Ceritasilat Novel Online

Di Sydney Cintaku Berlabuh 3

Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W Bagian 3


"Sudah biasa." "Nanti kamu sakit!" Sekarang dia bukan cuma jadi ibu. Jadi dokter sekalian.
"Makan itu perlu untuk..."
"Kalau lapar. aku bisa makan roti."
"Mana rotinya?"
"Bukan urusanmu."
"Urusanku juga. Aku juga pengin makan roti!"
Tapi roti juga tidak ada. Biskuit tidak ada. Cornflaker tidak ada. Mi kardus apalagi. Apa yang mau dimakan? Lalat saja nggak ada. Apalagi tikus. Cecak. Kecoak. Lho, emangnya dia kucing?
"Aku beli burger dulu, ya," kata Bastian berbaik hati.
Tapi yang diterima malah dampratan.
"Tidak usah!" Lho. kok malah marah? Mana ada orang yang marah kalau mau dibelikan makanan? Kalau disuruh bayar, baru pantas marah!
"Kenapa sih kamu jutek banget, Tara?" keluh Bastian tidak sadar. Kelepasan bicara. Soalnya dia sudah sebal.
"Kamu tuh sebetulnya baik. Tapi nggak bisa punya temen. Habis adatmu susah. Gersang dan tandus kayak gurun pasir...
"Tidak perlu menganalisis adatku," potong Tara dingin.
"Sekarang yang penting, kamu mau pulang atau numpang di sini?"
"Aku boleh numpang di sini?" cetus Bastian antara kaget dan gembira, seperti dapat undian mobil.
"Bawa saja kuncinya," sahut Tara acuh tak acuh.
"Aku punya duplikatnya."
lalu dia mengambil segelas air dan duduk di depan komputernya. Dia masih duduk di sana ketika Bastian kembali setelah mengambil barang-barangnya dan membeli dua hamburger.
Tara tidak menoleh ketika Bastian masuk.
Dia anteng saja di depan monitornya. Tetapi ketika Bastian meletakkan sebuah burger di hadapannya, dia meledak seperti meteor bertabrakan.
"Sudah aku bilang, nggak lapar!"
"Ya udah, buang aja," sahut Bastian setelah kagetnya hilang.
Dan di luar dugaan, Tara benar-benar melemparkan burger itu ke tempat sampah!
Yang satu ini memang aneh. pikir Bastian ketika dia sedang menyantap burgernya sambil berbaring di sofa. Dari tempatnya berbaring dia bisa mengawasi Tara. Masih asyik di depan komputernya. Cewek model begini pasti belum ada di koleksi Barry.
Tapi Barry juga pasti tidak mau mengoleksi cewek kayak begini. Bisa permisi jantungnya.
Apalagi kecantikannya cuma rata-rata. Itu pun kalau dia lagi kayak cewek. Kalau dia sedang seperti cowok, apa yang mau dinilai? Barry kan bukan gay. Cowok tulen. Minatnya kutub yang berseberangan.
Aku juga tidak berminat, pikir Bastian sambil mengunyah burgernya. Dia galaknya kayak rottweiler. Ceking. Nggak keren. Apa yang mau ditampilkan di depan Barry?
Bastian sudah bertekad, kalau dia punya cewek, mesti lebih keren dari ceweknya Barry. Sekali sekali dia mesti unggul dong! Masa di bawah terus! Emangnya kaki!
Ceweknya mesti kayak Sandy. Sudah cantik, seksi, lagi! Pasti Barry mengaku kalah. Dan mengakui keunggulan adiknya. Kali ini dia tidak jadi tukang loak lagi. Masa terus terusan jadi tukang loaknya Barry?
Ingat Barry, Bastian baru terperanjat. Besok sudah tepat seminggu sejak dia mengontak Barry minta tambahan uang. Sejak itu dia tidak pernah telepon lagi. Takut. Soalnya dia sudah melanggar janji. Belum mau pulang juga.
Apa kata Mama? Sudah tahukah Mama dia berdusta? Dia tidak ada di Jakarta. Ah, mudah mudahan Mama tidak marah!
Tapi sebenarnya bukan kemarahan Mama yang ditakuti Bastian. Dia takut Mama sedih. Cemas. Mama memang selalu begitu. Selalu khawatir. Barangkali pembawaan seorang guru.
lain dengan Papa. Dia tidak pernah mengenal takut. Makanya bisnisnya maju terus. Yang mewarisi sifatnya bulat-bulat tentu saja Barry. Genetik ditambah pengaruh lingkungan. Klop.
jadilah Barry seperti sekarang. Playboy tanpa takut. Bukan pendekar tanpa bayangan. Kalau itu sih setan, kali.
Bastian tidak tahu jam berapa dia tidur. Rasa nya TV masih menyala ketika dia terlelap. Soalnya dia masih mendengar orang bicara di tengah tengah mimpinya. Dan mereka bicara pakai bahasa Inggris. Kalau mimpi, mereka kan pasti pakai bahasa ibu. Dan selama ini, dia tidak pemah tidur sambil mendengar suara suara di telinga. Kalau itu sih schizopbrenia. Bastian tidak tahu jam berapa Tara tidur. Tapi begitu dia membuka matanya pagi itu, Tara sudah tidak ada. Heran. Dia bukan cuma nggak doyan makan. Rupanya dia juga tidak suka tidur. Jadi apa yang dia suka? Bastian mau memberikannya kalau saja dia tahu. Perlahan lahan Bastian beringsut bangun. Meregang Ototnya. Dan melangkah ke dapur. Tercengang juga dia melihat sarapan sudah terhidang di meja makan. Ada sandwich. Ada telur dadar. Dan... segelas susu! Bukan main! Apa Tara mau minta maaf buat kejudesannya
tadi malam? Dia menyesal karena bersikap kasar pada orang yang bermaksud baik? Karena itu pagi-pagi dia sudah turun membeli roti, susu, dan telur?
Di bawah gelas susu, ada secarik kertas. Surat. Tapi isinya singkat. Kayak SMS. Khas Tara.
"Kalau masih mau balik, bawa saja kuncinya. T
T itu pasti Tara. Bukan Tarzan. Dia kan tidak pernah pakai cawat biarpun lagaknya tomboi.
Bastian mengambil pensil. Dan menulis di bawahnya.
"Terima kasih. B."
Nah, persis Mister Bean! *** Bastian tidak tahu mengapa Sandy minta dijemput di kampus. Dia kan tahu Bastian tidak punya mobil. Nah, jemput pakai apa? jemput naik bus, boleh?
Tapi orang lagi pacaran itu memang paling aneh sedunia. Tidak ada yang ganjil. Tidak ada yang mustahil. Cinta memang sakit, kan?
Kata Sandy, ini hari terakhir kuliahnya. Esok sudah libur musim panas. Tidak ada kuliah lagi. Jadi Bastian patuh saja disuruh naik bus jemput pacarnya. Tenang-tenang saja disuruh tunggu berjam-jam di depan kampus. Tidak ada yang aneh. Karena cinta itu sendiri sudah aneh. Tidak bisa dijabarkan pakai logika.
Ketika Sandy keluar diiringi Carl, baru Bastian mengerti. Itu sebabnya dia disuruh jemput di kampus!
Tetapi Bastian tidak marah. Tidak kesal disuruh menunggu berjam-jam karena Sandy tidak bilang jam berapa dia selesai kuliah. Jam betapa Bastian harus pasang badan.
Bastian begitu gembira melihat Sandy. Dari kejauhan saja, pesonanya sudah berkilauan seperti mutiara dalam pelimbahan. Tentu saja pelimbahannya ada di sampingnya. Carl. Dan beberapa orang lagi teman teman kuliahnya.
Sandy sendiri tetap menawan sekalipun dia hanya memakai kemeja dan celana panjang. Ah, dasar cantik. Memakai baju apa pun tetap saja cantik. Rasanya tidak pakai apa-apa pun masih cantik. Atau malah... tambah cantik?
Sebaliknya begitu melihat Bastian. Sandy langsung menghambur mendapatkannya. Seolah-olah dia melihat Richard Gere datang menjemputnya.
Separo melompat, Sandy memeluknya. Menciumnya dengan mesra. Lalu menyelipkan tangannya di lengan Bastian seperti minta dibimbing.
Astaga manjanya! Untung saja dia cantik. Kalau tidak... Bastian pasti sudah mengibaskan tangannya;
Tetapi karena dia cantik, Bastian justru ketagihan ingin memeluknya. Merasakan kehangatan tubuhnya. Membaca body image-nya yang demikian menantang.
.Tidak peduli di sana banyak orang. Mereka terus saja berjalan sambil berpelukan seperti Romeo dan Juliet.
Di sana memang tidak ada yang peduli mereka berpelukan atau saling gendong sekalipun. Kalau ada tukang jamu gendong barangkali mereka baru heboh.
Sambil melangkah Bastian masih sempat menoleh dua kali ke belakang. Dan melihat Carl mengawasi mereka dengan tampang perang seperti Dasamuka. Ketika Bastian menoleh untuk kedua kalinya, dia malah menunjukkan jari tengahnya.
Untuk membalasnya. Bastian menungging kan pantatnya. Pakai ilmu Semar buang angin. Tentu saja tidak setahu Sandy.
Atau... Sandy tahu? Karena dia bertambah manja dua kali lipat. Dia merapatkan tubuhnya. Tentu saja ke tubuh Bastian. Kalau ke bus sih bisa keserempet.
Lalu melingkarkan lengannya ke pinggang Bastian. Dan menyandarkan kepalanya seolaholah dia sudah dua tahun tidak ketemu bantal.
Tentu saja Bastian hepi. Sebodo amat Carl marah. Siapa suruh jelek! Hidungnya ketukar sama badak!
Dan untung saja dia tidak tahu, dia hanya dipakai sebagai alat pemancing kecemburuan. Kadang-kadang cinta bukan hanya aneh. Cinta itu bodoh.
*** "Belum ada lowongan buatku, Tara?" tanya Bastian ketika Tara pulang kuliah malam itu. Sesaat Tara tertegun. Lalu di detik lain, sikapnya sudah kembali acuh tak acuh.
"Kan aku udah bilang, untuk kerja harus ada izin!"
"Gelap aja juga nggak apa apa. Kayak temanku."
"Kalau ketangkap, kamu digiring ke Villawood. Langsung dikirim pulang!"
"Kebetulan. Aku udah kelamaan di sini."
"Visamu sudah habis?"
"Belum. Aku cuma bercanda, lagi. Kamu bawa makanan?"
"Makanan dari mana? Aku pulang kuliah. Tadi siang makan di kampus."
"Ajak aku makan dong."
"Di-mana?" "Di mana ada makanan enak?"
"Dan murah?" "Ada yang murah di sini?"
"Mau kentang goreng?"
"Nggak kenyang."
"Burger?" "Bosen. Ada yang lain?"
"Sudah pernah ke Darling Harbour?"
"Mau ngajak aku ke sana?"
Tara melirik jam tangannya. Jam tujuh lewat.
"Mudah-mudahan hadmurt-nya masih buka."
"Tengkiu!" Bastian bersorak seperti anak kecil dapat permen.
"Kamu baik banget, lagi!"
untung waktu mereka sampai di sana, foodcourt-nya belum tutup. Bastian bisa memilih aneka macam makanan yang dijajakan di sana. Ada Jepang. Mexico. Cina. Italia. Dan tentu saja Amerika.
Sayang tidak ada Indonesia. Pak Amat tidak mau buka cabang. Padahal pengunjungnya boleh juga. Hampir tutup saja masih ramai.
Harganya juga tidak terlalu mahaL Tentu saja tidak mahal untuk ukuran Australia. Air dalam botol saja dua dolar. itu berarti empat belas ribu uang kita. Di Jakarta bisa dapat empat mangkuk mi bakso. Yang didorong pakai gerobak. Saus tomatnya gratis. Di sini meSti beli.
Bastian makan sepuas-puasnya. Segala macam makanan dia cicipi. Mumpung Tara yang bayar. Hehehe. Dia merasa dimanjakan. Tara menyuruhnya memilih makanan apa saja.
Tara sendiri tidak makan apa-apa. Dia hanya makan salad. Pantas saja kurus. Heran. Dari mana tenaganya?
"Kalo kamu cuma makan sayur kayak kambing gini, gimana bisa kuat?" gurau Bastian
sambil menikmati makan malamnya yang ke sekian.
"Sapi juga cuma makan rumput," sahut Tara acuh tak aCuh.
"Kuat." "Tapi kamu nggak mau jadi sapi, kan?"
"Udah, jangan cerewet. Habisin makanmu. jam delapan biasanya mereka tutup."
"Kita langsung pulang?"
"Mau ke mana lagi?" sergah Tara kaget.
"Masa perutmu belum kenyang juga? Kenapa makanmu banyak sekali?"
"Mumpung kamu yang bayar!" gurau Bastian sambil menyeringai lebar.
"Aku kepingin punya badan tinggi besar kayak ayahku."
Sebenarnya bukan Bokap tokoh idolanya. Papa'memang tinggi besar. Tapi perutnya gendut. Pantatnya kayak terompah. Idolanya sebenarnya Barry. Dia baru ideal.
"Kata Papa. aku terlalu kurus. Untung nggak kedengaran Mama."
"Cacingan, kali." Tara cuma asal nyeletuk. Tidak bermaksud bercanda. Tapi tak urung Bastian tertawa gelak gelak.
"Kamu nggak pernah ceritain bokap kamu."
Paras Tara langsung berubah. Bastian sampai menyesal mengucapkannya.
"Nggak pernah lihat. Sejak aku bayi Mama udah menjanda."
Kasihan. Pantas saja adatnya jelek. '
"Kata ibumu, dia kawin lagi waktu kamu umur sepuluh tahun. Sama bule. Trus kalian pindah ke sini."
"Udah, yuk," potong Tara jemu.
"Kita jalan jalan di luar."
"Kenapa sih mau buru buru aja?"
"Bosan." "Bosan dengar aku ngomong?"
"Ngomongin yang lain' aja."
"Apaan?" "Nggak tau." Mengapa dia seakan menutupi masa lalunya? Dia produk broken home. Oke. Aku juga. Tapi adatku nggak sejelek dia! Kalau Barry sih emang iya.... Malah lebih rusak lagi!
Di depan foodcourt di Darling Harbour. ada deretan bangku baru yang menghadap ke laut. Kalau sedang ada acara, pergelaran musik atau pun peragaan perahu layar, tempat itu penuh. Tapi malam ini tidak ada acara apa apa. Malam pun sudah larut. Hampir pukul sebelas malam. Restoran sudah banyak yang tutup. Foodcourt malah sudah tutup dari tadi. Pengunjung sudah sepi.
Tapi Bastian belum mau pulang. Dia senang menyusuri pantai yang bersih dan tenang itu. Melangkah di taman sambil mendengarkan simfoni angin malam.
Malam itu mereka sudah berjalan kaki cukup jauh. Menembusi taman sampai ke Chinatown. Ketika melihat makanan yang dijajakan di sana, Bastian menyesal perutnya sudah kenyang.
"Lapar lagi?" cetus Tara ngeri. Takut Bastian minta makan lagi.
"Besok kamu mau ngajak aku kemari lagi?" gurau Bastian sambil tersenyum.
"Asal u bayar sendiri."
"Oke, besok aku yang traktir."
Dia meraih tangan Tara untuk digandeng. Tapi Tara langsung melepaskannya. Wah, yang satu ini memang tandus! Nggak ada romantisnya sama sekali!
"Kenapa sih kamu nggak mau digandeng?"
"Masih bisa jalan sendiri." Waduh, ketusnya!
Dari Chinatown Tara membawa Bastian kembali ke Darling Harbour.
"Mau pulang? Atau mau ke kasino? Nggak jauh dari sini. Tapi kamu mesti punya ID. Belum delapan belas nggak boleh masuk."
"Nggak punya uang." Bastian menyeringai pahit.
"Lagian Nyokap bilang, judi itu permainan setan."
"Kalo gitu... pulang?"
"Boleh duduk-duduk dulu di sini?"
"Ngapain lagi? Restoran udah pada tutup."
Tapi Bastian memang senang duduk di sana. Memandang jauh ke seberang. Ke Cockle Bay.
Bastian bisa duduk-duduk di bangku baru itu dengan santai menikmati udara malam yang mulai sejuk. Meskipun musim panas, jangan heran kalau kadang-kadang malam di sini terasa dingin. Sementara Tara duduk di dekatnya sambil main game di ponselnya. Satudua anak muda lewat di depan mereka. Tapi tidak ada yang menoleh.
Sekilas orang memang tidak tahu dia wanita. Tahu dari mana? Dia mengenakan kemeja pria dan celana jins. Kepalanya ditutupi topi baret.
Kenapa sih dia tidak mau terlihat amrik? Atau lebih gamblang lagi, kenapa Tara tidak mau terlihat sebagai wanita? Kenapa dia tidak
tampil feminin? Jelek-jelek kalau feminin kan masih lumayan! Nggak tomboi begini!
"Simpan mobile-mu, Tara," pinta Bastian lembut.
"Biar kita bisa ngobrol."
"Ngobrol apa." sahut Tara datar.
"Nggak ada yang perlu diomongin."
"Misalnya saja, kenapa kamu nggak suka pakai rok."
"Peduli apa? Itu soal selera."
"Kenapa kamu nggak suka ngobrol."
"Nggak_ada yang diobrolin. Paling-paling ngegosipin orang."
"Nggak perlu ngegosip. Kita bisa ceritain diri kita masing-masing."
"Buat apa?" "Buat apa? Kamu nggak pengin tau di mana aku lahir, siapa bapakku, aku punya tanda lahir nggak"
"Nggak minat." "Makanya kamu nggak punya temen. Kamu kelewat tertutup. Kayak kotak Pandora."
"Aku memang nggak suka ngobrol. Bosan. Kapan kita pulang?"
"Kamu capek? Ngantuk?"
"Nggak juga. Biasanya kalau kerja juga sampai jam segini."
"Kalo gitu temenin aku di sini."
"Ngapain? Kamu mau makan yang murah meriah, udah. Mau lihat Darling Harbour, udah. Mau ke Chinatown, udah. Mau apa lagi? Nyebur?"
"Aku pengin kenal kamu lebih dalam lagi, Tara. Aku kepingin jadi sohib kamu."
"Segini aja. Nggak perlu dalam-dalam. Ntar kelelep."
"Aku kepingin tau masa lalumu."
"Nggak usah. Baca aja sejarah."
"Ceritain masa kecilmu."
"Sama kayak kamu. Suka nangis, nyanyi, ngompol."
Buset. Susah banget punya teman begini! Serba tertutup dan misterius!
"Ibu kamu nggak kayak begini," keluh Bastian penasaran.
"Nyokapmu ramah, terbuka, pinter ngomong"
Pintar masak.... Jadi nggak perlu makan di luar. Ngirit.
"Berteman aja sama Nyokap," potong Tara tawar.
"Kenapa kamu beda banget sih? Kata orang, kalo mau lihat kamu dua puluh tahun lagi, mesti lihat nyokap kamu.'
"Nah, pelotorin aja sampai bosan kalau ketemu lagi. Aku mau pulang."
Dan Tara 'sudah bangkit tanpa dapat dicegah lagi. Padahal Bastian masih ingin mengajaknya ngobrol.
Terburu-buru Bastian mengejarnya. Ketika dirasanya malam bertambah dingin, dibukanya jaketnya. Diselimutkannya ke bahu Tara.
Tentu saja maksudnya baik. Tapi sambutan yang diterimanya bukan senyum terima kasih. Atau paras tersipu sipu seperti yang sering
dilihatnya di sinetron. Yang diperolehnya justru hentakan galak.
"Nggak usah!" Tara menyingkirkan jaketnya dengan kasar. Untung Bastian keburu menangkapnya. Kalau tidak, jaket itu sudah jatuh ke tanah.
"Aku cuma nggak mau kamu kedinginan!" keluh Bastian sambil menarik napas panjang. Bergaul dengan cewek yang satu ini memang perlu aki cadangan. Eh, jantung cadangan. Kaget kaget terus.
"Nggak perlu!" "Kenapa sih kamu nggak bisa nerima kebaikan orang?"
"Setiap kebaikan ada maunya!" sahut Tara sengit.
Lho, KOK kamu jadi marah sih? Nggak semua orang hatinya culas! Banyak yang betul betul mau berbuat baik! Kamu jangan curiga aja dong!" .
Masa lalu sepahit apa yang pernah dialaminya? pikir Bastian ketika dia sedang mengawasi Tara yang sedang berjalan cepat cepat dua langkah di depannya. Dasar tomboi. Jalannya juga tidak lemah gemulai. Dia lebih mirip sepeda balap. Bastian harus ikut tancap gas kalau tidak mau ketinggalan.
Melalui jalan yang agak mendaki menuju ke jalan raya tidak mengurangi kecepatan Tara. Dia tetap saja melangkah gagah seperti taruna Akabri.
Kalau semua cewek seperti dia, cowok bisa nganggur. Bagaimana bisa menuntun tangannya kalau mengejarnya saja sulit?
"Tunggu, Tara!" seru Bastian ketika dilihatnya Tara sudah hampir sampai di pinggir jalan. Bukan takut ditinggal. Tapi kalau busnya keburu datang dan Tata keburu naik, Bastian bisa ketinggalan bus.
Tetapi Tara tidak peduli. Dia tidak mengurangi kecepatannya sedikit pun. Tetap saja ngebut seperti di arena balap.
"kamu mau ngadu jalan apa takut aku perkosa sih?" gerutu Bastian kesal.
"Sebentar lagi busnya datang!" sahut Tara datar.
"Mungkin bus yang terakhir!"
Dan kata katanya ternyata tepat. Tidak ada semenit kemudian, bus datang. Dan berhenti tepat di depan mereka.
Pintu langsung terbuka. Dan Tara naik tanpa menoleh lagi. Bergegas Bastian membuntutinya.
Tara membayar tiket untuk Bastian. Dia sendiri hanya melubangi karcis mingguannya. Lalu dia memilih duduk di belakang. Padahal bus kosong melompong.
"Ngapain duduk jauh-jauh?" tanya Bastian heran.
"Mau tidur," sahut Tara santai. Dan dia benar benar memejamkan matanya!
"Gimana kalo busnya udah nyampe dan kita ketiduran?"
"Pasti dibangunin. Tadi aku udah bilang kita mau turun di mana."
"Kalau dia lupa?"
"Kenapa sih kamu cerewet banget?"
"Kenapa sih kamu nggak doyan ngomong? Biasanya cewek bawel, kan?"
"Siapa yang bilang aku cewek?"
Astaga. Bastian menarik napas panjang lagi. Dan menjatuhkan tubuhnya di samping Tara.
Ketika tubuh mereka bersentuhan. Tara membelalakkan matanya dengan marah.
"Bangku banyak, tempat berdiri kosong, ngapain sih desak-desakan?"
"Pengin deket kamu."
"Sana ah!" Tara mendorong tubuh Bastian dengan kasar. Dorongannya begitu bertenaga. Bastian merasa seperti didorong Barry kalau mereka sedang bercanda.
"Jangan dekat-dekat kenapa sih!"
Refleks Bastian balas mendorong. Tentu saja hanya bergurau. Seperti dengan Barry. Dan tubuh Tara terempas ke dinding bus.
Tara tidak memekik. Tapi benturan tubuhnya dengan dinding bus cukup keras. Sopir bus sampai melirik dari kaca spion dan menegur mereka. Dasar anak muda! Bandel! Bercanda saja.
Tapi Bastian tidak memedulikan tegurannya. Mendengar saja tidak. Perhatiannya tumplek blek pada Tara.
"Sakit?" tanyanya dengan segurat penyesalan menoreh harinya.
"Sori! Aku nggak sengaja, Tara! Kelepasan. Kayak lagi bercanda sama abangku!"
"Nggak apa apa!" Tara menyingkirkan tangan Bastian yang mencoba memeriksa bahunya.
'Ngegelinding sana! Aku mau tidur!"
Dan dia betul betul mendorong tubuh Bastian sampai separo badannya menggantung di udara. Separonya lagi masih melekat di bangku. Lalu dia memejamkan matanya.
Tetapi Bastian tetap tidak mau pindah. Dia merapatkan tubuhnya. Kali ini. Tara diam saja. Pura pura tidur. Padahal diam-diam dia merasa hangat.
*** Bab Begitu Sandy memutar kunci _dan membuka pintu apartemennya, Anita sudah muncul di ambang pintu. Wajahnya berseri seri. Padahal biasanya kalau Bastian datang dengan Sandy, parasnya kumal seperti dompet tanggung bulan. Tentu saja dompet ibunya. Kalau dompet ayahnya sih nggak pernah kucel. Soalnya terbuat dari kulit asli. Dan isinya padat terus.
"Halo!" sapanya ramah seperti pelayan di restoran jepang. Yang selalu menyapa tamunya dalam bahasa jepang. tidak peduli mereka mengerti atau tidak.
"Halo juga," sahut Bastian masih agak bingung. Kenapa Anita begitu riang?
Sandy sih tidak peduli. Dia nyelonong saja masuk. Baru tertegun ketika melihat seseorang yang tidak dikcnalnya duduk di sofa ruang tamunya. Dan orang itu bukan hanya tampan
seperti Brad Pitt. Matanya juga tajam menilai seperti Robert De Niro.
Bukan itu saja. Gayanya ketika bangkit sambil menyodorkan tangannya mengajak kenalan persis lagak seorang penguasa. Angkuh tapi menarik.
Senyumnya tipis. Tapi cukup menggetarkan sukma. Rahangnya tidak sekokoh Arnold Schwarzenegger. Tapi belahan di dagunya amat memikat. Mirip Michael Douglas. Wah, mirip parade bintang Hollywood nih. Dasar Sandy hobinya nonton. Terus saja dia ngakurin tampang.
Hidungnya tinggi dan bagus. Dan tatapannya! Benar benar tatapan seorang ahli. Rasanya begitu menatap, matanya bisa menjepret seperti kamera satu megapixel. Lalu saraf di belakang mata itu langsung menganalisis objeknya seperti komputer. Duh, kayak robot saja!
Rambut, pirang lurus. Wajah, luar biasa cantik. Leher, jenjang. Dada, tiga delapan. Pinggang, dua enam. Pinggul, tiga enam. Kalkulasi nilai, sepuluh. Perfect ten!
Hore! Plok! Plok! Plok! Kalau yang ini sih bukan hasil komputer. Tapi orang bertepuk tangan.
