Ceritasilat Novel Online

Anak Zaman Perang 1

Anak Zaman Perang Karya Bung Smas Bagian 1


BUNG SMAS RR.BC0288-02-2007 ANAK-ANAK ZAMAN PERANG Penulis: Bung Smas Ilustrator isi: Toto Rianto
Ilustratator sampul: Rochman Suryana
Desainer Sampul: Guyun Diterbitkan oleh PT REMAJA ROSDAKARYA
(d.h. CV Rudharis Jaya) Jl. Ibu Inggit Gamasih No?40, Bandung 40252
Tip. (022) 5200287, Faks. (022) 5202529
e-mail: rosdakarya@rosda.co.id
website: www.rosda.co.id Anggota Ikapi Cetakan kesatu, 1997 Cetakan kedua, Februari 2007
Hak cipta dilindungi undang-undang pada Penulis
Dicetak oleh PT Remaja Rosdakarya Offset _ Bandung
ISBN 979-692-812-4 Kata Pengantar Walaupun Indonesia sudah menghirup kemerdekaan, bangsa kita
tetap menjunjung semangat perjuangan. Kemerdekaan yang telah
berhasil kita capai, tidak lantas membuat kita melupakan perjuangan
yang berat sampai titik darah.penghabisan. Bahkan, mendorong kita
untuk lebih maju dan mawas diri.
Buku ini mengisahkan sisi lain perang untuk merebut kembali
kemerdekaan dari tangan penjajah. Pengarang menggambarkan bahwa
perjuangan bukan hanya milik orang dewasa. Anak-anak zaman
perang pun melakukan aksi dengan cara tersendiri. Mereka adalah
pejuang-pejuang kecil yang memberanikan diri untuk berbuat sesuatu,
demi menyelamatkan desa, negeri, dan bangsanya. Bahkan, setelah
terbebas dari belenggu penjajahan pun mereka tetap harus berjuang
untuk memajukan negeri ini.
Dengan bahasa yang sederhana, anak-anak diajak menyelami sisi
gelap bangsa ini. Cerita yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan ini
sangat layak dibaca karena dapat membangkitkan rasa cinta pada
bangsa dan negeri. Akhirnya penerbit mengucapkan selamat membaca. Semoga
pembaca dapat mengambil hikmah yang tersirat dalam cerita ini.
Penerbit v DAFTAR ISI 1. Pelarian dari Penjara ............................................................. 1
2. Perintah Pak Lodan ....... ...................................................
12. 3. Penangkapan........................................................................ 25
4. Percakapan di Warung Pak Semi......................................... 31
5. Orang-Orang Liar ............................................................... 39
6. Keturunan Pemberani ......................................................... 48
7. Dibuntuti ............................................................................ 55
8. Tamu Pada Tengah Malam .......... .. ..................................... 63
9. Kita Masih Akan Berjuang .................................................... 67
vu Pelarian dari Penjara Subuh baru saja lewat. Udara sangat dingin. Tosan menuruni
tangga semen surau tua itu. Diselimutinya tubuhnya dengan kain
sarung. Tetapi kedua kakinya terasa amat dingin. Dia mendesis- desis.
Dipandanginya surau itu. Hanya ada sebuah lampu minyak
kelapa sebagai penerangan surau. Nyalanya kecil sehingga di luar
tampak lebih terang karena bulan masih bertengger di langit barat.
Betapa tuanya surau itu. Kata Bapak, umur surau itu setua Kakek
Buyut Tosan. Kakek buyut adalah ayah kakek. Kini Kakek Buyut
sudah tiada, sedangkan Kakek pun telah berpulang sejak dua tahun
yang silam. Tosan sering menghitung-hitung usia surau di sebelah timur
rumahnya itu. Konon, Kakek Buyut mengalami masa. Perang
Diponegoro. Ketika itu ia masih berusia tiga belas tahunan, seperti
halnya Tosan sekarang. Perang Diponegoro berlangsung antara tahun
1825 sampai 1830. Kini tahun 1949. Berapa umur surau kecil itu?
"Sangat tua," gumam Tosan. Begitu selalu. Ia tidak pernah bisa
menghitung berapa sebenarnya umur surau yang berdinding papan
kayu jati itu. Hanya bisa bilang 'sangat tua' saja.
Tosan menunggu Bapak keluar dari surau itu, tetapi Bapak masih
membaca wirid di sana. Suaranya terdengar dalam
1 gumam dengan nada besar. Bapak memang tinggi besar. Karenanya,
Tosan heran mengapa tubuhnya sendiri pendek begitu. Padahal, Emak
pun cukup tinggi. Emak bertubuh ramping seperti Nenek. Juga seperti
Tiwi, adik perempuan Tosan.
Tiba-tiba Tosan mendengar bunyi tembakan gencar dari arah
utara. Ia tertegun sesaat. Lalu berlari kembali ke surau. Sandal
kayunya dilemparkannya begitu saja.
"Ada apa?" tanya ayahnya yang masih duduk bersila di atas lantai
surau beralaskan tikar. Hanya dia seorang yang masih tinggal di surau
setelah salat subuh tadi.
"Ada pertempuran ...," jawab Tosan dengan gugup. Ia
menelungkupkan tubuhnya di atas lantai. Tiarap namanya. Sikap itu
selalu dilakukannya setiap kali ia mendengar bunyi tembakan. Anakanak desanya juga terbiasa dengan suasana seperti itu. Mereka akan
merebahkan dirinya serempak begitu terdengar bunyi letusan senjata.
Tidak peduli dari mana arahnya, jauh atau dekat.
"Jangan takut!" kata ayahnya. Namanya Pak Lodan. Ia seorang
kepala desa yang disegani. Suaranya besar, seperti juga tubuhnya yang
kekar. "Bunyi tembakan itu sangat jauh."
"Tetapi ... tetapi peluru bisa membunuh orang dalam jarak jauh
ujar Tosan dengan suara gemetar.
"Tidak akan bisa mencapai tempat ini. Bangunlah."
Tosan tidak mau bangun juga. Bunyi tembakan masih terdengar
gencar. Pak Lodan menelengkan kepalanya. Seperti memperhatikan
bunyi tembakan itu. "Bunyi mitraliur," gumamnya, seolah berkata pada dirinya
sendiri. "Terdengar dari satu arah saja. Berarti bukan pertempuran."
"Kalau bukan pertempuran, apa namanya, Pak?"
"Mitraliur itu senapan mesin milik tentara Belanda. Biasanya
diletakkan di atas mobil tank. Tahu mobil tank, kan?"
"Mobil beroda besi dengan rantai besi itu, Pak?"
"Ya. Tank adalah mobil perang. Mobil itu berlapis baja.
2 Tunggu dulu!" Pak Lodan kembali menelengkan kepalanya. Lalu bangkit dan
berjalan ke luar surau. Anaknya menunggu dengan perasaan tegang.
Angin bertiup dari utara. Dari arah bunyi tembakan itu terdengar.
Seolah angin membawa bunyi itu ke telinga Pak Lodan.
"Mitraliur itu bukan ditaruh di atas tank/' gumam lelaki perkasa
itu. "Mungkin di atas mobil jip terbuka. Ah, ada apa sebenarnya?
Bunyi tembakan itu semakin dekat ke sini ...."
Diam-diam Pak Lodan mulai gelisah. Begitu cepat bunyi
tembakan itu mendekat. Tank tidak bisa bergerak secepat itu. Berarti
mitraliur itu diletakkan di atas jip terbuka.
"San!" Pak Lodan berseru memanggil anaknya. "Tosan!"
"Ya, Pak!" sahut anaknya.
"Pulang saja! Beri tahu Emak agar tiarap di kolong tempat tidur!
Nenek dan Tiwi diajak serta!"
"Oh ... jadi ... jadi keadaan sedang gawat, Pak?"
"Jangan bertanya-tanya dulu! Lekas pulang!"
Tosan menyadari keadaannya benar-benar gawat. Kalau tidak,
ayahnya tidak akan membentaknya seperti itu. Tosan merangkak di
lantai surau. Lalu berlari dengan merunduk di kebun pisang. Ia
memasuki rumahnya. "Mak! Mak! Tiarap! Semuanya harus tiarap!" serunya segera.
"St! Diam!" terdengar suara Emaknya. Arahnya dari kolong
tempat tidur. Tosan menjenguk ke kolong tempat tidur itu. Rumah ini berlantai
tanah. Tepat di bawah tempat, tidur, tanah itu digali setengah meter
dalamnya. Panjang dan lebar lubang tanah itu hampir sama dengan
ukuran tempat tidur di atasnya. Gunanya untuk berlindung bila terjadi
pertempuran. Emak, Nenek, dan Tiwi, sudah tidur menelentang di
lubang beralaskan tikar itu.
Tangan Emak menangkap tangan Tosan.,
"Berlindung di sini!" seru Emak dengan bisikan. Ia menarik
> ? 3 - tangan Tosan. "Ayo! Jangan termangu-mangu saja!"
Tosan merangkak masuk ke kolong tempat tidur itu. la turun ke
lubang. Lalu berbaring di sisi Nenek. Betapa gemetar tangan Nenek.
Bahkan, giginya pun bergemerutuk.
"Oh ... apa yang terjadi?" desah Nenek dengan suara parau.
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Sejak Kakek
meninggal, Nenek menjadi mudah gugup seperti itu. Ia merasa seolah
tidak ada lagi yang melindunginya. Bapak adalah anak lelakinya yang
sulung. Adik Bapak bernama Paman Prawi. Nama lengkapnya,
Prawiro. Nama itu bermakna 'perwira'. Dalam keluarga Tosan, setiap
nama mempunyai makna yang khas. Tosan sendiri artinya 'besi'. Arti
nama ayahnya lebih seram lagi. Lodan adalah ikan hiu dalam bahasa
Jawa! Kebiasaan memberi nama yang khas seperti ini diturunkan dari
mendiang Kakek Buyut. Nama Kakek Buyut adalah Sawungjalu.
Artinya 'ayam jago'. Memang hebat. Lebih hebat lagi nama Kakek,
yaitu Menggala. Artinya, 'lelaki pemimpin'. Begitulah, sampai si kecil
Tiwi pun mempunyai nama yang cukup berarti, yaitu Pratiwi. Dalam
bahasa Indonesia, pratiwi adalah pertiwi, tanah tumpah darah!
Ketika semuanya sedang berlindung di kolong tempat tidur, Pak
Lodan berdiri di depan surau. Ia melihat bayangan hitam bergerakgerak. Terdengar bunyi langkah terseok-seok. Bayangan hitam itu
tampak terhuyung. Beberapa kali terjatuh. Lalu bangun lagi. Terjatuh
kembali. Akhirnya tidak bisa bangkit lagi. Dia hanya merangkak, lalu
terjerembab dan hanya bisa merayap.
Pak Lodan menghampiri orang yang kepayahan itu. Tahulah dia
apa yang terjadi. Tentara Belanda mengejar dan menembaki orang ini.
"Siapa kau?" tanya Pak Lodan seraya berdiri di depan orang
itu.. Orang yang disapanya menengadahkan wajahnya. Tampak betapa
payahnya dia. Nafasnya terdengar sangat keras dan tidak teratur. Dia
batuk-batuk. 4 5 "Saya ... saya bukan penjahatsuaranya tersendat-sendat.
"Kau dikejar tentara Belanda?"
"Saya orang hukuman "Apa kesalahanmu?"
Orang itu diam. Pak Lodan membungkuk. Diamatinya tubuh
orang itu. la meraba-raba tubuh itu, mencari kalau-kalau ada luka di
sana. Ia bersyukur tidak menemukan luka yang berarti. Hanya
goresan-goresan batu di kaki dan tangan orang itu. Pak Lodan
mengangkat tubuh orang itu. Keremangan lepas subuh cukup
membuat Pak Lodan melihat wajah si pelarian.
"Kau masih begini muda ...," gumamnya. "Berapa lama kau
dihukum, he?" "Saya dijatuhi'hukuman mati...."
"Hukuman mati? Kau anggota gerilya?"
Pemuda itu diam. Namun, Pak Lodan tidak memerlukan jawaban.
Orang semuda ini dijatuhi hukuman mati oleh Belanda. Siapa lagi
kalau bukan gerilya atau anggota tentara Republik Indonesia?
"Siapa pun kau, aku akan melindungimu! Ikuti aku!"
Pemuda itu berusaha berjalan, tetapi tubuhnya tidak bertenaga
lagi. Ia terjerembab. Pak Lodan memanggul tubuh lunglai itu di
pundaknya. Ia berlari ke arah kebun belakang rumahnya.
Kebun itu tidak terurus. Penuh tanaman buah-buahan dan ? belukar
lebat. Ada jalan setapak yang menggaris di tengahnya, menuju ke sungai
besar yang deras arusnya. Sungai itu membujur dari timur ke barat. Tidak
ada jembatan di sana sehingga orang pun hampir tidak pernah
menyeberang ke selatan. Sebelah selatan sungai itu termasuk wilayah
desa lain. Di sana orang menanam jagung dan ubi di sepanjang tepi sungai.
Tanpa ragu-ragu, Pak Lodan turun ke sungai. Tebingnya yang
curam penuh dengan akar pohon lo dan gayam. Pohon lo adalah
tanaman yang banyak terdapat di tepi sungai di daerah pelosok atau
hutan. Pohonnya besar, buahnya sangat kecil.
6 Adapun gayam adalah tanaman sejenis jengkol. Gayam bisa direbus
dan dimakan. Akar-akar pepohonan itu berjuntai menyentuh air
sungai yang deras. Pak Lodan merambat ke bawah melalui akar-akar
pohon itu. Betapa beratnya pekerjaan ini. Sedangkan pemuda yang
ditolongnya ternyata telah pingsan. Beban tubuh itu memang tidak
terlalu berat bagi Pak Lodan. Namun, cukup menyulitkan karena
pemuda itu sama sekali tidak bisa berpegangan. Pak Lodan bagai
membawa sekarung beras saja.
Betapa dinginnya air sungai itu. Namun, Pak Lodan telah
bertekad untuk menyelamatkan satu nyawa anak bangsanya, anak
negerinya. Ia berjuang sehabis daya untuk melawan arus. Ia harus'bisa
menyusuri tebing itu ke timur, bertentangan dengan aliran sungai.
Rumput-rumput dan ilalang yang berjuntai ke bawah sangat
membantunya sehingga tubuhnya tidak tampak dari luar. Hanya
goyangan ilalang yang mungkin tampak dari seberang selatan.
Bunyi tembakan semakin dekat. Lalu disusul oleh bunyi, derum
kendaraan. Dua buah mobil jip terbuka tiba di desa itu, berisi
sepasukan tentara Belanda berpakaian loreng. Mereka mengenakan
topi baja. Pemimpinnya mengenakan baret berwarna merah. Ada
lencana bergambar singa dengan warna kuning di baret itu. Sikap
mereka beringas. Mereka menembak membabi-buta. Lalu memutar
arah kendaraan itu kembali ke timur. Mereka berseru-seru dalam
bahasa Belanda. Tidak seorang pun penduduk berani keluar dari
rumah mereka. Bahkan, pasar desa yang biasanya ramai pun
mendadak menjadi sepi. Orang- orang berlarian dan bersembunyi di
kebun pisang. Di pertigaan jalan, mobil-mobil itu membelok ke utara, ? kembali ke
kota. Jarak kota itu hanya lima kilometer dari desa Pucangan, desa tempat
tinggal Tosan. Barulah orang-orang berani keluar dari tempat persembunyian
mereka. Ada yang bergerombol dan sibuk berbicara. Mereka
menduga-duga apa gerangan yang terjadi.
7. "Tentara Belanda mengejar gerilya," ada yang bicara begitu.
"Desa kita tidak pernah dilalui gerilya," bantah seseorang.
"Ah, paling-paling tentara Belanda sedang gatal saja! Mereka
tidak mau diam. Mereka memang suka menembak dengan membabibuta begitu. Mentang-mentang punya senjata dan banyak peluru,"
kata yang lain. Bermacam-macam kata orang. Namun, tidak ada yang tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi. Hanya Pak Lodan yang mengetahui
semua itu. Dialah yang terlibat langsung dengan peristiwa pada lepas
subuh itu.

Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini dia sedang berada di dalam sebuah gua. Dulu gua itu dihuni
oleh seekor ular yang besar sekali. Kambing, ayam, dan ternak
penduduk sering hilang di sekitar sungai karena disergap oleh ular
itu. Bahkan, ada seorang penduduk yang menjadi korbannya. Sejak
ular itu memangsa manusia, Pak Lodan memutuskan untuk
membunuh saja ular berbahaya itu. Ia mengundang seorang pawang
ular. Pawang ular berhasil menangkap binatang itu. Sedianya akan
dibawanya pergi. Akan tetapi, penduduk yang marah segera
membunuh ular itu. Kini gua itu tidak berpenghuni lagi. Namun,
orang masih percaya di sana ada seekor ular lagi. Kalau yang
terbunuh dulu adalah ular jantan maka betinanya masih berada di
gua itu. Letak gua itu tepat berada di tebing sungai. Mulut gua
menghadap ke selatan. Tidak tampak dari luar karena penuh akar,
belukar, dan ilalang yang berjuntai menyentuh air.
Pak Lodan membaringkan tubuh pemuda yang pingsan itu.
Sesaat ia memandangi wajah si muda. Dalam gua sangat gelap
sehingga Pak Lodan tidak bisa melihat wajah anak muda itu dengan
jelas. Pak Lodan kemudian keluar dari gua untuk kembali ke
rumahnya. Istrinya sedang menangis. Juga Tiwi, anak bungsunya. Pak
Lodan berjalan di kebun belakang rumahnya. Tosan melihatnya.
"Bapaaaaak!" jerit Tosan segera. Anak itu menghambur
memeluk pinggang ayahnya. "Bapak tidak ditembak? Bapak tidak
apa-apa?" 8 "Seperti yang kaulihat, Bapak tidak apa-apa," kata Pak Lodan.
"Baju Bapak basah-kuyup begini.... Bapak dari mana?"
"Dari sungai." "Bapak bersembunyi, ya? Bapak takut ditembak tentara Belanda,
ya?" "Tidak. Bapak tidak pernah takut pada siapa pun."
"Kenapa Bapak bersembuyi di sungai?"
"Bapak tidak bersembunyi."
"Kenapa Bapak tercebur ke sungai?"
"Ah, serba ingin tahu saja!"
Pak Lodan melangkah memasuki rumahnya. Tahulah dia,
istrinya menangis karena menyangka dia tertembak.
"Ya Allah, Pak!" seru istrinya sambil menyeka air mata. "Tosan
bilang Bapak ditembak tentara Belanda!"
Pak Lodan tertawa. Bunyi tertawanya seperti harimau
menggeram. Suaranya memang besar sekali.
"Tosan suka berkhayal!" gumam Pak Lodan.
"Tadi kulihat sandal kayumu berada di halaman surau, tetapi kau
tidak ada. Bunyi tembakan begitu riuhnya. Semua orang menyangka
kau ditembak dan jenazahmu dibawa ke kota ..." kata Nenek.
Pak Lodan hanya mendengus. Ia mengganti pakaiannya yang
basah-kuyup, lalu berpikir sesaat. Ia harus mengirimkan pakaian
ganti dan makanan ke gua. Kalau perlu, juga obat-obatan. Akan
tetapi, bagaimana caranya agar tidak ada orang yang tahu? Jika ia
sendiri langsung turun ke tebing sungai, orang pasti akan curiga.
, Seorang kepala desa yang dihormati penduduknya turun ke sungai
pada pagi hari? Siapa pun akan menganggap hal itu aneh. Mereka
pasti ingin tahu. Lalu tempat persembunyian pelarian dari penjara itu
diketahui orang. Jadi, ia harus menyuruh orang lain. Tetapi siapa? Soal pelarian
itu harus dirahasiakan. Tidak seorang pun boleh tahu. Keselamatan
pelarian itu terancam bila tempat persembunyiannya diketahui oleh
orang lain. Tentara Belanda akan menangkap9 nya. Mungkin langsung menembak mati pelarian itu. Bahkan,
akibatnya bisa lebih buruk lagi. Tentara Belanda juga akan menembak
orang yang menyembunyikan pelarian itu.
Pak Lodan memandangi anak lelakinya. Hanya Tosan satusatunya harapannya. Hanya Tosan yang bisa dipercaya untuk
mengantarkan makanan itu. Tetapi soalnya, beranikah Tosan ke gua?
Menuruni sungai yang arusnya sederas itu pun dia tidak berani.
Apalagi Tosan percaya, di gua itu masih ada ular betina yang
mendendam atas kematian jantannya.
"Bantu Bapak menyiapkan kantor, San!" kata Pak Lodan pada
anak lelakinya. "Iya, Pak," sahut Tosan. Ia biasa membantu ayahnya menyiapkan
kantor kelurahan yang terletak di depan rumahnya. Kantor kelurahan
itu hanya berdinding tiga. Bagian depannya tidak berdinding, hanya
diberi pagar kayu jati setinggi satu meter. Bangunan seperti itu lazim
disebut pendopo. Di situ ada meja tulis dan kursi kayu jati. Meja Pak
Lodan paling besar di antara meja tulis lainnya. Letaknya di sudut
ruangan, menghadap ke jalan berbatu di depan kantor itu. Di
sampingnya terletak meja carik. Carik adalah pembantu lurah atau
sekretaris. Orang memanggil carik dengan panggilan Pak Carik saja.
Namanya sendiri dilupakan orang. Seolah pegawai kantor kelurahan
itu memang bernama Pak Carik.
Meja-meja penuh debu. Tosan membersihkannya dengan kain
lap. Pak Lodan duduk di salah satu kursi seraya memandangi anak
lelakinya. "Kau sudah besar, San," katanya, mulai mengakali anaknya untuk
disuruh ke gua. "Sebesar kau dulu, Bapak sudah menjadi joki
terkenal...." "Joki?" Tosan keheranan. "Joki itu kan penunggang kuda, Pak?
Bapak mahir menunggang kuda?"
"Penunggang kerbau. Bapak hanya joki kerbau. Dulu di desa ini
orang gemar mengadakan pacuan kerbau. Pada usia tiga belas
10 tahun Bapak sudah terkenal sebagai joki terbaik. Bapak sering
diundang ke desa lain untuk berpacu." *
"Bapak selalu menang?"
"Selalu menang."
"Tidak pernah kalah?"
"Tidak pernah."
"Bapak hebat, ya?"
"Tentui" Pak Lodan tertawa bangga. "Anak seorang bapak yang
hebat, tentunya hebat juga, kan? Kau harus menjadi anak yang hebat,
seperti Bapak dulu."
"Aku jago berhitung di kelas lima, Pak."
"O, kalau begitu kau hebat juga seperti Bapak. Tetapi ... apa kau
berani berpacu di atas punggung kerbau?"
Tosan menunduk sedih. Dia anak penakut. Sungguh, dia merasa
dirinya memang penakut. Bermain sendirian pada malam hari pun dia
tidak berani. Ia baru merasa berani kalau di sisinya ada Bawong,
sahabatnya. Bawong adalah anak lelaki Pak Carik. Seperti ayah
mereka, Tosan dan Bawong merupakan sahabat kental yang tidak
terpisahkan. "Anak yang berani, tidak harus berani berpacu di atas punggung
kerbau," Pak Lodan menghibur anaknya. "Turun ke sungai untuk
menangkap udang di sela akar-akar pohon, juga bisa dilakukan oleh
anak pemberani. Bawong bisa melakukannya. Apa kau bisa?"
"Bi ... bi..." "Katakan kau bisa kalau bersama Bawong."
"Bisa, Pak...."
"Betul?" "Betul, Pak." Pak Lodan tertawa. Ia menjentikkan jarinya.
"Panggil Bawong kemari!" katanya seraya meminta kain lap dari
tangan anaknya. Ia sendiri menggantikan tugas Tosan.
Tosan berlari-lari ke barat. Gerakannya cukup gesit. Pak Lodan
memandanginya. Bisakah Tosan melakukan pekerjaan berat itu?
II L Perintah Pak Lodan Bawong bertubuh tegap sehingga dialah yang lebih pantas
menjadi anak lelaki Pak Lodan. Dadanya bidang, pundaknya datar.
Wajahnya tidak tampan, namun mengesankan sebagai anak yang kuat
dan ulet. Mata seorang anak pemberani dan selalu ingin tahu.
Semua ucapan Pak Lodan didengarkannya dengan saksama. Ia
penuh perhatian. Berbeda dengan Tosan yang tampak selalu gelisah
dan tegang. "Kalian mengerti?" tanya Pak Lodan setelah memberi penjelasan
kepada dua orang anak lelaki itu.
"Mengerti, Wak," sahut Bawong. Ia memanggil Pak Lodan
dengan panggilan Uwak. Seolah Pak Lodan adalah kakak lelaki
ayahnya. Panggilan itu menggambarkan keakraban antara Pak Carik
dan Pak Lodan. Keakraban orang-orang desa yang menganggap
sesamanya sebagai saudara sendiri.
"Ingat! Jangan membuat kesalahan sedikit pun!" pesan Pak Lodan
dengan suara berbisik. "Ini adalah rahasia besar. Rahasia kita bersama.
Hanya aku, Bawong, dan Tosan yang mengetahuinya. Tidak ada orang
lain. Kalau rahasia ini bocor, berarti salah seorang dari kita yang
membocorkannya. Itu tidak boleh terjadi. Paham?"
"Paham, Wak." "Ada yang ingin ditanyakan?'
12 "Ada, Wak." "Katakan!" Bawong memang tidak saja pemberani, tetapi juga suka berterus
terang. Ia suka mengemukakan pendapatnya. Tidak mau berdiam diri
kalau memang ingin bertanya.
. "Kami harus melakukan pekerjaan berat itu. Tetapi kami tidak
tahu untuk apa," kata Bawong. "Uwak hanya menyuruh kami
meletakkan makanan, minuman, dan obat-obatan di mulut gua itu.
Uwak tidak pernah bilang semua itu untuk apa. Masa untuk makanan
ular, Wak?" Pak Lodan tertawa pendek. Ia merasa iri pada Pak Carik. Betapa
senangnya kalau Tosan seberani Bawong. Sayang sekali, Tosan
terlalu lembut sebagai anak lelaki. Tosan tidak gagah seperti
Bawong. "Sebaiknya aku memang berterus-terang kepadamu," kata Pak
Lodan. "Di gua itu ada seorang pemuda yang terluka. Ia ' memerlukan
perawatan dan makanan sebelum melanjutkan perjalanannya. Kau tahu
kan, negeri kita sedang berperang. Namun, kita terpaksa mengangkat
senjata-karena Belanda menghendaki negeri ini menjadi miliknya. Kita
mempertahankan negeri ini. Kita berjuang untuk tanah air tercinta ...,"
Pak Lodan berhenti sejenak. Ia ingat, ucapan-ucapannya terlalu sulit
untuk anak seusia Bawong. Pak Lodan biasa menghadapi orang-orang
dewasa warga desanya sehingga ia berkata dengan begitu berapi-api.
Seolah-olah yang dihadapinya adalah dua orang dewasa belaka.
"Kok diam, Wak?" tanya Bawong.
"Begini saja," sahut Pak Lodan. Ia berpikir sesaat untuk
menyusun kalimat yang mudah dipahami oleh anak kecil. Lalu
katanya, "Kita harus menolong seorang anggota gerilya yang lari dari
penjara. Gerilya itu akan ditembak mati. Ia berhasil melarikan diri
dan bersembunyi di dalam gua. Kita harus membantunya sebab dia
adalah anak bangsa kita sendiri. Dia berjuang untuk merebut
kemerdekaan kita. Kalian tahu, Indonesia sudah merdeka sejak empat
tahun yang lalu, bukan? Belanda
13 datang lagi ke sini untuk menjajah. Nah, marilah bantu pemuda gerilya
itu!" "Baik, Wak. Tetapi ini rahasia, kan? Tidak boleh bilang pada siapa
saja, Wak?" 'Tidak. Meskipun pada Ayah dan Emak sendiri, tidak boleh bicara
apa pun tentang gerilya itu. Siapa tahu di antara penduduk desa ada
yang melaporkannya kepada tentara' Belanda? Kalau hal ini terjadi,
gerilya itu tidak akan selamat. Kita juga tidak akan selamat karena
telah membantunya. Kita semua akan celaka. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Wak."
"Kau, Tosan? Sejak tadi kau diam saja. Bisa kaupahami kata- kata
Bapak?" "Bisa, Pak!" "Nah! Mulailah bekerja. Setelah itu, kalian masuk sekolah seperti
biasa. Ingat! Semua pekerjaan itu harus kalian lakukan dengan hatihati. Jangan membuat kesalahan. Ambil tali panjang di kandang
kerbau. Ingat kan, cara yang aman untuk menuruni tebing, seperti yang
kuajarkan tadi?" "Ingat, Wak!" sahut Bawong segera.
Pak Lodan memberikan uang kertas lima sen. Uang itu lazim
disebut uang merah. Warnanya memang merah. Dibuat oleh
pemerintah Belanda di Indonesia. Di desa itu hanya uang merah yang
dianggap berlaku. Uang buatan Indonesia yang disebut ORI (Oeang
Republik Indonesia) dianggap tidak berlaku. Orang bahkan takut
menyimpan uang ORI. Tentara Belanda sering menangkapi pemilik
uang ORI. Alasan mereka, pemilik uang ORI adalah gerilya atau matamata Indonesia.
"Pergi ke warung Pak Semi," bisik Pak Lodan. "Belilah makanan
secukupnya. Uang kembaliannya tidak usah diambil. Siang nanti kita
memerlukan makanan lagi dari warung Pak Semi."
"Apa Uwak tidak membuat surat saja pada Pak Semi? Aku tinggal
memberikan uang ini. Pak Semi bisa dipercaya, kan?"
14 Pak Lodan berpikir sesaat.
"Dalam soal lain, dia bisa dipercaya," katanya. "Tetapi untuk
soal ini, siapa tahu? Sebaiknya kaubilang saja padanya, Emakmu
tidak memasak nasi. Makanya, kau harus membeli nasi di sana."
Bawong tertawa. Pak Lodan keheranan mengapa anak kekar itu
tertawa tanpa sebab. "Aku bisa mengarang cerita, Wak," katanya. "Kukatakan saja
aku dimarahi Emak. Aku pergi dari rumah dan tidur di surau. Aku
kan sering pergi dari rumah kalau dimarahi Emak, Wak? Pak Semi
pasti percaya pada ceritaku. Lalu uang ini ... uang ini ... ah, kubilang
saja diberi Bapak dengan diam-diam tanpa setahu Emak. Bapak kan
bekerja di sini?" "Baik! Kerjakan sekarang!"
Mereka mulai bekerja. Tosan menyiapkan tali panjang yang
diambilnya di kandang kerbau. Pak Lodan memberikan botol kecil
bekas minyak kayu putih. "Ini obat untuk pelarian itu," bisiknya seraya memasukkan botol
kecil itu ke saku baju Tosan.
Sesudah itu, Pak Lodan kembali ke kantor kelurahan. Seolah
tidak terjadi apa-apa, ia duduk merokok di sana. Emak menyajikan
teh hangat tanpa gula, seperti biasanya.
Tosan membuka tutup botol yang terbuat dari gabus. Lalu
mencium mulut botol itu. Ah, hanya obat merah. Jadium tentuur
namanya. Bisakah obat seperti cairan tinta berwarna merah ini
mengobati luka-luka pelarian itu? Tosan merasa sedih. Bangsanya
menjadi miskin seperti ini karena penjajahan. Miskin sekali, sampaisampai obat pun hanya jodium tentuur.
Tosan teringat akan obat-obat tradisional untuk menyembuhkan
luka berdarah. Tidak sulit mencarinya. Apa yang sulit bila hanya
mencari sarang laba-laba dan minyak kelapa? Sarang laba- laba
banyak terdapat di kandang kerbau Tosan. Letak kandang kerbau itu
di belakang rumah, agak jauh dari rumah induk. Untuk
mendapatkannya, Tosan memanjat dinding yang terbuat dari kayukayu bulat melintang. Sarang laba-laba itu dilumatkan
15 dan dicampur dengan minyak kelapa. Siaplah sudah obat tradisional
itu. Luka akan cepat mengering bila dibubuhi obat buatan Tosan.
Daripada hanya dengan obat merah yang kental dan sudah mengering,


Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih baik dengan obat buatan sendiri.
Bawong tiba begitu Tosan selesai menyiapkan obat buatannya.
"Siap, Wong?" tanya Tosan.
Bawong tertawa, seperti mengagumi sesuatu.
"Aku heran," katanya sambil tertawa. "Tiba-tiba kau jadi
pemberani begitu, San? Tadi kau penakut dan dungu sekali!"
Tosan jadi tertawa. Entah mengapa tiba-tiba ia menjadi berani dan
bersemangat seperti itu. Mungkin karena ia telah berhasil membuat
obat luka? Ia merasa menjadi anak yang berarti. Makanya,
keberaniannya pun mulai muncul, meskipun Bawong masih menang
jauh dengannya. Keduanya menerobos belukar di kebun kosong. Lenguh kerbau
mengiringi perjalanan itu. Seolah kerbau pun berseru menyampaikan
salam kepada dua anak Indonesia yang hendak menolong seorang
pejuang bangsanya. Sesuai dengan rencana, Bawong mengikat perutnya dengan tali
panjang. Ujung tali itu diikatkan pada akar-akar yang berjuntai di
tebing sungai. Bungkusan nasi dan obat-obatan dibawa dengan
kantung kertas bekas pembungkus semen.
Sebelum menuruni tebing itu, Bawong menatap Tosan. Ia
mengacungkan tinjunya. "Selamat berjuang, Wong," ucap Tosan bersungguh-sungguh.
Bawong tertawa mendengarnya. Berjuang? Ha! Beginikah yang
disebut berjuang? Hanya membawa makanan dan obat- obatan ke
dalam gua, bisa disebut berjuang! Betapa mudahnya.
Namun, tidak urung dada Bawong berdebar-debar juga. Ia sadar
bahwa yang dilakukannya sungguh penuh bahaya. Di tempat itu
banyak ular berkeliaran di antara jalinan akar yang berjuntai ke
permukaan air. Bila ada yang melihat perbuatan mereka, bahaya pun
akan datang. Bahaya untuk pelarian itu, untuk Pak Lodan, dan warga
desa lainnya! 16 Bawong mulai menuruni tebing.
17' i ! Bawong mulai menuruni tebing. Tosan berjaga-jaga di tebing itu.
Matanya nyalang memandang berkeliling. Makin lama, hatinya
makin terasa tegang. Matahari telah tinggi. Seharusnya ia sudah
berada di sekolah. Sebentar .lagi bel masuk akan berbunyi. Padahal,
pekerjaan itu baru di mulai.
Di bawah, Bawong juga merasa tegang. Rasa takutnya mulai
datang. Ular memang tidak ada. Akan tetapi, bahaya bukan saja dari
luar. Bisa juga dari pelarian itu sendiri. Bagaimana kalau ternyata
pelarian itu bukan pejuang? Misalnya perampok, pembunuh ....
Ia tiba di depan mulut gua. Diletakkannya bungkusan makanan
dan obat-obatan itu. Lalu ia bergegas pergi. Lebih cepat lebih baik.
Karenanya, ia kurang berhati-hati. Kakinya terpeleset. Tubuhnya
tercebur ke sungai. Arus deras menyeretnya ke barat. Tali yang kuat
mengikat perutnya. Ikatan itu terasa semakin kencang karena talinya
meregang. Tuhan, Bawong tidak bisa berenang!
"Bawooooong!" jerit Tosan yang telah mengetahui nasib j
sahabatnya. Tosan memanggil-manggil lagi. Tetapi panggilannya tidak
mungkin bisa menolong nasib Bawong. Kini Bawong pun timbul
tenggelam di air sungai yang deras arusnya. Dia tidak bisa bernafas.
Dia menelan banyak sekali air yang keruh. Dia hampir pingsan ....
"Bawooooong!" Bawong tidak menjawab. Bahkan, mendengar panggilan itu pun
tidak. Ia hanya merasakan telinganya menjadi panas sekali. Bunyi
gemuruh air memekakkan, mengerikan, dan dia ? berputaran di situ.
Seorang lelaki setengah baya mendengar jeritan-jeritan Tosan.
Ia bergegas menghampiri tempat itu. Ia keheranan melihat anak Pak
Lodan berada di tepi sungai sepagi ini.
"Tosan! San! Kau kenapa?" tegurnya.
18 Tosan terkejut bukan main. Ia kebingungan. Dipandanginya
lelaki setengah baya itu. Ia telah mengenal lelaki itu. Namanya Pak
Mundar. Rasa takutnya datang. Pak Mundar tidak pernah bersikap
baik terhadap ayah Tosan. Bisa dikatakan, ada permusuhan diamdiam antara Pak Mundar dan Pak Lodan. Persoalannya terjadi ketika
Tosan masih kecil dulu. Pak Mundar salah seorang saingan Pak
Lodan dalam pemilihan lurah. Sebagaimana lazimnya di desa,
pemilihan lurah dilakukan oleh penduduk. Calon lurah dipilih oleh
rakyatnya. Pak Lodan meraih kemenangan gemilang dalam
pemilihan itu. Sebagian besar penduduk desa mempercayakan
kepemimpinan desa Pucangan kepadanya. Sejak saat itu, seolah
terjadi permusuhan secara diam-diam antara Pak Lodan dan Pak
Mundar. Semua itu diketahui oleh Tosan. Maka, takutnya pun makin
menjadi-jadi. "Sedang apa kau di sini?" tanya Pak Mundar.
Bila Tosan tidak tahu tentang permusuhan antara Pak Mundar
dan ayahnya, dia pun pasti takut mendapat pertanyaan itu. Takut
karena ia tidak boleh membocorkan rahasia. Juga takut karena wajah
Pak Mundar yang menyeramkan. Orangnya tinggi besar, seperti juga
Pak Lodan. Kumis tebal hitam melintang dengan kedua ujungnya
mencuat ke atas. Janggutnya lebat dan pendek. Matanya besar,
seolah dia selalu melotot saja.
Tosan menjadi gugup. Semakin gugup karena ia mencemaskan
nasib Bawong. "He! Sedang apa kau di sini?" hardik Pak Mundar.
"Tidak ... eh ... tidak...."
"Tadi kau berteriak-teriak memanggil nama Bawong!"
"Oh ... maksudku ... maksudku ... Bawong terjatuh ke sungai.
Dia sedang mencari udang. Sungguh, dia mencari udang. Di antara
akar-akar gayam banyak udang berkeliaran ...."
"Heh! Kenapa tidak bilang sejak tadi?"
Pak Mundar bergerak dengan cepat. Ia menuruni tebing sungai
itu. Tosan bingung. Harus bagaimanakah dia?
19 Membiarkan Pak Mundar menuruni tebing untuk menolong Bawong atau
melarangnya?" "Pak...." Pak Mundar tidak peduli. Ia menuruni tebing itu dengan gerakan
lincah. Lalu menyusur ke timur mengikuti jalur tali yang mengikat
akar gayam. "Aaaaa ...!" tiba-tiba terdengar jepitan Bawong.
Tosan makin gugup mendengarnya. Tetapi ada perasaan lega
juga. Bila Bawong bisa berteriak, berarti dia tidak tenggelam lagi.
"Diam! Kau kenapa, he?" suara Pak Mundar terdengar.
"Oh ... Pak ... Pak Mundar ...."
"Pegang tanganku!"
Tosan menjenguk ke bawah tebing. Ia melihat Bawong merayap
di antara akar-akar pohon dan ilalang. Pak Mundar menolongnya.
Syukurlah, Bawong selamat. Pak Mundar menolong anak itu naik ke
tebing. Tosan menarik tangan Bawong. Tiba di atas tebing, Bawong
muntah-muntah. Air sungai yang keruh telah mengisi perutnya. Ia
terbatuk-batuk. Pak Mundar merayap naik. Kemudian, dengan
gerakan kasar ia memegangi kedua pergelangan kaki Bawong. Tibatiba disentakkannya sekuat tenaga. Bawong terjungkir dengan kepala
di bawah. Ia menjerit karena terkejut dan takut. Air makin banyak
keluar dari mulutnya. "Nah! Muntahkan semuanya!" dengus Pak Mundar. "Ayo, buka
mulutmu lebar-lebar!"
Tahulah Tosan, ternyata Pak Mundar sedang berusaha
mengeluarkan air dari dalam perut Bawong. Karena ia melakukan
upaya itu dengan gerakan kasar, Tosan sempat salah paham.
Kini Bawojig telah memuntahkan semua air keruh dari dalam
mulutnya. Ia tampak terengah-engah sekali. Matanya merah.
Nafasnya tersengal. Ia duduk di atas tanah. Punggungnya menyandar
ke batang pohon gayam. 20 "Kau bisa berenang, Wong?" tanya Pak Mundar dengan suara
mengguntur. Orang tinggi besar itu berbicara pun tidak pernah bisa
perlahan. Selalu dengan suara keras. Nadanya menyentak-nyentak
sehingga sukar membedakan dia sedang marah atau tidak.
Bawong menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesekali ia terbatuk
juga. "Tadi kau tenggelam, bukan?" tanya Pak Mundar lagi.
Bawong mengangguk. "Ketika aku turun ke sana, kau sudah bisa merayap ke tebing.
Berarti ada orang yang menolongmu. Katakan siapa yang
mengangkat tubuhmu dari air!"
"Oh ... tidak ... tidak ...," Bawong menjadi gugup pula.
"Siapa?" "Tidak ada. Sungguh, tidak ada!"
"Bersumpahlah!"
Bawong bingung. Kalau harus bersumpah, dia pun tidak mau.
Bersumpah bukan sembarang mengucapkan kata-kata. Sumpah
disaksikan oleh Tuhan. Tidak bisa berbohong lagi karena Tuhan
Mahatahu segalanya. Tosan mendapat gagasan secara tiba-tiba. Ia berkata dengan gaya
seolah ia bersungguh-sungguh. "Perut Bawong diikat dengan tali!
Tali itu yang menahan tubuhnya sehingga tidak hanyut!"
"Oh ... iya ... iya. Tali itu yang menahan tubuhku ...," sambung
Bawong. Ia masih duduk menyandarkan punggungnya ke pohon
gayam. Pak Mundar tertawa mengejek. Suara tertawanya menggema ke
sekitar belukar. Ditingkah bunyi bel panjang dari arah sekolah, tidak
jauh dari tempat itu. Tosan menegakkan kepalanya. Bunyi dentang bel yang' terbuat
dari potongan besi rel kereta api itu membuat jantungnya berdegup
kencang sekali. Degupan itu seolah berpacu dengan bunyi dentang
bel yang bertalu-talu. 21 "Tali bisa menahan tubuhmu/' Pak Mundar mengejek. "Tetapi
mengangkat tubuhmu dari dalam air, tidak akan bisa dilakukan oleh
seutas tali ajaib pun! Pasti ada orang yang mengangkatmu. Siapa?
Pelarian semalam, he?"
Kepala Bawong bergoyang karena terperanjat sekali. Tosan
sampai terdesak. Keduanya tidak bisa menjawab. Pertanyaan Pak,
Mundar sangatlah mudah. Tetapi jawabannya, betapa sulitnya!
Tosan menatap Bawong. Dengan tiba-tiba Bawong berdiri.
"Kami mau berangkat sekolah," kata Bawong seraya beranjak
pergi. "He, tunggu dulu!" cegah Pak Mundar. "Katakan siapa yang
mengangkatmu dari dalam air?"
Bawong berlari. Tosan menyusulnya. Pak Mundar menggerutu.
Percuma bertanya-tanya. Lebih baik ia menjenguk ke dalam gua
sana. Ia pun turun ke bawah tebing. Tali pengikat tubuh Bawong
masih berjuntai di situ. Pak Mundar menggunakannya untuk
menuruni tebing. Dari gerumul belukar, muncul tubuh Pak Lodan mencegat
langkah Bawong. "Siapa yang bicara dengan kalian tadi?" tanya Pak Lodan dengan
perasaan cemas. Perasaan itu nyata tergambar lewat wajahnya yang
tegang. "Pak ... Mundar ...," suara Bawong gemetar. "Aku tidak bisa
melaksanakan tugas itu dengan baik, Wak. Maafkan aku ...."
Pak Lodan menghembuskan nafas dengan perasaan kecewa
sekali. "Yah ... bagaimanapun kalian masih anak-anak," gumamnya.
"Kalian telah melakukan tugas semampu kalian. Memang pekerjaan
itu terlalu berat bagi kalian. Sudahlah, pergilah ke sekolah. Kalian
sudah terlambat." Ucapan Pak Lodan agak melegakan hati juga. Namun, tidak
urung kedua anak itu menyesal sedalam-dalamnya. Tugas itu tidak
bisa mereka laksanakan dengan sempurna.
Mereka bergegas mengganti baju. Lalu.keduanya berlari ke
22 sekolah sambil menjinjing sabak dan grip. Sabak adalah perlengkapan
sekolah berupa kepingan batu yang tipis sekali. Ukurannya dua kali
buku tulis. Di sekeliling kepingan batu tipis itu diberi bingkai dari
kayu randu. Adapun grip adalah alat tulis berbentuk pinsil kecil. Juga
terbuat dari bahan yang sama dengan bahan pembuat sabak. Ujungnya
runcing. Bisa diasah dengan * pecahan genting agar tetap runcing
seperti pinsil. Untuk menulis, cata menggunakannya juga sama
dengan menggunakan pinsil. Bekas tulisannya berwarna putih di atas
warna sabak itu. Sabak juga disebut batu tulis.
Tiba di depan pintu kelas lima, keduanya berhadapan dengan
Pak Damsik. "Selamat pagi, Pak," ucap mereka. Suara keduanya gemetar
sekali, tanda takut dan bingung.
"Dari mana?" tegur Pak Damsik. Nada suaranya sungguh tidak
enak. Seolah tidak acuh, namun matanya memperhatikan tubuh
kedua orang muridnya dengan saksama.
"Dari ... dari rumah, Pak," jawab Bawong gugup.
"Biasanya kalian tidak pernah terlambat."
"Kami... kami baru saja disuruh Pak Lodan...," kata Bawong pula.
"Disuruh apa?" Bawong tidak bisa menjawab. Tosan menyela, "Kami disuruh
mengambil tusuk konde Nenek yang jatuh ke sumur, Pak...."
Pak Damsik mendengus. Tusuk konde Nenek jatuh ke sumur,
ha! Entah dari mana gagasan itu muncul di kepala Tosan. Tahu- tahu
ia mengucapkan kalimat itu. Memang kemarin dulu tusuk konde
Nenek yang terbuat dari perak terjatuh ke dalam sumur. Tosan
disuruh mengambilnya. Ia tidak sanggup melakukan pekerjaan itu.
Ayahnyalah yang melakukannya. Orang desa tertawa geli
menyaksikan Pak Lurah turun ke sumur. Di desa itu, seorang lurah
turun ke sumur memang dianggap aneh. Sebab lurah adalah kepala
desa yang sangat dihormati penduduknya.
"Berdiri di sana!" ucap Pak Damsik seraya menunjuk ke sudut kelas.
23 Di antara teman-teman sekelas itu,, ada seorang anak yang
berseru mengejek. Namanya Kiwo. Dia paling besar di kelas lima.
Kelak dia akan tumbuh menjadi, lelaki tinggi besar seperti Pak
Mundar. Memang dia anak Pak Mundar itu.
Sungguh tidak enak menerima hukuman dari guru. Lebih tidak
enak karena mereka merasa tegang mengingat nasib pelarian itu ....
24 Penangkapan Tosan bangun terlambat pagi hari itu. Semalam ia hampir tidak
bisa tidur karena merasa tegang mengenang ngsib pelarian itu.
Maka, paginya ia bangun kesiangan. Matahari sudah muncul. Ia
akan bergegas salat subuh. Memang sangat terlambat. Namun, lebih
baik daripada tidak salat sama sekali.
Begitu ia beranjak dari kamarnya, ia melihat peristiwa yang
menakutkan sekali. Serombongan tentara Belanda berpakaian loreng
menyergap Pak Lodan. Sikap mereka beringas. Selalu menghardik
dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh
Tosan.

Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bapaaaaak!" jerit Tosan seraya menghambur memeluk
ayahnya. Namun, sepasang tangan berbulu lebat menyentakkannya. Tosan
terbanting. Ia akan bangkit. Ujung sangkur yang tajam menuding ke
perutnya. Sangkur itu merupakan sebilah pisau dengan bagian tajam
di kanan kirinya. Ujungnya runcing. Benda itu dipasang di ujung
senapan panjang. Karena senapan itu ditodongkan ke perut Tosan,
ujung sangkurnya menuding ke perut itu pula.
"Jangan bergerak!" hardik tentara Belanda itu. Diucapkan dalam
bahasa Belanda sehingga Tosan tidak memahami artinya.
25 i' Serombongan tentara Belanda berpakaian,, loreng menyergap Pak Lodan
26 Tosan bergerak akan bangkit. Ujung sangkur menekan perutnya.
Untunglah tidak sampai menembus kulit perut, hanya menyentuh baju
Tosan saja. "Jangan bergerak!" tentara Belanda itu mengulang dalam bahasa
Belanda juga. Tosan tetap tidak memahami artinya. Namun, ia tahu maksud
tentara Belanda itu.Tekanan ujung sangkur di perutnya sungguh
dipahaminya. Artinya, dia tidak boleh bangkit untuk memeluk
ayahnya. Ia pun diam di lantai. Namun, mulutnya tidak diam sebab ia
berteriak-teriak memanggil Bapak.
Tidak hanya Tosan yang ribut berteriak. Emak pun kalangkabut. Tiwi meraung-raung, meskipun dia tidak tahu apa arti semua
ini. Ia hanya takut pada serombongan orang bertubuh besar dengan
hidung bagai paruh burung betet. Lebih menakutkan Tiwi karena
tingkah mereka beringas sekali.
Nenek berulang kali menyebut nama Tuhan. Air matanya
berderai, namun ia tidak mengisak. Ia berjalan tertatih-tatih
menghampiri Bapak. Ujung sangkur tentara Belanda yang
mengelilingi Bapak menuding pula ke perut Nenek. Namun, Nenek
tidak peduli. Seolah hanya ditodong dengan lidi belaka, Nenek
menepiskan sangkur itu. Untunglah tangannya tidak terluka karena
yang disentuhnya bagian sisi sangkur.
Tentara Belanda yang menodongnya sempat terperanjat juga
pada keberanian Nenek. Ia terpana sesaat. Nenek berhasil memeluk
anak lelakinya yang gagah.
"Jangan melawan, Lodan," kata Nenek. Suaranya serak, namun
tidak disertai sedu-sedan. "Ingat keselamatan anak dan istrimu.
Terima ini sebagai cobaan. Tuhan tidak akan pernah membiarkan
kejahatan merajalela tanpa tandingan ...."
Seorang tentara Belanda menarik lengan Nenek. Tubuh .tua itu
terpelanting hingga membentur dinding. Betapa luka hati Tosan
menyaksikan semua ini. Betapa mendidih darahnya. Ia bangkit
serentak. Diterkamnya orang yang menyakiti neneknya.
Ditangkapnya tangan berbulu tentara itu. Lalu digigitnya sekuat
27 tenaga. Dia tidak tahu bahwa ulahnya itu bisa menimbulkan bencana
bagi seluruh keluarganya. Ia hanya tahu tentara itu mengaduh
kesakitan. Lalu dirasakannya tamparan keras melanda pipinya. Ia
menjerit kesakitan, namun tidak gentar. Sungguh ia tidak gentar!
Tuhan telah memberi keberanian di hati anak lelaki yang marah itu.
Keberanian yang muncul karena ia menyaksikan keluarganya disakiti
oleh orang-orang beringas.
Tosan telah menjelma menjadi anak yang benar-benar sekeras
besi. Semangatnya menyala-nyala. Ia meraung seraya menyerbu lagi
tentara itu! 'Tosan!" Pak Lodan menghardik. Ia pun terpana menyaksikan
kegagahan anak lelakinya. Namun, ia tidak setuju pada tindakan Tosan.
"Hentikan! Tosan! Jangan gila-gilaan!"
Tosan mendengar suara ayahnya yang mengguntur itu. Rasa
hormat pada ayahnya tidak bisa lekang dalam keadaan apa pun. Ia
menghentikan gerakannya. Dipandanginya ayahnya dengan saksama.
"Kalau Bapak memerintahkan, aku akan menggigit lagi!' katanya
penuh semangat. "Jangan kaulakukan," suara Pak Lodan bernada rendah, tidak
menghardik seperti tadi. Berkesan Pak Lodan meminta, bukan
memerintah. "Kita tidak bisa melawan kekuatan ini. Terima saja
penderitaan ini dengan tabah."
Tosan tidak mengerti kenapa ayahnya lemah seperti itu. Tosan
manalah tahu jalan pikiran orang dewasa? Pak Lodan merasa tidak bisa
melawan sejumlah tentara dengan sikap beringas seperti itu. Melawan
berarti seluruh keluarganya ditumpas. Ia menyerah, namun bukan
berarti ia kalah. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras sekali. Arahnya dari
sungai. Kemudian, disusul oleh rentetan tembakan senapan mesin. Gua
tempat persembunyian pelarian itu ditembaki dan digranat!
Sejak ledakan pertama terdengar, Tosan menjatuhkan diri ke lantai
tanah. Ia menelungkup rapat-rapat di atas tanah itu.
28 Hatinya haru-biru tidak menentu. Hari ini ia mengalami peristiwa
yang benar-benar mengerikan. Ayahnya ditangkap karena diketahui
menyembunyikan pelarian dari penjara, sedangkan nasib pelarian itu
pun entah bagaimana. Tidak lama kemudian, tentara berpakaian loreng itu pergi. Pak
Lodan dinaikkan ke atas mobil jip terbuka. Ia terus-menerus ditodong
dengan senapan berujung sangkur tajam. Tangannya diikat dengan
rantai. Tetapi ia tersenyum ke arah anak lelakinya. Senyum kecil,
namun cukup membuat hati Tosan lega. Betapa bangga Tosan pada
ayahnya. Dalam keadaan seperti ini ayahnya masih bisa, tersenyum!
Mobil yang membawa Pak Lodan berlalu ke timur. Disusul oleh
mobil truk berisi tentara Belanda. Tentara yang naik mobil truk itulah
yang tadi menembaki gua. Orang-orang desa bersembulan begitu mobil-mobil itu berlalu.
Mereka ribut. Saling bertanya antarsesamanya. Suara mereka bergalau
sangat riuh. Ada yang berlari ke rumah Tosan, disusul oleh yang
lainnya. Para perempuan memeluk Emak dan Nenek. Para lelaki sibuk
bertanya-tanya dan hilir-mudik tidak tentu tujuan.
Tosan berlari lewat kebun kosong. Betapa ngeri menyaksikan
bekas gua di tebing sungai itu. Kini tinggal lubang tanah yang
menganga. Ternyata gua itu cukup panjang. Menembus sampai ke
kebun belakang rumah Pak Mundar. Di sana lubang gua itu buntu.
Kini bentuk gua itu tidak lebih dari selokan besar yang tidak berair.
Di sekitar bekas gua itu banyak anak berkumpul. Namun, di situ
ada suara perempuan menangis. Tosan berlari ke sana. Hatinya
tercekat menyaksikan Emak Kiwo menangis meraung- raung. Kiwo
berdiri saja dengan bingung. Dipandanginya Emaknya yang
bersimpuh di atas tanah sambil menangisi sesosok tubuh yang terbujur
berlumuran darah. Untunglah, tubuh berdarah itu hanya seekor kerbau
milik Pak Mundar. "Kenapa, Wo?" tanya Tosan kepada Kiwo.
29 Kiwo mendesah. "Kami hanya punya seekor kerbau," Kiwo bergumam perlahan.
"Kini kami tidak punya kerbau lagi ...."
Jawaban itu tidak sesuai dengan pertanyaan Tosan. Namun,
Tosan maklum, saat itu Kiwo sedang bersedih hati. Dalam keadaan
sedih seseorang sering berlaku seperti itu.
Agaknya Mak Mundar, emak Kiwo, telah puas menangisi kerbau
miliknya yang mati. Ia bangkit seraya menyeka air matanya. Ia mulai
merasa malu menjadi tontonan orang.
"Wo," panggilnya pada anaknya. "Kuburkan dia sebaik- baiknya
...." Kiwo mengangguk. Tosan menghampiri Kiwo.
"Di mana ayahmu?" bisik Tosan.
Kiwo hanya menggeleng. Tosan memandarigi bekas gua itu.
Hatinya lega karena tidak melihat mayat manusia di situ. Akan tetapi,
ke mana pelarian yang ditolong Bapak?
Pagi itu seisi kelas dihukum Pak Damsik. Semuanya terlambat
masuk karena membantu Kiwo menguburkan kerbaunya yang mati
karena pecahan granat. 30 Percakapan di Warung Pak Semi
Isya baru saja lewat. Surau mulai sepi setelah para jemaah turun
begitu salat Isya berakhir. Pak Carik menjadi imam salat malam itu,
menggantikan Pak Lodan. Biasanya kalau Pak Lodan berhalangan,
yang menggantikannya menjadi imam adalah Pak Lebe. Sama halnya
dengan Pak Carik, Pak Lebe juga pegawai kantor kelurahan.
Jabatannya lebe. Tugasnya mengurusi kematian, perkawinan, dan
segala macam urusan yang berhubungan dengan agama. Malam itu
Pak Lebe tidak hadir ke surau. Maka, Pak Carik menggantikannya.
Bawong dan Tosan keluar dari surau itu pula. Tosan
menggulung kain sarungnya. Lalu digantungkan saja di pundak
kirinya. "Jadi ke warung Pak Semi, Wong?" tanya Tosan seraya
melangkah di sisi Bawong.
"Ayo! Kita ambil saja uang kembalian beli nasi kemarin!" sahut
Bawong. Mereka bergega's ke warung Pak Semi. Di sana masih ada uang
kembalian membeli nasi. Bawong sengaja meninggalkan kembalian
itu. Rencananya, ia akan membeli nasi lagi untuk dikirimkan ke gua.
Warung Pak Semi hanya buka sampai pukul delapan malam.
Lepas Isya pun biasanya sudah mulai ditutup. Kini tinggal pintunya
saja yang terbuka. Nyala lampu minyak menyorot dari dalam warung
itu. 31 "Kelihatannya masih ada pembeli," bisik Bawong. "Dengarlah
suara percakapan itu!"
Tosan mendengar suara orang bercakap-cakap dari dalam warung
yang telah tutup itu. Kebiasaan mendengarkan percakapan orang
sungguh tidak baik. Njamun, Tosan merasa tertarik pada percakapan
itu. Sebab nama ayahnya disebut-sebut.
"Kita dengarkan dulu percakapan mereka," bisik Bawong.
"Kau tahu saja, aku juga ingin mendengarkannya! Siapa tahu
mereka yang melaporkan kepada tentara Belanda bahwa Bapak
menyembunyikan pelarian itu?"
"Ayo mendekat! Hati-hati! Jangan menimbulkan suara sedikit
pun!" Keduanya berjalan dengan berjingkat-jingkat karena mereka tidak
mengenakan alas kaki. Langkah mereka sama sekali tidak
menimbulkan bunyi. Keduanya lalu menempelkan telinga ke dinding
papan warung itu. "Keadaan makin sulit," terdengar suara yang bernada berat.
Tosan berpandangan dengan Bawong. Hampir saja mereka [
menyangka orang yang bercakap itu Pak Mundar. Nada suaranya
mirip sekali. "Apalagi desa ini merupakan desa tidak bertuan," sambung orang
yang bersuara besar itu. "Tidak bertuan?" suara Pak Semi menyela. "Desa ini termasuk
desa yang padat penduduknya. Masa tidak bertuan? Desa yang tidak
bertuan tentunya desa kosong yang ditinggalkan penduduknya.
Seperti desa Pacing itu. Semua penduduknya mengungsi ke hutan
sejak Belanda menduduki kota dan menyebarkan kekejaman di manamana. Sekarang Pacing menjadi desa tidak bertuan."
"Kau keliru," bantah orang yang bersuara berat. "Desa tidak
bertuan artinya desa yang tidak -dikuasai pihak mana pun. Belanda
tidak menduduki desa ini, sedangkan gerilya juga tidak berada di sini.
Itulah yang kumaksudkan dengan desa tidak bertuan."
32 Keduanya lalu menempelkan telinga ke dinding papan warung itu.
33 "Justru karena gerilya tidak berada di sinilah, keadaan menjadi
sulit. Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan Pak
Lodan? Gerilya tentu tidak tahu rmenahu!"
"Jadi, Pak Lodan tidak akan dibebaskan?" tanya Pak Semi.
Nadanya mengesankan dia cemas sek'ali.
"Kukira dia tidak mungkin bisa bebas. Kesalahannya sudah jelas.
Dia melindungi seorang pelarian dari penjara. Pelarian itu mungkin
gerilya yang tertangkap. Bisa jadi Pak Lodan akan dihukum mati!"
"Ya, Allah!" jerit Tosan.
Untunglah sebelum Tosan menjerit, Bawong sempat mendekap
mulut anak itu. "Tenang! Mari kita menyingkir dulu!" bisik Bawong.
Tosan menurut saja. Bawong membimbingnya menyingkir dari
tempat itu. "Kau di sini saja dulu!" bisik Bawong. "Biar kudengarkan lagi
percakapan mereka!" Tosan merasa seluruh bagian tubuhnya menjadi lemas sekali.
Seolah ia tidak punya tenaga lagi. Bahkan, mengangguk pun dia tidak
bisa. Bawong berjingkat-jingkat lagi ke dinding warung. Ia
mendengarkan percakapan itu dengan saksama.
"Kalau benar dia gerilya, tentunya teman-temanriya akan
menolong Pak Lodan. Tadi di gua itu tidak ditemukan mayatnya.
Berarti gerilya itu masih hidup. Dia sudah pergi dari sini. Kalau dia
bertemu dengan teman-temannya, tentu dia akan menceritakan nasib
Pak Lodan." "Kalau teman-temannya sudah habis? Mungkin gerilya itu orang
terakhir dalam pasukannya. Teman-temannya sudah gugur atau
ditembak mati di penjara Belanda. Siapa lagi yang bisa membela Pak
Lodan?" "Kami, rakyatnya!" sahut Pak Semi dengan penuh semangat.
"Pak Lodan seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Untuk dia,
semua penduduk Pucangan sanggup bertaruh nyawa!"
34 "He ... heh ... heh ...," terdengar suara kekeh itu. "Jangan
sembarangan! Kalian semua akan mati sia-sia! Pikir kalian
bagaimana? Kita sedang menghadapi kekuatan yang besar! Belanda
datang ke sini bukan membawa cangkul dan sabit! Mereka membawa
senjata berat; kapal terbang, kapal laut, mortir, bom! Semuanya
mereka miliki, sedangkan kalian punya apa? Hm!"
Pak Semi mendesah. "Yah ... kami tidak punya apa-apa. Kami hanya punya semangat
untuk membela Pak Lodan, pemimpin kami
"Hanya membela Pak Lodan?" orang yang berbicara dengan Pak
Semi mengejek. "Hanya untuk Pak Lodan? Huh! Orang picik!
Sedangkan gerilya berperang bukan untuk siapa-siapa kecuali untuk
negeri kita, untuk bangsa kita! Bukan untuk pemimpin saja!"
Pak Semi tidak berkata-kata lagi.
"Aku punya gagasan baik!" kata orang yang bersuara besar itu.
"Kalian bisa meminta perlindungan dari gerilya. Tetapi kalian harus
memberikan sumbangan ala kadarnya pada mereka."
"Sumbangan apa? Kami orang miskin. Kami tidak punya apa- apa
lagi. Lebih-lebih sejak perang berkecamuk/ semuanya menjadi serba
sulit. Hasil bumi desa ini tidak bisa dijual bebas lagi di kota. Tidak
banyak orang yang berani keluar masuk kota membawa dagangan.
Tentara Belanda makin membabi-buta. Rakyat yang tidak tahu apa-apa
ditangkapi. Mereka disiksa agar mau mengaku sebagai gerilya. Tidak
mengaku, mereka tidak tahan siksaan. Mengaku, mereka pun ditembak
mati. Serba susah. Yah ... beginilah rasanya jadi orang jajahan...."


Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"St! Jangan terlalu keras berbicara! Siapa tahu ada yang
mendengarkan percakapan kita? Mungkin di sekitar tempat ini ada
mata-mata Belanda!" "Oh, tidak. Tidak. Kami tidak pernah membantu Belanda..
Meskipun kami juga tidak membantu gerilya ...."
"Siapa bilang tidak ada mata-mata? Buktinya .ada yang
35 melaporkan tentang pelarian itu! Belanda tidak mungkin tahu bahwa
Pak Lodan menyembunyikan mata-mata itu kalau tidak ada yang
melaporkannya!" "Kalau begitu, siapa mata-mata itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Mundar! Lihat! Sampai saat ini Mundar
menghilang! Dia pasti takut muncul di desanya sendiri setelah tentara
Belanda mengobrak-abrik gua itu! Dia takut kalau orang desa akan
marah padanya!" "Jangan asal menuduh!" Pak Semi marah. "Aku tahu betul siapa
Mundar!" "Tahu betul? Hm! Jadi, kau tahu bahwa dia mendendam pada Pak
Lodan karena dulu dia tidak terpilih menjadi lurah? Inilah saat yang
tepat untuk membalas dendamnya! Dia telah menyingkirkan
musuhnya. Kelak dia akan muncul kembali untuk menduduki jabatan
kepala desa!" Bawong marah mendengar percakapan itu. Pak Mundar
berkhianat! Dia memang telah menduga akan hal itu. Rasa bencinya
pada Pak Mundar semakin menjadi-jadi.
Sayang orang di warung itu segera berpamitan. Bawong
mengendap ke tempat gelap di sisi warung itu.
"Kalau memang kalian mau meminta perlindungan dari gerilya,
aku akan menyampaikannya," kata orang itu sambil melangkah ke
pintu. "Apa kau anggota gerilya?" tanya Pak Semi.
Orang itu tampak merogoh saku baju hitamnya. Lalu
memperlihatkan secarik kertas kumal berwarna kekuning- kuningan.
"Ini kartu anggota KMK," katanya dengan bangga.
"KMK itu apa?" tanya Pak Semi.
"Komando Militer Kota. Itu nama markas tentara kita. Setiap
pemilik surat keterangan dari KMK adalah anggota tentara Indonesia
yang bergerilya." 36 "Jadi, markas tentara kita berada di kota?" tanya Pak Semi
dengan bingung. Setahunya, kota telah dikuasai oleh tentara Belanda.
"Sebelum Belanda menduduki kota, markas tentara kita memang
di sana. Sekarang terpaksa pindah ke hutan. Tetapi namanya tetap
Komando Militer Kota. Markas itu membawahi tentara Indonesia sekabupaten!"
"Ooo...!" .' "Sampaikan pada Pak Carik tentang tawaranku ini. Dia pasti akan
setuju untuk menyediakan bantuan bagi gerilya."
"Akan kusampaikan!"
Orang yang mengaku sebagai gerilya itu beranjak pergi.
Tubuhnya sedang-sedang saja. Suaranya yang besar seolah tidak
cocok dengan potongan tubuhnya.
Setelah orang itu pergi, Pak Semi menutup pintu warung. Ia pun
bergegas di jalan berbatu itu. Akan dijumpainya Pak Carik. Pesan
tamunya akan disampaikan secepatnya.
Bawong keluar dari tempat persembunyiannya. Ia mencari- cari
Tosan. Ia mendengar suara isak tangis tertahan. Dirundukkannya
tubuhnya. Malam sungguh gelap sehingga ia tidak jelas melihat tubuh
Tosan yang berjongkok di balik pohon waru.
"San!" panggilnya dengan suara perlahan.
Tosan menyahut dengan isak tangisnya. Bawong ikut berjongkok.
"Sudah, San! Jangan menangis lagi. Ayo kita pulang."
"Aku ... aku sedih memikirkan nasib Bapak ...."
"Sudahlah. Pasrah saja pada Tuhan, San. Habis bagaimana lagi?
Kita tidak bisa berbuat apa-apa, kan?"
Tosan terus mengisak. Bawong mengerti akan perasaan
sahabatnya. Siapa yang tidak mengalami kedukaan seperti ini? Sedih,
di mana-mana orang telah bersedih. Kiwo pun tentunya sedang
bersedih hati. Kerbaunya mati, ayahnya pergi tidak tentu rimbanya.
Adapun sejak sore tadi orang desa mulai berbisik-bisik
37 tentang Pak Mundar. Kata orang, besar kemungkinan Pak Mundarlah
yang melaporkan perihal pelarian itu. Bila benar demikian, betapa
kejamnya Pak Mundar! Lalu seperti apa sedihnya hati Kiwo umpama
ayahnya benar-benar menjadi pengkhianat?
Betapa buruknya keadaan ini. Semua itu terjadi karena perang!
Peperangan itu terjadi karena bangsa penjajah ingin merampas negeri
tercinta ini. Penjajahan di mana pun selalu menimbulkan kesengsaraan
bagi bangsa yang terjajah. Pernahkah hal seperti ini terpikirkan oleh
mereka yang suka menjajah?
38 Orang-Orang Liar Dua minggu berlalu sudah. Telah tiga kali Pak Carik pergi ke
kota untuk menjenguk Pak Lodan. Namun, tidak sekali pun dia
berhasil menemui kepala desanya itu. Pihak tentara Belanda tidak
mengizinkan seorang pun menjenguk Pak Lodan. Bahkan, meminta
keterangan tentang nasib orang tangkapan itu pun tidak bisa. Pada
saat ini Pak Lodan masih hidup atau sudah dihukum mati, semuanya
masih menjadi teka-teki. Keadaan makin memburuk saja. Segerombolan orang sering
datang pada malam hari ke rumah-rumah penduduk. Mereka meminta
sumbangan untuk para gerilya. Mulanya mereka hanya meminta
beras. Kemudian, tidak hanya beras yang mereka inginkan. Uang,
perhiasan, bahkan pakaian juga mereka rampas. Bukan lagi meminta.
Mereka telah memaksa. Ada juga orang yang menolak permintaan
mereka. Namun, nasib orang itu akan lebih parah lagi. Dia dipukuli,
barangnya pun tetap dirampas.
Pak Carik merenung seorang diri pada malam itu. Bulan sabit
tampak di langit. Biru gelap warna langit itu,. Berjuta-juta bintang
singgah di sana. Namun, langit yang indah dan cerah itu tidak
sepadan dengan gundahnya hati Pak Carik. Ia mendesah berulang
kali. Duduknya di kursi di beranda rumahnya sangat gelisah. Segelas
kopi telah lama dihabiskannya. Lebih dari sepuluh batang rokok
gulungan kulit jagung dan tembakau irisan telah diisapnya. Dia
benar-benar sedang berduka mengingat
,39 nasib desanya. "Mereka pasti bukan pejuang," gumamnya pada dirinya sendiri.
"Mereka gerombolan orang-orang liar! Pejuang mana yang melakukan
tindakan kejahatan seperti itu? Gerilya mana yang meminta
sumbangan dengan cara memaksa seperti mereka?"
Tidak salah dugaan Pak Carik. Sebenarnya orang-orang itu adalah
anggota gerombolan belaka. Mereka hanya perampok, bukan gerilya.
Hasil penarikan sumbangan itu digunakan untuk kepentingan mereka.
Bukan gerilya, bukan pula pasukan pejuang mana pun. Gerilya
berjuang hanya untuk merebut kembali kemerdekaan negerinya.
Mereka tidak punya gaji, tidak punya upah, tidak mengharapkan apa
pun dari rakyat. Bila rakyat memberi sumbangan berupa makanan,
minuman, dan pakaian, mereka terima dengan senang hati. Namun,
mereka tidak meminta, apalagi merampas. Rakyat pun memberikan
sumbangan dengan sukarela. Tanpa tekanan, tidak pula dengan
paksaan. 'Mereka harus dilawan!" geram Pak Carik. "Tetapi bagaimana
caranya?" Memang sulit. Anggota keamanan desa tidak cukup kuat untuk
melawan orang-orang liar itu. Tentunya harus meminta bantuan
gerilya. Tetapi gerilya berada di mana? Pak Carik tidak tahu. Sejak
perang berkecamuk, ia belum pernah melihat pasukan gerilya tiba di
desa itu. Keadaan desa memang tidak memungkinkan untuk markas
gerilya. Letaknya sangat dekat dengan kota. Penduduknya padat. Bila
gerilya bermarkas di situ, rakyat biasa akan menjadi korban amukan
tentara Belanda. Gerilya bahkan tidak pernah menyerang di dekat desa
mana pun. Mereka selalu memilih tempat penyerangan yang jauh dari
desa berpenduduk. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
korban sia-sia di kalangan rakyat biasa.
40 Ketika Pak Carik sedang merenung, tiba-tiba terdengar suara
ribut. Arahnya dari rumah Pak Mundar. Bergegas Pak Carik
memasuki rumahnya. Ia menyimpan sebilah keris di kamarnya. Keris
tua yang konon buatan abad ketujuh belas. Senjata itu diperoleh Pak
Carik dari leluhurnya. Ia menyelipkan keris itu di balik ikat
pinggangnya. Bajunya dikeluarkan dari lilitan pinggang celana
panjang sehingga keris tidak begitu kelihatan dari luar. Kemudian, ia
berlari-lari seraya merunduk.
Rumah Pak Mundar menjadi hingar-bingar. Terdengar teriakanteriakan orang riuh sekali.
"Mundar! Keluarlah!" seruan itu terdengar mengguntur. "Keluar!
Kalau tidak, kubakar rumah ini!"
Teriakan itu disambut oleh teriakan-teriakan senada lainnya. Dari
dalam rumah terdengar suara Mak Mundar mencegah suaminya yang
hendak keluar. Mak Mundar menangis karena takut dan bingung.
Kiwo diam saja. Tangan dan kakinya gemetar. Ia berjongkok di sudut
ruang depan rumahnya. Tidak bisa berbuat apa pun. Hanya menangis
mengisak-isak, seperti anak perempuan saja.
"Mundar! Pengkhianat! Ayo keluar atau rumah ini kubakar!"
Menyadari keadaan segawat itu, Pak Carik bermaksud hendak
mengumpulkan para petugas keamanan desa. Pucangan mempunyai
petugas keamanan desa yang disebut Jogoboyo. Petugas itu diketuai
oleh seorang lelaki perkasa yang dikenal dengan nama Pak Jogoboyo.
Sejak ia memimpin pasukan keamanan desa, namanya sendiri mulai
dilupakan. Orang kemudian memanggilnya Pak Jogoboyo saja.
"St! Pak Carik!" terdengar bisikan di belakang Pak Carik.
Pak Carik terkejut. Ia segera membalik seraya'mengendap,
dengan sikap waspada. "Aku, Pak! Jogoboyo!" bisik orang yang menegurnya.
"Heh!" Pak Carik menjadi lega. "Mana anak buahmu?"
"Anak-anak sudah mengepung tempat ini. Tinggal menunggu
perintah Pak Carik!"
41 "Bagus! Berapa orang kekuatan anak buahmu?"
"Semuanya lengkap, Pak. Sepuluh orang. Tetapi gerombolan itu
berjumlah lebih dari sebelas orang!"
"Kita tidak akan menyerang. Kita hanya akan mengusir mereka.
Kecuali mereka menyerang lebih dahulu, kita terpaksa melawan!
Kepung mereka! Aku akan bicara dengan pimpinan gerombolan itu!"
"Baik, Pak!" Pak Carik meraba hulu kerisnya. Dia hanya punya keris,
sedangkan gerombolan itu mungkin punya senjata api. Namun, ia
tidak gentar. Dengan suara lantang ia berseru, "Hei! Siapa pemimpin
kalian?" Teriakan itu mengejutkan anggota gerombolan. Mereka
berlompatan untuk berpencar.
"Aku ingin bicara dengan pemimpin kalian!" seru Pak Carik lagi.
"Kau siapa?" tanya pemimpin gerombolan. Suaranya besar.
Dialah orang yang pernah berbicara dengan Pak Semi.
"Aku carik desa ini!"
"Baik!" Pemimpin gerombolan-melangkah maju. Pak Carik menyongsongnya. Keduanya berhadap-hadapan.
"Atas nama kepala desa, kuperintahkan kau menyingkir bersama
anak buahmu! Jangan mengganggu ketenteraman penduduk desa ini!"
kata Pak Carik. Suaranya mantap, bernada sangat tegas.
Pemimpin gerombolan mendengus.
"Aku anggota gerilya. Aku membawa surat keterangan dari KMK
untuk meminta sumbangan, dari penduduk desa. Kami akan
melindungi keamanan desa ini!"
"Kalian justru mengacau keamanan desa ini. Kami tidak
membutuhkan perlindungan dari orang-orang macam kalian!"
"Orang bodoh! Lihat! Apa yang kami lakukan ini untuk
melindungi keamanan kalian! Di rumah itu ada seorang
42 "Kalian justru mengacau keamanan desa ini. Kami tidak membutuhkan
perlindungan dari orang-orang macam kalian!"
43 pengkhianat yang telah mencelakakan kepala desa kalian! Kami akan
menangkapnya. Pengkhianat itu harus mati untuk menebus dosanya!"
"Serahkan pada kami! Sekarang kalian pergilah!"
Siapa pun tidak menduga akhir dari peristiwa itu. Sebab secara
tiba-tiba, pemimpin gerombolan mencabut pistol dari balik baju
hitamnya. Ia menembak Pak Carik. Gerakan itu demikian cepatnya
sehingga Pak Carik tidak sempat menghindar. Ia jatuh terjungkal ke
tanah. "Serbuuuuuu!" teriak Pak Jogoboyo.
Serta-merta dari tempat gelap bersembulan tubuh orang- orang
bersenjata. Mereka adalah anggota pasukan Jogoboyo. Mereka
menyerbu dengan senjata parang, tombak, keris, dan bambu runcing.
Pertempuran itu sungguh mengerikan, juga memilukan. Sebab mereka
yang bertempur adalah sesama bangsa sendiri.
Terdengar bunyi kentongan di balai desa dipukul bertalu- talu.
Bunyi kentongan dengan cara memukul seperti itu disebut titir.
Penduduk segera keluar dari rumah mereka. Titir adalah tanda bahaya.
Mereka yang mendengarnya akan segera bersiap untuk menghadapi
bahaya apa pun. Mereka membawa senjata apa adanya. Sabit, parang,
keris, bahkan seligi dan cangkul! Mereka berdatangan ke balai desa.
Menyadari akibat kentongan titir itu, gerombolan segera
mengundurkan diri. Mereka menderita luka-luka dalam pertempuran
itu. Di pihak Jogoboyo, dua orang korban luka-luka terkena senjata
tajam. Adapun Pak Carik tersungkur di tanah. Nasibnya belum
diketahui. Beberapa orang penduduk segera membuka pintu rumah Pak
Mundar. Mereka terpaksa mendobrak pintu itu.
"Mana Pak Mundar?" tanya mereka kepada Mak Mundar.
"Aku ... aku tidak tahu ...," Mak Mundar menjawab dengan suara
gemetar. Ia bersimpuh di lantai. Hatinya kecut bukan main. Sejak tadi
ia dicekam ketakutan yang tidak terkira.
44 "Jangan sembunyikan pengkhianat itu!" hardik seseorang.
Mak Mundar makin ketakutan. Ia tidak bisa mencegah orang yang
marah itu. Mereka adalah penduduk desa yang sebenarnya tidak tahu
apa-apa. Mereka mudah dihasut. Kata orang-orang liar yang mengaku
sebagai gerilya, Pak Mundar menjadi pengkhianat. Maka, mereka pun
percaya akan hal itu. Mereka marah. Telah lama mereka memendam
kemarahan itu. Kini meledak sejadi-jadinya. Mereka memeriksa setiap
sudut rumah Pak Mundar. Tetapi Pak Mundar tidak ada. Di manamana tidak ada. Sungguh ajaib! Pak Mundar bagaikan menghilang
ditelan bumi. Pak Carik sudah digotong beramai-ramai. Lukanya cukup parah.
Lambung kanannya tertembus peluru. Untunglah tidak melukai bagian


Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mematikan. Namun, tidak urung nyawanya terancam. Bila ia
kehabisan darah, dia pun tidak bisa diselamatkan lagi. Di desa itu tidak
ada obat-obatan. Pak Carik dan dua orang anggota Jogoboyo harus
diangkut ke rumah sakit. Namun, rumah sakit terletak di kota,
sedangkan kota telah dikuasai oleh Belanda.
Dalam keadaan luka-luka seperti itu, Pak Carik masih sadar. Ia
menanyakan perkembangan keadaan kepada Pak Jogoboyo.
"Semuanya bisa diatasi," kata Pak Jogoboyo. Ia duduk di kursi,
menghadapi tempat tidur di kamar Pak Carik. Di atas tempat tidur
itulah tubuh Pak Carik terbaring. Darah mengucur, dari lukanya.
"Anak-anak sedang melakukan pengejaran bersama penduduk."
"Siapa yang menabuh kentongan tadi?" tanya Pak Carik.
Di antara orang-orang yang berkumpul memadati rumah Pak
Carik, masuklah seorang lelaki setengah baya.
"Saya yang membunyikan kentongan itu," kata orang itu.
"Pak Lebe!" seru Pak Carik. "Oh ... aku tidak tahu ke mana saja
kau selama ini!" "Saya harus bicara empat mata untuk melaporkan hal itu. Maaf,
ada hal-hal yang gawat."
45 "Katakan sekarang."
"Tetapi keadaan Pak Carik sangat mengkhawatirkan."
"Aku ingin mendengarnya sekarang. Pak Jogoboyo, suruh orangorang itu menyingkir."
"Baik, Pak!" sahut Pak Jogoboyo. Ia segera menyuruh orangorang menjauhi kamar Pak Carik, tidak terkecuali Bawong dan
Emaknya. Mereka juga disuruh menjauh.
"Nah, katakan sekarang," pinta Pak Carik.
Pak Lebe membungkukkan badannya seraya duduk di kursi itu.
Ia berbisik perlahan sekali, "Saya baru tiba di kota tadi lepas Isya.
Saya melihat orang-orang yang mencurigakan. Sedianya saya akan
langsung melapor kepada Pak Carik. Akan tetapi, saya tidak bisa
mencapai rumah ini karena terhalang oleh orang-orang liar yang
menuju rumah Pak Mundar. Saya bersembunyi di belakang rumah itu.
Semuanya saya ketahui. Mereka memang gerombolan, bukan gerilya.
Mereka menggunakan nama gerilya sebagai kedok untuk merampok!"
"Kau tidak bilang apa perlumu ke kota tanpa meminta izinku
lebih dahulu," potong Pak Carik.
"Saya menemui kemenakan saya. Pak Carik tentu masih ingat
pada Miskun, bukan? Miskun yang dulu ikut saya. Dia anak kakak
perempuan saya ...."
"Kenapa dengan Miskun?"
"Sekarang dia menjadi pegawai penjara di kota. Saya
menemuinya untuk menanyakan nasib Pak Lodan."
"Hah? Terus bagaimana?" Pak Carik berusaha bangkit begitu
didengarnya nama Pak Lodan. Tetapi ia mengaduh kesakitan. Ia
kembali terbaring. Darah terus mengalir dari luka-lukanya.
"Sampai saat ini Pak Lodan belum dikirim ke penjara. Kalau dia
masih hidup, tentunya dia berada di markas Belanda. Mungkin sedang
diperiksa. Saya pesan pada Miskun agar mengabari saya kalau dia
mendengar berita tentang Pak Lodan."
46 "Ah ... kau tidak meminta izinku untuk menemui kemenakanmu.
Itu yang kusesalkan. Kukira kau bergabung dengan orang-orang liar
itu "Maaf. Saya sangat terburu-buru. Lagi pula, terus terang saja,
saya mencurigai semua orang. Pak Carik termasuk orang yang saya
curigai. Maaf, saya kira Pak Cariklah yang melapor kepada tentara
Belanda tentang, pelarian yang dilindungi oleh Pak Lodan."
Pak Carik tersenyum. Keadaannya telah begitu kacau sehingga
dia pun mencurigai semua orang, termasuk Pak Lebe.
"Begitu lama kau ke kota. Sampai dua minggu lebih," desah Pak
Carik, seperti penuh penyesalan.
"Saya mengalami kesulitan ketika akan masuk kota. Belanda
melakukan penjagaan ketat sekali sehingga sukar diterobos. Ketika
saya pulang, saya juga harus menunggu mereka lengah. Miskun yang
menyelundupkan saya dari kota."
"Baiklah. Selanjutnya, apa saja yang kauketahui?"
"Saya belum yakin kalau Pak Mundar benar-benar berkhianat
Saya menyelamatkannya. Saya suruh dia keluar lewat pintu belakang.
Dia terjun ke sungai. Mudah-mudahan dia selamat..
Pak Carik merenung. Betapa kacaunya keadaan ini. Semua orang
saling curiga. Siapa sebenarnya yang berkhianat, betapa sulit diduga.
"Tadi saya membunyikan kentongan setelah menyelamatkan Pak
Mundar. Saya lakukan hal itu karena saya tidak ingin terjadi
pertumpahan darah. Gerombolan mempunyai senjata api. Jogoboyo
tidak akan mampu melawan mereka," sambung Pak Lebe.
"Tindakanmu sangat tepat," Pak Carik menggumam.
Laporan Pak Lebe selesai. Orang-orang kembali dipersilakan
masuk. Tetapi orang sebanyak itu tidak ada yang mampu menolong
Pak Carik. Mereka hanya bingung. Luka-luka bekas senjata tajam bisa
diobati dengan minyak kelapa dan sarang laba- laba. Tetapi luka
bekas peluru, siapa yang fahu obatnya?
Sampai subuh tiba, mereka masih tetap bingung.
47 Keturunan Pemberani Bawong hanya bisa menangis. Bagaimanapun dia tetaplah anakanak. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong ayahnya sehingga
ia menangis dalam kebingungan.
Menyaksikan Bawong menangis, Tosan tidak bisa menahan air
matanya. Mereka duduk di ruang depan rumah Tosan. Subuh baru saja
lewat. Mereka telah selesai sembahyang subuh bersama di surau yang
diimami Pak Lebe. Biasanya Emak tabah menghadapi segala keadaan. Namun, sekali
ini Emak juga hanya bisa bingung. Nenek yang biasanya penakut, kini
tampak tenang. Betapa kacaunya keadaan ini. Perangai orang menjadi
berubah tidak menentu karena dicekam ketakutan dan kebingungan.
"Jangan menangis saja, Wong," kata Nenek seraya mengelus
kepala Bawong. "Tidak baik anak lelaki terlalu banyak menangis."
Tetapi Bawong terus saja menangis. Nenek mendesah. Ia berjalan
hilir-mudik dengan resah. Sejak terjadi keributan di rumah Pak
Mundar semalam, Nenek belum tidur juga. Ia hanya seorang wanita
tua yang lemah. Namun, ia pun ingin berbuat sesuatu agar
ketenteraman desa dan penduduknya kembali seperti sediakala. *
"Di mana-mana kekacauan seperti ini sering terjadi," kata Nenek.
Gayanya seperti orang mendesah menyesali keadaan.
48 Namun, sesungguhnya Nenek sedang berusaha untuk membangkitkan
keberanian Bawong dan Tosan. Ia punya harapan kepada dua orang
anak lelaki itu. Nenek melanjutkan, "Sejak beratus-ratus tahun yang
lalu, Belanda tidak pernah bosan menjajah negeri ini. Sekarang kita
telah merdeka sejak empat tahun yang lalu. Akan tetapi, Belanda
masih juga ingin mencengkeram negeri yang subur dan elok ini...."
Ucapan Nenek terdengar jelas-jelas oleh cucunya. Juga oleh
Bawong yang mulai berhenti menangis. Tinggal air matanya yang
masih susul-menyusul. Namun, ia tidak mengisak lagi.
"Sejak bangsa penjajah datang ke negeri ini, sejak saat itu pula
timbul perlawanan-perlawanan terhadap mereka," Nenek berkata lagi.
Ia tidak mondar-mandir seperti tadi. Kini ia berdiri dengan kedua
tangan saling bertaut di belakang. "Sejak mulanya, negeri ini memang
memiliki putra-putra pemberani. Pada zaman Majapahit dulu, bangsa
kita telah memperlihatkan keberaniannya melawan penjajahan.
Sejarah mencatat tentara Tartar yang terkenal kejam dan ahli perang
bisa diusir oleh tentara Majapahit yang gagah berani. Bahkan,
Majapahit kemudian berhasil mempersatukan seluruh wilayah
Nusantara ini. Bukankah telah terbukti betapa perkasanya putra-putra
negeri ini pada masa lalu?"
Pertanyaan itu tidak terjawab. Nenek juga tidak memerlukan
jawaban. Ia melanjutkan ucapannya, "Negeri ini memang milik para
pemberani. Ketika bangsa Belanda datang untuk pertama kalinya di
Indonesia, mereka juga sudah menghadapi perlawanan bangsa kita.
Orang-orang pemberani pada masa itu tampil menentang penjajahan.
Namun, mereka tidak cukup kuat karena bangsa penjajah sengaja
memecah-belah persatuan putra- putra negeri ini."
Kedua orang anak itu tampak asyik mendengarkan cerita Nenek.
Seperti bila Pak Damsik mengisahkan kepahlawanan orang-orang
dulu dalam pelajaran sejarah.
49 "Sepanjang zaman kita tidak kehabisan pahlawan yang gagah
berani," Nenek melanjutkan lagi. "Setelah Gajah Mada pada zaman
Majapahit, masih ada orang-orang pemberani yang kemudian muncul.
Sultan Agung di Mataram, Sultan Hasanuddin di Makasar, Pangeran
Antasari di Kalimantan, Teuku Umar di Aceh, dan masih banyak lagi
di seluruh pelosok' tanah air ini, adalah orang-orang pemberani pada
zamannya. Tidak ketinggalan kaum seperti Cut Nyak Din, Angkawaya
dari Kalimantan Selatan, Dewi Sajrtika, Ratnaningsih yang
mendampingi Pangeran Diponegoro dalam perlawanan terhadap
Kompeni Belanda.... Yah ... kapankah terjadi zaman yang tidak
melahirkan para pahlawan? Tidak pernah ada. Setiap waktu akan lahir
pahlawan-pahlawan di negeri ini, negeri milik orang-orang pemberani.
Kalian lihat keadaan yang kalian alami pada saat ini. Bukankah di
banyak tempat terjadi pula perlawanan terhadap penjajah? Di manamana rakyat bergolak menentang penjajahan. Muncullah pahlawanpahlawan perkasa. Bawong, bukankah kau juga keturunan para
pahlawan? Tosan, Kiwo, semuanya di desa ini, adalah juga keturunan
orang-orang pemberani pada masa lalu. Sebab sejak mulanya negeri ini
memang milik para pemberani.- Kalian, keturunan para pemberani itu,
seharusnya juga menjadi pemberani seperti leluhur kalian. Leluhur kita
semua." Nenek diam sesaat. Ia menatap wajah cucunya dan Bawong. Ia
merasa lega karena Bawong tidak lagi menangis. Bahkan, matanya
berbinar-binar seolah menunjukkan kebanggaannya terhadap para
pemberani pada masa lalu. Para pemberani yang kata Nenek
menurunkan orang-orang masa kini.
"Kelak kau juga akan menjadi pemberani, seperti leluhurmu,"
Nenek mulai mengucapkan maksudnya. "Para pemberani tidak secara
tiba-tiba menjadi gagah. Sifat-sifat pemberani telah muncul sejak masa
kanak-kanak. Kalian, calon para pemberani pada masa datang, tentunya
telah menjadi pemberani sejak saat ini."
Bawong tersipu. Ia merasa dipuji oleh nenek Tosan yang telah
dianggapnya sebagai neneknya sendiri itu. Bawong tidak punya
50 Kalian, keturunan para pemberani itu, seharusnya juga menjadi pemberani
seperti leluhur kalian. Leluhur kita semua."
' 51 nenek lagi. Maka, apalah bedanya nenek Tosan dengan neneknya
sendiri? "Kalian telah membantu menyelamatkan gerilya yang
bersembunyi di gua," kata Nenek.
Bawong dan Tosan terperanjat. Dari mana Nenek tahu akan hal
itu? Bukankah Bawong tidak pernah mengatakannya kepada ' siapa
pun? Bahkan, tidak juga kepada ayahnya sendiri! Tidak kepada siapa
pun. Tosan bahkan yakin, kepada nyamuk pun ia tidak pernah
mengatakan hal itu! Nenek tersenyum menyaksikan kedua anak itu terkejut dan gugup.
'Tidak usah heran," kata Nenek. "Lodan kan anak lelakiku. Seorang ibu tentunya tahu apa saja yang dilakukan oleh anaknya."
"Oh ... kalau begitu ... kalau begitu Emak juga tahu apa yang
kulakukan, Nek?" tanya Tosan dengan gugupnya.
"Ya." "Oh ... aku tidak menyangka. Padahal, Bapak menyuruhku
merahasiakan hal ini ...."
'Tidak usah khawatir. Emakmu bisa menyimpan rahasia. Ia
memahami semua yang dilakukan oleh ayahmu. Ia juga setuju dengan
tindakan ayahmu untuk menyelamatkan gerilya itu. Ketika Bawong
basah-kuyup sepulang dari sungai, kami segera mencurigaimu. Kami,
aku dan emakmu, menanyai ayahmu tentang hal itu. Ayahmu berterusterang mengatakan apa adanya. Memang lebih baik begitu agar kami
bisa membantunya.1' Sungguh tidak terduga bila Nenek dan Emak telah mengetahui
rahasia itu. Tosan termenung sesaat. Rasa kagumnya pada Nenek
berkembang di hatinya. Nenek yang tua dan tampak mudah gugup itu
ternyata juga orang yang .membenci penjajahan, seperti halnya Bapak.
Nenek' yang tua, siapa menyangka dia pandai berkata-kata? Pandai
bercerita tentang orang-orang pemberani pada masa lalu!
"Kau masih ingat rumah pamanmu, Tosan?" tanya Nenek.
52 "Paman Prawi? Aduh, Nek! Aku sudah lupa! Dulu ketika aku ke
sana, aku masih kecil sekali
"Ikuti saja tebing sungai di belakang rumah itu. Berjalan terus ke
arah timur. Jangan berbelok ke mana pun. Sore nanti kau bisa tiba di
desa pamanmu." "Untuk apa ke sana, Nek?"
"Membawa surat Nenek."
"Nenek sudah rindu pada Paman?"
"Ya, Nenek rindu sekali. Pamanmu supaya datang secepatnya.
Kau pasti berani ke sana bersama Bawong. Kau keturunan orangorang pemberani. Kelak kau juga akan menjadi pemberani seperti
leluhurmu." Itulah sebenarnya maksud Nenek. Ia akan mengirim Tosan ke
rumah Paman Prawi. Surat Nenek ditulis dengan huruf Jawa.
Menggunakan bahasa Jawa pula. Kertas kekuning-kuningan yang
terbuat dari tangkai padi itu dibuat menjadi lipatan kecil. Nenek
memasukkan lipatan itu ke sela-sela peci hitam cucunya.
"Aku sedang mengalami musibah," kata Bawong. "Aku tidak
bisa ikut." Nenek merasa, dia harus menjelaskan apa adanya kepada
Bawong. Kalau tidak, Bawong tidak akan mau berangkat ke rumah
Paman Prawi. f "Baiklah, akan Nenek jelaskan saja," kata Nenek. "Surat itu
berisi permintaan bantuan kepada Pamai^ Prawi. Dia seorang
anggota gerilya. Tentunya dia punya obat-obatan. Syukur kalau
punya tenaga juru rawat atau dokter."
"Paman Prawi anggota gerilya?" seru Tosan.
"St! Belajarlah menyimpan rahasia! Soal pamanmu termasuk
rahasia besar. Juga soal kepergianmu. Tidak seorang pun boleh tahu.
Ini membahayakan keselamatan kalian, juga Paman dan temantemannya!"
Tosan harus mengerti akan hal itu. Ia ingin melaksanakan
perintah Nenek dengan sebaik-baiknya. Namun, tidak urung hatinya
merasa kecut juga. Perjalanan yang harus ditempuhnya
53 ke rumah Paman cukup jauh. Bila ditarik garis lurus dari Pucangan
sampai ke desa Paman, jaraknya mencapai dua puluh kilo meter lebih.
Jarak itu menjadi makin panjang karena jalan yang dilalui berkelokkelok sesuai dengan jalur sungai ke arah hulu.
Nenek memberikan uang ORI untuk bekal dalam perjalanan. Di
kantong Bawong masih ada uang kembalian dari Pak Semi. Bekal
sangat cukup. Namun, bisakah tiba di rumah Paman dengan selamat?
Sedangkan gerombolan perampok yang semalam mengacau desa
Pucangan ada di mana-mana.
54 Dibuntuti Panas terasa terik sekali. Lapar tidak bisa dibilang lagi. Matahari
sudah mulai condong di langit, barat. Seharusnya mereka sudah
makan siang di warung tadi. Namun, mereka mengurungkan niat
untuk singgah di warung itu. Bawong merasa ada orang yang selalu
mengawasinya. Ia memutuskan untuk terus berjalan saja.
Kini mereka tiba di ladang jagung yang lebat. Rasa lapar semakin


Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melilit-lilit isi perut. Seolah berjuta-juta jarum menusuk ke segala
penjuru di dalam perut sana.
"Jagung muda bisa dimakan mentah-mentah, Wong," kata Tosan
seraya menelan air liurnya.
Bawong menghentikan langkahnya. Dipandanginya buah- buah
jagung muda. Timbul minatnya. Dalam keadaan lapar seperti itu,
hanya makan yang dipikirkannya.
"Kalau pemilik kebun ini melihat perbuatan kita gumamnya.
"Kita makan saja, Wong. Jangan memikirkan kalau tertangkap.
Kita harus sampai ke rumah Paman. Ini menyangkut keselamatan '
ayahmu. Kalau pemilik kebun ini datang, kita beri uang saja."
Begitu pun baik. Mereka memang harus makan agar punya
tenaga untuk meneruskan perjalanan. Bawong mulai memetik sebuah
jagung. Tosan mengikuti. Dengan bernafsu mereka mengupas buah
mentah itu. Akan tetapi, gerakan mereka terhenti
55 karena munculnya seorang pemuda berpakaian hitam-hitam. Pemuda
itu seperti muncul dari pusat bumi. Begitu tiba-tiba, tanpa diketahui
dari mana arahnya. "Bawong!" pemuda itu memanggil.
Bawong terperanjat. Orang yang tadi mengawasinya di depan
warung kini berhadapan dengannya. Dia heran mengapa orang itu
mengenal namanya. "Kamu siapa?" tanya Bawong. Tanpa sadar dia mengucapkan kata
'kamu' karena gugupnya. Pemuda itu tersenyum. Gayanya seperti benar-benar telah
mengenal Bawong. "Lapar?" tanya pemuda itu.
Bawong mengangguk. "Kamu yang punya kebun ini?" tanyanya. Masih belum sadar
berkamu-kamu dengan orang yang lebih tua dari dirinya.
Pemuda itu menggeleng. "Namaku Tris," ia memperkenalkan diri. "Aku yang kau- kirimi
nasi dan obat luka di gua itu."
"Oh!" Bawong menatap pemuda itu dengan saksama.
Perawakannya sedang-sedang saja. Tampaknya ia cukup terpelajar.
Celananya panjang sampai ke mata kaki. Tampak terlalu besar pada
tubuhnya yang ramping. Bajunya juga hitam seperti celananya.
Namun, warna baju itu sudah luntur sehingga tampak lusuh. Ia tidak
mengenakan alas kaki. Rambutnya panjang sampai ke tengkuknya.
"Jadi,... jadi Mas Tris yang menolongku? Mas Tris yang mengangkat
tubuhku ketika aku hanyut di sungai?"
"Ya. Aku keluar dari gua ketika kudengar jeritanmu. Tetapi aku
segera kembali ke dalam gua karena teriakan temanmu itu bisa
mendatangkan orang sekampung."
"Ini Tosan," Bawong memperkenalkan. "Dia anak Pak Lodan.
Pak Lodan itu orang yang menyembunyikan Mas Tris. Sekarang dia
ditangkap!" "Aku baru mendengar kabarnya satu jam yang lalu."
56 "Dari siapa?" "Pak Mundar." "Hah! Jadi,... jadi Pak Mundar
"Dia yang menyelamatkan aku sebelum gua itu ditembaki."
"Sekarang dia di sini?"
"Ya. Satu jam yang lalu baru tiba. Semalam dia hampir saja jadi
korban gerombolan." Tosan mengapit tangan Bawong. Memberi tanda agar Bawong
waspada. Bawong tidak memahami akan isyarat Tosan. Ia
menyangka Tosan memberi tanda agar meminta makanan.
"Kami lapar sfekali," kata Bawong. "Kami membutuhkan
makanan." "Mari ikut aku! Rumahku tidak jauh dari sini."
Bawong siap melangkah. Tetapi Tosan mengamit tangan
Bawong lagi. "Kita akan dijamu makan, San!" bisik Bawong. "Kita harus
kenyang! Uang kita utuh. Lumayan, bisa ditabung!"
"Kau gila! Kenapa begitu saja percaya padanya? Siapa tahu
dia...." "Ayo!" potong Mas Tris. "Nanti semuanya kujelaskan di rumah.
Kalau terlalu lama di sini, kita bisa dicurigai orang."
Bawong melangkah dengan penuh semangat. Ia hanya memikirkan
sepiring nasi dengan lauk-pauknya. Tidak peduli siapa yang memberi
makanan padanya. Berbeda dengan Bawong, Tosan merasa cemas
seandainya Mas Tris itu ternyata anggota gerombolan! Atau
bagaimana kalau sebenarnya dia * bukan pelarian yang bersembunyi
di gua? Dia seorang pengkhianat, misalnya. Dia akan menangkap
Bawong dan Tosan. ' Lalu akan membaca surat Nenek. Kemudian, mereka tahu bahwa
Paman Prawi seorang anggota gerilya ....
Tosan menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" bisik Bawong. "Kita akan makan kenyang, San!"
"Hanya makan yang kaupikirkan! Kalau ternyata dia musuh,
bagaimana?" 57 "Kami lapar sekali," kata Bawong. "Kami membutuhkan makanan."
58 "Masa? Ah! Tidak! Aku pernah ditolongnya ketika terjatuh di
sungai itu!" * ? "Tetapi apa benar dia orangnya?"
Bawong tertegun. Ada perasaan ragu-ragu pula dalam hatinya.
Tetapi bunyi cacing-cacing di perutnya riuh sekali. Rasa lapar
memilin-milin tidak karuan. Sepiring nasi dengan lauk- pauk, betapa
nikmatnya! Bawong kembali melangkah dengan penuh semangat. Mengikuti
Mas Tris yang berjalan di depan.
Untunglah Mas Tris bukan anggota gerombolan. Rumahnya di
dekat warung yang tadi dilewati Bawong dan Tosan. Ia tinggal
bersama ibunya yang tua. Seperti halnya Mas Tris, ibunya ramah
sekali. Ia menyediakan dua piring nasi tiwul.dengan lauk ikan lele
bakar. Tiwul adalah makanan yang terbuat dari gaplek, sedangkan
gaplek adalah ketela pohon yang dikeringkan. Untuk membuat tiwul,
terlebih dahulu gaplek harus ditumbuk. Nasi tiwul termasuk makanan
yang baik pada masa perang seperti ini. Bahkan, banyak orang makan
daun ketela atau daun ketela pohon. Perang tidak hanya
menghancurkan gedung-gedung megah dengan bom. Perang juga
telah menghancurkan seluruh kehidupan rakyat Indonesia.
Selama Bawong makan, Mas Tris pergi dari rumahnya. Ia
kembali bersama Pak Mundar tepat ketika kedua anak kelaparan itu
selesai makan. "Bagaimana keadaan ayahmu, Wong?" tanya Pak Mundar begitu
ia melangkah masuk ke rumah itu.
Bawong tampak bersedih hati. Tetapi ia menceritakan pula
keadaan ayahnya secara singkat. Tosan menyesal sedalam- dalamnya
mengapa Bawong percaya begitu saja pada Pak * Mundar. Padahal,
semua orang desa percaya, Pak Mundar seorang pengkhianat.
"Pak Carik telah bertaruh nyawa untuk keselamatanku .. gumam
Pak Mundar setelah ia mendengarkan penuturan Bawong.
"Gerombolan itu cukup membuat keadaan menjadi
59 begini kacau. Orang-orang desa kita terpecah-belah karena perbuatan
mereka. Sampai-sampai aku pulang ke rumahku sendiri pun tidak bisa
lagi." "Sebenarnya gerombolan itu orang mana, Pak?" tanya Bawong.
"Orang-orang desa Pacing. Aku mencurigai mereka. Kukira
merekalah yang melaporkan tentang Tris kepada tentara Belanda.
Merekalah pengkhianat itu. Aku mereka fitnah untuk menutupi
kejahatan mereka ...."
Tosan menatap wajah Pak Mundar dengan saksama. Seolah ia
sedang menilai setiap kalimat yang diucapkan oleh orang tinggi besar
itu. Pak Mundar duduk di kursi kayu. Ia mendengus berkali-kali.
Dengusnya merupakan pernyataan rasa marahnya.
"Saya ... saya semula juga mencurigai Pak Mundar," Tosan
memberanikan diri untuk berbicara apa adanya. "Saya tahu, sejak dulu
Pak Mundar tidak menyukai ayah saya."
Tiba-tiba Pak Mundar tertawa. Dia menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Aku tidak pernah membenci ayahmu," katanya. "Tidak pernah.
Tidak, sama sekali tidak. Namun, hubungan kami memang tidak
akrab. Orang menyangka kami selalu bermusuhan. Yah ... semua
orang tahu, dia adalah sainganku dalam pemilihan kepala desa dulu
...." Tosan merasa lega mendengarnya. Ia akan berkata-kata lagi,
tetapi Pak Mundar mendahuluinya dengan berkata, "Ketika aku masuk
ke gua, Tris menceritakan tentang laki-laki tinggi besar yang masuk
ke sana. Aku segera tahu, orang yang dimaksudnya adalah ayahmu.
Apalagi kau berada di tepi tebing sungai itu. Setelah makan nasi
kiriman Bawong, Tris kuajak pergi dari gua dengan menyeberangi
sungai. Di jalan kami menjadi pusat perhatian orang karena keadaan
Tris babak-belur tidak karuan. Orang segera menduga-duga apa yang
terjadi. Tentunya ada yang tahu bahwa Tris adalah pelarian dari
penjara. Ada juga yang melaporkan kepada Belanda."
60 "Tetapi bagaimana orang tahu kalau Mas Tris disembunyikan
oleh Bapak?" tanya Tosan. Agaknya ia belum puas juga mendengar
penuturan Pak Mundar. "Ini ada hubungannya dengan rencana gerombolan untuk
menguras harta orang Pucangan," jawab Pak Mundar. "Selama
ayahmu berada di Pucangan, gerombolan tidak berani menginjakkan
kaki mereka di sana. Ayahmu akan sangat tegas menindak
gerombolan itu. Telah berulang kali gerombolan menyaksikan
keperkasaan ayahmu untuk menjaga keamanan desanya. Ia selalu
turun tangan memimpin perlawanan terhadap setiap pengacau
keamanan desanya. Gerombolan itu melaporkan kepada tentara
Belanda bahwa ayahmu yang menolong gerilya. Dengan demikian,
ayahmu ditangkap. Gerombolan bisa leluasa mengacau di desa kita.
Sekarang katakan apa perlumu ke rumah pamanmu?"
Tosan terperanjat mendengar ucapan itu. Jadi, Pak Mundar telah
tahu rencana perjalanan Tosan!
"Jangan heran," kata Pak Mundar. "Kau tidak punya keluarga
lain di daerah ini kecuali pamanmu. Ada apa? Biarkan aku yang ke
sana. Tris akan mengantarkanmu pulang." ;
Tosan memandangi Bawong untuk meminta pendapat. Bawong
berkata, "Kami disuruh meminta bantuan obat-obatan untuk ayahku
dan anggota jogpboyo yang luka-luka."
"Minta obat-obat pada Pamanmu? Dik'Prawi?"
Tosan mengangguk. "Dia menyimpan obat-obatan? Setahuku dia seorang guru, bukan
mantri suntik atau dokter. Oh ... ya, ya, aku mengerti. Pamanmu
gerilya, ya?" "Bukan. Paman hanya guru," kata Tosan.
Tetapi percuma saja ia menyembunyikan soal itu. Pak Mundar
sudah tahu. "Nah, sekarang kau pulang saja diantar Tris. Aku yang
meneruskan perjalananmu ke rumah Dik Prawi. Ada pesan apa? Biar
nanti kusampaikan." 61 Tosan tidak mau mengakui soal surat Nenek. Ia diam saja.
"Meminta bantuan obat-obatan," Bawong yang berkata.
Tris adalah seorang anggota gerilya. Ia tertangkap bersama dua
orang temannya ketika sedang berusaha meledakkan gudang
persenjataan tentara Belanda. Dua orang temannya telah ditembak
mati. Tinggal Tris seorang. Sampai kini ia masih dianggap 'mati' oleh
anggota pasukan dan komandannya. Tris belum berhasil bergabung
dengan pasukannya itu. Ia tidak tahu pada saat ini pasukannya berada
di mana. Bila paman Tosan benar anggota gerilya, Tris bermaksud
bergabung saja. Tris mengantar Tosan dan Bawong sampai di luar desa Pucangan.
Ia tidak masuk ke desa karena khawatir dicurigai.
Marahkah Nenek setelah mendengar laporan Tosan tentang
pengalaman perjalanannya? Entahlah. Nenek tampak tidak acuh saja.
Surat itu disobeknya, lalu ia diam. Tampaknya Nenek kecewa.
Tosan merasa, sebenarnya ia tidak melaksanakan perintah Nenek
dengan sebaik-baiknya. 62 Tamu Pada Tengah Malam Ada suara orang menangis. Tosan terbangun dari tidurnya. ' Nenek
dan Emak sedang menerima tamu. Siapa yang datang pada tengah
malam ini? Tosan merasa mengenal suaranya. Bapakkah?
"Bapak!" seru Tosan seraya meloncat dari tempat tidurnya. Ia
segera berlari ke ruang depan.
Seorang lelaki berpakaian coklat tua berdiri dengan gagahnya
sambil memeluk pundak Nenek. Lelaki itu mengenakan topi yang
juga berwarna coklat. Ada sabuk lebar di pinggangnya. Di sabuk itu
tergantung pistol. Ha! "He, Jagoan! Sudah besar, kau?" seru lelaki gagah itu.
"Pamaaaan!" seru Tosan seraya menghambur memeluk pinggang
lelaki gagah itu. Ternyata dia Paman Prawi. Perawakan dan wajahnya
sangat mirip dengan Bapak. Juga suara dan gerak- geriknya.
Paman Prawi mengelus kepala Tosan. Elusan itu juga seperti
elusan tangan Bapak bila Tosan sedang sakit. Hanya bila sedang sakit
sebab Bapak tidak pernah mengelus kepala anaknya untuk
memanjakan saja. "Pesanmu sudah Paman terima lewat Pak Mundar," kata Paman
Prawi. "Bagus! Kau memang anak pemberani."
"Ah ... aku tidak berhasil menjumpai Paman," kata Tosan dengan
perasaan malu. 63 'Tidak apa-apa. Toh kau sudah melakukan pekerjaan berat."
"Ah, tidak berat, Paman. Aku biasa berjalan jauh."
"Kau tidak tahu, ya? Di sepanjang jalan yang kaulalui banyak
berkeliaran anggota gerombolan."
"Hah? Jadi,... oh ... kalau aku tahu
"Kau tidak akan berani membawa pesan Nenek kalau kau tahu,
bukan?" Memang begitu. Untunglah Tosan tidak tahu. Paman Prawi lalu
bergerak ke pintu depan. Ia membalik lagi seraya berkata, "Aku tidak
bisa lebih lama lagi menjenguk Mbakyu ...."
Emak yang dipanggil Mbakyu (kakak) oleh Paman Prawi
mengangguk seraya menyeka air matanya.
"Soal gerombolan itu biar kuselesaikan bersama anak-anak.
Mbakyu tenang-tenang saja. Semoga semuanya berjalan dengan baik."
Sesudah itu, Paman Prawi pergi. Tosan tidak sempat menanyakan
nasib Pak Carik. Neneknyalah yang mengatakannya kepada Tosan
bahwa Pak Carik sudah diobati oleh petugas kesehatan dari pasukan
gerilya pimpinan Paman Prawi. Ah, betapa bangga mendengarnya.
Paman Prawi yang dulu menjadi guru di desanya, ternyata kini menjadi
pemimpin gerilya. Apa yang dilakukan oleh Paman Prawi, Tosan tidak pernah
mengerti. Malam itu Paman Prawi mendatangi sebuah rumah di desa


Anak Zaman Perang Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pacing. Paman Prawi menemui pemilik rumah itu. Ia telah
mengenalnya. Namanya Sandu. Orangnya bertubuh sedang dan
bersuara besar. Dialah pemimpin gerombolan itu.
Sandu terkejut melihat Paman Prawi tahu-tahu memasuki
rumahnya. Paman Prawi berdiri gagah sambil memegangi pistol di
pinggangnya. Siap menembak bila Sandu melawan.
"Aku tahu semua yang kaulakukan," kata Paman Prawi dengan
tegas. "Ada dua pilihan yang bisa kauambil. Pertama, kau menyerah
pada k&mi untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu.
Pilihan kedua, kau boleh menebus dosamu dengan cara yang lebih
terhormat." 64 "Apa?" tanya Sandu. Ia ketakutan. Bila Paman Prawi bisa
memasuki rumahnya, tentunya anak buah Sandu sudah diringkus oleh
anak buah Paman Prawi. "Kau punya anak buah dan senjata. Gunakan itu untuk menyerbu
markas Belanda!" "Oh ... aku ... aku ...."
Paman Prawi mengokang pistolnya.
"Kesalahanmu tidak bisa dimaafkan lagi," katanya seraya
menodongkan pistol itu ke arah kepala Sandu. "Kau telah
mencemarkan perjuangan. Kau bisa mati di tangan kami atau di
tangan musuh. Pilih yang baik untukmu!"
Sandu ketakutan. Paman Prawi berkata lagi, "Kalau kau mati di
tangan musuh, setidak-tidaknya orang akan mengenangmu sebagai
pahlawan. Pikirkan itu."
Paman Prawi lalu berjalan mundur. Tiba di luar, ia menyarungkan
pistolnya. Ia menjumpai anak buah yang telah meringkus semua anak
buah Sandu. "Bebaskan mereka dan serahkan senjata masing-masing!"
perintahnya. Anak buahnya melaksanakan perintah itu. Mereka membebaskan
anak buah Sandu. Senjata para gerombolan diserahkan, namun
pelurunya dikeluarkan lebih dahulu agar mereka tidak menembak.
Sesudah itu, Paman Prawi membawa anak buahnya meninggalkan
desa Pacing. Para pejuang itu kembali ke markas mereka. Paman Prawi telah
bertindak tepat. Setiap tenaga sangat diperlukan untuk memenangkan
perjuangan ini. Sandu dan anak buahnya bisa digunakan untuk
menggempur musuh. Bila mereka tewas, toh mereka tidak mati
sebagai anggota gerombolan.
66 Kita Masih Akan Berjuang Ada saatnya Tosan berbahagia. Dia pulang sekolah pada siang
hari itu. Dia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya sesudah
kedatangan Paman Prawi. Ia hanya tahu siang itu Bapak duduk di
kursi lurah seperti biasanya. Ia sudah mulai bekerja, seperti dulu-dulu
juga. Tosan berdiri di depan balai desa dengan perasaan ragu.
Benarkah Bapak yang duduk di kursi kepala desa itu?
"He!" Pak Lodan menegur lebih dahulu. "Berapa nilai ulangan
sejarahmu hari ini?"
"Bapaaaak!" Tosan menjerit seraya melemparkan batu tulisnya.
Benda itu berderak pecah. Tosan tidak peduli. Dipeluknya ayahnya.
Dia menangis karena gembira.
"He ... jagoan menangis! Ah, malu pada Tiwi!" seru Pak Lodan
seraya mendekap kepala anaknya. "Paman Prawi bangga punya
kemenakan seperti kau! He ... he ... dia bilang begitu pada Bapak!
He, jangan menangis lagi!"
"Bapak tidak jadi ... tidak jadi dihukum mati?" tanya Tosan
seraya menyeka air matanya.
"Siapa yang menghukum mati Bapak? Huh! Belanda-Belanda itu
sudah pulang ke negeri mereka!"
"Pulang? Kenapa pulang, Pak?"
"Mereka kalah. Ha! Mana bisa mereka menang lawan kita?"
"Jadi, tidak ada Belanda lagi, Pak?"
67 68 "Ada, tetapi tidak di sini. Tidak di negeri kita. Mereka pulang
karena tidak bisa menang melawan kita. Seharusnya Bapak sudah
pulang sejak kemarin dulu, tetapi Bapak ditahan di kota."
"Siapa yang menahan Bapak?"
"Pamanmu! He, dia gagah, ya? Kau pernah bertemu dengannya,
kan?" "Kenapa Bapak ditahan?"
"Membantu pamanmu berurusan dengan komandannya.
Pamanmu akan kembali ke desa. Ia ingin mengajar lagi seperti
sebelum perang dulu. Ia tidak mau jadi tentara lagi. Pamanmu
menjadi tentara karena negara kita membutuhkan tenaganya.
Sekarang dia akan menjadi guru seperti cita-citanya sejak kecil dulu."
Tosan kecewa mendengar berita itu. Betapa bangganya melihat
Paman Prawi menyandang pistol di pinggangnya. Tetapi kini Paman
Prawi tidak punya pistol lagi. Dia hanya akan bersenjata kapur tulis
dan penggaris kayu. "Kok sedih? Kenapa? Semua orang sedang bergembira
merayakan kemenangan perjuangan rakyat Indonesia," kata Pak
Lodan. "Paman tidak berjuang lagi ...."
"Siapa bilang?" bantah Pak Lodan. "Kita semua masih akan terus
berjuang! Pamanmu juga terus berjuang untuk mendidik anak-anak
bangsanya agar kelak Indonesia memiliki putra-putra cerdik-pandai!
Bapak di sini juga harus berjuang untuk memajukan desa kita! Kita
tidak akan berperang lagi, tetapi kita terus berjuang untuk memelihara
tanah air yang merdeka ini. Ah, Tosan, kau masih terlalu kecil untuk
mengerti. Kelak, kau akan tahu bahwa perjuangan sebenarnya tidak
pernah selesai. Perang telah meninggalkan kehancuran di mana-mana.
Kita harus mendandani kehancuran itu. Kita membangun kembali
negeri ini. Ha, sudahlah. Bapak tidak bisa bilang lagi bagaimana
beratnya perjuangan untuk memajukan negeri ini. Eh, berapa nilai
ulangan sejarahmu tadi?"
69 "Bapak tahu saja hari ini ada ulangan sejarah, Pak?"
"Bapak tidak pernah lupa memperhatikan pelajaranmu. Kau harus
jadi orang pandai. Jauh lebih pandai daripada Bapak dan Pamanmu.
Lebih pandai dari siapa pun yang kukenal...."
. "Aku mendapat nilai sepuluh, Pak," kata Tosan dengan bangga.
"Tetapi buku tulis itu telah pecah."
"Heh ... heh ... heh ... nilai sepuluh? Bagus! Kelak kau akan '
menghafal pelajaran sejarah lebih banyak lagi."
"Kenapa, Pak?" "Bangsa kita mempunyai begitu banyak pahlawan yang patut
dikisahkan kepahlawanannya. Masih banyak kisah kepahlawanan yang
belum tertulis dalam pelajaran sejarah. Di sini juga telah terjadi
peristiwa bersejarah yang patut dikisahkan untuk anak-anak pada masa
yang akan datang. Kelak, kalau kau sudah setua Bapak, kau akan bisa
bercerita kepada anak-anakmu tentang semua ini. Jangan lupa,
ceritakan pula tentang gerombolan pengacau yang kemudian berbalik
menggempur markas tentara Belanda. Padahal, gerombolan itu sengaja
diciptakan oleh pihak Belanda untuk mengacaukan perjuangan kita.
Gerombolan itu mengacau di mana-mana dengan mengaku sebagaianggota gerilya. Mereka dilengkapi dengan senjata dan surat
keterangan palsu seolah-olah mereka benar-benar anggota gerilya.
Semua itu dilakukan untuk mempengaruhi rakyat. Agar rakyat
membenci para gerilya. Itulah peristiwa yang bisa terjadi pada masa
perang." "Gerombolan itu pasti orang-orang yang pernah mengepung rumah
Pak Mundar!" Tosan menebak.
"Betul! Pamanmu bertindak sangat tepat. Dialah yang menyuruh
gerombolan itu menggempur tentara Belanda. Mereka semuanya tewas.
Akan tetapi, kerugian di pihak Belanda juga tidak sedikit. Markas
mereka kocar-kacir. Banyak anggota pasukan Belanda menjadi korban
dalam penyerbuan yang dipimpin oleh Sandu. Kau pernah melihat
Sandu, bukan?" "Ya, Pak.". 70 "Mulai sekarang, jangan membencinya lagi. Dia telah menebus
dosa-dosanya dengan kematian dalam penyerangan yang berani itu.
Peristiwanya menarik bila dikisahkan. Tetapi perutmu sudah lapar,
bukan? Makanlah dulu."
"Bapak melihat penyerangan itu?" tanya Tosan ingin tahu.
"Ya. Sungguh sebuah kisah yang menarik!"
"Bagaimana, Pak?"
"Mula-mula Sandu dan anak buahnya datang ke markas dengan
alasan meminta bantuan senjata untuk menghadapi gerilya. Setelah
mereka memperoleh senjata, tiba-tiba mereka menembaki tentara
Belanda di markas itu. Sampai komandan markas pun tewas dalam
pertempuran itu. Sungguh menga g u mkan!"
Memang sangat mengagumkan. Begitulah adanya. Betapa
banyaknya kisah semacam itu yang bisa diceritakan. Bangsa ini
memiliki berjuta-juta kisah kepahlawanan yang tidak pernah habis
dituturkan. Bangsa yang sejak dulunya memiliki putra- putra
pemberani. Nenek benar, negeri ini memang milik para pemberani
belaka. Tosan ingat lagi akan rasa laparnya. Ia berlari-lari ke rumah
Bawong. Akan diceritakannya tentang gerombolan yang menyerbu
markas Belanda. Akan diceritakannya semuanya, kepada siapa pun.
" . ? !? . 1 .., ' ? >?: 71 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 20 Indigo Karya Rezanyonyo Kidung Senja Di Mataram 4

Cari Blog Ini