Ceritasilat Novel Online

Warisan Masa Silam 7

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 7


menampakkan kelegaan. "Kapan perginya, pagi atau siang?" tanya Kiki.
Ada harapan dalam suaranya.
"Sekitar jam sepuluh. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Tadinya kupikir, kita masih bisa
ketemu kalau kau perginya siang. Mungkin saat aku
pulang sekolah." Sukri melirik sejenak. Jadi Kiki yang ingin ber?
temu, bukan untuk keperluan perpisahan. Ia merasa
iba melihat wajah Kiki yang kecewa.
"Ya, sayang juga. Tapi nggak apa-apalah, Ki. Kan
kita masih bisa ketemu kalau pulang nanti," kata
Imelda. "Ya, ya," Kiki terhibur oleh suara Imelda yang ma?
nis. "Eh, tahukah kau, si Didin diajak serta?"
Telinga Sukri tegak. Ia menoleh sekarang.
"Lho ngapain dia diajak?" tanya Kiki.
Terdengar suara tawa Imelda. "Katanya buat di?
suruh-suruh. Lumayanlah. Ada kacung...."
Setelah obrolan Kiki dan Imelda berakhir, Kiki
menoleh pada Sukri yang sudah merebahkan badannya
di atas kasur. Sukri sudah tak ingin lagi menguping.
511 Yang penting baginya adalah kepastian bahwa Imelda
tidak akan datang lagi. "Pak, sudah ngantuk, ya?" tanya Kiki.
"Kenapa, Ki? Masih mau ngobrol? Ayo..."
"Tadi dengar kan, Pak? Si Didin mau diajak ke
Puncak." "Iya. Emangnya kenapa?"
"Apa nggak bahaya buat si Didin?"
Sukri duduk sekarang. Ia menatap kritis.
"Bahaya apa? Itu kan biasa aja. Dulu mereka juga
pernah punya kacung sepantaran Kiki, gedean dikit
dari Didin. Ke mana-mana selalu diajak. Kan ada
Nyonya juga." "Entar si Didin digituin, Pak."
Sukri membelalakkan matanya. Ia belum pernah
men?dengar Kiki bicara seperti itu. Ia sendiri tentu tahu
dan punya dugaan sendiri, tapi bahwa Kiki juga
berpikiran sama, tidak ia sangka.
"Digituin apa sih, Ki?"
"Idih, Bapak pura-pura tuh. Masa sih nggak tau?"
"Tahu apa dulu. Ayo kamu cerita duluan dong."
Kiki menyerah. Ia pun bercerita tentang pengalam?
annya dikejar om-om lalu mendengar cerita dari
teman-temannya. "Wah, wah," kata Sukri dengan takjub. Anak seka?
rang sudah banyak tahunya. Tapi ia masih mencoba
me?ngorek. "Lantas apa hubungannya sama Tuan de?
ngan Didin?" "Tuan suka aneh sama aku, Pak. Waktu aku cerita
sama Papa, dia menyuruhku hati-hati dan jauh-jauh.
Aku juga cerita sama Papa tentang yang tadi itu.
Isi-Warisan.indd 512 512 Isi-Warisan.indd 513 Bahwa aku juga cukup tahu tentang orang dewasa
yang suka sama anak kecil. Hahaha. Papa sama kaget?
nya dengan Pak Sukri tadi. Nggak nyangka, kan?"
Sukri juga tahu tentang kesukaan Tuan kepada
Kiki. "Ya. Kadang-kadang ada saja orang yang suka
aneh-aneh. Harus hati-hati saja, Ki. Jangan sembarang
per?caya kalau ada yang suka bujuk-bujuk. Apalagi ka?
lau orangnya nggak dikenal."
"Betul, Pak. Nah, si Didin itu gimana, Pak? Kalau
aku bisa lari, dia nggak."
"Tapi Didin itu ada orangtuanya juga, ada kakekneneknya. Kalau sampai dia cerita Tuan bisa malu.
Apa?lagi ada Nyonya yang galak. Sudahlah. Jangan
mikir?in orang lain, Ki."
"Kasihan juga sih, Pak."
"Sudah. Kalau kau begitu sama semua orang, be?
rapa banyak yang mesti dikasihani, Ki?"
Kiki termangu. Ucapan Sukri itu tentu benar se?
kali. Lantas, haruskah ia masa bodoh saja?
"Barangkali aku bisa deketin si Didin, lalu aku na?
si?hati dia supaya jangan mau kalau mau digituin...."
Sukri membelalak lagi. "Aduh, Ki, buat apa? Nanti
boro-boro dia menghargai nasihatmu, yang ada dia
ma?lah jadi marah. Dan kalau Tuan sampai tahu kau
bisa terancam. Sudahlah, Ki. Itu urusan mereka. Ja?
ngan ikut campur." "Juga soal peti mati itu... eh... maksudku peti yang
hilang itu?" Kiki menutup mulut dengan tangan ketika Sukri
kem?bali memelototinya. 513 Sukri geleng-geleng kepala, tapi kemudian ia ber?
kata pelan dan lembut, "Ki, jangan cari bahaya. Soal
peti, soal Didin, jangan dibicarakan lagi. Kamu masih
kecil. Masih polos. Kamu pengin yang baik-baik aja.
Yang jahat dihukum. Nggak bisa, Din. Tuan dan Nyo?
nya itu kaya dan banyak kenalannya. Orang seperti itu
biar jahat tetap dianggap baik, nggak punya salah."
"Ya, Bapak bener. Aku tahu itu. Cuma pengin
ngomong aja. Tapi si Imel tahu nggak ya papanya
kayak gitu?" Sukri jadi kehilangan akal. Anak ini benar-benar
membuatnya ketakutan. "Jangan sekali-kali kau cerita sama Imel soal itu,
Ki. Kasihan. Dan kalau nanti dia nanya ke papanya
lalu dia menyebutmu, wah, celaka deh."
Kiki menatap wajah Sukri lalu terkejut melihat
wajah itu penuh rasa takut. Tadi ia bicara dan bicara
tanpa memandang. Sekarang baru menyadari efek pem?
bicaraannya. "Pak Sukri... jangan takut gitu dong. Aku cuma
ngomong sama Bapak doang kok. Curhat aja."
"Bener?" Sukri kurang percaya.
"Iya, Pak. Bener."
"Ki, kamu harus sadar bener-bener akan bahayanya
kalau sampai membuat orang-orang itu marah. Bapak
sudah ngerasain. Coba pikir, Ki. Apa kamu rela bila
adikmu diapa-apain, orangtuamu diapa-apain?"
Kiki terkejut oleh ucapan itu. Tak pernah berpikir
ke situ. "Iya Pak. Bener juga tuh."
"Nah. Segala ucapan dan tindakan harus dipikir
Isi-Warisan.indd 514 514 Isi-Warisan.indd 515 bener-bener. Bukan cuma yang bisa berakibat pada
diri?mu sendiri, tapi juga pada orang-orang yang kau?
sayangi." Sukri mengerahkan segala kemampuannya untuk
memengaruhi Kiki. Heran sendiri bagaimana dirinya
yang tidak pintar bicara bisa bicara seperti itu. Ia me?
rasakan dorongan kuat untuk menasihati Kiki dan
membuatnya mengerti. Kalau saja tidak ada Imelda, mungkin Kiki tidak
perlu dinasihati karena ia tidak akan tertarik kepada
rumah itu dan penghuninya. Tapi di sana ada Imelda.
Itu daya tarik bagi Kiki.
*** Sebelum terlelap, pikiran Sukri melayang ke masa
lalu. Tadi ada pembicaraan Kiki dengan Imelda yang
didengarnya. Didin akan diajak ke Puncak. Bukan soal
itu, tapi ada kata "kacung" yang jadi pemicu.
Dulu, ketika ia dan keluarganya belum lama
tinggal di rumah Jalan Kencana itu, di sana juga ada
se?orang yang disebut kacung, yaitu remaja kecil atau
anak baru gede untuk disuruh-suruh. Usianya se?pantar?
an Kiki. Namanya Tono. Menurut cerita Tono, dia sudah bekerja di situ se?
jak kurang-lebih setahun. Tidurnya di kamar belakang
dapur, yang punya akses ke pintu belakang. Jadi kalau
dia ada di sana, dia tidak bisa ke ruang utama di
mana kamar tidur Tuan dan Nyonya berada, juga ke
kamar-kamar lain. Dia hanya bisa ke luar dan masuk
melalui pintu belakang. 515 Hanya itu saja yang diketahui Sukri. Dia dan Tono
jarang bertemu karena wilayahnya berbeda. Sukri di
sayap kiri bagian depan rumah, sedang Tono di bela?
kang. Tono juga sering diajak Tuan ke mana-mana.
Dia tidak sekolah. Entah kenapa Sukri tidak tahu. Ia
juga tidak mau tahu. Mana yang bukan urusannya, tak
ingin diketahuinya. Bi Ani lebih banyak tahu mengenai Tono. Tapi
cerita Bi Ani tak menarik minat Sukri. Sekarang ia
jadi lupa-lupa ingat. Apakah menurut Bi Ani, Tono itu
tadinya anak jalanan yang dipungut Tuan? Mau
disekolahkan tapi tidak mau? Dan awal pertemuan
dengan Tuan karena Tono pernah menolong Tuan dari
kerubutan pencopet? Dari penglihatan sekilas, Sukri memperoleh kesan
bahwa Tuan sayang pada Tono. Sedang Nyonya ber?
sikap tidak peduli. Sama saja perlakuannya seperti
ter?hadap pembantu yang lain. Seperti terhadap dirinya
sendiri juga. Tapi Sukri menganggap Tono sombong dan juga
licik. Tidak terlihat rasa segan apalagi hormat kepada?
nya sebagai orang yang lebih tua. Mungkin bagi Tono
usia muda bukan alasan ia harus menyegani Sukri
karena ia lebih lama di situ dan juga karena disayang.
Sukri tidak memedulikan soal itu. Ia lebih suka meng?
hindar saja dan menekuni pekerjaannya sendiri. Ber?
beda dengan Bi Ani yang suka mengomel dan me?
ngeluh kepadanya karena merasa dikurangajari Tono.
Ia tidak bisa apa-apa, hanya menyuruh istrinya ber?
sabar dan mementingkan pekerjaannya sendiri.
Lalu setahun kemudian Tono menghilang. Menurut
Isi-Warisan.indd 516 516 Isi-Warisan.indd 517 Bi Ani, Nyonya ribut perhiasan dan uangnya hilang
dibawa kabur oleh Tono. Sedang Tuan sendiri tidak
banyak bicara. Tampaknya mereka tidak menghubungi
polisi. Kata Bi Ani, menurut Nyonya bila lapor malah
bisa kehilangan lebih banyak lagi. Bila semula ke?
hilangan ayam, bisa kehilangan kambing sementara
ayamnya tidak bisa diperoleh kembali.
Sedikit-banyak kejadian itu membuat Sukri ber?
syukur. Pertama karena wilayah tempat tinggalnya
ber?ada di luar, tak ada akses ke bagian dalam, hingga
tak ada alasan untuk mencurigainya. Kalaupun ada
kegiatan yang harus dilakukan di dalam rumah, dia
dan Bi Ani tak pernah ditinggalkan sendiri. Pintu peng?
hubung pun selalu dikunci. Kedua, perginya Tono
mem?buat suasana di rumah itu terasa lebih melegakan.
Seperti hilangnya duri dalam daging.
Suatu hari Nyonya menyerahkan padanya satu kan?
tong plastik hitam untuk dibuang sejauh mungkin.
Kalau bisa ke tempat pembuangan sampah sementara.
Isinya baju-baju Tono yang ketinggalan.
Di jalan ia mengamati isi kantong. Ada beberapa
potong kaos, kemeja dan celana, juga sandal jepit.
Baju-baju itu masih bagus kondisinya. Ia merasa he?
ran, tapi tak peduli. Namanya orang kabur tentu ter?
buru-buru sampai tak sempat membawa semua barang?
nya. Akhirnya, setelah tak menemukan tempat pem?
buang?an sampah sementara dan juga tak berani mem?
buang di sembarang tempat, apalagi tempat sampah
milik orang, ia memberikannya pada pemulung yang
kebetulan bertemu di jalan. Ia katakan saja terus
517 terang bahwa ia disuruh majikan membuangnya, tapi
kalau si pemulung mau akan diberikan padanya. Si
pemulung kesenangan. Lalu ia disuruh membersihkan kamar yang semula
ditempati Tono. Pekerjaan yang lumayan berat karena
Nyonya menyuruh menyikat lantai dan dinding dengan
karbol. Dipan dan kasur yang bekas ditiduri Tono,
juga lemari kecil tempat pakaiannya pun disuruh
buang, termasuk segala pernak-pernik yang tersisa.
Ia bingung juga. "Buang di mana, Nya?"
"Kamu kasih pemulung aja. Atau tukang loak.
Kalau kamu bisa jual, ya jual."
Ia mengangkuti semuanya ke halaman dan me?
numpuknya dekat pagar. Jadi kalau ada pemulung
yang lewat tinggal diberikan. Ia segan menjualnya,
bu?kan hanya karena nilainya yang tak seberapa, tapi
juga merasa tak nyaman mengantongi uang dari
barang-barang itu. Berhari-hari tak ada pemulung yang lewat se?
mentara barang-barang itu merusak pemandangan.
Nyonya marah-marah kepadanya. Lalu ia punya ide.
Waktu itu ia sudah tahu perihal basement. Karena
pekerjaannya sebagai tukang kebun ia sudah melihat
keberadaan pintu di lantai dekat dinding sayap kanan,
yang tersembunyi di antara semak-semak.
"Masukin basement aja, Nya," ia mengusulkan.
Nyonya melotot. "Mau gampangnya aja, ya!"
bentak?nya. "Memangnya itu tempat sampah? Biarpun
isinya barang rongsokan, tapi punya nilai, tahu?"
Waktu itu ia belum pernah turun ke basement. Tapi


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh dorongan keingintahuan ia pernah membukanya
Isi-Warisan.indd 518 518 Isi-Warisan.indd 519 tapi hanya melongok saja. Di bawah gelap, tak jelas
barang apa yang ada di sana. Ia tidak berani turun.
Mungkin karena Nyonya khawatir ia nekat me?
nurun?kan barang-barang itu, sesudahnya ia disuruh
me?masang gembok pada papan penutup basement. Se?
buah handel baru dipasang di pinggiran papan ber?
dekat?an dengan handel yang menempel pada pintu.
Kedua handel itu dihubungkan dengan rantai besi
yang dilekatkan dengan gembok. Kuncinya dipegang
Nyonya. Lama sesudah itu, bertahun-tahun kemudian, baru?
lah gembok dan rantai diangkat ketika ada barang
yang mau dicemplungkan ke dalamnya. Dan kemudian
tidak dipasang lagi. Itulah sebabnya kenapa Kiki bisa melongok dan
masuk ke dalamnya. Seandainya masih digembok, ia
takkan bisa masuk. Selanjutnya ia takkan pula jatuh
hingga kemudian "berkenalan" dengan Lala dan Bi
Ani. Dan kemudian berkenalan juga dengan dirinya
dan Nana. Sukri menarik napas dalam-dalam dan kemudian
mengembuskannya sambil mengarahkan pandangnya
pada Kiki yang sudah lelap di sebelahnya.
"Sudah begitu jalannya," bisiknya.
Air matanya menggenang. Belakangan ini ia jadi
cengeng. Banyak peristiwa yang menyentuh perasaan.
Banyak sekali hal yang harus disyukurinya. Kiki itu
seperti seorang anak saja baginya, bagaikan anugerah
yang diperoleh tanpa pernah diduga. Ia cuma bisa
berdoa supaya Kiki selalu dilindungi dan selamat dari
bahaya yang mungkin mengintai tanpa disadarinya.
519 Dalam keadaan setengah tertidur, ia merasa ada
se?se?orang duduk di dekatnya. Tangan membelai kepala?
nya. Oh, Ani! Ia tak bisa membuka mata yang terasa
berat sekali. Tapi tanpa melihat pun ia bisa menyadari
kehadirannya. Kehangatan tubuhnya dan terutama
belai?an di kepalanya. "Ani?" bisiknya.
"Kri, jagalah anak-anak kita...," kata suara Ani.
"Oh ya, ya. Tentu saja. Tentu. Tapi... apa maksud?
mu dengan anak-anak? Kan anak kita cuma satu?"
Tak ada jawaban. Yang terasa cuma embusan
angin. Sukri berupaya membuka matanya. Sekarang
tak terasa berat lagi. Tapi setelah matanya terbuka, ia
tak melihat apa-apa. Perasaan akan kehadiran Ani su?
dah tak ada lagi. Kantuknya hilang. Tak mungkin salah perasaannya
bahwa yang tadi itu adalah Ani, meskipun ia tak bisa
melihatnya. Sudah begitu lama, bahkan setelah ia merasa iri
kepada Kiki karena Ani mau menampakkan diri
kepada Kiki tapi tak pernah kepadanya, baru sekarang
ia merasakan kejadian seperti tadi. Apakah itu sekadar
halusinasi atau merupakan penampakan, atau mimpi?
Yang pasti itu berbeda daripada pengalaman Kiki.
Apakah yang dimaksud Ani dengan "anak-anak"
itu adalah Kiki, sebagai salah satu anaknya?
Sukri berpikir lalu menganggapnya sebagai per?
ingat?an yang tak boleh diabaikan begitu saja. Tadi
da?lam perbincangan dengan Kiki ia sudah merasa
begitu khawatir. Ia sampai bingung menghadapi Kiki
yang kelihatannya keras kepala dalam pendiriannya.
Isi-Warisan.indd 520 520 Isi-Warisan.indd 521 Kiki berbeda dengan Nana yang lebih terkendali
meski?pun sama-sama pintar.
Muncul kerinduannya kepada Ani. Kalau saja Ani
masih ada, mereka akan merupakan keluarga yang
utuh. Mereka akan memulai hidup baru di sana. Se?
bagai anak perempuan yang masih tumbuh, Nana me?
merlukan bimbingan seorang ibu.
Kenangan kepada Ani kembali lagi. Berbeda de?
ngan dirinya yang pendiam, Ani suka bicara meskipun
bukan tergolong bawel dan cerewet. Karena tak suka
bergunjing, maka ia membiasakan diri untuk tidak
mendengar tapi bersikap seolah mendengar dengan
akibat komentarnya tidak menyambung. Ani suka
menggerutu dan mengeluh perihal majikan. Padahal
memang jelas ada banyak hal yang perlu dikeluhkan
dari mereka. Kemudian terakhir ia mengeluhkan peri?
hal Tono. Ada hal-hal yang mengherankan, katanya.
Ada yang tak masuk akal. Ada yang begini dan yang
begitu. Meskipun tidak menyimak dengan baik, ia me?
nyampaikan nasihat yang umum, "Jangan ikut campur
urusan orang lain, Ni! Kita urus diri sendiri aja. Kerja
yang bener." Akibatnya sekarang, biarpun dipikir-pikir sampai
otaknya serasa diperas, ia tidak ingat apa saja yang
di?kata?kan Ani kepadanya waktu itu. Apa yang meng?
herankan dan yang tak masuk akal itu?
"Coba kaukatakan padaku sekarang, akan kudengar?
kan," ia berbisik. Takut membangunkan Kiki.
Tapi tidak ada yang menjawab. Sepi kecuali deng?
kur halus Kiki. 521 Sukri sadar, masa lalu tak bisa kembali supaya ia
bisa mendengar kembali semua ocehan istrinya dulu.
Menyesal pun percuma. Ada apa dan kenapa dengan
si Tono? Bukankah ia sudah pergi? Tapi tak perlu juga
keingintahuan itu. Tak ada urusannya dengan dirinya
sekarang. Dia adalah orang yang bebas karena bisa
keluar dari tempat yang tidak menyenangkan itu.
Entah kenapa ia selalu berpikir seperti itu. Padahal
rumah itu bukanlah penjara. Ia juga bukan budak
belian. Buktinya ia bisa berhenti dan keluar. Tapi ia
nyaris tidak selamat. Sekarang ia dan Nana sudah
berhasil keluar dari sana. Hanya Ani yang tidak.
Esoknya, seperti biasa pagi-pagi ia sudah bangun.
Dengan heran ia mendapati Budiman pun sudah ba?
ngun. "Mari kita jalan pagi keliling pemukiman, Kri,"
ajak Budiman. Sukri mengikuti. Ia menganggapnya sebagai ke?
sempatan yang baik untuk bicara berdua. Pada saat
beristirahat setelah berjalan agak jauh, Sukri bicara
tentang Kiki tapi dengan tambahan, "Jangan bilang
saya ngomong begini, Pak. Nanti disangka saya meng?
adu. Tapi ini penting untuk Bapak ketahui. Soalnya
yang tahu cuma saya dan Kiki. Kalau saya nanti
pergi, dan Kiki nggak mau bilang, Bapak jadi nggak
tahu apa-apa." Budiman mendengarkan dengan terkejut-kejut.
"Wah, si Kiki pinter menyimpan, ya. Sebenarnya
aku juga punya pikiran sama seperti kamu, Kri. Masa
udah loncat ke dalam dia nggak buka aja selotnya.
Tapi aku nggak mau nanya-nanya."
Isi-Warisan.indd 522 522 Isi-Warisan.indd 523 "Saya juga punya rahasia, Pak. Tapi saya terikat
janji sama Tuan. Saya nggak mau orang lain nanti
menanggung akibatnya. Tapi Kiki sangat pintar. Dia
nebak-nebak. Saya juga nggak mau bilang bahwa
tebak?annya benar. Jadi saya nggak buka rahasia."
Budiman tertawa. "Lantas menurutmu apa isi peti itu?"
"Waktu saya mau nebak, dia nggak mau. Dia
larang saya ngomong. Ya sudah. Tapi saya yakin, pasti?
nya itu mengerikan. Kalau nggak masa dia menjerit
sampai salah naik tangga lalu terjatuh. Dan Lala dulu
juga menjerit waktu ada di situ, tapi nggak mau
bilang." "Dia nggak mau melanggar janjinya pada Lala. Itu
harus kita hormati."
"Jadi kita juga nggak perlu menyebut dugaan kita
tentang isi peti itu ya, Pak?"
Budiman tertawa. "Betul. Simpan saja di hati
sendiri-sendiri." "Saya bilang sama Kiki, jangan usil sama mereka.
Biarin saja. Eh, dia malah mau nasihatin si Didin,
mau tahu apa Non Imel tahu perihal papanya atau
nggak." "Tapi bagus kau sudah nasihati dia, Kri."
"Saya nggak tahu apa nasihat saya itu akan dituruti
atau nggak. Yang penting Pak Budi sudah tahu."
"Ya. Terima kasih kau sudah memberitahu, Kri.
Nanti aku perhatikan dan ngomong sama dia."
"Tapi waktu saya bilang, apa kamu rela kalau nanti
keluargamu diapa-apain, dia kelihatan terkejut. Mung?
kin baru sadar." 523 "Itu ucapan yang bagus, Kri," puji Budiman.
Mereka pulang dengan perasaan berbeda. Sukri me?
rasa lebih lega, sedang Budiman merasa ketambah?an
beban. Sebagai seorang ayah, ia tahu betul sifat Kiki.
Tapi Budiman merasa senang karena Sukri mem?
beritahu banyak soal Kiki yang selama ini tidak di?
ketahuinya. Memang itulah tujuannya mengajak Sukri
berjalan pagi supaya bisa bicara berdua tanpa didengar
yang lain. Setiap malam ia selalu mendengar bisikbisik percakapan dari kamar Kiki. Kelihatannya
banyak sekali yang diperbincangkan kedua orang itu.
Ia ingin tahu, tapi tak ingin langsung menanyakan.
Ternyata Sukri sudah berinisiatif lebih dulu.
Ia mengagumi keteguhan Kiki memegang janji
kepada Lala. Dan Sukri kepada mantan majikannya.
Mereka tidak menebar rahasia sebagai gosip atau
sensasi. Memang mungkin ada unsur takut di baliknya,
tapi tetap harus dihargai.
Tapi Kiki cukup cerdik dengan main tebak-tebakan
dan perjalanan logika untuk menemukan rahasia yang
disimpan itu. Tanpa memberitahu atau diberitahu,
orang takkan sulit memperkirakan apa yang kiranya
disembunyikan itu. Jadinya ia bisa berbagi dengan
orang lain tanpa melanggar janji.
Budiman sependapat dengan Sukri, bahwa mantan
majikannya itu orang yang berbahaya. Tentu bukan
karena dia diperkirakan seorang pedofil semata-mata.
Tak selalu penyuka seks anak-anak itu juga pembunuh
meskipun di dalam cerita kriminal yang pernah dibaca?
nya, banyak pedofil yang juga pembunuh untuk me?
nutup jejaknya. Isi-Warisan.indd 524 524 Isi-Warisan.indd 525 Bila Sukri sudah pergi nanti, ia akan mencari ke?
sempatan bicara berdua dengan Kiki, khusus mem?
bicarakan hal itu. Ia juga sependapat dengan Sukri,
bahwa yang perlu dikhawatirkan adalah ketertarikan
Kiki kepada Imelda, karena hal itu mau tak mau bisa
jadi alasan untuk si Tuan mendekati Kiki. Ia harus
memikirkan cara bagaimana berbicara kepada Kiki
tanpa meremehkan kemampuannya menjaga diri. Dia
paling tidak suka dianggap sebagai anak kecil.
Budiman sudah berpesan kepada anak-anak supaya
belajar dan mempersiapkan keperluan sekolah sebelum
ia pulang sore nanti. Karena ia akan membawa pulang
sebuah laptop yang bisa menyita waktu dan perhatian
mereka. Bila mereka sudah selesai belajar, maka
mereka bisa fokus kepada barang baru tersebut.
Pesan itu serius diikuti karena ketiga anak itu
merasa antusias. Bagi Sukri hari terakhir itu bisa ia
gunakan untuk menyaksikan kegiatan anak-anak. Dia
sama gembiranya dengan mereka.
Setelah makan malam bersama, mereka merubungi
laptop milik Nana. Budiman sudah meng-install ba?
rang itu di kantornya. Jadi bisa langsung digunakan.
Sukri hanya menjadi pengamat. Ia senang karena
Nana tidak bersikap sebagai pemilik laptop itu. Ia
membagi dengan adil seakan itu milik bersama. Tadi?nya
ia ingin mengingatkan Nana akan hal itu, tapi me?rasa
peringatan seperti itu bisa dianggap meremeh?kan.
Malam terakhirnya di rumah itu justru dilewati
tanpa banyak perbincangan dengan Kiki sebelum tidur.
Sepertinya semua sudah ditumpahkan di malam ke?
marin. Kiki cepat tidur. 525 Sukri berharap bisa mendapatkan pengalaman se?
perti kemarin, ketika ia merasa didatangi Ani. Tapi ti?
dak ada apa-apa. Malam berlalu dengan tenang. Mung?
kin semuanya memang akan baik-baik saja?
Isi-Warisan.indd 526 526 Isi-Warisan.indd 527 HARI Sabtu yang ditunggu-tunggu sudah tiba.
Anak-anak pulang dengan langkah cepat. Terpaksa
ketiga teman mereka yang lain ikut menyamai lang?
kah. Mereka iri karena teman mereka akan pergi ke
Sukabumi. Saat melewati rumah Imelda, Kiki menoleh dan
meng?amati sejenak dari pintu pagar. Yang lain ikut
berhenti. Tidak tampak siapa pun. Mobil hitam besar
yang biasa digunakan Tuan tidak kelihatan.
"Si Imel ke mana? Nggak pernah kelihatan lagi,"


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Madi. "Dia ke Puncak," sahut Kiki.
Mereka berjalan lagi cepat-cepat.
"Udah tahu ke Puncak, kok masih juga dipelotot?
in," kata Madi. "Siapa tahu nyangkut," gurau Kiki.
Mereka tertawa. Nana juga. Ia sudah tak lagi me?
rasa iri kepada Imelda. Fani meliriknya sejenak, lalu
memegang tangannya. Nana menyambut. Mereka jalan
527 berbimbingan tangan. Nana teringat, dulu ia biasa
berbimbingan dengan Kiki. Sekarang tidak lagi. Tapi
itu tidak membuatnya sedih. Kalau sudah merelakan
maka hati harus ikhlas. "Hei, tumben cepat," Sumarni menyambut.
"Iya, sengaja cepat, Ma," sahut Kiki.
"Nggak lari, kan? Papa juga juga belum pulang.
Ayo, kalian makan duluan saja. Papa belakangan."
Nana menemui Sukri. "Pak, udah siap?"
"Udah dong." Sukri menunjuk koper dan tasnya di
pojokan. "Nggak ada yang lupa, Pak?"
Nana memeriksa ke dalam kamar Kiki, kalau-kalau
ada yang ketinggalan. Ternyata kamar Kiki sudah rapi
kembali seperti semula. "Wah, nanti Tante ditinggal sendirian. Nggak ke?
sepi?an, Tante?" tanya Nana prihatin.
"Ah, nggak. Udah biasa kok, Na. Di sini lingkung?an?
nya ramai. Jadi nggak merasa sepi. Coba kalau ting?gal
di Jalan Kencana. Udah rumahnya besar, lingkungannya
sepi." "Iya, Tante. Biar nggak sendirian, di sana sepi,"
kata Nana, tiba-tiba merasa beruntung sekali karena
sudah meninggalkan rumah itu.
Usai makan mereka bergiliran mandi, lalu berganti
pakaian. Sambil menunggu mereka membuka laptop
Nana dan sama-sama menikmati internet, sehingga tak
terasa lama menunggu kedatangan Budiman.
Ketika Budiman datang ia tertawa melihat anakanak sudah rapi.
Isi-Warisan.indd 528 528 Isi-Warisan.indd 529 "Ayo, Pa. Cepetan," kata Fani.
"Sabar. Nggak usah cepet-cepet."
Sumarni menyiapkan pakaian ganti untuk anakanak karena mereka akan menginap semalam. Nana
sudah melakukannya sendiri.
Makanan untuk bekal di jalan disiapkan di atas
meja, berupa lontong isi dan roti keset bikinan sendiri.
Kemarin sore Sumarni membuatnya dibantu oleh
Sukri. Bahkan sebagian besar pekerjaan dilakukan
oleh Sukri dengan instruksi Sumarni. Sukri bekerja
cekatan berkat pengalamannya di masa lalu. Dengan
demikian Sumarni sama sekali tidak merasa kelelahan.
Mereka berdua bekerja dengan riang.
Seminggu dilalui Sukri di rumah itu. Sebagian
besar waktunya dilalui bersama Sumarni. Karena itu
per?pisahan antara keduanya jadi terasa berat dan meng?
harukan. Mereka sama-sama mengeluarkan air mata.
"Terima kasih, Bu," kata Sukri, menyalami
Sumarni. "Sama-sama, Kri. Semoga di sana sukses, ya.
Betah dan nyaman. Dan selalu jaga kesehatanmu."
"Ya, Bu. Terima kasih."
Sumarni sibuk melepas kepergian orang-orang yang
dikasihinya. Cium kanan-kiri. Senang menyaksikan
se?mangat dan kegembiraan anak-anak, juga keceriaan
di wajah Sukri. Akhirnya ia sepi sendiri. Tapi bernapas lega karena
akhirnya Sukri berhasil lepas dari kungkungan untuk
menuju hidup barunya. Masih tinggal satu yang belum
sepenuhnya lepas, yaitu Nana. Tapi waktu untuknya
tak lama lagi. Perjuangan Nana belum usai karena
529 masih harus mengikuti ujian. Ia bertekad untuk lulus
dengan meraih angka setinggi-tingginya. Tujuannya
supaya bisa mudah masuk sekolah di Sukabumi nanti.
Sumarni yakin harapan Nana bisa terwujud karena
Nana pintar dan rajin. Kiki yang dikenal pintar pun
sepertinya kalah. Biarpun sendirian, Sumarni menikmati suasana
yang berbeda dari biasanya.
*** Imelda tak begitu menikmati suasana Puncak. Pikiran?
nya sesekali tertuju kepada Kiki. Barusan mereka ber?
teleponan. Kiki memberitahu bahwa ia dan rombongan
sedang dalam perjalanan menuju Sukabumi dan betapa
riangnya mereka. Di telepon ia pun bisa mendengar
suara canda dan tawa dari Fani dan Nana.
Ia merasa iri. Betapa inginnya ia juga berada ber?
sama mereka. Sekarang ia di situ sepertinya sendirian
saja meskipun berempat. Sebenarnya ia sudah minta
izin kepada orangtuanya sejak beberapa hari yang lalu
supaya bisa ikut dengan mereka. Ia tahu, yang penting
adalah izin itu. Sedang Om Budiman dan Kiki pasti
akan mengajaknya. "Mobilnya kecil begitu. Mana muat," kata Linda,
ibunya. "Muat, Ma. Di belakang anak kecil semua. Nggak
ada yang gendut." "Jangan," David, ayahnya, memberi penguatan.
"Nggak boleh. Masalahnya bukan mobil muat atau
nggak. Tapi keamanannya, Mel. Kalau kamu kenapaIsi-Warisan.indd 530 530 Isi-Warisan.indd 531 kenapa gimana? Memangnya mereka bisa me?no?
long?" "Kenapa-kenapa gimana, Pa?"
"Kamu kan lain sendiri dibanding mereka itu.
Apalagi perginya ke tempat udik begitu. Jauh di pe?
losok. Orang lihat kamu pasti naksir. Nanti yang
diculik itu kamu lho."
"Ah, Papa selalu takut sama penculik...."
"Pokoknya nggak boleh!" Linda berkata ketus.
Jadi Imelda menyimpan saja kekesalannya. Ia
merasa terhibur karena bisa berteleponan dengan Kiki.
Tapi mendengar suara-suara riang itu bangkit lagi
kekesalan itu. Benci sekali.
"Ayo, Mel! Sini!"
Linda meneriakinya dari kolam renang. Mereka
bertiga sedang berenang. Ia sendiri tidak ingin. Pada?
hal ia suka sekali berenang. Ia duduk saja di kursi di
tepi kolam. Memakai baju renang saja tidak.
Ia menggeleng. Ia lebih suka mengamati saja de?
ngan pikiran di tempat lain. Hanya kadang-kadang
kem?bali ke tempat. Kenapa ayahnya mengajari Didin
berenang sepertinya hal itu merupakan sesuatu yang
menyenangkan? Lucu sekali penampilan Didin dengan
tubuh bulatnya. Seperti apa, ya? Imelda mencari per?
umpamaan yang pas. Ah, seperti bayi hipopotamus
atau kuda Nil. Linda berenang di sudut yang lain, tidak mau
dekat-dekat dengan David dan Didin. Lalu ia meng?
hampiri ke tepian di mana Imelda berada. Ia meman?
dang pada Imelda yang tidak mau balas memandang?
nya. 531 "Airnya enak sekali, Mel. Dingin menyegarkan.
