Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 1
OLA sepak berwarna putih dekil itu melayang
tinggi melewati pagar sebuah rumah besar lalu men?
darat entah di mana. Tak kelihatan lagi.
"Gila lu! Jauh banget nyepaknya!" seru Dono.
"Hebat, kan?" kata Kiki bangga.
"Hebat apaan? Ilang dah bolanya!" bentak Madi
kesal. Dia pemilik bola. "Nggak mungkin ilang. Ada di dalam kok," bantah
Kiki. "Tapi mana? Nggak kelihatan tuh," kata Gilang.
"Kayaknya tadi nyemplung di semak-semak sana
itu." Fani menunjuk ke sudut pekarangan sebelah kiri
yang rimbun dengan tanaman kembang sepatu ber?
warna merah. Dia, adik Kiki, adalah satu-satunya anak
perempuan di kelompoknya.
Mereka berlima, para pemain bola jalanan, berderet
di depan pintu gerbang sebuah rumah besar yang tam?
pak sepi. Kelimanya memegang pagar dengan dua
Isi-Warisan.indd 10 tangan dan melayangkan pandang ke segala penjuru.
Untuk sesaat mereka terpesona dan melupakan bola
tadi. Mereka berhadapan dengan bagian depan rumah
itu. Hanya pintu gerbang yang memiliki celah di
antara jerujinya hingga memungkinkan mereka melihat
ke dalam. Sepanjang pagar ke kiri dan kanannya tak
memiliki celah di antara jeruji karena rapat tertutup
oleh tanaman pagar. Bangunan besar itu sebuah rumah kuno dengan
pilar-pilar tinggi, menyangga plafon yang tinggi. Pintu
utamanya besar dengan dua daun pintu berikut
jendela-jendela yang juga besar di kiri dan kanannya.
Di bagian samping rumah yang posisinya lebih masuk
ke dalam juga terdapat pintu dan jendela. Warna
peliturnya cokelat tua, terlihat mengilap di bawah pe?
nerangan lampu teras. Dindingnya berwarna putih.
Sebelah kiri dan kanan rumah bagian depan lebih
menonjol ke depan membentuk setengah lingkaran
yang didereti jendela-jendela kecil memanjang ke atas
berlapis kaca patri dengan motif bunga lili aneka
warna. Karena di bagian dalam ada lampu yang m?e?
nyala terang, maka lukisan di kaca itu jadi kelihatan
lebih jelas. Rumah itu, termasuk beberapa rumah lain di kawas?
an yang sama, merupakan cagar budaya di Jakarta.
Jadi tak diperkenankan untuk dibongkar atau diubah
bentuk aslinya. Yang dibolehkan hanya merenovasi
bila ada kerusakan atau kerapuhan karena termakan
usia, tanpa mengubah bentuk.
Anak-anak itu sudah beberapa kali bermain bola di
Isi-Warisan.indd 11 jalanan itu tanpa pernah memperhatikan rumah-rumah
di kawasan tersebut. Mereka sendiri bukan warga
daerah yang merupakan pemukiman elite itu; mereka
tinggal di pemukiman berseberangan, yang merupakan
pemukiman baru berasal dari tanah kosong bekas
kebun yang tak lagi diolah. Jadi keduanya kontras.
Yang satu pemukiman kuno tapi elit, yang lainnya pe?
mukiman baru tapi sederhana.
Jalanan di situ sepi hingga dianggap ideal bila di?
jadikan lapangan sementara. Bila sesekali ada mobil
me?lintas mereka bisa segera menepi. Bukan hanya ideal?
nya saja yang membuat mereka senang bermain di situ,
tapi juga karena sampai saat itu belum ada yang
melarang. Mereka baru mencari tempat lain jika nanti
sudah ada pelarangan bermain di kawasan ter?sebut.
"Wah, bagus sekali ya? Kayak istana," decah ka?
gum Fani. "Kata bapakku, umurnya udah lebih dari seratus
tahun. Dari zaman Belanda," kata Madi.
"Gede banget! Garasinya aja lebih gede dari rumah?
ku," kata Gilang. "Orang Belanda kan gede-gede," kata Fani, di?
sambut tawa yang lain. "Emangnya raksasa?" kata Kiki.
"Ah, emang gede, kan? Makanya mereka bisa men?
jajah kita begitu lama," kata Fani.
"Tahu, nggak? Kalau kita tinggal di situ, bisa main
bola di dalam!" seru Gilang.
Semuanya terdiam sejenak. Bukan membenarkan
ucap?an Gilang, tapi mengingatkan akan tujuan semula.
Apalagi Madi. Bolanya! Isi-Warisan.indd 12 "Mana, ya?" kata Madi.
"Lihat dari sini mana kelihatan? Di situ gelap,
lagi." "Nggak ada orangnya, ya?"
"Panggil aja! Ada belnya nggak?"
Anak-anak yang berusia antara sebelas dua belas
tahun itu, kecuali Fani yang paling kecil, mengamati
pintu pagar, untuk memeriksa apakah ada belnya di
balik tembok. Biasanya bel ada di situ. Tapi tinggi
tubuh mereka tak mencukupi untuk mencapai ke?
tinggian yang diperlukan. Yang pasti, kalaupun ada
bel, letaknya tentu setinggi orang dewasa.
Lalu tanpa dikomando kelimanya mulai berseruseru sambil menggoyang-goyang pintu.
"Buuu! Buuu! Paak! Paak...!"
"Tolong ambilin bola!"
Sesudah itu mereka diam dengan mata menatap
pintu rumah. Adakah yang keluar?
"Kok sepi amat? Jangan-jangan rumah kosong...."
"Ah, masa? Itu ada mobil. Pasti suara kita nggak
kedengaran. Rumahnya gede."
"Ada anjingnya nggak, ya?"
"Kalau ada pasti sudah menggonggong dari tadi.
Mana betah dia..." "Ayo, kita teriak lagi. Yang lebih keras...."
Mereka kembali berteriak-teriak. Tapi suasana tetap
sepi. "Kalau orangnya keluar, pasti marah," kata Fani.
"Siapa sih penghuninya?"
"Mana aku tahu. Jarang-jarang lewat sini kok," sa?
hut Madi kesal. Isi-Warisan.indd 13 ain "Dah mau magrib. Besok pagi aja kita ke sini lagi,
ya?" kata Kiki dengan nada membujuk.
"Pokoknya kamu tanggung jawab. Kamu yang
nyepak kok. Kita kan nggak main di lapangan, kenapa
nyepaknya keras-keras," Madi mengomel.
"Orang kaya mana mungkin mau ngambil bola
jelek gitu. Pasti nggak ke mana-mana," kata Fani,
adik Kiki, membela kakaknya.
"Pokoknya kalau bolanya ilang, kamu ganti," su?
ngut Madi. Kiki menimbang-nimbang. Besok pagi harus se?
kolah, artinya dia harus bangun lebih pagi. Dan itu
biasa?nya susah ia lakukan. Jadi harus siang. Yang ia
takutkan bukanlah bola diambil penghuni rumah, tapi
dibuang. Paling baik adalah sekarang juga.
"Aku loncat aja," ia memutuskan.
Keempat rekannya terkejut.
"Gila! Entar kamu dikemplang, disangka ma?
ling...." "Tahu-tahu anjingnya keluar, kamu dimakan," Gi?
lang menakut-nakuti. "Ah, nggak ada anjing kok," Fani menenangkan.
"Anjing yang pintar nunggu dulu sampai kau
masuk baru dia keluar," kata Gilang.
"Mana ada anjing segitu pintarnya. Semua anjing
itu bawel. Pengennya menggonggong," bantah Fani.
"Sudah, jangan banyak ngomong. Jadinya gimana
nih?" tanya Madi. "Aku loncat...,"Kiki bersikukuh.
"Jangan," Fani cemas. "Nanti yang punya rumah
marah. Kalau kamu diteriaki maling, gimana?"
Isi-Warisan.indd 14 "Udah jelas nggak ada orangnya."
"Ayolah. Kalau mau loncat, loncat saja. Tapi
emang?nya kamu bisa. Pagarnya kan tinggi," Madi me?
leceh?kan, walaupun ia berharap Kiki benar-benar me?
loncat supaya bolanya bisa cepat diambil.
Kiki mengamati pagar yang tingginya satu setengah
meter. Pucuknya lancip. Jelas berbahaya sekali kalau
sampai tertusuk. Tapi di antara besi-besi pagar yang
memanjang ada potongan besi yang mendatar sebagai
peng?hubung di antaranya. Dia bisa meletakkan kaki?
nya pada besi mendatar itu meskipun pendek-pendek
sekitar sepuluh senti, dan mencari posisi supaya kaki?
nya bisa muat. "Kamu membungkuk, Di. Aku nginjak punggung?
mu, ya," kata Kiki, menatap Madi yang bertubuh pa?
ling besar di antara mereka.
"Tunggu dulu. Nanti kalau kamu udah ada di da?
lam, keluarnya gimana?" tanya Dono.
Kiki berpikir sejenak. Ia melongok-longok ke da?
lam lewat celah pagar. "Ah, gampang. Pintunya pasti bisa dibuka dari da?
lam," katanya. "Kalau nggak bisa, gimana? Kalau digembok, gi?
mana?? tanya Dono. "Gampang juga. Aku ketok aja pintu rumahnya,
pas?ti orangnya keluar. Terus aku minta dibukain pin?
tu." Semuanya menatap Kiki dengan cemooh.
"Ngegampangin aja. Nanti dianggap maling, gi?
mana?" tanya Dono lagi, berharap Kiki membatalkan
rencananya. Isi-Warisan.indd 15 ain "Nggak mungkin. Tampangku kan imut-imut, mana
mungkin disangka maling."
Kiki memasang wajah manis dengan senyum lebar
dan mata dikerlingkan. Teman-temannya tertawa. Kiki
memang cakep dengan wajah cerah bersih dan hidung
mancung. Tak jauh beda dengan Fani, adiknya.
"Jadi gimana nih?" tanya Madi.
"Ya, loncat!" kata Kiki mantap. "Ayo sekarang
kamu membungkuk, Di."
Madi cemberut, tapi menurut. Dia membungkuk.
Kiki naik ke atas punggungnya dengan berpegangan
pada pagar. Madi menggerutu dan mengaduh-aduh ke?
beratan. Masih di atas punggung Madi, Kiki mengamati
se?kitar?nya. Ia membuat Madi semakin keras meng?
gerutu. Dengan berada di tempat yang lebih tinggi, Kiki
bisa melihat situasi di pekarangan rumah itu lebih
jelas. Ia melihat halaman yang terurus dengan baik. Ia
mengarahkan pandang ke tempat di mana bola diper?
kirakan mendarat. Tidak kelihatan sesuatu yang putihputih karena di sana tanaman kembang sepatu berdaun
lebat. Apalagi di pojok itu agak gelap. Penerangan di
balik jendela yang berkaca patri tidak cukup me?
nerangi halaman di bagian pojok.
Sesaat muncul keraguan dan juga kengerian. Bagai?
mana kalau ada ular di antara rimbunan semak-semak
itu? "Hei, emangnya aku patung?" teriak Madi. "Cepet?
an dong! Pinggangku mau patah nih!"
"Udah, Ki. Turun aja. Jangan diterusin," kata Dono.
Isi-Warisan.indd 16 "Ya betul," sambung Fani. "Kalau Papa tahu..."
Diingatkan pada ayahnya Kiki menjadi keder.
"Iya. Kalau takut mending jangan diterusin, Ki,"
kata Gilang. Dikatai takut membuat Kiki malah jadi nekat. Ia
akhirnya naik ke atas besi pagar yang melintang. Madi
se?gera meluruskan tubuhnya yang pegal. Setelah ber?
diri di atas Kiki mengambil ancang-ancang untuk me?
lompat turun sementara keempat anak di sebelah luar
menahan napas. Kiki mendarat dengan mulus di atas kedua kaki?
nya. Ia menyeringai bangga kepada keempat rekan?
nya. "Cepetan!" hardik Madi. Ia kesal karena punggung?
nya sakit dan khawatir kalau nanti bakal diinjak lagi.
"Jangan tinggalin aku, ya?" pesan Kiki.
"Nggak. Ayo, cepet!"
Kiki segera berlari ke pojok halaman, yang diper?
kirakan tempat bola berada. Ia menyuruk-nyuruk di
situ. Karena letaknya di pojok ia tak terlihat lagi oleh
ke?empat rekannya yang berada di depan pintu.
Jangkau?an pandangan mereka tak sampai ke sana.
Tapi mereka tetap menunggu, walaupun sulit bagi me?
reka untuk mengintip ke arah dalam karena sepanjang
pagar ditumbuhi tanaman. Lagi pula sebentar lagi Kiki
pasti akan muncul di situ juga.
Tapi belum lagi Kiki kelihatan, sudah terdengar
teriakan galak yang memanggil-manggil nama anakanak itu. Pulang! Pulang!
Otomatis, tanpa berpikir lagi keempat anak itu ber?
lari pergi meninggalkan rumah besar itu berikut Kiki
Isi-Warisan.indd 17 di dalamnya. Fani, adik Kiki, juga ikut berlari pulang.
Baginya, yang penting adalah tidak sampai dimarahi.
Biarlah Kiki menanggung sendiri omelan orangtuanya
karena dia sendiri yang ingin masuk ke rumah itu.
Fani tiba di rumahnya, disambut ibunya, Sumarni.
"Ke mana Kiki?" tanya Sumarni, setelah tidak
melihat anak sulungnya itu.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fani segera menceritakan apa yang terjadi. Sumarni
terkejut. "Ah, lancang amat anak itu. Kalau pintunya ter?
buka, masih mending. Ini kok loncat sih."
"Udah dibilangin jangan, Ma. Tapi dia bandel. Eh,
Papa belum pulang, ya Ma?"
"Belum. Wah, dia bisa marah kalau tahu."
"Jangan dibilangin ya, Ma? Sebentar lagi juga dia
balik." Tapi Fani sebenarnya ragu-ragu. Bagaimana cara
Kiki keluar nanti? Mereka sudah meninggalkannya di
sana sendirian. "Kalian ninggalin dia, lagi," Sumarni menyesal?
kan. "Habis tadi udah diteriakin bokap dan nyokapnya
si Madi dan si Gilang. Mereka pada takut dimarah?
in." "Kok gitu sih sama kawan," gerutu Sumarni.
"Apa aku ke sana lagi, Ma?" tanya Fani tidak ya?
kin. Sebenarnya ia tidak berani.
"Jangan! Sudah, tunggu saja. Dia kan nggak jatuh
ke mulut buaya. Dia sudah cukup gede kok."
Sumarni sebenarnya khawatir, kalau Fani dibiarkan
pergi, nanti malah tidak kembali juga. Ia juga tidak
Isi-Warisan.indd 18 yakin apakah sebaiknya pergi menyusul atau tidak. Ia
tidak mengenal penghuni rumah itu, juga penghuni
lain di kawasan itu. Sepertinya ada bentangan status
sosial yang memisahkan. Menurut pandangannya, meskipun Kiki salah, tapi
itu merupakan masalah sepele. Anak-anak lebih gam?
pang dimaafkan daripada orang dewasa. Buat anakanak, jangankan bola, layang-layang yang tak ada
harganya pun dikejar. Penghuni rumah itu tentunya
me?ngerti. Biarlah Kiki sekali-sekali kena omelan se?
bagai pelajaran. Setengah jam berlalu tapi Kiki belum muncul juga.
Lalu setengah jam lagi dengan hasil yang sama.
"Wah, Papa keburu pulang nanti," keluh Fani. Ia
kasihan kepada Kiki meskipun kesal karena tadi
larang?annya tidak diindahkan. Padahal sebagai adik,
ia dan Kiki hanya berbeda satu tahun saja.
Akhirnya Budiman, ayah Kiki dan Fani, pulang ke
rumah. Ia keheranan melihat istri dan putrinya berdiri
di depan pintu. Sumarni menceritakan permasalahannya. Budiman
melotot marah. "Jadi sampai sekarang dia belum pulang? Masa cuma
ngambil bola segitu lamanya? Rumah yang mana sih?"
"Itu yang letaknya tusuk sate. Jalan Kencana...,"
sahut Sumarni. "Pinggir-pinggirnya ada jendela yang kacanya ber?
gambar, Pa," tambah Fani.
Budiman mengetahui rumah itu. Setiap hari ia me?
lewatinya kalau pergi bekerja. Rumah itu terletak di
per?tigaan dan pas terletak di depan jalan yang mem?
Isi-Warisan.indd 19 bentuk siku dengan dua jalan di kiri dan kanannya.
Karena posisinya, rumah itu selalu terlihat paling dulu
bagi yang akan berbelok ke kiri maupun ke kanan.
"Biar aku jemput dia," kata Budiman.
"Ikut, Pa?" tanya Fani.
"Nggak usah!" bentak Budiman.
Fani segera menghindar ke belakang tubuh ibu?nya.
Sumarni sebenarnya ingin menyuruh suaminya ma?
kan dulu, tapi ia tahu dalam keadaan seperti itu Budi?
man takkan bernafsu makan meskipun sedang lapar.
