apalagi melaporkannya kepada ketua RT.
Kami bertatapan. Aku tahu dia sedang menyelidik sikapku, apakah kedatangannya tidak membuatku susah. Sedangkan aku melihatnya untuk melihat masa lampau ketika aku dan dia sama-sama telanjang bulat dan berlarian di pematang sawah. Kami suka mencari telur burung ha hayaman, membalutnya dengan tanah lempung kemudian membakarnya. Enak, tak ubahnya seperti telur rebus. Kami suka menyelam di lubuk mencari udang batu. Membenamnya dalam pasir panas di tepi kali sampai warnanya jadi merah, kemudian mengunyahnya. Enak, gurih, dan manis.
Ah, ya. Kami suka mencari belut dalam suatu permainan yang kami namakan rebut pati. Bila seekor belut keluar, kami akan memperebutkannya. Kami akan bergulat, adu ketangkasan di atas lumpur. Siapa yang menerkam belut itu harus secepat mungkin memukulnya sampai mati. Bila masih terlihat gerakannya, permainan harus berlanjut. Acapkali belut itu berpindah-pindah tangan beberapa kali sebelum dia benar-benar mati. Dan karibku yang buronan itu licik. Dulu dia selalu menggigit belutnya agar aku tidak bisa merebutnya lagi. Mulut yang penuh lumpur dan belut berdarah di antara giginya. Bagaimana pula aku harus melupakan kenangan itu.
"Nah, silakan mandi. Kamu harus menginap di sini," kataku.
Dia menatapku. Sinar matanya berbicara banyak. Rasanya akan terjadi suasana cengeng. Maka aku segera tersenyum, bahkan tertawa.
"Nanti dulu. Aku masih payah. Kita ngobrol dulu."
Istriku keluar membawa kopi dan rebus pisang ambon nangka. Dia minum dan makan lahap. Ah, aku salah. Mestinya aku memberinya makan lebih dulu. Kukira dia lapar. Sayang, terlambat.
"Untung kamu tidak mati seperti ketiga temanmu itu."
"Sudah mati, ya matilah. Aku hanya teringat yang masih hidup."
"Siapa? Anak dan istrimu?"
"Ah, kenapa mereka. Istriku sudah pulang ke rumah orang tuanya."
"Cerai?" "Dia mengangguk."
"Anakmu?" "Mereka bersama ibunya. Aku tak perlu susah-susah mengingatnya karena mereka aman. Tetapi si Jabri!"
"Jabri?" "Dia yang kusewa mobilnya. Mobil majikannya maksudku. Kasihan, dia harus menghadapi tuntutan ganti rugi. Kasihan dia. Soalnya dia langganan dan temanku yang baik."
Suasana yang makin cair membuat karibku itu makin lancar bercerita. Sebuah pengakuan yang lengkap yang pasti disukai oleh para penyidik. Kelompoknya memulai operasi dengan pengintaian yang bermula dari toko elektronik. Bila ada orang membeli TV warna atau video dia akan dibuntuti sampai ke rumahnya. Sekalian diselidiki apakah calon korban memelihara anjing. Anjing lebih rewel daripada hansip, katanya. Pada saat yang ditentukan, perampokan dilaksanakan. Tidak harus malam hari. Pintu halaman gampang diterobos dengan gunting kawat. Pintu utama rumah, yang berdaun tunggal atau rangkap sudah dikuasai ilmunya.
Hanya diperlukan jepit kuku buatan Taiwan untuk mendobrak jendela nako. Dia memperagakan pada jendela nako di rumahku. Setelah satu daun kaca tercongkel dari luar maka kisi-kisi ditekan ke dalam dengan dorongan kaki. Agar tidak melenting kedua ujung kisi dipegang. Bila sebuah kisi jebol semuanya beres.
"Kebanyakan orang kaya tidak banyak cincong bila barang-barangnya kami ambil," katanya. "Kukira bukan karena mereka takut. Tapi apalah artinya video atau TV warna bagi mereka. Keesokan hari mereka bisa membeli lagi segudang banyaknya."
"Jadi begitu?" "Pernah kami masuk ke rumah orang kaya di Kebayoran. Yang punya rumah bangun dan menjemput kami di ruang tengah dengan pistol di tangan. Kami siap berkelahi. Tapi tuan rumah justru menawarkan barang-barangnya. Hanya satu permintaannya, agar kami tidak ribut-ribut. Di kemudian hari kami tahu bahwa yang kami rampok adalah seorang pejabat penting. Di rumah itu dia sedang ngendon dengan istri muda. Daripada heboh masuk koran maka dia ambil jalan yang bagi kami amat bijak."
Dia tertawa lepas. "Yah, Jakarta!"
Tengah malam ketika karibku itu sudah nyenyak dalam kamar yang kusediakan. istriku bertanya banyak tentang dia.


Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia anak sini asli, teman sepermainanku dulu."
"Ceritanya mengesankan. Gali ya?"
"Seperti yang kamu dengar sendiri."
"Nah, awas kamu. Aku tidak ingin ada bangkai manusia yang pernah menginap di rumah ini. Kau tahu orang-orang macam dia yang kini mayatnya tercampak di mana-mana?"
Aku menutup mata dengan bantal. Istriku masih nyerocos. Tetapi akhirnya dia mengalah, diam setelah berkali-kali mendesah panjang.
Pagi-pagi setelah subuh kubuka pintu kamar karibku. Dia sudah lenyap. Hanya ada tulisan di atas bekas bungkus rokok: "Terima kasih. Aku segera pergi supaya tidak merepotkan kamu."
Entahlah, sejak saat itu aku jadi senang pergi ke pasar. Di depan pasar kecil di kotaku yang kecil ada terminal colt. Berita pertama tentang penemuan mayat kebanyakan berasal dari terminal itu. Bila ada berita aku segera menceknya. Aku sungguh berharap setiap kali melihat mayat maka dia bukan mayat karibku. Moga-moga dia sudah kembali ke Jakarta, bersembunyi di sana atau di tempat lain. Mudah- mudahan dia sudah menyerahkan diri secara baik-baik dan diadili secara baik pula.
Dalam seminggu sudah banyak mayat yang kuperiksa. Syukur tak satu pun ternyata mayat karibku. Tapi akhirnya yang kukhawatirkan tak urung terjadi juga. Karibku mengapung di kelokan kali Serayu di bawah jalan raya. Dia sudah mengembung, wajahnya tak keruan. Puluhan orang yang berkerumun tak seorang pun mengenalinya. Aku pun nyaris demikian bila tidak karena simpul perban di kaki karibku. Ah, Jakarta. Ucap karibku terngiang kembali.
"Ini mayat karibku," kataku kepada dua orang polisi yang sedang mencatat-catat. Keduanya terbelalak. Orang-orang pun terbelalak.
"Betul?" tanya polisi.
"Ya, Pak." "Nah, siapa namanya?"
Kusebut nama seenak perutku. Kuberi alamat di Jakarta sekenanya.
"Pekerjaan calo. Kemudian kusebut nama ngawur untukku. Alamat, kampung anu. Untung polisi tidak tanya KTP; suatu kecerobohan yang memalukan.
"Baiklah, kami sudah selesai dengan urusan kami. Sekarang bagaimana saudara?" tanya polisi.
Aku tergagap. Orang-orang bergumam mungkin menatapku dengan keji. Mereka sedang memperhatikan karib seorang gali, aku.
"Pak, aku akan menunggu di sini. Mungkin nanti ada saudaraku yang lewat sehingga aku ada teman buat mengurus mayat ini."
Polisi pergi, kelihatan dengan wajah puas. Orang-orang pun mulai pergi. Soal mayat tercampak sudah sering mereka lihat. Akhirnya hanya aku dan karibku yang tinggal. Sekali pun aku sama sekali tidak cengeng, namun terasa ada air mataku meleleh. Ada dua orang anak pencari rumput. Tetapi mereka menghilang ketika kumintai bantuan mengurus mayat karibku.
Lama aku berdiri bingung tak tahu harus berbuat apa. Mayat karibku teronggok hanya dengan cawat casanova. Ah, Jakarta. Ucapan itu lagi-lagi terngiang. Aku masih bingung. Bila bukan karena sebuah tempurung yang tergeletak di tempat itu mungkin aku masih diam. Tetapi karena tempurung itu, aku bisa berbuat sesuatu. Mayat karibku kusirami. Aku memandikannya. Lalat beterbangan. Kemudian dengan tempurung itu pula aku menggali pasir membujur ke utara. Dia kutarik dan kumasukkan ke dalam lubang pasir sedalam lutut. Kusembahyangkan kemudian kumiringkan ke barat. Daun-daun jati kututupkan, lalu pasir kutimbun- kan. Sebuah batu sebesar kepala kubuat nisan.
Ketika kutinggalkan tepian kali Serayu yang berjarak dua puluh kilo dari rumahku itu, ternyata ada beberapa orang yang menonton. Dua di antaranya adalah anak pencari rumput. Entahlah. Boleh jadi mereka heran ada orang yang berani berterus terang mengaku karib seorang gali, mengurus mayatnya dengan lengkap mesti bersahaja. Sepeda motor yang kupacu berbunyi, ah, Jakarta. Mengapa bila diucapkan dengan tekanan tertentu kata-kata itu menampakkan sisi compang-camping dan belepotan. Karibku ikut belepotan. Dan kini aku tidak berguna menyalahkannya. Apalagi sebentar lagi kali Serayu akan banjir. Kubur karibku akan tersapu air bah. Belulangnya akan jadi antah-berantah.
BLOKENG Maka Blokeng pun melahirkan bayinya: perempuan. Lalu kampungku tiba-tiba jadi lain, terasa ada kemandekan yang mencekam. Kampung penuh kasak-kusuk, bisik-bisik, dan cas-cis-cus. Jelas ada kebling-satan, tetapi masih dalam bentuknya yang laten. Keblingsat-an itu kini baru tampak menggejala sebagai merosotnya jumlah senyum sesama warga, berganti menjadi wajah-wajah kaku karena curiga. Salmg curiga tentang siapa ayah bayi Blokeng.
Perihal perempuan hamil di luar nikah, sebenarnya tidak lagi menjadi isu yang mengesankan di kampungku. Sudah acap terjadi babu dari kampungku pulang mudik membawa buntingan anak majikan. Atau entah anak siapa. Ada anak perawan mendadak lenyap dari kampung dan pergi entah ke mana untuk mencari tempat yang jauh agar kelahiran haram-jadahnya luput dari pengetahuan orang sekampung. Banyak lagi cerita seperti itu.
Tetapi tentang si Blokeng memang tak ada duanya. Kecuali dia adalah perempuan yang secara biologis sempurna?seperti baru saja terbukti?sama halnya dengan perempuan-perempuan lain. Selebihnya, siapa pun tak sudi diperbandingkan apalagi dimiripkan dengan Blokeng, Ini kepongahan kampungku yang dengan gemilang telah berhasil memelihara rasa congkak dengan cara memanipulasi nilai martabat kemanusiaan.
Jadi, ketika Blokeng bunting, lalu melahirkan bayi perempuan, kampung blingsatan. Perempuan-perempuan berde-cap-decap sambil mengusap dada. "Gusti Pangeran, bajul buntung mana yang telah menyerbu Blokeng?" Ya, perempuan. Mereka masing-masing punya suami yang tak bisa membebaskan diri dari kecurigaan yang telah menutup seisi kampung. Atau karena perempuan-perempuan itu sudah sama-sama merasakan perihnya melahirkan bayi. Perih, tak peduli bayi itu sudah lama diidamkan, lagi pula anak seorang suami yang sah. Bagaimana tentang si Blokeng yang melahirkan anak antah berantah?
Kaum lelaki kampungku cengar-cengir. Tanpa seorang pun terkecuali, mereka bergabung dalam paduan sas-sus. Tanpa kecuali, sebab mengasingkan diri sama artinya dengan mengundang perhatian khalayak dan pada gilirannya tanpa ampun lagi bakal tertimpa tuduhan menghamili Blokeng. Dan kampungku memang pongah. Tuduhan mem-buntingi Blokeng, di luar segala urusan hukum atau norma lainnya, dianggap sebagai perilaku primitif yang paling tidak bermartabat. Sebab Blokeng memang tak ada duanya dan setiap perempuan akan merasa demikian malu bila diperbandingkan dengan dia.
Dulu ketika Blokeng baru diketahui hamil empat bulan ada seorang hansip yang bertanya kepadanya, siapa ayah si jabang bayi.
"Mbuh." jawab Blokeng acuh.
"Eh, katakan saja, demi kebaikanmu sendiri dan demi bayimu yang pasti memerlukan wali bila kawin kelak."
"Mbuh, mbuh-mbuh-mbuh!"
"Eh, jangan alot seperti itu. Aku ini hansip. Kamu tak boleh mungkir. Atau kudatangkan polisi kemari?"
Blokeng tidak mengerti apa itu polisi. Tetapi dia mengerti orang-orang berseragam yang pernah menarik tangannya agar dia menyingkir dari onggokan sampah pasar karena bupati mau datang meninjau pasar. Seperti monyet melihat belacan. Takut dalam citra satwa. Itulah kesan perasaan yang tergambar dalam wajah Blokeng. Wajahnya menciut.
"Ular." "Ular? Yang membuntingimu ular? Baik, tapi katakan ular siapa?"
"Ular koros." "Aku tidak main-main!"
"Mbuh-mbuh-mbuh!"
Pak hansip mulai berang. Ternyata baju seragamnya tidak cukup ampuh sebagai alat penarik pengakuan Blokeng. Maka dicarinya tali. Pak hansip berpura-pura hendak membelenggu Blokeng.
"Aku tak boleh berkata apa-apa. Kalau mulutku bocor dia akan memukulku dengan ini," kata Blokeng sambil menggamit lampu senter pak hansip.
"Jadi ayah bayimu datang ke sarang ini membawa senter? Dia lelaki yang mempunyai senter?"
"Mbuh." Maka keesokan hari tersiar berita: ayah bayi Blokeng adalah seorang lelaki yang memiliki lampu senter. Kampungku yang pongah kemudian memperlihatkan gejala aneh. Lampu-lampu senter lenyap. Yang berjalan malam hari lebih suka memilih suluh untuk penerangan. Honda malam dan hansip kena marah karena mereka menjaga kampung hanya menggunakan korek api, bukan lampu baterai. Tetapi lampu senter terus menghilang dari kampungku yang pongah.
Sekali waktu ada sas-sus baru. Katanya, Blokeng memberikan keterangan lain tentang laki-laki yang membun-tinginya. Dia adalah seorang laki-laki yang malam-malam merangkak ke dalam sarangnya dan memakai'sandal jepit. Blokeng tidak tahu persis siapa dia karena sarang Blokeng yang terletak di atas tanah becek tak pernah berlampu. Tidak pernah. Dunia Blokeng adalah dunia sampah pasar, dunia tanah lembab, dan dunia yang tak mengenal lampu. Kampungku yang pongah berkelit dengan jurus yang lain lagi. Kini orang mencari bakiak dan bandol sebagai alas kaki. Sementara itu sandal jepit lenyap dengan serta-merta.
Sampai Blokeng dengan selamat melahirkan bayinya dibidani nyamuk dan kecoa. Tapi bayinya tangguh seperti anak kerbau yang lahir di kubang lumpur. Bayi Blokeng adalah anak alam sendiri, meski alam becek penuh cacing. Kelahirannya ditandai oleh tingkah kampungku yang jadi blingsatan dengan intensitas yang kian hari kian meningkat.
Adalah Lurah Hadining, lurah kampungku, kampung yang pongah. Sejak semula Lurah Hadining mengerti adanya kemandekan yang mencekam dan lalu meningkat menjadi keblingsatan kampung. Dalam perkembangan tertentu keblingsatan adalah keresahan warga. Lurah Hadining tidak punya tafsir lain atas keresahan ini kecuali sebagai seteru rancangan pembangunan. Tentu. Maka keblingsatan beserta anak cucunya harus dioperasi, bila perlu dengan menggunakan sinar laser atau sinar partikel.
Lurah Hadining tersenyum. Setelah sekian hari memikirkan cara buat melenyapkan keblingsatan warganya akibat kelahiran bayi Blokeng. Kini dia telah menemukannya. Semua laki-laki di kampungku disuruhnya kumpul. Tak ada yang mau absen karena absen berarti seorang diri menentang arus yang justru mengundang kecurigaan. Kampung mengira Lurah Hadining hendak melotre siapa yang harus bertanggung jawab atas kelahiran bayi Blokeng.
Ternyata kampungku yang pongah salah duga. Lurah Hadimng tidak memutar lotre. Dia berpidato lebar dan panjang. Katanya antara lain, "Blokeng bukan perawan Mariam. Dan bayinya bukan Yesus yang ketika lahir sudah mampu mengatasi keblingsatan semacam ini. Pokoknya Blokeng tidak seperti keluarga Mariam yang diberkati banyak hal surgawi. Blokeng hanya diberkati sampah pasar.??
Kemudian Lurah Hadining meminta kampungku menjadi saksi. Demi melenyapkan keblingsatan para warga maka dia menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kelahiran bayi Blokeng. Dia sudah membayar dukun bayi. Dia sudah menyiapkan lincak bambu dan tikar pandan untuk mengangkat Blokeng bersama bayinya dari tanah yang lembab. Ibu lurah sudah siap dengan catu makanan sebelum Blokeng mampu berjalan kembali ke sampah pasar.
Sejenak kampungku terpana mendengar ucapan Lurah Hadining. Namun sesaat senyum legalah yang tampak di mana-mana. Lega. Kesaling-curigaan sirna. Mereka berbondong-bondong berjalan mengikuti Lurah Hadining menuju sarang Blokeng. Ada yang memikul lincak, ada yang mengangkat gulungan tikar dan ada yang pulang dulu hendak mengambil pelita penuh minyak. Semua buat Blokeng. Semua ingin memperhatikan nasib orang yang paling tidak bermartabat di kampungku.
Komplotan Pencuri Senjata 1 Buku 2 Anne Of Avonlea Karya Lucy Maud Montgomery Air Mata Para Nabi 1

Cari Blog Ini