Ceritasilat Novel Online

Ajal Sang Penyebar Maut 1

Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi Bagian 1


Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
0 AJAL SANG PENYEBAR MAUT KARYA : ARMAN ARROISI Disain sampul & illustrasi: Surya Kusumah, Hak Menerbitkan
Dipegang oleh : CV. ROSDA ? Bandung, Anggota IKAPI, Cetakan
pertama 1985, HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG,
Dicetak oleh : ROSDA OFFSET ? Bandung
Sumber Ebook : Awie Dermawan
Pdf E-book & Editor : Kolektor E-book
DAFTAR ISI 1. AWAL KESEHATAN 2 2. PEMBANTAIAN KEJAM .. 26 3. PEMBUNUH MISTERIUS ... 45 4. PENDEKAR MUDA .. 62 5. KIAI DOLAH PEKIH .. 81 6. LIONG HITAM DARI HAINAN ....
106 7. SIAW SIAN GIAP .. 124 8. MISTERI MBAH BUYUT .. 140 9. SIAPAKAH MBAH BUYUT .. 160 10 PENCURI WADI BUAYA PUTIH ....
178 11. SI CALON PEMBUNUH ...... 206 Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
1 1. AWAL KERESAHAN Bumi masih bertengger di tempatnya. Malam tetap
menyongsong hadirnya terang. Namun matahari kian redup di
hati manusia. Sehingga, meski waktu belum lagi parak senja,
warna ke-labu yang kian pekat membuat dunia terasa makin
senja. Masyarakat tidak juga mendapatkan ketenteraman.
Kehidupan tambah berat menindih rakyat kecil. Mereka tidak
mengeluh, karena takut. Tidak demikian yang terjadi di istana
Sang Mahaprabu Minak Sembuju. Dengan Jaka Pratama
menempati wisma keputraan di Blambangan, Sang Raja
merasa terlindung oleh tangan-tangan yang kukuh dan bersih.
Pada mulanya keadaan Jaka pun setenteram suasana di
sekelilingnya. Ketiga orang istrinya, Siti Darwati yang anak
keduanya telah berusia tujuh bulan, Puspa Sari yang
tampaknya tengah mengandung lima bulan, dan Dewi Sekar
Arum yang bulan kemarin tidak datang darah kotornya, hidup
rukun dan saling menghargai satu sama lain.
Namun berita yang terdengar dan kurir Demak membuat dada
Jaka jadi bergolak. Ki Wiryoprakoso, melalui utusan tersebut,
menceritakan situasi terakir yang tengah berkembang. Wali
kesepuluh yang datang dari negeri Parsi telah mengajarkan
aliran Wihdatul Wujud yang sebetulnya tidak cocok untuk
masyarakat Jawa yang masih belum mendalam betul
pengertian Islam mertaka. Dengan pelopor ajarannya Imam Al
Hallaj, orang awam menyangka bahwa ajaran wali kesrpuluh
tersebut, Syaikh Sidi Dzunnar, atau dalam lidah Jawa menjadi
Syeh Siti Jenar, yang artinya Tuan Terhormat Yang
Mempunyai Api, sama saja dengan aliran yang sebelumnya
diberantas oleh para wali lainnya, yaitu bahwa Tuhan menyatu
dalam diri manusia. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
2 Timbullah akibatnya keresahan dalarn kehidupan beragama
serta bernegara di kalangan masyarakat Demak. Padahal
Kesultanan Demak belum sempat mengukuhkan tapak-tapak
dasar-nya hingga mencengkeram ke seluruh wilayah. Masih
banyak yang meragukan wewenang dan kekuatan
pernerintahan Demak, sementara sang Wall Kesepuluh
menyebarkan ajaran yang mem-bust pare pengikutnya merasa
begitu merdeka tanpa ada suatu kekuasaan pun yang berhak
memerintah sesama manusia, termasuk raja atau Sultan.
Sebenarnya yang diajarkan Syeh Siti Jenar tidak seperti yang
diyakini oleh murid-muridnya.
Kalaupun ia sering menyatakan: "Aku adalah Allah, Allah
adalah Aku," bukanlah sama dengan ilmu Manunggaling
Kawula Lawan Gusti. la sudah tiba pada pendalaman yang
makrifat dan hakikat, sehingga apabila ia menyadari akan
dirinya, justru ia menyadari akan Tuhan yang menciptakan
kehidupan. Bila ia memandang diri-nya seolah-olah ia tidak
menampak jasad kasar, melainkan kuasa dan kehendak
Tuhan semata-mata. Tidak akan ada dia jika Tuhan tidak
berniat untuk menciptakannya. Tapi lantaran secara syariat
ajaran tersebut telah menanamkan kegelisahan dan
kekacauan akidah, maka para wali memutuskan untuk
mengadakan sidang guna membahas masalah itu, dengan
menghadapkan Syeh Siti Jenar beserta salah satu muridnya
yang paling berpengaruh, Ki Kebo Kenongo.
Sidang tersebut lebih bersifat musyawarah untuk meminta
pertanggungjawaban sang Guru dengan muridnya yang
kebetulan memiliki kekuasaan selaku bupati Pengging, yang
berarti mempunyai wilayah dan rakyat. Jaka Pratama
menyesalkan timbulnya ketegangan tersebut, justru ketika ia
telah berhasil membina hubungan yang erat antara
Blambangan dengari Demak, walaupun dalam masalah
terpokok, agama, kedua kerajaan itu sangat berbeda. Bahkan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
3 dilihat dari akidah, amat bertolak belakang. la sudah lama
mendengar tokoh ulama dari Parsi yang alim dan zuhud itu,
Syeh Siti Jenar. Orangnya sudah cukup tua, dengan janggut
putih yang lebat dan panjang. Pribadinya amat menarik, tetapi
tegar dan tidak kenal kompromi. Ia suka mengenakan jubah
hijau dengan seuntai tasbih besar yang terbuat dari batu-batu
kota Najaf, tempat suci orang-orang Syi'ah.
Kedatangannya di tanah Jawa disambut gembira oleh para
wali, karena dia pejuang yang ikhlas dan tekun. Kesembilan
wali mengangkat-nya menjadi saudara, sebab ilmu tasawwuf
yang diyakininya amat luas dan dalam. Padahal ilmu tasawwuf
bagi para wali merupakan suatu aliran yang dapat dijadikan
jembatan untuk mendekati masyarakat Jawa yang tadinya
memeluk agama Budha dan Hindu. Bahkan para wali juga
menganut aliran tersebut dalam batas-batas yang tidak
berlawanan dengan syariat. Maka Syeh Siti Jenar diberi
keleluasaan serta dibantu guna menyebarkan pahamnya. Ia
bebas keluar-masuk istana Demak dan daerah-daerah
kekuasaannya seperti para wali yang sembilan. Namanya
yang telah berubah menjadi Syeh Siti Jenar tersebut telah
ditransformasikan lagi kepada pengertian kejawaan, Syeh
Lemah Abang. Ajarannya dengan cepat memperoleh banyak
peminat, termasuk Ki Kebo Kenongo, bupati Pengging.
Daerah Pajang dan sekitarnya adalah ladang yang amat subur
bagi paham Syeh Lemah Abang.
Namun Sunan Kudus menampak gejala-gejala yang kurang
beres. Padahal sikap dakwahnya sangat toleran, sehingga
membangun menara di masjidnya berbentuk candi Hindu dan
melarang masyarakat Islam dalam kawasannya menyembelih
lembu guna menghormati kepercayaan orang-orang Hindu. Ia
juga membuat pancuran air wudlu sejumlah delapan buah
berupa delapan kepala arca untuk mengingatkan pemelukpemeluk agama Budha kepada ajaran Sang Sidharta
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
4 Gautama ketika di Benares, yakni Asta Sanghika Marga atau
Jalan Berlipat Delapan. Ia merasa khawatir begitu mengamati
dengan teliti pengaruh dan akibat ajaran Syeh Lemah Abang
itu. Suluk-suluk Syeh Lemah Abang telah diidentikkan dengan
ajaran Manunggaling Kawulo Lawan Gusti yang panteistis.
Lantaran paham Syeh Lemah Abang sebetulnya hanya cocok
untuk orang-orang yang berada pada tingkatan khowasulkhowas, yaitu golongan yang telah mendalami dasar-dasar
tasawwuf pada pengertian makrifat dan hakikat Dengan
demikian Sunan Kudus buru-buru menghadap sultan Demak,
Raden Patah, untuk mengingatkan bahaya yang bisa timbul
sewaktu-waktu akibat tersebarnya ajaran itu di kalangan
masyarakat swam. Akan tetapi Sultan berpendapat agar
suasana kerajaan jangan dipergawat dengan kesan adanya
pertentangan di dalam. Sebab Demak masih menghadapi
perjuangan yang lebih besar, yaitu menyingkirkan batu-batu
penghalang terhadap integritas dan kedaulatan Kesultanan
Demak. Apalagi sepanjang berita terakhir yang sampai kepada
Sultan, bangsa Peringgi dari negeri Portugis tengah mengintai
kesempatan untuk membelitkan belalai keserakahan mereka
ke Nusantara, setelah berhasil menyerbu dan men-duduki
negeri Malaka di Semenanjung Melayu. Sementara itu, Syeh
Siti Jenar terus mengumandangkan ajarannya:
"Syeh Lemah Abang yektinipun, ing kene ora ana, amung
Pangeran sejati ...."
"Syeh Lemah Abang sebetulnya, di sini tidak ada, melainkan
Tuhan yang sesungguhnya ...."
Sunan Kudus makin menampak nyata betapa bahaya kian
mengancam ketika dirasakannya kepatuhan para kawula
Demak kepada Sultan tambah meluntur akibat ajaran Siti
Jenar. Militansi dan disiplin yang diperlukan dalam membina
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
5 kekuatan telah goyah lantaran pendapat yang keliru, bahwa
setiap pribadi mempunyai kebebasan mutlak tanpa keharusan
tunduk kepada orang lain, termasuk terhadap Sultan, yakni
suatu penghayatan yang salah dari ajaran Syeh Siti Jenar.
Para pengikut Syeh Lemah Abang banyak yang meremehkan
syariat, terutama perintah berjihad, karena mereka mempunyai
pandangan, bahwa Tuhan yang bersatu dengan Aku tidak
memerlukan formalitas-formalitas, yang penting adalah gerak
batin. Jihad tidak selayaknya dengan senjata, melainkan
sekadar memerangi hawa nafsu dan menyingkirkan diri dari
segala rangsangan duniawi. Oleh sebab itu, Ki Kebo Kenongo,
selaku bupati 'Pengging?, dipanggil menghadap ke pusat, yaitu
istana Kerajaan Demak, untuk mempertanggung-jawabkan
kepercayaan yang dianutnya.
Di muka para wali ia diminta untuk bertobat dari kesesatan
pandangan hidupnya, kekeliruan akidahnya. Terutama agar ia
menghentikan penyebaran paham tersebut kepada rakyat
yang berada di bawah kekuasaannya, sekalipun untuk dia
sendiri bebas buat menganutnya. Namun Ki Kebo Kenongo
atau Ki Ageng Pengging menolak. Padahal ajaran Syeh
Lemah Abang telah merenggangkan kepatuhan masyarakat
terhadap Kerajaan, sedangkan Demak tengah memerlukan
jiwa para pejuang yang di-landasi ketaatan terhadap hukumhukum syariat, termasuk kewajiban berjihad bagi kepentingan
tanah air. Maka Sultan pun menurunkan titah untuk
menahannya. Ki Kebo Kenongo tetap bersikeras pada pendiriannya. Oleh
sebab itu dengan terpaksa sekali dijatuhkanlah hukuman mati
atasnya dalam suatu persidangan yang dipimpin oleh Sunan
Kudus, sesuai dengan usul Sunan Kalijaga yang disetujui oleh
Kanjeng Sunan Giri. Kemudian gurunya, Syeh Lemah Abang.
dipersilakan untuk menghadiri persidangan yang sama,
dengan masalah dan anjuran yang sama. Tetapi wali berdarah
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
6 asli Parsi itu, yang hatinya bagaikan terlingkari api, jelas tak
kan bersedia surut dari keyakinannya. Juga meskipun telah
diterangkan betapa ajaran tersebut mengakibatkan banyak
rakyat yang menolak patuh kepada pimpinan, karena mereka
beranggapan memiliki hak mutlak atas diri masing-masing.
Mereka menganggap dirinya sebagai insan kamil, manusia
sempurna yang harus menolak kekewibawaan orang lain,
meskipun terhadap Sultan, guru, atau pemimpin. Dapatkah
Demak menggerakkan kekuatan jika wibawanya tidak ditaati
oleh rakyatnya sendiri? Syeh Lemah Abang memilih mati
daripada menghentikan kegiatannya. Ia mengerti akan
pengaruh jelek yang ditimbulkan oleh pahamnya. Ia mengakui
bahwa ajarannya telah menyebabkan banyak akibat buruk
yang merongrong semangat perjuangan rakyat. Tapi ia
berpendapat, kewajiban menyampaikan terus paham itu tidak
boleh dihentikannya. Ia akan berjalan tetap pada pendiriannya.
Adapun akibat buruk yang timbul bukanlah menjadi tanggung
jawabnya. Hal itu semata-mata lantaran kebodohan mereka
yang menerima salah ajaran-nya, dan merupakan tanggung
jawab kebodohan mereka belaka.
Karena hanya itulah satu-satunya jalan yang dapat diambil,
maka Sunan Kudus memutuskan hukuman mati atas diri Syeh
Lemah Abang. Bukan didasari benci atau memusuhi
ajarannya, tetapi lantaran itulah alternatifnya, yakni
menghindari madlarat yang ternyata jauh lebih besar
dibandingkan dengan manfaatnya, seandainya bukan
eksekusi yang dijalankan. Dan ketika hukuman itu


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilaksanakan, pada hakikatnya yang dibunuh bukan Syeh Siti
Jenar atau ajarannya, melainkan pengaruh buruk dari
ajarannya. Dengan ikhlas Syeh Lemah Abang menerima
keputusan tersebut, sebab ia yakin melalui jalan itulah ia bakal
bertemu dengan Tuhannya. Demikiari pula Sunan Kudus.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
7 Setelah kepala Syeh Lemah Abang terpisah dari badan-nya, ia
berkata dengan penuh kepercayaan :
"Syeh Siti Jenar adalah kafir di hadapan manusia, namun ia
mukmin sempurna di hadapan Tuhan."
Ucapan ini sebetulnya menirukan dan membenarkan apa yang
pernah dikatakan oleh Sunan Giri pada saat menjelang
eksekusi dijalankan. Peristiwa hakiki dari penghukuman
terhadap Syeh Siti Jenar itu tidak dimengerti oleh kaum awam
dan para pengikutnya, sehingga bercabul-lah dendam di
kalangan mereka kepada para wali. Dan inilah yang dirisaukan
oleh Ki Wiryoprakoso serta Jaka Pratama. Bertanyalah Siti
Darwati pada suatu malam, mewakili kedua istri Jaka Pratama
yang lain: "Ada apa, Kangmas, kok nampak murung saja?"
"Kurir Demak yang datang kemarin memberitakan keadaan
yang kurang menyenangkan di Demak," ucap Jaka Pratama di
tepi tempat tidur seraya menunduk dan memegangi kepalanya.
"Jadi? Bagaimana rencana Kangmas?" tanya Siti Darwati
cemas, diperhatikan dengan sikap yang sama oleh Puspa Sari
dan Dewi Sekar Arum. "Terpaksa saya harus meninggalkan kalian, Diajeng," ucap
Jaka seraya menatap mereka satu per satu.
"Apa tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan kami?" tanya
sang istri dengan wajah berubah murung.
"Ada," jawab Jaka spontan.
Ketiga perempuan itu sangat gembira. Mereka bertanya
serempak: "Bagaimana?"
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
8 "Kerajaan Demak harus kita boyong ke sini," sahut Jaka
tersenyum. "Ih, Kangmas nakal," ujar para wanita seraya tertawa kecut.
Dan Jaka jadi kelabakan karena mereka mencubitinya
bergantian, melebihi kewalahannya ketika tengah malam ia
harus melayani mereka bergantian.
Esoknya, diliputi suasana keharuan, ia dilepas oleh para
punggawa Blambangan atas perintah sang Raja di daerah
perbatasan. Kuda putihnya yang tersohor, Karbala, masih
tetap mengawaninya dengan setia. la meninggalkan
Blambangan dengan sedih, namun lebih sedih lagi jika
membayangkan apa yang kini tengah berlangsung di wilayah
Demak. Berdasarkan pengamatan Ki Wiryoprakoso atas kuasa dari
Senapati Sunan Kalijaga, yang sangat mengancam stabilitas
keamanan Demak bukanlah para pengikut Syeh Lemah Abang
atau Bupati Ki Ageng Pengging yang nama aslinya Ki Kebo
Kenongo. Melainkan orang-orang yang menunggangi dendam
mereka dengan cara mengipas-ngipas serta membakar-bakar,
agar dendam itu berkobar menjadi benih pemberon-takan.
Adapun para pengikut Syeh Lemah Abang sendiri, sesuai
dengan ajaran tasawwuf, telah pasrah terhadap segala
kejadian yang menimpa pemimpin mereka. Lantaran mereka
beranggapan, kematian Syeh Lemah Abang adalah takdir,
yakni jalan untuk mukswa supaya menyatu kepada Sang
Murbeng Dumadi, Allah Yang Maha Agung.
Hari itu sultan Demak baru saja memperoleh laporan Panglima
Syarif Hidayatullah melalui seorang kurir dari Banten, bahwa
negeri dan rakyat Banten menyambut baik kehadiran bendera
Demak dan bersedia tunduk di bawah kekuasaannya,
terutama dalam menghadapi Portugis yang konon
mengancam akan menduduki Ujung Kulon, apabila Malaka
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
9 telah mutlak berada di bawah wewenangnya. Sultan sedang
berpikir akan mengirimkan sebuah armada di bawah pimpinan
putranya, Laksamana Dipati Unus, untuk menghadang dan
menghancurkan angkatan laut Portugis yang kini tengah
mengincar Samudera. Untuk itu ketahanan dalam negeri harus
ditingkatkan. Kepada para wali Sultan meminta agar pasukan
Santri Pitulas yang sudah berhasil menunjukkan keampuhannya dalam menyelesaikan semua tugas, segera
dilipat-gandakan jumlah maupun mutunya.
Karena itulah Jaka Pratama dipanggil untuk kembali bertugas.
Dari kemampuan dan pengalamannya ia diharapkan akan
dapat memberikan sumbangan yang berharga dalam menata
dan memimpin kembali pasukan Santri Pitulas. Sudah dua hari
Jaka meninggalkan perbatasan Blambangan. Pada waktu
kudanya dengan sigap mulai memasuki kawasan Kerajaan
Demak, ia mencium suasana yang berbeda di sepanjang
perjalanan. Rasanya daerah yang dilaluinya penuh dengan
kabut kesedihan. Bahkan beberapa orang penduduk yang
dijumpainya untuk menanyakan ke mana jalan yang lebih
pendek ke kampung berikutnya, tampak begitu ketakutan,
seolah-olah ada bayangan ngeri yang mengancam
keselamatan mereka dari detik ke detik.
Jaka Pratama sangat heran. Ada apakah gerangan di daerah
ini? "Selamat sore, Kisanak," ucap Jaka petang itu kepada
seorang lelaki yang sedang duduk di depan rumahnya. "Apa di
desa ini ada penginapan tempat saya dapat melepaskan lelah
untuk semalam?" "Pakne, masuk!" tiba-tiba seorang perempuan muncul dari
dalam, menyuruh suaminya segera masuk.
Tidak sepotong pun jawaban yang diterima Jaka Pratama.
Bahkan sambutan yang agak ramah juga tidak. Ia hanya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
10 memperoleh tatapan mata tidak acuh serta penuh kecurigaan
dan ketakutan. Jaka Pratama masih berdiri di depan pagar ketika pintu
digebrak rapat dari dalam. Dengan langkah gontai Jaka
menuruni tangga lalu menuntun Karbala, melewati rumah demi
rumah dengan sikap penghuninya yang sama saja. Ngeri dan
seperti tidak peduli. Ia merasa belum tua benar, sebab usianya
kini baru menginjak dua puluh empat tahun. Ia yakin
ingatannya masih tajam, jauh daripada pikun. Dan dengan
ingatannya itu, ia bisa memastikan daerah yang kini dilaluinya
jelas berada di bawah kekuasaan Kesultanan Demak. Tapi
mengapa bendera yang berkibar di puncak tiang di tengah
alun-alun itu bergambar tengkorak dengan dua keris bersilang
di bawahnya? Ksatria yang pernah malang-melintang dengan julukan Santri
Putih Bertangan Besi itu makin kebingungan tatkala anak-anak
kecil pun lari serabutan menghindari pertemuan dengannya.
Apakah ia disangka bakal menyebarkan wabah sampak atau
cacar? Untunglah masih ada seorang tua bijaksana yang mau
bertegur sapa dengannya, yaitu ketika ia sudah hampir putus
asa menjelang malam turun. Orang tua itu tinggal di sebuah
gubuk reyot paling ujung.
Tadinya kakek tersebut tidak nampak, masih berada di dalam
rumahnya. Begitu Jaka berjalan terseok-seok bersama
kudanya, orang tua itu keluar dan memanggilnya.
"Anak muda, mari singgah di rumah saya," teriak lelaki tua itu
dengan suara parau. Jaka menoleh dan mengangguk. "Terima kasih, Aki, terima
kasih," jawab Jaka seraya menambatkan kudanya di
pekarangan si kakek. "Maaf, barangkali saya mengganggu
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
11 ketenangan Aki," ucap Jaka tatkala berhadap-hadapan
dengan kakek tersebut. "Ah, tidak mengapa. Silakan masuk," sahut kakek sambil
membawa Jaka memasuki gubuknya.
Wajah orang tua itu memang penuh keriput. Rambut dan
janggutnya yang panjang juga sudah memutih seluruhnya.
Namun sungguh aneh, kulit di lehernya yang kekar sama
sekali tidak ada kerut-merutnya. Demikian pula matanya,
nampak bersih, bahkan agak liar.
Sediaaya Jaka akan menaruh curiga. Tetapi di dinding ia
melihat gantungan pigura bertuliskan lafal Allah dan
Muhammad. Berarti kakek itu seorang pemeluk agama Islam,
sehingga ia merasakan tenteram dan aman.
"Jauh juga rupanya perjalanan yang telah Raden tempuh?"
tanya si kakek sesudah Jaka dipersilakan duduk.
Jaka makin heran. Dari mana kakek ini tahu untuk
memanggilnya dengan sehutan Raden? Biasanya penduduk
desa yang herusia lehih tua hanya memanggil polos, engkau,
dan tidak membahasakan Raden kecuali bila yang dipanggil
memang berdarah bangsawan. Sebutan Raden masih mahal
sekali waktu itu. Seseorang bisa dihukum penjara kalau
membahasakan Raden kepada orang yang tidak mempunyai
hak, atau menyebut dirinya Raden padahal ia bukan keturunan
ningrat. Jaka berpikir, apakah orang tua ini mengenal siapa dia
sebenarnya? "Betul juga dugaan Aki. Saya datang dari Blamhangan," jawab
Jaka seadanya. Ia tidak berburuk sangka untuk tidak
menceritakan sejujurnya. Rasanya tidak sampai hati
mencurigai seorang kakek yang mau beramah-tamah,
sementara semua orang seperti hermusuhan dengannya.
Berkilat pandangan di mata si kakek.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
12 "Hem, hetul-betul jauh. Kalau begitu kami tidak keliru."
"Kami?" tercuat rasa heran pada Jaka, lantaran si kakek
membahasakan dirinya dengan kami, padahal sepanjang
pengamatan Jaka di situ hanya ada dia sendirian. Agaknya si
kakek juga menyadari ketelanjuran omongnya. Mukanya
beruhah sebentar sebelum ia menjawab: "Maksud saya, Aki
dan Nyai." "Oh," gumam Jaka. "Kok Nyai tidak kelihatan?"
Agak gelagapan kakek itu menerangkan: "Nyai saya sedang
ke rumah cucu di seberang kali. Baru saja, belum lama."
Sayang, Jaka tidak mengusut lebih jauh. Andaikata ia mau
bertanya sedikit lagi, pasti si kakek akan kehabisan dalih.
Sebab tidak ada tanda-tanda bahwa sebentar tadi di rumah
tersebut pernah ada seorang perempuan tua. Sepatutnya Jaka
menaruh curiga, ketika beberapa saat kemudian di meja telah
terhidang sejumlah makanan yang masih hangat. Tapi waktu
itu Jaka tengah khusyuk mengerjakan sembahyang Maghrib,
dijamak dengan Isya. Dan wiridnya begitu lama, sehingga
tatkala ia duduk di muka hidangan tersebut, semua masakan
yang tersedia sudah menjadi dingin.
Namun begitu, sebetulnya Jaka sudah sangat keheranan,
melihat makanan yang dihidangkan terlalu mewah
dibandingkan dengan keadaan gubuk tempat kakek itu tinggal.
"Wah, macam-macam sekali makanannya," ucap Jaka tidak
enak, merasa terlalu disambut berlebihan oleh seorang kakek
yang tua dan miskin. Dalam hatinya ia berjanji, besok, kalau ia
akan meninggalkan rumah itu, akan diserah-kannya sekeping
uang emas untuk si kakek. Dengan uang itu, ia yakin kakek
bakal dapat memperbaiki gubuknya lebih bagus daripada
seluruh rumah yang terdapat di desa itu.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
13 Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
14 Tapi agaknya ia tidak akan sempat melaksanakan niatnya.
Sesudah sepotong daging ayam ditelannya, dan separo
cangkir teh manis diteguknya, mendadak matanya berkunangkunang. Kepalanya jadi berat, dipenuhi warna-warni yang
berputar bagaikan gasing dalam ingatannya. Ia sempat
menggerakkan tangannya untuk mencabut keris Naga Wulung
yang terselip di pinggangnya. Namun ia lupa menelan racikan
penawar racun sebelum menyantap hidangan yang disediakan
seseorang yang belum dikenalnya. Atau tepatnya, ia tidak
menganggap perlu untuk berjaga-jaga, jangan-jangan ia bakal
diperdaya dengan makanan beracun oleh seorang kakek yang
dikiranya sangat ikhlas menyambut kedatangannya. Karena itu
tangannya terkulai lemas dan tubuhnya yang tegap
menggelosor jatuh ke bawah tanpa sadar sama sekali.
Jaka Pratama telah terjebak dalam perangkap busuk akibat
terlalu percaya kepada orang lain, didasari keyakinannya
untuk hanya bersangka baik kepada sesama manusia. Ia lupa
bahwa akhir-akhir ini dunia makin kotor oleh keserakahan dan
kerakusan nafsu iblis yang mengeram di hati manusia. Untung
musuh yang bermuka buruk itu tidak membubuhi racun maut,
atas perhitungan, apabila racun maut yang dicampurkan ke
dalam makanan tersebut, pasti Jaka akan mampu mencium
keanehan baunya. Dengan racun yang cuma membuat
pingsan, makanan tadi terbukti hampir tidak berubah baunya
sedikit pun. Adapun untuk pekerjaan selanjutnya, membunuh Jaka, bisa
dilakukan dengan cara lain. Siasat lawan telah berhasil
dengan gemilang. Beberapa sosok tubuh berkelebat masuk
tidak lama sesudah itu, dan menggotong Jaka, entah hendak
dibawa ke mana. Kakek yang nampaknya jujur itu
menggeledah seluruh pakaian Jaka. Ia tertawa gembira dan
mengangguk kepada anak buahnya setelah menemukan apa
yang dicarinya. Secarik kertas berisi catatan tertentu, yang
Buku Koleksi : Awie Dermawan


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PDF e-book oleh Kolektor E-Book
15 untuk itu komplotannya, berlambang tengkorak dengan dua
keris bersilang di bawahnya, dijanjikan seseorang dengan
hadiah besar guna mendapatkannya.
Orang yang misterius itu akan menunggu di puncak suatu
bukit tengah malam nanti, yakni bukit yang oleh penduduk
dinamakan Gundukan Alit, kurang lebih tiga jam perjalanan ke
arah barat, melewati sebuah hutan kecil dan dua sungai besar.
Kakek tersebut harus menyerahkan kertas catatan itu di sana,
sekalian menerima hadiahnya. Gerombolan itu segera
berangkat menuju ke tempat yang telah ditentukan. Mereka
berjumlah tujuh orang, termasuk si kakek, yang kini telah
melepaskan penyamarannya sehingga kembali kepada wujud
aslinya, seorang pria berumur 39 tahun dengan badan tegap
dan tatapan mata yang beringas. Kuda Jaka Pratama digebah
sesudah dilepas ikatannya. Mereka tidak mengambil kuda itu,
karena jika tertangkap pihak berwenang bahwa kuda yang
mereka miliki adalah hasil kejahatan, pasti akibatnya akan
lebih buruk bila dibandingkan dengan keuntungan untuk
menguasainya. Barangkali inilah satu-satunya kekeliruan mereka, di samping
pekerjaan yang nyaris sempuma. Di tengah perjalanan, tatkala
mereka menyusuri sungai pertama yang lebih besar dan deras
daripada kali berikutnya, tubuh Jaka dilemparkan dari atas
tebing, presis melontarkan gedebok pisang, tanpa perasaan
sama sekali. Mereka menyangka telah melakukan perbuatan yang paling
kejam, dan mereka bangga, sebab konon, hidup di dunia yang
kejam, hanya sikap yang paling kejam sajalah yang dapat
mengantarkan mereka kepada tujuan yang hendak dicapai.
Belas kasihan adalah kebodohan yang amat dungu. Mereka
tidak tahu bahwa Jaka Pratama telah menguasai ilmu Selo
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
16 Kumambang, warisan dari mertuanya, Sang Prabu Minak
Sembuju, raja Blambangan.
IImu itu adalah suatu kesaktian yang membuat dirinya dapat
mengapung di air dalam keadaan bagaimana pun. Tidak itu
saja. Pada waktu ia pingsan, air justru merupakan obat yang
akan membuatnya sadar dalam sekejap mata. Jadi,
melemparkan Jaka Pratama ke dalam sungai adalah
kekeliruan mereka yang kedua, kekeliruan yang lebih besar
dari yang pertama. Di Gundukan Alit tepat tengah malam, sososok manusia
bertopeng dengan tubuh tinggi kurus telah menunggu
kedatangan mereka. "Engkau membawa yang kupesan?" sosok bertanya.
Suaranya sengau tapi melengking tajam, pertanda ilmu batin
yang dimilikinya telah mencapai titik tertinggi.
"Apa kami pernah gagal?" jawab pemimpin rombolan dengan
angkuh. "Bagus," sambut si topeng seraya menyerahkan pundi-pundi
berisi hadiah yang dijanjikan, sesudah dengan matanya yang
bagaikan burung elang memeriksa isi tulisan dalam kertas
yang diberikan kepadanya, di bawah sinar purnama tanggal
empat belas. "Apa tugas Bersilang. kami selanjutnya?" tanya pemimpin Keris "Melipatgandakan anggota dan menguasai seluruh desa
perbatasan, sehingga Kerajaan Demak terkepung dalam jaring
lingkar Keris Bersilang."
"Sudah tujuh desa kami kuasai, termasuk desa saya. Keenam
orang yang mengiringkan saya kemari adalah tokoh-tokoh
pendekar dari keenam desa yang telah kami taklukkan."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
17 "Bagus," jawab si topeng kian puas.
"Petunjuk dan bantuan yang kalian perlukan akan kuberikan
pada kesempatan lain. Ingat, tidak usah mencari aku atau
menanyakan siapa aku. Sebab akulah yang akan mencari
kalian." Setelah itu si topeng melayang turun dengan gerakan kilat
yang membuat ketujuh orang itu mendesah kagum. Dalam
beberapa detik sosok tadi tidak kelihatan lagi, meninggalkan
bau amis yang menusuk hidung di tengah angin malam yang
semilir dingin. Rasa dingin itu Pula yang mula-mula dialami Jaka Pratama
ketika ia siuman bahwa dirinya berada di dalam sungai yang
arusnya sangat kencang. Ia tidak perlu berpikir dulu apa
sebabnya ia berada di dalam air. Yang paling perlu
dilakukannya ialah berusaha melawan arus dan berenang ke
pinggir. Meskipun harus bergerak dengan susah payah, toh
akhirnya Jaka berhasil mencapai tepian kali, lantas
berpegangan kepada sebatang akar untuk memanjat ke atas.
Ia hampir kehabisan tenaga ketika kemudian dapat
menghempaskan tubuhnya ke lumpur. Di situ ia beristirahat
dengan menelentangkan badannya di tanah becek, sambil
menghimpun napas dan kekuatannya sedikit demi sedikit.
Bulan bergeser melewati awan-gemawan dalam bias cahaya
yang kian terang. Jaka memejamkan mata, tanpa mengambil
peduli terhadap keindahan malam yang terpeta di sekujur kaki
langit. Yang indah buat Jaka sekarang ini adalah tidur hingga
tenaganya terkumpul kembali. Siapa tahu, besok pagi. Ia tidak
mau berpikir macam-macam, sebab dengan berpikir macammacam dalam keadaannya seperti sekarang, ia kuatir akan
teringat kepada keluarganya dan menjadi berduka karenanya.
Pada waktu seorang ksatria tengah berjuang, kesedihan
akibat, mengenang keluarga bukan saja merupakan aib,
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
18 melainkan juga kelemahan yang dapat berakibat fatal.
Lantaran urusan adalah masalah pribadi, sedangkan
perjuangan ialah mengorbankan kepentingan pribadi bagi bagi
tujuan yang sangat mulia yakni keselamatan negara dan
bangsa. Tidak berarti bahwa seorang pejuang tidak punya hak untuk
memikirkan keluarga. Sekali-sekali tidak. Tetapi dalam saat,
sedang melaksanakan tugas, seharusnya pikiran lain
disingkirkan lebih dulu, agar seluruh konsentrasi dapat
dipusatkan pada keberhasilan kewajibannya.
Dengan tekad sekeras itulah Jaka Pratama baru bisa
menaklukkan rasa sakit yang meruyak sekujur tubuhnya,
sampai akhirnya dapat terpulas dengan lelap. Kalau tidak, ia
bakal tersiksa oleh rasa sakit itu sehingga tidak mungkin
dalam tempo singkat dapat memperoleh tenaganya yang
hampir lenyap seluruhnya akibat keampuhan racun yang
dibubuhkan ke dalam makanan dan minuman yang masuk ke
badannya. Pada saat yang sama, ketika pagi-pagi Jaka masih tergolek di
atas lempung, seekor kuda yang tangkas tengah mengaisngais tanah dan menciumi tetumbuhan atau rumput, untuk
mencari majikannya. Kuda itu adalah Karbala yang kehilangan
jejak di tebing, tempat Jaka dilemparkan ke dalam sungai.
Kuda itu kebingungan di tebing tersebut. la berulang kali
mendenguskan moncongnya ke atas dan ke hawah, seraya
meringkik dengan panik, seolah-olah sedang memanggilmanggil Jaka Pratama dengan kekuatiran yang menanjak.
Pada waktu siangnya Jaka Pratama terjaga, dan tiba-tiba
mendengar suara Karbala lamat-lamat. Di suatu tempat yang
jauh dari situ terdengar pula suara lain, lenguhan napas penuh
kepuasan. Suara lenguhan itu keluar dan mulut seorang lelaki
jangkung yang badannya kurus ceking tetapi wibawanya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
19 berada di atas sejumlah laki-laki lain yang nampaknya semua
bertampang beringas dan dingin.
"Paman, kita telah mendapatkan daftar nama-nama yang
harus disingkirkan," ucap laki-laki tadi kepada seseorang yang
lebih tua dan sedang mengunyah sirih di depannya.
"Maksudmu?" tanya si pemakan sirih seakan kurang peduli.
"Dari surat ini, ternyata Jaka Pratama diperintahkan oleh
panglima perang Demak untuk menghubungi beberapa agen
Santri Pitulas yang telah menyelusup ke beberapa tempat dan
kelompok," kata si jangkung sembari meneliti kertas yang telah
dirampas oleh pemimpin gerombolan Keris Bersilang.
"Hem, bagus. Berarti pekerjaan kita sudah hampir berbuah."
"Jangan memandang enteng, Paman. Kita harus menyelidiki
dulu secara teliti sebelum bertindak."
"Aku tidak begitu paham."
"Maksud saya, apakah nama-nama yang tercantum di sini
betul-betul orang-orang Demak yang harus dihubungi Jaka
Pratama atau bahkan sebaliknya, yang harus dicurigai atau
dihabisi karena mereka adalah musuh-musuh Demak? Sebab
kertas ini hanya berisi nama-nama, dan tidak mencantumkan
sikap apa yang harus diambil oleh Jaka Pratama. Ah, memang
lihai senapati Demak yang wali itu."
"Kalijaga?" tanya pria tua itu sebal.
"Betul," jawab si jangkung, rupanya merupakan pemimpin
besar dari suatu gerakan bawah tanah yang hendak
menumbangkan pemerintahan Demak.
"Padahal dulu dia sering berteman denganku kalau
merampok. Aku adalah sahabat karibnya dalam kejahatan,
semasa dia belum tergoda oleh Sunan Bonang. Waktu itu
namanya Raden Seca, anak bangsawan Majapahit, adipati
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
20 Tuban, yang lebih suka jadi penyamun. Namanya kemudian
diubah menjadi Lokajaya. Tidakkah engkau pernah
mendengar, di mana ada Lokajaya di situ pasti ada Lokawana,
namaku sendiri? Kami tidak pernah bertengkar, barangkali
hingga kini ia masih tetap menganggapku sahabat,
seandainya jalan kami tidak berbeda."
"Siapa tahu Sunan Kalijaga masih beranggapan demikian?"
"Terangkan saja, jaugan bikin aku pusing. Kau kan tahu, yang
paling kubenci hanya satu, berpikir," tegur sang paman
berubah sewot. "Hahaha . . . ," si jangkung tertawa melihat ulah pamannya,
yang sudah tua tetapi masih suka uring-uringan dan ugalugalan.
"Maksud saya begini, Paman punya kesempatan untuk
menemui Sunan Kalijaga sebagai seorang sahabat. Siapa
tahu Paman akan dipercaya untuk bekerja di istana?"
"Hem, betul juga pendapatmu. Engkau memang pantas jadi
raja, Pamungkas. Otakmu encer, tanganmu kejam, hatimu
batu. Itulah yang patut dimiliki oleh seorang penguasa
kerajaan." "Hahaha ," kembali Wong Pamungkas tertawa
melengking. Ternyata setelah lama tidak muncul di dunia luar,
kini Wong Pamungkas menjalin kerja sama dengan paman
iparnya, seorang pemimpin rampok yang kaya-raya dan
memiliki istana di suatu tempat yang dirahasiakan dengan
anak buah berjumlah puluhan orang. Bukan itu saja. Wong
Pamungkas mendapat dukungan dana dari pamannya itu,
Aditya Lokawana, untuk membangun wilayah kekuasaan
melingkari kawasan perbatasan Demak di desa-desa
pedalaman yang lemah penjagaannya. Untuk itu ia telah
mengadakan hubungan. rapat dengan partai sakit hati Keris
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
21 Bersilang. Gerombolan tersebut diketuai oleh seorang
penjahat muda bemama Raka Jinangkar, yang dahulunya
adalah ajudan bupati Pengging, Ki Ageng Kebo Kenongo.
Semenjak majikannya dibunuh oleh para wali, ia menghimpun
anak buahnya untuk mengumpulkan kekuatan guna melawan
pemerintah Demak. Kebetulan ia bertemu dengan Wong
Pamungkas. Dan saat itulah ia makin mengembangkan
kekuatannya dengan cara merekrut anggota sebanyakbanyaknya.
"Paman, mari kita berbagi tugas. Paman Lokawana berangkat
ke Demak atau Glagah Wangi. Usahakan agar dapat bertemu
muka langsung dengan Sunan Kalijaga. Saya akan
mendatangi desa Bagus Kuning untuk mengusut nama-nama
yang tertulis dalam surat ini. Setuju?" ujar Wong Pamungkas
kepada pamannya. Sebagaimana diakui sendiri oleh Lokawana, ia paling malas
untuk berpikir. Karena itu ia tentu saja menjawab bahwa ia
sanggup melakukannya, tanpa mempertimhangkan baik-buruk
atau bahaya yang mungkin mengancamnya. Buat Wong
Pamungkas, sungguh beruntung dapat menemukan paman
ipar macam Aditya Lokawana sesudah bertahun-tahun tidak
pernah berjumpa. Sebab pamannya itu tidak saja kejam, lihai,
tetapi yang terpokok, dia adalah orang bodoh yang gampang
diperkuda bagi kepentingan ambisinya.
Kesepakatan antara keponakan yang jahat dengan paman
ipar yang buruk barangkali akan merupakan malapetaka
seandainya tidak ada yang mampu menghalang-halanginya.
Apalagi kini mereka telah mempunyai kawasan kekuasaan
dan pengaruh melalui persekongkolan mereka dengan
gerombolan Keris Bersilang yang dipenuhi dendam untuk
menghancurkan semua yang berbau Demak atau kewalian.
Padahal Kerajaan Demak sedang dilanda berbagai macam
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
22 kesulitan akibat berkecamuknya peperangan melawan musuh
dari semua jurusan. Majapahit masih belum hancur sama
sekali. Bahkan Prabu Udara Brawijaya VII yang kini
memegang tampuk pemerintahan meneruskan kekuasaan
Prabu Brawijaya VI atau Raja Girindrawardhana yang telah
meninggal beberapa bulan yang lalu, kelihatannya cukup
punya nyali untuk memperhebat tekanan kepada Demak.
Sementara itu kesehatan Sultan Demak, Raden Patah, akhirakhir ini justru makin menurun dan ia sering jatuh sakit.
Namun demikian, dalam situasi rawan semacam itu, Raden


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patah masih mampu mengambil keputusan yang gagah
berani. Dalam keadaan sakit ia memanggil putranya, Raden
Surya, yang juga dikenal dengan nama Dipati Unus.
"Angger putraku," ucap Sultan terpatah-patah. "Rencana kita
untuk memberi pelajaran telak kepada bangsa Peringgi harus
segera dilaksanakan. Mereka telah menduduki Malaka.
Ummat Islam di sana telah datang berkali-kali minta bantuan
angkatan laut Demak. Malah saat ini, mereka mulai
mengancam Kerajaan Samudera Pasai di pulau Sumatera. Siapapun armadamu, dan
dalam sepuluh hari ini engkau harus sudah berlayar ke utara.
Untuk itu engkau kunobatkan sebagai Pangeran Sabrang Lor.
"Hamba menurut apa kata Rama," sahut sang putra mahkota
dengan patuh. Itulah saat yang ditunggu-tunggunya,
membuktikan kepada orang-orang kafir, bahwa armada
Demak tidak boleh dianggap remeh. Seketika itu pangkalan
angkatan laut Demak, Jepara, mulai diliputi kesibukan guna
memper-siapkan keberangkatan armada pimpinan Laksamana
Pangeran Sabrang Lor menuju Malaka.
Justru pada saat itu Jaka sedang dilanda kebingungan
mengamati keadaan dirinya. Ia tergolek hingga matahari
menyengat tubuhnya. Sewaktu ia telah mendapatkan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
23 kesadarannya kembali, ia malah jadi panik tatkala surat yang
diamanatkan kepadanya untuk dilaksanakan telah lenyap dari
kantung bajunya. Ia amat kuatir, apabila surat itu jatuh ke
tangan musuh, hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Musuh akan salah paham dalam mempelajari isi surat itu,
sampai mereka dengan gegabah melakukan tindakan yang di
luar perhitungan. Meskipun hal ini tidak akan membuat
jatuhnya. korban di pihaknya, namun bakal merusak strategi
yang sudah diatur dengan cermat oleh Sunan Kalijaga.
Kemungkinan lain musuh dapat menangkap maksud surat itu
dengan tepat. Jelas jika hal ini yang terjadi, kerugian di pihak
Demak akan berlipat kali lebih besar.
Jaka sempat menyesali kebodohannya sendiri. Mengapa
dalam zaman serba gila begini ia masih bersikap selalu baik
dan tidak pernah menyangka buruk terhadap kebaikan orang?
Oh, andai-kata ia tidak mengikuti bisikan ketulusan hatinya,
pasti ia tak kan terjebak oleh racun yang disediakan kakek
jahat itu. Tapi sesal berkepanjangan tidak akan ada gunanya, bahkan
bisa mempergawat kondisi selanjutnya. Karena itu ia segera
membersihkan badan, lantas memakai kembali pakaian yang
kotor oleh lumpur itu setelah dicuci dan di-keringkan. Untuk
beberapa lama ia duduk ber-sila di suatu gundukan tebing
sungai yang agak tinggi. Dengan pemusatan pikiran dan
segenap rasa kepada suatu fokus, Allah, ia mulai berhasil
menghimpun kekuatan dalamnya lagi. Darah panas bergolakgolak dari jantungnya, menggelegak ke atas, membobol
semua sekatan berupa kesedihan, kelemahan, dan kelesuan.
Tatkala hawa panas seolah-olah membuat ubun-ubunnya
mengepulkan asap, Jaka sangat bersyukur menyadari bahwa
ternyata kemam-puannya mengendali-tenaga inti batin masih
berada pada puncak kesanggupannya. Ia gembira dan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
24 gerakannya menjadi ringan berkat segenap organ tubuhnya
telah kembali kepada fungsinya secara normal.
Pandangan matanya kian tajam karena didukung oleh
ketajaman tatapan batinnya. Pendengarannya makin peka
lantaran dikuatkan oleh Jaya tangkap tenaga dalamnya.
Pada saat itulah is mendengar bunyi meringkik sayup-sayup
sampai dari puncak tebing di dekat batu cadas beberapa kilo
di mukanya. la sangat mengenali suara itu. Maka tanpa ayal is
melompat-lompat seperti kijang berahi menuju ke tempat itu.
Tepat sekali dugaannya. Di sana si Karbala masih terus
mengendus-enduskan hidung ke atas dan ke bawah, hampir
putus asa melacak tuannya.
Begitu Jaka datang menghampiri bagaikan bayangan malaikat
yang turun dari langit, si Karbala langsung mengangkat kedua
kaki depan-nya, menandakan kegembiraannya bertemu
kembali dengan majikan yang dicintainya.
"Karbala, engkau memang sahabatku yang, setia," ujar Jaka
seraya mengelus-elus suri kuda-nya yang berjumbai di
lehernya. Kuda ranggi berbulu putih mulus itu segera rnenyedeprok ke
tanah, seakan-akan menyatakan kesiapannya untuk segera
terbang mengantarkan sang majikan ke mana pun di muka
bumi ini. "Engkau sudah merumput, Karbala?" bisik Jaka penuh kasih
sayang. Kuda itu mengangguk-angguk, menandakan bahwa
perutnya telah cukup kenyang. Ia tidak sabar untuk membawa
Jaka di punggungnya. "Aku malah belum makan," ucap Jaka menggumam,
Berbareng dengan itu ia melompat ke ujung batu cadas, lalu
dengan bertolak dari batu itu ia melayang ke atas sebelah kiri
untuk merenggut dua butir buah mangga masak dari
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
25 pohonnya. Berbekal kedua butir buah liar yang langsung
dilahapnya itu, Jaka segera menempatkan tubuhnya di
punggung Karbala. Dan kuda itu langsung berdiri, kemudian
melangkah gesit melompati semak demi semak menuju arah
yang ditunjukkan oleh majikannya.
"Kita terus ke barat, mengunjungi desa Bagus Kuning," bisik
Jaka kepada Karbala. Dengan patuh kuda yang setia itu melaju, melewati tepian kali,
mengerahkan selumh kelincahannya. Berdasar peta yang
tidak terampas dari pelana Karbala, ia hams menyeberangi
sungai tersebut sebelum tiba di hutan kecil yang dikenal
penduduk dengan sebutan Alas Setan Gundul, karena konon,
menurut legenda, di hutan itu bermukim keluarga setan yang
kepalanya gundul semua. Adapun data Bagus Kuning yang dimaksud terletak dalam
wilayah Kabupaten Pengging, dalam lingkungan daerah
Pajang, masih termasuk ke dalam kekuasaan Bintara Demak.
Penduduknya rata-rata menganut aliran Syeh Lemah Abang,
dan sangat fanatik serta amat Sakit hati terhadap
penghukuman mati atas pemimpin mereka, Ki Kebo Kenongo
dan gurunya. 2 PEMBANTAIAN KEJAM Malam itu sedang dilakukan upacara berkabung semalam
suntuk pada hari yang ketujuh belas semenjak kematian Syeh
Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging. Mereka tengah
melaksanakan suluk-suluk suci sambil menangis dan
meraung-raung, meratapi kesyahidan pemimpin mereka yang
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
26 tercinta. Sebagian penduduk, terutama kaum wanita, malah
sudah berada dalam keadaan setengah pingsan dan histeris.
Mereka mencakar badan sendiri, merobek-robek pakaian dan
menyayat daging hingga mengucur darah di berbagai tempat.
Dupa dan setanggi mengepulkan asap kepedihan yang
mengerikan. "Wahai para kadang Bagus Kuning," tiba-tiba seorang laki-laki
jangkung berjubah hitam muncul di tengah-tengah mereka
begitu saja, seperti keluar dari perut bumi. "Aku datang kemari
diutus oleh arwah Syeh Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging
untuk memimpin kalian melampiaskan dendam kepada para
wali yang lalim." Mendadak suasana berubah seketika. Mereka yang terlibat
dalam upacara maut tersebut membelalakkan mata ke arah
tokoh berjubah hitam yang baru muncul itu. Yang menangis
menghentikan tangisnya, yang menyiksa dm menunda
perbuatannya, dan sebagian lagi berdiri terpaku di tempatnya.
"Aku bernama Syeh Lemah Kobar, yang bertugas membakar
bumi menjadi bara api untuk menghancurkan keganasan para
wali. Aku membawa mandat dari neraka untuk menyeret para
wali ke dalarn api dendam Syeh Lemah Abang."
Kini semua pandangan tertuju penuh kepada lelaki jangkung
yang berjubah hitam tersebut.
Mereka belum percaya, tetapi juga belum tidak percaya.
Mereka masih menunggu. Aku tahu kalian belum mengenal nama Syeh Lemah Kobar,
karena aku tidak akan muncul kalau tidak dipanggil oleh arwah
saudaraku, Syeh Lemah Abang. Siapa yang percaya
kepadaku, akan selamat dan akan menyatu dengan Gusti
Allah, dan kelak akan berkumpul bersama Syeh Lemah Abang
di alam keabadian. Siapa yang ingkar terhadapku akan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
27 disiksa, tidak saja di akhirat, namun juga di alam kasunyatan
sekarang ini." Semua yang berada di tempat itu kian terdiam. Mereka tidak
berani berbisik-bisik, sebah jika benar Syeh Lemah Kobar
adalah saudara Syeh Lemah Abang, pasti ia memiliki keramat
atau kesaktian yang berimbang.
"Kuminta, siapa yang percaya kepadaku berkumpul di sebelah
kanan, dan yang membangkang di sebelah kiri," ucap Syeh
Lemah Kobar makin lantang, menyaksikan pengaruh
ucapannya telah mulai termakan oleh mereka.
Ia mempunyai maksud, dengan siasat memilah-milah tersebut
pasti orang-orang Demak atau para agen Santri Pitulas yang
diselundupkan ke kalangan murid Syeh Lemah Abang akan
minggir ke sebelah kiri, mengingat pendalaman keislaman
mereka yang telah kukuh. Ternyata siasatnya gagal total. Tidak seorang pun di antara
mereka yang berani melangkah ke kiri, termasuk tiga orang
yang dicurigainya sebagai golongan Islam Putih jika dilihat dari
penampilan mereka yang tenang dan penuh percaya diri.
Syukur, syukur. Sesuai dengan nama desa ini, kalian memang
orang-orang yang berhati kuning dan bagus-bagus. Tapi aku
masih belum puas, sebab di antara kalian ada beberapa
penyelusup dari Demak," ucap Syeh Lemah Kobar sesudah
kehabisan siasat. Ia membuka kertas catatan yang diperoleh
dari Raka Jinangkar, pemimpin gerombolan Keris Bersilang. Ia
lalu membacakan salah satu nama yang menempati urutan
paling atas. Ketika orang-orang tengah terpana dalam tanda
tanya dan ketakutan, ia menyebutkan nama itu.
"Yang merasa punya nama Wuku Panyilang silakan maju ke
depan." Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
28 Orang-orang jadi ribut. Mereka sudah mengenal betul siapa
Wuku Panyilang. Ia adalah putra lurah Bagus Kuning yang
sangat murka mendengar kematian Syeh Lemah Abang dan
Ki Kebo Kenongo. Bahkan ayahnya sekarang sedang
mengumpulkan kekuatan, dan sejak kemarin malavn meluruk
ke desa-desa lain dalam kawasan Kabupaten Pengging untuk
merencanakan pemberontakan terhadap Kerajaan Demak.
Anak muda yang disebut itu sama sekali tidak menaruh waswas ketika ia menyibakkan kerumunan penduduk Bagus
Kuning untuk maju ke depan. Begitu pula para warganya.
Mereka tahu Syeh Lemah Abang sangat dekat dengan ki lurah
dan putranya, sehingga pasti Syeh Lemah Kobar juga sudah
mendengar namanya. Maka dengan bangga Wuku Panyilang
berdiri tegap di hadapan Syeh Lemah Kobar yang tatapan
matanya terasa menusuk hingga ke jantungnya.
Ia menggigil, tapi tidak sampai ketakutan karena tiba-tiba rasa
takut yang hampir menyerbu dirinya tadi mendadak terpupus
oleh hawa panas yang kian lama tambah menghebat. Ia tidak
keburu menjerit tatkala tubuhnya mengejang dan berubah
hitam, menyebarkan bau daging hangus. Wuku Panyilang
telah tewas oleh aji Awu Geni yang dilancarkan oleh Syeh
Lemah Kobar dalam kekuatan yang berlipat ganda
dibandingkan dengan sebelumnya karena telah diperdalam
keampuhannya melalui tapa brata berbulan-bulan.
Masyarakat ribut dan menjerit-jerit tatkala Syeh Lemah Kobar
berkata: "Para kadang semuanya. Anak muda ini adalah
pengkhianat yang licik, karena itu kuhukum seperti kelak
mereka yang ingkar akan dihukum di neraka."
Kini para hadirin betul-betul dilanda kebingungan, selain
ketakutan. Dari cara hukuman yang dijatuhkan atas Wuku
Panyilang, jelas Syeh Lemah Kobar amat sakti. Tetapi
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
29 alangkah mustahilnya tuduhan yang dilontarkan kepada putra
ki lurah itu. Ia penyelundup dari Demak?
Ia pengkhianat yang sangat licik? Tidak mungkin. Narnun tidak
seorang pun berani bersuara.
Mereka terbenam dalam keterkejutan yang sekonyongkonyong dan kengerian yang memuncak menyaksikan
jenazah Wuku Panyilang tergolek begitu memilukan.
Badannya melepuh seperti dibakar api unggun. Tangantangan dan kedua kakinya mengerut, kulitnya berubah warna,
dari putih menjadi hitam lebam.
Akan tetapi ketakutan ada batasnya. Dan tatkala ketakutan
telah tiba di pucuk yang terjauh, yang akan tumbuh justru
kenekatan tanpa mempedulikan lagi keselamatan sendiri.
Demikian pula yang terjadi atas para sahabat Wuku Panyilang.
Mereka berpendapat telah berlaku ketidakadilan yang curang.
Karena itu seorang pemuda maju ke muka, lalu berteriak
gemas: "Kami tidak yakin bahwa Tuan adalah saudara sang Guru
Agung Syeh Lemah Abang. Siapakah Tuan yang
sebenarnya?" Sebagian penduduk yang masih punya nyali ikut menganggukangguk, sementara yang penakut menyingkirkan diri ke tempat
yang paling gelap. Namamu siapa, hai anak muda?" bentak Syeh Lemah Kobar
berang. "Apa engkau tidak menyesal telah berkata tidak sopan
kepadaku?" Saya adalah sahabat karib Wuku Panyilang.
Ia seorang putra setia yang tidak hanya patuh kepada
romonya, ki Lurah Brajanala, melainkan juga seorang murid


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
30 yang taat berbakti kepada Syeh Lemah Abang. Mengapa Tuan
tanpa suatu sebab telah membunuhnya?"
"Hem," geram si jubah hitam. Ia tergetar jangan-jangan sudah
salah mengambil tindakan.
Tapi kini telah telanjur. Ia tidak boleh surut. Sebab jika ia
mundur dan mengakui kekeliruannya, itu berarti membuka
kelemahan diri di hadapan masyarakat luas. Akibatnya,
mereka bisa tidak menghargainya lagi. Dan kelanjutannya
dapat menghancurkan wibawanya untuk
menguasai masyarakat dalam genggamannya.
Maka dari itu ia bersikeras menjawab: "Engkau mau membela
seorang sahabat yang telah berkhianat?"
"Tidak. Saya membela seorang sahabat yang tidak bersalah,"
sahut pemuda itu dengan berani.
"Ada lagi yang berpihak kepada pengkhianat' itu? Ayo maju!"
Tiga orang pemuda lain kemudian melangkah pula ke muka.
"Siapa nama kalian?" tanya si jubah hitam dengan suara kian
keras. Keempat pemuda itu menyebutkan nama mereka satu per
satu. Syeh Lemah Kobar kembali kertas catatannya. Cocok.
Nama mereka tercantum dalam urutan berikutnya. Si jubah
makin ragu-ragu. Namun sudah telanjur. Apa boleh buat.
Mengorbankan empat pemuda lagi yang tidak bersalah tidak
menjadi soal baginya, daripada cita-cita yang telah
disematkannya bakal berantakan. Dengan gerakan tangan
yang tidak tertangkap oleh mata biasa, Syeh Lemah Kobar
menghantamkan aji Awu Geni terhadap mereka. Dalam tempo
hanya beberapa detik keempat-empatnya terjerembab ke
tanah, langsung tewas dalam keadaan yang sama
mengerikannya seperti yang dialami Wuku Panyilang. OrangBuku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
31 orang kini tidak lagi takut, melainkan sudah mati ketakutan.
Kalau-kalau nasib semacam itu akan menimpa pula diri
mereka. "Masih ada lagi yang berani meragu-ragukan kebenaran
penjelasanku?" hardik Syeh Lemah Kobar dengan hentakan
suara yang melumat-lumat nyali seluruh hadirin.
Malam dalam sekejap telah berubah menjadi tabir hitam yang
menutupi sinar bulan, meski-pun purnama belum seluruhnya
menggelincir ke persembunyiannya. Sebab yang tertutup
bukan cahaya di mata, melainkan cahaya di hati manusia.
Betapapun benderangnya alam raya, apabila, hati digumpal
kesedihan dan kepekatan, marnpukah mata jasmani
menembus kepekatan? Syeh Lemah Kobar tengah berasa pada puncak kenekatannya
karena telah melakukan tindakan keliru sejak mula-mula. la
seperti pencuri yang tertangkap basah ketika sedang
melaksanakan kejahatannya. Apa ia akan menyerah, jika
menyerah atau melawan kesudahannya sama juga? Pasti
sang pencuri akan mengambil pilihan yang kedua,
membabibuta apa pun akibatnya. Terbukti sikap yang makin
keras itu berhasil mengungkung masyarakat didalam
cengkeramannya. Mereka tidak berani bergeser sedikit pun,
seolah takut membangunkan macan buas. Mereka terpacak
kaku dengan badan menggeletar, bukan lantaran angin malam
yang menderu seram, melainkan oleh bayangan maut yang
memancar dari mata Syeh Lemah Kobar.
"Para kadang Bagus Kuning, murid-murid abangku Syeh
Lemah Abang," ucap si jubah hitam sambil berdiri
mengangkang di belakang kelima jenazah yang berserakan di
tanah bagaikan tumpukan sampah terbakar. "Sudah lima
orang pengkhianat yang menjadi korban. Aku tidak mau
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
32 korban-korban selanjutnya berjatuhan. Karena itu taatilah aku
seperti kalian mentaati abangku, Syeh Lemah Abang."
Suara si jubah hitam meskipun kecil melengking namun
berkumandang memenuhi semua penjuru, menancap
langsung ke dalam jantung semua yang mendengarnya.
Sampai mereka kian tertegak kaku, presis pokok-pokok kayu
tanpa daun. Suasana berubah namun untuk beberapa
lamanya, hingga tiba-tiba serombongan penunggang kuda
muncul dari kegelapan. Orang-orang mulai berani berbisikbisik, walaupun rasa takut jauh lebih mencengkam hati
mereka. "Ki Lurah datang. Kasihan ya, orang tua itu, sudah kehilangan
anaknya sekarang." Bisikan tersebut, andaikata dapat didengar oleh Pak Lurah,
sungguh merupakan kata sambutan untuk mengelu-elukan
kehadiran kepala desa yang amat dicintai dan dipatuhi
rakyatnya itu. "Saudara-saudaraku. Ada kejadian apa di sini?" ujar ki Lurah
ditujukan kepada para warganya.
Tiba di tempat terang, Ki Lurah menghentikan kudanya, diikuti
sepuluh orang penunggang kuda, anak buahnya. Ki Lurah
belum sempat memperhatikan onggokan mayat di mukanya
karena terlindung oleh bayangan hitam, tatkala seorang kakek
berjubah hitam maju ke depan dan bertanya:
"Siapa engkau?" hardik Syeh Lemah Kobar.
"Siapa aku?" ulang Ki Lurah kaget. Lalu, tiba-tiba is tertawa
gelak-gelak: "Siapa kau? Hahaha . . .. Apa tidak terbalik,
Tuan? Bukan-kah aku yang punya hak untuk bertanya: "Siapa
kamu?" Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
33 "Jangan umbar bacot di mukaku. Jawab! Siapa kamu?" sahut
si jubah hitam kehabisan sifat sabar. Masyarakat diam-diam
menggelengkan kepala. Alangkah kasarnya orang yang
mengaku saudara Syeh Lemah Abang ini. Sungguh seperti
bumi dengan langit perbedaan wataknya dengan Syeh Lemah
Abang. Anak buah Ki Lurah Brajanala sudah gatal hendak
mencabut senjata. Namun ki Lurah masih melayani dengan
tenang. "Sebetulnya aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu karena
sikapmu jauh bertentangan dengan pakaianmu. Aku adalah
lurah Desa Bagus Kuning."
"Ho, jadi engkau bapak dari anak yang sudah mampus itu,"
sahut Syeh Lemah Kobar melanjutkan kenekatannya, setelah
memergoki kenyataan pahit yang tidak bisa dihindarinya lagi.
"Apa? Anakku tewas?" teriak Ki Lurah seraya melayang dari
punggung kudanya, menuju jenazah yang dituding oleh si
jubah. "Oh, Ngger, putraku. Dosa apa yang kulakukan, sampai
anakku harus jadi korban?" ratap ki Lurah ketika ternyata betul
apa yang dikatakan si jubah. Ia menangis amat sedih karena
Wuku Panyilang merupakan satu-satunya biji mata.
Lalu, sesudah ia sadar bahwa yang mati tak kan mungkin
hidup lagi betapapun air mata darah dicurahkannya, Ki Lurah
berdiri kembali, menghadapi si jubah hitam.
"Siapa yang bertanggung jawab atas senuta kekejaman ini?"
"Maksudmu apa, Kisanak?" sambut si jubah hitam enak saja.
"Kurang ajar! Siapa yang telah membunuh anakku?" hardik ki
Lurah menyala-nyala. "Pengkhianatannya."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
34 "Apo?" damprat Ki Lurah makin berkobar.
"Ia kubunuh bersama keempat sahabatnya karena mereka
bersekongkol dengan orang-orang Demak," sahut Syeh
Lemah Kobar tetap tenang.
"Samber Bledek! Tidak ketemu di akal! Fitnah keji!" bentak ki
Lurah yang untungnya masih mampu mengendalikan diri
dalam kemurkaannya yang menyalak.
"Ki Lurah Brajanala, bertobatlah engkau, kembalilah
manunggal dengan Gusti dalam wujud menyatukan diri
bersama suluk Syeh Lemah Abang," ucap si jubah hitam,
seolaholah ia orang suci. "Aku bernama Syeh Lemah Kobar,
yang datang kemari atas panggilan ruh abangku, Syeh Lemah
Abang, untuk meluruskan jalan kalian menuju kejayaan.
Karena itu mereka yang berkomplot dengan para wali Glagah
Wangi harus dilenyapkan. Ikhlaskan kematian anakmu dan
anak-anak kalian semua. Anggaplah keper-gian mereka ke
alam kelanggengan sebagai sesaji bagi Hyang Mahagusti."
"Setan Ireng! Engkau masih bisa berlagak kesuci-sucian
sesudah melakukan keganasan atas anak-anak yang tidak
berdosa? Engkau pasti seorang penipu. Syeh Lemah Abang
tak kan mempunyai saudara macam kamu!" bantah Ki Lurah
sembari menghunus goloknya.
"Sabar, Ki Lurah, sabar, sebelum terlambat. Bertobatlah
engkau, sujudlah kepadaku, saudara guru pepundenmu, Syeh
Lemah Abang," ucap si jubah. Nyala sorot matanya yang licik
menampar-nampar semua yang berani menatapnya, dan
mereka akhirnya menundukkan kepala atau memindahkan
mata ke arah yang lain. Ki Lurah sudah tidak mau mendengarkan lagi. Sedianya ia
hendak menyerang ganas dengan goloknya, namun tiga sosok
bayangan melayang mendahuluinya dengan mencecarkan
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
35 sabetan kelewang dan keris-keris panjang. Mereka adalah
anak buah ki Lurah yang paling tangguh.
Orang pertama menyerimpung dari bawah, yang kedua
menyambar ke arah perut, sedang yang ketiga membabat
bagian atas. Serangan ketiga lawan ini jelas sangat sulit untuk dihindari.
Sepanjang pengalaman mereka dalam beberapa puluh kali
pertempuran, hanya empat orang yang mampu bertahan lebih
dari sepuluh jurus. Lain-lainnya rata-rata sebelum tujuh jurus
pasti telah binasa dalam keadaan yang mengerikan. Orangprang yang menyaksikan serangan itu juga berpendapat sama
seperti yang terpikir oleh Ki Brajanala. Betapapun lihainya si
jubah hitam, kalau sudah diserang dengan jurus simpanan
ketiga anak buahnya tersebut, jurus Tri Naga Laksa Hasta
atau tiga naga bertangan sejuta, pasti tak kan mampu
bertahan dalam lima jurus. Sebab, walaupun nampaknya jurus
itu hanya satu, namun kembangannya berubah-ubah bagaikan
mempunyai seribu cabang, menyambar-nyambar silih
berganti. Tapi alangkah bengongnya Ki Lurah. Ia melihat si jubah hitam
hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak sama sekali.
Beberapa saat kemudian barulah Ki Lurah terjaga dari
mimpinya. Si jubah hitam tidak berdiri diam, melainkan
tubuhnya tengah berputar melebihi kencangnya putaran
gasing. Itulah yang disebut ilmu Panggalan Setan. Uh, tokoh
dari mans orang berjubah hitam itu? pikir Ki Lurah mulai
waswas. Ia belum menemukan jawaban terhadap pertanyaannya
sendiri tatkala berturut-turut terdengar suara mengeluh tiga
kali. Dengan kaget Ki Lurah memandangi arena pertempuran.
Ketiga anak buahnya menggeletak di tengah lapangan dalam
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
36 keadaan sekarat. Sebelum mereka sempat mendapat
pertolongan, nyawa ketiganya telah melayang lebih cepat.
"Siapa lagi yang ingin musnah menjadi awang-uwung?"
tantang Syeh Lemah Kobar dengan pongahnya.
"Jangan menyombong dulu, Kisanak," hardik Ki Lurah tibatiba, tercuat dari kedongkolannya. ''Belum tentu engkau tidak
berlawan." "Hem," geram si jubah.
"Maksudmu, engkau akan turun tangan?"
"Barangkali tidak perlu," elak Ki Lurah.
"Jangan putar-putar. Apa maksudmu?"
"Asal engkau mau bunuh diri, aku tidak perlu turun tangan,"
sahut Ki Lurah. "Hahaha . . . ," si jubah tertawa mengikik. "Mimpi apa engkau,
Kisanak, berani menggonggong begitu."
"Jadi engkau tidak mau menyerah?" bentak ki Lurah.
"Ha? Menyerah? Kalimat apa itu, menyerah? Di lidahku tidak
ada istilah menyerah. Sejak kecil aku hanya diajari: menang,
menang." "Baik, terimalah hukumanmu!" Seraya berteriak demikian, Ki
Lurah mulai bersiap hendak menyerbu. Pada hawa dingin
yang mengepul dari kuda-kudanya saja, sudah bisa ditebak
betapa ampuhnya ilmu Ki Lurah.
Syeh Lemah Kobar sempat dibikin kagum. Ia tidak
menyangka, di desa yang kecil dan terpencil ini, ada pendekar
tidak ternama yang memiliki ilmu cukup tinggi.
"Pantas engkau punya nyali, Kisanak. Rupanya engkau punya
andalan juga. Silakan pertontonkan kelebihanmu sebelum
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
37 kuhentikan separo jalan," ujar si jubah, diawali memuji tetapi
penghabisannya menjatuhkan.
"Kurang ajar!" teriak Ki Lurah kehilangan watak tenangnya.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
38 "Ada apa, Pakne, ada apa?" tiba-tiba dari kejauhan tampak
seorang perempuan berlari-lari mendekat. Belum apa-apa, air
matanya telah membanjir. Agaknya seseorang telah memberi tahu kepadanya tentang
peristiwa yang baru saja terjadi. Perempuan itu adalah Nyi
Lurah, ibu dari Wuku Panyilang.
"Anak kita kenapa, Pakne? Kenapa?" ratap perempuan itu
kian dekat. Ki Lurah jadi serba salah. Ia harus bertempur untuk
membalaskan kematian anaknya, tetapi is juga harus
memperhatikan istrinya yang pasti akan sangat terpukul bila
melihat keadaan mayat biji mata satu-satunya.
Namun sebelum kebingungannya berkembang makin besar,
sebuah penyelesaian telah diambil lebih dulu oleh Syeh
Lemah Kobar.

Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bikin suamimu bimbang. Terbang sana, mengikuti
anakmu yang sudah mampus."
Maka sekonyong-konyong Nyi Lurah tertegak kaku oleh
sambaran halus berbau amis yang dilakukan oleh Syeh
Lemah Kobar. Aji Awu Geni. Dan sudah dapat dibayangkan
bagaimana akibatnya terhadap din Nyi Lurah yang lemah itu.
Tubuhnya luruh seperti jemuran terputus talinya. Dagingnya
melepuh, kulit dan sekujur badannya berubah hitam lebam.
"Mbok! Oh, Mbok!" jerit Ki Lurah sambil menubruk istrinya
yang telah terjerembab menjadi mayat. Tidak, bukan mayat
lagi. Nyi Lurah telah menjadi setumpuk daging yang
dipanggang dari dalam. Semua orang sampai menutup hidung dengan wajah ngeri
dan hati amat mual kepingin muntah, menyaksikan
pemandangan yang jauh melampaui batas-batas perikemanusiaan. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
39 "Ibliskah engkau? Atau serigala?" jerit Ki Lurah hingga serak
suaranya lantaran begitu ter-hempas melihat nasib perempuan
yang tidak berdosa itu, istrinya, demikian menyedihkan.
"Hahaha . . . ," ringkik si jubah presis kuda edan. "Pendekar
apa bisanya hanya menangis? Hai, para kawula Bagus
Kuning. Lihat pemimpinmu. Ia tidak malu meratapi istrinya di
depan rakyatnya. Apa pantas pemimpin macam dia kalian
pertahankan sebagai lurah?"
Tentu saja tidak seorang pun yang mau menjawab, apalagi
mengiakan. Sebab, betapapun takutnya mereka kepada Syeh
Lemah Kobar, kecintaan mereka kepada Ki Lurah jauh lebih
besar. Apalagi mereka masih menyimpan harapan, siapa tahu
kelihaian Ki Lurah mampu mengatasi kesaktian orang asing
yang mencurigakan itu. "Sudah pasti tidak. Seujung kuku pun tidak pantas," mendadak
terdengar suara nyaring menjawab dari tempat gelap.
Semua orang menoleh dengan gemas. Siapakah di antara
rakyat Bagus Kuning yang sampai hati berkata sekeji itu?
Sisa-sisa pasukan berkuda ki Lurah hampir mengambil
tindakan. Tetapi seperti sebelumnya, Ki Lurah telah memberi
isyarat agar mereka jangan ikut campur dulu. Ini masalah
dendam dan kehormatan. "Siapa engkau yang berani menghamburkan bau mulut di
tempat gelap?" bentak Ki Lurah seraya bangkit. Di matanya
kini bergolak nyala merah. Dengan gerakan yang indah dan
cekatan, sesosok tubuh berperawakan tinggi tegap me-layang
dari kegelapan, dan hinggap di tengah lapangan.
"Ha? Engkau? Raka Jinangkar?" teriak Ki Lurah keheranan.
"Apa engkau berkomplot dengan bajingan berjubah ini?"
Setitik pun Ki Lurah tidak menyangka Raka Jinangkar akan
bergabung dengan orang yang menyebut dirinya Syeh Lemah
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
40 Kobar, meskipun ia tahu Raka
permusuhan kepadanya sejak dulu.
Jinangkar menyimpan Selaku ajudan Ki Ageng Kebo Kenongo, bupati Pengging,
Raka Jinangkar merasa tersinggung oleh sikap Ki Lurah yang
terlalu mendekat kepada Syeh Lemah Abang. Mereka satu
kubu, tetapi persaingan memperebutkan kedudukan sebagai
orang kepercayaan Syeh Lemah Abang, yang berarti
kekuasaan, pengaruh, dan harta kekayaan, telah membutakan
kedua-duanya untuk saling bermusuhan secara terpendam.
Rupanya kini, semenjak karisma dan wibawa yang mereka
segani sudah sirna dengan kematian Syeh Lemah Abang dan
Ki Kebo Kenongo, permusuhan tersebut mulai muncul ke
permukaan. Apalagi Raka Jinangkar sedang membina
kekuatan melalui kekuasaan atas desa-desa pinggiran. Satusatunya lawan yang boleh jadi merupakan batu sandungnya
adalah Ki Lurah Brajanala.
"Mestinya aku yang berhak menuntut tanggung jawabmu,"
bentak Raka Jinangkar sengit. "Aku tahu engkau telah
melakukan kasak-kusuk dengan menghubungi agen-agen
Demak. Menyerahlah di bawah bendera Keris Bersilang bila
engkau ingin selamat."
"Bojleng, bojleng! Sejak kapan di perutmu tumbuh pusar, hai
wong Pengging?" sahut Ki Lurah marah sekali.
"Sejak di rambutmu tumbuh uban," jawab yang digertak sama
berangnya. Lantas ia menoleh ke arah Syeh Lemah Kobar:
"Maaf, Tuan, biar saya yang mengambil alih urusan ini," kata
Raka Jinangkar kepada si jubah yang dikenalnya sebagai si
topeng. "Bagus," gumam si jubah yang merasa amat puas melihat
kemampuan Raka Jinangkar dan kecermatannya dalam
melaksanakan semua instruksinya. Ia memang telah mengirim
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
41 kabar agar Raka Jinangkar menyusulnya ke desa Bagus
Kuning. Sebab ia sudah memperhitung-kan, apabila
mengalami kesulitan dalam menanamkan pengaruh di desa
itu, sebaiknya orang dalam yang mengenal seluk-beluk aliran
Manunggaling Kawulo Lawan Gusti yang menyelesaikan
persoalan selanjutnya. Karena tujuan-nya hanya satu,
menggerogoti kekuatan Demak dengan menumbuhkan
kekuasaan lain di seputar kawasan perbatasan.
"Bagaimana, Ki Lurah. Kauterima tawaran-ku?" tanya Raka
Jinangkar acuh tak acuh. "Bocah kemarin sore, tangkaplah hadiahku," hardik Ki Lurah
seraya melancarkan serangan pertama.
Jurus itu kelihatan biasa-biasa saja. Tapi tak kurang Syeh
Lemah Kobar sendiri mengetahui bahwa gerakan yang tampak
remeh tersebut mengandung simpanan tenaga dalam yang
ber-pusar-pusar bagaikan kawah Gunung Bromo. Patut
namanya juga Ngisor Kawah Ono Geni.
Rakyat Bagus Kuning amat kagum menyaksikan kelihaian
lurahnya. Tapi kemudian mereka terpaksa memindahkan
kekaguman kepada lawan pemimpin mereka itu. Raka
Jinangkar hanya berkelit sedikit dengan menggeser kaki kiri.
Tanpa memutar badan ia menendang ke samping. Seperti
tersambar ular koros, jurus ampuh Ki Lurah tertahan dengan
ganas. Jago tua yang tangguh itu sadar, bahwa musuh tidak
dapat dianggap ringan. Tendangan sampingnya yang mampu
menabrak pukulan mautnya jelas menjadi pertanda betapa
ajudan Ki Kebo Kenongo memang patut memperoleh
kedudukannya. Namun ia belum berada di bawah angin.
Sambil seakan-akan hendak berguling ia justru membalikkan
badan, lalu menghantam dari belakang. Kali ini jurus yang
dipakai disebut Sawer Bromo Ora Lilo.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
42 Raka Jinangkar tahu ilmu ini telah memakan korban sangat
banyak. Tapi ia bukan pendekar yang hanya besar nama.
Kecepatan geraknya tatkala mengelak lantas menghantam
dari atas, membuktikan bahwa dia memang memiliki
kecekatan dan ketepatan perhitungan.
Keras lawan keras, halus lawan halus. Begitulah pertarungan
antarpenganut aliran yang sama telah berlangsung 23 jurus.
Tatkala jurus yang ke-24 belum berhasil menentukan siapa
berada di atas angin, tiba-tiba sentilan batu kerikil yang tidak
kelihatan lantaran cepat dan lembutnya menghantam jidat Ki
Lurah dari sentakan jari kaki Syeh Lemah Kobar, presis pada
saat Raka Jinangkar memukul ke arah sama.
"Kratak!" terdengar suara tulang pecah ketika ubun-ubun Ki
Lurah tersambar kepalan tangan Raka Jinangkar yang
kebetulan menggunakan jurus Driji Mlengkung Balung Remuk.
Ki Lurah menggelepar jatuh dengan otak berhamburan. Ia
tidak sempat mengaduh kecuali air matanya menetes dua butir
dan tangannya menggapai ke arah mayat istri dan anaknya.
Syeh Lemah Kobar bertepuk-tepuk kegirangan seraya memuji,
"Hebat, hebat! Betul-betul seorang kesatria sejati," teriak Syeh
Lemah Kobar. Raka Jinangkar mem bungkuk-bungkuk dengan bangga tanpa
mempedulikan tangis terpendam yang membuat seluruh
penduduk Bagus Kuning diam membisu. Para penunggang
kuda anak buah Ki Lurah terpaksa ikut tidak bersuara, karena
mereka harus mematuhi perintah mendiang atasannya, agar
jangan ikut campur apabila tidak terpaksa.
"Para kadang Bagus Kuning sekalian," ucap Syeh Lemah
Kobar kepada seluruh masyarakat yang hadir. "Selaras
dengan hukum para ksatria, siapa yang menang dalam
pertarungan yang adil dan jujur, dalam adu laga satu lawan
satu, dia berhak mengambil segala yang dimiliki
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
43 pecundangnya. Karena itu, semenjak detik ini, aku, mewakili
pepunden kalian, Syeh Lemah Abang, berkenan dengan
bangga menobatkan Raka Jinangkar sebagai pemimpin desa
Bagus Kuning. Serta kunyatakan pula bahwa pemerintahan
atas desa ini berada di bawah bendera Keris Bersilang."
Apalagi yang dapat dilakukan oleh orang-orang kecil itu selain
pasrah terhadap kenyataan? Karena itu mereka sepatah pun
tidak membantah atau protes. Sejarah telah menyodorkan
bukti-bukti yang pahit, namun begitulah adanya, bahwa nasib
rakyat berada dalam permainan mereka yang lebih kuat, lebih
kaya, lebih kuasa. Menetapkan hijau atau merah bukanlah hak
kaum awam. Mereka hanya berhak mengais sisa-sisa
keserakahan orang-orang besar. Mereka hanya berhak
memanfaatkan yang paling baik dari yang paling buruk.
3 PEMBUNUH MISTERIUS Demikianlah sejak malam itu, yang berkibar di tengah angkasa
adalah bendera hitam dengan gambar tengkorak berwarna
putih dan dua keris menyilang di bawahnya. Kemudian,
penjagaan pos-pos penting di seluruh Desa Bagus Kuning
langsung diambil alih oleh anak buah Keris Bersilang.
Tanpa kabar atau berita, Syeh Lemah Kobar lenyap begitu
saja, tidak seorang pun yang tahu kemana lolosnya. Namun
ada sedikit kelegaan di hati penduduk, yakni upacara
berkabung dengan mengamalkan suluk-suluk sambil meratap
semalam suntuk bakal dilanjutkan terus hingga empat puluh
hari semenjak kematian Syeh Lemah Abang dan Ki Kebo
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
44 Kenongo. Itu pun jika janji Raka Jinangkar ditepati, atau
mudah-mudahan Raka Jinangkar tidak mengingkari janji.
Tapi sungguh ngeri. Dari malam kedua setelah Desa Bagus
Kuning diperintah oleh Raka Jinangkar, tiap jam dua terdengar
salak anjing maraung-meraung dan sebatang mayat tanpa
kepala tercampak di teratak rumah Ki Lurah Brajanala yang
kini ditempati Raka Jinangkar.
Begitulah terjadi tiap malam sampai hari yang ke lima.
Yang lebih aneh dan mengerikan lagi, Raka Jinangkar seperti
tidak rnengambil peduli sama sekali, bahkan tenang-tenang
main domino sambil menikmati tuak hingga mabuk.
Rakyat gemetar namun masih bisa merasa lega karena tidak
ada yang kehilangan suami, anak, atau keluarga. Jadi, mayat
siapakah yang digeletakkan tiap malam tanpa kepala? Orang
dari mana mereka? Siapakah yang melakukannya?
Malam yang keenam masalah itu baru diperbincangkan oleh
Raka Jinangkar yang sampai hari itu belum mendapat kontak
dari si topeng, si jubah hitam, Syeh Lemah Kobar, atau siapa
saja namanya. Sudah lima mayat yang dionggokkan di depan hidung kita.
Dan kita belum mampu melacak mayat-mayat siapa itu, dan
orang mana yang berani mencabuti kumis kita," ucap Raka
Jinangkar dengan marah. Salah satu tangan kanannya, pendekar dari Desa Janur
Kemukus, menjawab, "Saya sudah memerintahkan untuk
berjaga-jaga tiap malam. Dan saya ikut terjun langsung. Namun aneh, mayat-mayat itu
seperti tiba-tiba saja terlempar dari langit. Pada waktu kami
mengejar ke arah yang kami perkirakan si penunggang
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
45 mengambil posisi, di sana hanya tertinggal bau wangi yang
menyengat hidung." "Goblok! Apa urusan begini saja uku harus bertindak sendiri?"
damprat Raka Jinangkar memperlihatkan sifat aslinya yang
temberang. "Tidakkah kita lebih baik pura-pura tidak tahu? Toh
kelihatannya mayat-mayat, itu tidak ada hubungannya dengan
Keris Bersilang?" sahut seorang pendekar lain, Raja Bagaspati
dari Desa Ambarsari. "Yang jelas, bukan tidak ada maksud apa-apa mayat-mayat itu
diletakkan di desa ini," bantah Raka Jinangkar. "Kalau kita
tinggal diam, siapa tahu ada malapetaka besar yang bakal
mengancam kita?" "Apa barangkali sebagai siasat adu domba, atau semacam
lempar batu sembunyi tangan?" sambut pendekar berikutnya.
"Itu maksudku. Kita harus menyelidikinya hingga tuntas," ujar
ketua gerombolan Keris bersilang tersebut.
Tepat pada malam itu pula tatkala para tokoh gerombolan
pembangkang itu sedang berunding dengan sengit, sesosok
tubuh yang halus pembawaannya tengah berbisik kepada
kuda tunggang yang bagus.
"Karbala, kau kutinggalkan disini, Ya. Jangan kemana-mana
sampai aku datang lagi atau kuberi isyarat supaya kamu
mencari aku. Mengerti?"
Aneh bin ajaib. Kuda itu seolah-olah memahami perkataan
majikannya. Ia mengangguk-anggruk dan meringkik.
"Bagus, engkau memang sahabatku yang setia, Karbala."


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
46 Sudah tentu siapa pun dapat menebak, siapa orang yang
tengah mengendap-endap itu. la memang Jaka Pratama yang
baru tadi petang berhasil mencapai desa Bagus Kuning.
Ia masih teringat akan sejumlah nama yang tercatat di kertas
yang dicuri penjahat, selain tiga agen Demak yang harus
dihubungi. Dengan membiarkan kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan
mengecatnya dengan getah akar kembang wedi yang
dicampur minyak sereh sehingga berubah coklat keputihputihan, orang muda itu kelihatan lebih tua lima belas tahun.
Menurut petunjuk lisan, ketiga agen Demak itu bisa dihubungi
kalau pagi di pasar desa yang hari pasarannya tiap Selasa.
Salah satu di antaranya berjualan cendol, dengan kain kuning
di Ujung pikulannya. Sesudah waktu Dzuhur ia harus mencari
penjual jagung bakar, yang di tempat dagangannya selalu
tersedia lima jagung yang hangus. Sedangkan lepas Ashar
sampai Isya, ia dapat berhubungan dengan penjaja bajigur
yang kakinya pincang sebelah Mereka adalah penduduk ash
Desa Bagus Kuning. Niatnya Jaka akan memasuki desa itu petang tadi. Tetapi ada
perubahan situasi yang tadinya tidak diperhitungkan sehingga
ia mengurungkan rencana tersebut. Sebab ternyata desa
Bagus Kuning telah dikuasai gerombolan yang telah
menjebaknya beberapa hari yang lalu dengan bendera yang
bergambar tengkorak dan keris bersilang. Ia harus mencari
tahu, apakah orang-orangnya sama dengan penjahat yang
mencuri kertas catatannya? Atas alasan itulah ia memoles
wajahnya dengan kumis dan jenggot agar tidak nampak wajah
aslinya. Pakaiannya juga ditukar-nya dengan yang berwarna
hitam. Ia sedang berlindung di balik serumpun semak duri untuk
mengawasi sebuah rumah yang lampunya terang di dalam.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
47 Saat itu menjelang tengah malam. Tiba-tiba pintu rumah itu
terbuka, dan beberapa lampu dipasang sekeliling halarnan.
Untung Jaka telah mendekam lebih ke bawah sehingga
kemungkinan besar tak kan kepergok oleh sinar itu. Kemudian
beberapa bayangan yang kebetulan berpakaian sama
dengannya, serba hitam, menyebar ke segenap sudut seperti
menunggu sesuatu yang akan mereka jebak di dalam bubuk.
Gerakan mereka sangat ringan. Berarti orang-orang itu
memiliki kepandaian yang bisa diandalkan.
Pekerjaan apa yang sedang mereka rencanakan? Jaka
memang sempat menyadap selentingan bahwa Desa Bagus
Kuning sedang digegerkan oleh munculnya mayat-mayat
tanpa kepala saban malam. Mungkinkah mereka sedang
menunggu hendak menangkap si pembuang mayat?
Sungguh peristiwa yang bakal menarik dan terang. Ia akan
melihat saja. Namun jika perlu ia akan bertindak secara
sembunyi-sembunyi seandainya ia harus turun tangan.
Bukankah yang jelas gerombolan Keris Bersilang adalah
lawan yang mengincar dirinya? Berarti mereka yang
bermusuhan dengan gerombolan itu, kalaupun bukan kawan,
adalah orang-orang yang menentang gerombolan tersebut.
Pasti tidak keliru jika ia membantu orang-orang itu.
Sebelum para penjebak tadi menyadari, kerisikan bunyi
tertangkap oleh aji Wasis Rungu yang dikuasai Jaka sehingga
ia tahu beberapa tombak di sebelah kanannya ada seseorang
sedang mengendap-endap dengan gesitnya, dan sekonyongkonyong sebuah bungkusan besar terlempar dari puncak
pohon dan jatuh di bagian yang paling terang di tengah-tengah
tempat jebakan. Hebat. Para anggota gerombolan begitu terperanjat karena
mereka kebobolan lagi. Namun mereka cukup sigap. Dengan
serempak mereka melayang ke arah pohon itu. Si pelempar
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
48 mayat dalam pandangan Jaka juga sangat licik. Ia tidak
bergerak sedikit pun. Ia memepetkan tubuhnya yang langsing
ke tengah-tengah cekungan antara dua ranting besar. Dan
berbarengan dengan itu, seorang lainnya melompat ke atas
dari arah yang berlawanan, yaitu dari tempat yang tadi
tertangkap oleh pendengaran Jaka yang peka.
Tentu saja para pengepung jadi bingung.
Mereka teperdaya. Serentak mereka berlompatan mengejar
bayangan yang melompat tadi, yang jelas sekali ilmu ringan
tubuhnya sangat hebat. Tetapi si pelempar mayat yang berada di pohon kali ini belum
tentu dapat meloloskan diri. Sebab pada waktu ia melayang
turun, tiba-tiba masih ada sosok hitam lain yang
menghadangnya di bawah. Agaknya sosok yang satu ini
sengaja menyembunyikan diri tanpa sepengetahuan si
pelempar mayat. Pasti ia telah mendekam di tempat itu sejak
sebelum halaman luas tersebut diterangi dengan lampulampu. Buktinya para pengejar bayangan yang lain itu
jumlahnya presis sama dengan yang menyebar ketika pintu
terbuka dan lampu-lampu mulai dipasang di sekitar halaman.
Jaka Pratama ikut berdebar-debar ketika si penghadang
membentak: "Berhenti!"
Sosok langsing itu akan lari tanpa mau meladeni bentakan
tersebut. Namun langkahnya terhenti tatkala sebuah pisau
kecil melayang, disusul dengan dua pisau lainnya. Sosok itu
melompat-lompat dengan cekatan, berkelit dan menangkis.
Tapi tak urung salah satu dari tiga pisau itu menyambar ke
kepalanya. "Sret!" bunyi logam itu sangat nyaring ketika membabat ikat
kepala sosok langsing tersebut. Seketika itu juga segumpal
rambut tebal terurai dari kaitannya.
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
49 "Sundal! Ternyata engkau seorang perempuan. Siapa kamu?"
bentak si penghadang, yaitu kepala gerombolan Keris
Bersilang sendiri. Kini jelas tidak ada kesempatan lagi untuk
melarikan diri. Perempuan itu lalu membalikkan badan dan
berdiri dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda yang
tangguh. "Jangan tanya siapa aku. Tanyakan siapa mayat yang
kulemparkan itu!" ucap si perempuan, bukannya menjawab
malah mengajari. Kocak juga wanita pemberani tersebut.
"Baik. Kuturuti nasihatmu, sebab sebentar lagi aku akan tahu
siapa engkau sebenarnya melalui mayatmu. Mayat siapa itu?"
"Apa engkau tidak tertarik untuk mengetahui siapa lima batang
mayat sebelumnya? Sayang. Engkau memang berhati dingin
sehingga tidak merasa perlu untuk menengok mayat-mayat itu
sebelum kauperintahkan anak buahmu mengubur mereka."
"Diam! Jangan ulur-ulur saat kematianmu. Katakan! Siapa
mereka?" bentak ketua Keris Bersilang tersebut makin berang.
"Baik. Aku juga tidak sudi berlama-lama denganmu," dengus si
perempuan tanpa gentar. "Tolong jawab dulu, ada berapa
orang saudaramu?" "Ha? Apa maksudmu?" teriak ketua Keris Bersilang dengan
cemas. "Raka Jinangkar. Ketahuilah, manusia ini terikat oleh hukum
karma. Kalau alam tidak langsung melaksanakan keadilannya,
maka tangan manusia sendiri yang harus menjalankan hukum
itu. Raka Jinangkar, aku adalah putri kepala Desa Janur
Kemukus, yang waktu kau-bunuh ayahku beserta ketiga orang
adikku yang masih di bawah umur kebetulan aku sedang
menuntut ilmu di padepokan. Kawanku tadi adalah putra lurah
Desa Ambarwari. Ayah dan ibunya kaubantai dengan keji,
demikian pula kedua orang adiknya. Sayang engkau hanya
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
50 mempunyai tujuh orang saudara, dan ketujuh-tujuhnya
kaududukkan sebagai kepala desa pada daerah-daerah yang
telah kautumpas para lurahnya."
"Jadi?" tanya Raka Jinangkar gemetar.
"Betul dugaanmu. Termasuk mayat yang keenam tadi
semuanya adalah saudara-saudaramu. Sayang malam ini aku
kepergok. Padahal tinggal satu lagi saudaramu, yang sama
bengis dengan-mu, yang harus kuhabisi. Sayang."
"Perempuan busuk. Terimalah pembalasanku!" jerit Raka
Jinangkar seraya menyerbu dengan ganas. Dari tangannya
seolah berkobar-kobar lidah api oleh serangan keris
pusakanya yang menyambar-nyambar bagaikan ular
mengamuk. Perempuan itu cukup lihai juga. Tapi sesudah sembilan jurus
berlangsung, Jaka menampak sudut-sudut yang lemah pada
serangannya, disamping titik-titik lowong dalam pertahanannya, yang dapat dipakai lawan buat menghantam.
Untuk itulah dari tadi Jaka memperhatikan dengan saksama
pertarungan mereka, dan pada saat-saat yang rawan ia
membantu Si perempuan tanpa tersadari oleh Raka Jinangkar.
Sebab siapa pun perempuan itu, jelas ia tidak sekubu dengan
gerombolan Keris Bersilang.
"Hem, keparat, betina. Engkau belum mau menyerah?" geram
Raka Jinangkar dengan gemas sesudah berkali-kali gagal
memanfaatkan kelemahan lawannya akibat serangan balik
yang mendadak dan tidak disangka-sangka.
Laki-laki berdarah besi itu tidak habis pikir. Siasat apa yang
dilancarkan oleh musuh yang kadang-kadang kelihatan lemah,
tapi tiba-tiba pada waktu ia memasukkan pukulan mautnya,
serbuan tenaga dalam yang berpusar-pusar seperti angin
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
51 beliung membuyarkan serangannya. Aji apa yang dimiliki
perempuan ganas ini?? Tentu saja si perempuan pun mula-mula sangat terperanjat
atas kedatangan tenaga mengejut yang tidak pernah
dibayangkannya. Tatkala ia sudah hampir putus asa karena
ternyata jurus yang dikeluarkannya justru mengundang
serbuan lawan yang dahsyat akibat pendalamannya kurang
matang, sekonyong-konyong suatu aliran aneh mendorong
tenaga intinya untuk mengelak atau membalas serangan
lawan lebih gencar, padahal ia tahu saat itu ia berada pada
posisi terdesak. Pertarungan. sudah berkecamuk hingga tiga puluh jurus. Jaka
menganggap telah cukup keras perempuan itu terkuras
tenaganya. Andaikata tidak segera diakhiri, pasti si wanita
akan menderita parah lantaran kehabisan napas. Maka Jaka
pun segera bertindak. Kali ini tidak membantu si wanita,
melainkan menjentikkan sebutir biji jeruk yang didapatkan
dengan kakinya. Lalu, sebuah bayangan mungil seperti
kunang-kunang terbang mendengung, biji jeruk itu menyambar
dengan kencang ke betis Raka Jinangkar. Disusul dengan biji
jeruk yang kedua menghantam tangan kanannya berbareng
dengan pukulan tangan kiri si perempuan menangkis serbuan
lawan, dan sambaran kakinya menyampok betis kepala
gerornbolan itu. Raka Jinangkar tergolek kaku, tanpa daya gerak sama sekali.
Si perempuan agaknya tahu diri. Ia mengerti ada juru
penolong yang secara sembunyi-sembunyi menyelamatkan
jiwanya. Sambil melayang pergi ia berteriak nyaring: Terima kasih
Kisanak. Lain kali gadis ini akan menghamba kepadamu
sebagai balas budi."
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
52 "Ya, ampun, mengapa begini kesudahannya? Ia akan
menghamba kepadaku, berarti aku harus talibat lagi dengan
urusan rambut panjang? Ah, dasar sial." Demikian kutuk Jaka
menyesali diri. "Dan kau, Raka Jinangkar. Hari ini ku ampuni, sebab majikan
cantikmu akan bikin perhitungan sendiri di kemudian hari.
Dalam tempo tiga bulan semenjak malam ini, jangn harap
engkau masih bisa menikmati kedegilanmu."
Lantas suara itu menghilang bersamaan dengan berkepulnya
bau harum yang menyengat hidung. Bau itu semacam minyak
kembang melati yang juga biasa ditaburkan Jaka Pratarna
pada pakaiannya untuk menghindari asam keringat yang
dapat mengganggu orang lain.
Hanya ketajaman baunya barangkali satu berbanding sepuluh
dengan yang dipakai gadis itu.
Menjelang lenyap sama sekali, perempuan centil tadi masih
sempat berkata: "Rupanya engkau suka juga dengan minyak
melati. Mudah-mudahan kita ada jodoh, Kisanak."
Tambah menggigil hati Jaka. Ia tahu bagaimana watak
perempuan kalau sudah nekat dalam urusan perjodohan. Ah,
mudah-mudahan ia hanya bercanda. Sebab, bila sungguhan,
huh, sampai ia mempunyai istri tiga orang juga lantaran
kenekatan golongan rambut panjang.
Namun ia tidak mau memperpanjang pikiran tentang masalah
itu. Masih banyak yang harus diselesaikan sebelum ia boleh
merusuhkan hati dengan soal-soal pribadi.
Dengan kesimpulan begitu ia pun cepat-cepat mengundurkan
diri dari kawasan itu. Ia harus kembali kepada Karbala. Tidur
hingga pagi. Baru merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
53 Ia akan melakukan shalat tahajud beberapa rakaat untuk
bermunajat kepada Tuhan, memohon petunjuk dan
keselamatan dari hadirat-Nya.
Esoknya, di rumah Ki Brajanala almarhum yang ditempati oleh


Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman Arroisi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raka Jinangkar dan anak buahnya, suasana bagaikan
berkabut pekat. Tidak hanya oleh mendung duka cita, sebab ternyata memang
betul, keenam mayat yang dionggokkan berturut-turut di
halaman rumahnya adalah mayat-mayat saudaranya. Hal ini
makin dikuatkan dengan kedatangan saudara bungsunya yang
mengabarkan hahwa keenam saudaranya yang lain telah
lenyap tanpa herita. Tetapi Raka Jinangkar merasa
dipermalukan akibat dipencundangi oleh seorang wanita,
masih gadis lagi. Juga anak buahnya yang mengejar
bayangan yang satu tadi malam tidak berhasil menjejaki ke
mana bayangan itu melarikan diri.
"Kita harus- memperketat penjagaan di wilayah yang telah kita
kuasai. Sekarang kalian berangkat ke desa-desa yang tidak
berlurah itu," perintah Raka Jinangkar kepada dua belas
pendekar paling tangguhnya.
"Untuk tiap desa diperkuat oleh dua orang di antara mereka.
Buat sementara, sebagai pemimpin seluruh desa itu, kecuali di
wilayah adik bungsuku ini, kalianlah yang bertanggung jawab.
Jangan ragu-ragu untuk mengambil tindakan keras. Tiap
orang yang kalian curigai, habisi saja bersarna seluruh
keluarganya, agar yang lain tidak berani coba-coba melawan
kita. Dan kau, Dimas, betapapun gawatnya keadaan saat ini,
kuharap engkau kembali ke tempat tugasmu. Engkau yang
mengawasi semua pekerjaan anak buahku. Bawalah dua
puluh orang pengawalku, pilih sesukamu untuk memperkukuh
kedudukanmu," ujar Raka Jinangkar selanjutnya kepada
adiknya. Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
54 "Bagiku sendiri, sebentar lagi akan datang balabantuan yang
dijanjikan si topeng. Menurut kabar, mereka terdiri atas
pendekar-pendekar bangsa manca-negara, terutama para
hongcu dari negeri Cina."
"Syukur, berarti ada harapan kekuatan kita bakal meningkat,"
sambut sang adik dengan gembira.
"Ingat, kalian semua mempunyai tugas sampingan, yaitu
melacak di mana kedua bajingan yang tadi malam itu
bersembunyi. Mereka adalah anak lurah Ambarsari dan Janur
Kemukus. Hati-hati kalau berhadapan dengan mereka," pesan
Raka Jinangkar kepada adik dan segenap anak buahnya
sebelum mereka berangkat meninggalkan Desa Bagus
Kuning. Sesudah itu rumah tersebut berubah samun kembali. Buat
menghibur diri, Raka Jinangkar mengajak anak buahnya main
kartu dan menenggak tuak. Mata mereka mulai merah, hati
mereka mulai terbakar. Pada saat itulah Jaka Pratama dengan langkah ringan
memasuki pintu gerbang Bagus Kuning. Iklim yang bersih
lantaran masih banyak pepohonan rindang tumbuh di
sepanjang jalan, tidak terusik sedikit pun oleh musim
pergolakan yang mengubah sebagian manusia menjadi iblis
atau serigala. Barangkali karena alam masih memberi kurnia
dengan udara yang bersih di desa-desa, nampaknya
penduduk kampung pun tetap memiliki keramahan, kepolosan,
dan kejujuran mereka. Kalaupun ada yang telah ber-ubah dari
sikap semula, pasti akibat pengaruh dari luar, atau mungkin
mereka tidak dilahirkan dan dibesarkan di kampung.
Dengan riang Jaka Pratama berjalan teguh menapaki loronglorong beralas batu kerikil. Karbala disembunyikannya di
sebuah gua dekat hutan tempatnya tidur malam tadi. Ia yakin
kuda itu Bakal aman di sana, tidak saja karena Karbala seekor
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
55 binatang yang cerdas, tetapi juga berdasar perhitungannya,
gua itu belum pernah dijamah tangan manusia.
Ia berniat menuju ke pasar untuk mengadakan kontak dengan
agen yang dijanjikan. Seorang penjual cendol dengan ujung
pikulan diberi ikatan selembar kain kuning. Sandi yang harus
dipakai adalah tanya jawab yang dimulai dengan ucapan:
"Boleh saya pinjam kain kuningnya?"
Kontaknya akan menyahut: "Buat apa?"
"Untuk menghapus daki."
"Daki yang mana?"
"Yang mengotori pakaian kita."
Nampaknya pekerjaan kali ini akan berjalan lancar. Sebab dari
luar pasar, di tengah-tengah keramaian masyarakat yang
sedang berjual-beli, Jaka sudah melihat kain kuning itu
melambai-lambai tertiup angin.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Jaka berjalan dengan
langkah-langkah yang wajar. Menurut pesan, semua agen
yang mesti dihubunginya tidak mengenal orang yang akan
melakukan kontak dengannya, demi menjaga kerahasiaan dan
keberhasilan tugas yang akan dilaksanakan. Sebab saat ini,
kekuatan Demak belum dapat dipecah besar-besaran ke
wilayah pedalaman, mengingat ancaman yang lebih kritis
datang dari kawasan pantai. Tenaga harus sepenuhnya
dikerahkan guna menjaga setiap kemungkinan agar bandarbandar pelabuhan tidak sampai jatuh ke tangan musuh, baik
yang datang dari kaum Peringgi, laskar laut Majapahit,
maupun armada Cina yang masih men-dendam kepada orang
Jawa. Dalam pengamatan para mata-mata Santri Pitulas yang
berhasil dikumpulkan oleh Ki Wiryoprakoso, di sekitar
Buku Koleksi : Awie Dermawan
PDF e-book oleh Kolektor E-Book
56 Pengging atau Pajang terdapat tanda-tanda gerakan yang
makin membesar dan menguat, yang boleh jadi di-pimpin oleh
seorang tokoh kawakan dengan dukungan dana yang hebat,
untuk memberontak dan membebaskan diri dari kedaulatan
Demak. Agaknya mereka telah menyusupkan orang-orangnya
ke dalam gerakan-gerakan kecil dari beberapa kelompok
pengikut Syeh Lemah Abang yang sakit hati kepada para wali.
Mereka berusaha hendak menunggangi ketidakpuasan kaum
Islam "abangan", begitulah mereka menamakan para pengikut
aliran Syeh Siti Jenar, yang sebetulnya hanya bersifat lokal
dan protes spiritual belaka. Sebab, selaras dengan yang
mereka yakini, untuk membantu Tuhan tidak perlu dengan
menimbulkan pemberontakkan fisik. Cukup dengan melipatgandakan pendalaman suluk serta amalan-amalan
batiniah. Lantaran dalam gerakan protes spiritual itu terdapat kaum
muda, maka upaya para pemberontak tersebut dapat
memperoleh sambutan juga dari mereka, sehingga mulailah
darah mengalir dan mayat-mayat bergelimpangan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh gerombolan Keris
Bersilang. Namun dalam penilaian Wiryoprakoso, yang berbahaya
bukanlah gerombolan-gerombolan macam Keris Bersilang
atau lain-lainnya. Yang harus dilacak dan dimusnahkan adalah
Dewi Lintah 2 Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong Breaking Dawn 4

Cari Blog Ini