Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 8
Ali Ngumar mengerutkan alis dan sepasang matanya memandang tajam kepada semua orang. Dalam usaha mengatasi suasana yang hiruk-pikuk, ia bersuit nyaring sekali.
Akan tetapi Saragedug yang mendapat kesempatan, segera mendahului berteriak.
"Apakah saudara-saudara sedia mendengar pendapatku?"
Seruan Saragedug ini dilambari tenaga sakti. Suaranya mengguntur dan mengejutkan semua orang. Mereka tahu, dan suara itu jelas, bahwa Saragedug mempunyai kesaktian lebih tinggi dibanding Ali Ngumar.
Sesudah semua orang diam karena terkejut, Saragedug berkata lagi,
"Saudara Cilik Kunthing dan Sarpa Kresna baru datang ke mari hari ini. Aku berharap agar dua saudara tersebut tidak banyak bicara dulu. Sebab sudah jelas sekali, kita berkumpul di sini memang dalam usaha melaksanakan Cita-Cita!"
Ia berhenti sejenak. Sesudah yakin orang memperhatikan, baru ia meneruskan,
"Hemm, karena itu kita tidak boleh membawa kemauan sendiri dan tidak pada tempatnya merusak rencana yang sudah kita persiapkan lama. Aku mendengar, hari ini akan dilakukan pemilihan pemimpin. Hal ini penting, maka kita harus dapat membawa diri dan menjauhkan diri dari pertentangan. Tentang bagaimana langkah kita atas gugurnya Prayoga, dapat kita bicarakan setelah selesai melakukan pemilihan pemimpin. Namun sebagai syarat bagi pemimpin yang terpilih. harus membalaskan sakit hati Prayoga dari kekejaman raja Sultan Agung. Pemimpin mempunyai wewenang dan kekuasaan penuh. Siapapun yang berani membangkang, harus dihukum!" '
Saragedug berhenti lagi. Ia menebarkan pandang mata ke sekeliling. Sebelum orang lain sempat membuka mulut, ia'berkata lagi.
"Saudara-saudaraku. mengingat pentingnya kedudukan pimpinan bagi kita, sebaiknya kita jangan membuang waktu lagi. Pilihan itu harus kita laksanakan secepatnya. Hari ini! Ya, hari ini! Setujukah kalian?"
Benar-benar pandai sekali cara mereka mempengaruhi keadaan. Sekalipun tanpa berjanji lebih dahulu, antara Saragedug, Sarpa Kresna dan Cilik Kunthing sudah saling mengisi. Apa yang dikemukakan Saragedug sekarang ini amat beralasan. Menyebabkan orang-orang seperti Jim Cing Cing Goling dan Si Bengkok Baskara
yang biasanya teliti, menjadi terpengaruh juga.
"Benar! Aku setuju!" ujar si Bengkok.
"Kita ini berkumpul dalam jumlah ribuan. Tanpa pemimpin yang syah, ibarat ular tanpa kepala, dan akibatnya bisa bertindak sendiri-sendiri yang bisa menimbulkan kerugian. Padahal saat sekarang ini para pejuang dari segenap penjuru tanah air_telah berkumpul. Karena itu tepat sekali kalau kita menyelesaikan pemilihan pemimpin kita hari ini juga!"
Tiba-tiba di tengah para pejuang itu muncul Darmo saroyo dan Darmo Gatga Mereka baru saja datang,dalam usaha mencari Kigede Jamus. Maksudnya untuk minta petunjuk dalam usaha menyusun kembali kekuatan.Akan tetapi usaha mereka tidak berhasil.
sebagai seorang yang pernah memimpin pasukan Pati sebagai Panglima Perang dan juga.kepercayaan Adipati Pragola. ia memiliki lencana tanda kekuasaan berujut benda logam yang mengkilap seperti emas. Darmo Gati mengeluarkan dua keping benda tanda jabatan itu. kemudian berseru lantang,
"Aku menyesal sekali dan merasa malu, bahwa tugas yang dipercayakan Gusti Adipati Pragola kepada kami berdua gagal. Gusti Adipati Pragola gugur, dan Pati hancur! Mengingat kegagalan kami sebagai Panglima Perang ini, dengan hati sedih dan rasa malu, kami menyatakan, bahwa tugas itu sudah berakhir!"
ia berhenti, mengambil napas, sejenak kemudian meneruskan,
"Saudara saudaraku, kendati Pati sudah menjadi daerah kekuasaan Mataram dan Gusti Adipati Pragola telah gugur, bukan berarti kekuatan Pati telah hancur berantakan. Tidak! Kita masih mempunyai kekuatan. terdiri dari saudara-saudara sekalian yang ingin membangun perjuangan. Cita-cita kita membangun kembali Kadipaten Pati, justru kita menghendaki Gusti Bagus Saketi dapat menduduki takhta Pati. Tidak hanya sampai di situ. Kalau dahulu Gusti Pragola sebagai Adipati. maka Gusti Bagus Saketi harus menjadi Raja yang berdaulat lebih besar dan lebih kuasa dibanding Sultan Agung!"
Darmo Gati berhenti lagi. Sekarang ia menebarkan pandang matanya ke sekeliling mencari kesan. Sesudah semua orang memperhatikan, terusnya,
"Saudara-saudaraku. Sebagai Panglima Perang. aku dan adikku sudah gagal dan tidak becus! Mengingat bahwa aku tak cakap menduduki jabatan tersebut, sudah selayaknya pula kami serahkan kepada orang lain yang lebih tepat. Dalam pemilihan pemimpin nanti. kami serahkan lencana ini kepada Siapapun yang terpilih. Nah, lencana ini akan aku lemparkan ke api unggun. Dan pemimpin yang terpilih, kami persilahkan mengambil lencana ini dari dalam api!"
Ketika itu api unggun memang sudah diperSiapkan orang. Selesai bicara. Darmo Gati melemparkan lencana itu ke dalam api. Ini bukan dimaksud untuk mempersulit pemimpin yang terpilih. Tetapi ini mempunyai arti simbolis, setiap pemimpin tidak seharusnya takut menghadapi kesulitan.
Sebelum orang sempat bicara, Darmo Saroyo sudah berteriak,
"Menurut pendapatku, saudara Ali Ngumar dan yang kita kenal sebagai Kilat Buwana, merupakan tokoh sakti gagah perwira dan berbudi luhur. Marilah kita pilih dia sebagai pemimpin kita!"
Teriakan Darmo Saroyo ini segera mendapat sambutan yang riuh dari sebagian besar hadirin. Mereka setuju dan mendukung pencalonan itu.
Sintren cepat memberi isyarat dengan mata kepada Sarpa Kresna. Dan yang diberi isyarat segera mengerti maksud kawannya itu.
"Tidak! Aku tidak setuju dengan usul saudara Darmo Saroyo!" teriak Sarpa Kresna.
"Saudara-saudara, kita harus menyadari bahwa tugas membangun Pati ini maha berat. Yang kita hadapi kerajaan Mataram yang besar, di samping kita harus sadar bahwa Sultan Agung seorang raja sakti mandraguna. Mengingat tugas maha berat itu, kita harus dapat mendudukkan dan memilih seorang pemimpin yang tepat. Ya, memang saudara Ali Ngumar seorang tokoh termasyhur sakti dan luhur pribadinya. Namun demikian kita tidak boleh melupakan beberapa kekurangan pada diri saudara Ali Ngumar."
Sarpa Kresna yang pandai menghasut ini mengamati sekeliling, beberapa saat kemudian baru meneruskan,
"Mungkin kalian ingin tahu, apa kekurangan saudara Ali Ngumar? Dengarlah alasanku. Pertama, ilmu kesaktiannya belum cukup meyakinkan membuat orang tunduk. Kedua. Sikapnya kurang tegas dan kurang berani. Ini dibuktikan dengan Sikapnya menghadapi peristiwa yang menimpa muridnya sendiri, Prayoga. Dia ragu dan tidak sedia menuntut balas sekalipun itu sudah sepatutnya. Hemm, apakah saudara sedia dipimpin oleh seorang yang kurang tegas seperti itu? Aku ingin bertanya. Kalau kita takut menggempur Mataram, apakah perlunya kita menghimpun kekuatan di sini? Bukankah rumah kita akan membangun Pati? Dan kita juga paham, membangun Pati berarti kita harus berhadapan dan saling
gempur' dengan Mataram!"
Wajah Darmo Saroyo merah padam karena marah. Kemudian ia berseru nyaring.
"Lalu siapakah yang pantas dipilih menjadi panglima kita?"
Sarpa Kresna cepat-cepat menuding ke arah Saragedug.
"Kalian tentu sudah mendengar bahwa nama kakak-beradik Surjadipura dan Witadipura dari Ujung Kulon itu, sangat harum, disegani oleh kawan dan lawan. Kendati aku belum mengenal secara pribadi, tetapi keharuman namanya itu menjadi jaminan. Hem, menurut pendapatku tiada orang lain lagi yang lebih pantas daripada saudara Surjadipura untuk menjabat sebagai Panglima. Dan bukankah kita belum lupa peristiwa beberapa hari yang lalu? Kecuali sakti mandraguna, dia juga sudah menunjukkan jasanya, dapat membekuk dan menawan Swara Manis yang banyak dosanya terhadap kita itu."
Dalam usaha untuk memenangkan perjuangannya supaya Saragedug terpilih sebagai Panglima, ia mendeham beberapa kali menarik simpati, lalu meneruskan,
"Setiap orang tahu. Bukankah saudara Ali Ngumar sudah cukup lama ingin menangkap Swara Manis, akan tetapi selalu tidak berhasil. Dengan bukti tidak terbantah ini. jelas dalam hal apapun saudara Surjadipura lebih unggul dari saudara Ali Ngumar. Maka jabatan Panglima ini sudah pantas kita serahkan kepada beliau."
Saragedug gembira sekali. Akan tetapi sebagai seorang yang licin, sudah tentu berpura-pura menolak secara halus,
"Ah, aku orang baru! Mana bisa aku merebut jabatan dan kedudukan sepenting itu? Aku harap kalian suka mempertimbangkan masalah ini lebih tenang."
Cilik Kunthing yang tubuhnya kerdil itu segera meloncat ke atas meja. Kemudian serunya lantang,
"Demi kepentingan cita-cita dan kepentingan Pati, kita harus berani bertindak menurut kenyataan! Jika saudara Surjadipura yang memegang tampuk pimpinan, perjuangan
kita pasti berhasil. Aku berani bertaruh leher. Di bawah pimpinan beliau, kita akan berhasil menghancurkan Mataram!"
Tidak sedikit jumlahnya hadirin yang terpengaruh oleh hasutan Cilik Kunthing ini dan setuju.
Si Bongkok, Jim Cing Cing Goling, Resi Sempati dan beberapa tokoh yangdekat dengan Ali Ngumar menjadi heran, menghadapi kenyataan tidak terduga ini. Dalam hati mereka bertanya, mengapa musyawarah ini menjadi kacau tidak keruan? Padahal semula mereka mengira, pilihan Darmo Saroyo sudah tepat. Akan tetapi mengapa mendapat tantangan?
Kalau kedudukan wakil atau kepala bagian yang lain, tidak mengapa kalau harus jatuh ke tangan orang lain. Akan tetapi kedudukan Panglima, ini kedudukan sangat penting dan menentukan warna perjuangan. Apabila jabatan Panglima diduduki pejuang sejati dan benar benar mengabdi kepada cita-cita, tentu perjuangan membangun Pati akan terwujud. Tetapi sebaliknya, apabila diduduki seorang pengkhianat, tentu akan segera hancur berantakan karena terjadi perpecahan.
Menyadari akan penting dan tanggung jawab seorang Panglima yang berat ini, Jim Cing Cung Goling sendiri tidak sanggup untuk menjabat. Karena itu teman temannya condong memilih Ali Ngumar sebagai Panglima. Kendati ilmu kesaktian Ali Ngumar di bawah jim Cing Cing Goling, tetapi tokoh seperti Ali ngumar ini dibutuhkan.
ingat kepada tanggung jawab dan keselamatan perjuangan, maka usul Cilik Kunthing dan Sarpa Kresna ini harus dilawan. Maka kemudian dengan suara lantang, si Bongkok berseru,
"Saudara saudaraku sekalian, berilah kesempatan aku memberikan pendapat. Kalau bicara tentang diri saudara Ali Ngumar, kendati kesaktiannya tidak begitu menakjubkan, akan tetapi namanya harum dan luhur budi, di samping dia sebagai peluang sejati. Di dalam berjuang ia tidak kenal pamrih untuk pribadi, tetapi untuk kepentingan orang banyak. Khususnya untuk kepentingan rakyat Pati dan wilayah-wilayah lain yang dipaksa tunduk kepada Mataram. Nah, kiranya alasanku sudah cukup untuk memilih saudara Ali Ngumar menduduki jabatan sebagai Panglima. Kita harus sadar bahwa seorang Panglima bukan harus seorang maha sakti. Akan tetapi yang terpenting, memiliki jiwaluhur, pengabdian, kejujuran, wibawa, tanggung jawab dan menjauhkan diri dari kepentingan pribadi."
Si Bongkok berhenti. Setelah mendeham tiga kali baru meneruskan,
"Seorang pemimpin, apabila hanya di landasi oleh kepandaian melulu tanpa dilandasi pengabdian, kejujuran dan tanggung jawab, akan" bertindak semau sendiri. Mengumpulkan kekayaan, menyalah gunakan kedudukan dan jabatan, dan tidak perduli keadaan sekitar. Juga tidak perduli kepada rakyat yang mempercayakan pimpinan kepada dia. Kemudian berbuat ngaji pumpung, kalau sedikit dikritik lalu mencak mencak tidak keruan. Tidak mau mengakui kekurangannya, tetapi malah menyalahkan orang lain. Pemimpin seperti itu disebut pemimpin gombal! Nah, oleh karena itu saudara saudaraku harus mencamkan benar benar dan jangan sampai salah pilih!"
Tiba tiba saja Darmo Saroyo berteriak,
"Dan siapapun yang berani menentang pilihan ini, silahkan berhadapan dengan aku!" _
"Gombal! Itu permainan anak kecil!" Sarpa Kresna sudah mengejek.
"Kalau orang lain tidak boleh mencalonkan orang lain, apa gunanya hari ini diselenggarakan pemilihan calon Panglima? Huh, kalau tahu bakal begitu terjadi, tak ada perlunya jauh jauh aku datang ke mari! Hemm, sudahlah! Kalau memang begitu yang di kehendaki, lebih baik kita bubar saja. Huh, sekalipun tanpa Panglima, kitapun bisa menyerbu Mataram dan membalaskan sakit hati saudara Prayoga!"
Hasutan dari mulut. beracun Sarpa Kresna ini mengena. Beberapa orang kemudian berteriak menyetujui.
Ali Ngumar menjadi tidak enak sendiri. Ia menjadi khawatir kalau dirinya dituduh menjadi penyebab terjadinya perpecahan. Maka ia menghela napas menyesal sekali, mengapa di saat pemilihan telah terjadi pertentangan paham. Ali Ngumar yang jujur tidak menyadari sama sekali, bahwa semua ini hasil hasutan mulut beracun mata mata Mataram yang sengaja mengacau. Ia hanya mengira terjadinya pertentangan ini terjadi secara wajar.
Bagi Ali Ngumr sendiri, yang terutama dan terpenting untuk membangun kekuatan kembali, menghadapi Mataram. Tentang dirinya duduk atau tidak dalam jabatan pimpinan, tidak menjadi keharusan. Ia tidak menginginkan jabatan apapun. Dirinya hanya sedia melaksanakan tugas kalau memang dikehendaki kawan kawan nya. Justru khawatir kalau pertentangan ini menyebabkan timbulnya perpecahan, maka dengan halus ia berkata.
"Sudilah kalian mendengar pendapatku. Hendaknya kalian sedia bersabar dan meninggalkan tempat ini dengan hati kecewa dan mendongkol. Bagiku, kalau memang ada kawan lain yang ingin mengajukan calon, itu namanya adil, dan kami membuka kesempatan seluas luasnya. Karena itu, siapa lagi yang akan mengajukan calon?" "_
"Jim Cing Cing Goling! Jim Cing Cing Goling!" teriak beberapa orang.
Ali Ngumar menunggu barangkali masih ada lagi orang yang ingin mengajukan calon. Akan tetapi apa yang ditunggu Ali Ngumar tidak terjadi. Semua orang menganggap cukup, dengan tiga orang calon itu saja.
'Baiklah saudara-saudara,
" kata Ali Ngumar. "Karena ada tiga orang calon, maka calon-calon itu harus menentukan sendiri dengan bertanding ilmu. Ini penyelesaian yang adil hingga tidak menimbulkan pertentangan diantara kita." '
Jim Cing Cing Goling terkejut sekali, serunya gugup,
"Saudara Ali... kau... ."
Jim Cing Cing Goling terdiam,
"Kita harus bertindak sesuai dengan kejujuran dan jalan benar. Pilihan yang dipaksakan tak akan menghasilkan pemimpin yang berwibawa dan perintahnya tak akan diindahkan orang. Apabila sampai terjadi seperti itu, tiada gunanya pemilihan ini."
Jim Cing Cing Goling terdiam, pikirnya,
"Hemm, kalau'saja yang dicalonkan hanya aku dan engkau, kiranya mudah diselesaikan. Aku sedia mengalah dan persoalan menjadi beres. Akan tetapi keadaan sekarang ini menjadi gawat oleh munculnya Surjadipura. Menurut dugaanku,dalam hal tenaga dalam maupun tenaga sakti, Surjadipura setingkat lebih tinggi dari Ali Ngumar. Kalau sampai terjadi Ali Ngumar kalah, persoalan ini akan menjadi ber larut-larut dan berbahaya. Tetapi sebaliknya andaikata aku melawan Ali Ngumar dan surjadipura menang, apa jadinya kalau aku harus menjadi Panglima? Huh, aku tidak pernah menginginkan jabatan yang berat itu, justru hanya akan membuat pusing kepala dan otaknya dijejali oleh berbagai macam persoalan."
"Aku sendiri tidak mempunyai pendapat. Semuanya aku serahkan kepada kalian." Saragedug yang diam-diam gembira, pura pura menyerah kepada hadirin.
Sedang hadirin yang lain juga tak dapat menentukan pilihan, kecuali menyetujui pendapat Ali Ngumar.
Jim Cing Cing Goling berdiam diri beberapa saat lamanya, ternyata sudah memperoleh keputusan. Ia telah mendapat siasat yang dianggapnya tepat. Dan harapannya dengan siasat itu, Ali Ngumar bisa terpilih sebagai Panglima.
Akan tetapi siasat itu juga mengandung risiko yang berat. Akan tetapi jalan lain memang sudah buntu. Menurut rencana dan siasat Jim Cing Cing Goling, ia akan maju bertanding melawan Surjadipura. Pada pertandingan ini dirinya akan pura pura kalah. Akan tetapi yang penting dalam bertanding ini, dirinya akan memeras tenaga orang itu sampai habis. Dengan demikian apabila berhadapan dengan Ali Ngumar kemenangan akan diperoleh Ali Ngumar.
Sesudah merasa pasti siasatnya akan berhasil, ia segera berteriak,
"Saudara Surjadipura. Mari kita sekarang bertanding dulu, dengan dua macam cara. Pertama kita mempamerkan kemahiran. Dan kedua bertanding ketangkasan kaki dan tangan."
Pada mulanya si Bengkok heran, mengapa Jim Cing Cing Goling mendahului maju ke gelanggang. Namun setelah direnungkan, akhirnya dapat menduga maksud rekannya itu, dan setuju. Serunya kemudian,
"Kita semua yang berkumpul di tempat ini merupakan kawan perjuangan sendiri, Kalau toh harus bertanding,
jangan meggunakan cara yang dapat memecah persatuan dan kerukunan. Menurut pendapatku, pertandingan ini dilakukan dengan cara mempertunjukkan kepandaian masing masing saja, tanpa harus berhadapan sebagai lawan."
Jim Cing Cing Goling senang. Dengan bertanding mempamerkan ilmu, akan banyak membuang tenaga dan menghabiskan hawa murni dalam tubuh. Akibatnya akan memberi keuntungan kepada Ali Ngumar setelah berhadapan dengan Surjadipura. Teriaknya,
"Bagus! Usulmu memang bagus dan aku setuju!"
Saragedug alias Surjadipura palsu tak dapat mendugamaksud tujuan Jim Cing Cing Goling dan si Bengkok. Berbeda dengan isterinya yang cerdik. Bisiknya,
"Kakang, kau jangan tolol! Aku menduga orang yang bernama Jim Cing Cing Goling itu tentu akan mengalah kepadamu. Padahal acara pertandingan akan terdiri tiga babak. Ilmu meringankan tubuh, bermain senjata dan terakhir kesempurnaan tenaga dalam. Pada babak pertama dan kedua, dia tentu akan mengalah. Akan tetapi pada pertandingan terakhir, dia tentu akan berjuang mati matian untuk mengalahkan'engkau. Karena itu aku memberi saran kepadamu dengan cara mengimbagi siasat lawan. Pada babak pertama dan kedua engkau harus menang. Tetapi babak akhir engkau hendaknya mengalah. Dengan begitu berarti engkau memperoleh kemenangan tanpa kesulitan. Tentang Ali Ngumar tidak ada alasan untuk cemas dan khawatir. Orang itu biasa saja, engkau akan dapat mengalahkan dengan gampang."
Penjelasan isterinya itu baru menyadarkan Saragedug. Ia segera maju ke gelanggang, lalu membungkuk ke arah Jim Cing Cing Goling, berkata,
"Sudah lama sekali aku mengagumi nama saudara sebagai pejuang sepi pamrih pribadi. Dan sesungguhnya aku tidak berani lancang pamer kepandaian yang dangkal di depan saudara. Tetapi mengingat saudara yang hadir agar aku maju ke gelanggang, terpaksa aku harus memaksa diri berhadapan dengan saudar'. Oleh sebab itu harapanku, hendaknya saudara sedia mengalah kepadaku."
Beberapa hadirin segera terpengaruh oleh ucapan Saragedug yang ramah dan menunjukkan kerendahan hati itu. Tetapi Jim Cing Cing Goling tidak perduli lagi. Sahutnya,
"Mari kita buka pertandingan ini dengan mempertunjukkan ilmu meringankan tubuh."
Jim Cing Cing Goling mendahului mengusulkan pertandingan ini, karena berharap dapat memenangkan pertandingan yang pertama. Saragedug setuju.
"Tidak jauh dari tempat pertemuan itu, terdapat puncak lain yang tingginya lebih lima tombak. Puncak itu bukan terdiri tanah, tetapi batu hitam yang keras dan ditumbuhi lumut dan pakis. Batu itu licin sekali dan sulit dijamah orang."
"Mari kita berlomba,
" tantang Jim Cing Cing Goling.
"Siapa yang lebih dahulu dapat mencapai puncak itu?"
Saragedug melirik ke atas sambil mengangguk. Sesuai dengan pesan isterinya, ia harus memenangkan pertandingan ini. Semua orang segera menyingkir memberi tempat.
' Darmo Saroyo segera bertindak sebagai wasit. Ia mencabut cambuknya, lalu berteriak,
"Apabila cambuk ini sudah aku lecutkan, pertanda kalian boleh bergerak!"
Setelah dua belah pihak bersiap-diri, Darmo Saroyo segera melecutkan cambuknya. Dua sosok tubuh segera melmcur ke atas .batu. Gerakannya mirip dengan dua batang anak panah lepas dari busur.
*** "DENDAM KFSUMAT"
Karya :Widi Widayat Jilid 7 *** Jim CING CING Goling bergerak dengan melambung lurus ke atas. di lain saat ia mengulurkan tangan untuk menekan batu dan sambil meminjam tenaga dan tekanan itu, ia melayang ke atas setombak tingginya.
Sebaliknya Saragedug menggunakan cara lain. Ia menghampiri batu tersebut kemudian menggunakan kaki dan tangan merayap seperti seekor cecak. Kendati merayap, tetapi cepatnya bukan kepalang.
Sekali bergerak dua orang tokoh itu sama-sama dapat mencapai ketinggian dua tombak. Jim Cang Cmg Coling mengerahkan semangatnya. Ia mendorongkan dua tangan. lalu menimbulkan tenaga membal yang kuat. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. tubuhnya melayang ke atas seperti burung.
Meledaklah tepuk tangan yang gemuruh. karena semua orang kagum menyaksikan gerakan itu.
Akan tetapi Saragedug juga tak mau kalah. Di saat Jim Cing Cing Goling mendorongkan tangannya tadi. ia sudah merayap pesat sekali. Hingga dua-duanya sudah hampir sampai puncak batu. Ketika Jim Cing Cing Goling menginjak puncak. Saragedug juga sudah tiba. Akan tetapi karena puncak batu itu runcing. Saragedug Sudah tak kebagian tempat lagi.
"Maaf," ujar Jim Cing Cing Goling sambil menggerakkan kaki meluncur turun ke bawah lagi.
Saragedug meringis dan tak dapat berbuat apa-apa atas kekalahannya itu. Ia tetap berpura-pura seperti seorang jujur, katanya,
"Ah. saudara memang menakjubkan sekali. Kalau saja terus melambung, tentu dapat mencapai langit. Ah, aku memang kalah dan merasa tunduk kepada saudara."
Sambil berkata, ia melirik Sintren yang diaku sebagai adiknya.
"Adikku, aku menyesal engkau berlagak pintar, sehingga aku salah menaksir orang."
Dalam babak pertama ini, Jim Cing Cing Goling memperoleh kemenangan. Tetapi hati si Bongkok tetap tidak tenang. Cepat-cepat ia menyongsong Jim Cing Cing Goling sambil berbisik,
"Ilmu kesaktian orang itu aneh sekali. Aku menjadi khawatir kalau saudara Ali Ngumar tak dapat mengatasi. Mengingat hal itu apakah sebaiknya engkau berbuat tidak kepalang tanggung? Kalahkan saja orang itu dan nanti apabila engkau berhadapan dengan Ali Ngumar, mudahlah engkau mengalah."
"Sesungguhnya akupun akan berbuat begitu,
" Sahut Jim Cung Cung Goling sambil menghela napas.
"Tetapi engkau tentu sudah kenal watak saudara Ali Ngumar, bukan? Sekali ia memutuskan untuk merebut pemilihan Panglima dengan pertandingan, tentu tidak mau diajak berunding lagi. DI samping itu engkau harus menyadari pula bahwa para yang hadir saat ini takkan dapat ditipu. Padahal, ketaatan dan diSiplin anak buah sangat kita butuhkan."
Si Bongkok dapat memahami pula alasan Jim Cing Cing Goling harus dapat memenangkan pertandingan ini secara mutlak. Bagaimanapun yang akan terjadi, bila berhadapan dengan Ali Ngumar lebih gampang untuk diatur. Kalau sampai terjadi Ali Ngumar kokoh pada pendiriannya, kemudian Jim Cing Cing Goling memenangkan pertandingan, itu bukan soal. Secara resmi Jim Cing Cing Goltng sebagai Panglima. Akan tetapi dalam prakteknya, tugas itu bisa dilimpahkan kepada Ali Ngumar.
Demikianlah akhirnya babak kedua sudah akan dimulai. Babak itu dengan acara. untuk mengadu kepandaian dengan senjata.
Diam-diam Saragedug juga berunding dengan Sintren. Dalam hal ini Sintren mendorong suaminya agar dua pertandingan ini, semuanya dimenangkan suaminya. Sebab apabila sampai kalah, gagallah usahanya memperoleh hasil dan usaha memecah belah kekuatan pejuang ini.
Dua orang sudah Berhadapan di gelanggang. Saragedug bersiap-diri dengan tangan kiri sedikit diangkat ke atas hampir rata dengan kepala. Semua orang mengira Saragedug akan mempamerkan ilmu kesaktiannya dengan tangan kosong. Akan tetapi dugaan itu meleset. Karena sesudah membalikkan tangan beberapa kali, tiba-tiba tangan kanan sudah memegang segulung benda lemas warna merah. Ketika tangan digerakkan, gulungan benda merah itu segera menebar. Ternyata benda lemas warna merah itu sehelai kain selendang.
Semua orang menjadi heran. Selendang itu hanya selendang biasa yang dapat dibeli di pasar atau warung. Panjang selendang itu hanya sekitar empat depa.
Sesudah itu Saragedug berkata,
"Benda yang aku pegang ini hanya selendang biasa saja. Dan apa yang akan aku pertontonkan juga hanya permainan biasa saja. Mudah-mudahan permainanku nanti dapat menambah kegembiraan saudara sekalian yang berkumpul di sini."
Setelah berkata ia menggoyangkan lengannya.Setelah bergerak bergoyang gontai, selendang itu lurus menjulur ke tanah. Kemudian ketika dirinya berputar tubuh, selendang itupun menebar ke atas dan mengeluarkan suara yang menderu.
Selendang merupakan benda lemas. Akan tetapi di tangan Saragedug, selendang itu dapat berobah semacam senjata yang ampuh dan keras. Hingga semua orang yang merasa kagum bersorak-sorai, menggegap gembira seperti dapat merobohkan gunung.
Saragedug tidak berhenti sampai di situ. Ia memutarkan selendang kuat sekali sehingga selendang berobah menjadi semacam lingkaran merah yang membungkus tubuhnya.
sesudah beberapa kali mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak menggemuruh memuji, ia bersuit perlahan dan tahu'tahu selendang itu sudah lenyap mendadak. saragedug berdiri tegak di tempatnya, sedang dua tangan tidak memegang apa apa lagi.
Gerakan Saragedug ini memang cepat luar biasa. Tidak ubahnya orang main sulap. Hingga Jim Cing Cing Goling sendiri tidak dapat menerka, dengan cara apa Saragedug tadi dapat menggulung selendang dan memimpan kembali dalam waktu singkat.
Sekarang tiba giliran Jun Cing Cing Goling mempertuniukkan kepandaiannya. Ia memilih menggunakan pedang. Sekalipun ilmu pedang ini Cukup mempesona kan setiap mata, akan tetapi tidak secepat dan luar biasa seperti yang sudah dipamerkan Saragedug. Karena itu Secara ksyatria, ia sudah mau mengakui kekalahan nya,
Namun setelah teringat kepada pesan si Bongkok tadi, Jim Cing Cing Goling menjadi bimbang. Kalau pada pertandingan ini dirinya harus berjuang mati matian dan harus menang, tidak urung dirinya akan menjadi Panglima. Sebaliknya kalau ia mengalah, di khawatirkan lawan akan tahu dan tak mau menggunakan tenaganya sungguh-sungguh.
Untunglah ia seorang cerdik. ia segera memperoleh akal, lalu berkata,
"Hemm, biarlah aku akan sungguh sungguh supaya lawan terpancing dan mengeluarkan seluruh tenaganya. Setelah itu aku akan bertahan mati matian dan pada detik terakhir aku akan mengalah saja."
Inilah sikap Jim Cing Cing Goling. Sikap yang amat berbahaya; hanya karena beralasan dirinya tidak mau dipilih menjadi Panglima. Orang yang tidak berambisi seperti Jim Cing Cing Goling ini, memang tidak gampang dicari di dunia ini. Biasanya orang berlomba untuk bisa memperoleh kedudukan. Kalau perlu menggunakan siasat adu domba atau memfitnah orang lain. Kalau saja di dunia ini banyak pemimpin yang-"berjiwa seperti Jim Cing Cing Goling, tentu dunia ini akan aman dan damai. Manusia akan dapat hidup tenteram. Karena tidak akan terjadi permusuhan antar pemimpin. Yang akibatnya dapat menimbulkan perang, atau setidaknya saling dendam kemudian diakhiri dengan pembunuhan.
Setelah keputusannya tetap, ia kemudian mengusulkan acara pertandingan terakhir ini, menggunakan sasaran sebatang kayu yang ukurannya sepemeluk orang dewasa. Saragedug setuiu dengan usul itu. Kemudian segera diperintahkan agar mempersiapkan alat tersebut dengan menebang pohon. Batang pohon itu kemudian dipotong dengan ukuran kira-kira dua tombak. Sedang caranya bertanding, masing masing memegang ujung kayu. Dalam pertandingan ini masing masing harus memelintir' agar batang itu menjadi patah.
Pohon yang dibutuhkan itu cukup besar. Ini memerlukan waktu untuk menebang dan memotong. Kemudian apabila sudah terjadi pertandingan, masing masing juga harus mengerahkan tenaga dalam sebesar besarnya. Dan Jim Cing Cing Goling memang menghendaki agar tenaga dalam Saragedug terkuras habis.
Akhirnya batang pohon yang dibutuhkan telah tersedia. Masing-masing sudah memegang ujung.
Menghadapi pertandingan ini Saragedug enak enak saja. Ia percaya duagaan 'isterinya benar, bahwa lawan akan mengalah. Akan tetapi setelah melihat hasil Jim Cing Cing Goling, ia terbelalak kaget dan sepasang matanya mendelik marah kepada isterinya. Menghadapi kenyataan ini sekarang dirinya tak mau mengalah. Ia mengerahkan seluruh tenaganya sehingga dalam waktu tidak lama, tidak ketinggalan lagi dengan lawan.
Diam-diam Jim Cing Cing Goling amat gembira. Kemudian ia' sengaja memperlambat gerakannya. Kendati begitu bubuk kayu dan keping-keping keCil tidak henti-hentinya rontok ke bawah. Malah kemudian dalam usahanya mengelabui lawan, tubuhnyapun ikut berputar mengelilingi kayu tersebut. Tampaknya ia benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya.
Semua orang berdebar menyaksikan pertandingan yang menegangkan ini. Tidak terasa pertandingan sudah menghabiskan waktu seperempat hari. Karena bernafsu memenangkan pertandingan, Saragedug tampak letih dan kehabisan tenaga. Hal itu terlihat dari gerakannya yang menyadi lambat. Sedang dahinyapun basah oleh peluh. sedang dada tampak kembang-kempis. Melihat itu Jim Cing Cing Goling mempercepat gerakannya. Dan dengan gambaran ini jelas bahwa dalam hal tenaga sakti, Jim Cing Cing Goling masih lebih unggul dibanding lawan.
Memang pada saat sekarang ini Saragedug berhadapan dengan kesulitan. Ia tak berani menggunakan tenaga saktinya yang mengandung api. Sebab apabila tenaga sakti itu digunakan, kayu tersebut akan terbakar hangus. Dengan demikian, sekalipun berhasil memenangkan pertandingan, tetapi rahasianya akan terbuka.
Berhadapan dengan kesulitan ini. menyebabkan Saragedug gelisah bukan main. Lalu gumamnya dalam hati,
"Setan! Keparat!"
Melihat Jim Cing Cing Goling bergerak semakin cepat, Saragedug juga mengerahkan semangat dan tenaganya. Ia mati-matian memutari kayu tersebut sambil menggunakan tekanan tangan kuat-kuat.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara blug dan putuslah ujung kayu yang ia pegang. Ia memandang ke arah Jim Cing Cing Goling, dan ternyata lawan baru saja selesai mematahkan kayu bagiannya.. Dengan demikian Saragedug memenangkan pertandingan. Karena menang ia gembira. Akan tetapi rasa gembiranya itu segera tertiup angin. Karena mendadak saya ia merasakan tubuhnya menjadi lemas. dan matanya berkunang kunang. Cepat-cepat ia menenangkan diri. Setelah beberapa saat kemudian, baru ia merasakan tubuhnya nyaman kembali. Kendati demikian, sekarang kaki dan tangannya terasa lunglai tidak bertenaga lagi.
Keadaan Saragedug ini tidak lepas dari perhatian Jim Cing Cing Goling. Maka buru-buru ia berkata,
"Kesaktian saudara memang hebat bukan main. Ah, aku tunduk. Sekarang tibalah saatnya saudara bertanding melawan saudara Ali Ngumar."
Perhatian semua orang beralih, dan diam-diam jantung semakin berdebar. Karena pertandingan kali ini merupakan babak penentuan. Siapa yang menang berhak menduduki iabatan Panglima.
Ali Ngumar segera bersiap diri di tengah gelanggang. Akan tetapi belum sempat membuka mulut, Sintren yang menyamar sebagai laki-laki dan bernama Witadipura sudah berteriak,
"Tahan!" "Ada apa?" Ali Ngumar heran.
"Kita harus berpegang pada keadilan,". sahut Sintren.
"Yang jelas tentang kedudukan Panglima atau _wakilnya itu bagi kami bukan tujuan mutlak. Namun sebaliknya kalau kakang Surjadipura sampai menderita kekalahan dalam bertanding, akan hancurlah nama tokoh Ujung Kulon yang sudah dibina puluhan tahun lamanya. Hemm, tadi kakang Surjadipura baru saja selesai bertanding melawan Jim Cing Cing Goling. Bukankah setiap orang tahu akan hal itu? Kalau saudara akan bertanding melawan orang yang sudah lelah. kiranya sudah
wajar kalau saudara akan menang dengan gampang. Akan tetapi kalau hal itu sampai terjadi, apakah saudara akan puas mendapat kemenangan tidak wajar seperti itu."
Sintren berhenti mencari kesan. Ali Ngumar terpengaruh, dan melihat ini Sintren melanjutkan,
"Sekarang aku mempunyai usul begini! Pertandingan ini lebih tepat kalau ditangguhkan sampai esok pagi. Bukankah ini namanya adil dan bijaksana?"
"Celaka! Celaka dua belas!" Jim Cing Cing Goling mengeluh dalam hati.
Sekarang ia .baru insyaf akan kekurangan persiapan dalam mengatur rencana. Dan iapun insyaf, kalau lain orang akan menolak usul itu. Akan. tetapi Ali Ngumar, seorang tokoh yang selalu menjunjung tinggi kejujuran tentu akan menerima usul itu.
Si Bongkok menduga sama seperti Jim Cing Cing Goling. Ali Ngumar tentu menerima usul itu, karena memang adil.
"Apa yang saudara katakan memang beralasan dan juga adil. Aku tadi agak khilaf, dan maafkan kekuranganku,
" sahut Ali Ngumar sambil kemudian melangkah mundur. Kemudian ia minta kepada Darmo Gati, agar menyimpan kembali lencana tanda kekuasaan itu.
Pernyataan Ali Ngumar ini membuat Si Bongkok dan Jim Cing Cing Goling menyesal bukan main. Tetapi apa harus dikata, justru watak Ali Ngumar memang seperti itu. Orang semacam Ali Ngumar tidak mungkin dapat dibujuk untuk main siasat guna memperoleh kemenangan.
Malam harinya Jim Cing Cing Goling mengadakan perundingan dengan kawan-kawannya, menentukan sikap esok pagi. Mereka memperhitungkan, esok pagi tenaga Saragedug yang menyamar dengan nama Surjadipura itu tentu sudah pulih kembali. Dan kalau tenaganya pulih,
tidak mungkin Ali Ngumar sanggup menghadapi.
Dipihak lain, Saragedug juga berunding dengan isteri, Cilik Kunting dan Sarpa Kresna. Mereka tidak bisa mundur lagi dan harus memenangkan pertandingan, karena itu penting untuk kepentingan Mataram. Jika gagal, Sultan Agung bisa marah.
"Esok pagi, sesudah kita mendapat lencana tanda kekuasaan itu, tindakan pertama yang harus kita laku kan, melumpuhkan Swara Manis agar tidak dapat bicara. Kemudian kita harus memutuskan hukuman mati kepada pemuda itu. Karena satu satunya orang yang tahu rahasia ini, harus kita lenyapkan secepatnya." Sintren memberikan usul.
"Dan sudah tentu, tugas untuk melenyapkan Swara Manis ini sepenuhnya di tangan kakang."
Ia berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
"Setelah kita memperoleh kepercayaan penuh, engkau harus segera mengeluarkan perintah, bahwa pasukan harus digerakkan menuju Mataram secepatnya. Kita gunakan alasan untuk membalaskan sakit hati Prayoga. Dengan demikian semua orang akan mendukung gerakan itu. Dan kalau sudah demikian, heh heh heh. tidak bedanya anai anai menyerbu api. Pasukan pemberontak ini pasti hancur lebur dan Ingkang Sinuhun Sultan Agung akan memberi hadiah besar kepada kita sekalian."
Demikianlah, pada esok paginya api unggun kembali dinyalakan. Darmo Gati segera pula melemparkan lencane tanda kekuasaan itu ke dalam api.
Ali Ngumar dan Saragedug tampil ke gelanggang. Di saat dua orang itu berhadapan, baik Si Bongkok mau pun Jim Cing Cing Goling yakin, ilmu pedang Ali Ngumar bernama Kala Prahara akan dapat mengalahkan lawannya.
Memang sebelum berhadapan di gelanggang, Jim Ci ng Cing Goling sudah mengusulkan kepada Ali Ngumar agar mengusulkan tiga babak pertandingan. Pertamaberlomba dalam ilmu meringankan tubuh, kedua berkelahi dengan pedang dan bertanding tenaga sakti. Jadi sama dengan pertandingan kemarin, yang terjadi antara Saragedug dengan Jim Cing Cing Goling. Seperti yang telah diperhitungkan oleh Jim Cing Cing Goling, pada babak pertama Ali Ngumar akan kalah. Kemudian dalam babak kedua diharapkan Ali Ngumar menang, dan sekaligus dapat melukai lawannya. Apabila hal itu sampai terjadi. babak ketiga takkan mengalami kesulitan untuk memenangkan pertandingan.
Ali Ngumar setuju dengan usul itu. Demikian pula Saragedug. Pertandingan pertama segera dimulai dengan cara seperti kemarin, memanjat batu pada puncak. Setelah pertandingan dimulai, ternyata Saragedug lebih cepat tiba di puncak. Ali Ngumar baru dapat mencapai separonya.
Ketika Ali Ngumar turun dari' batu tersebut, si Bongkok menghampiri,
"Saudara Ali. sepuluh tahun lebih yang lalu, karena tak percaya khabar yang disiarkan orang, akibat engkau takut ancaman orang lalu menyerahkan pedangmu kepada lawan. Ya, sebagai akibat peristiwa itu, menbuat dirinya menyamar menjadi seorang gagu dan malah menjadi pembantu rumah tanggamu. Hemm, semua itu hanya untuk membuktikan sampai di mana kebenaran berita yang terSiar luas di masyarakat itu. Engkau harus mau percaya, bahwa tidak pernah terpikir dalam benakku. aku harus menjadi pembantu rumah tanggamu sampai lebih enam tahun lamanya. Mengapa? Hal itu karena aku tertarik kepada pribadimu yang welas-asih dan luhur, sehingga aku merasa tak sampai hati meninggalkan engkau yang sudah ditinggalkan isterimu. Hemm, kalau saja si Linglung Ndara Menggung itu tidak membuka rahasia penyamaranku, kiranya .sampai sekarangpun aku masih tetap menjadi pembantumu dan tetap pula menjadi kakek gagu."
Ia berhenti mencari kesan. Sesaat kemudian melanjutkan,
"Saudara Ali. menurut pandanganku. engkau seorang pria gagah perkasa dan seorang ksyatria sejati. Kalau orang mempercayakan kedudukan Panglima kepada dirimu, sebaliknya engkau tentu berpendapat bahwa kedudukan itu tidak tidak mutlak untuk dirimu, dan engkau menganggap orang lainpun berhak untuk memangku jabatan itu. Sebab sebagai seorang ksyatria selati seperti engkau, tentu lebih mengutamakan sikap ksyatria seiati daripada kedudukan Panglima. Hemm, ketahuilah! Bagi kami para pejuang yang membela Wilayah timur yang akan dijajah Mataram. engkau satu-satunya orang yang menjadi lambang menentukan nasib. Sebab bila Panglima itu bukan engkau yang menduduki. tipis harapan para pejuang dapat mencapai Cita-Cita itu."
Si Bongkok berhenti lagi sejenak, sesudah batuk-batuk baru melanjutkan,
"Mengingat kepentingan perjuangan kita dan demi berhasilnya membangun perjuangan, maka dalam babak kedua nanti apabila memperoleh kesempatan untuk menang, kesempatan itu hendaknya jangan kau Sia-Siakan. Gunakanlah kesempatan baik itu. Engkau harus menyadari bahwa pertandingan ini bukan untuk kepentingan dirimu sendiri, tetapi untuk membela keadilan menentang Mataram."
Si Bongkok mengucapkan kata demi kata penuh kesungguhan. Hasilnya dapat mempengaruhi hati dan pikiran Ali Ngumar. Sahutnya,
"Baiklah, aku akan berusaha sekuat kemampuanku."
Ia cepat menghunus pedang pusaka Kyai Baruna. Pedang itu memancarkan Sinar kemilau tertimpa Sinar surya pagi hari. Setelah memasang kuda-kuda, ia memperSilahkan Saragedug agar memulai.
Ketika semua orang mengarahkan pandang matanya ke arah Saragedug. menjadi keheranan. Saragedug seperti kemarin, menggunakan sehelai selendang merah untuk menghadapi pedang pusaka Kyai Baruna.
Ali Ngumar sendiri menjadi heran pula. Mengapa lawan menggunakan selendang itu pula? Akan tetapi ia tidak dapat merenungi lebih lama karena saat itu Saragedug sudah menghampiri dan memberi hormat.
"Maafkan aku!" sambil berseru Saragedug segera menebarkan selendangnya. Dan selendang itu bergerak seperti ular.
Ali Ngumar tenang. Ia memperhitungkan, kalau toh selendang itu sampai menampar mukanya, takkan menyebabkan sakit. Karena itu dengan mantap jago Muria ini bergerak dengan ilmu pedang Kala Prahara. Sekali bergerak, pedang pusaka itu dapat membabat putus sedepa lebih.
Kecuali Sintren. semua orang yang heran melihat peristiwa itu. Bukankah dalam beberapa gebrak saja, selendang merah itu akan habis terbabat? Lalu bagai manakah nanti Saragedug akan menghadapi pedang pusaka Ali Ngumar yang tajam itu? Apakah Saragedug akan menghadapi hanya dengan tangan kosong?
Pada saat semua orang masih belum hilang rasa herannya itu, Ali Ngumar sudah melancarkan serangan yang kedua. Gerakan pedang Ali Ngumar ini secepat kilat dan sederas hujan turun dari langit. Gerakannya terdiri dari tujuh serangan berisi dan tujuh serangan kosong.
Tampaknya Saragedug repot juga menghadapi serangan ini. Dan sebagai hasilnya, Ali Ngumar sudah berhasil memapas selendang itu tujuh kali. Dan dari hasil ini, nyatalah ilmu pedang Kala Prahara merupakan ilmu pedang hebat sulit dilawan.
Tetapi karena sepak bertanding Saragedug tidak mau membalas menyerang, diam-diam Ali Ngumar men jadi curiga. Benarkah Saragedug sengaja mengalah dalam babak kedua ini? Kalau benar demikian, tidak baik kiranya harus melukai lawan.
tetapi ia segera ingat akan pesan si Bengkok. Tanpa membuang waktu lagi ia melancarkan serangan menusuk tenggorokan lawan.
Sayang sekali bahwa kali ini Saragedug melemparkan selendang merahnya ke udara. Kemudian tangannya memutar.
Sayang sekali bahwa kali ini Saragedug sudah mempunyai rencana pasti. Ketika pedang Ali Ngumar berkelebat, ia sudah mendahului menyelinap ke belakang lawan. Celakanya Ali Ngumar menganggap sepele kepada Senjata Saragedug. Secepat kilat ia membalikkan tubuh dan menusuk lagi.
Mendadak Saragedug melemparkan selendang merahnya ke udara. Kemudian tangannya memutar. Sungguh aneh! Kendati selendang itu sudah terpapas tujuh kali, tetapi selendang itu masih cukup panjang. Masih tidak kurang tiga depa panjangnya. Sesudah dilontarkan ke udara, selendang itu membentuk tujuh ikat lingkaran sinar merah.
Ketika tusukan Ali Ngumar tiba, Saragedug menghindarkan ke samping sambil menarik turun lingkaran selendang. Karena benda ringan, begitu ditarik ke bawah, selendang itu tidak menerbitkan bunyi apa apa. Tahu-tahu tubuh Ali Ngumar sudah terlibat oleh selendang.
Ali Ngumar terkejut dan cepat menabas selendang itu. Akan tetapi celaka, sudah terlambat. Selendang dengan lincah laksana seekor ular, melilit tubuh Ali Ngumar erat-erat. Hingga Ali Ngumar tidak sempat menggerakkan pedangnya lagi, sebab sepasang lengannya sudah terjerat. Kemudian secepat kilat Saragedug meloncat mundur sambil menggerakkan selendang agar mengikat lebih erat lagi.
Semula Ali Ngumar menduga, dengan mengerahkan tenaga sakti. tentu dapat memutuskan selendang itu.
Tetapi celaka! Ia tidak dapat bergerak sedikitpun dan tidak dapat mengerahkan tenaga sakti.
"Saudara Ali, maafkan aku!" Saragedug berkata'sambil ketawa. '
"Ya. aku mengakui kekalahanku," sahut Ali Ngumar karena memang sudah dikalahkan oleh lawan.
Setelah Saragedug memenangkan pertandingan dua kali. pertandingan ketiga menjadi batal.
Memang semua orang tidak tahu, Saragedug menggunakan senjata lain dengan kemarin, sekalipun sekilas pandang sama. Kalau selendang yang dipergunakan kemarin memang selendang kain, sekarang ini terbuat dari kawat yang halus. Oleh papasan pedang pusaka, selendang itu memang dapat putus. Tetapi sesudah melibat tubuh Ali Ngumar, libatan itu sulit dilawan.
Secara jujur kemudian Ali Ngumar berkata.
"Saudara Surjadipura. sekarang kedudukan sebagai Panglima secara mutlak di tangan saudara. Aku berharap hendaknya saudara tidak menolak kepercayaan kami."
Tanpa membuka mulut, Saragedug sudah menghampiri api unggun, lalu memungut salah sebuah lencana tanda kekuasaan. Sudah tentu lencana yang dilemparkan ke dalam api itu membara dan panas sekali. Akan tetapi bagi SaragedUg, tapi itu bukan apa apa.
Kemudian sambil memegang lencana tanda kekuasaan ini, ia berseru nyaring,
"Ah, terima kasih atas kepercayaan kalian semua. Bahwa "secara tidak terduga duga, aku yang bodoh ini terpilih sebagai Panglima. Tetapi sudah tentu Panglima tidak akan dapat berbuat sesuatu tanpa dukungan anak buah. Maka aku berharap agar kalian sedia membantu tugas berat ini', demi perjuangan kita."
Akhir dari pertandingan di luar perhitmgan ini, membuat si BOngkok, Jim Cing Cing Goling, Ali Ngumar serta tokoh yang lain menjadi lemas dan sedih. Diam diam mereka menjadi bingung , apa jadinya perjuangan ini kalau dipimpin oleh orang baru?
Guna melengkapi kedudukan pimpinan itu, kemudi an dipilih wakil wakil Panglima sejumlah tiga orang. Yang terpilih untuk jabatan itu. Ali Ngumar, Darmo Gati dan Resi Sempati.
Setelah pimpinan tersusun lengkap, Saragedug ber seru lagi,
"Sekarang bawalah kemari penjahat besar Swara Manis itu kemari. Kemudian akan aku serahkan kepada saudara saudara sekalian, hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada penjahat itu!"
Sesudah berseru. Saragedug memberi isyarat dengan mata kepada Sintren.
Pada saat menunggu datangnya Swara Manis, para tokoh pejuang kasak kusuk. Mereka tetap tidak puas kepada hasil pemilihan yang baru berlangsung. Karena seseorang baru yang belum dikenal sepak tcrjangnya, juga belum pernah memberi jasa, tahu-tahu menduduki jabatan sebagai Panglima. Maka diam-diam hampir semua orang bersikap waspada dan hati hati. Mereka sudah bulat pendapat, kalamana Panglima berbuat menyeleweng, mereka akan bertindak memberontak.
Namun ketika mereka mendengar bahwa tindakan pertama kali hendak mengadili Swara Manis yang jahat itu, hati mereka lega. Diam-diam mereka kemudian beranggapan bahwa Surjadipura memang seorang gagah perwura. Sebagai akibatnya pula, rasa kurang senang itu menjadi berkurang. '
Beberapa saat kemudian petugas sudah membawa Swara Manis ke tengah gelanggang. Lalu dihadapkan di depan Saragedug.
Memang sejak di Muria, Swara Manis dimasukkan dalam tahanan. Hingga pemuda licin ini tidak tahu keadan yang terjadi. Harapannya tidak lain, suami ' isteri
Genduwo Semanu itu dapat menyelesaikan usahanya, kemudian dirinya diajak ke Mataram menghadap Sultan Agung untuk mendapat hadiah dan jabatan. Justru karena mencitakan hadiah dan kedudukan tinggi di Mataram ini, dirinya menyediakan diri untuk ditangkap dan ditawan.
Tangan Swara Maxis diikat di belakang punggung. Setelah ada di tengah kerumunan manusia, ia menjadi bergidik melihat pancaran sinar mata semua orang seperti berapi. Kemudian ketika ia memandang ke arah Saragedug, ia melihat orang itu memegang lencana warna kuning.
Melihat semua ini, jantung Swara Manis tergetar hebat. Sebagai seorang licin dan pandai menipu orang lain, sekarang ia dapat menduga apa yang akan terjadi. Kiranya Saragedug dan isterinya khawatir dirinya membuka rahaSia penyamarannya. Peristiwa yang dihadapi sekarang ini tidak berbeda dengan perbuatannya ketika itu, membunuh Dasa Muka dalam usaha agar rahasianya terjamin.
Menduga demikian, timbul tekatnya ,untuk menelanjangi rahasia Gendruwo Semanu. Ia sudah nekat, dan apapun yang terjadi akan dihadapi. Baginya biarlah sekarang dirinya mati, bersama sama dengan suami isteri itu.
Mulutnya sudah terbuka untuk berseru. Tetapi belum sempat bersuara, Sintren yang sudah siap-Siaga mengayunkan tangan. Hek... lambung Swara Manis kesemutan. dan mulut yang sudah terbuka itu tidak dapat bersuara lagi. Ya, secara gesit Sintren sudah menyambit dengan kerikil kecil ke arah Swara Manis. Saking cepatnya gerakan itu, tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Yang tahu hanya Swara Manis, Sintren dan Saragedug. Lebih lagi keadaan di tempat itu berisik, karena semua orang marah ketika melihat Swara Manis yang sudah banyak dosanya itu. Sebagai akibat
dari semua itu, apa yang dilakukan Sintren berhasil baik sekali. .
Swara Manis berusaha mengerahkan tenaga sakti nya untuk dapat bersuara, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Karena usahanya tak berhasil, keringat dingin membasahi sekuiur tubuh. Ia baru insyaf bahwa nyawanya tak dapat dipertahankan lagi. Ia tentu akan dibunuh secara mengerikan, dan sebelumnya tentu akan disiksa hebat sekali. Membayangkan kemungkinan itu. mendadak saja Swara Manis insyaf. Perbuatannya selama ini menyebabkan dirinya dimusuhi banyak orang, dan diam diam merasa menyesal pula mengapa dirinya sudah menumpuk dosa.
Dugaan. Swara MdnlS ini memang tepat. Dalam. usaha agar penyamarannya terjamin dan dapat mempengaruhi semua orang. Saragedug tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Sekalipun benar Swara Manis menyediakan diri untuk'ditawan tetapi hal itu bukan salahnya, tetapi salah Swara Manis sendiri mengapa dapat ditipu. Guna menjamin kerahaSiaan dirinya ini, satu-satunya orang yang bisa menjadi saksi harus disingkirkan lebih dahulu.
Setelah mengamati Swara Manis kemudian menebarkan pandang mata kepada semua yang hadir. Saragedug berkata nyaring,
"Saudara saudaraku, kendati aku sendiri belum pernah menderita rugi oleh Perbuatan pengkhianat ini, tetapi aku sudah tahu bahwa bangsat ini sudah banyak menimbulkan korban. Tidak terhitung jumlahnya rakyat Pati dan Kadipaten lain yang tak berdosa, menjadi korban tingkah bocah ini. Mengingat dosanya yang segunung itu, memang tidak pantas diberi ampun. Sebab apabila manusia sejahat ini masih diberi kesempatan hidup lebih lama lagi, jumlah korban akan bertambah banyak dan dunia ini tidak mungkin dapat tenteram."
Saragedug berhenti, mengamati sekeliling mencari kesan. Ternyata Ia melihat dengan nyata. bahwa semua
mata memandang Swara Manis dengan mata berapi. membuktikan benci dan marah.
Saragedug gembira pancingannya berhasil. Kemudian ia melanjutkan dalam usahanya membakar kemarahan orang,
"Manusia binatang ini bukan saja telah mengorbankan rakyat tak berdosa. Akan tetapi juga telah menyebabkan saudara Ali Ngumar menderita batin! Huh. sekarang manusia binatang ini aku serahkan kepada kalian. untuk memberikan hukuman yang pantas!"
Ucapan Saragedug ini mendapat sambutan tepuk sorak gemuruh dari semua orang. Mereka menganggap, langkah pertama Panglima ini tepat dan mereka menjadi makin percaya.
Setelah tepuk sorak itu berhenti, si Bongkok meloncat ke tengah, di mana Swara Manis berdiri tegak tidak berkutik. Seperti diketahui si Bengkok ini mempunyai dendam kesumat kepada Swara Manis. Orang Bongkok ini maSih ingat, dirinya telah ditipu mentah-mentah menjelang penyerbuan pasukan Mataram ke Pati. Saking tidak kuasa menahan rasa marah, Si Bongkok segera berbuat menurutkan hati.
Dalam keadaan seperti saat ini, Swara Manis benar benar tidak dapat'berdaya sama sekali. Tangannya diikat di belakang punggung. Mulutnya tak dapat dipergunakan bicara. Menghadapi tindakan si Bongkok ini, ia takut setengah mati. Diam-diam ia segera berusaha mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pengaruh yang menyebabkan dirinya tak dapat bicara. Dan apabila berhasil, dirinya akan membuka kedok rahaSia Gendruwo Semanu.
Akan tetapi celakanya, usahanya tetap Sia-sia belaka. Kemudian terpikir pula, kendati dirinya dapat bicara dan membuka rahasia suami-isteri ini, tidak urung semua orang tidak akan percaya. Karena dirinya telah dikenal semua orang sebagai laki-laki yang pandai menipu.
Swara Manis menghela napas penuh rasa sesal.
Di saat-saat berhadapan dengan maut tiba tiba saja terbayang didepan matanya. Mariam yang cantik dan menyerahkan jiwa raganya. Akan tetapi ia tidak membalas Cinta kaSih Mariam yang tulus itu, kemudian malah membalas dengan perbuatan yang tidak patut.
Ketika bayang-bayang Mariam yang cantik menghilang, muncullah wajah manis Marsih. yang tergila-gila kepada dirinya. Selama ini dirinya selalu menghina gadis itu, menyakiti dengan kata-katamaupun perbuatan, akan tetapi gadis itu menerimanya dengan hati ihklas. Sekarang Swara Manis baru insyaf dan menyadari, tentu Marsih menderita batin selama ini.
"Cuhhh...!" tiba-tiba Swara Manis gelagapan kaget. Pipinya panas sekali rasanya, kemudian pipi terasa basah.
Ternyata kemudian ludah dari mulut Si Bongkok. Sekalipun ludah, tetapi karena semburannya dilambari tenaga sakti, sakitnya bukan main lebih hebat dari tamparan.
"Ahh..." Swara Manis mengeluh dalam hati. Di tangan si Bongkok dirinya akan lebih celaka daripada di tangan demit. Tetapi apa harus dikata, dirinya tak dapat berbuat apa-apa.
Si Bongkok Baskara mendelik buas. Akan tetapi diam-diam orang tua ini heran, mengapa pemuda itu hanya berdiam diri? Mungkinkah pemuda ini sekarang sudah menyadari dosanya, bertobat dan menyerah untuk mati?
Si Bongkok memalingkan mukanya ke belakang. Serunya,
"Siapa di antara kalian yang sedia memberi pinjaman pisau kepadaku? Huh, dengan pisau akan aku bedah dadanya dan mengambil hatinya. Aku ingin melihat, bagaimanakah bentuk dan warna hati Si penjahat bangsat ini!
Ali Ngumar mencabut pedang pusakanya, lalu diberikan kepada si _Bongkok, tetapi ditolak,
"Pedang itu terlalu tajam hingga sekali tikam akan selesai.Uh. terlalu enak bagi bangsat ini, tanpa mengalami penderitaan. Karena itu aku menginginkan pisau yang tumpul., agar aku dapat membuka dadanya perlahan-lahan."
Sekalipun Ali Ngumar benci setengah mati kepada Swara Manus, tetapi tidak sampai hati melakukan kekelaman seperti itu. Sesungguhnya saja apa yang sudah diperbuat pemuda itu terhadap Mariam. memang amat menyakitkan hatinya. Namun sebaliknya apabila dipikir jauh, apa yang terjadi juga oleh salah langkah Mariam sendiri. Kalau saja Mariam tidak tergila-gila kepada Swara Manus. tentu takkan sampai menderita sehebat itu.
Permintaan si Bongkok mendapat tanggapan dari seseorang. Orang itu memberi pedang pendek yang tumpul. 'pedang itu d:sambut oleh si Bongkok dengan gembira. Teriaknya,
"Bagus! inilah alat yang paling cocok untuk bangsat ini!"
Si Bongkok memandang Swara Manis dengan beringas. Lalu katanya dingin.
"Swara Manis! Apakah engkau masih ingat telah mengorbankan puluhan ribu nyawa rakyat tak berdoSa? Dan bukankah dengan kematianmu nanti, sesungguhnya dosa perbuatanmu : belum lunas?"
Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah disembur'oleh ludah, sekarang wajah yang semula tampan itu menjadi berlumuran darah merah. Kendati menghadapi maut, otaknya masih terus bekerja dan tidak cepat putus-asa. Dalam kebingungan untuk menjawab pertanyaan si Bongkok itu, tiba-tiba saja Ia menganggukkan kepala, kemudian menundukkan kepala lagi.
si Bongkok heran.lalu tertarik dan ikut memandang ke bawah ke arah sasaran mata Swara Manis. Kemudian Ia melihat kaki pemuda itu bergerak seperti sedan
menulis. Akan tetapi karena tempat itu keras, apa yang ditulis tidak dapat dilihat dan dibaca orang.
Mendadak saja si Bengkok teringat kelicinan pemuda ini. ia menjadi tambah marah merasa ditipu. Dalam hatinya sangat mendongkol, justru sudah berhadapan dengan maut pemuda itu maSih juga mempermainkan dirinya.
Crak... ujung pedang yang tumpul itu sudah bersarang di bahu Swara Manis. Begitu pedang dicabut, darah merah menyembur keluar. Saking sakitnya, Swara Manis hampir pingsan.
"Tikaman pertama!" seru si Bangkok nyaring.
Karena usahanya memberitahu kepudn si Bongkok dengan tulisan tak berhasil malah ditikan Swara Manis yang kesakitan mendelik ke arah Gendruwo Semanu. Akan tetapi suami-isteri itu tenang-tenang saja.
Pada saat si Bongkok menggerakkan tangannya untuk menikam yang kedua kalinya, Ali Ngumar merasa tidak tega dan berseru,
"Saudara Baskara! Cepat bunuh saja pemuda itu, dan jangan kau siksa!"
Belum juga si Songkok sempat menyahut. semua hadirin terkejut mendengar suara hiruk-pikuk di luar pondok pertemuan. Belum luga lenyap suara itu. meluncurlah sesosok bayangan hitam secepat anak-panah lepas dari busur. Belum juga orang dapat melihat jelas. sudah terdengar bentakannya yang nyaring,
"Tunggu!" Belum juga lenyap suara bentakannya. bayangan orang itu sudah menyambar pedang dari tangan Si Bongkok. Tentu saja Si Bongkok tak mau menyerahkan pedang itu. Ia berusaha melawan. tetapi menjadi terkejut ketika melihat orang yang berusaha merebut pedang itu Ladrang Kuning. Babatan pedang dihindari oleh Ladrang Kuning dengan memiringkan tubuh, kemudian mengulurkan tangan menerkam siku Si Bengkok.
Ali Ngumar juga segera mengenal kembali isterinya tercinta. Ia kaget di samping diam-diam mengeluh. Sebab ia menduga, Isterinya tentu berusaha menolong Swara Manis lagi. Sudah berkali-kali usahanya melenyapkan jahanam ini selalu gagal, karena dihalangi oleh isterinya sendiri. Sekarang dalam keadaan seperti:d ini, dirinya Sudah tidak mau memperhitungkan apapun yang terjadi. Di saat Isterinya sedang sibuk melayani si Bongkok, ia telah meloncat ke arah Swara Manis dan membacok.
Dalam perkelahian ini Sekalipun lebih sakti di banding Si Bongkok, tetapi Ladrang Kuning tidak dapat mengalahkan dalam waktu singkat. Maka kagetnya tidak terkira-kira melihat suaminya sudah menghampiri Swara Manis, dan lebih kaget lagi ketika melihat tangan suaminya diayunkan. Dalam usahanya menggagalkan usaha suaminya itu, tiba-tiba Ladrang Kuning melontarkan benda yang semula dikepit di ketiaknya.
Pada mulanya Ali Ngumar tak menghiraukan benda apa yang dilontarkan isterinya itu. Yang penting asal pedangnya dapat membabat leher, Swara Manis akan mati. Namun sebelum niatnya terlaksana. benda yang dilontarkan isterinya itu menyambar datang. Kemudian ia melihat pula bahwa dalam bungkusan kain itu tampak bayi montok yang masih merah. Ali Ngumar terkeSiap. Cepat-cepat ia menarik pedangnya ke bawah, dengan maksud agar bayi itu tidak menjadi korban. Akan tetapi karena gerakannya tadi menggunakan tenaga penuh, sukarlah untuk menarik secara mendadak. Sebaliknya kalau sedikit lambat saja, baik Swara Manis maupun orok itu akan terbelah mati dua-duanya.
Dalam usaha menarik kembali pedangnya, Ali Ngumar gugup sekali. Ia mengerahkan tenaga menurunkan tangan. Crak... kain yang membungkus orok itu robek, si bayi selamat tak kurang suatu apa, akan tetapi Swara Manis harus menderita cacat seumur' hidup, karena kakinya sudah terbabat putus sebatas lutut! Darah
mengucur deras membasahi tanah, dan Swara Manis pingsan.
Tetapi Ali Ngumar tidak menghiraukan Swara Manis mati atau masih hidup. Yang terpikirkan saat sekarang, orok yang dilemparkan isterinya. Ia membungkuk lalu menyambar orok itu. Dan saat itu juga keringat dingin membasahi tubuhnya", membayangkan apa yang terjadi kalau orok tidak berdosa ini menjadi korban pedangnya.
Ketika mengangkat kepala, Ladrang Kuning telah berhasil merebut pedang Si Bengkok. Lalu setelah melancarkan serangan tiga kali, dapat memaksa si Bongkok mundur ke pinggir.
Ali Ngumar geram sekali. Betapapun besar Cintanya kepada isteri, namun urusan perjuangan di atas segalanya. Kedatangan isterinya yang mengacau ini tak dapat diterima. Dampratnya,
"Diajeng Wulan! Hari ini merupakan hari suci bagi pejuang yang ingin menghancurkan Mataram. Apa sebabnya engkau datang tibatiba dan mengacau lagi?"
Ladrang Kuning tidak menjawab dampratan suaminya, tetapi malah menghampiri Swara Manis. Ia segera memberi pertolongan menghentikan darah agar tidak terlalu banyak darah yang hilang, sehingga jiwanya dapat tertolong. Setelah selesai menolong, ia mengangkat kepala menatap suaminya sambil bertanya,
"Siapa bilang aku datang mengacau? Huh; sedikit saja aku terlambat datang, kamu semua tentu sudah menjadi bangkai tidak berguna lagi. Tahu?"
'Apa maksudmu?" Ali Ngumar heran.
Ladrang Kuning tidak menyahut, tetapi menebarkan pandang matanya. '
Ladrang Kuning mengamati dengan tajam ke arah seorang ke seorang. Tiba-tiba ia berteriak nyaring,
"Hai, ke mana Saragedug dan Sintren? Di mana dua
bangsat itu sekarang? Hayo, mengapa tidak berani terang-terangan dan berkelahi secara ksyatria, akan tetapi menyelundup seperti tikus clurut?"
Semua orang terkejut bukan main. Bukankah yang ditantang Ladrang Kuning Surjadipura dan Witadipura yang termasyhur dari Ujung Kulon? Tetapi mengapa dua tokoh itu dipanggil Saragedug dan Sintren? Apakah Ladrang Kuning sudah kumat gilanya lagi?
"Apa katamu?" tiba-tiba saja Jim Cung Cung Goling, Resi Semapti. Ali Ngumar dan si Bengkok berseru hampir berbareng.
Ladrang Kuning tidak menjawab. Ia bergerak seperti kilat menerobos ke sana ke mari. Namun yang dicari tetap tak diketemukan. Lalu ia kembali lagi ke tengah sambil berseru heran,
"Ke mana bangsat itu pergi?"
Ali Ngumar menghampiri dan bertanya halus setengah tak percaya.
"Diajeng Wulan, siapakah yang kau maksudkan itu? Apakah benar mereka hadir?"
"Apa? Jadi kalian benar-benar tidak tahu bangsat itu sudah menyelundup ke mari?"
Ucapan Ladrang Kuning ini seperti halilintar meledak di siang bolong. Mereka terkejut dan kemudian sadar. Mereka lalu menebarkan pandang mata ke sekeliling. Semua orang masih lengkap belum meninggalkan tempat. Tetapi Surjadipura, Witadipura, Cilik Kunthing dan barpa Kresna tidak tampak lagi batang hidungnya. Setelah empat orang itu menghilang tiba-tiba, mereka sekarang baru mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ladrang Kuning.
"Heh-heh-heh, Ladrang Kuning," Jim Cing Cing Goling berkata.
"Gerak-gerikmu selama ini memang menimbulkan rasa jengkel semua orang. .Akan tetapi hari ini kami semua berhutang budi 'kepadamu!"
Setelah berkata, kakek ini mengangkat tangan dan
mengacungkan ibu jarinya, jelas terang-terangan memuji Ladrang Kuning. '
"Huh siapa sudi mendengar segala macam ocehanmu" Kalau bukan Prayoga yang memberitahu, akupun tidak tahu."
"Apa? Prayoga belum mati?" seru Ali Ngumar dan beberapa orang yang lain.
"Mati memang belum! Tetapi dia sekarang tengah meregang nyawa. dan di sana Sarini menunggu dengan setia."
"Hai... Sarini juga maSih hidup?" seru orang banyak gembira.
Sejak tadi Ali Ngumar masih tetap memondong orok yang berhasil diselamatkan. Sambil mengamati bayi itu. kemudian ia bertanya,
"Diajeng Wulan, dari manakah engkau mendapat orok montok ini?"
"Engkau ini nglindur atau mimpi? Mengapa kepada cucu sendiri engkau tidak kenal? Lihatlah wajahnya. Bukankah mirip dengan wajahmu?"
Sejenak Ali Ngumar mengamati bayi itu dengan teliti. Apa yang dikatakan isterinya benar. Wajah orok ini mirip dengan wajahnya sendiri.
Namun sejenak kemudian teringatlah ia akan lahirnya orok ini, sebagai haSil perbuatan Mariam dan Swara Manis di luar nikah. Teringat akan hal itu ia malu dan marah.
"Ambillah! Aku lebih senang tidak mempunyai cucu dan tidak disebut sebagai kakek!" katanya sambil menyerahkan bayi itu kepada Ladrang Kuning.
"Hemm, sudahlah! Orang tuanya yang bersalah, mengapa anaknya dilibatkan? Bayi ini lahir suci, sesuai kehendak Tuhan. Dosa orang tuanya tidak sepatutnya menjadi beban anak yang tak tahu apa-apa." Ladrang
Kuning kemudian menghela napas sambil menyambut bayi itu. Ternyata si bayi yang kaget terbangun dari tidur, lalu Ladrang Kumng menepuk-nepUk pantat bayi perlahan, sambil berkata halus,
"Jangan sudah jebeng. Sekalipun orang Lain tidak suka, tetapi nenekmu tetap sayang dan mencintaimu."
Melihat tingkah laku Ladrang Kuning ini, semua 0rang terteguh heran. Sebab biasanya perempuan ini ganas keliwat-liwat. Tetapi sekarang dapat berobah seperti nenek yang lain.
Sambil menciumi pipi orok yang montok itu. Ladrang Kuning berkata perlahan,
"Anak ini tidak boleh lahir tanpa mendapat kesempatan melihat ayahnya, agar tidak disebut sebagai anak haram!"
Setelah berkata. Ladrang Kuning melirik ke arah Swara Manis. Sekarang kaki Swara Manus sudah buntung.
Dalam keadaan terluka parah seperti Itu. mulutnya yang terkancing oleh sambitan Sintren telah terbebas dan dapat bicara lagi. Dalam keadaan sadar dan tidak, dari mulutnya terdengar ucapan,
"Orang yang mengaku ... Surjadipura dan witadipura itu tidak lain... Surogedug dan Sintren... ."
Setelah mengucapkan kata-kata itu. Swara Manis pingsan lagi. Agaknya Ia telah berusaha sekuat tenaganya untuk dapat membuka rahaSIa Saragedug dan Sintren. Maka setgap kali sadar, tentu segera mengucapkan soal suami-Isteri Gendruwo Semanu itu.
Ladrang Kuning mengamati seluruh yang hadir. Kemudian katanya lagi,
"Kakinya sudah buntung dan 0rangnyapun sudah kalian Siksa. Sekarang pandanglah mukaku dan bebaskanlah dia!" ' .
Kata-kata yang meluncur dari Ladrang Kuning sekarang ini terdengar halus dan penuh rasa iba. Semua orang memandang heran. dan diam-diam juga terharu. Agaknya wanita itu sekarang telah menemukan kesadarannya kembali. sehingga tidak berwatak ganas dan keras seperti sebelumnya.
mungkinkah terjadinya perubahan pada diri Ladrang Kuning itu, setelah dirinya berhadapan dengan berbagai macam peristiwa. kemudian dirinya harus memperoleh seorang cucu?
Kehadiran Ladrang Kuning di Saat yang amat tepat telah 'memberikan jasa yang amat besar. Sekalipun wanita itu datang dengan maksud menyelamatkan nyawa Swara Manis, akan tetapi ia juga berhasil mencegah Saragedug dan Sintren menghancurkan cita-Cita para pejuang.
memang, berhadapan dengan naSib puteri tunggalnya yang bernama mariam Itu. sebenarnya Ladrang Kuning kecewa dan marah bukan main. Akan tetapi mengingat keadaan Mariam yang hamil tua. tidak berani meninggalkan seorang diri. Ladrarg Kuning mendirikan sebuah pondok keCil tidak jauh dari kali Serang. Tempat' yang sunyi memang tepat sekali guna menyembuhkan mariam yang sudah hampir gila.
Dalam perawatan ibunya, kesehatan mariam berangsur sembuh kembali. Dalam keadaan Mariam agak sehat ini. kemudian lahirlah bayi dari kandungan Mariam. Ladrang Kuning gembira sekali melihat cucunya yang montok
Sebaliknya mariam selalu tampak murung dan sedih. Ia tidak memperdulikan kepada bayi yang dilahirkan. dan juga tak mau memberikan air susunya. Yang selalu membayang di depan wajahnya hanyalah laki-laki yang dicintai. Swara Manis dan sekarang ini tidak diketahui dimana berada. Sekalipun Swara Manis pernah menghina dirinya di depan banyak orang, Kemudian saking sedihnya ia muntah darah. ia tidak dapat benci. Apapun yang sudah terjadi kalau Swara Manis mau datang kembali, ia akan mencintai dengan segenap jiwa raganya.
Sebagai akibat Sikap Mariam yang tak memperdulikan bayinya itu, Ladrang Kuning' terpaksa harus merawatnya. Orok itu selalu dalam gendongannya diajak ke luar masuk hutan berburu binatang. Tidak perduli binatang buas atau jinak, binatang itu dipaksa agar memberikan susunya untuk kepentingan bayi tersebut. Hingga anak Wulandari ini hidup dari air susu binatang yang bermacam-macam, akan tetapi anehnya bayi itu montok dan sehat tahan kepada angin maupun cuaca buruk. Keadaan Ini menyebabkan Ladrang Kuning semakin kaSih dan sayang kepada cucunya. Bayi itu tidak pernah terpisah. Kemanapun selalu dalam gendongannya.
Kemudian pada suatu hari Ladrang Kuning sedang membawa cucu tersayang ini berburu susu binatang. Celakanya cuaca buruk, sehingga hujan terus-menerus turun dan tak bisa pulang. Ketika bisa pulang ke pondok, Ladrang Kuning amat terkejut. Ia tidak dapat menemukan puterinya Mariam, dan yang ditemukan dalam pondok hanya sesobek kain putih berisi tulisan yang mengharukan.
Ibu tercinta. Anak sadar telah tersesat jalan dan terjerumus ke dalam lembah derita dan nestapa. Sebagai akibat perbuatan anak. Sesungguhnya pantas kalau aku harus mati. Akan tetapi' teringat kepada ibu, dan ananda merasa belum dapat membalas budi, maka terpikir oleh ananda. akan bertambah dosa ananda kepada ibunda dan ayah kalau ananda bunuh diri.
Akan tetapi bagaimanapun, ananda harus menebus dosa itu. Maka apabila masih berumur panjang. ananda masih dapat bertemu lagi
Mariam. Beberapa saat lamanya Ladrang Kuning termenung menung membaca surat anaknya itu. Kemudian timbullah tekadnya untuk mencari anak tunggalnya itu. Ia amat khawatir, kalau anaknya sampai mengalami nasib yang lebih buruk lagi. Akan tetapi walaupun sudah berusaha sekuat tenaganya, Ladrang Kuning tak juga dapat menemukan anaknya. Perempuan Mariam seperti lenyap ditelan bumi. Karena usahanya tidak berhasil. kemudian Ladrang Kuning dengan hati penuh sesal dan sedih, kembali ke pondoknya.
*** Ketika Sarini dan Prayoga berkelahi melawan suami-isteri Gendruwo Semanu, kegaduhan yarg ditimbulkan menyebabkan bayi itu terjaga dari tidurnya dan menangis. Sebagai seorang sakti segera tahu kalau kegaduhan itu akibat terjadinya orang berkelahi. Ia menjadi marah karena Cucunya terganggu. Sambil mengepit cucunya, Ladrang Kuning menuju tempat suara perkelahian. Sayang ia bersuara, sehingga Saragedug dan sintren sudah kabur. Ladrang Kuning hanya menemukan Prayoga dan Sarini yang menggeletak di atas tanah dengan menderita luka parah.
Semula Ladrang Kuning menduga dua bocah itu sudah mati. Tetapi ketika memeriksa teliti, untung dua anak muda itu masih berdenyut. Cepat cepat ia mengangkat dua orang anak muda itu ke pondoknya. Ia berusaha dan menolong, dan dalam waktu cukup lama. Sarini dan Prayoga baru bisa Sadar.
"Cepatlah kejar!" begitu sadar Prayoga sudah berteriak.
"saragedug membawa Swara Manis ke Muria!"
Sebaliknya Sarini yang merasa nyawanya hanya beberapa hari lagi. tak menghiraukan semuanya. Ia tidak perduli tentang apapun. Dan ia hanya berbaring di samping Prayoga, lalu membiSikkan kata kata yang selama ini belum sempat diutarakan kepada kakak seperguruannya. Akan tetapi karena Prayoga terluka parah, dalam keadaan sadar dan tidak. maka biSikan Sarini ini hanya sedikit yang bisa ia dengar.
Demikian antara lain penuturan Ladrang Kuning kepada semua orang yang hadir di Muria. Sesudah menuturkan apa yang terjadi, ia kembali mengajukan permintaan agar Swara Manis dibebaskan karena sudah menderita cacat selama hidup. dengan kaki buntung.
Menurut Ladrang Kuning, hukuman yang sudah diterima Swara Manis itu cukup berat. Dengan demikian masih dapat menyadari kekeliruannya, dan siapa tahu dengan dua kakinya buntung, masih dapat memberi manfaat kepada masyarakat.
Akan tetapi di antara mereka ada yang masih tidak puas. Orang itu tidak lain Si Bongkok Baskara. Lalu teriaknya,
"Tetapi dahulu aku sudah pernah bersumpah. Kalau tak dapat mencincang tubuh bangsat itu, luka pada jariku ini akan membusuk!"
"Hat Bengkok!" sahut Ladrang Kurung lantang.
"Jangan mau menang-sendiri! Kita semua harus mau mengakui. bahwa begitu ia sadar, yang diucapkan oleh Swara Manis tidak lain kecuali menyebutkan Saragedug dan Sintren yang sudah menyelundup. Dengan kenyataan itu, apakah engkau masih juga tidak mau mengakui, bahwa bagaimanapun dia masih mempunyai sekelumit kebaikan? Hem, aku tadi sudah berkata. Setelah dua kakinya buntung, mudah-mudahan masih dapat memberi manfaat kepada masyarakat. sebaliknya kalau bocah Itu mati, sudah tidak ada gunanya lagi."
Si Bongkok tertawa terkekeh. Kemudian menyindir,
"Hai Ladrang Kuning' Sejak kapan watakmu berobah dan kenal akan perikemanusiaan'?"
Ladrang Kuning mendelik. Ia tidak mau menjawab. Akan tetapi dalam hatinya mengakui, bahwa setelah cucunya lahir, watak dan tabiatnya berubah sama sekali.
Akan tetapi sesudah dipikir panjang, akhirnya si Bongkok mau mengalah juga. Ujarnya,
"Ya, sudahlah! Dengan memandang muka kalian suami-isteri, aku si
Bongkok sedia memberi ampun. Akan tetapi awas, kalau kelak kemudian hari dia masih juga berbuat jahat, kalianlah yang harus bertanggung jawab!"
Ali Ngumar dan Ladrang Kuning saling pandang. Kemudian suami-isteri itu tersenyum.
Sesudah belasan tahun lamanya berpisah. kemudian isterinya membenci dirinya, baru kali ini Ali Ngumar merasa bahagia sekali. Isterinya sekarang telah berobah dan mau tersenyum seperti dahulu.
Mengingat walaupun maSih hidup tetapi Swara Manis sudah mendapat cacat, maka kemudian diputuskan, Swara Manis masih diberi kesempatan hidup. Ali Ngumar segera memerintahkan orang agar mengangkut Swara Manis ke ruang lain. Dan sesudah itu. ia baru mengajukan pertanyaan kepada hadirin.
"Karena Panglima sekarang ini melarikan diri, lalu bagaimanakah pendapat kalian?"
"Saudara yang menggantikan kedudukan Panglima!" teriak banyak orang.
"Sedang wakilnya Darmo Gati."
Ali Ngumar tidak dapat menolak lagi, karena semua orang sudah memilih dirinya. Kemudian sebagai langkah pertama, ia segera mengatur susunan perserikatan. Kendati secara resmi Pati belum bisa dibangun, namun Bagus Saketi telah diangkat sebagai Raja. Sedang sebagai kraton, untuk sementara di Muria ini.
Pasukan yang jumlahnya ribuan orang itu. kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok besar dan dipimpin oleh seorang tokoh sakti. Melihat cara suaminya mengatur dan memimpin pejuang itu, diam-diam Ladrang Kuning menjadi kagum juga.
Memang sekarang ini, sudah tercetus niat Ladrang Kuning untuk dapat hidup rukun kembali dengan suaminya. Sebab sekarang dirinya sudah tahu semuanya, tentang kesalah pahaman yang terjadi waktu itu. Dengan demikian suaminya bukan seorang pengecut seperti dugaannya semula, tetapi seorang jantan perwira. Kendati begitu ia merasa malu kalau mendekati suaminya tanpa alasan kuat. Ia harus mendapat jalan yang licin guna melaksanakan niatnya itu. dan tanpa mengurangi harga dirinya.
Sesudah Ali Ngumar selesai mengatur semuanya, ia memalingkan muka ke arah isterinya sambil berkata halus.
"Diajeng Wulan, sekarang marilah kita pergi menjenguk Prayoga dan Sarini yang sakit."
"Ah..." Ladrang Kuning berteriak perlahan dan mengeluh.
"Bocah itu terluka parah dan tidak ada yang merawat. Ya, aku harus cepat-cepat kembali ke sana. Engkau mempunyai tugas berat, kiranya cukup aku sendiri saja yang mengurus bocah itu. Tetapi aku berpesan, kalau dapat bertemu dengan Kigede Jamus, mintakanlah obat. Tetapi sebaliknya kalau tak dapat bertemu, percayakanlah dua orang muridmu itu kepadaku. Aku akan merawat mereka tidak bedanya seperti anakku sendiri dan juga muridku."
Sulit dilukiskan betapa gembira hatinya. mendengar pernyataan isterinya itu. Ia tersenyum, mengangguk dan setuju kepada permintaan Ladrang Kuning. Kemudian Ladrang Kuningpun pergi, setelah lebih dahulu memberi senyuman manis kepada suaminya.
Ali Ngumar segera berunding dengan para wakil dan pembantu-pembantunya untuk menentukan langkah yang harus diambil. Setelah berunding beberapa lama, kemudian mereka terbentur oleh kekurangan yang amat mutlak. Mereka tidak mempunyai dana untuk membeayai perjuangan. Tanpa uang, gerakan perjuangan tak mungkin terwujud.
Tidak seorangpun dapat memberi jalan'untuk memperoleh dana ini. Akan tetapi setelah berdiam diri beberapa saat, terdengarlah Jim Cing Cing Goling berkata,
"Apakah kalian pernah pula mendengar tentang cerita harta karun yang tersiar luas itu?"
"Ya. aku pernah mendengar," sahut Ali Ngumar.
"Tetapi benar dan tidaknya aku tidak tahu."
"Akan tetapi aku yakin!" sahut Darmo Saroyo mantap.
"Sejak aku menjelajah beberapa daerah dalam usahaku mencari guru, aku mendengar berita itu santar sekali, hingga aku menjadi merasa yakin dan pasti. Hanya saja ada dua macam khabar tentang asal harta karun nu. Ada yang mengatakan bahwa harta karun itu merupakan simpanan kekayaan. dari pasukan Tiongkok yang akan menggempur Singosari. Karena pasukan itu terpukul oleh kekuatan pasukan Raden wijaya. maka dalam usaha menyelamatkan harta karun itu. Lalu disembunyikan."
"Ah...!" seru Jim Cing Cing Goling.
"Kalau khabar itu benar, tentunya tempat penyimpanan itu tidak di daerah kita Ini, tetapi di wilayah timur. Untuk mencarinya, tentu sudah sulit sekali."
"Tetapi ada keterangan lain yang menyatakan. harta karun itu merupakan hasil pendukung Pangeran Harya Penangsang.?" Darmo saroyo meneruskan.
"menurut keterangan itu, maksudnya sebagai persediaan dana bagi Pangeran Harya Penangsang memukul Pajang. Akan tetapi sebelum rencana penyerbuan ke Pajang itu siap, sudah disusul terbunuh matinya Pangeran Harya Penangsang d. kandang sendiri, oleh siasat yang cerdik dan Ki Juru Mertani, Pemanahan, Penjawi dan Danang Sutawijaya."
"Ahh, kalau khabar itu benar. bagus sekali'" Jim Cing Cing Goling menyela.
"dengan begitu, tempatnya tentu tidak jauh."
"ha, engkau benar." Darmo Saroyo menjawab. Sesudah itu, ia meneruskan ceritanya.
"Karena khabar itu tambah hari bertambah santer aku menjadi percaya dan yakin harta karun itu ada. Karena itu kitapun wajib pula ikut berlomba dan menyelidiki. siapa tahu jika kita berhasil. memperoleh dana yang cukup untuk membeayai gerakan kita ini. Hemm, sayang... tidak seorangpun dapat menerangkan, di mana harta karun itu disimpan orang."
Ali Ngumar tampak merenung. Tak lama kemudian berkata.
"Tetapi walaupun benar harta karun itu ada, lalu apakah gunanya? Apakah orang dapat hidup dan membeayai perjuangan dengan emas dan permata?"
"Bukan begitu!" ujar si Bongkok.
"Dengan harta tersebut, kita memperoleh dana cukup banyak. karena bisa kita jual. Sesudah memperoleh uang kita dapat membeli perlengkapan yang kita butuhkan. Setelah apa yang kita butuhkan tersebut, termasuk beras dan keperluan lain, berarti persiapan kita menjadi cukup."
Mendengar penjelasan si Bangkok itu semangat semua orang terbangun. Hanya sayang. berita tentang harta karun itu hampir semacam dongeng.
mendengar tetapi tidak tahu di mana tempatnya.
Akan tetapi karena tidak ada jalan lain lagi, semua orang bersepakat untuk melakukan usaha itu segiat-giatnya, untuk melakukan penyelidikan.
Kita tinggalkan para pejuang ini yang sedang bicara tentang harta karun. Kita ikuti sekarang kepergian Ladrang Kuning untuk pulang ke pondoknya. Ladrang Kuning bergerak seperti kilat cepatnya, karena mengkhawatirkan Sarini dan Prayoga. Ia khawatir kalau dua bocah yang terluka itu, sampai diganggu orang.
Akan tetapi ah... Ladrang Kuning kaget sekali dan terbelalak, ketika Prayoga dan Sarini berdua tidak ada. Dan yang membuat Ladrang Kuning penasaran. melihat keadaan dalam pondoknya. Perabot pondoknya itu sekarang porak-poranda, tidak bedanya dengan sebuah rumah yang baru saja kemasukan penjahat.
Ladrang Kuning heran tak habis mengerti. Ia meninggalkan pondok baru dua hari lalu. Ketika Ia meninggalkan pondok itu. Prayoga dan Sarini memang dalam keadaan payah. Kalau saja dua orang muda itu menuju Muria, sudah tentu bertemu di tengah jalan" Akan tetapi kalau tidak pergi ke Muria, lain ke manakah Prayoga dan Sarini?
Namun tanda tanya yang memenuhi dadanya ini kemudian terjawab, ketika ingat kepada Saragedug dan Sintren. Ketika Ia tiba di Muria. Suami-Isteri Gendruwo Semanu itu tiba-tiba saja menghilang. Apakah tidak mungkin mereka pergi diam-diam, kemudian melampiaskan dendamnya kepada Prayoga dan Sarini.
Kalau benar Prayoga dan Sarini celaka di tangan Suami-Isteri Itu, Ia malu sekali. Sebab Ia tadi sudah berjanji kepada suaminya untuk menjaga dan merawatnya. Kalau Prayoga dan Sarini sudah jatuh ke tangan Saragedug dan Sintren yang ganas, sulit diharapkan dua bocah itu masih bernyawa. Dan kalau Sarini dan Prayoga sampai mati di tangan Gendruwo Semanu, bagaimanapun dirinya harus bertanggung-jawab.
Menduga demikian, Ladrang Kuning segera mengemasi pakaian cucunya dan pakaiannya sendiri. Sesudah menitipkan cucunya kepada salah seorang penduduk yang bisa dipercaya di desa terdekat, Ia pergi. Tanpa diganggu cucunya ini, dirinya akan dapat bergerak leluasa mencari Gendruwo Semanu, dan juga Prayoga maupun Sarini. Hanya saja yang membuat perempuan itu kebingungan, ke mana harus pergi mencari?
Akan tetapi sesungguhnya dugaan Ladrang Kuning itu salah. Memang pada waktu dirinya tiba di muria itt. dan mencegah si Bongkok melakukan pembunuhan atas diri Swara Manis, suami-Isteri Gendruwo semanu. terkejut, lalu menghilang tiba-tiba, di susul oleh Cilik Kunthing dan Sarpa Kresna.
Sambil melangkah pergi, Saragedug marah marah karena usahanya yang hampir berhasil menjadi gagal total. Kemudian sambil memandang isterinya, ia bertanya,
"Denok, aku menjadi heran! Apakah sebabnya Ladrang Kuning tahu kalau kita di Muria?"
"Hi-hi-hik, apakah engkau sudah pikun?" sahut isterinya.
"Siapa lagi yang memberitahu kalau bukan bocah gendeng yang sudah kau hajar setengah mampus itu? .Aku menduga Ladrang Kuning menolong bocah itu. Kemudian Prayoga maupun Sarini sudah menceritakan apa yang terjadi."
Saragedug membanting kakinya, kemudian mencaci,
"Bangsat' Keparat! Jahanam! Ya, tentu dua bocah itu sekarang maSih hidup. Ah. aku menyesal sekali, mengapa ketika itu aku kurang teliti. Huh, sangkaku sudah mati, tetapi ternyata belum. Mari sekarang kita cepat datang ke sana, dan kita SikSa sepuas hati kita."
Empat orang itu kemudian menuju ke tempat Prayoga dan sarini pingsan beberapa hari lalu. Akan tetapi dua bocah itu tidak mereka temukan. Kemudian mereka menduga, tentu tidak Jauh dari tempat ini terdapat sebuah pondok kecil di tepi kali Serang.
Sudah tentu baik Prayoga maupun Sarini tidak menyadari berhadapan dengan bahaya maut.
Mereka dalam keadaan luka berat, maka setiap waktu dipergunakan beristirahat untuk memulihkan tenaga Sambil mengobati luka.
Keadaan Prayoga memang berbeda dengan Sarini. Pemuda itu gelisah saja setelah menderita luka. Karena dadanya dipenuhi keinginan untuk segera dapat pergi ke Muria dan memberi laporan kepada gurunya. Sebaliknya Sarini, sekalipun juga menderita, akan tetapi hati rasanya puas. Kalau toh harus mati, ia ikhlas dan puas karena mati bersama pemuda yang dicintai. '
Dalam keadaan seperti itu, tiba tiba saja timbul keinginan gadis ini, menggunakan kesempatan untuk menuturkan peristiwa yang sudah lama terjadi. Peristiwa di saat dirinya menyamar sebagai "mariam", kemudian menerima tanda mata dari Prayoga.
Akan tetapi ahh... tiba-tiba Sarini menjadi bingung sendiri. Dari manakah ia harus membuka rahasia itu? Untuk beberapa saat lamanya gadis cerdik ini belum dapat menemukan jalan. Menyebabkan ia berkali-kali menghela napas panjang.
"Ahh... ternyata mbakyu Mariam itu, seorang perempuan yang amat setia kepada kekasihnya." Sarini mulai mencoba untuk memulai.
Akan tetapi Prayoga tidak menjawab, dan pemuda ini hanya mendengus.
"Kakang," tanya Sarini.
"Dalam hatimu, engkau tentu menganggap mbakyu Mariam itu melanggar janji, bukan?"
Prayoga tidak menyahut. "Ah... hem... ternyata waktu sudah lewat amat cepat. Tanpa kita rasa peristiwa itu sudah hampir satu tahun. Ah, malam itu... ya malam itu bukankah engkau dalam keadaan terluka akibat pukulan Gondang Jagad?"
"Sudahlah, jangan mengungkit peristiwa itu..." Prayoga berusaha mencegah, agar Sarini tidak bicara peristiwa lalu.
Sarmi tidak perduli. Kemudian ia menirukan dirinya sendiri ketika menyamar sebagai Mariam pada saat itu,
"Aku berjanji akan menjadi isterimu. Maka tenangkanlah hatimu agar engkau cepat sembuh. Kata paman Darmo... ."
"Sarini!" potongnya sebelum Sarini selesai berkata.
"Mengapa?"Memang perasaan Prayoga menjadi tak keruan. ketika Sarini menirukan kata-kata yang diucapkan Mariam malam itu, karena lalu terkenang peristiwa lama. Bagi pemuda ini, kenangan pahit itu amat menyakitkan hatinya. Oleh sebab itu ia selalu berusaha mengusir kenangan tersebut.
"Ah kakang..." Sarini menghela napas panjang, menyesal.
"Engkau tentu masih saja beranggapan, bahwa yang berjanji sanggup menjadi isterimu itu benar-benar mbakyu Mariam. bukan? Sekarang dengar dan ketahuilah, bahwa pada malam itu mbakyu Mariam tidak di' Mayong, sebab ikut guru pergi ke Demak. Kepergiannya malam itu. dalam usahanya untuk menyelidiki keadaan. Hem, tahukah engkau, bahwa orang yang merawat lukamu waktu itu, yang engkau tanya apakah sedia menjadi isterimu, tidak lain... aku sendiri... .?"
"Sarini" Prayoga tersentak kaget.
"Apakah engkau bicara sesungguhnya? Apakah engkau ini tidak mengigau? Atau engkau khawatir lukaku ini, maka engkau berkata begitu?"
"Kakang. engkau harus tahu bahwa umurku tinggal beberapa hari lagi, akibat kekejaman Sintren. Nah, karena aku sudah hampir mati, apakah engkau masih beranggapan bahwa aku ini mendustai engkau?" sahut Sarini sambil kemudian mengambil batu mustika pemberian Prayoga. Seperti pernah diceritakan. batu mustika itu pernah menimbulkan kehebohan, ketika Sarini kalah judi. Karena kalah, batu mustika itu diambil bandar. Untung dalam ribut ribut, ia dapat mengambilnya kembali.
"Kakang, lihatlah baik baik. Bukankah benda yang aku pegang ini, pemberianmu ketika itu?" tanya sarini sambil menunjukkan batu mustika.
Sekarang barulah Prayoga sadar akan sebabnya Mariam maupun Ladrang Kuning menyangkal terjadinya peristiwa pertunangannya. Sesudah ia menghela napas. bertanya
"Sekarang aku tahu bahwa mbakyu Mariam tidak pernah menCintai aku, tetapi aku sendirilah yang sudah tergila-gila kepada mbakyu Mariam. Ah... tepat sekali kalau disebut Si pungguk merindukan bulan."
"He-mm, engkau harus tahu bahwa dari awal sampai akhir, mbakyu Mariam hanya mencintai Swara Manis seorang saja." Sarini memberi penjelasan.
"Dan tahukah engkau. bahwa sejak Swara Manis dihalau pergi oleh paman Saroyo. ketika itu mbakyu Mariam seperti orang kehilangan semangat? Huh-huh... engkau memang pemuda tolol!"
Tiba-tiba saja Prayoga ketawa. Katanya.
"Sarini! Terus terang aku katakan, bahwa sejak aku tahu tingkah-laku mbakyu Mariam seperti itu, aku sudah tidak pernah mengharapkan lagi."
Akan tetapi Sarini masih belum mengetahui perasaan Prayoga yang sebenarnya. Ia masih mengira Prayoga masih tetap mencintai Mariam. Karena beberapa kali secara halus Sarini sudah menyatakan cinta-kaSihnya itu, namun selama itu Prayoga tetap saja tak mengertl. Justru sikap Prayoga yang polos seperti itu membuat Sarini salah paham. Ia mengira Prayoga tetap saja tergila-gila kepada Mariam.
"Benarkah apa yang kau katakan Itu, kakang? Apa sebabnya?"
"hem... aku berpendapat... sejak mbakyu Mariam meninggalkan Muria, tingkah lakunya tidak selaras lagi dengan angan-anganku. Mengapa? Menurut pendapatku apa yang dilakukan bertentangan dengan ajaran guru. Dan yang menambah rasa kecewaku, dia malah melanggar naSihat-naSihat dan petunjuk guru... ."
Kemudian dengan ucapan kurang lancar, Prayoga mengutarakan perasaan yang selama ini disimpan dalam dada. Mendengar pernyataan Prayoga itu, Sarini gembira tidak kepalang. Akan tetapi ah, rasa gembira itu hanya sejenak mampir dalam dadanya. Sangat singkat, sesingkat awan dihembus angin. Mengapa? Sarini teringat bahwa umurnya tinggal beberapa hari saja.
Tetapi betapapun, saat ini bagi Sarini merupakan saat terakhir yang paling tepat, untuk berterus-terang. Ia ingin mendengar, apakah Prayoga mencintai dirinya atau tidak. Namun perasaannya sebagai wanita melarang, menyebabkan gadis ini menahan perasaannya dan menggigit bibir.
Karena Sarini berdiam diri, diam-diam Prayoga dapat menerka sebabnya. Akan tetapi celakanya pemuda itu juga tidak berani bertanya, sehingga dua-duanya membisu.'
Tiba-tiba mereka mendengar suara orang di luar pondok,
"Hai, apa sebabnya malam sudah selarut ini, dalam pondok masih terang oleh lampu? Hayo kita segera masuk dan memeriksa."
Kemudian terdengar suara orang menyahut. Prayoga dan Sarini amat terkejut. Kemudian Sarini bangkit dan memandang sekeliling pondok. Ketika melihat bagian belakang terdapat jendela, Ia berbisik,
"Kakang, kita harus menyelamatkan diri lewat jendela."
Prayoga juga insyaf bahaya maut mengancam. Sekuat tenaga ia bangun, kemudian merangkak ke jendela. Tepat pada saat dua bocah itu jatuh di luar jendela, pintu depan sudah diketuk orang.
Tidak mengherankan kalau Prayoga dan Sarini ketakutan setengah mati. Mereka kenal benar suara Saragedug dan Sintren. Dalam keadaan seger bugar saja. mcreka tidak sanggup menghadapi. Apa lagi sekarang mereka dalam keadaan luka parah. Maka jalan satu-satunya yang paling tepat berusaha menyelamatkan diri.
Untung di luar Jendela itu tertutup oleh jerami. Sekalipun jatuh, mereka tidak sakit dan tidak menimbulkan suara. Dengan hati-hati Sarini dan Prayoga merangkak menjauhi pondok. Gerakan Sarini lebih cepat, karena deritanya tidak separah Prayoga. Akan tetapi Prayoga yang parah. belum jauh sudah terengah-engah kepayahan. Keadaan ini menyebabkan sarini amat cemas.
"Hai, pembaringan ini maSih hangat. Orangnya tentu belum lari jauh. Hem, siapapun orargnya. harus kita tangkap dulu'" terdengar Saragedug berseru.
Prayoga yang mengkhawatirkan Sarini segera menganjurkan agar Sarini cepat bersembunyi.
"Sarmi! Cepatlah engkau lari dan sembunyi. Aku... aku luka sangat berat... dan aku tak dapat bergerak lagi... ."
sarini menggeleng, "Kakang, apa sebabnya engkau selalu berpikir seperti itu? Hemm, engkau selalu tak dapat menyelami perasaan orang... dan aku aku rela mati di sampingmu... ."
Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, Prayoga mendengar pernyataan seorang gadis yang mesra sekali dan penuh penyerahan. Tiba-tiba saja semangatnya bangkit kembali, biSiknya,
"Tidak, Sarini! Kita akan hidup bersama-sama dan masih lama sekali. Kita tak boleh putus asa'"
Sederhana ucapan Prayoga, tetapi bagi Sarini sudah merupakan obat mujarab keputus-asaannya. Tanpa sesadarnya Sarini sudah menarik lengan Prayoga diajak merangkak makin menjauhi pondok. Belum jauh, tiba-tiba di depan mereka tampak cahaya air berkilauan. Dan ketika Sarini menebarkan pandang matanya, ia melihat empat orang itu sudah menyebar diri untuk mencari buruannya. Karena tak ada jalan lain, Sarini segera mengajak Prayoga masuk ke dalam air. Sebagai gadis cerdik, sebelum mereka menyelam di dalam air. sudah membekal dua batang gelagah alang-alang. Dengan gelagah yang berlubang itu, mereka dapat bernapas melalui mulut, sekalipun mercka menyelam dalam kolam.
Belum lama menyelam dalam air, Prayoga merasakan pada pundaknya gatal sekali. Rasa gatal itu tepat pada bagian lukanya. Namun demikian karena khawatir gerakannya menimbulkan gelombang air, ia menahan rasa gatal itu sekuat-kuatnya.
Cukup lama mereka bersembunyi di dalam air. Setelah mcnduga yang mencari sudah pergi, Sarini mencoba muncul dari air. Ia memandang sekeliling dan suasana sepi. Akan tetapi baru saja akan naik ke darat. tiba
tiba telinganya menangkap suara mencurigakan 'dari dalam pondok. sehingga membatalkan niatnya.
Padahal sesungguhnya kalau ia nekat, tidak akan terjadi sesuatu malah menguntungkan. Suara dari dalam pondok itu bukan perbuatan Saragedug dan kawan kawannya, tetapi perbuatan Ladrang Kuning. Sebagai akibat salah paham ini, menyebabkan Ladrang Kuning kebingungan, kemudian menitipkan cucunya kepada orang lain, sedang_Ladrang Kuning lalu pergi mencarinya.
Setelah cukup lama mereka bersembunyi di dalam air. Sarini memberanikan diri muncul lagi. Dan sesudah merasa pasti keadaan aman. ia memberitahu kepada Prayoga. kalau keadaan sudah aman. Namun ketika Prayoga berdiri, tiba-tiba saja Sarini menyeru keCil,
"Hai lihat pundakmu... ."
Ternyata ketika naik ke darat, tenaga Prayoga sudah cukup kuat. Luka yang semula panas membara itu, tidak sakit lagi. Ia menjadi heran ketika mendengar jerit kecil Sarini, dan ketika memandang pundaknya sendiri, ia ngeri.
Pundak yang terluka itu sekarang dipenuhi oleh beberapa ekor lintah yang sudah kekenyangan menghisap darahnya.
Kemudian Prayoga teringat keterangan gurunya. Lintah merupakan binatang penghisap darah yang dapat menghisap darah dalam keadaan keracunan. Maka pemuda ini menjadi sadar mengapa lukanya tidak sakit lagi dan tenaganyapun berangsur pulih. Ia menduga tentu lintah ini yang sudah menghisap racun dari lukanya. Dengan demikian secara tidak terduga dirinya telah memperoleh obat mujarab.
"Sarini, ah, kita harus berterima kaSih kepada lintah-lintah ini, Sebab pertolongan binatang ini racun pada luka di pundakku menjadi sembuh. Dan sekarang, sebaiknya kita cepat ke Muria."
"Tidak!" sahut Sarini.
"Kita tidak perlu tergesa ke sana. Dan sekarang marilah kita. menghibur diri lebih dahulu."
"Apa sebabnya? Sarini, engkau jangan membawa kemauanmu sendiri. Semua orang tentu amat mengharapkan kehadiran kita. Terlalu lama. akan membuat mereka bingung."
"Hemm, ibu Ladrang Kuning tentu sudah menceritakan kepada mereka, kalau kita maSih hidup. Mengapa dicemaskan?" sahut Sarini.
"Karena itu aku ingin menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, untuk dapat menghibur diri bersama engkau. Apabila kita sudah di Muria, kesempatan ini tidak akan dapat kita peroleh lagi'."
Sarini tidak mau berterus-terang lagi tentang umurnya yang tinggal beberapa hari lagi. Lalu ia menambahkan alasannya,
"Kakang, selama ini aku belum pernah menuntut apa-apa kepadamu. Sekarang aku hanya minta ditemani menghibur diri saja apakah engkau sampai hati menolak?"
"Tapi... tapi... Aku tetap khawatir mereka memikirkan kita." _ ' .
Karena Prayoga sulit ditundukkan, Sarini tak dapat lagi menyembunyikan keadaannya, dan berkata,
"Kakang, apakah engkau tidak tahu... bahwa umurku tinggal beberapa hari saja? Nah, sesudah engkau tahu... apakah engkau maSih tetap menolak?"
Prayoga kaget, "Apa katamu?" Tetapi setelah berterus-terang, kemudian Sarini berusaha menghindar. Jawabnya,
"NaSib orang sukar diduga. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok pagi? Sudahlah kakang, engkau jangan mempersulit aku"
Karena setengah dipaksa, akhirnya Prayoga mengabulkan permintaan Sarini segera menerangkan, dirinya ingin pergi melihat Mayong.
Ketika di Mayong, Sarini tertarik kepada bangunan yang serupa dengan bangunan pesanggrahan para bangsawan. Waktu ke Mayong dahulu. bangunan ini seperti tidak tampak, karena seluruh perhatikan tertuju kepada pertandingan ilmu kesaktian atas tantangan Swara Mams. Akan tetapi sekarang bangunan itu menarik perhatiannya. Sekalipun di sana sini ada yang agak rusak. Akibat terjadinya peperangan antara Pati dengan Mataram, namun keindahan dari bangunan itu masih amat menarik.
"Kakang, pesanggrahan siapakah ini?" tanya Sarini.
"Entahlah." sahut Prayoga.
Tanpa bicara lagi Sarini sudah mendahului masuk ke halaman yang luas dengan tanaman yang teratur rapi. Bangunan itu berbentuk joglo. Dari halaman sudah tampak, banyaknya hiasan patung dalam jumlah banyak. Sebagai gadis cerdik. melihat hiasan patung ancka macam itu segera dapat menduga, pesanggrahan ini tentu milik bangsawan tinggi. Sebagai alasan dugaannya, setiap bangsawan tinggi memang suka mengumpulkan aneka macam patung sebagai hiasan rumah. Ia tidak tahu alasan para bangsawan. Akan tetapi yang nyata memang seperti itulah yang terlihat di rumah para bangsawan.
Tanpa ragu lagi mereka sudah masuk ke pendapa. Ketika berpapasan dengan salah seorang di pendapa, Sarini bertanya,
"Paman, aku ingin bertanya. Rumah ini milik siapa?"
Untuk sejenak lamanya orang itu mengamati Sarini dan Prayoga. Agaknya orang itu heran mengapa dua 0rang muda ini masih belum tahu. Dengan demikian jeIas, dua orang muda ini bukan penduduk Mayong._ Jawabnya kemudian
"Pesanggrahan ini milik Gusti Adipati Pragola. Kita wajib bersyukur. ketika terjadi perang antara Pati dengan Mataram, pesanggrahan ini tidak rusak."
Prayoga dan Sarini mengucapkan terima kasih. Sesudah masuk ke pesanggrahan ini, ternyata bukan hanya diri mereka yang datang berkunjung. Tetapi ada beberapa orang lain.. Kemudian ketika Prayoga dan Sarini sedang melihat-lihat bangunan samping, perhatian dua orang muda ini terpikat kepada seorang wanita muda yang sedang duduk bersimpuh di depan patung besar, sambil membakar kemenyan dan mulutnya bergerak-gerak.
Melihat wanita itu Sarini lalu bertanya,
"Kakang, apakah engkau bisa menerka perempuan yang sedang membakar kemenyan itu?"
"Siapa tahu?" sahut Prayoga tak acuh sambil mengangkat bahu.
"Aku tahu. dia sedang minta sesuatu."
"Apa yang diminta?" Prayoga menjadi tertarik.
Sarini ketawa. Lalu, "Aku tahu 'jelas. Dia sedang minta bantuan patung itu, agar dapat dipertemukan dengan Swara Manis!"
Sengaja Sarini berkata keras-keras. Maksudnya jelas agar perempuan itu bisa mendengar. Ternyata apa yang diucapkan Sarini memang didengar. Perempuan yang ketika itu tafakur, mengangkat kepalanya. Ketika memalingkan kepala, melihat Prayoga dan Sarini, perempuan Itu sudah meloncat berdiri lalu menghampiri. Tanyanya,
"Apakah kalian tahu?"
Perempuan itu memang Marsih, gadiS hitam manis yang pernah ditunangkan dengan Swara Manis, akan tetapi kemudian diSia-siakan oleh Swara Manis.
"Ah... patung itu benar-benar keramat!" katanya gembira.
"Begitu aku minta bantuannya, terus dikabulkan. Ayo, tolonglah aku dan beritahukan, di mana kakang Swara Mams sekarang berada?"
"kalau engkau ingin bertemu dengan dia. pergilah
ke Muria," sahut Prayoga.
Marsih amat gembira, wajahnya berseri, kemudian mengucapkan terima kasih.
"Eh, apakah engkau belum menyadari bahwa Swara Manis itu seorang berhati palsu, jahat dan ."
"Biarlah!" tukas Marsih.
"Orang lain boleh membenci tetapi aku tidak! Bagiku, dia satu-satunya laki-laki di dunia ini yang paling baik. Kalau dia pernah membantu Mataram, itu urusannya sendiri. Aku sendiri pernah pula menjadi salah seorang istri bangsawan Mataram."
"Apa?" Prayoga dan Sarini kaget.
"Siapa yang memperisteri engkau?"
"Ah. aku menjadi salah seorang Isteri Prawiromantri
" sahutnya. "Dia mencintai aku, tetapi cintaku hanya kepada kakang Swara Manis seorang. Karena hatiku tersiksa, akhirnya aku melarikan diri dan mencari kakang Swara Manis."
Sarini dan Prayoga melongo heran. Kapankah wanita itu kenal dengan Prawiromantri lalu sedia diperisteri? Atau karena cintanya ditolak oleh Swara Manis, dalam keadaan malu dan patah hati, lalu nekat menikah dengan Prawiromantri, sekalipun menjadi salah seorang selir?
Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, kalau engkau memang tidak bisa melupakan dia, cepatlah engkau pergi ke Muria. Jika terlambat, engkau akan kecewa dan menyesal." Prayoga menganjurkan, khawatir kalau Swara Manis sudah terlanjur dihukum mati.
Tanpa pamit lagi Marsih sudah melompat dan melesat pergi. Prayoga hanya dapat menggelengkan kepalanya. Sebab ternyata watak Marsih hampir sama dengan Mariam. Sekalipun dihina, dicelakai, disakiti hatinya, namun tetap saja cinta kasihnya tidak pernah luntur.
Sarini lalu mengajak Prayoga masuk ke dalam pesanggrahan bagian belakang. Dalam gedung ini banyak ditemukan hiasan menarik. Bukan saja banyak patung aneka macam bentuk, tetapi juga barang keramik dari Tiongkok. Sesudah puas melihat di dalam gedung, mereka menuju ke belakang. Tetapi kemudian mereka menjadi kecewa. Karena bagian belakang ini ditumbuhi semak-belukar dan tidak terawat.
Namun ketika memandang ke semak-belukar itu, tiba tiba perhatian Prayoga tertarik kepada dinding batu tua. Melihat itu ia tertegun beberapa lama.
"Kakang... ada apa?" tegur Sarini sambil mengajak melihat lain bagian.
"Tunggu!" seru Prayoga sambil melangkah menghampiri dinding batu yang menarik perhatiannya itu. Tiba-tiba tangannya sudah memukul dinding itu, menyebabkan bagian atas berguguran.
"Sarini Lihatlah'" serunya samb:l menunjuk dinding.
Sarini menghampiri sekalipun tidak tertarik. Kemudian Ia melihat deretan huruf yang kecil tergurat pada dinding itu. Dan di sebelah tulisan rapi itu, tampak lukisan sebatang golok berbentuk bintang sabit.
Namun Sarini yang tak mengerti maksudnya, tidak tertarik. Katanya,
"Ah, apanya yang menarik.? Apakah engkau heran melihat lukisan golok macam itu? Ayolah, kita melihat bagian lain."
Prayoga memang teringat kepada lukisan golok seperti itu di tempat kediaman Surogendilo. ,Waktu itu Sampai sekarang ia belum dapat memecahkan rahasia lukisan itu, dan sekarang Ia mencoba untuk memutar 0tak. Akan tetapi baru saja merenung, tangannya sudah ditarik Sarini diajak pergi.
Mereka meneruskan langkah untuk melihat bagian lain dari pesanggrahan itu., Mendadak dari depan munMelihat kakak-seperguruannya itu tampak terengah dan pucat, Sarini segera menganjurkan agar istirahat. Namun Prayoga yang ingin segera menceritakan pengalamannya sudah bercerita,
"Kalian boleh percaya dan tidak' Patung Bathara Bayu itu mendadak saja menunjukkan kesaktiannya."
"Oh, engkau mendapat pengalaman yang sama dengan aku!" Darmi menyambut cerita itu dengan tersenyum.
Cerita Prayoga itu memang bukan karangan. Ketika dirinya berada di ruang patung Dewa Bayu itu di tempatkan, ruang itu terang-benderang oleh lampu penerangan. juga Prayoga dapat melihat jelas sekali keadaan patung itu. Tetapi kemudian ia kaget dan terbelalak. karena mata patung itu seperti hidup dan mendelik.
"Aku memberanikan diri untuk mengamati secara teliti patung tersebut, untuk dapat melihat lebih jelas," tutur Prayoga.
"Akan tetapi tiba tiba patung itu bersuara gemeretak."
"Hi-hi-hik," Sarini ketawa cekikikan,
"Engkau jangan gampang terpengaruh oleh hal-hal yang tak masuk akal, kakang!. Sebab tidak mungkin patung dan kayu itu dapat mendelik dan bersuara. Aku yakin bahwa apa yang engkau kira patung itu, bukan patung yang sesungguhnya. Tetapi ada orang yang menyamar sebagai patung . Engkau harus ingat bahwa Saragedug seorang sakti mandraguna, dan dikenal dengan nama Gendruwo Semanu. Kalau dia sudah menghimpun tenaganya. akan menjadi berobah gagah dan tidak kurus kering seperti biasanya. Mengapa aku berkata begitu'? Karena aku sudah menyaksikan sendiri."
Hijaunya Lembah Hijaunya 23 Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha The Devil In Black Jeans 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama