Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W Bagian 1
Di Sydney Cintaku Berlabuh (Sydney Here I Come!)
Karya Mira W Pembuat Djvu : Syauqy_Arr
Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 13 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya!!! *** DI SYDNEY ClNTAKU BERLABUH
Mira W. DI SYDNEY CINTAKU BERLABUH
Sydney, Here I Come! Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. 2005
*** Bab 1 "KE Sydney?" mata Timo membulat seperti mata anjing yang melihat pencuri.
"Serius, men! Sedari kapan lu jadi OKB?"
"Nggak percaya?" Bastian mengangkat dadanya demikian rupa seolah-olah dialah yang memenangkan reli Paris-Dakar.
"Nggak percaya ya udah! Nggak ada yang maksa, lagi!"
"Lha, siapa yang percaya? Beli motor aja lu masih kredit, kan? Dua belas kali nyicil!"
"Nah, nongol deh lu di Cengkareng besok!"
"Cengkareng?" Timo memandangnya dengan tatapan ekstrabloon.
Gara-gara menatap pacarnya dengan tatapan bego seperti itulah dia langsung di-PHC. Tahu kan PHC apaan? Pemutusan Hubungan Cinta.
Soalnya doinya si Timo sebel ditatap kayak begitu. Dia ingat anak retardasi mental di belakang rumahnya. Sudah empat belas tahun
pakai celana sendiri saja belum bisa. Tentu saja Timo tidak separah itu. Dia bisa bukatutup celana sendiri.
"Bandara Soekarno-Hatta, oon!" Bastian mengibaskan tangannya dengan jengkel, seolaholah Timo menanyakan berapa dua kali dua.
"Biarin nggak pernah pergi ke mana-mana kecuali naik feri di Selat Sunda, mustinya sih lu tau bandara internasional kita! Hhh, otak lu bener-bener titipan kebo!"
Timo memang tetangga Bastian di Palembang. Liburan kali ini, Bastian mengajaknya ke Jakarta. Dia mengunjungi ayahnya. Timo numpang di rumah pamannya.
"Gue tau, nyong! Cuma nggak tau lu ke sana mau ngapain! Pilot bukan. pramugara juga bukan!"
"Ya mau terbang dong! Lu kira gue ke Aussie naik apaan? Piring terbang? Atau naik feri dari Kupang ke Darwin? Cii, menghina! Gini-gini gue punya paspor resmi! Bukan imigran gelap, tau!"
"Bener lu mau lihat rumahnya Nicole Kidman?" lagi-lagi Timo menatap sahabatnya dengan tatapan bloon. Khas Timo.
"Dapet togel? Atau menang buntut, ya?"
"Buntut apaan? Buntut tikus? Pokoknya besok lihat deh sohib lu nenteng koper kayak turis!"
"Koper sendiri nih? Jangan-jangan koper orang! Lu cuma jadi kuli angkut di sana!"
"Lihat aja deh besok! Pasti deh lu teler tiga kali!"
Dan di sinilah Bastian sekarang. Di Terminal D Bandara Soekarno-Hatta. Gagah dan gaya. Persis turis lokal. Yang bawaannya seabrek abrek. Persis orang yang habis memborong belanjaan separo toko.
Timo yang masih tidak percaya teman scpenderitaannya seberuntung itu, memerlukan datang menyetorkan muka. Penasaran dia. Ingin tahu Bastian cuma ngibul atau bohong. Lha, dia kan tahu sekali berapa uang jajan temannya! Boro-bom beli tiket. Beli HP saja masih ngutang!
"Ini Fiskalmu, boarding lum, tiket, dan paspor," Barry, abang Bastian, muncul di dekat mereka sehabis check-in.
Sudah lama Timo tidak melihat Barry. Rasanya setiap kali bertemu, dia bertambah ganteng saja. Tubuhnya yang tinggi atletis dibalut dengan pakaian yang bukan hanya mahal, sekaligus modis. Wajahnya yang tampan, selalu terlihat bersih terawat. Rambutnya apalagi. Selalu rapi seperti baru keluar dari salon. Kalau dijejerkan di samping abangnya, Bastian memang jadi terlihat miskin dan jelek. Pantas saja dia selalu kurang PD kalau berada di dekat kakaknya.
'Thanks, brother!" "Ingat. jangan lupa pesan-pesan gue!"
"No worries, mate." sahut Bastian cerah, dengan bahasa Inggris tempelan yang baru diintensifkan seminggu terakhir ini.
"Sandy lu nggak bakal jadi Santo."
Maklum mau pergi ke negeri yang berbahasa Admiral Nelson. kan? Padahal modal bahasa Inggrisnya kan cuma Inggris SMU.
Tahu dong kemahirannya sampai di mana? Biar nilai bahasa Inggrisnya di rapor delapan puluh terus, itu bukan jaminan dia bisa ngomong Inggris dengan lancar.
"Ngapain sih lu ke sana, Bas?" bisik Timo curiga.
"laporan lengkapnya menyusul!" Bastian menyeringai gembira. Begitu hotnya sampai sekujur otot di parasnya seakan-akan ikut tertawa.
"Gue sendiri belon tau apa yang bakal terjadi! Que sera-sera!"
"Mendingan barang-barang lu ditinggal aja, Bas." kata Barry kesal melihat barang-barang bawaan adiknya.
"Kasih si Timo aja deh. Suruh dia buang atau bawa ke tukang loak!"
"Enak aja lu ngomong!" Bastian meraih gitar kesayangannya, yang langsung disandangnya di bahu bersama kamera dan payung. Sementara ransel yang berisi kantong tidur, selimut, topi, dan beberapa peralatan lagi, melekat erat di punggungnya seperti koala.
"Ngapain bawa-bawa peralatan camping begitu, Bas? Ntar nggak boleh masuk kabin lu!"
"Siapa tau gue nggak bisa nemuin flatnya si Agus. Terpaksa camping, kan?" Bastian menyeringai konyol. Menurut Timo, dia tambah jelek kalau menyeringai begitu. Tapi itu tentu saja cuma pendapat Timo yang lagi dijangkiti perasaan iri.
Pendapat cewek-cewek belum tentu. Biarpun tidak setampan abangnya, Bastian tidak jelekjelek amat kok. Wajahnya bersih dan mulus seperti bayi. Dengan sepasang mata yang selalu tersenyum. Hidung yang tinggi memikat. Dan seulas bibir yang senantiasa menyembunyikan tawa. Kesannya dia jadi tampil ramah bersahabat. Badannya juga hampir sama tingginya dengan Barry. Biarpun lebih kurus.
"Mau camping di mana?" gerutu Barry tambah kesal. Dasar bandel. Tidak bisa diberitahu.
"Di kantor polisi?"
Tapi Bastian mana mau dilarang. Tidak ada larangan kok membawa barang-barang itu. Semua miliknya sendiri. Dibeli dengan sah. Pakai bon. Bayar PPN. Nah, mau apa lagi?
Makin dilarang, dia malah makin ngotot. Maklum, anak muda. Yang dilarang malah biasanya paling menantang untuk diterobos. Itu memang gunanya larangan, kan? Untuk dilanggar.
Tentu saja pendapat itu bukan cuma ada di kamus anak muda seumur Bastian. Di kamus orang dewasa seusia ayahnya juga ada kok. Nggak percaya? Nah, cari deh sendiri.
"Sampai ketemu, lutung bandot!" Bastian mengirimkan salam tepuknya.
"Jangan salah ngomong lu sama Mama! Ntar Mama bisa
semaput!" Barry membalas salam saudaranya dengan menghantamkan telapak tangannya sampai berbunyi plok.? Plok! Plok!
Lalu mereka saling genggam dengan erat seperti hendak mematahkan tangan lawan.
"jangan Kuatir. Kunyuk Kecil", sahut harry mantap.
"Asal lu janji, dua minggu musti mudik! Lebihdari itu. gua nggak jamin!"
*** Bab 2 SEMUA ini memang jasa Barry. Siapa lagi. Kakaknya. Sahabatnya. Teman main bola waktu kecil.
Barry lebih tua setahun dari adiknya. Tapi karena dia pernah sekali tidak naik kelas, sekarang dia duduk di kelas tiga SMU. Sama dengan Bastian.
Dia yang mensponsori acara perjalanan akhir tahun ini. Sahabat penanya. eh. teman chattingnya di Australia, mungkin pula pacarnya yang kesekian, siapa tahu dia bohong atau tidak, mengundangnya ke sana.
Entah urusan apa. Barangkali cuma kangen kangenan. Atau sekadar tatap muka. Mereka kan belum pernah bertemu.
Barry sudah setuju akan datang ke sana liburan ini. Dia sudah merencanakan akan tinggal dua minggu di Australia.
Sudah memberitahu teman gadisnya kapan akan datang. Sudah minta exit permit pada Bokap. Sudah minta visa. Sudah membeli oleh oleh lusinan tas tangan keluaran Mangdu, batik segebung dan patung Bali segerobak. ketika pacarnya yang di Bandung tiba-tiba menelepon.
Tissa akan ke Jakarta. Barangkali dia punya firasat. Perempuan memang makhluk halus, kan? Eh. maksud Bastian, yang halus itu hatinya. Perasaannya. Entah apanya lagi. Pokoknya halus.
Nah, lu! Panik deh si Barry. Kayak induk ayam kehilangan anak.
Dia kan tidak mungkin ke Sydney kalau ceweknya datang ke Jakarta! Ketahuan dong hidungnya belang seperti pahanya yang kusiram air panas waktu kecil dulu.
Sialnya, eh, untungnya. ketika dia sedang kelabakan mencari akal bulus, warisan turun temurun kaum Adam untuk membohongi wanita, muncullah Bastian. Bersih. Putih. Polos. Tanpa noda. Seperti baru habis dicuci dengan detergen.
Maklum. Pacar saja belum punya. Padahal umurnya sudah delapan belas pas. Sudah boleh nonton film tanpa pengawasan ortu. Sudah
boleh minum. Tentu saja minum minuman keras. Bukan air. Kalau itu sih tidak dilarang sejak bayi. Sudah boleh pacaran.
Tapi mau pacaran sama siapa? Apa yang mau ditawarkan? Tampang ya biasa-biasa saja. Otak sih tidak memalukan. Tapi bukan juara Olimpiade Fisika. Mobil tidak punya.
Bastian cuma punya sebuah motor butut yang bahkan lebih tua dibandingkan motor sopirnya si Susi, cewek yang diam-diam pernah ditaksirnya. Tapi Susi memang tidak terbeli lantaran harganya terlalu mahal. Tidak dapat ditawar. Dan tidak pernah sale.
Tentu saja ada yang naksir Bastian. Sisa dunia. Jadi Bastian kurang tertarik. Ada-ada saja alasannya. Hidungnyalah besar seperti jambu. Bibirnyalah tebal seperti sekop. Lehernyalah panjang seperti galah. Pendeknya 'macam macamlah.
Bastian tidak mau ditertawakan Barry. Ceweknya selalu papan atas. Malu kalau harus memperlihatkan cewek yang kurang gereget. Barry pasti melecehkannya.
"Mendingan lu terima loakan gue, Bas. masih lebih trendi," begitu pasti ejekannya.
"Cewek-cewek lu mah udah expired semua!"
Cakep-cakep Barry memang sok. Tapi justru karena dia sok, cewek-cewek antre minta digilir. Atau karena dia cakep? Kalau dia jelek, siapa yang mau capek-capek ngantre?
"Bas, lu mau ke Sydney?" datang-datang Barry langsung menyodorkan umpan.
Urusan umpan-mengumpan, dia memang pakarnya. Pengalamannya segudang. Bakat dari Bokap kali. Kalau tidak, dari mana Papa dapat uang sebanyak itu padahal gajinya hanya cukup untuk membeli kerbau?
"Mau kalau lu yang bayar," sambar Bastian kalem.
Nah, kalau yang ini pasti warisan sifat ibunya. Kalem saja biarpun gaji guru tidak pernah cukup untuk hidup sebulan.
"Serius?" "Suer!" Biasanya mereka memang tidak pernah serius. Barry itu tukang bercanda. Sekaligus tukang bohong. Tukang tipu. Bastian sudah sering dikelabui. Sudah kenyang dikibuli. Makanya dia tidak gampang-gampang lagi menangkap umpan yang disodorkan abangnya. Tapi kalau umpan iru besar dan menarik... hm, mengapa tidak?
Rupanya di balik wajahnya yang polos tak berdosa, Bastian menyimpan juga sebentuk jiwa petualangan. Maklum, anak muda.
Mungkin juga warisan sifat ayahnya. Kalau bukan petualang, bagaimana ayahnya dapat begitu berhasil dalam bisnis silumannya?
Jadi biarpun sejak enam tahun yang lalu. sejak ortu mereka bercerai karena ayahnya ketahuan punya simpanan, Bastian dibawa oleh ibunya, seorang guru yang santun. sederhana dan jujur, produk lapuk masa lalu yang hampir sudah tidak menemukan tempat yang canggih lagi dalam era globalisasi dewasa ini, jiwa petualangan ayahnya rupanya menitis juga.
Tanpa ragu-ragu dia mencaplok umpan yang disodorkan abangnya. Dan menelannya bulat bulat. Tidak peduli bakal tersangkut di kerongkongan atau terjun bebas ke perut.
Ke Australia, aha, mengapa tidak? Dia belum pernah ke luar negeri kok! Padahal anak tetangganya yang baru berumur lima tahun, sudah tiga kali bolak-balik ke Disneyland, seolah-olah tempat itu cuma terletak di seberang Sungai Musi.
Jadi, wow, mengapa tidak? Apa yang terjadi. terjadilah!
Semua urusan belakangan. Bisa diatur, begitu kata Papa. Pokoknya kesempatan bagus tidak boleh dilewatkan. Nanti menyesal lima setengah turunan!
Hampir setiap liburan memang Bastian ke Jakarta. Mengunjungi ayah dan abangnya. Tapi ke Jakarta beda dengan ke Sydney, kan?
Barry juga setahun sekali ke Palembang buat melihat ibunya. Soalnya meskipun bercerai karena ayahnya berselingkuh, hubungan ortu mereka baik-baik saja.
