Ceritasilat Novel Online

Di Sydney Cintaku Berlabuh 2

Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W Bagian 2


Mengejar Sandy rasanya juga sudah tidak mungkin lagi. Sandy sudah punya pacar. Dan dia tidak memandang sebelah mata padanya.
Memang Anita sudah janji mau membantu.
Tapi bantu bagaimana? Memangnya pacaran seperti bikin PR, bisa dikeroyok ramai-ramai?
Kalau Sandy tidak menggubris, Anita bisa apa? Dia kan cuma teman satu flat. Bukan dukun. Apalagi kalau usahanya tidak serius. Soalnya dia juga kayaknya mulai naksir Bastian.
Sikap Henny juga sudah tidak seramah dulu ketika Bastian pertama kali datang. Sejak Bastian mengajak Agus ke Kings Cross, dia curiga terus. Takut Bastian mengajak Agus ke sana lagi. Mungkin juga dia kesal karena mi dan berasnya lebih cepat habis.
Jadi apa lagi yang menahannya di sini? Lebih baik dia pulang. Dia juga sudah rindu sama Mama. Kasihan Mama dibohongi terus.
Tapi lima hari sebelum liburannya habis, terjadi keajaiban.
Sandy bertengkar dengan Carl. Dan seperti biasa, pertengkaran selalu berakhir dengan dua kemungkinan. Makin intim. Atau pisah. Tampaknya hubungan mereka berakhir dengan pilihan yang kedua. Tidak heran kalau malam itu Sandy ada di apartemennya. Padahal biasanya mana pernah dia ada di sarang?
Tidak aneh juga kalau malam itu Bastian menolak ajakan Anita untuk pergi berdua. Bastian memilih ngobrol-ngobrol di apartemennya saja sambil makan kacang. Dan tidak aneh kalau kali ini pun Bastian tidak mau makan kacang di teras. Soalnya di sana dia tidak bisa melihat Sandy.
"Takut masuk angin." Bohong. Itu cuma alasan. Anginnya saja baru sampai di Bondi.
Tapi Anita memang bijak. Dia patuh saja diajak ngobrol di ruang tengah. Dekat Sandy yang sedang nonton TV.
Meskipun gadis itu lebih banyak diamnya daripada ikut ngobrol, Bastian sudah merasa puas. Bisa menikmati kecantikannya dengan sembunyi-sembunyi.
Tentu saja Anita yang merasa gerah. Sebentar sebentar dia melirik jam tangannya.
"Sudah jam delapan nih," katanya resah.
"Kita mau makan apa?"
"Apa aja," sahut Bastian santai. Nggak makan juga nggak apa-apa. Asal bisa dekat Sandy.
"Kita makan di luar aja, ya?"
"Nggak usah. Mendingan kita ngerumpi aja. Asyik."
"Tapi aku nggak punya apa-apa untuk dimakan."
"Kamu punya mi!"
Anita menggeleng. "Telur?" 'Didadar?" "Diapain aja." Bastian menyeringai lebar.
"Asal jangan mentah."
Terpaksa Anita pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Benar-benar tamu yang merepotkan. Diajak makan di luar, ogah. Tapi nggak mau pulang-pulang. , Tentu saja Anita tahu alasan Bastian yang sebenarnya. Dia ingin berada di dekat Sandy. Padahal tadi mereka sudah berencana mau makan di luar.
Sandy memang belum terlalu akrab. Tapi paling tidak dia sudah mau ngobrol. Lebih lebih ketika Anita repot di dapur. Dan Anita dapat merasakan bagaimana gembiranya Bastian. Saking gembiranya dia malah berani mengundang mereka makan malam di flatnya besok!
"Kamu bisa masak?" tanya Sandy heran. Scparo tidak percaya.
"Kenapa tidak?" tantang Bastian gagah.
Wah. yang ini tentu warisan bakat ayahnya. Pantang bilang tidak bisa. Apalagi di depan wanita.
Soalnya ibunya kan guru. Dia selalu bilang, kamu tidak bisa kalau tidak belajar.... Nah, kapan Bastian belajar masak?
"Masakan Indonesia?"
"Kamu pasti ketagihan."
"Makanan apa?" "Sebut saja namanya."
"Aku tidak tahu namanya. Bikin saja yang enak."
"Kamu tidak doyan," potong Anita datar. Bastian seperti mendengar nada cemburu dalam suaranya.
"Katamu masakan Indonesia terlalu spicy."
"Bikinanku lain," sela Bastian cepat-cepat. Takut tamu restorannya keburu kabur ke rumah makan sebelah.
"Kapan kamu mau mencicipinya?"
"Kapan kamu bisa?"
"Besok malam?" "Oke. Boleh bawa teman?"
Asal jangan Cindy! Bisa habis makanan semeja berikut piringnya sekalian! Ngamuk deh si Henny kalau piringnya hilang semua!
Tapi di depan Sandy, Bastian hanya menjawab,
"Boleh aja.' "Jam berapa? Di mana apartemenmu?"
Apartemenku? Bastian melengak. Di mana apartemenku? Aku masih numpang di apartemen teman!
"Eastlake' "Bagus. Kalau di Wollonggong, aku nggak mau. jauh.'
"Kapan kamu mau beli bahan-bahannya?" sela Anita seolah-olah takut tidak diajak. Padahal untuk suatu alasan yang Bastian tidak ingin menyebutkannya, dia ingin sekali Anita tidak ikut.
"Aku bisa antar kamu pulang kuliah besok. Kamu kan tidak tahu di mana harus beli bumbu-bumbunya."
"Besok aku tidak ada kuliah," sambar Sandy di luar dugaan.
"Aku bisa antar dia belanja."
Hampir bersorak Bastian mendengarnya. Tetapi melihat muramnya paras Anita. dia terpaksa menelan kegembiraannya.
*** "Jadi pulang Minggu depan?" tanya Agus ketika mereka sedang melangkah kc tempat pemberhentian bus di depan apartemennya.
"Kenapa? Udah bosen lihat tampang gue?"
"Udah confirm?"
"Apanya?" "Tiketnya! Apanya lagi?"
"Buat apa?" "Yakin ada tempat?"
"Kalo nggak ada, ya gue balik lagi," sahut Bastian santai.
"Sofa lu belon disewain ke orang lain, kan?"
Dan mereka sama-sama terperanjat ketika sebuah sedan convertible berhenti di depan mereka. Gadis di balik kemudi mobil dengan kap terbuka itu mengenakan kacamata hitam. Tapi Bastian langsung mengenalinya.
"Pagi, Sandy." sapanya gembira.
"Kupikir kamu nunggu di flatmu."
"Sekalian saja jemput kamu," sahut Sandy santai.
."Duilah, Bas!" bisik Agus terkagum-kagum.
"Punya cewek begini kece lu mau pulang? Tiga tahun di sini, belon pernah gue lihat cewek yang kualitasnya begini!"
"Terang aja. yang lu lihat kan cuma piring!" Bastian tersenyum bangga.
"Yuk, duluan!" "Gue boleh ikut, Bas?"
"Ntar sopir bus lu marah, Gus! Mendingan lu temenin dia aja, ya?"
Sambil melambaikan tangannya, Bastian melompat masuk ke mobil Sandy.
"Sialan lu, Bas!" maki Agus sengit.
"Saban malam numpang; giliran gue yang mau numpang, lu kabur!"
"Temanmu?" tanya Sandy ketika mobilnya sudah meluncur di jalan raya.
"Ya," sahut Bastian, belum dapat mengekang kegembiraannya karena tiba-tiba dapat apel runtuh begini.
Di sini tidak ada pohon durian, kan? Tapi buahnya ada. jelas bukan runtuh dari pohon. Tapi menggelinding dari kapal.
"Bahasanya kasar. Seperti sedang marah marah."
"Dia memang sedang marah."
"Karena kamu kuculik?"
"Karena aku tidak mengajaknya."
Sandy tersenyum. Dan Bastian kembali merasa mendapat durian runtuh. Kali ini bersama kelapa sekalian. Jadi dodol deh.
*** Tentu saja Bastian tidak tahu apa yang mesti dibelinya. Tetapi di depan Sandy, apa yang
tidak diketahuinya? Asal saja dia mengambil semua yang ada di depannya.
Sandy sampai terlongong longong melihatnya.
"Cukup?" tanyanya bingung, mengira-ngira
berapa macam masakan yang hendak dibuat Bastian.
"Masih ada yang kurang. Tapi di sini tidak ada."
Tentu saja itu hanya alasan untuk memperpanjang kesempatan berdua. Kapan lagi.
"Masih kurang?" Sandy berjengit heran. Bahan sebanyak ini? Berapa puluh orang yang hendak dijamunya?.
"Bumbunya. Tapi aku tidak bisa menyebutkan namanya."
'"Aku antar kamu ke toko yang menjual bumbu-bumbu oriental."
Ke mana saja. Aku tidak peduli. Pokoknya berdua kamu. Ke Pasar Mesrer lalu balik lagi ke sini pun aku nggak nolak!
Dan sekali lagi Sandy terbengong-bengong melihat cara Bastian memilih bumbu.
Begitu banyak bumbu dalam masakan Indonesia? Oh, boy! Bisa bubar ususnya!
"Masak?" Sampai di flat, giliran Henny yang tertegun bengong melihat belanjaan sebanyak itu. Rasanya kalau dapat diawetkan, bahan sebanyak itu cukup buat jatah makan mereka dua tahun!
"Kamu mau pesta, Bas?"
"Perpisahan. Kan aku mau mudik."
"Makanan apa yang mau kamu buat?" desis Henny ngeri.
"Pokoknya masakan Indo. Yang enak! Bantuin ya, Hen?"
Tentu saja Henny mau membantu. Hari ini memang tidak ada order. Dia tidak kerja. Lumayan kalau bisa menyisakan sedikit makanan buat nanti malam. Bosan kan makan jatah sisa dari resto Pak Amat.
Repotnya, koki yang dibantunya tidak bisa masak sama sekali! Dan lebih repot lagi, mereka tidak tahu harus masak apa. Karena setiap kali hendak membuat sesuatu, bahan yang dibutuhkan tidak ada. Yang tidak diperlukan malah banyak!
"Gimana sih. Bas," gerutu Henny kewalahan.
"Kepalaku jadi pusing. Pikir dulu dong, mau bikin apa. Baru beli bahannya!"
"Susahnya aku nggak tau bahan apa yang perlu, Hen! Di rumah kan Mama yang selalu belanja!"
"Kamu yang masak?"
"Ya Mama juga."
"Itu namanya kamu nggak bisa apa-apa!" Henny hampir menjerit saking kesalnya. Dia merasa terjebak.
"jadi aku mesti ngapain? Apa yang bisa kubantu?"
"Tolong dong, Hen, bikinin aku makanan Indo," pinta Bastian, sekarang dalam nada memohon.
"Emangnya kita mau buka restoran?"
"Tcmenku kepingin nyicipin masakan Indo."
"Apa yang mesti aku bikin?"
"'Apa yang kamu bisa?"
"Aku cuma bisa bikin nasi goreng," sahut Henny segan.
"Boleh juga. Apa lagi?"
"Telur goreng."
"Nggak usah. Mereka bisa bikin sendiri."
"Kentang goreng." suara Henny makin lemah.
"itu sih bukan makanan kita."
Masa bodoh amat. Henny memang hanya menyebutkan yang gampang-gampang saja. Dia tidak mau repot-repot masak. Buat apa?
Dua tahun tinggal bersama Agus, dia belum
pernah disuruh masak. Eh, orang yang numpang malah merepotkan!
Memangnya dia siapa? Tapi Bastian mendesak terus. Merengek malah. Tidak tahu diri.
"Gado-gado," tukas Henny separo terpaksa.
"Tapi bumbu kacangnya nggak ada."
"Ntar aku beliin, Hen. Apa lagi?"
"Apa lagi apanya?" sergah Henny sebal.
"Apa lagi yang kamu bisa?"
"Aku nggak bisa masak!" meledak dia.
"Trus si Agus dikasih makan apa?"
Kurang ajar! Sekarang lagaknya kayak mertua nyinyir saja!
"Dia selalu makan di restoran.'
"Juga kalo lagi sakit?"
"Kalo sakit dia nggak doyan makan!"
Astaga! Bastian mengurut dada. Tolol amat si Agus!
Cari bini yang nggak bisa masak. Padahal kata Mama, di situ rahasia mempertahankan suami. Tentu saja Mama mengatakannya dua
bulan sebelum dia tahu, Papa sudah punya
simpanan. Rupanya Mama kurang bisa masak sampai Papa meninggalkannya. Atau... Papa yang lebih suka jajan di luar?
"Mendingan kamu beli makanan aja di restoran Pak Amat'," usul Henny cerdik. jalan pintas. Daripada repot. Toh bukan dia yang bayar!
"Mau bantuin aku sekali lagi, Hen?"
"Memilih makanan yang enak?" Wah. kalau itu sih gampang!
"Jangan pulang nanti malam. ya? Sampe jam sebelas aja...."
Sekarang Henny benar benar mendelik sampai biji matanya hampir melejit keluar.
'Kamu bilang pesta perpisahan!"
"Buat kita acaranya lebih asyik. Besok malam. Di restoran."
"Lebih baik nggak usah kalo di tempatnya Pak Amat! Udah bosen!"
"Terserah. Tapi malam ini jangan pulang sebelum jam sebelas, ya? Kamu bebas pergi ke mana aja yang kamu suka...."
Sialan! Kok kayak dia yang jadi suami? Membebaskan istrinya pergi ke mana saja. Tidak usah menunggu suami pulang!
"Tolong aku ya, Hen" pinta Bastian separo merayu.
"Sekali ini aja. Budimu pasti kuingat sampai"
"Agus udah tau?" potong Henny dengan wajah seasam makanan basi.
"Ntar aku kasih tau. Sekarang aku ke tempatnya sekalian beli makanan."
"Aku ikut." "Brilian! Siapa tau ada tukang cuci piring yang nggak masuk!"
Sialan, berungut Henny dalam hati. Belum pernah ada orang gila kayak begini yang numpang di flatku!
*** Sandy tiba tepat pukul delapan seperti yang dijanjikannya. Jamnya pasti dari plastik. bukan karet.
Bastian yang sudah tidak bisa duduk diam sejak pukul enam. seolah-olah ada paku di pantatnya, meluncur ke pintu begitu terdengar suara ketukan.
Sesaat sebelum membuka pintu, dia ragu. Bagaimana kalau bukan Sandy? Ini kan baru jam delapan. Biasanya di Indonesia, janji jam delapan kan berarti delapan lebih tiga puluh!
tapi persetan. Bastian sudah tidak tahan. Secepat kilat dia membuka pintu. Dan... bingo! Sandy yang tegak di sana. Terengah-engah seperti dikejar pocong.
"Hai." sapa Bastian, sama terengah engah nya meskipun tidak naik tangga empat tingkat dan tidak dikejar pocong.
"Silakan masuk." _
Dia melongok ke luar melewati bahu Sandy. Dan melihat Cindy bersimpuh di lantai. Napasnya kembang kempis seperti mau permisi untuk selama lamanya.
"Kalau aku tahu..." desahnya terputus putus.
"Mendingan aku makan sandwich aja di flat...."
Belum habis dia mengeluh, Anita muncul di belakangnya. Baru mengakhiri perjuangannya menginjak anak tangga yang terakhir. Gaunnya basah kuyup dibanjiri keringat. Dia terhuyung huyung menghampiri pintu, tetapi tidak mengomel sepatah pun. Mungkin karena dia memang sabar. Mungkin pula karena dia sudah tidak sanggup membuka mulutnya.
"Sori," Bastian tersenyum tanpa rasa bersalah.
"Aku juga baru tau apartemen ini nggak punya lift."
"Kalau aku tahu kamu tinggal di sarang
burung... gumam sandy sambil melangkah masuk.
"Kamu tidak mau datang?"
"Aku sewa helikopter!"
langkahnya segera diikuti oleh Anita dan Cindy. Begitu masuk, mereka menebarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sempit itu. Barangkali mencari tempat parkir. Tempat duduk untuk melepas lelah.
Tapi mereka bingung mau duduk di mana. Akhirnya mereka berdiri saja sambil menatap ke sekeliling. Sebuah flat yang sangat sederhana. Dengan perabotan yang minim pula. Sungguh di luar dugaan. Kenapa anak orang kaya mau saja menyewa apartemen seperti ini?
"Silakan duduk," Bastian langsung mengajak mereka ke meja makan. Ke mana lagi? Di sana memang hanya ada meja makan kecil berkursi empat dan sebuah sofa yang tampaknya terlalu sempit untuk diduduki berempat. Apalagi sofa itu tampaknya tidak menganggur. Isinya banyak. Macam-macam. Maklum, dwi fungsi. Siang jadi kursi: Malam jadi ranjang-.
"Kita langsung makan aja. ya?"
Kalau urusan makanan. memang Cindy
pakarnya. Dia sudah sampai paling dulu di dekat meja makan. Dan dia memekik tertahan melihat makanan sebanyak itu. Entah kaget. Entah senang.
"Banyak amat makanannya, Barry!" cetus Anita bingung.
"Ini sih makanan untuk delapan orang!"
Tapi Cindy itu takarannya empat orang. kan? Kecuali dia sakit perut karena rendangnya agak pedas! ' '
"Aku tidak harus mencicipi semua makanan Indonesia dalam satu malam, kan?" Sandy ikut berkomentar. Ngeri melihat makanan sebanyak itu. Nanti tubuhnya nggak seksi lagi! Gembrot kayak Cindy....
"Yang kamu lihat di meja itu cuma satu macam!"
"Apa?" mata Sandy membulat seperti kelereng. Tapi dasar cantik. Membeliak begitu pun dia tetap cantik! Bastian malah tambah gemas ingin mencubit pipinya. Kalau berani.
"Itu yang disebut nasi rames spesial! Ada rendang, gado gado, sayur lodeh, dendeng, tempe bacem, telur balado, kerupuk..."
"Lain kali kalau pesan makanan Indonesia, akan kupesan yang tidak spesial saja."
"Dan kamu bakal dapat nasi bungkus warteg! Cuma nasi, tempe goreng, dan sayur!"
Tentu saja Sandy tidak mengerti. Apalagi Anita tampaknya tidak mau menerjemahkan. Sudah malas, kali. Atau masih bengong melihat makanan semeja penuh!
"Kapan kita mulai?" potong Cindy tidak sabar. Perutnya pasti sudah menagih janji. Apalagi habis olahraga manjat tebing... eh, tangga.
"Oke, tunggu apa lagi?" Bastian memberi komando.
Ketiga gadis itu duduk di kursi makan yang seharusnya sudah pensiun itu. Kursi yang dipungut Agus dari tempat pembuangan sampah. Dan Bastian berdoa semoga gaun Anita tidak robek. Karena di antara mereka, cuma Anita yang memakai gaun. Sandy dan Cindy datang dengan memakai celana jins.
"Nasi rames begini padanannya air putih atau teh es." kata Bastian cerdik. Karena memang hanya itu yang ada.
"Di Indonesia kita tidak minum anggur. Ya kan, An?"
Bohong lagi. Siapa bilang di Indonesia orang tidak minum anggur? Dia sering kok melihat pribumi minum anggur. Di pub. Di kafe. Di hotel berbintang-bintang.
Kata siapa kita cuma kenal air putih dan teh? Huu, itu sih zamannya Gajah Mada masih jadi mahapatih Majapahit! Sekarang kan Gajah Mada sudah menjadi nama jalan!
Itu cuma alasan Bastian untuk mengencangkan ikat pinggang. Supaya tidak usah keluar uang lagi untuk beli sebotol anggur. Kalau air putih kan tinggal buka keran.
Anita yang mengerti hanya itu yang ada, buru buru mengiyakan. Dan bergegas minta air putih. Permintaannya segera diikuti oleh teman-temannya.
Terima kasih, bisik Bastian dalam hati. Untung pada tau diri. Tau berapa duit harga nasi rames spesial ini?
Untung aja bosnya si Agus namanya Amat Dermawan. Diskonnya sama spasialnya sama nasi ramesnya!
Lima puluh persen! Bukan lumayan lagi. Benar benar amat dermawan dia! Memahami kondisi anak muda. Pacar mau, duit nggak punya. Biasa, kan? Wajar.
"Cewek lu kelas eksekutif, Bas," komentar Agus, tidak jelas nasihat atau cetusan rasa iri.
"Seminggu lagi pacaran sama dia, dolar lu ludes!"
Tapi kalo pacaran sama kelas ekonomi kayak Henny, semangat gue yang amblas, Gus!
Sandy memang sangat menarik. Dibandingkan dcngan dia, Anita, apalagi Cindy, tidak ada apa-apanya. Bukan hanya wajahnya yang cantik, tubuhnya seksi, cara bicaranya pun memikat. Rasanya Bastian tidak bosan bosannya mendengarkan dia bicara. Meskipun diam diam Anita memerhatikan dari jauh.
Tentu saja Bastian tahu Anita mengawasinya. Dia juga tahu Anita berusaha menutupi kecemburuan yang bersorot di matanya. Tetapi Bastian tidak peduli.
Sebodo amat. Anita kan pacar Barry! Dan Sandy sudah putus dengan Carl! Dia sendiri belum punya cewek. Jadi klop, kan? Jalan bebas hambatan terbentang di hadapan mereka. Asal bayar tol. semua mobil boleh lewat. Ter masuk yang kecepatannya hanya tiga puluh kilometer.
"Enak. Cindy?" tanya Bastian ketika dilihatnya tinggal gadis itu yang masih repot menyikat sana sini.
"Enak," sahut Cindy tanpa malu malu.
"Cuma agak pedas."
"Sekarang aku tahu kenapa kamu gemuk."
Anita yang sedang minum sampai hampir tersedak mendengarnya. Gila! Lancang amat dia mencela cewek!
Tapi itulah anehnya. Cindy tidak marah. Dia malah tersenyum.
"Iya, aku doyan makan."
"Biasanya gadis remaja tidak suka jadi gemuk," sambung Bastian santai.
"Kamu mesti diet. Ntar nggak dapat pacar."
"Aku memang harus diet ketat," sahut Cindy tanpa perasaan kesal.
Dia sendiri heran. Mengapa dia menyukai teman Anita yang satu ini. Apa karena ke polosannya? Atau... karena dia lucu? Baru datang saja sudah memancing senyum!
"Gemuk itu indah," sambung Bastian seperti seorang kakak.
"Tapi terlalu gemuk merusak kesehatan dan keindahan lingkungan."
"Apa?" tanya Cindy tidak mengerti.
Anita terpaksa menerjemahkannya. Dan Cindy tertawa gelak gelak.
Sekarang Sandy ikut tertawa mendengar katakata Bastian. Dan itulah pertama kali Bastian melihatnya tertawa. Dia merasa sangat bahagia.
"Kamu mesti olahraga," sambung Bastian bersemangat.
"Bisa main badminton? Tenis?"
"Tenis," sahut Cindy segera.
"Tapi jarang main."
Terang aja, kamu nggak bisa lari. Capek dong mungutin bola.
"Mau main tenis bersamaku? Temanku gila tenis. Semua yang bulat seperti bola tenis digebuknya saja. Maka kamu mesti hati hati kalau main dengan dia."
Tentu saja Bastian bohong lagi. Sudah ketularan Barry. Temannya hanya Agus. Dan Agus tidak bisa main tenis. Cuma bisa makan bola tenis. Eh. bakso tenis.
Sekali lagi Anita menerjemahkan kata-kata Bastian. Dan sekali lagi kedua gadis Australia itu tertawa.
"Kalau begitu aku lebih suka badminton. Kata Anita kamu jago. Mau ajari aku?"
"Oke," sambut Bastian penuh gairah seperti pengantin baru.
"Kapan? Hari Minggu?"
"Katanya empat hari lagi kamu mau pulang. Bas," sela Anita bingung.
Sesaat Bastian tertegun bengong. Pulang? Pada saat dia baru saja masuk jalan tol? Yang benar saja!
Untung bengongnya hanya sesaat. Karena di detik lain, entah malaikat mana yang membisikkan ide brilian itu.
"Oh, nggak ada tempat," sahutnya terburu buru, seakan-akan takut gong keburu berbunyi dan jawabannya dianulir juri.
"Kapalnya penuh!"
Tentu saja Anita sudah merasa, Bastian berbohong. Tapi dia diam saja. Dia memang gadis yang baik. Sayang kalau Barry menyia nyiakannya. '


Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nanti malam harus kuceritakan pada Barry, pikir Bastian mantap. Ceweknya yang ini layak diperjuangkan sampai titik darah penghabisan.
Di pintu pun, sesaat sebelum berpisah, Anita masih menjabat tangan Bastian tanpa memperlihatkan kejengkelannya. Padahal Bastian lebih memerhatikan Sandy.
"Terima kasih makan malamnya," katanya sambil mengulum senyum.
"Sandy juga suka. Tapi dia juga tau, bukan kamu kokinya."
"Dia tau?" belalak Bastian kaget.
"Kok tau sih? Gimana caranya?"
"Semua sayur yang kamu beli nggak ada di meja. Yang dibeli ayam, yang muncul sapi.'
Bastian tertawa geli. Cindy dan Sandy yang baru sampai di pucuk tangga sampai menoleh.
"Apa?" sambar Cindy ingin tahu.
"Apa yang lucu?"
"Susah ngibulin cewek!" Bastian menyeringai pahit.
"Tuh, tanya deh artinya sama Anita!"
*** 'Apa kabar, mate?" suara Barry sudah menggelegar begitu mendengar suara adiknya.
"Sejak nancep di bumi kanguru, lu kayak hilang dari peredaran!"
"Nyepi." "Ngibul! Ada cewek keren abis begitu."
"Ceweknya ternyata ada dua.'
Meledak tawa Barry mendengarnya.
"Lama lama lu bakal punya dua hati, Bas! Satu di kanan. satu lagi di kiri!"
"Mendingan! Lu punya hati sebanyak bulu kaki!"
"Sekarang nggak lagi! Pacar gue cuma satu. Calon tunggal!"
'Ngibul!" "Nggak percaya?"
"Percaya. kalo semua cewek udah jadi baru!"
"Kali ini gue serius, bo!"
"Serius batok lu! Waktu zamannya si Sri. lu juga bilang serius, kan? Nah, di mana dia sekarang? Udah jadi fosil di museum?"
"Kembali ke alamat pengirim."
"Dia balik ke pacarnya yang lama?"
"Setiap warga negara punya hak untuk memilih dan dipilih, kan? Itu dijamin dalam UUD '45."
"Dan dia milih cowoknya yang dulu? Elu di DO? Kacian deh lu."
"Siapa bilang gue di DO? Gue yang kirim dia pulang! Gue punya feeling udah ada DP nya." '
"Maksud lu Sri udah"
"Heran! Dari dulu sampe tahun depan, lu telmi aja!" gerutu Barry gemas.
"Ganti dong otak lu pake PC!"
"Lu kalo nggak gila pasti sadis!"
"Tanggung, dua-duanya aja! Beli satu dapat dua!"
"Gagal jantung dong lu ditinggal doi?"
"Ah, siapa bilang? Percuma jantung gue punya enam belas katup kalo ditinggal cewek
aja musti turun mesin! Udah gue bilang, cewek itu ibarat bus! Pergi satu, datang dua!"
"Sekarang calon tunggal lu si Tissa, kan? Pipinya empuk kayak tahu Sumedang?"
"Putih luar-dalam, Bas!"
"Pocong. kali!"
Lu pasti nggak percaya, bas! Yang ini sih betul-betul mulus! Tangan pertama. Baru keluar dari pabrik. Masih bau bayi!"
"Apaan? Bayi baru lahir?"
"Cewek, lagi! Otak lu karatan kayak keran mampet!"
"Abis lu ngomongin cewek kayak pasang iklan!'
"Baru pdkt aja gue udah kesengsem, Bas. Dia putih, polos, bersih..."
"Itu sih bayi baru mandi, bo!"
"Kayaknya kita bakal langsung jadian nih. Yang ini istimewa banget sih. Kalo nemu cacat sedikit aja, barang boleh kembali!"
"Ini umpan baru buat gue?"
"Wah, yang ini sih belon dipindah tanganin! Barang langka! Musti asuransi all risk!"
"Tangan gue juga udah kepenuhan! Cewek lu di sini betul betul mutiara dalam got! Sayang kalo dilelang!"
"Buat lu aja deh. Gue milih yang produksi dalam negeri aja. Bangga pake barang bikinan bangsa sendiri!"
