Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 5

Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


?Bocah kurang ajar, engkau layak mampus!? katanya dan dia segera menerjang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Cu.
Dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja dengan pukulan yang mengandung tenaga,sakti itu tentu dia akan mampu menghancurkan kepala pemuda remaja itu Namun, dengan mudah dan tenang Sin Cu mengelak sambil miringkan tubuhnya. Hek Moko menjadi marah dan pena?aran ketika pukulan pertamanya luput. Cepat dia membalik sambil mengayun tangan dan kini tangan kirinya yang menyambar dengan tamparan yang amat kuat, ke arah dada pemuda itu. Kembali Sin Cu mengelak. Marahlah Hek Moko. Dia lalu menerjang dan menghujankan serangan dengan kedua tangan dan kedua kakinya. Cepat dan kuat bukan main gerakan kaki tangan Hek Moko ini sehingga terdengar angin bersiutan. Namun, terjadilah hal yang bagi Hek Moko amat aneh dan membuatnya penasaran bukan main.
Ternyata pemuda remaja itu berkelebatan dengan gerakan yang luar biasa sekali, melangkah kesana sini dan semua serangannya luput! Dia tidak tahu bahwa ketika diserang secara bertubi-tubi itu, Sin Cu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat tangguh dan dia harus dapat menghindarkan diri dari serangan bertubi yang amat kuat itu. maka dia lalu menggunakan ilmu Chit-Seng Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang). Langkah-langkah aneh ini demikian banyak perubahannya dan ke manapun lawan menyerang, tubuh Sin Cu dapat menghindar dengan lincah sekali. Pemuda yang baru sekali ini mempraktekkan ilmu silat yang telah lama dipelajarinya dan sekaligus bertemu dengan lawan yang amat tangguh, lama-lama merasa terancam juga kalau harus mengelak terus. Sudah lebih dari tiga puluh jurus dia mempergunakan Chit-Seng Sin-Po untuk mengelak.
Suhunya pernah berkata bahwa pembelaan diri dan pertahanan yang baik adalah balas menyerang. Maka diapun mulai balas menyerang dan begitu menyerang, dia segera menggunakan ilmu It-Yang-Ci(Menotok Satu Jari) dan kedua jari telunjuknya menyambar-nyambar, menotok ke arah jalan jalan darah di tubuh lawan. Serangannya mengeluarkan bunyi bercuitan sehingga He Moko menjadi terkejut bukan main. Datuk yang sudah berpengalaman ini maklum bahwa totokan pemuda remaja itu mengandung tenaga sakti yang tidak boleh dipandang ringan dan amat berbahaya. Maka diapun menjaga agar jangan sampai terkena totokan dengan elakan atau tangkisan. Lima puluh jurus telah lewat dan Hek Moko belum juga mampu mendesak Sin Cu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa malu, penasaran dan marah sekali.
?Bocah setan, sambutlah ini!? Dia berseru keras dengan suara seperti gerengan seekor singa marah. Kedua lengannya digetarkan dan kulit lengan yang sudah hitam itu berubah semakin gelap, kemudian menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke arah Sin Cu.
Itulah ilmu pukulan Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam) yang merupakan inti dari semua ilmunya, amat berbahaya karena pukulan itu selain kuat sekali, juga mengandung hawa beracun dingin yang mampu membunuh orang dari jarak jauh! Biarpun dia belum berpengalaman dalam pertandingan, namun berkat gemblengan Bu Beng Siauwjin yang teliti, Sin Cu da dapat menduga bahwa dia menghadapi pukulan Sinkang (tenaga sakti) yang amat berbahaya. Karena itu, diapun mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah hendak menerima inti kekuatan sinar matahari, kemudian diapun mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah lawan untuk menyambut pukulan yang dahsyat tadi. Inilah pukulan Thai-Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti Inti Matahari) yang telah dipelajari Sin Cu. Walaupun dia belum menguasainya dengan sempurna namun pukulannya itu sudah mengandung tenaga yang kuat sekali.
?Wuuwuttt desss...!? Dua tenaga sakti raksasa bertabrakan di udara dan kedua orang itu terdorong mundur sampai tujuh langkah. Tentu saja Hek Moko terkejut bukan main. Ternyata pemuda remaja itu bukan saja mampu menahan pukulan Hek-Tok-Ciang, bahkan telah membuatnya terdorong mundur dan kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Melihat betapa rekannya tidak mampu mengalahkan pemuda remaja itu, apalagi membunuhnya, Pek Moko juga menjadi terkejut dan marah.
?Mari kubantu engkau membunuh bocah setan itu, Hek-te (adik Hek)!? Setelah berkata demikian, Pek Moko dengan langkah lebar menghampiri Sin Cu yang sudah menguasai lagi keseimbangan tubuhnya dan dia tidak menderita luka, terlindung oleh Sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat. Hek Moko juga sudah bangkit dan mengikuti Pek Moko menghampiri Sin-cu. Dua orang datuk itu menghampiri Sin Cu dengan sikap mengancam dan agaknya mereka sudah bersepakat untuk membunuh pemuda remaja itu. Melihat ini, Bu Beng Siauwjin maju mendekati Sin Cu dan berkata,
?Sin Cu, engkau mundurlah dan biarkan aku yang menghadapi Hek Pek Moko.? Sin Cu merasa lega. Melawan seorang Hek Moko saja dia sudah merasa berat walaupun dia belum kalah, apalagi harus menandingi Hek Moko dan Pek Moko berdua. Dia lalu melangkah mundur dan berdiri di belakang Gurunya. Hek Moko dan Pek Moko berhenti melangkah ketika mereka melihat seorang Kakek yang tubuhnya dilibat-libat kain kuning, dan yang tersenyum-senyum ramah dan lembut kepada mereka.
?Jembel tua! Mau apa engkau?? bentak Pek Moko.
?Sahabat-sahabat, kalau muridku itu ada membuat kesalahan terhadap kalian, aku hendak mintakan maaf. Maafkanlah yang masih muda dan mari kita berpisah dalam keadaan aman dan damai.? Mendengar bahwa Kakek ini adalah Guru pemuda yang lihai tadi, Hek Pek Mok menjadi semakin marah.
?Hemm, muridmu kurang ajar telah berani mencampuri urusan kami. Engkau sebagai Gurunya tidak mampu mengajarnya, maka biarlah sekarang aku yang akan mengajarmu!? Setelah berkata demikan, Pek Moko lalu memutar-mutar kedua tangannya ke atas kepala. Kedua lengan yang berkulit putih seperti dicat putih itu kini menjadi semakin putih dan kedua tangannya mengeluarkan asap. Ada hawa yang panas sekali keluar dari kedua tangan itu. Hek Mo ko juga mengerahkan Sinkangnya dan kedua tangannya berubah semakin hitam dan mengeluarkan hawa yang amat dingin.
Kalau Hek Moko mengeluarkan ilmunya yang disebut Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam), Pek Moko mengeluarkan ilmunya yang lebih ampuh lagi dan disebut Pek-Tok-Ciang (Tangan Racun Putih). Maklum bahwa kedua orang tokoh sesat itu hendak mempergunakan ilmumu mereka yang diandalkan dan amat berahaya, Bu Beng Siauwjin juga membuat persiapan. Lutut kirinya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan tangan kirinya menyentuh tanah, sedangkan tangan kanannya diangkat lurus-lurus ke atas. Dia membuat gerakan seolah-olah dia hendak menyedot kekuatan dari bumi dengan tangan kirinya dan menyedot kekuatan dari langit dengan tangan kanannya. Gerakan ini menunjukkan bahwa Bu Beng Siauwjin hendak mengumpukan Im Yang-Sinkang (Tenaga Sakti Im dan Yang) yang merupakan inti kekuatan dari ilmu Im Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti ln dan Yang).
?Haaittt...? Hek Moko sudah menerjang dengan pukulan tangannya yang mengandung hawa dingin.
?Hemm?? Bu Beng Siauwjin cepat menggerakkan tubuhnya, mengatur langkah Chit-Seng Sin-Po dan mengelak dengan cepat sekali. Dua orang lawannya menyerang semakin cepat, bertubi-tubi, namun tubuh Bu Beng Siauwjin juga bergerak semakin cepat, berkelebatan dan seolah tubuh itu berubah menjad? bayangan yang amat sukar di pukul.
Makin cepat kedua orang itu menyerang, semakin cepat pula tubuh Bu Ben Siauwjin menghindar sehingga tiga orang itu tidak lagi tampak bentuk tubuh mereka Yang tampak hanyalah bayangan kuning yang dikejar-kejar bayangan hitam dan bayangan putih! Sin Cu yang menonton menjadi terbelalak kagum. Chit-Seng Sin-Po yang dimainkan Gurunya sedemikian hebatnya diam-diam dia memperhatikannya dengan seksama. Setelah melihat Gurunya dikeroyok dua orang itu, baru dia tahu bahwa ilmu langkah ajaib itu benar-benar dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang tangguh dan berbahaya. Akan tetapi dia merasa khawatir juga. Dua orang yang mengeroyok Gurunya itu selain memiliki ilmu yang tinggi dan berbahaya, juga mereka berdua itu dapat bekerja sama dengan amat baiknya.
Gerakan mereka itu seolah saling menunjang dan saling melindungi. Tahulah dia bahwa dua orang itu memang merupakan pasangan yang telah melatih diri untuk maju bersama secara teratur dan rapi. Akan tetapi mengapa Gurunya hanya mengelak terus? Biarpun Chit-Seng Sin-Po yang dikuasai Gurunya itu sudah mencapai tingkat sempurna, namun kalau hanya mengelak terus, sampai kapan Gurunya akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang? Pula, membiarkan diri terus menerus didesak dan diserang akhirnya akan merugikan diri sendirl. Setelah kelelahan tentu gerakan Gurunya tidak secepat semula dan hal ini akan membahayakan Gurunya. Setelah lewat dari tiga puluh jurus mereka menyerang terus tanpa pernah berhasil mengenai tubuh Kakek yang mereka keroyok, dua orang Hek Pek Moko itu menjadi marah sekali.
Agaknya inilah yang dinantikan Bu Beng Siauwjin. Menanti sampai dua orang lawannya menjadi marah karena kemarahan merupakan kelemahan dan membuat orang menjadi lengah. Yang ada hanyalah nafsu ingin merobohkan lawan, seluruh daya dikerahkan untuk menyerang tanpa memperdulikan pertahanan. Setelah kedua orang itu marah-marah dan penyerangan mereka semakin gencar dan semakin kuat, Barulah Beng Siauwjin melihat lubang-lubang kelemahan pada pertahanan mereka. Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mulai balas menyerang! Karena maklum akan kelihaian dua orang lawannya, begitu balas menyerang, Beng Siauwjin telah memainkan It-Yang-Ci. Gerakannya cepat bukan main dan karena sejak tadi dia sudah melihat lubang-lubang dan kesempatan dalam pertahanan dua orang lawannya, maka secepat kilat dua buah jari telunjuknya menyerang.
?Tukk... tukk...? dua kali jari telunjuknya bertemu tubuh Hek Pek Moko dan dua orang itupun terkulai roboh tertotok! Akan tetapi hanya sebentar saja mereka terkulai dan tidak mampu bergerak lagi karena Bu Beng Siauwjin sudah cepat menghampiri mereka dan menepuk pundak mereka masing-masing satu kali. Dua orang itu dapat bergerak lagi dan mereka melompat bangkit dan tidak berani menyerang lagi. Akan tetapi dengan mata mendelik mereka memandang kepada Bu Beng Siauwjin dan Pek Moko bertanya dengan suara kaku.
?Siapakah engkau? Siapa namamu?? Bu Beng Siauwjin tersenyum dan menggeleng kepala.
?Aku hanyalah seorang rendah tanpa nama.? Akan tetapi jawaban itu cukup mengejutkan Hek Pek Moko.
?Bu Beng Siauwjin?!! Hemm, jadi Bu Beng Siauwjin kiranya engkau? Biarlah lain kali kita bertemu lagi,? kata Pek Moko. Setelah berkata demikian, dua orang itu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap Bu Beng Siauwjin, sebuah nama yang sudah mereka kenal lama akan tetapi baru sekarang mereka bertemu dengan orangnya.
?Suhu, siapakah mereka itu?? Sin Cu bertanya kepada Gurunya.
?Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko, terkenal dengan julukan Hek Pek Mo, karena ke manapun mereka selalu pergi berdua. Aku sudah lama mengenal nama mereka dan mudah saja mengenal mereka ketika bertemu dengan melihat keadaan dan warna kulit mereka. Yang seorang putih, yang lainnya hitam. Ternyata mereka bukan bernama kosong belaka. Ilmu kepandaian mereka hebat dan berbahaya.? Pada saat itu, nelayan tadi menghampiri mereka dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Cu dan Gurunya.
?Saya Can Kui menghaturkan banyak terimakasih atas pertolongan jiwi (kalian berdua). Tanpa pertolongan jiwi, mungkin sekarang saya telah mati di tangan dua orang penjahat itu.? Sin Cu mewakili Gurunya mengangkat bangun Can Kui yang berlutut.
?Bangunlah, Paman, tidak perlu begini. Apa yang kami lakukan itu hanyalah merupakan pelaksanaan kewajiban kami belaka.? Karena dipegang kedua pundaknya dan ditarik, maka Can Kui terpaksa bangkit berdiri dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada sambil berdiri.
?Akan tetapi, saya berhutang budi kepada jiwi.?
?Kami juga tidak menghutangkan budi, Paman. Kalau Paman hendak berterimakasih dan merasa berhutang budi, maka tujukanlah itu kepada Thian (Tuhan), karena sesungguhnya, Kekuasaan Thian sajalah yang telah menyelamatkan Paman. Sedangkan kami hanya menjalankan kewajiban.?
?Saudara Can Kui, apa yang dikatakan muridku itu memang benar. Jangan bicara lagi tentang budi, karena hal itu hanya akan menimbulkan ikatan karma kepada kita bertiga,? kata Bu Beng Siauwjin sambil tersenyum lembut.
?Baiklah kalau Lo-Cianpwe (orang tua gagah) berkata demikian. Akan tetapi tentu jiwi tidak keberatan untuk memberitahukan nama jiwi kepada saya,? kata Can Kui yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seoang yang sakti dan berwatak aneh. Namaku Bu Beng Siauwjin dan muridku ini bernama Wong Sin Cu. Akan tetapi sesungguhnya apakah yang terjadi, sobat? Mengapa dua orang itu tadi mengejarmu dan hendak membunuhmu??
