Ceritasilat Novel Online

Pedang Amarah 5

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An Bagian 5


"Mau apa kau?" tegur Un Bong-seng kemudian sambil menahan diri.
"Kalian merupakan kawanan begal yang tiap hari membuat gara gara dan
keonaran, berapa hari mendatang kerajaan akan mendirikan pemerintahan
baru, apakah kalian belum mau menyadari kesalahan?"
"Kesalahan nenek moyangmu." Sumpah Hoa Ku-hoat, "kalau kami melanggar
hukum, tangkap saja kami semua, kalau tidak melanggar hukum, lebih baik
kamu berdua segera menggelindungi sejauh delapan puluh lima ribu li!"
Liam Lau tidak menjadi gusar karena makian itu, kembali katanya:
"Mulai hari ini, kalian semua aliran dan golongan sudah tak boleh
tancapkan kaki lagi di kotaraja, kini hanya ada dua jalan yang bisa
II kalian pilih, . . . . . . . ..
Un Bong-seng mendengus dingin.
"Hmm, sewaktu kerajaan berniat kirim pasukan untuk menindas
pemberontakan, melawan kerajaan Kim, membendung serangan Liau, lalu
menyerang Turfan dan mencaplok Ling-lam, kami semua yang harus menderma
uang dan menyumbang tenaga, sementara kalian orang orang pemerintah hanya
tahunya menerima pahala, hmm. Sekarang, setelah kekuatan kami tidak
berguna lagi, kalian malah memusuhi kami semua, bahkan menggunakan cara
yang rendah dan memalukan untuk meracuni kami. Sudah, tak usah banyak
bacot lagi, mau bunuh silahkan bunuh, sudah tak ada pilihan lagi buat
kami." "Hahaha, Un lotoa, jangan marah-marah dulu." Bukan gusar, Liam Lau malah
tertawa, "padahal pilihan yang ditawarkan kepada kalian adalah jalan
menuju kecerahan, kesempatan untuk jadi kaya dan terhormat bukankah
merupakan harapan kalian selama ini?"
"Kalau memang merupakan pilihan baik, kenapa harus meracuni kami semua?"
teriak Hoa Ku-hoat penuh dendam, "apalagi kau meracuni semua tamuku
disaat lohu sedang merayakan ulang tahun, tahukah kau, kejadian ini
membuat aku jadi malu kepada seluruh umat persilatan."
"Tua bangka Hoa," teriak Un Bong-seng, "bukan kau yang meracuni kami,
semua orang punya mata punya telinga, mulut dan hidung mereka masih
berada dikepala masing masing, mereka pun tahu kalau kejadian ini tak ada
sangkut pautnya dengan dirimu, kalau mau menagih hutang, tagih lah kepada
yang bersangkutan. Aku yakin semua orang tak akan membencimu."
"Bagus, ternyata kalian semua adalah enghiong hohan," Liam Lau tertawa
dingin, "kalau memang merasa enghiong hohan, kenapa tidak bergabung saja
dengan jenderal Cu Kou dan berbakti untuk negara?"
Kegaduhan seketika terjadi, semua hadirin mulai heboh.
Un Bong-seng melongo, mulutnya ternganga lebar, gumamnya:
"Ternyata memang empat opas yang tersohor . . . . .. tapi.... kenapa bisa
mereka?" "Bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Liam Lau lagi sambil maju
selangkah. "Sekalipun empat opas yang tersohor, lantas kenapa?" teriak Hoa Ku-hoat,
"kalian semua tak lebih hanya sekelompok serigala, kalau aku bilang tidak
mau bergabung, tetap tak mau."
Tiba-tiba Liam Wan tertawa malu, dengan gerakan yang amat lembut dia
ulurkan sepasang tangannya, kemudian menggenggam tangan Un Bong-seng
serta Hoa Ku-hoat. Sikap serta tindak tanduknya amat bersahabat, wajahnya penuh dihiasi
senyuman, senyum kemalu maluan. Dia seolah tidak terbiasa untuk
berkomunikasi dengan orang lain, tapi mau tak mau harus menarik tangan
lawan sebagai tanda persahabatan.
Namun begitu sepasang tangannya mulai menempel diatas urat nadi Un
Bong-seng berdua, tak bisa dibayangkan betapa menderita dan tersiksanya
kedua orang itu. Dalam waktu singkat kedua orang itu merasa isi perutnya seakan direndam
dalam air mendidih, bahkan yang mengepul keluar bukan buih, melainkan
pisau kecil yang tajamnya bukan kepalang, pisau yang sedang menyayat dan
memotong ususnya, membuat mereka kesakitan setengah mati.
Apa mau dikata, kedua orang itu justru tak mampu bersuara, ketika Liam
Wan tidak memperkenankan mereka untuk berteriak, mereka pun tak mampu
bersuara. Kembali Liam Wan bertanya:
"Bila kalian berdua bersedia bergabung, aku jamin masa depan kalian akan
makmur dan sentosa."
Lalu sambil mengerahkan tenaganya lebih kuat, tambahnya:
"Bagaimana pendapat kalian berdua sekarang?"
Bicara sampai disini, kembali dia mengendorkan gencetan jari tangannya.
Menggunakan kesempatan itu, Hoa Ku-hoat berteriak lantang:
"Biar dibunuh pun aku tak bakal . . . . . . . . .."
Mendadak satu kekuatan hawa murni yang aneh menyusup ke dalam
tenggorokannya, apa yang semula ingin disampaikan, tahu tahu sudah
berubah nada, katanya: "Aku tak bakal berubah pikiran untuk bergabung....."
Nada suaranya aneh dan kaku, namun bagaimana pun, perkataan tersebut
tetap muncul dari mulutnya.
Seketika itu juga suasana jadi hening, para jago melengak, keheranan dan
tercengang, seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri.
"Hei, kenapa kau menyanggupi tawarannya?"
"Menyerah kepada musuh, lelaki enghiong hohan macam apa dirimu itu.....?"
"Cuh . . . . . .. Hoa Ku-hoat, hari ini aku baru melihat kedok wajah aslimu
yang sebenarnya . . . . . . . .."
Keadaan Hoa Ku-hoat saat ini benar-benar ibarat orang bisu makan empedu,
sepahit apapun, dia tak mampu berkeluh.
Tampaknya pemuda itu telah mengendalikan ucapannya dengan menggunakan
tenaga dalam. Tiba tiba saja sikap Un Bong-seng berubah jadi sangat tenang, tanyanya
lamban: "Kau maksudkan Cu . . . . ..?
II "Betul sekali, saat ini jenderal Cu sedang butuh tenaga segar." Liam Lau
menjelaskan. "Membutuhkan tenaga? Membutuhkan tenaga untuk mengancam atasan dan
mengelabuhi bawahan? Mau memakai kekuatan untuk menindas rakyat kecil?"
ejek Un Bong-seng sinis, "sudah cukup lama sepak terjang Cu thayjin
II dikagumi umat persilatan di kolong langit.....
"Apa maksud perkataanmu itu?" berubah paras muka Liam Lau.
II "Sederhana sekali, jawab Un Bong-seng dengan gagah berani, "kami tolak
tawaranmu itu, apapun resikonya."
Begitu ucapan itu diutarakan, tempik sorak pun gegap gempita, para jago
yang hadir dalam ruangan bersorak sorai memberi dukungan.
"Perkataan yang sangat indah!"
"Suruh dia menggelinding pergi dari sini!"
"Betul, usir dia dari sini, biar menggelinding pulang ke rumah nenek
moyangnya." Liam Lau mendengus, dengan tatapan mata penuh kebencian dipandangnya
semua tamu yang hadir dalam ruangan satu per satu, lalu sesudah
mendengus, katanya: "Bagus, semangat yang hebat, sekarang, kalian tinggal punya satu pilihan
saja . . . . . .." Un Bong-seng balas mendengus.
"Mau bicara, silahkan saja bicara, mau mendengarkan atau tidak, itu
urusanku." "Kalian hanya punya satu pilihan, yaitu dilebur menjadi satu dengan
Kim-hong-si-yu-lou."
Mendengar perkataan itu, kembali semua orang melengak, tercengang.
"Sejak kapan Kim-hong-si-yu-lou bersekongkol dengan pihak kerajaan?"
tanya Un Bong-seng keheranan.
Liam Lau tertawa lebar, memperlihatkan sebaris giginya yang berwarna
kuning, jawabnya: "Sudah sejak lama Kim-hong-si-yu-lou bergabung dengan pasukan
Gim-Ih-kun?" "Siapa yang mengutus kalian datang kemari?"
"Selain empat opas yang tersohor, masih ada siapa lagi?" tertawa Liam Lu
membuat sepasang matanya kelihatan bertambah sipit.
"Aku tidak percaya!" teriakan teriakan nyaring bergema dari setiap sudut
ruangan. "Kau sedang berbohong!"
"Kalau empat opas ingin membekuk kami, tak nanti dia gunakan cara rendah
semacam ini." Mendadak Liam Wan mengangkat tangannya keatas, memperlihatkan sebuah
benda sambil berteriak: "Coba lihat, benda apakah ini?"
Un Bong-seng serta Hoa Ku-hoat berdiri paling dekat dengan orang itu,
dalam sekilas pandang, mereka segera mengenali benda tersebut, teriaknya
tanpa sadar: "Peng Luan!" Peng Luan atau Peredam kekacauan merupakan tanda perintah Leng-pay yang
dihadiahkan kaisar untuk empat opas, bukan saja tanda pengenal ini
memiliki kekuasaan yang tak terhingga, seluruh pejabat tinggi baik
kejaksaan maupun kantor pemerintahan lain harus tunduk tanpa membantah,
bahkan memiliki kekuasaan untuk membunuh lebih dulu sebelum.memberikan
laporan. Hoa Ku-hoat berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengucapkan berapa kata
guna menjelaskan masalah yang sebenarnya, sayang dibawah tekanan tenaga
dalam lawan yang aneh, dia merasakan seluruh urat dan nadinya sakit bukan
kepalang, sedemikian tersiksa hingga tak sepatah katapun yang mampu
diucapkan. Menyadari gelagat yang tidak beres, Un Bong-seng menggigit bibirnya kuat
kuat, berusaha tidak mengucapkan sepatah katapun.
Siapa tahu, tenaga dalam lawan sangat aneh, tekanan yang muncul memaksa
dia untuk buka suara. Un Bong-seng tak mau menyerah dengan begitu saja, mengandalkan sisa
kekuatan yang ada dia berusaha melawan, namun racun yang bersarang
ditubuhnya membuat semua tenaga murninya buyar.
Semakin dia berusaha melawan, tekanan yang muncul makin besar dan
dahsyat, akhirnya tak tahan dia muntahkan darah segar.
Menggunakan kesempatan itu, ia berteriak keras:
"Mau bunuh, bunuhlah, jangan harap aku akan menyerah dan bergabung dengan
kalian." Para jago semakin gaduh, mata mereka terbelalak makin lebar, teriakan itu
kedengaran sangat aneh. Dibawah tekanan tenaga dalam Liam Lau, Un Bong-seng maupun Hoa Ku-hoat
sudah mati kutu, bukan saja tubuh mereka makin lemah, isi perutpun terasa
sakitnya bagaikan disayat.
Mereka sadar, walaupun umur mereka terselamatkan dari musibah kematian,
namun luka dalam yang mereka derita sekarang sangat parah, bukan satu dua
tahun bisa sembuh. Dalam keadaan begini, satu ingatan melintas dalam benak mereka semua:
"Sungguh tak disangka, hari ini kami semua harus tewas ditangan bajingan
tengik berhati keji ini."
"Hahaha, Un lotoa, jangan marah-marah dulu." Bukan gusar, Liam Lau malah
tertawa, "padahal pilihan yang ditawarkan kepada kalian adalah jalan
menuju kecerahan, kesempatan untuk jadi kaya dan terhormat bukankah
merupakan harapan kalian selama ini?"
"Kalau memang merupakan pilihan baik, kenapa harus meracuni kami semua?"
teriak Hoa Ku-hoat penuh dendam, "apalagi kau meracuni semua tamuku
disaat lohu sedang merayakan ulang tahun, tahukah kau, kejadian ini
membuat aku jadi malu kepada seluruh umat persilatan."
"Tua bangka Hoa," teriak Un Bong-seng, "bukan kau yang meracuni kami,
semua orang punya mata punya telinga, mulut dan hidung mereka masih
berada dikepala masing masing, mereka pun tahu kalau kejadian ini tak ada
sangkut pautnya dengan dirimu, kalau mau menagih hutang, tagih lah kepada
yang bersangkutan. Aku yakin semua orang tak akan membencimu."
"Bagus, ternyata kalian semua adalah enghiong hohan," Liam Lau tertawa
dingin, "kalau memang merasa enghiong hohan, kenapa tidak bergabung saja
dengan jenderal Cu Kou dan berbakti untuk negara?"
Kegaduhan seketika terjadi, semua hadirin mulai heboh.
Un Bong-seng melongo, mulutnya ternganga lebar, gumamnya:
"Ternyata memang empat opas yang tersohor . . . . .. tapi.... kenapa bisa
mereka?" "Bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Liam Lau lagi sambil maju
selangkah. "Sekalipun empat opas yang tersohor, lantas kenapa?" teriak Hoa Ku-hoat,
"kalian semua tak lebih hanya sekelompok serigala, kalau aku bilang tidak
mau bergabung, tetap tak mau."
Tiba-tiba Liam Wan tertawa malu, dengan gerakan yang amat lembut dia
ulurkan sepasang tangannya, kemudian menggenggam tangan Un Bong-seng
serta Hoa Ku-hoat. Sikap serta tindak tanduknya amat bersahabat, wajahnya penuh dihiasi
senyuman, senyum kemalu maluan. Dia seolah tidak terbiasa untuk
berkomunikasi dengan orang lain, tapi mau tak mau harus menarik tangan
lawan sebagai tanda persahabatan.
Namun begitu sepasang tangannya mulai menempel diatas urat nadi Un
Bong-seng berdua, tak bisa dibayangkan betapa menderita dan tersiksanya
kedua orang itu. Dalam waktu singkat kedua orang itu merasa isi perutnya seakan direndam
dalam air mendidih, bahkan yang mengepul keluar bukan buih, melainkan
pisau kecil yang tajamnya bukan kepalang, pisau yang sedang menyayat dan
memotong ususnya, membuat mereka kesakitan setengah mati.
Apa mau dikata, kedua orang itu justru tak mampu bersuara, ketika Liam
Wan tidak memperkenankan mereka untuk berteriak, mereka pun tak mampu
bersuara. Kembali Liam Wan bertanya:
"Bila kalian berdua bersedia bergabung, aku jamin masa depan kalian akan
makmur dan sentosa."
Lalu sambil mengerahkan tenaganya lebih kuat, tambahnya:
"Bagaimana pendapat kalian berdua sekarang?"
Bicara sampai disini, kembali dia mengendorkan gencetan jari tangannya.
Menggunakan kesempatan itu, Hoa Ku-hoat berteriak lantang:
"Biar dibunuh pun aku tak bakal . . . . . . . . .."
Mendadak satu kekuatan hawa murni yang aneh menyusup ke dalam
tenggorokannya, apa yang semula ingin disampaikan, tahu tahu sudah
berubah nada, katanya: "Aku tak bakal berubah pikiran untuk bergabung....."
Nada suaranya aneh dan kaku, namun bagaimana pun, perkataan tersebut
tetap muncul dari mulutnya.
Seketika itu juga suasana jadi hening, para jago melengak, keheranan dan
tercengang, seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri.
"Hei, kenapa kau menyanggupi tawarannya?"
"Menyerah kepada musuh, lelaki enghiong hohan macam apa dirimu itu.....?"
"Cuh . . . . . .. Hoa Ku-hoat, hari ini aku baru melihat kedok wajah aslimu
yang sebenarnya . . . . . . . .."
Keadaan Hoa Ku-hoat saat ini benar-benar ibarat orang bisu makan empedu,
sepahit apapun, dia tak mampu berkeluh.
Tampaknya pemuda itu telah mengendalikan ucapannya dengan menggunakan
tenaga dalam. Tiba tiba saja sikap Un Bong-seng berubah jadi sangat tenang, tanyanya
lamban: "Kau maksudkan Cu . . . . ..?
II "Betul sekali, saat ini jenderal Cu sedang butuh tenaga segar." Liam Lau
menjelaskan. "Membutuhkan tenaga? Membutuhkan tenaga untuk mengancam atasan dan
mengelabuhi bawahan? Mau memakai kekuatan untuk menindas rakyat kecil?"


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ejek Un Bong-seng sinis, "sudah cukup lama sepak terjang Cu thayjin
II dikagumi umat persilatan di kolong langit.....
"Apa maksud perkataanmu itu?" berubah paras muka Liam Lau.
II "Sederhana sekali, jawab Un Bong-seng dengan gagah berani, "kami tolak
tawaranmu itu, apapun resikonya."
Begitu ucapan itu diutarakan, tempik sorak pun gegap gempita, para jago
yang hadir dalam ruangan bersorak sorai memberi dukungan.
"Perkataan yang sangat indah!"
"Suruh dia menggelinding pergi dari sini!"
"Betul, usir dia dari sini, biar menggelinding pulang ke rumah nenek
moyangnya." Liam Lau mendengus, dengan tatapan mata penuh kebencian dipandangnya
semua tamu yang hadir dalam ruangan satu per satu, lalu sesudah
mendengus, katanya: "Bagus, semangat yang hebat, sekarang, kalian tinggal punya satu pilihan
saja . . . . . .." Un Bong-seng balas mendengus.
"Mau bicara, silahkan saja bicara, mau mendengarkan atau tidak, itu
urusanku." "Kalian hanya punya satu pilihan, yaitu dilebur menjadi satu dengan
Kim-hong-si-yu-lou."
Mendengar perkataan itu, kembali semua orang melengak, tercengang.
"Sejak kapan Kim-hong-si-yu-lou bersekongkol dengan pihak kerajaan?"
tanya Un Bong-seng keheranan.
Liam Lau tertawa lebar, memperlihatkan sebaris giginya yang berwarna
kuning, jawabnya: "Sudah sejak lama Kim-hong-si-yu-lou bergabung dengan pasukan
Gim-Ih-kun?" "Siapa yang mengutus kalian datang kemari?"
"Selain empat opas yang tersohor, masih ada siapa lagi?" tertawa Liam Lu
membuat sepasang matanya kelihatan bertambah sipit.
"Aku tidak percaya!" teriakan teriakan nyaring bergema dari setiap sudut
ruangan. "Kau sedang berbohong!"
"Kalau empat opas ingin membekuk kami, tak nanti dia gunakan cara rendah
semacam ini." Mendadak Liam Wan mengangkat tangannya keatas, memperlihatkan sebuah
benda sambil berteriak: "Coba lihat, benda apakah ini?"
Un Bong-seng serta Hoa Ku-hoat berdiri paling dekat dengan orang itu,
dalam sekilas pandang, mereka segera mengenali benda tersebut, teriaknya
tanpa sadar: "Peng Luan!" Peng Luan atau Peredam kekacauan merupakan tanda perintah Leng-pay yang
dihadiahkan kaisar untuk empat opas, bukan saja tanda pengenal ini
memiliki kekuasaan yang tak terhingga, seluruh pejabat tinggi baik
kejaksaan maupun kantor pemerintahan lain harus tunduk tanpa membantah,
bahkan memiliki kekuasaan untuk membunuh lebih dulu sebelum.memberikan
laporan. Hoa Ku-hoat berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengucapkan berapa kata
guna menjelaskan masalah yang sebenarnya, sayang dibawah tekanan tenaga
dalam lawan yang aneh, dia merasakan seluruh urat dan nadinya sakit bukan
kepalang, sedemikian tersiksa hingga tak sepatah katapun yang mampu
diucapkan. Menyadari gelagat yang tidak beres, Un Bong-seng menggigit bibirnya kuat
kuat, berusaha tidak mengucapkan sepatah katapun.
Siapa tahu, tenaga dalam lawan sangat aneh, tekanan yang muncul memaksa
dia untuk buka suara. Un Bong-seng tak mau menyerah dengan begitu saja, mengandalkan sisa
kekuatan yang ada dia berusaha melawan, namun racun yang bersarang
ditubuhnya membuat semua tenaga murninya buyar.
Semakin dia berusaha melawan, tekanan yang muncul makin besar dan
dahsyat, akhirnya tak tahan dia muntahkan darah segar.
Menggunakan kesempatan itu, ia berteriak keras:
"Mau bunuh, bunuhlah, jangan harap aku akan menyerah dan bergabung dengan
kalian." Para jago semakin gaduh, mata mereka terbelalak makin lebar, teriakan itu
kedengaran sangat aneh. Dibawah tekanan tenaga dalam Liam Lau, Un Bong-seng maupun Hoa Ku-hoat
sudah mati kutu, bukan saja tubuh mereka makin lemah, isi perutpun terasa
sakitnya bagaikan disayat.
Mereka sadar, walaupun umur mereka terselamatkan dari musibah kematian,
namun luka dalam yang mereka derita sekarang sangat parah, bukan satu dua
tahun bisa sembuh. Dalam keadaan begini, satu ingatan melintas dalam benak mereka semua:
"Sungguh tak disangka, hari ini kami semua harus tewas ditangan bajingan
tengik berhati keji ini."
Bab 24. Jagad lebar, tanah terpencil.
Disaat Liam Wan bermaksud menyiksa kedua orang itu secara
perlahan-lahan sampai mati, mendadak Liam Lau membisikkan
sesuatu ke sisi telinga nya.
Suara bisikan itu lirih sekali.
"Bila kau bunuh mereka, gerombolan ular akan kehilangan kepala
dan tak mampu berjalan lagi, lebih baik biarkan mereka tetap
hidup." Sambil tertawa tersipu, Liam Wan menarik kembali tenaga
dalamnya. Disaat dia tarik kembali kekuatannya, ternyata
sebagian tenaga dalam milik Un Bong-seng dan Hoa Ku-hoat ikut
pula dihisap masuk. Kalau dihari biasa, asalkan Un Bong-seng dan Hoa Ku-hoat
melakukan sedikit perlawanan saja, niscaya tenaga dalam mereka
tak akan semudah itu dihisap orang, apa mau dikata, tubuh mereka
terkena racun ngo-ma-cong lebih dahulu hingga kekuatan hawa
murninya tak mampu terhimpun, itulah sebabnya secara mudah
kekuatannya dihisap lawan.
Sekilas perasaan girang melintas diwajah Liam Wan, dengan
kecepatan bagaikan sambaran petir dia totok jalan darah bisu
kedua orang itu, kemudian baru ujarnya:
"Bila kalian berdua memang bersedia bergabung dengan hati tulus,
aku percaya semua muridu akan ikut bergabung pula bukan?"
Bicara sampai disini, dia pun berpaling kearah rombongan anak
murid Hoa Ku-hoat. Kali ini, Un Bong-seng datang tanpa membawa murid maupun anak
buah, yang ada sekarang hanya murid dan kerabat Hoa Ku-hoat,
apalagi tempat itu memang markas besarnya, hari ulang tahunnya
pula, tak heran kalau semuanya hadir lengkap.
Yang ditegur Liam Wan saat ini tak lain adalah mereka, dengan
sorot mata yang tajam, ia awasi mereka satu per satu.
Waktu itu, kecuali Tio Thian-yong, murid murtad Hoa Ku-hoat yang
sudah digusur dari ruangan, yang lain masih berkumpul dalam
gedung, hanya saja lantaran terlalu banyak minum tuak, saat ini
mereka semua sudah kehilangan kemampuan untuk bertarung.
Dengan mata setajam elang, Liam Wan mengawasi berapa orang murid
Hoa Ku-hoat, diantara berapa orang yang terkenal adalah:
Li-pat-kiam (pedang delapan gadis) Liok Ngo-ha, Tay-tay-peng-an
(selalu selamat) Liong To-cu, Po-san-to-kek (jago golok pembelah
bukit) Gin Seng-soat, Cian-to-bu-liang (Jalan seberang belum
terang) Go Liong . . . . . . . ..
Lalu murid Cu Gi-seng antara lain: Coa Tui-miau, Kwa Sian-tiong,
Liang Si, Song Tian-bi . . . . .. termasuk juga putra tunggal Hoa
Ku-hoat yang bernama Hoa Cing-ciu dan rekan kental mereka, Go
It-siang, Liong It-pay dan Ho It-siong.
Liam.Wan mulai tertawa, tertawanya begitu jengah, begitu malu
malu. `Aku kurang begitu tahu siapa yang harus dihukum paling dulu,
"kata Liam Wan lagi dengan mimik susah, "lebih baik biar orang
yang lebih mengerti yang memberitahukan kepadaku."
Dia bertepuk tangan berapa kali, segera terlihat ada orang
muncul dari belakang gedung.
Semuanya ada tiga orang yang muncul disitu, diantara mereka
bertiga, dua diantaranya memiliki wajah yang nyaris tak berbeda.
Bukan saja kedua orang itu memiliki panca indera yang persis
bentuknya, bahkan sedemikian mirip hingga susah untuk membedakan
satu dengan lainnya. Sekalipun begitu, orang tetap akan ragu untuk menganggap mereka
berdua sebagai saudara kembar.
Ini dikarenakan kedua orang itu memiliki penampilan yang kelewat
aneh, kelewat bertolak belakang.
Yang seorang tampil serius, seolah olah tempat dimana ia berada
adalah tempat yang terpencil, tanpa penghuni, tanpa manusia,
tanpa makhluk hidup, tiada langit tiada bumi.
Sebaliknya yang seorang lagi lembut dan ramah, begitu lembut
selembut seekor kucing, seekor kelinci, seekor kijang kecil.
Tentu, bila ia mulai meloloskan golok yang tergantung
dipunggungnya maka segera akan berubah jadi seekor kucing dengan
cakar beracun, seekor kelinci bertaring racun atau seekor
serigala yang menyamar sebagai seekor anakan kijang.
Mereka benar benar merupakan dua bersaudara dengan watak dan
penampilan yang berbeda. Tapi cara mereka turun tangan, kekejaman, ketelengasan dan
kekejian ilmu golok yang mereka miliki persis satu sama lainnya.
Sebagian besar jago yang hadir dalam gedung, meski belum pernah
bertemu dengan dua bersaudara ini, paling tidak mereka pernah
mendengar nama besarnya: Siau Pek dari Siang-yang dan Siau Ngo dari Sin-yang.
Dua bersaudara Siau dengan mengandalkan ilmu golok "Jagad lebar,
tanah terpencil" serta ilmu golok tujuh puluh dua jurus ilmu
besan telah merajai seantero dunia persilatan.
Dibelakang kedua orang itu adalah Tio Thian-yong. Orang ini
telah dibebaskan oleh mereka berdua, meski begitu sikapnya masih
kelihatan kaku dan takut.
"Sekarang kau tak usah takut lagi, keadaan mereka ibarat daging
yang sudah menempel diujung pisau, mau disayat, mau dibacok,
semuanya terserah kehendakmu," kata Liam.Wan lembut, "coba kau
lihat, ada begitu banyak orang yang berkumpul disini, apabila
ingin melukai beberapa orang yang dapat membuat si tua Hoa sakit
hati dan menyesal sekali, kira kira siapa yang akan kau pilih?"
Tio Thian-yong tergagap, untuk sesaat dia masih tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun, bagaimanapun juga, dia masih pecah
nyali, ketakutan setengah mati.
"Tak usah kuatir," kembali Liam Wan menepuk bahunya sambil
tertawa, "setelah termakan racun ngo-ma-cong, tak seorangpun
dari mereka yang mampu bergerak, asalkan kau bersedia untuk
bergabung dengan kami, bukan saja bisa jadi pejabat tinggi
bahkan dalam partai pun kau bisa jadi wakil ketua."
"Tapi..... tapi . . . . .. suhu adalah wakil partai, masa aku harus
bersaing dengan dia orang tua . . . . . .." bisik Tio Thian-yong
sambil berkerut kening. Liam Wan tertawa lebar. "Hahaha, siapa bilang si tua Hoa masih seorang ketua partai? Dia
sudah puluhan tahun memangku jabatan ini, sudah sepantasnya
kalau hari ini lengser dan berikan jabatan itu untuk orang
lain." "Lantas . . . . . . .. lantas cianpwee mana dari perguruan kami yang
punya kemampuan dan pantas menduduki jabatan ini?" tanya Tio
Thian-yong dengan nada menyelidik.
"Hahaha, sudah tentu toa-suheng mu." Sahut Liam Wan tertawa.
Tanpa terasa semua orang berpaling, sama-sama menatap wajah Thio
Sun-thay, ditatap seperti ini, paras muka orang she-Thio ini
segera berubah jadi merah pucat, bukan wajahnya saja bahkan
sampai telinga pun ikut memerah.
"Kenapa bisa toa-suheng?" tak tahan Tio Thian-yong protes.
"Hehehe, kalau tak ada toa-suheng mu, bagaimana mungkin racun
ngo-ma-cong kami bisa masuk ke tubuh semua tamu? Mana mungkin
saudara saudara seperguruanmu mau menuruti semua perkataanmu?"
"Hahhh, toa-suheng, ternyata perbuatanmu?" teriak Tio Thian-yong
tercengang. Untuk sesaat Thio Sun-thay jadi gelagapan, kemudian dengan nada
terbata-bata serunya: "Liam.ji-sianseng, bukankah kau telah berjanji . . . . . .. berjanji
tak akan membeberkan rahasia ini dihadapan orang banyak?
Kenapa..., kenapa sekarang.....?"
"Apa salahnya? Dengan gagah berani kau bersedia mengorbankan
kerabat sendiri demi melaksanakan tugas besar, perbuatan semacam
ini patut dihormati semua orang, lagipula usaha kita telah
berhasil dengan sukses, semua orang rela tunduk dibawah
perintahmu, kenapa kau musti pungkiri kalau jasa ini bukan
milikmu? Buat apa kau jadi seorang enghiong tanpa nama?"
"Tapi . . . . . . . ..?" Thio Sun-thay semakin tergagap.
Dia dapat merasakan ada berapa ratus pasang mata sedang
mengawasinya, mendelik ke arahnya dengan penuh rasa kebencian
dan dendam, andaikata sinar mata tersebut setajam pisau belati,
mungkin sejak tadi tubuhnya sudah tercincang jadi bongkahan
daging hancur. Apalagi tatapan mata gurunya, begitu merah membara, begitu
terbakar seakan hendak melumat seluruh badannya.
Sayang mereka bukan saja tak mampu turun tangan menghadapinya,
biar ingin bergerak sedikitpun sudah tak mampu dan dalam hal ini
dia merasa sangat yakin. Sebab dia tahu berapa banyak takaran racun ngo-ma-cong yang
telah dicampurkan ke dalam arak.
Tiba tiba terdengar Hoa Ku-hoat mengerang, kemudian berteriak
keras: "Sun-thay, selama ini aku sangat baik kepadamu, kenapa kau harus
berbuat begini?" Thio Sun-thay ingin menjawab, sayang dia tak tahu apa yang harus
dikatakan. "Kau bersikap baik kepadanya?" ejek Liam Lau sinis, "sepanjang
hari, dari pagi hingga malam, kau selalu perintah dia untuk
melakukan segala tugas, siapa yang kesudian sepanjang hidup
bekerja dan melayani setan tua macam dirimu?"
Kali ini Hoa Ku-hoat tidak mencoba berdebat, hanya katanya lagi:
"Sun-thay, be.....begitukah jalan pikiranmu??"
Thio Sun-thay menggigit bibir, tampaknya dia sudah mengambil
satu keputusan besar, sahutnya kemudian:
"Biar sebaik apa pun kulayani kemauanmu, semuanya percuma saja,
toh pada akhirnya posisi ketua perguruan tetap kau serahkan
kepada Cing-ciu." Hoa Cing-ciu adalah putra tunggal Hoa Ku-hoat. Dia hanya
memiliki seorang putra, apalagi sejak usia pertengahan, Hoa
Ku-hoat sudah kehilangan istri, tidak heran kalau dia sangat
menyayangi putranya ini. Dengan wajah amat sedih Hoa Ku-hoat gelengkan kepalanya berulang
kali, gumamnya: "Sudah, sudahlah . . . . . . . .."
Kembali Thio Sun-thay berkata denga nada garang:
"Kau tak pernah adil kepadaku, selamanya tak pernah adil, aku
adalah murid pertama mu, selalu bersujud dan berbakti untukmu,


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi apa imbal baliknya? Kau selalu menganggap aku sebagai
pelayanmu, kacungmu, jongosmu, kau.... kau salah besar."
Un Bong-seng yang selama ini hanya membungkam, mendadak
menimbrung dengan perasaan sedih:
"Padahal sejak berapa tahun berselang, Hoa sute telah
menyampaikan kepadaku bahwa dia ingin mewariskan semua
kemampuannya untukmu, hanya saja dia tidak berharap kau kelewat
gembira hingga lupa diri, kuatir kau enggan berlatih lebih tekun
untuk mencapai kemajuan, maka selama ini dia menahan diri untuk
tidak memberitahukan hal tersebut kepadamu."
Thio Sun-thay terhuyung mundur dua langkah dengan hati kaget, ia
melengak, terperangah, tiba tiba dengan wajah merah padam,
jeritnya: "Aku tidak percaya, aku tidak percaya, aku tidak percaya dengan
II perkataan bohongmu . . . . . ..
"Toa suheng," kata Hoa Cing-ciu pula dengan wajah pucat kehijau
hijauan, "ayah pun pernah berpesan kepadaku, agar dikemudian
hari mau menuruti perkataanmu, selama hidup aku tak boleh punya
niatan untuk berhianat atau berusaha merebut posisi ketua dari
tanganmu, sungguh! Aku bicara jujur!"
"Tutup mulut, anggap saja mataku memang buta!" bentak Hoa
Ku-hoat gusar. Liam Lau tertawa terbahak-bahak, ejeknya:
"Hahaha, ternyata kau adalah putra setan tua Hoa."
Dengan gemas dia cubit wajah lelaki itu.
Thio Sun-thay seketika berdiri menjublak, tertegun.
"Ada apa?" kembali Liam Lau mengejek, "kalau ingin mencapai
sesuatu yang besar, kau harus belajar tega dan berani mengambil
keputusan." Kembali dia tarik muka Thio Sun-thay, menyatukan pipi kiri
dengan pipi kanannya hingga terbentuk sebuah raut muka yang aneh
dan menggelikan. Sambil menempelkan mulutnya yang ompong nyaris tak tertinggal
sebuah gigi pun itu ke depan wajah Thio Sun-thay, dia berseru:
"Mereka semua hampir mampus, tentu saja mereka berusaha untuk
bicara yang baik baik dan menarik simpatik, bagaimana? Menurut
kau, siapa yang harus kujagal terlebih dulu?"
Thio Sun-thay celingukan ke sana kemari, untuk sesaat dia tak
bisa ambil keputusan, peluh sebesar kacang kedele telah
membasahi jidatnya. "Tak usah takut,"kembali bujuk Liam Lau sambil menepuk bahunya,
"sesudah pertarungan hari ini, kau akan jadi toa enghiong,
toa-haukiat di tempat ini, hanya ada orang lain takut kepadamu,
sedang kau tak akan takut terhadap siapa pun."
Thio sun-thay mulai gemetar, sampai bibir pun ikut gemetar
keras. Liam Lau tertawa lebar, sembari picingkan sebelah mata, katanya
lagi: "Kalau kau tak bisa jatuhkan pilihanmu, masa suruh kami
membunuhmu terlebih dulu?"
"Binatang!" umpat Hoa Ku-hoat dengan mata merah membara, merah
saking marahnya. Akhirnya Thio Sun-thay mengambil keputusan besar, dia mulai
berani angkat kepala, memandang orang orang dihadapannya,
mengawasi rekan seperguruannya, mengamati kakak adik
seperguruan. Li-pat-kiam (pedang delapan gadis) Liok Ngo-ha,
Tay-tay-peng-an (selalu selamat) Liong To-cu, Po-san-to-kek
(jago golok pembelah bukit) Gin Seng-soat, Cian-to-bu-liang
(Jalan seberang belum terang) Go Liong, lalu putra tunggal
gurunya, Hoa Cing-ciu.....
Untuk sesaat Thio Sun-thay tidak tahu siapa yang harus ditunjuk.
Siapapun yang dia tunjuk, berarti dialah yang bakal mampus
duluan. Rekan rekan seperguruan yang diwaktu biasa bersikap kurang
bersahabat atau memusuhinya mulai merasa ketakutan, mereka mulai
merasa menggigil, takut dirinya yang bakal ditunjuk sebagai
pembalasan dendam. Sang toa-suheng, yang biasanya menganggap orang ini tolol dan
suka mencari keuntungan dari dirinya pun ikut merasa berdebar
hatinya. Memang begitulah manusia, suka menganiaya orang lain dikala
dirinya sedang berkuasa, tapi tak pernah membayangkan apa yang
bakal dilakukan lawan disaat diapun sedang berkuasa.....
Disaat semua orang mulai menduga duga, siapa yang bakal dipilih
Thio Sun-thay sebagai tubal pertama, tiba tiba terdengar Tio
Thian-yong menyela: "Kalau toa-suheng enggan memilih, biar aku mewakilimu untuk
memilih." Mendengar ucapan ini, semua orang makin terperanjat.
Hubungan antara Tio Thian-yong dengan Hoa Ku-hoat maupun Un
Bong-seng boleh dibilang sudah putus dan tak punya hubungan apa
apa lagi, demi selamatkan hidupnya tadi, dia sempat
menjerumuskan Un Bong-seng namun justru dijatuhi hukuman oleh
Hoa Ku-hoat. Kejadian ini sudah pasti akan membuat Tio Thian-yong makin sakit
hati dan berusaha balas dendam.
Bagaimana pun, antara Thio Sun-thay dengan perguruan keluarga
Hoa masih terikat budi, sebaliknya Tio Thian-yong bukan saja
suka mogor bahkan takut mati, hal ini dibuktikan dengan
diambilnya kesempatan tersebut untuk unjuk kesetiaannya kepada
dua bersaudara Liam. Berbinar sinar mata Liam Lau mendengar perkataan itu, sambil
mengelus jenggotnya dan terbahak, serunya:
"Baik, baiklah, kalian dua kakak adik seperguruan bisa berunding
dulu." Mendengar perkataa dari Tio Thian-yong ini, Thio Sun-thay pun
dapat menghembuskan napas lega.
Sejujurnya, dia benar-benar merasa tak tega untuk membunuh dan
mencelakai saudara seperguruan sendiri.
Terlihat Tio Thian-yong maju selangkah, kemudian mengucapkan
berapa patah kata disisi telinganya.
"Apa . . . . . . . ..?" Thio Sun-thay belum menangkap dengan jelas.
Lagi lagi Tio Thian-yong membisikkan sesuatu, namun Thio
Sun-thay masih juga tidak menangkap dengan jelas, terpaksa dia
dorong telinga nya lebih mendekat.
Tio Thian-yong menarik napas panjang, mendadak serunya:
"Lebih baik kau saja yang mampus."
Kali ini Thio Sun-thay dapat mendengar dengan sangat jelas, tapi
sayang sudah terlambat. Tio Thian-yong sudah keburu turun tangan, satu tusukan golok
telah menembusi perut Thio Sun-thay.
Dalam waktu singkat Thio Sun-thay merasakan sakit yang luar
biasa, seluruh kekuatannya buyar.
Dalam sekali tebasan, Tio Thian-yong nyaris telah menusuknya
sebanyak tiga puluh enam bacokan, tubuh Thio Sun-thay pun segera
berubah jadi sumber air mancur berwarna merah.
Darah menyembur keluar dari tiga puluh enam buah luka tusukan.
Sebagaimana diketahui, julukan Tio Thian-yong adalah tujuh puluh
dua tusukan, itu mengartikan, dalam serangan yang dilancarkan
barusan, dia hanya memakai separuh kekuatan yang dimiliki.
Sekalipun hanya separuhnya, Thio Sun-thay sudah tak sanggup
berdiri tegak lagi, tubuhnya langsung roboh terjerembab,
sementara dia pun langsung ambil langkah seribu.
Hal inipun sesuai dengan julukannya, tiga puluh enam langkah,
yang artinya ambil langkah seribu merupakan taktik utamanya.
Tapi sayang, baru saja dia melompat kabur, satu bacokan maut
dari Siau Ngo sudah diayun ke arahnya.
Dalam bacokan yang pertama, Tio Thian-yong sudah kehilangan
sebuah lengannya, lengan kiri.
Menyusul kemudian bacokan kedua, lagi-lagi Tio Thian-yong
kehilangan kaki sebelah, kaki kanan.
Siau Ngo hanya melepaskan dua bacokan, satu ke atas satu lagi ke
arah bawah, kemudian ia tarik kembali senjatanya, mundur dan
menengok ke arah Siau Pek.
Padahal Tio Thian-yong bukannya tidak berkelit, ia sudah
berusaha menghindarkan diri.
Dia sudah berkelit, menghindar, dalam waktu yang begitu singkat,
ia sudah tiga puluh enam kali berkelit, begitu cepat gerakannya
sehingga hanya jago jago tangguh yang bisa menyaksikan betapa
cepat, betapa lincah dan betapa gesitnya dia menghindarkan diri
dari ancaman. Sayang, semua jerih payah dan usahanya tidak berguna.
Diantara gerakan Siau Ngo dalam meloloskan golok sampai menarik
kembali goloknya, Tio Thian-yong telah berubah jadi seseorang
yang "sama sekali tak berguna". Dia tak lagi bisa melarikan
diri, apalagi memberi perlawanan.
Siaau Pek yang berada disamping Siau Ngo menghela napas panjang,
kemudian mengucapkan sepatah kata.
Tak seorang pun yang mendengar apa yang sedang dia katakan,
hanya Siau Ngo seorang yang mendengar.
"Kau mengalami kemunduran."
"Kenapa kau?" Pertanyaan ini muncul dari mulut dua orang, diutarakan hampir
bersamaan waktu. Yang satu adalah Liam Lau, sedang yang lain adalah Hoa Ku-hoat.
"Aku hanya suka mogor, suka belajar ilmu canggih tapi tak pernah
akan menghianati perguruan, tak akan menjual rekan dan saudara
seperguruan sendiri . . . . . . . .." darah kental mulai meleleh dari
ujung bibir Tio Thian-yong, dengan napas tersengkal lanjutnya,
"kusangka suhu benar benar benci supek hingga menfitnah dan
mencelakainya . . . . . . .. tapi perbuatan dari toa-suheng . . . . .. biar
sampai mati pun, aku tak sudi melakukannya."
"Itulah sebabnya kau harus mati." Kata Liam Lau sambil tertawa
terkekek. Hoa Ku-hoat tak kuasa menahan rasa sedihnya lagi, dengan air
mata bercucuran katanya: "Bagus, bagus sekali, kau masih tetap muridku yang baik."
"Suhu . . . . . . . .." bisik Tio Thian-yong sambil tertawa sedih.
Tiba tiba Liam.Lau berseru lagi:
"Siapa yang mau bantu aku untuk mengirim pulang murid kesayangan
Hoa sianseng ini ke langit barat?"
"Aku!" Kali ini Liam Lau melengak, tertegun, seolah sama sekali tak
menduga akan hal itu. Sebab orang yang menjawab "aku", bahkan segera tampilkan diri
itu tak lain adalah Liam Wan.
Selama ini Liam.Wan adalah seseorang yang bisa dan pandai
menahan diri. Usia Liam Wan paling tidak lebih muda empat puluh tahun
dibandingkan Liam Lau, tapi hanya Liam Lau yang paling mengerti
ketenangan serta kemampuan rekannya itu.
Dari tindakan yang dilakukan rekannya sekarang, dia bahkan
merasa sedikit tak tega. Bab 25. Tidak makan hidangan manusia.
Tidak nampak dengan jelas gerakan tubuh Liam Wan, tahu-tahu saja dia
sudah berada dihadapan Tio Thian-yong.
Padahal jarak mereka terpisahkan oleh beberapa orang, untuk mencapai
ke situ masih butuh berapa langkah.
Tapi hanya butuh satu langkah saja Liam Wan sudah tiba didepan Tio
Thian-yong. Waktu berjalan dia seakan sedang "meluncur", kecuali lututnya
sedikit agak bergetar, seluruh badannya nyaris tidak bergerak.
Sekonyong-konyong Tio Thian-yong mencabut sebilah pisau lalu
dihujamkan ke ulu hati sendiri.
Dengan satu gerakan yang sangat ringan, seolah sedang memetik sebiji
buah, dengan satu ayunan tangan, Liam Wan telah merampas pisau itu
dari tangan lawan, kemudian dengan ayunan berikut, dia totok jalan
darah Tio Thian-yong hingga tak mampu bergerak.
Selesai semuanya, dia tepuk tangan berapa kali, berapa orang lelaki
kekar segera munculkan diri.
"Hentikan dulu pendarahannya," perintah Liam Wan, kemudian
menambahkan, "lalu bubuhi dengan obat luka yang terbaik."
Sekali lagi kawanan lelaki kekar itu mengiakan.
Tindakan yang dia lakukan ini bukan saja membuat Un Bong-seng dan
Hoa Ku-hoat tercengang, tidak habis mengerti, bahkan Liam Lau pun
merasa keheranan. Ke tiga orang pelindung hukum dari perguruan termasuk orang orang
pengalaman yang sudah kenyang makan asam garam, Go It-siang, salah
seorang huhoat segera berseru:
"Hmm, kucing menangisi tikus, rencana busuk apa lagi yang
direncanakan bajingan ini!"
Il "Tio Thian-yong, seru Liong It-pay pula, "jelek jelek begitu kau
masih terhitung seorang hohan, urusan yang lalu sudah kita anggap
impas, masalah mendatang sebesar dan seberat apapun, kami anggota
perguruan tetap akan mendukungmu, jangan sampai perbuatanmu
selanjutnya bikin malu kami semua."
II "Seorang lelaki boleh dibunuh, pantang dihina, seru Ho It-siang
pula, "kalau memang jantan, ayoh bunuh sekalian kami semua! Akan
kulihat apakah semua enghiong hohan dari dunia persilatan akan
mengampuni kalian." Saat itu Tio Thian-yong sudah kesakitan hingga hanya bisa mendengar
tapi tak mampu menjawab perkataan pelindung hukumnya.
Liam Wan mengernyitkan alis matanya, berpaling ke arah Liong It-pay,
Go It-siang serta Ho It-siang, kemudian serunya dengan wajah kagum:
"Kalian bertiga memang benar-benar hohan sejati!"
Ke tiga orang jago itu hanya tertawa dingin, mendengus dan melengos
kearah lain tanpa menggubris.
II "Sayang sekali, ujar Liam Wan lagi, "dia sudah mengeluarkan begitu
banyak darah, kesakitan pula, tapi kamu bertiga masih paksa dia
untuk menjadi seorang hohan, apakah . . . . .. apakah perbuatan kalian
itu tidak sedikit egois?"
Ke tiga orang pelindung hukum itu tidak menyahut, mereka sudah ambil
keputusan untuk tidak menggubris.
"Aaai, tahukah kalian apa sebenarnya yang disebut kesakitan?" dengan
perasaan tak berdaya Liam Wan menghela napas.
Sebuah pertanyaan yang sangat aneh.
Biarpun Liong It-pay, Ho It-siang serta Go It-siang ingin menjawab
pun, mereka tak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Maka Liam Wan menjawab sendiri pertanyaannya.
"Kalian pasti tidak tahu bukan? Tapi aku tahu. Asal kalian pun ikut
merasakan kesakitan, maka jawaban yang tepat pasti bisa kalian
dapatkan." Begitu selesai bicara, ke tiga orang pelindung hukum perguruan
keluarga Hoa, Liong It-pay, Go It-siang, Ho It-siang pun berubah
jadi manusia cacat. Peristiwa itu berlangsung terlalu cepat. Semua orang sudah menduga


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau Liam Wan bakal turun tangan, namun tidak tahu sedemikian
mendadak, sedemikian cepatnya ia melancarkan serangan.
Sekalipun mereka sudah membuat persiapan, bahkan masih dapat
bergerak dengan bebas, belum tentu usaha itu memberikan manfaat.
Ini dikarenakan cara Liam Wan turun tangan kelewat cepat, kelewat
mendadak, sama sekali diluar dugaan.
Sabetan goloknya telah memotong putus tali pita suara Go It-siang,
mencongkel sepasang mata Ho It-siang. Mereka berdua tahu tahu sudah
terkena bacokan ditengah jeritan kaget dan bentakan penuh amarah.
Senjata yang dipergunakan Liam Wan tak lain adalah pisau belati
milik Tio Thian-yong. Dengan penuh amarah Go It-pay membentak:
"Kau berani melukai saudara saudara ku?"
Belum habis dia berteriak, tubuh bagian bawahnya terasa panas dan
pedas sekali. Sama seperti apa yang dialami Ho It-siang maupun Go It-siang, dia
pun merasakan berkilatnya selapis cahaya golok dihadapan matanya.
Cahaya golok itu hanya menyambar lewat kemudian hilang tak berbekas.
Anehnya dia tidak merasa sakit, tidak pula merasa terkena sabetan
golok. Yang dijumpai waktu itu adalah kedua saudaranya yang selama ini
mendampingi dia, Go It-siang telah berubah jadi bisu sedang Ho
It-siang jadi buta. Sementara dia masih mencaci maki dengan penuh amarah, mendadak dari
bawah pinggangnya terasa ada sesuatu yang sedang meleleh.
Dia segera tundukkan kepala untuk memeriksa: ternyata darah, kenapa
bisa berdarah? Dari mana darah itu mengalir keluar?
Begitu tertegun, tanpa sadar dia pun ingin menggerakkan tubuhnya.
Sejak terkena racun ngo-ma-cong, kaki dan tangannya memang sudah
lumpuh, tak sanggup bergerak lagi, namun tubuhnya masih bisa
melakukan gerakan dan geseran ringan.
Begitu menggerakkan tubuhnya, diapun kehilangan keseimbangan badan,
karena sepasang kakinya ternyata sudah sejak tadi kabur meninggalkan
badannya. Dari tempat itulah cucuran darah segarnya meleleh keluar, sepasang
kakinya sudah ditebas kutung.
Dengan satu babatan golok yang begitu ringan, ternyata Liam Wan
telah menghancurkan masa depan tiga orang, membuat Ho It-siang jadi
buta, Go It-siang jadi bisu dan memaksa Liong It-pay jadi manusia
cacat tak berkaki. Suasana jadi gempar, par jago menjerit kaget.
Sembari menarik kembali pisaunya, ujar Liam Wan hambar:
"Bubuhkan obat luka ditubuh mereka, agar pendarahan segera
berhenti." "Baik!' jawab kawana lelaki itu serentak.
Sekonyong-konyong terdengar seseorang membentak dengan penuh amarah:
"Kentut mak mu!"
Sementara semua orang masih tertegun, terlihat seseorang sudah
meluncur di udara seringan seekor burung berwarna putih, melewati
atas kepala para tahu, sreeet, sreeet, sreeet dengan gaya dan
gerakan yang enteng dan cepat tiga serangan sudah dilayangkan ke
wajah Liam Wan. Para jao yang hadir dalam ruangan terperanjat, tapi Liam Wan jauh
lebih terkejut. Dia tak menyangka masih ada orang yang sanggup
bertarung melawan dia sesudah terkena racun Ngo-ma-cong, bahkan ilmu
silat yang dimiliki orang itu sangat hebat, serangan yang
dilontarkan begitu cepat tak terbayangkan.
Akan tetapi reaksi yang diperlihatkan Liam Wan pun tak kalah
cepatnya, dalam waktu sekejap, kedua orang itu sudah saling
menyerang berapa gebrakan.
Sebagian besar kawanan jago yang hadir dalam gedung saat ini boleh
dibilang merupakan jago jago kenamaan, namun tak seorangpun yang
bisa melihat dengan jelas siapa sedang menyerang siapa, lalu dalam
pertarungan itu siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan?
Orang lain mungkin saja tidak jelas, tapi bagi dua orang yang
bersangkutan mengetahui dengan jelas sekali.
orang yang barusan melancarkan serangan tentu saja Pui Heng-sau.
Selama ini dia hanya sibuk berdebat dengan Un-ji, kemudian mereka
sama sama dibuat kebingungan, sebetulnya Tio Thian-yong termasuk
orang yang setia? Atau berhianat? Thio Sun-thay itu orang baik? Atau
orang jahat? Perubahan yang kemudian berlangsung dalam arena pun membuat mereka
semakin bimbang dan tak habis mengerti.
Tindakan Tio Thian-yong yang membunuh Thio sun-thay juga membuat dia
makin terperangah, kekacauan membuat dia jadi serba salah, tidak
tahu bagaimana harus membedakan antara kesetiaan dan penghianatan.
Kemudian situasi pun kembali terjadi perubahan, Siau Ngo turun
tangan melukai Tio thian-yong hingga luka parah, dicekam perasaan
tertegun membuat dia lupa untuk turun tangan melakukan pencegahan.
Siapa sangka disaat itulah Liam Wan tampil ke depan dan membantu Tio
Thian-yong mengobati lukanya, dia sangka ada "orang baik" yang bakal
menegakkan "keadilan".
Siapa tahu lagi lagi Liam Wan turun tangan melukai Liong It-pay, Ho
It-siang dan Go It-siang. Menyaksikan sampai disini, habis sudah
kesabaran Pui Heng-sau. Peristiwa semacam ini sudah jelas merupakan satu kejadian yang tak
bisa didiamkan, kelewat kejam!
Hingga Un-ji mulai menyikut perut Pui Heng-sau sambil berbisik:
"Ke... kenapa kau tidak menghalangi mereka...."
Saat itulah semangat Pui Heng-sau baru berkobar, maka dengan
menggunakan kipas mustika andalannya, siam-ik-san dia sapu wajah
Liam Wan. Baru saja serangan dilancarkan, entah bagaimana, tahu tahu sebilah
pisau tajam telah menjebol pertahanan kipasnya, menyelinap masuk
lalu menusuk lambungnya. Ternyata Liam Wan tidak berusah menghindar, bahkan melancarkan
serangan balasan, tentu saja Pui Heng-sau tidak minat untuk mati
bersamanya. Mimpi pun dia tak menyangka kalau pihak musuh bukan saja tidak
menghindar bahkan melancarkan serangan balasan, disaat yang kritis
itulah, ibarat seekor ikan belut, dia menyelinap ke samping,
kipasnya diputar lalu menyodok punggung Liam Wan dengan gagang
senjatanya. Langkah yang dia lakukan kali ini benar-benar luar biasa, meski ilmu
silat Liam Wan lebih hebat pun, begitu sapuan pisaunya meleset,
sulit baginya untuk menarik balik senjatanya, otomatis punggungnya
bakal kena gebukan. Apa mau dikata ternyata Liam Wan tidak berusaha menghindar, tiba
tiba pisau nya disambit ke depan, langsung mengancam tenggorokan
lawan. Pui Heng-sau berteriak saking kagetnya, cepat dia tangkis dengan
kipasnya. "Triiing!" ujung pisau lewat diatas kipas dan melesat ke samping,
menuju ke arah Liam Lau. Dengan mimik muka senyum tak senyum Liam Lau maju selangkah sambil
memantulkan otot bahunya ke atas, lagi lagi gagang pisau itu mental
dan mencelat ke arah lain, langsung menghujam ke ulu hati Go King.
Sungguh kasihan Go King, sebetulnya dia termasuk seorang tokoh
kenamaan dalam dunia persilatan, berhubung keracunan lebih dulu
hingga badannya tak mampu berkutik, tak ampun hilanglah selembar
nyawanya dengan percuma. Lian Wan mengubah posisinya dari bertahan menjadi pihak penyerang,
begitu dua serangannya membuahkan hasil, dia merangsek lebih ke
depan, sepasang telapak tangannya ditekuk dalam bentuk daun bambu
sementara jarinya tegang bagai tombak, baru saja akan melancarkan
serangan lebih jauh, mendadak terbaca olehnya berapa huruf di
lembaran kipas milik Pui Heng-sau.
Disana tertulis: Tidak makan hidangan manusia.
Membaca tulisan ini, Liam Wan tertegun, manfaatkan kesempatan ini
Pui Heng-sau berganti jurus, kipasnya dilipat lalu mengancam
tenggorokan lawan. Liam Wan berpekik nyaring. Dua lembar daun bambu disambit keluar,
mengancam jalan darah thay-yang-hiat di kedua kening musuh.
Sekilas pandang, Liam Wan kelihatan halus dan terpelajar, bahkan
sedikit malu malu, tapi begitu melancarkan serangan, nyaris semua
jurusnya merupakan serangan mematikan.
Tentu saja Pui Heng-sau enggan beradu nyawa, dia termasuk orang yang
selalu menghargai nyawa sendiri, nyawa Cuma selembar, Pui Heng-sau
memang selamanya takut mati.
Dalam situasi yang amat kritis, terpaksa dia tarik kembali
serangannya, dadanya seperti kena satu tendangan yang "menendang"
tubuhnya ke belakang, gerakan itu persis menghindarkan dirinya dari
ancaman maut Liam Wan. Pucat kehijauan paras muka Liam Wan, ada sementara orang yang
mukanya tak akan memerah setelah minum arak, tapi berubah jadi hijau
pucat, begitulah mimik muka Liam Wan saat itu.
Dia sama sekali tidak berhenti, pun tidak melambatkan gerakannya,
dalam waktu sekejap, dia seolah telah berubah menjadi seekor bangau
putih. Dalam waktu yang begitu singkat, dia telah melancarkan tiga jurus
serangan ke arah Pui Heng-sau.
Didalam suasana berbahaya, Pui Heng-sau merasa seolah telah
Il "ditendang" orang, kemudian "diayun dan terakhir "dibuang"
seseorang. Apapun yang sudah dialaminya, baik menggelinding atau
bersalto, yang pasti selembar nyawanya berhasil terselamatkan dari
lubang jarum dan terhindar dari serangan maut lawan.
Gagal dengan tiga serangannya pertama, lagi lagi Liam Wan melepaskan
tiga serangan. Ketika lagi-lagi gagal, dia melanjutkan dengan tiga
serangan berikut. Sampai detik ini, Pui Heng-sau boleh dibilang sudah tidak memiliki
kekuatan lagi untuk melancarkan serangan balasan.
Sekalipun begitu, dia masih memiliki kemampuan terakhir yaitu tidak
membiarkan serangan dari Liam Wan menyentuh badannya.
Jangankan tubuh, menyentuh ujung baju miliknya pun tidak mampu.
Tiba tiba Liam Wan menarik kembali serangannya, menghembuskan napas
panjang lalu melototi Pui Heng-sau dengan gemas.
Pui Heng-sau ikut menghembuskan napas lega, sesudah menjulurkan
lidahnya sambil menggerakkan bahu berapa kali, serunya:
"waah, sungguh berbahaya, ternyata ilmumu adalah Hok-lip-hiang-thian
(bangau berdiri di sawah bersalju)!"
Lalu kepada Liam Lau yang berada disisinya, dengan mata setengah
picing, tambahnya: "Dan kau sudah pasti jago yang termashur dengan ilmu Hau-hengsoat-tee (harimau berjalan di tanah bersalju)!"
Liam Lau tidak menjawab, hanya tertawa sinis.
"Gara gara agak emosi tadi, aku sempat mengumpat dengan berapa patah
kata kasar," kata Pui Heng-sau kemudian, "perbuatan semacam ini
sangat mencerminkan moral dan pendidikanku yang kurang, sungguh
memalukan." Bicara sampai disini, tiba tiba saja dia teringat dengan kondisi Ho
It-siang, Liong It-pay serta Go It-siang yang mengenaskan, gara gara
sabetan golok di tenggorokan Go It-siang, pita suaranya putus dan
sekarang jadi bisu. Liong It-pay lebih mengenaskan, sepasang kaki sebatas lututnya telah
berpisah dari badan, sementara Ho It-siang kehilangan dua biji bola
matanya hyingga buta, kalau dibicarakan, keadaan mereka sungguh
mengenaskan. Secara beruntun Liam wan telah melepaskan tiga bacokan, biarpun ke
tiga orang korbannya sudah kehilangan tenaga hingga tak sanggup
menghindar, namun kemampuannya membacok, mencongkel dan membabat
patut dikagumi kehebatannya.
Membayangkan kesemuanya itu, api amarah lagi-lagi membara didada Pui
Heng-sau, umpatnya: "Telur busuk, nenek mu, sebetulnya kalian masih terhitung manusia
atau bukan?" Liam Wan tidak memberi tanggapan, malah sambil menuding kipasnya,
dia bertanya: "Kipas Sian-ik-san?"
Pui Heng-sau sengaja mengembangkan kipasnya sambil digoyangkan
berapa kali. "Hmm, tajam juga penglihatanmu."
"Ilmu langkah Pek-ku-ko-kia poh-hoat (kuda putih melewati celah)?"
kembali Liam Wan bertanya sambil menuding sepasang kakinya.
"Hebat!" puji Pui Heng-sau.
"Jadi kau adalah Pui Heng-sau?"
"Betul sekali, tak disangka pengetahuan kalian sangat luas dan
matang!" Mendadak terdengar Un-ji berteriak:
"Hei kutu buku, buat apa kau berkomukasi dengan mereka? Cepat bekuk
orang orang itu dan paksa mereka untuk menyerahkan obat penawar
racun." Setelah diingatkan, Pui Heng-sau baru tersadar.
Liam Wan masih menatapnya dengan wajah beku, dingin bagaikan
bongkahan es, terpaksa Pui Heng-sau harus melemparkan sekulum
senyuman. Liam Wan tidak tersenyum. Pemuda yang kelihatan malu malu kucing ini
terlihat lebih menakutkan ketika tidak tertawa, dia ibarat sebuah
bukit salju, tapi mirip juga jilatan api siluman yang sedang
membakar sebuah hutan belantara.
Terpaksa Pui Heng-sau berkata lagi:
"Sudah kau perhatikan?"
Liam Wan menatapnya dengan sikap permusuhan.
"Gigiku putih sekali." Kata Pui Heng-sau lagi sambil menuding
sebaris gigi sendiri. Liam Wan makin tak habis mengerti.
Sejujurnya, tak seorangpun yang hadir dalam ruang gedung memahami
arti dari perkataan itu, termasuk Un-ji.
Lagi lagi Pui Heng-sau menuding bibir Liam Wan sambil berkata:
"Bibir mu merah sekali!"
Kemudian tambahnya dengan nada mengejek:
"Sayang sekali gigimu kuning, sekuning kuning telur, jadi,
dikemudian hari musti menjaga kebersihan mulut."
Sesudah itu dia baru berkata dengan nada serius:
"Sudahlah, perbincangan kita sudah berlebihan, nah, kita pun sudah
terhitung sahabat sekarang, tolong serahkan obat penawar racun
kepadaku." Ucapan tolol, tidak masuk akal, bahkan Un-ji sendiripun sampai
melongo, berdiri terperangah.
Liam Wan seketika memberikan reaksi, menggunakan semacam reaksi yang
paling kuat untuk menjawab perkataan dari Pui Heng-sau itu.
Bukan hanya dia seorang, masih ada Siau Ngo dan Siau Pek.
Bab 26. Siapa berani tidak minum!
Begitu Liam Wan menggerakkan tubuhnya, Pui Heng-sau segera merasakan
sesuatu ditubuhnya, paling tidak ada tiga titik kematian miliknya
telah berada dalam kendali musuh.
Bukan telapak tangannya yang paling menakutkan, melainkan kakinya,
kaki kiri. Liam Wan telah mengangkat kaki kirinya sejajar perut, ujung kaki


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setajam pisau belati setiap saat siap melancarkan tendangan maut
yang mematikan. Pui Heng-sau merasa tenggorokannya jadi dingin, jidatnya kaku,
tulang keningnya linu, namun hingga detik ini masih belum jelas
bagian tubuh mana yang bakal ditendang lawan dan kearah mana dia
harus berkelit. Segera teriaknya keras: "Hei, manusia macam apa dirimu itu, masa berkata mau menyerang
langsung menyerang . . . . .. ooh, tidak . . . . . .."
Dia tidak sempat menyelesaikan perkataannya, karena Liam Wan sudah
melepaskan tendangan maut.
Bangau berdiri di sawah bersalju merupakan salah satu ilmu Goan
Ca-sah-han ketika menjagoi dunia persilatan waktu itu, entah berapa
waktu jagoan tangguh yang dibikin keok oleh kepandaian ampuh
tersebut, bagaimana mungkin Pui Heng-sau mampu menghadapinya secara
mudah? Pui Heng-sau berhasil menghindar, secara nyaris sekali dia berhasil
lolos dari ancaman maut itu, biarpun lolos dari ujung jarum, namun
dia toh berhasil. Ilmu langkah kuda putih melewati celah andalannya
memang luar biasa, asal Pui Heng-sau mulai menghindar, jangan harap
Liam Wan mampu melukainya.
Pui Heng-sau memang berhasil lolos dari ancaman maut Liam Wan, namun
secara tiba tiba terperosok kembali ke balik jaring hawa pembunuhan
yang lebih menakutkan. Ayunan golok dari Siau Ngo jauh lebih menakutkan, disaat dia
mengayunkan senjatanya, cahaya golok persis menyinari wajah Pui
Heng-sau yang dicekam rasa kaget, tapi sewaktu goloknya terayun ke
bawah, tahu tahu ancaman itu mengenai sasaran kosong.
Pui Heng-sau sudah lenyap dari pandangan, ke mana larinya manusia
itu? Ternyata disaat ayunan goloknya meluncur ke bawah, tubuh pemuda itu
sudah meloncat sejauh satu tombak lebih, sambil berkelit dari
ancaman, teriaknya kepada Un-ji:
Il "Celaka, mereka ganas sekali . . . . . ..
Baru saja berbicara sampai disini, dia harus menghadapi lagi sekilas
cahaya golok, hanya kilatan cahaya itu tidak garang, tidak terasa
menakutkan. Dia justru merasakan hawa golok yang hangat, begitu mesra dan
lembut. Kelembutan cahaya golok itu membuatnya tak ingin menghindar, ayunan
golok itu seperti ciuman seorang kekasih yang datang secara tiba
tiba, siapa yang ingin menghindari ciuman hangat seorang kekasih?
Oleh sebab itu tusukan dari Siau Pek nyaris mencabut selembar nyawa
Pui Heng-sau, yaa nyaris!
Mata golok sudah menembusi kulit tubuh Pui Heng-sau, kulit bagian
tengkuk. Dapat dirasakan betapa dinginnya mata golok musuh dan luka yang
ditembusi ujung senjata lawan terasa amat sakit.
Rasa dingin dan rasa sakit yang luar biasa itu membuat Pui Heng-sau
seketika mendusin dari lamunan, membuat dia langsung berkelit.
Begitu gerak langkah "kuda putih menghindari celah" dia gunakan, tak
seorangpun mampu menangkap atau melukainya.
Pada detik terakhir sebelum nyawanya terancam, ia berhasil
menghindar ke sisi lain, dia memang lolos dari maut, tapi tetap
terluka. Darah segar mulai meleleh keluar dari mulut lukanya, membasahi
pakaian dibagian dadanya.
Dia mulai ngeri, mulai ketakutan, jeritnya keras:
II "Aku sudah terluka, oooh Thian, aku sudah terluka.....
Begitu ketakutan, langkah kaki pun ikut jadi kacau. Dia jadi kurang
perhatian kalau dibelakangnya masih menanti seekor harimau, seekor
harimau ganas yang jauh lebih keji dan buas ketimbang seekor
serigala, seorang lelaki tua yang berbahaya, Liam Lau!
Pui Heng-sau ingin berkelit lagi, tapi sudah terlambat.
Begitu melancarkan serangan, Liam Lau sudah menguasahi lima buah
jalan darah kematian. Dia memang hanya memiliki sepasang tangan,
tapi begitu digerakkan, tangan itu seolah berubah jadi lima pasang,
lima pasang dengan dua puluh lima jari tangan memantek jalan darah
kematian ditubuh Pui Heng-sau.
Bukan hanya Liam Lau dan Liam Wan saja yang melakukan ancaman, ke
dua orang raja golok andalan mereka yaitu Siau Pek dan Siau Ngo pun
ikut menyergap. Akhirnya dia kena sergapan, dalam keadaan yang kelewat gegabah dia
harus mengalami kerugian, menderita oleh langkah harimau di tanah
salju milik Liam Lau. Serangan yang dilancarkan Liam Lau ibarat seekor harimau yang sedang
mendekam lalu melancarkan terkaman tanpa suara.
Begitu posisi Pui Heng-sau tergencet, serangan golok Siau Pek dan
Siau Ngo pun serentak merangsek tiba.
Kini, Pui Heng-sau sudah tak sanggup bergerak. Tak mampu bergerak
artinya tak sanggup berkelit, maka dia hanya bisa menantikan
datangnya kematian. Mimpi pun Pui Heng-sau tidak pernah membayangkan kalau dia bakal
mati secara tak jelas ditempat ini, tentu dia tak ingin mati muda,
tapi apa daya sekarang? datangnya maut memang tak pernah menjanjikan
waktu dan tempat kepada umat manusia.
Pui Heng-sau sama sekali tidak takut, sebab dia sudah tak sempat
lagi membayangkan rasa takut.
Serangan golok itu kelewat cepat, disatu sisi bagaikan ciuman hangat
seorang kekasih, disisi lain bagaikan malaikat elmaut yang sedang
mencabut nyawamu. "Tahanl" tiba tiba Liam Lau membentak nyaring.
Cahaya golok seketika sirna namun bukan berarti gerakan mereka ikut
terhenti, serangan yang mereka lancarkan kelewat cepat dan
bertenaga, mustahil gerakan semacam ini bisa dihentikan secara
mendadak, namun mereka harus menghentikannya.
Maka golok pun saling beradu, berbenturan, menimbulkan dentingan
suara nyaring, memercikkan bunga api, percikan yang mengenai juga
tubuh dan wajah Pui Heng-sau.
Hanya selisih seinci saja, batok kepala Pui Heng-sau segera akan
berpisah dengan badan. Siau Pek dan Siau Ngo telah menghentikan serangan, namun wajah
mereka penuh diliputi perasaan heran, terperangah, tidak habis
mengerti. Dengan wajah bersungguh-sungguh Liam Lau menggelengkan kepalanya,
lalu menggeleng lagi dengan perlahan dan berat, setelah itu sambil
menuding batok kepala Pui Heng-sau, katanya dengan nada apa boleh
buat: "Tidak bisa dibunuh . . . . .."
"Tidak bisa dibunuh?" kenapa tak bisa dibunuh?"
Jangankan orang lain, bahkan Pui Heng-sau sendiripun tidak habis
mengerti, sekalipun saat ini dia sendiripun berharap kalau dirinya
memang orang yang "tidak bisa dibunuh".
Ketika menyaksikan Pui Heng-sau terancam maut, Un-ji sudah bersiap
siap turun tangan. Gadis inipun memiliki golok walau ilmu goloknya
tidak terlalu bagus. Ini dikarenakan sewaktu mempelajarinya, dia tak
pernah konsentrasi, tak pernah punya niat yang sungguh untuk
mempelajarinya. Bila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu secara baik, melakukan
suatu pekerjaan dengan baik, pertama tama dia harus punya niat dan
mempelajari secara sungguh sungguh.
Kendatipun tak bagus ilmu goloknya, ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki termasuk bagus, bahkan selisih tak jauh dibandingkan lmu
langkah "kuda putih melintasi celah" andalan Pui Heng-sau.
Ilmu langkah Sun-sit-jian-li (ribuan li dalam sekejap) andalan
Ang-siu sinnie memang merupakan ilmu ginkang kelas wahid, asal bisa
mempelajari dua bagian saja, orang itu sudah mencapai taraf yang
luar biasa, sudah mampu melindungi keselamatan diri sendiri, karena
tak seorang pun mampu melukainya lagi.
Ketika menjumpai Un-ji tidak berminat mempelajari ilmu golok,
Ang-siu sinnie pun memaksa gadis itu untuk mempelajari ilmu ginkang
"ribuan li dalam sekejap", paling tidak ketika tak sanggup melawan
orang lain, dia masih mampu melarikan diri.
Namun sekarang, dalam situasi yang begitu gawat dan berbahaya,
mampukah Un-ji selamatkan diri sendiri?
Bagaikan seekor burung walet Un-ji melesat ke arah Pui Heng-sau.
Gadis ini bukan bermaksud selamatkan diri tapi ingin membantu
rekannya lolos dari ancaman maut.
Namun pada saat yang bersamaan, melesat pula sesosok bayangan
manusia, meluncur cepat bagaikan burung nuri, rupanya dia pun
seorang wanita, bahkan senjatanya sebilah golok pula.
Un-ji tidak banyak bicara, dia langsung melepaskan satu sabetan
golok. Perempuan itupun tidak banyak cincong, dia balas dengan satu
sabetan pula. Bagi Un-ji, dia merasa serangan musuh ibarat turunnya hujan deras,
hujan yang menggugurkan bebungahan, hujan yang membuyarkan burung
walet, hujan deras menjelang datangnya senja.
Setiap selesai melepaskan satu serangan, pihak lawan segera menarik
kembali serangannya, bila serangan nya pas dengan incaran, maka dia
akan gunakan waktu paling singkat, gerakan paling cepat, jarak
paling pendek, kekuatan paling ringan untuk melepaskan ancaman itu
kemudian segera mundur. Gerakan tubuhnya memaksa pihak lawan tidak memiliki kesempatan untuk
beradu nyawa. Sebaliknya bila serangannya salah, pihak lawan segera menarik
kembali goloknya secara sigap, menambal semua kelemahan dan
kesalahan yang telah dilakukan dan memperkuat pertahanan.
Begitu cepat dia bergerak sehingga pada hakekatnya tidak memberi
peluang kepada pihak lawan untuk menemukan kelemahan itu.
Bagi Un-ji, setiap bacokan goloknya yang baru saja dilontarkan,
segera berhasil dibendung dan ditangkis, sebaliknya serangan balik
pihak lawan begitu mengambang, tak menentu arahnya, membuat Un-ji
susah menghadapi, susah membendung dan menangkis.
Karena mengalami kebuntuan dan susah dihadapi, terpaksa Un-ji nekat,
mulai merangsek sambil melepaskan bacokan bacokan nekat, teriaknya
berulang kali: "Siau sik-tau (kerikil kecil), aku sudah tak tahan, cepat kemari,
cepat kemari!" Sebenarnya dia pun ingin berteriak memanggil Pek Jau-hui, tapi setan
mampus itu entah sedang berada dimana dan melakukan tugas apa,
daripada memanggilnya, lebih baik sedikit menghemat tenaga.
Maka dia hanya memanggil Ong Siau-sik, sambil bertteriak Un-ji
melancarkan bacokan berulang kali.
Siapa lawannya saat itu? Dia tak lain adalah Li-to-ong, raja golok
wanita Tiau Lan-yong. Tiau Lan-yong adalah putri tunggal Tiau Ciu-sit, salah satu dari
delapan raja langit perkumpulan Koan-lek-pang (kekuatan kekuasaan).
Gara gara ilmu golok bulunya dikalahkan secara telak oleh pisau
kecil milik Siau Ciu-sui, dia berhasil mendapat pencerahan hingga
mempelajari sebuah ilmu golok yang tangguh.
Padahal sebuah ilmu golok yang ampuh adalah bagaimana cara
menggunakan sebilah golok secara pas untuk menangkan satu
pertarungan dengan andalkan ilmu golok yang sederhana.
Sayang Tiau Ciu-sit tidak sempat lagi menciptakan ilmu golok apapun,
dia hidup oleh perkumpulan Koan-lik-pang maka nyawanya harus
berkorban pula demi perkumpulan Koan-lik-pang.
Menjelang ajalnya, Tiau Lan-yong masih sempat mendapat bisikan dari
ayahnya sehingga berhasil menciptakan ilmu golok Tin-yu-cap-pwee,
delapan belas jurus barisan hujan.
Golok sudah tidak penting lagi baginya karena ilmu golok lah yang
terpenting. Tiau Lan-yong gagal melatih golok tangan, karena dia tak bisa meniru
cara ayahnya mengubah golok dengan telapak tangan sendiri, dia pun
tak sanggup melatih golok kecil karena mustahil baginya untuk
memiliki tenaga dalam secanggih Siau Ciu-sui.
Satu satunya cara yang bisa dia lakukan hanyalah meraih kemenangan
dengan andalkan jurus. Berdiri dipundak manusia raksasa pasti bisa
memandang lebih jauh ketimbang pandangan seorang manusia raksasa.
oleh karena si raja golok Tiau Ciu-sit adalah ayahnya, maka dia pun
tak usah menempuh liku likunya jalan hidup. Ilmu golok hasil
ciptaannya berhasil memasukkan dia sebagai satu satunya perempuan
dalam kelompok Pat-toa-thian-ong.
Sudah cukup lama perempuan ini ingihn beradu kepandaian melawan ilmu
Ang-siu-to (golok baju merah) aliran Thian-san-pay.
Itulah sebabnya begitu Un-ji turun tangan, diapun ikut melancarkan
serangan dan dalam waktu singkat berhasil merebut posisi diatas
angin. Setiap kali Un-ji berusaha meneter dengan serangan berantai, dia
justru balas mengikuti dengan serangan yang lebih cepat, bagaikan
hujan badai berusaha menguasahi pertarungan.
Tapi begitu Un-ji tidak berniat melanjutkan pertarungan dan berusaha
melarikan diri, semua kehebatan ilmu golok baju merah miliknya
justru terpancar keluar sehingga untuk sesaat diapun tak dapat
berbuat apa apa. Sebenarnya dia sedang merasa girang karena ilmu goloknya berhasil
merebut posisi diatas angin, tapi lambat laun dia mulai menyadari
akan sesuatu, ternyata bukan ilmu golok baju merah tak mampu
menghadapi delapan jurus barisan hujannya, melainkan karena orang
yang menggunakan ilmu golok baju merah yang kelewat tak mampu.
Seandainya berganti orang lain, orang yang sanggup menguasahi
seluruh inti sari ilmu golok itu . . . . . . . . ..
Masih ada satu alasan lain mengapa Tiau Lan-yong gagal merobohkan
Un-ji, ilmu meringankan tubuh gadis itu, ribuan li dalam sekejap
ternyata jauh lebih sakti ketimbang ilmu goloknya.
Begitu Un-ji menjerit, seketika itu juga terlihat sesosok tubuh
Il manusia, bagaikan sebutir batu kerikil "dilontarkan ke tengah
arena. Manusia tetap manusia, mustahil bisa menyerupai sebutir batu
kerikil. Apa mau dibilang terjangan orang itu justru persis seperti
lemparan sebutir batu, sebutir batu yang di "lontarkan" seseorang.
Hanya dalam sekilas pandangan, Un-ji segera mengenali kalau orang
itu bukan Ong Siau-sik, di tangan orang itupun tergenggam sebilah
golok, sebilah golok yang mengenaskan.
Ternyata orang itupun melancarkan satu bacokan, bacokan yang lentur
bagai goyangan daun yangliu.
Dalam gugup dan paniknya kembali Un-ji melakukan tangkisan, serangan
memang berhasil dibendung, tapi mendadak orang itu tundukkan
kepalanya lalu menerjang ke arah dadanya.
Batok kepala orang ini jauh lebih keras ketimbang batu. Seketika
Un-ji merasa isi perutnya sakit bukan kepalang, saking sakitnya, air
mata dan ingus ikut meleleh keluar.
Pada saat inilah sabetan golok Tiau Lan-yong meluncur kearah tengkuk
Un-ji. "Tidak boleh dibunuh!" tiba tiba terdengar seseorang membentak
nyaring. Cepat Tiau Lan-yong menarik kembali serangannya, dia segera
menemukan kalau orang yang barusan berbicara adalah seorang lelaki


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beralis mata tebal, bermata besar tapi tampangnya sangat lembut dan
penurut. Lelaki itu berdiri sambil memegang satu stel pakaian, diatas pakaian
itu masih ada jarumnya, masih ada pula benangnya.
Kelihatannya orang ini masih sedang menjahit pakaian ketika secara
tiba tiba terkena racun Ngo-ma-cong hingga tak mampu bergerak lagi,
karena tak mampu bergerak, tentu saja pakaiannya pun tak bisa
dijahit. Gerak tangan Tiau Lan-yong seketika terhenti, terhenti untuk
sementara waktu. Sebab dengan cepat dia menemukan kalau orang yang menyuruhnya
berhenti bukan Liam Lau, maka dari itu ayunan golok pun segera
melanjutkan bacokannya. Pada saat yang bersamaan, orang yang mirip sebutir batu kerikil itu
lagi lagi melesat ke udara bagaikan sebutir batu yang dilempar
orang., kali ini sasaran yang diincar adalah lelaki penjahit baju
itu. Siapa sebenarnya si batu kerikil itu? Dia tak lain adalah Coa
Siau-tau. Coa Siau-tau, Ling-ting-to si golok tunggal adalah salah satu
anggota dari Pat-toa-thian-ong, anak buah andalan Coa King.
Kini keadaan semakin jelas, Tiau Lan-yong dan Coa Siau-tau menyerang
dari dua sisi yang berbeda, satu ingin membunuh Un-ji, yang lain
ingin menghadapi lelaki penjahit.
Baru saja Coa siau-tau melambung, lelaki penjahit itu ikut melambung
pula, melesat lewat dari atas kepala lawannya.
Begitu bacokan Coa Siau-tau mengenai sasaran kosong, satu stel
pakaian sudah mengurung dari atas kepalanya, kontan langit jadi
gelap, agak gelagapan dia meluncur jatuh ke bawah hingga membuat
mangkok dan cawan berantakan.
Tiau Lan-yong pun merasakan pandangan matanya jadi kabur, tahu tahu
Un-ji sudah berada dibawah kempitan lelaki tersebut.
Dengan satu gerakan cepat Tiau Lan-yong menyusulkan satu sabetan,
tapi bawah mata kirinya mendadak linu diikuti rasa sakit yang bukan
kepalang. Dengan perasaan kaget bercampur ngeri perempuan itu memutar goloknya
sambil melompat mundur, bersamaan waktu terlihat dua cahaya pisau
melesat lewat dan langsung menyergap tubuh lelaki tadi.
Masih mengempit tubuh Un-ji dengan tangan kirinya, lelaki itu
berkelit ke sisi kanan. Rupanya orang yang menyambit dua bilah pisau itu tak lain adalah
Siau Pek. Sementara Siau Pek sudah bersiap siap melancarkan lagi satu sergapan
maut, mendadak tangannya yang menggenggam golok seolah terjirat oleh
sesuatu benda, sewaktu digerakkan, rasa tersayat yang amat sakit
seketika merasuk ke tulang sumsum.
Dengan perasaan terperanjat dia melompat ke samping, menjauhkan
diri. Rupanya ke lima jari tangan kanannya sudah terjirat benang baju.
Padahal berbicara dari kehebatan kungfu Siau Pek, kelihayan ilmu
golok serta kecepatan reaksinya, ternyata dia pun tidak tahu sejak
kapan benang benang itu sudah menjerat jari tangannya.
Dipihak lain, mata golok Siau Ngo masih tiada hentinya mengejar
lelaki itu. Ketika merasa mustahil melukai lelaki tersebut, kini dia
berganti sasaran, mengincar Un-ji yang berada dibawah kempitan
lelaki itu. Tanpa berpaling maupun membalikkan tubuh, lelaki itu menggerakkan
tangannya ke belakang, bagaikan memetik sekuntum bunga atau
mematahkan sebatang ranting, mendadak . . . . . .. "Traaangl" golok
ditangan Siau Ngo sudah patah jadi dua.
Begitu mematahkan mata golok lawan, kembali lelaki itu menyentilkan
jari tangannya, kutungan golok itupun segera melesat ke depan dengan
kekuatan luar biasa. Saat itu Liam Lau dan Liam Wan sedang bersiap siap melakukan
pengejaran, menyaksikan datangnya sentilan yang meluncur bagai
gelombang air, serentak mereka mengigos ke samping, menghindarkan
diri. Menanti berpaling lagi, lelaki itu sudah lenyap dari pandangan,
begitu pula Un-ji. Dikala Coa Siau-tau berhasil melepaskan kerudung baju dari
kepalanya, dia jumpai Liam Lau dan Liam Wan sedang berdiri saling
berpandangan, Siau Pek dan Siau Ngo berdiri terperangah, melongo
bagaikan orang bodoh, sedang pipi kiri Tiau Lan-yong sudah bertambah
dengan sebuah titik kecil warna merah, darah meleleh dengan derasnya
dari situ. Ternyata pipi perempuan itu sudah tertusuk jarum.
"Ilmu Tay-ci-ci-jiu (mematahkan dahan)?" bisik Liam Lau terperanjat.
"Ilmu Siau-tho-hoa-jiu (bunga tho kecil)?" Liam Wan menambahkan
dengan perasaan ngeri. "Jadi dia?" "Yaa, memang dia!"
"Untung dia sepertinya tidak berminat mencampuri urusan kita." Bisik
Liam Lau. "Yaa, dia hanya selamatkan Un-ji." Liam Wan manggut manggut.
"Kehilangan Un-ji seorang, tidak ada artinya buat kita."
"Betul, paling tidak situasi dan kondisi ditempat ini masih berada
dalam kendali kita."
"Oleh sebab itu . . . . . . . . .." setelah hilang rasa kagetnya, mimik licik
kembali menghiasi wajah Liam Lau.
Liam Wan pun sudah tampil kembali sikap malu malunya, agak genit
sambungnya: "Oleh sebab itu ke dua cawan arak masih tetap berada ditangan kita."
"Dua cawan arak yang mana?" sengaja tanya Liam Lau.
II "Cawan pertama adalah arak yang berisi Ngo-ma-cong, sahut Liam Wan
genit, "dan arak tersebut sudah dinikmati semua orang."
"Lalu yang secawan lagi?"
"Yang satu cawan lagi adalah arak yang akan kami suguhkan kepada
kalian semua." "Hehehe, itu berarti arak kehormatan." Ejek Liam Lau sambil tertawa
licik. "Bila orang menolak minum arak kehormatan?" kali ini Liam Wan yang
bertanya. "Itu berarti dia harus minum arak hukuman." Sambung Liam Lau.
II "Orang orang semacam merekalah yang telah minum.arak hukuman . . . . . ..
ujar Liam Wan sambil menuding Tio Thian-yong, Thio Sun-thay, Ho
It-siang, Go It-siang serta Liong It-pay sekalian yang masih
bermandikan darah. Kemudian dengan suara yang halus dan lembut, tanyanya kepada Un
Bong-seng serta Hoa Ku-hoat:
"Bila aku menghormati secawan arak kepadamu, bersediakah kau untuk
meneguknya?" Sesudah berhenti sejenak, dia menambahkan:
"Bila kalian minum, bila kalian pun bersedia bekerja untuk kerajaan,
maka kami pun akan memberi penawar racun sesuai dengan jadwal waktu.
Sebaliknya kalau menolak . . . . . .. hehehe.... kalian tentu punya
keluarga, punya sanak, punya anak murid bukan? Berani menolak?
Hmmm!" Suasana kemudian jadi hening, dia sedang menunggu jawaban dari Hoa
Ku-hoat serta Un Bong-seng.
"Tunggu sebentar!" mendadak terdengar seseorang berseru.
Ketika Liam Lau dan Liam Wan berpaling, lagi lagi mereka bertemu
dengan lelaki tadi, berdiri didepan pintu, hanya Un-ji yang dia
kempit, kini sudah "hilang".
Bab 27. Lelaki itu! Lagi-lagi lelaki itu!
Senyuman Liam Lau mulai sedikit dipaksakan, tegurnya:
"Hei sobat, kami sudah memberi jalan kepadamu, kenapa kau
balik lagi?" Ditangan kiri lelaki itu masih menggenggam benang, tangan
kanan memegang jarum, sahutnya:
"Kalian tidak memberi jalan kepadaku, akupun tak ingin
mencampuri urusan kalian, kedatanganku hanya ingin minta
kembali seseorang." "Siapa?" mimik wajah Liam Lau mulai tenang kembali.
"Dial" sahut lelaki itu sambil menuding Pui Heng-sau yang
sedang bersandar lemas disudut dinding.
Kontan Pui Heng-sau tertawa terkekeh.
"Hahaha..... sejak awal aku sudah tahu, kau tak bakal hanya
menolong Un-ji tanpa menolong diriku."
"Keliru!" "Apa yang keliru?" Pui Heng-sau tertegun.
"Bukan aku yang ingin menolongmu, nona Un yang minta aku
selamatkan dirimu, kalau tidak, dia enggan pergi bersamaku."
"Kalau begitu bukan kau yang selamatkan aku, tapi Un-ji?"
dengan perasaan kecewa Pui Heng-sau gelengkan kepalanya.
"Siapa yang mau menolong kau?"
"Siapa yang kesudian kau tolong?"
Lelaki itu tertegun, serunya tercengang:
"Jadi kau tak ingin hidup?"
"Kalau kau ingin menolong lantas aku biarkan kau tolong,
betapa kehilangan muka diriku....."
"Jadi kau anggap kehilangan muka lebih penting atau
kehilangan nyawa lebih penting?"
"Tentu saja kehilangan muka."
"Jadi kau lebih suka tidak kehilangan muka daripada
kehilangan nyawa? Ngaco!" teriak lelaki itu mendongkol.
"Hehehe, kalau begitu kau pasti orang yang takut kehilangan
nyawa daripada kehilangan muka, tak tahu malu!"
"Hmm, bagus, mau ikut atau tidak terserah padamu, kalau kau
enggan pergi, aku akan pergi sendiri."
"Hei tunggu sebentar!" teriak Pui Heng-sau mulai panik, "bila
kau gagal selamatkan aku, bagaimana pertanggungan jawabmu
kepada Un-ji?" "Gampang sekali, aku cukup bilang kepadanya, kalau dia
menolak kuselamatkan, apa pula daya ku."
"Aku mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Un-ji,"
ancam Pui Heng-sau, "aku sangat mengetahui tabiat gadis itu,
kalau aku tidak pergi, diapun tak akan tinggalkan tempat ini.
Aku tahu, kedatanganmu ke Kayhong lantaran Un-ji, gagal
mendapatkan dirinya, bagaimana kau mempertanggung jawabkan
tugasmu!" "Kau salah besar." Sela lelaki itu hambar.
"Salah?" gumam Pui Heng-sau keheranan.
"Yaa salah, bagaimana pun aku sudah berhasil menemukan nona
Un, asal kutotok jalan darahnya maka dia tetap bisa kubawa
pulang untuk menyelesaikan tugasku."
Sesudah berhenti sebentar, kembali lelaki itu menambahkan:
"Asal tujuanmu baik, niatmu untuk menolong orang muncul dari
hati yang saleh, jangan peduli cara apa yang harus digunakan,
kau pun tak usah peduli bagaimana tanggapan orang lain atas
perbuatanmu itu, apalagi sampai menuntut orang untuk
memaklumi perbuatanmu."
Seperti teringat akan sesuatu, tiba tiba ujarnya lebih
lanjut: "Aku merasa kurang sependapat dengan penjelasanmu kepada nona
Un masalah "Cong" tadi . . . . . . .."
Setelah mendengus terusnya:
"Sudah jelas kau tahu kalau nona Un takut ulat, kenapa kau
sengaja menakuti dia dengan mengatakan kalau "cong" itu
adalah ulat?" "Sengaja menakuti dia?" teriak Pui Heng-sau, "aku hanya
menerangkan apa yang pernah kubaca."
Sekulum senyuman mulai menghiasi wajah lelaki itu, katanya:
"Bagaimana pun akhirnya kau bersedia mengaku kalau
pengetahuanmu kurang canggih."
"Hmm, bagaimana pula dengan dirimu sendiri?" debat Pui
Heng-sau, "kalau kau memang hebat, pengetahuanmu memang luas,
kenapa akhirnya jatuh kere jadi seorang penjahit pakaian?"
Tiba tiba terlintas perubahan emosi diwajah lelaki itu,
teriaknya: "Sekali lagi kau ulang perkataan itu, kutusuk matamu hingga
buta." Pui Heng-sau dapat menyaksikan setiap lembar otot diwajah
orang itu mengejang kencang, diam diam ia jadi terperanjat,
ujarnya kemudian: "Baiklah, tidak bicara yaa tidak bicara, apa yang luar
biasa.... kalau memang punya kemampuan, bantu pulihkan semua
orang dari keracunan, kalau tidak, biar kau bikin buta mata
semua orang pun, kau masih tetap seorang penjahit celana!"
Lelaki itu meraung keras, tiba tiba jarum yang berada
ditangannya digetarkan. Hawa pedang segera menyebar keluar ke udara, jarum yang
lembut pun mendadak seperti lebih panjang berapa inci.
Siapa pun tidak menyangka dari sebatang jarum yang lembut,
ternyata mampu memancarkan hawa pedang sejauh berapa kaki,
jarum ditangan lelaki itu kini seolah telah berubah jadi
sebilah pedang. "Pedang" semacam ini sudah tidak lagi berbentuk pedang
melainkan menciptakan pedang dari hawa murni dan jadilah hawa
pedang. Kini, lelaki itu sedang menggunakan hawa pedang untuk
menghadapi lawannya. Liam Lau, Liam.Wan, Siau Ngo, Siau Pek, Coa Siau-tau maupun
Tiau Lan-yong sekalian tahu akan kelihayan lelaki itu, mereka
pun tahu kalau lelaki itu sama sekali tidak keracunan.
Manusia hebat semacam ini memang lebih baik tidak diganggu,
apalagi dimusuhi. Sebetulnya mereka sudah menghembuskan napas lega ketika
melihat orang itu pergi sesudah menolong Un-ji, siapa sangka
lagi lagi dia muncul disitu dan berniat menolong Pui
Heng-sau. Tapi dihati kecil orang orang itu segera berpikir:
"Andaikata lelaki itu mau selamatkan Pui Heng-sau, biarkan
saja dia lakukan, toh Pui Heng-sau bukan target, ada baiknya
kalau orang itu segera pergi."
Siapa sangka Pui Heng-sau menolak ditolong, bahkan dengan
segala upaya berusaha menggosok hati lelaki itu agar mau
selamatkan para jago. Sementara Liam Lau sekalian masih risau, tiba tiba dilihatnya
lelaki itu saling gontok gontokan sendiri dengan Pui
Heng-sau, inilah pucuk dicinta ulam tiba, andaikata kedua
orang itu bisa saling membunuh, sudah jelas hal ini merupakan
satu kejadian yang menguntungkan.
Belum lagi Liam Wan sekalian berpangku tangan, tiba tiba
mereka menemukan satu kejadian, tiba tiba saja hawa pedang
itu berbelok arah, belokan ini membuat hawa pedang makin
kuat, pedang makin lurus.
Tak mungkin sebilah pedang bisa membelok, hanya hawa pedang
yang dikendalikan bisa berbelok sekehendak hati.
Dengan satu kecepatan luar biasa hawa pedang itu membelok ke


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah Liam Lau. Sambil berteriak keras Liam.Wan menangkis dengan sepasang
tangannya, terasa kedua telapak tangannya sakit karena
tusukan, tergopoh gopoh dia melejit ke udara lalu mundur dari
arena. Menanti melayang kembali ke tanah, Liam Wan menemukan telapak
tangannya telah bertambah dengan dua titik merah yang masih
mengucurkan darah, sementara rekan rekannya telah dikuasahi
lawan. Dua bersaudara Siau, Coa Siau-tau serta Tiau Lan-yong masih
berada disitu. Tapi Liam Lau sudah tak sanggup bergerak, dagunya sudah
disanggah sebuah benda, Jarum!
Jarum itu adalah sebatang jarum halus yang jauh lebih
menakutkan daripada sebilah pedang.
Jarum halus itu berada dalam genggaman lelaki itu.
Kini Liam Wan baru dapat meresapi perkataan dari atasannya:
"Bagi seorang jagoan yang benar benar tangguh, benda apa pun
yang berada ditangannya, bisa berubah menjadi senjata
pembunuh yang sangat menakutkan dan susah untuk dihadapi."
Tiada senyuman licik lagi diwajah Liam Lau, yang tersisa
hanya rasa kaget bercampur takut.
Kalau dilihat dari tampangnya saat ini, kalau memungkinkan
dia ingin bersujud dan minta ampun.
Apa mau dikata jarum lembut itu justru menempel didagunya,
membuat dia tak sanggup bicara, mau mengangguk pun tak dapat.
"Obat penawar racun . . . . .." kata lelaki itu.
Liam Lau ingin sekali menjawab, namun dia tak bisa buka
suara. Asal menggerakkan mulutnya, mungkin dibagian tenggorokannya
akan bertambah dengan sebuah lubang kecil.
Karena itu Liam Wan yang bertanya:
"Obat penawar apa?"
Lelaki itu tidak membentak pun tidak mengumpat, dia hanya
membiarkan Liam Wan merasakan ada segumpal hawa mematikan
yang menekan dadanya, yang memaksa dirinya mundur setengah
langkah. "Perkataan tak berguna!"
"Jadi kau ingin menolong orang orang itu?" terpaksa Liam Wan
berusaha mengulur waktu. Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya menggerakkan tangannya
perlahan. Kontan Liam Lau mendengus kesakitan, dengan tatapan minta
ampun dan penuh belas kasihan ditatapnya Liam Wan sekekjap.
Menyaksikan hal ini, Liam Wan segera merasakan tenggorokannya
ikut kaku, kesemutan. Sesudah berusaha menenangkan hati, katanya:
"Kawanan manusia itu bukan sanak bukan keluargamu, bila kau
ingin pergi, silahkan pergi, bila ingin bawa serta Pui kongcu
pun tak jadi soal, kenapa harus memusuhi kami?"
"Kalian? Siapa kalian?" tanya lelaki itu.
Liam Wan tidak menyangka kalau ucapannya justru membuat dia
sendiri jadi gelagapan, terpaksa sahutnya:
"Kami? Kami adalah kami."
Tiba tiba terasa ada hembusan angin kencang menerjang tiba,
tergopoh gopoh Liam Wan gunakan ilmu langkah bangau berjalan
di sawah bersalju untuk berkelit, sepasang tangannya diputar
lalu siap disodok ke depan.
Mendadak ia temukan kalau orang itu adalah Liam lau, buru
buru dia tarik kembali serangannya, lalu sambil menyambar
pinggang rekannya, meminjam tenaga terj angan yang muncul,
badannya melompat mundur sejauh berapa tombak.
Belum sempat melakukan sesuatu, pipi kanannya mendadak terasa
dingin. Detik itu juga dia jadi kaku, seluruh badannya seolah mati
rasa, tak mau menuruti perintahnya.
Ternyata lelaki itu sudah berada disisi kanannya, menempel
begitu dekat dengan dirinya tanpa menimbulkan sedikit suara
pun. Jarum yang berada di tangan kanannya pun sedang menyodok pipi
kanan Liam Wan, sementara jarum.ditangan kirinya masih
menempel di dagu Liam Lau.
Dalam satu pertarungan yang begitu cepat dan sekejap mata,
Liam Lau maupun Liam Wan sudah mati kutu ditangan lelaki itu.
"sebenarnya siapa kalian?" kembali lelaki itu bertanya.
Keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi
seluruh wajah Liam Wan, dia tak sanggup menjawab.
"Apakah kalian diutus Cu Gwee?beng?? kembali lelaki itu
bertanya. Dengan mata melotot Liam Lau mengawasi Liam Wan, dia tak
berdaya ambil keputusan, tidak berani.
Berkilat sepasang mata lelaki itu. Dia sudah tahu kepada
siapa pertanyaan itu harus ditujukan.
Namun lelaki itu tidak langsung mengajukan pertanyaannya, dia
malah menggetarkan sekujur badannya lalu menghela napas
panjang. "Aku terlalu gegabah," ujarnya dengan nada sedih, "aku tidak
seharusnya berebut pahala dengan menjual segala kekosongan
kepadamu." Tak seorangpun manusia yang hadir dalam ruangan memahami apa
yang sedang dia katakan, mereka pun tak tahu dengan siapa dia
sedang berbicara. Rupanya sewaktu lelaki itu mendorong tubuh Liam Lau ke arah
Liam.Wan, kemudian Liam Wan gunakan kesempatan itu melompat
mundur, kini mereka sudah berada dekat sekali dengan tirai
yang bertuliskan huruf "Siu".
Masih menodong pipi kanan Liam Wan dengan jarum ditangan
kanan, menodong dagu Liam Lau dengan jarum ditangan kiri,
kembali lelaki itu berkata:
"Kau memang sudah berada diatas angin, tapi bukan berarti
gampang bila ingin membunuhku, sebaliknya bila aku ingin
merenggut nyawa kedua rekanmu itu, bisa kulakukan segampang
membalikkan telapak tangan."
Tirai ulang tahun masih bergoncang keras.
Lelaki itu berdiri mematung, sama sekali tak bergerak.
Namun setiap orang yang hadir dalam gedung dapat merasakan
kalau peluh dingin sedang meleleh dari tengkuk lelaki itu dan
membasahi punggungnya. Padahal berbicara soal ilmn silat, kehebatan kungfu yang
dimiliki lelaki itu sudah mencapai taraf yang luar biasa,
jarum kecil dalam genggamannya bisa menciptakan hawa pedang
sejauh berapa tombak, tapi sekarang, dia seolah sedang
ketakutan. Dia ketakutan karena telah bertemu dengan musuh yang jauh
lebih tangguh dan hebat. Tapi dimanakah musuh? Siapakah dia? Siapakah musuh tangguh
itu? Pada saat itulah, tiba tiba terlihat sesosok bayangan
manusia, dengan kecepatan paling tinggi menerobos ke belakang
tirai. Sesaat sebe1um.menyelinap ke balik tirai, orang itu masih
sempat berteriak keras: "Biar aku yang mewakili mu menyeret keluar cecunguk itu!"
"Jangan . . . . . . . .." bentak lelaki itu, sayang terlambat,
terpaksa dia melakukan suatu tindakan untuk mencegah.
orang yang sedang menyelinap ke balik tirai itu tak lain
adalah Pui Heng?sau. Ketika membekuk Liam Lau dan Liam Wan tadi, lelaki itu sudah
menotok bebas jalan darah Pui Heng?sau.
Coba kalau tahu betapa ceroboh dan gegabahnya Pui Heng-sau,
dia pasti tak akan menotok bebas jalan darahnya.
sayang dia sudah menganggap Pui Heng?sau sebagai sahabatnya.
Sudah barang tentu dia tak ingin menyaksikan sahabatnya mati,
khususnya tak ingin melihat sahabatnya mati gara gara dia.
Itulah sebabnya dengan sepenuh tenaga dia melakukan
pertolongan. Dalam waktu sekejap, dia telah mendorong tubuh Liam Lau
maupun Liam Wan ke belakang tirai.
Ia sadar, di belakang tirai bersembunyi seorang musuh yang
sangat tangguh dan kuat, dia tak yakin bisa menangkan
pertarungan ini. Berada dalam keadaan demikian, terpaksa dia harus ambil
resiko, mencoba dengan mempertaruhkan segalanya.
Dalam keadaan begini, kecuali berbuat demikian dia memang
sudah tak mempunyai pilihan lain, keadaan yang memaksa dia
harus bertindak begitu. "Keadaan" memaksa dia turun tangan, "keadaan" memaksa dia
menggunakan pedang, "keadaan" memaksa dia harus melepaskan ke
dua orang sanderanya. Siapa sebenarnya orang dibalik tirai itu? Kenapa dia bisa
memiliki kemampuan yang memaksa suatu keadaan berubah secara
drastis, dari menguntungkan jadi berantakan?
Da1am.waktu yang relatif singkat, Pui Heng?sau, Liam Lau,
Liam Wan hampir bersamaan waktu telah "menerjang" masuk ke
balik tirai. Yang berbeda adalah: Pui Heng?sau menerobos masuk atas
kemauan sendiri, sedang Liam Lau dan Liam Wan "didorong"
orang ke dalam. Hawa pedang pun saling menyambar dan berbenturan di udara,
kain tirai hancur lebur seketika, beterbangan di seluruh
angkasa. Pada detik yang amat singkat inilah, lelaki itu, Thianih-yu-hong (penjahit baju langit) merasakan tiga hal, bahkan
berlangsung pada saat yang hampir bersamaan:
1. Hawa pembunuhan yang tersembunyi di belakang tirai, tiba
tiba saja Secara aneh, tanpa menimbulkan pertanda apapun,
hilang lenyap tak berbekas.
2. Secara tiba tiba hawa pembunuhan itu sudah muncul
dibelakang tubuhnya. Sejak bergeser, terhimpun hingga muncul
nyaris berlangsung dalam sekejap mata.
3. seluruh jago yang hadir dalam gedung sama sama menjerit
kaget. Kemudian diapun merasakan sesuatu, hawa pedang! Sejenis hawa
pedang yang sangat mematikan.
Bab 28. Hawa pedang, kekuatan pedang.
"Ternyata musuh berada di belakang!"
"Rupanya sejak tadi musuh sudah berada di belakang punggung!"
"Itu berarti percuma saja melepaskan serangan "hawa pedang"
sejak tadi!" "Belum lagi pihak lawan meloloskan pedangnya, dia sudah
berhasil merebut posisi diatas angin!"
"Ilmu pedang apa itu??"
"Yaa, kepandaian apa itu?"
Penjahit baju langit tidak berpaling, dia memang sudah tak
sempat lagi untuk berpaling.
Seluruh kekuatan tubuhnya, seluruh konsentrasi, seluruh daya
pikirnya sudah terpusatkan jadi satu, merangsek maju dengan
kecepatan luar biasa. Jarum lembutnya menusuk dari kiri kanan atas bawah, hampir
seluruh jagad seolah dilapisi oleh serangan mautnya itu.
Seribu matahari seolah sudah berada dalam genggaman tangan.
Sepasang jarum ditangan penjahit baju langit menusuk ke arah
belakang, hawa pedang langsung memancar ke mana mana, tapi
manusia jangkung yang bertubuh ceking itu sudah melejit,
tanpa menekuk sepasang lututnya, tahu tahu dia sudah
menendang tubuh dua orang lelaki yang keracunan untuk
menangkis datangnya ancaman.
Penjahit baju langit sadar, hawa pedangnya gagal untuk
melukai lawan, sebaliknya dia justru sudah terjebak dalam
kekuatan pedang musuh. Hanya "kekuatan pedang" yang sanggup mendahului serangannya,
merebut posisi diatas angin dan menjebol "hawa pedang" nya.
"selama ini pihak lawan selalu bersembunyi ditengah pesta
tanpa memperlihatkan jejaknya, kenapa aku tidak merasakan
akan kehadirannya?" Bukan hanya begitu, pihak lawan pun mampu mengirim.hawa
sesatnya ke balik tirai untuk mengalihkan perhatiannya
kemudian berhasil menyarangkan serangannya dari arah
belakang. Kendatipun saat itu dia tidak berpaling, namun dihati
kecilnya mengetahui dengan jelas siapa pendatang itu.
selama ini, dia memang ingin sekali bertemu dengan orang ini.
Dia tahu, selama dirinya masih berada di kotaraja, cepat atau
lambat pasti akan bertemu dengan orang ini, cepat atau lambat
bakal beradu kepandaian melawan dirinya.
Sama sekali tak disangka, dia harus bertemu dalam situasi dan
keadaan seperti ini, bahkan baru maju sudah harus terluka.
Luka yang sangat parah! Penjahit baju langit tetap tidak berpaling, sambil mendengus
tanyanya: "Thian-he?tit?jit, nomor tujuh di kolong langit?"
"Bertemu aku berarti serahkan nyawamu!" jawab Thianhe?tit?jit. "Apakah kita terikat permusuhan?" kembali penjahit baju
langit bertanya. "Tidaki ada permusuhan."
"Ada dendam sakit hati?"
"Tidak ada." "Lantas mengapa kau persiapkan diri untuk menyergap aku
ditempat ini?" "selama lima bulan terakhir, aku sudah tujuh puluh tiga kali
mengintilmu dan lima belas kali ingin menyerangmu, tapi
semuanya kubatalkan, tahukah kau kenapa begitu?"
"Aaah, sekarang aku baru tahu, rupanya hawa pembunuhan
menakutkan yang selalu mengintil disisiku tak lain terpancar
dari tubuhmu." "Karena selama ini aku tidak yakin seratus persen akan
berhasil." Kata Thian-he-tit?jit lagi.
Penjahit baju langit tertawa getir, darah segar masih meleleh
dari ujung bibirnya. "Aku tahu, selama ini kau tak pernah akan melakukan tindakan
bila tidak yakin seratus persen." Katanya.
"selama ini, aku tak pernah yakin bisa menangkan hawa pedang
milikmu itu..... tapi hari ini, akhirnya aku mendapatkan
kesempatan emas itu."
Setelah berhenti sebentar, kembali katanya:
"Biarpun kau adalah penjahit baju langit yang tak pernah
bocor, tapi hari ini kau kelewat gegabah, betul betul
kesempatan emas yang langka."
Penjahit baju langit menghela napas panjang, dia telan


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali darah segar yang baru memancar keluar dari mulutnya.
"Kalau memang kita tak bermusuhan, tak punya dendam, mengapa
kau berniat membunuhku?"
"Hanya ada dua alasan."
"Coba jelaskan."
"Kenapa aku harus menjelaskan kepadamu?"
"Sebab aku tak ingin mati dalam keadaan tidak jelas."
"Bila aku ingin membunuhmu maka kau harus mati, mau mati
dengan jelas atau tidak, apa urusannya dengan aku?"
Ketika mengucapkan perkataan itu, sorot mata Thian-he-tit?jit
memperlihatkan cahaya yang sangat aneh.
Semacam tatapan mata yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
"oleh karena kau, aku pun tak ingin kau mati dalam keadaan
tak jelas," lanjut Thian-he-tit?jit, "alasan pertama karena
julukanmu adalah penjahit baju langit . . . . .."
"Oooh, jadi lantaran julukan ku pun memakai kata langit, maka
hal ini telah menyinggung perasaanmu?" tanya penjahit baju
langit sambil tertawa sedih.
"Bukan," tukas Thian-he-tit?jit, "ini disebabkan penjahit
baju langit adalah panglima andalan Thay-siong?yang?jiu
(tangan sakti dari Siong?yang) Un Wan, jadi bila ingin
membunuh Thay?siong?yang, terlebih dulu aku harus bunuh Kho
Thian?ih." Penjahit baju langit mulai terbatuk?batuk, sesudah muntahkan
darah segar, dengan susah payah dia baru berseru:
"Jadi kau..... kau ingin membunuh Un thayjin?"
Thian-he-tit?jit tidak menanggapi, hanya ujarnya:
"Alasan ke dua, ini dikarenakan kau adalah penjahit baju
langit." "Kali ini pelanggaran apa yang telah kulakukan terhadap
dirimu?" "siapa pun tahu kalau penjahit baju langit telah jatuh cinta
kepada toa siocia dari keluarga Un, Un-ji."
Tiba tiba saja penjahit baju langit jadi emosi, dengan agak
tergoncang hatinya dia menjerit:
"Omong kosong!"
"Bila ingin membunuh Un Wan, Un?ji harus berhasil kita bekuk,
kalau tidak, siapa yang sanggup memancing Un Wan meninggalkan
sarangnya?" "Kalian . . . . . . . . .." penjahit baju langit sangat gusar.
"Asal Un?ji terjatuh ke tangan kami, tidak kuatir Un Wan
bakal terbang ke langit."
"Bedebah, manusia hina!" maki penjahit baju langit dengan
tubuh menggigil, menggigil saking gusarnya.
"Membunuh bukanlah pekerjaan yang rendah dan memalukan, siapa
tokoh terkenal dalam dunia persilatan yang tak pernah
membunuh?" "Percuma kau menjadi manusia tersohor kalau membunuh orang
dengan Cara yang begitu rendah dan hina!" maki penjahit baju
langit lagi sewot. Thian-he-tit?jit sama sekali tidak gusar. katanya perlahan:
"Aku hanya berniat memancing tua bangka Un meninggalkan
sarangnya kemudian menantangnya berduel, siapa bilang Cara
ini rendah dan memalukan?"
II "Tapi kau meracuni mereka . . . . . ..
"Yang meracuni bukan aku tapi Liam Lau dan Liam Wan, itu
urusan mereka dan tak ada sangkut pautnya dengan aku. Tugas
dan tanggung jawabku hanya lenyapkan kau dari muka bumi, ini
dikarenakan kau selalu melindungi Un?ji yang membuat kami
jadi sulit turun tangan. Ketika di jembatan salju, kau
melepaskan jarum.terbang untuk membantu Ong Siau?sik,
tujuannya adalah ingin melindungi Un?ji. Meski Lak?hunpoan?tong ingin menggunakan dirimu, tapi tujuan dan cita cita
mu tidak disana, kau hanya ingin menghantar Un?ji tiba di
kotaraja." Dari atas wajahnya yang dingin kaku, kembali terlintas
perubahan yang sulit dilukiskan dengan kata, ujarnya lagi:
"Jadi tujuan utamamu datang ke kotaraja, boleh dibilang
sebagian besar dikarenakan Un?ji."
Sayang waktu itu penjahit baju langit tidak berpaling,
seandainya dia menoleh, pasti akan merasa keheranan, kenapa
mimik muka Thian-he-tit?jit bisa berubah jadi begitu rupa
sewaktu mengucapkan perkataan itu.
Sikap tersebut sama sekali tidak serasi dengan sikap dingin,
angkuh, sadis, tanpa perasaan yang selalu diperlihatkan pada
wajahnya. Mungkin hanya seorang lelaki muda yang sedang cemburu baru
akan memperlihatkan mimik muka seperti itu.
Bisa jadi penjahat baju langit dapat menangkap perubahan itu
dari nada pembicaraannya, namun hingga kini dia sama sekali
belum berpaling. Mimik muka aneh di wajah Thian-he?tit?jit pun hanya melintas
sekejap kemudian hilang. Tiba tiba terdengar Penjahit baju langit tertawa, sambil
muntah darah dan napas tersengkal, serunya:
"Aku sudah tahu . . . . . . .."
Dengan pandangan dingin Thian-he?tit?jit memandang bayangan
punggungnya, tertawa penjahit baju langit amat menderita, dia
selalu membelakangi lawannya namun berdiri berhadapan dengan
para jago yang keracunan dalam gedung, sehingga siapapun
dapat melihat kalau tertawanya meski sangat menderita namun
ammrtjpuas. "Aku sudah tahu siapakah dirimu . . . . . . . .." penjahit baju
langit tertawa, "selama ini aku memang sedang menyelidiki
II seseorang . . . . . . .. Thian-he?tit?jit tidak menjawab, dia hanya mengawasi lawannya
tanpa bicara. "Aku banyak mengetahui perbuatan yang pernah kau
lakukan . . . . . . .." dengus napas penjahit baju langit mulai
tersengkal. Tatapan mata Thian-he?tit?jit makin tajam, kali ini dia
mengawasi bayangan punggung penjahit baju langit dengan sinar
mata kebencian. Disaat seseorang menatap bayangan punggung orang lain dengan
pandangan semacam ini, kau dapat merasakan bahwa dia tak akan
membiarkan lawannya kesempatan hidup terus.
"Hahahaha . . . . .." mendadak terdengar seseorang tertawa
tergelak, berjalan masuk sambil tertawa. Dia tak lain adalah
Pui Heng?sau yang tadi dilempar ke belakang tirai ulang
tahun. Tiba di belakang tirai, dia menubruk tempat kosong, saat
itulah terlihat Liam Lau dan Liam Wan terlempar masuk ke
dalam, dia sangka ke dua orang itu akan menyerangnya hingga
segera pasang kuda kuda untuk memberi perlawanan.
Siapa sangka ke dua orang itu justru jatuh terjengkang mirip
anjing makan tahi, kejadian yang sama sekali diluar dugaan
ini membuat Pui Heng?sau terkekeh saking gelinya, untuk
sesaat diapun jadi lupa untuk melakukan penyerangan.
Dalam keadaan yang sangat mengenaskan Liam Lau dan Liam Wan
merangkak bangun, saat itulah Thian-he?tit?jit menampakkan
diri. Karena manusia nomor tujuh dari kolong langit sudah
turun tangan, situasi di arena pun seketika terkendali.
Da1am.situasi seperti ini, tentu mereka pun tidak perlu
terburu?buru meringkus si kutu buku Pui Heng?sau.
Sesudah mendengar pembicaraan antara penjahit baju langit
dengan Thian-he?tit?jit, Pui Heng?sau merasa setengah paham
setengah tidak. Dia hanya tahu kalau ilmn yang digunakan Penjahit baju langit
adalah "hawa pedang", sedangkan Thian-he?tit?jit menggunakan
"kekuatan pedang", dia malah belum tahu bagaimana hasil
bentrokan antara "hawa pedang" melawan "kekuatan pedang"
tadi. Tiba tiba satu ingatan aneh melintas dalam benaknya:
"sudah lama kudengar, ilmu yang digunakan Ong Siau?sik
dinamakan Jin?kiam, pedang kebajikan, di perkumpulan
Kimrhong?se?yu?lou terdapat seseorang yang bernama Kwik
Tang-sin pandai menggunakan Bu?kiam, tanpa pedang, sedangkan
Un Wan dari kota Lokyang pandai menggunakan Keng?kiam, pedang
batas, andaikata ke lima jago pedang ini dikumpulkan lalu
saling beradu kekuatan, sudah pasti akan jadi ramai
sekali . . . . . . . . .."
Tiba tiba satu ingatan kembali melintas dalam benaknya,
pemuda itu pun segera berseru:
"Kalau memang racun itu dilepas oleh siluman tua dan siluman
kecil dari marga Liam, berarti meringkus para jago yang hadir
ditempat ini pun merupakan ide dari pihak kejaksaan
kerajaan?" Thian-he?tit?jit sama sekali tidak menjawab, jangan lagi
bicara, memandang sekejap ke arah Pui Heng?sau pun tidak.
Pada hakekatnya dia memang tidak pandang sebelah mata pun
kepada Pui Heng?sau. Kini hawa napsu membunuhnya sudah muncul, musuh tandingan
sudah berada didepan mata, diantara ratusan orang yang hadir,
hanya orang dihadapannya yang pantas menjadi musuhnya.
Thian-he?tit?jit boleh saja tidak menjawab, namun pertanyaan
yang sangat gamblang dihadapan ratusan pasang mata para jago
tak bisa dibiarkan begitu saja, mau tidak mau Liam Lau dan
Liam Wan harus memberi penjelasan.
Dengan lantang Liam Lau segera berseru:
"Kami bukan orang kejaksaan, tidak memangku jabatan apapun
da1am.kejaksaan, jadi urusan kami sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan pihak kejaksaan."
"setiap orang tahu kalau kalian berdua selalu goyang ekor
anjingmu mengintil disamping Cu Gwee?beng, apakah tidak cukup
bukti ini?" ejek Pui Heng?sau.
"Jaksa agung Cu merupakan sahabat karib kami berdua,
memangnya karena kami adalah sahabatnya, maka harus
melaksanakan tugas darinya? Kau pun pernah bersahabat dengan
Ti Hui-keng dari perkumpulan Lak>hun-Pban-tong; masa semua
tugas dan tanggung jawab perkumpulan Lak?hun-poan-tong
menjadi beban kalian pula?"
Da1am.pekerjaan yang lain, mungkin Pui Heng?sau tidak
canggih, tapi dalam hal berdebat, dialah nomor satu. Kontan
serunya: "Dekat gincu jadi merah, dekat tinta bak jadi hitam, semua
makhluk hidup dalam habitatnya dan kumpul dalam kelompoknya.
Tolong tanya, benarkah jaksa agung Cu adalah orang yang
mengurusi kejahatan? Kenapa setiap hari dia justru bergaul
dengan perompak yang lebih hina dari hewan macam kalian?
Apakah wibawanya masih pantas dihormati orang? Apakah hukum
yang diemban masih bisa dipakai untuk memvonis orang?"
Kemudian dengan rasa bangga dia menambahkan:
"Kenyataan yang terpapar didepan mata, masih belum pantas
ditangani manusia bangsa tikus macam kalian."
Waktu itu dia sudah berada disisi penjahit baju langit, maka
dengan nada bangga tanyanya:
"Benar bukan perkataanku?"
"Pergi kau!" tiba tiba penjahit baju langit membentak
nyaring. Sebenarnya Pui Heng?sau berharap bisa mendapat dukungan suara
dari Penjahit baju langit, siapa sangka yang diperoleh justru
hardikan kasar, kontan saja dia merasa kehilangan muka.
Padahal mereka berdua pernah dihargai oleh Ti Hui-keng dari
perkumpulan Lak-hun?poan-tong, selain dilayani secara
terhormat, apapun kemauan mereka selalu dipenuhi.
Akan tetapi mereka berdua belum pernah menyumbangkan tenaga
dan pikirannya untuk perkupulan Lak?hun-poan-tong, merekapun
belum pernah secara resmi bergabung dengan perkumpulan itu.
Alasan yang paling utama adalah karena Penjahit baju langit
merupakan panglima kesayangan Un Wan, kehadirannya di kota
Lokyang kali inipun karena ingin mengajak pulang Un?ji, namun
gadis itu enggan pulang dan bersikeras ingin tinggal di
Kay?hong, maka terpaksa penjahit baju langit ikut tinggal
disitu. Dulu, Un Wan adalah sahabat karib Lui Sun, tongcu dari
perkumpulan Lak-hun?poan-tong, sewaktu Lui Sun tewas ditangan
Kimahong-se?yu-lou, menurut aturan Penjahit baju langit
seharusnya membantu pihak Lak?hun-poan-tong untuk menghadapi
Kimrhong?se?yu-lou. Apa mau dibilang Un?ji justru tinggal di Kim?hong?se?yu?lou,
sedang penjahit baju langit pun diam diam jatuh hati terhadap
toa?siocia nya yang manja dan nakal, itulah sebabnya dia tak
ingin bermusuhan dengan Kim?hong?se?yu?lou, kuatir Un?ji ikut
memusuhinya. Kecuali bermusuhan dengan Kimrhong?se-yu?lou, penjahit baju
langit dengan senang hati membantu Lak?hun-poan-tong demi
melaksanakan perintah dari Un Wan, sayang semenjak kematian
Lui Sun, kondisi Lak?hun-poan-tong semakin terpuruk.
Keadaan Pui Heng?sau hampir mirip dengan kondisinya. Dia
datang ke kota Kay-hong gara gara ingin bertemu dengan
saudara angkatnya, Tong Po?gou.
Waktu itu Tong Po-gou kupul bersama Un?ji dan Ong Siau?sik
sekalian yang sudah menjadi anggota perkumpulan Kimrhong?
si?yu?lou, tentu saja Pui Heng?sau tidak ingin menyusahkan
perkumpulan ini, bahkan sama seperti Penjahit baju langit,
dia pun enggan bergabung dengan perkumpulan Lak?hun-poan-tong
untuk melakukan kejahatan.
Sekalipun begitu, sikap Ti Hui-keng terhadap mereka sangat
baik, belum pernah paksa mereka untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang memusuhi pihak Kim?hong?si-yu?lou, dalam hal
ini, baik penjahit baju langit maupun Pui Heng?sau merasa
"berhutang budi" kepada Ti Hui-keng.
orang persilatan menganggap harta bagaikan sampah, karenanya
mereka tidak takut "hutang uang" tapi takut sekali bila
"hutang budi" Baik "budi" maupun "kesetiakawanan" merupakan hal yang tak
enak dihutang, bahkan hutang harus dibayar.
Watak maupun ilmu silat Pui Heng?sau beda jauh dengan
penjahit baju langit, tapi hubungan mereka berdua cukup
akrab. Kalau Pui Heng?sau adalah kutu buku, maka penjahit baju
langit hanya suka menjahit pakaian. Berhubung mereka berteman
secara tulus, maka hubungan kedua orang inipun sangat dekat,
Pui Heng?sau mendapat tahu kalau tujuan penjahit baju langit
tiap hari menyulam itu bukan bermaksud menjahit baju,
melainkan ilmu silat. Penjahit baju langit sesungguhnya sedang melatih tekun ilmu
"Patahan ranting" serta "memetik bunga tho", pabila kedua


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu tersebut berhasil dikuasahi, maka kemampuannya akan
berada diatas "hawa pedang".
sesungguhnya ke dua ilmu tersebut merupakan ilmu sakti
andalan Un Wan sebelum dia berhasil menguasahi ilmu pedangnya
sekarang. Disamping memperdalam kedua ilmu sakti itu, penjahit baju
langit pun sedang menekuni sejenis ilmu sakti, ilmu hasil
ciptaan sendiri, Thian?ki?it-sian?kan (kesempatan langit
setipis benang). Ketika Pui Heng?sau menghadapi mara bahaya tadi, sejujurnya
dia sama sekali tidak takut, ini dikarenakan dia masih
memiliki dua orang bintang penolong, yang seorang adalah Ong
Siau?sik sedang yang satunya lagi adalah penjahit baju
langit. Asalkan si batu kerikil itu datang tepat pada saatnya, Pui
Heng?sau percaya kawanan iblis itu tak akan mampu berbuat
sesuatu terhadap dirinya, sayang Ong Siau?sik sama sekali tak
ada kabar beritanya. Selain itu, Pui Heng?sau pun tahu dengan jelas, dimanapun
Un?ji pergi, disitu pasti ada penjahit baju langit, jadi
perkataan yang mengatakan "Dimana ada Un?ji, disitu ada
penjahit baju langit" memang tepat sekali.
Padahal ketika berada di jembatan salju, begitu Pui Heng?sau
menyaksikan jarum terbang, dia segera tahu kalau penjahit
baju langit sedang membantu mereka secara diam diam.
Hanya saja karena hubungannya dengan penjahit baju langit
sangat akrab, sedang Un?ji pun tak senang kalau dia diintil
terus, maka Pui Heng?sau tak pernah membongkar rahasianya.
Diapun tahu, setiap kali menghadapi bahaya, Un?ji tak bakal
ambil diam, sebaliknya bila Un?ji menghadapi bahaya, penjahit
baju langit pun tak bakal berpeluk tangan.
Jika Un?ji ditolong penjahit baju langit, dia pun pasti ikut
tertolong, maka dia sangat tenang, amat percaya diri.
Kemunculan Thian-he?tit?jit yang tiba tiba disusul
pertarungannya melawan penjahit baju langit sama sekali tidak
menggoyahkan rasa percaya dirinya, ini dikarenakan dia sangat
percaya dengan kemampuan rekannya.
sayang, persoalan yang terjadi di dunia ini tak mungkin bisa
diselesaikan hanya mengandalkan rasa percaya diri.
Bentakan kasar dari penjahit baju langit membuat Pui Heng?sau
tersinggung, marah, bukan hanya menyudahi persoalan, pemuda
itu malah mempercepat langkahnya, berputar ke hadapan
rekannya sambil menegur: "Apa maksudmu? Kenapa melampiaskan amarah kepadaku??"
Tiba tiba ia menyaksikan sesuatu diatas dada penjahit baju
langit, pertanda yang membuatnya terkesiap, tercekat hatinya.
Untuk berapa saat dia tak sanggup bicara, tak sepatah
katapun, tak sedikit suara pun yang bisa dilontarkan.
Dari perubahan mimik wajah Pui Heng?sau sekarang, siapa pun
dapat membayangkan sampai dimana parahnya luka yang diderita
penjahit baju langit. Bab 29. Ribuan matahari berada dalam genggaman.
Dalam waktu yang amat singkat, Pui Heng?sau telah melihat
kalau tubuh si penjahit baju langit sudah terluka.
Itu bukan lagi luka, melainkan pertanda kematian.
Siapapun yang menderita luka semacam ini, dia pasti sudah
mati sedari tadi. Pui Heng?sau adalah orang pintar, dia sudah membaca
banyak buku. Walaupun pernah baca banyak buku, bukan berarti dia pasti
pintar, tapi orang yang mampu baca banyak buku pasti
bukan orang bodoh. Begitu juga Pui Heng?sau, dia pernah membaca banyak buku
dan berusaha menghapalnya, sayang daya ingatnya kurang
baik, seringkali buku yang baru dibaca sudah terlupakan
begitu saja. Oleh karena dia mau membaca dan bisa melupakannya, maka
ia tetap seorang lelaki yang tulus, jujur, menyenangkan
dan tak punya pikiran licik.
Dia termasuk orang pandai, tak heran reaksinya cukup
cepat. orang pintar memang biasanya lebih cepat reaksinya.
Begitu menyaksikan luka lebar didada penjahit baju
Patung Kepala Singa 2 Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata Drama Dari Krakatau 2

Cari Blog Ini