Ceritasilat Novel Online

Student Hidjo 1

Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo Bagian 1


Student Hidjo Oleh Marco Kartodikromo (1918)
Diambil dari : militanindonesia.org
Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918
melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919.
Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda.
KONINGKLIJKE SCHOUWBURG DI ?SRAVENHAGE [DEN HAAG]
Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda.
Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan.
Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang. Yaitu dengan bersungguh-sungguh hati dia tidak suka melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain.
S T U D E N T H I J O Menuruti cerita itu, Faust itu sudah boleh dipastikan (kalau sudah mati) tentu akan masuk surga.
Tetapi apa kabarnya? Pekerjaan Faust yang seperti itu tak bisa dilanjutkan sampai hari kematiannya.
Sebab dengan tiba-tiba Faust menaruh cinta kepada seorang perempuan yang telah mempunyai suami. Karena cinta Faust yang amat sangat itu, dia tak lagi sayang dengan harta benda kekayaan yang jumlahnya bermilyun-milyun itu.
Dan dia tidak takut akan hari kematiannya dan masuk di api neraka Jahanam.
Waktu itu juga Faust sudah tidak lagi mempedulikan pelajaran yang baik-baik yang sudah memenuhi kepalanya.
Dengan pertolongan setan, Faust bisa menjadi seorang anak muda yang amat tampan rupanya. Dan akhirnya seorang perempuan yang dicintai Faust itu, juga menaruh hati kepada Faust. Dan sudah tentu saja, lantaran kelakuan Faust yang tidak senonoh itu, surga, kekayaan dan kepandaian serta yang lain-lainnya menjadi hilang musnah.
Waktu Hidjo melihat opera sebagaimana tersebut diatas, hatinya menjadi tergoncang. Seolah-olah cerita itu menyindir dirinya. Nona-nona anak direktur yang duduk berjejer di samping kanan kiri Hidjo selalu mengeluarkan perkataan sindiran yang ditujukan kepada Hidjo.
"Tuan Hidjo!" kata salah seorang nona teman Hidjo. "Apakah akhirnya Tuan hendak berbuat seperti Faust itu? Sebab sekarang ini tuan suka belajar. Tetapi akhirnya pertanyaan itu tidak dijawab oleh Hidjo. Tetapi dia menggigit bibir bawahnya sambil seperempat tertawa, yaitu suatu tanda bahwa di dalam hait Hidjo ada sebuah bayangan yang belum tampak dengan jelas.
Papa kedua gadis bangsa kulit putih yang juga melihat opera itu, selalu memberi nasihat kepada anaknya supaya dia tidak selalu menggoda Hidjo.
Pukul 12 malam, opera itu habis dan para penonton yang jumlahnya ratusan itu pulang ke rumah masing-masing.
Malam itu pikiran Hidjo selalu tergoda oleh ceritanya Faust yang telah dilihatnya di Koninklijke Schouwburg.
Kalau besok saya sudah tua dan bertindak seperti Faust, lebih baik hal itu kulakukan saja sekarang. Sebab waktu ini saya sebagaimana kebiasaan anak muda yang suka plesiran, itu tidak ada jeleknya. Karena adat semacam itu sudah dipandang umum. Tetapi kalau besok saya sudah berambut putih, berbuat seperti Faust, bah.... begitulah kata Hidjo seorang diri, sewaktu dia hendak tidur.
S T U D E N T H I J O Matahari baru saja silam. Sinarnya masih bisa menerangi kota ?s-Gravenhage.
Semilir angin sejuk yang meniup kota itu membuat semua orang yang melancong di kota itu merasa bahagia. Semua jendela rumah-rumah yang bertingkat itu dibuka. Dan masing-masing, di samping jendela itu ada orang-orang yang duduk santai menikmati semilir angin yang nyaman. Meskipun semua orang sedang termenung di depan jendela sambil menikmati semilir angin, tetapi Hidjo selalu tampak sedang belajar di kamarnya. Ia tidak mempedulikan suasana yang sangat bagus itu.
"Tok, tok, tok, meneer. " Begitu suara orang mengetuk pintunya dan memanggil Hidjo.
"Ya!" jawab Hidjo sambil tetap meneruskan membaca bukunya.
"Mag ik U storen meneer Hidjo?" ["Bolehkah saya mengganggu Tuan Hidjo?"]
kata Betje setelah ia membuka pintunya Hidjo.
"Zeker! Zeker!" ["Tentu! Tentu!"] jawab Hidjo dengan senang, tetapi ia masih tetap meneruskan membaca bukunya.
"Tutuplah buku Tuan, saya hendak bicara sebentar dengan Tuan!" kata Betje seraya masuk ke kamar Hidjo.
"Mau bicara apa?" tanya Hidjo seraya berdiri dari kursinya, tetapi dia masih meneruskan membaca bukunya.
"Tutuplah dulu buku itu!" kata Betje tidak sabar.
"Ya!" kata Hidjo sambil menurut bukunya dan meletakkannya di atas meja.
"Ah, Tuan seperti Faust!" kata Betje, bergurau.
"Nee!" jawab Hidjo pendek.
"Apakah Tuan nanti suka melihat Lili Green?" tanya Betje seraya duduk di kursi Hidjo.
"Di mana?" tanya Hidjo seraya duduk di atas meja tulis sambil melihat wajah nona manis itu.
"Ada di Prinsesse Schouwburg, tadi saya membaca advertintenti- nya di Het Vaderland," kata Betje sambil kaki kanannya ditumpangkan di atas kaki kirinya dan matanya memandang ujung sepatunya, sebagai tanda bahwa ia ingin sekali melihatnya.
"Baik, tetapi kita lihat bersama siapa?" tanya Hidjo sambil memandang wajah Betje tajam.
S T U D E N T H I J O "Sama saya natuurlijk," kata Betje membalas tatapan mata Hidjo.
"Betul, tetapi apakah kita hanya pergi berdua saja, tidak dengan orang lain, papamu atau Marie misalnya!" tanya Hidjo setelah tertawa.
"Nee, saya lebih suka pergi berdua saja dengan Tuan!" jawab Betje mengandung maksud.
"Tetapi saya lebih suka melihatnya dengan rame-rame, banyak teman dari sini!" jawab Hidjo setelah tertawa sambil memegang lututnya dan tak lupa memandang wajah nona manis itu.
Perkataan Hidjo itu tak dijawab oleh Betje, tetapi dia hanya menatap Hidjo dengan tajam, seolah-olah Betje memberi tahu bahwa ia tidak menyetujui usul itu. Begitu pula Hidjo pun paham apa yang diinginkan Betje.
"Sudahlah, bilang sama papamu dulu, dia memberi izin atau tidak?" kata Hidjo, bangkit dari duduknya.
"Ya!" jawab Betje dan dengan cepat dia keluar dari kamarnya Hidjo, hendak meminta izin pada papanya untuk melihat Lili Green di Prinsesse Schouwburg dengan Hidjo.
Tidak antara lama Betje kembali ke kamar Hidjo. Dia memberi tahu kalau papanya mengizinkan dia pergi ke Schouwburg dengan Hidjo.
"Cepat berpakaian!" katanya sambil meninggalkan Hidjo dengan menunjukkan kesukaan hatinya.
Pukul setengah delapan malam Betje dan Hidjo pergi ke Prinsesse Schouwburg hendak melihat Lili Green.
Watak Hidjo yang berubah karena pengaruh cerita Faust, tetapi hati Betje senang bukan main.
Meskipun Hidjo belum pernah melihat pertunjukan Lili Green, tetapi ia tetap diam. Tidak bertanya apa yang dimaksud dengan pertunjukan Lili Green itu.
Betje, seorang gadis manis bangsa Eropa yang banyak bicara, selama dalam perjalanan dengan Hidjo, dia banyak bercerita tentang kebagusan Lili Green itu.
Dengan menumpang tram jalur 5, dua muda-mudi itu hendak pergi ke Prinsesse Schouwburg. Betje merasa bangga hatinya saat duduk di dalam tram berjejer dengan Hidjo, seorang Jawa yang berkulit sawo matang.
Di Prinsesse Schouwburg, orang-orang yang hendak melihat pertunjukan Lili Green itu sudah saling berdesak-desakan. Hal itu menunjukkan bahwa pertunjukan itu memang bagus.
S T U D E N T H I J O Untung sekali bagi Betje dan Hidjo karena mereka masih mendapat tempat duduk istimewa, walaupun bayarannya mahal.
Pukul 9, scherm (layar) dibuka. Di tempat itu tampak gambar-gambar dan sinar lampu berwarna kuning, yang menambah kebagusan tempat itu. Tak lama kemudian keluar enam orang perempuan muda telanjang, yang hanya memakai kain sutera yang amat tipis untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Meskipun badan mereka itu ditutup dengan kain sutera yang berwarna-warni, tetapi seluruh tubuhnya tampak dengan jelas, transparan sekali. Nona-nona itu menunjukkan kebolehannya berdansa, meloncat-loncat dan lain-lainnya.
Hidjo yang selama hidupnya belum pernah melihat semacam itu, hatinya berdebar-debar karena melihat gadis-gadis yang telanjang itu.
"Bagus sekali!" kata Betje yang duduk di samping kanan Hidjo, setelah dia melihat gadis-gadis yang berdansa itu dengan kijker. "Cobalah Tuan melihat dengan kijker ini!"
Hidjo mencoba melihat pertunjukan itu dengan kijker tetapi dia tidak tahan melihat lebih lama. Karena hatinya berdebar-debar kencang. Entah karena ketakutan atau entah terlalu senang melihat keadaan yang demikian itu.
Karena godaan-godaan itu, Hidjo bertambah lembek hatinya. Lebih-lebih dia di Prinsesse Schouwburg itu hanya berdua dengan Betje dan sejak pukul setengah sembilan hingga setengah sebelas malam, terus melihat gadis-gadis yang hanya memakai pakaian sutera tipis sekali dan seluruh anggota tubuhnya tampak dengan jelas sekali itu.
Waktu pukul setengah sebelas, pertunjukan pauze, banyak penonton yang pergi ke buffet dan rooksalon (ruangan untuk merokok). Betje dan Hidjo tak mau ketinggalan, ia pergi ke buffet untuk minum kopi.
"Mau minum apa Nona?" tanya Hidjo dengan ramah ketika mereka sudah duduk di kursi yang lantainya beralaskan karpet yang sangat tebal.
"Kopi saja!" jawab Betje sambil mengamati orang-orang yang sama menonton pertunjukan itu, dan sudah sama-sama duduk di dekatnya.
"Aanneme! " begitu Hidjo memanggil pelayan Belanda yang melayani di tempat itu.
"Meneer! " jawab pelayan dan dengan cepat datang menghampiri tempat Hidjo.
"Minta dua kopi!" kata Hidjo kepada pelayan Belanda itu.
"Ya, Meneer!" jawab pelayan itu ramah.
"Saya tidak begitu senang melihat pertunjukan itu!" kata Hidjo kepada Betje.
S T U D E N T H I J O "Saya juga!" sahut gadis manis itu.
"Mari kita langsung pulang saja!" kata Hidjo pula.
"Baik!" jawab Betje sambil menginjak sepatu Hidjo yang bermaksud meskipun Hidjo paham dan setuju dengan tanda yang diberikan Betje, tetapi dia tidak membalas dengan terus terang. Namun hanya dibalas dengan senyum manis saja.
Pertunjukan Lili Green sudah mulai lagi, para penonton pun sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing. Tetapi Betje dan Hidjo terpaksa meninggalkan pertunjukan itu.
"Apakah kita langsung pulang?" tanya Hidjo sewaktu dia sudah keluar dari Schouwburg.
"Nee, nee, nee, " jawab Betje cepat. "Mari kita melancong lebih dulu, toh sekarang baru setengah sebelas."
Dua orang muda-mudi, seorang perjaka bangsa Jawa dan gadis bangsa Eropa, terus melancong dengan jalan kaki. Dengan memaksakan diri, Betje menggandeng tangan Hidjo. Wajahnya didekatkan ke telinga Hidjo sambil berbisik-bisik yang tak bisa didengar orang lain. Demikian pula Hidjo, dengan keberaniannya ia mau memenuhi permintaan Betje.
"Mari kita naik tram pergi ke Scheveningen?" kata Betje kepada Hidjo sambil menelan ludahnya yang sudah kental.
"Mari!" jawab Hidjo. Dia semakin berani menggandeng tangan Betje.
Hidjo dan Betje sudah naik tram pergi ke Scheveningen.
"Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!" kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya berdebar-debar. "Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang."
"Baik!" jawab Hidjo kebingungan tetapi mantap.
"Apakah di sini saya bisa dapat kamar untuk dua orang?" tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk ke hotel.
"Bisa Tuan," jawab pelayan hotel. Dan Hidjo ditunjukkan kamarnya.
Saat itu juga Hidjo dan Betje langsung masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu, para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri.
"God, Betje! Sudah hampir pukul dua belas," kata Hidjo kepada Betje yang duduk di tempat tidur. Waktu itu dia melihat arlojinya yang ada di jasnya yang tergantung di cantelan.
S T U D E N T H I J O "Mari kita cepat pulang!" kata Betje yang kelihatan capek.
Hidjo cepat memencet bel untuk memanggil pelayan. Sesudah pelan datang, dan bea kamar dibayarnya, lalu dengan cepat dua anak muda itu segera meninggalkan Hotel Scheveingen.
Untung bagi mereka itu. Karena dia masih bisa naik tram yang terakhir dari Scheveningen ke Hamelstraat. Kedatangan Hidjo dan Betje ke rumah pun seperti biasanya orang-orang yang pulang dari Schouwburg.
II. HIDJO MENERIMA SURATNYA BIRU,
WUNGU DAN WARDOYO Pukul enam pagi, di rumah direktur bank di Hamelstraat 7, dientstmeid (pembantu perempuan) sudah bekerja sebagaimana biasanya. Seisi rumah juga sudah bangu, kecuali Betje dan Hidjo. Sampai pukul delapan, mereka masih tidur nyenyak. Maka dari itu papa Betje menyuruh kepada pembantu perempuannya, supaya pintu kamar Hidjo diketuk, agar dia bangun.dan Marie disuruh membangunkan Betje.