?Sebetulnya saya sendiri tidak mengenal dua orang jahat itu, Lo-Cianpwe. Saya sedang menangkap ikan ketika saya melihat sebuah perahu besar diserang oleh dua orang itu yang berada di perahu kecil. Dua orang itu telah membocorkan perahu dan membantai seluruh penghuni perahu. Kejadian itu amat mengejutkan saya, juga menakutkan saya. Biarpun saya sendiri menguasai sedikit ilmu silat, akan tetapi saya tahu bahwa saya bukanlah lawan dua orang itu yang amat lihai. Oleh karena itu saya tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa saya melihat saja dari jauh ketika dua orang itu dengan kejamnya membunuhi semua penghuni perahu. Kemudian, perahu besar itu tenggelam dan semua penghuninya mati dalam keadaan yang amat menyedihkan. Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap ikan dan menjauhi tempat pembantaian itu.? Can Kui berhenti bercerita dan menghela napas panjang, tampaknya masih merasa ngeri kalau teringat akan semua peristiwa yang mengenaskan itu. Sin Cu dan Gurunya mendengarkan penuh perhatian.
?Paman Can Kui, tahukah Paman siapa orang-orang yang mereka bantai itu dan berapa jurmlah mereka??
?Saya sama sekali tidak mengenal mereka. Jumlah mereka ada belasan orang dan saya bahkan, melihat wanita dan anak-anak yang ikut dibantai pula. Sungguh perbuatan mereka itu biadab dan kejam sekali. Yang jelas, dua orang itu bukan membunuh untuk merampok dan entah mengapa mereka membunuh semua orang itu, juga entah siapa yang mereka bunuh. Akan tetapi saya melihat beberapa orang yang melihat pakaian mereka seperti bangsawan. Juga wanita dan anak-anak yang dIbunuh itu, berpakaian seperti keluarga bangsawan.?
?Sian-cai (damai)...! Betapa banyaknya manusia yang membiarkan dirinya diperhamba oleh nafsu daya rendah sehingga tega dan tidak berprikemanusiaan,? kata Bu Beng Siauwjin. ?Akan tetapi bagaimana selanjutnya saudara Can Kui??
?Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap, ikan agak jauh dari tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu muncul dalam perahu mereka, ternyata mereka itu sengaja mencari saya,mereka mendengar dari para nelayan bahwa saya mempunyai kemampuan untuk menyelam dan sudah terbiasa menyelam untuk mencari dan mengumpulkan karang-karang yang indah. Mereka membujuk saya untuk menyelam di tempat tadi, untuk mencari dan mengambil sepotong pedang pusaka yang ikut tenggelam bersama perahu besar itu. Karena amat membEnci mereka, saya tidak sudi membantu, Saya menolak dan mereka menyerang saya. Saya melarikan.diri dengan perahu, akan tetapi mereka dapat mendayung perahu mereka cepat sekali, maka saya lalu meloncat ke air dan melarikan diri sambil berenang. Hanya dengan renang yang saya kuasai baik-baik saya dapat menghindarkan diri dari pengejaran mereka. akan tetapi setelah sampai di darat, akhirnya mereka dapat juga.menyusul saya dan selanjutnya jiwi sudah mengetahui apa yang terjadi,?
?Mereka agaknya ingin sekali mendapatkan pedang pusaka yang tenggelam bersama perahu itu. Sebaiknya kalau engkau pergi mengungsi ke tempat lain, saudara Can kui. Kalau tidak, mereka tentu akan datang lagi dan memaksamu untuk menyelam dan mencarikan pedang itu.?
??Memang sebaiknya begitu, Lo-Cianpwe. Akan tetapi sebelum saya pergi, saya ingin lebih dulu menyelam ke tempat itu dan mendapatkan pedang pusaka yang mereka cari itu,? kata Can Kui dengan suara tegas. Sin Cu mengerutkan alisnya dan cepat bertanya, ?Paman Can, engkau sungguh aneh sekali. Dua orang tadi menyuruhmu menyelam dan mengambilkan pedang pusaka dan Paman tidak mau, bahkan rela dIbunuh dari padai harus mengambi! pedang itu. akan tetapi kenapa sekarang Paman bahkan ingin mengambilnya sendiri? Untuk apa Paman mengambil pedang pusaka yang bukan milik Paman?? Hati pemuda itu merasa tidak senang dengan sikap penyelam dan nelayan itu. Can Kui berkata dengan suara sungguh-sungguh.
?Memang pedang pusaka itu bukan milik saya, Sicu (orang muda gagah). Akan tetapi sekarang pedang itu bukan milik siapa-siapa lagi karena pemiliknya telah tewas semua. Sayang kalau sebatang pedang pusaka dibiarkan saja dalam laut. Tentu akan rusak. Sebatang pedang pusaka yang dicari seorang datuk jahat itu tentu merupakan sebatang pedang pusaka yang amat baik dan ampuh, dan sudah sepatutnya menjadi milik seorang pendekar besar yang budiman. Setelah melihat sepak terjang Wong-Sicu yang masih muda sudah meniliki kegagahan dan juga berbudi mulia, seorang pendekar yang bijaksana, maka timbul keinginan hati saya untuk mengambil pedang pusaka itu dan memberikannya kepada Wong-Sicu Sicu sebagai hadiah!?
?Ah, jangan, Paman Can! Tidak usah engkau berbuat begitu, bersusah pAyah mengambil pedang itu untuk diberikan kepadaku. Pertama, pedang itu bukan milikku dan aku tidak berhak memilikinya. Kedua, aku memang tidak membutuhkan pedang!?
?Pedang itu kini bukan milik siapa-siapa, melainkan milik lautan, Sicu. Sayang kalau air laut memakannya sampai berkarat dan habis. Saya sudah mengambil keputusan tetap untuk mencarinya sampai dapat agar dapat menyerahkakannya kepada Wong-Sicul? Setelah berkata demikian, Can Kui berlari kelaut lalu berenang ke tengah, cepat sekali renangnya, tiada ubahnya seekor ikan. Sin Cu menandang kagum dan tak terasa lagi dia berkata,
?Suhu, alangkah hebatnya ilmu dalam air yang dikuasai Paman can Kui! Belum pernah Teecu (murid) melihat orang berenang secepat itu.?
?Engkau benar, Sin Cu. Orang she Can itu memiliki ilmu kepandaian dalam air yang luar biasa dan jarang dimiliki orang. itu kepandaian yang sudah langka terdapat sekarang.?
?Teecu ingin sekali dapat menguasai ilmu seperti itu, Suhu.?
?Bagus! Kenapa tidak engkau angkat Guru kepada Can Kui??
?Mengangkat Guru?? ?Tentu saja. Kalau tidak menjadi muridnya, bagaimana engkau akan mampu berenang seperti itu? Sin Cu, engkau boleh saja menolak pemberian pedang itu. Akan tetapi kita tidak bisa membiarkan dia terancam bahaya. Kita harus menanti di sini sampai dia mendarat dengan selamat.?
?Baik, Suhu.? Guru dan murid itu menanti di pantai berpasir, duduk bersila bermandikan cahaya matahari pagi yang sehat dan hangat. Bahkan Bu Beng Siauwjin lalu mengajak muridnya untuk bersamadhi sambil membuka baju, untuk, memperkuat Thai-Yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Matahari) yang telah mereka latih dan kuasai. Sebentar saja Guru dan murid ini sudah duduk diam seperti dua buah arca batu yang menerima cahaya matahari pagi sepenuhnya sehingga perlahan-lahan tubuh bagian atas mereka yang telanjang itu berkilauan karena keringat.
Dari kepala mereka melayang uap tipis yang membubung ke atas. Kedua orang Guru dan murid itu duduk bersamadhi untuk menghimpun tenaga inti matahari, demikian tenggelam ke dalam samadhinya sehingga mereka sendiri tidak menyadari bahwa telah lama sekali mereka duduk diam seperti itu. Mereka baru membuka mata ketika mendengar langkah kaki orang. Biarpun dalam keadaan bersamadhi, namun panca-indera mereka peka sekali sehingga sedikit saja terdengar suara yang mencurigakan, cukup untuk menyadarkan mereka, Mereka membuka mata melihat Can Kui sudah tiba di depan mereka. Orang itu duduk bersila di atas pasir di depan mereka, kedua tangannya membawa sebatang pedang bersarung indah terukir. Pada saat itu, barulah Guru dan murid itu menyadari bahwa matahari telah naik tinggi. Hari telah siang dan entah berapa jam mereka duduk bersamadhi sejak pagi tadi.
(Lanjut ke Jilid 08) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08 ?Saudara Can Kui, engkau sudah kembali? Agaknya engkau telah berhasil mendapatkan pedang itu,? kata Bu Beng Siauwjin dengan kagum akan kehebatan orang itu bermain dalam air.
?Saya berhasil, Lo-Cianpwe. Pedang itu berada dalam bilik perahu yang tenggelam, bersama benda-benda berharga lainnya, Akan tetapi saya tidak mengambil barang berharga lain kecuali pedang ini yang hendak saya berikan kepada Wong-Sicu.
?Paman Can Kui, saya tidak membutuhkan pedang. Akan tetapi saya membutuhkan yang lain lagi yang ingin saya minta kepada Paman.?
?Saya tidak mempunyai apa-apa, Sicu. Tentu akan saya berikan apa yang Sicu minta kalau memang saya mempunyai sesuatu yang Sicu butuhkan,? kata Can Kui dengan heran.
?Saya membutuhkan ilmu bermain dalam air yang Paman kuasai. Saya ingin mempelajarinya dari Paman.?
?Ah ini... ini...? Can Kui terbelalak.
?Sin Cu, kenapa tidak lekas memberi hormat kepada, Gurumu?? Bu Beng Siauwjin berkata sambil tersenyum lebar. Mendengar ini, Sin Cu segera berlutut memberi hormat di depan Can Kui.
?Suhu, harap sudi membimbing Teecu mempelajari ilmu dalam air!? katanya.
?Wah, Sicu, Mana bisa saya menerima Sicu sebagai murid? Sicu telah mempunyai seorang Guru yang sakti dan bijaksana seperti Lo-Cianpwee ini Saudara Can, setiap orang boleh jadi pandai dalam suatu hal, akan tetapi dia juga bodoh sekall dalam lain hal. Boleh jadi aku lebih pandai dari padamu mengenai ilmu silat di darat, akan tetapi kalau harus bertandihg dan bermain di air, aku menjadi seorang bodoh dan dapat mati tenggelam karena tidak pandai berenang. Karena itu, setelah Sin Cu minta dengan sungguh-sungguh untuk menjadi muridmu, mengapa engkau masih meragu? Dia seorang murid yang baik, saudara Can Kui!?
?Baiklah kalau begitu, Lo-Cianpwe, kata Can Kui sambil mengangkat bangun Sin Cu. ?Wong-Sicu, harap engkau suka bangun...?
?Suhu, bagaimana Suhu masih menyebut saya Wong-Sicu? Nama saya Sin Cu.?
?Baiklah, Sin Cu. Aku mau mengajarkan ilmu bermain dalam air kepadamu, akan tetapi engkau pun harus mau menerima pemberianku, sebatang pedang pusaka ini.?
?Tentu saja dia tidak dapat menolak lagi. Pemberian seorang Guru kepada muridnya merupakan pemberian yang harus dijunjung tinggi,? kata Bu Beng Siauwjin.
?Coba perlihatkan kepadaku pedang itu, Saudara Can Kui. Tampaknya sebatang pedang yang sangat berharga, mempunyai sarung yang demikian indah terukir dan agaknya sarung itu terbuat dari kayu besi hitam pula!? Can Kui menyerahkan pedang itu kepada Bu Beng Siauwjin. Kakek itu menerima pedang lalu mengamati sarung dan gagangnya. Dia mengangguk-angguk kagum.
?Gagang pedang dan sarungnya begini indah, buatan seorang seniman yang pandai sekali. Pedang seperti ini sepatutnya berada di Istana Kaisar. Hemm, ukiran pada sarung bergambar seekor naga yang indah sekali dan terukir pula nama pedang. Pek-Liong Po-Kiam (Pedang Pusaka Naga Putih)? Bukan main! Kalau tidak salah, aku pernah mendengar akan nama pedang Pek-Liong Po-Kiam ini yang menjadi sebuah di antara pusaka-pusaka Istana Kaisar. Coba kita lihat pedangnya, apakah benar Po-Kiam yang amat terkenal itu.?
Bu Beng Siauwjin mencabut pedang itu perlahan-lahan. Gagang pedang itu agak lebar dan setelah pedang dicabut, ternyata pedang itu merupakan sebentuk naga putih! Tertimpa sinar matahari, pedang itu berkilauan menyerang mata. Sin Cu dan Can Kui juga memandang kagum. Bentuk naga itu sempurna sekali. Gagangnya menyambung keekornya dan yang menjadi ujung pedang adalah kepalanya yang menjulurkan lidah panjang meruncing. Lidah itulah ujung pedang yang runcing. Mata pedang yang tajam terdiri dari bagian punggung dan perut naga yang bersisik, tajam seperti gergaji. Sebatang pedang yang ukirannya teramat indah dan tentu pedang seperti itu mahal sekali karena langka, merupakan sebuah pedang pusaka yang luar biasa,
?Siancai...! Kalau pedang pusaka ini menjadi jodohmu, memang sudah tepat sekali, Sin Cu. Agaknya memang Thian menghendaki demikian. Kau tahu, Saudara Can Kui, ada sesuatu pada muridmu yang secara aneh sekali sesuai dengan pedang ini. Sin Cu, buka lagi bajumu dan perlihatkan dadamu ke pada Guru renangmu!? Karena Can Kui sudah menjadi Gurunya, Sin Cu juga tidak merasa sungkan dan dia menaati perintah Gurunya. Dia membuka bajunya memperlihatkan dadanya kepada Can Kui. Can Kui memandang ke arah dada muridnya dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga.
?Ya Tuhaan?!!!? dia berseru?
