Ceritasilat Novel Online

Warisan Masa Silam 3

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 3


ling menggandeng untuk terus menuju rumah. Nana
menengok sekilas kepada Kiki yang ditinggalkan lalu
tersenyum. Kiki mengangkat tangannya dan membalas
senyumnya. Ia senang melihat keakraban Fani dan
Nana. Sumarni menyambut Nana dengan mencium pipi?
nya dan membelai kepalanya.
"Ayo masuk. Sudah sarapan?"
"Sudah, Tante."
Awalnya, Nana memanggil Ibu kepada Sumarni,
ke?mudian Sumarni bilang kalau dia memanggil Om
kepada Budiman, maka kepadanya harus memanggil
173 Tante. Tapi kalau dia ingin memanggil Ibu, maka
panggil?an kepada Budiman harus diubah menjadi
Bapak. Jadi Nana memilih panggilan Om dan Tante,
ka?rena tak ingin dikelirukan dengan panggilan kepada
orang?tuanya sendiri. Ibu adalah ibunya dan Bapak
adalah bapaknya. Budiman menyambut Nana dengan hangat. Perasa?
an Nana bahagia sekali. Keluarga itu seperti anugerah
baginya. Sesungguhnya dia memang tidak boleh larut
dalam kesedihan dan keputusasaan seolah tak ada
pilihan yang lebih baik dalam hidupnya.
"Jadi Bapak sudah dikasih tahu, Na?"
"Ya, Om. Sudah. Dia bilang terima kasih sekali."
"Nanti saja kalau kau sudah dekat pulang, telepon
Bapak supaya dia bisa keluar dari rumah. Bicaranya
jangan di depan pintu. Cari tempat yang terlindung
dari jangkauan kamera."
"Ya, Om." "Tadi aku sengaja nyengir di pintu, Pa. Supaya
kelihatan," kata Kiki.
"Aduh, kamu kok nakal sih, Ki," kata Sumarni.
"Nanti Nana yang diomelin."
"Nggak apa-apa, Tante. Saya akan bilang Kiki
teman sekolah. Kalau anak kecil pasti nggak apa-apa,"
jawab Nana. "Huuu... anak kecil," sungut Kiki.
"Kan emang masih kecil," kata Fani tertawa.
"Soalnya teman dilarang main ke rumah. Jadi saya
yang main ke rumah teman. Ah, bukan main sih. Tapi
belajar bersama. Kan kelihatan bawa buku," kata
Nana. Isi-Warisan.indd 174 174 Isi-Warisan.indd 175 "Ya, ya. Betul juga. Kalau sampai dimarahi juga, ke?
tahuan dia cuma ingin membuatmu nggak nya?man."
"Pengin tahu juga, Pa," kata Kiki.
"Dengan menaruh kamera itu, orang justru bisa
men?cari akal untuk menghindar," kata Budiman. "Jadi
kupikir, mungkin yang dituju itu orang lain. Demi ke?
aman?an." "Mungkin juga," Sumarni menimpali.
"Tapi kan sudah jelas mereka bilang supaya ketahu?
an kalau Nana terima teman di rumah," bantah Kiki.
Budiman dan istrinya terdiam.
"Sudahlah. Ayo, kalau kalian mau belajar bersama
atau mengobrol, di mana enaknya?" tanya Budiman.
Kiki memilih teras. Di situ angin berembus hingga
rasa?nya lebih sejuk. Ia mengatur meja dan kursi. Fani
juga ingin ikutan belajar. Kiki tidak melarangnya
meski?pun tahu maksud Fani sesungguhnya adalah
ingin ikut mengobrol, bukan untuk benar-benar belajar.
Apalagi dia baru kelas lima yang pelajarannya ber?
beda. Nana pun menerima Fani dengan senang.
Akhirnya Fani membuat pekerjaan rumahnya de?
ngan meminta bantuan dan arahan Nana. Kiki agak
kesal, tapi Nana dengan senang hati mengajarinya.
Lama-kelamaan mereka bisa menyatu dengan baik.
Bila Kiki dan Nana berdiskusi tentang pelajaran me?
reka, Fani tidak menyela. Kalau tidak mendengarkan
de?ngan diam, ia asyik dengan pekerjaannya sendiri.
Kiki menyadari bahwa mereka berkumpul pada saat
itu bukan untuk membicarakan hal-hal yang biasanya
ia bicarakan berdua saja. Jadi tak ada salahnya Fani
di?ajak serta. 175 Budiman dan Sumarni mengamati ketiganya de?
ngan senang. "Fani jadi rajin. Lihat, dia begitu serius. Biasanya
ka?lau belajar suka main-main. Sambil nonton teve se?
gala," kata Sumarni.
"Teman yang baik memberikan pengaruh yang
baik," sahut Budiman.
Keduanya tak mau terus-terusan mengamati, lalu
beranjak ke dalam. "Sebentar kalau kau ketemu dengan bapaknya
Nana, apa kau cuma mau menjajaki saja keinginannya
atau sungguh-sungguh memintanya bekerja pada teman?
mu?" tanya Sumarni. "Kalau keinginan sih sudah pasti dia mau keluar.
Dari cerita Nana sudah jelas mereka tidak tahan di
sana. Tapi aku juga tidak mau memberi kepastian soal
pekerjaannya apa. Temanku itu jauh, di Sukabumi.
Aku nggak tahu kebunnya gimana, kondisinya seperti
apa. Memang sih dia cerita lewat e-mail, dan sudah
mem?perlihatkan foto-foto, tapi kenyataannya seperti
apa aku belum tahu. Foto bisa beda. Aku nggak mau
bikin susah bapak dan anak itu. Kalau menolong itu
kan tujuannya supaya menjadi lebih baik, bukan lebih
susah, atau sama saja susahnya."
"Jadi gimana dong kalau jauh begitu??
"Satu-satunya cara adalah dengan melihatnya sen?
diri." "Kau mau ke sana?" tanya Sumarni.
Budiman tahu dari kilatan mata istrinya, bahwa dia
ingin ikut. "Ya, Ma. Survei lapangan gitu. Tapi untuk pertama
Isi-Warisan.indd 176 176 Isi-Warisan.indd 177 kali aku pergi sendiri. Kalau kau ikut, anak-anak gi?
mana? Masa ikut semua? Ke sana bukan untuk jalanjalan."
"Ya, ya. Ngerti. Tapi nanti kalau jadi dan lancar,
kita ke sana, ya." "Tentu saja. Tapi jangan berangan-angan dulu, Ma.
Ngomong aja belum." Ketika saat pulang bagi Nana tiba, mereka jalan
ber?empat. Nana, Kiki, Budiman, dan Fani. Sebelum?
nya, Sukri sudah ditelepon Nana yang memintanya
me?nunggu di luar pintu gerbang, di bagian samping
yang terlindung pohon. Kiki dan Fani tidak ikut menyeberang. Sedang
Budiman berjalan bersama Nana menemui Sukri yang
sudah menunggu. "Ayo, kalian pulang duluan, ya!" seru Budiman,
me?lihat kedua anaknya masih berdiri mengamatinya.
Kiki melambaikan tangan kepada Sukri yang mem?
balas lambaian itu sambil tertawa. Fani buru-buru
me?lakukan hal yang sama. Ia sudah terbiasa meniru?
kan kakaknya. Sesudah itu mereka berbalik menuju
pulang. Sesekali Kiki menoleh ke belakang. Fani
juga. "Tapi kalau mereka pergi jauh, kita kehilangan te?
men dong, Ki," kata Fani.
"Iya sih. Habis gimana lagi. Daripada dijahatin
terus di sana." "Baru juga temenan...," keluh Fani.
"Masih ada waktu, Fan. Nana sih pengin perginya
nanti aja abis ujian."
Wajah Fani berseri lagi. 177 "Besok-besok pulang sekolah jangan pulang ber?
duaan aja dong, Ki. Aku juga mau ikut menjemput
Nana. Pengin lihat sekolahnya."
Kiki tertawa. Rengekan seperti itu sudah sering
sekali diucapkan Fani. "Temen-temen bilang, kamu udah punya pacar.
Jadi sombong sekarang."
"Biarin aja pada ngomong. Kenyataannya bukan,
kan? Masih kecil gini masa sih pacaran. Yang benar
aja. Pacaran itu urusannya orang dewasa. Nana itu
pintar, Fan. Udah pintar, baik lagi."
"Emangnya kamu cuma mau manfaatin kepintaran?
nya, ya?" "Ah, tentu saja nggak. Aku sudah bilang, dia orang?
nya baik. Pantas dijadikan sahabat. Kamu aja senang
sama dia, bukan?" "Ya, ya." "Nah, nyari sahabat itu harus yang seperti itu."
"Jadi kapan aku boleh ikutan dong, Ki? Katanya
dia pantas jadi sahabat. Aku mau juga bersahabat
sama dia." Kiki baru menyadari bahwa adiknya itu ternyata
cerdik. "Iya deh. Nanti saja ya kalau urusanku sudah se?
lesai. Selama ini aku punya urusan sama Nana yang
orang lain nggak boleh tahu."
"Urusan apa?" "Kan sudah kubilang, orang lain nggak boleh
tahu." Fani memonyongkan mulutnya.
Isi-Warisan.indd 178 178 Isi-Warisan.indd 179 "Kamu itu sering memperlakukan aku kayak anak
kecil, Ki. Padahal aku cuma beda setahun sama
kamu." "Memangnya siapa bilang kamu balita? Sudah,
jangan merengek lagi, ah...."
Fani khawatir juga kalau-kalau Kiki marah.
"Iya deh. Nggak lagi. Tapi janjinya benar, ya? Ta?
kut?nya nanti urusannya nggak selesai-selesai."
"Namanya juga ketemu cuma sebentar. Gimana
mau selesai." "Emangnya... eh, nggak, nggak."
Fani segera menutup mulut ketika melihat Kiki
me?lotot kepadanya. Mereka tiba di rumah, disambut Sumarni.
Sementara itu, Budiman berbicara dengan Sukri di
samping pintu gerbang. Nana sudah masuk ke dalam
rumah untuk beres-beres. Ia tak mau mencuri dengar
pembicaraan kedua orang itu meskipun ingin tahu.
Nanti pada saatnya ia juga akan diberitahu oleh ayah?
nya dan juga Kiki. "Saya memang sudah pengin keluar dari sini, Pak,"
kata Sukri. "Tapi belum tahu mau ke mana. Kalau
cuma sendirian sih gampang, tapi Nana gimana? Se?
karang orang mau menerima tukang kebun yang
nggak nginap, padahal saya dan Nana perlu tempat
tinggal. Di sini saya bekerja rangkap-rangkap. Bukan
cuma jadi tukang kebun. Di tempat lain apa ada yang
seperti di sini?" "Kalau kamu kerja di kebun sayur, gimana, Kri?
Mau nggak? Tapi tempatnya jauh. Di Sukabumi. Milik
teman saya. Dia membutuhkan tukang kebun. Ada
179 tempat tinggalnya. Saya sudah berhubungan sama dia
lewat e-mail." Sukri tersentak senang. "Wah, saya justru senang begitu, Pak. Itu namanya
tukang kebun beneran. Dulu saya petani di kam?
pung." "Tapi begini, Kri. Sebelum kepastian, saya mau
lihat dulu tempatnya. Memang sih saya sudah dikasih
tahu, luasnya berapa dan tanamannya apa saja, tapi
saya perlu lihat sendiri dulu supaya rasanya lega. Saya
nggak mau kamu dan Nana nanti terlantar."
"Duh, terima kasih banyak, Pak. Apa nggak
nyusahin Bapak mesti jauh-jauh ke Sukabumi?"
Sukri merasa gembira tapi malu.
"Jangan terima kasih dulu, Kri. Kan belum pasti
menyenangkan buatmu dan Nana nanti. Tapi teman
saya, namanya Pak Gunawan, memang sudah pasti
butuh tukang kebun. Dia juga senang kalau saya juga
kenal sama kamu karena dia perlu orang yang bisa
dipercaya. Tapi bukan cuma itu yang penting. Mesti?
nya kamu perlu juga melihat dan menilai."
"Wah, itu sih nggak usah, Pak. Saya percaya sama
Bapak. Yang penting saya bisa keluar dari sini. Cuma
saya penginnya nunggu dulu sampai Nana selesai
ujian. Tanggung, Pak."
"Ya, betul sekali. Nanti kita atur deh, Pak. Jadi
kamu mau kerja di sana, ya?"
"Mau, Pak." "Baik. Saya sebenarnya juga percaya sama Pak
Gunawan. Buat apa sih dia ngebohongin saya. Kan
nggak ada untungnya. Cuma nanti di sana saya perlu
Isi-Warisan.indd 180 180 Isi-Warisan.indd 181 nego mengenai fasilitas kamu. Berapa gaji yang kamu
inginkan?" Sukri tersipu. "Gaji mah berapa saja, Pak. Yang
penting ada tempat tinggal buat saya dan Nana. Juga
Nana bisa sekolah di sana. Kalau disuruh bantu-bantu
bisa juga, Pak, asal dia punya waktu untuk belajar."


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katanya Nana pengin juga jadi petani."
"Ya, katanya sih begitu, Pak. Tapi nggak tahu juga
nantinya." "Pak Gunawan itu punya sistem pertanian yang
modern, Kri. Nanti kamu bisa belajar."
"Ya, Pak," Sukri bersemangat.
"Kalau sudah sepakat begini, kan enak."
"Ya, terima kasih banyak, Pak."
"Tapi ingat, Kri, kamu bersikap biasa saja di depan
majikanmu. Jangan sampai dicurigai."
"Betul, Pak." "Nana juga diingatkan, Kri."
"Ya, Pak." Hanya itu saja pembicaraan mereka. Budiman tak
mau berlama-lama karena khawatir kedapatan atau ada
orang yang kebetulan melihat lalu menyampaikan
kepada majikan Sukri. Sudah jelas bukan tanpa sebab
kamera itu dipasang. Sukri segera disambut Nana di dalam rumah.
"Gimana, Pak?" tanya Nana tak sabar.
Sukri menceritakan pembicaraannya dengan
Budiman. "Horee...!" Nana bersorak. "Sukabumi kan dekat
sama kampung kita, Pak."
"Ah, kampung apaan? Kita sudah nggak punya
181 apa-apa lagi di sana, Na. Kerabat juga udah nggak
ada. Sudah pergi semua."
"Emangnya Bapak nggak senang kalau bisa ke
sana?" "Jelas senang dong. Apalagi di sana aku jadi petani
beneran." "Kalau boleh sih, aku lebih suka bantu-bantu di
kebun daripada jadi pembantu rumah tangga, Pak."
"Lihat saja nanti, Na. Kata Pak Budi, jangan ter?
lalu girang dulu. Tapi aku sih sudah siap kecewa.
Nggak mau berangan-angan dulu. Yang penting buat
kita kan keluar dari sini."
"Iya, Pak. Tapi paling nggak, jalan keluar buat kita
sudah ada." "Ya, ya. Pak Budi itu baik sekali. Dia mau nolong
kita tanpa pamrih." "Mereka sekeluarga baik semua. Lala udah mem?
pertemukan kita, Pak."
Sukri tersentak. "Ah, benar sekali. Ibumu juga. Oh
ya, ingat, Na. Nanti di depan Nyonya, kamu biasabiasa saja. Jangan kelihatan girang."
"Iya, Pak." Nana teringat, bagaimana setiap pulang dari be?
pergian Nyonya selalu mengamati dan mengawasinya
seolah mau mengorek isi hatinya. Ia tak pernah mem?
balas tatapannya, tapi ia sadar betul sedang diawasi.
Ia tak mengerti kenapa Nyonya melakukan hal itu.
Se?olah Nyonya ingin menemukan sesuatu yang ia
sembunyikan. Jadi peringatan dari ayahnya itu benarbenar disimaknya dengan baik. Jangan-jangan isi hati
orang itu memang bisa terbaca di wajahnya. Ia sedang
Isi-Warisan.indd 182 182 Isi-Warisan.indd 183 gembira hari itu. Kalau Nyonya mengetahuinya, nanti
ia ingin tahu juga kenapa ia merasa gembira.
"Kalau kita minta keluar apa nanti mereka meng?
izinkan, Pak?" "Harus dong. Kita kan nggak terikat kontrak."
"Tapi pastinya mereka nggak senang."
"Biarin aja. Kalau mereka baik sama kita, masa sih
kita berniat pergi?"
Tapi Nana berpikir, justru dengan pergi dari tempat
itu mereka bisa mendapat kesempatan untuk mencari
kehidupan yang lebih baik. Ia tidak mengatakannya
karena tahu ayahnya memang tidak akan mau pergi
kalau Tuan dan Nyonya baik-baik saja. Ayahnya lebih
suka mencari yang aman. Malam itu saat Nana memijat leher dan punggung
Nyonya, ia kembali menyadari tatapan Nyonya kepada?
nya. Meskipun ia berada di belakang Nyonya yang da?
lam posisi duduk, tapi di depan mereka bukan ha?nya ada
pesawat televisi, ada juga sebuah cermin yang agak
besar. Di situlah terpampang wajahnya dan Nyonya yang
tanpa risi terus saja mengamatinya. Meski?pun sudah
terbiasa diperlakukan seperti itu, tapi tetap saja ia gugup.
Bukankah tidak sopan mengamati orang secara terangterangan? Tapi bagi Nyonya sopan atau tidak, tergantung
pada siapa yang dihadapi. Dia adalah orang kecil yang
dianggap tak punya perasa?an.
"Umurmu berapa sih, Na?"
Tiba-tiba pertanyaan itu diajukan dengan suara
khas yang melengking hingga Nana terkejut. Tadinya
diam-diam saja karena biasanya Nyonya memang tak
suka mengajaknya bicara. 183 "Oh... hampir dua belas tahun, Nya."
"Ya, ya. Sama dengan Lala, ya?"
Nana menyembunyikan rasa herannya. Bila ia di
situ, tak pernah nama Lala disebut. Tapi ia tak berani
balas menatap Nyonya di cermin depan. Kalau ia me?
lakukan hal itu, ia takut isi hatinya bisa terbaca.
"Ya, Nya. Sama."
"Kamu sudah haid?"
"Ha...haid, Nya? Belum."
Tentu saja ia tak berani balas bertanya kenapa
Nyonya bertanya demikian.
"Ya, badanmu memang belum tumbuh."
Nana diam saja. "Dadamu masih rata, kan?"
"Iya, Nya," sahut Nana tersipu.
Nyonya tertawa. Nana ingin sekali menutup telinga?
nya yang terasa bergaung oleh suara tawa itu.
"Nanti kalau kamu udah haid, dadamu akan tum?
buh. Kamu penginnya punya dada besar atau kecil?"
"Nggak tahu, Nya. Gimana aja dikasihnya."
"Emang siapa yang kasih?"
Nana tidak menyahut. Nyonya cekikikan lagi. Nana
tahu ia sedang diolok-olok.
"Kalau nanti udah tumbuh, aku lihat ya, Na?"
Nana tidak menjawab. "Emangnya nggak boleh?"
Nana tetap diam. Tak ada kata yang cocok sebagai
jawaban. Ketika diam-diam Nana memandang cermin, ia
ter?kejut melihat wajah Nyonya yang tampak marah.
Ter?lihat dari bibirnya yang mengerut dan sorot mata?
Isi-Warisan.indd 184 184 Isi-Warisan.indd 185 nya yang tajam. Buru-buru Nana melengos dan ber?
sikap tak melihat apa-apa meskipun debar jantungnya
mengencang. "Aku bisa aja ngintip, tahu? Puh! Badan ke?rem?
peng kayak gitu aja diumpetin. Coba kalau Lala masih
ada, dia pasti kayak putri dan kamu dayangnya. Se?
nang rupanya kamu ya dia udah nggak ada!" Nyonya
mengumpat. Perasaan Nana seolah tertusuk, terasa nyeri. Tapi
ia tetap diam. Sementara jari-jarinya terus bergerak
se?perti robot. "Sudah! Sudah! Jarimu itu kok lembek amat sih!
Ka?yak nggak ada tulangnya! Udahan aja!" bentak Nyo?
nya. Nana membersihkan punggung Nyonya dengan
handuk kecil, menggosoknya hati-hati seolah benda
pecah-belah. Kalau kurang keras dimarahi, tapi kalau
terlalu keras juga dimarahi. Kali ini Nyonya tidak
mengomentari karena sudah marah-marah lebih dulu.
"Kalau kamu sudah cuci tangan, duduk lagi di
situ!" Nyonya menunjuk lantai di sebelahnya.
"Ya, Nya." "Eh, ke sini lagi ambilin aku air putih pake es
batu." "Ya, Nya." Pada saat menyiapkan air di gelas, mendadak
muncul dorongan untuk meludahi air di gelas itu.
Terasa kebencian menggelegak di dadanya. Tapi ke?
mudian ia terkejut sendiri dan merasa malu. Dengan
takut ia memandang berkeliling. Bagaimana kalau ada
kamera tersembunyi? Bagaimana kalau Nyonya diam185
diam mengintip? Pastilah ia bisa dihajar habis-habis?
an. Ia cepat kembali ke sisi Nyonya, memberikannya
gelas minum itu, lalu duduk bersimpuh di lantai. Ia
menekuri karpet di bawahnya, tak ingin memandang ke
arah televisi atau Nyonya di sampingnya. Ia ber?usaha
mengendalikan perasaannya. Marah atau sedih tak boleh
diperlihatkan. Gembira juga harus disem?bunyikan.
Nyonya melirik Nana sebentar sebelum menghirup
isi gelasnya. Sesudah itu ia menyodorkan gelas yang
isinya sudah tinggal setengah kepada Nana.
"Nih, taruh sana!" katanya menunjuk meja. Padahal
ia tinggal bergeser ke depan untuk melakukannya sen?
diri. Nana melaksanakan perintah itu. Yang seperti itu
sudah biasa baginya. Lalu ia menunggu dengan tegang apa lagi yang
mau dikatakan Nyonya. Lebih sering Nyonya tak suka
bicara dalam keadaan seperti itu. Tapi tadi tampaknya
sudah ada yang dipercakapkan jadi ia menunggu ke?
lanjutannya. "Minggu depan Imel datang, Na. Mulai besok
kamu bersihin kamarnya, jendelanya dibuka. Semua
perabotnya dilap pakai lap basah. Kasurnya dilap juga.
Terus dijemur. Suruh bapakmu yang angkat. Kamu
pasti nggak kuat." "Iya, Nya. Kamar yang biasa, Nya?"
"Tentu saja. Jangan kamarnya Lala."
"Besok pulang sekolah ya, Nya?"
"Tentu saja, goblok! Emangnya aku suruh kau bo?
los?" Isi-Warisan.indd 186 186 Isi-Warisan.indd 187 Nana diam. Makian apa pun yang dilontarkan Nyo?
nya baginya sudah biasa, tapi yang membuat ke?
gembiraannya surut adalah kabar kedatangan Imelda.
Sejak Lala meninggal, Imelda belum datang lagi.
Biasanya ia datang kalau libur panjang. Bisa sebulan.
Itu berarti ia kehilangan kebebasan untuk bisa bermain
dengan Kiki dan Fani. Ia harus menemani Imelda se?
panjang hari. Imelda berbeda dengan Lala. Bagi Imelda, dia bu?
kan?lah teman melainkan pembantu atau pelayan. Se?
tidak?nya itulah perlakuan Imelda kepadanya ketika
terakhir kali ia datang. Padahal waktu itu masih ada
Lala yang bisa meredam kejudesan Imelda. Sekarang
Lala tak ada, dan ia sudah merasa galau menanti ke?
datangan Imelda. Barangkali sekarang Imelda sudah berbeda, pikir?
nya menenangkan diri. Tiba-tiba bel interkom berbunyi. Nana terkejut.
"Hei!" bentak Nyonya.
Nana segera melompat untuk mengangkat tele?
pon. "Na!" Suara Tuan yang keras membuat Nana men?
jauhkan telepon. "Ke sini sekarang, ya!"
"Ya, Tuan," sahutnya dengan jantung tiba-tiba ber?
detak kencang. Nyonya menatap tajam. "Ada apa?"
"Saya dipanggil Tuan, Nya."
"Mau apa?" "Nggak tahu, Nya. Tuan nggak bilang."
"Ya sudah. Pergi sana!"
Nyonya berdiri, mengikuti Nana. Ada juga rasa
187 lega karena Nyonya menemaninya. Tidak biasanya
Tuan memanggilnya. Tidak seperti Nyonya, Tuan tidak
suka banyak menyuruh. Karena itulah panggilan ini
jadi mengkhawatirkan. Nyonya membuka pintu. Nana mengikuti di be?
lakangnya. Takut-takut. Di kamar yang sangat luas itu, Tuan sedang duduk
di belakang meja di sudut ruangan. Di depannya ada
komputer dan sebuah layar monitor yang seluas
ukuran televisi yang ada di rumah Nana.
Yang mengejutkan Nana adalah apa yang tampak
di layar monitor itu. Wajah Kiki yang sedang tertawa
lebar! Semula ia bingung. Tapi kemudian sadar bahwa
itu adalah rekaman dari kamera yang ada di teras
utama. Tadi Kiki memang sengaja pasang aksi di
pintu gerbang yang terbuka.
Nana sangat cemas. Sepasang lututnya serasa me?
nekuk-nekuk. "Siapa itu, Na?" tanya Tuan.
Sekarang Tuan dan Nyonya menatap tajam kepada
Nana "Dia... dia... namanya Kiki, Tuan," Nana memaksa
diri mengeluarkan kata-kata itu.
"Siapa Kiki itu?"
Waktu bertanya itu tatapan Tuan tak tertuju kepada
Nana melainkan ke layar. Sedang tatapan Nyonya
tidak tertuju kepada Nana ataupun ke layar, melainkan
kepada suaminya. Nana sendiri tidak menatap kedua
majikannya karena tatapannya seolah melekat ke layar.
Aduh, Kiki itu! Apa dikiranya dia sedang main sine?


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tron? Tapi dia memang cocok main sinetron! Senyum?
Isi-Warisan.indd 188 188 Isi-Warisan.indd 189 nya yang lebar dan kocak itu menampakkan dekik di
pipi yang sangat menarik. Kiki memang cakep, pikir
Nana dengan perasaan tergetar sampai sesaat melupa?
kan di mana ia sedang berada.
"Hei, siapa Kiki itu?" ulang Tuan. Tapi dia tidak
meng?hardik kali ini. Malah kedengarannya sabar dan
lembut. Nana tersentak. Tapi dia menjadi lebih tenang ka?
rena suara Tuan yang menenangkan.
"Maaf, Tuan. Dia teman sekolah. Tadi... tadi kami
belajar bersama. Kan mau ujian," sahut Nana dengan
suara lirih. Takutnya masih ada.
"Huh, kecil-kecil sudah punya pacar. Emangnya
rumah ini buat pacaran, ya?" bentak Nyonya.
"Bu...bu-bukan pacar, Nya. Teman sekolah."
"Jadi dia masuk diam-diam, ya? Lancang!"
Tangan Nyonya sudah terangkat dengan jari-jari
membentuk capitan. Siap mencubit. Tapi Tuan berbalik
dan memegang tangan Nyonya. Ia bicara dalam
bahasa asing yang tidak dimengerti Nana, tapi dengan
nada membujuk. Nyonya menarik tangannya dari
pegangan suaminya dengan wajah kesal.
"Lalu kamu belajarnya di mana?" tanya Tuan.
"Di rumahnya, Tuan. Kan di sini nggak boleh."
"Di rumahnya?" Nyonya melengking lagi. "Jadi
kamu keluyuran toh?"
"Bu..bu-bukan, Nya. Rumahnya dekat."
"Di mana?" tanya Tuan.
"Jalan Belimbing."
"Oh, di situ. Ya, memang dekat."
Lalu Tuan dan Nyonya kembali berbincang dalam
189 bahasa asing. Lama-lama suara keduanya meninggi.
Mereka bertengkar. Suara Tuan kalah oleh suara Nyo?
nya yang lebih melengking.
Nana takut mendengarnya. Semakin takut oleh ke?
tidakmengertian. Apakah Tuan membelanya hingga
Nyo?nya marah? Tiba-tiba tatapan Nyonya mengarah kepada Nana.
Tatapan yang membara oleh kebencian. Nana merasa
jantungnya mengerut oleh ketakutan.
"Ngapain kamu di sini? Pulang sana!" pekik Nyo?
nya. Tanpa disuruh kedua kali, Nana berlari keluar.
Terus menuju pintu penghubung yang menembus ke
tem?pat tinggalnya. Di belakangnya ia mendengar per?
tengkaran kedua orang itu berlanjut. Semakin senyap
dan kemudian lenyap setelah ia masuk dan menutup
pintu. Isi-Warisan.indd 190 190 Isi-Warisan.indd 191 IKI sangat terkejut mendengar berita yang disam?
pai?kan Nana. "Aduh, Na. Aku menyesal sekali. Kau jadi di?
marahi. Maafkan aku, ya."
"Nggak apa-apa, Ki. Sebenarnya aku sih nggak
diapa-apain. Kayaknya Tuan membela aku. Tapi aku
su?dah ketakutan duluan. Semalam waktu aku cerita
sama Bapak, dia juga udah siap kalau sampai di?pang?
gil dan dimarahi. Tapi ternyata nggak dipanggil."
"Terus tadi pagi?"
"Heran juga tuh, Ki. Waktu mau berangkat se?kolah,
aku udah deg-degan melihat Tuan lagi duduk di teras
utama. Biasanya dia nggak pernah di situ ka?lau aku
pergi. Eh, dia tersenyum dan melambaikan ta?ngan
padaku. Bapak ngantar aku sampai pintu. Nggak tahu
apa kemudian Tuan negur Bapak atau nggak. Sama
Nyonya aku nggak ketemu. Biasanya be?lum bangun."
"Mungkin dia nunggu saatnya untuk bertanya."
191 "Ya. Mungkin juga. Soalnya pembantu lain sudah
datang. Koki juga. Dia perlu masak untuk sarapan."
"Aku kasihan kau ketakutan. Aku benar-benar
nggak ngerti sama orang-orang itu. Masa soal begitu
saja diributin." "Ya. Bertengkarnya seru. Rumah begitu besar jadi
seperti bergaung. Tadinya aku takut kalau mereka ber?
tengkar sementara aku ada di situ, lantas gimana?
Ingat pepatah, gajah sama gajah berkelahi, pelanduk
mati di tengah-tengah."
Kiki tertawa. "Syukur mereka bukan gajah, dan
kau bukan pelanduk."
"Tapi, Ki, aku punya perasaan nanti bakal ada ke?
lanjutannya.? "Lihat saja, Na. Tapi kau nggak usah takut. Itu kan
bukan kejahatan. Masa orang nyengir ke kamera saja
dianggap salah." "Kamu lucu deh, Ki. Kamu bisa jadi pemain sine?
tron." Kiki tertawa. "Ya, siapa tahu majikanmu itu punya
perusahaan film." "Emangnya kau sungguhan pengin jadi pemain
sinetron, Ki?" "Nggak. Ngapain. Yang penting sekolah."
"Kamu cakep, Ki. Cocok jadi pemain sinetron atau
film." "Ah, nggak tertarik. Ngapain belagu begini-begitu.
Eh, kamu sendiri pengin, ya?"
"Nggak dong. Siapa pula yang mau sama aku?"
"Kamu kan cakep juga, Na."
"Idih..." Isi-Warisan.indd 192 192 Isi-Warisan.indd 193 Wajah Nana bersemu merah. Ia tersipu tapi senang.
Ia mengajak Kiki duduk dulu di tempat yang biasa.
Di bawah kerindangan pohon. Ia ingin memanfaatkan
waktu lebih lama karena teringat pada Imelda. Bila
nanti Imelda datang bisakah ia mengobrol seperti ini
dengan Kiki? Atau kalau nanti ia dan ayahnya pergi
ke Sukabumi? Nana bercerita tentang Imelda.
"Jelas hari Minggu nanti aku nggak bisa ke rumah?
mu lagi, Ki. Dia libur sebulan di sini. Mungkin juga
sampai nanti aku dan Bapak pergi dia masih ada."
"Apakah dia berbeda dengan Lala?"
"Mukanya sih mirip. Sama cantiknya. Tapi sifatnya
beda. Lala menganggapku teman, tapi Imel nggak.
Imel mirip ibunya." "Jadi dia menganggapmu pembantu?" Kiki menjadi
kesal. "Ah, aku memang pembantu, Ki."
"Bukan gitu...," Kiki menjadi gugup, merasa salah
bicara. "Ya, ya. Aku ngerti, Ki."
"Maksudku, dia merendahkan orang karena pekerja?
annya. Padahal kerjamu itu halal. Menjadi pembantu
itu pekerjaan yang baik. Banyak orang butuh pem?
bantu, Na. Terutama orang kaya. Tapi kok mereka
ma?lah merendahkan. Emangnya kalau nggak ada pem?
bantu, mereka bisa kerja sendiri?"
"Bisa sih bisa, Ki. Tapi nggak mau." Nana ter?
tawa. "Ya. Kami di rumah nggak punya pembantu. Tapi
semua kerja gotong royong sesuai kemampuannya.
193 Hari Minggu Bapak ngepel, aku dan Fani bersihbersih. Cuci piring juga keroyokan."
"Senang melihat keluargamu itu, Ki. Nanti kalau
punya keluarga sendiri, aku juga pengin seperti itu."
"Sama-sama, Na."
Lalu ponsel Nana berbunyi. Ada pesan dari
Sukri. "Wah, gawat nih, Ki, Tuan ada di rumah, nungguin
aku pulang. Katanya kalau aku pulang sama kamu,
kamu disuruh mampir," cerita Nana.
"Dari mana dia tahu kalau kita pulang bersama?"
"Aku bilang kamu teman sekolah dan rumahmu di
Jalan Belimbing. Tentu dia mikir kita jalan bersama
karena berdekatan." "Memangnya dia mau apa sama aku?"
"Kata Bapak, lebih baik jangan ketemu. Nanti
dimarahi atau dikatai macam-macam. Lebih baik kamu
jalan memutar saja, jangan ambil jalan biasa."
"Kalau aku nyeberang sebelum sampe rumahmu
masa sih dia bisa lihat?"
"Siapa tahu dia ada di pintu gerbang? Kelihatan,
kan?" Kiki agak kesal. Jalan memutar berarti lebih jauh
lagi baru tiba di rumah. Nana mengamati wajah Kiki. "Terserah kamu sih.
Mau diomeli atau nggak."
Kiki berpikir sejenak. Tak nyaman juga rasanya
kalau diomeli orang yang bukan apa-apanya.
"Tapi kalau nanti kamu ditanya kenapa nggak jalan
bareng, mau jawab apa?"
"Aku bilang saja hari ini kamu nggak masuk."
Isi-Warisan.indd 194 194 Isi-Warisan.indd 195 "Kalau ditanya kenapa?"
"Aku bilang aja nggak tahu."
"Mana mungkin dia percaya."
"Sebodo amat mau percaya atau nggak."
"Baiklah. Kalau gitu kita jalan saja, ya. Besok
kamu ceritakan apa yang terjadi."
"Eh, Ki, aku punya alasan lain. Aku akan bilang,
kalau pulang kita nggak pernah bareng, karena kau
punya geng sendiri. Kalau aku bilang hari ini kau
nggak masuk, besok dia nunggu lagi."
Kiki membelalakkan matanya. "Emangnya aku ini
apa sih, kok sampai diuber-uber gitu?"
"Mana aku tahu. Tanya aja sama dia."
"Ah, mana berani!" seru Kiki sambil melompat
ber???diri. Nana sudah berdiri juga, tapi Kiki tak segera me?
langkah. Ia tampak berpikir.
"Kenapa?" tanya Nana.
Mata Kiki tampak berkilat dan ekspresinya terlihat
kocak. "Mau tahu apa yang akan kulakukan, Na?"
"Nggak tahu." "Aku akan jalan bersamamu sampai rumahmu.
Nggak perlu nyeberang. Aku belum pernah lihat yang
nama?nya Tuan dan Nyonya. Aku juga pengin tahu apa
yang dia mau katakan padaku."
Kiki tersenyum menantang. Nana tak bisa segera
berbicara karena kaget. "Jadi kau nggak takut?"
"Takut apa? Emangnya dia mau makan aku? Coba
195 pikir, Na. Kalau menghindar terus, sampai kapan?
Lagi pula kita nggak bakal tahu dia itu maunya apa.
Apa aku dimaki dan dilarang lewat depan pintu rumah?
nya? Aku kan adanya di luar, dan jalanan itu bukan
punya dia. Apa salahnya aku tersenyum di depan
kamera??nya?" Nana tertegun. Ia menatap Kiki dengan kagum.
"Wow! Kamu berani!" serunya.
Dada Kiki mengembang karena senang.
"Ayo, kasih tahu bapakmu, Na. Supaya dia siapsiap."
Nana buru-buru mengirim pesan kepada ayahnya.
Seperti sudah diduganya, Sukri tidak menyetujui
tindak?an Kiki. Tapi kemudian menambahkan, bahwa
bila itu kehendak Kiki, maka terserah dia.
Setelah Nana menyampaikan pesan ayahnya, Kiki
ter?menung sejenak. Nana mengira, Kiki akan mem?
batal?kan niatnya. "Apa perbuatanku itu nantinya bisa nyusahin kamu
dan bapakmu?" tanya Kiki.
Nana berpikir sejenak lalu menggeleng. "Nyusahin
apa lagi? Ini kan udah telanjur, Ki. Seperti kamu
bilang tadi, kalau Tuan belum melihatmu, dia nggak
puas. Jadi sekalian saja biar beres."
"Jadi kamu berani juga, Na?"
"Iya." Mereka berjalan. Kali ini tangan Kiki meraih dan
meng?genggam tangan Nana. Mereka jalan berbimbing?
an. Keduanya ingin saling berbagi keberanian.
Baru setelah mencapai rumah itu, keduanya me?
lepas?kan pegangan. Langkah mereka melambat ketika
Isi-Warisan.indd 196 196 Isi-Warisan.indd 197 menelusuri pagar yang tertutup kerimbunan pohon,
terus menuju pintu gerbang.
Sukri sudah terlihat di balik pintu, melongok-longok
ke samping, ke arah dari mana mereka muncul. Setelah
melihat mereka, Sukri buru-buru membuka pintu.
Nana memberi tanda dengan telunjuknya ke arah
dalam rumah. Isyarat apakah Tuan ada?
Sukri mengangguk pelan. Kemudian menoleh ke
dalam. Terdengar suara-suara yang tak jelas. Semakin
anak-anak itu mendekati rumah, suara itu semakin
jelas. Suara Tuan cukup keras.
"Dia ada, Ki," kata Nana, menekan lengan Kiki.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiki berhenti melangkah lalu menatap Nana. Ia
me?megang tangan Nana. "Nggak usah takut, Na. Aku nggak bakal diapaapain."
"Kalau... kalau kau ditanya, hati-hati menjawabnya
ya, Ki? Jangan sembarangan. Ngomongnya pendekpen?dek aja."
"Ya, ya." "Jangan mau diajak ngobrol. Apalagi sama Nyo?
nya." "Beres, Na. " Kiki tidak mengerti kenapa Nana kelihatan kha?
watir. Tentu karena dia lebih mengenal si Tuan dari?
pada dirinya. Tapi ia sendiri tidak takut, hanya tegang
saja oleh keingintahuan. Mereka berjalan lagi. "Kalau aku sampai diapa-apain, aku panggil papa?
ku dan seisi kampungku," kata Kiki, meyakinkan
Nana. 197 Ucapan itu membuat Nana tertawa.
Wajah Sukri tidak memperlihatkan kecemasan,
pikir Kiki. Jadi dia pasti tidak dimarahi Tuan.
Begitu kedua anak itu muncul di pintu gerbang,
ke?duanya menoleh ke teras. Di sana Tuan sedang
duduk dengan sikap santai. Dia sendiri saja. Nyonya
tidak kelihatan. Kiki mengangguk dengan sopan tapi bersikap mau
jalan terus. Pura-pura tidak memahami maksud Tuan
untuk bertemu dengannya. "Hei! Kiki!" teriak Tuan sebelum Sukri sempat
menyuruh Kiki pergi. Kiki menoleh, mundur beberapa langkah. Ia me?
natap wajah Tuan yang masih duduk di tempat se?
mula. Wajah yang ganteng, pikir Kiki. Seperti pemain
sinetron. Ia sudah terbiasa menghubungkan orang yang
cantik dan ganteng dengan pemain sinetron.
"Ki, Tuan pengin ketemu kamu. Dia lihat kamu di
kameranya," kata Sukri.
"Sini!" panggil Tuan, sambil melambai.
"Pergilah ke sana. Antarkan, Na," kata Sukri. Lalu
ber?gegas menutup dan mengunci pintu. Ia pun meng?
iringi langkah Kiki dan Nana.
Tuan duduk lebih tegak. Perhatiannya tertuju ke?
pada Kiki, mengamatinya dari atas ke bawah.
Kiki merasa aneh dipandangi seperti itu, seolah diri?
nya barang yang tengah ditaksir untuk dibeli. Bangkit
keisengannya. Ia berjalan lebih tegak, kepala lebih
tengadah dengan dagu terangkat. Ekspresi som?bong.
Di sebelahnya, Nana melirik lalu bergulat menahan
geli. Ia berupaya keras untuk tidak tertawa. Dalam
Isi-Warisan.indd 198 198 Isi-Warisan.indd 199 hati ia mengagumi keberanian Kiki tapi juga khawatir.
Seharusnya jangan terlalu berani bila maksud se?
sungguhnya dari Tuan belum diketahui. Sampai saat
itu ia yakin Tuan hanya ingin melihat seperti apa rupa
Kiki sesungguhnya, karena yang terlihat dari kamera
hanya wajahnya saja. Tapi ia tetap tidak mengerti apa
yang membuat Tuan begitu ingin tahu sampai me?
ngorbankan waktunya. Lalu Nyonya muncul. Ia berdiri di samping Tuan
dan menatap tajam. Keningnya berkerut sewaktu meng?
amati Kiki. Sama seperti Tuan, ia pun mengamati Kiki
dari atas ke bawah. Sementara Kiki, begitu melihat Nyonya, langsung
membungkuk dengan hormat dengan gaya berlebihan.
Nana buru-buru menundukkan kepala untuk me?
nyembunyikan senyumnya. Tapi ia juga takut kalaukalau Nyonya marah karena merasa diejek.
Di luar dugaan Nana, juga Kiki dan Sukri, Nyonya
tertawa mengikik. Tuan juga tertawa. Dari raut wajah
mereka, tampaknya mereka menyukai tingkah Kiki.
Keduanya seperti menertawakan seorang pelawak yang
tengah melucu. Kiki tidak menaiki teras. Ia berhenti di depan
undak?an. "Ada apa, Om?" ia bertanya.
"Oh, jadi kamu yang namanya Kiki?" tanya Tuan.
"Betul, Om. Saya teman sekolah Nana. Kemarin
be?lajar sama-sama. Nana pintar sekali. Saya banyak
be?lajar dari dia." "Begitu, ya?" tanya Tuan dengan nada kurang per?
caya. 199 "Betul, Om. Apa Om nggak pernah lihat rapornya?
Dia rangking satu." Sesaat Tuan dan Nyonya tertegun. Sepertinya
mereka tidak menyukai info itu, pikir Nana, yang kali
ini berani mengamati keduanya. Tapi ia senang sekali
mendengar ucapan Kiki. Sukri juga merasa bangga.
Selama ini Tuan dan Nyonya tidak pernah ingin tahu
bagaimana prestasi Nana di sekolah.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Tuan lagi. Tak
ingin melanjutkan topik yang dikemukakan Kiki.
"Jalan Belimbing. Dekat...," Tangan Kiki menunjuk
arah rumahnya. "Oh, di kampung ya," kata Nyonya.
"Ya. Sama kayak di sini," sahut Kiki.
"Apa?" suara Nyonya meninggi.
Tapi Tuan tertawa. "Di sini bukan kampung," kata Nyonya. "Ini nama?
nya daerah elit. Tahu artinya?"
"Tahu, Tante." "Apa, coba?" "Daerah orang kaya."
"Nah, itu bedanya...."
Tuan mengangkat tangannya untuk menghentikan
ocehan istrinya. "Kamu kemarin ketangkap kamera. Nana bilang,
dia belajar di rumahmu. Jadi aku pengin lihat kamu
itu kayak apa sih. Biarpun di sini Nana sebagai pem?
bantu, tapi aku nggak mau dia punya teman sem?
barang?an. Jadi aku perlu lihat kamu kayak apa. Tam?
pang aja nggak cukup. Sekarang sih kelihatannya
kamu boleh juga. Nggak kumel dan jorok. Jadi dari?
Isi-Warisan.indd 200 200 Isi-Warisan.indd 201 pada dia pergi keluar rumah, mending kamu aja yang
ke sini. Belajarnya di sini aja. Tapi kamu aja sendiri.
Jangan bawa teman dari kampung. Nanti Pak Sukri
yang jaga." "Kalau itu sih lihat nanti saja, Om. Kemarin itu
ke?betulan aja kita perlu belajar bersama. Saya juga
nggak bodoh-bodoh amat. Kalau Nana rangking satu,
saya rangking dua...."
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa sebenarnya
kami tidak satu sekolah, pikir Kiki. Nana sudah ke?
palang berbohong. Lalu Kiki mengangguk dalam-dalam, tersenyum
dan berkata dengan sopan sekali, "Tapi terima kasih,
Om. Biasanya sih saya suka kelihatan kumel. Ini ka?
rena saya pakai seragam aja. Sudah ya, Om dan Tante.
Saya harus pulang. Nanti dicari Mama."
Cepat-cepat Kiki berbalik lalu melangkah ke pintu
gerbang sebelum Tuan dan Nyonya sempat berbicara
lagi. Nana mengikutinya. Juga Sukri.
"Ki!" panggil Tuan. "Nanti ke sini lagi, ya?"
Kiki berhenti sejenak, menoleh dan mengangkat
tangannya lalu terus berjalan. Langkahnya cepat se?
kali. Nana sampai kesulitan mengimbangi langkahnya.
Sukri membukakan pintu. "Kabarin ya, Na," bisik Kiki.
Ia menghilang dengan cepat.
Nana berjalan masuk dengan waswas. Ia menuju
sayap kanan, ke tempat tinggalnya, sementara Sukri
melanjutkan pekerjaannya membersihkan kebun. Se?
benarnya ia ingin mengikuti Nana, tapi merasa tak
201 enak di bawah tatapan kedua majikannya. Nanti dikira
mau membicarakan kejadian tadi.
Ternyata Nana dibiarkan pergi tanpa dipanggil.
Sukri juga tidak diajak bicara. Ia merasa lega. Tapi
kemudian dia mendengar kedua majikannya berbicara.
Seperti biasa pembicaraan itu dalam bahasa yang tidak
dimengertinya. Lama-lama suara keduanya meninggi.
Tuan bangkit lalu masuk ke dalam.
Nyonya menggantikan suaminya duduk. Ia kelihat?
an merenung. Sambil berjongkok dengan kedua tangan
yang sibuk dan muka menunduk, Sukri melirik ke
arah teras. Biarpun jaraknya tak terlalu dekat, ia bisa
me?lihat jelas ekspresi murung wajah Nyonya. Rambut?
nya kusut dan mukanya tak dirias. Tapi di mata Sukri
justru penampilan seperti itu membuat ia kelihatan
lebih cantik. Sesekali Nyonya menghapus matanya
dengan punggung tangan. Sukri terkejut. Apakah Nyonya menangis?
Kemudian ia buru-buru membalik tubuh sambil
terus bekerja. Takut kalau kedapatan sedang meng?
amati. Meskipun benci, muncul juga rasa ibanya. Ter?
nyata orang yang dianggap tak berhati itu bisa juga
bersedih. Ya, tentu saja ia hanya sedih terhadap nasib?
nya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Tapi nasib
seperti apa kiranya yang membuat ia bersedih? Pasti?
lah pertengkarannya dengan suaminya tadi. Tak jelas
apa penyebabnya. Tapi mereka bertengkar setelah ke?
datangan Kiki. Mustahil Kiki penyebabnya?
Sukri mengingat kembali kejadian tadi. Geli hati?
nya membayangkan sikap Kiki. Anak itu memang ca?
kap dan lucu. Tak heran kalau orang senang melihat?
Isi-Warisan.indd 202 202 Isi-Warisan.indd 203 nya. Tapi tak masuk akal kalau yang seperti itu
di?jadi?kan bahan pertengkaran. Paling mungkin adalah
kedua orang itu berbeda pendapat. Tuan suka pada
Kiki lalu menyuruhnya belajar di rumah itu saja ber?
sama Nana, tapi Nyonya tidak suka. Entah kenapa hal
seperti itu saja membuat ia menangis.
Ketika Sukri melirik lagi ke teras, ia tak melihat
siapa-siapa di sana. Nyonya sudah masuk. Ia juga
ingin masuk tapi masih tanggung dengan pekerjaannya.
Bila tak dibersihkan sampai tuntas ia bisa dimarahi,
biar?pun hanya ditinggal sebentar. Ia ingin mem?bicara?
kan kejadian tadi dengan Nana. Apalagi ada kemung?
kin?an sebentar Nana akan disuruh menemani Nyonya.
Tak ada waktu lagi sampai malam.
Lalu Tuan keluar dengan pakaian yang rapi dan
menjinjing tasnya. Ia menuju mobilnya.
"Kri! Bukain pintu!"
Segera Sukri mematuhi perintah itu. Ia membuka
dan mementang pintu lebar-lebar. Setelah mobil Tuan
keluar, ia mengunci pintu kembali. Tak lama kemudian
ia bergegas menuju tempat tinggalnya.
Nana berada di ruang makan merangkap dapur,
tempat yang aman dari kamera. Ia sedang mengerjakan
pekerjaan rumahnya. Sesuatu yang sudah rutin dilaku?
kan sebelum nanti dipanggil Nyonya.
"Gimana, Pak, tadi itu?" tanya Nana dengan wajah
ingin tahu. Sukri duduk di sebelah Nana.
"Tadi pagi Tuan dan Nyonya pergi sebentar. Jam
se?belas sudah pulang. Lalu Tuan nanya, jam berapa
kamu pulang sekolah? Dia pesan, kalau kamu pulang
203 ajak si Kiki ke rumah. Tentunya dia tahu, kalau pu?
lang ke Jalan Belimbing, Kiki mestinya lewat sini.
Terus dia duduk deh di teras, menunggu."
"Dan Nyonya?" "Nggak tahu. Abis mereka ngomongnya bahasa
asing." "Jadi Bapak tadi nggak dimarahi atau ditanya apaapa tentang Kiki?"
"Nggak. Mungkin dia lebih suka nanya kamu.
Kalau mau marah juga kenapa?"
"Sekarang Tuan pergi lagi?"
"Iya. Tapi perginya sendiri. Nyonya barusan nangis
di teras." "Ha? Nangis?" "Kelihatannya gitu. Dia nyusut-nyusut mata."
"Idih, kok gitu, ya. Sekarang dia sudah masuk
juga, Pak?" "Ya. Kalau dia belum pergi dari teras, mana mung?
kin aku berhenti kerja."
"Kok dia nangis di depan Bapak, ya."
"Mana Bapak tahu? Sebelumnya bertengkar dulu
sama Tuan. Lalu Tuan masuk duluan."
"Wah, gawat juga ya, Pak. Jangan-jangan gara-gara
si Kiki." "Aku juga pikir begitu. Tapi emangnya si Kiki
kenapa? Dia baik-baik aja, kan?"
"Ya, Kiki sih baik-baik aja. Yang nggak baik itu
mereka berdua." "Ala, sebodo amat sih, Na. Biar saja mereka ber?
tengkar. Ngapain kita peduli. Kalau si Kiki nggak mau
disuruh ke sini emangnya Tuan bisa apa?"
Isi-Warisan.indd 204 204 Isi-Warisan.indd 205 "Iya, Pak. Mana enak di sini, diawasin kamera.
Pasti dia suruh kita di tempat yang ada kameranya.
Nanti dia tonton. Emangnya kita pemain sinetron?"


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sukri terkekeh. "Betul, Na. Barangkali begitu."
"Apalagi minggu depan ada Imel, Pak. Apa Bapak
pikir si Kiki bakal suka sama Imel?"
Sukri menatap wajah putrinya. Ia melihat ke?kha?
watir?an di situ. "Kenapa kau bilang begitu, Na?"
"Dulu Kiki suka sama Lala. Dia sampai mau
ngasih kartu bergambar dengan tulisan terima kasih
buat Lala." "Waktu itu kan dia nggak tahu bahwa Lala sudah
nggak ada." "Imel kan mirip sama Lala, Pak."
"Tapi sifatnya beda. Biarin aja dia menilai. Sudah,
Na. Jangan khawatir dulu. Si Imel itu di sini nggak
lama. Dia juga warga negara Belanda."
"Kita di sini juga nggak bakal lama, Pak. Bukan?
kah Bapak pengin secepatnya pergi? Minggu depan
Om Budi ke Sukabumi untuk meninjau. Lalu hari
Senin pasti sudah ada kabar. Mungkin minggu itu juga
kita harus berangkat ke sana, Pak. Katanya yang pu?
nya kebun di Sukabumi sangat membutuhkan karya?
wan." Sukri tersadar. Nana sebenarnya berat berpisah dari
Kiki. "Jakarta-Sukabumi itu nggak jauh, Na. Masih di
Pulau Jawa. Ada telepon lagi. Masih bisa berhubungan.
Bisa cerita. Eh, emangnya kamu lupa, Na? Kan kau
mau ujian dulu." 205 "Betul sih, Pak. Tapi aku takut juga, kalau-kalau
yang punya kebun nanti keburu mempekerjakan orang
lain kalau dia memang sangat butuh. Ujian masih dua
bulan lagi." Sukri tertegun. Hal itu belum terpikirkan olehnya.
"Aku serahkan sama Pak Budiman saja, Na. Gi?
mana dia saja." "Tapi kita harus pikirkan juga, Pak. Jangan terserah
orang lain saja." Sukri manggut-manggut. "Ya, ya, kamu betul. Mak?
sudku, minta pendapat sama Pak Budi. Mungkin se?
baiknya nanti, sepulangnya dia dari Sukabumi."
"Baik, Pak." Sukri meninggalkan Nana merenung. Dia akan me?
masak untuk makan malam nanti. Tadi dia sudah mem?
beli sedikit sayur dari tukang sayur langganan yang
tiap pagi lewat depan rumah. Kalau Nana yang me?
masak bisa repot bila tiba-tiba dipanggil Nyonya.
Apalagi sekarang Nyonya ada di rumah. Setiap saat
bisa saja dia memanggil. Nana pun teringat hal itu. Dia segera menyelesai?
kan pekerjaan rumahnya, lalu belajar. Agak susah
ber?konsentrasi karena kejadian tadi masih mengganggu
pikirannya. Sampai sore belum ada panggilan dari Nyonya.
Nana cepat-cepat mandi. Sukri berjaga-jaga kalau inter?
kom panggilan dari Nyonya berbunyi. Nyonya suka
tidak sabar. Sukri pun menyiapkan ponselnya, dan me?
ngecek baterainya. Tuan bisa pulang sewaktu-waktu.
"Mungkin tidurnya kelamaan," Sukri mengomentari
Nyonya. Isi-Warisan.indd 206 206 Isi-Warisan.indd 207 "Iya. Kalau tidur siang lama, nanti malam dia sulit
tidur, Pak. Aku bisa kesal nungguin dia."
Sukri geleng-geleng kepala. Tak habis pikir. Kalau
tak bisa tidur, bukankah bisa nonton televisi atau mem?
baca atau mengobrol dengan suaminya? Kenapa harus
ditemani Nana dengan alasan untuk disuruh-suruh?
Memang hanya ada satu penyebab yang masuk akal
baginya. Nyonya sengaja ingin menyiksa Nana. Pernah
Nana membawa bukunya saat menemani Nyonya, tapi
Nyonya marah sekali dan mengancam akan merobekrobek bukunya kalau berani membawanya.
Sukri lebih dulu menerima telepon dari Tuan yang
minta dia menjaga pintu karena sebentar lagi akan
tiba. Nana menemani Sukri di pintu kalau-kalau ada
bawaan Tuan yang tak bisa dibawa Sukri sendiri. Dia
pun harus bersiap, karena bila Tuan pulang sebentar
lagi, Nyonya pun akan bangun.
Tuan hanya membawa sekotak pizza. Ia menyerah?
kannya kepada Nana untuk dibawa ke ruang makan.
Nana meletakkannya di atas meja. Di situ, sebelum
pulang koki sudah menyiapkan nasi yang dibiarkan
hangat di dalam rice cooker dan beberapa jenis lauk
yang tinggal dihangatkan kalau mau dimakan. Biasa?
nya itu merupakan pekerjaan Nana. Ia hanya me?
nunggu perintah. Di dalam ia tidak melihat Nyonya. Rupanya masih
berada di kamar. Jadi setelah Tuan masuk ke kamar,
ia bersama Sukri segera pulang. Nanti tinggal me?
nunggu panggilan. Sambil menunggu Nana kembali membuka buku
pe?lajarannya. Ia harus benar-benar memanfaatkan wak?
207 tu?nya. Karena tadi ada masalah Kiki, ia jadi sulit ber?
konsentrasi dan perlu waktu lebih banyak untuk be?
lajar. Dua jam kemudian panggilan lewat interkom da?
tang. Tapi yang dipanggil hanya Sukri. Kata Nyonya
dia tak ingin dipijat malam itu. Jadi Nana tak perlu
da?tang. Sukri hanya disuruh membenahi meja ma?
kan. Nana terheran-heran tapi juga sangat senang. Ia
me?ngirim pesan kepada Kiki untuk memberitahu ke?
jadian yang tak biasa itu. Tapi Kiki tidak menyambut
dengan antusias. Ia justru berpesan agar Nana tidak
terlalu gembira dan tetap waspada.
Ketika Sukri kembali, ia membawa serta kotak
pizza tadi. "Ada sisanya dua potong, dikasih ke kita," kata
Sukri sambil membuka tutup pizza.
Bau harum segera menghambur keluar. Nana sam?
pai harus menelan ludahnya. Tapi ia menatap wajah
Sukri dengan heran. "Emangnya Bapak mau makan itu? Katanya..."
"Jadi kamu nggak mau?"
Nana menggeleng dan memalingkan muka. Tak
ingin menatap dan membaui makanan yang tampak
sedap itu. "Bagus!" kata Sukri lalu membawa kotak itu ke
bela?kang. "Gimana tadi kelihatannya mereka, Pak?" tanya
Nana ingin tahu. "Waktu ke sana, ketemu Nyonya sebentar. Dia
nggak bilang apa-apa. Habis makan dua-duanya lang?
Isi-Warisan.indd 208 208 Isi-Warisan.indd 209 sung masuk ke kamar. Jadi sesudah selesai beres-beres
Bapak juga langsung pulang saja. Mereka kalau perlu
kan bisa manggil." "Kok gitu ya, Pak?"
"Gitu gimana?" "Tumben aku nggak dipanggil."
"Emangnya mau?"
"Nggak sih. Heran aja. Apa Bapak nggak heran?"
"Heran juga. Tapi mau bagaimana lagi? Anggap
saja orang aneh." "Tadinya aku pikir, aku akan ditanya macammacam tentang Kiki. Kok nggak, ya."
"Sama Bapak juga nggak nanya apa-apa."
"Nyonya sakit kali, ya Pak?"
"Memang kelihatannya kusut. Tapi kalau sakit
tentu?nya dibawa ke dokter."
"Kalau begitu, soal Kiki mungkin nggak perlu di?
pikirkan lagi ya, Pak."
"Maksudmu bagaimana?"
"Aku mikir, gimana kalau Kiki dipaksa belajar di
sini." Sukri menggeleng. "Mereka tahu dong, mana mung?
kin orang dipaksa begitu. Kamu nggak usah mikir
macam-macam." "Jadi aku bisa tidur sekarang, Pak?"
"Ya. Tidurlah. Sebentar lagi juga Bapak mau tidur.
Kayaknya mereka nggak perlu apa-apa lagi. Sudah
pada masuk kamar kok."
"Nanti bangunin aja, Pak, kalau Nyonya mang?gil."
"Iya, pergilah kamu tidur. Jangan lupa kunci pintu?
nya." 209 Belakangan ini mereka berdua sepakat untuk me?
ngunci pintu kamar dari dalam. Sebenarnya pintu tak
berkunci, tapi Sukri diam-diam memasang selot. Kalau
selot lebih gampang memasangnya daripada kunci dan
juga lebih murah. Ia melakukannya karena pintu peng?
hubung di ruang tamu yang berhubungan dengan
rumah utama tak suka dikunci lagi dari sebelah dalam
oleh Tuan atau Nyonya. Apakah itu berarti mereka
sekarang memercayainya? Tapi kalau tak dikunci, ia
pun merasa tak nyaman. Sebenarnya biarpun dikunci,
orang dari rumah utama tetap bisa leluasa memasuki
kediamannya karena kunci ada pada mereka. Tapi se?
tidaknya ada terdengar bunyi kunci diputar atau bunyi
pintu yang berdecit. Sukri masih pula mengganjal pintu dengan kursi.
Nana sampai menertawakan dan menganggapnya ber?
lebihan. Kemudian Sukri mengakui sesuatu yang
membuat Nana terkejut. "Bapak takut Nyonya itu sakit jiwa," kata Sukri,
pelan dan segan tapi terpaksa mengatakannya.
"Ah, Bapak. Masa iya sih."
"Mungkin aja nggak. Tapi jaga-jaga kan lebih baik,
Na. Karena itu kamu harus berhati-hati."
Tapi apa yang dikatakan Sukri tidak disampaikan
Nana kepada Kiki. Baginya, pendapat ayahnya itu
terasa berlebihan. Memang Nyonya suka berbuat aneh,
tapi masa sih sampai sakit jiwa. Kalau orang sakit
jiwa tentunya harus masuk rumah sakit jiwa dan tidak
bebas seperti ini. Tak mungkin Tuan membiarkan.
Isi-Warisan.indd 210 *** 210 Isi-Warisan.indd 211 Sambil tiduran, Linda atau sang Nyonya memandangi
David, suaminya. Dari posisinya yang terlihat adalah
bagi?an samping David yang sedang duduk me?manda?
ngi monitor komputer. Biarpun jarak cukup jauh Linda
bisa melihat apa yang ada di layar monitor. Dan kalau
David menolehkan kepala ke samping, ia bisa melihat
apa yang dilakukan Linda.
Saat itu yang tampak di layar adalah angka-angka
dan tulisan yang tak terbaca oleh Linda. Lama-lama
ia jadi mengantuk lalu memejamkan mata. Ia tak tahu
apakah tertidur dan sudah berapa lama. Ketika mem?
buka mata, David masih dalam posisi seperti tadi.
Tapi di layar tak ada lagi angka-angka dan tulisan. Di
sana ada wajah Kiki! Wajah Kiki yang polos dan cakap itu memang
mem?bangkitkan rasa suka. Dan sekarang gambarnya
ber?tambah dengan gaya Kiki tadi siang sepulang se?
kolah, bagaimana dia membungkuk dan tersenyum,
lalu berbicara dengan santun.
Perhatian Linda beralih kepada David. Meskipun
dari samping, ia bisa melihat begaimana David ter?
pukau mengamati Kiki di layar. Sedemikian asyiknya
ia seolah melupakan sekitarnya, tak juga menyadari
bahwa dirinya tengah diperhatikan.
Ketika Linda berubah posisi menjadi duduk, David
tampak terkejut lalu menoleh. Mata mereka bertautan
sejenak. David berpaling duluan.
"Lucu ya anak itu," katanya, menunjuk layar.
"Hmmm..." Linda tak berkomentar. Ia bangkit menuju kulkas.
211 "Kau mau minum apa?" tanyanya. Kalau bicara
biasa, suaranya tidak melengking.
"Coke aja." "Pakai es batu?"
"Ya." Linda membuka kulkas, lalu mengambil dua ka?
leng. "Wah, esnya habis. Mesti ambil di kulkas bela?
kang." "Sudah, nggak usah pakai es," kata David.
"Nggak apa-apa. Aku pengin kok."
Linda pergi ke belakang, ke ruang makan dengan
membawa kedua kaleng Coca Cola. Ia membuka se?
buah lemari dinding. Tampak berderet botol-botol obat
dan suplemen. Ia mencari-cari, lalu mengambil sebuah
botol dan mengamati isinya.
"Wah, tinggal dua," gerutunya. "Berarti besok mesti
beli lagi." Ia mengambil satu kapsul, lalu membukanya. Isi?
nya yang berbentuk bubuk ia tuang ke dalam salah
satu gelas. Coke ia tuang sedikit ke dalamnya, lalu
dengan jarinya mengaduk-aduk. Sesudah itu baru sisa
kaleng ia masukkan. Kemudian ia masukkan dua po?
tong es batu. Coke satu lagi ia masukkan ke dalam
kulkas. Ia hanya minum air putih.
"Kok kamu nggak?" tanya David.
"Takut maagku kumat karena minum soda."


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang di layar tidak lagi terlihat gambar Kiki,
tapi deretan angka seperti yang terlihat sebelumnya.
Linda menunggui David menenggak isi gelas sampai
habis dan menyisakan kedua potong es batu. Linda
Isi-Warisan.indd 212 212 Isi-Warisan.indd 213 mengamati sejenak isi gelas. Minumannya sudah
habis. "Kau belum mau tidur?"
"Tidur saja duluan," sahut David tanpa menoleh.
Linda memadamkan lampu di atas meja kecil di
sampingnya. Juga lampu gantung di tengah ruangan.
Di atas mejanya David menggunakan lampu duduk.
Linda membaringkan tubuh dengan posisi meng?
hadap ke arah David. Ia tidak bergerak-gerak dan
tidak memejamkan mata. Dari tempatnya David takkan
bisa melihat apakah matanya terpejam atau tidak.
Ketika Linda hampir saja tertidur, ia sempat me?
lihat David mengubah layar monitor. Di sana kem?bali
tampak Kiki! 213 PADA hari Sabtu sore, cuaca sudah mulai gelap ke?
tika Budiman tiba di Sukabumi. Letak kebun milik
Gunawan di pinggiran kota. Ia dipandu Gunawan de?
ngan telepon. Juga bertanya-tanya pada orang-orang
yang dilewatinya. Akhirnya ia tiba di tujuan. Ia melihat pintu ger?
bang dengan papan bertuliskan KEBUN GUNAWAN.
Papan itu dikitari lampu kecil kerlap-kerlip hingga di
dalam kegelapan bisa terlihat dengan jelas.
Dua orang terlihat berdiri bersandar ke pagar. Me?
reka segera tegak lalu menghampiri mobil Budiman.
Salah satu mendekat ke pintu dan mengangkat ta?
ngannya. Budiman membuka kaca jendela.
"Malam, Pak. Ini Pak Budiman dari Jakarta?" ta?
nya orang itu. "Betul," sahut Budiman.
"Pak Gun sudah menunggu di dalam. Mari, Pak.
Terus saja masuk ke dalam."
Teman orang itu sudah membuka pintu lebar-lebar.
Isi-Warisan.indd 214 214 Isi-Warisan.indd 215 Mo?bil Budiman meluncur masuk. Sepanjang jalan
kiri?kanan ia melihat hamparan kebun yang luas. Di
kedua sisi kiri dan kanan ada rumah kaca. Lampu-lam?
pu diletakkan dalam jarak tertentu. Penerangan dari
lampu-lampu itu membuat suasana kebun jadi ekso?
tis. Budiman tetap membiarkan kaca jendela terbuka.
Ia menghirup udara yang amat menyegarkan. Wangi
de?daunan dan tanah yang basah sesudah disiram hu?
jan. Rumah yang dihuni Gunawan dan keluarganya ter?
letak di tengah kebun. Bangunannya sederhana tapi
jadi terlihat asri karena banyaknya tanaman hias di
depannya. Di belakang rumah itu tampak bangunan
memanjang dengan pintu-pintu yang berderet.
Gunawan sudah menunggu di depan rumahnya.
Mereka berpelukan. Istrinya bersama tiga anak mereka
keluar juga untuk menyambut.
"Ini istriku, Frida. Dan tiga anakku. Yang paling
besar Aldo tiga belas, kedua Alvin dua belas, dan
bungsu Alicia sembilan tahun."
Mereka bersalam-salaman. Sesudahnya ketiga anak
masuk ke dalam diajak ibu mereka yang akan me?
nyiapkan makan malam. Dulu, Gunawan adalah sahabat Budiman sewaktu
SMA. Tapi selepas SMA masing-masing melanjutkan
ke perguruan tinggi yang berbeda. Tak pernah bertemu
kecuali sesekali berkirim e-mail. Pertemuan terakhir
adalah dalam acara reuni yang dilakukan di Jakarta
setahun yang lalu. Di situ Gunawan bercerita tentang
bisnisnya sekarang. 215 Lewat e-mail, Budiman bercerita tentang Sukri dan
keluarganya. Tapi tidak bisa banyak-banyak. Sekarang,
ia bisa bercerita secara lengkap. Dari awal pertemuan?
nya yang "ajaib" dengan Lala dan Bi Ani, gara-gara
ke?nakalan Kiki. Sampai kemudian berlanjut pada ke?
hidupan Sukri dan Nana yang menyedihkan.
Gunawan sangat tertarik dengan cerita itu.
"Wah, kayak kisah di film aja, Bud!"
"Aneh memang. Aku belum pernah ketemu sama
roh halus. Tapi kali ini aku berdua Kiki punya penga?
lam?an yang sama. Jadi aku nggak mungkin bohong,
Gun. Kalau aku tidak menggendongnya, dia nggak
bisa keluar dari rumah itu."
"Aku pikir, menyenangkan sekali bisa punya penga?
laman seperti itu, Bud. Yang semacam itu langka. Aku
salut pada keluarga Sukri. Bisa bertahan selama de?
lapan tahun." "Semula majikannya nggak keterlaluan amat, Gun.
Tapi setelah kehilangan Lala, putri mereka, jadilah
mereka diperlakukan seperti itu. Yang kasihan si Nana.
Sampai kemudian keluar tudingan dari si Nyonya, bah?
wa seharusnya yang mati keracunan itu Nana, bukan
Lala. Maka Sukri jadi takut makan makanan pem?
berian majikannya." "Wah, gawat juga, ya. Sampai seperti itu. Mereka
memang harus secepatnya keluar sebelum terjadi
sesuatu. Kadang-kadang kecurigaan itu mungkin saja
berlebihan, tapi bisa jadi benar. Curiga itu untuk men?
jaga diri." "Apa kaupikir bisa terjadi sesuatu?"
"Ya, bisa saja. Kalau dia sampai ketakutan seperti
Isi-Warisan.indd 216 216 Isi-Warisan.indd 217 itu tentu ada sebabnya. Kita nggak tahu sampai sejauh
apa. Jadi, bawa sajalah mereka ke sini. Aku simpati
ke?padanya. Di samping aku memang membutuhkan
tenaga tambahan, dia pun sudah punya bakat sebagai
petani. Kapan saja dia mau ke sini, silakan. Tapi se?
baik?nya secepatnya. Bukan karena aku yang butuh
lho, tapi untuk kebaikan dia sendiri."
Budiman mengangguk. Ia menyadari kebenaran
kata-kata itu. Ia berpikir untuk menyimpan dulu per?
tanyaan soal fasilitas untuk Sukri dan Nana. Ia ingin
menunggu sampai besok setelah melihat sendiri kebun
Gunawan. Tapi dari yang tampak sepintas tadi, se?
waktu melewati sebagian kebun dengan mobilnya,
tampak?nya Gunawan cukup bonafid untuk menggaji
Sukri dengan layak. Lalu ia bercerita tentang perkembangan yang ter?
jadi paling akhir. Soal kamera dan Kiki yang terekam
di dalamnya. Gunawan tertawa. "Jadi pavilyun Sukri pun dipasa?
ngi kamera? Kalau begitu si majikan pun mencurigai
mereka." "Mereka tak mau Nana mengajak teman-temannya
ke rumah. Tapi setelah melihat Kiki, si Tuan bilang
ka?lau Kiki boleh, karena Kiki tidak jorok dan ku?
mal." "Ha-ha-ha! Si Kiki itu memang cakep dan lucu.
Aneh juga ya. Tapi kalau menurutku sih sebaiknya
Kiki jangan ke rumah itu lagi."
"Kenapa?" "Buat apa sih dekat-dekat orang seperti itu? Apa si
Nyonya juga suka sama Kiki?"
217 "Menurut Sukri kelihatannya nggak begitu. Mereka
bertengkar tapi dia nggak tahu apa yang diributkan
ka?rena ngomongnya bahasa Belanda. Bahkan menurut
Sukri, si Nyonya menangis sendirian."
"Wah, itu sih pertanda nggak baik, Bud. Coba saja
kau?pikir, masa untuk melihat Kiki saja si Tuan itu
sampai pulang siang-siang dari tempat kerjanya dan
menunggunya pulang sekolah?"
Budiman tertegun. Duduknya menjadi lebih tegak.
Ia menatap Gunawan seperti kena pesona.
"Apa... apa yang kaupikir sama dengan yang ku?
pikir?" tanya Budiman.
"Ha-ha-ha! Kamu lucu amat sih, Bud. Mana aku tahu
apa yang kaupikirkan? Tapi lebih baik jangan di?omong
saja, Bud. Nanti jadi prasangka yang kejam."
"Ya, ya, betul. Yang penting waspada saja."
"Nah, jadi jauh-jauh saja. Apalagi Sukri dan Nana
akan ke sini. Jadi nggak ada alasan bagi Kiki untuk
pergi ke rumah itu."
"Tapi ada masalah dengan sekolah Nana, Gun. Dia
akan ujian dua bulan lagi. Kalau pindah sekarang, apa
harus pindah sekolah juga? Dia itu pintar sekali,
Gun." Gunawan mengangguk. "Kalau menurutku, jangan menunggu sampai dua
bu?lan. Kalau bisa secepatnya, kenapa harus me?nunggu?
Takutnya keburu ada apa-apa. Ya, bukan ber?prasangka
sih. Tapi siapa tahu? Soal sekolah Nana, ada sih jalan
keluarnya. Biar Sukri duluan yang ke sini. Nana dititip?
kan di rumahmu. Gimana?"
"Wah, itu ide yang bagus. Aku sih nggak keberat?
Isi-Warisan.indd 218 218 Isi-Warisan.indd 219 an. Istriku juga pasti sama. Dia suka sama Nana.
Anakku yang perempuan, si Fani, lengket sama Nana.
Dia pasti senang kalau Nana bisa dekat sebelum pergi
jauh," kata Budiman dengan senang. Ia heran kenapa
hal itu tak terpikir olehnya.
"Baguslah, Bud. Jadi nggak ada halangan lagi,
kan? Kapan dia mau ke sini?"
Budiman berpikir sejenak. Kalau sudah sejauh itu,
sepertinya tak mungkin mundur lagi. Mustahil ia mau
meributkan soal fasilitas? Ia tak enak hati. Apalagi ia
teringat, Sukri pun tak mau mempersoalkan gaji.
"Oh ya, Gun. Kalau nanti Nana ke sini untuk ber?
gabung dengan ayahnya, ia juga ingin bekerja di sini
sepulang sekolah. Tapi nggak sebagai pembantu me?
lainkan kerja di kebun."
"Tentu saja. Masa anak pintar dijadikan pembantu?
Dia bisa membantu-bantu penyortiran sayuran, lalu me?
masukkannya dalam kotak, dan banyak lagi. Pe?kerja?an
sih banyak, Bud. Terserah dia mau kerja apa."
"Terima kasih, Gun. Aku jadi lega. Senang bisa
mem?bantu mereka." "Kedatanganmu ke sini juga khusus untuk mereka,
bukan? Mereka berarti bagimu."
"Oh ya. Sejak pertemuanku dengan rohnya Lala
dan ibunya Nana, aku merasa ada ikatan yang khusus
dengan mereka. Menurut Nana, pasti ada sebabnya
kenapa Kiki ditolong oleh Lala dan Bi Ani. Kenapa
nggak dibiarkan saja cari jalan keluar sendiri? Misal?
nya, kalau Kiki berteriak-teriak, masa yang punya ru?
mah nggak keluar? Atau nggak menunggu saja sampai
aku datang?" 219 "Luar biasa memang. Mudah-mudahan mereka se?
nang di sini." "Aku yakin pasti senang."
"Oh ya, soal gaji pasti akan sama dengan karya?
wan lain, Bud. Lebih tinggi dari UMR. Lalu ada
jamin?an kesehatan dan asuransi. Sistemnya kontrak.
Kecuali bagi Nana tentu, karena dia di bawah umur.
Bagi dia istilahnya bukan kerja, melainkan bantubantu."
"Wah, mereka pasti akan senang, Gun. Terima ka?
sih banyak lho." "Kita sama-sama membutuhkan, Bud. Aku butuh
orang yang bisa dipercaya. Tadi kaulihat bangunan
panjang di belakang? Itu mes buat para karyawan.
Ada tujuh pintu. Yang terisi cuma lima karena sebagi?
an tinggal dekat sini. Yang di situ semua bujangan.
Jadi dua kamar bisa buat Sukri dan Nana. Besok kau
bisa melihatnya." Lalu Frida, istri Gunawan, memanggil untuk ma?
kan malam bersama. Usai makan mereka mengobrol lagi bersama. Lalu
Budiman masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Ia
sangat capek. Perjalanan Jakarta-Sukabumi yang di?
tempuh sendirian membuat ia lelah, karena tak ada
selingan apa-apa. Tak pula ada teman bicara.
Sebelum tidur ia mengirim pesan dulu kepada
Sumarni dan Kiki. Bahwa beritanya amat sangat baik.
Tapi ia tak mau memberitahu dulu soal rencana pe?
nitipan Nana di rumahnya. Yang itu harus dibicarakan
dulu dengan Sukri dan Nana sebagai orang-orang yang
paling berkepentingan. Isi-Warisan.indd 220 220 Isi-Warisan.indd 221 *** Kiki buru-buru mengabarkan hal itu kepada Sukri
lewat SMS. Tapi hanya mengatakan bahwa ia mem?
peroleh kabar baik dari ayahnya di Sukabumi. Hanya
itu saja karena memang ayahnya tidak bercerita ba?
nyak. Nanti saja kalau pulang, katanya.
Kiki tidak berani mengirim kepada Nana, khawatir
kalau ketahuan oleh Nyonya atau Nana sedang sibuk
dengan pelayanannya kepada Nyonya. Memang Nana


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak pernah lagi membawa ponselnya kalau menemui
Nyonya, tapi siapa tahu Nana sedang lupa.
Ternyata Nana sedang berada di pavilyunnya. Ia
membalas pesan Kiki. Senang sekali, Ki. Papamu baik sekali. Sekarang
aku lagi libur memijat Nyonya. Besok mereka mau
men?jemput Imel di bandara. Besok aku nggak ke
rumah?mu. Dilarang ke mana-mana. Disuruh me?
nunggu kepulangan mereka dan menyambut Imel.
Kiki hanya membalas singkat. Besok kalau mereka
nggak ada, kita teleponan aja, Na.
Nana merasa senang sekali. Kegembiraan karena
men?dapat kabar baik dari Kiki bisa meredam ke?galau?
annya menghadapi kedatangan Imelda.
"Senang ya, Pak," kata Nana kepada ayahnya.
"Tentu saja. Pak Budi itu baik sekali, ya. Sempetsempetnya ngirim kabar dari Sukabumi. Dia pasti
capek sekali." "Besok pulang, Pak. Pasti beliau akan cerita ba?
nyak langsung kepada Bapak. Tapi bagaimana Bapak
bisa keluar rumah, ya?"
221 "Nanti Bapak pikirkan. Kalau Bapak sih gampang
cari alasan. Nggak seperti kamu."
"Pergi ke warung aja, Pak. Beli obat sakit ke?pala."
"Nggak ah. Entar sakit kepala beneran."
Nana tertawa. "Ya, gimana Bapak sajalah. Ter?
serah." Sedang mereka mengobrol sambil bercanda, inter?
kom berbunyi mengejutkan keduanya. Mereka ber?
pandangan sejenak sebelum Sukri mengangkatnya.
"Kamu dipanggil Nyonya," kata Sukri.
Wajah Nana langsung berubah cemas.
"Sudah, nggak apa-apa. Belum apa-apa udah takut
duluan," hibur Sukri.
"Takutnya kegembiraanku bisa terbaca olehnya,
Pak," Nana mengakui.
"Ah, nggaklah. Kan dari kemarin sudah latihan.
Paling persiapan untuk si Imel. Atau mau nanya ten?
tang Kiki. Ayolah pergi sana."
Nana bergegas pergi. Ia disambut Nyonya dengan bentakan, "Kamu lama
amat sih!" "Maaf, Nya," sahut Nana dengan menunduk. Ia tak
ingin menatap wajah Nyonya lama-lama. Tadi sekilas
terlihat kusut. Biasanya kalau habis bertengkar pe?
nampilannya seperti itu. Nyonya menyodorkan setumpuk seprai, sarung
bantal, dan bed cover berwarna merah jambu.
"Ini pasang sana! Yang rapi pasangnya, ya."
"Ya, Nya." Dalam hati Nana protes, apa sih susahnya bicara
lebih manis? Isi-Warisan.indd 222 222 Isi-Warisan.indd 223 Di dalam kamar yang diperuntukkan bagi Imelda,
ia sibuk memasang semua peralatan tidur itu. Ia ingat,
tadinya barang itu dipakai Lala. Tapi kamarnya beda.
Tak sulit memasang semuanya. Ia sudah cermat,
dan berupaya jangan sampai ada kerut sedikit pun.
Tapi ia tahu, betapa pun rapinya, Nyonya tak akan
me?muji. Sebaliknya, akan ada saja kesalahan yang
terlihat olehnya. Setelah itu, ia duduk di lantai dan mengelus-elus
kasur sambil mengenang Lala.
"Kenapa kamu nggak pernah muncul di depanku,
La? Kamu malah muncul di depan Kiki. Sama Mama
lagi." Lalu matanya nyalang menatap bantal, mencoba
membayangkan Lala terbaring di sana dan tersenyum
kepadanya. Atau bicara seperti yang dilakukan Lala
dengan Kiki. Ia ingin curhat kepada Lala tentang se?
gala sesuatu yang dialaminya.
Tapi ranjang itu tetap kosong. Tak ada Lala. Tak
ada ibunya. Nana cepat berdiri ketika mendengar langkah
kaki. Nyonya muncul di ambang pintu, mengamati tanpa
masuk ke dalam lalu mengangguk.
"Ya, sudah. Besok dipel yang bersih dan semua
dilap lagi." "Ya, Nya." Kemudian Nyonya menengok ke belakangnya, lalu
masuk ke dalam. Pintu ditutupnya.
Nana jadi berdebar. "Eh, besok si Kiki nggak boleh ke sini, ya? Kamu
223 juga nggak boleh pergi ke rumahnya. Ketahuan kalau
kamu keluar rumah." "Ya, Nya. Tapi kalau Tuan...," Nana berhenti men?
dadak. Ia tak biasa bicara panjang pada Nyonya.
Nyonya berkacak pinggang. "Jangan dengarkan
dia! Kalau dia suruh kamu panggil si Kiki... untuk
belajar?lah... atau mainlah... atau apalah... jangan mau!
Bohongi saja. Ngomong apa kek. Ngerti?"
Nana mengangguk. "Ngerti, Nya."
Tiba-tiba kedengaran suara Tuan memanggil. Tam?
paknya dekat. Nyonya buru-buru membuka pintu. Tak
lama kemudian Tuan muncul. Sosoknya yang tinggi
dan kekar itu seperti menjulang di samping Nyonya.
"Lagi apa sih?"
Nyonya bicara dalam bahasa asing. Ia menggamit
tangan Tuan sebelum Tuan melangkah masuk lalu me?
nariknya. Nana hanya memandangi saja, menunggu
keduanya pergi, sebelum akhirnya ikut keluar.
"Besok si Kiki suruh ke sini, Na!" kata Tuan se?
belum berlalu. Nana pura-pura tidak mendengar karena ia purapura membenahi ini-itu.
Nyonya menggandeng Tuan menuju kamarnya.
Diam-diam ia menoleh ke belakang, lalu memberi
isyarat kepada Nana supaya buru-buru pergi. Tentu
saja dengan senang hati Nana mematuhi perintah itu.
Ia bercerita kepada Sukri tentang kejadian itu.
"Oh, begitu. Jadi betul dong bahwa mereka berdua
bertentangan mengenai Kiki. Heran seribu heran. Yang
begitu aja diributkan."
Isi-Warisan.indd 224 224 Isi-Warisan.indd 225 "Tapi bagus begitu, Pak. Kiki jadi nggak usah ke
sini." Nana membayangkan Kiki akan bertemu dan ber?
kenalan dengan Imelda. Apa gerangan yang akan ter?
jadi? Apakah Kiki akan tertarik kepada Imel?
*** Linda menggandeng suaminya masuk ke kamar.
"Kok kamu nggak minta pijat sih?" tanya David,
nada?nya menyesali. "Lagi males. Mau nemenin kamu saja, Pa."
"Huuu..." David duduk di depan komputernya. "Mau kerja,"
katanya ketika melihat Linda mengamati.
"Kamu mau ngapain emangnya, Ma? Jangan
ngajak aku main, ya. Aku lagi capek."
"Kalau kerja kok nggak capek?"
David tak menjawab. Ia sudah membuka komputer?
nya. Lalu bersikap tak memedulikan istrinya yang
ber?diri di sampingnya, ingin tahu apa yang nanti tam?
pak di layar monitor. Segera yang terlihat kemudian
adalah angka-angka dan tulisan. David memelototinya
tapi sesekali matanya melirik ke sisinya. Linda masih
saja berdiri. Kita lihat saja siapa yang menang, kata?
nya di dalam hati. Linda memang tak sabar. Ia juga tahu selama ia di
situ David akan tetap bertahan dengan kegiatannya.
Percuma saja ia menunggu. Akhirnya ia pergi ke sudut
lain di mana ada pesawat televisi. Ia menyalakannya,
lalu duduk menonton. Tapi matanya sesekali menatap
225 ke arah David. Dari situ ia masih bisa melihat apa
yang ada di layar monitor.
Linda terkantuk-kantuk. Kepalanya menunduk.
David melirik, lalu menolehkan kepala. Ia ter?
senyum. Tangannya mengklik keyboard. Segera tampil?
an di layar berubah. Wajah Kiki tampak!
David mengamatinya dengan tatapan penuh pesona.
Sekali-sekali ia tersenyum.
"Anak yang manis... anak yang manis...," gumam?
nya. Tiba-tiba Linda tersentak bangun. Tak sengaja me?
nyepak meja. David terkejut. Tanpa menoleh ia segera mengalih?
kan tampilan di monitor, berubah menjadi seperti se?
mula. Tapi gerakannya itu membuat Linda menoleh
dengan tatap curiga. Ia tidak melihat perubahan pada
monitor. "Wah, hari ini kau belum makan obat, Pa," katanya
sambil berdiri. "Nanti aku makan sendiri. Emangnya anak kecil,"
sahut David dengan nada jengkel.
"Aku ambilin. Takutnya kau lupa."
Linda berdiri. Malas sebenarnya. Baiknya obatobatan dipindahkan ke kamar saja. Mungkin besok
akan ia lakukan. Tapi kebanyakan obat dan suplemen
harus dimakan sesudah makan. Jadi ia menganggap
lebih praktis bila ditaruhnya di ruang makan. Bila
dipisah-pisah akan merepotkan. Tapi obat David yang
satu itu tidak ada aturannya. Biarpun begitu ada
kekhawatiran apakah David akan memakannya sendiri
Isi-Warisan.indd 226 226 Isi-Warisan.indd 227 tanpa disuruh atau diingatkan. Padahal ia sendiri pun
terkadang lupa. "Aku sudah membelikan obat baru, Pa," kata Linda
sebelum keluar. "Hemmm...," gumam David.
Begitu Linda keluar, David kembali mengalihkan
tampilan di layar monitornya. Tidak bisa lama-lama
tapi biar sebentar pun bisa menyenangkan hatinya.
Kembali wajah Kiki tersenyum padanya. Ia pun
"membalas" senyum itu.
Linda segera kembali dengan sebutir kapsul dan ge?
las berisi air putih. Ia menyodorkannya kepada David.
Tanpa protes atau komentar David mengulurkan
dan membuka telapak tangannya. Linda meletakkan
kapsul di telapaknya, setelah itu David memasukkan
isi telapaknya ke dalam mulutnya. Lalu Linda me?
nyodorkan gelas yang kemudian isinya diminum
sampai habis. Selama itu Linda mengamatinya terus.
Begitu Linda membalikkan tubuhnya, David segera
memasukkan jarinya ke dalam mulut. Ia mengambil
kapsul tadi yang melekat di langit-langit lalu buruburu memasukkannya ke dalam sakunya. Ia sudah
punya trik sendiri supaya tidak sampai menelan kapsul
itu. Linda tidak mengetahui hal itu. Ia merasa yakin.
"Kau belum mau tidur, Pa? Ini sudah malam lho."
"Tidurlah duluan. Aku nyusul."
Linda tiba-tiba berbalik lalu menatap wajah David
dengan sorot menyelidik. Ada nada tertentu dalam
suara David yang membuatnya serasa mendengar
alarm. 227 "Kenapa?" tanya David.
"Kok kamu kedengaran gembira banget sih."
"Emangnya nggak boleh?"
"Biasanya lain, gitu."
"Jangan-jangan kamu salah kasih obat."
"Ah, masa." Meskipun ucapan David kedengaran bercanda, tapi
Linda bergegas keluar kamar terus ke ruang makan
lalu membuka lemari obat. Satu botol obat yang baru
dibelinya masih penuh. Ia tadi mengambil satu dari
situ. Tak mungkin salah. Warnanya juga beda di?
banding suplemen. Tak pula ada obat yang lain. Ah,
David benar-benar memperdayanya. Salahnya sendiri
kenapa percaya saja. Tapi sebenarnya bukan karena
dorong?an percaya, tapi justru sebaliknya.
Ia kembali ke kamar dengan kesal. Siap meng?
hambur?kan kata-kata cela dan maki. Tapi begitu ma?
suk ia terkejut, karena suasana kamar sudah menjadi
temaram. Komputer sudah dimatikan. Dan David
sudah berada di atas tempat tidur.
Saking tercengang Linda sampai tertegun.
"Hei, ngapain di situ?" tegur David. "Ayo sini.
Tadi ngajak tidur...."
Tanpa menunggu ditegur untuk kedua kali, Linda
menghambur lalu melompat masuk ke dalam pelukan
David. Ia tak punya waktu lagi untuk merasa heran.
Sebenarnya David memakan obatnya atau tidak?
Isi-Warisan.indd 228 228 Isi-Warisan.indd 229 MINGGU pagi, Budiman sudah diajak berkeliling
oleh Gunawan. Mereka menaiki sejenis mobil kecil
yang di belakangnya bisa disambung dengan gerobak
pengangkut sayuran yang baru dipanen.
"Luas tanah ini tiga puluh hektar," jelas Gunawan.
"Ya, luas sekali." Budiman berdecak kagum.
Ke mana pun mata memandang ia melihat hampar?
an hijau. Dan udaranya luar biasa segar. Berulangulang ia menarik napas dalam-dalam, merasakan paruparunya mengembang dan terisi.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kegiatan sudah berlangsung sejak subuh. Para pe?
kerja menyortir dan mengepak sayuran yang mau di?
kirim. Frida, istri Gunawan, juga sudah tampak sibuk.
Ia menyapa Budiman dan bicara sejenak, lalu me?
neruskan kegiatannya. "Kami sudah punya langganan di Jakarta dan
Bandung, yaitu restoran dan pasar swalayan. Di sini per?
tanian organik, Bud. Nggak pakai pupuk dan pestisida
kimia. Atau obat-obatan kimiawi."
229 "Harganya lebih mahal daripada sayuran non?
organik." "Memang betul. Tapi sekarang banyak orang yang
mengutamakan kesehatan. Dulu pada awalnya nggak
banyak yang nyari. Sekarang malah barangnya yang
kurang. Langgananku tak bisa bertambah lagi karena
produksinya sudah mentok. Yah, cukuplah segitu.
Yang penting kualitas harus dipertahankan."
"Kau hebat ya, Gun. Benar-benar kau berbisnis
sesuai dengan ilmu yang kaupelajari."
"Ah, biarpun aku bergelar sarjana pertanian, tapi
untuk bisnis ini aku harus belajar lagi."
Budiman membayangkan Nana yang katanya ingin
menjadi petani. Kalau anak itu melihat pertanian ini,
dia pasti akan jatuh hati. Sedang Sukri masih harus
belajar banyak. "Aku kira dia nggak susah belajar, Bud. Tangannya
sudah biasa mengolah tanah."
"Ya, aku yakin dia akan senang sekali. Dia me?
mang ingin jadi petani sungguhan. Kalau cuma tukang
kebun di rumah orang dia merasa seperti main-main
saja. Di sana pun kerjanya serabutan, bukan hanya
sebagai tukang kebun saja."
"Namanya juga di kota. Tapi yang sudah bisa
kuperkirakan dia adalah orang yang bisa dipercaya."
"Betul. Sekarang yang dia pentingkan adalah anak?
nya. Dia bertahan di situ pun demi anaknya."
"Orang yang seperti itu pastilah orang yang baik,
Bud. Aku selalu respek pada orang yang mau ber?
korban demi anaknya."
"Betul, Gun." Isi-Warisan.indd 230 230 Isi-Warisan.indd 231 Budiman teringat pada anak-anaknya. Bagaimana
jadinya mereka itu kelak sangat tergantung pada apa
yang dilakukannya untuk mereka.
"Bud, biarpun nanti kau sudah pulang, tetaplah
memberi kabar padaku. Cerita lewat e-mail, ya?"
"Tentu saja. Aku juga ingin kita terus berhubungan.
Jangan hanya berhenti di sini saja."
Usai makan siang, Budiman pamitan pulang. Ia
akan memberi kepastian kapan bisa membawa Sukri
ke situ. Rencananya ia yang akan mengantarkan.
"Paling cepat Sabtu depan saja, Bud. Itu kalau
mau cepat. Tentunya dia harus memberitahu majikan?
nya dulu. Supaya bisa berakhir dengan damai."
"Ya, mestinya begitu. Mereka tidak bisa menahan
karena tidak ada ikatan apa-apa."
"Pasti akan sulit, Gun. Tapi kuharap takkan ada
hambatan." Budiman membayangkan caci maki yang akan di?
terima Sukri dan Nana dari majikannya. Tapi kalau
hanya caci maki masih bisa diatasi. Bagaimana kalau
lebih dari itu? Frida berpesan padanya agar lain kali datang lagi
dengan membawa keluarganya.
"Anak-anakmu sebaya dengan anak-anak kami,
Bud. Mereka bisa berteman."
"Ya, Frid. Bisa ramai sekali."
"Ha-ha-ha, bagus itu." Gunawan tertawa senang.
Anak-anak Gunawan mendekat untuk melepas ke?
pergian Budiman. Mereka sangat santun, pikir Budiman
terkesan. Tapi, anak-anakku juga begitu.
Ia terkejut ketika seorang pekerja memasukkan
231 sekeranjang oleh-oleh ke dalam bagasi mobilnya. Ke?
ranjang itu penuh dengan sayuran. Brokoli, wortel,
tomat, kubis, buncis... "Wah, terima kasih banyak."
Budiman agak malu mengingat ia datang ke situ
tanpa membawa apa-apa. Tapi apa pula yang bisa di?
bawanya? Debu Jakarta? "Jangan lupa perhatikan si Tuan yang tertarik pada
Kiki, Bud," Gunawan mengingatkan setelah Budiman
berada di belakang kemudi. Pembicaraan itu tak
terdengar oleh Frida yang berdiri agak jauh.
"Ya, tentu. Aku akan mengabarimu lagi nanti."
Budiman dilepas dengan lambaian tangan. Ia ber?
siul-siul sepanjang jalan dan memutar radio mencari
lagu kesukaannya. Betapa senangnya kalau pulang
mem?bawa kabar baik. Wajah-wajah bahagia akan me?
nyambutnya. *** Imelda datang sendirian. Dia dianggap sudah cukup
besar untuk melakukan perjalanan sendiri. Berbeda
de?ngan tahun lalu, dia masih diantar oleh tantenya.
Ketika mobil yang membawanya memasuki hala?
man, Sukri dan Nana sudah menunggu. Sukri mem?
buka pintu gerbang lalu menutupnya kembali setelah
mobil masuk. Nana berdiri di tempat di mana biasanya
mobil diparkir. Imelda turun. Nana terbelalak memandangnya. Da?
lam setahun Imelda tumbuh cukup pesat. Tingginya
ber?tambah, lebih tinggi dari Nana. Tahun lalu masih
Isi-Warisan.indd 232 232 Isi-Warisan.indd 233 sama. Proporsi tubuhnya pun sudah berkembang.
Usianya lebih tua setahun dari Nana.
Yang membuat Nana terpana adalah dandanan
Imelda. Ia mengenakan celana pendek yang ketat dan
baju kaos longgar yang satu bagian bahunya seperti
me?rosot hingga tali behanya tampak. Ah, jadi dia
sudah mengenakan beha, pikir Nana. Payudaranya
memang sudah terlihat menyembul. Rambutnya yang
panjang dan ikal dibiarkan tergerai membingkai wajah?
nya yang cantik. Kulitnya putih pucat. Dan dia pun
memakai lipstik! Dia kelihatan dewasa, tapi tetap saja
masih kanak-kanak. Imelda pun balas memandangi Nana. Dari atas ke
bawah. Dari bawah ke atas. Tatapannya merendahkan.
Nana yang tampak kusut berpakaian kumal, baju dan
celana pendek longgar selutut dengan motif sama dan
warnanya sudah pudar. "Eh, Nana. Kamu kok tambah item sih!" seru
Imelda. Lalu ia tertawa cekikikan.
Nana hanya menunduk. "Coba lihat aku dong! Gimana aku sekarang?" ta?
nya Imelda sambil memutar-mutar tubuhnya.
"Cantik," sahut Nana. Ia tahu memang jawaban
se?perti itu yang diharapkan.
Imelda tertawa. Tiba-tiba Nana menyadari betapa
mirip?nya tawa Imelda dengan Nyonya. Padahal dulu
tidak begitu. Apakah semakin besar jadi semakin
mirip? "Hei, Na!" bentak Nyonya, membuat Nana terkejut.
"Ya, Nya?" "Bantuin dong bawa kopernya!"
233 Imelda menunjuk koper hitam. "Tuh, koperku!
Bawa ke kamar, ya...."
Tuan sudah lebih dulu menghilang masuk ke dalam
rumah. Nyonya masih memberi perintah kepada Sukri.
Ada beberapa barang bawaan Imelda, oleh-oleh dari
negeri Belanda, yang harus dibawa ke dapur.
Sebelum menjalankan perintah itu, Sukri lebih dulu
membantu Nana menurunkan roda koper supaya dia
tinggal menariknya. Tapi di tangga ke teras ia mem?
bantu Nana mengangkatnya. Koper itu lumayan berat.
Selesai itu barulah ia siap membawa tas-tas ke dalam.
Tapi menunggu majikan jalan lebih dulu.
Nyonya dan Imelda berlenggang tanpa membawa
apa-apa. Imelda hanya menyandang sebuah tas kecil.
Ibu dan anak itu berbimbingan tangan dan melangkah
dengan ringan, seolah sedang menari. Keduanya ramai
tertawa cekikikan. Di belakang mereka, Sukri dan Nana memandangi
saja. Mereka cukup sadar untuk tidak berekspresi
karena kamera di teras bisa merekam wajah mereka.
Tapi dalam hati Nana berkata, betapa mirip Imelda
dengan Nyonya. Bukan hanya tawanya saja.
Nana langsung ke kamar Imelda sambil menarik
kopernya. Pintunya tertutup. Ia mengetuk, mengira
Imelda ada di dalam. Tapi tiba-tiba Imelda menerobos
dari sampingnya dan membuka pintu. Nana mengikuti
saja dari belakang. Imelda menjatuhkan dirinya di
tempat tidur. "Kopernya taruh di mana, Mel?" tanya Nana.
"Apa? Mel? Kamu panggil aku Mel?" bentak
Imelda. Isi-Warisan.indd 234 234 Isi-Warisan.indd 235 Nana tertegun bingung. "Dulu-dulu kan...," katanya.
"Dulu kan lain. Sekarang beda, tahu? Sekarang aku
nggak mau dipanggil sembarangan. Kamu dan aku itu
beda. Kamu ini pembantu, tahu? Aku majikanmu."
"Jadi... jadi panggilnya apa?"
"Panggil Non! Sama kayak bapakmu!"
"Baik, Non," sahut Nana, tanpa ekspresi. Aku tak
mau sedih, pikirnya. Buat apa? Tak lama lagi aku akan
keluar dari sini. Biarkan mereka mencari budak lain.
Imelda mengamati wajah Nana, mempelajari. Ia
heran. Padahal ia ingin melihat Nana menangis.
"Buka koperku. Terus baju-baju masukin ke lemari.
Yang rapi susunnya."
Nana berjongkok lalu berusaha membuka koper.
Terkunci. Ia diam sejenak, tak ingin meminta, me?
nunggu Imelda memberikan kuncinya. Tapi Imelda
ber?sikap tak peduli. Sambil menelentang ia menatap
langit-langit. "Kuncinya, Non."
"Oh, kirain nggak bakal minta. Kukira kau bisa
buka tanpa kunci." Tiba-tiba serenceng kunci dilempar, hampir me?
ngenai muka Nana. "Yang mana?" Nana mengamati kunci. Ada empat
kunci yang bentuknya mirip.
"Dicobain aja satu-satu. Goblok amat sih!"
Sekarang Imelda berbalik, memiringkan tubuh ke
arah Nana hingga ia bisa memerhatikan. Ia tertawatawa melihat Nana mencobai kunci satu per satu. Tapi
tak ada satu pun yang bisa pas.
235 Nana menatap Imelda. Ia sadar dirinya dipermain?
kan. "Kenapa? Marah?" Imelda bersungut. Ia melempar
se?buah kunci yang sebenarnya sudah ia siapkan di
dekatnya. Nana mengambil kunci itu lalu membuka koper.
Bau wangi segera menyambar hidungnya. Isinya pakai?
an. Tanpa membuang waktu ia membuka lemari, lalu
memasukkan semua pakaian itu ke dalamnya.
"Yang rapi!" bentak Imelda.
Tak banyak pakaian yang dibawa Imelda. Hanya
satu koper itu saja. Nana segera mengerti ketika Nyonya masuk kamar
dengan membawa setumpuk pakaian yang dikenalinya
sebagai pakaian Lala. "Kalau pakaian tidur kau bisa pakai ini, Mel," kata
Nyonya. "Longgar, kan."
Imelda melompat lalu memeriksa tumpukan
pakaian yang dibawa ibunya.
"Sudah ini buatku, Ma. Masih bagus."
"Ya sudah. Ambil."
Nana agak heran kenapa kedua orang itu tidak ber?
bahasa Belanda seperti biasanya. Mungkin lagi lupa.
Sesudah pekerjaannya selesai, Nana masih berdiri
bingung. Apakah dirinya masih diperlukan?
"Nya, saya pamit dulu mau mandi," ia mem?berani?
kan diri berbicara. "Ya, pergi sana."
Nana kembali heran karena ucapan Nyonya tidak
ketus bunyinya. Tapi ia tidak menunggu lama-lama
dan segera pergi pada saat Imelda masih memeriksa
Isi-Warisan.indd 236 236 Isi-Warisan.indd 237 pakai?an Lala. Ia sangat bersyukur bisa lepas dari ke?
dua orang itu, biarpun untuk sementara.
"Kau harus bersabar, Na," Sukri menghibur ketika
Nana menceritakan perlakuan Imelda.
"Ya, Pak." Sesudah mandi mereka berdua memasak untuk
makan malam. Untuk Tuan dan Nyonya serta Imelda,
koki sudah menyiapkan. Tinggal menghangatkan di
micowave. Untuk pekerjaan itu biasanya Nana dan
Sukri akan dipanggil. Jadi mereka harus memanfaatkan
waktu yang ada untuk keperluan mereka sendiri.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pantasnya Om Budi sudah pulang, ya Pak."
"Tergantung jam berapa dia berangkat dari sana
dan di jalan lancar apa nggak. Kenapa?"
"Pengin cepet dapat kabar, Pak. Memang tadi bi?
lang?nya sih kabar baik. Tapi kan nggak lengkap."
Beberapa menit sesudah pembicaraan itu, ponsel
Sukri berbunyi pelan. Memang volumenya sengaja
di?pelankan supaya tidak sampai kedengaran ke rumah
utama. Sukri segera menerimanya. "O, Pak Budi," katanya
dengan wajah berseri. Nana mendekati dan memasang telinganya, padahal
biasanya ia tidak berani berbuat begitu. Kali ini Sukri
pun tidak marah, malah tersenyum-senyum.
"Baik, Pak. Baik. Saya usahakan secepatnya."
Hubungan terputus. Nana menatap wajah ayahnya
penuh harap. "Bapak disuruh menemuinya sekarang juga untuk
mendengar ceritanya dan kepastiannya."
237 "Bapak tentu harus bilang dulu sama mereka. Apa
tunggu sampai dipanggil saja, Pak?"
"Ya. Baiknya begitu."
"Terus nanti alasannya apa?"
"Bapak bilang saja mau ke warung beli obat sakit
kepala." "Dulu katanya, takut jadi sakit kepala sungguh?an."
Sukri tertawa. "Sekarang nggak takut lagi, Na."
Pada saat interkom berbunyi mereka sama-sama
ter?lonjak. Tapi suara Nyonya hanya minta Nana saja
yang datang. "Nggak apa-apa. Aku ikut, karena kesempatan ha?
nya sekarang ini." Nyonya tampak heran karena Sukri ikut serta.
Sukri segera memberitahu maksudnya.
"Lho, nanti yang kunci pintu siapa? Terus yang
jaga siapa?" "Biar Nana aja, Nya. Sekarang saya bantuin Nana
dulu. Terus Nana jaga pintu."
Nyonya cemberut. Tapi terpaksa mengabulkan. Ia
sendiri tidak punya persediaan obat kelas warung.
Yang dimilikinya adalah obat mahal yang tentu saja
tak ingin diberikannya kepada Sukri.
Pekerjaan yang perlu dilakukan Nana memang
tidak banyak. Ia hanya menghangatkan makanan, lalu
merapikannya di meja. Pada saat keluarga itu duduk
di meja makan, ia dan ayahnya bisa keluar rumah.
Sesudah itu ia kembali lagi untuk mencuci piring dan
membereskan semuanya. Padahal saat itu Nana dan
Sukri belum makan. Tapi rasa lapar dikalahkan oleh
keingintahuan dan kegembiraan.
Isi-Warisan.indd 238 238 Isi-Warisan.indd 239 Nana menunggu kepulangan Sukri dengan tak
sabar. Kedua tangannya memegangi jeruji besi pintu
dan tatapannya tertuju ke arah Jalan Belimbing. Dari
sebelah luar dia tampak seperti gadis kecil yang ber?
ada di balik penjara, menanti kebebasannya.
Sepuluh menit kemudian Sukri sudah tampak di
ke?jauhan. Nana buru-buru menyambutnya, tapi tak
be?rani bertanya-tanya karena Sukri memberi tanda,
tapi dari wajah Sukri yang gembira ia tahu beritanya
baik semata. Seperti biasa mereka berjalan masuk dulu ke pa?
vilyun mereka, lalu di situ menunggu panggilan. Me?
reka tak boleh begitu saja masuk ke rumah utama
tanpa panggilan. "Jadi, gimana, Pak?"
"Pak Budi bilang, di sana itu kebunnya luas sekali.
Bayangin Na. Tiga puluh hektar! Sayuran organik
yang ditanam. Ada perumahan buat karyawan. Terus
gaji lebih dari tinggi UMR, dapat fasilitas kesehatan
dan asuransi kesehatan juga. Untukmu dan Bapak da?
pat kamar sendiri. Kau bisa sekolah di waktu pagi dan
sore bantu-bantu. Nggak perlu kerja rumah tangga.
Terus Bapak bisa masuk kapan saja. Lebih baik se?
cepatnya. Kata Pak Budi, bagaimana kalau Sabtu
depan langsung ke sana. Dia yang akan mengantar."
"Habis sekolahku gimana, Pak? Kan mau uijian."
"Ya, tunggu dulu. Kan Bapak belum selesai ngo?
mong. Itu juga bisa diurus. Pak Budi dan keluarganya
bersedia menerimamu di rumah mereka sampai kau
selesai ujian. Kalau sudah selesai, kau diantarkan ke
sana." 239 Nana melompat tinggi-tinggi.
"Horeee!" serunya sambil bertepuk tangan.
"Tapi mulai sekarang kita harus mikir alasan apa
yang akan disampaikan ke Tuan dan Nyonya. Tentu
mesti secepatnya supaya mereka bisa cari pengganti.
Kayaknya banyak sih yang mau. Aku sudah ngomongngomong sama pembantu lain. Misalnya Bi Entin, dia
senang sekali kalau bisa tinggal di sini. Dia bisa bawa
keluarganya yang juga bisa disuruh kerja. Ya, kayak
kitalah." "Kalau secepatnya itu artinya besok lusa, Pak.
Waktu?nya seminggu. Kapan lagi?"
"Nanti bilangnya apa? Kamu bantu mikir, Na."
"Beres, Pak. Besok kalau ketemu Kiki, dia pasti
punya akal juga." "Oh ya, Pak Budi bilang jangan sampai mereka
tahu bahwa kepergian kita karena bantuan Pak Budi.
Dan juga tentang hubungan Pak Budi sama Kiki.
Kenapa begitu, dia nggak menjelaskan. Katanya nanti
aja, supaya nggak terlalu lama."
Nana berpikir. Lalu manggut-manggut.
"Tentu karena si Kiki itu nggak disukai Nyonya,
tapi malah disukai Tuan."
Sukri mengerutkan keningnya. "Disukai Tuan?"
tanya?nya. "Iya. Kayaknya gitu. Si Kiki disuruh datang lagi,
padahal Nyonya nggak suka."
"Ya, sebaiknya Kiki jangan muncul lagi di sini,
Na. Jadi sumber pertengkaran. Nanti kita dapat getah?
nya." "Besok aku bicarain sama Kiki, Pak."
Isi-Warisan.indd 240 240 Isi-Warisan.indd 241 Interkom berbunyi. Suara cempreng Nyonya segera
kedengaran. "Sukri sudah pulang?"
"Sudah, Nya." "Bagus! Suruh Nana ke sini. Beres-beres...."
"Kedengarannya lagi baik tuh," kata Sukri kepada
Nana. "Ya. Aku ke sana ya, Pak. Bapak makan duluan
deh." "Nggak. Bapak tunggu kamu aja."
Nana bergegas pergi. Ia ingin cepat selesai supaya
bisa makan bersama ayahnya sambil membicarakan
masalah tadi. Tapi setelah pekerjaannya beres, ia dicegat Imelda.
"Na, entar ke kamarku ya."
"Ada apa?" "Minta dipijit kayak kamu mijit Mama."
Nana terperangah. "Tapi... tapi aku belum makan."
"Siapa suruh dari tadi belum makan? Ngapain
saja?" hardik Nyonya.
"Kan tadi nungguin Bapak beli obat. Sesudah itu
takut dipanggil...."
"He, sudah berani nyahut ya sekarang?"
Tiba-tiba Tuan muncul. "Sudah. Biar Nana makan
dulu sana. Ayo," kata Tuan sambil mengibaskan tangan?
nya. Tanpa menunggu komentar dari Nyonya atau Imelda,
Nana segera berlari pergi. Di belakangnya ia mendengar
pertengkaran dalam bahasa yang tak dimengertinya.
Sukri menyambutnya dengan heran.
"Ada apa? Kok wajahmu merah begitu?"
241 Nana menceritakan pengalamannya. Sukri gelenggeleng kepala.
"Kayaknya orang-orang itu merasa kita udah pe?
ngin pergi. Jadi terus saja ditekan."
"Padahal orang ditekan malah jadi semakin pengin
pergi ya, Pak. Ayo kita makan sebelum dipanggil lagi."
Sambil makan Sukri mengulang cerita pertemuan?
nya dengan Budiman tadi. Ia senang mengulang, juga
kha?watir kalau-kalau ada yang terlupakan.
"Jadi Tante juga setuju aku numpang di situ, Pak?"
"Mereka nggak bilang numpang, tapi dititipin se?
mentara. Sopan sekali. Tapi kata Pak Budi, itu usul
dari Pak Gunawan, pemilik kebun itu. Mereka berdua
dulunya sahabat." "Oh, ternyata masih ada orang-orang yang baik ya,
Pak." "Makanya kamu harus tabah sekarang menghadapi
orang-orang itu." Nana mengangguk. Tentunya ayahnya bilang
begitu bukan hanya terhadap dirinya, tapi juga untuk
diri sen?diri. Ia senang bukan hanya karena pemecah?
an masa?lah bisa diperoleh, tapi juga karena bisa ber?
dekatan dengan Kiki setiap hari selama waktu men?
jelang ujian. Ia berjanji dalam hati untuk belajar
se?baik mungkin dan berbuat sebaik mungkin juga
bagi keluarga Kiki. Nanti kalau harus pindah ke Sukabumi, pasti tak
ada waktu lagi untuk mengobrol dan bertemu dengan
Kiki dan Fani, juga kedua orangtuanya. Dia mem?
bayangkan, di satu sisi dia senang bisa pergi dari
tempat itu, tapi di sisi lain dia akan kehilangan orang
Isi-Warisan.indd 242 242 Isi-Warisan.indd 243 yang dia sayangi. Memang bisa telepon-teleponan atau
surat-suratan. Tapi tak bisa bertemu.
Lamunan terputus oleh bunyi interkom.
"Udah makannya? Ayo ke sini," suara Imelda.
Nana merasa mual. Imelda seperti bos kecil yang
menyaingi bos besar. Apakah dia disuruh ibunya atau
ha?nya meniru? Tapi dia belum lama tiba. Pada perasa?
an Nana, Nyonya-lah yang menyuruh Imelda karena
dia sendiri sedang tak ingin dipijat. Jadi mereka tak
ingin memberinya libur. "Pergi dulu ya, Pak."
"Baik-baik, ya."
Nana tak buru-buru. Sengaja melangkah pelanpelan.
"Cepetan dong!" hardik Imelda, melongok di pintu
kamarnya. Nana tak peduli, tetap dengan iramanya. Cepat
atau lambat pokoknya sampai.
Nyonya keluar dari kamarnya, memberinya botol
krim yang biasa dipakainya. "Nih, pijat Imel seperti kau
memijatku." "Iya, Nya." Imelda sudah berbaring telungkup di tempat tidur?
nya dengan membuka baju atasnya. Tanpa bicara apaapa Nana naik ke atas tempat tidur lalu mulai melaku?
kan tugasnya. Setiap kali ada saja komentar Imelda.
Terlalu lembek. Terlalu keras. Tapi Nana diam saja tak
peduli. Akhirnya Imelda menghentikan komentarnya ka?
rena ada yang ingin dikatakannya.
243 "Kamu punya teman baru ya, Na. Namanya Kiki,
kan?" Jantung Nana seolah berhenti sesaat.
"Iya," sahutnya datar.
"Aku lihat dia di komputer Papa. Ih, cakep ya. Pe?
ngin kenalan deh. Besok kenalin ya. Ajak ke sini aja.
Sore-sore. Nanti aku minta nomor teleponnya, Na."
"Nggak punya." "Bohong ah. Masa sih nggak punya? Biar nanti
aku tanya sendiri. Dia pasti senang kenalan sama aku.
Tahu nggak? Di Holland aku punya banyak cowok.
Yang bule ada, yang item juga ada. Hi-hi-hi...."
Imelda mengoceh sendiri. Nana membiarkan tanpa
komentar. Pijatannya ia keraskan hingga Imelda ber?
teriak ngilu. "Udahan! Sakit, tahu?"
Nana senang. Memang itu yang ia harapkan. Ia
menutup botol, menggosok punggung Imelda dengan
handuk kecil, lalu turun dari tempat tidur.
"Hei, mau ke mana?"
"Mau cuci tangan."
"Habis itu, ke sini lagi, ya?"
"Ngapain?? "Mau ngapain aja, semauku...."
"Aku sudah ngantuk, Non."
"Oh iya, aku punya ide. Kau tidur di sini, ya? Ne?
menin aku. Kamu tidur di bawah, pakai kasur dari
ka?mar sebelah. Suruh bapakmu gotong kasur itu."
Nana terpaku. "Nggak mau, Non. Aku mau pulang."
"Mamaaa! Mamaaa!" jerit Imelda.
Isi-Warisan.indd 244 244 Isi-Warisan.indd 245 Nyonya tergopoh-gopoh datang.
"Ada apa?" "Dia nggak mau tidur di sini, nemenin aku, Ma.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku kan takut tidur sendirian...."
Nyonya tertegun sebentar, lalu menatap Nana.
"Kenapa kamu nggak mau?" tanyanya tajam.
"Nggak mau aja."
"Kamu harus mau! Kamu nggak boleh menolak,
tahu?" Nana menggigit bibirnya. Ia harus berani. Harus
tabah. "Maaf, Nya. Saya nggak mau."
"Bandel! Berani menentang, ya? Dasar nggak tahu
diri! Nggak tahu diuntung! Kamu pikir kamu ini si?
apa?" Nana tak menyahut. Akan percuma saja. Sementara
itu ia melihat wajah Imelda yang tersenyum puas dan
tampak menunggu kekalahannya.
"Sekarang panggil bapakmu ke sini. Suruh angkat
kasur dari kamar sebelah."
Nana menggeleng. "Saya nggak mau tidur di sini,
Nya. Saya mau tidur di tempat sendiri," katanya de?
ngan suara mantap. Nyonya menatap heran sejenak, lalu wajahnya me?
merah oleh kemarahan. "Kalau kamu berani menentang, besok kamu pergi
saja dari sini sekalian!"
Besok? pikir Nana khawatir. Bukankah besok ter?
lalu cepat? Tapi ia tidak ingin menyerah.
Pada saat itu Tuan muncul lalu menatap wajah245
wajah di depannya bergantian. Ia sudah mendengar
penyebab keributan. "Kalau Nana nggak mau, biar saja. Orang kok di?
paksa-paksa seperti itu. Sudah, Na! Pulang sana!"
Nana segera berlari pergi setelah meletakkan botol
dan handuk di atas meja. Nyonya melotot kepada
Tuan, dan Imelda melengkingkan tangisnya.
"Awas kamu, ya!" seru Nyonya di belakang Nana.
Begitu membuka pintu, Nana buru-buru mengganjal
pintu dengan kursi. "Ada apa lagi?" tanya Sukri.
Nana bercerita dengan napas memburu. Tadi ia ti?
dak berlari jauh tapi merasa dikejar hingga jantungnya
jadi berdetak lebih kencang.
"Jadi besok Nyonya mau mengusir kita, Pak."
"Ah, dia pasti mengancam saja. Sikap Tuan kan
beda." "Tapi ini kesempatan untuk ngomong, Pak. Jadi
ngusir atau nggak, Bapak harus ngomong."
Sukri berpikir. "Ngomongnya apa, ya?"
"Aku tiba-tiba dapat akal sewaktu lari tadi. Bilang
saja, kita mau pulang kampung. Beli tanah di sana
dan bertani." "Duitnya?" "Bertahun-tahun Bapak sudah menabung. Dia mau
percaya atau nggak, itu terserah. Jangan bilang terus
terang kalau mereka tanya sudah berapa tabungan
Bapak. Dia nggak berhak."
Sukri manggut-manggut. "Ya, ya. Ini memang ke?
sempatan. Tapi tadi kamu hebat, Na. Berani melawan.
Isi-Warisan.indd 246 246 Isi-Warisan.indd 247 Seandainya kita nggak punya pilihan, apa kamu berani
juga?" "Nggak tahu, Pak. Soalnya aku ingat sekolah."
"Kita sudah dikasih kesempatan ya, Na."
Sukri menyusut matanya. "Sekarang kita tidur aja, Pak. Ini sudah malam.
Besok kita harus bangun pagi."
"Ya, betul," kata Sukri bersemangat. "Besok kita
menghadapi yang baru."
"Kalau interkom bunyi, cuekin aja."
Sukri tertawa. Betapa senangnya bisa melawan ke?
zaliman. 247 UDIMAN menyampaikan masalah Kiki seperti
yang dibicarakannya dengan Gunawan kepada istrinya,
Sumarni, yang jadi sangat terkejut dan juga cemas.
"Kita jangan cemas dulu, Ma. Yang penting se?
karang jaga-jaga saja sebelum terjadi apa-apa."
"Tapi Kiki harus diberitahu, Pa. Kalau dia nggak
tahu apa-apa, mana mungkin dia bisa jaga diri."
"Beritahunya gimana? Ini kan hanya persangkaan.
Bukan kepastian. Kalau ternyata nggak apa-apa, malu
kan? Aku ingin mengajar anak untuk tidak sembarang?
an berprasangka, apalagi yang buruk."
"Biar aku yang kasih tahu saja."
Budiman masih ragu-ragu, tapi ia menyadari ke?
benaran ucapan Sumarni. "Kiki sudah cukup besar untuk mengerti, Pa. Dia
bukan anak kecil lagi. Kita pun nggak perlu terlalu
detail." "Baiklah. Kita bicara berdua dengan dia."
Isi-Warisan.indd 248 248 Isi-Warisan.indd 249 Kebetulan malam itu Fani sudah tidur. Kiki be?
lum. "Sini, Ki. Coba ceritakan lagi bagaimana sih sikap
dan perlakuan si Tuan itu kepadamu?" tanya Budiman.
Kiki keheranan. Tiba-tiba sekarang dirinya yang
dijadikan topik. Bukan Nana dan Sukri.
"Dia baik sekali. Kebalikan dari si Nyonya."
"Ceritakann lagi dari awal."
Kiki bercerita. Tak banyak yang bisa diceritakan
karena pertemuannya dengan Tuan hanya sebentar.
Budiman dan Sumarni menyimak ceritanya dengan
serius. Lalu keduanya berpandangan. Sumarni mendekat?
kan kepalanya, bicara perlahan, "Memang ada indikasi
ke situ, Pa." "Ya, benar juga."
Kiki menatap kedua orangtuanya silih berganti. Ia
bingung. Kesalahan apa yang telah dilakukannya ter?
hadap si Tuan? "Ada apa sih, Pa, Ma? Emangnya si Tuan ngadu,
ya?" "Bukan begitu, Ki," kata Sumarni lembut. Ia mem?
belai kepala Kiki. Biasanya, anak seusia Kiki masih
minim pemahaman, jadi kalau tidak dijelaskan, dia
akan mudah diperdaya. Tapi dia juga sebentar lagi
akan puber, jadi bisa lebih mudah mencerna pen?
jelasan. "Kami bahkan belum pernah bertemu sama si
Tuan. Apalagi mendengar dia mengadu tentang kamu.
Cuma mendengar ceritamu itu, terkesan sekali bahwa
si Tuan itu tertarik sama kamu. Suka sama kamu."
249 "Emangnya kenapa, Ma?"
"Itu berbahaya, Ki. Suka dan tertarik itu beda. Bisa
jadi dia tertarik untuk tujuan yang jahat."
Kiki tersentak. "Jahat bagaimana, Ma?"
"Hati-hati sama lelaki dewasa yang suka kepada
anak-anak lelaki. Dia punya kecenderungan nggak
baik. Pikirannya ngeres."
"Ngeres gimana, Ma?"
"Kotor." "Kayak orang pacaran gitu, Ma?"
Sumarni berpandangan dengan Budiman, menahan
tawa. "Ya. Kira-kira seperti itu. Jadi orang seperti itu
nggak normal. Mestinya lelaki itu suka kepada pe?
rempu?an, dan sebaliknya, bukan? Tapi orang itu me?
lenceng. Masih mending kalau hanya suka tapi nggak
berbuat apa-apa. Yang jahat itu bisa berbuat macammacam...."
"Maaa...," Budiman mengingatkan. Ia khawatir,
Sumarni terlalu blak-blakan menjelaskan.
"Aku tahu, Ma. Dibelai-belai, dicium dan... dan
digituin, kan?" ujar Kiki.
Budiman dan Sumarni tersentak kaget. Apakah
Kiki sudah pernah dibegitukan orang? Mereka jadi
me?nyesal kenapa tidak dari dulu-dulu mengingatkan
Kiki akan bahaya orang yang terlalu baik. Padahal
Kiki itu anak yang manis sejak dulu. Banyak yang
suka kepadanya. Rasa suka yang bisa saja wajar, tapi
bisa juga tidak. Sumarni melompat ke samping Kiki lalu merangkul?
nya. Isi-Warisan.indd 250 250 Isi-Warisan.indd 251 "Apa ada orang yang berbuat seperti itu kepada?
mu?" ia tidak tahan untuk bertanya.
Kiki tertawa. "Nggak dong, Ma. Tapi aku pernah
dengar cerita-cerita...."
Budiman dan Sumarni semakin menyadari bahwa
anak-anak seusia Kiki dan mungkin juga lebih muda
lagi, sudah punya pemahaman yang lebih banyak dari?
pada yang diperkirakan. Mereka tidaklah sepolos dan
selugu yang disangka. Tapi cara mereka memahami
lebih banyak dari sudut sensasi.
"Pernah ada yang mencoba nggak?" tanya Budi?
man. Kiki tak segera menjawab. Sikapnya itu menimbul?
kan kecemasan kedua orangtuanya.
"Ki...," desak Sumarni.
Kiki berpikir sejenak. Lalu bicara dengan wajah
serius. Ia menjadi serius karena melihat kecemasan
kedua orangtuanya. "Gini ceritanya. Udah lama sih. Pokoknya tahun
lalu, masih kelas lima. Waktu itu lagi jalan pulang
se?kolah berempat, Fani lagi nggak ada. Sakit, kayak?
nya. Ada mobil sedan hitam berhenti di samping
kami. Jendelanya dibuka. Di belakang setir ada omom, kepalanya rada botak. Duduk sendiri. Dia meng?
gapai. Kami mendekat. Tapi matanya memandang
pada?ku. Katanya, ?Pulang sekolah, ya. Mau dianterin??
Se?rentak kami semua bilang, ?Nggak. Terima kasih,
Om!? Terus dia tanya aku, ?Namamu siapa?? Sebelum
aku jawab, si Hamdi ngebisikin, ?Jangan kasih tahu,
Ki,? Jadi aku bilang, ?Namaku Raymon. Om mau
apa?? Katanya, ?Mau ngajak jalan-jalan. Sebelumnya
251 kita makan dulu. Pasti kamu pulang sekolah belum
makan." Aku tanya, "Om ngajak kami semua?" Kata?
nya, "Nggak dong. Banyak amat. Kamu aja. Mau, ya?
Nanti Om kasih duit banyak.? Ngomongnya pelan, tapi
teman-teman bisa dengar. Si Doni ngomong keras,
?Bapak?nya polisi, Om! Catat nomor mobilnya!? Eh,
sesudah itu langsung dia tancap gas, kabur."
"Cuma itu aja?" tanya Sumarni, lega tapi khawatir
kalau-kalau ada yang disembunyikan.
"Iya." "Apa nomor mobilnya benar-benar dicatat?" tanya
Budiman. "Nggak, Pa." "Terus besok-besoknya apa dia pernah muncul
lagi?" tanya Budiman.
"Pernah beberapa hari kemudian. Mobilnya ganti.
Waktu itu juga siang-siang pulang sekolah. Fani ada.
Dia jalan pelan-pelan, terus membuka jendela. Dia
tersenyum. Tiba-tiba aku merasa muak padanya. Aku
mencibir lalu menarik mulutku ke kiri dan kanan.
Bikin muka jelek. Teman-temanku juga ikut-ikutan.
Cuma Fani yang bingung. Kelihatan dia marah lalu
pergi ngebut. Sejak itu nggak muncul lagi."
"Rupanya dia sadar kamu nggak bisa djadikan
mangsa," kata Sumarni kesal.
"Kalau ketemu lagi, apa kamu masih ingat orang?
nya?" tanya Budiman.
"Masih. Jidatnya lebar karena kepalanya setengah
botak. Hidungnya lebar, mulutnya besar. Matanya ma?
lah kecil." "Untunglah kamu bisa bersikap seperti itu, Ki," kata
Isi-Warisan.indd 252 252 Isi-Warisan.indd 253 Sumarni. "Pendeknya siapa pun, kalau bersikap ma?nis
dan baik padahal belum kenal, perlu dicurigai."
"Nggak cuma itu, Ki. Jangankan orang yang belum
kenal, atau baru kenal, sudah kenal lama pun kalau
ber?lebihan baiknya perlu dicurigai juga," sambung
Budiman. "Apa karena itu papanya Lala perlu dicurigai?"
tanya Kiki. "Ya," sahut Budiman dan Sumarni berbarengan.
Tegas. Kiki merenung. Mengenang lagi si Tuan.
"Apa orang seperti itu sukanya sama anak-anak
lelaki saja, Pa?" "Kelihatannya begitu, Ki."
"Kalau memang si Tuan kayak begitu, Nana ber?
untung juga, ya," kata Kiki.
"Memangnya kenapa?" tanya Budiman.
"Bisa diapa-apain dong."
Budiman dan Sumarni berpandangan. Tidak nya?
man rasanya membicarakan hal seperti itu dengan
anak yang belum dewasa. "Jadi kalau anak perempuan aman, Pa?"
"Nggak juga. Ada yang sukanya sama anak pe?
rempu?an. Jadi baik anak lelaki, maupun anak perempu?
an harus waspada." "Oh, begitu. Jadi Fani mesti dikasih tahu juga dong.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu nanti dia..."
"Beres, Ki. Itu urusan kami. Pasti dia dikasih tahu."
"Jangan sampai dia keburu dibujuk-bujuk orang,"
kata Kiki. 253 "Ya, Ki. Tentu saja. Kami senang sekali kau bisa
berpikir dewasa." Budiman dan Sumarni sama-sama merangkul Kiki
dari kiri dan kanan. Seorang anak, seharusnya diberi
banyak nasihat dan petunjuk. Tapi seberapa banyak
pun, tetap saja tergantung pada si anak, bagaimana dia
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Bukankah
tak mungkin mengawal dan mengawasinya terusmenerus?
Ketika sudah berada di tempat tidurnya pun Kiki
masih merasakan kehangatan rangkulan kedua orang?
tua?nya. Wow! Belum pernah dia merasakan dirangkul
oleh dua orang itu sekaligus. Pertanda sayang, itu
sudah jelas. Pertanda cemas, itu pun jelas. Dia tentu
akan mengingatnya dalam setiap langkahnya nanti.
Tapi ia juga membayangkan si Tuan. Sosok itu
kelihatan perkasa, tampan dan gagah. Cocok untuk
men?jadi jagoan di dalam film. Bukan menjadi pen?
jahat. Susah memang untuk dipercaya. Kalau si botak
yang dulu membujuk-bujuk, itu cocok.
Ia menjadi penasaran. Barangkali untuk mengetahui
benar-tidaknya adalah dengan membuktikannya.
*** Esok Senin, Nana berangkat ke sekolah lebih pagi ka?
rena takut dihadang Imelda, biarpun kecil kemung?
kinan Imelda sudah bangun sepagi itu.
Ia diantar Sukri ke pintu karena Sukri akan segera
mengunci pintu kembali setelah Nana pergi. Pintu
Isi-Warisan.indd 254 254 Isi-Warisan.indd 255 gerbang tidak boleh dibiarkan tidak terkunci hingga
orang dari luar bisa membukanya.
Tiba-tiba mereka mendengar seruan, "Na! Sini!"
Bapak dan anak itu terkejut. Tidak menyangka
Tuan sudah duduk di teras sepagi itu. Dia sedang me?
nyeruput kopi. Baru kali itu Nana melihatnya berada
di situ pada saat ia berangkat ke sekolah. Biasanya
teras itu selalu sepi. Nana mendekat. "Ya, Tuan?" katanya hormat.
"Nanti di sekolah kalau ketemu Kiki, bilang aku
pengin ketemu, ya. Pulang bareng dia, kan? Ajak ke
sini." "Ya, Tuan," sahut Nana tak bisa lain.
Kemudian ia membungkuk untuk pamit pergi.
Sukri mengantarkannya lalu buru-buru kembali untuk
menjumpai Tuan. Kesempatan seperti itu jarang ia
temui. Biasanya ia bertemu dengan Tuan hanya kalau
dipanggil untuk disuruh ini-itu atau pada saat Tuan
akan pergi atau pulang. Biasanya Nyonya hadir di
dekat Tuan. Ia justru ingin menghindari Nyonya pada
saat itu. Sukri nyaris kehilangan kesempatan itu karena
Tuan sudah berdiri sambil membawa cangkir kopinya.
Rupanya ia hanya berada di situ untuk menunggui
Nana. Sukri menduga Tuan sengaja bicara di situ
supaya tidak kedengaran oleh Nyonya.
"Tuan!" panggil Sukri.
"Ada apa?" Tuan menoleh dengan wajah masam. Sukri merasa
nyalinya ciut. Beda sekali ekspresi Tuan saat bicara
dengan Nana tadi. Tapi ia memantapkan hati.
255 "Tuan, saya mau bicara sebentar. Saya... saya mau
berhenti kerja, Tuan."
"Apa?" Suara Tuan menggelegar seperti guntur di siang
hari. Anehnya, nyali Sukri bukan tambah ciut. Justu
malah membesar lagi. "Saya mau berhenti, Tuan. Mau pulang kampung
saja." "Kenapa?" "Mau jadi petani, Tuan."
"Huh! Bohong! Masa mendadak begini!"
"Nggak mendadak, Tuan. Saya sudah mikir lama.
Kebetulan kemarin, kata Nana, Nyonya mengusirnya.
Jadi saya pikir kami sudah nggak disukai lagi."
Ternyata kalau sudah bicara, jadi lancar saja, pikir
Sukri. Semakin lama ia jadi semakin percaya diri.
"Oh, gara-gara Nyonya? Kamu dari dulu kan sudah
tahu sifat Nyonya seperti itu? Ngomongnya suka
sembarangan. Hari ini dia pasti sudah lupa apa yang
diucapkan kemarin." Sukri tak menyahut. Tak mau mengomentari soal
Nyonya. "Kalau kamu berhenti, sekolah Nana gimana?"
"Bisa diteruskan di kampung. Kalau SD banyak."
"Enak aja kamu, ya! Sudah kerja lama di sini,
tahu-tahu mau berhenti. Terus siapa yang gantiin kamu
nanti? Di mana-mana orang kerja itu nggak bisa se?
enaknya berhenti." "Saya sudah tanya-tanya, Tuan. Bi Entin mau
menggantikan saya. Dia bisa tinggal di sini membawa
keluarganya, yang bisa disuruh kerja juga."
Isi-Warisan.indd 256 256 Isi-Warisan.indd 257 "Bi Entin? Si koki?"
"Betul, Tuan." "Ala, daripada kamu jadi petani yang pendapatan?
nya gurem, mending tetap di sini. Nanti gajimu aku
naik?kan. Gimana?" "Maaf, Tuan. Saya sudah mantap."
Tuan mengibaskan tangannya. Lalu tanpa berkata
apa-apa ia masuk ke dalam meninggalkan Sukri yang
sebenarnya mengharapkan kepastian.
Beberapa saat lamanya Sukri masih saja berdiri di
teras, berharap Tuan akan keluar. Atau Nyonya yang
keluar. Tapi sepi-sepi saja. Akhirnya ia kembali ke
tempatnya untuk melakukan pekerjaan rutinnya.
Biarlah. Yang penting ia sudah bicara.
Lalu Bi Entin datang bersama seorang pembantu
lagi, yang pekerjaannya mencuci, seterika, dan bersihbersih. Biasanya pagi-pagi Bi Entin diberi instruksi
masak apa hari itu dan kalau ada yang perlu dibeli,
dia belanja ke pasar. Bi Entin mendekati Sukri, bertanya pelan, "Gi?
mana, jadi?" "Udah ngomong sih tadi. Tapi belum ada kepasti?
an. Nanti ngomong lagi. Tapi kamu pasti mau, kan?"
"Uh, mau dong." Bi Entin mengangguk penuh se?
mangat. "Nah, bagus. Udah sana, masuk. Nanti diomeli."
Bi Entin tidak tahu ada kamera di teras. Tapi Sukri
tidak peduli. Apa salahnya berbicara dengan sesama
pem?bantu? Bila Tuan dan Nyonya sarapan, Sukri tidak di?
panggil ke dapur karena sudah ada Bi Entin yang
257 me?nyiapkan dan melayani. Jadi Sukri tidak punya
kesempatan untuk bicara lagi pagi itu.
Ketika Tuan pergi bersama Nyonya dan Imelda,
mereka tidak membicarakan hal itu. Mereka pergi
dengan mobil yang dikemudikan Tuan, lalu Sukri me?
nutup pintu gerbang kembali. Ia mengira Nyonya
belum diberitahu oleh Tuan, karena sikap Nyonya
seperti tidak ada apa-apa.
Perasaan Sukri tak terlalu risau. Ia yakin, mereka
tidak bisa melarangnya berhenti bekerja. Tidak ada
kontrak hitam di atas putih seperti orang kerja di per?
usahaan. Yang seperti itu baru berlaku nanti kalau ia
sudah bekerja di Sukabumi. Ah, ia serasa melayang
membayangkannya. Ia akan jadi pegawai sungguhan.
Nana pasti akan terjamin.
Yang membuat ia tegang hanyalah bagaimana
reaksi Nyonya nanti. Marah-marah sepertinya sudah
pasti. Tapi dengan cara apa? Apalagi yang menjadi
sasaran biasanya adalah Nana. Dia akan memberitahu
Nana supaya bersiap-siap menulikan telinga dan me?
nebalkan perasaan. Tak ada gunanya bersedih. Tak ada
gunanya menangis. Itu hanya merugikan diri sendiri.
Semakin mereka marah, semakin bulat tekad untuk
pergi. Dulu dan sekarang sudah berbeda.
Bagaimana kalau yang terjadi itu kebalikannya?
Mereka berbaik-baik dan membujuk? Tapi tentu akan
sama saja. Tidak ada gunanya. Tidak ada lagi perasaan
ter?sentuh bila mereka sampai berbuat seperti itu ka?
rena tahu benar bahwa itu cuma pura-pura. Seharusnya
berbaik-baik saja kepada orang-orang yang akan meng?
gantian, supaya mereka betah.
Isi-Warisan.indd 258 258 Isi-Warisan.indd 259 Sukri teringat pada pesan Tuan kepada Nana tadi
pagi sebelum berangkat ke sekolah, supaya menyuruh
Kembang Jelita Peruntuh 3 Wiro Sableng 010 Banjir Darah Di Tambun Tulang Pangeran Impian 1

Cari Blog Ini