Budiman bergegas menuju rumah besar yang di?
maksud. Di depan pintu pagar ia menyorongkan muka
ke depan, lalu melayangkan pandangannya ke seputar
halaman yang sepi. Tidak ada Kiki, tidak pula ada
gerakan apa-apa. Sepertinya angin pun tak berembus.
"Kiii...! Kiii...! Kikiii..!" teriaknya. Lalu diam se?
bentar, tak ada reaksi. Ia berteriak lagi, diam sebentar,
mengamati. Tetap tak ada siapa-siapa.
Budiman berpikir sebentar. Apakah sebaiknya me?
ngetuk pintu atau membunyikan bel, kalau ada? Ru?
mah itu terlalu besar untuk bisa mengantar suaranya
masuk ke dalam. Tak jelas pula apakah penghuninya
ada atau tidak. Terlihat mobil diparkir di depan pintu
garasi. Entah belum dimasukkan atau sengaja ditaruh
di luar. Sepertinya keberadaan mobil itu menandakan
bahwa penghuninya pun ada. Tapi belum pasti juga,
karena bisa saja mobilnya lebih dari satu.
Kalau ia sampai berhasil membuat penghuni ke?
luar, apa yang mau ditanyakannya? Mengatakan terus
terang bahwa tadi anaknya melompati pagar? Rasanya
memalukan karena perbuatan itu jelas salah. Hanya
Isi-Warisan.indd 20 maling yang melompati pagar rumah orang tanpa izin.
Ah, cuma mau mengambil bola karena tadi sudah di?
panggil-panggil tapi tak ada yang keluar. Maklum
anak-anak. Tapi itu juga terasa memalukan karena
anak??nya tak tahu aturan. Jelas itu akibat orangtua tak
bisa mengajari. Lagi pula kalau dipikir-pikir, tak mungkin Kiki
sam?pai tak meninggalkan jejak. Masa cuma meng?
ambil bola saja yang katanya ada di pojok halaman
bisa memakan waktu begitu lama? Rasanya mustahil
pula kalau Kiki masuk ke dalam rumah. Untuk apa
dia masuk dan siapa pula yang mau menyilakannya
masuk tanpa kepentingan apa-apa?
Mungkin juga Kiki sudah keluar tapi tak segera
pulang melainkan keluyuran dulu, entah ke mana. Tapi
yang seperti itu bukan tabiatnya.
Tadi Kiki masuk dengan cara menginjak punggung
Madi lalu menjejak di atas pintu gerbang dan me?
lompat. Pasti keluarnya tak bisa dengan cara yang
sama. Teman-temannya sudah meninggalkannya.
Mampu??kah ia melompat dari dalam dengan menginjak
sesuatu yang tinggi? Tapi bisa juga ia membuka pintu
pagar dari sebelah dalam. Budiman mendorong pintu,
tak berhasil, berarti masih terkunci. Ia memanjangmanjangkan leher, mencoba melihat kunci pintu.
Terlihat selot yang terpasang dalam posisi mengunci.
Andai?kata Kiki keluar lewat pintu dengan membuka
selotnya pasti sekarang pintu itu tak terkunci, meng?
ingat keadaan begitu sepi. Perkecualiannya adalah
kalau ada yang membukakan pintu untuknya, lalu me?
nguncinya kembali. Tapi ke mana Kiki?
Isi-Warisan.indd 21 Budiman menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Masalah sepele tapi membingungkan.
Ia berteriak sekali lagi, memanggil nama Kiki.
Lalu mencoba mengetuk pintu setelah upayanya men?
cari bel tak berhasil. Biarlah ia menanggung malu dan
siap menelan umpatan atau sindiran sepedas apa pun
dari penghuni rumah. Memang salah kok!
Tapi upaya itu pun tak berhasil membuat penghuni
rumah keluar. Ia jadi yakin bahwa rumah itu tak ber?
penghuni. Setidaknya pada saat itu.
Mungkin juga Kiki sudah pulang dan berada di
rumah. Alangkah bodohnya bila ia tetap berada di situ
padahal yang dicari sudah enak-enak di rumah. Kalau
memang demikian seharusnya Kiki datang menemui?
nya untuk memberitahu. Jangan diam-diam saja.
Kadang-kadang Kiki suka iseng dan jail. Kalau benar
se?perti itu, ia akan menjewernya dan menggebuk pan?
tat?nya. Tidak keras-keras, karena ia tak ingin jadi
orang?tua penganiaya. Akhirnya Budiman berbalik dari pintu dan me?
mutus?kan untuk pulang saja. Ia tidak mencemaskan
Kiki. Umurnya menjelang dua belas tahun, dan anak
itu cukup cerdas. Tak mungkin anak itu melakukan
hal-hal yang tidak wajar. Tapi... bukankah melompat
masuk ke rumah orang tanpa permisi itu sesuatu yang
tidak wajar? Itu bila dilihat dari pandangannya sebagai
orang dewasa. Mungkinkah anak kecil berbeda cara
pandangnya? Pikiran itu menghentikan langkahnya. Baru dua
me?ter dari pintu pagar rumah tadi. Ia memandang ber?
keliling. Sepi sekali. Sejak ia di situ sepertinya baru
Isi-Warisan.indd 22 dua mobil yang lewat. Pedagang makanan pun tak
kelihatan. Sejauh mata memandang tak tampak warung
kopi atau warung makanan. Trotoarnya bersih. Situasi?
nya berbeda dengan lingkungan rumahnya, padahal
cuma berjarak ratusan meter saja. Mungkin hal itu
ter?gantung pada kondisi sosial penghuninya.
Rumah-rumah di Jalan Kencana hampir semuanya
merupakan rumah dengan model kuno, dan termasuk
dalam cagar budaya yang dibagi dalam beberapa
tingkatan. Ada yang masih boleh dibongkar sedikit
asal masih ada bentuk kunonya, tapi ada yang sama
sekali tidak boleh seperti halnya rumah di depannya
itu. Konon, daerah itu dulunya merupakan rumahrumah pejabat Belanda di zaman VOC.
Untuk orang yang menyukai keantikan, tentu setuju
sekali. Rumahnya sedap dipandang dengan gaya arsi?
tektur yang indah dan jelas kelihatan kokoh meskipun
umurnya sudah tua sekali. Bila dibandingkan dengan
ba?nyak bangunan modern sekarang kentara bedanya.
Cuma bagus di awalnya saja, lama-lama keropos. Se?
perti baju baru yang setelah dicuci sekali dua kali
lantas terlihat kumuh karena salah me-laundry.
Budiman sendiri tidak peduli soal cagar budaya. Ia
justru beranggapan bahwa rumah seperti itu hanya
meng?ingatkan pada kepedihan zaman penjajahan, apa
pun nilai sejarahnya. Apalagi sekarang, yang dipikir?
kan?nya hanyalah putranya sendiri, yang seolah meng?
hilang ditelan rumah itu. Ah, pikiran yang mengerikan.
Ia menoleh dan memerhatikan lagi rumah itu. Tak ada
yang seram dari rumah itu, sebaliknya malah tampak
indah. Apalagi kiri-kanannya jendela berkaca patri.
Isi-Warisan.indd 23 Mungkinkah Kiki mengambil jalan lain untuk
pulang ke rumah? Untuk pulang ia tak harus berjalan
lurus, tapi bisa saja mengambil jalan ke kiri atau ke
kanan. Nanti ada jalan tembus. Tapi untuk apa meng?
ambil jalan yang lebih jauh, harus berbelok-belok
pula? Bagaimanapun, kemungkinan itu ada saja. Siapa
tahu anak itu tak mau berpapasan dengannya karena
tahu akan dijemput? Ia benar-benar merasa seperti orang bodoh, berdiri
ke?bingungan seperti itu. Andaikata ada yang memer?
hati?kan dirinya, pasti dia akan dianggap aneh, atau
justru dicurigai. Budiman pun melangkah kembali meskipun ada
niat untuk berteriak memanggil Kiki lagi. Baru dua
langkah ia mendengar teriakan di belakangnya.
"Om! Om!" Seorang anak perempuan berlari keluar dari rumah
itu menuju pintu pagar. Budiman berbalik lalu ber?
gegas mendekat. Anak itu kelihatannya sebaya dengan
Kiki, berambut ikal sebahu. Kulitnya putih dan wajah?
nya cantik. "Om nyari Kiki, ya?"
"Betul, Dik. Di mana dia?" tanya Budiman dengan
perasaan lega. Yang penting anaknya ada, tidak ditelan
oleh rumah itu. "Tadi dia jatuh, Om. Kakinya sakit."
"Oh, begitu." Anak itu membukakan pintu yang bunyinya ber?
derit. Budiman masuk lalu berjalan mengiringi anak
itu. Tak lama kemudian pintu rumah terbuka lebar.
Kiki berjalan dipapah perempuan setengah tua yang
Isi-Warisan.indd 24 se?pertinya seorang pembantu. Satu tangan Kiki me?
ngepit bola. Lalu ia duduk di kursi teras.
Budiman menghampiri Kiki.
"Kenapa kau, Ki?" tanyanya sambil melayangkan
pandang ke arah kaki putranya. Pergelangan kaki kiri
Kiki merah-merah. Budiman berjongkok mengamati.
Rupanya merah itu warna obat.
"Jatuh, Pa," sahut Kiki malu dan takut.
"Kelihatannya agak bengkak, Pak. Lecetnya udah
dikasih obat sih," kata perempuan setengah tua tadi.
"Oh, terima kasih, Bu. Jadi ngerepotin aja, ya.
Anak ini memang lancang."
Perempuan itu hanya tersenyum. Sedang anak pe?
rempuan tadi berdiri di samping Kiki. Ia berbisik di
te?linga Kiki yang mengangguk-angguk. Kemudian
anak itu tersenyum kepada Budiman.
"Terima kasih ya, Dik. Namanya siapa?" tanya
Budiman. "Stella, Om. Panggilannya Lala," sahut anak itu
de?ngan gaya lincah. "Ayo, kita pulang," kata Budiman. "Bisa jalan,
nggak?" "Digendong aja, Om," usul Stella.
"Baik. Ayo." Budiman berjongkok. Stella mengulurkan tangan
untuk memegang bola sementara Kiki naik ke pung?
gung ayahnya. Ketika Budiman berdiri dengan susah
payah karena tubuh Kiki ternyata lumayan berat, ia
menjadi ragu apakah nanti mampu berjalan sampai ke
rumah. Kiki sendiri tersipu ketika menyadari kerisauan
Isi-Warisan.indd 25 ayahnya itu. Ia malu juga diperhatikan Stella yang
ter?senyum geli melihatnya.
"Di rumah ada kursi roda, Oom. Bisa dipakai
kok," Stella menawarkan.
"Ah, jangan. Om kuat kok. Cuma tadi habis jong?
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kok lalu berdiri jadi limbung," Budiman beralasan.
Tu?buh?nya tak terlalu besar. Sedang-sedang saja. Se?
dang tingginya hanya beda sekepala dari Kiki. Untung?
nya anak itu tidak gemuk.
Stella menyodorkan bola, tapi Kiki bingung bagai?
mana memegangnya. Dua tangannya memeluk leher
ayah?nya. Kalau hanya dengan satu tangan, susah me?
megang bola. Kalau dua tangan yang memegang, ia
takut jatuh. Sedangkan kedua tangan ayahnya jelas
ter?pakai untuk memegang pahanya.
"Biar aku yang bawain bolanya," Stella menawar?
kan. "Wah, jangan," Budiman benar-benar malu hati
ter?hadap kesantunan Stella.
"Kan sama Bi Ani, ya? Yuk, Bi?" Stella me?ne?
ngadah kepada pembantunya.
Bi Ani ragu-ragu. Sebelum ia mengatakan sesuatu,
Stella berlari ke dalam. "Sebentar, ya!" seru Stella.
Budiman bingung, bagaimana menolak tawaran
anak itu. Stella kelihatan antusias sekali. Ia buru-buru
me?nurunkan Kiki lagi sementara menunggu Stella.
Kiki duduk di kursi. "Wah, saya jadi malu nih, Bi," kata Budiman ke?
pada Bi Ani. Isi-Warisan.indd 26 Bi Ani menggelengkan kepala. "Non Lala memang
begitu, Pak." Budiman merapikan pakaiannya. Untunglah ia ma?
sih mengenakan pakaian kerja. Celana panjang hitam
dengan kemeja putih. Ia membayangkan nyonya ru?
mah yang akan keluar nanti pastilah secantik anaknya
dan dandanannya pun keren seperti tayangan di tele?
visi. Tak lama kemudian ketiganya tersentak oleh suarasuara keras dari dalam rumah. Suara pertengkaran
antara lelaki dewasa dengan perempuan dewasa dalam
bahasa asing, entah Inggris atau Belanda. Tak jelas
apa yang dipertengkarkan, karena tak bisa dipahami.
Budiman segera menyadari gelagat buruk. Bi Ani
pun kelihatan gelisah. "Udah, Bu, kami pulang aja, ya. Bilang sama Non
Lala, terima kasih banyak. Nggak usah dianteri. Nanti
bola?nya tolong ditaruh di luar pintu saja, ya. Saya
akan kembali untuk mengambilnya."
"Iya, Pak." Kiki kembali menaiki punggung ayahnya. Kali ini
tanpa merasa keberatan Budiman segera memacu ke?
dua kakinya. Ia takut terkena giliran dimarahi oleh
ke?dua orangtua Stella dan ia juga malu karena merasa
minder. Bi Ani melakukan apa yang dipesan, yaitu me?letak?
kan bola di luar pintu lalu mengunci pintu kembali.
Budiman merasa dirinya seolah kuda yang dipacu
dengan cambukan. Sepertinya barusan ia makan obat
kuat, padahal ia sedang lapar. Kiki memeluk dan me?
letakkan kepalanya di punggung ayahnya. Ia senang
Isi-Warisan.indd 27 sekali digendong. Ia benar-benar menikmati. Seumur
hidup?nya barangkali baru sekali-kalinya itulah ia di?
gendong ayahnya. Di waktu yang akan datang pasti
tak mungkin lagi karena tubuhnya akan tumbuh se?
makin besar sementara ayahnya semakin tua.
Setibanya di rumah, Sumarni menyambut dengan
lega tapi cemas. Juga Fani.
"Kenapa si Kiki?"
"Katanya jatuh."
Budiman menurunkan Kiki di sofa. Lalu men?
jatuhkan diri di lantai. Ia kehabisan tenaga. Anaknya
itu berat sekali, padahal tidak gendut.
Sumarni berlari ke dalam lalu keluar lagi dengan
mem?bawa segelas air putih. Budiman segera meneguk?
nya sampai habis. "Capek ya, Pa," kata Sumarni dengan iba.
"Bolanya, Pa. Kalau hilang, aku mesti ganti. Itu
punya si Madi," Kiki mengingatkan.
"Alaa... bikin gara-gara aja kamu," omel Budiman.
"Iya, aku ambil sekarang."
Budiman berdiri dengan segan lalu berlari pergi.
Pada?hal kakinya masih lemas. Dari jauh sudah kelihat?
an bolanya. Orang kaya takkan mau mengambil bola
sejelek itu. Yang mungkin mengambil adalah orang
yang lewat. Setelah memungut bola, ia mengamati sejenak ru?
mah itu. Kembali sepi seperti tadi. Entah apakah
suara-suara pertengkaran seperti tadi itu bisa sampai
ke jalan atau tidak. Tapi biarpun sayup-sayup, tetap
tak terdengar. Sepi seperti tidak berpenghuni.
Sambil berjalan ia mengenang gadis kecil tadi.
Isi-Warisan.indd 28 Stella. Manis sekali. Ia berharap bisa melihatnya lagi
nanti. Apa gerangan yang tadi dibisikkannya ke telinga
Kiki? Isi-Warisan.indd 29 KIKI sulit tidur malam itu. Tapi bukan karena masa?
lah kakinya yang nyeri atau badannya yang tak nya?
man. Ia teringat pada kejadian di rumah Stella tadi.
Kejutan yang dirasakannya saat itu masih terasa sam?
pai sekarang. Tapi ia tak mau menceritakannya kepada
siapa pun. Juga kepada orangtuanya. Bukan hanya
karena takut dimarahi, tapi ia sudah berjanji kepada
Stella. Ia senang kalau bisa menepati janji itu. Tak
bisa curhat bukan lagi masalah. Janji itu baginya ada?
lah sesuatu yang suci. Apalagi terhadap Stella.
Ia belum pernah memiliki teman atau bertemu de?
ngan anak perempuan seperti Stella. Memang ada saja
yang cantik-cantik, tapi ia menganggap Stella isti?
mewa. Daya tarik dan pesonanya luar biasa. Senyum?
nya yang memukau masih saja membayang di pelupuk
mata dan tutur katanya yang halus dengan irama cepat
masih mengalun di telinganya.
Tepatkah bila ia menyamakan Stella dengan bida?
dari kecil? Isi-Warisan.indd 30 *** Ketika itu, ia berlari ke sudut rumah di mana bola?nya
diperkirakan berada. Sudut yang ditumbuhi se?semakan
yang rimbun itu tak berada di bawah jendela berkaca
patri, sehingga tak mendapat penerangan yang cukup.
Tapi tak sulit baginya untuk menemukan bola itu
meskipun tertutup daun-daunan.
Pada saat ia menyibak pepohonan itu ia melihat
sesuatu yang membangkitkan rasa ingin tahunya. Itu
adalah sebuah papan berukuran sekitar satu kali satu
meter yang melekat di lantai. Sebagian kelihatan ka?
rena letaknya berdekatan dengan dinding di bawah
jendela, sedang sebagian lagi tertutup pepohonan yang
tumbuh di tanah yang berbatasan dengan tepi papan.
Sebuah pegangan dari besi melekat pada papan itu,
seperti handel atau pegangan pintu. Handel lain ber??ada
di sebelahnya, tapi handel yang satu ini di?semen ke
dalam tanah. Di bawah kedua handel ini ada selot
yang melintang. Ujung selot masuk ke bawah handel
yang masuk ke semen. Jelas kegunaan kedua handel
itu adalah untuk pemasangan gembok. Tapi, saat itu
gemboknya tidak ada. Kalau selot ditarik, maka papan
itu bisa diangkat. Kiki pernah melihat hal seperti itu di rumah teman?
nya. Ternyata itu merupakan penutup bak air. Tapi
yang sekarang dilihatnya itu terasa berbeda. Mustahil
bak air berada di kolong rumah, padahal halamannya
luas. Ia membuka selot penutup papan lalu menarik han?
del. Ia hanya ingin mengintip, pikirnya. Sebentar saja.
Isi-Warisan.indd 31 Apalagi teman-temannya sudah pergi karena suara me?
reka tak lagi kedengaran. Nanti ia bisa keluar sendiri
karena tadi ia sudah melihat bahwa di balik pintu
gerbang terdapat selot. Ia harus mengerahkan seluruh tenaganya baru ber?
hasil membuka papan penutup itu. Bunyinya berkereot
karena engselnya sudah karatan. Setelah terbuka,
papan disandarkan pada dinding karena kalau dilepas
akan jatuh menutup lagi. Tidak ada penahannya. Lalu
ia berjongkok untuk melihat ke bawah. Gelap.
Tapi ia tahu, itu bukanlah bak air. Meskipun punya
keyakinan, ia masih penasaran. Bila bukan bak air,
lalu apa? Ia menelungkup tanpa memedulikan bajunya akan
menjadi kotor. Ia memang belum mandi, jadi tak apa?
lah. Lalu ia mengulurkan tangan untuk meraba-raba
se?jauh mungkin ke bawah, terus sampai setengah ba?
dan?nya berada di atas lubang. Baru dengan cara demi?
kian ia berhasil menyentuh sesuatu, seperti benda dari
kayu. Beberapa saat lamanya ia memelototi lubang di
bawahnya, barulah matanya terbiasa dan bisa me?
nangkap siluet benda-benda karena gelapnya tidak lagi
terlalu pekat setelah penutup dibuka. Ternyata benda
yang disentuhnya tadi adalah bagian dari tangga. De?
ngan cepat ia menyimpulkan bahwa lubang di bawah
itu adalah sebuah ruangan. Ah, ruang bawah tanah!
Perasaannya tergetar oleh sensasi. Apa salahnya
melihat sekilas saja? Ia belum pernah melihat sesuatu
yang namanya ruang bawah tanah. Sudah sejauh itu
ia di situ, jadi seperti orang kepalang basah.
Isi-Warisan.indd 32 Dengan hati-hati ia menjejakkan kaki pada anak
tangga sementara kedua tangannya berpegang erat
pada tepian penutup. Setelah berhasil menjejakkan
kaki, ia bisa berpegang pada pinggiran tangga. Jantung?
nya berdebar keras saat melangkah turun. Sebenarnya
sulit karena tangganya kecil dan gelap pula. Tapi niat?
nya sudah mantap. Ia ingin sekali melihat. Ingin se?
kali. Keinginannya begitu kuat, mengalahkan rasa
takut. Setelah beberapa anak tangga berhasil dituruni, ia
melihat ruang itu tidaklah terlalu gelap karena ada
lam?pu kecil menerangi di sudut yang jauh dari tempat?
nya. Ia diam sejenak untuk mengamati sekitarnya.
Lampu itu berada di dekat sebuah tangga lain. Sebuah
tangga batu permanen, bisa untuk tempat berdiri dua
orang. Tangga itu mengarah ke sebuah pintu di atas?
nya. Kiki memperkirakan, pintu itu membuka ke da?
lam rumah. Sampai saat itu tidak kedengaran suara-suara. Ia
jadi tambah berani karena yakin bahwa tak ada orang
di rumah itu. Memang terselip kekhawatiran kalaukalau ia disangka maling. Tapi pada saat itu dorong?
annya terasa semakin kuat saja. Ia cuma ingin melihat.
Tak lebih tak kurang. Kalau sudah cukup puas ia akan
buru-buru pergi, lari secepat kilat. Ia jago berlari. Dan
tentu saja tak boleh lupa membawa serta bolanya yang
ia tinggalkan di tempat semula. Kalau sampai lupa,
berarti akan sia-sia saja usahanya sampai saat itu.
Ia berhasil turun sampai menjejak lantai. Ia me?
mandang berkeliling. Biarpun lampunya kecil, tapi
ma?sih ada penerangan. Waktu masih di atas tadi, tam?
Isi-Warisan.indd 33 paknya gelap pekat karena terangnya tak menjangkau
ke sana. Ia memandang berkeliling. Ruang itu cukup luas.
Se?perti gudang karena banyak barang rongsokan,
meja, lemari, kursi yang sepertinya sudah butut. Ia
mem?perkirakan begitu karena mustahil barang bagus
ditaruh di situ. Suara hatinya menyuruhnya segera pergi. Bukankah
sudah cukup apa yang kaulihat?
Tapi kakinya malah melangkah terus dan matanya
jelalatan. Di bawah tangga batu yang mengarah ke
pintu di atas agak gelap karena penerangan terhalang
oleh tangga. Tapi ia malah menjelajah ke situ. Ia
melihat sebuah peti kayu panjang yang bertutup. Be?
gitu saja tangannya terulur untuk mengangkat tutup
peti. Entah kenapa, justru keingintahuannya malah jadi
memuncak bila ada sesuatu yang tersembunyi. Yang
sudah jelas malah tak disentuhnya.
Begitu tutup peti terbuka ia mencium bau tak enak.
Tapi ditahannya karena belum melihat isinya. Untuk
beberapa saat lamanya ia melotot mengawasi isi peti
ka?rena tak segera bisa menangkap dengan jelas. Ke?
mudian ia tersentak kaget lalu berteriak keras. Di?jatuh?
kannya kembali tutup peti hingga menggabruk dengan
suara keras. Ia lupa bahwa seharusnya ia tidak boleh
menimbulkan suara. Lalu ia berlari menaiki tangga.
Tapi yang dinaikinya adalah tangga batu yang menuju
ke pintu! Seharusnya ia menaiki tangga kayu yang
menuju celah ke luar di halaman.
Setelah berada di tengah baru ia sadar, lalu ber?
balik untuk turun, tapi kakinya salah menjejak. Ia
Isi-Warisan.indd 34 jatuh terguling ke bawah dengan teriakan yang lebih
keras daripada tadi! Lalu ia mendengar suara-suara di balik pintu! Ia
ber?keringat dingin ketakutan. Ia mencoba berdiri tapi
kakinya sakit sekali. Perlu beberapa saat untuk mereda?
kan sakitnya. Tapi pada saat itu pintu di atas terbuka!
Ia sudah gemetar dan serasa mau tumbang. Ia mem?
bayangkan munculnya seseorang yang berwajah seram
dengan tongkat pemukul di tangannya.
Mula-mula terlihat ruangan yang terang di balik
pintu, lalu sosok seorang anak perempuan yang tak
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu jelas wajahnya. Ia memperkirakan anak itu pe?
rempuan karena rambutnya yang panjang terurai. Se?
dang pakaiannya, celana pendek dengan kaos. Di be?
lakangnya terlihat seorang perempuan yang kemudian
diketahuinya bernama Bi Ani, saat anak perempuan itu
memanggilnya. "Siapa itu, Non? Hati-hati. Jangan turun dulu."
"Hei! Kamu siapa?" teriak anak perempuan itu.
"Aduh, Non. Maling kok dipanggil-panggil."
"Tolong! Aku bukan maling. Aku jatuh," kata
Kiki. "Jatuh kok di rumah orang sih!" seru Bi Ani.
"Tadi aku masuk dari sana. Maunya ngambil bola
yang jatuh, tapi jadi masuk. Maaf, ya," kata Kiki, su?
dah ingin menangis. Sebuah lampu senter menyorot ke arahnya. Ia ber?
kejap-kejap. "Kamu sama siapa?"
"Sendiri. Cuma mau ngambil bola, Bu. Maaf..."
"Masa bola bisa jatuh ke sini...?"
Isi-Warisan.indd 35 "Apa di luar nggak ditutup, Bi?" tanya anak itu.
"Sudah, kalau gitu kamu pulang saja. Lewat jalan
tadi!" seru Bi Ani. Kiki menyeret kakinya, bersyukur karena sudah
dibebaskan. Tapi ia kehilangan keseimbangan, lalu
jatuh. Sakit sekali. Apa mungkin kaki seperti itu bisa
dibawa menaiki tangga yang tadi?
Kemudian ia merasa tangannya dipegang lalu di?
tarik. Ia melihat anak perempuan itu sudah berada di
dekatnya dan berusaha membuatnya berdiri dengan
me?nopangnya. Ia merasa malu tapi tak berdaya. Anak
itu hampir sama tinggi dengannya.
Bi Ani bergegas turun untuk membantunya. Berdua
dengan anak perempuan itu mereka mengapit Kiki di
tengah lalu membimbingnya menaiki tangga batu.
Kiki menggeleng. Ia menunjuk tangga satunya lagi.
"Ha? Mau naik tangga itu? Mana bisa. Kamu
malah jatuh lagi nanti," kata Bi Ani. Suaranya seka?
rang tidak segalak tadi. "Sudah. Naik dari sini saja. Lalu keluarnya lewat
pintu depan," kata anak itu.
Kiki terpaksa menurut. Setapak demi setapak me?
reka menaiki tangga yang terasa sempit karena mereka
berjejer bertiga. Kiki menggantung satu kakinya ka?
rena sakit kalau berpijak. Setiap kali menaiki anak
tangga ia melompat dengan dibantu dua orang di kirikanannya.
Akhirnya mereka sampai di ruang atas. Pintu di?
tutup kembali. Segera saja ruang bawah tanah itu
men?jadi gelap pekat karena lampu kecil di pojok itu
men?dadak mati! Isi-Warisan.indd 36 Kiki didudukkan di sofa. Lalu Bi Ani mengamati
kakinya. Ia menekan-nekan mencari bagian yang sakit,
lalu mengurut pelan. Kiki merasa nyaman. Anak pe?
rempuan itu mengawasinya.
"Namamu siapa?"
?Rizky, panggilanku Kiki."
"Namaku Stella. Panggilanku Lala. Ini Bi Ani."
"Ya. Aku minta maaf karena..."
"Sudahlah. Kamu memang anak bengal," kata Bi Ani
dengan nada kesal. "Jadi bolanya jatuh di mana sih?"
Kiki menceritakan apa yang terjadi. Suaranya tidak
gemetar lagi. Ia sudah lebih tenang.
Stella yang duduk di samping Kiki di atas sofa
me?natap Bi Ani. "Bi, cepat lihat pintu basement di
luar itu. Jangan sampai melompong. Sekalian dilihat
bolanya...." "Iya, Non." "Tapi, Bi..." Bi Ani berhenti melangkah, menoleh kepada
Stella. "Pelan-pelan, ya."
"Beres, Non." Kiki mengamati Stella tak bosan-bosan. Stella jelas
masih seumuran dengannya, tapi caranya bicara ke?
pada Bi Ani seperti orang dewasa yang pintar meng?
atur. Dan dia juga cantik sekali. Seperti bidadari.
Kulit?nya putih, halus sekali. Hidungnya mancung dan
matanya berwarna cokelat. Rambutnya seperti warna
matanya, ikal dan panjangnya sebahu.
Tapi kemudian Kiki teringat pada horor yang
dialam?i?nya di ruang bawah tanah. Horor yang mem?
Isi-Warisan.indd 37 buat?nya terjatuh. Kalau tidak mengalami hal itu, tak
mungkin ia sampai panik lalu jatuh. Pastilah ia sudah
berhasil keluar lewat lubang semula dengan selamat.
"Papa dan mamamu di mana, La?" Kiki ingin
tahu. "Ada di sayap belakang."
Belum sempat Kiki bertanya apa yang dimaksud
dengan "sayap belakang", Stella sudah bertanya de?
ngan rupa cemas, "Eh, Ki, tadi kamu lihat apa saja di
basement?" Kecemasan di wajah Stella sebenarnya merupakan
peringatan bagi Kiki untuk tidak menceritakan hal itu,
tapi pertolongan yang diterimanya dan ketulusan hati
Stella membuat ia terdorong untuk mengajak Stella
ber?bagi. Ini adalah rumah Stella. Bukan rumahnya.
Seharusnya Stella paling tahu.
"Aku tadi melihat tengkorak dan kerangka!" bisik?
nya dengan nada tinggi. "Di dalam peti di bawah
tangga." "Oh! Jadi kamu lihat, ya? Pantas kamu kaget
sampai jatuh. Tapi jangan bilang sama orang lain, ya?
Sama teman atau orangtuamu atau siapa saja. Janji?"
kata Stella dengan permohonan di wajahnya.
Wajah Stella yang manis dengan mata basah itu
mem?buat Kiki terharu. Tanpa ragu ia segera men?
jawab, "Ya. Aku janji."
"Terima kasih, Ki. Aku tahu kamu baik. Makanya
tadi aku nggak ragu-ragu menolongmu."
"Tapi kenapa ada tengkorak di situ? Kenapa nggak
di?kubur saja? Tengkorak siapa itu?" Kiki mulai nye?
rocos. Isi-Warisan.indd 38 "Ssst... pelan-pelan. Jangan sampai Papa dan
Mama tahu bahwa tadi kamu masuk ke situ. Apalagi
tahu kamu lihat tengkorak. Wah, mereka akan marah
padaku. Aku bisa dihajar...."
Kiki terkejut. "Lho, kok marahnya sama kamu?
Kan yang salah aku?"
"Tapi aku nolong kamu, kan??
"Jadi kamu nggak boleh nolong aku?"
Stella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Idih,
kamu cerewet." "Apa Bi Ani bisa dipercaya? Nanti dia yang ngasih
tahu." "Nggak dong. Dia sayang sama aku. Dia juga
kasihan sama kamu kalau kamu dimarahi Papa. Dia
galak, tahu?" "Ih, aku takut, La."
"Makanya kalau kaki kamu baikan, kamu cepet
pulang aja." "Tapi tengkorak itu, La... masa dibiarin di situ
sih?" "Itu kan kuburannya, Ki. Memang tempatnya di
situ." "Tengkorak siapa?"
Bulu roma Kiki berdiri. "Mana aku tahu." Stella mengangkat bahu. "Aku
nemuinnya juga kebetulan. Kayak kamu...."
"Kenapa kamu nggak nanya sama papamu?"
"Kata Papa, sejak Opa tinggal di sini sudah ada."
"Mestinya kan dikubur baik-baik. Masa ditaruh
begitu saja. Apa nggak takut nanti ada han..."
Kiki menutup mulutnya, tapi matanya memandang
Isi-Warisan.indd 39 ke sekitarnya. Ruangan di mana ia berada itu luas se?
kali dengan perabot besar-besar dan lukisan besarbesar pula tergantung di dinding. Bagaimana mungkin
cuma sedikit orang tinggal di rumah sebesar itu? Ada
sayapnya pula. Ia tak habis pikir.
"Hantu?" sambung Stella, tertawa. "Nggak ada
tuh." Kiki menggeleng tidak percaya. Rumah kuno, me?
rangkap kuburan pula. Baru pernah ia mendengar
yang seperti itu. Bi Ani sudah datang dengan bola di tangan. Pem?
bicaraan terhenti. "Mendingan kamu cepat pulang, Ki," kata Bi Ani
sambil menatap ke dalam. Stella mengangguk membenarkan. Ia juga menatap
ke arah yang sama dengan Bi Ani.
Kiki memahami tatapan itu. Ia juga takut pada
orangtua Stella yang katanya galak.
"Ya. Kakiku sudah baikan. Terima kasih, Bi. Te?
rima kasih, La." Kiki bangkit lalu meringis. Sakitnya memang su?
dah jauh berkurang berkat pijatan Bi Ani, tapi kalau
me?napak lantai rasanya ngilu sampai ke tulang.
Pada saat itulah mereka mendengar teriakan
Budiman. Sayup-sayup tapi kedengaran. Pantas kalau
tadi teriakan dia dan kawan-kawannya tidak kedengar?
an, pikir Kiki. Penghuninya sedang berada di sayap
yang lain. Pintunya tebal dan dindingnya pun tebal.
Bi Ani dan Stella memapah Kiki menuju pintu ke?
luar. Bahkan jarak ke pintu itu terasa jauh bagi Kiki.
Betapa leganya dia melihat ayahnya. Benar-benar
Isi-Warisan.indd 40 se?orang penyelamat. Lebih baik dimarahi ayah sendiri
daripada ayah orang lain. Kata Stella ayahnya galak,
demi?kian pula ayahnya. Tapi segalak-galaknya, tetap?
lah ayah sendiri. Apalagi di mata ayah Stella, pastilah
dia dianggap tak ubahnya maling.
Kemudian Stella yang katanya mau minta izin
untuk mengantarkannya keluar tak kunjung muncul.
Dan dia terkejut sekali mendengar pertengkaran de?
ngan suara keras di dalam rumah. Sepertinya berasal
dari ruangan tempatnya semula berada. Untunglah ia
sudah keluar. Jangan-jangan Stella sedang dimarahi.
Tapi suaranya tidak kedengaran. Ia juga tidak mengerti
apa yang dipertengkarkan karena diucapkan dalam
bahasa asing. Kalau bukan karena persoalan dirinya,
apa lagi? Tadi sepi-sepi saja. Setelah Stella masuk
baru ribut. Ia merasa iba. Karena membela dirinya,
maka Stella sampai dimarahi.
Wajah Bi Ani pun berubah kaget dan cemas. Ayah?
nya sama khawatirnya. Lalu buru-buru mengajak
pulang. Ia takut, tapi masih ingin bertemu Stella lagi.
Masa tak pamit? Tadi Stella sempat berbisik kepadanya, supaya ia
ingat pada janjinya untuk tidak memberitahu siapa pun
tentang isi ruang bawah tanah. Tentu saja ia ingat dan
akan menepatinya. Hanya itu yang bisa dilakukannya
untuk membalas budi Stella.
Ia memperkirakan tadi Stella minta izin meng?antar?
nya lalu dimarahi. Kalau cuma begitu saja sampai di?
marahi seperti itu, apalagi kalau mereka tahu kejadian
sesungguhnya. Apa yang akan terjadi kepada Stella
dan juga dirinya? Untunglah mereka belum sempat
Isi-Warisan.indd 41 ke?luar untuk menemuinya. Rupanya ayahnya juga
sama takutnya dengan dirinya, karena buru-buru pergi
tanpa permisi dulu. Bahkan ayahnya bisa berlari sam?
bil menggendongnya! Padahal semula berdiri tegak
pun sulit. Setelah itu ia belajar berbohong kepada kedua
orang?tuanya, bahwa ia jatuh saat akan meloncat ke
atas pagar untuk bisa keluar. Pada saat itu ia tidak
merasa bersalah, bahkan senang karena bisa membantu
Stella. Dulu ibunya pernah berkata, bahwa berbohong
untuk hal yang baik tidak apa-apa. Jadi ia senasib
dengan Stella, sama-sama berbohong tentang hal yang
sama. Ada sebuah rahasia yang dibagi bersama. Hal
se?perti itu belum pernah terjadi dengan siapa pun, bah?
kan dengan adiknya sendiri sekalipun.
Tapi kemudian tengkorak itu terbayang-bayang.
Peti yang panjang itu memang mirip peti mati, tapi
kenapa tak digembok saja supaya tak bisa dibuka?
Kalau digembok, ia takkan mampu membukanya. Jadi
ia tak akan tahu, selanjutnya tak akan jatuh dan bisa
pu?lang dengan selamat. Tapi bila demikian kejadian?
nya, ia pun tak akan pernah bertemu dengan Stella.
Tanpa dikehendaki ia mengingat-ingat sampai otak?
nya serasa diperas. Kenapa sepertinya tulang belulang
itu banyak? Tengkorak yang terlihat hanya satu karena
pas berada paling atas begitu tutup dibuka, tapi ke?
rangka atau tulang belulang sepertinya banyak. Karena
berantakan dan sendi-sendinya lepas maka tak jelas
lagi berasal dari berapa orang, kecuali memang ditemu?
kan tengkorak lainnya. Menurut Stella, ruang itu adalah kuburan. Pasti ia
Isi-Warisan.indd 42 di?beritahu seperti itu oleh orangtuanya. Katanya, itu
sudah ada sejak zaman sebelum kakeknya. Bahkan
siapa tahu sejak zaman Belanda. Apakah dulu mereka
lebih suka menguburkan orang di ruang bawah tanah?
Padahal setahu Kiki, kuburan Belanda memiliki patung
yang bagus-bagus. Dan kenapa kakek Stella dan ke?
mudian ayahnya membiarkannya saja?
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepertinya hal itu tidak masuk akal, pikir Kiki.
Tapi kemudian ia menepis pikiran itu. Kenapa ia harus
pusing? Biarkan saja. Itu urusan keluarga Stella.
Lalu muncul pertanyaan berikut. Apakah Stella
sendiri tidak pernah berpikir seperti apa yang ia pikir?
kan ketika melihat tengkorak itu? Puaskah Stella de?
ngan jawaban yang diberikan orangtuanya? Padahal
Stella kelihatannya pintar.
Kiki tidak menyadari dirinya menjadi pusat per?
hatian kedua orangtua dan adiknya, Fanny.
"Dia kayak orang linglung," kata Sumarni diamdiam kepada Budiman.
"Pasti masih mikirin kejadian tadi," sahut
Budiman. "Masa soal itu saja dipikirin."
"Gadis kecil itu, Stella, cantik sekali, Ma. Kayak
anak Indo." Sumarni tertawa. "Masa sih bocah kayak gitu udah
bisa jatuh cinta?" "Lho, jangan anggap sepele. Mana kau tahu hati?
nya?" Budiman berkata begitu sambil berpikir bahwa
andai?kan dirinya berada di tempat Kiki, pasti akan
seperti itu pula. Ada sesuatu dalam diri gadis kecil itu
Isi-Warisan.indd 43 yang bisa membuat orang terpesona. Bila sudah de?
wasa nanti, pastilah ia ibarat bunga indah harum se?
merbak yang akan memancing cowok-cowok kasmaran
mengerubutinya. Orang pasti akan susah bersaing.
Lalu ia membayangkan seperti apakah rupa ibu
Stella. Pasti tak jauh bedanya. Sayang sekali ia tak
sem?pat melihatnya tadi. Sekarang memang terasa sa?
yang, padahal tadi ia ketakutan. Ia gentar mendengar
pertengkaran yang tak dipahaminya karena bahasa
yang tak dimengertinya. Bila orang sudah bertengkar
seperti itu pada waktu tak lama setelah Stella masuk,
pastilah itu berkaitan dengan masalah yang baru saja
terjadi. Apa lagi kalau bukan persoalan Kiki?
Tapi ia juga heran. Persoalan Kiki menyelinap ke
da?lam rumah mereka karena akan mengambil bola
mesti?nya merupakan persoalan sepele. Anak-anak
biasa melakukan kenakalan. Dan bila Stella dimarahi
hanya karena ia ingin ikut mengantarkan Kiki se?
pertinya juga keterlaluan.
Ia juga bisa melihat bahwa sebenarnya Kiki sama
takut dengan dirinya. Wajahnya terlihat memucat, ber?
beda dengan sebelumnya yang penuh senyum, seolah
tak ingat akan kakinya yang sakit. Ia pun takut dan
terkejut melihat wajah Bi Ani yang mendadak pucat.
Kalau penghuni rumah saja sudah ketakutan apalagi
dirinya dan Kiki yang sudah masuk secara "ilegal".
Sementara itu Kiki membawa serta pemikiran itu
ke dalam tidurnya. Lalu ia mimpi buruk tentang
tengko?rak yang melayang-layang. Tapi segera mimpi
itu beralih dengan mimpi manis tentang Stella dengan
wajahnya yang cantik dan matanya yang ramah penuh
Isi-Warisan.indd 44 perhatian. Mimpi buruk semula tak lagi mengganggu
tidurnya. Ia melanjutkan tidur dengan harapan akan
bertemu lagi dengan Stella di hari-hari yang akan
datang. Besok, lusa, atau kapan saja. Seorang teman
baru yang luar biasa. Teman-temannya yang lain pasti
akan iri padanya. Mereka tentu ingin pula berkenalan
dengan Stella. Tapi ia yakin, Stella hanya ingin ber?
teman dengannya seorang saja.
Beberapa kali dalam semalam itu Kiki dijenguk
ibunya yang khawatir. Ia tidak tahu karena sudah lelap
terbuai dalam mimpi yang "berwarna". Sedang Budiman
hanya sekali menengok, lalu memastikan bahwa Kiki
baik-baik saja. "Kalau dia merasa sakit tentu nggak bisa tidur,"
kata Budiman. "Ya, tadi memang kakinya baik-baik saja. Bengkak?
nya sudah kempes. Kalau menapak sakit itu mungkin
karena traumanya," sahut Sumarni.
"Katanya tadi sempat diurut oleh Bi Ani."
"Pintar rupanya dia."
"Besok-besok kalau aku lewat situ, akan kutengok
rumahnya. Siapa tahu bisa ketemu."
"Siapa?" "Ya, Bi Ani. Atau Stella."
"Ah..." Sumarni menggeleng dengan rupa pesimis.
"Rumah-rumah besar itu selalu kelihatan sepi. Saking
besarnya, penghuninya nggak kelihatan. Nggak seperti
di sini, penghuni selalu kelihatan keluar-masuk. Anakanak mereka kalau main pasti di dalam rumah, nggak
turun ke jalan seperti anak-anak kita."
"Siapa tahu. Lihat saja."
Isi-Warisan.indd 45 Esok pagi Kiki sudah siap ke sekolah. Seperti
biasa dia dijemput teman-temannya, Madi, Gilang, dan
Dono. Lalu berangkat bersama Fani juga. Mereka se?
mua sekolah di SD Negeri yang tak jauh dari pe?
mukiman. Hanya Fani yang satu kelas di bawah yang
lain. Kaki Kiki sudah bisa dibawa berjalan, hanya agak
pincang dan tak bisa cepat-cepat. Teman-temannya
me?maklumi. Apalagi bagi Madi, yang penting bolanya
tidak hilang. Sepanjang jalan Kiki bercerita. Sebenarnya ia tidak
begitu bersemangat, tapi teman-temannya menuntut
cerita. Maka ia bercerita seadanya saja. Tidak me?
nambah dengan pendapatnya sendiri.
"Kata Papa, anak yang menolong itu cantik sekali,"
Fani yang bercerita, karena tidak tahan.
"Oh ya?" Tiga pasang mata menatap Kiki dengan ingin tahu.
"Wah, aku nggak bisa jalan sambil ngomong...."
Kiki menyikut Fani dengan kesal. Padahal tadi ia
sudah berpesan kepada Fani supaya jangan ikut bicara.
Biar dia sendiri saja yang bercerita, sesuai keingin?an?
nya sendiri. Fani menjulurkan lidah kepada Kiki lalu men?jauh.
Setibanya di sekolah, masih ada waktu. Cerita di?
lanjut?kan. Meskipun sudah membuat ceritanya sederhana, tak
urung teman-teman Kiki merasakan adanya sensasi di
situ. Entah seperti apa kalau diceritakan kejadian se?
benarnya, pikir Kiki. Saat itu ia benar-benar menyadari
bahwa ia tak boleh melupakan janjinya kepada Stella.
Isi-Warisan.indd 46 Ia sadar akan bahaya yang bisa menimpa Stella bila
rahasia ruang bawah tanah itu sampai tersebar. Satu
mulut saja sudah berbahaya, apalagi banyak mulut.
Nanti rumah Stella bisa didatangi banyak orang. Mung?
kin juga polisi merasa perlu menyelidiki asal-usul
tengko?rak itu. Kiki jadi takut sendiri. Rasa takut yang
membantunya menjaga rahasia.
"Nanti pulang sekolah, kita jangan cepat nyeberang
supaya bisa lewatin rumah itu," usul Gilang.
"Emangnya mau apa?" tanya Kiki waswas.
"Lihat aja. Siapa tahu si Lala ada di depan rumah.
Kamu kan sudah kenal dia. Kalau kau diajak masuk,
kita kan ikut...." "Betul, betul...," timpal yang lain setuju. Termasuk
Fani. "Huuu, mentang-mentang dibilang cantik. Kecilkecil mata keranjang sih," omel Kiki.
Ucapannya hanya dibalas dengan tawa berderai.
"Kalau aku sih kepengen lihat rumahnya," kata
Madi. "Barangkali aku kayak semut di dalamnya, ya?"
Mereka tertawa. Sulit membayangkan Madi yang
tubuhnya tambun itu seperti semut.
Sebenarnya Kiki juga menyukai usul itu. Tapi ia
tidak begitu suka kalau beramai-ramai. Inginnya ia
sen?diri saja. Tapi tidak apalah untuk saat ini. Apalagi
kakinya masih agak sakit. Ia perlu teman pada saat
seperti itu. Maka sepulang sekolah, mereka melewati rumah
Jalan Kencana. Semakin dekat ke rumah itu, Kiki me?
rasa sakit di kakinya semakin reda. Semangatnya me?
ninggi. Isi-Warisan.indd 47 Tak berapa lama kemudian, lima anak itu sudah
ber?diri berderet di depan pintu gerbang rumah tusuk
sate di Jalan Kencana. Kelimanya melayangkan pan?
dang ke dalam halaman. "Ih, sepi-sepi aja," kata Fani.
"Ini kan jam kerja. Mobilnya nggak ada. Pasti
papa?nya lagi kerja," Kiki menyimpulkan.
"Mungkin si Lala juga belum pulang sekolah,"
kata Dono. Kiki menatap teras rumah tempat ia duduk kemarin
sore. Kemarin ia tidak sempat mengamati sekitarnya.
Sebuah ruangan yang asri. Ada lukisan tergantung di
dua dinding yang berhadapan. Sebuah meja marmer
bulat di tengah ruangan dengan empat kursi kayu di
seputarnya. Di plafon atas meja ada lampu gantung
yang kelihatannya seperti lampu Aladin. Di antara dua
pilar di teras ada pot besar dengan tanaman hias yang
kelihatan subur. "Kemarin aku duduk di situ, di terasnya," Kiki me?
nunjuk. "Untung juga ya kamu jadi loncat," kata Madi,
agak iri. "Tapi kakiku sakit."
"Ah, sakit sedikit...."
Kiki tersenyum diam-diam. Kau tidak tahu saja,
kata hatinya. "Panggil saja, Ki," Dono menganjurkan.
"Apa? Panggil? Kalau yang keluar orang lain, gi?
mana?" "Bilang mau ketemu Lala."
"Kalau ditanya ada keperluan apa?"
Isi-Warisan.indd 48 "Bilang, kau mau ngucapin terima kasih. Kemarin
nggak sempat." "Udah kok. Nggak ah. Nggak mau manggil-manggil.
Malu-maluin aja. Nanti mengganggu. Yuk, pulang.
Ngapain di sini lama-lama."
Mereka kembali berjalan beriringan.
"Besok kita ke situ lagi," kata Gilang.
Kiki terkejut. Kok teman-temannya yang bernafsu
seperti itu? Padahal mereka tidak tahu seperti apa rupa
Stella. Pasti itu hasil penggambaran Fani, padahal dia
sendiri tidak melihat. Fani hanya mendengarkan cerita
ayah kepada ibunya. Tapi besok dan besoknya lagi ketika mereka kem?
bali ke situ sepulang sekolah, suasana di depan rumah
Stella masih tetap sama. Sepi, tak terlihat seorang pun
di sana. Lalu tiba hari Sabtu. Mereka memutuskan hari itu
adalah hari yang terakhir peninjauan mereka ke rumah
itu. Besok Minggu tentunya libur dan masing-masing
punya acara sendiri dengan keluarga mereka. Dan hari
Senin-nya tergantung apa yang mereka temukan pada
hari Sabtu. Pada hari Sabtu kembali mereka berderet di depan
pintu gerbang rumah Stella, seolah di situ akan ada
pertunjukan menarik. "Justru pada hari ini dia pasti nggak ada," kata
Kiki pesimistis. "Kenapa?" tanya Fani.
"Mungkin dia ke luar kota bersama orangtuanya.
Ke Puncak, kali. Orang kaya biasanya punya vila."
Isi-Warisan.indd 49 Sesaat mereka termangu. Tiba-tiba merasa seperti
orang dungu. "Hei, lihat!" seru Gilang sambil menunjuk. "Itu
dia, kali!" Mereka menatap ke arah yang ditunjuk Gilang. Di
pojok rumah sebelah kanan, bagian samping yang
disebut sayap oleh Stella, juga terdapat pintu yang
lebih kecil daripada pintu di tengah, yang merupakan
pintu utama. Untungnya pintu gerbang berada pada
po?sisi lebih dekat ke sayap rumah yang ditunjuk
Gilang, hingga bisa terlihat oleh mereka yang berada
di luar. Pintu itu terbuka dan seorang anak perempuan
keluar dari situ. Ia mengenakan seragam SD Negeri,
blus putih dan rok merah. Ia berjalan ke arah yang
mem?belakangi anak-anak di luar.
Mereka memanjangkan leher. Kiki merasa tegang.
"Lala!" tiba-tiba Gilang berteriak.
Anak perempuan itu berhenti melangkah lalu ber?
balik dengan mendadak. Wajahnya terkejut dan heran.
Mulutnya terbuka sedikit.
"Masa yang begitu dibilang cantik," gerutu Madi.
"Dia bukan Lala!" kata Kiki.
Anak itu memang bukan Stella. Rambutnya pendek
lurus, kulitnya lebih gelap, wajahnya mungil sesuai
de?ngan tubuhnya yang kurus. Dia lebih pendek di?
banding Stella. "Malu, ah!" seru Kiki, lalu berlari pergi. Temantemannya mengikuti di belakang. Tapi Fani tidak ikut
berlari. Ia masih berdiri memandangi anak perempuan
di sebelah sana. Keduanya jadi saling memandang.
Anak perempuan itu tetap di tempatnya, jelas tidak
Isi-Warisan.indd 50 ber?maksud mendekat. Lalu Fani tersenyum. Anak itu
juga tersenyum. Fani mengangkat tangannya. Anak itu
pun melakukan hal yang sama. Barulah Fani berlari
menyusul yang lain. Kiki dan teman-temannya sudah berhenti berlari
dan menunggu Fani. Mereka mengamatinya dari ke?
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh?an. "Kalian kok bodoh amat sih?" gerutu Fani.
"Bodoh kenapa?" tanya Gilang kesal.
"Mestinya kalian berkenalan sama dia lalu tanya
tentang Lala. Masa lari begitu? Dia baik kok. Waktu
aku senyum dan melambai, dia membalas."
Kiki dan yang lain terperangah. Ucapan Fani itu
ada benarnya. Tapi sekarang tentu sudah terlambat.
"Habis tadi malu sih," kata Kiki beralasan. "Kayak
orang kedapatan ngintip-ngintip."
"Memang ngintip kok," ejek Fani. Ia sendiri me?
rasa senang karena bisa melakukan sesuatu yang tak
bisa dilakukan anak yang lain.
Kiki sangat jengkel karena merasa bodoh seperti
yang dikatakan adiknya. "Barangkali dia adiknya Lala," kata Fani.
"Masa kakak cantik, adiknya jelek," kata Gilang.
"Ah, dia nggak jelek kok," bantah Fani. "Pendek?
nya, cakepan dia dari kamu."
Gilang melotot. Fani berlari cepat-cepat.
"Pasti dia bukan adiknya Lala," Kiki memastikan.
"Beda banget. Lala kulitnya putih, yang tadi item."
"Item manis," kata Dono yang disambut sorak
teman-temannya. "Jadi Senin gimana?"tanya Gilang.
Isi-Warisan.indd 51 "Nggak ada salahnya kita usaha lagi," kata Dono.
"Yang penting, kita sudah tahu rumah itu ada orang?
nya." "Oke," Kiki dan Gilang setuju.
Tapi hari-hari berikut kembali seperti semula.
Tidak ada siapa-siapa yang terlihat, begitu pula anak
perempuan yang semula dikira Stella. Mereka sadar
bahwa waktunya mungkin salah. Mereka selalu ke situ
pada saat yang sama, padahal saat itu memang peng?
huni sedang tak ada atau berada di dalam, entah se?
dang makan siang atau beristirahat.
Lama-kelamaan mereka menjadi bosan.
Tapi tidak demikian dengan Kiki. Dia justru se?
nang bahwa teman-temannya sudah bosan dan merasa
kapok. Dia sendiri tidak bosan dan akan berusaha sen?
diri. Tentunya secara diam-diam, tanpa mengajak atau
memberitahu teman-temannya.
Untuk itu ia akan mencari waktu yang baik. Ia
tidak akan berlaku seperti sebelumnya, yaitu selalu ke
situ pada waktu yang sama. Ia pun sudah mengetahui
posisi bel pada pintu gerbang sebelah dalam, tapi
tidak mengatakannya kepada teman-temannya. Dari
luar bel itu tidak terlihat dan tidak pula ada pem?beri?
tahuan bahwa ada bel di situ. Mungkin sengaja supaya
tidak dimain-mainkan orang.
Kiki mempunyai rencana. Isi-Warisan.indd 52 EJAK kejadian di rumah Jalan Kencana itu,
Budiman berlaku tak ubahnya dengan Kiki dan temantemannya. Setiap melewati rumah itu dengan mobil
tua?nya ia selalu melambatkan kendaraannya, bahkan
pernah juga berhenti di depannya lalu mengawasi
rumah itu. Ia hanya bisa melewati rumah itu di waktu
pagi, saat berangkat kerja. Sedang sorenya ia harus
meng?gunakan lajur di seberangnya, karena jalan besar
di depan rumah itu memiliki dua arah lalu-lintas. Biar?
pun demikian matanya masih bisa mengarahkan
pandang ke sana. Tapi setelah seminggu berlalu, sama seperti anakanak, ia pun tidak pernah melihat ada aktivitas di
muka rumah itu atau orang yang berada di halaman?
nya. Kadang-kadang mobil yang ada di halaman
rumah itu tidak tampak, tapi ada kalanya parkir di
situ. Lain kali mobil masih di garasi yang pintunya
ter?buka. Ada dua mobil di situ. Yang selalu terlihat di
Isi-Warisan.indd 53 halaman selalu mobil yang sama, mobil besar ber?
warna hitam, seperti mobil yang dilihatnya waktu
men?jemput Kiki. Mobil satunya lagi lebih kecil ber?
warna putih, hingga menjadi kontras.
Ia tidak melihat pembantu yang menyapu teras
atau tukang kebun yang merawat tanaman. Padahal
biasa?nya pagi-pagi mobil dicuci sebelum dibawa
pergi. Ia tahu, hal itu bukan berarti rumah itu tak ada
peng?huninya, karena dari awal sudah jelas rumah itu
memang berpenghuni. Tapi itu adalah masalah waktu
yang tak sesuai. Ia sendiri berangkat jam delapan
pagi, sedang anak sekolah setengah tujuh sudah be?
rangkat. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan anak-anak
itu, sedang ia sendiri tidak pernah bercerita mengenai
keingintahuannya sendiri, baik kepada Kiki maupun
kepada istrinya. Sumarni sepertinya sudah melupakan
kejadian itu, karena tak pernah lagi mengungkit atau
bertanya-tanya. Berbeda dengan anak-anak, ia memang harus me?
lewati rumah itu, bukan sengaja melewatinya. Ia ha?
nya tinggal mengarahkan pandangannya saja ke situ.
Tujuannya hanya ingin melihat saja, terutama Stella.
Ia senang sekali pada anak itu, terutama kesantunan?
nya. Ia membayangkan kalau kebetulan melihatnya ia
akan memanggilnya, lalu anak itu pasti akan melambai
lalu berseru kepadanya sambil tersenyum manis tentu?
nya. Ia juga ingin melihat orangtua Stella. Seperti apa?
kah penampilan orangtua yang bisa menghasilkan anak
Isi-Warisan.indd 54 secantik itu? Tentunya yang satu cantik, yang lain
tampan. Tak bisa lain. Mustahil orangtua jelek bisa
menghasilkan anak yang cantik. Entah kalau salah
satu. Tapi kalau ia ingat pada suara pertengkaran dari
mereka pada hari itu ia menjadi ragu. Kedengarannya
suara-suara itu kasar dan jahat. Baik yang perempuan
maupun yang lelaki. Dari mana kesantunan yang di?
perlihatkan Stella? Mestinya kelakuan baik seorang
anak diperoleh dari hasil ajaran orangtua atau meniru
kelakuan mereka. Ia sendiri suka juga bertengkar
dengan Sumarni, tapi rasanya tak sampai seperti itu.
Karena ia melakukan pengamatan sambil lewat,
tidak secara khusus seperti yang dilakukan anak-anak,
maka ia tidak merasa bosan. Tidak ada salahnya meng?
gulirkan mata ke sana karena tidak sampai meng?
ganggu konsentrasi mengemudi. Sayangnya pemandang?
an yang bisa ditangkapnya hanyalah melalui pintu
ger?bang. Itu pun dari celah-celah jeruji. Sepanjang
pagar tertutup rapat oleh tanaman.
Budiman bekerja sebagai kepala bagian pembelian
di sebuah perusahaan retail. Pada hari Sabtu ia bekerja
setengah hari. Jadi, pada hari itu ia pulang lebih awal
dari biasanya. Perubahan jadwal dari biasanya itu
mem?buat ia berharap bisa melihat sesuatu yang ber?
beda dari hari-hari kemarin.
Ia melambatkan kendaraannya saat akan mencapai
rumah itu. Sayang ia berada di seberang dan harus
berbelok pula kalau sudah berhadapan dengan rumah
itu karena posisinya yang tusuk sate. Jadi, ia harus
memasang mata sebelum melewatinya. Pas di pintu
gerbang matanya terarah ke sana.
Isi-Warisan.indd 55 Memang ada perasaan geli di hatinya kalau me?
renungkan perbuatannya itu. Andaikata Stella itu se?
orang perempuan dewasa, pastilah ia sedang kasmaran
dan berniat selingkuh, atau jatuh hati secara membuta
seperti orang bertepuk sebelah tangan. Sesuatu yang
bisa dibilang masuk akal. Tapi Stella itu anak kecil
dan ia bukan seorang pedofil. Ia hanya tertarik semata.
Itu tentu tidak salah. Bila Sumarni sampai tahu, ia
tidak perlu marah atau cemburu. Semata-mata keingin?
tahuan yang timbul dari kejadian yang berkesan dan
baginya terasa unik. Sedang bagi orang lain mungkin
dirasa sepele atau menggelikan.
Matanya melebar. Ada orang di halamannya!
Sayangnya begitu melihat, ia harus berbelok. Tak
mung?kin berhenti di belokan. Tapi pemandangan itu
terlihat jelas karena orang yang dilihatnya berada di
taman, tak jauh dari pintu gerbang. Seharusnya bisa
ter?lihat lebih jelas kalau saja ia berada di seberang
sana. Sesudah berbelok ia menghentikan mobilnya. Ini
ada?lah saat yang mungkin tak akan ia temukan lagi be?
sok atau besoknya lagi. Baginya ini adalah suatu ke?
betulan. Padahal ia yakin kebetulan itu sulit ber?ulang.
Keputusan diambil. Ia berputar arah, kembali me?
nye?berang jalan untuk kemudian berbelok melewati
rumah Stella! Pemandangan yang terlihat jelas. Seorang perempu?
an berdiri agak membelakangi. Di depannya seorang
lelaki dengan celana pendek selutut dan baju kaos se?
dang berjongkok dengan tangan memegang garpu
tanaman. Penampilan tukang kebun.
Isi-Warisan.indd 56 Budiman menghentikan mobilnya, tapi tidak persis
di depan pintu gerbang. Tapi ia tahu tidak mungkin
meng?amati dari dalam mobil dengan cara seperti itu
karena akan terlihat oleh kedua orang tadi. Memang
tak lama setelah berhenti, keduanya memandang ke
arah?nya. Mungkin ingin tahu apakah dirinya seseorang
yang hendak bertamu. Ia cepat keluar lalu bergegas membuka kap mobil?
nya dan bersikap seakan tidak melihat mereka. Tindak?
annya itu membuat mereka kembali berpaling lalu
me?neruskan kegiatan semula.
Sambil berpura-pura mengotak-atik mesin mobil
de?ngan kepala menunduk, sesekali Budiman menengok
ke rumah itu. Bila merasa tak diperhatikan ia bisa me?
lakukan pengamatan lebih lama.
Perempuan itu bertubuh tinggi langsing, mengena?
kan celana pendek setengah paha, hingga jelas mem?
perlihatkan kulitnya yang putih dan kakinya yang
mulus. Atasannya blus longgar tanpa lengan. Rambut?
nya pendek berombak berwarna cokelat. Sayang wajah?
nya tak jelas kelihatan karena dia kembali membe?
lakangi. Perempuan itu sedang memberi instruksi kepada si
tukang kebun yang wajahnya menghadap ke arah
Budiman. Kedengaran suaranya yang keras dan nya?
ring. Budiman tersentak mengenali suara itu sebagai
suara perempuan dalam pertengkaran saat ia men?
jemput Kiki. Suaranya memiliki lengkingan yang khas.
Tak begitu enak didengar. Si tukang kebun hanya
mengangguk-angguk tanpa mengangkat kepala untuk
menatap wajah majikannya.
Isi-Warisan.indd 57 Tiba-tiba perempuan itu menoleh. Budiman ter?
kesiap. Perempuan itu cantik sekali! Mirip dengan
Stella, atau Stella yang mirip dia?
Tapi di luar dugaannya perempuan itu melangkah
ke pintu gerbang. Kali ini Budiman terkejut karena
wajah perempuan itu tampak keras meskipun cantik.
Ia khawatir karena tatapan perempuan itu tertuju ke?
padanya. Kali ini dia tak perlu lagi mencuri-curi lihat
karena wajah itu sepenuhnya tampak dari jarak dekat.
Tapi wajah itu terlihat jelas kurang senang.
"Eh, Pak!" seru perempuan itu. Suaranya me?
lengking. Budiman mengangguk. "Ya, Bu?" sahutnya hor?
mat. "Pak, jangan lama-lama di situ, ya! Nanti kalau
mo?bil saya mau masuk atau keluar, nggak bisa! Kalau
mau lama-lama sebelah ke sana kek. Jangan di depan
pintu!" "Oh, maaf, Bu. Nggak lama lagi kok...."
Budiman segera menutup kap mobilnya. Perempu?
an itu pun berbalik. Ia tidak kembali menghadapi
tukang kebunnya, melainkan terus ke rumah.
Budiman sempat melihat lenggangnya yang bergaya
se?perti peragawati. Apakah dia memang seorang pera?
gawati? Tapi seorang peragawati hanya bergaya se?
perti itu kalau sedang berada di catwalk, bukan di
sem?barang tempat ter?masuk di rumah sendiri. Mung?
kin perempuan itu sadar dirinya sedang dipandangi
lalu sengaja mengejek?nya.
Budiman menjalankan mobilnya, meluncur dulu
lalu berputar arah untuk terus menuju rumah. Dalam
Isi-Warisan.indd 58 ain hati ia kesal sekali. Tapi perlahan-lahan kekesalan itu
mereda lalu lenyap. Ia menertawakan dirinya sendiri.
Mung?kin perlakuan seperti itu layak diperolehnya se?
bagai imbalan atas "keberhasilannya". Ia sudah ber?
hasil melihat penghuni rumah itu, meskipun bukan
Stella, seperti yang diharapkannya.
Alangkah bedanya ibu dan anak itu? pikirnya. Se?
cara fisik mirip. Tapi kepribadian tidak. Padahal Stella
masih kecil dengan kepribadian yang masih bisa ber?
ubah. Dari mana anak itu belajar kesantunan? Ayah?
nya? Tapi dalam pertengkaran yang pernah didengar?
nya, suara lelaki yang diperkirakan ayahnya itu
ke?dengarannya keras juga. Mungkinkah orang santun
bisa juga bersuara keras?
Ia memperkirakan usia perempuan itu mestinya
sudah menjelang empat puluh, bila dihitung dari usia
Stella. Tapi wajahnya yang terlihat dari dekat itu me?
ngesankan usia yang jauh lebih muda. Kulitnya licin
dan kencang. Tubuhnya pun ramping dengan sepasang
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki yang mulus. Ia menganggap kejadian itu sebagai hikmah.
Besok-besok ia takkan lagi dikuasai keingintahuan se?
perti itu. Setiap melewati rumah itu mungkin saja ia
akan menengok ke dalamnya, tapi sambil lalu saja.
Kalau memang ditakdirkan bertemu lagi dengan Stella,
maka tanpa diusahakan pun bisa terjadi.
*** Kiki sudah membeli sebuah kartu bergambar bunga
mawar merah jambu berukuran setengah kartu pos
Isi-Warisan.indd 59 supaya bisa dimasukkan ke dalam saku. Ia sengaja
mencari kartu yang tak ada kata-katanya supaya bisa
menulisinya sendiri. Lalu ia menulis: Untuk Stella,
terima kasih atas bantuannya. Tak akan pernah
kulupakan. Dari Rizky (Kiki).
Ia menulisnya dengan hati-hati dan seindah mung?
kin. Biasanya kalau menulis tanpa garis di bawah?nya
tulisannya selalu mencong ke atas, maka ia meng?
garisinya dulu tipis-tipis dengan pensil. Setelah selesai
garis itu ia hapus. Lalu ia amati lama-lama. Mestinya
kata-katanya lebih panjang, pikirnya. Suatu ajakan ber?
sahabat, misalnya. Tapi tak mungkin ditambah tanpa
merusak kerapiannya. Kurang bagus kalau terlalu
penuh karena kartunya kecil. Ah, yang penting tidak
salah tulis dan tidak mencong.
Sesudah dimasukkan ke dalam amplop berikut
kantong plastiknya, ia simpan di laci di bawah tumpuk?
an buku. Jangan sampai digeratak Fani. Kalau Fani
tahu ia bisa dicemooh dan dijadikan bahan ejekan.
Untung saja ia punya kamar sendiri biarpun kecil.
Nanti pada kesempatan terbaik ia bisa menyerahkan
kartu itu kepada Stella. Kartu kecil tidak merepotkan
untuk dibawa-bawa. Lagi pula yang terpenting tidak
kelihatan. Nanti setiap orang akan bertanya. Apa itu
dan untuk siapa. Kalau diberitahu bisa geger. Dia akan
habis diejek dan digoda. Ia sudah siap untuk kecewa. Bila ia mendapat ke?
sempatan untuk pergi ke rumah itu, belum tentu Stella
ada. Selama ini sudah terbukti betapa sulitnya me?
nemu?kan orang di halaman rumah itu. Untuk me?
ngetuk atau membunyikan bel, ia tidak berani. Ia takut
Isi-Warisan.indd 60 dihardik penghuni rumah. Kalau belum apa-apa sudah
mendapat pengalaman pahit, ia bisa kapok. Tapi jauh
di lubuk hatinya, ia yakin tidak akan kapok. Bukankah
ia tidak bermaksud buruk? Apalagi ia cuma seorang
anak kecil yang ingin bertemu sesama anak kecil lain?
nya. Pada hari Minggu itu ia merasa mendapat ke?
sempat?an. Ibunya berencana akan mengunjungi nenek?
nya yang tinggal di wilayah Grogol. Ayahnya tidak
ikut karena membawa pekerjaan ke rumah. Ia pun
menolak ikut dengan alasan mau belajar bersama
teman. Jadi ibunya pergi bersama Fani. Yang penting
bagi Kiki adalah tak ada Fani, karena adiknya itu suka
sekali mengikutinya ke mana-mana.
Tak lama setelah ibunya berangkat bersama Fani,
ia pamit kepada ayahnya untuk ke rumah teman tanpa
mengatakan siapa nama temannya itu. Budiman tak
bermaksud ingin tahu karena ia percaya kepada Kiki.
Yang penting ia bisa bekerja dengan tenang tanpa
gangguan. "Kalau di rumah orang, yang sopan ya, Ki," pesan
Budiman. "Ya, Pa." "Hati-hati kalau nyeberang."
"Ya, Pa." Perasaan bersalah karena tidak berterus terang ha?
nya sebentar menyelinap di hatinya. Begitu di luar
rumah ia merasa bebas dan gembira, padahal ia tahu
belum tentu rencananya berhasil.
Kiki berjalan dengan melompat-lompat kecil me?nuju
Jalan Kencana. Karena gembira ia sama sekali tidak
Isi-Warisan.indd 61 berpikir tentang kemungkinan tidak berhasil. Baga?imana
kalau pada hari Minggu itu seisi rumah, tak terkecuali
Stella, berada di luar kota? Apakah mung?kin orang kaya
diam saja di rumah pada hari libur?
Ia merasa gembira karena mendapat kesempatan.
Beberapa kali ia menepuk saku celananya, memastikan
bahwa kartu untuk Stella sudah dibawanya. Kalau
sampai terlupa ia bisa kembali lagi. Mumpung belum
jauh. Bahkan setibanya di depan rumah Stella pun ia
tidak merasa khawatir sedikit pun. Ia berdiri sejenak
di depan pintu gerbang, mengamati situasi di dalam?
nya. Mobil hitam besar yang sering ia lihat parkir di
halaman tidak terlihat. Pintu utama besar di tengahtengah itu tertutup rapat seperti biasanya. Tapi pintu
di sayap kanan terbuka. Dari pintu itulah ia dan
teman-temannya melihat seorang anak perempuan
yang dikira Stella keluar.
Harapan Kiki membesar. Kalau pintu terbuka, ber?
arti di dalam ada orang. Ia berpikir sejenak. Memencet bel atau berteriak
memanggil Stella? Mana yang lebih sopan? Memencet
bel berarti memberitahu tentang kehadirannya yang
tanpa maksud yang jelas. Kalau memanggil Stella,
jelas siapa yang mau ditemui.
Ia berteriak keras-keras, "Lala! Lalaaa...! Lalaaa...!"
Ke?mudian berhenti dan memandang ke dalam kalaukalau ada yang keluar. Tak melihat siapa pun ia ber?
teriak lagi, sama seperti tadi.
Ketika masih juga tak berhasil, ia mengulurkan
tangan masuk ke celah jeruji pintu, meraba ke sebelah
Isi-Warisan.indd 62 kiri. Ia sudah tahu bel berada di sebelah kiri. Sedang
meraba-raba itulah ia merasa tangannya ada yang
memegang. Ia terkejut sekali, lalu berteriak sekeraskeras?nya sambil menarik tangannya. Tapi ia tidak
berlari pergi, hanya beringsut menjauh lebih ke kanan.
Meskipun wajahnya pucat karena kaget, tapi ia tetap
memandang ke arah kiri, dari mana pegangan itu
berasal. Tak lama kemudian muncul sosok seseorang di?
sertai bunyi tawa. Segera dia berhadapan dengan Kiki.
Dia seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, mengenakan
celana pendek selutut yang longgar dan kaus kumal,
berumur setengah baya, rambutnya sebagian sudah
me?mutih. Wajahnya tampak kocak oleh senyum tawa?
nya. Dia kelihatan geli melihat kekagetan Kiki.
Rupanya sejak tadi dia berada di sebelah kiri pintu,
merapat ke pagar, hingga tak tertangkap jangkauan
pandang Kiki yang intens mengamati sebelah kanan
rumah. Pasti tadi posisinya berjongkok, mengingat
tubuh?nya yang jangkung. "Wah... wah... kaget, ya? Atau kesetrum?"
Lalu dia tertawa mengakak lagi.
Kiki menatapnya dengan kesal. Pelan-pelan wajah?
nya merona lagi. Hilang pucatnya. Hilang pula kaget?
nya. Bagaimanapun ia sudah menemukan orang yang
bisa ditanyai. Ia cuma ditertawakan, tidak dimarahi.
Lagi pula orang ini pastilah bukan pemilik rumah,
apalagi ayah Stella. Penampilannya seperti tukang ke?
bun. Ada bercak tanah di kaus dan celananya.
Setelah puas tertawa, orang itu mengamati wajah
Kiki. Isi-Warisan.indd 63 "Kamu nyari siapa sih? Kok teriak-teriak gitu?"
"Saya nyari Lala, Pak. Saya temannya."
"Siapa?" tanya lelaki itu seperti terkejut. "Lala
atau Nana?" "Lala..." Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya, padahal
tanah menempel di tangannya.
Kiki melupakan sikap lelaki itu. Sekarang ia yang
tertawa melihat gumpalan tanah menempel di rambut
lelaki itu. Rasakan. "Ha-ha-ha!" tawanya berderai. Tangannya me?
nunjuk ke kepala lelaki itu.
"Kenapa?? tanya lelaki itu heran.
"Kepala Bapak ada cacingnya..."
"Hiii..." Lelaki itu berjingkrak sambil tangannya
sibuk menepis-nepis kepalanya. Dengan begitu tanah
yang melekat di tangannya malah berpindah semua ke
kepalanya. Kiki tertawa semakin geli. Tapi kemudian merasa
tak sepatutnya menertawakan.
"Sudah, Pak. Sudah jatuh ke bawah kok...."
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kiki
jadi khawatir kalau-kalau dia marah.
"Nanti keramas aja, Pak," katanya.
"Ya-ya-ya. Kamu ini siapa sih?"
"Nama saya Rizky, Pak. Panggilan saya Kiki...."
"Oh, nama yang bagus. Tadi bilangnya mau cari
siapa sih?" "Lala, Pak. Saya temannya."
Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke pintu. Kiki
harus mendongak supaya bisa melihat wajahnya.
Isi-Warisan.indd 64 "Kamu pasti salah. Bukan Lala, tapi Nana. Tunggu
sebentar, aku panggilkan...."
Lelaki itu menyusut tangannya ke samping celana?
nya, lalu merogoh saku. Ia mengeluarkan ponsel, lalu
menelepon. "Na? Di sini ada temanmu namanya Kiki. Pengin
ketemu. Sudah, kamu keluar aja."
Kiki bermaksud membantah, bahwa yang dicarinya
Lala, bukan Nana. Tapi ia ingin tahu siapa Nana itu.
Selintas dugaannya dia adalah anak perempuan yang
tempo hari bertukar senyum dengan Fani. Tak apalah
ke?temu dia untuk bertanya atau titip salam bagi
Stella. Di luar dugaan Kiki, lelaki itu membuka pintu.
Di?kiranya ia tidak boleh masuk.
"Masuk aja. Tuan sama Nyonya nggak ada. Nggak
usah takut," kata lelaki itu.
Kiki tertegun menyimak kata-kata itu. Apakah
kalau sang majikan ada maka ia tak dibolehkan masuk
dan patut merasa takut? "Jadi Lala nggak ada, Pak?" tegas Kiki lagi.
Lelaki itu menggeleng. "Sana, masuk saja. Terus
ke sana, ya...." Ia menunjuk ke ujung kanan rumah.
Lalu tanpa peduli lagi kembali berjongkok untuk me?
lanjutkan pekerjaannya. Kiki berjalan ke sayap kanan dengan perasaan
takjub. Luas sekali rumah itu. Ketika tempo hari ber?
ada di dalam, ruangannya memang luas, tapi dibatasi
din?ding. Tapi di luar rasanya wah... sulit menggambar?
kan perasaannya. Takjub tapi juga takut. Rumah yang
ke?cil, seperti rumahnya, memang sempit, tapi kesan?
Isi-Warisan.indd 65 nya familiar. Sangat dikenal. Tapi rumah sebesar ini
pasti perlu waktu lama untuk mengenalnya, bahkan
ke??mungkinan tak kunjung bisa mengenal. Asing dan
tak akrab. Di belakang Kiki, lelaki tadi mengangkat kepala
dan mengamati. Wajahnya yang ramah itu kelihatan
se?rius. Ia menggeleng-gelengkan kepala lalu meng?
angkat bahu, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Sebelum Kiki mendekat ke pintu, seorang anak
pe?rempuan keluar. Kiki mengenalinya sebagai anak
pe?rempuan yang bertukar senyum dengan Fani. Jadi
benar dugaannya. Namanya Nana.
"Aku..." Kiki diam sebentar. Matanya tidak kepada
Nana melainkan ke dalam rumah. Sepertinya yang di?
sebut sayap itu merupakan bagian rumah yang me?
nempel pada rumah utama. Besarnya kira-kira seperti
rumahnya sendiri. "Oh, jadi kamu anak yang tempo hari manggilmanggil di luar pintu itu, ya? Enam orang, kan?"
tegas Nana mengenali Kiki.
"Ya... betul." Kiki disadarkan bahwa dirinya di?
amati. Nana tersenyum. Dia manis juga, pikir Kiki. Tapi
kalah jauh bila dibandingkan dengan Stella. Mungkin
seperti putri dengan dayangnya.
"Kenalin dulu dong. Namaku Kirana. Nana panggil?
anku." Nana mengulurkan tangan. Tidak malu-malu.
"Aku Kiki," kata Kiki sambil menyambut uluran
tangan Nana. "Tinggalnya di mana?"
Isi-Warisan.indd 66 "Jalan Belimbing nomor sembilan," sahut Kiki.
Kha?watir didahului, ia cepat melanjutkan, "Aku pe?
ngin ketemu Lala, ada nggak ya?"
Nana menggeleng. Wajahnya memperlihatkan rasa
heran. Persis seperti lelaki di luar itu.
"Oh, dia pergi, ya? Tadi bapak itu..."
Belum selesai Kiki bicara, Nana sudah memotong,
"Itu bapakku. Namanya Pak Sukri. Dia tukang kebun
merangkap pembantu di sini. Aku juga merangkap
pembantu. Kami tinggal di sini. Sayap kanan," tutur
Nana lancar. Sama sekali tidak ada ekspresi minder
saat mengatakannya. Kiki tertegun oleh sikap Nana. Ia merasa ter?
kesan. "Kapan Lala pulang? Perginya sama orangtuanya,
ya?" tanya Kiki. Nana tak menjawab. Ia berpaling memandang ke
dalam rumah. Kiki ikut memandang ke dalam, me?
ngira ada orang di sana.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa?" tanyanya.
"Nggak ada siapa-siapa. Aku sendirian di rumah.
Kami jaga rumah." Sesaat Kiki melupakan tujuannya.
"Rumah sebesar ini kok pembantunya sedikit. Pasti
kamu capek sekali membersihkan semuanya," katanya
dengan simpati. "Oh, kalau soal itu kerjaan orang lain, Ki. Tukang
bersih-bersihnya nggak nginep di sini. Koki juga be?
gitu. Udah beres masak dia pulang. Dia juga nggak
se?tiap hari masak. Tuan dan Nyonya sering makan di
luar," tutur Nana. Isi-Warisan.indd 67 Kiki melongok ke dalam. "Kamu mau lihat? Masuk aja, yuk? Boleh dikata
ini rumah kami kok, biarpun numpang," ajak Nana.
"Ibumu?" tanya Kiki segan.
"Oh, Mama sudah meninggal. Aku berdua saja
sama Bapak. Yuk, mau masuk?"
Kiki hanya melangkah sampai ambang pintu, lalu
melayangkan pandang ke dalam. Meskipun disilakan,
ia segan masuk. Rumah orang kok dilihat-lihat.
"Ada pintunya." Ia menunjuk pintu di dinding se?
belah dalam yang sepertinya bukan merupakan pintu
kamar. "Oh itu pintu penghubung dengan rumah utama.
Tapi dikunci karena Bapak dan Ibu pergi."
"Kamu tentu teman mainnya Lala, ya? Umurmu
berapa?" tanya Kiki.
"Hampir dua belas."
"Eh, sama dong. Kelas berapa?"
"Enam." "Sama juga." "Di mana kamu kenal Lala? Satu sekolah?? tanya
Nana. "Aku kenalnya di sini."
"Di sini?" Nana tersentak. Ekspresinya tak percaya.
"Bener. Waktu itu aku dan teman-teman yang
kemarin itu sedang main bola, lalu bolanya masuk ke
sini. Karena sudah dipanggil-panggil nggak ada yang
keluar, jadi aku loncat masuk. Belakangan aku di?tinggal
teman-teman, jadi sendirian aku mencoba manjat tapi
aku jatuh. Lalu ditolong Lala," cerita Kiki, meng?ulang
kebohongan yang sama. Lama-lama jadi lancar.
Isi-Warisan.indd 68 "Pasti kejadiannya udah lama."
"Nggak kok. Seminggu yang lalu."
Nana mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan
apa-apa. "Jadi, Lala nggak ada," tegas Kiki.
"Ya. Nggak ada," sahut Nana, tanpa memandang
wajah Kiki. "Kalau begitu..." Kiki berpikir sejenak. Ia me?
nimbang-nimbang apakah sebaiknya ia menitipkan saja
kartunya kepada Nana. Pasti akan sampai ke tangan
Stella. Beda kalau ia mencoba memberi ke tangan
Stella sendiri. Sudah susah dijumpai, menitipkan pun
susah karena jarang ada orang di luar.
Ia merogoh saku untuk mengeluarkan kartunya.
"Tolong disampaikan pada Lala, ya?" katanya, me?
nyodorkan kartu kepada Nana.
Spontan Nana mengayunkan tangannya ke belakang
punggung, lalu menggeleng.
"Tolong dong, Na. Terima kasih banget deh," bujuk
Kiki. Andaikata Nana dan Stella kebetulan sedang ber?
musuh?an, Nana bisa menitipkannya kepada ayahnya
un?tuk diberikan kepada Stella. Ia paham soal itu, ka?
rena kadang-kadang ia dan Fani juga suka bermusuhan
dan tidak berbicara selama beberapa hari.
Kiki terus menyodorkan kartunya, sampai akhirnya
diterima Nana dengan wajah segan.
Kiki merasa senang. "Terima kasih ya, Na. Aku
pulang dulu." Wajah Nana muram ketika mengantarkan Kiki ke
pintu. Tapi Kiki tidak menyadari hal itu.
Isi-Warisan.indd 69 Pak Sukri berdiri. Ia tersenyum kepada Kiki.
"Pulang dulu ya, Pak. Terima kasih," kata Kiki
sam?bil mengangguk. "Hati-hati nyeberangnya ya, Ki. Biarpun kelihatan
sepi, tapi siapa tahu tiba-tiba ada mobil nyelonong.
Oh ya, kagetnya yang tadi sudah hilang, kan?"
"Sudah, Pak. Terima kasih, Pak. Terima kasih,
Na." Nana melambaikan tangan. Sejenak Kiki heran,
ke?napa sekarang Nana jadi mahal senyum. Tapi ia
tidak merasa perlu memusingkan hal itu. Yang penting
kartunya segera akan sampai ke tangan Stella. Mung?
kin sore atau malam nanti.
Kiki pulang dengan perasaan senang. Tujuan sudah
tercapai meskipun tidak seratus persen.
"Kok cepat, Ki?" tanya Budiman.
"Iya, Pa. Udah beres belajarnya," sahut Kiki. Ah,
ber?bohong lagi. "Mau ngapain sekarang?"
"Mau main game aja, Pa."
"Belum lapar?" "Belum, Pa." "Kalau lapar bilang, ya? Kita makan..."
"Iya, Pa." Kiki masuk ke kamarnya. Budiman meneruskan
pe?kerjaannya, senang karena tidak akan terganggu.
Tapi Kiki tidak bersemangat bermain. Ia merebahkan
dirinya lalu membayangkan kejadian tadi. Sebenarnya
ia senang karena tadi Nana tidak bertanya mendetail
mengenai kejadian dengan Stella, karena ia khawatir
juga kalau-kalau keceplosan ngomong. Tapi menyesal
Isi-Warisan.indd 70 karena tidak sempat bertanya banyak mengenai Stella.
Sekolahnya di mana, kelas berapa, punya saudara atau
tidak, dan macam-macam lagi yang baru terpikir
sekarang. Mungkin nanti masih ada kesempatan, pikirnya.
Baru berkenalan masa sudah banyak bertanya. Biarlah
sekarang ia berbaik-baik dulu dengan Nana sebagai
jalan untuk bisa mendekati Stella.
Pintunya diketuk. "Kiii! Makan dulu, yuk...!" seru Budiman.
"Ya, Pa." Kiki bergegas bangun. Meskipun ayahnya suka ber?
sikap keras dan tegas, tapi kebiasaan-kebiasaan yang
di?terapkannya di rumah terasa menyenangkan, misal?
nya selalu mengetuk pintu kamar kalau mau sesuatu.
Jangan main buka saja. Tapi Fani masih saja suka
melupakan hal itu. Mereka makan tanpa banyak bicara. Keduanya se?
dang sarat pemikiran yang berbeda.
"Kamu cuci piring, ya Ki," kata Budiman, usai
ma?kan. "Ya, Pa." Budiman segera kembali ke pekerjaannya di ruang
depan yang merangkap ruang tamu. Tak mungkin
mem?buat ruang kerja khusus karena tak ada sisa ruang?
an lagi. Kalau disekat-sekat malah semakin sempit.
Kiki kembali ke kamarnya setelah mencuci piring
dan merapikan meja makan. Kalau sudah terbiasa,
maka tak lagi menjadi beban. Ibunya pulang sore dan
pasti membawa makanan enak buatan nenek.
Dia kembali merebahkan diri, senang bisa ber?
Isi-Warisan.indd 71 angan-angan. Bagaimana kira-kira reaksi Stella setelah
melihat kartunya? Apakah Stella terkesan dan me?
nyukai gambarnya? Ada kemungkinan Nana mengintip isi kartunya ka?
rena amplopnya tidak dilem. Ah, biarkan saja dia me?
lihat dan membacanya. Itu bukan sesuatu yang bersifat
rahasia atau buruk. Ketika dia mulai mengantuk, terdengar ketukan
pintu. "Ki! Kikiii...!"
"Apa, Pa?" seru Kiki.
"Tidur, ya? Ada temanmu di luar mencarimu.
Nama?nya Nana." Kiki terlonjak kaget. Apakah Nana datang mem?
bawa kabar dari Stella? Apakah Stella sudah pulang
dan mengirim Nana untuk memanggilnya datang?
Kiki bergegas keluar. Budiman geleng-geleng ke?
pala melihat sikap Kiki yang bersemangat. Sudah pu?
nya teman cewek rupanya. Nana berdiri di depan pintu. Ia tersenyum melihat
Kiki. "Mengganggu, Ki?"
"Nggak. Ada apa, Na?"
Sebelum Nana menjawab, tatapan Kiki segera ter?
tuju ke tangan Nana. Ada benda putih di situ. Ia me?
ngenalinya sebagai kartu untuk Stella yang tadi dititip?
kannya pada gadis itu. Kenapa Nana membawanya
lagi? Apakah Stella menolaknya? Perasaannya menjadi
tidak enak. "Ya. Aku mau ngembaliin kartumu, Ki," kata
Nana, lalu menyodorkan kartu kepada Kiki.
Isi-Warisan.indd 72 "Emangnya kenapa? Apa dia nggak mau terima?"
tanya Kiki dengan perasaan pedih.
"Bukan begitu, Ki. Tadi seharusnya aku nggak te?
rima. Aku..." Wajah Nana muram sekali. Matanya berkejapkejap.
Kedengaran bunyi berdeham-deham. Budiman me?
nongolkan kepalanya. "Ajak duduk dong, Ki. Masa ngobrolnya berdiri?"
kata Budiman. "Ya, Pa," sahut Kiki. Lalu berpaling pada Nana.
"Ayo duduk." Mereka duduk bersebelahan di teras. Kiki menatap
Nana, minta jawaban. "Mestinya dari tadi aku bilang sama kamu. Tapi
aku nggak tega, Ki. Aku nggak bisa ngomong di ru?
mah itu." "Emangnya kenapa sih?" Kiki merasa tidak nya?
man. "Kartu ini aku nggak bisa kasih sama Lala karena
dia nggak ada..." "Aku tahu. Makanya aku titip sama kamu. Nanti
kalau dia pulang..."
"Dia nggak akan pulang, Ki," kata Nana dengan
wajah mau menangis. "Apa maksudmu?" tanya Kiki dengan berdebar.
"Dia... dia sudah meninggal," kata Nana, tersedu
se?karang. "Apa?" teriak Kiki.
Di balik dinding, Budiman terkejut. Ia sedang me?
nguping karena mendengar nama Lala disebut-sebut.
Isi-Warisan.indd 73 Tapi ia berusaha bertahan di tempatnya. Tidak enak
kalau ketahuan menguping. Sebenarnya ia juga ingin
berteriak mendengar ucapan Nana, tapi bisa menahan
diri. "Ya. Lala sudah meninggal, Ki. Maafin aku karena
tadi nggak segera bilang. Aku malah menerima kartu?
mu. Bapak marah padaku dan menyuruhku segera
men?jelaskan padamu. Untung aku tadi tanya alamat?
mu." Nana menyusut matanya. Kiki termangu. Rasanya seperti disambar geledek.
Jantung berhenti. Mati rasa.
"Nggak bisa. Nggak mungkin. Kapan meninggal?
nya?" "Sudah lama. Sudah setahun, mungkin...."
"Apa? Setahun? Nggak mungkin. Aku ketemu dia
kurang-lebih seminggu yang lalu. Bukan cuma aku,
papaku juga melihatnya. Papa menggendong aku
setelah kejadian. Dia juga masuk sampai ke teras, ke?
temu Bi Ani dan Lala. Mereka berdua..."
"Apa? Bi Ani, katamu?" Nana yang berteriak se?
karang. Wajahnya yang basah memucat.
"Ya. Bi Ani yang mengurut kakiku."
"Nggak mungkin!" teriak Nana. "Bi Ani itu mama?
ku. Dia juga sudah meninggal!"
Lalu Nana menangis tersedu-sedu. Kiki ikut pula
me?nangis. Budiman tidak tahan lagi bersembunyi. Ia keluar
menemui anak-anak itu. "Ada apa?" ia pura-pura bertanya dengan menahan
perasaannya. Isi-Warisan.indd 74 "Pa!" seru Kiki. "Bukankah tempo hari Papa juga
ke?temu sama Lala dan Bi Ani? Papa ngomong sama
mereka, kan?" "Iya, betul. Kenapa?"
"Masa katanya mereka sudah meninggal setahun
yang lalu. Mana mungkin, Pa! Mana mungkin!"
"Sudah, sudah. Tenang dulu. Tenang...."
Budiman menarik kursi, lalu duduk di depan kedua
anak itu. Kedua tangannya terentang, merengkuh ke?
dua?nya kiri dan kanan. Dengan tubuh doyong ke de?
pan ia bisa memegang pundak mereka, lalu menepuknepuk.
"Sudah, sudah. Ini harus dibicarakan. Kalau na?
ngis nggak bisa..." Ia mencoba menenangkan, padahal
perasaannya sendiri kacau.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiki mengangkat kepala lebih dulu, disusul Nana.
Keduanya berwajah kuyup. Budiman memandang sejenak, lalu berdiri. "Se?
bentar, aku ambil tisu," katanya.
Setelah menyerahkan tisu ia menunggu sampai ke?
dua anak itu mengeringkan muka, lalu bertanya ke?
pada Nana, "Jadi kamu ini apanya Lala?"
"Saya tinggal di rumahnya, Om. Bapak saya tu?
kang kebun. Saya jadi teman main Lala sejak kecil
sekali." Budiman menoleh kepada Kiki.
"Jadi kamu tadi pergi ke sana to?"
"Iya, Pa," kata Kiki malu. Ketahuan berbohong.
Tapi Budiman tidak bisa marah pada saat itu.
"Aku ke sana mau kasih ini, Pa." Kiki menunjuk?
kan kartunya. "Ada tulisan terima kasihnya."
Isi-Warisan.indd 75 Budiman tidak membuka amplop untuk melihat
kartu?nya. Ia mengangguk dan menyerahkan kembali
kepada Kiki, yang segera memasukkannya ke dalam
sakunya. "Namamu siapa?" tanya Budiman.
"Kirana, Om. Atau Nana. Tadi bapak saya me?
nyangka Kiki salah manggil. Sekarang saya jadi pe?
ngin tahu. Kenapa Bi Ani, ibu saya, juga disebutsebut?"
Kiki terlalu murung untuk bercerita. Dia masih
saja termenung-menung, tak bisa percaya akan apa
yang didengarnya. Jadi Budiman yang bercerita ten?
tang kejadian itu. Kiki mendengarkan saja. Memang ada yang hilang
dari cerita itu. Tapi ia tidak mau menambahkan. Ia
sudah berjanji kepada Stella, biarpun sekarang ternyata
Stella sudah meninggal. Justru karena itu janjinya
terasa jadi sesuatu yang sakral.
"Tapi itu sebetulnya nggak mungkin, kan? Lala
dan ibu saya sudah meninggal," kata Nana.
"Mestinya memang nggak mungkin. Tapi coba kata?
kan, waktu kejadian itu kamu ada di rumah nggak?
Ting?galnya di sayap kanan, kan? Apa nggak kedengar?
an waktu anak-anak pada teriak?" Budiman pe?na?
saran. "Minggu lalu itu saya dan Bapak pulang kampung.
Ada saudara yang sakit. Jadi di sayap kanan nggak
ada orang. Tapi Tuan dan Nyonya, orangtua Lala,
mesti?nya sih ada di rumah. Nggak tahu juga kalau
pergi." "Jelas ada, karena kami mendengar mereka ber?
Isi-Warisan.indd 76 tengkar. Cuma, Lala itu setelah masuk nggak keluar
lagi. Bi Ani minta kami lekas pulang dan dia me?
letakkan bola di luar pagar," kenang Budiman.
"Duh, Mama..." Nana kembali tersedu. "Padahal
kami nggak pernah melihat dia setelah dia meninggal.
Kok maunya sama orang lain? Berdua Lala, lagi...."
"Sudah, sudah. Jangan nangis lagi, Na."
Budiman menepuk Nana tapi kemudian terkejut
melihat rupa Kiki yang terbengong-bengong. Ia me?
nepuk Kiki yang terperanjat.
"Sudah, Ki." Kiki tidak berkata apa-apa. Ia melompat bangun
dan terus berlari masuk ke dalam rumah. Melihat itu,
Nana juga berdiri. "Saya juga mau pulang, Om. Mesti cerita sama
Bapak." "Terima kasih, Na. Kamu bisa pulang sendiri?"
"Bisa, Om." Setelah Nana pergi, Budiman mengunci pintu dan
cepat masuk menyusul Kiki.
Budiman menemukan Kiki tergolek di tempat tidur?
nya dengan posisi telungkup. Ia terisak-isak. Mukanya
menekan bantal. Budiman menarik kursi ke samping
tempat tidur. Ia duduk, membungkuk lalu mencium
kepala Kiki. Ia mengusap-usap kepala dan punggung
Kiki. "Kita sepenanggungan, Ki. Kita sama-sama meng?
alami itu. Papa juga kehilangan Lala. Papa juga sedih."
Tiba-tiba Kiki bangun, mengubah posisi tubuhnya,
lalu menjatuhkan kepalanya ke paha Budiman. Ia ma?
sih terisak. Isi-Warisan.indd 77 "Kenapa bisa begitu, Pa? Kenapa?"
"Kita nggak tahu, Ki. Nggak pernah bisa tahu.
Tapi dia datang untuk menolongmu. Kita harus ber?
syukur, Ki." Di paha Budiman, kepala Kiki mengangguk-angguk.
Kalau ia hanya jatuh di halaman mungkin Stella takkan
datang menolong. Tapi dia ada di basement tanpa ada
yang tahu. Situasinya darurat. Ia bergidik.
"Kenapa, Ki?" "Nggak. Jadi dia itu siapa, Pa? Hantu?"
"Dia Stella." "Tapi dia sudah mati."
"Begini saja, Ki. Kita menerima itu dengan ikhlas,
ya. Pasti buat Nana juga berat. Bi Ani itu ibunya.
Lebih berat lagi." "Oh ya, aku belum bilang terima kasih sama
Nana." "Sudah Papa sampaikan tadi. Nanti kan bisa ketemu
lagi." "Ya." "Jadi relakan saja, ya. Sulit dilupakan tapi terima
saja sebagai pengalaman berharga. Jarang ada orang
yang bisa punya pengalaman seperti ini. Bagimu dan
bagi Papa." "Tapi jangan cerita sama Fani, Pa. Nanti dia cerita
juga sama teman-teman yang lain. Wah, bisa ramai.
Nanti rumah itu dikatain rumah hantu. Kasihan Lala
dan Nana." "Ya, ya. Dia jangan diberitahu. Tapi Mama gi?
mana?" Kali ini Kiki menengadah, menatap lekat. Budiman
Isi-Warisan.indd 78 balas menatap dengan perasaan seperti tersayat. Di
mata Kiki ada permohonan.
"Apa Mama bisa menjaga rahasia, Pa?"
Budiman terdiam dan berpikir. Bukankah perempu?
an itu biasanya bawel? Mana tahan dia menyimpan
cerita seperti ini? Sekalinya keceplosan...
"Sebaiknya kita berdua saja yang menjaga ya, Ki?
Itu pengalaman kita bersama."
Kiki melompat dan memeluk ayahnya. Mata
Budiman menjadi basah. "Tapi kalau mereka pulang nanti, kau harus ber?
usaha bersikap biasa. Jangan murung terus. Tahu sen?
diri mamamu. Tak berhenti bertanya sebelum men?
dapat jawaban." "Baik, Pa." "Jadi sekarang ikhlas, ya?"
"Ya, Pa." Tapi setelah ditinggalkan sendiri dan dia kembali
termenung-menung, Kiki merasa betapa sulitnya ber?
sikap ikhlas. Dia sangat sedih. Dia merasa hancur.
Hatiku yang masih kecil ini sudah patah berkepingkeping...
Isi-Warisan.indd 79 SETELAH kejadian itu, Kiki jatuh sakit. Ia terkena
demam tinggi, mengigau dan meracau. Dokter kha?
watir ia terkena demam berdarah. Tapi setelah hari
ketiga tidak ada penurunan trombosit atau bintik-bintik
merah pada tubuhnya. Panasnya pun menurun. Ia tidak
jadi dibawa ke rumah sakit. Kesehatannya pulih per?
lahan-lahan. Budiman sekeluarga bersyukur sekali. Rupanya
Kiki terkena virus influenza. Tapi Budiman ragu-ragu
apa betul Kiki sakit karena virus itu. Kenapa pas se?
sudah kejadian itu? Ia menganggap penyakit Kiki
lebih disebabkan karena shock dan kesedihan yang
mendalam. Ia tahu betapa berartinya Stella bagi Kiki.
Hanya ia yang tahu. Dia dan Kiki berbagi perasaan
itu. Tapi kesedihan Kiki mungkin berlipat kali.
Ada banyak hal yang membangkitkan rasa pe?
nasaran. Entah apakah Kiki memikirkannya juga atau
tidak. Sebenarnya ia ingin mendiskusikannya dengan
Isi-Warisan.indd 80 Kiki, tapi karena dia sakit maka Budiman menahan
ke?inginannya itu. Ia akan menunggu sampai Kiki
sehat atau Kiki sendiri yang memulai.
Selama hari-hari itu ia selalu lewat di depan rumah
Jalan Kencana itu seperti biasa. Ia pun menoleh ke
sana seperti biasa pula. Tapi kembali ia menemukan
suasana yang sepi. Nana tak kelihatan, demikian pula
si tukang kebun ayah Nana.
Pertama-tama, apa penyebab Stella meninggal dan
kenapa Bi Ani meninggal juga? Apa mereka me?
ninggal berbarengan? Yang seperti itu hanya bisa ter?
jadi dalam kecelakaan. Kecelakaan seperti apa?
Sayang sekali tempo hari Nana tidak sempat bercerita
banyak. Mengenai kemunculan Stella dan Bi Ani yang me?
nolong Kiki memang sangat mengherankan. Tak ada
alasan yang rasional untuk itu. Memikirkannya secara
mendalam ia takut. Ia merupakan saksi mata satusatunya yang menyaksikan kejadian itu. Kenapa me?
reka menolong Kiki? Apakah setiap orang yang jatuh
di halaman rumah itu akan ditolong juga?
Kalau saja bukan karena Kiki, mungkin ia tidak
tahan menyimpan perasaan itu sendirian. Tapi per?
mohonan di mata Kiki itu selalu terbayang. Mata yang
bening dan jernih. Mata darah dagingnya. Tidak mung?
kin ia mengkhianati. Pada saatnya ia akan bisa meng?
atasi sendiri. Demikian pula Kiki.
Budiman memang tidak tahu, bahwa beban bagi
Kiki lebih banyak lagi. Bukan hanya masalah pe?rasa?
an, tapi detail kejadian yang tidak diceritakan Kiki.
Yang mengharu-biru perasaan Kiki tak hanya
Isi-Warisan.indd 81 kematian Stella dan Bi Ani serta kemunculan mereka
sesudah mati, tapi tengkorak dan kerangka di base?
ment itu. Kadang-kadang ia dicekam ketakutan dan
kengerian, mungkinkah itu tengkorak dan kerangka
milik keduanya? Tapi itu tentu tidak mungkin. Stella
punya orangtua dan Bi Ani pun punya keluarga.
Mustahil mereka dicampakkan begitu saja. Sedang
Stella sendiri sudah mengatakan bahwa ia tidak tahu
kerangka siapa itu, karena sepengetahuannya tempat
itu seperti kuburan. Ya, tentu dia bilang begitu karena
di situ ada penyimpanan kerangka, yang seharusnya
dikubur di bawah tanah. Sebagai anak tentu Stella tidak mungkin diberitahu
secara jelas oleh orangtuanya. Mungkin dia tahu juga
secara kebetulan seperti dirinya. Lalu Stella dipesan
dan disuruh berjanji untuk tidak memberitahu orang
lain. Seperti dirinya yang juga disuruh Stella berjanji
seperti itu. Lantas kenapa kerangka-kerangka itu tidak
disembunyikan baik-baik supaya tidak ditemukan
orang? Budiman kerap menemani Kiki di samping tempat
tidurnya bila ia berada di rumah. Pada saat berduaan
mereka sering berpegangan tangan. Tanpa kata-kata,
sentuhan itu sudah cukup menyuarakan kebersamaan.
Tak perlu lagi mengulang semua yang pernah dikata?
kan. Tak perlu pula menyuarakan rasa heran dan
takjub yang tak mungkin bisa diperoleh penjelasan?
nya. Pada hari ketiga Kiki sudah merasa enak karena
panas tubuhnya sudah normal. Tapi sendi-sendinya
ma?sih terasa nyeri dan tubuhnya lemah. Ia belum
Isi-Warisan.indd 82 boleh bersekolah selama seminggu. Jadi ia lebih
banyak di tempat tidur saja meskipun rasanya sudah
bosan sekali. Teman-temannya membawakan buku dan komik,
yang semua sudah habis dibacanya. Mereka bercerita
bahwa sekarang mereka tidak lagi melewati rumah di
Jalan Kencana itu sepulang sekolah. Mereka sudah
bosan karena tak ada apa pun yang bisa dilihat. Tanpa
Kiki semangat mereka tak ada lagi. Bukankah yang
mengenal Stella cuma Kiki?
"Dia memang sudah nggak ada," kata Kiki.
"Ke mana?" "Sudah pindah. Katanya ke luar negeri."
Sekarang rasanya enak saja berbohong, pikir Kiki.
Hal itu memang penting daripada nanti ditanyai terus.
Demikian pula kepada Fani. Itu sudah kesepakatan
bersama ayahnya. "Kamu tahu dari mana?"
"Dari anak yang tempo hari kita lihat itu. Aku
sudah kenal dia. Namanya Nana."
"Oh, aku juga ingin kenal sama dia!" seru Fani.
"Ya. Nanti kukenalkan," kata Kiki, yang merasa
harus lebih berhati-hati terhadap Fani yang sering
ceplas-ceplos. Kiki menyampaikan kekhawatirannya itu kepada
ayahnya. "Kalau Fani lebih dulu ketemu Nana dan bertanya
Lala pindah ke mana, pasti Nana akan cerita karena
dia nggak tahu." Budiman mengangguk. "Wah, betul juga, ya. Tapi
kayaknya susah ketemu Nana, karena ada di dalam
Isi-Warisan.indd 83 rumah terus. Tempo hari itu kamu kebetulan saja
ketemu ayahnya lebih dulu."
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, mudah-mudahan aja. Nana itu pasti sibuk
terus, Pa. Dia juga pembantu di rumah itu. Sama se?
perti ayahnya. Jadi nggak mungkin keluyuran di depan
rumah." "Dan dia santun, sama seperti Lala. Mungkin ka?
rena teman main." "Duh, pengin cepat sembuh, Pa. Pengin sekolah.
Besok bisa nggak? Lemes sedikit nggak apa-apa."
"Kata dokter, seminggu."
"Besok udah lima hari, Pa."
"Jangan memaksa diri, Ki. Penyakit seperti ini
butuh banyak istirahat."
"Katanya, segala sesuatu yang kebanyakan itu
nggak baik juga." Budiman tersenyum. Kiki sudah mulai pulih. Ia
me?nepuk paha Kiki. "Yang paling tahu keadaanmu adalah dirimu sen?
diri. Orang lain nggak tahu."
"Tiduran terus bikin kepala jadi sakit, Pa. Aku mau
jalan-jalan aja. Latihan buat otot."
"Baik... tapi nggak pusing nanti?"
"Kalau pusing kan bisa duduk. Ke depan saja,
Pa." Ibunya menghampiri, bermaksud melarang, tapi
di?kedipi oleh Budiman. "Mau latihan jalan, Ma," kata Budiman.
"Pelan-pelan saja, Ki," kata Sumarni.
"Ya, Ma." Sebenarnya Kiki merasa, untuk berlari pun ia
Isi-Warisan.indd 84 sanggup. Tapi tak ingin mengejutkan orangtuanya.
Kadang-kadang sikap mereka suka berlebihan, tapi ia
tahu hal itu disebabkan karena mereka sayang pada?
nya. Kebanyakan tiduran membuat perasaannya seolah
mengambang. Kadang-kadang kakinya serasa tidak
berpijak ke lantai. Tapi aku tidak pusing, pikirnya.
Kedua orangtuanya mengamatinya dari belakang.
Mereka senang karena Kiki sudah sembuh. Terutama
Budiman yang menganggap Kiki sudah cukup kuat
untuk mengatasi kejutannya.
Kiki terus ke luar rumah, bolak-balik di halaman
lalu ke trotoar. Bolak-balik juga.
"Pa, diliatin tuh. Nanti dia menghilang," kata
Sumarni. Budiman memiliki kekhawatiran yang sama. Tapi
yang dia takutkan adalah hilangnya Kiki karena pergi
ke rumah Jalan Kencana! Kiki memang kerap melayangkan pandang ke arah
rumah itu, tapi dari tempatnya ia tak bisa menangkap
apa-apa. Bukan saja hari mulai gelap, tapi memang
tak terlalu dekat jaraknya. Rasanya memang penasaran
ingin lari ke sana saja. "Ngapain sih, Kak?" tanya Fani.
"Latihan," sahut Kiki. Fani benar-benar merupakan
bayangannya. "Ooo... kayak anak kecil belajar jalan."
Kiki tidak meladeni. "Rasanya aku sudah kuat, Pa, Ma," Kiki mem?beri?
tahu. "Aku jalan nggak limbung, nggak pusing."
"Bagus." Isi-Warisan.indd 85 "Besok sekolah, ya?"
Budiman dan Sumarni berpandangan. Mereka ber?
bicara pelan, merundingkan hal itu.
"Baiklah," kata Budiman. "Tapi besok perginya
di?antar Papa, ya?" "Papa kan perginya siang. Bisa telat dong."
"Kan nggak jauh. Aku bisa pulang lagi."
"Pulangnya jalan aja ya, Pa?"
"Ya. Kamu kan sama teman-temanmu."
Kiki merasa senang. Perasaannya seperti akan be?
bas dari kurungan. Tiga hari di kamar terus-menerus
rasa?nya bosan. Apalagi badan terasa panas seperti di?
bakar. "Untung saja nggak nular," kata Sumarni. "Bukan?
kah flu itu sangat menular? Satu kena, seisi rumah
bisa kena juga." "Ya. Jangan sampai begitu."
Diam-diam Budiman berpandangan dengan Kiki.
Gejalanya memang seperti flu, tapi bisa saja itu bukan
flu. Menurut Budiman, itu akibat shock. Tapi menurut
Kiki, itu akibat patah hati. Namun pendapat masingmasing itu tidak diucapkan. Disimpan saja dalam
hati. Esoknya Budiman bukan hanya mengantarkan Kiki
dan Fani, tapi juga tiga anak lainnya. Madi, Gilang,
dan Dono. Ketiganya memang selalu datang men?
jemput Kiki dan Fani. Biarpun tak ada Kiki, masih
ada Fani. Usai mengantar mereka ke sekolah yang tak terlalu
jauh, tapi juga tidak terlalu dekat, Budiman segera
kem?bali ke rumah. Seperti biasa ia melewati rumah
Isi-Warisan.indd 86 Jalan Kencana. Waktu pergi tak kelihatan siapa-siapa
di depannya. Ia memang tidak mengharapkan. Demi?
kian juga saat akan pulang. Tapi ada yang mem?buat?
nya terlonjak. Ia melihat Nana keluar dari pintu gerbang, lalu
ayahnya menguncinya lagi, kemudian cepat kembali
masuk rumah. Nana mengenakan seragam sekolah,
putih dan merah tua. Ia menyandang tas sekolah. Arah
jalan Nana berlawanan dengan arahnya. Tapi Budiman
tidak kehilangan akal. Ia memutar mobilnya. Ke?untung?
annya adalah jalan dua arah dan jalannya pun lebar
dengan lalu-lintas yang sepi.
Ia mengiringi jalannya Nana perlahan-lahan lalu
meng?klakson. Kemudian membuka jendela.
Nana menoleh. "Nana! Mau sekolah?"
Nana tersenyum. "Oh, Om! Iya...."
"Ayo masuk, Na. Om antar yuk?"
"Deket kok, Om. Biasa jalan kaki kok."
"Sekalian aja, Na. Kita bisa bicara sedikit."
Nana berhenti melangkah. Raut mukanya menjadi
serius. Tentu saja ia masih ingat akan pembicaraannya
dengan Kiki yang sangat mengejutkan. Ia sendiri
memang masih ingin tahu lebih banyak.
Ketika Budiman membuka pintu mobil, Nana ma?
suk. "Tadi Om baru saja mengantarkan Kiki, Fani, dan
teman-temannya ke sekolah. Biasanya mereka juga
jalan kaki. Sayang sekolahnya beda, ya."
"Kok sekarang diantar, Om?"
"Kiki baru sembuh, Na. Sejak... sejak ketemu
Isi-Warisan.indd 87 kamu dan bicara denganmu dia jatuh sakit. Panas
selama tiga hari." "Oh, kasihan. Sebetulnya saya juga pengin bicara
lagi sama Kiki. Tapi kemarin-kemarin saya nggak bisa
keluar rumah. Ada Nyonya sih. Nanti kalau dia perlu
apa-apa saya nggak ada, bisa dimarahi."
"Bapak sudah diceritai?"
"Sudah. Dia kaget sekali, hampir nggak percaya.
Tapi dia memang harus percaya. Katanya, kapan-ka?
pan dia juga pengin ketemu sama Om. Cuma itu,
kami nggak bisa sembarang ke luar rumah. Mungkin
nanti saja, Om. Kapan-kapan kalau Tuan dan Nyonya
pergi. Biasanya sih hari Sabtu dan Minggu pergi."
"Kalau begitu, nanti saja, Na. Sekarang nggak mung?
kin kita bicara lama-lama. Bisa telat nanti. Be?gini saja.
Kamu punya hape, kan? Om minta nomor?nya. Nanti Om
juga kasih nomor Kiki. Kalian bisa bi?kin janji untuk
ketemu dan bicara kapan ada waktu."
Wajah Nana menjadi cerah. Kenapa ia tak ingat
pada benda yang satu itu?
"Tapi jangan ngomong soal itu di hape, Om."
"Ya, tentu saja."
Setelah menurunkan Nana di sekolahnya, perasaan
Budiman senang sekali. Ia punya kabar gembira untuk
Kiki dan tentu saja bermanfaat untuk dirinya sendiri
juga. Budiman baru mengirimkan kabar itu pada saat
yang diperkirakan Kiki sudah pulang sekolah.
Kiki memang senang sekali. Tadinya ia punya ren?
cana sendiri. Pulang sekolah ia bermaksud mengakali
Fani dan teman-temannya supaya pulang duluan.
Isi-Warisan.indd 88 Mungkin dengan menyalin pelajaran yang tertinggal
di sekolah. Lalu ia akan melewati rumah Jalan Ken?
cana dan nekat minta bertemu dengan Nana. Kalau
belnya dipencet, sudah pasti yang akan keluar adalah
Pak Sukri, ayah Nana. Tidak mungkin nyonya rumah
yang keluar. Tapi sekarang setelah menerima kabar itu dari ayah?
nya, ia membatalkan rencananya. Tak perlu capekcapek seperti itu. Kenapa juga ia tidak ingat bahwa
kemungkinan Nana memiliki ponsel? Sekarang ponsel
sudah bukan barang mahal lagi. Cukup yang simpel,
asal bisa digunakan untuk berkomunikasi. Seperti yang
dimilikinya itu adalah ponsel lama ayahnya karena
ayahnya kini menggunakan yang lebih canggih. Ia sen?
diri tidak perlu barang canggih. Yang penting ia bisa
memberi kabar tentang dirinya kepada orangtuanya.
Budiman tidak lupa menyampaikan pesan Nana
kepada Kiki, agar tidak membicarakan soal itu di pon?
sel. "Kenapa, Pa?" "Masuk akal dong, Ki. Kalau pembicaraannya di?
dengar orang rumahnya, gimana?"
"Dia hanya berdua dengan ayahnya."
"Tapi dia pembantu, Ki. Sering disuruh-suruh ma?
jikan?nya. Pasti nggak leluasa."
"Kalau malam mestinya bisa. Atau sms."
"Pokoknya jangan dibicarakan. Janji mesti dite?
pati." "Ya, Pa." Tapi malam itu Kiki mengirim sms pada Nana.
Trims sudah dikasih nomor. Kamu sudah istirahat?
Isi-Warisan.indd 89 Balasan dari Nana datang cepat. Lagi belajar, Ki.
Tadi banyak kerjaan. Kiki membalas: Maaf, mengganggu. Nanti kirim
kabar, ya? Nana menyahut: Ya. Kiki merasa senang tapi juga prihatin terhadap
Nana. Bukankah umur dua belas tahun terlalu kecil
untuk jadi pembantu? Seharusnya majikannya mencari
pembantu lagi, yang sudah dewasa. Orang sekaya itu
pasti bisa mempekerjakan banyak pembantu. Rumah?
nya juga besar untuk menampung tambahan orang.
Sayap kanan sudah diisi oleh Nana dan ayahnya.
Bukan?kah masih ada sayap kiri?
Kiki teringat, sayap kiri itu adalah bagian rumah
di mana basement berada. Mungkin di atasnya ada
kamar. Apakah di situ kosong? Biarpun ada yang me?
nempati, pasti penghuninya takkan tahu kalau tidak
diberitahu. Apalagi pintu menuju ruang bawah itu bisa
dikunci. Kiki ingat bahwa Stella menguncinya setelah
mengangkatnya ke luar. Ah, bukankah hantu tak perlu kunci? Tapi saat itu
dirinya ada di sana dan dia bukan hantu. Kiki jadi
bergidik. Tapi kemudian menenangkan diri. Stella dan
Bi Ani bukan hantu. Mereka adalah penolongnya.
Mereka bukan manusia hidup, tapi mereka juga bukan
hantu. Sekarang ia harus bersabar sampai Nana memberi
kabar yang baik. *** Isi-Warisan.indd 90 Hari itu adalah Minggu, seperti yang sudah diper?kira?
kan oleh Kiki. Dia akan datang ke rumah di Jalan
Kencana. Nana dan ayahnya menunggu di sana.
Kiki membicarakan hal itu dengan Budiman. Ia
kha?watir akan diikuti oleh Fani padahal masalah itu
tak boleh diketahui orang lain selain mereka. Sekali?
nya Fani tahu bahwa ia berkunjung ke rumah itu dan
berteman dengan Nana, Fani akan ribut dan menuntut
penjelasan. Seperti yang pernah dikatakannya dulu, ia
suka kepada Nana. Jadi Fani pun pasti ingin pula ber?
teman dengan Nana, tak ketinggalan ketiga temannya
yang lain. "Ya. Fani dan anak-anak itu memang perlu dijelas?
kan dan dikenalkan juga pada Nana. Tapi sebelum itu
harus ada kesepakatan dulu dengan Nana, apa saja
yang sebaiknya tidak dikatakan kepada mereka. Tentu
saja Nana juga nggak ingin rumahnya dikatai sebagai
rumah hantu," kata Budiman.
"Kelihatannya akan seperti itu, Pa. Fani suka ngo?
mong yang seperti itu," Kiki setuju.
"Aku akan cari akal."
Budiman bersemangat karena ia pun sangat ingin
tahu. Sekarang biarlah Kiki yang berbincang dulu
dengan Nana. Mungkin kelak ia juga bisa ikut serta
Bangau Sakti 28 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Assasins Credd 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama