Ceritasilat Novel Online

Cowok Baru 2

Fear Street Cowok Baru New Boy Bagian 2


Mengapa ia terus minta maaf.
Apakah ia minta maaf atas apa yang akan ia lakukan
terhadapku. "Kita harus berjalan ke pompa bensin," kata Ross. Ia berpaling
dan mendorong pintunya hingga terbuka. Tiupan angin malam yang
dingin menyerbu ke dalam mobil. "Pasti ada satu di dekat sini. Kita
tidak jauh dari Old Village. Kau ikut?"
Berjalan bersamanya? Menerobos hutan?
Pikiran itu membuat Janie gemetar.
Tetapi ia juga tidak ingin ditinggalkan seorang diri di mobil.
"Kau pasti berpikir aku konyol," kata Ross. Ia keluar dan
membungkuk untuk berbicara dengan Janie. "Tadi kukira masih ada
setengah tangki." Ia menggelengkan kepala. "Setidaknya sekarang
tidak hujan. Ayo, Janie. Mari kita pergi."
Janie ragu-ragu. Napasnya perlahan-lahan kembali tenang.
Ia takkan menyakiti aku, katanya pada diri sendiri. Ia benarbenar kehabisan bensin.
Aku menakut-nakuti diri sendiri. Aku gemetar seperti sehelai
daun. Aku membuat diri sendiri begitu ketakutan. Dan semua itu
hanya dalam pikiranku. Ia merasa malu. Dan bingung.
Kalau aku tidak mempercayai Ross, mengapa aku ikut pergi
bersamanya? tanyanya pada diri sendiri.
"Kau ikut?" tanya Ross tak sabar. Napasnya mengembun,
membentuk uap di depannya. Ia memasukkan tangan ke dalam saku
jaketnya. "Di depan ada satu pompa bensin Texaco yang buka sampai
larut," Janie tiba-tiba ingat. "Kurasa letaknya di balik tanjakan di
depan." "Bagus!" seru Ross. "Kita dorong. Kau mengemudi dan aku
mendorong. Semoga tempat itu masih buka."
Janie duduk di belakang kemudi. Ross tidak tahu ia baru saja
membuatku ketakutan, pikir Janie. Aku yakin ia akan kaget kalau
tahu. Kaget dan tersinggung. Aku harus mulai mempercayainya, Janie memutuskan. Aku
benar-benar menyukainya. Dan menurutku ia juga suka padaku. Aku
harus mulai mempercayainya.
************* Janie mengamati Ross dari kaca spion. Ross selesai memompa
bensin, memeriksa saku jeans baggy-nya?dan ternyata kosong. Ia
meraba saku jaket kulitnya. Juga kosong.
Di bawah sorotan lampu pompa bensin yang terang benderang,
Janie mengamati Ross mengumpat-umpat, menggeleng-geleng dengan
rambut hitamnya berkibaran diterpa angin. Ia mengitari mobil, ke sisi
Janie. Janie menurunkan kaca jendela.
"Ini memang malam sialku," gumam Ross malu. "Dompetku
pasti ketinggalan di rumah. Setidaknya itu harapanku. Bisakah aku
pinjam lima dolar?" "Tidak jadi soal," kata Janie, mengambil lima dolar dari tasnya.
Ross mengambil uang itu dan berlari ke pompa bensin.
Entah mengapa Janie tiba-tiba memikirkan Eve dan uang
taruhan itu. Ia dan Ross sudah berencana akan membagi uang
kemenangan mereka. Janie menghela napas. Bisakah aku berhenti memikirkan Eve?
Beberapa detik kemudian Ross kembali duduk di belakang
kemudi, mengikatkan sabuk pengaman, dan menyalakan mesin.
"Maaf," katanya, "tapi sebaiknya aku pulang sebentar untuk
memeriksa apakah dompetku ada di sana. Aku tidak mau ditahan?"
Ross menahan ucapannya. "Maksudku, aku tidak mau ditahan karena
mengemudi tanpa SIM." Sambil mencondongkan badan di atas
kemudi, ia mengemudi keluar dari pompa bensin.
Setelah melewati kuburan barulah Janie sadar tempat mereka
berada. "Kau tinggal di Fear Street?" tanyanya.
"Yeah," kata Ross, menoleh ke arahnya dan melihat wajah Janie
yang resah. "Mengapa aku selalu mendapatkan reaksi seperti itu bila
aku memberitahu tempat tinggalku kepada orang lain?" Ross bertanya
heran. "Ada... ada banyak... kisah tentang jalan itu," katanya sambil
mengamati rumah-rumah tua yang gelap di sepanjang jalan itu.
"Kisah apa?" "Kisah-kisah tentang pembunuhan dan hantu dan hal-hal
semacam itu," jawab Janie, menatap ke luar jendela.
"Jangan bercanda," gumam Ross. "Sudah bertahun-tahun lalu
aku tak lagi percaya tentang hantu."
Sekonyong-konyong suasana jadi lebih gelap ketika mobil itu
melewati hutan Fear Street. Janie memejamkan mata. Eve terbunuh di
sini, pikirnya. Dan betapa kagetnya ia ketika Ross menghentikan mobil. Janie
menatap ke hutan di balik jendela itu.
Ia sadar inilah tempatnya. Di sinilah aku dan Ian menemukan
tubuh Eve. "Ross?mengapa kau berhenti di sini?" ia bertanya dengan
ketakutan. "Itu rumahku," jawab Ross tak acuh. Ia menunjuk ke seberang
jalan, ke sebuah rumah mungil berbentuk persegi. Tidak ada lampu
menyala, di dalam maupun di luar.
"Tapi?tapi..." kata Janie terbata-bata. "Tepat di seberang jalan
tempat Eve..." "Aku tahu!" kata Ross tajam. "Jangan kira polisi tidak
mengajukan seribu pertanyaan kepadaku gara-gara hal itu." Ia
menggumamkan sesuatu yang tak terdengar. Kemudian ia berkata,
"Aku akan segera kembali," dan ia melompat keluar, menutup pintu di
belakangnya. Janie mengawasinya menghilang ke dalam kegelapan.
Sekarang ia seorang diri. Sendirian di Fear Street.
Tepat di seberang tempat Eve dibunuh.
Langsung saja ia mengulurkan tangan dan mengunci semua
pintu. Ia menatap ke rumah yang gelap itu, berharap Ross segera
datang. Tiba-tiba Janie melihat gerakan di jendela depan rumah.
Tirainya ditarik sedikit, memperlihatkan secercah cahaya. Seseorang
sedang mengintip keluar. Mengintipnya. Kemudian tirai itu ditarik menutup. Rumah itu kembali gelap.
Janie duduk resah di kursinya.
Di mana Ross? Mengapa ia belum datang.
Mendadak terdengar suara bergemerencing. Ia tersentak dan
memalingkan pandangan dari rumah itu, menatap keluar dari jendela
penumpang, jantungnya berdebar-debar.
Suara apa itu? Ia tidak bisa melihat apa pun. Suasananya begitu gelap. Terlalu
gelap. Apakah ada orang di luar sana?
Di sampingnya, pegangan pintu pengemudi bergemeretak.
Seseorang mencoba masuk ke dalam mobil.
Janie membuka mulut hendak menjerit, tetapi tak ada suara
yang keluar. Bab 17 Pegangan pintu itu bergemeretak lagi.
"Janie?biarkan aku masuk!"
Suara Ross. Janie mencondongkan tubuh ke arah jendela pengemudi. "Oh,
Ross! Maaf!" Ia mengangkat kuncinya. Ross menarik pintu. "Apakah aku
membuatmu takut? Kurasa tadi pintunya tak terkunci." Ia duduk dan
mengulurkan sehelai uang lima dolar kepada Janie. "Aku menemukan
dompetku. Ke mana kita sekarang?"
Janie melirik arlojinya, berusaha melihat angkanya dalam
kegelapan. "Sekarang sudah larut. Lebih baik kita makan hamburger
saja di White Castle."
"Gagasan bagus," Ross setuju, membelokkan mobil menjauh
dari trotoar. "Aku akan mengantarmu pulang pukul sepuluh. Lalu aku
pulang dan mempelajari tugas bahasa Prancis itu sekali lagi."
Ia belok ke kiri di Old Mill Road. Janie bergeser lebih dekat
padanya, tersenyum, bersyukur telah menjauhi Fear Street.
*********** Beberapa menit sebelum pukul sepuluh Ross membelokkan
mobilnya ke halaman rumah Janie. Ia mematikan mesin serta lampu.
Janie sudah hendak mengucapkan selamat malam ketika Ross
melingkarkan lengan pada pundaknya, menariknya dan menciumnya.
"Jumat malam," kata Ross. "Mau pergi nonton atau lainnya?"
Seolah tak sadar Janie langsung mengangguk.
Ross mengulurkan tangan untuk membuka pintu penumpang,
dan tiba-tiba Ross menciumnya lagi.
Ini luar biasa! pikir Janie.
Akhirnya ia terhuyung-huyung keluar dari mobil dan berlari ke
pintu depan rumahnya. Ia menutup pintu, rumahnya hampir seluruhnya gelap.
Orangtuanya tidur lebih awal malam itu.
Lampu di ruang tengah dibiarkan menyala. Janie mendekat
untuk memadamkannya, dan saat itulah ia melihat buku teks di atas
lantai. Buku bahasa Prancis Ross. Ia lupa membawanya.
Aku harus mengembalikannya, katanya dalam hati. Tadi Ross
bilang ia ingin belajar lagi malam ini.
Ia meraih kunci mobil dan bergegas ke luar.
Hujan lebat mulai turun. Angin mengembus keras seakan-akan
mencoba mendorongnya kembali ke dalam rumah.
Dikepitnya buku teks itu di bawah lengan dan ia berlari ke
mobilnya. Tapi tiba-tiba ia bergidik membayangkan harus pergi
sendirian ke Fear Street pada malam yang suram ini.
Mengapa aku melakukan hal ini? ia bertanya pada diri sendiri.
Untuk mengembalikan buku Ross? Atau untuk menemuinya
lagi? Mungkin untuk merasakan ciumannya lagi?
Kepalanya terasa ringan dan pusing ketika ia memundurkan
mobil dari jalan masuk dan melaju ke rumah Ross.
Masih dirasakannya lengan Ross melingkar di tubuhnya,
memeluknya begitu erat. Ia memacu mobil di tengah hujan, menembus kekaburan yang
ditinggalkan wiper kaca depan yang berderak-derak. Hujan sudah
agak reda ketika ia berbelok masuk ke Fear Street. Rumah Ross
terlihat di depannya. Ia berbelok ke jalan masuk berkerikil itu dan dengan mesin
mobil tetap hidup, ia melompat keluar.
Ia merunduk di bawah terpaan hujan, berlari ke serambi depan.
Rumah itu tegak dalam kegelapan. Ia menengok ke sekeliling,
mencari-cari mobil Ross, namun tak melihatnya.
Sambil menggigil kedinginan, ia menekan bel. Deringnya
terdengar sampai keluar. Ia menunggu. Suasana hening.
Angin meniupkan air hujan, membasahi rumah itu.
Janie kembali menekan bel, kali ini lebih lama.
"Ayolah, Ross. Di mana kau?" katanya keras.
Apakah ia sudah tidur? Apakah semua penghuni sudah tidur.
Mungkin sebaiknya aku pulang saja, pikir Janie sambil
menghela napas, kecewa. Ia sudah melangkah turun dari serambi rendah itu ketika
mendengar kunci pintu berdetak.
Pintu depan perlahan-lahan berkeriut terbuka. Seorang wanita
yang sudah sangat tua, rambutnya yang putih terikat erat di belakang
kepala, memicingkan mata memandang Janie.
"Hai," kata Janie, memaksakan senyum. "Ma?maaf
mengganggu Anda. Saya membawakan ini untuk Ross." Ia
mengulurkan buku teks itu.
Perempuan tua itu memicingkan mata lebih tajam. "Siapa?"
katanya parau. "Ini untuk Ross," Janie mengulangi. "Ross Gabriel?"
Perempuan tua itu menggelengkan kepala. "Ross Gabriel?
Tidak ada yang bernama Ross Gabriel di sini."
Ia membanting daun pintu di depan wajah Janie.
Bab 18 KEESOKAN harinya Janie terlambat pergi ke sekolah. Ia
hampir tidak tidur semalaman.
Ia terus berpikir mengenai rumah di Fear Street itu. Rumah
Ross. Dan perempuan tua di dalamnya yang mengatakan tidak ada
cowok bernama Ross Gabriel tinggal di sana.
Aku tidak suka misteri ini, pikir Janie sambil bergerak-gerak
gelisah di ranjangnya sepanjang malam. Ada terlalu banyak misteri
dalam hidupku sekarang. Terlalu banyak misteri yang menakutkan.
Aku akan menyelidiki Ross, tekadnya.
Ia sadar betapa ia amat tertarik pada Ross, betapa ia mulai
menyukainya. Apakah aku jatuh cinta? Terkantuk-kantuk ia bertanya pada diri
sendiri, menatap langit-langit kamar tidurnya.
Nah, sebelum aku jatuh cinta beneran, sebaiknya aku mencari
tahu siapa Ross sebenarnya.
Aku tidak bisa jatuh cinta sekaligus takut dan curiga
terhadapnya. Setiap pergantian pelajaran ia mencari-cari Ross di koridor
sekolah. Namun cowok itu sama sekali tak terlihat.
Saat istirahat makan siang ia memeriksa daftar hadir di kantor.
Nama Ross tertulis absen.
Janie bergegas ke ruang makan. Faith sedang duduk seorang
diri di meja mereka yang biasa dengan wajah murung, setumpuk kue
tersusun di hadapannya. Janie duduk di depannya. "Mana Ian dan Paul?"
Faith mengangkat bahu sambil mengernyit. Ia menawarkan kue
seraya bertanya, "Ke mana kau tadi malam? Pukul sembilan lewat
sedikit aku meneleponmu."
"Aku... uh... bersama Ross," Janie mengaku dengan enggan.
Mata biru Faith membelalak kaget. "Janie?kau dan Ross kan
tidak..." "Semua orang keliru tentang dia!" tukas Janie dengan suara
melengking. Faith memutar bola mata. "Tidak, sungguh!" Janie bersikeras. "Kau tidak adil, Faith! Tak
seorang pun bersikap adil."
Janie tidak bisa menahan diri lebih lama. Ia tidak bisa bicara
dengan Faith mengenai Ross sebab Faith dan yang lain begitu yakin
Ross membunuh Eve. Tetapi ia harus bicara kepada seseorang, dan Faith masih tetap
sahabat terbaiknya. Sambil mencondongkan badan di atas meja, dengan jantung
berdebar keras, Janie mengungkapkan perasaannya kepada Faith. Ia
bercerita tentang kejadian semalam, tentang perasaan sayangnya pada
Ross, dan betapa pada saat yang sama ia mendapati dirinya ketakutan
terhadap cowok itu.

Fear Street Cowok Baru New Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurutku memang seharusnya kau takut," Faith menyela,
matanya berapi-api memandang mata Janie.
"Hah? Apa kau bilang?" tanya Janie.
"Kau tidak kenal Ross yang sebenarnya," jawab Faith dengan
nada pahit yang mengagetkan.
Janie tidak suka cara Faith mengucapkan nama Ross, nadanya
seolah mengucapkan kutukan. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Ada beberapa hal yang aku dengar," jawab Faith penuh tekateki.
Janie menelan ludah, dan mencondongkan tubuh lebih dekat
pada Faith. "Faith? apa yang kaudengar?"
"Cuma desas-desus."
Janie mendadak merasa ngeri. "Desas-desus apa?"
Mata Faith menyipit. "Janie, dengar kataku. Jangan pergi
dengannya lagi, oke? Aku mendengar beberapa hal. Mungkin benar,
mungkin tidak. Aku akan memeriksanya. Tetapi sementara ini..."
"Faith, kau membuatku gila!" Janie berteriak, tak bisa menahan
diri. "Kau harus katakan padaku apa yang telah kau dengar."
Faith meremas bungkus kue. Ia mengerutkan kening,
menggigit-gigit bibir bawahnya sambil berpikir. "Aku harus bicara
dulu dengan cewek itu. Jordan Blye."
"Siapa?" "Namanya Jordan Blye. Kau mungkin pernah melihatnya.
Tubuhnya sangat tinggi dan rambutnya panjang pirang keperakan."
Janie terengah kaget. Ia ingat gadis itu. Ia ingat ketakutan dan
kengerian pada wajah Ross ketika melihat gadis itu di koridor.
"Ada apa dengannya?" seru Janie. "Siapa dia, Faith?"
"Jordan baru saja pindah ke sini dari New Brighton High."
"Sekolah lama Ross," gumam Janie.
"Dia tahu beberapa hal mengenai Ross," Faith meneruskan.
"Dia cerita pada Deena Martinson bahwa..."
"Hei, apa kabar?" Suara seorang cowok menyela.
Janie berpaling dan melihat Paul di belakang kursinya,
wajahnya tersenyum senang.
"Paul, dari mana saja kau?" tanya Faith.
"Kau sudah dengar tentang Ross?" tanya Paul, tak
menghiraukan pertanyaan Faith.
"Hah? Ross? Ada apa dengannya?" seru Janie.
Senyum Paul makin lebar. "Wah, kalian berdua benar-benar
ketinggalan zaman," katanya sambil menggelengkan kepala. "Seluruh
sekolah sedang membicarakan hal ini. Ross tidak masuk sekolah
sebab polisi menahannya pagi ini."
Janie menahan napas. "Menahannya? Kenapa?"
"Pembunuhan," kata Paul menyeringai.
Bab 19 JANIE merasa sekujur tubuhnya dingin. Faith, meja, ruang
makan yang penuh sesak, semua tampak kabur. Ia merasa seorang
diri, sendirian dalam ruang yang gelap dan dingin.
Pembunuhan. Pembunuhan. Pembunuhan.
Kata mengerikan itu bergema berulang-ulang dalam telinganya.
"Janie?kau tidak apa-apa?" suara Faith mengusik benaknya.
Ia mendapati dirinya kembali di dalam ruang makan, duduk di
depan meja, dikelilingi suara-suara keras, wajah-wajah yang sudah
dikenalnya. Dan ketika ia memandang ke ambang pintu, ia melihat Ross.
"Hei?dia ada di sini!" serunya kepada Faith dan Paul.
Apakah Ross melihatnya? Tidak. Tampaknya ia tidak melihatnya. Janie memandangi Ross
yang berjalan perlahan-lahan ke meja di dekat dinding seberang dan
duduk seorang diri. Tangannya disisipkan ke dalam jaket kulitnya. Ia
menumpangkan kakinya pada birai dan menatap ke luar jendela
seolah-olah ia satu-satunya pengunjung kafetaria.
"Paul?kau pembohong!" Janie menuduhnya dengan marah.
Pipi Paul yang bulat memerah. "Aku cuma menceritakan apa
yang kudengar." Kursi Janie berderit keras sewaktu ia mundur dan melompat
berdiri. "Janie?kembali!" ia mendengar Faith memanggilnya.
Namun Janie sudah berada di tengah ruangan. Ia melangkah
cepat menghampiri Ross yang tengah duduk diam dengan tampang
murung, menatap ke luar jendela. Ia tidak melihat Janie sampai Janie
meletakkan satu tangan di pundaknya.
"Hei!" Ia melonjak, tersentak dari lamunannya. Dengan kakinya
ia mendorong sebuah kursi untuk Janie.
Janie sadar banyak anak sedang menatapnya. Biarkan mereka
melihat, pikirnya. Aku tidak peduli dengan desas-desus tolol dan
gosip busuk mereka. Ia duduk di depan Ross. "Kau tidak takut terlihat bersamaku?" tanya Ross getir.
"Di mana kau pagi ini?" tanya Janie. "Di mana kau tadi malam?
Aku pergi ke rumahmu."
"Apa?" Ekspresi murung di wajahnya berubah jadi terkejut.
"Buku catatan bahasa Prancismu tertinggal di rumahku. Aku
pergi ke rumahmu untuk mengembalikannya," Janie menjelaskannya.
"Tapi sesuatu yang aneh terjadi."
Ross tidak menjawab. Ia menunggu Janie melanjutkan
ceritanya. "Seorang perempuan tua membukakan pintu. Dia bilang kau
tidak tinggal di sana. Katanya ia tidak kenal orang bernama Ross
Gabriel." Ross menggumamkan keluhan panjang tapi tetap diam.
Janie menatap lurus ke matanya, mencari jawaban, tapi tidak
menemukan petunjuk apa pun.
Akhirnya Ross menurunkan kaki dari birai jendela dan
mendekatkan tubuh ke arah Janie. "Janie," katanya pelan, begitu pelan
sehingga Janie nyaris tidak bisa mendengarnya di tengah suara dan
tawa dari meja lain, "Janie, aku akan menceritakan yang sebenarnya
kepadamu." Bab 20 JANIE merasakan hawa dingin merambati punggungnya. Ia
menoleh ke seberang ruang makan itu, dan melihat Faith dan Paul
tengah menatapnya. "Perempuan tua itu nenekku," Ross mengaku. "Ia sudah agak
pikun. Kadang-kadang ia bingung, memanggilku dengan nama ayahku
atau mengacaukan ayahku dengan adik lelakinya yang meninggal dua
puluh tahun lalu." Ia menghela napas. "Tidak mudah hidup
bersamanya." "Aku?aku mengerti," kata Janie lega.
"Itulah yang sebenarnya," kata Ross. "Kau percaya padaku?" Itu
bukan pertanyaan, melainkan tantangan. "Tak seorang pun di kota ini
percaya padaku," dengan getir ia meneruskan tanpa menunggu
jawaban Janie. "Bagaimana denganmu, Janie? Kau percaya padaku?
Atau kau juga menganggap aku pembohong?"
Janie merasa seperti tercekik. Ia marah sekaligus terluka. Ini
bukan Ross yang ia lihat tadi malam. Ini Ross yang murung dan
marah. Ross yang sama sekali berbeda.
"Apa yang terjadi?" ia bertanya dengan suara gemetar. "Di
mana kau pagi ini? Kata Paul kau ditahan."
"Apa sih maunya si Paul itu?" tanya Ross menatap marah ke
arah Paul dan Faith di seberang ruangan.
"Semua orang membicarakan kau," kata Janie.
Ia memalingkan wajah dan menatap ke luar jendela, pada langit
kelabu musim dingin. "Jadi, di mana kau sebenarnya?" Janie mendesak.
"Di kantor polisi," gumam Ross, menghindari mata Janie.
"Kau mau menceritakan hal itu kepadaku?" Janie bertanya
penuh perhatian. "Apa yang harus kuceritakan?" tukasnya. "Lagi-lagi pertanyaan
mengenai Eve. Kurasa temanmu Ian memberitahu polisi bahwa Eve
mencuri seribu dua ratus dolar uang pesta dansa itu."
"Benarkah?" Janie tak dapat menyembunyikan kekagetannya.
"Polisi mengatakan mereka memeriksa rumah Eve dan semua
miliknya, tapi tidak bisa menemukan sesen pun uang itu. Mereka
bahkan mencoba memeriksa rekening bank orangtuanya. Tetapi
ternyata rekening mereka hampir kosong!"
"Jadi sudah sewajarnya mereka curiga padaku," Ross
meneruskan dengan nada mencemooh. "Mereka ingin tahu apa saja
yang kuketahui mengenai uang itu. Tentu saja aku tidak tahu apa-apa.
Tetapi aku tahu pendapat mereka. Mereka pikir aku mengambilnya.
Mereka pikir aku..." Ross menggelengkan kepala dengan sedih.
"Bagaimana pendapatmu, Janie? Apakah menurutmu aku seorang
pencuri dan..." Pembunuh. Janie menyelesaikan kalimat itu dalam hati.
Seorang pencuri dan pembunuh.
"Tidak. Tentu saja aku tidak beranggapan begitu," jawabnya
cepat. Apakah aku yakin? Janie bertanya pada diri sendiri.
Apakah memang itu pendapatku?
"Tentu saja aku tidak berpendapat begitu," Janie mengulangi,
seolah-olah mencoba meyakinkan diri sendiri.
Ross melontarkan senyum pahit. "Terima kasih," katanya
dengan suara tertahan. Ia menghela napas. "Segalanya mulai
membebani, Janie. Kau lihat bagaimana semua orang dalam ruangan
ini menatapku ketika aku masuk tadi?"
"Aku tahu...." Janie tak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Semua desas-desus itu. Semua orang membicarakan aku.
Menuduhku," kata Ross marah. "Teman-temanmu. Faith, Paul, dan si
ceking itu?Ian?aku bisa melihat kebencian dalam wajah mereka.
Aku..." "Eve sangat populer," kata Janie pelan. "Tapi jangan khawatir
dengan teman-temanku," kata Janie. "Begitu polisi menemukan
pembunuh Eve, segalanya akan berubah."
"Yeah. Benar." Ross berkata sinis. "Kalau mereka bisa
menemukan pembunuhnya." Ia menggelengkan kepala, menghindari
tatapan Janie. "Kadang-kadang aku merasa persoalan selalu mengikuti
ke mana pun aku pergi."
"Apa maksudmu?" tanya Janie.
Ross tak menjawab. Ia kelihatan tenggelam dalam lamunannya.
Sekonyong-konyong ekspresinya menjadi cerah. "Oh.. Aku
hampir lupa!" ia menukas sambil merogoh saku jaket. "Aku punya
sesuatu untukmu." Ia mengeluarkan sesuatu berwarna biru dan mengulurkannya
kepada Janie. "Tidak!" Janie menjerit, melompat berdiri. Kursinya terguling
ke lantai, menimbulkan suara keras.
"Tidak!" Itu syal Eve. Janie langsung mengenalinya. Syal favorit Eve.
Ia pasti memakainya bersama blazer itu pada malam ia
terbunuh. Bab 21 "JANIE?ada apa?" Ross berseru, masih mengulurkan syal biru
itu padanya. "Apakah kau gila?" Janie menjerit.
Semua kepala menoleh dan tercengang melihat mereka. Janie
mendengar teriakan-teriakan kaget di sekitar ruangan.
Namun ia tidak peduli. Tanpa menoleh kiri-kanan, ia berlari ke
pintu. "Janie! Janie!" ia bisa mendengar Ross memanggilnya.
Tetapi ia terus berlari. Menaiki tangga, keluar dari pintu
belakang, memasuki hawa dingin kelabu di luar.
Ia gila, pikirnya. Ia benar-benar gila.
Sesaat setelah ia bercerita tentang kesedihannya karena semua
orang mengira ia adalah seorang pembunuh, ia melambai-lambaikan
syal sahabatku yang terbunuh itu di wajahku.
Ia gila, Janie memutuskan, napasnya terengah-engah menghirup
udara dingin, jantungnya berdebar-debar.
Ia gila dan berbahaya. Aku harus menghindar darinya. Harus.
*********** Sepanjang siang itu Janie menghindari Ross. Cowok itu
mencoba bicara dengannya di lab kimia, tetapi Janie pindah ke meja
lain di depan ruangan. Janie melihatnya bergegas menghampirinya di ruang locker
sesudah sekolah. Ia membanting pintu locker dan kabur menerobos
koridor yang penuh sesak.
Di halaman parkir siswa, ia mencari-cari Faith. Faith, di mana
kau? pikirnya sambil mengamati mobil-mobil yang meninggalkan
lapangan. Aku perlu tumpangan untuk pulang. Aku harus menyingkir
darinya?secepatnya. Ia melihat Faith di dekat pagar. Paul berdiri di sampingnya.
Mereka berdua berbicara berbarengan sambil menggerak-gerakkan
tangan dengan sikap gemas.
Janie mendekati mereka. "Hei, Faith...."
Ia berhenti ketika disadarinya mereka sedang bertengkar seru.
Dari balik sebuah mobil yang diparkir, Janie melihat Paul
meneriakkan sesuatu kepada Faith. Kemudian cowok itu melompat ke
dalam mobil, menghidupkan mesinnya dengan suara gemuruh, dan
menderu pergi. Faith, dengan wajah merah padam, bahu naik-turun, berbalik
dan berlari meninggalkan halaman parkir.
Apa yang terjadi? tanya Janie dalam hati. Ia maju beberapa
langkah hendak menyusulnya, lalu berhenti.
Faith tidak memerlukan aku sekarang, pikir Janie, ia pasti tidak
suka kalau aku ikut campur. Aku akan meneleponnya nanti, sesudah ia
tenang. Aku akan meneleponnya nanti malam. Akan kukatakan
kepadanya anggapannya benar mengenai Ross. Juga akan kuceritakan
tentang syal itu, tentang betapa gilanya Ross.
Akan kuceritakan semua kepadanya. Dan kemudian ia bisa
menceritakan tentang pertengkarannya dengan Paul.
Janie, dengan penuh harap, berniat mencurahkan isi hatinya
kepada sahabat lamanya. Sewaktu berjalan pulang, ia sama sekali tidak tahu ia takkan
pernah melihat Faith lagi.
Bab 22 Ross mencoba meneleponnya setelah makan malam. Namun
Janie meminta ibunya memberitahukan bahwa ia tidak ada di rumah.
"Siapa sih pemuda itu?" tanya ibunya, menatap curiga kepada
Janie. "Dia kedengaran sangat marah ketika kukatakan kau tidak ada
di rumah." "Cuma teman sekolah," sahut Janie. "Apakah Mom butuh
sesuatu di mall? Aku harus keluar sebentar."
********* Mall itu tampak kosong dan menekan perasaan. Mungkin itu
cuma perasaanku saja, pikir Janie.
Sesudah membeli beberapa barang yang ia butuhkan, ia


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti di Doughnut Hole untuk menengok Ian. Sudah beberapa lama
ia tidak bicara dengan cowok itu. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah
Ian sudah merasa lebih baik sekarang.
Ia menemukan Ian di belakang meja layan, sedang menyeka
mesin kopi dengan lap basah. Ian berpaling, terperanjat melihatnya.
Kacamatanya memantulkan cahaya merah jambu lampu neon
iklan di jendela. Ia tampak pucat dan letih.
"Apa kabar?" tanyanya sambil meremas lap itu. Ia memaksakan
seulas senyum. "Mau donat? Kami memberikan harga khusus untuk
donat isi jeli." "Tidak, terima kasih," kata Janie, balas tersenyum. "Aku cuma
ingin tahu bagaimana kabarmu."
Ian mengangkat pundaknya yang kurus. Ia tampak seperti bocah
kecil dengan celemek merah-putih yang kebesaran itu. "Lebih baik,
kurasa. Aku masih belum bisa tidur nyenyak."
"Oh, itu sih tak perlu kauceritakan," tandas Janie.
"Kalau pun tertidur, aku selalu bermimpi buruk," lanjut Ian.
"Mimpi yang sangat menyeramkan."
"Boleh minta tambah kopi lagi?" seorang laki-laki berseragam
kerja biru menyela dari ujung meja layan. Ia melambaikan cangkir
plastiknya kepada Ian. Ian mengambil teko kopi dan bergegas ke ujung meja layan.
"Berapa harga cruller itu?" tanya seorang gadis remaja dengan
rambut pirang tergelung tinggi di atas kepala. "Bukan itu. Yang di
sana." Ia menunjuk. Ian membungkuk ke lemari kaca untuk memeriksa harganya.
Gadis itu minta dua cruller. Ia menunjuk dua yang diinginkannya.
Ian melayani satu pembeli lain. Kemudian ia kembali pada
Janie, wajahnya mengerut letih. "Malam yang melelahkan," katanya.
"Aku bekerja satu shift di Sporting World segera seusai sekolah. Lalu
aku datang ke sini pukul enam. Kau tahu, apa makan malamku? Dua
donat cokelat." "Sangat sehat," komentar Janie, memutar bola matanya.
Ian melirik ke jam dinding. "Tinggal setengah jam lagi,"
katanya seraya mengambil lap basah tadi. "Mau makan hamburger
atau lainnya setelah aku selesai kerja?"
Janie tiba-tiba ingat ia merencanakan untuk menelepon Faith.
"Tidak, aku tidak bisa," katanya. "Aku harus menelepon Faith.
Kulihat dia dan Paul bertengkar hebat di halaman parkir sehabis
sekolah tadi." "Itu sih semua orang sudah tahu," Ian berkomentar. Ia menyisir
rambut cokelatnya yang kaku dengan satu tangan. "Menurutmu
mereka akan putus?" "Entahlah," jawab Janie. Disadarinya ia begitu tenggelam dalam
persoalannya sendiri, sehingga ia tidak banyak memikirkan Faith dan
Paul. "Nanti kucari kau di sekolah," katanya sambil berjalan pergi.
"Memangnya aku mau sembunyi!" Ian bergurau tanpa
semangat. ************ Begitu tiba di rumah, Janie bergegas ke kamar tidurnya. Ia
menarik antena telepon cordless-nya dan menekan angka yang secara
otomatis menghubungi nomor telepon Faith.
Faith mengangkatnya pada deringan pertama. "Dari mana saja
kau?" ia bertanya dengan nada kesal. "Semalaman aku
meneleponmu!" "Aku pergi ke mall," jawab Janie. "Aku mampir menemui Ian."
"Oh," kata Faith. "Bagaimana kabarnya."
"Sedikit lebih baik, kurasa. Tentu saja ia amat rindu pada Eve.
Tetapi dia begitu keras bekerja, sehingga tidak punya banyak waktu
untuk duduk-duduk dan mengasihani diri sendiri."
"Kurasa itu bagus," kata Faith serius. Ia sekonyong-konyong
mengganti pokok pembicaraan. "Dengar, Janie, aku bicara dengan
cewek yang pernah bersekolah di sekolah Ross. Kau tahu, cewek
dengan rambut pirang keperakan itu. Jordan Blye."
"Kau bicara dengannya?" tanya Janie, bersandar ke depan di
ranjangnya. "Dia menceritakan beberapa hal yang sungguh menyeramkan,"
Faith mengaku. Janie merasakan cengkeraman rasa ngeri di perutnya. Aku tidak
ingin mendengarkan, pikirnya. Tetapi aku harus mendengarnya.
"Hal-hal yang menyeramkan? Mengenai Ross?"
"Kurasa begitu," kata Faith dengan suara rendah. "Janie, ini
akan membuatmu sedih. Tetapi dia bercerita kepadaku bahwa Ross..."
Percakapan mereka disela bunyi berdetik di telepon.
"Tunggu sebentar. Itu panggilan untukku," kata Faith.
Sambungan, itu terputus. Tidak ada suara sampai sekitar satu
menit. Kemudian Faith kembali bicara. "Dengar, Janie, bisakah kau
datang ke sini? Pokoknya kau harus dengar langsung cerita tentang
Ross. Jadi, lebih baik kalau kita bertemu."
"Faith?kau bikin aku tegang saja!" protes Janie. "Apa tidak
bisa kau bilang sekarang?"
"Datanglah ke sini," Faith memohon. "Kau mau kan? Aku
sendirian di sini. Ayahku pergi ke pesta koktail dan ibuku masih di
Swiss. Dan pembantuku libur."
"Hmm... baiklah," Janie setuju. "Lalu kau bisa cerita juga
tentang pertengkaranmu dengan Paul."
Sesaat tak ada suara dari ujung sambungan. "Bagaimana kau
tahu?" Faith akhirnya bertanya.
"Aku melihat kalian di halaman parkir tadi siang," Janie
mengaku. "Sungguh hari yang menyebalkan," Faith mengeluh.
"Bergegaslah ke sini, oke?"
********** Janie mengendarai mobilnya ke North Hills, daerah orang kaya
di Shadyside, dan berbelok ke jalan masuk rumah Faith yang panjang
melingkar. Ketika berjalan menaiki lantai batu, ia terkejut melihat
pintu depan terbuka sedikit.
"Aneh," kata Janie pada diri sendiri.
Ia mendorong pintu hingga terbuka lebar. "Faith?"
Tak ada jawaban. "Faith? Pintumu terbuka!"
Masih tak ada jawaban. Dengan cemas Janie berjalan melintasi ruang duduk yang penuh
dengan perabot antik besar-besar.
"Faith? Apakah kau di ruang baca? Ini aku."
Aroma wangi kayu perapian mengambang keluar dari ruang
baca. Janie bergegas ke sana, penuh harap akan menemui sahabatnya.
Ia berhenti di ambang pintu. Di dinding seberang tampak api
berkobar-kobar dalam perapian.
"Faith?" Janie memekik ngeri ketika ia melihat sahabatnya.
Faith tergeletak telentang, mata birunya menatap kosong ke
langit-langit. Darah membasahi luka yang gelap menganga di sisi
kepalanya, mengalir membentuk sungai kecil pada rambut pirangnya.
Pengorek perapian yang terbuat dari kuningan tergeletak di
sisinya, di atas karpet putih yang basah oleh darah.
Bab 23 JANIE mencoba berteriak lagi, tetapi tak ada suara yang keluar.
Ia menekankan tangan pada wajahnya, mulutnya ternganga
lebar oleh perasaan ngeri.
Faith tahu sesuatu mengenai Ross?dan kini ia tewas, pikir
Janie. Rahasia apa yang ia ketahui? Janie bertanya-tanya. Seberapa
penting rahasia itu hingga harus ditebus dengan nyawa?
Sekujur tubuhnya gemetar. Ruangan itu mulai bergoyang
miring. Ia berjalan ke sofa kulit dan menjatuhkan diri di atasnya,
membenamkan wajah dalam tangannya.
"Faith, Faith." Nama itu terlontar begitu saja dari bibirnya.
Eh, suara apa itu? Ia mengangkat kepala dan mendengarkan.
Bunyi pintu terbuka? Langkah kaki?
"Siapa itu?" .Suaranya kecil dan lemah.
Apakah si pembunuh masih ada di dalam rumah?
"Siapa itu? Ada orang di sana?"
Tak ada jawaban. Terdengar suara berkeriut lagi.
Sambil menelan ludah, Janie melawan perasaan pusingnya dan
mengangkat telepon cordless dari meja kopi.
Dengan jari gemetar ia menekan 911.
"Halo?tolong! Teman saya?dia terbunuh!"
Suara wanita di ujung telepon lain tetap tenang. "Di mana
alamatnya? Kami akan mengirim orang ke sana dalam lima menit."
Janie berpikir keras untuk mengingat alamat Faith. Pikirannya
kosong. Akhirnya ia ingat dan terbata-bata mengucapkannya di
telepon. "Oh!" Apakah itu bunyi langkah kaki? Di koridor di luar ruang baca?
Rasa pusing melanda dirinya.
Aku akan mati. Aku tahu, aku akan mati.
Ruangan itu mulai berputar. "Kurasa pembunuh itu masih ada
dalam rumah," katanya ke telepon dengan bisikan parau. "Tolong?
tolong saya." Ruangan itu miring, membentuk sudut yang aneh.
Aku akan pingsan, pikirnya.
Dan kemudian aku akan mati.
"Cepat pergi dari sana," suara wanita itu memerintah dengan
sungguh-sungguh tapi tetap tenang. "Letakkan telepon dan tinggalkan
rumah itu. Pergilah sejauh mungkin. Petugas dalam perjalanan ke sana
sekarang juga." "Cepat. Ya Aku harus cepat," Janie mengulangi. Ia tahu ia tidak
berpikir jernih. Ia tidak yakin apakah ia sanggup berdiri.
Ruangan itu berputar. Berputar miring. Api dalam perapian
bergemuruh. Bergemuruh dalam kepalanya.
"Keluar dari rumah itu sekarang juga," suara itu kembali
memerintah dengan tegas. Janie membiarkan gagang telepon jatuh ke karpet.
Ia menarik napas dalam, mencengkeram lengan sofa.
Berdiri. Berdiri. Kau harus berdiri!
Ia mendorong tubuhnya berdiri, tak menghiraukan lututnya
yang gemetar. Satu langkah. Satu langkah lagi.
Ke ambang pintu ruang baca.
Suara langkah kaki itu mendekat.
Lari, pikirnya. Aku harus lari. Tetapi aku tidak bisa. Api dalam perapian berderak keras di belakangnya.
Bergeraklah! Bergeraklah!
Tidak bisa! Aku akan berhadapan dengannya!
Jatuh ke tangan pembunuh yang berlumur darah.
Berpikirlah dengan jernih, katanya pada diri sendiri, bersandar
di ambang jendela. Berpikirlah dengan jernih, Janie.
Tapi bagaimana? Aku akan menutup pintu ruang baca ini. Dan menguncinya.
Ya! Aku akan mengunci pintu.
Aku akan aman di dalam ruang baca ini. Aku akan aman di sini.
Ia mengulurkan tangan untuk meraih pegangan pintu.
Sesosok tubuh berdiri di depannya.
Terlambat. Janie menutup wajahnya dengan kedua tangan, melangkah
mundur, tersandung kaki sendiri, dan jatuh ke lantai.
Ketika sosok itu melangkah ke dalam ruangan, Janie ternganga
kaget. "Apa yang kaulakukan di sini?!" jeritnya.
Bab 24 "JANIE?ada apa?" Ian berseru.
Ia bergerak cepat untuk membantu Janie berdiri.
"Ian?ternyata kau," Janie merintih.
"Janie?apa yang kaulakukan di sini?"
Kemudian ia melihat Faith.
Ia berdiri kaku, tak bergerak, tak berkedip?seolah-olah
pemandangan mengerikan itu mematikan seluruh indra tubuhnya.
"Ohhh," ia mengerang, jatuh berlutut di atas karpet putih itu.
Kacamatanya terjatuh, tetapi ia tak berusaha mengambilnya.
"Aku?aku baru saja bicara dengannya di telepon," katanya.
"Aku juga," kata Janie pelan, menjatuhkan diri ke atas sofa.
"Ia bilang ia ingin menceritakan sesuatu mengenai Ross," kata
Ian. "Jadi aku?aku bergegas datang. Pintunya terbuka. Aku? aku..."
Kata-katanya berubah menjadi sedu sedan tertahan.
Ian melangkah di karpet, melewati pengorek perapian yang
berlumuran darah itu. Ia membungkuk di atas tubuh Faith untuk
mendengarkan denyut jantungnya.
"Ian, dia sudah meninggal!" teriak Janie.
Ian meraih kacamatanya, lalu berdiri goyah. "Kita harus
menelepon polisi," katanya.
"Aku sudah menelepon mereka...."
"Kita harus menelepon mereka," ia mengulangi, menatap Janie
dengan pandangan hampa. "Ian, dengar aku," kata Janie perlahan-lahan dan sungguhsungguh. "Aku sudah menelepon mereka."
"Mengapa Ross membunuhnya juga?" tanyanya tercenung.
"Ian, ayo duduklah, aku sudah menelepon mereka. Aku sudah
menelepon mereka." "Tapi kita harus menelepon polis,i" kata Ian, seluruh tubuhnya
gemetar. Janie melepaskan desah lega ketika mendengar sirene yang kian
keras, kian dekat. ************** Pemakaman diadakan beberapa hari kemudian di Shadyside
Memorial. Sekolah diliburkan pagi itu sehingga para sahabat dan
teman sekelas Faith bisa menghadiri pemakamannya.
Duduk di dekat bagian belakang kapel, Janie menatap bungabunga itu, begitu cerah dan penuh warna, begitu tidak serasi dengan
hari penuh duka itu. Di depan ia melihat ibu Faith, yang terbang dari Swiss untuk
menghadiri pemakaman putrinya, berpegangan tangan dengan ayah
Faith, bungkam dan lekat dalam kesedihan mereka.
Paul duduk beberapa deret di depan Janie. Janie melihatnya
menahan air mata. Paul benar-benar mencintainya, pikir Janie sambil menyeka
mata dengan gumpalan tisu.
Ian duduk pada deretan yang sama dengan Paul, wajahnya
pucat, lingkaran-lingkaran gelap tampak di bawah matanya.
Teman-teman Faith yang banyak jumlahnya ada di sana, diamdiam memberikan penghormatan terakhir.
Tapi Ross tak ada. Janie tak pernah melihat Ross sejak sore ketika ia mengeluarkan


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syal Eve dari saku jaket dan mengulurkannya kepadanya, seolah
tengah memberinya hadiah.
Polisi sedang mencarinya, begitu yang didengar Janie.
Demikian pula orangtuanya.
Tak seorang pun melihat Ross.
************* Bel terakhir berdering, memberi tanda berakhirnya sekolah.
Janie membuka locker dan mulai menjejalkan buku ke dalam
ranselnya. Ia berpaling dan melihat Paul berjalan tergesa-gesa ke arahnya,
seragam basket disandangnya di bahu. Ia berjalan meliuk-liuk,
menghindari anak-anak di koridor sesak itu seolah-olah menghindari
para pemain belakang lawan.
Ia melambatkan langkah ketika melihat Janie, bimbang sesaat,
lalu berhenti. Mereka belum bicara lagi sejak pemakaman Faith tiga hari yang
lalu. Memang mereka selama ini tidak pernah benar-benar akrab.
Paul menggumamkan sapaan.
Janie menanyakan kabarnya.
"Oke, kurasa," jawabnya salah tingkah.
Mereka saling tatap dengan gelisah, tak mampu berkata apa
pun. "Aku harus pergi," kata Paul, memindahkan seragam basketnya
ke bahu yang lain. "Aku juga," kata Janie. "Sampai jumpa."
Janie memandanginya berjalan menyusuri koridor menuju ke
ruang olahraga. Ia tiba-tiba ingat melihat Paul dan Faith bertengkar di
halaman parkir. Ia tidak pernah tahu apa penyebab pertengkaran itu.
Tidak jadi soal sekarang, pikirnya pahit.
Ia menaikkan ransel ke pundak dan membanting pintu locker. Ia
berjalan ke luar dengan pikiran masih tertuju pada Paul, ketika bahu
kanannya menumbuk Jordan Blye.
"Oh!" "Maaf!" "Hai. Kurasa kita belum pernah bertemu. Aku Janie Simpson."
"Aku tahu," kata Jordan sambil mengangguk kecil sehingga
rambutnya yang pirang bergoyang. "Kau sahabat baik Faith, bukan?"
Janie mengangguk. "Kau punya waktu sebentar? Aku ingin
bicara denganmu." "Mengenai Ross, kan?" tanya Jordan tanpa basa-basi.
"Ya." Sekelompok pemain basket menerobos melewati mereka
menuju ke tempat latihan. Mereka mendorong pintu ganda ruang
olahraga, suara pantulan bola terdengar sampai ke koridor.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar di taman?" Janie
mengusulkan, mendahului jalan ke pintu belakang. Shadyside Park
membentang di belakang gedung sekolah, membelah hutan menuju
Conononka River. "Hawanya tidak dingin hari ini, hampir seperti
musim semi." "Aku tidak bisa menunggu hingga musim semi," kata Jordan,
"Musim dingin ini terlalu lama dan menyebalkan."
Di luar ternyata lebih dingin dari yang diperkirakan Janie.
Angin keras berpusar di sekeliling mereka. Jordan menaikkan penutup
kepala mantel panjangnya.
Mereka berjalan melewati halaman parkir untuk para guru,
lapangan sepak bola, lapangan bisbol, berbasa-basi sedikit mengenai
sekolah dan guru mereka. Janie tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang.
"Ada apa?" kata Jordan, menengok resah dari balik bahunya.
"Cuma perasaanku saja," kata Janie. "Sepertinya ada yang
mengikuti kita." Mereka bergegas menyusuri jalan setapak ke dalam hutan. Di
atas kepala mereka cabang-cabang pohon masih gundul dan kering,
serapuh dan selemah perasaan Janie.
Sekali lagi ia menengok ke belakang. Ia tidak bisa menepiskan
perasaan bahwa ia diikuti.
Namun taman itu kosong. "Maaf, aku begini resah," kata Janie. "Cuma..."
"Kau takut pada Robert, bukan?" Jordan menyela.
"Siapa?" tanya Janie, bingung.
"Aku bercerita kepada Faith bahwa aku bersekolah di tempat
yang sama dengannya tahun lalu. Di New Brighton. Cuma waktu itu
namanya bukan Ross, melainkan Robert. Robert Kingston. Kami
memanggilnya Robby."
"Robert Kingston? Aku tidak mengerti."
"Dia ganti nama tahun ini," kata Jordan.
"Apa kau yakin kita sedang membicarakan orang yang sama?"
"Pasti," jawab Jordan. "Kau tidak akan keliru dengan pemuda
seperti Robby." "Mengapa?mengapa dia mengganti namanya?" Janie bertanya,
berhenti di jalan setapak dan berdiri menghadap Jordan.
"Aku tidak tahu pasti," jawab Jordan. "Mungkin karena pacar
lamanya di New Brighton."
Dengan heran Janie mengamati wajah Jordan. "Mengapa ia
harus ganti nama hanya karena putus dengan pacarnya?"
Jordan berhenti berkata, seolah-olah menimbang-nimbang
apakah akan melanjutkan kisahnya. Ia menarik napas panjang.
"Mereka tidak putus," katanya. "Ross membunuhnya."
Bab 25 JANIE menahan napas, rasanya seperti tercekik.
Ia duduk pada tunggul pohon, membiarkan ranselnya jatuh ke
tanah. Jordan berdiri di sebelahnya, ekspresinya muram. Penutup
kepalanya jatuh di pundaknya, tetapi ia tidak menariknya. Kini setelah
ia mulai berbicara, ia bisa bercerita lebih lancar.
"Pacar Robby bernama Karen Anders. Kurasa dia sudah
beberapa bulan berpacaran dengan Robby. Tetapi kudengar mereka
putus. Lalu Karen tewas. Terbunuh dalam hutan beberapa blok dari
New Brighton High." Janie menggelengkan kepala, menatap Jordan. "Dan Ross
ditahan?" "Tidak," balas Jordan. "Dia ditanyai. Tetapi dia punya alibi.
Polisi membiarkannya pergi. Namun semua orang di sekolah tahu
dialah pelakunya." "Mereka tahu?" tanya Janie, matanya berkunang-kunang
mendengar berita mengguncangkan itu.
"Yeah, tahu sendiri betapa cepat cerita menyebar," kata Jordan,
menyibakkan rambutnya ke belakang bahu dengan tangan terbungkus
sarung. "Semua orang tahu Robby membunuhnya. Ia berlagak sangat
terpukul. Tapi semua orang tahu dia yang melakukannya."
Awan gelap bergulung di atas. Tanah makin gelap. Pohonpohon gundul menggigil dalam embusan angin.
"Wow!" seru Janie, menggelengkan kepala. "Wow! Wow!"
Diam-diam ia berpikir: Kok bisa aku tergila-gila pada cowok
jahat ini? Kok bisa aku membiarkan seorang pembunuh menciumku?
"Kepolisian New Brighton tidak pernah memecahkan kasus
pembunuhan Karen," Jordan meneruskan. "Tapi sebenarnya siapa saja
di sekolah bisa memberitahu mereka bahwa Robby-lah pelakunya.
Robby terlibat masalah lain setelah pembunuhan itu. Ia ada dalam
mobil curian bersama sekelompok pemuda. Ia bilang ia tidak tahu
mobil itu curian. Tapi siapa yang percaya?"
Jordan menunjukkan wajah muak. "Dia memang pembuat
masalah," katanya. "Orangtuanya pindah ke Shadyside tak lama
setelah kejadian itu. Kurasa untuk memberi Robby awal kehidupan
yang baru. Kukira itu sebabnya ia ganti nama menjadi Ross. Gabriel
adalah nama ibunya sebelum menikah. Ia ingin permulaan yang baru."
"Permulaan yang hebat," kata Janie pahit. Ia terisak.
"Permulaan yang hebat. Ia datang ke sini dan membunuh dua sahabat
terbaikku." Tetesan air hujan yang dingin membasahi kening Janie. Ia
terperanjat dan melompat seolah-olah tertembak. Tetesan air hujan
berderai di atas tanah. Jordan mengulurkan tangan, memegang pundak Janie dengan
sikap menghibur. "Dia membawa kabar buruk ke mana pun dia pergi,"
katanya pelan. "Tetapi polisi akan menangkapnya, Janie. Jangan
khawatir." "Aku khawatir! Sangat khawatir. Bagaimana bila dia kembali,
Jordan? Bagaimana kalau dia kembali untuk mencari aku?"
************* Guntur bergemuruh di langit ketika Janie berjalan pulang.
Segaris kilat berkelok-kelok membelah langit yang hitam legam.
Janie membetulkan ransel di bahunya dan menundukkan kepala
dalam deraian hujan. Dingin sekali. Aku sangat kedinginan, pikirnya.
Dingin seperti kematian. Ia melintasi Park Drive dan mulai berlari. Hujan turun semakin
lebat, membentuk sungai yang mengalir di sepanjang tepi jalan.
Cahaya putih pucat membayang di jalan di depannya. Semula
Janie mengira itu cahaya kilat. Namun ketika menyorotinya,
disadarinya cahaya itu berasal dari lampu depan mobil.
Ia berhenti berlari dan menoleh, menajamkan pandangan
menembus tabir hujan. Dan melihat sebuah mobil biru menepi ke sampingnya.
Sebuah mobil biru kecil. Mobil Ross! "Tidak!" jeritnya keras, mulai berlari lagi.
Jendela mobil turun perlahan. "Mau menumpang?" terdengar
suara yang belum dikenalnya.
Janie berpaling dan melihat seorang pemuda dengan topi bisbol
hitam tersenyum lebar kepadanya.
"Mau menumpang?"
Janie mengembuskan desah lega. Ternyata bukan Ross.
Syukurlah bukan Ross. Ia bimbang. Ia ingin terhindar dari hujan badai itu. Namun ia
tidak kenal pemuda ini. "Tidak, terima kasih." Ia harus berteriak
mengatasi deru hujan. "Ayolah, Manis. Aku tidak akan menggigit," pemuda itu
meringis. "Sudah kukatakan tidak, terima kasih," Janie bersikeras.
"Sungguh. Aku tidak akan menggigit? kecuali kalau kau
menginginkannya!" Ia tertawa.
"Enyahlah!" Janie berteriak.
"Kuharap kau tenggelam!" ia berteriak marah. Jendela mobilnya
kembali menutup. Mobil itu melaju kencang, bannya menyemburkan
air hujan. Dasar brengsek, Janie memaki. Ia sadar tubuhnya gemetar.
Mengapa ada begitu banyak orang brengsek di dunia?
Ia menundukkan kepala dan kembali berlari menyusuri jalan.
Dalam benaknya terbayang kenikmatan mandi air panas.
Satu lagi kilatan halilintar disusul gemuruh guntur, membuat
tanah bergetar. Air hujan menerpa wajahnya. Ia tidak bisa melihat apa pun.
Dunia jadi kelabu dan samar. Samar, basah, dan dingin.
Tanpa sadar ia berlari tepat menuju sosok seorang pemuda di
hadapannya. Pemuda itu langsung mencengkeram lengan mantel Janie.
"Ross!" ia memekik.
Mata Ross yang hitam berapi-api menatap dengan sorot
mengancam ke dalam matanya. Ia mempererat pegangannya pada
lengan Janie. "Masuk ke mobilku," perintahnya.
Bab 26 "Ross?kau mau apa? Lepaskan aku!" teriak Janie.
Ia bergulat untuk melepaskan diri, tetapi Ross mengencangkan
cengkamannya. "Masuk ke mobil," ia mengulangi dengan gigi
terkatup. Janie melihat Civic biru itu di seberang jalan, pintu
pengemudinya terbuka, mesinnya menyala.
Ross mengucapkan sesuatu, tetapi gemuruh guntur
menenggelamkan kata-katanya.
"Tinggalkan aku sendiri! Pergi!" Janie menjerit, menatap
ketakutan wajah Ross yang tampak keras.
Bagaimana aku bisa menyukainya dulu? pikirnya dalam hati.
Bagaimana aku bisa terkecoh olehnya?
"Aku cuma mau bicara," katanya.
"Kau menyakiti aku!" teriak Janie.
Mata Ross jelalatan. Rambut hitamnya basah kuyup. Hujan
membasahi keningnya. ebukulawas.blogspot.com
"Lepaskan!" Janie mengentak, berhasil membebaskan
lengannya dan segera berlari.
Kakinya yang bersepatu kets tergelincir di trotoar basah.
Ross menangkap pinggangnya. Ia mendorong Janie ke bawah
halte bus yang terbuat dari kaca.
Hujan memukul-mukul atap halte itu dengan riuh. Ia
mendorong Janie ke dinding belakang.
"Tidak! Jangan!" Janie menjerit.
"Kau kenapa sih?" Ross bertanya, matanya liar, wajahnya
berkerut marah. "Kupikir aku bisa bicara denganmu!"
"Tidak!" teriak Janie ketakutan.
"Tingkahmu seperti orang gila sejak aku mencoba
mengembalikan syalmu!" Ross berteriak mengatasi deru hujan yang
memekakkan telinga. "Syalku?" Janie berseru. "Syalku?"
Apakah ia gila? pikir Janie.
Dan kemudian: Apakah ia cukup gila untuk membunuhku di
jalanan? Aku harus memancingnya untuk terus bicara, Janie
memutuskan. Untuk mengulur waktu. Siapa tahu ada orang yang
lewat, melihatnya menahanku di sini, dan kemudian akan
menyelamatkanku. "Dari mana saja kau?" Janie bertanya.
"Putar-putar," katanya, menekan bahu Janie ke dinding halte
bus. "Putar-putar beberapa hari. Aku tinggal di sebuah motel dekat
New Brighton. Ketika aku mendengar kabar tentang Faith aku jadi
bingung. Aku harus pergi. Aku harus mencoba mencari tahu..."
Tetapi kau membunuhnya! pikir Janie.
Tak mampu menahan kemarahannya, ia berteriak, "Mengapa
kau membunuhnya?! Mengapa?!"
Mata hitam Ross menyipit. Gelegar halilintar menenggelamkan
jawabannya. "Mengapa kau menuduh aku?" ia bertanya.
"Oh, Ross?kau memang pembohong. Aku tahu siapa kau
sebenarnya," kata Janie. "Bahkan namamu pun bukan Ross!"
Janie bisa melihat kekagetan pada wajahnya. "Kau?tahu?" ia
bertanya. "Ross, aku akan membantumu," Janie menawarkan.
"Hah?" "Kita akan telepon polisi," kata Janie. "Kita akan cari


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertolongan. Kau butuh pertolongan, Ross. Kau butuh seseorang
untuk..." "Diam!" ia menjerit. "Dan berhentilah menentangku!"
"Oke, oke," Janie menjawab sambil melangkah mundur.
Aku hanya membuatnya makin marah, pikirnya.
Ia menatap ke jalanan melalui pundak Ross. Mengapa tak ada
orang yang lewat? Tak adakah orang yang akan membantunya
membebaskan diri dari Ross?
Cahaya kilat menerangi halte itu.
"Masuk ke mobil," Ross memerintahkan.
Begitu hebat kemarahannya, pikir Janie. Kemarahan seperti
inilah yang mendorongnya membunuh Eve dan Faith.
"Tidak, Ross. Jangan!" ia memohon.
"Masuk ke mobil. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya
ingin bicara. Aku perlu bicara denganmu, Janie."
"Tidak?aku tidak bisa! Aku tidak bisa, Ross." Sekujur
tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar-debar karena panik.
"Janie?kau sungguh membuatku bingung. Aku..."
"Sampai jumpa nanti!" kata Janie.
Aku harus menyingkir darinya sekarang, pikirnya. Aku harus
pulang. "Kau akan menemui aku?" Matanya mengamati wajah Janie
dengan curiga. "Ya. Nanti," kata Janie. "Kita bisa bicara nanti."
Aku akan pulang dan menelepon polisi, katanya dalam hati.
Akan kukatakan kepada polisi tempat mereka bisa menemukannya.
Tidak mungkin aku menemuinya lagi. Tidak.
"Di mana?" Ross mendesak. "Di mana kau akan menemuiku?"
"Uh... di mall," kata Janie, pikirannya berputar. "Restoran piza.
Kau tahu. Bagaimana kalau pukul delapan? Aku akan menemuimu di
sana pukul delapan?" Kata-kata itu terlontar dari mulutnya dalam
suara yang tidak ia kenal.
Ross melepaskannya. Kemarahan tampak surut dari matanya.
"Maaf," gumamnya. "Aku tidak menyakitimu, bukan?"
Janie menggelengkan kepala.
Apakah ia membiarkan aku pergi? ia bertanya dalam hati.
Apakah siasatku bakal berhasil.
"Aku?aku bingung," katanya. "Aku sangat bingung."
Ia memang gila, Janie sadar. Sakit dan gila.
"Mari kuantar kau pulang," ia menawarkan.
Kini ia jadi dirinya yang dulu, pikir Janie, menatap tajam
padanya. Ketika kemarahan itu pergi ia menjadi orang yang sama
sekali berbeda. Seolah ada dua orang dalam satu tubuh?Robert dan
Ross. "Hujan sudah hampir reda. Aku ingin berjalan pulang."
Mata Ross menyipit curiga. "Tapi kau akan menemuiku malam
ini pukul delapan? Janji?"
"Janji," katanya.
Janie bersandar ke dinding halte bus, mengamati Ross
membanting pintu mobilnya dan berlalu.
Aku selamat, pikirnya. Aku berhasil mengusirnya.
Aku aman?untuk sementara ini.
Dengan napas terengah-engah, dan jantung masih berdebardebar, ia menyibakkan rambutnya yang basah dari kening dan
menggeser ransel di bahunya.
Ia bergegas pulang. ************ Catatan di lemari es memberitahu Janie bahwa ibunya pergi
berbelanja, lalu ia akan menjemput ayahnya di bandara. Baru akan
sampai di rumah sekitar pukul setengah tujuh. Makan malamlah
duluan, begitu yang tertulis dalam catatan itu.
Janie melemparkan ransel dan mantelnya yang basah ke lantai
dapur. Ia menghela napas, kecewa. Ia tidak ingin sendirian sekarang.
Menggigil dalam pakaiannya yang basah, ia menghampiri
telepon di dinding di samping meja layan.
Polisi akan menahan Ross, ia meyakinkan diri sendiri.
Aku akan selamat. Ia mengangkat gagang telepon.
Mati. Tidak ada nada panggil.
Ia menekan tombolnya beberapa kali.
Mati. Ini terjadi setiap kali turun hujan. Sambungannya putus karena
badai. Janie menelan ludah, mencoba meredakan panik yang mulai
menjalari dirinya. Aku seorang diri di sini, ia sadar.
Dan teleponnya mati. Betul-betul mati. *********** Pukul setengah sembilan Janie mondar-mandir dengan resah di
ruang tamu. Tirai sudah ditarik menutupi jendela depan. Semua lampu
dalam rumah menyala. Di mana Mom dan Dad? ia bertanya dalam hati.
Ia mengangkat telepon untuk yang keseribu kalinya. Masih
mati. Sambil mengeluh kesal, ia membanting kembali telepon itu.
Ross pasti ada di mall sekarang, pikirnya. Ia pasti sudah tahu
aku tidak akan datang menemuinya.
Lalu di mana Mom dan Dad?
Aku membutuhkan mereka di sini. Aku tidak ingin sendiri.
Ia melipat tangan di depan dada, berusaha menghangatkan diri.
Mandi air panas itu tidak menolong. Demikian pula pakaian kering
atau sweter tebal yang dikenakannya menutupi sweternya yang lebih
tipis. Ia berhenti mondar-mandir ketika mendengar langkah di
beranda depan. "Akhirnya!" ia berseru keras. "Kalian akhirnya pulang!"
Dengan penuh harap ia membuka pintu depan.
Senyumnya lenyap. Napasnya tertahan. "Ross!"
Ross menatapnya dengan pandangan berapi-api, wajahnya
separuh tersembunyi di bawah sorotan lampu kuning di beranda. "Apa
kau lupa janji kita?" geramnya.
"Kau tidak boleh masuk!" Janie berteriak. "Orangtuaku?
mereka tidur di atas. Kau akan membangunkan mereka!"
Janie mencoba menutup pintu, tetapi Ross mengganjalkan
sepatu pada celahnya. "Jangan khawatir," katanya dingin. "Aku bisa sangat tenang."
Bab 27 Ross memaksa masuk ke dalam rumah dan menutup pintu
dibelakangnya. Janie mundur ke ruang ramu.
"Jadi, ke mana saja kau?" ia bertanya, membuka ritsleting jaket
kulitnya seraya mendekati Janie. "Kau membuatku khawatir."
Ia mengamati wajah Janie sementara wajahnya sendiri berkerut
marah. "Dengar, Ross...." Janie mulai bicara. Matanya melirik ke
sekeliling ruangan, mencari sesuatu yang bisa dipakainya sebagai
senjata. "Tidak, kau yang harus mendengarkan," tukas Ross tajam,
memasukkan tangannya ke dalam saku jeans.
Janie melirik jam di atas perapian. Mom dan Dad, di mana sih
kalian? Cepatlah pulang! "Aku tahu bagaimana perasaanmu," kata Ross sengit. "Aku tahu
betapa takutnya kau. Aku tahu apa yang kaupikirkan. Itu yang
dipikirkan oleh semua orang. Itu sebabnya kau tidak menemuiku?
benar, kan? Benar, kan?"
"Tidak!" Janie berteriak, tak mampu menahan rasa takutnya.
"Aku?aku menunggu jemputan. Paul. Sungguh. Paul seharusnya
mengantarku ke mall. Tetapi dia terlambat karena ada urusan lain."
Ross menggelengkan kepala dengan pahit. "Kau tidak pandai
berbohong, Janie. Jadi, tak usah coba-coba."
"Aku tidak bohong!"
Ross maju beberapa langkah.
Janie kembali melirik ke jam.
Di mana kedua orangtuanya? Di mana mereka?
Ketika ia berpaling, Ross sudah mengeluarkan syal biru itu dari
jaketnya. Ia memilinnya dengan ketat di tangannya.
Janie mundur ketika Ross mendekat.
"Ross?apa yang akan kaulakukan?!" ia menjerit.
Bab 28 Ross maju selangkah lagi, mendekati Janie. Lalu dengan marah
ia melemparkan syal biru itu ke arahnya.
Janie tidak berusaha menangkapnya. Sebaliknya ia mundur
menghindarinya. "Ini syalmu!" seru Ross. "Aku?aku tidak mengerti. Apa
salahku? Mengapa syal konyol ini membuatmu benci padaku?"
Mungkinkah ia tidak tahu? tanya Janie dalam hati.
Mungkinkah ia tidak ingat telah membunuh Eve dan mengambil
syalnya? "Itu bukan syalku?!" kata Janie dengan suara gemetar. "Syal
itu..." Ia menunduk ke lantai dan tiba-tiba mengenalinya.
"Itu milikku!" ia berseru, menempelkan tangan ke pipi.
Ternyata itu bukan syal Eve, melainkan syal biru yang dipakai
Janie pada malam ketika ia dan Ross pergi ke White Castle.
"Kau meninggalkannya dalam mobilku malam itu," kata Ross
dengan suara rendah, menatap syal di lantai itu. "Jadi, kesalahan apa
yang kulakukan?" Jantung Janie berdebar-debar. Ia tahu wajahnya pasti memerah.
"Cepat katakan!" Ross mendesak.
Ia hilang kendali, pikir Janie. Aku keliru mengenai syal itu.
Tetapi tidak berarti aku keliru mengenai dirinya.
Ia menatap Ross, tak mampu menyembunyikan ketakutannya.
"Aku?aku bisa membunuhmu karena kau tidak percaya
padaku!" Ross berteriak.
Ya! Aku tahu kau bisa membunuh, pikir Janie. Apa yang akan
kulakukan? Bagaimana caraku menyelamatkan diri?
"Aku bukan pembunuh," katanya pelan, mendekat dan
membimbing Janie ke sofa. "Kau tahu tentang gadis di New Brigton
itu?" "Ya," Janie mengaku. "Aku dengar..."
"Aku tidak membunuhnya. Aku ambil jalan pintas dalam hutan.
Aku menemukannya. Itu saja. Dia sudah mati." Dengan satu tangan ia
menyibakkan rambut hitam yang menutupi kening.
Mengapa aku tidak mempercayainya? tanya Janie pada diri
sendiri. Mengapa aku yakin ia seorang pembohong?
"Lalu desas-desus menyebar," kata Ross getir. "Mereka
memburuku. Anak-anak di sekolah?mereka kejam. Aku dan
keluargaku harus pindah. Dan sekarang?dan sekarang?semua itu
terjadi lagi." Dasar penipu, pikir Janie. Apakah ia sendiri percaya pada
kebohongan yang ia ceritakan kepadaku? Apakah ia memang segila
itu? "Aku tidak membunuh Eve. Aku tidak membunuh Faith," kata
Ross, berjalan mondar-mandir dengan langkah panjang terburu-buru.
"Aku tidak membunuh mereka. Aku tidak membunuh mereka,"
katanya melantun. Ia gila. Ia gila dan berbahaya, kata Janie pada diri sendiri,
beringsut dari sofa. "Mengapa kau tidak mempercayai aku?" Ross bertanya,
menghentikan langkahnya, menghadap Janie. "Mengapa, Janie?"
Janie tak menjawab. Ia hanya balas menatap, berpikir keras,
berusaha mencari cara bagaimana meloloskan diri.
"Aku memberitahu polisi," Ross mengaku, berdiri kaku,
tangannya tegang seolah-olah siap mencengkeram Janie. "Aku
memberitahu mereka siang ini. Aku tidak membunuh siapa pun.
Mengapa mereka terus mengusikku, menanyaiku tanpa henti?"
"Kau bicara dengan polisi siang ini?"
Ia mengangguk. "Mereka tidak mau membebaskan aku. Aku
bilang aku di rumah sepupuku di Waynesbridge ketika Faith terbunuh.
Sepupuku menguatkannya."
Ia bersama sepupunya mengarang cerita untuk menyelamatkan
dirinya, pikir Janie. Polisi terpaksa melepaskannya.
Sekarang tak ada gunanya menelepon mereka, pikir Janie sedih.
"Kau takut padaku," Ross tiba-tiba menuduhnya.
Janie tidak tahu harus menjawab apa.
"Lihatlah dirimu. Kau ngeri padaku," kata Ross, menuding
Janie dengan nada mencemooh.
"Tidak! Tidak, aku tidak takut!" sangkal Janie.
Apa yang akan dilakukannya sekarang? tanya Janie pada diri
sendiri. Mengapa ia menakut-nakuti aku?
"Kau sangat ketakutan," kata Ross, senyum aneh tersungging di
bibirnya. "Ross, pergilah, oke?" Janie memohon, mencoba
mempertahankan suaranya agar tetap rendah dan mantap. "Pulanglah."
Ia melihat perasaan terluka pada mata Ross. Disusul kemarahan.
Ketika Ross membungkuk untuk memungut syal biru itu, Janie
beranjak dari sofa, berlari melewati Ross, dan menuju ke pintu depan.
"Hei!" Ross berseru marah. Ia mendengar Ross berusaha
mengejar. Janie membuka pintu, mendorong pintu luar dengan pundaknya,
dan dengan terengah-engah melompat dari tangga depan.
Malam yang dingin menyambutnya, tanah masih basah karena
hujan sore tadi. Sepatu ketsnya berdentam pada permukaan jalan masuk yang
keras. Napasnya keras menimbulkan uap.
Aku harus pergi. Harus pergi.
Janie baru tiba di pertengahan jalan masuk ketika Ross
menjegalnya dari belakang.
Ia merintih kesakitan ketika jatuh di jalan yang basah itu dan
Ross menimpanya. "Kau takkan lolos," geram Ross, napasnya terasa panas di
telinga Janie. Bab 29 "TOLONG?lepaskan aku!" Janie memohon.
Ross berguling dan cepat-cepat berdiri. Dengan napas
memburu, ia berdiri menghadap Janie.
"Kau tidak akan lepas, sampai kau bilang kenapa kau tidak
mempercayaiku." Janie bangkit dengan bertumpu pada lututnya. Air hujan dingin
yang menggenangi jalan membasahi lutut jeans-nya. Sikunya sakit
akibat benturan ketika jatuh.
"Katakan padaku, Janie," kata Ross lembut, merendahkan
suaranya. "Katakanlah padaku."
Ia tidak bisa memutuskan apakah akan marah atau bersikap
manis, pikir Janie. Ia tidak bisa memutuskan apakah akan berteriak
atau memohon. Ia begitu kacau-balau. Robert... Ross. Robert... Ross.


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku cuma tahu pasti satu hal.
Ia tidak akan melepaskan aku.
Ia gila, dan ia tidak akan membiarkan aku pergi.
Cahaya putih membutakan itu membuat Janie berteriak.
Ia menutupi belakang kepalanya, sesaat mengira Ross telah
memukulnya dan ia berkunang-kunang melihat bintang-bintang
mengelilinginya. Tetapi ketika cahaya itu bergerak melintasinya, ia sadar cahaya
itu berasal dari lampu mobil.
Lampu depan mobil. Orangtuanya akhirnya pulang, masuk ke halaman rumah.
"Ross?itu orangtuaku!" katanya. "Orangtuaku sudah tiba!"
Janie terkejut, Ross telah pergi.
************ Ketika alarm weker berdering keesokan paginya, Janie
terbangun dengan perasaan ketakutan. Ia menarik selimut menutupi
kepala, mencoba menenggelamkan suara orangtuanya yang sudah
sibuk di lantai bawah. Ia tidak ingin pergi ke sekolah pagi ini. Ia takut Ross ada di
sana, menunggunya. Ia sadar rasa takutnya kepada Ross semakin besar. Ia telah
melihatnya dalam keadaan amat marah. Ia telah melihat
kebengisannya semalam. Mengapa polisi membebaskannya? Mengapa polisi tidak bisa
melihat betapa berbahayanya Ross? Mengapa mereka selalu percaya
pada dalih dan alibinya? Aku tidak akan aman sampai Ross ditangkap, pikir Janie. Aku
tidak bisa aman sampai ia ditahan.
*************** Seperti sudah diduga, Ross datang menghampiri Janie di aula
sekolah, sesaat sebelum masuk kelas. Begitu melihatnya, Janie berlari
ke ruang ganti dan menunggu bel berdering.
Biarkan aku sendiri, Ross. Biarkan aku sendiri, ia memohon
tanpa suara. Sesudah itu ia harus lari dari ruang makan ketika Ross mencoba
bicara dengannya. Dan siangnya ia tidak mengikuti praktikum di lab
kimia, bersembunyi di dalam perpustakaan sebab ia tahu Ross akan
menunggunya di meja laboratorium.
Seusai sekolah Janie cepat-cepat memasukkan buku-bukunya ke
dalam ransel, ingin segera meninggalkan gedung itu. Ia membanting
pintu locker dan menyusuri koridor menuju pintu depan.
Dan itu dia. Ross baru saja berbelok di sudut. Matanya tertuju pada mata
Janie. Ia memakai sweter hitam dan celana denim hitam. Rambut
hitamnya terjuntai menutupi kening.
Janie berputar dengan panik. Mati-matian ia menghindari Ross.
Koridor itu mulai sepi. Beberapa anak berdiri sambil bercakapcakap di ujung lain. Seorang cewek baru saja melewati kelas
berikutnya berjongkok di lantai, memeriksa isi locker-nya.
"Janie," Ross memanggil. "Tunggu."
Janie berbalik dan bergegas ke arah lain.
"Tunggu!" Ross berseru.
Janie mendengar Ross berlari mengejarnya. Ia cepat berlari
pula. "Janie!" teriak Ross marah, terdengar begitu dekat di
belakangnya. Janie berbelok di sudut dan mendengar suara tawa.
"Paul!" ia berteriak terengah-engah.
Paul dan dua temannya dalam regu basket sedang asyik
bercakap-cakap sambil tertawa-tawa. Mereka berhenti ketika melihat
ekspresi Janie. "Hei, tunggu!" Ross menyusul Janie. Ia berhenti seketika,
matanya membelalak ketika ia melihat Paul dan dua pemuda lainnya.
"Tinggalkan dia, sobat," kata Paul seraya melangkah ke depan
Janie. Janie terengah-engah, berusaha menenangkan napasnya.
Ekspresi Ross mengeras. Janie melihat rahangnya menegang.
"Aku cuma mau bicara dengannya," kata Ross pelan.
"Tinggalkan dia," Paul mengulangi dengan sikap mengancam.
Ia bergerak cepat menghampiri Ross, dua temannya mengikuti di
belakangnya. Janie beringsut mundur ke dinding.
Ross mengangkat dua tangannya tinggi-tinggi, seolah-olah
menyerah. "Hei, aku tidak mau buat masalah," katanya seraya mundur
selangkah. "Kau adalah masalah," Paul berteriak. "Kau tahu, tidak? Aku
sudah lama ingin melakukan ini."
"Whoa!" Ross berteriak.
Janie tersentak kaget ketika Paul berteriak marah dan
mengayunkan tinjunya ke depan, mendarat keras di perut Ross.
Ross membuka mulut hendak memprotes, namun tak ada suara
yang keluar. Matanya membelalak. Wajahnya berubah ungu. Ia memegangi
perutnya dan jatuh berlutut.
"Pukul lagi, Paul," kata salah satu teman Paul.
Aku tidak tahan, pikir Janie, merasa mual. Aku sungguh tidak
tahan. Ranselnya jatuh berdebam ke lantai. Ia berlari.
Didengarnya teriakan marah cowok-cowok itu di belakangnya.
Ia berlari secepat mungkin. Keluar dari pintu. Ke halaman
parkir. Dalam sore yang kelabu, dingin, dan berhujan.
Aku tidak tahan. Aku benar-benar tidak tahan.
Ia berlari menerobos Shadyside Park di belakang sekolah,
sepatu ketsnya berdentam di tanah yang keras.
Ia berlari hingga rasa nyeri di rusuknya memaksanya berhenti.
Dengan napas terengah, ia menjatuhkan diri pada tunggul pohon di
tepi jalan, tunggul pohon yang sama tempat ia berbicara dengan
Jordan Blye yang mengungkapkan kisah mengerikan mengenai Ross.
Sambil membenamkan kepala dalam tangan, Janie tersedusedan.
Pundaknya bergerak naik-turun sewaktu ia menangis.
Menangisi Eve. Menangisi Faith.
Menangisi ketakutannya sendiri.
Harus ada cara untuk membuktikan Ross bersalah, pikirnya
sedih. Harus ada cara untuk membuktikan ia membunuh sahabatsahabatku. Teman-teman terbaikku.
Harus ada cara untuk membuktikan kepada polisi bahwa
memang dialah pelakunya. Tetapi bagaimana? Bagaimana?
Seorang diri di taman yang sunyi, Janie menangis lama-lama.
Ketika akhirnya ia berhenti dan mengangkat kepala, langit sudah
gelap. Pepohonan menjulang tinggi di atasnya, hitam pada langit yang
kelam. "Aku harus pulang," katanya, menghela napas dengan letih.
Kemudian ia ingat ranselnya. Ia menjatuhkannya di tengah
koridor. Apakah ransel itu masih ada di sana?
Setelah menyeka air mata dari wajahnya dengan kedua belah
tangan, ia bergegas kembali ke sekolah. Apakah pintu belakang masih
terbuka? Ya. Janie menyelinap tanpa suara ke dalam gedung dan menuju ke
bagian depan gedung. Ia tidak melihat ranselnya. Tas itu tidak ada di
tempat ia meninggalkannya. Mungkin seseorang sudah membawanya
ke kantor. Ia berbelok di sudut yang menuju ke koridor depan dan
mendadak mendengar suara-suara. Pintu kantor kepala sekolah
membuka. Ross melangkah keluar, kepalanya tertunduk. Mr. Hernandez
menekankan sebelah tangannya yang kuat pada pundaknya. Wajah
sang kepala sekolah menunjukkan ekspresi keras sewaktu ia berbicara
pada Ross. "Oh!" Janie menahan napas.
Apakah Ross sudah melihatnya.
Tikaman rasa panik membuat Janie diam membeku sesaat.
Kemudian ia menyelinap ke pintu terdekat dan menutupnya.
Gelap total. Ini bukan kelas, Janie langsung sadar, jantungnya berdebardebar. Ia telah melompat ke dalam lemari sempit.
Dalam kegelapan ia memejamkan mata, menekankan tangannya
pada pintu lemari dan mendengarkan suara-suara langkah. Beberapa
detik kemudian didengarnya Ross dan Mr. Hernandez lewat.
"Kami tidak bisa mentolerir kekerasan macam apa pun," kata
Mr. Hernandez. Konyol sekali, pikir Janie getir. Di dunia macam apakah kau
hidup, Mr. Hernandez? Ross sudah membunuh tiga cewek!
Dengan napas tertahan, ia bergeser lebih jauh ke belakang
lemari sewaktu mereka lewat.
Sesuatu menggesek lehernya.
Sesuatu yang dingin. Dan mati. Janie merasakan rambut yang lembap pada wajahnya.
Ia menutupkan satu tangan pada mulutnya agar tidak berteriak.
Namun ia tahu ia tidak bisa lama-lama menahan jeritannya.
Ada orang lain di dalam lemari yang gelap ini.
Bab 30 DADA Janie serasa akan meledak. Ia tidak bisa menahan
jeritannya lebih lama lagi.
Aku harus keluar dari sini, pikirnya. Harus keluar!
Ia berupaya menepis perasaan paniknya, meraih gagang pintu
dan mendorong. Pintu itu tak mau terbuka.
Tanpa sadar ia mengerang ketakutan.
Rambut itu kembali menyapu wajahnya.
Ia mendorong pintu. Lagi dan lagi.
"Keluarkan aku dari sini! Tolong?keluarkan aku!" Ia mencoba
berteriak, tetapi rasa takut membungkam suaranya.
Apakah pintu ini macet? Apakah ia terkunci di dalam?
Terkunci bersama sesosok mayat?
Dengan teriakan putus asa, ia menumbukkan pundak pada
pintu?dan pintu itu pun terbuka.
Ia terhuyung ke koridor. Alat pengepel terguling keluar menyusulnya.
Ia ternganga kaget. Sebuah pengepel besar yang basah.
Bukan mayat, cuma pengepel lantai.
"Inilah yang telah dilakukan Ross terhadapku," gumamnya pada
diri sendiri, menenangkan napasnya. "Ia begitu sering menakut-nakuti
aku sampai aku membayangkan mayat ke mana pun aku pergi."
Sekujur tubuhnya gemetar.
Aku tidak akan pernah tenang lagi, pikirnya. Tidak pernah.
Masih dengan napas memburu, ia mengambil ranselnya dari
dalam kantor dan bergegas pulang.
Telepon berdering tak lama setelah Janie memasuki pintu
rumah. Ia melirik jam di dapur?hampir pukul lima.
Di manakah Mom dan Dad? ia bertanya dalam hati. Masih
bekerja, kurasa. Ia mengangkat gagang telepon di dapur. "Halo?"
"Janie, ini aku. Ian." Ian terdengar tegang, napasnya terengahengah.
"Ian?hai. Ada apa?" Janie bertanya sambil mengambil
sekaleng Coke dari lemari es.
"Janie?aku sudah menemukan bukti," kata Ian. "Sungguh. Aku
sudah menemukan bukti."
"Hah?" Janie kebingungan.
"Aku akan segera ke rumahmu," kata Ian. "Aku akan
membawamu ke sana. Akan kuperlihatkan kepadamu. Oke, Janie?
Kemudian kita berdua bisa membawanya pada polisi. Oke?"
"Ian, pelan-pelan!" Janie berseru. "Membawa apa ke polisi?"
"Bukti yang telah aku temukan," jawabnya terengah-engah.
"Bukti? Bukti apa? Apa yang kaubicarakan, Ian? Ada apa sih?
Kau kedengaran aneh sekali?"
"Bukti bahwa Ross membunuh Eve dan Faith," kata Ian.
Bab 31 SEPULUH menit kemudian mobil kuning Ian masuk ke
halaman rumahnya. Janie buru-buru menulis secarik catatan untuk
orangtuanya, memberitahukan ia akan kembali beberapa menit lagi.
Lalu ia bergegas keluar menemui Ian.
"Ian?apa yang kautemukan?" ia bertanya tak sabar, masuk ke
dalam mobil. Mata Ian yang kelabu berbinar-binar di balik kacamatanya. Ia
memakai sweter tebal biru tua dan denimnya yang pudar. Sweter
berwarna gelap itu membuat wajahnya tampak lebih pucat daripada
biasa. Ia melontarkan senyum gembira kepada Janie. "Tunggu sampai
kita tiba di sana," katanya pelan. "Aku ingin kau melihatnya sendiri."
"Betul kau punya bukti?" tanya Janie.
Ian mengangguk, memundurkan mobilnya untuk keluar dari
jalan masuk. "Sungguh, aku punya."
"Nah, di mana?" tanya Janie tak sabar. "Ayolah, Ian. Apa yang
kautemukan? Di mana barangnya? Ke mana kita pergi?"
Ian mengangkat satu jari ke bibirnya, memberi tanda pada Janie
agar diam. "Aku ingin kau melihatnya sendiri," ia bersikeras.
"Aku tidak mengerti kenapa kau bersikap misterius begini,"
Janie mengeluh. "Ini bukan main-main, Ian. Kalau kau bisa
membuktikan bahwa Ross adalah pembunuh..."
"Jangan khawatir. Aku punya bukti," Ian menyela. Kedua
tangannya mencengkeram kemudi. Ia mencondongkan badan ke
depan, seolah-olah sudah tak sabar untuk pergi ke tujuannya. "Kita
sudah hampir sampai, Janie."
Ia berbelok ke Fear Street.
"Kita?kita akan pergi ke rumah Ross?" Janie berseru.
Ian menggelengkan kepala. "Tidak. Tidak ke rumahnya. Tepat
di seberangnya." Rumah mungil Ross yang seperti kotak itu terlihat di sebelah
kiri. Hutan Fear Street terbentang di seberangnya.
"Maksudmu?di hutan itu? Tempat kita menemukan Eve?"
tanya Janie, tak mampu menyembunyikan ketakutannya.
Ian mengangguk, ekspresinya serius. Ia membelokkan mobil ke
rerumputan mati, memasukkan gigi untuk parkir, dan mematikan
mesin serta lampu-lampunya.
"Di sinilah kita menemukannya," kata Janie lemas, berbagai
bayangan mengerikan terlintas dalam benaknya ketika ia menatap
pepohonan dari balik jendela mobil.
"Ya," kata Ian, meraih pegangan pintu.
"Apa yang kautemukan di sini, Ian?" Janie mendesak. "Bukti
apa? Apakah Ross meninggalkan sesuatu di sini?"
"Kau akan melihatnya. Ikuti aku," jawab Ian dengan sikap
misterius. Janie dengan patuh keluar dari mobil. Saat itu belum lagi pukul
enam, tetapi langit sudah sehitam tengah malam. Bulan dan bintang
tersembunyi di balik selimut awan tebal. Udara dingin tapi tak
berangin. Tidak ada gerak apa pun di hutan itu.
Ia mengikuti Ian ke arah pepohonan, menuju tempat mereka
menemukan tubuh Eve yang tak bernyawa. "Ian, di mana? Di sini?"


Fear Street Cowok Baru New Boy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Janie, merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya.
Aku tidak pernah mau datang lagi ke sini, pikirnya muram. Aku
tidak pernah mau berdiri di tempat mengerikan ini lagi.
"Ian?katakanlah padaku!" teriaknya. "Tempat ini begini gelap.
Bagaimana kita bisa melihat?"
Ian menjentikkan jari. "Oh. Maaf. Aku meninggalkan sesuatu di
mobil," katanya kepada Janie sambil menggelengkan kepala. "Jangan
bergerak." "Ja-jangan khawatir!" kata Janie terbata-bata. "Cepatlah
kembali, oke?" Ian menghilang dalam kegelapan. Beberapa detik kemudian
Janie mendengar tutup bagasi mobil dibanting. Lalu ia melihat Ian
berjalan perlahan-lahan kembali kepadanya, membentuk sosok hitam
berlatar belakang langit yang gelap.
"Ian?mana senternya?" Janie bertanya, tubuhnya menggigil.
"Tidak ada senter," kata Ian pelan. "Aku membawa bukti itu."
Benda apa yang Ian pegang?
Tongkat pemukul bisbol? "Ian?untuk apa itu?" Janie bertanya bingung.
"Inilah buktinya," jawab Ian datar. Ia menggenggam tongkat
pemukul itu dengan dua tangan dan mengayunkannya, memaksa Janie
melangkah mundur jauh ke belakang.
"Ada darah kering pada tongkat ini, Janie," kata Ian pelan.
"Darah Eve. Ini buktinya, kau lihat? Ini membuktikan siapa yang
membunuhnya." "Aku?aku tidak mengerti," Janie berteriak, mundur lagi ke
belakang. "Siapa..."
"Aku yang melakukannya!" Ian berseru. "Aku yang
membunuhnya! Ini buktinya!"
Bab 32 "IAN?apa kau bilang?" Janie bertanya dengan suara gemetar.
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Itu benar," jawab Ian, mengangkat tongkat pemukul. "Inilah
buktinya." Bahkan dalam kegelapan Janie bisa melihat senyum aneh,
senyum tak wajar pada wajah Ian. "Kau?kau membunuh Faith juga?"
katanya terbata-bata. "Aku terpaksa," jawabnya tenang. "Kau sebaiknya tahu, Janie,"
nada suaranya berubah bengis. "Kau sedang bicara di telepon dengan
Faith ketika aku menelepon. Kau bercakap-cakap dengannya malam
itu. Dia menceritakan semua hal tentang aku kepadamu."
"Hah? Bukan begitu!" Janie berseru.
"Ya, memang begitu," kata Ian pelan, maju selangkah
mendekatinya. "Dia menceritakan segalanya, bukan? Tentang Eve dan
uang pesta dansa itu? Faith tahu tentang uang itu, dan dia
menceritakannya kepadamu, bukan?"
"Tidak! Tidak!" jerit Janie, merasakan gelombang ketakutan
bergulung meliputi tubuhnya. "Kami tidak membicarakan dirimu."
"Kau membicarakannya, Janie. Jadi aku harus cepat-cepat ke
rumah Faith sebelum kau sampai di sana. Tapi kau sudah tahu terlalu
banyak, bukan?" "Ian, berhenti!" Janie berteriak. "Aku dan Faith tidak
membicarakan kau atau uang pesta dansa itu. Sedikit pun aku tidak
percaya Eve mencuri uang itu. Aku..."
"Tetapi itulah yang dilakukannya!" Ian berteriak, suaranya
bertambah tinggi. "Kau percaya, Janie? Eve yang jujur! Gadis paling
jujur di kota ini?dia mencuri uang itu, Janie. Dan tahukah kau apa
sebabnya? Dia mencurinya untukku! Dia mencurinya untukku sebab
aku membutuhkannya untuk masuk college."
"Dan?dan kau membunuhnya?" Janie menjerit. Kata-kata Ian
yang mengerikan tenggelam ke dalam pikirannya. "Mengapa, Ian?!
Mengapa?!" "Memang Eve terlalu jujur," Ian menggumam. "Dia langsung
bimbang. Dia bilang kami harus mengembalikan uang itu. Dia bilang
kami harus mengaku dan mengembalikannya." Ia terisak marah. "Aku
tidak bisa melakukan itu, Janie. Aku bekerja terlalu keras. Aku tidak
bisa mendapatkan pekerjaan lain lagi sesudah sekolah. Aku tidak bisa
mengembalikan uang itu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Ia maju selangkah ke arah Janie, tongkat pemukul bisbol itu
tegak dalam kedua belah tangannya. "Seusai kerja aku pergi ke rumah
Eve untuk bicara dengannya. Aku membawa tongkat pemukul ini.
Kubawa dari Sporting World, toko tempat aku bekerja. Sebenarnya
aku akan memberikannya kepada Marky, adiknya. Tetapi Eve tidak
ada di rumah. Marky memberitahuku Eve pergi berkencan. Aku?aku
tidak bisa mempercayainya."
"Oh. Dengar, Ian...." Janie berseru.
"Diam!" ia berteriak melengking. "Eve keluar malam itu.
Bersama Ross. Itu benar. Aku sangat terluka. Hatiku hancur. Aku
tidak layak dikhianati seperti itu. Aku bekerja terlalu keras. Terlalu
keras. Aku menunggu. Aku mengintai Ross dan Eve di dalam
mobilnya. Aku melihat mereka berciuman. Begitu Ross berlalu aku
memanggil Eve dari teras depan. Aku masih memegang tongkat
pemukul ini. Aku tidak bermaksud membunuhnya, Janie. Tetapi aku
begitu marah. Aku merasa begitu... dikhianati."
Ian terisak sedih. "Sesudah membunuhnya, aku membawa
mayatnya ke hutan ini. Tepat di seberang rumah Ross. Aku tidak
mampu berpikir jernih. Otakku kacau-balau. Tapi aku tahu aku bisa
membuat semua orang berpikir Ross-lah yang melakukannya. Aku
tahu hidupku bisa kembali normal."
"Dan keesokan paginya kau sengaja membawaku ke sini supaya
kita bisa sama-sama menemukan tubuh Eve?" Janie bertanya dengan
suara gemetar. Ian mengangguk. "Jadi?Eve mati. Dan Faith juga," katanya,
mengusapkan satu tangan pada rambutnya yang kaku.
Ia mengangkat tongkat itu dengan kedua tangan dan
menariknya ke belakang. "Dan sekarang giliranmu, Janie," katanya pelan. "Aku
menyesal. Aku benar-benar menyesal. Tetapi aku sudah begitu keras
bekerja, begitu keras. Aku akan masuk college musim gugur ini. Aku
layak mendapatkannya."
"Ian?jangan! Tolong!" Janie memohon.
"Aku berhak mendapatkannya, Janie," katanya, siap
mengayunkan tongkat bisbol itu. "Aku tidak bisa membiarkanmu
menghancurkan diriku."
"Tetapi, Ian..." Janie menggumam, melangkah mundur. "Kau
tidak akan membunuhku. Tidak! Ross ada di belakangmu." Janie
menunjuk lemah ke belakang bahu Ian.
Ian menggeram sinis. "Yang betul saja, Janie. Kau bisa
mengarang cerita lebih baik dari itu."
"Berbaliklah, Ian," Janie mendesak. "Ross tepat berada di
belakangmu." "Kau pikir aku tolol?" Ian berteriak marah.
"Jatuhkan tongkat itu, Ian," kata Ross. Bahkan dalam kegelapan
Janie bisa melihat ketegangan pada wajah Ross.
"Kau!" Ian berteriak kaget sambil memutar kepalanya.
Dengan teriakan marah ia menarik tongkat itu ke belakang, lalu
mengayunkannya sekuat tenaga ke kepala Ross.
Janie memejamkan mata. Ia mendengar suara berderak yang membuatnya mual ketika
tongkat bisbol itu mengenai sasarannya.
Ia mendengar rintih kesakitan Ross, bercampur kaget.
Ketika ia membuka mata, Ross sudah tergeletak di tanah, Ian
menghampirinya, tongkat pemukul itu masih digenggamnya dengan
kedua tangan. Bab 33 Ian sekali lagi menarik tongkat pemukul itu ke belakang bahu,
bersiap mengayunkannya. Janie mundur selangkah ke belakang, hampir tersandung akar
pohon yang setengah terpendam. Di balik tubuh Ian ia melihat Ross
terbujur tak bergerak. "Ian?kau membunuh semua temanku!" Janie menjerit.
"Semua!" Ian mengayunkan tongkat itu.
Terdorong oleh kemarahan yang tak pernah dirasakannya
sebelumnya, Janie menunduk menghindari ayunan tongkat, lalu
melompat menerjang Ian. Dengan menggeram, ia mencengkeram pundak Ian,
memutarnya, dan mendorongnya ke tanah.
Ini untuk Eve, pikirnya. Ini untuk Faith. Ini untuk Ross.
Ia merebut tongkat itu dan menindih Ian.
Sementara Ian bergulat untuk berdiri, Janie terus menekannya
ke bawah, tongkat pemukul itu ditekankan ke tenggorokannya.
"Aku?aku tidak bisa bernapas!" Ian terengah.
Janie menekan dengan segenap tenaga, penuh kemarahan.
Menekan. Menekan dan menahannya, mencekik Ian, menahannya di
bawah, di tanah. Untuk Eve. Untuk Faith. Untuk Ross.
Janie terkejut ketika mendengar rintihan keras kesakitan.
Masih menahan Ian di tanah, ia melihat Ross perlahan-lahan
bangkit. "Ross?kau masih hidup!" seru Janie gembira.
"Benarkah?" ia bertanya, kedengaran bingung. Ia berdiri,
menggosok-gosok bahunya dengan satu tangan.
"Bantu aku," Janie meminta. "Aku tidak bisa menahannya lebih
lama." Ross berjalan dengan langkah berat menghampiri dan duduk di
atas dada Ian. Ian mengeluh tak berdaya, tertindih di atas tanah.
Janie menyandarkan kepala ke pundak Ross. "Aku?aku
mendengar suara berderak. Kupikir Ian memukul kepalamu.
Kupikir..." "Dia terlalu tegang memegang tongkat itu," kata Ross.
"Pundakku yang kena." Ia berpaling menatap Ian. "Reaksi yang bagus,
tetapi pukulanmu jelek. Kau tidak sering main bisbol, kan?"
Ian menggeram marah. "Ross, bagaimana kau tahu kami ada di sini?" tanya Janie.
"Aku putar-putar dengan mobil, mencoba menjernihkan
pikiran," katanya. "Aku baru saja pulang ketika kulihat kau dan Ian
masuk ke dalam hutan. Aku harus tahu apa yang terjadi. Jadi aku
mengikuti kalian." "Aku?aku sangat senang," kata Janie.
Ross tersenyum, pertama kalinya Janie melihatnya tersenyum.
Senyumnya manis, pikir Janie.
"Kau benar-benar pintar melarikan diri dariku," katanya. "Coba
lihat secepat apa kau bisa berlari ke rumahku dan menelepon polisi."
"Oke." Janie melompat, melemparkan tongkat bisbol itu ke
tanah. Kemudian ia mulai berlari ke jalanan. Baru setengah jalan, ia
berhenti dan berbalik. "Hei, Ross?aku tidak akan lari lagi!" serunya.
Lalu ia bergegas menyeberangi Fear Street untuk menelepon
polisi dan mengakhiri segala kengerian ini.END
Pendekar Yang Berbudi 5 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Warisan Berdarah 5

Cari Blog Ini