"Yang ini juga produksi dalam negeri. Barry! Kali ini lu kena dikibulin cewek! Yang namanya Sandy itu urang awakjuo! Nama aslinya Anita!"
"Gue nggak peduli, bas! Udah bete chatting sama dia. Gue mau konsen sama yang ini aja. Lu tau nggak, kakaknya ajubilah galaknya!"
"Bawain aja daging mentah!"
"Makanya lu musti lekasan pulang, Bas!"
"Gue lagi?" teriak Bastian sengit.
"Sori, gue udah full booked"
"Yang ini makhluk langka"
"Makanya udah musti masuk museum?"
"Gue nggak nyuruh lu pacaran sama kakak nya..."
"Cuma ngajak berantem biar lu bebas main sama adiknya?"
"Orangnya cakep sih. Cuma..."
"Lebih cakep lagi kalo hidungnya lebih numbuh, mulutnya mundur dua langkah, dan mata gue buta?"
"lu ngehina amat sih! Dia nggak jelek jelek amat, lagi!"
"Nggak mungkin ada cewek cakep bisa lewat aman di depan congor lu yang kayak zebra cross!".
"Kan gue lagi naksir si Tisa! Masi main dobel? Lu tau nggak kakaknya galaknya kayak macan!"
"Makanya lu sodorin gue supaya digigit?"
"Ini belum fase gigit-gigitan, Bas!"
"Kalo nggak. buat apa gue kenal paksa sama dia?"
"Gue cuma minta lu jinakin dia aja."
"Emangnya gue pawang?"
"Pokoknya elu pulang dulu deh. Lihat dulu baru ngomong!"
"Gue nggak mau pulang."
"Nggak bisa! Liburan dua minggu lu empat hari lagi habis!"
"Gue perpanjang seminggu."
"Dihukum Mama di depan kelas lu!"
"Biarin." "Kayak apa kerennya sih dia sampe lu jadi gokil begini?"
"Bukan urusan lu. Emangnya cuma lu doang yang bisa punya barang bagus!"
"Gue jadi penasaran pengin lihat kayak apa cakepnya dia!"
Jangan, pekik Bastian dalam hati. Ini pernyataan yang berbahaya! Kalau sampai Barry melihat betapa cantiknya Sandy...
"Sandy lu masih nunggu kok di sini. Nama aslinya Anita. Dia cewek luar biasa, Barry. Baik, sabar, ramah. Kalo lu udah bosen sama Tissa, mendingan lu buka komputer lagi."
"Mendingan lu pulang dulu, Bas. Dompet lu udah kosong, kan?"
"Lu kasih gue kartu ATM, kan? lu bisa isiin lagi dari Jakarta?"
"Kalo lu janji mau bantuin gue."
"Ini sogokan?" "Tergantung jawaban lu."
Kurang ajar. Kayak duit dia aja! Padahal itu duit bokap gue juga, kan?
Tapi di depan Barry, Bastian memang tidak berkutik. Kalau dia tidak mau disodorkan jadi umpan satwa galak, duit tidak bakal mampir lagi di ATM nya!
"Gue musti ngapain? Nyanyi di depan si Tissa?"
"Bukan Tisa, lagi! Kakaknya! Mereka datang bareng ke Jakarta, tau!" '
Bastian tertawa geli. "Pantes aja lu belingsatan kayak tikus di ceburin ke air! Cewek lu datang bawa satpam!"
*** Bab VI "GUE mau kerja, Gus," cetus Bastian keesokan harinya. '
Agus yang baru keluar dari kamar sampai tidak jadi menguap. Padahal mulutnya sudah separo terbuka. .
"Lu bilang mau pulang!"
Jelas betul dia kecewa. Jahat! Mestinya kan dia lega sahabatnya tidak jadi pulang.
"Pulang kan bisa kapan aja, Gus. Visa gue tiga bulan!"
"Tapi liburan lu kan sebentar lagi habis!"
'Bolos seminggu-dua nggak apa apa deh."
"Pasti gara-gara cewek itu!"
"Cariin gue kerjaan, Gus."
"Di mana?" "Di tempat bos lu. Bilang sama Pak Amat Dermawan, gue pinter cuci piring. Pengalaman sepuluh tahun."
"Piring plastik," komentar Henny yang habis menghitung piringnya di dapur. Mukanya cemberut. Jelek sekali. Apalagi belum mandi.
"Piring yang kamu cuci tadi malam pecah dua."
"Udah deh, Bas," Agus menghela napas berat. Seram melihat air muka pacarnya. Lampu kuning telah menyala. Padahal biasanya Henny paling toleran.
"Mendingan lu mudik aja. Jangan cari penyakit di sini."
"Penyakit di Indo juga banyak, Gus!"
"Berapa lama cewek kayak dia betah di samping lu, Bas? Cewek di sini nggak setia. Bosenan. Kelewat bebas. Matre. Lu pasti kelimpungan, Bas."
"Gue minta bantuan, Gus. Bukan kuliah. Kalo itu sih gue udah kenyang. Lu lupa ya, nyokap gue guru?"
"Gue musti bantuin apa lagi? Jangan minta kelewat banyak dong!"
"Gue cuma minta dicariin kerjaan, Gus. Bukan minta cewek lu!"
"Visa lu visa turis, Bas! Nggak boleh kerja!"
"Apa bedanya? Lu malah udah nggak punya visa!"
"Gue udah telanjur jadi orang gelap!"
"Tapi Pak Amat tetap mau terima lu, kan?"
"Udah nggak ada lowongan, Bas!" tukas Agus kewalahan.
"Lu belon tanya, kan? Tau dari mana?"
"Pokoknya nggak ada! Saban hari kan gue nongkrong di situ!"
"Gimana kalo kita gantian, Gus?"
"Gantian gimana?" gumam Agus dengan kepala pusing.
"Gue kerja dari siang sampe sore. Lu sore sampe malam."
"Itu sih sama aja lu minta duit gue, Bas!"
"Tapi gue kan kerja juga!"
"Lu ambil jatah gue!" .
"Lu kasih gue sepertiga gaji aja, Gus."
"Nggak bisa. Gue mau nolong, tapi nggak mau bunuh diri!"
Bunuh diri apaan, gerutu Bastian sambil mengayunkan langkah di sepanjang Gardeners Road. Apanya yang bunuh diri? Aku kan tidak suruh dia minum arsen? Dia punya lima puluh dolar sehari. Aku cuma minta sepertiganya! Pelit amat sih!
Lupa si Agus siapa yang selalu memberinya uang jajan waktu SMP dulu? Bahkan semangkuk bakso selalu kubagi dua karena dia tidak pernah punya uang!
Apa artinya menolong kalau tidak mau berkorban? itu sih bukan menolong namanya! Nyogok!
Persis Barry. Kalau ada maunya, baru dia mau bayar. Ada jasa, ada uang.
Apa boleh buat. Barry sudah tidak mau mensponsori lagi. Agus sudah tidak mau membantu. Oke! Akan kucari sendiri uangku. Dan karena uang tidak datang sendiri ke dompetku. aku harus kerja!
Dengan gigih Bastian keluar-masuk toko. Restoran. Kedai cepat saji. Kafe. Apa saja. Dengan bahasa Inggris sekenanya dia mencoba melamar pekerjaan. Tapi di mana-mana dia ditolak. Visanya visa turis. Siapa yang berani menerima lamarannya?
Sampai sore dia berjuang. Sampai melepuh kakinya melangkah. Sampai pegal lidahnya memohon. Tidak ada lowongan. Tidak ada. Tidak.
Tetapi Bastian tidak jera. Dia pantang menyerah. Setiap kali dia hampir putus asa. bayangan wajah Sandy sedang tertawa melintas di depan matanya. Dan semangatnya tergugah kembali.
Tapi semangat saja memang tidak cukup.
Menjelang malam, ketika dia sedang duduk kecapekan sambil menyantap burger dan segelas soft drink, dia menyerah juga.
*** "Berapa duit lu berani bayar kalo gue rela diumpanin ke satwa galak lu?"
"Berapa duit lu butuh buat servis cewek lu?" tantang Barry enteng.
Walaupun tidak melihat, Bastian sudah dapat membayangkan betapa puasnya tampang abangnya. Sogokan memang jarang gagal.
"Seribu?" "Seribu apa?" "Ya, dolar, panjul! Emangnya rupiah laku di sini?"
"Oke. Besok gue kirim."
Gampang banget, pikir Bastian sedih. Padahal yang dikirim itu kan duit bokap gue juga?
"Tapi janji. lusa lu mudik!"
"Enak aja! Kalo lusa gue mudik, buat apa lu kirim duit?"
"jadi kapan lu mau pulang? Mama udah nanyain terus tuh!"
"Minggu depan."
Apa boleh buat. Seminggu juga sudah lumayan. Daripada tidak.
Dan Bastian begitu gembira ketika Barry menepati janjinya. Begitu bahagia ketika melihat saldo rekeningnya di ATM sudah membeludak kembali. Rasanya tiba tiba saja dia menjadi orang yang paling kaya di Sydney.
Lebih lebih ketika pada hari Kamis Sandy mengundang ke flatnya.
"Makan malam lagi?" tanya Bastian gembira.
Biarin deh keluar taring makan daging melulu. Asal bisa ngobrol semalaman dengan Sandy!
"Aku mau mengundangmu."
Ngundang? Nggak salah dengar? Sandy tidak mau kawin, kan?
"Ulang tahun." Ulang tahun? Astaga! Momen yang tidak boleh dilewatkan!
Bastian sampai hampir terlonjak saking gembiranya. Sandy ulang tahun! Dan dia diundang ke pestanya! Bukan main. Bukan main. Seperti dapat lotre. Di sini namanya lotto. Persetan.
Apa pun namanya. Pokoknya dia gembira setengah mati, eh, hidup. Kalau mati sih mana
ada yang gembira. biarpun cuma setengah.
Tapi ketika malamnya Bastian tiba di apartemen gadis itu, dia melongo bingung. Ultah Sandy tidak dirayakan seperti yang Bastian bayangkan. Dia tidak mengundang teman temannya. Makan-minum dan berpesta di sana.
Tidak ada makanan. Tidak ada kue ulang tahun. Tidak ada hadiah yang bertumpuk tumpuk.
Apartemennya sepi sepi saja. Bahkan Cindy dan Anita menghilang entah ke mana.
Ketika Bastian datang dengan membawa boneka Shrek sebesar bayi, hanya Sandy yang sedang menunggunya. Dan dia tidak memakai gaun pesta seperti yang dibayangkan Bastian.
Dia hanya memakai celana hipster dengan kaus tank top yang sangat pendek, sehingga sepertiga tubuhnya di bagian pinggang ke bawah terpampang polos. Tapi yang dipamerkan memang bukan pusarnya saja: Bagian atasnya juga. Sampai Bastian sulit sekali menelan ludah melihat besarnya bukit yang menjulang di depan matanya.
Malam itu memang tidak dingin. Tapi bagaimanapun penampilan Sandy yang tak terduga membuat Bastian bengong. Dan yang melongo ternyata bukan hanya Bastian. Sandy juga.
Soalnya bastian datang dengan satu-satunya jas miliknya.
"Kalo mau jadi pengawalku, penampilanmu mesti diubah dulu!" cetus Sandy gemas.
"Aku tidak mau dikira clubbing sama profesor!"
"Jadi aku harus pakai apa?" balas Bastian sama gemasnya. Buka jas. robek lengan panjang kemejanya, gunting celananya sampai lutut?
"Ikut aku. Kalau kamu muncul bersamaku di depan teman temanku, penampilanmu harus mirip Tom Cruise."
"Oh, kalau yang model Tom Cruise sih di negeriku cuma sebangsa tukang kebun!"
Huu, ngibul lagi. Mana ada tukang kebun yang seganteng Tom Cruise? Kalau ada paling paling juga di sinetron. Itu juga kalau kebetulan sinetronnya menceritakan kisah cinta si nona majikan dengan tukang kebunnya. Kalau tukang kebun yang cuma numpang lewat sih, paling paling figuran yang sudah ompong dan ubanan!
Tapi ngibul atau tidak, Sandy berkeras membenahi penampilan pacar barunya. Dia menyuruh, separo memaksa, BaStian untuk membeli baju yang sesuai dengan pilihannya. Kemeja yang dipilihnya memang modis sekali. Pasti
pas dengan pilihan Barry kalau dia ada di sini. Warnanya ungu ngejreng. Wah, kalau kena cahaya lampu neon. dia pasti seperti iklan berjalan.
Belum puas hanya dengan baju, Sandy membawa Bastian ke salon dan menyuruh penata rambut yang mirip geisha itu mengatur rambut Bastian supaya tampil modis.
Meskipun Bastian tidak suka dengan penampilannya. dia terpaksa menurut saja. Bukankah malam ini Sandy ulang tahun? Apa salahnya tampil jadi barongsai semalam saja? Hitung hitung menyenangkan Sandy.
Satu satunya yang membuat Bastian kapok hanyalah ketika dia disuruh membayar semuanya. Untung saja Barry sudah mengirim duit! Kalau tidak, mau dibayar dengan apa? Masa minta-dibayari cewek? Gengsi, kan?
Sandy membawa Bastian dengan mobilnya ke sebuah nightclub. Begitu masuk, kemeriahan dan kehangatan suasana menyambut mereka. Ke mana mata memandang, muda mudi sedang asyik bergoyang.
Musik yang diperdengarkan begitu kerasnya sampai jika ada yang memekik sekalipun pasti tidak terdengar. Untung tidak ada yang dicekik kuntilanak. Jadi tidak ada yang berteriak. Karena menjerit pun rasanya percuma.
lampu warna-warni yang gemerlapan di atas sana pasti dapat membangkitkan serangan kejang seandainya Bastian punya penyakit epilepsi. Mujur dia cukup sehat luar-dalam. atas-bawah.
Teman teman Sandy sudah berada di sana, termasuk Anita. Mereka sedang asyik_menggoyang-goyangkan badan mengikuti alunan musik yang meriah._
Mereka melihat Sandy. Tapi tidak berniat menghampiri. Mereka terus saja berdansa sambil melambaikan tangan dan menyerukan sesuatu. Entah apa. .Bastian tidak bisa mendengarnya.
Sandy langsung mengajaknya turun. Tentu saja turun ke lantai dansa. Kalau turun ke got itu sih tukang keruk.
Dan begitu Sandy bergoyang, Bastian menyesal dia tidak minta Barry melatihnya lebih dulu. Sandy begitu mahir berdansa. Begitu hot bergoyang. Sampai Bastian merasa risi karena tidak mampu mengikutinya.
Ah, dia memang tidak sejago Barry. Coba kalau Barry yang di sini. Dia pasti tidak memalukan nama bangsa dan negara. Dia jago dansa. Kuat minum. Suka merokok. Termasuk rokok yang pakai ganja.
Tidak seperti Bastian. Minum sedikit saja sudah langsung teler. Dia memang tidak biasa minum. Tentu saja maksudnya minum minuman keras. Bukan air. Kalau tidak minum air mati dong.
"Gin tonic tidak terlalu keras," bujuk Sandy sambil memaksa Bastian menghabiskan isi cawannya.
"Minumlah. Supaya hangat. Dan supaya lebih hepi."
Bartender yang mengawasinya, tidak berkata apa-apa. Tetapi ketika Sandy minta segelas lagi, dia merasa perlu memperingatkan.
"Kamu yakin?" suaranya selembut suara wanita, walaupun nadanya dingin.
"Temanmu rasanya sudah hampir mabuk."
"Ah, dia baru minum dua gelas," sahut Sandy acuh tak acuh.
Bastian mencoba memandang bartender yang menyodorkan gelas berisi gin tonic itu. Dan dia yakin, dia sudah mabuk. Dia tidak bisa membedakan bartender itu laki-laki atau perempuan.
Tubuhnya tinggi ramping. Rambutnya yang hitam kelam dipotong pendek. Pendek sekali. Dan wajahnya mirip pria meskipun tidak berkumis.
"Temanmu perlu susu, Sandy!" gurau salah seorang teman Sandy yang melihat Bastian sudah sempoyongan.
"Barry?" Sandy mendekatkan wajahnya ke paras Bastian.
"Kamu oke?" "Hah?" Bastian merasa kepalanya pusing. Enteng. Seperti mau melayang. Lebih lebih ketika melihat Sandy kembar di depan mata nya. Sandy tanya apa?
"Lebih baik kita pulang, Bas," Anita tiba tiba sudah berdiri di dekatnya. Entah di mana dia tadi. Tapi rupanya perhatiannya tidak lepas dari Bastian. Dia tahu sekali, Bastian sedang "dikerjain". Dan dia sudah separo mabuk.
"jangan." cegah Sandy sambil memegang tangan Bastian.
"Malam masih panjang. Pesta ku baru saja mulai."
"Dia mabuk. Sandy," Anita memperingatkan.
"Dia tidak biasa minum."
Aduh, noraknya aku, geram Bastian dalam hati. Memalukan! Mendiskreditkan nusa-bangsa
di luar negeri! Nanti dikiranya semua pemuda Indonesia lembek seperti tahu!
Padahal banyak kok yang mampu menyaingi mereka! Contohnya saja. tidak usah jauh-jauh, Barry. Kalau dia yang ada di sini...
Ah, mengapa selalu ingat Barry? Mengapa harus selalu membandingkan diri dengan dia? Dia memang hebat. Tapi... hebatkah namanya minum sambil merokok?
Mama selalu berpesan untuk menjauhi keduanya. Minuman setan, katanya. Entah yang mana minuman malaikat.
Petuah Mama itu diucapkan tiga kali sehari sesudah makan. Bastian sudah hafal sekali. Sudah keluar lagi dari kepala malah.
"Ayo, kita dansa lagi," kata Sandy setelah menghabiskan isi gelasnya yang ketiga. Dia memang hebat. Tiga gelas gin tonic tidak membuatnya limbung.
Sebaliknya dengan Bastian. Dia tidak mampu menghabiskan gelas yang ketiga. Karena dia sudah terkulai lemas. Kepalanya terjerembap ke atas meja bar.
"Ayo, Barry!" ajak Sandy gemas.
"Ini malam ulang tahunku! Pestaku baru saja mulai! Ayo, tm untukku!"
Persetan malam apa, dengus bastian sambil bertahak ingin muntah. Jangankan dansa. Mengangkat kepala saja sudah susah!
Tetapi Sandy mana mau mengerti. Dia sedang mengundang teman temannya minum di bar. Semua bersulang untuk dia.
Ketika dilihatnya Bastian diam saja. di tempelkannya gelasnya di bibir pemuda itu. Dan dipaksanya dia minum.
"Ayo, Sayang!" bisiknya di telinga Bastian.
"Minum untukku!"
Bastian tahu dia harus menolak bujukan itu. Tetapi kalau Sandy yang minta, bagaimana dia bisa membantah? Jangankan cuma minuman keras, racun pun akan ditenggaknya juga!
Mula-mula dia cuma menyesap minuman itu. Tapi ketika teman teman Sandy menertawakannya, dia jadi tersinggung. Dengan kasar dirampasnya gelas dari tangan Sandy. Diteguknya isinya sampai habis. Sekali lagi teman teman Sandy tertawa. Tapi kali ini tawa memuji. Bahkan Sandy ikut mengaguminya.
"Itu baru cowokku!" katanya bangga. Diraihnya wajah Bastian dengan mesra. Tentu saja untuk menciumnya.
Tapi Bastian keburu terjerembap ke atas meja bar. Dan ciuman yang sangat didambakannya itu meleset.
Sekali lagi teman-teman Sandy tertawa gelak gelak. Kali ini lebih riuh.
"Untung kamu bawa badut malam ini, Sandy," gurau salah seorang temannya yang paling senang melecehkan Bastian. Namanya John. Tapi cuma hidungnya yang mirip John Travolta. Badannya sih hanya separonya.
"Ulang tahunmu jadi ramai!"
Diulurkannya tangannya untuk membelai pipi Bastian. Dan teman-temannya tertawa makin seru.
Bastian memang sudah separo mabuk. Minuman yang terakhir, entah apa namanya, jauh lebih keras dari gin tonic. Tapi dia masih sadar. Masih mengerti dia sedang diejek. Di permainkan. Jelas saja tegangannya naik. Dia kan tidak mau dipermalukan. Apalagi di depan Sandy.
Maka begitu tangan pemuda itu menggerayangi wajahnya, Bastian menangkap tangannya dengan buas dan memelintirnya. John berteriak antara sakit dan kaget.
Bukannya melerai, teman temannya malah
tertawa makin keras. Sandy juga ikut menyoraki.
"Rasain lu!" begitu pasti ucapannya.
"Tengil sih!" Merasa malu, John jadi naik pitam. Tangannya yang bebas terayun ke muka Bastian. Membuat Bastian terjerembap sekali lagi. Kali ini ke lantai.
Belum juga dia sempat menarik napas, sebuah tendangan mampir di tubuhnya. Bastian menekuk perutnya menahan sakit. Tetapi sakit yang paling nyeri sebenarnya di dadanya. Ketika sambil ditertawakan teman-temannya, Sandy dan Anita membantunya bangun.
"Kamu nggak apa-apa, Bas?" tanya Anita di sela sela suasana yang semakin ramai. Meskipun hanya samar-samar, Bastian dapat merasakan kecemasan dalam suara gadis itu.
Dia bersandar di meja bar. Kepalanya sakit. Dadanya sakit. Perutnya sakit. Hatinya sakit.
"Kamu bawa cowok atau banci. Sandy?" ejek John sambil menyeringai puas. Dia mengulurkan tangannya untuk meraih gelas
Sandy. Tetapi belum sempat dia meneguknya. Bastian menerjangnya. John terjajar mundur.
Gelas terlepas dari tangannya. Jatuh ke lantai dengan menerbitkan suara berisik.
John menyumpah-nyumpah dengan kasar. Membeliak marah ke arah Bastian yang masih berpegangan ke meja bar. Karena kalau dia tidak berpegangan. dia pasti sudah merosot ke lantai.
Ketika John menerjang untuk memukulnya, Anita mencoba melerai. Tapi Bastian menyingkirkan tubuhnya sebelum tinju John kesasar mampir ke wajah gadis itu. Dan sesaat sebelum tinju John mendarat di mukanya. Bastian merasa seseorang di belakangnya mendorong botol ke tangannya. Refleks Bastian menyambarnya dan menghantamkannya ke kepala John.


Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti pohon ditebang, John jatuh tersungkur ke kaki Bastian. Dan Bastian masih menghadiahkan sebuah tendangan lagi sebelum teman-teman John cepat-cepat menyeretnya pergi. Soalnya petugas keamanan yang badannya sebesar-besar tank itu sudah mulai berdatangan. Mengira ada keributan di club-nya.
Bastian membalikkan tubuhnya kembali menghadap ke meja bar. Bartender yang lelaki bukan perempuan juga tidak itu masih tegak di hadapannya. Tanpa diminta, dia menyodorkan segelas minuman. Dan tanpa menanyakan lagi apa isinya, Bastian langsung meneguknya. Kali ini dia merasa lebih enak. Kerongkongannya terasa panas terbakar. Tapi dadanya hangat. Perutnya hangat. Dan kepalanya tambah enteng. Sakitnya sekaligus hilang.
"Kamu hebat, Sayang!" cetus Sandy bangga. Dihadiahkannya sebuah ciuman ke pipi Bastian. Tetapi sekali lagi ciuman itu meleset. Karena kepala Bastian sudah terjerembap lagi ke atas meja bar.
Sandy mengeluh sementara teman-teman wanitanya tertawa geli.
"Kamu bawa donkey," gurau salah seorang di antara mereka.
"Bukan," sanggah yang lain.
"Dia bawa bayi! Sudah waktunya menyusu. Sandy! Mendingan kamu bawa pulang!"
"Nggak usah, ya," sahut Sandy sambil meremas rambut Bastian. Diangkat kepalanya sedikit.
"Pesta belum berakhir! Bobok di sini saja ya, Say!"
Lalu setengah bergurau, didorongnya kepala Bastian. Sekali lagi kepalanya mendarat di atas meja bar.
Lalu dengan lincah Sandy mengajak teman
temannya kembali ke lantai dansa. Dia benar. Pesta memang belum berakhir. Malam bertambah larut. Tapi suasana bertambah ramai. John dan teman-temannya juga sudah muncul kembali. Kepalanya sudah diplester.
Ketika John melihat Bastian masih di bar, dia sudah beranjak hendak menghampiri. Tapi Sandy mencegahnya. Dan mereka bergoyang hebat mengikuti irama musik yang semakin menggila.
"Sebaiknya bawa temanmu pulang," kata bartender itu kepada Anita, satu-satunya yang masih tegak di depan Bastian.
"Sebentar lagi dia ambruk."
Bersama Anita, dia membantu Bastian duduk. Meskipun masih mencoba melawan.Bastian berusaha menyingkirkan tangan mereka-akhirnya dia melekatkan juga pinggulnya di bangku.
"Aku tidak bawa mobil," keluh Anita bingung.
"Kamu bisa pakai taksi. Nanti kupanggilkan."
"Tapi harus kubawa ke mana?"
"Kamu tidak tahu rumahnya?"
"Apartemennya di tingkat empat. Dan di sana tidak ada lift."
Sesaat bartender itu terdiam. lalu dia menengok jam tangannya.
"Setengah jam lagi aku bebas," katanya dengan tidak disangka-sangka.
"Nanti aku bantu kamu membawa dia pulang. Aku bawa mobil."
"Terima kasih," cetus Anita antara heran dan tidak percaya.
"Kamu baik sekali."
"Aku dengar kamu ngomong dengan dia tadi. Rasanya aku belum lupa bahasa ibuku."
"Astaga!" desis Anita kaget.
"Jadi kamu orang Indo juga?"
Bartender itu tidak menjawab. Karena ada seorang tamu yang minta Bloody Mary.
*** "Namanya Bastian," kata Anita dalam mobil yang membawa mereka ke apartemen Agus.
"Baru dua minggu di sini."
"Kudengar dia dipanggil Barry," suara bartender itu datar saja.
"Gadis bule itu pacar nya?"
"Kadang kadang dipanggil Barry," sahut Anita asal saja. Masa bodoh amat namanya Bastian atau Barry.
"Siapa namamu? Aku Anita."
"Panggil saja Tara."
"An," cetus Bastian dari bangku belakang. Kepalanya terkulai lemas ke sandaran. Matanya terpejam rapat.
"Aku pengin pipis."
Celaka. Di sini kan tidak boleh b.a.k. di pinggir jalan! Kalau ketahuan, dendanya menguras kantong!
"Kita mampir di pompa bensin dulu," kata Tara datar. Tenang saja. Tanpa emosi.
Iya, mampir di pompa bensin memang gampang. Di sana pasti ada WC. Tapi masih sanggupkah Bastian jalan sendiri? Kalau tidak, siapa yang mau gendong dia ke sana?.
Dan yang ditakutkan Anita memang menjadi kenyataan. Baru melangkah dua tindak, Bastian sudah sempoyongan hampir jatuh. Tara yang sedang meminjam kunci WC sambil membeli secangkir kopi, cepat-cepat meletakkan kopinya di mobil. Dan membantu Anita memapah Bastian ke WC.
"Aku masih bisa jalan sendiri!" protes Bastian tersinggung. Dia kan cuma mabuk. Bukan jompo!
"Udahlah, Bas, diam-diam aja," keluh Anita sabar. Kamu sudah cukup merepotkan!
Sesampainya di depan pintu WC, Anita
tertegun. Langkahnya langsung terhenti. Dan dia menatap Tara dengan paras memerah.
"Rasanya kita cuma bisa sampai di sini," gumamnya jengah.
"Kenapa?" cetus Tara acuh tak acuh. Dia sedang membuka pintu WC. Bau yang khas langsung menyerbu hidungnya.
Kenapa? Ya karena dia bukan suamiku! Mana bisa kita mengantarkannya ke dalam dan melihat dia...
"Tunggu saja di luar kalau malu," tukas Tara datar. lalu tanpa menunggu jawaban Anita, dia meraih tangan Bastian dan menuntunnya masuk.
Sekarang Bastian yang menolak. Dia masih setengah sadar. Dan dia tahu, dia tidak sendirian.
"Kamu siapa?" tanyanya setengah mabuk.
"Cowok apa cewek?"
"Apa saja," sahut Tara dingin.
"Kamu mau pipis di WC atau di celana?"
"Keluar," pinta Bastian parau.
"Aku bisa pipis sendiri."
Sejak umur lima tahun dia memang sudah bisa pipis sendiri. Mama saja tidak boleh ikut masuk. Apalagi bartender yang tidak ketahuan jenisnya ini!
"Terserah," desis Tara sambil melepaskan Pegangannya.
Dan baru saja dia berbalik, Bastian ambruk di belakangnya. Tapi Tara tidak peduli lagi. Dia keluar sambil membanting pintu WC.
"Dia nggak apa apa?" tanya Anita cemas.
"Mana aku tahu," sahut Tara tawar.
"Kita tunggu saja lima menit."
Tapi belum ada lima menit, Bastian sudah membuka pintu. Sempoyongan dia melangkah keluar. Celananya basah. Entah karena air dari dalam atau dari luar.
Anita terpaksa mengeluarkan tisu untuk mengalasi bangku mobil Tara. Tetapi Tara melarangnya.
"Nggak usah," katanya sambil menghamparkan sweter yang teronggok di bangku belakang.
"Pakai ini saja."
Buset, baik banget ni anak, pikir Anita dengan perasaan tidak enak. Karena sweternya pasti mesti dicuci empat kali atau sekalian dibuang ke tempat sampah!
*** Susah payah Tara dan Anita memapah Bastian
Ke lantai empat. Tanpa membawa beban saja perjuangan itu tidak mudah. Tidak heran kalau napas Anita hampir putus ketika sampai di depan pintu 403.
Memasukkan anak kunci ke lubangnya saja dia sudah hampir tidak mampu. Dan begitu pintu terbuka, dia hampir terjerembap saking kagetnya.
Perempuan yang muncul di balik pintu itu juga sama terkejutnya. Matanya terbeliak ketakutan.
"Siapa kamu?" tanyanya gemetar.
"Kamu siapa?" balas Anita sama herannya. Salah masukkah dia? Tapi kuncinya cocok....
Dan mata Henny melihat Bastian yang sedang dipapah Tara di belakang tubuh Anita.
"Astaga, Bas!" cetusnya cemas.
"Kamu kenapa?" "Dia mabuk," sahut Anita kaku. Jadi Bastian tinggal di flat ini bersama seorang gadis? Berapa orang pacarnya?
"Berkelahi di bar."
"Berkelahi?" sergah Henny ketakutan. janganjangan perkelahiannya mengundang campur tangan yang berwajib! Kalau polisi datang... Aduh. Villawood sudah di depan mata!
"Bantu kami membawanya ke kamar," pinta Anita tandas.
"Dia harus dipapah."
Kamar Siapa? henny melongo bingung.
"Kamar siapa lagi?" balas Anita jengkel.
"Lebih baik bawa dia pergi," pinta Henny ketakutan.
"Saya tidak mau terlibat."
"Terlibat apa?"
"Bawa pergi saja."
"Tapi dia tinggal di sini, kan?"
"Jangan malam ini. Lain kali saja."
Lain kali saja? Lho, memangnya mereka pengemis?
"Tolong bawa aku pergi, An," pinta Bastian lemah. Dia mengerti sekali apa maksud Henny. Dan dia tahu, Agus belum pulang. Jadi tidak ada yang membelanya. Dia harus menyingkir. Tidak ada tawar-menawar lagi.
"Bawa kamu ke mana?" desis Anita bingung.
"Ini kan flat kamu!"
"Ini flat Henny. Tolong bawa aku pergi."
"Tapi..." "Sudahlah," potong Tara dingin.
"Ayo kita pergi."
Tapi pergi ke mana? "Aku tidak bisa membawanya ke apartemenku," kata Anita ketika mereka sedang terengah engah duduk di dalam mobil.
"Sandy pasti marah."
"Persetan dia marah". sahut Tara dingin.
"Semuanya gara-gara dia, kan?"
"Tapi kamu belum kenal Sandy! Kalau dia marah..." Lebih celaka lagi kalau dia membawa pulang teman prianya... di mana mereka harus meletakkan Bastian? Cindy saja kadang-kadang terpaksa menyingkir ke kamar Anita kalau tidak cabut ke rumah temannya!
"Kalau begitu bawa saja ke flatku," sela Tara enteng. Tanpa perasaan apa-apa.
"Dia boleh nginap semalam. Daripada tidur di kantor polisi."
Lalu dia menghidupkan mesin mobilnya. Dan mobil itu meluncur mulus di jalan raya.
Sementara Anita masih melongo bingung. Nginap di flatnya?
Manusia atau dewikah yang ditemuinya malam ini? Dia cuma seorang bartender! Kebetulan saja sebangsa. Tapi mana ada manusia yang begini baik biarpun mereka sama-sama lahir dari perut ibu pertiwi?
"Bagaimana?" desak Tara tidak sabar.
"Sudah malam sekali. Aku sudah capek. Ngantuk. Besok pagi aku harus ke kampus."
"Kamu masih kuliah?" bengongnya Anita tambah seru. Untung Barry tidak melihat.
Kalau melihat. dia pasti tambah tidak mau datang. Soalnya kalau lagi bengong begitu, Anita mirip Timo.
"Dua tahun lagi."
"Jurusan apa?" "Computer Science."
"Kamu dari Jakarta juga?"
Tara menggeleng. "Aku dibawa ibuku kemari waktu umur sepuluh tahun. Ibuku kawin lagi sama bule."
Anita sudah membuka mulutnya untuk bertanya lagi, ketika tiba-tiba dia ingat, ini bukan wawancara. Cepat-cepat dia menoleh ke belakang. Maksudnya ingin menanyakan pendapat Bastian. Mau tidak dia tinggal di flat Tara. Tapi Bastian sudah tidur lelap.
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa Anita membiarkan Tara membawa mereka ke flatnya.
"Di mana apartemenmu?" tanya Tara sambil mengemudikan mobilnya. Sebuah sedan tua bikinan tahun sembilan dua.
"Randwick" "Kalau begitu aku antarkan kamu pulang dulu."
Anita sudah membuka mulutnya untuk memprotes. Tentu saja dia tidak tega membiarkan Bastian pergi sendirian bersama orang yang tak dikenal. Iya, baik sih baik. Kalau dia sakit? Psikopat? Pembunuh berantai? Jangan jangan Bastian hilang. Dan besok fotonya ada di koran. Sudah jadi... ah. Amit-amit!
"Sudah terlalu malam pulang sendiri. Apartemenku di Botany."
"Tapi kamu kan nggak bisa bawa dia sendirian." _
"Nanti kubangunkan. lagi pula apartemenku
di lantai dasar." Ada sesuatu dalam suara itu yang tak dapat.
dibantah. Gadis ini. kalau betul dia gadis tulen, benar-benar lain dari yang sama. Anita tak mampu membantah lagi. Tahu-tahu dia sudah diturunkan di depan apartemennya. Belum sempat dia bilang terima kasih. Tara sudah tancap gas. Dan mobil itu lenyap di
kegelapan malam. Lenyap pula si Bastian atau. si Barry atau entah siapa namanya! Mudah-mudahan besok
pagi dia masih hidup! Dan esok paginya. Bastian memang masih
hidup. Dia membuka matanya. Menggeliat untuk meluruskan otot ototnya. Dan mencium harumnya aroma telur goreng.
Tiba-tiba saja perutnya terasa lapar. Heran. Tidak bisa absen sehari saja. Selalu menagih janji.
Bastian duduk di sofa tempatnya berbaring. Dan dia baru sadar, ini bukan tempat tidurnya yang biasa. Sofa ini lebih panjang. Bukan seperti sofanya si Agus. Yang membuat sepertiga tungkainya berjuntai ke lantai. Lebih empuk pula.
Lalu dia melihat makhluk itu. Makhluk yang menimbulkan tanda tanya. Laki-laki atau wanita.
Tetapi pagi ini tanda tanyanya lebih kecil. Karena tanpa seragam bartendernya, dia lebih mirip perempuan. Walaupun dandanannya tetap seperti tadi malam. Tanpa riasan di wajahnya. Bedak. Gincu.'Sipat alis.
Telinganya juga polos. Tidak ada anting. Giwang. Atau benda-benda sebesar pecahan meteor yang biasa bergelantungan di sana.
Lehernya pun kosong. Tidak ada kalung. Medali. Rantai. Jerat. Tali gantungan.
Dia sedang asyik menggoreng telur. Itu juga
kalau mencium baunya. Dan tidak menggubris tamunya sudah siuman.
"Selamat pagi," sapa Bastian sopan.
Makhluk itu hanya mendengus. Mengeluarkan suara yang tidak jelas di hidung. Pilek atau cuma gatal.
"Aku udah bilang terima kasih sama kamu?"
"Buat apa?" "Nyodorin botol buat ngepruk kepala si bule."
"Belum." "Nuntun ke WC?"
"Belum." "Nganterin ke flat si Henny?"
"Belum." "Boleh nginep semalam di sini?"
"Belum." "Bisa dirapel sekalian?"
"Apanya?" "Terima kasihnya."
"Nggak usah." "Boleh nambah satu lagi?"
"Sarapan? Ambil saja sendiri mau apa."
"Boleh minta yang lagi kamu goreng?"
"Kamu tahu ini apa?"
"Baunya sih telur."
"Pakai bawang. Doyan?"
"Asal jangan pake racun," Bastian menyeringai lebar.
"Daripada kelaparan."
"Ambil piring di lemari."
Bastian bangkit secepat-cepatnya. Dan dia mengaduh. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ketika dia sedang memegangi kepalanya, Tara menoleh.
"Kamu tidak biasa minum. Kenapa memaksakan diri? Sok pamer di depan pacar?" suaranya sedingin tatapannya.
"Semua orang mesti belajar, kan?" sahut Bastian santai. Dia melangkah sempoyongan ke kursi makan.
"Nah, tadi malam aku belajar minum."
"Bodoh." Tara meletakkan telur yang sudah digorengnya ke atas piring. lalu meletakkannya dengan kasar di depan Bastian.
Uh, baunya harum. Bikin perut Bastian tambah keroncongan. Eh, kegitaran. Sekarang kan anak muda sudah jarang main keroncong.
"Mana nasinya?"
"Tidak ada nasi."
"Kamu nggak makan nasi?" Bastian tertegun bengong.
"Jadi dari mana semua daging di tubuhmu?"
"Mau roti!" "Ada mi?" "Tidak ada. Cuma ada roti dan comflakes."
"Kamu orang Indo atau bule sih?"
"Apa saja." "Berapa tinggimu? Satu tujuh puluh? Kamu cuma lebih pendek sedikit dari aku."
"Ngapain nanya-nanya?" berungut gadis itu judes.
"Nah, berapa beratmu? Empat puluh? Empat lima? Pantes aja kamu kurus lurus tandus kayak pohon kelapa!"
"Kamu biasa mencela di rumah orang?"
Bastian tertawa lebar. Ketika tertawa. sekujur wajahnya ikut tersenyum. Membuat Tara untuk pertama kalinya mengaguminya.
"Aku cuma bercanda. Habis kamu nggak pernah tersenyum. Bayar berapa supaya kamu mau ketawa?"
Tetapi Tara tetap tidak tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum saja tidak. Sikapnya dingin saja. Seperti kulit mayat. Eh, kulit mayat dingin, ya? Sudah pernah pegang?
"Ada handuk bersih di lemari kamar mandi. Kalau kamu mau mandi dulu sebelum pergi...."
"Ini pengusiran" Bastian tersenyum pahit.
"Ada batas waktunya?"
"Aku mau kuliah," sahut Tara datar.
"Kalau kamu belum mau pergi, terserah. Tutup saja pintunya dari luar."
"Kamu nggak takut barang-barangmu kubawa lari?" gumam Bastian heran.
"Apa yang mau dibawa?"
Bastian melihat ke sekelilingnya.
"TV. DVD. VHS. MP3. Komputer. Microwave...."
"Masih kredit." sahut Tara enteng.
"Diasuransi. Bawa saja kalau mau."
Lalu dia mengambil sebutir telur lagi dan menggorengnya. Bastian bangkit untuk mengambil roti yang bertengger di meja dapur. Ketika tubuh mereka berdekatan, tak secuil pun aroma parfum membelai hidungnya.
Bastian jadi seperti berdekatan dengan teman prianya. Pria saja sekarang suka pakai yang wangi-wangi. Lihat saja si Barry. Harumnya seperti toko parfum.
Satu hal lagi. Tara tidak minggir biarpun Bastian hampir merapat ke tubuhnya karena sempitnya ruangan. Biasanya. gadis-gadis selalu menyingkir kalau hampir bersentuhan dengan
laki-laki, kan? Atau sekarang tidak lagi? Di serempet malah kebetulan? Tidak disentuh malah minta?
"Sebenarnya kamu cowok apa cewek sih?" tanya Bastian heran. Diamat-amatinya dandanan gadis itu. Tidak heran sih pergi kuliah hanya memakai jins dan T Shirt. Di jakarta juga lagi mode. Tapi memakai sandal?
"Belum tahu juga?" balas Tara pedas.
"Perlu buka baju?"
Meledak tawa Bastian. Entah mengapa, dia mulai menyukai makhluk yang satu ini, entah perempuan, entah laki-laki. Dia tidak menarik. Karena memang tidak berusaha tampil cantik. Tapi ada sesuatu dalam sifatnya yang membuat Bastian menyukainya.
"Kamu lucu." "Baru kamu yang bilang begitu."
"Sama siapa kamu tinggal di sini?"
"Sendiri." "Pantes aja nggak ada yang bilang kamu lucu."
Selesai menggoreng telur, Tara meletakkannya di piring. Dia mengambil dua gelas. Dan membuka lemari es untuk mengambil jus jeruk. Diletakkannya segelas di depan Bastian.
"kamu nggak mau temenin aku makan!"
"Nggak sempat." Tara meminum jus jeruknya. Lalu melahap telurnya sambil berdiri.
"Begini caramu makan tiap pagi?" Bastian menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pantes aja kamu ceking kayak lidi!"
"Kalau sudah puas menghina, kamu boleh mandi dan menggelinding pergi," sahut Tara sambil cepat-cepat meraih ransel dan kunci mobilnya.
Lalu tanpa menoleh lagi dia bergegas membuka pintu dan membantingnya. Bruk!
Bukan main, pikir Bastian antara heran dan kagum. Baru pernah ketemu cewek model begini! Eh, dia betul cewek, kan?
Sambil melahap telurnya, Bastian memandang ke sekelilingnya. Apartemen ini tidak lebih besar dari apartemen Agus. Sama-sama berkamar satu. Bedanya, apartemen ini lebih baru. Dan rasanya perabotannya bukan keluaran tempat sampah.
Selagi Bastian mencari-cari apa lagi yang bisa dimakan di dapur, pintu terbuka. Ha, dia balik lagi! Ada yang ketinggalan?
"Aku masih di sini!" seru Bastian dari dapur.
"Masih lapar!" Dia mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu. Piring hampir lepas dari tangannya ketika melihat siapa yang datang.
"Selamat pagi," sapa perempuan setengah baya yang baru masuk dengan menjinjing beberapa kantong plastik itu.
"Kamu pasti temannya Tara."
"Pagi," sahut Bastian sopan.
"Tante cari Tara? Dia sudah berangkat kuliah."
"Sudah Tante duga. Mobile-nya dimatikan. Mungkin dia lagi nyetir."
"Tante tukang masaknya?" tanya Bastian ketika wanita itu langsung ke dapur. Menaruh belanjaannya. Dan memasukkan beberapa barang ke lemari es.
Wanita itu menatap Bastian sambil tersenyum.
"Kenapa kalau Tante tukang masaknya? Kamu masih lapar?"
"Tante punya beras?"
"Tara jarang makan nasi."
"Kalo ketemu ibunya. saya ngomelin. Masa anak nggak dikasih makan nasi? Pantesan aja dia kurus kering!"
Sekarang wanita itu tertawa cerah. Sama sekali tidak tersinggung.
"Kamu boleh mulai ngomel sekarang!"
"Hah?" Bastian melongo sesaat.
"Jadi... Tante ibunya Tara?"
"Tara nggak pernah bilang dia masih punya ibu?" wanita itu tersenyum penuh pengertian.
"Tara jarang ngomong!"
"Tante tahu. Dia memang begitu. Tapi Tante hepi sekali dia sudah punya teman."
Tapi saya bukan temannya, Tante! Saya cuma biang kerok yang bikin dia susah!
"Mau Tante bikinin sandwich?"
Aduh. Pucuk dicinta roti tiba. Bastian girang sekali seperti menang lotto enam nomor.


Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa aja. Tante. Asal bukan batu."
Sekali lagi wanita itu tertawa. Kelihatan sekali dia gembira. Mungkin dikiranya Bastian pacar anaknya. Padahal kalau sampai Tara punya pacar, pasti masuk Guinness World Records.
"Kamu lucu. Pantas saja Tara menyukaimu."
Belum tentu, Tante. Saya malah nggak tahu apa yang disukainya. Soalnya dia lebih banyak diamnya daripada ngomong! Mula-mula saya malah nggak tahu dia lelaki atau perempuan!
"Wah, kamu lapar sekali rupanya," cetus wanita itu ketika melihat makanan apa saja yang ditaruhnya di piring Bastian sudah lenyap
dalam hitungan menit. "Kelewatan si Tara. Masa tamu nggak dikasih makan."
"Iya, Tante. Untung Tara nggak punya kucing."
"Makanannya kamu sikat juga?" ibu Tara tersenyum lebar.
"Sama kucingnya sekalian."
Bastian memang sedang bahagia sekali pagi itu. Karena calon mertuanya, eh, ibunya Tara, memasakkan begitu banyak makanan untuknya. Ketika Bastian minta nasi goreng, dia malah memerlukan pergi membeli beras.
"Saya ikut, Tante?"
"Ikut ke mana?"
"Beli beras. Kan jadi ada yang bawain."
"Berasnya cuma dua kilo. Kamu jangan khawatir."
"Tapi saya mau bantuin Tante. Saya boleh ikut? Saya janji nggak minta macem-macem. Paling-paling minta cokelat yang ada kacangnya."
Sekali lagi ibu Tara tertawa geli. Ih, lucunya teman si Tara! Syukurlah Tara sudah ketemu teman. Biar badut juga nggak apa-apa. Mukanya boleh juga kok. Bodinya juga bagus. Dan dia periang. Mudah-mudahan keceriaannya menular pada Tara. biar dia lebih ceria. Jangan murung terus.
Sebenarnya dia bisa pergi sendiri ke supermarket. Sudah biasa. Nenek-nenek saja belanja sendiri. Tapi untuk suatu alasan yang dia sendiri tidak tahu. dia senang ditemani pemuda ini.
Dan sambil mendorong-dorong troli, Bastian harus melayani begitu banyak pertanyaan yang rasanya lebih banyak daripada pertanyaan di lembar ujian SMU-nya nanti. Padahal apa yang dia tahu tentang Tara? Dia tidak tahu apa-apa!
Tentu saja Bastian tahu wanita ini sudah salah duga tentang hubungannya dengan Tara. Tetapi kalau kesalahan itu justru membuatnya senang, mengapa tidak? Tidak dosa kan berdusta asal membuat orang senang?
Apalagi kalau sebagai manifestasi kegembiraannya, ibu Tata membuatkan begitu banyak makanan sampai perut Bastian menangis saking kenyangnya. Hik. Hik. Prot. Yang terakhir itu tentu saja diperdengarkan di WC. Untung
masih keburu. Habis makan siang, Bastian tidur lagi. Tentu saja di sofa. Soalnya ibu Tara tidak mengizinkannya pergi.
Dan Ibu Tara bahagia sekali melihat pemuda itu mau tinggal menemaninya. Menunggu sampai Tara pulang. Dan yang paling membahagiakannya, dia melihat dengan mata kepala sendiri-kalau melihat pakai mata orang lain itu sih harus transplantasi kornea dulu-Bastian tidur di sofa. Artinya mereka belum tidur bareng, kan? Tentu saja dia tidak tahu, di sofa juga bisa kalau mau tidur sama-sama.
*** Seharian Anita resah. Bastian tidak ada kabar beritanya. Sudah dua kali dia beli koran. Tapi gambar Bastian juga tidak ada di sana. Tentu saja tidak ada. Dia kan bukan selebriti.
"Gara-gara kamu sih," berungut Anita pada Sandy.
"Sekarang dia lenyap tanpa bekas!"
"Kamu yang salah," Sandy mana mau kalah. Apalagi di depan John, yang pagi itu numpang di apartemen mereka.
"Kenapa kamu izinkan orang tidak dikenal bawa dia? Dia kan lagi mabuk!"
"Repot amat sih," nimbrung John santai.
"Kalau sudah ketemu, fotonya pasti ada di koran."
Sialan, maki Anita dalam hati. Dia benar benar bingung. Dan lebih sial lagi, Sandy tidak mau diajak ikut bingung. Dia santai saja.
Akhirnya terpaksa Anita pergi ke apartemen Henny. Kali ini yang menerimanya seorang laki-laki.
Jadi berapa orang pacar Bastian, pikir Anita muak. Apa dia termasuk dua dunia juga?
"Ke mana Bastian?" bukannya menjawab, Agus malah bertanya. Dan kecemasannya membuat Anita tambah khawatir.
"Dia baru tiga minggu di sini! Belum tahu apa-apa! Kenapa kamu biarkan saja dia pergi dengan orang asing?"
"Bukan orang asing! Dia orang Indonesia juga."
"Bukan berarti tidak berbahaya! Di tiap bangsa selalu ada orang jahat!"
Kepala Anita jadi tambah pusing. Mengapa jadi dia yang disalahkan? Bukannya tadi malam perempuan yang tinggal di sini yang tidak mau menerima Bastian?
"Tapi istrimu..." _
"Saya belum punya istri!"
Jadi siapa perempuan itu? Pacarmu? Atau... pacar Bastian?
Tapi peduli apa! Yang penting sekarang, di mana Bastian? Dia hilang! Dan Anita tidak tahu ke mana harus mencarinya!
"Tenang saja, An," Suara Sandy di HP-nya santai sekali.
"Nanti malam kita ke nightclub. Cari bartender yang gondol cowok kamu. Susah-susah amat sih. Sampai kamu tidak kuliah segala."
"Kamu sendiri juga nggak kuliah, kan?" sindir Anita ketika telinganya menangkap Suara John.
"Di mana kamu sekarang?"
Sandy tertawa cerah. "Mulai kapan kamu jadi ibuku, An?" guraunya ceria.
"Urus saja urusanmu sendiri!"
Urusan dengkulmu, maki Anita dalam hati. Gara-gara kamu, aku jadi repot begini! Kamu sih enak-enakan pacaran. Aku yang kelimpungan ke sana kemari cari Bastian!
Tapi malam itu, di luar dugaan, Sandy pulang seorang diri. Mobilnya berhenti tepat di depan Anita yang sedang menunggu bus.
"Ke mana, An?" suaranya mengejutkan Anita yang sedang menunggu-nunggu bus besar berwarna biru. Padahal yang menepi di depannya sedan warna merah. Terang saja dia terperanjat.
"Ke mana lagi?" sahut Anita sebal.
"Cari Barry!" "Lekas naik ke mobil sebelum aku ditilang! Ini tempat pemberhentian bus!"
"Kamu mau ikut?" tanya Anita heran. Sudah insaf kali dia!
"Kamu yang ikut," sahut Sandy santai.
"Kan aku yang bawa mobil!"
"Maksudku ikut mencari Barry!"
"Kamu mau naik sekarang atau tunggu aku diberi tiket?"
Sambil masih mengomel Anita buru-buru naik ke mobil.. Tak ada semeter di belakang mereka, sebuah bus biru melaju. Remnya berdecit ketika dia berhenti. Pintunya langsung terbuka. Beberapa orang penumpang turun dengan tertib. Yang mau naik menunggu dengan sabar. Kalau di Jakarta, mereka pasti tidak kebagian bus sampai pagi.
*** Bastian sedang menunggu jatah makan malamnya ketika pintu diketuk dua kali. Bergegas dia bangkit dari kursinya.
"Siapa yang datang?" cetusnya heran.
"Apa Tara kelupaan bawa kunci?"
"Pasti bukan dia," sahut ibu Tara sambil mengaduk mi goreng dalam kuali. Baunya sedap sekali.
"Tara tidak pulang. Habis kuliah biasanya dia langsung ke bar. Hhh, anak itu memang aneh. Sejak umur delapan belas sudah ingin tinggal sendiri. Ingin membiayai kuliah sendiri...."
BaStian membuka pintu. Dan tertegun sejenak.
"Halo!" sapa Sandy sambil menyunggingkan seuntai senyum yang membuat kekesalan Bastian padanya langsung lenyap seperti asap.
"Kamu masih hidup?"
"Kok nggak ngasih kabar sih?" gerutu Anita kesal.
"Kamu kan tau aku kuatir banget.... Untung Tara bilang kamu ada di apartemennya!"
"Sori," Bastian mengangkat bahunya sambil tersenyum minta maaf.
"Di sini waktu berjalan cepat sekali. Aku sampai lupa..."
"Pantes aja," potong Anita yang sudah mengendus harumnya aroma mi goreng.
"Kamu lagi masak. ya?" '
"Siapa. Nak?" tanya ibu Tara dari dapur.
"Diajak masuk dong."
Anita dan' Sandy saling pandang dengan heran.
"Siapa?" bisik Anita sambil menoleh ke arah Bastian. Pacarmu lagi? Berapa kompi cewekmu?
"Temen-temen, Tante," sahut Bastian seraya menyilakan mereka masuk.
"Oh, teman-teman Tara!" cetus wanita setengah baya yang sedang sibuk masak itu dengan gembira. Seperti pemilik restoran yang melihat banyak tamu masuk ke restorannya. Banyak juga teman Tara sekarang, ya? Itu berarti kemajuan hebat! Dulu mana pernah dia punya teman? Paling-paling temannya buku dan komputer!
"Siapa Tara?" bisik Sandy kepada Anita.
"Bartender yang punya flat ini!" Anita balas berbisik. Tapi aku tidak tahu siapa perempuan yang sedang masak itu!
"Yang kita datengin barusan!"
"Ayo duduk," ajak ibu Tara ramah.
"Tante lagi bikin mi goreng nih. Mau ikut makan?"
Tentu saja Anita dan Sandy tidak menolak. Rupanya mahasiswa di mana-mana sama saja. Mana pernah menolak rezeki.
Mereka langsung duduk. Dan tercengang melihat beberapa rupa masakan yang sudah terhidang di atas meja.
"Pantesan aja kamu sampe lupa waktu!" bisik Anita sambil menyimpan kekesalannya.
"Tikus jatuh ke beras!"
"Berasnya sih baru dibeli!" Bastian balas berbisik sambil menyeringai.
"Tau dari mana di sini ada makanan enak?"
"Seharian aku mencari kamu! Kirain kamu sudah hilang digondol hiu!"
"Anita sampai tidak bisa makan, tidak bisa kuliah," sambung Sandy walaupun dia tidak mengerti apa yang dikatakan temannya.
"Dikiranya kamu sudah jadi mayat. Dipotong potong oleh pembunuh sadis!"
"Hus!" Anita melambaikan tangannya menyuruh Sandy diam.
Ibunya Tara kan punya telinga. Masa anaknya dituduh tukang jagal! Keterlaluan, kan? Sandy rupanya belum tahu panasnya sendok penggorengan yang sedang dipegangnya!
"Sori, An!" Bastian tertawa lebar.
"Nggak kepikir ke situ sih!"
"Ayo, makan dulu," kata ibu Tara sambil meletakkan mi gorengnya di atas meja.
"Cicipi enak nggak."
"Rasa masakan Tante tidak ada bedanya dengan makanan di restorannya Pak Amat
Dermawan" puji bastian. bedanya sama Tante nggak usah bayar! Jadi dua kali lebih enak!
"Masa sih?" ibu Tara tersenyum bangga.
"Tara juga bisa masak, Tante? Maksud saya, yang enaknya kayak begini?" Kalau goreng telur saja sih, aku juga bisa!
"Nggak tahu tuh. Tara malas masak. Katanya dia tidak doyan makan. Jadi buat apa masak?"
Celaka. Eh, untung. aku bukan suaminya! Bisa kurus kering kayak dia!
Tanpa disuruh dua kali mereka mulai makan. Dan ketika rasa makanan itu betul-betul enak, mereka makan main cepat seolah-olah takut kehabisan.
Sandy saja yang jarang mencicipi masakan Indonesia begitu lahapnya mengunyah.
"Kenapa mi-nya beda dari Chinese?"
Tentu saja dia tanya mengapa rasa mi gorengnya lain dengan mi goreng restoran Cina. Bukan kenapa mi itu beda dengan orang Tionghoa.
"Karena ini mi goreng Indonesia. Pakai bawang goreng dan pedas!" bisik Anita sambil tersenyum melihat paras Sandy sudah memerah.
Pasti karena kepedasan. Karena kalau kakinya
dicolek kaki Bastian saja sih mukanya pasti tidak sampai merah begitu!
"Di mana kenal Tara?" tanya perempuan separo baya yang ramah itu.
"Di kampus," sahut Anita.
"Di bar," jawab Sandy.
Sesudah menjawab, mereka sama-sama menoleh. Dan bertukar pandang. Soalnya jawaban mereka nggak klop.
Tetapi ibu Tara yang sedang euforia tidak peduli seandainya mereka kenal Tara di Paddys Market sekalipun. Yang penting, Tara sudah punya teman! Cantik-cantik, lagi! Siapa tahu lama-lama Tara kecipratan. Latah. Ikut dandan seperti teman-temannya! Jangan polos saja seperti itu!
*** Bab VII KALAU ditanya apa yang paling berkesan bagi Bastian di Pantai Bondi. jawabannya pasti cuma satu. Cewek.
Yang berenang di laut sih bukan bagian Bastian. Itu bagian ikan hiu. Tapi yang di darat... nah. yang ini yang membuat Bastian betah berpanas-panas di pantai. Padahal biasanya begitu matahari nongol saja dia sudah kelimpungan cari tudungan.
Begitu banyak gadis dengan pakaian renang minim berjemur di pantai. Kadang-kadang pakaian mereka begitu minimnya sampai bagian atasnya terbuka sama sekali. Mula-mula Bastian memang memejamkan matanya kalau melihat yang begituan. Malu.
Tetapi belakangan, meremnya cuma sedetik. Di detik lain dia sudah buru-buru membuka matanya lagi. Bahkan lebih lebar daripada
tadi. Takut yang dilihat keburu lenyap. Rugi dong.
Tapi mereka memang masih tetap di sana. Terhampar seperti ikan asin dijemur. Temasuk Sandy. Dia sudah minta Bastian menggosok punggungnya dengan krim tabir surya. Dan ketika sedang membelai kulit yang halus lembut itu, Bastian merasa hampir semaput. Untung dia tidak semaput. Rugi. Kapan lagi bisa membelai tubuh Sandy?
Hari Minggu ini memang hari yang tak terlupakan untuk Bastian. Pagi-pagi Sandy mengajaknya ke pantai.
Mula-mula Bastian sendiri heran. Kenapa Sandy mengajaknya? Ke mana John? Sudah pensiun? Kenapa? Hidungnya kebesaran? Mentok terus kalau ciuman? Atau... tidurnya ngorok? Sandy buru-buru mengembalikannya ke alamat pengirim sebelum teken kontrak seumur hidup? Bisa-bisa dia minum obat tidur terus. Atau telinganya mesti disumbat kapas kalau bobok. Nah, repot, kan? Mendingan cepat cepat dimasukkan kulkas.
Tetapi Bastian pantang bertanya. Sudah diajak saja sudah bagus. Andai kata disuruh dongkrak ban pun dia oke saja. Apalagi cuma disuruh
menggosok punggungnya dengan krim! Wah, gosok terus sampai kulitnya lecet juga dia mau!
Sandy memang tahan membakar diri berjam jam di bawah sengatan sinar matahari. Tapi Bastian tidak. Kulitnya terasa melepuh. Dan dia tidak mau jadi hitam. Makanya dia bolak balik terus ke kedai minuman. Beli apa saja. Es krim. Sofi drink. jus. Kacang. Cokelat. Asal boleh bolak-balik ke sana. Adem. Soalnya ada AC-nya.
Ketika dia sedang meneguk soft drink-nya di dekat Sandy berbaring, tiba-tiba gadis itu membuka kacamata hitamnya. Dan menatapnya sambil tersenyum.
"Minum sendirian saja?"
"Oh, sori!" cetus Bastian kemalu-maluan, mirip pengantin baru yang kelupaan mandi.
"Kirain kamu lagi bobok! Mau minum?"
"Yang di mulutmu saja. Malas bangun."
Yang di mulutku? Bastian jadi terperangah. Memang ada apa di mulutku? Cuma gigi dan lidah....
Dasar bodoh, pikir Sandy sambil tersenyum pahit. Tapi yang model begini memang belum pernah dicicipinya. Dungu. Lugu. Biru... eh, cokelat. Yang biru sih mayat.
"Tuangkan ke mulutku," pinta Sandy dengan kemanjaan yang menggoda. Yang membuat Bastian tidak menolak seandainya disuruh minum air satu lautan pun. Asal perutnya muat saja. Tapi apa yang mau dituangkan ke mulutnya? Ludah? Sejak kapan ada gadis cantik doyan ludah orang? Monster kali, ya?
Selagi Bastian masih kebingungan, Sandy mengulurkan tangannya menyentuh botol minuman di tangannya. Dan tiba-tiba saja Bastian mengerti.
Ampun. gobloknya aku, dengusnya dalam hati!
Cepat-cepat disesapnya minumannya. Sruput. Glek. Sruput. Huk. Huk. Oho. Oho.
Yang terakhir itu rentetan batuk Bastian ketika seteguk minuman kabur ke tenggorokannya yang belum sempat ditutup. Dan dia terbatuk-batuk sampai terbungkuk-bungkuk.
Sialan. Malu-maluin aja! Tapi Sandy tidak marah. Tentu saja tidak. Dia terus saja tersenyum. Mungkin iba. Mungkin juga sedang menertawakan cowoknya yang bloon.
"Sori," cetus Bastian ketika sudah bisa bernapas lagi.
"Saking terburu-buru....'
"Oke," sahut Sandy sambil tetap tersenyum.
"Boleh minta sekarang?"
Tentu saja. Tunggu kapan lagi?
Super-hati-hati seperti pemain sirkus yang sedang mengambil ancang-ancang, Bastian meneguk minumannya. Berjongkok di samping tubuh Sandy. Membungkuk dalam. Mendekatkan kepalanya. Dan menempelkan mulutnya sambil memejamkan matanya.... Oh, Mama! Mamma mia!
Sandy menyedot minuman yang dicurahkan Bastian dari mulutnya. Menelannya dengan tenang sampai minuman yang beruntung itu mengalir mulus ke leher dan perutnya. Tidak ada bunyi gluk. Rupanya leher Sandy memakai peredam suara.
Bastian mengangkat kepalanya tanpa membuka matanya. Masih membayangkan sentuhan bibirnya dengan bibir Sandy. Kenapa bibir cewek terasa manis, ya? Cuma ilusinya atau karena lipstiknya?
Dan Sandy melakukan gerakan yang tidak disangka-sangka. Dia memang selalu tak terduga. Makanya dia menarik. Merangsang. Hebat.
Dia menarik kepala Bastian dan merangkul
lehernya. Membuat Bastian yang tidak menyangka langsung tiarap seperti diberondong senapan mesin. Cuma kali ini dia tiarap di atas tubuh Sandy.
Dan sebelum Bastian sempat mengkaji betapa lembutnya tubuh gadis itu, betapa hangatnya kulitnya, betapa menggelegaknya magma yang tersimpan di bukit kembar di dadanya, Sandy sudah memagut bibirnya. Mengulum dan melumatkannya sampai Bastian tidak mampu lagi bergerak saking lemasnya.
"Terima kasih," Sandy mendorong kepala Bastian dengan lembut. Menepuk dan membelai pipinya sambil tersenyum manis. Ketika dilihatnya Bastian masih memandangnya dengan tatapan pasien koma, dilanjutkannya dengan halus,
"Badanmu berat juga, ya."
Seperti. ditabrak taifun, Bastian langsung menggulingkan tubuhnya ke samping. Dia ingin bilang sori. Ingin mengatakan betapa hebat ciuman Sandy. Betapa berterima kasihnya dia diberi kesempatan mencicipi yang seperti itu. Tapi sampai satu menit lewat, Bastian tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Sandy-lah yang lebih dulu mengulurkan tangannya untuk membelai dadanya. Membuat
sekujur tubuh Bastian dari kutub utara sampai selatan meremang sekaligus kesemutan.
"Pertama kali?" bisiknya tanpa nada melecehkan.
Tentu saja. Tapi Bastian mana mau ngaku? Malu, kan? Dia ingin menjawab. Ingin memprotes. Ingin menjerit. bukan! Tapi yang keluar dari mulutnya cuma angin. Untung nggak bau.
"Mendingan kita neduh dulu. yuk," Sandy beringsut bangun. Dan duduk di samping Bastian yang masih KO meskipun hitungan kesepuluh sudah lewat.
"Takut kamu pingsan disengat matahari."
"Oh. aku nggak apa-apa!" bantah Bastian tersinggung. Cowok apa sih dia? Masa sama matahari saja takut? Batara indra cuma ada di komik, kan? Siapa takut?
Tetapi Sandy sudah meraih tangannya dan mengajaknya duduk di depan sebuah kafe. Di bawah bentangan payung lebar yang sejuk.
"Di negerimu orang tidak berjemur seperti ini, ya?"
Tidak. Di negeriku yang dijemur ikan asin. Emping. Kerupuk. Cucian. Dan anak sekolah kalau nakal.
Karena di negerimu matahari selalu bersinar."
Tidak juga. Kalau lagi musim hujan. matahari ngumpet. Takut sama banjir yang ngamuk tiap tahun.
"Tapi di sini matahari sangat kami rindukan. Tidak heran kalau hari ini begitu banyak orang berjemur di pantai. Hari ini menurut ramalan cuaca tidak hujan. Dan matahari bersinar cerah. Belum tentu esok-lusa matahari bersinar secerah ini lagi."
Masa bodoh amat. Bastian tidak memedulikan kisah pemujaan dewa matahari itu. Sebodo amat matahari keluar lagi atau tidak. itu kan urusan Badan Meteorologi. Dia sedang sibuk membayangkan ciuman tadi. Ciuman pertama. Ciuman dengan dewi!
Mengapa Sandy menciumnya? Cintakah dia padanya?
Tentu saja Bastian tidak tahu. dia tahu dari mana. pengalamannya kan masih stadium satu, ciuman buat cewek seukuran Sandy cuma pemyataan suka. Bukan cinta.
Bastian ingin sekali menembaknya. Tentu saja maksudnya bilang cinta. Bukan nembak pakai pistol. Itu sih pembunuhan.
Tapi bagaimana caranya? Dari mana dia harus mulai? Sandy tampaknya tenang-tenang saja. Dia sedang menyeruput minumannya dengan santai.
Bastian ingin memegang tangannya. Ingin memeluknya. Ingin membisikkan. aku cinta padamu. Tapi yang dilakukannya hanya meraih kaleng minumannya. Dan yang keluar dari mulutnya cuma,
"Aku ingin tinggal di sini."
'Apa?" Sandy menoleh heran.
"Tinggal di mana? Di Pantai Bondi? Kamu ingin punya apartemen di sini?"
"Aku ingin tinggal di Sydney. Di dekatmu."
Bastian mengharapkan 'Sandy akan memeluknya. Menciumnya seperti tadi. Tapi tidak. Tidak ada pelukan. Apalagi ciuman.
Sekejap Sandy menatapnya dengan tatapan tidak mengerti. Seolah-olah dia baru saja mendengar Bastian mengatakan dua kali dua itu sepuluh. Lalu di detik lain, senyum merekah lagi di bibirnya. Senyum penuh pengertian. Dasar culun.
"Kamu mau studi di sini?" tanyanya sabar.
"Tidak punya uang," merosot begitu saja dari lidah Bastian. Sialan.
Sekarang Sandy tertawa. "Jangan sampai kedengaran ayahmu."
Bukan ayahku. Ayah Barry.
Ketika melihat paras Bastian berubah mendung, Sandy mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas lengan Bastian.
"Ayahmu tidak setuju kamu studi di sini?" katanya penuh pengertian.
"Aku tidak peduli."
'Kamu peduli pada uangnya."
"Aku bisa kerja."
"Di mana?" "Di mana saja."
Lagi-lagi Sandy tertawa. Bukan tawa mengejek. Tapi tak urung Bastian merasa tersinggung. Seolah-olah tekadnya diragukan dan ditantang.
"Sebagai mahasiswa, kamu hanya bisa kerja dua puluh jam seminggu. Mungkin cukup untuk makan. Tapi dari mana uang untuk membayar uang kuliah?"
Persetan dengan kuliah, geram Bastian dalam hati. Papa juga bukan sarjana. Tapi penghasilannya jauh melebihi jebolan universitas!
*** Bab PACARAN dengan Sandy memang nikmat. Dia cantik. Menarik. Menggiurkan. Merangsang. Dan serba mengejutkan.
Yang mengejutkan itu memang bukan mahalnya saja. Dia tidak mau makan di resto Pak Amat yang makanannya cuma enam-tujuh dolar seporsi. Dia memilih makanan serba"wah" yang harganya belasan dolar.
Kadang-kadang Bastian harus bergerilya supaya uang di dompetnya masih bersisa. Sekarang dia memang harus mengencangkan ikat leher. Bukan ikat pinggang lagi. Soalnya Agus sudah tidak mau ditumpangi. Alasannya, Henny akan memboikotnya. Dia sudah mengeluarkan ultimatum: Pilih Bastian atau dia.
Lho, kok aneh. Kenapa si Agus disuruh milih? Dia kan bukan biseks.
Tapi apa pun alasannya. Bastian tidak bisa
numpang di tempat si Agus lagi. Jadi Bastian terpaksa menginap di losmen untuk turis backpacker. Tentu saja supaya murah.
Susahnya, Sandy bukan hanya mencengangkan karena serba mahalnya saja. Dia juga mengejutkan karena ulahnya yang macam-macam.
Contohnya saja malam ini. Sesudah makan sushi dan minum anggur, dia minta diajak ke apartemen Bastian. Coba. Yang mana apartemen Bastian? Ngaco, kan? Tapi itu pasti bukan akibat pengaruh anggur yang dihirupnya.
Tentu saja Sandy tidak tahu Bastian tinggal di mana. Di losmen murahan. Dia bisa semaput kalau ketemu kecoak di sana.
"Kenapa tidak ke apartemenmu saja?" Bastian mencoba satu lagi jurus gerilyanya.
"Cindy nggak pergi."
"Jadi kenapa?" Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja hanya bodoh untuk Sandy. Untuk Bastian. tidak apa-apa. Memang dia tidak tahu kok. Lha. yang pacaran mereka. Ada urusan apa dengan Cindy?
Mereka kan tidak bawa pulang makanan. Tidak mungkin diserbu Cindy. Minatnya kan
cuma makanan dan semua yang bisa dilahap. Manusia tidak termasuk. Itu sih kanibal.
"Kita tidak bisa berduaan di sana."
Berduaan? Siapa yang tidak mau? Berduaan dengan pacar! Memang Mama bilang itu berbahaya! Tapi asyik, kan? Ngebut juga bahaya. Tapi asyik.
Persoalannya. di mana? "Aku mesti telepon dulu," tukas Bastian gerah. Padahal udara malam itu sejuk.
"Telepon siapa? Mesti permisi sama siapa? Anita?"
Lho, kok jadi Anita? Apa kena-mengenanya sama dia? Dia" kan jatahnya Barry!
"Rencananya malam ini temanku mau nginap di flatku."
Bohong lagi. Tapi tidak ada pilihan lain. Cewek memang dilahirkan untuk dibohongi. kan? Itu kata ayahnya. Dan sudah dipraktikkan Barry berkali-kali. Puluhan kali malah. Sekarang Bastian ikut-ikutan jadi tukang bohong.
"Jadi kamu mau telepon siapa?"
"Tara." Tiba-tiba saja nama itu melintas di Otaknya. Lalu terbang ke lidahnya.
"Tara?" Sandy menyipitkan matanya. Dasar
antik. Dengan mata sipit begitu pun dia tetap cantik seperti Michelle Yeoh.
"Bartender temanku."
Tentu saja Sandy tahu siapa Tara. Dia kan sudah pernah makan di apartemennya. Tapi maksud pertanyaannya memang bukan itu.
"Oh, sekarang kamu mesti minta izin sama dia?"
Bastian mengharapkan mendengar nada cemburu dalam suara Sandy. Tapi yang ditangkapnya malah nada ejekan.
Tentu saja Sandy tidak cemburu. Segala macam tiang listrik begitu mana masuk hitungan? Menghina namanya kalau cemburu sama tiang listrik. kan?
Nggak level, begitu matanya bilang kalau bisa ngomong. Atau nggak normal? Cemburu sih sama tiang listrik!
"Ya, kalo mau pake flatnya kan mesti minta izin dulu," sahut Bastian agak kesal. Masa nyelonong aja?
"Boleh bawa Sandy ke flatmu, Tara?" Bastian langsung menghubungi Tara melalui HP-nya. Tidak percuma ibu Tara memberikan nomor itu ketika Bastian pura-pura lupa nomor ponsel anaknya.
"Ngapain?" tanya Tara datar.
"Ibuku nggak ada. Nggak ada makanan."
"Kami udah makan. Cuma mau ngobrol."
"Pada ke mana kafe di Sydney? Tutup semua? Sampai kalian harus ngobrol di flatku."
"Sandy ingin suasana tenang. Biar kami bisa asyik ngobrol berdua."
Tentu saja Tara tahu apa maksud Sandy. Dia kan sudah sembilan tahun hidup di sini. Dia tidak senaif Bastian. Dan entah mengapa kemarahannya langsung meledak.
Cari saja hotel! Bawa perekmu ke sana!
Tapi entah mengapa juga, kemarahannya hanya meledak di dalam hati. Di mulut. dia tidak sanggup mencetuskannya. Ibakah dia pada Bastian? Benarkah hanya perasaan iba?
Mama begitu terkesan pada penampilan pemuda itu.


Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kayaknya dia pemuda baik-baik. Tara," komentar ibunya tidak habis-habisnya setelah bertemu Bastian.
Seolah-olah dia Prince William.
"Iya, baik. Trus Mama mau apa?" sahut Tara jemu.
"Mama senang kamu punya teman. Apalagi yang seperti dia."
Dan berjenis kelamin laki-laki, sambung Tara muak. Tentu saja dalam hati. Dia tidak tega mengecewakan ibunya. Jadi dia tidak berterus terang. Tidak bilang pemuda itu bukan temannya. Cuma salah seorang tamu. Kebetulan mabuk di barnya!
"Malam ini aku nggak kerja. Tapi kamu boleh datang kapan saja. Aku taruh kunci pintu di mailbox. Pintu mailbax-nya tidak dikunci."
"Tapi kamu ada di flat?" desak Bastian bingung.
"Kamu mau aku menyingkir juga?"
"Nggak usah. Tapi..."
"Cukup kalau aku ngumpet di kamar? Kalian tidak pakai kamar, kan?"
"Tentu saja tidak!" cetus Bastian kaget. Lho, mereka kan bukan mau tidur!
Belum tentu. pandir, gerutu Tara jengkel. Kamu pikir_ mau ngapain cewekmu itu cari tempat sepi? Manggil jelangkung?
*** Bastian gembira bukan main. Akhirnya dia berhasil juga. Wah, Tara memang baik. Dewi
dia. Sayang terlalu kurus. Terlalu tinggi. Terlalu rata. Pantasnya jadi dewi tiang listrik. Eh, tiang listrik ada dewinya juga nggak, ya?
"Beres," cetus Bastian ketika dia selesai menelepon Tara. Suaranya bernada bangga seperti menemukan alat pendeteksi korupsi. Padahal dia cuma menemukan tempat sepi.
"Kapan kita berangkat?"
Tentu saja saat itu juga. Sandy sudah hangat. Tegangannya sudah memuncak. Dia tidak mau menunggu lagi. Tunggu apa? Nanti bubur keburu dingin. Eh, bukan bubur. Sushinya'. Keburu amis kalau dingin.
Dampak alkohol di pembuluh darahnya sedang mencapai titik kulminasi. Dia belum mabuk. Tapi efek afrodisiaknya sedang ganas ganasnya.
"Kamu yang nyetir, ya?" Tanpa menunggu jawaban. Sandy memang begitu, diserahkannya kunci mobilnya ke tangan Bastian.
"Lho, kok gitu?" desis Bastian panas-dingin. Seperti es krim goreng.
"Takut ada pemeriksaan," sahut Sandy sambil naik lebih dulu ke samping kiri mobilnya. Tidak menunggu dibukakan pintu. Soalnya Bastian masih melongo saja.
"Kalau distop untuk tes alkohol, aku pasti kena.
Ketika Bastian masih tertegun bengong, Sandy mulai kehilangan kesabarannya.
"Kamu bisa nyetir, kan?" nada suaranya sangat melecehkan.
"Siapa yang nyetir BMW dan Mercy ayahmu? Sopir?"
Tentu saja Bastian panas seperti dimasukkan ke dalam microwave. Masa dia tidak bisa nyetir? Biar nggak punya mobil, nyetir tank juga dia bisa!
""Kamu punya SIM?"
"SIM Indonesia."
"Nggak apa-apa. Di sini laku. Kamu kan turis."
Tapi nggak dibawa. Masih di Komdak.
Barry memang sering menyuruhnya mengemudikan mobilnya. Tapi Bastian tidak pernah disuruh ambil SIM. Kalau tertangkap, gampang, kata Barry.
Tapi di sini kan beda. Kalau ada polisi... Apa' mereka mau juga diajak musyawarah mufakat?
"Kamu tunggu apa lagi?" sergah Sandy tidak sabar.
"Mau pergi sekarang atau besok pagi?"
Apa boleh buat. Bastian nekat saja. Untuk mendapatkan cewek seperti Sandy, rasanya dia rela ditilang. Didenda. Bahkan dikurung di
penjara. Nah, bodoh, kan? Apa lagi namanya kalau bukan bodoh? Pandir, kali. Dungu. Tolol. Dan lain lain.
Untung malam itu para polisi tidur nyenyak. Bastian bisa mengemudikan mobil Sandy dengan selamat sampai di apartemen Tara. Dia memarkir mobil di depan bangunan apartemen. Membuka kotak pos yang tidak terkunci. Merogoh rogoh. Tentu saja merogoh kotak pos. Kalau merogoh yang lain, dia bisa dikepruk.
"Ini kuncinya," cetus Bastian lega sambil memperlihatkan kunci kepada Sandy. Tentu saja Sandy tahu itu kunci. Dan dia tidak peduli.
Dia sudah kepingin b.a.k. Yang ingin dilihat nya sekarang cuma WC. Bukan kunci. Tapi
pemuda ini benar benar lamban. Tidak gesit. Padahal dia sudah tidak tahan.... Kalau di jakarta, namanya kebelet.
"Please," pinta Sandy memelas.
Dan Bastian bingung lagi. Dia minta apa? Kok pake plis plisan segala?
"Bisa lekasan nggak?"
Wah, rupanya dia benar-benar sudah tidak sabar. Minta dicium.
Terburu-buru Bastian membuka pintu. Dan
membuka lengannya lebar lebar. Tapi Sandy bukan menghambur ke pelukannya. Dia kabur ke WC.
Bastian menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung. Perempuan benar benar tidak terduga. Tentu saja dia tidak tahu, dia yang tidak pandai menerka. Tidak pandai menerka perasaan Sandy yang sampai bosan merayunya, Bastian belum panas juga. Tidak pandai menerka perasaan Tara yang harus bersembunyi di kamar menjadi tempolong congek di sarang nya sendiri.
Akhirnya setelah dua jam mengobrol sambil sekali-sekali berciuman, memang tahap Bastian baru sampai di situ. Sandy permisi pulang. Putus asa dia. Rasanya dia harus menunggu dua periode lagi. Sampai pemuda itu benar benar matang. Sekarang dia baru seperti sashimi. Mentah.
"Terima kasih. Sandy," tukas Bastian dengan wajah sumringah seperti pengantin baru.
"Terima kasih buat apa?" sekarang giliran Sandy yang heran.
Buat apa? Ya, buat segalanya. Nge date sama gue. Ciuman yang begitu hot. Pokoknya segala yang bikin ketagihan!
Bastian masih terlongong-longong di depan pintu, menatap bidadarinya yang sudah melayang kembali ke nirwana, ketika terdengar bunyi pintu kamar ditutup. Ah. bukan ditutup. Dibanting. Soalnya bunyinya bruk. Bukan ceklek.
Buru-buru dia berbalik. Dan pintu tertutup di belakang tubuhnya.
Tara sudah melihatnya di sana. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Padahal berapa susahnya sih bilang halo?
Dia langsung saja menuju ke dapur yang terletak di sudut ruangan itu juga. Ketika dia melihat piring makannya penuh abu rokok, diraihnya piring itu dan dilemparkannya ke tempat sampah.
"Sori," cetus Bastian dalam nada penuh penyesalan.
"Tadi aku cari asbak, tapi nggak nemu..."
"Nggak apa," sahut Tara dingin.
"Anggap saja asbak."
"Kamu marah, ya?" tanya Bastian setelah terdiam sesaat. Memerhatikan gadis yang sedang mengeluarkan nasi goreng bikinan ibunya yang entah sudah berapa hari disimpan di lemari es.
"Cuma kesal," dengusnya terus terang.
"Kenapa kamu nggak cari tempat lain buat pacaran."
"Sandy pengin cari tempat sepi. Supaya kami bisa ngobrol nggak ada yang ganggu."
Kalau cuma buat ngobrol, ngapain kemari? Pergi saja nyepi di Watsons Bay!
Tapi Tara tidak mencetuskan kata-kata itu. Karena dia tahu yang Bastian belum tahu. Sandy kemari bukan hanya ingin ngobrol.
Tara membuka pintu microwave-nya. Lalu memasukkan nasi goreng itu ke dalamnya.
"Boleh minta sedikit?" tanya Bastian sambil duduk di kursi makan.
"Katanya kamu sudah makan."
"Nggak doyan. Sandy doyannya ikan mentah. Aku kan bukan burung bango."
"Kamu bisa minta yang lain."
Iya. Tapi mahal. Aku sudah harus mulai ngirit. Bensinku hampir habis. Dan di negeriku, BBM tidak pernah turun.
"Kamu bisa cariin aku kerjaan, Tara?"
Sekarang Tara menoleh. Meskipun tidak ingin. Ditatapnya Bastian dengan tajam. Bastian sampai merinding. Ih, dinginnya tatapan itu. Rasanya tulangnya sampai pada
ngilu. Untung darahnya tidak ikut membeku. Bisa digorong ke ICU dia.
"Kamu mau kerja?" suaranya lebih dingin dari es. Jadi sedingin apa?
"Kamu kan turis."
"Aku perlu uang."
"Untuk nyervis pacarmu?"
"Sandy nggak perlu diservis. Mesinnya masih oke. Bodinya apalagi."
Tidak seperti aku, dengus Tara muak. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa kesal. Padahal biasanya dia tidak peduli dengan tubuhnya.
"Kamu mau kerja di mana?"
"Di mana saja. Aku sanggup kerja apa saja."
"Tapi tidak ada yang mau terima kamu."
"Karena aku tidak punya ijazah?"
"Karena kamu tidak punya izin kerja!"
"Jadi tukang sapu di barmu perlu izin kerja?"
"Di sini tukang sampah juga perlu izin!"
"Jadi gimana aku bisa dapat duit?"
"Minta sama ayahmu."
Tara membuka pintu microwave-nya. Mengendus bau basi nasi gorengnya. Lalu tanpa ba bi bu lagi dibuangnya nasi itu ke tempat sampah. Untung piringnya masih selamat. Barangkali piringnya tinggal satu. Kalau dibuang juga, besok dia mesti makan pakai daun.
"Kenapa dibuang?" keluh Bastian sedih. Lenyaplah jatah makan malamnya yang terakhir!
"Sudah basi. Waktu itu Mama lupa me masukkannya ke kulkas." Dan semua itu gara gara kamu. Mama terlalu memerhatikanmu. Entah kamu ngibul apa. Dia begitu tertarik padamu. Sampai muak aku. Tiap hari yang diomongkannya cuma kamu. Kamu. Kamu. Hhh. Kayak nggak ada omongan lain.
"Tapi kamu belum makan, kan?" Nah. se karang lagaknya persis Mama.
"Nggak makan semalam nggak apa-apa," sahut Tara tawar.
Api Di Bukit Menoreh 11 Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam Musyawarah Burung 2

Cari Blog Ini