Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 4
Kiki mampir. Bila demikian, gelagatnya Tuan akan
pulang lebih awal. Untuk apa ia menyuruh Kiki
mampir sepulang sekolah kalau pada saat itu ia sendiri
belum pulang? Hal itu pernah terjadi pada pertemuan
Tuan yang pertama dengan Kiki.
Ia berharap Kiki tidak memedulikan pesan itu.
Entah apakah Budiman sudah mengingatkan anaknya
atau belum. Ia sendiri tidak merasa berhak untuk me?
larang. Tempo hari saja ia sudah mengimbau supaya
Kiki jangan memedulikan Tuan. Tapi anak itu punya
kemauan sendiri. Kelihatannya Tuan memang menyukai anak itu.
Kiki memang anak yang tampan dan manis. Wajahnya
menarik dan menimbulkan rasa suka. Apalagi dia
periang. Tampaknya Nana suka kepadanya. Ah, Nana
seharusnya tidak menanam benih seperti itu. Belum
tentu Kiki suka juga pada Nana seperti halnya Nana
menyukai Kiki. Sukri berharap, perasaan Nana itu hanyalah sejenis
cinta monyet saja. Bila sudah dewasa dan bergaul
dengan lebih banyak orang, maka perasaan seperti itu
akan memudar dan kemudian lenyap. Apalagi nanti
mereka akan berjauhan. Baru saja selesai menyiapkan makan siangnya ber?
sama Nana nanti, ponselnya berbunyi. Telepon dari
Tuan yang mengabarkan ia sudah dekat rumah. Berarti
ia harus segera bersiap menunggu di muka pintu. Sam?
bil menunggu ia semakin menyadari adanya ketertarik?
an Tuan kepada Kiki. Itu sesuatu yang tidak biasa.
259 Sama sekali bukan kewajaran. Bulu romanya jadi
berdiri. Dulu di kampungnya pernah ada yang seperti itu.
Lelaki setengah umur memelihara banyak anak lelaki
di rumahnya. Kabar burung mengatakan, anak-anak itu
merupakan kekasihnya. Tapi anak-anak diperlakukan
baik, disekolahkan dan fisiknya sehat-sehat. Anehnya,
orang kampung tidak memasalahkan hal itu. Mungkin
karena anak-anak yang dipelihara itu berasal dari ke?
luarga miskin. Tapi masalah Tuan yang tampak seperti seorang
pemburu dengan buruannya, yaitu Kiki, yang tidak
me?ngerti apa-apa, benar-benar mengganggu perasaan?
nya. Apakah Tuan sudah senekat itu?
Dalam waktu yang singkat ia sempat mengirim
pesan kepada Nana. Biarpun saat itu jam sekolah dan
ponselnya dimatikan, nanti kalau pulang dan dihidup?
kan, maka pesannya bisa dibaca. Na, Tuan sdh mau
pulang. Kyknya akan menunggu Kiki. Bicarakan sama
Kiki. Bujuk dia supaya jangan mau ketemu Tuan.
Setelah mengirim pesan ia merasa lega. Selanjutnya
terserah pada Kiki, bagaimana ia akan bersikap. Me?
mang anak itu pintar. Tapi kadang-kadang orang tidak
boleh terlalu percaya diri.
Dengan heran Sukri mendapati Tuan pulang ber?
sama Imelda. Nyonya tidak ikut.
Setelah turun dari mobil, bapak dan anak itu lang?
sung masuk rumah tanpa mengajak Sukri bicara. Mem?
balas sapaanya pun tidak. Tapi bagi Sukri hal itu su?
dah biasa. Tak lama kemudian Tuan dan Imelda muncul lagi
Isi-Warisan.indd 260 260 Isi-Warisan.indd 261 di teras. Imelda membawa sepiring pisang goreng.
Tuan membawa dua botol minuman. Mereka duduk
lalu mulai makan dan minum sambil mengobrol dan
tertawa-tawa. Sukri bermaksud pergi dari halaman secara diamdiam, tapi kelihatan oleh Tuan yang segera memanggil?
nya. "Kri! Bilang sama Nana supaya si Kiki dibawa
kemari!" Sukri hanya mengangguk lalu pergi ke pavilyunnya.
Tiba-tiba ia merasa muak melihat kedua orang itu.
Lebih-lebih Tuan. Siapa dipikirnya Kiki itu hingga
bisa seenaknya dibawa ke situ? Apakah Kiki itu ba?
rang, bukan orang? *** Ketika bertemu, Nana memperlihatkan pesan Sukri di
ponselnya kepada Kiki. "Kenapa ya Tuan itu begitu suka sama kamu, Ki?
Dia pesan aku sampai berulang-ulang. Bukan cuma
dia, tapi Imelda juga. Dia lihat kamu di komputernya
Tuan." Kiki lantas bercerita tentang percakapannya dengan
ayah dan ibunya semalam. Nana terkejut. "Wah, bisa sampai segitu, Ki? Jadi
serem ngebayangin Tuan. Padahal kupikir dia lumayan
baik bila dibanding Nyonya. Tapi terus terang aja, Ki.
Mukanya sih cakep, tapi matanya tajam. Aku nggak
pernah berani menatap matanya. Aku pikir, ada saja
orang yang matanya kayak gitu. Di film kan banyak
261 tuh. Sorotnya gimana gitu. Aneh, ya. Nggak habis
pikir. Tapi... kalau cuma suka aja, emangnya kenapa,
Ki? Kan nggak apa-apa. Nggak sampai dimakan atau
gimana." Kiki menatap Nana seolah Nana anak kecil yang
belum tahu apa-apa. "Yuk, kita duduk dulu aja. Sebelum nanti ketemu
monster," kata Kiki. "Nanti aku jelasin."
Mereka duduk di tempat biasa. Nana sangat ingin
tahu. Kiki merasa bangga jadi orang yang lebih ber?
pengalaman dan berpengetahuan dibanding Nana.
Tunggu?lah sampai kau terkejut-kejut, pikirnya. Nanti
akan sama seperti dirinya sendiri dulu ketika pertama
kali diceritakan oleh teman-temannya. Begitu kagetnya
sampai sulit tidur. Dan sepertinya ada suatu pemaksa?
an yang membuat dirinya melihat dunia dengan cara
berbeda. Seperti bunga yang tadinya kuncup dipaksa
mekar. Ia melihat manusia dengan cara yang berbeda.
Ternyata seperti itulah manusia-manusia di sekitarnya.
Mereka tidak seperti apa yang dilihat. Mereka me?
nyimpan sesuatu yang tak disangka-sangka. Bisa me?
ngerikan. Menjijikkan. "Tapi kamu harus siap-siap, Na. Ceritaku bisa me?
ngagetkan kamu. Bisa pingsan kalau kamu nggak
siap," kata Kiki, yang merasa khawatir juga kalaukalau terjadi sesuatu pada Nana. Anak perempuan bisa
berbeda reaksinya dibanding anak lelaki.
"Pingsan? Emangnya kenapa sih? Ah, kau mem?buat
aku jadi semakin ingin tahu. Wah, kalau kau nggak jadi
cerita sih, aku justru bisa mati penasaran."
Isi-Warisan.indd 262 262 Isi-Warisan.indd 263 "Bener, ya? Siap?"
"Ayo, cerita. Jangan buang waktu."
"Nggak apa-apa. Nanti bilang aja kita ada pelajaran
tambahan." "He he he..." Kiki memulai ceritanya dengan pengalaman ber?
temu dengan si Botak. "Aku tadinya nggak tahu apa-apa. Kukira itu orang
yang bermaksud menculik lalu menjual anak. Tapi ten?
tu?nya dia salah sasaran. Masa anak segede gini di?
bujuk kayak gitu. Kalau sampai dipaksa dan diringkus
tentu lain lagi. Lalu aku diceritain teman-teman kom?
plot?anku. Ternyata mereka itu banyak tahu, tapi nggak
pernah cerita. Si Doni dan si Hamdi misalnya. Wah,
ceritanya bikin bulu roma berdiri. Mereka bilang, ada
lelaki yang seperti serigala berbulu domba. Sukanya
sama anak lelaki apalagi yang cakep-cakep...." Kiki
nyengir memperlihatkan wajahnya yang tampan.
"Ayolah, Ki. Jangan melenceng...."
"Maksudnya supaya kau jangan terlalu tegang.
Lihat mukamu itu. Jidatmu sampai mengerut."
Nana tertawa. Kiki memang berhasil membuat dia
lebih santai. "Nanti anak-anak itu bukannya dimakan, Na. Tapi
di...sodomi," Kiki mengucapkannya dengan pelan, tapi
dekat ke telinga Nana. "Apa itu?" Kiki berpikir sejenak. Dulu dia dan teman-teman?
nya serba blak-blakan dalam bercerita karena sesama
lelaki. Dengan Nana tentunya berbeda. Perasaan pe?
rempuan lebih halus. 263 "Anak itu diperlakukan seperti... seperti istrinya.
Tahu nggak?" "Nggak tahu," Nana bingung.
"Kamu tahu nggak kalau suami-istri itu ngapa?
in?" "Tahu." "Tahu dari mana? Ortu?"
"Wah, nggaklah. Mama nggak pernah cerita soal
itu biarpun aku pernah nanya, kalau orang sampai
hamil itu kenapa sih? Katanya nanti ada saatnya kamu
akan tahu. Jadi aku tahunya dari teman."
"Nah, lelaki seperti itu memperlakukan anak kecil
seperti istrinya." Nana mengerutkan kening lalu tertawa.
"Ha ha ha! Mana mungkin?"
"Mungkin aja. Kan ada caranya."
"Gimana?" "Lewat... lewat anusnya," kata Kiki, kembali bicara
pelan dekat telinga Nana. Melihat wajah Nana yang
tampak masih bingung, Kiki menjelaskan lebih detail.
Dia merasa tak perlu malu-malu lagi mengatakannya,
karena merasa harus mengatakan supaya Nana me?
ngerti. Supaya Nana menjadi lebih pintar. Dan lebih
me?mahami orang lain. Apalagi dia tinggal bersama
orang yang dicurigai. Nana membekap mulut dengan tangan. Seperti
orang yang siap muntah. Kiki menatapnya dengan
khawatir. Kalau cuma muntah masih tidak apa-apa,
asal jangan pingsan. "Kau... kau baik-baik saja, Na? Tadi katanya udah
siap...." Isi-Warisan.indd 264 264 Isi-Warisan.indd 265 Nana menurunkan tangannya dari mulutnya lalu
menghirup napas dalam-dalam. Tampak wajahnya
agak memucat. ?Ya, nggak apa-apa, Ki. Tapi kaget aja."
"Emang cerita itu menjijikkan, bukan? Tapi aku
kan ceritanya bukan buat ha ha hi hi. Tapi ilmiah.
Supaya tahu. Kemarin ortu aja ceritanya juga takuttakut. Ternyata aku udah tahu duluan. Lebih pintar
kali. Ha ha-ha." "Memang menjijikkan. Tapi harus tahu ya, Ki.
Kalau nggak kita lihat orang itu baik-baik saja semua.
Tahunya nggak. Ada yang luarnya baik, tapi dalamnya
jahat. Benar-benar kayak pepatah, serigala berbulu
domba. Kok teman-temanmu itu banyak tahu, ya."
"Si Hamdi dan si Dono punya teman anak jalanan.
Anak-anak jalanan itu banyak sekali pengalaman
buruknya, Na. Katanya, semuanya udah pernah di?
gituin. Siapa coba yang mau bela?"
"Duh, kasihan ya."
Nana jadi merasa dirinya lebih beruntung.
"Kata temanku, jadi anak lelaki imut-imut itu
banyak yang ngincar. Memang sih dulu waktu masih
kecil, banyak yang suka belai-belai aku. Atau nyubit
gemas. Tapi biasanya sih ibu-ibu. Eh, emangnya aku
imut-imut?" Nana tertawa. "Ya. Tapi kamu pinter, Ki. Kamu
bisa mikir lebih baik. Eh, masih ada yang bikin aku
pe?nasaran. Apakah yang selalu diincar itu cuma anakanak lelaki?"
"Nggak. Ada juga yang sukanya anak perempuan.
Kadang-kadang dua-duanya."
265 "Idih. Kok gitu ya."
"Makanya si Tuan nggak pernah mengganggumu,
kan?" "Ya. Betul. Dulu aku pernah takut sama dia. Bapak
juga sering bilang, jangan dekat-dekat sama Tuan.
Tahunya kamu yang diincar. Itu sih gara-gara kamu
pasang muka di kamera."
"Aku kan nggak tahu juga kalau dia orangnya gitu.
Biarpun aku pernah diceritain, tapi sama sekali nggak
kepikir bahwa dia bisa begitu."
"Baik. Sekarang kita mesti gimana nih. Tadi kan
Tuan pesan aku supaya mengajakmu mampir. Bapak
barusan kirim SMS. Pasti sekarang dia udah di rumah.
Lagi nungguin. Ayo, mikir yang bener, Ki."
Sebenarnya Kiki merasa tidak perlu berpikir
panjang lagi. Sepanjang malam sebelum tidur ia sudah
memikirkannya. "Aku nggak mau menghindar, Na. Aku nggak takut
sama dia. Masa aku mesti jalan muter, bikin capek.
Aku pengin tahu juga. Dia maunya gimana sih. Se?
lama ini kita kan curiga aja sama dia. Tapi nggak ada
buktinya." Nana terkejut. "Aduh, kamu mau cari bukti? Nanti
kalau kamu keburu digituin, gimana?"
Sesudah berkata begitu, wajah Nana memerah. Dia
bicara spontan saja. Tapi Kiki tertawa ngakak. Ia membuat Nana se?
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makin tersipu. "Jadi kamu takut aku kenapa-kenapa, ya?"
"Iya dong. Apalagi ortumu sudah wanti-wanti
juga." Isi-Warisan.indd 266 266 Isi-Warisan.indd 267 Kiki berdiri, menepuk-nepuk pantatnya untuk mem?
bersihkan celananya dari debu. Nana juga berdiri,
me?lakukan hal yang sama.
"Hei, kau belum memutuskan. Jadi mampir apa,
nggak?" tanya Nana. "Jadi aja deh. Nanti kita lihat dia mau apa. Aku
nggak takut. Kan ada kamu dan Pak Sukri. Eh, ada
anaknya lagi. Masa dia berani macam-macam di depan
anaknya?" Nana sebenarnya tidak setuju. Dia lebih suka Kiki
menghindar saja. Kalau terus-terusan menghindar,
lama-lama Tuan juga akan capek mengejar. Nanti dia
akan sadar sendiri bahwa Kiki tidak mau sama dia.
Tapi ia tak bisa mencegah.
Mereka berjalan sambil berpegangan tangan. Tibatiba Nana merasa tangan Kiki dingin. Apakah Kiki
merasa tegang? 267 MELDA menunggu di luar pintu gerbang. Ia berdiri
setengah bersandar ke pintu. Kadang-kadang ia me?
regangkan tubuh dengan satu tangan berpegang ke kisi
pintu. Atau ia melompat-lompat kecil. Tapi tak pernah
melangkah jauh-jauh dari pintu. Tatapannya selalu
tertuju ke arah dari mana nanti Nana dan Kiki akan
muncul. Rambut panjangnya tergerai, berombak-ombak ke?
cil dan di bagian samping berpilin-pilin seperti spiral.
Kulitnya putih, wajah cantik dengan pipi halus ber?
semu kemerahan, hidung mancung yang mungil, dan
bibir merekah yang merah tanpa lipstik. Sepasang
mata yang jernih dan ceria. Bajunya kaos longgar
warna putih yang mengecil di pinggul dan celana
pendek ketat berwarna biru langit. Dengan penampilan
seperti itu dia kelihatan seperti bidadari yang tersasar
di bumi. Dalam usia menjelang empat belas, Imelda tampak
lebih dewasa tapi tetap menampilkan sikap kekanakIsi-Warisan.indd 268 268 Isi-Warisan.indd 269 kanakan. Usia yang berada di perbatasan, antara
kanak-kanak dan dewasa. Kemudian gerak-geriknya yang lincah itu terhenti.
Ia fokus memandang ke satu arah.
Di sana, Kiki dan Nana berjalan mendatangi. Tam?
pak langkah keduanya berhenti, tertegun menatap ke?
pada Imelda. Tangan keduanya masih berpegangan.
Tatapan Imelda tertuju dengan tajam kepada Kiki.
Lalu kepada tangan yang berpegangan itu. Tapi tidak
sekali pun ke arah Nana. Di sebelah sana, langkah Kiki dan Nana sempat
terhenti karena Kiki tersentak kaget melihat Imelda.
Matanya membelalak besar.
"Lala!" spontan kata itu terucap oleh Kiki. Tatapan
dan kenangan muncul berbarengan.
Nana terkejut melihat reaksi Kiki. Ia tidak me?
nyangka. Memang Imelda mengenakan baju Lala yang
longgar, tapi dia tidaklah sama persis dengan Lala.
Mereka bukanlah kembar. "Dia bukan Lala, Ki. Itu Imelda, kakaknya. Kan
sudah aku ceritakan," kata Nana.
Tapi penjelasan Nana itu seolah angin bagi Kiki.
Dia teringat kepada perjumpaannya dengan Lala yang
singkat itu. Lala yang kemudian dirindukannya dan
membuatnya sakit. "Lala," kata Kiki lagi. Bantahan bagi Nana dan
juga pikirannya sendiri. "Bukan. Itu Imel. Lala sudah meninggal, Ki."
Nana cemas melihat ekspresi Kiki yang seolah
terpesona dan mata tersihir. Ia nekat mencubit lengan
Kiki. Barulah Kiki terkejut dan sadar.
269 "Oh, iya. Bukan," gumam Kiki dengan malu.
"Biar mirip tapi beda, Ki."
"Ya, ya." Ketika berjalan lagi, Nana merasa langkah Kiki
lebih cepat daripada sebelumnya. Dan tangannya tak
lagi dipegang. Imelda mengulurkan tangan lebih dulu.
"Imelda," katanya disertai senyum yang manis.
"Kiki," sambut Kiki tersipu. Ia sudah sadar sepe?nuh?
nya bahwa yang dihadapinya ini memang bukan Lala.
Tapi ia tidak menyangka bisa melihat Imelda be?gitu
cepat. Dia seperti tiba-tiba saja ada dari ketiadaan.
"Masuk dulu, ya. Itu Papa pengin ketemu," kata
Imelda. "Sini, Ki!" seru Tuan dari teras.
Tiba-tiba Nana menyadari, bahwa Imelda disuruh
Tuan untuk membujuk Kiki. Ia merasa muak tapi juga
tak berdaya. Ia pun merasa terlupakan. Ketika Kiki
dan Imelda berjalan bersisian, ia mundur lalu berbelok
ke arah yang berbeda, ke tempat tinggalnya sendiri.
Sukri menyambut mereka. Ia tak mengatakan apaapa, tapi menatap prihatin kepada Nana. Sebenarnya
ia ingin menyusul Nana, tapi sadar tak bisa meninggal?
kan posnya sebelum Kiki pergi. Meskipun Imelda bisa
saja mengunci pintu, tapi anak itu tak mungkin bisa
diandalkan. Jadi ia pura-pura saja menata tanaman
yang sebenarnya tak perlu lagi ditata. Ia bisa sekalian
memata-matai kegiatan di teras.
"Na!" seru Kiki kepada Nana, tapi Nana tak me?
noleh. Ia terus saja melangkah cepat-cepat, lalu tak
ke?lihatan lagi. Isi-Warisan.indd 270 270 Isi-Warisan.indd 271 Imelda menarik tangan Kiki, terus ke teras tempat
ayahnya berada. Tuan bangkit berdiri, menarik kursi
di sebelahnya. "Ayo, duduk sini, Ki. Kita ngobrol sebentar saja."
Kiki malah menarik kursi yang lain, yang berjarak
satu kursi dari Tuan. Imelda duduk di sebelahnya. Dia
di antara Kiki dan ayahnya.
Tuan menyodorkan piring pisang goreng kepada
Kiki. "Cobain, Ki. Enak deh...."
Kiki menatap sejenak kepada pisang goreng yang
tampak renyah itu. Memang kelihatannya enak.
Tambah?an pula ia sedang lapar. Tapi tiba-tiba teringat
kepada cerita Nana bagaimana dia dan ayahnya selalu
membuang makanan yang diberikan karena takut di?
racuni. Jadi laparnya terlupakan. Ia menggeleng.
"Terima kasih, Om."
"Ah, kamu pasti malu-malu," kata Imelda. "Ayo?
lah." Imelda mengangkat piring lalu menyodorkannya ke
depan Kiki. Dekat sekali. Tak bisa lain, Kiki mene?
rima piring tapi meletakkannya lagi di meja.
"Mau minum saja, Ki? Minum yang dingin pasti
enak saat panas begini. Mana tuh si Nana. Naaa...!"
teriak Tuan. Sukri menghampiri. "Ada apa, Tuan? Biar saya saja."
Tuan mengawasi Sukri sejenak. "Waduh, tanganmu
kotor gitu." "Nanti saya cuci."
271 "Ya. Cuci dulu. Terus ambil di kulkas minuman
dingin yang di botol buat Kiki...."
"Iya, Tuan." Kiki merasa tidak tahan. Ia segera berdiri.
"Jangan. Nggak usah, Pak. Saya mau pulang saja,
Om. Kalau pulang telat, nanti saya dimarahi Mama."
Sukri menyembunyikan senyumnya. Ia segera kem?
bali ke tempat semula. Bagus begitu, Ki, kata hati?
nya. Tuan juga berdiri. Demikian pula Imelda.
"Nanti mampir lagi, ya Ki. Padahal kamu baru
aja duduk, belum sempat ngobrol apa-apa," kata
Imelda. Kiki tidak berani menatap wajah Imelda. Entah
kenapa muncul kekhawatiran kalau-kalau ia kembali
me?lihat Lala. Tiba-tiba ia terkejut karena Tuan sudah
berdiri dekat sekali, bahkan meletakkan tangannya di
pundaknya. Tangan itu dirasanya meremas-remas. Ia
me?rinding. Lalu menyentakkan tubuhnya untuk men?
jauh. "Pulang, ya," seru Kiki sambil berlari menuju pin?
tu. Di sana Sukri sudah siap mementangkan pintu.
"Bilangin Nana ya, Pak," kata Kiki, menyelinap di
samping Sukri dan terus berlari kencang.
Gerak cepat Kiki itu membuat Imelda dan ayahnya
tertegun tak menyangka. Imelda yang tadinya mau
me?ngejar tak punya kesempatan. Apalagi Sukri sudah
buru-buru menutup pintu dan menguncinya begitu
Kiki menyelinap keluar. "Besok aku tunggu dia lagi," kata Imelda. Lalu ia
memandang ayahnya karena mendengar bunyi aneh
Isi-Warisan.indd 272 272 Isi-Warisan.indd 273 dari mulut ayahnya. Ada desis-desis dan desah-desah
yang aneh. Ia terkejut. Wajah Tuan seperti orang kedinginan yang mem?
butuhkan selimut tebal. Kedua tangannya gemetar.
"Paaa...! Kenapa?" teriak Imelda.
Sukri mendengar teriakan itu. Ia bergegas men?
dekati. Ia pun sempat melihat apa yang terjadi.
"Tuan sakit?" tanyanya.
Tapi Tuan menghambur lari ke dalam, diikuti
Imelda. Sukri tidak berani ikut masuk. Ia berdiri saja
ke?bingungan. Lalu memutuskan untuk pulang ke pavi?
lyunnya menemui Nana untuk makan siang bersama.
Di kamarnya, David naik ke tempat tidur lalu mem?
bolak-balikkan badannya dengan gelisah.
"Mel, ambilin obat!" serunya.
"Di mana, Pa?" "Tuh di meja rias Mama. Sama air putih di kulkas,
ya," kata David dengan suara parau.
Imelda cepat menemukan apa yang dicari. Ia meng?
ambil satu kapsul dari dalam botol berikut air putih di
dalam gelas. David segera meneguknya.
"Telepon Mama ya, Pa?"
"Jangan. Sebentar lagi juga baik. Tunggu aja."
Efek obat itu memang luar biasa. Beberapa menit
kemudian David sudah menjadi lebih tenang. Sesudah
itu semua gejala yang tadi diperlihatkannya hilang
lenyap. Ia sudah menjadi biasa lagi.
"Aduh, Papa. Apakah itu serangan ayan?" tanya
Imelda, lega. David tidak menjawab. Ia mengibaskan tangannya,
menyuruh pergi. Imelda cepat berlari. Senang bisa per?
273 gi, daripada harus menemani ayahnya. Ia akan mencari
Nana karena tak punya teman lain.
Sementara itu David segera membuka komputernya.
Tak lama kemudian wajah Kiki muncul di layar. Tan?
pa ada orang lain yang memperhatikan David bisa
be?bas berekspresi. Matanya berkejap-kejap dengan so?
rot kerinduan. Mulutnya berdesah. Tangannya me?
ngepal dan membuka. Barusan tangannya menyentuh
pundak Kiki dan meremasnya. Duh... dalam satu
rengkuhan anak itu bisa jatuh ke dalam pelukannya
lalu ia bisa melumatnya habis. Tapi ternyata tak bisa.
Dia lari. Ia mengamati Kiki yang tersenyum dan tertawa.
Dekik di pipinya begitu menawan. Tampan sekali. Ia
jadi ingin menangis rasanya. Tak terasa ujung mulut?
nya meneteskan air. Sekarang gairahnya jelas tak setinggi tadi, ketika
ber?dekatan dan bersentuhan. Berkat obat penekan
libido yang dimakannya tadi. Ia harus berterima kasih
kepada Linda yang rajin mengingatkannya untuk
selalu makan obat itu. Tapi kadang-kadang ia tak
meng?inginkannya. Itu adalah saat ketika ia ingin me?
muaskan diri dengan keinginan yang hanya bisa di?
lampiaskan di dalam hati. Tak ada salahnya kalau ia
hanya memandangi seperti sekarang ini lalu meng?
khayal sendiri. Beda dengan tadi ketika ia begitu de?
kat, bahkan menyentuhnya. Uh, sudah lama sekali...
Sepertinya Kiki sulit dijangkau. Apakah sebaiknya
ia menghapus saja keinginan itu? Ia teringat kepada
Nana. Kedua anak itu kelihatannya akrab. Apakah
anak seusia itu sudah bisa berpacaran?
Isi-Warisan.indd 274 274 Isi-Warisan.indd 275 Tiba-tiba ia melihat Nana sebagai penghalang.
*** Kiki tiba di rumahnya dengan napas memburu. Tadi
ia lari begitu kencang seolah dikejar. Bahkan
menyeberang jalan tanpa teliti melihat kiri-kanan.
"Ada apa, Ki?" tanya Sumarni heran.
Fani yang sudah tiba di rumah karena berjalan
lebih dulu bersama kelompoknya juga mengamati
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiki. Percuma Kiki berusaha untuk bersikap biasa,
tapi ia tetap kelihatan lain.
"Mukamu merah," kata Sumarni sambil meletakkan
punggung tangannya di dahi Kiki. Jangan-jangan de?
mam. Tapi rasanya biasa-biasa saja.
Kiki menjatuhkan pantatnya di kursi. Mengatur
napas?nya dulu. "Ambilkan minum, Fan," kata Sumarni.
Fani berlari ke dalam dan segera keluar lagi mem?
bawa segelas air putih. Ia buru-buru supaya tidak ke?
tinggalan cerita. Kiki meneguk minumnya. Fani duduk di sebelah?
nya, mengamati kakaknya dengan tidak sabar.
"Kalau sudah lapar, makan dulu, Ki. Fani juga be?
lum makan. Nanti ceritanya sesudah makan."
Kiki menggeleng. "Tadi mampir di sana...." Kiki menunjuk arah jalan
Kencana. "Abis dicegat sama kakaknya Lala."
"Kakaknya Lala? Yang tinggal di Belanda itu?"
tanya Sumarni. "Iya. Ada bapaknya juga, Om si Tuan itu."
275 Sumarni mengerutkan kening. Tegang.
"Terus?" "Terus aku diajak ikut duduk di teras. Ditawari
pisang goreng. Aku nggak mau. Terus mau diambilin
minuman. Dia mau nyuruh Nana, tapi Nana sudah
ma?suk ke rumahnya. Jadi dia panggil Pak Sukri. Aku
nggak mau, terus aku pamit. Aku lari pulang."
"Emangnya kamu dikejar?" tanya Fani.
"Sebelum dikejar, lari duluan," sahut Kiki dengan
gaya kocak. "Bilang apa si Tuan?"
"Nggak sempat ngomong apa-apa, Ma."
Kiki tak ingin bercerita perihal pundaknya yang
diremas Tuan kepada ibunya. Mungkin kepada ayah?
nya saja. Tapi, perlukah yang itu diceritakan? Ia akan
memikirkannya dulu. Tanpa disadarinya, ibunya menatapnya mempelajari.
Sebenarnya Sumarni ingin menanyai lebih detail, tapi
kehadiran Fani mencegahnya berbuat begitu. Kalau
memang tak ada apa-apa, kenapa Kiki harus berlari
dan mukanya sampai menjadi merah?
*** Imelda melongokkan kepalanya ke dalam pavilyun di
sayap kanan, kediaman Nana dan Sukri. Ia tak melihat
siapa-siapa di ruang depan lalu masuk terus ke dalam.
Ia mendengar suara-suara. Langkahnya jadi berindapindap.
Rupanya suara-suara itu dari ruang makan. Ia tahu
Isi-Warisan.indd 276 276 Isi-Warisan.indd 277 betul situasi di tempat itu karena dulu semasa masih
ada Lala ia sering ikut bermain di situ. Tapi ketika itu
ia masih kecil. Ia selalu menganggap setahun yang
lalu itu seolah lama sekali. Ia pun tidak menganggap
perbuatannya masuk diam-diam seperti itu sebagai
suatu kelancangan. Bukankah itu rumah ayahnya, ber?
arti rumahnya juga? Nana dan Sukri cuma menumpang
di situ. Jadi ia berhak keluar-masuk sesukanya. Siapa
suruh tidak menutup pintu?
Imelda mendengarkan. Kedengaran suara Nana.
"Bapak mesti tegaskan lagi niat kita untuk ber?
henti. Jangan nanti dia pura-pura nggak dengar."
"Ya, tentu saja. Nanti Bapak mau ngomong sama
Nyonya juga." "Sekalian kepastiannya, Pak. Kan udah jelas Bi
Entin mau menggantikan kita."
"Kamu pengin cepat, ya? Hari Sabtu ini juga?"
"Iya dong. Lebih cepat lebih baik."
"Ya, ya. Aku pikir juga begitu. Tapi kalau nanti
kamu tinggal di rumah Kiki, baik-baik ya. Jangan
anggap rumah sendiri, terus bisa seenaknya...."
"Tentu saja nggak, Pak. Aku akan membantu di
situ apa saja yang bisa kukerjakan. Kan mereka nggak
pu?nya pembantu. Aku udah terbiasa menganggap diri?
ku sebagai pembantu kok."
"Ini untuk sementara aja, Na. Sekarang kita pem?
bantu, tapi besok nggak lagi."
"Ah, nggak apa-apa, Pak. Pembantu itu kan kerja
halal...." Imelda tak terlalu menyimak lagi pembicaraan be?
rikut karena ia sudah terkejut oleh informasi yang di?
277 dengarnya. Nana akan tinggal di rumah Kiki? Bagi?
nya, info itu sudah cukup.
Ia berlari ke luar sebelum orang-orang di dalam me?
nyadari kehadirannya. Padahal tadinya ia ingin meng?
ajak Nana berbincang, mungkin dengan cara baik-baik
supaya ia bisa mengetahui lebih banyak me?ngenai Kiki.
Kalau perlu ia akan membaik-baiki Nana. Tapi sekarang
tidak perlu lagi. Karena terburu-buru ia kesandung kursi, hingga
kursi itu jatuh terbalik.
"Siapa?" Suara Sukri terdengar keras. Imelda berlari tanpa
me?noleh, terus ke rumah utama. Begitu menginjak
teras ia menoleh. Tidak ada siapa-siapa di belakang?
nya. Sukri atau Nana tidak kelihatan keluar. Ia me?
rasa lega, lalu masuk ke ruang dalam, dan duduk di
sofa untuk menghilangkan ketegangannya. Ah, se?ha?
rus?nya ia tidak perlu lari kalau ia menganggap ke?
hadir?annya di kediaman Nana bukan sebagai ke?
lancang?an. Ia membaringkan tubuhnya di sofa. Sebulan di
Jakarta kalau hanya sendirian seperti itu pasti akan
mem??bosankan. Lebih baik ia tidak pulang saja. Bagi?
nya ada dua istilah pulang, ke Jakarta atau ke
Amsterdam. Dua-duanya rumah. Lebih baik ia meng?
habis?kan liburannya di sana saja. Ada banyak teman?
nya yang bisa diajak main. Tapi om dan tantenya
me?ngatakan, bahwa papa dan mamanya perlu juga di?
temani karena bagaimanapun dia tetap anak mereka.
Jadi pulang ke Jakarta baginya adalah keharusan. Tapi
ia tidak mau berterus terang mengatakan, bahwa ia
Isi-Warisan.indd 278 278 Isi-Warisan.indd 279 lebih sayang kepada Om dan Tante daripada Papa dan
Mama. Nanti keduanya akan besar kepala.
Ia juga terkenang kepada Ben, cowoknya yang
terakhir. Ben juga tampan, tapi masih kalah dibanding
Kiki. Ia putus dengan Ben karena ketahuan bahwa
B?en suka mengisap ganja. Om dan tantenya marah
se?kali kepadanya dan mencurigainya suka ikut-ikutan
mengisap ganja juga. Padahal tidak. Sebenarnya ia
pernah mencoba, tapi tidak tahan.
Imelda sangat sadar akan kecantikannya. Bukan ha?
nya karena melihat diri sendiri di cermin, tapi dari sikap
dan perlakuan orang-orang sekitarnya. Ketika Lala
masih ada, ia sudah menyadari bahwa Lala kelak akan
menjadi saingannya. Mereka, dua bersaudara, yang sama
cantik. Apakah dia akan bersaing dengan Lala? Seperti?
nya sudah terbayang bagaimana mereka bisa saja mem?
perebutkan cowok yang sama-sama disukai. Tapi ke?
mudian Lala meninggal. Ia tidak tahu, apakah itu suatu
musibah atau kemujuran. Jauh-jauh hari seorang saingan
atau calon saingan sudah tersingkir.
Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman. Ia duduk dan
ber?putar hingga pandangannya jatuh pada dinding di
belakang sofa. Ia baru ingat, bahwa di situ semula ada
pintu yang menuju ke ruang bawah tanah. Tapi se?
karang pintu itu sudah tak ada lagi. Pintu sudah men?
jadi dinding. Tak ada lagi akses ke bawah. Kenapa
di?hilangkan? Bukankah di bawah sana banyak terdapat
barang? Apakah sudah dibuang?
Pikiran kepada Kiki tersingkir untuk sementara. Ia
teringat, dulu pernah turun ke bawah bersama Lala
dan Nana. Lala yang mengambil kuncinya secara
279 diam-diam. Ketika itu kedua orangtuanya sedang
pergi. Sukri dan Bi Ani sedang sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Pembantu lain sudah pulang.
Karena bertiga, mereka tidak merasa takut meski?
pun sudah diingatkan oleh ayahnya untuk tidak pernah
mencoba turun ke sana, karena di bawah ada setannya.
Ketika itu mereka tidak percaya. Pasti itu hanya untuk
me?nakut-nakuti. Kalau di situ ada setan, pasti se?
waktu-waktu setannya bisa keluar dan gentayangan di
dalam rumah, padahal tidak pernah ada apa-apa. Bu?
kan??kah setan tidak bisa dikuncikan pintu karena dia
bisa menembus dinding? Di dalam ruangan itu suasananya memang tidak
nyaman. Biarpun lampu sudah dinyalakan, tetap saja
temaram. Malah jadi menghasilkan bayang-bayang.
Baru turun setengah tangga saja, ia sudah ingin keluar.
Tapi karena Lala dan Nana terus turun, ia ikut juga.
Ia tidak ingin ketinggalan.
Di situ banyak sarang labah-labah, berikut labahlabahnya juga. Ada yang besar, ada yang kecil. Tapi
ia tidak takut kepada labah-labah dibanding kecoa dan
tikus. Yang tidak menyenangkan adalah sarangnya,
karena menyangkut di muka dan kepala.
Banyak barang rongsokan yang tidak jelas bentuk?
nya. Ia tak berani menyentuhnya, karena dalam sua?
sana temaram pun kelihatan debunya yang tebal. Pada
saat mengamati ia selalu menempel pada dua anak
yang lain. Tak mau berjauhan. Kelihatan yang paling
berani adalah Lala. Dia selalu yang berinisiatif, pergi
ke sudut sini dan sana, sementara dua lainnya meng?
ikuti saja. Isi-Warisan.indd 280 280 Isi-Warisan.indd 281 Ketika Lala menuju ke sudut di bawah tangga,
tempat yang paling gelap karena jauh dari lampu,
kedua anak lain menetap di tempatnya. Kaki mereka
seperti tak mau disuruh berjalan.
"Ah, ngapain lagi ke situ, La?" tanya Nana. "Udah?
an ah, kita naik aja."
Ia juga sepakat. Tak ada lagi yang menarik. Yang
pen?ting keingintahuan sudah terpuaskan. Tapi Lala
kelihatan kukuh pada keinginannya, menuju ke bawah
tangga. Memang tak gelap benar, masih kelihatan
sosok benda-benda. Bila mata sudah terbiasa, terlihat
sebuah peti yang bentuknya panjang.
"Apa itu, ya?" kata Lala.
"Nggak mau, ah. Mau naik aja," seru Nana. Tanpa
me?nunggu komentar dari Lala, Nana bergegas menaiki
tangga. Imelda bingung sebentar, mau ikut Lala atau Nana.
Akhirnya ia memilih ikut Nana, naik ke atas.
"Ayo, buruan, La. Nanti keburu pada pulang...."
"Pergi sana. Naik dulu," kata Lala, tak peduli.
Imelda mengagumi keberanian Lala, tapi ia juga
tak menyukai hal itu. Masa Lala yang umurnya lebih
muda darinya malah lebih berani? Tapi keberanian tak
bisa dipaksakan. Akhirnya ia keluar juga menyusul
Nana, yang sudah lebih dulu berada di ruangan.
Mereka berdua duduk di sofa menunggu keluarnya
Lala. Sepertinya lama juga sampai terdengar pekikan.
Ke?duanya terkejut dan saling pandang. Wah, kenapa
Lala? Apa mereka harus turun untuk menolong? Akhir?
nya Nana bangkit lebih dulu. Pintu ke ruang bawah
di?biarkan terpentang. Imelda mengikuti di belakangnya,
281 ingin tahu juga apa yang membuat Lala memekik.
Tapi, belum sempat Nana menuruni tangga, ia sudah
ber?papasan dengan Lala. Lala setengah mendorongnya kemudian buru-buru
me?ngunci pintu. "Ada apa sih, La?" tanya Nana dan Imelda berba?
reng?an. "Taruh kunci dulu," kata Lala. Lalu berlari ke da?
lam, ke tempat di mana ia mengambil kunci yang di?
sembunyikan. Agak lama ia menghilang. Nana dan
Imelda pergi mencarinya. Ternyata Lala sedang duduk
termangu di kursi ruang makan. Sebuah gelas berisi
air putih berada di atas meja di depannya.
Kedua anak mengamati Lala yang tampak seperti
ke?hilangan semangat. Wajahnya yang putih sepertinya
tambah putih karena semu merahnya lenyap. Dia pu?
cat. Nana memeluk Lala. "Kamu kenapa, La?"
"Iya. Kamu kenapa sih?" Imelda juga penasaran.
"Nggak apa-apa," kata Lala.
"Lalu tadi menjerit, kenapa?" tanya Nana.
"Aku tadi kaget saja. Habis ditinggalin sendiri?an."
"Kan sudah diajak tadi, La. Kamu bilang nanti
dulu." "Ya sudah, nggak apa-apa."
Kedua anak tidak memercayai ucapan Lala. Seka?
rang, Imelda mengingatnya kembali. Sampai kematian?
nya, Lala tak pernah mau mengatakan kepadanya ke?
napa dia menjerit saat ditinggalkan sendiri di ruang
ba?wah tanah. Apakah Lala mau bercerita kepada
Isi-Warisan.indd 282 282 Isi-Warisan.indd 283 Nana? Imelda tidak akan tahu karena dia harus pergi
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ke rumahnya yang kedua.
Sekarang, tiba-tiba saja ia menjadi penasaran. Ah,
seharusnya ia berbaik-baik kepada Nana supaya Nana
mau bercerita. Ia menyesal karena semalam telah mem?
perlakukan Nana seburuk itu. Padahal dulu Nana juga
teman mainnya. Tapi ibunya menyuruhnya berbuat be?
gitu. Dan rasanya memang nyaman, bertingkah seperti
nyonya besar. Ia sendiri pun tidak menyukai Nana
karena Lala lebih dekat dengan Nana. Lala selalu
membela Nana kalau dimarahi ibunya. Bahkan Lala
rela membantu Nana bila diberi pekerjaan. Mereka
berdua tampak begitu akrab, hingga ia selalu merasa
jadi orang ketiga yang tidak dikehendaki.
Tapi sekarang Lala sudah tidak ada. Ia sendiri
tidak ingin mengganti posisi Lala. Dia adalah dirinya
sendiri. Akrab dengan Nana bukan suatu keuntungan
baginya. Apalagi Nana hanya seorang pembantu yang
juga tidak disukai ibunya.
Ketika sambil menangis ibunya berulang-ulang
menyebut bahwa seharusnya yang mati itu adalah Nana,
bukan Lala, ia juga sependapat. Kenapa harus Lala yang
makan ikan beracun itu, dan bukan Nana, pada?hal
makanan itu diperuntukkan bagi keluarga Nana?
Sampai sekarang pun ibunya masih suka menyesali
peristiwa "kesalahan" itu dan ia mengiyakan saja. Ia
senang ibunya tidak suka pada Nana. Padahal ia sem?
pat khawatir bahwa selama masa kehilangan Lala
lambat-laun ibunya akan menyukai Nana. Bila hal itu
terjadi bukankah ia akan tersisih? Untunglah hal itu
tidak terjadi. 283 Kemudian muncul Kiki. Ia suka kepada Kiki, tapi
Kiki kelihatannya suka kepada Nana. Padahal ia yakin
dirinya jauh lebih cantik daripada Nana. Siapa pula
Nana itu, sudah jelek, miskin, dan statusnya juga se?
orang pembantu. Barangkali karena dia dan Kiki baru
saja berkenalan. Ataukah Nana bicara jelek tentang
dirinya sebelum bertemu tadi?
Imelda berpikir keras. Ia harus berbuat sesuatu
sebelum mati kesal. Tatapannya terus tertuju ke din?
ding di bagian pintu yang hilang. Ia akan menanyakan
soal itu kepada ayahnya nanti. Lalu ia tersenyum ka?
rena mendapat ide yang dirasanya cukup bagus.
Ia berlari masuk menuju kamar ayahnya.
Pintu terbuka lebar. Ia masuk pelan-pelan. Ayahnya
sedang menghadapi komputer. David tak segera me?
lihat putrinya karena perhatiannya begitu intens tertuju
ke layar monitornya. Imelda segera melihat apa yang
tampak di layar. Kiki! "Pa!" David terkejut. Spontan tangannya bergerak ke
keyboard. "Jangan dimatiin, Pa! Mau lihat dong. Ayo," desak
Imelda. Terpaksa David berbagi dengan Imelda.
"Cakep ya, Pa? Eh, Papa kok senang amat sih
sama dia?" David mengamati wajah Imelda. Wajah belia yang
menampakkan ketidaktahuannya.
"Yah, itu karena aku ingin punya anak lelaki, Mel.
Bukankah dia cocok jadi anakku?"
"Ah, Papa. Emangnya dia bisa diambil? Dia kan
Isi-Warisan.indd 284 284 Isi-Warisan.indd 285 anak orang." Imelda terkikik. Tapi ia merasa alasan
yang dikemukakan ayahnya itu wajar-wajar saja.
David tertawa juga. "Tapi kamu jangan bilang-bilang Mama, ya."
"Soal apa, Pa? Papa suka sama Kiki atau Papa sa?
kit tadi itu?" "Dua-duanya dong. Tahu sendiri Mama itu ce?
rewetnya kayak apa."
Mereka tertawa bersama, sepakat akan hal itu.
"Eh, Pa. Ada yang mau aku kasih tahu. Tadi aku
sem?pat nguping di sebelah. Emangnya mereka mau
pergi, ya?" "Iya. Katanya mau berhenti."
"Tapi si Nana katanya mau tinggal di rumah
Kiki." "Apa?" seru David keras hingga Imelda tersentak.
"Duh, Papa. Pelan-pelan dong. Kupingku bisa
budek. Iya, aku dengarnya begitu, Pa."
"Wah, masa sih mereka mau kerja di rumah Kiki.
Emangnya orangtua Kiki kaya?"
"Nggak tahu, Pa. Tinggalnya di mana sih?"
"Katanya di Jalan Belimbing. Itu perumahan biasa.
Beda sama kita. Mana ada tamannya? Si Sukri sih
bilang?nya mau pulang kampung. Mau jadi petani."
"Coba nanti tanya lagi, Pa."
"Tentu saja mesti ditanya. Si Sukri juga mesti
ngomong lagi." "Tanya sekarang, Pa. Mumpung Mama belum pu?
lang." "Kamu aja yang nanya sama si Nana."
"Males." 285 "Kalau gitu nanti sajalah. Papa mau pergi lagi.
Jemput Mama di kantor. Kamu mau ikut?"
"Nggak, ah. Tunggu dulu, Pa. Ada lagi yang mau
kutanyakan." David sudah tak sabar. Tapi ia tak mau mengasari
Imelda. "Tanya apa lagi? Ayo cepetan."
"Itu pintu ke ruang bawah tanah kok ilang sih,
Pa?" "Bukannya ilang, memang dibuang."
"Kenapa? Kan jadi nggak bisa turun ke bawah
lagi. Barang-barang di bawah bagaimana?"
Kembali David mengamati wajah Imelda dengan
tatap curiga. "Emangnya kamu pernah turun ke situ?"
Imelda tersentak kaget, ingat bahwa dulu anak-anak
dilarang turun ke ruang bawah tanah hingga pintu?nya
selalu dikunci. Waktu itu pun Lala meng?ambil kunci
secara diam-diam. Maka ia cepat meng?gelengkan ke?
pala. "Kan dikunci, Pa. Mana bisa?"
"Ayo, jangan bohong. Dulu Lala sendiri yang
bilang, ia turun bertiga sama kamu dan Nana."
Imelda terkejut. Seingatnya, Lala tidak pernah me?
ngatakan, bahwa ia mengakui perbuatan itu kepada
ayah?nya. Kenapa Lala melakukan hal itu? Sudah
sembunyi-sembunyi dan tidak sampai ketahuan tapi
kok diakui juga. Ia tak mengerti.
"Betul Lala sendiri yang bilang?" tegas Imelda.
Pada?hal ia sadar ayahnya tak mungkin tahu dari orang
lain. Isi-Warisan.indd 286 286 Isi-Warisan.indd 287 "Iya. Jadi, benar, kan?"
Terpaksa Imelda mengaku. "Habis diajak sama Lala, Pa. Aku sendiri sih
nggak mau." "Ayo, cerita. Kamu lihat apa di sana?"
"Lihat barang rongsokan, Pa. Banyak sarang labahlabah."
"Cuma itu aja? Terus apa lagi?"
"Ya, Cuma itu aja, Pa. Tapi Lala naiknya belakang?
an. Aku sama Nana naik duluan. Dia ke bawah
tangga. Terus aku dan Nana dengar dia menjerit. Dia
lari ke atas, tapi nggak mau bilang kenapa dia men?
jerit." "Jadi dia nggak pernah bilang?"
"Nggak. Tapi... kenapa dia ngaku sama Papa?
Nggak ketahuan kok ngaku. Aku jadi heran."
"Tahu dia lihat apa?"
"Nggak, Pa!" jerit Imelda kesal.
"Hantu!? seru David menirukan suara putrinya.
Lalu dia tertawa ngakak. Imelda merengut. "Papa bercanda! Ngeledek!" su?
ngutnya. "Bener. Kalau nggak, kenapa dong dia menjerit?"
"Jadi dia ngaku karena melihat hantu? Kayak apa
hantunya?" Imelda penasaran.
"Bayang-bayang item besar."
"Terus Papa kaget nggak waktu Lala cerita?"
"Nggak dong. Kan Papa udah tahu. Makanya Papa
larang kalian turun ke situ. Papa sudah bilang, ada
han?tu?nya, kan? Dasar Lala bandel. Jadi tahu rasa
deh." 287 "Jadi Papa memelihara hantu di situ?"
"Ah, kamu ini. Yang bener aja. Masa hantu dipe?li?
hara." "Apa karena itu pintunya dibuang? Kan hantu
nggak perlu pintu." "Aduh, kamu cerewet amat sih. Pintu dibuang su?
paya nggak ada orang turun lagi ke situ. Tahu?"
"Apa nggak ada pintu lain, Pa? Di rumah Tante di
Belanda, basement selalu punya dua pintu. Yang satu
lagi di luar." "Ya. Memang ada. Di luar sana, di bawah jen?
dela." "Yang itu nggak ditutup, Pa?"
"Nggak. Kalau-kalau nanti perlu masukin barang,"
sahut David segan. Imelda berpikir. Rumah tantenya di Belanda lebih
kecil, tapi punya halaman dan kebun yang lebih luas.
Ruang bawah tanahnya pun bersih dan orang bebas
keluar-masuk. Tidak ada sarang labah-labah, apalagi
hantu. "Apa hantunya nggak pernah keluar dari basement,
Pa?" David menjadi jengkel. "Sudah ah, Mel. Nggak
mau bicarain hantu lagi. Kalau kamu takut di rumah,
ayo ikut saja." "Nggak mau ikut. Aku ke tempat Nana aja."
"Ingat, kalau kamu mau berteman sama dia, baikbaikin. Jangan digalakin seperti kemarin."
Imelda berlari ke luar. Di ruang depan ia berdiri
depan dinding yang dulu pintu menuju ruang bawah
tanah. Tatapannya ke situ. Ia tidak begitu percaya
Isi-Warisan.indd 288 288 Isi-Warisan.indd 289 akan cerita ayahnya tadi. Kenapa Lala hanya mau ber?
cerita kepada ayahnya saja? Bahkan kepada Nana
yang jadi sahabatnya pun ia diam-diam saja. Ia per?
caya Nana memang tidak tahu, dan bukan karena tak
mau menceritakan. David menarik napas panjang setelah Imelda ke?
luar. Ia duduk lagi setelah tadi bersiap merapikan
pakai?annya untuk pergi. Sejenak ia memanfaatkan
waktu untuk merenung, mengenang Lala. Tak terasa
mata?nya berair. Ia kehilangan Lala. Ia sayang kepada
Lala. Ketika masih ada Lala, entah sudah berapa kali
anak itu berhasil membantu meredam libidonya yang
di luar kendali, yang setiap kali muncul bila ia mulai
menikmati foto-foto anak-anak lelaki. Tentu saja Lala
tidak tahu apa-apa. Cukup dengan pelukan, ciuman,
dan duduk di pangkuannya, Lala berhasil menetralisir
getaran yang rasanya bisa membuat tubuhnya meledak
jadi berkeping-keping. Bukan karena Lala menjadi
sasaran pemuasan nafsunya, tapi karena kehangatan
batin yang dirasanya dari sentuhan yang diberikan
Lala. Tentu tubuhnya memerlukan pelampiasan, tapi
itu bisa diperolehnya dari istrinya sendiri, Linda. Bagi
Linda, hal itu pun merupakan pemuasan. Dalam
keadaan demikian, obat tidak lagi diperlukan David,
seperti belakangan ini. Ia tahu, Lala juga menyayanginya. Sangat me?
nyayanginya. Semula Linda mencurigainya kalau-kalau
ia memperlakukan Lala dengan tidak senonoh. Tapi ia
ber?hasil meyakinkan Linda bahwa ia tidak mungkin
ber?buat seperti itu. Mustahil ia mau merusak Lala.
289 Tapi ia tak mau berpikir apa jadinya andaikata Lala
itu anak lelaki.... Lalu suatu saat Lala mengadu kepadanya perihal
apa yang dilihatnya di ruang bawah tanah itu. Lala
cukup cerdik untuk memilih waktu ketika Linda tak
ada. Dengan demikian, seandainya sampai dimarahi ia
tak dimarahi dua orang. Ia terkejut mendengarnya. Lala melihat isi peti di
bawah tangga? Ia menyesali kecerobohannya karena
tidak menggembok peti itu. Ia menganggapnya amanaman saja karena pintu sudah dikunci dan kunci di?
simpannya. Ia tak menyangka Lala berhasil menemu?
kan kunci itu. Maka dengan terpaksa ia bercerita
pe?rihal peti yang sudah ada sejak zaman nenek mo?
yang?nya. Ternyata Lala percaya akan ceritanya. Biar?
pun demikian ia perlu mengasah otak untuk berdebat
karena Lala tak serta-merta percaya. Banyak pertanya?
an?nya. Kenapa begini dan kenapa begitu. Bahkan ia
bisa mengajak Lala berkomplot untuk merahasiakan
hal itu dari orang lain, termasuk Nana, Sukri, Imelda,
dan siapa saja. Ia juga meminta Lala tidak men?cerita?
kannya kepada ibunya, meskipun Linda sudah tahu
perihal peti itu. Itu untuk menghindar dari kemarahan
ibunya. Sudah tentu Lala setuju saja.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia percaya betul kepada Lala karena merasa sudah
sangat mengenalnya. Mereka berdua saling menyaya?
ngi dan rasa sayang itu jadi pendorong Lala untuk
me?menuhi janjinya. Sampai kematiannya Lala me?
nyimpan rahasia itu dengan baik. Lala membawa raha?
sia itu bersamanya. David yakin, tak ada orang lain yang tahu. Sedang
Isi-Warisan.indd 290 290 Isi-Warisan.indd 291 Linda tidak mungkin membocorkannya karena dia
sudah berjanji saat menikahinya. Jadi sekarang sudah
aman baginya. Apalagi peti itu sudah terkubur di ba?
wah tanah. Sukri pun tidak tahu apa isinya. Seharus?
nya hal itu sudah dilakukannya sejak dulu-dulu. Tapi
jalan pikirannya dulu berbeda, sesuai dengan keadaan
saat itu. *** Imelda mengantarkan ayahnya ke mobil. Sukri sudah
menunggu untuk membukakan pintu. Nana tidak ke?
lihatan. Setelah mobil melesat keluar dan Sukri mengunci
pintu kembali, Imelda bertanya, "Nana ke mana,
Pak?" Nadanya baik-baik.
"Ada di rumah, Non. Lagi belajar buat besok."
"Pak, tahu nggak di situ ada pintu ke bawah?" ta?
nya Imelda sambil menunjuk ke sayap kiri.
Sukri terkejut. Pertanyaan yang mendadak.
"Emangnya kenapa, Non?"
"Tahu, nggak?" tegas Imelda.
"Iya, tahu." "Yuk ke sana. Aku mau lihat."
Sukri ragu-ragu. Sebelum berkata-kata, Imelda su?
dah menarik tangannya kuat-kuat.
"Jangan ah, Non. Mau lihat apa sih?"
"Mau lihat aja. Ya sudah, aku pergi sendiri."
Terpaksa Sukri mengikuti. Tak mungkin ia mem?
biarkan Imelda sendirian.
Di sana ia menunjuk papan yang sebagian tertutup
291 pohon. "Tuh, pintunya." Sukri menunjuk sambil ber?
jongkok. Di sampingnya Imelda juga berjongkok.
"Ada selotnya, ya. Kalau selot dibuka, terus di?
angkat, ya," kata Imelda.
"Udah ah." Sukri berdiri. "Coba dibuka, Pak."
"Mau apa, Non?"
"Mau lihat aja."
"Nggak, ah. Takut dimarahi Tuan."
"Emangnya kenapa?"
"Nggak boleh dibuka."
"Bilang aja kamu takut."
"Takut apa, Non?"
"Takut hantu, kan?"
Sukri tercengang. "Siapa bilang ada hantunya?"
"Papa." Sukri lebih heran lagi. "Oh, gitu, ya? Saya nggak
tahu...." "Jadi kamu belum pernah lihat?"
"Belum." "Makanya, coba deh dibuka."
"Nanti kalau hantunya keluar gimana, Non?" tanya
Sukri, mulai mencari akal.
Imelda berpikir. Semula ia ingin menakut-nakuti
Sukri, tapi ucapan Sukri membuat ia takut juga.
"Kamu udah pernah masuk ke bawah?" tanya
Imelda. "Udah dong. Itu barang-barang di bawah kan saya
yang masukin," Sukri berbohong. Tapi ia berkata benar
Isi-Warisan.indd 292 292 Isi-Warisan.indd 293 bahwa ia pernah ke bawah. Bahkan selama beberapa
hari bekerja menggali lubang di situ.
"Jadi nggak melihat ada hantu?"
"Nggak, Non. Mungkin hantunya takut sama saya
yang badannya gede. Sukanya sama anak-anak."
Sukri tertawa diam-diam melihat Imelda beringsut
pergi. Ia yakin, Tuan sengaja bercerita tentang hantu
ka?rena Imelda ingin melihat ruang bawah. Dulu Nana
pernah bercerita bagaimana ia bersama Lala dan
Imelda pernah turun ke sana setelah Lala berhasil men?
dapatkan kuncinya. Lalu Nana dan Imelda naik duluan
dan Lala belakangan. Tapi kemudian Lala kedengaran
menjerit dan kelihatan pucat waktu berada di atas
kembali. Tentu saja cerita itu membuat ia dan Ani me?
marahi Nana dan melarangnya berbuat seperti itu lagi
biarpun diajak oleh Lala. Tapi menurut Nana, Lala
merasa kapok. Setelah Imelda berlari pergi, barulah Sukri me?
ninggal?kan tempat itu. Ia melihat Imelda menuju pavi?
liunnya lalu menyusul ke sana. Ia ingin tahu apa yang
mau dilakukan Imelda kepada Nana. Bukankah tadi
Imelda yang diam-diam masuk ke kediamannya lalu
berlari pergi setelah menjatuhkan kursi? Tidak ada
orang lain. Kucing pun tak ada. Mung?kin Imelda me?
nguping pembicaraannya dengan Nana. Tapi ia tidak
khawatir. 293 IMELDA menghampiri Nana yang sedang duduk
meng?hadap meja makan menekuni bukunya. Tanpa
basa-basi, Imelda duduk di depan Nana dan meng?
awasi?nya. Nana mengangkat kepala dan balas me?
natap. "Ada apa?" tanya Nana datar.
"Nggak apa-apa. Emang nggak boleh diliatin?"
"Aku lagi belajar."
"Rajin amat sih."
"Mau ujian sebulan lagi."
"Sebulan lagi?"
"Iya, Non," kata Nana dengan penekanan kata
"Non". Nada mengejek.
Imelda cemberut. Semula ia bermaksud mengatakan
bahwa panggilan seperti itu tidak perlu lagi, tapi ke?
mudian membatalkan. Nana harus menghormatinya
selama masih tinggal di situ.
"Kalau ujian sebulan lagi, kenapa kalian mau ber?
henti? Katanya mau pulang kampung...."
Isi-Warisan.indd 294 294 Isi-Warisan.indd 295 Nana menghentikan kegiatannya. Ia menatap Imelda
lurus-lurus. Tadi sudah diduganya bahwa Imelda me?
nguping pembicaraannya dengan ayahnya.
"Ya. Mau berhenti, Non."
"Lantas sekolahmu?"
"Sekolah tetap."
"Oh, aku ngerti deh. Jadi kamu mau numpang di
rumah Kiki dulu?" "Ya," sahut Nana tak bisa lain. Ia tidak tahu se?
berapa banyak yang tadi didengar oleh Imelda.
"Cuma sementara, kan?"
"Ya. Sampai aku selesai ujian. Sesudah itu aku
nyu?sul Bapak." Wajah Imelda tampak lega. "Jadi kau nggak
tinggal di Jakarta lagi?"
"Nggak." Nana mengamati wajah Imelda. Ia tahu, Imelda
senang mendengar hal itu.
"Aku pengin di sini dulu ya, Na. Sampai Papa dan
Mama pulang." "Terserah Non."
"Hiii... Non-Non...Udah, ah... panggil aku Imel aja
kayak dulu." "Kamu yang suruh begitu."
"Sori deh. Sebenarnya Mama yang nyuruh. Itu bu?
kan mauku." Nana menatap tak percaya. Ia yakin, kemarin
Imelda menikmati perannya sebagai nyonya besar.
"Ya sudah. Gimana maumu saja. Toh aku juga
nggak lama lagi di sini."
"Apa kau jadi pembantu di rumah Kiki?"
295 Nana terkejut oleh pertanyaan itu. Ia menahan ke?
gusarannya. "Nggak!" sahutnya ketus. Lalu melanjutkan dengan
nada lebih rendah, "Tapi aku kan harus tahu diri. Me?
numpang di rumah orang masa nggak bantu-bantu.
Me?reka nggak punya pembantu."
"Oh gitu ya? Jadi mereka bukan orang kaya dong."
"Emangnya kenapa kalau bukan orang kaya?"
tanya Nana tajam. "Ah, nggak apa-apa sih. Pantas tinggalnya di situ,
ya?" "Di situ gimana?"
"Di kampung...."
"Ini kota. Bukan kampung."
"Ya sudah. Nggak mau debat. Eh, kau nggak pu?
nya makanan, Na?" Imelda memandang berkeliling. Di situ ada kulkas
kecil. Tapi ia malu juga untuk membuka dan me?me?
riksa isinya. "Nggak punya, Mel. Kalau kau lapar, pulang saja.
Di sana kan banyak makanan."
"Temenin yuk. Aku takut sendirian."
"Lho, takut sama apa?"
"Hantu." Nana terkejut, menatap tajam. Apa yang dimaksud
Imelda itu hantunya Lala atau ibunya?
"Emangnya ada... ada hantu? Hantu apaan?"
"Hi hi hi... kamu takut juga, kan?" Imelda ter?
kikik. "Ayo, Mel, hantu apaan sih?" Nana penasaran.
"Yang lihat itu si Lala," kata Imelda perlahan. Ba?
Isi-Warisan.indd 296 296 Isi-Warisan.indd 297 gai?manapun, punya teman bergosip itu lebih menye?
nang?kan daripada sendirian.
"Hah? Lala?" Nana terpekik. Mulutnya sampai ter?
buka beberapa saat lamanya.
"Iya. Emangnya dia nggak pernah cerita sama
kamu?" Imelda sekalian menguji. Dari sikap Nana ia
per?caya Nana memang tidak tahu.
"Nggak. Jadi ceritanya sama kamu?" tegas Nana.
Kesal karena Lala tidak pernah bercerita.
"Dia cerita sama Papa. Lalu Papa cerita sama
aku." "Hantunya kayak apa? Lihatnya di mana?"
"Ingat nggak waktu kita turun ke basement bertiga,
terus si Lala ditinggalin sendiri? Dia menjerit, kan?
Tapi dia nggak mau cerita kenapa. Ceritanya sama
Papa. Tadi aku juga baru tahu dari Papa. Cuma aku
heran aja kenapa dia mau ngaku sama Papa padahal
nggak ketahuan." "Jadi dia lihat hantu di bawah situ? Hantunya ka?
yak apa?" "Katanya bayangan hitam besar."
"Kok kita nggak lihat, ya?"
"Mungkin hantunya suka sama Lala. Hi hi hi...."
Nana geleng-geleng kepala. Sulit baginya untuk
per?caya. Pertanyaan yang mengganggu pikirannya
sama dengan yang dilontarkan Imelda. Kenapa Lala
mengaku kepada ayahnya, padahal sudah jelas akan
di?marahi karena perbuatannya turun ke bawah? Se?
kadar curhat bahwa ia melihat hantu? Bukankah se?
harusnya pengalaman seperti itu dibagi kepada teman
daripada ayah yang akan memarahinya?
297 "Terus apa lagi yang dikatakan papamu?"
"Cuma itu aja."
"Kamu dimarahi juga karena turun bersama?"
"Nggak. Dia cuma nanya apa kita berdua tahu ke?
napa Lala menjerit waktu itu? Barangkali Lala cerita
sama kita...." "Kenapa dia nggak tanya Lala saja."
"Katanya Lala bilang nggak."
"Ya, memang nggak, kan?"
"Dibujuk juga dia nggak mau bilang."
Pengalaman yang sama itu membuat keduanya
sesaat merasa lebih dekat.
"Yang jelas, Mel, aku dan Bapak nggak pernah
melihat hantu," kata Nana dengan nada menenangkan.
Bahkan hantu Lala dan ibuku sendiri juga tidak, kata
hatinya. Cuma Kiki yang melihat. Kenapa bisa begitu,
takkan ada yang bisa memberitahu. Bertanya kepada
Lala dan ibunya jelas tak mungkin. Memang ia sudah
sering bertanya atau tepatnya bicara sendiri, tapi tak
ada yang menjawab. "Padahal hantu itu kan bisa keluar-masuk dinding,
ya?" "Ya, katanya begitu."
Pokok pembicaraan itu membuat Nana tertarik.
Untuk sejenak ia melupakan bukunya.
"Kok bisa ya Lala menyimpan rahasia," kata Imelda
dengan penasaran. "Apa susahnya sih cerita bah?wa dia
melihat hantu pada kita? Gitu aja rahasia...."
"Iya, aku juga heran," Nana sepakat.
"Tadinya kupikir dia pasti cerita sama kamu. Kali?
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
an kan akrab." Isi-Warisan.indd 298 298 Isi-Warisan.indd 299 "Entahlah. Mungkin dia nggak mau membuatku
takut. Makanya dia lebih suka bercerita sama papamu.
Sama mamamu, gimana?"
"Kayaknya sih nggak. Papa nggak ngomong. Tapi
kalau Mama tahu, pasti ribut."
"Ya." "Eh, ngomong-ngomong, kapan sih kalian mau
berhenti?" Imelda mengganti topik.
"Nantilah, Bapak mau bicara lagi sama papamu.
Dan mamamu juga." "Tadi Papa juga sudah ngomong, Pak Sukri harus
bicara lagi. Baiknya sebentar lagi aja kalau mereka
pulang. Kalau kalian pengin buru-buru, kapan lagi?"
Nana mempelajari wajah Imelda. Tampaknya
Imelda merasa senang bahwa dia dan ayahnya akan
pergi dari situ. Barangkali Imelda bisa dimanfaatkan
mumpung sedang berbaik-baik?
"Kami kan udah lama sekali di sini, Mel. Sudah
delapan tahun. Bapak pengin jadi petani lagi. Mungkin
aku juga akan mengikuti jejaknya. Nanti aku akan
sekolah pertanian." "Hah? Kamu mau jadi petani?" Imelda tertawa
meng?ejek. "Memang kenapa? Apa salahnya?"
"Ah ya, nggak salah. Daripada jadi pembantu men?
ding jadi petani." "Jadi kamu setuju kami pergi ya, Mel?"
"Setuju aja. Itu kan hak kalian. Emangnya bisa di?
larang?" "Terus terang aku dan Bapak ngeri sama kemarah?
an mamamu." 299 "Nanti aku bantuin ngomong deh."
"Oh ya? Terima kasih, Mel."
"Jadi nanti kalau mereka pulang, kalian jangan
ngomong dulu. Tunggu aku yang ngomong duluan.
Baru kalian dipanggil. Kan enak begitu daripada men?
dadak." "Ya, ya. Terima kasih."
"Tapi kamu harus membalas budiku, Na."
Nana mengerutkan keningnya. Ia sudah menduga,
Imelda akan minta balasan.
"Apa, Mel?" "Nanti kalau kamu tinggal di rumah Kiki, ajak aku
ke sana juga." "Emangnya kamu mau ngapain? Aku di sana kan
belajar bersama." "Nggak apa-apa dong. Aku nemenin aja. Masa sih
setiap saat belajar?"
Inilah yang kutakutkan, pikir Nana. Tapi bagaimana
lagi? "Nanti aku tanya Kiki, dia keberatan atau nggak?
Itu kan rumahnya, Mel. Aku cuma numpang."
"Tanyain, ya? Aku pengin nambah teman. Kamu
jangan takut aku akan merebut cowokmu."
"Idih, dia bukan cowokku. Ngapain? Lulus SD aja
belum, udah, jangan ngomongin gituan."
Imelda terkikik. "Kalau bukan cowokmu, kok jalan?
nya pegangan tangan."
Nana tersipu. Ia tak bisa menjawab.
"Aku udah punya cowok, Na. Orangnya ganteng,
lebih cakep daripada Kiki. Bule nggak, item juga
nggak." Isi-Warisan.indd 300 300 Isi-Warisan.indd 301 Nana merasa terhibur. "Baik, nanti aku tanyain."
"Besok, ya? Eh, sekarang aja kalau kau tahu no?
mor hapenya. Masa sih kau nggak tahu."
"Aku nggak suka ngobrol pakai hape. Paling SMS
kalau perlu aja." Imelda tidak mendesak. Ia akan memintanya sen?
diri saja dari Kiki. Mustahil Kiki tidak mau mem?beri?
kannya. Nana bisa menduga apa yang dipikirkan Imelda,
tapi ia tidak lagi peduli. Tentu saja ia tidak bisa men?
cegah atau melarang Kiki memberikan nomor telepon?
nya kepada Imelda. Siapa tahu Kiki juga suka ber?
teman dengan Imelda karena dia kakak Lala.
Ke?khawatirannya semula bahwa Kiki akan menyukai
Imelda lalu menyisihkannya juga sudah tak ada lagi.
Bukankah ia akan pergi jauh, sementara Imelda pun
begitu? Biarkan saja Kiki berteman dengan siapa pun
yang dia sukai. Sementara ini yang dipentingkannya
ada?lah masa depan dirinya dan ayahnya. Ia harus ber?
baik-baik kepada Imelda supaya kepergiannya bersama
ayahnya dari rumah itu akan lancar-lancar saja. Tidak
ada amarah atau caci-maki yang menyakitkan.
"Besok pulang sekolah ajak Kiki ke sini lagi, Na,"
pinta Imelda. "Nanti papamu marah."
"Ah, nggak. Papa senang sama Kiki."
"Kenapa?" "Tahu dia bilang apa? Katanya Kiki cocok jadi
anak?nya, karena dia pengin punya anak lelaki."
Di ruang depan, Sukri duduk bersila di lantai men?
dengarkan omongan kedua anak itu, Ia tersenyum
301 meng?ejek mendengar ucapan Imelda. Tentunya Imelda
tidak mengerti apa-apa, demikian pula Nana.
"Kenapa dong dia dan mamamu nggak bikin anak
lagi?" tanya Nana. "Waduh, gimana kalau anaknya perempuan lagi?"
Imelda terkikik. "Itu sih risiko," sahut Nana, tertawa juga.
"Eh, aku lapar nih. Ayo temenin aku ke rumah
yuk. Pisang goreng masih ada, terus di kulkas ada kue
bolu. Kita makan bersama nanti."
Nana menggeleng. "Aku dan Bapak dilarang ma?
suk ke rumahmu, Mel. Tuh lihat saja di ruang depan
ada kameranya. Di teras depan ada, di ruang tamu
juga ada. Kelihatan kalau aku atau Bapak masuk ke
sana. Nggak enak kalau udah mau berhenti bikin garagara."
"Kan sama aku, Na? Nanti aku bilang aku yang
ngajak." "Nggak ah, Mel. Takut."
Di depan, Sukri manggut-manggut. Setuju dengan
sikap putrinya. Nanti Tuan dan Nyonya punya alasan
untuk marah-marah. "Aduh... kamu nggak punya makanan, ya?"
Imelda memelototi meja yang ditutup tudung saji.
"Adanya cuma ubi rebus, Mel," kata Nana, mem?
buka tudung saji. Tampak beberapa potong ubi merah
rebus yang masih berkulit.
Imelda mengamati. "Makanan kampung," katanya.
"Iya, mungkin kamu nggak suka."
Nana akan menutup meja, tapi tangan Imelda men?
cegah. Ia mencomot sepotong.
Isi-Warisan.indd 302 302 Isi-Warisan.indd 303 "Nyobain dulu."
"Tunggu dulu, Mel."
Nana bangkit. Ia mengambil piring kecil dan pisau
serta garpu. Potongan ubi di tangan Imelda diambil?
nya, lalu dikupas kemudian dipotong-potong menjadi
potongan kecil. Nana melakukannya bukan karena
ingin melayani Imelda, tapi khawatir kalau potongan
besar yang semula diambil Imelda hanya digigit-gigit
tapi tidak dihabiskan. Sayang sekali kalau dibuang,
padahal ia tidak akan mau makan sisa yang dimakan
Imelda. "Nah, kau cobain dulu sepotong. Suka atau nggak."
Imelda mencocokkan garpu ke sepotong ubi lalu
me?makannya. "Lumayan kalau lagi lapar," katanya, tak ingin me?
muji. Nana tersenyum. "Ayo, kamu nggak makan juga." Imelda menyo?
rong?kan piring. "Aku udah tadi. Masih kenyang. Buat kamu aja."
Ternyata Imelda menghabiskan isi piring. Katanya,
"Lumayan buat ngisi perut."
Nana mengambilkan air putih dari kulkas.
"Padahal ada Coke di rumah," kata Imelda.
"Ambil sendiri."
Imelda memonyongkan mulutnya. Sekarang ia
tidak mau memarahi Nana lagi. Ia kembali kepada
suasana pertemanan dulu, ketika Lala masih ada. Bu?
kan saja ia ingin berbaik-baik, tapi ia sadar kedua
orangtuanya tidak ada hingga tak punya beking.
"Sudahlah. Kamu nggak usah takut. Hantu itu
303 nggak ada. Seperti kamu bilang, hantu itu kan bisa
nembus dinding. Nyatanya nggak pernah muncul."
"Mungkin dia memang tinggalnya di bawah sana
ya, Na. Dia nggak bakal mau keluar."
"Kenapa munculnya di depan Lala saja, ya?"
"Iya. Aku juga heran, Na."
"Ala, sudahlah. Nggak usah ngomongin lagi."
"Aku takut, tapi sebenarnya pengin lihat juga
kayak apa sih hantu itu. Jadi kalau pulang nanti aku
punya cerita menggemparkan."
Di luar, Sukri geleng-geleng kepala. Pantas tadi
anak itu memaksa membuka pintu kayu di halaman.
Sebenarnya Nana ingin menggoda Imelda tapi kha?
watir Imelda menjadi ketakutan, lalu dia sendiri yang
rugi nanti. Bagaimana kalau Imelda mengulang per?
mintaannya kemarin malam untuk tidur sekamar ber?
samanya? Itu tidak ia inginkan. Sekarang ia tidak tega
menyuruh Imelda pergi, padahal ia ingin meneruskan
belajar. Lalu ke mana pula Imelda harus pergi kalau
dia cuma sendirian di rumahnya? Satu-satunya jalan
adalah menunggu kepulangan kedua orangtuanya. Tapi
pada saat itu dia akan sibuk melayani.
"Mudah-mudahan nanti mamamu nggak minta
dipijat. Aku mesti belajar, Mel," Nana sudah berani
me?nyuarakan keinginannya.
"Ya. Nanti aku kasih tahu. Aku nggak ngerti. Ngapa?
in dipijat olehmu? Pijatanmu nggak enak kok."
Mereka saling memandang lalu tertawa bersama.
Kebekuan di antara keduanya semakin mencair. Me?
reka mulai mengobrol. Tapi Nana berusaha meng?
hindari topik Kiki. Akhirnya yang banyak bercerita
Isi-Warisan.indd 304 304 Isi-Warisan.indd 305 adalah Imelda, tentang orangtua angkatnya, tentang
negeri keduanya, dan tentang teman-temannya. Ia sa?
ngat membanggakan semuanya.
"Jadi kalau sudah dewasa nanti, kau akan tetap
tinggal di sana dan hanya pulang sesekali ke sini?"
tanya Nana. "Iya dong. Di sana kan lebih nyaman. Negaranya
jauh lebih kaya daripada negara ini. Kalau kerja gaji?
nya gede. Jauh lebih gede daripada di sini."
Di luar Sukri merasa senang bahwa kedua anak itu
akhi?rnya bisa berbaikan. Mungkin Imelda hanya mem?
butuhkan teman hingga terpaksa berbaik-baik, atau
karena orangtuanya tak ada.
Akhirnya ia merasa tidak enak juga kelamaan me?
nguping. Lalu ia pergi ke halaman. Ia harus kelihatan
bekerja di muka kamera. Ia merapikan lagi tanaman
dan rerumputan, terutama yang berada di sebelah luar
dekat pagar karena tempat itulah yang pertama dilihat
orang begitu masuk. Tanaman penutup di sepanjang
pagar baru dipangkas kemarin. Tingginya kira-kira se?
tinggi orang dewasa dan lebih rendah dari pucuk
pagar. Terakhir ia menuju ke sayap kiri, di mana tumbuh?
an semak kembang sepatu sangat rimbun. Kembangnya
yang berwarna merah dan putih sangat indah di?
pandang. Tanaman itu sengaja dibiarkan rimbun untuk
menutup sebagian pintu papan yang menuju ke bawah.
Itu memang instruksi Tuan. Padahal kalau diperhatikan
papannya tetap kelihatan meskipun hanya sebagian.
Imelda mengetahui perihal pintu papan itu tentunya
sewaktu dia bersama kedua anak lain turun ke bawah.
305 Di situ mereka bisa melihat adanya tangga kayu di
bawah pintu. Jadi dengan mudah bisa disimpulkan
itulah jalan untuk turun-naik.
Sukri berjongkok di depan pintu papan. Tiba-tiba
ia teringat pada cerita Nana, bahwa Kiki pada ke?
datang?annya yang pertama, saat akan pulang, menye?
lonong ke situ lalu menyibakkan tanaman penutup
pintu papan. Ketika ditanyakan, katanya ingin me?
nunjukkan tempat bolanya ditemukan.
Segera saja ada yang menjadi jelas. Ia menduga,
saat Kiki mencari bolanya ia menemukan pintu itu.
Lalu berusaha membukanya. Setelah terbuka ia turun
ke bawah. Entah apa yang dilakukannya di bawah.
Mungkin tengok sana-sini. Lalu di situlah ia jatuh.
Entah bagaimana jatuhnya. Tapi pasti bukan dari pintu
pagar. Katanya, ia tak bisa membuka selot pintu. Itu
jelas omong kosong.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itulah Lala dan Bi Ani turun tangan me?
nolongnya. Kalau tak ditolong, Kiki tak mungkin bisa
naik karena kakinya sakit. Ah, Kiki. Masuk akal juga
kalau ia berbohong. Ia tentu takut dikatai maling atau
dituduh mau mencuri. Pantas Kiki terkejut-kejut melihat pintu yang me?
nuju ruang bawah itu sudah tak ada. Kalau tak punya
pengalaman dengan ruang bawah itu, mustahil ia ber?
laku begitu. Sekarang Sukri seperti melihat terang dalam gelap.
Tapi ia tidak akan mendesak Kiki untuk berterus te?
rang. Biar sajalah pemahaman itu untuk dirinya sendiri
saja. Nanti Kiki jadi malu. Dia berbohong untuk me?
lindungi diri. Isi-Warisan.indd 306 306 Isi-Warisan.indd 307 Ia pun merasa takjub bila mengingat bahwa saat
itu Tuan dan Nyonya berada di belakang, mungkin di
kamarnya, tapi sama sekali tidak tahu-menahu perihal
kegiatan yang terjadi di ruang depan. Sampai Kiki
ke?luar dan berada di teras, barulah mereka mendengar
suara pertengkaran di dalam rumah. Terus sampai Kiki
dijemput ayahnya, Tuan dan Nyonya tidak menyadari
apa yang terjadi. Sungguh perbedaan waktu yang sem?
pit. Ah, dunia ini memang penuh dengan keanehan,
pikir Sukri. Buat apa aku pusing memikirkan dan men?
cari pemecahannya? Biar saja begitu seperti apa ada?
nya, karena aku tak akan mengerti. Sampai kepalaku
pecah pun aku tak akan mendapat jawabannya.
Sebenarnya, memang ada benarnya ucapan Imelda
bahwa ada hantu di situ kalau yang dimaksud adalah
hantu Lala dan Bi Ani. Tapi Sukri tidak suka me?
nyebut mereka sebagai hantu. Itu beda sekali. Nyata?
nya menurut Imelda, mengambil cerita dari ayahnya,
hantu itu berupa bayangan hitam besar. Yang seperti
itulah disebut hantu, karena tidak berwujud. Tapi Lala
dan Bi Ani berwujud manusia seperti aslinya. Ah,
memangnya tahu apa ia mengenai hantu? Ia sendiri
belum pernah melihat hantu. Padahal ia pernah berada
di ruang bawah itu selama beberapa hari sendirian
saja ketika menggali lubang untuk mengubur peti. Tak
ada apa-apa dan tak merasa apa-apa. Ia cuma kepanas?
an dan pengap. Seharusnya dipasang kipas angin atau
pintu papan ini dibuka. Tapi Tuan tidak mau. Yah, tak
apalah, karena imbalan yang diberikan untuknya lu?
mayan. 307 Sesekali menggelitik juga rasa ingin tahunya me?
ngenai isi peti itu. Seperti sekarang ini, saat ia ber?
jongkok merenungi pintu papan itu. Tapi seperti biasa
selalu ada bantahan yang sangat masuk akal. Itu
bukan?lah urusannya, bahkan andaikata isinya adalah
mayat sekalipun. Ups, ia terkejut sendiri. Mayat? Itu
mustahil. Mayat siapa dan bagaimana mungkin bisa
berada di situ? Ia sudah delapan tahun di situ dan
tidak pernah ada yang meninggal di situ, kecuali Lala
dan Bi Ani. Petinya pun begitu kuno. Apakah mayat?
nya juga kuno, seperti mumi misalnya? Ia pernah
melihatnya di dalam film televisi.
Ya, bukan urusannya! Ia tidak tahu dan tidak
paham. Ia hanya disuruh mengubur. Tapi, kenapa Tuan
menyuruhnya berjanji untuk tidak memberitahu siapa
pun mengenai hal itu? Ah, ia menemukan jawabannya.
Tentunya Tuan khawatir ia disangka mengubur mayat.
Orang akan heboh dengan kecurigaan, lalu namanya
akan tercoreng. Tuan tentu takut ia akan bergosip.
Wah, ia menepuk mulutnya sendiri. Ia sudah berjanji
dan janji itu tidak akan ia langgar. Tidak sulit mem?
pertahankan janji itu karena ketidaktahuannya. Akan
lain halnya kalau ia tahu apa isi peti itu. Tak ada beda?
nya mengubur peti dengan mengubur botol, misal?
nya. Ia tidak perlu berpikir atau merisaukan hal itu ka?
rena sebentar lagi ia akan pergi dari tempat ini. Untuk
selamanya. Dan ia tidak lagi punya sangkut-paut de?
ngan urusan itu. Bukankah ia cuma orang suruhan
semata? Ia bukanlah orang yang bersekongkol dengan
Tuan untuk suatu perbuatan yang tidak baik.
Isi-Warisan.indd 308 308 Isi-Warisan.indd 309 Meskipun sudah berhasil mendapat jawaban yang
masuk akal dan bisa menenangkan pikiran, tapi tetap
saja terasa ada yang mengganjal. Mungkin karena ia
menyimpan sendiri dan tidak bisa membaginya dengan
Nana. Kalau saja ia bisa bercerita kepada Nana tentu?
nya perasaannya akan lebih ringan. Tapi ia sudah ber?
janji untuk tidak memberitahu siapa pun termasuk
Nana. Ah, kenapa Nana diikutsertakan? Apakah Tuan
takut Nana akan bercerita kepada orang lain lagi?
Padahal ia bisa saja menyuruh Nana berjanji untuk
tidak memberitahu orang lain. Nana pasti akan me?
matuhinya. Tapi itu nanti sajalah. Yang penting keluar
dulu dari sini. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya.
"Buuu!" teriakan nyaring di dekat telinganya.
Sukri begitu kaget hingga ia terduduk dan hampir
terjengkang. Setelah menoleh ia melihat Imelda yang
tertawa terkikik-kikik. Sedang Nana baru datang ke?
mudian. Nana tak kalah kagetnya.
"Aduh, Non," kata Sukri sambil buru-buru ba?
ngun. "Untung aja nggak jantungan, Non. Bisa mati
tuh..." Nana menatap Imelda dengan gusar. Kalau ayahnya
sampai mati... Imelda menjadi cemas. "Emangnya kamu sakit jan?
tung?" "Nggak sih. Bercanda aja. Tapi emang kaget luar
biasa." "Jadi kamu nggak tahu aku datang??
"Nggak." 309 "Makanya jangan ngelamun dong. Masa sih nggak
lihat? Aku nggak mengindap-indap kok."
"Ya sudah. Nggak apa-apa."
"Bapak lagi ngapain?" tanya Nana.
"Nggak ngapa-ngapain."
"Bohong ah," kata Imelda. "Aku tahu. Lagi
ngeliatin itu tuh...." Tangannya menunjuk papan pintu.
"Aku lihat kok matanya ke situ."
"Ya, ya. Lagi ngerapiin tanaman di situ. Udah, ah."
Sukri berdiri. Ganti Imelda yang berjongkok di de?
pan papan pintu. Tangannya menyibakkan tanaman
kembang sepatu. Kelihatan lebih jelas sekarang.
Nana ikut-ikutan berjongkok di sebelah Imelda.
"Kamu tahu nggak, Na. Itu pintu ke basement."
"Ya, aku tahu. Lala yang bilang."
"Kamu udah pernah lihat ke bawah dari sini?"
tanya Imelda. "Nggak pernah. Bukanya gimana?"
"Itu kan ada selotnya. Kalau selotnya dibuka, terus
handelnya ditarik." "Oh gitu. Kamu udah pernah, ya?"
"Belum." Imelda menatap Sukri Sukri merasa cemas. "Udah ah, masuk Non. Se?
bentar lagi pada pulang tuh."
Harapan Sukri terkabul. Ponselnya di saku ber?
bunyi. "Betul, kan? Mobilnya udah dekat. Ayo cepat, pada
pulang." Kedua anak berlari pulang. Imelda ikut dengan
Nana. Ia takkan mau pulang sendirian ke rumahnya.
Isi-Warisan.indd 310 310 Isi-Warisan.indd 311 "Nanti jangan lupa, Mel. Ngomongin soal tadi itu,
ya." "Oke. Tapi kamu juga harus bawa Kiki mampir
besok." "Asal jangan ada papamu, ya."
"Emangnya kenapa? Kan Papa suka sama Kiki."
"Nggak enak aja. Dia malu."
"Ya sudah. Tapi kalau nanti Papa sendiri yang
minta, gimana?" Nana tak bisa menjawab. Di luar klakson sudah terdengar. Sukri sudah me?
nunggu di balik pintu. Ia sudah mencuci tangan
bersih-bersih, kalau-kalau harus membawa makanan
ke dalam. Nyonya sangat kritis terhadap kebersihan
tangannya yang dalam pekerjaan sehari-hari selalu ber?
lepotan tanah. Imelda dan Nana menunggu dengan berdiri ber?
dampingan. "Eh, Na, si Kiki sama kamu tinggian siapa?"
"Tinggian dia dong."
"Kalau sama aku kayaknya sama. Nggak tahu juga
ya nantinya. Kita kan masih tumbuh. Tapi cowok
bagus?nya sih lebih tinggi."
Nana hanya tersenyum. Mobil sudah masuk.
Nyonya mengerutkan keningnya melihat kedua
anak itu tampak akrab. Tapi ia tak berkomentar.
Setelah keluar ia menyodorkan sekotak pizza ke?
pada Imelda. "Nih, bawa ke dalam...."
Tapi Imelda tak mau jalan mendahului. Ia me?
nunggu dulu. 311 "Sudah. Cuma bawa itu aja. Na, kamu meng?hangat?
kan makanan. Sama Sukri...."
Barulah Imelda berjalan ke dalam setelah menarik
tangan Nana. Sukri mengikuti di belakang mereka.
Tatapan Linda tertuju sejenak kepada kedua anak
itu. "Biarin aja, Ma," kata David dalam bahasa Belanda.
"Tadi si Imel nggak punya teman main. Kalau dia galakgalak, mana mau si Nana nemenin dia."
"Nggak mau? Dia harus mau!"
"Mana bisa? Mereka mau berhenti kok."
Sesudah bicara, David baru sadar bahwa dia belum
memberitahu istrinya tentang keinginan Sukri yang
diutarakan tadi pagi. Linda terkejut.
"Apa?" Terpaksa David menceritakan. Linda tampak ke?
cewa dan terpukul. "Jangan kasih dong, Pa."
"Mana mungkin. Mereka kerja tanpa kontrak
kok." "Bujukin." "Sudah aku tawarin gaji lebih gede, nggak mau
juga." "Habis siapa yang bakal menggantikan mereka?"
"Katanya si Entin mau."
"Si Entin koki?"
"Ya. Dia mau bawa keluarganya kalau tinggal di
sini." "Wah, apa dia bisa dipercaya?"
"Entahlah. Coba saja nanti kamu bicara sama
Sukri. Kayaknya sih nggak bisa dibujuk lagi."
Isi-Warisan.indd 312 312 Isi-Warisan.indd 313 Dengan merengut Linda melangkah masuk. Lang?
kah?nya cepat-cepat. David bergegas di belakangnya,
tahu apa yang akan dilakukan istrinya.
Sukri bersama Nana dan Imelda berada di ruang
ma?kan. Nana menghangatkan nasi. Sukri menghangat?
kan sayur dan lauk-pauk yang dimasak Bi Entin se?
belum dia pulang. Imelda sedang melahap pizza.
Linda menghambur masuk dengan gaya yang sensa?
sional. Orang-orang di ruang makan terkejut. Pizza di
tangan Imelda jatuh ke meja. Nana secara refleks
buru-buru mendekat pada ayahnya.
"Jadi kamu mau berhenti, Kri?"
"Iya, Nya." "Enak aja. Berhenti seenaknya. Nggak ingat dulu
ya, waktu kamu nggak punya kerjaan minta-minta ke
sini. Sekarang mau ditinggalin. Manusia macam apa
kamu ini?" "Saya sudah delapan tahun di sini, Nya. sudah
lama sekali." "Mau lama atau nggak, aku nggak peduli. Tunggu
sampai aku dapat ganti, baru kamu keluar."
"Sudah ada Bi Entin, Nya."
"Kok kamu yang nentuin. Enak aja main oper.
Kami sendiri dong yang nyari dan milih."
"Bi Entin kan sudah lama juga, Nya. Sudah ketahu?
an orangnya kayak gimana."
"Diam kamu! Sok ngajarin. Soal nyari orang itu
kan urusan kami. Bukan kamu."
"Jadi gimana, Nya?"
"Aku cari dulu penggantimu. Kalau sudah dapat,
baru kamu pergi." 313 Sukri tertegun. Nana sudah mau menangis. Dalam
hati Nana tahu, Nyonya memang sengaja memper?
sulit. Tiba-tiba Imelda bersuara, "Habis, kalau Mama
nggak dapat-dapat, mereka nggak bisa pergi dong."
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyonya melotot kepada Imelda yang sengaja meng?
hindari beradu pandang. Ia lebih asyik melahap pizza?
nya. "Diam kamu! Jangan ikut-ikutan urusan orang?tua!"
Tuan muncul lalu mendekati istrinya dan menepuknepuk pundaknya. Beberapa saat lamanya mereka bi?
cara berdua dalam bahasa Belanda. Mula-mula suara
Nyonya meninggi, lama-kelamaan merendah.
Sukri dan Nana hanya bisa menatap tegang, tak
mengerti. Lalu Imelda memberi tanda kepada Nana.
Ibu jarinya diangkat. Nana tak begitu paham, tapi mun?
cul optimismenya bahwa itu merupakan pertanda baik.
Mungkin Tuan berada di pihak mereka.
Dengan satu sentakan Nyonya berbalik lalu pergi.
Gayanya sama sensasionalnya seperti tadi.
Tuan bicara dengan nada sabar, "Sudah, Kri. Kalau
kamu mau berhenti memang nggak bisa dilarang. Itu
hak kamu. Rencananya mau kerja apa sih?"
"Saya mau jadi petani di Sukabumi, Tuan."
"Emangnya kamu punya tanah di situ atau ngerjain
tanah orang?" "Bukan, Tuan. Saya mau kerja di kebun sayur or?
ganik." Sukri sudah merundingkan bersama Nana dan me?
mutuskan untuk berterus terang saja daripada nanti
ke?tahuan berbohong. Ia pun sudah merundingkannya
Isi-Warisan.indd 314 314 Isi-Warisan.indd 315 dengan Budiman di telepon, dan Budiman tidak lagi
ke?beratan bila namanya disebut sebagai perantara.
Soal itu tidak ada salahnya. Tidak ada yang terlarang
di situ. Kalau berbohong nanti bisa susah sendiri. Apa?
lagi ada masalah Nana yang akan tinggal di rumah
Budiman. "Kok kamu bisa dapat kerjaan di situ?"
"Saya dibantu sama papanya Kiki. Kebun itu milik
temannya." "Papanya Kiki?" Tuan tampak seperti tersengat.
"Iya. Kiki kan bersahabat sama Nana. Jadi semen?
tara Nana masih harus ujian, dia akan tinggal di ru?
mah Kiki. Sesudah ujiannya beres, dia nyusul saya ke
Sukabumi." "Oh, begitu." Tuan manggut-manggut. Tempo hari ia pernah
meng?anggap Nana sebagai penghalang kedekatannya
dengan Kiki. Jadi tentu saja kepergian Nana menjadi
solusi yang bagus. "Ya sudah. Baguslah buat kamu dan Nana. Jadi
ren?cana?nya kapan kamu mau pergi?"
"Hari Sabtu, Tuan."
"Baik. Nanti untuk urusan lainnya kita bicara lagi."
"Jadi Tuan nggak keberatan?" tanya Sukri girang.
"Nggak. Sudahlah. Kalau kamu sudah selesai de?
ngan makanan, pulang saja. Nanti dipanggil kalau
per?lu." "Baik, Tuan. Terima kasih."
Imelda tersenyum kepada Nana yang membalas
se?nyumnya. Pada saat itu, Nana merasa melihat sosok
Lala dalam diri Imelda. Cantik dan baik hati.
315 *** Sukri dan Nana pulang dengan gembira. Saking gem?
bi?ra?nya mereka seolah sepakat, sama-sama mengeluar?
kan tas dan koper lalu mulai memasukkan pakaian
dan barang-barang milik mereka. Karena tak banyak,
maka dalam waktu singkat lemari sudah kosong dan
isinya pindah ke dalam koper dan tas.
"Nanti kalau perlu baju untuk sehari-hari ngambil?
nya dari sini aja," kata Sukri.
"Iya, Pak. Supaya nggak ada yang ketinggalan."
"Ternyata barang kita dari pertama datang ke sini
sampai sekarang nggak banyak nambahnya, ya."
"Iya. Tapi baju Mama mau dikemanain ya, Pak?
Aku nggak rela kalau dikasih orang. Mau kusimpan
saja." "Biar Bapak bawa saja ke Sukabumi. Di sana kata?
nya ada kamar buat kita seorang satu. Tentunya cukup
lega." "Betul, Pak. Kalau badanku sudah gedean, aku
bisa pakai baju Mama."
Sukri tersenyum. Ia merasa bahagia. Cepat ia meng?
ambil ponselnya untuk mengirim pesan kepada
Budiman. Sedang Nana mengirim pesan kepada Kiki.
Isinya sama. Tujuan sudah tercapai.
Ketika interkom berbunyi dan diterima Sukri, ia
terheran-heran karena Tuan mengatakan, "Nana nggak
usah ke sini lagi untuk cuci piring. Biar pembantu be?
sok yang ngerjain. Kata Imel, Nana mau belajar."
"Ya, Tuan. Terima kasih, Tuan," katanya terharu.
Setelah acap kali menerima hardikan dan umpatan
Isi-Warisan.indd 316 316 Isi-Warisan.indd 317 pedas, maka sekali saja diperlakukan baik rasanya se?
perti selangit. Setelah kemarau berbulan-bulan, hujan
deras sehari saja cukup membuat tanah menjadi basah
dan tanaman segar kembali.
*** Malam itu Budiman bersama Kiki dan keluarganya
me?nerima kabar dari Sukri dan Nana dengan suka?
cita. "Memang mereka tidak mungkin melarang atau
mencegah," kata Budiman.
"Pak Gunawan itu harus segera dikabari," kata
Sumarni. "Sekarang juga ku-e-mail dia."
"Nanti Nana sekamar denganku ya, Pa," kata Fani
antusias. "Ya. Tapi nggak bisa seranjang, Fan. Nggak muat,"
kata Sumarni, tertawa. "Abis tidurnya di mana, Ma?"
"Pakai ranjang susun yang dulu, ya?"
Dulu, Fani dan Kiki tidur sekamar dengan meng?
gunakan ranjang susun. Setelah bertambah besar, tak
mungkin lagi mereka tetap sekamar. Jadi masingmasing mendapat kamar sendiri-sendiri.
Fani berpikir sejenak. "Kalau gitu nggak bisa tidur
ber?dekatan dong. Kenapa nggak di lantai saja, Ma?
Kasurnya didempetin."
"Apa nggak jadi sempit?"
"Kan cuma buat tidur doang, Ma. Kalau nggak di?
pakai, kasurnya dipinggirkan."
317 Mereka diskusi berdua, karena Budiman sudah
duduk di depan komputernya, sedang Kiki masuk ke
kamarnya untuk menelepon Nana.
Sumarni tak perlu berpikir lama-lama. Ia segera
me?nyetujui. Ia menganggapnya sebagai pemikiran
yang bagus. Lagi pula ia merasa malas mengeluarkan
ranjang besi susun dari gudang lalu memasangnya dan
tentu saja harus pula dibersihkan dulu. Padahal Nana
takkan lama. "Oke. Mama setuju. Ide yang bagus, Fan. Besok
kasur untuk Nana akan dijemur dan dibersihkan. Juga
tikar untuk alasnya."
"Besok siang aja, Ma. Pulang sekolah. Aku bantu?
in." "Wah, bagus. Oke, besok siang."
Fani bergegas ke kamarnya untuk mengamati apa
saja yang perlu dibereskan supaya ruangan lebih lega.
Sedang Kiki masih berteleponan dengan Nana.
Nana menceritakan kejadian tadi siang bersama
Imelda dan orangtuanya. "Nggak sangka si Imel jadi baik. Mungkin dia
nggak punya teman dan takut sendirian. Sekarang dia
nggak lagi bergaya jadi nyonya besar. Dia kayak dulu
lagi. Cuma itulah, kalau ngomong suka tinggi."
"Syukurlah, Na."
"Dia sudah membantu aku, tapi minta imbalan, Ki.
Yaitu, besok pulang sekolah kau harus diajak mampir
lagi." "Apa?" Kiki membayangkan Tuan sudah menung?
gu. "Aku bilang, harus tanya dulu sama kau. Mau atau
Isi-Warisan.indd 318 318 Isi-Warisan.indd 319 nggak. Aku juga bilang, kau malu sama papanya. Asal
papanya nggak ada aja."
"Terus dia bilang apa?"
"Belum sempat ngomong lagi tuh. Dia pernah ta?
nya papanya, kenapa sih senang banget sama kamu.
Kata?nya, dia pengin punya anak lelaki. Kamu di?
bayang?kan jadi anaknya. Hi hi hi...."
"Ah, gombal...."
"Ya, memang. Tapi lihat besok aja deh. Udahan
ya, udah malem. Besok aku punya cerita baru, dapet?
nya dari Imel." "Cerita apa? Bocoran dikit dong, Na."
"Dikit aja, ya? Tentang ruang bawah tanah itu...."
"Wah, kalau itu sih nggak mau dikit, Na. Semua?
nya." "Yeee... kalau dikit ya dikit. Besok deh. Mau tidur
nih. Kamu juga. Udah, ya...."
Nana mematikan teleponnya. Kiki memandang
ponselnya dengan kecewa. Di luar kamarnya, kedengaran Budiman memanggil,
"Ki, udah mau tidur, ya?"
Dengan sigap Kiki bangun, lalu membuka pintu.
Budiman menyelinap masuk. Ia duduk di kursi. Kiki
duduk di tempat tidur. "Ada apa, Pa?" "Tadi Papa di samping mengirim e-mail, juga
nelepon ke Om Gunawan di Sukabumi. Takutnya dia
nggak buka e-mail. Jadi semuanya sudah beres. Dia
akan menunggu kedatangan Sukri hari Sabtu. Besok
kalau ketemu Nana, cerita saja sama dia. Papa nggak
mau nelepon Sukri, takut mengganggu yang punya
319 rumah. Terus kalau Nana mau ikut ke Sukabumi untuk
melihat situasi, dia boleh ikut. Bapaknya ditinggal, dia
ikut pulang bersama Papa."
Mata Kiki membesar. "Aku ikut juga dong, Pa. Pulang sekolah, ya? Kan
nanti kembali lagi ke sini sama Nana."
"Nanti Fani pengin ikut juga."
"Fani bisa lain kali. Kalau saatnya nganterin Nana
ke sana." "Baiklah. Nanti ngomong dulu sama Mama, ya.
Sekarang tidurlah." Budiman menepuk pundak Kiki lalu keluar.
Kiki melompat tinggi. "Yuhuiiii!" teriaknya.
Di depan pintu kamar, Budiman tersenyum.
Isi-Warisan.indd 320 320 Isi-Warisan.indd 321 IMELDA menolak diajak ikut ke kantor perusahaan
milik ayahnya. Kemarin ia ikut tapi lalu bosan se?
tengah mati. Siapa yang bisa diajaknya bermain atau
mengobrol? Semua karyawan, biarpun mengaguminya,
sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ia diberi
komputer untuk berinternet atau bermain game, tapi ia
tidak suka. Ia ingin seseorang yang bisa diajak ber?
interaksi. "Bilang aja kamu mau ketemu si Kiki, ya?" canda
David. "Papa nggak, kan?" balas Imelda.
"Uh, bisa aja kamu. Ya, Papa memang nggak bisa
pulang siang. Langsung pulang sore."
"Sama Mama, kan?"
"Iya." Imelda bersorak dalam hati. Bagus! Kata Nana,
Kiki malu sama ayahnya. Tak heranlah kalau ayahnya
ber?sikap begitu... ah, begitu apa ya? Mesra, akrab,
321 dekat? Ia juga melihat tatapan ayahnya kepada Kiki.
Sayang sih sayang, suka sih suka, tapi sepertinya agak
aneh. Sesudah itu masih pula dipandanginya foto di
komputer. "Habis nanti kamu sama siapa?" tanya Linda.
"Kan ada Bi Entin dan Pak Sukri. Siang nanti ada
Nana." "Ya sudah. Nanti mau pesan apa? Pizza lagi?"
"Nggak ah. Bosan. Bakmi aja, Ma. Pakai pangsit
goreng." "Baik." Pak Sukri dan Imelda melepas kepergian Tuan dan
Nyonya. "Terima kasih ya, Non, kemarin udah bantuin
ngomong." Ucapan itu membuat Imelda mendapat ide.
"Kalau begitu, ada balasannya dong, Pak."
"Apa, Non?" Sukri jadi khawatir.
"Itu tuh. Buka pintunya." Imelda menunjuk pintu
papan ke basement. Sukri terkejut. "Wah, kalau itu mah jangan,
Non." "Kenapa sih, Pak? Kamu takut hantu, ya?"
"Ah, nggak ada hantu, Non. Cuma bahaya aja."
"Bahaya apa?" "Di situ tangganya sudah lapuk. Kalau diinjak bisa
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patah." "Memangnya siapa yang mau turun ke bawah?"
"Jadi buat apa dibuka-buka?"
"Pengin lihat, Pak. Melongok aja ke bawah."
"Nggak kelihatan apa-apa, Non. Gelap banget.
Isi-Warisan.indd 322 322 Isi-Warisan.indd 323 Kalau mau nyalain lampu mesti turun. Kan tombol
lampunya dekat tangga batu."
"Kalau gitu, aku ambil senter, Pak. Tunggu ya,
jangan ke mana-mana."
Tanpa menunggu jawaban Sukri, Imelda berlari ke
dalam. Sukri hanya bisa geleng-geleng kepala. Lala
tidak seperti Imelda. Lala lebih menurut.
Tak lama kemudian Imelda sudah muncul kembali.
Dia membawa lampu sorot yang lumayan besar.
"Aduh, Non. Buat nyorotin apa sih?"
"Pengin lihat, Pak."
"Nanti kalau hantunya keluar gimana?"
"Tadi katanya nggak ada hantu."
Sukri tak bisa menyahut. "Tapi bener ya, Non. Cuma lihat dari sini aja, ya.
Jauh-jauh. Hawanya nggak bagus, Non. Itu di bawah
sana sumpek banget. Udaranya nggak sehat, karena
nggak pernah dibuka."
"Ya, ya. Buka sajalah," kata Imelda tak sabar. Tapi
dia sudah mengambil jarak, mundur di belakang
Sukri. Sebenarnya Sukri juga ingin melihat suasana di
basement dari tempat itu.
"Tapi nanti jangan bilang-bilang Tuan ya, Non.
Wah, saya bisa dimarahin."
"Nggak, buat apa sih bilang-bilang? Kan aku juga
bisa dimarahin, Pak. Sama aja."
Sukri membungkuk dan menyibakkan tanaman.
Lalu menarik selot papan, sesudah itu menarik handel.
Di belakangnya Imelda bersiap dengan lampunya.
Dengan suara mendecit pintu papan terbuka
323 kemudian disandarkan ke dinding. Terlihat lubang
yang gelap. Imelda menyalakan lampu lalu mengarah?
kannya ke bawah. Kalau mau melihat jelas, ia tak
mung?kin terus-terusan berada di belakang Sukri. Jadi
ia melangkah maju. "Jauhan, Non. Biar udara sumpeknya keluar dulu."
Imelda menurut. Ia mundur selangkah. Ia bisa
mencium bau yang tak nyaman dari arah bawah. Ia
me?nyerahkan lampu kepada Sukri. Sekarang Sukri
yang mengarahkan lampu ke bawah. Imelda mendekat
lagi. "Stop di situ, Non. Cukup kelihatan, kan?"
Mereka melihat ruang yang diterangi sebagian oleh
lampu sorot. Imelda menatap berkeliling, sedang Sukri
mengamati hasil pekerjaannya tempo hari, yaitu
mengubur peti di tengah ruang.
Lama-kelamaan Imelda menjadi tambah berani.
Ruang itu biasa-biasa saja, sama seperti saat ia me?
masukinya bertiga dengan Lala dan Nana. Tapi ke?
lihatannya ada juga yang berubah.
"Lebih bersih kayaknya, Pak. Kok di bagian
tengah ubinnya seperti baru diplester. Lebih putih.
Tadinya item. Eh, malah kelihatan mumbul lebih
tinggi. Ih... kayak itu deh...."
"Kayak apa, Non?"
"Kayak kuburan...."
Sukri terkejut. "Ah, Non bisa aja. Udah, ya. Entar
Bi Entin pengin tahu juga."
"Ya, ya. Udah."
Imelda sudah merasa cukup. Tak ada hantu.
Sebelum menutup pintu papan, Sukri sempat me?
Isi-Warisan.indd 324 324 Isi-Warisan.indd 325 meriksa tangga di bawahnya. Tangga itu tampaknya
ma?sih utuh, tapi tidak jelas kekuatannya kalau di?injak.
Imelda pergi membawa lampu sorotnya. Ia sadar
tak boleh lupa menyimpannya kembali. Kalau nanti
di?tanyai, ia akan bingung mencari alasan.
Sukri membereskan dan menutup kembali sebagian
pintu papan dengan tanaman. Terpikir untuk meletak?
kan pot di atas papan supaya bisa menutup lebih
banyak. Tapi kemudian terpikir lagi bahwa ia takkan
lama di situ. Buat apa capek-capek?
Imelda muncul lagi ke samping Sukri untuk me?
lihat apa yang dikerjakannya.
"Wah, udah ditutup lagi."
"Iya dong, Non."
"Tapi aku heran juga, Pak. Kenapa ubinnya jadi
lain, ya? Tadinya item dekil, sekarang jadi putih kayak
abis disemen." Dalam hati Sukri memuji kekritisan dan daya ingat
Imelda. "Emangnya jelas, Non? Kan waktu turun dulu, di
situ gelap. Tadi mah disorot terang, jadi beda."
"Jelas beda dong. Kelihatan habis disemen tuh.
Tempo hari juga nggak gelap-gelap amat. Ada lampu
kok. Eh, aku punya ide, Pak. Nanti kalau Nana pu?
lang, dia diajak lihat juga. Pengin tahu apa dia se?
pendapat sama aku nggak."
Sukri terkejut lagi. "Udah ah, Non. Buat apa sih?"
"Pengin tahu aja, Pak. Kok Pak Sukri nggak heran
sih?" Imelda menatap wajah Sukri yang buru-buru me?
325 lengos. Sukri tahu dirinya tak pandai berpura-pura.
Dan gadis kecil ini ternyata keras kepala. Lebih dari
Lala yang mudah diberi pengertian.
"Kalau heran juga mau diapain, Non? Biarin aja
begitu." "Pengin tahu itu bagus, Pak. Itu bisa melatih otak,"
kata Imelda dengan gaya sok tahu.
"Bagus sih bagus, Non. Tapi saya mah nggak mau
pusing." "Iya. Soalnya ini bukan rumahmu. Tapi ini kan
rumahku juga, Pak." "Wah, jangan bilang sama Papa, Non. Dia bisa
marah sama saya." "Ih, takut amat sih? Papa itu orangnya baik, tahu?
Dulu Lala juga ngaku pernah turun ke bawah dan
melihat hantu, tapi Papa nggak marah."
"Tentu aja, Non. Soalnya Non berdua itu kan
anak-anaknya, sedang saya?"
"Kan kamu mau pergi. Biarin aja."
"Aduh, jadi Non mau bilang-bilang?"
Imelda tertawa melihat ketakutan di wajah Sukri.
"Hihihi, gitu aja takut sih," katanya terpingkal.
Kalau aku tidak pernah berjanji kepada Tuan, aku
juga tidak akan takut, pikir Sukri. Tapi ia jadi kesulit?
an dengan posisinya sekarang. Tentu saja apa yang
di?lakukannya tadi bukan suatu pelanggaran janji, ka?
rena ia tidak memberitahu bahwa ia mengubur peti di
situ. Tapi ia tidak bisa mengatakan satu hal tanpa
mem?buat Imelda mengejar dan mengorek hal yang
lain. Jadi ia tidak bisa mengakui bahwa dialah yang
menyemen lantai di situ. Isi-Warisan.indd 326 326 Isi-Warisan.indd 327 "Ya. Saya memang takut sama Tuan, Non."
"Padahal tadi kan aku yang maksa kamu. Jadi
kamu nggak salah dong."
Sukri diam. Ia tak ingin melayani Imelda, tapi
sepertinya tak bisa lain.
"Saya mau kerja, Non."
"Baik. Tapi aku nanti mau tanya Nana."
Sukri tak mau menanggapi. Ia pergi mengambil
peralatan kebunnya. Imelda menatap kesal. Ia senang mempermainkan
Sukri, tahu mana yang tak disukai dan ditakuti Sukri. Ia
merasa punya permainan baru yang mengasyik?kan.
*** Cerita baru Nana untuk Kiki adalah mengenai hantu
yang kata Imelda dilihat Lala di basement.
"Tapi itu menurut cerita Tuan kepada Imel. Kata?
nya, Lala mengaku kepada papanya bahwa ia turun ke
bawah bertiga, lalu ia melihat hantu. Tapi yang dua
lagi nggak lihat karena naik duluan. Aku sih nggak
habis pikir kenapa Lala nggak mau cerita pada kami
ber?dua? Kenapa justru pada papanya yang sudah me?
larang turun, bahkan kuncinya pun sampai disem?
bunyikan?" Cerita itu menggetarkan perasaan Kiki. Tapi ia ber?
usaha menyembunyikan dari Nana. Hanya dirinya
yang tahu persis apa yang sebenarnya dilihat Lala dan
membuatnya menjerit! Sama sekali bukan hantu! Dan
tentu saja selain mereka berdua, Tuan juga tahu. Entah
apa Nyonya juga tahu atau tidak. Sepertinya mustahil
327 kalau Nyonya tidak tahu. Bukankah itu rumahnya dan
mereka sudah lama tinggal di situ?
Kalau Lala hanya melihat hantu, ia takkan meng?
adu kepada ayahnya. Soal itu akan dibaginya kepada
Imelda dan Nana. Tapi yang dilihatnya jauh lebih me?
ngerikan dan ia merasa harus mengadu, atau tepatnya,
menanyakan kepada ayahnya. Kenapa kerangka manu?
sia bisa berada di dalam peti di basement? Lalu ayah?
nya memberi penjelasan dan selanjutnya menyuruhnya
berjanji untuk tidak menceritakannya kepada orang
lain. Itu sebabnya Lala tidak mau bercerita kepada
Imelda dan Nana. Yang mengarang soal hantu itu
pastilah ayahnya. Selanjutnya giliran Lala menyuruhnya berjanji
untuk tidak menceritakan apa yang dilihatnya kepada
orang lain. Sampai saat itu ia sudah memenuhi janji
itu. Ia bertekad untuk tidak melanggarnya. Lala sudah
menolongnya, padahal Lala adalah roh. Ia juga takut
melanggarnya. Tiba-tiba Kiki terkejut oleh kesadaran bahwa Tuan
tidak tahu apa yang ia ketahui! Tuan mengira hanya
Lala yang tahu, lalu menyuruhnya berjanji. Tapi Tuan
tidak tahu bahwa ia pun tahu, jadi tidak bisa me?
nyuruhnya berjanji juga. "Hei, Ki! Kok jadi diam sih?" Nana menyentak
pelan lengan Kiki. "Oh, eh... jadi ngebayangin Lala, Na."
"Ingat dia, ya?" kata Nana dengan simpati. "Tapi
Lala dan ibuku bukan hantu, Ki."
"Tentu saja bukan. Mereka adalah roh. Itu juga
yang dikatakan papaku."
Isi-Warisan.indd 328 328 Isi-Warisan.indd 329 "Betul, Ki. Mereka pantas dihormati."
"Ya, Na." Mereka terdiam sejenak sambil berjalan. Ketika
ru?mah tujuan sudah semakin dekat, keduanya teringat
pada Imelda. "Dia memintamu mampir, Ki. Sebagai balasan atas
bantuannya kemarin. Gimana?"
"Tuan ada nggak?"
"Sebentar. Aku tanya Bapak dulu, ya?"
Mereka berhenti, menunggu balasan telepon dari
Sukri. "Ada apa, Na?" tanya Sukri.
"Tuan ada nggak, Pak? Ini Kiki kan disuruh Imel
mampir." "Nggak ada, Na. Oh iya, Na. Ada cerita tentang
Imel tadi pagi." Nana mendengarkan kisah kelakuan Imelda waktu
minta dibukakan pintu papan ke basement.
"Terus dia bilang, mau ajak kau melihatnya juga.
Jangan mau, ya? Nanti Bapak bisa susah kalau Tuan
tahu. Dia bisa marah besar, nanti kita dipersulit."
"Oh gitu, ya. Beres, Pak. Jangan khawatir."
Setelah menutup telepon, Nana menceritakan per?
bincangannya dengan ayahnya kepada Kiki.
"Ya, jangan mau. Dia kan nggak bisa maksa," kata
Kiki. Sebenarnya diam-diam dia juga ingin bisa melihat
sejenak ke dalam ruangan itu. Sama seperti yang
dilakukan Imelda tadi. Tapi ia tidak mau menyusahkan
Sukri. 329 "Kau juga harus siap-siap kalau nanti diajak, Ki,"
kata Nana. "Beres." Setelah mendapat kesepakatan, mereka berjalan
lagi. Imelda sudah menunggu di depan pintu gerbang.
Gayanya seperti kemarin. Di belakangnya berdiri Sukri,
seperti penjaga. "Mampir, kan? Papa nggak ada kok," Imelda
langsung berkata. Bahkan ia segera menarik tangan
Kiki. Tapi Kiki juga menarik tangan Nana meskipun
Nana bermaksud memisahkan diri.
"Tunggu dulu, Mel. Emangnya kita mau ke
mana?" tanya Kiki. "Di teras aja. Duduk-duduk, ngobrol. Kemarin be?
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lum ngomong apa-apa kamu sudah minggat."
"Oke. Kita ngobrol setengah jam aja, ya. Soalnya
aku ditunggu Mama di rumah. Fani udah duluan
pulang." "Huuu... anak Mama, ya?" Iedek Imelda.
"Bukan. Ikut aturan aja."
Imelda mendapat ide. "Gimana kalau kau pulang
dulu, unjuk muka, makan dan sebagainya. Lalu kem?bali
lagi ke sini. Jadi waktunya lebih banyak. Tapi adik?mu
itu nggak usah dibawa-bawa. Ngerepotin aja."
Kiki bertukar pandang sejenak dengan Nana.
"Wah, nggak bisa begitu, Mel. Aku lagi ngurangin
main. Belajar dan belajar."
Imelda tampak kecewa. Kiki jadi khawatir kalau-kalau kekecewaan Imelda
itu berakibat buruk bagi Nana.
Isi-Warisan.indd 330 330 Isi-Warisan.indd 331 "Kapan-kapan masih ada waktu, Mel. Tapi jangan
sekarang." Ucapan itu menggembirakan Imelda. "Oke. Yuk,
sekarang kita ke teras."
Kiki menatap ke arah kamera. Ia nyengir dan me?
lambaikan tangan. Imelda menoleh heran ke arah yang
sama. Lalu ia tertawa. Sedang Nana melengos.
"Kamu itu lucu banget deh, Ki. Papa akan men?
dapat tontonan baru nanti."
"Tapi aku nggak mau duduk di teras, Mel. Kita ke
tempat Nana aja." "Di situ juga ada kameranya."
"Duduknya di dalam dong."
Imelda terpaksa setuju. Ia juga tak ingin dipelototi
ayahnya nanti atau dikomentari macam-macam.
Mereka bertiga berjalan ke tempat tinggal Nana.
Kiki di tengah. Tangan satunya dipegangi Imelda, tapi
tangan satunya lagi memegangi tangan Nana.
Sukri memandangi ketiganya dari belakang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Ia berharap Imelda
melupakan ruang bawah tanah itu.
"Na, pintu itu dikunci nggak?" tanya Imelda me?
nunjuk pintu penghubung di ruang depan.
"Nggak tahu." Nana mengangkat bahu.
Imelda mencoba membukanya. Ternyata terbuka.
"Mau ngapain?" tanya Nana.
Kiki ikut melongok lewat pintu itu. Ruang utama
tampak sunyi sekali. Letak perabotan masih sama.
Sofa juga masih di seberang sana.
"Aku mau ambil Coke di kulkas, ya. Ada yang
331 mau nemenin, nggak?" tanya Imelda, menoleh kepada
Kiki dan Nana bergantian.
Keduanya menggeleng. "Buat kita minum bertiga."
"Aku sih nggak mau," kata Kiki.
"Aku juga nggak," sambung Nana.
"Enakan air putih," kata Kiki lagi.
"Ambil buat sendiri aja, Mel," kata Nana.
Imelda membatalkan niatnya. Ruang yang sunyi
plong itu tidak menyenangkan.
Kemudian mereka duduk di kursi mengitari meja
makan. Imelda membuka tudung saji. Ada nasi dengan
lauk gorengan dan sayur. Sama sekali tidak mem?
bangkitkan seleranya. Tadi ia sudah makan masakan
Bi Entin yang lezat. Kiki menatap arlojinya. "Ayo, mau ngobrol apa?"
"Kamu cerita tentang dirimu dong. Hobinya apa?"
Kiki bicara seadanya, supaya ada yang dibicarakan.
Ia membuat Nana tersenyum diam-diam.
"Oh ya, kamu punya komputer nggak?" tanya
Imelda. "Kalau lulus dibeliin Papa. Sekarang nebeng punya
Papa dulu. Tapi aku udah bisa," sahut Kiki.
"Nanti biar berjauhan, kita tetap bisa berhubungan,
Ki. Pake e-mail, facebook, twitter...."
"Ya, aku tahu. Pake hape juga bisa."
"Kan asyik, Ki. Aku bisa cerita tentang negeri
Belanda. Ada kejadian apa saja. Kau juga bisa cerita
tentang kejadian di sini."
Nana mendengarkan saja. Dalam hati ia bertekad
suatu waktu bisa memiliki komputer juga. Ia pun bisa
Isi-Warisan.indd 332 332 Isi-Warisan.indd 333 melakukan hal yang sama dengan Kiki. Jarak tidak
lagi jadi masalah. Lalu Imelda bercerita tentang negeri keduanya.
Teman-temannya di sana, musim dinginnya, dan kebun?
nya yang mirip hutan. Memandangi Imelda berbicara tiba-tiba Kiki me?
rasa seolah melihat Lala. Memang Imelda mirip sekali
dengan Lala meskipun tidak persis. Dulu ia tidak bisa
lama-lama memandangi Lala karena pertemuan hanya
berlangsung singkat. Sekarang ia seolah ingin
memuaskan hati dengan memandangi Imelda. Kerindu?
an yang dulu bisa ia puaskan.
Selama ini ia hanya mengandalkan cerita Nana
untuk membangun kesan perihal Lala. Imelda yang
ceria dan aktif ini tampaknya tidak seperti Lala, tapi
ka?rena ia juga tidak mengenal Lala, maka sosok
Imelda-lah yang mengisi keingintahuannya tentang
Lala. Lama-lama tidak kentara lagi perbedaan, mana
Lala dan mana Imelda. Yang jelas sosok yang hidup
dan berada di depannyalah yang dominan mengesan?
kan. Diam-diam Nana memperhatikan Kiki. Perasaannya
yang tajam mengatakan bahwa Kiki menyukai Imelda.
Tapi ada suara hati yang juga mengatakan bahwa hal
itu disebabkan karena Kiki teringat pada Lala dan
adanya kemiripan antara Lala dan Imelda. Suara hati
itu bisa membuatnya mengatasi kesedihan.
Kiki menatap arlojinya. Setengah jam sudah ber?
lalu. Yang mengingatkannya akan waktu adalah
perutnya. Imelda melihat isyarat itu. Tiba-tiba teringat
333 akan topik yang sebenarnya ingin dibicarakannya de?
ngan Nana, yaitu mengenai basement yang tadi dilihat?
nya bersama Sukri. "Pulang, ah," kata Kiki sambil berdiri, diikuti
Nana. "Satu cerita lagi, Ki. Juga Nana. Tentang base?
ment," kata Imelda buru-buru.
Kiki dan Nana tertegun. Mereka sudah bersiap ten?
tang hal itu setelah diberitahu Sukri. Tak urung Kiki
jadi ingin tahu. "Memangnya ada apa sih dengan basement?" tanya
Kiki. "Mestinya kita lihat, tapi nggak ada waktu, habis
Kiki mau pulang sih," Imelda menyesalkan.
"Nggak usah lihat. Cerita aja," kata Nana. Pesan
ayahnya tadi adalah jangan mau kalau diajak melihat
basement, tapi tidak jelas apa sebabnya,
"Ya. Cepetan ceritanya."
"Oke. Tapi tanpa melihat pasti penasaran."
"Nggak," kata Nana dengan nada pasti.
Imelda memonyongkan mulutnya kepada Nana.
"Huuu... belum tahu aja kau."
"Ayo cerita. Nanti aku pulang nih," kata Kiki.
"Baik. Tadi aku maksa Pak Sukri buka pintu ke
basement yang di halaman itu. Kita kan pernah turun
ya, Na? Dulu itu kan lantai ubinnya item dekil, eh,
masa sekarang kelihatan putih kayak habis disemen.
Terus di tengahnya lebih mumbul. Padahal dulu kan
rata. Aneh bener deh. Tapi Pak Sukri nggak merasa
aneh. Cuma aku doang. Mestinya kamu juga lihat, Na,
supaya bisa ikut komentar."
Isi-Warisan.indd 334 334 Isi-Warisan.indd 335 Nana berpikir sejenak. Mestinya itu aneh juga, tapi
kenapa dia harus pusing? Dia tidak akan tinggal di
situ lagi. Jadi ia menggeleng dengan tegas.
"Nggak pengin lihat, ah. Males."
"Besok?" tanya Imelda penuh harap.
"Nggak. Takut diomelin. Kamu sih nggak apa-apa.
Tapi aku sama Bapak? Lagian kami mau pergi, Mel.
Nggak ada urusan lagi."
Imelda merengut. Ia tidak bisa berpaling kepada
Kiki karena ia tidak tahu bahwa Kiki pernah turun
juga. Kiki bertanya-tanya juga di dalam hati, tapi ia tahu
tidak boleh memperlihatkan keingintahuannya. Yang
tahu hanya Lala, pada siapa ia terikat janji.
"Sudahlah," kata Kiki akhirnya. "Siapa tahu
papamu pernah nyuruh orang untuk nyemen lantai di
bawah itu. Emangnya kamu tahu apa kalau tinggalnya
begitu jauh." "Mana mungkin aku tanya ke Papa? Nanti malah
diomeli." "Ya sudah jangan tanya. Nanti Pak Sukri yang
diomeli. Yang penting nggak ada hantunya. Jadi kamu
sudah lihat dengan mata kepala sendiri. Nggak perlu
takut lagi, kan?" kata Kiki dengan suara membujuk.
Imelda merasa terhibur. Hari itu Kiki pulang tanpa berlari.
*** Sore hari Tuan dan Nyonya pulang bukan saja mem?
bawa makanan, tapi juga lima dus ukuran sedang yang
335 ditaruh di dalam bagasi mobil. Kelimanya ditutup
rapat dengan plakban. Ketika Nyonya bersama Imelda, diikuti Nana, ma?
suk ke dalam membawa makanan yang mereka beli,
Tuan menggamit Sukri, mencegahnya ikut masuk.
"Kamu turunin dus itu saja, Kri. Sekarang taruh di
sudut teras," kata Tuan dengan suara perlahan. "Besok
dimasukin ke basement, ya."
Sukri tertegun. "Ada Non Imel, Tuan. Kalau dia ikut turun, bagai?
mana?" "Besok dia akan diajak pergi. Kamu leluasa kerja
sendiri. Siang-siang aja, kalau yang lain sudah pada
pulang. Dan tentunya juga sebelum Nana pulang. Pasti
nggak makan waktu lama."
"Apa itu barang pecah-belah, Tuan?"
"Bukan. Kertas dokumen yang sudah nggak ter?
pakai." "Kalau gitu bisa dijatuhin dari atas, Tuan?"
Tuan melotot. "Gila kamu! Dusnya bisa pecah,
tahu?" Sukri berpikir sejenak. Ia sudah mengangkat satu
dus, dan ternyata lumayan berat.
"Saya tahu, Tuan. Pakai tali turuninnya."
"Terserah kamulah, pokoknya di bawah nanti taruh?
nya yang rapi." Setelah pekerjaannya selesai, Sukri masuk ke ruang
makan untuk membantu Nana menghangatkan makan?
an. Sementara itu Imelda sudah mulai memakan mi
baksonya, juga pangsit gorengnya. Tampaknya sedap
Isi-Warisan.indd 336 336 Isi-Warisan.indd 337 sekali, pikir Nana yang melirik dengan sudut mata?
nya. Di atas meja masih ada dua porsi mi bakso di
dalam wadahnya. Tentu itu merupakan bagian Tuan
dan Nyonya. Tapi Nyonya tidak mengusiknya atau
menyuruh Nana memindahkan ke dalam mangkuk.
Mungkin mereka lebih suka memakannya langsung
dari wadahnya, seperti yang dilakukan Imelda, pikir
Nana. Tentu itu lebih baik lagi karena tidak ada
tambahan piring kotor yang mesti dicuci.
Setelah nasi dan sayur-mayur terhidang hangat di
atas meja, Nyonya menyuruh Sukri dan Nana pulang.
Seperti biasa nanti mereka akan dipanggil lewat
interkom kalau acara makan sudah selesai untuk mem?
bereskan semuanya. "Daaag...!" seru Imelda sambil melambaikan ta?
ngan. Nana tidak membalas. Ia hanya tersenyum. Bukan
karena ingin bersikap ramah, tapi geli melihat mi yang
menjulur panjang dari mulut Imelda.
Sukri dan Nana berjalan menuju pintu pembatas di
ruang depan untuk kembali ke kediaman mereka. Tapi
keduanya terkejut melihat Tuan sedang duduk-duduk
di situ. Ruang yang luas dan biasanya sepi jadi me?
ngejut?kan karena tiba-tiba seperti memunculkan
orang. "Kri, aku mau bicara dulu. Biar Nana pulang
duluan," kata Tuan. Setelah Nana masuk ke kediamannya dan menutup
pintu, Tuan mengajak Sukri ke teras depan. Ia bicara
perlahan, "Kri, apa tadi kamu bilang-bilang sama
337 Nana bahwa besok kamu disuruh turun untuk me?
nyimpan dus-dus itu?"
Sukri menggeleng. "Belum sempat ngomong,
Tuan." "Bagus. Jangan kasih tahu siapa pun, ya. Termasuk
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Imelda. Anak-anak seumur itu rasa ingin tahunya
besar. Terus-terus bertanya ini-itu."
Sukri mengangguk setuju. Tadi ia sudah membukti?
kannya sendiri saat melihat kelakuan Imelda.
"Aku takut bahayanya kalau mereka diam-diam
turun. Dulu si Lala sudah melakukannya," Tuan ber?
kata dengan suara agak gemetar.
"Ya, Tuan." Sukri mengangguk simpati.
"Kalau Nana sampai tahu, nanti Imelda juga tahu.
Mana mungkin mereka bisa saling menjaga rahasia.
Mulutnya bocor." "Ya, Tuan. Saya nggak akan bilang-bilang."
"Aku percaya sama kamu, Kri. Dari dulu kamu
orang kepercayaanku. Sayang kamu mau pergi. Tapi
itu tentu hakmu. Kamu bebas cari hidup yang lebih
baik." Sukri merasa terharu. Ia tidak menyangka Tuan
akan mengucapkan kata-kata yang begitu menyentuh.
"Terima kasih untuk kepercayaan Tuan."
"Aku tahu, kamu dan Nana nggak tahan sama per?
lakuan Nyonya. Maklumin saja, ya. Sifatnya memang
sudah begitu. Jangan dendam sama dia, Kri."
"Nggak, Tuan," sahut Sukri dengan tulus.
"Baik. Satu hal lagi. Yang dulu kaukerjakan di ba?
wah itu nggak kauceritakan pada orang lain, kan?"
"Oh, mengubur peti itu?"
Isi-Warisan.indd 338 338 Isi-Warisan.indd 339 "Ya, yang mana lagi?" kata Tuan.
Kekesalan dalam nada suara Tuan membuat perasa?
an Sukri bergetar. Apalagi ketika ia beradu pandang
dengan Tuan. Oh, mata yang tajam dan dalam itu se?
olah mau menembus. "Sama sekali nggak, Tuan. Buat apa saya ceritacerita??
"Sama Nana juga nggak, kan? Yang penting itu
anak?mu harus dijaga karena mulut anak-anak selalu
bocor. Tahu?" "Ya, Tuan." "Janji itu harus ditepati, Kri."
"Tentu saja, Tuan."
"Baik. Ada akibat buruk kalau janji nggak dite?
pati." "Ya, Tuan." "Sudah. Pulang sana. Karanglah cerita kalau Nana
bertanya." "Ya, Tuan." Hilang sudah rasa terharu dan tersentuh di hati
Sukri barusan. Perbedaan waktu yang tipis menghasil?
kan kesan yang terbalik. Yang terasa sekarang adalah
ketakutan. Tak bisa lain kalimat yang diucapkan Tuan
itu adalah ancaman. Ketika bertemu Nana, ia hanya menyampaikan
kata-kata Tuan yang diucapkan pada awal pembicara?
an. Nana merasa senang mendengarnya.
"Oh, dia melepas kita dengan baik, ya Pak?"
"Begitulah, Na."
"Kita tinggal menunggu apa yang akan dikatakan
Nyonya nanti." 339 "Jangan terlalu berharap, Na."
Mereka makan malam bersama dengan suasana
hati yang berbeda. Ketika interkom berbunyi, Sukri terlonjak tidak
se?perti biasanya. Yang dipanggil Nyonya hanya Sukri
karena menurut dia Nana lebih baik menggunakan
waktunya untuk belajar saja.
"Kayaknya Nyonya juga jadi lebih baik," ke?
simpulan Nana. "Atau berkat bantuan Imel."
"Jangan berharap, Na."
Ucapan Sukri itu sempat membuat Nana heran.
Tapi ia tidak memikirkannya lebih jauh.
Sukri tidak membutuhkan waktu yang lama. Ia
kem?bali dengan cepat. Tapi tidak dengan tangan ko?
song. Ia membawa dua wadah berisi mi bakso yang
tadi berada di atas meja.
"Kata Nyonya, ini sebenarnya buat kita. Tapi tadi
lupa memberikannya."
Nana terheran-heran. "Buat kita? Ah, masa iya."
"Aku juga pikir begitu. Waktu mereka makan, kan
kelihatan di atas meja. Kenapa nggak dari tadi kita di?
panggil? Kenapa menunggu sampai mereka selesai
makan? Kan kita juga barusan makan. Perut ke?nyang."
Nana membayangkan raut wajah Imelda saat me?
nyantap mi tadi. Tampak begitu sedap sampai air liur?
nya hampir menitik. Sekarang ia sudah kenyang. Ke?
san?nya berbeda walaupun selera masih ada sedikit.
"Sekarang mau diapain, Pak?"
"Seperti biasalah. Dibuang saja. Kita sudah berhatihati. Masa sudah mau pergi kita lupa diri," kata Sukri
sambil mengenang perkataan Tuan tadi.
Isi-Warisan.indd 340 340 Isi-Warisan.indd 341 "Sebentar, Pak."
Nana membuka salah satu wadah dan mengamati?
nya. Harum masakan menampar hidungnya. Tampak?
nya mi bertabur potongan daging ayam dan jamur
berikut dua buah bakso besar masih utuh, tanpa bekas
diacak-acak. "Eh, jangan dimakan, Na!" bentak Sukri.
Nana terkejut. Suara ayahnya kedengaran panik.
"Idih, siapa yang mau makan, Pak? Aku cuma
pengin lihat kok." Tanpa berkata-kata, Sukri buru-buru menutup kem?
bali wadah mi yang tadi dibuka Nana lalu membawa
pergi kedua mi tersebut. Nana mengamati dari belakang dengan kening ber?
kerut. Kenapa ayahnya kelihatan begitu ketakutan?
341 NAMA asli David adalah David van der Meer, tapi
ia menggantinya menjadi David Jaya karena tak ingin
terkesan sebagai orang asing. Sementara ayahnya se?
masa hidup masih tetap menggunakan nama van der
Meer, meskipun sudah menjadi warga negara Indo?
nesia sejak beberapa generasi.
Keluarga van der Meer sudah turun-temurun me?
nempati rumah di Jalan Kencana, sejak moyang
mereka menginjakkan kaki di bumi Jakarta sebagai
pejabat VOC. Itu merupakan keunikan tersendiri dari
rumah itu karena teramat jarang ada rumah yang di?
tempati turun-temurun sebegitu lamanya, seolah ada
keterikatan antara rumah dengan penghuninya. Me?
mang pernah beberapa kali rumah itu berpindah
tangan sewaktu perang dan pergantian kekuasaan, tapi
keturunan van der Meer selalu berhasil membelinya
kembali. Meskipun David memiliki darah Belanda, tapi ka?
Isi-Warisan.indd 342 342 Isi-Warisan.indd 343 rena nenek moyangnya mengalami proses kawin silang
dengan pribumi dan juga etnis Tionghoa, maka darah
Belanda?nya tinggal sedikit dan bercampur aduk de?
ngan darah etnis lain. Kulitnya putih tapi tidak bule,
se?dang sosoknya tinggi besar seperti kebanyakan
orang Barat. Wajahnya pun tampan dan matanya
tajam. Linda juga merupakan produk kawin campur hingga
sering disebut sebagai Indo. Jadi keduanya secara fisik
merupakan pasangan yang serasi. Lalu anak-anak
mereka, Imelda dan Stella, juga cantik-cantik dan
fisiknya jelas merupakan produk campur?an.
David merupakan anak tunggal. Orangtuanya se?
benarnya ingin punya anak lebih banyak supaya
kalaupun ada yang berniat meninggalkan rumah itu,
maka masih ada lainnya yang bisa dibujuk untuk
tinggal. Tapi sejak beberapa generasi, mereka turuntemurun selalu punya anak sedikit. Paling banyak dua
orang meskipun tidak ada upaya untuk KB atau pe?
rencanaan. Orangtua David, terutama ayahnya, sudah me?
nanam?kan perasaan "cinta rumah" kepadanya sejak
kecil. Sayangi rumah kita. Ini adalah sejarah keluarga
kita. Jangan tinggalkan. Jangan dijual.
Beberapa kali rumah itu pernah terlepas dari ke?
pemilikan keluarga mereka. Pertama, diambil orang
Jepang. Kedua, diambil pejuang republik. Tapi, dalam
perjalanan waktu, rumah itu berhasil dibeli oleh ke?
turunan keluarga van der Meer hingga untuk se?lanjut?
nya rumah itu turun-temurun menjadi milik keluarga
kembali. 343 Sejarah itu selalu diceritakan turun-temurun pula
dengan rasa kebanggaan, supaya terkesan betapa tinggi
nilai rumah itu. David menceritakannya pula kepada
Lala yang sangat senang mendengarkan. Tapi Imelda
sudah diajak tinggal di Belanda oleh kakak Linda se?
jak bayi. Kalaupun belakangan ada kesempatan untuk
bercerita bila Imelda datang berlibur, anak itu tidak
kelihatan tertarik. Sejak beberapa generasi sebelum David, yang me?
nempati rumah itu adalah anak-anak lelaki keturunan
van der Meer, tapi David tidak punya anak lelaki. Hal
itu tidak jadi masalah karena ia tak lagi menyandang
nama van der Meer. Yang membuat syok adalah kematian Lala. Tentu
masih ada Imelda, tapi anak itu sepertinya lebih me?
miliki keterikatan dengan Negeri Belanda. Bisakah ia
dibujuk untuk menetap di Jakarta kelak dan tentu saja
tinggal di rumah itu? "Apa kau tak ingin punya anak lagi, Ma?" tanya?
nya setengah membujuk. Linda seperti tersengat. "Nggak, ah. Capek ngurus?
nya. Dan umurku..." "Umurmu belum empat puluh. Masih bisa...."
"Emangnya aku hewan peliharaan?"
Cula Naga Pendekar Sakti 9 Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead Cinderella 89 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama