Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Mulutnya teramat manisnya, apa lagi kalau menyungging senyuman karena muncul lesung pipit di sepasang pipi yang putih kemerahan seperti kulit bayi itu. Dagunya runcing sehingga membuat wajah yang cantik jelita itu berbentuk bulat telur. Gadis yang cantik jelita itu bernama atau berjuluk Siang-bi-hwa (Bunga Cantik Harum) dan ia dikenal dengan nama julukan itu. Nama sesungguhnya yang jarang dikenal orang adalah Ouw Yang Hui! Benar, ia adalah Ouw Yang Hui, puteri Ouw Yang Lee dan Sim Kui Hwa yang terjatuh ke dalam tangan seorang mucikari yang biasa disebut Cia-Ma. Cia-Ma adalah mucikari yang terkenal di kota Nam-Po, seorang mucikari yang anak buahnya merupakan pelacur-pelacur pilihan. Pelacur yang menjadi anak buah Cia-Ma rata-rata cantik manis dan bersikap lembut seperti wanita-wanita terpelajar Karena itu,
Biarpun pada umumnya orang harus mengeluarkan uang yang cukup banyak, rumah pelesir milik Cia-Ma selalu ramai dan langganan-langganannya terdiri dari para pria dan pemuda bangsawan dan hartawan. Akan tetapi sikap Cia-Ma terhadap Ouw Yang Hui sungguh luar biasa. Berbeda sekali dengan sikap terhadap ?Anak-anak? atau anak buahnya, walaupun terhadap mereka ia juga selalu ramah dan halus budi. Cia-Ma ternyata mengasihi Ouw Yang Hui seperti kepada anak kandungnya sendiri! la demikian sayang kepada Ouw Yang Hui sehingga ia mendidik Ouw Yang Hui menjadi seorang gadis yang terpelajar, sopan, halus budi, bahkan ia mengundang seorang Siucai (sastrawan) untuk mengajar Ouw Yang Hui dalam hal kesusastraan dan keagamaan! Gadis itu tumbuh besar dan mengerti akan filsafat dan budi pekerti.
Bukan itu saja, Cia-Ma juga mengajarkan bermacam kesenian kepada Ouw Yang Hui sehingga kini dalam usia tujuh belas tahun, Ouw Yang Hui pandai membuat sajak, pandai memainkan Yang-kim (Siter), meniup suling, bahkan pandai menyanyi dengan suara merdu. Pada tahun akhir-akhir ini Ouw Yang Hui bahkan belajar menari. la benar-benar menjadi seorang gadis yang luar biasa, tidak saja cantik jelita, namun menjadi seorang seniwati dan ahli sastra, di samping budi pekertinya yang halus dan penuh susila. Cia-Ma tidak menghendaki anak angkatnya teringat masa lalunya itu, maka ia memberi nama baru kepada Ouw Yang Hui, yaitu Siang Bi Hwa yang juga merupakan julukan yang berarti Bunga Cantik Harum. Cia-Ma mempunyai cita-cita yang tinggi untuk anak angkatnya itu. la bahkan menjauhkan Bi Hwa dari kehidupan para pelacur. karena ia sama sekali tidak ingin anaknya itu menjadi seorang pelacur.
la ingin agar kelak Bi Hwa menikah secara resmi dengan seorang pemuda bangsawan tinggi agar menjadi seorang nyonya bangsawan yang kaya raya dan terhormat. Tentu saja cita-cita ini bukan semata terdorong untuk membahagia kan Bi Hwa, melainkan terutama sekali untuk membahagiakan dirinya sendiri. Kalau anak angkatnya itu menjadi seorang nyonya bangsawan yang mulia, tentu ia sebagai Ibu mertua bangsawan akan hidup terhormat dan dimuliakan orang. la akan berhenti menjadi mucikari dan tak seorangpun akan teringat bahwa ia bekas mucikari! Betapapun juga, harus diakui bahwa hatinya merasa amat amat sayang kepada Bi Hwa. Untuk menjaga agar Bi Hwa tidak terpengaruh kehidupan para pelacur, Cia-Ma melarang B Hwa pergi ke ruangan depan dan tengah apa bila ada tamu pria datang berkunjung untuk pelesir.
la diharuskan bersembunyi saja di ruangan belakang yang cukup luas, atau memasuki taman bunga yang hanya diperuntukkan anak kesayangan itu. Karena itu, perkenalan Bi Hwa dengan para pelacur hanya selewat saja, yaitu kalau ada pelacur yang berkunjung ke ruangan belakang dan bercakap cakap dengannya. Akan tetapi, karena maklum bahwa gadis itu adalah anak tersayang Cia-Ma, juga melihat kenyataan bahwa Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat pandai, dan juga bersikap ramah dan lembut, para pelacur itu bersikap hormat kepadanya dan tidak ada yang berani mengganggunya. Pelajarannya membaca kitab-kitab agama membuat Bi Hwa mengerti benar bahwa pekerjaan Ibu angkatnya itu amat tidak baik, bahkan hina. Akan tetapi karena ia merasakan benar kasih sayang Cia-Ma kepadanya, iapun hanya dapat membujuk Ibu angkathya dengan kata-kata halus mengingatkan dan menyadarkan.
?Ibu,? katanya lembut dan menyebut Ibu, sebutan yang dikehendaki Cia-Ma sejak ia tinggal di situ,
?Maafkan kalau pendapat dan ucapanku ini akan menyinggung perasaanmu.? Cia-Ma memandang wajah anak angkat yang cantik manis itu sambil tersenyurm,
?Katakanlah, Bi Hwa. Semua ucapanmu tidak tidak akan menyinggung hatiku karena aku sudah yakin bahwa engkau seorang anak yang amat baik dan berbakti kepadaku sehingga tidak mungkin engkau bermaksud buruk.? Bi Hwa menjadi semakin berhati hati mendengar ucapan yang penuh kepercayaan dan kasih sayang itu.
?Begini, Ibu. Dalam kitab-kitab yang kubaca, disebutkan bahwa pekerjaan seperti yang Ibu lakukan, sekarang ini merupakan pekerjaan yang tidak baik dan dipandang sebagai pekerjaan hina oleh umum. Oleh karena itu, Ibu. Apakah sekiranya Ibu tidak dapat berganti pekerjaan, memilih pekerjaan yang lebih terhormat walaupun hasilnya tidak dapat membuat kita menjadi kaya? Pula, kalau Ibu berganti pekerjaan, tentu aku dapat membantumu, tidak seperti sekarang ini.? Ucapan itu tenang dan lembut, sama sekali tidak mengandung teguran atau penyesalan. Cia-Ma tersenyum. Ucapan anak angkatnya itu bahkan membesarkan hatinya.
Anaknya tidak suka melihat pekerjaannya, berarti bahwa kehidupan para pelacur itu sama sekali tidak mempengaruhi atau menarik hati Bi Hwa! Ini baik sekali, karena sebagai calon isteri bangsawan tinggi ia harus merupakan seorang wanita terhormat yang bermartabat tinggi! Akan tetapi bagaimana ia dapat melepaskan pekerjaannya ini? Justeru pekejaannya ini yang membuat ia dikunjungi dan berkenalan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang kaya raya sehingga setelah tiba saatnya kelak, ia akan memilih seorang di antara mereka untuk dijodohkan dengan Bi Hwa. Adapun hal ini dapat terjadi dengan mudah saja. Kalau pemuda bangsawan yang dipilihnya itu pada suatu hari ia perkenalkan dengan Bi Hwa, mustahil kalau dia tidak jatuh cinta dan bertekuk lutut di depan anak angkatnya yang cantik seperti seorang dewi kahyangan itu!
?Aku mengerti apa yang Kau maksudkan itu, anakku. Akan tetapi dalam kitab-kitab suci yang Kau baca itu mungkin engkau tidak mendapatkan kenyataan hidup yang bukan hanya untuk dipikir dan direnungkan, melainkan hanya dapat dirasakan kebenarannya melalui pengalaman.?
?Kebenaran apa yang Ibu maksudkan?? tanya Bi Hwa yang merasa heran dan ingin tahu sekali.
?Kenyataan yang bagaimana itu, Ibu??
?Kenyataan bahwa pekerjaan para pelacur itu walaupun tampaknya hina dan kotor, namun sesungguhnya mengandung jasa- jasa yang mengandung nilai prikemanusiaan.?
?Ahh...?? Apa maksud Ibu?? tanya Bi Hwa dengan heran sehingga sepasang matanya yang indah dan jeli bening itu terbelalak.
?Pertama, para pelacur itu telah dapat menghIbur para pria yang sedang kesepian. Ke dua, mereka menjadi tempat para pria yang tidak beristeri menyalurkan gairah berahi mereka sehingga mencegah terjadinya pemaksaan atau perkosaan. Ke tiga, betapa pun rendah tampaknya, mereka itu bekerja, bukan sekedar mencari kesenangan melainkan mencari uang yang dapat mereka pergunakan untuk membantu orang tua yang miskin. Engkau tahu bagaimana keadaan para wanita, terutama yang berada di dusun-dusun. Wanita tidak dihargai seperti pria dan selalu dipandang rendah, bahkan kalau menjadi isteri seorang petani wanita akan disuruh bekerja keras di sawah ladang tiada ubahnya seorang pelayan atau pembantu. Wanita juga sulit sekali mencari pekerjaan yang dapat memberi hasil yang cukup untuk dimakan, apa lagi untuk keperluan lain. ah, apa hinanya bekerja sebagai wanita penghIbur selama masih banyak pria berkeliaran mencari hIburan dari wanita? Bayangkan kalau tidak ada wanita penghIbur, tentu banyak di antara para pria yang terdorong berahinya lalu melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita yang lemah. Dan tentu terjadi banyak pula perjinaan yang akan menghancurkan rumah tangga. Setidaknya, para pelacur melakukan pekerjaan mereka itu demi tuntutan kebuTuhan hidup, sedangkan sebalikaya pria yang melacur itu semata-mata untuk mencari kesenangan dan tidak segan-segan mengkhianati kesetiaan mereka kepada isteri mereka. pelacur tidak mengkhianati siapa-siapa.?
Bi Hwa tertegun dan termangu-mangu mendengar pembelaan Cia-Ma terhadap pekerjaan para pelacur itu. Akan tetapi betapapun juga, pembelaan Cia-Ma itu mengubah pandangannya terhadap para pelacur.
?Kalau begitu, Ibu menganggap pekerjaan mereka itu baik??
?Sama sekali tidak, anakku. Aku menganggap pekerjaan mereka itu tidak baik dan aku tidak akan membiarkan engkau terjerumus seperti mereka! Sampai matipun aku tidak akan membiarkan engkau seperti mereka. Aku hanya ingin membuka kenyataan agar orang dapat melihat bahwa di dalam pekerjaan mereka yang tampak hina itu terdapat jasa-jasa prikemanusiaan yang patut dihargai dan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pekerjaan seperti itu. Coba engkau dengarkan dengan telinga hatimu, Bi Hwa, dan engkau akan menangkap bahwa dalam suara tawa mereka yang tampaknya riang gembira itu tersembunyi sedu-sedan dari kehancuran hati mereka.?
Demikianlah percakapan antara Bi Hwa dan Cia-Ma. Percakapan itu mendatangkan kesan mendalam di hati Bi Hwa, sehingga mulai saat itu ia memandang para pelacur itu dengan hati terharu dan mengandung iba. Bagaimanapun juga, seorang pelacur jauh lebih terhormat dari pada seorang isteri yang melakukannyelewengan dengan pria lain, karena pelacur tidak mengkhianati siapapun dalam perbuatannya, melainkan semata-mata untuk mencari uang guna mencukupi kebuTuhan hidupnya, juga mungkin kebuTuhan hidup orang tua dan saudara-saudaranya. Teringat akan semua itu, Bi Hwa ulang kali menghela napas panjang. teringatlah ia akan kata-kata Cia-Ma ketika menyinggung soal perjodohannya sehingga memancing perbantahan dengannya.
?Bi Hwa, dalam pekerjaanku ini aku mempunyai suatu maksud tertentu. Engkau tahu, sebagian besar langganan yang pelesir di sini terdiri dari para pemuda bangsawan dan hartawan. Kalau sudah tiba saatnya, aku tinggal memilih di antara mereka, memilih seorang pemuda bangsawan tinggi yang memiliki kedudukan,kekuasaan dan harta benda untuk menjadi suamimu!?
?Ahhh, Ibu!? Bi Hwa berseru kaget sekali dan kedua pipinya yang sudah putih kemerahan itu menjadi semakin merah.
?Mengapa engkau terkejut? Usiamu kini sudah tujuh belas tahun dan engkau sudah sepantasnya menjadi seorang nyonya bangsawan yang hidup mulia dan kaya raya, dihormati semua orang, tinggal di sebuah Istana dan kalau bepergian menunggang kereta indah ditarik empat ekor kuda.?
?Akan tetapi aku tidak suka, Ibu! Aku tidak suka kepada para pria yang suka pelesiran di tempat ini! Mereka itu bukan pria pria terhormat.?
?Eh, Bi Hwa, hati-hati dan pikirkan dulu kalau engkau bicara! Para Kongcu (tuan muda) yang datang ke sini itu adalah putera putera pembesar yang berpangkat tinggi, bahkan banyak yang datang dari Kotaraja. Ayah mereka adalah para pejabat tinggi, bahkan ada putera menteri-menteri yang berkuasa dan kaya raya. Bagi seorang gadis, apa lagi kekurangannya kalau mendapatkan suami seorang pemuda yang berkedudukan, berkuasa dan memiliki banyak harta benda??
?Semua itu tidaklah amat penting, Ibu. Yang terpenting dalam sebuah perjodohan adalah cinta kasih.?
?Huh! Cinta? Cinta akan datang dengan sendirinya kalau engkau sudah menjadi seorang isteri, apa lagi kalau suamimu itu tampan, muda, berkuasa, kaya raya. Apakah dengan cinta saja engkau akan mampu hidup. Apakah engkau akan kenyang kalau hanya diberi makan cinta, bukan nasi? Apa kah hidupmu tidak akan melarat dan kekurangan kalau engkau menjatuhkan cintamu kepada seorang pemuda petani yang miskin??
?lbu, hidup tanpa cinta akan membuat semua kemuliaan dan kekayaan tidak ada artinya. Sebaliknya kalau ada cinta kasih, maka kehidupan yang melarat sekalipun akan dialaminya dengan hati berbahagia di samping orang yang dicintanya.?
?Hemm, itukah yang Kau pelajari dari kitab-kitabmu, Bi Hwa? Aku tidak pernah mempelajari dari kitab walaupun aku juga pandai membaca. Akan tetapi aku mempelajari tentang hidup dari pengalaman! Aku memang pernah menikah tanpa cinta dan berakhir menyedihkan. Keluarga kami memang miskin. Akan tetapi aku pernah mempunyai adik perempuan. la menikah karena saling mencinta dengan seorang pemuda petani miskin pula. la menentang pendapat orang tua kami dan nekat menikah dengan petani itu. Apa jadinya? Belum cukup setahun menikah, mulailah ia cekcok dengan suaminya, karena keadaan mereka amat miskin, Cinta mereka seperti tumbuh di tanah gersang, mudah menjadi layu dan mati. Kemiskinan mengubah senyum bahagia mereka menjadi kemarahan dan tangis, mengubah cinta menjadi kebEncian. Dengan kemiskinan, begitu pernikahan masuk lewat lubang pintu, cintapun terbang keluar melalui jedela! Sandang pangan papan tidak bisa dipenuhi dengan cinta belaka. Belum sampai adikku mempunyai anak, suaminya sudah meninggalkannya dan tidak pernah kembali lagi. Adikkupun, seperti aku, terjerumus menjadi pelacur dan kemudian meninggal karena penyakit. Ini bukan pelajaran dari kitab, Bi Hwa, melainkan dari pengalaman,? Mendengar ucapan panjang lebar yang dikeluarkan penuh emosi ini, Bi Hwa yang juga amat menyayang Ibu angkatnya, lalu merangkul Ibunya dan berkata lembut,
?Sudahlah Ibu, maafkan aku. Bagaimanapun, sekarang ini aku sama sekali masih belum mempunyai keinginan untuk menikah dan berpisah darimu.? Ketika ia duduk melamun di tepi kolam ikan dalam taman kecil yang indah itu, Bi Hwa mengenang semua ini. la menghela napas dan mulut yang mungil itu lalu bersajak dengan suara lirih.
?Wahai perempuan di seluruh dunia apakah hidupmu hanya untuk menderita sengsara? selagi mekar semerbak harum engkau dibanggakan dan dipuja pria setelah engkau layu terkulai engkau dicampakkan dan disia-siakan!? Setelah mengucapkan sajak dengan suara lirih, Bi Hwa lalu mengambil sebatang suling bambu yang terletak di atas bangku disebelahnya, dekat dengan sebuah Siter yang tadi dibawanya ke taman itu karena memang ia sering memainkan dua alat itu kalau sedang berada dalam taman.
la menempelkan lubang suling itu pada Bibirnya yang merah basah, kemudian meniup suling itu. Terdengar suara suling melengking-lengking merdu, dan suara suling agak tergetar menandakan bahwa peniupnya seorang ahli. Pada senja hari itu terngarlah suara suling mengalun turun naik dalam rangkaian nada-nada yang amat merdu dengan irama yang lembut dan menyentuh perasaan. Hanya suling yang ditiup dengan penuh perasaan dan keahlian saja yang dapat mengeluarkan suara seperti itu. Bi Hwa tidak tahu bahwa pada saat itu di ruangan depan rumah Cia-Ma sedang ramai karena datangnya lima orang tamu. Mereka adalah lima orang pemuda bangsawan, empat orang dari mereka adalah putera putera pejabat tinggi yang datang dari Kotaraja, yang dijamu oleh seorang putera kepala daerah di Nam-Po.
Untuk menyenangkan empat orang kawan dari Kotaraja itu, Yap Ki atau biasa dipanggil Yap Kongcu (Tuan Muda Yap), putera dari kepala daerah Yap Taijin (Pembesar Yap) di Nam-Po, sengaja mengajak empat orang tamunya itu untuk pelesir di rumah Cia-Ma. Mereka berlima makan minum, dilayani oleh lima orang gadis penghIbur yang cantik-cantik sehingga suasananya amat gembira. Apa lagi setelah seorang pemuda itu minum beberapa cawan arak yang menghangatkan hati, suasana menjadi semakin meriah. Kalau saja Bi Hwa tahu bahwa ketika itu sedang ada tamu, tentu ia tidak akan meniup serulingnya senyaring itu. Suara suling memasuki ruangan depan dengan amat merdunya. Lima orang itu menghentikan suara mereka dan diam sejenak mendengarkan, Yap Kongcu lalu berkata dengan heran sekali memandang kepada gadis yang duduk di sebelah kirinya.
?Belum pernah aku mendengar permainan suling sedemikian indahnya ditiup orang di sini siapakah pemain suling itu?? Gadis pelacur yang duduk di sebelahnya berkata,
?Itu adalah tiupan suling Nona Bi Hwa, ia memang pandai sekali bermain suling.?
?Siapa? Bunga Cantik Harum? Belum pernah aku mendengar nama itu! Kenapa ia tidak disuruh menemani kami makan minum??
?la tidak pernah menemani tamu, Yap-Kongcu,!? kata pelacur itu.
?Akan tetapi sekarang ia harus menemani aku dan teman-temanku! Berapapun taripnya akan kami bayar, jangan khawatir!? kata Yap-Kongcu sambil tertawa.
?Akupun ingin sekali melihat bagaimana cantiknya Nona Bunga Cantik Harum itu!? kata seorang kawannya, pemuda bangsawan Kotaraja.
?Maaf, Kongcu, harap ngo-wi Kongcu (kelima tuan muda) tidak marah. Nona Siang Bi Hwa adalah anak perempuan Cia-Ma sendiri dan ia tidak pernah melayani tamu,? kata pelacur itu, menyesal mengapa tadi ia mengaku bahwa peniup suling itu adalah Bi Hwa.
?Aha, kalau begitu ia seorang perawan remaja? Berapa usianya?? Sekitar tujuh belas tahun, Kongcu.
?Bagus! Biar ia anak perempuan Cia-Ma, cepat panggil ia ke sini, nanti engkau kuberi hadiah!? kata Yap Kongcu dengan gembira.
?Saya... saya tidak berani, Kongcu. Cia-Ma tentu akan memarahi kami.?
?Hemm, siapa berani marah kalau kami yang memanggil? Sudahlah, hayo ce-pat panggil Cia-Ma ke sini, aku mau bicara sendiri dengannya!? Pelacur yang ketakutan itu lalu bangkit berdiri dan masuk ke dalam untuk mengundang Cia-Ma keluar. Mendengar dia dipanggil Yap Kongcu, Cia-Ma bergegas keluar dengan senyumnya yang ramah.
?Yap Kongcu memanggil saya? Apa yang dapat saya bantu untuk Kongcu??
?Cia-Ma, aku minta agar engkau memanggil Siang Bi Hwa ke sini untuk melayani kami!? Cia-Ma membelalakkan matanya, terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi ia mendengar suara suling yang melengking lengking itu dan mengertilah ia bahwa tentu Yap Kongcu menanyakan siapa peniup suling itu dan mendengar tentang anak angkatnya dari para pelacur.
?Siang Bi Hwa...?? katanya gagap.
?Ya, anak perempuanmu itu. Panggil ia ke sini untuk ikut melayani kami. Soal pembayarannya jangan khawatir, berapapun taripnya akan kami bayar!? kata Yap Kongcu.
?Anak perempuan saya itu masih belum dewasa, belum waktunya melayani tamu...?
?Akan tetapi, kami hanya ingin melihat dan mendengarkan ia bermain suling,? desak Yap Ki.
?la belum dewasa dan tidak biasa bertemu dengan pria. Tentu ia menolak kalau diharuskan bermain suling atau Yang-kim didepan para tamu. la pemalu dan saya tidak dapat memaksanya. Maafkan saya, Kongcu.? Yap Ki menjadi penasaran.
?Hemm, seperti apakah anakmu itu, Cia-Ma? Apakah seperti dewi kahyangan sehingga engkau menjual mahal seperti ini?? Tiba-tiba Cia-Ma mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya cemerlang. Sudah tiba waktunya bagi Bi Hwa untuk diperkenalkan kepada para Kongcu agar namanya terkenal dan menarik perhatian semua pemuda bangsawan dari Kotaraja. Sehingga dengan demikian, akan mudah baginya untuk menentukan pilihan siapa yang dipandangnya cukup berharga untuk memetik Bunga Cantik Harum yang ia banggakan dan dianggap sebagai sumber kemuliaan baginya itu.
?Kalau ngo-wi Kongcu (tuan muda berlima) ingin menyaksikannya, hal itu mudah diatur. Biarlah anak saya itu tetap bermain di dalam taman dan ngo-wi (kalian berlima) dapat menyaksikannya dari pintu belakang. Akan tetapi harap jangan ada yang mendekat, karena kalau ia didekati, tentu ia akan merasa takut, menghentikan permainannya dan lari bersembunyi dalam kamarnya.
?Baik, baik, kami cukup puas asalkan boleh melihatnya, biarpun tidak mendekati,? jawab Yap Ki dan juga empat orang kawannya menyatakan ingin sekali melihat perawan yang agaknya dipingit oleh Cia-Ma itu.
?Kalau begitu, biar saya akan menemuinya dulu dan minta agar ia suka memainkan beberapa lagu dengan suling dan Yang-kimnya dan tidak keberatan ditonton dari pintu belakang.? Setelah berkata demikian, Cia-Ma lalu bergegas pergi ke taman belakang. Bi Hwa menghentikan tiupan sulingnya ketika mendengar langkah kaki Cia-Ma menghampirinya.
?Bi Hwa, engkau lanjutkanlah bermain suling dan juga Yang-kim. Ada lima orang Kongcu dari golongan bangsawan, yang seorang putera Yap-Taijin kepala daerah Nam-Po dan yang empat orang pemuda bangsawan dari Kotaraja yang menjadi tamu. Tadi mereka mendengar suara sulingmu dan Yang-kim. mereka memaksa hendak melihatmu bermain suling.?
?Ah, aku tidak mau, Ibu.?
?Dengarkan dulu, Bi Hwa. Aku sudah mengatakan bahwa engkau tidak pernah bermain di depan tamu, akan tetapi mereka marah dan hendak memaksa. Akhirnya aku mengatakan bahwa mereka boleh melihatmu bermain di sini sedangkan mereka hanya menonton dari pintu belakang. Engkau boleh pura-pura tidak melihat mereka dan terus saja bermain suling dan Yang-kim. Engkau tidak boleh menolaknya, Bi Hwa, karena aku sudah berjanji kepada mereka. Kalau engkau memaksa menolak, tentu aku akan mendapat celaka. Kalau Yap Kongcu melapor kepada Ayahnya, Yap-Taijin bisa saja menyuruh pasukan menangkap aku dan menutup rumah pelesir kita.?
Bi Hwa tidak dapat menolak lagi. Tentu saja ia tidak suka melihat Ibunya mendapatkan malapetaka itu. Apa lagi, ia tidak harus bermain di depan para tamu, hanya bermain di taman dan mereka itu meronton dari pintu belakang yang cukup jauh. la boleh berpura-pura tidak melihat mereka saja dan tidak memperdulikan pandang mata mereka yang ditujukan kepadanya.
?Bagaimana, Bi Hwa? Engkau mau, bukan? Engkau mau menolong Ibumu?? terpaksa Bi Hwa mengangguk dan menjawab lirih.
?Baiklah, Ibu. Aku akan bermain suling dan Yang-kim di sini tanpa memperdulikan mereka.?
?Ah, anakku sayang, engkau memang seorang anak yang baik!? kata Cia-Ma sambil merangkul dan mEncium pipi gadis itu. Kemudian ia meninggalkan taman untuk kembali ke ruangan depan dan melaporkan hasil bujukannya kepada lima orang tamunya. Sementara itu, seperti tidak pernah terjadi sesuatu, Bi Hwa sudah meniup lagi sulingnya. la tidak ingin bersikap kurang ajar membelakangi para penontonnya, akan tetapi ia juga tidak mau menghadapi mereka secara langsung.
Oleh karena itu, ia duduk memutar tubuhnya sehingga pintu belakang itu berada di sebelah kanannya. Orang hanya akan dapat melihatnya dari samping saja. Lima orang pemuda itu menjadi girang bukan main ketika Cia-Ma memberitakan bahwa Bi Hwa sudah menyetujui ditonton dari pintu belakang. Mereka bergegas menuju ke pintu belakang dan lima orang gadis penghIbur itu membawakan bangku-bangku untuk mereka. Bangku-bangku dijajar di pintu belakang dan lima orang itu duduk berderet di situ. Begitu duduk dan memandang ke depan, mereka terbelalak kagum! Suasana taman kecil itu sudah indah menyenangkan sekali dan di dekat kolam, cukup jelas tampak dari situ, duduk seorang gadis yang luar biasa cantiknya! Walaupun hanya tampak dari samping, dan itupun tidak tampak sepenuhnya wajah itu karena sedikit tertutup jari jari tangan yang memegang suling,
namun bentuk dahi itu, rambut itu, hidung dan pipi itu, mata dan mulut itu! Bahkan di kota sekalipun jarang terdapat gadis secantik itu! Tubuhnya yang baru mekar itu ramping padat. Pakaiannya yang indah dari Sutera halus tidak dapat menyembunyikan sepenuhnya lekuk lengkung tubuh yang lemah gemulai. Setiap gerakan tubuh itu seolah gerakan seorang penari yang pandai. Dan bunyi suling itu kini terdengar jelas sekali, meliuk-liuk tinggi rendah seakan membawa sukma lima orang pemuda itu melayang-layang! Tiba-tiba suara suling menurun dan melemah, lalu berhenti dengan lembutnya sehingga seolah tidak terasa berhenti dan gemanya masih terngiang di telinga para pendengarnya. Tiba-tiba dara itu telah mengganti alat musiknya dan kini jari-jari tangannya yang lentik dan mungil itu telah menari-nari di atas Yang-kim.
Dan terdengarlah suara kencrang-kencring dan tang-ting tang-ting dengan irama lembut dan nadanya naik turun dengan indah dan merdu sekali! Lima orang Kongcu itu kembali terpesona. Begitu banyak penglihatan dan pendengaran yang membuat mereka seolah berhenti bernapas. Taman indah yang tampak kemerahan oleh cahaya matahari mulai turun ke ufuk barat, gadis yang begitu cantik jelitanya bagaikan seorang bidadari, kemudian bunga-bunga yang mekar indah di sekelilingnya, keharumannya tercium karena terbawa angin semilir, lalu suara Yang-kIm Yang demikian indahnya. Benar-benar membuat semangat lima orang Kongcu itu melayang-layang. Setelah suara Yang-kim berhenti, mereka bertepuk tangan riuh rendah dan mulut mereka berlumba mengucapkan pujian dengan suara nyaring dengan maksud agar terdengar oleh orang yang dipujinya.
?Demi para dewatal Belum pernah selamanya aku menyaksikan yang seindah dan secantik ini!?
?Bagaikan seorang bidadari dari kahyangan yang turun ke taman ini!?
?Tiupan sulingnya membuat semangatku melayang-layang!?
?Permainan Yang-kimnya demikian indah seperti bunyi-bunyian dari sorga!?
?Mau aku dikurangi usiaku sebanyak sepuluh tahun asalkan aku dapat bersanding dengan dewi itu!?
Mendengar sorak sorai tepuk tangan lalu ucapan-ucapan yang memujinya bernada nakal seperti itu, Bi Hwa menjadi marah dan ia lalu bangkit berdiri dan melangkah kebalik rumpun bunga yang lebat sehingga tubuhnya tidak dapat tampak lagi dari pintu belakang rumah itu. Apa lagi cuaca sudah mulai gelap sehingga menjadi remang-remang.
?Aih, ngo-wi Kongcu telah membuat ia terkejut dan ketakutan!? tegur Cia-Ma kepada lima orang Kongcu itu.
?Cia-Ma, berikan bunga cantik itu kepadaku untuk semalam ini dan aku akan memberi seratus tail perak kepadamu!? kata Yap Kongcu Seratus tail perak merupakan jumlah yang cukup besar pada waktu itu. seratus tail! kata seorang Kongcu ke dua
?Aku berani membayar seratus lima puluh tail?
?Aku berani membayar dua ratus lima puluh tail perak.?
?Dan aku berani membayar tiga ratus tail, asal ia mau melayaniku semalam? kata Kongcu ke lima tidak mau kalah.
?Ngo-wi Kongcu, saya membesarkan dan mendidik Bi Hwa bukan untuk menjadi gadis penghIbur yang melayani tamu. Biar saya diberi selaksa tail perak sekalipun,?
?Tidak? saya tidak akan saya berikan untuk melayani pria. la harus menjadi isteri sah dan pertama dari seorang Kongcu bangsawan hartawan yang kami pilih. Mari, ngo-wi Kongcu, silakan masuk lagi ke ruangan dalam!? ajak Cia-Ma.
Lima orang pemuda itu merasa kecewa, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa. Mereka seolah melihat bayangan seorang dewi yang melayang tinggi di angkasa, hanya dapat dipandang namun sulit untuk dijamah, apa lagi dimiliki. Karena itu, mereka menghIbur kekecewaan mereka dengan berpelesir sepuas hati mereka dengan gadis-gadis pelacur yang berada di situ, yang siap melayani mereka dengan wajah penuh senyum tanpa harus dibayar sampai seratus tail perak! Tepat seperti yang diperhitungkan dan diharapkan Cia-Ma, sejak lima orang pemuda bangsawan itu melihat dan mendengar Bi Hwa memainkan suling dan Yang-kim, tersiar berita di kalangan para pemuda bangsawan bahwa Cia-Ma diam-diam mempunyai seorang anak perawan yang cantik jelita seperti seorang bidadari dan pandai sekali bermain suling dan Yang-kim,
Seorang anak perawan yang suci dan biarpun anak perempuan seorang mucikari, namun hidupnya bersih, angkuh, bahkan harga dirinya mahal luar biasa sehingga Cia-Ma tidak akan mau menerima uang selaksa tail sekalipun untuk membeli perawan itu untuk satu malam saja! Hal ini tentu saja membuat para pemuda bangsawan, terutama yang tinggal di Kotaraja, merasa penasaran bukan main. Mana ada perawan yang menolak uang selaksa tail perak untuk melayani seorang pria hanya satu malam saja? Uang sebanyak itu cukup untuk membeli perawan sebanyak seratus orang! Berita burung dari mulut ke mulut selalu dilebih-lebihkan sehingga beberapa bulan kemudian muncul sajak yang dikenal oleh semua pemuda, terutama para pemuda bangsawan yang suka pelesir.
?Bunga Cantik Harum di Nam-Po kota amatlah berharga tiada terkira selaksa tail perakpun ditolaknya Kongcu manakah yang mampu mempersuntingnya?? Semakin banyaklah para pemuda bangsawan yang kaya raya datang bertamu di rumah pelesir milik Cia-Ma, ada yang datang untuk bersenang-senang dengan gadis-gadis pelacur. Akan tetapi banyak pula yang datang khusus untuk melihat dan mendengar sendiri Siang Bi Hwa bermain suling dan Yang-kim!
Bi Hwa tidak dapat menolak permintaan Ibu angkatnya untuk bermain suling dan Yang-kim di taman itu, ditonton dari pintu belakang oleh para pemuda banngsawan. Akan tetapi para pemuda itu sudah berjanji untuk hanya menonton saja tanpa mendekat dan tanpa mengeluarkan kata kata yang tidak sopan. Makin banyak yang menonton, semakin terkenallah nama Siang Bi Hwa dan semakin muluk-muluk orang memuji kecantikan dan kepandaiannya bermain musik. Membanjirnya para bangsawan, juga ang sudah tua-tua, ke rumah pelesir milik Cia-Ma itu berarti pula membanjirnya uang yang memasuki peti uang Cia-Ma. Tentu saja para tamu itu tidak hanya sekedar menonton Siang Bi Hwa, kalau tidak berpelesir dengan para gadis pelacur, setidaknya mereka akan makan minum di tempat itu.
Dan makan minum di situ berarti harus membayar beberapa kali lipat dari harga umum makan dan minumannya. Setiap malam Cia-Ma tinggal menghitung uang yang masuk. Dalam beberapa bulan saja ia sudah dapat membangun bangunan yang lebih besar dan bertingkat di sebelah rumahnya yang tadinya ditempati seorang tetangga kemmudian dibelinya dengan harga tinggi. Dan rumah pelesir itu menjadi semakin terkenal. Nama Siang Bi Hwa menjadi buah Bibir para pemuda bangsawan di Kotaraja, bahkan mulai menjalar dan diketahui oleh para bangsawan tua yang suka berpelesir. Banyak sekali orang berdatangan dan menawarkan uang dalam jumlah besar kepada Cia-Ma, bahkan ada yang menawarkan selaksa tail! Akan tetapi Cia-Ma tetap menolak dengan halus dan mengatakan bahwa anak perempuannya sudah bertekad untuk membunuh diri kalau dipaksa melayani pria.
la hanya mau melayani pria yang menjadi suaminya, pilihan mereka kalau saatnya sudah tiba kelak!
Melihat betapa berbondong-bondong pria datang untuk melihatnya dan seakan berlumba untuk membelinya, diam-diam Bi Hwa merasa penasaran dan marah sekali. la merasa diperhina, disamakan dengan benda yang dapat dibeli dengan uang! Perasaan marah dan penasaran inilah yang akhirnya mendorongnya untuk membalas, yaitu dengan jalan membuat para pria itu semakin tergila gila agar mereka tersiksa karena tidak dapat memenuhi hasrat hatinya, la menggunakan kepandaiannya untuk menarik hati mereka sekuat mungkin. Kini ia tidak hanya bermain suling dan Yang-kim,akan tetapi juga mulai bernyanyi diiringi suara Yang-kimnya. Dan begitu Bunga Cantik Harum ini membuka suara bernyanyi, jantung para pemuda bangsawan itu jungkir balik.
Bukan hanya suara nyanyian Bi Hwa yang merdu merayu, akan tetapi juga kata-kata yang mengejek dan menyindir kelakukan para pemuda itu. Akan tetapi anehnya, mereka yang disindir ini tidak menjadi marah, bahkan tertawa-tawa senang karena merasa lucu! Hampir setiap hari para pemuda bangsawan dan hartawan datang bertamu, kebanyakan khusus untuk melihat dan mendengarkan Bi Hwa bermain musik dan bernyanyi. Melihat keadaan usahanya semakin ramai, untuk menjaga keselamatan, terutama sekali keselamatan Bi Hwa dari gangguan pria, Cia-Ma lalu membayar lima orang jagoan untuk menjadi penjaga keamanan di rumah pelesir itu. Pada suatu hari, selagi Bi Hwa bermain Yang-kim sambil bernyanyi di atas bangku didekat kolam ikan, ditonton belasan orang Kongcu yang bergerombol di pintu belakang, seorang di antara para Kongcu itu melangkah maju memasuki taman!
?Heii, tidak boleh mendekat kesana!? teriak beberapa orang pemuda, akan tetapi agaknya pemuda bangsawan yang mulutnya besar dan matanya agak juling itu tidak mempedulikan teguran para rekannya. Agaknya sudah mabok karena jalannya terhuyung huyung ketika dia terus melangkah maju memasuki taman dan menghampiri kolam ikan dekat dimana Bi Hwa sedang bernyanyi diiringi petikan Yang-kim. Tiba-tiba nyanyian dan suara Yang-kim itu berhenti karena Bi Hwa sudah mendengar suara pemuda yang datang menghampirinya. la bangkit dan alisnya berkerut, matanya memandang marah kepada pemuda yang menghampirinya sambil tertawa-tawa itu.
?Mau apa engkau? Pergi! Tak seorangpun boleh datang mendekat ke sini!? Bi Hwa membentak sambil menuding dengan telunjuknya ke arah pintu belakang dari mana pemuda itu datang. Pemuda itu menyeringai. Mulutnya yang lebar tampak menakutkan dan matanya menjadi semakin juling.
?Ha-ha-ha, engkau sungguh luar biasa cantik jelita, bidadariku. Siang Bi Hwa, marilah engkau datang dalam pelukanku, sayang.? Berkata demikian, pemuda yang sudah tergila-gila dan nekat ini lalu menubruk maju sambil mengermbangkan kedua lengannya untuk merangkul. Siang Bi Hwa adalah Ouw Yang Hui puteri Ouw Yang Lee. Biarpun ketika meninggalkan Pulau Naga usianya baru tujuh tahun, akan tetapi selama kurang lebih dua tahun ia sudah pernah digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh Ayahnya yang berkepandaian tinggi.
Biarpun selama berada dirumah Cia-Ma ia tidak pernah lagi berlatih silat, namun menghadapi bahaya dipeluk orang itu, secara otomatis ia menggeser kakinya mengelak dan ketika tubuh pemuda itu terdorong ke depan karena tubrukannya luput dan terhuyung karena mabok, Bi Hwa cepat menggerakkan kakinya menendang dari belakang. Tendangannya mengenai pinggul pemuda itu sehingga tubuh yang sudah terhuyung itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh pemuda itu terjatuh ke dalam kolam ikan. pemuda itu gelagapan, minum air kolam. Untung baginya bahwa kolam itu tidak terlalu dalam dan ketika dia berhasil bangkit berdiri, airnya hanya sampai di dadanya. Air kolam yang dingin dan membasahi semua tubuhnya membuat maboknya agak berkurang dan dia bergidik geli ketika tubuh ikan-ikan menggelitik kakinya.
?Tolooonnggg.? Dia berteriak-teriak. Para pemuda yang menonton dari pintu belakang tertawa bergelak melihat pemandangan yang lucu itu. Bi Hwa sudah menjauhi kolam dan berdiri di belakang sebatang pohon membelakangi semua orang ketika Cia-Ma datang berlari-lari diikuti lima orang jagoannya. Wanita ini marah sekali, akan tetapi karena yang mengganggu Bi Hwa itu adalah putera seorang jaksa di Kotaraja, ia tidak berani memperlihatkan kemarahannya. la hanya memerintahkan lima orang jagoann?a untuk menolong pemuda itu keluar dari kolam dan sambil menahan kemarahannya ia berkata.
?Su-Kongcu (Tuan Muda Su), sudah saya pesan kepada semua tamu bahwa mereka hanya boleh menonton dari pintu belakang dan tidak boleh mengganggu anaku Siang Bi Hwa, kenapa Kongcu memasuki taman ini, Saya menyesal sekali atas kejadian yang di timbulkan oleh Kongcu sendiri. Maafkan kami, Su-Kongcu. Mari masuk ke dalam. Kongcu harus berganti pakaian Kongcu yang menjadi basah dan kotor semua. Saya ada menyimpan beberapa potong pakaian yang masih baru dan cocok untuk Kongcu pakai.?
Su Kan Lok, pemuda bermulut lebar bermata juling itu, adalah putera Jaksa Su di Kotaraja, seorang jaksa yang besar kekuasaannya karena dia adalah orang bawahan Thaikam Liu Cin. Su Kan Lok berusia dua puluh tiga tahun itu masih bujangan, belum menikah dan dia adalah seorang di antara para pemuda bangsawan tukang pelesir yang pandainya hanya menghambur-hamburkan uang yang didapatkan oleh Ayahnya secara tidak halal, melalui pemerasan dan sogokan. Kini Su Kan Lok sudah dIbujuk Cia-Ma, tetap saja dia tidak dapat menahan kemarahannya dan sebelum mengikuti Cia-Ma masuk ke dalam untuk berganti pakaian, dia menoleh ke arah Bi Hwa yang berdiri di balik batang pohon.
?Gadis sombong!? geramnya.
?Lihat saja nanti. Kalau aku tidak mampu mendapatkan engkau, jangan sebut aku Su-Kongcu putera Jaksa Su di Kotaraja. Setelah mengeluarkan ancaman ini, dia lalu masuk ke dalam rumah bersama Cia-Ma.
Para pemuda lainnya juga meninggalkan taman itu karena Bi Hwa tidak mau lagi bermain musik dan bernyanyi setelah terjadi peristiwa itu. Kini para pemuda itu mengabarkan bahwa Siang Bi Hwa yang cantik jelita dan pandai bermain musik dan bernyanyi itu ternyata juga pandai bermain silat. Berita ini tentu saja makin lama menjadi semakin besar sehingga akhirnya dikabarkan orang bahwa Siang Bi Hwa yang cantik jelita itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali! Akan tetapi diam-diam Cia-Ma menjadi khawatir sekali atas kejadian dalam taman itu. Ancaman Su Kan Lok selalu terngiang dalam telinganya. Pemuda itu adalah putera seorang jaksa yang berkuasa di Kotaraja. Bagaimana kalau pemuda itu melaksanakan ancamannya? Apa yang akan terjadi? Melihat kegelisahan Cia-Ma, Bi Hwa menghIburnya.
?Ibu, harap jangan terlalu cemas. Kurasa ancaman pemuda tolol itu hanya gertak sambal belaka. Andaikata dia benar-benar hendak mempergunakan kekerasan, perlu apa kita takut? Bukankah Ibu mempunyai banyak kenalan para pemuda bangsawan yang Ayahnya memiliki kedudukan yang
tinggi? Ibu dapat minta pertolongan mereka agar melindungi kita dari ancaman siapa saja.? DihIbur demikian oleh Bi Hwa, akhirnya Cia-Ma menjadi tenang kembali dan behar saja. Banyak pemuda bangsawan menyatakan kesediaan mereka untuk melindungi Cia-Ma dan Siang Bi Hwa dari ancaman Su Kan Lok.
?Sin Cu, kini sudah tiba waktunya bagimu untuk pergi merantau dan mencari orang tuamu. Semua ilmu yang kukuasai telah kuajarkan kepadamu, juga engkau telah mendapatkan ilmu bermain dalam air dari Gurumu Can Kui. Karena itu, engkau telah memperoleh bekal ilmu kepandaian yang cukup untuk membela dirimu sendiri. Sekarang tiba saatnya bagimu untuk mempergunakan semua ilmu yang telah Kau pelajari dengan susah pAyah itu untuk menolong orang orang yang lemah tertindas dan menentang orang-orang yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kekuasaan dan kekuatannya. Juga engkau harus mencari keterangan tentang orang tuamu.?
?Suhu (Guru), Teecu (Murid) akan selalu menaati semua perintah dan petunjuk Suhu. Akan tetapi bagaimana Teecu dapat meninggalkan Suhu dengan hati tenang? Suhu kini telah berusia lanjut, Suhu memerlukan pelayanan Teecu. Kalau Teecu pergi meninggalkan Suhu, lalu siapa yang akan melayani Suhu? Teecu tidak tega meninggalkan Suhu hidup seorang diri.?
?Ha-ha-ha, senang hatiku mendengar suara hatimu itu, Sin Cu. Itu tandanya bahwa engkau memiliki perasaan kasih terhadap diriku yang sudah tua ini dan perasaanmu itu sudah cukup membahagiakan hatiku. akan tetapi jangan engkau khawatir tentang diriku, Sin Cu. Sudah sejak puluhan tahun yang lalu aku hidup seorang diri, merantau ke mana saja hati dan kakiku membawaku.Jangan memusingkanku, yang penting engkau harus mencari kedua orang tuamu.
?Baik, Suhu. Teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu. Akan tetapi, dapatkah Suhu menceritakan lebih jelas tentang orang tuaku itu?? Bu Beng Siauwjin menggeleng kepalanya.
?Ketika aku menemukannu, engkau baru berusia sekitar tiga tahun dan dari mulutmu aku hanya mendapat keterangan bahwa Ayahmu bernama Wong Cin dan ketika itu dengan ketakutan engkau menyebut-nyebut tentang perahu, lautan dan orang jahat. Engkau belum dapat menceritakan apa yang telah terjadi menimpa dirimu dan orang tuamu. Aku sudah berusaha mencari di sekitar tempat aku menemukanmu, untuk mencari orang bernama Wong Cin. Tiga bulan lamanya aku mencari, namun sia-sia belaka. Tidak ada orang yang mengenal nama Wong Cin sehingga aku lalu menghentikan pencarianku dan membawamu pergi merantau, Nah, sekarang engkau lah yang harus mencari Ayahmu itu.?
?Akan tetapi, ke mana Teecu harus mencari, Suhu?? tanya Sin Cu dengan sedih dan bingung.
(Lanjut ke Jilid 10) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10 ?Engkau merantaulah dan cari di mana saja. Kalau Thian (Tuhan) menghendaki, tentu engkau akan dapat bertemu dengan orang tuamu. Dan jangan lupa, engkau telah mewarisi Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) dari mendiang Kwee-Ciangkun (Panglima Kwee). Karena'itu, pergilah engkau ke Kotaraja dan teruskan perjuangan Kwee-Ciangkun, yaitu melindungi Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin yang murtad dan sewenang-wenang. Selain itu, engkau pun harus bersikap dan bertindak seperti seorang pendekar sejati agar tidak percuma selama belasan tahun aku mendidikmu.?
?Teecu mengerti dan akan mengingat semua petuah yang telah teecu terima dari Suhu.? Demikianlah, walaupun hatinya merasa kasihan kepada Suhunya yang sudah tua, dengan hati terharu Sin Cu meninggalkan Bu Beng Siauwjin untuk melakukan perjalanan merantau.
Gurunya yang amat mencintainya seperti kepada anak kandung sendiri telah menyerahkan simpanannya, yaitu sekantung berisi emas dan perak untuk bekal dalam perjalanan. Dengan menggendong buntalan pakaian dari kain berwarna kuning dimana di dalamnya tersimpan pula Pek-Liong-Kiam dan kantung uang, dia berjalan dengan cepat meninggalkan pantai laut timur menuju ke barat. Wong Sin Cu kini telah berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya sedang saja dan sama sekali tidak membayangkan bahwa tubuh itu mengandung kekuatan dan tenaga yang dahsyat. Wajahnya berbentuk bulat telur, rambutnya hitam gemuk, digelung dan diikat ke atas dengan tali Sutera putih. Alisnya hitam tebal berbentuk golok dan sepasang matanya mencorong tajam namun sinar mata itu lembut.
Hidungnya mancung dan mulutnya kecil selalu terhias senyum penuh kesabaran dan keramahan. Kulitnya putih dan wajahnya mengandung warna kemerahan menandakan bahwa kesehatannya memang baik sekali. Ketika dia sudah jauh meninggalkan pantai laut dan memasuki daerah yang berhutan dan berbukit, Sin Cu mulai mempergunakan ilmu berlari cepat dan tubuhnya melesat dengan amat cepatnya seperti terbang. Begitu meninggalkan pantai laut timur, Sin Cu sudah mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan menuju ke Kotaraja karena dia tidak tahu tempat lain mana yang harus dikunjunginya untuk mencari Ayah Ibunya. Dia tidak tahu dari mana Ayah Ibunya berasal. Dia akan pergi ke Kotaraja untuk langsung menghambakan diri kepada Kaisar dan menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin yang lalim.
Dan dalam perjalanan menuju Kotaraja itu, di sepanjang perjalanan dia akan bertanya-tanya mencari keterangan tentang seorang bernama Wong Cin. Di setiap dusun dan kota yang dilaluihya, Sin Cu tentu berhenti dan bermalam satu dua hari. Kesempatan itu dia pergunakan untuk mencari keterangan tentang Ayahnya yang bernama Wong Cin. Akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenal orang bernama Wong Cin. Pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun bernama Tong-Sin-Bun. Seperti biasa, dia memasuki dusun itu dan tinggal mondok dalam rumah seorang petani tua yang hanya tinggal berdua dengan isterinya. Mereka adalah keluarga miskin dan mereka girang dapat menerima Sin Cu sebagai tamunya karena Sin Cu sanggup membayar sewa kamarnya untuk semalam. Dan di tempat ini Sin Cu akhirnya mendapat keterangan tentang Ayahnya!
?Wong Cin? Ah, tentu saja kami mengenal nama itu! Siapa yang tidak mengenalnya? Orang seluruh dusun Tong-Sin-Bun ini tentu mengenalnya karena Wong Cin adalah Wong-Chungcu (Kepala Dusun Wong).? Berdebar rasa jantung Sin Cu mendengar keterangan itu. Ayahnya seorang kepala dusun?
?Dia-dia kepala dusun di sini, Paman?? Tiba-tiba sikap petani itu berubah, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan rasa tidak suka ketika dia menatap wajah Sin Cu.
?Benar, dia kepala dusun di sini dan kalau engkau merupakan sanak keluarga atau sahabatnya, maafkan kami, terpaksa kami tidak dapat menerimamu bermalam di gubuk kami ini!? Tentu saja Sin Cu menjadi kaget bukan main.
?Akan tetapi, kenapa, Paman??
?Jawab dulu, orang muda. Siapakah engkau ini? Apakah masih ada hubungan sanak keluarga ataukah sahabat dari Wong Chungcu?? Untuk memancing keterangan orang itu, Sin Cu menggeleng kepala. Apa lagi, dia belum yakin benar bahwa kepala dusun Wong Cin itulah Ayah yang dia cari-cari.
?Bukan apa-apanya, Paman. Akan tetapi mengapa Paman tampaknya membEnci kepala dusun itu? Orang macam apakah dia??
?Orang macam apa? Semua orang di dusun ini tahu belaka orang macam apa adanya Kepala Dusun Wong Cin. Dia sewenang-wenang mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya untuk memaksakan kehendak, memeras rakyat di dusun ini, menerima sogokan dari orang kaya dan menekan yang miskin, menyita sawah ladang dengan alasan untuk membayar pajak, bahkan suka merampas anak gadis dan isteri orang! Dia mata keranjang dan jahat sekali! Itulah macamnya Wong Cin yang Kau tanyakan!? in Cu terkejut bukan main. Untung cuaca mulai gelap di senja hari itu dan penerangan dalam rumah itu belum dinyalakan sehingga tuan rumah dan isterinya tidak melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali.
?Ah, begitukah, Paman? Berapakah usianya??
?Hemm, usianya tidak berselisih banyak denganku, sedikitnya tentu sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi penampilannya seperti orang muda saja.?
?Dan isterinya? Anak-anaknya??
?Isterinya ada lima orang, akan tetapi malam ini akan bertambah lagi seorang! Dia tidak mempunyai anak. Agaknya orang seperti itu memang dikutuk oleh Thian sehingga tidak dikaruniai seorang anakpun,? kata petani itu dengan nada suara penuh kebEncian.
?Agaknya Paman amat membEncinya. Mengapa, Paman? Apa yang telah dia lakukan terhadap Paman sekeluarga?? Tiba-tiba saja isteri petani itu menangis sedih dan petani itu sendiri mengepal tangan dan menghela napas panjang.
?Setahun yang lalu, kepala dusun terkutuk itu ingin mengambil anak gadis kami sebagai isteri muda. Anak kami tidak mau, terpaksa kamipun tidak dapat memaksanya. Akan tetapi Lurah Wong membawa jagoan-jagoannya datang ke sini dan memaksa anak gadis kami untuk pergi ke rumahnya. Mereka menangkap dan menyeret anak kami tanpa kami dapat berbuat sesuatu. Ketika kami mencoba untuk mencegahnya, kami bahkan dipukuli para jagoan itu. Dan pada keesokan harinya, kami mendapatkan anak gadis kami telah mati menggantung diri di rumah Lurah Wong yang mengirim kembali anak kami yang telah menjadi mayat itu kepada kami. Agaknya anak gadis kami itu membunuh diri setelah dinodai oleh si keparat itu.?
?Terkutuk...!? Sin Cu berseru dan hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk! Ayahnya, Ayah kandungnya, melakukan kejahatan seperti itu? Akan tetapi dia teringat akan keterangan petani itu bahwa etani itu bahwa Lurah Wong Cin ini tidak mempunyai anak!
?Paman?, Benarkah dia tidak mempunyai anak,?? tanya Sin Cu.
?Sepanjang pengetahuan kami, dia tidak mempunyai anak. Entah kalau di luaran dia rnempunyai anak, Siapa tahu tentang rahasia kehidupan orang semacam itu!?
?Sudahlah, suamiku. Jangan bicara lebih banyak tentang manusia iblis itu. aku muak mendengarnya!? kata isteri petani itu sambil menghapus air matanya. Sin Cu tidak dapat lagi menahan gelora hatinya.
?Paman, di mana rumah Lurah Wong Cin itu??
?Kau... Kau mau apakah, orang muda??
?Aku mau menghajarnya, kalau benar dia sejahat seperti yang Paman ceritakan tadi.?
?Ah, hati-hatilah, orang muda. Dia mempunyai banyak jagoan. Ada belasan orang tukang pukulnya yang galak-galak dan tangguh.?
?Aku tidak takut, Paman. Tunjukkan di mana rumahnya??
?Mudah saja,mendapatkan rumahnya,Kau dengar suara musik itu? Rumahnya berada di sebelah barat itu. Dia sedang mengadakan pesta pernikahannya dengan isterinya yang ke enam pada malam ini.
dia sedang mengadakan pesta perayaan itu.? Petani itu berhenti bicara karena Sin Cu sudah mengambil pedangnya dari buntalan, kemudian menggantung pedang itu di punggungnya dan sekali dia berkelebat, dia telah keluar dari dalam rumah itu, diikuti pandang mata terbelalak dari petani dan isterinya.
Dengan hati panas Sin Cu berjalan cepat menuju ke barat dan memang mudah mencari rumah yang sedang berpesta itu. diluar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang dusun dan kanak-kanak yang menonton perayaan. Mereka tidak diundang, maka hanya dapat nonton orang berpesta di lapangan depan. Sin Cu menyelinap di antara para penonton. Dari luar dia dapat melihat jelas kedalam.
Para tamu, tidak banyak jumlahnya, kurang lebih seratus orang, duduk di ruangan depan. Agak ke dalam duduklah sepasang mempelai. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak bongkok dengan kumis melintang, berpakain mewah dan tersenyum-senyum, di samping seorang wanita muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, cantik dalam pakaian pengantin yang kemerahan, akan tetapi wanita itu menunduk dan menangis. Para pemain musik berada di sebelah kiri dan tak jauh dari tempat duduk pengantin, terdapat belasan orang yang tampak bersikap gagah dan congkak, dengan senjata golok tergantung di punggung masing-masing. Itulah agaknya para jagoan yang menjadi tukang pukul Lurah Wong Cin. Membayangkan laki-laki bongkok yang menyeringai senang itu sebagai Ayahnya, Sin Cu menggigit Bibirnya karena kembali jantungnya seperti ditusuk rasanya.
Dia tidak dapat menahan diri lagi dan cepat dia melangkah memasuki pekarangan dan ruangan depan. Melihat masuknya seorang pemuda, para petugas yang menyambut tamu mengira bahwa Sin Cu seorang tamu yang terlambat datang. Tiga orang petugas sudah bangkit menyambut, akan tetapi dengan kedua tangannya, Sin Cu mendorong mereka minggir dan dengan langkah lebar dia terus menghampiri ke dalam, ke arah dua pengantin itu duduk. Ketika para jagoan melihat seorang pemuda yang membawa pedang di punggungnya menghampiri tempat duduk pengantin, mereka serentak bangkit berdiri dan menghadang. Jumlah mereka ada lima belas orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang yang berjenggot panjang, agaknya pernimpin para jagoan itu, menghadapi Sin Cu dan menegur dengan suara galak.
?Kalau anda seorang tamu, persilakan duduk di ruangan depan bersama para tamu lainnya.? Sin Cu bersikap tenang dan berkata,
?Aku ingin memberi selamat dan bicara dengan pengantin pria. Apakah tidak boleh aku memberi selamat?? Para tukang pukul itu menjadi ragu dan pada saat itu, pengantin pria yang mendengarkan ucapan itu berkata,
?Minggirlah kalian dan biarkan orang muda itu bicara padaku.!? Wong Cin, pengantin itu, berada dalam suasana gembira memperoleh isteri ke enam yang masih muda dan cantik. Mendengar daa tamu hendak memberi ucapan selamat, tentu saja dia siap menyambutnya. Para tukang pukul itu minggir akan tetapi mereka bersiap siaga menjaga keamanan di situ. Sin Cu melangkah maju dan berdiri dalam jarak tiga meter dari sepasang mempelai, terhalang meja. Dia menatap wajah mempelai pria itu dengan pandang mata penuh selidik, sebaliknya Wong Cin juga memandang pernuda itu dengan sinar mata heran karena dia merasa tidak mengenal tamu ini.
?Apakah engkau yang bernama Wong Cin?? Tanya Sin Cu dan suaranya agak gemetar karena tegang. Tentu saja Wong Cin semakin heran mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang aneh. Kalau pemuda ini datang sebagai tarnu, mustahil tidak tahu bahwa dia adalah Wong Cin, pengantinnya.
?Benar, aku Wong Cin yang hari ini merayakan pernikahanku. Engkau siapakah, orang muda?? Kini dengan suara mengandung penuh perasaan dan teguran Sin Cu bertanya,
?Kalau engkau Wong Cin, apakah engkau tidak ingat kepada isterimu Su Leng Ci dan anakmu Wong Sin Cu?? Sambil berkata demikian, pandang matanya demikian tajam seolah hendak menjenguk isi hati pria yang berpakaian pengantin itu. Wong Cin mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak, heran dan marah.
?Omongan apa yang Kau ucapkan ini? Aku tidak mengenal nama-nama itu. Apa maksudmu dengan mengatakan mereka itu isteri dan anakku? Aku tidak mempunyai isteri dan anak itu!? Legalah hati Sin Cu, seolah-olah batu berat yang menindih hatinya terangkat. Dia tersenyum gembira.
?Sukurlah kalau engkau bukan Wong Cin yang kucari, karena Wong Cin yang kucari adalah seorang laki-laki yang bijaksana dan berbudi baik, bukan seperti engkau ini lurah yang korup dan sewenang-wenang, lurah yang mata keranjang dan hidung belang!? Tentu saja Lurah Wong Cin terkejut dan marah bukan main mendengar ucapan itu. Juga mereka yang mendengar ucapan Sin Cu yang lantang itu terkejut. Lima belas orang tukang pukul itupun sudah bergerak ke depan mengepung Sin Cu dengan sikap mengancam. Pengantin pria itu bangkit dari tempat duduknya dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Cu dia berteriak kepada para tukang pukulnya,
?Tangkap bocah lancang mulut dah kurang ajar itu! Pukul dan hajar dia!!? lima belas orang jagoan itu lalu bergerak dan menerjang maju, menyerang Sin Cu dengan tangan kosong karena mereka memandang rendah pemuda itu, apa lagi karena mereka berjumlah banyak. Akan tetap keadaan menjadi gempar ketika empat orang pertama yang menyerang paling depan tiba-tiba saja berpelantingan roboh terkena sambaran kedua tangan Sin Cu. Sebelas orang jagoan lain menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat tangguh. Mereka berteriak teriak dan menyerang bagaikan serombongan semut menyerang seekor jengkerik. Sin Cu menyambut mereka dengan gerakan tubuhnya yang lincah karena dia mempergunakan ilmu langkah Chit-Seng Sin-Po (Langka Ajaib Tujuh Bintang).
Sehingga semua serangan itu luput dan begitu kaki tangannya bergerak, para pengeroyok itu berpelantingan seperti disambar petir! Dalam waktu beberapa menit saja, semua jagoan telah berpelatingan roboh! Tentu saja mereka menjadi terkejut dan penasaran, akan tetapi juga kini mereka maklum bahwa Sin Cu adalah seorang pemuda yang tangguh. Maka, tanpa dikomando lagi mereka bangkit sambil mencabut golok mereka dan hujan senjata menyambar-nyambar kearah tubuh Sin Cu. Akan tetapi, dengan lincah tubuh pemuda itu yang memainkan Chit-Seng Sin-Po melangkah kesana sini dan semua sambaran golok itu luput. Ketika Sin Cu menggerakkan tangan kakinya, terdengar teriakan kesakitan dan empat orang pengeroyok roboh, golok mereka terlepas dari tangan. Sin Cu menyambar dan' menangkap sebatang golok, kemudian dengan golok rampasan itu dia mengamuk.
?Kalian biasa menggunakan kekerasan berbuat kejam kepada rakyat dusun, kini rasakan hajaranku!? Golok di tangannya berkelebatan dan terdengar jerit-jerit kesakitan, darah muncrat dan tubuh yang roboh lalu merintih-rintih tidak mampu bangkit mengeroyok kembali. Golok di tangan Sin Cu bergerak terus sampai lima belas orang jagoan itu roboh semua dan menderita luka yang cukup berat. Ada yang lengannya terbacok, ada yang kakinya terluka, pundaknya dan cukup parah akan tetapi tidak membahayakan nyawa mereka. Tempat itu menjadi ternoda oleh darah yang mengucur dari luka di tubuh lima belas orang jagoan yang kini tidak berani bergerak lagi, hanya mengaduh-aduh sambil memegangi bagian tubuh yang terluka.
Melihat ini, para tamu lari berhamburan keluar dan meninggalikan tempat pesta itu. Wong Can sendiri ketika melihat betapa lima belas orang jagoan yang selama ini diandalkan sudah roboh semua dan menderita luka luka, menjadi terkejut dan ketakutan. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, dia bangkit lalu melarikan diri ke dalam. Akan tetapi baru tiga langkah dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangan dan Sin Cu sudah mencengkeram pundaknya. Wong Cin berteriak kesakitan dan ketika dia melihat hahwa yang mencengkeram pundaknya adalah pemuda yang mengamuk itu, yang masih memegang sebatang golok yang berlumuran darah, dia menjadi lemas dan tubuhnya terkulai dengan sendirinya, jatuh berlutut.
Ampun, Taihiap ampunkan saya Wong Cin meratap sambil menangis ketakutan. Sin Cu menempelkan golok rampasannya pada leher lurah itu da? menghardik
?Hayo katakan dengan sejujurnya? Bukankah engkau mmempunyal isteri bernama Su Leng Ci dan seorang putera bernama Wons Sin Cu.?? Dengan terkEncing kEncing saking takutnya merasa betapa golok yang dingin menempel ketat di lehernya, laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan berkata,
?Tidak. tidak saya tidak mengenal nama-nama itu.?
?Benarkah? Jangan bohong, kalau berbohong,golok ini akan memenggal batang lehermu,? bentak Sin Cu yang menghendaki kepastian bahwa orang yang menjemukan ini benar-benar bukan Ayah kandungnya.
?Saya tidak berani berbohong, Saya tak pernah mempunyai anak yang amat saya dambakan... saya tidak mengenal nama nama itu? Hati Sin Cu semakin lega. Kini dia merasa yakin bahwa laki-laki ini bukan Ayah kandungnya, hanya nama mereka saja kebetulan sama. Di dunia ini tentu banyak orang bermarga Wong dan bernama Cin seperti Ayahnya karena nama itu adalah nama umum.
Akan tetapi teringat akan cerita Kakek petani yang menjadi tuan rumahnya, dia marah sekali kepada lurah ini. Biarpun marganya sama dengan dia, berarti kalau diusut silsilahnya tentu masih ada hubungan keluarga jauh, dia tidak perduli. Siapa yang jahat, biarpun keluarga sendiri, harus ditentang dan dihajar! Tempat itu sudah sepi. Para tamu sudah lari semua, para penabuh musik juga sudah melarikan diri. Akan tetapi di luar pagar pekarangan, Sin Cu melihat masih banyak orang yang mengintai dan menonton. yang berada di ruangan yang terang benderang itu hanya dia dan sepasang pengantin,juga lima belas orang jagoan yang sudah menderita luka dan hanya berani duduk sambil memegangi anggauta tubuh yang terluka. Sin Cu mengerahkan Iwee-kang (tenaga dalam) dari pusar perutnya sehingga suaranya terdengar lantang dan dapat didengar pula oleh mereka yang nonton di luar pagar.
?Wong Cin, tahukah engkau akan dosa-dosamu?? Dia membentak sambil melirik kearah pengantin wanita yang tadi menunduk sambil menangis itu. Kini pengantin wanita itu masih menangis dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dengan tubuh gemetar dan ketakutan.
?Nona, jangan takut dan jawablah sejujurnya. Apakah nona suka menjadi isteri keenam Lurah Wong Cin ini?? Pengantin wanita itu tidak berani menjawab, hanya menggeleng kepala kuat-kuat tanda bahwa ia tidak suka.
?Jawablah, jangan takut. Kalau engkau tidak suka, bagaimana engkau dapat duduk di sini dalam pakaian pengantin??
?Saya... saya dipaksa, Ayah saya takut dipukuli dan akan dIbunuh kalau saya menolak menjadi isterinya,
Wong Cin kembali menekan goloknya pada leher Wong Cin.
?Nah, benarkah pengakuan gadis ini?? bentaknya. ?Jangan bohong, kalau bohong aku pasti akan memenggal lehermu.?
?Be... benar...? Lurah Wong Cin meratap.
?Bagus! Engkau seorang lurah yang sepatutnya melindungi penduduk dusun ini dan mengusahakan agar kehidupan mereka di sini aman tenteram. Akan tetapi sebaliknya engkau malah menjadi lurah yang korup dan menindas penduduk! Engkau mata keranjang, memaksa gadis-gadis menjadi isteri mudamu dan engkau mempergunakan tukang-tukang pukulmu untuk memaksakan kehendakmu dan menyiksa penduduk. Dosamu sudah bertumpuk dan engkau layak dipenggal lehermu!?
?Jangan bunuh saya... saya mempunyai lima orang isteri yang menjadi tanggungan saya... saya mohon ampun...? ratap laki-laki itu.
?Hemm, mudah saja mengampuni, akan tetapi engkau harus bersumpah, disaksikan semua orang itu. Hayo panggil mereka masuk ke sini untuk menjadi saksi!? Lurah Wong Cin lalu melambaikan tangan ke arah mereka yang nonton di luar sambil berteriak.
?Heii, kalian semua, Masuklah ke sini, jangan takut, ke sinilah!? Lurah itu berteriak menyuruh orang-orang itu agar jangan takut, untuk menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Mendengar panggilan ini, orang-orang yang menonton dari luar pagar lalu memasuki pekarangan itu dan berindap-indap masuk ke ruangan depan tempat para tamu tadi duduk. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan sebagian besar adalah penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Tentu saja mereka masih merasa ngeri dan takut-takut melihat Lurah Wong Cin dalam keadaan berlutut dan pemuda itu menempelkan golok yang berlumuran darah dileher itu, sementara itu, lima belas orang jagoan itu masih merintih-rintih kesakitan.
?Nah, sekarang bersumpahlah, disakskan semua orang bahwa mulai saat ini engkau akan menjadi seorang lurah yang baik dan bijaksana, tidak menindas penduduk dusun, tidak sewenang-wenang, dan tidak akan mengganggu anak gadis dan isteri orang? Karena takutnya, Lurah Wong Cin lalu berseru dengan suara yang cukup lantang dan gemetar,
?Saya bersumpah untuk menjadi lurah yang adil dan bijaksana, tidak menindas penduduk, tidak sewenang-wenang dan tidak mengganggu gadis dan isteri orang.
?Juga akan menolong penduduk yang kekurangan!? kata Sin Cu.
?Dan juga akan menolong penduduk yang kekurangan!? teriak lurah itu. Sekarang, bebaskan gadis ini dan suruh antar ia pulang ke rumah orang tuanyal? bentak lagi Sin Cu. Lurah Wong Cin lalu berteriak memanggil seorang yang masih Paman pengantin wanita dan yang tadi ikut mengantar wanita itu diboyong ke rumah Wong Cin.
?Cepat antarkan keponakanmu pulang!? Pengantin wanita menangis saking gembiranya. la melepaskan hiasan kepala dan membuangnya, lalu lari menghampiri Pamannya. Kemudian, dibimbing Pamannya, mereka berdua berlutut di depan Sin Cu.
?Terimakasih atas pertolongan Taihiap...? kata gadis itu sambil terisak.
?Sudahlah, tidak perlu berterimakasih, cepat pulanglah ke rumah orang tuamu,? kata Sin Cu dan dua orang itu lalu bangkit dan berjalan setengah berlari meninggalkan rumah lurah itu.
?Wong Cin, engkau telah bersumpah disaksikan oleh banyak warga dusunmu. Bagaimana kalau engkau melanggar sumpahmu?? bentak Sin Cu kepada lurah yang masih berlutut itu.
?Tidak, Taihiap, saya tidak akan melanggar! Kalau saya melanggar sumpah saya, biarlah saya tidak akan selamat! Tiba-tiba Sin Cu menggerakkan golok rampasannya. Wong Cin menjerit dan mengaduh sambil mendekap telinga kirinya yang sudah buntung dan bercucuran darah. Daun telinga kirinya telah terbabat buntung oleh golok di tangan Sin Cu Sekali ini aku hanya membuntungi telinga kirimu untuk peringatan. Akan tetapi kalau lain kali aku lewat di sini dan melihat engkau mengingkari sumpahmu bukan hanya sebelah telingamu lagi yang kubuntungi, melainkan lehermu!? Setelah berkata demikian, Sin Cu menggerakkan goloknya. Terdengar suara keras dan meja besa itu patah menjadi dua potong! Dia lalu melemparkan goloknya. Golok itu meluncur dan menancap di sebuah tihang sampai ke gagangnya!
Setelah melakukan itu, Sin Cu lalu meninggalkan lurah yang masih berlutut dan mengaduh-aduh dengan tubuh menggigi? itu. Sernua orang bubaran meninggalkan rumah Lurah Wong Cin dan tentu saja peristiwa itu menjadi bahan percakapan penduduk dusun Tong-Sin-Bun. Mereka membicarakan peristiwa itu dengan hati girang, penuh harapan bahwa semenjak saat itu sang lurah akan benar-benar menjadi lurah yang adil dan dapat dijadikan pengayoman penduduk dusun itu. Sin Cu kembali ke rumah petani yang menyambutnya dengan penuh hormat karena petani ini tadi juga ikut menonton peristiwa yang terjadi di rumah Lurah Wong Cin. Taihiap, kami semua senang sekali dan amat berterimakasih kepada Taihiap akan pertolongan Taihiap kepada kami dengan menundukkan Lurah Wong!? kata petani itu bersama isterinya sambil memberi hormat.
?Sudahlah, Paman dan Bibi. Jangan sebut-sebut lagi urusan itu. Aku merasa gerah dan ingin mandi. Apakah ada persediaan air jernih di sini?? kata Sin Cu yang kegerahan sambil membuka bajunya. Karena gerah dia membuka baju dan lupa, akan tanda rajah naga di dadanya. Baru dia menyadari hal ini ketika suami isteri itu memandang ke dadanya dengan mata terbelalak. Suami isteri petani sederhana itu tercengang melihat gambar seekor naga putih di dada pemuda itu, gambar seekor naga putih yang seolah hidup dan bergerak-gerak di atas dada yang bidang itu.
?Hanya rajah gambar naga,? kata Sin Cu mencela keheranan orang dan dia menggunakan tangan kiri menutup gambar itu.
?Paman, adakah air di sini untuk mandi??
?Oh... ada... ada, Taihiap. Di belakang tersedia cukup air. Silakan...? Petani itu membawa sebuah lampu gantung dan mengantar Sin Cu ke belakang, di mana terdapat sebuah kamar mandi sederhana, akan tetapi airnya memang cukup banyak. Sehabis mandi dan berganti pakaian Sin Cu memberi uang kepada petani itu untuk membeli hidangan untuk makan malam, Malam itu dia tidur nyenyak dalam sebuah kamar sederhana, di atas sebuah pembaringan bambu yang sederhana pula. Namun, dia dapat tidur dengan pulas. Perbuatannya terhadap Lurah Wong Cin semalam agaknya mendatangkan kepuasan dalam hatinya, juga menghilangkan kegelisahannya ketika dia mengira bahwa lurah yang menyeleweng itu adalah Ayah kandungnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah pergi setelah meninggalkan sepotong uang perak untuk suami isteri petani itu.
Sin Cu melangkah perlahan memasuki hutan, mengikuti jalan mendaki lereng melalui hutan itu. Pagi itu amat indah dan cerah. Sinar matahari pagi menerobos di antara celah-celah daun, menimbulkan berkas-berkas sinar yang mengusir sisa-sisa halimun dari dalam hutan. Kicau burung menghidupkan hutan itu dan karena pada waktu itu musim semi telah menghijaukan pohon-pohonan bahkan di sana sini sudah tampak bunga menghias pohon-pohon itu, maka suasananya menjadi amat cerah dan menggembirakan hati. Biarpun hutan itu sepi manusia dan dia hanya melangkah seorang diri, namun Sin Cu tidak merasa kesepian. Burung-burung yang berkicau sambil berlompatan dari ranting ke ranting, kelinci yang berlari lucu dari semak ke semak lain, semua itu seolah menemaninya dan membuat dia merasa tidak kesepian.
Susah senang, puas kecewa, iri, marah, dengki, takut, bEnci, adalah keadaan hati akal pikiran yang diumbang-ambingkan dan dipermainkan oleh nafsu-nafsu daya rendah. Hati akal pikiran yang dikuasai oleh nafsu daya rendah membentuk ?Si Aku? yang menjadi pusat di mana nafsu berulah. Segala sesuatu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan si aku dan kalau kesenangan tidak terdapat, maka menjadilah kesusahan,kalau kepuasan tidak terdapat maka terdapatlah kekecewaan yang mendatangkan kemarahan dan kebEncian, Kalau pikiran hening, di waktu naisu daya rendah tidak bekerja, seperti keadaan Sin Cu pada waktu melangkah memasuki hutan di pagi hari itu, akan terasalah keadaan yang hening, indah dan mulia dan dalarn keadaan seperti itu, maka terasalah apa kebahagiaan itu.
Kebahagiaan yang berada di atas suka duka, berada di atas semua perasaan jasmaniah. Inilah kiranya yang menjadi sebab dan pendorong mengapa para bijaksana di jaman dahulu banyak yang pergi ke tempat-tempat yang indah dan sunyi, di mana mereka dapat menikmati kebahagiaan itu. Namun, mereka salah duga. Kebahagiaan yang sudah dicari-cari berubah menjadi kesenangan dan seperti senua kesenangan, keindahan alam itupun akhirnya membosankan! Kebahagiaan tidak dapat dicari. Yang dapat dicari adalah kesenangan, dan di mana ada kesenangan, pasti ada pula kesusahan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan jiwa yang terbebas dari pada kotoran nafsu-nafsu daya rendah, dan kebebasan jiwa dari kotoran nafsu ini tidak dapat diusahakan melalui hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu.
Hahya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan jiwa dari pengaruh nafsu daya rendah yang merupakan kotoran yang menutupi jiwa sehingga sinar jiwa tidak dapat menembus. Sin Cu melangkah perlahan-lahan, merasa dirinya ditelan keindahan alam sekelilingnya, merasa dirinya menjadi bagian dari keindahan itu, bukan sebagai penonton melainkan berada di dalamnya! Tak dapat digambarkan keadaan sebahagia itu. Bahkan setiap tarikan nafas, setiap kali hawa udara yang jernih memasuki tubuh, terasa nyaman dan nikmat yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata! Mata memandang, telinga mendengar, hidung mEncium, sesuatu yang lebih dari pada keindahan, bukan keindahan yang mendatangkan kesenangan, melainkan keindahan, kemerduan dan keharuman yang seolah sudah menyatu dengan diri jiwa raga.
Tak dapat digambarkan dengan kata-kata keindahan itu, kebesaran itu, kebenaran dan kenyataan itu. Sin Cu merasa dirinya seolah melayang layang dalam dunia yang lain sama sekali dari pada yang biasa dilihatnya. Tanpa disengaja, dia menarik napas panjang sekali, seolah olah udara yang disedotnya memasuki seluruh tubuhnya sampai dia seperti terisak dan pada saat itu dia menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang mEnciptakan semua itu. Jiwanya seperti berdoa dengan sendirinya, memuji kebesaran Tuhan. Dan pada saat itu, segala yang dilihat dan didengarnya, bahkan yang diciumnya, baginya seolah semua itu memuji kebesaran Tuhan. Burung berkicau, kupu yang beterbangan, daun dan bunga yang bergoyang-goyang dihembus angin semilir, keharuman tanah rumput dan bunga yang memasuki pEnciumannya, semua itu ditujukan untuk mengagungkan dan memuja kebesaran Tuhan.
?Tolooonngg... ahh, tolooong...? Tiba-tiba terdengar jerit melengking memecahkan suasana, menyeret Sin Cu kembali ke alam yang keras.
Suara wanita minta tolong, pikirnya. Ada orang membutuhkan pertolongannya! Ada orang berada dalam ancaman bahaya! Urat syarafnya yang sudah peka sekali itu tiba-tiba bekerja, tubuhnya melompat dan berlari cepat ke bagian depan, kearah datangnya suara jeritan tadi, Setelah melewati sebuah tikungan jalan dalam hutan itu, Sin Cu melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan dan seorang pria berusia tiga puluh lima tahun sedang dipukuli seorang laki-laki tinggi besar. Yang membuat hatinya marah adalah ketika dia melihat dua orang wanita, seorang berusia tiga puluh tahun lebih dan yang kedua berusia kurang lebih empat belas tahun, sedang meronta-ronta dalam pondongan dua orang laki-laki lain. Sedangkan dua orang lagi yang tampak bengis dan kasar tertawa tawa dalam kereta. Perampok, pikirnya marah. Sin Cu melompat dekat.
?Lepaskan wanita-wanita itu!? bentaknya dan begitu dia menggerakkan tangan dua kali, laki-laki yang meringkus wanita-wanita itu terpelanting dan roboh sehingga korban mereka terlepas. Kemudian Sin Cu menyerang laki-laki yang memukuli pria berpakaian indah seperti bangsawan itu. Sekali pukul saja laki-laki tinggi besar itupun terpelanting roboh. Dua orang kawannya yang berada dalam kereta menjadi marah sekali. mereka berlompatan turun dan mencabut golok yang tergantung di punggung mereka.
?Hei... Dari mana datangnya bocah setan yang berani menentang kami!? bentak seoang dari mereka yang berkumis tebal dan agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang itu. Dia bukan hanya membentak akan tetapi juga langsung menyerang dengan goloknya, diikuti temannya yang juga mengayunkan golok menyerang Sin Cu. Biarpun dua orang itu sudah mengerahkan tenaga dan menyerang dengan gerakan secepat mungkin, namun gerakan mereka itu bagi Sin Cu masih terlampau lamban. Dengan amat mudahnya pemuda perkasa itu mengelak, kemudian dua kali berturut-turut kakinya menendang.
?Dukk...!! Dess...!? kedua orang itu berseru kaget dan kesakitan, tubuh mereka terlempar sampai empat lima meter dan terbanting jatuh berdebuk di atas tanah, golok mereka terlepas dari pegangan. Barulah terbuka mata lima orang gerombolan perampok itu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai sekali, yang dapat merobohkan mereka dengan sekali gerakan. Nyali mereka menjadi kecil dan pemimpin mereka yang berkumis tebal itu lalu merangkak bangun dan melarikan diri seperti dikejar setan. Dengan tubuh babak belur dan muka benjol-benjol karena dipukuli penjahat tadi pria yang berpakaian bangsawan itu terhuyung menghampiri Sin Cu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya.
?Terimakasih kami ucapkan atas pertolongan Taihiap.?
?Tidak perlu berterimakasih kepada saya karena apa yang saya lakukan hanyalah sekedar memenuhi kewajiban saya. Lima orang perampok itu adalah orang-orang jahat yang wajib saya tentang.?
Tiba-tiba gadis remaja yang tadi bersama Ibunya diringkus dua orang penjahat, mendekati Sin Cu dan berkata penuh dengan nada teguran.
?Engkau tadi mampu mengalahkan mereka, mengapa tidak Kau bunuh saja lima orang jahat tadi? Mengapa engkau membiarkan mereka melarikan diri??
?Loan Cin! Jangan berkata begitu!? tegur Ayah gadis itu yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Sin. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Sin, isterinya dan anak perempuannya telah melarikan diri keluar dari Kotaraja setelah Song Bu melepaskannya, tidak membunuhnya karena pemuda ini merasa kagum dan kasihan kepada puteri Pangeran yang lincah dan pemberani. Berhari-hari Pangeran Ceng Sin melakukan perjalanan dengan kereta bersama isteri dan putrinya dan pada pagi hari itu, dia dihadang oleh lima perampok yang hampir saja mencelakai keluarganya.
?Taihiap, maafkan kelancangan anak perempuan kami. Perkenalkan, saya Ceng Sin. Ini adalah isteri saya, Ceng Hujin (Nyonya Ceng) dan ini puteri kami bernama Ceng Loan Cin. Bolehkah kami mengetahui nama in-kong (tuan penolong) yang terhormat?? Melihat sikap dan mendengar ucapan yang teratur itu tahulah Sin Cu bahwa dia berhadapan dengan seorang terpelajar dan melihat pakaian keluarga itupun dia dapat menduga bahwa mereka tentu keluarga bangsawan, maka dia lalu memberi hormat.
?Saya bernama Wong Sin Cu, seorang perantau yang kebetulan lewat di tempat ini. Akan tetapi Taijin (pembesar) sekeluarga mengapa melakukan perjalanan di tempat sunyi ini tanpa pengawal??
?Ah, jangan menyebut saya Taijin!? kata Pangeran Ceng Sin yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya. Dia adalah seorang pelarian yang mungkin menjadi buruan orang-orangnya Thaikam Liu Cin, maka perlu dia menyembunyikan keadaan dirinya, ?Kami hanyalah keluarga pedagang biasa. Kami datang dari Kotaraja dan kami ingin mencari tempat tinggal yang baru di sebuah dusun yang aman tenteram.?
?Hemm, mengapa, Paman Ceng Sin? Mengapa Paman sekeluarga meninggalkan Kotaraja dan hendak mencari tempat tinggal baru di dusun yang aman tenteram? Apakah di Kotaraja tidak aman tenteram??
?Di Kotaraja banyak kekacauan. Banyak pembesar yang bertindak sewenang wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaannya sehingga kami merasa tidak tenteram tinggal di sana. Tidak kami sangka bahwa di tempat sesunyi ini muncul pula penjahat-penjahat.?
?Paman, di manapun tentu terdapat orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat. Sekarang Paman sekeluarga hendak ke mana??
?Dari jauh tadi kami melihat bukit ini amat subur dan menarik, Kami hendak melanjutkan perjalanan mencari sebuah dusun di daerah pegunungan ini, kalau cocok kami akan tinggal di dusun daerah ini.?
?Kebetulan sayapun hendak melalui jalan ini. Biarlah saya menemani Paman agar dapat mencegah kalau para perampok tadi melakukan penghadangan lagi.?
?Ah, terimakasih, Wong-Taihiap. Engkau seorang pemuda gagah perkasa yang budiman. Mari, mari naik kereta dan duduk didepan bersama saya. Kami merasa aman melakukan perjalanan bersamamu,? kata Pangeran Ceng Sin dengan girang sekali. Ceng Loan Cin menjenguk dari dalam kereta dan berkata kepada Ayahnya,
?Ayah, akupun ingin belajar silat agar aku dapat membasmi para penjahat seperti Kakak Wong Sin Cu ini!?
?Hemm, enak saja engkau bicara! Apa Kau kira mudah menguasai ilmu silat seperti yang dikuasai oleh Wong-Taihiap ini?? Pangeran Ceng Sin berkata sambil tertawa.
?Mengapa tidak, Paman Ceng Sin? Kulihat adik Ceng Loan Cin ini memiliki keberanian dan ketabahan. Kalau ia mendapatkan seorang Guru yang baik dan belajar dengan penuh semangat, aku yakin la dapat menjadi seorang yang berkepandaian lebih tinggi dari pada saya.?
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sin Cu merasa suka dan kagum kepada Ceng Sin yang ternyata memiliki pengetahuan yang luas dan sikapnya amat ramah dan baik. Ketika kereta mereka tiba di sebuah lereng di luar sebuah dusun yang berpagar bambu, Ceng Sin menahan kudanya sehingga berhenti. Dia menoleh ke kanan dan matanya terbelalak kagum. Sin Cu juga memandang ke arah itu dan diapun kagum. Di sana, di lereng bukit tampak sebuah bangunan kuno yang indah sekali. Bangunan itu merupakan sebuah Kuil, Atapnya berbentuk bunga teratai dan ada pula menaranya yang, bertingkat sebelas, Melihat kapur dan cat bangunan itu bersih dan baru, sehingga tampak indah sekali, dapat diduga bahwa Kuil itu terpelihara baik baik. Juga dari situ dapat tampak ada taman bunga di sekeliling Kuil.
?Hemm, sebuah Kuil yang indah sekali,? kata Sin Cu.
?Tapi kenapa atapnya berbentuk bunga teratai??
?Engkau belum tahu, Wong-Taihiap? Bunga teratai itu melambangkan bahwa Kuil itu adalah sebuah Kwan-Im-Bio (Kuil di mana dipuja Kwan Im Pauwsat), tentu penghuninya para Nikouw (Pendeta wanita),? kata Ceng Sin menerangkan.
Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara hiruk pikuk dan ketika mereka menoleh ke kiri, mereka terkejut sekali melihat belasan orang berlari-lari menghampiri mereka. Melihat betapa belasan orang itu semua memegang senjata golok telanjang yang diacung-acungkan dengan sikap mengancam, tahulah Sin Cu bahwa mereka adalah gerombolan orang jahat. Dia segera dapat melihat bahwa di antara mereka terdapat lima orang perampok tadi. Sin Cu menjadi marah dan cepat dia melompat turun dari kereta dan berdiri menghadang belasan orang yang datang sambil berteriak-teriak itu. Setelah tiba di dekat kereta dan melihat Sin Cu berdiri dengan tegak dan tenang, kepala gerombolan lima orang yang berkumis lebat itu lalu menuding ke arah pemuda itu dan berkata,
?Dialah orangnya. Dari gerombolan belasan orang itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan keadaannya sungguh berbeda dari belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu. Orang ini berpakaian seperti seorang Tosu (Pendeta Agama To), Rambutnya digelung ke atas dan bajunya bagian dada yang berwarna kuning itu terdapat sebuah gambar bulatan Im Yang hitam putih. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan wajahnya penuh senyum, walaupun pandang matanya mencorong dan mengandung kekerasan. Melihat Tosu ini, Sin Cu menduga bahwa dia tentu seorang lawan tangguh, akan tetapi dia merasa heran bagaimana seorang Tosu dapat bersama kawanan berandal itu.
?Orang muda, siapakah engkau yang berani menentang kami dan melindungi orang orang yang menjadi buruan kami?? tanya Tosu itu sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sin Cu.
?Totiang,? kata Sin Cu dengan sikap hormat karena dia harus menghormati seorang Pendeta. ?Nama saya Wong Sin Cu dan saya merasa heran sekali melihat seorang Pendeta seperti Totiang (sebutan Pendeta To) bersama kawanan perampok jahat ini.?
?Wong Sin Cu, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Pinto (aku) adalah Im Yang Tojin, seorang tokoh Im Yang-Kau w. Ketahuilah bahwa yang Kau lindungi itu adalah keluarga buronan yang harus kami tangkap.?
?Saya merasa heran sekali, Totiang yang saya lihat tadi, keluarga Ceng ini telah disergap oleh lima orang perampok jahat, maka saya membela mereka dan menghajar lima orang jahat itu. Akan tetapi kenapa sekarang mereka kembali bersama Totiang dan belasan orang kawannya. Sungguh tidak mengerti saya melihat Totiang hendak membela kawanan perampok laknat itu.?
?Sudahlah, engkau tidak perlu tahu akan urusan kami. Sekarang lebih baik engkau yang masih muda ini pergi meninggalkan keluarga itu yang akan menjadi tawanan kami!? biarpun ucapan itu dikeluarkan dengan kata-kata lembut namun mengandung nada mengancam.
?Tidak bisa, Totiang. Saya melihat kenyataan bahwa yang jahat adalah pihakmu yang hendak menggunakan kekerasan mengganggu sebuah keluarga yang tidak bersalah. Terpaksa saya harus melindungi mereka!? kata Sin Cu dengan suara tegas.
?Orang muda, engkau keras kepala! Terpaksa Pinto harus menggunakan kekerasan.? Dia menoleh kepada belasan orang gerombolan itu dan berseru memerintah,
?Tangkap mereka yang berada dalam kereta!? Belasan orang itu bergerak mengepung mereka, akan tetapi Sin Cu dengan sigapnya melompat mendekati kereta dan berseru,
?Siapa berani mengganggu akan kuhajar!?
?Bocah sombong!? Tosu itu berseru dan diapun menerjang ke depan, menyerang Sin Cu dengan pukulan tangan kiri. Agaknya dia memandang rendah kepada Sin Cu sehingga ketika menyerang, tangan kirinya menampar dengan keyakinan bahwa pemuda itu tidak akan mampu menghindarkan diri. Tidaklah mengherankan kalau Tosu itu memandang rendah kepada Sin Cu. Dia adalah Im Yang Tojin, bekas pengawal Koan-Ciangkun yang tewas di tangan Ouw Yang Lee, kemudian dia terbujuk oleh Thaikam Liu Cin, sehingga setelah kehilangan majikan, dia lalu menghambakan diri kepada Thaikam Liu Cin, menjadi rekan dari Ouw Yang Lee. Tingkat kepandaian Im Yang Tojin memang sudah tinggi, setingkat dengan kepandaian Ouw Yang Lee, maka tentu saja dia memandang rendah seorang pemuda seperti Sin Cu,
Akan tetapi ternyata tamparan itu degan mudah dihindarkan oleh Sin Cu yang mengelak ke kiri dan melihat ada dua orang anak buah gerombolan berusaha untuk membuka pintu kereta, dia lalu menerjang dan dua kali tangan kanannya menyambar maka robohlah dua orang itu. Pada saat itu, Im Yang Tojin yang merasa penasaran telah mengirim pukulan berturut-turut sampai tiha kali. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dengan mudah Sin Cu dapat megelak dari tiga kali pukulan itu, bahkan pemuda itu sempat merobohkan seorang anak buah gerombolan pula yang berusaha menyerang Ceng Sin yang duduk di tempat kusir bagian depan kereta. Im Yang Tojin menjadi marah dan maklum bahwa pemuda itu memang lihai sekali. Maka, diapun lalu menerjang maju dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga andalannya, yaitu Im Yang Sinkang.
?Sambut pukulan Pinto ini!? Dia berseru sambil mengirim pukulan yang mengandung tenaga sakti yang dahsyat itu.
?Wuuuutt...!!? Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Sin Cu. Pemuda ini terkejut, bukan main karena dia mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Diapun menyambutnya dengan pengerahan tenaga sakti Thai-Yang Sin-Ciang, tenaga inti matahari yang mengandung hawa panas.
?Wuuuut... Blaarr!!,? Tubuh Im Yang Tojin terjengkang dan hampir saja dia roboh terbanting.
Untung dia amat cekatan dan dengan bersalto dua kali ke belakang sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting. Dia terkejut setengah mati. Pemuda itu bahkan mampu menyambut pukulannya dan membuatnya terjengkang! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini, akan tetapi diapun menjadi marah bukan main. Dia mencabutnya pedang dari punggungnya dan sambil borseru keras dia menyerang. Melihat sinar pedang meluncur dan menyambar ke arahnya, Sin Cu cepat mengelak dan karena maklum bahwa lawannya amat tangguh, maka diapun merogoh pedang yang berada dalam buntalan pakaian di punggungnya. melihat pedang berbentuk naga putih itu, ln Yarg Tojin terbelalak dan menjadi semakin terkejut. Akan tetapi karena sudah marah dan penasaran sekali, dia terus menyerang secara bertubi-tubi,
?Trang-cringgg...? Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Tosu itu bertemu dengan Pek-Liong-Kiam (Pedang Naga Putih) di tangan Sin Cu.
Im Yang Tojin menyerang terus dan mencoba mendesak lawannya yang masth muda, akan tetapi dia merasa seperti bertemu dengan dinding baja yong sukar ditembus, demikian kuatnya pertahanan yang dIbuat oleh pedang naga di tangan Sin Cu. Akan tetapi pemuda ini merasa gelisah karena lawannya memang lihai sehingga dia tidak sempat lagi menjaga keamanan keluarga yang berada dalam kereta, pada hal anak buah gerombolan itu mulai mengepung kereta sambil berteriak-teriak. Dia harus mencurahkan perhatiannya terhadap serangan bertubi dan berbahaya yang dilancarkan Tosu itu kepadanya. Pada saat yang amat gawat bagi keluarga Pangeran Ceng Sin, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan putih dan para anak buah gerombolan yang mengepung kereta menjadi kocar-kacir ketika bayangan putih itu berkelebatan.
Dan ada sinar putih mencuat dan menyambar-nyambar merobohkan para pengepung. Pangeran Ceng Sin dan isteri serta anaknya menjadi girang bukan main melihat betapa para pengepung itu kocar kacir karena diamuk oleh seorang berpakaian putih, seorang Nikouw (Pendeta wanita) yang memainkan sabuk Sutera putih secara hebat sekali. Sabuk Sutera putih yang panjang itupun menyambar nyambar dengan dahsyatnya, siapapun yang terkena ujung sabuk Sutera putih itu pasti terjungkal roboh! Dalam waktu singkat saja, sembilan orang anak buah gerombolan itu sudah roboh oleh totokan ujung sabuk Sutera putih. Tentu saja hal ini amat mengejutkan yang lain sehingga mereka menjadi jerih dan tidak berani mendekati kereta yang kini sudah terjaga oleh Nikouw tua yang amat lihai dengan sabuk Suteranya itu.
Im Yang Tojin mulai terdesak oleh Sin Cu. Biarpun merasa penasaran sekali, namun Tosu tokoh Im Yang-Kau w yang sudah diusir dari perkumpulannya karena menyeleweng ini harus mengakui bahwa lawannya yang masih muda itu amat tangguh. Maka, ketika melihat munculnya seorang Nikouw tua yang lihai sekali dan dalam waktu singkat merobohkan banyak anak buahnya, maklumlah Im Yang Tojin bahwa keadaannya terancam bahaya. Dia memang menerima tugas dari Thaikam Lui Cin untuk melakukan pengejaran terhadap Pangeran Ceng Sin sekeluarga dan membunuh Pangeran itu. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa Pangeran itu dilindungi oleh seorang pemuda yang amat lihai bahkan kini muncul pula seorang NikOuw Yang juga amat lihai. Karena itu, Im Yang Tojin lalu berseru nyaring.
?Mundur...!? Dan dia sendiri sudah melompat ke belakang lalu melarikan diri, meninggalkan tempat berbahaya itu. Para anak buahnya yang sudah merasa gentar, tidak menunggu perintah dua kali. Mereka saling bantu dan melarikan diri cerai berai, menggandeng kawan-kawan yang terluka. Sin Cu hanya mengikuti mereka yang lari dengan pandang matanya, tidak melakukan pengejaran. Kemudian dia memandang ke arah Nikouw tua itu dengan kagum. Dia melihat bahwa Nikouw itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya serba putih dan kepalanya yang gundul itu dilindungi kain penutup kepala berwarna putih pula.
Sabuk Sutera putih yang dipergunakan untuk mengusir para pengepung kereta tadi adalah sabuk yang masih diikatkan di pinggangnya yang masih ramping. Kedua ujung sabuk itu memang panjang dan untuk dapat memainkan sepasang ujung sabuk Sutera itu, diperlukan tenaga sinkang yang kuat sehingga sabuk Sutera yang lemas itu dapat berubah menjadi kaku dan kuat. Di lain pihak, Nikouw itupun memandang kepada Sin Cu penuh perhatian dan juga penuh kagum karena Ia tadi sudah menyaksikan betapa pemuds itu mampu mendesak lawannya yang amat tangguh. Pangeran Ceng Sin sudah melompat turun dari atas kereta, mernbuka pintu kereta dan menuntun isteri dan anak perempuannya turun dari kereta. Kemudian didampingi isterinya dia memberi hormat kepada Nikouw itu dan berkata dengan sikap dan suara penuh hormat.
?Kami sekeluarga mengucapkan terimakasih kepada Lo-Cianpwe (orang tua gagah) yang telah menyelamatkan kami dari ancaman bahaya besar.? Pangeran Ceng Sin dan isterinya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Loa Cin sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nikouw itu.
?Omitohud! Kebetulan saja Pinni lewat di sini dan melihat kejahatan dilakukan orang, bagaimana Pinni (saya) tidak akan turun tangan? Kalau tidak ada pemuda yang gagah perkasa itu, tentu Taijin (pembesar) sekeluarga akan tertimpa malapetaka,? kata Nikouw itu dengan suara lembut lalu menoleh dan memandang kepada Sin Cu sambil tersenyum ramah.
?Harap Lo-Cianpwe tidak menyebut saya Taijin. Saya adalah rakyat biasa bernama Ceng Sin. Ini adalah isteri saya dan anak kami bernama Ceng Loan Cin. Loan Cin yang masih berlutut di depan kaki Nikouw itu lalu berkata dengan suara tegas.
?Lo-Cianpwe, harap suka menerima saya menjadi murid dan mengajarkan ilmu silat kepada saya.?
?Omitohu... Nona Ceng ingin belajar ilmu silat, untuk apakah seorang gadis sepertimu mempelajari ilmu silat?? kata Nikouw itu sambil tersenyum dan mengangkat bangun Loan Cin.
Sikap anak kami ini tidak mengherankan, Lo-Cianpwe. Kami sekeluarga meninggalkan Kotaraja karena terjadi banyak kejahatan yang membuat orang hidup tidak tenteram di sana. Kami pergi mencari tempat tinggal baru yang aman, tenang dan tentram. Akan tetapi dalam perjalananpun kami diganggu banyak orang jahat. Untung ada Song-Taihiap menolong kami dan tadi bahkan Lo-Cianpwe juga menolong kami sehingga kami semua terbebas dari kecelakaan, bahkan mungkin kematian. Karena menghadapi banyak kejahatan inilah kiranya yang membuat anak kami ingin mempelajari ilmu silat. Maka kalau Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid, kamipun akan merasa berterimakasih sekali. Bolehkah kami mengetahui nama dan tempat tinggal Lo-Cianpwe?? Nikouw itu tersenyum lebar dan ternyata wanita berusia lima puluh tahun itu masih memiliki gigi yang lengkap, bersih dan rapi.
?Pinni disebut Thian Li Nikouw, dan Pinni memimpin para Nikouw di Kuil Kwan-Im-Bio di sana itu,? katanya sambil menuding ke arah Kuil yang tadi dikagumi Ceng Sin.
?Ah, jadi Lo-Cianpwe adalah penghuni Kuil yang indah itu? Kamipun merasa suka sekali dengan pegunungan ini. Kami akan mencoba membeli sebidang tanah di dekat Kuil dan mengharap dengan sangat Lo-Cianpwe sudi menerima anak kami menjadi murid.? Thian Li Nikouw mengangguk-angguk sambil memandang kepada Loan Cin. NikOuw Yang berpandangan tajam dan berpengalaman luas ini tentu saja dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang bangsawan, melihat dari pakaian keluarga itu dan juga keretanya.
Apa lagi mendengar nama marga Ceng, Nikouw itupun dapat menduga bahwa Ceng Sin tentulah keluarga Kaisar. Karena sudah mendengar bahwa di Kotaraja terjadi pergolakan dan pertentangan dengan berkuasanya Thaikam Liu Cin, maka ia dapat menduga bahwa Ceng Sin tentu seorang diantara para bangsawan yang menentang Thaikam berkuasa itu dan kini terpaksa melarikan diri karena terancam. Apa lagi tadi melihat Tosu yang amat lihai itu berusaha membunuh keluarga ini, maka ia menduga bahwa Tosu itu tentulah suruhan orang- orang yang menginginkan kematian keluarga Ceng Sin, Berpikir demikian mengingatkan ia kepada pemuda perkasa itu dan kembali ia memandang kepada Sin Cu dengan penuh selidik.
?Memang baik sekali kalau Tuan Ceng Sin sekeluarga hendak menenteramkan hati dan tinggal di Lian-San (Bukit Teratai) yang indah ini, dan tentang Nona Ceng Loan Cin yang hendak mempelajari ilmu silat, dapat kita bicarakan kemudian. Akan tetapi pinni melihat bahwa Sicu (orang gagah) ini telah melindungi keluargamu dan ilmu kepandaiannya tinggi sekali! Sicu, siapakah nama Sicu dan kalau boleh Pinni mengetahui, siapa pula Guru Sicu?? Sin Cu sejak tadi mendengarkan percakapan antara Thian Li Nikouw dan Ceng Sin. Diapun amat kagum kepada NikOuw Yang kelihatan lemah lembut ini namun dia tahu bahwa Nikouw ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ditanya demikian, dia lalu cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
?Nama saya Wong Sin Cu dan Suhu (guru) menyebut dirinya Bu Beng Siauwjin.? Ceng Sin dan isterinya yang baru sekarang mendengar nama sebutan Guru Sin Cu memandang heran. Bagaimana ada seorang Guru yang berilmu tinggi mempunyai sebutan Bu Beng Siauwjin (Orang Hina Tanpa Nama)? Akan tetapi ketika Thian Li Nikouw mendengar disebutnya nama ini, ia segera merangkap kedua tangan depan dada, menyembah.
?Omitohood... nama boleh serendah mungkin namun budi harus setinggi mungkin. Kiranya Wong-Sicu murid manusia luarbiasa itu? Pinni mengucapkan selamat bahwa engkau sudah terpilih menjadi muridnya, dan beruntunglah Tuan Ceng sekeluarga dapat berjumpa dengan seorang permuda seperti Wong-Sicu.? Karena hatinya tertarik kepada Nikouw dan Kuilnya itu, dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari dan membeli tanah lalu tinggal di daerah Bukit Teratai yang indah, maka Ceng Sin lalu berkata kepada Thian Li Nikouw.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Saya persilakan Lo-Cianpwe suka duduk dalam kereta dan bersama kami pulang ke Kuil. Kami ingin berkunjung ke Kuil, bersembahyang dan menghaturkan terimakasih kepada Kwan Im Pouw-sat yang telah melindungi kami sekeluarga.? Isteri Ceng Sin juga ikut mempersilakan Nikouw itu. Sambil tersenyum ramah Nikouw itu mengangguk menyetujui sambil mengucapkan terimakasih. Pada saat itu, Sin Cu lalu memberi hormat dan berkata kepada Ceng Sin.
?Paman Ceng Sin, saya kira sudah tiba saatnya bagi saya untuk memisahkan diri. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya dan saya boleh berlapang dada karena Paman telah bertemu dan mendapatkan perlindungan dari seorang sakti seperti Thian Li Nikouw. Saya percaya bahwa Paman sekeluarga pasti akan dapat hidup aman dan tenteram di daerah ini dan adik Ceng Loan Ci akan dapat mempelajari ilmu silat tinggi dari Thian Li Nikouw. Nah, selamat tinggal semuanya!? Dia memberi hormat kepada mereka semua dan hendak melangkah pergi.
?Kakak Wong Sin Cu!? tiba-tiba Loan Cin berseru.
?Jangan Kau lupakan kami. Kelak kalau aku sudah mempelajari ilmu silat aku ingin menguji kepandaianku denganmu!? Sin Cu tersenyum dan memandang kepada gadis cilik yang lincah dan cantik itu, kemudian dia mengangguk.
?Baiklah, adik Loan Cin. Akan kuingat selalu pesanmu ini.? Pemuda itu sekali lagi memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ, diikuti pandang mata empat orang itu. gagah perkasa dan budiman, pantas menjadi murid Bu Beng Siauwjin. Mereka semua lalu naik kereta dan Ceng Sin menjalankan kuda-kuda penarik kereta itu, menuju ke Kuil melalui jalan yang cukup rata dan baik yang menuju ke Kuil di lereng itu.
Pada suatu siang, dalam perjalanannya menuju Kotaraja, tibalah Sin Cu di kota Nam-Po. Dia telah melakukan perjalanan sejak pagi sekali tadi sampai siang hari tak pernah berhenti sehingga dia merasa lelah dan lapar. Ketika melewati sebuah rumah makan, dari mana berhamburan bau sedap masakan, perut Sin Cu berkeruyuk semakin kuat. Dia lalu masuk ke rumah makan itu, disambut seorang pelayan dan diapun duduk di bagian sudut ruangan rumah makan itu.
Dia memesan nasi dan dua macam sayuran, minum air teh lalu makan minum dengan seenaknya. Perut lapar dan hati pikiran tidak terganggu membuat orang dapat menikmati makanan. Betapa sederhanapun hidangan yang dimakan, akan terasa nikmat. Sebaliknya kalau perut tidak lapar dan hati pikiran terganggu, segala macam masakan yang serba lezat dan mahal sekalipun tidak akan terasa enak. Setelah makan dan minum air teh, Sin Cu merasa mengantuk dan timbul keinginan untuk mengasokan tubuhnya. Dia melihat rumah makan itu cukup besar dan di bagian belakangnya terdapat bangunan yang lebih besar lagi. Biasanya, rumah makan yang besar merangkap menjadi rumah penginapan pula. Maka setelah membayar harga makanan, Sin Cu bertanya kepada pelayan yang melayaninya.
?Twako, apakah rumah makan ini juga menyewakan kamar untuk menginap?? tanyanya sambil memandang ke arah belakang di mana terdapat pintu besar tembusan dan dari situ dapat dilihat anak tangga menuju ke sebuah loteng.
?Tentu saja! Tuan membutuhkan kamar?? Perusahaan Thian-lok kami memang membuka rumah penginapan dan rumah makan terbesar di kota ini. Silakan ma?uk, tuan, saya antarkan kepada petugas kantor penginapan.? Pelayan itu mengantarkan Sin Cu masuk dan setelah diterima petugas penginapan, pelayan itu lalu meninggalkan Sin Cu berurusan dengan pegawai di situ. Sin Cu mendapatkan sebuah kamar di loteng, sebuah kamar yang tidak berapa besar akan tetapi cukup bersih dan terawat baik. Sin Cu memasuki kamar, meletakkan buntalan pakaian dan pedangnya di atas meja lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas pembaringan. Sebentar saja dia sudah tertidur pulas. Ketika dia membuka matanya mendengar ketukan pada pintu kamarnya, hari telah menjelang sore. Rupanya dia telah tertidur cukup lama, tidak kurang dari tiga jam!
?Siapa?? tanyanya ketika mendengar ketukan pada daun pintu, ketukan perlahan dan sopan.
?Saya, pelayan rumah penginapan, tuan. Hari telah sore, apakah tuan tidak memerlukan air untuk membersihkan badan? Sin Cu turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Sambil membungkuk-bungkuk pelayan pria berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh kurus itu masuk dan tersenyum ramah.
?Perlukah saya membawakan sebaskom air untuk membasuh muka, ataukah tuan hendak pergi mandi di belakang??
?Aku ingin mandi,? kata Sin Cu.
?Silakan, tuan. Kamar mandi sudah diisi penuh air. Akan tetapi harap tuan mengunci pintu kamar ini kalau ditinggalkan. Kami tidak menanggung kalau ada barang yang hilang dari dalam kamar yang ditinggalkan tamu.?
?Hemm, kalau begitu, buntalan pakaianku akan kubawa saja ke kamar mandi, ada barang berharga di dalamnya.? Sin Cu bukan maksudkan sekantung emas dan perak sebagai barang berharga, melainkan pedangnya. Setelah dia mandi dan bertukar pakaian, baru saja dia memasuki kamarnya, pelayan kurus itu sudah berada pula di situ.
?Apakah tuan hendak mencucikan pakaian kotor? Kami menerima juga cucian dengan bayaran murah.? Sin Cu menjadi girang. Sudah dua stel pakaiannya yang kotor dan perlu dicuci, maka dia menyerahkan cucian itu kepada si pelayan. Pelayan itu ternyata ramah sekali.
?Besok siang cucian ini sudah akan bersih dan kering, tuan. Agaknya tuan bukan penduduk Nam-Po.??
?Memang bukan, aku seorang pendatang...? jawab Sin Cu.
?Tuan belum pernah berkunjung ke sini??
?Belum, baru sekali ini.?
?Ah, kalau begitu tuan tentu belum mendengar akan berita yang menggemparkan dari kota Nam-Po ini, bahkan mungkin tuan belum pernah mendengar akan nama Siang Bi Hwa (Bunga Cantik Harum)!?
?Siapa itu Siang Bi Hwa? Aku belum pernah mendengar nama itu,? kata Sin Cu, sambil lalu karena dia tidak begitu tertarik untuk membicarakan orang lain, apa lagi yang dibicarakan itu agaknya seorang wanita, melihat namanya itu.
?Aduh, kalau begitu tuan rugi besar! Datang ke Nam-Po belum melihat Siang Bi Hwa, sama saja dengan belum berkunjung ke Nam-Po! Bahkan para pemuda bangsawan dari Kotaraja saja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, dan untuk sekadar melihatnya dan mendengarkan ia bernyanyi saja, para pemuda dari Kotaraja itu berani membayar mahal sekali!?
(Lanjut ke Jilid 11) Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11 Tertarik juga hati Sin Cu mendengar bahwa para pemuda bangsawan Kotaraja berebut untuk melihat Siang Bi Hwa, membuat dia ingin tahu siapa sebetulnya Siang Bi Hwa dan orang macam apa.
?Hemm, apakah Siang Bi Hwa itu orang aneh? Orang macam apakah ia itu??
Anak Tanpa Rumah 2 Wajah Sang Pembunuh Naked Face Karya Sidney Sheldon Misteri Pulau Tengkorak 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama