Ceritasilat Novel Online

Dendam Kesumat 1

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 1


Dendam Kesumat karya Widi Widayat Pembuat Djvu : ...... Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 24 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!! *** DENDAM KESUMAT Karya : Widi Widayat Jilid : I
SESUDAH Kadipaten Pati runtuh, wilayah Kadipaten Pati menjadi bagian wilayah Kerajaan Mataram dengan Raja Sultan Agung. Nama Tumenggung Wiroguno menjadi amat terkenal. Keberhasilannya mengalahkan Pati, ia dielu-elukan oleh rakyat dan punggawa Mataram di saat pulang kembali ke Mataram. Ia disanjung tinggi sebagai seorang pahlawan. Dan oleh keberhasilannya itu, kemudian Tumenggung Wiroguno mendapat hadiah seorang "gadis tawanan", bernama Rara Mendut. Sesungguhnya gadis bernama Rara Mendut ini, calon selir Adipati Pragola. Tak mengherankan kalau Rara Mendut dipuji sanjung sebagai seorang gadis yang cantik jelita bagai bidadari. Akan tetapi tentang cerita Rara Mendut ini, akan diceritakan kemudian sesudah cerita "Dendam Kesumat" ini tamat. Dan yang penting kita sekarang, mengikuti kepergian Prayoga dan Sarini yang selalu bercanda dengan maut.
Dalam perjalanan mereka meninggalkan Kadipaten Pati itu, mereka nampak rukun. Pada kesempatan ini Prayoga lalu menceritakan keadaannya selama berpisah. Dan diceritakan pula tentang kesaktian Ladrang Kuning, yang menyebabkan si Bangkok Baskara menderita luka dalam. Dan oleh pembelaan Ladrang Kuning yang menuruti permintaan Mariam itu, menyebabkan Swara Manis yang sudah ditawan menjadi lepas kemba-li.
Tiba-tiba saja Sarini mencaci-maki kepada Mariam maupun Swara Manis. mendengar kisah itu. Kalau
saja Mariam tidak banyak ulah, dirinya tidak terancam maut oleh ladrang Kuning di dasarjurang. Kemudian Sarini menceritakan pula pengalamannya, selama dirawat oleh Kigede Jamus. Hanya dalam waktu tiga hari saja lukanya sudah sembuh, berkat kesaktian kakek itu.
"Tetapi apakah sebabnya ilmu kepandaianmu maju pesat dalam waktu tidak lama?" tanya Prayoga yang heran.
"Hi-hi-hik," Sarini cekikikan.
"Lucu sekali. Kakek itu di samping seorang sakti mandraguna juga jujur."
"Apa maksudmu?"
"Hi-hi-hik, dalam tiga hari lukaku sudah sembuh. Tetapi aku masih pura-pura kesakitan hebat dan merengek-rengek. Dan tiap hari ada-ada saja yang aku keluhkan kepada kakek baik hati itu. Aku katakan, kalau jantungku lemah, kepala pening, dan macam-macam yang lain. Di samping aku merengek, akupun menyesalkan mengapa kakek itu melawan ibu guru, sehingga berakibat akulah yang menderita. Agaknya kakek itu percaya dan tampak gugup. Kemudian dengan rela ia sedia memberi ilmu tenaga dalam maupun tenaga sakti kepada diriku. Hi-hi-hik, bukankah aku beruntung?"
"Hem, engkau kurangajar sekali," cela Prayoga.
"Ketahuilah bahwa Kigede Jamus bukan saja seorang tua sakti tetapi juga waskita. Aku tidak percaya kalau kakek itu percaya saja kepada omonganmu. Aku pikir, karena kakek itu seorang pertapa yang tidak ingin membuat dirimu malu, maka kakek itu pura-pura tidak tahu. Lalu sedia pula memberi pelajaran ilmu kesaktian kepada dirimu. Hemm, aku tahu, sebabnya kakek itu sedia memberi ilmu kesaktian kepada dirimu, bukan karena hasil rengekanmu, tetapi karena engkau memang mempunyai bakat yang baik. Dan karena bagaimanapun engkau merupakan muridnya pula sekali
pun tidak resmi, maka sudah merupakan kewajiban bagi dirimu untuk menghormati kakek itu."
"Apa. tak usah. Huh... engkau sok pintar." damprat Sarini walaupun dalam hati sependapat.
"Huh, aku tidak membutuhkan wejanganmu. tahu? Kalau aku tak pura-pura sakit, mana mungkin kakek itu sedia memberi pelajaran?"
"Ya ya sudahlah kalau memang begitu." Prayoga mengalah karena selalu kalah beradu lidah.
"Tetapi aku bermaksud baik, justru untuk kepentinganmu sendin."
"Tapi aku juga mengerti." Sarini mengamati Prayoga tak berkedip. kemudian ketawa.
Prayoga terkesiap. Selama ini dirinya tidak pernah memperhatikan Sarini, sekalipun bergaul bertahun tahun. Saat ini sesudah memperhatikan gadis yang sedang mekar ini, diam-diam hatinya tak dapat membantah bahwa sesungguhnya Sarini seorang gadis cantik di samping lincah.
"Kakang... aku ingin bertanya." ujar Sarini.
"Apakah mbakyu Mariam tak mau mengakui sudah bertunangan dengan dirimu?"
Ada sebabnya Sarini tiba-tiba menanyakan hal ini. Karena. selama ini Prayoga tidak pernah menatap dan memperhatikan dirinya. Akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja Prayoga mau memperhatikan.
"Benar..." sahut Prayoga lesu.
"Engkau sedih dan kecewa ?"
"Ya... pada mulanya memang begitu," sahutnya jujur.
"Tetapi setelah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dia mencintai Swara Manis aku menjadi sadar."
Jantung Sarini mendadak berdebar mendengar jawaban itu. Ia menundukkan kepalanya. dan sepasang pipi itu tiba-tiba memerah jambu. Untung juga Prayoga tidak memperhatikan, sehingga berkuranglah debaran jantung gadis ini. Dan karena Prayoga tidak bereaksi apa-apa, kemudian Sarini bertanya,
"Kakang, bolehkah aku bertanya?"
Prayoga tercengang. Tidak biasa Sarini bicara seperti ini, agak malu dan ragu. Selama dirinya bergaul, gadis ini pandai sekali bicara sehingga dirinya selalu kalah berdebat.
"Apa yang akan kau tanyakan?" Prayoga memperhatikan.
"Ah... tidak jadi saja..." sahut gadis ini.
"Mari cepat-cepat kita pergi dari tempat ini, agar tidak berhadapan dengan musuh "
"Kemana kita harus pergi?"
"Kemanapun jadi. Yang penting aku dapat menyertai perjalananmu."
"Hem..." Prayoga berpikir.
"Kalau kita kembali ke Muria, kemungkinan kita tak dapat bertemu dengan siapapun. Sebab semua orang takkan sanggup berhadapan dengan peluru meriam itu. Tetapi... "
"Sudahlah kakang, ke manapun jadilah. Yang terpenting, secepatnya kita harus meninggalkan Pati."
Karena tak tahu ke mana harus pergi, akhirnya dua orang muda ini hanya menurutkan kakinya melangkah. Celakanya, tak lama kemudian hujan turun lebat sekali. Dalam usahanya untuk tidak basah oleh hujan, kemudian mereka berlarian mencari tempat untuk berteduh. Padahal mereka sedang di dalam sebuah hutan. Tak cukup mereka hanya bernaung di bawah pohon.
Untung juga tak lama kemudian mereka melihat sebuah bangunan tua.
Bentuknya mirip dengan mesjid. berdinding papan kayu. Untung pintu bangunan itu tidak tutup. Mereka cepat menerobos masuk. Ternyata di dalamnya kotor penuh debu dan atap sebagian banyak tiris (trocoh). Sesudah menebarkan pandang mata ke sekeliling, pandang mata mereka tertumbuk kepada sebuah meja kayu yang kasar. Meja tersebut kering, dan lantainya tidak basah oleh genangan air.
"Kakang... marilah kita berteduh di bawah meja itu saja." ajak Sarini sambil menarik tangan Prayoga.
Meja itu tak begitu lebar. Di samping itu sebelah kiri dan kanan. ditutup dengan kayu, sehingga bawah meja menjadi sempit. Maka pemuda ini enggan menuruti permintaan adik seperguruannya.
"Kakang, mengapa enggan? Apakah engkau lebih suka basah oleh air, daripada berteduh di bawah meja?" desak Sarini.
Karena didesak Prayoga menurut. Tetapi karena sempit. mereka terpaksa duduk berhimpitan. Dan karena pakaian mereka basah, rasanya juga kurang nyaman.
Agak beberapa lama mereka duduk sambil berdiam diri. Tetapi Sarini yang tidak betah berdiam diri, kemudian bertanya,
"Kakang... sesudah mbakyu Mariam tidak mencintaimu, bagaimanakah perasaanmu sekarang? Apakah engkau akan tetap melamunkan dia, atau mengalihkan perhatianmu kepada gadis lain?"
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Prayoga polos.
"Aku sudah mempermainkan engkau sedemikian rupa. Apakah engkau tidak marah kalau aku menerangkan terus-terang?" Sarini bertanya demikian, maksudnya ingin membuka rahasia tentang pertukaran benda sebagai tanda tunangan waktu itu.
"Hemm, mengapa aku harus marah? Katakanlah!"
"Hemm... malam itu... ."
"Stt... diamlah..." tiba-tiba Prayoga mencegah.
Sarini memasang telinga. Ia kemudian mendengar pula langkah kaki orang. Mereka berdiam diri dan mengamati luar rumah. lalu tampaklah dua orang lakilaki masuk ke dalam, dan salah seorang berkata,
"Setan... hujan ini benar-benar tidak tahu aturan."
"Hemm, siapa yang dapat mencegah turunnya hujan? Masih untung kita dapat berteduh di rumah bobrok ini!" sahut kawannya.
"Ah... tetapi meja itu kering." Kemudian mereka menghampiri meja.
Prayoga khawatir dan bermaksud akan ke luar. Akan tetapi Sarini cepat mencegah. katanya,
"Jangan. Lebih baik kita tetap sembunyi di sini sambil mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Hem... siapa tahu kita memperoleh keterangan penting dari pembicaraan mereka?"
"Keparat!" gerutu orang pertama.
"Memperoleh tempat berteduh. tetapi di sana-sini bocor. Apakah tidak lebih baik kita berteduh di bawah meja saja?"
"Sudahlah, kiranya lebh enak kita duduk di atas meja. Dengan begitu kita akan tahu keadaan," sahut kawannya.
"Kurangajar!" umpat Sarini dalam hati. Kalau sampai terjadi, mereka menerobos masuk bawah meja, kehadirannya tentu diketahui orang.
Beberapa jenak kemudian, terdengar mereka bicara,
"Kakang Dasa Muka. Apakah sebabnya Swara Manis mencari dirimu?"
Disebutnya nama Dasa Muka dan Swara Manis, membuat Prayoga dan Sarini yang duduk di bawah meja menjadi tegang. Kemudian mereka memusatkan perhatian, agar dapat mendengar dengan jelas.
"Hemm, sepanjang yang aku ketahui, dia sudah terikat janji dengan orang bernama Darmo Saroyo. Kabar yang aku dengar, antara mereka akan bertanding Ilmu kesaktian di Gunung Slamet. tidak lama lagi."
Dasa Muka berhenti sejenak, menghela napas panjang.
"Swara Manis tidak mau menggantungkan bantuan gurunya. Ki Hajar Saptabumi, dan dia akan menghadapi lawan itu dengan kemampuannya sendiri. Di dalam mempersiapkan diri untuk bertanding itu, kemudian dia teringat kepada diriku. Karena waktu itu dirikulah yang telah berhasil mencuri pedang pusaka milik Ladrang Kuning. bernama nyai Baruni. Dia tertarik kepada pedang pusaka itu, dan ingin membelinya."
Sarini kaget sekali dan menyentuh Prayoga. Akan tetapi Prayoga berdiam diri, agaknya juga mendengarkan penuh perhatian, tentang pembicaraan dua orang itu.
"Ha-ha-ha," orang itu terbahak.
"Siapapun mengakui bahwa kakang Dasa Warna alias Dasa Muka, seorang yang amat cerdik. Oleh kecerdikanmu, sekalipun, Ladrang Kuning dapat ditipu dan pedangnya dapat dicuri. Eh eh? aku pernah mendengar bahwa pedang pusaka itu sebenarnya satu pasang, yang satu jantan dan yang lain betina. Tentunya pedang pusaka itu hebat bukan main?"
"Tentu saja." Dasa Muka menjawab.
"Pedang pusaka itu tajam bukan main. ibarat dapat memapas baja seperti membelah lumpur saja. Mungkin di dunia ini. ketajaman pedang pusaka itu tak ada tandingannya."
"Tetapi selama ini aku belum pernah mendengar, engkau mempamerkan pedang pusaka yang berhasil engkau curi itu. Sekarang, dapatkah engkau memberi kesempatan kepada diriku agar aku dapat melihatnya barang sebentar?"
"Hem... tetapi pedang itu sudah lama tidak di tanganku lagi."
"Ehh... aku Bagus Wahono. Aku bukan seorang yang serakah dan melupakan budi orang. Tetapi mengapa engkau curiga kepada diriku?"
Sarini menyentuh Prayoga lagi sambil berbisik,
"Kakang, orang yang bernama Bagus Wahono itu, laki-laki kurangajar yang tangannya buntung oleh pedang mbakyu Mariam waktu itu... ."
Karena khawatir didengar orang, dalam membisikkan kata-kata ini Sarini merapat Prayoga. Di samping itu bibirnya juga merapat, menyentuh daun telinga kakak seperguruannya. Sentuhan bibir yang hangat itu menyebabkan hati pemuda ini meriang, nikmat, menyebabkan pemuda ini seperti kehilangan kesadaran.
Mereka yang duduk di atas meja tidak menyadari keadaan di bawah meja. Lalu Dasa Muka menjawab,
"Ah... engkau jangan cepat menuduh diriku tidak percaya. Kalau saja pedang itu masih di tanganku, mana mungkin aku mempersulit Swara Manis yang sudah berkali-kali menolong diriku?"
"Hemm... kalau tidak di tanganmu, lalu ke mana sekarang pedang itu pergi? Pedang tidak mempunyai kaki, tentunya engkau pula yang menyingkirkannya."
"Hemm... ketika itu. sesudah aku berhasil mencuri pedang ladrang Kuning, aku menjadi bingung sendiri." Dasa Muka menceritakan.
"Sebabnya aku bingung, karena aku menyadari, diriku seorang lemah. Jika tetap di tanganku, diriku malah diancam oleh bahaya, karena orang yang tahu berusaha merebut. Sebagai akibat kekhawatiran dan ketakutanku itu, akhirnya aku merencanakan untuk menyerahkan pedang pusaka kepada Ki Hajar Sapta Bumi. Tetapi hem... celaka... ."
"Apa yang terjadi?" Bagus Wahono kaget.
"Pada suatu hari, datanglah utusan sahabatku yang ingin melihat pedang pusaka termasyhur itu. Karena sahabat aku tidak ingin membuat dia kecewa, dan terpaksa pedang itu aku antar sendiri ke sana. Akan tetapi dasar nasib sedang sial. Setiba di tempat sahabatku, pedang pusaka itu dirampok oleh gerombolan penyamun yang berdiam di Pegunungan Dieng ......"
"Ah... apakah engkau juga menerangkan begitu kepada Swara Manis?"
"Sudah. Dan aku juga minta pertolongannya, agar Swara Manis dapat merebut pedang pusaka itu."
Bagus Wahono menghela napas sedih. lalu berkata,
"Tetapi di sana terdapat beberapa gerombolan penyamun. Lalu gerombolan mana yang sudah merampas pedang pusaka nyai Baruni itu?
"Gerombolan rampok itu dipimpin oleh Surogendi"
"Apa? Surogendilo?" Bagus Wahono berseru tertahan.
"Aduh celaka!! mengapa harus berhadapan dengan gerombolan itu?"
"Apakah engkau tahu tentang gerombolan itu?"
"Aku sendiri tidak tahu jelas. Tetapi menurut keterangan orang, gerombolan Surogendilo itu mempunyai senjata pelindung yang ampuh sekali. Setiap berhadapan dengan musuh. mereka mengenakan selubung anyaman rotan dari kaki sampai menutup kepala. Hem rotan itu kebal akan senjata... ."
Bagus Wahono berhenti sejenak. Sesudah batukbatuk. baru meneruskan,
"menurut kabar, Ingkang Sinuwun Sultan Agung juga pernah mengutus pasukan prajurit pilihan untuk menindas gerombolan itu. Tetapi yang terjadi kemudian malah sebaliknya. Bukan pasukan Mataram yang dapat mengalahkan, tetapi pasukan Mataram itu malah binasa...
"Brak!"... saking marahnya, Dasa Muka menggebrak meja, hingga debu kotoran yang melekat meja berhamburan ke bawah. Yang celaka Prayoga dan Sarini. mereka hampir sesak napas oleh debu. Namun demikian mereka tetap berdiam diri dalam usaha mereka mendengar pembicaraan lebih lanjut.
"Aku percaya, engkau dapat menerangkan lebih banyak tentang gerombolan itu," kata Dasa Muka.
"Dengan keteranganmu yang berharga, kelak kemudian hari aku tentu membalas budi itu."
Bagus Wahono ketawa bekakakan,
"Ha-ha-haha,... aku mendengar bahwa Surogendilo seorang raja penyamun yang rakus akan paras cantik. hem apa lagi kalau masih gadis atau wanita muda. Apabila dapat menggunakan paras cantik, usaha itu akan berhasil. Namun di samping itu. setiap orang harus waspada. Karena Surogendilo mempunyai senjata berujut racun yang luar biasa ampuhnya. Orang lain dapat minta racun itu dari Surogendilo, asal racun itu ditukar dengan gadis cantik."
"Hemm... kalau begitu aku akan memberi saran kepada Swara Manis. Tetapi entah dia setuju atau tidak."
"Engkau memberi saran apa?"
"Bukankah engkau juga mendengar, Swara Manis telah berhasil memikat gadis ayu anak Ali Ngumar yang bernama Mariam? Gadis itu cantik jelita bagai bidadari turun dari kayangan. Kalau saja Swara Manis sedia menukarkan gadis itu dengan pedang pusaka itu, Surogendilo tentu akan senang sekali dan semua rencana Swara Manis bakal... ."
"Bangsat keparat! Jangan lari!" bentak Prayoga tiba-tiba, yang tidak kuat mendengar pembicaraan mereka itu, yang menyebut-nyebut nama Mariam. Berbareng dengan ucapannya. terdengar suara brak yang keras. karena menggunakan kepalanya, Prayoga telah membentur meja.
Bagus Wahono dan Dasa Muka kaget bukan main, seperti disambar halilintar. Oleh kerasnya guncangan dan rasa kaget. membuat dua orang ini bergulingan di tanah yang basah oleh air.
Tetapi celakanya saking. Prayoga dan Sarini tidak dapat secepatnya keluar dari bawah meja. Dalam geramnya Prayoga sudah menghantam meja,
brak...!! hingga kayu hancur berkeping-keping. Secepatnya Prayoga menerobos ke luar. Bagus Wahono yang gerakannya lebih lambat, sudah disambar oleh Prayoga lalu dibanting ke tanah. Orang itu menjerit nyaring, tergolek di tanah dan tak berkutik lagi.
Prayoga celingukan. tetapi sayang Dasa Muka telah berhasil melarikan diri.
"Sarini! Tahukah engkau ke mana bangsat Dasa Muka pergi?" teriak Prayoga.
"Akupun sudah mencari ke belakang, tetapi tak ketemu." Sarini menjawab.
Mendengar jawaban Sarini dari luar rumah, Prayoga cepat bergerak menuju barat. Tetapi baru saja tiba di tempat itu, tiba-tiba sesosok bayangan langsing berkelebat dan ternyata Sarini... .
Prayoga heran. Bukankah tadi Sarini menjawab dari arah lain, dan mengapa secara tiba-tiba sudah berada di tempat ini?
"Kakang... engkau tadi berkata, bangsat itu bersembunyi di rumpun ilalang sebelah rumah. Sekarang manakah buktinya?" tegur Sarini.
"Tetapi bukankah engkau tadi menjawab dari arah lain?" jawab Prayoga heran.
Gagal menangkap Dasa Muka, gadis bawel ini amat mendongkol. Bentaknya,
"Rupanya engkau tadi sudah bertemu setan. Huh, siapakah yang sudah berkata seperti itu kepadamu?"
Jawaban Sarini itu menyadarkan Prayoga, kemudian melompat dan menyelinap ke bagian belakang rumah. Namun celakanya di tempat itu ia tidak menemukan orang yang dicari. Ia meneruskan mencari, memperhatikan kebun belakang rumah. Tetapi sesudah cukup lama tak juga berhasil, akhirnya pemuda ini menyerah kepada keadaan.
"Aku tidak percaya kalau bangsat itu dapat lolos!" Sarini bersungut-sungut.
"Tetapi kita telah tertipu," sahut Prayoga.
"O...... apakah tadi aku berkata kepadamu, bahwa bangsat itu berada di sebelah barat rumah?"
"Ya... ." "Hem... yang berkata kepadamu tadi bukan lain Dasa Muka sendiri."
"Ah engkau ngoceh tak keruan. Apakah aku ini tolol dan tidak kenal suaramu?"
"Sarini, ketahuilah bahwa Dasa Muka mempunyai kepandaian istimewa yang sulit ditiru orang. Di samping dia pandai menyamar, juga pandai menirukan suara orang. Itulah sebabnya dia dapat menirukan suaramu dan suaraku pula. Hem... aku pernah menyaksikan sendiri, ketika bangsat itu menyamar sebagai guru kita. Aku tertipu dan hampir celaka, karena aku mengira benar bapa Ali Ngumar. Nah, apa yang baru terjadi sekarang inipun hasil kepandaian Dasa Muka. Akibatnya kita dapat ditipunya."
Sarini menggentak-gentakkan kakinya saking marah. Namun diam-diam gadis inipun timbul rasa inginnya, untuk dapat mempelajari ilmu menyamar wajah dan menirukan suara orang.
Setelah usaha mencari Dasa Muka gagal. akhirnya perhatian ditujukan kepada Bagus Wahono yang terluka berat oleh bantingan Prayoga. Apapula Bagus Wahono yang sebelah tangannya sudah buntung itu, lengannya yang sebelah patah lagi. Orang itu pucat lesi, menahan kesakitan hebat sekali.
"Cepat katakan sebenarnya. Di manakah Swara Manis sekarang ini?" bentak Prayoga.
"Ampunilah aku..." ratapnya.
"Setahuku, sekarang dia di rumah Kadipaten Pati."
"Huh, engkau memang manusia jahat. Lengan tinggal sebelah, tetapi belum juga berobah menjadi manusia baik...
"Sudahlah," cegah Sarini, sambil menghunus pedangnya.
"Sebaiknya engkau tidak marah-marah seperti itu."
Melihat Sarini menghunus pedang. semangat Bagus. Wahono seperti terbang dan meratap lagi,
"Ampun ampunilah aku...
Namun Sarini tidak perduli, malah melekatkan mata pedang ke tenggorokan orang itu. Membuat Bagus Wahono tambah ketakutan dan meratap,
"Ampun... ampunilah aku... ."
"Berilah keterangan yang jelas. Di manakah tempat tinggal Surogendilo?" hardik Sarini.
"Kalau aku menerangkan, apakah engkau memberi ampun?"
Melihat keadaan Bagus Wahono, kakak beradik seperguruan ini menjadi kasihan juga. Lalu Sarini berkala lagi,
"Ya, aku sedia memberi ampun asal engkau menerangkan dengan jujur. Akan tetapi kalau menipu, kemudian hari datang saatnya aku mencabut nyawamu."
Pedang Sarini masih melekat tenggorokan. namun demikian dadanya terasa agak longgar. Jawabnya ke mudian,
"Surogendilo dan gerombolannya berdiam di desa Kapucukan, tak jauh dari sumur Jalatunda. Kekuatan gerombolan itu, sekitar tiga ratus orang."
"Hem... berilah petunjuk lebihjelas lagi."
"Letak desa itu dekat dengan Gunung Jimat!"
Prayoga terkesiap mendengar nama gunung itu. Ia masih ingat, bahwa Ndara Menggung alias Sampar Mega pernah bercerita tentang gunung itu.
"Gunung Jimat?" tanyanya kemudian.
Mendengar pertanyaan itu wajah Bagus Wahono berobah seketika. Baru beberapa saat kemudian, ia tampak tenang kembali.
Akan tetapi Sarini yang cerdik dapat menduga kalau Bagus Wahono bohong. Hardiknya, "Bangsat! Engkau masih berani" bohong?"
"Tidak... tidak!" sahutnya, dan kemudian bersumpah.
"Kalau aku sampai membohong biarlah aku mati disambar halilintar...
Sarini dan Prayoga percaya. Kemudian dua orang muda ini pergi meneruskan perjalanan. Sesudah dua 0rang muda itu tidak nampak lagi, Bagus Wahono dapat bernapas lega dan bibirnya tersenyum. Senyum kemenangan karena dengan gampang telah dapat menipu dua orang muda itu.
Prayoga dan Sarini secepatnya menuju kota Pati. Tujuan mereka tidak lain untuk bertemu dengan Swara Manis. Dalam hati dua orang itu sangat khawatir akan keselamatan Mariam. Karena tahu, Swara Manis tidak mencintai Mariam secara tulus. Kalau Swara Manis setuju akan saran Dasa Muka untuk menukarkan Mariam dengan pedang pusaka Nyai Baruni, niscaya Mariam akan menderita. Oleh sebab itu mereka bertekat untuk mencegah. Dan mereka ingin mendahului Dasa Muka yang tentu pergi ke Pati juga, menemui Swara Manis.
Mereka tiba di kota Pati pada pagi hari. Mereka terharu melihat kota Pati, sesudah selesai perang dan diduduki pasukan Mataram. Kota itu sekarang menjadi sepi. tidak bedanya kota mati. Rumah-rumah pintunya tertutup rapat. Yang tampak di jalan hanya prajurit Mataram bersenjata.
Keadaan kota Pati yang seperti mati itu, menyebabkan Prayoga dan Sarini sulit memperoleh keterangan tentang Swara Manis. Sedang untuk bertanya kepada prajurit Mataram, hal itu akan menimbulkan rasa curiga.
"Kakang, waktu kita amat berharga," kata Sarini.
"Menurut pendapatku, jalan yang paling tepat apabila kita dapat menangkap seorang perwira Mataram, dan kita paksa memberi keterangan."
"Tetapi hal itu sulit terlaksana," sahut Prayoga.
"Seorang perwira akan lebih hati-hati dibanding prajurit biasa, jika berhadapan dengan orang yang belum dikenal."
"Tetapi aku mempunyai cara yang baik," katanya sambil ketawa.
"Engkau akan berbuat apa?" Prayoga curiga di samping cemas.
"Engkau jangan bertindak sesuka hatimu sendiri."
"Tak usah khawatir," hibur Sarini.
"Percayalah. aku takkan membuat keonaran, tetapi dengan kecantikanku aku akan memikat perhatian seorang perwira. Bukankah dalam suasana perang ini, setiap prajurit selalu kehausan akan, wanita?"
Ia terkejut mendengar rencana adik seperguruannya itu. Karena ia khawatir kalau Sarini berhadapan dengan seorang perwira sakti, sehingga celaka. Akan tetapi karena tahu akan watak Sarini yang bandel, sekalipun berat hati ia setuju.
"Baiklah. Akan tetapi bagaimanapun engkau harus berhati-hati. Usahakan keadaan sebaik mungkin, agar tidak sampai terjadi keonaran."
Dengan hati-hati mereka kemudian masuk ke dalam kampung. Secara kebetulan mereka berpapasan dengan seorang laki-laki penunggang kuda. mengenakan pakaian prajurit Mataram, dan pakaiannya itu indah. Mereka kemudian menduga, laki-laki ini tentu seorang perwira Mataram.
Dengan gesit Prayoga sudah menyelinap bersembunyi. Ia akan melindungi keselamatan Sarini kalau diperlukan.
Sarini beraksi, Ia berlagak genit dan dalam melangkah sengaja menonjolkan bagian tubuh wanita yang kuasa menarik perhatian setiap laki-laki. Setiap saat Sarini mengerling ke arah penunggang kuda itu penuh arti.
Penunggang kuda itu kaget dan berbareng heran, melihat wanita muda berjalan seorang diri. Biasanya perempuan takut keluar rumah. Tetapi mengapa gadis ini tidak takut? Diam-diam perwira Mataram itu curiga. Namun kecurigaannya itu dalam waktu singkat tersapu, ketika matanya tertumbuk oleh tubuh semampai gadis muda yang ternyata cantik dan menarik. Sebagai prajurit yang lama berpisah dengan keluarga, selera kejantanannya menggelegak seperti kuda binal.
Dirinya merasa sebagai seorang perwira prajurit, yang sedang dimanja kemenangan. Apakah salahnya di kota pendudukan ini menggunakan kesempatan dan kekuasaan? Setiap laki-laki hampir sama. Apabila memperoleh kesempatan akan digunakan. Maka ketika jarak sudah semakin dekat, Sarini pura-pura ketakutan. Tubuhnya dibuat gemetaran dan langkahnya semakin lambat dan menepi. Kebalikannya laki-laki itu semakin terangsang oleh kepadatan tubuh dan kecantikan wajah Sarini.
"Denok, engkau mau kemana?" tegurnya halus.
Dengan lagak yang dibuat-buat menyerupai orang yang ketakutan, Sarini menyahut tidak lancar,
"Ndara ndara... sa... saya mau... pergi... ke rumah... embah dukun Ibu.... ibuku sakit...
"Kasihan..." perwira itu memberikan simpatinya.
"Mari kuantar dengan kuda agar lebih cepat tiba di sana."
"Ah ampun rumahnya ti... ti... tidak jauh... ."
Perwira Mataram yang dimabuk kemenangan itu tersinggung. Hardiknya,
"Apa? Engkau berani membantah?"
"Ampun ndara ibu sakit... saya mencari pertolongan dukun ......"
"Ha-ha-ha..." perwira itu tertawa gelak-gelak.
"Jangan takut, mari aku antar ke sana. Engkau akan lebih aman dalam perlindunganku, di banding engkau pergi seorang diri."
Sarini pura-pura semakin ketakutan, namun diam diam sudah siap siaga. Sekali bergerak ia harus dapat merobohkan perwira itu, kemudian dibawa ke suatu tempat untuk diperas keterangannya. Perwira yang sudah mabuk paras cantik itu tidak menyadari. sedang berhadapan dengan seekor singa betina. Melihat gadis cantik itu gemetaran dan ketakutan. ia sudah meloncat dari kuda. Maksudnya jelas, a-kan menawan gadis cantik itu. lalu dilarikan ke tempat aman.
Kesempatan yang sudah lama ditunggu itu tidak disia-siakan oleh Sarini. Begitu tubuh perwira itu melayang turun. Sarini segera menyongsong. Dan tahu tahu. tubuh perwira itu tidak dapat berkutik lagi dan tidak dapat pula berteriak.
Kesempatan yang sudah lama ditunggu itu tidak disia-siakan oleh Sarini. Begitu tubuh peiwira itu melayang turun, Sarini segera menyongsong. Dan tahu-tahu, tubuh perwira itu tidak dapat berkutik lagi dan tidak dapat pula berteriak.
Prayoga cepat melompat ke luar dari tempatnya bersembunyi. Dengan sebat tubuh perwira itu disambar lalu dilarikan berikut kudanya. Karena di dalam kota, ulah Prayoga itu diketahui prajurit yang lain lalu mengejar.
Sarini menyelinap, menunggu kesempatan baik. Karena Prayoga telah melarikan diri dengan kuda, dirinya harus pula dapat merampas seekor kuda. Untung tak lama kemudian, muncul seorang prajurit berkuda. Tanpa membuang kesempatan lagi, ia melontarkan senjata bandringannya.
"Aduh..." prajurit itu memekik dan terjungkal dari
kuda. Kuda itu kaget dan meloncat. Dengan tangkas Sarini meloncat, dan secara tepat telah berhasil duduk di atas pelana kuda. Akan tetapi ia tidak berani lari searah dengan Prayoga, khawatir kalau bertemu dengan prajurit yang mengejar. Karena itu Prayoga menuju ke barat, dirinya menuju ke timur.
Apa yang terjadi diketahui prajurit Mataram yang lain. Mereka segera berteriak dan melakukan pengejaran. Akibatnya gemparlah suasana di tempat itu. Puluhan prajurit segera melakukan pengejaran dengan kuda.
Tak lama kemudian Sarini tiba di dalam hutan belantara, dan ia merasa aman. Ia kemudian meloncat turun dari kuda, lalu celingukan ke sana ke mari. Tibatiba saja hatinya gelisah dan khawatir. Tadi dengan kakak seperguruannya belum sempat berunding, di mana harus bertemu.
Karena gelisah, gadis ini menjadi uring-uringan sendiri. Dan tiba-tiba saja, cambuk dalam tangannya melayang ke pantat kuda itu, tar... kuda melengking nyaring, meloncat tinggi lalu lari seperti terbang.
Dalam gelisah dan tak tahu apa yang harus dilakukan, Sarini segera menyelinap ke dalam semak yang rimbun. Harapan satu-satunya agar segera dapat bertemu dengan kakak seperguruannya. Tetapi belum jauh bergerak, tiba-tiba telinganya menangkap suara ribut. Ia cepat menduga, suara ribut itu tentu prajurit Mataram yang tadi mengejar kakak seperguruannya. Timbul hasratnya untuk menghajar para prajurit itu. Namun di lain saat. teringatlah dirinya sedang menghadapi tugas penting. Karena itu dirinya harus pandai mengekang perasaan. Yang penting dirinya harus dapat bertemu dengan Prayoga dan dapat mencari keterangan tentang Swara Manis.
Akan tetapi makin lama ia menjadi semakin kehilangan arah. Tak tahu lagi mana arah, ia kebingungan, sehingga hatinya semakin gelisah bukan main.
Akan tetapi gadis ini memang bernasib baik. Pada saat dirinya bingung dan kehilangan arah ini. mendadak ia mendengar suara orang yang terdengar sayup sayup memanggil namanya. Ia terkejut berbareng gembira. Ia tahu, tentu yang memanggilnya sekarang ini, kakak seperguruannya. Menduga demikian, secepatnya Sarini menuju ke arah suara itu.
Namun setelah jaraknya tidak jauh lagi, tiba-tiba saja timbul lagi kenakalan dara ini. Ia ingin menggoda Prayoga, dengan cara memanjat sebatang pohon mangga yang berdaun rimbun.
"Sarini dimana kau?" Prayoga berteriak memanggil.
Tak lama kemudian terdengar suara derap kuda. Sarini cepat memetik dua butir mangga, dipegang tangan kanan dan tangan kiri. Apabila Prayoga sudah dekat, ia akan memberi hadiah buah mangga itu. Tak lama kemudian benar juga, Prayoga lewat di bawah pohon mangga masih menunggang kuda. Ketika sudah
membelakangi, dengan cekatan Sarini mengayunkan sebutir mangga ke arah punggung, dan yang sebutir lagi ke arah kaki kuda bagian belakang. Mangga yang disabitkan ke punggung. dilambari tenaga penuh. Sebaliknya yang diarahkan ke kaki kuda. merupakan sambitan biasa, dengan maksud kuda itu kaget tetapi tidak cedera.
Prayoga kaget ketika angin tajam menyerang punggungnya. Sebagai seorang pemuda yang ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, timbullah keinginannya untuk pamer kepandaian, karena menduga bahwa yang menyambit dirinya itu prajurit Mataram.
Cap...!! benda yang hampir menyambar punggungnya itu secara tepat dapat ditangkap. Akan tetapi alangkah kagetnya, ketika tahu benda yang sudah ditangkap itu hanyalah buah mangga.
Tetapi di saat dirinya terpukau itu, kudanya meringkik keras. Hampir saja Prayoga terpelanting jatuh dari kuda. Untung ia masih dapat menguasai kuda tunggangnya.
"Hi-hi-hik..." tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang cekikikan, dan menyusul tubuh ramping melayang turun dari dahan pohon mangga.
'.Kau. apa kerjamu di sini?" tegur Prayoga.
"Apa?" Sarini mendelik.
"Sangkamu aku hanya nongkrong saja di pohon itu?"
"Huh nyatanya engkau enak-enak nongkrong di atas pohon. Aku mencari engkau setengah mati, tetapi nyatanya engkau bersembunyi di sini."
"Apa? Aku enak-enak sembunyi di sini? Huh, engkau memang tolol, dan engkau seperti orang mabuk jengkol. Huh-huh, sudah salah malah menuduh orang lain yang bersalah."
"Apa? Masih bertanya? Engkau lari sendiri tanpa
memperdulikan aku. Dan engkau juga tidak memberitahu di mana kita akan bertemu. Apakah tindakan yang begitu bukan seperti orang mabuk jengkol?"
Prayoga menggaruk lehernya sendiri yang tidak gatal. Setiap adu lidah dengan Sarini, dirinya selalu kalah saja. Maksudnya akan menegur, nyatanya malah diberondong oleh Sarini, sehingga dirinya tak dapat membela diri lagi.
Dalam hati Sarini geli, tetapi ia menahan ketawanya. Katanya lagi,
"Coba engkau pikirkan. Kalau saja aku tidak cepat-cepat angkat kaki, bukankah aku akan celaka? Huh, engkau enak-enak melarikan diri dengan kuda, tetapi aku? Sekarang setelah dapat menyelamatkan diri dan hendak mencarimu, tahu-tahu engkau malah menegur. Huh, tolol...
"Ya... aku memang tolol... maafkanlah... ."
"Hi-hi-hik... di mana sekarang perwira Mataram itu?"
"Tak ada gunanya menahan orang itu. Hem? yang penting sekarang kita berangkat, waktu amat berharga."
"Berangkat ke mana? Apakah engkau masih tetap tolol dan linglung seperti dulu?"
Prayoga melongo. Sesaat kemudian barulah ia ingat, belum memberi keterangan. Cepat-cepat ia mengikat kuda, lalu menerangkan,
"Perwira Mataram tadi mengatakan bahwa Tumenggung Wiroguno tidak bersedia memberi ijin kepada Swara Manis, meninggalkan Pati saat ini. Dia menerangkan, Pati yang baru diduduki masih memerlukan penjagaan dan pengaturan tata tertib. Namun begitu Swara Manis memaksa akan pergi, sehingga menyebabkan Tumenggung Wiroguno marah. Saat itu juga Swara Manis diusir dari Pati dan dipecat dari jabatannya, karena dianggap tidak tunduk kepada pimpinan."
"Hemm..." Sarini geram.
"Dalam usaha mencapai cita-citanya, bangsat itu tidak sayang melepaskan kedudukannya yang tinggi dalam pasukan Mataram."
"Kalau begitu, dia tentu pulang ke Gunung Slamet?"
"Sudah tentu! Dan marilah kita sekarang cepat-cepat ke sana."
Karena kuda tunggang hanya seekor, akhirnya diputuskan untuk melepaskan saja binatang itu, dan mereka memutuskan meneruskan perialanan dengan jalan kaki.
Dalam perjalanan ke Gunung Slamet ini, mereka tidak menemui halangan sesuatu. Hanya ketika mereka tiba di ibukota Mataram, tiba-tiba timbullah niat Sarini yang setengah ugal-ugalan. Katanya,
"Kakang, kita harus mampir dulu ke Karta."
"Untuk apa?" Prayoga heran.
"Aku akan membuat onar di sana."
"Apa...?" Prayoga kaget dan terbelalak.
"Apakah engkau sudah gila?"
"Siapa bilang aku gila?"
"Kalau tidak gila mengapa engkau hendak membuat onar di sana? Hemm,jangan gila-gilaan. Engkau harus tahu bahwa di sana banyak orang sakti mandraguna."
"Huh, aku sudah tahu!" sahut Sarini sambil mendelik.
"Sangkamu engkau sendiri yang pintar? Huh-huh, sekalipun banyak orang sakti di sana, tetapi mereka takkan dapat berbuat apa-apa."


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi kita diburu waktu. Kita harus cepat menyusul bangsat Swara Manis, untuk menyelamatkan mbakyu Mariam."
Mendengar nama Mariam disebut-sebut, dara genit ini menjadi tidak senang. Bagaimanapun, ia paling tidak puas kalau Prayoga lebih memperhatikan Mariam, dan tidak memperhatikan dirinya. Aih... tanpa disadari, Sarini sekarang sudah main cemburu. Ia merasa disaingi apabila Prayoga bicara tentang Mariam. Diam diam ia selalu mengharapkan uluran cinta kasih dari kakak seperguruannya ini, tetapi Prayoga tidak tahu dan merasa.
Benarkah itu merupakan ulah asmara? Mariam tergila-gila kepada Swara Manis yang tampan. Tetapi dalam kenyataan Swara Manis tidak mencintai Mariam setulus hati. Sebaliknya, Mariam tidak menyadari hal tersebut, dan malah menolak cinta kasih Prayoga, yang sesungguhnya mencintai secara tulus, dan sanggup pula mengorbankan apapun demi cintanya. Di balik itu, Prayoga tidak menyadari bahwa ada seorang gadis lain yang mencintai setulus hati, tidak diperhatikan. Siapa gadis itu? Bukan lain Sarini, adik seperguruannya sendiri.
Karena cemburu dan tidak senang, gadis ini protes,
"Huh, engkau hanya memikirkan keselamatan seorang melulu, dan tidak mau mengerti perasaan orang lain."
Prayoga yang jujur, tidak dapat menduga maksud Sarini dan menjawab,
"Sarini! Lupakah engkau bahwa mbakyu Mariam itu puteri tunggal bapa Ali Ngumar? Untuk membalas budi kebaikan guru, kita wajib menyelamatkan puterinya."
"Huh... sangkamu hanya engkau sendiri yang pandai membalas budi guru?" Sarini ngomel.
"Akupun tahu juga membalas budi guruku."
"Ya, aku percaya. Karena itu kita harus cepat menyusul bangsat Swara Manis dan berusaha menyelamatkan mbakyu Mariam."
"Huh...pergilah sendiri!" bentak Sarini.
"Sekalipun hanya seorang diri, aku berani masuk kota Karta. Pendeknya, aku belum puas sebelum berhasil membuat
kegemparan di sana. Biarlah mata Raja Mataram yang sombong itu terbuka, bahwa orang Pati masih sanggup membuat gempar dan gegernya kota Karta."
Menghadapi kebandelan Sarini, akhirnya Prayoga kewalahan. Sebagai seorang kakak seperguruan, ia merasa mempunyai tanggung jawab terhadap keselamatan Sarini. Maka sebelum menyetujui maksud Sarini, lebih dahulu ia bertanya,
"Apakah maksudmu membuat kegemparan di sana?"
"Aku ingin mencuri gajah."
"Mencuri gajah?" Prayoga terbelalak.
"Untuk apa gajah itu?"
"Engkau doyan daging gajah apa tidak?" Sarini menggoda sambil ketawa cekikikan.
Prayoga melongo, lalu bertanya,
"Engkau akan menyembelih gajah?"
Sarini terpingkal-pingkal. Jawabnya kemudian,
"Ih engkau ini memang tolol. Mengapa harus percaya ada orang menyembelih gajah? Ketahuilah bahwa gajah itu akan kita jadikan sebagai teman seperjalanan. Naik kuda sudah lumrah. Tetapi kalau naik gajah, bukankah ini merupakan satu hal yang tidak lumrah"?"
"Hem... berbahaya... Gajah itu tenaganya kuat sekali, dan kita bisa dibanting hancur... dan mati... ."
"Engkau takut? Mengapa manusia takut dan kalah dengan binatang? Dan apakah engkau kalah dengan gajah? Jika engkau memang kalah, lebih baik jangan menjadi manusia. Buktinya gajah itu tunduk kepada 0rang yang disebut dengan nama Srati."
"Hemm, Sarini. Lebih baik kita tunda dulu maksudmu itu. Tunggu saja sesudah kita berhasil membereskan bangsat Swara Manis."
"Huh. terserah engkau mau ikut apa tidak. Pendeknya aku tetap akan mencuri gajah milik Raja Mataram, di kota Karta."
Tanpa menunggu jawaban, Sarini telah lari mendahului.
Prayoga geleng-geleng kepala. Ia sadar benar-benar kewalahan menghadapi adiknya yang nakal itu. Hemm, apa boleh buat! Sekarang ia terpaksa harus menyusul.
Sarini tersenyum ketika melihat Prayoga mengikuti. Kemudian ia menunggu, dan sesudah berdampingan, ia berkata,
"Engkau harus membantu aku, kakang. Kita tangkap dulu sratinya. Sesudah itu baru kita paksa supaya dia mengajarkan caranya menundukkan gajah."
Prayoga hanya mengangguk setuju dan tidak menjawab. Soalnya, dalam benaknya sekarang ini, yang terpikir hanyalah Mariam. Bagaimanapun, ia khawatir kalau Mariam sampai ditukarkan pedang pusaka, oleh Swara Manis.
Tak lama kemudian mereka sudah masuk kota Karta. Kemudian mereka langsung menuju alun-alun selatan, di mana gajah itu dipelihara dan di kandangkan. Prayoga langsung mendekati kandang gajah, maksudnya ingin menangkap salah seekor. Tetapi begitu mendekat, seekor gajah betina sudah menyambar dengan belalainya. Masih untung Prayoga cepat melompat mundur.
"Kakang... mengapa engkau gegabah?" tegur Sarini.
"Sudah aku katakan, kita harus minta petunjuk dari sratinya lebih dulu. Dengan petunjuk srati, gajah itu tentu dapat kita tundukkan. Hayo kita cepat ke sana."
Prayoga mengikuti langkah Sarini yang menuju ke rumah kecil, tidak jauh dari kandang gajah. Agaknya srati atau perawat gajah itu lelah sekali setelah bekerja sepanjang hari. Walaupun saat itu malam belum larut, dia sudah mendengkur dan tidur di luar rumah.
Agaknya srati itu sedang mimpi indah dalam tidurnya. Ketika terjaga mendadak, srati itu gelagapan kaget. Yang pertama ia lihat, seseorang yang belum ia kenal dan tengah mencekik lehernya. Srati ini ingin menjerit, tetapi sebelum dapat bersuara, tangan Prayoga telah membungkam mulutnya. Dalam keadaan tidak berdaya, kemudian Srati tersebut diculik pergi. Sesudah sampai di tempat yang sepi dan jauh dari kota, Srati itu dilepaskan. Dan begitu lepas, srati tersebut meratap dan beriba,
"Ampun... raden... Apakah maksud raden membawa saya kemari?"
'Tidak perlu takut," hibur Sarini.
"Kami takkan mengganggu selembar rambutmu, asal saja engkau sedia menerangkan secara jujur."
"Apa yang angger kehendaki?"
"Aku butuh seekor gajah."
"Ah..." Srati itu terbelalak kaget.
"Gajah itu milik Ingkang Sinumm. Ampun... saya tidak berhak. Dan akibatnya seluruh keluargaku akan celaka... ."
"Apa sebabnya?" tanya Prayoga.
"Ingkang Sinuwun tentu menuduh aku, sebagai seorang pawang gajah yang tak pandai mengurus gajah, dan karena itu aku pasti dihukum. Bukan saja diriku, tetapi keluargaku akan celaka."
Prayoga tersentuh nuraninya. Lalu katanya kepada Sarini,
"Sarini, kasihanilah orang ini. lebih baik kita urungkan saja dan mari melanjutkan perjalanan."
Akan tetapi Sarini tidak menanggapi. Lalu ia berkata kepada srati tersebut,
"Paman, aku harus mendapatkan gajah itu. Namun sebaliknya akupun tidak ingin membuat engkau dan keluargamu celaka. Sekarang aku bertanya kepadamu. Dapatkah engkau memberi jalan yang baik?"
Srati itu justru seorang penakut. Yang terpikir hanyalah diri sendiri dan keluarga, sedang orang lain tak begitu diperdulikan. Setelah mendengar pertanyaan Sarini, timbullah niatnya untuk mengalihkan tanggung-jawab kepada atasannya. Ia percaya bahwa kedua anak muda ini tentu tak akan sanggup memaksa atasannya, Tumenggung Suradipangga yang sakti.
Memperoleh pikiran ini, cepat-cepat ia menjawab
"Jika angger tetap menghendaki gajah. datanglah kepada ndara Menggung Suradipangga. Sebab dialah atasanku dan dia pula yang berhak menentukan segalanya."
"Tunjukkan di mana rumahnya?"
"Tak jauh dari kandang gajah. Pergilah kalian ke selatan dan sesudah melewati simpang empat dan dua kali simpang tiga, beloklah ke barat. Rumahnya besar dikelilingi tembok tinggi."
Prayoga tak sabar lagi. Srati itu segera disambar kemudian dikepit di ketiak dan dibawa lari. Srati itu ketakutan dan memejamkan mata, karena dirinya serasa terbang.
Srati itu tidak dikembalikan ke rumah, agarjangan membocorkan rahasia. Setelah tiba di tempat yang dituju, lebih dahulu srati ini ditelikung dan mulutnya disumpal. Sesudah selesai melumpuhkan srati ini kemudian kakak-beradik itu meloncat ke atas tembok dan langsung melayang ke atap rumah.
Rumah Tumenggung Suradipangga ini besar dan luas, dengan atap kayu sirap. Prayoga dan Sarini bergerak hati-hati untuk menyelidiki di mana Tumenggung Suradipangga berada. Namun mereka tidak mendengar suara apa-apa, kecuali orang yang mendengkur Hanya di bagian depan. di mana para penjaga bertugas jaga, masih terdengar suara orang bicara dan tertawa.
Karena sampai cukup lama usahanya tidak berhasil, hampir saja dua orang muda ini mengurungkan niatnya. Untung sebelum bergerak meninggalkan rumah ini, mata Prayoga sempat menangkap cahaya penerangan dan suara perempuan.
"Di sana ada penerangan," katanya. Dan Sarini segera mendahului ke tempat yang ditunjuk oleh Prayoga.
Dengan gerak yang gesit seperti kucing, kakakberadik seperguruan ini menjelajahi rumah tersebut tanpa diketahui orang. Mereka kemudian berdiri di atas atap dan kemudian mereka mengintip. Sayang atap sirap itu rapat sekali, hingga mereka tidak dapat melihat ke dalam.
Pada saat mereka mencari celah-celah atap sirap tersebut, tiba-tiba terdengar suara tar disusul jerit perempuan kesakitan. Mereka terkejut! Jelas jerit perempuan itu dalam keadaan kesakitan.
"Huh... apakah engkau tetap membangkang dan melawan aku?" terdengar suara laki-laki yang menghardik garang.
"Ampun ndara jangan menyakiti aku aduh bunuh... bunuh sajalah..." ratap perempuan itu mengibakan hati.
"Apa?" bentak laki-laki itu.
"Minta dibunuh? Bagus! "
Tar tar... terdengar lagi lecutan cambuk dua kali dan disusul jerit perempuan itu yang menyayat hati.
Jantung Sarini berdebar keras. Ia segera mengungkit atap sirap itu perlahan. Ketika terbuka, gadis ini kaget bukan main di samping marah bukan kepalang. Di dalam sebuah kamar yang agak luas, terdapat seorang perempuan bugil tanpa busana. Perempuan muda itu berdiri dengan tangan terikat ke atas dan ujung tali diikatkan ke penglari rumah. Rambutnya yang hitam dan panjang terurai awut-awutan, sedang tubuh yang
kuning halus itu memar dan berlumuran darah oleh lecutan cambuk. Perempuan muda ini merintih-rintih kesakitan, dan berkali-kali minta dibunuh.
Tak jauh dari perempuan muda yang cantik itu tampak seorang laki-laki dan perempuan tua, duduk bersimpul di atas lantai. Berulang kali perempuan tua itu bangkit dengan maksud akan menolong, tetapi lakilaki tua tersebut selalu mencegah. Dari mulut perempuan tua itu terdengar suara ratapan yang menghimbau,
"0 Allah... ndara Menggung... jangan... menyiksa... Rukmini... Oh... Rukmini... engkau jangan... keras kepala... Anakku... denok... menyerah sajalah... ."
"tidak...!" jerit gadis yang bernama Rukmini itu di sela tangisnya.
"Aku tidak sudi... menjadi selir seorang tua bangka... Aih... biarlah aku mati... saja... ."
Laki-laki tua yang berpakaian indah dan memegang cambuk itu geram sekali. Sepasang matanya merah membara, menyusuri tubuh gadis Rukmini yang montok dan bugil itu, sedang dadanya kembang kempis dilanda kemarahan. Hardiknya kemudian,
"Hai... engkau tetap memilih mati... .?
Tumenggung Suradipangga sudah tidak kenal rasa kasihan lagi. Dengan geram, tangannya sudah menggerakkan cambuknya lagi, tar... .
"Aduhh..." jerit gadis itu.
Perempuan tua itu memekik tertahan. Bagaimanapun seorang ibu, pasti tersentuh hati dan perasaannya, kalau menyaksikan anaknya didera cambuk seperti itu. Ia ingin mencegah, tetapi ketakutan! Akibatnya ia hanya mcratap-ratap dan meminta ampun.
Sebelum eambuk ganas itu mendarat ke tubuh Rukmini selanjutnya, tiba-tiba terdengar suara keras di pintu. Sebelum Tumenggung Suradipangga sadar apa yang terjadi, dua sosok tubuh telah menerobos masuk dan menyerang dari kiri dan kanan. Tumenggung Suradipangga gugup. Serangan mendadak itu tidak pernah diduganya,justru rumahnya telah dijaga kuat oleh prajurit. Tetapi walaupun gugup tidak kehilangan kewaspadaan . Ia terkenal sebagai seorang Tumenggung sakti mandraguna. Atas serangan itu, ia segera bergulingan menghindarkan diri.
Celakanya dua orang yang menyerang sekarang ini, orang muda gemblengan tokoh sakti. Sejak semula Prayoga sudah memperhitungakn bahwa Tumenggung itu tentu akan menghindarkan diri dengan cara bergulingan. Maka begitu Tumenggung Suradipangga menjatuhkan diri, Prayoga sudah menggunakan ilmu ajaib "Jathayu nandang papa" ajaran Ndara Manggung, berasal dari Hajar Sapta Bumi. Tidak ampun lagi. Tumenggung Suradipangga berhasil ditendang punggungnya dan muntah darah.
Pada saat Prayoga menghajar Tumenggung Suradipangga. secepatnya Sarini menolong Rukmini. Sekali renggut tali itu putus, dan Rukmini bebas. Akan tetapi karena gadis itu sudah lemah dan menderita, begitu lepas terus jatuh! Untung Sarini tangkas. Tubuh Rukmini disambar, kemudian gadis yang bugil itu diselimuti dengan kain panjang yang terhempas di lantai.
Suami-isteri tua yang duduk bersimpuh di lantai itu terkejut melihat hadirnya dua orang muda yang tak dikenal. Saking kagetnya perempuan tua itu memeluk suaminya dan gemetaran. Tetapi setelah melihat Rukmini dibebaskan dan Tumenggung Suradipangga dirobohkan, perempuan itu segera menubruk dan memeluk anak gadisnya sambil terisak.
Sesungguhnya takkan semudah itu Prayoga merobohkan Tumenggung Suradipangga. apabila Tumenggung itu tidak lengah. Karena bukan saja rumah ini dijaga oleh prajurit bersenjata, tetapi Tumenggung Suradipangga sendiri seorang sakti mandraguna.
Tumenggung yang sudah berumur setengah abad lebih itu, memang paling ditakuti oleh para kawula Mataram yang mempunyai gadis ayu dan isteri cantik. Karena Tumenggung ini terkenal sebagai bangsawan yang tak tahan melihat wajah ayu alias mata keranjang. Apabila perhatiannya jatuh kepada wanita, usahanya takkan berhenti sebelum maksudnya tercapai, baik dengan jalan halus maupun kekerasan.
Setiap perempuan atau gadis ayu yang jatuh ke tangan Tumenggung itu pasti celaka. Yang berani membantah dan menolak kehendaknya akan disiksa seperti yang telah dialami oleh Rukmini. Akan tetapi sebaliknya yang menyerah kepada buaya ini, nasibnya tidak lebih seperti bunga. Sesudah habis dihisap madunya, lalu dicampakkan.
Apa yang dilakukan Tumenggung Suradipangga itu berlangsung tanpa seorangpun berani bertindak, karena orang takut akan akibatnya. Sebaliknya Raja tidak pernah bertindak karena tidak pernah menerima laporan tentang perbuatan Tumenggung buaya itu. Semua itu bukan lain karena Tumenggung Suradipangga mempunyai jaring-jaring yang luas, sehingga apa yang dilakukan selalu aman dan tidak seorangpun berani melapor kepada Sultan Agung.
Namun sekarang Tumenggung Suradipangga yang biasanya garang itu tidak berkutik lagi. Dan dengan marah, Prayoga membentak,
"Hai, apa yang kau lakukan ini?"
Maksudnya ingin mendamprat, tetapi karena tidak pandai bicara, yang keluar dari mulutnya hanya itu saJa.
Kalau dalam keadaan biasa, hal itu tentu akan ditertawakan oleh Sarini. Tetapi saat ini Sarini sedang marah, maka gadis ini menuding Tumenggung Suradipangga sambil membentak,
"Apakah salah gadis ini dan kau siksa? Engkau seorang bangsawan, tetapi mengapa
perbuatanmu sangat terkutuk? Huh, apakah sebabnya sebagai seorang pembesar, seorang pemimpin, tidak memberi contoh dan melindungi rakyat, sebaliknya malah menyalah-gunakan kedudukanmu untuk menindas rakyat?"
Tumenggung Suradipangga seorang angkuh. Walaupun sudah tidak berdaya masih juga membentak,
"Huh, siapa kamu dan siapa yang memberi ijin masuk kemari? "
Mendengar ucapan yang angkuh itu. Sarini ketawa. Lalu,
"Huh, engkau sudah tak berdaya masih berlagak angkuh. Huh, engkau tadi menyiksa perempuan itu dengan cambuk. Sekarang aku mau melihat, apakah engkau tahan terhadap cambukmu sendiri?"
Sarini segera menyambar cambuk terus diayunkan.
Tar... tar! tar... ujung cambuk mendarat ke leher, muka dan punggung. Tanpa malu lagi. Tumenggung itu menjerit-jerit lalu meratap,
"Auh... sakit... jangan menyiksa, bunuh saja...
Sarini ketawa mengejek, "Hi-hi-hik, baru tiga kali saja engkau sudah meratap-ratap. Huh. di manakah kegaranganmu tadi? Katakan, berapa kali gadis itu kau cambuk? Lekas jawab!"
"Ampun... ampunilah aku... ."
Ratapan Tumenggung Suradipangga itu bukannya membuat Sarini kasihan dan iba, tetapi malah merangsang kemarahannya. Sebab ia menjadi muak berhadapan dengan seorang yang wataknya pengecut.
Tar tar... !! cambuk itu melecut lagi, dan sekarang memukul hidung dan pipi. Tumenggung Suradipangga menjerit nyaring, hidung dan pipinya pecah dan darah merah mengucur mambasahi muka.
Walaupun Prayoga muak atas perbuatan Tumenggung Suradipangga kepada rakyat yang tak berdaya, akhirnya merasa tidak tega. Agar tidak menderita terlalu lama, kaki Prayoga bergerak menendang punggung. Akibatnya tubuh orang itu terpental, membentur tembok kamar dan nyawanya melayang.
Sarini kurang senang dan menegur,
"Kakang. hem, Tumenggung ini sewenang-wenang dan biadab. Aku belum puas menyiksanya, tetapi mengapa engkau tergesa membunuh?"
Prayoga menatap Sarini, lalu,
"Kita jangan terlalu lama di sini berbahya. Seharusnya kita cepat pergi dari Sini."
Sarini seperti disadarkan. Lalu sambil menolong Rukmini dan orang tuanya, meninggalkan rumah Tumenggung Suradipangga. Sesudah Rukmini dan orang tuanya jauh dari rumah terkutuk itu. Prayoga dan Sarini minta diri dan langsung menuju ke tempat pawang (srati) gajah yang ditelikung.
Setelah sumbat dicopot, srati itu bertanya gugup,
"Ba... bagaimana... .?"
"Tumenggung Suradipangga sudah memberi ijin," sahut Sarini.
Dalam hati pawang itu tidak percaya. Sebab tidak semudah itu Tumenggung Suradipangga memberi ijin kepada orang yang belum dikenal. Akan tetapi karena dua orang muda ini dapat bergerak gesit, tentunya Tumenggung Suradipangga dikalahkan dan kemudian takut. Akhirnya apa yang diinginkan Sarini terkabul. Ia memperoleh seekor gajah betina, dan dengan "cis" (besi berkait) ia dapat menundukkan gajah itu. Kemudian mereka meninggalkan kota Karta. Gajah yang hanya seekor itu ditumpangi dua orang. Sarini di depan dan Prayoga di belakang.
Sarini gembira sekali, lalu berkata,
"Bukankah kita sekarang seperti Raja? Hi-hi-hik, sekali tepuk dua
lalat. Kita bisa menimbulkan kegemparan dan juga dapat membalas Raja Mataram. Hi-hi-hik, kita tidak usah berpayah lagi jalan kaki."
"Ya... tetapi engkau mencelakakan penjaga gajah yang tak bersalah itu," sahut Prayoga seperti menyesal atas perbuatan Sarini.
"Siapa yang aku celakakan? Bukankah aku tidak mengganggu dia?"
"Tetapi hilangnya gajah ini. dia tentu dihukum."
"Tetapi sebaliknya kita dapat menyelamatkan gadis itu dan orang tuanya. Dan kita sudah menghukum pembesar yang tamak dan sewenang-wenang itu. Bukankah perbuatan Tumenggung keparat itu merugikan rakyat? Kalau dianggap aku mencelakakan srati gajah itu. tetapi aku berhasil menyelamatkan rakyat dari keganasan Tumenggung Suradipangga."
Jawaban Sarini itu tepat, membuat Prayoga tak dapat membuka mulut.
Pada malam itu Sarini gembira sekali. Tetapi setelah pagi tiba, kegembiraan gadis ini lenyap. Sebab hadirnya dua orang muda ini yang menunggang gajah, telah menarik perhatian orang yang melihat. Hingga kemudian mereka menjadi tontonan orang di sepanjang jalan. Banyak di antara anak-anak kecil yang mengikuti di belakangnya sambil bersorak dan menyambit dengan batu.
Kalau anak-anak kecil bertingkah begitu, sebaliknya para pamong desa menjadi curiga. Binatang gajah bukanlah ternak biasa. tetapi merupakan binatang yang hanya Raja yang sanggup memelihara. Mengapa dua orang muda ini menunggang gajah? Karena curiga, mereka segera mengawasi gerak-gerik Prayoga dan Sarini, dan di samping itu segera lapor ke atasan.
Sarini yang cerdik segera merasakan gelagat yang kurang baik. Kecuali mereka tak bebas lagi karena jadi tontonan orang, juga menjadi khawatir kalau apa yang telah dilakukan diketahui orang. Setelah berunding dengan Prayoga, akhirnya mereka sependapat untuk melepas gajah itu di dalam hutan.
Hari telah sore. Dan tiba-tiba saja timbul rasa sangsi dalam hati Sarini, lalu bertanya,
"Kakang, apakah kita langsung menuju padepokan Hajar Sapta Bumi? Dan mungkinkah kita sanggup melawan kakek sakti itu?"
Prayoga menatap adik seperguruannya, kemudian menjawab tegas,
"Bangsat Swara Manis tentu sudah di sana. Kalau kita tidak ke sana, apakah artinya kita sampai di sini? Jika tidak berani masuk ke sarang harimau. bagaimana kita akan memperoleh anak macan?"
"Jadi kita harus ke sana?"
"Tentu!" "Hemm, kalau begitu apabila nanti Swara Manis tidak ada, berikan saja alasan bahwa kedatangannya kita ke situ, tidak lain untuk mohon doa dan restu Ki Hajar Sapta Bumi. Aku percaya bahwa sebagai seorang angkatan tua, dia takkan memperlakukan kita kurang pada tempatnya."
"Kalau Swara Manis berada di sana??
Sarini mengerling lalu sahutnya,
"Mana mungkin dia dapat lari lagi?"
Demikianlah setelah bulat rencana, mereka mendaki Gunung Slamet dan langsung menuju padepokan Hajar Sapta Bumi. Tak lama kemudian terlihat tembok batu warna merah darah yang amat menyolok. Itu merupakan pertanda, bahwa tempat itulah padepokan Ki Hajar Sapta Bumi yang amat termasyhur.
Namun baru saja mereka tiba di luar tembok padepokan, tidak urung hati mereka berdebar juga. Kemudian ketika mendekati gapura padepokan, dari gardu kecil tempat penjaga, terdengar suara yang menegur,
"Hai tamu! Apakah keperluanmu kalian datang ke mari?"
Ketika melihat yang menegur itu hanya dua orang bocah cilik, Sarini cepat mendahului menjawab,
"Adik yang baik, dapatkah engkau menolong aku? Aku ingin bertanya, apakah saudara Swara Manis sudah pulang?"
"Aih, jadi kalian mencari kakang Swara Manis? Sayang, sudah lama dia meninggalkan padepokan ini dan belum pulang."
"Benarkah itu?" Prayoga tak percaya.
Dua orang cantrik itu menatap Prayoga dengan pandang mata yang tajam. Kemudian sahutnya angkuh,
"Mungkinkah engkau lebih tahu daripada aku yang berdiam di padepokan ini?"
Prayoga menyeringai tak dapat menjawab. Sarini mendongkol tetapi terpaksa menekan perasaan, lalu berkata dengan ramah,
"Maaf. Sesungguhnya kakakku ini seorang baik, hanya sayang mempunyai cacat sedikit tolol."
Prayoga melongo tetapi tidak membuka mulut .
Dua orang bocah cilik itu tertawa, lalu berkata,
"Agaknya engkau lebih baik dari dia?"
"Siapakah namamu, adik yang baik?" pancing Sari.
"Aku Bima dan kawanku ini Hudara. Kami merupakan murid angkatan ketiga. Sedang kakang Swara Manis merupakan kakak seperguruan kami."
Karena yang dicari tidak ada, akhirnya Prayoga dan Sarini pergi meninggalkan padepokan itu.
Kita tinggalkan dahulu Prayoga dan Sarini, dan lebih bijaksana kalau kita mengikuti perjalanan Swara Manis yang dicari oleh Prayoga dan Sarini.
Sesudah bertengkar dengan Tumenggung Wiroguna maka Swara Manis dan Mariam meninggalkan kota Pati. Pendeknya bagi Swara Manis, cita-citanya memperoleh pedang pusaka Nyai Baruni harus terlaksana. Kalau toh dirinya harus mengorbankan sesuatu, akan dilakukan. Dan kalau toh Surogendilo minta tukar Mariam, dirinya juga akan memberikan dengan ikhlas.
Pada pandang mata pertama, Swara Manis memang mencintai Mariam. Akan tetapi keadaan Mariam sekarang sudah lain. Ibarat sekuntum bunga, Mariam sudah layu. Rasa cinta Swara Manis makin lama tambah luntur. Ia merasa muak setelah tubuh Mariam agak kurus, selalu malas, wajah pucat, banyak kali muntah, tidak suka makan dan malas berhias diri. Melihat semua itu, lebih cepat dapat berpisah lebih baik.
Sebaliknya Mariam, rasa cintanya kepada Swara Manis semakin mendalam. Karena itu dirinya tak sanggup berpisah lagi, dan kemanapun Swara Manis pergi, dirinya akan ikut.
Ketika mereka tiba di luar kota Pati, tiba-tiba Dasa Muka berlarian menghampiri. Dengan napas terengah, kemudian ia berkata.
"Ah berbahaya sekali."
"Apanya?" Swara Manis kaget.
Dengan berbisik Dasa Muka menceritakan pengalamannya bertemu dengan Prayoga dan Sarini. Mendengar ini Swara Manis geram sekali. Namun semua itu tidak dapat mempengaruhi cita-citanya, untuk memperoleh pedang pusaka Nyai Baruni, milik Ladrang Kuning. Katanya kemudian,
"Bagaimana kabarnya dengan pedang itu?"
Dasa Muka melirik ke arah Mariam, lalu menyahut
"Nanti kita bisa bicara."
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan lebih cepat. Mereka merencanakan akan bermalam di Demak. Dan untuk mempercepat perjalanan dan lebih aman, kemudian Swara Manis menyewa sebuah kereta.
Akhirnya mereka menginap di kota Demak. Pada waktu makan Mariam tak mau makan dan memilih tidur. Hal ini menggembirakan Dasa Muka. lalu berkata,
"Aku sudah menemukan jalan yang baik. Dan sekarang aku hanya menunggu pcrsetujuanmu."
"Ceritakanlah yang jelas." Swara Manis tak sabar.
Sebelum mengemukakan rencananya, Dasa Muka celingukan. Sesudah tahu bahwa dalam ruangan ini tidak ada orang lain kecuali seorang laki-laki jembel yang sudah mengantuk, malah kemudian tidur mendengkur, ia menjadi lega. Sekarang tidak perlu takut lagi ada orang lain yang mendengar.
"Surogendilo seorang gagah perkasa dan kebal senjata. Jika digunakan kekerasan, tipis sekali kemungkinan kita dapat berhasil."
"Akupun mengerti. Tetapi Ladrang Kuning telah bersumpah untuk dapat merebut kembali pedang pusaka itu. Apabila kita kalah dulu, kita akan kesulitan."
"Benarkah itu?"
"Jangan seperti anak kecil. Pokoknya apabila engkau dapat membantu memperoleh pedang pusaka itu. aku sedia memberi ilmu kesaktian. Semua itu ajaran kakek guru, dan engkau boleh memilih mana yang engkau sukai."
"Itulah sebabnya. harus dicari jalan lain. Surogendilo mempunyai kelemahan, sebagai seorang laki-laki dia haus perempuan cantik. Karena itu jika engkau setuju kepada usul yang sudah pernah aku rencanakan, hal itu akan lebih baik. Puteri Kilat Buwono cantik jelita. Aku percaya, Surogendilo suka menukar dengan pedang pusaka itu."
Swara Manis berdiam diri. Dasa Muka agak khawatir. kalau Swara Manis menolak rencananya. Namun ia
kenal watak Swara Manis. Kalau tak setuju, tentu sudah marah. Padahal sekarang ini hanya diam. Ini menggembirakan. Lalu berkata lagi,
"Orang berkata dalam kesukaran harus berusaha, dan ada usaha tentu ada harapan. Kini hari lebaran sudah dekat. Apabila engkau tidak memperoleh pedang pusaka itu, sulitlah bagimu untuk dapat mengalahkan musuh-musuhmu. Hem, ingatlah pula kata orang, masa muda kita hanya satu kali dalam hidup. Engkau masih mempunyai hari depan yang gemilang. Mengapa engkau akan menggantungkan nasibmu kepada seorang wanita saja? Dan apakah engkau dapat hidup bahagia memperisteri puteri Kilat Buwono itu?"
Sekalipun tidak dibujuk, Swara Manis justru sudah tidak cinta lagi kepada Mariam, dan apa pula sekarang sudah hamil. Sampai sekarang dirinya belum menikah, dan sekalipun Ladrang Kuning setuju, tetapi Kilat Buwono tidak. Manakah hidupnya kemudian hari bisa bahagia?"
"Lalu bagaimanakah reneanamu selanjutnya?"
"Jika engkau menanyakan rencanaku, ajaklah dia pergi ke Gunung Slamet dengan alasan menghadap kakek guru untuk minta doa dan restu. Manakah mungkin dia tahu perbedaan Gunung Slamet dan Pegunungan Dieng? Dan untuk melicinkan jalan, biarlah malam ini juga aku pergi lebih dahulu untuk bertemu dengan Surogendilo. Kepadanya akan aku beritahukan maksud kedatanganmu. Dan aku percaya si mata keranjang itu segera jatuh cinta kepada perempuan itu. Apabila Surogendilo sudah jatuh cinta. pedang pusaka itu akan segera jatuh ke tanganmu. Nah, sesudah itu siapa yang sanggup berhadapan dengan engkau?"
"Tetapi Pegunungan Dieng itu luas. lalu di manakah tempat tinggal Surogendilo?"
Dasa Muka tidak menyahut, kemudian ia menulis di atas meja.
"Pergilah engkau ke sana. Sesudah tiba di Goa Jimat, langsunglah menuju utara. Sebab tak jauh dari tempat itu. Surogendilo dan anak buahnya tinggal. Dan sebagai tanda agar engkau tidak tersesat di sana tumbuh rumpun pohon rotan berwarna hitam."
Selesai dibaca oleh Swara Manis, cepat-cepat tulisan itu dihapus. Sambil menghapus, mulutnya berkata,
"Aku sendiri tidak tahu secara jelas. Sebagai kepastian, lebih baik engkau bertanya kepada penduduk setempat."
Swara Manis memuji sikap hati-hati Dasa Muka. Lebih lagi Dasa Muka pandai sekali menyamar. Apabila kelak kemudian hari sudah berhasil mempelajari ilmu tatakelahi tingkat tinggi. tentu akan menjadi seorang pembantu yang bisa diandalkan. Membayangkan kemungkinan itu. ia segera berkata,
"Kakang Dasa Muka, kalau aku mengusulkan sesuatu, apakah engkau setuju?"
Dasa Muka kaget. Namun sebelum ia membuka mulut Swara Manis berkata lagi,
"Jika kakang Dasa Muka menyetujui. aku ingin mengangkat engkau sebagai saudara angkat. Setujukah engkau?"
"Terimakasih... terimakasih..." Dasa Muka mengucapkan terimakasih berulang-ulang, karena ia gembira sekali atas ajakan Swara Manis itu. Pendeknya apabila terikat saudara, dirinya akan lebih aman oleh lindungan Swara Manis.
Demikianlah dua orang yang sama-sama licin, sama-sama durjana dan sama-sama pengecut itu telah mengangkat saudara. Dan karena sejak semula Dasa Muka sudah memanggil adi kepada Swara Manis, maka dirinya pula sebagai saudara tua.
Baru saja mereka mengikrarkan sebagai saudara, tiba-tiba masuklah seorang tinggi besar ke dalam ruangan itu. Begitu orang tersebut masuk. sudah terhambur makian tak keruan juntrungnya,
"Jahanam! Kurangajar! Engkau memang terkutuk."
Mendengar suara orang itu Swara Manis gugup. Bisiknya,
"Kakang, apakah engkau membawa kedok penutup muka?"
Tanpa menjawab Dasa Muka mengeluarkan selembar kedok penutup muka dari kulit. Begitu dipakai, pemuda Suara Manis yang pada mulanya tampan itu sudah berubah menjadi buruk. Sesudah itu barulah ia berani mengangkat kepala dan mengamati orang tinggi besar itu. Begitu memandang ia menjadi geli dan tak kuasa menahan ketawanya.
"Bangsat! Siapa yang engkau tertawakan?" bentak orang yang baru datang itu.
Dasa Muka tak senang dan ingin membalas. tetapi Sawara Manis mencegahnya. sehingga Dasa Muka menjadi heran. Tetapi kalau Swara Manis mencegah memang ada alasannya. Sebab orang tinggi besar itu bukan lain Wasi Jaladara. Namun keadaan orang itu sekarang ini memang menggelikan. Jenggot yang lebat itu tinggal separo. Muka sebelah berwarna hitam dan sebelah putih. Sedang rambut kepalanya, separo kelimis tetapi yang separo masih utuh. Kalau saja dia menggunakan ikat kepala, tentu kepala yang sebelah itu masih tertutup kain kepala. Akan tetapi karena tidak berikat kepala. sudah tentu keadaannya menjadi lucu dan menggelikan. Dan siapa yang melihat takkan dapat menahan ketawanya.
Namun diam-diam Swara Manis berdebarjuga hatinya. Kalau seorang tokoh sakti seperti Wasi Jaladara ini masih dapat dipermainkan orang, jelas orang yang berbuat itu sakti sekali. Lalu siapakah dia? Mungkinkah Ladrang Kuning?
Teringat nama ladrang Kuning, peluh dingin mem basahi sekuiur tubuh. Ia bergidik sendiri kalau membayangkan rencananya sendiri yang keji itu. Kalau sampai diketahui oleh Ladrang Kuning, tentu wanita itu takkan memberi ampun lagi.
Namun sejenak kemudian pendapat itu dibantah sendiri. Walaupun dalam keadaan tidak waras, tetapi Ladrang Kuning tidak mempunyai kesempatan berolok olok seperti itu. Menduga demikian, hati pemuda ini tenang kembali.
Wasi Jaladara kemudian duduk di bangku lain. Begitu duduk ia sudah menggebrak meja sambil berteriak,
"Hai pelayan! Lekas layani kebutuhanku. Huh, aku butuh kopi panas dan nasi gudeg."
Mendengar perintah itu. para pelayan penginapan yang sudah mengantuk melonjak kaget. Dengan tergesa menuju dapur, kemudian menghidangkan pesanan itu.
Saat itu tanpa disadari, Wasi Jaladara mengusap kepalanya dan jenggotnya yang tinggal separo. Tiba-tiba saja ia marah kembali dan memekik,
"Jahanam, kurangajar! Huh. apakah bukan si budak kecil yang sudah mempermainkan diriku?"
Tetapi sejenak kemudian ia membantah sendiri de ngan perlahan,
"Ah, tetapi tidak mungkin. Dia justru sudah pergi bersama kawannya ke Dieng. Manakah mungkin dia bisa memperolokkan aku?"
Setelah berkata demikian. ia tampak tenang. Namun tak lama kemudian Wasi Jaladara ketawa bergelak-gelak seperti orang tidak waras.
"Ha-ha-ha, agaknya mereka memang sudah saling cinta! Heli-heh-lieh, biarlah hal itu aku tanyakan kepada gurunya. Kalau toh memang benar begitu. aku akan mendesak agar mereka segera dinikahkan."
Dan setelah berkata seorang diri seperti itu, kembali ia ketawa terkekeh.
Pada mulanya swara Manis dan Dasa Muka mendu ga, tentu Wasi Jaladara sedang berusaha menghibur diri. Akan tetapi makin lama nada ketawanya seperti earang menangis. Ketika mereka mengamati, mereka menjadi terkejut. Karena Wasi Jaladara tertawa tidak wajar. Matanya merah dan mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak terus seperti orang dalam kesakitan.
Sebagai murid Ki Hajar Sapta Bumi, tentu saja Swara Manis menjadi tahu. Wasi Jaladara telah dicelakai orang lain. Ia telah diserang secara gelap, sehingga Wasi Jaladara tertawa. karena urat yang menyebabkan ketawa itulah yang diserang orang.
Akibatnya Swara Manis kaget bukan main. Dalam ruangan ini hanya terdapat empat orang saja. Si jembel di meja lain tetap tidur mendengkur. sedang dirinya maupun Dasa Muka tidak berbuat. lalu siapakah yang sudah melakukan perbuatan itu?
Namun pada dasarnya Swara Manis memang tidak senang terhadap Wasi Jaladara. Rasa kasihan hanya sebentar saja menyelinap dalam hatinya. Melihat derita Wasi Jaladara itu, kemudian dalam hatinya bersorak dan mengejek.
Akan tetapi tiba-tiba Swara Manis menjadi kaget sendiri ketika pinggangnya terasa nyeri. Cepat-cepat ia mengerahkan semangat melakukan perlawanan, tetapi terlambat. Mulut sudah terbuka, kemudian sudah tertawa ha-ha-ha-ha ha-ha-ha... terus menerus.
Masih untung dirinya murid gemblengan Ki Hajar Sapta Bumi. Walaupun dalam keadaan seperti itu. masih dapat berdaya untuk membebaskan diri dari serangan gelap itu. Yang aneh. begitu Swara Manis tertawa, Wasi Jaladara berhenti tertawa. Mata Wasi Jaladara melotot, tampak dalam keadaan amat marah.
Dasa Muka yang terkejut bertanya,
"Adi, apakah engkau juga diserang orang secara gelap?"
Belum juga Swara Manis sempat menyahut, Wasi Jaladara sudah menggeram dan menyerang. Tangannya memukul disertai bentakan keras,
"Bangsat! Hampir saja aku dapat kau kelabuhi"
Swara Manis tidak mau menangkis. Tangan menekan meja dan tahu-tahu tubuhnya melenting di udara. Sedang Dasa Muka yang tahu gelagat jelek cepat menyingkir.
Brak... brak... meja di depan Swara Manis hancur berantakan meniadi sasaran tinju Wasi Jaladara. Saat itu juga terjadi hiruk-pikuk, pengusaha dan pelayan bingung. sedang tamu yang semula masih di luar cepat cepat masuk kamar dan tutup pintu.
Karena pukulannya luput, Wasi Jaladara tambah marah. Secepat kilat ia mencabut senjata tongkatnya, lalu menyerang Swara Manis dan Dasa Muka.
"Bangsat!" teriaknya sambil menyerang.
"Engkau sudah mempermainkan aku, sekarang harus melayani tongkatku ini kalau memang jantan."
Mendengar ucapan orang itu, Swara Manis menjadi tahu bahwa Wasi Jaladara belum mengenal siapa dirinya. Sebagai seorang yang cerdik, ia tahu akan watak orang seperti Wasi Jaladara ini, yang memang kasar. Kepada orang ini tidak ada gunanya membantah dan memberi alasan. Untuk itu lebih tepat apabila melayani tantangan orang. Maka ketika tongkat menyabat, ia sudah mengendap ke bawah sambil melesat ke samping. Lalu orang secepat kilat ia mengembangkan lima jari tangannya untuk mencengkeram dada orang.
"Bagus!" seru Wasi Jaladara.
"Ternyata engkau tidak lemah."
Sambil berseru, Wasi Jaladara menarik senjatanya lalu mundur tiga langkah ke belakang. Secara tak sengaja, pantatnya telah menabrak kepala si jembel yang masih tidur mendengkur. Agaknya si jembel itu seorang tidak waras. Dalam ruangan itu terjadi keributan dan perkelahian, dirinya masih enak-enak mendengkur Dan sekalipun kepalanya dibentur pantat, si jembel itu masih tetap tidur mendengkur seperti babi.
Atas serangan Swara Manis, si kasar ini kaget. Tetapi sebagai seorang yang sudah luas pengalaman, ia segera dapat mengenal kembali gerakan orang itu yang serupa dengan ilmu ajaran Hajar Sapta Bumi. Dirinya tidak senang kepada Ki Hajar Sapta Bumi. Maka walaupun tidak tahu siapa yang dihadapi sekarang ini ia sudah mencaci-maki kalang-kabut,
"Anak haram! Kiranya engkau begundal dari Hajar Sapta Bumi!"
Selesai mencaci. tongkatnya segera menyambar ke arah Dasa Muka.
Bluk...!! Dasa Muka yang tak pernah mimpi akan menerima pukulan itu. menjerit nyaring,
"Mati aku... ."
Swara Manis gugup dan kuatir. Ia masih membutuhkan tenaga Dasa Muka. Karena itu dirinya harus dapat menyelamatkan saudara angkatnya ini, agar rencananya tidak berantakan. Karena itu cepat-cepat ia berseru.
"Kakang, lekaslah engkau lari. Aku setuju dengan rencanamu dan rencana itu harus terlaksana."
Dasa Muka seperti anjing kena gebuk. Begitu Wasi Jaladara sibuk menangkis serangan Swara Manis, ia cepat melarikan diri. Wasi Jaladara terkejut mendengar ucapan Swara Manis tentang rencana itu. Walaupun tak tahu apa yang dimaksud dengan rencana itu, tetapi agaknya tidak asing dengan nada suara Swara Manis. Ia curiga dan termangu sejenak. Akan tetapi justru kelalaiannya ini, hampir saja dirinya terpukul oleh Swara Manis.
"Keparat! Siapa engkau?" bentaknya sambil menggerakkan tongkat.
Kalau tadi Swara Manis sampai terpaksa membuka mulut, tidak lain karena dipaksa keadaan. ia menyesal justru suaranya menimbulkan kecurigaan Wasi Jaladara. Maka ketika Wasi Jaladara bertanya, ia tak mau menjawab lagi. Sebab di samping kuatir dikenal Wasi jaladara, iapun mcngkuatirkan kehadiran Ali Ngumar. Untuk menghindarkan semua ini, ia memutuskan untuk segera menghentikan perkelahian ini.
Secepat kilat ia memungut dua buah sendok garpu. Dengan gesit ia menyelinap ke belakang Wasi Jaladara, lalu menusuk punggung lawan.
"Bagus!" seru Wasi Jaladara sambil mengcbutkan tongkat ke belakang. Untuk menghindarkan diri, terpaksa Swara Manis melenting ke udara. Akan tetapi celaka... tiba-tiba ia merasakan kakinya kesemutan. Ia kaget dan sadar, untuk kedua kalinya diserang orang secara gelap.
Karena kakinya kesemutan dan kaget, tubuh Swara Manis meluncur ke bawah lagi. Tepat pada saat itu tongkat Wasi Jaldara menyongsong. Untuk menghindari serangan ini. Swara Manis terpaksa menggunakan tipu jembatan gantung. Ialah melemparkan tubuhnya ke belakang, di susul dengan gerakan melenting ke samping.
Anehnya, setelah ia berhasil menghindari serangan, telapak kakinya tidak kesemutan lagi. Karena itu di saat tongkat Wasi Jaladara menyambar lagi, ia menerobos maju dan menusukkan garpu ke dada lawan. Berbareng dengan itu, si jembel yang enak tidur tampak mengeliat. Kedua tangannya diangkat ke atas dan jari tangannya ditekuk ke belakang.
Wasi Jaladara maupun Swara Manis kaget bukan main. Sebab dengan tingkah si jembel itu. menyambarlah angin keras. Jelas sekali bahwa gerakan menekuk jari tadi tidak wajar. tetapi merupakan serangan jarak jauh. Akibatnya dua orang ini terpaksa menghindar dengan mundur tiga langkah ke belakang. Jembel itu setelah bangun menggerutu,
" Huh, kurangajar! Aku hanya ingin tidur sekejap saja, kamu sudah ribut tak keruan."
Mengenal si jembel, tiba-tiba saja Wasi Jaladara marah dan membentak.
"Ho. kiranya engkau. Huh, hampir saja aku salah memukul orang tak berdosa."
Ia menutup kata-katanya itu dengan serangan tongkat. Tampaknya si jembel itu tak acuh, dan malah enak-enak mengatur pakaiannya. Akan tetapi yang aneh, serangan tongkat yang dahsyat itu berhenti mendadak, dan kemudian malah jatuh dan akan makan kaki tuannya sendiri. Swara Manis yang menyaksikan amat terkejut. Jelas si jembel itu hanya mengangkat tangannya sedikit ke atas. Akan tetapi mengapa Wasi Jaladara yang bertenaga raksasa itu tak kuasa lagi memegang tongkatnya? Jelas sekali si jembel itu seorang sakti. Akan tetapi siapakah orang ini?


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh. pengemis busuk! Aku tak mau hidup di bawah satu langit dengan engkau!" teriak Wasi Jaladara sambil menghindari serangan tongkatnya sendiri. Sesudah berhasil menyelamatkan kakinya, ia kembali menyerang dengan dahsyat.
Akan tetapi lawannya tetap tak acuh. Ia hanya bangkit dari tempat duduk lalu melangkah keluar sambil berkata,
" Ada engkau tiada aku. Ada aku tiada engkau! Ha-ha-ha... sama pula dengan rambut di kepalamu dan tiada rambut di kepalaku. Kalau kupangkas lagi rambutmu yang tinggal separo itu, aku tentu dapat melihat orang tinggi besar dengan kepala kelimis seperti kera bangkotan bulunya rontok."
"Keparat... bangsat! Jadi engkaukah kiranya yang sudah mencukur rambutku ini? Kurangajar! Hampir saja salah duga kepada orang lain!" serunya sambil memburu keluar.
Dalam kejar mengejar itu, dua orang tersebut
terus, saling caci. Gerakan mereka cepat sekali sehingga dalam waktu tidak lama mereka telah jauh dari kota.
Swara Manis menghela napas lega. Kemudian ia masuk ke dalam kamar yang disewa. Tampak Mariam tidur lelap sekali sedang lampunya masih menyala. Melihat itu Swara Manis tak ingin membuatnya kaget, dan menghampiri pembaringan perlahan-lahan.
Demi melihat wajah Mariam yang cantik jelita, berdebarlah jantung Suara Manis. Dalam hatinya mengakui memang sulit mencari wanita secantik Mariam. Akan tetapi pikirannya itu tidak lama menghuni dalam benaknya. Segera diusir oleh kepentingan lain, yang takkan dapat diabaikan. Katanya dalam hati,
" Hem, di dunia ini tidak kurang jumlahnya wanita cantik. Manusia yang berharta dan berpangkat, gampang memperoleh sepuluh atau duapuluh wanita cantik. Huh, untuk apa aku harus setia kepada perempuan ini, yang belum pernah kawin sudah akan mendapat anak? Hem, kalau hal ini diketahui orang apakah tidak membuat aku malu dan menurunkan derajat kehormatanku? Persetan... Kalau tidak kejam, aku sendirilah yang akan menderita selama hidup. Pedang pusaka Nyi Baruni itu harus di tanganku. Harus! Hari lebaran sudah dekat. Tanpa pedang pusaka itu kakek guru tentu tidak bersedia mengajarkan ilmu pedang Samber Nyawa kepada diriku. Dan tanpa ilmu pedang Samber Nyawa, sulitlah bagi diriku dapat mengatasi lawanlawanku. Huh-huh... apapun yang terjadi, perempuan ini harus aku serahkan kepada Surogendilo, untuk memperoleh ganti pedang pusaka."
Tanpa sesadarnya Swara Manis menghentakkan kaki, dan suara gentakan kaki ini kuasa menyebabkan Mariam terjaga. Begitu melihat kekasihnya, yang masih berdiri di samping pembaringan, Mariam menegur dengan halus.
"Kakang, apakah sebabnya engkau belum juga tidur?"
Akan tetapi Swara Manis saat ini dalam keadaan gelisah. Ia sadar musuh selalu mengintai. dan kalau tidak bertindak cepat rencananya bisa gagal. Untuk itu dirinya harus cepat-cepat pergi dari penginapan ini meneruskan perjalanan. Bujuknya,
" Diajeng, engkau tentu menyadari juga bahwa banyak orang jahat yang berusaha mencelakakan diriku. Malam ini aku mendapat firasat tidak enak. Oleh sebab itu kita harus meneruskan perjalanan malam inijuga."
"Mengapa malam begini?" Mariam mengeluh.
Namun ia seorang wanita yang menyerahkan segenap jiwa dan raganya kepada Swara Manis. Menurut pendapatnya apabila dapat menyenangkan kekasihnya, hatinya dan perasaannya menjadi bahagia. Maka malam ini walaupun dirinya malas, ia tidak dapat membantah kemauan Swara Manis. Ia bangkit dan menyisir rambut. Setelah persiapan selesai, dua orang ini meneruskan perjalanan.
Sekarang kita ikuti dahulu kepergian Wasi Jaladara yang mengejar lawan. Dalam marahnya Wasi Jaladara mengejar jembel itu dengan maksud memberi hajaran. Tetapi celakanya walaupun sudah mengerahkan kepandaiannya lari, dirinya tak juga dapat menyusul jembel itu. Setelah cukup lama mengejar, dadanya malah kembang-kempis dan hampir kehabisan tenaga. Akhirnya ia berhenti lalu mencaci-maki,
" Kurangajar! Bangsat busuk! Mengapa tidak kau cukur saja seluruh rambut kepala dan jenggotku?"
Dari jauh jembel itu ketawa cekikikkan. Jawabnya,
" Heh-heh-heh, tahukah engkau bahwa aku sesungguhnya sudah bosan menjadi pendeta seperti ini? Aku ingin dapat membebaskan diri dari tugas. Dan untuk itu aku harus mendapat gantinya, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan."
"Tetapi apakah rambut pada kepalamu yang kelimis itu masih bisa tumbuh lagi?"
Wasi Jaladara yang jujur tidak menyadari, sedang berhadapan dengan orang yang suka berolok-olok, dan suka mempermainkan orang. Itulah sebabnya ia bertanya tentang rambut. dapat tumbuh atau tidak.
"Kalau bisa tumbuh, lalu apa maksudmu??
Wasi Jaladara tertegun. Namun ia tidak percaya kalau kepala pertapa jembel yang gundul kelimis itu dapat tumbuh lagi rambutnya. Menduga demikian, katanya mantap,
" Kalau rambutmu benar-benar bisa tumbuh lagi, aku rela rambutku yang tinggal separo ini engkau cukur semuanya."
Pertapa jembel itu terkekeh.
"Heh-heh-heh, sekali seorang laki-laki sejati mengucapkan kata-kata
"Sabda pandita ratu. Sekali berkata, takkan dijilat lagi," sahutnya.
Pertapa jembel itu ketawa terkekeh. kemudian meraba kepalanya dan berseru,
" Lihatlah!" Wasi Jaladara berjingkrak kaget. Teriaknya keheranan,
" Hai... engkau ini manusia atau setan?"
Matanya belum lamur. Ia melihat jelas bahwa kepala pertapa tadi gundul kelimis. Tetapi mengapa sebabnya hanya mengusap dengan tangan, tahu-tahu rambut pertapa itu sudah tumbuh lagi?
"Tadi engkau sudah berjanji bukan? Sekali berjanji tidak dapat ingkar."
Wasi Jaladara yang jujur segera menyahut,
" Baik, cukurlah rambutku!"
Pertapa jembel itu tanpa sungkan lagi, menghampiri Wasi Jaladara dan dengar tangkas sudah mencengkeram.
"Aduh... aduh.... setan alas!" Wasi Jaladara berteriak mencaci-maki.
"Aku suruh mencukur, mengapa, kau cabuti?"
"Bukan mencabut, ini mencengkeram. Bagaimana mungkin aku dapat mencukur tanpa memegang rambutmu?"
Sambil ke tawa terkekeh, pertapa jembel itu melakukan tugasnya mencukur rambut Wasi Jaladara dengan pisau cukur yang tajam. Hingga dalam waktu singkat. kepala Wasi Jaladara menjadi gundul kelimis.
Setelah selesai, Wasi Jaladara mengusap kepalanya yang plontos dan oleh tiupan angin terasa dingin.
Dalam mendongkolnya, lalu orang jujur ini bertanya lagi,
" Hai, engkau ini manusia atau demit?"
"Heh-heh-heh, bukan manusia dan bukan demit... ."
Wasi Jaladara tersentak kaget. Ia segera teringat bahwa di dunia ini hidup seorang tokoh sakti yang suka ugal-ugalan. dan terkenal dengan sebutan Jim Cing Cing Geling. Ia membelalakkan matanya sambil bertanya,
" Kalau tegitu, apakah engkau ini yang disebut Jim Cing Cing Goling?"
"Heh-heh-heh, kalau itu benar, bagaimana maksudmu?"
"Mati aku... ."
Jim Cing Cing Goling terkekeh gembira sekali. kemudian mengejek,
" Hai bocah tua! Mengapa begitu gundul engkau seperti linglung?"
Karena sudah kalah janji, ia tidak dapat apa-apa. Ia kemudian mengusap kepalanya sambil berkata,
" Celaka... bagaimana diriku sekarang ini? Apakah aku tidak menjadi malu kalau bertemu dengan orang?"
Jim Cing Cing Goling terharu. Tidak terkilas maksud buruk sedikitpun dalam hati Jim Cing Cing Goling, mencukur rambut dan jenggot Wasi Jaladara ini. Akan tetapi di balik peristiwa itu, memang mempunyai maksud baik. Ia tahu bahwa orang ini jujur dan berhati baik. Orang seperti ini amat dibutuhkan oleh masyarakat, yang membutuhkan perlindungan. Agak sayang,
karena mempunyai watak berangasan, sering sekali Wasi Jaladara berhadapan dengan bahaya.
Kenyataan ini kemudian mendorong kepada Jim Cing Cing Goling untuk menolong. Tetapi apabila menggunakan cara yang wajar, Wasi Jaladara tentu tersinggung dan marah. Oleh sebab itu Jim Cing Cing Goling menggunakan cara yang aneh, mencukur rambut Wasi Jaladara, dan sebagai upahnya akan memberi pelajaran ilmu tongkat yang hebat, agar orang berangasan tetapi jujur ini menjadi orang sakti mandraguna dan dapat melindungi masyarakat.
"Heh-heh-heh," Jim Cing Cing Goling terkekeh. lalu hiburnya,
" Tak usah cemas. Pakailah jubah ini, engkau akan berobah menjadi seorang pendeta. Tetapi jika engkau tak setuju. dan jika engkau mengenakan ikat kepala, kepalamu yang gundul kelimis bisa engkau tutup."
"Ah benar. Aku bisa menutupi kepalaku yang gundul ini dengan ikat kepala."
"Ya, begitu juga baik. Hemm... sekarang aku ingin bicara dengan engkau. Tadi aku sempat melihat bahwa ilmu tongkatmu cukup hebat. Kekerasan dan kedahsyatannya memang sudah bagus tetapi dalam ketenangan dan kelincahan amat kurang. Tetapi hem... bagaimanakah menurut pendapatmu sendiri?"
Wasi Jaladara kasar tetapi jujur. Berkali-kali dirinya berhadapan dengan lawan, dan ilmu tongkatnya tak dapat menolong. Apakah salahnya bertemu dengan tokoh sakti ini dirinya minta petunjuk?
"Aku akan gembira sekali apabila engkau sudi memberi petunjuk kepada diriku!" katanya kemudian. Lalu tongkatnya segera diserahkan kepada Jim Cing Cing Goling.
Jim Cing Cing Goling menerima tongkat itu sambil terkekeh. Katanya,
" Orang mengatakan, engkau ini seorang yang kasar. Tetapi dengan permintaanmu sekarang ini, aku menjadi senang."
Ia menatap Wasi Jaladara beberapa jenak. Kemudian ia berkata sungguh-sungguh,
" Wasi Jaladara. ketahuilah bahwa ilmu tongkat yang akan aku ajarkan kepadamu ini, merupakan ilmu ajaran tokoh sakti jaman Pajang. bernama Pramaneanegara. Nama aslinya Pramanca, tetapi setelah diangkat sebagai Patih Kerajaan Pajang, ditambah dengan negara. Ilmu tongkat warisan tokoh sakti itu disebut dengan nama "Tri Taksaka Kurda". Artinya tiga ekor ular mengamuk. Hemm... keindahan dan ketangguhanuya ilmu tongkat ini bukan saja terletak pada perbawa kekerasannya, tetapi juga mengandung kelincahan dan keleluasan. Hemm... sungguh kebetulan tongkatmu ini beruas tiga. sehingga dapat dijadikan tiga batang tongkat pendek, ini amat berguna bagi ilmu tongkat "Tri Taksaka Kurda". Nah, sekarang perhatikanlah!"
Dan Wasi Jaladara berdiri sambil memperhatikan. Jim Cing Cing Goling berdiri tegak. Tongkat diacungkan ke atas perlahan-lahan, dan tampaknya lemah tanpa tenaga. Tetapi sesudah tangan menyentak turun, Wasi Jaladara terbelalak kagum. Sebab secara tiba-tiba gerakan menyentak turun tadi, menyebabkan tongkat yang beruas tiga itu berobah menjadi tiga ruas yang serempak menyerang bersama-sama. Dengan demikian sekali gerak akan dapat mengundurkan tiga o-rang lawan sekaligus. Tetapi sebaliknya apabila berkelahi seorang lawan seorang, berarti sekali gerak tongkat itu menyerang tiga bagian tubuh lawan. Tak salah lagi disebut tiga ular mengamuk.
Memang untung bagi Wasi Jaladara, yang sudah mempunyai dasar kokoh dalam ilmu tongkat. Karena itu sekali melihat, ia sudah dapat mencatat dalam hati. Sesudah jurus pertama selesai dimainkan, Jim Cing Cing Goling bergerak pada jurus kedua. Akhirnya ilmu
tongkat yang terbagi 14 jurus itu dapat diselesaikan Jim Cing Cing Goling.
Wasi Jaladara yang jujur tak menyembunyikan perasaan, mulutnya berdecak dan memuji-muji. Akan tetapi berbareng dengan itu, seluruh kemampuannya berpikir dicurahkan kepada setiap gerak Jim Cing Cing Goling, agar tidak sampai salah tangkap. Sesudah merasa dapat melakukannya ia bermaksud untuk minta kembali tongkatnya untuk berlatih.
Celakanya sebelum mulut terbuka, sudah terdengar suara orang berteriak,
" Cing Cing Goling. Berikan tongkat itu padaku. Aha... Ndara Menggung ingin berlatih... ."
Belum lenyap gema teriakannya, muncullah seorang tua kerdil dan kepalanya gundul tanpa ditutup ikat kepala, dengan jenggot yang amat panjang. Dialah Sampar Mega alias Ndara Menggung, dan sekarang ini ia datang sambil tangannya memegang sehelai ikat pinggang warna hijau.
"Huh, keparat! Apakah hukumannya orang yang berani mencuri pelajaran orang lain?" selesai berkata Jim Cing Cing Goling sudah menyambut Ndara Menggung dengan serangan tongkat.
Wut...!! Ndara Menggung melenting ke udara menghindari serangan, lalu dari atas berteriak,
" Cing Cing Goling, kapan engkau mempunyai murid pendeta ini? Aih... tapi mengapa engkau tidak mengundang aku?"
Jim Cing Cing Goling tidak menyahut, melainkan menggerakkan tongkatnya sehingga mencelat ke atas.
"Aduh... pantatku...!" teriak Ndara Menggung.
"Jika engkau masih menyerang, aku lepaskan ular sakti Gadung Dahana ini, biar engkau mampus digigit."
"Dari mana engkau dapatkan ular itu?"
"Heh-heh-heh, sudah tentu hasil pikiran dan akal
Ndara Menggung sendiri."
"Jawab dulu! Hukuman apa yang harus diterima oleh orang yang berani mencuri ilmu pelajaran orang lain?"
"Ndara Menggung tidak bisa berpikir. Engkau sajalah yang mengatakan."
"Kalau aku yang harus mengatakan, aku kuwatir engkau tak mau tunduk."
Ndara Menggung panas perutnya merasa tak dipercaya. Bentaknya,
" Siapa yang mengatakan bahwa Ndara Menggung bermulut palsu?"
"Bagus! Engkau memang seorang laki-laki sejati dan bermulut mutiara. Sekarang terimalah hukuman yang akan aku jatuhkan kepadamu. Serahkanlah ular sakti Gadung Dahana itu kepadaku."
"Kentut..." ejek Ndara Menggung.
"Ha-ha-ha," Jim Cing Cing Goling ketawa mengejek.
"Memang tidak salah kalau orang mengatakan, Ndara Menggung itu manusia bermulut palsu!"
"Kurangajar! Ambillah!" teriak Ndara Menggung tanpa sadar, seraya melemparkan ular sakti itu.
Jim Cing Cing Goling cepat meletakkan tongkat, kemudian memandang melayangnya ular Gadung Dahana yang warnanya hijau itu penuh perhatian. Sebelum sinar itu melayang datang, dua tangan bergerak. Tangan kiri menjepit leher ular, sedang tangan kalian memijat bagian dekat pantat. Begitu tertangkap ular tersebut tidak dapat bergerak lincah lagi, sedang lidah yang merah menjulur keluar.
"Engkau tentu penasaran dengan permintaanku ini, bukan?"
"Tentu!" "Dan tentu engkau merasa rugi bukan? Karena mencari ular ini tidak mudah?"
"Jangan pura-pura sok suci. Setengah tahun lalu sesungguhnya aku sudah dapat menangkap ular itu. Tetapi telah diganggu oleh bocah tolol Prayoga. Kalau saja waktu itu aku sudah berhasil menangkap ular itu, tentu engkau tidak dapat memberi hukuman seperti ini. Huh, semua ini gara-gara pemuda tolol itu. Kalau kemudian hari aku ketemu, tentu dia akan aku beri hukumanjuga."
Mendengar ini Jim Cing Cing Goling menjadi kuatir juga. Kalau benar si linglung ini marah dan membalas dendam kepada Prayoga, pemuda itu bukan tandingan Ndara Menggung. Tetapi ia seorang yang pandai hicara. maka katanya,
" Engkau yang bersalah mengapa orang lain kau kambing hitamkan? Dan mengapa engkau tidak cepat-cepat memahami ilmu tongkat ini?"
Ndara Menggung segera memungut tongkat. kemudian berlatih. Dari samping Jim Cing Cing Goling memberi petunjuk mana yang masih kurang dan mana sudah benar. Apa yang dilakukan oleh Ndara Menggung ini juga banyak membantu Wasi Jaladara dalam usaha memahami ilmu tongkat tersebut.
Tanpa terasa pagi telah tiba, dan Jim Cing Cing Goling lalu ingat kepada Swara Manis. Teringat hal itu, lalu ia mengusir Ndara Menggung,
" Hai Ndara Menggung! Ilmu tongkat itu ampuh sekali. Untuk memahami, engkau harus mencari tempat sepi agar tidak diganggu orang. lekas pergilah sekarang."
Ndara Menggung yang linglung menduga semua itu sungguh-sungguh. Sahutnya,
" Baik, Ndara Menggung segera pergi."
Sesudah Ndara Menggung pergi, Cing Cing Goling memberitahu kepada Wasi Jaladara tentang apa yang
sudah didengarnya di penginapan. Karena itu ia mengajak Wasi Jaladara kembali ke penginapan untuk menangkap Swara Manis dan Mariam. Celakanya Swara Manis yang cerdik sudah pergi tadi malam, sehingga usaha mereka gagal.
"Hayo kita kejar!" ajak Jim Cing Cing Goling kepada Wasi Jaladara. Mereka menempuh perjalanan cepat. Dalam waktu singkat sudah jauh, tetapi tetap tidak dapat menyusul Swara Manis.
"Hem, bocah ini licin seperti belut, " desah Jim Cing Cing Goling.
Wasi Jaladara mengiakan, dan kemudian malah menceritakan apa yang sudah terjadi di Muria. Sedang dirinya sendiri juga merasakan hasil muslihat pemuda itu.
"Sayang..." Cing Cing Goling menghela napas.
"Anak secerdik itu salah jalan."
Jim Cing Cing Goling kemudian bertanya kepada Wasi Jaladara, apakah tahu tempat gerombolan Surogendilo. Yang dijawab, selaras keterangan Prayoga. gerombolan itu bermukim di sekitar sumur Jalatunda dan Goa Jimat.
Jim Cing Cing Goling terkejut.
"Benarkah di sana?"
"Ya, apakah engkau sudah tahu tempat itu?"
Jim Cing Cing Goling menggelengkan kepalanya.
"Hanya pernah mendengar saja. Menurut keterangan, penduduk tidak berani tinggal di sana karena takut akan keganasan Surogendilo."
Wasi Jaladara yang mengkhawatirkan keselamatan Mariam, kemudian mendesak Jim Cing Cing Goling agar mau menyusul ke sana. Jim Cing Cing Goling setuju. kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju Dieng.
Dalam perjalanan ini, Jim Cing Cing Goling menggunakan tabung bambu untuk menyimpan ular berbisa bernama Gadung Dahana itu.
Begitulah, gara-gara Swara Manis yang mempunyai rencana menukarkan Mariam dengan pedang pusaka, menyebabkan banyak orang menjadi sibuk dalam u-saha mencegah peristiwa itu. Demikian pula setelah Prayoga dan Sarini tidak berhasil mencari Swara Manis di padepokan Hajar Sapta Bumi, dengan gerak cepat merekapun sudah menuju Dieng.
Ketika itu hari sudah sore. Sarini berpendapat lebih baik mencari penginapan di dalam kota. Sebaliknya Prayoga tidak setuju. karena menginap di kota menyebabkan perjalanan lebih lambat.
"Tetapi perutku sudah lapar sekali!" Sarini marah.
Prayoga mengeluarkan bekalnya. Nasi jagung kering dengan lauk ikan dendeng. Kemudian sambil tersenyum, dan lauk itu diberikan kepada Sarini.
"Aku tak sudi makan nasi jagung yang sudah kering seperti itu!" pekik Sarini.
"Dan aku ingin makan nasi putih yang hangat, bau harum dengan daging yang segar dan lezat."
"Sari," bujuk Prayoga.
"Sesudah urusan kita selesai, masih banyak kesempatan bagi kita menikmati makanan yang mewah. Tetapi urusan kita sekarang ini amat penting, kita harus pandai menghemat waktu."
"Huh ...urusan apa yang engkau anggap penting
itu?" "Eh, Sari, mengapa engkau menjadi begini? Bukankah engkau juga tahu bahwa saat ini mbakyu Mariam dalam bahaya? Dan mengapa kita harus berlambat dalam usaha menolong?"
"Huh? bahaya apa?" Sarini yang nakal pura-pura tidak tahu.
"Apakah engkau sudah berobah menjadi tolol? Bukankah engkau tahu sendiri, bahwa Swara Manis merencanakan menyerahkan mbakyu Mariam untuk memperoleh ganti pedang pusaka Nyai Baruni??
Namun Sarini yang memang nakal itu masih juga menggoda.
"Bagaimana engkau bisa tahu kalau Swara Manis menyetujui siasat Dasa Muka? Huh. andaikata benar setuju, masakan dia dapat mendahului kita? Dan andaikata dia benar lebih dahulu datang di sana, apakah mbakyu Mariam mau saja diserahkan kepada 0rang lain?"
Untuk beberapa jenak Prayoga melongo. Sesudah sadar, baru ia menjawab.
'Tetapi bagaimanapun juga, kalau kita belum tiba di Dieng, hatiku tak dapat tenteram dan takkan dapat tidur pulas."
Mendengarjawaban ini Sarini menjadi sengit.
"Kakang... apakah engkau tidak tahu atau sudah dibutakan oleh cinta. bahwa mbakyu Mariam hanya mencintai Swara Manis? Huh. sekalipun engkau berhasil menolong dan menyelamatkan. dia tentu tak sudi juga menjadi isterimu. Huh-huh... engkau bagi pungguk merindukan bulan...."
Prayoga terpukau sejenak, dan sesudah dapat menguasai perasaannya lalu menjawab,
" Sari, jangan sesempit itu pikiranmu. Mbakyu Mariam itu saudara seperguruan kita dan dia juga puteri tunggal guru kita Apakah engkau tidak sanggup membalas budi kepada guru? Dan apakah kita rela melihat puteri tunggal guru kita dalam bahaya? Hemm... janganlah engkau menuduh diriku ini bingung, dan berusaha menolong mbakyu Mariam karena aku gandrung. Tidak! Hemm... apakah engkau tidak ingat keadaanmu sendiri ketika itu? Sekalipun aku tidak bermaksud memperisteri engkau, tetapi aku menolong engkau dengan mempertaruh kan nyawaku sendiri."
Ulu hati Sarini seperti ditikam pisau belati rasanya, mendengar kata-kata kakak seperguruannya ini. Hati pedih kemudian menjadi panas dan berkata sengit.
"Kakang... huh jangan asal membuka mulut! Siapa yang mempunyai hasrat supaya menjadi isterimu?"
Tetapi apa yang terucap berbeda dengan apa yang terkandung dalam hati. Sudah cukup lama gadis ini mengharapkan ucapan kakak seperguruannya, aku cinta kepadamu. Namun ucapan itu belum juga ia dengar. Akibatnya gadis ini gampang sekali tersinggung dan cemburu, kalamana Prayoga bicara tentang Mariam. Dalam marahnya ini, kemudian Sarini menutup mulut tidak mau bicara dalam perjalanan.
Prayoga kaget. Ia tidak merasa mengucapkan katakata yang dapat melukai perasaan Sarini. Tetapi mengapa gadis ini marah? Cepat-cepat ia melangkah lebih cepat untuk menuyusul Sarini yang sudah mendahului. Dan sesudah dekat, ia tambah terkejut karena Sarini menangis... .
"Sari... ah Sari..." pikirnya.
"Apakah dia? dia mencintai aku?"
Sarini lari sekencang-kencangnya, dan air mata membasahi pipinya. Kini ia menjadi menyesal, bahwa kakak seperguruannya tetap tak mau memalingkan perhatian kepada dirinya.
Pendeknya, mereka telah mendaki Pegunungan Dieng. Pegunungan yang indah dan penuh dengan puncak maupun candi. Ternyata perjalanan yang ditempuh sulit. selain terjal juga penuh hutan belantara. Mereka berusaha mendapatkan tempat menginap. akan tetapi celakanya tidak bertemu dengan desa. Baru sesudah mereka kepayahan melintasi belantara, akhirnya mereka melihat beberapa pondok kecil.
"Sari, mari kita tanyakan jalan kepada penghuni pondok itu, " seru Prayoga.
Sarini tidak menyahut. Dara itu berobah menjadi
pendiam sesudah perasaannya tertusuk. Ia berusaha mengikis habis benih asmaranya yang bersemi dalam lubuk hatinya, tertuju kepada Prayoga. Akan tetapi sungguh sayang. maksudnya ingin membuang, tetapi hati ini berkata lain.
Karena Sarini tak mau menyahut, ia bertindak sendiri. Ia menghampiri sebuah pondok, dan berteriak,
" Kulanuwun... kulanuwun... ."
Tetapi tiada jawaban yang terdengar. Sesudah Prayoga mengulang tiga kali, baru muncul seorang laki-laki muda sambil bertanya,
" Apakah engkau tersesat jajan?" "
Melihat pakaian tuan rumah. jelas bahwa penghuni ini seorang pemburu. Beberapa pondok yang dibangun di tepi sungai itu merupakan pondok para pemburu. Prayoga gembira, karena seorang pemburu tentu luas pengalaman. Karena itu ia segera bertanya jalan ke Sumur Jalatunda atau desa Kapucukan.
Seketika wajah orang itu berobah tegang.
"Hai, apakah engkau sengaja berolok-olok dengan aku?"
"Tidak!" sahut Prayoga.
Tiba-tiba pemburu itu ketawa tawar dan meraba golok yang terselip di pinggang. Prayoga terkesiap, namun karena jawaban itu penting bagi dirinya, ia mengulang pertanyaannya.
"Jangan ngacau!" bentak pemburu itu.
"Jika engkau nekat, janganlah engkau menyesal jika aku bertindak kasar."
Sarini tak kuasa menahan mulutnya.
"Hemm, suka atau tidak suka memberitahukan, engkau bebas. Tetapi janganlah engkau main gertak dan membentak-bentak orang. Huh, apakah hanya engkau sendiri yang tahu daerah ini?"
"Baik, tanyakanlah kepada orang lain !" tantang si pemburu.
Tengah mereka ribut itu, muncullah seorang lakilaki sambil batuk-batuk,
" Kancil, engkau ribut dengan siapa?"
Pemburu muda itu menyahut,
" Ayah, ada dua orang menanyakan jalan ke... ke... Sumur... ." Yang batuk-batuk itu seorang tua.
"Paman, kami mohon bertanya, di manakah jalan menuju Sumur Jalatunda?" tanya Prayoga.
Sarini yang tak sabar cepat menyambung,
" Harap paman sudi memberitahukan secepatnya karena kami mempunyai urusan penting."
Orang tua itu mengawasi Sarini, beberapa saat kemudian baru berkata,
" Oh... kiranya kalian ini tokoh muda sakti, buktinya membawa pedang. Ya... ya... kira-kira duapuluh tahun lalu, akupun pernah bertemu dengan seorang muda bersenjata pedang. Ah... bukan main hebat kepandaiannya... ."
"Di mana jalan itu?" desak Sarini.
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak bersedia memberitahukan jalan itu. Sebaliknya anaknya tak kuasa lagi menahan rasa mangkalnya,
" Jika engkau memang keras kepala. baiklah! Setelah kalian melintasi sungai Putih dan sungai Condong, pergilah lurus ke utara. Tempat yang kalian maksud itu letaknya di sebelah barat Gunung Nagasari. Akan tetapi... ahh... semua itu hanya keterangan lain orang. Aku sendiri belum pernah pergi ke sana... ."
Prayoga dan Sarini tak mau membuang waktu lagi. Setelah mengucapkan terimakasih segera minta diri.
"Tempat itu angker sekali, janma mara janma mati (manusia yang berani datang akan mati). Karena itu
tidak seorangpun berani datang ke sana. Hemm ..?orang muda yang aku jumpai 20 tahun lalu. tidak pernah kembali dan tidak pula aku dengar beritanya." Orang tua itu menggerutu mengantarkan kepergian Prayoga dan Sarini.
Demikianiah mereka berkelana di Pegunungan Dieng sambil menyelidik, beberapa lama kemudian mereka melintas sungai yang tidak begitu lebar. Mereka menduga sungai yang dilewati sekarang inilah yang dinamakan orang sungai Putih, karena air sungai itu warnanya putih. Ketika tengah hari mereka kemudian mengaso sambil makah siang. Karena yang mereka makan hanya nasi jagung kering dan ikan dendeng bakar, mereka terpaksa mengisi perut dengan yang mereka miliki itu saja. Untuk minum. mereka terpaksa minum air sungai, Rasa memang tidak enak, tetapi mereka makan juga sebagai pengisi perut. Jika tidak, bisa mati kelaparan.
Prayoga mengamati Sarini sejenak. Melihat wajah Sarini selalu cemberut. ia agak bingung lalu membuka percakapan,
" Sari, makin dekat dengan sarang Surogendilo. kita harus semakin hati-hati."
"Hemm, tak ada gunanya. Mati justru lebih baik." sahut Sarini.
Prayoga terkrsiap. Dengan gugup ia bertanya,
"Mengapa begitu?"
Sarini yang kumat kesedihannya menjawab seenaknya,
"Kalau aku tetap mengatakan begitu, engkau mau apa?"
Prayoga garuk-garuk kepala kemudian bungkam. Mereka tidak bicara lagi. Sesudah lelah hilang, Sarini mendahului bangkit dan Prayoga mengikuti. Tanpa berjanji mereka berdua berharap sebelum matahari terbenam, harus sudah dapat mencapai tujuan.
Tak lama kemudian mereka melihat puncak gunung yang menjulang tinggi. Mereka menduga, tentu gunung itulah yang disebut Nagasari. Semangat Prayuga bergelora. ia ingin secepatnya dapat mencapai tempat yang dituju sebelum Mariam tiba.
Akan tetapi harapan mereka tidak terkabul. Baru tiba di sebelah barat Gunung Nagasari matahari telah silam di barat. Mereka terpaksa beristirahat. karena meneruskan perjalanan di waktu malam kecuali gelap, udara juga sangat dingin. Untung mereka menemukan sebuah goa, dapat mereka pergunakan bermalam.
Setan Mata Satu 2 Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat Api Di Bukit Menoreh 21

Cari Blog Ini