Ceritasilat Novel Online

Dalam Kegelapan 2

Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark Bagian 2


"Ini lelucon, bukan?" bisiknya kepada teman-temannya. "Ada yang bermain-main?"
"Ssh!" bisik Jonathan. "Ini sungguh-sungguh. Dia mengenakan topeng dan membawa pistol. Diamlah!"
"Kuminta semuanya tenang dan mematuhi perintahku," kata perampok tersebut. "Dengan begitu tidak ada yang terluka."
Ia kembali berbicara. "Kau, yang di sana. Pelayan! Kosongkan mesin kasirnya. Letakkan uangnya dalam kantong dan bawa kemari.
Cepat!" Paulette mendengar seseorang bergegas ke kasir. Mesin
kasirnya berbunyi "bip" dan lacinya membuka. Sesaat kemudian Paulette bisa mendengar suara uang dimasukkan ke dalam kantong.
"Sulit dipercaya," kata Cindy sambil mengerang.
"Diam!" teriak orang tersebut. "Sekarang, kalian yang lainnya.
Letakkan semua isi kantung kalian di meja. Tanggalkan arloji dan perhiasan kalian. Sekarang!"
Paulette duduk tidak bergerak, tertegun. Ia mendengar suara kemerisik saat semua orang membuka ransel dan buku sakunya.
Sejenak suara paling keras yang didengarnya adalah suara perhiasan dan uang diletakkan di atas meja Formika.
Ia merasa Jonathan menggeliat sewaktu mencabut dompetnya dan meletakkannya di meja. Di seberang mereka, Cindy mendengus.
Paulette mendengarnya membuka risleting ranselnya dan
mengosongkan isinya. "Ayo!" tuntut perampok tersebut. "Cepat! Kalian semua!"
"Paulette!" bisik Jonathan. "Kau juga!"
Dengan tangan gemetar, Paulette menanggalkan antingantingnya. Ia menanggalkan arloji Braille-nya dan meletakkannya di meja.
Lalu ia mulai meraba-raba mencari ranselnya. Ransel tersebut jatuh dari kursi di sebelahnya dan ada di bawah meja.
"Cepat!" teriak perampok tersebut. "Aku tidak punya banyak waktu!"
Paulette membungkuk dan mencari-cari ranselnya di bawah
meja. "Kau!" teriak perampok tersebut. "Gadis berambut panjang itu!
Apa-apaan kau?" "Paulette!" bisik Cindy. "Maksudnya kau!"
Paulette meraba-raba lantai. "Aku mencari ranselku!" jeritnya.
"Kau tidak perlu merangkak ke bawah meja!" teriak perampok tersebut. "Lihat saja."
Paulette terus meraba-raba. Di mana ransel itu? Perampok tersebut pasti marah kalau ia tidak menemukannya.
"Cepat!" teriak perampok tersebut padanya.
"Dia tidak bisa melihatnya!" seru Jonathan. "Dia buta!"
Paulette mendengar Jonathan bangkit berdiri.
"Apa-apaan kau? Duduk!" teriak perampok tersebut.
"Aku cuma mau menjelaskan..." kata Jonathan.
"Tutup mulut," sela perampok tersebut.
Tangan Paulette menyentuh salah satu tali ranselnya. Ia
mendengar ceklikan keras. Lalu ledakan yang memekakkan menyerbu telinganya.
Jonathan menjerit dan jatuh menimpa dirinya.
Telinga Paulette berdering. Ia mendengar Cindy menjerit
melengking. Tapi suara temannya tersebut terdengar begitu pelan.
Begitu jauh. "Dia menembaknya!" jerit Cindy. "Dia menembak Jonathan."
BAB 14 TUBUH Jonathan tergeletak di atas Paulette, menjepitnya ke bagian belakang kursi.
"Kau menembaknya!" teriak seseorang.
Jonathan tewas! pikir Paulette.
Ia membebaskan satu tangan dan menyentuh wajah temannya.
Butiran-butiran keringat dingin menutupi kening Jonathan.
"Dia masih bernapas?" tanya Cindy.
"Entahlah," jawab Paulette. Ia meletakkan jarinya di depan bibir Jonathan. Tidak ada apa-apa.
"Akan kutembak kalian semua kalau tidak mematuhi
perintahku!" kata perampok itu. "Kau---gadis berbaju merah! Bawa ransel ini. Masukkan semua benda berharga di meja ke dalamnya!"
perintahnya. "Aku?" tanya seorang gadis dengan suara gemetar. Paulette mengenali suara Ann Johnson. Gadis pemalu yang sekelas dengannya dalam pelajaran Bahasa Spanyol.
"Ya, kau!" salak perampok tersebut. "Cepat!"
Paulette mendekatkan jarinya ke bibir
Jonathan. Ia merasakan embusan angin yang pelan di kulitnya.
"Dia masih bernapas," bisiknya kepada Cindy.
Jonathan mengerang pelan. Paulette memeluknya. "Kau tertembak di bagian mana?"
Jonathan tidak menjawab. Paulette merasakan sesuatu yang hangat dan basah pada lengannya. Darah. Darah Jonathan.
"Cepat!" teriak perampok tersebut kepada Ann.
Paulette menyadari kalau suara perampok itu terdengar sangat ketakutan. Perampok itu hampir panik.
"Masih ada dua orang lagi," kata Ann.
Kapan dia akan pergi? pikir Paulette. Kami harus membawa Jonathan ke rumah sakit.
Paulette menyambar segenggam tisu dari meja. Jemarinya
gemetar begitu hebat hingga ia menjatuhkannya. Ia meraba-raba mencari penjepit tisu dari logam dan menyambar tisu lainnya.
Ia meraba-raba tubuh Jonathan. Ia menemukan bagian T-shirt Jonathan yang basah. Lalu ia merasakan darah menyembur dari bawah jemarinya. Ia menekankan serbet-serbetnya ke luka tersebut sekuat tenaga.
Darahnya keluar terlalu banyak, pikirnya. Ia merasakan darah meresap membasahi tisu. Kertas-kertas tipis tersebut hancur di bawah tangannya.
Aku memerlukan benda lainnya. Jaketku! Ia menanggalkannya dan menempelkannya di luka Jonathan.
Di kejauhan ia mendengar lolongan sirene pertama. Ya!
pikirnya. Ada orang di mal yang memanggil polisi.
"Bertahanlah, Jonathan," bisik Paulette. "Polisi akan tiba dalam beberapa detik. Mereka akan merawatmu. Kau akan sembuh. Aku berjanji."
"Bawa kemari!" teriak perampok tersebut.
Paulette mendengar langkah-langkah kaki bergegas
menyeberangi ruangan. Brak! Sesuatu yang berat jatuh ke lantai. Paulette mendengar piring-piring logam pizza berkelontangan.
"Aku memegang pistolnya!" teriak seseorang.
"Apa yang terjadi?" seru Paulette.
"Dua orang baru saja menjatuhkan meja di depan
perampoknya," jawab Cindy. "Mereka berhasil merampas pistolnya.
Sekarang mereka menanggalkan topengnya!"
"Brad!" seru seseorang. "Brad! Itu Brad Jones!"
BAB 15 PAULETTE mendengar keributan lain. Lalu terdengar
seseorang menjerit kesakitan.
"Brad berhasil meloloskan diri dari mereka!" kata Cindy padanya.
Paulette mendengar langkah-langkah kaki berlari melewatinya.
"Hentikan dia!" teriak seseorang.
Paulette mendengar pintu depan dibanting menutup.
"Dia lenyap!" seru seorang gadis.
Cindy membungkuk di atas Paulette. Ia tersentak. "Jonathan mengeluarkan terlalu banyak darah!"
"Aku tahu," jawab Paulette. Ia bisa merasakan darah yang hangat meresap menembus jaketnya. "Aku tidak bisa
menghentikannya!" "Polisi datang," seru Cindy. "Teman kami tertembak!"
teriaknya. "Kau akan sembuh," bisik Paulette kepada Jonathan. Hanya itu yang terpikirkan olehnya untuk dikatakan. "Jangan khawatir, Jonathan. Kau akan sembuh."
Aku ingin tahu apakah dia bisa mendengarku, pikirnya.
Paulette mendengar orang-orang bergegas mendekatinya. Ia mendengar suara meja digeser. Lalu seseorang mengangkat Jonathan dari atas tubuhnya.
Jonathan mengerang. Paulette mengernyit. Jonathan terdengar sangat kesakitan.
Paulette mendengar salah seorang petugas polisi meminta
ambulans melalui radio. "Kami akan membawanya ke rumah sakit," kata polisi tersebut kepadanya.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya.
"Dia kehilangan banyak darah. Tapi tampaknya pelurunya tidak mengenai paru-paru. Mungkin dia beruntung," kata polisi itu.
Paulette mengembuskan napas panjang. Ia menggosokkan
kedua tangan ke celananya. Tangannya terasa lengket karena darah Jonathan.
"Semua orang jangan ke mana-mana," kata polisi lainnya.
"Kalian baik-baik saja. Kalian aman sekarang. Tapi ada yang harus kami tanyakan."
Ruangan tersebut dipenuhi berbagai suara: terisak-isak,
pembicaraan yang bersemangat, derikan radio, suara kereta dorong yang membawa Jonathan pergi. Sesaat kemudian lolongan sirene melengking merobek udara.
"Dia akan sembuh, Paulette. Aku tahu dia akan sembuh!" kata Cindy, sambil memeluknya.
"Aku masih tidak bisa mempercayainya," kata Paulette. Ia merasa air mata membakar matanya. "Sulit dipercaya Jonathan tertembak."
Ia mendengar para polisi mulai menanyai anak-anak yang
duduk di meja di samping pintu. "Apa kalian ada di sini sewaktu perampok tersebut masuk?" tanya salah seorang polisi.
"Kami sedang menghabiskan pizza," jawab seorang gadis.
Paulette tidak mengenali suaranya.
"Kami sudah mau membayar. Kami tidak akan berada di sini kalau kejadiannya terlambat lima menit."
"Bisa kauceritakan apa yang terjadi?"
"Pintunya didobrak dari luar," kata gadis tersebut.
Paulette bisa mendengar kalau suaranya gemetar.
"Orang bertopeng ini masuk. Dia membawa pistol. Dia mulai berteriak-teriak memerintahkan kami untuk tetap tenang dan memberikan uang serta perhiasan dan lainnya."
"Kau mengenalinya?" lanjut polisi tersebut.
"Mula-mula tidak," jawab gadis tersebut. "Sampai dia menembak Jonathan. Lalu dua orang cowok berhasil melepas topengnya. Dan aku mengenalinya. Dia Brad---Brad Jones."
Tunggu, pikir Paulette. Tidak mungkin Brad pelakunya. Aku pasti mengenali suaranya.
Ia memusatkan perhatian, mengingat setiap rincian perampokan tersebut. Seakan-akan mendengarkan rekaman, ia mendengar suara serak perampok tersebut sekali lagi. Sekali lagi, ia mendengar Jonathan membela dirinya dan jeritan temannya itu sewaktu tertembak.
Ia teringat kata-kata terakhir perampoknya, dan baunya yang samar-samar tercium sewaktu berlari melewati meja mereka. Baunya seperti kayu manis, pikirnya.
Tidak, katanya sendiri. Dia bukan Brad. Suaranya tidak sama.
Bau tubuhnya juga tidak sama. Aku yakin sepenuhnya, pikirnya. Dia bukan Brad.
"Siapa Brad ini?" kata polisi. "Temanmu?"
"Dia satu sekolah denganku," jawab gadis tersebut. "Tapi kurasa dia sudah mengundurkan diri."
"Apa ada orang lain yang mengenali perampoknya?" tanya polisi lainnya
"Aku," jawab seorang cowok. "Jelas Brad perampoknya."
Brad. Semua orang menganggap Brad pelakunya.
"Ada lagi?" tanya polisi tersebut.
Tiga atau empat orang anak lainnya berbicara. Mereka semua mengatakan Brad pelakunya. Brad. Brad. Brad.
Tidak, pikir Paulette. "Kalian yakin pelakunya bukan orang yang mirip dengan Brad?" tanya polisi tersebut.
Paulette mendengar Cindy bergerak-gerak di kursinya.
"Memang dia pelakunya," kata Cindy. "Aku sering melihatnya di sekolah. Brad pelakunya."
"Ada lagi?" tanya polisi.
Paulette menghela napas dalam-dalam. "Maaf..." katanya. Ia harus berhenti untuk membersihkan tenggorokannya. Tenggorokannya terasa begitu kering hingga ia kesulitan untuk berbicara. "Mereka semua keliru," katanya. "Pelakunya bukan Brad."
"Kau tampaknya satu-satunya orang yang beranggapan begitu,"
kata polisi tersebut. "Bisa kaukatakan alasannya?"
"Aku tidak melihatnya," kata Paulette mengakui. "Aku---aku buta. Tapi aku mendengarnya. Suaranya bukan suara Brad."
"Bukan suaranya?" ulang polisi tersebut. Ia terdengar ragu-ragu.
"Aku bisa mengenali suara sama seperti orang lain mengenali wajah," kata Paulette kepada polisi tersebut. "Itu salah satu caraku untuk membeda-bedakan orang. Aku tahu kalau kau bercakap-cakap dengan Ann Johnson beberapa menit yang lalu. Aku mengenali suaranya."
"Kau benar," kata Ann. "Memang aku, Paulette."
"Mungkin begitu," kata polisi. "Tapi semua orang yang lainnya melihat perampoknya. Mereka semua merasa cukup yakin akan identitasnya."
"Masih ada satu hal lagi," kata Paulette. Ia tahu kalau yang lainnya akan tertawa, tapi ia juga tahu kalau dirinya benar. "Sewaktu ia melewati mejaku, aku... aku mencium bau tubuhnya. Dan bau tubuhnya tidak sama dengan Brad."
"Baunya tidak seperti Brad?" tanya seorang cowok. Ia tertawa.
Beberapa orang anak lainnya juga mencibir.
"Aku tahu kalau kedengarannya konyol," kata Paulette kepada polisi. "Tapi aku seratus persen yakin kalau pelakunya bukan Brad."
"Aku mengerti," kata polisi tersebut. "Dan terima kasih untuk masukanmu. Akan kami pertimbangkan bersama bukti dan informasi lainnya."
Tapi Paulette tahu kalau polisi tersebut tidak mempercayainya.
Ia mendengar polisi tersebut menggunakan radionya untuk meminta surat penangkapan atas Brad. Jelas sekali kalau polisi merasa yakin Brad yang telah melakukan perampokan ini. Jelas sekali kalau mereka bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan lainnya.
Dan jelas bagi Paulette kalau Brad dalam bahaya besar.
BAB 16 "AKU masih sulit untuk mempercayainya," kata Paulette malam itu. Ia duduk di ranjang Cindy, menunggu telepon dari ibu Jonathan. Mrs. Maddox berjanji akan memberitahu mereka begitu mendengar apa kata dokter tentang Jonathan.
"Jonathan hanya berusaha untuk melindungiku," kata Paulette sambil mengerang.
"Jangan merasa bersalah, Paulette," kata Cindy lembut. "Bukan salahmu."
"Kalau saja aku bergerak agak lebih cepat," lanjut Paulette.
"Atau kalau ranselku tidak jatuh ke bawah meja..."
"Brad memang sinting," kata Cindy dengan marah. "Tidak mungkin kau bisa menghentikannya."
"Bukan Brad!" kata Paulette bersikeras.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" seru Cindy. "Aku melihatnya melakukannya! Begitu pula selusin orang lainnya!"
"Aku tahu kalau kau mengira sudah melihatnya," kata Paulette.
"Tapi kau melihat seseorang yang mirip dengannya. Bukan Brad pelakunya."
"Paulette, Brad menembak Jonathan!" seru Cindy. "Sulit dipercaya kau masih membelanya!"
"Aku membelanya karena dia tidak bersalah!" balas Paulette.
Ia bersandar ke bantal-bantal di ranjang Cindy. Tiba-tiba ia merasa kehabisan tenaga. Ia ingin melupakan semua yang telah terjadi.
Telepon berdering. Cindy menyambarnya. "Dari Mrs. Maddox," katanya kepada Paulette.
Semoga Jonathan baik-baik saja, kata Paulette diam-diam, berdoa.
Cindy tersenyum. "Berita yang bagus," katanya ke telepon.
"Trims sudah memberitahu kami." Ia menutup teleponnya.
"Jonathan akan sembuh!" seru Cindy. "Kata ibu Jonathan pelurunya tidak mengenai organ vital apa pun. Jonathan akan sembuh dalam beberapa minggu."
"Hebat sekali!" Paulette mendesah. "Kalau... kalau terjadi apa-apa pada Jonathan, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri."
"Kata Mrs. Maddox kita bisa mengunjungi Jonathan akhir pekan nanti," kata Cindy.
"Aku sudah tidak sabar lagi," jawab Paulette. "Aku sangat khawatir akan keadaannya."
"Aku juga," kata Cindy. "Aku belum pernah melihat orang tertembak sebelumnya. Kejadian paling buruk yang pernah kusaksikan adalah sewaktu pergelangan kaki kakak lelakiku patah karena bermain ski."
"Trims sudah mengizinkanku mampir kemari malam ini," kata Paulette kepada temannya tersebut. "Entah bagaimana aku tidak tahan tinggal di rumah kosong sesudah semua kejadian ini."
"Jam berapa orangtuamu pulang katamu tadi?"
"Selewat pukul sebelas," jawab Paulette. "Mereka mengunjungi nenekku."
"Kau akan menceritakan apa yang terjadi pada mereka?" tanya Cindy.
"Well, tentu saja," jawab Paulette. "Maksudku, beritanya pasti ada di TV dan koran-koran."
"Maksudku, apa kau akan menceritakan tentang dirimu dan Brad?"
"Tidak ada aku dan Brad," kata Paulette. "Tidak ada yang harus diceritakan."
"Well, mungkin dia akan segera tertangkap," kata Cindy. "Kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi nanti."
Paulette menghela napas panjang. "Dia mungkin bahkan tidak tahu," bisiknya. "Dia tidak tahu kalau polisi mencarinya."
"Tentu saja dia tahu!" jawab Cindy. "Dia ada di sana. Dia merampok Pete's Pizza. Dia menembak Jonathan. Kapan kau mau mempercayaiku?"
"Cindy, aku harus memperingatkannya!" seru Paulette.
"Kau sinting?" seru Cindy.
"Cindy, itu tidak adil. Polisi mengejarnya dan dia mungkin bahkan tidak mengetahuinya! Aku harus memberitahunya."
"Kenapa? Agar dia bisa melarikan diri?" tanya Cindy.
"Agar dia---dia bersiap-siap," kata Paulette.
"Kenapa dia harus bersiap-siap kalau tidak bersalah?" tanya Cindy.
"Entahlah," jawab Paulette. "Aku hanya tahu kalau harus membantunya. Kalau tidak, kurasa aku akan benar-benar sinting."
"Tapi katamu kau bahkan tidak tahu di mana tempat
tinggalnya," kata Cindy mengingatkannya.
"Dia bekerja malam hari di Akademi," kata Paulette. "Aku akan ke sana. Kau bisa mengantarku?"
"Sekarang aku tahu kalau kau sudah sinting!" kata Cindy.
"Akademi ditutup. Kau mau kuantarkan ke sana sekarang?"
"Hanya itu satu-satunya cara untuk menemukan Brad!" seru Paulette.
"Paulette, kata-katamu tidak masuk akal!" seru Cindy.
"Maksudku, kau gadis yang cerdas. Tapi kau---berubah sama sekali kalau ada hubungannya dengan Brad."
"Aku harus membantunya," kata Paulette padanya.
"Well, jangan!" kata Cindy. "Kau seharusnya berharap polisi berhasil menangkapnya!"
Paulette tahu kalau Cindy tidak bisa menerima kenyataan kalau suara dan bau bagi dirinya sama seperti wajah bagi sahabatnya itu.
"Kau sendiri yang mengatakan kalau terkadang tingkah laku Brad sangat aneh," lanjut Cindy. "Bagaimana dengan telepon-telepon darinya? Bagaimana tentang meninggalkan dirimu seorang diri di rumah kosong itu?"
"Cindy, kau kira menurutku Brad tidak bersalah karena aku menyukainya. Bukan itu sama sekali. Maksudku dia tidak bersalah karena aku tahu bukan dia yang melakukannya. Aku tahu kalau bukan dirinya. Aku tahu."
"Aku tidak percaya," kata Cindy.
"Kalau kau tidak mau mengantarku, aku akan pergi sendiri. Aku akan naik bus atau berjalan kaki kalau perlu."
"Baik, akan kuantarkan," kata Cindy, menyetujui dengan perasaan enggan. "Tapi kurasa kau melakukan kesalahan besar."
************ "Akademi gelap gulita," kata Cindy. Mereka bergegas mendekati bangunan tua tersebut. "Hanya beberapa buah lampu yang menyala di ruang-ruang samping."
"Itu ruang latihan," kata Paulette padanya.
"Orang-orang bisa menyewanya di malam hari."
Paulette mencoba pintu depan. Terkunci. Ia mengajak Cindy mengitari bangunan tersebut dan masuk melalui pintu belakang ke ruang latihan dan kantor yang tidak dikunci.
"Aku tidak melihat siapa-siapa," kata Cindy.
"Shh!" bisik Paulette. "Ada yang datang. Mungkin Brad!"
"Aku tidak melihat siapa-siapa, tapi---oh, tunggu, orang tua."
"Ada yang bisa kubantu, Nona-nona?" tanya pria tersebut.
"Hai, Profesor Chapin," kata Paulette, mengenali suaranya.
"Kami mencari temanku yang bekerja di sini, Brad Jones. Kau melihatnya?"
"Hari ini tidak," kata Profesor Chapin. "Malahan, Brad tidak bekerja hari ini. Kepala bagian kebersihan sangat marah."
"Kau yakin?" Paulette tersentak. "Maksudku---apa dia menelepon atau bagaimana?"
"Dia tidak menghubungi kami sama sekali. Tapi kalian harus menanyakan sendiri ke kepala bagian kebersihan mengenai hal itu.
Dan dia sudah pulang."
"Oh," kata Paulette. "Well, terima kasih."
"Ayo, Paulette," kata Cindy dengan lembut. "Kita pulang saja."
"Sulit dipercaya," bisik Paulette setelah Profesor Chapin berlalu. "Aku merasa yakin Brad ada di sini."
"Dia tidak ada di sini karena merampok Pete's Pizza," kata Cindy.
Paulette mengabaikannya. "Kita periksa ruang loker sebelum pergi. Mungkin kita bisa menemukan alamatnya, atau nomor teleponnya, atau apa."
"Paulette---sudahlah! Tidak mungkin bukan Brad yang merampok, dan tidak mungkin kau bisa membantunya!"
"Please, Cindy," kata Paulette. "Kita sudah terlanjur di sini.
Paling tidak kita periksa saja lokernya. Kalau tidak menemukan apa-apa, aku menyerah."
"Oke," kata Cindy, menyetujui sambil mendesah. "Bukannya aku punya pilihan lain."
"Ayo." Paulette menarik Cindy sepanjang lorong. Paulette tahu di mana loker staf berada, di sebuah ruang kecil di samping loker murid.
Ia mengetuk pintunya. Sewaktu tidak mendapat jawaban, ia memutar kenop pintunya, berharap tidak terkunci. Pintunya membuka dan Paulette mengajak Cindy memasuki ruang kecil tersebut. Tempat tersebut berbau busuk, seperti kaos kaki kotor yang telah lama.
"Aku cari lampunya dulu," gumam Cindy.
Paulette mendengar ceklikan.
"Di sini benar-benar kotor," kata Cindy.
"Apa ada nama-nama di lokernya?" tanya
Paulette kepada Cindy. "Bisa kautunjukkan mana yang loker milik Brad?"
"Tunggu sebentar" kata Cindy. Ia meraih tangan Paulette dan menempelkannya ke sebuah loker. "Ini, yang ini. Tulisannya berbunyi Jones. Dan tidak ada kuncinya."


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paulette ragu-ragu, lalu membukanya. Ia mengulurkan tangan ke dalamnya, meraba-rabanya. Jemarinya menemukan sebuah map.
Tidak ada benda lain lagi di dalam loker tersebut.
Ia menyerahkan map tersebut kepada Cindy. "Ada apa di dalamnya? Apa katanya?"
Paulette mendengar kemerisik kertas saat temannya memeriksa dokumen dalam map tersebut. "Hanya setumpuk kliping koran lama,"
kata Cindy. "Dari koran Springfield. Ini..." Ia berhenti. "Oh, tidak!" Ia tersentak. "Aku tidak percaya!"
BAB 17 "APA?" seru Paulette. "Apa itu? Cindy, katakan apa yang ditulis dalam kliping itu?"
"Oh, Paulette," kata Cindy sambil mengerang. "Aku hampir-hampir tidak mau menceritakannya padamu, tapi... tapi kliping ini membuktikan kalau kau keliru tentang Brad."
"Apa maksudmu?"
"Dengarkan ini," lanjut Cindy. "Polisi Southside mengumumkan petunjuk baru dalam serangkaian perampokan
bersenjata terhadap usaha-usaha kecil," katanya. "Mereka dilaporkan mencari seorang murid senior SMU Dewey di kawasan tersebut."
"Apa namanya disebutkan?" tanya Paulette, merasa hawa dingin merayapi punggungnya.
"Tidak, tapi ada dalam artikel berikutnya," jawab Cindy.
"Murid Terhormat Ditangkap Atas Perampokan di Southside,"
katanya. "Polisi Southside menangkap Brad Jones, seorang murid terhormat SMU Dewey, atas serangkaian perampokan bersenjata sejak tanggal satu Februari. Jones, ditangkap di rumahnya, menyerah tanpa perlawanan, tapi mengaku tidak bersalah."
"Oh, tidak!" seru Paulette. Ia merosot ke bangku di bawah loker. "Aku tidak percaya," katanya pelan.
"Masih ada lagi," lanjut Cindy. "Menurut artikel-artikel ini, Brad juga tersangka serangkaian pendobrakan rumah-rumah."
Paulette mendengar kemerisik kertas-kertasnya sementara
Cindy mempelajarinya. "Kalau dia ditangkap di Springfield, lalu bagaimana dia bisa berada di Shadyside?" tanya Paulette. "Kenapa dia tidak dipenjara?"
"Itu juga ada di sini," kata Cindy. "Menurut artikel terakhir, mereka mengizinkannya bebas dengan jaminan karena dia seorang murid terhormat dan tidak memiliki catatan kejahatan sebelumnya.
Dia melanggar jaminan dan menghilang. Menurut artikel ini hal itu terjadi sebelum tahun ajaran dimulai."
"Tidak," gumam Paulette.
"Maaf," kata Cindy. "Demi dirimu, kuharap artikel-artikel ini keliru."
Ini mimpi buruk, pikir Paulette. Ini tidak nyata, satu pun tidak.
Tapi ia tahu kalau hal ini nyata, tahu kalau segala sesuatu yang dikatakan Cindy pasti benar.
"Bagaimana aku bisa sekeliru itu?" kata Paulette sambil mengerang, suaranya pecah.
"Aku sangat pandai mengenali suara dan bau."
"Kau benar-benar menyukainya," kata Cindy berusaha menghibur. "Kau hanya tidak ingin percaya kalau Brad mampu melakukan sesuatu seperti itu. Aku juga tidak."
"Dengan kata lain, aku bodoh."
"Tidak, kau hanya mempercayai apa yang ingin kaupercayai.
Semua orang terkadang berbuat begitu," jawab Cindy.
Paulette berdiri. Kakinya terasa seakan tidak mampu menahan berat tubuhnya. "Aku ingin pulang sekarang," katanya kepada Cindy.
"Aku juga," kata Cindy setuju. "Malam ini sudah terlalu melelahkan."
*********** Paulette tidak bisa tidur. Malam telah larut sewaktu ia
mendengar orangtuanya pulang. Ia hendak memeriksa arloji Braille-nya, tapi lalu teringat kalau arlojinya telah dirampok.
Ia mendengar ketukan lembut di pintu. "Paulette?" Suara ibunya. "Kau sudah tidur, Sayang?"
Sejenak ia mempertimbangkan untuk menjawab, memberitahu
ibunya tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Tapi ia tidak ingin orangtuanya mengetahui betapa resah dirinya sekarang.
Ia membalikkan tubuh, seakan-akan tertidur nyenyak. Sesaat kemudian ia mendengar ibunya bergerak menjauh di lorong.
Mom pasti akan setuju dengan pendapat Cindy dan polisi, pikir Paulette. Ia pasti akan mempercayai apa yang dilihat orang-orang.
Tidak ada yang benar-benar mengerti betapa kuatnya indraku yang lainnya.
Kecuali Brad, ia ingat. Brad tampaknya benar-benar
memahami. Telepon berdering, menyentaknya dari lamunan. Ia
menyambarnya. "Halo?"
"Paulette?" Brad. "H---hai," serunya, syok sekaligus lega.
"Maaf aku meneleponmu selarut ini. Hanya ini satu-satunya kesempatanku. Aku---aku harus berbicara denganmu."
"Brad, polisi..."
"Aku tahu," katanya. "Aku tahu semuanya. Aku tahu tentang perampokannya, dan kalau mereka menganggap aku pelakunya.
Kurasa... kurasa seharusnya aku sudah mengetahuinya sejak dulu."
"Apa maksudmu?" tanyanya.
Brad tidak segera menjawab.
Apa yang dipikirkannya? Paulette penasaran. Apa dia berusaha memutuskan kalau bisa mempercayai diriku?
"Brad, kau masih di sana?" kata Paulette.
"Maafkan aku. Seandainya bisa kuceritakan semuanya padamu.
Suatu hari nanti, mungkin aku bisa. Tapi untuk saat ini---aku cuma ingin kau tahu kalau aku tidak bersalah."
"Aku sudah mengatakannya kepada polisi, dan..."
"Aku tahu bagaimana situasinya," sela Brad. "Dan mungkin akan lebih buruk lagi. Jauh lebih buruk. Tapi tidak peduli apa pun yang akan terjadi, tolong percayalah padaku. Tolong percayalah kalau bukan aku yang melakukannya. Berjanjilah."
"Aku berjanji, Brad," bisiknya.
"Aku harus pergi sekarang," kata Brad. "Aku tidak tahu kapan kita bisa bercakap-cakap lagi. Tapi aku berjanji akan menghubungimu lagi, secepat mungkin."
"Baiklah," kata Paulette menyetujui. Ada sejuta hal yang ingin ditanyakannya kepada cowok tersebut. Tapi tidak ada waktu.
"Ada satu hal lagi, Paulette. Ini sangat penting."
"Ya?" tanya Paulette.
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya dengan tepat, tapi...
dalam beberapa hari mendatang mungkin akan terjadi sesuatu. Aku tidak bisa mengatakan lebih jauh. Kecuali... kau harus berhati-hati, Paulette. Please---berhati-hatilah."
BAB 18 "KAMI sudah siap berangkat," panggil ibu Paulette dari serambi belakang. "Ayahmu dan aku berharap kau bisa ikut."
"Aku tahu, Mom," jawab Paulette. Ia membaringkan tubuh di kursi panjang di halaman belakang. "Tapi ada satu ton pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan. Sampaikan salamku untuk Nenek dan kuharap dia merasa lebih sehat."
"Pasti," kata Mrs. Fox menyetujui. "Tapi... well, kami tidak suka meninggalkan dirimu seorang diri, sesudah perampokan itu."
"Perampokannya terjadi di sisi seberang kota. Dan yang dirampok juga bukan rumah," kata Paulette mengingatkannya.
"Well, baiklah," kata ibunya. "Tapi berhati-hatilah. Dan kalau kau perlu sesuatu, hubungi saja Bibi Jo."
"Trims," jawab Paulette. "Sampai ketemu nanti malam."
"Kami tidak akan pulang lebih dari pukul sepuluh," kata ayahnya.
"Tidak apa-apa," jawab Paulette. "Kalian bisa tinggal di sana sesuka hati kalian."
Ia mendengar orangtuanya bergegas menuruni tangga. Lalu ia mendengar suara pintu-pintu mobil dibuka dan dibanting hingga menutup. Dan ia mendengar suara mesinnya meraung.
Ia kembali bersandar ke kursi dan membiarkan otot-ototnya mengendur. Tadinya ia merasa takut orangtuanya akan memaksa dirinya untuk menginap di rumah bibinya. Dan ia tidak ingin berada di tempat lain kecuali rumah, dekat teleponnya. Sekalipun Brad mengatakan kalau mungkin tidak bisa meneleponnya untuk sementara waktu, ia ingin berada di sini kalau-kalau Brad menelepon.
Ia memiringkan wajahnya ke arah matahari. Hari ini hangat, dan panasnya terasa nyaman di kulitnya. Sayang sekali ia tidak bisa bermandikan matahari dan melamun begitu saja. Tapi memang benar ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya.
Sambil mendesah, ia meraih tape-recorder kecilnya. Ia
menyelipkan sebuah kaset dan menekan tombol play.
"Ekspansi Sungai dan Daerah Barat," kata seorang cowok dengan suara pelan. "Di Amerika Utara, sebagian besar sungai-sungai terbesar mengalir dari Utara ke Selatan. Di Amerika Serikat, sistem Sungai Mississippi termasuk Missouri..."
Paulette menekan tombol stop. Lalu ia memutar ulang kasetnya dan mulai mendengarkan kembali rekamannya dari awal. Perhatikan, katanya sendiri. Ia memegang sehelai peta topografi dan mencoba untuk menyusuri sungai-sungai yang dijelaskan narator dengan ujung jemarinya.
Tapi tidak ada gunanya. Ia tidak bisa memusatkan perhatian.
Sejarah Amerika merupakan salah satu mata pelajaran terbaiknya.
Tapi hari ini rekamannya sama saja dengan bahasa Mars karena ia tidak memahami sepatah kata pun.
Harinya terlalu menyenangkan untuk belajar, pikirnya. Ia senang berada di halaman belakang. Berani taruhan Brad pasti juga senang kalau berada di sini, pikirnya. Ia menyadari kalau Brad belum pernah mampir di rumahnya. Sekarang, mungkin dia tidak akan pernah bisa mampir.
Ke mana cowok itu? Paulette penasaran. Apakah dia sudah
keluar kota untuk menghindari polisi? Mungkin dia sudah melarikan diri ke kota besar tempat tidak ada orang yang mengenalnya. Mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Tapi dia sudah berjanji untuk tetap menghubunginya. Brad mengatakan akan meneleponnya lagi kalau bisa. Cowok itu sudah memintanya untuk percaya kalau dirinya tidak bersalah.
Dan ia percaya. Paulette merasa yakin kalau Brad bukanlah seorang perampok. Tapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskan keanehan sikapnya.
Ia menyelipkan tangan ke dalam sakunya dan mengeluarkan
cincin stempel Brad. Ia membawa cincin tersebut ke mana-mana sejak ayahnya menemukannya di lantai kamar tidur malam itu.
Mungkinkah Brad yang berusaha mendobrak masuk ke
kamarnya malam itu? Apa dia berbahaya? Paulette belum pernah sebingung ini seumur hidupnya.
Paulette kembali menghidupkan tape-recorder. Ia mencoba
untuk memusatkan perhatian pada fakta dan angka-angka tentang sungai-sungai barat.
Krak! Ia terlonjak. Apa itu? Ia mematikan tape-recorder. Ia
mengangkat kepalanya, berusaha keras untuk mendengarkan.
Suaranya tidak terdengar lagi. Mungkin sepotong walnut yang jatuh dari pohon, pikirnya. Ia kembali menghidupkan tape-recorder.
Krak. Krak. Ia menyadari kalau suara tersebut merupakan langkah kaki.
Langkah-langkah kaki yang menyeberangi rerumputan kering. Pasti salah seorang tetangga, pikir Paulette.
"Siapa itu?" panggilnya. "Mr. Bevelman, kaukah itu?"
Langkah kaki tersebut terus terdengar. Bergerak mengitari halaman. Ia mendengar suara seperti sesuatu tengah diseret.
Perut Paulette menegang. "Please," katanya. "Siapa di sana?
Aku buta. Aku tidak bisa melihatmu."
Langkah kaki tersebut berhenti. Tapi tidak ada yang menjawab.
Mungkin anjing, pikirnya. Atau kucing liar.
"Kau masih di sana?" tanyanya lagi.
Ia tidak mendengar apa-apa sekarang.
"Ini tidak lucu," katanya. Ia berharap agar terdengar lebih berani daripada yang dirasakannya.
Ia mematikan tape-recorder. Ia menjejalkannya bersama peta ke dalam tasnya, lalu bangkit berdiri. "Kalau ada yang mau kaukatakan padaku, katakanlah," katanya. "Kalau tidak, aku mau masuk."
Ia tidak membawa tongkatnya, karena di sini ia tidak
memerlukannya. Ia mengenal setiap inci halaman belakang rumahnya.
Ia menuju ke jalan setapak dari batu yang menuju ke serambi. Ia mengulurkan tangan untuk mencari pagar pemandu yang dipasang ayahnya di sepanjang jalan setapak tersebut bertahun-tahun yang lalu.
Pagar tersebut tidak ada. Apa ia berada di tempat yang salah?
Ia kembali ke kursi panjang, berusaha mengetahui posisinya, dan mulai mencari pagarnya lagi. Sewaktu tiba di tempat pagarnya seharusnya berada, ia mengulurkan tangan mencari-carinya.
Tidak ada. Mungkin aku terlalu jauh beberapa langkah,
pikirnya. Ia mencari-cari ke sekitarnya. Tapi tidak ada pagar di sana.
Ia menjulurkan lengannya di hadapannya dan mencari-cari meja piknik dari kayu yang berdiri di salah satu sisi serambi.
Ia tidak bisa menemukannya.
Paulette sama sekali kehilangan arah. Ia merasa jantungnya mulai berdebar-debar.
Jangan panik, katanya sendiri.
Ia mengulurkan tangan, mencari-cari apa pun yang bisa
dikenalinya. Apa pun yang bisa membantunya menemukan jalan kembali ke dalam rumah.
Paulette menghela napas panjang dan menuju ke arah ia
memperkirakan rumahnya berada. Tumitnya menghantam sesuatu yang keras. Dan ia merasakan dirinya jatuh.
Ia mendarat di rerumputan. Bilah-bilah rumput yang kering melukai kulitnya yang telanjang.
Dan lalu ia mendengarnya.
Suara seseorang bernapas.
Seseorang yang sangat dekat.
BAB 19 PAULETTE membeku. Terlalu ketakutan untuk melakukan apa
pun. Terlalu ketakutan untuk mengatakan apa pun.
Ada yang mengejarku! pikirnya. Dan aku tidak bisa
menemukan jalan ke rumahku. Aku terjebak!
Tapi lalu bagian dirinya yang lebih tenang mengambil alih. Aku tidak bisa mengasihani diri, pikirnya. Aku buta, tapi bukan tidak berdaya.
Aku mengenal halaman ini dengan cukup baik. Aku sudah
tinggal di sini sejak masih bayi. Aku hanya perlu menemukan sesuatu yang kukenali. Satu saja. Dan aku akan mudah menemukan jalan ke rumah!
Ia berbalik ke asal suara napas. "Siapa di situ?" tanyanya. "Aku mendengarmu. Siapa kau?"
Suara napas tersebut terus terdengar.
"Aku tidak takut padamu!" kata Paulette.
Ia mulai merangkak, perlahan-lahan, sangat hati-hati. Tangan dan jemarinya waspada kalau-kalau menemukan sesuatu yang dikenalinya.
Tangannya menyentuh batu paving yang halus. Jalur masuk
belakang, ia menyadarinya. Jalan ini langsung menuju ke serambi belakang.
Ia berusaha bangkit berdiri, kedua kakinya gemetar. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke rumah.
Ia mencoba untuk tampak percaya diri. Tapi ia tahu kalau siapa pun yang ada di halaman bisa menangkapnya, menjatuhkannya.
Bahkan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Ia terus berjalan. Tidak ada yang menghalangi langkahnya.
Tidak ada yang mencoba untuk menghentikannya.
Ia menaiki tangga serambi. Ia mencengkeram pagar serambi begitu erat hingga pagarnya terguncang.
Lalu ia tiba di ambang pintu. Membuka kuncinya. Dan masuk.
Ia membanting pintu hingga menutup dan menguncinya.
Ia telah berada di dalam.
Ia aman. Ia menyelipkan rantai pengaman di pintu, lalu bergegas ke bagian depan rumah dan menyelipkan rantai pengaman pintu depan. Ia memastikan semua jendela telah terkunci.
Kalau saja ia bisa melihat siapa yang ada di halaman belakang.
Kalau saja ia bisa tahu siapa orangnya.
Ia membenamkan diri ke bantalan empuk sofa keluarga dan
menekan nomor telepon Cindy.
"Paulette, ada apa?" kata Cindy begitu Paulette mengatakan halo. "Kau kedengarannya ketakutan!"
"Ada orang di halaman!" Paulette tersentak, berusaha agar tidak terdengar histeris. "Kurasa dia memburuku! Kau bisa kemari?
Sekarang?" "Ya!" jawab temannya.
Paulette menghidupkan TV agar tidak merasa sendirian. Cindy akan tiba dalam dua menit lagi, pikirnya.
Semenit kemudian, ia mendengar temannya bergegas menaiki tangga serambi depan. Cindy pasti sudah berlari-lari sepanjang perjalanan kemari, pikir Paulette.
Paulette membukakan pintu baginya, lalu menutupnya lagi serta menguncinya. Ia bergegas menyelipkan rantai pengaman di
tempatnya. "Ada apa?" tanya Cindy. "Paulette, apa yang terjadi? Kau kedengaran ketakutan di telepon."
"Sebelum kuceritakan, Cindy, tolong lihat ke halaman belakang dari jendela. Katakan apa yang kau lihat."
Cindy menyeberang ke jendela. "Tidak ada yang istimewa,"
katanya. "Apa pagar pemanduku masih tetap di tempatnya?" tanya Paulette.
"Semuanya tampak normal," jawab Cindy. "Kenapa? Apa yang terjadi?"
Dengan suara yang masih gemetar, Paulette menceritakan apa yang telah terjadi kepada Cindy.
"Sulit dipercaya!" seru Cindy. "Dia pasti sudah mengembalikan semua ke tempat semula!" .
"Kurasa begitu," kata Paulette menyetujui.
"Paulette, kau harus memanggil polisi," kata Cindy.
"Untuk apa? Aku tidak tahu siapa orangnya. Dan mereka tidak menyakitiku," kata Paulette mengingatkan temannya.
"Tapi mereka menunjukkan padamu kalau mereka bisa
menyakitimu," kata Cindy. "Lagi pula, kurasa kau punya bayangan siapa orangnya."
Sejenak, Paulette tidak menjawab. "Menurutmu, Brad yang tadi ada di belakang halaman rumahku, bukan?" tanyanya pada akhirnya.
"Apa itu?" seru Cindy. "Kau dengar suara itu?"
"Sirene," kata Paulette. "Benar-benar dekat dari sini. Hanya sekitar satu blok jauhnya."
"Kurasa tidak aman bagimu untuk berada seorang diri di sini,"
lanjut Cindy. "Di luar cuaca semakin gelap. Kupikir sebaiknya kau menginap di rumahku saja."
"Kau kedengarannya seperti orangtuaku," gumam Paulette.
"Aku mau menginap di sini menemanimu, tapi aku harus menjaga adikku," lanjut Cindy.
"Aku tidak apa-apa," seru Paulette. "Akan kupastikan kalau semua jendela terkunci. Dan akan kukunci pintu begitu kau keluar."
Sekarang sesudah ia berada di dalam rumah dan Cindy ada di sana bersamanya, Paulette merasa aman sekali.
"Aku benar-benar berterima kasih kau mau kemari," kata Paulette kepada Cindy. "Tapi sekarang aku baik-baik saja."
"Well, kalau kau yakin begitu," kata Cindy. Lalu ia tersentak.
"Berikan remote-nya," katanya.
Paulette mengulurkan remote-nya. Ia mendengar Cindy
menekan tombolnya. Volume suara TV bertambah keras. "---Buletin khusus dari News Center Nine," kata seorang wanita bersuara tenang. "Saluran Sembilan baru saja mengetahui kalau ada perampokan bersenjata di Toko serba ada Uncle Sandy's di Highland Street."
"Itu hanya dua blok dari sini!" jerit Cindy.
"Menurut polisi, deskripsi pelakunya sama dengan perampok yang beraksi di Pete's Pizza kemarin siang. Polisi telah mengungkapkan nama tersangka. Dia seorang mantan siswa SMU
Shadyside bernama Brad Jones."
BAB 20 "TIDAK!" bisik Paulette, seakan-akan ia entah bagaimana mampu mengubah apa yang baru saja didengarnya.
"Brad!" jerit Cindy. "Mereka menyiarkan fotonya di televisi!"
Paulette mencondongkan tubuhnya ke depan di kursinya,
berusaha keras untuk mendengar laporan berita sisanya.
"Sewaktu polisi memeriksa alamat yang diberikan Jones kepada sekolah," lanjut penyiar wanita tersebut, "mereka menemukan kalau alamat tersebut tidak ada. Polisi telah menyiarkan daftar pencarian orang untuk Jones. Siapa pun yang melihatnya harap menghubungi nomor khusus yang ada di bagian bawah layar. Warga sipil diperingatkan untuk tidak mendekati tersangka. Dia bersenjata dan berbahaya. Kami ulangi..."
Paulette menyambar remote-nya dan mematikan televisi.
"Tidak," gumamnya. "Tidak, please, jangan."
"Jelas Brad pelakunya," kata Cindy. "Polisi mengejarnya, Paulette. Mereka mengejarnya karena kedua perampokan itu."
"Aku cuma tidak bisa mempercayai..."
"Aku tahu," kata Cindy. "Tapi kau harus mempercayainya sekarang. Dia yang melakukan kedua kejahatan itu. Dan dia yang menembak Jonathan! Kita berharap saja semoga mereka
menemukannya sebelum dia menyakiti orang lain lagi."
"Atau menyakiti dirinya sendiri," gumam Paulette.
"Kau harus ikut denganku ke rumahku sekarang," lanjut Cindy.
"Aku tidak bisa membiarkan dirimu seorang diri di sini sesudah kejadian ini."
"Aku tidak ingin pergi," kata Paulette bersikeras. "Bagaimana kalau Brad menelepon?"
"Menurutmu dia akan menelepon?" tanya Cindy. "Kalau dia ingin berbicara denganmu, dia bisa saja mengatakan sesuatu sewaktu ada di halaman belakang rumahmu tadi."
"Aku tidak percaya kalau orang itu Brad," kata Paulette.
"Pokoknya, aku tidak ingin berada jauh dari telepon."
"Well, aku tidak bisa tinggal di sini," kata Cindy. "Bagaimana kalau nanti kutelepon?"
"Baik," jawab Paulette. "Dan trims kau mau kemari, Cindy.
Aku benar-benar berterima kasih karenanya."
Begitu temannya itu pergi, Paulette bergegas mengunci pintu dan memasang kembali rantai pengamannya. Ia memeriksa seisi rumahnya, memastikan kalau setiap jendela yang ada telah terkunci.
Lalu ia kembali ke ruang duduk dan kembali menghidupkan
televisi. Buletin berita khusus telah berakhir. Seorang pembawa acara talk-show tengah mewawancarai para pria yang berkencan dengan sahabat istri mereka.
Paulette mematikan televisi, bangkit berdiri, dan mondar-mandir di kamar duduk. Akhirnya ia duduk di depan piano dan membukanya. Sejak masih anak-anak, piano tersebut telah
membantunya menenangkan diri kalau sedang resah.
Mungkin sekarang juga bisa, pikirnya.
Ia memainkan serangkaian nada untuk melemaskan jemarinya, lalu mulai melatih lagu yang akan ditampilkannya dalam resital.
Beberapa saat kemudian ia merasa lebih santai, tenggelam dalam musiknya.
Ia tengah memainkan lagu tersebut untuk yang ketiga kalinya sewaktu telepon berdering.
"Pasti Cindy," katanya. "Memeriksa keadaanku."
Ia menyambar gagang telepon portabel dan menghidupkannya.
"Halo?" "Paulette... ini aku."
Brad. Tapi suaranya serak dan pelan. Kedengarannya seperti ia menelepon dari tempat yang sangat jauh.
"Brad!" seru Paulette.
"Kau kedengarannya... terkejut mendapat telepon dariku."
"Aku---aku memang terkejut," kata Paulette mengakui.
"Terkejut dan lega. Kau di mana? Apa yang terjadi?"
"Tidak penting di mana aku berada sekarang," kata Brad.
"Aku... aku menelepon untuk minta maaf."
Kata-kata terakhirnya dilontarkan dengan nada tercekik.


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paulette mendengar apa yang kedengarannya seperti napas yang tersentak tapi pelan.
"Maaf? Untuk apa? Brad, kau kedengarannya lemah sekali. Kau baik-baik saja?"
"Sekarang sesudah berbicara denganmu, aku baik-baik saja,"
kata Brad. Tapi suaranya terdengar begitu pelan. Paulette harus berjuang keras untuk mendengar kata-katanya.
Brad tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Ka... katamu tadi kau mau minta maaf," kata Paulette mengingatkan cowok itu.
"Benar," kata Brad. "Seharusnya kuceritakan kejadian yang sebenarnya sejak dulu."
"Kejadian yang sebenarnya? Kejadian yang sebenarnya apa?"
"Tentang saudaraku."
"Saudaramu?" "Aku punya saudara kembar, Paulette," kata Brad mengakui.
"Kembar identik."
"Kembar..." ulang Paulette.
"Kami mirip satu sama lain, Paulette. Bahkan suara kami pun mirip. Orang-orang sulit untuk membedakan satu dengan yang lainnya."
Rupanya begitu, pikir Paulette.
"Namanya Ed," kata Brad lemah. "Ed agak terganggu. Dia... dia iri padaku seumur hidup. Dia selalu ingin memiliki apa yang kumiliki.
Dia menimbulkan masalah bagiku di mana pun kami tinggal."
"Tidak," gumam Paulette.
"Benar. Aku tidak ingin memberitahumu," kata Brad, suaranya terdengar semakin lemah.
"Tapi kenapa?" tanya Paulette. "Aku pasti akan mengerti."
"Tidak," gumam Brad. "Bukan itu. Sebenarnya aku tidak ingin Ed menjadi bagian dari hidupku lagi. Aku pindah ke Shadyside karena polisi di Springfield memburuku. Mereka memburuku karena apa yang sudah dilakukan Ed."
Paulette teringat kliping koran yang ditemukannya bersama Cindy di dalam loker Brad. "Oh, Brad," serunya. "Mengerikan sekali!"
"Kukira sewaktu datang kemari aku bisa melupakannya. Kalau aku bisa memulai hidup baru. Aku bahkan memalsu transkrip agar bisa bersekolah di sini," kata Brad padanya. "Tapi aku keliru. Aku tidak bisa melarikan diri dari Ed. Tidak mungkin."
"Dia mengikutimu kemari?" tanya Paulette.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi dia tiba di sini hampir bersamaan dengan diriku. Dan dia... dia melihatmu lebih dulu." Brad ragu-ragu. "Dia memutuskan kalau ingin menjadikanmu pacarnya."
"Tapi aku bahkan tidak mengenalnya!" kata Paulette memprotes.
"Itu tidak penting bagi Ed," jawab Brad. "Baginya, kau adalah miliknya. Lalu, sewaktu kau dan aku mulai saling bertemu, dia tidak mampu menahan diri. Dia memberitahuku kalau tidak akan
membiarkan diriku mendapatkanmu. Katanya lebih baik dia melihat kau mati."
"Aku tidak percaya!" Paulette tersentak.
"Kusadari kalau aku harus memutuskan hubungan denganmu, untuk melindungimu," lanjut Brad. "Tapi pada saat itu segalanya sudah terlambat. Ed telah terobsesi denganmu. Dan dia murka karena kau memilih diriku dan bukan dirinya."
"Selama ini kukira kau bersikap aneh..."
"Itu Ed," kata Brad. "Dia memberitahuku kalau dia meneleponmu. Katanya dia sudah mengikutimu. Memata-matai dirimu. Maafkan aku, Paulette, aku sangat menyesal."
"Ed yang melakukan perampokan-perampokan itu, kalau begitu?" tanya Paulette.
"Yeah," jawab Brad. "Sewaktu aku mendengar tentang perampokan-perampokan itu, aku tahu kalau aku pasti akan mendapat tuduhan. Ed selalu mengaturnya sehingga aku yang disalahkan karena perbuatannya. Aku tahu kalau harus melarikan diri. Tapi Ed mengikutiku. Kami berkelahi."
"Di mana dia sekarang?" bisik Paulette.
"Entahlah," kata Brad mengakui. "Dia melukaiku. Aku... aku perlu bantuan."
"Kau perlu dokter?" seru Paulette. "Akan kuhubungi polisi.
Lalu aku..." "Tidak," sela Brad, suaranya lebih serak lagi. "Polisi tidak boleh tahu! Kalau mereka menemukanku, aku akan ditangkap. Aku tidak akan pernah bisa meluruskannya. Aku harus menemukan cara untuk menghentikan Ed lebih dulu. Lalu aku bisa menghubungi polisi."
"Tapi dia berbahaya, Brad. Kau..."
"Aku memahami dirinya," sela Brad. "Aku tahu bagaimana cara menghadapinya. Tapi aku memerlukan bantuanmu, Paulette. Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Kau mau membantuku?"
Paulette tidak segera menjawabnya. Ia bisa mendengar
darahnya mengalir deras. "Ya," bisiknya. "Ya, aku mau membantu."
"Aku tahu kalau bisa mengandalkan dirimu," kata cowok itu.
"Brad---aku hampir-hampir tidak bisa mendengarmu!" seru Paulette.
"Aku merasa lemah," gumam cowok tersebut. "Begitu lemah...
Please, kemarilah... ke rumah di Fear Street..."
"Brad, aku..." "Datanglah," ulang cowok itu. "Kutunggu kedatanganmu, Paulette. Aku..."
Tapi ia tidak menyelesaikan kata-katanya. Paulette mendengar ceklikan, dan telepon pun terputus.
BAB 21 "BRAD!" seru Paulette dengan panik. "Brad kau di sana?"
Tidak ada jawaban. Hanya dengungan nada panggil yang stabil.
Paulette meletakkan telepon. Aku benar tentang Brad sejak dulu, pikirnya. Aku tahu kalau bukan dia yang merampok Pete's. Dan aku tahu kalau ada yang aneh dengan sikapnya.
Ia menggigil saat teringat beberapa kali bercakap-cakap dengan Ed, mengira yang diajaknya bicara adalah Brad. Ia memikirkan kembali hari saat ia jatuh ke jalan.
Tidak, bukan jatuh, katanya sendiri. Didorong. Ed yang
mendorongku. Dia mencoba membunuhku!
Paulette teringat bagaimana cowok itu menghindar sewaktu ia berusaha untuk menyentuh wajahnya. Cowok itu tidak ingin ia menyentuhnya. Ia takut kalau aku menyadari dia bukan Brad.
Dan aku pasti mengetahuinya, pikir Paulette.
Ed tidak akan memiliki bekas luka kecil di dekat matanya seperti Brad.
Brad. Ia harus segera ke rumah di Fear Street itu. Ia harus menggunakan bus. Tidak ada orang yang bisa mengantarnya saat ini.
Dan kalau pun ada, ia tidak mempercayai kalau orang lain tidak akan menyerahkan Brad pada polisi. Aku harus melakukannya sendiri, pikir Paulette.
Kuharap Brad baik-baik saja, pikir Paulette sementara bus bergemuruh menyusuri Old Mill Road. Ia teringat betapa lemah suara cowok itu kedengarannya. Betapa lemah dan serak.
Dia kedengaran mirip Ed! Paulette tersadar. Setiap kali aku menganggap Brad bersikap aneh, suaranya terdengar lebih mirip bisikan. Itu karena dia bukan Brad sama sekali.
"Fear Street!" teriak pengemudi bus.
Bus tersebut berhenti dan Paulette turun. Ia menyusuri trotoar dengan bantuan tongkatnya.
Tok. Tok-tok. Tok-tok. Ia berjalan perlahan-lahan, dengan hati-hati. Ia teringat apa yang pernah dikatakan Brad tentang lubang-lubang di trotoar. Ia harus berhati-hati agar tidak jatuh ke sana atau kehilangan arah. Kalau ada sesuatu yang terjadi padanya, ia tidak akan mampu menolong Brad.
Bisa makan waktu lama untuk tiba di rumah itu, pikirnya.
Rasanya sewaktu ia bersama Brad itu mereka bergerak lebih cepat.
Paulette teringat pada semua kisah-kisah yang pernah
didengarnya tentang Fear Street. Tentang pembunuhan-pembunuhan, hantu-hantu, kejadian-kejadian aneh. Ia benci berjalan menyusuri jalan tersebut sendirian.
Ini hanya jalan! katanya sendiri. Orang-orang tinggal di sini.
Orang-orang biasa, normal.
Paulette menyeberangi jalan. Masih kurang satu blok lagi, katanya sendiri.
Ia mendengar seseorang batuk di belakangnya.
Ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Apa ada yang
mengawasinya? Apa Ed? Mengawasinya? Mengikutinya?
Ed tadi ada di halaman belakang rumahnya. Aku tahu itu,
katanya sendiri. Menatap dirinya, tahu kalau Paulette tidak mampu melihatnya. Tahu kalau dia bisa melakukan apa pun yang disukainya.
Tahu kalau Paulette tidak mungkin mampu melindungi dirinya sendiri.
Apa sekarang dia mengikutiku?
Tidak, Paulette memutuskan. Kau hanya gugup karena berada di Fear Street ini seorang diri. Jangan membayangkan yang bukan-bukan.
Paulette menahan napas dan mendengarkan dengan lebih hati-hati, berjuang untuk menajamkan setiap indranya. Ia tidak mendengar suara batuk lagi. Tidak ada langkah kaki. Tidak ada suara napas.
Paulette mempercepat langkahnya. Bagaimana kalau aku
berjalan terlalu jauh? pikirnya. Bagaimana kalau aku sudah melewati rumahnya? Aku akan tiba di pemakaman Fear Street.
Tok. Tok-tok. Tok-tok. Tongkatnya menghantam sesuatu yang lunak. Trotoarnya telah berakhir. Sekali lagi Paulette merasakan kepanikan sesaat. Apa aku sudah tiba di pemakaman?
Ia memaksa dirinya untuk santai. Ini pasti trotoar yang rusak di depan rumah tempat tinggal Brad, katanya sendiri.
Ia berjalan tujuh belas langkah dari trotoar yang rusak itu, lalu berbelok memasuki halaman. Ia merasakan tanaman rambat dan rerumputan kering menyapu pergelangan kakinya. Jarak ke serambi depan hanya dua puluh lima langkah, ia ingat.
Tongkatnya memberitahu kalau ia telah tiba di tangga depan. Ia berhenti dan mendengarkan. Ia tidak mendengar suara apa pun dari dalam rumah. Seluruh lingkungan di sana terasa kosong.
Mungkinkah Brad benar-benar ada di dalam? Paulette
penasaran. Pasti. Ia menaiki kelima anak tangga tersebut dengan bantuan
tongkatnya, lalu dengan hati-hati menyeberangi serambi kayu yang telah pecah-pecah itu ke pintu.
Pintunya agak terbuka. Setelah menghela napas dalam-dalam, Paulette membukanya dan melangkah masuk.
"Brad?" panggilnya. "Brad, ini aku!"
Suaranya sendiri memantul kembali akibat kekosongan rumah.
"Brad, kau di mana?" teriaknya, lebih keras. "Brad, ini Paulette!
Katakan kau ada di mana!"
Tidak ada jawaban. Dia pasti pingsan, pikirnya. Brad tadi terdengar lemah sekali di telepon.
Paulette diam sejenak, berusaha untuk membayangkan rumah itu berdasarkan kunjungannya yang kemarin. Tangganya ada di lorong yang pendek, ia teringat.
Ia mulai berjalan ke arah tangga. Ia bisa mendengar dentuman daun jendela yang kendur. Angin yang berembus memberitahunya kalau ada jendela yang terbuka di dalam rumah tersebut.
"Brad!" panggilnya lagi. "Brad! Please, jawablah!"
Ia mendengar jerit kesakitan melengking.
Jeritan tersebut kembali terdengar. Ia menyadari kalau suara tersebut hanyalah engsel karatan jendela.
"Brad!" Tongkatnya menghantam sebuah penghalang besar. Ia
mengulurkan tangan. Pagar tangga, pikirnya. Aku tiba di tangga.
Ia berdiri, mendengarkan dengan hati-hati. Ia tidak mendengar apa pun kecuali derakan-derakan rumah tua.
Mungkin Ed kembali. Mungkin dia menemukan Brad pingsan
dan menyeretnya pergi. Mungkin...
Hentikan, kata Paulette sendiri.
"Brad! Brad!" Ia tahu kalau suaranya mulai terdengar panik, tapi ia tidak mampu menahannya. Di mana Brad?
Ia mendengar erangan. Samar, tapi jelas erangan. Asalnya dari atas kepalanya. Dari lantai atas.
"Brad!" panggilnya lagi. "Ini Paulette! Aku di sini! Aku di dekat tangga!"
"Aku di atas sini," kata cowok tersebut. Begitu pelan hingga Paulette tidak mampu mendengarnya. "Bantu aku, Paulette!"
"Aku datang!" kata Paulette.
Ia mengulurkan tongkatnya dan menaiki anak tangga pertama.
Ia teringat apa yang dikatakan Jonathan tentang tangganya, kalau tangga tersebut sudah runtuh di beberapa tempat dan berbahaya.
Paulette menaiki tangga dengan menempel ke satu sisi, satu tangan memegang tongkat, yang lain berpegangan pada pagar untuk dukungan. Pagar tersebut tidak kokoh lagi, bergoyang-goyang di bawah cengkeramannya.
Paulette menyusuri pagar inci demi inci dengan tangannya.
Menaiki tangga perlahan-lahan, langkah demi langkah.
Tongkatnya memberitahu kalau ada satu anak tangga yang
lenyap seluruhnya. Paulette mengetukkan tongkatnya ke atas. Anak tangga berikutnya terasa mantap. Dengan hati-hati ia menapak ke sana.
Akhirnya ia tiba di puncak tangga. Bau busuk memenuhi cuping hidungnya. Ia penasaran berapa lama rumah ini telah ditinggalkan.
"Brad?" panggilnya.
"Di sini," kata cowok itu sambil mengerang. "Di lorong."
Paulette menuju ke asal suara tersebut, dan tiba di sebuah ambang pintu.
"Di sini," jerit Brad dengan lemah. "Aku di sini. Masuklah."
Paulette mendorong pintunya.
"Tadinya aku takut kau tidak mau datang," gumam cowok itu.
Suaranya begitu serak, Paulette hampir-hampir tidak menangkap kata-katanya. "Aku khawatir Ed akan kembali sebelum kau tiba."
"Brad, kau terluka. Kita harus mencari bantuan!" Paulette bergerak mendekatinya, mengetuk-ngetukkan tongkat ke lantai yang tidak rata dan berdebu itu.
"Tidak!" jerit cowok tersebut. "Jangan sekarang!"
"Kau terluka di bagian mana? Barangkali aku bisa membantu."
Paulette mengulurkan tangan ke arahnya. "Brad, biar kubantu!"
"Nanti," kata Brad, suaranya semakin serak. "Kita tidak bisa membuang-buang waktu."
"Kau bicara apa?" tanya Paulette. "Yang paling penting sekarang menemui dokter. Bagaimana caramu meneleponku? Kau punya ponsel?"
"Ya," jawab Brad. "Tapi tidak ada gunanya sekarang. Kita harus melakukannya sendiri."
"Melakukan apa?" jerit Paulette. "Kata-katamu tidak masuk akal, Brad. Kau terluka di bagian mana?"
"Tidak penting sekarang," kata Brad. "Dengarkan aku! Ed menyembunyikan uang dan perhiasan hasil rampokannya di suatu tempat di dalam rumah ini. Katanya dia akan kembali untuk mengambilnya."
"Oh, tidak!" seru Paulette. "Sudah berapa lama dia pergi?"
"Sekitar satu jam. Dia bisa kembali setiap saat. Kau harus membantuku menjebaknya, Paulette."
"Lupakan saja!" seru Paulette. "Kita harus pergi dari sini! Kau bisa berjalan?"
"Tidak," kata Brad. "Paling tidak, hanya bisa untuk jarak dekat.
Lambat. Kita harus menghadapinya di sini."
"Kalau kita tidak bisa pergi, kita hubungi polisi saja!" seru Paulette. "Beritahu mereka apa yang sudah kaukatakan padaku.
Mereka bisa menanganinya."
"Dia terlalu licin," jawab Brad. "Dia akan menemukan cara agar aku yang disalahkan. Kita harus menjebaknya lebih dulu. Lalu kita hubungi polisi."
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu," kata Paulette. "Tapi..."
"Tidak!" sela Brad. "Kau tidak mengerti. Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjalani kehidupan bersama seseorang yang iri padamu. Orang yang begitu membencimu hingga bersedia melakukan apa saja untuk menghancurkan hidupmu. Dia tidak bisa dipercaya, Paulette. Aku membutuhkan bantuanmu untuk menghentikannya."
"Apa yang bisa kulakukan?" kata Paulette memprotes.
"Begitu kita mendengar pintu depan dibuka, kau panggil dirinya. Katakan kalau kau ada di atas sini," kata Brad. "Dia terobsesi denganmu. Begitu mendengar suaramu, dia akan lari kemari. Dia tidak akan berhenti untuk memikirkan di mana aku berada. Akan
kukalahkan dirinya dan kita bisa mengikatnya."
Paulette ragu-ragu. Entah bagaimana mencari bantuan untuk Brad terasa jauh lebih penting daripada menjebak Ed baginya.
"Please, Paulette. Katakan kau bersedia," pinta Brad.
"Oke," kata Paulette menyetujui. "Tapi bagaimana caramu melawannya? Kau terluka."
"Tidak seburuk itu," jawab Brad. "Aku sudah merasa jauh lebih baik sekarang."
"Tapi..." "Shh!" Paulette mendengar pintu depan berderak membuka. Lalu ia mendengar langkah-langkah kaki memasuki rumah.
"Paulette? Paulette, kau di sini?" jerit suara yang mirip bisikan.
"Sekarang!" bisik Brad.
BAB 22 "AKU bergerak ke samping pintu," bisik Brad.
Paulette mendengarnya menyeberangi ruangan dan menutup
pintunya dengan diam-diam.
"Aku akan bisa memukulnya hingga pingsan begitu dia membuka pintunya," lanjut Brad. "Teruskan---beritahu dia kalau kau ada di atas sini!"
"Tapi..." "Lakukan!" kata Brad bersikeras.
"Di sini!" teriak Paulette dengan suara serak. Ia membersihkan tenggorokannya dan berteriak, "Ini aku, Paulette. Aku di atas!"
Ia mendengar langkah-langkah berlari menaiki tangga, lalu debuman kaki di lorong. Ia mengundurkan diri hingga menempel di dinding seberang. Ia menahan napas.
Kuharap Brad cukup cepat, pikir Paulette. Ed akan berubah sinting kalau tahu aku sudah membantu menjebaknya.
"Paulette!" panggil Ed dari luar ruangan.
"Di sini!" ulang Paulette. "Cepat!"
Brak! Pintunya terdobrak membuka.
Paulette mendengar detakan keras yang menjijikkan. Lalu ia mendengar suara tubuh seseorang jatuh menghantam lantai.
"Aku berhasil!" jerit Brad serak. "Sempurna! Sekarang kita harus mengikatnya."
"Apa dia---apa dia terluka parah?" tanya Paulette.
"Siapa yang peduli?" kata Brad; "Yang penting dia tidak akan menimbulkan masalah lagi bagiku."
Ed mengerang, dan Paulette merasa muak. Brad terpaksa
melakukannya, katanya mengingatkan sendiri. Ed yang lebih dulu menyerangnya.
Ia mendengar Brad kembali menyeberangi ruangan. Cowok itu meraih tangannya dan membimbingnya ke ambang pintu. Ia
meletakkan seutas tali dalam genggamannya.
"Bawa ini," katanya. "Kuawasi dia sementara kau mengikat tangan dan kakinya. Dengan begitu kalau dia sadar, aku bisa memukulnya lagi. Kau mampu melakukannya?"
"Ya," gumam Paulette. Ia berlutut di samping Ed. Ia bisa mendengar napas Ed yang keras. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh kepalanya dan memeriksa seberapa parah luka cowok itu.
"Kau hanya punya waktu beberapa detik!" desak Brad padanya.
"Ikat sebelum dia sadar!"
Paulette teringat betapa berbahayanya Ed. Aku bisa mencari tahu seberapa parah lukanya sesudah dia kuikat, katanya sendiri mengambil keputusan.
Ia menyambar tangan Ed dan menyatukan keduanya. Ia
menggigil. Rasanya persis seperti tangan Brad.
"Cepat!" kata Brad.
Paulette melilitkan tali di sekitar pergelangan Ed beberapa kali membentuk angka delapan.
"Bagus!" seru Brad. "Sekarang simpul ikatannya."
Tangan Paulette mulai gemetar, membuatnya sulit untuk
mengikat Ed. Tapi akhirnya ia berhasil melakukannya. "Selesai,"
katanya. "Ikat kakinya," kata Brad.
Ed mengerang dengan suara keras. "Ayo!" kata Brad dengan tidak sabar. "Bagus---simpul yang kuat."
"Selesai," kata Paulette. Brad menariknya bangkit berdiri.
"Aku mau memindahkannya ke sisi seberang kamar," kata Brad. "Lalu kita bisa mengikatnya ke pemanas."
Paulette mendengar napas terengah-engah saat Brad menyeret saudaranya menyeberangi lantai kayu. Ed kembali mengerang. Lalu ia tersentak.
"Oh, tidak!" seru Ed. "Kau!"
Luar biasa, pikir Paulette. Suaranya begitu mirip Brad sekarang karena suara Brad sendiri begitu lemah.
"Benar," kata Brad kepada saudaranya. "Ini aku. Kami sudah menunggumu."
"Paulette?" seru Ed, suaranya lemah. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku sudah menceritakan semua kepadanya," kata Brad.
"Apa maksudmu?"
"Kuberitahukan siapa kita, semua tentang masa lalumu," jawab Brad.
"Apa dia tahu kalau kau yang melakukan perampokanperampokan itu?" tanya Ed. "Apa dia tahu kalau kau yang menembak temannya? Apa dia tahu..."
"Aku sudah memberitahukan semuanya, Ed," jawab Brad.
"Semuanya. Dan dia setuju untuk membantu diriku menjebakmu."
"Tidak!" seru Ed. "Tidak! Paulette, dia membohongimu!"
"Tutup mulut..." kata Brad.
"Dengarkan aku!" teriak Ed lemah. "Paulette, dia sudah menipumu! Dia Ed! Aku Brad!"
BAB 23 DIA Ed. Aku Brad. Tidak! pikir Paulette. Tidak, tidak mungkin!
"Paulette, dengarkan aku!" kata cowok di lantai. "Dia sudah membohongimu selama ini! Aku Brad!"
Cowok yang berdiri tertawa. "Jangan dengarkan dia, Paulette,"
katanya. "Sudah kukatakan betapa sintingnya dia. Sekarang dia berusaha agar kau menganggapnya sebagai diriku."
Paulette menjauhi keduanya. Lututnya gemetar. Ia bersandar ke dinding.
Cowok di lantai, yang tadi diikatnya, suaranya mirip Brad.
Tapi begitu pula cowok yang lain, cowok dengan siapa ia tadi bercakap-cakap.
Mereka berdua terdengar mirip dengan Brad.
"Jangan dengarkan Ed," kata cowok yang berdiri. "Dia berbahaya. Dia selalu berhasil meloloskan diri dengan berbohong."
"Memang benar!" teriak cowok yang di lantai. "Dan dia sekarang berbohong! Dia mencoba untuk menipumu!"
"Ed itu jahat," kata cowok yang berdiri. "Dia jahat, Paulette.
Dia begitu iri. Dia ingin membunuhmu karena dia tahu kau menyukai diriku."
Yang mana Brad yang asli? Paulette penasaran. Yang mana?
Kalau aku memilih orang yang salah, Ed akan membunuhku,
pikirnya. Dan dia juga akan membunuh Brad.
"Dengarkan aku, Paulette," kata cowok yang berdiri.
"Jangan dengarkan dia!" teriak cowok yang lain. "Dengarkan aku!"
"Aku Brad!" "Bukan, aku yang Brad!"
Yang mana yang harus dipercayainya?
Aku sudah menghabiskan waktu lebih banyak dengan cowok
pertama. Cowok yang berdiri. Dia tidak melakukan tindakan yang aneh. Setiap kali bersama Ed, dia selalu melakukan sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman.
Cowok yang berdirilah Brad yang asli, Paulette mengambil keputusan. Ed berbohong agar aku membebaskan ikatannya.
Tapi bagaimana caranya aku bisa yakin? pikirnya.


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu! Bekas lukanya. Brad memiliki bekas luka di atas matanya. Ed tidak.
"Aku mau menyentuh wajahmu," kata Paulette kepada cowok yang berdiri. "Dengan begitu aku tahu kalau kau sudah mengatakan yang sejujurnya."
"Silakan," jawab cowok yang berdiri itu.
"Jangan mendekatinya!" teriak cowok yang di lantai. "Dia ingin menyakiti dirimu!"
Paulette ragu-ragu. Mereka berdua terdengar sangat tulus.
Aku harus melakukannya, pikir Paulette. Ia maju mendekati cowok yang berdiri.
Jantungnya berdebar-debar begitu kencang hingga dadanya
terasa sakit. Ia mendekati cowok yang menurutnya adalah Brad.
Cukup dekat untuk menyentuhnya.
Cukup dekat bagi cowok tersebut untuk menyambarnya.
"Tidak!" teriak cowok yang di lantai. "Paulette, kau melakukan kesalahan besar!"
Paulette mengulurkan tangan. Ia mengelus alis mata cowok yang berdiri. Di kulit di samping matanya.
Sekarang ia tahu yang sebenarnya.
BAB 24 TIDAK ada bekas luka. Kulitnya halus.
"Oooh," kata Paulette mengerang.
Aku sudah membantu Ed menjebak Brad. Aku bahkan
mengikat Brad. Ia terhuyung-huyung menjauhi Ed. Cowok itu menyambarnya, memuntirnya. Ed melilitkan lengannya di leher Paulette dan menyentakkan gadis itu mendekat.
"Sudah kuperingatkan!" kata Brad dari lantai. "Sudah kucoba memberitahumu."
"Suaraku sangat mirip dengannya, bukan?" tanya Ed.
Paulette bisa merasakan semburan napas Ed yang panas di
rambutnya. "Aku bisa tampak seperti dirinya, terdengar mirip dengannya, bertindak seperti dirinya. Mudah sekali bagiku."
Memang benar, pikir Paulette. Perbedaannya sangat sedikit.
Ia tidak bergerak. Tidak berusaha untuk membebaskan diri.
Ed terlalu kuat. Aku memerlukan rencana, pikir Paulette.
"Berulang kali, sewaktu kau mengira sedang bersama Brad, sebenarnya kau sedang bersamaku," kata Ed padanya. "Kau mudah sekali ditipu, Paulette. Sangat mudah. Kau mudah mempercayai orang lain. Terlalu mudah mempercayai hingga merugikan dirimu sendiri."
"Kau yang ada di luar jendelaku malam itu, bukan?" tanya Paulette.
Rasanya sakit untuk berbicara sementara lengan Ed menjepit tenggorokannya. Tapi ia ingin memancing Ed agar terus berbicara. Ia memerlukan waktu untuk menemukan jalan keluar.
"Benar," kata Ed. "Kau menemukan cindera mata yang sengaja kutinggalkan untukmu?"
"Maksudmu, cincin Brad?" jawab Paulette.
"Benar," kata Ed. "Kuambil cincin itu dari Brad agar bisa kutinggalkan di sana."
"Di jalan hari itu---sewaktu aku jatuh di jalan. Kau juga yang ada di sana, bukan?" lanjut Paulette. Apa yang akan kulakukan?
pikirnya. "Bagus sekali," kata Ed. "Kau akhirnya mengerti juga. Itu memang aku. Aku yang menulis pesan di dindingmu. Dan aku yang memindah-mindahkan barang di halaman belakangmu. Rasanya hampir-hampir terlalu mudah, Paulette."
"Kenapa kau tega melakukan semua ini?" jerit Brad dari lantai.
"Paulette tidak pernah berbuat apa-apa terhadapmu!"
"Dia menyukaimu!" jawab Ed. "Sama seperti semua orang lainnya. Semua orang selalu menganggap dirimu begitu sempurna.
Sudah waktunya orang-orang sadar kalau aku juga ada!"
"Aku tidak tahu," kata Paulette. "Aku tidak pernah tahu. Brad, maafkan aku," bisiknya. "Maafkan aku."
Sekarang setelah ia berada begitu dekat dengan Ed, ia bisa mencium bau kayu manis yang samar. Bau yang sama dengan yang diciumnya sewaktu perampok tersebut berlari melewati mejanya di Pete's Pizza.
Seharusnya ia telah mengetahui sebelumnya, kata Paulette sendiri. Seharusnya ia sudah mengetahui kebenarannya.
Ed membungkuk, membawa Paulette bersamanya. Paulette
mendengar cowok itu memungut sesuatu dari lantai.
Ed menegakkan tubuhnya kembali. Lalu ia menyambar kedua
pergelangan tangan Paulette dengan tangannya yang besar. Ia melepaskan cengkeraman pada leher Paulette saat mulai mengikat kedua tangannya.
Paulette merasa panik. Aku tidak akan bisa melakukan apa-apa kalau terikat, pikirnya. Ia menyentak ke satu sisi---dan berhasil membebaskan satu tangan.
"Jangan bergerak!" teriak Ed. Ia menampar Paulette.
Paulette tersentak. "Jangan ganggu dia!" teriak Brad.
Ed mengabaikannya. Ia mendorong Paulette ke bawah,
menekan punggungnya dengan lutut.
Paulette tercekik debu di lantai. "Hentikan!" jeritnya.
"Hentikan, kau menyakitiku!"
"Well, sayang sekali!" jawab Ed. "Tapi jangan khawatir. Tidak lama lagi. Sudah waktunya untuk mengakhiri permainan kecil kita!"
"Lepaskan dia!" jerit Brad. "Ini antara kau dan aku!"
"Tidak lagi!" jawab Ed.
Ia menyentakkan Paulette hingga berlutut. Lalu ia menyatukan kedua tangan Paulette dengan paksa dan melilitkan tali di sekelilingnya. Ia mengikat Paulette, menyentakkan talinya begitu erat hingga menancap ke kulit gadis itu.
"Please," pinta Brad. "Please, Ed, biarkan dia pergi."
"Tidak bisa," kata Ed. "Dia tahu terlalu banyak. Lagi pula, kalau aku tidak bisa mendapatkannya, untuk apa aku membiarkan orang lain yang mendapatkannya?"
Ed mulai mengikat kedua kaki Paulette.
Aku menunggu terlalu lama, pikir Paulette. Sekarang tidak ada jalan untuk melarikan diri.
"Dia tidak tahu tentang dirimu," lanjut Brad. "Dia mengira aku tidak memiliki saudara kembar."
"Tapi selama ini memang begitu, brother," jawab Ed, terdengar semakin marah. "Semua orang mengira kau seorang diri saja. Kau.
Brad. Bocah yang sempurna. Well, bocah yang sempurna tidak lama lagi akan lenyap."
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu," lanjut Brad. "Tapi, please, Ed. jangan libatkan Paulette dalam hal ini. Dia tidak bersalah.
Satu-satunya kesalahannya hanyalah menyukai diriku."
"Itu sebabnya aku akan membunuhnya," kata Ed dingin.
"Kau tidak akan bisa meloloskan diri," kata Brad. "Kali ini kau akan tertangkap."
"Jangan terlalu yakin," jawab Ed. "Pada saat mereka menemukan mayat kalian, aku sudah lama pergi."
Paulette berhasil menggulingkan diri ke samping. "Tapi bagaimana---bagaimana dengan orangtua kalian?" tanyanya. "Mereka harus tahu kebenarannya."
"Ayah kami meninggal sewaktu kami masih bayi," kata Brad padanya. "Ibu kami berusaha sebaik-baiknya, tapi dia sakit terlalu lama. Dia meninggal musim panas yang lalu. Sewaktu aku ditangkap karena pencurian yang dilakukan Ed, aku melanggar jaminan dan datang kemari. Kukira aku bisa memulai kehidupan baru."
"Dan hampir berhasil, bukan?" tanya Ed. "Tapi kurang. Dan sekarang tidak mungkin aku ditangkap. Tidak ada orang di Shadyside yang tahu kalau Ed Jones ada."
"Kau tidak bisa berbuat begini!" seru Paulette. "Please, Ed--biarkan kami pergi!"
"Terlambat," kata Ed.
Paulette mendengarnya menyeberangi ruangan, lalu ia
mendengar geseran logam pada logam.
"Tidak!" jerit Brad. "Ed, jangan..."
Desisan keras memenuhi ruangan. Sesaat kemudian Paulette mencium bau tajam gas yang belum tersulut.
"Matikan!" teriak Brad.
"Seperti ini?" tanya Ed.
Paulette mendengar dentangan logam lagi, diikuti ceklikan yang tajam.
"Ups!" kata Ed. "Tangkainya patah. Kurasa tidak mungkin untuk mematikannya sekarang."
Desisan tersebut terus terdengar. Bau gas mulai mengisi
ruangan. "Aku akan mengambil uangnya sekarang," kata Ed pada mereka. "Kusembunyikan di ruangan lain. Pada saat aku kembali kalian berdua pasti sudah tidak sadar. Saat itu akan kulepaskan ikatanmu, Brad. Pasti tampak aneh kalau penculik Paulette juga terikat."
Paulette mendengar Ed berjalan ke pintu. Bau gas yang
menghambur menguasainya. Memenuhi cuping hidungnya, tenggorokannya, mencekiknya.
Tidak lama lagi, gas itu akan membunuhnya.
Kecuali... "Tunggu!" seru Paulette. "Ed, tunggu!"
"Apa?" kata Ed. "Apa maumu?"
Paulette menghela napas dalam-dalam. "Jangan tinggalkan aku di sini!" jeritnya. "Aku mau ikut denganmu!"
BAB 25 "APA?" tanya Ed. "Apa katamu?"
"Aku mau ikut denganmu, Ed!" jerit Paulette. "Jangan tinggalkan aku di sini!"
Ed tidak segera menjawab. Lalu ia tertawa. "Untuk apa aku mengajakmu? Kau jatuh cinta pada Brad."
"Tidak," kata Paulette. "Aku jatuh cinta padamu!"
"Apa?" seru Brad.
"Kau bohong," tuduh Ed.
"Tidak," jawab Paulette. Ia menyadari kalau suaranya gemetar.
Ia menghela napas dalam dan melanjutkan, setenang mungkin.
"Maafkan aku, Brad. Maaf, tapi itu yang sebenarnya."
"Untuk apa aku harus mempercayaimu?" sergah Ed. "Kau akan mengatakan apa saja untuk menyelamatkan diri. Untuk
menyelamatkan Brad."
"Bagaimana agar aku bisa meyakinkanmu?" lanjut Paulette.
"Aku tidak tahu yang sebenarnya hingga malam ini. Selama berminggu-minggu ini, kukira yang ada hanyalah Brad. Aku tidak menyadari kalau kalian sebenarnya berdua."
"Tidak penting," sela Ed. "Kau memilih Brad."
"Tapi terkadang sewaktu sedang bersamanya, aku sebenarnya sedang bersamamu," kata Paulette bersikeras. "Sekalipun aku tidak tahu kalau itu kau. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya aku mencintaimu selama ini. Setiap kali bersamamu, aku merasa lebih hidup. Kau selalu agak berbahaya. Menyenangkan."
"Kau benar-benar mengira aku akan mempercayainya?" tanya Ed.
"Aku mengatakan yang sejujurnya," jawab Paulette penuh semangat.
"Sulit dipercaya!" seru Brad. "Kau resah. Kau tidak tahu apa yang kaukatakan."
"Aku tahu persis apa yang kukatakan," kata Paulette kepadanya.
"Aku tahu kalau kau percaya aku menyayangimu. Tapi aku tidak tahu tentang Ed."
Paulette memaksa diri untuk mengabaikan perasaan terluka yang terdengar dalam suara Brad. Ia harus memusatkan perhatian pada Ed. Ia harus meyakinkan cowok itu kalau sebenarnya ia mencintai Ed.
Ed tidak menjawab. "Kau mendengarkan?" tanya Paulette.
"Yeah," gumam Ed dari lorong.
"Bagaimana lagi caraku untuk meyakinkanmu?" lanjut Paulette.
"Entahlah," seru Ed. Ia terdengar kebingungan.
"Please, Ed," kata Paulette. "Beri aku kesempatan. Aku tahu kalau kau sering mengalami kekecewaan. Aku bisa memahami kalau orang-orang selalu mengabaikanmu karena Brad. Tapi aku tidak akan melakukannya, Ed. Aku akan mengutamakan dirimu. Kau hanya perlu memberiku kesempatan."
Ed tidak menjawab. "Please, Ed, ajak aku bersamamu," pinta Paulette. Ia menahan napas, menunggu keputusan Ed.
"Baiklah," gumam Ed. "Baiklah, kau ikut denganku."
Berhasil! pikir Paulette. Ia mempercayaiku!
Ia mendengar Ed kembali masuk ke dalam ruangan, lalu
berlutut di sampingnya di lantai. Ed melepaskan ikatan di pergelangan kakinya. Lalu cowok itu menyambar pergelangan tangannya dan menariknya berdiri.
"Aku masih belum mempercayaimu sepenuhnya," kata Ed.
"Aku tidak akan melepaskan ikatan tanganmu."
"Tidak apa," kata Paulette kepadanya. "Kau akan mempercayaiku kelak. Lihat saja."
"Paulette..." seru Brad dengan lemah dari lantai. "Kau benar-benar akan pergi bersamanya?"
Paulette merasakan hatinya hancur, mendengar keputusasaan dalam suara Brad. Tapi ia tahu kalau tindakannya ini merupakan satu-satunya kesempatan. Satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan mereka berdua.
"Maafkan aku, Brad," katanya. "Aku ingin bersama Ed."
"Ayo," kata Ed padanya.
Cowok itu membimbingnya ke lorong dan menyusuri lantai
papan yang kasar. Ia mendengar pintu berderit membuka.
"Ini kamar tidur utama," kata Ed padanya. "Ada perapian di sini. Uangnya kusembunyikan di balik beberapa buah batu bata yang terlepas."
"Katakan apa yang harus kulakukan," kata Paulette.
"Pegangi lampu senterku. Senternya akan kuarahkan ke batu-batu batanya."
"Baik," kata Paulette menyetujui.
Ed menempelkan sebuah lampu senter besar yang berat ke
tangan Paulette yang terikat.
Paulette mencengkeramnya erat-erat.
"Nah," kata cowok itu padanya. "Sekarang pegang kuat-kuat sementara kulepaskan batu batanya, bisa?"
Ed bergerak menjauhinya. Paulette mendengar suara batu
menggeser pada batu lainnya.
"Arahnya tepat?" tanya Paulette.
"Ya, sempurna," kata Ed. "Pegang saja terus. Di sini benar-benar gelap." ebukulawas.blogspot.com
Paulette mendengarkan suara Ed dengan hati-hati. Ia
memperhatikan dengan sungguh-sungguh suara geseran tersebut, dengan hati-hati membayangkan keberadaan Ed.
Ia melemparkan lampu senter tersebut ke dalam perapian. Ia mendengarnya menghantam batu. Ia membayangkan kegelapan yang tiba-tiba melingkupi kamar tersebut.
"Hei...!" seru Ed terkejut.
"Sekarang kita seri!" teriak Paulette. "Sekarang kau juga tidak bisa melihat!"
Bab 26 "AKU mempercayaimu!" jerit Ed.
Paulette mendengar kuku-kuku jemari cowok Ed mencakar
lantai. Lalu ia mendengar suara potongan-potongan logam kecil bergulir di batu.
Ia mendengar Ed bangkit dan menerjang ke arahnya. Ia mundur.
Kegelapan bukan masalah bagiku, Ed, pikir Paulette. Tapi bagimu itu masalah. Sekarang aku yang lebih diuntungkan.
Tapi tidak untuk waktu lama, katanya mengingatkan sendiri.
Mata Ed akan menyesuaikan diri dengan kegelapan. Tidak lama lagi.
Sebentar lagi. "Di mana kau?" teriak cowok itu.
Paulette tidak menjawab. Kalau ia bicara, Ed akan lebih mudah menemukan dirinya.
"Kau akan menyesal!" gumam cowok itu. "Akan kubuat kau menyesal!"
Paulette teringat betapa besar tubuh Ed, dan betapa jahat cowok itu. Tapi tidak penting, katanya sendiri. Tidak kalau ia tidak bisa menangkapku!
"Akan kutangkap kau!" kata Ed.
Paulette membayangkan ruangan tersebut dan mulai bergerak ke pintu. Ia bisa mendengar Ed menerjang ke arahnya, beberapa kaki di belakangnya. Ed tidak berdaya.
"Kau tidak akan bisa melarikan diri," kata Ed. "Kau tidak akan bisa menjauhiku selamanya, kau tahu. Aku akan menangkapmu!"
Paulette tidak menjawab. Ia menjulurkan tangannya. Ia hampir tiba di ambang pintu. Ia maju selangkah lagi. Ujung jemarinya menyapu kusen pintu dari kayu.
Ia melesat ke lorong. Bau tajam gas memenuhi cuping
hidungnya. Rencananya adalah memancing Ed menjauhi Brad. Lalu
berusaha untuk melarikan diri dari rumah, lari ke tetangga, dan menghubungi polisi.
Tapi mungkin tidak semudah itu, Paulette menyadarinya
sekarang. Waktunya semakin sempit. Bau gasnya kuat, sangat kuat. Dan ia mulai merasa pusing.
Paulette mulai menyusuri lorong. Ia meraba-raba dinding.
Menggunakannya untuk memandu langkahnya.
Ibu jari kakinya menghantam karpet---dan ia jatuh.
Ia mendengar Ed mendekatinya.
"Aku mendengarnya," kata cowok itu. "Aku tepat di belakangmu."
Paulette bangkit dan terus maju.
"Mataku mulai terbiasa dengan kegelapan," kata Ed padanya.
"Aku bisa melihatmu, Paulette. Kau hanya bayang-bayang, tapi aku bisa melihatmu."
Paulette tidak menjawab. Ia menyusuri lorong setenang
mungkin. Ia mendengar langkah-langkah kaki Ed. Cowok itu hanya
beberapa kaki di belakangnya.
"Tidak bagus, Paulette," kata cowok itu padanya. "Aku bisa melihatmu. Akan kutangkap kau. Dan dengan begitu kau dan Brad tamat riwayatnya."
Paulette menuju ke tangga. Ini tidak sesuai dengan rencananya.
Entah bagaimana, ia harus turun ke lantai dasar. Keluar melalui pintu.
Dan mencari bantuan. Tapi sebelum ia mencapai tangga, tangan-tangan Ed yang kuat telah menyambarnya. Mencengkeramnya erat-erat.
"Sudah selesai bagimu," kata cowok itu padanya, suaranya gemetar karena murka. "Sudah selesai sekarang."
Bab 27 "TIDAK!" jerit Paulette. Ia mencoba untuk membebaskan diri.
"Kau membohongiku!" teriak cowok itu. "Kau mencoba membuatku berpikir kalau kau menyayangiku! Sekarang aku akan membunuhmu!"
Ed mengguncangnya. Paulette merasa lemah, kecil, tidak
berdaya. Ed begitu besar, jauh lebih kuat.
Jangan melawan musuhmu, ia mendengar suara tersebut dalam kepalanya. Ms. Tillotson. Pelatih bela diri.
Latihannya membanjir kembali ke dalam ingatannya.
Jangan melawan musuhmu, kata pelatih tersebut. Jangan
bertahan. Sebaliknya, gunakan kekuatan musuhmu untuk
menghadapinya. Paulette mulai merasa lebih kuat. Aku tahu apa yang harus kulakukan, katanya sendiri. Aku harus tetap tenang. Tenang dan kuat.
"Ayo!" sentak Ed. "Kau akan kembali ke kamar yang tadi.
Kembali untuk mati bersama pacarmu."
Paulette tidak menjawab. Ia membayangkan dirinya dan Ed, berdampingan. Ia memusatkan perhatian untuk mengingat tata letak lorong.
Tangganya hanya satu atau dua kaki dari tempat ia dan Ed berdiri.
"Tidak banyak yang bisa kaukatakan sekarang, bukan?" kata Ed.
Tunggu, kata Paulette sendiri. Tunggu sampai ia bergerak. Kau harus mengejutkannya.
"Sulit dipercaya kalau aku pernah mengira kau adalah Brad satu detik sekali pun," jerit Paulette. "Kalian tidak mirip satu sama lain.
Brad cowok terhebat yang pernah kutemui. Dan kau..."
Ed menggeram pelan. Ia menyentak Paulette ke arahnya.
Sekarang! pikir Paulette. Ia membuang diri ke arah yang sama.
"Hei!" seru Ed terkejut sewaktu Paulette menghantam dirinya.
Cowok itu mendorongnya menjauh---ke arah tangga.
Paulette menyambar pergelangan tangan Ed dan menariknya
bersama dirinya. Mereka melayang ke depan---langsung menuju ke tangga yang telah membusuk.
Bab 28 PAULETTE membayangkan tangga yang panjang dan curam
tersebut. Tangga yang telah membusuk.
Paulette melepaskan Ed, dan mendarat dengan keras di karpet yang telah berlumut.
"Tidaaak!" jerit Ed.
Paulette mendengar tangan cowok tersebut menghantam pagar tangga.
Pagar tangganya roboh dengan suara yang memekakkan telinga.
Paulette mendengar Ed menjerit sewaktu terjun ke tangga. Ia mendengar bunyi debuman keras. Dan akhirnya ia mendengar debaman keras.
Lalu ia tidak mendengar apa-apa lagi. Tidak ada teriakan, tidak ada suara napas.
Sunyi. Paulette menghela napas dalam. Ia merasa debaran jantungnya mulai mereda. Berhasil, pikirnya. Aku aman.
Ia beranjak bangkit. Ia berdiri di puncak tangga selama
beberapa saat. Ed tidak bersuara. Brad! pikirnya. Aku harus mengeluarkannya dari sana.
Ia bergegas kembali ke kamar tidur tempat Brad terbaring dalam keadan terikat.
Bau gas mencekiknya. Ia mulai merasa pusing.
Paulette berlutut dalam posisi merangkak, dan maju
menyeberangi lantai. Udara di bawah lebih bersih.
"Brad!" serunya. "Brad, kau baik-baik saja?"
Mula-mula tidak terdengar jawaban. Lalu ia mendengar


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

erangan. "Brad!" jeritnya.
"Ya..." Suara Brad lemah, tapi paling tidak ia masih sadar.
"Kita harus pergi dari sini. Nanti kujelaskan apa yang sudah terjadi," katanya pada cowok itu.
"Ku... kukira aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi,"
gumam Brad. Ia terdengar seperti orang terbius.
Dengan cepat, Paulette melepaskan ikatan kaki Brad. Ia
membantu cowok itu merangkak keluar kamar, ke lorong.
Ia menarik cowok itu berdiri. Mereka berjalan menuju ke
tangga. Brad terjatuh. Paulette mendengarnya.
"Tidak bisa," gumam Brad. "Lelah sekali."
Paulette berdiri bergoyang-goyang. Lantai rasanya seperti bergerak-gerak di bawah kakinya.
Pusatkan perhatian, perintahnya sendiri. Ia harus mengeluarkan mereka berdua dari sini sebelum ia sendiri jatuh pingsan.
"Ayo, Brad," katanya. "Tidak jauh lagi. Kau bisa melakukannya."
Paulette menarik Brad berdiri. Ia memeluk pinggang Brad dan terhuyung-huyung menuju ke tangga.
Brad berat. Setiap langkah memaksa Paulette untuk menguras tenaga.
"Kau harus membantuku sekarang," kata Paulette sewaktu mereka tiba di puncak tangga. "Ada beberapa anak tangga yang membusuk. Lihat anak tangga pertama. Apa baik-baik saja?"
Brad tidak menjawab. Paulette merasakan kepala cowok
tersebut bersandar di bahunya.
Ia mengguncang Brad. "Brad! Lihat tangganya. Apa anak tangga yang pertama aman?"
"Yeah," jawab Brad. Ia berbicara perlahan-lahan. Suaranya terdengar berat.
"Bagus," jawab Paulette. Ia membantu Brad turun ke anak tangga pertama.
Perlahan-lahan, dengan hati-hati, mereka menuruni tangga tersebut.
Di bawah tangga Paulette merasakan hambatan berat.
Ed. Ia berlutut, menyentuh wajahnya. Ia merasakan darah mengalir dari sudut mulut cowok tersebut.
"Kepalanya. Kepalanya... terpuntir," kata Brad. "Lehernya patah. Ia sudah mati, Paulette."
"Aku... aku terpaksa!" jeritnya. "Aku tidak bermaksud untuk membunuhnya. Aku cuma ingin melarikan diri."
"Aku tahu," kata Brad. "Kau sudah menyelamatkan nyawa kita berdua. Jangan pernah melupakannya."
Bau gas jauh lebih samar di bawah tangga. Paulette merasakan kekuatannya pulih. Mereka bergegas menuju ke pintu depan.
Setelah melangkah keluar, Paulette menghela napas dalam, menghirup udara malam yang terasa dingin. Ia mendengar sirene melolong di kejauhan.
"Ada yang terluka?" kata seorang pria dari halaman rumput.
"Kulihat ada cahaya lampu senter yang berkeliaran di dalam sana dan aku menghubungi polisi. Apa semuanya baik-baik saja?"
"Ya, Sir," jawab Brad. Ia terdengar jauh lebih baik. Ia meremas tangan Paulette. "Ya. Kurasa semuanya akan baik-baik saja."
Ia berbalik memandang Paulette. "Rasanya seperti akhirnya aku berhasil keluar dari kegelapan," katanya pada Paulette.
"Sungguh." END Autumn In Paris 3 Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 13

Cari Blog Ini