?Betapa anehnya! Mirip sekali!? Dia mengamati rajah bergambar naga putih di dada Sin Cu dan membandingkannya dengan bentuk naga pada pedang yang masih dipegang oleh Bu Beng Siauwjin. Memang mirip sekali. Rajah bergambar naga di dada Sin Cu itu demikian hidup, kalau pemuda itu bernapas, maka gambar naga itupun bergerak bergelombang seolah-olah sedang terbang di angkasa.
?Sin Cu, karena pedang ini tidak ada pemiliknya dan Gurumu Can Kui telah menemukan di dasar laut, maka pedang ini mulai saat ini menjadi milikmu. Aku akan berusaha untuk merangkai Kiam-Sut (ilmu silat pedang) yang sesuai dengan Pedang Pusaka Naga Putih ini untukmu. Mudah-mudahan aku
akan berhasil.? Dia menyerahkan pedang itu kepada Sin Cu yang menerimanya dengan hormat. Dia sendiri harus mengakui dalam hatinya bahwa setelah melihat pedang itu, hatinya tergerak dan dia merasa suka sekali. Apa lagi mendengar bahwa Bu Beng Siauwjin hendak merangkai sebuah ilmu pedang yang khas untuk pedangnya itu. Can Kui mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu besi hitam.
?Kotak kecil ini dari dalam perahu,? katanya.
?Lo-Cianpwe, saya juga membawa kotak kecil ini dari dalam perahu? katanya sambil menyerahkan kotak hitam kepada Bu Beng Siauwjin. Mendengar ini, dengan alis berkerut Sin Cu bertanya kepada Gurunya yang baru itu.
?Akan tetapi, bukankah Suhu tadi mengtakan bahwa Suhu tidak mengambil benda berharga lain dari perahu itu?? Dalam suara Sin Cu terkandung nada teguran. Can Kui menjawab dan kini suaranya tegas dan lantang,
?Sin Cu, jangan berprasangka buruk lebih dulu sebelum engkau mengetahui jalan persoalannya! Kotak kecil itu tadinya diikatkan pada gagang pedang sehingga ketika pedang itu kubawa naik ke permukaan air, kotak kecil. itu ikut terbawa. Hal ini baru kuketahui setelah aku tiba di atas permukaan air. Karena kotak kecil ini terikat pada pedang, maka mungkin sekali ada hubungannya dengan pedang, maka sekarang akan kuserahkan kepada Lo-Cianpwe Bu Beng Siauwjin untuk diperiksa.? Mendengar keterangan ini Sin Cu tersipu dan dia cepat berkata,
?Harap maafkan Teecu, Suhu!? Bu Beng Siauwjin tertawa dan dia menerima kotak kecil berukir indah itu
?Hem... ukuran pada kotak inipun menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah benda yang amat berharga. Tutupnya rapat sekali, tentu isinya tidak sampai terkena air. Coba akan kubuka agar kita, semua dapat melihat apa isinya.? Ternyata tutup itu tidak mudah dIbuka sehingga Bu Beng Siauwjin harus mengerahkan tenaganya, barulah tutup peti kecil itu dapat terbuka. Ternyata di dalamnya terdapat sehelai kertas yang dilipat-lipat,
?Ah, agakya sehelai surat dengan tulisan indah sekal! Caba engkau saja yang membacanya? Sin Cu. Bu Beng Siauwjin menyerahkan surat itu kepada muridnya.
?Baca dengan suara yang jelas agar kami dapat ikut mendengarkan dan tahu apa isinya.? Sin Cu menerima kertas yang penuh tulisan dengan huruf-huruf indah itu, membuka lipatannya lalu membacanya dengan suara jelas.
?Sri Baginda Kaisar yang mulia, Paduka telah menganugerahi hamba dengan kedudukan Panglima bahkan telah memberi anugerah berupa pedang pusaka Pek Liong Po-Kiam sebagai tanda kekuasaan. Akan tetapi ternyata hamba telah gagal menyadarkan Sri Baginda Kaisar Muda yang telah dipengaruhi Thaikam Liu Chin dan antek-anteknya Bahkan Liu-Thaikam bermaksud untuk membasi hamba sekeluarga, maka terpaksa hamba melarikan diri untuk menyelamatkan keluarga hamba. Hamba telah gagal dan hamba mohon ampun yang mulia, sekiranya hamba terhunuh oleh Liu-Thaikam, semoga pedang ini terjatuh ke tangan seorang yang akan lebih mampu dari padahamba untuk menentang kekuasaan Liu Thaikam yang telah menyesatkan Sri Baginda Kaisar Muda. Hamba yang berdosa, Kwee Liang. Bu Beng Siauwjin mengangguk angguk dan meraba dagunya yang hanya ditumbuhi jenggot yang jarang berwarna putih itu.
?Kiranya yang terbasmi itu adalah keluarga seorang Panglima she Kwee. Seorang Panglima yang setia. Ah, kembali seorang pejabat yang baik menjadi korban kekejaman Thaikam Liu Chin yang terkenal licik dan jahat itu.? Dia menghela napas panjang.
?Lo-Cianpwe, apakah yang telah terjadi di Kotaraja? Sudah belasan?ahun saya tidak pernah pergi ke Kotaraja dan tidak pernah mendengar apa-apa dari sana. Apa yang telah terjadi di sana??
?Siapakah Thaikam Liu Chin itu, Suhu? Agaknya dia jahat sekali? tanya pula Sin Cu.
?Matahari telah menjadi panas sekali. Pasir di sini juga menjadi panas. Marilah kita kembali ke pondok, akan kuterangkan tentang Liu-Thaikam dan keadaan di Kotaraja.? Bu Beng Siauwjin bangkit, diturut oleh dua orang itu dan mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju ke hutan yang berada di bukit di tepi pantai.
?Kaisar yang sekarang naik tahta dalam usia yang terlalu muda.? Bu Beng Siauwjin mulai bercerita sambil melangkah perlahan lahan bersama Can Kui dan Sin Cu. ?Agaknya dia seorang yang lemah dan mudah terbujuk. Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang Thaikam yang amat cerdik dan licik, yaitu Thaikam Liu Cin.
Thaikam ini dapat mempengaruhi Kaisar sehingga Kaisar yang muda itu amat mempercayainya, bahkan hampir emua urusan pemerintahan terjatuh ke tangan Liu-Thaikam ini. Kaisar muda itu hanya menandatangani semua keputusah yang sudah dilakukan oleh Liu-Thaikam. Bahkan banyak pejabat yang menduduki jabatan penting digeser oleh Liu-Thaikam, digantikan oleh orang-orang kepercayaannya sendiri. Banyak pejabat setia yang melihat keadaan ini mencoba untuk menyadarkan Kaisar dan menentang Liu-Thaikam, akan tetapi usaha mereka untuk menyadarkan kalsar bukan saja gagal, bahkan mereka menjadi korban keganasan Liu-Thaikam. Banyak yang tewas atau melarikan diri seperti halnya Kwee-Ciangkun itu karena tidak kuat menentang Liu-Thaikam yang memiliki kekuasaan besar. Demikianlah yang kudengar selama ini. Ah, betapa jahatnya Thaikam itu!? kata Can Kui.
?Kenapa Kaisar itu demikian lemah dan bodoh, mudah saja dipengaruhi seorang jahat seperti Liu Cin itu, Suhu?? Sin Cu bertanya. Bu Beng Siauwjin menghela napas panjang.
?Maklumlah, beliau menduduki tahta ketika beliau masih amat muda sehingga kurang pengalaman. Pula, seorang yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, tidak pernah digembleng oleh kepahitan hidup, biasanya memang lemah. Kebetulan sekali engkau yang kini menjadi pemilik Pek-Liong Po-Kiam, Sin Cu. Oleh karena itu, setelah engkau selesai belajar, kukira sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang Liu Cin dan menolong Kaisar. Karena dengan demikian, berarti engkau menolong para pejabat yang setia dan menolong rakyat dari penindasan pemerintahan yang korup dan lalim.? Mereka sudah tiba di depan pondok kayu dan bambu yang sederhana itu lalu duduk di atas bangku yang berada di luar pondok di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya. Sejuk sekali duduk di situ.
?Akan tetapi, bukankah Suhu pernah mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh Kekuasaan Tuhan? Kenapa sekarang Suhu menyuruh Teecu untuk mencampuri urusan Kerajaan yang tentu sudah diatur pula oleh Kekuasaan Tuhan??
?Sebenarnyalah, Sin Cu. Kekuasaan Tuhan bekerja setiap saat, tidak pernah berhenti dan mengatur segala yang terjadi di alam semesta ini! Juga Kekuasaan itu bekerja dalam diri kita! Karena itu, kita harus berbuat sesuai dan dengan kekuasaan itu yang mengarah kepada kebaikan dan kebajikan. Berikhtiar merupakan KEWAJIBAN bagi kita. Biarpun segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Kekuasaan Tuhan, namun kewajiban kita untuk beriktiar, berusaha. Berusaha dengan jalan yang benar. Kita ini berada di dunia hanya sebagai alat, maka jadikanlah dirimu sebagai alat Tuhan, membantu pekerjaan Tuhan, yaitu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau engkau membiarkan dirimu berpihak kepada kejahatan, berarti engkau menjadikan dirimu sebagai alat setan.?
?Apa yang dikatakan Gurumu yang bijaksana itu adalah benar, Sin Cu. Tuhan selalu melimpahkan berkah Nya kepada alam semesta serta sekalian isinya, termasuk kepada kita. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kita selalu berucap sukur dan memujanya dengan penuh kasih,? kata Can Kui. Sin Cu memandang Gurunya yang pertama.
?Suhu? Teecu sudah menyadari sepenuhnya akan kasih sayang Tuhan kepada kita yang setiap saat dilimpahkan kepada kita. Segala apa yang tampak di dunia ini bermanfaat bagi kita, seolah memang diciptakan untuk kita. Sinar matahari yang mendatangkan api, air, hawa udara, tanah, tanam-tanaman, segalanya itu memungkinkan kita untuk hidup. Segala macam kenikmatan di berikannya kepada kita melalui pancaindera kita. Akan tetapi, apakah yang kita dapat lakukan untuk menyatakan cinta kita kepada Nya? Apakah hanya cukup dengan pengakuan kasih kita di mulut dan hati saja? Bagaimana untuk memberi wujud dari kasih kita itu kepada Tuhan? Mohon petunjuk, Suhu.? Bu Beng Siauwjin tertawa.
?Memang sulit, bukan? Tuhan Maha Besar, Maha Luas, juga tidak dapat kita lihat dengan pandang mata. Bagaimana kita dapat menyatakan cinta kasih kita melalui perbuatan terhadap Nya? Hal ini tidak mungkin, muridku, Kita ini terlalu kecil untuk dapat membuktikan cinta kita terhadap Tuhan Yang Maha Besar melalui perbuatan kita. Jalan satu satunya bagi kita hanyalah membuktikan kasih kita dengan menyerahkan diri menjadi alat Nya. Tuhan mengasihi semua manusia,maka kitapun harus memohon kepada Tuhan agar Kasih Illahi itu menyala pula dalam hati kita terhadap sesama manusia. Dengan api kasih itu bernyala dalam sanubari kita terhadap sesama kita, maka berarti kita sudah membuktikan kasih kita terhadap Nya. Orang yang ber-Tuhan bukan hanya merupakan pengakuan saja dengan mulut ataupun hati akal pikiran, melainkan tercermin dalam tindakan, perbuatan dan sikap hidup sehari-hari, yaitu orang yang ber-Tuhan harus pula berprikemanusiaan. Kalau dia tidak berprikemanusiaan, tidak ada kasih sayang terhadap manusia lain, berarti bahwa dia tidak ber-Tuhan dengan sesungguhnya. Tuhan Maha Kasih, maka tanpa adanya kasih dalam hati, berarti Tuhan juga tidak berada dalam hatinya. Mengertikah engkau, Sin Cu?? kata Bu Beng Siauwjin dengan suara sungguh-sungguh. Sin Cu menundukkan mukanya dengar khidmat.
?Mudah-mudahan api kasih itu akan selalu bernyala dalam hati Teecu, Suhu.? Mulai hari itu, Can Kui tinggal dalam sebuah kamar di pondok itu. Sin Cu diberi pelajaran renang, menyelam dan bermain dalam air oleh Can Kui. Sin Cu adalah seorang pemuda yang tekun dan rajin, juga cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai permainan dalam air.
Ternyata Can Ku memang seorang ahli renang yang hebat sekali kepandaiannya. Dia dapat berenang seperti seekor ikan, dapat menyelam dan menahan napas sampai lama. Dengan tehnik-tehnik yang khas dan istimewa dia mengajar Sin Cu sehingga dalam waktu tiga tahun setelah setiap hari berlatih dengan keras, Sin Cu sudah dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh Gurunya kedua itu. Di samping pelajaran ini, setahun kemudian setelah dia menerima Pek-Liong Po-Kiam, Bu Beng Siauwjin sudah berhasil merangkai sebuah ilmu pedang yang amat hebat. Ilmu pedang itu disesuaikan dengan Pedang Pusaka Naga Putih sehingga ketika ilmu pedang itu dimainkan, maka pedang itu tiada ubahnya seperti seekor naga putih yang melayang-layang di udara dengan dahsyatnya. Segera Sin Cu mempelajari dan berlatih ilmu pedang ini dengan tekun. Setelah tiga tahun, Can Kui berpamit,
?Semua ilmuku bermain dalam air telah saya ajarkan kepada Sin Cu. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat saya ajarkan. Oleh karena itu, saya mohon diri, Lo-Cianpwe. Saya akan kembali ke perkampungan dan menjadi nelayan seperti dulu,? kata Can Kui ketika berpamit dari Bu Beng Siauwjin. Kakek ini tidak menahannya, dan Sin Cu menghaturkan terimakasih kepada Gurunya yang kedua itu sambil berlutut memberi hormat. Sin Cu terus berlatih ilmu silat. Dia menyempurnakan ilmu Thai-Yang Sin-Ciang, Chit-Seng Sin-Po, It-Yang-Ci dan. ilmu pedang yang disebut Pek-Liong Kiam-Sut (Ilmu Pedang Naga Putih). Juga dia berlatih sendiri bersilat dalam air sehingga dia tidak saja pandai berenang, akan tetapi biarpun berada dalam air, dia dapat bergerak-gerak dengan gerakan silat untuk menghadapi lawan. Dengan tekun dia berlatih setiap hari di bawah pengamatan Gurunya.
Gadis itu cantik sekali. Usianya sekitar delapan belas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar-mekarnya semerbak harum, Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir satu, gemuk dan tebal, lalu digelung ke atas, dipantek tusuk sanggul dari emas berbentuk burung merak yang indah sekali bermata intan. Pakaiannya yang berwarna merah muda itupun terbuat dari kain Sutera halus. Sepatunya dari kulit sapi berwarna hitam mengkilap. Wajahnya yang cantik itu amat menarik. Mukanya berbentuk bulat seperti bulan purnama, berkulit putih mulus kemerahan seperti warna kulit seorang bayi. Alis yang hitam melengkung melindungi sepasang mata yang agak lebar, mata yang jeli dan mengandung sinar yang penuh keberanian dan galak. Hidungnya mancung dengan cuping hidung yang tipis. Mulutnya menggairahkan dengan sepasang Bibir yang penuh berkulit tipis dan basah, kalau tersenyum tampak gigi mutiara berderet rapi dan putih.
Setitik tahi lalat hitam di dagu menambah kemanisannya. Tubuhnya yang mulai dewasa dengan lekuk lengkung sempurna itu mengarah montok, tidak gemuk melainkan denok menggairahkan. Gadis itu duduk di dalam sebuah ruang yang luas dan kosong. Hanya terdapat beberapa bangku dan sebuah rak penuh berbagai macam senjata untuk bermain silat. sebihnya kosong. Memang ruangan itu merupakan sebuah Lian-Bu-Thia (ruangan berlatih silat). Di depan gadis itu duduk pula seorang laki-laki tinggi besar bermuka merah Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang amat gagah. Gadis itu bukan lain adalah Ouw Yang Lan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yang Lan bersama Ibunya menjadi orang-orang tawanan dari Thai-Kek-Kui (lblis Tenaga Besar) Ciang Sek majikan Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di pegunungan Thai-San.
Dengan bujuk dan ancaman, Ciang Sek yang jatuh cinta kepada Lai Kim, Ibu Ouw Yang Lan, akhirnya berhasil memperisteri Lai Kim. Ibu muda ini terpaksa tunduk atas kemauan Ciang Sek karena ia harus melindungi puterinya yang terancam akan dIbunuh kalau ia tidak mau menjadi isteri datuk itu. Ketika hal itu terjadi, Ouw Yang Lan baru berusia delapan tahun. Sebetulnya Ciang Sek biarpun seorang datuk sesat, tidak berwatak mata keranjang. Kalau dia jatuh hati kepada Lai Kim hal itu adalah karena Lai Kim memiliki wajah yang mirip dengan isterinya yang telah meninggal dunia. Inilah yang membuat dia tergila-gila. Maka, setelah Lai Kim berhasil dia peristeri, dia amat mencinta wanita itu. Bahkan cintanya sedemikian mendalam sehingga dia memperlakukan Ouw Yang Lan sebagai puterinya sendiri. Hal ini membuat hati Lai Kim lambat laun mencair dan, terhIbur juga.
Suaminya yang dahulu, Ouw Yang Lee, tidak sedemikian sayang kepadanya, bahkan seringkali bersikap kasar. Sebaliknya Ciang Sek amat memperhatikannya dan menyayangnya. Ouw Yang Lan juga merasakan kasih sayang Ayah tirinya itu. Sejak ia berada di situ, ia digembleng ilmu silat oleh Ciang Sek. Juga majikan Bukit Awan Putjh ini mendatangkan Guru sastra dan seni untuk mendidik Ouw Yang Lan sehingga gadis itu bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga pandai dalam hal baca-tulis, dan bermacam kesenian seperti memainkan alat Yang-kim dan suling, bernyanyi dan bersajak, juga menari. Akan tetapi ternyata Ouw Yang. Lan lebih berbakat dan lebih suka mempelajari ilmu silat ketimbang dua ilmu yang lain. Karena ini, Ciang Sek juga dengan tekun sekali menurunkan ilmunya kepada puteri tiri yang tersayang itu.
?Lan-ji (anak Lan), pelajaran ilmu silat yang Kau latih kini sudah tiba pada tahap terakhir. Semua ilmuku sudah kuturunkan kepadamu dan engkau telah dapat memainkannya dengan baik sekali. Hanya tinggal mematangkan dengan latihan saja. Sekarang, aku ingin melihat semua ilmu itu. Coba Kau mainkan Ngo-Heng-Kun (Ilmu Silat Lima Unsur),? Ouw Yang Lan selalu bersemangat kalau diharuskan berlatih silat.
?Baik, Ayah,? katanya sambil bangkit berdiri dan menuju ke tengah ruangan yang luas itu. Kemudian mulailah ia bersilat. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat, gayanya amat manis sehingga tampak sepertinya sedang menari saja. Namun setiap sambaran tangan yang tampak lemah gemulai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. tamparan tangan itu mengandung sinkang yang dapat meremukkan kepala lawan!
?Coba keluarkan tendangan Soan Hong-Tui (Tendangan seperti angin berputar) sebagai selingan!? perintah Ciang Sek. Mendengar perintah ini, Ouw Yang Lan lalu menyelingi ilmu silatnya dengan tendangan yang indah dan berbahaya sekali bagi lawan. Kedua kakinya mencuat berganti ganti, secara berantai dan susul menyusul kaki itu menendang dengan cepat bagaikan kilat menyambar, sukar sekali serangan tendangan bertubi dan berantai itu dapat di hindarkan lawan. Setelah Ngo-Heng-Kun selesai dimainkannya, Ouw Yang Lan berhenti dan lehernya agak basah oleh keringat, akan tetap pernapasannya biasa saja dan tampaknya ia tidak merasa lelah. Sekarang aku ingin melihat kekuatan tenaga saktimu dalam Pek-In Ciang Hoat (Silat Tangan Awan Putih)!?
?Baik, Ayah.? Kini Ouw Yang Lan mengembangkan kedua lengannya, lalu perlahan-lahan kedua lengannya itu beralih ke depan lurus, lalu di angkat ke atas seperti menghimpun sesuatu dari sekelilingnya, Setelah itu ia mengeluarkan suara bentakan melengking.
?Hiyaaaaattt...? kedua tangannya bergerak memukul-mukul dan dari kedua telapak tangannya itu mengepul uap putih,kemanapun kedua, tangannya menampar, terdengar suara angin mengiuk dan uap putih menyambar. Jelas ini merupakan pukulan yang mengandung tenaga sakti yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh! Ouw Yang Lan melakukan ilmu silat Pek-in Ciang-hoat itu dengan lambat- lambat saja, namun segera pada muka dan lehernya penuh oleh keringat, tanda bahwa ia telah mengerahkan tenaga dalam yang menguras tenaga. Setelah selesai mainkan ilmu silat bertenaga sakti yang terdiri dari delapan belas jurus saja ini, Ouw Yang Lan berhenti bersilat, berdiri dan napasnya agak memburu, lalu ia menggunakan saputangan untuk menghapus keringat di leher dan mukanya.
?Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat. Akan tetapi, engkau harus terus berlatih untuk mematangkan ilmu ilmu yang telah Kau kuasai dengan baik. Sekarang yang terakhir, aku ingin melihat engaku bermain Lo-Thian Kiam-Sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).?
?Baik, Ayah.? Ouw Yang Lan menghampiri rak senjata dan mengambil sebatang pedang, kemudian ia kembali membawa pedang ke bagian tengah ruangan. Kemudian,mulailah ia bersilat pedang. Sungguh indah sekali gerakannya, seperti sedang menari-nari, akan tetapi gerakannya makin lama semakin cepat sehingga bayangan gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung.
Hanya kadang tampak sebuah kaki menginjak tanah lalu meloncat dan lenyap lagi tertutup sinar pedang.
Thai-Lek-Kui (Iblis Tenaga Besar) Ciang Sek mengangguk-angguk gembira sekali. Tingkat kepandaian Ouw Yang Lan sudah demikian hebat sehingga tidak berselisih jauh dibandingkan tingkatnya sendiri. Hanya saja kurang matang,kalau sudah matang maka dia sendiri belum tentu dapat mengalahkannya.
Setelah Ouw Yang Lan selesai memainkan ilmu pedang itu, ia lalu menghampiri Ayah tirinya dan mereka duduk berhadapan. Gadis itu menghapus keringatnya dengan saputangan. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu kini menjadi kemerahan. Cantik sekali! Thai-Lek-Kui Ciang Sek memandang wajah cantik itu dengan bangga.
?Lan-ji, aku bangga mempunyai seorang anak seperti engkau. Aku bangga dan aku sayang sekali padamu.? Ucapan ini keluar dari lubuk hatinya dan suaranya agak gemetar karena haru. ketika dia mengatakannya. Dia bukan saja mencinta Lai Kim sebagai isterinya, akan tetapi dia juga sayang kepada Ouw Yang Lan seperti kepada anak kandungnya sendiri. Hal ini mungkin karena ia tidak pernah mempunyai anak kandung. Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Lan menatap dan mengamati wajah Ayah tirinya dengan tajam dan penuh selidik. Sepasang matanya yang agak lebar dan jeli itu mengeluarkan sinar mencorong.
?Ayah, aku ingin bicara denganmu, aku ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini mengganggu hatiku kepadamu. Sikap dan ucapan gadis ini demikian wajar dan terbuka, juga penuh keberanian, tanda bahwa gadis ini memiliki keberanian dan kekerasan hati yang membuat ia suka bicara blak-blakan.
?Hemm, tentu saja boleh, anakku. Apa yang hendak Kau bicarakan dan tanyakan?? Setelah menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang agak terguncang karena pentingnya persoalan yang hendak ia bicarakan, Ouw Yang Lan lalu berkata,
?Ayah, selama ini Ayah bersikap amat baik dan menyayang kepadaku. Oleh karena itu, akupun selalu taat dan sayang kepada Ayah. Aku juga tahu benar bahwa Ayah amat mencinta Ibu.?
?Tentu saja, Lan-ji. Di dunia ini, hanya ada dua orang amat kucinta dan sayang, yaitu Ibumu dan engkau.?
?Aku tahu, Ayah. Hal inilah yang amat mengganggu hatiku. Bagaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Kenapa Ayah, orang yang sebaik ini, telah menculik Ibu dan aku dan membawa kami ke sini? Kemudian Ayah memperisteri Ibuku? Ibuku tidak pernah mau mengaku kalau aku bertanya tentang hal ini. Sekarang, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadamu, Ayah. Harap Ayah suka berterus terang dan secara jujur menjawab pertanyaanku itu agar hatiku tidak selalu merasa penasaran.? Mendengar pertanyaan yang disertai pandang mata penuh selidik itu, Ciang Sek menjadi agak berubah pucat mukanya dan berulang kali dia menghela napas panjang. Kemudian suaranya terdengar lirih dan penuh kekhawatiran ketika dia bertanya,
?Anakku Lan-ji, kalau aku mengaku terus terang, apakah engkau akan menganggap aku jahat sekali kemudian engkau menjadi bEnci kepadaku?? Ouw Yang Lan menggeleng kepalanya.
?Kurasa tidak, Ayah. Apapun yang telah Kau lakukan terhadap Ibu dan aku, buktinya engkau amat mencinta dan menyayang kami berdua. Engkau menjadi Ayahku yang baik dan juga menjadi Guruku yang baik, mana bisa aku membEncimu? Akan tetapi kalau aku tidak tahu apa yang menyebabkan engkau menculik Ibu dan aku, tentu saja aku akan terus dihantui.rasa penasaran.? Baiklah, aku akan bercerita terus terang kepadamu, anakku. Sepuluh tahun yang lalu, aku didatangi Tok-Gan-Houw (Harimau Ma ta Satu) Lo Cit yang menjadi sahabatku dan dia minta tolong kepadaku untuk membantunya membuat perhitungan dengan Ouw Yang Lee, Majikan Pulau Naga.?
?Ayah kandungku?? Ouw Yang Lan memotong. Tentu saja ia masih ingat kepada Ouw Yang Lee yang seingatnya tidaklah seramah dan sebaik Ciang Sek sikapnya terhadap ia maupun Ibunya. Bahkan pernah beberapa kali ia melihat Ayah kandungnya itu bersikap kasar terhadap Ibunya,
?Benar, Ayah kandungmu. Lo Cit mendendam kepadanya karena beberapa kali anak buahnya diserbu dan dihancurkan oleh anak buah Pulau Naga. Karena itu dia ingin membalas dendam dan minta pertolonganku untuk membantunya. Mengingat akan persahabatan kami yang sudah belasan tahun lamanya, akupun memenuhi permintaannya. Demikianlah, dengan membawa banyak anak buah, Lo Cit dan aku malam itu menyerbu Pulau Naga. Kebetulan kami berdua melihat kedua orang isteri Ouw Yang Lee dan dua orang anak mereka berada ditaman. Lo Cit lalu mengambil keputusan untuk menculik anak isteri Ouw Yang Lee sebagai balas dendam. Dan aku melihat sesuatu pada Ibumu yang membuat aku segera memilih Ibumu dan engkau untuk kubawa lari.?
?Mengapa engkau memilih Ibuku? Apa yang menarik darinya bagimu??
?Wajah Ibumu mirip sekali dengan wajah mendiang isteriku. Karena itulah begitu melihat Ibumu, aku langsung jatuh cinta. Akhirnya ia mau menjadi isteriku dan engkau menjadi anakku. Sejak itu hidupku berbahagia sekali.! Diam-diam hati gadis itu membantah.
?Ibu mau karena Kau paksa dan karena Ibu ingin menyelamatkannya dari ancaman.? Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga mulutnya tidak mengatakan sesuatu. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui bahwa sekarang, setelah sepuluh tahun menjadi isteri Ciang Sek yang benar-benar mencintanya, Ibunya juga akhirnya dapat mencinta pria itu. Ciang Sek mengamati wajah gadis itu penuh selidik dan sinar matanya membayangkan kekhawatiran, Dia benar-benar menyayang anak tirinya ini seperti mencinta anak kandung kalau-kalau Ouw Yang Lan akan marah dan membEncinya setelah mendengar semua pengakuannya.
