Ceritasilat Novel Online

Rinduku Pada Rimba Papua 2

Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler Bagian 2


Sampai kini, Mama masih senang menceritakan kisah tadi secara rinci. Bagaimana Papa merangkak di atas meja dengan parang terhunus, rambut berantakan, dan celana pendek yang nyaris melorot. Ia mengamati semua itu dari ambang pintu kamar tidurnya.
Pada saat sarapan keesokan harinya, anak-anak asyik menyimak cerita Papa tentang malam yang menggemparkan itu. Piring dipakai sebagai alat peraga, sendok kopi diumpamakan sebagai ular.
"Papa," kataku kecewa, "mengapa Papa tidak membangunkanku? Aku kan bisa menolong..
"Aku juga, aku juga!" teriak Christian.
"Oh, kalian baik sekali," jawab Papa, "Walaupun Papa tahu Christian mahir memanah dan Sabine mahir menangkap binatang, rasanya Papa lebih tenang kalau kalian berdua aman di balik kelambu. Lebih mudah melindungi kalian dengan cara seperti itu. Mengerti kanT Christian dan aku mengangguk serempak.
Namun, bisa saja Papa tidak ada di rumah, pikirku dalam hati. Jika kebetulan hal yang sama terjadi lagi, aku yakin kami bisa mengatasinya sendiri.
Dengan rasa bangga akan diri sendiri dan rasa aman mengetahui Papa akan selalu melindungiku, aku berlari ke luar dan melompat ke sungai untuk mandi pagi.
Bab 11 PERANG PERTAMA Perang pertama terjadi kira-kira tiga bulan setelah kedatangan kami di desa Foida, daerah Fayu. Kami perhatikan anak-anak terkadang memang terlihat takut, tetapi kami tidak tahu mengapa. Yang membuat kami senang, mereka sudah semakin sering bermain bersama kami dan kelihatan menikmatinya. Namun, kadang-kadang mereka terlihat gelisah, terutama ketika kelompok tetangga datang ke desa.
Pada hari itu, anak-anak bertingkah seperti ketika kami pertama kali datang. Mereka berhenti bermain dan duduk bersandar di pohon atau dekat orang tua. Tiba-tiba aku melihat sekelompok orang Fayu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mereka datang naik perahu. Yang janggal, anggota kelompok ini semua lelaki.
Aku, Tuare, Bebe, dan Ghristian sedang duduk mengelilingi api. Kami sedang makan buah kwa (sukun), yang rasanya seperti perpaduan antara roti dan kentang. Pohon kwa banyak dan tersebar di hutan. Buah kwa berwarna hijau tua, tertutup oleh duri-duri tebal yang empuk. Untuk memakannya, kami harus meletakkannya di atas api sampai kulitnya berwarna agak gelap?tanda kwa siap untuk dimakan.
Tuare mengambil satu buah dari api dan menginjaknya hingga terbelah. Ukuran buah tersebut kurang lebih sebesar buah melon. Di dalamnya terdapat serat berwarna putih, berisi biji-biji berwarna cokelat sebesar kacang walnut. Kami mengeluarkan biji-bijinya, mengupasnya, dan memakannya dengan lahap.
Kami baru saja menikmati kwa kedua ketika perahu-perahu itu muncul. Penduduk asli di sekitarku menjadi gelisah. Tuare dan Bebe ketakutan, dan menghilang bersama para wanita dan anak-anak yang lain ke dalam hutan yang lebat. Christian dan aku tetap duduk dekat api. Tidak setiap hari terjadi sesuatu yang menarik perhatian.
Orang-orang Fayu dari desa kami memegang erat busur dan anak panah. Mereka selalu meletakkannya dalam jangkauan tangan. Mereka berkumpul ketika perahu-perahu itu merapat dan prajurit-prajurit tak dikenal turun. Kami memerhatikan dengan rasa ingin tahu anak-anak yang polos. Buas dan hitam, mereka berpakaian lengkap ala kerajaan. Pandangan kaku mereka menyapu kami. Tak ada yang senyum atau menggosokkan kening tanda salam. Hatiku sedikit ciut melihat mereka tidak menerapkan kebiasaan itu. Ada yang berbeda dari situasi ini.
Papa keluar dari rumah untuk menyambut para pendatang baru. Ia memberi mereka peralatan pancing sebagai hadiah selamat datang dan mencoba berbicara dengan mereka memakai sedikit bahasa Fayu yang ia pelajari. Jam-jam pertama berlalu dengan tenang.
Christian dan aku mulai bosan karena tidak ada kejadian apa pun dan memutuskan untuk berenang. Ketika kami sedang bermain air, suara-suara di tepi makin keras. Aku memanjat ke tepi untuk melihat apa yang terjadi. Orang-orang Fayu sedang berdiri dan duduk dalam dua kelompok?orang-orang dari desa kami di satu sisi dan orang asing itu di sisi yang lain. Terlihat mereka sedang berdebat, dan ekspresi permusuhan menandakan situasi memanas. Setiap orang memegang busur di satu tangan dan anak panah di tangan lainnya. Ini adalah pertanda buruk.
Satu jam berlalu, dan suasana makin tegang. Perbincangan yang keras berubah menjadi teriakan bernada menantang. Pada titik itu, Mama memanggil kami untuk masuk ke rumah. Merasa ada yang tak beres, kami bergegas masuk. Papa ikut masuk juga dan memasang palang pintu. Christian dan aku naik ke atas bangku dan melihat ke luar jendela.
Kini semua pria berdiri berhadapan. Suara mereka meninggi. Tiba-tiba suasana berubah lagi. Aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Suasana seakan gelap, berat, dan terasa mengancam, hanya itu yang bisa kugambarkan. Matahari memang masih terang, tetapi entah kenapa suasana seperti gelap.
Di depan mata kami, para pria mulai menghentakkan kaki. Mereka bergerak melingkar, mengulang-ulang sebuah kata. Ooh-wa, ooh-wa, ooh-wa. Ini adalah teriakan dalam perang. Segera saja semuanya bersama-sama melagukan nada-nada monoton. Mereka berhadap-hadapan, kaki menghentak tanah, anak panah terpasang pada busurnya.
Foto 26 : Tarian perang Lalu, mereka mulai berlari dalam urutan yang seperti telah ditentukan sebelumnya. Pertama-tama, kedua kelompok lari menjauh sampai terpisah sejauh lima puluh meter, kemudian lari mendekat hingga hanya berjarak beberapa meter. Hentakan kaki terus dilakukan dan tarian perang diulang-ulang.
Mereka melakukan ini berjam-jam tanpa terlihat lelah. Saat melakukan hal ini, sesuatu yang aneh terjadi. Prajurit-prajurit perang itu sepertinya nyaris mengalami trans: pandangan kosong dan gerakan menjadi kaku seperti robot. Suara mereka berubah. Beberapa menjadi berat, yang lain jadi melengking. Ooh-wa, ooh-wa, ooh-wa selama berjam-jam.
Setelah beberapa saat, aku bosan dan mengambil sebuah buku yang sedang aku baca. Aku hampir selesai membaca ketika mendengar jerit kesakitan di tengah mantra-mantra itu. Lalu disusul jeritan lainnya. Perang telah dimulai.
Segalanya berlangsung cepat, seakan waktu berlari. Mama dan Papa menyuruh kami menjauh dari jendela untuk menghindar dari anak panah. Puji Tuhan, hal ini tidak terjadi.
Setelah beberapa saat, keheningan mengemuka. Orang-orang Fayu pendatang membawa anggota mereka yang terluka ke perahu dan pergi. Papa adalah orang yang pertama keluar dari rumah. Ia ingin membantu semampunya. Setelah beberapa saat, ia berseru bahwa semua aman. Kami semua keluar, kecuali Judith yang masih kaget. Bukan pemandangan indah yang menanu kami. Beberapa laki-laki berdarah terkena panah. Seluruh penduduk desa menatap nanar, dan tak ada satu pun yang bicara. Untung tidak ada korban tewas. Mama mulai membalut korban luka; Papa dan aku membantunya.
Pada tahun-tahun berikutnya, para prajurit terbiasa datang ke rumah kami setelah perang untuk mendapatkan perawatan dari Mama. Pada cuaca tropis, luka dapat terinfeksi dalam beberapa jam jika dibiarkan. Sebelum kedatangan kami, banyak prajurit mati sia-sia karena infeksi setelah perang, walaupun lukanya tidak seberapa.
Ketua Baou tidak ada di antara yang terluka. Ia duduk terpisah dari prajurit-prajurit lain dan terus memandang ke tanah. Papa berdiri di depannya, tak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkapkan emosinya yang meluap-luap. Lalu ia berbalik dan menghalau kami ke dalam rumah. Kegelapan malam turun menyelimuti desa.
Kini kami telah mengalami sendiri perang suku Fayu. Kali ini yang berperang adalah orang Sefoidi yang tinggal jauh di hulu sungai dan orang Tigre, satu dari dua kelompok yang daerahnya membatasi rumah kami. Namun bisa saja perang terjadi antara beberapa kelompok. Hal ini sudah sangat sering terjadi. Suku yang pernah berpenduduk ribuan telah berkurang menjadi tinggal ratusan karena perang saudara.
Ini pasti tidak akan jadi konflik terakhir di sekitar rumah kami. Namun, ini adalah kali pertama sekaligus terakhir aku menyaksikan perang mencapai titik pertumpahan darah. Bila kuingat masa itu, aneh rasanya bahwa aku tidak pernah khawatir akan keselamatan diriku selama terjadi keributan-keributan di sekitar rumah. Mungkin karena keyakinanku yang kuat bahwa Tuhan dan Papa akan melindungiku. Aku juga merasakan secercah harapan bahwa masa depan orang Fayu akan lebih cerah.
Ketika aku berbaring malam itu, diiringi orkestra katak dan serangga, aku memanjatkan doa?seuntai doa dari lubuk hati seorang anak. Tuhan, tolong beri orang-orang Fayu kedamaian.
Bab 12 KOLEKSI BINATANG, BAGIAN PERTAMA
Anak-anak selalu punya hobi di mana pun mereka berada. Begitu juga aku yang tinggal di hutan. Suatu hari, Mama masuk ke dapur dan melihatku sedang memenuhi meja dengan panci, wajan, botol minyak, handuk, pisau dapur, dan lain-lain. Ia bertanya dengan heran, "Apa yang sedang kamu lakukan, Sabine?" Dengan mata yang berbinar-binar aku menjawab, "Aku perlu benda-benda ini! Di luar ada orang Fayu yang mau bertukar bayi buaya denganku. Sebagai gantinya, ia akan mendapatkan semua ini," tunjukku ke arah tumpukan di meja dengan gaya murah hati.
"Lalu di mana buaya itu akan kamu taruh?" Mama menyelidik.
Tanpa ragu-ragu aku menjawab, "Di ember. Aku sudah mengisinya dengan air."
Mama berbalik dan berjalan menuju orang Fayu yang sedang menunggu di luar. Ia menyuruhnya puiang dengan berkata, "Pertukaran tidak jadi." Lalu ia kembali ke dalam dan menerangkan beberapa fakta dalam hidup:
1. Aku harus selalu minta izin terlebih dahulu.
2. Aku tidak boleh mempertukarkan barang yang bukan milikku. (Aku protes. Karena aku bagian dari keluarga Kuegler, aku juga berhak atas barang-barang itu. Mama menjawab dengan bertanya, apakah aku pernah sekali saja memakai panci).
3. Sulit untuk membesarkan seekor buaya di dalam ember.
4. Aku harus mencoba melihat dari sudut pandang binatang. Bayangkan betapa kesepiannya buaya kecil itu tanpa ibu dan saudara-saudaranya.
Aku mendengarkan semua aturan Mama dengan curiga. Semua itu tentu ditujukan untuk menghalangi keinginan hatiku. Namun, alasannya yang terakhir berhasil meyakinkanku.
Ketika aku beranjak dewasa, kecintaanku pada binatang meningkat, dan aku menjadi kolektor yang setia. Sayangnya, hobi ini tidak selalu berjalan dengan baik. Rasa ingin tahuku menyebabkan beberapa makhluk kecil yang malang mati. Selama masa-masa itu, aku benar-benar meratapi semua binatang yang telah meninggalkanku, baik yang mati maupun lari. "Mereka semua masuk surga," jelas Mama. Karena itu, aku membayangkan surga sebagai tempat ratusan binatang berlari kian kemari, menunggu untuk menjadi teman bermainku.
Aku menamai semua hewanku, sampai laba-laba terkecil sekalipun. Tikus bernama George, burung beo bernama Bobby, dan laba-labaku kunamai Daddy Si Kaki Panjang. Burung unta kunamai Hanni dan Nanni; kemudian ada Jumper si kanguru pohon, Woolly si kuskus, dan seterusnya.
Laba-laba kupelihara bersama telurnya dan kutaruh di sebuah stoples besar berisi kotoran, rumput, dan kayu, supaya mereka merasa seperti di rumah sendiri. Lalu aku menangkap serangga kecil untuk makanan mereka. Namun aku tak pernah mengerti, mengapa telur laba-laba itu tak kunjung menetas. Berdasarkan pengamatanku, kebutuhan laba-laba itu sudah terpenuhi. Aku telah mengamati mereka dengan sangat saksama di habitat aslinya sehingga tahu betul sarang seperti apa yang cocok untuk mereka. Lalu pada suatu hari, ketika memasuki kamar tidur, aku menyaksikan suatu kejadian yang sangat mengerikan. Mama menyemprot telur laba-laba itu dengan racun serangga. Aku berteriak sejadi-sejadinya untuk menyelamatkan bayi-bayiku, tapi terlambat.
"Kenapa Mama begitu kejam!" aku menangis.
Mama menarik napas panjang. "Lihat ke sekelilingmu. Apakah kamu tidak sadar binatang peliharaanmu sudah banyak?"
Kupandang sekelilingku. Hanni dan Nanni berdiri di belakangku, Bobby sedang mengoceh di jendela, George sedang berlarian kian kemari dalam kotaknya. Di rak ada beragam wadah berisi laba-laba, serangga, dan kodok. Kucingku, Timmy, tidur di tempat tidur, dan Woolly bertengger sambil memerhatikan kami. Aku melihat ke Mama kebingungan dan menjawab, "Tidak."
Foto 27 : Judith dan kanguru pohonnya, Fifi
Mama kesal dan kami pun membuat kesepakatan. Ia tak akan lagi menyentuh koleksiku. Sebagai gantinya, aku harus meletakkan koleksiku di luar. Ia lelah setiap kali harus mengejar laba-laba dan kodok di dalam rumah. Hari itu juga, Papa membuatkanku lemari bersusun di belakang rumah, tempat aku bisa menyimpan koleksi kesayanganku.
Dari semua binatang-binatang itu, Timmy si kucing jelas jadi kesayanganku. Aku mendapatkannya di danau Bira. Coraknya yang putih cemerlang dengan bercak hitam, sangat istimewa. Ketika kami membawanya ke Foida, orang-orang Fayu agak bingung. Mereka tidak pernah melihat kucing. Mereka mengira Timmy anjing atau mungkin anak babi hutan. Papa menjawab, bukan keduanya. "Jadi, apa namanya?" mereka ingin tahu.
Papa tidak tahu cara menjawabnya, karena tidak ada kata dalam bahasa Fayu untuk kucing. Jadi Papa menjawab, "Ini Timmy." Begitulah, sejak hari itu dan seterusnya, "Timmy? menjadi kata dalam bahasa Fayu untuk kucing.
Untuk memperlihatkan kemampuan Timmy, Papa melemparkannya ke udara beberapa kali. Setiap kali, ia pasu mendarat dengan kakinya. Orang Fayu takjub dan mengangguk setuju. Beberapa jam kemudian, beberapa orang datang dan melapor, "Anjing pemburu kami tidak bisa begitu. Mereka selalu mendarat dengan punggungnya dan berkaing.??
Anjing-anjing pemburu itu jelas belum pernah melihat kucing. Tidak lama setelah kedatangan Timmy di Foida, seekor anjing mencoba merebut tikus hasil buruan Timmy. Dengan erangan yang meyakinkan, Timmy menyerang dan mencakar hidung anjing itu dengan begitu kuat sehingga anjing itu lari tunggang-langgang. Sejak hari itu dan seterusnya, Timmy menjadi raja hutan. Semua anjing pemburu menjauh darinya karena takut pada cakarnya.
Timmy benar-benar menjadi kucing hutan. Tepat pukul enam sore, ia menghilang ke hutan untuk berburu. Ia muncul kembali pada pukul empat pagi dan berdiri di pintu untuk minta masuk. Mengabaikannya sungguh tidak mungkin; ia akan mengeong semakin keras. Papa selalu berkata ia tidak butuh jam tangan lagi. Timmy lebih bisa diandalkan ketimbang Timex. Setelah diperbolehkan masuk, Timmy melompat ke tempat tidurku dan berbaring di leherku dengan kaki belakang di satu sisi kepalaku dan kaki depan di sisi yang lain. Ini adalah tempat favoritnya sejak masih kecil. Ketika pertama kali mendapatkan Timmy, aku sedang sakit kuning dan demam tinggi. Leherku yang panas menjadi tempat yang hangat dan aman baginya.
Pernah aku membiarkan Timmy tidur dengan Judith, karena ia suka diselimuti rambut panjang kakakku itu.
Namun keesokan harinya, terdengar jeritan yang keras dan kertak gigi. Timmy telah mengunyah segumpal besar rambut di ubun-ubun Judith. Sisa rambut lainnya benar-benar awut-awutan. Aku tertawa sejadi-jadinya.
Mama menarik kerah bajuku dan menggiringku ke luar. "Kamu baru boleh masuk kalau sudah tenang.
Kita tidak boleh menertawai kemalangan orang lain, bagaimanapun lucunya."
Setelah beberapa saat di luar, aku ingat aku belum makan pagi. Kututup mulutku dengan tangan untuk menahan tawa, lalu masuk kembali. Mama menyambutku dengan pandangan yang memperingatkan. Ia memberi Judith sebuah topi besar untuk menutupi rambutnya. Melihatnya, aku tidak bisa menahan tawa dan lari lagi keluar untuk menenangkan diri. Sayangnya, ketika mendekati meja makan, aku melihat Papa duduk dengan kepala menunduk dan pundak berguncang-guncang.
Aku sakit perut karena terlalu banyak tertawa. Mama menendangku ke luar lagi, tapi paling tidak aku diberinya sarapan. Malamnya, Judith sudah merasa lebih tenang dan bisa tertawa bersamaku. Namun, tempat tidurnya terlarang untuk Timmy sejak saat itu.
Foto 28 : Wanita Fayu menyusui bayinya dan anak dingo
Aku juga tertarik pada dingo. Aku selalu heran, mengapa mereka hanya melolong dan tak pernah menggonggong. Belakangan baru aku tahu bahwa mereka bukan anjing, melainkan sejenis serigala Asia. Orang Fayu memperlakukan dingo seperti anak. Mereka mencurahkan banyak waktu dan perhatian untuk melatih mereka menjadi anjing pemburu. Siapa yang punya dingo terlatih akan mendapat banyak daging. Aku sempat mencoba beberapa kali untuk menjinakkan seekor dingo sebagai hewan peliharaan, tapi tak pernah berhasil. Mereka terlalu liar untuk dibelai atau diajak bermain.
Papa hampir tidak percaya ketika pertama kali melihat seorang wanita Fayu menyusui seekor dingo. Namun seiring berjalannya waktu, kami menjadi terbiasa dan menerimanya sebagai hal yang wajar. Sangat umum bagi para wanita menyusui anak mereka dan anak dingo (atau bahkan anak babi!) pada saat yang sama. Aku meyakinkan Mama, bila nanti aku punya bayi, aku tentu punya cukup air susu untuk juga menyusui anak anjing.
"Oke, Sabine, paling tidak kamu bisa terkenal. Tapi kamu harus dewasa dulu."
Bagiku, hutan tropis sama seperti kebun binatang. Hanya saja, binatang di hutan bebas berlarian ke mana saja. Di belantara Irian Jaya, tidak ada harimau atau monyet. Jadi, binatang terbesar yang kami lihat adalah burung unta, babi hutan, dan buaya. Namun, aku lebih suka binatang yang lebih kecil karena lebih mudah ditangani. Sedap kali "menemukan" jenis baru, aku segera lari ke dalam rumah untuk mengambil wadah untuk binatang itu. Satu-satunya binatang yang tidak bisa kutangkap hidup-hidup adalah ular. Hewan itu memang berbahaya karena kebanyakan beracun. Lebih baik tidak mencoba.
Orang Fayu cepat sadar akan kecintaanku pada hewan, dan berpikir untuk menggunakan kesempatan itu demi keuntungan mereka. Dengan bantuanku, mereka dijamin mendapat hasil yang baik, karena aku akan meluluhkan hati Papa dengan rayuanku, sehingga ia menukar sesuatu dengan hewan itu.
Suatu hari, orang Fayu datang kepadaku membawa seekor ular besar yang telah mati. Ular itu menyerang seekor dingo di antara rumah kami dan dusun sehingga penduduk membunuhnya. Ular tersebut berwarna merah-cokelat yang indah. Sisiknya berkilau di bawah sinar matahari dan terasa seperti sutra. Aku memegang ular itu sambil meratapi kematiannya. Christian berdiri di sebelahku dan kami mengamati tiap inci tubuh binatang itu.
Ketika aku mengangkat kepala, aku melihat Judith keluar dari rumah. Sebuah rencana muncul di benakku. Ia hanya berjarak beberapa yard dan tidak melihat ular yang kupegang. Christian mulai tersenyum melihat ekspresi wajahku. Ia tahu apa yang aku pikirkan. Kupegang ekor ular itu erat-erat, kuayunkan seperti tali laso di atas kepalaku dan kulemparkan ke arah Judith. Aku terkejut karena ternyata bidikanku jauh lebih jitu dari yang kukira. Ular itu melayang di udara lalu melingkar di leher Judith. Hanya mukjizat yang membuat kakakku tidak mati karena serangan jantung. Namun, mukjizat yang lebih besar adalah ia masih mau bicara denganku sampai hari ini.
Laba-laba adalah binatang kesukaanku. Kuhabiskan waktu berjam-jam untuk memerhatikan mereka merajut sarang dengan terampil. Aku juga amat kagum dengan keahlian mereka membungkus mangsa dalam sutra dan menyedotnya hingga kering.
Suatu hari, ketika aku berjalan menuju sebuah desa Fayu, aku menangkap sesuatu yang berkelip dengan sudut mataku. Aku mendekat karena begitu tertarik. Itu adalah sarang laba-laba terbesar, yang pernah kulihat. Sarang itu menutupi seluruh semak di pinggir hutan. Jantungku berdetak lebih cepat dan aku lupa alasanku datang ke desa itu. Laba-laba jenis apa yang bisa membuat mahakarya seperti ini? Aku tak perlu terlalu lama mencari jawaban. Di tengah-tengah sarang, ada seekor laba-laba yang sangat besar, hampir sama besarnya dengan laba-laba yang pernah kami serang di rumah pada hari pertama dulu.
Sungguh makhluk yang sangat indah. Bentuknya tidak lazim, bukan oval seperti biasa, melainkan segi empat yang menyempit. Warnanya berkilau mirip ular: hitam, biru, merah, dan nuansa lainnya. Ia bertengger diam di tengah-tengah sarangnya. Aku mendekat perlahan dan menarik seutas benang dari sarangnya. Benang itu sangat kuat sehingga aku tidak dapat memutuskannya. Aku tak percaya akan seberuntung ini!
Begitu gembiranya, aku berlari kembali ke rumah guna mencari botol terbesar untuk menangkap laba-laba itu. Namun, botol terbesar sekalipun masih terlalu kecil. Sementara itu, bel peringatan mulai berdering di benakku, karena aku ingat bahwa warna-warna cemerlang pada hewan atau tanaman biasanya menandakan makhluk tersebut beracun. Jadi aku cukup puas hanya dengan memandangnya sesaat.
Esok harinya, sesuatu yang tak disangka-sangka terjadi, membuatku semakin kagum pada laba-laba itu. Begitu menyelesaikan tugas sekolah, aku berlari ke luar untuk mengunjungi si laba-laba yang kunamai Rainbow. Semakin dekat ke semak-semak, aku tertegun melihat seekor burung kecil terperangkap di sarangnya. Burung itu mengepakkan sayapnya kuat-kuat, tetapi tidak mampu melepaskan diri. Karena kasihan, aku beranjak 1 untuk membebaskannya, tetapi kemudian terdiam ketika melihat laba-laba itu mengawasi kami dari balik dedaunan. Ketakutan mulai menghinggapiku. Akankah ia menyerangku jika aku mendekati burung itu? Aku menjauh.
Ketika kepak sayap burung itu melemah, Rainbow keluar dari persembunyiannya dan menyerang. Dalam beberapa detik saja, burung itu tidak bergerak lagi. Kemudian aku mendengar Mama memanggilku. Setelah melemparkan pandangan terakhir pada tontonan menarik itu, aku terpaksa mematuhinya. Pada saat aku kembali, laba-laba itu telah membungkus burung yang malang tadi dan bertengger di atasnya.
Dengan rasa penasaran dan sedikit ngeri, aku menantikan aksi penaklukan Rainbow berikutnya. Namun, esoknya ketika aku kembali menjenguk Rainbow, semuanya telah menghilang?laba-laba, sarang, maupun burung. Apakah orang Fayu atau binatang yang menyebabkannya, aku tidak tahu. Yang jelas aku sangat kecewa. Di sisi lain, mungkin inilah yang terbaik. Siapa tahu Rainbow juga akan menyerang koleksi hewanku.
Kekecewaanku tidak berlangsung lama. Begitu banyak atraksi mengagumkan lainnya yang dapat mencuri perhatian seorang anak rimba....
Bab 13 BUSUR DAN ANAK PANAH Untuk kesekian kalinya, aku dan Christian bermain busur dan panah di luar. Karena kami semakin besar, busur yang diberikan Tuare sudah kekecilan. Karenanya, kami membuat busur yang lebih besar dengan bantuan teman-teman. Busur yang lebih besar membutuhkan anak panah yang lebih panjang pula. Oleh sebab itu, membuat anak panah adalah pekerjaan selanjutnya.
"Sabine, ke sinilah bantu aku memasang tali busur," panggil Christian.
"Jangan sekarang. Aku mau menyelesaikan anak panahku dulu," jawabku. Ia terus memanggilku. Dengan kesal akhirnya kuambil busurnya dan mulai memasang talinya. Kami bertengkar sepanjang hari dan sudah sama-sama berada di puncak kekesalan. Ketika aku sedang mengerjakan busur Christian, ia memainkan busurku.
Aku menjadi marah. "Babu, letakkan. Itu punyaku." Tiba-tiba ia menarik sebuah anak panah dan menembakkannya ke arahku. Anak panah itu mengenai lenganku dan menembus hingga ke tulang. Aku berteriak seperti seekor babi yang tertusuk dan mulai menangis, berguling-guling di tanah kesakitan. Papa berlari menghampiri kami. Ia melihat apa yang terjadi dan mencabut anak panah dari lenganku.
"Itu tadi kecelakaan! Kecelakaan!" Christian berteriak ketakutan dan menyesal.
"Tidak," teriakku menjawab, "kau mencoba membunuhku!" Lukanya terasa membara seperti api.
Papa sangat marah. Ia mengambil semua anak panah dan mematahkan ujung-ujungnya. Sementara itu beberapa orang Fayu mengelilingi kami dan ingin tahu bagaimana Papa menangani masalah ini.
Papa membawaku ke dalam rumah. Aku meraung-raung dan Christian lari di belakangku sambil menangis juga. Sambil membalut lenganku, Mama memarahi Christian.
Selama sebulan, kami tidak diizinkan bermain dengan anak panah berujung runcing. Namun, lama-kelamaan peristiwa ini terlupakan juga. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun bahwa Christian sengaja memanahku. Itu hanya kecelakaan anak-anak di hutan. Tak lebih. Akhirnya kami diizinkan memakai anak panah berujung runcing lagi.
Busur dan anak panah adalah salah satu harta berharga orang Fayu. Alat itu digunakan untuk berburu, mempertahankan diri, dan membalas dendam. Ukuran busur disesuaikan dengan pemakainya. Busur laki-laki lebih panjang setengah yard dari tinggi badannya. Busur dibuat dari kayu keras dan diberi tali dari bambu.
Foto 29 : Bergaya dengan busur dan anak panah: Sabine (paling kanan),
Tuare (tengah) dan Christian
Ada tiga jenis utama ujung anak panah: kayu, bambu, dan tulang. Ujung anak panah dari kayu yang disebut Zehai, digunakan untuk hewan kecil dan burung. Panah Bagai?terbuat dari bambu?digunakan untuk ?babi hutan dan burung unta. Ujungnya yang lebar memang dirancang supaya binatang terluka parah sehingga cepat mati. Panah dari tulang kanguru disebut Fat dan dirancang untuk membunuh manusia.
Busur pemburu dihiasi aneka bulu burung?simbol kemenangan dalam perburuan sebelumnya. Setiap pemburu membuat anak panahnya sendiri dan mengukir idenutas masing-masing di atasnya. Tujuannya adalah untuk mengenali anak panah siapa yang telah membunuh mangsa. Kami, anak-anak, sering mengagumi rancangan yang sangat mendetail itu.
Sekalipun indah, benda-benda itu sering menimbulkan kesedihan mendalam. Aku beberapa kali melihat anak-anak memanah orang tuanya ketika mereka marah karena ddak mendapatkan keinginannya.
Papa bahkan pernah terancam beberapa kali. Suatu ketika, seorang pemuda kehilangan kesabaran, lalu bersiap memanah. Namun, reaksi Papa sangat tidak terduga. Perlahan ia menghampiri orang itu dan merangkulnya. Orang Fayu belum pernah melihat tindakan seperti ini sebelumnya. Perilaku orang kulit putih itu begitu mencengangkan, ddak sesuai dengan pandangan mereka, sampai-sampai pemuda itu bingung harus bersikap bagaimana. Papa tidak jadi terluka saat itu, tidak juga setelahnya.
Namun kewaspadaan itu perlu. Papa sangat berhad-hati agar tidak melanggar rambu sosial suku Fayu atau kehilangan kesabaran terhadap orang Fayu. Kami tidak pernah tahu sepenuhnya bagaimana reaksi mereka dalam
situasi-situasi semacam itu, belum lagi risiko jika tak sengaja melanggar hal-hal tabu. Jadi kami berusaha menjaga tindak-tanduk kami sebaik-baiknya.
Foto 30 : Tiga jenis ujung anak panah: Bagai (kiri), Zehai (Tengah) dan Fai (kanan)
Busur dan Anak Panah Bab 14 MUSIM DI HUTAN Suatu hari aku berlari pulang, kehausan setelah bermain seharian penuh. Aku menuang air ke gelas dan minum, tetapi airnya terasa aneh. Kuletakkan gelas dan kusadari airnya berwarna cokelat. Selain itu tak ada yang aneh. Jadi aku minum sedikit lagi, tapi aku tetap merasa aneh. Aku meminta adikku mencobanya. Ia mencoba sedikit dan langsung memuntahkannya. Lalu kami mendatangi Papa dan memintanya untuk mencobanya. Reaksinya sama. Rasanya sangat tidak enak.
Papa merasa ada yang tidak beres dengan penampung air hujan kami. Kami pergi ke tempat drum itu diletakkan, dan naik ke atas untuk melihat. Saat melongok ke dalamnya, tiba-tiba air muka Christian berubah. Aku naik untuk melihat apa yang ia temukan. Seekor katak gemuk yang sudah setengah busuk mengambang. Isi perutnya dikerubungi belatung.
Kami segera mengosongkan drum dan membersihkannya. Kini kami hanya bisa berharap hujan turun agar persediaan air kami kembali terisi. Hanya ada dua musim di hutan tropis: musim hujan dan musim kemarau. Musim khas hutan.
Bila musim kemarau tiba, cuaca begitu panas sehingga kami harus tinggal di dalam rumah. Saat subuh pun panas sudah terasa. Hewan akan merangkak dan bersembunyi di sarang atau lubang mereka di semak-semak yang sejuk. Keuntungan dari musim ini, tak banyak hama yang masuk ke rumah.
Aku melewatkan sebagian besar waktuku di air agar tetap merasa sejuk. Namun, saat hujan tak turun untuk beberapa saat, ketinggian air akan turun drastis. Kondisi ini memunculkan tepi sungai yang berpasir, yang kemudian menjadi tempat bermain baru. Pinggiran sungai yang berpasir terkadang terus melebar, sampai-sampai sungai nyaris menghilang. Aliran air sungai yang menyempit tetap dalam dan mengalir deras, jadi kami harus berhati-hati agar tidak bermain terlalu jauh.
Kami sering lupa memakai sandal. Situasi ini membuat kami harus tetap di air. Tepi berpasir yang harus kami seberangi untuk pulang, begitu panas, sehingga bisa membuat kaki melepuh. Akhirnya hanya satu siasat yang tersisa: berdiri dengan wajah memelas, memanggil Mama untuk minta pertolongan. Biasanya ia akan mengirim Minius untuk menyelamatkan kami. Karena penduduk asli tidak pernah memakai sepatu, telapak kaki mereka hampir sama dengan sepatu bot kulit. Minius mengantarkan sandal atau menggendong kami menyeberangi tepi berpasir. Senyumnya yang mengembang hanya ia simpan untuk orang asing seperti kami.
Bagiku, malam hari adalah bagian terparah dari musim kemarau. Malam hari tidak lebih sejuk dari siang dan kelembapannya sangat menyiksa. Akhirnya aku menemukan cara yang bisa membuatku tertidur. Aku berbaring terlentang di tepi tempat tidur. Setelah beberapa menit, saat area itu menjadi terlalu panas, aku tengkurap dan berbaring pada bagian seprai yang dingin. Saat bagian itu pun sudah terasa tidak nyaman, aku akan berguling lagi. Dengan cara ini, aku berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi yang lain demi mencari tempat sejuk, sampai akhirnya tertidur.
Bila bulan purnama tiba, sinarnya yang terang membuat ddur tambah sulit. Bulan bersinar begitu terang sehingga rasanya tidak pemah benar-benar gelap. Saat-saat seperti ini bisa menjadi malam panjang yang melelahkan.
Akhirnya musim hujan yang melegakan datang. Kedatangannya biasanya ditandai dengan guntur yang menggelegar. Di suatu pagi, aku bangun, sarapan, mengerjakan tugas sekolah, dan keluar untuk bermain. Ketika sedang bermain air di sungai dengan Tuare, Foni, dan Abusai, aku tak sengaja memandang ke atas dan melihat awan hitam menggumpal. Awan semacam ini tidak sama dengan awan di Barat. Awan itu berkelompok dan menjulang tinggi, tampak seperti rangkaian pegunungan di langit biru. Awan itu terkesan menakutkan dan kuat.
Aku keluar dari air. agar bisa melihat lebih jelas badai yang akan segera datang. Awan yang menggunung itu semakin mendekat dengan cepat. Aku sudah dapat mendengar guntur menggelegar dan petir menyambar dari kumpulan awan. Awan itu semakin dekat. Tiba-tiba
kilat yang sangat terang menyambar, diiringi dentuman keras yang menggetarkan tanah. Dalam hitungan detik, suasana menjadi gelap dan angin kencang bertiup di sekelilingku.
Aku merasakan tetes air hujan menerpa kulit. Tik! Lalu setetes lagi. Lalu tiga atau empat tetes sekaligus. Lalu pintu air surga seperti terbuka. Hujan turun dengan kekuatan seperti air bah pada zaman Nabi Nuh. Aku mengembangkan tangan, memejamkan mata, dan menengadahkan wajah ke langit. Petir, guntur, angin, dan hujan terasa luar biasa. Tetes air hujan berukuran sebesar bola golf menghunjam kuat sehingga terasa menyakitkan.
Tertelan oleh badai, aku merasa menyatu dengan alam. Hawa panas terusir ketika kesejukan menyebar ke seluruh penjuru. Aku tidak bergerak ketika hujan mengguyur tubuhku dan angin mendekap diriku. Lalu aku mendengar Mama memanggilku masuk ke rumah.
Judith yang belum melupakan insiden ular waktu itu, mengamatiku dari pintu. "Mama," katanya, "biarkan saja. Siapa tahu kita beruntung melihatnya disambar pedr."
Mama terkejut mendengar kata-kata itu dan memperingatkan kakakku. Namun, aku memahami Judith layaknya saudara kandung. Pada saat-saat tertentu, hidup Judith memang akan lebih mudah tanpaku.
Sementara itu, semua orang telah berteduh di gubuknya masing-masing. Aku lari ke rumah. Aku baru saja menginjakkan kaki di rumah ketika kilat yang begitu menyilaukan menyambar, membuat kami tak bisa melihat selama beberapa detik. Aku langsung tiarap di lantai dan menutup telinga untuk berjaga-jaga. Ledakan suara yang begitu keras seakan-akan hendak merobohkan rumah kami. Sebelum petir itu menghilang, terjadi lagi kilat dan gelegar guntur yang bersahut-sahutan. Deru angin begitu keras sehingga kami nyaris tidak dapat mendengar pikiran kami sendiri. Setelah beberapa menit, badai itu berlalu dan hanya menyisakan hujan.
Aku berdiri dan melihat ke luar jendela. Hari segelap malam dan hujan begitu lebat sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa. Keadaan itu berlangsung selama beberapa saat Sungai kembali penuh dan tanah yang kering kembali basah.
Hari pertama musim hujan selalu menjadi perubahan yang dinanti-nanti. Tidur kembali menjadi mudah, dan kita dapat menarik napas dalam tanpa merasa tercekik. Namun apa yang dapat dilakukan pada siang hari? Kami jelas tidak punya televisi dan radio komersial, apalagi komputer. Kami hanya punya Walkman dan beberapa kaset, serta buku yang telah dibaca lebih dari sekali.
Jadi kami duduk berhari-hari di tempat tidur sambil mendengarkan musik atau membaca cerita yang sudah kami hafal. Kami berbaring mendengarkan angin yang kencang, menghitung jeda antara kilat dan petir, seperti yang lazim dilakukan anak-anak. Jika pusat badai tepat di atas kami, kami harus menyumbat telinga karena suara petir dan bunyi hujan yang menerpa atap seng bisa memekakkan telinga. Saat hujan reda, Mama membacakan buku-buku dalam bahasa Jerman untuk meningkatkan kemampuan bahasa kami.
Betapa membosankannya masa-masa ini! Hujan hanya berlangsung beberapa hari, tetapi bagiku terasa begitu lama. Kami hanya bisa bermain di luar sebentar sebelum kilat memaksa kami kembali ke rumah.
Orang Fayu juga berdiam di gubuk mereka. Selama musim hujan, mereka jarang pergi berburu, jadi hanya sedikit ikan atau daging dalam menu. Karena tidak berburu sendiri, kami bergantung pada orang-orang Fayu untuk daging. Mereka kemudian menukarnya dengan benda-benda berguna, misalnya mata kail, pisau, panci, atau pakaian. Sepanjang musim "paceklik" ini, kami makan sayuran kaleng dengan nasi atau ubi.
Saat musim hujan berlangsung beberapa minggu, bukan beberapa hari, lama-kelamaan kami jadi kesal. Hanya Judith yang menikmati saat-saat seperd ini. Ia menemukan bahwa arang bisa dipakai untuk menggambar, jadi ia mengumpulkan banyak persediaan arang untuk digunakan selama musim hujan.
Pertama-tama Judith menggambar potret keluarga. Ketika Mama menolak memberinya kertas lagi, dinding menjadi kanvasnya. Judith menggambar pemandangan alam yang besar, lengkap dengan sosok orang Fayu yang begitu hidup. Dengan gembira, ia melukis berjam-jam tanpa memikirkan hal lain.
Bertahun-tahun kemudian, setelah ia memulai kader di bidang seni, Judith menceritakan padaku tentang saat pertama dirinya ke toko alat-alat seni. Ia sangat kecewa ketika melihat jajaran pensil arang yang dijual di toko itu. "Selama ini, aku yakin aku orang pertama yang menemukan arang sebagai alat untuk menggambar," kenangnya sambil tersenyum. Walaupun kini ia menertawai hal itu, aku pikir peristiwa itu benar-benar membuatnya sedih.
Suatu pagi di musim hujan, adikku membangunkanku dan menyuruhku melihat ke luar jendela. Aku melihat ke luar dan hanya melihat air. Air menggenang di mana-mana. Aku tak dapat melihat tanah lagi karena air di sungai meluap sampai daratan. Ini adalah banjir besar pertama yang kami alami Kami sangat bersemangat dan bergegas menuju pintu. Tapi kami tak pernah mencapainya.
Ketika aku berbalik, kulihat dinding seperti bergerak. Begitu banyak laba-laba, semut, kumbang, dan serangga lainnya memadati dinding dan lantai, membuat rumah seakan merayap. Kelihatannya mereka telah memilih rumah kami sebagai tempat berlindung dari banjir. Aku jadi sukar menelan. Aku suka beberapa serangga, tetapi ini terlalu banyak. Aku berdiri kaku dan berteriak memanggil Mama. Ia melompat dari tempat tidur, menuju ruang tengah, lalu juga berdiri mematung.
Bayangkan sesaat, bangun pagi seperti biasa, lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Anda meraih tempat kopi, tapi yang terpegang justru segenggam laba-laba. Anda coba memutar keran air dan sepasukan semut merayap di lengan Anda. Anda melihat ke sekeliling, dan semua perabot, lantai yang baru disikat, pancuran, teko kopi, panci, dan wajan?segalanya!?tertutup oleh serangga. Begitulah keadaan rumah kami saat itu.
Mama berteriak sejadi-jadinya untuk membangunkan Papa. Sementara itu, Christian dan aku telah pulih dari rasa takut dan mulai melihat ke sekeliling dengan perasaan senang. Siapa pun di antara kami yang menemukan serangga jenis baru, langsung memberi tahu yang lain. Secara spontan, kami mendapat ide cemerlang untuk mengerjai Judith yang sedang tidur dengan polosnya. Kami merambat ke pinggir tempat tidurnya.
"Judith, bangun. Kami punya kejutan untukmu!" kataku dengan nada gembira yang tak biasanya.
Judith berbalik ke arahku dan bergumam setengah tidur, "Awas kalau ini tipuan lagi." Dengan mimik tak percaya, ia bangkit dari tempat tidur. Christian bersembunyi di belakangku, berusaha menahan tawa.
"Ayo! Mama dan Papa juga sudah bangun." Aku menggiringnya dengan mimik polos dan ia berjalan setengah sadar menuju pintu kamar. Lalu aku berkata, "Lihat, kita kedatangan tamu."
Tiba-tiba Judith sadar apa yang ada di sekelilingnya dan mengeluarkan jeritan yang melengking. Christian dan aku tertawa terbahak-bahak. Mama tidak menganggapnya lucu. Sebagai hukuman, aku harus mengantarkan sarapan pagi untuk Judith di tempat tidurnya, tempat ia melewatkan sisa harinya di bawah kelambu.
Sementara itu, Papa dan Mama telah siap dengan semprotan andserangga dan mulai membersihkan bagian dalam rumah. Aku mencoba membantu, tetapi tak lama kemudian diomeli dan disuruh keluar karena tidak menghasilkan apa-apa.
Aku tak mengerti maksud mereka. Aku hanya mencoba menyelamatkan makhluk-makhluk malang itu. Sementara Mama dan Papa memilih jalan membunuh, aku mengumpulkan semua yang bergerak dan membuangnya ke luar. Kelemahan rencanaku, serangga-serangga itu langsung mencoba merayap kembali ke dalam rumah. Jadi Mama memerintahkan aku dan Christian (asistenku yang paling setia) untuk keluar dari rumah. Kami pergi ke anak tangga. Ketinggian air hampir mencapai anak tangga teratas. Air menutupi segalanya?tempat pendaratan helikopter, desa, benar-benar semuanya. Dahan-dahan kecil dan kotoran hanyut melewati kami. Semut-semut berlindung di sana.
Hujan telah berhenti dan mentari bersinar hangat. Aku menuruni anak tangga dengan susah payah dan masuk ke air. Air yang kecokelatan mencapai perutku. Tanah sangat licin dan aku harus berhati-hati supaya tidak jatuh. Christian tetap berdiri di tangga karena air terlalu dalam baginya. Aku berjalan menembus air cukup jauh sambil membantu semut-semut mencapai pohon, serasa malaikat penjaga serangga.
Tapi keesokan harinya terasa benar-benar menyenangkan. Banjir telah surut ketika kami bangun. Air telah kembali ke sungai. Aku begitu gembira hingga nyaris tak bisa berkonsentrasi pada tugas sekolah. Begitu selesai, kami bertiga keluar. Anak-anak Fayu sudah menunggu kami. Tanah yang becek membangkitkan imajinasi. Kami membangun tempat meluncur pertama di hutan, yang segera menjadi permainan favorit kami. Kami mencari sebuah tempat di pinggiran sungai yang bebas dari semak-semak. Setelah menemukannya, kami membersihkannya dari kotoran dan melicinkannya dengan tangan hingga membentuk jalur yang mulus mengarah ke bawah menuju sungai. Lalu kami mulai berlari, melompat, dan meluncur di sepanjang jalur itu, lalu mencebur ke air. Byurl Sesekali kami membuat beberapa kelokan agar lebih asyik.
Foto 30 Bermain di atas batang kayu yang hanyut
dan tersangkut di gundukan pesisir saat musim kemarau
Awalnya orang Fayu hanya menonton, bingung melihat kegilaan kami. Namun, setelah beberapa saat, beberapa dari mereka mencobanya sendiri dan dengan segera kabar pun beredar. Tak lama, orang mengantre untuk mencoba.
Sungguh sangat menyenangkan. Kami berlumuran lumpur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut pirang kami menjadi cokelat dan kulit kami menjadi sama dengan kulit orang Fayu. Hanya mata biru yang membedakan kami dari penduduk asli.
Bab 15 LINGKARAN KEMATIAN Meskipun kami menikmati alam dan keanekaragamannya yang luar biasa, kegembiraan kami lebih besar lagi saat mengamati anak-anak Fayu belajar tertawa. Bersama kami, mereka menyadari masa kanak-kanak mereka telah terenggut oleh kebencian, ketakutan, dan perang antarsuku. Sejak awal masa kanak-kanak, rasa takut adalah emosi utama yang dirasakan suku Fayu. Seiring berjalannya waktu, kami dapat memahami penyebabnya.
Orang Fayu percaya hanya ada dua penyebab kematiam luka panah atau guna-guna. Mereka tidak mengerd tentang penyakit atau infeksi, sehingga menuding roh atau sihir sebagai penyebabnya.
Jika anggota keluarga atau kelompokku meninggal karena penyakit, aku wajib menentukan siapa yang telah mengguna-gunainya. Lalu aku diharuskan untuk membalas dendam. Misalnya, seseorang dari kelompok Iyarike mempunyai masalah dengan seseorang dari kelompok Tigre. Tak lama kemudian, orang Iyarike itu meninggal secara alami (misalnya karena malaria).
Langsung disimpulkan bahwa orang Tigre tadilah yang mengguna-gunainya sebagai pembalasan dendam karena masalah di antara mereka. Orang Iyarike wajib membunuh orang Tigre pertama yang ia temui. Akibatnya, semua orang Fayu?pria, wanita, dan anak-anak?sangat mungkin terbunuh dalam perseteruan berdarah ini. Hal ini sudah berlangsung berabad-abad.
Jadi seseorang tak akan tahu kapan lingkaran kekerasan tersebut menghampirinya. Itulah sebabnya ketakutan abadi terus menghantui orang Fayu.
Penyebab kematian lainnya, yaitu anak panah, biasanya adalah hasil dari balas dendam tadi. Jika aku seorang prajurit Fayu dan anggota kelompok lain membunuh saudaraku, aku, keluarga, serta kelompokku wajib membalas dendam atas kematiannya. Begitu juga jika ia diyakini terkena guna-guna. Perbuatan hukum-menghukum ini tidak dibatasi pada kelompok lawan saja, tetapi dapat berlaku juga pada setiap anggota kelompoknya. Dalam hal perseteruan berdarah, orang dalam kelompok dianggap saling menggantikan dan setiap kematian akan memuaskan hasrat untuk membalas dendam. Pada gilirannya, kelompok itu wajib membalas dendam atas kematian orang yang telah aku bunuh. Begitulah siklus kekerasan terjadi.
Perkawinan menambah satu lapisan yang berbeda pada lingkungan ini. Ketua bertanggung jawab untuk mendapatkan istri bagi pria di kelompoknya. Yang biasa dilakukan adalah mencari istri dari luar kelompok sendiri, karena jumlah wanita sangat kurang. Kekurangan disebabkan antara lain oleh praktik poligami dan angka kematian yang tinggi ketika melahirkan. Mendapatkan wanita dari kelompok lain biasanya melibatkan pembunuhan seorang pria yang melindungi wanita itu?apakah itu ayah, kakak, atau suaminya. Wanita tersebut, dengan anak-anaknya kemudian diculik dan diberikan kepada pria yang membutuhkan istri. Dan mengikuti pola dasarnya, kematian sang pelindung tadi harus dibalaskan oleh anggotanya.
Demikianlah orang Fayu tenggelam dalam rangkaian kekerasan?suatu lingkaran yang semakin lama semakin brutal. Pada waktu kami tiba di antara mereka, situasi telah sampai pada titik di mana kelompok yang bertentangan bertemu hanya untuk saling bunuh. Seiring berlalunya waktu dan orang-orang Fayu terus terjerumus dalam lingkaran balas dendam dan pembunuhan, jumlah mereka merosot dari ribuan menjadi tinggal beberapa ratus. Begitulah mereka mengembangkan sebuah budaya yang hanya berfokus pada balas dendam, tanpa belas kasihan atau kasih sayang.
Anak-anak yang tumbuh dalam budaya kebencian tidak mengenal rasa aman atau keluguan. Perasaan itu terenggut dari mereka saat menyaksikan orang-orang tercinta disiksa dan dibunuh. Bila orang tua dibunuh, anak-anaknya dibiarkan terlantar di hutan. Kalau mereka ddak ditemukan oleh anggota kelompoknya sendiri, mereka akan mati kelaparan atau menjadi mangsa dari berbagai bahaya di hutan.
Situasi inilah yang kami temui ketika tinggal di Foida.
Pada suatu hari, Papa berlari ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. "Aku harus ke hilir sungai segera. Ada tiga anak kecil yang ditinggal sendiri di hutan."
Ketua Baou telah membunuh seorang laki-laki dan istrinya yang berasal dari kelompok Iyarike sebagai bagian dari perseteruan berdarah. Ia membunuh dan memotong-motong tubuh pasangan itu di muka anak-anak mereka dan meninggalkan anak-anak yang trauma itu dengan jenazah orang tuanya.
Dengan bercucuran air mata aku memohon, "Mama, tidak bisakah kita mengadopsi anak-anak yang sudah tidak punya orang tua lagi itu?"
Mama menjelaskan, dalam budaya Fayu, anak-anak itu harus diadopsi oleh keluarga dari kelompok yang sama. Untuk mengalihkan perhatianku dan membuat aku merasa dapat menolong, ia menyarankan supaya aku memilih hadiah untuk anak-anak itu. Aku menemukan mata kail dan pisau lipat untuk setiap anak. Tetapi apakah itu cukup? Aku merasakan hatiku begitu pedih, aku ingin memberikan hadiah yang sangat khusus. Aku mengambil harta bendaku yang berharga?koleksi kelerengku yang berwarna wami?untuk kuberikan kepada mereka.
Papa pergi bersama beberapa orang Fayu untuk mencari anak-anak itu. Beberapa jam kemudian, mereka kembali dengan tiga anak kecil berusia antara tiga sampai tujuh tahun. Ketakutan dan kengerian melekat jelas di wajah mereka. Untuk menghibur Diro dan adik-adiknya, aku memberikan hadiah-hadiahku, tetapi kulihat mereka tidak sedang dalam kondisi senang menerimanya. Mungkin suatu hari benda-benda itu akan berarti untuk mereka; yang jelas, saat ini perasaan anak-anak itu sedang tidak menentu karena kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Setiap kali terdengar suara, mereka seperti ketakutan.
Orang Iyarike mengadakan pertemuan di kelompoknya. Setelah pembahasan panjang yang berlangsung sampai malam, tiga keluarga masing-masing mengadopsi satu anak. Kepedihan atas kejadian ini membekas begitu lama di hatiku. Setiap hari aku mengantar semangkok nasi untuk anak-anak itu, dengan maksud mencoba mengurangi kepedihan mereka sekaligus menguatkanku menghadapi kesedihan.
Di dunia yang begitu mengerikan, tidak heran anak Fayu lebih suka dekat dengan orang tua mereka atau duduk bersandar di pohon. Hidup dalam ketakutan terus-menerus membuat sangat sedikit ruang tersisa untuk bermain dan tertawa. Mereka tidak mengenal sikap memaafkan, tidak mengenal kedamaian, dan tidak punya harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Apa yang Teau sampaikan kepada Papa pada pertemuan pertama memang benar. Walaupun terus saja ambil bagian dalam lingkaran kekerasan, orang Fayu sebenarnya merindukan kedamaian dan ingin mengakhiri pembunuhan dan perang. Karena terikat oleh hukum balas dendam dari nenek moyang, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka tidak dapat mencari jalan keluar dari lingkaran itu.
Kedatangan kami memberikan sebuah celah bagi mereka. Hal yang lebih penting dari perbedaan warna kulit kami?atau bahwa kami berasal dari "suku" lain?adalah bahwa kami berada di luar perseteruan berdarah mereka. Rumah kami berada di daerah yang netral. Perjalanan dagang dengan kami membuka jalan bagi kelompok-kelompok untuk hadir di daerah yang sama tanpa harus berperang. Lama kelamaan, mereka belajar untuk saling bicara dalam damai. Mereka mulai berbagi makanan dan saling bercerita tentang kisah-kisah perburuan. Memang butuh waktu lama sampai lingkaran kekerasan itu benar-benar putus, tetapi paling tidak langkah awal telah dimulai.
Judith, Chrisrian, dan aku, adalah bagian dari langkah tersebut. Bersama kami, anak-anak Fayu merasakan dunia yang berbeda. Dunia tempat mereka bisa melupakan ancaman kekerasan yang terus-menerus. Dalam bermain, mereka menjadi seperti kami?anak-anak yang bahagia.
Sebagai bukti dari kemajuan ke arah perdamaian, bertahun-tahun kemudian, ketika Mama membuka sekolah Fayu yang pertama, anak-anak dari berbagai kelompok bersekolah bersama-sama. Dua dari muridnya adalah Diro?salah satu dari anak yatim piatu yang orang tuanya dibunuh oleh Ketua Baou--serta Isori, anak Ketua Baou. Keduanya sebaya dan sangat pintar.
Foto 32 : Anak Fayu di dalam Kano
Pada mulanya, kedua anak itu saling membenci bila bertemu pandang. Mama sering mengajak keduanya mendiskusikan sejarah mereka. Dengan campur tangan Mama, permusuhan di antara mereka mulai berkurang. Akhirnya kedua anak itu menjadi teman yang tak terpisahkan. Bertahun-tahun kemudian, ketika Isori menjadi ketua, Diro diangkatnya sebagai penasihat terdekat. Persahabatan mereka tetap terjalin hingga kini.
Bab 16 BERITA DARI DUNIA LUAR Kami tenggelam semakin jauh dalam irama kehidupan rimba, namun tak pernah benar-benar menyatu. Setiap beberapa bulan, kami mendapat kiriman surat-surat yang mengingatkan kami akan dunia luar. Kiriman tersebut selalu menyenangkan, bukan hanya untuk kami, tetapi juga bagi orang Fayu. Tanggal dan waktu pengiriman yang pasti akan disepakati beberapa hari sebelumnya. Semakin dekat ke hari pengiriman, kegembiraan pun meningkat.
"Aku akan mendapat banyak surat kali ini," kata Judith riang, la selalu bersemangat saat surat akan datang.
"Aku juga! Aku juga!" aku menimpali dengan antusias.
"Oh, Sabine!" judith menghela napas panjang, matanya mendelik. "Kau tidak akan mendapat surat karena kau tidak pernah menulis satu pun. Bukankah Mama sudah menjelaskannya padamu?"
Penjelasan Mama belum bisa dicerna oleh otak anak usia delapan tahun. Aku jelas tidak dapat memahami tentang kepuasan tertunda dalam surat-menyurat. Bila kita menyurati seseorang, paling cepat dua bulan baru kita menerima balasan. Karena itulah aku tidak mengirim surat.
"Pasti aku akan menerima surat kali ini," bantahku dengan keyakinan polos seorang anak kecil.
Biasanya surat baru datang di sore hari, tapi tengah hari Mama selalu sudah harus berhenti memberikan tugas sekolah. Kegembiraan kami mengalahkan konsentrasi kami.
"Apakah sudah datang? Kapan datangnya?" tanya Christian. Ia telah menunggu berjam-jam di depan rumah. Papa sama sekali tidak ingin menjawab kali ini. Pertanyaan tersebut telah terlontar beratus-ratus kali. Ia hanya bersiul-siul kecil, hal yang biasa ia lakukan bila mencoba mengabaikan seseorang. Cara ini tidak terlalu mengena pada Christian. Ia lebih "tahan banting" dari kami semua.
Orang Fayu mulai gembira. Mereka sudah mendengar suara mesin pesawat kecil. Beberapa menit kemudian, kami semua dapat mendengar deru mesin samar-samar dan semakin dekat. Aku memandangi langit sambil melindungi mataku dari sinar matahari. Itu dia! Titik kecil di langit adalah pesawat Cessna yang kami tunggu.
Seluruh desa melambaikan tangan ketika pesawat itu terbang di atas kami. Pesawat menukik dan berbalik arah menuju desa sambil merendah. Papa memerhatikan pucuk pohon untuk memantau arah angin. Kami semua menahan napas. Pesawat diterbangkan oleh pilot berkebangsaan Amerika yang bernama Rex. Ia tinggal bersama keluarganya di danau Bira. Pesawat terbang j di atas puncak pepohonan. Pilotnya membuka jendela ketika mendekat ke arah kami. Aku dengan mudah dapat mengenali "Paman" Rex ketika ia mengeluarkan tangannya dan menjatuhkan kantong surat.
Kini kesenangan pun dimulai. Kami berlomba menjadi yang tercepat mendapatkan kantong surat itu. Sekali lagi, kantong itu nyaris tercebur ke air. Kami semua bersorak ketika benda itu jatuh di daerah berpasir. Pengiriman yang lalu, mendarat di sungai. Bahkan pembungkus plastiknya ridak dapat melindungi surat dari kerusakan oleh air. Butuh waktu lama untuk mengeringkan semuanya. Akhirnya banyak yang tidak terbaca.
Si pemenang lomba menyerahkan kantong surat kepada kami sambil menari-nari kegirangan. Kenangan ini terlintas dalam ingatanku kini, tatkala melihat petugas pengantar surat sedang menjalankan tugasnya dengan santai di lingkungan kami. Kira-kira apa pendapatnya tentang cara mengantar surat di hutan?
Kami selalu memanfaatkan saat pengiriman surat sebagai alasan untuk membuat perayaan dengan tarian, makanan, dan pembacaan dongeng. Budaya Fayu ridak mengenal perayaan atau pesta, apakah itu untuk ulang tahun atau kesempatan lainnya. Karena itu, kami memakai alasan apa pun untuk bisa berpesta.
Biasanya Mama siap dengan sepanci besar nasi. Bersama orang Fayu, kami duduk dan makan sambil mengelilingi salah satu perapian yang menyala di berbagai penjuru desa.
Lalu Mama dan Papa kembali ke rumah, membuka surat-surat tersebut. Kini aku mengerti betapa pentingnya surat-surat tersebut bagi orang tuaku. Surat-surat itu merupakan satu-satunya hubungan dengan tanah air mereka. Mereka pasti sering menanti kabar dari kawan dan keluarga di tanah air.
Pada hari pengiriman ini, aku adalah satu-satunya orang yang tidak menerima surat. Dari nenekku tercinta di Jerman saja tidak ada. Dengan perasaan sangat sedih, aku berbaring di tempat tidurku.
Judith merasa kasihan padaku. "Sabine," katanya, "lihat, aku mendapat lima surat kali ini. Tidak semuanya kuperlukan. Ambil saja satu." Lalu, ia memberiku sebuah amplop cantik berwarna ungu, lengkap dengan prangkonya. Dengan rasa terima kasih?isinya sama sekali tak kupikirkan?kucium pipinya dan berlari ke luar. Aku ingin memperlihatkan hartaku kepada Bebe dan Tuare. Mereka pasti terkesan!
Bab 17 BAHAYA HUTAN Suatu pagi, ketika Bebe, Tuare, dan aku sedang bermain di depan rumah, sebuah teriakan memecah kesunyian. Kami terdiam seketika, mencoba meneliti arah suara. Namun pendengaranku tidak setajam pendengaran Bebe dan Tuare. Bebe menggenggam tanganku kuat dan menarikku ke pohon terdekat. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi belajar untuk percaya pada insting mereka. Kami memanjat pohon dengan cepat. Ketika sudah aman di atas dahan pohon, kulihat Christian duduk tenang dekat api unggun. Aku berteriak sekeras-kerasnya, menyuruhnya naik ke pohon secepatnya. Kami telah terlatih untuk mematuhi perintah semacam itu tanpa banyak tanya. Ia cepat melakukan apa yang kukatakan. Baru saja ia naik, sekumpulan babi hutan berlari dengan sangat kencang menuju landasan helikopter.
Dari tempatku, aku melihat seorang warga Fayu berjalan santai menuju desa. Aku tak mengerti mengapa ia tidak lari atau memanjat pohon. Pasti ia juga mendengar suara riuh babi-babi dan jeritan peringatan tadi.
Aku tahu orang Fayu bisa menjinakkan babi hutan. Mungkin babi ini miliknya sehingga ia tidak takut. Untuk menjinakkan anak babi, mereka akan memeluknya erat selama tiga hari penuh, tanpa sekalipun melepaskannya. Mereka mengusap-usap perutnya (bagian tubuh kesukaan babi), memberinya makan, dan tidur bersamanya. Setelah melewati masa ini, anak babi dilepas kembali ke alam bebas. Cara ini membuat anak babi terus teringat kepada orang Fayu. Sejak saat itu dan seterusnya, anak babi akan menganggap orang itu sebagai keluarganya. Bulan demi bulan mungkin berlalu tanpa hubungan, tetapi hewan yang cerdik tetap akan mengenali tuannya. Siapa pun bisa diserangnya, kecuali pemiliknya.
Ketika kulihat kumpulan babi itu mendekatinya, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Seharusnya paling tidak ada reaksi, sekalipun babi itu miliknya sendiri. Jarak hewan-hewan itu tinggal beberapa meter saja ketika ia menoleh. Jantungku seperti berhenti berdetak begitu aku mengenalinya. Dia adalah adik Nakire yang tuli dan bisu.
Kumpulan hewan itu menerjangnya, dan ia terpelanting ke tanah sebelum sempat bersuara. Kupejamkan mataku, tetapi bunyi hewan mengamuk yang menyerang dengan taringnya, tetap terdengar. Beberapa orang Fayu datang bersenjatakan busur dan panah. Tetapi apa yang dapat mereka perbuat? Membunuh babi milik orang Fayu lain dilarang, sekalipun babi itu membahayakan nyawa orang lain. Syukurlah pemilik babi-babi itu datang dan segera meloncat masuk ke tengah kumpulan itu serta menghalaunya.
Mama mendengar kegaduhan tersebut dan datang berlari untuk menolong. Segera setelah babi-babi hutan yang beringas itu menghilang ke hutan, kami turun dari pohon dan berlari menghampiri adik Nakire. Ia terbaring di rumput, darah mengucur deras dari luka-lukanya, tetapi ia masih bernapas. Mama mengeluarkan peralatan medis dan mulai merawatnya. Ia hanya mampu merintih.
Aku sangat kasihan kepadanya, sekalipun tidak terlalu menyukainya. Berkat bantuan Mama, ia tidak mengalami infeksi, dan tak lama kemudian sembuh.
Kejadian itu mengingatkan kami untuk waspada dan selalu memerhatikan letak pohon terdekat, kalau-kalau kami perlu memanjatnya. Walaupun begitu, kami tetap mengalami hal-hal yang nyaris mencelakakan selama beberapa tahun sesudahnya. Sebuah kejadian yang melibatkan kakakku muncul dalam ingatan. Saat itu sudah berhari-hari, hujan tidak turun. Di tepi sungai di depan rumah kami, tepian berpasir terbentuk luas.
Aku membawa segenggam batu "berharga" ke dalam rumah untuk kusimpan di dalam ransel. Ketika aku kembali ke luar, sekumpulan babi berkerumun di antara rumah kami dan sungai. Aku berseru memperingatkan Judith yang masih bermain di tepi berpasir itu. Orang-orang Fayu yang melihatnya telah memanjat pohon. Seekor babi hutan menengok ke arah tepi sungai. Lalu seluruh kawanan berlari ke sana.
Foto 33 : Prajurit Fayu dengan babi hutan hasil buruan di punggungnya
Selama bertahun-tahun, orang Fayu telah menyelamatkan kami dari berbagai bahaya, dan kali ini mereka berusaha lagi. Mereka mulai mengayunkan tangan dan berteriak keras-keras untuk mengusir babi-babi itu. Tetapi tidak ada gunanya; babi-babi itu terlalu jauh. Aku terbelalak menatap kejadian di hadapanku?yang belakangan, setelah semua berlalu?kelihatan lucu. Tampak kakakku, dengan rambut ekor kuda yang berayun-ayun, sedang berlari sekencang-kencangnya di sepanjang tepian sungai. Kumpulan babi mengejarnya, dan sekelompok orang Fayu ada di belakang mereka. Lalu Papa berlari di belakang mereka secepat mungkin. Sekali lagi sebagai penyelamat, ia berseru, "Masuk ke air! Lompat ke air!" Judith berbelok ke kiri dan terjun ke sungai. Kumpulan babi hutan itu terus berlari melewatinya. Mereka seolah hanya ingin menakut-nakuti Judith. Aku tidak dapat memahami tingkah laku aneh mereka hingga kini.
Kejadian seperti ini biasa terjadi. Seiring berjalannya ! waktu, kami belajar untuk bereaksi lebih baik dan lebih cepat. Akhirnya, tidak diperlukan lagi sekelompok prajurit untuk menolong kami; kami berusaha sendiri untuk menghindar dari kesulitan. Naluriku berkembang sedemikian rupa, sehingga kadang-kadang aku dapat merasakan bahaya bahkan sebelum ada tanda yang jelas.
Aku belajar membaca alam untuk menilai situasi dengan cara menyimak suara-suara hutan dan hewan-hewan di dalamnya. Hewan-hewan lokal mempunyai naluri yang sangat peka dan indera yang luar biasa tajam. Mereka bahkan dapat meramalkan gempa bumi maupun badai. Dengan mempelajari perilaku dan bunyi mereka, seseorang dapat mengetahui peringatan dini akan suatu bahaya,
Suatu kejadian menyerempet bahaya terjadi lagi ketika kami bermain tag di pantai. Anak-anak Fayu ikut bermain dengan semangat, meskipun mereka tidak mengerti permainannya. Kami mencoba menjelaskannya dengan cara yang sesuai dengan budaya mereka. Karena itu permainannya kami namakan "berburu babi hutan. Satu orang menjadi pemburu dan yang lain menjadi babi hutan. Jika si pemburu mengejar dan berhasil menyentuh salah satu "babi hutan", yang disentuh berganti peran menjadi pemburu. Hal ini membingungkan anak-anak Fayu. Bukankah seharusnya "babi hutan? itu mati? Setelah melalui pertimbangan yang matang, kami memutuskan untuk bermain ala Fayu. Anak-anak Fayu ternyata lebih
gesit dari kami. Tentu saja kami tidak ingin berbaring seharian menjadi "babi mati".
Kami berlarian ke seluruh penjuru, mengelilingi dan melewati kolong rumah, melewati gubuk kecil tempat Papa mempelajari bahasa Fayu dengan bermacam-macam tekanan suara yang rumit. Saat itu Christian menjadi pemburu dan sedang mengejarku, karena lariku paling lambat di antara "babi hutan" yang lain. Aku merancang sebuah rencana, yaitu menghilang melewati air dan lari sekencang angin menuju tepi sungai.
Saat melompat tinggi melampaui semak-semak untuk mendarat di tepian berpasir, aku mendengar teriakan peringatan. Ketika masih melayang di udara, aku melihat seekor ular besar sedang berjemur tepat di bawahku. Aku sadar kalau mendarat di atasnya, riwayatku bakal tamat. Tetapi bagaimana aku bisa menghindar?
Sampai kini aku masih tak tahu bagaimana aku melakukannya. Aku mendarat dengan kedua kaki dan tangan terentang lebar, dan ular itu tepat berada di bawah perutku. Saat terancam, ular akan menyerang begitu ada gerakan. Namun, karena aku mendarat di empat tempat sekaligus, ular itu terpaku sejenak dalam kebingungan. Hal ini memberiku cukup waktu untuk melepaskan diri dari marabahaya.
Setelah kejadian itu, aku merasa kebal terhadap bahaya. Dengan bangga aku berlari menghampiri Mama dan menceritakan bagaimana seekor ular besar hampir membunuhku. Mama tersenyum simpatik, mengira ceritaku hanyalah salah satu bagian dari imajinasiku.
Kejadian itu mengajarku untuk lebih berhati-hati. Aku jadi lebih menghargai rambu-rambu dasar keselamatan di hutan: jangan pernah pergi ke suatu tempat yang tak terlihat. Meraba batang kayu atau belakang pohon tanpa melihat lebih dulu adalah tindakan ceroboh, sebab kita tak pernah tahu apakah seekor kalajengking, kelabang, atau ular sedang melingkar di sana. Jangan pernah melangkah sembarangan tanpa memastikan lebih dulu bahwa kita tidak akan menginjak sesuatu yang tajam atau beracun.
Aku jarang mengenakan sepatu, sehingga harus belajar membiasakan diri untuk mengguncang-guncangkannya terlebih dahulu sebelum memakainya. Kapan pun aku lupa, kecoa dan laba-laba yang gepeng karena terinjak olehku menjadi peringatan yang berguna. Seringkali kalajengking, laba-laba, atau ular berbisa keluar dari dalam bajuku begitu aku kibaskan. Tak perlu waktu lama, prinsip kehati-hatian yang mendasar ini menjadi otomatis. Beberapa tahun setelah kembali ke dunia Barat, kebiasaan ini menjadi bahan tertawaan kawan-kawanku.
Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa di bawah setiap daun ada makhluk beracun, karena kita tidak pernah tahu. Kami belajar bahwa hewan atau serangga berbisa biasanya hanya menyerang jika terancam. Selama kita tidak memegang mereka dan menjaga jarak, tidak ada bahaya yang serius. Kami juga belajar bahwa hal-hal yang menyenangkan, seperti sungai atau api unggun, bisa cukup membahayakan; Dua kali kami hampir kehilangan Christian karena hal itu.
Pertama saat ia berusia kira-kira enam tahun. Orang-orang Fayu baru saja menyembelih seekor babi hutan dan sedang menyalakan api untuk mengasapi dagingnya. Christian dan aku, untuk kesekian kalinya, bermain "berburu babi hutan" dengan anak-anak Fayu. Kami berlarian ke sana kemari, berusaha keras mengalahkan anak-anak Fayu yang larinya sangat kencang.
"Babu, Sabine! Hati-had, ada api," Papa memperingatkan ketika kami berlari melewatinya. Ia duduk di lingkaran orang-orang Fayu sambil mempelajari bahasa.
Christian dan aku tidak terlalu peduli. Kami terlalu asyik bermain. Aku yang sedang jadi pemburu, hampir saja berhasil menangkap Christian. Namun ia meloncat mengitari sisi api, lalu terpeleset dan jatuh ke dalamnya dengan kepala terlebih dahulu. Percikan bara api bertebaran ke segala arah dan api menyelimuri tubuh kecilnya.
Papa melonjak berdiri sambil berteriak, lalu seakan terbang menyeberangi tanah lapang ke arah kami. Dalam hitungan detik, ia segera mengeluarkan anaknya yang terbakar dari api dan terjun ke air. Walaupun sangat cepat, pakaian Papa tetap berasap. Aku berdiri terpaku dan mulai menjerit. Mama bergegas keluar dari rumah dan melihat orang Fayu berlarian ke sana kemari, tak tahu harus bagaimana.
"Christian jatuh ke api," teriakku.
Mama melompati anak tangga dan lari menuju sungai. Papaku yang terlihat amat pucat, perlahan-lahan keluar dari air. Dengan pakaian setengah terbakar, ia membawa adikku yang tak henti menjerit. Ia menyerahkan Christian kepada Mama yang kemudian membawanya ke rumah. Ketika Mama melepaskan bajunya, syukurlah adikku hanya mengalami luka bakar yang tidak berbahaya di beberapa bagian tubuhnya.
Namun rasa terkejut membekas di hati kami cukup lama. Jika Papa tidak berada di sekitar tempat itu atau tidak bertindak cepat, kami pasti sudah kehilangan Christian. Bahkan sekalipun kami dapat membawanya ke Jayapura, rumah sakit di sana tetap tak punya kemampuan untuk menangani luka bakar yang parah.
Sejak saat itu, api untuk memasak dinyalakan di tempat terbuka di belakang rumah. Kami tidak diizinkan bermain di dekatnya.
Kami juga belajar bahwa air bisa sama berbahayanya dengan api. Kami selalu menyukai sungai Klihi yang berjarak beberapa meter dari rumah. Kami sering terjun ke dalamnya untuk menyejukkan diri. Airnya yang berasal dari pegunungan kecil yang jauh, tergolong dingin untuk ukuran daerah tropis. Bila sudah terasa cukup segar, kami biarkan matahari menghangatkan kami lagi.
Orang tua kami mengetahui adanya potensi bahaya di sungai itu, dan selalu memperingatkan untuk tidak berkelana lebih jauh dari tepian yang dangkal dan berair tenang. Peringatan mereka sungguh-sungguh kami perhatikan, setidaknya di awal. Namun entah bagaimana, kami menjadi ?makin berani? (atau lebih sembrono, seperti kata Mama).
Bahaya tidak datang dari kecepatan arus air, tapi dari bentuk pinggiran sungai. Di beberapa bagian, tepi sungai begitu tinggi dan licin. Orang tidak dapat memanjatnya tanpa jatuh kembali ke air. Pada sebagian besar area lainnya, tanaman tumbuh lebat dan menjulur ke air sehingga sulit mencari pijakan tanah yang padat. Kita bisa saja bergelantungan pada sebuah batang atau sekumpulan rumput liar, namun lama-kelamaan kekuatan kita akan berkurang dan akhirnya jatuh lagi ke pusaran air. Jadi, kemungkinan untuk tenggelam sangat besar, bahkan bagi perenang andal sekalipun.
Suatu pagi, Christian dan aku sedang bermain di sungai dengan beberapa anak lainnya. Hujan baru turun kemarin. Air sungai sedang penuh-penuhnya dan mengalir deras. Kami bermain kejar-kejaran, dan karena ingin menghindar dari Christian, aku berenang terlalu jauh ke arus yang deras, lebih jauh dari yang diperbolehkan. Aku lebih besar dan kuat darinya dan tidak kesulitan untuk berenang melawan arus.
Ketika Christian mengejar di belakangku, kekuatannya tiba-tiba hilang, dan pusaran air yang deras membawanya. Aku mencoba menggapai tangannya, tetapi aku tidak cukup kuat. Tangannya terlepas. Sambil berteriak minta tolong, aku hanya bisa memandang air yang deras itu menghanyutkannya. Anak-anak yang lain juga mencoba menggapainya, tapi ia bergerak terlalu cepat. Aku mulai menjerit-jerit panik, "Babu, Babu, Babu.!
Foto 34 : Aku dan Christian bermain di sungai
Kami dilarang menjerit kecuali dalam keadaan sangat darurat. Papa mendengarku. Ia berlari keluar dari gubuk kecilnya. Ia langsung sadar anaknya dalam bahaya, dan berlari secepat mungkin ke arah perahu motor. Ia menarik tali starter seperti orang gila. Namun, seperti yang biasa terjadi saat diperlukan, motor tidak mau menyala.
Orang-orang Fayu berlarian di sepanjang garis pantai, memanggil-memanggil dan mencoba mengawasi Christian. Lalu mereka sampai di suatu area di mana semak belukar yang lebat menghambat. Mama dan Judith juga keluar dari rumah dan hanya dapat berdiri tak berdaya di tepi sungai.
Christian terus dibawa air ke hilir, mendekati tikungan. Dengan susah payah ia berusaha mempertahankan kepalanya di atas air. Begitu ia sampai di tikungan itu, kami tak akan bisa melihatnya lagi dari tepi sungai. Bahkan Papa pun akan sangat sulit melihatnya dari perahu karena air begitu berlumpur.
Akhirnya mesin perahu menyala, dan Papa memacunya ke tengah sungai yang arusnya paling deras. Ia mengarah ke hilir sementara Christian makin mendekati tikungan. Sungai menyempit dan arus menjadi lebih cepat. Tiba-tiba kepala Christian menghilang. Aku tak henti menjerit. Judith berdiri di sana sambil menangis sedangkan Mama berlari menyusuri tepi sungai sambil memanggil-manggil anaknya.
Papa sampai di tempat kepala Christian menghilang dan dengan cemas melihat ke sekeliling. Terlihat kepala Christian menyembul tidak jauh ke arah hilir. Ia langsung memutar perahunya ke sana. Begitu ia berhasil menjangkau tangan Christian, mereka hilang di suatu kelokan. Semua terdiam, hampir-hampir tak berani bernapas.
Aku menatap tempat mereka menghilang hingga kedua bola mataku rasanya hendak keluar. Setelah jeda yang terasa sangat lama, perahu berbelok di tikungan, membawa Papa yang memangku Christian. Aku tak dapat membendung air mata lega yang membasahi wajah.
Mama meloncat ke air sebelum perahu benar-benar merapat ke tepi. Ia mengangkat Christian dan membungkusnya dengan selimut yang dibawakan Minius. Bibir Christian membiru dan seluruh tubuhnya bergetar. Ia dalam keadaan syok dan sangat lemah. Mama membawanya ke dalam rumah, menanggalkan bajunya, dan membaringkannya di tempat tidur. Setelah diberi secangkir teh panas, wajahnya mulai kembali berwarna.
Papa masih sangat pucat saat ia menjelaskan kepada orang-orang Fayu yang berkumpul bahwa semuanya baik-baik saja. Ia butuh waktu untuk benar-benar memercayai apa yang baru saja terjadi.
Sisa hari berlalu amat tenang. Kami begitu bersyukur Christian masih hidup. Pengalaman tersebut memberi | kami pelajaran yang amat bermakna. Setelah lebih tua beberapa tahun, baru kami berani kembali menjelajahi arus yang terdalam.
Bab 18 DORIS DAN DORISO BOSA Usiaku kira-kira sepuluh tahun ketika Mama mendapatkan "tugas" baru di lingkungan suku Fayu. Kami sedang bersiap untuk makan ketika terdengar jeritan dan rintihan dari seberang sungai. Dari jendela, terlihat Biya, istri seorang prajurit Fayu, berdiri di tepi sungai. Papa keluar untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Ia akan melahirkan," jawab Nakire, seakan-akan hal itu sudah jelas terlihat.
"Seorang diri? Di sungai?" tanya Papa heran.
Nakire menutup mulutnya dengan tangan dan berkata, "Aku bisu." Ini adalah cara orang Fayu untuk menyatakan bahwa mereka tidak bisa membicarakan suatu hal. Tabu bagi laki-laki Fayu untuk membicarakan proses kelahiran atau mendekatinya.
Jadi Papa mendatangi Ketua Kologwoi dan minta izin untuk melanggar pantangan itu sejenak agar dapat membawa Mama menyeberangi sungai dan menolong Biya. Ketua Kologwoi setuju. Saat kapal tiba di seberang, Biya masih berdiri di tepi sungai?mungkin berharap sejuknya air dapat menutupi rasa sakit persalinan. Hal pertama yang dilakukan Mama adalah mengajaknya keluar dari sungai. Tepat pada saat kritis, tak lama kemudian, sang bayi lahir. Bayi perempuan itu adalah awal mula karier Mama sebagai bidan suku Fayu.
Foto 35 : Mamaku bersama Biya dan bayinya yang baru lahir, Doriso Bosa
Malam itu, Mama menceritakan kepada kami apa yang baru ia ketahui. Dalam tradisi Fayu, seorang suami wajib mendirikan sebuah pondok untuk istrinya yang sedang hamil jauh dari desa. Sang suami mengisi pondok dengan makanan yang cukup untuk seminggu, lalu pergi sampai setelah sang bayi lahir. Kadang-kadang seorang wanita yang lebih tua datang untuk membantu persalinan.
Setelah persalinan Biya, Mama mengunjungi perempuan itu dan bayinya setiap hari. Bayi kecil itu berhasil bertahan hidup di bulan-bulan pertamanya. Tingkat kematian bayi di sana sekitar tujuh puluh persen. Kami memperkirakan bahwa wanita Fayu melahirkan kurang lebih enam kali di sepanjang hidupnya. Separuh dari bayi-bayi Fayu meninggal dalam kurun waktu enam bulan. Sisanya meninggal sebelum berusia sepuluh tahun. Itu berarti hanya tiga puluh persen yang mempunyai kesempatan hidup hingga dewasa.
Kenyataan ini membuat pemberian nama ditunda hingga gigi si bayi tumbuh. Sebelum hal itu terjadi, bayi belum dianggap manusia hidup. Jadi, bila kita mengungkapkan rasa berkabung kepada pasangan yang baru saja kehilangan bayi yang baru lahir, mereka akan bersikap seakan-akan tidak mengerti apa yang kita maksud. Mereka tidak merasa kehilangan. Itulah cara orang Fayu menjaga hatinya.
Ketika gigi pertama anak perempuan Biya tumbuh, mereka dengan bangga memberi tahu kami bahwa bayi itu dinamai Doriso Bosa (Doris kecil). Ini adalah sebuah kehormatan besar bagi Mama. Seiring berjalannya waktu, akhirnya semua nama kami mendapatkan giliran untuk dipakai sebagai nama bayi.
Sebagai catatan bahagia, beberapa tahun yang lalu, Doriso Bosa dan Tuare menikah. Mereka punya tiga anak sekarang.
Bab 19

Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

NAKIRE DAN WANITA YANG DICINTAINYA
Pada masa perang antara suku Dou dan Fayu, Nakire dan ibunya diculik. Saat itu ia berumur antara enam atau delapan tahun. Ibunya dijadikan istri kedua seorang prajurit suku Dou. Walaupun Nakire tumbuh dewasa di antara orang Dou, ia selalu dianggap orang luar. Masa-masa itu pasti tidak mudah baginya.
Ketika sudah cukup umur untuk menikah, ia mulai mencari istri. Tetapi ketua suku Dou berkata kepadanya, "Carilah wanita dari kelompokmu sendiri. Kau orang Iyarike dan bukan berasal dari kami. Pergilah." Nakire membawa barang-barang miliknya, mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya, dan menghilang di hutan belantara.
Tak lama setelah ekspedisi kedua Papa, ketua kelompok Tearue memanggil Nakire dan memberikan tawaran: "Bila kau bisa menolongku membunuh seorang dari kelompok Iyarike untuk membalaskan dendam anak laki-lakiku, akan kuberikan anak perempuanku untuk kau peristri."
Semua orang yang hadir merasa heran ketika Nakire menolak tawaran itu. Kepala suku Tearue merasa sangat bingung. Tak seorang pun pernah menolak tawaran semacam itu, sebab menikahi anak gadis ketua kelompok menaikkan status seorang pria.
Nakire menerangkan kepada ketua bahwa ia tidak mau membunuh lagi. Sebaliknya, ia ingin mewujudkan perdamaian yang dibicarakan orang kulit putih. Karena tumbuh dewasa bersama suku Dou yang tidak begitu suka beperang, Nakire telah merasakan nikmatnya hidup damai. Bertahun-tahun ia hidup dengan kelompok Dou. Ia ingin membawa perdamaian untuk kaumnya sendiri.
Selama tahun-tahun selanjutnya, Nakire menjadi orang kepercayaan Papa yang memberikan nasihat dalam bidang kebudayaan dan bahasa. Papa belajar darinya tentang dasar-dasar bahasa Fayu dan saat Papa ddak tahu bagaimana harus menyikapi situasi tertentu, ia akan bertanya pada Nakire.
Peristiwa berikut ini terjadi pada masa awal kami bersama orang Fayu. Saat itu, Papa dan Nakire sedang duduk di gubuk kantornya, mengerjakan pelajaran bahasa. Papa menunjukkan bermacam-macam benda dan Nakire menerjemahkannya ke bahasa Fayu. Papa mencatatnya menurut bunyinya karena Nakire tidak bisa baca-tulis. Melihat kertas atau pensil saja belum pernah.
Papa baru saja selesai menulis kata terbaru kedka ia sadar bahwa Nakire tidak bersuara. Ternyata Nakire tertidur di atas bangku dengan kaki di atas meja.
"Nakire, kau sedang apa? Seharusnya kau membantuku, tapi kau malah tidur."
Nakire bangkit sambil menguap dan berkata, "Klausu, aku ingin membantumu. Tapi kapan kau akan benar-benar bekerja? Kau hanya bermain-main di sini."
"Apa, hanya bermain?" Papa tertawa. "Kalau kau kira ini bukan pekerjaan, apa yang kau sarankan untuk kulakukan?" Nakire menjawab, "Pekerjaan laki-laki adalah berburu untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, atau mungkin membuat perahu baru."
Sambil tertawa geli membayangkan dirinya lari di hutan, mencoba memanah sesuatu, Papa mencoba menerangkan jenis pekerjaannya kepada Nakire. Lalu timbul sebuah ide. Ia menulis sebuah catatan pendek ke Mama dan berkata kepada Nakire, "Tolong sampaikan kepada Doriso. Nanti ia akan memberiku minuman. " Nakire bertanya terkejut, "Bagaimana mungkin? Bagaimana ia akan membawakan minuman jika kau tidak meminta padanya?"
"Rahasianya ada pada selembar kertas ini," jawab
Dengan rasa tidak yakin, Nakire pergi ke rumah dan menyerahkan catatan tersebut kepada Mama. Ia membacanya dan melakukan seperti apa yang telah diperkirakan Papa. Nakire takjub dan berkata, "Aku rasa, pekerjaanmu di sini amat penting."
"Betul," kata Papa, "karena itu jangan tidur saja. Bantu aku mempelajari bahasamu."
Pada suatu ketika setelah bersatu kembali dengan kelompok Iyarike, Nakire membangun sebuah gubuk di seberang sungai. Tak lama sesudah itu, ia mendapatkan seorang istri. Namanya Dawai.
Suatu malam, tak lama setelah mereka menikah, kami mendengar tangis pilu dari seberang sungai. Kami sudah siap untuk tidur, tetapi tangisan itu semakin menjadi. Papa pun bangun. Ia menyalakan lampu minyak dan pergi ke luar, sementara kami semua menunggu berita.
Beberapa saat kemudian, tangisan berhenti dan kami mendengar Papa berbicara dengan seseorang. Lalu kami dengar pintu terbuka dan Papa masuk bersama Dawai. Wajahnya bengkak dan ia menangis. "Nakire memukulku!" katanya tersedu. Aku memandangnya iba. Aku tidak mengira Nakire tega melakukannya.
Mama memberinya makanan dan minuman serta tempat untuk tidur di ruang belakang. Aku mendengar Papa dan Mama berbincang-bincang hingga larut malam.
Esoknya Papa keluar. Tak lama ia memanggil, "Doris, cepat kemari!" Mama segera meninggalkan kopi yang tengah dibuatnya dan bergegas keluar. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku beranjak dari tempat tidur dan melihat apa yang terjadi.
Papa dan Mama membawa Nakire ke dalam rumah. Aku mundur kembali ketika melihat penampilannya. Darah kering dan kotoran menutupi tangan dan bagian atas tubuhnya. Ia kelihatan kacau dan merintih, "Dawai memukul lalu menggigitku."
Dawai yang sedang makan di meja, tidak mengangkat kepalanya. Tanpa berkata apa pun, Mama mulai membersihkan dan membalut luka-luka Nakire. Ketika Mama selesai, Nakire meraih tangan Dawai, dan tanpa sepatah kata pun, mereka meninggalkan rumah. Melalui jendela, aku lihat mereka kembali ke gubuknya dengan perahu.
Aku tak pernah tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di antara mereka. Sebelumnya, kami menduga Nakire-lah yang salah. Agak mengherankan juga setelah tahu ternyata Dawai yang memulai. Saat masih kecil, aku selalu merasa sedikit takut kepadanya. Suaranya yang sangat keras dan melengking serta sifat pemarahnya membuat para prajurit sekali pun takut kepadanya. Walaupun begitu, ketika ia meninggal beberapa tahun kemudian, kami dan orang-orang Fayu merasa sangat sedih.
Ketika Dawai jatuh sakit, Papa berusaha membujuknya untuk mau dibawa ke rumah sakit di Jayapura. Namun ia terlalu takut pada helikopter dan dunia luar. Papa, Mama, dan Nakire memohon kepadanya, tetapi ia tetap kukuh sehingga kami tidak dapat menyelamatkannya.
Nakire terguncang. Ia meraung-raung berminggu-minggu lamanya. Ia membakar pondoknya berikut segala isinya karena benda-benda yang ada di situ mengingatkannya akan Dawai. Setelah itu, ia sering melewatkan waktu dengan kami. Papa menjaganya dan mencoba menghibur sekuat tenaga.
Seiring berjalannya waktu, hati Nakire tenang kembali dan ia mulai menemani Papa dalam perjalanan ke kelompok Tigre. Ketua kelompok Tigre kedua, di bawah Ketua Baou, mempunyai anak gadis bernama Fusai. Ia cantik, dan tinggi badannya yang tidak biasa membuatnya sangat menarik. Nakire mabuk kepayang. Setiap kali Papa merencanakan perjalanan ke hulu sungai, Nakire begitu bersemangat. Ia ingin menghujani Fusai dengan hadiah-hadiah. Untuk itu, ia meminta aneka benda kepada kami: mata kail, pakaian, perhiasan, dan lain-lain. Kami memberikannya dengan senang hati karena tidak biasanya laki-laki Fayu berbuat demikian untuk mencuri hati seorang gadis. Biasanya seorang gadis dinikahi dengan kekerasan, tapi kelihatannya Nakire orang yang romantis dan ingin merebut hati si gadis.
Usaha Nakire tidak hanya berhasil memikat Fusai, tetapi juga ayahnya. Setelah beberapa bulan, ketua kelompok Tigre menikahkan anak gadisnya dengan Nakire. Saat itu Fusai berusia lebih kurang dua belas tahun, usia menikah gadis Fayu.
Dengan penuh kebanggaan, Nakire kembali bersama pengantin wanitanya ke kelompoknya, Iyarike. Dibangunnya sebuah gubuk dengan telaten dekat rumah kami. Gubuk itu berdinding dan berpintu?sebuah istana untuk ukuran orang Fayu. Minggu-minggu pertama kelihatannya berjalan lancar, sampai pada suatu pagi Nakire dengan panik memanggil kami semua keluar. Fusai menghilang dan ia tidak dapat menemukannya. Regu pencari pun segera dibentuk.
Ratusan tahun sebelumnya, orang Fayu telah mempunyai sistem komunikasi jarak jauh yang amat hebat, tidak memerlukan kabel, mesin, atau uang. Hanya suara yang keras. Cara itu efektif untuk menyampaikan pesan kepada yang jauh. Satu-satunya kerugian adalah: pesannya tidak bisa dirahasiakan. Jika seseorang menyampaikan pesan lewat "telepon hutan", seisi hutan mengetahuinya.
Sistem itu kini dijalankan untuk mencari Fusai. Nakire berdiri di tepi sungai dan memanggil ke arah hulu dengan ketinggian suara tertentu yang lebih menyerupai lolongan daripada teriakan. Belakangan aku mendapat penjelasan bahwa suara setinggi itu bisa lebih lama berkumandang dibandingkan teriakan atau jeritan biasa.
"Di mana Fusai? Nakire sedang mencari Fusai," ucap Nakire berulang kali. Tak lama kemudian, suara lain terdengar di hulu sungai, menggemakan teriakan, "Di mana Fusai? Nakire sedang mencari Fusai." Teriakan ini diulang-ulang sampai seseorang yang jauh di hulu sungai mendengarnya dan meneruskan pesan itu. Proses ini bersambung terus hingga akhirnya berita itu sampai kepada ketua Tigre.
"Fusai bersama keluarganya," jawaban datang, menggema kembali ke arah hilir sungai. Papa dan Nakire segera menuju daerah Tigre. Nakire marah dan bertanya kepada Fusai mengapa ia lari. Fusai berkata, ia rindu kampung halamannya.
Nakire membawanya kembali ke Foida, tetapi beberapa minggu kemudian ia melarikan diri lagi. Sekali lagi Nakire harus menjemputnya. Ketiga kalinya, dengan rasa frustrasi, ia datang kepada Papa untuk meminta nasihat. Hal ini sangat mengherankan, mengingat budaya
Fayu sebenarnya sudah punya jalan keluar untuk situasi semacam ini. Biasanya sang suami akan melukai istrinya dengan anak panah sampai sang istri patuh. Namun Nakire mencintai Fusai dan tak mau melukainya.
Nakire menemukan jalan keluar sendiri, Papa mendengarkan saja. Keesokan harinya, ia memberi tahu kami bahwa ia akan pindah bersama Fusai ke kelompoknya sampai ia terbiasa hidup dengan Nakire. Mereka akan tinggal di sana sampai Fusai mau kembali ke Foida atas kemauan sendiri.
Setelah beberapa bulan hidup bersama dengan keluarga Fusai di daerah Tigre, Nakire dan Fusai kembali ke Foida.
Ia tidak pernah lari lagi. Fusai adalah gadis pemalu berhati emas. Senyumnya manis dan kami semua menyukainya. Ia sebaya dengan Judith dan mereka akhirnya bersahabat.
Nakire tidak pernah mengambil istri kedua. Padahal hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki Fayu yang berstatus tinggi. Bahkan ia sebenarnya punya alasan untuk melakukannya karena Fusai tidak memberinya anak. Namun Nakire hanya menginginkan Fusai, bukan wanita lain. Hubungan keduanya sangat unik di antara orang-orang Fayu. Inilah hubungan cinta terbuka yang pertama. Perkawinan mereka bahagia dan tetap langgeng hingga kini.
Sebagian besar laki-laki Fayu tidak memperlakukan istrinya dengan baik. Dua kali aku menyaksikan seorang lelaki Fayu melukai istrinya dengan anak panah. Kejadian itu membuatku merasakan benci untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Foto 36 Nakire dan istrinya, Fusai
Peristiwa ini terjadi ketika aku sedang bermain di luar. Beberapa wanita sedang menuju ke hutan. Suami dari salah satu wanita itu memanggilnya kembali, tetapi wanita yang dipanggil tidak segera menjawab. Ketika ia akhirnya keluar dari pepohonan, sang suami melepaskan anak panah yang kemudian menancap di buah dadanya.
Laki-laki Fayu adalah pemanah jitu. Para suami tahu betul cara mengatur ketegangan tali busur sehingga anak panah bisa melukai tanpa membunuh. Si istri roboh ke tanah sambil mengerang. Aku merasa muak. Aku ingin menjerit, lari, atau membunuh suaminya. Apalagi wanita itu jelas-jelas sedang hamil.
Mama mendengar teriakan si wanita dan berlari ke luar rumah. Ketika melihat apa yang terjadi, ia lepas kendali. Aku belum pernah melihat Mama berteriak sejadi-jadinya seperti waktu itu. Ia berlari mendekati si wanita malang, mencabut anak panahnya, dan membopongnya masuk ke rumah. Laki-laki itu berdiri sambil tertawa melihat reaksi kami. Aku melemparkan pandangan penuh kebencian sambil mengikuti Mama dan wanita itu masuk ke rumah. Papa juga sangat marah. Namun, ketika ia membicarakan masalah itu dengan orang Fayu, mereka juga hanya tertawa.
Kini keadaan sudah berbeda. Selama bertahun-tahun, orang Fayu memerhatikan hubungan antara kedua orang tuaku. Teladan yang mereka lihat, yaitu sikap saling menghormati dan mencintai, mulai mengubah cara mereka memperlakukan istri. Konsep bahwa pria dan wanita dapat bekerja sama, bergembira, dan bersenda-gurau, adalah konsep yang baru bagi suku Fayu. Dari orang tuaku, mereka belajar bahwa kasih sayang itu sangat penting, dan perbedaan pendapat tidak perlu diselesaikan dengan anak panah atau kematian.
Baru sekarang aku menyadari seberapa jauh pengamatan orang Fayu terhadap kami. Mereka mengerti bahwa kami hanya manusia yang sama seperu mereka, dan karena itu pasti berbuat kesalahan. Mereka menyaksikan perdebatan di antara kami, tetapi juga melihat bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan saling memaafkan. Sesudah itu hubungan kembali membaik sehingga kami bisa tertawa dan bermain bersama lagi.
Kami tidak pernah mengajari orang Fayu cara bersikap, atau memaksa mereka mengikuti standar kami tentang benar dan salah. Orang tua kami percaya dan mengajarkan bahwa saksi terbaik seseorang adalah kehidupan dan tingkah lakunya. Kata-kata saja hanyalah sesuatu yang kosong. Kita harus menjalani apa yang kita pegang teguh. Orang Fayu perlu memutuskan sendiri apakah mereka mau berubah. Keputusan harus datang dari mereka sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Keputusan semacam ini harus lahir dari hati.
Bab 20 WISATA PERAHU Hal ini tentu pernah terjadi pada Anda: mesin cuci rusak, panggangan roti berasap, sekring terbakar. Memang membuat kesal, tetapi Anda dnggal naik mobil ke toko terdekat dan membeli pengganrinya. Siapa tahu barang itu masih bergaransi sehingga Anda mendapatkan penggantian gratis.
Kondisinya di hutan sangat berbeda. Jika ada barang yang rusak, kami harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan penggantinya. Misalnya, ketika helikopter rusak, suku cadang harus dipesan dari Amerika Serikat sehingga butuh waktu lama. Sistem pos di Indonesia ddak dapat diandalkan. Kami pernah baru menerima suatu bingkisan lima tahun setelah dikirim dari Jerman.
Barang-barang pengganti diperoleh saat mengisi persediaan di Danau Bira. Dalam keadaan normal, helikopter bisa mengantar kami langsung dari Foida. Saat helikopter tidak dapat digunakan, pilihan satu-satunya adalah naik perahu ke Kordesi, kemudian dari sana naik pesawat berbaling-baling satu ke Danau Bira. Perjalanan dengan perahu ke hilir sungai menuju Kordesi lebih cepat daripada perjalanan pulang menuju hulu sungai yang memakan waktu empat sampai enam jam.
Perjalanan ini biasanya agak membosankan, tetapi kadangkala bisa menyenangkan. Kami duduk di perahu yang panjang, barang-barang bawaan diletakkan di antara kami. Gerakan apa pun harus dilakukan hati-hati karena perahu mudah terbalik. Angin sepoi-sepoi sungguh sangat melegakan di tengah teriknya matahari. Kami harus mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang agar terhindar dari panas matahari yang membakar. Setiap beberapa jam, kami berhenti di tepian berpasir atau pinggiran sungai yang dapat disinggahi, untuk meluruskan kaki dan makan.
Dalam perjalanan panjang itu, aku mengagumi hijaunya hutan tropis yang berjajar di sepanjang tepi sungai dan burung-burung yang berterbangan di atas kepala. Aku terutama sangat mengagumi anggrek indah berwarna merah menyala yang dikenal sebagai "api hutan". Anggrek itu tumbuh merambat pada pohon. Bunganya yang bermekaran begitu anggun di sela-sela kehijauan yang tak ada habisnya.
Beberapa perjalanan pertama berlalu tanpa kejadian apa-apa. Namun pada perjalanan keempat atau kelima, keberuntungan kami menipis. Ketika kami meninggalkan Kordesi, pada perjalanan pulang ke arah hulu sungai, matahari bersinar terang di langit tak berawan. Mama duduk di depan, diikuti Judith, Chrisdan, dan aku. Papa berada di belakang mengendalikan mesin bertenaga 12 dk.
Sebuah mesin cadangan tergeletak di bawah kakinya sebagai antisipasi jika mesin yang besar tidak menyala.
Aku telah mengatur posisi duduk senyaman mungkin di atas bantal. Duduk di atas papan kayu berjam-jam membuat bokongku pegal. Kutepis lalat yang berterbangan mengelilingi kepala. Tak lama kemudian, deru mesin dan panasnya matahari membuatku mengantuk. Kutarik sekarung beras untuk dijadikan bantal.
Aku tak tahu berapa lama aku tertidur. Namun ketika terbangun, cuaca begitu berbeda. Angin berdup tajam dan dingin. Aku melihat ke langit. Terang. Namun, ketika aku menoleh ke belakang, kulihat di kejauhan awan yang menakutkan menggumpal di langit. Papa melihat terus dari balik pundaknya dengan wajah khawatir, dan menyetel tombol kemudi untuk mempercepat laju perahu. Kami sekeluarga juga sudah menyadari betapa kencangnya angin. Semua duduk diam, berharap perahu bisa bergerak lebih cepat.
Kami memasuki sungai Klihi, tanda bahwa kami sudah mencapai setengah perjalanan. Di tengah deru mesin, Papa berkata bahwa keadaan akan lebih baik jika arah angin berubah. Namun kami semua tahu hal itu ridak mungkin. Angin berhembus sangat kencang dari arah belakang, berarti badai sedang memburu ke arah kami.
Aku menyaksikan pagelaran alam dengan saksama. Matahari ditelan oleh awan. Kegelapan menyelimuti hutan. Deru mesin menjadi satu-satunya suara karena alam sekitar menjadi sunyi. Tetes demi tetes air langit perlahan berubah menjadi hujan deras. Ekspresi serius Papa menggambarkan pendapatnya atas situasi saat itu.
Kami berhasil mencapai belokan selanjutnya sebelum badai berkekuatan penuh menghantam kami. Papa berusaha mencari tempat untuk menambatkan perahu. Yang ada hanya tumbuhan lebat yang menghalangi kami keluar dari sungai. Hujan menghunjam seperti ribuan jarum kecil. Aku basah kuyup dan gemetar kedinginan. Kilat dan guntur bersahutan di atas kami saat kulindungi kepalaku dengan tangan. Aku merasa saat itu adalah kiamat, paling tidak untuk kami.
Mama meneriakkan sesuatu, tetapi suaranya tertelan oleh bunyi hujan dan guntur. Ia melempar sehelai selimut ke arah Christian yang sedang merangkak di bawahnya. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di kakiku. Tadinya aku pikir seekor binatang sedang merayap. Namun ketika kutengok ke bawah, aku melihat air. Kami akan tenggelam.
Saat itu aku lupa semua yang ada di sekelilingku?kilat, guntur, hujan yang menusuk kulitku seperti anak panah. Aku membuka paksa sebuah tas berisi panci dan wajan, dan tiba-tiba sadar itulah yang tadi diteriakkan Mama. Aku bagi-bagikan panci itu kepada Judith dan Mama. Kami pun mulai menguras sekuat tenaga.
Kami berpacu dengan waktu. Hujan begitu deras sehingga perahu yang kami kuras airnya langsung terisi lagi oleh air hujan. Aku berusaha menguras lebih cepat. Lenganku seakan hendak copot dari sendinya. Di tengah curahan hujan, aku nyaris tak dapat melihat sosok Judith dan Mama yang juga sedang panik menguras. Christian tetap bersembunyi di bawah selimut. Papa memperlambat laju perahu karena jarak pandang sangat terbatas, hanya beberapa meter. Kilat memecah kegelapan berkali-kali.
Betapa menegangkan! Inilah saat paling berbahaya dalam hidupku. Ketinggian air dalam perahu terus naik walaupun kami sudah berusaha membuang airnya. Ujung-ujung perahu makin mendekad permukaan sungai. Arus sungai seakan ingin menelan kami. Kami terperangkap dalam genggaman sungai yang tak kenal ampun.
Kami terus berjuang. Naluri untuk bertahan hidup menggerakkan tubuhku melampaui batas kemampuannya. Waktu tak lagi memiliki makna. Hidup tinggal menyisakan dua kekuatan yang berperang: kekuatan alam dan kekuatan tekad sebuah keluarga untuk hidup.
Sebuah perasaan yang janggal timbul dalam diriku, yaitu rasa suka yang aneh pada kekuatan badai, rasa suka akan "pertarungan" ini. Aku merasa jauh lebih hidup dari sebelumnya. Setiap otot dan sel terasa penuh tenaga untuk bersatu-padu menaklukkan alam.
Ketika kami berbelok di sebuah belokan, Papa menatap pinggiran sungai, mencari daratan. Kami telah kehilangan arah dan tidak tahu lagi di mana posisi kami di sepanjang sungai. Berapa jauh perjalanan yang telah kami tempuh? Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara melolong menembus gemuruh badai. Tadinya aku pikir suara itu adalah suara pepohonan diterpa angin. Namun suara itu terdengar semakin keras. Papa mendengarnya dan dengan hati-hati mengarahkan perahu mendekat ke pinggiran sungai. Dua sosok tiba-tiba muncul, berusaha menerobos semak belukar di tepi sungai. Ternyata orang Fayu!
Seperd biasa, setelah menurunkan kami di Kordesi, pilot melakukan penerbangan sekilas melintasi daerah Fayu agar mereka tahu kami akan sampai pada hari itu. Mendengar suara pesawat, mereka berkumpul di Foida untuk menunggu kedatangan kami. Orang Fayu sangat sadar akan bahaya menyusuri sungai saat badai. Walaupun hujan bukan main derasnya, mereka menunggu di tepi sungai untuk menjemput kami. Tanpa bantuan mereka, kami mungkin telah melewati Foida. Begitu lega rasanya melihat wajah-wajah mereka!
Ketika kami mendekat, mereka berloncatan ke air dan membantu menambatkan perahu. Lebih banyak orang bermunculan keluar dari tengah badai. Salah satu dari mereka mengangkat dan membawaku ke rumah. Kakiku gemetar dan tanganku tidak bisa kugerakkan. Seluruh kekuatan tubuhku telah terkuras. Orang itu meletakkanku di serambi rumah. Aku langsung terkulai, dan ia lari kembali ke perahu untuk menolong anggota keluargaku yang lain.
Tak lama kemudian, seluruh muatan kapal telah dikeluarkan. Kami semua kini terlindung dalam rumah. Kedinginan, memang, tetapi sangat lega. Segalanya benar-benar basah kuyup?pakaian, buku sekolah, barang-barang kebutuhan. Satu-satunya benda yang selamat dari bencana adalah kamera Papa, yang ia bungkus dengan plastik.
Kami menanggalkan pakaian dan Mama memberikan selimut. Ia membuat teh panas dan menemukan satu stoples kue sebagai teman minum. Aku mengaman badai dari jendela dan merasa telah menaklukkan dunia. Kami telah melalui kondisi alam terburuk bersama-sama. Hujan terus turun dan guntur menggelegar sepanjang malam. Aku menyelinap di balik selimut dalam gua kelambu yang melindungi tempat tidurku. Aku pun terddur dengan senyum di bibir.
Papa kemudian mendapatkan perahu aluminium yang dikirim dari Foida dengan helikopter. Perahu dihubungkan ke helikopter dengan kabel panjang yang dibuat khusus untuk perjalanan sulit. Kalau perahu terlalu banyak berayun, sang pilot harus melepaskan kabel dan menjatuhkannya ke hutan. Syukurlah segalanya berjalan lancar. Kami punya alat transportasi sungai yang lebih aman sekarang.
Perjalanan berperahu lainnya, walaupun udak sedramads pengalaman sebelumnya, juga berkesan. Hari Minggu selalu menyenangkan. Pada sore hari, kami sekeluarga pergi ke arah hulu sungai untuk mengunjungi kelompok Fayu yang lain. Beberapa orang Iyarike selalu ikut untuk memperlancar hubungan dengan suku lain. Perjalanan berlangsung beberapa jam, jadi kami menghibur diri dengan bernyanyi gembira. Lagu kesukaan kami, yang aku ingat sampai hari ini, adalah sebuah lagu anak-anak dari Jerman mengenai kelapa. Kawanan kera berlarian di hutan, saling memukul. Ketika kawanan kera berseru (lalu kami sekeluarga bernyanyi bersama sekeras-kerasnya): Di mana kelapanya? Di mana kelapanya? Siapa yang mencuri kelapanya? Kami beruntung, sebab kebanyakan anak Jerman tidak pernah berkesempatan untuk menyanyikan lagu hutan ini saat benar-benar berada di hutan.
Setelah beberapa kali menyanyikan lagu kelapa, orang Fayu mencoba ikut bernyanyi. Aku rasa, suasana kacau-balau dan suara yang tak keruan ini terlihat agak gila bagi orang luar. Namun, kami benar-benar menikmatinya.
Pada suatu waktu, kami ingin mengunjungi kelompok Sefoidi yang tinggal di bagian sungai paling hulu. Hari itu cuaca panas dan lembap. Setelah beberapa jam berperahu, kami memutuskan untuk berputar masuk ke sungai kecil yang berhubungan dengan sungai Klihi. Airnya mengalir jernih, terlihat seperti tempat berenang dan berendam yang asyik.
Tempat itu jadi asyik karena beberapa hal. Batang-batang kayu yang tumbang melintang di sungai dan menghambat sampah, menjadi tempat untuk menambatkan perahu. Seluruh keluargaku terjun ke air. Aku merasa begitu nyaman. Judith menggunakan kesempatan ini untuk mencuci rambutnya. Ia duduk di batang kayu dan mulai keramas.
Setelah beberapa saat, Papa menyadari tak ada seorang Fayu pun yang keluar dari perahu. Mereka hanya menyaksikan kegiatan kami dengan heran. Papa berpegang pada ujung perahu dan meminta mereka terjun ke air yang sejuk itu. Nakire menggeleng dan mengatakan bahwa mereka tidak berenang di sungai ini. Khawatir mungkin melanggar semacam pantangan, Papa bertanya kepada Nakire apakah sungai ini keramat.
"Bukan, bukan," jawab Nakire. "Ini adalah Sungai Buaya, tempat kami menangkap buaya untuk dimakan." Aku belum pernah melihat orang naik ke perahu begitu cepat.
"Keluar! Keluar!" teriak Papa. "Buaya!" Kami cepat mengikuti jejaknya. Kepala Judith masih penuh sampo, tapi ia menolak mencelupkan rambutnya ke air, walaupun hanya perlu dua detik untuk membilasnya.
Ketika kami semua sudah aman dalam perahu, Papa bertanya kepada orang Fayu mengapa mereka tidak memberi tahu. Mereka menjawab serempak, "Semua orang tahu ini Sungai Buaya." Ketika rasa takut mereda, kami tertawa mengingatnya. Dasar orang Fayu! Mereka hanya duduk, terkesan melihat kami tidak takut. Tak terpikir oleh mereka bahwa "keberanian" kami adalah buah ketidaktahuan. Hal ini mengajarkan kami untuk bertanya lebih dahulu sebelum terjun ke sungai yang asing bagi kami.
Ketika kami mengarah kembali ke sungai utama, orang Fayu menerangkan kepada kami mengapa begitu banyak buaya hidup di sungai kecil itu. Penyebabnya, sungai tersebut penuh dengan ikan-ikan besar. Gelombangnya yang lebih tenang menjadikannya tempat ideal untuk bertelur.
Hal ini menarik perhatian kami! Kami kembali minggu berikutnya, lengkap dengan alat pancing. Orang Fayu memang benar, sungai itu penuh ikan.
Kami tidak punya joran pancing, jadi kami membuatnya sendiri dari sebilah papan pendek (kira-kira 5 inci x 2 inci) yang diberi lubang. Tali pancing disangkutkan melalui lubang di tengah, kemudian kedua ujung kayu dibentuk "V" supaya tali dapat digulung pada kayu itu. Pada ujung tali dikaitkan mata kail dan sebuah batu kecil sebagai pemberat. Voila\ Alat pancing ala hutan!
Selanjurnya kami memerlukan cacing. Ada dua macam cacing yang bisa jadi umpan hebat: larva serangga yang putih dan gemuk (memang sumber makanan bergizi) dan cacing tanah yang panjang dan berwarna hitam. Keduanya melimpah di hutan. Christian, Tuare, Bebe, Dihida, dan aku, berlomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya.
Ketika kembali ke sungai, "joran" pancing kami ikatkan pada tanaman yang menjulur dari tepi sungai. Setiap beberapa meter kami mengikatkan satu joran, sehingga berjejer sepuluh sampai lima belas batang pancing. Saat kami mengikatkan joran pancing terakhir, joran pertama sudah ada ikannya.
Dalam satu jam, ikan yang tertangkap sudah lebih dari yang bisa kami makan. Biasanya yang tertangkap adalah ikan lele yang panjangnya hampir satu meter dengan berat lima hingga tujuh setengah kilo. Aku tahu hal ini kedengarannya tidak masuk akal, tapi ini kenyataan. Aku bersumpah.
Foto 37 : Mandi di Sungai Buaya... sebelum kami tahu itu Sungai Buaya
Sesampainya di rumah di Foida, kami membuat perapian besar. Orang Fayu membuat panggangan berkaki di atas arang dari batang pohon yang masih hijau. Malam itu, seluruh penduduk desa diundang ke acara bakar ikan. Ini adalah makan malam sambil nonton teater versi kami. Kami duduk melingkar sambil menikmati ikan yang lezat, sementara beberapa prajurit Fayu memperagakan kisah-kisah berburu yang seru.
Namun Sungai Buaya dinamai demikian karena suatu alasan. Buaya adalah raja di sungai tersebut, dan pada suatu hari mereka mempertontonkan kekuasaannya kepada kami. Waktu itu kami sedang dalam ekspedisi memancing yang ketiga atau keempat. Kami sudah selesai mengikat tali-tali pancing dan sedang kembali ke joran pertama untuk mengambil ikan. Namun ketika Papa menarik tali pancing, tak ada apa-apa. Tak ada ikan. Tak ada mata kail. Tali pancing pun sudah putus.
Kami sedang menduga-duga sebabnya ketika tiba-tiba seekor buaya yang mengerikan muncul dari air hanya satu atau dua meter dari perahu kami. Rahangnya terbuka lebar. Ia menampakkan hampir seluruh tubuhnya dari dalam air. Kami menjerit dan berlompatan ke sisi lain perahu saat tubuhnya menghantam dan menyemprotkan air ke arah kami. Moncongnya hampir mengenai perahu. Bila tangan atau kaki kami saat itu berada di air, kejadiannya pasd akan sangat buruk. Kami tidak berani bergerak untuk beberapa menit, tetapi buaya itu kemudian menghilang.
Beberapa kali kami mengalami pertemuan yang mengejutkan dengan buaya. Orang Fayu mencoba menenangkan kembali dengan mengatakan bahwa buaya hanya muncul di daerahnya sendiri. Kami harap mereka benar. Biasanya binatang itu tidak akan mengamuk kecuali diganggu. Jadi kami sangat berhati-hati jika melihat buaya. Kami menjauhkan tangan dan kaki dari air serta menjaga jarak. Seperti yang Anda bayangkan, pengalaman pertama dengan buaya masih tetap menjadi topik hangat keluarga.
Dalam suatu perjalanan lainnya, kami menemukan sebuah tempat terindah di muka bumi. Berlayar ke hulu, kepanasan dan lapar seperti biasa, kami menyusuri tepi sungai untuk mencari tempat piknik. Di antara tumbuhan yang lebat, kami melihat sebuah tempat terbuka yang sempit. Lebarnya hanya cukup untuk sebuah perahu. Ketika memasukinya, kami mendapati diri berada di semacam teluk yang dialiri sungai kecil. Airnya dangkal, jadi kami menaikkan mesin dan mendayung.
Saat mengikuti sungai keluar dari teluk tersebut, kami menemukan surga. Kami begitu terpesona dengan apa yang kami lihat sehingga tak seorang pun bersuara. Pepohonan di tepi sungai ditutupi ribuan anggrek berwarna merah menyala. Akarnya menjuntai ke air, membentuk karpet sulam merah dari sungai menjulang ke langit. Airnya sejernih kristal dan sehalus kaca. Burung-burung berwarna cerah berterbangan di antara pepohonan, menyanyikan kicauan yang sangat indah.
Surga ini menyimpan kejutan khusus bagi anak-anak, yaitu tepi sungai dari tanah liat berwarna abu-abu yang lembut. Aku belum meninggalkan perahu ketika Christian mengambil segenggam tanah liat dan melemparkannya padaku. Aku berteriak dan membalas "kebaikan" hatinya. Sayang, Christian merunduk dan peluru kendaliku mengenai Judith. Ia melempar bertubi-tubi, dan dalam beberapa menit, kami sudah terlibat perang bola tanah liat yang seru. Karena payahnya bidikan kami, bahkan orang-orang Fayu pun akhirnya ikut bermain. Peristiwa itu sangat menyenangkan. Kami sering kembali ke tempat rahasia yang kami namakan "Sungai Minggu" itu.
Bab 21 KAKAKKU OHRI Ohri berusia kira-kira delapan tahun dan ia lumpuh.Ia berjalan ke mana-mana dengan cara menyeret tubuh dengan bantuan kedua tangannya. Hatiku terharu ketika pertama kali melihatnya. Tubuhnya kurus dan lemah. Kakinya yang cacat hanya terbungkus kulit dan tulang. Orang tuanya dibunuh di depan matanya karena itulah ia tinggal dengan keluarga lain.
Meskipun Ohri tidak tinggal bersama kami, kami memberinya makanan dan perhatian. Hanya saja kami tidak mengadopsinya. Ia mencintai Mama seperti ibunya sendiri. Ia mengikuti ke mana pun Mama pergi, tak ingin jauh dari sisinya. Karena asupan gizinya membaik, Ohri menjadi lebih kuat dan bisa belajar jalan dengan bantuan tongkat. Pertama ia belajar berdiri, lalu berjalan terpincang-pincang, kami memandangnya dengan sukacita. Peristiwa itu seperti mukjizat.
Ia melewatkan sebagian besar waktunya bersama kami. Ia jadi seperti saudara laki-laki kami dan anak bagi Mama dan Papa. Suatu hari ia berdiri dengan senyum bangga dan berjalan menuju kami tanpa tongkat Kami bahagia untuknya.
Setahun kemudian, ketika aku sedang menyalakan api dengan Christian, Ohri keluar dari hutan. Selama ini kami cemas karena sudah lama tak melihatnya. Hal ini sebenarnya tidak aneh, sebab orang Fayu hidup nomaden dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka hanya datang ke Foida kedka kami berada di sana. Selanjutnya mereka mengikuti pola biasa, yaitu berpindah dari gubuk ke gubuk. Sedap keluarga dalam kelompok mempunyai tanah beberapa mil persegi, tempat mereka mendirikan dga atau empat gubuk. Mereka tinggal dalam satu gubuk selama tiga atau empat bulan sambil berburu di daerah itu. Bila tanaman yang bisa dimakan dan binatang buruan mulai langka, mereka pindah ke gubuk lainnya. Saat keluarga itu selesai mengitari semua gubuk, satu tahun telah berlalu dan daerah di sekeliling gubuk pertama telah kembali terisi sumber makanan.
Sedap kali kami kembali ke Foida, pilot terbang berputar-putar di atas daerah Fayu untuk memberi tahu mereka bahwa kami telah kembali. Lalu mereka yang ingin akan kembali ke desa. Proses ini dapat memakan waktu satu atau dua minggu, karena itu kami berharap keridakhadiran Ohri hanya disebabkan oleh jauhnya jarak ke Foida.
Namun, kini kegelisahan kami terbukti. Ketika kulihat Ohri keluar dari semak belukar, aku memanggil Mama dan bergegas mendekatinya. Ia roboh ke tanah, lemah, dan tubuhnya demam ringgi. Aku ingin menolongnya, tapi tak tahu harus menyentuhnya di bagian mana. Di dadanya ada luka infeksi besar yang ditutupi oleh lapisan tebal jamur berwarna hijau tua. Orang Fayu telah membiarkannya hampir mati di tengah hutan.
Mama datang berlari dan membantunya masuk ke dalam rumah. Papa bertanya kepada orang-orang Fayu apa yang terjadi. Menurut mereka, ia memakan sepotong daging buaya yang terlarang, dan ini adalah hukuman baginya. Mereka sama sekali tidak mengindahkannya dan bersikap seakan-akan ia tidak ada.
Aku mulai menangis saat melihat wajahnya meregang kesakitan. Bau tubuhnya seperti daging busuk. Lukanya kelihatan membusuk. Aku duduk di dekatnya dan memegang tangannya. Mama membawa pembalut dan obat-obatan, lalu memiringkan badannya. Mama mencampur potassium permanganat dengan air dan menuangkannya ke dada Ohri. Lapisan jamur setebal sekitar dua setengah sentimeter perlahan-lahan terlepas dan jatuh ke daun yang kami letakkan di bawahnya.
Ohri menahan sakit yang amat sangat. Di dadanya ada luka menganga yang dipenuhi belatung. Mama memotong seprai, mengolesinya dengan salep antibiotik, dan membalut dada Ohri. Mama menggantinya setiap hari. Papa membawa daun ke luar rumah dan membakarnya.
"Mama, apakah ia akan mati?" aku terus bertanya sambil menangis.
"Aku tak tahu," jawab Mama. "Kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya."
Aku membantu merawat luka Ohri sebisaku. Kami memberinya makan. Ia tidur di rumah kami
Foto 38 Foto 39 : Ketua Baou dan anggota kelompok I yarike (Bawah)
Foto 40 Foto 41 Foto 42 Foto 43 Foto 44 Foto 45 Foto 46 Foto 47 : Foto : Para wanita Fayu dan anak-anak mereka
Foto 48 : aku mengunyah batang Tebu Kiri: Nakire dan istrinya, Fusai
Foto 49 Foto 50 : Mama sedang berbicara dengan Ohri (berdiri di sebelah kirinya),
dan aku mendengarkan dan melewatkan harinya dengan memerhatikan kami mengerjakan pekerjaan sekolah. Setelah kami selesai, kami mendengarkan kaset bersamanya dan menunjukkan buku-buku bergambar. Demam hilang dalam beberapa hari dan pada minggu berikutnya lukanya secara ajaib sembuh, meninggalkan bekas luka yang amat dalam. Belakangan Mama mengaku bahwa ia hampir tak percaya Ohri bisa sembuh. Tetapi memang ia sembuh dan tak lama, ia bermain dengan kami kembali seakan tak terjadi apa-apa.
Ohri tumbuh bersama kami dan menjadi lebih tinggi dari aku. Kami menyukainya karena kepribadiannya yang baik. Ia adalah sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Aku tidak pernah melihatnya marah atau bertindak tidak menyenangkan. Ohri menjadi bagian penting dari keluarga kami, dan ketika ia meninggal beberapa tahun kemudian, aku terguncang.
Bab 22 SAYAP KELELAWAR DAN CACING PANGGANG
Suatu hari, seorang teman dari Amerika mengirimi kami sebuah poster bergambar semangkuk besar es krim. Aku masih tak paham apa maksudnya. Mama menggantungnya di dinding dekat meja. Kami, anak-anak, duduk dan mengaguminya. Aku masih ingat jelas gambarnya: sebuah mangkok perak besar berisi lima belas atau enam belas tumpuk es krim. Setiap tumpuk memiliki rasa berbeda dan bermahkotakan segunung krim putih dengan buah ceri merah di dap puncaknya.
Ketika panas begitu menyengat, kami sering duduk dan memimpikan es krim itu! Berjam-jam kami pandangi poster itu, mencoba menebak berbagai rasa es krimnya. Kadang-kadang Mama membantu, tetapi biasanya kami berimajinasi sendiri. Tumpukan es krim putih terbuat dari sagu (bagian tengah dari batang pohon rumbia), yang berwarna jingga rasa mangga, dan yang kuning pasti terbuat dari ubi. Tak seorang pun dari kami yang ingat rasa es krim, tetapi kelihatannya enak sekali. Kami yakin es krim pasti makanan terlezat di dunia.
Jodoh Atau Cinta 2 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 5

Cari Blog Ini