Ketika pemuda itu bangkit, gayanya juga sangat macho. Ganteng. Tinggi atletis. Dengan dada yang bidang dan bahu yang kokoh seperti iklan obat kuat. _
Rasanya sudah sering Sandy bertemu dengan pemuda Asia. Di kampusnya tidak kurang. Di Chinatown juga banyak. Tapi yang kualitasnya seperti ini benar benar langka! Kualitas super! Tidak heran kalau Sandy sempat tertegun tiga puluh detik.
Sementara itu, dari jarak dua meter saja, Bastian sudah tahu siapa yang datang. Meskipun bukan turunan herder. hidungnya sudah dapat mengenali harumnya aroma parfum yang dipakai tamu itu. Dan dia menyesal sekali mengapa dia harus datang dengan Sandy!
Kalau bisa, ingin rasanya dia menyembunyikan Sandy di belakang tubuhnya. Atau mem bonsai badannya supaya bisa dimasukkan ke dalam kantong celananya!
Supaya Sandy tidak usah melihat Barry dan membandingkan mereka. Atau yang lebih penting lagi, supaya Barry tidak pernah melihat Sandy!
Lihat saja bagaimana mata Barry menatap Sandy. Di matanya seolah olah ada rudal yang
siap diluncurkan untuk menaklukkan hati Sandy.
Barry memang punya strategi ampuh untuk menaklukkan cewek mana pun. Dan seingat Bastian, dia belum pernah gagal!
Ketika Sandy belum muncul, Barry pasti sudah cukup puas dilayani Anita. Makanya Anita terlihat sangat bahagia. Tapi begitu Sandy muncul, sasarannya pasti berubah! Ada target yang lebih besar"!
"Hale, kunyuk kecil!" Barry mengirimkan salam tepuknya.
"Halo juga, lutung bandot!" Bastian menyambut dengan menghantamkan telapak tangannya. Plok. Plok. Plok.
Lalu mereka saling genggam seerat-eratnya.
"Rasanya gue jadi kepingin ngegaplok tampang lu!" bisik Barry sambil menyeringai.
"Sayang di sini banyak cheerleader. Ntar kita berantem disorakin."
"Gue mau tanya satu hal aja, Barry."
"Giliran lu udah habis, Bas! Kewajiban lu sekarang cuma menjawab!"
"Gue cuma mau nanya Mama! Dia baik?"
"Baik. Cuma Mama marah banget. Dia sampe nyusul ke Jakarta. Pulang-pulang lu
pasti dihukum di depan kelas! Disuruh nulis 'Tidak boleh bohong' seratus kali."


Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mama tau gue ke sini?"
"Gue musti gimana lagi? Lu janji dua minggu tapi melar jadi dua minggu setengah! Emangnya gampang ngibulin Mama?"
"Silakan minum dulu," Anita datang menyuguhkan minuman buat mereka. Wajahnya sumringah sekali. Pasti gara-gara Barry. Mudah mudahan Barry cuma naksir dia. Jangan Sandy.
"Terima kasih," sahut Barry dengan gayanya yang khas. Gaya Casanova singkong.
"Boleh mengajak kamu dan temanmu makan malam?"
Wah, gayanya PD banget. Pasti hasil jiplakan gaya Bokap. Yang sering disaksikannya sejak kecil.
Bastian menendang kaki Barry yang terjuntai di bawah meja. Buk. Kena tulang keringnya. Rasain.
Barry sampai meringis kesakitan. Tapi di depan Anita, dia tetap pasang gaya keren. Dasar playboy.
"Aku tanya Sandy dulu," Anita tersenyum manis. lalu dia buru-buru menyusul Sandy yang sudah lebih dulu masuk ke kamarnya.
"Ngapain lu ngajak-ngajak cewek gue makan malam segala?" protes Bastian berang.
"Lho, gue kan ngajak kita pergi berempat! Apa salahnya?"
"Ngapain sih lu nongol di sini?" desak Bastian curiga.
"Cewek lu yang dari Bandung itu udah di roger lagi?"
"Wah, nggak bisa di download? Sekuritinya nempel terus kayak cacing usus!"
"Jadi lu nggak sempat nembak?"
"Boro-boro nembak! Kepala gue nggak dijitak aja sama satpamnya udah bagus!"
"Makanya lu cari mangsa lagi di sini?"
"Jahat banget sih lu! Gue kemari kan cari adik gue yang hilang! Sesuai permintaan Mama!"
"Tapi lu janji nggak bakal nyikat cewek gue, ya?"
"Cewek lu?" suara Barry terdengar acuh tak acuh.
"Maksud lu si blonde itu? Emang lu udah jadian sama dia?"
"Sekarang dia udah jadi gebetan gue, Bar. Gue nggak mau ada pertumpahan darah. Perang saudara. Oke?"
"Yoi. Lu tenang aja. Bukan dia satu-satunya cewek keren di Sydney."
"Jatah lu si Anita tuh. Dia cewek baik-baik. Dan dia udah lama jadi pacar lu. kan?"
"Pacar kabel," Barry menyeringai lebar.
"Lewat komputer doang."
Tapi begitu kedua gadis itu muncul, sikap Barry berubah seratus delapan puluh derajat. Sikapnya mendadak jadi gallant sekali. Sampai Bastian merasa dia harus ambil kursus pada abangnya.
"Pakai mobilku?" tanya Sandy sambil melemparkan kunci mobil ke arah kedua pemuda itu. Tapi seperti biasa, Barry yang lebih gesit. Dia menangkap kunci itu dengan gaya yang sempurna sekali. Tap!
Untung tidak dilanjutkan dengan hap! Kalau itu sih langsung masuk mulut. Terus ditelan. Gluk. Hilang deh tu kunci. Mesti nunggu besok pagi. Di wc.
Wah, gaya Barry memang sempurna sekali. Seolah-olah dia ikut kursus pembawaan dan penampilan diri yang lagi menjamur di jakarta.
Juga waktu mereka melangkah ke luar. Dia sudah mendahului membuka pintu dan menyilakan mereka lewat.
Sandy mengucapkan terima kasih dengan gayanya yang paten. Tengil tengil sombong.
Tapi entah mengapa, Bastian merasa kali ini dia hanya pura-pura. Dan Bastian merasa dadanya sakit.
Di mobil pun Barry memperlihatkan kelas nya. Dia membukakan pintu untuk kedua gadis itu. lalu masuk ke balik kemudi. Dan meluncurkan mobil Sandy dengan mulus di jalan raya.
"Ke mana kita?" tanya Bastian kering.
"Beres. Aku tau restoran Jepang yang enak di City."
"Jepang lagi?" Bastian tersentak saking kaget nya. Perutnya mendadak mual. Bayangan ikan mentah melintas di depan matanya.
""Jangan norak, bo!" bisik Barry separo mengejek.
"Jaim dong di depan cewek. Lu kan bisa milih yang lain kalo nggak doyan ikan mentah!"
Dan memang pilihan Bastian cuma chicken karage. Menu yang paling murah. Karena hanya tikus yang lebih murah dari ayam. Dan di sana tidak tersedia.
Barry memesan makanan yang paling mahal. Ikan salmon. Pesanannya segera diikuti Sandy yang juga memesan sashimi. Sementara Anita memesan sushi dan beef steak.
Sambil makan pun Barry terus menguasai medan. Dia ngocol terus sampai Bastian tidak kebagian ngomong. Dia tersudut di pojok ring. Menanti KO.
Barry memang luar biasa. Perasaan iri dan kagum bercampur baur di benak Bastian. Bagaimana dia dapat sehebat itu? Makanan apa yang dijejalkan Papa ke mulutnya?
Atau bukan hanya ke mulutnya. Ke kantongnya juga. Karena waktu membayar makanan, Barry sengaja membuka dompetnya lebar-lebar. Supaya Sandy dan Anita bisa melihat kartu kredit emas yang berderet-deret di sana.
Bukan itu saja. Ketika pelayan mengembalikan kartu kreditnya, Barry memberikan tip dua puluh dolar. Membuat pelayan wanita itu membungkuk separo badan sambil mengucapkan terima kasih. Persis Oshin.
Mungkin mereka sih bukan cewek matre. Tapi siapa yang tidak tertarik pada cowok kaya? Apalagi kalau dia ganteng. Dan gesit.
Barry selalu selangkah di depan Bastian. Dia sudah mendahului membukakan Sandy pintu sebelum Bastian sempat bergerak. Seolah olah baginya semua itu sudah rutin. Otomatis.
Sementara Bastian masih harus berpikir pikir dulu. Tidak heran kalau dia selalu ketinggalan bajaj. Eh, kancil. Akhirnya dia jadi serba salah. Frustrasi.
Ketika Bastian menegurnya dengan jengkel, tentu saja dengan berbisik, di situ kan ada Anita, Barry cuma menyahut santai,
"Makanya jadi cowok jangan boyet!"
Masih belum puas mempecundangi adiknya, di mobil Barry masih melepas satu jab lagi. Masuk telak ke muka Bastian. Membuat dia sempoyongan hampir KO.
"Jangan numpang-numpang lagi di flat temen lu, Bas. Ntar malam lu ikut aja ke hotel." Barry menyebutkan nama hotel berbintang empat di Darling Harbour.
"Tidur aja di kamar gue. Daripada nyesek nyesekin apartemen temen lu. Ranjangnya gede, lagi. Kingsize. Asal lu jangan nendang pantat gue aja. lagi bisulan."
Makin lama Anita sendiri makin heran. Mengapa Bastian kelihatan begitu kere sementara abangnya berlimpah uang? Bukankah mereka saudara kandung?
Pertanyaan itu juga yang dilontarkan Sandy ketika dua hari kemudian dia dibawa Barry
makan malam di Centerpoint. Sebuah restoran berputar di puncak Sydney Tower.
Barry memang hebat. Kalau Bastian baru dapat menjinakkan Sandy dalam dua minggu, Barry dapat menaklukkannya hanya dalam dua hari!
Seperti mendapat pertanyaan yang sudah lama dinantikan, Barry langsung saja buka kartu. Mereka produk broken home. Barry ikut ayah. Bastian dibawa ibu. Nah, jelas, kan? Kenapa mesti disembunyikan? Kenapa Bastian tidak mau berterus terang?
"Sialan lu, Bar!" Bastian langsung mengirimkan jotosannya begitu Barry membuka pintu kamar mereka.
Barry langsung terjajar dua tindak. Punggungnya menubruk pintu yang sedang tertutup.
"Apa-apaan sih lu?" geramnya menahan sakit.
"Kenapa datang-datang lu mukul gue?"
Tentu saja tidak perlu pertanyaan itu. Barry sudah tahu kenapa dia dipukul. Pasti Anita yang membocorkan rahasia. Soalnya dia juga sakit hati. Pacarnya diserobot Sandy.
"Belon cukup cewek lu segudang?" sergah Bastian sengit.
"Kenapa lu tega ngambil juga
cewek adik lu? Katanya lu nggak mau gue jomblo teruS! Lu nggak rela kalo cewek gue bukan cewek loakan lu?"
"Sori, Bas," Barry mengusap-usap pipinya yang sakit.
Dia membuka lemari es. Dan mengeluarkan baki es. Membawanya ke kamar mandi. Dan membungkus bongkah-bongkah es itu dengan handuk. Lalu dikompresnya pipinya yang memar.
"Pacar lu kan si Anita. Dia yang minta lu datang kemari. Kenapa sampai di sini lu malah nyamber Sandy?" geram Bastian penasaran.
"Anita oke," sahut Barry seenaknya. Dia duduk di tempat tidur dengan santai. Sama sekali tidak merasa bersalah.
"Tapi yang ada di bayangan gue tuh Sandy. Siapa suruh dia nipu gue. Ngirim foto sohibnya. Nah, salah siapa dong?"
"Tapi Sandy tu cewek gue, tau!"
"Siapa bilang? Lu belum pikun. kan? Belum kena Alzheimer? Yang nunjukin foto Sandy siapa, coba?"
"Tapi yang pacaran sama lu si Anita!"
"Gue lebih suka Sandy."
"Terang aja, dia lebih keren!"
"Nah, masih ada pertanyaan?"
"Lu bener bener nggak etis, Bar!"
"Kita boleh bersaing bebas, kan?"
"Tapi lu curang! Kayak Papa! Nggak segan segan ngambil jatah orang!"
"Curang gimana? Aku cuma telepon Sandy. Nanya dia mau keluar nggak malam ini. Dia bilang emang dia lagi bete di flat. Nggak ada acara. Trus gue jemput. Nah, salah gue di mana? Dia kan bukan bini lu."
Memang percuma berdebat dengan Barry. Sejak berumur tiga belas tahun, tidak pernah ada orang yang mengajarinya etika. Dia tidak tahu membedakan salah dan benar. Kalaupun tahu, dia tidak peduli.
Jadi satu satunya jalan, keesokan harinya Bastian menghubungi Sandy. Ingin minta penjelasan. Tapi gadis itu seperti menghindar. Di apartemen tidak ada. Di Bondi tidak muncul. Dihubungi di ponselnya juga tidak menjawab.
"Emangnya kamu nggak tau." jawab Anita sambil menyembunyikan rasa kecewanya ketika Bastian meneleponnya.
"Sandy lagi clubbing sama Barry."
Dan yang kecewa bukan hanya Anita. Bastian juga. Saking kesalnya, dia menjelajah
dari satu nightclub ke nightclub berikutnya. Ingin melihat ke mana Barry membawa Sandy.
Tetapi sampai letih kakinya melangkah, dia tetap tidak dapat menemukan mereka. Akhirnya dia masuk ke nightclub tempat Tara bekerja. Langsung duduk di depan bar.
"Mau mabuk lagi?" sapa Tara dingin begitu dia melihat Bastian.
"Kasih yang paling keras aja biar aku game sekalian!" gumam Bastian sengit.
Sekejap Tara mengawasi pemuda itu. Parasnya menampilkan keletihan. Tapi bukan hanya itu. Paras yang kusut itu mengesankan keputusasaan. Kegeraman. Kesedihan. Kekecewaan.
'Cewekmu pergi sama orang lain?" tanya Tara datar. Disodorkannya segelas bir.
Tetapi Bastian mengembalikan gelas itu dengan kasar.
"Yang lebih keras!" bentaknya berang.
"Kamu pikir aku anak kecil?"
"Anak kecil tidak minum bir!" sahut Tara dingin.
"Tapi lagakmu memang persis anak kecil yang kehilangan mainan!"
"Kamu kan pelayan bar! Kenapa tidak melayani tamu yang minta minum? Mau kulaporkan pada bosmu?"
"Jangan teriak-teriak!" desis Tara kesal.
"Kamu lagi marah. Tapi tidak pantas menumpahkan kemarahanmu dengan menyakiti hati orang lain!"
Kata kata itu seperti seember air dingin yang menyiram kepala Bastian yang panas. Tara benar. Dia sedang marah. Tapi mengapa harus menumpahkan kemarahannya dengan menyakiti orang yang tidak bersalah?
"Beri aku minum," pinta Bastian lunak. Dia menunduk sedih.
"Aku lagi jengkel."
"Aku tahu. Cewekmu lari sama orang lain.?
"Bukan orang lain. Kakakku sendiri."
Sesaat Tara tertegun. Tapi di detik lain dia sudah kembali mencampur minuman untuk Bastian. Disodorkannya segelas minuman ber warna hijau beraroma melon.
"Apa ini?" protes Bastian kecewa.
"Aku minta yang ada alkoholnya! Bukan sirop!"
"Alkoholnya dua puluh satu persen,",sahut Tara pendek. Tentu saja dia tidak menambah kan, itu sebelum dicampur dengan lemonade.
"Aku bisa mabuk?"
"Kamu mau mabuk lagi?"
"Kalo aku mabuk lagi, kamu mau bawa aku pulang?"
"Ke mana!" "Ke flatmu." Tara menghela napas panjang.
"Kenapa harus merusak dirimu sendiri? Perempuan itu tidak ada harganya! Tidak pantas kamu mengorbankan diri untuk dia!"
"Udah deh, jangan ngocol terus! Kamu bukan ibuku! Aku cuma minta dibawa pulang kalo mabuk! Bukan dikuliahin! Ibuku guru, tau! Aku udah bosen denger kuliah!"
Tapi sampai Tara selesai bertugas, Bastian belum mabuk juga. Dan dia jadi kesal.
"Minuman apa sih yang kamu campur tadi? Cendol apa sekoteng? Kenapa aku nggak mabuk juga?"
"Kamu benar benar kepingin mabuk?" desis Tara tidak sabar.
"Oke, kubawa pulang sebotol wiski. Mabuklah di flat semaumu! Biar nggak bikin susah!"
Dan Tara menepati janjinya. Dia membawa pulang sebotol wiski. Dan membiarkan Bastian minum sampai mabuk.
"Kenapa dia selalu dapat yang terbaik?" Bastian ngoceh terus sampai Tara merasa terganggu juga. Kepalanya ikut pusing. Siapa yang sedang dibicarakannya. Kakaknya?
"Kamu saudara Kandung, kan? Kenapa dia selalu lebih unggul?"
"Mana aku tahu!" sergah Tara jemu. 'Yang aku tahu, kamu goblok! Membuang buang energi untuk mengejar ngejar cewek murahan kayak begitu!"
"Sandy bukan cewek murahan!" sanggah Bastian gusar.
"Dia antik. Baik. Terpelajar. Terhormat"
"Dan begitu terhormatnya sampai lari dengan cowok sembarangan?"
"Lho, Barry bukan cowok sembarangan! Dia abangku!"
"Kamu sebut apa cewek yang pacaran dengan seorang pria lain mau saja diajak pergi oleh cowok lain?"
"Laris." "Nah, itu memang istilah yang tepat untuk nya!"
"Sandy memang laris. Peminatnya antre."
"Dan dia senang menjajakan dirinya."
"Dia bukan cewek model begitu! Aku kenal dia!"
"Yang kamu kenal itu baru bodinya! Mesinnya belum!"
"Kok kamu jadi sinis sih? Nggak semua
orang sejelek yang kamu sangka! Masih banyak yang baik!"
"Yang kayak apa yang kamu anggap baik? Yang berganti pacar setiap tiga kali dua puluh empat jam?"
"Ah, Sandy nggak kayak gitu, lagi! Ini semua ulah Barry!"
"Dua belas Barry pun nggak akan berhasil kalau ketemu aku!"
"Terang aja! Pangeran William juga nggak akan berhasil kalo ketemu kamu! Kamu kelewat dingin kayak nisan kuburan!"
"Itu namanya punya harga diri!"
"Tapi kalo harga dirimu kelewat tinggi. kamu nggak bakal laku! Nggak ada cowok yang berani naksir kamu!"
"Aku memang bukan barang!" bentak Tara tersinggung.
"Nggak perlu ditawar! Nggak di jual!"
"Kalo kamu jual mahal terus, siapa yang berani dekat?" Bastian masih mengoceh terus. Soalnya dia sudah mabuk. Kata katanya mengalir terus seperti air. Tidak sadar Tara sudah hampir meledak saking marahnya.
"Kalo kamu cakep, mungkin ada yang nekat. Tapi kalo kualitasmu cuma segini, trus kamu tahan harga, mana ada cowok yang mau nawar?"
"Aku nggak perlu cowok!" sergah Tara sengit.
"Makanya kamu nggak punya pacar!"
"Biarin! Daripada kamu, pacaran putus jadi gila!"
"Paling nggak, aku pernah pacaran! Pernah ngerasain cinta!"
"Cintamu buta! Sekaligus goblok!"
"Mendingan daripada kamu! Nggak pernah kesetrum cinta! Tandus! Bakal jadi PT seumur hidup!"
Tara begitu marahnya sampai dia menggebrak meja komputernya. Mouse nya mental ke lantai. lampu mejanya jatuh tengkurap.
Tapi dia tidak mengusir Bastian. Dibiarkan nya saja pemuda mabuk itu mengoceh terus. Dia sendiri langsung masuk ke kamar. Dan membanting pintu.
*** Ketika Bastian terjaga pagi itu, hidungnya mencium harumnya aroma kopi. Dibukanya matanya. Dan dia melihat Tara duduk membelakanginya di meja makan. Sedang minum kopi sambil membaca buku pelajarannya. Tiba tiba saja Bastian ingat pertengkaran
mereka tadi malam. Memang tidak semuanya dia ingat. Tapi dia merasa, dia sudah menyakiti hati Tara.
Karena itu dia berniat untuk minta maaf. Dia bangkit perlahan lahan. Dan lambat lambat mendekati Tara dari belakang.
"Sori, Tara," sapanya ketika sudah sampai di belakang kursi gadis itu.
"Tadi malam aku mabuk."
Tapi Tara tidak menyahut. Terus saja membaca bukunya. Seolah-olah tidak mendengar apa apa.
"Hai!" Bastian menyentuh bahunya sambil bergurau.
"Cakep-cakep kok budek sih!"
"Jangan colek colek pundakku!" damprat Tara kasar. Disingkirkannya tangan Bastian. Dipelototinya pemuda itu dengan judes. Dan mukanya tidak memerah jengah walaupun Bastian hanya memakai celana pendek.
"Kamu jutek banget sih!" Bastian duduk di hadapannya sambil tertawa.
"Waktu hamil, ibumu salah makan apa sih?"
"Aku bukan cewek murahan! Jangan sembarangan pegang!"
"Yang mesti bayar dulu kalo dipegang kan justru bukan perempuan mahal!"
"Nggak lucu!" Wah, Tara betul betul lagi korsleting. Sebentar lagi bisa kebakaran. Mesti dirayu. Disiram air dingin.
Tapi kalau disiram air es dari kulkas, dia pasti tambah marah. Soalnya basah kuyup. Padahal dia sudah mandi. Sudah .rapi. Mau pergi. kali.
Jadi bagaimana merayunya? Cewek memang perlu dirayu, kan? Itu gunanya cowok.
Kata Papa, perempuan di mana mana sama saja. Eh, apa laki laki tidak? Lelaki juga di mana mana sama saja, kan? Yang lain cuma bajunya! Dan duitnya.
"Kamu kuliah hari ini?"
"Ngapain nanya nanya?"
"Kalo kamu nganggur, aku pengin minta dianterin cari baju..."
"Buat cewekmu yang laris itu?" potong Tara dingin.
"Bukan. Aku pengin beli rok buat kamu. Supaya orang tau kamu itu cewek!"
Bukannya berterima kasih, Tara malah semakin gusar. Wah, serbasalah!
"Emangnya kamu siapa bisa mengatur baju yang kupakai?"
"Bukan siapa-siapa. Tapi aku pengin lihat kamu pake rok! Betismu nggak ada ketengnya, kan?"
"Nggak mau!" Tara bangkit dari kursinya. Dan membawa cangkir kopinya ke tempat cuci piring.
"Nggak mau ya udah. Anterin aku beli baju buat aku sendiri aja deh. Tentu aja bukan rok. Biarin betisku mulus juga, aku milih celana aja."
"Milih yang lebih modis? Supaya cewekmu balik lagi?"
"Kenapa sih kamu marah-marah terus begini? Belum mens, ya?"
'Kamu yang bilang adatku memang jelek, kan? Makanya nggak laku! Nggak kayak cewekmu yang laris itu! Seminggu laku tiga kali!"
"Astaga! Kamu benci banget sama Sandy sih? Kamu nggak cembokur, kan?"
Tentu saja Bastian cuma main main. Tapi reaksi Tara betul-betul di luar dugaan. Sebatang sikat melayang ke kepala Bastian. Bleduk. bunyinya ketika sikat kayu itu beradu dengan batok kepala Bastian;
"Aduh!" Bastian berteriak. Bukan pura pura.
Dia benar-benar merasa kaget. Sakit, lagi.
"Kamu galak banget sih!"
"Mesti ada orang yang memberitahu kamu rasanya sakit!" dengus Tara.
Dia masih membelakangi Bastian. Masih pura pura mencuci cangkir. Piring. Entah apa lagi. Bastian tidak dapat melihat mukanya. Tetapi dia mendengar kenyerian dalam suaranya. Dan entah mengapa, tiba tiba saja Bastian ikut merasa sakit.
"Sori deh," tukas Bastian lunak, sudah melupakan rasa sakitnya.
"Aku kan cuma bercanda."
"Bagimu hidup memang cuma canda," gumam Tara pahit.
"Karena itu mulutmu lancang!"
"Waduh, marahnya dobel. lagi! Aku kan udah bilang sori. Kamu tuh sensitif banget sih kayak perawan tingting!"
Bukannya tertawa menyambut gurau Bastian, Tara malah semakin gusar. Marahnya menjadi jadi. Dibantingnya cangkir yang sedang dicucinya. Lalu dia kabur meninggalkan Bastian.
"Tara!" seru Bastian bingung. Astaga, jeleknya adat gadis ini! Sakit apa sih dia?
Dan Bastian bertambah kalut ketika Tara
bukannya lari ke kamar. Begitu biasanya cewek kalau lagi ngambek, kan? Kabur ke kamar. Nangis di tempat tidur. Klise.
Tapi cewek yang satu ini memang kebanyakan hormon androgen. Dia bukannya menghambur ke kamar malah lari ke luar. Menyambar kunci mobilnya. Dan mengempaskan pintu dengan gusar.
Percuma Bastian mengejarnya sampai ke garasi. Tara tidak mau diajak damai lagi. Dia naik ke mobilnya. Mengunci pintu. Dan menghidupkan mesin.
"Tunggu, Tara!" Bastian mengejar sampai ke pintu mobil. Berusaha mengetuk-ngetuk kaca jendelanya.
"Kasih aku kesempatan ngomong dong!"
Tapi Tara sudah memindahkan gigi. Tentu saja gigi mobil. Kalau gigi dia yang pindah sih ompong dong. Lalu dia menekan gas. Dan mobilnya seperti melompat ke depan. Untung bukan lompat ke belakang. Bisa roboh tembok.
Bastian yang tengah memegangi pintu mobil terjajar mundur.
"Tara!" teriaknya antara khawatir dan kesal.
"Tunggu!" Tapi teriakannya cuma disambut asap knalpot. Karena mobil Tara sudah meraung keluar dari garasi.
Edan, keluh Bastian sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Terang saja tidak gatal. Dia kan tidak berketombe. Makanya tidak perlu memakai sampo macam-macam.
Kenapa adatnya jelek begitu? pikir Bastian sambil menaiki tiga anak tangga menuju pintu yang menghubungkan garasi dengan lantai tempat apartemen Tara berada. Mesti kutanya ibunya, dia salah diberi susu apa waktu kecil.
Dan mendadak Bastian tertegun bengong. Dia baru ingat. dia tidak membawa kunci pintu!
Yang membuat Bastian bingung bukan karena dia tidak bisa masuk. Tapi karena kemejanya masih ketinggalan di dalam! Kebiasaannya memang tidur tanpa baju.
Sekarang tanpa baju, tanpa celana panjang, tanpa dompet, tanpa sepatu, dia harus pergi ke mana? Mau menelepon. tidak punya duit. Mau menunggu di depan pintu apartemen Tara. sampai kapan? Apa dia tidak diusir satpam?
Celaka, pikir Bastian gemas. Kenapa aku jadi apes begini?
*** Bab X SETENGAH harian Bastian duduk di depan pintu apartemen Tara. Berharap tidak ada orang yang melihatnya lalu melapor kepada Keamanan Gedung. Ada orang gila tidak pakai baju duduk di depan pintu flat 02.
Untung dia menemukan segebung koran di garasi. Dia bisa pura pura baca koran. Bisa menutupi sebagian badannya yang telanjang dengan membuka lebar lebar koran itu di depan tubuhnya.
Dia berdoa semoga Tara cepat pulang.
Kasihanilah aku, Tara, pintanya dengan mulut berkomat kamit. Aku sudah kapok! Nggak berani godain kamu lagi!
Menjelang pukul satu siang, doanya di kabulkan. Tapi yang datang bukan Tara. Ibunya.
Bastian begitu gembiranya seperti melihat
dewi turun dari langit. Eh, si dewi rumahnya di langit. ya? Bukan di dekat Plasen?
Sebaliknya ibu Tara begitu kagetnya sampai hampir semaput. _
"Kamu lagi ngapain di sini?" cetusnya antara heran dan cemas.
"Tara kenapa?" "Ngambek, Tante," sahut Bastian sambil buru buru menutupi dadanya yang telanjang dengan koran. Memang kenapa? Tidak sopan, ya?
Karena gugup, korannya malah berjatuhan ke lantai. Sudahlah. Apa boleh buat. Ini dadaku. Mana dadamu?
Sebaliknya dari menutup malunya karena malu melihat pemuda bertelanjang dada, mata Tante malah membeliak tambah lebar. Keterlaluan dia. Sudah tua masih genit.
"Kenapa kamu nggak pake baju?" tanya ibu Tara semakin bingung.
"Ke mana bajumu?"
"Di dalam, Tante."
"Dan kamu dikunciin di luar? Keterlaluan si Tara!"
"Bukan, Tante. Kunci saya yang ketinggalan di dalam."
Mata ibu Tara makin melebar. Rupanya dia ingin melihat helai helai bulu dada Bastian
dengan lebih jelas lagi. Soalnya bulunya tipis. Dan jarang.
"Tara ke mana?"
"Pergi. Tante." _
"Ke mana? Hari ini katanya tidak ada kuliah."
"Nggak tau. Tante. Dia nggak sempat bilang." Bastian menggigil sedikit. Bukan karena malu. Tapi karena dingin.
Sudah selesai interogasinya? Lekasan dong buka pintu. Dingin, nih! Atau Tante masih ingin meneliti bulu dada saya?
"Kamu kedinginan?"
Masih tanya lagi! Bagaimana rasanya duduk di lantai hampir lima jam tidak pakai baju? Nah, coba saja sendiri! Pasti penghuni pria apartemen .ini keluar semua! Tidak peduli umurmu sudah kepala empat!
"Tante," cetus Bastian, membangunkan perempuan itu dari tidurnya.


Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" "Kapan buka pintunya?"
Seperti baru tersadar dari mimpinya, ibu Tara cepat-cepat membuka tasnya. Saking buru-burunya semua barangnya berjatuhan ke lantai. Dan kunci itu belum ketemu juga.
"Di mana kuncinya, ya?" keluhnya bingung.
Mana aku tahu, Bastian ikut mengeluh. Tapi dengan rasa jengkel.
Dan pintu 03 terbuka. Seorang pria berdasi keluar dari sana. Dia menatap Bastian dengan heran. Tapi ketika dia melihat ibu Tara, bibirnya menyunggingkan senyum.
Kurang ajar, maki Bastian dalam hati. Lu kira gue gigolo?
Sebaliknya ibu Tara yang selalu telmi karena komputer di otaknya masih Pentium satu, mula-mula tidak mengerti. Tapi begitu memahami arti senyum itu, dia mengomel panjangpendek. Sayangnya pria itu sudah keburu menutup pintu ke garasi. Jadi marahnya ibu Tara tidak sampai ke alamat. Cuma membuat dia makin serabutan mencari kuncinya.
Namun sesudah seluruh isi tasnya ditumpahkan ke lantai pun kunci itu tetap tidak ada.
"Mungkin ketinggalan di rumah kali, ya?" gumamnya sambil memandang Bastian seolah olah Bastian yang tadi menaruh kunci itu di tasnya.
"Dasar sudah tua. Sudah pikun."
"Sekarang gimana, Tante?" keluh Bastian putus asa. Masa aku harus begini terus sampai malam?
"Biar Tante telepon Tara dulu, ya."
Wah, kalau yang itu sih percuma! Orang lagi ngambek!
Dan dugaan Bastian benar. Ponsel Tara tidak diangkat. Belakangan ketika ibunya pantang mundur menelepon terus, malah dimatikan sekalian.
"Sudahlah, Tante pulang dulu ambil kunci," katanya akhirnya.
"Tapi saya gimana, Tante?"
"Kamu?" Untuk kesekian kalinya ibu Tara mengawasi Bastian. Dan baru sadar lagi. pemuda itu tidak pakai baju.
"Mau Tante beliin baju?"
"Tante bawa mobil?"
"Tapi di mobil tidak ada baju. Cuma ada lap."
"Maksud saya, boleh nggak saya ikut di mobil Tante?"
"Hah?" Sesaat perempuan itu tertegun bengong. Bagaimana kalau ada kenalanku yang melihatmu? Membawa seorang pemuda bertelanjang dada di mobilku... astaga. Bisa berhenti jantung Mike saking marahnya!
"Saya takut dilaporin satpam, Tante."
"Kamu kan nggak nyolong! Kenapa dilaporin?"
"Duduk terus di depan flat orang nggak pake baju begini kan bisa dikira orang gila!"
Akhirnya terpaksa ibu Tara membawa Bastian di mobilnya.
"Kamu duduknya rada merosot, ya," pintanya sejak mobilnya baru bergerak.
"Kenapa?" "Ya supaya nggak ada yang lihat!"
"Oke." "Berapa besar pertengkaranmu dengan Tara?"
"Kepala saya ditimpuk sikat."
"Waduh!" "Kenapa adat Tara kayak begitu, Tante?"
"Tante sendiri heran.Dulu dia nggak begitu."
Terang aja. Waktu masih bayi sih paling paling dia nangis kalo ngompol!
"Sampai umur empat belas, dia normal saja. Sesudah itu, baru dia berubah total. Dia jadi pendiam. Tidak mau bergaul. Dan sering mengasingkan diri."
"Udah dibawa ke dokter, Tante?" tanya Bastian ngeri. Wah, jangan jangan dia punya kelainan! Dan aku tidur lelap di apartemennya! Untung badanku masih utuh!
"Memangnya kenapa?"
Kenapa? Nggak takut dia gila?
"Mungkin dia putus pacaran. Patah hati. Tapi seingat Tante, dia belum punya pacar."
Mana bisa punya pacar! Galaknya kayak singa! Ya, pacarnya mesti singa juga! Kalau cuma kijang sih malah dimakan sekalian!
"Dia minta sekolah di boarding school, Tante izinkan. Lulus high school, minta pindah ke apartemen sendiri, tidak Tante tolak. Tante harus bagaimana lagi? Tapi rasanya adatnya tidak bertambah baik. Malah tambah rusak. Cepat marah. Tidak punya teman... Cuma kamu temannya. Sekarang malah dikunciin di luar nggak pakai baju! Mana bisa punya teman lagi?"
"Saya yang salah, Tante. Mungkin saya menyinggung pernya."
"Per apa?" Itu yang aku tidak tahu. Mengapa dia begitu marah? Mengapa dia begitu cepat tersinggung? Aku salah ngomong apa?
Masa dibilang cemburu saja ngamuk! Sakit, kan? Apa salahnya cemburu?
Aku pantas kan dicemburui? Terhina malah kalau nggak ada yang cemburu!
"Kamu tunggu di mobil saja, ya? Tante belikan baju dulu. Sepatumu ukuran berapa?"
"Nggak usah deh, Tante. Lama lagi. Mendingan Tante pulang ambil kunci. Soalnya dompet saya juga ketinggalan di dalam flat Tara."
Sesaat ibu Tara tampak ragu-ragu. Tapi dia diam saja. Baru ketika mobil itu parkir di depan rumah, dan seorang pria bule setengah baya menghampiri kaca mobil, Bastian mengerti mengapa dia bimbang.
Ibu Tara cepat-cepat menurunkan kaca jendela.
"Temannya Tara," cetus ibunya sebelum ditanya.
"Bajunya terkunci dalam flat."
Lelaki itu membungkuk. Dan menatap ke dalam mobil melalui jendela. Dahinya berkerut.
"Selamat siang," sapa Bastian sopan.
Tetapi pria itu tidak menyahut. Dia membukakan istrinya pintu. Dan membantingnya dengan kasar seolah-olah ingin meremukkan Bastian.
Sialan, maki Bastian kesal. Dikiranya gue gigolo bininya, kali!
Dan mereka pasti berantem dulu di dalam. Karena baru setengah jam kemudian ibu Tara muncul kembali. Wajahnya merah padam. Tetapi dia diam saja.
Bastian benar-benar cemas. Tara tidak pulang pulang. Padahal kata ibunya, hari ini dia tidak ada kuliah. Dan tidak bekerja di bar. Jadi ke mana dia?Ketika sedang duduk di pinggir jalan di depan apartemen Tara menunggu gadis itu pulang, tiba-tiba saja pikiran itu mampir di kepalanya.
Mengapa dia begitu mengkhawatirkan Tara? Padahal kepalanya sudah ditimpuk dengan sikat.
Benarkah hanya karena kasihan? Atau... ada perasaan lain yang sedang tumbuh, pelan tapi pasti, di hatinya?
Aku ingin mengenalnya lebih baik, pikir Bastian mantap. Ingin tahu mengapa dia sampai memiliki kesulitan komunikasi begitu. Trauma apa yang dialaminya? Berapa beratnya?
Tapi bagaimana menolong orang yang tidak mau ditolong? Bagaimana membuka pintu hati yang terkunci demikian rapat?
Bagaimana mengorek pengakuannya kalau Tara sendiri enggan curhat?
Barangkali aku harus tanya Barry, keluh
Bastian pahit. rasanya dia tahu sekali tentang wanita. Dia kan pakarnya.
Tetapi Barry tidak ada di kamar hotelnya. Dia juga tidak ada di apartemen Sandy. Ketika Bastian sedang melangkah di sepanjang kaki lima, dia melihat sebuah taksi berhenti di depan pintu apartemen.
Dan cengcorang itu keluar dari pintu belakang taksi. Siapa lagi kalau bukan Barry!
Tapi yang bikin Bastian heran, cewek yang dibantunya turun dengan sangat hati-hati, seolah-olah yang keluar dari taksi itu nenek umur delapan puluhan, justru bukan Sandy!
"Barry!" cetus Bastian tidak tahan lagi.
Sekarang mereka berdua menoleh. Dan Anita berseru gembira.
"Bas! Ke mana aja? Kami udah kuatir banget!"
Bohong. Mana kamu ingat aku kalau ada Barry?
"Gue pikir lu udah bunuh diri di Harbour Bridge. Bas!" gerutu Barry jengkel.
"Patah hati trus mati!"
"Emang mau lu!" sahut Bastian sama jengkelnya.
"Ke mana Sandy?"
"Nggak tau. Emang gue satpamnya?"
"Ke Blue Mountain dua malam," sahut Anita hepi. Tidak malu-malu lagi jadi ban serep.
"Di sini aja lu berani main dobel, Bar?" sergah Bastian penasaran ketika mereka sedang naik taksi berdua pulang ke hotel Barry.
"Di depan hidung Sandy, lagi! Kalo bukan nekat, lu pasti sinting!"
"Sandy juga main dobel," sahut Barry santai.
"Lu tau dia pergi sama siapa?"
"John?" "Carl." "Kalo gitu lu ketemu imbang, Bar!" Entah mengapa untuk pertama kalinya BaStian tidak merasa kesal. Dia malah merasa lega. '
"Gue emang baru pdkt, lagi! Belon jadian sama dia."
"Sama Anita? Lu udah nembak?"
"Kalo dia sih udah gue tembak pake rudal sedari masih di Jakarta!"
"Pantes aja dia kira gue cowoknya!"
"Lu nggak mau jadi cowoknya?"
"Gue bukan tukang loak lu lagi, Bar."
"Lu lagi pdkt sama siapa?"
"Mendingan kalo lu nggak tau."
Barry tersenyum angkuh. "Takut gue nimbrung?"
"Oh, yang ini nggak bakalan takluk sama lu."
"Siapa? Mamanya Sandy? Gurunya Anita?" Barry menyeringai mengejek.
"Nggak usah kuatir, Bas! Gue nggak minat sama tante girang! Mendingan lu kenalin sama Papa!"
"Kapan lu pulang?"
"Kayak imigrasi aja lagak lu!"
"Ngapain lama-lama di sini? Lu udah lihat Anita, kan? Dia cewek baik-baik, Bar. Jangan lu kecewain."
"Percaya. Dia emang oke."
"Trus?" , "Tunggu aja babak kedua."
"Ada babak kedua?" .
"Kalo pdkt gue sama si Sandy gagal."
"Lu emang serigala!"
"Semacam werewof gitu? Meraung kalo bulan purnama?" Barry tertawa geli.
"Lu pacaran sama Anita, tapi mau pdkt sama Sandy. Gimana sih lu bisa makan gadogado sama bistik?"
"Ada ilmunya, bo! Makanya belajar sama abang lu!"
"Lu kenal cewek yang dingin?"
"Mayat? Belon pernah sih. Gini-gini gue kan masih waras!"
"Maksud gue, sifatnya dingin. Acuh-acuh butuh."
"Ngapain nguber cewek begituan? Yang hot aja nggak kurang! Emangnya dia keren abis?"
"Nggak sih. Nggak cakep. jutek. lagi."
Sekarang tawa Barry meledak. Dia tertawa terkekeh-kekeh. Sampai keluar air mata. Sopir taksi melirik ke kaca spion. Mengira Barry mabuk. '
"Makanya gue bilang juga apa! Lu kelewat deket sama Mama! Makanya lu jadi anak Mama! Nyari tante-tante yang bisa gantiin Mama! Sangkuriang kompleks lu!" _
"Dia masih muda, tau!"
"Ngapain lu jauh-jauh cari cewek sisa dunia? Mendingan lu ambil stok gue. Udah gue saring. Tinggal minum!"
Buat Barry memang Tara tidak ada apaapanya. Apa yang mau dilihat? Wajah tidak cantik. Bodi kerempeng. Tomboi. Adatnya susah. Galaknya kayak macan. Bukan manis cantik. Tapi macan beneran. Yang suka mengaum dan nimpuk pakai sikat.
Tapi mengapa untuk Bastian, Tara justru
makin lama makin menarik? Dia baik. Suka menolong. Tapi seperti ada hambatan komunikasi yang membuatnya gampang marah dan sulit didekati.
Mengapa justru dengan dia Bastian melupakan tekadnya untuk mengatasi Barry, mencari cewek yang lebih superior daripada ceweknya Barry?
Bastian tidak peduli Barry akan melecehkannya. Menertawakannya karena memilih cewek yang begitu sederhana penampilannya.
Kamu satu-satunya temannya, kata ibu Tara tadi.
Mengapa Tara begitu baik padanya? Mengapa dia begitu marahnya ketika Bastian bilang dia cemburu pada Sandy? Benarkah dia cemburu?
Apakah itu artinya dia... Nggak ada cemburu tanpa cinta, kan? Di balik cemburu, pasti ada cinta!
lalu... ke mana dia pergi seharian ini? Apa yang dilakukannya?
"Gue cabut dulu," kata Bastian setelah mandi.
"Pergi ke mana lagi?" cetus Barry kaget. Dia sudah berbaring di tempat tidur sambil
mencari-cari film untuk konsumsi dewasa.
"Ini udah tengah malam, tau!"
"Bukan urusan lu."
"Kalo lu ditahan di kantor polisi. gue juga yang repot!"
"Makanya tungguin aja telepon!"
Bastian memang tidak bisa dilarang lagi. Dia kembali ke apartemen Tara. Dan membuka pintu dengan hati-hati. Takut diteriaki maling. Atau lebih celaka lagi, kepalanya dikepruk dengan Stik golf.
Apartemen itu sepi. Bastian tidak tahu Tara sudah pulang atau belum. Soalnya dia tidak pernah memakai parfum.
lampu ruang tengah tidak dinyalakan. Pintu kamar tertutup rapat. Tidak ada sinar dari celah-celah di bawah pintu. Kamar mandi juga gelap. Sudah pulangkah Tara? Atau dia masih di luar sana? Padahal sudah setengah dua malam! Kalau harus khawatir, Bastian memang sudah saatnya khawatir!
Karena tidak tahu lagi harus berbuat apa, Bastian menyalakan lampu ruang tengah. Dan duduk di depan komputer Tara. Karena pergi dengan tergesa-gesa tadi 'pagi, komputernya belum dimatikan. Dan belum dikunci.
Bastian bisa membukanya dengan mudah. Mula-mula dia cuma bermaksud mengisi waktu dengan main game. Tapi saat sedang membaca menu, dia melihat file yang menarik. Judulnya, Hell. Neraka. Neraka apa? Di situkah Tara menyimpan trauma masa lalunya?
Dan selama dua puluh menit, Bastian seperti sedang membaca cerpen yang sangat mencengangkan. Mencekam. Sekaligus membuat perutnya mulas.
*** Bab XI Sia sia Bastian menanti Tara. Dua hari dua malam dia tidak pulang. Tidak kuliah. Tidak kerja. Tidak menghubungi ibunya. Bastian benar-benar cemas. Apalagi kepanikan ibunya tambah membuat Bastian senewen.
"Ngapain sih tante itu nyariin lu terus. Bas?" gerutu Barry jengkel karena lagi-lagi ibu Tara menelepon HP-nya.
Bastian memang sengaja memberikan nomor ponsel Barry. Supaya dia segera tahu kalau Tara pulang. Atau ditemukan... ah, amit amit!
"Lu main sama tante girang ya, Bas?"
"Nggak. Sama oom senang," sahut Bastian jemu. Dia sedang tidak konsen. Tidak minat bercanda. Pikirannya sedang tumplek-blek pada Tara.
"Makanya lu nggak usah kuatir. Nggak ada saingan bisnis."
"Ah, lu sih bukan saingan," sahut Barry melecehkan sekali.
Kalau ada saus tomat di depannya, ingin rasanya Bastian menumpahkan ke kepala Barry. Sayang yang ada cuma minuman dingin. Kalau itu sih mesti bayar. Sayang kalau cuma untuk mengusir ketombe di rambut Barry. Bohong sih. Rambut Barry nggak pernah berketombe. Soalnya dia sudah mencoba semua sampo antiketombe. Kamar mandi di rumahnya sudah mirip laboratorium. Penuh sesak dengan botol.
"Gimana pdkt lu sama Sandy? Lu udah sempat nembak?"
"Ntar malam dia ngajakin ketemu."
"Selamat deh. Mudah-mudahan lu jadian juga sama dia. jadi lu polipacar."
"Artinya lu udah nyerah?"
"Gue udah nggak minat. Mau nyari BBL aja."
"BBL?" "Bayi baru lahir."
"Yang bersih, putih, polos, mulus, dan cuma bisa nangis sama ngompol?"
"Itu sih iklan pampers orok, tau!"
"Gue jadi makin penasaran pengin lihat cewek lu. Bas!"
"Jangan. Dia galaknya kayak macan. Dicakar nggak pulang utuh lu! Daging lu berserakan di kebon!"
Tapi jangankan Barry. Bastian saja tidak dapat menemukan Tara. Di mana dia harus mencarinya?
Bastian sudah tahu mengapa Tara begitu marahnya. Bastian menyebutnya bakal jadi perawan tua. Padahal masih muda saja dia sudah tidak perawan lagi.
Ayah tirinya memerkosanya ketika Tara berumur empat belas tahun. Karena tidak mau menyakiti hati ibunya, Tara tidak melaporkan perbuatan ayah tirinya.
Sejak saat itu, sikapnya berubah. Dia menjadi pendiam. Dingin. Dan cenderung mengasingkan diri.
Untuk menghindari ayah tirinya, dia minta dimasukkan ke sekolah yang berasrama. Setelah berumur delapan belas, setelah dia boleh tinggal sendiri tanpa pengawasan orangtua, dia memilih tinggal di apartemen sendiri.
Dan dia berusaha keras menghidupi dirinya sendiri. Tanpa bantuan ayah tirinya lagi.
Setelah membaca Hell, tiba-tiba saja Bastian mengagumi gadis itu. Dia berjuang untuk
menghidupi dirinya sendiri. Menuntut ilmu untuk kompensasi aib yang menodai dirinya.
Bukan salahnya kalau dia menjauhi pria. Bahkan menjauhi semua orang. Dia sudah tidak bisa memercayai pria lagi. Dan dia cenderung memusuhi lingkungan.
Dalam kondisi seperti itu, muncul Bastian. Yang menganggap semua orang bisa diajak bergurau.
"Bagimu hidup memang cuma canda," kata Tara waktu itu.
Waktu itu Bastian belum tahu, ada orang yang merasa pedih mendengar candanya.
"Mesti ada orang yang memberitahu kamu rasanya sakit!"
Sekarang aku udah tau, Tara, pekik Bastian dalam hati. Dan aku ikut ngerasain sakit hatimu! Aku nyesel, Tara! Kasih aku kesempatan buat minta maaf!
Kamu begitu baik padaku. Tapi aku malah membalasnya dengan menghina kamu! Melukai kamu di tempat yang justru menjadi luka lamamu!
Bastian begitu ingin minta maaf. Rasanya kalau bisa dia ingin naik pesawat dan menulis di langit, Maaf, Tara! '
Untung tidak bisa. Karena kalau bisa, dia pasti langsung dikirim pulang. Nah, coba saja bayangkan kalau semua cowok boleh nulis surat di langit buat ceweknya, penuh kan langit? Pemerintah Australia pasti marah karena langitnya tidak biru lagi. Enak saja nulis-nulis di langit! Memangnya papan tulis!
Tapi bagaimana Bastian dapat minta maaf kalau Tara tidak bisa ditemukan juga?
Akhirnya Bastian nekat. Pada malam yang ketiga, dia datangi lagi bar tempat Tara bekerja. Dia memohon-mohon pada bartender yang bertugas, agar bisa menitipkan pesan untuk Tara kalau dia datang.
"lusa aku pulang, Tara," tulisnya pada secarik kertas.
"Aku ingin sekali menjumpaimu sebelum pulang. Maukah kamu menemuiku di Darling Harbour besok malam jam sebelas? Kamu pasti tahu tempatnya. Kalau kamu muncul, aku tahu kamu sudah memaafkan sahabatmu. Salam, B."
Wah, susahnya menulis. dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar!
"Serius lu mau pulang, Bas?" tanya Barry heran.
"Bukan lu lagi seru-serunya main petak umpet sama tante lu?"
"Gue udah kangen sama Mama. Kemarin waktu telepon Mama sampe nangis-nangis. Gue mau nepatin janji."
"Janji apaan? Sama siapa?"
"Sama Mama. Gue janji nggak bohong lagi. Nggak bolos lagi."
"Lu yakin dosa lu diampunin?"
"Mama masih percaya. Buktinya tahun depan gue boleh studi di Jakarta. Nggak bisa masuk UI, PTS juga nggak jelek, lagi."
"Emang nggak jelek. Cuma mahal."
"Papa pasti mau bantu. Selama ini kan Mama nggak pernah minta bantuan."
"Bokap sih pasti oke kalo buat sekolah. Jangan-jangan dia ikut nyumbang gedung biar namanya dipajang."
"Lu sendiri gimana?"
"Gue udah bilang Papa mau studi di sini."
"Mudah-mudahan pacar lu tambah banyak, biar berkembang biak dan beranak pinak."
"Jangan khawatir. Sekarang giliran cewek cewek di sini yang gue download. Biar adil "
"Syukur deh. Indo jadi tambah aman. Satu teroris udah mental."
"Lu udah ketemu Sandy?"
"Belon. Rencananya besok gue mau ke apartemennya."
"Ngapain?" "Pamit." "Pake pamit segala."
"Sopan santun gue udah teruji. Nggak percuma Nyokap guru."
"Mau gue bikinin _farewell party?"
"Nggak usah. Kalo lu nongol, biasanya harga-harga jadi pada naik!"
"Sialan! Emangnya gue calo!"
*** Siang itu, Bastian datang ke apartemen Sandy. Dan mau tak mau, ingatannya kembali pada hari pertama dia berada di tempat ini. Bastian tersenyum pahit ketika ingat kebodohannya. Sampai dia harus turun-naik tangga sebelas tingkat dan kehilangan ranselnya.
Tapi yang terasa pahit saat itu justru terkesan manis setelah semuanya menjadi kenangan. Dan Bastian merekam semua pengalamannya di negeri kanguru selama tiga minggu dalam album memori di benaknya.
Begitu Bastian masuk, Sandy langsung memeluknya. Dan mencium bibirnya dengan mesra. Ciumannya masih sepanas di Pantai Bondi. Tapi sudah tak ada lagi gairah di hati Bastian.
Dia terangsang sesaat. Tentu saja. Siapa yang tidak terangsang dicium gadis secantik Sandy? Cuma gay, kali.
Tapi yang muncul memang hanya itu. Nafsu. Tak ada lagi cinta.
inikah cinta pertama? pikir Bastian. Cinta monyet? Cinta yang timbul seketika pada tatapan pertama. Meluap seperti banjir. Tapi tak tahan lama? langsung surut begitu hujan berhenti dan matahari bersinar!
Kecantikan Sandy masih tetap memesona. Tubuhnya masih tetap seksi. Dada yang membusung dibungkus kaus ketat tanpa lengan. Pinggang yang ramping terbuka menyapa angin dan jilatan mata Bastian. Serta pinggul yang melekuk padat dalam rangkulan bodymu yang tak kalah ketatnya.
Bastian masih tetap mengaguminya. Dia cewek paling cantik yang pernah dikenalnya. Tapi tak ada lagi gereget yang membuncah di dadanya. Baginya kini, Sandy cuma seorang
sahabat. Mungkin calon ipar kalau Barry serius. Tapi itu pun masih diragukan.
"Betul kamu pulang besok, Bas?" tanya Sandy dengan suara yang manja-manja menggemaskan. Dia bergelayut di lengan Bastian, seolah-olah ingin merayunya supaya jangan meninggalkan Sydney. Kalau perlu, biar jadi orang gelap sekalian.
Alangkah beda dengan sikapnya waktu Bastian baru datang dulu. Sandy begitu sombongnya sampai Bastian merasa kesal. Tapi justru karena dia congkak, Bastian semakin terangsang ingin menaklukkannya.
Ketika melihat Bastian tersenyum, Sandy mengira senyum itu untuk rayuannya. Dia tidak tahu Bastian tersenyum karena terkenang pengalaman pertamanya di tempat ini!
"Halo, Bas!" sapa Anita yang sedang menyiapkan makanan di meja makan.
"Aku dan Sandy sudah menyiapkan makanan istimewa untukmu. Surprise!"
Ketika melihat lasagne yang disiapkan Anita, senyum Bastian semakin melebar. Lebih-lebih ketika Anita ikut-ikutan mengecup pipinya.
"Kami menyukaimu, Bas," bisiknya sambil tersenyum pahit.
"Kami merasa kehilangan."
Jangan khawatir, kata Bastian dalam hati. Aku yakin Barry tidak akan memberikan kesempatan pada kalian untuk merasa kehilangan!
Sehabis makan, Sandy berkeras mengantarkannya pulang.
Sekalian ke Chinatown, katanya.
Tapi dia tidak ke Chinatown. Tidak mengantarkan Bastian pulang ke hotelnya. Dia membawa Bastian ke Pantai Bondi. Sandy seperti ingin mengulangi kencan mereka dulu. Ketika pertama kali mereka berada di sini.
Siang itu Pantai Bondi sepi. Tidak ada ikan asin yang dijemur. Karena cuaca mendung. Matahari bersembunyi.
Sandy dan Bastian hanya duduk minum di kafe sambil mengobrol.
"Sebenarnya kamu lebih menarik daripada Barry," kata Sandy terus terang.
Tentu, Bastian menyimpan senyumnya. Aku pasti lebih menarik kalau Carl sudah kehilangan semua otot di badannya dan Barry sudah kehilangan semua kartu kredit di dompetnya. Sudah kehilangan ketampanannya. Dan
sudah kehilangan kemahirannya merayu wanita.
"Kamu lebih jujur. Lebih jenaka. Lebih setia. Kalau aku sudah lebih dewasa nanti, aku mungkin akan memilihmu."
Sandy mendekatkan wajahnya ke wajah Bastian. Dan menciumnya dengan ciuman yang sepanas dulu. Bastian membalasnya dengan lembut.
"Kamu sudah berubah," cetus Sandy kagum.
"Kamu yang mengajariku," sahut Bastian sederhana.
"Dan kamu belajar dengan cepat!"
"Kata Mama, aku cepat belajar. Aku bisa baca waktu umur empat tahun."
Tetapi ketika Sandy ingin mengajarkan yang lain, Bastian menolak. Dia merasa lebih baik tinggal di kelas satu saja dulu. Dia belum pantas naik ke kelas dua.
Karena itu dia langsung menolak ketika Sandy mengajaknya ke tempat sepi. Dia malah mengajak Sandy pulang selesai minum.
Bastian minta diantarkan ke restoran Pak Amat Dermawan. Karena dia ingin pamit pada Agus dan Henny. Tapi baru jam enam Sandy mengantarkannya ke sana.
Sesaat sebelum Bastian turun dari mobilnya, Sandy mengecupnya lagi. Kali ini dengan ciuman persahabatan yang lembut dan manis.
Bastian mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.
Sandy tersenyum manis.

Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan selalu ingat kamu kalau ke Bondi Bach," katanya lembut.
Dan aku akan selalu ingat, kamulah yang pertama kali menciumku.
Pak Amat Dermawan langsung mengenali Bastian. Dan mengajaknya ngobrol sebelum mempersilakannya menemui Agus di dapur.
Sore itu restorannya masih sepi. Belum ada yang makan. Jadi waktu Bastian masuk ke dapur, dia melihat Agus sedang makan nasi rames. Rupanya belum ada piring yang dicuci. Mendingan dia makan dulu daripada kelaparan sampai jam sebelas.
"Bas!" cetus Agus kaget, entah gembira, entah takut. Belum lepas dari trauma. Setiap datang Bastian selalu membawa kehebohan.
"kau? Ke mana aja lu? Nggak nongol-nongol! Gue kira udah pulang!"
"Besok gue mudik, Gus," Bastian mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan sahabatnya.
"Titip salam dan permintaan maaf gue buat Henny."
"Sori, kita terpaksa ngusir lu ya, Bas."
"Nggak apa-apa. Anak burung musti didorong keluar sangkar supaya bisa terbang. kan? Kalo di sangkar lu aja, gue tetap cebol."
"Kapan balik lagi?"
"Nggak taulah. Belon mikir. Sampe ketemu, Gus. Kalo gue datang lagi, gue mau muka lu udah bunder kayak piring."
"Kalo belon ketangkep dan dipaketin pulang, Bas!"
"Kalo lu dikirim pulang. ingat di Indo lu masih punya temen, Gus!"
"Gantian gue yang numpang di rumah lu, ya?"
"Dan lu yang tidur di sofa."
Mereka tertawa getir. "Gimana kalo ntar malam kita bikin perpisahan, Bas? Habis tugas kita makan di restoran Thai, ya? Atau lu mau cuci mata lagi di Kings Cross?"
"Ntar malam gue udah ada janji, Gus. Lain kali aja deh."
"Sama cewek lu? Yang mana?"
Bastian hanya tersenyum. *** BAB XII BASTIAN tidak bisa langsung meninggalkan rumah makan Pak Amat Dermawan. Karena Pak Amat memaksanya makan dulu sebelum berangkat. Jadi terpaksa Bastian makan sore. Karena belum waktunya makan malam.
Pak Amat menyuruh koki, yang notabene istrinya sendiri, makanya dia bisa hemat, membuatkan makanan kesukaan Bastian. Tujuh rupa jumlahnya. Tapi termasuk nasi putih dan teh panas. Eh, teh bukan makanan, ya? Di resto Pak Amat termasuk gratis. Boleh ambil sebanyaknya. Minum sampai kembung pun tidak dilarang. WC-nya dekat. Dan bersih. Soalnya mendadak suka diperiksa oleh Council.
Duh, Pak Amat memang baik sekali. Seharusnya namanya Amat Dermawan Budiman Sentosa. Karena selain baik, dia juga kaya. Coba saja lihat mobil yang berhenti di depan
restorannya. Macam-macam mereknya. Dari bus sampai Modena.
Karena makan sambil ngobrol, Bastian baru bisa pulang jam delapan. Itu juga karena pengunjung resto makin banyak. Jadi Bastian terpaksa menyingkir karena kursinya mau dipakai tamu.
Dia naik bus ke hotelnya. Sampai di sana setengah sembilan malam. Dan Bastian tidak menemukan Barry di dalam kamar.
Tidak heran. Dia sih kalong. Mana pernah ada di sarang kalau malam.
Mumpung masih ada waktu, Bastian membereskan kopernya karena besok mau pulang. Lalu dia mandi. Dan menunggu pukul setengah sebelas.
Hotelnya terletak di kawasan Darling Harbour juga. Jadi tidak jauh dari meeting point-nya dengan Tara. Jalan kaki lima menit juga sampai. Cuma malam ini memang agak dingin. Jadi Bastian tidak lupa membawa jaketnya.
Bastian tidak mau terlambat. Takut Tara keburu datang. Dia belum muncul. Dan Tara mengira Bastian tidak datang.
Jadi pukul setengah sebelas, Bastian keluar
dari kamarnya dan berjalan ke tempat yang dijanjikan. Dia hanya berharap semoga Tara masih ingat tempat itu.
Dia agak kecewa ketika dari jauh dia melihat deretan bangku batu itu kosong melompong.
Belum datangkah Tara? Bastian melirik jam tangannya. Setengah sebelas lewat lima. Memang belum waktunya. Mungkin Tara terlambat keluar dari tempat kerjanya. Tidak dapat bus. Kalau sudah malam kan bus memang jarang. Mungkinkah dia naik mobil dan tidak dapat tempat parkir?
Bastian duduk menunggu di batu sampai pukul sebelas lewat seperempat. Saat itu dia baru yakin, Tara tidak datang.
Jadi Tara benar-benar tidak dapat memaafkannya. Hatinya pasti sakit sekali sampai permintaan maaf Bastian pun tidak dapat menyembuhkannya.
Perbuatan ayah tirinya merupakan trauma yang sangat berat. Ayahnya memanjakannya. Pura-pura menyayanginya. Tapi merenggut kehormatannya dengan sangat keji.
Karena itukah Tara tidak dapat memercayai pria lagi? Dia tidak mau berhubungan lagi dengan laki-laki. Bahkan mengubah dirinya
menjadi separo pria supaya dengan penyamarannya itu dia merasa aman. Bukankah sebagai pria tidak ada lagi yang menaruh perhatian padanya?
Karena perhatian berarti petaka. Berbuat baik selalu ada maunya. Itu katanya dulu. Seperti itukah ayah tirinya?
Karena itu Tara tidak dapat menerima kebaikan orang. Karena itu dia selalu curiga. Apalagi pada makhluk yang namanya laki laki!
Kamu keliru, Tara, keluh Bastian sedih. Aku ingin jadi temanmu. Bahkan lebih dari itu. Aku ingin jadi cowokmu. Akan kubuktikan padamu, nggak semua cowok sebusuk ayah tirimu!
Tapi kamu tidak memberi aku kesempatan. Bahkan pada saat terakhir. kamu masih belum dapat kujangkau juga.
Bastian bertekad untuk menunggu terus di sana sampai pagi. Siapa tahu, Tara datang terlambat.
Biar dia membeku kedinginan di sini. Dia tidak mau Tara datang dan kecewa karena Bastian sudah pergi.
Tetapi penantian dan pengorbanan Bastian
ternyata Sia-Sia. Tara tidak muncul sampai pagi.
'Jadi kamu tidak mau memaafkanku, pikir Bastian kecewa. Tidak mau mengucapkan selamat jalan. Oke. Kalau itu kemauanmu. Tinggallah terus dalam kotak Pandora-mu! Musuhi setiap orang di sekitarmu. Singkirkan semua cowok yang ingin masuk ke hatimu! Biar cuma virus yang bisa masuk ke sana!
Sebelum pulang ke hotel, Bastian pergi ke flat Tara untuk mengembalikan kunci. Kotak posnya tidak dikunci. Seperti dulu juga.
Barangkali Tara tidak peduli surat-suratnya hilang sekalipun. Lagi pula siapa yang mau tulis surat sama dia?
Kotak posnya kosong. Cuma junk mail yang berserakan di sana. Bastian meletakkan kunci itu di bawah kertas. Supaya kalau ada yang iseng buka-buka kotak pos, kunci itu tidak kelihatan.
Dari sana dia pulang ke hotel. Mandi. Sarapan pagi bersama Barry. Dan kembali ke kamar.
"Kapan lu pulang?" tanya Bastian selesai membenahi barangnya.
Sekarang bawaannya sudah singset. Ransel hilang. Gitar sudah diserahterimakan pada Agus.
Payung diberikannya kepada Anita. Buat kenang-kenangan, katanya. Payung dari tanah airmu.
Tentu saja kalau boleh menolak, Anita ingin menolaknya. Tetapi dia tidak tega. Jadi disimpannya saja payung itu buat ganjal pintu.
"Lusa gue mudik," sahut Barry santai.
"Mama juga masih di Jakarta. Nungguin mau jitak batok kepala lu."
Dari hotelnya, Bastian berangkat diantar oleh Barry dan Anita ke bandara. Sandy tidak bisa datang.
"Dia titip salam," kata Anita.
"Nggak apa," sahut Bastian santai. Dia bersin dua kali. Pilek karena semalaman duduk di udara terbuka. Padahal hawa cukup dingin.
"Udah perpisahan kok kemarin."
"Masih kepagian, Bas," kata Barry di dalam taksi.
"Lu mau makan dulu apa langsung ke bandara?"
"langsung aja," Bastian bersin lagi.
"Gue makan di airport aja deh."
"Wah, lu bawa virus nih!" gerutu Barry, takut ketularan.
"Ntar kupingmu sakit di kapal, Bas." sambung Anita iba.
"Mau minum obat dulu?"
"Udah. Makanya cepetan deh ke airport. Trus lu pada kabur semua. Biar nggak ketularan!"
"Nggak usah pake cium-ciuman, ya?" gurau Barry.
"Emangnya lu kecakepan!" Bastian menyeringai pahit.
Sesampainya di bandara, mereka turun dari taksi.
"Mendingan lu pake aja taksinya, Bar," kata Bastian setelah menerima kopernya dari sopir taksi yang mengeluarkannya dari bagasi.
"Nggak usah pada nungguin deh. Masih dua jam lebih!"
"Oke!" Barry mengulurkan tangannya untuk mengirim salam tepuk.
"Sampai ketemu, kunyuk kecil! Hati-hati di jalan, jangan meleng!"
"Lu juga hati-hati, lutung bandot! Kira-kira kalo nge-download cewek! Inga-inga hak cipta!"
Ketika giliran mengucapkan salam perpisahan dengan Anita, terbit setitik keharuan di hati Bastian.
"Sampai ketemu, An," Bastian mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan gadis itu.
"Jaga baik-baik Barry. Kalo perlu kasih obat tidur aja biar jinak."
Tetapi Anita tidak menyambuti uluran tangannya. Dia memeluk Bastian. Tidak peduli pemuda itu bersin lagi.
"Selamat jalan, Bas," bisiknya lembut.
"Kamu cowok teladan. Mudah-mudahan kalau datang lagi, kamu udah bisa milih. Sandy atau Tara."
"Sekarang juga aku udah milih, An." bisik Bastian sambil tersenyum pahit.
"Tapi Tara nggak mau memaafkanku."
Anita melepaskan pelukannya dengan kaget.
"Tara? Kapan dia ketemu kamu?"
"Janjinya tadi malam. Di Darling Harbour. Tapi dia nggak datang."
"Dia datang, Bas!" sela Barry kaget.
"Ketika selesai makan tadi malam, kami ketemu dia! Kata Anita, dia hampir nggak ngenalin, soalnya Tara pakai rok!"
"Roknya bagus sekali. Rok lebar berwarna cokelat dengan sabuk kulit hitam. Gayanya masih maskulin. Tapi menurut perasaanku, dia rada lain..."
"Tara datang?" sergah Bastian seperti orang linglung.
"Tapi aku ke sana dia tidak ada! Aku menunggu di sana sampai pagi...."
"Kita ketemu dia kira-kira pukul berapa. ya?" Anita menatap Barry dengan tatapan bertanya.
"Jam sepuluh? Sepuluh lewat?"
"Mungkin sepuluh lewat," sahut Barry mengingat-ingat.
"Kan restoran kita tutup jam sepuluh."
"Tapi kenapa dia nggak nunggu aku?" desah Bastian penuh sesal.
"Janjinya kan jam scbelas!"
"Aku tanya ngapain dia di situ," sahut Anita sementara Barry sedang membayar ongkos taksi.
"Tapi dia nggak bilang apa-apa. Dia malah nanyain kamu."
"Gue jawab lu nggak ada di hotel waktu gue keluar jam delapan," sambung Barry sambil menyimpan uang kembaliannya.
"Nggak tau ke mana."
"Aku bilang kamu pergi dari siang sama Sandy," sambung Anita dengan perasaan bersalah.
"Sori banget, Bas! Aku nggak nyangka Nggak tau kalian ada janji...."
"Bar, jagain koper gue, ya!" cetus Bastian tiba-tiba sambil merampas dompet Barry yang
belum sempat dimasukkan ke saku celananya.
"Pinjem dulu duit lu!"
Lalu Bastian mengejar bekas taksinya yang sudah mulai bergerak pergi.
Barry menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengomel.
"Heran tu anak! Makin lama gilanya makin kumat! Segala macam tusukan sate begitu diuber-uber!"
*** Tara memasukkan buku-bukunya ke dalam ranselnya. Dia sudah siap berangkat ke kampus. Liburan musim panas ini dia mengikuti summer count.
Ketika dia sedang menyambar kunci mobil, terdengar suara kunci pintu berputar.
Tara mengerutkan dahinya. Siapa lagi yang datang? Mama?
Wah, saatnya benar-benar tidak tepat! Dia lagi malas ngomong. Tapi... memangnya kapan dia rajin bicara?
Semalaman dia tidak bisa tidur. Kecewa. Jengkel. Sakit hati berkecamuk di hatinya. Tidak heran kalau sekarang kepalanya berat.
Mandi juga tidak hilang sakitnya. Padahal Tara sudah mencuci rambutnya sampai tiga kali. Menyabuni badannya dua kali. Dan melempar roknya ke tempat sampah! Buang sial, katanya.
Lelaki memang sialan! Selalu bikin sakit hati!
Padahal dia sudah mulai membuka pintu hatinya. Sudah mulai memercayai seseorang. Sudah mulai melintasi hambatan komunikasinya.
Ternyata cowak itu sama juga! Setali tiga dolar! Mulutnya sama murahnya dengan ceweknya!
Bastian pasti sudah lupa pada janjinya. Padahal dia yang minta ketemu di sana.
Begitu ketemu cewek bulenya, dia pasti lupa segala-galanya. Entah di mana dia sekarang! Barangkali di flat ceweknya. Sedang tidur nyenyak.... Dan pintu terempas.
Begitu pintu terbuka, Bastian langsung menghambur masuk seperti dikejar anjing galak. Tara yang sedang tertegun kaget sampai terhuyung mundur laksana ditabrak meteor.
"Keluar!" geram Tara begitu dia sudah dapat berdiri tegak kembali. Dan sudah tahu benda
apa yang menabraknya. Diayunkannya ranselnya ke punggung Bastian dengan gemas.
"Aku nggak mau lihat tampangmu lagi!"
"Kasih aku waktu buat jelasin, Tara!" pinta Bastian. Kewalahan dia menangkis serangan kepruk ransel yang dilancarkan perempuan galak itu.
"Kamu salah sangka!"
"Nggak usah!" Tara menghambur ke pintu dan meninggalkan Bastian tanpa menoleh lagi.
"Tunggu. Tara!" Bastian mencoba meraih lengan gadis itu untuk menahan kepergiannya.
Tapi Tara meronta lepas dan kabur ke garasi. langsung masuk ke mobilnya. Tetapi kali ini Bastian lebih gesit. Dia tidak mau ditinggalkan mentah-mentah seperti dulu.
Secepat kilat, mungkin lebih pelan sedikit dari kilat, Bastian melompat ke dalam mobil. Ketika Tara mengulurkan tangannya untuk memutar kunci menghidupkan mesin, Bastian merenggut tangannya dengan kasar. Dirampasnya kunci mobilnya. Lalu dilemparkannya ke luar.
Cewek yang satu ini emang perlu dikasarin, pikirnya nekat. Kalo kelewat halus malah nggak diladenin!
"Dengar, cewek galak!" tukas Bastian setelah
dia berhasil meredam perlawanan Tara. Mengunci kedua lengan gadis itu sampai dia tidak mampu lagi mencakar. Memukul. Menggebuk.
"Jam setengah sebelas lewat lima aku udah datang. Tapi kamu udah pergi!"
"Persetan!" Tara menendang kaki Bastian dengan sengit. Pas kena tulang keringnya. Duk!
Bastian sampai berteriak saking sakitnya. Tetapi dia tidak punya kesempatan untuk bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian. Karena Tara sudah membuka pintu mobilnya.
Sesaat sebelum dia menghambur keluar, Bastian memeluknya dari belakang. Dan mendekapnya erat-erat.
"Aku sayang padamu!" teriak Bastian jengkel. Hebat. Mana ada orang bilang sayang sambil berteriak jengkel?
"Dan aku bukan ayah tirimu! Aku benar-benar sayang sampai rela beku semalaman menunggumu!"
Yang membuat perlawanan Tara berhenti pasti bukan karena teriakan sayang Bastian. Tapi karena Bastian menyebut ayah tirinya. Sesaat dia seperti membeku dalam pelukan. Dan Bastian menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan semuanya.
"Siangnya emang aku pergi sama Sandy.
Tapi cuma sampai jam enam. Dan hanya untuk pamit. Suer! Trus aku pamitan sama teman-temanku yang lain. Jam setengah sebelas lewat lima aku nongol di sana. Tapi kamu udah nggak ada."
"Nggak perlu!" dengus Tara menahan tangis.
"Nggak perlu apa?"
"Nggak perlu dijelasin."
"Tapi kalo nggak dijelasin. kamu ngamuk!" Bastian mengendurkan dekapannya setelah tubuh gadis itu melunak dan perlawanannya mereda.
"Padahal kamu salah sangka. Kamu cemburu sama Sandy karena kamu naksir aku. Tapi kamu nggak mau ngaku!"
Ketika melihat pancaran berbahaya yang keluar dari mata gadis itu, Bastian merasa ngeri. Takut kepalanya ditimpuk lagi. Atau kakinya ditendang seperti tadi. Jadi dia sudah bersiap siap menyelamatkan diri.
Tetapi kali ini Tara tidak menyerangnya. Dia cuma mendesah.
"Kamu nggak perlu malu mengakuinya, Tara," dengan lembut Bastian membelai pipi gadis itu. Tentu saja sambil bersiap siap menangkis kalau tiba-tiba ada bogem mentah melayang ke wajahnya. Dia kan tidak mau
pulang dengan wajah bonyok. Bisa nangis Mama di airport.
"Aku juga nggak malu bilang aku sayang kamu."
"Beri aku waktu," desah Tara lirih. Tidak disangka-sangka.
"Semuanya terlalu cepat."
"Aku tau," sahut Bastian lega.
Dia ingin mencium gadis itu. Bukan karena dia cantik. Tapi karena Bastian mencintainya. Dengan cinta sejati yang tumbuh sedikit demi sedikit. Tidak menggebu-gebu. Bahkan kadang kadang tidak terlihat, tapi baru dapat dirasakan setelah nafsu diam dan nurani berbicara....
"Kapan kamu pulang?" gumam Tara perlahan, hampir tak terdengar. Dia seperti tidak ingin menanyakannya.
Apalagi melihat reaksi Bastian. Seperti disengat kala dia melihat arlojinya.
"Satu jam lagi pesawatku berangkat!"
"Aku antar kamu ke sana."
"Betul? Kamu mau?"
Tara mengangguk. Tapi dia diam saja.
"Tunggu apa lagi?" desak Bastian bingung.
"Mana kunci mobilnya?"
Astaga! Bastian baru ingat. Dia melempar kunci itu ke luar!
Tara melarikan mobilnya ke bandara dengan gesit. Untung apartemennya tidak begitu jauh dari sana.
"Sampai ketemu. Tara!" Bastian ingin mencium gadis itu untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi dia tidak berani. Walaupun dia ingin mempraktikkan ilmu yang diperolehnya dari Sandy. Tara memang beda. Dan Bastian menghormati perbedaan itu.
"Salam kangen!"
Tara mengulurkan tangannya untuk menerima jabatan tangan BaStian. Lama tangan mereka saling genggam. Berbagai perasaan seperti tersalurkan melalui sentuhan itu.
"Kalo aku datang lagi, aku ingin lihat kamu pake rok," kata Bastian sebelum turun dari mobil.
"Janji?" Tetapi Tara tidak mengucapkan sepatah kata pun. Karena dia tahu, kalau dia membuka mulutnya, tangisnya bakal pecah. Dan dia tidak mau Bastian melihat air matanya.
Diawasinya saja pemuda yang sedang berlarilari masuk ke dalam bandara itu. Ketika bayangan Bastian sudah lenyap, baru dia menangis.
*** BAB XIII BASTlAN sudah minta maaf pada ibunya. Sudah berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Dan sudah berjanji akan belajar sebaik-baiknya untuk menebus dosanya.
Seperti biasa, Mama bukannya memarahi. Hanya menjejali Bastian dengan segebung nasihat. Sampai bukan hanya Bastian yang bosan. Papa juga ikut budek.
"Sudahlah," yang tidak tahan ternyata malah Papa. Mukanya sudah amis seperti belacan. Jelek sekali. Untung tidak ada wanita lain yang melihatnya. Bisa jatuh pamornya.
"Ini rumah, bukan kelas! Tidak perlu memberi nasihat panjang-lebar begitu!"
"Jangan menyela kalau saya sedang menasihati anak!" Nah, keluarlah wibawa Mama sebagai seorang guru yang disegani. Pada saat
seperti itu, seperti ada lingkaran di atas Kepala nya. Semua yang melihatnya pasti takut dan hormat. Kecuali Papa.
"Tapi dari dulu kamu selalu begitu! Kamu lupa di rumah kamu itu istri, bukan guru!"
Dan mereka mulai bertengkar lagi sampai tidak tahu Bastian diam-diam sudah menyingkir.
Jadi itukah sumber ketidakcocokan mereka? Atau... itu cuma alasan kedua?
Alasan yang pertama, Papa tidak bisa hanya memiliki satu wanita saja. Karena kalau dia bisa memiliki dua, mengapa harus puas dengan satu?
Bakat yang diturunkannya langsung kepada Barry. Karena ketika dia pulang dari Sydney, dia sudah punya stok baru lagi di Jakarta. Padahal dia tidak bisa me-roger kedua cewek inventarisnya. Sekarang dia bukan hanya main dobel. Dia main tripel. Karena adiknya sudah berhenti jadi tukang loaknya.
Sementara itu, sejak kembali ke indonesia, Bastian sudah dua kali menelepon Tara.
Dia yakin, hubungannya dengan Tara bakal panjang. Awet. langgeng. Karena sekarang dia
sadar, cewek cantik ada di mana mana. Tapi cewek yang dicintainya, hanya ada dalam hatinya.
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,13 Agustus 2018
Terimakasih Tamat Para Ksatria Penjaga Majapahit 6 Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian The Devil In Black Jeans 1

Cari Blog Ini