?Lan-ji, engkau tidak marah dan bEnci kepadaku setelah mendengar semua pengakuanku yang sejujurnya tadi? Ouw Yang Lan balas memandang wajah Ayah tiri itu dan ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
?Mengapa aku harus membEncimu, Ayah? Engkau bersikap baik sekali kepada Ibu dan aku, sudah sepatutnya kami berterimakasih dan membalas kasih sayangmu. Yang membalas dendam kepada Pulau Naga adalah Tok-Gan-Houw Lo Cit, sedangkan engkau hanya kebetulan terbawa saja karena engkau hendak membantu sahabat.? Ouw Yang Lan bangkit berdiri lalu berkata,
?Ayah, aku telah lelah dan hendak pergi mandi.? Tanpa menanti jawaban ia lalu meninggalkan Lian-Bu-Thia itu. Setelah mandi dan tukar pakaian, Ouw Yang Lan menemui Ibunya dalam kamar. duduk di dekat Ibunya dan bertanya dengan suara manja dan lembut.
?Ibu, maukah Ibu bercerita kepadaku tentang Pulau Naga?? Gadis ini amat menyayang Ibunya dan merasa iba kepada Ibunya yang dipaksa berpisah dari suami lalu terpaksa menjadi isteri penculiknya, terutama sekali untuk menyelamatkannya. Walaupun ia tahu bahwa kini Ibunya hidup cukup bahagia dan mencinta suami yang bersikap amat baik kepadanya, namun tetap saja perasaan iba itu selalu terdapat dalam sanubarinya. Mendengar pertanyaan puterinya itu, Lai Kim memandang wajah Ouw Yang Lan dengan mata dilebarkan dan mengandung kekagetan dan keheranan. Wanita yang telah berusia empat puluh dua tahun ini masih tampak cantik menarik seperti wanita berusia dua puluh tahun lebih saja.
?Tentang Pulau Naga?? la mengulang dengan mata terbelalak dan dalam suaranya terkandung getaran penuh kesangsian. Sudah bertahun-tahun Ouw Yang Lan tidak pernah lagi bertanya tentang Pulau Naga,maka pertanyaan yang tiba-tiba ini amat mengejutkannya. Ya, Ibu. Aku ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang Ayah Ouw Yang Lee dan kehidupan di Pulau Naga.?
?Akan tetapi bukankah engkau telah mengetahui semuanya anakku?? engkau bukan anak kecil lagi ketika meninggalkan Pulau Naga. Usiamu ketika itu sudah delapan tahun, tentu engkau masih ingat akan semua hal di sana. Apa lagi yang ingin Engkau ketahui??
?Aku ingin mengetahui tentang pekerjaan Ayah Ouw Yang Lee dan tentang sikapnya terhadap Ibu. Yang kuherankan, kenapa sampai sekarang dia belum pernah mencari kita, Ibu? Apakah dia tidak mempedulikan kita lagi??
?Kenapa engkau tanyakan hal itu, Lan-ji? Bukankah engkau sudah senang tinggal di sini dan menjadi anak Ayahmu Cian Sek??
?Benar, Ibu. Akan tetapi aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Ayah Ouw Yang Lee. Bukankah dia itu Ayah kandungku??
?Ayahmu Ouw Yang Lee adalah seorang datuk besar yang menguasai daerah Laut Timur dan pantainya, menguasai para bajak laut. 'Ayah kandungmu itu adalah seorang laki-laki yang amat keras hati dan wataknya sukar diduga dan aneh. Bahkan tidak jarang dia bersikap keras dan kasar terhadap isteri-isterinya. Tentu engkau ingat, akan semua itu. Bukankah engkau pernah melihat betapa Ayah kandungnu itu bersikap kasar dan keras kepadaku?? Ouw Yang Lan mengangguk dan menghela napas panjang.
?Kalau aku ingat akan semua itu, aku merasa takut kepada Ayah Ouw Yang Lee. Ibu, bagaimana kiranya tentang keadaan dan nasib adik Ouw Yang Hui dan Ibunya? Apakah Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui telah kembali ke Pulau Naga? Aku ingin sekali mengetahui keadaan mereka. Mudah-mudahan saja mereka berdua selamat seperti juga kita.? Lai Kim menghela napas panjang.
?Mudah-mudahan begitu. Nasib kita semua sungguh buruk, tertimpa malapetaka dan diculik orang. Akan tetapi nasib kita berdua masih baik dan dilindungi Tuhan, Lan-ji.Buktinya kita kini hidup berbahagia dan Ayah tirimu ternyata seorang laki-laki gagah yang bertanggung-jawab dan bersikap amat baik kepada kita. Biarpun dengan berat hati, aku harus mengakui sejujurnya bahwa aku mengalami kehidupan yang lebih tenang dan berbahagia di sini dari pada ketika kita masih tinggal di Pulau Naga dahulu, Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib Ibumu Sim Kui Hwa dan anaknya, Ouw Yang Hui. Mudah-mudahan saja merekapun dalam keadaan selamat dan bahagia seperti kita.? Ouw Yang Lan mengangguk.
?Ibu, aku tidak menyalahkan Ibu. Aku sudah cukup besar dahulu itu untuk mengetahui bahwa Ibu mau menjadi isteri Ayah Ciang Sek karena terpaksa, karena hendak menyelamatkan aku. Dan akupun tahu bahwa ternyata kemudian Ibu hidup berbahagia karena Ayah Ciang Sek bersikap baik dan bijaksana terhadap kita berdua... Akan tetapi aku tetap saja merasa penasaran, Ibu. Ouw Yang Lee adalah Ayah kandung ku. Mengapa sampai sekarang dia tidak pernah berusaha mencari kita??
?Sudahiah, Lan-ji. Sudah kukatakan bahwa Ayah kandungmu itu seorang yang berwatak keras sekali dan kadang aneh dan tidak perdulian. Kita sekarang telah hidup di Pek-In-San (Bukit Awan Putih) sini dengan tenang dan bahagia, dan biarlah kita doakan saja semoga kehidupan Ayah kandungmu menjadi lebih baik dan lebih berbahagia dari pada ketika kita masih tinggal di sana dahulu.?
?Ibu, aku masih ingat bahwa Ayah Ouw Yang Lee adalah seorang yang berkepandain tinggi. Akan tetapi Ayah Ciang Sek juga seorang yang berilmu tinggi. Entah siapa di antara mereka yang lebih lihai.?
?Engkau ini aneh, Lan-ji. Mengapa soal imu silat Kau tanyakan kepadaku yang tidak tahu apa-apa? Tentunya engkau yang lebih tahu akan hal itu. Bukankah engkau telah mempelajari ilmu silat, baik dari Pulau Naga maupun dari Pek-In-San??
?Ketika belajar dari Ayah Ouw Yang Lee, aku masih kecil, Ibu, baru diajar dasar-dasar ilmu silat saja. Akan tetapi aku telah tahu babwa Ayah Ouw Yang Lee memiliki ilmu yang hebat, yang disebut Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah).?
?Bagaimana dengan Ilmu silat yang Kau pelajari dari Ayahmu di sini?? Wajah Ouw Yang Lan berseri dan ia mengangguk-angguk.
?Ayah Ciang Sek amat baik dan amat sayang kepadaku, Ibu. Dia telah menurunkan semua ilmunya kepadaku. Bukan saja ilmu silat Ngo-Heng-Kun (Silat Lima Unsur), dan limu tendangan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Berputar), juga ilmu-ilmu simpanannya, yaitu Pek-In-Ciang-Hoat (llmu Silat Awan Putih) dan Lo-Thian Kian-Sut (ilmu Pedang Pengacau Langit). Dia adalah seorang yang lihai sekali, Ibu. Karena itu, aku ingin sekali mengetahui, siapa yang lebih hebat di antara kedua orang Ayahku itu.?
?Siapa yang lebih pandai tidaklah penting, Lan-ji. Yang penting, engkau sekarang telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan cukup kuat untuk Kau gunakan menjaga diri. Akan tetapi ingat lah, bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang yang amat pandai dan tidak ada orang yang paling pandai di dunia ini. Sekali waktu pasti akan bertemu orang lain yang lebih pandai dari pada dirinya. Karena itu berhati-hatilah, Lan-ji dan jangan terlalu mengagulkan dirimu.?
Ouw Yang Lan diam mendengarkan nasihat Ibunya itu, akan tetapi dalam hatinya ia merasa tidak setuju. la ingin untuk menjadi orang yang paling tangguh di dunia ini agar tidak sampai mengalami nasib seperti yang pernah dialami Ibunya, yaitu diculik dan dilarikan orang tanpa daya. Coba, andai kata Ibunya memiliki ilmu kepandaian seperti ia sekarang, tentu tidak akan ada orang yang, berani memperlakukan sesuka hatinya! la lalu teringat kepada Tan Song Bu yang menjadi murid Ayah kandungnya, juga teringat kepada Ouw Yang Hui, adik tirinya yang amat disayangnya. Song Bu dan adik Ouw entah di mana ia sekarang.
?Ibu, aku ingin sekali bertemu dengan Suheng (Kakak laki-laki seperGuruan) Tan Yang Hui. Tentu sekarang Suheng telah menjadi pemuda yang lihai sekali. Dan adikku Ouw Yang Hui, ah, entah berada di mana ia sekarang,?
?Menurut cerita Ayah tirimu, Ibumu Sim Kui Hwa dan adikmu Ouw Yang Hui dilarikan oleh orang yang bernama Tok-Gan-Houw Lo Cit, mereka itu sudah kembali ke Pulau Naga atau masih berada di tangan Lo Cit yang menjadi musuh Ayah kandungmu itu. Ayah tirimu hanya terbawa-bawa karena ikut membantu Tok-Gan-Houw Lo Cit yang hendak membalas dendam kepada Ouw Yang Lee. Ayah tirimu tidak dapat menolak permintaan Lo Cit karena di antara mereka ada tali persahabatan.
?Ibu, tahukah Ibu di mana Tok-Gan-Houw Lo Cit itu tinggal??
?Pernah kutanyakan kepada Ayah katanya Lo Cit itu tinggal di bukit Houw san yang berada di pesisir laut timur,kata Lai KIm Yang sama sekali tidak menyangka bahwa puterinya mempunyai niat lain kecuali hanya ingin tahu. Barulah Lai Kim terkejut sekali ketika pada keesokan harinya ia tidak dapat menemukan Ouw Yang Lan. Ketika ia mencari-cari, di dalam kamar puterinya yang kosong itu ia menemukan sehelai surat tulisan tangan Ouw Yang Lan.
?Ayah dan lbu yang tercinta, Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diijinkan Ibu. Aku ingin meluaskan pengalaman dan merantau, mengunjungi Pulau Naga untuk bertemu Ayah Ouw Yang Lee, Suheng Tan Song Bu dan mencari Ibu Sim Kui Hwa dan adik Hui. Harap Ayah dan Ibu tidak khawatir. Aku dapat menjaga diri dengan baik.? Anakmu Ouw Yang Lan.
Lai Kim hanya dapat menangis, hatinya penuh kekhawatiran. Bagaimana seorang gadis muda dapat melakukan perjalanan merantau seorang diri? Padahal di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat. Sudahlah, isteriku, jangan terlalu berduka. Agaknya engkau lupa bahwa anak kita itu bukan seorang gadis yang lemah,aku percaya kepadanya bahwa ia akan mampu menjaga dirinya dengan baik! Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Ketahuilah bahwa ia telah menguasai semua ilmuku, bahkan tingkat kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan tingkatku sendiri. la pasti akan selamat dan memang sudah menjadi haknya untuk bertemu dengan Ayah kandungnya,? kata Ciang Sek yang menghIbur isterinya. Akan tetapi Ia hanyalah seorang perempuan.
?Ah, kasihanilah aku, engkau setidaknya engkau temani ia dalam perjalanan merantau agar hatiku tenang.? Lai Kim memohon. susullah dan bujuklah ia agar kembali, Suaminya tersenyum dan dengan lembut menyentuh pundaknya.
?Isteriku, engkau masih menganggap bahwa Lan-ji itu seorang anak perempuan yang kecil dan lemah. Kalau aku pergi menyusulnya, tentu dia akan marah sekali kepadaku dan kalau ia memaksa meninggalkanku, apa yang dapat kulakukan? Aku tidak mungkin dapat memaksanya kembali. Sudahlah, tenangkan hatimu. Memang demikianlah watak seorang anak perempuan yang sudah menguasai ilmu kepandaian yang tinggi. la kini telah menjadi seorang pendekar wanita, maka apa salahnya kalau ia melakukan perantauan untuk meluaskan pengalaman? Kita berdoa saja agar ia selalu selamat dalam perjalanan.? Setelah dIbujuk-bujuk dan diyakinkan akhirnya Lai Kim dapat tenang dan merelakan puterinya pergi merantau seorang diri.
Pegunungan Thai-San adalah sebuah pegunungan yang panjang dan luas sekali. Pek-In-San hanya merupakan satu di antara ratusan bukit yang berada di pegunungan Thai-San. Ouw Yang Lan semenjak berada di Pek-In-San belum pernah meninggalkan daerah pegunungan ini. Kalau ia pergi dari Pek-In-San, ia pergi hanya untuk berkunjung ke dusun-dusun di sekitarnya. Paling jauh ia pergi ke dusun Tiong-Bun-LIm Yang berada di kaki bukit Pek-In San, termasuk wilAyah bukit lain karena dusun itu cukup besar dan damai dan sering dikunjungi para pedagang yang membawa barang-barang keperluan rumah tangga termasuk kain dan pakaian, Ouw Yang Lan pergi ke dusun ini untuk berbelanja, terkadang ia pergi dengan Ayahnya atau pernah juga pergi seorang diri.
Akan tetapi sekarang ia pergi seorang diri menuruni lereng-lereng pegunungan Thai-San! la merasa gembira sekali. Merasa bebas seperti seekor burung terbang meninggalkan sarang, melayang-layang di angkasa orang diri dan bebas dari segala macam peraturan rumah tangga orang tuanya! Mula mula la memang merasa gembira sekali dan mengagumi keindahan pemandangan di sepanjang perjalanan. Akan tetapi setelah dia melakukan perjalanan selama setengah hari, naik turun bukit dan jurang, keluar masuk hutan-hutan besar, ketika matahari naik tinggi, ia mulai merasa bosan dan lelah! Beberapa kali ia berhenti untuk minum air dari guci air yang dibekalnya, akan tetapi ia tidak ada nafsu untuk makan, padahal ia ada pula membawa bekal makanan berupa roti dan daging.
Baru saja setengah hari melakukan perjalanan yang semula amat menggembirakan dan membuat ia merasa seperti seekor burung terbang di angkasa bebas itu, kini ia merasa kelelahan dan bosan, seperti seekor burung yang kesepian dan rindu akan sarangnya yang hangat. Ouw Yang Lan menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan gunung itu. Puncak Bukit Awan Putih sudah tidak tampak dari situ, sudah terhalang beberapa buah bukit lain. la menurunkan buntalan pakaian yang digendongnya karena buntalan itu terasa berat dan juga membuatnya gerah. Dihapusnya keringatnya dengan sehelai saputangan. Teringat akan perasaan murungnya, ia bersungut-sungut dan kekerasan hatinya membuat ia mencela dirinya sendiri.
?Ihh! Engkau lemah dan cengeng! Baru begini saja sudah mengeluh! Mana kegagahn dan semangatmu! Menyebalkan!? la membuka buntalannya dengan kasar karena marah kepada dirinya sendiri, mengeluarkan roti dan daging lalu memaksa dirinya makan roti dan daging karena sebetulnya ia merasa lapar. Baru saja ia makan separuh rotinya, tiba-tiba pendengarannya tertarik oleh suara berkeresekan di sebelah kiri. Binatang hutan, pikirnya dan iapun siap siaga menghadapi ancaman kalau-kalau ada binatang buas yang akan muncul, Akan tetapi ia masih tetap duduk di atas batu di bawah pohon itu,saambil makan rotinya. Sebatang pedang masih menempel di balik purggungnya. Itulah Pedang Lo-Thian-Kam (Pedang Pengacau langit) milik Ayah tirinya yang ia ambil dan bawa untuk senjata pelindung dirinya.
la bersikap tenang saja, namun setiap helai urat syarafnya telah menegang dan siap penuh kewaspadaan seperti yang dimiliki setiap orang ahli silat yang pandai. Kemudian muncullah pembuat suara berkeresekan itu dari balik semak belukar dan mereka itu ternyata adalah dua orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berwajah bengis. Rambut, kumis dan jenggot mereka awut-awutan tak terpelihara, pakaian yang terbuat da?i kain kasar itupun kusut dan kotor. Di pinggang masing masing tergantung sebatang golok besar. Ketika mereka muncul dan melihat bahwa yang mereka intai adalah seorang gadis yang amat cantik sedang makan roti, keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak.
?Ha-ha-ha, Hok-te (adik Hok)! Kita mengira akan menjumpai seekor harimau ganas di sini tidak tahunya yang kita temukan adalah seekor domba betina muda yang jinak dan lunak dagingnya. Ha-ha-hal? kata yang bermata lebar kepada temannya yang bermuka pucat. Si muka pucat menyeringai dan sepasang matanya yang juling'itu menatap ke arah Ouw Yang Lan, menelusuri tubuh gadis itu dari kepala sampai ke kaki dengan sinar mata lahap.
?Waduh, Sam-Twako (Kakak Sam), ia begitu cantik jelita seperti seorang bidadari! Ah, mau rasanya usiaku dikurangi sepuluh tahun kalau aku bisa mendapatkannya!?
?Ha-ha-ha!? Si muka hitam yang matanya lebar itu tertawa lalu melangkah maju dan berdiri di depan Ouw Yang Lan yang bersikap tidak peduli dan masih makan rotinya. ?Tawanan sehebat ini tidak boleh kita ganggu, Hok-te, harus kita serahkan kepada ketua. Kita tentu akan mendapatkan hadiah besar! Nona manis, marilah engkau ikut bersama kami dan kami berjanji engkau tentu akan hidup senang!?
Ouw Yang Lan merasa sebal sekali melihat sikap dan mendengar ucapan dua orang itu. Ia menunda makan rotinya dan berkata,
?Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang macam kalian. Jangan kalian mencari perkara dan pergilah jangan mengganggu aku yang sedang makan!? Setelah berkata demikian, ia melanjutkan mengunyah rotinya dan mengambil sikap tidak mengacuhkan mereka lagi. Kini si muka ptucat juga sudah berdiri di samping rekannva, di depan Ouw Yang Lan.
?Sam-Twako, gadis ini galak juga. Biarkan aku meringkusnya. Aku ingin menyentuh dan mendekap tubuhnya yang denok itu!? Mendengar ini, Ouw Yang Lan tak dapat menahan kemarahannya lagi. Roti yang dimakannya masih tinggal sepotong di tangan kanannya dan tiba-tiba saja ia mengayun tangannya, menyambitkan roti itu kearah si muka pucat sambil mengerahkan tenaga.
?Wuuutt... plokk?!? Roti itu lunak saja, akan tetapi ketika menimpa muka simuka pucat, roti lunak itu menghantam seperti sepotong papan baja saja. Si muka pucat menjerit dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya terjengkang dan terhuyung ke belakang, hampir saja roboh. Melihat ini, si muka hitam bermata lebar terbelalak, akan tetapi dia tidak merasakan seperti yang dirasakan rekannya dan hanya menganggap bahwa timpukan itu biasa saja.
?Ha-ha, kiranya domba betina ini bertanduk juga! Biar aku yang meringkusnya.? Setelah berkata demikian, dengan mulut menyeringai dia lalu menubruk ke arah Ouw Yang Lan.
Bukan tubrukan biasa, melainkan tubrukan dengan gerakan silat, yaitu dengan jurus yang dinamakan Go-Houw-Po-Yang (Harimau Lapar Terkam Domba) kedua lengannya dikembangkan dan menyambar dari kanan-kiri untuk merangkul atau mendekap tubuh gadis cantik yang masih duduk enak-enakan di atas batu itu. Tampaknya saja Ouw Yang Lan duduk santai. Sebenarnya ia sudah siap siaga. la sengaja bergerak lambat sehingga seolah olah ia tidak akan mampu meloloskan diri dari terkaman itu. Akan tetapi pada detik terakhir, tubuhnya berkelebat menyusup kebawah lengan kanan si muka hitam. Di belakang tubuh lawan ia membalik dan dengan kakinya menendang atau mendorong pantat si muka hitam, Tak dapat dihindarkan lagi tubuh si muka hitam itu terdorong dan menerkam batu yang tadi diduduki Ouw Yang Lan. Dorongan itu demikian kuatnya sehingga muka penjahat bermata lebar itu menimpa permukaan batu.
?Bresss adouuuuww...!!? Ketika si ruka hitam itu membalik, mukanya kelihatan berdarah-darah yang keluar dari hidungnya yang remuk dan mulutnya yang sebagian giginya telah rompal! Melihat ini, si muka pucat yang sudah dapat membuka matanya yang tadi dihantam roti, maklum bahwa gadis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia lalu mengeluarkan sebuah sempritan dan dia meniup sempritan itu dengan kuat. Terdengar suara melengking tiga kali, kemudian si muka pucat mencabut goloknya dan menghampiri Ouw Yang Lan dengan golok besar tajam di tangan, dengan sikap bengis dan mengancam. Si muka hitam yang kesakitan itu juga sudah mencabut goloknya. Kemarahannya rncngalahkan rasa nyerinya dan dengan golok di tangan diapun menghampiri Ouw Yang Lan dengan wajah mengerikan, penuh darah dan matanya melotot mengerikan.
?Sialan! Kalian ini dua orang manusia yang tak tahu diri dan bosan hidup!? kata Ouw Yang Lan dengan marah. la benar benar merasa terganggu, akan tetapi di samping kenmarahannya, juga timbul semacam perasaan gembira bahwa kini tiba saatnya ia mempergunakan dan memperlihatkan itmu kepandaiannya yang selama sepuluh tahun dilatihnya dengan tekun. Tentu saja ia memandang rendah dua orang lawannya itu karena dari gebrakan pertama tadi saja ia sudah mengetahui bahwa dua orang itu sebenarnya hanya merupakan gentong kosong belaka,
Orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga otot dan serakan mereka lamban sekali baginya. Menghadapi orang macam ini, biarpun ada dua puluh orang iapun tidak akan gentar. Dua orang penjahat itu kini sudah marah sekali. Hati mereka penuh dendam karena mereka bukan saja merasa disakiti, bahkan merasa dihina oleh gadis itu. Kalau tadinya mereka berdua terpesona oleh kecantikan Ouw Yang Lan dan bermaksud untuk kurang ajar, kini sama sekali mereka tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu lagi, melainkan kini mereka bernapsu untuk mendapat kesempatan mencabik-cabilk tubuh yang putih mulus itu! Mereka menggerengan seperti binatang dan keduanya sudah menerjang maju, menyerang dari kanan-kiri, menggunakan golok mereka untuk membacok.
Dua batang golok menyambar dari atas ke bawah, disebelah kanan dan kiri tubuh Ouw Yang Lan. namun dara itu bersikap tenang sekali, seolah tidak tahu bahwa ada dua batang golok mengancam nyawanya. Tubuhnya akan terbelah menjadi tiga potong kalau dua golok itu mengenai sasaran Pada saat dua batang golok itu sudah menyambar dekat sekali dan dua orang penyerang itu merasa yakin bahwa serangan mereka akan mengenai sasaran, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan dua orang itu terbelalak karena golok mereka membacok tempat kosong karena orang yang dibacok telah lenyap dari situ. Entah kapan dan bagaimana caranya gadis itu menghindarkan diri mereka tidak sempat mengetahuinya, karena gerakan itu sedemikian cepatnya seolah gadis itu pandai menghilang. Dua orang itu menjadi bingung mencari dengan pandang mata mereka.
?Kalian mencari aku?? Tiba-tiba suara gadis itu terdengar di belakang tubuh mereka dan Cepat mereka membalikkan tubuh dan benar saja, mereka melihat gadis itu sudah berdiri sambil tersenyum manis dengan sikap biasa saja seolah tidak menghadapi dua orang lawan yang sudah marah dan menjadi buas seperti dua ekor binatang hutan.
?Perempuan siluman!? si muka pucat memaki.
?Kubunuh Kau...!? bentak si muka hitam dengan suara tidak jelas karena mulutnya kehilangan banyak gigi.
?Hyaaaattt... Dua orang itu bergerak dengan berbareng, keduanya mengeluarkan bentakan dan menggunakan golok mereka untuk menerjang dengan tusukan ke arah dada dan perut Ouw Yang Lan.
Seperti juga tadi, dara perkasa itu tidak tergesa-gesa menghindarkan diri, seolah hendak menerima tusukan itu begitu saja sehingga dua orang penyerang itu sudah merasa girang karena mereka yakin bahwa mereka akan dapat membunuh gadis itu dan membalas dendam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap sehingga kedua orang penyerang itu terdorong ke depan karena golok mereka hanya menusuk tempat kosong. Tubuh gadis itu hanya tampak berkelebat ke atas dan ternyata ia telah melompat seperti seekor burung terbang. Di udara ia berjungkir balik dan tubuhnya menyambar ke bawah, kedua tangannya bergerak menampar ke arah kepala dua orang yang masih terhuyung ke depan itu.
?Plak! Plak!? Tamparan itu kelihatannya saja perlahan, namun karena gerakan kedua tangan itu mengandung tenaga sakti yang ampuh karena merupakan jurus dari Pek-In-Ciang-Hoat (lmu Silat Awan Putih) maka isi kepala dua orang itu terguncang isinya dan mereka terpelanting, golok mereka terlepas dan mata mereka mendelik. mereka klenger (pingsan)seketika tanpa dapat mengeluh lagi. Pada saat tubuh Ouw Yang Lan sudah turun ke atas tanah, tiba-tiba terdengar teriakan banyak orang dan muncullah tiga belas orang di tempat itu. Ketika ketiga belas orang itu melihat betapa dua orang kawan mereka yang tadi memberi tanda bahaya dengan sempritan telah menggeletak seperti orang yang tak bernyawa lagi, mereka menjadi marah.
Dan pemimpin mereka, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang berjenggot panjang, memberi aba-aba dan mereka semua segera membuat gerakan mengepung gadis itu. Melihat dirinya dikepung tiga belas orang yang kesemuanya tampak bertubuh Kokoh kuat dan bersikap bengis, Ouw Yang Lan tenang saja bahkan tersenyum lebih lebar. Dalam hatinya timbul kegembiraan yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Kini ia dapat bertindak seperti seorang pendekar wanita sejati, ia Sama sekali tidak merasa gentar karena gadis ini memang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. la bahkan merasa yakin bahwa ia mampu menandingi dan mengalahkan tiga belas orang laki-laki kasar ini. Seorang di antara mereka lari menghampiri dua orang anak buah yang roboh tadi dan setelah memeriksa keadaan mereka dia lari kepada pemimpin yang berjenggot panjang dan berkata,
?Mereka hanya pingsan.? Si jenggot panjang kini memandang kepada Ouw Yang Lan dan suaranya terdengar lantang ketika dia bertanya,
?Nona, engkau telah berani merobohkan dua orang ansk buah kami! Apakah engkau mencari penyakit, tidak tahu bahwa mereka adalah anak buahku dan aku adalah Thai-San Sin-Houw (Macan Sakti Gunung Thaisan)? Aku yang menguasai daerah ini dan semua orang harus tunduk kepadaku! Engkau telah melanggar wilAyah kami dan dengan lancang telah merobohkan dua orang anak buah kami. Hayo lekas engkau berlutut dan menyerah menjadi tawanan kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!? Ouw Yang Lan tersenyum mengejek.
?Sudah habiskah pidatomu? Dengarlah, Thai-San Sin-Houw, dua orang anak buahmu ini mengganggu aku yang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku sedang melakukan perjalanan dan mengaso sambil makan roti, akan tetapi mereka menggangguku dan hendak menangkap aku. Maka, aku nasihatkan agar engkau dan semua anak buahmu segera pergi dari sini dan jangan mengganggu aku yang tidak bersalah apapun. Lebih baik engkau lekas pergi, karena kalau tidak, nama julukanmu Macan Sakti dapat berubah menjadi Macan Ompong!? Tentu saja kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Dua belas orang anak buahnya tidak ada yang berani tertawa, dalam hati mereka merasa geli juga mendengar ejekan gadis yang luar biasa beraninya itu.
?Gadis sombong! Kawan-kawan, tangkap gadis ini! Jangan bunuh, akan tetapi tangkap hidup-hidup karena aku ingin menaklukan dulu kuda betina liar ini!? bentak kepala perampok berjenggot panjang itu.
Anak buahnya merasa senang dan gembira mendengar perintah ini. Mereka semua memang sudah merasa kagum akan kecantikan gadis itu dan mereka ingin dapat mendekap dan merangkulnya, maka begitu mendengar perintah ini, mereka seperti berlumba ingin lebih dulu meringkus gadis itu dalam dekapannya. Akan tetapi segera ternyata bahwa mendekap gadis itu lebih mudah diucapkan dan dibayangkan dari pada kenyataannya. Gadis itu berdiri tegak menanti, akan tetapi begitu ada yang mencoba untuk meringkusnya, biar musuh datang dari depan, kanan-kiri atau belakang, selalu ia menyambutt dengan gerakan kaki tangannya dan mereka yang menubruknya tentu akan terpenal dan terpelanting roboh. Maju satu, roboh sattu, maju dua roboh dua dan maju empat roboh empat!
Kaki tangan bergerak demikian cepatnya, menampar dan menendang sehingga para pengeroyok itu roboh sebelum sempat menyentuhnya. Melihat ini, Thai-San Sin-Houw menjadi marah dan penasaran sekali. Dia tidak percaya bahwa dia tidak akan mampu meringkus gadis muda itu, walaupun sudah ada sepuluh orang anak buahnya yang mencobanya dan roboh. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang lalu tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang maju. Kedua lengannya yang panjang itu dikembangkan lalu kedua. tangan mencengkeram ke arah kedua pundak gadis itu dengan kuat sekali. biarpun Ouw Yang Lan belum banyak pengalaman, namun gadis ini amat cerdik. Dari sambaran kedua tangan itu iapun maklum bahwa lawannya ini tidak dapat disamakan dengan para anak buah yang ia robohkan. kedua lengan yang bergerak menerkamnya itu mengandung tenaga yang amat kuat.
Cepat la melangkah ke belakang dan menarik tubuh, atas ke belakang sehingga terkaman dua tangan itu luput. Ketika melihat betapa serangannya yang pertama dapat dielakkan dengan amat mudah oleh gadis itu, Thai-San Sin-Houw menjadi semakin penasaran. Dia lalu melompat dan menggunakan jurus Kui-Mauw-Po-Ci (Kucing Siluman Menerkam Tikus), tubuhnya mencelat ke depan dan cepat sekali dia menubruk ke arah Ouvw yang Lan. Menghadapi serangan yang amat cepat ini, Ouw Yang Lan tidak menjadi bingung. la memiliki gerakan yang lebih cepat lagi. Tubuhnya menyusup ke bawah dan dengan cepatnya lolos di bawah lengan kanan lawan, kemudian sekali membalikkan tubuh, kaki kirinya sudah mencuat disusul kaki kanan. Gerakan dua kaki yang menendang ini cepat dan susul menyusul karena ia telah mempergunakan ilmu tendangan Soan-Hong-Tui (Tendangan Angin Berputar).
?Dukkk! Desss...!? Thai-San Sin-HOuw Yang sama sekali tidak menyangka bahwa lawan yang ditubruknya itu bukan saja dapat lolos bahkan mampu membuat serangan balik yang demikian cepatnya, tidak dapat menghindarkan diri dari tendangan itu dan kedua kaki gadis itu berturut-turut menendang dada dan perutnya. Dia mengaduh dan tubuhnya terpelanting dan terbanting ke atas tanah! Sakit dan marah bercampur menjadi satu membuat kepala perampok ini berteriak teriak sebelum dia merangkak bangun.
?Bunuh keparat itu!? Kini anak buahnya juga sudah cukup menyadari bahwa Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang pandai dan merupakan lawan tangguh, maka mendengar perintah itu mereka semua mencabut golok besar yang tergantung di pinggang masing-masing, lalu mengepung Ouw Yang Lan. Sikap mereka ganas sekali dan mata mereka memandang bengis seperti mata binatang liar yang haus darah. Kepala perampok itu sendiri sudah mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan dia ikut pula mengepung. Bahkan dua orang pertama yang tadi pingsan oleh tamparan Ouw Yang Lan,
Kini telah bangkit dan ikut mengepung sehingga gadis itu dikepung lima belas orang yang semua bersenjata tajam. biarpun la tidak merasa gentar menghadapi lima belas orang itu, akan tetapi karena mereka semua bersenjata tajam, setidaknya ia dapat terancam senjata yang menyeleweng. Selain itu, iapun mulai marah. Lima belas orang itu jelas bukan orang baik baik, melainkan perampok-perampok jahat yang berhati kejam dan yang kini seperti segerombolan srigala yang haus darah dan berniat untuk membunuhnya. Oleh karena itu, Ouw Yang Lan lalu meraba punggungnya dan tampak sinar berkelebat ketika ia mencabut Lo-Thian-Kam (Pedang Pengacau Langit). Ouw Yang Lan adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang keras, apa lagi ia besar dalam asuhan seorang datuk seperti Thai-Lek-Kui Ciang Sek yang biarpun gagah namun memiliki watak yang keras dan ganas,
Tidak suka memberi ampun kepada orang-orang yang bersalah kepadanya. Kini, melihat lima belas orang yang wajahnya membayangkan kebengisan dan keliaran itu, hati Ouw Yang Lan dipenuhi kebEncian dan ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran keras kepada mereka. Lima belas orang itu maklum bahwa gadis itu seorang yang lihai sekali, bahkan kini sudah mencabut pedang. Akan tetapi karena mereka berjumlah lima belas orang, tentu saja mereka tidak merasa takut dan setelah pemimpin mereka mengeluarkan aba-aba, serentak mereka menerjang dari segala penjuru dan golok mereka menyambar-nyambar. Hujan senjata golok menerjang ke arah tubuh gadis itu. Melihat ini, Ouw Yang Lan segera menggerakkan tenaganya dan memutar pedangnya memainkan ilmu pedang Lo-Thian Kiam-Sut.
Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung berbentuk payung atau perisai yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Terdengar suara berdentangan ketika golok-golok yang menyambar ke arah tubuh Ouw Yang Lan itu bertemu dengan sinar berkilauan dari pedang itu. Terdengar seruan-seruan kaget karena banyak golok menjadi buntung ketika bertemu dengan sinar pedang itu, dan ada pula yang terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan dan rasa penasaran yang besar, orang orang itu tetap menerjang dengan golok buntung mereka. Mereka yang belum buntung goloknya, juga kepala perampok yang berjuluk Thai-San Sin-Houw itu menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi kini Ouw Yang Lan sudah marah sekali dan gadis itu bergerak cepat, menyambut serangan mereka dengan tangkisan pedang yang sekaligus menyerang ke arah tangan para pengeroyoknya.
(Lanjut ke Jilid 09) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09 ?Crak-crak-crok-?rok-crok!? Tampak darah muncrat dari lengan-lengan yang terbacok buntung disusul teriakan-teriakan kesakitan.
Sinar pedang di tangan Ouw Yang Lan menyambar-nyambar semakin cepat dan dahsyat. Kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan, darah muncrat dari lengan dan kaki yang terbabat buntung. Bahkan Thai-San Sin-Houw sendiripun terguling roboh dengan kaki kanan buntung sebatas lutut terbabat pedang di tangan dara itu! Dalam waktu yang tidak berapa lama, lima belas orang pengeroyok itu semua roboh dan merintih-rintih kesakitan. Ada yang lengan kanannya buntung, ada pula yang sebelah kakinya buntung. Darah membanjiri tempat itu, membasahi rumput-rumiput, bahkan adayang muncrat membasahi batang pohon. Ouw Yang Lan cepat membersihkan darah pada pakaian Thai-San Sin-Houw, lalumenyimpan kembali pedangnya dan mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya dengan sikap tenang dan pandang mata mengejek.
?Aku masih bermurah hati dan mengampuni nyawa kalian, akan tetapi kalau kalian tidak mengubah jalan hidup kalian dan tetap melakukan kejahatah, lain kali kalau aku bertemu dengan kalian, tentu leher kalian yang akan kubuntungi!? kata Ouw Yang Lan dengan sinar mata mencorong menyapu tubuh-tubuh yang sudah menjadi tapa daksa itu. Kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ.
?Tunggu dulu, nona!? Thai-San Sin-Houw berseru. Ouw Yang Lan memutar tubuhnya dan memandang kepala perampok itu dengan alis berkerut.
?Engkau mau apa lagi?? tegurnya.
?Nona sudah membuat kami menjadi begini. Harap tinggalkan nama agar kami mengetahui siapa yang telah mencelakai kami!? kata kepala perampok itu sambil menahan rasa nyeri.
?Kalian celaka oleh ulah kalian sendiri! Akan tetapi jangan dikira aku takut. Aku adalah Pek In Sian-Li (Dewi Awan Putih).? Ouw Yang Lan mendadak saja mengambil nama julukan itu, mengingat bahwa ia tinggal di Pek-In-San (Bukit Awan Putih) dan iapun menguasai Pek-In Ciang-Hoat (Ilmu Silat Awan Putih).
Akan tetapi, penggunaan nama julukan yang baru saja diperkenalkannya itu ternyata membuat Thai-San Sin-Houw menjadi terbelalak matanya dan mukanya berubah pucat.
?Apakah nona datang dari Pek-In-San?? Masih ada hubungan apakah dengan Thai-Lek-Kui Ciang Sek, majikan Pek-In-San?? Ouw Yang Lan tersenyum mengejek, bangga bahwa nama besar Ayah tirinya agaknya membuat kepala perampok itu begitu ketakutan.
?Dia adalah Ayahku. Kau mau apa??
?Ah? kami layak mampus?! Ampunkan kami, Siocia (nona), kami tidak tahu bahwa Siocia adalah puteri Cian Sek Pangcu (Ketua Bukit bermarga Ciang).? Sin-Houw merangkap kedua tangan didepan dada dan membungkuk berkali-kali.
?Hemm, kalian memang tidak tahu diri.? Ouw Yang Lan berkata lalu berkelebat dari situ, mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat ke depan dengan cepat sekali, bagaikan larinya seekor kijang muda.
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, Kalau ada orang melihatnya bahwa perahu kecil yang menerjang ombak itu hanya didayung oleh sepasang tangan kecil mungil seorang gadis muda yang cantik jelita, tentu orang itu akan terheran-heran. Bagaimamungkin sepasang lengan yang kecil berkulit putih mulus itu mengandung tenaga yang demikian besarnya? Perahu itu didayung oleh Ouw Yang lan, Biarpun ia baru berusia delapan tahun ketika dipaksa meninggalkan Pulau Naga, namun ia masih ingat dengan baik letak Pulau Naga. la teringat pula bahwa Pulau Naga adalah sebuah Pulau yang tidak mudah di darati karena sekeliling Pulau merupakan tebing-tebing yang curam. Yang pantainya landai penuh dengan hutan belukar yang liar dan amat berbahaya karena selain dihuni binatang-binatang buas, terutama ular-ular berbisa,
Juga oleh Ouw Yang Lee di hutan-hutan itu dipasangi jebakan-jebakan agar tidak ada musuh yang dapat mendarat di Pulau melalui hutan-hutan itu. Satu satunya tempat mendarat adalah sebuah pantai yang berpasir putih dan memanjang sejauh dua li. Akan tetapi pantai ini selalu dipenuhi anak buah Pulau Naga sehingga tidak akan ada orang luar dapat mendarat tanpa diketahui oleh anak buah Pulau Naga. Ketika Tok-Gan-Houw Lo Cit yang mengajakThai-Lek-Kui Ciang Sek dan anak buahnya menyerbu Pulau itu sepuluh tahun yang lalu, merekapun mendarat di pantai ini dan karena ketika malam mulai tiba, di pantai itu hanya terdapat sisa lima orang saja anak buah Pulau Naga sehingga dengan mudah mereka dapat melumpuhkan lima orang itu kemudian menyerbu ke Pulau. Akan tetapi ketika Ouw Yang Lan memingirkan perahunya ke pantai, keadaan pantai sedang ramai-ramainya.
Tidak kurang dari dua puluh orang anak buah Pulau Naga sedang bekerja di pantai. Ada yang menangkap ikan, ada yang memperbaiki perahu-perahu dan jala-jala yang rusak,ada pula yang sedang menjemur ikan. Tentu saja mereka merasa heran melihat seorang wanita muda berani mendarat di pesisir itu. Mereka segera menghampiri tamu tak diundang itu. Ouw Yang Lan menarik perahu kecilnya ke darat dan ia bersikap tenang saja ketika melihat anak buah Puiau Naga, tidak kurang dari lima belas orang banyaknya, menghampirinya dari tiga penjuru. la berdiri tegak dan memandang mereka yang mengepungnya dengan tenang. la mengira bahwa para anak buah Ayahnya itu tentu akan segera mengenalnya. la sendiri sudah lupa kepada mereka dan ia merasa kecewa melihat pandang mata mereka yang agaknya tidak mengenalnya.
?Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau berani mendarat di Pulau ini tanpa ijin? Tidak seorangpun boleh mendarat di sini tanpa seijin Ouw Yang tocu (Majikan Pulau bermarga Ouw Yang)? tegur seorang anak buah yang bertubuh tinggi besar dan tidak memakai baju sehingga dadanya yang bidang dan penuh otot kekar melingkar-lingkar itu tampak menyeramkan. Karena merasa kecewa bahwa dirinya tidak dikenal orang, Ouw Yang Lan merasa mendongkol juga dan sengaja ingin mempermainkan mereka.
?Tidak penting untuk kalian ketahui siapa aku! Mengapa aku tidak berani mendarat di Pulau ini? Siapa yang melarang dan kalian mau apa kalau aku melakukannya?? Melihat sikap yang keras dan menantang itu, si tinggi besar mengerutkan alisnya.
?Nona, engkau telah melanggar wilAyah kami! Akan tetapi mengingat bahwa engkau seorang wanita muda yang mungkin belum tahu akan hal itu, kami persilakan nona naik ke perahu nona kembali dan pergi dari Pulau ini dengan damai.? Ouw Yang Lan tersenyum mengejek.
?Dan kalau aku tidak mau pergi, kalian mau apa?? Ucapannya inipun mengandung nada menantang. Orang tinggi besar yang usianya sekitar empat puluh tahun itu memandang marah.
?Kalau nona memaksa, kami akan menangkapmu untuk kelak dihadapkan kepada ketua kami sebagai tawanan.?
?Hemm, bagus! Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!? kata Ouw Yang Lan dan iapun siap memasang kuda-kuda untuk melawan pengeroyokan mereka.
?Apakah kalian hendak mengeroyokku??
?Hemm, untuk menangkap seorang gadis rnuda seperti nona, tidak per lu kami mengeroyok. Cukup aku seorang saja untuk menangkapmu!? kata si tinggi besar itu.
?Begitukah? Boleh kita lihat. Nah, maju dan tangkaplah aku kalau engkau memang mampu!? Tantang Ouw Yang Lan yangkini mulai ingat bahwa laki-laki ini sepuluhtahun yang lalu merupakan seorang di antara para murid kepala di Pulau Naga yang bernama Thio Sam. Oleh karena dia seorang di antara para murid kepala, tentu saja ilmu silatnya lebih dari pada para anggauta biasa. Dugaannya memang benar. Orang itu adalah Thio Sam dan tentu saja Thio Sam tidak begitu memandang tinggi kepada seorang gadis muda. Melihat sikap gadis itu demikian menantang, diapun menjad? penasaran. Apa lagi di situ berkumpul belasan orang anak buah. Dia merasa malu kalau sampai tidak mampu menangkap gadis yang keras kepala ini.
?Nona, engkau mencari penyakit sendiri. Terpaksa aku menggunakan kekerasan Lihat seranganku!?
Setelah berkata demikian. Thio Sam menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri mencengkeram ke arah pundak kanan gadis itu, yang kanan bergerak hendak menangkap lengan kiri Ouw Yang Lan. Akan tetapi terkaman dan sambaran tangannya itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena dengan gerakan ringan dan cepat sekali tubuh Ouw Yang Lan telah mundur dua langkah. Thio Sam menjadi penasaran sekali betapa serangan pertamanya gagal sama sekali. Dia menubruk lagi. Akan tetapi luput lagi. Setelah mencoba untuk menangkap gadis itu sebanyak lima kali selalu tubrukannya luput, tahulah Thio Sam bahwa gadis itu memiliki gerakan lincah dan tentu memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Maka dengan perasaan malu dan marah akan kegagalannya, kini ia mulai menyerang untuk merobohkan gadis itu, bukan untuk menangkap lagi.
?Lihat pukulanku!? bentaknya dan kini tangannya menyambar untuk memukul! Ketika Ouw Yang Lan mengelak, diapun menggerakkan kaki kanannya untuk menendang. Kembali gadis itu mengelak. Kegagalan serangan ini membuat Thio Sam menjadi semakin penasaran dan diapun menyerang bertubi-tubi, makin lama semakin ganas serangannya. Tiba-tiba tubuh Ouw Yang Lan berkelebat lenyap dan selagi Thio Sam kebingungan, gadis itu yang telah berada di belakangnya sudah menggerakkan kakinya, dua kali berturut-turut ujung sepatu gadis itu menendang tekukan lutut kaki Thio Sam. Tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki Thio Sam bertekuk lutut dan sejenak dia tidak mampu berdiri lagi karena kedua kakinya terasa lumpuh! Hal ini membuat para anak buah Pulau Naga menjadi terkejut dan marah, menganggap bahwa gadis itu tentu datang untuk membikin rIbut.
Maka tanpa dikomando lagi mereka lalu maju mengeroyok, bahkan mempergunakan senjata. Ouw Yang Lun kini memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan dan kaki tangannya bergerak. Tampak golok pedang terlempar dan tubuh-tubuh berpelantingan terkena tamparan atau tendangannya. Dalam waktu pendek saja belasan orang itu telah roboh semua, akan tetapi tidak sampai terluka berat karena memang Ouw Yang Lan tidak bermaksud untuk mencederai atau membunuh anak buah Ayah kandungnya sendiri. Para pengeroyok itu merangkak untuk bangkit kembali sambil memandang kepada gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang itu dengan sinar mata gentar. pada saat itu, seorang wanita berusia lima puluhan tahun melangkah maju menghampiri Ouw Yang Lan. Setelah tiba di depan gadis itu, Nenek itu menudingkan telunjuknya.
?Kau... Kau... bukankah engkau nona Ouw Yang Lan? Kawan-kawan, apa kalian telah buta dan tidak mengenal nona Ouw Yang Lan? Lihat tahi lalat di dagunya Itu adalah Lan Siocia (Nona Lan)? Ouw Yang Lan segera mengenal wanita yang dahulu pernah menjad, inang pengasuhnya.
?Bagus, engkau masih ingat kepada Bibi Chin? katanya sambil tersenyum. Thio Sam dan semua anak buah yang tadi mengeroyok Ouw Yang Lan dan dirobohkan, memandang dengan terkejut bukan main. Dan sekarang merekapun teringat kepada Ouw Yang Lan dan meagertilah mereka bahwa gadis itu telah bermurah hati kepada mereka. Kalau tidak, tentu mereka telah menderita luka atau bahkan mungkin tidak akan bangun kembali. Thio Sam yang telah mampu menggerakkan kedua kakinya lalu maju ke depan Ouw Yang Lan dan menjatuhkan dirinya berlutut.
?Lan Siocia,maafjan saya dan maafkan semua yang tidak mengenal nona dan telah bersikap kirang ajar...? katanya ketakutan. Ouw Yang Lan tersenyum melihat betapa semua anak buah itu ikut-ikutan berlutut dibelakang Thio Sam.
?Sudahlah, Paman Sam dan kalian semua Paman dan saudara. Bangkitlah dan lupakanlah kejadian tadi. Aku memang sengaja hendak menguji ke setiaan kalian kepada Pulau Naga. Sekarang laporkan kepada Ayah bahwa aku datang.? Thio Sam dan para anak buah itu bangkit berdiri dan Thio Sam berdiri dengan sikap hormat membungkuk di depan Ouw Yang Lan.
?Akan tetapi, Lan Siocia, Tocu (Majikan Pulau) tidak berada di Pulau. Sudah dua bulan ini Tocu pergi dari sini.?
?Hemm, ke mana Ayah pergi??
?Menurut keterangan, Tocu pergi ke Kotaraja untuk mencari kedudukan di Istana Kaisar,? kata Thio Sam.
?Ah, sayang sekali dia tidak berada di Pulau,? kata Ouw Yang Lan kecewa sekali.
?Kalau begitu, tolong beri tahukan kepada Suheng Tan Song Bu. Aku ingin bertemu dengan dia.?
?Nona tentu maksudkan Ouw Yang Kongcu? kata Thio Sam.
?Ouw Yang Kongcu? Siapa itu? Ayah tidak mempunyai anak laki-laki!? bantah Ouw Yang Lan.
?Kongcu (tuan muda) Tan Song Bu itu kini telah menjadi Kongcu Ouw Yang Son Bu. Sejak nona pergi dari Pulau, dia telah diangkat menjadi putera oleh Tocu.
?Hemm, begitukah? Di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya.?
?Sayang sekali, nona. Ouw Yang Kongcu juga pergi bersama Tocu. Memang mereka pergi berdua dan beberapa hari yang lalu Tocu mengirim utusan memberi tahu kepada kami bahwa untuk sementara Tocu dan Ouw Yang Kongcu tinggal dulu di Kotaraja.? Mendengar keterangan ini, Ouw Yang Lan membanting-banting kaki kanannya dengan hati kesal.
?Sialan! Lalu siapa saja yang kini berada di rumah??
?Yang berada di rumah tinggal kedua hujin (nyonya).?
?Kedua hujin? Siapa maksudmu, Paman Thio Sam? Apakah Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui sudah pulang?? Thio Sam menggeleng kepala lalu menengok ke kanan-kiri. Melihat bahwa para anak buah masih berada di sekitar situ dan ikut mendengarkan, dia lalu membentak mereka.
?Mengapa kalian masih berada di sini? Hayo lanjutkan pekerjaan kalian dan biarkan aku bicara berdua saja dengan Lan Siocia! Engkau juga, Bibi Cin, tinggalkan kami berdua!? Mendengar perintah Thio Sam ini, semua orang lalu pergi dan menjauhkan diri sehingga Thio Sam dapat bicara leluasa dengan Ouw Yang Lan. ?Nah, sekarang ceritakan semuanya kepadaku, Paman Thio Sam. Siapakah kedua orang hujin yang Kau maksudkan itu??
?Tidak lama setelah kedua nyonya meninggalkan Pulau naga, Tocu telah mengambil dua orang gadis untuk menjadi isterinya dan sekarang kedua orang wanita itulah yang menjadi hujin di sini. Sampai sekarang mereka berdua tidak mempunyai anak.?
?Dan di mana adanya Ibu Sim Kui Hwa dan adik Ouw Yang Hui? Apakah mereka tidak pernah kembali ke Pulau Naga?? Sebelum menjawab, Thio Sam menoleh ke kanan-kiri lalu menjawab dengan suara direndahkan,
?Tak lama setelah kedua hujin dan kedua Siocia pergi dari sini, Ji-hujin (Nyonya Ke Dua) pulang ke Pulau ini...?
?Ibu Sim Kut Hwa pulang bersama adik Ouw Yang Hui?? tanya Ouw Yang-Lan dengan girang.
?Tidak, nona. la pulang seorang diri, diantar oleh seorang pendekar bernarna Gan Hok San, seorang pendekar Siauw-Lim-Pai, begitu saya mendengar. Akan tetapi, Tocu marah-marah dan hendak membunuh Ji-hujin yang dituduhnya berjina dengan pendekar yang mengantarnya pulang itu.?
?Ah, kenapa Ayah begitu? Bukankah pendekar Gan Hok San itu telah menolong menyelamatkan Ibu Sim Kui Hwa dan mengantarnya pulang? Lalu bagaimana, Paman Thio Sam??
?Ketika Tocu memukul dan hendak membunuh Ji-hujin, pukulan itu ditangkis oleh Pendekar Gan sehingga mereka lalu berkelahi. Akan tetapi ternyata Pendekar Gan itu terlalu tangguh bagi Tocu. Pendekar Gan menang dan dia mengajak Ji-hujin pergi dari Pulau karena Tocu sudah tidak mau menerimanya kembali.?
?Ahhh!? Ouw Yang Lan merasa penasaran sekali kepada Ayahnya yang bersikap tidak adil dan kejam terhadap isteri sendiri.


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?Dan bagaimana dengan adik Ouw Yang Hui??
?Saya tidak tahu, nona. Ketika hujin pulang, ia tidak membawa Hui-Siocia (Nona Hui).?
?Jadi Ibu Sim Kui Hwa pergi meninggalkan Pulau Naga bersama Gan Hok San dan sampai sekarang tidak pernah kembali ke sini??
?Benar, nona.? ?Juga Nona Ouw Yang Hui tidak pernah datang ke sini??
?Tidak, nona.? ?Sudahlah, kalau mereka semua tidak berada di sini, untuk apa aku lebih lama tinggal di sini? Aku mau pergi saja, Paman Thio Sam!?
?Akan tetapi, apakah nona tidak ingin berjumpa dulu dengan kedua orang Hujin (nyonya) yang baru??
?Tidak! Aku tidak mengenal mereka Untuk apa aku bertemu dengan mereka? Sudah, aku hendak pergi, Paman Thio Sam!? setelah berkata demikian, Ouw Yang Lan menyeret perahunya sampai ke air, kemudian ia mendorong perahunya dan melompat dalam perahu yang segera didayungnya pergi dengan cepat sekali meninggalkan Pulau itu. Perahu meluncur dengan amat cepatnya, diikuti pandang mata Thio Sam yang merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa Lan Siocia kini telah menjadi seorang gadis yang demikian lihainya, dan juga sikapnya demikian tegas dan keras! Segera kemunculan gadis yang telah merobohkan hampir dua puluh orang anak buah Pulau Naga itu menjadi bahan percakapan semua anak buah Pulau Naga.
Taman di belakang rumah itu tidak begitu luas, namun indah sekali. Bermacam bunga tumbuh dengan suburnya karena terawat dengan baik dan teratur rapi. Di bagian tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan kecil namun airnya amat jernih dan ikan ikan emas berbagai warna berenang hilir mudik dengan indahnya. Sore hari itu cerah dan indah sekali. Angin semilir lembut, membuat bunga-bunga itu bergoyang seperti menari-nari perlahan, seperti hidup. Gadis yang duduk di atas bangku tepi kolam itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun. Cantik jelita bagaikan sekuntum bunga yang semerbak harum dan sedang mulai mekar.
Rambutnya yang hitam panjang itu agak berombak, digelung ke atas model gelung rambut para gadis bangsawan, dihias tusuk sanggul dari emas permata yang indah berbentuk burung Hong sedang membuka sayapnya. Anting-anting yang tergantung di telinganya dan kalung yang tergantung di lehernya terbuat dari emas permata pula, tidak terlalu mewah akan tetapi membuatnya tampak lebih anggun. Dahinya begitu halus, sehingga sepasang alis itu tampak mencolok sekali karena hitamnya. Bentuk alis yang kecil melengkung seperti dilukis walaupun sebetulnya alis itu tumbuh dengan sewajarnya. Sepasang alis itu tampak lebih manis dan hidup lagi karena sepasang mata di bawahnya amatlah indahnya. Sepasang mata yang jeli, bening, dengan pandang mata yang tajarn namun lembut dan ramah, mata yang kerlingnya amat tajam dan memikat.
Sepasang mata yang akan selalu terbayang oleh pria yang pernah bertemu pandang. Kedua ujung mata di kanan-kiri seperti di lukis, meruncing dan daya tarik keindahan mata itu semakin kuat dengan adanya bulu mata yang lentik dan lebat. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak menjungat Ke atas itu seperti menantang dan membuat wajahnya nampak lucu dan menggemaskan saking manisnya. Kemudian mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya pikatnya antara mata dan mulut itu. Mulut dengan sepasang Bibir yang merah membasah tanpa pemerah Bibir, bentuknya seperti gendewa terpentang, dengan kulit Bibir yang tipis dan Bibir itu penuh seperti buah anggur yang masak, menjanjikan kemanisan madu yang menggairahkan. Bila sepasang Bibir itu terbuka sedikit,nampak kilatan gigi seputih mutiara yang berderet rapi.
Persekutuan Pedang Sakti 10 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 10

Cari Blog Ini