Ceritasilat Novel Online

Pedang Amarah 4

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An Bagian 4


Selama bergaul dengan pemuda itu, dia pernah menyaksikan sorot matanya yang hangat disaat
suasana membeku, terkadang menyaksikan pula sinar panas ditengah suasana tegang. Dan
sekarang, dia merasa sinar mata Ong Siau-sik mengartikan kalau ia tak boleh bergerak.
Karena itu diapun tak bergerak.
Biarpun dia ingin sekali bertindak. Karena dia tak bergerak, terpaksa Pui Heng-sau ikut tak
bergerak. Tampaknya diapun mengerti dengan arti sorot mata Ong Siau-sik.
Hanya saja dia tidak begitu mengenal karakter Ong Siau-sik, dia tak bergerak karena dalam
anggapannya, Tong Po-gou yang tidak sabaran pasti akan turun tangan terlebih dulu.
Asal Tong Po-gou bergerak, diapun segera akan mengikuti, selama banyak tahun, mereka sudah
terbiasa bekerja sama, kedua belah pihak sudah sangat memahami tabiat lawannya.
Tapi kali ini Tong Po-gou sama sekali tak berkutik, hal ini justru membuat Pui Heng-sau tak
mampu menyesuaikan diri, untuk sesaat dia tak tahu haruskah turun tangan? Lebih baik maju?
Atau lebih baik berdiam diri saja?
Pemikiran yang ragu mendatangkan tekanan jiwa yang berat, tekanan itu seolah datang dari
angin dingin yang menyayat, seperti juga datang dari salju yang membeku, tapi yang pasti,
tekanan terbesar datang dari tandu itu.
Mungkinkah tandu itu adalah tandu setan? Manusia atau setankah yang berada dibalik tandu
ini? Disaat Pui Heng-sau merasakan tekanan yang menakutkan dan hawa panas yang mengerikan,
sepasang kakinya seolah telah membeku kaku, membuat dia tak sanggup lagi mengeluarkan ilmu
andalannya, Pek-ku-kok-kia (kuda putih melewati celah).
Sekarang persoalan baginya telah berubah, masalahnya bukan mampukah dia melancarkan
serangan, tapi mampukah dia berkelit andaikata pihak lawan melancarkan serangan mematikan.
"Aai, tahu begini, mending aku menyerang duluan dan tak perlu menunggu aksi dari Tong
Po-gou . . . . . . . .."
Disaat rasa sesal mulai timbul, dia sudah kehilangan kendali untuk melancarkan serangan.
Cu Siau-yau tidak menghadapi masalah hilang kendali atau tidak, karena disaat dia melihat
munculnya tandu tadi, senjata rahasia telah menyergap dari balik tandu itu.
Senjata rahasia itu tertuju kearah Ong Siau-sik. Dari kecepatan gerak serta cara
melancarkan serangan, gadis ini tahu, hanya Ong Siau-sik pribadi yang dapat selamatkan diri
sendiri, tak seorangpun yang lain dapat membantunya.
Terbukti, Ong Siau-sik memang dapat selamatkan diri sendiri dan diapun tahu, pemuda itu
sesungguhnya punya kesempatan untuk kabur, melarikan diri disaat senjata rahasianya
menghadapi senjata rahasia lawan.
Tapi nyatanya, anak muda itu tidak kabur, karena meski ia berhasil melarikan diri, bukan
berarti rekan rekan lainnya bisa lolos semua dari situ.
Yang dimaksud rekan lainnya tentu termasuk dirinya, Un Ji, Tong Po-gou serta Pui Heng-sau.
Cu Siau-yau sangat memahami pengorbanan rekannya, dia tak mau kabur tanpa memikirkan
keselamatan teman lainnya, dia harus menghadapi musuh tangguh itu.
Apakah tindakan seperti ini bukan termasuk perbuatan seorang lelaki sejati? Seorang
enghiong hohan? Gadis ini sadar, percuma dia ikut turun tangan, situasi pada malam ini hanya bisa
diselesaikan Ong Siau-sik seorang, oleh sebab itu seluruh perhatiannya dicurahkan pada Un
Ji seorang. Dia tak ingin Un Ji memecah perhatian Ong Siau-sik, karena hal ini bisa membahayakan jiwa
pemuda itu. Un Ji sedang menggigil, begitu kedinginan hingga giginya saling gemerutuk.
Baru saja nona itu hendak bersuara, Cu Siau-yau telah menggelengkan kepalanya berulang
kali, ketika dia ingin bergerak, Cu Siau-yau telah menggandeng tangannya, dan ketika dia
ingin bertanya mengapa rekan rekannya berdiri tak berkutik macam orang yang tertotok jalan
darahnya, tiba tiba saja dia melihat ada orang bergerak.
Dari atas permukaan salju, ada orang mulai bergerak.
Yang bergerak bukan Tong Po-gou atau Pui Heng-sau, juga bukan Cu Siau-yau atau Un Ji,
bahkan bukan pula Ong Siau-sik atau Bu-cing, melainkan dua orang yang muncul dari belakang
tandu. Kedua orang itu bergerak mendekat, bergerak tanpa menimbulkan suara. Dengan lapisan salju
bagaikan permadani, ditambah ilmu meringankan tubuh yang hebat, gerak gerik orang orang itu
sama sekali tidak menimbulkan suara.
Ketika Ong Siau-sik mengamati lebih seksama, ternyata dua orang yang muncul dari belakang
tandu itu tak lain adalah Gan Hok-huat serta Thio Tan.
Tak dapat disangkal, tujuan dari Gan Hok-huat dan Thio Tan adalah ingin mendekati tandu itu
dan memaksa keluar penghuninya.
Disaat itulah, satu ingatan melintas dalam benak Ong Siau-sik, tindakan Gan Hok-huat dan
Thio Tan kelewat berbahaya, dari pertarungannya melawan penghuni tandu tadi, dia sadar
bahwa ilmu melepaskan senjata rahasia yang dimiliki orang itu amat tangguh.
Jika ulah kedua orang itu sampai diketahui Bu-cing, bukankah sama saja menghantar kematian
mereka dengan percuma? Tapi bagaimana caranya untuk menghalangi sepak terjang kedua orang
rekannya? Apapun yang terjadi, dia tak boleh bersuara, karena sedikit saja suara yang mencurigakan,
dapat membuat urusan makin runyam.
Jarak antara Ong Siau-sik dengan Gan Hok-huat berdua terpisahkan oleh tandu itu, walau
hanya sebuah tandu kecil, namun jauh lebih menakutkan daripada bukit golok maupun lautan
api. Kini, hanya ada satu jalan bagi Ong Siau-sik untuk melindungi keselamatan Gan Hok-huat dan
Thio Tan serta memberi tanda kepada mereka untuk tidak terlalu mendekat. Memecahkan
perhatian Bu-cing. Oleh karena itu Ong Siau-sik melakukan satu tindakan, dia mulai bergerak. Diiringi bentakan
nyaring, dia menyerang dengan sepenuh tenaga.
Ong Siau-sik telah turun tangan pada saat yang paling tidak menguntungkan, alasannya hanya
satu, demi sahabat. Selama ada alasan tersebut, maka apa pun akan dia lakukan, termasuk berkorban demi sahabat.
Begitu Ong Siau-sik menggerakkan tubuhnya, "Sreeet!" desingan senjata rahasia sudah muncul
dari balik tandu. Cepat pemuda itu mengigos ke bawah, serangan mengenai sasaran kosong, sebuah senjata
rahasia berwarna putih, sebiji anak catur.
Ketika tubuhnya mengigos kebawah inilah, Ong Siau-sik meraup tiga lembar bunga salju, tiga
lembar senjata rahasia untuk menjaga diri.
Tapi saat itulah, orang dibalik tandu kembali melancarkan dua titik cahaya hitam, kedua
titik itu bukan tertuju kearah Ong Siau-sik, melainkan ke arah Gan Hok-huat serta Thio Tan.
Saat itu, dalam genggaman Ong Siau-sik sudah tersedia bunga salju, salju inilah senjata
rahasia. Asal senjata rahasia sudah tersedia, dia tidak perlu kuatir dengan selisih jarak lagi,
setiap saat ia dapat melakukan perlawanan menghadapi ancaman Bu-cing.
Sayang pihak lawan telah mengincar "titik kelemahannya", titik kelemahan Ong Siau-sik saat
ini tak lain adalah sahabatnya.
Terkadang bila kau kelewat menyayangi seseorang, hal ini sama artinya telah mencelakai
orang itu, kelewat melindungi seseorang, sama artinya kelewat memanjakan dia.
Karena Ong Siau-sik telah menyerang pada saat yang tidak seharusnya, hal ini justru
menydarkan orang didalam tandu bahwa dia mempunyai maksud lain, tak heran kalau ia segera
mengetahui bila Gan Hok-huat dan Thio Tan sedang berusaha mendekat.
Padahal hal semacam ini merupakan sebuah kejadian jamak, apa mau dikata justru ada
sementara orang yang selama hidup tak pernah memahami teori itu.
Dua biji anak catur dengan cepat meluncur ke tubuh Gan Hok-huat dan Thio Tan.
Dengan kemampuan yang dimiliki kedua jagoan ini, meski mendapat sergapan maut, namun tidak
sampai membuat mereka tak sanggup menghindarkan diri.
Sayangnya sasaran utama yang dituju senjata rahasia dari Bu-cing ini bukan mereka berdua,
apalagi mencabut nyawa kedua orang ini, sebaliknya justru dipakai untuk menyerang Un Ji dan
Tong Po-gou. Mimpipun kedua orang itu tidak menyangka kalau mereka yang menjadi sasaran lawan, ketika
sadar akan datangnya bahaya, keadaan sudah terlambat, tak ada peluang lagi bagi mereka
untuk berkelit. Bukan hanya mereka yang tak sempat berkelit, bahkan Cu Siau-yau dan Pui Heng-sau yang
berdiri disisi mereka pun dibuat kelabakan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Disaat yang kritis inilah, Ong Siau-sik menyentilkan ke lima jari tangannya, dua biji bunga
salju meluncur keluar dengan kecepatan bagaikan kilat.
Jangan dilihat bunga salju itu benda lembek, namun dalam sambitan Ong Siau-sik, daya
luncurnya bukan saja cepat bagai petir, bahkan membawa desingan tajam yang memekak telinga.
Sayang sekali, betapa pun cepatnya sambitan itu, keadaan masih sedikit terlambat.
Mata kanan Tong Po-gou dan jidat Un Ji sudah terancam oleh serangan musuh.
Bu-cing memang betul betul tak punya perasaan, masa hanya gara gara berapa ucapan saja, dia
sudah begitu tega hendak membutakan mata Tong Po-gou dan mencabut nyawa Un Ji, seorang nona
cilik? Kalau bukan lantaran tega, lantas kenapa?
Kecepatan bunga salju yang dilontarkan Ong Siau-sik menciptakan gesekan ditengah udara yang
menimbulkan udara panas, dengan cepat salju mulai mencair.
Biarpun tersisa dua titik bunga salju, namun kekuatannya masih begitu dahsyat hingga mampu
menembus bebatuan. Sayang masih terlambat satu langkah, biji catur musuh tiba duluan, menghantam Un Ji dan
Tong Po-gou. Sepasang mata Ong Siau-sik mulai merah membara, perasaan hatinya serasa tenggelam ke dasar
telaga, dia sudah bersiap siap untuk beradu nyawa dengan Bu-cing.
Saat itulah tiba tiba terjadi satu kejadian, dari tepi jembatan lamat lamat muncul bayangan
punggung seorang lelaki. Selama ini bayangan itu hanya berdiri membungkuk, mirip dua orang lelaki mabuk yang sedang
kedinginan, siapa pun tidak menaruh perhatian kearahnya.
Tapi saat itulah tiba-tiba ia berpaling, tak ada yang bisa melihat wajahnya, dia memakai
selembar saputangan untuk menutupi mukanya, tapi tangan kanannya sudah diayunkan.
Dua batang jarum melesat ke muka, menembusi angkasa.
Kalau orang bilang jarum itu lembut dan enteng, ucapan ini bohong, sebab benda yang enteng
dan lembut tidak akan menimbulkan suara desingan sekeras ini.
Kalau dibilang jarum itu runcing dan tajam, perkataan ini sangat tepat, karena ke dua
batang jarum itu menimbulkan suara desingan tajam yang memekikkan telinga.
Selisih jarak lelaki itu dengan Tong Po-gou dan Un Ji amat dekat, paling tidak jauh lebih
dekat daripada Bu-cing, sementara Bu-cing pun jauh lebih dekat ketimbang Ong Siau-sik.
Karenanya kedua batang jarum itu pasti dapat menghadang kedua biji catur itu lebih dulu,
kemudian bunga salju dari Ong Siau-sik baru menyusul tiba, saling berbenturan satu dengan
lainnya. Ternyata apa yang terjadi tidak demikian, karena disaat itulah dari atas sebatang pohon
bwee yang tumbuh disisi jalan berhamburan putik bunga bagaikan curahan hujan.
Diantaranya terlihat ada dua kuntum bunga bwee yang meluncur amat cepat, menumbuk rontok
jarum itu disaat ujung jarum hampir menyentuh biji catur.
Karena jarum itu terpental, biji catur tetap meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi, Un
Ji maupun Tong Po-gou tetap terancam keselamatan jiwanya.
Bunga salju adalah benda lembek, jarum halus dan tajam sementara bunga bwee lunak, tanpa
kekuatan jari dan tenaga dalam yang luar biasa, siapa pun tak akan mampu melancarkan
serangan dengan kecepatan semacam ini.
Un Ji serta Tong Po-gou tidak menyangka akan terjadi perubahan itu, mereka pun tak mampu
lagi berkelit, tampaknya keselamatan jiwa mereka berada diujung tanduk . . . . . ..
Disaat yang amat kritis itulah, mendadak dari kejauhan terdengar seseorang berteriak keras:
"Jangan!" Bab lB. Salju, Bwee, catur, jarum, panah.
Begitu teriakan itu bergema, dua batang anak panah telah melesat ke udara, muncul dari
balik pepohonan. Tempat dimana jarum terbang itu berasal, boleh dibilang berjarak paling dekat dengan Un Ji
serta Tong Po-gou, tempat dimana sambitan bunga bwee berasal terhitung nomor dua, tapi
kekuatan daya serang bunga bwee itu paling kuat, sehingga dia sanggup mencegat kehadiran
jarum terbang. Biji catur dari balik tandu berjarak agak jauh dari pelepas bunga bwee, sementara posisi
Ong Siau-sik lebih jauh lagi dari Bu-cing, namun jarak yang terjauh adalah tempat dimana
anak panah itu berasal, dia pula orang terakhir yang turun tangan.
Tapi senjata rahasianya ternyata bergerak paling cepat.
Kedua batang anak panah itu secara beruntun berhasil menumbuk diatas catur lalu serentak
menumbuk jarum terbang, sedang jarum terbang itu berhasil menembusi putik bunga bwee.
Bunga bwee, jarum terbang, anak catur, anak panah semuanya tertumbuk pula oleh bunga salju
hingga mencelat sejauh satu meter lebih, "Blaaam!" "Blaaam!" dua ledakan dahsyat
menggelegar di angkasa. Ternyata dalam biji catur itu berisikan obat peledak.
Itu berarti meski Tong Po-gou dan Un Ji berhasil menyambut datangnya serangan itupun,
mereka tetap akan terluka parah oleh ledakan tersebut dan mati dengan tubuh hancur lebur.
Andaikata sambitan kedua batang anak panah itu tidak tepat waktu dan tepat sasaran,
mustahil semua senjata rahasia itu dapat saling bertumbukan jadi satu dan mencelat ke
tempat yang jauh, mustahil pula kedua ledakan tersebut tidak sampai menimbulkan korban.
Dari semua kejadian ini, terbukti sudah bahwa kehebatan senjata rahasia bunga salju, bunga
bwee, biji catur serta jarum terbang sangat luar biasa, tapi kehebatan anak panah itu
justru yang paling mencengangkan.
Sekalipun dilepas paling belakang, namun tiba paling duluan, bahkan bisa mengubah situasi
yang berbahaya menjadi penuh kedamaian, siapakah orang itu?
Ong Siau-sik terperangah.
Suasana pulih kembali dalam keheningan, ditengah jagad raya, hanya suara bunga salju yang
terdengar. Lapis demi lapis salju melintasi keheningan malam, rontok diatas permukaan tanah dan
menimbulkan suara yang sendu.
Dari balik pohon bwee, lamat lamat terdengar suara helaan napas, helaan napas yang lebih
lirih daripada suara salju.
Lewat berapa saat kemudian, orang yang berada dibalik tandu ikut menghela napas, diikuti
tandu itupun bergerak. Perlahan-lahan tandu itu bergerak, meninggalkan tempat itu.
Ong Siau-sik tidak berusaha menghadang, dia tidak berniat melakukan tindakan apapun.
Dia sadar, posisi Tong Po-gou, Un Ji, Cu Siau-yau, Gan Hok-huat, Pui Heng-sau maupun Thio
Tan masih berada dalam radius dan jangkauan orang dalam tandu itu.
Dalam hal ini, Ong Siau-sik tahu dengan jelas, Gan Hok-huat serta Cu Siau-yau pun
mengetahui dengan jelas. Sejak dikejutkan oleh benturan rentetan senjata rahasia tadi, hingga sekarang kesadaran
Thio Tan serta Pui Heng-sau belum pulih kembali.
Sementara Tong Po-gou dan Un Ji dibuat kaget setengah mati hingga berdiri bodoh, mereka
merasa sukma seperti melayang tinggalkan raga.
Tandu itu bergerak semakin menjauh, akhirnya lenyap diujung langit yang dilapisi salju.
Saat itulah Un Ji melompat sambil berteriak:
"Kalian . . . . . .. kenapa kalian membiarkan telur busuk itu kabur dari sini . . . . .."
"Memangnya kau ingin dia tetap tinggal disini untuk menikmati pemandangan alam?" sahut Ong
Siau-sik sambil menarik napas panjang.
"Kau . . . . . .." Un Ji makin sewot.
Tiba tiba Tong Po-gou berteriak keras:
"Mari, kita kejar orang itu . . . . . . . . .."
Tak seorangpun memberi tanggapan, maka sikapnya ikut berubah, katanya lagi:
"Dia tak bakal kabur jauh, suatu hari, aku Tong Po-gou pasti akan memberi pelajaran yang
II setimpal kepadanya..... Ong Siau-sik tidak berkata apa apa, dia hanya berjalan menuju tepi sungai.
Waktu itu si lelaki ditepi jembatan telah pergi, yang tersisa hanya selembar saputangan,
diatas saputangan terdapat sulaman sepasang kucing, sayang sulaman itu belum selesai.
Setelah memungutnya, Ong Siau-sik mendatangi pohon bwee diseberangnya, sebuah pohon bwee
tua. Tentu sudah tak tampak bayangan musuh diatas pohon itu, tapi Ong Siau-sik menemukan
rontokan bunga diatas tanah. Satu, dua, tiga....semuanya berjumlah dua puluh lima kuntum.
Kini pemuda itu dapat menghembuskan napas lega, kesimpulannya, jarum yang dilepas dari tepi
jembatan bermaksud untuk mencegah senjata rahasia dari Bu-cing melukai Tong Po-gou serta Un
Ji, ini berarti dia adalah sahabat, bukan musuh.
Kalau dia adalah sahabat, tentu ia berharap ilmu silat yang dimiliki orang itu tangguh,
semakin lihay semakin menguntungkan pihaknya.
Hanya saja, orang yang menggunakan bunga bwee sebagai senjata rahasia itu berniat
menghalangi jarum lelaki ditepi jembatan untuk menolong orang, berarti dia adalah musuh,
bukan teman. Dari kemampuannya menggunakan bunga bwee sebagai senjata rahasia, bisa
dibayangkan tenaga dalam yang dimiliki orang ini sangat tinggi.
Paling tidak, dia maupun Pek Jau-hui belum sampai memiliki tenaga dalam tingkatan itu.
Musuh semacam ini, bukan saja membuat orang jadi tegang, pun mendatangkan perasaan risau,
untungnya meski orang itu memiliki tenaga dalam yang tinggi, ilmu meringankan tubuhnya
justru tidak seberapa. Terbukti ketika melancarkan serangan tadi, dia sempat merontokkan dua puluh lima kuntum
bunga bwee. Orang itu melancarkan serangan dari atas pohon, sementara saat itu adalah saat bunga bwee
sedang mekar dan mendekati saat rontok, asal terhembus angin, bunga bunga itu segera akan
berguguran. Kini Ong Siau-sik berjalan menuju ke tepi hutan, tempat orang yang melepaskan anak panah.
Orang itu melepaskan anak panah untuk mencegah Bu-cing membunuh Un Ji serta Tong Po-gou,
sudah pasti dia bukan musuh.
Ketika Ong Siau-sik tiba disana, si pelepas senjata rahasia telah pergi.
Ketika tiba di belakang hutan, diatas permukaan salju tersisa dua bekas yang dalam, bekas
dilalui roda kereta, menyaksikan hal ini, pemuda itu tertegun.
Menjumpai pemuda itu celingukan ke sana kemari, tampaknya Un Ji merasa risih, tiba tiba dia


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat ke hadapan Ong Siau-sik dan meraba jidatnya.
Dengan wajah merah karena jengah, Ong Siau-sik berkelit ke samping sambil beringsut mundur.
Kontan saja Un Ji tertawa terbahak bahak teriaknya:
"Hahaha, akhirnya aku dapat melihat."
Pui Heng-sau yang selama ini seia sekata dengan si nona cepat menimpali:
"Apa yang kau lihat?"
" seru "Seorang lelaki yang masih bisa memerah wajahnya, langka, benar benar langka . . . . . ..
Un Ji sambil bertepuk tangan.
"Hmm, apa anehnya?" sela Tong Po-gou jengkel.
"Memang wajahmu bisa memerah? Kalau bisa, coba buktikan kepadaku."
Tong Po-gou segera berjumpalitan dengan kepala dibawah, kaki diatas, tak lama kemudian
dengan muka merah teriaknya:
"Coba kau lihat, bukankah wajahku sudah memerah?"
"Merah kepalamu, tak ubahnya seperti pantat monyet." Sindir si nona.
Mendengar itu, sambil menghela napas ujar Pui Heng-sau:
"Aaai, masa anak perempuan bicara begitu kasar, apa tidak memalukan?"
Sadar kalau sudah kelepasan bicara, sepasang pipi Un Ji seketika berubah jadi semu merah.
"Hahaha, aku sudah melihat, aku pun sudah melihat." Teriak Thio Tan sambil tertawa
terbahak-bahak. "Apa yang kau lihat?" sengaja Pui Heng-sau bertanya.
"Bukan hal yang luar biasa, hanya ada seorang nona yang merah padam pipinya."
"Aah, apa anehnya pipi seorang nona jadi merah? Kalau sampai ada seorang nona yang membuat
pipi seorang lelaki jadi merah padam gara gara diraba pipinya, itu baru luar biasa....."
"Apa kau bilang?" jerit Un Ji sengit, "dasar mulut anjing, bau telur bebek, kapan aku
meraba pipinya?" "Betul, betul, bukan kau yang raba," ucap Pui Heng-sau sambil bergendong tangan, "tadi aku
lihat katak buduk yang meraba."
"Waduh, kalau begitu si batu kerikil pastilah daging angsanya?"
"Dasar kulit babi mampus," kontan saja Un Ji mencaci maki, "kau memang pantasnya masuk bui,
kalau bisa dibui seumur hidup."
"Sudah, sudah, jangan menyumpahi aku dengan perkataan begitu keji." Seru Thio Tan,
"lagipula aku toh tidak meraba wajahnya."
"Melihat dia celingukan seperti orang kebingungan, kusangka dia kena demam tinggi, maka
kuraba jidatnya untuk mencari tahu apakah dia demam atau tidak." Seru Un Ji tidak terima.
"Sudah, jangan ditanggapi lagi," bisik Ong Siau-sik, "mereka hanya menggodamu, semakin kau
membantah, mereka akan semakin menggodamu."
" omel si nona, "coba kalau kau tidak celingukan, aku tak
"Huuh, semuanya gara gara kamu,
sampai difitnah orang."
"Fitnah?" jerit Pui Heng-sau, "walah, satu tuduhan keji yang tak akan bisa bersih walau
sudah mandi delapan kali disungai besar."
Sedangkan Thio Tan sambil menjulurkan lidahnya menimpali:
"Kalau buat aku mah gak masalah, toh dosaku sudah kelewat banyak, ditambah lagi satu dua
kesalahan juga bukan masalah."
Un Ji tidak menanggapi godaan mereka berdua, kepada Ong Siau-sik kembali tanyanya:
"Ah benar, apa yang sedang kau lihat?"
ll "Bukan apa apa, sahut Ong Siau-sik sambil memperlihatkan saputangan itu ke hadapan Un Ji,
gumamnya, "aneh sekali, kenapa seorang lelaki membawa sapu tangan sulaman macam
ini . . . . . . . .."
Belum selesai pembicaraan itu, paras muka Un Ji tampak berubah hebat, sapu tangan itu
membuatnya terperangah, berdiri mematung.
Ong Siau-sik jadi tertarik dengan perubahan itu, tanyanya segera:
"Jadi kau tahu, benda milik siapa ini?"
Sampai lama sekali Un Ji tertegun, kemudian dia baru menggelengkan kepalanya.
"Kau pasti tahu, betul bukan?" desak Thio Tan.
Un Ji mengerling sekejap kearahnya, lalu sambil cemberut sahutnya:
"Aku tidak tahu."
Kemudian dia membalikkan badan dan beranjak pergi.
Melihat sikap si nona, Ong Siau-sik, Thio Tan maupun Pui Heng-sau hanya bisa saling
berpandangan, siapa pun tak tahu apa yang terjadi dengan Un Ji.
Sementara itu Gan Hok-huat serta Cu Siau-yau sedang berbincang dikejauhan, mereka pun tidak
mendengar jelas apa yang dibicarakan orang orang itu.
Tampaknya mereka semua seperti telah melupakan Tong Po-gou, manusia yang suka bikin
keonaran itu, kini ia sedang berdiri dengan wajah hitam pekat bagaikan pantat kuali.
Dalam pada itu, Ong Siau-sik berdiri murung, perasaan hatinya terasa berat, kini, dia sudah
menjajal kepandaian silat dari Bu-cing serta Leng-hiat, dia sadar, bila ingin membunuh
Cukat sianseng, hanya ada tiga hal yang bisa diandalkan:
Kesatu, melancarkan serangan disaat musuh tidak siap dan tidak waspada.
Kedua, mengandalkan usia lawan yang sudah tua dan semakin lemah kondisinya.
Ketiga, mengandalkan nasib dan rejeki.
Jika ditinjau dari situasi tadi, tampaknya tujuan orang didalam tandu itu adalah untuk
mencabut nyawa Tong Po-gou serta Un Ji, tapi ada seorang jago bertenaga dalam tinggi telah
membantu mereka secara diam-diam, mungkinkah orang itu adalah Thiat-jiu, si tangan besi,
salah satu anggota empat opas?
Kemudian, muncul lagi dua orang jago lihay yang membantu dirinya secara diam-diam,
mungkinkah mereka adalah jagoan yang dikirim Coa Thay-su serta Pok siang-ya?
Selama ini, Ong Siau-sik selalu merasa ada orang sedang menguntilnya secara diam diam.
Tapi hingga detik ini, dia tidak menemukan sesosok bayangan manusia pun.
Bersembunyi dimanakah orang itu? Atau dia salah dengar? Atau ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki lawan kelewat canggih?
Tak tahan lagi Ong Siau-sik berkerut kening, bermuram durja.
Bagaimana dengan rencana mereka berikut? Dengan cara apa rencana itu hendak dilaksanakan?
Dapatkah tugas itu diselesaikan dengan lancar dan sukses?
Karena itulah, menggunakan kesempatan disaat Gan Hok-huat sedang berbicara dengan Cu
Siau-yau, secara diamrdiam ia bertanya kepada Un Ji, Tong Po-gou, Thio Tan dan Pui
Heng-sau: "Andaikata terjadi sesuatu dengan diriku, sedang akupun tak dapat meninggalkan kota
Bian-keng, apakah kalian punya cara untuk mencarikan tempat persembunyian yang aman
bagiku?" Mungkin saja ilmu silat yang dimiliki Thio Tan, Un Ji, Pui Heng-sau dan Tong Po-gou tidak
terlampau hebat, kecerdasan dan kemampuannya tidak terlampau tinggi, namun mereka adalah
sahabat yang dapat dipercaya.
Dapat dipercaya seratus persen.
Karena itu ia segera mendapat jawaban.
"Ada!" yang menjawab adalah Thio Tan.
Thio Tan punya cara, dia memang selalu punya akal.
Oo0oo Dengan cepat dia sudah mengajak Ong Siau-sik untuk meninjau ke tempat itu, melihat tempat
persembunyian yang bakal dia gunakan dikemudian hari.
"Tempat persembunyian kecil berada di luar kota, tempat persembunyian besar berada di pusat
perdagangan." Thio Tan mengajak Ong Siau-sik menuju ke tengah kota yang ramai.
Ong Siau-sik memang senang dengan pusat perdagangan, dia anggap wilayah pusat dagang banyak
terdapat pendekar dan orang gagah, bahkan ramai dengan manusia yang berlalu lalang dan
hiruk pikuk suara sendang gurau.
Dia paling benci dengan orang yang tinggal dalam kuil, dibalik gedung megah, menyembunyikan
diri dari pergaulan, dari keramaian.
Thio Tan adalah orang perantauan, orang yang selalu gelandangan dalam dunia persilatan,
akarnya di dunia kangaou sangat dalam dan kuat.
Bila seseorang ingin melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, maka ada satu hal yang
perlu diperhatikan: teman.
Tak punya teman, sulit melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.
Thio Tan punya banyak teman, biarpun usianya belum lanjut, tapi bicara soal teman,
"tingkatan"nya sudah amat tinggi.
Selain itu, diapun terhitung saudara angkat Un Luan, liongtau organisasi Thian-ki yang
paling tersohor waktu itu, tak heran kalau dimanapun ia berada, makan minum selalu
terjamin. Didalam kota Bian-keng, diapun mempunyai banyak teman.
Bagi seseorang yang bersedia jual nyawa demi orang lain, sudah pasti terdapat pula banyak
sahabat yang mau jual nyawa baginya.
Diantaranya terdapat dua orang, yang satu bernama Un Bong-seng, yang lain bernama Hoa
Ku-hoat. Disaat kedua orang ini bekerja sama, mereka pun mempunyai sebuah julukan yakni Hoat-bongji-tong (dua komplotan tukang mimpi).
Kerja sama kedua orang ini tidak kalah pamornya dibandingkan Mi-thian-jit-seng, Kim-hongsi-yu-lou maupun Lak-hun-poan-tong, hanya sayang mereka berdua tak mau hidup berdamai,
sudah hampir sebelas tahun mereka tak mau bersatu.
Thio Tan sendiripun sudah hampir enam tahun tak pernah bersua dengan kedua orang sahabatnya
ini. Bagi kehidupan manusia, enam tahun tidak terhitung panjang, tak bisa pula dibilang pendek,
cukup membuat seseorang melupakan sama sekali orang lain, tapi cukup pula membuat seseorang
sangat merindukan orang yang lain.
Pertama-tama Thio Tan mengajak Ong Siau-sik mengunjungi Hoa Ku-hoat.
Sebelum itu, Ong Siau-sik menyingkirkan Gan Hok-huat dan Cu Siau-yau terlebih dulu, dia
minta Gan Hok-huat menyelidiki satu urusan: apakah selama berapa hari belakangan, Cukat
sianseng telah melakukan koreksi dan perubahan tentang pasal yang mau dirundingkan dalam
istana. Sementara untuk Cu Siau-yau, dia perintahkan gadis ini pergi mencari seseorang, seorang
tukang besi. Tukang besi ini adalah seorang hohan yang pernah dikenal dalam dunia persilatan tempo hari,
dia tidak tahu siapa namanya, pun tidak tahu dia tinggal dimana, bahkan tidak tahu seberapa
tangguh ilmu silat yang dimiliki.
Dia hanya tahu, orang itu adalah seorang hohan.
Baginya, hal semacam ini sudah lebih dari cukup.
Bila ingin berteman, tidak perlu mengetahui banyak tentang dirinya, asal seorang hohan, itu
sudah cukup. Diapun tahu kalau orang itu buka usaha tukang besi di kota Bian-keng.
Asal ada titik terang, mencari tahu keberadaan orang tersebut bukanlah hal yang sulit.
Dia tidak tahu siapa nama orang itu, hanya tahu orang menyebutnya Bi-lek-pat.
Sudah pasti Bi-lek-pat, si peledak delapan adalah sebuah nama julukan.
Biasanya, orang yang luar biasa akan makan minum dengan sejenis kelompok manusia dihari
hari biasa, tapi disaat ada urusan penting yang harus dikerjakan, dia bisa menghubungi
jenis kelompok yang lain.
Apalagi teman teman disamping Ong Siau-sik adalah orang orang yang suka main, suka cari
keonaran, suka makan, malas melakukan apa pun tapi memiliki jiwa pendekar yang luar biasa.
Orang yang luar biasa pasti memiliki sahabat yang luar biasa.
Rombongan manusia yang luar biasa, selalu akan melakukan pekerjaan yang luar biasa pula.
Oo0oo Tampak Hoa Ku-hoat dengan jengkel mencengkeram baju Thio Sun-thay sambil meraung:
"Siapa suruh kau mengundangnya masuk?"
"Buu....bukankah suhu.... kau orang tua . . . . ..?"
"Aku bilang apa?" saking jengkelnya, hampir meledak dada Hoa Ku-hoat, "sejak kapan aku
suruh kau mempersilahkan seorang pelacur masuk kemari?"
"Aku.... aku..... aku . . . . . .." pucat pias wajah Thio Sun-thay saking takutnya, "bukankah kau
orang tua bilang..... bilang . . . . .. semua yang hadir adalah..... adalah tamu
terhormatmu . . . . . . . .."
Untuk sesaat Hoa Ku-hoat jadi terbungkam.
"Aduh makk . . . . . .." terdengar suara merdu bergema dalam ruangan, terlihat bayangan manusia
melintas, seorang nona berbaju hijau yang tinggi semampai, berparas cantik telah muncul
dihadapan semua orang. Dengan sepasang matanya yang indah dan semanis madu, ia menyapu sekejap wajah semua tamu
yang hadir, lalu serunya agak marah:
"Hei ketua Hoa, apa-apaan kamu? Biar lo-nio berkecimpungan di rumah pelacuran, selama hidup
belum pernah menjual orang tua maupun menghianati sahabat, mau jual diripun tidak kau
ijinkan, kedatanganku hari ini khusus untuk menyampaikan selamat kepadamu. Bila kau
menyambut kedatanganku dengan senang hati, berilah secawan arak dulu kepadaku, kalau tidak
suka, selanjutnya, jangan harap kalian yang hadir hari ini bisa melangkah masuk ke dalam
gedungku." Seketika suasana jadi gempar, suara komentar dan teriakan bergema dari sana sini.
"Hoa tua, kau tidak bijaksana, biarpun nona Kwa berasal dari tempat berlumpur, namun dia
tak pernah ternoda, masa kau tidak menganggapnya sebagai tamu?
"Betul Hoa tua, buat apa kau bersikap begitu?"
"Orang toh datang memberi selamat, kenapa kau bikin suasana keramaian ini jadi tak enak?
Cepat undang nona Kwa minum arak."
Terdengar si nenek Hong Put-pat bertanya:
"Apa kerja perempuan ini? Kenapa si setan gentayangan bermarga Hoa tak mau menerima
kedatangannya?" "Dia..... dia adalah . . . . . .." si kakek Tan Put-ting menjawab agak tergagap.
"Adalah apa?" "Itu.....itu . . . . . .."
"Hei, kenapa kau?" bentak Hong Put-pat.
Saking gugupnya, Tan Put-ting menumpahkan arak yang dipegang hingga seluruh pakaiannya
basah. Melihat itu Hong Put-pat jadi semakin gusar, tegurnya lagi:
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku."
"Dia.... dia bekerja sebagai . . . . . . .."
Semua orang tahu, kakek itu rikuh untuk menjawab, tapi siapa pun tahu tabiat serta kungfu
Hong Put-pat, maka tak seorangpun berani maju melerai.
Kwa Siau-ho, si nona berbaju hijau itu sungguh pandai manfaatkan kesempatan, cepat dia
mendekati Hong Put-pat dan berkata:
"Lo-hujin, kami kaum perempuan persilatan memang hidup menderita, mana mungkin bisa hidup
bahagia macam lo-hujin? Lagipula kalau kaum lelaki tidak datang mencari kami, memangnya
kami mau dijadikah kue yang dibagi bagikan secara gratis? Lo-hujin, semua orang
mempermainkan kami, kau musti carikan keadilan buat siau-li."
ll "Oh rupanya begitu, seru Hong Put-pat sambil menggandeng tangan Kwa Siau-ho, "apa salahnya
begitu? Dasar lelaki bau semua. Adik cilik tak perlu takut, aku sudah puluhan tahun memaki
kaum lelaki, hari ini aku akan memaki lagi sampai puas. Akan kulihat, kalau ada yang berani
tidak menyambutmu, itu berarti dia ingin bermusuhan dengan aku Hong Put-pat, akan kusuruh
dia rasakan kelihayan tongkatku."
"Hei," bisik Pui Heng-sau kepada Tong Po-gou, "tahukah kamu, nama senjata andalannya nyaris
lebih panjang daripada nama gelarmu."
Terlihat si nenek dengan tongkatnya yang punya bobot paling tidak seratus lima puluh kati,
sedang menuding kearah Hoa Ku-hoat sambil berteriak:
"Hei pentolan Hoa, hari ini kau ingin jadi kakek berumur panjang atau ingin secepatnya jadi
setan tua? Bilang saja, aku Hong Put-pat pasti akan melayani keinginanmu."
Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa.
Belum pernah Hong Put-pat dipermalukan seperti ini, kontan matanya jadi hijau berkilat,
sambil menghantamkan ujung tongkatnya keatas lantai, jeritnya lengking:
"Siapa yang sedang tertawa?"
Waktu itu, para tamu berusaha tersenyum setelah menyaksikan Tan Put-ting dibikin serba
salah dan Hoa Ku-hoat dibuat kehilangan pamor.
Tapi begitu melihat Hong Put-pat mulai sewot, senyuman diwajah mereka pun kontan membeku,
suasana jadi hening sepi. Mereka tahu, bila nenek itu sudah menunjukkan sinar mata
hijaunya, itu berarti dia sedang mengumbar kebiasaannya.
Kesatu, dia suka mengumbar amarah terhadap Tan Put-ting. Kedua dia pasti sudah bertekad
melindungi si nona kecil dan ketiga, bila matanya sudah bersinar hijau, itu berarti setiap
saat dia bakal turun tangan.
Kebetulan sekali Hoa Ku-hoat mempunyai seorang murid yang tak becus, dia berasal dari
keluarga Coa dan disebut orang si pengejar kucing, julukan itu bermaksud menyindir
kemampuan silatnya yang tak becus, ogah berlatih silat tapi selalu andalkan kungfu kucing
kaki tiganya untuk mempermainkan tikus.
Begitu tak mampunya orang ini, konon menghadapi seekor anjing pun merupakan pekerjaan yang
sulit baginya. Kini, sewaktu melihat gurunya, Hoa Ku-hoat yang dihari biasa selalu berwibawa dan
menakutkan, ternyata dibikin gelagapan oleh ulah si nenek pendek itu, dia jadi geli hingga
tak kuasa lagi untuk tertawa.
Padahal tak seorangun yang berani tertawa disaat seperti itu, hanya dia seorang yang
memperlihatkan senyuman diwajah.
Kontan saja perhatian semua orang dialihkan ke wajahnya.
Berapa orang kakak seperguruannya yang berada disamping dia jadi kuatir ikut kena getah,
seperti si selamat sepanjang keturunan Liong To-cu, si pedang delapan depa Liok Ngo-soat,
si jago golok pembelah bukit Gin Seng-soat, serentak ikut menengok kearah wajahnya.
Tindakan mereka sama artinya sedang berseru: dia, dia yang tertawa, bukan aku . . . . . . . ..
"Aku?" Coa Tui-yao menuding hidung sendiri sambil menegaskan.
Dengan anggukan berat, semua yang berada disekelilingnya menganggukkan kepala.
Hong Put-pat makin sewot, begitu dia marah, sinar matanya makin hijau, hijau menakutkan,
hijau menggidikkan hati.

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coa Tui-yao berteriak menyangkal, jeritnya sambil goyangkan tangan berulang kali:
"Tidak, tidak ada urusan denganku, bukan aku, bukan aku . . . . . . .."
Belum lagi Hong Put-pat melancarkan serangan, tiba tiba terdengar seseorang berkata dengan
nada yang halus, lembut dan menawan:
"Tentu saja bukan dia."
Begitu Hong Put-pat berpaling, dia pun menyaksikan selembar wajah yang begitu cantik
menawan, telah muncul dihadapannya.
Siapa dia? Tentu saja gadis itu adalah Un Ji.
Padahal selama ini Pui Heng-sau sudah berusaha menarik ujung baju Un Ji, minta si nona
jangan buka suara, apalagi memberikan pengakuan.
Ia sudah merasa kalau nenek itu tidak gampang untuk dihadapi, perempuan tua itu kelewat
kosen, kelewat hebat. Sayang Un Ji tak ambil peduli, gadis ini enggan menuruti keinginan rekannya.
Baginya, ia merasa memang dialah yang sudah tertawa, setelah berani berbuat, mengapa tak
berani mengakui? Karena itu secara blak blakan dan terus terang dia mengakui:
"Tadi, akulah yang tertawa, bukan dia."
Begitu tahu lawannya hanya seorang nona cilik, hawa amarah Hong Put-pat seketika reda
setengahnya, dengan suara yang lebih ramah dia bertanya:
"Nona cilik, apa yang kau tertawakan?"
"Aku tertawa karena kau nampak keren, penuh wibawah," sahut Un Ji tertawa, "coba lihat,
begitu banyak orang yang hadir disini, ternyata tak satupun berani bersuara."
Hong Put-pat jadi kegirangan, sambil tertawa lebih lembut, katanya:
"Nona cilik, aku bukan orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, nanti kita harus cari
tempat untuk berbincang, hmm, selama ada aku, akan kulihat lelaki busuk mana yang berani
mengganggumu." Kontan Un Ji bertepuk tangan sambil tertawa cekikikan, serunya sambil sengaja melirik
kearah Ong Siau-sik: "Bagus, bagus sekali, kalau ada yang berani menggangguku, nenek harus membantuku untuk
menggampar mulutnya."
Sewaktu melihat Hong Put-pat melotot sekejap kearahnya, seketika Ong Siau-sik merasa
bibirnya seakan jadi panas dan pedas, seolah olah baru saja ditempeleng satu kali olehnya,
hatinya jadi gundah dan tak karuan rasanya, terpaksa kepada Thio Tan bisiknya:
"Jadi kedua orang ini yang disebut orang persilatan sebagai Put-ting-put-pat, suami istri
yang si suami takut bini, sedang si bini galaknya seperti anjing betina baru melahirkan?"
"Betul, memang mereka berdua." Jawab Thio Tan sambil menjulurkan lidahnya, "sepasang
manusia ini paling susah untuk dihadapi.
"Mereka berdua sesungguhnya adalah saudara seperguruan, sebagai kakak seperguruan, tentu
saja yang lelaki selalu mengalah kepada sumoay nya . . . . . . .."
"Tak heran kalau . . . . . . . . .."
seperti baru memahami, Ong Siau-sik manggut manggut dan tidak
melanjutkan lagi perkataannya.
Hong Put-pat yang sedang berbincang dengan Un Ji, tiba tiba membentak dengan suaranya yang
keras bagai geledek: "Hei setan muka hitam, apa maksudmu menjulurkan lidah sambil menengok aku?"
Thio Tan terperanjat, buru-buru dia soja sambil menjawab:
"Guruku Thian-ki tayhiap Thio Sam-pa sengaja minta boanpwee untuk menyampaikan salam untuk
locianpwee berdua." "Oh, rupanya kau murid Thio Thian-ki," kata Hong Put-pat sambil menggut-manggut, "hmm, dia
termasuk angkatan tua, jadi tak perlu sungkan sungkan. Masih mending kau memberi hormat
kepadaku, buat apa musti soja pula kepada si tua bangka tak mampus?"
Yang dia maksud sebagai "si tua bangka tak mampus" tak lain adalah suaminya, Tan Put-ting.
Tampak Tan Put-ting dengan mata berkedip balas memberi hormat dan menyahut:
"Oh, rupanya kau adalah murid Thio Sam-pa, rupanya kau adalah murid dari kakakku, maaf,
maaf . . . . . . .. Hong Put-pat tidak senang melihat ulah suaminya, tak suka Tan Put-ting ikut menimbrung,
segera bentaknya: "Kenapa kau tidak cepat mengeringkan pakaianmu?"
Rupanya setelah baju Tan Put-ting terguyur arak hingga basah tadi, sebelum mendapat
perintah dari istrinya, mana berani dia membersihkan pakaiannya yang basah itu?
Tapi dengan tenaga dalamnya yang sempurna, diam diam ia sudah membuat bajunya yang basah
jadi kering kembali. Tapi sekarang, setelah dibentak Hong Put-pat, dia malah dibikin gelagapan, karena tak tahu
musti berbuat apa. Dalam pada itu Hong Put-pat telah berpaling kearah Hoa Ku-hoat sambil menegur:
"Hei, kenapa kau tidak mempersilahkan nona cilik ini untuk masuk?"
Kemudian kembali dia bergumam:
"Aah, tidak bener, kenapa hari ini secara beruntun aku bertemu dua orang nona cilik yang
sama? Yang ini nona cilik, yang itupun nona cilik, aaai... bikin aku bingung saja."
Buru buru nona yang pertama memperkenalkan diri:
"Aku bermarga Kwa, bernama Siau-ho."
Sedang Un Ji pun cepat memperkenalkan diri:
"Aku bernama Un Ji!"
Kwa Siau-ho segera maju menghampiri, menggenggam tangan Un Ji sambil menyapa:
"Adikku, baik baikkah kau."
"Cici . . . . . . .." sahut Un Ji sambil tertawa, "aku masih punya seorang cici lain, jadi kusebut
kau Ji-ci saja." Melihat kepolosan gadis itu, Kwa Siau-ho merasa sangat girang, belum sempat mengucapkan
sesuatu, terlihat Hong Put-pat sudah menegur Hoa Ku-hoat.
Tampak Hoa Ku-hoat menyahut sambil tertawa paksa:
"Siapa bilang aku melarang nona Kwa masuk . . . . . .. lagian, bukankah dia sudah masuk?"
Tampaknya Hong Put-pat masih tak puas dengan jawaban Hoa Ku-hoat, kembali serunya:
"Kalau begitu, kenapa kau masih memegangi terus murid kesayanganmu itu?"
Sekarang Hoa Ku-hoat baru sadar kalau dia masih memegangi lengan Thio Sun-thay, paham kalau
nenek pendek ini susah dihadapi, terpaksa dia menahan diri dengan melampiaskan rasa
dongkolnya ke tubuh Thio Sun-thay, omelnya:
"Semua ini gara gara kau, hm, aku masih memegangi dirimu karena ingin bertanya: kenapa kau
begitu hapal dengan tempat seperti rumah pelesiran itu? Kenapa kau langsung bisa menyebut
asal tempat itu?" Belum sempat Thio Sun-thay menjawab, kakek bersanggul tinggi itu sudah mendengus sambil
mengejek: "Darimana kau tahu kalau nama yang disebut bukan nama hidangan? Kau sendiripun langsung
mengenali tempat itu, huh, itu menandakan kalau kalian guru dan murid memang barang
berkwalitas sama . . . . . .."
Sebetulnya Hoa Ku-hoat ingin mengumbar amarahnya, namun setelah tahu kalau sang pembicara
adalah Kan-gou-cun-cia (sang rasul penuntun kerbo) yang jauh lebih susah dihadapi ketimbang
Hong Put-pat, diapun berpikir:
"Lebih baik aku menahan diri dihari baik sekarang, kalau ingin mengumbar amarah, kenapa
tidak pilih dihari lain?"
Terpaksa dia telan habis semua rasa mendongkol dan marahnya.
Tan Put-ting yang sok pintar segera menimpali dengan suara keras:
"Keliru, keliru, yang benar taman Lau-hiang-wan, loteng Khong-ciok-lo, gedung Siau-siong,
u sektor See-ciok, kamar Mao nomor lima. Dia keliru, keliru besar . . . . ..
Belum selesai pembicaraan itu, semua hadir sudah tertawa terbahak bahak.
Dalam waktu singkat, orang tua ini segera menemukan kalau sinar hijau yang terpancar dari
balik mata bininya, Hong Put-pat sedang melotot kearahnya tanpa berkedip, seperti seekor
lalat yang menempel lekat diatas seonggok tahi anjing.
Sekarang Tan Put-teng baru sadar kalau dia telah melakukan kesalahan besar.
Agaknya Hoa Ku-hoat tak ingin Tan Put-ting mendapat malu didepan umum, cepat dia alihkan
pokok pembicaraan: "Berapa orang ini adalah . . . . . . .."
Dia tahu meski Thio Tan masih muda, posisinya dalam dunia persilatan tidak tinggi, namun
semua orang tak berani membuat kesalahan dengan malaikat berwajah hitam ini.
"Boleh tahu siapa nama sahabatmu itu?" kembali dia bertanya.
Baru saja Thio Tan akan memperkenalkan teman temannya, mendadak terdengar seseorang
berteriak dengan suara sekeras guntur:
"Betul sekali, aku bermarga Ko bernama Tay-ming."
Bab 20. Peti mati, lagi-lagi bertemu peti mati.
"Delapan raja langit" telah datang.
Dialah Delapan raja langit Ko Tay-ming.
Yang dimaksud delapan raja langit itu bukan delapan orang, melainkan hanya satu orang.
Orang yang muncul dihadapan mereka sekarang jauh lebih tinggi, jauh lebih kekar, jauh lebih
berwibawa dan keren daripada Tong Po-gou.
Dan orang inilah yang disebut Delapan raja langit Ko Tay-ming.
Dalam sekilas pandang, Tong Po-gou sudah berpendapat bahwa orang ini sangat tidak serasi
dan tak sedap dipandang. "Coba kau lihat gayanya," ujar Tong Po-gou tanpa malu malu, "orang semacam ini, biasanya
hidup makmur dan anggota badannya sangat berkembang tapi justru termasuk manusia dengan
otak sederhana." Pui Heng-sau merasa sangat sependapat, katanya pula:
"Tak heran setelah memperhatikan orang ini berulang kali, aku merasa dia seakan pernah
kujumpai disuatu tempat, ternyata dia memang delapan puluh persen mirip dengan dirimu."
Mendengar perkataan ini, Tong Po-gou jadi mendongkol, belum sempat meradang, terdengar Thio
Tan telah berkata: "Tahukah kau, delapan kelebihan apa yang dimiliki orang ini?"
"Dia?" sahut Tong Po-gou mendongkol, "kepalanya lebih gede dari buah kelapa."
"Hahaha, betul, betul sekali," seru Thio Tan sambil bertepuk tangan, "dia memang memiliki
batok kepala yang jauh lebih besar dari batok kepala siapapun, bahkan jauh lebih keras dari
besi, jika bertarung melawan orang ini, hati-hati jangan sampai diterjang ilmu batok kepala
bajanya." "Aneh," kata Pui Heng-sau keheranan, "orang bilang, mereka yang berlatih ilmu kepala besi,
rambutnya pasti pada rontok, kalau bukan gundul, pasti botak, kenapa rambut orang ini hitam
pekat?" "Dia?" saking gelinya, hampir saja Thio Tan menggigit telinga rekannya, "dia mengenakan
rambut palsu." "Rambut palsu?"
"Betul, dia sendiri yang melekatkan rambut palsu itu diatas kepalanya."
"Tak tahu malu!" umpat Tong Po-gou, dia semakin pandang hina orang ini.
"Masa mengenakan rambut palsu juga disebut tak tahu malu?" ujar Thio Tan sambil tertawa,
"bukankah jaman dulu pun banyak sastrawan dan pembesar kenamaan yang gemar mengenakan
II rambut palsu, jenggot palsu, kumis palsu . . . . ..
"Lalu apa ke tujuh macam kelebihan lainnya?" tanya Un Ji mulai tertarik.
"Dia? Hidungnya besar, kepalannya besar, mulutnya besar, namanya besar, nasibnya besar,
telapak kakinya besar, satu lagi..... kurang leluasa untuk dikatakan. Pokoknya, jangan
pandang enteng ke delapan kelebihannya itu, dia betul betul memiliki kungfu yang sangat
tangguh." Un Ji tidak terima, dia segera menarik lengan rekannya sambil merengek:
"Yang satu lagi apa? Cepat beritahu kepadaku."
"Beri tahu kau? Jangan bergurau, tidak bisa, tidak bisa....."
"Aku duga nyalinya yang besar." Sela Pui Heng-sau sok pintar.
"Kepala benjutmu!" seru Thio Tan tertawa geli, "nyali orang ini justru kecil sekali."
"Haah, orang sebesar ini justru bernyali kecil?"
Sekarang Tong Po-gou baru mulai menaruh rasa sedikit "
simpatik" terhadap Pat-toa-thian-ong,
pikirnya: "Punya wajah yang angker, perawakan tubuh yang kekar, semuanya bukan hal aneh, apalagi
tidak banyak orang yang memiliki moral dan tabiat baik."
"Tepat sekali," Pui Heng-sau manggut-manggut, "orang semacam kau maupun Ko Toa-ming memang
sering beda barang beda kwalitas."
"Apa maksudmu?" teriak Tong Po-gou sewot, belum sempat mengumbar amarah, suara gaduh telah
memotong perkataannya. Mula mula dia sangka suara kegaduhan itu berasal dari irama musik, pikirnya:
"Wah, tampaknya si tua bangka ini ingin menyelenggarakan pesta ulang tahunnya semegah dan
sehebat mungkin." Dalam pada itu Pat-toa-thian-ong sedang menyampaikan selamat kepada Hoa Ku-huat sambil
berkata: "Darimana kau undang pemain musik itu? Irama lagunya hebat dan istimewa....."
Waktu itu Hoa Ku-huat sedang tertawa lebar, tapi begitu mendengar pertanyaan tersebut, dia
jadi tertegun. "Lho? Jadi bukan kau yang undang pemain musik itu untuk meramaikan acaraku?"
"Aku?" Pat-toa-thian-ong tertawa lebar,"mana mungkin aku punya kemampuan untuk berbuat
begitu?" "Jangan jangan ulah istrimu, niat baik It-yap-lan-tong (selembar daun anggrek) lihiap?"
"Maksudmu Keng-ciu?" gelak tertawa Pat-toa-thian-ong ternyata mirip sekali dengan tertawa
Tong Po-gou, "urusan rumah tangga saja ogah diurus, saban hari Cuma tahu main judi, jangan
lagi mengurusi urusan macam begini, aku sendiripun sudah belasan hari tidak bertemu
dengannya." Semenatara itu suara irama musik sudah semakin mendekat, bila didengar dengan seksama,
suara itu memang sedikit tidak beres.
Irama lagu yang dibawakan begitu memelas, begitu memedihkan, seakan suara jeritan sukma
penasaran yang ingin terlepas dari siksaan, nadanya begitu memedihkan hati, nyaris tidak
mencerminkan suasana gembira.
Sementara itu terlihat Thio Sun-thay telah lari masuk dengan napas tersengkal dan wajah
panik. Hoa Ku-huat tidak ingin reaksinya bikin kalut suasana kegembiraaan, begitu ambil kemantapan
dihati, dia tangkap tangan muridnya seraya bertanya:
"Apa yang terjadi?"
"koan..... Koan..... koan..... koan . . . . . . .." bisik Thio Sun-thay tergagap, napasnya makin
memburu. Hoa Ku-hoat mengernyitkan dahi, berusaha mengendalikan gejolak emosi, tegasnya:
"Maksudmu kita kedatangan koan-ca (petugas hukum)?"
"Bukan petugas yang datang," Thio Sun-thay menggoyangkan kepalanya berulang kali, "tapi
Koan-cai (peti mati), ada orang menghantar sebuah peti mati sebagai kado ulang tahunmu."
Sebuah peti mati berwarna hitam, diatasnya tertuliskan nama Hoa Ku-hoat, bahkan dilengkapi
"patung anak berbakti" yang membawakan papan leng-wi atas namanya.
Padahal Hoa Ku-hoat adalah seorang yang percaya tahayul, hari ini adalah hari ulang
tahunnya, sudah jelas hadiah semacam ini merupakan satu kesialan besar.
Karena gusar bercampur mendongkol, nyaris dia menerjang keluar dengan kecepatan luar biasa,
mengobrak abrik rombongan pemain musik, membekuk berapa orang itu sambil menginterogasi:
"Kenapa kalian berbuat begini terhadapku?"
"Ada orang memberi uang kepada kami dan minta menghantar peti mati ini kemari, ampun toaya,
ll kami tidak tahu apa apa . . . . . ..
"Siapa yang memberi uang kepadamu?"
"Seorang toaya berjubah merah darah . . . . .. dia hadiahkan tiga tahil perak kepadaku, minta
aku jadi anak baktimu."
"Dia?" mendengar sampai disini, sambil berdiri didepan pintu rumahnya, Hoa Ku-hoat mengepal
kencang tinjunya. Sewaktu mendengar ada orang menghantar sebuah peti mati, Ong Siau-sik tampak tertegun, tapi
bersama rekan rekannya, ia segera menyusul keluar gedung, hatinya semakin tercengang
bercampur tak mengerti ketika dilihatnya peti mati itu terbuat dari kayu berkualitas
tinggi. "Sstt..... peti mati," bisik Thio Tan sambil menghembuskan napas panjang, "lagi-lagi
bertemu peti mati . . . . . . .."
"Seandainya Lui Sun belum mati . . . . . .." kata Tong Po-gou pula sangsi, "sudah pasti . . . . . . . .."
Munculnya peristiwa ini seketika membuat orang jadi panik, paras muka para tamu pun banyak
yang ikut berubah. Bagaimana pun juga, Lui Sun masih terhitung lotoa dari golongan hitam, lotoa diantara lotoa
lain. Dalam situasi seperti inilah tiba tiba Pat-toa-thian-ong mendongakkan kepalanya sambil
menguap. Suaranya sangat keras, ibarat binatang buas yang sedang meraung, lagi lagi membuat semua
hadirin terperanjat. Bahkan termasuk Un-ji pun ikut terperanjat.
Sambil mengurut dada sendiri, omel gadis itu:
"Busettl Baru menguap, suaranya sudah begitu keras seperti suara guntur membelah bumi,
kalau sampai bersin, bukankah batang pohon pun bakal terbelah dua? Bikin jantung orang deg
degan saja..." Apa mau dikata, saat itu pula dia ikut bersih berulang kali, sayang suaranya begitu kecil
sampai nyamuk pun tak bakal takut karena suara bersih nya, mengenaskan sekali.
Pat-toa-thian-ong yang berdiri tak jauh darinya kontan berkomentar:
"Aduh, kasihan benar, dasar orang lemah, sampai waktu bersinpun, bulu hidung tak ikut
menggetar." "Apa kau bilang?' teriak Un-ji gusar, matanya melotot besar.
"Aku bilang, aku sedang flu....." Pat-toa-thian-ong tidak menanggapi, dia seakan sedang
bergumam sendiri. Pui Heng-sau yang mengamati dari samping kembali berbisik:
"Mirip, mirip sekali . . . . .. tapi ada satu yang tak mirip."


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mirip apa?" tanya Tong Po-gou keheranan.
"Waktu bicara, coba lihat gaya dan mimik mukanya mirip kau, sudah pasti dia adalah saudara
kembarmu yang berpisah sejak keluar dari rahim ibumu," kata Pui Heng-sau dengan alis
berkernyit, "tapi ada satu hal kurang mirip."
Sebenarnya Tong Po-gou sudah siap berang, tapi mendengar itu dia kembali bertanya:
"Bagian yang mana?"
"Kau takut dengan Un-ji, sedang dia tidak."
Tong Po-gou betul-betul dibikin geram, belum sempat sewot, mendadak terdengar seseorang
telah berteriak nyaring. "Un Bong-seng," dari luar gedung, Hoa Ku-hoat menuding sambil marah-marah, "kau si bajingan
tengik, benar-benar jahat hatimu, sudah tahu hari ini ulang tahunku, kenapa kau sengaja
melanggar pantanganku?"
Hampir semua orang beranggapan, gurauan dari Un Bong-seng sudah keterlaluan, biarpun mereka
bersahabat karib, tidak sepantasnya membuat ulah terhadap sobat puluhan tahunnya dengan
gurauan semacam ini. "Hei orang she-Un, kau tidak ganteng, tidak becus, manusia tak ada gunanya, aku bermarga
Hoa tidak mengusikmu, kenapa kau berulang kali membuat ulah disini? Bagus, lihat saja
besok, jangan sebut namaku kalau aku tidak gedor rumahmu dan mengawini menantumu...."
Belum lagi makian itu habis disampaikan, "Kraaak!" dari arah peti mati sudah terdengar
suara orang menggebrak tanah, seseorang berambut putih berbaju merah sudah berteriak sambil
tertawa keras: "Manusia bermarga Hoa, buat apa kau berkoar koar disini macam gelandangan jalanan? Menurut
putriku, tahun lalu kau pernah perintahkan orang untuk menelanjangi anak gadisku hingga dia
bersembunyi malu dalam tandunya, gara gara itu, jam baik perkawinannya sampai terlewatkan,
aku mau tahu, apa maksudmu berbuat begitu?"
Hoa Ku-hoat moncongkan mulutnya sambil bersin berapa kali, sahutnya:
"Masih untung aku sudah memberi muka kepadamu dengan tidak bertindak kelewatan, menantumu
pun tidak sampai kehilangan muka. Siapa suruh kau suruh Gou Cuncu menempelkan gambar tiga
ekor kura kura dipunggungku ketika aku menyambangi Cukat sianseng, aku mau tahu, apa pula
maksud gurauanmu itu?"
"Hahaha, hal ini musti ditanyakan dirimu sendiri, " Un Bong-seng tertawa keras, "siapa
suruh kau sengaja menginjak sepatu baruku ketika aku sembahyang di kuil Cing-gou-kiong
tahun lalu." "Dasar munafik," Hoa Ku-hoat mendepakkan kakinya mengumpat, "kan kau duluan yang membasahi
jubahku dengan air teh panas."
"Apa? Kau maki aku munafik?" sambil menuding ke ujung hidung sendiri, Un Bong-seng berkoar,
"apa kau lupa, justru kau yang melepas kentut duluan di wajahku!"
"Kentutmu sendiri . . . . . . . .. paras muka Hoa Ku-hoat sudah hijau membesi lantaran sewot.
"Kalau aku pelit, tidak bakalan kusumbang hadiah besar untukmu hari ini." Kata Un
Bong-seng. "Hadiah besar?" amarah Hoa Ku-hoat sudah tak terlukiskan lagi, "memberi hadiah peti mati di
hari ulang tahunku, hadiah macam apa itu?"
"Dasar buta matamu,"maki Un Bong-seng sambil menuding kearah peti mati, "benda sebesar ini
memangnya bukan hadiah besar?"
"Hmm, kalau punya nyali, jangan cari masalah dulu dirumahku." Teriak Hoa Ku-hoat, tiba tiba
matanya terhenti ditubuh seorang lelaki yang berbaring dalam peti matinya, lebih tepat
kalau dibilang matanya tersedot oleh sejilid kitab kumal yang tergeletak diatas dada lelaki
itu. Kontan, seketika itu juga ia tak sanggup melanjutkan kata caci makinya.
"Huh, siapa kesudian berkunjung ke rumahmu," Un Bong-seng masih mendongkol sekali, "coba
kalau bukan gara gara aku berhasil membekuk Tio Thian-yong, murid durhaka mu yang sudah
bawa kabur kitab pusaka It-yap-pit-kip keluargamu, biar kau sujud berulang kalipun, tak
bakal aku sudi mampir ke sini."
Kali ini giliran Hoa Ku-hoat yang tak sanggup bicara.
Tio Thian-yong yang dijuluki orang tujuh puluh dua tangan sakti adalah murid ke empatnya,
sayang orang ini bermoral bejad, bukan saja gemar main pipin licin, bahkan sudah menjadi
seorang jay-hoa-cat kenamaan dan membuat keonaran dimana-mana.
Biarpun Hoa Ku-hoat termasuk orang yang suka membela orang sendiri, namun diapun terhitung
orang yang membenci segala kebejadan, kontan diturunkan perintah untuk membekuk murid
durhaka itu dan diserahkan ke pihak pengadilan.
Siapa sangka Tio Thian-yong turun tangan lebih duluan dengan membawa kabur kitab pusaka
It-yap-pit-kip milik Hoa Ku-hoat.
Dalam keadaan begini, terpaksa Hoa Ku-hoat minta tolong rekan-rekan dunia persilatan untuk
bantu membekuknya. Diluar dugaan, ternyata Un Bong-seng berhasil membekuk dan mengirimnya balik.
Dalam posisi begini, Hoa Ku-hoat jadi mati kutu, tapi dia termasuk orang bergengsi tinggi,
apalagi dihadapan orang banyak, dia enggan mengaku kalah, terpaksa serunya:
"Sekalipun kau berhasil membekuk bajingan telur busuk itu, tidak semestinya dimasukkan ke
dalam peti mati." "Dia justru menyaru jadi anak yang sedang berkabung dengan pura pura menghantar layon
keluar kota untuk kabur dari Bian-keng, karena itu begitu berhasil dibekuk, aku langsung
totok jalan darahnya, masukkan ke dalam peti mati dan langsung menghantar kemari. Kenapa?
Kau sudah kerahkan begitu banyak orang untuk membekuknya tanpa hasil, sekarang kau merasa
malu, kehilangan muka karena aku berhasil menangkapnya secara mudah?"
Ucapan ini seketika membuat Hoa Ku-hoat kehilangan muka, tampaknya kedua orang ini segera
akan bentrok kembali. Betul saja, dengan suara kasar teriak Hoa Ku-hoat:
"Baik jelek, dia adalah muridku, biarpun melakukan kesalahan besar, itu tanggung jawabku,
siapa suruh kau ikut campur? Hmmm, aku memang sengaja membiarkan dia kabur, tapi sekarang,
kau si tua bangka justru menganiaya yang muda, bukan tidak merasa malu bahkan seolah olah
bangga sekali, sebetulnya apa niatanmu?"
"Kurangajar, sialan, rupanya kau memang sengaja mencari masalah dengan aku?" koar Un
Bong-seng sewot, "bagus, kalau begitu katakan, cepat katakan, apa niatku?"
"Ilmu silatmu . . . . .. ilmu silatmu sudah mencapai dasar sumur . . . . . .."ketika melirik buku
kumal dalam peti mati, satu ingatan melintas dalam benak Hoa Ku-hoat, lanjutnya:
"Memang kau sangka aku tak tahu kalau sudah lama kau incar kitab pusaka ku? Siapa tahu
justru kaulah dalang yang suruh dia berbuat begitu."
"Kau..... kau.... kau . . . . . .." hawa amarah Un Bong-sen sudah mencapai ke ubun-ubun, mendadak
dia seperti tersadar, tujuan kedatangannya hari ini adalah untuk bikin mendongkol Hoa
Ku-hoat, bukan sebaliknya, seketika dia menahan diri dan tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, aku tahu, aku sudah tahu . . . . .."
"Kau tahu apa? Tahu soal kentut." Seru Hoa Ku-hoat.
Un Bong-seng tidak menanggapi, dia Cuma tersenyum tanpa menjawab.
Tak kuasa menahan diri, kembali Hoa Ku-hoat mendesak:
"Apa yang kau ketahui?"
"Tidak aneh, tidak mengherankan, dulu aku kurang tahu kenapa muridmu bisa jadi jay-hoa-cat
yang dikutuk setiap orang, hahaha, ternyata si murid meniru gurunya, jadi..... tidak bisa
salahkan dia." "Sialan? Kau jangan menfitnah." Jeritan Hoa Ku-hoat sudah tidak mirip teriakan manusia.
"Hehehe, aku tidak menfitnah, bukankah tadi kau mengaku sendiri kalau sengaja membebaskan
Tio Thian-yong? Kalau bukan sekomplotan, kenapa kau bukannya menghukum berat, justru
membiarkan murid murtad itu pergi?"
Selesai bicara, lagi lagi dia tertawa tergelak.
Hoa Ku-hoat tak mau kalah, lagi lagi serunya:
"Aku mengerti, sudah lama kau berusaha dengan segala tipu daya untuk mendapatkan kitab
pusaka ku, padahal, asal mau buka suara saja, masa dengan hubungan kita berdua, kitab itu
tidak kupinjamkan kepadamu?"
"Hmm, siapa kesudian dengan kitab kumal mu itu, jangan lagi diintip isinya, dibuka
lembaranpun tidak." "Hehehe.... siapa tahu."
"Aku tak sudi mempelajari ilmu kucing pincang kaki tiga mu itu."
"Hati manusia siapa tahu?"
Dengan satu cengkeraman, Un Bong-seng menarik bangun Tio Thian-yong yang tergeletak dalam
peti mati, serunya gusar:
"Kalau tidak percaya, tanya saja dengan murid kesayanganmu ini."
Seraya bicara, dia totok bebas jalan darah ditubuh Tio Thian-yong, lalu hardiknya:
"Cepat katakan, apakah aku pernah sentuh buku kumal itu?"
Tio Thian-yong meringis kesakitan, tentu dia tak berani mengatakan "pernah", karena saat
ini nyawanya berada dalam cengkeraman Un Bong-seng.
Tapi ketika memandang wajah gurunya yang penuh amarah, dia pun tak berani mengatakan "tak
pernah", biar Un Bong-seng bakal membebaskan dirinya pun, bukan berarti dia bisa hidup
tenang. Kini, Hoa Ku-hoat seolah sudah melupakan segala tata krama, berulang kali dia mengerdipkan
mata minta muridnya menuduh Un Bong-seng telah mencuri lihat kitab pusaka It-yap-pit-kip.
Melihat Tio Thian-yong belum juga menunjukkan reaksinya, setelah mendeham segera teriaknya:
"Hei, kelihatannya kau jadi goblok, pikun, bukankah selama ini manusia bermarga Un itu
selalu licik, kemaruk dan gara gara ingin mendapatkan kitab pusaka ini, dia telah
menjerumuskan dirimu? Sekarang ada aku, kenapa kau tak berni memberi kesaksian? Memangnya
kau sudah melupakan nasehatku diwaktu waktu lalu?"
Tak disangkal, perkataan itu seakan telah menjelaskan kepada Tio Thian-yong, asal dia mau
menuduh Un Bong-seng mencuri kitab, besar kemungkinan dia bisa kembali bergabung ke dalam
perguruan, sementara semua kelakuan bejadnya belum tentu akan diusut hingga tuntas.
Tio Thian-yong jadi nekad, pikirnya:
"Bagaimana pun, wilayah ini merupakan daerah kekuasaan guruku, biar aku menfitnahnya,
memang ia benar benar berani membunuhku?"
Maka dengan suara keras teriaknya:
"Harap suhu tahu dengan jelas, Un supek lah yang telah menyuruh aku mencuri kitab pusaka
milikmu, dia minta tecu melakukan perbuatan bejad ini agar bisa merusak nama baik suhu,
tecu . . . . .. tecu tak mampu menandingi kehebatannya, jadi terpaksa kulakukan demi selamatkan
ll hidup . . . . . . . . . ..
Begitu perkataan tersebut disampaikan, suasana dalam gedung jadi sepi, hening sekali, semua
orang menanti dengan tegang apa reaksi dari Un Bong-seng.
Tuduhan ini bisa berakibat kecil, bisa pula berakibat besar. Yang kecil adalah tiada orang
yang mau percaya dengan tuduhan tersebut, tapi bisa juga membuat Un Bong-seng terlempar
keluar dari peredaran dunia persilatan.
Sebagaimana diketahui, orang persilatan mengutamakan setia kawan dan kejujuran, andaikat Un
Bong-seng benar benar berbuat demikian, kemungkinan besar umat persilatan baik dari
golongan putih maupun dari golongan hitam, tak dapat mengampuni perbuatannya.
Hoa Ku-hoat mulai tertawa licik, tertawa penuh kebanggaan, dia sangka kemenangan berada
dipihaknya. Bila Un Bong-seng melakukan perbuatan seperti ini, berarti dia sudah tak bisa menjadi
seorang hohan lagi dalam dunia persilatan.
Ditinjau dari kondisi sekarang, dia sepertinya sudah berada di posisi atas angin.
"Sebuah ungkapan yang bagus." Dengan satu cengkeraman, Hoa Ku-hoat menarik tubuh Tio
Thian-yong hingga wajah mereka nyaris saling menempel, dengan mata yang lebih tajam dari
ujung jarum, ditatapnya wajah orang itu, kemudian bisiknya:
"Sebenarnya aku ingin memberi satu kesempatan kepadamu, memberi sebuah jalan kehidupan.
Tapi demi lolos dari kematian, lagi lagi kau menfitnah supek sendiri, hm! Buat apa manusia
berdosa macam kau tetap hidup terus di dunia ini?"
Dari balik wajahnya yang kurus, penuh keriput dan tua itu seolah memancar keluar semacam
cahaya yang aneh, cahaya aneh yang seakan timbul dari dalam tubuhnya, membuat paras muka
ikut bercahaya. "Terus terang aku beritahu, biarpun supekmu itu tak becus, tapi apa yang barusan kau
tuduhkan . . . . . . .. hmm, jangan dibilang aku memang tak pernah pandang sebelah mata kepadanya,
selama hidup tak bakal ia berani lakukan, sampai menitis kembalipun tak bakal berani."
Kini, Tio Thian-yong betul-betul mati kutu, tak punya pegangan, dia mulai panik, kelabakan.
Saat ini, dia benar-benar kuatir lehernya dicekik gurunya hingga tak mampu bernapas.
\\ ll "Suhu . . . . .." dia mulai merengek, aku . . . . . .. supek ku, aku.....
"Aku, kamu . . . . .. kepala gundulmu." Hoa Ku-hoat segera memberi tanda, berapa orang muridnya
menyahut sambil tampil ke depan, dia pun memberi perintah:
"Jebloskan bangsat ini ke dalam penjara, jaga baik baik, besok akan kuhantar dia ke
pengadilan untuk diusut semua perbuatan bejadnya. Hari ini adalah hari ulang tahunku, mari,
mari, mari, jangan merusak suasana gembira ini."
Lalu kepada Un Bong-seng tambahnya:
"Aku hanya pengen menjajal bajingan itu, aaai! Tak disangka biarpun sudah kudidik selama
tujuh tahun, dia tetap seekor anjing biadab yang tak punya perasaan."
"Hahaha..... betul, betul sekali." Un Bong-seng tertawa tergelak.
"Hei? Apanya yang betul sekali?"
"Begitu sang guru, begitu juga muridnya, anak selalu meniru perbuatan bapaknya." Ejek Un
Bong-seng sambil tertawa tergelak, "murid kesayanganmu itu benar benar sudah mewarisi semua
kelakuan dan watakmu!"
Bab 21. Panah terbang tidak bergerak.
Dalam perkiraan banyak orang, sepasang orang tua itu bakal ribut lagi,
siapa sangka persoalan justru diselesaikan secara damai, sesudah
mengambil kembali kitab pusaka dalam peti mati, mereka berduapun sama
sama menuju ke ruang tengah sambil bergandeng tangan, bahkan bersama sama
melayani para tamu. Karena tak ada tontonan lagi, para tamu pun mulai kembali ke meja masing
masing untuk meneguk arak.
Dengan rasa mendongkol umpat Pui Heng-sau:
"Sialan, dasar kawanan manusia pengangguran yang senang mencari gara
gara." Tong Po-gou segera menimpali:
"Hahaha, betul, kali ini mirip sekali dengan dirimu."
Baru saja Pui Heng-sau melotot jengkel kearahnya, tiba tiba dari arah
lain terdengar seseorang berteriak keras:
"Aduuh mak!" Terlihat Pat-toa-thian-ong yang berada ditengah kerumunan orang banyak
sedang menuding kearah Kwa Siau-ho seraya berseru:
II "Kau . . . . .. kau . . . . .. kau . . . . . . ..
Kwa Siau-ho berpaling, lalu tegurnya sambil bertolak pinggang:
"Kau, kau, kau..... kau apa?"
"Kenapa..... kenapa kaupun berada disini?" tanya Pat-toa-thian-ong masih
termangu. Senyum tak senyum sahut Kwa Siau-ho:
"Kau boleh datang kemari, kenapa aku tak boleh?"
Lalu dengan genit dia menambahkan:
"Karena kau kemari, tentu saja akupun menyusul kemari."
"Setelah aku datang kemari, kau.... kau.... kau..... seharusnya kau tak
usah kemari." Mungkin karena sama sekali tidak menyangka bakal berjumpa Kw Siau-ho
ditempat ini, perkataan Pat-toa-thian-ong jadi sedikit kacau.
"Padahal, sejak awal aku sudah tahu kau bakal kemari, semestinya aku tak
usah kesini." "Apa maksud perkataanmu itu?" Kwa Siau-ho mulai menegur sambil cemberut.
II "Aku.... aku tak bermaksud apa apa . . . . . . .. jawaban Pat-toa-thian-ong
mulai kacau, serba salah, "akupun tidak punya maksud terhadap dirimu."
Kuatir salah pengertian, buru-buru dia menambahkan:
"Maksudku, aku tak punya maksud lain."
Paras muka Kwa Siau-ho berubah sedingin salju, sambil menarik muka,
jeritnya lengking: "Lantas dahulu, kau pernah menyanggupi apa?"
Melihat perempuan itu marah, Pat-toa-thian-ong semakin gelagapan, dengan
perasaan berdebar sahutnya:
"Apa? Kapan aku pernah menyanggupi sesuatu kepadamu?"
Tiba tiba Kwa Siau-ho berubah jadi sedih, air mata nyaris meleleh keluar,
serunya manja: "Kau..... kau.... masa kau melupakannya? Masa kau melupakannya?"
Meledaklah isak tangis yang memedihkan hati, air mata meleleh bagaikan
bendungan jebol. Pat-toa-thian-ong semakin gelagapan, serunya berulang kali:
"Kau . . . . .. kau..... jangan menangis, disini banyak orang, masa kau
menangis didepan orang banyak? Sudah, jangan menangis . . . . .."
Mending belum mendongkol, begitu jengkel, susah mengendalikan Kwa Siau-ho
untuk menurut. Dia tak ambil peduli apakah berada didepan orang banyak
atau tidak, begitu menangis, dia benar benar menangis terisak.
Mendadak terdengar Hong Put-pat menghantamkan tongkatnya kuat kuat keatas
lantai, setelah mendengus, tanyanya kepada si nona:
"Kenapa kau menangis?"
Kwa Siau-ho tidak menjawab, dia justru menangis makin keras, pundaknya
sampai terguncang karena sesenggukan.
"Baik," teriak Hong Put-pat dengan mata berkilat, "biar aku balaskan
sakit hatimu itu." "Jangan ikut campur bini tuaku," buru buru Tan Put-ting mencegah, "buat
apa kau melabrak orang itu sebelum mengetahui duduknya persoalan?"
"Hmm, apa urusannya dengan dirimu?" Hong Put-pat makin tak suka hati.


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat bininya naik darah, gemetar seluruh tubuh Tan Put-ting, agak
gelagapan sahutnya: "Ini kan urusan orang lain, buat apa kau ikut campur . . . . .."
"Apa?" makin keras Hong Put-pat menggebrakkan tongkatnya ke lantai,
"hanya manusia bernyali tikus macam kau yang tak suka mencampuri urusan
orang lain, siapa bilang ini bukan urusanku? Aku adalah wanita, sedang
dia memperdaya wanita, kalau aku Hong Put-pat tidak ikut campur, siapa
lagi yang berani mencampuri?"
"Baik, baiklah, semua urusan bisa dirundingkan, tolong jangan berkoar
koar dulu, mau bukan?"
Bukannya mereda, Hong Put-pat malah berkoar makin keras:
"Coba kalian memberi penilaian, siapa bilang aku tak tahu aturan?"
Sambil bicara, dia lintangkan tongkatnya di depan dada, kalau dilihat
dari gayanya, bukan persoalkan apakah dia pakai aturan atau tidak,
melainkan mau tahu siapa yang berani mengatakan dia tidak tahu aturan.
Bagi orang-orang yang suka menonton keramaian, pertama urusan ini tidak
ada sangkut pautnya dengan mereka, kedua merekapun ingin nonton
keramaian, maka tanpa pikir panjang serentak mereka menjawab:
"Sangat beraturan!"
II "Betul, ssudah amat beraturan . . . . ..
II Hong lihiap memang selalu tahu aturan . . . . . ..
"Tan lo-hujin memang seia sekata . . . . . . . . .."
Sampai disini, Hong Put-pat baru protes keras, teriaknya:
"Aku adalah Hong toa-siocia, tak pernah ikut nama marga suami, jadi,
jangan memanggil aku Tan lo-hujin lagi."
"Benar, benar, benar, perkataan nona Hong memang sangat masuk diakal."
Semua orang sudah tahu akan kelihayan perempuan ini, jadi siapa pula yang
berani mencari gara-gara dengan dirinya?
Semua kejadian itu kontan membuat Pat-toa-thian-ong jadi mendongkol,
kontan tegurnya: "Coba lihat, gara gara ulahmu, perjamuan Hoa jiko jadi berantakan, apa
kau tidak merasa bersalah?"
Kwa Siau-ho menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, air mata meleleh
dari sela jari tangannya dan mengalir bagaikan sebuah selokan.
Pat-toa-thian-ong menghentakkan kakinya berulang kali, baru saja akan
berlalu dari situ, mendadak . . . . . .."Brakkk!" tongkat kepala naga milik
Hong Put-pat sudah melintang dihadapannya.
"Mau apa kau?" tegur Pat-toa-thian-ong sambil mendelik.
"Masih ingin kabur?"
"Hmm, apa urusannya dengan dirimu?"
"Kau berani menganiaya kaum wanita, itu berarti aku harus ikut
mencampurinya." Pat-toa-thian-ong merasa tak suka hati, sengaja ejeknya:
"Kalau aku menganiaya perempuan, apa hubungan dan sangkut pautnya dengan
dirimu?" "Karena akupun seorang wanita." Sahut Hong Put-pat sambil melintangkan
tongkat didepan dadanya. "Masa kau perempuan?" Pat-toa-thian-ong pura pura heran, setelah garuk
kepala berulang kali, lanjutnya, "ctt, ctt, ctt . . . . .. coba tidak kau
sebut, aku malah tidak tahu kalau kau itu perempuan."
Tak terkirakan hawa amarah Hong Put-pat, dia langsung mengayun toyanya
melancarkan serangan. Buru-buru Pat-toa-thian-ong mengegos ke samping, sambil menghindar,
teriaknya: "Hei nenek sihir, kenapa kau tak pakai aturan?"
Begitu Hong Put-pat mengayunkan tongkatnya, semua hadirinpun dipaksa
mundur oleh deruan angin serangan yang tajam, kali ini perempuan tua itu
tidak bicara lagi, dia memang sengaja hendak unjuk kebolehan dihadapan
Pat-toa-thian-ong. Dalam waktu singkat meja bangku berserakan, piring cawan berhamburan,
para tamu mundur tergopoh-gopoh, suasana jadi kacau tak karuan.
Menyaksikan hal ini, berubah paras muka Hoa Ku-hoat, tegurnya nyaring:
"Pat-toa, apa apaan kamu ini?"
Sambil berkelit teriak Pat-toa-thian-ong keras-keras:
"Bukan aku yang mulai duluan, nenek sihir itu yang menyerangku secara
membabi buta." Menghadapi serangan Hong Put-pat yang keji dan telengas, Pat-toathian-ong dibuat kalang kabut dan harus berkelit dalam kondisi yang
mengenaskan. "Hong Toa-moaycu!" kembali Hoa Ku-hoat berteriak, "bukankah tindakanmu
ini sama artinya dengan membuat susah diriku?"
ll "Membuat susah apa, jawab Hong Put-pat sambil menggertak gigi, "kau bisa
mengundang sampah macam begini sebagai tamumu, sama artinya kaupun satu
golongan dengan dia, kalian semua pasti bukan manusia baik baik."
Betapa mendongkolnya Hoa Ku-hoat menyaksikan pesta ulang tahunnya jadi
kacau gara gara ulah perempuan itu, segera ia tuding Tan Put-teng sambil
mnenegur: "Saudara Put-ting, jadi kaupun tidak pandang sebelah mata kepadaku? Coba
urusi tingkah laku bini edanmu itu."
"Urusi dia?" gumam Tan Put-ting dengan wajah murung, "sudah untung kalau
dia tidak mengurusi diriku."
Biarpun sedang memutar toyanya menyerang Pat-toa-thian-ong, ternyata Hong
Put-pat dapat mengikuti semua pembicaraan itu, kontan hardiknya:
"Apa? Apa kau bilang?"
Permainan toyanya seketika dipergencar makin hebat.
Pat-toa-thian-ong melawan dengan segenap tenaga, hampir semua ilmu
andalannya seperti Sio-lo-cap-pwe-poh-tong-long (delapan belas langkah
ilmu belalang), jit-cap-ji-lok-ki-na-jiu (tujuh puluh dua jurus ilmu
ki-na-jiu), Boan-cu-eng-jiau (cakar garuda), Hui-kim-poh-hoat (ilmu
langkah emas terbang) digunakan dengan hebatnya, tapi semua ilmu
andalannya itu tidak berhasil menembusi lapisan pertahanan lawan.
Peristiwa ini kontan saja menggetarkan hati segenap jago yang hadir di
tempat itu. Nama besar Pat-toa-thian-ong memang bukan nama kosong, hanya sayang dia
harus bertemu dengan Hong Put-pat yang jauh lebih tangguh.
Jangan dilihat perawakan tubuh Hong Put-pat sangat kecil sedang
tongkatnya tiga kali lebih panjang dan dua kali lebih berat dari
tubuhnya, begitu dimainkan, kedahsyatannya tak terlukiskan dengan
perkataan. Berjumpa dengan jagoan sedemikian tangguh, Pat-toa-thian-ong betul-betul
mati kutu, jangan lagi menghadapi dengan ilmu tangguh, mau melawan
memakai Thian-ong-pat-si atau delapan jurus raja langit pun susahnya
bukan kepalang. Makin menonton, Ong Siau-sik makin tertarik, dia tahu Thio Tan mempunyai
pengetahuan yang luas tentang jago jago silat kenamaan, bahkan gemar
mencari tahu rahasia orang, maka segera tanyanya:
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan beberapa orang itu?"
Betul saja, Thio Tan segera menjelaskan:
"Tan Put-teng dan Hong Put-pat merupakan sepasang suami istri yang gemar
mencari masalah, hanya saja selama ini Hong Put-pat yang selalu membuat
II keonaran, sementara Tan Put-teng hanya bisa menelan pahit dihati . . . . . . ..
"Hmm, coba aku," dengus Tong Po-gou, "pasti akan kuhadapi nenek jahat itu
dan memberinya pelajaran yang setimpal, akan kulihat apakah dikemudian
hari masih berani membuat keonaran."
II "Hahaha, sayang kau belum pantas mendapat rejeki ini, ejek Thio Tan,
"Pat-toa-thian-ong Ko Tay-beng dengan Sam-yap-lan sebenarnya merupakan
sepasang kekasih, hanya saja Ko Tay-beng gemar main perempuan, begitu
mendengar akan kecantikan wajah Kwa Siau-ho yang tinggal di rumah
pelacuran Liu-hiang-wan, timbul niat busuknya untuk mendekati perempuan
itu, akibatnya begitu bertemu, dia benar benar kesemsem setengah mati dan
Il berusaha menempeli perempuan itu siang malam. . . . . . . . . ..
"Bukankah Pat-toa-thian-ong telah beristri?" tanya Ong Siau-sik sambil
tersenyum. "Betul sekali, begitu berita Pat-toa-thian-ong mengejar Kwa Siau-ho
tersebar luas dalam dunia persilatan, dunia jadi heboh. Pada mulanya Kwa
siau-ho masih bersikap acuh tak acuh, tapi akhirnya bini Pat-toathian-ong yaitu Tong Keng-ciu mendengar juga tentang perselingkuhan
suaminya, dia langsung mendatangi sang suami dan terjadi pertikaian
hebat. Menurut saksi mata, bini Pat-toa-thian-ong meninggalkan tempat itu
sambil menjewer telinga suaminya.
"Sesudah peristiwa ini, tampaknya Pat-toa-thian-ong mulai sadar akan
tindakannya yang keliru, sejak itu dia selalu menghindari tempat tempat
pelacuran. "Siapa sangka disaat Pat-toa-thian-ong mulai sadar dan menghindar, Kwa
Siau-ho justru merasa seakan telah kehilangan sesuatu, kini dialah yang
balik mengejar Pat-toa-thian-ong.
"Banyak orang menduga, sudah pasti Pat-toa-thian-ong telah berhasil
meniduri perempuan itu sehingga dia dikejar Kwa Siau-ho untuk dimintai
pertanggungan jawabnya. "Sadar akan hal tersebut, Pat-toa-thian-ong mulai menggunakan istrinya
sebagai tameng, dengan siasat comberet emas lolos dari kepompong, dia
berusaha meninggalkan Kwa Siau-ho jauh jauh."
"Eii, cerita mu ini berdasarkan kenyataan atau Cuma dugaanmu saja?" tiba
tiba Ong Siau-sik menukas sambil tertawa.
"Tentu saja kejadian sesungguhnya." Sahut Thio Tan tertawa juga.
Mendadak berkilat sorot mata Tong Po-gou, gumamnya:
ll "Aku pikir nona Kwa patut dikasihani . . . . ..
"Betul sekali, dia memang sejodoh dengan dirimu." Pui Heng-sau menimpali.
Merah jengah paras muka Tong Po-gou, katanya lagi:
"Pat-toa-thian-ong memang menyebalkan, pantas diberi pelajaran setimpal."
Il "Kalau begitu ayoh maju, seru Pui Heng-sau, "bantu Hong Put-pat dan
hajar Pat-toa-thian-ong hingga keok, kemudian rebut kembali kekasih dalam
impianmu itu." "Kekasih dalam.impian?" Tong Po-gou tertegun.
"Hahaha, bukankah Hong Put-pat kekasih dalam.impianmu?" ejek Pui Heng-sau
sambil sengaja mengerdipkan matanya.
Tak terlukisnya rasa mendongkol Tong Po-gou, seandainya Kwa Siau-ho tidak
buka suara secara tiba tiba, ia benar benar ingin mengumbar hawa
amarahnya. "Tahan!" tiba tiba terdengar Kwa Siau-ho membentak keras.
Hong Put-pat melengak, namun bukannya menghentikan serangan, dia malah
mendesak lebih gencar. "Sabar saja dulu, sebentar lagi aku akan membelah tubuh bajingan ini jadi
delapan kepingan." "Sebetulnya kau mau berhenti tidak?" kembali bentak Kwa Siau-ho.
Baru saja Hong Put-pat tertegun, tidak paham apa maksud bentakan
perempuan itu, tiba tiba Kwa Siau-ho mengayunkan ujung bajunya.
"Sreeet!" sebatang anak panah melesat keluar dengan kecepatan luar biasa.
Kwa Siau-ho melancarkan serangan untuk menyergap Hong Put-pat, seharusnya
kejadian ini bukanlah sesuatu yang aneh, suatu peristiwa yang bisa
diduga, apalagi berada dalam situasi dan arena semacam ini.
Ong Siau-sik pun tidak merasa tercengang atau keheranan, yang membuat dia
tak habis berpikir justru adalah anak panahnya.
Sebatang anak panah yang amat kasar.
Anak panah itu bukan ditujukan kearah Hong Put-pat, terlebih bukan
diarahkan tubh Pat-toa-thian-ong.
Anak panah itu justru melesat lewat persis dari atas kepala ke dua orang
itu. Sudah tahu panah itu mengarah sasaran yang kosong, tapi mengapa masih
tetap dilepas? Apa maksud tujuah melepaskan anak panah itu?
Sementara semua orang masih sangsi dan tidak habis mengerti. Kecepatan
anak panah yang melesat lewat dari atas kepala kedua orang itu tahu tahu
merandek sejenak . . . . . ..
"Duuuk!" mendadak sebatang anak panah kecil melejit keluar dari badan
anak panah pertama, kemudian meluncur ke bawah.
Begitu kecil anak panah itu. Sekecil lembaran alis mata dari Pat-toathian-ong. Ternyata kekuatan serangan yang sebenarnya berada pada anak panah lembut
ini. Sementara panah yang kasar dan besar tadi hanya kamuflase, benda yang
menjadi umpan untuk mengalihkan perhatian orang lain, sehingga mereka
berada dalam posisi tidak siap.
Tak seorangpun yang bisa menebak, apakah Hong Put-pat mampu meloloskan
diri dari sergapan maut itu, karena Tan Put-teng sudah keburu turun
tangan. Pat-toa-thian-ong melejit pula ke tengah udara sambil menyambar anak
panah yang besar, lalu dengan menggunakan panah besar, dia memukul rontok
anak panah kecil, umpatnya kepada Kwa Siau-ho penuh amarah:
"Dia telah membantumu, kenapa kau malah bersikap kasar terhadap dirinya?"
"Siapa suruh dia ingin mencelakaimu?" sahut Kwa Siau-ho ketus.
Tan Put-teng melengak saking mendongkolnya, gara-gara serangan anak
panah, baik Hong Put-pat maupun Pat-toa-thian-ong sama-sama telah
menghentikan pertarungan.
Kembali Tan Put-teng menggerutu:
"Sudah tahu mereka adalah sepasang kekasih, buat apa kau ikut campur
dalam urusan mereka?"
Belum sempat Hong Put-pat menegur Kwa Siau-ho, dipihak lain Kwa Siau-ho
sudah merasakan hatinya jadi kecut begitu mendengar kata-kata "sepasang
kekasih", tak kuasa air mata jatuh bercucuran.
Tanpa banyak bicara lagi, dia menutup wajahnya lalu lari keluar dari
dalam gedung. "Siau-hoo, Siau-hoo . . . . . .." sambil berteriak, Pat-toa-thian-ong ikut
mengejar dari belakang. Tiba tiba Pui Heng-sau berbisik kepada Tong Po-gou:
"Bagaimana kalau kau susul mereka dan lihat bagaimana perkembangan
selanjutnya?" Tiba tiba dia saksikan paras muka Ong Siau-sik beubah jadi sangat serius,
seakan sedang menghadapi satu persoalan besar yang tak dapat dipecahkan.
"Ada apa?" Pui Heng-sau segera menegur dengan nada keheranan.
Tersadar dari lamunan, buru buru ujar Ong Siau-sik:
"Aku tidak tahu bagaimana perkembangan kedua orang itu, sebentar, aku mau
menyusul untuk melihat keadaan."
Seusai berkata, cepat dia berlalu dari situ.
"Hei, kenapa dia?" tanya Thio Tan keheranan.
"Kelihatannya ada sesuatu yang mengganjal hatinya."
"Biar kutengok." Kata Thio Tan kemudian setelah termenung sebentar.
"Aku ikut." Sambung Tong Po-gou.
"Tapi . . . . . . .."Thio Tan tampak sedikit ragu.
Il "Biar saja si kerbau itu ikut pergi, sela Pui Heng-sau sambil tertawa,
"kalau dilarang, dia pasti akan tak suka hati, sementara Un-ji biar
bersama aku." "Baiklah kalau begitu, kau musti berhati hati."
"Tidak usah kuatir."
Terburu-buru Thio Tan dan Tong Po-gou beranjak pergi dari situ.
Dipihak lain, Hoa Ku-hoat memakai kesempatan itu untuk berujuk kembali
dengan Un Bong-seng, lalu perintahkan anak buahnya untuk menyiapkan
perjamuan baru dan mempersilahkan para tamu undangan untuk mengambil
tempat duduk. Ujarnya kemudian sambil tertawa:
"Terima kasih banyak atas kehadiran teman sekalian untuk merayakan ulang


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun lohu, semoga kejadian tak menyenangkan yang berlangsung tadi, tidak
sampai merusak suasana disini."
Kembali ujar Hoa Ku-hoat:
"Hari ini, lohu secara khusus akan menghidangkan arak Kiu-un-ciu yang
diramu memakai air sip-sik-sui, semoga rekan rekan semua bisa ikut
menikmatinya." Sorak sorai pun segera bergema gegap gempita.
Sebagaimana diketahui, walaupun Hoa Ku-hoat bukan termasuk orang yang
pandai minum arak, namun kemampuannya meramu arak sudah amat tersohor.
Tak heran kalau para tetamu jadi kegirangan setengah mati ketika
mendengar Hoa Ku-hoat hendak menghidangkan arak andalannya.
Ujar Un Bong-seng kemudian sambil tertawa:
"Hahaha, bagus, bagus sekali, akan kuhabiskan seluruh simpanan arak wangi
mu, akan kulihat apakah kau bakal sakit hati atau tidak."
"Boleh, boleh saja, selama perutmu masih bisa menampung, habiskan saja
II stok arakku, jawab Hoa Ku-hoat tak mau kalah, "berapapun yang kau minum,
akan kulayani terus, tapi jangan salahkan aku kalau lidahmu tergigit
putus gara gara mabok."
Bab 22. Arak dan wanita. "Kau sumpahi aku?" teriak Un Bong-seng mendongkol.
Melihat kedua orang itu lagi lagi akan bentrok, buru buru si Rasul
penuntut kerbau menyela: "Kalau ingin minum, langsung saja minum, kalau tidak berminat, pulang
saja ke rumah dan peluk bini tetangga."
Perkataan orang ini sangat kasar, tapi sangat masuk diakal, maka Un
Bong-seng maupun Hoa Ku-hoat tidak banyak bicara lagi, masing masing
angkat cawan dan meneguknya berulang kali.
Semua orang mulai asyik meneguk air kata-kata, tinggal dua orang yang
tidak menyentuh cawan, mereka adalah Un-ji dan Pui Heng-sau.
Un-ji enggan meneguk arak karena "arak" bikin tenggorokan jadi pedas,
panas dan gatal, hanya telur ayam busuk yang gemar meneguk air susu macan
itu. Pui Heng-sau pun tidak meneguk arak, baginya: Arak? Sekali salah langkah,
menyesal seumur hidup, mau balik kembali dari awal, harus menunggu
seratus tahun lagi. Bila bukan putus asa menghadapi kehidupan? Siapa yang mau meneguk arak
dengan sukarela? Kalau bukan karena putus cinta dan gagal mencapai
cita-cita, siapa yang kesudian hidup dalam keadaan mabok?
Bila bait syair tak terwujud sebelum mabok, kata "syair" tak ubahnya
seperti sesosok mayat hidup.
Tampaknya hal ini tidak berlaku bagi Un Bong-seng, saat itu dia sedang
meneguk arak sambil bersenandung:
"Bila langit tidak berubah jadi arak, bintang arak tak akan muncul di
langit, bila bumi tak menerima arak, tiada sumber arak disitu."
Hoa Ku-hoat hanya bisa meramu arak, baginya, dia hanya bisa mencicipi,
bukan menikmati, alasannya:
"Orang yang pandai menempa pedang bukan berarti mengerti penggunaan ilmu
pedang, orang yang ahli strategi perang bukan berarti dia adalah seorang
jagoan Bu-lim yang sakti, aku pandai meramu arak namun tak mampu
mengatasi pengaruh air kata kata."
Memang setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda tentang
arak. Tapi ada satu kebaikan yang nyata dari kawanan manusia itu ketika meneguk
arak, yakni mereka tak pernah memaksa orang lain untuk ikut meneguk arak:
"Arak hanya diteguk mengikuti perasaan dan kondisi orang itu, memaksa
orang lain minum arak sangat merusak suasana dan lagi bukan satu kejadian
yang menyenangkan." Bagi yang gemar meneguk susu macan, teguklah sampai puas, biar sampai
ususmu jebol dan berlubang.
Meneguk arak merupakan satu perbuatan yang menyenangkan, mendatangkan
kegembiraan, sesuatu yang menyenangkan harus dilakukan karena keinginan,
karena kehendak pribadi dan bukan paksa orang lain untuk melakukannya.
Un Bong-seng gemar meneguk susu macan, ini dikarenakan dia memang senang
dengan arak, orang semacam ini tak bakal minum sampai mabuk berat,
apalagi paksa orang lain untuk minum, menurutnya, hal semacam ini hanya
bakal memboroskan arak. Sama seperti Hoa Ku-hoat yang gemar meramu arak, dia tak bakal paksa
orang lain untuk meramu arak bersamanya, bagi orang semacam dia, melihat
orang minum merupakan satu pekerjaan yang nikmat.
Apalagi melihat orang meneguk arak hasil ramuannya, hal ini merupakan
satu kenikmatan yang luar biasa.
Baginya, minum arak hanya sebatas mencicipi.
Biarpun hanya mencicipi, ini sudah termasuk minum arak, memang tak banyak
yang diminum, tapi hitung hitung arak tetap membasahi kerongkongannya.
Menurut para jago dari dunia persilatan. Ada dua hal yang tak boleh
disentuh: Pertama perempuan, kedua arak.
Tentu saja bukan berarti orang sama sekali tak boleh menyentuh wanita dan
arak, hanya perlu diketahui, kedua hal tersebut paling gampang bikin
orang mabok, walau sehebat apapun takaranmu.
Perempuan secantik apapun, dia tetap manusia, selama dia adalah manusia,
berarti memiliki kemampuan untuk melukai, mencelakai, memperalat, bahkan
membunuh orang lain. Jika kau meneguk kelewat banyak arak, perbuatan apapun bisa kau lakukan,
tentu saja termasuk perbuatan yang tak mungkin atau tak berani kau
lakukan disaat sadar. Tapi ingat, akhirnya toh ada saat bagi siapapun untuk mendusin, sadar
dari pengaruh air kata kata.
Ketika mendusin dari mabok dan menyadari apa yang telah dilakukan,
kemungkinan besar kau akan menyesal.
Tentu, bagi umat persilatan, meneguk sedikit arak ditengah perayaan ulang
tahun semacam ini merupakan hal yang menggembirakan. Sedang mengenai
masalah wanita, biarkan saja Tan Put-ting dan Pat-toa-thian-ong
menghadapinya sendiri. Dalam benak mereka berpendapat, minum sedikit arak tak mungkin akan
mendatangkan masalah. Siapa tahu, sedikit arak pun bisa mendatangkan masalah, bahkan satu
masalah yang amat besar. Ketika arak sudah beredar sekian lama, tiba saatnya bagi Hoa Ku-hoat
untuk bangkit berdiri mengucapkan terima kasih.
Belum sempat dia mengatakan sesuatu, tiba tiba terdengar si rasul
penuntun kerbau mendengus dingin.
Hoa Ku-hoat tertegun, apa yang hendak diucapkan jadi terlupakan sama
sekali, menanti dia teringat lagi dan ingin disampaikan, lagi lagi
terdengar si rasul penuntun kerbau mendengus berat.
Kali ini Hoa Ku-hoat jadi mendongkol, dia sangka orang itu sengaja hendak
mengacau, maka dengan memperkeras suaranya dia berseru:
"Terima kasih banyak atas kesediaan cuwi sekalian untuk menghadiri
perayaan hari ulang tahunku . . . . . . .."
Tiba tiba terdengar si rasul penuntun kerbau meraung keras, raungan itu
nyaris menyerupai suara singa yang sedang terluka berat.
Para hadirin mulai terkejut, keheranan, sementara Hoa Ku-hoat yang
mendongkol sudah mulai menuding rasul penuntun kerbau sambil mengumpat:
"Cun-cia, aku hormati kau sebagai seorang cianpwee, tapi berulang kali
kau . . . . . . . .."
Sekonyong konyong rasul penuntun kerbau merangsek maju, dengan satu
gerakan cepat dia cengkeram urat nadi ditangan Hoa Ku-hoat.
Serta merta Hoa Ku-hoat menarik ke belakang tangannya, tapi jari tangan
rasul penuntun kerbau yang tajam sudah mengubah gerakan dan mencengkeram
dua jari tangan lawannya kuat kuat.
Kontan saja Hoa Ku-hoat merasakan kesakitan yang luar biasa, begitu sakit
hingga merasuk ke tulang sumsum, bentaknya penuh kegusaran:
"Mau apa kau?" "Pletak, pletak . . . . . .!" tahu tahu kedua jari tangan itu sudah ditekuk
hingga patah dua bagian. Tak terlukiskan rasa gusar dan kaget Hoa Ku-hoat, belum sempat berbuat
sesuatu, mendadak rasul penuntun kerbau melepaskan cengkeram pada ke dua
jari tangan yang sudah patah itu, tapi bersamaan waktu mencengkeram
bahunya. Pada saat itulah terlihat bayangan merah berkelebat lewat, rasul penuntun
kerbau segera merasakan munculnya tujuh buah serangan mengancam belakang
tubuhnya, semua ancaman datang bagaikan amukan angin topan dan hujan
badai. Ke tujuh serangan maha dahsyat itu hampir semuanya diarahkan ke bagian
tubuh yang mematikan dan berasal dari satu orang yang sama.
Dialah Un Bong-seng. 00000 Tentu saja berasal dari Un Bong-seng.
Selama puluhan tahun terakhir, hampir boleh dibilang Un Bong-seng tak
pernah akur dengan Hoa Ku-hoat, tapi anehnya, semua orang yang mengancam
keselamatan Hoa Ku-hoat, selalu dihabisi lebih dulu oleh Un Bong-seng.
Rasul penuntun kerbau mendengus dingin, tangan yang mencengkeram bahu Hoa
Ku-hoat segera mengendor lalu berbalik memunahkan datangnya ke tujuh
serangan maut itu. Sedari mematahkan dua jari tangan Hoa Ku-hoat, lalu mencengkeram bahu
lawan dan memunahkan ancaman yang datang dari Un Bong-seng. Semua gerakan
dilakukan hanya menggunakan tangan sebelah, tangan kiri.
Bahu kanan Hoa Ku-hoat seketika dihiasi oleh lima buah lubang kecil, lima
buah lubang berdarah. Ditengah lelehan darah segar, Hoa Ku-hoat meraung kesakitan, jari tangan
yang patah membuat sekujur tubuhnya gemetar.
Dalam keadaan begini, rasa kaget dan tercekatnya jauh melebihi perasaan
gusar. Sementara itu Rasul penuntun kerbau telah berkata kepada Un Bong-seng dan
Hoa Ku-hoat sambil tertawa dingin:
"Seharusnya sudah kuduga sejak awal kalau . . . . .. kalau kalian memang satu
komplotan." "Apa kau bilang?" tanya Un Bong-seng tertegun.
Rasul penuntun kerbau palingkan wajahnya, persis seperti sesosok arca
tembaga dalam kuil yang tiba tiba berpaling.
Tampaknya dia harus palingkan wajahnya agar bisa melihat lebih jelas
paras muka ke dua orang sobat lamanya ini.
Dibalik perasaan tercekat dan kaget yang menghiasi wajah Hoa Ku-hoat,
lambat laun muncul perasaan gusar.
Saat ini dia sedang melakukan sesuatu, mencoba mengangkat tangan
kanannya. Sayang usahanya itu gagal total, dia tak mampu melakukannya.
Ternyata dia telah kehilangan kekuatan dan kemampuannya untuk
menggerakkan tangan kanan itu.
"Bukan perbuatanku!" itulah kalimat pertama yang dia ucapkan, disampaikan
dengan suara keras. Kemudian dengan wajah penuh kesedihan dan amarah, jeritnya lagi kepada
para tetamu: "Siapa? Siapa yang telah melakukan?"
Semua tamu, semua hadirin melengak, terperangah.
Rasul penuntun kerbau telah mundur setengah langkah, keningnya berkerut,
bibirnya bergetar, katanya:
"Bukan kau, bukan kau, bagus . . . . . . . .. bagus . . . . . ..
Untuk sesaat Un Bong-seng tidak memperhatikan tingkah laku aneh itu, tiba
tiba saja matanya melotot besar, mendelik kearah Hoa Ku-hoat, kemudian
diapun mengangkat tangannya.
Tangan kanan itu terlihat lebih berat dari bukit karang, seakan-akan
anggota badan itu secara mendadak sudah bukan menjadi miliknya lagi,
akhirnya..... kini Un Bong-seng sudah mengerti, memahami apa yang
sebenarnya telah terjadi, mengerti kenapa Rasul penuntun kerbau secara
tiba tiba menyerang Hoa Ku-hoat.
"Siapa yang telah melakukan kesemuanya ini?" jeritnya pula.
Begitu dia menjerit, paras muka Tan Put-teng maupun Hong Put-pat ikut
berubah hebat. Mereka pun melakukan gerakan yang sama, mencoba menggerakkan tangan
kanannya. Alhasil, keadaan tak jauh berbeda, tak seorangpun yang sanggup melakukan.
Tampaknya hampir pada saat yang bersamaan, tangan kanan semua orang telah
lumpuh, cacat total. Butir keringat sebesar kacang kedele membasahi jidat, wajah dan hidung Un
Bong-seng, sementara paras muka Hoa Ku-hoat berubah kuning pucat, sedang
rasul penuntun kerbau terlihat lesu bercampur putus asa.
"Cepat jawab," terdengar Tan Put-ting membentak, "darimana munculnya
sesuatu didalam arakmu itu?"
Begitu perkataan tersebut diuarkan, paras muka semua tamu ikut berubah,
semua hadirin merasa kaget bercampur panik.
Mereka mencoba menggerakkan tangannya sambil menghimpun tenaga, tapi
alhasil, tangan kanan mereka seolah sudah bukan menjadi miliknya lagi,
cacat. Caci maki, umpatan, sumpah serapah pun seketika bergema memenuhi seluruh
ruangan. "Manusia she-Hoa, apa apaan ini?"
"Kenapa kau meracuni kami?"
"Cepat serahkan obat pemunahnya!"
"Mayat hidup bermarga Hoa, kami tak punya dendam sakit hati denganmu,
kenapa kau justru melakukan perbuatan biadab semacam ini?"
Untuk beberapa saat Hoa Ku-hoat tak sanggup berkata-kata, dia tak tahu
bagaimana harus menjelaskan masalah ini.
Begitu pikirannya kalut, hawa murninya jadi buyar, kaki kiri pun mulai
terasa kesemutan lalu kaku.
Serentak para anak murid keluarga Hoa berdiri berjajar dihadapan gurunya,
mereka berusaha melindungi keselamatan jiwanya dan mencegah kawanan
persilatan itu turun tangan secara ngawur.
Begitu anak murid keluarga Hoa menggerakkan tubuhnya, serentak mereka pun
merasa kalau tangan kanannya mati rasa dan tak mampu digerakkan lagi,
bahkan kaki kiripun ikut mati rasa, rasa panik, kaget, takut seketika
menyelimuti perasaan hati mereka semua.
Terdengar Un Bong-seng berteriak lagi:
"Kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan dia."
Sejak keracunan, emosi para jago mulai labil, begitu mendengar teriakan
itu, serentak mereka menukas:
"Kedua orang itu berkomplot, tentu saja saling membela dan melindungi,
jangan percaya dengan omongan setannya."
"Hmm, tadi kalian sengaja bersandiwara untuk membuyarkan kewaspadaan
kami, lalu secara diam diam.meracuni kami semua, jangan banyak bacot
lagi, serahkan dulu obat pemunahnya!"
"Kalau penawar racun tidak segera kau serahkan, jangan salahkan kalau
kami tak akan berlaku sungkan lagi."
Mulut Hoa Ku-hoat ternganga lebar, pekiknya sedih:
"Itu . . . . .. itu racun ngo-ma-cong . . . . .. aku..... aku tidak punya
ll penawarnya . . . . . .. Mendengar pengakuan itu, serentak para jago yang hadir mulai gaduh, ada
yang mencabut golok, ada yang membalikkan meja kursi, suasana sangat
kalut. "Jangan disangka kami akan menyerah begitu saja," teriak orang orang itu,
"biar harus matipun, kami akan menyerang sampai titik darah penghabisan."
Ada pula yang berteriak: "Saudara Hoa, gurauanmu sudah keterlaluan, cepat serahkan penawar racun,
kalau tidak, segera akan jatuh korban nyawa."
Hoa Ku-hoat hanya bisa murung dengan muka ditekuk, untuk berapa waktu dia
tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam pada itu peluh yang membasahi wajah Un Bong-seng sudah ibarat air
sungai yang menjebol bendungan, kerutan wajahnya nampak makin jelas dan


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyata. Il "Trangg, traaang, trang . . . . . .. senjata yang ada dalam genggaman kawanan
jago mulai berjatuhan ke lantai, ternyata tangan kiri mereka pun mulai
mati rasa dan tak bisa diperintah.
Diantara semua jago yang hadir, hanya Un-ji yang tidak habis mengerti. Ia
tidak minum arak, maka tidak merasakan sesuatu yang aneh. Diapun tak
habis mengerti apa yang dibicarakan orang orang itu, apa yang sedang
mereka lakukan? Karena tak kuasa menahan diri, diapun bertanya kepada Pui Heng-sau:
"Apa yang dimaksud ngo-ma-cong?"
"Cong itu artinya penyakit."
"Penyakit? Penyakit apa?" Un-ji semakin tak habis mengerti.
"Bukan hanya penyakit, lebih tepat dibilang wabah menular."
"Aneh, cong berarti wabah?" Un-ji mulai menghela napas panjang.
"Kau jangan menghela napas dulu, emonganku belum selesai, cong masih
mengartikan sesuatu, yakni ulat"
"Ulat?" Un-ji nyaris menjerit kaget.
Untung waktu itu suasana dalam ruangan sedang gaduh, semua hadirin sedang
berteriak, tak seorangpun yang menaruh perhatian atas jeritan Un-ji yang
takut ulat itu. "Betul, ulat." Melihat Un-ji ketakutan, Pui Heng-sau makin bersemangat,
"cong adalah sejenis ulat kecil berkaki banyak, warnanya merah darah,
seluruh badannya berbulu tajam, yang kecil bentuknya bulat sedang yang
panjang bisa mencapai berapa inci.
"Ulat semacam ini kebanyakan hidup dan berkembang biak ditubuh tikus
sawah, makhluk kecil ini senang dengan tempat yang basah dan lembab.
"para korban gigitan ulat cong akan merasakan sekujur badan sebentar
panas sebentar dingin, kepala pening, perut mual dan dada terasa sesak,
yang parah bisa menyebabkan kematian."
Setelah gelengkan kepala sambil menghela napas panjang, tambahnya:
"Oleh karena itu sejak dulu, orang menganggap cong sebagai musuh besar
yang harus diwaspadai."
"Lalu dia termasuk racun jenis apa?" tanya Un-ji lebih jauh.
"Sejenis racun yang amat menakutkan, tiada warna tiada bau, jago racun
kelas wahid pun belum tentu bisa mengetahui kehadirannya, begitu dicampur
ke dalam air dan diminum.... maka racun cong yang sama bisa menimbulkan
akibat yang lain." "Lain bagaimana?" Un-ji mulai pusing kepala, "cong yang muncul sekarang
termasuk jenis mana?"
"Menurut orang-orang itu, yang menyerang sekarang adalah ngo-ma-cong, dia
termasuk jenis ulat yang sangat beracun, semakin tinggi ilmu silat yang
dimiliki sang korban, asal meneguk sedikit saja cairan itu maka mula mula
tangan kanannya akan lumpuh, kemudian diikuti kaki kiri, kaki kanan,
lengan kiri dan seluruh badan mulai kaku dan kesemutan. Jika tidak
diobati dalam sehari semalam, racun itu akan merambat naik keatas kepala,
bila sampai begitu, biar tidak jadi orang idiot pun, mereka akan cacat
total." "Jadi menurut kau, mereka . . . . .. mereka bakal jadi orang cacat atau orang
idiOt??" "Betul, kalau tak ada obat penawar racun, mereka semua bakal menjadi
orang cacat, orang idiot."
"Lantas mengapa kau tidak berusaha menolong mereka semua?" seru Un-ji
jengkel. Sekarang Pui Heng-sau baru mendusin, apa yang sedang berlangsung didepan
matanya akan segera berkembang menjadi sebuah drama pembunuhan yang
mengerikan. Kontan saja ia berdiri terbelalak, mukanya kecut dan untuk sesaat bingung
apa yang harus dilakukan.
"Hayo cepat tolong mereka," kembali Un-ji meminta sambil mendorong
bahunya. "Bagaimana mungkin aku bisa menolong mereka kalau asal usul racun itupun
tidak kuketahui..... lagipula aku..... aku toh tak punya obat penawar
racunnya . . . . . . . .."
Un-ji jadi mendongkol, umpatnya:
"Percuma saja kau membaca begitu banyak buku, toh sama saja, tak sanggup
menolong orang." Bab 23. Sepasang daun. Sementara itu, sebagian besar kawanan jago yang hadir dalam ruangan sudah
tak mampu bergerak lagi. Dalam keadaan begini, sekalipun kawanan jago ingin menyerang Hoa Ku-hoat,
sementara anggota keluarga Hoa ingin melindungi gurunya pun tak ada
gunanya, karena semuanya sudah berubah menjadi sesuatu yang tak mungkin,
semua orang sudah menjadi lemas, tak punya kekuatan lagi.
"Dengan . . . . .. dengan cara apa ulat . . . . .. ulat beracun itu merambat masuk
ke dalam perut mereka?" kembali Un-ji bertanya dengan nada cemas,
"Melalui arak." Jawab Pui Heng-sau, "dalam arak yang disuguhkan Hoa
Ku-hoat sudah mengandung racun ulat, otomatis mereka semua jadi begini
setelah meneguknya."
"Kenapa si tua bangka Hoa harus meracuni semua tamu undangannya?" omel
Un-ji. "Menurutku, bukan dia yang melepaskan racun keji ini."
"Kalau tak ada yang meracun, memang kau anggap racun itu bisa masuk
sendiri ke dalam arak ramuannya? Kalau dilihat tampang orang she-Hoa itu,
delapan puluh persen dia bukan manusia baik baik."
"Menilai seseorang dari tampilan wajahnya bukan satu penilaian yang
Il bijaksana.... "Kalau memang begitu, kenapa kau tidak berusaha untuk selamatkan mereka
yang sedang terancam kematian?"
"Karena..... karena aku sendiripun tak sanggup memunahkan racun
Il itu . . . . . . .. sahut Pui Heng-sau dengan wajah memelas.
Sekonyong-konyong ditengah keramaian terdengar seseorang berseru:
"Jadi kalian menginginkan obat penawar racun?"
Suara itu tidak terhitung keras, bahkan cenderung rendah dan berat. Yang
berbicara adalah seorang kakek berwajah lesu, sepasang matanya terpejam
rapat dan mirip orang sedang mengantuk.
Tak seorangpun tahu, sedari kapan kakek lesu itu masuk dan hadir didalam
ruangan. Yang seorang lagi adalah pemuda berdandan pelajar dan kelihatan agak malu
malu. Menyaksikan kehadiran dua orang yang tak dikenal ini, kegemparan segera
melanda seluruh ruang pesta.
Coba kalau kejadian ini berlangsung dihari biasa, sejak tadi mereka sudah
meluruk maju dan menguliti mereka berdua, atau paling tidak mengusir
kedua orang itu dari sana.
Sayang kawanan jago silat itu sudah tak bertenaga lagi, jangankan
menyerang, bergerak pun susah.
Semua orang telah berubah jadi seonggok gumpalan daging lembek. Tapi
begitu menyaksikan kemunculan dua orang itu, bukan badannya saja yang
jadi lembek, suhu tubuh pun mendadak turun drastis, karena hati mereka
ikut jadi dingin. Hoa Ku-hoat maupun Un Bong-seng saling bertukar pandangan sekejap, namun
sebelum.mereka sempat buka suara, si kakek itu sudah berkata lagi dengan
wajah tersipu: "Rekan lama, sudah tidak kenal lagi dengan sobat lama?"
"Liam Lau!" dengus Un Bong-seng.
"Liam Wan!" sambung Hoa Ku-hoat dengan nada mendendam.
Berjumpa dengan ke dua orang ini, teringat pula bagaimana dua orang
bermarga Liam ini mencelakai umat persilatan yang hadir dalam perhelatan
ini, Tan Put-ting seolah sudah lupa kalau dirinya terkena racun jahat,
dengan amarah yang memuncak, bentaknya:
"Dasar dua ekor anjing busuk, kalian masih belum pantas untuk hadir di
tempat ini." Melihat Tan Put-ting berkoar, Hong Put-pat segera menarik muka.
"Hei, kau sedang koar koar apa?" tegur perempuan itu dengan suara berat.
"Aku..... aku hanya ingin.... ingin megumpat mereka." Jawab Tan Put-ting
tergagap, dalam keadaan keracunan, perasaan takut bininya sedikitpun
tidak berkurang. "Memang aku suruh kau mengumpat?"
"Tidak!" "Tidak?" Hong Put-pat mulai menarik alis matanya sambil melotot.
"Aku . . . . .. aku yang ingin memaki mereka."
"Hmm, kau sendiri yang ingin memaki?" dengus Hong Put-pat, "bagus, bagus
sekali, tampaknya nyalimu makin lama semakin besar, emosimu makin lama
makin meledak, bagaimana kalau akupun sekalian diumpat, biar rasa
mendongkolmu terlampiaskan?"
Tan Put-ting tak berani berdebat, terpaksa ujarnya:
"Biar aku tarik kembali perkataanku tadi."
"Nah begitulah." Dengan perkataan itu, rasa mendongkol Hong Put-pat pun
mereda. Kemudian kepada Liam Lau dan Liam Wan makinya:
"Kalian dua ekor budak anjing, yang satu tua bangka hampir mampus, yang
satu lagi telur busuk kecil, sudah pasti permainan setan kalian berdua
yang mencampurkan racun ke dalam arak. Huhh, aku sumpahi orang yang
menaruh racun itu bakal keluar bol dari pantatnya . . . . . . . . . .."
Begitu mulai memaki, umpatan perempuan ini ternyata jauh lebih kotor dan
sadis ketimbang suaminya, bahkan dia menambahkan kearah Tan Put-ting:
"Kenapa kau tidak bantu aku memaki?"
Buru buru Tan Put-ting menanggapi dan ikut mengumpat dengan kata kata
kosong. Sekarang orang baru paham, Hong Put-pat bukannya tidak membenci ke dua
orang itu yang suka menfitnah orang lain atas kesalahan yang dilakukan,
tapi merasa tak senang bila Tan Put-ting mengumpat mendahului dirinya.
Bila dia yang memaki duluan kemudian sang suami mengimbangi, hal ini baru
berkenan dihatinya. Liam Lau tidak merasa tersingung atau marah karena umpatan umpatan itu,
katanya: "Kematian sudah di depan mata, buat apa masih banyak bicara? Baguslah,
kalau ingin memaki, maki saja sepuasnya, mumpung aku belum mencongkel
matamu dan memotong lidah mu itu."
"Jadi kalian yang melepaskan racun jahat ini?" tanya Un Bong-seng.
"Tanpa bantuan murid kesayangan tua bangka Hoa, mana mungkin segampang
itu kami berhasil turun tangan?' jawab Liam Lau.
Ditepuknya bahu Coa Tui-miau yang berdiri disampingnya dan menambahkan:
"Untung sekali ada bantuan dari murid kesayanganmu itu!"
Perkataan terakhir sengaja ditujukan kepada Hoa Ku-hoat.
Il "Bagus, bagus . . . . . .. seru Hoa Ku-hoat sambil menggertak gigi.
Sebaliknya Coa Tui-miau kelihatan tertegun, tidak habis mengerti, malah
gumamnya: "Kenapa jadi aku . . . . . . ..? kenapa musti aku . . . . ..?"
Mendadak terdengar Hoa Ku-hoat meraung keras, terlihat dua lembar daun
yang tipis tapi tajam, melesat keluar dengan kecepatan luar biasa, satu
mengancam Liam Lau sementara yang lain menyerang Coa Tui-miau.
Tampaknya Liam Lau sudah mempersiapkan diri sejak awal, cepat dia meraup
ke atas, menyambut datangnya ancaman itu, lalu dengan tubuh tergoncang,
serunya: "Sungguh lihay!"
Ia merasa ada segumpal tenaga kekuatan yang dahsyat menyergap tubuhnya
melalui daun baja yang tipis itu, tanpa sadar tubuhnya terdorong mundur
selangkah, baru saja akan bicara, lagi lagi dia merasa tenaga serangan
lawan menekan dadanya. Buru buru dia tarik napas sambil membuang tenaga himpitan itu, umpatnya:
"Hebat juga seranganmu."
Dia temukan telapak tangan kanannya sudah tersayat luka oleh serangan
tadi. Pikirnya kemudian: "Tak nyana setelah terkena racun, tenaga serangan bajingan tua ini masih
begitu dahsyat, baru melepaskan dua lembar daun baja, aku sudah
dipaksanya mengalami kerugian. Coba kalau tidak waspada sejak awal, bisa
jadi nama besarku akan terjungkal hari ini."
Padahal tenaga serangan terbesar dari Hoa Ku-hoat waktu itu bukan
diarahkan kepadanya, melainkan ke tubuh Coa Tui-miau.
Tampaknya dia ingin membersihkan perguruannya dari murid penghianat.
Dia sadar, nasibnya hari ini sudah berada ditangan Liam Lau dan Liam Wan,
ditambah pula gara-gara dirinya, ia sudah menyebabkan semua tamu
undangannya ikut jadi korban, apapun yang bakal dia jelaskan kepada rekan
rekan persilatan dikemudian hari, tak akan mencuci bersih dosanya hari
ini. Semenjak terkena racun, sekujur badan Coa Tui-miau sudah lemas tak
bertenaga, bagaimana mungkin dalam kondisi begini dia sanggup menghindari
serangan maut It-yap-keng-ciu (daun sakti pengejut musim gugur) dari
gurunya? Disaat yang amat kritis inilah, tiba tiba ada satu kekuatan yang sangat
besar menumbuk pinggangnya, seluruh tubuh Coa Tui-miau seketika terpental
dan mencelat ke samping, begitu keras bantingan itu membuatnya untuk
sesaat tak sanggup merangkak bangun.
Walaupun begitu, selembar nyawanya berhasil lolos dari ancaman maut.
Ternyata orang yang menumbuknya tak lain adalah Un Bong-seng.
"Kau . . . . .. kau . . . . . .. aku berniat membersihkan perguruan dari murid
penghianat... kau . . . . .. apa urusan dengan dirimu?" tegur Hoa Ku-hoat
gusar. "Apakau kau pernah melihat orang yang meracuni, keracunan terlebih
dahulu?" balas Un Bong-seng tak kalah gusarnya.
Hoa Ku-hoat melengak, tertegun.
Sekarang dia baru teringat kalau Coa Tui-miau pun berada dalam kondisi
lemas dan sama sekali tak bertenaga.
"Akupun belum pernah melihat ada orang membersihkan perguruan sendiri
secara begitu gegabah, semobrono . . . . .." kembali Un Bong-seng berkata.
Tentu saja orang ini sangat marah, gara gara ingin menyelamatkan nyawa
Coa Tui-miau, dia telah menggunakan seluruh kekuatan yang masih tersisa.
Dengan terkurasnya semua kekuatan itu, lalu siapa yang bakal menghadapi
Liam Lau dan Liam Wan? Dengan cara apa mereka harus menghadapi kedua
orang itu? Sudah barang tentu Liam Lau pun dapat membaca situasi itu, maka dengan
nada gembira serunya: "Luar biasa, luar biasa . . . . . . . .. apapun yang kukatakan, ternyata kau
percaya dengan begitu saja, jauh lebih penurut ketimbang cucu ku
sendiri." "Kau . . . . . . . . . .." Hoa Ku-hoat sangat gusar, tapi sayang dia sudah
kehilangan seluruh tenaganya untuk marah.
Sang Godfather 1 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 10

Cari Blog Ini