Biasa?nya kamu suka berenang. Ayolah. Jangan ngambek
terus-terusan. Lihat mukamu kayak kue bantat...."
"Biarin!" "Mendingan kamu kumpul sama keluarga sendiri,
daripada dengan keluarga orang lain."
"Mereka adalah teman-temanku, Ma. Di sini aku
nggak punya teman." "Ya sudah. Nanti kan ketemu lagi."
"Bukan itu masalahnya, Ma. Tapi suasananya.
Kapan lagi mereka ke Sukabumi dan kapan lagi aku
ada di sini?" "Nanti kita jalan-jalan ke Sukabumi. Minggu de?
pan?" bujuk Linda. "Bukan Sukabuminya, Ma!" seru Imelda keras.
David dan Didin di sudut lain menoleh.
"Hei! Jangan bicara seperti itu kepadaku!" bentak
Linda. Sekarang Imelda menatap ibunya langsung. Tam?
pak sorot kebencian di matanya yang membuat Linda
terkejut. Baru pernah ia melihat seperti itu.
David di sudutnya mulai merasa tidak nyaman. Ia
menyuruh Didin naik dan pergi mandi, lalu masak air
untuk menyeduh kopi. Anak itu sudah cekatan karena
sering diajari. Sesudah itu David berenang mendekati Linda dan
Imelda. "Ada apa?" tanyanya pelan, takut kalau-kalau me?
ledakkan emosi salah satu atau malah dua-duanya.
Linda memelototinya, tapi menahan diri untuk
tidak memaki perihal Didin karena ada Imelda. Ia
Isi-Warisan.indd 532 532 Isi-Warisan.indd 533 sendiri juga sedang kesal karena sekarang David ber?
sikap terang-terangan mengenai hubungannya dengan
Didin, kecuali di depan Imelda.
"Tanya saja sendiri kepadanya," kata Linda. Ke?
mudian ia naik lalu pergi.
Tinggal David berdua dengan Imelda.
Sebelum David bertanya, Imelda sudah berkata,
"Nggak usah tanya-tanya, Pa. Tahu sendirilah."
"Ya. Soal ke Sukabumi itu, kan?"
Imelda tidak menyahut. Raut wajahnya memperlihat?
kan, sudah tahu masih bertanya.
"Sori ya, Mel. Papa juga nyesel nggak memberi
izin," kata David pelan, khawatir kedengaran istri?
nya. "Oh ya?" Imelda membelalakkan matanya. Dalam
ke?marahan pun dia tampak cantik.
"Ya, benar." "Ah, percuma saja ngomong begitu sekarang.
Lantas apa Papa mau nyewa helikopter untuk mem?
bawaku ke Sukabumi sekarang? Tahu juga nggak di
mana tempatnya. Papa ngomong begitu untuk meng?
hibur?ku saja. Buat apalah."
"Sudahlah, jangan marah terus, Mel. Besok lusa
masih bisa ketemu Kiki."
"Nggak mungkin, Pa. Mereka itu mau ujian.
Nggak mungkin main lama-lama. Tapi sekarang me?
reka bisa jalan-jalan dan bermain. Kubayangkan me?
reka ada di tengah kebun yang luas, berlari-lari dan
kejar-kejaran. Oh, senangnya...."
David merasa iba kepada putrinya. Seharusnya ia
lebih memberi perhatian kepada putri yang tinggal
533 satu-satunya ini. Jangan sampai kehilangan lagi seperti
ia kehilangan Stella. "Sori, Mel," hanya itu yang bisa dikatakannya.
"Sori... sori...," sungut Imelda.
"Nanti kalau mereka selesai ujian, bisa main sam?
pai puas. Kita ajak mereka ke sini. Bagaimana?"
"Sebelum mereka selesai ujian, aku sudah harus
pulang, Pa. Lupa, ya?"
David baru ingat. Sepertinya baru kemarin saja
Imelda datang. "Tapi di Holland temanmu kan banyak, Mel."
"Oh, jadi Papa ingin aku cepat kembali saja, ya?"
Tuduhan Imelda itu membuat David tertegun. Su?
dah lama berjauhan dari Imelda membuat ia jadi ter?
biasa. Dan tak bisa menjadikannya sebagai pengganti
Lala. Biarpun mirip, tapi tetap tidak sama. Kedekatan
itu tak ada. "Pa, kenapa sih si Didin pakai diajarin berenang
segala?" tiba-tiba Imelda berganti topik.
David terkejut oleh pergantian yang mendadak itu.
Ia sampai melongo sejenak.
"Dia nggak bisa sih. Kasihan aja. Pengin tahu anak
gen?dut bisa berenang nggak. Hahaha..." David tertawa.
Imelda tidak ikut tertawa. "Dia kan cuma ka?
cung..." "Biarpun kacung, tapi dia baik. Lebih baik dari?
pada si Nana." "Memangnya Nana kenapa?"
Ditanya begitu David tak bisa menjawab. Semula
ia mengira Imelda tidak suka kepada Nana. Apakah
sekarang sudah berubah? Isi-Warisan.indd 534 534 Isi-Warisan.indd 535 "Nana dan bapaknya baik kok. Cuma dia nggak
dibaikin aja. Jadi pergi deh...," Imelda melanjutkan
karena David diam saja. "Emangnya mereka bilang apa sama kamu? Itulah
kalau kamu dekat-dekat mereka. Jadi kena hasut," kata
David gusar. Imelda jadi keder melihat kegusaran ayahnya.
"Justru mereka nggak pernah bilang apa-apa.
Mereka takut sama Papa dan Mama. Aku nebak sen?
diri aja. Logis aja dong, Pa. Kalau mereka betah,
masa sih sampai pergi."
"Itu bukan soal betah, Mel. Si Sukri pengin jadi


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

petani." Imelda belum pernah melihat wajah gusar ayahnya
seperti itu. Padam sudah semangatnya untuk mem?
bantah. Tiba-tiba dia merasa kecil. Sesuatu yang dike?
tahuinya justru membuatnya semakin kecil. Padahal
semula dikiranya bisa membuat dirinya lebih pintar
dan lebih tahu. "Ayo, kasih tahu, Mel. Mereka cerita apa aja sama
kamu?" "Nggak cerita apa-apa. Aku udah bilang, cuma
nebak doang. Emangnya cerita apa?"
"Bohong kamu." "Kenapa mesti bohong?"
"Tadi kamu bilang, mereka takut sama aku dan
Mama. Apa mereka yang ngomong begitu?"
"Itu sih nggak usah diomong juga kelihatan. Aku
kan lihat, Pa." Imelda merasa dirinya bukan sekadar diajak ber?
bincang, melainkan diinterogasi seperti maling. Dan
535 tatapan ayahnya begitu menyorot tajam seakan mau
menembus pikirannya, mengorek apakah ia berbohong
atau tidak. David tiba-tiba merasa kedinginan. Baru sadar diri?
nya bertelanjang, hanya mengenakan celana renang. Ia
buru-buru keluar dari kolam dan menyambar handuk
untuk mengelap tubuhnya. Imelda juga bangun dan
berjalan masuk ke dalam. "Nanti kita ngomong lagi, Mel!" seru David.
Imelda tidak menyahut dan tidak menoleh. Ia se?
gera masuk ke kamarnya. Lalu menangis. Ia ingin
sekali pulang, kembali ke pelukan om dan tantenya.
Di sana ia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Ia
punya tiket balik dan bisa pulang kapan saja. Tapi ia
masih ingin bertemu dengan Kiki.
Dengan perasaan ngeri ia teringat saat berhadapan
dengan ibunya tadi, di tepi kolam renang. Di tengah
kemarahannya yang membuncah dan meletup hampir
saja ia melontarkan kata-kata, "Aku tahu apa yang
Mama lakukan!" Pada saat itu yang terpikir adalah suatu pembalasan
terhadap ibunya. Jangan berpikir anakmu ini bodoh
dan tidak tahu apa-apa. Bukankah pemahaman itu bisa
jadi senjata sebagai kelebihanku?
Tapi sekarang ia merasa bersyukur karena tidak
me?lakukannya. Ia gemetar membayangkan apa akibat?
nya bila hal itu sampai terjadi. Wajah geram dan mata
tajam ayahnya masih terpatri dalam ingatan. Bagai?
mana pula bila ditambah dengan milik ibunya? Me?
reka berdua akan mengeroyoknya. Dia tidak lagi pu?
nya kelebihan sebagai seorang saksi untuk disegani,
Isi-Warisan.indd 536 536 Isi-Warisan.indd 537 melainkan dia akan terkapar dan ditendang sebagai
penghalang. Dia tidak boleh lagi bertemu dengan Kiki
dan segera dikirim pulang ke Belanda. Aduh, seperti
itukah? Bukankah dia anak satu-satunya?
Untuk pertama kalinya ia tidak lagi merasa percaya
diri. Ia teringat kepada Stella. Nyatanya kematian
Stella tidak membuat kedua orangtuanya remuk redam.
Me?reka memang menangis seperti layaknya orang ber?
sedih, tapi benarkah mereka merasa kehilangan? Ia
me?mang tidak tahu banyak karena sebagian besar
waktu?nya habis di negeri lain. Ia hanya pulang se?
tahun sekali. Pada waktu itu ia tidak suka bertanyatanya perihal Stella. Takut mengorek luka. Tapi se?
karang ia bertanya-tanya, apakah memang ada luka?
Pada saat-saat awal usai kematian Stella, ibunya
pernah berkata, "Lala itu rakus sih. Makanan bukan
buat dia malah dimakan. Salah sendiri...."
Teringat akan hal itu ia jadi merinding. Apalagi
kemudian ibunya menasihati, "Pelajaran buat kamu
su?paya tidak pernah makan makanan yang diperuntuk?
kan bagi orang lain."
Jadi itukah sebabnya ia tidak diperkenankan makan
kue keju yang tadinya akan diberikan kepada Sukri?
Tapi kenapa? Ibunya telah berbuat jahat kepada Sukri, kenapa
pula harus berbaik-baik dengan niat memberi kue?
Ayah?nya tentu tahu akan perbuatan ibunya. Dia yang
mencopot kamera dari tempatnya. Tapi teledor dalam
menyembunyikannya. Apakah mereka memang ber?
sekongkol? Untuk pertama kalinya pula ia tidak lagi merasa
537 bangga akan orangtuanya. Dulu kalau orangtuanya
berkunjung ke Belanda, ia sangat bangga saat mem?
perkenalkan mereka kepada teman-temannya. Mereka
memuji dan mengagumi kegantengan ayahnya dan
kecantikan ibunya. Tapi sekarang, apalah artinya itu.
Masih untung ia punya orangtua angkat. Ah,
sungguh beruntung. Masih ada tempat baginya untuk
pulang kalau di sini ia tidak lagi dikehendaki.
Imelda mengeringkan air matanya. Lalu buru-buru
mencuci muka di wastafel. Kemudian mengamati
mukanya di cermin. Ia menemukan banyak persamaan
dengan wajah ibunya hingga tak ingin mengamatinya
lagi berlama-lama. Padahal biasanya ia suka sekali
bercermin, mengagumi wajah sendiri.
Sejak pertemanannya dengan Kiki dan kawankawan?nya, ia tidak lagi menggunakan bedak atau rias
muka apa pun. Dirinya memang akan berlipat kali
lebih cantik dengan mengenakan riasan, tapi merasa
jadi lain sendiri. Apalagi instingnya mengatakan, Kiki
lebih suka wajah aslinya. Kiki memang tidak mengata?
kannya, tapi dari cara memandangnya ia tahu.
Bahkan Nana pun memujinya, "Kamu cakepan
begitu, Mel!" Ternyata Nana tidak kelihatan cemburu dan kesal
karena Kiki sekarang dekat dengannya. Tadinya ia
mengira sebaliknya karena sebelumnya ia pernah
melihat mereka berdua begitu akrab. Dialah yang dulu
iri setengah mati dan bertekad merebut Kiki. Sekarang
ia jadi malu sendiri. Nana dan Sukri sekarang tampil beda di matanya
dibanding dulu. Ia jadi menyesal bila teringat akan
Isi-Warisan.indd 538 538 Isi-Warisan.indd 539 sikapnya yang kasar kepada mereka. Orang-orang
yang miskin itu ternyata jauh lebih baik daripada
orang-orang kaya, yaitu kedua orangtuanya.
Pintu kamarnya diketuk. Lalu terbuka. Linda me?
langkah masuk. "Mel, masih marah?" tanyanya lembut. Suaranya
tak lagi kedengaran cempreng.
Imelda termangu. Tidak mudah untuk menghilang?
kan kejengkelan dalam sekejap. Tapi ia tahu, tak ada
jalan lain. Maka ia memaksa diri tersenyum.
"Ayolah mandi. Sesudah itu kita pergi makan."
"Ya, Ma," jawabnya pelan.
Sesudah ibunya pergi dan pintu menutup, ia men?
julurkan lidahnya ke arah pintu.
Sebelum mandi ia menelepon Kiki dulu. Ia sudah
janjian dengan Kiki kalau ia yang akan menelepon
dulu?an, supaya bisa mencari momen yang pas yaitu
pada saat tidak bersama dengan orangtuanya. Tapi
kalau hanya berkirim pesan bisa siapa saja yang dulu?
an. "Gimana, Ki, sudah sampai belum?"
"Oh, belum, Mel. Tapi kata Papa sudah dekat. Udah
masuk Kabupaten Sukabumi. Jalannya nggak buru-buru
sih. Kalau capek Papa istirahat dulu. Nyetirnya sendiri?
an." "Iya. Kan nggak perlu ngebut, Ki. Yang penting
aman. Jauh juga, ya."
"Kalau nggak macet sih bisa lebih cepat. Mau ke?
luar dari Jakartanya yang lama. Sesudah di luar kota
sih lancar. Mestinya tiga sampai empat jam juga sam?
pai, kata Papa." 539 "Sekarang udah gelap, ya."
"Oh iya. Jadi nggak ada pemandangan yang bisa
dilihat. Tapi besok bisa."
"Jangan sore-sore pulangnya."
"Oh, nggak. Papa rencananya mau pulang pagi
supaya sampai rumah masih siang."
"Bagus begitu, Ki. Kamu masih harus belajar juga,
ya." "Aku dan Nana bawa buku, Mel. Kalau sempat
bisa belajar sebelum tidur."
"Apa aku boleh nelepon nanti malam, Ki?"
"Tentu saja boleh. Masa nggak? Sekarang kamu di
mana, lagi ngapain?"
"Lagi di kamar, mau mandi terus diajak makan."
"Nanti malam tidur jam berapa?"
"Pokoknya jam delapan aku mau masuk kamar."
"Kedengarannya lagi bete, ya?"
"Ya." "Kalau gitu, nanti malam aku yang nelepon deh."
"Baik. Daaag..."
"Daaag..." Imelda merasa terhibur sesudah mendengar suara
Kiki. *** Setelah menempuh perjalanan selama hampir empat
jam, Budiman sekeluarga tiba di kebun Gunawan.
Mereka disambut oleh Gunawan dan istrinya, Frida.
Tak lama kemudian muncul ketiga anak mereka, Aldo,
Isi-Warisan.indd 540 540 Isi-Warisan.indd 541 Alvin, dan Alicia. Mereka dikenalkan kepada tiga
bocah yang dibawa Budiman.
"Wah, tiga sama tiga!" seru Gunawan tertawa.
Sukri membungkuk dan menyalami Gunawan dan
Frida, majikannya yang baru. Bersama Budiman, ke?
empatnya berbincang sejenak. Lalu Gunawan me?
manggil mandor atau pengawas kebunnya, Dadang,
se?orang lelaki setengah baya berperawakan kekar de?
ngan rambut memutih sebagian, dan mengenalkannya
kepada Sukri dan Budiman.
"Nanti kalau kamu perlu apa-apa hubungi Pak
Dadang saja, Kri," kata Gunawan. "Dia yang akan
mem?beri petunjuk. Sekarang baiknya kamu ikut Pak
Dadang saja yang akan mengantarmu ke mes tempat
tinggal karyawan." "Baik, Pak," kata Sukri.
Budiman membuka bagasi mobilnya. Sukri me?
ngeluar?kan koper dan tasnya. Nana bergegas mem?
bantu membawakan. "Siapa ini?" tanya Dadang ramah kepada Nana.
"Oh, ini anak saya, Nana, Pak," sahut Sukri. "Nanti
dia juga akan tinggal di sini untuk bantu-bantu."
"Ya, ya, saya udah tahu. Mau nemenin Bapak,
kan?" Nana tersenyum dan mengangguk.
"Sudah, kamu nggak usah ikut bawa barang," kata
Dadang. "Nanti saya bantuin."
"Nggak usah, Pak." Sukri tersipu. "Saya bisa bawa
sendiri. Nggak banyak kok."
Tapi Dadang tetap membawakan tasnya. Sukri ha?
nya menjinjing kopernya yang tak ada rodanya. Ia
541 pamit kepada Budiman dan mengangguk kepada Nana
tanpa berkata apa-apa. Nana mengawasi dengan bingung. Sebenarnya ia
ingin ikut, tapi khawatir tidak diperbolehkan. Gunawan
melihat kebingungannya. "Kalau kamu ingin melihat tempatnya, nanti saja,
Na," kata Gunawan. "Biar bapakmu duluan."
"Dang!" seru Gunawan kepada Dadang. "Ajak
Sukri makan dulu, ya!"
"Ya, Pak!" "Nah, sekarang kalian tentu capek sekali, ya," kata
Frida. "Ayo, kuantar ke kamar."
Anak-anak membawa tas masing-masing mengikuti
Frida. Ketiga bocah tuan rumah mengikuti juga. Me?
reka masih ingin tahu. Tadi sudah sempat berinteraksi
tapi belum banyak karena masih canggung dan malumalu.
"Yang namanya Nana itu nanti akan tinggal di
sini," bisik Aldo kepada Alvin. "Dia akan kerja sambil
sekolah." ?"Manis juga, ya," kata Alvin.
"Katanya dia pintar."
Alicia cepat akrab dengan Fani, sedang yang lain?
nya masih bersikap canggung satu sama lain. Semen?
tara Nana dan Kiki lebih terpesona pada alam sekitar?
nya. Kiki akan sekamar dengan ayahnya, sedang Nana
dan Fani ditempatkan sekamar. Nyonya rumah me?
mahami kecanggungan mereka bila ditempatkan se?
kamar dengan orang yang belum dikenal. Rumahnya
memiliki cukup banyak kamar.
Isi-Warisan.indd 542 542 Isi-Warisan.indd 543 Budiman memanfaatkan waktu untuk berbincang
dengan Gunawan. "Aku suka sama orangnya, Bud," Gunawan meng?
akui. "Wajahnya simpatik dan tubuhnya kelihatan


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuat, tinggi kekar. Pasti kuat melakukan kerja fisik.
Petani perlu fisik yang kuat."
"Ya. Orangnya baik. Dan ketahanan fisiknya sudah
teruji waktu jatuh ke basement itu."
"Sekarang sudah pulih betul, kan?"
"Oh, sudah. Kalau belum, dia nggak kuizinkan
kerja dulu. Biar saja istirahat dulu di rumahku."
"Ayolah, kau istirahat dulu, Bud. Kalau sudah
mandi, kita makan, ya? Kalian tentu sudah lapar."
"Lapar sih belum, Gun. Tadi di jalan makan lon?
tong bekal." Gunawan tertawa, menepuk punggung Budiman.
Sampai saat itu ia merasa cukup puas dengan pandang?
an pertamanya. Semula ia sempat khawatir kalau-kalau
orang yang ditemuinya itu berbadan rapuh dan kurang
menyenangkan. Dulu ia tidak menanyakannya secara
detail kepada Budiman. Bagaimana kalau ia tidak suka
padahal sudah berjanji. Apalagi Budiman memberi
gambaran bahwa Sukri sangat membutuhkan pekerjaan
di samping memiliki anak yang tentunya bergantung
kepadanya. Kasihan kalau ditolak. Gunawan sempat
memikirkan untuk mencarikan pekerjaan yang lebih
cocok kepada Sukri seandainya tidak bisa memenuhi
harapannya. Yang ia butuhkan adalah orang yang aktif
bergerak di kebunnya yang luas. Latar belakang Sukri
sebagai petani sudah cocok, meskipun belakangan ia
543 hanya bekerja sebagai tukang kebun rumahan yang
kurang gerak. Usai makan, Gunawan mengajak mereka semua
untuk menjenguk mes karyawan tempat Sukri berada.
Mereka mendapati Sukri sedang berbaur dengan bebe?
rapa karyawan lain. Sukri segera bangkit dan meng?
hampiri begitu melihat mereka.
Sukri mengajak mereka melihat kamarnya yang
terletak paling ujung. Sebuah kamar yang cukup lega
untuk satu orang dengan tempat tidur kayu dan kasur
kapuk dengan seprai bermotif dan bantal bermotif
sama. Ada lemari, meja dan kursi. Di atas meja ber?
tumpuk majalah pemberian Budiman.
Kamar-kamar di mes itu berderet dua-dua, satu di
bela?kang yang lain. Di belakang kamar Sukri ko?
song. "Nah, yang itu buat Nana," kata Gunawan. "Jadi
dekat sama Bapak, kan?"
Nana mengangguk senang. "Terima kasih, Pak,"
kata?nya, berhati-hati untuk tidak menyebut "Om".
Masa memanggil majikan dengan sebutan itu? Mulai
sekarang, ia pun harus menganggap tuan dan nyonya
rumah sebagai majikan dan dirinya sebagai karyawan,
bukan tamu. Dia berbeda dengan Kiki dan Fani.
"Wah, dia baca majalah itu juga, Bud?" tanya
Gunawan setelah mereka keluar.
"Itu pemberianku. Majalah bekas yang kebetulan
kutemukan di kios. Dia senang membacanya. Ter?
masuk si Nana." "Ya, baguslah. Mudah-mudahan semuanya berjalan
dengan baik." Isi-Warisan.indd 544 544 Isi-Warisan.indd 545 Mereka berbincang sambil berjalan, membiarkan
anak-anak di belakang. Mereka masih ingin melihatlihat, ditemani oleh ketiga bocah anak Gunawan.
"Jadi kalian mau ujian juga, kan?" tanya Alvin
kepada Kiki dan Nana. "Sama dengan aku. Kalau
Aldo udah SMP. Dan Alicia kelas empat."
"Nanti habis ujian kamu tinggal di sini ya, Na?"
tanya Aldo. "Terus sekolahnya di mana?"
"Ya. Aku kerja sambil sekolah. Aku mau kerja
juga di sini. Apa aja, bantu-bantu."
"Nanti kamu SMP-nya di sekolahku aja, Na," kata
Alvin. "Sama dengan sekolah Kak Aldo."
"Bisa minta tolong sama Mama untuk masuk ke
sana," sambung Aldo. "Jadi kalau berangkat sekolah
bisa sekalian. Alicia juga sekolahnya sama."
"Oh, senang sekali kalau bisa begitu," kata Nana.
Kiki mengangguk-angguk. Ia merasa senang untuk
Nana. "Aku harap bisa begitu, Na."
"Tapi baiknya kau dapat nilai tinggi, Na. Gampang
diterimanya," kata Aldo lagi.
"Ya, akan kuusahakan," Nana bersemangat.
Sementara itu Fani mengobrol dengan Alicia.
Keduanya merasa sebaya, jadi lebih cocok.
Sukri bergabung dengan teman-teman barunya. Ia
se?nang karena di antara mereka ada orang sekampung?
nya. Ketika mereka sedang ramai bercengkerama, diamdiam Kiki memisahkan diri untuk mencari tempat
yang lebih jauh. Ia ingin menelepon Imelda, sesuai
janji?nya. "Halo, Mel, apa aku sudah bisa nelepon?"
545 "Bisa, Ki. Bisa. Aku sudah nunggu-nunggu," Imelda
kedengaran senang sekali.
"Kami udah sampai, Mel. Wow, tempatnya luas
sekali. Dan indah banget meskipun suasana remangremang. Ada lampunya menerangi di sana-sini. Justru
jadi tambah indah. Seluas mata memandang tanaman
melulu." "Gimana dengan Pak S dan N?" Imelda sengaja
menyingkat nama Sukri dan Nana.
"Oh, Pak Sukri dapat kamar sendiri dan Nana da?
pat kamar di sebelahnya kalau nanti dia tinggal di
sini. Karyawan semua dapat kamar sendiri. Banyak
ka?mar?nya, berderet panjang. Di sini hawanya sejuk,
nggak kayak di Jakarta."
"Asyik dong. Baguslah. Biar mereka pada se?
nang." ?Kamu gimana, Mel? Senang di Puncak?"
"Senang apa? Bete, Ki."
"Tadi udah makan? Makan di luar, ya?"
"Ya. Katanya restoran paling enak. Tapi biasa-biasa
aja. Mungkin nggak berselera sih."
"Si Didin diajak?"
"Iya. Dia ngintil terus, kayak buntutnya Papa."
"Nempel?" "Iya." "Kalau kamu, ngintil mamamu nggak?"
"Huh, siapa yang mau."
"Emang Mama nggak marah sama si Didin?"
"Marah sih marah, tapi Papa nggak peduli."
"Kok gitu ya. Mungkin si Didin disayang tuh.
Kamu nggak iri, Mel?"
Isi-Warisan.indd 546 546 Isi-Warisan.indd 547 "Iri sama kacung? Buat apa?"
"Hei, jangan marah lho..."
"Aku nggak marah sama kamu kok."
"Iya, aku ngerti. Sudah, nggak usah bete lagi, Mel.
Biarin aja. Nggak usah peduli."
"Sekarang aku berusaha untuk nggak peduli...."
"Nah, begitu dong."
"Asal kamu peduli sama aku saja."
"Tentu saja aku peduli."
Kiki tersenyum. Ketika dihampiri anak-anak lain
dia masih tersenyum-senyum.
"Waduh, nelepon siapa tuh?" kata Aldo.
"Ada deh." Dalam waktu singkat, anak-anak itu sudah mulai
akrab. Banyak sekali yang bisa diceritakan. Waktu
cepat berlalu, tahu-tahu sudah jam tidur.
Di kamarnya, Kiki dan Budiman pun berbagi ce?
rita. Kiki menceritakan teleponnya dengan Imelda
tadi. "Katanya, si Didin sudah jadi buntut papanya.
Ngintil ke mana-mana."
"Wah..." "Apakah itu berarti dia sudah...?"
"Mungkin saja." Budiman memahami maksud
Kiki. "Kok dia malah jadi lengket, bukannya ketakutan,
Pa?" "Mungkin dikasih hadiah, atau dijanjikan apa gitu."
"Kok mau saja sih...," kata Kiki penasaran.
"Sudahlah, Ki. Di dunia ini ada banyak kejadian
buruk yang nggak bisa dicegah. Yang penting, kita
547 melindungi diri sendiri saja. Misalnya, kau mau me?
nolong orang pun, belum tentu dia mau ditolong. Bu?
kan saja maksud baik akan sia-sia, tapi kau malah
bisa celaka." Kiki sempat merenungi perkataan ayahnya itu se?
belum tertidur. Isi-Warisan.indd 548 548 Isi-Warisan.indd 549 PERPISAHAN SUKRI dengan para pengantarnya
mengharukan kedua belah pihak, juga tuan rumah
yang menyaksikan. Mata Budiman berkaca-kaca dan suaranya ter?
sendat. Kiki dan Fani menangis. Sedang Nana tersedusedu. Sukri sendiri berusaha sekuat-kuatnya untuk
tidak menangis tapi tak urung air matanya mengaliri
pipinya. Nana memeluk pinggang Sukri, mengeringkan air
mata di bajunya. Sedang Sukri mencium pipi Nana.
Se?suatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Sudah, Na. Nanti kita ketemu lagi, kan? Jadi
kamu harus baik-baik di rumah Kiki, belajar yang
tekun supaya bisa sekolah di sini."
"Bapak juga baik-baik, ya. Jangan sampai ada apaapa lagi. Kerjanya yang baik, ya Pak?"
"Tentu saja, Na."
Ucapan Nana biarpun mengharukan tapi juga me?
549 nimbulkan senyum di bibir Gunawan. Anak itu bukan
hanya berlaku seperti anak, tapi juga seperti seorang
ibu. Ia juga mengagumi kedekatan Budiman dan ke?
luarganya dengan Sukri dan Nana. Kalau mereka tidak
sama-sama baik kepada masing-masing tak mungkin
hal itu bisa terjadi. Barangkali ia pun bisa belajar dan
mengambil hikmah dari situ.
Sukri juga mencium pipi Kiki dan Fani. Dan meng?
ucapkan terima kasih berulang-ulang.
Budiman menjabat tangan Sukri erat-erat. "Selamat
untuk hidup baru, Kri."
"Ya, Pak. Terima kasih."
Lalu Budiman dan anak-anak mengucapkan terima
kasih dan selamat berpisah pada Gunawan, Frida, dan
ketiga anak mereka. "Nanti kamu ditunggu di sini, Na!" kata Frida.
"Ya, belajar yang rajin," tambah Gunawan.
"Jangan lupa kirim e-mail!" seru Alvin.
Ucapan-ucapan itu membangkitkan semangat Nana.
Tidak sepatutnya ia bersedih, karena perpisahan itu
hanya sementara. Tapi ia merasa ada yang hilang.
Mungkin hanya sementara saja.
Kepergian mereka diiringi lambaian banyak tangan.
Sukri mengikuti jalannya mobil sejauh yang bisa ia
tempuh. Setelah itu ia kembali melambai, berdiri me?
mandangi sampai mobil tak kelihatan lagi. Baru ke?
mudi?an ia berjalan kembali menuju tempatnya dengan
langkah yang gagah. Ya, hidup barunya ada di sini.
"Mereka sangat baik," kata Nana.
"Ya. Pak Gunawan itu dulu sahabat Om," jelas
Budiman. Isi-Warisan.indd 550 550 Isi-Warisan.indd 551 "Kami sangat beruntung, Om. Berkat bantuan Om
dan keluarga," kata Nana.
"Aku juga belajar banyak dari Pak Sukri," kata
Kiki. "Belajar apa?" tanya Nana.
"Uh, banyak. Nggak bisa disebut satu-satu."
"Pantesan sering kedengaran bisik-bisik dari kamar?
mu," kata Nana. Kiki tertawa. Budiman juga. Ia menepuk paha Kiki
yang sekarang duduk di sampingnya. Kiki melirik
padanya penuh arti. "Si Alvin itu kayaknya naksir kamu, Na," kata
Fani. Budiman geleng-geleng kepala. Itulah anak-anak
zaman sekarang, pikirnya. Kecil-kecil sudah main
naksir-naksiran. Waktu dia masih kecil dulu, sama
sekali tak ada perhatiannya kepada lawan jenis.
"Emangnya kamu suka dia, Na?" tanya Kiki.
"Ah, nggaklah. Kita kan masih kecil. Masa sukasukaan sih," sahut Nana.
"Bagus!" timpal Budiman.
"Tapi cakepan Aldo," kata Fani lagi.
Mereka tertawa. Budiman merasa harus belajar
mengenai anak zaman sekarang dari anak-anaknya.
Zaman memang sudah berubah.
"Sekarang kita langsung pulang, ya. Nggak jalanjalan dulu. Jalan-jalannya nanti kalau mengantarkan
Nana. Mama kita ajak."
"Horee!" seru Fani.
"Tapi Mama kan pesan kue mochi, Pa," Kiki meng?
ingatkan. 551 "Oh, tentu saja. Papa nggak lupa kok. Kita beli
kue mochi dulu, terus pulang."
Budiman sudah diberitahu oleh Gunawan di mana
membeli kue mochi yang terenak di Sukabumi berikut


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

petunjuk jalannya. Tapi dengan cukup bertanya pada
orang yang ditemui di jalan, ia tidak kesulitan me?
nemukan. "Pa, boleh nggak beliin sedikit buat Imel?"
"Tentu saja boleh. Buat orangtuanya nggak?"
Budiman bergurau. "Ah, nggak. Buat Imel saja"
Buat Imelda seorang cukup satu keranjang bambu
kecil. "Kalau nanti dia nggak doyan, nggak apa-apa. Biar
buat aku saja," kata Kiki.
Tapi kemudian dalam perjalanan pulang, Kiki
mengirimkan pesan kepada Imelda. Imelda langsung
menelepon dengan antusias.
"Oh, aku suka kue mochi, Ki. Terima kasih. Nanti
kauantar sendiri?" "Ya. Kasih tahu aku kalau kau sudah di rumah."
"Mungkin kami sampainya sore, Ki."
"Nggak apa-apa. Pokoknya aku kasih tahu dulu
dan kamu tunggu di luar, ya? Tapi, Mel, kuenya buat
kamu seorang saja. Nggak usah bagi-bagi."
"Siapa yang mau bagi-bagi."
"Nanti kalau diminta kamu nggak kenyang."
"Aku akan cari waktu ketika mereka nggak ada di
luar. Jadi aku yang nelepon kamu. Tapi... apa nggak
merepotkan kamu, Ki? Kan lagi belajar."
Isi-Warisan.indd 552 552 Isi-Warisan.indd 553 "Ah, cuma nganterin ke rumahmu kan nggak jauh.
Lima menit juga sampai."
Budiman hanya tersenyum saja mendengarkan.
Dulu pada saat dia bertingkah seperti Kiki sekarang
ini dia sudah duduk di bangku SLA.
Nana lebih banyak diam. Ia masih mengenang
kebun tadi. Pesonanya belum hilang. Hamparan
tanaman sayur yang begitu luas dengan latar belakang
gunung biru. Nanti dia akan berada di situ. Merasakan
suasananya, menghirup udaranya. Betapa bahagianya.
Tadi sekilas ia sudah menyaksikan kegiatan orangorang di sana. Ayahnya sudah ikut serta. Awalnya
belum paham. Tapi lama-lama pasti lancar. Pekerjaan
seperti itu hanya perlu dibimbing dan diberi petunjuk
sebentar saja lalu menjadi rutin, tak seperti pelajaran
di sekolah. Mungkin ia akan diberi pekerjaan me?
nyortir sayuran karena banyak pekerja perempuan
yang melakukannya. Bahkan ada juga anak sebayanya.
Ia melihat tangan-tangan mereka sudah terampil dan
cekatan. Pasti karena sudah terbiasa.
Pagi tadi seperti kebiasaannya ia sudah bangun
pagi-pagi sekali lalu keluar. Udaranya dingin tapi ia
sudah mengenakan mantel. Ia mencari ayahnya. Di?
lihat?nya Sukri sudah mengenakan baju seragam, celana
dan baju kaos warna biru. Ia tertawa melihatnya.
"Kalau begini gampang membedakannya, Na.
Mana karyawan mana bukan."
"Kalau gitu mestinya di punggung ditulis namanya.
Kayak pemain bola." Sukri tertawa. "Kamu bisa tidur tadi malam, Na?"
553 "Bisa, Pak. Bapak bisa?"
"Bisa. Enak dingin. Lucu ya. Di Jakarta kepanasan,
di sini kedinginan."
"Nggak ada selimut, Pak?"
"Ada. Tapi masih ditambah pakai sarung. Lamalama sih pasti biasa."
"Senang ya, Pak?"
"Iya dong. Kamu juga, kan?"
"Iya. Jadi pengin buru-buru ujian deh."
"Tenang aja. Nggak usah diburu-buru. Eh, sudah
ya. Kamu cepat kembali ke sana. Nanti dicari. Aku
mau cari Pak Dadang."
Segalanya berjalan dengan baik, pikir Nana. Ting?
gal dirinya yang belum. *** Sebenarnya Linda ingin lebih mendekatkan diri de?
ngan Imelda. Pada awal kedatangan Imelda sepertinya
apa yang diharapkannya sudah berjalan dengan baik.
Tapi belakangan ini Imelda terasa menjauh, seperti
benci atau tidak suka padanya. Ia tidak mengerti. Apa
karena Imelda sudah berpihak pada Kiki dan temantemannya, termasuk Nana?
Kecurigaannya ini dikuatkan pula oleh David se?
sudah insiden di kolam renang kemarin.
"Imel sudah kena hasutan," kata David. "Sejak
dekat sama Kiki, dia jadi begitu. Lihat saja bagaimana
belakangan dia suka membela Nana."
"Aku nggak bisa melupakan sorot matanya. Sorot
Isi-Warisan.indd 554 554 Isi-Warisan.indd 555 yang menuduh dan benci. Kok bisa begitu, ya? Aku
sungguh nggak suka dibegitukan oleh anak sendiri."
"Tapi dia nggak bisa dilarang berhubungan sama
Kiki, Ma. Biar sajalah. Toh tinggal dua minggu lagi.
Nggak lama itu." David jadi khawatir juga melihat kejengkelan
Linda terhadap Imelda. "Asal dia jangan bersikap seperti itu lagi kepada?
ku." "Nanti aku bujuk dia. Aku belum sempat ngomong
lagi sama dia." "Ya. Kau terlalu sibuk dengan begundalmu."
David terkekeh. Merasa lucu karena Didin disebut
sebagai begundal. "Biar begitu, kamu kan nggak kulupakan, Ma."
David memeluk dan mencium Linda.
"Hebat juga staminamu."
David terkekeh lagi. "Asal kau jangan cekoki aku
dengan obat itu lagi."
"Tapi si Didin juga hebat."
"Ya, kecil-kecil hebat. Makanya aku belikan dia
vitamin." "Hati-hati saja. Nanti kau membuatnya pecah
berantakan." "Nggak dong. Memangnya dia balon?"
"Hebat mana dia sama si Tono?" tanya Linda, tibatiba berganti topik.
David tertegun sejenak. Sesaat ingatan melayang
ke masa lalu. "Ah, jangan ngomongin dia lagi. Aku nggak suka."
"Ya sudah. Aku cuma tanya."
555 "Heran juga. Bagaimana mungkin kau bisa merasa
nyaman menyebut namanya?"
"Nah, kau yang memulai lagi. Baik. Ganti topik.
Se?telah kau memiliki si Didin, tentu kau sudah me?
lupa?kan Kiki." David terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Bisakah ia
melupakan Kiki? "Kalau kau berani mendekati dia, si Imel pasti
ngamuk. Belangmu akan ketahuan."
"Ah, mana mungkin aku mendekatinya. Bukan si
Imel saja, orangtuanya juga bisa ngamuk. Aku bisa
di?tuntut." "Baguslah kalau kau tahu diri. Jangan seperti pung?
guk merindukan bulan. Beberapa tahun lewat maka si
Kiki tidak akan menarik lagi buatmu, kan?"
Diingatkan begitu, kembali David terdiam. Dia tak
ingin Kiki bertambah besar. Dia ingin Kiki kecil
selamanya. Ketika tersadar ia mendapati Linda sudah tak ada.
Yang muncul di depannya adalah Didin.
"Tuan, katanya disuruh bersiap untuk pulang."
"Ya. Kamu beresin barang-barang yang mau
dibawa, terus bawa ke mobil."
"Baik, Tuan." Didin berjalan pergi dengan langkahnya yang lucu.
David mengamatinya sejenak lalu menghela napas
dalam-dalam. Didin memang bukan Kiki. Tapi dia
mudah didapat dan muncul saat keinginannya me?
muncak. Betapa seringnya dia membayangkan Kiki di
dalam diri Didin. Sama seperti membayangkan Kiki
di dalam Linda. Kenapa pengaruh Kiki begitu
Isi-Warisan.indd 556 556 Isi-Warisan.indd 557 merasuk? Sudah lama ia tak melihat Kiki, hanya pe?
nampilannya di layar saja. Sebenarnya bukan sematamata karena ketampanan Kiki saja yang jadi sebab.
Ada sesuatu yang lain di dalam dirinya. Kelucuan,
kenakalan, dan keberanian. Padahal dulu-dulu ia tak
pernah tertarik pada sifat bocah tertentu, semata-mata
hanya untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya saja.
Bahkan tak ada kesempatan untuk meneliti kualitas
yang dimiliki. Yang penting ada.
Ia ke kamar Imelda. Sejak tadi Imelda di kamar
terus. Ia mengetuk pintunya.
"Siapa?" tanya Imelda.
"Papa. Boleh masuk, Mel??
"Masuk." David membuka pintu. Imelda sedang duduk di
tempat tidur. Tangannya masih menggenggam ponsel?
nya. "Udah neleponnya?" tanya David sambil duduk di
tepi tempat tidur. "Udah." "Kiki, ya?" "Iya." "Gimana kabarnya dia? Masih di Sukabumi?"
"Sudah dalam perjalanan pulang," sahut Imelda
segan. "Kamu neleponnya sama Kiki terus, ya? Nggak sama
yang lain? Tante, Om?"
"Udah, kan." "Serius sama Kiki rupanya."
"Serius apaan, Pa? Emangnya besok mau kawin?"
Imelda ketus. 557 "Maksudku kamu suka sama dia, ya?"
"Iya." "Apa dia juga?"
"Iya dong. Masa bertepuk sebelah tangan."
"Aku kira dia sama Nana."
"Mereka udahan," sahut Imelda dengan ringan.
"Dasar anak-anak."
"Emangnya kenapa sih, Pa?"
"Nggak apa-apa. Tapi kalau nanti kamu kembali ke
Holland, bisa bubar juga dong."
"Nggak dong, Pa. Kan ada e-mail, ada telepon.
Cerita bisa lebih seru."
"Nggak perlu ketemu?"
"Ih, Papa kok cerewet amat sih. Emangnya Papa
nggak pernah muda?" David tertawa. Ia senang karena menganggap
Imelda sudah bisa bercanda. Dan itu mengingatkannya
kepada Lala. Dulu Lala suka bicara seperti itu.
"Jadi kamu nggak ngambek lagi, kan?"
"Masih." David tertawa lagi. Gaya Imelda mengatakannya
terasa lucu. "Kasih tahu aja gimana Papa memperbaikinya.
Tapi jangan minta supaya waktu bisa kembali lagi."
Imelda berpikir. Ia suka ayahnya yang seperti ini.
Tidak melotot seperti kemarin.
"Aku di sini tinggal dua minggu lagi. Cuma se?
bentar banget. Padahal aku nggak bisa main lebih
lama dengan Kiki. Dia ujian, aku pulang. Dia liburan,
aku sekolah." Isi-Warisan.indd 558 558 Isi-Warisan.indd 559 "Ah, Kiki melulu. Yang lain sajalah. Beli baju
sama Mama?" "Bajuku udah banyak. Gimana bawanya, repot."
"Apa dong?" "Nanti aku pikir dulu, ya? Sekarang belum tahu."
David tersenyum. Imelda cukup cerdik.
"Iya deh. Sekarang ayo beres-beres. Kita pulang."
Imelda melompat dengan bersemangat. Pulang ber?
arti bisa bertemu dengan Kiki.
Senyum masih menghiasi wajah David ketika
keluar dari kamar Imelda. Linda melihatnya. David
meng?acungkan jempolnya. "Apa artinya itu?" tanya Linda ingin tahu.
"Aku sudah baikan," sahut David perlahan, masih
tersenyum. "Sama anak kok baikan. Emangnya musuh?"
"Bukan gitu. Kan harus dibaikin."
"Huuu..." Linda mencibir, lalu pergi meninggalkan David.
Tapi tak lama kemudian ia kembali lagi lalu mengetuk
pintu kamar Imelda. Ia membuka pintu setelah men?
dengar sahutan Imelda. "Oh, Mama," kata Imelda seolah mengira orang
lain. "Emangnya kaupikir siapa?"
"Kirain Papa." Imelda sedang memasukkan barang-barangnya ke
dalam tas kecil. Ia tidak menghentikan pekerjaannya.
Juga tidak menoleh ketika ibunya duduk di tepi tem?
pat tidur. Sesaat Linda mengamati saja.
559

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Imelda menatap ibunya. "Apa apa sih, Ma?"
tanyanya. Nadanya terkesan acuh tak acuh.
"Aku masih nggak ngerti sama kamu, Mel."
"Nggak ngerti apa, Ma?"
Imelda memilih duduk di kursi, bukan di samping
ibunya. "Itu yang kemarin di kolam. Kok kamu judes
amat, ya?" Imelda tidak menyahut. Ia hanya mengangkat bahu.
Masa bodoh. "Padahal kalau lagi baik, kamu mirip sama Lala."
"Kenapa harus dibandingkan? Dia adalah dia. Aku
ya aku." "Kamu nggak merasa aja."
"Memangnya kenapa sih, Ma? Apa Mama lebih
suka sama Lala?" "Bukan begitu, Mel. Menyebut namanya bukan
berarti membandingkan. Tempo hari, waktu Nana
masih di sini, kamu tiba-tiba jadi baik sama dia. Yang
Mama suruh malah nggak dijalanin. Waktu itu kamu
jadi mirip sama Lala. Dulu dia begitu."
Tiba-tiba terasa ada kegusaran yang meletup-letup
di dalam diri Imelda, memaksa untuk diledakkan.
Hilang rasa takut. "Mama menyesal Lala nggak ada?"
"Tentu saja. Aku kan ibunya."
"Kenapa dong Mama membiarkan dia mati?"
Linda terkejut seperti disambar petir. "Apa kau bi?
lang?? "Kenapa Mama menyuruh dia membawakan ikan
Isi-Warisan.indd 560 560 Isi-Warisan.indd 561 itu buat Nana dan Bi Ani padahal Mama udah tahu
Lala itu suka ikut makan sama mereka?"
"Mana Mama tahu? Kan si Lala udah makan se?
belumnya. Kenapa dia ikut makan lagi?"
"Apa Mama nggak kasih tahu supaya dia jangan
ikut makan?" Linda terdiam. Tapi wajahnya memerah.
"Kalau aku kasih tahu, nanti..."
Suara Linda yang semula meninggi tiba-tiba ber?
henti di tengah jalan seperti direm mendadak. Napas?
nya menjadi pendek-pendek.
Imelda kehilangan rasa takutnya. Ia merasa ayah?
nya bisa menjadi bekingnya.
"Nanti apa, Ma?" tanyanya, nadanya mendesak.
Linda melompat berdiri. Ia mengangkat tangannya
seolah siap memukul. Tapi beberapa detik kemudian
tangannya jatuh lemas. Ia terduduk kembali.
Imelda malah mendapat hati. Ia merasa jadi pe?
menang. Dia benar-benar melupakan bahwa sosok di
depannya itu adalah ibunya. Yang mendominasi pe?rasa?
annya adalah kemarahan. "Terus Mama ngasih kue keju buat Sukri. Aku min?
ta nggak dikasih. Mama bilang kuenya udah bulukan.
Masa kue bulukan dikasih. Apa Mama mau meracuni
orang?" Linda tersentak lagi. Kali ini ia kehilangan kendali.
Ia melompat dan menubruk Imelda. Kedua tangannya
mencengkeram leher Imelda!
Imelda melawan sambil berteriak-teriak. Kemudian
suaranya tercekik. Pintu terbuka. David menerjang masuk. Ia menarik
561 tubuh Linda sekuat-kuatnya. Karena tenaganya yang
besar tak sulit baginya untuk melepaskan cengkeraman
Linda. Sesudah lepas ia mendorong Linda dan men?jatuh?
kannya ke atas tempat tidur. Kemudian David me?meluk
Imelda. "Kau nggak apa-apa, Sayang?" tanya David. Satu
tangan mengelus-elus leher Imelda.
Imelda menangis. Baginya itu merupakan horor
yang luar biasa. "Sakit?" tanya David sambil mengamati leher
Imelda. Tampak sedikit memerah.
Lalu David menoleh ke belakangnya. Linda sudah
tidak ada. Ia membimbing Imelda ke tempat tidur.
"Kenapa, Mel? Kok bisa begini?"
Imelda sudah lebih tenang. Di sela sedu-sedannya
ia bisa menjawab, "Mulanya aku ngomong soal Lala.
Kenapa Mama membiarkan dia mati. Mama bilang,
itu karena Lala makan yang bukan untuk dia. Terus
jadi ke kue keju buat Sukri."
"Kue keju apaan?" tanya David. Ia tidak tahu me?
ngenai hal itu. "Sebelum Sukri pergi Mama menyuruh kasih kue
keju buat Sukri, tapi kata Mama kuenya udah bulukan.
Aku bilang, emangnya Mama mau meracuni orang?
Terus dia ngamuk...."
"Oooh..." David terpaku. "Kenapa sih Mama itu, Pa?"
"Dari dulu dia kan gampang marah, Mel. Sekarang
lebih lagi. Dia punya penyakit darah tinggi. Omong?
anmu itu tentu dianggap tuduhan yang kelewatan.
Isi-Warisan.indd 562 562 Isi-Warisan.indd 563 Sudah?lah. Sekarang kamu tenangkan diri dulu. Kita
tunda saja pulangnya, ya?"
"Nggak ah, Pa. Mau pulang aja. Yang nyetir kan
Papa." "Baik. Sekarang Papa perlu ngomong sama Mama
dulu." David menemukan istrinya tengah berbaring me?
nelungkup di kamar. Ia duduk di tepinya dan meng?
usap kepala Linda. "Kamu kenapa sih, Ma? Apa kau lupa dia itu anak
kita?" "Aku lupa diri. Darahku naik ke kepala. Ngomong?
nya kelewatan sih." "Namanya juga anak kecil."
"Dia bukan anak kecil lagi."
"Tapi belum dewasa. Ngomongnya masih semba?
rang?an. Mestinya kamu yang bisa mengendalikan
diri." Linda membalik tubuh, lalu duduk. Matanya merah
oleh air mata. "Ini semua gara-gara kamu!"
"Kok jadi nyalahin aku?"
"Kalau kamu bukan pedofil, nggak jadi begini."
"Oh, begitu? Tapi sebelum kita kawin, kau sudah
tahu kan? Tapi kau tetap ingin menikah dengan alasan
bisa menutup aibku. Sekarang menyesal?"
"Kau sudah keterlaluan sih. Dulu sama si Tono,
sekarang sama si Didin."
"Sudah kubilang, orientasi seksualku nggak bisa
ber?ubah." "Kau nggak mau makan obat."
563 "Tapi... ah, sudahlah. Capek melayanimu. Kita ber?
debat nggak bakal ada habisnya. Nanti kau naik darah
lagi. Kau harus menenangkan diri dulu."
"Sudah, kita pulang saja. Lama-lama di sini bisa
meledak." "Ya, kita memang mau pulang, kan? Tapi baiknya
sebelum pulang kau minta maaf dulu sama Imel."
"Apa? Minta maaf?"
"Iya dong. Kau hampir membunuhnya, tahu?"
Mereka saling berpandangan selama beberapa saat.
Ada sekitar lima detik. Lalu sama-sama melengos.
"Ingat, Ma. Nanti dia mengadu sama kakakmu."
"Biarin aja. Aku nggak takut."
"Nanti dia nggak mau lagi ke sini. Bagaimanapun
dia anak kita, bukan?"
"Sebentarlah. Aku pikirkan. Kau pergi dulu."
David kembali ke kamar Imelda untuk menjenguk?
nya. Seleranya kepada Didin sudah lenyap karena
peristiwa tadi membuat ia merasa syok.
Imelda sedang menonton film animasi. Pakaiannya
sudah rapi dan tasnya siap di atas tempat tidur.
"Sudah tenang, Mel?" tanya David.
"Lagi menghibur diri, Pa. Ayo, mau pulang?"
"Mama lagi siap-siap."
Imelda mengalihkan perhatiannya ke televisi.
"Mel... masih marah sama Mama?" tanya David
pelan. "Takuuut..." Kembali David melihat sosok Lala dalam diri
Imelda. Ia tidak mau menyalahkan Imelda karena ucap?
an?nya mengenai Lala kepada Linda. Dulu ia pun
Isi-Warisan.indd 564 564 Isi-Warisan.indd 565 berpendapat sama. Kehilangan Lala adalah pengorban?
an yang tak kepalang besarnya.
"Jangan takut. Ada Papa yang siap membelamu."
"Kenapa dulu Papa nggak membela Lala?" tibatiba Imelda bertanya tajam.
David tertegun. Jantungnya seolah tertusuk duri
tajam. "Bagaimana Papa membelanya, Mel? Itu musi?bah."
"Papa mestinya melarang dia ikut makan."
"Papa... Papa nggak tahu, Mel."
David merasa sangat bodoh di hadapan Imelda. Ia
juga takut. Bagaimana kalau yang bertanya itu Lala,
bukan Imelda? Untunglah Imelda tidak mendesaknya. Ia tidak mem?
bicarakannya lagi. Penyebabnya karena pada saat me?
lirik kepada David, ia melihat air mata menggenang di
sudut mata ayahnya itu. Pada saat itu pintu diketuk.
"Ya!" kata David.
Pintu terbuka pelan-pelan, lalu Linda masuk. Imelda
menatapnya dengan takut. Tangannya meraih lengan
David. Linda langsung menghampiri Imelda, lalu berlutut
di sisi kursinya. Kedua tangannya memeluk dan muka?
nya dibenamkan ke tubuh Imelda.
"Mel... maafkan Mama, ya? Aduh, Mel, Mama sung?
guh menyesal. Sangat sangat menyesal. Tadi Mama lupa
diri." Imelda merasa tak nyaman dipeluk seperti itu. Se?
saat tatapannya tertuju kepada David yang segera
memberi tanda dengan anggukan kepala.
565 "Iya, Ma. Iya. Bangunlah," kata Imelda. Aneh rasa?
nya melihat ibunya berlaku seperti itu.
David pun sempat heran. Apakah Linda sungguhsungguh atau bersandiwara dengan pintarnya? Tapi ia
me?muji Linda yang tidak memperlihatkan arogansi?
nya. Linda cepat berdiri karena lama-lama lututnya
sakit. "Jadi kita berbaikan, ya Mel?"
"Iya." Linda membungkuk lalu mencium kepala Imelda.
"Oke, Mama janji nggak akan berbuat seperti itu
lagi. Tadi Mama merasa seperti kerasukan," kata
Linda. "Rasanya bukan diri Mama sendiri."
Dalam hati Imelda tidak percaya. Tapi ia tahu
tidak boleh berkata begitu.
Mereka bersiap untuk kembali ke Jakarta.
Sepanjang jalan Imelda lebih sering berdiam diri.
Sesekali tangannya mengelus lehernya. Tidak sakit,
tapi membayangkan apa jadinya bila ayahnya tidak
segera menolong. Berkata perihal sesuatu yang tidak
di?ketahuinya saja sudah membuat ibunya beringas
seperti itu, bagaimana pula bila ia mengatakan perihal
apa yang diketahuinya mengenai Sukri?
Selama ini ia hidup dalam lingkungan yang tente?
ram, damai dan sejahtera. Tak pernah ada masalah
berat yang ditemuinya. Sekarang, tiba-tiba terjadi se?
perti itu dengan ibunya sendiri. Ia merasa syok dan
trauma. Otaknya yang tak dilatih berpikir mendadak
ha?rus mengolah itu semua. Mau tak mau harus men?
cari kesimpulan. Isi-Warisan.indd 566 566 Isi-Warisan.indd 567 Ia sudah tahu bahwa ayahnya yang mengamankan
kamera di teras depan setelah Sukri kena musibah.
Pasti ayahnya berkomplot dengan ibunya. Jadi dalam
hal yang satu itu ia takkan dibela atau dilindungi oleh
ayahnya. Sebenarnya ia kurang yakin juga. Bukankah
tadi terasa benar bahwa ayahnya menyayanginya?
*** Kiki memasukkan keranjang kue mochi ke dalam kan?
tong plastik hitam supaya tidak kelihatan, lalu mem?
bawanya ke rumah Imelda. Sebelumnya ia sudah
janji?an lebih dulu dengan Imelda lewat pesan di pon?
sel. Kapan waktu yang tepat untuk membawanya, ha?
nya Imelda yang tahu. Imelda sudah menunggu di balik pintu gerbang ru?
mah?nya. Ia sendiri di situ. Kedua orangtuanya sedang
beristirahat di kamar. Kesempatan baik untuknya. Didin
yang datang mendekat, ingin tahu, disuruhnya pergi
dengan sikap judes hingga anak lelaki itu merasa ngeri.
Begitu melihat Kiki muncul di kejauhan, Imelda
membuka pintu lalu menunggu di luar.
"Hai, Ki."

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, Mel. Ini oleh-olehnya."
Kiki menyerahkan kantong hitam yang diterima
Imelda. "Terima kasih, Ki. Kalian semua baik-baik saja?
Pak Sukri juga?" "Oh, kami baik. Pak Sukri juga. Dia ceria sekali.
Nanti malam aku ceritain di telepon ya. Sekarang aku
mesti segera kembali."
567 "Ya, tentu saja. Selamat belajar, Ki. Salam buat
yang lain, ya." "Ya." Tiba-tiba Kiki terkejut. Begitu saja, tanpa disangkasangka, Imelda mencium pipinya. Kemudian Imelda
masuk, menutup pintu lalu menghilang.
Kiki sempat terperangah beberapa saat lamanya.
Bagai orang hilang ingatan untuk sesaat. Lalu dia
cepat-cepat berjalan pulang sambil mengusap-usap
pipi?nya. Di depan rumahnya ia berdiri sejenak, me?
nenang?kan diri dulu, baru melangkah masuk.
Isi-Warisan.indd 568 568 Isi-Warisan.indd 569 HARI-HARI menjelang kepulangannya ke
Holland, Imelda selalu ikut ke rumah Kiki pada siang
hari. Bila sebelumnya hanya sebentar dengan alasan
Kiki dan Nana perlu belajar, maka sekarang lebih
lama lagi. Sampai sore baru ia pulang diantar oleh
Kiki. Baik Kiki maupun Nana tidak keberatan. Ke?
hadir?an Imelda tidak mengganggu. Mereka merasa iba
kepada Imelda karena keberadaannya di Jakarta
tinggal sebentar lagi. Di samping itu, Kiki sendiri juga
senang dengan kehadirannya. Tapi pada hari Sabtu dan
Minggu Imelda harus ikut orangtuanya ke luar kota.
Mereka tak mau meninggalkannya sendiri di rumah.
Sedang Imelda juga tak mau tidur sendiri di rumah,
maka terpaksa dia ikut serta.
Hari Sabtu itu mereka ke Sukabumi, seperti janji
David kepada Imelda. Dari sana berlanjut ke Pe?
labuhan Ratu, 60 km dari Sukabumi. Jalan yang jauh
dan macet terasa menjengkelkan. Tapi David bisa ber?
gantian menyetir dengan Linda.
569 Seperti biasa, Didin diajak juga. Didin sangat se?
nang bisa berjalan-jalan meskipun sadar dirinya diajak
karena bisa "dimanfaatkan". Baginya, tidak apa-apalah,
asal ada imbalan yang memadai.
Di Pelabuhan Ratu mereka menginap di hotel ter?
mewah, Samudra Beach Hotel. David ingin me?
nyenangkan Imelda. Upayanya berhasil. Apalagi se?
telah Imelda menikmati keindahan pantainya. Dia pun
bercerita dengan seru kepada Kiki lewat ponselnya.
"Barangkali nanti aku pun akan ke situ juga. Papa
udah janji mau ngajak jalan-jalan kalau nanti meng?
antarkan Nana," Kiki tak mau kalah.
"Tapi jalannya jauh, Ki. Pakai mobil tetap aja
nyebelin. Udah macet, jalannya nggak mulus. Banyak
lubangnya. Papa gantian nyetir sama Mama.?
"Oh, mamaku juga bisa nyetir kok."
"Tante ikut juga?"
"Iya dong." "Wah, senang sekali, ya," Imelda tak menyembunyi?
kan rasa irinya. Keluarga Kiki sangat menyenangkan.
Dia ingin sekali bisa menyatu dengan mereka. Ber?
beda dengan keluarganya sendiri. Bersama mereka ia
tak merasa ada yang menemani. Ia merasa sendiri.
"Kedengaran bete. Apa kamu nggak senang?" ta?
nya Kiki. "Senang sih. Tapi sendirian."
"Sendirian? Kan sama papa-mamamu."
"Iya. Tapi rasanya sendirian."
"Biar jauh, aku nemenin juga kok."
Imelda tersenyum. Kiki sudah mulai pintar bi?
cara. Isi-Warisan.indd 570 570 Isi-Warisan.indd 571 "Betul sekali. Siang-malam, tak kenal waktu bisa
nemenin, ya?" "Ya. Asal hapemu nggak kehabisan batere."
Imelda tertawa. Kiki sungguh menghiburnya.
"Ki, beberapa hari lagi aku pergi."
"Ya. Kapan berangkat?"
"Hari Jumat pagi. Jadi Kamis kita ketemu terakhir
kali." Kiki diam sejenak. "Duh, sebentar lagi ya, Mel.
Aku akan kehilangan kamu."
"Aku juga. Tapi kita masih bisa berhubungan. Nanti
kalau kamu sudah punya komputer, bisa cerita lewat email."
"Ya, ya. Sekarang aku udah bisa kok. Belajar samasama Nana."
"Nana baik juga, ya."
"Ya. Mel, aku takut di sana kau lupa sama aku.
Kan di sana banyak sinyo cakep."
Imelda tertawa geli. "Bagiku, kamu yang paling
cakep." "Uh, gombal." "Iya, bener. Pendeknya, jangan takut deh. Aku nggak
akan melupakanmu. Jangan-jangan malah kamu..."
"Wah, itu nggak mungkin."
Dari agak kejauhan David mengamati. Ia tidak bisa
mendengar jelas ucapan Imelda tapi dari gaya dan
wajahnya ia tahu siapa yang ditelepon. Pasti Kiki. Pe?
rasaannya bergetar teringat pada Kiki. Masih saja
begitu. Tapi Kiki adalah kekasih anak kesayangannya.
Mustahil ia tega mengganggu. Lagi pula Kiki takkan
mau diganggu olehnya. Kiki adalah tabu. Seperti kata
571 Linda, dia seperti pungguk merindukan bulan. Takkan
mungkin kesampaian. Jadi buat apa terus-terusan me?
nyiksa perasaan? Apalagi Imelda tidak boleh tahu
me?ngenai kecenderungannya. Pasti akan hilang respek?
nya kalau tahu ayahnya seorang pedofil.
Kalau sudah begitu, ia membenci dirinya sendiri.
Kadang-kadang ia merasa diperbudak oleh keinginan
dan kecenderungannya. Tapi di saat lain ia juga mem?
biarkan dirinya terbawa arus keinginan itu. Ia merasa
layak menikmati hidupnya, seperti apa yang diberikan
kepadanya. Kalau mengatasinya tidak mungkin dan
tidak sanggup, kenapa tidak membiarkan saja? Dia
juga tidak ingin menjadi seseorang yang tidak disukai,
bahkan dianggap kriminal. Tapi sudah dari sananya
dia mendapatkan kecenderungan seperti itu. Dia meng?
inginkan bocah. Dia menyukai bocah. Bahkan dia
jatuh cinta pada bocah! Sebenarnya ia tidak menganggap serius hubungan
Imelda dengan Kiki. Cinta antara bocah seperti itu
bisa lenyap dimakan waktu. Apalagi Imelda memang
suka berpacaran seperti info yang didapatnya dari om
dan tante Imelda di Belanda. Dan biasanya jangka
waktu pacarannya tidak pernah lama. Seperti orang
ber?ganti baju, dapat yang baru mencampakkan yang
lama. Jadi, kenapa sekarang ia harus menganggap Imelda
sebagai saingan? Bahkan sebaiknya ia justru memberi
hati dan kesempatan. Bukan saja untuk menyenangkan
Imelda, tapi juga menghilangkan pikiran buruk dari
Kiki. Pada saat beberapa kali bertemu dengan Kiki, ia
merasakan Kiki takut padanya. Meskipun pertemuan
Isi-Warisan.indd 572 572 Isi-Warisan.indd 573 cuma singkat, tapi feeling-nya cukup tajam. Barangkali
Kiki juga merasakan sesuatu yang tidak wajar dari?
nya. David melihat bagaimana Imelda sesekali mengelus
lehernya pada saat menelepon itu. Sudah beberapa kali
ia melihat gerak tangan Imelda yang berbuat seolah
kebiasaan. David bisa menduga hal itu disebabkan ka?
rena perlakuan Linda. Kasihan sekali, pikirnya. Apa?
kah itu membuat trauma? Linda memang keterlaluan kalau sudah marah. Tapi
ia yakin sesungguhnya Linda tidak benar-benar ber?
maksud mencekik Imelda. Ia hanya ingin menakutnakuti saja dengan sesuatu yang menyeramkan tanpa
memperhitungkan akibatnya.
Imelda menyinggung perihal Lala. Dan itu sensitif
buat Linda. Ah, Lala... David mengenangnya sejenak dengan
ke?rinduan. Tentu saja ia juga menyayangi Imelda,
sama seperti ia menyayangi Lala. Tapi Imelda jauh,
se?dang Lala selalu ada ketika itu. Ia pun merasa
Imelda tidak begitu menyayanginya seperti Lala. Dia
dan Lala bisa begitu lengket dan akrab sampai mem?
buat Linda iri. Tapi Linda tidak pintar mendekati Lala
seperti dirinya. Mungkin karena watak Linda yang
keras dan judes. Saking irinya sampai Linda melontar?
kan komentar yang menyinggung, "Untung saja si
Lala bukan anak lelaki!"
Ia marah sekali waktu itu, tapi sebelum meledak?
kan?nya, amarah itu keburu padam. Kenapa? Ia me?
nyadari kebenaran maksud ucapan Linda. Apa jadinya
kalau Lala itu anak lelaki? Seorang bocah yang amat
573 tampan, pastinya lebih tampan daripada Kiki, hampir
dapat dipastikan akan menggodanya tak kira-kira. Apa?
lagi dengan berdekat-dekatan, pelukan dan ciuman,
banyak sentuhan fisik. Bisakah ia mengatasi godaan
yang muncul? Bisakah ia melawannya dengan pemikir?
an bahwa Lala adalah anak sendiri?
Dari tempat berbeda, Linda juga tengah mengamati
Imelda. Sengaja menjauh supaya memperoleh pe?
mandang?an lebih jelas. Ia pun menyadari kebiasaan
tangan Imelda mengelus lehernya. Suatu gerakan yang
disadari penyebabnya. Ia sungguh menyesal. Ia merasa
telah merusak dan menghancurkan sesuatu yang ber?
harga dan tak mungkin bisa direparasi kembali. Bagai?
manapun sikapnya, yang dingin dan terkadang judes, ia
mencintai Imelda. Sama seperti ia mencintai Lala.
Kesalahan yang dilakukannya telah membuat Lala pergi
selamanya. Hanya dirinya yang tahu betapa ia me?
nyesalinya, meskipun di luar ia tidak memperlihat?kan?
nya sehingga orang menyangka ia tidak sayang kepada
Lala. Termasuk David sendiri. Tentu saja ia me?nangis,
tapi tidak sampai berlebihan. Maka satu ucap?an dari
Imelda meledakkan emosinya. Juga peri?hal Sukri. Ada
makna mendalam dalam ucapan Imelda itu.
Sekarang ia bertanya-tanya apakah ia mampu mem?
perbaiki hubungannya dengan Imelda yang sudah te?
lanjur rusak itu? Waktu tinggal sedikit. Beberapa hari
lagi ia pergi. Kalaupun Imelda kelihatan tak ingin buruburu pergi, itu disebabkan karena Kiki. Bukan orangtua?
nya. Ia menghampiri Imelda, bertekad ingin mengambil
hatinya. Isi-Warisan.indd 574 574 Isi-Warisan.indd 575 Imelda meliriknya, tampak merasa terusik. Tapi
Linda menguatkan hatinya. Ia duduk di samping
Imelda. "Hai, Mel, habis menelepon Kiki?"
"Iya," sahut Imelda segan.
"Kamu tinggal beberapa hari lagi di sini, punya
ren?cana apa sama Kiki untuk memanfaatkan waktu
sisa ini?" Imelda memandang heran. Surprise.
"Nggak ada, Ma. Emangnya kenapa?"
"Barangkali pengin nonton bersama, atau jalanjalan berdua. Kalau mau Mama dukung lho."
Imelda lebih heran lagi. Mula-mula merasa
gembira, tapi kemudian menggeleng.
"Nggak bisa, Ma. Dia harus belajar terus. Aku
nggak tega ngajak-ngajak. Kalaupun dia mau, kasihan.
Dia bersaing sama Nana. Nggak mau dikalahkan."
"Masa orang belajar terus? Satu-dua jam nggak
ada salahnya. Hitung-hitung mengistirahatkan otak."
"Aku nggak mau jadi penggoda, Ma. Nanti kalau
nilainya jeblok, aku yang disalahin. Aku juga nggak
mau si Nana yang menang."
"Wah, kamu betul-betul perhatian sama Kiki.
Mama jadi tersentuh."
Imelda tahu ibunya hendak mengambil hati. Tapi
pujian itu tetap menyenangkan.
"Nggak apa-apalah, cuma ngobrol sama dia aja
juga udah senang kok."
"Kalau ngobrol di rumahnya kan banyak orang,
mana enak? Lebih senang berduaan aja, kan? Gimana
575 kalau mulai besok ngobrolnya di rumah kita aja. Kan
Mama sama Papa di kantor. Kalian bisa leluasa."
"Nanti Papa muncul tiba-tiba."
"Dia jangan dikasih tahu. Mama akan mematamatai dia di kantor. Kalau dia pergi, Mama kasih
tahu." Imelda menatap wajah ibunya. Ia ingin sekali tahu
apa sebenarnya yang ada di balik kebaikan ibunya itu.
Cuma sekadar mengambil hati karena kesalahan yang
telah dibuatnya? Tapi ia juga bisa mengambil man?
faat. "Ya. Terserah sama Kiki kalau dia mau."
"Sejam dua jam tidak membuatnya rugi. Bukankah
kalian akan berpisah untuk waktu yang lama?"
Wajah kesal Imelda berubah cerah. Ia tersenyum
gembira. "Ya, terima kasih, Ma. Tapi aku mau tanya Kiki


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu, dia setuju nggak."
"Bagus. Teleponlah sekarang. Mama kira sih dia
setuju aja. Jangan lupa bilang sama dia. Papa nggak
akan mengganggu." Linda pergi setelah membelai kepala Imelda. Ia
sangat senang, mengira sudah berhasil mengambil hati
Imelda. Lalu dia pergi menghampiri David yang
berada tak jauh dari situ.
"Ngomongin apa? Kelihatannya dia tersenyumsenyum," kata David
"Ada aja. Aku sedang berusaha mengambil hati?
nya." "Setelah jadi begini, kau baru merasa takut ke?
hilangan dia, kan?" Isi-Warisan.indd 576 576 Isi-Warisan.indd 577 "Jangan ngeledek."
"Bener, kan?" "Ah, takut sekali sih sebenarnya nggak. Mana
mung?kin aku bisa kehilangan? Bagaimanapun aku ibu
kan?dungnya. Aku yang melahirkan dia. Bukan tante?
nya." "Tapi..." "Ah, sudahlah."
"Bukan begitu. Sebenarnya, ada atau nggak rasa
takut kehilangan itu, Ma?"
Linda tidak menjawab. "Aku jadi mikirin lagi soal itu, Ma. Si Imel pernah
ngomong juga tuh." "Apa?" "Baiknya kita punya anak lagi satu, Ma."
"Tapi aku takut, bagaimana kalau anak kita lelaki,
Pa?" Wajah David berubah masam. "Aku tidak akan
makan anak sendiri, Ma."
"Ada banyak kejadian seperti itu. Bukan itu saja,
Pa. Bagaimana kalau kutuk itu juga dialami keturunan
kita?" "Kutukan itu?" David tertegun. Tak berpikir ke
situ. "Jadi kau takut, kalau anak kita lelaki, dia pun
akan jadi pedofil?" "Seperti itulah. Kejahatan yang dilakukan nenek
moyang?mu harus ditanggung juga oleh keturunan?
nya." David termangu. Ia teringat ucapan ayahnya.
"Di dalam peti itu tersimpan bukti kejahatan nenek
moyang sampai beberapa keturunan. Seharusnya aku
577 menguburnya baik-baik. Tapi bagaimana caranya su?
paya tidak menimbulkan kegemparan dan tuduhan?
Jika tiba-tiba sebuah peti berisi kerangka dikeluarkan
dari dalam rumah ini, pasti pihak berwenang akan
turun tangan. Apakah mereka bisa menerima bahwa
kerangka itu sudah berusia tua? Apakah di sini ada
ahlinya yang bisa meneliti?"
"Ya. Nenek moyangmu telah menyusahkan keturun?
annya dengan mewariskan bukti kejahatan," kata
Linda. "Tapi sekarang itu sudah dikubur, bukan? Baik di
bawah basement atau di mana pun, pokoknya sudah
masuk ke dalam tanah."
"Kenapa dulu ayahmu tidak melakukan hal itu?
Atau kakekmu?" "Aku nggak pernah menanyakannya. Mungkin dia
pikir keberadaannya di dalam basement atau di bawah
basement sama saja. Mungkin juga dia takut menyuruh
orang melakukannya, kalau-kalau orang tersebut
curiga." "Seharusnya dia melakukannya sendiri. Seperti kau
juga. Jangan nyuruh orang lain."
"Kau gila. Emangnya gampang menggali lubang di
basement yang pengap itu?"
"Sedikit-sedikit dong."
"Aku nggak bisa kerja kasar seperti itu."
"Akibatnya jadi seperti ini. Kita takut sama si
Sukri." "Kau yang takut. Aku sih percaya sama dia."
"Jangan nyalahin aku lagi."
David terdiam. Topik itu sudah berulang kali
Isi-Warisan.indd 578 578 Isi-Warisan.indd 579 diribut?kan. Tapi memang percuma karena sudah kejadi?
an. "Aku pikir," kata Linda. "Sebaiknya basement itu
dimatikan saja. Kita tutup lubang yang di luar secara
permanen. Kita semen sepanjang sisi jendela sayap kiri
itu. Bikin yang tinggi, sekitar tiga puluh senti?meter, lalu
ditutup dengan batu hias. Di atasnya kita letakkan potpot tanaman. Maka basement itu tak ada lagi
pengaruhnya atau memancing keingintahuan orang."
"Tapi aku masih ingin memanfaatkannya, Ma.
Siapa tahu perlu menaruh barang yang tak terpakai."
"Kamar di atasnya saja yang dijadikan gudang, Pa.
Kan selalu kosong." "Ya, nantilah."
Mereka sama-sama mengamati Imelda sekitar
sepuluh meter jauhnya. Anak itu masih berteleponan.
"Mama bilang begitu tadi, Ki. Ia menganjurkan
supaya kita ngobrol saja di rumah. Kalau kamu mau
dan sudah selesai belajarnya," kata Imelda.
"Malu ah sama mereka."
"Mereka kan nggak ada. Oh ya, Mama pesan
untuk memberitahumu. Begini, jangan khawatir Papa
akan mengganggumu." Imelda mendengar suara tercekat di ponselnya.
"Kenapa kau, Ki?"
"Oh, nggak apa-apa, Mel. Cuma aku heran aja.
Memangnya papamu mengganggu apa."
"Nggak tahu, mungkin maksudnya jangan ikutikutan aja. Kayak tempo hari itu."
"Oh, begitu. Baiklah. Aku suka juga. Tapi jangan
lama-lama. Jadi nanti kau pulang dari rumahku lebih
579 cepat dari biasa. Terus kita habiskan waktu di rumah?
mu." "Oke." Imelda sangat senang dengan ide itu. Baginya, ber?
duaan seperti itu jauh lebih menyenangkan daripada
pergi nonton atau berjalan-jalan.
*** Kiki membagi info itu dengan ayahnya. Budiman agak
terkejut tapi menyembunyikannya.
"Kamu sendiri mau berduaan dengan Imel di
rumah?nya?" Kiki tersipu. "Nggak apa-apa kan, Pa?"
"Ya. Nggak apa-apa sih. Tapi bapaknya itu..."
Budiman tidak melanjutkan ucapannya.
"Imel bilang, mamanya menjamin papanya nggak
akan mengganggu. Dia kan di kantor."
"Lucu juga ya, mamanya sampai bilang begitu.
Berarti mamanya tahu tentang papanya."
"Tapi Imel pasti nggak. Kalau tahu sesuatu, dia
pasti nggak akan bilang-bilang."
"Ya, dia polos aja. Tapi kadang-kadang, kita nggak
tahu juga hati orang."
"Yang suka pura-pura itu kan orang dewasa, Pa?"
Budiman tertawa. "Wah, sok tahu kamu. Memang
betul sih. Soalnya orang dewasa itu lebih banyak
pengalam?an hidupnya. Dia belajar dari pengalamannya,
bagaimana berbohong, bagaimana berpura-pura, bagai?
mana menipu, dan sebagainya. Kalau anak kecil kan
pengalamannya seiprit."
Isi-Warisan.indd 580 580 Isi-Warisan.indd 581 "Anak kecil gampang dibohongin ya, Pa? Dibujuk
sama permen juga mau."
"Kamu hati-hati saja, Ki. Waspada. Jangan mau
dikasih minuman atau makanan di sana. Siapa tahu
kamu dibius." Budiman merasa kata-katanya berlebih?
an, tapi lebih baik begitu daripada sama sekali tidak
memberi nasihat. "Ah, Imel nggak mungkin berbuat begitu. Masa
sih dia kerja sama dengan papanya, membius aku lalu
mem?beritahu papanya. Kemudian papanya pulang
lalu..." "Wah, kamu berkhayal aja," Budiman memutuskan
ucapan Kiki sambil tertawa. "Ya, kan tadi sudah Papa
bilang, kalau Imel berniat jelek dia nggak akan bilang
soal jaminan mamanya itu. Sepertinya memang papa?
nya berniat mengganggu kalau sampai tahu."
"Pendeknya aku akan waspada, Pa. Jangan kha?
watir. Sebenarnya itu juga kesempatan untukku me?
lihat isi rumahnya. Kan aku belum pernah masuk ke
dalam." Ketika Budiman menceritakan soal itu kepada
Sumarni, malah Sumarni yang lebih khawatir.
"Kenapa mamanya Imel begitu baik hati meng?
usulkan itu? Apa benar dia cuma ingin menyenangkan
hati anaknya saja? Tinggal beberapa hari, dari Senin
sampai Kamis. Empat hari. Dalam empat hari bisa
saja ada kejadian." Budiman menatap istrinya dengan ngeri. "Ah, kau
se?perti sudah memprediksi saja."
"Nggak sih. Sudahlah, nggak apa-apa. Aku percaya
sama Imel. Kiki juga cukup cerdas. Biar dia tambah
581 pengalaman. Pikir-pikir mau apa sih si Tuan itu. Kiki
bisa saja lari dan Imel tentu tidak akan membiarkan
Kiki diapa-apain. Apa nggak malu papanya berlagak
di depan anaknya sendiri?"
Sebenarnya Kiki lebih antusias membayangkan
keberadaan dan keleluasaannya di rumah besar antik
itu daripada soal berduaan saja dengan Imelda. Dulu
sewaktu dia dan teman-temannya berderet di depan
pintu gerbang rumah itu ketika bola mereka nyasar ke
halaman, mereka membicarakan rumah itu. Ia
membayangkan seperti apa dalamnya.
Ia akan mengajak Imelda berlomba lari di dalam?
nya. Melihat ruang depannya yang tak banyak perabot,
mungkin di sebelah dalamnya juga sama. Jadi bisa
untuk berlari-lari. Berkali-kali Nana membangunkan Kiki dari lamun?
an pada saat mereka sedang belajar malam itu.
"Ayo, mikirin apa sih kau? Konsen dong!"
"Ya, ya." Nana geleng-geleng kepala. Ia berprasangka,
Imelda-lah yang ada dalam pikiran Kiki. Imelda yang
sebentar lagi akan pergi jauh.
"Kalau kamu nggak konsen, bisa kalah sama aku
lho!" Diingatkan begitu, Kiki kembali dari lamunannya.
Ia tidak mau kalah dari Nana.
*** Pada hari Senin, seperti yang sudah direncanakan
Isi-Warisan.indd 582 582 Isi-Warisan.indd 583 Imelda tidak lama-lama di rumah Kiki. Ia ikut makan
siang bersama mereka, lalu pulang bersama Kiki.
Sumarni tidak mengatakan apa-apa karena ia sudah
tahu sebelumnya. Tapi Nana mengutarakan keheranan?
nya. "Kok tumben cepat amat si Imel di sini," kata
Nana kepada Sumarni. "Mereka mau main dulu di rumah Imel," kata
Sumarni dengan gaya seakan-akan itu hal biasa saja.
Nana menatap sejenak wajah Sumarni, tapi tak
bisa melihat ekspresi yang lain. Ia tak berkata apa-apa
lagi. Cuma merasa heran saja.
"Mau main kok nggak ngajak-ngajak kita ya, Na?"
kata Fani. "Ah, aku diajak juga nggak mau, Fan."
"Kenapa?" "Mengganggu dong."
"Ooo..." Fani manggut-manggut.
Lalu mereka tertawa hingga Sumarni tersenyum.
"Gimana kabarnya Bapak, Na? Sudah mene?lepon?"
"Cuma kirim SMS, Tante. Katanya mau ngirit
pulsa. Di sana jauh ke mana-mana. Bapak bilang
semua baik-baik aja. Dia senang."
"Syukurlah kalau gitu. Tapi kalau nanti kamu di
sana, pasti kamu bisa cerita banyak pakai laptop yang
kaumiliki, Na. Lewat e-mail, kan?"
"Oh ya, Tante. Pasti saya akan cerita."
Fani berbisik-bisik kepada Nana, yang tersenyum.
"Ayo, bisikin apa?" tanya Sumarni.
"Boleh kasih tahu, nggak?" tanya Nana kepada
Fani. 583 "Boleh aja," sahut Fani.
"Katanya, besok kalau mereka berdua pergi lagi,
Fani mau ikut. Sebentar aja, cuma lihat rumahnya aja.
Udah gitu pulang sendiri," kata Nana.
"Kalau gitu, ngomong aja sama Kiki, Fan. Masa
sih nggak boleh." "Nanti Mama bantuin ngomong dong."
"Iya. Kok pengin amat sih lihat rumah orang."
"Soalnya itu rumah kuno, Ma. Kapan lagi bisa
lihat." "Mestinya Nana tahu banyak," kata Sumarni.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasa-biasa aja sih. Mungkin udah keseringan
lihat." Nana tidak mengatakan bahwa ia tidak menyukai
rumah itu. Dulu Lala tidak pernah mengajaknya men?
jelajahi segala pelosok rumah. Mereka berdua lebih
suka menghabiskan waktu di pavilyun yang ditempati?
nya di sayap kanan. "Katanya ada ruang bawah tanahnya," kata Fani
lagi. "Siapa yang bilang?" tanya Sumarni.
"Aku kan punya kuping, Ma. Dengar aja."
"Terus mau apa?"
"Bisa dilihat nggak, ya?"
"Hus! Itu sih nggak boleh. Tempo hari aja Pak
Sukri jatuh di situ. Eh, kamu mau lihat-lihat lagi."
Fani tertawa. "Nggak deh, Ma. Siapa yang pengin?
Hiii... takut." "Lebih baik kalau nanti Kiki bilang kau boleh ikut,
perginya sama Nana saja. Jadi pulangnya bisa berdua,"
kata Sumarni. Isi-Warisan.indd 584 584 Isi-Warisan.indd 585 Nana mengangguk. Ia juga ingin mengusulkan
begitu, tapi takut dianggap lancang.
"Ya, ya." Fani tertawa senang.
Sementara itu, Kiki dan Imelda sudah dibukakan
pintu oleh Didin yang kemudian menguncinya lagi.
Didin mengamati keduanya sejenak lalu melangkah
pulang ke pavilyunnya. Kiki mengambil kunci dari sakunya lalu membuka
pintu ke rumah utama. "Kameranya nggak dipasang lagi, Mel?" tanya Kiki,
menunjuk sudut atas tempat dulu kamera berada.
"Nggak tuh." Mereka masuk. Ruang yang luas terpampang di
hadapan Kiki. Sofa tempatnya duduk setelah dibim?
bing keluar dari basement masih terletak di tempat
semula. Pintu yang terletak di belakangnya, tempat ia
dulu keluar memang sudah tak ada. Ia sudah tahu hal
itu. Ia merabai tembok di mana dulu pintu berada.
"Kenapa?" tanya Imelda heran.
"Nggak apa-apa. Kayaknya dindingnya nggak rata.
Nggak nyatu sama di sebelahnya." Kiki menunjuk
batas yang diperkirakannya dulu merupakan pintu. Ia
me?mang tidak mengada-ada. Bahkan ada retak tipis.
"Nggak heran, Ki. Dulu di situ ada pintu yang
menuju basement. Terus ditutup."
"Ruang apa di balik dinding ini?"
"Oh, ini kamar. Tapi kosong."
"Pintu masuk ke situ lewat mana?"
Imelda menarik tangan Kiki ke sudut dinding yang
membentuk siku ke arah dalam. Pintu terletak di situ.
585 Di sebelahnya ruang kosong yang merupakan ruang
duduk dengan sofa dan seperangkat meja kursi. Ada
televisi di atas bufet. Kiki membuka pintu itu yang tidak dikunci. Ia
melihat ruang yang gelap. Imelda menyalakan lampu.
Tampak kosong tak ada apa-apanya. Kiki masuk ke
dalam. Sejenak Imelda ragu-ragu, lalu ia ikut.
Di tengah ruang Kiki berdiri. "Jadi di bawah sini
basement itu berada," katanya sambil menjejakkan
kakinya. "Ya." "Kenapa ruang ini nggak dipakai?"
"Siapa pula yang mau tidur di sini? Kamar lain
juga masih banyak." "Barangkali buat tamu."
"Jarang ada tamu yang nginap, kata Mama."
Lalu Imelda menunjukkan kamarnya. Ia membuka?
nya dan memperlihatkan kepada Kiki.
Kiki melihat kamar yang luas dengan perabotan
antik. Tempat tidurnya berwana merah jambu. Ia tak
lama-lama mengamati. "Di sebelah adalah kamar Lala."
Kiki membukanya. Imelda menyalakan lampu. Kiki
melihat ranjang yang kosong. Perabotan yang tampak
kosong dan tembok yang kosong dari hiasan apa pun.
Ia cepat menutup kembali.
"Eh, kau belum tahu Lala, kan?" tanya Imelda.
"Nana yang cerita. Aku sudah tahu," kata Kiki
segan. Tak ingin mendengar pengulangan.
Di seberang terdapat kamar utama, milik orangtua
Imelda. Isi-Warisan.indd 586 586 Isi-Warisan.indd 587 "Itu dikunci. Tadinya nggak. Sekarang mereka ta?
kut digeratak olehku." Imelda tertawa.
Kiki tidak tahu apakah itu sungguh-sungguh atau
bergurau saja, tapi ia tidak bertanya. Ia tidak ber?
keinginan menjenguk kamar itu, yang dari luar sudah
kelihatan luasnya. Di sebelah kamar Lala ada kamar lagi, juga di se?
belahnya. "Itu kamar tamu," kata Imelda.
Kemudian terdapat ruang makan dengan dapur di
sebelahnya. Lalu di depan ruang makan ada sebuah
ruang yang tertutup tirai dari atas sampai ke bawah
dan melebar dari satu sudut ke sudut lain sehingga isi
ruang tak kelihatan. "Ada apa di situ, Mel?" tanya Kiki.
"Buka saja. Tarik ke samping."
Sementara Kiki menarik ke satu sisi, Imelda me?
narik ke sisi lainnya. Lalu Kiki terkejut. Ruang itu
kosong, hanya ketiga dindingnya yang penuh semua
oleh lukisan dan potret, yang besar-besar berderet di
bagian paling atas, lalu yang sedang dan kecil di
bawah atau di sela-sela. Yang membuat Kiki terkejut bukanlah gambar
yang banyak itu, tapi wajah-wajah pada gambar yang
seperti memandang semua kepadanya dengan tatapan
tajam menyelidik. Ada wajah lelaki dan perempuan,
tapi kebanyakan lelaki yang berkumis dan berjenggot.
Ada yang mengenakan semacam seragam. Yang pe?
rempuan mengenakan gaun tempo dulu.
"Itu nenek moyang," kata Imelda tertawa. "Per?
kenal?kan. Ini Kiki."
587 Kiki juga mengangguk dan membungkuk hormat.
Setengah bercanda tapi setengah serius. Imelda tertawa
terbahak-bahak. "Udah, ah," kata Kiki, merasa tak nyaman. Ia tak
ingin mengamati satu per satu potret-potret itu.
"Tadinya mau ditaruh di basement sama Mama.
Tapi Papa bilang, nanti mereka marah."
"Ah, jangan di basement dong. Itu kan sejarah,
Mel." "Akhirnya dipasang di sini, lalu ditutupi tirai.
Supaya mereka nggak memandangi orang-orang yang
tengah makan. Tapi tamu-tamu Mama senang juga
meng?amati." Kiki dan Imelda menutup tirai kembali.
Lalu di belakang ada kamar-kamar pembantu dan
berakhir dengan kamar mandi untuk pembantu.
"Wow! Memang besar sekali ya," kata Kiki ka?
gum. Kiki melihat jalan lebar yang lurus ke depan. Tak
ada yang berkelok. Rumah itu seperti dibagi kiri dan
kanan dan bagian tengahnya lurus.
"Yuk, kita lari ke depan, Mel."
"Oke." "Satu... dua... ti..."
Mereka berlari. Kiki lebih dulu mencapai sofa dan
menjatuhkan diri di atasnya. Imelda juga menjatuhkan
diri lalu menimpa tubuh Kiki. Mereka berimpitan
selama beberapa saat lalu menegakkan tubuh. Tangan
Kiki merangkul pundak Imelda.
"Akhirnya kesampaian juga, Mel."
"Apa?" Isi-Warisan.indd 588 588 Isi-Warisan.indd 589 "Melihat rumah ini. Dulu kalau melihat dari depan,
selalu kubayangkan kayak apa dalamnya."
"Biasa aja, kan?"
"Ah, nggak. Bagus sekali."
"Rumah omku di Belanda lebih bagus lagi. Antik
sekali. Punya menara. Dari situ bisa melihat ke se?
kitarnya yang jauh-jauh. Susah menceritakannya, Ki.
Mesti lihat sendiri. Nanti kamu ke sana dong, ya.
Ajak Om dan Tante. Tapi pergi sendiri juga berani,
kan?" "Ya, nantilah. Kalau aku sudah lebih besar. Oh ya,
ngomong-ngomong bahasa Indonesia-mu bagus juga,
ya. Bicaramu juga nggak pelo. Tadinya kukira
ngomong?mu pasti patah-patah."
"Sejak kecil aku ngomong bahasa Indonesia sama
Tante. Sedang sama Om bahasa Belanda. Lalu kalau
aku ke Jakarta aku belajar bahasa Jakarta sama Lala
dan Nana. Tante juga nggak mau melupakan bahasa
Indonesia-nya. Kalau nggak dipakai bisa lupa, kata?
nya." "Hebat juga tantemu itu. Memang mestinya begitu.
Jadi kamu pintar dua bahasa."
"Ya, Tante nggak seperti Mama yang pemarah."
"Tapi kenapa kau sampai diambil olehnya?"
"Waktu aku bayi, katanya Mama hamil lagi. Terus
Mama merasa bakal kerepotan, jadi waktu aku diminta
dia kasih aja." "Papamu nggak keberatan?"
"Menurut Papa, dia keberatan, tapi nggak bisa
menolak keinginan Mama. Kayaknya dia sedikit takut
sama Mama. Aku juga."
589 "Dia galak, ya."
Tangan Imelda menyentuh lehernya, mengusapusap.
"Ya. Kata Papa dia darah tinggi."
"Tapi dia berbaik hati menganjurkan kita ngobrol
di sini, Mel." "Iya. Tapi itu sih karena dia mau baik-baikin aku
aja. Kan nggak lama lagi aku pergi. Dia takut aku
nggak mau kembali lagi ke sini."
"Kamu kan anak tunggal, Mel. Nanti rumah itu
diwariskan untukmu. Apa kau mau tinggal di sini?"
"Oh, nggak mau, Ki. Aku lebih suka tinggal di
Belanda." "Habis kalau nanti orangtuamu sudah nggak ada,
rumah ini mau dikemanain?"
"Aku akan cari kerabat yang mau membeli. Biar
kukasih murah." Kiki geleng-geleng kepala. Imelda kelihatannya
benar-benar sudah mantap.
"Nanti kamu juga nyusul aku ke sana ya, Ki?"
"Kalau jalan-jalan sih mau saja. Tapi untuk tinggal
di sana? Pikir-pikir dulu."
Sejenak mereka diam. Imelda meletakkan kepala?
nya di dada Kiki. Jantung Kiki berdebar keras. Dia
takut bunyinya kedengaran oleh Imelda. Ah, seperti
inikah rasanya berpacaran? Tapi dia juga merasa takut.
Ingat akan usianya. Bahkan ujian SD saja belum.
Tiba-tiba Imelda membalik tubuhnya, jadi berhadap?
an muka. Dekat sekali. Semakin lama semakin dekat.
Kiki merasa jantungnya akan copot setiap saat. Lalu
bibir Imelda menempel ke bibirnya!
Isi-Warisan.indd 590 590 Isi-Warisan.indd 591 Serrr! Serasa ada aliran listrik menyengat bibir
Kiki. Ia menarik mukanya ke belakang.
"Ja...ja...jangan, Mel. Aku... nggak... berani..."
Lalu Kiki memalingkan mukanya ke samping.
Merah bagai kepiting rebus. Malu tak kepalang.
"Ah, Kiki. Aku tahu kau belum pernah berciuman,
ya?" kata Imelda. "Belum. Tapi jangan dulu, Mel. Kita masih ke?
cil." "Berciuman kan nggak apa-apa? Di Belanda orang
berciuman di mana-mana. Nggak ada yang peduli."
"Di sini bukan Belanda, Mel. He, ingat Harry
Potter? Dia juga baru berciuman setelah umurnya
tujuh belas." "Apa peduliku sama Harry Potter?"
"Itu contoh saja."
"Nggak mau mencoba, Ki?"
"Nggak ah. Aku takut."
"Emangnya habis ciuman bibirmu jadi dower?"
"Bukan gitu. Takut aja."
"Ya sudah." Imelda tampak kesal. "Aku pulang saja, ya? Udah cukup lama aku di
sini. Besok ulangan umum."
"Oh iya. Pulang deh. Tapi besok ke sini lagi, ya."
"Tapi janji jangan begitu lagi."
Imelda tertawa. "Iya deh. Nggak. Kalau di pipi
bo?leh nggak?" Kiki menyodorkan pipinya. Begitu tersentuh ia
cepat menariknya, hingga Imelda berteriak kecewa.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiki tertawa lalu bergegas ke pintu. Imelda mengejar?
591 nya. Mereka berkejar-kejaran sampai ke pintu gerbang.
Lalu berhenti dengan napas terengah. Mereka saling
memandang dan tertawa. Setelah Kiki pergi, Imelda berteriak memanggil
Didin. Ia mengajaknya main congklak.
Isi-Warisan.indd 592 592 Isi-Warisan.indd 593 ARI Kamis adalah hari terakhir Imelda berada di
Jakarta. Sumarni menyiapkan makan siang yang lebih
istimewa dari biasanya untuk menjamu Imelda.
Imelda memuji masakan Sumarni dan ia makan
dengan lahap. Tapi kemudian terkejut ketika me?
nyadari bahwa ia makan terlalu banyak.
"Aduh, maaf, Tante. Saking enaknya saya sudah
meng?habiskan makanan. Nanti Om Budi nggak kebagi?
an." Sumarni dan anak-anak lain menertawakan karena
kejutan yang diperlihatkannya tampak lucu.
"Jangan takut. Buat Om ada kok."
Imelda merasa lega. "Oh, syukurlah...."
"Nanti malam ada pesta apa, Mel?" tanya Nana.
"Ah, cuma makan-makan di restoran. Katanya
makan bebek garing. Kasihan bebek-bebek itu...."
"Di dunia ini memang saling makan," kata Kiki.
"Saling makan? Tapi bebek nggak pernah makan
kita." 593 Mereka tertawa. "Tanteku vegetarian. Makannya sayuran dan buahbuahan. Nggak makan daging. Tapi Om sangat suka
steak. Kalau mau makan itu dia pergi sendiri, nggak
sama Tante." "Kamu sendiri apa?"
"Di tengah-tengah. Tapi aku nggak suka steak.
Kalau diajak Om aku nggak mau."
"Pasti om kamu gendut," kata Nana.
"Sedikit..." Mereka tertawa. "Eh, Fani, nanti mau ikut lagi lihat gambar nenek
moyangku? Katanya kemarin belum puas," tanya
Imelda. "Nggak mau ah. Rumahnya sih bagus dan besar,
tapi kayaknya serem. Gambar-gambar itu juga
menakutkan," kata Fani.
Di dalam hati, Imelda merasa senang bahwa Fani
tak mau ikut lagi. Nana juga. Kemarin Nana me?
nunggu Fani di luar pintu gerbang, karena tak mau
ma?suk biarpun diajak. Ia memang tak ingin lagi me?
masuki tempat yang memberikan kenangan buruk
untuk?nya. Sebenarnya ia belum pernah melihat
gambar-gambar nenek moyang Imelda, tapi ia memang
tidak tertarik. Bila keturunannya jahat seperti si Tuan,
pastilah nenek moyangnya lebih jahat lagi. Tak heran
kalau Fani menceritakan bahwa mata orang-orang di
gambar itu seram. Sebelum pergi bersama Kiki, Imelda mengucapkan
salam perpisahan dulu dengan Sumarni, Nana, dan
Fani karena sesudah itu mereka tak bertemu lagi.
Isi-Warisan.indd 594 594 Isi-Warisan.indd 595 Mereka berpelukan. Terutama dengan Nana, peluk?
an Imelda lebih lama. "Maafkan aku ya, Na, karena pernah berbuat jahat
pada?mu. Juga pada bapakmu. Nanti sampaikan sama
Pak Sukri, ya. Jangan lupa kirim cerita lewat e-mail
tentang pengalamanmu di Sukabumi."
"Ya, Mel. Kamu hati-hati di jalan. Eh, di udara,"
kata Nana. Mereka tertawa. "Setiap kali ketemu lagi, tahun demi tahun, pasti
kalian tambah besar dan dewasa," kata Sumarni. Ia
se?lalu takjub bila melihat pertumbuhan anak-anak. Me?
reka bertambah besar, sedang dirinya bertambah tua.
Itulah bedanya anak-anak dan orangtua.
Lalu Imelda berjalan berbimbingan tangan dengan
Kiki, diiringi lambaian orang-orang di belakangnya.
"Pengin nangis rasanya berpisah dengan mereka,
Ki," kata Imelda. "Orangtuaku sangat beda dengan orangtuamu, bu?
kan?" kata Kiki. "Oh ya. Beda sekali. Jadi orang kaya itu nggak
se??lalu menyenangkan."
"Tapi banyak orang yang pengin jadi kaya, Mel."
"Mereka nggak tahu aja...."
Didin sudah menunggu di pintu gerbang. Tadi
Imelda sudah mengirim pesan untuknya. Didin tidak
ber?kata apa-apa. Sesudah mengunci pintu ia kembali
ke tempat tinggalnya. Seperti hari-hari yang lalu mereka duduk di sofa
ruang depan dengan membuka pintu lebar-lebar. Angin
yang masuk terasa menyejukkan.
595 "Ki, kemarin-kemarin kita ngobrol tanpa makan-mi?
num. Sekarang kita ambil minuman di kulkas, yuk?"
Kiki jadi berdebar. Ia teringat nasihat ayahnya
untuk tidak sembarang makan dan minum di sana.
Tapi tentu mustahil kalau Imelda sampai melaku?kan?
nya. Ia ikut Imelda ke ruang makan.
Imelda mengeluarkan satu botol besar Coke dari
dalam kulkas. Lalu meraih gelas.
Tiba-tiba Kiki mendapat ide.
"Gelasnya satu aja, Mel."
Imelda tertawa. "Haha, satu gelas berdua? Oke."
Kiki merasa aman. Sebenarnya ia tidak ingin men?
curigai Imelda, tapi ia merasa harus mengikuti nasihat
ayahnya. Imelda juga mengambil stoples berisi kacang mete
goreng. Makanan itu juga memberi rasa aman.
Mereka berdua membawa minuman dan makanan
itu ke ruang depan. Lalu mulai menyantapnya diseling
obrol?an. Satu gelas diminum berdua ternyata me?
nimbul?kan kemesraan tersendiri.
"Duh, Ki. Besok aku pergi, ya. Kamu jangan lupa
sama aku lho." "Nggak mungkin. Kamu juga jangan lupa."
"Tentu saja. Tahun depan kita ketemu lagi. Lucu
kali, ya. Kita sudah bertambah tua."
"Ah, bukan tua. Tapi tambah besar."
"Tapi aku ingin berterus terang, Ki. Aku merasa
bosan di Jakarta ini. Kotanya nggak menyenangkan.
Se?benarnya aku malas ke sini. Tapi Om dan Tante
men?desak. Kata mereka, aku nggak boleh lupa sama
Isi-Warisan.indd 596 596 Isi-Warisan.indd 597 orang?tua dan tanah kelahiran. Padahal biar saja me?
reka yang ke sana. Barangkali kalau nanti aku tambah
besar, aku bisa menolak."
"Wah, kalau kau nggak ke sini, kita nggak bisa
ke?temu dong." "Bisa aja. Kau yang ke sana. Gimana kalau kamu
nanti dikirimi tiket pesawat? Bisa dong ke sana sen?
diri. Aku ke sini juga sendiri."
"Lihat nanti sajalah."
Kiki tidak percaya bahwa Imelda bersungguhsungguh dengan ucapannya.
"Biarpun kota ini nggak menyenangkan, tapi di
sini kan ada orangtuamu. Masa kau nggak rindu sama
mereka?" "Rindu?" Imelda memonyongkan mulutnya.
"Emangnya nggak?" Kiki mencoba memancing.
Imelda tidak mau menceritakan permasalahannya
dengan ibunya. "Di sini aku nggak punya teman. Sekarang saja
ke?betulan ada kau."
"Kalau kau nggak rindu sama orangtua, sama aku
gimana?" Imelda tersenyum. Kiki sudah semakin pintar bi?
cara. "Tentu saja aku akan merindukan kamu."
Tiba-tiba Imelda merebahkan dirinya dan meletak?
kan kepalanya di pangkuan Kiki. Ia menatap Kiki
sambil tersenyum manis. Kiki terkejut dan jantungnya
berdebar. Spontan tangannya terulur lalu membelai
ke?pala Imelda, memainkan rambutnya yang ikal.
"Kau cantik sekali, Mel."
597 "Hmmm..." Imelda memejamkan matanya. Ia se?
nang sekali dibelai seperti itu. Rasanya bisa ketiduran.
Dan tidur seperti itu pasti nyaman. Kalau saja Kiki
tidak harus pergi. Lalu Imelda membuka matanya. Beradu pandang
dengan Kiki. "Ki, kita akan segera berpisah. Apa kau nggak
mau memberiku kenang-kenangan?"
Kiki terkejut. Ia tidak berpikir ke situ. Seharusnya
ia memberi sesuatu, hadiah kecil atau apa. Tapi ia tak
punya waktu untuk pergi ke mal.
"Sori, Mel. Aku belum sempat beli."
"Wah, ini nggak perlu beli. Ada dan tersedia
kok." "Apa itu?" Imelda meletakkan jarinya di bibir Kiki.
"Ciumlah aku." Kiki tertegun. Jantungnya berdebar lebih kencang
lagi. Bisakah ia menolak dengan alasan takut, se?
mentara Imelda memintanya untuk kenang-kenangan?
Apakah ciuman bisa untuk kenang-kenangan?
"Aduh Mel, aku..."
"Supaya aku tetap ingat padamu. Dan kau pada?
ku." Lalu Imelda bangkit dan menggeser duduknya. De?
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 5 Our Story Karya Orizuka Pendekar Cengeng 7

Cari Blog Ini