Perceraian berlangsung secara damai. Melalui musyawarah dan mufakat. Harta dibagi dua. Termasuk anak. Eh, anak termasuk harta juga. ya?
Bastian tinggal bersama ibunya di Palembang. Sementara Barry dibawa ayahnya ke Jakarta.
Entah bagaimana cara mereka memilih. Kok bisa begitu. Barangkali lewat undian. Atau Papa yang memilih? Papa memang selalu pihak yang superior. Sementara Mama selalu mengalah. Dapat yang jelekan juga nggak apa apa kok.
Tetapi dari sekian banyak lawatannya ke Jakarta, baru kali ini Barry menawarkan umpan
yang begitu menarik. Biasanya yang menarik selalu disikatnya sendiri. Ampasnya buat Bastian.
Barry itu egois. Selalu mau menang sendiri. Dan tidak segan-segan main kotor.
Tentu saja itu pendapat Bastian. Jauh di dalam hatinya dia memang selalu iri pada abangnya. Sejak kecil, Barry selalu mendapat yang terbaik. Karena itu tidak heran kalau sejak masih ingusan, Bastian selalu merasa kurang PD kalau berada di dekat kakaknya.
Sudah besar, perbedaan mereka serasa semakin jauh. Barry semakin keren. Semakin modis. Semakin trendi. Ya penampilannya. Ya dompetnya.
Pergaulannya luas. Jelas dong. Metropolitan boy, kan? Teman-temannya banyak. Cewek ceweknya berserakan dari Sabang sampai Sydney. Kalau disuruh berbaris bawa papan nama, pasti mirip parade atlet PON.
Untuk menopang kepopulerannya biar mendunia, dia tidak segan-segan memodernisasikan namanya dari Bakhtiar menjadi Barry.
Biar lebih trendi, katanya. Go international
Ayahnya tidak keberatan dengan sepak terjang putranya. Asal tidak mengganggu dan menyerobot jalur yang sedang dilaluinya, Barry
boleh pindah jalur semaunya. Tidak ada yang larang, kan? Di jalan tol saja orang boleh kok pindah jalur seenaknya.
Ayah malah membantu penampilan Barry biar lebih modis lagi dengan menukar sedan plus sopir yang biasa mengantar-jemputnya dengan jip yang boleh dimodifikasi sedemikian rupa sesuai selera Barry. Sesuai selera anak muda generasi X.
Itu tanda kreativitas, kan? Nah, kreativitas anak muda tidak boleh dipasung. Dosa. Nanti mereka demo.
Tidak heran kalau jip itu jadi mirip mobil eksperimen. Coba lihat saja sendiri.
Pernya dipotong sampai jip itu seperti babi bunting yang perutnya hampir menyerempet tanah. Bannya ditukar ban radial. Velg-nya diganti velg racing. Setirnya diubah jadi kecil. Atapnya dibuang sampai seluruh isi perutnya terlihat dari luar.
Pokoknya keren, kata Barry. Cool.
Barry begitu bangga dengan hasil karyanya. Meskipun mobil itu hanya bisa dikendarainya sendiri. Ayahnya memilih naik mobilnya sendiri daripada sakit pinggang.
Tapi di situlah anehnya. Dengan mobil itu.
tak tertahankan lagi Barry memproklamasikan dirinya menjadi cowok idola yang paling ngetop di sekolahnya.
"Udah tampangnya keren abis, mobilnya ngetren, lagi," komentar para fansnya.
Nggak heran. jangankan cewek. Cowok macam Bastian saja ikut bangga kalau naik mobil itu. Rasanya semua mata melirik mereka kalau sore-sore mereka mejeng di Blok M dengan mobil Barry.
Tapi biarpun laris, nggak semua cewek cukup beruntung untuk diajak naik mobil itu. Barry pemilih sekali. Dan seleranya tinggi.
Sifat pembosannya juga sama kentalnya. Habis manis sepah dibuang. Kalau tidak, masa ampasnya ditelan? Rakus namanya.
"lu udah punya gebetan, Bas? Masa sih lu masih jomblo aja udah gede begini?"
Nah, biasanya kalau mengajukan pertanyaan seperti itu, Barry pasti punya stok yang mau diloakkan. Dia pasti sudah punya rencana hebat. Tentu saja hanya hebat buat dia dan buat mantan ceweknya yang bakal ditransfer ke alamat Bastian.
"Banyak. lagi. Tapi belum ada yang punya SHM."
"SHM?" "Sertifikat Hak Milik. Baru HGB. Hak Guna Badan." '
"Jangan-jangan hombre lu."
"Sah aja. Kan lagi mode."
"Nggak takut kena AIDS?"
"Nggak mungkin. Pacar ogut guru TK. Mainannya anak kecil."
"Belon pernah denger ada cowok yang jadi guru TK."
"Apalagi yang bunting tiga bulan!"
"Ngaco lu!" "Suer! Lakinya baru aja mudik ke langit ketujuh. Dicium metromini." Tentu saja Bastian cuma bercanda. Dia belum punya pacar kok.
"Sialan! Gue kira pacar lu cowok!"
"Ngapain cari cowok? Mantan cewek lu aja nggak habis didownload setahun!"
"Ada yang baru nih." Barry mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum.
Melihat senyum itu diam-diam Bastian mengeluh dalam hati. Buset kerennya dia! Pantas saja ceweknya nggak habis-habis!
"Pacar lu yang di Pondin? Yang dulu lu suruh-suruh gue nembak?"
"Bukan. Itu sih udah ditukar tambah. Siapa suruh tahun lalu lu jual mahal!"
"Anak mana sekarang cewek lu?"
"Bandung." Barry memperlihatkan foto seorang gadis manis yang sedang tersenyum.
Manis. Lirikannya menantang. Senyumnya mengundang. Tentu saja mengundang kecupan. Bukan mengundang lalat. Itu sih ikan asin.
"Yang ini sih boleh juga. Kalo udah bosan bisa dipindahtanganin."
"Yang ini sih belon. lagi. Masih baru. Gimana kalo yang ini nih?"
Barry mengeluarkan sebuah foto lain dari saku celananya. Duh, lagaknya kayak mucikari saja. Punya koleksi Foto cewek segala!
Dan Bastian tidak jadi memberi komentar. Soalnya gadis ini lain dari yang lain.
Rambutnya pirang. Dan bukan sepuhan. Soalnya banyak cewek sekarang yang suka menyepuh rambutnya, kan?
Tapi yang ini tampaknya tulen. Asli Bangka. Eh, emangnya martabak.
Kulitnya putih. Matanya hijau. Tapi dia bukan kucing.
Tatapannya angkuh. Tajam menilai. Hidungnya mancung dan tidak bengkok.
Dagunya yang sedikit terangkat, mengesankan keanggunan yang serasi dengan bibirnya yang merekah menantang.
Buset! Yang ini benar-benar berbeda. Istimewa. Binatang langka... eh, makhluk langka.
Sombong tapi menarik. Menyebalkan tapi antik. judes tapi menggiurkan. Nah, lu! Repot, ya?
"Nggak berani," sahut Bastian terus terang.
"Masa sama cewek bule aja lu takut?"
"Nggak biasa! Takut salah setel. Ntar pada copot onderdil gue!"
"Norak lu ah!" "Ini cewek lu juga? Komplet juga menunya, ya? Ada pecel, gudeg, bistik..."
"Ah, cuma temen. Temen chatting gue lewat Internet."
"Bohong. Ada cewek begini cakep di depan mata, masa sih lu biarin lewat! Kosong kek, penuh kek, pasti lu embat juga! Cinta lu kan cinta metromini. Pantang lihat cewek nganggur di pinggir jalan! Biar udah penuh, pasti lu sambar juga!"
"Justru itu soalnya, Bas"
Nah, benar, kan? Siapa lagi yang dapat menimbulkan persoalan? Cewek cakep, kan?
"Tissa mau ke sini. Padahal gue udah kepalang janji mau ke Sydney...."
"Itu sih gampang!"
"Apanya yang gampang?"
"Bawa aja Tissa ke sana."
"Enak aja lu ngomong! Dasar lidah tak berbaju! Tau berapa utang Indonesia pada Australia?"
"Nggak tau." "Gue juga nggak. Masa bodoh amat. Urusan anak-cucu kita. itu juga kalo kita punya anak."
"Ngapain pusing sih? Ngibul aja, lagi!"
"Ngibul gimana?"
"Jangan tanya gue! Lu kan pakarnya! juara ngibul nasional. Masa ikan nanya sama kodok caranya berenang?"
"Janji sama bule lain, tau! Salah janji. kita bisa langsung di-roger?."
"Kalo gitu batalin aja janji sama mojang Priangan lu. Dia orang kita, kan? Nah, kalo nggak pernah salah janji, dia malah heran!"
"Gimana kalo lu yang gue paketin ke Sydney?"
"Otak lu miring!"
"Dia belon pernah lihat gue, Bas!"
"Jadi gue yang dikorbanin?"
"Mau nggak ke luar negeri?"
"Jelas dong. Tapi mau ngapain gue ke sana?"
"Pdkt aja. Selain nepatin janji. Janji itu utang, kan? Pantang nggak dibayar. Nanti peringkat kita turun."
"Tapi..." "Mama? Beres. Itu urusan gue!"
"Tapi..." "Ngeri sama si bule? Nggak usah khawatir deh. Asal lu nggak nyodorin lidah, dia nggak bakal menggigit!"
"Kalo dia menggigit, malah gue gigit lagi!"
"Nah. cocok! Selamat main gigit'gigitan! Jangan lupa vaksin rabies dulu!"
"Gue nggak bisa ngomong Inggris, tau? Salah-salah bilang I love you malah ditimpuk sepatu!"
"Sandy bisa bahasa Indonesia, lagi! Lu kira kita chatting pakai bahasa apa? Dia sudah tiga tahun belajar bahasa kita."
"Dia belajar karate juga?"
"Udah, jangan macam-macam lu! Gue tawarin sekali lagi," lagak si Barry sudah persis juru lelang.
"Lu mau nggak..."
"Mau!" sambar Bastian tanpa berpikir lagi.
Sejak itu Barry sibuk meng-upgrade adiknya. Pakaiannya mesti modis. Potongan rambutnya harus gaya. Penampilannya harus trendi. Dompetnya harus penuh. Maka spesial Bastian dibawa ke butik. Ke salon. Dan diberi kartu ATM.
Penampilan itu perlu, kan? Kadang-kadang malah lebih penting daripada otak.
"Ntar cewek bule lu lengket sama gue, baru tau rasa lu!" gerutu Bastian pura-pura jemu.
Padahal dia sangat bergairah menikmati polesan-polesan yang dilakukan abangnya.
Ih, diam-diam dia cakep juga, ya? Asal tahu saja cara menatanya.
"Kalo dia udah lengket kayak kena lem tikus, nyesel deh lu! Nasi udah jadi bulgur!"
"Kalo mau nyamar jadi Barry, musti nggak boleh malu-maluin ibu pertiwi dong! Musti jaim. tau!"
"Eh, jangan menghina, lagi!" protes Bastian, tersinggung pernya.
"Apa sih kurangnya gue?"
"Nggak kurang. Malah lebih." sindir Barry sambil tersenyum mengejek.
"Tapi lebih ke arah kuno! Ketinggalan delman!"
*** Tentu saja ibu Bastian tidak tahu anak bungsunya berkelana ke luar negeri. Dikiranya Bastian masih betah di Jakarta. Timo yang pulang ke Palembang seminggu lagi, sudah disogok fried chicken. Tapi dasar mental kere, dia minta tambah dua macam lagi. Piza. Dan cheese burger. Biar mencret dia nanti malam.
Tapi Barry memang sudah biasa nyogok. jadi enteng saja dia mengabulkan syarat yang diajukan Timo. Sudah bagus dia tidak minta tukar tambah HP.
Ayah mereka juga tidak peduli. Ketika didengarnya anak bungsunya ingin ke Australia, dia oke saja. Sekalian dengan abangnya juga boleh.
Perempuan simpanannya sudah dikembalikan ke toko. Untung saja tidak ada syarat barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.
Sekarang dia sedang sibuk mengejar Tante Rully. Mitra bisnisnya. Janda beranak satu. Cantik, pasti. Kalau jelek, mana dia mau? Tidak peduli umur ayah Bastian sudah menginjak kepala empat. Semangatnya masih semangat atlet. Pantang menyerah mencapai prestasi.
Kalau Barry tidak ada di rumah, Tante
Rully pasti tidak keberatan bermalam di rumah mereka. Keamanan nasional pasti lebih terjamin kalau playboy singkong itu tidak ada di tempat.
Yang dikhawatirkan Tante Rully tentu saja putrinya yang masih bau bawang itu. Kalau dia sendiri sih sudah S2. Yang masih anak SMU kayak Barry bukan tandingannya.
Tentu saja Tante Rully juga tahu reputasi Barry. Dia dan ayahnya cuma beda umur dan pengalaman kok. Kualitasnya kurang-lebih sama. Satu cetakan.
Jadi kalau Barry tidak ada, Tante Rully bisa berakhir minggu dengan aman di rumah ayah Barry sambil membawa putri tunggalnya. Tidak ada nyamuk jahat yang bakal menggigitnya.
Karena itu ayah Barry tidak keberatan kedua putranya berangkat sekalian. Mumpung libur. Sekalian cari pengalaman.
Tapi rupanya Barry sudah punya rencana lain. Dia malah lebih suka kalau ayahnya saja yang membawa Tante Rully ke luar negeri. Biar rumah bisa dimanfaatkannya dengan aman tenteram.
Nah, selama ayah dan anak itu masih berebut kapling, Bastian sudah siap menuntaskan misinya.
Tanpa ragu-ragu dia mengayunkan langkah, eh mengepakkan sayap, berangkat ke negeri kanguru.
Sydney, here I Come! *** BAB III PEMERIKSAAN di Bandara Kingsford Smith benar-benar ketat. Apalagi terhadap anak muda selevel Bastian yang pakaiannya semau gue. jaket belel di luar singlet. Celana jins yang berlubang di lutut dan ditambal dengan bendera Amerika. Belum lagi gitar dan payung yang bergelantungan di kedua bahunya. Yang waktu jalan di pesawat nyodok penumpang di kanan-kiri.
Meskipun murah senyum sampai Bastian mengira petugas pabean itu homoseks yang naksir dia, tak ada satu barang pun milik Bastian yang lolos dari pemeriksaannya. Padahal Bastian mengambil jalur hijau. Artinya tidak ada yang mesti dilaporkan.
Tidak ampun lagi ransel Bastian diaduk aduk. Isinya ditumpahkan ke atas meja periksa. Kopernya digeledah dari sudut ke sudut. Komik Dragon Ball dan Kung Fu Boy yang dibawanya dikibas-kibaskan seperti mengharapkan kutunya jatuh berserakan di meja.
Bahkan gitarnya diraba-raba seperti meraba paha wanita. Diketuk-ketuk seperti dokter sedang memeriksa perut pasien yang kembung masuk angin.
Dia nyari apa sih, pikir Bastian bingung. Morfin? Apa tampang gue mirip bandar narkoba?
Belum cukup juga membuat Bastian melongo heran, kameranya diintai. Payungnya dibuka-tutup. Malah roti yang dibawanya dari pesawat sebagai bekal, siapa tahu flat si Agus tidak ketemu, dilemparkan begitu saja ke tempat sampah.
Tanpa permisi lagi. Kurang ajar. Kayak punya dia saja!
Rupanya tidak boleh membawa makanan masuk ke Sydney tanpa melapor. Mana BaStian tahu? Tadi dia masih tidur pulas waktu film yang menginformasikan hal itu diputar. Maklum di negerinya kan baru pukul setengah empat pagi. Masih jam bobok. '
Sambil masih memendam rasa dongkolnya, Bastian membereskan lagi ranselnya yang isinya
sudah berhamburan seperti jeroan sapi yang dipotong. Karena ranselnya tidak muat lagi, terpaksa tas tangan oleh-oleh buat Sandy dijinjingnya saja. Jadilah dia seperti waria nyasar.
Bastian tambah kesal ketika sesampainya di luar tidak menemukan Sandy. Padahal tidak sulit mencari gadis secantik dia. Soalnya kebanyakan gadis di sini tidak cantik kok.
Sialan, maki Bastian dalam hati. Katanya orang bule paling takut salah janji. Baru pertemuan pertama saja sudah tidak dapat dipercaya!
Janji jemput malah nggak nongol sekalian! Hhh, brengsek! Janji seenak batok kepala sendiri! Enaknya dikepruk pakai centong.
Terpaksa Bastian naik taksi ke flat si Agus. Dan pengemudi taksi yang ditumpanginya pelit sekali dengan kata-kata. Sejak Bastian naik sampai taksinya berhenti, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bisu, kali.
Terpaksa Bastian membaca sendiri angka yang tertera di argometernya. Sembilan belas dolar tujuh puluh sen. Disodorkannya lembaran dua puluh dolar. Dan ditunggunya kembaliannya.
Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu pelit ngomong, gue pelit tip, maki Bastian dalam hati. Rasain lu!
Ketika mengembalikan uang, baru mulut si sopir taksi berbunyi. Entah dia bilang apa. Tapi dari nadanya, pasti sumpah serapah.
Pelit lu, begitu pasti isi rutukannya.
Tapi peduli apa? Tip cuma buat pelayanan yang menyenangkan, kan? Siapa suruh bisu!
Lagi pula Bastian harus berhemat kalau tidak mau kehabisan bensin. Negeri ini serba mahal. Naik taksi saja hampir seratus empat puluh ribu! Gila. kan? Tapi siapa yang gila? Duit siapa yang kursnya merosot terus?
Tetapi gerutuannya langsung lenyap begitu dia berpapasan dengan dua remaja yang sedang berciuman di kaki lima. Hampir terkilir urat leher Bastian ketika dia memutar kepalanya cepat-cepat untuk menengok.
Bukan main. Asyik sekali mereka. Seolah olah cuma mereka berdua yang ada di muka bumi. Ah, seandainya ada kulit pisang...
Tetapi tidak ada kulit pisang. Yang ada malah seorang nenek yang hampir ditubruknya karena sedang asyik menengok-nengok ke belakang. Tentu saja si nenek mengomel kalang kabut. Belum tahu galaknya nenek-nenek di Australia? Nah. coba saja colek sekali.
"Maaf, nenek tuaku yang manis." sengaja Bastian menggunakan bahasa Indonesia. Supaya si nenek tidak mengerti.
"Menggelindinglah Nenek dalam damai...."
Tapi bukannya pergi, si nenek malah melotot gusar.
"Lain kali jangan meleng kalau jalan!" bentaknya dalam bahasa Indonesia yang membuat kepala Bastian seperti diguyur seember saus tomat.
Astaga! Rupanya nenek di sini masih tuatua keladi. Masih menyepuh rambutnya dengan warna cokelat sampai Bastian mengira dia orang bule!
"Merdeka, Eyang!" Bastian mengangkat tangannya memberi salam dengan bersemangat.
"Urang awakjuo? Tinggal di mana, Yang?"
Lumayan kan, kalau flat si Agus tidak ketemu.... Tapi si nenek sudah ngeloyor pergi tanpa membalas salamnya.
Kurang didik dia, gerutu Bastian penasaran. Tidak nasionalis! Diberi salam malah cuek bebek aja!
Sambil masih mengomel, Bastian melangkah masuk ke dalam bangunan apartemen bernomor sembilan belas itu. Sebuah bangunan
bertingkat empat. Tua. Sederhana. Tapi lumayan bersih. Dindingnya dari batu merah yang sudah menghitam dimakan usia. Tangganya dari semen yang dihampari karpet merah yang tampaknya sudah sama tuanya' dengan dindingnya.
Celakanya, di sana tidak ada lift! Padahal apartemen si Agus di tingkat yang paling atas! Ajubilah! Orang atau kelelawar yang tinggal di sini?
Sambil memikul barang-barang bawaannya, Bastian mulai berjuang menaiki anak tangga satu per satu. Koper seberat dua puluh kilo. ransel sepuluh kilo, gitar, kamera, dan payung bergelantungan yang membuat dia seperti kapstok berjalan, sungguh bukan beban yang enak untuk menemani perjalanannya ke tingkat empat.
Tertatih-tatih Bastian meniti dua anak tangga terakhir sebelum dia ambruk kelelahan di depan pintu unit nomor 403. Barang-barangnya sudah berjatuhan lebih dulu ke lantai. Diketuknya pintu sambil masih duduk dengan napas terengah-engah.
Tetapi sampai sepuluh menit dia menggedor pintu, tetap tidak ada yang nongol. Yang
keluar malah penghuni flat sebelah. Seorang lelaki Arab yang bodinya tinggi besar dengan tatapan mata setajam Omar Sharif.
"Hai," sapa Bastian sambil mengumbar senyum. Sekadar supaya tidak dibentak karena mengganggu ketenangan umum.
-Terapi dia cuma mendengus. Dan menutup pintunya kembali.
Sekali lagi Bastian mengetuk. Ah, sebenarnya bukan mengetuk lagi. Menggedor.
Barangkali Agus sedang sakit telinga. Sedang mandi. Sedang tidur. Atau sedang gituan.... Siapa tahu.
Tetapi sekali lagi yang terbuka malah pintu di seberang sana. Seorang nenek berambut putih melongok marah dari balik pintu.
"Jangan berisik!" katanya dengan suara yang sama sekali tidak ramah.
"Maaf. ada orang di dalam sini?"
"Mana saya tahu!"
"Sama," Bastian menyeringai tanpa perasaan bersalah.
"Saya juga nggak tahu. Makanya saya mengetuk pintu."
Sambil mengomel nenek itu membanting pintu. Bruk!
Sialan, maki Bastian dalam hati. Meskipun
kalau dia memaki sekalipun, tidak ada orang yang mengerti.
Ke mana sih si Agus? Dia kan tahu aku mau datang hari ini! Kenapa nggak ditungguin? Katanya dia baru berangkat kerja jam dua belas siang. Nah, ini kan baru pukul sepuluh!
Akhirnya sambil menghela napas Bastian duduk bersandar ke pintu. Dijulurkannya kakinya lurus-lurus. Huh, rasanya lebih pegal daripada mendaki gunung. Ah, enaknya kalau ada Mama.... Mama pasti mau memijati kakinya....
Malas-malasan Bastian meraih gitarnya. Teman setia di waktu kesepian. Dialunkannya Rayuan Pulau Kelapa. Dan lagu itu baru dua baris dilantunkan ketika pintu sudah menjeblak dari dalam.
Bastian terjengkang ke belakang. Batok kepalanya hampir berkenalan dengan lantai.
"Bas!" Tidak salah lagi. Itu suara Agus!
Biarpun sedang merangkak bangun, Bastian tidak dapat melupakan suara teman seperjuangannya waktu SMP dulu. Persahabatan mereka boleh dibilang akrab sekali biarpun karena sering tidak naik kelas, umur Agus lebih tua tiga tahun.
"Sialan lu, Gus!" damprat Bastian begitu mulutnya sudah dapat dibuka kembali.
"Kenapa baru nongol sekarang?"
"Mana berani kalo nggak kenal? Kita kan orang gelap. Visa gue udah lama habis!"
"Sampe kenyang gue diomelin tetangga lu!"
"Salah lu sendiri! Kenapa nggak setor muka di pintu, supaya Henny bisa ngintip dari lubang itu dan tau lu orang Melayu?"
"Henny?" "Cewek gue." "Dia tinggal di sini?"
"Di mana lagi? Nyewa satu flat kan lebih irit!"
"Dan lebih asyik! Dia nggak keberatan gue numpang di sini?"
"Oh, kita udah biasa kedatangan temen dari Indo. Henny malah nggak keberatan kita tidur sekamar. Asal lu nggak ngorok aja."
"Duh. modern amat cewek lu!" komentar Bastian kaget.
"Tapi mendingan gue tidur di ruang tengah aja deh, Gus. Tidur di kamar lu jangan-jangan gue malah nggak bisa tidur!"
"Itu namanya tau diri." Agus menyeringai senang.
"Lu bisa tidur di sofa, Bas. Ayo deh masuk."
"Jangan khawatir, gue bawa tempat tidur sendiri. Impor. Ngomong-ngomong, lu bantuin bawa barang-barang gue dong, Gus!"
"Barang bawaan lu banyak amat, Bas! Oleh oleh buat gue?"
"Titipan abang gue buat temennya."
"Pantesan berat banget. Yuk, gue kenalin sama Henny. Dia masih ngumpet. Dikiranya petugas imigrasi yang datang. Mau bawa kita ke Villawood."
"Apa enaknya sih hidup ngumpet-ngumpet begini, Gus? Mendingan juga lu pulang. Biar jadi pemulung, nggak usah ngumpet di lubang kayak tikus!"
"Terpaksa. Bas. Cari duit!"
"Uang di mana juga bisa dicari. Gus. Cuma gambarnya aja yang lain!"
"Lu bisa ngomong begitu karena masih punya ortu, Bas. Yang bisa ngongkosin hidup lu. Kalo gue? Ortu nggak ada. Kerjaan nggak punya. SMP aja nggak lulus. Cari kerjaan di Jakarta susahnya setengah mati. Udah frustrasi gue, Bas."
"Itu sebabnya lu betah di sini, Gus? Biar musti ngumpet-ngumpet kayak maling?"
"Di sini hidup gue enak, Bas. Kerja di restoran Indonesia cuma cuci piring."
"Pantes aja muka lu udah kayak mesin cuci."
"Tapi gajinya dong, Bas. Lima puluh dolar sehari. Kira-kira tiga ratus lima puluh ribuan. Padahal kerjanya cuma dari jam setengah satu siang sampai setengah sebelas malam."
"Nyuci piring terus sepuluh jam?"
"Ya nggak terus-terusan. Cuma jam sibuk. Makan boleh ngambil dua kali. Kalo ada sisa, boleh bawa pulang. Lumayan buat si Henny."
"Henny kerja juga?"
"Dia kan kerjanya masih casual. Di perusahaan cleaning service. Lima belas dolar sejam. Kalo lagi banyak order, seminggu bisa dapat seratus lima puluh sampai dua ratusan. Lumayanlah buat bayar sewa apartemen. Nah, kurang apa lagi?"
"Wah, makmur dong hidup lu sekarang, Gus! Udah berapa koleksi mobil lu?"
"Mobil sih cuma satu. Mobil tua. Flat juga masih sewa. Kecil. Cuma satu kamar. Lu lihat aja sendiri. Cuma ada ruang duduk merangkap kamar makan dan dapur. Nggak ada ruang cuci. Kalo mau nyuci, Henny musti ke bawah. Di sana ada mesin cuci buat semua penghuni apartemen."
Agus meletakkan barang-barang aman di pojok flatnya. Dan dia bingung melihat apa saja yang dibawa temannya.
"Ngapain bawa payung segala, Bas?"
"Ya buat nudungin badan kalo hujan! !" mang apa lagi sih gunanya payung di negeri ini?"
"Lu kira di sini nggak ada yang jual payung? Atau mereka pake daun pisang buat nudungin kepala?"
"Lho, gue kan cuma berjaga-jaga! Sedia payung sebelum banjir, kan?"
"Hhh," Agus menggeleng-gelengkan kepala.
"Lu masih konyol aja kayak dulu, Bas!"
"Mudah-mudahan bini lu masih betah tinggal di sini biar ada gue juga ya, Gus."
"Ah, Henny orangnya supel kok. Dan dia belon jadi bini gue, Bas."
"Jadi lu kumpul kebo?"
"Koala. Di sini nggak ada kebo."
"Dosa lu, Gus."
"Ngentengin ongkos, Bas. Tuntutan ekonomi. Dosa urusan belakangan deh."
Mereka tertawa geli. Agus cepat-cepat menutup pintu yang masih terganjal koper Bastian ketika menyadari tawa mereka cukup keras
untux meruntuhkan tembok, menggugurkan gunung.
"Di sini nggak boleh ribut-ribut. Bas. Mereka bangsa tukang ngadu semua. Dikit-dikit nge-claim. Nge-sue. Asal privacy-nya terganggu. mereka langsung lapor."
"Mereka tau lu orang gelap?"
"Wah, mereka sih nggak peduli. Pokoknya asal tidak mengganggu mereka, peduli amat!"
"Nasionalismenya kendor! Nggak peduli negeri mereka digerogoti rayap asing!"
"Siapa bilang? Sejak lapangan kerja di sini tambah sempit, mereka mulai nggak suka sama imigran, lebih-lebih yang dari Asia kayak kita!"
"Soalnya kita lebih lihai?"
"Lebih ulet. Si bule cuma mau kerja lima hari dalam seminggu. Kita sanggup kerja delapan hari. Dengan upah yang lebih murah juga oke aja."
"Kalo gitu suruh Henny beranak tiap tahun, Gus. Lupain KB! Di sini kan nggak ada BKKBN. Biar penuh negeri ini sama orang Melayu!"
"Enak aja ngomong! Di sini punya anak kan repot. Suami-istri biasanya dua-duanya
Kerja. Pembantu nggak ada. Tempat penitipan anak lumayan mahal."
"Selundupin aja si Nah, pembokat bokap gue yang latah. Pasti seru! Eh, ngomong ngomong, mana nih minumannya? Apa di sini semua boleh ngambil sendiri? Kebebasan dijamin penuh, kan? Boleh ambil apa aja yang gue suka?"
"Lu mau minum apa?"
"Maunya sih es kelapa muda. Tapi kalo pohonnya belon diimpor, air dingin juga boleh deh. Sukur-sukur kalo ada es teler."
Agus melangkah ke dapur yang terletak di sudut ruangan itu juga. Bastian mengikutinya.
"Ini kamar tidurnya," kata Agus sambil menunjuk kamar di seberang dapur. Dia membuka pintu itu dan melongok ke dalam.
"Nggak apa-apa, Hen. Yang datang sohib gue, si Bastian."
Seorang gadis bertubuh kecil mungil keluar dari kamar. Parasnya boleh juga. Enam setengahlah. Lumayan buat Agus. Dia juga tidak ganteng kok. Mukanya tirus. Matanya sayu. Bodinya cuma selembar. Mirip papan setrika. Untung masih ada yang mau.
"Sori, ngagetin kamu," Bastian tersenyum
tanpa perasaan bersalah. Diulurkannya tangannya untuk menjabat tangan Henny.
"Mustinya aku setor tampang ya."
"Nggak usah'asal kamu nggak ngumpet."
"Dia ngelesot kecapekan di ubin. Salah sendiri. Barang bawaannya banyak banget. Cukup buat nenggelemin benua ini."
"Untung kamu pinter ngamen."
"Ngamen? Belon ada yang ngasih duit kok!"
"Lu pikir apa yang bikin gue langsung buka pintu, Bas? Rayuan Pulau Kelapa!"
"Nasib jelek," Bastian menyeringai pahit.
"Datang-datang disuruh ngamen!"
"Dan disuguhi air ledeng!" Agus mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari ketan. Lalu sambil tertawa disodorkannya kepada temannya.
"Kira-kira lu, Gus!" belalak Bastian purapura gusar.
"Tega-teganya sama temen! Jauhjauh datang dikasih air ledeng!"
"Lu minta air dingin, kan?"
"Tapi bukan yang dari ledeng!"
"Habis dari mana lagi? Di sini nggak ada sumur! Mau air dari mesin cuci?"'Yang mana air yang lu minum?" _
'Yang ini juga!" "Air ledeng di sini nggak perlu dimasak lagi," sela Henny segera.
"Boleh langsung diminum."
"Oh, gitu to? Berasnya juga boleh langsung dimakan?"
"Kalo lu mau sakit perut!"
"Ceweknya juga boleh langsung dicium? Nggak usah permisi lagi?"
"Coba aja kalo pengin ditampar!"
*** Sudah beberapa kali Bastian mengajak Agus ke Kings Cross. Ah, sebenarnya bukan mengajak. Minta ditemani.
Maklum, baru pertama kali. Takut kesasar. Apartemen Agus letaknya di Eastlake, yang termasuk Eastern Suburb. Sementara Kings Cross yang terletak di William Street, lebih ke arah City. Untuk ke sana tanpa Agus, Bastian harus naik bus. Karena baru dua hari di Sydney, Bastian tidak berani.
Kalau sudah pernah pergi sekali, dia tidak usah susah-susah mengajak si Agus.
Sebenarnya mengajak Agus sih tidak susah. Dia juga mau kok. Mau sekali. Dua kali
malah. kelihatan dari matanya yang langsung bersinar seperti neon.
Problemnya cuma Henny. Agus takut. Heran. Entah apa yang ditakutinya.
Henny kan kecil. Tidak galak. Dan belum jadi istrinya.
Nah, takut apa? Masa mengintip cewek bugil saja dilarang? Ngintipnya bayar kok! Yang diintip saja tidak marah.
"Lu kenapa jadi oon sih, Gus?" dumal Bastian kesal.
"Waktu SMP dulu, ngibulin guru aja lu pinter, masa sekarang jadi bego? Doi lu tuh orangnya sabar, nggak bakal di gebukin deh!"
"Dia suka uring uringan kalo tau gue ke sana. Heran, ngapain sih lu nonton yang begituan, Bas? Di negeri kita juga ada kok. Bedanya cuma di sini dijual bebas, di sana di bawah tangan!"
"Lain lubuk lain kedoknya kan, Gus! Katanya kodok di sini gede kayak bangkong!"
"Tapi jangan bilang Henny kita ke sana, ya!"
"Lho, gue kan nggak harus lapor kalo pulang pagi!"
"Ya, lu sih nggak! Gue!"
"ngomong-ngomong, jam berapa kita cabut nih? Ntar Henny keburu pulang."
"Gue musti kerja dulu, Bas. Ntar bubar resto baru kita ke sana."
"Gue ikut lu deh. Bantuin cuci piring."
Restoran tempat kerja Agus terletak di daerah Kingsford. Anak anak Indo menjuluki daerah ini Kampung Melayu. Soalnya di sana banyak sekali pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Indonesia.
Kalau berjalan di kaki lima, kita seperti sedang melangkah di Blok M. Bahasa lndonesia akrab sekali di telinga. Tampang-tampang yang seperti teman sekolah kita juga muncul tiap dua menit.
Belum lagi aneka restoran Indonesia berjajar di kiri-kanan jalan. Makanan apa saja yang dijual di Jakarta, ada di sana. Rasanya tidak kalah dengan yang asli. Salah satunya, rumah makan Pak Amat Dermawan.
Malam itu rcstorannya ramai sekali sampai beberapa mahasiswa Indonesia yang hendak makan di sana terpaksa menunggu di luar.
tapi dasar anak muda. malam-malam tetap saja asyik tertawa dan berceloteh. Menunggu di pinggir jalan malah menambah kenalan. Dan yang menunggu mau masuk malah bertambah banyak.
Tawa dan canda mereka semakin meruyak dengan bertambah larutnya malam. Mobil yang berhenti di pinggir jalan pun semakin padat. Untung saja di sini tidak ada kebiasaan membunyikan klakson kalau tidak terpaksa. Kalau tidak, ramainya pasti seperti di Tanah Abang.
"Wah, runyam," gerutu Agus sambil tidak henti-hentinya mencuci piring kotor yang seperti tidak ada habis-habisnya.
"Rasanya malam ini Pak Amat panen, Bas. Kita yang nelangsa. Pegel!"
"Artinya kita nggak bisa cabut setengah sebelas dong."
"Bisa selesai jam dua belas aja udah bagus."
"Untung ada gue yang bantuin. Kalo nggak, rontok tuh jari-jari lu!"
"Ah, udah biasa, Bas. Nggak terasa lagi."
"Pikir-pikir kerja lu berat juga ya, Gus. Nggak bisa dibilang enak sih."
"Mana ada kerjaan yang enak, Bas? Tapi gue kan musti makan. Kadang-kadang gue ngiri
sama mahasiswa mahasiswa kita yang lagi makan di luar tuh. Kerja mereka cuma makan sembari ngocol. Kayaknya nggak pernah susah."
"Mereka kan lagi sekolah, Gus. Lain dong sama lu. Lu kan udah lulus"
"Lolos, bukan lulus! Enak ya mereka, masih punya ortu yang ngongkosin. Nggak kayak gue. Baru brojol aja udah musti cari makan sendiri."
"Udah deh, jangan ngeluh terus. Ntar jadi stres. Mendingan kita bayangin aja show yang bakal kita lihat. Biar seger."
Bastian benar. Melangkah di sepanjang Kings Cross waktu malam memang menyegarkan. Udara yang sejuk. Lampu lampu yang berkilauan. Rasanya keletihan mereka langsung menguap.
Bastian sampai tidak sempat berkedip. Matanya melotot terus seperti tidak betah diam saja di dalam rongga matanya. Untung biji matanya tidak berjibaku melompat keluar.
"Hai," sapa seorang wanita yang sedang bersandar di tempat yang agak gelap.
Bastian sampai kaget. Dikiranya dia disapa hantu penasaran. Habis tiba tiba saja ada yang menyapa di tempat gelap.
"Hai," sahut Bastian segera. Takut dikira tidak berbudaya. Disapa diam saja.
Tapi Agus cepat-cepat menariknya pergi.
"Jangan diladenin kalo nggak mau bayar, Bas!"
"Masa ngomong hai aja musti bayar, Gus?" gerutu Bastian sambil mengejar temannya yang sudah berada dua langkah di depan.
"Komersil amat!"
"Ntar kalo udah nempel susah dibuang kayak lintah, Bas!"
Sekali lagi Bastian menoleh ke belakang. Tapi wanita PSK itu tidak mengejarnya. Dia kembali bersandar di tempat gelap sambil mengisap rokoknya. Sekali-sekali api rokoknya terlihat menyala.
Dan Bastian terlambat menyadari, ada makhluk halus melangkah ke arahnya, di jalur yang sama. Tubrukan pun tak dapat dihindari lagi.
Makhluk halus itu memekik. Tubuhnya terhuyung. Dompetnya jatuh.
"Waduh. maaf!" cetus Bastian kaget.
Buru buru dia membungkuk memungut dompet yang jatuh itu. Tetapi pada saat yang sama, makhluk halus itu juga sedang membungkuk.
Tidak sengaja mata Bastian menembak lekuk dalam di dadanya. Dan dia tertegun bengong. Lupa buat apa dia merunduk. Bahkan lupa menarik napas.
Buset! Ukurannya benar benar king size!
Sekilas hidung Bastian mencium aroma parfumnya yang menyengat. Dia merasa terlena sekejap. Seperti tiba-tiba saja melayang ke langit.
Lalu tatapannya bertemu dengan seraut wajah yang sangat memikat. Mirip Nicole Kidman kalau dia lagi cantik. Rambut cokelatnya tergerai ke bahunya yang terbuka menantang angin, sekaligus menantang tatapan mata Bastian yang nyalang.
Gaun mininya yang berpotongan amat merangsang, pinggul sempit dengan dada rendah, berwarna ungu menyala. Sementara Stoking jalanya yang berwarna hitam membungkus
betis yang padat seperti butir padi.... Oh. Mama! Mamma mia!
"Maaf," desis Bastian sekali lagi, tidak jelas untuk apa.
Untuk ketidaksengajaannya menubruk gadis itu. Atau untuk kelancangannya melihat sesuatu yang bukan haknya untuk dilihat.
Tapi walaupun Bastian tidak berhak melihat, apa salahnya melihat sesuatu yang memang sengaja dipamerkan?
Kalau dia tidak mau barangnya dilihat, mengapa tidak disembunyikannya? Nah. salahnya sendiri, kan? Karena itu tandanya dia memang ingin barangnya dilihat. dinikmati, di... ah. Ngaco. Bastian jadi pusing. Dan Agus lagi-lagi menarik tangannya.
"Lu cari gara-gara melulu sih!" gerutu Agus kesal.
"Belon pernah ngerasain dipermak jagoan mereka, ya? Nggak pulang utuh lu!"
"Lho, gue kan cuma window shopping!"
'Mendingan kita masuk aja deh. Daripada lu sradak-sruduk begini kayak kebo teler!"
Agus langsung menarik tangan Bastian masuk ke sebuah nightclub. Begitu masuk, cahaya lampu warna-warni yang berkelap-kelip menikam mata Bastian. Home music menggedor telinganya. Asap rokok menerkam hidungnya menyesakkan napas.
Tetapi yang membuat napasnya sesak memang bukan hanya asap. Pemandangan menggetarkan di atas panggung membuat napasnya makin sesak. Bastian melangkah sambil terlongong-longong sampai hampir menubruk
meja orang kalau tidak buru-buru disambar si Agus.
Agus mendorong temannya ke sebuah meja kosong. Dan memesan dua gelas bir di bar. tapi Bastian tidak terpikat pada bir. Dia lebih tertarik melihat pertunjukan di atas panggung.
Wah, benar-benar luar biasa! Tidak ada yang ditutup-tutupi lagi. Semua dibuka habis habisan. Terlihat sampai ke kulit-kulitnya. Tentu saja hanya sampai kulit. Kalau sampai terlihat tulangnya, itu sih X-ray.
"Teler, Bas?" bisik Agus sambil meneguk birnya.
"Jangan bisik-bisik di kuping gue, ah!" bentak Bastian yang merasa kenikmatannya di
ganggu bau napas si Agus.
"Ntar dikira gay, lagi!"
"Jangan semaput dulu! Live show-nya habis ini pasti bikin lu basah kuyup!"
"Lebih seru dari ini?"
"Ini sih baru pemanasan!"
"Nggak meledak kalo kelewat panas?"
"Paling-paling lu yang meletus! Makanya minum tuh biar anyep!"
Tapi yang meletus bukan balonnya Bastian. Tapi amarahnya si Henny. Ketika Agus pulang
pukul empat pagi, dia sudah tahu ke mana cowoknya pergi. Apalagi melihat kondisi Bastian yang sudah seperti penderita malaria. Tidak ada pertanyaan lagi. Langsung masuk kamar gas. Eh, kecil-kecil rupanya si Henny galak juga. Kayak cabe rawit. Kasihan. Si Agus kepedasan semalaman.
*** Bastian masih mendengar serunya pertandingan di dalam kamar sebelum dia terempas lemas di bawah pancuran di kamar mandi.
Bastian tidur nyenyak sekali. Tidak terbangun walaupun pintu terbuka dan tertutup. Bruk. Bruk.
Tidak terjaga meskipun suara piring dan gelas di dapur berdenting-denting. Ting. Ting. Prak. Yang terakhir itu tanda ada yang pecah. Lalu... prang. Melayang ke tempat sampah.
Terpaksa Bastian membuka matanya sedikit. Mengintai.
Pasti Henny lagi perang tanding dengan piring dan gelas di dapur. Masih marah rupanya dia. Tidak tega mengepruk kepala si Agus, dia cuma berani marah-marah sama piring.
Tapi tidak ada Henny. Yang sedang membawa piring berisi mi rebus yang masih mengepulkan asap itu Agus. Makanan yang dibawanya tidak harum. Mana ada mi kardus yang harum. Paling-paling baunya apak.
Tapi melihat asap yang berkepul kepul itu perut Bastian tiba tiba menjerit. Dia langsung duduk. Dan mengerut lagi karena mendadak merasa dingin. Rupanya hawa di sini bisa sejuk juga biar katanya musim panas.
"Henny udah bangun. Gus?"
"Udah pergi," sahut Agus dengan tampang penjudi kalah main.
Diletakkannya piringnya di meja. Lalu dia menarik kursi. Dan tanpa menawarkan lagi pada Bastian. dia langsung makan. Stet. Stet. Sruput. Dua sendok mi langsung masuk mulut. Yang terakhir itu bunyi kuahnya disedot. Tampaknya nikmat sekali.
Tiba tiba saja perut Bastian menyanyi. Kru.yuk. Kruyuk. Bsss.
"Bagi dong," pinta Bastian.
"Asyik banget sih. Bikin ngiler aja."
Yang bikin ngiler memang bukan minya. Tapi caranya Agus makan. Seperti sedang menyantap tujuh rupa santapan raja.
"Ambil sendiri," katanya dengan mulut penuh.
"Di mana?" "Di tong sampah!" sergah Agus agak kesal, karena seutas mi melompat ke tenggorok. Membuat dia batuk-batuk sebentar.
"Gangguin orang makan aja sih! Tuh ambil di lemari! Di mana lagi?"
Bastian beringsut bangun. Dan melangkah ke dapur. Ketika sadar dia belum memakai baju, begitu memang cara tidurnya di Palembang, dia langsung ingat Henny.
Rikuh nggak ya dia melihat cowok cuma pakai celana pendek? Tapi sebodo amat ah. Emang si Agus nggak pernah kelihatan telanjang dada? Mungkin dadanya beda. Hihihi. Dada si Agus kan tipis dan polos.... Baru berani dibuka kalau gelap....
"Mana Henny, Gus?"
"Kan tadi gue bilang udah pergi!"
"Ngambek?" "Gara-gara lu sih. Cari penyakit."
"Kita kan nggak ngapa-ngapain. Cuma nonton! Dapat penyakit dari mana? Emangnya virus AIDS bisa terbang trus menclok di batok kepala lu?"
"Pokoknya Henny ngambek. Tuh. lihat! Cucian sebakul aja nggak dicuci. Sarapan nggak disediain. Kalo ntar malam dia mogok ga..."
"Kita balik lagi ke Kings Cross!" sambar Bastian gesit. Kebetulan.
"Ngaco!" "Takut apa sih?" Bastian menjerang air untuk merebus mi.
"Lu kan cowok. Gus! Musti selalu di atas!"
"Ini bukan urusan atas-bawah! Henny ngambek lantaran gue ngelencer ke tempat begituan!"
"Masa ngintip aja ngak boleh sih? Lu kan jadi tambah hot. Henny juga yang nyicipin, kan?"
"Apanya yang hot? Dia dicoel aja mencak mencak!"
"Ya, lu sih, cuma berani nyolek! Terang aja Henny jadi geregetan! Nggak nyampe-nyampe!"
***
Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab IV Apartemen Sandy, ceweknya Barry, terletak di Randwick. Lebih dekat ke arah City dibandingkan apartemen Agus.
Karena bangun kesiangan, Bastian baru siap pukul dua belas. Agus berbaik hati mengantarkannya dulu ke sana baru ke tempat kerja. Meskipun sepanjang jalan dia masih ngomel, hatinya sebenarnya baik. Cuma dia lagi uring uringan karena tidak dibuatkan sarapan. Mungkin santapan tengah malam juga.
Ingat makanan, Bastian jadi lapar. Makan semangkuk mi mana cukup buat perutnya. Dia kan masih dalam tahap pertumbuhan. Tubuhnya sedang ekspansi ke segala arah. Apalagi dia maunya tidak terlalu kurus. Supaya bisa menyaingi Barry. Eh, Barry lagi. Barry lagi.
Jadi Bastian mencari restoran Melayu. Dan
mengisi perutnya dengan semangkuk soto ayam. Lumayan. Cuma enam dolar. Tapi perutnya tidak nyanyi lagi.
Malu kan kalau perutnya teriak-teriak di depan Sandy. Nanti dikira pria Indonesia tidak berbudaya.
Habis makan , Bastian baru mencari apartemen Sandy. Dia melangkah santai di kaki lima. Ikut menikmati sejuknya hawa dan bersihnya udara yang menyapa paru-parunya.
Langit begitu biru di atas kepalanya. Cuaca amat cerah. Pas buat jalan-jalan cari angin. Sayang anginnya bersembunyi entah di mana.
Di depan apartemen yang nomornya cocok dengan kertas alamat yang sudah lusuh di tangannya, Bastian berhenti. Nama jalannya benar. Nomornya sama. Tapi bagaimana masuknya?
Lain dengan apartemen si Agus. di apartemen ini tidak bisa sembarangan masuk. Di depan ada pagar besi. Kalau manjat. jangan jangan diteriakin maling. Atau lebih sial lagi, langsung di-dor!
Bastian menoleh ke kanan dan ke kiri. Bukan mau nyolong. Apa yang mau dicolong. jemuran saja nggak ada.
Dia mau tanya. Bagaimana masuk ke dalam. Apa mesti teriak-teriak? .
Barangkali saja ada tukang kebun. Kebun di dalam lumayan terawat kok. Pasti ada tukangnya.
Barangkali juga ada pembantu tetangga yang sedang duduk mengobrol sambil mencari kutu. Atau anak-anak yang lagi main layangan Hihihi. Nggak ada. Semua sepi. Tukang roti saja tidak ada yang lewat. Apalagi tukang koran. Tukang bakso. Tukang sate. Tukang pijat....
Ini daerah perumahan apa kuburan sih, gerutu Bastian kesal. Masa siang-siang begini sepi banget? Nggak ada orang barang separo! Kucing aja nggak nongol. Apalagi macan!
Selagi Bastian kebingungan, ada sebuah mobil berhenti di depan pintu gerbang di dekatnya. Pintu itu tiba-tiba terbuka. Dan mobil itu sudah meluncur masuk sebelum Bastian sempat menghampiri untuk bertanya.
"Shit!" rutuk Bastian, meniru kebiasaan Agus yang baru saja sempat dijiplaknya dua hari.
Pintu sudah tertutup selagi Bastian masih berpikir-pikir untuk menerobos masuk atau tidak. Soalnya sekilas pandang, kandang mobil itu tidak hanya turun ke bawah tapi sekaligus
gelap. Tampaknya letaknya di bawah tanah. Bastian takut terkubur hidup-hidup kalau ikut masuk. Kalau tidak bisa keluar, bagaimana coba? Jadi mayat hidup, kan?
Jadi lebih baik dia nunggu saja. Sabar itu subur, kata Mama. Entah apanya yang subur. Buktinya anak Mama saja cuma dua. Padahal Mama orang paling sabar sedunia. .
Akhirnya penantian Bastian berbuah juga. Ada seorang wanita lewat di dekatnya. Dia langsung ke pintu besi di depan hidung Bastian. Lalu mendekatkan mulutnya ke interkom yang tergantung di dekat pintu. Setelah memijat dua angka, dia menekan tombol yang bergambar lonceng, lalu berbicara dengan seseorang melalui alat itu.
Tiba-tiba saja pintu terbuka. Bastian cepat cepat ikut nyelonong masuk. lalu membuntuti wanita itu ke apartemen yang menjulang di hadapannya.
Ketika wanita itu membuka pintu yang menuju ke lift, Bastian juga buru-buru menyelinap masuk. Sekejap wanita itu menatapnya dengan curiga. Tapi dia diam saja. Tidak membalas senyum Bastian yang ditampilkan di bibirnya dengan tulus.
Begitu juga ketika dia masuk ke dalam lift. Bastian ikut menerobos masuk. Tapi ketika wanita itu menekan tombol bernomor lima. Bastian menekan tombol delapan. Soalnya di alamat Sandy tertulis unitnya terletak di lantai delapan. Sayangnya tombol itu tidak mau menyala. Ditekan, digetok, diusap. diapakan saja tombol itu tetap mati.
"Kamu mesti minta temanmu membukakan pintu," akhirnya wanita itu berbunyi juga. Rupanya dia senewen melihat ulah Bastian.
"Baru lift ini bisa berhenti di lantai yang kamu tuju. Alasan keamanan. Supaya penjahat tidak bisa masuk." Seperti kamu. Cuma dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Terpaksa Bastian turun di lantai lima. Mau balik lagi ke depan pintu, dia malas. Akhirnya dia naik tangga kebakaran sampai ke lantai delapan. Tapi di sini pun kesialan menanti. Pintu itu tidak bisa dibuka dari luar!
Bastian membanting ranselnya yang berisi oleh-oleh Barry untuk Sandy. Lalu sambil mengomel dia menuruni tangga. keluar dari pintu kebakaran, menyusuri kebun, dan berdiri lagi di depan pintu masuk!
Sambil terengah-engah mengatur napasnya,
Bastian menekan nomor flat Sandy. Dan sebuah suara, asli bule, bergema di interkom.
"Sandy," cuma itu yang bisa keluar dari sela-sela napas Bastian yang memburu.
Serentak pintu terbuka. Dan Bastian terhuyung-huyung masuk. Untung saja umurnya baru delapan belas. Kalau terbalik, satunya di belakang, dia pasti sudah dibawa ambulans ke ICCU.
Tapi kali ini semua lancar. Semua pintu terbuka seperti membaca mantra bim salabim. Bahkan tombol delapan yang bandel itu langsung patuh. Bip. Menyala.
Cuma pintu unit yang tidak terbuka. Bastian terpaksa mengetuknya. Dan dalam hitungan detik, pintu terbuka. Makhluk itu muncul di depan pintu. Cerah. Ramah. Tapi mencengangkan.
"Hai!" sapanya hangat.
"Cari saya?" Senyumnya langsung merekah. Memperlihatkan sederet gigi putih bersih berkilauan seperti iklan pasta gigi.
Tetapi bukan itu yang membuat napas Bastian benar-benar putus. Bukan itu yang membuatnya hampir jatuh terjerembap dan langsung digotong ke ambulans.
wajah gadis itu memang masih sangat muda. Tapi bodinya... ampun, Mama! Ampun karena sudah ngibulin Mama! Bilang Bas masih di Jakarta karena mau nungguin Papa pulang dari Paris. Ini hukumannya! Kapok! Kapok!
Berat badan gadis itu pasti tidak kurang dari delapan puluh kilo. Heran dia masih diberi makan oleh ibunya!
Yang model begini sih di Indonesia pasti sudah jadi inventaris grup lawak! Dan Bastian datang jauh-jauh, mempertaruhkan nyawa naik kapal melintasi benua dan lautan, cuma untuk ketemu nona supermontok ini?
Sialan si Barry! Biar nggak bisa makan dia hari ini disumpahi adiknya delapan belas kali!
Pantas saja dia yang dikirim Barry ke sini! Kurang ajar tu lutung! Dia pasti sudah tahu lengannya tidak bakal cukup kalau memeluk tong semen ini.
Awas lu kalo gue pulang nanti. geram Bastian sengit. Tentu saja cuma dalam leher. Gue cabutin bulu kaki lu biar tau rasa!
Dasar penipu! Tukang ngibul! Nunjukin foto cewek keren. Taunya yang muncul kayak gini!
Barry pasri tahu, kalau dari semula dia menunjukkan foto ondel-ondel ini, adiknya
pasti nggak mau tukar tempat! 'Tukang cuci di rumah ibunya saja masih lebih memikat, ngapain jauh jauh menyabung nyawa?
"Kamu cari saya?" tegur si montok ramah.
"Di mana kita pernah ketemu?"
"Di panggung Srimulat," sahut Bastian asal saja. Toh si bundar tidak bakal mengerti.
"Di mana?" "Internet," sahut Bastian lemas, seperti ban kempis. Tiba tiba saja dia merasa capek. Capek sekali. Ingin tidur. Berlunjur di sofanya Agus. Dipijati ibunya. Duh, Mama! Mama! Makanya dosa ngibulin Mama!
"Internet?" Si balon mengernyitkan dahinya. Sebenarnya tampangnya sih tidak jelek. Manis juga. Sayang, dia terlalu tambun. Kalau dia diet ketat... Ah, kayak sudah tidak ada cewek lagi!
"Nggak penting lagi sekarang." sahut Bastian lesu.
"Barangkali saya salah alamat."
Belum sempat BaStian berbalik untuk berlalu, pintu lift di belakangnya terbuka. Dan langkah langkah sepatu terdengar menuju ke arahnya.
Datang balon satu lagi, getutu Bastian tanpa merasa perlu menoleh. Balonku ada lima... rupa-rupa warnanya....
*** Tetapi ketika gadis itu lewat di sampingnya, parfumnya lembut menggelitik hidung, mau tak mau Bastian menoleh juga. Tepat pada saat gadis itu sedang memandangnya dengan agak kesal karena Bastian menghalangi jalannya.
Cuma sekejap mata mereka berpapasan. Karena di detik lain, gadis itu telah membuang muka dengan pongahnya. Dia lewat di samping Bastian seolah-olah pemuda itu cuma seonggok sampah. Mendorong karung beras yang menghalangi ambang pintu. Lalu lewat dengan susah payah di celah yang sempit antara "tembok raksasa" dan tembok fbyer di flatnya.
"Minggir kenapa sih." dumalnya kepada si balon.
"Kejepit nih anu gue!"
Tapi Bastian tidak sempat menganalisis betapa sombongnya Cinderella yang baru lewat itu. Tidak sempat mencerna betapa kasar sikapnya. Dia sedang terlongong-longong karena mengenali wajah gadis itu nggak salah lagi. yang ini pasti Sandy, yang Fotonya masih lengket di saku celananya!
Semangat Bastian mendadak terbangun kembali. Seperti bara yang disiram minyak setelah
hampir padam. Brrr! Apinya langsung berkobar.
Ini pasti dia! Yang lagak lagunya teng tengso begini memang selera Barry. Tengil tengil sombong. Menantang untuk ditaklukkan. Kayak Mount Everest.
"Sandy!" panggil Bastian tanpa berpikir lagi. Lho, kalau mikir dulu dia sudah keburu lenyap! Hilang tak berbekas. Dan tidak ada kesempatan kedua. Ini kan bukan lelang.
Ketika si teng-teng-so tidak menoleh. di panggilnya lebih keras lagi.
Masa sih cakep-cakep budek? Dan... nah! Sekarang dia menoleh. Menatap Bastian dengan tajam.
Matanya benar benar hijau seperti mata kucing Bu Enoh. Tapi ditatap oleh kucing Bu Enoh tidak menyebabkan Bastian jadi meriang begini.
"Hai!" sapa Bastian sambil mencoba memamerkan senyum terbaiknya.
Menurut gengnya, senyum patennya mampu meruntuhkan gunung yang menjulang di dada cewek mana pun.
Tapi kali ini, rupanya senjata pamungkasnya seperti membentur bukit karang. Bukannya
runtuh, malah membusung makin kokoh dan perkasa.
"Hai," balasnya dengan tatapan acuh-acuh dingin.
"Apa saya kenal kamu?"
Suaranya bernada angkuh. Memancing tamparan kalau saja dia bukan cewek cakep.
Bastian merogoh sakunya. Dan gadis itu menunggu dengan tatapan tidak sabar yang melecehkan. Masih tetap di balik badan si balon yang belum mau beringsut juga dari pintu. Matanya serius sekali mengawasi cowok culun di depannya.
Tatapan Sandy yang melecehkan tidak berubah ketika Bastian menyodorkan sehelai foto. Kalau bisa bicara. barangkali matanya bilang begini,
Ya, itu emang foto gue. Trus lu mau apa?
"Kamu mengirim foto ini padaku," dengus Bastian kesal.
"Dan menyuruhku datang ke mari!"
Sekarang mata yang hijau itu membulat seperti kelereng. Hijau. Hijau sekali. Bibirnya yang merah seperti delima merekah separo terbuka, memancarkan keheranan yang mengundang kecupan gemas. '
"Aku? Mengirim foto padamu? Memangnya kamu siapa?"
Menghina sekali kata katanya. Tatapannya juga. Kurang ajar.
"Aku teman chatting mu."
"Chatting?" "Namamu Sandy?"
"Kenapa kalau itu memang namaku?"
"Artinya kamu yang ngirim foto ini dan mengundangku kemari!"
"Aku mengundang kamu?" sekarang dia hampir memekik. Nada suaranya sangat menghina seakan akan ada yang bilang dia mengundang seorang pengemis.
"Pasti ada salah pengertian," si montok yang masih menonton dengan asyiknya mencoba menengahi. Senyum masih melumuri bibirnya. Entah senyum geli atau bukan, dia masih jauh lebih ramah daripada si teng teng-so. Senyum itu bagai seember air dingin yang menyiram kepala Bastian yang mulai panas.
Ah, ternyata biarpun tidak enak dilihat seperti karung beras, sikapnya lebih bersahabat. Dia lebih enak dijadikan teman daripada si congkak itu!
Hhh, mentang-mentang cakep, sombong! Kalau aku si Pahit Lidah, sudah kusihir kamu jadi batu! Biar tahu rasa!
"Namamu Sandy juga! bastian menelen dengan kesal. Masa sih semua cewek di flat ini bernama Sandy? Memang tidak ada nama lain? Untung mereka tidak punya anjing. jangan jangan guk-guk yang nongol namanya Sandy juga! Hhh, konyol!
"Sandy,' sahut si montok tanpa melupakan senyumnya. Kenapa dia selalu tersenyum? Giginya tidak tonggos.
"Aku cari Sandy."
"Umpanmu kurang jelas. Kamu seperti baru tenggelam."
Iya, aku habis turun-naik tangga sebelas tingkat! Jantungku hampir permisi.
Dan Bastian baru sadar. Sandy sudah lenyap. Menghilang di balik "tembok besar".
"Sandy!" teriak si tembok seperti mengerti perasaan Bastian.
"Jangan ditinggal dong temanmu!" _
Sandy menyahut dari dalam. Bastian tidak dapat menangkap apa yang dikatakannya. Tapi dari nadanya, Bastian dapat menebak. Kira kira bunyinya begini,
"Temen dengkul lu!"
Kurang ajar! Nggak simpatik banget sih
dia. Mentang-mentang cakep! Lu kira di Indo
nggak ada cewek cakep? Yang lebih keren dari lu juga banyak!
Di negeriku, kamu pasti tidak terpilih jadi Miss Indonesia. Soalnya rambutmu kuning, bisa tertukar dengan rambut jagung! Kulitmu putih, jadi kamu bakal dipanggil si bule. Dan di Indo tidak ada pemilihan Miss Indonesia. Atau... sekarang ada?
Lagi pula, kalau hanya ada satu Miss Indonesia, apa yang lainnya bukan miss? Kacau, kan?
Nah, lu. kenapa gue jadi ngelantur begini, gerutu Bastian jengkel. Makhluk apaan sih yang barusan lewat sampe gue jadi linglung berat? Sialan! Kenapa dia begitu keren abis sampe gue jadi kepingin muntah?
Bastian masih memasang muka petang ketika pintu lift di belakangnya terbuka lagi. Dan seorang gadis muncul lagi dari sana. Buset. Flat ini kalau di kampungnya pasti julukannya Asrama Data.
"Cari siapa, Mas?"
Kalau kaget, kali ini Bastian betul-betul terperanjat sampai hampir pingsan. Telinganya rasanya sudah mesti diservis. Masa dia seperti mendengar bahasa ibunya.
"Sandy," sahut si montok meskipun dia tidak mengerti bahasa Indonesia.
"Tapi Sandy cuek aja tuh."
Seorang gadis ayu keluaran Malioboro tegak di hadapan Bastian. Tubuhnya memang tidak seseksi si teng-teng-so. Tapi tidak overweight. Dia ramping dan lemah gemulai seperti penari.
"Dari Indo?" tanyanya lagi.
"Perlu lihat paspor?"
Namanya juga lagi kesal. Tapi gadis itu malah tersenyum. Dikiranya Bastian mengajak bercanda.
"Temannya Barry?"
Barry. Tiba tiba saja nama itu seperti nama orang asing di telinga Bastian.
"Barry?" "Temanku dari jakarta."
"Jadi...?" Bastian membelalak jengkel.
"Namamu Sandy juga?"
"Anita," gadis itu mengulurkan tangannya.
"Bastian," sambut Bastian. Spontan. Sesudah menyebutkan nama yang telah disandangnya selama delapan belas tahun itu dia baru ingat pada penyamarannya. Cepat-cepat diralatnya kembali.
"Barry," semburnya secepat lidahnya mau diaiak kompromi.
"Barry?" sekarang gadis itu melongo bingung.
"Kamu?" "Kenapa?" sergah Bastian sedikit tersinggung. Emang gue nggak pantes jadi Barry? Tinggi badan sama. Cuma lebih kurus dikit. Tampang mirip. Cuma kurang keren selangkah....
"Kok lain?" "Lain?" Emang di mana lu pernah lihat abang gue?
"Masuk, yuk. Kita ngobrol di dalam."
Kebetulan. Kaki sudah pegal. Dan Bastian baru ingat oleh-oleh Barry. Cepat-cepat dia membuka pintu ke tangga kebakaran.
"Mau ke mana?" tanya Anita heran. Bingung. Disuruh masuk malah mencelat ke tangga kebakaran!
"Temanmu aneh," komentar Cindy sambil senyum-senyum. Culun!
Bastian membuka pintu ke tangga kebakaran. Dan melongo kaget. Karena ranselnya sudah lenyap!
"Cari apa?" Anita mengejar sampai ke belakang punggungnya. Takut tiba tiba orang aneh ini terjun bebas.
"Ransel," sahut Bastian lemas.
"Ranselku hilang."
'Kok taruh ranSel di situ??" Anita tambah bingung. Sakit kali ni orang!
"Ceritanya panjang."
*** Apartemen Sandy tidak sekecil apartemen Agus. Lebih luas dan lebih mewah. Kamar tidurnya ada dua. Demikian pula kamar mandinya. Dapurnya terpisah, sehingga penghuninya bisa makan di dapur.
Ruang tengahnya yang dua kali ruang tengah flat Agus, ditata sebagai ruang duduk yang menyenangkan, seandainya tidak berantakan begini. Tapi karena penghuninya tiga orang gadis, yang dua mahasiswi yang satu masih high school, tidak heran kalau ruang itu sama saja berantakannya dengan ruang tengah si Agus yang merangkap kamar tidur Bastian.
Di samping fbyer, ada kamar cuci lengkap dengan mesin cuci dan pengeringnya. sehingga penghuninya tidak perlu menjinjing keranjang pakaian kotor ke tempat cuci seperti Henny.
Bastian sudah duduk di ruang tengah setelah disuguhi sekaleng soft drink ketika Anita keluar dari kamarnya menyodorkan sehelai foto.
"Ini foto yang kamu kirim". katanya sambil duduk di samping Bastian.
"Kok lain sih?"
Sekali lagi Bastian terperanjat. Astaga. Hampir lompat biji matanya. Untung dia masih betah di rongganya.
Foto itu... ya, ampun! Itu kan Foto aktor favoritnya! Keterlaluan si Barry! Dasar penipu! Pembual! Pe...
"Sori," cetus Bastian dengan suara tercekat.
"Aku salah kirim. Itu sih foto aktor Favoritku." '
"Pendatang baru kali, ya," Anita sama sekali tidak marah. Dia malah tersenyum. Tidak merasa dibohongi.
"Waktu aku ke sini lima tahun yang lalu, dia belum terkenal."
"Kamu nggak marah?" tanya BaStian heran. Lucu. Dikibulin nggak marah! Malah nyengir melulu!
"Draw," sahut Anita sambil melebarkan senyumnya. Bibirnya memang lebar seperti Sophia Loren. Tahu kan Sophia Loren? Aktris
gaek kesayangan neneknya. Yang umurnya hampir tujuh puluh tapi masih tetap seksi.
"Aku juga ngirim foto Sandy. Pantas aja aku nggak ngenalin kamu di airport."
"Kamu jemput aku?"
"Kan udah janji," suara Anita begitu lembut. Selembut senyumnya. Selembut tatapannya.
Ah, dia manis juga. Tapi kalau kategori kecantikannya cuma segini, rasanya Barry tidak mau susah-susah beranjangsana ke negeri ini. Apalagi sampai mengirim adiknya segala! Lha sama Tissa saja masih manisan Tissa! Ongkos kirimnya lebih murah. Kan cuma ke Bandung.
"Aku mesti ngaku dosa nih," sambung Anita lagi. Suaranya ramah. Seramah senyumnya.
"Yang chatting sama kamu tuh aku. Sandy nggak mau balas salam perkenalanmu. Jadi aku yang gantiin dia."
Aku juga mesti ngaku dosa, sambung Bastian dalam hati. Yang chatting sama kamu tuh Barry, bukan aku! Dan dia dua kali lebih brengsek dari aku!
"Mula-mula aku sih enjoy aja. Baru kelimpungan waktu kamu minta foto. Kamu kan mau kenalan sama bule. Jadi terpaksa kukirim foto Sandy. Nyesel?"
"Nggak juga." Dapat tiket gratis ke Sydney, kenapa mesti nyesel?
"Karena aku nggak sekeren yang kamu bayangin?"
"Enaknya gudeg kan beda sama bistik."
"Pinter ngomong kamu."
Warisan Bokap. Turun temurun._
Sebenarnya tugas Bastian sudah selesai. Dia sudah menemukan Sandy. Eh, Anita. Sudah membawakan oleh-oleh biarpun akhirnya hilang semua berikut ranselnya sekalian.
Jadi sebenarnya dia bisa pulang dengan damai. Misi selesai. Tapi mengapa rasanya dia belum ingin pulang? Dia masih betah bolak balik ke flat itu. Bukan untuk bertemu dengan Anita. Justru untuk melihat Sandy. Padahal sikap gadis itu sama sekali belum berubah.
Dua kali Bastian diundang Anita makan malam di apartemennya. Anita yang masak. Lumayan juga sih. Bukan karena lebih enak dari makanan di restoran. Tapi karena tidak bayar.
Makan malam yang pertama, Sandy tidak ada di apartemennya. Yang ikut makan cuma adiknya, Cindy, yang pantang menolak rezeki. Makanan apa pun namanya, dari mana pun asalnya, selalu disikatnya tanpa malu malu. Rasanya piringnya tidak usah dicuci lagi. Sudah bersih.
Untung saja habis makan piringnya masih ada.
Cindy tidak peduli Anita ingin berdua saja dengan temannya. Tidak peduli dia tidak mengerti apa yang mereka obrolkan. Dia betah sekali di dapur. Apalagi kalau makanan di sana belum habis.
"Kita duduk di teras, yuk," ajak Anita setelah putus asa menunggu Cindy menggeser pantatnya.
"Hawanya enak." '
Bastian sih oke saja. Soalnya dia memang masih menunggu Sandy. Siapa tahu sebentar lagi dia pulang.
Dan udara malam itu memang sejuk. Tidak panas. Mereka duduk duduk di teras kecil di depan ruang tengah sambil makan kacang goreng. Dan Bastian terkejut juga ketika tahu kacang itu produksi negerinya. Rupanya ada juga yang dihasilkan negaranya kecuali utang.
Anita juga kaget ketika tahu Bastian hampir tidak tahu apa apa tentang "Sandy". Enam bulan chatting rasanya percuma saja. Tentu saja dia tidak tahu, dia chatting dengan orang lain.
"Aku ke sini lima tahun yang lalu," kata Anita tanpa ditanya. Sebenarnya Bastian tidak peduli. Yang ingin dikoreknya info tentang Sandy.
"Masuk high school. Trus ke college."
"Sandy juga udah kuliah?"
"Uni. Dia ambil Commerce."
"Di mana ortunya?"
"Di sini juga. Tapi mereka tinggal di Doonside. Kira-kira satu setengah jam dari kota. Jadi Sandy sewa apartemen supaya lebih dekat ke kampus. Cindy baru ikut setahun terakhir ini. Aku sharing sama mereka supaya lebih hemat."
"Kenal di mana?"
"Mereka pasang iklan tempel cari flatmate. Aku langsung melamar."
"Nggak takut ketemu orang gila? Maniak gitu?" _
Anita tersenyum. "Kamu kebanyakan nonton film."
"Hobi." "Besok mau nonton?"
"Kalau makan malam lagi gimana?"
"Ketagihan lasagne bikinanku?"
Kepingin ketemu Sandy. Ketagihan lihat matanya yang hijau.
Tapi di depan Anita, tentu saja jawaban Bastian beda.
"Mumpung masih di sini."
Dan harapannya terkabul. Pada makan malam yang kedua, Sandy ikut makan. Sikapnya terhadap Bastian memang sudah mendingan. Karena sekarang dia tahu, Bastian cowoknya Anita. Dan Anita sudah mengaku, dia meminjam nama Sandy.
Sandy sih cuek saja namanya dicatut. Masa bodoh amat. Sombongnya memang masih tetap selangit. Soknya tidak dapat ditawar. Barangkali memang lagaknya sudah begitu dari sananya. Angkuh sudah menjadi trademark-nya.
Tapi paling tidak, dia sudah tidak menatap Bastian, dengan matanya yang hijau seperti mata kucing itu, seperti menatap seonggok sampah yang perlu dimusnahkan.
Selama makan, Bastian selalu mencuri-curi pandang ke arah Sandy. Seakan-akan ada magnet di wajahnya.
Rasanya Bastian sudah hafal sekali bagaimana cara makannya. Bagaimana cara dia menyuapkan garpu ke mulutnya. Bagaimana gayanya menjilat bibirnya. Menyekanya dengan serbet. Bahkan menyesap anggurnya. Rasanya Bastian ingin tukar tambah bibirnya dengan cawan itu. Supaya bisa ditempelkan ke bibir Sandy yang melekuk seksi... hm.... .
Gimana rasanya, ya? Sekali sekali Sandy memang menoleh. Sekalisekali mereka beradu pandang. Mungkin dia merasa diawasi.
Setiap kali mata mereka berpapasan, Bastian mencoba tersenyum, meskipun lebih banyak gagalnya. Heran. Mengapa tersenyum saja jadi sulit seperti matematika?
Sebaliknya, Sandy tidak menampilkan perasaan apa apa di matanya. Dia cuek bebek saja. Senyumnya juga langka. Kalaupun dia tersenyum, senyumnya mahal dan tipis. Seperti piza. '
Ah, kenapa aku jadi melantur begini, gerutu Bastian dalam hati. Si tengil ini memang cewek istimewa. Cantik. Tapi angkuh. Seksi. Tapi selalu jual mahal. Ngomongnya sedikit. Senyumnya pelit.
Tapi memang di situlah letak daya tariknya. Makin langka dia tersenyum, makin besar hasrat Bastian untuk memakSanya tersenyum.
Dengan bahasa Inggrisnya yang hantam kromo, dia berjuang untuk menceritakan yang lucu-lucu dari tanah airnya. Di negerinya memang banyak kisah lucu. Dari yang benar benar lucu sampai yang tidak lucu.
Tapi yang tertawa hanya Anita, yang sering
harus menerjemahkan lagi cerita Bastian supaya yang lain mengerti. Cindy juga ikut tertawa. Malah tawanya paling keras. Tapi dia tertawa karena lucunya Bastian berbahasa Inggris. Bukan karena ceritanya. Sandy cuma tersenyum tipis. Padahal Bastian penasaran sekali ingin melihatnya tertawa!
Hari Minggu pertama Bastian di Australia. Anita mengajaknya ke Pantai Manly. Sebenarnya Agus ingin mengajaknya mengunjungi Fox Studio. Tetapi Bastian membatalkannya. Dia memutuskan ikut Anita. Tahu alasannya? Karena Sandy. Siapa lagi.
Kata Anita, Sandy ingin berselancar. Hari ini cuaca bagus. Dan menurut ramalan, ombak juga tidak terlalu mengerikan. Melihat dia mengenakan bikini hijau yang menampilkan dengan gamblang lekak lekuk tubuhnya, rasanya Bastian tidak peduli biarpun hari ini diramalkan bakal ada tsunami.
"Kamu bisa surfing, kan?" Entah dusta apa lagi yang dijejalkan Barry ke otak Anita.
"Katanya kamu jago. Sering ikut perlombaan."
"Oh, tentu," sahut Bastian, sudah kepalang basah. Dari satu dusta dia jatuh ke dusta berikutnya. Sialan. Semua gara gara Barry. Si pembual. Penipu. Pe...
"Tapi aku lagi malas hari ini."
'"Jadi kamu tidak mau ikut?" _
"Oh, tentu saja aku mau!" cetus Bastian secepat lidahnya mau digerakkan. Takut ketinggalan bajaj.
"Aku belum pernah ke Manly." Boro-bore ke Manly. Ke Kuta saja baru sekali!
"Tapi tidak mau surfing?" Anita tersenyum penuh pengertian.
Gadis yang satu ini memang cepat mengerti. Dan sangat baik hati. Heran. Kenapa Barry' tidak memilih dia saja.
Tapi... bukankah Barry memang memilihnya? Dia hanya belum tahu yang namanya Sandy itu Anita.
Anita tidak kelihatan marah walaupun pacarnya yang datang jauh jauh dari jakarta, tampaknya lebih memerhatikan Sandy. Hanya kadang kadang saja dia terlihat sedih.
Entah sudah seakrab mana hubungannya dengan Barry. Kadang kadang Anita kelepasan menyapanya "Yang". Tentu saja itu kependekan
dari Sayang. Bukan Eyang. Kalau itu sih mesti yang beruban.
Tentu saja Bastian mendengarnya. Dia kan tidak tuli. Tapi dia berlagak bodoh saja. Dia memang tidak mau pacaran dengan Anita. Dia kan pacar abangnya. Tidak boleh menginginkan milik orang lain, kan? Apalagi saudara sendiri.
Tapi alasan utamanya sebenarnya bukan itu. Dia tidak naksir Anita. Cewek yang mengaduk aduk perasaannya seperti cendol justru Sandy. Yang tidak pernah menaruh perhatian sedikit pun.
Tapi Bastian pantang menyerah. Perempuan memang diciptakan untuk dikejar. kan? Biarpun mereka bukan maling.
Jadi Bastian girang sekali ketika diperbolehkan ikut.
"Boleh aja," sahut Sandy acuh tak acuh ketika Anita menanyakan mereka boleh ikut atau tidak.
Tentu saja Bastian hepi. Seperti dapat togel. Dikiranya dia bisa menghabiskan waktu seharian bersama Sandy. Ternyata dugaannya meleset
Sandy tidak pergi sendirian. Dia dijemput
pacarnya. Dan begitu bertemu, mereka langsung berciuman. Mesra sekali. Tidak peduli di sana ada Bastian dan Anita.
Sampai kram kaki Bastian. Bukan kakinya saja. Tapi sekujur kutub selatan tubuhnya.
Rasanya mukanya panas. Seperti disiram seember kuah bakso. Untung tidak melepuh.
Anita seperti mengerti perasaannya. Dia memang seperti Mama. Selalu memahami pcrasaan Bastian. Dia meraih Bastian ke dekatnya. Dan melekatkan kepalanya ke dada Bastian. ~
Tentu saja Bastian tahu, dia minta dicium juga. Tapi sekali lagi, dia berlagak bodoh. Dosa mencium pacar kakaknya, kan? Apalagi kalau dia memang enggan mencium. Itu namanya ciuman pura-pura. Ciuman pengkhianat.
Anita memang kecewa. Tapi dia diam saja. Dikiranya Bastian masih malu-malu. Maklum Melayu. Tidak biasa ngus. ngus, cup, cup. cup. Itu kan kebudayaan negeri seberang. Eh, bukan. Itu sih diendus herder.
Hanya saja hari ini Anita jauh lebih bebas. Lebih manja. Lebih merepotkan Bastian. Ya repot dong kalau-kemana-mana minta dituntun? Memangnya dia nenek nenek?
Carl tidak keberatan Anita ikut bersama teman prianya. Dia tidak peduli. Yang diperhatikannya memang cuma Sandy. Kalau Sandy mau membawa teman, itu urusannya. Asal tidak mengganggu mereka.
Carl tidak terlalu tampan. Mukanya merah seperti udang kepalang panggang. Kulitnya cokelat terbakar matahari. Rambutnya yang kuning seperti jerami, ditata seperti landak. Matanya yang kelabu pucat, tampak _cekung mengapit tulang hidung yang tinggi besar seperti rhino.
Tidak ada yang menarik dalam dirinya, tentu saja itu pendapat Bastian yang cemburu setengah pingsan, kecuali postur tubuhnya yang mencerminkan pria idola. Ototnya bersembulan seperti mengejek Bastian.
"Carl jago surfing," komentar Anita ketika melihat bagaimana tertariknya Bastian padanya.
"Makanya badannya bagus. Kulitnya yang cokelat terbakar matahari itu juga sangat digandrungi gadis-gadis di sini."
Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Anita tidak tahu, atau dia tahu? Bastian begitu memerhatikan Carl.karena dia pacar Sandy! Bukan karena tertarik pada kejantanannva! Enak saja. Memangnya dia gay?
"Mereka sudah lama pacaran?"
Anita tersenyum. "Mana ada yang lama pacaran sama Sandy? Dia kan orangnya bosenan."
Bagus. itu berarti lampu hijau. Masih ada harapan.
Seperti Sandy, mula-mula Carl juga tidak memandang sebelah mata pada Bastian. Biasa. Warisan kolonial. Memandang enteng orang Asia.
Sandy juga begitu. Mula mula dia kan tidak mau ikut makan bersama Bastian. Katanya orang Asia itu jorok! Padahal jorok bukan monopoli Asia, kan? Orang jorok sih ada di mana-mana. Ingat saja hippies. yang rambutnya sering jadi markas besar kutu itu.
Baru ketika Cindy melaporkan betapa tertibnya cara Bastian makan, betapa bersih dan apiknya dia, Sandy mau ikut makan malam bersama mereka.
Nah, Carl juga begitu. Dia baru mulai menaruh sedikit perhatian ketika tahu Bastian pemain bulu tangkis yang andal di sekolahnya.
"Kalau dengar nama Indonesia, aku cuma ingat Bali dan badminton," katanya ketika Anita menyampaikan Bastian baru datang dari
Indonesia. Suaranya masih tetap bernada angkuh. Membuat Bastian tambah antipati.
"Apa di negerimu ada undang-undang yang mengharuskan semua penduduknya belajar main badminton?"
"Bukan undang undang." sahut Bastian tidak kalah congkaknya.
"Bakat. Di negeriku, bayi juga bisa main badminton. Nenekku saja masih sanggup mengalahkan pemain senior negaramu dalam dua set langsung!"
Cuma Anita yang tertawa. Soalnya Carl tidak mengerti.
"Apa?" tanyanya bingung.
Anita segera menerjemahkannya. Tetapi Carl tidak tertawa. Dia malah merasa kesal. '
"Dia sombong sekali," katanya kepada Sandy yang duduk di sebelahnya.
"Mungkin kompensasi. Rakyat dari negara berkembang. Yang utangnya tak habis dibayar dua generasi."
"Dia pantas untuk sombong," sahut Sandy datar. Tanpa perasaan apa-apa.
"Kata Anita, dia punya BMW seri tujuh dan Mercy SSOSL tahun terbaru. Rumahnya mirip Gedung Putih."
Bastian duduk tepat di belakang Sandy. Tapi dia tidak dapat melihat air mukanya
ketika Sandy mengucapkan kata-kata itu. Padahal Bastian ingin sekali melihatnya.
Tertarik jugakah Sandy pada materi? Cewek matre jugakah dia? Mungkinkah dia tertarik padaku karena uang ayahku... ayah Barry?
Tiba-tiba saja ada rasa pedih mengiris hati Bastian. Untuk pertama kalinya dia menyadari, ayah Barry bukan ayahnya lagi. Dia bukan Barry.
Semua ini cuma kamuflase. Dia seperti Cinderella. Malam jadi putri. Siang jadi koki. Eh, pangeran. Kalau malam jadi putri, dia mesti ngumpet di bawah jembatan dong. Takut dirazia.
Untuk pertama kalinya dia menyesali ayahnya. Mengapa memilih Barry? Karena dia anak sulung? Badannya lebih besar, mukanya lebih cakep?
Mengapa Mama yang membawanya, bukan Papa?
Tetapi ketika ingat ibunya, tiba-tiba saja Bastian merasa sedih. Ada _segurat rindu di hatinya. Dan ketika perasaan rindu itu muncul, timbul pula segores sesal karena telah berpikir seperti tadi.
Sungguh tak pantas punya pikiran seperti
itu: benarkah Barry lebih beruntung karena Papa memilihnya?
Mungkin benar Barry tidak kekurangan materi. Hartanya melimpah. Punya mobil sendiri. Rumah bagus. Uang banyak. Tapi benarkah dia tidak merindukan kasih sayang seorang ibu?
Bagaimanapun cinta seorang ayah pasti berbeda dengan cinta ibu. Walaupun dia tak pernah cerita, Bastian tahu, Barry sering kesepian kalau Papa pergi lama ke luar negeri. Apalagi dulu, waktu mereka baru berpisah.
Sebaliknya dengan Bastian. Meskipun Mama tak pernah melimpahinya dengan uang berlebihan, Mama tak pernah meninggalkannya barang sehari pun.
Bastian-lah yang selalu meninggalkannya kalau liburan. Dan ibunya tak pernah melarang.
Mama tahu sekali apa yang diinginkan remaja yang sedang meningkat dewasa. Bagaimanapun sempurnanya pelayanan ibu di rumah, seorang remaja butuh suasana segar di luar rumah. Di tengah-tengah kelompoknya.
Mama begitu penuh pengertian. Begitu lembut. Begitu sabar. Penuh kasih sayang. Ah,
seandainya orangtuanya tidak bercerai... betapa sempurnanya memiliki keduanya!
"Bas, kapan pulang?" Cuma itu yang ditanyakan Mama ketika Bastian meneleponnya dua malam yang lalu. Pura-pura ada di rumah ayahnya. Padahal dia menelepon dari telepon umum.
"Belum. Ma," sahut Bastian sambil mengingat-ingat dusta yang diajarkan Barry.
"Masih nungguin Papa pulang dari Paris."
"Kalau sudah ketemu, cepat pulang, ya? Mama sudah kangen." Pedih sekali suara ibunya. Mama pasti sudah sangat merindukannya.
"Tapi kalau kamu masih Betah di sana, nggak apa-apa, Bas. Hati-hati saja, ya. jaga dirimu baik-baik."
Mama selalu begitu. Selalu mendahulukan kesenangan Bastian.
"Bakhtiar ada? Mama sudah lama nggak ngomong sama dia. Tiar baik-baik saja, kan?"
"Baik, Ma. Tapi dia nggak ada di rumah tuh. Biasa. Ngelayap. Bete di rumah aja katanya."
Bohong lagi. Bastian tidak tahu Barry ada di rumah atau tidak. Tapi sembilan puluh persen malam-malam begini memang dia tidak ada di
rumah, kan? Dia kan kalong. jadi Bastian tidak berdusta. Lumayan. Ngentengin dosa.
"Barry," Anita meraih tangannya. Membuat Bastian hampir terlonjak seperti disengat lebah.
"Ngelamun?" Bastian tersenyum malu. "ingat rumah." "Ada yang nunggu di sana?"
"Di mana?" "Di rumahmu. Di mana lagi?"
"Ada." . "Siapa?" "ibuku." Anita tertawa lebar. Wajahnya cerah. Bastian malah seperti membaca kelegaan bersinar di parasnya. Dan tiba-tiba saja dia merasa takut.
Cintakah Anita pada Barry? Bukan berita baru lagi kalau cinta model sekarang bisa berkembang melalui Internet. Apalagi Barry pintar sekali merayu. Entah sudah berapa ratus kali dia menyatakan cinta.
Bastian tidak sampai hati mengecewakan Anita. Dia gadis yang baik. Tidak pantas disakiti.
Tapi siapa yang salah? Barry yang menyulut api itu! Bukan aku!
sekarang setelah api itu berkobar... pantaskah aku memadamkannya?
"Kita ngejus. yuk," ajak Anita setelah setengah harian mereka berpanas panasan di pantai.
"Aku tau tempat yang jusnya enak. Di Indo pasti nggak ada."
"Ya. merek itu sih emang nggak ada. Tapi banyak kok yang nggak kalah enaknya. Mungkin lima tahun yang lalu emang belon lahir."
"Kalo ingat Indo, pengin pulang juga sih."
"Nah. kenapa nggak pulang?"
"Ntar deh kalo pas libur."
Rasain lu, Bar! Cewek lu mau datang! Biar kapok lu! Siapa suruh main dobel!
"Kamu mau nemenin aku di Jakarta?" lagi lagi gaya yang itu. Manja manja menggemaskan.
Rasanya makin lama Anita makin berani. Dan nyali Bastian tambah kendor. Soalnya dia makin kewalahan membendung minat nempel Anita yang makin agresif. Salah salah dia bisa kedodoran juga.
Bagaimana kalau kecolongan? Anita kan pacar Barry.... Dan Bastian sedang ngebet sama si Sandy! Kalau Sandy tahu dia juga nempel Anita, mana dia mau bagi bagi kapling? Tapi...
siapa bilang Sandy merasa dikapling? Perhatian saja nggak ada! Dia sibuk terus sama cowoknya
"Ya mau dong." sahut Bastian terpaksa. Habis dia mesti ngomong apa lagi? Di kepala Anita, dia kan cowoknya. Mana dia tahu cowoknya ketukar?
"Kamu kok beda sih." keluh Anita akhirnya setelah mereka minum jus segelas berdua.
Bukannya pelit. Harga jus segelas besar sih cuma lima dolar. Tapi mereka kan ceritanya lagi pacaran. Jadi sok mesra. Minum segelas berdua. Untung jus. Bukan racun.
"Beda gimana?" berlagak bodoh lagi. Lama lama bisa bodoh betulan.
"Kalo chatting kamu lebih..."
"Lebih apa?" "Lebih... gimana ya, lebih... intim."
Tadinya Anita pasti mau bilang lebih mesra. Atau... lebih gombal? Namanya saja Barry. Pbyboy singkong! Pasti rayuannya berhamburan seperti sampah tercecer dari truk.
"Kamu betul betul masih mau lanjutin hubungan ldta?"
Nah, lu..Akhirnya keluar juga pertanyaan itu! Jurus yang mematikan.
Rasanya sudah saatnya Bastian berterus terang. Masa bodoh amat si Barry mencak mencak. Dia kan sudah terdesak. Harus membela diri. Memangnya salah siapa?
"Kalo kamu lebih ketarik sama Sandy... kenapa nggak mau terus terang?"
ini dia! Pertanyaan yang berbahaya!
Awas, Bas, kamu bisa terjebak! Cewek memang pintar memasang perangkap. Makanya cowok sering kejeblos. Apalagi yang kurang pengalaman seperti Bastian!
"An, rasanya aku harus buka kartu..."
"Nggak usah," potong Anita sedih. Sedih sekali. Sampai senyum lenyap dari bibirnya. Sinar hilang dari wajahnya. Wah. gelap dong.
"Aku udah tau. Nggak perlu ngomong lagi."
"Bukan tentang Sandy. Tentang yang lain."
"Hubungan kita?"
"Aku bukan Barry." .
"Apa?" Anita menatap Bastian seperti melihat ikan hiu yang tiba-tiba muncul di pantai. Sesaat dia tertegun. Sakitkah pemuda ini?
"Namaku Bastian. Barry itu abangku."
"Kamu sakit?." Anita menyentuh dahi Bastian. Tidak panas.
"Mungkin kamu kepanasan tadi di pantai. Mau minum lagi?"
"An, aku serius," cetus Bastian sambil menghela napas panjang.
"Nggak heran kalo kamu kaget. Tapi semua ini ulah Barry. Dia nggak sempat kemari. Makanya dia kirim adiknya supaya kamu nggak kecewa."
Kali ini Anita terenyak lebih lama. Ditatapnya Bastian dengan nanar. Jadi itulah sebabnya! Itu sebabnya cowok ini terasa berbeda. Bukan hanya tampangnya yang katanya tampang bintang Film itu yang beda, tapi juga sifatnya. Cara bicaranya.
"Sori, An," sambung Bastian dengan perasaan tidak enak.
"Bikin kamu kecewa. Tapi kalo kamu mau ketemu Barry asli. aku bersedia nganterin kamu. Kalo kamu mau tonjok hidungnya, aku juga bersedia ngasih bonus."
Anita tidak berkata apa-apa lagi. Tapi paras nya menyiratkan kekecewaan yang amat sangat. Kasihan. Kualat lu, Barry!
"Tadinya kukira Barry serius."
Bukan cuma kamu yang mengira begitu. Ada puluhan korban lagi. Kamu cuma yang kesekian.
Bastian meraih tangan Anita. Tapi Anita melepaskannya dengan halus. Dia memang baik. Halus. Lemah lembut. Marah tidak membuatnya iadi kasar.
"Sori, An." "Bukan salahmu."
"Salahku juga. Aku ikut terlibat. Menipu kamu."
"Sama. Aku juga menipu Barry. Dikiranya aku Sandy." Sekarang mata Anita menatapnya dengan serius.
"Kamu betul-betul naksir Sandy, kan?"
"Kamu betul-betul naksir Barry?"
"Kamu pikir masih ada harapan?"
Nggak janji. Siapa yang tahu berapa lama Barry tahan pacaran dengan kamu? Sebaik apa pun kamu.
Tidak ada barang yang awet di tangan Barry. Termasuk cewek. Dia pembosan. Waktu kecil dulu, mainannya cuma tahan seminggu. Lewat seminggu, mainan itu sudah diberikannya pada adiknya. Sampai sekarang juga begitu. Tukang loak abadi.
"Kalo dia nggak mau nemuin aku. tandanya dia nggak serius. kan?"
Serius sih. Cuma dia mau main dobel. Mau dua-duanya. Serakah!
"Mendingan kamu temuin sendiri orangnya deh. An. Aku nggak bisa komentar apa apa. Soalnya dia kan kakakku." Dan dia yang
mengongkosi aku kemari. Kalau aku ceritakan yang sesungguhnya. berkhianat dong namanya.
"Kamu sendiri gimana? Serius sama Sandy?"
"Mana bisa serius, An? Dia kan udah punya gebetan. Kelas bisnis lagi. Susah dicandak."
"Jangan kuatir. Nggak ada yang awet sama Sandy. Dia bosenan. Kamu masih punya peluang. Asal kamu sabar aja. Berapa lama lagi kamu di sini?"
"Cuma sampai minggu depan."
"Nggak bisa lebih lama lagi?"
"Aku udah masuk sekolah.'
"Nggak mau studi di sini?"
"Nggak ada biaya."
"Ngibul. Bokapmu kan kaya."
Bokapnya Barry. Nyokapku cuma guru. Boro-boro bisa ngirim aku studi di sini. Masuk PTS di Jakarta saja sulit.
"Ada apa?" desak Anita ketika dilihatnya paras Bastian meredup. Persis kayak listrik yang tegangannya mendadak turun.
"Bokap nggak setuju kamu studi di sini?"
"Nggak tau, An. Belon nanya."
"Kalo kamu serius, aku mau bantuin kamu pdkt sama Sandy."
"Betul?" mata Bastian membulat seperti bola biliar. Tentu saja lebih kecil. Kalau sebesar bola biliar sih bisa robek pelupuknya.
"Tapi kalo kamu udah jadian sama Sandy, jangan lupa sama aku, ya?"
Nggak janji. Tapi aku usahain supaya kamu juga bisa jadian sama Barry! Nggak tau berapa lama! Pokoknya udah nyicipin jadi ceweknya si playboy singkong!
"Betul kamu mau bantuin aku, An? Kamu nggak keki dikibulin?"
"Kan bukan salah kamu."
Salahku juga. Kenapa aku mau saja?
"Tapi Sandy bukan cewek gampangan."
Justru karena dia cewek sulit aku naksir dia! Karena dengan memiliki dia, aku bisa mengalahkan Barry... ah, kenapa mesti Barry lagi? Aku mau cari pacar atau piala?
"Kamu pikir aku nggak cukup komersil buat dia?"
"Kalo dia tau siapa bokap kamu..." '
"Dia cewek matre?" sambar Bastian ngeri.
"Nggak juga sih. Tapi itu salah satu modal, kan? Siapa yang nggak ketarik sama duit?"
"Termasuk kamu?"
Anita tersenyum tipis. "Ketika aku kenalan sama Barry, aku malah nggak tau bokapnya kaya."
Tetapi Bastian tidak sempat lagi mendengar jawaban itu. Matanya menangkap pemandangan yang sangat menggiurkan di bibir pantai.
Dalam bikini hijau yang merangsang. memeluk papan selancar dan melangkah di atas pasir dengan latar belakang panorama laut yang menakjubkan, Sandy muncul bak dewi laut penguasa samudra.
Tubuhnya yang seksi dibungkus kulit yang matang terbakar matahari, laksana jelmaan tubuh Lady Godiva di depan mata Bastian yang seperti kehilangan refleks kedipnya.
Untuk beberapa saat Bastian hanya melongo bengong menatap Sandy yang sedang melangkah ke arah mereka.
Anita yang merasa kata katanya tidak bersambut, malah tidak didengar, hanya tersenyum pahit melihat cara Bastian memandang Sandy.
Bastian seperti tiba tiba disihir menjadi batu. Tertegun diam dalam lamunannya sendiri.
Dia baru sadar dari pesona yang membiusnya ketika genderuwo itu tiba-tiba muncul di belakang sang dewi. Memeluknya dari belakang. Dan mencium lehernya dengan mesra.
"Kamu luar biasa hari ini, sayang," katanya kagum.
Sandy menjatuhkan papan selancarnya. Dan
Carl mengikuti tindakannya. Tetapi dia masih melanjutkan dengan tindakan yang lebih menyakitkan lagi. Dia meraih Sandy ke pelukannya. Dan mencium bibirnya dengan mesra. Sandy membalas dengan sama hangatnya. ' Bastian ingin memejamkan matanya. Ingin menutupnya untuk selama lamanya. Supaya tidak usah melihat lagi adegan yang menyakitkan itu. Tetapi suara Anita menyadarkannya kembali.
"Mau minum lagi?"
Minum melulu. Tahu nggak sih dia, apa yang diperlukannya saat ini? Seembcr air keras untuk menyiram si genderuwo!
*** Bab V AKHIRNYA Bastian memutuskan untuk pulang. Rasanya dia tidak tahan lagi mempermainkan Anita. Lebih baik dia menyerahkan tongkatnya kembali kepada Barry. Biar dia saja yang meneruskan. Dia yang punya dosa kok.
Berterus terang pada Anita memang membuat hatinya lebih lega. Tapi tidak bisa menghapus semua beban dosa. Apalagi percaya atau tidak, bukannya GR, Bastian seperti merasa Anita perlahan lahan sedang mendekatinya. Celaka. Bukannya dia bilang mau bantu pendekatan dengan Sandy? Kenapa jadi dia yang berusaha makin dekat? .
Pemburu Kepala 1 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Perintah Kesebelas 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama