Ceritasilat Novel Online

Rinduku Pada Rimba Papua 3

Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler Bagian 3


Bertahun-tahun kemudian, ketika kami ke Jakarta, ibukota Indonesia, yang paling kami nantikan adalah makan es krim. Mama sudah mencari tahu dan menemukan bahwa memang ada tempat makan es krim di kota itu. Kami ingin segera ke sana begitu pesawat mendarat, namun sangat kecewa karena kafe sudah tutup selarut itu. Kami tidak begitu percaya, tetapi Mama berjanji membawa kami keesokan harinya.
Pagi pun tiba. Inilah "hari es krim"?begitu kami namakan. Kami memasuki kafe dengan kegembiraan yang meluap, apalagi satu-satunya es krim yang pernah kami lihat di hutan adalah pada sebuah poster. Sambil memandang geli, orang tuaku memesan "The Earthquake" es krim terbesar yang dijual di toko itu. Es krim itu berisi lima belas tumpuk es krim beraneka warna dan rasa. Kami serasa di surga. Salah satu mimpi terbesar kami telah terwujud. Rasanya begitu lezat, sama seperti yang kami bayangkan. Aku masih ingat betapa penting dan memuaskannya saat itu. Bahkan Mama dan Papa ikut makan dengan semangat.
Usai makan "Earthquake? pertama, kami minta lagi. Mama mengingatkan bahwa kami bisa mual, tapi membiarkan kami yang memutuskan. Kami tidak mengindahkannya dan melahap semangkuk es krim lagi.
Ternyata Mama benar. Ketika kembali ke hotel sore harinya, kami muntah-muntah sepanjang hari dan terpaksa rebah di tempat tidur. Perut kami tidak terbiasa dengan dingin, belum lagi gula dan susu yang berlebihan. Es krim benar-benar berbeda dari makanan sehari-hari kami di hutan.
Pilihan makanan di hutan sangat terbatas. Tidak banyak variasi makanan dari hari ke hari: babi, ikan, sagu, nasi, ubi, sereal jagung dengan susu bubuk, kwa (sukun), kadang-kadang telur, pisang, pepaya, dan kasbi (akar pohon yang rasanya seperti kentang). Mungkin kedengaran banyak. Namun hanya itu pilihan menu dari waktu makan ke waktu makan berikutnya, hari ke hari, bahkan tahun ke tahun. Kami mencoba menanam berbagai jenis labu. Namun, banjir dan rakusnya babi hutan membuat tanaman tersebut tidak dapat diandalkan sebagai sumber makanan. Sekalipun begitu, kami tidak merasa kekurangan, karena sebagai anak-anak kami memang belum mengenal banyak makanan lain.
Yang paling sering kami makan adalah kwa. Sebatang pohon kwa tumbuh di samping rumah kami. Jadi, kapan pun kami lapar, salah satu dari orang Fayu akan memanjatnya dan mengambil beberapa buahnya untuk kami. Pohon kwa agak besar dan buahnya ada di ujung dahan. Untuk memanennya, seseorang tidak cukup hanya memanjat, tapi juga harus menggunakan galah sepanjang dua puluh kaki yang di ujungnya diikatkan sebilah pisau. Tugas kami adalah mengumpulkan hasil panen dan meletakkannya di atas api sampai berwarna kehitaman. Lalu kami mengeluarkannya dari api dan orang Fayu menginjaknya dengan kaki telanjang.
Aku mengagumi kemampuan mereka dan ingin mencobanya. Sayangnya, aku tidak mempertimbangkan bahwa telapak kakiku tidak setebal telapak kaki orang Fayu. Jadi ketika menginjakkan kaki di atas buah kwa yang membara, aku merasa terbakar. Aku menjerit dan melompat dengan satu kaki. Christian menganggapnya lucu dan tak henti tertawa. Mama hanya menceramahiku tentang akibat ketidakpatuhan dan kurang terpakainya akal sehatku.
Luka bakar di telapak kakiku membuat aku harus meloncat ke sana kemari selama berhari-hari. Lama baru aku berani lagi memecahkan kwa dengan kaki. Kali ini berhasil, karena telapak kakiku sudah lebih tebal.
Sagu adalah makanan pokok orang Fayu. Mengambilnya adalah pekerjaan fisik yang berat yang dikerjakan oleh wanita. Batang rumbia harus dibelah. Lalu bagian tengahnya dikeruk dan dicampur dengan air sampai berubah menjadi campuran lengket yang berwarna puuh seperti adonan kue. Setelah dimasak, penganan ini bisa dimakan begitu saja atau dengan daging yang dimasak di dalamnya.
Beberapa dari makanan kesukaan kami lebih sukar didapat, misalnya daging buaya dan ular. Suatu sore, orang Fayu membawakan kami dua ular besar. Kata mereka ular itu lezat. Papa pun menukarnya dengan barang. Orang Fayu memang benar. Daging ular itu sangat lezat, lembut, dan gurih. Itulah daging terbaik yang pernah kumakan.
Kapan pun orang Fayu berburu buaya, kami menanti dengan penuh harap. Daging buaya diolah dengan cara yang sama seperti daging babi hutan, burung unta, kanguru pohon, atau ikan. Panggangan kayu digelar di atas api dan daging diasapi perlahan di atasnya. Kami juga bersedia bertukar untuk ekor buaya, yang kelezatannya hanya tertandingi oleh daging ular.
Ketika aku kembali ke Eropa bertahun-tahun kemudian, lama baru aku bisa menikmati daging di sana. Daging di Eropa terasa tidak segar dan pahit. Judith tak pernah tahan dengan rasanya. Ia malah alergi sampai akhirnya menjadi vegetarian.
Pada senja hari setelah pesta daging buaya, kami duduk mengelilingi api unggun sambil memandang matahari terbenam. Serangga dan burung-burung menyanyikan kicauan senja. Bau asap dan aroma hutan bercampur di udara. Lalu kisah-kisah perburuan pun mulai diperdengarkan.
Yang membuatnya istimewa, kisah itu tidak hanya diceritakan dengan kata-kata, tapi juga diperagakan oleh mereka yang ikut berburu. Bahkan ada yang berperan sebagai mangsa. Aku melihat dan menyimak dengan sungguh-sungguh. Mungkin itulah sebabnya kini aku sangat menyukai teater. Teater seakan mengembalikan kenangan-kenangan tersebut.
Cara berburu orang Fayu adalah cerita yang seru. Pertama, mereka menjalin tali panjang dari kulit pohon. Bermodalkan tali ini dan palu dari batu, mereka berperahu ke Sungai Buaya. Pada tengah hari, saat matahari berada tepat di atas kepala, para prajurit merapat ke darat dan menyuruh pemburu termuda berenang. Air Sungai Buaya begitu jernih sehingga sinar matahari dapat menembus hingga ke dasar sungai.
Pemburu muda berenang di permukaan sambil membawa tiga tali, sampai ia melihat bayangan seekor buaya di dasar sungai. Ia pun menyelam dan mendekati binatang buas itu dari belakang dengan sangat hati-hati. La lu ia berenang ke depan untuk memastikan apakah matanya terbuka atau tertutup. Jika matanya terbuka, si pemburu akan mundur secepatnya. Kalau matanya tertutup, si pemburu akan melingkarkan seutas tali (yang telah dibentuk seperti tali laso) di moncongnya dan seutas lagi di kedua kaki depannya. Lalu ujung-ujung tali dibawanya ke tepi sungai tempat pemburu yang lain menunggu. Beramai-ramai mereka akan menarik buaya itu ke darat dan menghantam lehernya dengan palu batu sampai mati.
Cara ini mungkin kedengaran brutal, tetapi di hutan kita membunuh hanya untuk bertahan hidup. Orang Fayu tidak pernah membunuh hewan untuk disia-siakan. Bila seekor hewan dibunuh, seluruh bagiannya akan dimanfaatkan. Buaya, misalnya, dagingnya dimakan dan giginya dipakai sebagai hiasan dan dalam upacara adat.
Yang pertama dilakukan setelah membunuh buaya adalah membelah perutnya. Buaya mempunyai dua bagian perut, salah satunya berisi batu-batu kecil dan sampah yang tertelan ketika menelan mangsa. Perut ini dibuang dan langsung dikubur karena dianggap bagian yang tabu dari buaya. Orang Fayu percaya, bila seorang wanita melihatnya, ia akan sakit dan meninggal.
Tindakan berikutnya adalah membuang dan membakar bagian lain yang dianggap berbahaya. Setelah itu, buaya dimuat ke dalam perahu dan dibawa pulang ke desa untuk dibagi-bagikan.
Cara orang Fayu berburu buaya jelas berbahaya. Dalam proses penangkapannya, mereka dekat sekali dengan giginya yang besar, yang hanya diikat dengan seutas tali. Kini orang Fayu memakai lembing berujung logam dan parang hasil barter dengan kami. Alat-alat ini sedikit mengurangi bahaya.
Semua menikmati pesta daging buaya yang memang sangat jarang terjadi. Sejujurnya, makanan kami jarang selezat itu. Jadi, sebagai variasi, kami anak-anak mencoba apa saja yang dimakan orang Fayu.
Makanan yang cukup dikenal dan mudah didapat adalah semut merah besar. Kami memegang kepalanya dan menggigit tubuhnya. Kepalanya tidak boleh dimakan. Aku tidak tahu mengapa, sampai seekor semut menggigit lidahku. Judith puas sekali menertawaiku karena aku tidak bisa bicara jelas untuk beberapa saat. Makanan hutan harus dimakan dengan hati-hati sebab bisa menggigit balik.
Makanan favorit lainnya adalah kelelawar, terutama kelelawar buah besar yang rentang sayapnya dapat mencapai sekitar lima kaki. Mereka melewatkan siang dengan tidur berkelompok di pohon-pohon. Pada malam hari, mereka memakan segala jenis buah. Inilah yang membuat dagingnya terasa lembut dan lezat. Kebiasaan tidur kelelawar membuatnya mudah diburu.
Foto 51 : Nakire bersama seekor buaya mati hasil buruan
Kami biasanya memasak seekor kelelawar utuh. Sebaliknya, orang Fayu suka meletakkan badannya begitu saja di antara lapisan sagu, seperti hamburger. Lalu semuanya dibungkus dengan daun yang lebar dan ditaruh di dalam api.
Sayap kelelawar panggang enak dan renyah. Lalu timbul ide cemerlang di benak kami untuk memakannya mentah. Karena rasanya agak kenyal, kami pikir enak dikunyah seperti permen karet. Kami pun mencuci, memotong kecil-kecil, lalu memakannya. Sayang sekali rasanya tidak seenak yang kami harapkan.
Larva serangga yang gemuk adalah alternatif makanan lezat lainnya. Yang paling enak adalah larva putih dan gemuk yang biasa kami pakai sebagai umpan kail. Kami menusuknya dengan anak panah yang kecil dan memanggangnya sampai kecokelatan. Rasanya nikmat sekali. Hmmmmm.
Aku ingat suatu hari ketika istri Nakire, Fusai, membawa sagu untuk dimakan dengan larva. Kami membantunya memasukkan larva ke dalam sagu dan menaruhnya di atas api. Rasanya kami tidak sabar menunggu matang. Aku mendapat kesempatan pertama untuk mencoba. Kubuka mulut selebar-lebarnya dan menggigit potongan besar. Ketika kuperhatikan lebih dekat, kulihat bagian dalamnya belum begitu matang. Larvanya masih hidup. Selagi aku melihat ada kepala larva yang menyembul dari sagu, aku merasakan sesuatu bergerak di dalam mulutku.
Aku tidak mau membuat malu Fusai. Karena itu, aku telan saja dengan gagah berani. Tapi itu sudah cukup. Menurut kebiasaan, aku operkan makanan itu ke orang selanjutnya. Ketika tiba giliranku kembali, aku hanya memakan secuil kulitnya. Tuare yang duduk di sebelahku justru senang. Ia memakan porsi dua orang dengan gembira.
Kami tidak hanya makan daging dan serangga. Hutan menawarkan lebih dari itu. Setiap lima tahun, pohon leci berbuah. Kami pun makan leci selama berminggu-minggu. Buah leci berwarna merah dan berduri. Ukurannya sebesar bola golf. Kami mengupas kulitnya dan makan dagingnya yang membungkus bijinya yang besar. Bijinya kemudian kami buang ke tanah agar dimakan babi hutan. Inilah sistem daur ulang yang sempurna.
Mungkin tanaman kesukaan kami adalah tebu. Mama selalu berusaha menjauhkannya dari kami dan tak lelah mengingatkan bahwa tebu buruk bagi kesehatan gigi. Suatu hari kami menemukan serumpun besar tebu tumbuh di tepi sungai. Setelah memotongnya, kami mengupas kulitnya yang keras dengan gigi, lalu mengunyah bagian dalamnya yang berserat. Selama beberapa minggu setelah penemuan itu, sampah kulit tebu memenuhi halaman rumah kami.
Mama kesal, lalu melarang kami makan tebu. Kami menyimak ceramahnya. Semua mengangguk ketika ia menerangkan bahwa gigi kami akan menghitam dan tanggal bila terus makan tebu. Begitu Mama kembali ke rumah, kami lari ke desa, mencari tempat bersembunyi yang aman, dan makan tebu sebanyak-banyaknya. Halaman rumah kami tetap bersih, tapi lebih baik jangan menengok halaman belakang gubuk-gubuk di desa Fayu.
Sekali waktu, helikopter datang membawa citarasa dari dunia luar. Aku ingat, suatu ketika pilot membawakan satu termos penuh es batu. Kami sangat senang. Mama memberi kami masing-masing porsi yang sama dalam piring. Kami segera keluar untuk memperlihatkannya kepada teman-teman kami. Ketika Christian meletakkan sebongkah es batu di tangan Dihida, ia berteriak, "Aku terbakar!" seraya menjatuhkannya. Ia belum pernah merasakan sesuatu yang begitu dingin, sehingga keliru menyebutnya panas.
Foto 52 : Aku megunyah sepotong tebu
Yang benar-benar memukau mereka adalah bagaimana es itu perlahan-lahan mencair. Kami senang menyaksikan para prajurit yang gagah berani berteriak-teriak seperti anak kecil ketika mereka berlomba untuk menentukan siapa yang mampu menggenggam es batu itu paling lama. Bahkan Ketua Baou ikut menyelidiki fenomena baru ini.
Pilot juga membawa kismis. Istrinya menerima kiriman dari Amerika, tetapi untung buat kami, ia tidak menyukainya. Mama suka kismis dan segera membuat kue dadar isi kismis. Setelah kue matang, ia keluar dan memberikan beberapa potong kepada wanita Fayu.
Foto 53 : Kami sering mengundang para ketua Fayu makan bersama
untuk menumbuhkan komunikasi damai di antara mereka
Belakangan, saat ingin tahu apakah mereka menyukainya, Mama melihat semua kismis itu berserakan di tanah. Dingo dan anak-anak babi sangat menyukainya. Mama heran dan bertanya, mengapa mereka membuang bagian yang paling enak. Wanita-wanita itu menjawab dengan sopan bahwa mereka tidak memakan kumbang yang tidak mereka kenal karena mungkin saja beracun. Namun, yang lain cukup enak. Terima kasih, kata mereka.
Kami semua tertawa mendengar penjelasan ini, tetapi Mama sempat menyayangkan kismisnya yang lezat.
Bab 23 BAHASA FAYU Saat masih kanak-kanak, kami belajar bahwa setiap bangsa berbicara dalam bahasa yang berbeda. Karena tumbuh di beberapa negara asing, kami harus mempelajari beberapa bahasa: Nepal, Danuwar Rai, Jerman, Inggris, Indonesia, dan akhirnya bahasa Fayu. Kondisi ini menimbulkan sedikit kebingungan dalam keluarga kami.
Sekolah kami menggunakan bahasa Inggris dan buku-buku kami juga dalam bahasa Inggris. Pada hari-hari tertentu, terutama bila musim hujan, tak ada yang dapat dikerjakan kecuali duduk-duduk di dalam rumah. Hujan menghunjam atap seng begitu keras sehingga percakapan tidak terdengar. Karena itu kami belajar membaca di usia yang sangat dini. Tak lama, semua buku yang ada sudah kami baca.
