Ceritasilat Novel Online

Wajah Baru 2

Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun Bagian 2


cowok Italiaku. "Si, oke, usulmu kuterima," kataku akhirnya.
"Bom, bagus!" seru Cassandra. "Sampai jumpa di cafe dua
puluh menit lagi." ************* Setengah jam kemudian, aku mendaki Tangga Spanyol dengan
langkah bergegas-gegas. Di cafe yang dimaksud, kulihat Cassandra
dan Renzo duduk di meja sudut, sedang menikmati makan siang.
"Ah, akhirnya kau muncul juga," ujar Renzo berbahasa Italia.
"Kita harus berbahasa Inggris untuk menghormati teman yang
lain," kataku padanya. Aku mengalihkan pandang pada Cassandra.
"Sori, aku telat. Sulit sekali meninggalkan Carl tanpa membuatnya
tersinggung." "Tak apa," sahut Cassandra. "Kami putuskan untuk makan
tanpa menunggumu. Mau pesan sesuatu? Spagetinya lezat." Ia melihat
ke sekitarnya. "Mana pelayannya?"
Renzo mendekat ke arahku. "Aku tak menyalahkan Carl yang
tak ingin kautinggalkan," bisiknya.
"No, grazie. Tak apa, Cassandra," kataku, pura-pura tak
mendengar ucapan Renzo. "Aku tak lapar kok."
"Oh, oke," ujar Cassandra, memandang kami lagi. Ia
menggulung spagetinya dengan garpu. "Ayo kita susun rencana. Aku
sudah ceritakan semua masalahmu pada Renzo, Pia, dan ia mau
membantumu." "Betul," timpal Renzo, menggigit rotinya. "Dengan senang hati
aku mau menjadi cowok rekaanmu itu... siapa ya namanya?"
"Carlo," jawabku. "Dan ia bukan cowok rekaan. Tidak
sepenuhnya begitu. Maksudku, sebetulnya ia itu Carl, cuma ia cowok
Italia." "Kalau begitu, jelas dong dia bukan Carl," kata Renzo,
mengangkat alis. "Maksud Pia, Carlo itu pacarnya yang bekerja sebagai model
dan tinggal di New York," Cassandra mencoba menerangkan. "Hanya
saja dia harus orang Italia."
"Kayaknya tokoh itu memang lebih mirip aku daripada Carl,"
tegas Renzo. Ia melempar senyum padaku. "Nah, katakan, apa yang
harus kulakukan untukmu."
"Sandiwara ini hanya untuk nanti malam kok," tuturku. "Paling
lama dua jam. Aku akan mengajak Carlo makan malam di restoran
keluargaku sehingga mereka bisa berkenalan dengannya. Yang harus
kaulakukan adalah ikut aku makan malam, bilang bahwa namamu
Carlo, makan, lalu pulang."
"Gampang sekali," ujar Renzo.
"Mudah-mudahan," sahutku. "Keluargaku, terutama kakakkakakku, susah sekali menerima orang luar. Mereka mungkin berpikir
tak ada cowok yang cukup baik untukku. Dan di sana ada juga
kakekku. Ia sangat kolot. Kau harus bersikap sopan padanya."
"Tak apa," kata Renzo. "Jangan khawatir, Pia. Mereka pasti
suka padaku. Akan kubuktikan."
Tapi aku tak yakin. Terus terang, saat pertama kali bertemu, aku
sudah tak suka pada Renzo. Tapi, kuingatkan diriku, ia satu-satunya
harapanku. Dan ia sudah bermurah hati mau menolongku. Aku harus
bersikap lebih ramah padanya.
"Thanks," kataku. "Terima kasih banyak, Renzo."
Renzo menusuk sepotong ravioli dengan garpunya.
"Panggil aku Carlo," katanya sambil mengerling.
*************** "Tapi, Snask, kupikir kau akan mengajakku melihat-lihat
kotamu yang indah ini," protes Carl pada malam harinya di lobi hotel.
"Aku tahu keluargamu sedang ke luar kota, sehingga tak mungkin
bagiku untuk mencicipi capellini terlezat di dunia, tapi kau kan bisa
mencarikan capellini kelas dua di tempat lain."
"Mi dispiace, sori, Carl," sahutku. Hatiku terasa pedih karena
membohonginya, tapi aku terpaksa harus terus berbohong. "Aku capek
sekali. Sejak tiba di sini aku sudah tiga kali ikut pemotretan,
semuanya melelahkan. Mungkin juga karena perbedaan waktu di sini
dan New York yang membuatku cepat mengantuk."
"Tapi di New York sekarang kan baru jam makan siang," kilah
Carl, melihat arlojinya. "Kalaupun kau berpatokan pada New York,
tak mungkin kau tidur secepat ini."
"Aku tahu," kataku. "Tapi aku lelah sekali. Perjalanan ke sini
juga melelahkanku." "Hm, baiklah, kalau kau yakin itu sebabnya," ujar Carl. Ia
menunduk. Aku merasa tak enak. Tapi aku ingat Cassandra akan
menghiburnya sehingga Carl akan merasa lebih baik.
Carl mengeluh lalu tersenyum kecut padaku. "Aku tak akan
memaksamu pergi bersamaku kalau kau betul-betul letih," katanya.
"Hanya saja kupikir, kita kan cuma beberapa hari di sini, dan jadwal
pemotretan yang padat menyebabkan kita cuma punya sedikit waktu
santai." "Lo so, aku tahu," kataku, menggenggam tangannya. "Mulai
besok, setiap ada kesempatan kita akan selalu bersama-sama. Ti
promiso, aku janji."
Aku melihat ke sekitar lobi. Menurut rencana, saat ini
Cassandra akan menuju kemari. Aku harus mengulur waktu agar Carl
tetap berada di lobi sampai ia tiba.
Tak lama aku melihatnya, berjalan menghampiri kami.
"Hai," sapanya ketika tiba di dekat kami. "Apa rencana kalian
malam ini? Makan malam di luar? Aku mau pergi ke restoran kecil di
ujung jalan. Teman-teman juga akan makan di sana."
"Grazie, trims, tapi aku capek sekali," jawabku. "Aku ingin
tidur cepat." Cassandra melirikku. "Oh, ya, kau memang kelihatan capek.
Sebaiknya kau ke kamarmu dan tidur, Pia. Tapi, Carl, ikut aku yuk?"
"Nggak usah deh," sahut Carl.
"Oh, Carl, kau harus ikut dia," desakku. "Pergilah makan
malam dengan Cassandra dan teman-teman yang lain."
"Ya, Carl, ayolah," bujuk Cassandra.
"Apakah banyak yang akan pergi?" tanya Carl.
"Yah, aku tak tahu pasti siapa saja yang akan pergi, tapi
pokoknya asyik deh," jawab Cassandra.
Carl tampak bimbang. "Ikutlah, Carl," desakku lagi. "Kau kan harus makan. Mungkin
kau bisa menikmati capellini di sana."
"Hm, baiklah, aku akan pergi," ujar Carl. "Aku memang harus
makan." Ia memandangku. "Tapi aku tak akan memesan capellini.
Santapan itu khusus untuk kita nikmati berdua, Pia."
Aku tersenyum padanya dan hatiku seperti ditusuk-tusuk. Carl
begitu baik, aku benci karena membohonginya seperti ini.
"Terserah kau mau makan apa," kata Cassandra mengangkat
bahu. "Pokoknya kita harus berangkat sekarang, setelah meninggalkan
pesan untuk Sue." "Oke," kata Carl sambil bangkit berdiri. Ia berpaling padaku.
"Sampai besok, Snask."
"Si," jawabku, pura-pura menguap. "Aku akan langsung ke
kamarku dan tidur. Buona notte, selamat malam."
Ketika menuju lift, pandanganku terus mengikuti Carl dan
Cassandra yang keluar dari lobi. Lalu aku naik ke lantai tiga, ke kamar
yang kutempati bersama Katerina dan Naira.
Ketika menyusuri koridor, aku berpapasan dengan mereka.
"Ciao, hai," salamku. "Kalian akan pergi ke restoran di ujung
jalan, ya?" "Restoran mana?" tanya Katerina.
"Restoran tempat teman-teman akan makan malam," jelasku.
"Cassandra bilang begitu padaku."
"Aku tak tahu mereka punya rencana seperti itu," kata Naira.
"Aku dan Katerina akan makan di hotel saja. Kami sudah
meninggalkan pesan untuk Sue."
"Apakah teman-teman akan berkumpul di tempat lain?" tanya
Katerina. "Kok kami tak mendengar apa-apa?"
"Rasanya sih Cassandra bilang begitu," sahutku, berpikir. "Ah
non importa, tak apalah. Selamat makan ya!"
"Oke, bye," kata Naira.
"Ciao!" seruku, bergegas menyusuri koridor menuju ke
kamarku. Di dalam kamar, kulihat jam. Aku cuma punya waktu 25 menit
untuk berpakaian dan memasang rambut palsu sebelum menemui
Renzo di lobi. Aku berharap Cassandra menepati janjinya untuk
menemani Carl. Aku mengambil pakaian bergaya klasik yang pasti disukai
kakekku?sweter putih dan rok panjang cokelat?lalu membubuhkan
makeup tipis ke wajahku. Kubuka laci meja riasku dan sambil mengeluh kuambil tas
belanja Maxxus yang berwarna kuning emas dan hitam. Aku akan
gembira sekali kalau malam ini segera berlalu.
"Hei, kau kok seperti Rapunzel?" seru Renzo ketika kami
bertemu di lobi. "Rap-apa?" tanyaku. "Sori, aku tak paham maksudmu."
"Rapunzel," ulang Renzo. "Kau pernah dengar dongeng tentang
putri yang dikurung di menara, kan? 'Rapunzel, Rapunzel, ulurkanlah
rambutmu.'" "Ah, si, ini toh maksudmu?" kataku, melemparkan kepang palsu
ke belakang punggungku. "Dulu aku berambut panjang, dan
keluargaku tak tahu aku telah mengguntingnya sejak jadi model di
New York." "Oh, ada banyak hal yang tak mereka ketahui tentang dirimu,
huh?" tukas Renzo. "Kau penuh rahasia ya, Pia?" tanyanya
menyeringai. "Misterius... aku suka gadis yang misterius."
"Aku tidak selalu misterius kok," kataku ngotot. "Aku begini
karena tak ingin mengubah pandangan keluargaku terhadapku, dan
aku ingin membuat mereka senang."
"Oke," kata Renzo. Ia meraih tanganku dan membimbingku
keluar lobi. "Ayo kita buat mereka senang."
Bab 8 "MR. GIOVANNI, ini gnocchi terlezat yang pernah kucicipi,"
puji Renzo dengan bahasa Italia yang sempurna ketika kami semua
berkumpul di meja makan malam itu.
"Terima kasih, Carlo," sahut ayahku, tersenyum lebar. "Mari
kutambah lagi untukmu."
"Oh, jangan," tolak Renzo. "Yang lain nanti tak kebagian."
"Ayolah, Carlo," desak ibuku. "Kau tamu istimewa kami malam
ini." "Hm, baiklah, kalau Anda yakin yang lain masih kebagian,"
kata Renzo. "Tapi kakek Pia mungkin ingin mencobanya juga."
"Tidak, tidak kok," jawab ibuku. "Ia tidak suka kue itu."
"Kakek cuma makan sup," jelas Leo.
"Pasta dan kue bola-bola itu terlalu berat untuk pencernaannya,"
tambah Gino. Ibuku mengambil piring Renzo dan mengopernya ke ayahku,
yang kemudian menyendok kue bola-bola kentang buatannya itu ke
piring Renzo. Aku memandang sekilas ke ujung meja tempat kakekku
duduk. Ia asyik menghirup supnya, tak peduli sama sekali pada
keadaan di sekitarnya. Makan malam itu berlangsung lebih baik dari yang
kubayangkan. Renzo memainkan perannya dengan bagus, dan
sepertinya keluargaku suka sekali pada "Carlo". Aku merasa amat
lega. "Jadi, Carlo, asalmu dari mana?" tanya Bibi Maria.
"Dari Naples," jawab Renzo sambil mengunyah gnocchi.
"Ah, Naples, kota pantai yang indah sekali di selatan," puji
Paman Bernardo. "Tapi kalau tak salah, Pia pernah bilang asalmu dari utara," kata
Leo. Ia memandangku sambil mengangkat alis.
Aku menelan ludah. Aku benar-benar lupa aku pernah berkata
begitu pada Leo. "Uh, betul," ujarku cepat. Renzo memandangku heran. "Ren...
maksudku Carlo, berasal dari Italia Utara. Ia baru saja pindah ke
Naples." "Kau tinggal di Naples, Carlo?" tanya Bibi Cristina. "Tapi
bukankah kau juga seorang model di New York, seperti Pia."
"Betul," tukasku sebelum Renzo sempat menjawab. "Ia pindah
ke Naples sebelum ke New York untuk jadi model."
"Ya, betul," kata Renzo, tertawa. "Pindah, pindah, selalu
pindah." Ia berhenti. "Tapi sejak bertemu Pia, rasanya aku tak
kepingin pindah-pindah lagi."
"Wah, wah!" seru Bibi Maria. "Hubungan kalian sepertinya
cukup serius nih." "Oh, tentu," jawab Renzo. Ia mengangguk dengan sungguhsungguh. "Saat bertemu Pia aku sadar dialah gadis idamanku." Ia
memandang sekilas pada ayahku. "Maksudku, aku tahu kami masih
sangat muda dan belum saatnya membicarakan perkawinan..."
"Perkawinan!" seruku, tersedak.
"...tapi aku bersedia menunggu," sambung Renzo. Ia tersenyum
dan melihat ke sekitar ruangan. "Dan kurasa Pia juga begitu. Pia gadis
yang istimewa. Anda beruntung karena memilikinya."
Aku tak percaya pada apa yang kudengar. Renzo betul-betul
memerankan Carlo dengan serius... agak terlalu serius malah. Aku
memandangnya dan menggeleng untuk memberi isyarat agar ia
berhenti membual. Tapi ia tak melihatku atau tak mau menghiraukanku.
"Aku sangat beruntung dapat berkenalan dengannya," lanjut
Renzo. "Anda tahu, kan, jarang sekali ada kesempatan bertemu gadis
Italia asli yang berasal dari keluarga baik-baik di New York City."
Ibuku membalas dengan wajah berseri-seri. "Dan aku yakin
tidak gampang pula menemukan pemuda sopan dan penuh perhatian
seperti dirimu di New York. Pia pun beruntung, Carlo."
Aku mengeluh. Kayaknya akting Renzo ini semakin menjadijadi. Aku memandang kakekku sekilas. Ia sudah menghabiskan
supnya dan dengan hati-hati mengelap mulutnya dengan serbet.
Malam ini ia pendiam sekali.
"Carlo, perasaanku jadi lebih tenang karena kau akan
mengawasi adikku di New York," kata Leo.
"Terima kasih," sahut Renzo, tangannya terulur dan menekan
tanganku sedikit. Aku menyentakkannya. "Sudah waktunya untuk membersihkan
meja," ujarku, bangkit berdiri.
"Oh, Pia, duduk sajalah," tukas ibuku. "Aku akan
membereskannya dan menyiapkan kopi serta hidangan penutup."
"Izinkan aku membantumu, Mamma," pintaku. Aku mulai
menumpuk mangkuk-mangkuk. Renzo memang sudah menjalankan
tugasnya dengan baik dan keluargaku puas padanya. Tapi saat ini, aku
benar-benar perlu menjauh darinya sebentar.
Beberapa saat kemudian ketika ibuku dan aku kembali sambil
membawa kopi dan kue keju, kulihat Stefano, sepupuku yang masih
kecil itu, duduk di pangkuan Renzo, sementara Renzo sendiri sedang
mengobrol tentang sepak bola dengan kakak-kakakku. Menurutku itu
topik yang tepat, karena ketiga kakakku tergila-gila pada olahraga itu.
"Waktu di Naples, kau pernah main sepak bola, Carlo?" tanya
Marco. "Banyak klub sepak bola yang bagus di sana, kan?"
"Aku pernah masuk klub sebentar," jawab Renzo, saat itu
Stefano berdiri dan kembali duduk di tempatnya untuk menikmati
hidangan penutup. "Tapi aku terpaksa berhenti karena harus pindah ke


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

New York. Aku cuma penggemar sekarang."
"Kami juga punya klub terkenal di Roma," tutur Gino. "Kami
selalu nonton setiap pertandingan yang diadakan. Kapan-kapan kau
harus ikut kami." "Oke, dengan senang hati," jawab Renzo.
Aku menuang secangkir kopi untuk kakekku dan memandang
sekilas pada Renzo. "Aku tak yakin apakah Carlo punya waktu," kataku. "Jadwal
pemotretan kami sangat padat, dan kami cuma punya sedikit waktu
bebas." "Oh, sayang sekali," keluh Gino.
"Sebetulnya, model cowok tidak selalu ikut dalam acara
pemotretan, jadi kami punya lebih banyak waktu bebas daripada
model cewek," jelas Renzo. "Mungkin aku bisa ikut nonton bola kalau
siang hari." Kupandang Renzo dengan tajam. Apa maksudnya berkata
seperti itu? Sintingkah dia? Tidakkah dia sadar, kalau nonton bola
dengan kakak-kakakku berarti dia harus jadi Carlo lagi?
"Bagus," ujar Marco. "Bagaimana kalau besok? Roma akan
berhadapan dengan Milan. Pertandingan itu pasti menarik."
"Besok? Boleh," sahut Renzo, menggigit kue kejunya.
Aku memelototinya. "Carlo, kurasa kau lupa kalau besok siang ada pemotretan,"
kataku berbohong. "Di Air Mancur Trevi, kan?"
"Tidak, Pia," jawab Renzo, menggeleng. "Kau yang lupa.
Pemotretan di Air Mancur Trevi berlangsung pagi hari. Siang harinya
kaulah yang ada pemotretan di taman Villa Borghese. Tapi tak
seorang pun model cowok dijadwalkan untuk ikut pemotretan itu." Ia
mengangkat cangkir dan menghirup kopinya.
Kenapa Renzo jadi konyol begini? Dengan geram, kutendang
kakinya yang ada di bawah meja keras-keras.
"Aduh!" pekiknya, menumpahkan kopinya.
"Ada apa?" tanya ibuku penuh perhatian.
"Tak apa-apa," sahutnya. "Mulutku sedikit terbakar karena kopi
yang panas ini." "Oh, maaf," sesal ibuku. "Kopi yang kusajikan terlalu panas, ya.
Kalau kau ke sini lagi besok, akan kudinginkan dulu kopinya sebelum
kusajikan untukmu." "Besok?" tanyaku ragu-ragu.
"Ya, besok," tegas ibuku. "Carlo harus kembali untuk makan
malam bersama kakak-kakakmu setelah nonton bola. Dan kau juga,
Pia, kemarilah setelah pemotretan."
Dengan risau, kupandangi kue-kue di depanku. Aku tak
mungkin lagi mengelak. Renzo dan aku harus makan malam lagi,
padahal aku sama sekali tak ingin bersamanya. Aku harus bilang apa
pada Carl? "Mmmm," gumam Renzo, memasukkan kue keju ke dalam
mulutnya. "Lezat. Belum pernah kumakan kue keju selezat ini."
"Oh, terima kasih, Carlo," ujar ayahku. "Kue itu dibuat dengan
resep khusus keluarga Giovanni yang diwariskan turun-temurun.
Orang luar tak boleh tahu. Tapi," lanjut ayahku dengan mata berbinarBinar, "melihat perkembangan hubunganmu dengan Pia, rasanya resep
itu kelak akan jadi milikmu juga, Nak!"
*********** "Apa-apaan sih kau ini?" tanyaku marah dalam bahasa Italia
sewaktu aku dan Renzo naik taksi ke hotel. "Kenapa kau bersikap
gila-gilaan begitu di rumahku?"
"Lho, aku kan cuma memainkan peranku sebagai Carlo,"
sahutnya. "Persis seperti yang kauinginkan!"
"Aku hanya ingin kau ikut makan malam, bilang kalau kau
adalah Carlo, kemudian pulang," tukasku. "Aku tak pernah
memintamu mengoceh soal perkawinan! Dan aku juga tak
menyuruhmu menerima ajakan nonton bola dari kakak-kakakku
besok!" "Aku tahu," kata Renzo, tertawa kecil. "Itu bumbu penyedap
yang membuat suasana tambah seru, bukan?"
"Bumbu penyedap!" sergahku berang. "Kelakuanmu malam ini
benar-benar menyebalkan!"
"Oh, tenanglah, Pia," bujuk Renzo. "Mana rasa humormu?
Bukankah segalanya berjalan lancar? Keluargamu suka padaku,
seperti yang kujanjikan."
Aku harus mengakui kalau Renzo betul. Keluargaku sangat
menyukainya. Tapi aku tetap marah padanya. Dan yang lebih buruk
lagi, besok malam aku harus pergi lagi dengannya.
"Carl pasti akan marah padaku kalau kubatalkan lagi acara
makan malam dengannya," bisikku, memandangi tanganku.
Renzo bergeser mendekatiku.
"Aku tak habis pikir kenapa kau memilih Carl," bisiknya di
telingaku. "Ia tak cocok untukmu, Pia, kau tahu itu."
Aku membelalak menatapnya. "Apa kau bilang?" semburku.
"Kau sudah mendengarnya," sahut Renzo. "Ayolah, Pia. Carl itu
membosankan, kan?" Ia menatapku lekat-lekat. "Kau harus cari orang
lain yang lebih menggairahkan."
Tiba-tiba, ingin sekali kurenggut Renzo dan kutampar
wajahnya. Aku ingin berteriak kalau Carl itu cowok paling tampan,
sopan, dan baik hati, sedangkan dia, Renzo, adalah cowok keji, tidak
jujur, dan egois. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku masih butuh
Renzo sekali lagi untuk menemaniku makan malam.
"Pikirkanlah, Pia," katanya, wajahnya amat dekat denganku.
"Kau lebih cocok denganku daripada dengan Carl."
Aku berpaling darinya dan melihat ke luar jendela dengan
kesedihan yang amat dalam. Ucapan Renzo telah memukulku telaktelak. Saat itu, aku merasa diriku memang lebih mirip dengannya...
karena hanya gadis yang keji, tidak jujur, dan egoislah yang akan tega
menipu cowok sebaik Carl.
Bab 9 "CEPAT, gadis-gadis," seru Sue Takamishu, "cepat sedikit
kalau berpakaian sehingga kita bisa segera keluar dari sini dan ganti
cowok-cowok itu yang masuk."
Esok paginya, Paige, Cassandra, Kerri, Naira, Katerina, dan aku
berdesak-desakan di studio foto Elio Biondi yang sempit. Letak studio
itu tak jauh dari Air Mancur Trevi, tempat pemotretan akan
berlangsung. Elio sudah berada di alun-alun dekat air mancur untuk
mengatur peralatan fotonya. Rambut dan makeup kami sudah ditata
dan sekarang kami menggunakan studio ini untuk tempat ganti
pakaian. "Pia, pakailah ini," kata Jane, stylist kami. Ia memberiku
secarik bahan kuning dan hijau limau yang bisa melar.
Kuterima bahan itu yang ternyata sebuah gaun. Gaun yang
pendek sekali dan bersetrip-setrip, kerut di bagian bawahnya berkibarkibar.
"Oh, manis sekali," seruku. "Siapa desainer-nya?"
"Tucci," sahut Jane.
Aku mengangguk. Antonio Tucci dikenal sebagai desainer yang
pintar bermain-main dengan warna-warna cerah. Aku mengagumi
desain-desainnya. Aku mengenakan gaun itu. Model yang lain juga memakai
desain Tucci. Kerri memakai setelan celana pendek kotak-kotak putih-merah
jambu, mirip pakaian bermain anak-anak. Naira memakai gaun seperti
punyaku, cuma setripnya biru laut dan putih, dan bagian yang berkerut
warnanya kuning. Paige mengenakan rok mini hijau pupus dan T-shirt
pendek bersetrip-setrip kuning-putih. Katerina memakai bustier pink
yang berkerut biru di bagian bawahnya dan rok mini putih yang
modelnya seperti punya Paige. Cassandra memakai celana kotakkotak hitam-putih dan blus ketat kuning. Cassandra bilang pakaiannya
itu membuatnya merasa seperti taksi.
Ketika selesai berpakaian, kami mengikuti Sue keluar. Di luar,
model cowok sudah menunggu giliran untuk ganti pakaian di studio
itu. Carl memakai celana panjang warna zaitun dan sweter longgar
cokelat dari bahan rajut, tangannya dimasukkan di saku celananya dan
ia membelakangi aku. Ketika Sue dan model lain berjalan ke alunalun tempat pemotretan akan berlangsung, aku bergegas menghampiri
Carl dan memeluknya dari belakang, hati-hati sekali agar tidak
merusakkan rambut dan makeup-ku.
Ia menengok ke belakang. "Halo, Snask," sapanya, tersenyum.
"Halo, Carl," salamku. Aku membalas senyumnya, hatiku luluh
seketika melihat ketampanannya.
Lalu kudengar seseorang bersiul di belakangku. Aku. menoleh,
tanganku tetap melingkar di pinggang Carl, dan kulihat Renzo yang
bercelana jeans, berkaus turtleneck hitam, serta berkacamata hitam. Ia
bersandar ke tembok. "Gaunmu indah, Pia," puji Renzo. Ia mendorong kacamata
hitamnya ke atas kepalanya dan memandangi aku dari atas ke bawah.
"Gaunmu indah sekali."
Aku cemberut. Ketika pertama kali mengenakan gaun ini, aku
langsung menyukainya. Gaun ini memang sangat ketat dan pendek?
kakekku pasti shock kalau melihatnya?namun modelnya manis dan
nyaman dipakai. Tapi melihat sorot mata Renzo sekarang, aku jadi
merasa rikuh, seakan-akan tak mengenakan selembar benang pun.
Aku bisa merasakan tubuh Carl mengejang di balik sweternya;
rasa tak senang jelas terpancar di wajahnya. Renzo menyeringai
padanya sambil mengangkat bahu.
"Oh, tenanglah, sobat," ujar Renzo. "Tak usah cemburu padaku.
Aku cuma ingin memuji pacarmu."
"Hm," sahut Carl dengan suara rendah.
Aku memijit pinggangnya. "Aku harus pergi sekarang, Carl,"
bisikku. Aku menunjuk Sue dan model lain yang hampir tiba di alunalun. "Sampai nanti."
Aku jalan bergegas, menyusul Kerri dan Cassandra yang
berjalan paling belakang.
"Hai, Pia," sapa Cassandra. "Bagaimana acaramu dengan Renzo
tadi malam? Apakah keluargamu percaya?"
"Si, ya," sahutku pelan. "Mereka benar-benar percaya. Mereka
suka Renzo. Atau sebaiknya kubilang, mereka suka pada 'Carlo'."
"Bagus," kata Kerri, antusias. "Kalau begitu beres, kan?"
"Mezzo, mezzo, kurasa belum," jawabku.
"Apa maksudmu?" tanya Cassandra, memandangku. "Kau tadi
bilang mereka suka padanya. Lalu apa lagi persoalannya?"
"Masalahnya, aku benci karena harus berbohong pada Carl
seperti itu," tuturku sedih. "Aku juga menyesal kenapa aku sejak awal
berbohong pada keluargaku. Dan yang paling buruk, aku harus
mengulanginya lagi malam ini!"
"Kenapa?" tanya Kerri. "Apa yang terjadi?"
"Keluargaku mengundang 'Carlo' makan malam lagi," jelasku.
"Dan Renzo mau!"
"Puxa, wow!" seru Cassandra. "Sepertinya mereka benar-benar
menyukainya. Jadi, kau butuh aku lagi untuk menemani Carl nanti
malam." "Si, kurasa begitu," sahutku. Tapi belum terbayang di kepalaku
apa yang harus kukatakan pada Carl. Ia sangat berharap kami dapat
makan bersama malam ini. "Hei, Cass, apa nama restoran yang kaukunjungi tadi malam?"
tanya Kerri. "Menarik, ya? Aku janji pada Sue untuk menanyakannya
padamu karena ia tertarik juga untuk ke sana malam ini."
"Giordano," jawab Cassandra. "Letaknya tepat di ujung jalan
hotel kita, dan di luarnya ada awning merah-putih. Mudah kok
mencarinya." "Semalam kau tidak ikut makan di Giordano, Kerri?" tanyaku
terkejut. Kerri dan Cassandra teman baik, kukira Kerri ikut sebab kata
Cassandra ia akan menemui kawan-kawannya di sana.
"Oh, tidak," ujar Kerri, menggoyang-goyangkan tangannya.
"Paige dan aku pergi dengan Sue, Jane, Isabella, serta dua model
cowok ke restoran yang asyik di puncak bukit. Pemandangan di sana
indah sekali." Kami tiba di alun-alun kecil yang mengelilingi Air Mancur
Trevi, salah satu air mancur terindah di Roma. Kolamnya cukup besar,
dan dihiasi dengan patung pualam Dewa Neptunus, kuda laut, serta
makhluk-makhluk laut lainnya. Air mancurnya jatuh mengenai
langkan batu seperti air terjun.
"Oh!" seru Paige. "Indah sekali!"
"Si," sahutku bangga. "Ini salah satu tempat terkenal di Roma."
"Lihat, di dalamnya banyak uang logam!" seru Katerina. Ia
memandang ke dasar kolam yang dangkal dan penuh uang logam
dalam berbagai ukuran. "Pasti sudah tak terhitung jumlahnya orang-orang yang datang
kemari untuk memohon berkah," ujar Naira.
"Menurut legenda, kalau kaulempar uang logam ke situ, suatu
saat kau pasti akan kembali ke Roma," tambahku.
"Wow, menarik sekali!" seru Kerri.
"Ya," timpal Paige. "Sayang aku tak punya uang kecil untuk
kulempar. Aku menyukai tempat ini dan aku ingin sekali datang lagi
ke Roma kelak." "Aku harus membeli kartu pos bergambar Air Mancur Trevi
untuk kukirimkan pada adik-adikku di Chicago," ujar Naira, melihat
ke sekeliling. "Oke, gadis-gadis, ayo kita mulai," kata Sue, menghentikan
obrolan kami. "Pertama-tama kalian akan dipotret bersama-sama, dan
kalau cowok-cowok itu sudah menyusul ke sini, aku akan membagi
kalian menjadi beberapa grup."
"Mari kita mulai dengan kalian berdiri di sini," pinta Elio. Ia
menunjuk tempat di depan air mancur.
Kami mulai berpose di sana. Elio mengecek cahaya dengan
light meter, setelah itu dia dan Sue mengatur kembali posisi setiap
model agar warna serta mode pakaian kami kelihatan serasi. Lalu,
kami pun siap. "Oke, pakaian ini kami beri nama 'happy clothes'," seru Sue.
"Tucci benar-benar seorang desainer yang gembira, dan kami ingin
mencerminkan perasaannya di pemotretan ini."
"Sayangnya, aku tak tahu lelucon dalam bahasa Inggris," ujar
Elio dari balik kamera. "Jadi aturlah diri kalian agar wajah kalian
tampak ceria." Gelombang tawa pun terdengar.
"Perfetto! Bagus sekali!" seru Elio, terus menggerakkan
kameranya dan memotret. "Ya, anak-anak, begitu dong!" Sue memberi semangat.
"Usahakan terus memikirkan yang gembira-gembira!"
Mana mungkin? pikirku. Kegembiraan serasa jauh dariku
karena berbagai kejadian yang kualami sejak tiba di Roma. Tapi aku
berusaha tampak gembira. Modal yang harus dimiliki seorang model
adalah mampu melakukan apa pun yang diinginkan fotografer atau
siapa pun yang membayarmu untuk pemotretan itu, tak peduli
bagaimanapun perasaanmu yang sebenarnya.
Setelah habis beberapa rol film, model-model cowok tiba dan
bergabung dengan kami. Mereka berpakaian warna-warni, jaket
bersetrip-setrip rancangan desainer Rizzi yang dipadu dengan T-shirt
putih sederhana serta blue jeans. Menurutku jaket-jaket Rizzi itu
kurang cocok dipasangkan dengan blue jeans, tapi seperti yang pernah
kubilang, orang-orang Amerika suka sekali pada celana koboi itu. Jadi
aku tak heran kalau Sue dan Jane memilihnya untuk pemotretan ini.
Ketika kulihat Carl di alun-alun, aku melambai padanya. Ia
tersenyum dan balas melambai. Sialnya, Renzo juga melambai
padaku. Aku mengeluh. Aku benar-benar muak padanya.
Grup pertama yang akan dipotret adalah Naira, Paige, dan
Steve:?model cowok berambut pirang cepak. Setrip di jaket Steve


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna ungu dan kuning, di tengahnya terdapat garis hitam tipis.
Tampak serasi sekali dengan gaun Naira yang berwarna biru laut,
putih, dan kuning serta pakaian Paige yang berwarna hijau, kuning,
dan putih. Elio menyuruh mereka berpose di air mancur, Paige duduk
di tepi kolam sambil mencelupkan telunjuknya ke air.
Ketika model lain sedang menunggu giliran, aku menghampiri
Carl dan menggandengnya. Ia kelihatan tampan dalam jaket Rizzi ber-setrip-setrip hijauhitam.
"Snask," katanya, meremas tanganku, "kita akan pergi makan
capellini malam ini, kan?"
Mendadak mulutku terasa kering, tenggorokanku tercekat.
"Ah, in fatto, sebenarnya," jawabku, menelan ludah, "ada hal
yang harus kubicarakan denganmu tentang acara malam ini, Carl."
"Oh ya?" tanya Carl, mengangkat alis.
"Begini," sahutku gugup, "kelihatannya acara makan capellininya harus kita tunda semalam lagi."
"Tunda?" tanya Carl dengan wajah terkejut. "Nej, tak mungkin,
kau pasti cuma berolok-olok, kan, Snask?"
"Soalnya begini, Carl," ujarku cepat. "Restoran yang
kuceritakan padamu itu ternyata tutup sampai besok malam."
"Lalu?" tanyanya dengan tak senang. "Kita cari saja restoran
lain." "Tapi restoran itu molto speciale, sangat istimewa," kilahku.
"Makanannya enak, dan suasananya romantis. Itulah sebabnya kenapa
kita harus ke sana untuk makan malam yang pertama di Roma ini."
"Tak masuk akal. Kenapa kita batal pergi bersama hanya karena
restoran itu tutup? Aku yakin suasananya akan tetap romantis
meskipun kita ke sana untuk makan malam yang kedua di Roma
besok malam," tukas Carl, tak sabar. "Kalau tak mau makan malam,
kita kan bisa jalan-jalan."
"Ascolta, dengarlah," pintaku. "Bukan cuma itu. Ada hal lain
yang lebih penting. Soal lain. Aku tak berani mengatakannya padamu
karena aku takut kau akan marah. Aku punya teman, teman lama
sebelum aku pindah ke New York, kudengar ia sedang sakit parah.
Aku harus menengoknya malam ini."
"Malam ini?" tanya Carl. Ia memandangku seolah tak percaya
pada apa yang didengarnya, lalu katanya berang, "Kau tak serius, kan?
Kau kan tahu kita sudah punya acara malam ini!"
"Si, lo so. Aku tahu," kataku, meremas-remas tanganku. "Tapi
acara itu kurencanakan sebelum aku tahu temanku sakit. Cobalah
mengerti, Carl." "Bagaimana kalau aku tak mau mengerti?" teriaknya. "Kenapa
kau tak menengok temanmu itu lain kali saja?" .
"Jadwal pemotretanku di sini padat sekali," jelasku. "Kalau tak
menengoknya malam ini, aku belum tentu akan punya waktu lagi."
"Oh, jadi kau lebih mementingkan temanmu itu daripada aku,
ya?" tanya Carl. "Aku mengerti." Ia menggeleng dengan tak percaya.
Aku memandangnya dan berusaha mencari alasan lain.
Sungguh aku tak mengira hubunganku dengan Carl akan memburuk
begini. Sebelumnya, Carl tidak pernah bicara dengan nada setinggi itu
padaku. Ia pasti marah sekali.
Suara Sue memutuskan pikiranku.
"Oke," katanya, "kita coba grup lain. Bagaimana kalau Carl,
Pia, Renzo, dan Greg?"
Carl dan aku berjalan ke air mancur, tempat Renzo dan Greg?
cowok jangkung keturunan Afrika yang berambut ikal?sudah berdiri.
"Oh, halo," sapa Renzo, mengerling padaku. "Senang sekali
bertemu kau di sini."
Aku tak menyahut. Aku tak ingin bicara pada Renzo.
Sue datang dan menarik rok miniku sedikit lebih tinggi lagi,
kulihat Renzo menyeringai. Lalu Matteo dan Isabella menghampiri
kami, merapikan rambut serta makeup kami dengan cepat.
"Hei," seru Renzo ketika Matteo menyisir rambutku dengan
cekatan, "aku suka model rambutmu yang baru, Pia."
"Model baru?" tanya Greg, bingung. "Sori, tapi bagiku
kelihatan sama saja."
"Tentu saja sama," tukas Carl tak sabar. "Tak tahulah, Renzo itu
bicara apa." "Oh, betulkah?" tanya Renzo dengan mata berbinar-binar.
"Aneh sekali. Aku bersumpah telah melihatmu dengan rambut yang
lebih panjang, Pia."
Aku memandang tajam padanya.
"Apa maksudnya?" tanya Carl, menatapku sekilas.
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu," sahutku acuh tak acuh.
Renzo tertawa kecil dan menggeleng-geleng. Saat itu ingin
sekali aku mendorongnya ke kolam.
"Baiklah," kata Sue. "Pemotretan akan dimulai. Dengarkan
petunjuk Elio." "Aku ingin coba ini!" seru Elio. "Aku ingin memotret kalian
yang berjalan melintasi alun-alun." Ia menunjuk ke pinggir alun-alun.
"Mulailah dari sana, dan berjalanlah melintasi alun-alun, seperti empat
sahabat yang sedang menuju ke suatu tempat."
Kami mengambil tempat di pinggir alun-alun. Carl di sebelah
kiriku, Greg di sebelah kananku, dan Renzo di belakangku.
"Siap?" tanya Elio, mengangkat kameranya. "Mulailah jalan."
Kami berjalan menyeberangi alun-alun.
"Bravi, bagus sekali!" seru Elio, menjepretkan kameranya.
"Bagus. Sekarang mengobrollah dengan santai, seperti sedang
bercakap-cakap dengan teman." '
"Oke," ujar Greg, berjalan sambil berdecak, "apa topik yang
ingin kita obrolkan?"
"Aku tahu," sahut Renzo dari belakangku. "Bagaimana kalau
tentang acara kita malam ini? Apakah kalian sudah punya acara
khusus?" Aku tersentak. Aku tak suka topik itu.
"Santailah sedikit, Pia!" seru Sue dari samping.
Aku mencoba santai. "Steve dan aku mungkin akan pergi ke restoran di dekat hotel,"
kata Greg. "Kau tahu restoran yang awning-nya merah-putih itu, kan?"
"Ya, aku tahu," jawab Renzo.
"Katanya makanannya enak," tutur Greg.
Kami sudah sampai di seberang alun-alun.
"Bagus," seru Elio, menurunkan kameranya. "Sekarang,
kembalilah lagi ke sana."
"Kalau mau kau boleh ikut kami, Renzo," kata Greg ketika
kami kembali melintasi alun-alun. Ia berpaling padaku dan Carl.
"Kalian juga lho."
"Oh, tidak, thanks," jawab Renzo. "Aku sudah punya acara
malam ini. Acara khusus." Ia memandangku sekilas. "Aku berkenalan
dengan gadis Italia yang manis, dan karena sangat menyukaiku, ia
ingin mengajakku makan malam bersama keluarganya di rumahnya."
Aku melotot padanya dan menggeleng pelan untuk
memperingati dia. Kenapa Renzo tak bisa menjaga mulutnya?
"Wah, asyik dong," komentar Greg, mengangguk, saat itu kami
tiba kembali di pinggir alun-alun.
"Sekali lagi, ya," seru Elio, mengangkat kameranya. "Ingat,
berjalanlah dengan santai, mengobrollah seperti dengan teman."
Ha! Aku bergaya sambil berpikir. Mana mungkin orang seperti
Renzo kuanggap teman! Dan Carl... masih sudikah ia bermanis-manis
denganku? Kayaknya sih tidak, melihat sikapnya yang dingin. Aku
terpaksa mengalihkan pandanganku pada Greg dan mencoba
tersenyum padanya. "Jadi, apa rencana kalian berdua?" tanya Greg ketika kami
mulai berjalan dan Elio kembali memotret. "Carl dan Pia, apa acara
kalian nanti malam? Pasti asyik nih suasana di Roma buat kalian
sepasang merpati." "Ya, ceritakan pada kami," tantang Renzo. "Apa rencana
kalian? Makan malam berdua saja? Atau jalan-jalan di bawah sinar
bulan?" "Pia harus mengunjungi temannya yang sakit," sahut Carl
seketika. "Oh, teman yang sakit?" tanya Renzo. "Kasihan sekali. Hei,
Carl, aku mungkin bisa minta izin pacarku untuk mengajakmu ikut
makan malam bersama keluarganya. Kau bisa mencicipi makanan
rumah khas Italia." Renzo benar-benar kelewatan. Aku harus menghentikan
ocehannya. "Renzo, silenzio, per favore!" desisku, menyuruhnya diam.
Carl menoleh padaku, wajahnya merah padam.
"Sudah kubilang agar kau berbahasa Inggris saja kalau ada
aku," katanya dengan nada tegang. "Dan setahuku, bahasa Inggris
Renzo bagus, jadi tak ada alasan bagimu untuk berbicara dalam
bahasa Italia dengannya." Ia berhenti sejenak. "Kecuali kalau kau
ingin menyembunyikan sesuatu dariku."
Aku membeku, tak tahu harus bilang apa. Untungnya, saat itu
Sue menghentikan kami. "Kurasa pemotretan ini sudah kurang bagus," katanya. "Mulamula aku menyukainya, tapi kemudian entah kenapa dinamikanya
hilang. Aku ingin mengubah pasangan."
"Oke," Elio sependapat.
"Carl dan Greg, kalian istirahat dulu, ya?" ujar Sue. "Biar Paige
saja yang menggantikan kalian."
Tanpa banyak cincong Carl meninggalkan aku dan duduk di
bangku di pinggir alun-alun.
"Pia, kita tinggal berdua sekarang," canda Renzo sambil
mengerling padaku. "Kau sinting?" tanyaku, berbahasa Italia. "Apa maksudmu
tadi?" "Oh, Pia," jawabnya, juga berbahasa Italia. "Aku cuma
melucu." "Lucu buatmu tapi merugikan aku," sahutku marah.
"Oke, Paige, bergabunglah dengan mereka," perintah Sue.
"Oh, jangan terlalu dimasukkan ke hati, Pia," ujar Renzo ringan.
"Itu tadi cuma lelucon. Aku tak bermaksud melukai perasaan siapa
pun. Carl pasti tak tersinggung dengan ucapanku."
"Kau keliru," bantahku sewaktu Paige tiba. "Carl mulai
mencium sesuatu telah terjadi di antara kita."
"Oh ya?" tanya Renzo, mengangkat alis. "Apakah memang ada
sesuatu yang telah terjadi di antara kita?"
"Aku bicara tentang kau yang makan malam dua hari berturutturut dengan keluargaku," kataku kesal. "Dan percayalah, ini yang
terakhir." Paige memandangku dan Renzo bergantian ketika kami saling
mendesis dalam bahasa Italia.
"Oh, tak keberatan kalau aku bergabung?" tanyanya ragu-ragu.
"Maksudku, Elio dan Sue menyuruhku ikut dalam pemotretan ini."
"Ya, tak apa-apa," sahutku, beralih ke bahasa Inggris. Aku
berusaha menenangkan diriku dan memandang ke kamera. Sewaktu
Elio mulai memotret, aku mulai berpikir apakah Carl melihatku saat
berdebat dengan Renzo tadi.
Tapi ketika aku menoleh pada Carl, kulihat ia sama sekali tak
memandang ke arahku. Ia sedang asyik mengobrol dengan Cassandra,
yang duduk menempel di sebelahnya, sebelah kaki Cassandra yang
bersilangan berayun-ayun dengan genit.
Tiba-tiba, aku dilanda perasaan cemburu. Lalu sesuatu terlintas
di benakku. Kenapa Cassandra mau menemani Carl? Apakah ia cuma
ingin menolongku, atau ia sengaja mencari kesempatan agar bisa terus
bersama Carl? Lalu aku teringat akan hal lain. Cassandra mengatakan padaku,
dia dan Carl akan makan bersama teman-teman yang lain di Restoran
Giordano tadi malam, tapi setiap orang yang kutanya selalu bilang
mereka makan di tempat lain. Ketika aku berpapasan dengan Katerina
dan Naira di koridor, mereka sedang menuju restoran hotel. Kerri
bercerita bahwa ia, Paige, Sue, Jane, dan Isabella makan di restoran di
puncak bukit bersama dua model cowok. Dan Greg baru saja bilang
bahwa ia dan Steve merencanakan untuk ke Giordano malam ini
karena mereka belum pernah ke sana. Lalu dengan siapa Carl dan
Cassandra makan di Giordano semalam?
Sekarang aku merasa sedih sekali. Aku tahu Cassandra itu
orangnya genit. Dan meskipun aku tak suka caranya menghibur Carl,
kupikir ia pasti tak serius dengan Carl. Cassandra bisa cepat
melupakan cowok yang satu dan ganti merayu cowok yang lain. Tapi
bagaimana kalau Carl menganggapnya serius? Apakah karena sering
meninggalkannya aku akan benar-benar kehilangan dia?
Kerongkonganku mendadak terasa kering dan air mataku mulai
tergenang. Untungnya, Sue menyuruh kami berhenti sebentar untuk
memperbaiki rambut, makeup, dan pakaian kami. Aku cepat-cepat
menyeka mataku. Matteo kembali merapikan rambutku dan Isabella
mengulas lagi bibirku dengan lipstik. Jane merapikan kerah T-shirt
Paige dan kerutan di rok miniku.
Aku mencoba tersenyum, tapi hatiku pedih sekali. Susah payah
kutahan tangisku. Kehidupanku benar-benar kacau. Aku membohongi
keluargaku, melibatkan diriku dengan Renzo yang brengsek, dan
puncak kepedihanku sekarang adalah sepertinya aku pun akan
kehilangan Carl! Segalanya tak mungkin jadi lebih buruk.
Setidaknya, pikirku semuanya tak mungkin jadi lebih buruk.
Tapi aku ternyata keliru, benar-benar keliru. Saat itu, Renzo mencolek
rusukku dengan sikunya. "Hei, lihat, Pia," bisiknya di telingaku. "Lihat ke seberang alunalun, di sana, di dekat warung kopi. Laki-laki tua itu sedang
mengawasi kita. Bukankah dia kakekmu?"
Bab 10 MALAM harinya, setelah pemotretan di taman Villa Borghese,
aku menuju restoran keluargaku di dekat Colosseum. Hatiku berdebardebar ketika kubayangkan apa yang bakal terjadi setibaku di sana.
Renzo pasti sudah ada di restoran karena ia lebih dulu berangkat untuk
nonton bola dengan ketiga kakakku tadi siang. Aku tak bisa berpikir
jernih, dan aku takut membayangkan adegan yang akan segera
berlangsung. Aku tak ragu lagi bahwa kakekku memang telah melihatku
berdiri di depan Air Mancur Trevi dengan gaun mini dan rambut
pendekku. Ia tak menghampiriku, hanya memandangku lurus-lurus
selama beberapa menit sebelum meneruskan langkahnya. Pasti seluruh
keluargaku sudah tahu tentang hal itu sekarang. Aku ngeri
membayangkan reaksi mereka. Terutama ledakan kemarahan kakakkakakku, yang selalu berpesan agar aku tak membiarkan kakekku
melihatku berpakaian seperti itu. Kemarin malam aku sudah segan
pergi ke rumahku, karena aku mesti mengajak Renzo. Malam ini
lebih-lebih lagi, kakiku serasa diganduli batu seribu ton.
Aku berhenti sebentar dan memandang ke Colosseum yang
menjelang malam itu terang oleh lampu sorot. Sungguh, pemandangan
yang sangat indah. Karena besar di dekat situ, aku tak pernah benarbenar mengagumi keindahan bangunan bundar besar dengan deretan
jendela melengkung yang telah runtuh itu. Tapi sekarang, setelah lama
tak melihatnya, kusadari bangunan itu ternyata cantik sekali, apalagi
di saat matahari akan tenggelam. Namun semua itu tak mampu
meredakan gejolak hati dan pikiranku.
Aku berjalan lagi sambil meraba rambut palsuku dengan gugup.
Aku sudah mengarang cerita untuk menjelaskan kenapa rambutku tadi
pendek. Akan kukatakan bahwa itu rambut palsu, wig pendek yang
harus kupakai saat pemotretan. Tapi untuk urusan gaun mini itu, aku
sama sekali tak dapat berdalih.
Aku mendesah. Kuharap Renzo yang menjadi Carlo tak
melakukan kebodohan saat bersama kakak-kakakku. Tanpa dia pun
persoalan ini sudah cukup ruwet.


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku gelisah memikirkan Carl yang akan makan malam dengan
Cassandra. Ketika ia bilang Cassandra mengundangnya makan malam
lagi, aku sengaja menanyakan tentang kejadian malam sebelumnya di
Giordano. Dan Carl mengaku bahwa cuma mereka berdualah vang
makan malam di situ, meskipun ia berpendapat itu cuma kebetulan
karena yang lain mendadak membatalkan niat mereka.
Aku mulai curiga mereka memang sebenarnya tidak diajak, tapi
aku tak berani menyinggung-nyinggungnya di depan Carl. Akulah
yang bersalah... aku yang membatalkan makan malam dengannya dan
meninggalkannya selama dua malam berturut-turut. Aku ingin
menanyakannya pada Cassandra, tapi aku masih perlu dia untuk
menemani Carl makan malam sekali lagi. Lagi pula, aku tahu,
percuma bertanya pada Cassandra. Seperti yang kubilang, Cassandra
itu orangnya genit, meskipun ia sendiri tidak sadar sikapnya yang
terlalu ramah kepada lawan jenis itu dapat disalahartikan.
Aku tiba di tikungan, langsung menahan napas begitu melihat
pemandangan di hadapanku. Di jalan depan restoran, kulihat empat
cowok jangkung dan satu anak laki-laki sedang menendang bola.
Mereka adalah ketiga kakakku?Gino, Leo, dan Marco?serta Renzo
dan Stefano, sepupuku yang masih kecil.
"Tangkap, Carlo!" seru Marco berbahasa Italia sewaktu bola
menggelinding ke trotoar.
Renzo mengejarnya dan mengopernya kembali ke Marco.
Marco menendangnya tinggi-tinggi, mengecoh Leo yang sedang
berjaga. "Bagus!" seru Renzo, lari mendekati Marco.
Keduanya lalu ber-high-five.
"Wah, payah nih, Leo," kata Gino, menggeleng-geleng. "Kurasa
tim anak-anak kecil ini telah mengalahkan kita."
"Itu timku, kan?" seru Stefano, melompat-lompat. "Aku ikut tim
Marco dan Carlo, kan?"
"Ya," sahut Renzo, mengacak-acak rambut Stefano. "Kau
anggota tim kami." Hm, mereka kelihatan gembira, pikirku sambil berjalan
mendekat. Aneh rasanya. Tapi begitu aku muncul, semuanya pasti
akan berubah. Kemudian Stefano melihatku.
"Lihat, itu Pia!" teriaknya, melambai-lambai. "Hai, Pia!"
Renzo dan kakak-kakakku memandangku, perutku mengejang
karena ketakutan. Aku yakin kegembiraan Gino, Leo, dan Marco akan
lenyap seketika begitu mereka melihatku.
Seperti yang kuduga, Leo menyambutku dengan wajah tegang.
"Adik kecil!" serunya. "Ada yang ingin kubicarakan
denganmu!" "Ya, Leo?" tanyaku, meremas jari-jariku dengan gugup.
"Ini mengenai Carlo," lanjutnya sungguh-sungguh.
"Carlo?" tanyaku dengan suara bergetar.
Oh, tidak, pikirku, mimpi buruk itu jadi kenyataan. Renzo pasti
sudah menceritakan siapa dia sebenarnya. Betapa teganya ia
melakukan perbuatan sekeji itu padaku, lebih-lebih setelah ia melihat
betapa gugupnya aku ketika kakekku melihat pemotretan tadi!
Tapi kalau itu masalahnya, kalau kakak-kakakku sudah tahu
siapa Renzo, mengapa mereka main bola dengan begitu gembira?
"Ya, Carlo," ujar Leo. "Carlo pemain bola yang berbakat." Ia
tersenyum lebar. "Nekat betul kau, Pia, mengajak atlet hebat ini
kemari untuk mempermalukan kakak-kakakmu yang malang!"
Aku mendesah lega. "Hei, Leo," seru Marco sambil memainkan bola dari kaki ke
lututnya, "bilang pada Pia kapan-kapan dia harus mengajak Carlo
lagi." Ia menyeringai. "Aku sih setuju-setuju saja main bersamanya,
asal dia tetap jadi anggota timku. Nah, gimana? Siap untuk tanding
ulang?" "Oke, kita main sekali lagi sebelum makan malam," sahut Leo.
"Ayo, Gino. Kalau menang di babak ini, mungkin kita bisa
menyelamatkan reputasi keluarga kita."
Aku terpana melihat mereka kembali bermain. Sebenarnya apa
yang sedang terjadi di sini? Kenapa mereka tidak marah? Apakah
mereka benar-benar tidak keberatan aku memakai rok mini dan
berambut pendek? Atau kakekku mungkin belum cerita bahwa dia
telah melihatku di Air Mancur Trevi tadi siang? Kuputuskan untuk
masuk ke restoran saja. Aku masukdewat pintu belakang, jalan yang biasa dilalui
keluargaku. Aku melihat ayahku yang bercelemek di dapur, sedang
menggulung adonan di papan. Di kompor terdapat beberapa panci
besar, dan pasta-pasta lebar dan pipih tergantung di setiap sudut dapur.
"Lasagna?" tebakku, melihat pasta buatan ayahku yang sedang
ditiriskan. "Pia, halo!" seru ayahku riang. "Tak kudengar kau masuk." Ia
menunjuk pasta yang tergantung di atas kursi. "Lasagna, pasti, apa
lagi?" "Mmm," ujarku. Air liurku hampir menetes. Lasagna buatan
ayahku luar biasa lezat. "Kau mau mencicipi sausnya?" tanya ayahku.
"Boleh," sahutku. Dari caranya menyambutku, sepertinya Ayah
juga tidak sedang marah padaku. Aku menarik bangku tinggi untuk
duduk. "Ini, cobalah." Ayahku mematahkan ujung sebuah roti panjang
dan memasukkannya ke dalam mangkuk kecil. Lalu ia berjalan ke
kompor dan menyendok saus dari salah satu panci untuk dituangkan
ke roti. "Mmmm, enak," gumamku dengan mulut penuh roti yang
berlumuran saus. Sejak kecil, aku suka duduk di dapur dengan semangkuk roti
dan saus seperti ini. Aku suka sekali berada di dapur. Tempat ini
hangat dan menyenangkan. Tapi duduk di sini, melihat ayahku
memasak, saat ini hatiku langsung sedih. Meskipun sampai saat ini tak
ada yang marah padaku, aku mulai menyesal kenapa tidak sejak awal
kuceritakan semuanya sejujurnya pada keluargaku. Seandainya aku
tak pernah berbohong, barangkali Carl ada di sini sekarang,
menemaniku mencicipi saus.
Hampir saja kuputuskan untuk berterus terang pada ayahku
tentang semua kejadian selama ini. Kalau kujelaskan semuanya
tentang rambutku, Carl dan Renzo, serta rok mini itu, ia pasti mau
mengerti. Dan ia pasti mau membantuku menyampaikan pada
keluargaku sehingga mereka bisa menerimanya.
Aku menelan ludah. "Pappa...," aku mulai berkata.
Tiba-tiba pintu dapur terbuka dan Bibi Cristina masuk. Bibi
Cristina itu biang gosip di keluargaku. Apa pun yang didengarnya,
sekejap saja akan menjadi berita hangat di seluruh lingkungan kami.
Aku harus menunda niatku.
"Oh, Pia, kau ternyata ada di sini!" serunya dengan wajah
berseri-seri. "Kami menunggumu di depan, heran mengapa kau tak
muncul-muncul. Cowok-cowok yang habis main bola itu bilang
mereka sudah bertemu denganmu, tapi tak seorang pun tahu di mana
kau." Ia mengerling. "Dan Carlo-mu yang tampan itu juga sudah
datang, kau tahu?" "Oke, aku akan segera ke ruang makan, Bibi Cristina," sahutku
mencoba menjawab dengan bersemangat.
"Aku akan menghidangkan antipasto untuk makanan pembuka
malam ini," kata ayahku, mengambil piring ceper besar yang berisi
daging dan sayuran. Aku mengikuti Bibi Cristina dan ayahku ke meja lalu sambil
mengeluh duduk di sebelah Renzo. Ketika kulihat semua keluargaku
di meja itu, aku baru sadar kalau kursi paling ujung, tempat kakekku
biasa duduk, kosong. "Mmm, mana Kakek?" tanyaku hati-hati.
"Oh, Kakek di atas sedang istirahat," sahut ibuku. "Kakek habis
jalan-jalan tadi siang."
"Jalan-jalan?" ulangku gugup. Apakah Kakek sudah
menceritakan apa yang dilihatnya pada mereka?
"Ya, Kakek pergi beberapa jam," jelas ibuku. "Begitu pulang
Kakek langsung naik ke atas untuk tidur. Aku tak tega
membangunkannya untuk makan malam."
"Kurasa Kakek akan tidur sampai pagi," tambah ayahku.
"Oh," gumamku. Aku agak lega.
Sepertinya kakekku belum punya kesempatan untuk
menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi pada keluargaku.
Aku berharap ia tidak terlalu terkejut melihat wajah baruku.
"Ayo makan, Pia," ajak ayahku, mengoper piring berisi daging
dingin dan sayuran. "Kenapa tak kaumulai saja dengan antipasto
sementara aku mengambil lasagna di dapur?"
Makan malam itu berlangsung dengan cukup baik. Sekali lagi
Renzo berhasil memikat keluargaku, meskipun bagiku sikapnya justru
menyebalkan. Malam itu aku tak berjumpa dengan kakekku, tapi aku
sadar aku tak bisa terus-menerus menghindarinya. Cepat atau lambat
ia pasti akan bercerita tentang pemotretan di Air Mancur Trevi itu.
Kuputuskan untuk mendahuluinya, kukatakan bahwa aku memakai
wig pendek untuk keperluan pemotretan di Roma. Renzo tertawa
terbahak-bahak mendengar dustaku itu.
Akhirnya, acara santap malam itu selesai juga. Lega tapi letih,
aku naik taksi bersama Renzo. Ketika taksi mulai meluncur, aku
bergeser ke dekat jendela, duduk sejauh mungkin darinya. Saat ini
yang kuinginkan adalah bersama Carl. Tapi aku ragu-ragu apakah Carl
masih mau menerimaku. Taksi itu menikung, aku menahan air mataku ketika melewati
Colosseum. Bab 11 "OH,Pia, bagus kau ada di sini," kata Cassandra. Ia bergabung
dengan aku, Naira, dan Paige di meja makan. "Ada yang mau
kubicarakan denganmu."
Itu terjadi esok paginya. Kami berkumpul di restoran hotel
untuk sarapan sebelum pemotretan dimulai. Pemotretan kali ini
khusus untuk model cewek dengan memakai rancangan Marcella
Montefiore. Tempatnya di Pantheon, kuil kuno di tengah kota Roma,
dengan tiang-tiang raksasa dan atap seperti kubah yang berjendela
kaca. Pantheon tempat yang menakjubkan. Luas, tenang, dan tetap
sejuk meskipun di musim panas. Atapnya yang berjendela itu
merupakan desain yang pertama di dunia.
"Kebetulan, aku pun ingin bicara denganmu," sahutku. Aku
mau berterus terang pada Cassandra bahwa sikapnya pada Carl sangat
menggangguku. "Sori, aku mau mengambil kopi lagi," kata Naira. Ia berdiri dan
merapikan overall baggy-nya.
"Ehem, aku juga," ujar Paige, cepat-cepat mengikuti Naira.
Aku tersenyum ketika melihat Paige terbirit-birit menyusul
Naira. Setahuku, Paige tidak suka minum kopi, pasti ia sengaja
meninggalkan aku dan Cassandra untuk memberi kami kesempatan.
bicara. ebukulawas.blogspot.com
Cassandra menyibakkan rambutnya yang berwarna gelap.
"Pia," katanya, "sori, aku tak bisa menemani Carl lagi."
"Apa?" tanyaku terkejut.
"Carl," ulangnya. "Demi kau, aku telah menghabiskan waktuku
di Roma untuk menemani Carl. Memang sih, ia cowok yang
menyenangkan, tapi kemudian ada kejadian lain."
"Maksudmu?" tanyaku.
"Mmm," gumamnya, mata hitamnya bersinar-sinar, "kemarin
aku dan Carl makan malam di tempat yang ditunjukkan Sue, restoran
berpemandangan indah yang pernah dikunjungi Sue bersama Kerri
dan teman-teman yang lain."
"Cuma kau dan Carl?" tanyaku, mulai marah.
"Ya," sahut Cassandra. "Sabarlah, dengarlah ceritaku dulu. Kau
pasti tak mengira siapa yang kulihat di sana." Ia berhenti sebentar.
"Devon Redmond!"
"Betulkah?" tegasku. Cassandra pernah bertemu Devon
Redmond, bintang film terkenal itu, ketika ia ikut pemotretan untuk
majalah Style di Miami Beach.
"Kau tak percaya, kan?" tanya Cassandra senang. "Ia ada di
sini, di Roma ini, sedang shooting film! Kejadian yang tak disengaja
tapi luar biasa itu sepertinya sudah ditakdirkan! Jadi aku ingin
sendirian beberapa hari agar aku bisa bersamanya."
"Ia mengajakmu berkencan?" tanyaku, agak terkejut. Cassandra
pertama kali kenal Devon Redmond ketika ia mewawancarai aktor itu
untuk acara televisinya, di Brasil. Tapi sepertinya mereka tidak
berteman. Selain itu, Devon Redmond kan lebih tua sekitar sepuluh
tahun dari Cassandra. "Apakah Sue mengizinkanmu?"
"Hm, ia sebetulnya belum mengajakku berkencan sih," tutur
Cassandra. "Tapi ketika meninggalkan restoran tadi malam, aku bilang
mau menemuinya dan ia setuju."
"Non sono sicura, aku ragu-ragu, Cassandra," ujarku.
"Menurutku rencanamu dengannya itu belum pasti." Lalu aku
memikirkan hal lain. Kalau Cassandra tak ingin menemani Carl lagi,
berarti ia lebih memilih Devon Redmond, itu menguntungkanku.
"Tapi, d'altro conto, mungkin kau benar. Kau bisa berkencan
dengannya di Roma. Pokoknya, jangan mencemaskan Carl. Mulai
sekarang aku sudah punya waktu untuk menemaninya. Kuharap
begitulah." "Thanks," ucap Cassandra. "Aku yakin kau mau mengerti."
Pada saat itu, Sue dan Jane dengan Naira dan Paige di belakang
mereka, menghampiri kami.
"Hai," sapa Jane sambil duduk. "Mana Katerina dan Kerri?"
"Katerina sudah makan," jawabku. "Ia pergi mengambil sesuatu
di kamarnya." "Kerri juga ada di kamarnya, lagi sit-up," kata Cassandra,
memutar bola matanya. "Hm, aku punya kabar bagus," tutur Sue.
"Ah, si?" tanyaku, mencondongkan tubuh ke depan sambil
memainkan kancing bajuku dengan bersemangat. Mula-mula,
Cassandra mengatakan bahwa ia tak mau lagi menemani Carl, dan
sekarang ada kabar bagus dari Sue. Mungkinkah kehidupanku akan
segera membaik? "Ya," ujar Jane gembira. "Kami baru saja menerimanya."
"Tentang pemotretan nanti malam," jelas Sue. "Pemotretan
gaun malam rancangan Balboni yang akan dikenakan oleh kalian,
model-model cewek, sementara model-model cowoknya akan
memakai jas panjang."
"Oh," gumamku. Aku menanti-nanti pemotretan itu. Giuseppe
Balboni adalah perancang gaun formal yang fantastis.
"Tadinya kita akan menggunakan studio Elio," lanjut Sue,
"sebab kami tak mendapat izin pemotretan di beberapa lokasi yang
kami inginkan. Tapi rencana itu berubah karena bantuan sepupu dari
teman saudara perempuan Elio atau apalah tepatnya... aku tak tahu.
Pokoknya seseorang yang dikenalnya lalu memberi izin pemotretan di
Colosseum!" "Wow, Colosseum!" seru Paige. "Aku ingin sekali ke sana."
"Aku juga," timpal Naira. "Tempat itu bersejarah."
"Dan gaun malam Balboni pasti kelihatan lebih indah di sana,"
tambah Cassandra. "Oh, ya, fantastico," aku setuju.
Aku sependapat dengan Cassandra, garis klasik gaun malam


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Balboni akan semakin tampak indah dengan latar belakang
Colosseum. Tapi, Colosseum itu letaknya cuma beberapa blok dari
restoran keluargaku. Sesaat aku merasa panik, namun kemudian aku
agak tenang. Seperti halnya aku, keluargaku sudah terbiasa melihat
Colosseum. Kecil sekali kemungkinannya mereka akan berjalan-jalan
ke sana. Lagi pula, aku kan sudah bercerita tentang wig pendek itu,
dan nanti malam aku tidak menjadi model gaun mini. Kurasa kakekku
pun akan menyukai gaun panjang rancangan Balboni itu.
Jane melihat arlojinya. "Sue, kita harus pergi," katanya.
"Oh ya, kau betul," sahut Sue, melihat ke arlojinya juga. "Kita
harus menemui Elio di Pantheon setengah jam lagi. Cepat selesaikan
makanmu, gadis-gadis."
Aku meneguk sisa cappuccino-ku, meletakkan cangkirnya di
meja, dan berdiri menyusul mereka. Ketika kami meninggalkan
restoran, kulihat Carl dan Greg melintasi lobi untuk sarapan.
"Hai, Carl," sapaku, tersenyum sambil melambai padanya.
"Halo, Pia," katanya dingin ketika ia dan Greg lewat di dekatku.
Sewaktu kulihat ia duduk, hatiku pun hancur. Aku tahu
hubungan kami kian memburuk, sebab ia baru saja memanggilku
"Pia", sesuatu yang belum pernah dilakukannya.
************* "Tunggu, sebentar," seru Elio, melangkah mundur dari
kameranya. "Pia, kulihat hidungmu agak mengilat."
Aku berhenti berpose dan memutar-mutar kepalaku untuk
mengendurkan otot-otot leherku.
Elio memandang sekelilingnya. "Bisakah kalian membedaki
hidung Pia?" tanyanya berbahasa Italia.
Isabella bergegas mendekatiku dan dengan cekatan
membubuhkan bedak di hidungku.
Saat itu sore hari, menjelang matahari tenggelam, kami
berkumpul di Colosseum untuk pemotretan gaun Balboni. Lampulampu sorot telah dinyalakan, membuat reruntuhan bangunan batu
yang besar itu terlihat mengerikan. Aku berdiri di depannya bersama
Naira, Steve, dan Ben, model cowok yang berambut pirang kemerahan
dan ikal. Kedua model cowok itu berjas panjang. Steve memakai dasi
dan ban pinggang lebar berwarna pink, sedangkan dasi dan ban
pinggang Ben berwarna abu-abu.
Naira dan aku mengenakan gaun rancangan Balboni. Gaun
Naira berwarna kuning pucat, berlengan panjang, bagian
punggungnya sangat rendah. Gaunku berwarna putih, berlengan
menggelembung, dan berleher V. Matteo menata rambut Naira dengan
gaya gelung Prancis, dan ia memasang sirkam bertabur mutiara di
rambutku, persis di atas telinga kiriku.
Aku memandang Carl yang berdiri agak jauh di belakang
kamera. Ia sedang bercakap-cakap dengan Greg. Sejak sarapan sampai
pemotretan ini aku belum melihatnya, dan ketika tiba di Colosseum ia
bersikap dingin padaku. Saat memandangnya, air mataku
menggenang, cepat-cepat kugigit bibirku untuk mencegahnya
mengalir. "Oh, jangan lakukan itu, Pia!" seru Isabella berbahasa Italia.
"Aku harus mengoleskan lipstik lagi."
"Mi dispiace," aku meminta maaf.
Ia berdecak, pergi ke tempat peralatan makeup-nya untuk
mengambil lipstik. Naira berpaling padaku.
"Ada apa, Pia?" bisiknya. "Kau tampak resah."
"Aku baik-baik saja," sahutku. "Cuma di Roma ini aku kok
mendapat masalah bertubi-tubi." Aku memandangnya. "Kalau saja
kuturuti saranmu dan berterus terang sejak awal pada keluargaku..."
Ia tersenyum dengan penuh simpati. "Suatu hari, kau pasti akan
tertawa kalau mengenangnya kembali."
Aku tak menyahut. Aku cuma berharap ucapannya itu benar.
Tapi sekarang ini tak ada yang bisa membuatku tertawa.
Isabella kembali untuk memperbaiki lipstikku.
"Ayo mulai!" seru Elio, berdiri di balik kamera. "Aku akan
memotret kalian dulu, sebelum istirahat."
Steve dan Ben mengambil tempat agak di belakang kami. Naira
dan aku mengatur pose. Naira menghadap kamera dengan posisi agak
miring agar punggung gaunnya terlihat.
Saat Elio memotret, kulihat orang-orang mulai berkerumun.
Colosseum itu salah satu objek wisata yang terindah di Roma dan
selalu dikunjungi banyak turis. Karena itu sangat menguntungkan
kalau kita memiliki restoran di dekat situ. Saat yang tepat untuk ke
Colosseum adalah pada waktu matahari akan tenggelam, dan
pemotretan ini serta para modelnya semakin membuat orang-orang
tertarik ke sini. Beberapa orang malah mengeluarkan kamera untuk
memotret kami. Setelah menghabiskan beberapa rol film, Sue dan Elio
menyuruh kami istirahat lalu mereka memotret model yang lain. Kami
berempat minggir digantikan oleh Katerina yang bergaun keemasan
dengan belahan di bagian sampingnya, Kerri dengan gaun hitam
bermanik-manik, dan Renzo serta Greg yang berjas panjang. Di dekat
mereka, kulihat Paige yang bergaun chiffon biru pucat, tengah
membungkuk dan mengintip pada sebuah ceruk di Colosseum itu.
"Hei, Pia, kau betul," katanya, memandangku. "Ada banyak
kucing di sini. Mereka pasti satu keluarga. Tapi tak kulihat induknya,
cuma dua anaknya. Lihatlah."
Aku menghampirinya dan membungkuk sedikit, kuangkat
gaunku ke samping dengan hati-hati. Di dalam bilik yang gelap itu, di
belakang pintunya yang melengkung, kulihat dua anak kucing,
matanya bercahaya kehijauan.
"Lucu ya mereka," seru Paige. Ia membungkuk lebih dalam lalu
memanggil kucing itu, "Kitty, kitty. Kemarilah kucing manis.
Keluarlah, aku tak akan menyakitimu."
Kedua anak kucing hitam itu menyembul di ambang pintu,
mendekati kami. "Wow, mereka mengingatkanku pada Scooter saat ia masih
kecil dulu," ujar Paige.
"Tapi, kau tak boleh memegangnya," terdengar suara cowok
yang amat kudambakan di belakangku.
Aku menoleh dan melihat Carl yang berjas panjang, dasi dan
ban pinggangnya berwarna kuning.
"Kalau induk kucing itu kembali dan mencium bau manusia, ia
akan meninggalkan anaknya," jelas Carl.
"Kau betul," sahut Paige. Ia berdiri sambil mengesah., "Jordan
kuliah di kedokteran hewan, dan ia pernah bilang padaku kita tak
boleh memegang hewan liar. Kupikir, kucing ini juga termasuk hewan
liar." Kami melihat kucing itu masuk kembali ke sarangnya.
"Betul, mereka itu hewan liar," kata Carl tersenyum tipis.
"Kucing-kucing itu mungkin keturunan singa buas yang pada zaman
dulu biasa dipelihara di sini."
Aku tersenyum padanya. "Betulkah bangsa Roma kuno menonton orang yang
dikurbankan pada singa di sini?" tanya Paige. "Oh, ngeri ya."
"Si, bangsa Roma suka terlibat dengan permainan yang penuh
bahaya," jelasku. "Sampai sekarang mereka kadang-kadang masih
melakukannya," lanjutku pelan, memandang Carl.
"Snask...," katanya, melangkah mendekatiku.
"Carl...," sahutku, menghampirinya.
Tiba-tiba, kudengar suara yang amat kukenal di belakangku.
"Adik kecil, kaukah ini?" tanyanya berbahasa Italia. "Aku
nyaris tak mengenalimu dengan wig pendek itu."
Aku menoleh dan melihat Leo, dua kakakku yang lain, serta
kakekku, berdiri di hadapanku.
Aku terperangah. "Sedang apa kalian?" tanyaku berbahasa Italia.
"Sedang apa kami?" Marco balas bertanya. "Kami keluar dari
restoran untuk menemani Kakek jalan-jalan. Lalu kami lihat lampulampu dan kerumunan orang di sini, jadi kami mampir untuk mencari
tahu ada apa di sini."
"Oh," gumamku gugup, memandang Carl dan Paige yang
mendengarkan kami berbahasa Italia tapi tak mengerti, silih berganti.
"Gaunmu ini bagus," kata kakekku lirih sambil mengangguk.
"Aku mau duduk di bangku itu." Ia menuju ke bangku kayu tak jauh
dari situ. "Pia," ujar Marco, mengamati rambutku. "Wig ini benar-benar
menakjubkan. Kelihatan asli. Seperti rambutmu yang kaugunting
pendek sekali." Aku mengelus rambutku dan mundur dengan gugup. "Uh, ya,
kupikir juga begitu," jawabku.
"Tapi kenapa tak kauberitahu kami kau ada di Colosseum?"
tanya Marco. "Mamma dan keluarga kita yang lain pasti senang
melihatmu bekerja di sini."
"Oh, aku... aku tak tahu kami akan ke sini," sahutku. "Kupikir
pemotretan akan dilakukan di studio, tapi belakangan tempatnya
diubah. Jadi aku tak sempat memberitahu kalian." Sejauh ini, pikirku,
aku bicara agak benar. Carl maju, selangkah. "Snask, kaukenal dengan orang-orang
ini?" tanyanya. "Halo," sapa Gino berbahasa Inggris dengan aksen Italia. Ia
mengulurkan tangannya. "Aku Gino. Kami kakak-kakak Pia, dan itu
kakek Pia." Jantungku berdegup keras. Tamatlah riwayatku sekarang.
"Keluarga Pia?" tanya Carl, terkejut.
"Hai," sapa Paige. "Aku Paige. Senang bertemu kalian."
"Ya," kata Carl. "Senang sekali. Aku gembira karena kalian
telah kembali." "Kembali?" ulang Gino berbahasa Inggris. Ia menoleh padaku.
"Aku tak mengerti apa maksudnya," katanya berbahasa Italia.
Aku berpikir cepat. "Katanya ia senang melihat kalian di sini,"
jelasku berbahasa Italia. "Maksudnya di Colosseum. Aku pernah cerita
bahwa kita jarang sekali ke sini, meskipun kita tinggal di dekat sini."
"Oh, aku baru paham," kata Leo berbahasa Italia, lalu
mengangguk. "Ya," ujar Gino berbahasa Inggris patah- patah. "Ini salah satu
tempat terindah di Roma, kan?"
"Apa?" tanya Carl.
"Pia," tegur Leo berbahasa Italia. "Kenalkanlah kami pada
teman-temanmu. Bagaimana sih kau ini?"
"Sori," sahutku. Aku melihat sekitarku dengan gelisah.
Persoalan bertambah runyam. "Leo, Gino, Marco, ini Paige," kataku
berbahasa Inggris. Aku memandang Carl, berhenti sebentar. "Dan
ini..." "Carlo!" seru Marco. "Lihat, Carlo di sana!" serunya berbahasa
Italia, menunjuk ke Renzo dan model lain yang sedang berdiri di
depan Colosseum, menanti rambut dan makeup mereka dirapikan.
"Ciao! Marco!" balas Renzo, melambai. "Ciao, Gino, Leo!"
"Bagaimana Renzo bisa kenal kakak-kakakmu?" tanya Carl.
"Asalnya bukan dari Roma, kan? Kenapa pula mereka memanggilnya
Carlo?" Bagaimana aku harus menjelaskannya? Oh, sepertinya aku
sudah terjerat jaring-jaring kebohonganku sendiri dan tak ada lagi
jalan untuk membebaskan diri.
Ketika kupandang wajah kakak-kakakku, Carl, teman-temanku,
dan kakekku yang duduk di bangku sana, aku tahu masih ada satu
cara. Bab 12 "OH, aku lega setelah menceritakan semuanya," ujarku,
mengembuskan napas panjang, esok sorenya. Aku menggenggam
tangan Carl. "Thanks atas pengertianmu, Carl."
"Hm, tadinya sulit sekali untuk mengerti sahut Carl. "Kurasa
orang lain pun pasti tak bisa terima kalau pacarnya membawa cowok
lain untuk menemui orangtuanya." Ia memandangku. "Tapi aku
sungguh-sungguh telah memaafkanmu. Jangan pernah membohongi
aku lagi, ya." "Tak akan," janjiku. "Maafkan semuanya, Carl." Aku
menggeleng. "Aku begitu tolol, menyia-nyiakan waktu kita di Roma
dengan dusta-dusta konyolku. Aku pun sulit memaafkan diriku."
"Hm, lebih baik kita manfaatkan sisa waktu ini baik-baik," kata
Carl. "Toh kita baru berangkat besok pagi. Sekarang, bisakah kita
makan capellini-nya?"
Aku mengamati sekitarku. "Di sana saja, ya," sahutku,
menunjuk bangku kosong di bawah keteduhan Colosseum.
Kami menyusuri jalan beraspal menuju bangku itu. Matahari
mulai tenggelam, sinarnya yang oranye dan pink tersebar di langit.
Kami duduk, dan Carl meletakkan keranjang piknik di antara kami.
"Senang sekali karena ayahmu mau menyiapkan makan malam
untuk piknik kita," ujarnya. "Rupanya keluargamu tidak terlalu
kecewa atas semua kejadian ini."
"Si, menurutku Mamma dan Pappa sangat menyukaimu,"
kataku. Aku membuka keranjang, dan mengeluarkan dua piring serta
semangkuk capellini yang terbungkus rapi. "Dan penilaian mereka
atas Renzo langsung anjlok begitu mereka tahu ia cuma berpura-pura."
"Kakak-kakakmu bagaimana?" tanya Carl. "Apa pendapat
mereka?" "Mereka sangat marah karena kubohongi. Dan mereka benci
dengan rambutku yang pendek."
"Mereka akan segera terbiasa dengan rambutmu itu," hibur
Carl. "Tapi menurutmu apakah mereka juga akan terbiasa denganku?"
"Tergantung," sahutku, menyendok capellini.
"Tergantung? Tergantung apa?"
"Bagus-tidaknya tim sepak bola Swedia," jawabku tertawa.
Carl ikut tertawa. "Cuma ada seorang yang paling kutakuti di keluargaku,"
tuturku, memandangnya dengan serius. "Kakekku."
"Ia masih belum bicara padamu?" tanya Carl sungguh-sungguh.
Aku menggeleng. "Ia tidak bicara sepatah pun padaku sejak pemotretan kemarin,"
sahutku lirih. "Aku yakin ia akan memaafkanmu," hibur Carl. "Ia hanya perlu
waktu." "Kuharap begitu," kataku. "Kakek itu kuno sekali. Dan aku
telah membuatnya shock berkali-kali. Gaun mini, rambut pendek, dan
penjelasanku tentang Renzo, semuanya sekaligus! Kau tahu, kan, Carl,
ia itu orang tua. Aku cuma berharap ia bisa menerimanya."
"Hei!" seru Carl, melihat ke belakangku. "Yang di sana itu dia,
kan?" Aku menoleh. Betul, itu kakekku. Seperti biasa, ia memakai
kemeja putih dan celana hitam. Ia sedang berjalan menghampiri kami.
"Orangtuaku pasti yang memberitahu di mana kita," kataku
gugup. "Mau apa dia, ya?"
Ketika kakekku mendekat, Carl meletakkan piringnya dan
berdiri. "Selamat sore, Kek," sapanya sopan.
"Carl mengucapkan selamat sore," ulangku berbahasa Italia.
Kakekku mengangguk pada Carl. Ia melihat ke piring-piring
kami. "Makan apa kalian?" tanyanya berbahasa Italia.
"Capellini," jawabku. "Pappa yang membuatnya."
"Hati-hati dengan makanan itu," ia mengingatkanku. "Masakan
ayahmu terlalu berlemak." Ia berhenti. "Tapi kau masih muda. Kau
belum perlu merisaukan masalah pencernaanmu."
Kakek menebarkan pandangannya ke segala penjuru, menatap


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitarnya di bawah cahaya matahari yang temaram.
"Ada banyak hal yang belum perlu kaurisaukan sekarang, Pia,"
lanjutnya. "Nikmatilah hidupmu dan jangan terlalu memikirkan
pendapat orang lain. Ikuti suara hatimu, dan pada saatnya kelak,
ketika mereka sudah lebih dewasa, kakak-kakakmu pun akan lebih
mudah menerima keadaan, seperti aku ini."
Aku memandangnya dengan keheranan. "Maksud Kakek,
Kakek tidak marah padaku?" tanyaku. "Maksudku, soal gaun mini,
rambut pendek, dan masalah Carlo itu?"
Ia berpikir sesaat. "Terus terang aku lebih suka gaun panjang di Colosseum itu
daripada gaun mini di Air Mancur Trevi," jawabnya lirih.
"Rambutmu, tidak terlalu jelek. Wajahmu yang cantik malah jadi lebih
menonjol sekarang. Dan mengenai 'Carlo', aku sudah tahu sejak awal."
"Kakek tahu?" tanyaku tak percaya. "Maksudku, Kakek tahu ia
cuma pura-pura jadi pacarku?"
"Mungkin lebih tepat kukatakan, aku tahu dia orangnya tidak
tulus," sahut kakekku. "Aku selalu menaruh curiga pada orang-orang
yang memesona dan pintar memikat hati. Lagi pula, tak mungkin dia
berasal dari Italia Utara. Logatnya jelas-jelas logat Naples. Aku tahu
benar itu, karena gaya bicara ibuku pun begitu."
Kakekku mengalihkan pandang ke arah Carl.
"Anak muda yang baik hati ini adalah 'Carlo' yang asli,"
katanya tersenyum. "Nah, silakan makan, nikmatilah capellini
mumpung kalian masih mampu."
Kakekku langsung berbalik dan melangkah pergi, menuju
restoran kami. Aku mengikutinya terus dengan pandangan mataku, tak
habis pikir bagaimana ia bisa bersikap sebaik itu.
"Snask?" panggil Carl lembut. "Semuanya beres? Dia bilang
apa?" Kutatap matanya yang biru dalam-dalam.
"Dia bilang apa?" ulangku sambil meraih tangan Carl.
"Katanya, nikmatilah capellini ini."
Bab 13 "SNASK, aku tak mengerti," kata Carl. "Apa sih yang begitu
penting sehingga kita harus pergi pada saat-saat terakhir begini?"
"Kau akan segera tahu," sahutku. Kuraih tangannya dan
setengah menyeretnya ke jalan. "Ayo!"
"Tapi kata Sue kita akan berangkat ke bandara setengah jam
lagi!" seru Carl. "Kalau kita tidak kembali ke hotel tepat waktu, kita
akan ketinggalan pesawat ke New York!"
"Lo so, aku tahu," jawabku, menyuruhnya berbelok dan
menyusuri jalan lagi. "Tapi ini sangat penting. Kita tak boleh
meninggalkan Roma sebelum melakukannya."
Kami berlari-lari kecil ke tikungan berikutnya, melintasi jalan,
dan menyusuri gang sempit.
"Kita hampir tiba," kataku.
"Kuharap begitu," sahut Carl. Kulihat ia memandang arlojinya
sekilas. "Bene, oke, kita sudah sampai," kataku sewaktu tiba di mulut
gang yang menghadap ke alun-alun yang mengitari Air Mancur Trevi.
"Indah sekali!" seru Carl, melihat patung pualam tempat air
memancur. "Tapi kenapa kau ingin aku melihatnya lagi?"
"Tidak cuma melihat," sahutku, menggandeng tangannya.
"Ayo." "Mau apa?" tanya Carl ketika kutarik dia ke dekat air mancur.
"Mau berenang?"
"Tidak," sahutku, tertawa. Aku berhenti di depan air mancur
lalu mengambil uang logam dari saku jaket kulitku yang berwarna
cokelat. "Ini," kataku. Kuletakkan sekeping uang logam Italia di
tangannya. "Untuk apa?" tanyanya, melihat uang logam di telapak
tangannya. "Oh, aku tahu. Untuk memohon berkah, ya."
"Bukan cuma memohon," jawabku. "Ini suatu jaminan."
"Jaminan?" "Si," sahutku. "Menurut legenda, kalau kaulemparkan uang
logam ke Trevi, suatu saat kau akan kembali lagi ke Roma." Kutatap
dia. "Aku menyesal, Carl, karena kepergian kita ke Roma kali ini tidak
berjalan semestinya. Lain kali kita mungkin akan punya kesempatan
lagi." Ia tersenyum padaku, dan hatiku pun luluh.
"Oke," katanya. Ia meraih tanganku yang bebas. "Ayo kita
lemparkan!" Kami sama-sama melemparkan uang logam itu ke air mancur.
Uang logam itu berkilauan saat tertimpa sinar matahari lalu tenggelam
di dasar kolam. Carl berpaling padaku. "Sekarang kita sudah yakin, kan, kalau akan ke Roma lagi suatu
saat," ujarnya. Ia menatapku lekat-lekat, lalu memelukku.
*********** "Maaf, Pia, bisakah aku minta tolong?" tanya Sue sejam
kemudian, ketika kami berada di bandara Roma dan menunggu
pesawat. "Certo, tentu," sahutku. "Ada apa?"
"Rasanya aku sudah berhasil mengkonfirmasikan tiket kita, tapi
karena bahasa Inggris si petugas kurang jelas, aku tak yakin apakah
kita semua sudah mendapat tempat di pesawat," jelasnya. "Bisakah
kau membawa tiket ini padanya dan memastikannya?"
"Ya, tentu," jawabku. Aku mengambil bundel tiket darinya lalu
meremas tangan Carl sedikit. "Aku akan segera kembali. Sue
menyuruhku mengecek sesuatu."
"Oke, Snask," kata Carl. "Aku akan ke kios surat kabar
internasional. Di situ mungkin dijual koran Swedia."
Ketika menuju loket penerbangan, aku merasa bahagia karena
segala urusanku dengan Carl sudah beres. Dan aku juga merasa lega
karena keluargaku sudah tahu yang sebenarnya tentang diriku. Aku
janji pada diriku, tak akan berbohong lagi.
Ketika tiba di loket, aku mengantre di belakang wanita yang
menggendong bayi yang sedang menangis. Bayi itu menangis keraskeras, dan wanita itu kelihatan tidak puas.
"Anda tak mengerti!" teriaknya berbahasa Italia, mengalahkan
tangis bayinya. "Saya benar-benar tak bisa duduk di sini. Kalau tak
duduk di bagian depan, saya akan sakit kepala pada saat pesawat lepas
landas atau mendarat. Lagi pula, guncangan di bagian belakang itu
sangat kuat. Anda harus memberi saya tempat duduk lain!"
"Maaf," sahut si petugas, "tapi pesawat ini penuh sekali, kami
tak bisa menukarnya lagi. Kalau bisa, saya pasti mau menolong Anda,
sayangnya tempat duduk yang Anda inginkan sudah tak ada lagi yang
tersisa." "Ini menyebalkan!" Wanita itu marah-marah, bayinya semakin
keras menangis. "Anda mestinya bisa dengan mudah menukarnya
dengan tempat duduk orang lain."
"Tapi saya sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang," kata
si petugas. "Tolong menepilah sedikit agar saya bisa melayani
penumpang yang lain."
Ibu itu menyingkir sambil menggerutu, bayi di gendongannya
masih terus menangis. Si petugas mengesah, lalu tersenyum padaku. ''Ya, ada yang
bisa saya bantu?" "Saya ingin mengecek tempat untuk tiket-tiket ini," jelasku.
"Maaf," sahut petugas itu, "tempat duduknya ternyata belum
ditetapkan. Anda ingin saya mengaturnya sekarang?"
"Ya, tolong." Ia mengecek komputernya. "Hm, penerbangan ini sangat penuh,
saya khawatir tak bisa mendudukkan empat belas orang di rombongan
Anda secara berdekatan. Duduknya harus dipencar, ada yang berdua,
bertiga, dan mungkin sendirian."
"Oh," gumamku. "Oke." Aku berpikir sesaat. Sebenarnya bisa
saja kutanyakan pada Sue tentang siapa-siapa yang harus
dikelompokkan, tapi bila aku harus mengantre lagi, jangan-jangan
kami malah tak kebagian tempat duduk. "Baiklah, silakan mulai,
tolong carikan tempat untuk yang dua ini!" pintaku, menunjuk tiketku
dan Carl. "Baik," jawabnya, menekan tuts-tuts komputernya.
"Dan yang ini juga berdua," pintaku, menunjuk tiket Sue dan
Jane. Tak lama, semua tempat duduk kami sudah diatur, aku berusaha
mengelompokkan orang-orang sesuai dengan keakraban mereka:
Paige dengan Katerina dan Naira, Steve dengan Greg, Kerri dengan
Cassandra. Kemudian ketika kuberikan tiket Renzo, aku mendapat
ide... ide yang cemerlang sekali.
"Maaf," kataku pada petugas itu, "saya punya permintaan
khusus untuk tiket ini, kalau mungkin...."
************ Dua puluh menit kemudian, kami naik ke pesawat.
"Sebentar ya," aku berbisik pada Carl sewaktu ia akan duduk.
"Aku ada perlu sebentar."
Aku melintas di gang tengah ke sisi lain dari pesawat itu, ke
tempat duduk Renzo. "Wow," sapaku berbahasa Italia sambil duduk di sebelahnya,
"tak kusangka aku bertemu lagi denganmu di sini."
"Pia!" ujarnya, terkejut. "Kau duduk di sini?"
"Kayaknya sih begitu," jawabku, mendekatkan diri padanya
sambil tersenyum. "Tapi bagaimana dengan Carl?" tanyanya.
"Carl?" ujarku genit. "Jangan kuatirkan Carl. Dia kan sudah
besar, dia tak perlu dijaga lagi. Pokoknya, aku senang duduk
bersamamu, kita punya kesempatan untuk saling mengenal lebih
dekat, Renzo." "Bagus," katanya, menumpangkan tangannya di atas tanganku.
Pada saat itu, ibu yang menggendong bayi berjalan di gang
sambil mencocokkan nomor tempat duduknya di tiket dengan yang di
atas kursi. Ia berhenti tepat di tempat kami duduk.
"Maaf," katanya berbahasa Italia. "Kau duduk di tempatku,
meskipun aku sebenarnya tak kepingin duduk di sini!"
"Oh, maaf," sahutku, berdiri. "Oh, saya kok bisa salah duduk,
ya." "Apa?" tanya Renzo cemas. "Pia, kau mau ke mana?"
"Kau tak mendengarnya, Renzo?" tanyaku. "Aku duduk di
tempat duduk ibu ini."
"Tak kukira mereka akan menempatkanku di bagian belakang,"
protes ibu itu sewaktu duduk. "Di sini terlalu kuat guncangannya! Dan
aku selalu mabuk ketika pesawat lepas landas dan mendarat."
Si bayi mulai menangis. Aku melambai pada Renzo lalu
berbalik meninggalkannya.
"Pia!" seru Renzo panik. "Tunggu! Ini pasti keliru!"
"Oh, tidak keliru kok," sahutku tersenyum manis. "Ayolah,
Renzo," tambahku berbahasa Inggris, "mana rasa humormu?"
"Pia, tidak!" seru Renzo lagi.
"Ciao!" seruku, menyusuri gang. "Selamat menikmati
perjalanan ini!" Kulihat Carl duduk sambil membaca koran Swedia. Aku
menjatuhkan diri ke kursi di sebelahnya dan meremas tangannya, lalu
aku mengencangkan sabuk pengamanku.
"Halo, Carl," kataku dengan gembira sambil merapatkan diriku
padanya. "Halo, Snask," sahutnya tersenyum.
Mesin pesawat mulai dihidupkan, dan lampu peringatan untuk
memakai sabuk pengaman di atas kami sudah menyala.
Aku memandang ke luar jendela sambil mendesah, lalu
kusandarkan kepalaku di bahu Carl.
"Ciao, Roma," kataku pada diriku sendiri. "Aku pasti kembali."
END Malaikat Tanpa Wajah 1 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Pedang Bayangan Panji Sakti 8

Cari Blog Ini