"Goede morgan," kata Hidjo kepada tuan rumah dan istrinya, serta Marie yang sudah duduk siap untuk makan pagi. "Saya tidur enak sekali!"
"Tentu saja, sebab kemarin pukul satu, kamu baru pulang," kata nyonya rumah dengan senang.
"Is dit mijn brief Mevrouw?" Tanya Hidjo kepada Mamanya Betje, sewaktu ia hendak duduk di tempat yang sudah ditentukan untuk makan pagi bersama.
Dan di piringnya terdapat surat.
"Ya, tadi pagi datangnya," jawab nyonya rumah.
"Tentu surat itu dari Indie?" tanya Marie yang duduk dekat Hidjo.
"Ya!" jawab Hidjo."Ini surat dari Jarak."
Hidjo tidak lupa, alamat yang ditulis di amplop itu adalah tulisan Wungu.
Seketika itu juga, surat dibuka. Dia menjadi amat heran, karena di dalam amplop itu berisi tiga surat, dari Wungu, Biru dan Wardoyo. Sambil minum kopi, Hidjo membaca surat Wungu, setelah selesai lalu membaca surat Biru dan akhirnya suratnya Wardoyo.
S T U D E N T H I J O "Goede Morgan!" kata Betje yang baru keluar dari kamarnya dan langsung duduk di kursi yang disediakan.
"Kamu terlalu banyak tidur!" kata papanya Betje.
"Ya, sebab saya capek," jawab Betje sambil minum kopi.
"Tuan mendapat surat dari Hindia?" tanya Betje kepada Hidjo sambil melihat surat yang ada di depannya Hidjo.
"Ya!" jawab Hidjo pendek.
"Bagaimana pertunjukan Lili Green- nyaTuan?" tanya Marie kepada Hidjo.
"Bagus sekali," jawab Hidjo sambil melihat wajah Betje.
"Ya, sangat bagus!" sahut Betje sambil melihat wajah Hidjo.
Surat-surat yang baru diterima Hidjo itu semakin membikin bingung pikirannya. Karena dia menyesal sekali, telah melakukan perbuatan yang baik, yaitu yang telah dilakukan dengan Betje. Tetapi kebingungan Hidjo itu kerap kali lenyap karena perbuatan Betje.
Sejak waktu itu, pergaulan Hidjo dan Betje semakin intim. Adat dan sikap hormat yang biasanya dilakukan kedua anak muda itu telah hilang. Juga karena mata Betje yang rupa rupanya yang ingin kehilangan wajah Hidjo (barang sesaat pun). Terpaksa, waktunya untuk belajar sering digunakan untuk melayani kehendak Betje.
III. CONTROLEUR WALTER HENDAK VERLOVKE EROPA
Onderwijzeres yang sakit karena memikirkan nasibnya yang ditipu oleh Controleur, lambat laun sembuh. Karena kepandaian dokter yang mengobati.
Sudah barang tentu Nona Roos berkata dengan terus terang kepada dokter bahwa dirinya sudah hamil kita-kira tiga bulan. Dan ia meminta supaya kandungan itu bisa hilang karena yang membikin dia jadi begini karena main gila. Dokter pun menuruti permintaan nona itu, dan akhirnya kandungannya bisa hilang dan dia sembuh dari sakitnya.
Berbagai usaha yang dilakukan Controleur untuk memperoleh cinta R.A.
Wungu, sia-sia belaka. Maka dari itu Controleur merasa tidak senang lagi tinggal di kota Jarak. Pertama, maksudnya kepada R.A. Wungu tidak kesampaian, kedua, dia merasa malu bertemu dengan Juffrouw Jet Roos dan orang-orang yang mengetahui kisah cintanya. Waktu itu Controleur dengan cepat meminta verlof selama satu tahun, demi kesehatannya. Setelah dia S T U D E N T H I J O
mendapat izin untuk verlof, lalu semua barang yang ada di rumahnya dilelang.
Waktu itu semua priyayi dan Belanda di afdeeling Jarak, amat kaget. Dan akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan. Apa sebabnya Controleur sangat tergesa-gesa melelang barang-barangnya dan akan pergi ke Eropa.
Memang hubungan dan kisah cinta Controleur dengan Onderwijzeres sudah disimpannya. Maka dari itu, dalam beberapa hari saja kabar itu telah menyebar di seantero afdeeling Jarak.
Regent Jarak merasa menyesal mengetahui keadaan Controleur, karena oleh Regent dipandang sebagai seorang Controleur yang bisa bergaul dengan para priyayi Jawa.
Sebelum Controleur meninggalkan Jarak, Regent menyempatkan diri untuk bertemu dengannya untuk mengucapkan selamat jalan. Pada saat itu Regent tidak lupa memberi tahu bahwa ia mempunyai kerabat yang tinggal di Negeri Belanda. Yaitu Hidjo, yang kuliah di Delft untuk meraih gelar ingenieur.
Selain itu Regent minta kepada Controleur, kalau dia sempat supaya datang ke rumahnya, untuk memberi kabar keselamatan kerabat Regent dan keluarga Hidjo di Solo. Permintaan Regent itu disanggupi oleh Controleur.
Setelah Controleur itu mengalihkan pekerjaannya kepada penggantinya, lalu dia berangkat ke Batavia dan kemudian hendak langsung naik kapal yang pergi ke Negeri Belanda.
Controleur di Batavia terpaksa menunggu kedatangan kapal tiga minggu lamanya.
Meskipun Controleur sudah ada di Batavia, tetapi pikirannya selalu merasa susah, karena dia akan meninggalkan Tanah Jawa yang ia cintai.
Kapal yang akan dinaiki Controleur ke Belanda sudah tiba waktunya. Dia bertolak dari Tanjung Priok, dengan Kapal Api Djendral Petak menuju Marseille. Dari sana dia akan naik kereta api ke Nederland. Di dalam kapal itu Walter saling berkenalan dengan para penumpang klas dua. Di antara mereka itu, ada seorang Onderofficer. Dia hendak pergi ke Belanda, karena akan sekolah militer di Kampen (Nederland). Tidak saja Sergeant Djepris itu terlalu sombong dan meninggikan diri layaknya saudara Raja Nederland.
Tetapi dia amat menghina kepada orang-orang bumiputera, yang telah membikin hidupnya menjadi senang.
"Meneer Djepris!" kata Controleur kepada Sergeant yang hendak sekolah militer itu sewaktu dia sedang memaki-maki kepada orang Jawa yang menjadi jongos kapal, lantaran jongos itu kurang cepat melayani dirinya.
S T U D E N T H I J O "Rupanya Tuan amat benci kepada orang Jawa. Apakah kalau Tuan menyuruh apa-apa kepada jongos orang Belanda, juga memakai perkataan yang begitu keji sep erti itu?"
"Tidak peduli!" kata Sergeant Djepris yang saat itu sudah merasa menjadi kapitein. "Orang Jawa itu kalau tidak dikasih perkataan kasar, akan menjadi kurang ajar!"
"Apakah Tuan sudah paham betul-betul adat orang Jawa?" tanya Controleur dengan wajah cemberut.
"Memang!" jawab Sergeant. "Saya di Hindia sudah sepuluh tahun dan sudah kenal betul dengan adat orang Hindia!"
"O, tetapi..... bukankah Tuan bergaul dengan orang Hindia hanya di dalam tangsi?" tanya Controleur.
"Ya, juga di luar tangsi saya banyak kenalan!" jawab Sergeant.
"Apa Tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan daripada adatnya orang Eropa kebanyakan?" tanya Controleur.
"Mana mungkin!" kata Sergenat dengan memelototkan matanya seakan-akan marah.
"Ha, ha!" Controleur tertawa, seolah-olah mempermalukannya. "Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi kolonial (serdadu), sebuah pekerjaan yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak.
Karena Tuan bekerja rajin dan barangkali Tuan telah membunuh berpuluhpuluh orang, sekarang Tuan hendak pergi belajar pula, supaya Tuan lebih pintar membunuh orang. Dan akhirnya Tuan mendapat beberapa tanda kehormatan dan pujian karena pekerjaan Tuan yang keji itu. Sudah mengertikah Tuan akan hal itu?"
Ketika mendengar kata-kata Walter itu, Sergeant Djepris naik darah.dan dia berkata "Orang Jawa kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa yang paling busuk sendiri!"
"Saya heran sekali, Tuan seorang Belanda yang telah sepuluh tahun tinggal di Hindia berani berkata begitu!" kata Controleur dengan sabar. "Apakah Tuan tidak malu mengucapkan kata-kata itu? Bagaimana Tuan bisa berkata seperti itu, sedang Tuan sendiri bisa hidup senang di Hindia? Lagipula berapa ribu bangsa kita yang mencari penghasilan di Hindia? Perkataan Tuan itu suatu tanda bahwa Tuan seorang yang tidak berprikemanusiaan!"
S T U D E N T H I J O Di sini Djepris tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Dan Controleur dia sebentar lalu berkata lagi. "Tuan berkata, ?Orang Jawa kotor?, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa?"
"Orang Jawa bodoh, kata Tuan. Sudah tentu saja, karena memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapa Regeering tidak membuat sekolahan yang secukupnya untuk orang Jawa atau orang Hindia. Sedang semua orang tahu, jika tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita, Nederland."
"Orang Jawa malas, kata Tuan pula. Tuan toh mengerti ada beribu-ribu orang Jawa yang seharian masuk kerja sampai mandi keringat sekadar mencari sesuap nasi. Apakah memang sudah semestinya dia bekerja terlalu berat?
Sedang tanahnya adalah tanah yang kaya-raya. Adakah di Negeri Belanda orang bekerja seberat itu hanya mendapat bayaran 25 ct atau 30 ct seperti orang Jawa? Tidak ada kan?"
"Dan lagi Tuan berkata bahwa orang Jawa itu tidak beschaafd. Sesungguhnya saya kurang mengerti, apa yang Tuan maksud dengan kata-kata beschaaf itu?"
"Apakah karena orang Jawa tidak mendapatkan pelajaran dari sekolah seperti orang Eropa, lalu Tuan berkata tidak beschaafd? Saya tahu betul, bahwa orang Jawa adatnya lebih halus, pikirannya lebih dalam daripada orang Eropa kebanyakan."
"Tetapi Tuan juga mengerti bahwa kebanyakan orang Jawa itu tidak boleh dipercaya?" tanya Sergeant Djepris kepada Controleur. "Seperti babu, jongos, koki dan lain-lain, mereka itu sering suka mencuri barang-barang milik majikannya. Jadi, pendeknya orang Jawa kebanyakan itu tidak boleh dipercaya!"
"Hal serupa itu terjadi bukan pada orang Jawa saja. Meski di Negeri Belanda sekalipun, banyak babu-babu, jongos-jongos yang suka mencuri kepunyaan majikannya," kata Controleur lalu dia memberikan semua buku selebaran (brosur) berbahasa Melayu yang berjudul "Bangsa Belanda di Hindia" kepada Sergeant Djepris, yang isinya seperti di bawah ini: IV.
BANGSA BELANDA DI HINDIA Bila kita membicarakan Belanda di Hindia ini, maksud saya adalah kebanyakan Belanda. Pembaca jangan lupa bahwa ada beberapa Belanda yang dikecualikan. Ketika saya hendak menulis karangan ini, saya membaca sebuah tooneel yang dimainkan di Amsterdam baru-baru ini. Yaitu yang biasa S T U D E N T H I J O
disebut orang dengan sebutan "Tropenadel". Artinya bangsa asal (tinggi) di tanah panas (yakni di Hindia). Adapun ceritanya boleh diringkas demikian: Seorang serdadu dari Nederland yang tadinya tinggal di kampung yang miskin di Amsterdam, dan yang pergi menjadi kolonial (serdadu kolonie). Di Hindia, ia telah mendapat pensiun. Dan karena saking rajinnya ia bekerja, ia menjadi amat kaya. Karena kekayaannya, ia sering menjadi besar kepala.
Demikian orang itu disebut saja namanya A. Si A itu mempunyai istri dan telah beranak dinamakan saja E. Di tempat kediamannya itu, saya dapati juga saudara istrinya yang bernama G. Nonik E, ditunangkan dengan bangsa Indo.
Pada waktu itu (m.i. rumahnya di desa yang bergunung-gunung) di desa itu, ada juga seorang Inggris yang bernama J. Si E menaruh cinta kepada J, dan orangtuanya pun suka kepada J sebab ia bisa berbahasa Inggris, Jerman, Prancis dan sebagainya. Dan telah pergi ke mana-mana. Apalagi menurut kabarnya, ia juga berduwitl.
Layar Tonil dibuka untuk yang kedua kalinya. Suami istri m.i. tinggal di Batavia. Tuan A, itu pikirannya seperti orang yang berasal dari keluarga bangsawan, dan telah lupa pada asal mulanya dahulu. Iparnya sering mengingatkan kepada dirinya. Dan ipar itu tidak percaya kepada J. Tuan A tidak mau mendengarkannya. Pada suatu hari, ketika hari pertunangan itu dirayakan, datanglah seorang perempuan tua yang sangat miskin dari Kettenberg, sebuah kampung di Amsterdam. Di rumah itu, J kebetulan bertemu sendiri dengan bibinya. Jadi, J itu orang Inggris palsu. Pendek kata, J
diusir dan bibinya tinggal di tempat A. Pada suatu saat ketika m.i. sedang ngobrol, maka datanglah seorang perempuan tetangganya. Ia mula-mula menyombongkan diri. Serta ia mau pulang. Si bibi berkata bahwa tetangga tadi tidak lain adalah si Leentje dari Kattenberg, anak seorang tukang babi.
Untuk orang yang pernah tinggal di Hindia, permainan itu hanya sebagai bahan humor. Tetapi bagi kita, sangat besar sekali guna artinya. Jadi, banyak orang Belanda yang mengaku, yang tinggal di Hindia ini, pada mulanya adalah bekas kuli dan orang-orang rendahan. Sementara di sini main gila, menyombongkan diri, menghina kita, sepertinya kita ini budak belian. Lebih keterlaluan lagi, seperti binatang! Orang-orang bumiputera yang tak pernah tinggal di Negeri Belanda, menyangka bahwa ia benar-benar dari keluarga bangsawan, atau klas terhormat. Sekarang masalah lain, pembaca sekalian tentu tahu. Berhati-hatilah dengan m.i. Kita sering bertanya pada diri sendiri:
"Mengapa orang Belanda yang telah lama tinggal di Hindia lalu berubah perangainya." Yang berpikiran demikian bukan hanya orang bumiputera saja.
Orang Belanda totok yang belum pernah datang ke Hindia juga berpikiran demikian.
S T U D E N T H I J O Banyak anak atau teman dan sahabat karib yang sudah pulang dari Hindia menjadi gila hormat. Tak mau lagi bergaul dengan sesama temannya lagi di Nederland. Oleh sebab itu, banyak yang lebih suka kembali ke Hindia lagi.
Untuk kita, bedanya sangat besar sekali. Bangsa Belanda, kelas menengah dan kelas atas di Nederland, hatinya sangat baik, suka menolong dan persahabatannya sangat menyenangkan. Untuk kelas rendah banyak juga yang demikian, akan tetapi tidak kurang yang tingkah lakunya kasar dan tidak beradab. Suami istri m.i. setelah datang ke Hindia perangainya berubah. Yang baik jadi jelek. Yang jelek menjadi tambah jelek. Kebanyakan m.i. gila hormat. Bersikap semaunya sendiri terhadap orang-orang bumiputera.
Apalagi terhadap kelas yang paling rendah. Itulah yang sering menjelekkan nama baik bangsanya. Pembaca jangan lupa, yang tetap baik juga ada. Tetapi kebanyakan perangainya berubah menjadi sangat buruk melebihi orang-orang lain. Sekarang kita kembali ke pertanyaan kita di atas. Mengapa bisa demikian?
Kita tidak bisa menjelaskan sebab-sebabnya dengan benar. Kita akan mencoba menjawabnya dengan perkiraan. Sebabnya boleh kita simpulkan menjadi dua pokok masalah.
Dari pihak Belanda. Dari pihak bumiputera. Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh yang mengubah perangai Belanda itu adalah:
a. Pengetahuan tentang Tanah Hindia
Meskipun Hindia sudah diperintah bangsa Belanda sudah cukup lama, orang Belanda boleh dikatakan tidak tahu sama sekali tentang keadaan di Hindia. Di sekolah rendah, hanya diajarkan bahwa Nederland mempunyai koloni yang bernama Hindia. Pulau-pulaunya yaitu ... dan sebagainya. Kota-kota di Tanah Jawa seperti Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Surakarta.
Sungai-sungainya seperti Ciliwung, Bengawan (Solo) dan Brantas dan sebagainya. Lain dari pada, tidak sama sekali. Wahai pembaca, kalau anak-anak hanya dipelajari sedikit sekali tentang Hindia, bagaimanakah yang tua-tua yang tidak lagi ingat kepada ilmu bumi. Apalagi orang itu mendengar bahwa kita bisa berbahasa Belanda, maka tercengang-cenganglah ia memandang kita. Mereka mengira, di Tanah Jawa itu masih banyak orang yang makan manusia. Di dekat rumahnya banyak hutan-hutan yang dipenuhi binatang-binatang buas seperti harimau dan binatang-binatang lainnya.
Untung sekarang tambah lama semakin berkurang orang yang berpikiran demikian. Baru-baru ini kita ditanya serdadu:
S T U D E N T H I J O "O, apakah Tanah Jawa itu jauh dari Hindia?" Pertanyaan semacam itu sering sekali kita dengar. Orang-orang yang terpelajar pula setali tiga uang. Hanya orang-orang yang mempunyai saudara di Hindia yang mengepalai pabrik yang mengerti sedikit-sedikit tentang Hindia. Yaitu tempat di mana saudaranya tinggal dan tempat di mana pabriknya berada. Bila m.i. hendak ke Hindia, lalu ia bertanya kepada kenalan-kenalannya yang pernah ke Hindia, ada juga yang tak bertanya sama sekali. Sepertinya hampir semua orang Belanda, tidak tahu sama sekali dengan pikiran kita. Kenalan itu menyangka ia paham betul tentang Hindia. Tentu saja keterangannya itu tak bisa dipercaya sama sekali. Di Hindia, lalu m.i. hanya bergaul dengan bangsanya sendiri, yang juga tidak banyak mengetahui tentang keadaan Hindia. Jadi selamanya m.i. tidak akan pernah mengerti tentang kita. Karena pada zaman kompeni (sampai sekarang) hampir semua orang yang pergi ke Hindia hanya bermaksud untuk mencari uang semata. Tambahan lagi, ia tak mengenal penduduk negerinya. Maka ia (menurut pendapat kita) lalu bertindak semau-maunya sendiri kepada kita. Mengapa hanya sedikit sekali yang mau langsung bergaul dengan kita? Bukankah sesungguhnya itu jalan yang terbaik? Jadi boleh kita katakan:
b. Pembauran di Hindia c. Pendapatnya tentang Kita Bumiputera
Kita mengaku bahwa banyak orang Belanda yang suka kepada kita. Tetapi sayang sekali, m.i. tidak sebanding dengan banyaknya orang yang membenci (karena tidak mengerti) kepada orang-orang bumiputera. Adapun sebab kebencian ini, kebanyakan dari keterangan orang-orang, sanak atau kenalannya yang pernah tinggal di Hindia, mempunyai babu atau jongos yang pada suatu hari berbohong atau mencuri. Maka oleh kenalan itu dikatakan bahwa semua orang Hindia tidak boleh dipercaya. Ini hanya suatu umpama saja. Kita dapat menulis buku-buku penuh dengan perumpamaan-perumpamaan seperti itu. Surat kabar pun dapat meracuni kita, seperti tulisannya W dan V.H. Sehingga banyak orang yang mempercayainya.
Sehingga yang terjadi, banyak orang-orang yang hatinya menyangka seburuk itu. Surat-surat kabar di Nederland tersebut kebetulan sering berurusan dengan bumiputera dan kebaikan-kebaikan pemerintahan. Tetapi pendapat orang-orang bumiputera dan kejelekan-kejelekan pemerintah jarang kita temui. Barangkali akan lebih banyak lagi sebab-sebab yang berasal dari pihak Belanda.
Sekarang kita lihat dari pihak bumiputera.
a. Ketakutan Anak Bumiputera
S T U D E N T H I J O Anak-anak bumiputera kebanyakan takut kepada Belanda. Apa sebabnya?
Bukankah Belanda itu juga manusia seperti Bumiputera? Mari kita lihat dari Zaman Kompeni. Pada waktu itu bangsa bumiputera diinjak-injak, diperas, dan diambil kekuatan serta uangnya. Anak-anak bumiputera (terlebih bangsa Jawa) yang bisa membedakan orang sesuai dengan kelas sosialnya, atas dan bawah, memandang orang Belanda sebagai kelas atas. Bangsa yang tinggi.
Sebab m.i. selalu menang perang. Mulai saat itu, semua orang Belanda disangka patut dihormati. Tetapi si Belanda tidak ambil pusing. Belanda yang perangainya kurang halus itu membalas kebaikan kita dengan kekasaran.
Anak Jawa yang sejak kecil ditakut-takuti dengan Belanda, hingga besar tetap takut. Maka dari itu tidak baik jika orang tua yang menakut-nakuti anak-anaknya yang menangis: "Hai, diam ada Belanda!"
b. Bahasa Bumiputera dan Perihal Menghormati Bangsa Lain Anak-anak bumiputera yang tak tahu bahasa Belanda, kebanyakan berbahasa Melayu dan bahasa Jawa "kromo inggil" kepada Belanda. Si Belanda yang tak mau mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Jawa kromo inggil memakai bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah. Ini jelas salah besar sekali. Siapapun yang berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa rendah, harus dijawab dengan bahasa itu juga. Jika m.i. belum memperkenalkan diri, si Jawa tidak usah menyebut dengan sebutan "tuan" atau "ndoro", bila Belanda menyebut
"man". Dalam bahasa Belanda pun demikian juga. Dalam bahasa ini hanya sedikit sekali bedanya antara tinggi ( kromo inggil) dengan rendah ( kasar/
ngoko). Sebab itu, banyak Belanda yang tidak mau diajak berkata dalam Bahasa Belanda. Baik! Tetapi m.i. jangan juga diajak berbicara dengan bahasa Jawa Tinggi kalau ia tak mau. Mengenai masalah kehormatan pun tak ada bedanya. Heran saya, di Nederland, Belanda itu, sering berkata bahwa kita itu Slaafsch (seperti budaknya). Meski di Hindia ia sering dijongkoki.
Saya menulis ini tidak sekali-sekali bermaksud haatzaaien. Hanya saya hendak membuka mata bumiputera supaya jangan sampai keterusan. Lebih cepat antara Belanda dan bumiputera itu saling berbaur satu dengan yang lainnya dan mengerti. Hal itu akan lebih baik, baik untuk Hindia dan untuk Nederland sendiri. ***
Setelah Sergeant Djepris membaca karangan itu lalu dia meninggalkan Controleur Walter dengan wajah yang cemberut.
RADEN HIDJO KETEMU DENGAN RADEN AJENG BIRU
Pada suatu sore di kota Solo, awan-gemawan bersinar terang sehingga membuat masyarakat kota itu menjadi amat bahagia. Lebih-lebih pada malam S T U D E N T H I J O
harinya di Sriwedari akan ada keramaian (di Solo, bila sudah tanggal 25
puasa, di Sriwedari tentu ada keramaian yang diselenggarakan oleh Kerajaan Kasunanan). Sudah barang tentu, pada saat itu, di jalan-jalan banyak orang yang berpakaian bagus-bagus akan datang ke Sriwedari. Bom pertama si Sriwedari sudah berbunyi. Tandanya bahwa di Sriwedari dari malam itu ada keramaian. Orang-orang di dalam kota yang mendengar suara bom itu bersorak kegirangan. Sebab mereka akan bisa melihat keramaian di Sriwedari.
"Da, Roe!" kata Raden Hidjo kepada Raden Ajeng Biru. Sewaktu ia sampai di rumah Raden Ajeng Biru ia langsung ngeloyor ke rumah belakang. Raden Ajeng Biru sedang duduk di atas kursi, siap-siap hendak mandi. "Dimana papa dan mama?"
"Sedang pergi ke Laweyan ( nama kampung di kota Solo)," jawab yang ditanya dengan senang hati. "Duduklah, saya hendak mandi!"
"Seh, ayo kita pergi ke Sriwedari," kata Hidjo.
"Pergi ke Sriwedari?" tanya Biru kaget seraya bangkit dari tempat duduknya.
Sebab selamanya Hidjo tidak pernah mengajak dia melancong.
"He!, Djo, tumben hari ini kamu kelihatan luar biasa. Biasanya kalau kamu saya ajak plesir, kamu kelihatan malas sekali. Tetapi hari ini tidak. Apa sebabnya?" tanya Raden Ajeng Biru panyang.
"Ach, tidak apa-apa!" jawab Hidjo. "Apakah kamu sudah tak suka dengan buku-bukumu?" tanya Raden Ajeng Biru nampak senang. "Ach, tidak," jawab yang ditanya pendek. "Tunggu sebentar, saya mau mandi dulu," kata Biru.
"Baik!" kata Hidjo. Raden Hidjo, di rumah Raden Ajeng Biru ini, tidak seperti tamu. Karena kedua anak muda itu masih famili.
Selama Hidjo menunggu Raden Ajeng Biru yang sedang mandi, ia tidak lupa mengambil buku Raden Ajeng untuk dibaca sambil menunggu tunangannya.
"Heerlijk!" [Bagus] ambil berjalan cepat dari kamar mandi hendak menuju ke kamarnya.
"O, ya!" jawab Hidjo yang baru membaca buku dan menatap Biru sebentar.
"Djo, ik ben klaar!" [Saya sudah selesai] kata Raden Ajeng sehabis berdandan, keluar dari kamar dan menghampiri tunangannya.
"Ya!" kata Hidjo pendek. Tetapi ia tetap membaca buku.
"Marilah!" kata Raden Ajeng yang sudah berdiri di sampingnya dan kelihatan tidak sabar menunggu.
"Goed, [Baik] tunggu sebentar!" Hidjo tetap membaca buku itu.
S T U D E N T H I J O "Kom nou!" [Ayo lekas!] kata Raden Ajeng keras sambil menarik buku yang sedang dibaca Hidjo.
"Kom! " [Ayo] kata Hidjo dengan seperempat ketawa. Ia bangkit dari kursi dan melihat wajah Biru yang sangat molek. Waktu itu juga kedua anak muda itu keluar bersama-sama dari rumah hendak ke Sriwedari.
"Berjalan kaki apa naik kereta?" tanya Hidjo pada tunangannya.
"Berjalan saja sambil melihat-lihat pemandangan sepanjang jalan," jawab Raden Ajeng.
"Hari ini kau nampak luar biasa, kau memakai jas bukak, kain bagus sekali, iket kethu dan sepatu baru. Apa sebabnya?" tanya Raden Ajeng dengan tertawa sambil melihat pakaian Hidjo.
"Kena apa kamu memakai baju sutra kuning, kain bagus, subang berlian, selop model baru?" balas Hidjo. Tetapi maksud dari pertanyaan itu hendak memuji Raden Ajeng yang tak ada bandingnya. Sebab subang itu oleh Raden Ajeng dianggap sebagai tanda cinta Raden Hidjo kepadanya.
"Ya, sebab kamu berpakain bagus!" kata Raden Ajeng yang setengah tertawa, yang bisa menarik hati Hidjo. "Kamu tahu, ini subang dari siapa?"
"Apa subang itu dari ibu?" tanya Hidjo.
"Ya! jawab Biru pendek.
Semakin lama gadis dan jejaka itu berjalan semakin dekat Sriwedari. Tetapi semakin dekat, dia tidak senang berjalan. Karena orang-orang yang jalan menuju ke Sriwedari semakin berdesak-desakan. Maka dari itu Raden Ajeng dan Hidjo lalu naik kereta untuk melanjutkan perjalanannya ke Sriwedari, supaya cepat sampai dan tidak berdesak-desakan dengan banyak orang.
Di depan Sriwedari, orang-orang yang hendak membeli karcis masuk sudah beribu-ribu. Meskipun begitu Raden Hidjo bisa mendapatkan karcis lebih dahulu. Karena ditolong oppas [penjaga] yang bertugas di keramain itu.
Terangnya lampu-lampu listrik di Kebun Raja laksana terangnya matahari.
Lebih-lebih penerangan malam itu dibantu oleh beberapa sinar berlian yang dipakai oleh para bangsawan dan saudagar. Pun pula subang-nya Raden Ajeng Biru yang harganya f.2000,- turut menerangi Sriwedari. Tidak salah lagi jika pada waktu itu di Kebun Raja dapat dikatakan ada lomba terang-terangan cahaya antara lampu-lampu listrik dengan berlian-berlian yang menambah eloknya para pemakainya. Baju kuning sutra Raden Ajeng nampak berkilauan diterpa sinar lampu. Selendang sutera yang teramat kuning yang menghiasi leher Raden Ajeng berkibar-kibar laksana bendera Gula Klapa yang dipasang di panggung Hingkang Sinuhun. Selop model baru S T U D E N T H I J O
yang dipakai di kaki Raden Ajeng yang juga kuning menambah kelokan Kebon Raja pada malam itu.
Orang-orang yang ada di situ sudah berkumpul sesuai dengan selera masing-masing. Ada yang melihat wayang orang, ada yang melihat bioscoop dan ada yang duduk-duduk di restoran sambil omong-omong satu dengan yang lainnya.
Di dalam Sriwedari itu, Raden Ajeng dan Hidjo masih nampak mondar-mandir sambil melihat-lihat suasana disitu.
"Djo, mari melihat bioscoop atau wayang orang!" kata Raden Ajeng sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
"Nee, Lieve. " [Tidak, Sayang] kata Hidjo dengan suara yang tidak begitu keras membisikkan ke telinga Raden Ajeng seolah-olah hendak menciumnya.
"Kita mencari Restoran yang sedikit remang-remang dan ngobrol saja di situ!"
Raden Ajeng hatinya berdebar mendengar kata-kata Hidjo yang luar biasa itu seraya berkata, "Hari ini kamu tampak sangat baik sekali Djo!" Raden Ajeng sambil mengencangkan pegangan tangannya serta kepalanya disandarkan di pundak Hidjo sebagai tanda cinta.
"Nanti saya hendak berkata kepadamu!" kata Hidjo sambil menunjukkan tanda cintanya yang dengan memegang kerembong sutra tuan putri.
"Akan berkata apa? Lekas!" kata Raden Ajeng tidak sabar dan suaranya itu dipecah untuk menarik hati Hidjo.
"Kalau nanti sudah duduk!" jawab Hidjo menepuk pundak Raden Ajeng membalas cintanya.
Kira-kira ada seperempat jam lamanya Hidjo dan Raden Ajeng Biru berjalan-jalan di dalam Sriwedari sambil omong-omong. Lalu mereka duduk di kursi yang sudah tersedia di depan restoran yang sedikit remang dan terlindung dari pandangan orang.
"Djo, mengapa kita mesti duduk di sini?" kata Raden Ajeng menunjukkan sikap kurang senangnya duduk di keremangan. "Nanti orang yang melihat kita mengira yang bukan-bukan!"
"Ach, tidak (mungkin), toch semua orang sudah tahu bahwa kamu tunangan saya!" kata Hidjo dengan sabar.
Sesudah meminta dua botol limun kepada jongos restoran, lalu dia berkata kepada Raden Ajeng, "Zus, bukankah kamu adalah famili saya sendiri?"
S T U D E N T H I J O begitulah Raden Hidjo mulai berbicara kepada Raden Ajeng, yang mendengarkan dengan seksama.
"Jadi kamu tidak usah berkecil hati, selama saya masih hidup dan tidak gila tentu kamu akan menjadi istri saya. Ini sudah ditentukan." Lantaran perkataan Hidjo itu, Biru mendengarkan betul, dan dalam hati ia merasa khawatir.


Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau tahu? Papa menyuruh saya pergi ke Negeri Belanda untuk meneruskan sekolah ingeniuer [Teknik] di Delf," kata Hidjo sambil melihat air muka Raden Ajeng yang amat manis.
Raden Ajeng mendengarkan perkataan itu (dengan seksama), ia merasa kurang senang dan berkata, "En...dan?"
"Sudah barang tentu, kita berpisah kira-kira tujuh tahun lamanya," kata Raden Hidjo.
Raden Ajeng tidak menjawab. Ia tampak sedih sambil memutar-mutarkan gelas yang berisi limun di depannya.
"Kijk, " [Tidak] Hidjo meneruskan pembicaraannya.
"Ibu sendiri telah memberi nasihat kepada saya, supaya ketika saya belajar di Negeri Belanda tidak nakal sebagaimana anak-anak muda lainnya. Kamu tentu sudah paham betul bagaimana sikap dan kebiasaan saya. Maka dari itu kamu tidak usah berkecil hati saya tinggal di Negeri Belanda."
"Tetapi ... Djo, saya bagaimana?" kata Raden Ajeng sedih.
Dari perkataan itu, Hidjo paham betul apa maksud tersembunyi Raden Ajeng.
"Memang, saya juga sudah memikirkan!" kata Hidjo. "Kalau saya pergi ke Negeri Belanda, tentu yang saya tinggalkan akan susah, begitu juga saya, meski saya ini orang yang tidak suka berbicara (yang tidak ada gunanya) dan tidak pernah main-main dengan perempuan, tetapi kalau satu hari saja tidak melihat wajahmu...."
Lantaran mendengarkan perkataan Hidjo, dengan berani Raden Ajeng melemparkan selendang suteranya tepat mengenai dada Hidjo. Hal ini menunjukkan perkataan Hidjo membikin hatinya menjadi bahagia.
"Sepanjang cerita orang-orang yang pernah ke Negeri Belanda" kata Raden Hidjo pula, "di Negeri Belanda yang paling membahayakan bagi anak-anak muda adalah masalah perempuan."
"Memang!" jawab Raden Ajeng yang muka sewot.
"Tetapi kamu toh percaya dengan sikap dan kebiasaan saya kan?" Kata Raden Hidjo dengan seperempat ketawa.
S T U D E N T H I J O Kata-kata itu tidak dibalas oleh Raden Ajeng, tetapi ia menatap wajah Hidjo seperti menatap sesuatu yang tersembunyi di dalam hati Hidjo.
"Memang, saya sudah percaya kepadamu!" kata Raden Ajeng sambil kakinya yang berselop model baru itu didekatkan ke kaki Hidjo. "Begitu juga kamu tentunya juga percaya kepadaku, bahwa saya tidak bisa hidup jika tidak bersama-sama denganmu."
Meski Hidjo adalah seorang anak muda yang teguh pendiriannya mengenai masalah perempuan, tetapi apabila ia mendengarkan perkataan Raden Ajeng itu, hatinya terpaksa berubah dan berbicara, "Begitu juga saya, kalau tidak melihat wajahmu, sayapun tidak merasa hidup!"
"Betulkah itu?" tanya Raden Ajeng dengan setengah ketawa dan meminum limun yang ada di depannya.
"Tetapi Djo, tentunya kau sudah paham betul bahwa maisjes [gadis-gadis] di Negeri Belanda itu sering menggoda anak-anak muda yang datang dari Tanah Jawa!"
"Memang, perkara itu sudah saya pikir panjang. Maka dari itu kamu hendaknya turut berdoa saja, supaya saya tidak digoda oleh gadis-gadis," kata Hidjo. "Supaya saya lekas kembali ke Tanah Jawa dan...."
Hidjo rupanya malu untuk meneruskan kata-katanya. Tetapi lalu Raden Ajeng, "Dan apa?"
"Ach, pikir sendiri," kata Hidjo.
"Ach, saya tidak bisa berpikir!" kata Raden Ajeng. "Ayo dan teruskan! Dan apa?" Pertanyaan itu hanya ditertawakan saja oleh Hidjo, tandanya ia sangat senang.
"Ach dan... dan apa?" berkata pula Raden Ajeng sambil mendekati Hidjo seolah-olah hendak mendengarkan dengan jelas apa yang hendak dikatakannya.
"Dan kita lalu hidup bersama-sama!" kata Hidjo sambil menarik kursinya didekatkan dengan letak duduknya Raden Ajeng.
Sudah tentu Raden Ajeng tertawa sambil menggigit bibirnya mendengarkan perkataan Hidjo itu.
Tidak berapa lama kedua muda-mudi itu sudah membayar limun yang diminumnya, lalu meninggalkan tempat itu dan masuk melihat wayang orang.
Di panggung wayang orang itu sungguh, bagi Raden Ajeng dan Hidjo, terasa seakan tak ada celanya. Karena di situ mereka bisa melihat beraneka macam pelajaran. Yaitu waktu Janoko berada di Surga Bandung dengan beberapa S T U D E N T H I J O
orang bidadari. Kalau Janoko atau bidadari-bidadari itu berkata yang aneh-aneh, Raden Ajeng tidak lupa melihat wajah Raden Hidjo, seakan-akan hendak ditirunya kelak jika ada waktu yang pas buat mereka itu.
Setelah mereka melihat wayang orang kira-kira dua jam lamanya, lalu pulang.
Mereka juga (merasa) tidak perlu pula melihat-lihat aneka permainan yang memang pada waktu itu masih ramai-ramainya ada di Sriwedari.
Sesampainya di rumah, Raden Ajeng, Hidjo tidak lupa memberitahukan kepada ibunya Biru semua hal yang sudah diberitahukan kepada Biru.
Meskipun ayah dan ibunya merasa susah akan ditinggalkan itu, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali sama-sama turut mendoakan kepada Tuhan, mudah-mudahan Biru dan Hidjo bisa hidup bersama-sama seperti yang telah diangan-angankan kedua orangtua muda-mudi itu.
Tiada berapa lama, Hidjo minta permisi pulang kepada ayah dan ibunya Biru.
Pun pula berkata, "Tot Morgen! " [Sampai ketemu] yang ditujukan kepada Raden Ajeng supaya tidak lupa.
VI. HIDJO BERANGKAT KE NEDERLAND
Sejak Hidjo memberitahukan kepada Raden Ajeng akan kepergiannya ke Negeri Belanda itu, tiap-tiap hari, Hidjo dan Biru selalu berjumpa. Begitu pula orangtua kedua anak muda itu. Sudah barang tentu saja, mereka saling memuas-muaskan dirinya untuk beromong-omong dan berkumpul dengan Hidjo yang beberapa hari lagi akan berpisah dengan semua sanak familinya.
Leerar [Guru] H.B.S yang akan mengatur Hidjo ke Negeri Belanda sudah berembuk dengan ayahnya Hidjo. Dan keberangkatannya juga sudah ditentukan akan naik kapal Gunung. Kapal itu kurang satu bulan lagi akan bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok.
Semakin hari bertambah dekat waktunya Hidjo meninggalkan tunangan dan sanak familinya. Sebelum berangkat aneka hiburan dibuat oleh orangtua dan calon mertuanya. Selain itu saben hari Hidjo dan Raden Ajeng mengunjungi sanak keluarga untuk memohon doa restu atas kepergian Hidjo itu. Setiap hari, selalu saja ada teman-teman Hidjo yang datang hendak mengucapkan selamat jalan.
Kurang satu minggu dari keberangkatan Kapal Api Gunung, Hidjo dan Leerar H.B.S sudah berangkat ke Batavia. Raden Ajeng, ibunya, Raden Potronoyo dan istrinya turut serta ke Batavia hendak mengantarkan Hidjo sampai ke Tanjung Priok.
S T U D E N T H I J O Mereka semuanya menginap di Hotel Jawa Batavia. Tetapi Hidjo turut menumpang Leerar yang akan mengantarkannya ke Negeri Belanda. Meski begitu, tiap hari Hidjo selalu berkumpul dengan tunangannya serta orangtuanya yang menginap di Hotel Jawa.
Hari keberangkatannya Hidjo ke Negeri Belanda sudah tiba waktunya.
Mereka, baik yang akan pergi maupun yang hendak mengantarkan, semuanya pada ribut.
Pukul sepuluh pagi di dalam Kapal Api Gunung yang bersandar di Tanjung Priok, para penumpang sudah berdesak-desakan dengan para pengantarnya.
Waktu itu Hidjo dan para pengantarnya juga sudah berada di dalam kapal.
Raden Hidjo dan Raden Ajeng Biru, di dalam kapal tak pernah berpisah. Ke mana-mana selalu bergandengan tangan. Karena kurang sesaat lagi, mereka harus berpisah. Hati Raden Ajeng yang sedih selalu dihibur oleh Hidjo dengan menunjukkan aneka barang yang ada di dalam kapal. Tetapi Raden Ajeng rupa-rupanya tak bisa bahagia juga. Dan airmata kesedihannya yang selalu ditahan tak bisa dibendungnya lagi.
Kapal Gunung meniupkan peluitnya yang pertama, sebagai tanda supaya orang-orang yang mengantarkan penumpang kapal itu supaya turun ke darat.
Waktu itulah orang-orang yang hendak pergi dan para pengantarnya saling berjabat tangan. Sebagai tanda selamat tinggal dan selamat jalan. Waktu itu, tiga orang perempuan yang mengantarkan Hidjo, menangis mengucurkan airmata tanda kecintaannya. Raden Ajeng terpaksa melepaskan tangan Hidjo lantas turun ke darat. Kapal Api Gunung sudah menarik jangkarnya, peluit berbunyi untuk yang kedua kalinya.
Orang-orang yang berada di kapal dan di darat saling melambaikan sapu tangan. Tetapi tiga orang perempuan yang mengantarkan Hidjo tak bisa melambaikan sapu tangan, karena mereka sedang menahan airmatanya yang terus bercucuran. Meski Hidjo seorang muda yang tabah hatinya, tetapi demi melihat itu dan tunangannya menangis, serentak dia pun mengeluarkan airmatanya juga, sebagai tanda mereka saling mencintainya.
Semakin lama, kapal yang dinaiki Hidjo semakin menjauh. Demikian pula, orang-orang yang ada di dalam kapal dan orang-orang yang di darat satu sama lain kian tak bisa saling melihat dengan jelas. Sudah barang tentu, saudara-saudara Hidjo lantas kembali ke Batavia dan lain hari mereka hendak pulang ke Solo.
Meski kapal Gunung sudah jauh dari daratan, tetapi Hidjo masih selalu melihat ke arah Tanjung Priok yang masih kelihatan dari kejauhan. Hari ini Hidjo tak punya nafsu makan. Maka dari itu, ia langsung ke kamar dan S T U D E N T H I J O
tiduran sambil memikirkan nasib malangnya serta sanak famili yang ditinggalkannya.
Pada waktu itu pukuk empat sore, yaitu waktunya para penumpang sama-sama minum teh, Hidjo turut serta duduk-duduk dengan teman-teman sesama penumpang. Waktu itu saling berkenalan dengan sesama penumpang yang sama kelasnya. Di antara mereka ada empat gadis Belanda, dua orang janda setengah tua. Gadis dan nyonya-nyonya itu amat senang melihat wajah tampan Hidjo. Tetapi Hidjo tak mempedulikan sama sekali, sebab angan-angan masih melekat kepada Raden Ajeng Biru.
Semua penumpang selalu berkumpul jika waktunya makan pagi, siang atau sore atau sewaktu ada di dek kapal. Hidjo selalu diperhatikan oleh gadis-gadis itu, kadang-kadang seorang dari mereka bertanya kepada Hidjo dengan maksud humor.
"Meneer [Tuan] Hidjo, mengapa wajah Tuan selalu tampak sedih?" tanya gadis itu. "Apakah tuan selalu memikirkan tunangan Tuan yang ditingal di Tanah Jawa?"
"Ya, betul!" jawab Hidjo pendek.
"Ach, jika Tuan sudah sampai di Negeri Belanda, tentu Tuan akan lupa dengan tunangan Tuan!" kata gadis itu setengah tertawa. "Sebab anak-anak perempuan di Negeri Belanda itu manis-manis!"
"Apa betul?" jawab Hidjo pendek.
"Memang!" kata gadis itu pula. "Cobalah lihat saya nanti kalau Tuan sudah sampai di Negeri Belanda, saya ingin tahu apa Tuan tidak lantas mendapatkan pacar lagi."
Perkataan itu hanya dibalas Hidjo dengan tertawa.
"Apakah Tuan ke Negeri Belanda hendak sekolah?" tanya gadis itu pula.
"Ya!" jawab yang ditanya.
"Di mana?" "Di Delf!" sahut Hidjo.
"Kalau begitu, besok Tuan jadi insinyur?"
"Barangkali!" Sampai di situ mereka saling beromong-omong, Leneer H.B.S yang mengantar Hidjo datang dan turut ngobrol.
S T U D E N T H I J O Kedatangannya itu tidak membikin senang gadis itu. Tetapi Hidjo malahan senang, sebab ia bisa ngobrol hal-hal yang berguna dengan Leneer-nya.
Meskipun Leneer itu ngobrol aneka hal yang bisa membikin senang siapa saja yang mendengarkannya, tetapi Hidjo tak bisa memikirkan cerita itu. Karena hatinya selalu memikir Raden Ajeng. Lima hari lamanya, sejak ia berangkat dari Tanjung Priok, Hidjo tak bisa melupakan wajah Raden Ajeng. Maka dari itu, tidak jarang jika selama itu jarang keluar kamar. Juga orang yang mengantarkannya sering bertanya-tanya, barangkali ia sakit. Tetapi pertanyaan itu selalu dijawab, "Tidak!"
Semakin lama semua penumpang Kapal Gunung satu sama lain semakin akrab. Sudah tentu, gadis-gadis itu bertambah berani ngobrol dengan Hidjo, meskipun Hidjo tidak begitu mempedulikannya.
Satu minggu lamanya kapal yang dinaiki Hidjo sudah sampai si Sabang. Di sini semua penumpang turun ke darat untuk melihat pemandangan pulau kecil yang sangat kecil yang sangat bagus yang terletak di sebelah barat daya Sumatera.
Hidjo juga tidak mau ketinggalan, naik ke darat bersama leerar-nya. Waktu mereka sudah sampai ke darat, masing-masing hendak melancong menuruti kehendak hatinya. Dua orang gadis dan seorang nyonya itu meminta kepada Hidjo dan leraar-nya agar mereka itu mau ikut bersama-sama melihat panorama. Tetapi leraar H.B.S tidak bisa menuruti permintaan itu karena ia hendak pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat-surat dan lain-lainnya.
Untuk demi kesopanan, Hidjo terpaksa menuruti juga permintaan tiga orang itu. Sebab adat Barat, Eropa, semua laki-laki harus menghormati semua perempuan.
"Maukah tuan mengantar kami untuk melihat panorama?" tanya seorang dari tiga perempuan itu.
"Dengan senang hati!" jawab Hidjo sopan .
"Betul, mau?" tanya salah satu gadis itu dengan tertawa.
"Tentu saja!" kata Hidjo menunjukkan kesopanannya.
"Marilah!" kata salah seorang perempuan, supaya Hidjo cepat berjalan.
Kalau mengikuti adat Eropa, jika ada seorang lelaki berjalan bersama-sama dua orang perempuan, yang lelaki meski berjalan di tengah dan kanan-kirinya diapit perempuan. Tetapi karena Hidjo berjalan-jalan bersama-sama tiga orang perempuan, dia merasa kebingungan, tidak bisa mengatur. Maka dari itu terpaksa Hidjo bertanya kepada mereka, "Bagaimana kita mesti berjalan S T U D E N T H I J O
Dames [Nyonya]?" tanya Hidjo seperempat tertawa dan tidak lupa menunjukkan kesopanannya.
"Begitu," kata nyonya dan Hidjo disuruh berjalan di tengah-tengah, kanan kiri gadis-gadis itu. "Saya yang orang tua berjalan di sini!" kata nyonya yang mengatur itu. Lalu ia berjalan di samping gadis yang ada di kanan Hidjo.
Mereka itu berjalan berjejeran, tetapi sayang aturan itu tidak bisa diteruskan sampai ke tempat panorama yang dituju. Karena semakin jauh mereka berjalan semakin naik dan sempit jalan yang mereka lalui.
"Saya capek Tuan!" kata gadis yang ada di samping kanan Hidjo. Dan dia berhenti, napasnya tersengal-sengal.
"Berhenti sebentar!" kata Hidjo dan dua perempuan lainnya juga turut berhenti.
"Kira-kira lima menit mereka istirahat dan berlindung di bawah pohon karet.
Lalu Hidjo berkata, "Mari kita berjalan lagi?"
"Tetapi pelan-pelan saja!" kata gadis yang merasa capek seperempat menangis.
"Baik!" kata Hidjo pendek dan tertawa dalam hati, tetapi jelas nampak di raut wajahnya.
Hidjo menyuruh ketiga orang perempuan itu supaya berjalan di depan, karena jalannya amat sempit dan jelek. Tetapi gadis yang mengaku capek itu, asal ada jalan yang basah sedikit selalu minta tolong kepada Hidjo supaya dicarikan jalan yang sedikit kering supaya tidak membuat kotor sepatunya yang berkilat-kilat serta pakaian sutera yang dipakainya. Sudah tentu, Hidjo terpaksa menolong gadis itu.
"Tuan, saya jalan di mana?" tanya gadis yang rewel itu sambil seperempat menangis, waktu melihat jalan yang sebagian besar basah.
"Ach, kamu, bikin susah saja sama Tuan Hidjo An!" kata gadis lainnya yang sudah berjalan lebih dahulu bersama-sama nyonya itu.
"Biarlah, tidak jadi apa," jawab Hidjo sambil memegang tangan gadis yang meminta tolong dan segera dicarikan jalan yang bersih oleh Hidjo.
"Terima kasih," kata gadis itu sesudah meloncat dari jalan yang basah.
Karena gadis itu sering meminta tolong kepada Hidjo, maka ia terpaksa selalu berjalan berjejeran dengan Hidjo. Apakah hal itu disengaja?
Semakin lama mereka berjalan, semakin dekat dengan tempat yang mereka tuju.
S T U D E N T H I J O "Hai, ini dia!" kata nyonya itu, setelah mereka melihat dua bangku yang tersedia di bawah pohon yang sangat rindang.
Mereka semua berlari-larian hendak menuju duduk di bangku itu. Tetapi Hidjo selalu berjalan perlahan-lahan dan seperti ada yang dipikirkannya.
"O, God! Wat een prachting panorama! Vind je niet An?" ["O Tuhan!, Suatu panorama yang indah! Kemarilah An?"] kata nyonya itu kepada Anna, waktu mereka sudah sama-sama duduk di bangku dan melihat bukit-bukit yang terletak di pinggir laut.
"Apakah tidak bagus, Tuan?" tanya gadis yang rewel itu kepada Hidjo dan dia mengibas-ibaskan sapu tangannya untuk mencari angin guna mengeringkan peluhnya yang seperti orang mandi.
"Sayang, ini pakaian sutera!" kata nyonya itu sambil meraba pakaian Anna dan melihat juga kepada Tuan Hidjo seolah-olah ada maksud tersembunyi.
"Ah, tidak jadi apa, basah sedikit kena keringat!" jawab Anna sambil melihat Hidjo dan seolah ada maksud tersembunyi juga.
"Apakah tidak begitu Tuan Hidjo!" tanya Anna kepada Hidjo dan matanya memberi tanda cinta.
"Ya!" jawab Hidjo pendek di dalam hati ia berkata, "Kamu lon...."
Setelah Hidjo mengerti rupa-rupanya Anna menaruh cinta kepadanya, lalu dia minta permisi sebentar kepadanya untuk berjalan naik sedikit.
"Bolehkah saya ikut Tuan?" tanya Anna, mendengar kata Hidjo yang minta permisi itu.
"Jangan Nona, sebab jalannya terlalu susah," kata Hidjo.
"Biarlah, tak jadi apa!" kata Anna, menunjukkan tanda cintanya.
"Nee, An, kamu tinggal di sini saja!" kata Jetje.
"Nanti kalau ada bunga, apakah Tuan mau memetikkan buat saya?" tanya Anna keras.
"Baik!" kata Hidjo sambil berjalan.
Sesudah Hidjo sampai ke tempat yang sunyi, kira-kira seratus meter jauhnya dari jauhnya dari tempat Dames itu, lalu Hidjo berhenti, bernaung di bawah pohon dan memikirkan dalam hatinya.
"Biasanya, hari-hari begini saya baru saja plesir-plesir dengan Biru."
Begitulah angan-angan Hidjo mengingat-ingat perjalanan yang telah dilaluinya. "Kita sama-sama pergi ke Sriwedari dengan Biru dan beberapa S T U D E N T H I J O
teman kita, anak-anak perempuan dan laki-laki. Juga kita berjalan bersama-sama melihat-lihat binatang-binatang yang ada di Kebun Raja itu. Saat-saat Biru marah kepada saya, karena saya tidak banyak bicara, tetapi karena kemarahannya itulah yang semakin membuat bahagia hatiku. Kalau kita sudah pulang ke rumah, kita ngobrol-ngobrol dengan famili-famili kita. Dan ibu saya kelihatannya senang sekali melihat kita. Tetapi sayang, waktu itu saya lebih senang membaca buku daripada ngobrol-ngobrol dengan Biru.
Tetapi hal itu tak jadi apa. Toch saya mencintai Biru. Bagaimana keadaan Biru dan ibunya selama saya tinggalkan ini?"
Sampai di situ Hidjo memikirkan Biru, lalu ia berkata dalam hati, "Waktu saya baru lulus dari H.B.S, saya datang ke tempat teman sekolah saya, yaitu anaknya Regent Jarak. Kedatangan saya di kabupaten ini dikenalkan oleh teman saya kepada saudara perempuannya. Setiap sore saya melancong dengan teman sekolah saya dan saudara perempuannya yang cantik wajahnya itu. Juga selama saya menjadi tamu di rumah Regent, hati saya merasa senang. Karena semua famili teman saya itu memandang saya seperti anaknya sendiri. Juga ayah dan ibunya itu, sangat kepingin sekali berkenalan dengan ayah dan ibu saya. Ini suatu tanda, saudara perempuan teman saya, Raden Ajeng Wungu kebiasaan dan sikapnya sangat halus sekali. Dan boleh jadi lebih halus dari kebiasaan dan sikapnya Biru. Tetapi saya mencintai Biru.
Sebab saya mencintai ibunya, ayahnya dan semua saudara kita." Sampai di sini terpaksa Hidjo tidak bisa meneruskan lamunannya, karena waktu itu ia mendengar orang-orang berjalan ke arahnya sambil tertawa-tawa.
"Tuan Hidjo, Tuan orang Jawa," kata Anna sambil tertawa. Lainnya juga ikut tertawa ketika mereka melihat Hidjo. Perkataan itu tidak dibalas oleh Hidjo, karena ia tidak begitu mendengarnya. Dan lagi para perempuan yang berjalan mendekati itu belum bisa berkata dengan jelas. Sebab napasnya ngos-ngoson.
"Di sini lebih bagus!" kata Jetje dan perkataan itu mendapat pesetujuan dari teman-temannya, "Ya!"
"Nona berkata apa tadi?" tanya Hidjo kepada Anna waktu ia mendekati Hidjo.
"Tidak apa-apa!" jawab yang ditanya dan tertawa senang.
"Tidak Tuan!" nyonya itu menerangkan, "Tadi Anna berkata bahwa Tuan orang Jawa dan bodoh!"
"Nee, nee, tidak!" kata Anna dengan keras sambil tertawa dan melemparkan sapu tangannya ke arah Hidjo. Perkataan Anna itu juga ditertawakan oleh dua orang perempuan lainnya, seolah-olah menunjukan bahwa perkataan nyonya itu betul.
S T U D E N T H I J O "Apakah Tuan bodoh?" tanya Anna untuk humor.
"Ya, saya bodoh," kata Anna untuk mengguncangkan hati Hidjo,"Orang Jawa bodoh, cis!"
"Kamu gila Anna!" kata Jetje. "Kamu tidak tahu adat."
"Diam saja Tuan, jangan pedulikan orang gila!" sambung nyonya itu.
"Marahkah kamu Tuan?" kata Anna menunjukkan tanda cintanya.
"Ah, tidak!" jawab Hidjo sabar.
"Kenalkah Tuan dengan orang Jawa yang bernama Kromo Negoro yang kawin dengan gadis Belanda?" tanya Anna.
"Kenal!" jawab Hidjo sabar.
"Saya tidak me...," kata Anna seolah-olah mempermainkan Hidjo.
Karena perkataan gadis itu, Hidjo paham betul bahwa ia mencintai dirinya.
Meski sesungguhnya Hidjo adalah seorang yang tidak suka main gila, tetapi lantaran mengetahui perasaan Anna itu, ia terpaksa menunjukkan kesenangannya.
"Saya juga suka!" kata Hidjo kepada Anna membalas perkataannya.
Kata-kata Hidjo itu sama-sama mereka tertawai. Dan Anna kelihatan malu-malu mendengarkan kata-kata Hidjo itu. Karena itu ia rupanya seolah-olah menyimpannya dalam hati. Tetapi tidak demikian halnya Anna, perkataannya cuma hanya di bibir saja.
VII. RADEN AJENG PERGI KE PEGUNUNGAN
Saudara-saudara Hidjo yang turut mengantarkan kepergian Hidjo ke Negeri Belanda, sudah sama-sama pulang ke Solo. Tetapi sepulang mereka dari Batavia, merasa selalu sedih, karena memikirkan Hidjo. Lantaran terlalu keras memikirkan Hidjo, ibu Hidjo dan Raden Ajeng menjadi sakit. Setiap hari kepala merasa pusing dan tidak enak makan, juga tidur tidak nyenyak.
Dua hari setelah mereka pulang dari mengantarkan Hidjo, ibu dan Raden Ajeng Biru pergi ke pemandian Baturaden. Kepergian mereka itu untuk mencari udara segar, supaya bisa menyembuhkan rasa sakit karena memikirkan Hidjo tersebut. Baturaden adalah sebuah tempat yang dingin dan sering didatangi oleh orang-orang yang sakit atau orang-orang yang mencari hawa segar untuk sementara waktu. Maka wajar jika di tempat itu banyak berdiri hotel-hotel yang bagus, untuk menginap semua orang yang datang ke S T U D E N T H I J O
situ. Selain itu juga tersedia tempat pemandian ( badplaatsen) yang bagus, pun di situ ada panorama alam yang indah.
Di Baturaden, saudara Hidjo menginap di sebuah hotel yang paling bagus. Di sini juga sudah banyak pengunjungnya. Di antara mereka itu ada saudara-saudara Regent Jarak yang sudah sementara hari menginap di situ untuk mengantarkan anak perempuan Regent Jarak yang sedang sakit.
Setelah sehari semalam saudara Hidjo menginap di hotel itu, ia berkenalan dengan saudara-saudara Regent Jarak. Selain itu Raden Ajeng Biru dan Raden Ajeng Wungu -- anak perempuan Regent Jarak -- juga saling berkenalan meski mereka sedang sakit.
Saben hari atau sore saudara Regent Jarak dan saudara Hidjo bersama-sama pergi ke tempat pemandian. Sudah tentu saja mereka semakin lama semakin akrab dan bersahabat.
"Sakit apakah Tuan Puteri?" tanya istri Regent Jarak kepada ibunya Hidjo, waktu mereka sama duduk-duduk berkumpul dalam satu meja.
"Saya tidak sakit Raden Ayu," jawab ibunya Hidjo. "Cuma hati saya merasa sedih, karena anak lelaki saya pergi ke Negeri Belanda untuk meneruskan sekolahnya."
"Sekolah apakah dia?" tanya Raden Ayu Regent Jarak sambil melihat wajah Raden Ajeng Biru yang ikut duduk di situ.
"Sekolah buat insinyur," jawab Raden Nganten Potronoyo.
Perkataan ibu Hidjo itu disambut dengan wajah manis oleh Raden Ajeng Wungu dan Raden Ajeng Biru. Karena gadis-gadis muda itu mengerti bahwa Raden Nganten tidak bisa berkata insinyur.
"Siapa nama anak Tuan Putri?" tanya saudara Regent Jarak.
"Hidjo!" jawab Raden Nganten pendek.
Perkataan istri Raden Potronoyo itu membuat kaget semua saudara Regent Jarak yang ada di situ. Raden Ajeng Wungu terpaksa menggigit bibirnya yang amat manis sewaktu ia mendengar kata Hidjo itu. Seolah ia hendak menyambung perkataan itu, "Saya kenal Hidjo!" Pun pula Raden Ajeng Biru, mendengar kata menyebut nama tunangannya itu, roman wajahnya berubah terang seperti memberi tanda bahwa Hidjo itu tunangannya.
"Hidjo? Hidjo yang baru lulus dari H.B.S?" tanya Raden Ayu Regent Jarak kaget.
"Ya!" jawab yang ditanya pendek.
S T U D E N T H I J O "Hidjo dari Solo?"
"Ya!" kata Raden Nganten.
"Jadi Tuan Putri ibunya Hidjo? Jadi Tuan Putri Raden Nganten Potronoyo?"
tanya istri Regent panyang lebar. "Sa-ya kenal dengan anak Tuan. Sebab ia teman sekolah anak saya. Dan pernah juga datang ke tempat saya di Jarak.
Untung sekali saya bisa berkenalan dengan Tuan Putri, karena memang saya sudah lama ingin sekali berkenalan dengan Tuan Putri. Saya tidak mengira sama sekali bisa berjumpa dengan Raden Nganten di sini." perkataan Raden Ayu Regent itu disambut dengan muka manis siapa saja yang mendengarnya.
Lebih-lebih Raden Ajeng Wungu dan Biru, di mana mereka itu di dalam hatinya ada bayangan wajah Hidjo.
"Saya juga mendengar kabar, Tuan Putri, bahwa anak Tuan itu hendak pergi ke Nederland. Sebab semua anak saya sudah diberi kabar oleh Hidjo."
Begitulah Raden Ayu meneruskan pembicaraannya. "Anak perempuan saya ini juga sudah kenal dengan anak Tuan."
"Saya juga dikasih surat oleh Hidjo waktu dia hendak berangkat!" begitu Raden Ajeng Wungu memberanikan diri ikut campur bicara.
"Apakah itu saudara perempuan Hidjo Tuan Putri?" kata Raden Ayu Regent menanyakan Biru.
"Bukan Raden Ayu. Ini Biru, anaknya saudara perempuan saya!" jawab ibunya Hidjo.
"Wajahnya mirip. Pantas kalau jadi saudara Hidjo," kata Raden Ayu sambil melihat wajah Raden Ajeng Biru yang manis.
Raden Ajeng Wungu yang sudah beberapa hari badannya sakit, karena ikut memikirkan kepergian Hidjo ke Nederland, apabila ia mendengarkan percakapan antara ibunya dan ibu Hidjo, seolah-olah ia mendapatkan obat badannya yang sakit, karena sudah.
Raden Ajeng Wungu yang melihat saudara Hidjo berkumpul dalam satu hotel merasa seperti berkumpul dengan Hidjo di Kabupaten. Yaitu sewaktu Hidjo datang ke rumahnya. Maka dari itu, tidak jarang jika waktu itu Wungu merasa sembuh dari pikirannya yang amat susah. Tetapi pikiran Raden Ajeng Wungu itu tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Dalam hati Raden Ajeng Biru merasa senang, karena beberapa pujian yang keluar dari saudara Regent Jarak, lebih-lebih Raden Ajeng Wungu. Dia selalu bercakap-cakap dengan Raden Ajeng Biru merembuk perihal keadaan Raden Hidjo sewaktu datang di Kabupaten Jarak. Raden Ajeng Biru sama sekali S T U D E N T H I J O
tidak mengerti apa yang terlukis di dalam hati Raden Ajeng Wungu. Juga Biru tidak memberi tahu bahwa Hidjo itu bakal suaminya.
"Marilah kita nanti melihat panorama?" kata Raden Ajeng Wungu kepada Raden Ajeng Biru senang.
"Baik, saya memang ingin melihat-lihat keindahan bukit-bukit yang bagus itu," jawab Raden Ajeng Biru setuju.
Pukul lima sore kedua gadis yang sama moleknya, sama pintarnya dan sama-sama mencintai ....
Pakaian Raden Ajeng Wungu yang serba sutera, melekat di badannya yang kuning itu, sudah menunjukkan bahwa hatinya senang dan badannya sudah sehat. Kalung zamrud dan cincin berlian yang dipakainya semakin membikin elok paras wajahnya. Sepatu bagus yang dipakai Raden Ajeng Wungu membikin bagus jalannya dan bisa menambah banyak bicara daripada biasanya. Waktu ia berdiri di depan cermin yang ada di pendopo hotel, dia sendiri merasa heran melihat wajahnya sendiri, karena semakin bertambah manis. "Sayang Hidjo tidak melihat wajah saya sekarang!" kata Raden Ajeng seorang diri.
Raden Ajeng Biru memakai baju sutera yang tidak lebih jelek dari baju yang dipakai Raden Ajeng Wungu. Pun subang Biru yang seharga f.2000,- bersinar sangat terang seperti subang yang dipakai Wungu. Kain Solo seharga f.40-juga tidak kalah baiknya dengan sarung yang dipakai Raden Ajeng Wungu yang seperti sutera. Waktu itu Raden Ajeng Biru berpakaian seperti hendak melancong dengan Hidjo.
Sesudah kedua gadis yang sama cantiknya dan berpakaian sama bagusnya itu meminta pamit kepada orang-tuanya untuk melancong, dia lalu bersama-sama keluar dari hotel hendak melihat-lihat panorama. Karena dari tempat itu kira-kira ada dua pal jauhnya, terpaksa Raden Ayu Regent menyediakan kereta yang mengikuti jalannya dua gadis cantik itu.
"Kusir, jangan terlalu dekat sama kita," kata Raden Ajeng Wungu kepada kusir yang mengikutinya." Kamu jalan pelan-pelan saja, nanti kalau kita sudah merasa capek, nanti saya panggil."
"Baik Tuan!" jawab kusir dan dia memerintahkan kepada looper (kenek) supaya kuda yang menarik kereta itu dijaganya.
"Siapa yang punya kereta itu?" tanya Raden Ajeng Biru kepada Raden Ajeng Wungu.
"Ayah saya sendiri yang punya!" jawab Raden Ajeng Wungu. "Kita ke sini perlu membawa kereta sendiri, karena di hotel tidak ada kereta yang bagus.
S T U D E N T H I J O Dan lagi, tempat saya, Jarak, tidak jauh dari sini. Barangkali cuma delapan pal, maka dari itu kita membawa kareta sendiri."
"Apakah Tuan datang kemari juga naik kereta itu?" tanya Biru.
"Memang!" jawab Wungu. "Dan dulu kalau saya datang ke sini dengan ayah dan saudara saya, kita selama plesir melihat panorama juga memakai kereta itu."
"Dua ekor kuda hitam yang menarik kereta itu bagus sekali," kata Biru sambil melihat kuda yang ada di belakang.
"O, kuda itu yang dulu sering saya pakai plesir di Jarak dengan Tuan Hidjo dan saudara lelaki saya," kata Wungu sambil mengatur kain sarungnya yang setengah sutera dan berkembang-kembang yang tertiup angin terlalu kencang.
"O, Tuan Hidjo suka sekali sama kuda hitam saya itu. Waktu dia ada di rumah saya, dia sering sekali datang di stal (kandang kuda) untuk memberi pisang kepadanya. Juga itu, dua ekor kuda saya, rupa-rupanya senang sekali dengan Tuan Hidjo."
"Berapa hari Hidjo ada di Jarak?" tanya Biru.
"Barangkali ada satu minggu!" jawab Wungu dengan senang. "Ayah, ibu dan saudara lelaki saya cinta sekali dengan Tuan Hidjo. Sebab dia anak pintar dan halus budi bahasanya. Kalau dia tidak ditanya, dia tidak berkata. Dia pendiam sekali."
"Memang," kata Biru dengan senang. "Saya kesal sekali kalau plesir sama dia, sebab kalau tidak saya tanya, dia tidak suka bicara."
"Itu kebiasaan yang bagus sekali," jawab Wungu sambil melihat penitinya yang menghiasi baju sutera hijau muda yang dipakainya.
"Hidjo itu, kalau berkumpul dengan anak-anak perempuan temannya, dia sering dikatakan, Pendito," kata Raden Ajeng Biru. "Dan orang-orang itu sama-sama tertawa mendengar sebutan Pendito itu."
"Saya senang sekali berkumpul dengan orang seperti Tuan Hidjo itu," kata Raden Ajeng Wungu sambil memegang kalung zamrudnya. "Sebab semua kata-katanya dapat dirasakan dan mengandung nasihat yang bagus-bagus."
"Sayang, dia sekarang pergi ke Negeri Belanda," kata Biru.
"Tidak jadi apa, toh besok dia pulang kembali ke Tanah Jawa dan kita bisa bertemu kembali dengan dia kan?" sambung Wungu.
"Memang!" kata Biru pendek.
S T U D E N T H I J O "Barangkali Tuan Hidjo kalau kembali ke Tanah Jawa sudah jadi insinyur,"
kata Wungu. "Dan untung yang ...." perkataan Wungu itu terpaksa tidak diteruskan, sebab dia menjaga, jangan sampai ketahuan apa yang terpatri di angannya.
"Lain hari, kalau saya sudah pulang ke Jarak hendak mengirim surat kepada tuan Hidjo, tanya keadaannya di Negeri Belanda," kata Wungu dengan senang.
"Saya juga!" kata Biru pendek.
"Tetapi Tuan Hidjo itu kalau dikirimi surat, diminta kabar ini-itu. Dia membalas cuma sedikit sekali," kata Wungu. "Rupa-rupanya, dia malas menulis."
"Ya, sebab dia lebih suka membaca bukunya daripada untuk tulis-menulis,"
kata Biru dengan panyang lebar. "Dia kalau di rumah, tidak pernah meninggalkan bukunya. Saya khawatir kalau besok dia gila, sebab terlalu banyak belajar."
"Ah, masakan gila! Toch hal itu tidak kita harapkan," kata Wungu sambil memegangi pinggangnya dan matanya yang beralis bengkok terbuka lebar, seolah-oleh marah.
"Memang, hal itu tidak kita harapkan!" jawab Biru
"Mari kita sama-sama naik kereta saja, sebab saya sudah capek!" kata Wungu.
"Mari, saya juga sudah jemu!"
Kedua gadis itu lalu sama-sama berhenti di tengah jalan, menunggu keretanya yang berjalan sedikit jauh dari mereka itu. Saat kusir kereta melihat raden Raden Ajeng sama-sama berhenti di tengah jalan dan memberi tanda supaya keretanya lekas mendekat lalu kusir itu mempercepat jalan kudanya.
"Mari naik Tuan!" begitu Wungu menyuruh Biru supaya cepat naik kereta, sewaktu kereta itu sudah datang dan berhenti di dekatnya.
"Terima kasih!" kata Biru setelah dia naik dan ditolong oleh Wungu yang turut naik juga.
"Ayo Sir jalan pelan-pelan saja," suruh Raden Ajeng Wungu kepada kusir, ketika ia sudah duduk di atas kereta.
"Baik Tuan!" sahut yang disuruh.
Sekarang dua gadis yang elok paras wajahnya itu sudah sama-sama naik kereta dan keretanya pun sudah berjalan tidak terlalu kencang. Ekor kedua S T U D E N T H I J O
kuda yang menarik kereta itu berdiri seperti bendera seakan-akan keduanya ikut senang dinaiki oleh dua gadis ayu-ayu. Baju sutera kedua Raden Ajeng itu berkibar-kibar tertiup angin. Roman muka yang teramat molek itu, tentu akan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Giginya yang teramat putih seperti mutiara itu bisa membikin kaget siapa yang melihatnya.
Perawakan badan kedua gadis itu bisa membuat muda kembali orang yang sudah tua. Kalau waktu itu ada orang-orang yang berjumpa dengan raden ajeng-ajeng yang sama-sama naik kereta roda karet itu, tentu mereka tidak lagi mengira bahwa kedua gadis yang naik kereta itu adalah manusia biasa.
Tetapi bidadari yang baru turun dari atas langit menjelma jadi manusia hendak melihat-lihat panorama yang amat bagus.
"Coba lihat itu, kuda itu sangat bagus sekali jalannya," kata Wungu sambil berdiri melihat kudanya. "Maka dari itu, Tuan Hidjo sangat senang sekali dengan kuda itu."
"Memang!" kata Biru sambil melihat kuda itu.
Seperempat jam lamanya mereka naik kereta, lalu sama-sama turun, karena jalannya tidak boleh dilalui kareta.
"Wah, bagus sekali!" kata Biru sewaktu dia hendak turun dan melihat-lihat bukit-bukit serta sungai-sungai kecil. "Apakah kita cuma berhenti di sini saja?"
"Nee, kita masih bisa berjalan naik sedikit. Dan di atas sana ada rumah yang disediakan untuk orang-orang yang hendak melihat-lihat panorama," kata Wungu sambil jadi telunjuknya yang amat manis sekali menunjuk ke atas, tempat rumah yang diceritakannya.
"Marilah kita naik sedikit," kata Biru
"Tetapi tidak usah terlalu jauh sampai di rumah yang saya katakan, sebab kita tentu tidak kuat berjalan sampai sejauh itu. Dan lagi, jalannya terlalu sempit,"
jawab Raden Ajeng Wungu. Raden Ajeng itu lalu berjalan kaki, semakin ke atas semakin bertambah jelas keelokan panoramanya.
"Sayang betul, kita melihat keelokan begini rupa, cuma kita berdua, coba Tuan Hidjo ada, tentu kita akan lebih senang bukan?" kata Biru kepada Wungu.
"Memang!" jawab Wungu.
Kata-kata Biru itu membikin bingung hati Wungu, karena perkataan itu jelas menunjukkan bahwa Biru menaruh cinta kepada Hidjo. Tetapi karena Wungu S T U D E N T H I J O
itu orang yang halus budinya, tentu perkataan itu hanya dipikirkan dalam hati sendirian saja.
"Apakah Biru itu tunangan Hidjo?" tanya Wungu dalam hati. "Ya, meski Biru tunangan Hidjo, saya pun harus berkenalan dengan baik sama dia, sebab saya bukan tunangan Hidjo, tetapi saya sangat senang berkenalan dengan dia."
"Marilah Tuan Putri, kita kembali?" kata Wungu sesudah ia memikirkan hal-hal tersebut.
"Mari!" jawab Biru.
Raden Ajeng Wungu menganggap Raden Ajeng Biru seperti saudaranya sendiri, meski jika akhirnya Biru menjadi istrinya Hidjo, Wungu pun tidak akan putus persaudaraannya dengan dia dan Hidjo.
Matahari semakin lama, semakin hilang sinarnya dan kedua Raden Ajeng itu sudah sama-sama naik kereta, hendak kembali ke hotel.
VIII. HIDJO TIBA DI AMSTERDAM Sesudah Kapal Gunung bertolak dari Sabang, Hidjo tidak terlalu keras memikirkan Biru dan familinya atau handai tolan yang ditinggalkannya.
Gadis-gadis yang saban hari bergaul dengan Hidjo bertambah hilang kesopanannya lantaran gadis-gadis Belanda yang tidak begitu mempedulikan adat kesopanan itu. Saat-saat tertentu, gadis-gadis itu bermain-main dengan Hidjo terlalu luar biasa, tetapi Hidjo selalu ingat jangan sampai ia melakukan hal yang tidak baik yang bisa membikin susah orang lain atau diri sendiri.
Walau masalah yang dijaga Hidjo itu bagi bangsa Eropa dipandang sebagai suatu masalah yang sudah umum, tetapi Hidjo tidak mau melakukannya. Juga seringkali Hidjo dikatakan oleh Anna "onzijdig" (banci). Kata-kata itu hanya ditertawakan saja oleh Hidjo.
Pukul empat lepas tengah hari pada bulan Juli, kapal yang dinaiki Hidjo sudah sampai di Amsterdam. Waktu itu di Negeri Belanda sedang musim panas, yaitu musim yang sangat bagus sekali bagi Negara Belanda karena pada musim panas itu semua pepohonan dan rumput-rumput sedang tumbuh.
Sudah barang tentu pada musim itu siang-malam banyak orang-orang yang sedang plesiran. Waktu itu Hidjo turun dari kapal. Di pelabuhan sudah berdesak-desakan orang yang hendak menjemput sanak familinya yang datang dengan naik Kapal Gunung. Suasana semacam itu sungguh luar biasa bagi Hidjo. Bukan luar biasa karena bagusnya pakaian orang-orang yang ada si situ. Tetapi luar biasa karena mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-S T U D E N T H I J O
orang Belanda. Orang yang mana kalau di Tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala.
Setelah Hidjo dan Leerar-nya turun dari kapal, mereka langsung ke hotel.


Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedatangannya di situ Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel sebab mereka berpikir kalau orang yang baru datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya. Lebih-lebih kalau orang Jawa. Maka dari itu Hidjo tertawa dalam hati melihat keadaan serupa itu karena ia ingat nasib bangsanya yang ada di tanah airnya sama dihina oleh bangsa Belanda.
"Kalau di Negeri Belanda dan ternyata orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda," begitu kata Hidjo dalam hati.
Sudah tiga hari Hidjo dan Leerar- nya berada di Amsterdam dan melihat-lihat keadaan kota itu. Lalu ia dibawa ke Den Haag akan dititipkan ke saudara Leerar- nya yang menjadi direktur salah satu maatschappij [perusahaan] yang ada di Den Haag.
Leerar- nya dan Hidjo diterima dengan senang hati oleh tuan rumah dan sekalian anak-anaknya. Lebih-lebih, kedua saudara itu sudah enam tahun tidak saling bertemu. Setelah tamu dan tuan rumah saling berjabatan tangan, lalu Leerar itu memberi tahu kepada saudaranya.
"Piet (nama kecil tuan rumah itu), anak yang ikut dengan saya ini adalah seorang Jawa. Dia hendak masuk sekolah di Delf," bagitu Leerar- nya mulai membuka pembicaraan. "Kalau kamu tidak keberatan, pelajar muda ini hendak saya suruh menumpang di rumahmu sini. Sebab kalau dia tinggal di Delf, hati saya kurang enak, karena di sana tidak ada orang yang bisa saya percaya untuk menjaga anak ini."
Meski tuan rumah belum menjawab apakah dia bersedia menerima Hidjo atau tidak, namun kalau melihat roman mukanya, jelas menunjukkan bahwa ia senang sekali ketempatan Hidjo. Lebih-lebih anaknya direktur itu. Dua gadis yang baru berumur 16 dan 17 tahun yang waktu itu ikut duduk di samping ayah dan ibunya. Sewaktu mereka mendengar bahwa pelajar Hidjo hendak menumpang di rumahnya, gadis-gadis itu sama kelihatan bersemu merah roman mukanya sambil menggigit bibirnya yang manis sebagai tanda senang.
"Ya, Karel (nama Leerar)," jawab tuan rumah itu." Perkara ini harus kita pikirkan lebih dahulu, tetapi kira-kira kita juga bisa menerima dia menumpang di sini. Dan lagi, saya masih punya satu kamar yang kosong, meski kamar itu belum ada tempat tidurnya atau perhiasan lain-lainnya.
Maar." S T U D E N T H I J O "Ach, masalah tempat tidur itu, perkara yang gampang!" jawab istri tuan rumah menunjukkan kesenangannya menerima Hidjo.
"Hidjo ini, jangan kamu anggap sebagai orang lain, anggaplah ia sebagai anakmu sendiri, sebab saya tahu betul sifat-sifatnya. Dia anak baik-baik dan rajin belajar," kata Leerar- nya memuji Hidjo.
Hidjo tertawa mendengar pujian itu dan lain-lainnya memperlihatkan wajah manis sambil melihat wajah Hidjo.
"Enfin" jawab tuan rumah." Biarlah ia sementara tinggal di sini dulu sebelum kita menentukan malalah ini."
"Baik!" kata Leerar." Adapun masalah makan, kamu kira-kira sendiri secukupnya, pendeknya masalah ini kau bilang terus terang kepada saya, sebab saya yang menanggung dia."
Lantaran tamu itu membicarakan masalah makan, nyonya rumah terpaksa bertanya kepada Hidjo untuk humor. "Apa Tuan suka makan cara Belanda?"
"Suka!" jawab Hidjo pendek sambil tertawa.
"Sebab kalau Tuan tidak mau makan cara Belanda, memang susah. Sebab makanan ala Jawa di sini sangat mahal harganya dan saya sendiri tidak bisa memasak cara Jawa."
Begitu tuan rumah meneruskan kata-katanya.
"Nee, Ma, saya punya buku resep masakan ala Jawa," sambung anak perempuannya yang tua sambil setengah tertawa.
Lantaran perkataan itu, orang-orang yang ada di situ tertawa girang.
"Ach, Ma!" kata Betje -- anak perempuan tuanya "Nasi goreng itu enak, saya pernah makan di warung Jawa!"
"Ach, kamu, suka sekali dengan masakan Jawa," jawab mamanya sambil mengejek.
"Memang, saya suka sekali masakan Jawa!" jawab Betje dan tertawa sambil matanya yang putih itu melihat Hidjo dengan tajam.
Semua pada tertawa mendengar perkataan Betje itu dan Karel bertanya kepada Hidjo untuk humor. "Kamu bisa masak nasi goreng Hidjo? Kalau bisa Betje kamu ajari masak nasi goreng."
"Tidak!" jawab Hidjo setengah tertawa.
Sudah barang tentu karena perkataan Leerar itu semua jadi tertawa.
S T U D E N T H I J O "Nee, Oom, saya sudah bisa masak sendiri, sebab saya punya buku resepnya!" jawab Betje sambil tertawa dan menatap Hidjo.
"Nah, jadi sekarang Hidjo boleh tinggal di sini?" tanya Karel.
"Ya, boleh!" jawab Piet dan dia bertanya kepada istrinya "Bagaimana vrouw
[nyonya rumah]?" "Baik, nanti Tuan Hidjo untuk sementara hari kita suruh menempati kamar Betje, dan Betje bisa kumpul sama Marie -- anak perempuan mudanya,"
begitu kata nyonya tuan rumah kepada suaminya.
"Bagaimana Bet?" tanya mamanya kepada Betje sambil melihat juga pada Marie.
"Saya tidak keberatan!" jawab Betje dan Marie memberi tanda senang dan menjawab, "Ya!"
"Nah, sekarang saya hendak kembali ke Amsterdam. Dan nanti saya akan memberi tahu alamatmu kepada agen kapal, supaya semua barang-barang Hidjo dikirim kemari," kata Leerar.
"Baik!" jawab tuan rumah.
Pada saat itu Leerar mohon permisi dan saling berjabatan tangan dan dia berkata kepada Hidjo, "Belajarlah baik-baik, hoor," juga berkata kepada Betje dan Marie, "Hidjo jangan kamu benci!"
"Neee Oom!" jawab Betje lalu bertanya pada Karel, "Oom, apakah saya boleh mengantarkan Oom sampai di stasiun?"
"Boleh!" jawab Leerar.
"Kalau kamu hendak mengantarkan Oommu, kamu berpakaian yang baik dulu!" kata mamanya.
"Kamu mau ikut Marie?" kata Betje kepada saudara perempuannya.
"Ya!" jawab yang ditanya.
"Maukah Tuan Hidjo ikut?" tanya Betje kepada Hidjo sambil menunjukkan kegembiraannya.
"Baik!" jawab Hidjo.
Setelah gadis-gadis itu selesai berpakaian, lalu mereka pergi dari rumah hendak mengantarkan Leerar di stasiun spoor. Waktu itu baru pukul empat sore. Memang saat itu banyak orang yang plesir, lebih-lebih hari itu awan-gemawan musim panas itu nampak terang.
S T U D E N T H I J O Leerar H.B.S berjalan berjejer dengan Marie. Betje berjejer dengan Hidjo sebagaimana adat Eropa. Satu sama lain saling bercakap-cakap menunjukkan rasa kegembiraannya. Tak lama mereka sampai di Stoopplats tram electrik no. 12, yaitu tram yang pergi ke jurusan stasiun spoor. Sesudah mereka sama-sama naik, lalu tram berjalan. Sudah barang tentu, di dalam tram itu satu sama lain saling ngobrol.
Sekarang mereka sudah sampai di stasiun. Tidak antara lama kereta api yang akan membawa Leerar ke Amsterdam datang. Di sini mereka saling berjabat tangan untuk yang kedua kalinya. Dan Leerar itu naik kereta api kelas 2.
"Dag! Dag! Dag!" kata mereka sambil mengibar-kibarkan sapu tangannya waktu kereta api sudah mulai berjalan. Dan Leerar memberi tanda selamat tinggal kepada mereka.
"Ke mana kita sekarang?" tanya Betje kepada Marie dan Hidjo.
"Pulang!" jawab Hidjo.
"Apakah tidak lebih baik kita plesir saja?" tanya Betje kepada dua orang temannya.
"Baik!" kata Marie tanda setuju.
"En Tuan Hidjo, maukah Tuan plesir sama kita?" tanya Betje sambil melihat roman muka Hidjo yang cakep itu.
"Tentu saja!" jawab Hidjo dengan wajah senang.
Sesungguhnya Hidjo tidak bernafsu untuk melancong, tetapi karena dia harus menuruti dua gadis bangsa Eropa itu, terpaksa ia ikut juga.
Sekarang Hidjo berada di kalangan dua gadis bangsa Eropa, sudah barang tentu Hidjo harus memakai adat Eropa yang telah beberapa tahun ia jalankan di sekolah H.B.S di Tanah Jawa. Meskipun adat Eropa di Negeri Belanda lebih bebas ( vrij) daripada adat Eropa di Tanah Hindia tetapi Hidjo tidak kebingungan tambah kebebasannya.
"Mari kita pergi ke kota. Barangkali Tuan Hidjo ingin melihat keadaan kota ini!" kata Betje sesudah mereka keluar dari stasiun dan Hidjo berjalan berjejer di tengah gadis-gadis itu.
"Apakah kita naik tram?" tanya Hidjo kepada dua gadis itu.
"Ne, ne!" jawab Betje. "Sebaliknya kita jalan kaki sambil melihat-lihat keelokan park-park dan rumah-rumahnya."
S T U D E N T H I J O Meskipun keadaan kota Den Haag lebih bagus ketimbang keadaan kota-kota di Tanah Jawa, tetapi Hidjo pun tidak merasa heran. Sebab dia mengerti bahwa dunia itu hanya perhiasan yang tidak kekal.
"Tuan Hidjo, bagaimana pendapat Tuan tentang kota di sini?" tanya Betje.
"Bagus!" jawab yang ditanya dengan sabar.
"Baik mana dengan kota-kota di Tanah Jawa?" tanya Marie.
"Sudah tentu bagus di sini," jawab Hidjo pula.
"Apakah Tuan merasa senang tinggal di sini?" tanya gadis yang tua.
"Memang, saya senang sekali tinggal di sini," jawab pelajar muda itu.
"Senang mana Tuan di sini dengan di tanah Tuan?" tanya gadis yang muda.
Hidjo kebingungan ketika harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi karena dia harus menunjukkan kesopanannya, dia menjawab, "Kalau saya bisa terus di sini, memang saya lebih suka tinggal di sini selamanya."
Perkataan Hidjo itu bisa membikin bahagia dua gadis bangsa Eropa yang cantik-cantik yang ada di kanan-kiri Hidjo.
Semakin lama mereka berjalan-jalan di sepanyang kota, jarum horloge- nya
[jam tangan] hingga menunjukkan pukul enam sore, yaitu waktunya malam -di Negeri Belanda orang-orang kalau makan sore jam enam.
"Pukul berapa sekarang Tuan?" tanya Betje dengan manis.
"Setengah enam!" jawab Hidjo setelah melihat horloge- nya.
"Sebaiknya kita pulang saja. Sebab sekarang ini waktunya kita makan." kata Betje.
Ketiga orang muda itu naik tram lijn 4 -- di Den Haag, tram di dalam kota ada jalur no. 1 sampai 16. Mereka sampai di rumah sudah hampir pukul enam.
Dan di situ sudah tersedia makanan untuk lima orang. Dienstmeisje (pembantu perempuan) setelah menyediakan makanannya, dia sibuk memberesi kamar yang akan ditempati Hidjo. Dan semua pakaian Betje yang perlu untuk dipakai di rumah dipindahkan ke kamar Marie.
"Bagaimana rasanya masakan Belanda Tuan?" tanya nyonya rumah setelah mereka duduk sehabis makan.
"Enak sekali!" jawab Hidjo menunjukkan kesenangan hatinya sebagai tanda kesopanan.
"Apa Tuan tidak lebih senang makan masakan Jawa?" tanya Betje.
S T U D E N T H I J O "Ne, tidak! Saya lebih senang makanan Eropa!" kata Hidjo yang membuat senang mereka itu.
"Tetapi saya suka sekali makanan Jawa. Sebab saat-saat tertentu, kalau saya makan bakmi ada di Indische Restourant (Warung Jawa). Saya rasa, makanan itu lebih enak daripada kentang biefstuk yang kita makan ini," kata Betje dengan panjang lebar.
"Ah, kamu Indische (orang perempuan Hindia) Bet!" kata mamanya.
"Biarin, saya lebih suka jadi perempuan Hindia daripada jadi perempuan Belanda!" jawab anaknya dengan kenes.
Perkataan Betje itu, kecuali ditertawakan semua orang yang ada di situ, juga Hidjo menjawab dalam hati, "Kamu berbahaya!" Hidjo mengerti bahwa pertanyaan itu untuk menyenangkan hatinya. Tetapi ia harus ingat juga bahwa kedatangannya ke Negeri Belanda itu tidak disuruh untuk main-main. Lebih-lebih kalau Hidjo teringat pesan ibunya. Perasaannya menjadi sedih sebab dia sudah mempunyai tunangan yang juga familinya sendiri.
"Tuan Hidjo!" tanya Betje. "Senang mana Tuan jadi orang Hindia atau orang Belanda?"
"Ben je gek, Bet! " ["Kamu gila, Bet!"] kata mamanya marah mendengarkan kata-kata anaknya.
"Nee, Mevrouw! [Tidak, Nyonya!] kalau kulit saya bisa menjadi putih seperti orang-orang Belanda, memang saya senang menjadi orang Belanda," kata Hidjo dengan berani kepada nyonya rumah. "Tetapi karena kulit saya ini bruin (merah tua), baiklah, saya jadi orang Hindia saja."
"Det geeft niks! " ["Itu bukan soal!"] kata Betje untuk membalas perkataan Hidjo. "Kulit merah, menurut pandangan saya kulit merah itu bagus."
Perkataan Betje itu membuat kaget kedua orangtuanya karena kata-kata itu telah menunjukkan bahwa Betje menaruh hati kepada Hidjo.
"Kulit merah itu kotor!" kata Hidjo sebagai tanda sopan dan humor.
"Ne, ne, tidak!" jawab Betje dengan cepat sambil melihat papanya, mamanya dan Hidjo. "Kulit merah itu faaaaiin [Bagus]!"
Pembantu perempuan yang waktu itu hendak melayani makan yang kebetulan dekat di situ, dia terpaksa setengah tertawa sambil melihat Betje dan Hidjo dan di dalam hati dia berkata; "Nah, sekarang Betje tergila-gila sama tamunya!"
Sehabis makan, lalu Betje bertanya kepada pembantu perempuannya:
"Apakah kamar saya sudah kamu beresin?"
S T U D E N T H I J O "Sudah!" jawab yang ditanya.
"Apakah Tuan Hidjo hendak melihat kamar Tuan? Mari saya antarkan," kata Betje.
"Mari!" kata Hidjo bangkit dari kursinya.
Meski di dalam kamar itu tidak kurang hiasannya tetapi Betje berkata,"Kamar saya tidak bagus!"
"Ah, tidak. Kamar ini bagus betul!" kata Hidjo sesudah mereka berada di dalam kamar.
"He, kenapa foto-foto saya diambil?!" kata Betje dengan keras sambil memanggil pembantu perempuannya.
"Ada apa Nona?" kata pembantu perempuan itu setelah mereka tiba di depan pintu kamar Betje.
"Kenapa foto-foto saya kamu pindah dari sini?" tanya Betje kepada pembantu perempuannya.
"Mama Tuan yang menyuruh!!" jawab yang ditanya.
"Bawa sini!" suruh Betje kepada pembantu perempuannya supaya foto-foto itu dipasang kembali di kamar yang hendak ditempati Hidjo.
"Memang, saya senang sekali!" kata Hidjo sebagai tanda kesopanan.
"Nah, ini potret saya waktu masih kecil!" kata Betje sambil menunjukkan foto yang lainnya.
Foto-foto yang ditunjukkan Betje kepada Hidjo itu ada satu lusin. Hidjo melihat dengan senang hati. Setelah selesai, lalu dipasang di dinding seperti biasanya.
"Kamar ini, kamar yang paling bagus!" kata Betje kepada Hidjo. "Sebab saya memilih yang bagus. Kalau Tuan melihat dari jendela, Tuan bisa melihat tanggul dan tanah lapang." Mereka sama-sama mendekati jendela, melihat tanggul dan tanah lapang yang dikatakan.
"Kalau musim dingin, kamar ini tidak terlalu dingin, sebab dekat kachel yang ada di salon (kamar tamu). Kalau musim panas seperti sekarang ini, kamar di sini yang paling dingin. Sebab letaknya ada di sebelah selatan. Kalau Tuan mau minta apa-apa, boleh menyuruh kepada pembantu perempuan, atau kalau perlu, Tuan boleh menyuruh saya. Tentu saya akan melakukannya," begitu Betje berkata dengan panjang lebar kepada Hidjo yang ada di kamarnya.
Tetapi Hidjo dalam mendengarkan perkataan itu hanya menjawab dengan
"Ya dan baik!" S T U D E N T H I J O Waktu itu telah pukul tujuh sore, tetapi matahari masih amat terang menyinarkan cahayanya. Maka dari itu Betje dan Hidjo kembali ke ruang tamu, ngobrol bersama famili-famili direktur itu.
Kedatangan Hidjo untuk menumpang di rumah direktur itu sungguh membikin senang semua orang seisi rumah itu. Karena Piet dan istrinya menganjurkan supaya Hidjo terus tinggal di rumahnya. Hal ini akan diberitahukan kepada Karel sebagaimana telah dijanjikan.
IX. FAMILI HIDJO DATANG DI KABUPATEN JARAK
Raden Ayu Regent dan Raden Ajeng Wungu sudah sepuluh hari berada di hotel Baratadem. Famili Hidjo kira-kira sudah satu minggu berada di situ.
Karena mereka sudah merasa sembuh dari sakitnya, ia hendak pulang kembali ke rumah masing-masing. Tetapi Raden Ayu Regent meminta dengan sangat kepada famili Hidjo supaya ia mau datang ke Kabupaten Jarak barang beberapa hari, untuk semakin mempererat persaudaran mereka. Permintaan itu dikabulkan oleh famili Hidjo. Sebab mereka memang sudah cocok betul bersaudara dengan famili Regent Jarak. Setelah perkara itu diputuskan, Raden Ayu Regent meminta tolong kepada Wedono yang memerintah di daerah itu, supaya dia memberi tahu kepada Regent -- ayah Wungu -- bahwa Raden Ayu Regent minta dijemput karena mereka akan membawa tamu.
Waktu Raden Ajeng Wungu mengetahui bahwa ibunya baru saja memerintah kepada oppas kabupaten yang ikut dan diberi tahu masalah itu, Raden Ajeng meminta supaya dia boleh datang sendiri ke Kawedanan, untuk berbicara melalui telepon dengan kantor Kabupaten Jarak. Permintaan itu pun dikabulkan oleh ibu Wungu.
"Maukah Tuan Putri ikut saya ke kantor Kawedanan?" tanya Raden Ajeng Wungu kepada Raden Ajeng Biru, setelah ia mendapat izin dari ibunya.
"Ada apa?? tanya Biru yang sedang duduk-duduk dengan familinya.
"Mau telepon untuk meminta kereta satu lagi!" jawab Wungu dengan girang.
"Bukankah Tuan sekalian hendak datang ke rumah kita?"
"Baik!" kata Biru dan masuk ke kamarnya sebentar untuk bercermin di kaca.
Kisah Membunuh Naga 18 Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie Senopati Pamungkas 20

Cari Blog Ini