Agar kami tetap ingat bahasa Jerman, Mama membacakan kami kisah-kisah dari buku berbahasa Jerman, karena kami belum belajar membaca dalam bahasa itu. Kami duduk di tempat tidur bersamanya lalu Mama akan membacakan buku cerita anak yang populer, seperti Hantri und Nanni (Hanni dan Nanni) dan Am Samstag kain d as Sains zurueck (Sam Kembali pada Hari Sabtu). Teman-teman juga mengirimkan komik Asterk dan Obelix serta Tintin. Aku belajar bahasa Jerman dari buku-buku ini. .
Namun prosesnya sungguh panjang. Karena sebagian besar anak-anak asing yang tinggal di pulau itu berbahasa Inggris, kami pun semakin sering berbicara dalam bahasa Inggris di antara kami. Hal ini membuat orang tua kami agak kecewa. Karena bahasa Jerman kami terpengaruh, kami mulai bicara dengan bahasa campur aduk. Misalnya kalimat "Judith, come here, I want to zeigen dir m s!' (Arti: "Judith, kemarilah. Aku ingin memperlihatkan sesuatu!"). Oleh karena itu, orang tuaku bersikeras untuk berbahasa Jerman di rumah.
Ketika mendengar rekaman yang dibuat orang tuaku, aku bisa menangkap pengaruh bahasa Inggris-Amerika yang kuat dalam bahasa Jerman kami. Sampai hari ini, orang selalu berkata bahwa bahasa Jermanku sedikit beraksen.
Seiring berjalannya waktu, kami juga mulai belajar bahasa Fayu. Ketika kami pertama kali tiba di tengah orang Fayu, Christian mengalami sedikit kesulitan. Kami berbicara lancar dalam bahasa Indonesia dan ia tidak mengerti mengapa orang Fayu tidak menjawabnya. Papa menerangkan bahwa bahasa mereka sama sekali berbeda, walaupun mereka hidup di Indonesia. Jadi kami memulai dari awal. Kami berkeliling sambil menunjuk benda-benda dan mencoba mengingat kata-kata yang mereka sebutkan untuk benda itu.
Foto 54 Papa belajar bahasa Fayu
Salah satu kata pertama yang kami pelajari adalah ?di? yang berarti air. Untuk mencoba kemampuanku, suatu waktu aku berkata kepada Tuare Di, Tuare" dengan harapan ia akan mengambilkan air. Kami baru saja menyalakan api dan aku hendak memasak sup. Namun Tuare kembali dengan sebilah pisau.
"Hau, Tuare, di !." kataku pendek. (Arti: ?Tidak, Tuare, air!")
Ia memandangku dengan agak bingung, kemudian pergi. Agak lama baru ia kembali dengan seekor anak babi di tangannya. Kini aku sangat bingung. Kupandangi anak babi yang meronta-ronta di tanganku. Kupandang kembali Tuare. Jelas ada sesuatu yang salah. Kulepaskan anak babi itu, menggandeng tangan Tuare, lalu mencari Papa.
Papa tertawa ketika mendengar ceritaku sehingga aku makin habis akal. Papa mendudukkan aku di pangkuannya sambil menjelaskan bahwa bahasa Fayu memiliki tekanan nada. "Apakah maksudnya?" tanyaku bingung.
Ia menerangkan bahwa dalam bahasa bertekanan nada, kata yang sama bisa mempunyai arri yang berbeda menurut tinggi rendahnya suara saat kata itu diucapkan. Papa mengambil contoh situasi yang saat ini kami hadapi.
"Ketika kamu meminta Tuare mengambil di, kamu pasti mengucapkannya dengan bunyi suara menengah. Karena itu ia memberimu pisau. Berikutnya kau menggunakan suara yang lebih rendah. Karena itu ia memberimu anak babi. Bila yang kau maksud adalah air, kau harus mengucapkan di dengan nada tinggi."
Aku menoleh kepada Tuare, dan dengan nada setinggi-tingginya berkata, "D/, Tuare!" Ia tersenyum kepadaku dan seketika aku mendapat air.
Sekarang kami bukan hanya harus belajar kata-kata baru, melainkan juga bermacam-macam nada. Bahasa Fayu mempunyai riga nada suara yang berbeda, yaitu nada tinggi yang ditulis (/1/), nada sedang (121), dan nada rendah (/3/).
Misalnya: Di /1/ berarti air Di /21/ berarti pisau Di /3/ berarti babi hutan
Ada pula kombinasi dua nada?dari tinggi ke rendah untuk kata yang sama (ditandai dengan /1-3/) dan dari sedang ke rendah (/2-3/). Contohnya:
Fu /1/ berarti perahu, dan
F u /1-3/ berarti batang kayu
Atau Kui /3/ berarti kakek, dan
Kui /1-3/ berarti pesan Hal ini jelas menjadikan pelajaran bahasa lebih sulit. Kalimat yang ditulis dengan tanda fonetik akhirnya kelihatan seperti ini:
A 131 tai 12-31 da /2/ re 131 berarti, "Aku sudah makan telur"
A 131 f e /2/ ri /'2/ ba 121 ri 13 berarri, "Aku melihat ikan"
De 131 boi 131 da /2/ re i3 berarti, "Kau makan kemarin."
Kosakata bahasa Fayu sangat terbatas. Kebanyakan dari kata-katanya merujuk pada hutan dan menunjuk kepada tumbuhan, binatang, atau aktivitas yang berhubungan. Misalnya, tak ada kata khusus untuk "maaf?, "terima kasih", atau "halo". Namun mereka punya kata asahaego yang dapat berarti salah satu dari kata-kata di atas, termasuk juga beberapa arti lain. Kata ini bisa berarti macam-macam, seperti "selamat pagi", "selamat malam", "terima kasih", dan beberapa kata lain yang tidak mempunyai kata khusus.
Beberapa kata tentu saja bisa lugas. Bau berarti ya; mau berarti tidak. Kaha berarti baik dan fay adalah buruk. Namun pada umumnya, suatu frase sering kali mempunyai beberapa arti, tergantung pada konteks pemakaiannya. Sabine awaru kaha secara harfiah berarti "hati Sabine baik". Namun kalimat itu bisa juga berarti "aku (Sabine) baik-baik saja", "aku bahagia", atau "aku orang baik dan tak pernah berbuat salah".
Yang semakin memperumit, semua kata harus berakhir dengan huruf vokal. Karena itulah nama mamaku, Doris, menjadi Doriso, dan Klaus menjadi Klausu. Kerumitan ini membuat analisis lengkap terhadap sebuah bahasa bertekanan bunyi membutuhkan waktu dua puluh sampai tiga puluh tahun. Papa bekerja bertahun-tahun dengan sangat rinci untuk membuat kamus bahasa Fayu.
Sebagai anak-anak, kami tidak memusingkan hal tersebut. Kalau teman kami tidak mengerti sesuatu, kami akan menggunakan tangan dan kaki untuk menerangkannya. Jika kami ingin mengatakan sesuatu yang ddak ada dalam kosakata bahasa Fayu, kami ajarkan saja bahasa Indonesianya. Masalah terpecahkan.
Bersama dengan bahasa, kami juga menyerap budaya Fayu. Papa mengajarkan kami untuk menghormati budaya mereka dan menyesuaikan diri. Kami beradaptasi lebih baik dari perkiraan orang tua kami. Sampai hari ini, banyak pemikiran dan tingkah laku suku Fayu yang tetap ada dalam diriku. Reaksiku pada situasi tertentu tetap berbeda dari orang Eropa lainnya.
Misalnya mengenai teriakan. Awalnya aku kaget mengetahui bahwa orang saling berteriak jika sedang marah. Di hutan, orang hanya berteriak dalam pertaruhan hidup-mati, yaitu saat Anda hendak membunuh atau dibunuh. Di sini, aku tiba-tiba diteriaki karena mengucapkan sesuatu yang salah. Pada situasi semacam itu, rasa panik dan takut bangkit dalam diriku, walaupun hidupku tidak sedang terancam.
Bab 24 TARZAN DAN JANE Suatu hari, Christian berlari mendatangiku dengan riang. Ia mengaku telah menemukan sesuatu yang paling asyik. Matanya berbinar dan senyum bangga menyelimuti wajahnya. Aku memandangnya tak yakin. Dunia kami di hutan mempunyai batas-batas geografis yang sempit, terbentang dari sungai Klihi sampai ke ujung semak belukar dan turun ke desa Fayu. Apa yang ia temukan, yang belum aku ketahui?
Aku ikuti Christian sambil terheran-heran, ketika ia mengambil jalan berputar menuju hutan. Di pinggir semak belukar, ia melempar pandangan ke rumah untuk memastikan tak ada yang melihat. Papa dan Mama tidak pernah terang-terangan melarang kami masuk hutan, tetapi larangan sudah jelas. Kami secara naluriah mematuhi peraturan tidak tertulis itu bertahun-tahun karena kami tahu batas-batas kami. Hutan terlalu berbahaya, apalagi bagi anak-anak. Namun hari ini kami abaikan peraturan itu. Dengan perasaan berdebar-debar aku ikuti Christian ke wilayah yang belum pernah kami jelajahi.
Aku suka sekali hutan belantara berusia ribuan tahun yang lebat dan misterius ini. Sesuatu yang magis terasa ketika kami menyeberang dari tempat terbuka di sekitar rumah ke daerah hutan tropis yang rimbun. Rasanya seperti melangkah ke dunia lain. Di luar, matahari menyengat, panasnya mencapai lebih dari seratus derajat Fahrenheit dengan kelembapan sembilan puluh persen. Namun di bawah naungan pepohonan, udara yang lebih sejuk menyelimutiku. Suasana begitu hening. Hanya suara lirih serangga yang terdengar di sana-sini.
Bau udara hutan bahkan berbeda dari udara di luar. Lebih harum, penuh aroma bunga dan tumbuhan yang eksotis. Segarnya udara kadang-kadang diselingi bau tumbuhan yang membusuk dan bau rawa. Anehnya, bau ini tidak terasa mengganggu. Bau lembap bercampur dengan keharuman, bagai dua hal berlawanan yang harmonis dalam suatu orkestra.
Aku memandang ke sekeliling. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna hijau. Pakis-pakisan hijau menutupi tanah. Tunas-tunas pohon muda menyembul dari antara pakis-pakisan, berusaha menggapai pancaran sinar matahari. Namun tunas-tunas itu tampak kerdil di antara pohon-pohon raksasa yang menjulang sangat tinggi hingga puncaknya tak terlihat. Makhluk kokoh ini mempunyai sistem akar luar biasa yang mencuat keluar dari dasar hutan, mirip cacing purba. Pemandangan itu tak terlupakan.
Suara Christian menyadarkanku dari khayal. Ia menunjukkan padaku jejak kecil yang ia temukan?seperti jejak babi hutan. Ketika kami ikuti arahnya yang berbelok, aku merasa kami seakan diawasi. Tanaman tampak seakan hendak mencengkeram kami. Perasaanku tidak enak ketika aku ingat betapa mudahnya orang tersesat di hutan.
Aku tetap berada di dekat Christian yang kelihatannya menguasai jalan. Setelah beberapa menit, aku melihat sinar terang di antara tumbuhan pakis di depan. Beberapa berkas sinar matahari menerobos ke dasar tanah yang hitam. Tiba-tiba setelah semak belukar, aku melihat sebuah tempat terbuka. Aku berdiri kagum dengan mulut menganga.
Di Foida, kami tinggal di ujung rawa, tidak begitu jauh dari sebuah pegunungan kecil. Lembah dan ngarai tersebar, dan itulah yang terhampar di hadapan kami sekarang. Tanah yang bergelombang menghasilkan permukaan tanah yang bertingkat-tingkat.
Namun bukan itu yang menarik mataku, melainkan sesuatu yang hanya pernah kulihat sekali di danau Bira. Dari pepohonan yang menjulang tinggi bergelantungan ratusan sulur tebal berwarna cokelat. Sulur itu berasal dari atas, tinggi sekali sehingga tidak terlihat titik asalnya. Christian dan aku berpandangan. Senyum lebar tergambar di wajah kami yang kotor. Kami selalu yakin bahwa kami adalah kerabat jauh Tarzan. Inilah kesempatan untuk membuktikannya.
Kami mendaki bukit kecil itu bersemangat. Kugenggam erat sulur itu, dan dengan sebuah teriakan yang bias membuat Tarzan iri, berayun menuruni bukit. Angin menerpa rambutku dan segala yang hijau di sekelilingku kelihatan kabur. Aku melayang di udara selama beberapa detik sebelum berayun kembali ke tempatku semula. Berayun dengan sulur sangat mengagumkan.
Setelah percobaan ini berlangsung sukses, kulepaskan sulur tersebut dan berdiri di tanah yang keras. Selanjutnya giliran Christian. Ia mengawali dengan berlari, dan ternyata ayunannya lebih jauh dariku. Setelah merasa berpengalaman, kami pun memutuskan untuk berayun bersama. Aku memilih satu dari ratusan sulur yang seakan sedang menunggu penumpang. Lalu aku menemukan sesuatu yang mungkin tidak diketahui pengarang cerita Tarzan. Tidak semua sulur menempel kuat pada pohonnya.
Aku menggenggam sulur erat-erat dan mengambil awalan mundur sejauh-jauhnya. Setelah berlari kencang menuju tepi daratan yang bergelombang, aku melompat ke udara. Tak lama kemudian terdengar suara yang menakutkan. Sulur itu putus dari pohon, dan aku terjerembap di semak belukar.
Suasana hening beberapa saat, lalu tawa Christian meledak. Aku bangkit, berlumur lumpur dari kepala hingga kaki. Daun dan rerumputan menyembul keluar dari rambut pirangku. Bahkan aku sendiri tertawa. Setelah memeriksa keadaanku, aku mendaki bukit itu kembali untuk mencoba lagi.
Kali ini lebih dulu kuperiksa dengan teliti apakah sulur tersebut cukup kuat, sebelum Christian dan aku berayun bersama. Pertama kami berdiskusi panjang lebar tentang siapa yang jadi Tarzan atau Jane. Kami berdua ingin jadi Tarzan. Namun Christian bersikukuh, karena aku wanita, akulah yang menjadi Jane. Aku buru-buru menjawab agak konyol bila Jane lebih besar dari Tarzan. Lagipula, sebagai yang lebih tua, tentunya aku berhak jadi Tarzan. Akhirnya kami memutuskan untuk mengubah cerita. Aku menjadi Tarzan dan Christian menjadi adik Tarzan yang telah lama hilang, yang lupa disebutkan dalam cerita.
Kami pegang erat sulur yang tebal dan melompat. Malangnya, walaupun kami sudah berhati-hati, sulur itu juga tidak kokoh. Lagi-lagi kami terjerembap sambil tertawa cekikikan. Sekarang kami berdua berlumuran lumpur, tapi tidak terluka. Bila ada yang melihat, kami pasd disangka orang Fayu.
Baru saja kami akan mendaki bukit untuk mencoba lagi, muncul seseorang dari hutan. Ternyata Nakire yang datang untuk membawa kami pulang. Rupanya orang Fayu telah membocorkan rahasia. Namun kami terlalu gembira sehingga tak risau. Kami telah merasakan sebuah pengalaman hebat.
Sejak kejadian hari itu, peraturan tak tertulis tentang larangan berkeliaran di hutan tanpa seizin orang tua kini menjadi hukum yang tegas. Kami mematuhinya karena sadar bahwa hutan bisa menjadi tempat yang berbahaya, sekalipun hampir sama menyenangkannya dengan taman rekreasi.
Bab 25 KOLEKSI BINATANG, BAGIAN KEDUA
Orang Fayu merasa senang dan kagum karena dapat menukar segala jenis binatang dengan pisau dan mata kail kepada orang kulit putih. Lebih menyenangkan lagi karena orang kulit putih kadang-kadang langsung melepaskan kembali binatang-binatang itu.
Baru-baru ini, seorang Fayu pulang berburu dengan membawa seekor burung kakaktua kecil. Aku langsung jatuh cinta dan merasa harus memilikinya. Namun ada masalah. Nama masalah itu Mama.
"Sabine, Mama sudah tak tahan dengan koleksimu. Sudah cukup banyak," katanya baru-baru ini. Kelelawar kesayanganku mati ketika itu. Aku menguburkannya dengan sangat dramatis, disertai cucuran air mata. Lalu aku mulai menyebut-nyebut soal mencari gandnya. Saat itulah Mama menegaskan aturannya. Namun burung kakaktua ini begitu menggemaskan. Kukira Mama pun pasti tidak bisa menyangkal pesonanya. Sayangnya aku salah.
"Tidak! Tidak! Tidak!" tegasnya. "Tidak ada binatang lagi" Rupanya pagi itu kanguru pohon judith, Fifi, meninggalkan "hadiah" kecil di tempat tidur Mama.
Foto 55 : Klansu Bosa dan dua anak burung Rangkong
Sungguh kebetulan. Tapi itu kan bukan salahku. Air mataku mengalir, tetapi Mama tetap pada pendiriannya. Seperti yang sudah-sudah, tangis tak mempan terhadap Mama.
Aku duduk sedih di tangga luar dengan burung kakaktua di tangan. Aku sudah menamainya Bobby. Ia bertengger sambil memandangku dengan matanya yang besar dan penasaran, seakan turut merasakan kesedihanku. Christian membawakan buah kwa yang kemudian dilahap Bobby. Lalu tibalah saatnya untuk melepaskannya.
"Hidup memang sulit," kata Mama tanpa belas kasihan sambil masuk ke rumah. Aku memandang kesal. Dengan berat hati kulepaskan tali pada kaki Bobby, Aku letakkan burung itu pada sebatang dahan. Ketika ia terbang, aku kembali menangis. Hati terasa hancur. Hidup begitu tidak adil. Kehilangan seekor kakaktua yang cantik adalah sebuah tragedi.
Esoknya aku bangun pagi-pagi sekali dan keluar untuk mencari buah kwa untuk sarapan. Aku duduk di tangga dan mulai makan ketika mendengar bunyi kepak sayap di sebelahku. Ternyata itu Bobby yang sedang menatap rakus ke arah sarapanku. Aku hampir tidak percaya. Bobby kembali kepadaku atas kemauannya sendiri, tanpa tali dan tanpa izin Mama. Inilah awal persahabatanku dengan burung kecil yang aneh tapi cerdik itu.
Bobby tinggal di sekitar rumah dan selalu kuberi makan. Ia menghibur kami dengan tingkahnya yang lucu. Tak lama kemudian, ia belajar mengucapkan beberapa kata. Mama tidak hirau akan Bobby karena ia memang bukan binatang peliharaan. Namun, kelihatannya Bobby tahu Mama tidak suka padanya sejak awal. Bobby pun membuat kesal mamaku dengan tingkahnya.
Ulah Bobby diawali pada suatu hari dengan cucian. Mama mencuci pakaian kami di sungai sekali atau dua kali seminggu. Lalu ia menjemurnya pada tali jemuran di belakang rumah. Bobby suka hinggap di tali jemuran itu. Mama memang ridak keberatan. Namun, suatu hari kami mendengarnya marah-marah, "Siapa yang melakukan ini?"
Penasaran, kami berlari ke belakang rumah. Seluruh cucian yang telah Mama gantung pagi itu tergeletak di tanah, jepitan jemuran berserakan. Seperti biasa, ia selalu melirik kepadaku lebih dulu. "Sabine," katanya tegas, "Kok bisa-bisanya sih kamu...?"
Aku menggeleng tersinggung. "Aku tidak akan pernah berbuat seperti itu!" Kali ini, aku sungguh-sungguh. Tak ada seorang pun yang mengaku, dan Mama tak punya pilihan lain selain mencucinya kembali. Beberapa hari kemudian, hal yang sama terjadi lagi. Namun kali ini Mama sudah lebih waspada untuk menangkap basah si penjahat. Ternyata penjahatnya Bobby. Ia dengan riang mematuk jepitan jemuran dan menjatuhkannya ke tanah. Mama mengamuk, tetapi Bobby cepat-cepat terbang. Lalu burung itu berceloteh dari atas pohon yang tinggi.
Perseteruan selanjutnya berkisar tentang tidur siang. Mama sering berbaring saat hari sedang panas-panasnya, dan kami tidak akan mengganggunya. Namun Bobby punya pendapat lain. Kelihatannya ia suka sekali bertengger di dekat jendela kamar Mama dan berteriak sekeras-kerasnya. Waktu Mama lari ke luar, ia sudah menghilang.
Mama bersabar untuk beberapa minggu, kemudian menunjukkan kepada Bobby siapa yang berkuasa. Sebelum tidur siang, ia mengambil seember air dan menaruhnya di dekat jendela. Belum sempat Bobby memulai konser siangnya, Mama menyiramkan air ke atas kepalanya. Tidur siang pun bisa berlanjut dengan tenang, paling tidak untuk sementara.
Suatu hari, cara ini tidak lagi berhasil. Seperti biasa, seember air sudah ada di dekat jendela. Mama berbaring dan menunggu Bobby membuat gaduh. Begitu mendengar bunyi pertama, ia mengambil ember tersebut dan menyiramkan isinya ke luar jendela. Namun kali ini yang terdengar adalah kor teriakan, bukan koak burung yang tersiram air. Mama melihat keluar dengan heran. Tepat di bawah jendela, duduk Papa dengan seorang prajurit Fayu yang datang untuk mengadakan barter.
Papa lari ke dalam rumah dan berteriak, "Apa yang kamu lakukan? Apa kamu tidak tahu orang itu salah satu prajurit yang paling berbahaya?"
Mama memang terkejut, tapi tidak menunjukkannya pada Papa. Ia berkata dingin, "Dari mana aku tahu? Apakah ia memakai tanda aku prajurit berbahaya, jangan menyiramkan air ke kepalaku?? Lagipula aku tidak melihatmu. Aku sedang fokus ke burung kakaktua."
Papa melunak, "Ya, sebaiknya kamu minta maaf. Pikirkanlah caranya." Papa kembali keluar untuk menemui orang Fayu yang masih agak marah itu.
Aku memandang Mama gelisah dan berbisik, "Apa yang akan Mama lakukan sekarang?"
"Lihat saja," jawabnya sambil mengambil handuk besar Papa dan beberapa barang lainnya. Mama keluar dan masih kesal karena Papa telah membentaknya.
Prajurit itu duduk di dekat api dan memandang Mama dengan kesal. Mama menyatukan kedua telapak tangannya, menggerakkannya ke atas dan ke bawah sambil membungkuk berkali-kali. Mama sering melihat orang Fayu melakukan hal ini bila mereka hendak meminta maaf. Lalu ia mengambil handuk Papa dan mengeringkan kepala prajurit itu. Dengan suasana hati yang sudah lebih baik ia mengambil handuk dan benda-benda lain yang Mama bawakan. Papa tidak begitu senang akan hal ini, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ya," kata Mama ketus, "tamat sudah riwayat handukmu." Kami geli melihat ekspresi Papa ketika Mama berbalik dan masuk rumah.
Bertahun-tahun kemudian, ketika Bobby menghilang ke hutan dan tidak kembali, Mama bersedih. Bobby sering membuat kami tertawa dan memperkaya hidupku dengan bermacam cara.
Bab 26 MALARIA DAN PENYAKIT LAINNYA
Bila aku bercerita tentang hidup di hutan, orang pasti bertanya?terutama orang tua? bagaimana kami bisa bertahan tanpa dokter dan rumah sakit. Sebagai anak, kami ridak pernah terpikir masalah itu, dan orang tuaku punya iman yang kuat. Baru sekarang aku sadar bahwa beberapa kejadian yang pernah kami alami ternyata nyaris membawa maut.
Di dunia Barat, anak-anak sering terserang flu, hidung mampet, batuk, dan penyakit lain yang mengganggu. Di hutan, kami tidak kena flu. Sebagai gantinya, malaria menjadi "teman" kami. Banyaknya nyamuk bak pasir di pantai. Kami sudah terbiasa dengan gigitan yang membuat gatal sehingga tidak terlalu memedulikannya. Namun, jika Anda digigit oleh nyamuk pembawa malaria, kemungkinan besar Anda akan terjangkit penyakit itu.
Malaria tidak muncul perlahan-lahan, tetapi menyerang seketika. Anda bangun pagi dengan perasaan sehat, sarapan seperti biasa, dan melakukan kegiatan sehari-hari. Tiba-tiba Anda merasa pusing. Kaki lemas dan rasa ingin muntah datang. Demam tinggi menyusul beberapa menit kemudian. Badan terasa terbakar sekalipun pakaian sudah ditanggalkan. Tak ada apa pun yang dapat menghentikan panasnya. Di benak Anda pun terbersit keinginan untuk dibenamkan dalam es.
Lap basah dingin yang ditaruh di kening hanya menolong sebentar. Panas berkurang sedikit dan Anda merasa lebih sejuk. Namun kemudian, panas tubuh terus turun. Anda akan merasa kedinginan; seluruh tubuh menggigil. Jadi Anda memakai baju hangat dan celana panjang, lalu meringkuk di bawah selimut tebal. Namun, tak ada apa pun yang dapat menolong. Tetap saja terasa sangat dingin. Anda mengambil sebotol air panas yang kiranya bisa sedikit membantu. Namun air panas tak pernah terasa cukup panas. Anda menambah satu selimut lagi, tetapi tetap tak menolong.
Akhirnya kehangatan menjalar lagi di tubuh Anda. Lama-lama terasa semakin panas. Selimut pun Anda lemparkan, begitu pula pakaian. Anda mulai berkeringat. Di mana lap basah tadi? Tubuh Anda terasa terbakar. Pusing. Muntah. Tak ada yang normal.
Kadang-kadang Anda mengigau. Kadang-kadang Anda berbaring saja karena terlalu lemah untuk bergerak. Anda yakin kematian telah dekat. Namun akhirnya segalanya menjadi lebih baik. Setelah beberapa hari, obat-obatan tak diperlukan lagi. Suhu tubuh menjadi stabil, nafsu makan kembali, sakit kepala berkurang. Malaria telah sembuh, hilang sampai masa wabah berikutnya.
Kenangan pertamaku tentang malaria sangat dramatis. Saat itu, kami sedang bermain seperti biasa ketika Christian tiba-tiba mengaku tidak enak badan. Setengah jam kemudian, ia sudah terbaring karena malaria. Mama merawatnya, sedangkan aku dan Judith terus bermain. Pada sore hari, Judith kelihatan pucat. Beberapa menit kemudian, ia juga terbaring di tempat tidur.
Malaria. Papa dan aku makan malam bersama dan bersiap untuk tidur. Mama berlari bolak-balik antara Judith dan Christian yang kedinginan dan kepanasan secara bergantian. Judith mengigau, Christian muntah. Papa tidur di tempat tidur Judith supaya Christian dan Judith bisa tidur dengan Mama.
Malam sudah larut sebelum aku tertidur. Namun, setelah beberapa jam, Mama membangunkanku karena membutuhkan pertolongan. Papa berbaring di tempat tidur Judith berbalut selimut dan jaket. Mama tak perlu menerangkan lagi.
Kami merawat mereka. Namun, tak lama kemudian, aku perhatikan gerakan Mama menjadi lebih lambat dan berat. Ia beristirahat lebih lama dengan bersandar di dinding. "Apakah Mama baik-baik saja?" tanyaku.
"Aku baik-baik saja," jawab Mama. Namun sangat jelas bahwa perkataannya tidak benar. Keringatnya membanjir. Ketika pagi perlahan tiba, aku benar-benar khawatir. Mama akhirnya roboh. Sekujur tubuhnya menggigil. Kini aku benar-benar sendiri. Aku berlari bolak-balik di antara tempat tidur, mengambil lap basah dan selimut yang dapat aku temukan, mengosongkan ember dan membawanya kembali.
Tidak lama kemudian, malaria juga menyerangku. Aku menyeret tubuhku ke Papa dan mengatakan kepadanya bahwa aku tidak enak badan. Lalu aku roboh di tempat tidur. Beberapa jam kemudian, Papa mampu menyeret tubuhnya ke radio dan menghubungi Danau Bira untuk meminta pertolongan. Dalam waktu setengah jam, helikopter (untung saja saat itu bisa terbang) meluncur ke desa kami. Kami pun mendapatkan perawatan dari teman dan tetangga ketika tiba di danau Bira.
Yang lain lambat laun sembuh, tetapi ada sesuatu yang salah denganku. Sakitku tambah parah. Demamku tidak kunjung turun. Aku memohon agar diberi sebotol air panas. Mama membungkusnya dengan handuk dan meletakkannya di dadaku. Tetap saja kurang panas. Karena itu, ketika Mama meninggalkan kamar, aku lepaskan handuk pembungkus. Setengah jam kemudian, Mama datang menengokku. Ia melihat handuknya tergeletak di sebelahku, dan dengan sangat terkejut menarik selimut dari tubuhku serta menjauhkan botol air panas tersebut. Terlambat sudah. Dadaku melepuh karena panas yang amat sangat, tetapi tidak kurasakan karena aku terlalu kedinginan.
Seorang perawat berkebangsaan Amerika memeriksaku dan membisikkan sesuatu kepada Papa. Air mata tampak di mata Papa, lalu ia bersimpuh dan berdoa. Aku tidak dapat mengerti semua itu, dan tak lama kemudian pandanganku menjadi gelap.
Ketika kembali bangun, aku merasakan sesuatu yang keras di bawahku. Kepalaku serasa di atas batu. Aku berada di lembah yang gelap dengan cahaya di kejauhan.
"Mama, tempat tidurnya keras sekali. Tolong beri aku bantal," teriakku sekuatnya. Yang terucap hanyalah bisik lemah. Aku mendengar jawaban Mama sayup, "Sayang, kamu sudah pakai bantal empuk."
"Tolong aku Mama. Kemarilah," bisikku putus asa.
"Aku di sini. Aku di sini," kata Mama berulang kali.
Ia pasti sama putus asanya denganku. Lalu segalanya menjadi gelap kembali.
Papa dan Mama berdiri di dekat tempat tidurku, berpegangan tangan sambil menangis. Perawat mengaku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untukku. Malam ini adalah penentuan apakah aku akan hidup atau mati. Namun belum waktuku untuk berpulang. Esoknya aku bangun; matahari bersinar, dan nafsu makanku kembali.
Belakangan Mama baru bercerita bahwa saat itu aku hampir meninggal. Ia dan Papa tidak tidur semalaman untuk mendampingiku dan berdoa.
Ternyata bukan hanya malaria yang menyerang kami. Kelihatannya kami juga terjangkit semacam virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Karena itulah malaria menyerang kami semua sekaligus.
Kami sering terserang malaria dalam beberapa tahun. Aku bahkan pernah terkena penyakit hepatitis. Namun, serangan malaria semakin berkurang karena tubuh kami membentuk semacam ketahanan. Aku belum pernah terkena penyakit itu lagi sejak kembali ke Eropa. Secara medis, aku sekarang sudah bebas malaria.
Kami lebih sering lagi menderita infeksi daripada malaria. Kadang gigitan nyamuk biasa atau goresan kecil saja bisa menimbulkan masalah. Infeksi dapat berkembang parah dalam semalam dan butuh berhari-hari untuk disembuhkan. Syukurlah infeksi tidak sampai mengancam nyawa kami, namun tetap menjadi gangguan yang terus ada.
Ketika kami masih kecil, setiap malam Mama memeriksa goresan di tubuh kami. Ketika kami mulai besar, hal itu kami kerjakan sendiri, sekalipun tidak seteliti Mama. Akibatnya, tentu saja esoknya kami mengalami infeksi yang harus diobati setiap beberapa jam.
Pernah suatu kali, aku bangun dengan rasa sakit di lutut, tapi aku abaikan. Hari baru menantiku dan aku tidak mau terganggu oleh rasa sakit yang tak berarti. Aku bangkit dari tempat tidur, sarapan, menyelesaikan tugas sekolah sekenanya, kemudian lari ke luar untuk bermain. Namun, sakit di lutut semakin parah. Tak lama kemudian, aku merasa lututku bergetar, seperti baru dipukul dengan palu.
Ketika aku tak lagi bisa berlari, aku merangkak menghampiri Mama. Disuruhnya aku menunggu sebentar. Aku duduk di bangku kayu di dapur dan memeriksa lukaku. Luka mirip bekas gigitan nyamuk yang mengalami infeksi itu tampaknya semakin parah. Yang sangat menarik, terlihat lima garis merah menyebar ke segala arah dari asal gigitan. Mengagumkan, pikirku sambil terus memerhatikan.
Mama sangat khawatir ketika memeriksaku tak lama kemudian. Saat itu juga disuruhnya aku berbaring. Katanya aku mengalangi keracunan darah. Sangat berbahaya jika garis merah itu sampai ke jantungku. Mama sengaja mendramatisir, tetapi aku tidak menyadarinya. Garis-garis merah itu bergerak lebih lambat dari seekor siput dan aku mulai bosan berbaring di tempat tidur. Berkat antibiotik, tak lama kemudian aku dapat bermain kembali.
Aku sangat abai terhadap kesehatanku sendiri. Luka dalam sekalipun tak aku indahkan. Beberapa kali aku secara tak sengaja terluka oleh pisau. Aku hanya membersihkan dan membalutnya sekenanya. Yang lebih aku pikirkan adalah kembali bermain.
Aku jarang sekali memakai sepatu. Karena telapak kaki perlu waktu lama untuk kapalan, awalnya kakiku sering terluka. Akibatnya, aku selalu mengalami infeksi di sekitar jempol kaki. Mama kesal karena aku berlari ke sana kemari dengan perban kotor membalut kakiku. Seharusnya aku memakai sepatu untuk menutupinya, tetapi aku begitu tak peduli. Aku terlalu sibuk untuk sekadar risau.
Jadi, suatu hari Mama mengatakan kepadaku dengan ekspresi wajah serius bahwa semua jari kakiku akan copot kalau aku terus begitu. Lalu aku akan menjadi cacat seumur hidup. Namun, mengapa pula aku harus takut? Siapa yang akan melihatku selain orang Fayu? Mereka juga banyak mengalami cacat. Sebaliknya, aku tak mempermasalahkan bekas luka atau mungkin beberapa jari kaki yang hilang. Dengan begitu aku bahkan bisa mengarang cerita seru tentang seekor buaya yang telah menggigit jari kakiku.
Namun, yang benar-benar membuatku khawatir adalah kurap, sejenis jamur kulit yang dapat menyebar ke seluruh tubuh. Wanita Fayu lebih mudah terserang kurap dibandingkan laki-laki. Hal ini membuatku bertambah resah. Tak lama aku merasakan gatal di tanganku padahal tak terlihat bekas gigitan serangga. Esoknya, aku memerhatikan lebih saksama dan menemukan kulit yang memerah. Aku berlari sambil menangis menghampiri Mama, menyangka diriku akan berubah bentuk untuk selamanya. Payahnya, kurap sangat membosankan karena tidak bisa jadi cerita seru. Selain itu, gatalnya setengah mati. Mama menenangkanku dan mengoleskan krim setiap pagi dan malam sampai sembuh. Aku sangat lega.
Apa pun penyakit yang kami derita, apa pun yang terjadi pada kami, Mama selalu dapat diandalkan untuk mencari jalan keluarnya. Keyakinan ini menenangkan kami ketika menjalani masa kanak-kanak di hutan. Mama juga berusaha membagi pengetahuannya kepada orang Fayu.
Bab 27 BELAJAR MEMAAFKAN Sekali lagi kami menerima sepotong ekor buaya yang lezat. Papa menukarnya dengan sebuah panci. Ekor buaya tersebut diasap seperti biasa di atas api di belakang rumah. Prosesnya masih butuh waktu beberapa jam lagi, tetapi kami sudah berliur menantinya.
Mama berada di belakang rumah dan kebetulan melihat ke luar jendela. Ketika melihat ke arah daging yang sedang dimasak, ia melihat anak Ketua Baou, Isori, keluar dari pepohonan, mengawasi sekelilingnya, dan mengendap-endap mendekati api. Ia tidak sadar Mama sedang memerhatikannya dari jendela. Setelah mengambil sepotong daging, ia berbalik untuk lari.
"Hei!" teriak Mama. Isori menoleh ke sekeliling dengan heran. Segera ia letakkan kembali daging itu dan lari ke hutan.
Seketika itu juga semua orang tahu tentang percobaan pencurian itu. Kami bisa mendengar teriakan kemarahan Ketua Baou dari jarak tiga ratus meter. Menurut adat Fayu, Papa berhak membunuh Isori untuk balas dendam. Ketua
Foto Christian dan aku bersama Ketua Baou (kiri) dan Ohri (kanan)
Baou mengkhawatirkan anaknya. Terbayang olehnya anak laki-lakinya mati.
Keluarga kami duduk mengelilingi meja dapur untuk membahas cara menangani hal ini. Akhirnya Mama berkata, "Klaus, kamu tahu kail, dalam Alkitab disebutkan, apabila seseorang mengambil sesuatu darimu dengan cara yang tidak benar, balaslah ia dengan kebaikan dan berilah ia sesuatu yang lebih. Mengapa kamu tidak membawakannya potongan daging buaya ini dan memberitahunya bahwa kita tidak marah?"
Kami semua mengangguk setuju mendengar gagasan ini. Seorang Fayu datang dan memberi tahu bahwa Isori bersembunyi di hutan. Anak itu panik dan takut membayangkan apa yang akan Papa atau ayahnya sendiri perbuat kepadanya.
Papa membawa daging itu dan pergi mencarinya. Aku mengikuti di belakang. Kami berjalan melalui jalan setapak menuju gubuk Ketua Baou. Seluruh keluarga sedang duduk di sana. Kedatangan kami menambah kegundahan mereka. Papa bertanya kepada Ketua Baou mengenai keberadaan anaknya sambil menjelaskan bahwa ia ingin bicara dengan anak itu. Aku melihat wajah Ketua; tak pernah kulihat orang yang berkuasa itu terlihat begitu lemah.
Ketua Baou memanggil anaknya. Seketika anak itu keluar dari semak sambil gemetar ketakutan. Papa menghampirinya perlahan dan melakukan sesuatu yang tak terbayangkan. Ia memegang tangan Isori dan berkata kepadanya bahwa ia tidak marah. Sebagai buktinya, ia membawakan daging lezat itu sebagai hadiah. Isori mengambilnya dengan kebingungan dan langsung menghilang kembali ke hutan.
Saat itu, sesuatu berubah di hati Ketua Baou, orang yang dikenal akan kekejamannya. Ia tidak pernah memberi atau menerima belas kasihan atau maaf. Apa yang dilakukan orang kulit putih itu sama sekali tidak terbayangkan olehnya. Peristiwa inilah yang membuka jalan bagi Ketua Baou untuk menjadi pembawa perdamaian. Ia memandang Papa dengan air mata menggantung di kedua matanya. Tak ada yang berkata-kata.
Ketika kami kembali ke rumah, aku menyelami hati Papa dan makin memahami apa yang telah mendorongnya untuk bekerja di tengah orang Fayu. Ia selalu mengajari kami bahwa kasih lebih kuat daripada kebencian. Inilah kebenaran yang tak dapat diajarkan hanya dengan kata-kata, tetapi harus dijalani. Teladan kamilah yang dapat mengubah hati orang-orang ini. Ketika aku berjalan membuntutinya, aku sadar baru saja menyaksikan peristiwa yang istimewa. Tindakan kecil, memang. Namun, bagi orang-orang yang terlupakan, yang kebencian sudah mendarah daging dalam dirinya, hal itu adalah satu langkah maju menuju jalan baru?jalan menuju kedamaian.
Banyak langkah yang salah di sepanjang perjalanan ini. Maaf dan perdamaian tidak dapat dipelajari dalam sehari. Namun, kini orang Fayu sudah hidup dalam kedamaian. Konflik-konflik yang tersisa adalah konflik kecil yang biasa dialami manusia. Mereka telah belajar menyikapi perbedaan dengan cara damai, mencari solusi bersama daripada kekerasan. Hal ini tak selalu mudah. Pada saat-saat tertentu, mereka dan kami merasa putus asa dan kecil hati. Tapi, tak ada yang menyerah. Mereka adalah manusia yang dipersatukan oleh tujuan yang sama, dan mereka berjuang bersama untuk mencapainya.
Insiden daging ini bukan kali terakhir orang Fayu mencuri dari kami. Setiap kali kami kembali dari Danau Bira, alat-alat rumah tangga pasti hilang. Hal ini menyulitkan Mama dan Papa. Mencari penggantinya di hutan sangat mahal, atau bahkan sering kali mustahil. Kami berharap orang Fayu berubah. Namun harapan itu sirna setiap kali kami kembali dari Danau Bira. Perubahan belum juga tiba, namun orang tuaku tetap bertahan.
Pencurian terkadang punya sisi kelucuan juga. Kami geli melihat seorang ketua suku mondar-mandir sambil mengenakan celana dalam besar milik Mama, atau memakai rok dalam Mama sebagai topi. Mereka juga suka sekali mencuri paku dari kotak perkakas Papa. Karena orang Fayu tidak punya palu besi, Papa selalu bingung, apa yang bisa mereka perbuat dengan paku itu. Lalu suatu hari Papa melihat bahwa paku-paku itu dipakai sebagai perhiasan di hidung.
Tak lama sesudah kejadian dengan Isori, Papa kembali dari Kordesi, tempat ia menerima paket barang-barang kebutuhan yang dikirim dengan perahu. Di antara kiriman itu ada sebuah ember plastik biru untuk Mama. Kami membutuhkannya untuk mengambil air, mencuci pakaian, segala macam pekerjaan bersih-bersih, serta berbagai pekerjaan lainnya. Ember kami sudah rusak dan Mama sangat menanti-nantikan benda ini.
Seorang pemuda Fayu mendatangi perahu dan mulai meminta sebilah pisau dengan memaksa. Papa berkata kepadanya bahwa ia tidak punya dan harus menunggu kiriman berikutnya. Percakapan ini berlangsung beberapa menit, dan pemuda itu beranjak pergi dengan marah. Ketika melangkah, ia mengambil batu, berbalik, dan melemparkannya sekuat tenaga ke Papa. Batu itu tidak mengenainya (Puji Tuhan!), tetapi menghantam ember baru hingga berlubang. Papa kehilangan kesabaran mengingat betapa Mama membutuhkannya dan betapa ia telah susah-payah memesannya. Dengan penuh amarah, ia lari menuju penyerangnya, dan kejar-kejaran pun terjadi.
Saat berlari kencang, Papa melihat bahwa semua orang Fayu sedang mengamatinya. Mereka seperti berpikir, lihatlah si Klausu. Dia belum pernah semarah itu. Sebentar lagi pasti dia meledak. Ketika berhasil menangkap pemuda itu, hati Papa tiba-tiba berubah. Kemarahan menghilang dan digantikan oleh kedamaian. Belakangan Papa menceritakan kepadaku bahwa peristiwa itu adalah hadiah dari Tuhan. Saat itulah ia memahami hakikat dari memaafkan.
Ketika menangkap pemuda itu, Papa merangkulnya dan saling menggosokkan kening sebagai tanda persahabatan ala suku Fayu. Orang Fayu lainnya mengamati dengan heran. Sekali lagi mereka dihadapkan pada konsep asing tentang saling memaafkan.
Aku berdiri di sebelah Christian selama kehebohan ini terjadi dan terus teringat pada Mama yang malang tanpa embernya.
"Untung bukan kau yang memecahkan embernya. Kau pasti akan mengalami kesulitan lebih dari orang Fayu itu," komentar Christian. Aku mengangguk lega karena kali in i bukan aku tersangkanya.
Sulit menggambarkan pentingnya sebuah ember di hutan, khususnya kepada orang yang hidup di dunia di mana segala sesuatunya mudah diganti. Di Barat, ember ya ember. Namun bayangkan Anda hidup di hutan dan drum-drum air hujan telah kering. Tidak ada air untuk mandi. Anda tidak dapat menyiram toilet dan harus mengambil air dari sungai. Belum lagi harus mencuci baju kotor dan membersihkan ubi di sungai. Bayangkan mengerjakan semua itu tanpa ember atau wadah apa saja yang agak besar. Anda akan sadar betapa pentingnya benda itu untuk kami. Ember itu telah pecah sebelum dipakai.
Foto 57 : Papa saling menggosokkan dahi
dengan Nakire sebagai tanda persahabatan
Mama sekali lagi harus kreatif mencari jalan keluar untuk aktivitas sehari-hari.
Hal ini tidak mudah bagi mamaku yang besar di Jerman dan tidak biasa hidup seperti ini. Aku mengaguminya dan sangat menghormati kemampuannya dalam mengelola kehidupan kami di tengah keadaan yang begitu sulit.
Mama tak pernah marah atau frustrasi bila sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ia mencoba mencari jalan lain. Pencurian yang terus terjadi pasti cukup menyusahkan pada tahun-tahun tersebut. Namun, Mama tak pernah mendendam.
Sebagai usaha untuk mencegah pencurian, sekali waktu Papa pernah mencoba membangun dinding tipuan untuk membuat sebuah tempat rahasia di rumah kami. Kami kumpulkan semua barang yang tidak kami bawa ke Danau Bira, memasukkannya ke dalam beberapa drum, dan menyembunyikannya di balik dinding tersebut.
Namun, ketika kami kembali, dinding telah dibobol dan segalanya hilang. Seprai, pakaian, pisau, piring, handuk, sabun?semuanya lenyap. Mama dan Papa begitu patah semangat, tidak tahu harus berbuat apa. Kami semua duduk mengelilingi meja, saling pandang dalam keheningan.
Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Papa membukanya dan melihat Tuare berdiri di sana. "Hai, Klausu, ikuti aku." Kami mengikutinya keluar dan melihat beberapa orang I yarike berdiri di sana. Mereka meminta kami menunggu, lalu menghilang ke dalam hutan. Ketika berdiri di sana, kami mendengar gemerisik di semak belukar. Kami terkejut melihat Nakire dan orang-orang itu menggelindingkan drum-drum kami dari dalam semak. Nakire dengan bangga menjelaskan bahwa ia telah menghalau pencuri yang datang ke rumah kami dan menyembunyikan drum-drum itu di hutan. Kami begitu tersentuh. Baru kali ini kami melihat mereka melakukan sesuatu di luar kebiasaan budayanya. Bagi kami ini adalah keajaiban kecil.
Seiring berjalannya waktu, pencurian perlahan berkurang. Suatu hari, tindakan itu bahkan berhenti sama sekali. Kami baru saja kembali dari Danau Bira ketika mendengar suara ramai di luar rumah. Kami keluar untuk melihat apa yang terjadi. Para pria dari keempat suku?Iyarike, Sefoidi, Tigre, dan Tearue?berdiri di luar.
Mereka berbaris di sepanjang tepi sungai dan menghampiri kami satu persatu. Dengan terheran-heran kami melihat mereka meletakkan semua benda yang pernah mereka curi di kaki Papa?panci, pakaian, pisau, sendok, kotak, mata kail, paku berkarat, dan lain-lain. Ketua Baou berdiri memimpin barisan.
Kebanyakan benda sudah rusak sehingga kami nyaris tidak dapat mengenalinya, apalagi menggunakannya. Namun kami merasa sangat bahagia. Saat seperti ini adalah saat istimewa untuk kami. Dipimpin Ketua Baou, orang Fayu telah membuat keputusan bersama untuk tidak mencuri lagi dari kami.
Bab 28 JUDITH TUMBUH DEWASA Keluarga kami tidak selalu berkumpul bersama. Suatu waktu helikopter datang untuk menjemput Mama yang harus berbelanja ke Jayapura. Kantong beras telah kosong, teh dan kopi hampir habis, dan sayuran kaleng tinggal sedikit. Jadi Mama pun pergi dan berjanji untuk membawakan kami hadiah. Kami melambaikan tangan dengan gembira dan memimpikan hadiah yang akan dibawanya.
Tak lama setelah keberangkatannya, aku bangun di tengah malam karena mendengar suara lirih. Di luar gelap gulita. Hanya ada sinar redup dari kamar mandi. Judith tidak ada di kamarnya. Melalui celah di tirai, aku dapat melihat Judith berlutut di lantai kamar mandi. Pasti ada masalah karena dia tidak pemah bangun tengah malam, apalagi untuk duduk di lantai kamar mandi.
Aku keluar dan berjingkat-jingkat ke tirai, "Judith," bisikku, "apakah kau baik-baik saja?" Terdengar isak yang tertahan. Karena khawatir, aku menerobos ke kamar mandi dan sangat terkejut melihat keadaan kakakku. Diterangi sinar lilin, aku melihat gaun tidurnya tergeletak di lantai, berlumuran darah. Air mata menggantung di pipinya ketika ia membersihkan lantai dengan handuk.
Tebakan pertamaku: gigitan ular! Namun kemudian aku curiga binatangnya pasti lebih besar, sebab darahnya terlalu banyak untuk gigiran ular.
"Apakah kau akan mati, Judith?" tanyaku dengan mata terbelalak. Judith menggelengkan kepala.
"Apakah kau kena pisau? Aku panggilkan Papa, ya?"
"Jangan!" teriaknya. Kami berdua meloncat kaget mendengar suaranya. Aku duduk di sebelahnya sambil mengamati darah dan berpikir. Barulah aku mengerti. Judith menderita kanker! Baru-baru ini Mama bercerita tentang penyakit ini kepada kami setelah salah seorang temannya meninggal karenanya. Aku terlalu sering mengganggu Judith akhir-akhir ini, sehingga ia terserang kanker. Kini ia mungkin akan mati dan itu semua salahku.
Aku mulai menangis. "Ini salahku " isakku, "aku selalu jahat padamu. Minggu lalu aku taruh cacing di bawah bantalmu, dan sekarang kau begitu marah sampai kena kanker. Aku pasti masuk neraka!" Aku begitu terkejut ketika Judith mulai tertawa geli. Apakah ia benar-benar sudah gila? Barangkali kanker telah sampai ke otaknya.
"Sabine," tawanya geli, "aku tidak kena kanker. Aku sedang haid."
"Apa itu?" tanyaku. Melihat banyaknya darah, itu pasti sesuatu yang berbahaya.
"Apakah kau tak pernah menyimak bila Mama menerangkan sesuatu?" tanya Judith kesal. "Kalau seorang anak perempuan menjadi dewasa dan tubuhnya siap untuk mengandung bayi, ia akan mengeluarkan darah setiap bulan selama beberapa hari."
"Apakah kau akan punya bayi sebentar lagi?" tanyaku bersemangat.
"Aku harap tidak!" bisik kakakku ketakutan.
"Besok Christian dan aku akan membangun sebuah gubuk di hutan untukmu seperti yang dilakukan orang Fayu." Karena Judith tidak punya suami, aku memutuskan untuk merawatnya bersama Christian.
"Tapi aku tak mau pergi sendiri ke hutan!" kata Judith.
"Harus!" "Mama tidak pergi ke hutan setiap bulan. Jadi kurasa aku juga tidak harus."
Aku harus memikirkannya dulu sejenak. Kenapa Mama tidak pergi ke hutan setiap bulan? Aku ingin sekali membangun sebuah gubuk dan ini adalah kesempatanku. Mama tidak ada dan Papa mudah dipengaruhi untuk melakukan sesuatu, apalagi menyangkut kesehatan kakakku!
Namun, pikiran lain kemudian muncul, "Judith, mengapa kau tidak bersuami saja?"
"Karena aku masih terlalu muda," jawabnya.
"Tapi kata Mama, anak perempuan Fayu diculik pada usia sembilan atau sepuluh tahun. Mengapa tidak ada yang menculikmu?"
"Karena aku bukan anak Fayu, dan di Jerman orang menikah pada umur yang lebih tua. Mama berusia dua puluh delapan tahun ketika menikah dengan Papa."
"Setua itu?" aku bertanya dengan rasa ngeri.
Judith tersenyum, "Lagipula, aku memang tidak mau menikah. Aku tak mau harus selalu bekerja, menyiapkan sagu, menjaga anak. Aku juga tidak mau punya buah dada yang besar." Aku setuju dengannya. Kedengarannya tidak terlalu menarik. "Aku juga tidak mau menikah," tekadku. "Aku akan tinggal di sebuah peternakan dan memelihara banyak binatang."
Judith hanya menarik napas. "Bisakah kau membantuku bersih-bersih?" akhirnya ia bertanya. Aku mengangguk. Bersama-sama kami menyelesaikannya dan memasang seprai baru.
"Selamat malam," bisikku melalui kelambuku.
"Terima kasih," Judith berbisik kembali.
Esok paginya Judith menolak untuk bangun. Ketika Papa memanggilnya untuk ketiga kalinya untuk sarapan, aku tidak tahan lagi menyimpan berita itu sendiri.
"Judith sedang haid," aku berbisik pada Papa.
Ia memandangku dengan mata membelalak ketika aku mengangguk untuk meyakinkannya. "Sekarang Christian dan harus membangun sebuah gubuk untuknya di hutan."
"Apakah ia akan mati?" tanya Christian penasaran.
'Tidak," Papa menghela napas. "Ia tidak akan meninggal, mudah-mudahan aku juga bisa bertahan hidup."
Foto 58 : Judith dan Christian sedang sarapan
Setelah sarapan, ia menggunakan radio. "Foida di sini, Foida di sini, kami dalam keadaan darurat. Aku harus menyampaikan pesan ke Jayapura."
"Foida, di sini Jayapura. Ada masalah apa?" jawaban bernada khawatir terdengar di radio. "Jim, aku harus bicara dengan istriku. Tolong sampaikan bahwa Judith sedang haid dan aku tidak tahu harus berbuat apa."
Teriakan bernada protes terdengar dari kamar. "Apakah Papa harus menceritakan kepada seluruh Irian Jaya bahwa aku sudah mulai haid?" Judith marah. "Itu bukan urusan siapa-siapa! Kalau aku mau berbaring di tempat tidur selama seminggu, itu urusanku!"
Aku bingung. Kenapa pula Judith harus bertingkah seperti itu. Papa yang kehabisan akal berdiri di dekat radio.
"Barangkali kami bisa membuatkanmu sebuah gubuk di hutan," Christian menawarkan pertolongan.
"Tidak!" Judith berteriak kembali dengan suara tinggi.
Betapa leganya hati kami ketika Mama pulang dua hari kemudian. Ia mengambil alih semua persoalan dan hidup tenang kembali.
Hubunganku dengan Judith berubah sejak itu. Hubungan kakak beradik kami menjadi baru. Walaupun aku tidak selalu bisa memahaminya, kesenjangan di antara kami berkurang. Judith baru saja menginjak usia dua belas tahun.
Bab 29 TEMANKU FAISA Ketika kami pertama kali mendatangi suku Fayu, hanya anak laki-laki yang mau bermain dengan kami. Anak perempuan sangat pemalu dan tidak mau ikut dalam permainan liar kegemaran kami. Seingatku, tak pernah sekalipun mereka bermain "buaya" di sungai atau berburu serangga dengan panah. Alasannya adalah budaya Fayu yang membedakan peran berdasarkan jenis kelamin.
Tapi, ada seorang anak perempuan Fayu, kira-kira sebayaku, yang senang berkumpul bersama kami dan memerhatikanku. Aku tidak ingat awal persahabatan kami atau siapa yang bicara lebih dulu. Namun, pada suatu saat, ia telah menjadi bagian dari hidupku. Namanya Faisa.
Faisa adalah gadis yang cantik. Matanya besar dan bening. Kulitnya mulus, tanpa kurap atau penyakit lainnya. Bila ia tersenyum, wajahnya mencerahkan hutan. Seiring bertambah seringnya kami bermain bersama, Faisa mulai mengajariku tugas-tugas wanita Fayu, misalnya cara membuat benang dari kulit pohon lalu menjalinnya menjadi jaring ikan. Atau, cara menggulung seekor binatang kecil dalam sagu dan memasaknya. Usai berenang, Faisa duduk di sebelahku di atas gelondongan kayu dan berjemur di bawah matahari. Kadang-kadang kami hanya duduk di dekat api unggun.
Ketika usia kami kira-kira sepuluh tahun, Faisa mencapai masa puber. Buah dadanya mulai membesar. Aku tahu pada tahap ini gadis-gadis Fayu sudah bisa diperistri, tapi aku tidak bisa membayangkan hal ini terjadi pada Faisa. Ia adalah temanku. Usianya pun sama denganku. Faisa masih kanak-kanak seperu aku.
Faisa juga mempunyai sahabat sesama anak Fayu, yaitu seorang anak perempuan yang aku sudah lupa namanya.
Ia lebih tua dari kami dan aku tidak begitu menyukainya. Kadang-kadang tingkahnya mengesalkan. Saat kami berbuat sesuatu yang lucu, tawanya melengking dan keras. Kulitnya penuh kurap dan beberapa giginya ompong. Ia bisa berbuat jahat jika tidak menyukai sesuatu. Namun aku tetap bermain dengannya. Sedikitnya teman bermain membuat kami tidak boleh terlalu pemilih. Suatu hari ia membuktikan diri sebagai teman sejari dan pemberani.
Saat itu hari sudah sangat sore. Aku dan Faisa sedang bermain di pinggir sungai. Kami begitu asyik bermain ketika aku mendengar teman Faisa berteriak. Namun teriakan itu terdengar tak biasa?nada suaranya berbeda. Nada suaranya seperti memberi peringatan, tetapi aku tak melihat sesuatu yang membahayakan. Tak ada babi hutan, ular, atau tentara musuh. Lalu teman Faisa itu berlari kencang dari hutan, melompat ke dalam perahu yang tertambat di pinggir sungai, dan mendayung sekuat tenaga ke arah kami. Apakah ia dalam bahaya, atau sedang mencoba memperingatkan kami?
Foto 59 : Dengan Faisa (kanan) dan Klausu Bosa
Faisa melihat ke sekelilingnya kebingungan, tapi tetap tidak mengerti apa yang terjadi. Ketika sudah dekat, kawan Faisa itu menunjuk ke arah desa. Kami berbalik dan melihat kakak Nakire berlari ke arah kami dengan parang di tangan.
Faisa panik, la mulai menjerit dan lari ke tepi sungai. Aku juga panik ketika sadar apa yang sedang terjadi. Pria agresif itu ingin menikahi Faisa, namun Faisa menolak. Faisa lari sekencang-kencangnya menuju perahu yang mendekat, sedangkan aku terus berteriak, "Hau! Hau! Hau!" (Jangan! Jangan! Jangan!).
Kakak Nakire berlari sangat kencang sehingga Faisa tersusul. Makin lama makin banyak orang Fayu yang berkumpul di tepi sungai karena keributan ini. Mereka diam saja menyaksikan kejadian itu. Mengapa tidak ada yang menolong kami? Mengapa mereka hanya berdiri dengan wajah dingin? Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong Faisa. Sudah jelas, jika Faisa tertangkap, pria itu akan memukulinya sampai ia mau dinikahi. Tak ada lagi harapan untuk kembali.


Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakak Nakire hanya berjarak beberapa meter di belakang Faisa ketika gadis kecil itu tiba-tiba tersandung. Napasku tercekat. Pria itu menghampirinya sambil mengayunkan parang. Namun Faisa lebih cepat. Ia berhasil berbalik dan menghindar, lalu lompat ke sungai. Sahabatnya hanya berjarak beberapa meter darinya. Kakak Nakire mencoba menahannya, tetapi Faisa berhasil mencapai perahu lebih dulu.
Ia naik ke perahu, sedangkan kawannya mendayung ke arah arus yang lebih deras dan dalam. Kakak Nakire berdiri di tepi sungai sambil mengayunkan parangnya dengan marah. Aku masih dapat melihat wajah putus asa Faisa ketika air membawanya entah ke mana.
Aku memandangi mereka sampai mereka menghilang di kelokan. Kesedihan mendalam memenuhiku. Kunantikan kembalinya Faisa hari demi hari, tetapi ia tak pernah pulang. Ia tak berani kembali karena belum tentu ia berhasil menghindar lain kali.
Hidupku terasa hampa tanpa Faisa. Aku merindukan senyumnya, kesetiakawanannya, dan kegembiraannya saat mengajariku keterampilan baru. Bertahun-tahun kemudian, aku mendengar bahwa ia terpaksa bersembunyi lama di hutan. Akhirnya ia menemukan juga pria yang disukainya dan menikah.
Aku telah menyaksikan sendiri apa yang dapat terjadi jika gadis Fayu menolak seorang laki-laki. Aku sangat terguncang. Pada umumnya, wanita Fayu tak bisa menentukan siapa yang akan dinikahinya. Kini hal itu telah berubah. Itulah sebabnya mengapa pilihan Nakire menjadi istimewa. Hubungannya dengan Fusai adalah suatu pengecualian yang bersinar dalam kegelapan saat itu.
Di Barat, kita terbiasa dengan ritual kencan yang panjang: pandangan yang penuh makna, kedekatan berkembang dalam kebersamaan, lalu acara tukar cincin. Budaya Fayu tidak mengenal hal itu, tidak juga upacara pernikahan. Kadang sang ayahlah yang memutuskan dengan siapa anak gadisnya menikah. Lantas ia menyerahkan anak gadisnya begitu saja. Laki-laki itu pun langsung memboyongnya pulang.
Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita namun ayahnya tidak setuju, hal ini bisa berujung pada penculikan. Sang ayah biasanya menempatkan penjaga di sekitar anak gadisnya. Laki-laki itu mengawasi sampai penjagaan sedang longgar. Lalu ia menarik sang gadis dan memaksanya untuk ikut. Ada juga kasus di mana penjaga dibunuh. Cara lainnya, laki-laki itu menyembunyikan si gadis sampai ia setuju dinikahi. Persetujuan ini biasanya buah dari kekerasan.
Yang menarik dari kebiasaan ini adalah, perkawinan itu nantinya tidak akan ditentang saat mereka akhirnya keluar dari persembunyian. Bahkan sang ayah yang tadinya menolak akan setuju saja. Masalahnya tidak akan diungkit-ungkit lagi dan hidup pun berjalan seperti biasa. Si wanita lalu tinggal dengan suami barunya. Aku ragu menjawab bagaimana perasaan wanita Fayu mengenai hal ini. Hanya Faisa yang jelas-jelas menunjukkan perasaaannya.
Bab 30 WAKTU DI HUTAN Waktu berlalu dan ulang tahunku yang ke-11 semakin dekat. Aku hampir tidak bisa tidur semalaman karena kegembiraan yang memuncak. Mama dan Judith bangun lebih awal dan aroma kopi merebak di rumah kecil kami. Aku beranjak dari tempat tidur, tapi Mama menyuruhku kembali, karena persiapan belum selesai. Christian dan aku meringkuk lagi di bawah selimut sambil menunggu saat bahagia. Kami merayakan ulang tahun bersama-sama karena tanggal lahir kami hanya berjarak dua hari. Ulang tahunnya tanggal 23 Desember dan aku tepat pada hari Natal.
Waktunya akhirnya tiba. Judith membuka tirai yang memisahkan kamar tidur dengan ruang keluarga. Kami berlomba menuju meja makan. Meja yang tertata indah terhampar di depan mata, lengkap dengan serbet warna-warni, lilin, dan yang terpenting, kado. Papa sudah duduk di meja. Mama sedang sibuk menyiapkan sarapan kesukaan kami?kue dadar dengan kayu manis dan gula. Aromanya sungguh mengundang selera. Mata kami berbinar-binar melihat kertas berkilauan yang membungkus kado-kado.
Foto 60 : Ulang tahunku yang ke-11: Jam tangan baru
Kami terlalu gembira untuk makan. Karena itu, kami diizinkan untuk membuka kado lebih dulu.
Bagaimana Mama dan Papa dapat menyembunyikan hadiah begitu lama, masih menjadi misteri. Sebagai anak, kami menganggapnya sebagai keajaiban orang tua. Ratusan mil jauhnya dari toko terdekat, dan hadiah-hadiah indah ini tiba-tiba muncul begitu saja.
Aku tidak ingat semua yang kudapat hari itu. Namun, sebuah hadiah membekas kuat di ingatanku: jam tangan pertamaku. Jam itu begitu indah. Tali dan jarumnya berwarna hitam serta dapat berpendar dalam gelap. Di sekeliling jam, ada lingkaran merah berisi angka-angka yang dapat diputar. Aku tidak tahu gunanya, namun hal itu tidak penting. T oh keajaiban teknologi itu membuatku amat menyukainya. Lebih hebat lagi, jam itu kedap air. Itulah hadiah terbaik yang pernah kuterima.
Aku ikatkan jam tangan itu melingkar di pergelangan tanganku yang kurus dan cokelat. Aku merasa modern dan dewasa. Sekarang aku bisa memberi tahu siapa saja, jam berapa sekarang. Namun, tidak seperti di Barat, di hutan tak ada orang yang ingin tahu. Di hutan tropis, jam tidak dibutuhkan untuk mengetahui waktu. Memakai jam hanya membuat kita merasa keren.
Selama bertahun-tahun di Irian Jaya, aku memiliki perasaan yang berbeda akan waktu. Waktu berjalan lebih lambat di sana daripada di mana pun juga merambat sejak matahari terbit hingga matahari tenggelam. Waktu tetap bergerak lambat seperti keong, melewati hari, minggu, dan tahun.
Aku pun mulai menyesuaikan kecepatanku dengan lambatnya waktu. Tak ada seorang pun yang tergesa-gesa. Tak seorang pun yang khawatir terlambat untuk suatu janji. Lagipula, kejadian besar apa yang mungkin terjadi di tempat di mana setiap hari terasa seperti kemarin? Jika Anda berjanji untuk menemui seseorang, Anda hanya perlu menunggu sampai ia muncul. Bila ia tidak datang hari ini, mungkin besok. Bila orang itu tidak juga datang, mungkin ia tidak ingin bertemu atau sudah meninggal.
Bahkan gerakan tubuhku pun melambat. Tidak ada alasan untuk tergesa-gesa. Panas yang membakar memperlambat kecepatan. Bergerak terlalu semangat hanya akan membuat tubuh cepat lelah dan lemah. Kenapa pula harus lelah dan lemah? Lagipula, selalu ada hari esok atau esoknya lagi yang terbentang selamanya di hadapanmu. Aku merasa hidupku berjalan di tempat. Bila dibandingkan dengan hidupku sekarang, memang benar demikian.
Lebih parah lagi, tak ada musim yang jelas?selalu musim panas. Jadi, hari, minggu, dan bulan, mengalir begitu saja tanpa pernah kuketahui apakah saat itu bulan Juni atau November. Satu-satunya bulan yang aku perhatikan adalah Desember, bulan kelahiranku.
Di sisi lain, ada semacam pengukur waktu yang sangat tepat. Seisi hutan, baik binatang, tumbuhan, maupun manusia, tunduk kepadanya. Oleh karena itu, matahari, bulan, dan aktivitas serangga adalah penunjuk waktu yang lebih baik bagiku daripada jam tanganku. Ada tumbuhan yang menutup daunnya di siang hari untuk melindungi diri dari panas dan membukanya kembali pada pukul 5 sore. Lalu datanglah nyamuk. Tepat pada pukul 6 sore, serangga penghisap darah yang kelaparan keluar dari persembunyiannya, membentuk awan hitam.
Jam hutan sangat tepat, tidak perlu diputar atau disesuaikan. Tepat pukul enam pagi, matahari terbit. Bila ia berada tepat di atas kita, sudah waktunya berteduh dan makan. Kebetulan jam tanganku juga tepat menunjukkan pukul 12 siang. Kemunculan bulan memanggil kami ke tempat tidur, dan esoknya siklus yang sama kembali dimulai.
Ketika pindah ke Eropa, aku butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri. Sehari di hutan bagaikan seminggu di dunia Barat, dan seminggu bagaikan sebulan. Kadang-kadang perasaan panik datang bila aku merasa tak bisa mengejar waktu. Aku merasa tak bisa mengendalikan waktu yang bergerak lebih cepat dariku.
Hari berjalan dengan santai di hutan. Aku merasakan hidup seperti apa adanya. Aku tidak perlu marah bila rencana berubah karena hal itu memang sudah biasa. Rencana kami sesantai waktu itu sendiri. Kami belajar untuk tidak menjadwalkan sesuatu lebih dari seminggu ke depan, sebab kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Terkadang mesin perahu ddak jalan, di lain waktu pesawat rusak. Mungkin juga ada banjir atau sang pilot terserang malaria. Kami sudah terbiasa menghadapi kenyataan bahwa rencana kami mungkin berubah ke hari lain. Kami belajar untuk tidak stres karena hal seperti itu.
Konsep Barat bahwa rencana harus dibuat berbulan-bulan sebelumnya sangat aneh bagiku. Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk mengerti dan menerima cara berpikir baru itu. Aku melihat bukti bahwa perencanaan itu penting, tapi tidak tahu cara membuatnya untuk diri sendiri. Tentu ada banyak buku dan kursus mengenai cara mengatur waktu, tetapi tak ada yang cocok untuk orang sepertiku yang mempunyai pemahaman mendasar yang amat berbeda tentang waktu itu sendiri. Baru kira-kira dua tahun lalu?ketika aku menginjak usia tiga puluh?aku belajar membuat rencana masa depan. Aku membutuhkan waktu sepuluh tahun lebih untuk mengerti dan menerima pendekatan Barat terhadap waktu.
Bab 31 ROH BAIK, ROH JAHAT Aku jarang berbicara tentang perasaan atau kepercayaan dengan teman-teman Fayu-ku. Kami begitu sibuk dengan kegiatan sehari-hari: permainan, makanan, manusia, dan hewan. Namun, kadang situasi mengarahkan kami pada pembicaraan yang lebih mendalam.
Sekali waktu, aku dan Bebe berdiri di pinggir sungai yang berpasir. Bau busuk yang amat menyengat memenuhi udara. Beberapa perahu baru saja datang dari hulu sungai dan di dalam salah satu perahu ada sesosok mayat anak laki-laki berusia kira-kira dua belas atau dga belas tahun. Tubuhnya membengkak dan dikerumuni lalat. Aku mual begitu melihatnya.
Ibu anak itu duduk di dalam perahu sambil tersenyum kepadaku, seakan bangga telah membawa anaknya yang mati. Biasanya orang Fayu meninggalkan jenazah di gubuk mereka. Wanita itu mulai mengeluarkan mayat anaknya dari perahu ketika Nakire datang berlari dan menyuruhnya untuk tidak membawa mayat itu ke darat. Wanita itu mendadak marah dan mulai berteriak-teriak bahwa seseorang telah membunuh anaknya dengan guna-guna. Teriakannya berulang-ulang, tetapi Nakire tetap bersikeras. Wanita itu akhirnya pergi dengan perahunya sambil mengumpat keras.
"Pasti Tohre yang membunuh anak itu," ujar Bcbe gelisah begitu perempuan tadi hilang dari pandangan. "Malam ini aku akan tinggal di gubuk saja. Mungkin saja Tohre kembali dan membunuhku juga."
"Siapa Tohre?" tanyaku.
Bebe melihat ke sekeliling dengan hati-hati, lalu mendekatiku dan berbisik, "Tohre adalah roh jahat. Dia keluar dari hutan pada malam hari untuk memangsa manusia."
"Kalau dia memakan manusia, mengapa tubuh anak itu masih ada?"
"Dia tidak makan tubuhnya. Lebih parah, dia j memangsa nyawa yang ada di dalam tubuhnya."
"Jadi, kalau roh baik siapa namanya?" tanyaku penasaran.
Bebe tidak mengerti. "Roh baik apa? Tidak ada roh yang baik."
"Kalau ada roh jahat, pasti juga ada roh baik," kataku sama bingungnya.
Bebe melihatku dengan tatapan kosong. Kelihatannya dia sangat yakin tidak ada roh baik. Betapa sedihnya, ujarku dalam hati. Tak heran mereka hidup dalam ketakutan.
Malam itu aku bermimpi buruk. Sesosok makhluk berdiri di pintu, besar dan jelek dengan kulit yang hitam dan gigi tajam. Dia mendekati tempat tidurku dan memandangiku. Aku meringkuk di bawah selimut, berharap ia tak dapat menembus kelambu. Aku begitu ketakutan sehingga tidak berani berteriak. Aku malah menutup mata dan berdoa.
Ketika bangun keesokan paginya, aku meyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi buruk. Namun, bagaimana jika memang benar ada roh jahat yang memakan nyawa?
Kehidupan di hutan yang primitif penuh dengan kisah dan pengalaman mistis. Hutan adalah dunia di mana kenyataan dan khayalan seakan bercampur. Namun, aku selalu percaya ada roh baik, yaitu roh yang menyayangi dan melindungi kita. Dia lebih kuat dari roh jahat.
Aku terangkan hal ini kepada Bebe ketika bertemu lagi dengannya. Aku katakan kepadanya bahwa ia tak perlu takut karena kita percaya akan kebaikan. Hanya keyakinan ini yang memberi kita keberanian untuk melangkah ke dunia baru yang asing. Keyakinan pada kebaikanlah yang menyebabkan kita pantang menyerah walaupun keadaan sulit. Pada akhirnya, kebaikan akan mengalahkan kejahatan.
Bebe duduk di dekatku, meraih tanganku, lalu mengunyah jemariku. Ini adalah cara orang Fayu mengungkapkan persahabatan. Bersama kami memandangi api dan mendengarkan senandung malam. Ya, kami percaya akan adanya roh yang baik. Di sini, di Lembah yang Hilang, kami begitu dekat dengan-Nya. Kami dapat merasakan keberadaan-Nya dan merasa aman dalam lindungan-Nya.
Bab 32 PERANG YANG MENENTUKAN Sebuah kejadian dramatis terjadi dalam perjalanan panjang menuju perdamaian. Kejadian ini adalah titik balik bagi orang Fayu. Sekali lagi, dua suku bertemu di depan rumah kami. Mereka mulai berdebat, dan tak lama kemudian tarian perang dimulai. Ritual ini sepertinya akan berlangsung hingga matahari terbenam.
Mama berhasil meredam beberapa perseteruan terakhir dengan memainkan lagu dari kaset sekeras-kerasnya. Kami terkejut mengetahui bahwa suara musik dapat mengalahkan mantra-mantra perang orang Fayu yang keras. Prajurit yang masih dikuasai amarah itu satu per satu datang dan duduk di depan rumah untuk mendengarkan musik asing. Perdamaian pun terjadi.
Namun, kali ini musik tak membantu. Ooh-wa, ooh-wa, ooh-wa. Teriakan itu berlangsung berjam-jam. Christian dan aku menyaksikan dari jendela. Dari gerakan dan ketinggian suara teriakannya, prajurit-prajurit itu tampaknya telah mencapai keadaan trans. Orang Tigre dan Iyarike menyuarakan kepahitan masa lalu: lingkaran demi lingkaran kematian, saling menyalahkan, pembalasan dendam, kematian yang lebih banyak lagi, hingga akhirnya tak ada yang tahu ujung pangkalnya. Balas dendam telah menjadi tujuan dari tindakan itu.
Judith meringkuk ketakutan di tempat tidurnya, sementara Mama mencoba untuk menenangkan dengan cara membacakannya sebuah cerita. Mantra-mantra perang yang dikumandangkan berjam-jam membuat Judith tegang. Mengetahui bahwa sedap saat korban bisa berjatuhan, ketegangan pun tercipta. Walaupun kami baru sekali menyaksikan perang yang berakhir dengan pertumpahan darah, kenangan itu sangat membekas di hati Judith. Akhirnya ia tidak tahan lagi. Ia menutup telinga dan tak henti menjerit.
Lalu segalanya bergerak begitu cepat. Kemarahan Papa sudah mencapai puncaknya, dan ia berbuat sesuatu yang baru sekarang ia akui membahayakan nyawanya. Ia menyambar sebilah parang, membuka pintu, dan berlari menuju kerumunan orang yang siap berperang. Christian dan aku menahan napas. Kami belum pernah melihat Papa seperti ini.
Ketegangan memuncak. Anak panah telah terpasang dan para prajurit saling bidik. Peluh membasahi tubuh mereka dan mata mereka membelalak. Begitulah suasana ketika Papa berlari ke tengah-tengah mereka.
Ketika Papa sudah berada di antara kedua kelompok itu, ia mengayunkan parangnya dan mematahkan busur salah satu prajurit. Orang-orang Fayu itu hanya memandang ke Papa. Papa merebut busur prajurit lainnya dan memotong talinya, lalu yang lainnya lagi, demikian seterusnya. Tiba-tiba suasana menjadi hening karena orang-orang itu memandang Papa tak percaya. Papa merangkul kedua ketua suku dan mengajaknya ke rumah. Jeritan Judith masih bergema.
"Kalian dengar itu? Kalian dengar jeritan anakku?" tanya Papa geram. "Dia menjerit karena ketakutan. Lihat apa yang telah kalian perbuat pada keluargaku."
Tak seorang pun berkata-kata. Aku terpana menyaksikan adegan di depanku.
"Keluargaku sudah tidak tahan," Papa meneruskan. Lalu ia berbalik ke kedua ketua suku itu dan berkata, "Aku beri kalian dua pilihan. Kalian berhenti berperang di sekitar rumahku dan mencari tempat lain, atau aku akan membawa pergi keluargaku. Silakan pilih."
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Papa menghentakkan kaki dan kembali ke dalam rumah sambil membanting pintu. Ia duduk di bangku dengan tubuh gemetar. Kami tidak berani bergerak atau bicara, hanya bolak-balik memandang Papa dan orang Fayu yang sedang berembuk di luar.
Jeritan Judith telah mereda menjadi isak tangis. Katanya ia ingin pergi dari tempat ini. Papa mendatangi Judith dan menanyakan apakah ia perlu memesan helikopter untuk membawanya kembali ke Danau Bira. Judith mengiakan, dan dengan berat hati Papa menghampiri radio dan mengatur penerbangan untuk keesokan harinya.
Tak lama kemudian, kami mendengar ketukan di pintu. Ketua Baou berdiri di sana. Ia meminta Papa keluar. Papa mengikutinya dan berdiri di hadapan kerumunan para prajurit.
Mewakili semua orang yang hadir, Ketua Baou berkata bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang menginginkan Papa dan keluarga kami pergi. Kami, lanjutnya, telah membawa harapan bagi mereka dan mereka menyayangi kami. Mereka menyesal kelakuan mereka telah menyebabkan Judith ketakutan. "Tolong, Klausu, tetaplah bersama kami. Kami tidak akan berperang di sekitar rumahmu lagi. Kami ingin hati kami menjadi baik. Tetaplah tinggal di sini dengan keluargamu. Kami akan melindungi mereka. Kami berjanji tidak akan terjadi apa pun dengan mereka."
Papa terdiam seribu bahasa karena lega dan takjub.
Ia melayangkan pandangan ke arah semua prajurit yang beberapa saat lalu hampir saling bunuh. Mereka sekarang berdiri menyatu di hadapan Papa, memohon agar ia mau tetap tinggal.
Kami tetap tinggal. Esoknya Judith pergi ke Danau Bira. Ia tinggal untuk beberapa lama dengan seorang pilot dan keluarganya. Orang Fayu melantunkan lagu duka ketika helikopter berangkat membawa Judith. Mungkin inilah pertama kalinya mereka mengerti akibat perbuatan mereka terhadap kami.
Malam itu Ketua Kologwoi mengambil sepotong besar daging mentah, lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuat satu barisan. Orang pertama di barisan itu mengambil busurnya, lalu menarik talinya sejauh mungkin. Lalu satu per satu anggota kelompok Iyarike melewati busur yang diregangkan itu. Ketua Kologwoi melakukannya terakhir. Kemudian ia menghampiri Ketua Baou. Dengan membungkukkan badan sedikit, diserahkannya potongan daging itu. Aku melihat kedua mata Papa berbinar. Segera ia memanggil Nakire dan menanyakan arti ritual itu.
Menurut Nakire, seseorang dari kelompok Ketua Kologwoi telah membunuh seorang prajurit kelompok Tigre, anak buah Ketua Baou. Kelompok Tigre berhak untuk balas dendam kepada kelompok Iyarike. Ini adalah efek susulan dari perang baru-baru ini. Namun kedua ketua itu telah menyepakati jalan keluar lain. Upacara penarikan busur dan pemberian daging menandakan gencatan senjata. Kedua ketua itu kini memasak dan makan daging bersama. "Sekali api balas dendam dipadamkan, jalan damai pun terbuka," komentar Nakire.
Kelompok Iyarike dan. Tigre adalah kelompok pertama yang berdamai. Perdamaian itu berlangsung hingga kini. Ketika Judith kembali ke Foida, mereka mengadakan pesta besar untuk merayakan perdamaian dan kebahagiaan.
Foto 61 : Ketua Kologwoi (kanan) berdamai
dengan seorang anggota kelompok Tigre.
Itulah perang di sekitar rumah kami. Setelah itu, Ketua Baou membuat peraturan baru: siapa saja yang mengunjungi kami harus meninggalkan busur dan anak panahnya di gubuk atau perahu mereka. Jadi, di sekitar rumah kami merupakan daerah bebas perang. Di sana anggota semua kelompok dapat berkumpul tanpa rasa takut. Tak lama, tiap kelompok punya anggota yang tinggal di sekitar rumah kami.
Lambat laun suasana di hutan berubah. Bahkan aku pun bisa merasakan ketenangan yang kini tercipta. Sebuah era baru telah dimulai bagi "bangsa" kecil ini. Inilah pertama kalinya dalam sejarah keempat kelompok tinggal begitu dekat satu sama lain tanpa rasa takut. Hubungan antarkelompok perlahan membaik. Anak-anak tertawa, para ayah bisa berdiskusi dengan aman,
dan para ibu menyiapkan sagu bersama. Kegelisahan yang selama ini menggelayut di mata Tuare perlahan menghilang.
Terkadang pertikaian memang masih terjadi. Pihak yang terluka biasanya datang ke rumah kami untuk dirawat. Namun kejadian ini sudah sangat jarang. Bila kami ada di Foida, orang Fayu akan keluar dari berbagai daerah untuk tinggal bersama kami. Bila kami pergi sebentar, mereka kembali ke hutan. Mereka hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka akan tetap menjadi orang hutan sejati Tetapi akhirnya mereka menemukan perdamaian yang sangat mereka dambakan.
Bab 33 WAKTU BERLALU Suatu hari Tuare memandangku seraya berkata bahwa tidak lama lagi seseorang akan menculikku untuk dinikahi. Aku tercengang dan menanyakan sebabnya. "Itu," katanya sambil menunjuk buah dada yang mulai membesar di balik bajuku. "Kau akan menjadi wanita dewasa." Aku melihat ke bawah dan ikut terkejut. Tuare bertanya apakah aku sekarang akan meninggalkan suku Fayu untuk mencari suami.
"Tidak," jawabku sambil tertawa, " aku belum mau menikah. Mungkin masih lama sekali." Aku baru saja menginjak usia dua belas tahun.
Tuare kelihatan risau mendengar jawabanku. "Kalau menunggu terlalu lama, kau akan jadi terlalu tua dan tak ada lelaki yang mau menculikmu."
"Tak apa-apa, Tuare. Kalau begitu, aku tak akan menikah dan tinggal di sini untuk selamanya"
"Asahego," Tuare mengangguk setuju. Dengan begitu pembicaraan mengenai kedewasaan selesai.
Aku hidup di dunia yang tertutup. Dalam pikiranku, alam semesta hanya terdiri dari hutan dan orang Fayu.
Aku tidak dapat membayangkan yang lain. Selama bertahun-tahun, aku telah menjelma menjadi anak rimba, baik secara fisik maupun jiwa. Namun, betapa pun besarnya keinginanku untuk hidup selamanya di masa kanak-kanak, waktu tetap bergerak maju tanpa peduli pada keinginanku.
Hidupku berubah di suatu malam di bawah sinar lampu minyak. Papa berkata bahwa kami akan segera pulang ke Jerman untuk cuti. Tiba-tiba aku melonjak gembira. Aku tidak dapat membayangkan dunia yang telah banyak kudengar ceritanya. Toko, kendaraan, gedung tinggi, air panas, dan mainan. Pasti seperti surga, pikirku.
Aku membayangkan segala barang baru yang ingin kubeli. Banyak orang kulit putih yang akan menyambutku dan mengundangku ke rumah mereka. Bayangan itu membuatku sulit tidur. Esoknya, dengan riang kusampaikan rencana kami kepada Tuare. Ia kelihatan tidak begitu bersemangat. Dengan wajah kurang senang, ia menanyakan kapan kami kembali dan mengapa kami harus pergi. Aku tak dapat menjawab pertanyaan kedua. Kukatakan bahwa kami tidak akan lama.
Beberapa minggu kemudian, saatnya tiba. Kami memasukkan semua barang ke dalam perahu dan mengucapkan selamat tinggal. Tuare menghampiriku sambil menangis. Kesedihan jelas tergambar di wajahnya. Ia berdiri di hadapanku dan menaruh sesuatu ke dalam genggamanku. Sebuah gigi buaya. Aku terharu bukan karena giginya, melainkan karena makna pemberian itu.
Foto 62 : Rumah kenangan Dalam budaya Fayu, ada tiga tingkatan persahabatan. Tingkat pertama ditandai dengan tidur bersebelahan dengan jari-jari telunjuk saling terkait. Tingkat kedua, mengunyah jemari sahabat dengan hati-hati. Tingkat ketiga atau yang tertinggi adalah memberikan gigi buaya. Tiap orang menaruh beberapa helai rambut mereka di dalam gigi yang dilubangi, lalu mengalungkannya di leher sahabatnya.
Orang Fayu percaya bahwa untuk mengguna-gunai seseorang diperlukan sehelai rambut milik orang yang akan diguna-gunai. Pemberian rambut itu menandakan Anda percaya teman Anda tidak akan berbuat jahat. Dengan cara ini, Anda memercayakan hidup Anda dalam lindungan sahabat Anda. Inilah yang baru saja dilakukan Tuare. Sungguh sedih meninggalkan seorang sahabat yang begitu baik.
Arus membawa kami ke hilir, sementara orang-orang Fayu melantunkan lagu-lagu dukacita. Melodi kesedihan mereka mengikuti kami hingga jauh. Tak lama kemudian, kami meninggalkan Indonesia dan kembali ke kampung halaman orang tua kami.
BAGIAN 3 Bab 34 LIBURAN DI KAMPUNG HALAMAN
Baru-baru ini aku menelepon kakakku yang tinggal dengan suami dan anaknya di Amerika. "Judith, apakah kau masih ingat liburan kita?" tanyaku. Jeda sejenak. "Aneh, tidak terlalu," katanya.
Ini memang agak aneh, sebab aku juga tak terlalu ingat. Yang kuingat hanyalah gambaran sekilas. Waktu itu kami hanya berencana tinggal satu tahun di Jerman, tetapi akhirnya jadi lebih lama. Ketika masa cuti itu, orang tua kami bekerja untuk organisasi yang berbeda dan butuh waktu yang lama untuk mendapatkan visa kerja baru.
Organisasi yang baru ini berpusat di Indonesia dan bernama YPPM (Yayasan Persekutuan Penginjilan Mairey), sebuah organisasi bantuan pengembangan lokal. Salah satu proyeknya adalah mengirim guru sukarela ke berbagai suku yang tidak punya akses terhadap pendidikan. YPPM juga mengadakan pelayanan bantuan kesehatan dan pengembangan ekonomi. Seorang wanita Belanda yang bekerja untuk YPPM menceritakan tentang organisasi itu kepada orang tuaku. Tak lama sesudahnya, orang tuaku bertemu dengan ketua YPPM, Theis Woparu Persahabatan pun terjalin hingga kini. Orang tuaku melanjutkan tugas dalam suku Fayu, dan YPPM menjadi partner yang membantu dalam tugas tersebut.
Bulan-bulan pertama di Jerman begitu menyenangkan. Untuk pertama kalinya kami melihat banyak hal yang selama ini hanya kami ketahui dari cerita atau membaca: toko, jalan tol, pemanas ruangan, dan terutama salju.
Kami mengunjungi nenek (Oma, dalam bahasa Jerman) di Bad Segeberg. Ini adalah hal paling membahagiakan selama kami berada di Jerman. Selama bertahun-tahun, Oma selalu mengirimi kami surat yang menghibur dan bingkisan. Ia senantiasa ada di dalam hatiku.
Angin dingin bertiup sementara awan gelap bergulung di atas kepala. Sekali lagi aku lupa memakai kaus kaki. Hanya selimut yang membungkusku rapat. Tiba-tiba kudengar Christian berteriak gembira, "Lihatlah ke luar jendela!"
Lalu aku melihatnya, butiran salju turun dari langit. Kami bertiga lari ke jendela dan melihat ke luar dengan takjub. Kami hampir tak berani bernapas ketika salju jatuh tanpa suara. Tolong jangan berhenti, aku berdoa, dan doaku terkabul. Salju turun lebih lebat dan tak lama segalanya tertutup lapisan berwarna putih.
"Orang Jerman harus bersyukur bisa mengalami hal seindah ini setiap tahun," kata Judith seraya menghela napas.
Oma geli melihat kekaguman kami pada salju. "Kalau begitu, Judith, jika kamu memang suka, mengapa tidak mengeruknya?" katanya.
"Boleh kami keluar?" tanyaku tak sabar sembari berlari tanpa menunggu jawaban. Butiran salju menari di udara dan aku menjulurkan lidah untuk merasakannya.
"Jangan makan itu," sergah Christian cemas, "mungkin beracun." Aku teringat peraturan baku di hutan: jangan makan apa yang tidak kita kenal karena bisa mematikan.
Cepat-cepat aku muntahkan isi mulutku dan ku-bersihkan lidahku dengan baju. Judith menenangkan kami sambil tersenyum, "Salju hanya air yang membeku, seperti es krim." Christian memandang Judith tak yakin. Namun, ketika ia mulai merasakan salju dengan lidahnya, kami percaya dan bergabung.
Aku merasakan kakiku kebas. Tiba-tiba aku tersadar bahwa aku bertelanjang kaki. Sambil menjerit, aku berlari ke dalam rumah yang hangat. "Dia muncul lagi," kata Mama. "Bagaimana, Sabine, apakah kamu senang?" Tanpa menghiraukannya, kupakai sepatu dan kuraih jaketku, lalu lari kembali ke luar. Kami habiskan sisa sore itu dengan bermain salju.
Orang tua kami memperkenalkan kami kepada budaya yang baru secara perlahan-lahan. Kami cukup terlindungi tanpa televisi atau radio. Namun, tetap saja banyak hal yang sulit kami mengerti. Misalnya, ketika kami pertama kali pergi ke sebuah supermarket, mulut kami terus menganga. Christian akhirnya menangis karena bingung memilih. Judith tak bisa beranjak dari rak cokelat. Harus pilih yang mana? Belum pernah seumur hidupnya ia melihat cokelat
sebanyak itu. Ia mondar-mandir di sekitar rak cokelat untuk menentukan pilihan, sampai akhirnya Mama memutuskan untuk membeli satu dari sedap jenis cokelat.
Aku merasa orang-orang di supermarket itu sama menariknya seperti makanan. Sungguh mengagetkan melihat begitu banyak orang kulit putih di satu tempat. Mengapa kebanyakan dari mereka gemuk? Di hutan, bila seseorang berperut besar, berarti ia cacingan.
"Apakah semua orang di sini cacingan?" tanyaku cemas. Mama tertawa dan menerangkan bahwa mereka gemuk karena terlalu banyak makan. Penjelasan itu cukup mengesankan. Apakah perutku juga bisa besar bila makan banyak? Sedihnya, aku tetap kurus karena lidah kami ddak cocok dengan makanan Jerman yang penuh gizi. Di rumah, Mama biasanya memasak makanan yang sama seperu di Foida. Namun, di rumah Oma selalu ada cokelat dan kue.
"Aku nggak enak badan," aku merengek setelah menghabiskan tiga potong kue.
"Itu salahmu sendiri," jawab Mama tanpa simpati sedikit pun.
Konsep persediaan makanan yang tidak pernah habis ini tidak dapat kami mengerti. Suatu kali, setelah aku menghabiskan potongan cokelat terakhir, Chrisuan menangis sejadi-jadinya. Mama mengajaknya kc supermarket dan membelikannya cokelat lagi. Sewaktu mereka tiba di rumah, Christian telah menghabiskan seluruhnya. "Supaya tidak direbut Sabine lagi "
"Tapi Christian, kita kati bisa ke toko dan beli lagi," jelas Mama.
"Ya, tapi bagaimana kalau toko kehabisan cokelat?"
"Mereka akan pesan lagi dari pabriknya,"
"Kalau pabrik juga kehabisan?" Christian penasaran.
"Pabrik tidak akan kehabisan cokelat. Kalau memang kehabisan, kamu tinggal pergi saja ke pabrik lain " Mama sudah merasa bahwa mengajar kami menjadi orang Jerman akan menjadi proses panjang dan sulit.
Christian jengkel karena penjelasan itu rasanya tidak mungkin. Ia menghentakkan kakinya dan berteriak, "Kalau setiap orang Jerman makan cokelat setiap hari, akhirnya pabrik juga akan kehabisan "
Mama hampir putus asa memikirkan jawaban yang memuaskan. Lalu sebuah ide muncul. "Christian, kamu benar. Jika misalnya ada perang, barulah cokelat akan habis."
"Aku sudah menduga!" katanya puas. Ia paham soal perang dan penjelasan itu memecahkan masalahnya.
Kehidupan di hutan tidak menyiapkan kami untuk kondisi dunia Barat yang berlimpah-ruah. Kami terbiasa belanja dua kali setahun dan bermasalah dengan tempat penyimpanan serta transportasi untuk membawa perbekalan. Mama sekalipun sulit menolak kebutuhan untuk belanja dalam jumlah besar.
Karena kembalinya kami ke Indonesia ditunda, aku dimasukkan ke sebuah sekolah di Bad Segeberg. Itulah saat paling menakutkan dalam hidupku. Ketika orang tuaku mengeluarkanku dari sekolah itu setelah beberapa minggu, aku sangat lega. Kepala sekolah mengatakan kepada orang tuaku bahwa aku sudah berada pada usia yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan sistem sekolah Jerman.
Tak lama kemudian, kami meninggalkan Jerman dan terbang ke Amerika. Lagi-lagi kebudayaan baru dengan orang-orang yang aneh dan berperilaku ganjil, pikirku.
Aku sangat rindu untuk kembali ke hutan sehingga mulai sering berkhayal. Tubuhku berada di Barat, tetapi pikiranku melayang nun jauh di sana. Masa itu lebih baik tidak kukenang. Aku sering menangis di malam hari. Saudara-saudaraku juga merasakannya. Keadaan kami yang semakin memburuk membuat orang tuaku semakin gelisah. Kami merasa seperti orang asing di tengah kebudayaan Barat, baik Jerman atau Amerika. Kami hanya ingin kembali ke hutan.
Aku mengalami masa puber dan bertambah gemuk. Aku banyak makan karena frustrasi dan rindu kampung halaman. Agak menolong ketika aku mendengarkan Papa berpidato dan mempertontonkan film tentang suku Fayu saat kami di Barat.
Kadang-kadang orang mendatanginya setelah presentasi dan berkata, "Sekarang orang tidak hidup dangan cara itu lagi. Anda hanya mengarangnya untuk acara televisi, bukan?" Awalnya aku tersinggung oleh komentar semacam itu, tapi lama-lama aku mencoba untuk menertawainya. Aku sadar, bila aku bercerita kepada orang Fayu tentang dunia Barat, mereka pun pasti tak percaya.
Foto 63 : Christian dan aku, setelah kami kembali ke hutan rimba
Lalu, setelah begitu lama, tibalah waktu yang dinanti-nantikan. Hari saat kami menerima visa adalah hari bahagia. Papa langsung membeli tiket dan tak lama kemudian kami berangkat ke Indonesia. Aku berteriak girang melihat hutan di bawahku. Aku hampir tidak percaya bisa kembali pulang. Hidup dalam ?peradaban? telah meninggalkan bekas yang mendalam pada diriku, tetapi saat itu aku belum menyadari.
Pertemuan kembali dengan orang Fayu terasa sangat istimewa. Kami berpelukan dan menari-nari seperti anak kecil. Orang-orang Fayu menangis. Mereka mengaku telah berhenti berharap bisa bertemu kami lagi. Malam itu aku duduk di perapian dengan geng lamaku: Christian, Tuare, Dihida, Ohri, Bebe, Isori, Diro, Klausu Bosa, dan yang lain.
Kami semua sudah lebih dewasa, tetapi hubungan kami tetap sama. Kami adalah satu keluarga, dan seperti kata Christian menjelang tidur malam itu, akan tetap begitu. Saat masuk ke dalam kelambu, aku kembali merasa bahagia setelah sekian lama.
Ya, pikirku dalam hati, di sinilah tempatku. Pikiran itu mengantarku tidur.
Bab 35 PANGGILAN HUTAN Kami kembali melanjutkan hidup kami yang sebelumnya dengan penuh semangat, seakan-akan baru beberapa hari saja kami tinggalkan. Namun perubahan tetap tidak bisa dihindari. Rumah kami mulai rusak. Papa pernah terperosok ke dalam lantai dua kali karena papannya sudah lapuk walaupun telah diberi antirayap. Lagipula sungai juga terus meluap. Sudah waktunya untuk pindah ke tempat yang lebih unggi.
Setelah berbicara dengan orang Fayu dan melakukan beberapa percobaan, kami temukan tempat yang sempurna. Kira-kira berjarak setengah jam ke hulu, ada sebuah bukit kecil. Orang Fayu mengusulkan agar kami pindah ke sana. Kata mereka, tempatnya tidak jauh dari sungai dan angin yang sejuk selalu bertiup. Nyamuk juga tidak terlalu banyak. Tempat itu juga menjanjikan pemandangan tiga ratus enam puluh derajat. Kami pun teryakinkan untuk pindah.
Papa pergi bersama orang Fayu untuk mempelajari tanah itu lebih jauh dan kembali dengan gembira. Beberapa minggu kemudian, empat orang teman dari Amerika datang dan membantu kami membangun rumah baru secara sukarela. Waktu dan banjir juga telah memusnahkan gubuk-gubuk orang Fayu. Jadi mereka memutuskan untuk membangun kampung di sekitar lokasi rumah baru kami. Tak lama, serpihan-serpihan kayu pun beterbangan di udara.
Namun, bila orang Fayu mengatakan letak sesuatu tidak jauh dari sungai, kita tidak bisa percaya begitu saja. Apa yang mereka anggap tidak jauh, sangat jauh dari definisi kita. Mengira perjalanan dari sungai menuju rumah baru kami dekat, kami tinggalkan perahu dan mulai menyusuri jalan setapak. Hutan di tempat ini adalah rawa-rawa. Pohon palem rawa yang memenuhi area menyulitkan kami karena batangnya ditutupi duri yang panjang dan tajam.
"Bagaimana cara kita melaluinya?" aku bertanya pada Papa.
"Berjalan," katanya tanpa berkedip.
"Berjalan? Di atas apa? Tidak ada tanahnya."
"Sabine, apakah kamu telah menjadi lembek?" Papa tertawa. "Kamu tidak lihat batang kayu di sebelah sana?"
Aku berjalan ke arah yang ditunjuk Papa dan melihat dengan skeptis ke arah batang kayu tipis yang tergeletak nyaris tidak lebih tinggi dari ketinggian airnya.
"Jangan khawatir, Sabine. Aku akan menjaga agar kau tidak jatuh," sambung Ohri sambil tertawa bersama Papa.
"Tidak. Aku akan baik-baik saja," jawabku tersinggung. Kuambil apa yang dapat kubawa dan memulai perjalanan. Namun berjalan melalui rawa tidak mudah. Jalan setapak menuju bukit terbuat dari batang kayu yang diletakkan sambung-menyambung di sepanjang rawa. Sebagian besar batang kayu tersebut adalah gelondongan kayu yang tipis dan licin. Kalau terpeleset, Anda tidak akan dapat berpegangan pada apa pun karena pohon-pohon yang ada pada umumnya adalah pohon palem berduri. Aku sering terpeleset dari batang kayu tersebut. Aku tenggelam di lumpur sama cepatnya dengan tenggelam dalam air.
Ribuan serangga yang siap menyerang, menambah seru petualangan. Pada salah satu perjalanan menyeberang ini, aku sempat dikerubungi laba-laba hitam dari kepala sampai kaki. Seekor kalajengking bahkan sempat masuk ke bajuku.
Perjalanan ini akhirnya jadi sangat menyenangkan. Aku suka bertualang. Jika beruntung, banjir yang kadang melanda daerah itu memungkinkan kami dapat bersampan melalui rawa menuju kaki bukit.
Panjang jalan melalui rawa adalah sekitar 730 meter. Setelah itu, kami masih harus berjalan 30 menit lagi mendaki bukit menuju rumah. Bagian ini lebih menyenangkan. Flora dan fauna yang kami temui di sepanjang jalan, cukup mengesankan. Pohon-pohon besar memberikan keteduhan yang nyaman dan dihinggapi bermacam-macam jenis burung yang tak terhitung banyaknya.
Foto 64 : Rumah baru kami di puncak bukit
Puncak bukit itu memberikan pemandangan yang tak terlukiskan. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan hutan, mirip permadani hijau yang terbentang ratusan mil persegi. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tempat ini. Rumah baru kami terletak di puncak surga.
Di puncak bukit, berdirilah rumah kami yang berlantai dua. Lantai bawah adalah sebuah ruangan besar yang akan dipergunakan sebagai dapur, ruang makan, dan ruang keluarga. Di sisi kiri ruangan itu, ada kamar mandi kecil dan di sebelahnya ada tangga sempit menuju lantai atas. Ada tiga ruangan di lantai itu: satu untuk Mama dan Papa, satu untuk Christian, dan satu untuk Judith dan aku.
Kami sempat mengalami masa tenang karena rutinitas lama kami segera terbentuk kembali. Aku sudah menginjak usia lima belas, tetapi masih tetap senang menghabiskan waktu bersama teman masa kanak-kanakku. Selama kepergian kami, mereka telah tumbuh menjadi pemuda. Ohri yang dulu kecil dan timpang pun telah tumbuh besar dan percaya diri. Hatiku dipenuhi cinta seorang kakak ketika memandangnya. Aku ingat kembali saat ia hampir mati karena infeksi, lalu menjadi anggota keluarga dekat kami. Sekarang ia duduk dan tersenyum kepadaku, seraya mengatakan berulang kali betapa ia sangat merindukan kami. Air matanya telah berganti dengan kegembiraan. "Keluargaku telah kembali."
Namun, lambat laun aku sadar bahwa semuanya tak lagi sama. Kami telah berubah. Kami tidak lagi memainkan permainan gila kami. Tidak ada lagi "berburu buaya". Tidak ada lagi api unggun atau berburu binatang kecil. Jauhnya rumah kami dari sungai sekarang tidak lagi menggangguku. Dulu hal ini pasti ini membuatku kesal. Sabine kecil sangat benci jika tidak bisa berenang.
Aku masih suka berenang, tetapi sekarang lebih tertarik pada hal lain, contohnya kehidupan wanita Fayu. Aku perlahan beralih dari pergaulan dengan para pemuda ke dalam dunia wanita dan melewatkan waktu demi waktu bersama mereka. Kami duduk berkelompok, memancing bersama, membuat sagu, dan merawat anak. Tuare belum bisa menerima perubahan ini. Ia sering duduk di dekat kami, memerhatikan segala yang kulakukan. Kelihatannya dia tidak senang dengan apa yang dilihatnya. Ia tidak jatuh cinta padaku; aku selalu merasa bahwa baginya aku bukan lelaki, bukan juga wanita. Kurasa ia hanya menginginkan Sabine kecil kembali, namun tiba-tiba saja aku sudah tumbuh dewasa.
Orang Fayu tak habis pikir mengapa sampai sekarang aku belum juga "diculik". Menurut standar mereka, aku agak terlalu tua untuk tetap melajang. Namun, lelaki Fayu tidak pernah menyentuh Judith maupun aku. Waktu Papa bertanya kepada mereka tentang hal itu, mereka berkata, "Kalian tetap dengan kulit kalian dan kami akan tetap dengan kulit kami. Kita memang benar-benar berasal dari dunia yang berbeda."
Ketika sekali waktu aku bertanya kepada Judith mengenai hal ini, ia tertawa dan berkata, "Mereka tidak akan mengerti harus berbuat apa dengan kita. Kita tidak pandai mengambil sagu, menangkap ikan, atau menenun jala. Para lelaki khawatir mereka tidak akan makan kalau menikahi kita. Jadi mereka lebih suka menikah dengan wanita yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Sabine, aku tidak bisa membayangkan kau akan diam ketika tidak setuju akan suatu hal. Atau duduk tenang bersama para wanita sementara para lelaki perg i berburu."
Dulu aku tertawa jika membayangkan menjadi istri dari seorang prajurit Fayu. Namun kini tidak begitu yakin. Mungkin ide tersebut tidak terlalu buruk. Barangkali aku dapat beradaptasi untuk menjadi seorang wanita suku. Kupikir saat itu hidup akan lebih mudah bila aku tinggal bersama orang Fayu. Hidup pasti tidak akan serumit di Barat. Namun, saat itu aku sendiri tidak terlalu memusingkan masalah ini. Aku benar-benar senang telah kembali bersama orang Fayu dan menemukan kembali bagian dari hatiku.
Foto 65 Foto 66 Foto 67 Foto 68 : Para prajurit Fayu mempersiapkan
diri untuk berburu Foto 69 Foto 70 : Setelah berburu : memotong-motong dan memasak hasil buruan
Foto 71 : Mengolah Sagu Foto 72 Mengolah Sagu ; Foto 73 : memasak buah kwa di atas api
Di sore hari, kami duduk-duduk mengelilingi api unggun sambil membelakangi matahari yang terbenam. Cuaca di sini lebih dingin dibandingkan area rumah kami yang lama. Angin sepoi-sepoi menerpa kami. Aku sering kali dapat melihat halilintar bermain-main di kaki langit. Para pemuda menceritakan kisah yang biasanya seputar berburu atau wanita. Aku sering tertawa sendiri. Lelaki di mana-mana sama saja. Suatu kali, ketika Bebe menerangkan kepadaku bahwa ia menginginkan seorang wanita dengan buah dada besar, ia berdiri dan menunjukkan ukuran yang diinginkan.
"Bebe," aku tertawa, "buah dada sebesar itu tidak ada di sini."
"Apakah di tempat asalmu ada?" tanyanya penasaran.
"Ya, tetapi tidak asli," jawabku.
"Tidak asli?" Kebingungan terpancar di wajah para lelaki.
Saat mereka semua menatapku penuh harap, aku menyesal telah mengatakan hal itu. Penjelasannya terlalu rumit, terlalu jauh dari apa pun yang dapat mereka mengerti. Yang jelas, ini benar-benar sangat berbeda.
"Lupakan saja," kataku.
Saat kami masih di Jerman, pangkalan di Danau Bira ditutup. Keluarga asing yang menetap tidak cukup banyak, sehingga keberadaannya tidak dapat dipertahankan. Jadi kini kami harus melakukan perjalanan antara Foida dan Jayapura. Di sana, kami menyewa sebuah rumah.
Sebuah SMU bernama Hillcrest International School juga telah dibangun. Di tempat inilah kami bersekolah bersama empat puluh orang asing lainnya. Kami melewatkan lebih banyak lagi waktu di kota, dan hanya dapat mengunjungi orang Fayu semasa liburan. Jayapura adalah tempat dua duniaku bersentuhan. Di sana, nuansa kehidupan hutan bertemu dengan sedikit peradaban.
Pada suatu hari, beberapa saat sebelum liburan, aku sadar bahwa perasaan di tengah-tengah, yaitu tidak menjadi bagian yang tegas dari salah satu dunia, sangat memengaruhi kehidupanku. Hal ini menjadi masalah.
Seluruh keluarga pergi ke kota, sementara aku tinggal dengan Papa untuk menikmati beberapa hari terakhir besama orang Fayu. Papa bertanya apakah aku mau ikut dalam sebuah perjalanan. Tentu saja aku mau. Jadi kami memulai perjalanan menuju ke kelompok Sefoidi. Tuare telah menunggu di perahu untuk bergabung bersama kami dalam perjalanan ini. Aku duduk di sebelahnya di bagian depan perahu. Aku membantunya mengawasi gelondongan kayu yang mengambang, reruntuhan, serta karung pasir yang tenggelam.
Suasana di sungai begitu indah. Matahari menyinari mukaku, alam terbentang di sekitar, dan keindahan terasa di udara. Karena Mama tidak ada, Tuare memberiku beberapa batang tebu. Kami menyobek kulit luarnya dengan gigi dan menghisap habis airnya. Bibir kami mengecap dan air tebu mengalir di tangan, membuat kami lengket. Namun tak perlu khawatir. Satu celupan ke sungai dengan mudah membereskan hal ini.
Kedamaian yang menakjubkan menghampiriku, sebuah sensasi yang makin sukar kupahami. Bagiku hutan tetap sebuah tempat ajaib. Hutan adalah rumahku. Namun aku merasa rumah itu sedang terlepas dari genggamanku. Aku mencoba menahannya dengan seluruh kekuatanku, tetapi rumah itu semakin menjauh. Aku tidak tahu lagi siapa diriku dan di mana aku seharusnya berada. Waktu yang aku lewati di Barat telah banyak memengaruhiku. Aku merasa tersiksa di antara keinginan untuk tetap menjadi anak rimba atau menjadi wanita modern. Keputusan harus dibuat, lebih cepat lebih baik.
Tuare menghentikan lamunanku dengan menggoyang-goyangkan lenganku dan menunjuk ke arah sebuah pohon besar di darat. Aku cepat melihat apa yang ia maksud, yaitu ribuan sosok hitam bergelantungan di dahan.
"Apakah kau ingat? Rasanya enakkan? tanya Tuare.
"Oh, ya!" aku menghela napas pelan.
Tiba-tiba sosok-sosok tersebut bergerak dan langit dipenuhi kelelawar. Ketika melihat mereka terbang di atas kepalaku, aku bertanya pada diri sendiri mengapa aku banyak berpikir. Lagipula, inilah rumahku, keluargaku. Segalanya sama seperti dulu dan akan selalu sama. Paling tidak itulah yang ingin kupercayai sehingga keberadaannya tidak dapat dipertahankan. Jadi kini kami harus melakukan perjalanan antara Foida dan Jayapura. Di sana, kami menyewa sebuah rumah.
Sebuah SMU bernama Hillcrest International School juga telah dibangun. Di tempat inilah kami bersekolah bersama empat puluh orang asing lainnya. Kami melewatkan lebih banyak lagi waktu di kota, dan hanya dapat mengunjungi orang Fayu semasa liburan. Jayapura adalah tempat dua duniaku bersentuhan. Di sana, nuansa kehidupan hutan bertemu dengan sedikit peradaban.
Hati Seorang Pemburu 2 Wiro Sableng 133 Lorong Kematian Rahasia Ciok Kwan Im 5

Cari Blog Ini