Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 8
Tan Wan-wan kelabakan tak mampu
menjawab "serangan" itu.
Kaisar berkata kepada Yo Kian-hi, "Kau ikut
rombongan itu." "Baik Tuanku. Bagaimana dengan Ciong Ekhi alias Ha Cao?"
"Mudah saja. Dengan sepucuk surat, aku
akan memerintahkan Jenderal Gu Kim-sing
membawa batok kepalanya di atas nampan,
pada Sidang Kerajaan besok pagi."
"Tuanku sungguh tegas dalam mengambil
tindakan." Begitulah, niatnya Tan Wan-wan akan
dikirim ke San-hai-koan seumpama air untuk
memadamkan api yang membara. Begitu
niatnya. Kaisar Tiong-ong agak lupa bisa terjadi
sebaliknya. Pengiriman Tan Wan-wan seperti
minyak yang disiramkan ke api, sebab San-haikoan sedang berhadapan dua lelaki yang samasama tergila-gila kepada Tan Wan-wan.
Kembang Jelita 2 / XIII 37 Jenderal Lau Cong-bin dan Bu Sam-kui,
dengan pasukannya masing-masing.
Hari itu adalah hari kesekian San-hai-koan
digempur. Pasukan besar Pelangi Kuning sudah
kehilangan banyak prajurit dalam gempuran di
hari-hari sebelumnya. Ratusan pucuk senjata
api yang tiba-tiba muncul di pihak pengawal
San-hai-koan, meriam-meriam San-hai-koan
yang semula dikira "bisu" tetapi tiba-tiba kini
"menyalak" dengan galak kembali, telah
mengejutkan pasukan Pelangi Kuning. Tetapi
Jenderal Lau dengan keras kepala meneruskan
perintah "gempur terus sampai dapat kita
rebut" tanpa menghiraukan pertimbangan apa
pun, tanpa menghiraukan berapa pun
korbannya. Ia begitu bernafsu untuk
menunjukkan batok kepala Bu Sam-kui kepada
Tan Wan-wan, ia sampai bermimpi adegan itu.
Begitu pula hari itu, gempuran ke benteng
kota berlangsung dari matahari terbit sampai
matahari tenggelam. Prajurit-prajurit Pelangi
Kuning tidak henti-hentinya menyerbu tembok
kota, mencoba memanjat, jatuh karena dipanah
Kembang Jelita 2 / XIII 38 dari atas, yang lain coba memanjat lagi, jatuh
lagi, yang lain lagi mencoba lagi, jatuh lagi.
Dan meskipun meriam-meriam Pelangi
Kuning sudah hampir kehabisan bahan peledak,
tetapi sekali-kali masih berbunyi juga.. Lebih
sebagai penambah semangat para prajurit
daripada memberi hasil nyata.
Ketika matahari terbenam, pasukan Pelangi
Kuning pun mundur seperti kemarin, dengan
membawa ribuan mayat teman-teman mereka
yang bertumpuk-tumpuk di kaki tembok Sanhai-koan seperti bangkai laron di bawah dian.
Dan ribuan yang luka-luka.
Bu Sam-kui menunggang kuda, menyusuri
lorong-lorong San-hai-koan menuju ke tempat
tinggalnya. Rakyat San-hai-koan di sepanjang
jalan mengangguk hormat. Mereka tidak
kelaparan lagi karena pihak Manchu mengirimi
bahan makanan berlimpah setiap hari.
Meskipun demikian, ada sesuatu yang
menggelisahkan Bu Sam-kui. la teringat katakata Helian Kong, yang berjanji dalam waktu
sepuluh hari akan menghadirkan Tan Wan-wan
Kembang Jelita 2 / XIII 39 di hadapannya. Sekarang sudah sembilan hari,
Helian Kong belum muncul juga.
"Mudah-mudahan Saudara Helian selamat,
dan Tan Wan-wan juga berhasil dibawa kemari,
entah bagaimana caranya..." Bu Sam-kui
berharap dalam hati. "Kalau Helian Kong
berhasil, aku rela menjadi budaknya seumur
hidupnya..." Demikianlah, buat orang dimabuk cinta,
tidak ada harga taruhan yang terlalu mahal
untuk menggapai idamannya.
Bu Sam-kui kemudian membersihkan diri di
tempat tinggalnya, dan seperti malam-malam
sebelumnya, ia menenggelamkan diri dalam
arak, sampai mabuk mengigau menyebutnyebut nama Tan Wan-wan.
Ketika malam semakin larut, dua sosok
tubuh mengendap mendekati tembok San-haikoan. Berlindung di bayangan pepohonan
belukar, menghindari cahaya obor di atas
tembok San-hai-koan maupun cahaya obor para
peronda Pelangi Kuning, meskipun salah satu
Kembang Jelita 2 / XIII 40 dari orang-orang yang mengendap itu
berpakaian seragam perwira Pelangi Kuning.
"Lewat mana?" tanya seorang.
Yang berseragam perwira menjawab,
"Lewat sebuah sungai kecil yang menerobos di
bawah tembok San-hai-koan. Perwira Jai juga
pernah menuntun pasukan Pelangi Kuning
lewat tempat itu." Ketika sampai di sungai yang dimaksud,
mereka turun ke sungai yang airnya tingginya
selutut, kemudian melangkah merunduk sampai
ke bawah kaki tembok, masuk ke bawah kaki
tembok yang dialiri air. Yang berseragam perwira Pelangi Kuning
berdesis, "Dulu setelah pihak San-hai-koan
ketelusupan prajurit-prajurit Pelangi Kuning
yang hampir saja berhasil mengundang masuk
seluruh balatentara Pelangi Kuning ke dalam
San-hai-koan, pihak San-hai-koan lalu memasang terali-terali besi di mulut terowongan air di bawah tembok ini. Tetapi
Saudara Goh jangan khawatir, Saudara Jai sudah
memberi tahu aku rahasia melewatinya..."
Kembang Jelita 2 / XIII 41 Dan mereka pun sudah sampai di ujung
terowongan dan bertemu dengan terali-terali
itu. Si perwira Pelangi Kuning menghitunghitung terali itu, "Terali nomor enam dari
sebelah kiri, nomor tujuh dan delapan..."
Lalu ia pegang kuat-kuat terali nomor enam,
diguncang-guncang pelan dan copotlah terali
itu. Si perwira tersenyum kepada kawannya,
lalu dia lakukan hal yang sama dengan terali ke
tujuh dan delapan. Sekarang terbukalah suatu
celah untuk menyusup masuk orang itu.
Orang yang tidak berseragam perwira itu
bukan lain adalah Goh Lung, perwira pasukan
rahasia Manchu yang di Ibukota Pak-khia
menyelubungi kegiatannya dengan warung
bakminya. Sebelum ia menyelinap ke sebelah
sana terali, Goh Lung memegang pundak
pengantarnya yang berseragam perwira Pelangi
Kuning itu, katanya dalam bahasa Manchu,
"Jangan lupa tugasmu, Saudara Ung, dengan
nasehat-nasehatmu kepada di goblok Lau Congbin itu, kau harus tetap membuat golongan
Kembang Jelita 2 / XIII 42 Pelangi Kuning dan sisa-sisa dinasti Beng tidak
bersatu." "Aku mengerti, Kakak Goh. Titip salam buat
Kakak Jai." Goh Lung mengangguk, lalu menyelinap.
Pengantarnya memasang kembali terali-terali
itu kemudian pulang ke per-kemahan Pelangi
Kuning. Sementara Goh Lung yang masih berada di
sebelah dalam tembok San-hai-koan, kini
berjalan di antara lorong-lorong gelap kota Sanhai-koan yang sepi. Sepi, sebab penduduk
umumnya tidak berani keluar rumah di jaman
perang itu, dan kelompok-kelompok prajurit
peronda hanya sekali-kali lewat. Goh Lung
langsung menuju ke rumah Jai Yong-wan dan
melompati dindingnya dan membuat ketukan
isyarat di jendela. Di dalam ruangan terlihat ada lilin
dinyalakan, lalu pintunya dibuka. Jai Yong-wan
mengangkat lilin untuk menerangi wajah orang
di depannya, dan berdesis, "Saudara Goh..."
"Betul, ini aku..."
Kembang Jelita 2 / XIII 43 Goh Lung menyelinap masuk, berbicara
kira-kira sejam dengan Jai Yong-wan. Lalu Jai
Yong-wan mengeluarkan seperangkat kotak
rias dan cermin. Dibantu oleh Goh Lung, dia pun
mulai merias diri. Ketika itu, Bu Sam-kui tengah setengah
mabuk setelah kebanyakan arak. Pandangan
matanya kabur, kadang-kadang ia seolah-olah
melihat Tan Wan-wan berdiri di depannya dan
melambai kepadanya. Tetapi kalau Bu Sam-kui
meraihnya, bayangan itu lenyap. Prajuritprajurit yang berjaga di luar tahu kalau
panglima mereka sedang mabuk, namun
mereka biarkan saja karena hal itu sudah biasa.
Setiap malam prajurit penjaga disuruh ke dapur
tangsi untuk mengambil arak. Para prajurit
heran juga, bahwa meski setiap malam Bu Samkui mabuk, siangnya masih bisa memberikan
komando-komando di atas benteng San-haikoan sehari penuh. Ada prajurit yang bertanyatanya, apakah arak itu sumber kekuatan Bu
Sam-kui? Mereka tidak tahu bahwa sumber
kekuatan Bu Sam-kui bukan arak, melainkan
Kembang Jelita 2 / XIII 44 kemarahan. Kemarahan karena Tan Wan-wan.
Itulah yang membuat Bu Sam-kui begitu
berkobar-kobar di siang hari di antara prajuritprajuritnya di tembok kota pada waktu
pertempuran. Ketika itulah prajurit-prajurit di luar tibatiba melihat sosok bayangan berjalan mendekat.
Mereka bersiaga, namun kemudian mengendorkan kesiagaan mereka setelah
cahaya lampion menggapai wajah kedua orang
itu, yang ternyata adalah Helian Kong dan
seorang temannya entah siapa. Tidak
berpakaian seragam, dekil, sedekil Helian Kong
sendiri. Seorang komandan regu tiba-tiba saja
merasa sangat lega melihat Helian Kong,
sehingga berkata, "Kiranya Panglima Helian.
Selamat datang kembali di San-hai-koan,
Panglima..." "Terima kasih," sahut Helian Kong agak
kaku, suaranya maupun sikapnya. Suaranya
juga agak serak dan sengau.
Kembang Jelita 2 / XIII 45 Seorang komandan regu tiba-tiba saja merasa sangat
lega melihat Helian Kong, sehingga berkata, "Kiranya
Panglima Helian. Selamat datang kembali di San-haikoan, Panglima..."
Kembang Jelita 2 / XIII 46 Komandan regu itu diam-diam menduga,
"Mungkin karena berada di pegunungan,
kesehatan Panglima Helian jadi
agak terganggu..." Perwira itu tidak tahu tentang perjalanan
Helian Kong ke Pak-khia untuk "mengambil"
Tan Wan-wan bagi Bu Sam-kui, sebab hal itu
memang tidak disebarluaskan oleh Bu Sam-kui.
Bu Sam-kui khawatir hal itu bocor ke telinga
orang-orang Pelangi Kuning dan bakal
mempersulit Helian Kong, Bu Sam-kui "hanya"
menceritakannya kepada sahabat terpercayanya, Jai Yong-wan.
Sementara itu, Helian Kong bertanya kepada
komandan jaga, "Jenderal Bu ada?"
"Ada. Justru Panglima Helian lah yang selalu
ditunggu-tunggu oleh Panglima kami. Silakan
masuk." Helian Kong dan kawannya pun melangkah
masuk. Mereka jumpai Bu Sam-kui sedang
menenggak araknya di ruang tengah. Tidak
mabuk, tetapi setengah mabuk. Mulutnya yang
berleleran arak terus mengigau, "Tan Wan-wan
Kembang Jelita 2 / XIII 47 kekasihku... tunggulah, Kakanda datang
membebaskanmu... Kakanda akan cincang si
maling Li Cu-seng itu di hadapanmu...
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bidadariku, tunggulah Kakanda..."
Helian Kong dan temannya bertukar
senyuman tersembunyi dan anggukan kecil.
Teman Helian Kong berdesis, "Lebih gampang..."
Helian Kong kemudian menepuk pundak Bu
Sam-kui sambil berkata, "Saudara Bu, ini aku,
Helian Kong. Aku sudah kembali dari Pakkhia..."
Bu Sam-kui membelalakkan matanya yang
merah. "Saudara Helian..."
"Ya, ini aku, Saudara Bu..."
Dengan keadaannya yang setengah mabuk,
Bu Sam-kui tidak memperhatikan benar kalau
Helian Kong yang di depannya ini suaranya
agak lain, dan tidak membawa pedang Elang
Besinya, padahal biasanya pedang itu tidak
pernah terpisah dari tubuh Helian Kong. Bahkan
Bu Sam-kui menyangka bayangan tubuh yang
bersama Helian Kong itu adalah Tan Wan-wan,
Kembang Jelita 2 / XIII 48 "Saudara Helian, apakah Tan Wan-wan...
bersamamu?" Lalu dengan langkah miring khas orang
mabuk Bu Sam-kui melangkah mendekat sambil
mengembangkan lengan-lengannya, siap memeluk, sambil mengigau, "Mari, Adinda Wanwan... peluklah Kakanda..."
Tetapi Helian Kong yang menyongsong Bu
Sam-kui, menahannya agar tidak roboh, sambil
berkata, "Ini bukan Tan Wan-wan, Saudara Bu.
Duduklah dan dengarkan penjelasanku."
Bu Sam-kui seperti diguyur air dingin
mendengar kata-kata itu, kesadarannya pulih
kembali sebagian kecil, matanya membelalak
dan melihat jelas orang yang bersama Helian
Kong itu bukan Tan Wan-wan melainkan
seorang laki-laki dekil, mana ada kesamaannya
sedikit pun dengan Tan Wa-wan?
Bu Sam-kui sempoyongan mencari tempat
duduk dan berdesah, "Mana Tan Wan-wan?"
"Aku minta maaf, Saudara Bu, aku sudah
berusaha sekuat tenagaku, tapi aku gagal
membawa dia bersamamu kemari."
Kembang Jelita 2 / XIII 49 "Apa yang terjadi dengan dia?"
"Dia sangat menderita, Saudara Bu, dia
selalu merindukanmu. Tetapi si bajingan Li Cuseng itu mengurungnya dan... dan... ah, aku tidak
sanggup mengatakannya..."
Cukup kata-kata ini saja sudah membuat
perasaan Bu Sam-kui campur-aduk tak keruan,
antara kecewa, marah, iba diri dan macammacam lagi. Ia menggebrak meja lalu meraungraung, "Kekasihku, sungguh kau menderita di
tangan si maling itu! Tunggulah, Kakanda akan
kerahkan pasukan menyerbu Fak-khia untuk
membebaskanmu..." Helian Kong menghiburnya, "Kita pasti akan
melakukan itu demi Tan Wan-wan, Saudara Bu.
Tetapi apa daya, kekuatan kita terlalu kecil
dibanding kekuatan musuh. Bahkan seandainya
pasukanmu digabung dengan pasukanku yang
di luar kota sekalipun, takkan cukup untuk
mendobrak pecah kepungan Lau Cong-bin atas
San-hai-koan ini..."
"Aku punya lima ratus pucuk senjata api!"
Kembang Jelita 2 / XIII 50 "Itu tidak cukup kalau kita menghadapi
pasukan yang seperti semut jumlahnya,
pasukan garong Pelangi Kuning itu. Kita
mungkin sempat menembak beberapa gelombang dan membunuh ribuan musuh,
tetapi setelah itu musuh pasti akan menjadi
dekat dan tak terhindari perang jarak dekat
yang membuat bedil-bedil tak berguna lagi.
Kita, yang jauh lebih sedikit, pasti akan
tenggelam dan digilas musuh yang jauh lebih
banyak..." Biar kepalanya masih puyeng, Bu Sam-kui
mengerti juga apa yang dikatakan Helian Kong
itu. "Lalu bagaimana?"
Helian Kong nampak berpikir sebentar,
kemudian mulai berkata dengan hati-hati,
"Saudara Bu, di Ibukota Pak-khia, ternyata aku
bertemu dengan beberapa utusan dari kawankawan kita di selatan, mereka sedang
mengamat-amati perkembangan di Pak-khia
dengan menyamar untuk menentukan langkah.
Salah satunya adalah Saudara Tian ini..."
Kembang Jelita 2 / XIII 51 Orang yang bersama Helian Kong itu
mengangguk hormat kepada Bu Sairi-km dan
berkata dengan logat selatannya yang kental,
"Aku sampaikan salam dari Kok-po Su Ko-hoat
di Yang-ciu..." Bu Sam-kui tercengang. Su Ko-hoat adalah
seorang pembesar dinasti Beng yang masih
punya pasukan sangat kuat di Yang-ciu. Seorang
yang kadang-kadang diimpikan Bu Sam-kui
datang membantu dengan pasukannya yang
kuat. "Jadi... jadi sobat ini adalah utusan Kok-po
Su Ko-hoat?" "Ya. Di Pak-khia aku juga bertemu utusan
jenderal-jenderal lainnya, tentu saja mereka
menyamar semua. Kami berunding membahas
situasi, akhirnya kami memutuskan untuk
mengambil tindakan bersama. Jenderal-jenderal
di selatan akan menggerakkan pasukan ke arah
utara, memancing sebagian besar kekuatan
Pelangi Kuning ke sebelah selatan. Kemudian
Saudara Bu harus bergerak menggempur Pakkhia yang tentu agak kosong dari kekuatan..."
Kembang Jelita 2 / XIII 52 "Lho! Saudara Helian ini tadi bilang
kekuatan kita tidak cukup untuk..."
"Kita pinjam kekuatan Manchu!"
Bu Sam-kui sudah lama memikirkan
kemungkinan itu, meskipun masih takut-takut
membicarakannya secara terbuka, sekarang
kaget mendengar Helian Kong bicara begitu
tegas. Padahal Helian Kong pula yang
sebelumnya gigih mencegah Bu Sam-kui bekerja
sama dengan Manchu, bahkan Helian Kong
sanggup mempertaruhkan nyawa untuk
menyelundup ke istana dan menculik Tan Wanwan demi mencegah kerjasama Bu Sam-kui dan
Manchu. Sekarang kenapa Helian Kong bersikap
demikian? "Saudara Helian Kong..."
"Biar aku jelaskan perubahan sikapku dulu,
Saudara Bu. Setelah bertemu dengan saudarasaudara kita di Pak-khia, aku mendapat
gambaran bahwa kekuatan kita di selatan
sungguh besar, sekali digerakkan ke utara, tak
ada kekuatan yang bisa membendungnya! Dan
mereka sedang merencanakan untuk bergerak
Kembang Jelita 2 / XIII 53 ke utara secara besar-besaran, itulah sebabnya
kita tidak perlu khawatir lagi seandainya
Manchu masuk ke Tiong-goan lalu tidak bisa
mengusirnya lagi. Itu kekhawatiran yang tidak
beralasan. Saudara Bu buka pintu agar Manchu
masuk dan saling gempur dengan kaum Pelangi
Kuning sampai kedua pihak sama-sama hancurhancuran, dan kekuatan kita dari selatanlah
yang akan sama sekali menghabisi kedua
kekuatan yang tinggal sisa-sisanya itu. Saudara
Bu, sungguh jasamu sangat besar untuk
pemulihan dinasti Beng kalau melakukan ini..."
Hal itu memang sudah lama diinginkan Bu
Sam-kui, bukan apa-apa, hanya demi Tan Wanwan. Cuma selama ini masih ragu-ragu
bagaimana nanti komentar rekan-rekan sesama
dinasti Beng, sekarang demi mendengar
"dukungan penuh dari kawan-kawan di selatan"
maka keragu-raguan Bu Sam-kui pun lenyap
semua. Untuk lebih memantapkan diri lagi, Bu Samkui menambahkan, "Memang, tidak perlu kita
ketakutan kepada Manchu. Mereka sendiri
Kembang Jelita 2 / XIII 54 sebenarnya tidak berambisi menduduki negeri
kita. Mereka sadar kecilnya kekuatan mereka
dan jumlah penduduk Tiong-goan yang belasan
kali lipat dari penduduk Liau-tong. Mereka tahu
diri dan tidak ingin menjajah kita, dan
seandainya ingin, mereka tidak akan mampu..."
Kali ini Helian Kong tidak membantah
seperti dulu, melainkan malah menyokongnya
bersama-sama orang yang mengaku "utusan Su
Ko-hoat" itu. Begitulah, Bu Sam-kui sudah mengambil
keputusan. Keesokan harinya, Bu Sam-kui kumpulkan
semua komandan bawahannya, dan setelah
menjelaskan panjang lebar apa yang dikatakan
Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat" itu, Bu
Sam-kui mengumumkan keputusannya. Akan
"meminjam" pasukan Manchu untuk menghantam kaum Pelangi Kuning, bukan
hanya yang mengepung San-hai-koan, bahkan
sampai ke Pak-khia. Akibat penjelasan sebelumnya, rupanya
tidak ada komandan bawahan yang terkejut.
Kembang Jelita 2 / XIII 55 Tidak ada lagi yang menganggap masuknya
pasukan Manchu itu terlalu riskan, mengingat
"besarnya kekuatan kita di selatan". Bahkan ada
yang menganggap itulah peluang emas untuk
menghancurkan kekuatan Pelangi Kuning
sekaligus kekuatan Manchu "yang tidak
seberapa" itu. Mereka juga dipengaruhi
perasaan jemu terkurung terus-menerus di Sanhai-koan.
Mereka semua sudah membayangkan
kemenangan yang hebat. Mereka semua tidak melihat di ruang dalam
di rumah Jai Yong-wan, Helian Kong
mengelupas kulit palsu di wajahnya dan
berubah rupa menjadi Jai Yong-wan. Di hadapan
"utusan Su Ko-hoat" yang bukan lain adalah Goh
Lung. Mereka tertawa-tawa, sambil minum arak
tetapi tidak terlalu banyak.
* ** Esok harinya, tanpa mempedulikan pasukannya yang kelelahan setelah Kembang Jelita 2 / XIII 56 menggempur San-hai-koan berhari-hari tanpa
"libur" sehari pun, Jenderal Lau Cong-bin
memerintahkan agar San-hai-koan digempur
lagi. "Jangan hanya melihat kelelahan diri kita,
ketahuilah, musuh jauh lebih lelah dari kita
karena mereka jauh lebih sedikit..." teriak
Jenderal Lau di atas kudanya. Dalam seragam
tempurnya yang gemerlapan. Dan di tengahtengah pe-ngawal-pengawal wanitanya yang
cantik-cantik. Di bawah bendera-benderanya
yang megah berkibaran. Di depan prajurit-prajuritnya yang menggerutu dalam hati. "Hari ini aku sendiri akan berada di medan
tempur!" seru Lau Cong-bin sambil mengangkat
tinggi-tinggi goloknya yang mengkilat dan
indah, yang tidak pernah benar-benar
digunakan untuk bertempur.
Beberapa prajurit bersorak basa-basi
menyambut "tekad" itu, meski mereka tahu
Jenderal Lau akan berada di jarak yang aman
dari tembok San-hai-koan.
Kembang Jelita 2 / XIII 57 Begitulah, begitu fajar merekah di belakang
kota San-hai-koan, pasukan yang jumlahnya
masih cukup besar itu pun keluar dari
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkemahan mereka, tidak dalam satu jalur saja
melainkan dalam beberapa jalur. Mereka
melewati suatu tempat yang sudah menjadi
kuburan massal teman-teman mereka.
Begitu tembok San-hai-koan nampak di
depan mata, komandan-komandan lapangan
berteriak-teriak dan barisan pun menebar
melebar, maju serempak mendekati tembok.
Barisan yang membawa perisai lebar persegi
berjajar rapat di sebelah depan seperti tembok
berjalan. Di belakangnya para pemanah
merunduk. Suatu siasat yang berguna kalau
posisi musuh sama tingginya, tapi kurang
gunanya menghadapi musuh yang berkedudukan lebih tinggi, seperti prajuritprajurit San-hai-koan yang di atas tembok.
Tetapi prajurit-prajurit Pelangi Kuning melakukannya juga. Tidak lama, pengulangan adegan-adegan
yang kemarin pun terjadi lagi. Kedua pihak
Kembang Jelita 2 / XIII 58 saling memanah dan melempar lembing, dari
pihak pengawal-pengawal San-hai-koan juga
menjatuhkan batu-batu besar dan menembakkan bedil-bedil pemberian Manchu.
Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan, kebanyakan di pihak Pelangi Kuning yang
posisinya lebih terbuka karena bertindak
sebagai penyerang. Tetapi di pihak San-haikoan jatuh korban juga. Panah-panah pasukan
Pelangi Kuning banyak yang menyambar ke atas
tembok, dan prajurit-prajurit San-hai-koan yang
tidak berlindung dengan baik akan menjadi
korban panah. Yang agak mengherankan pihak Pelangi
Kuning adalah karena meriam-meriam San-haikoan yang kemarin masih kelihatan di atas
tembok, dan menyalak dengan garang, kini
tidak kelihatan satu pun. Tetapi dari pihak
Pelangi Kuning juga tidak ada suara meriam
sebab mereka sudah kehabisan bubuk mesiu.
Kemudian setelah acara "pemanasan?? yang
berujud panah-memanah itu, dari pihak Pelangi
Kuning mulai terdengar perintah-perintah
Kembang Jelita 2 / XIII 59 untuk menyerbu dan memanjat tembok. "Acara"
yang paling banyak makan korban jiwa, tapi
kalau perintah sudah dikeluarkan, siapa peduli?
Begitulah, prajurit-prajurit Pelangi Kuning
berlarian ke depan dengan membawa tanggatangga yang panjang. Teman-temannya yang
membawa perisai, melindungi mereka, tetapi
perlindungannya tidak benar-benar rapat.
Dengan "membayar sejumlah harga" berupa
nyawa-nyawa, mereka berhasil mendekati
tembok dan menegakkan tangga-tangga
panjang mereka. Tangga-tangga itu harus
dipegangi, sebab pengawal-pengawal San-haikoan yang di atas mencoba merobohkannya.
Berikutnya, prajurit-prajurit yang berani
memanjat tangga-tangga itu.
Tetapi perlawanan pengawal-pengawal Sanhai-koan kali ini terasa tidak segigih hari-hari
sebelumnya. Puluhan prajurit Pelangi Kuning
berhasil mencapai bagian atas tembok San-haikoan, dan diiringi sorak-sorai teman-teman
mereka yang di bawah tembok, puluhan prajurit
lainnya pun memanjat ke atas.
Kembang Jelita 2 / XIII 60 Sungguh di luar dugaan bahwa di atas
tembok San-hai-koan ternyata hanya ada
puluhan prajurit San-hai-koan yang bersenjata
senapan. Mereka hanya memberi perlawanan
sedikit, lalu berlari turun ke bawah tembok
melalui undakan batu. Sukacita prajurit-prajurit Pelangi Kuning
pun tak terkatakan. Setelah mereka gempur
San-hai-koan berhari-hari dengan korban tidak
sedikit di pihak mereka, bahkan mereka hampir
putus-asa, tiba-tiba hari ini mereka melihat
sesuatu yang lain. Pertempuran belum
berlangsung lama dan nampaknya San-hai-koan
akan berhasil mereka rebut.
Di mulai dengan teriakan prajurit-prajurit
yang telah memanjat ke atas tembok yang
berteriak, "Kita menang!"
Disambut prajurit-prajurit yang di luar
tembok, "Kita menang! Kita menang!"
Segera seruan itu bergelora ke seluruh
pasukan. Dan pasukan yang lesu itu pun
mendapat tambahan kekuatan. Tiba-tiba
Kembang Jelita 2 / XIII 61 dataran di luar kota San-hai-koan itu seolah
bergetar karena sorak-sorai menggemuruh.
Di garis belakang, Jenderal Lau Cong-bin
mendapat laporan dari garis depan melalui
seorang penghubung berkuda.
Mendengar laporan itu, hati Jenderal Lau
melonjak gembira. "Bagus! Bagus! Kerahkan
seluruh kek... kek..." dan ia pun terbatuk-batuk
hebat, saking gembiranya sehingga tersedaksedak. Setelah batuknya reda, barulah ia
lanjutkan perintahnya yang tadi, "Kerahkan
seluruh kekuatan! Jangan biarkan prajuritprajurit musuh ambil napas! Aku menghendaki
batok kepala Bu Sam-kui dipersembahkan
kepadaku di atas sebuah nampan, sebelum
matahari tenggelam!"
Perintah itu pun disampaikan ke garis
depan. Demikianlah, pasukan Pelangi Kuning
bergerak ke depan serempak bagaikan
gelombang samudera. Regu-regu pendobrak
pintu yang menggunakan balok-balok besar pun
maju ke depan, siap menjebol pintu kota SanKembang Jelita 2 / XIII
62 hai-koan. Kali ini tidak perlu takut serangan
panah dari atas tembok, sebab yang di atas
tembok sekarang adalah kawan-kawan sendiri.
Yang di bawah tembok dan bersorak-sorai
membayangkan kemenangan itu tidak tahu,
bahwa teman-teman mereka yang sudah di atas
tembok sekarang memucat wajahnya, bibir
gemetar kelu, menatap ke suatu arah yang
hanya terlihat dari atas tembok. Yang di bawah
tembok tidak melihat. Di jalan-jalan di tengah kota San-hai-koan,
terlihat suatu pasukan besar, yang amat besar,
ujung senjata-senjatanya mencuat ke langit
serapat daun ilalang di padang ilalang. Prajuritprajuritnya berseragam biru yang amat
sederhana, kain belacu yang dicelup, jauh dari
kesan gemerlapan. Topi mereka berbentuk
caping, tetapi dari rotan. Tetapi pasukan ini
berderap maju dalam perbawa yang terasa
menggetarkan. Tanpa sorak-sorai, tanpa
bendera-bendera. Kembang Jelita 2 / XIII 63 "Orang-orang Manchu..." desis prajuritprajurit Pelangi Kuning yang sudah terlanjur di
atas tembok. "Beritahu kawan-kawan kita!"
Mereka pun bergegas turun dari atas
tembok, ke sebelah luar, ada yang berteriakteriak dari atas tembok.
Berita itu mengejutkan, simpang-siur yang
diteriakkan oleh pasukan Pelangi Kuning. Ada
yang meneriakkan kemenangan, ada yang
meneriakan kedatangan orang-orang Manchu.
Barisan pun jadi kacau. Para komandan
bawahan mengambil tindakan sendiri-sendiri.
Ada yang menyuruh terus menggempur, ada
yang menyuruh mundur, ada yang mengusulkan
agar minta petunjuk Jenderal Lau dulu digaris
belakang. Ketika itulah pintu gerbang San-hai-koan
terbuka. Bukan didobrak dari luar oleh pasukan
Pelangi Kuning, melainkan dari dalam oleh
pasukan Manchu. Pasukan Manchu itu seolah pasukan yang
terdiri dari orang-orang bisu semua. Mereka
Kembang Jelita 2 / XIII 64 benar-benar tidak ada yang berkata-kata
sepatah kata pun, begitu pintu terbuka, mereka
langsung menghambur keluar menyerbu
pasukan Pelangi Kuning. Dan mereka keluar
terus dari pintu kota tak ada habis-habisnya.
(Bersambung jilid XIV.) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 25/07/2018 21 : 31 PM
Kembang Jelita 2 / XIII 65 Kembang Jelita 2 / XIV 1 ( Bagian II ) JILID XIV Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XIV 2 Kembang Jelita 2 / XIV 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XIV M ereka bertarung seganas serigala-serigala
kelaparan, maju lurus ke depan dan hanya
ada dua yang bisa menghentikan langkah maju
mereka. Yaitu perintah komandan mereka, dan
kematian. "Tahan mereka!" komandan-komandan
Pelangi Kuning meneriaki anak buahnya.
Pertempuran pun berkobar hebat di luar
kota San-hai-koan. Pasukan Pelangi Kuning
benar-benar menerima kejutan Itu dengan
mental yang tidak siap. Mereka baru saja
membayangkan kemenangan, dan tahu-tahu di
hadapan mereka mengamuk lawan-lawan
seperti macan kelaparan ini.
Kembang Jelita 2 / XIV 2 Barisan belakang pasukan Pelangi Kuning
belum tahu apa yang terjadi di depan. Mereka
terus saja mendesak-desak ke depan atas
perintah komandan-komandan mereka. Mereka
heran ketika barisan depan mereka seolah-olah
macet, bahkan mulai terdesak mundur dengan
agak kacau. "He, apa yang terjadi di depan?"
"Seperti terdengar pertempuran..."
"Pertempuran siapa melawan siapa?"
"Mungkinkah tikus-tikus di San-hai-koan itu
jadi nekad lalu keluar dari benteng mereka?"
"Kalau demikian, itu kebetulan sekali.
Mereka cari penyakit. Kita habisi mereka, kalau
mereka tidak mengandalkan bedil-bedil itu..."
"Kelihatannya tidak. Tidak terdengar
suaranya..." "Tetapi teman-teman kita yang di depan kok
kelihatannya tidak dapat menanggulangi
musuh?" Namun akhirnya laporan dari garis depan
pun sampai ke bagian-bagian pasukan yang
paling belakang sekalipun. Semua benar-benar
Kembang Jelita 2 / XIV 3 tidak menduga ini terjadi. Tanpa persiapan
mental apa-apa, tiba-tiba saja mereka harus
berhadapan dengan pasukan Manchu. Pasukan
yang punya reputasi merebut Korea dari tangan
Jepang. Komandan-komandan Pelangi Kuning mencoba mengatur barisan, memantapkan
perlawanan, menimbulkan keberanian para
prajurit. Tetapi desakan pasukan Manchu begitu
hebat, tidak lama kemudian garis terdepan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasukan Pelangi Kuning dipatahkan, lalu
pasukan Manchu menerjang ke garis kedua.
Pasukan Pelangi Kuning harus bertahan
mati-matian, sambil mundur terus segaris demi
segaris. Ketika laporan itu sampai kepada Jenderal
Lau, wajah berseri-seri Sang Jenderal kontan
berubah menjadi agak pucat. Ia tak percaya
kupingnya sendiri. "Gilakah kau? Atau matamu sudah rusak?"
bentaknya kepada perwira yang melapor itu.
Perwira itu menjawab hormat, "Benar,
Jenderal..." Kembang Jelita 2 / XIV 4 "Sejak tadi kuteropong dari tempat ini,
kenapa tidak kelihatan tanda-tanda pasukan
Manchu? Tidak ada bendera mereka?"
"Mereka tidak memakai bendera, Jenderal.
Mereka muncul begitu saja dari pintu-pintu
San-hai-koan..." "Berapa jumlah musuh?"
"Belum dapat diperkirakan, Jenderal."
"Keadaan pasukan kita?"
"Mungkin... mungkin ... prajurit-prajurit kita
belum pulih kagetnya, Jenderal..."
Jenderal Lau sudah hapal gaya bahasa
perwira-perwira bawahannya. Ungkapan itu
bermakna keadaannya tidak begitu baik.
Sementara itu, di kejauhan terdengar sorak.
Entah sorak pasukan yang mana. Jenderal Lau
kembali meneropong di atas kudanya. Kali ini
dilihatnya bendera-bendera pasukannya bergerak makin dekat ke arahnya. Ini berarti
pasukannya terdesak. Dan bagaimanapun geramnya, mulutnya
harus mengakui kenyataan itu, "Pasukan kita
mendapat kesulitan..."
Kembang Jelita 2 / XIV 5 "Apa yang harus kita lakukan sekarang,
Jenderal?" tanya seorang perwira pembantunya,
yang tidak pernah beranjak dari sebelahnya dan
sering dimintai nasehatnya.
"Menurutmu bagaimana?" Jenderal Lau
balik bertanya. Dalam keadaan terjepit, seperti
biasa, penyakit bingung Lau Cong-bin kambuh.
Perwiranya menyahut tenang, "Jenderal,
aku rasa dalam keadaan semacam ini, tidak baik
kita ngotot di sini. Semangat prajurit sedang
tidak siap. Baru saja mereka menyangka akan
merebut San-hai-koan, dan tiba-tiba harus
menghadapi kenyataan yang jauh berlawanan
dengan bayangan semula. Prajurit yang bernyali
paling besar dan paling teguh jiwanya pun tidak
dapat berbuat maksimal menghadapi kejadian
seperti ini. Daripada banyak korban jatuh yang
akan mengurangi kekuatan kita, lebih baik kita
mundur dulu. Kita bisa siapkan pertahanan
yang memadai, dan apabila semangat para
prajurit sudah pulih, apalagi kalau bala bantuan
kita sudah tiba, kita bukan hanya akan bertahan
tetapi menyerang balik dan mengusir kembali
Kembang Jelita 2 / XIV 6 orang-orang Manchu, bahkan kalau perlu
mengejarnya sampai ke kampung halaman
mereka di L iau-tong..."
Jenderal Lau yang sedang buntu otaknya itu
cuma bisa mengangguk-angguk. Perwira
terdekatnya itu lalu berkata, "Apakah sekarang
aba-aba mundur itu diberikan?"
Kali ini Lau Cong-bin melotot, "Apakah kau
gila? Aku belum bersiap-siap dan tiba-tiba saja
mundur dengan ujung tombak musuh hanya
sejengkal di belakang punggung kita?"
"Maksud... maksud Jenderal?"
"Biarkan orang-orang kita tetap bertempur
dulu menahan musuh, sementara kita bersiapsiap. Nanti setelah kita mundur cukup jauh,
baru perintahkan pasukan untuk mundur lewat
isyarat panah berbunyi..."
"O... begitu?" Begitulah Lau Cong-bin dan pengawalpengawal cantiknya berbenah diri, dan selama
berbenah Lau Cong-bin tidak henti-hentinya
mengutuk dan membentak-bentak. Tidak lama
kemudian, berderap-lah serombongan kuda
Kembang Jelita 2 / XIV 7 menuju ke arah kota Pak-khia, menjauhi
gelanggang pertempuran. Setelah cukup jauh, sehingga waktu
menoleh ke belakang tidak lagi melihat
pertempuran, kecuali sayup-sayup suaranya,
barulah Jenderal Lau memerintahkan seorang
perwiranya untuk menarik pasukan.
Perwira itu melepaskan sebatang panah
bersuara. Panah itu akan bersambung-sambung
beberapa kali sampai ke medan pertempuran.
Ketika itu pasukan Pelangi Kuning sudah
terdesak mundur berulang kali. Meskipun
belum sampai pecah tercerai-berai menjadi
pasukan-pasukan kecil, masih mengelompok
dalam pasukan besar, namun gerak setiap
bagian dari pasukan besar itu sudah tidak
kompak lagi. Masing-masing bagian bertindak
menuruti komandannya masing-masing.
Ketika "perintah jarak jauh" Jenderal Lau
tiba, berupa perintah mundur, barulah seluruh
pasukan itu kembali terkendali di bawah satu
komando dan mulai gerak mundur.
Kembang Jelita 2 / XIV 8 Pemanah-pemanah dan pelempar-pelempar
lembing segera mengambil tugasnya. Dengan
hujan panah dan lembing, mereka menghujani
pasukan Manchu, mencarikan peluang mundur
buat prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Pasukan
Pelangi Kuning pun mundur seperti gelombang
yang surut, memisahkan diri dari lawan-lawan
mereka yang garang. Teman-teman yang lukaluka yang sempat dibawa mundur pun dibawa
mundur, yang tidak terpaksa ditinggal.
Prajurit-prajurit Manchu mengejar puluhan
langkah sambil mengangkat tameng-tameng
mereka, mereka terus mengejar dengan berani.
Bahkan prajurit-prajurit yang terpisah dari
teman-temannya pun kelihatan tidak ragu-ragu
terus menerjang ke depan, tidak menoieh-noleh
ke kiri atau ke kanan mencari teman di dekat
mereka atau tidak. Sorot mata mereka beringas
dan dingin, mau tidak mau membuat sebagian
dari prajurit-prajurit Pelangi Kuning jeri.
Meskipun dalam pasukan Pelangi Kuning pun
tidak kurang jumlahnya prajurit-prajurit
bernyali besar. Kembang Jelita 2 / XIV 9 Sampai terdengar suara aba-aba dari pihak
Manchu, menghentikan gerak maju beringas
prajurit-prajurit mereka. Prajurit-prajurit itu
langsung berhenti dengan tertib dan kembali ke
barisan masing-masing. Pihak Pelangi Kuning
terkesiap melihat disiplin sehebat itu.
Ternyata pihak Manchu memang tidak
mengejar lagi, namun mereka rupanya juga
ingin membawakan "oleh-oleh" buat lawannya
yang mundur. Ratusan prajurit bersenjata
senapan tiba-tiba membentuk garis, berjongkok
sambil membidikkan senapan-senapan mereka.
Senapan di abad tujuh belas itu, setiap
pucuknya dioperasikan oleh tiga orang. Satu
orang berdiri di depan si pembidik,
menggunakan pundaknya untuk ditumpangi
laras senapan yang sangat panjang, kemudian sj
pembidik sendiri, dan di belakangnya ada satu
lagi yang tugasnya mengisi kembali senapannya
setelah dibidikkan. Terdengar ratusan senapan meledak
bersama, udara segera penuh asap bakaran
mesiu. Dan ratusan prajurit Pelangi Kuning
Kembang Jelita 2 / XIV 10 yang paling belakang, punggung mereka
menjadi sasaran pelilru sehingga terjungkal
bergelimpangan. Penembak-penembak senapan Manchu itu
menembak beberapa gelombang lagi, sampai
prajurit-prajurit Pelangi Kuning sudah di luar
jarak tembak mereka. Dari pintu gerbang San-hai-koan, Bu Samkui berkuda keluar bersama beberapa
perwiranya, berdampingan dengan seorang
panglima Manchu yang bukan lain adalah bekas
panglima Kerajaan Beng juga, Ang Seng-tiu,
yang dulu adalah atasan Bu Sam-kui. Mereka
berkuda di bawah bendera Kerajaan Beng,
sedang bendera Manchu sama sekali tidak ada.
Bu Sam-kui berseragam panglima Beng, dan
Ang Seng-tiu berseragam perwira Manchu,
komplit dengan capingnya.
Melihat pasukan Pelangi Kuning sudah
mundur jauh, sedangkan pasukan Manchu
hampir-hampir utuh jumlahnya, Ang Seng-tiu
tertawa dan berkata, "Maling-maling Pelangi
Kuning itu pastilah sudah pecah nyalinya hari
Kembang Jelita 2 / XIV 11 ini, melawan pasukan kami yang jauh di atas
mereka." Wajah Bu Sam-kui tidak secerah wajah Ang
Seng-tiu, ada beberapa hal yang mengganjal
hatinya. Pertama, tentu saja urusan Tan Wanwan. Kedua, melihat kehebatan prajurit-prajurit
Manchu yang begitu mudah memukul ceraiberai pasukan Pelangi Kuning yang berjumlah
jauh lebih besar itu, mau tak mau Bu Sam-kui
agak cemas juga. Agak menyesal kenapa begitu
mudah menuruti anjuran "Helian Kong" untuk
"meminjam" pasukan Manchu. Bagaimana kalau
pasukan segarang ini tiba-tiba saja kerasan di
Tiong-goan dan emoh pulang ke Liau-tong di
luar Tembok Besar? Memang "Helian Kong" dan
"utusan Su Ko-hoat" menjamin adanya
"kekuatan besar dari kawan-kawan seperjuangan di Selatan", tetapi bukankah
"Selatan" itu ribuan li jauhnya dan ada pepatah
"air yang jauh sulit menolong api yang dekat"?
Apa pula jaminan lain, yaitu dari pihak Manchu,
yang katanya benar-benar hanya ingin
membantu tegaknya kembali dinasti Beng,
Kembang Jelita 2 / XIV 12 tanpa bermaksud menjajah, sekedar tidak
senang "bertetangga" dengan pemerintahan
kaum Pelangi Kuning. Tetapi jaminan itu
diberikan hanya oleh Ang Seng-tiu yang
ternyata dalam jajaran balatentara Man-chu
kedudukannya tidak terlalu menentukan. Hari
itu Ang Seng-tiu "membuktikan jaminannya"
dengan hanya mengirim pasukan tetapi tidak
mengibarkan bendera Manchu.
Ang Seng-tiu agaknya memahami pikiran Bu
Sam-kui, lalu ia menenteram-kannya, "Ada yang
menggelisahkanmu, Saudara Bu?"
"Tidak..." Bu Sam-kui coba menutupnutupinya.
"Percayalah janji kami. Bendera Ngo-jiau
Kim-liong-ki (Bendera Naga Berkuku Lima bendera Manchu) takkan pernah berkibar
melebihi wilayah kami sendiri yang sekarang..."
Ang Seng-tiu meyakinkan. "... kalau hari ini kami
langsung turunkan pasukan terbaik kami ke
medan laga, tak ada tujuan lain kecuali
memukul pecah semangat musuh, meruntuhkan
semangat prajurit-prajuritnya, dengan Kembang Jelita 2 / XIV 13 semangat yang patah maka perlawanan mereka
akan merosot jauh dan akan lebih cepat
menyelesaikan mereka. Aku pribadi sebagai
bekas panglima Beng, rasanya ingin secepatnya
kembali melihat Jit-goat-ki berkibar di Pakkhia..."
Bu Sam-kui cuma mengangguk-angguk,
seolah-olah kelu. Dalam hatinya masih sibuk
menghibur diri sendiri dan menenteramkan
pikirannya sendiri. Ada juga sedikit yang melegakan Bu Samkui, yaitu ketika melihat dan mengetahui dari
mulut Ang Seng-tiu bahwa tidak semua pasukan
Manchu sebaik pasukan yang turun ke medan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari ini. Pasukan yang diterjunkan hari ini
memang langsung adalah pasukan paling baik
yang ada di antara pasukan Manchu. Dalam
siasat perang, pasukan terbaik biasanya
"disimpan" dulu untuk pukulan terakhir yang
menentukan. Sekarang ternyata pihak Manchu
membalik siasat itu. Pasukan terbaik
diterjunkan di "ronde pertama" untuk
merontokkan semangat musuh, agar musuh
Kembang Jelita 2 / XIV 14 menyangka semua pasukan Manchu yang lain
sekualitas dengan pasukan yang terjun hari itu.
"Kalau kelak orang-orang Manchu ini
membandel tidak mau kembali ke Liau-tong,
mudah-mudahan prajurit-prajuritnya Helian
Kong, Su Ko-hoat dan yang lain-lain dapat
menandingi kegarangan pasukan ini..." harap Bu
Sam-kui dalam hatila menengadah, menatap Bendera Jit-goat-ki
(Bendera Rembulan dan Matahari) yang
bergoyang lemah, seolah Bu Sam-kui mohon
dimaklumi kesulitannya. Kongsun Koan di pegunungan, menerima
berita tentang apa yang terjadi di San-hai-koan
itu dengan perasaan bergolak. Antara heran,
kecewa, gusar, dan bingung tanpa tahu apa yang
harus dilakukan. Bu Sam-kui adalah atasannya,
dan atasannya itu telah melakukan sesuatu
yang amat sulit dipahami.
"Bagaimana dengan pasukan Pelangi
Kuning?" tanya Kongsun Koan kepada si
pembawa berita. Kembang Jelita 2 / XIV 15 "Mereka dalam gerakan mundur ke arah
Pak-khia." "Apakah mereka tidak berhenti di suatu
tempat untuk membangun suatu garis
pertahanan yang mantap?"
Si pembawa berita menggeleng, "Aku belum
mengetahuinya, Komandan. Ketika aku berangkat ke tempat ini, mereka masih
bergerak dan belum ada tanda-tanda berhenti.
Agaknya Lau Cong-bin si tolol itu benar-benar
pecah nyalinya. Aku sudah minta agar Si A-lok
terus mengamati gerakan pasukan itu dan
melaporkannya kemari, begitu si tolol Lau
Cong-bin berhenti..."
Entah kenapa, tiba-tiba dalam hati Kongsun
Koan merasa kasihan kepada Lau Cong-bin.
"Jangan sebut dia tolol lagi..." desisnya perlahan.
Dalam, hatinya dilanjutkan sendiri, "Mungkin
yang paling tolol saat ini adalah panglima kita
sendiri, Bu Sam-kui..."
Tetapi itu tidak diucapkannya, ia belum mau
memerosotkan kewibawaan Bu Sam-kui
Kembang Jelita 2 / XIV 16 sebelum paham benar apa alasannya sampai Bu
Sam-kui mendatangkan pasukan Manchu.
"Apakah pasukan Manchu itu hebat?"
"Jumlahnya memang tidak bisa dibilang besar,
tetapi harus diakui mereka hebat. Kalau tidak
hebat, mereka tidak akan mencerai-beraikan
pasukan si tol... eh, maksudku, Lau Cong-bin
yang jauh lebih banyak."
Kongsun Koan mengepalkan tinjunya,
menggeram, "Keputusan mendatangkan pasukan Manchu ini pastilah hasil hasutan si
keparat Jai Yong-wan itu. Sejak dulu si Korea
bangsat itu selalu memberi keterangan yang
menyesatkan kepada Jenderal Bu, dan tak
beruntungnya, Jenderal Bu begitu mudah
mempercayai dia..." Sejak lama memang Kongsun Koan tidak
menyukai Jai Yong-wan. Maka sekarang pun dia
langsung mendakwa Jai Yong-wan di belakang
semuanya ini. Tak terduga, si pembawa berita menggeleng
dan berkata, "Menurut keterangan yang aku
kumpulkan dari sana-sini, yang menganjurkan
Kembang Jelita 2 / XIV 17 Jenderal Bu untuk mengambil keputusan
seperti ini adalah Jenderal Helian dan seorang
utusan Jenderal Su dari Yang-ciu..."
Kongsun Koan kaget, begitu pula perwiraperwira lain yang mendengarnya. Seperti
diketahui, pasukan yang dipimpin Kongsun
Koan itu sekarang bergabung dengan
pasukannya Helian Kong, dan di antara perwiraperwira itu ada beberapa perwiranya Helian
Kong yang sulit mempercayai berita itu.
"Tidak mungkin!" beberapa perwira
bawahan Helian Kong menyanggah serempak.
Seorang perwira bawahan Helian Kong
menyambung, "Kalau komandan Helian sudah
kembali dari Pak-khia, tentu akan sudah berada
di sini saat ini. Nyatanya belum..."
"Jangan ngawur kalau bicara!"
Dan berbagai kata-kata lainnya, bahkan ada
yang setengah mendamprat.
Kongsun Koan cepat mengangkat tangannya, menyuruh yang lain-lainnya diam,
dan yang lain-lainnya menurut termasuk
perwira-perwiranya Helian Kong, Kembang Jelita 2 / XIV 18 bagaimanapun, Kongsun Koan adalah komandan pasukan gabungan itu, sebab Helian
Kong sudah menitipkan kekuasaan sementara
dia pergi ke Pak-khia. Kongsun Koan menatap si pembawa berita
dan bertanya, "Coba bicara yang jelas. Benarkah
Komandan Helian Kong yang menganjurkan
Jenderal Bu berbuat demikian?"
Si pembawa berita merinding juga ditatap
sekian banyak perwira. Agak tergagap ia
menjawab, "Begitu yang aku dengar, bukan
pendapatku sendiri..."
Kongsun Koan cepat menengahinya dengan
bijaksana, "Apa pun yang sudah terjadi, tidak
ada gunanya kita berdebat di sini. Kalau benar
Komandan Helian mengusulkan tindakan itu
kepada Jenderal Bu, tentunya ada pertimbangan
yang matang. Kita sekarang perlu bersikap
tenang, sambil mengamati setiap perkembangan..." "Entah kenapa sampai sekarang Komandan
Helian belum bergabung dengar kita?"
Kembang Jelita 2 / XIV 19 "Kalau benar dia sudah berada di San-haikoan, tentu dia menghubungi kita. Tempat ini
tidak jauh dari San-hai-koan, meskipun
tersembunyi..." "Mungkin Komandan Helian mendampingi
Jenderal Bu. Bagaimanapun, dalam situasi
seperti ini Jenderal Bu membutuhkan banyak
sumbangan pikiran atau teman untuk
menanggung beban pikiran bersama, agar tidak
salah langkah..." demikianlah orang-orang itu
menduga-duga. Kongsun Koan tidak ikut berbicara, namun
diam-diam menyimpan kecemasan dalam
hatinya, bahwa yang bakal menjadi "teman
berpikir bersama" Bu Sam-kui itu bukannya
Helian Kong, melainkan Jai Yong-wan yang ia
curigai sebagai mata-mata Manchu.
Kecemasannya tidak tertahan lagi, sehingga
tiba-tiba saja ia berkata, "Malam nanti aku akan
ke San-hai-koan, menjumpai Jenderal Bu..."
"Menyusup?" Kembang Jelita 2 / XIV 20 "Tidak. Terang-terangan. Bukankah kaum
Pelangi Kuning sudah meninggalkan San-haikoan?"
"Pimpinan pasukan di sini? Atau pasukan di
sini dibawa pulang sekalian ke San-hai-koan?"
"Tidak, tidak. Pasukan tetap di sini, jangan
pulang ke San-hai-koan dulu..."
"Kenapa?" "Aku harus tahu dulu sejelas-jelasnya apa
yang terjadi di San-hai-koan."
"Pimpinan pasukan di sini?"
Kongsun Koan menunjuk seorang perwira
bawahan Helian Kong yang paling senior, "Kau,
Kapten Kwe. Kau pimpin pasukan ini atas nama
Komandan Helian." "Baik, Komandan Kongsun. Bagaimana
dengan tawanan itu?"
Yang dimaksud Ong Ling-po, seorang
perwira Pelangi Kuning yang sudah beberapa
hari menjadi tawanan. "Perlakukanlah dia baik-baik seperti
biasanya, jangan ambil keputusan apa-apa
Kembang Jelita 2 / XIV 21 tentang dia sampai Komandan Helian atau aku
kembali." "Baik," sahut Kwe Peng-hui, si perwira yang
diserahi pimpinan. Ketika matahari tepat berada di puncak,
Kongsun Koan meninggalkan pasukan itu.
Sendiri, dalam pakaian orang pegunungan.
Pedang besarnya digendong di punggungnya, la
menuju ke San-hai-koan, tanpa menunggu hari
menjadi gelap sebab ia memang ingin terangterangan datang ke San-hai-koan. Baginya,
datang ke San-hai-koan sama dengan pulang ke
kandang sendiri dan tidak perlu sembunyisembunyi.
Meskipun demikian, karena ia hanya
berjalan kaki, maka ketika tembok San-hai-koan
nampak di depan mata maka hari sudah gelap.
Ia melihat beberapa lampion kelap-kelip di atas
tembok kota, dan bayangan prajurit-prajurit
hilir mudik di atasnya. Yang membuat Kongsun
Koan masygul adalah ketika melihat perbandingan jumlah antara prajurit-prajurit
San-hai-koan dan prajurit-prajurit Manchu
Kembang Jelita 2 / XIV 22 adalah satu banding tiga. Satu prajurit San-haikoan, tiga prajurit Manchu. Dari kejauhan pun
mudah dikenali dari bentuk topi mereka.
Prajurit-prajurit San-hai-koan topinya berbentuk bulat dengan sedikit tepian di
sekelilingnya dan lidah kain pelindung tengkuk,
seperti umumnya prajurit-prajurit dinasti Beng
lainnya. Prajurit-prajurit Manchu topinya
berbentuk caping petani, namun terbuat dari
rotan, bukan bambu. Melihat perbandingan jumlah kedua
pasukan itu, Kongsun Koan menggerutu,
"Orang-orang Manchu ini datang membantu,
atau mengambil-alih San-hai-koan? Kalau
Jenderal Bu yang malas berpikir itu sampai
tidak memperhitungkan masalah ini, memang
masih bisa diterima. Tetapi kalau Jenderal
Helian yang berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan itu sampai tidak
memperhitungkan hal ini, rasanya aneh..."
Biarpun perasaannya kurang tenteram,
Kongsun Koan melangkah terus sampai ke
Kembang Jelita 2 / XIV 23 depan pintu gerbang kota, lalu berteriak ke atas
tembok, "Heeeiii! Buka pintuuuuu!"
Prajurit-prajurit di atas tembok mendengar,
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu salah seorang prajurit balas berteriak,
"Siapa di situ?"
"Aku Kongsun Koan!"
Beberapa prajurit San-hai-koan mengenali
suara Kongsun Koan, meskipun tidak melihat
siapa yang berdiri di luar pintu kota, sebab amat
gelap dan cahaya obor di atas tembok tidak
menjangkau ke bawah. Ada kabut malam pula.
"Itu Komandan Kongsun, aku kenal
suaranya. Cepat buka!"
Dua prajurit sudah bergerak hendak
menuruni undakan batu untuk membuka pintu
kota, tetapi seorang perwira rendahan Manchu
mencegah dalam bahasa Han yang kaku,
"Tunggu dulu!" Prajurit-prajurit San-hai-koan heran. "Tunggu apa lagi? Kami kenal orang yang di luar
itu adalah memang perwira kami. Namanya
Kongsun Koan. Dia minta dibukai pintu dan
kami harus membukanya!"
Kembang Jelita 2 / XIV 24 Perwira Manchu itu menjawab, "Aku yang
diserahi tanggung-jawab penjagaan pintu kota
ini. Dibukai atau tidak adalah tergantung
keputusanku!" Para prajurit San-hai-koan menjadi kurang
senang menghadapi sikap prajurit-prajurit
asing itu. "He, ingat kalian sekarang ini sedang
berada di mana? San-hai-koan adalah wilayah
kami, dan yang berkibar di kota ini juga bendera
kami! Apakah urusan membuka pintu saja harus
minta ijin kepada kalian?"
Si perwira Manchu menjawab sambil
tertawa, "Masalahnya bukan siapa tuan rumah
dan siapa tamu, bukan pula masalah bendera
apa yang berkibar di sini, melainkan siapa yang
kuat di sini! Yang kuat, itulah yang
menentukanl" Situasi jadi tegang seketika. Prajurit-prajurit
San-hai-koan tersinggung, namun mereka tidak
berdaya. San-hai-koan seolah-olah memang
sudah diambil-alih oleh pasukan yang katanya,
"hanya membantu" itu.
Kembang Jelita 2 / XIV 25 Beberapa saat prajurit-prajurit San-haikoan di tempat itu seolah-olah terkunci
mulutnya. Sampai salah seorang prajurit yang
paling senior di antara kawan-kawannya
terpaksa bersuara dengan nada mengalah, "Jadi
sekarang, akan kita buka pintunya atau tidak?"
Si perwira Manchu tersenyum penuh
kemenangan, "Kita lihat siapa yang datang, kita
periksa dia, geledah dia, barulah kita putuskan
boleh masuk kota ini atau harus diusir
kembali!" "Yang datang itu Komandan Kongsun,
perwira kami..." "Aku yang memutuskan!"
Prajurit senior San-hai-koan itu pun cuma
menarik napas, menahan kejengkelannya.
Tetapi ia belum berani mengambil keputusan
yang akan menjerumuskan pihaknya ke dalam
pertentangan terbuka dengan prajurit-prajurit
Manchu itu. Begitulah, pintu gerbang dibuka. Kong-sun
Koan disongsong oleh prajurit-prajurit San-haikoan dengan prajurit-prajurit Manchu. PrajuritKembang Jelita 2 / XIV
26 prajurit San-hai-koan menyambut dengan
hangat, tetapi prajurit-prajurit Manchu menggusarkan Kongsun Koan ketika mereka
hendak menggeledah Kongsun Koan.
"He, kalian hanya bisa lakukan itu di tanah
nenek-moyang kalian di Lian-tong, bukan di
sini!" gertak Kongsun Koan sambil melotot.
"Aku perwira di San-hai-koan, prajurit-prajurit
ini mengenaliku semua!"
Si perwira rendahan Manchu. itu tak
bergeming dalam sikap angkuhnya, "Kamilah
yang sekarang bertanggung-jawab untuk
keselamatan kota ini, dan kami harus
mempertanggung-jawabkannya!"
Keruan kemarahan Kongsun Koan seperti
api disiram minyak, ia menoleh kepada prajuritprajurit San-hai-koan dan berkata, "Benarkah
demikian?" Seorang prajurit San-hai-koan memberanikan menjawab, "Rasanya tidak
begitu. Jenderal Ang dari pasukan Manchu
sendiri menjamin bahwa pasukan Manchu ini
Kembang Jelita 2 / XIV 27 hanya membantu dan bukan mengambil-alih.
Kenapa kau menafsirkannya sejauh itu?"
Perwira Manchu itu tertawa dingin, "Hem,
memang dulunya kalian yang bertanggungjawab, tetapi sudah terbukti kalian tidak becus
menghadapi maling-maling amatiran semacam
orang-orang Pelangi Kuning itu, bahkan hampirhampir saja kota ini jatuh ke tangan mereka
kalau tidak kami tolong. Itulah sebabnya
sekarang tanggung-jawab keamanan kota ini
sekarang di tangan kami!"
"Tidak benar!" hampir serempak belasan
prajurit San-hai-koan yang ada di tempat itu
menjawab serempak. Tadinya mereka gentar,
sekarang ada Kongsm Koan di dekat mereka,
mereka jadi berani. Apa mau dikata, merasa pihaknya jauh lebih
kuat, si perwira Manchu tidak mau menggubris
suasana. Dengan isyarat ia memerintahkan
prajurit-prajurit bawahannya untuk melaksanakan perintahnya yang tadi, menggeledah Kongsun Koan.
Kembang Jelita 2 / XIV 28 Para prajurit Manchu segera hendak mulai
menggeledah, tetapi dua di antara mereka
mencelat mundur dengan hidung ringsek,
dijotos Kongsun Koan. Lalu dua orang lagi
menggelosor di tanah karena tendangan
beruntun Kongsun Koan. Si perwira Manchu menjadi gusar dan
menjatuhkan perintahnya, "Orang ini jelas
pengacau! Dapatkan dia hidup atau mati!"
Para prajurit Manchu tidak lagi, menggunakan tangan kosong untuk menangkap, melainkan ujung-ujung senjata
merekalah yang berluncuran maju. Kongsun
Koan tentu tidak mau dibantai begitu saja, ia
melompat mundur sambil menghunus pedangnya yang besar dari gendongannya.
Pedang yang gagangnya dipegangi dengan dua
tangan. Ketika pedang itu disapukan melingkar,
beberapa pedang prajurit Manchu terbentur
dan terlempar .lepas dari tangan mereka.
Beberapa tangkai tombak yang terbuat dari
kayu pun tertabas buntung sehingga yang
Kembang Jelita 2 / XIV 29 tertinggal di tangan pemegang-pemegangnya
hanyalah semacam tongkat kayu tanpa ujung
yang runcing. "Hayo, tangkap aku kalau mampu!" gertak
Kongsun Koan garang sambil memutarkan
pedangnya beberapa kali dengan dua tangan.
Deru anginnya membuat obor-obor di pintu
kota itu bergoyang hampir padam.
Namun prajurit-prajurit Manchu yang
dikirim ke San-hai-koan itu adalah prajuritprajurit pilihan dari pasukan terbaik,
mendahului pasukan-pasukan lain. Sekali abaaba dikeluarkan oleh komandan mereka,
mereka akan melaksanakannya dengan taruhan
apa saja. Begitulah, prajurit-prajurit yang
kehilangan senjata itu mundur untuk
mengambil senjata-senjata baru, sementara
yang masih bersenjata menyerbu maju tanpa
kenal takut. Nyali mereka tidak bergeming
melihat kehebatan Kongsun Koan.
Si komandan Manchu sendiri tidak hanya
memerintah, tetapi ikut merangsak maju
dengan senjatanya, tombak yang tangkainya bu
Kembang Jelita 2 / XIV 30 Beberapa tangkai tombak yang terbuat dari kayu pun
tertabas buntung sehingga yang tertinggal di tangan
pemegang-pemegangnya hanyalah semacam tongkat
kayu tanpa ujung yang runcing
Kembang Jelita 2 / XIV 31 kan kayu melainkan besi. Agaknya dia pun
seorang yang bertenaga besar, sehingga nafsu
bersaingnya muncul dirangsang pameran
kekuatan Kongsun Koan tadi.
Di pintu gerbang itu pun segera terjadi
pertempuran. Ternyata si komandan Manchu
itu memiliki tenaga yang boleh diandalkan.
Berulang kali tombak besinya berhasil
menghentikan sapuan pedang besar Kongsun
Koan. Prajurit-prajurit bawahannya pun jadi
bersemangat. Mereka tidak tahu kalau Si
Komandan Tombak Besi itu pun sebetulnya
mengeluh karena sepasang lengannya menjadi
sangat pegal gara-gara beberapa kali benturan
senjatanya dengan pedang Kongsun Koan tadi.
Tetapi tentu saja keadaan itu disembunyi
kannya, tidak dipertontonkannya kepada
prajurit-prajuritnya. Begitulah, perkelahian di pintu ger bang
kota itu makin lama makin sengit.
Dan bertambah sengit setelah ada dua orang
prajurit Manchu terluka. Salah seorang hampir
Kembang Jelita 2 / XIV 32 putus betisnya tersambar pedang Kongsun
Koan yang tidak menahan diri lagi.
"Panggil penembak-penembak senapan!"
teriak Si Komandan Manchu dengan gusar.
Yang serba salah dalam peristiwa itu adalah
prajurit-prajurit asli San-hai-koan. Mereka tidak
berani bertindak menentang tingkah-laku
prajurit-prajurit asing itu, namun di dalam hati
mereka jelas-jelas memihak Kongsun Koan.
Tetapi sebelum korban jiwa jatuh, tiba-tiba
dari tengah-tengah kota kelihatan beberapa
penunggang kuda berderap mendekat. Kelihatan makin dekat, dan kemudian nampak
yang datang itu adalah seorang perwira Manchu
yang kedudukannya nampak cukup tinggi kalau
dilihat dari seragamnya. Perwira itu berwajah
cerah, bersih, masih muda, sepasang alisnya
yang tebal membuat ia kelihatan berwibawa.
"Hentikan! teriaknya sambil memacu
mudanya mendekat. Si komandan rendahan Manchu yang masih
bertempur itu belum melihat jelas siapa yang
datang. Maka ia terus bertempur. Bukan karena
Kembang Jelita 2 / XIV 33 tidak mau berhenti, melainkan tidak bisa
berhenti sebab serangan Kongsun Koan
bertubi-tubi membadai dilandasi kemarahan.
Berhenti berarti terpotong oleh pedang
Kongsun Koan. Namun tiba-tiba perwira rendahan itu
merasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya
pun terhempas keluar gelanggang. Sementara
Kongsun Koan yang pedangnya hampir
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenai sasaran, tiba-tiba saja melihat
sesosok bayangan melompat masuk ke
gelanggang dengan gerakan amat cepat. Ia
bahkan tidak melihat jelas bagaimana si
perwira rendahan Manchu itu "keluar arena"
dengan cara yang agaknya "kurang terhormat"
itu. Dan Kongsun Koan sendiri tiba-tiba
merasakan pedangnya tidak dapat bergerak
lagi, terjepit sepasang telapak tangan yang
ditangkupkan! Sekilas ia sempat mengamati orang yang
memasuki gelanggang itu. Seorang punggawa
Manchu yang berusia muda dan tampan,
senyumnya ramah, usianya sebaya dengan
Kembang Jelita 2 / XIV 34 Kongsun Koan sendiri, tetapi kemampuan
tempur pribadinya sungguh jauh di atas
Kongsun Koan. Namun senyuman di wajah
perwira muda itu menggelegakkan darah muda
Kongsun Koan. Ia kumpulkan kekuatan dan
semangatnya untuk menarik pedangnya,
pedangnya bergerak sedikit dan sepasang
lengan panglima Manchu itu bergoyang sedikit,
tetapi pedang itu tetap terjepit kuat.
Kongsun Koan menarik sekali lagi, namun
kali ini justru si panglima melepaskan
tangkupan sepasang telapak tangannya
sehingga Kongsun Koan pun terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Kemudian
mengokohkan kembali kuda-kudanya dan siap
melabrak kembali... Ketika itulah si Panglima Manchu yang
masih muda itu berkata, "Sabar Saudara
Kongsun..." Kongsun Koan tercengang, "He, kau tahu
namaku?" "Baru saja seorang prajurit San-hai-koan
melaporkan keributan di sini kc markas pusat,
Kembang Jelita 2 / XIV 35 kebetulan aku sedang c i sana, lalu aku kemari
untuk membereskan persoalan ini."
Lalu panglima muda itu dengan garang
menoleh kepada si perwira rendahan Manchu
yang mengkeret seperti tikus di depan kucing.
Kata si Panglima muda, "Apakah kau tidak bisa
bersikap sebagai tamu yang baik di San-haikoan ini? Kita di sini diundang, dan harus
menghormati Tuan rumah kita!"
Perwira rendahan itu tergagap-gagap, "I...
iya... iya..." "Minta maaflah sebagai prajurit yang
berpangkat lebih rendah!"
Perwira rendahan itu berlutut kepada si
Panglima muda dengan gaya Manchu. Hanya
sebelah kaki yang ditekuk, dan sebelah tangan
menekan tanah. "Saya minta maaf, Panglima!"
"Bukan kepadaku, tetapi kepada KomandanKongsun, kau telah bersikap kurang ajar
kepadanya!" Perwira rendahan Manchu itu merasa berat
hatinya harus melakukan itu, tetapi ia tidak
berani membangkang. Ia lakukan itu.
Kembang Jelita 2 / XIV 36 Keputusan yang diambil panglima Manchu
itu memuaskan prajurit-prajurit San-hai-koan.
Tetapi Kongsun Koan diam-diam membuat
penilaian tersendiri, "Taktik mengambil hati
seperti ini lebih berbahaya daripada sikap kasar
si perwira rendahan. Taktik halus ini
menyelubungi niat yang sebenarnya dari orangorang Manchu untuk menjajah Tiong-goan, dan
banyak orang Tiong-goan yang terbius oleh
kedok ini..." Tetapi saat suasana sudah reda, Kongsun
Koan tidak punya alasan untuk ngotot. Ia hanya
bertekad dalam hati akan memberi peringatan
kepada Bu Sam-kui, nanti kalau sudah
berhadapan muka. Si Panglima muda Manchu itu kemudian
memberi hormat kepada Kongsun Koan dan
berkata, "Saudara Kongsun, maafkan kelakuan
kasar prajurit-prajurit kami. Harap Saudara
Kongsun tidak terpengaruh oleh sikapnya. Kami
datang ke San-hai-koan ini benar-benar sebagai
sahabat yang tahu menghormati Tuan
rumahnya. Buktinya, kami siang tadi bertempur
Kembang Jelita 2 / XIV 37 tanpa mengibarkan bendera kami sendiri,
melainkan kami bertempur di bawah bendera
Kerajaan Beng..." Kongsun Koan cuma mengangguk, tidak
berkata sepatah kata pun. Pedangnya yang
besar tidak disarungkannya, melainkan
dipanggulnya di pundak, sebagaimana kecurigaannya yang juga belum "disarungkan"..
Sementara Panglima Manchu itu tetap
bersikap ramah, "Kalau Saudara Kongsun ingin
bertemu dengan Jenderal Bu, mari, aku akan
menemani Saudara. Jenderal Bu menunggu
Saudara..." Kembali Kongsun Koan cuma mengangguk
dan melangkah di samping panglima Manchu
itu. Sekilas Kongsun Koan sempat melirik
ruyung Sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) yang
terselip di pinggang panglima Manchu itu.
Ruyung itu agaknya terbuat dari perak
seluruhnya, atau setidak-tidaknya campuran
perak yang cukup banyak. Meskipun Kongsun Koan terus membungkam, Panglima Manchu itu terusKembang Jelita 2 / XIV
38 menerus mencoba bersikap ramah, mengajak
bercakap-cakap, sepanjang jalan menuju
markas. Jalan agak diterangi oleh lampionlampion yang bergantung di depan rumah.
Tiba-tiba Kongsun Koan merasa rugi kalau
ia yang ditanyai terus, sedang ia sendiri tidak
tahu apa-apa untuk lawan bicaranya itu. Maka
ia lalu mencoba "mencairkan" sikapnya, dan
bertanya, "Panglima, siapa nama Panglima?"
Si Panglima Manchu merasa gembira karena
akhirnya Kongsun Koan mau bersikap lebih
ramah, meskipun pedang besarnya tetap
dipanggul di pundak dan tidak disarungkan.
Panglima Manchu itu menjawab, "Namaku
Sek Hong-hua." "Panglima Sek, bahasa Hanmu fasih sekali.
Tidak kaku." "Aku pernah beberapa tahun berada di
Tiong-goan." "Ooo, untuk urusan apa?"
Sudah tentu Sek Hong-hua tidak menjawab
bahwa tahun-tahun itu ia, sedang mematamatai
Tiong-goan sebagai persiapan Kembang Jelita 2 / XIV 39 penyerbuan Manchu. Inilah jawabannya, "Cari
makan. Berdagang obat-obatan, keliling dari
satu tempat ke tempat yang lain..."
Dan sudah tentu pula Kongsun tidak
menelan mentah-mentah keterangan ini. "Jadi
Panglima Sek ini dulunya bukan prajurit?"
"Bukan..." jawab Sek Hong-hua mengambang.
"Berapa tahun sudah jadi prajurit?"
"Baru lebih kurang tiga tahun..."
"Hebat. Baru tiga tahun masuk tentara,
sudah jadi panglima."
"Mungkin karena... karena ... yah, ada
kenalan keluargaku yang punya kedudukan
penting dalam ketentaraan..." lagi-lagi jawaban
ini terdengar mengambang di kuping Kongsun
Koan. "Mungkin juga karena ilmu silat Panglima
yang hebat..." sambung Kongsun Koan.
"Terima kasih," Sek Hok-hua tanpa sungkan
menerima pujian itu. Mereka pun sampai ke markas yang dijaga.
Ternyata penjagaan di situ juga dilakukan oleh
Kembang Jelita 2 / XIV 40 pasukan gabungan, prajurit-prajurit Manchu
dan prajurit San-hai-koan.
Karena Kongsun Koan datang bersama Sek
Hong-hua, maka ia tidak mengalami kesulitan.
Tidak lama kemudian Kongsun Koan sudah
berhadapan dengan Bu Sam-kui di ruang
komando. Tetapi di ruang itu juga ada perwiraperwira tinggi Manchu di samping perwiraperwira tinggi San-hai-koan sendiri.
Kedatangan Kongsun Koan disambut
gembira oleh rekan-rekannya, sesama perwira
San-hai-koan, juga Bu Sam-kui sendiri. Tetapi
Kongsun Koan sendiri jadi merasa kurang
leluasa berbicara karena adanya perwiraperwira Manchu di ruangan itu.
"Bagus kau datang Saudara Kongsun..."
sambut Bu Sam-kui, yang masih menduduki
kursinya yang berlapis kulit macan tutul. Kursi
yang diduduki hanya oleh orang-orang yang
memegang kekuasaan militer tertinggi di Sanhai-koan. Tetapi tetap duduknya Bu Sam-kui
bukan jaminan segala sesuatunya beres. Bu
Sam-kui duduk di kursi itu, tetapi di seluruh
Kembang Jelita 2 / XIV 41 San-hai-koan prajurit-prajurit Manchu berkeliaran bebas dan membuat prajuritprajurit San-hai-koan rendah diri.
"Benar, Panglima. Aku mendengar tentang
apa yang terjadi di sini?"
"Bagaimana yang kau dengar itu?"
Kongsun Koan ragu-ragu menjawab, "Aku
dengar... kota ini sudah diambil-alih oleh...
oleh..." Seorang perwira Manchu yang bisa
berbahasa Han segera menyahut mendahului
Bu Sam-kui, "Pasti kau dengar kota ini sudah
diambil-alih oleh kami, prajurit-prajurit
Manchu? Salah sama sekali Kami datang untuk
membantu dinasti Beng tegak kembali dengan
menghancurkan kaum Pelangi Kuning, setelah
itu, kami pulang ke Liau-tong. Kami tidak mau
menjajah." Kongsun Koan hanya mengangguk-angguk
mendengar penjelasan itu, biar sebetulnya
dalam hatinya tidak mempercayai. Di tengahtengah pasukan Manchu yang memenuhi SanKembang Jelita 2 / XIV 42 hai-koan itu, Kong-sun Koan memutuskan
untuk banyak berpura-pura.
Ia lalu pura-pura menunjukkan wajah cerah,
dan berkata, "Syukurlah, aku lega mendengar
San-hai-koan diselamatkan oleh sobat-sobat
dari Liau-tong. Aku memang ingin mendengar
penjelasan lengkap dari Jenderal Bu..."
Yang dimaksud Kongsun Koan adalah
pembicaraan empat mata dengan Bu Sam-kui.
Namun Kongsun Koan mengutuk dalam hati
ketika ternyata panglima atasannya itu tidak
menangkap maksudnya itu, malah berkata,
"Baik, aku akan menjelaskanmu..."
Lalu menyerocoslah Bu Sam-kui, sudah
tentu penjelasannya itu disesuaikan dengan
kuping perwira-perwira Manchu. Bu Sam-kui
tidak menyebut-nyebut tentang Helian Kong
dan "utusan Su Ko-hoat" yang menganjurkan Bu
Sam-kui "meminjam" pasukan Manchu, kelak
kalau jasukan Manchu berniat jahat akan
dipaksa keluar dengan "pasukan dari selatan".
Bagian ini, sudah tentu Bu Sam-kui tidak
membeberkannya di hadapan perwira-perwira
Kembang Jelita 2 / XIV 43 Manchu. Yang dikatakannya hanyalah "niat
tulus" pasukan Manchu menolong San-hai-koan
dari kesulitannya. Sudah tentu Kongsun Koan tidak puas
mendengar penjelasan macam itu. la cari akal
bagaimana bisa mengajak panglima atasannya
itu bicara empat mata. Tiba-tiba dia pun
menemukan akal. Dengan berlagak tolol, ia tibatiba berkata, "Aku dengar, sebelum Panglima
mengambil keputusan ini, Panglima ditemui
oleh..." Bu Sam-kui kaget, khawatir kalau Kongsun
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Koan nyerocos terus dan membuat orang-orang
Manchu mengetahui soal Helian Kong dan
"utusan Su Ko-hoat" itu. Maka cepat-cepat ia
memotong perkataan Kongsun Koan, "Hal ini
memang perlu penjelasan tersendiri, Saudara
Kongsun..." Lalu Bu Sam-kui menoleh kepada Ang Sengtiu, bekas atasannya yang sekarang menjadi
pemimpin pasukan Manchu yang ada di Sanhai-koan itu. Ang Seng-tiu duduk di kursi yang
lebih rendah dari Bu Sam-kui, namun ternyata
Kembang Jelita 2 / XIV 44 Bu Sam-kui bernada minta ijin dari Ang Sengtiu, "Jenderal Ang, perwira bawahanku ini
agaknya perlu aku beri penjelasan tersendiri.
Empat mata..." Adegan ini membuat Kongsun Koan tidak
senang. Benarlah dugaannya. Biarpun Bu Samkui masih menduduki kursi berlapis kulit macan
tutul yang menjadi lambang kekuasaan tertinggi
San-hai-koan, ternyata untuk segala sesuatunya ia harus minta ijin dulu kepada Ang
Seng-tiu. Dan ternyata, Ang Seng-tiu yang resminya
adalah pimpinan tertinggi pasukan Manchu di
San-hai-koan, juga bukan pengambil keputusan
yang sebenarnya. Ia menoleh kepada seorang
Manchu tak berseragam perwira yang berambut
putih dan bermata tajam, berdiri bagaikan
patung dan selalu bersedakap. Kulit mukanya
kuning hangus seperti perunggu, sorot matanya
tajam. Dari tadi ia tidak berbicara, dan kini
sekali berbicara terdengarlah suaranya yang
parau dan sama sekali tidak enak di kuping,
Kembang Jelita 2 / XIV 45 "Jenderal Bu, kita semua sudah menjadi
kawan sekutu dan tidak perlu ada rahasiarahasiaan di antara kita. Apa yang mau kau
katakan, katakan saja di sini. Kita semua adalah
orang sendiri..." Lalu Ang Seng-tiu hanya menabuh gongnya
saja, "Betul, Jenderal Bu."
Bu Sam-kui maupun Kongsun Koan jadi
serba salah. Mereka cuma saling pandang tak
berdaya. Seluruh ruangan tercekam kesunyian
dalam kecanggungan. Ada beberapa perwira
San-hai-koan di ruangan itu, tetapi mereka pun
tidak berani berbicara seperti jengkerik terpijak.
Yang kemudian memecah kesunyian, justru
adalah perwira muda Sek Hong-hua yang tadi
bersama-sama Kongsun Koan dari pintu
gerbang. "Tuan Yim, biar kedua pasukan sudah
menjadi sekutu, tetapi bagaimanapun masih ada
hal-hal yang hanya bisa dibicarakan di antara
orang-orang sepasukan sendiri. Bukankah
dalam pasukan kita sendiri, kita juga punya
rahasia-rahasia militer yang hanya boleh
Kembang Jelita 2 / XIV 46 dibicarakan di kalangan orang-orang tertentu
kita yang terbatas jumlahnya? Sebagaimana
kita, begitu juga mereka. Apakah kita tidak
keterlaluan kalau sebagai tamu malah mengatur
tuan rumah? Lalu tamu macam apa kita ini?"
Mengherankan. Sek Hong-hua sebagai
perwira tentunya ada di bawah perintah Ang
Seng-tiu sebagai panglima. Ang Seng-tiu
nampaknya gentar kepada orang yang tidak
mengenakan seragam perwira itu, sebagaimana
perwira-perwira lainnya. Ternyata, kata-kata
Sek Hong-hua tidak kedengaran sungkan sedikit
pun, dan lucunya lagi ternyata si orang she Yim
itulah yang malahan kelihatan sungkan kepada
Sek Hong-hua. Dari sini saja sudah cukup membingungkan
para perwira San-hai-koan sebagai orang-orang
luar, mana yang paling berkuasa dalam pasukan
Manchu yang ada di San-hai-koan ini? Yang
jelas, siapa pun yang paling berkuasa di antara
mereka, nampaknya Bu Sam-kui sebagai
pimpinan tertinggi San-hai-koan yang ternyata
Kembang Jelita 2 / XIV 47 juga sekedar boneka. Jadi kenyataannya, Bu
Sam-kui adalah "boneka-nya boneka".
Orang Manchu she Yim itu menjawab Sek
Hong-hua dengan hormat, "Perwira Sek, kalau
di antara dua sekutu masih tersembunyi
rahasia-rahasia yang tidak diungkapkan,
persekutuan itu masih rapuh dan gampang
dicerai-beraikan. Aku hanya ingin menjaga agar
hal ini tidak terjadi antara persekutuan kita
dengan sobat-sobat dari San-hai-koan ini..."
Seng Hong-hua ternyata berani tertawa
dingin di depan Yim Mo yang disegani Ang
Seng-tiu itu, "Kalau begitu, Tuan Yim, untuk baik
dan adilnya, pihak San-hai-koan pun harus
diberitahu semua rahasia militer kita..."
Kontan Yim Mo tersudut. Wajahnya berubah
hebat, begitu juga wajah perwira-perwira tinggi
Manchu yang mengetahui rencana sejati pihak
Manchu, rencana rahasia yang bahkan tidak
banyak diketahui oleh perwira-perwira Manchu
yang kebanyakan. Sek Hong-hua adalah salah
seorang yang karena kedudukannya, mengetahui rencana-rahasia itu, sayangnya Sek
Kembang Jelita 2 / XIV 48 Hong-hua sendiri secara terbuka menyatakan
tidak setuju dengan rencana itu, dan
mengatakan bahwa kalau ia sanggup
menyimpan rahasia itu bukan karena ia setuju,
melainkan karena terikat kepada sumpah
prajuritnya. Kini, di depan perwira-perwira Sanhai-koan,
Sek Hong-hua tiba-tiba "menyerempet" masalah yang rawan itu, Yim
Mo dan para perwira tinggi yang mengetahui
rencana-rencana itu pun menjadi khawatir
sekali. Khawatir kalau Sek Hong-hua sampai
"bocor mulut" -nya.
Akhirnya Yim Mo mengalah dan berkata,
"Baiklah, kita ijinkan Jenderal Bu..."
Sek Hong-hua menukas gusar, "Jenderal Bu
tidak perlu diijinkan siapa-siapa untuk berbuat
apa saja di San-hai-koan ini! Ia boleh berbuat
sekehendak hatinya, sebab ialah Tuan rumah di
San-hai-koan ini, bahkan seandainya dia hendak
mengusir kita malam ini juga!"
Wajah kuning hangus Yim Mo berubah
menjadi ungu, mungkin kalau bagi orang yang
normal warna kulitnya, dari warna putih
Kembang Jelita 2 / XIV 49 menjadi merah padam tanda menahan amarah.
Tetapi ia benar-benar tidak berani berdebat
dengan Sek Hong-hua. "Baiklah, baiklah..." katanya terpaksa.
"Jenderal Bu, silakan berbicara empat mata
dengan perwira bawahanmu..."
Kongsun Koan yang baru malam itu
bertemu dengan Sek Hong-hua, diam-diam
heran juga terhadap perwira muda Manchu itu.
Pertama ia cuma terkejut akan kehebatannya
yang mampu menjepit pedang besarnya hanya
dengan sepasang telapak tangannya, lalu
keramah-tamahan-nya, dan sekarang di
hadapan para perwira dari kedua pasukan,
kembali Kongsun Koan heran akan Sek Honghua dalam dua hal. Pertama, nampaknya dia
disungkani atau disegani oleh tokoh-tokoh
pasukan Manchu yang lain biarpun tokoh-tokoh
itu kedudukannya lebih tinggi. Kedua, sikapnya
yang kelihatannya sangat membela pasukan
San-hai-koan dan mengeritik tajam sikap
angkuh kawan-kawan nya sendiri. Tapi yang
paling menggelitik hati Kongsun Koan adalah
Kembang Jelita 2 / XIV 50 ucapan Sek Hong-hua tentang "rahasia militer
kita" tadi. Sementara itu, Bu Sam-kui telah berdiri.
Berusaha bersikap tetap gagah dan seolah-olah
tidak dipengaruhi siapa-siapa, ketika ia
melangkah meninggalkan ruangan itu. Dengan
isyarat tangannya, ia minta Kongsun Koan
mengikutinya. Pada saat yang sama, Yim Mo yang baru saja
ditentang secara terbuka oleh Sek Hong-hua itu
mengeloyor pergi dari ruangan itu. Tidak minta
ijin kepada siapa-siapa, termasuk kepada Ang
Seng-tiu yang dianggap pimpinan sekalipun.
Ang Seng-tiu mencoba menjaga martabatnya
dengan pura-pura tidak melihat.
Bu Sam-kui mengajak Kongsun Koan ke
sebuah ruang di belakang markas. Begitu
berada di belakang pintu tertutup di ruangan
itu, kekesalan Kongsun Koan meledak tak
tertahankan lagi, "Panglima, inikah yang
dianggap mereka membantu kita? Omong
kosong! Mereka tidak membantu, mereka
menguasai kita! Aku sudah merasakan gelagat
Kembang Jelita 2 / XIV 51 ini sejak aku memasuki kota ini. Di pintu aku
digeledah teperti maling! Dan di ruang depan
itu dengan mataku sendiri aku melihat mereka
bahkan... mengendalikan Panglima!"
Bu Sam-kui melotot, "Kongsun Koan, begitu
tidak bergunakah aku di dalam pandanganmu,
sehingga orang-orang liar dari Liau-tong itu bisa
menyetir aku, memainkan aku seperti boneka?"
Kongsun Koan menjawab "ya" tetapi hanya
dalam hatinya. Di mulutnya ia berkata lain,
"... kelihatannya demikian, Panglima...",
"Kau kemari mau mendengarkan penjelasanku, atau ingin memarahi aku?"
"Maaf, Panglima. Maaf..." Kongsun Koan
menunduk di hadapan atasannya.
"Duduk," perintah Bu Sam-kui, dan ia
sendiri pun menarik sebuah kursi untuk
didudukinya. "Aku akan menjelaskan dan kau
boleh bertanya dimana perlu, supaya hatimu
puas dan mengerti benar-benar apa yang
kulakukan ini. Tetapi suaramu jangan keraskeras, siapa tahu ada yang menguping di luar."
Kembang Jelita 2 / XIV 52 Kongsun Koan menahan diri, dan mulailah
ia mendengarkan penjelasan Bi Sam-kui. Mulai
kedatangan ?Helian Kong' dan "utusan Su Kohoat" dan semua yang dikatakan mereka, yang
membuat Bu Sam-kui berani mengambil
keputusan mengundang tentara Manchu. Dan
Bu Sam-kui menutup penjelasannya dengan
kata-kata, "Aku tidak tolol, aku bisa melihat
gelagat bahwa orang-orang Manchu itu agaknya
akan susah disuruh keluar lagi dari Tiong-goan.
Mereka akan kerasan di Tiong-goan. Tetapi
jangan khawatir. Aku akan mengadu mereka
dengan kaum Pelangi Kuning sehingga kedua
pihak babak-belur dan susut kekuatannya,
memanfaatkan mereka. Setelah itu kawankawan seperjuangan kita di selatan akan
membanjir ke utara dan menghabisi mereka
semua. Baik sisa-sisa Pelangi Kuning maupun
sisa-sisa Manchu yang nekad tidak mau
meninggalkan Tiong-goan. Tenang sajalah. Kita
di San-hai-koan saat ini memang kelihatannya
direndahkan, tetapi itu takkari lama... Kita harus
melihat dan memperhitungkan jauh ke depan,
Kembang Jelita 2 / XIV 53 jangan menuruti emosi atau rasa harga diri
yang sempit..." Kongsun Koan lega mendengar bahwa
keputusan Bu Sam-kui untuk mengundang
tentara Manchu itu sudah dirundingkan dulu
dengan "Helian Kong" dan "utusan Su Ko-hoat".
Kongsun Koan kenal Helian Kong sebagai orang
yang berpikiran jauh ke depan, berpandangan
luas dan penuh perhitungan, berbeda jauh
dengan panglima atasannya yang suka gegabah
dan pendek akal itu. "Syukurlah, Panglima. Dapatkah sekarang
aku bertemu dengan Panglima Helian?"
"Lho! Kan dia sudah kembali ke pegunungan
bergabung dengan pasukanmu?"
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maksud Panglima..."
"Ya, malam itu setelah dia datang dan
berbicara kepadaku, dia langsung pergi,
meskipun saat itu larut malam. Aku kira dia
sudah sampai ke tempat kalian di
pegunungan..." Saat itu baik Bu Sam-kui maupun Kongsun
Koan tiba-tiba secara bersamaan merasakan
Kembang Jelita 2 / XIV 54 sesuatu yang tidak enak di hati. Yaitu perkara
"Helian Kong" ini. Kalau semula terasa "segala
sesuatunya beres", sekarang mendadak terasa
urusan ini agak tidak beres.
Keduanya bertatapan, tidak ada yang berani
mengemukakan dugaan lebih dulu, sampai
akhirnya Bu Sam-kuilah yang berbicara lebih
dulu, "Ah, tidak perlu menjadi tegang dan
membayangkan yang buruk-buruk. Barangkali
saja Panglima Helian setelah meninggalkan Sanhai-koan ini tidak segera pulang ke pasukannya
di pegunungan, karena ada urusan penting
lainnya..." KarenaBu Sam-kui sudah membicarakannya
dulu, Kongsun Koan berani mengemukakan
keraguannya, "Panglima, yakinkah Panglima
bahwa yang mengunjungi Panglima malam itu
adalah Helian Kong? Benar-benar Helian Kong?"
"He, apa maksudmu dengan pertanyaanmu
itu?" "Yakinkah bahwa yang mengunjungimu
malam itu benar-benar Helian Kong?"
Kembang Jelita 2 / XIV 55 "Kau anggap mataku buta, sehingga tidak
kenal Helian Kong?" "Maaf, Panglima, apakah malam itu...
Panglima minum arak?" Kongsun Koan
bertanya seperti ini sebab tahu kebiasaan
panglimanya minum arak banyak-banyak.
Dan pengalaman Kongsun Koan sendiri
pernah dipeluk dan dicium pipinya oleh Bu
Sam-kui dan dipanggil, "Tan Wan-wan
kekasihku..." Kalau Bu Sam-kui kebanyakan
arak, pohon pun bisa disangka Tan Wan-wan,
itulah sebabnya Kongsun Koan bertanya begitu.
Bu Sam-kui kelihatan serba salah sekejap,
lalu menjawab, "Sedikit."
Hati Kongsun Koan mulai tidak tenteram.
"Sedikit? Seberapa?"
"Kongsun Koan, jangan kurang ajar! Kau
sedang berhadapan dengan Panglima atasanmu,
kenapa seperti penjaga pasar menanyai copet
yang tertangkap di pasar?"
Kongsun Koan buru-buru memberi hormat,
"Maaf, Panglima. Tetapi aku... aku benar-benar
khawatir..." Kembang Jelita 2 / XIV 56 "Khawatir panglimamu ini telah menjadi
setolol keledai sehingga yang bukan Helian
Kong aku sangka Helian Kong, begitu?" Bu Samkui gusar dan menggebrak meja.
Kongsun Koan cuma menarik napas tanpa
menjawab, tetapi kekhawatirannya menghebat
bahwa dua oiang yang mengaku "Helian Kong"
dan "utusan Su Ko-hoat itu jangan-jangan palsu?
Agaknya kegusaran si Panglima atasan itu pun
hanya untuk menutup-nutupi kecemasannya,
cemas bahwa dia sudah dibohongi mentahmentah.
Beberapa saat suasana dalam ruangan itu
tercekam kesunyian. Hanya suara desir langkah
Bu Sam-kui yang gelisah, hilir-mudik di ruangan
itu. "Panglima..." "Apa?" "Adalah wajar siapa pun berbuat kekeliruan,
kalau sudah terlanjur pun masih bisa dipikirkan
caranya memperbaiki ke-keli..."
Kembang Jelita 2 / XIV 57 "Tidak! Tidak! Aku tidak keliru!" raung Bu
Sam-kui. "Yang datang kepadaku itu benarbenar Helian Kong! Aku tidak keliru!"
Tadi Bu Sam-kui melarang Kongsun Koan
berbicara keras-keras, sekarang suaranya
sendiri seperti geledek karena kehilangan
pengendalian diri, la takut membayangkan
dirinya sendiri melakukan kesalahan sebesar
itu. Kesalahan yang kalau tidak dapat
diperbaikinya, akari membuat dirinya tercatat
dalam sejarah sebagai pengkhianat, penjual
tanah-air, mengundang pasukan asing untuk
menjajah negeri sendiri. Bu Sam-kui tidak
berani membayangkannya. Kongsun Koan geleng-geleng kepala sendiri.
Tiba-tiba ia merasa amat kasihan kepada
panglima atasannya itu. Kasihan, bukan benci.
Dalam keadaan seperti itu, ternyata masih
tersisa sedikit akal sehatnya. Ia tahu, kalau Bu
Sam-kui saat itu dituduh dan disalah-salahkan,
malah bisa makin nekad dan semuanya jadi
beran-takan. Kongsun Koan akhirnya mengambil keputusan untuk membiarkan Bu
Kembang Jelita 2 / XIV 58 Sam-kui tetap demikian, dan ia sendiri akan
tetap pura-pura bersikap baik terhadap pihak
Manchu agar di kemudian hari masih bisa
berhubungan dengan panglima atasannya ini.
Akhirnya Kongsun Koan bangkit dari
duduknya dan berkata, "Baiklah, Panglima. Kita
harapkan saat ini memang Panglima Helianlah
yang dulu datang kemari..."
"Pasti! Aku tidak ragu-ragu lagi!"
"Baiklah... baiklah... aku sekarang minta diri,
Panglima. Aku akan kembali ke pasukan kami di
pegunungan..." Bu Sam-kui sudah reda kepanikannya, dan
diam-diam merasa malu sendiri telah bersikap
demikian kekanak-kanakan, seperti seorang
anak kecil yang mati-matian menyangkal baru
saja makan permen. Tetapi sekarang ia pun
mulai berpikir kembali, dan berpesan kepada
Kongsun Koan, "Kongsun Koan, siapa yang
memegang komando pasukan di pegunungan
itu sekarang?" "Sesuai dengan surat Panglima yang
Panglima titipkan kepada Panglima .Heli-an
Kembang Jelita 2 / XIV 59 Kong, aku gabungkan pasukanku dengan
pasukan Panglima Helian dan komandannya
dia. Aku di bawahnya."
"Bagus, teruslah begitu. Jangan percaya
kalau ada orang yang mengaku-aku dari Sanhai-koan membawa perintahku, bahkan
seandainya kau kenal dia. Mengerti?"
Pesan itu mengesankan Kongsun Koan,
terdengar amat jujur dan bersungguh-sungguh.
Lalu ia keluar dari ruangan itu. Melewati ruang
depan, dia memberi hormat kepada perwiraperwira Manchu. Dan ketika sampai di pintu
depan, ada seorang prajurit San-hai-koan
memegangi kendali seekor kuda yang ukuran
besar yang tingginya hampir satu meter.
"Kuda ini untukmu, Komandan Kong-sun,"
kata prajurit itu sambil menyodorkan tali
kendalinya. Kongsun Koan menerimanya. Pikirnya,
"Lumayan, berangkatnya jalan kaki, pulangnya
naik kuda." Kuda itu memang yang biasa dinaiki
Kongsun Koan ketika masih di San-hai-koan
Kembang Jelita 2 / XIV 60 dulu, meski bukan kepunyaan pribadi Kongsun
Koan. Tetapi guci arak itu mengherankannya,
"Apa ini?" "Kawan-kawan di pegunungan pasti
membutuhkannya, untuk menghangatkan badan..." sahut prajurit itu.
Kongsun Koan tidak banyak bicara lagi,
segera menaiki kuda itu dan memacunya keluar
kota, terus ke pegunungan. Berbeda dengan
kedatangannya tadi, kini ia tidak mendapat
rintangan apa-apa. Tetapi pikirannya justru
lebih gelisah. Ia meragukan "Helian Kong" yang
mendatangi Bu Sam-kui dan mengusulkan agar
mengundang tentara Manchu, itu asli atau
palsu? Kalau asli, masih ada harapan. Kalau
palsu, berarti pasukan di San-hai-koan itu
memang sudah tertipu oleh suatu rencana yang
rapi. Meskipun bukannya tanpa harapan lagi.
* ** Ketika Kongsun Koan tiba di luar kota Sanhai-koan, langit masih gelap, tetapi bintangbintang' di langit memberi sekelumit cahayanya
Kembang Jelita 2 / XIV 61 sehingga Kongsun Koan berani mempercepat
lari kudanya tanpa khawatir menabrak
pepohonan atau kejeblos parit.
Tiba-tiba Kongsun Koan merasa haus. Tadi
di San-hai-koan, ia tidak disuguhi air setetes
pun, dan mulai ia datang sudah diliputi
ketegangan pikiran dan bahkan sempat
"berolah raga" dengan penjaga-penjaga pintu
gerbang, sebentar. Tadi tidak terasa, sekarang
baru hausnya terasakan, dan ia ingat guci arak
yang dibawakan oleh prajurit di Sah-hai-koan
tadi. "Jangan-jangan arak beracun?" ia curiga
sebentar, lalu dibantahnya sendiri. "Yang
memberikan kepadaku tadi adalah prajurit di
San-hai-koan, bukan prajurit Manchu. Pastilah
prajurit-prajurit San-hai-koan rindu kepada
teman-temannya di pegunungan, apalagi dalam
keadaan seperti ini di mana seluruh kota
seakan-akan sudah diambil-alih oleh orangorang Manchu..."
"Biar kucicipi sedikit..." akhirnya Kongsun
Koan sambil melambatkan kudanya. Lalu guci
Kembang Jelita 2 / XIV 62 besar yang tergantung di pelana itu
dinaikkannya ke pelana dan dibukanya
penutupnya dari kertas minyak yang tebal itu.
Karena tidak ada cawan, ia angkat guci itu tinggi
di atas kepala dengan mulut guci di bawah,
mulutnya menganga lebar siap menampung
arak yang mengucur keluar.
Tetapi tidak setetes arak pun keluar.
Kongsun Koan heran, ia guncang-guncang
gucinya dan tetap tidak setetes arak pun yang
keluar. Padahal guci itu berat, seperti ada isinya,
tapi ternyata tidak keluar setetes arak pun.
Di kegelapan malam, ia tidak bisa melihat
apa isi guci itu, maka ia meraba ke dalam guci,
dan kaget ketika tangannya meraba seperti...
kepala orang yang ada rambutnya.
Biarpun Kongsun Koan orang peperangan
yang sudah terbiasa melihat mayat, bahkan
mayat yang tidak utuh, tak urung kaget juga ia.
Ia lemparkan guci itu di tanah sehingga pecah.
Dan ia melihat ada sesuatu seperti bola
menggelundung menjauhi guci yang pecah itu,
seperti bola yang ukurannya pas dengan guci
Kembang Jelita 2 / XIV 63 itu. Tetapi selama menggelinding menjauh, bola
itu membesar ukurannya, dan Kongsun Koan
hampir tak percaya melihat "bola" itu keluar
sepasang tangannya dan sepasang kakinya, dan
akhirnya berdiri melompat dalam wujud
seorang manusia biasa. Berwajah dingin, berkulit kuning hangus
seperti perunggu, bersedekap. Yim Mo.
Jantung Kongsun Koan berdegup keras. Ia
berhadapan dengan seorang yang mampu
melipat tubuhnya sampai bisa masuk ke dalam
guci seluruhnya. Kongsun Koan pernah
mendengar ada ilmu yang disebut Siu-kut-kang
(Ilmu Mengerutkan Tulang), sehingga ada yang
sampai bisa meneroboskan seluruh tubuhnya
lewat lubang yang sempit. Tetapi yang
dilakukan Yim Mo ini benar-benar luar biasa,
seluruh tubuhnya bisa masuk ke dalam guci!
(Bersambung jilid XV) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 28/07/2018 18 : 55 PM
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembang Jelita 2 / XIV 64 Kembang Jelita 2 / XV 1 ( Bagian II ) JILID XV Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XV 2 Kembang Jelita 2 / XV 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XV K ongsun Koan melihat masalah besar di
depan mata. Dia tahu pasti, bukannya tanpa
maksud Yim Mo "membonceng" sampai ke
tempat itu. Mungkin maksudnya "membonceng"
sampai ke pegunungan, tempat pasukan
Kongsun Koan, tetapi sudah "diturunkan" di
tengah jalan. "Kiranya Tuan Yim..." kata Kongsun Koan
ramah, mencoba menghindari jalan kekerasan
karena tahu dirinya sama sekali tidak sebanding
dengan Yim Mo. "Ada yang bisa aku perbuat
untuk Tuan?" "Ya. Aku ingin kau ceritakan semua
pembicaraanmu dengan Jenderal Bu tadi," nada
Kembang Jelita 2 / XV 2 perkataan Yim Mo ternyata tetap dingin, jauh
dari nada bersahabat, tidak mengimbangi
keramahan Kongsun Koan. "Itu yang pertama.
Yang kedua, aku ingin melihat pasukanmu di
pegunungan." Kegusaran Kongsun Koan meluap dalam
hati, tetapi ia mencoba terus menahan diri.
Pikirnya, "Jadi inilah rupanya tujuan bersembunyi dalam guci. Pihak Manchu
menyuruh dia untuk mengetahui kedudukan
pasukanku di pegunungan..."
Mulut Kongsun Koan sudah bergerak
hendak menjawab, tetapi Yim Mo telah
membentaknya, "Apa kau tidak tahu adat, tidak
tahu bagaimana berbicara kepada orang yang
lebih tua?" Biarpun darah mudanya sudah menggelegak, Kongsun Koan masih memikirkan
keselamatan dirinya, juga perlunya pasukannya
di pegunungan mendengar kejadian yang
sebenarnya di San-hai-koan. Itulah sebabnya
dia mengalah. Ia melompat turun dari kudanya
Kembang Jelita 2 / XV 3 dan memaksakan diri memberi hormat kepada
Yim Mo meskipun hormatnya tidak dibalas.
Katanya, "Salam hormatku untuk Tuan
Yim." "Tidak perlu bertele-tele. Sekarang katakan
hasil pembicaraanmu dengan Bu Sam-kui tadi.
Singkat, jelas, tapi harus lengkap."
"Baiklah, karena pihak Tuan dan pihak kami
sudah menjadi sekutu, rasanya tidak baik
menyembunyikan apa-apa kepada teman
seperjuangan bukan? Secara singkat, Jenderal
Bu hanya menjelaskan kepadaku tentang
alasannya dia mengundang sobat-sobat
Manchu. Yaitu suatu kerjasama yang saling
menguntungkan, sebab dia percaya bahwa
sobat-sobat Manchu tak bermaksud jahat
sedikit pun terhadap negeri Tiong-goan. Terus
terang saja, Tuan Yim, sebelum mendengar
penjelasan tadi memang aku agak berprasangka
terhadap orang-orang Manchu. Tetapi sekarang
prasangkaku lenyap, hatiku sudah lega. Itu
saja..." Kembang Jelita 2 / XV 4 Ternyata Yim Mo tidak mudah menerima
penjelasan itu. Ia maju selangkah dengan mata
bersorot mengancam, "Kau pasti belum
menceritakan selengkapnya. Tadi aku dengar di
markas, Bu Sam-kui sampai berteriak dan
menggebrak meja segala. Pastilah yang kalian
bicarakan lebih dari itu. Katakan. Atau aku
harus berlaku kasar kepadamu?"
"Tuan Yim, yang kubicarakan dengan
Jenderal Bu tadi ya hanya itulah. Memangnya
Tuan Yim curiga ada hal-hal lain dari itu?"
"He, Kongsun Koan, kau tidak sedang bicara
dengan seorang anak kecil yang mudah saja kau
bohongi!" Kongsun Koan merasa makin sulit berkelit.
Saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar
suara derap kuda yang semakin dekat. Di
malam larut seperti itu ada orang-orang
berkuda di tempat belukar sepi di luar kota,
adalah hal kurang wajar, namun di saat-saat
perang hal itu jadi wajar saja.
Kongsun Koan dan Yim Mo menoleh
serempak ke arah suara itu.
Kembang Jelita 2 / XV 5 Ternyata Yi Mo tidak mudah menerima
penjelasan itu. la maju melangkah dengan
mata bersorot mengancam, Kembang Jelita 2 / XV 6 Yang muncul ternyata cukup banyak,
hampir-hampir seperti sebuah pasukan kecil,
semuanya berkuda. Hampir lima puluh orang.
Tetapi siapa mereka, belum diketahui sebab
malam terlalu gelap. Setelah dekat, barulah nampak bahwa
penunggang kuda terdepan adalah orang yang
dikenal Kongsun Koan. Kwe Peng-hui, perwira
bawahan Helian Kong yang oleh Kongsun Koan
diserahi sebagai pimpinan pasukan di
pegunungan selama ditinggalkan Kongsun
Koan. "Perwira Kwe!" sahut Kongsun Koan.
"Komandan!" sahut Kwe Peng-hui yang
mengenali suara Kongsun Koan biarpun malam
gelap. "Kenapa kau di sini?"
"Karena kami gelisah Komandan tidak
pulang-pulang, begitu juga Komandan Helian
yang tidak datang-datang. Lalu kami putuskan
untuk coba menyusul ke San-hai-koan..."
Kongsun Koan merasakan betapa udara
kegelisahan merata dalam pasukannya di
Kembang Jelita 2 / XV 7 pegunungan. Belum sampai satu hari mereka
ditinggal, Kwe Peng-hui sudah menyusulnya
dengan orang sebanyak itu. Tetapi Kongsun
Koan lega juga, kalau terpaksa harus
menghadapi Yim Mo dengan kekerasan, ia akan
punya teman sebanyak itu.
"Darimana kau dapat kuda sebanyak itu?"
tanya Kongsun Koan. "Dari beberapa desa..." jawab Kwe Peng-hui
tanpa menjelaskannya lebih lanjut. Tetapi
Kongsun Koan memakluminya, dalam situasi
perang, pihak mana pun menggunakan hukum
perang yang "praktis".
Kemudian Kwe Peng-hui bertanya, "Komandan Kongsun, siapa sobat ini?"
Kali ini Kongsun Koan tidak bersikap
sesungkan tadi terhadap Yim Mo, katanya
menjawab Kwe Peng-hui, "Sobat ini bernama
Yim Mo, salah seorang penting dalam pasukan
Manchu, yang ingin ikut aku sampai ke tempat
pasukan kita di pegunungan."
"Lalu sikap Komandan?"
Kembang Jelita 2 / XV 8 "Kita tidak punya tempat yang layak untuk
Sobat yang terhormat ini."
Itulah isyarat bahwa Kongsun Koan
menolak keinginan Yim Mo.
Yim Mo tahu, tetapi dengan mengandalkan
ketangguhan pribadinya, dia memutuskan akan
main paksa, la anggap lawan-lawan sebanyak
itu sebagai sesuatu yang remeh. Ia anggap
prajurit-prajurit itu paling-paling hanya bisa ketrampilan militer biasa seperti menunggang
kuda, memanah, atau perkelahian yang kasar.
Karena itu, katanya dengan sombong,
"Kalau kalian berkeberatan, aku akan
membunuh kalian semua dan menyisakan
hanya satu orang untuk menunjukkan jalan ke
pegunungan. Aku pasti bisa melakukannya, biar
aku sendirian dan kalian banyak..."
Kwe Peng-hui ternyata bukan hanya
perwira bawahan Helian Kong, melainkan
dalam hal kemampuan tempur perorangan juga
memperoleh banyak petunjuk dan "polesan"
Helian Kong. Mendengar suara besar Yim Mo, ia
Kembang Jelita 2 / XV 9 melompat turun dari kudanya dan berkata,
"Besar benar mulut orang ini..."
Dan Kwe Peng-hui sudah memegangi
sepasang senjatanya yang agak lain dari yang
lain. Sepasang martil baja yang kepala martilnya
berbentuk segi delapan, sedangkan tangkainya
yang dicor jadi satu dengan kepalanya,
panjangnya masing-masing setengah meter.
Dalam kelompok yang dibawa Kwe Penghui itu juga banyak perwira bawahan Helian
Kong lainnya. Yang tidak sekedar pintar naik
kuda, memanah dan melempar lembing,
melainkan juga menjadi "murid tidak resmi"
Helian Kong. Orang-orang yang tidak sekedar
punya ketrampilan kemiliteran ini pun segera
berlompatan dari kudanya dan maju bersama
Kwe Peng-hui. Jumlahnya ada enam orang,
senjata-senjata mereka sebagian lumrah seperti
pedang, golok, tombak atau pentung besi, tetapi
ada juga dua orang yang senjatanya "tidak
lumrah". Ada yang bersenjata tameng persegi,
namun bukan tameng yang digunakan
berpasangan dengan golok atau pedang,
Kembang Jelita 2 / XV 10 melainkan tameng yang berpasangan dengan
tameng pula. Jadi ia bersenjata sepasang
tameng. Tameng persegi berpinggiran tajam
yang biasa disebut Gun-goan-pai. Satu orang
lagi yang bersenjata aneh adalah bersenjata jala,
seperti jala yang digunakan para penangkap
ikan. Jadi kalau pergi berperang, ia bisa
disangka akan pergi menangkap ikan. Bedanya
dengan jala para nelayan, jala orang ini penuh
kaitan-kaitan besi tajam. Ini memang bukan jala
ikan, tetapi jala untuk menjaring nyawa
manusia. Yim Mo yang sudah terlanjur membual,
ketika melihat orang-orang ini diam-diam
bergetar juga hatinya. Sikap dan sorot mata
mereka meyakinkan, dan senjata-senjata aneh
mereka "menjanjikan" bahwa Yim Mo akan
menjumpai perlawanan berat, tak akan bisa
menyelesaikan urusannya segampang omong
besarnya. Kongsun Koan yang belum tahu kelebihan
perwira-perwira bawahan Helian Kong itu,
merasa perlu untuk memberi peringatan
Kembang Jelita 2 / XV 11 kepada teman-temannya, "Kawan-kawan, Tuan
Yim ini tadi bersembunyi dalam sebuah guci
arak..." Itulah peringatan akan kelihaian Yim Mo.
Lalu Kongsun Koan sendiri menghunus
pedang besarnya, yang dipegangi dengan dua
tangan. Toh ia masih mencobakan suatu
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tawaran kepada Yim Mo, "Tuan Yim,
sebenarnya kita tidak perlu sampai baku
hantam seandainya Tuan tidak bersikeras
dengan kemauan Tuan sendiri. Bagaimanapun,
pihak kami dan pihak Tuan saat ini masih dalam
ikatan persekutuan..."
Meski tekadnya mulai guncang, Yim Mo
terlalu angkuh untuk mundur begitu saja.
Jawabnya, "Perwira Kongsun, kalau kau sebut
kami sekutumu, apa keberatanmu mengajak
aku melihat-lihat pasukanmu di pegunungan?"
"Kita bersekutu, tetapi kita punya rahasia
masing-masing. Persekutuan kita tidak tulus, itu
kenyataan yang harus kita akui blak-blakan..."
sahut Kongsun Koan lugas. "Kita hanya saling
Kembang Jelita 2 / XV 12 memanfaatkan, dan setelah itu, entah apa yang
terjadi..." "Perwira Kongsun, kami datang membantu
dengan tulus..." "Butuh waktu untuk mempercayai omongan
itu, Tuan Yim." "Itukah yang kau dapatkan dari hasil
pembicaraanmu dengan Jenderal Bu?"
Kongsun Koan terkesiap, menjawab terangterangan bisa menyulitkan kedudukan temantemannya di San-hai-koan, maka jawabannya
samar-samar saja, "Itu perkara yang wajar,
Tuan Yim. Menyembuhkan luka-luka batin
setelah permusuhan yang lama itu butuh waktu,
Tuan Yim..." "Jadi, keinginanku untuk melihat-lihat
pasukanmu di pegunungan..."
"Dengan menyesal kami belum bisa
menyambutmu saat ini, Tuan Yim. Lain kali
barangkali kami akan mengundangmu dan
menyiapkan penyambutan yang penuh kehormatan..." "Kalian belum tahu kekuatanku rupanya."
Kembang Jelita 2 / XV 13 "Kami ingin mengetahuinya..." yang
menjawab adalah Kwe Peng-hui. Percakapan
antara Kongsun Koan dan Yim Mo tadi tidak
sepenuhnya dimengertinya, tetapi perkataan
terakhir Yim Mo tadi amat dimengertinya,
membuat Kwe Peng-hui jemu melihat
kesombongan orang Manchu ini dan menjawabnya dengan keras. Tidak peduli
Kongsun Koan tadi memperingatkan bahwa
orang Manchu ini "bisa masuk ke dalam guci"
tetapi Kwe Perig-hui dan kawan-kawannya
gatal tangan ingin menjajalnya.
Yim Mo terbakar hatinya, tiba-tiba ia
menggeram dan melompat menerkam Kwe
Peng-hui. Kedua telapak tangannya dalam
bentuk cakar siap menerkam lengan-lengan
Kwe Peng-hui untuk dirobeknya. la amat
remehkan Kwe Peng-hui sebab orang-orang
militer begini biasanya hanya pandai
ketrampilan kemiliteran biasa.
Kwe Peng-hui memang kaget, namun
untung sudah waspada sejak semula. Biarpun
agak terlambat, ia hantamkan kedua martil baja
Kembang Jelita 2 / XV 14 Yim Mo terbakar hatinya, tiba-tiba ia menggeram dan
melompat menerkam Kwe Peng-bui. Kedua telapak
tangarrrya dalam bentuk cakar siap menerkam
lengan-lengan Kwe Peng-bui untuk dirobeknya.
Kembang Jelita 2 / XV 15 nya berbarengan ke wajah Yim Mo. Gerakannya
memang tidak tepat benar sesuai dengan
keperluan, dari segi pandangan ahli silat kelas
wahid jelas banyak kekurangannya, tapi kenekadan dan nyalinya yang besar memang
sesuatu yang patut diperhitungkan tersendiri
oleh Yim Mo. Yim Mo menyelinap licin ke samping
bagaikan belut, sebelah cakarnya tetap bisa
menggores lengan bagian atas Kwe Peng-hui.
Kwe Peng-hui mendesis pedih, namun
mengertak gigi dan memutar tubuh ke samping
sambil menghantamkan sepasang martil
bajanya sekaligus. Tetapi cuma menghantam
angin sebab ternyata Yim Mo sudah "pindah
alamat" lagi dengan cepat, tetapi tumit Yim Mo
membentur paha Kwe Peng-hui amat keras
sehingga perwira itu jatuh terguling.
Yim Mo susulkan satu injakan ke arah leher
Kwe Peng-hui yang belum sempat bangkit,
tetapi seorang perwira bersenjata pentung besi
menerjangnya dengan berani. Pentungnya
terayun mendatar ke tengkuk Yim Mo. Terpaksa
Kembang Jelita 2 / XV 16 Yim Mo menunduk menghindar dan membatalkan serangannya kepada Kwe Penghui, malahan Kwe Peng-hui melihat suatu
kesempatan dan coba menghantam jempol kaki
Yim Mo dengan martilnya. Yim Mo melompat
pendek untuk menghindarinya.
Kongsun Koan tidak membiarkan rekanrekannya memeras keringat sendirian. Biarpun
rasa lelah. dan hausnya saat itu belum terobati,
ia masuk ke gelanggang dan pedang besarnya
pun menyapu Yim Mo. Begitulah, Yim Mo harus menghadapi tujuh
orang lawan. Tujuh orang milliter yang tadinya
dipandangnya remeh, dan ternyata sekarang
meskipun cara bertempur mereka kasar,
ternyata cukup merepotkan Yim Mo. Ternyata
pula mereka tidak bertempur serabutan,
melainkan mampu saling bekerja sama meski
dengan perhitungan-perhitungan sederhana.
Mereka tidak mau bergerak serampangan,
melainkan benarrbenar mengintai kalau ada
kesempatan ataupun kalau kawan mereka
terancam bahaya. Gerakan mereka kadang
Kembang Jelita 2 / XV 17 kasar dan serabutan, tapi tidak bisa
diremehkan. Yang bersenjata jala berduri itu sikapnya
juga menggemaskan Yim Mo. Ia tidak ikut sibuk
di tengah gelanggang, melainkan hanya
mengawasi di pinggir gelanggang, gayanya yang
setengah membungkuk dan caranya memegangi
jala itu tak ubahnya penangkap ikan di tepian
yang mengawasi ke air. "Jadi aku ini dianggapnya ikan..." kutuk Yim
Mo dalam hatinya. Tetapi jala itu harus diwaspadai juga, sering
Yim Mo harus menunduk atau berguling untuk
menyelamatkan kepalanya dari jaring.
Tujuh perwira dengan tujuh gaya
bertempur, yang meskipun saling mengisinya
tidak serasi betul tetapi lumayan juga. Mereka
tidak tergesa-gesa dan memboros-boroskan
tenaga. Paling banyak hanya tiga orang yang
berhadapan langsung dengan Yim Mo dan
sisanya mengawasi di sekitarnya dan cepatcepat "menambal" kalau kepungannya bocor.
Mereka masuk dan keluar gelanggang
Kembang Jelita 2 / XV 18 bergantian, tidak mau saling berdesakan
dengan teman-teman mereka di gelanggang
yang sempit itu. Dengan cara itu, ternyata Yim Mo harus
memeras tenaga. Tetapi tujuh orang perwira itu pun mau
tidak mau mengagumi Yim Mo. Dikeroyok tujuh,
tetap saja senjata-senjata ketujuh perwira itu
tak dapat menyentuh Yim Mo. Yim Mo begitu
lincah, licin, kelenturan tubuhnya luar biasa
sehingga ujung senjata yang hampir mengenainya sering bisa dielakkan dengan
liukan tubuhnya yang seperti ular. Dan dengan
tangan kosong pun Yim Mo tetap berbahaya,
cakar-cakar tangannya tidak cuma bisa
merobek kulit dan daging tetapi juga
meremukkan tulang. Terbukti ketika tangan itu
mengenai sebatang pohon, maka serpihan kayu
beterbangan muncrat dari pepohonan itu.
Suatu kali Yim Mo habis kesabarannya, ia
meraih ke pinggangnya, melolos sehelai cambuk
kulit beranyam tiga lembar yang sekujur
cambuknya dipenuhi paku-paku logam yang
Kembang Jelita 2 / XV 19 direndam racun. Cambuk itu panjangnya dua
meter lebih. Begitulah ia sekarang bersenjata.
"Hati-hati..."Kongsun Koan memperingatkan
kawan-kawannya. Dengan senjata di tangannya, Yim Mo
memang meningkat kegarangannya. Setidaktidaknya,
jangkauan serangannya jadi bertambah dua meter, diperpanjang oleh
cambuk itu. Dengan keahliannya bermain
cambuk, Yim Mo seolah-olah menjadikan
cambuk itu menjadi puluhan helai yang
menggeletar simpang-siur memenuhi udara
gelanggang, kadang-kadang terdengar ledakannya yang memenuhi gelanggang.
Puluhan jurus kemudian, mulai terasa
kesulitan di pihak para perwira. Biarpun
mereka, terutama perwira-perwira bawahan
Helian Kong, pernah mendapat petunjuk dan
polesan teknik silat dari Helian Kong, namun
tentu saja yang mereka peroleh tidak seperti
kalau menjadi murid sebuah perguruan. Pada
dasarnya memang mereka adalah orang-orang
militer yang tidak mendalam perihal
Kembang Jelita 2 / XV 20 pertarungan perorangan, apalagi ilmu silat
tingkat tinggi. Menghadapi cambuk lemas Yim
Mo yang berkelebatan melejit ke sana ke mari
bersama dengan gerak tubuh Yim Mo sendiri
yang selicin belut, mereka kebingungan,
kehilangan arah. Mereka saling berteriak
memperingatkan teman-teman mereka. Selain
itu, senjata-senjata mereka juga tidak tahu
harus dibagaimanakan dalam menghadapi
cambuk yang lemas itu. Mereka tahunya kalau
menghadapi golok, pedang atau tombak.
Beberapa kali nyaris terjadi serangan para
perwira itu mengenai teman sendiri.
Sekarang Yim Mo bisa tertawa terbahakbahak, membayangkan kemenangannya sudah
di depan mata. Sambil tertawa, gerakannya
tidak bertambah lamban melainkan bertambah
cepat. Dan ketujuh orang lawannya makin
kedodoran. Tidak peduli mereka saling
berteriak ini-itu. Bagaimanapun, mereka
memang bukan anggota-anggota dari suatu
formasi silat gabungan semacam Jit-seng-tin
Kembang Jelita 2 / XV 21 (formasi Tujuh Bintang) atau Lo-han-tin
(formasi Arhat) di kalangan persilatan.
Anggota-anggota formasi macam itu berlatih
bersama setiap saat, dan masing-masing
melatih bagiannya sendiri, juga, bergerak
berdasar prinsip-prinsip tertentu yang diterjemahkan ke dalam gerak-gerak menyerang dan bertahan. Sedang ketujuh
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perwira itu hanya sekedar bertempur bersama
dan main keroyok saja meskipun ada juga
perhitungannya, tetapi masing-masing punya
perhitungan sendiri-sendiri yang kadangkadang kurang kelop dengan perhitungan
kawan-kawannya sendiri. Tak lama kemudian, cambuk Yim Mo
berhasil melibat dan merampas pedang seorang
teman Kwe Peng-hui, sekaligus kakinya
menyapu kaki perwira itu sehingga si perwira
terpental rubuh. Meskipun si perwira kemudian
menggulingkan diri menjauhi Yim Mo, tetapi
posisinya tetap berbahaya sebab Yim Mo
mengejarnya dan kelihatannya tidak ingin
melepaskannya. Sedang kawan-kawan yang lain
Kembang Jelita 2 / XV 22 tidak sedang dalam posisi yang baik untuk
menolong. "Mampus kau!" Yim Mo menubruk bagaikan
kilat sambil hendak menginjakkan kakinya ke
ubun-ubun calon korbannya.
Ketika itulah Yim Mo tiba-tiba merasa urat
di belakang lututnya sakit seperti digigit semut.
Gerak lompatannya jadi kagok setengah jalan,
sehingga terhuyung-huyung. Hanya sepersekian
detik, tetapi cukup memberi kesempatan bagi
perwira sasarannya itu untuk melompat bangun
dan selamat dari injakan maut Yim Mo.
Yim Mo menggeram gusar dan memperhebat serangan kepada lawan-lawanya.
Tentang rasa sakit di urat belakang lutut yang
sering disebut Urat Hoan-tiau, yang baru saja
dialaminya, Yim Mo belum begitu ambil pusing.
Belum sampai timbul pikiran kalau dirinya
dijaili orang dari luar gelanggang, sesuatu yang
patut diperhitungkan di kalangan para jagoan.
Beberapa saat kemudian, seorang perwira
yang bersenjata siang-khek sepasang tombak
pendek, mengeluh dan terhuyung-huyung sebab
Kembang Jelita 2 / XV 23 punggungnya kena ujung cambuk Yim Mo dan
kulitnya robek, lebih gawat lagi karena darah
yang mengalir dari luka itu tidak banyak,
melainkan kulit di sekitar mulut luka langsung
berbintik-bintik kecil. "Saudara Gun, tinggalkan arena dan obati
lukamu! Cambuknya beracun!" teriak Kwe
Peng-hui. la sendiri dengan sepasang martil
bajanya, bersama seorang perwira lain yang
bersenjata pentung besi, menghadang Yim Mo
agar tidak memburu si perwira yang terluka.
Sementara si perwira Gun sudah melangkah
Geger Pusaka Matsuri 2 Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua Ching Ching 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama