Nancy Drew Rahasia Renda Tua Bagian 2
tentang itu?" "Dengan senang hati," jawabnya. "Tetapi hentikan aku kalau
engkau menjadi bosan!"
Kata-katanya selama makan malam itu sungguh mempesona.
"Tahukah engkau, bahwa kota Brugge yang asli dulu ada di pantai?
Nama dari kota kami yang tua ini berarti 'kota jembatan'. Dulukala,
kota ini adalah pelabuhan yang maju. Tetapi badai topan telah
merusaknya. Bahkan tanggul-tanggul pun tak dapat
menyelamatkannya. Para pedagang lalu berpindah ke pedalamanke
tempat kita sekarang iniserta menggaliterusan untuk
menghubungkan kota ini dengan laut."
"Itu adalah suatu prestasi teknologi yang tinggi," kata nyonya
Chambray. "Ada kira-kira limabelas kilometer dari sini ke pantai!"
Profesor berambut abu-abu yang ramah itu mengangguk.
"Ketika kota yang baru itu dibangun, kota itu lalu berganti nama
Zeebrugge, yang berarti Brugge di laut."
Sementara ia berhenti sejenak untuk mencicipi anggurnya,
anaknya yang melanjutkan. "Kota ini merupakan kota yang sangat
moderen untuk abad-abad kelimabelas, enambelas dun tujuhbelas.
Para pedagang cukup berhasil dan mampu membeli semuanya yang
paling baik, termasuk pakaian yang terbaik dari Paris. Kalau kalian
mau, aku akan membawa kalian berkeliling besok."
"Barangkali aku juga dapat ikut," kata Joseph. Ia melirik ke
arah Bess sejenak. Pandangan Hilda yang curiga mengikuti dia hingga ke Bess
yang cantik bersinar-sinar. "Kukira tidak," kata Hilda tegas.
"Bukankah engkau harus menyelesaikan paper untuk semester
ini pada akhir minggu nanti?"
"Memang. Tetapi, ...."
"Joseph yang malang terjebak oleh kecemburuan Hilda!" pikir
Bess. Melihat api semakin membara pada nona Belgia itu, George
segera mengalihkan pembicaraan. "Barangkali Hilda dapat mengajak
kita ke toko souvenir. Aku ingin membeli sesuatu untuk Burt, dan
engkau juga membeli sesuatu untuk Dave dan"
"Aku dapat membeli sesuatu untuk Ned," sambung Nancy.
"Apakah mereka itu saudara-saudara kalian?" tanya Hilda
penuh perhatian. "Ataukah, seperti yang kalian katakan di Amerika,
teman pria kalian?" Nancy menyeringai. "Mereka itu teman-teman pria kami,"
katanya, gembira melihat senyuman kembali menghias wajah Hilda.
"Kalau begitu," kata teman baru itu selanjutnya, "kalian harus
membelikan mereka oleh-oleh yang istimewa, . . . dan tentu saja
kalian sendiri juga perlu membeli renda."
Mendengar kata renda, dengan segera Nancy mengungkapkan
salah satu alasan mereka datang ke Brugge. Ia lalu menyebutkan
sayembara di majalah dan cerita tentang Francois Lefevre.
"Apa?" tanya nyonya Chambray terkejut. "Apa nama yang
kausebut tadi?" "Francois Lefevre."
Nyonya itu memandangi dia, tak mampu berbicara untuk
sesaat."Mengapa, nyonya Chambray?" tanya Nancy khawatir,
"Apakah nama itu anda kenal?"
"Mais oui . . . . Ya, memang," seru Nyonya itu. "Itu adalah salah
satu nama yang disebut dalam dokumen yang kutemukan. Dokumen
itu ditulis oleh seorang yang bernama Friedrich Vonderlicht, yang
juga dikenal dengan Francois Lefevre."
"Aku hampir tak percaya!" seru George. "Maksud anda,
Francois pernah memiliki rumah ini?"
"Rupanya begitu!"
"Jadi barangkali rahasia renda kuno ini tersembunyi di bawah
atap rumah ni!" Nancy menyimpulkan.
"Aku sangsi," kata Nyonya Chambray. "Yang jelas, Francois
tinggal di sini sudah berselang lama sekali. Semenjak itu banyak yang
datang dan pergi. Aku yakin, bahwa rahasia apa pun yang ada, tentu
terbongkar oleh penghuni-penghuni yang kemudian."
"Dapatkah kami melihat dokumen itu?" tanya Nancy.
"Aku menyimpannya di laci ruang atas," kata nyonya
Chambray. "Aku sudah mencari-cari kuncinya, tetapi belum juga
ketemu." "Yaaa!" kata Bess khawatir. "Apakah mungkin dicuri orang?"
"Tidak, sayang," Nyonya itu tersenyum. "Aku selalu saja salah
meletakkan. Aku yakin, kunci-kunci itu tentu ada di rumah, entah di
mana. Aku akan menemukannya besok. Tak seorang pun punya alasan
untuk mencurinya. Janganlah khawatir."
"Tetapi, apa bunyi dokumen itu?"
"Itu merupakan sebagian dari surat wasiat. Disebutkan, bahwa
Friedrich Voncerlicht, juga dikenal sebagai Francois Lefevre,
mewariskan hartanya kepada isterinya. Tetapi bagian yang
menyebutkan di mana ia meletakkan harta itu telah disobek."
"Sayang sekali," kata George. "Aku khawatir, itu tak akan
banyak menolong kita."
"Ah! Itu sudah membantu," kata Bess. "Sekarang kita telah tahu
bahwa Francois pernah tinggal di rumah ini!"
Mereka membicarakan hal-hal yang serba kebetulan itu secara
panjang lebar. Sisa malam itu dirasa sangat nikmat, setelah mereka
menuju ke kamar duduk untuk mencicipi kue sesudah santapan, kue
Lemon meringue yang sangat lezat.
"Aku sungguh kenyang," akhirnya Bess mengaku.
"Nah, besok kita akan menghabiskan semua kalori ini dengan
berjalan-jalan!" Hilda tertawa kecil.
Tetapi esok paginya, sebelum ketiga gadis itu siap untuk
berangkat, pintu diketuk orang dengan tak sabar.
"Tolong bukakan pintu, ya?" nyonya Chambray meminta
kepada Nancy. "Aku sedang memanggang roti."
Gadis itu bergegas keluar dari dapur ke lorong tengah, lalu
membuka pintu. Dengan heran ia melihat seorang schipper
memegangi kopor hijau. "Itu koporku!" seru Nancy girang.
12 Di Pusat Pembuat Renda "Di mana anda menemukan kopor ini?" Nancy bertanya kepada
tukang perahu. Tetapi orang itu tidak dapat berbahasa Inggris. Ia hanya
tersenyum dan melambaikan tangannya minta permisi. Gadis itu
ditinggalkannya dengan tertegun. Dengan segera Nancy memeriksa isi
kopornya, barangkali saja ada yang hilang. Tetapi rupanya tak sesuatu
pun yang telah dicuri. Ia menceritakan berita yang menggembirakan
itu kepada semua orang. Ia lalu berganti baju, menanggalkan baju
bepergian yang dipakainya sejak berangkat dari New York. Kemudian
ia menelepon lapangan terbang untuk minta penjelasan lebih
terperinci. "Ada orang yang menemukan kopor anda di sebuah gang di
belakang sebuah hotel di Brussel," kata seorang petugas.
"Meskipun kartu begasi anda telah disobek, tetapi kartu
perusahaan penerbangannya masih utuh. Dan kami juga tahu hurufhuruf depan anda, yang memudahkan untuk mengenalinya."
Nancy menceritakan pembicaraannya kepada teman-temannya.
"Sekarang aku merasa pasti, ada orang yang mengambilnya. Ia
berharap dapat menahan aku untuk berangkat ke Brussel," katanya.
"Siapa pun orangnya, mungkin ia pada saat ini juga ada di
Brugge." Ketika mereka bertiga bertemu Hilda, mereka minta untuk
diantarkan ke sebuah toko renda.
"Aku ingin tahu sebanyak mungkin tentang pembuatan renda,"
kata Nancy. "Kalau begitu aku tahu ke mana kita harus pergi," kata gadis
Belgia itu. Ia mengantarkan mereka ke pusat pembuat renda. Di sana dijual
bahan-bahan renda, dan para ahli renda mau memberikan pelajaran
tentang kerajinan tangan mereka. Ada dua jenis renda, kata Hilda:
renda bobin yang berasal dari Belgia sendiri, dan renda jarum yang
kini berkembang pula bersama-sama di Prancis.
"Itu adalah bobin," kata Hilda, menunjuk kesebuah baki berisi
benda-benda kayu yang mirip dengan pin bowling ukuran mini.
"Pin-pin itu diikatkan pada benang sebagai pemberat sewaktu
dianyam dalam pola-pola yang rumit. Tetapi sebelumnya, kantwerker
atau pembuat renda itu memilih dulu kayu polanya. Seperti salah satu
dari ini." "Ia menunjuk ke tumpukan piringan-piringan kayu bergaris
tengah kira-kira setengah meter. Pada sebelah sisi piringan itu terdapat
semacam bantalan yang dilapis kain terpal. "Ini disebut bantal dan
diisi dengan ganggang laut," gadis itu meneruskan.
"Setelah kantwerker itu memilih sebuah pola, ia
menurunkannya dengan jarum-jarum yang ditancapkan pada bantalan.
Benang itu lalu dirajut pada jarum-jarum tersebut, dan jarum-jarum itu
lalu dicabuti." George melihat lembaran-lembaran plastik transparan. "Untuk
apa plastik ini?" ia bertanya.
"Pengrajin itu menutupi bantalan dan renda yang telah selesai
dengan plastik itu, hanya membiarkan sedikit yang terbuka untuk
dikerjakan. Plastik itu menjaga agar renda tetap bersih."
Nancy dan Bess melihat sebuah peti berisi benang lenan.
"Hannah tentu senang ini semua," kata Nancy.
Sementara ia membeli tiga gelendong, George pergi ke bagian
belakang. Seorang anak laki-laki gemuk berumur delapan tahun
sedang memasukkan tangannya ke dalam sebuah tong. Ia mengambil
segenggam bobin, dan salah satunya dilemparkannya ke jendela,
sedangkan satu lagi ke sebuah patung.
"Jangan!" seru George. Ia pergi ke anak tersebut dan
menangkap tangannya. "Siapa bilang tidak boleh?" anak itu menjawab dengan keras
kepala. "Aku," kata George menantang dengan diam-diam.
Anak itu melepaskan diri. Ketika George hendak
menangkapnya lagi, anak itu melemparkan sebuah bobin kepadanya,
mengenai lehernya dengan keras. Dengan marah George menangkap
pundaknya, lalu diguncang-guncangkannya.
"Mami! Mami!" anak itu berteriak sejadi-jadinya.
"Ada apa?" Seorang Nyonya tiba-tiba muncul dari kerumunan
orang di Pusat Renda itu.
"Anak Nyonya baru saja melemparkan ini kepada saya!"
George membela diri sambil menunjuk sebuah gelendong di lantai.
"Engkau berbuat begitu, Peter?" tanya ibu anak itu. Ia
menangkap tangan anaknya. Anak itu mulai melawan, tetapi melihat
mata ibunya yang marah ia menundukkan kepalanya merasa bersalah.
Nancy dan Bess bergegas ke tempat kejadian itu. "Apa yang
terjadi?" tanya Bess. Ia melihat bilur merah di leher sepupunya.
"Anggap sajalah, aku sedang latihan membuat renda terlempar
bobin atau gelendong," jawab George datar.
"Saya minta maaf," kata ibu anak itu perlahan-lahan. "Suami
saya dan saya sendiri selalu mengajak Peter ke mana pun. Ia menjadi
lekas marah. Tetapi itu bukan alasan. Saya kira lebih baik saya ajak
pulang ke hotel saja." Sambil tetap memegangi tangan anaknya, ia
segera berlalu. Sementara itu, Nancy tanya kepada pemilik toko, apakah ia
mempunyai es. Nyonya itu cepat pergi ke kamar belakang, dan
kembali membawa sepinggan es batu dan kain.
"Ini akan mencegah pembengkakan," kata Nancy sambil
membungkus es batu dengan kain.
George mengompres lehernya. Ia menyuruh teman-temannya
untuk melanjutkan melihat-lihat di toko itu. Di sebuah ruang
belakang, sekitar duapuluh orang wanita sedang membuat renda. Jarijari mereka yang cekatan menggerak-gerakkan bobin-bobin itu dengan
kecepatan yang mengagumkan.
Nancy berbicara dengan salah seorang pengrajin yang duduk di
sudut. Orang itu sedang mempelajari sebuah buku tentang renda.
"Dapatkah anda menceritakan beberapa hal mengenai kerajinan
tangan anda ini?" tanya detektif muda itu.
"Oui. Akan saya coba." jawabnya.
Ia berbicara perlahan-lahan dengan aksen yang lembut.
"Pada abad keenambelas dan ketujuhbelas, renda sangat mahal.
Renda sangat dihargai untuk dipasang pada tepi-tepi pakaian. Banyak
orang menjual rumah dan harta miliknya hanya untuk membeli renda."
"Itu tak masuk akal," kata Nancy.
"Memang tak masuk akal, tetapi kenyataan. Banyak buku kuno
menyebutkan bahwa Charles I dari Inggris pernah membeli
empatpuluh empat meter renda pinggiran untuk selusin leher baju dan
selusin ujung lengan baju. Juga enamratus meter renda bobin, hanya
untuk melengkapi pakaian tidurnya!"
Gadis-gadis itu tertawa kecil. "Dapatkah engkau
membayangkan Dave atau Ned memakai kemeja atau piyama yang
berenda?" tanya Bess ketika Nyonya itu mengulurkan buku tersebut
kepada Nancy. Di buku itu tertera banyak foto dari pola-pola renda. Adapun
yang paling banyak ialah pola burung dan bunga-bunga, tetapi ada
pula bentuk-bentuk geometrik.
"Berdasarkan ini," kata Nancy, "tak akan sulit untuk
menyembunyikan suatu pesan di dalam rajutan renda. Hal itu mudah
disulam di antara bunga-bunga dan daun-daun, atau burung-burung
yang berbentuk aneh seperti ini." Ia menunjuk pada buku itu, sebuah
gambar burung dengan ekor yang mengembang indah. Bess
membenarkan. "Aku hanya tak dapat membayangkan, seorang gadis
duduk berjam-jam merenda pesanan Francois seperti: 'temuilah aku
segera di kebun rumahku', atau 'pada malam terang bulan'.
Lamunan gadis itu segera terhenti oleh Hilda, yang sedang
bercanda dengan George. "Leherku sudah pulih seratus persen, dan
kami sudah siap untuk melanjutkan. Engkau?"
"Kalau engkau berkata begitu," jawab Nancy, "'Ke mana lagi,
Hilda?" "Yah, engkau pernah menyebut ingin melihat musium-musium.
Aku menyarankan terus ke Gruuthuse saja."
Tetapi ketika mereka meninggalkan toko itu, Nancy merasa ada
seseorang yang mengawasi mereka. Di seberang jalan berdiri seorang
laki-laki, mengenakan jas hujan dan topi. Ia melirik ke arah mereka,
lalu menghilang membelok di sudut jalan.
Ia berpikir dalam hati, apakah orang itu memang menunggu
mereka, Nancy tak ingin mengutarakan hal tersebut kepada temantemannya. Biarlah itu ditunda sampai perjalanan mereka yang
menyenangkan itu selesai.
Sementara itu, Hilda mengajak mereka ke sebuah gedung kuno
yang besar, dengan menara-menara dan sebuah serambi depan. "Itu
dulu tempat tinggal keluarga Gruuthuse. Menurut ukuran kami, itu
lebih merupakan sebuah istana daripada sebuah rumah."
Di dalam, mereka terkesan oleh permadani-permadani, barangbarang porselen dan perabotan yang indah-indah. "Bagaimana
seleramu tentang ranjang-ranjang ini?" tanya Hilda ketika mereka
sampai di lantai dua. "Lihatlah, mereka itu pendek dan sempit. Pada
zaman itu banyak orang yang kecil-kecil."
"Kukira mereka tak mau minum vitamin," kata George tertawa.
Bess mengikuti Hilda ke lantai teratas, tempat kamar renda.
"Indah-indah benar!" serunya, ternganga melihat lemari
pajangan yang besar. "Sayang benar meletakkan salah satu di
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
antaranya di meja, kemudian di atasnya diletakkan sebuah lampu atau
sesuatu lainnya." Nancy juga kagum melihat koleksi leher baju berenda itu.
Mereka itu dibuat hingga berdiri kaku di leher, beberapa di antaranya
hingga limabelas senti tingginya!
Hilda menjelaskan: "Itulah model yang sangat umum di seluruh
Eropa pada abad ke tujuhbelas."
George bergidik. "Aku tidak mau kalau disuruh memakai itu.
Tentu sangat panas dan tak enak dipakai."
Di sana ada pula pakaian anak-anak buatan tangan, topi-topi,
saputangan-saputangan yang dipamerkan. "Beberapa di antara ini
semua," kata Hilda, melihat perhatian bess yang kagum, "ini bernilai
ribuan dolar. Mereka itu tak ada gantinya lagi."
"Ya, ampuuun!" kata Bess. "Dan aku Baru saja berpikir,
alangkah bagus jika dapat membeli salah satu untuk ditunjukkan
kepada orang-orang di rumah!"
Sekarang Hilda menyarankan pergi ke bawah, melihat sebuah
guillotine. Bess mengikuti turun tangga, sementara Nancy tertinggal di
belakang, sibuk berbicara dengan George.
"Jangan menoleh," bisik Nancy. "Ada seseorang di ruang ini
yang mengikuti kita. Aku tak ingin kehilangan jejaknya."
"Tentu tak akan hilang, kalau ia memang mengikuti kita," kata
George dengan masam. Ia dan Nancy keluar kamar sebentar, dan merapatkan diri pada
dinding luar di belakang pintu. Pasti orang itu akan turun ke bawah
sekarang. Beberapa menit berlalu dengan lambat sewaktu mereka
menunggu. "Engkau keliru," bisik George ketika orang itu tidak muncul
juga. Nancy mengintip melalui celah pintu di bawah engsel.
"Ia telah pergi!" serunya, dan lari kembali ke kamar yang telah
kosong. Matanya memandang berkeliling dengan cepat, lalu menatap ke
sebuah pintu balkon. "Ia tentu lari lewat sana!"
Ia lari ke balkon dan mengintip melalui pagar balkon. Orang itu
sedang turun menggunakan tali.
"Ia telah mencuri beberapa renda!" detektif muda itu tertegun,
melihat beberapa renda terjulai dari saku-sakunya.
Secara naluriah ia menjulurkan tubuhnya di pagar untuk
menangkap tali tersebut. Ia tarik-tarik tali itu sekuat tenaga. Tetapi
berat tubuh orang itu terlalu besar baginya. Tiba-tiba kaki Nancy
terpeleset, dan ia kehilangan keseimbangan. Ia tertarik ke depan
melampaui pagar balkon, hampir saja jatuh terguling melewati pagar
itu! 13 Pencuri Seketika itu pula George meleset ke arah Nancy, menyambar
pinggangnya dan menariknya ke belakang. "Orang itu jangan
dibiarkan lari!" seru Nancy.
Tetapi orang itu sudah setengah jalan di tali, dan kini tergantung
kira-kira empat meter di atas tanah.
"Hee, lihat! Tali ini terurai hampir putus!" seru George.
Benar juga, serat-serat tali itu terurai cepat, dan satu-satu
menjadi putus. Tak lama kemudian, orang itu terhempas keras di
tanah. Kakinya tak kuat menahan, dan ia jatuh sambil menjerit
kesakitan. "Kita akan segera kehilangan dia!" seru George, melihat
pencuri itu berusaha berdiri kernbali.
"Mungkin tidak," kata Nancy. "Rupanya kakinya sakit. Mari
kita lari turun, mungkin ia tak dapat lari!"
Kedua gadis itu lari menuruni tangga ke pintu depan dan cepat
menikung di sudut gedung. Hilda dan Bess yang berada di kamar
bagian lambang-lambang, tak menyadari apa yang terjadi. Mereka
bertanya-tanya mengapa teman-temannya begitu lama belum datang.
Ketika Nancy dan George sampai di tempat tali yang putus itu
tergeletak di tanah, orang itu telah lenyap.
"Itu dia!" teriak George, menunjuk ke pencuri yang lari
terpincang-pincang. Ia menuju ke sebuah jembatan yang terletak di
atas saluran sempit antara Gruuthuse dan musium lain.Nancy lari
mendahului temannya, berteriak-teriak sekeras-kerasnya.
"Berhenti! Arretez! Halt!" Tetapi, orang itu tetap lari
terpincang-pincang secepat ia dapat.
Namun, di tengah jembatan, ia berhenti sebentar untuk memberi
istirahat pada mata kakinya yang cedera. Nancy melompat ke arahnya,
menangkap renda yang terjurai dari sakunya. Secara naluri orang itu
merebutnya kembali, hingga renda yang indah itu terbelah dua!
"Pergilah!" orang itu berseru kepada Nancy dalam bahasa
Inggris. Kemudian ia menangkap Nancy dengan kedua tangannya,
siap untuk mendorong ke dalam air melalui dinding batu jembatan!
"Stop!" Nancy berseru, tepat ketika George tiba dan menangkap
tangan si pencuri. Apakah sebaiknya ia dilemparkan saja dengan kuncian judo ke
dalam saluran? Ah jangan! pikirnya. Ia tentu akan menarik Nancy ikut
jatuh. Sebaliknya, George tetap memegangi tangan lawannya,
sementara Nancy melepaskan diri dari pegangan, lalu mulai
mengosongkan sisi saku yang melendung penuh renda. Dengan marah
orang itu mendorong kedua gadis itu ke samping dan lari melintas
jembatan. Dengan tangan penuh renda yang indah-indah, Nancy berseru,
"George, tangkap dia. Aku akan membawa renda itu kembali ke
musium." George mengangguk dan lari mengejar orang itu. Tepat pada
waktu orang itu turun dari jembatan, serombongan pengunjung
datang. Mereka menutup jalanan itu sama sekali. Semuanya adalah
anak-anak muda, bersenda-gurau di antara sesama mereka. Ketika
George berusaha mendesak mencari jalan, salah seorang memegang
lengannya. "Jangan lari, gadis manis!" katanya dengan logat orang Irlandia.
"Mengapa tak ikut rombongan kami saja? Kita senang sekali ada anak
manis yang dapat kami pandangi!"
"Maaf, lepaskan aku," kata George, berusaha melepaskan diri.
"Engkau lari seperti dikejar orang," kata seorang pemuda
lainnya. "Bukan. Aku yang sedang mengejar orang!" seru George
kecewa. "Seorang pencuri, kalau engkau mau tahu! Nah, biarkan aku
lewat!" Pemuda itu memandangi dia dengan mata membelalak.
"Pencuri!" George sudah berhasil melepaskan pegangan, lalu menyelinap
di antara para pemuda. Dalam beberapa langkah ia telah melintasi
jembatan. Di sebelah kanannya ada sebuah gang kecil, dan di sebelah kiri
ada sebuah lapangan seperti tempat parkir. Pencuri itu tak nampak di
mana pun! Agak jauh di depannya adalah musium yang lain. Apakah
pencuri itu bersembunyi di sana. George berpikir-pikir. Kalau aku ada
di sini, ke mana aku akan pergi?
Untuk menjawab pertanyaannya sendiri, ia lalu lari di jalanan
sempit. Tetapi ketika ia sampai di sudut berikutnya, tak nampak pula
pencuri itu. Dengan kecewa George kembali ke musium. "Aku telah
kehilangan jejaknya," pikirnya. Sungguh sial!
Ia bertemu Nancy di lobby, dikelilingi oleh penjaga-penjaga.
Mereka ramai berbicara dalam bahasa Vlaams, dan nona yang ada di
meja penerima tamu mendatangi untuk menerjemahkan bagi mereka.
"Engkau mencuri barang-barang ini dari tempat pameran di
atas," nona itu menuduh Nancy.
"Aku tidak mencuri sedikit pun!" gadis detektif itu menjawab
dengan datar. "Ada orang yang telah melakukannya. Ia turun melalui
tali dari balkon. Aku memergokinya dan dapat merampas kembali
barang curiannya. Tetapi sehelai renda terbelah dua ketika ia berusaha
mempertahankannya!" Para penjaga itu terus saja ramai berbincang dengan keras.
Akhirnya nona itu berkata. "Jacques melihat engkau masuk kemari
membawa renda itu hanya berjalan kaki, bukannya berlari. Apakah
engkau mau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya?"
Nancy menjelaskannya, dan George membenarkan penjelasan
itu. Sementara itu, Bess Hilda telah meninggalkan ruang bagian
lambang-lambang. Mereka mencari teman-teman mereka. Tepat pada
saat itu mereka mendengar suara Nancy.
"Apakah ia telah mencuri dari lemari pajangan?" tanya Nancy.
Penerima tamu itu menggeleng. "Bukan. Kami baru saja
menerima kiriman, yang dibawa masuk oleh Jacques ke ruang atas.
Rupa-rupanya pencuri itu melihat dia, lalu berpikir lebih mudah dicuri
jika dapat memancing penjaga keluar dari ruangan."
"Bagaimana ia dapat melakukan hal itu?" tanya Bess.
"Ia mengatakan kepada Jacques, bahwa tenaganya diperlukan di
lobby. Penjaga yang tak menaruh curiga itu lalu meletakkan peti berisi
renda di belakang salah satu lemari pajangan, lalu bergegas turun.
Pencuri itu tentu menunggu hingga kalian meninggalkan ruangan itu,
setelah melakukan pencurian itu lalu lari turun dengan tali di balkon."
"Tetapi dari mana tali itu?" tanya George. "Kalau dia tidak
merencanakan pencurian sebelumnya, dari mana ia mendapat tali itu?"
"Sayang sekali, tali itu sudah ada di atas lemari di sudut
ruangan," kata penerima tamu itu. "Kami baru saja menyuruh tukang
untuk membersihkan cerobong asap. Rupanya mereka lupa membawa
tali itu ketika mereka pergi pagi tadi, sebelum musium dibuka. Pencuri
itu tentu melihatnya, dan tahu bahwa tali itu cukup panjang untuk
melarikan diri dari balkon."
Penerima tamu itu berpaling kepada Nancy. "Bagaimana bentuk
pencuri itu? Aku akan menelepon polisi dan minta mereka untuk
mencarinya." "Ia jangkung dan kurus," kata Nancy, "dan memakai jas hujan.
Ia memakai topi yang ditarik rendah menutupi dahinya. Jadi aku tak
dapat melihat wajahnya. Tetapi wajahnya kecil, bibir tipis dan kulit
mukanya pucat. Ia seperti orang yang jarang keluar rumah."
"Ia pincang, karena matakakinya cedera." sambung George.
"Terimakasih," kata nona itu. "Aku akan menyampaikan
informasi ini kepada yang berwajib. Maukah kalian menyebut nama
dan alamat kalian, kalau-kalau pihak polisi hendak menghubungi
kalian?" Mereka memberikan nama dan alamat mereka, lalu keluar
menikmati sinar matahari lagi.
"Hahhh, sungguh suatu pengalaman!" kata George.
"Orang itu telah mengawasi kita di pusat renda," kata Nancy
kepada teman-temannya. "Ia tentu mengikuti kita sejak dari sana. Aku
tak ingin mengatakan sesuatu sebelumnya, sebab aku belum yakin.
Lagipula aku tak ingin membuat kalian cemas. Mungkin dia juga yang
mencuri koporku di airport. Pada waktu itu aku tak melihat wajahnya,
tetapi ia mempunyai bentuk tubuh seperti si pencuri renda."
"Tetapi kalau ia ingin tahu apa yang akan kita lakukan,
mengapa ia justru menarik perhatian seperti yang dia lakukan itu?"
"Barangkali ia mengira, bahwa lengan baju berenda yang
mengandung pesan itu ada di antara kiriman renda antik, yang dibawa
oleh penjaga ke atas untuk dipamerkan," Nancy menduga.
"Yah, sayangnya ia terlepas," kata Hilda. "Tak ada sesuatu yang
dapat kita lakukan untuk itu. Lebih baik melanjutkan pesiar kita." Ia
berhenti sesaat. "Kita pergi ke musium seni. Ya, aku tahu yang mana!"
Gedung pameran yang dia maksud berisi sejumlah lukisan,
yang menggambarkan kehidupan di Brugge sejak abad keenambelas.
"Seperti yang dikatakan oleh ayahmu, Hilda, tak banyak yang
berubah, bukan?" tanya Nancy.
"Ya. Tak banyak berubah. Dan kami mencintai pesona kuno
yang dipancarkan kota kami."
Tiba-tiba saja sebuah lukisan cat minyak menarik perhatian
Nancy. Lukisan itu berupa potret seorang muda yang sopan dan
berkumis. Ia memakai baju beledu merah dengan lengan baju berenda.
"Bess! George!" Seru Nancy. "Lihat di sana itu!"
Dengan rasa ingin tahu kedua gadis itu menemani Nancy.
"Hai! Itu seperti yang kubayangkan tentang Francois Lefevre."
Bess menatapnya dengan kagum.
"Tetapi siapa yang ada di belakang dia itu?" tanya George.
Pada lukisan tersebut, orang muda itu digambar pada sebuah
jembatan batu yang melengkung. Ia bersandar ke depan, kedua
tangannya pada pinggir jembatan. Di belakangnya ada bayangan yang
mengancam. Berselimut mantel dan bertudung hitam, yang menutup
seluruh tubuh dan wajahnya, bayangan itu mengintip dari atas bahu
orang muda tersebut. Dua tangan yang keluar dari mantel nampak siap
untuk menyerang korbannya yang tak menyadarinya.
"Aku ingin tahu, siapa senimannya," kata Bess.
"Tak ada nama pada lukisan itu, hanya inisial, atau huruf-huruf
depan," jawab Nancy. "Tetapi barangkali Hilda dapat mengatakan apa
arti lukisan tersebut."
Gadis Belgia itu mengatakan, bahwa ia tak mengenal lukisan
itu. "Aku telah sering kemari, tetapi tak ingat pernah melihat lukisan
itu." Dengan keras ia membaca tulisan pada papan emas di bawah
lukisan tersebut. "Le Cavalier et Le Spectre Noir. Bila diterjemahkan
bunyinya: Ksatria dan Hantu Hitam. Itu tentu belum lama dipasang."
Ketika dia menanyakannya kepada kurator, dijawab bahwa
lukisan itu ditemukan di loteng rumah seseorang. Dan musium tak
membayar mahal untuk itu.
"Apakah anda tahu siapa yang menjual lukisan itu kepada
musium?" tanya Nancy.
Kurator itu mengelus-elus janggutnya dengan perasaan kurang
pasti. "Mmm ? tidak. Tetapi, meskipun aku tahu, aku tak dapat
menjawab pertanyaanmu. Musium menganggap, segala informasi
tentang pembelian merupakan hal yang sangat pribadi."
"Baiklah," kata George. "Barangkali anda dapat memberitahu
siapa pelukisnya." "Ya, itu dibuat oleh orang yang bernama Dirk Gelder. Seorang
guru lukis yang terkenal pada zamannya. Hikayat menyebutkan,
bahwa teman wanita ksatria itu yang memesan lukisan tersebut, sebab
kekasihnya adalah pengagum Dirk Gelder."
"Apakah anda tahu nama wanita itu?" tanya Nancy ingin tahu.
Kurator itu menggeleng. "Maaf. Kalau kalian mengizinkan,"
kata kurator itu," aku masih banyak pekerjaan." Ia membalikkan
tubuhnya lalu pergi. "Engkau dengar tadi?" kata George penuh gairah. "Orang dalam
lukisan ini adalah pengagum Dirk Gelder. Demikian pula Francois
Lefevre! Aku berani bertaruh, mereka itu hanya satu dan sama
orangnya!" "Kalau begitu," kata Bess, "Barangkali ada petunjuk yang
tersembunyi dalam lukisan itu. Mungkin dapat menolong mengungkap
rahasia di dalam renda lengan baju!"
Nancy mengangguk. Ia membuka tas tangannya dan
mengeluarkan sebuah kaca pembesar, lalu memeriksa renda lengan
baju. "Ada petunjuk dalam salah satu lengan baju ini!" serunya.
14
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ancaman "Apa pesan itu, Nancy?" tanya Bess ingin tahu.
"Ini lihat sendiri," kata gadis detektif itu. Ia memberikan kaca
pembesar kepada Bess. "Aaah, aku lihat!" Bess berseru, mempermainkan kaca
pembesar itu di atas gambar lengan baju. "Bunyinya: 'Je vous aime.' "
"Bukankah itu berarti 'Aku cinta padamu' dalam bahasa
Prancis?" tanya George kepada Hilda.
Hilda mengangguk, hingga Bess nampak seperti bermimpi.
"Aduh, sungguh romantis!" Sementara itu, Nancy sedang mempelajari
pola renda yang rumit. Terjalin di sekitar kata-kata itu digambarkan
seperti suatu adegan. Titik pusatnya seperti sebuah bentuk geometrik.
Bentuknya bulat panjang dengan garis-garis tegak yang melengkung
di atas menjadi satu. Di atas gambar itu ada pola diagonal yang
membentuk sebuah segitiga tanpa alas. Nancy berpikir, bahwa itu
sangat aneh. "Ada apanya lagi pada lengan baju yang lain?" tanya George.
Nancy menggeleng. "Sayang sekali bagian-bagian kecilnya
kabur. Barangkali pelukisnya tak ingin melukisnya."
"Ingatlah akan kertas yang ditemukan di perapian kamar tidur
Francois," George mengingatkan teman-temannya. "Bukankah tertera
pula kata-kata kawin?"
"Jadi, mungkin kata itu tertera pula pada renda lengan baju yang
lain," kata Nancy. "Tentu saja ada lebih dari hanya satu kata.
Barangkali pesan itu berbunyi 'kawinilah aku' atau 'jangan kawin
dengan orang lain". "Atau 'maukah engkau kawin dengan aku?" sahut Bess.
"Atau 'kawinilah Harry'," George menggoda.
Mereka tertawa terbahak-bahak, hingga pak kurator minta agar
mereka tenang. Hilda melirik ke pintu.
"Ibu dan ayahku menginginkan kalian bersama nyonya
Chambray datang untuk makan malam pada jam delapan," kata Hilda
kepada teman-temannya. "Setelah itu kita akan menonton arak-arakan
di saluran. Apakah tidak mengganggu acara kalian?"
"Wah tidak, bahkan mengasyikkan!" jawab Bess spontan.
Ketika gadis-gadis itu kembali ke rumah nyonya Chambray,
hanya ada waktu sedikit untuk mandi, berdandan dan saling tukar
berita. Nyonya Chambray telah menemukan kunci lacinya, dan
menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan surat, seperti yang
dikatakan dalam suratnya kepada nyonya Marvin.
Kertas itu telah kuning dan sobek pada lipatannya. Nancy harus
berhati-hati memeganginya di dekat lampu. Tulisan yang masih dapat
dibaca hanya berupa bagian dari suatu kalimat, ditulis dalam bahasa
Prancis. Nyonya Chambray menerjemahkannya: "saya, Friedrich
Vonderlicht, juga dikenal sebagai Francois Lefevre, mewariskan
kepada isteri saya, Elaine Warrington harta kekayaan keluarga saya
yang dilindungi oleh"
Nancy menatap nyonya Chambray. "Di mana anda menemukan
surat ini?" "Di bawah sebuah papan yang terlepas di dalam salah satu
kamar tidur." George menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Apakah
tidak aneh?" katanya, "bahwa tidak seorang pun dari penghuni lama
rumah ini dapat menemukan surat wasiat itu."
"Tidak begitu aneh," jawab nyonya Chambray. "Aku dapat
menemukannya, karena aku menyuruh membetulkan lantai-lantai
yang lama. Getaran mesin pembersih mengendorkan papan itu sedikit.
Aku sedang membantu tukang yang akan memakunya kembali, ketika
itu aku melihat sesuatu yang kuning di bawahnya."
Sementara ia berbicara, Nancy dan George melanjutkan
meneliti dokumen tersebut. "Apa pendapatmu?" tanya George kepada
temannya detektif. "Nama Elaine Warrington itu seperti telah kukenal. Apakah ia
bukan seorang aktris terkenal pada zamannya?" jawab Nancy.
"Kukira benar," jawab nyonya Chambray.
"Kalau begitu," Bess menyatakan, "kita seharusnya mudah
mengetahuinya, barangkali ia telah menikah dengan Francois!"
"Aku sangat ingin dapat segera menelitinya. Tetapi kita harus
sudah siap untuk makan malam," Nancy menghela napas. Mereka
semua setuju, dan dalam beberapa saat saja mereka telah duduk di
rumah keluarga Permeke. Profesor itu menyuguh ketiga gadis
Amerika tersebut, dengan lebih banyak lagi cerita-cerita tentang kota
Brugge. "Tahukah kalian," katanya, "bahwa Gruuthuse yang telah kalian
kunjungi tadi, pada suatu ketika merupakan tempat pengasingan dan
persembunyian Raja Edward IV dari Inggris." Doktor Permeke
menjelaskan, bahwa Raja Edward IV dari Inggris telah dipaksa untuk
mengasingkan diri di sana karena alasan-alasan politik.
"Berbicara tentang pesiar kami," kata Nancy, "kami melihat
sebuah potret yang menarik di salah satu gedung pameran."
Hilda menyebutkan nama lukisan itu dalam bahasa Prancis.
"Joseph, pernahkah engkau mendengar itu?" ia bertanya kepada si
mahasiswa, yang ikut dengan rombongan itu untuk makan malam.
"Ya. Kukira itu dilukis oleh Dirk Gelder. Seorang gadis Prancis,
teman orang yang dilukis itu yang memintanya."
"Demikian juga yang dikatakan kurator kepada kami," kata
George. "Engkau ingat namanya?"
"Aku pernah membacanya. Entah di mana," kata Joseph.
"Tissot.ya! Itulah! Antoinette Tissot."
Nancy, Bess dan George terlintas pikiran yang sama. Bukankah
itu nama yang disulamkan pada kain lenan pembungkus salib intan?
"Apa saja yang kauketahui tentang Antoinette Tissot?" tanya
Nancy. Joseph menggeleng. "Tidak ada, maaf. Aku hanya melihat nama
itu dalam sebuah artikel mengenai lukisan tersebut."
Pikiran Nancy berputar keras. Mungkin Antoinette yang
memberikan salib itu kepada Francois! Bila demikian, salib itu kini
menjadi hak dari keturunannya. Tetapi di mana mereka itu? Besok
pagi yang pertama-tama akan mereka lakukan, ialah memeriksa buku
telepon setempat. "Ada lagi sebuah lukisan lain yang terkenal," kata Doktor
Permeke kepada tamu-tamunya. "Inti lukisan itu ialah seorang tuan
yang gagah, memakai celana sedikit lewat lutut, memakai kaos kaki
putih panjang, dan paha ujung atasnya berenda. Bisakah kalian
membayangkan bila berdansa dengannya?"
Suara tertawa berderai di sekitar meja. Tetapi Bess berhenti
tertawa dengan mendadak, ketika pembantu rumahtangga keluarga itu
menghidangkan sepiring belut dalam saus hijau di depannya. Gadis itu
berpaling dari piring itu kepada sepupunya. George menyeringai
menggoda. "Kutantang engkau untuk mencobanya!" George berbisik di
telinganya. Bess menyendok ke dalam daging yang licin itu, memotong
sedikit lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Hee! Enak sekali!"
katanya sambil menelan. *********** Akhirnya, ketika semua orang duduk-duduk di pinggir saluran,
menunggu lewatnya arak-arakan, Bess mengaku kepada temantemannya. "Kuharap kita tak perlu makan lagi malam ini. Aku merasa
kurang enak." "Itu hanya pikiranmu," kata George.
"Bukan, ini perutku."
Kata-kata Bess lainnya hilang tenggelam dalam suara perahuperahu motor yang menderu lewat. Setiap perahu dihias dengan
rangkaian lampu-lampu yang direntang dari tiang ke tiang.
Penumpangnya mengenakan bermacam-macam pakaian. Di
antaranya: pakaian badut, raksasa, kera, penyamun dan bahkan
Drakula! "Ada beberapa yang sungguh-sungguh menakutkan," kata Bess,
ketika ada sebuah lagi perahu yang lewat.
Seseorang dalam pakaian hantu berdiri di dekat kemudi. Ia
tertutup semuanya dengan sehelai kain, hanya kakinya yang nampak,
dan di tangannya terdapat sebuah bungkusan kecil.
Bess tertawa. "Lihat itu! Hantu memakai sepatu koboi!"
katanya, menunjuk ke sepatu orang tersebut.
"Orang itu mengingatkan aku pada penjahat di tempat nyonya
Chambray," kata George. "Ia juga memakai sepatu tinggi. Hanya
terlalu gelap untuk melihatnya dengan lebih jelas."
Perahu segera menepi menuju ke tempat para gadis itu duduk,
dan orang yang aneh itu melemparkan bungkusan kepada mereka.
Bungkusan itu jatuh beberapa meter di dekat mereka.
"Aku akan mengambilnya," kata Hilda tanpa disuruh. Ketika ia
memungutnya, ia melihat pada tulisan yang terdapat pada bungkusan
itu. "Nancy, namamu disebut di sini!"
"Namaku?" jawab gadis itu heran.
Dengan cepat ia membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah
belati kecil, dan sebuah surat ditulis dengan huruf besar-besar.
"Ada yang tak beres?" tanya ayah Hilda, melihat kerut-merut
pada dahi gadis detektif itu.
"Bunyinya: 'Hentikan campur tanganmu, kalau tidak engkau
akan mendapat ini,' kata Nancy.
"Sungguh mengerikan," seru nyonya Chambray.
Seketika itu juga semua mulai berbicara, hingga tak merasa
bahwa Nancy minta permisi dan mengikuti perahu yang berjalan
lambat-lambat. Ia berharap dapat mengejar si hantu.
Ia bergegas di sepanjang tepian dan melintas taman di tepi
saluran, yang segera membelok di depannya. Untuk sesaat itu ia
kehilangan pandangan, tetapi beberapa menit kemudian ia melihatnya
lagi. Tiba-tiba saja ia tertegun. Hantu misterius itu telah lenyap!
"Mana penumpangmu itu?" tanya detektif muda itu kepada
tukang perahu sambil berlari-lari di sampingnya.
"Aku tak tahu," jawabnya dalam bahasa Inggris patah-patah.
"Ia menyuruh aku berhenti, lalu melompat turun."
"Terimakasih," kata Nancy kecewa. Ia lalu bergegas kembali.
Ketika Nancy melaporkan kejadian itu, Doktor Permeke
menyarankan, agar nyonya Chambray mengunci semua pintu dan
jendela rumahnya. "Kuharap," Profesor itu mendesak, "Agar Nyonya
jangan keluar seorang diri."
Semua membenarkan, bahwa itu adalah saran yang baik.
Nyonya Chambray dan ketiga gadis itu mengucapkan terimakasih atas
kesempatan sore yang menyenangkan itu. Kemudian mereka naik
taksi pulang ke rumah. Menjelang tiba di rumah, mereka melihat
sebuah jendela yang terbuka pada lantai pertama.
"Aku tak mengerti," kata nyonya Chambray. "Aku merasa pasti
telah menutup semuanya sebelum berangkat." Dengan rasa takut ia
memasukkan anak kunci di depan pintu.
"Biarlah saya masuk dulu," kata Nancy.
Dengan hati-hati ia melangkah ke lorong dalam. Sebuah lampu
menyala redup di kamar duduk. Dalam sekilas pandang, tak ada milik
nyonya Chambray yang hilang. Tetapi menurut perasaan Nancy,
semuanya telah dijamah orang. Teringat akan salib intan yang
disimpan pada sebuah kabinet di sudut, Nancy lari mendekatinya lalu
membuka laci yang tengah. Kotak beledu merah ungu itu tidak ada!
15 Koboi yang Tersangka Salib intan itu telah dicuri! Dengan sedih nyonya Chambray
terkulai di kursi. "Ini semua adalah salahku! Aku sungguh tolol
mengumumkan hal itu di suratkabar!"
Sementara Bess dan George berusaha menghibur dia, Nancy
lari ke telepon lalu menelepon polisi. Ia memberikan laporan lengkap
tentang pencurian itu, serta segala kejadian yang terjadi pada sore itu.
"Aku yakin, orang yang melemparkan bungkusan itulah yang
mencuri salib," katanya.
Politieagent di ujung sana berjanji untuk mengirimkan patroli
ke daerah tersebut dengan segera.
Sebelum tidur, Nancy memeriksa laci meja tulis, untuk melihat
dokumen kuno yang telah dipercayakan kepadanya oleh nyonya
Chambray. Untunglah, dokumen itu masih ada.
Nancy terpaksa harus memberikan laporan yang banyak ketika
ayahnya menelepon dia esok paginya. Mendengar nama Elaine
Warrington, pak Drew berkata: "Ia banyak muncul pada sandiwarasandiwara yang bermutu di akhir abad delapanbelas. Aku mungkin
dapat mencari informasi tentang dia, kalau engkau perlu."
"Ah, maukah ayah?" Nancy meminta dengan terimakasih. "Jadi
yang harus kulakukan hanyalah tinggal memikirkan apa yang disebut
misterius di dalam surat pusaka itu!"
"Eh, omong-omong," kata ayahnya. "Miller dari majalah Circle
and Square mengatakan, bahwa editor yang kurang sopan itu sedang
berlibur. Ia telah meninggalkan New York beberapa hari yang lalu."
"Aku punya firasat, dialah yang mencegat naskahku yang
pertama," Nancy menyatakan.
"Aku malah yakin dialah yang melakukan. Sebab Miller tahu,
bahwa Rocke adalah teman baik Frieden, sainganmu."
"Apa?" "Jelas, majalah itu tak pernah mengizinkan teman-teman para
editor untuk mengikuti sayembara. Tetapi, seperti yang dikatakan
Miller, ia baru tahu hubungan antara mereka itu. Tetapi bagaimana
pun, sejak bertemu engkau, Miller telah berusaha menghubungi
Frieden. Ia hendak menanyakan tentang kiriman naskah-naskah, tetapi
tidak berhasil." "Menarik juga," kata Nancy. "Rocke tentu telah memberikan
naskahku yang asli kepada Frieden, dan mengaku sebagai miliknya
sendiri." "Nancy," kata pak Drew perlahan-lahan. "Banyak dari hal-hal
ini yang tidak wajar. Untuk apa Rocke dan Frieden melibatkan diri
seperti itu? Itu tak menghasilkan uang yang banyak. Tentu ada faktorfaktor lain yang belum kita ketahui. Karena itu kuminta agar engkau
sangat berhati-hati."
"Apa maksud ayah?"
"Sangat mungkin, Rocke dan Frieden akan muncul di Brugge.
Kuharap engkau waspada terhadap dia."
"Bagaimana rupa mereka itu?"
"Aku tak tahu tentang Frieden. Tetapi Rocke jangkung kurus,
berwajah sempit dan bibir tipis. Wajahnya sangat pucat."
"Orang itulah yang mengikuti kami dari Pusat Pembuat Renda;
kemudian ia mencuri kiriman baru dari Gruuthuse!" seru Nancy.
"Mungkin juga," kata pak Drew hati-hati. "Sayang sekali aku
tak dapat mengirimi engkau fotonya, untuk lebih mudah
mengenalinya." Apakah polisi telah mencari dia?"
"Ya. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas
kepada orang-orang musium."
"Syukurlah," kata pak Drew. "Aku juga punya informasi lain,
tentu akan menarik bagimu."
"Apakah itu, ayah?"
"Alamat Frieden adalah sama dengan alamat Andre Bergere."
"Yaaah!" seru Nancy. "Barangkali mereka memang saling
mengenal, dan Frieden telah membaca surat nyonya Chambray yang
ditujukan kepada nyonya Marvin!"
"Sangat mungkin. Karena itulah engkau harus sangat hati-hati!"
Setelah Hilda datang pagi itu, Nancy mempercayakan berita
dari ayahnya kepada mereka semua.
"Haa! Jadi Rocke itulah si pencuri renda!" seru George.
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barangkali, juga si hantu yang melemparkan belati," sambung
Bess, "dan mencuri salib intan!"
"Atau," Nancy menekankan, "bangsat itu adalah Frieden atau
Bergere!" Walau terjadi pencurian lagi, Nancy tetap berpendirian untuk
mencari keturunan Francois Lefevre, kalau-kalau ada yang tinggal di
Brugge. Dari buku telepon tak terungkap apa pun.
"Ayah akan memberitahu setelah memperoleh informasi
mengenai Elaine Warrington. Tetapi, kukira kita sendiri juga harus
menggalinya," kata Nancy. Apakah tidak lebih baik kita pergi ke
perpustakaan? Barangkali kita dapat menemukan sesuatu."
"Itu gagasan bagus," kata Bess dan George setuju.
Di perjalanan ke perpustakaan, Nancy melihat seseorang yang
jangkung sedang mengintip ke dalam etalase toko. Orang itu
mengenakan topi lebar dan pakaian koboi yang rapih jahitannya.
Kakinya bersepatu tinggi dari kulit yang indah, banyak miripnya
dengan yang dipakai si Hantu!
"Ayo! kata Nancy kepada temannya, dan bergegas ke orang
tersebut. "Halo!" Engkau dari Amerika Serikat, ya?" Nancy langsung
bertanya. "Kami juga."
"Wah, senang sekali berjumpa kalian," jawab koboi itu. Ia
mengulurkan tangan mengajak berjabatan.
"Kami sudah beberapa hari ada di sini," kata Nancy. "Kapan
engkau datang?" "Baru-baru raja. Aku datang dengan pesawat carteran
rombongan." Orang itu nampak sungguh-sungguh ramah, hingga kecurigaan
ketiga gadis itu tak beralasan, atau orang itu memang pandai
bersandiwara! "Sepatumu sungguh menarik," kata George terus terang.
Masih dalam keadaan sedikit bingung, koboi itu mengucapkan
terimakasih atas pujian George. "Langsung dari Dallas, tempat
asalku." "Barangkali engkau kenal dua orang yang bernama Frieden dan
Rocke?" tanya Bess. Koboi itu menggeleng. George menatap sepupunya karena sembarangan mengungkap
suatu informasi. "Engkau banyak bepergian?" ia bertanya, untuk
mengalihkan percakapan. "Tidak begitu banyak," jawabnya. "Tetapi aku akan
melakukannya beberapa kali lagi, kalau jadi ikut ambil bagian pada
sebuah sandiwara musim panas " Ia berhenti berbicara ketika seorang
nona muncul dari toko tersebut. Nona itu melangkah melewati dia,
jelas bahwa ia marah. "Senang selalu bertemu kalian," kata koboi itu,
lalu bergegas menyusul Nona itu.
Sementara mereka mengamati dia menghilang di jalan, Nancy
berpikir-pikir apakah dia itu benar-benar yang mereka sangka. Apakah
perlu memberitahu polisi?
"Kalau ia berganti sepatu dan pakaiannya," kata George sambil
tertawa, "kita tak akan dapat menemukannya."
Keempat gadis itu menuju ke perpustakaan. Dengan bantuan
Hilda, mereka menemukan buku tebal mengenai sejarah sandiwara. Di
antara nama-nama yang tertera dalam indeks terdapat Elaine
Warrington. Ada beberapa catatan mengenai dia, termasuk
perkawinannya dengan Friedrich Vonderlicht setelah keluarganya
mencoret namanya dari daftar pewaris harta pusaka.
"Dari mana dia itu?" tanya Bess.
"Menurut ini," jawab Nancy, "ia dilahirkan di Prancis, tetapi
tinggal di Amerika Serikat. Rupanya setelah menikah ia banyak
tinggal di Eropa, tetapi lalu segera kembali ke Amerika setelah
suaminya meninggal tanpa meninggalkan harta. Jadi ia tak tahu akan
surat wasiat Francois atau harta tersebut."
"Atau, kalau ia tahu, ia tak akan pernah dapat menemukannya.
Atau mungkin ia meninggal sewaktu mengadakan pertunjukan
berkeliling, dan Francois tak punya kesempatan untuk mengatakannya
kepada dia," kata George. "Apakah Warrington itu nama aslinya?"
"Aku sangsi," jawab Nancy sambil menutup buku. "Tentunya
itu nama di pentas."
"Dan Francois juga mengganti namanya menjadi Vonderlicht
ketika tinggal di Brugge!" kata Bess.
"Nah," kata Nancy. "Mari kita kembali ke rumah nyonya
Chambray. Beberapa jawabannya mungkin tersembunyi di sana."
Hilda mengaku belum pernah melakukan pekerjaan menyelidik,
tetapi ingin ikut membantu. Ia bahkan bersedia menyelidiki ruang
bawah tanah tempat si hantu menawan Bess.
"Silakan kalian," kata Bess. "Aku tak ingin dilempar ke dalam
gudang sempit itu." "Tidak mungkin lagi Bess," kata George mendesak. "Kita akan
mengunci pintu terowongan, hingga tak seorang pun dapat masuk ke
sana." "Meskipun begitu, aku akan lebih senang tinggal di atas, di
dapur yang aman." "Ah, engkau hanya ingin dekat dengan lemari es," sepupunya
menggoda, lalu mengikuti Nancy dan Hilda turun di tangga ruang
bawah tanah. Mereka mendapatkan senter dan menyorotkannya ke
depan ketika mereka turun.
Terpaku oleh kedalaman ruangan itu, Hilda berkata:
"Kubayangkan, beberapa abad yang lalu ruangan ini penuh dengan
peti-peti dan tong-tong berisi makanan. Orang-orang biasa mengimpor
dari beberapa negara asing. Pisang yang lezat dari negara-negara yang
panas, buah zaitun ...."
Cahaya senternya kini menyoroti pintu terowongan, hingga
Nancy memotong pembicaraannya.
"George! Bukankah pintu itu ada kuncinya?"
"Ya." "Tetapi sekarang tak ada."
George bergegas maju dan memutar tombol. Pintu terbuka.
Nancy memeriksanya untuk mencari petunjuk adanya paksaan.
"Tak ada kerusakan; jadi telah dibuka dengan kunci. Tetapi
bagaimana? Apakah ada yang masuk dari atas? Atau dari
terowongan?" "Bagaimana bisa tahu," kata George.
"Tetapi aku yakin, tentu tuan hantu lagi!"
Hilda juga menunjukkan rasa ketakutan. "Tak seorang pun di
rumah ini yang aman!" katanya.
16 Petunjuk yang Memukau Sementara teman-temannya ada di ruang bawah tanah, Bess
memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri. Tetapi ia tak tahu
dari mana memulainya. Ia ingat pernah melihat pintu di akhir ruang
dalam pada lantai dua. Karena belum tahu ke mana pintu itu, ataukah
menuju ke tingkat tiga atau hanya pintu lemari dinding, ia
berkeputusan untuk memulai dari sana.
Bess agak gemetar gugup ketika mendekati pintu. "Aku malu
disebut "Marvin Penakut," lagi," ia menggumam, lalu membuka pintu.
Di hadapannya terdapat tangga berputar yang terjal ke atas ke
sebuah serambi sempit. Ia mendaki beberapa langkah, lalu berhenti,
mendengarkan suara kemeresak di atasnya. Terdengar seperti ada
orang di kamar atas. Bess berhenti sejenak, lalu meneruskan. Ia menjadi heran,
karena ujungnya tak berpintu; hanya ada sebuah jendela di seberang
dinding yang ditempel kertas tak beraturan.
"He, ini aneh," pikir Bess. "Seperangkat tangga yang tak
menuju kemana-mana."
Ia merapatkan telinganya di dinding. Suara kemeresak itu
berhenti, untuk sementara waktu.
"Ah, hanya khayalanku saja," pikir Bess, lalu berbalik untuk
turun. Tetapi tiba-tiba ia merasa sesuatu hinggap di dahinya. Benda itu
bergerak, menggelitik kulit wajahnya. Dengan segera ia
menepiskannya ke lantai. Ia melompat sambil berteriak, merapat ke
dinding. Dilihatnya seekor laba-laba merayap menuju ke sudut. Pada
saat itu pula tangan Bess merasakan adanya celah pada papan. Apakah
itu perbuatan rayap atau arsiteknya yang sinting?
Dengan penuh ingin tahu, jari-jarinya mengikuti celah. Kertas
tempelnya robek, menampakkan sebuah dinding papan!
Jantung Bess berdegup keras. Ia menarik-narik papan itu, tetapi
hanya membengkok. "Sekarang apa yang harus kulakukan?" ia
menghela napas, pikirannya berputar cepat. "Yah, paling tidak aku
tahu, kalau tak dapat lewat dinding ini, demikian pula si hantu itu!"
Ia lari turun ke dapur, memanggil-manggil teman-temannya.
Mereka segera menghampiri, dan mengatakan kepadanya bahwa kunci
pintu terowongan telah lenyap.
"Hee," kata Bess. "Barangkali ada orang di atas sana." Ia
menceritakan penemuannya, tentang suara-suara seperti kaki yang
diseret di lantai tingkat tiga.
Mereka mengunci pintu antara dapur dan ruang bawah tanah,
untuk menjaga jangan sampai ada orang yang dapat masuk.
Kemudian, bersenjatakan lampu-lampu senter, dan sebuah baji kecil di
tempat perkakas, mereka mengikuti Bess ke atas. Nancy
mencungkilkan baji itu di celah hingga terbuka sedikit.
"Berhasil," katanya, lalu merogohkan jari-jarinya ke dalam
lubang. George dan Hilda pun meletakkan tangan mereka di sekeliling
papan tersebut. Senti demi senti mereka menggerakkannya.
"Ada dinding lagi di belakang ini!" seru George, sementara
suara nyonya Chambray memanggil mereka dari bawah.
"Anak-anak!" serunya. "Di mana kalian?"
Bess bergegas turun ke lantai dua. "Kami ada di atas sini!"
Kami menemukan dinding papan yang disembunyikan!" ia berseru
keras-keras. "Aku segera datang," kata Nyonya itu, sambil menjatuhkan
bungkusan-bungkusan yang dibawanya.
Ketika ia melihat dinding yang terbuka sebagian, kertas
tempelan yang robek serta baji, Nyonya itu tertegun. "Sedang apa
kalian?" "Kami kira, ada ruang yang tersembunyi di balik dinding ini,"
Nancy menjelaskan. "Ruangan yang tersembunyi? Sungguh menarik. Bagaimana
engkau dapat menemukannya?"
Bess menjelaskan, bagaimana ia menemukan celah itu. "Labalaba itu sungguh telah menolong, meskipun telah mengagetkan aku."
"Ya, lain kali kita harus menyelidiki ruangan itu," kata nyonya
Chambray. Ebukulawas.blogspot.com
"Kukira, kita harus melakukannya sekarang juga," Nancy
mendesak. "Harta itu mungkin disimpan di sana!"
Nyonya Chambray mengangguk tanpa sadar. Nancy heran
mengapa ia tak ikut bergembira dengan mereka. Sebaliknya, ia malah
menjadi sedih. "Kita bahkan mungkin dapat memperoleh petunjuk tentang
pemilik salib intan itu!" Nancy melanjutkan.
"Aku sudah menemukannya," kata nyonya Chambray.
"Anda sudah menemukannya? Di mana..."
Kata-kata Nancy terhenti oleh suara dering telepon. Ternyata
pak Drew. "Halo, ayah!" kata Nancy. "Ada berita?"
Nancy mendengarkan penuh perhatian, ketika ayahnya
mengatakan tentang penemuannya yang mengejutkan. Salah seorang
saudaranya Elaine Warrington, yaitu cucu laki-lakinya, sedang berada
ke Belgia! "Luar biasa!" seru Nancy. "Siapa nama lengkapnya? tentu nama
keluarganya Vonderlicht."
"Ia telah merubahnya menjadi Vaughn. Cody Vaughn," kata
ayahnya. Nancy tertawa. "Kedengarannya seperti seorang koboi,"
katanya. "Memang. Ya, tepat dugaanmu. Ia adalah seorang aktor. Ia telah
bekerja bermacam-macam, mempersiapkan diri untuk memegang
peranan yang dikehendakinya. Ia pindah ke Dallas belum lama ini ...."
"Kukira," Nancy memotongnya dengan penuh gairah, "kami
telah berjumpa dengan Vaughn itu!"
Ia menceritakan kepada ayahnya, mengenai koboi yang mereka
jumpai di kota. Lalu menambahkan: "Tetapi nyonya Chambray telah
mengatakan, bahwa ia telah menemukan pemilik salib antik itu."
"Apakah ia mengatakan siapa orangnya?"
"Tidak. Kita terputus oleh telepon ini."
"Nah, mungkin beliau juga bertemu Vaughn," kata pak Drew.
"Katakan kepadaku, apa yang terjadi, Nancy, dan jagalah
dirimu." "Akan kuperhatikan, ayah."
Setelah meletakkan gagang telepon, Nancy menemui nyonya
Chambray di kamar duduk. Wajahnya tertutup kedua tangannya.
Nancy lari ke sisinya lalu merangkul pada pundaknya.
"Ada apa, nyonya Chambray?" ia bertanya lembut. "Apakah
kurang enak badan?" Nyonya itu mengangkat matanya dengan wajah muram.
"Engkau harus segera meninggalkan rumah ini, sayang,"
katanya. "Tidak aman bagimu untuk tinggal di sini lebih lama lagi."
Nancy merasa, bahwa ada sesuatu yang sangat mengganggu
nyonya Chambray. "Apakah ada orang yang mengancam anda?" ia bertanya.
"Ti-tidak!" "Anda yakin?" "Tidak. Maksudku, y-ya. Akuah...."
"Nyonya Chambray! Kami akan tetap di sini, dan takkan
meninggalkan anda seorang diri," kata detektif muda itu. "Tolong
katakan apa yang mengganggu anda."
Gadis-gadis yang lain diam tidak bersuara. Mereka memberi
kesempatan kepada Nyonya itu untuk bercerita. Dengan tersendatsendat Nyonya itu berkata:
"Ini datang dari pos!"
Ia mengambil sepucuk surat dari saku bajunya dan diberikannya
kepada Nancy. Nancy lalu membacanya keras-keras.
"Nyonya, tamu-tamu anda membawa kutukan pada rumah anda.
Mereka harus segera pergi. Kalau tidak rumah anda akan terbakar!"
"Ini hanya ancaman kosong," kata Nancy.
"Bagaimana engkau tahu?"
"Nampaknya seperti sungguh-sungguh!" kata Hilda.
"Ini rumah tembok," kata Nancy. "Tidak seorang pun dapat
membakarnya." "Itu dindingnya, mungkin," kata nyonya Chambray sambil
mengusap matanya. "Tetapi di dalamnya terdapat kayu di mana-mana.
Ah, kalian harus kembali ke Amerika! Aku tidak mungkin dapat
bertanggungjawab atas keselamatan kalian lebih lama lagi."
Gadis-gadis itu memohon kepada Nyonya untuk
memikirkannya kembali. Tetapi ia tetap pada pendiriannya.
"Selain itu, ada seseorang yang menelepon aku sebelum aku
pergi tadi. Ia mengaku sebagai pemilik salib intan. Ia akan datang
kemari." "Tetapi salib itu telah hilang," Bess mengingatkan.
"Aku telah mengatakan demikian kepadanya. Tetapi ia tetap
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin bertemu denganku!" jawab Nyonya itu.
"Apakah ia menyebutkan namanya?" tanya Nancy.
"Tidak!" "Apakah ia berbicara dengan logat Texas?"
"Tidak!" "Kalau begitu aku yakin, ia adalah gadungan!" kata gadis
detektif itu. 17 Harta Terpendam? "Nyonya Chambray," kata gadis detektif itu. Ia berusaha untuk
membujuk agar mereka tetap tinggal. "Kukira rahasia dari renda itu
tersembunyi di sini. Kalau anda kehendaki kami pergi besok pagi,
kami akan pergi. Tetapi biarkanlah kami melanjutkan pencarian
kami." Nyonya itu tidak segera menjawab. Ia memandang ke wajahwajah para tamunya yang memperlihatkan suatu permohonan.
Kemudian ia berkata: "Oke! Kuberi waktu sampai besok, tetapi atas tanggungan
kalian sendiri. Aku tidak mengizinkan kalian ...."
"Terimakasih!" Nancy memotong sambil memeluknya.
George menghela napas. "Aku benci untuk mengaku kalah," katanya. "Tetapi kalau
rahasia Francois Lefevre telah disembunyikan lebih dari seabad,
bagaimana kita dapat menemukannya dalam duapuluhempat jam?"
"Berpikirlah secara positif sendiri!" Nancy menyeringai.
Dengan perasaan segan nyonya Chambray memberikan izin
untuk membuka papan di lantai tiga tersebut.
"Bagaimana pun aku harus mengganti kertas dindingnya,"
katanya. "Maafkan aku tidak dapat membantu kalian," kata Hilda.
"Joseph hendak mengajak aku menonton konser malam ini. Mungkin
kalian mau menemani kami, kalau hari ini adalah hari terakhir di
Brugge bagi kalian."
Mereka mengucapkan terimakasih kepada Hilda atas undangan
itu. Tetapi mereka mengatakan bahwa setiap menit yang tersisa akan
mereka gunakan untuk memecahkan misteri tersebut. Setelah
mengucapkan selarnat jalan, mereka segera naik ke atas. Dalam waktu
kurang dari setengah jam mereka telah berhasil membuka papan
seluruhnya. Di luar dengan bermandikan cahaya matahari yang masuk dari
jendela atap, nampak sebuah ruangan dengan kerangka kayu yang
tinggi. Ruangan itu penuh perabotan antik, barang-barang porselen,
lukisan-lukisan, macam-macam barang dan sebuah kopor tua yang
telah berlapis debu tebal seperti juga yang lain-lain.
"Pertama-tama, apa yang harus kita tangani?" tanya George
sambil memandangi setumpuk peti-peti di sudut.
"Itulah yang juga ingin kutanyakan," jawab sepupunya.
"Barangkali lebih baik kita bagi penyelidikan kita ini."
Bess menuju ke sebuah tirai sutera halus yang ada di dekat
bagian tengah-tengah ruangan. Di lantai tergolek sebuah kandang
burung tua, lalu ditegakkan.
"Menemukan sesuatu yang menarik?" George bertanya dari
sudut ruangan. "Ah, hanya sebuah kandang burung tua. Tanpa burung!"
Sementara itu, Nancy tertarik oleh kopor yang besar. Lalu ia
buka tutupnya. Nampak penuh dengan berkas-berkas koran dan suratsurat.
"Semua dialamatkan kepada Francois!" kata Bess bergairah. Ia
buka salah satu di antaranya. "Sebuah undangan untuk dansa di
Brussel. Wah, aku jadi ingin ikut juga. Sangat mengagumkan
tentunya." "Dan ini sebuah undangan untuk pesta besar," kata George
sambil mengeluarkan sebuah surat. "Kubilang, Francois tentu
terpandang di masyarakat."
Sementara mereka mengorek-ngorek di antara berkas-berkas
kertas itu, tiba-tiba Nancy melihat sebuah buku bersampul kulit di
bawahnya. "Lihat! Aku menemukan buku hariannya," serunya.
Ia membaca beberapa catatan dengan keras dan
menerjemahkannya dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris.
Bess terpukau pada setiap kata, menatap nanar ke arah jendela
atap. Tiba-tiba sebuah wajah berkelebat hilang dari pandangan.
"Hee!" seru gadis itu, hingga yang lain-lain pun menengok ke
arah jendela tersebut. "Ada apa?" tanya Nancy.
"O ? orang ..." Bess menggagap.
"Ah, engkau berkhayal!" kata sepupunya. "Tidak ada ...."
"Tetapi aku lihat dia ...."
Nancy meletakkan buku harian itu di atas tumpukan kertaskertas. Ia lalu meletakkan sebuah kursi di bawah jendela atap.
"Aku tidak melihat seorang pun," katanya setelah naik ke atas
kursi. "Tetapi jendela ini tidak dikunci. Apakah ada seseorang yang
telah mempergunakannya untuk masuk ke loteng? Mungkin itulah
suara yang didengar Bess."
"Kita seharusnya melaporkan hal ini kepada polisi," George
menyarankan, lalu pergi untuk menelepon.
Sementara itu, Nancy meneruskan membaca buku harian itu.
Diungkapkan bahwa Francois telah jatuh cinta pada seorang aktris.
"Coba tebak, siapa dia?" tanya Nancy.
"Ya, Elaine Warrington, tentunya," kata Bess.
"Hee, bukan! Antoinette Tissot!"
"Apa? Kukira ia kawin dengan Elaine Warrington."
"Memang," sahut Nancy. "Aslinya bernama Antoinette.
Rupanya keluarga itu tidak menyetujui. Tidak saja mengenai
hubungannya dengan Francois, tetapi juga untuk menjadi aktris.
Kukira mereka menganggap Francois sebagai seorang hidung belang,
dan mendesak Antoinette agar jangan menemui dia. Antoinette
menolak, dan tidak menurut."
Nancy membaca salah satu bagian, dan menerjemahkannya.
"Aku tidak menghendaki dia dicoret dari surat wasiat. Aku
tidak dapat melakukannya. Aku akan pergi dan berganti nama.
Francois Lefevre tidak ada lagi di dunia."
"Menarik," George menyela.
Ia mendengar percakapan itu ketika ia kembali dari menaiki
tangga. "Aku kira Antoinette mengikuti Francois ke Brugge .... "
"Lalu mengganti namanya dengan Elaine Warrington, ketika ia
ikut rombongan sandiwara,"kata Nancy. "Sebab ia tidak mau
menjatuhkan nama keluarganya."
"Tetapi bila ia dan Francois menikah," Bess melanjutkan,
"mengapa Antoinette tidak menggunakan nama suaminya saja?"
"Sebab mereka tidak segera dapat hidup bersama," jawab
Nancy. "Menurut buku harian ini, Francois berusaha untuk
mengembalikan dia ke keluarganya."
"Tetapi Antoinette mencintai dia," Bess menghela napas.
"Bukankah itu indah sekali?"
Sementara itu Nancy terus membuka-buka halaman buku
sampai pada suatu bagian lagi.
"Joseph Stolk benar," katanya. "Antoinette minta Dirk Gelder
untuk melukis gambar Francois. Itu lambang berakhirnya nama
Francois Lefevre. Sejak saat itu ia akan dikenal dengan nama
Friedrich Vonderlicht."
Bess membuka sebuah kotak yang cukup besar di dekat kopor
itu. "Lihat, semuanya!" ia berseru.
Ia memegangi seperangkat pakaian ksatria dari beledu merah
dengan renda, dan renda lengan baju yang dapat dilepas.
"Ini tentu milik Francois!"
Dengan gairah Nancy melompat ke arah Bess, lalu mengambil
ujung lengan bajunya. Ia memeriksa setiap senti demi senti. Renda itu
dirajut dengan rumit sekali. Namun, ia kecewa karena tidak ada yang
menunjukkan pesan-pesan. "Tetapi bagaimana pun, ini indah sekali," kata Nancy sambil
meletakkannya ke dalam kotaknya kembali.
Ia kembali memungut buku harian itu pula, berpikir-pikir apa
ada yang terlewati hal-hal yang menarik. Beberapa lembar dari bagian
terakhir, ia dapat menemukan suatu penjelasan tentang sebuah patung
yang indah di sebuah halaman kecil yang dikelilingi tembok. Pada
halaman terakhir, diletakkan sebuah gambar seorang laki-laki dengan
wajah dan rambut keemasan. Gambar itu dilekatkan dengan sehelai
pita biru. Orang itu mengenakan pakaian keemasan yang ketat.
Sebelah tangannya berpegangan pada kaki air mancur yang ada di
kebun tersebut. "Barangkali di sinilah harta itu disembunyikan!" kata Nancy.
"Surat wasiat itu menyebutkan, harta itu dilindungi oleh sesuatu yang
berwarna keemasan." Ketika Nancy menceritakan kepada nyonya Chambray, Nyonya
itu berkata: "Aku tahu di mana patung itu. Hanya di sekitar sini saja, di
halaman." Nyonya itu mengajak mereka ke sebuah halaman sempit di
belakang rumah. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah patung
keemasan. "Bolehkah kita memindahkannya, untuk mengetahui apakah ada
sesuatu yang ditanam di bawahnya?" tanya Bess kepada nyonya
Chambray. Nyonya itu mengangguk perlahan-lahan.
"Aku akan mengambil perkakas," katanya.
Ketiga gadis itu melepaskan bagian atasnya dengan tangan.
Dalam beberapa saat saja, patung marmer beserta kakinya sudah
tergeser ke samping. Dan mereka mulai menggali.
"Tempat ini tidak sesuai untuk menyembunyikan harta," kata
nyonya Chambray sedikit ngotot. "Setelah beberapa tahun tentu sudah
hancur!" Tetapi, para penggali itu terus melanjutkan kerja mereka dengan
suatu harapan. Mereka sampai tidak tahu kalau ada seseorang yang
mengintip dari dinding halaman. Matanya yang bagaikan mata ular,
bersinar-sinar penuh minat ketika sekop George mengenai sesuatu
yang keras. "Berhenti semua!" George berteriak.
Semua berhenti. George lalu meraba-raba di tanah galian
dengan jari-jarinya. Kemudian ia menarik sesuatu dengan sekuat
tenaga hingga terlepas. "Hanya batu saja!" ia menggerutu kecewa. Lalu batu itu
dilemparkannya ke samping.
Namun penggalian diteruskan untuk beberapa lama, sampai
Nancy mengayunkan sekopnya terlalu kuat ke tanah. Seketika itu juga
air mulai merembes di tanah. Ia menarik sekopnya keluar. Sebuah
pancuran kecil memuncratkan air ke atas mengenai wajahnya.
18 Mata-Mata Cepat-cepat Nancy mengelak dari semburan air. Pada waktu ia
mengelak, secara kebetulan pandangan matanya terarah ke atas
tembok dinding halaman. Seseorang dengan rambut hitam mengkilat,
tengah memandangi dia dengan pandangan benci. Apakah dia yang
dilihat Bess dari jendela atap? Sebelum Nancy sempat menarik
perhatian teman-temannya, mata-mata itu menghilang dari pandangan.
Sementara itu air terus menyembur.
"Aku tentu telah melubangi pipa air dengan sekopku," kata
Nancy kepada nyonya Chambray. "Aku sungguh menyesal!"
"Aku akan menelepon kantor urusan air minum. Aku yakin
mereka tentu akan dapat membereskannya."
Ia masuk ke dalam rumah, dan tidak lama kemudian keluar lagi.
"'Segera akan datang orangnya. Tetapi apa yang dapat kita
lakukan sementara ini?"
Dengan segera George melompat ke lubang galian. Ia berusaha
menutup pipa air dengan tangannya.
"Tidak ada gunanya," katanya kecewa. "Bess, mengapa engkau
tidak duduk saja di atas pipa?"
"Nggak lucu!" jawab sepupunya.
Dengan hati yang kurang gembira, Nancy terus mengawasi air
yang semakin banyak. Kalau air terus bertambah, berarti akan
menggenangi halaman, ia berpikir. Hal itu akan menghalangi kita
menggali harta. Untunglah kurang dari limabelas menit kemudian seorang
tukang datang membawa perkakas. Ia mematikan aliran air dan
dengan cepat mengganti bagian pipa yang rusak.
"Nah, tidak akan bocor lagi," katanya pasti. Ia mengibasngibaskan lumpur dari kakinya, di jalanan batu di sekeliling patung.
"Kira-kira berapa lama tanah ini akan kering?" tanya Nancy.
"Kami sedang menggali harta terpendam," Bess menimpali.
Orang itu nampak keheranan, tetapi tidak bertanya.
"Yah, diperlukan kira-kira satu hari."
"Bagus!" kata George. "Kami tidak dapat menunggu lebih
lama." Setelah tukang itu pergi, Nancy menceritakan tentang matamata itu kepada teman-temannya, yaitu yang dilihatnya di dekat
dinding halaman. "Mungkin itu Frieden atau Bergere. Aku yakin dapat mengenali
dia lagi kalau bertemu kembali."
"Mungkin ia hendak mencuri patung yang indah ini!" kata
nyonya Chambray. "Ha! Kita akan menangkapnya sebelum ia sempat
melakukannya," kata Bess dengan berani.
Nancy hanya menyeringai. "Engkau selalu terlalu cepat bertindak dalam keadaan
mendesak." Mereka memperkirakan, bahwa si tersangka itu datang dari
tangga undakan belakang yang menuju ke saluran. Mereka lalu
menelusuri tepian, berharap dapat menemukan petunjuk. Mungkinkah
ia bersembunyi di antara pohon-pohonan? Ataukah sudah pergi
dengan perahu? Di kejauhan, ia mendengar suara perahu motor yang menjauh.
Orang yang mengemudikan berambut hitam mengkilat. Sekilas ia
menoleh, melihat ke bagian belakang rumah.
"Itu dia, si mata-mata!" seru Nancy.
Matanya memandang ke huruf-huruf nama perahu. Terbaca
olehnya: Wit Bloem. "Aku ingin tahu, apa artinya?" kata George.
"Nyonya Chambray dapat mengatakannya," kata Bess, lalu
mengikuti teman-temannya masuk ke dalam rumah.
Ketika ditanya, Nyonya itu mengatakan bahwa Wit bloem
berarti 'bunga putih'. "Tetapi untuk apa kalian ingin tahu?"
Nancy lalu menjelaskan tentang orang yang di dalam perahu itu.
Nyonya itu langsung menelepon polisi. Ia menceritakan kejadiannya,
dan atas saran Nancy menanyakan pula nama dan alamat pemilik
perahu. Nampaknya seperti berjam-jam ketika menunggu polisi
menelepon kembali. "Perahu itu milik seseorang yang bernama The Schlinger," kata
suara di dalam telepon, lalu memberikan alamat orang tersebut.
Nancy mengusulkan untuk minta bantuan Hilda ikut serta
menemui orang itu. "Barangkali saja kita membutuhkan penerjemah," katanya.
"Maksudmu, kita membutuhkan polisi! Bukankah Hilda hendak
menonton konser bersama Joseph?" Bess mengingatkan.
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, mungkin saja dia masih mau menyempatkan diri sebelum
pergi menonton. Bagaimana pun, kukira kita dapat menangani pak
Schlinger sendiri. Kita tidak akan menuduh dia telah melakukan apaapa."
Dengan penuh harapan Nancy menelepon Hilda. Setelah
bercakap-cakap beberapa menit lamanya, ia meletakkan telepon
kembali dengan wajah berseri-seri.
"Ia dapat ikut serta, kalau tidak terlalu lama," kata Nancy.
********* Sejam kemudian mereka tiba di rumah Schlinger. Setelah saling
tersenyum gugup, Nancy mengetuk pintu. Sesaat kemudian yang
muncul bukan si pencuri, tetapi seorang tuan yang tampan. Ternyata ia
juga menyenangkan seperti halnya dengan rumahnya yang penuh
souvenir-souvenir pelayaran, lukisan-lukisan kapal layar kuno dan
gambar potret pak Schlinger dengan topi pelaut.
"Apakah anda dapat berbahasa Inggris?" tanya Nancy.
"Sedikit," jawabnya. "Mengapa? Apakah kalian memerlukan
seorang pemandu?" "Ah, bukan!" Nancy tertawa. "Nona Permeke telah membawa
kami berkeliling. Sungguh indah!"
Hilda menjadi merah karena pujian itu. Ia mengatakan akan
menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan Nancy, kalau-kalau pak
Schlinger tidak mengerti.
"Rupanya kalian sedang melakukan sesuatu yang serius," tanya
Schlinger. "Barangkali kalian hendak menyewa perahu?"
"T-tidak," kata Nancy. "Tetapi kita ingin tahu, siapa yang telah
menggunakannya hari ini."
"Namanya Bergere," kata pak Schlinger. "Ia menggunakan
perahu itu sekitar satu jam, lalu mengembalikan."
"Bergere?" seru Nancy. "Itulah orang yang kami cari-cari!"
"Begitu? Apa ada masalah?" tanya Schlinger.
"Ya," jawab Nancy. "Kami kira dia itu pencuri!"
"Ya ampun," seru Schlinger. Tangannya mengusap-usap
rambutnya. "Kalau tahu, aku tidak akan mengizinkan ...."
"Apakah ia memberikan alamat kepada anda?" sela Bess.
Pelaut itu menggeleng. "Tidak. Tetapi ia mengatakan kepadaku, bahwa hari ini adalah
terakhir baginya di Brugge. Ia akan terbang kembali ke New York
malam nanti." Pak Schlinger tidak tahu menahu tentang rencana-rencana
Bergere, maka gadis-gadis itu lalu mengucapkan terimakasih, dan
berpamitan. Di tengah jalan mereka membicarakan tindakan apa
selanjutnya. "Sekarang aku bertambah yakin, bahwa Matey Johnson telah
menunjukkan surat nyonya Chambray untuk nyonya Marvin itu
kepada Bergere," kata Nancy. "Karena itulah dia datang kemari!"
"Tetapi tidak ada artinya bagi dia untuk meninggalkan kota
Brugge, sebelum menemukan harta itu. Bukankah begitu?" tanya
George. "Kecuali kalau dia telah mencuri salib intan itu, dan
menganggap sudah cukup untuk pulang sekarang," kata Bess.
"Benar," kata Nancy. "Mungkin pula dia akan kembali ke
Brugge kalau kita sudah pulang."
Namun segera pikirannya beralih.
"Tetapi, aku tidak percaya bahwa dia pulang ke Amerika, dan
kemudian terbang kembali ke Belgia. Mungkin dia berdusta, karena
menduga kita telah mengetahui nama perahunya, dan lalu melacaknya
ke pak Schlinger. Barangkali pula dia telah terlanjur menyebutkan
namanya kepada pak Schlinger, lalu takut bahwa kita akan
mengetahuinya." "Pikiranmu bagus," George memujinya. "Karena itu, dia
berdusta akan pulang ke New York. Dia berharap kita berhenti
mencari dirinya." Dengan rasa khawatir Hilda melirik ke arlojinya.
"Aku benar-benar harus pergi," katanya. "Ke mana kalian
sekarang?" "Itulah pertanyaan paling jitu," kata Bess. "Ke airport atau
pulang?" "Pulang?" kata Nancy memutuskan. "Aku justru ingin bertemu
si orang gadungan, kalau ia datang."
Di jalan mereka melewati beberapa toko, di antaranya sebuah
toko buku tua. "Ini kesempatan satu-satunya untuk membeli oleh-oleh," kata
Bess sambil memasukinya. Mereka memilih buku-buku yang indah tentang Belgia untuk
oleh-oleh bagi pacar mereka.
"Barangkali ini akan menarik mereka, dan ikut kita di kemudian
hari," kata George. Sementara mereka membayar, Nancy memandang ke arah
lemari pajangan kaca. Pada bayangan di kaca nampak sebuah topi
koboi yang lebar. Itulah pemuda dari Texas, yang cocok dengan gambaran pak
Drew tentang cucu Francois.
19 Penangkapan Nancy membalikkan tubuhnya. Ia berhadapan dengan pemuda
Texas itu. "Cody Vaughn?" ia bertanya sambil tersenyum lebar.
Ia melemparkan senyum kepadanya beserta kedua gadis
lainnya. "Sungguh senang melihat kalian kembali," katanya. "Tetapi
bagaimana engkau dapat mengetahui namaku? Aku tak pernah
menyebutkan namaku kepada kalian!"
Nancy memperkenalkan diri, dan juga teman-temannya.
Kemudian ia secara singkat menjelaskannya.
"Kami memang berharap dapat bertemu anda kembali,"
sambungnya. "Kami menginap di rumah kakek-buyut anda!"
"Jangan bergurau!" kata koboi itu. "Aku tahu bahwa keluargaku
berasal dari Belgia. Itulah salah satu alasan mengapa aku datang
kemari. Ini adalah untuk yang pertama kali," ia menghela napas.
"Wow, aku sungguh sangat senang melihat tempat ini."
"Sudah tentu," Nancy menanggapi dengan berseri. "Tunggu saja
sampai nyonya Chambray berjumpa denganmu. Ia akan sangat
gembira, karena ia telah lama mencari-cari keturunan dari keluarga
Vonderlicht." "Siapa nyonya Chambray itu?" tanya koboi itu tidak mengerti.
"Dan untuk apa ia ingin bertemu aku?"
"Ia yang memiliki rumah keluarga Vonderlicht sekarang ini,
"Bess menjelaskan. "Belum lama setelah mendiaminya, ia
menemukan sebuah salib antik yang indah, dibungkus secarik kain
lenan bertuliskan nama Antoinette Tissot, yaitu nenek buyutmu."
"Kukira kalian keliru dengan orang lain. Nenek buyutku bukan
Tissot. Tetapi Warrington ... Elaine Warrington!"
Tergelitik untuk menceritakan riwayat Antoinette dan Francois
yang romantis, George lalu menceritakan bagaimana mereka itu
pindah ke Brugge dan berganti nama.
"Dan mereka hidup berbahagia setelah itu," Bess mengakhiri.
"Ada suatu masalah kecil," Nancy menyambung. "Salib intan
itu telah dicuri. Tetapi aku punya firasat bahwa engkau dapat
membantu kami untuk mendapatkannya kembali."
"Wah, aku tidak tahu, Nancy. Aku tidak tahu apa-apa tentang
cara menangkap penjahat," kata Cody. "Tetapi kalau kupikir lebih
jauh, itu bukan gagasan yang buruk. Mungkin pada suatu ketika aku
akan dapat pula berperanan sebagai detektif."
"Jadi anda mau ikut kami ke rumah?" tanya Nancy. "Tidak jauh
dari sini." Ia melihat bahwa Nona yang pernah bersama Cody tidak ada di
dalam toko. "Oke," kata Cody. "Tetapi aku hendak menelepon hotelku dulu.
Aku punya kencan dengan seseorang. Apakah ia boleh ikut?"
Nancy ragu-ragu, tidak pasti akan bahaya yang mungkin
menghadang mereka. "Mengapa anda tidak mengajak temanmu sedikit lebih lambat?
Anda dapat meneleponnya dari rumah," kata Nancy.
"Aku tidak tahu, ia berkenan atau tidak," kata Cody. "Tetapi
aku akan menceritakan kepadanya."
Pada waktu keredupan senja menyelimuti kota. Suasana terasa
mencekam ketika mereka tiba di rumah. Mereka heran hanya satu dua
buah lampu saja yang menyala.
"Ada orang di dalam," kata Nancy.
Ia melihat bayangan kepala seorang laki-laki di jendela.
"Apakah kita ketuk saja?" tanya Bess takut-takut.
"Jangan!" Jawab Nancy. "Nanti tamu nyonya Chambray itu
takut." Dengan perlahan-lahan ia memutar tombol pintu, berharap tidak
dikunci. Pintu terbuka. Sambil memberi isyarat kepada yang lain-lain
agar tetap diam, Nancy berjingkat masuk. Suara percakapan dan tawa
hanyut ke lorong dalam. "Ah, Monsieur. Aku sungguh senang akhirnya dapat bertemu
dengan anda," kata nyonya Chambray. "Tetapi dengan sejujurnya, aku
mengalami kesulitan."
"Bagaimana seorang nyonya yang begitu baik mengalami
kesulitan?" Suara orang itu terdengar manis. Kedengarannya seperti
telah dia kenal. "Anda tahu, kakek saya menghadapi banyak kesulitan.
Kebanyakan hal-hal yang romantis. Wanita-wanita selalu mengejarngejar dia. Terutama seorang gadis dari Brussel benar-benar memaksa
dia pindah ke Brugge. Nona itu benar-benar bernapsu."
"Tetapi," kata nyonya Chambray, "Apakah ia tidak mengawini
Nona itu?" "Ah, tidak. Ia telah bertemu dengan orang lain."
Pikiran Nancy segera dapat menangkap dengan jelas. Orang itu
sedang menceritakan isi naskah Nancy yang dikirimkan ke majalah.
Jadi dia itu Paul Frieden atau Andre Bergere. Ia berhenti cukup lama
sampai Bess menepuk lengannya.
"Aku mendengar sesuatu di atas sana," bisik Bess.
Apakah ada seorang pencuri lain dalam rumah itu? Seorang
kawan dari orang yang duduk-duduk di dalam itu, barangkali. Mereka
bertanya-tanya dalam hati.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya George.
"Engkau dan Bess rnemeriksa lantai atas. Aku akan
memperkenalkan Cody kepada nyonya Chambray," bisik Nancy
kembali. Dengan hati-hati Bess dan George berjingkat-jingkat naik ke
lantai dua. Sementara itu, pemuda Texas itu mengikuti Nancy masuk
ke kamar duduk. Tamu itu terlindung dari pandangan oleh sandaran
kursinya yang besar. "Maaf, nyonya Chambray," kata Nancy dengan sopan. "Aku
ingin anda bertemu dengan cicit Francois Lefevre ...."
"Tidak mungkin!" orang itu menukas marah.
Ia berdiri dari kursinya dan berbalik menghadapi Nancy. Orang
itu jangkung kurus, mukanya sempit dan berbibir tipis. Wajahnya
pucat. "Tuan Rocke!" seru Nancy.
Dengan marah sekali, orang itu melesat melewati Nancy sambil
mendorongnya ke samping. "Aku tidak kenal engkau!" orang itu menggeram marah.
"Tangkap dia, Cody!" seru Nancy.
Tetapi, si gadungan itu dengan gesit menghindar dari tangkapan
si koboi. Ia terserimpat di karpet hingga sebuah benda kecil mengkilat
terjatuh dari sakunya. "Itu dia salib intannya!" seru nyonya Chambray.
Namun sebelum Rocke sempat meraihnya, Nancy telah
melompat untuk memungutnya. Rocke lari melalui lorong dalam,
keluar ke pintu. Secepat kilat ia turun ke perahu yang memang sudah
menantinya. Sebelum Nancy atau Cody dapat menangkapnya, ia telah
melaju pergi. "Inilah yang terakhir kali bagi si Hantu," kata Nancy begitu
melihat sepatu yang dipakai orang itu. "Sekali ia tidak memakainya
ketika ia mengikuti kita ke Gruuthuse, lalu mencuri renda!"
Seketika itu pula mereka menelepon yang berwajib, dan
memberikan ciri-ciri Rocke serta perahu yang digunakan untuk
melarikan diri. "Ia melalui saluran ke arah timur," sambungnya.
"Kami akan segera mencari dia," polisi yang bertugas berjanji.
"Kami juga akan memberitahu lapangan terbang, kalau ia mencoba
meninggalkan negeri itu. Paspornya akan dirampas!"
Bess dan George tidak mengetahui apa yang terjadi di bawah.
Tidak ada sesuatu perubahan di lantai dua. Mereka lalu naik ke lantai
tiga. "Aku jelas mendengar sesuatu," kata Bess. "Ini terlalu jauh
untuk tikus memanjat ke sini!"
Ia dan sepupunya merapatkan diri di luar dinding papan loteng.
Kemudian ia membukanya perlahan-lahan. Kecuali nyala lembut dari.
lampu jalanan yang masuk melalui jendela atap, ruangan itu gelap
seluruhnya. "Jangan jauh-jauh," bisik George.
"Jangan khawatir!" jawab Bess gemetar.
Ia mengarahkan sorot lampu senternya ke kopor dan peti-peti.
"Kalau ada orang yang kemari," kata George, "aku yakin ia
sudah pergi." Sebuah kursi berdiri di bawah jendela atap. "Dengan itu ia telah
pergi!" Ketika ia mengalihkan sorot lampu senternya ke sudut yang
lain, Bess melihat sebuah meja antik. Semua laci-lacinya telah ditarik
keluar, menampakkan pakaian-pakaian berenda dan sejumlah bukubuku yang mirip dengan buku harian yang bersamak kulit.
"Aku tidak ingat siapa yang telah membuka laci-laci itu," kata
George. "Laci-laci itu tidak ada tombolnya. Jadi kita tidak tahu kalau
ada laci-lacinya. Pencuri itu tentu telah mencongkelnya."
"Bagaimana dengan baju merah Francois dengan lengan baju
yang berenda itu?" Bess menggumam. "Aku ingin tahu apakah baju
itu yang dicuri." Ia bergegas ke peti di dekat kopor. Baju itu masih ada di sana.
Tetapi renda lengan baju itu telah lenyap. Jelas pencuri itu telah keliru
mengira renda itu yang berisi pesan-pesan.
Tiba-tiba mereka merasa ada orang di dalam ruangan itu. Betul
juga! Sesosok tubuh membungkuk dan merayap maju ke arah mereka,
siap untuk menerjang. Di tangannya nampak ujung lengan baju
berenda. "Tolong!" teriak Bess keras-keras.
Sementara itu George memusatkan segala beraniannya untuk
menyerang orang itu. Bantuan segera berdatangan. Nancy dan Cody
melompat masuk, menjegal si pencuri. Mereka bersama
mendorongnya hingga jatuh terkapar di lantai, hanya dalam beberapa
detik saja. "Lepaskan aku!" orang itu menggeram marah.
"Nanti, bila polisi sudah datang," jawab Cody.
Ia memutar lengan tawanannya merapat ke lantai.
"Engkau Andre Bergere, ya?" Nancy menuduh.
Ia mengenali wajah dan rambutnya yang mengkilat.
"Kukira Paul Frieden pun ada di sekitar sini."
Tawanan mereka tertawa pahit. Mengira bahwa ia telah
menguasai sepenuhnya, Cody agak mengendorkan pegangannya.
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bergere menggunakan kesempatan itu dan menyodok tulang rusuk
Cody. "Aduh!" orang Texas itu mengerang sakit. Tawanannya
membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba hingga terlepas.
Namun Nancy segera menangkap lengannya, sementara George
menekuk lengan yang lain, siap untuk membanting dengan bantingan
judo! 20 Kejutan Ganda Cody ikut nimbrung sekali lagi. Akhirnya tawanan itu
menyerah lemah. "Cepat panggil polisi, Bess!" perintah Nancy.
"Ah, jangan! Aku mohon, jangan!" orang itu meratap lemah
ketika Bess menuruni tangga. Lengannya lemas dalam pegangan
mereka. "Biarkan aku duduk sebentar," pintanya.
"Kau jangan berbuat yang bukan-bukan!" Cody
memperingatkan. "Tidak! Aku berjanji!" tawanan itu terengah mencari napas.
"Apa yang kalian kehendaki?"
"Engkau Andre Bergere atau bukan?" tanya Nancy.
Dengan gugup orang itu mengusap rambutnya yang hitam.
"Betul, dan ...."
"Dan apa?" gertak Nancy.
"Dan Paul Frieden."
"Apa?" Nancy menatapnya dengan heran. "Maksudmu, Frieden
itu hanya tokoh khayalanmu?"
Bergere mengangguk. "Jadi, ketika Rocke mencegat naskahku," sambung Nancy," ia
memberikannya kepadamu?"
Bergere mengangkat bahu. "Kami berteman."
"Apa kaukira hadiah sayembara itu bernilai tinggi bagimu,
hingga engkau sampai menjiplaknya, lalu mengirimkan atas namamu
sendiri?" tanya Nancy.
Ia merasa muak dengan orang itu.
"Kami tahu ada suatu misteri di Brugge yang belum terungkap.
Karena itulah kami ikut sayembara itu," Bergere menggerutu. "Kami
mengira bila Miller menuduh engkau plagiat, engkau tentu terpaksa
tinggal di New York, sampai engkau dapat membuktikan yang
sebaliknya. Sementara itu kami datang kemari dan mencari harta yang
disebut dalam surat."
George tertawa. "Engkau tentu heran ketika tahu dari Rocke bahwa Nancy tetap
melanjutkan rencana perjalanannya."
"Dan engkau menunggu kedatanganku di lapangan terbang, lalu
mencuri koporku!" sambung Nancy.
"Bukan. Itu Rocke yang mencuri," Bergere membantah. "Ia
meminjam pakaian petugas airport. Jadi ia dapat melewati penjagaan
dengan kopormu." "Tentu ia ingin menahan aku di Brussel sementara waktu," kata
Nancy. "Tetapi bila rencananya tidak berhasil, ia lalu berusaha untuk
menakut-nakuti kita. Rocke menjadi hantu di rumah nyonya
Chambray." "Aku juga selalu mengawasi apa yang kalian lakukan," tawanan
itu menyela dengan senyuman memuji diri. "Aku mengawasi engkau
di kebun, dan juga dari jendela atap."
"Bagaimana cara Rocke memperoleh kunci ke dalam
terowongan?" tanya Nancy melanjutkan.
"Ketika ia pertama kali ke sana, pintu dalam keadaan terbuka.
Kuncinya tergantung di dalam," jawab Bergere. "Ia lalu membuat
tiruannya." "Rocke pernah datang sekali, pintu itu dikunci dari dalam," kata
Nancy, "ketika itu ia meninggalkan kunci tergantung di pintu."
"Ia mencongkelnya dengan tongkat kecil, lalu menggunakan
kunci tiruannya," kata Bergere. "Kunci semacam itu tidak sulit untuk
dikutik-kutik." "Apa Rocke puas, ikut dalam pawaimu?" tanya George.
"Tentunya engkau berpikir bahwa akal-akalan dengan pisau belati itu
tidak akan membuat kami takut, bukan?"
Bergere mengangkat bahu. "Kami sudah nekad. Sayang sekali tidak ada satu pun yang
berhasil. Kalian gadis-gadis telah menghancurkan rencana kami
semuanya." Tepat pada waktu itu nyonya Chambray dan Bess dengan
diikuti dua orang polisi muncul di pintu.
"Inilah dia orangnya, yang mengancam anda dengan surat itu!"
kata George. "Ataukah engkau akan menimpakannya kepada Rocke,
he bung Bergere!" "Tidak. Itu memang aku yang melakukan. Namun semuanya itu
adalah buah pikirannya."
Polisi maju lalu memborgolnya.
"Kalian tidak dapat berbuat apa pun terhadap aku!" Bergere
berteriak. "Aku warganegara Amerika!"
"Tetapi anda telah melakukan kejahatan besar di negeri kami,"
salah seorang polisi berkata. "Kami akan menahan anda, dan
mengadili anda untuk pencurian!"
Dengan kata-kata itu mereka membawa dia pergi.
Sementara itu nyonya Chambray mendekati Cody, lalu
mencium kedua pipinya. "Aku sungguh gembira berjumpa dengan engkau," katanya
hangat. "Aku punya sesuatu yang menjadi milikmuatau, Nancy,
yang memegangnya." Gadis detektif itu mengambil salib intan dan lapis lazuli dari
saku roknya, lalu meletakkannya di tangan pemuda Texas itu. Cody
mengamati salib yang mengkilap itu.
"Wah! Tetapi aku tidak dapat menerima ini," ia berkata pada
akhirnya. "Kalian yang lebih berhak daripada aku!"
"Jangan menolak," jawab Nancy. "Benda ini dimaksudkan
untuk peruntungan keluarga Vonderlicht."
"Aku tahu engkau punya pacar," George menyela. "Tetapi ... eh
.... " Melihat perhatian yang terbayang di wajah sepupunya, Bess
lalu berpaling kepada Cody.
"Pencarian kita belum selesai. Kau tahu itu. Kita masih terus
memburu harta milik Francois, maksudku Friedrich, yang disebutnya
dalam surat wasiat. Kuharap kau tinggal dulu. Bagaimana pun, apa
yang kita temukan, kebanyakan adalah milikmu."
Cody tersenyum seperti anak kecil kepada George, yang dengan
bingung mengalihkan pandangannya.
"Dari mana kita mulai?" ia bertanya.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan kandang burung?" Bess
tertawa cekikikan dan lari ke belakang tirai sutera.
"Wah, aku harus membeli burung dulu!" Koboi itu tertawa
melihat kandang burung itu.
Nancy memandanginya dengan mulut ternganga. Kandang
burung itu sungguh hebat. Di bawah lapisan kotoran itu tersimpan
emas. "Aku yakin itulah bentuk geometris yang disulamkan dalam
renda ujung lengan baju itu." seru Nancy.
"Begitu kaupikir?" Bess bertanya heran. "Sungguh itu tak
terpikir olehku!" Tiba-tiba mereka sadar, bahwa balok-balok loteng itu
bersilangan membentuk segitiga-segitiga terbuka seperti yang terdapat
dalam renda. Nancy mengikutinya perlahan-lahan dengan
pandangannya. "He, lihat!" ia berseru, menunjuk ke suatu kaitan yang putus di
salah satu balok. "Itulah tempat kandang burung tergantung dulu. Aku
yakin itu pun merupakan sebuah tanda."
"Di sini?" tanya George, memberikan sebuah kursi kepada
Nancy. Nancy menempatkannya tepat di bawah balok tersebut, lalu
naik ke atasnya. "Kandang burung itu tentu telah terjatuh beberapa tahun yang
lalu," kata Nancy. Ia menarik-narik kaitan itu. Ternyata kendor namun tidak mau
lepas juga. Dengan kecewa ia hendak turun dari kursi tua itu. Tibatiba salah satu kaki kursi patah. Nancy berpegangan pada kaitan dan
bersusah payah untuk menjaga keseimbangan. Sebagian kayu pecah
terlepas dari langit-langit. Nancy jatuh bergulingan di lantai. Temantemannya berusaha untuk menangkapnya. Ketika mereka
membungkuk hendak membantu Nancy berdiri kembali, Bess melihat
sebuah jarum bermata mirah, dan seuntai kalung di lantai. Ia
menengadah melihat ke langit-langit, lalu berseru:
"Harta Francois!"
"Nah! Itu milikmu sekarang, Cody!' sambung Nancy.
Ia mengambil sebuah bangku dari sudut loteng, lalu kembali
memeriksa langit-langit. "Masih ada apa-apanya lagi?" tanya George.
Ia membantu Bess memunguti benda-benda yang baru jatuh.
"Kubilang, masih ada!" seru Nancy gembira. Ia mengeluarkan
ujung lengan baju yang hilang itu. "Aku tidak pernah mimpi dapat
menemukan ...." Dengan riangnya gadis detektif itu meloncat turun dari bangku.
Ia memperlihatkan petunjuk halus yang telah lama tersimpan. Tepat
seperti pada lukisan Gelder, satu ujung lengan baju terlukis sebuah
kandang burung di bawah suatu pola segitiga-segitiga tak beralas
dengan kata-kata Je vous aime.
"Apa pesan yang terdapat pada lengan baju yang lain?" tanya
Bess ingin tahu. Nancy memeriksanya dengan teliti. Ia membaca kata-kata itu
keras-keras: "Epousez moi, s'il vous plait!"
"Apa itu artinya?" tanya Bess.
Nancy lalu menerjemahkannya.
"Kawinilah aku!"
"Dan itulah apa yang dilakukan Francois!" kata George.
"Tidak seorang pun dari keluarga dia maupun keluarga
Antoinette yang tahu tentang hal ini. Itulah rahasia mereka!" Nancy
menjelaskan. "Antoinette berganti nama menjadi Elaine Warrington
ketika pergi dari rumahnya. Menurut catatan yang kudapatkan, setelah
suaminya meninggal ia pindah ke Amerika."
"Tetapi beliau tidak pernah mengatakan kepada siapa pun, siapa
dia itu sebenarnya," kata Cody. "Lihat saja, betapa sedikitnya yang
kuketahui tentang beliau."
"Yaahh," Bess menghela napas. "Antoinette-Elaine sebenarnya
telah mendapatkan apa yang dikehendakinya, Francois-Friedrich!"
Yang mendengar jadi tertawa semuanya.
"Akhir dari ceritamu, Nancy," George berkata kemudian, "Agak
sedikit berbeda, hal ini menjadi kejutan berganda."
"Tetapi itu disebabkan permulaan yang memang tidak tepat
benar," Bess menunjukkan. "Namun firasatmu mengenai kepindahan
Francois ke Brugge, misalnya, adalah tepat sekali!"
Sewaktu Bess berkata demikian, nyonya Chambray berlari
masuk dengan gembira. Matanya berkedip-kedip dan air matanya
menetes begitu melihat permata dan uang.
"Aku hampir tidak percaya! Kalian telah menemukan semua
itu!" Cody memeluk bahunya. "Silakan! Pilihlah sesuatu! Apa saja ... yang anda inginkan!"
katanya kepada semua yang ada di sana.
"Jangan! Itu kami tidak dapat menerimanya!" kata George.
"Tetapi aku memaksanya," jawab orang muda itu. "Hal itu
sangat menyenangkan hatiku!"
Dengan hati-hati, George memilih seuntai kalung emas yang
polos tetapi indah. Cody tersenyum.
"Aku pun akan memilihkan itu untuk engkau," katanya, hingga
pipi George menjadi merah sampai ke leher.
"Terimakasih," kata George gelagapan.
Bess memilih gelang model kuno, sedangkan nyonya Chambray
sebuah peniti emas dengan enamel.
Ketika tiba giliran Nancy, ia memilih seuntai rantai halus
dengan bandul yang indah. Di dalam bandul terdapat dua buah foto.
Dengan menggunakan kaca pembesarannya ia mencoba membaca
kata-kata yang kabur di bawahnya.
"Ini gambar Friedrich Vonderlicht dengan pengantinnya,"
katanya. "Aku tidak dapat mengambil ini, Cody. Ini harus kausimpan
untuk seseorang yang teristimewa bagimu!" .
Koboi itu berdiri dari satu kaki ke kaki yang lain.
"Kalau begitu, kaupilih yang lain lagi saja!" katanya.
Nancy puas dengan memilih sebentuk cincin bermata mirah
delima. "Warna merah akan selalu mengingatkan aku akan baju
Francois." Ia tertawa cekikikan. Sementara itu nyonya Chambray berbicara
dengan tenang dengan Cody, mengenai segala persiapan untuk
membawa milik keluarga itu.
"Sadarkah kau," George berpaling kepada Nancy, "bahwa
misteri ini sudah bukan misteri lagi?"
"Ya, memang. Kalau yang kaumaksud tentang Francois. Tetapi
bagaimana dengan naskahku?" jawab Nancy. "Aku harus berbicara
dengan ayah mengenai ini!"
Ketika ia menelepon rumah keluarga Drew pada hari itu, yang
menjawab adalah Hannah Gruen.
"Tuan Drew sedang keluar kota," katanya. "Ada berita apa dari
engkau?" tanya Hannah kepada gadis detektif itu.
Nancy menceritakan semua yang terjadi beberapa hari
belakangan ini. "Rupa-rupanya Matey Johnson cukup banyak mendengar
percakapan kita, hingga ia banyak sekali menaruh perhatian terhadap
surat nyonya Chambray. Kemudian kawannya menyergap naskahku
untuk menahan aku, agar jangan sampai pergi ke Belgia. Dapatkah
kaubayangkan itu?" "Tentu saja!" pengurus rumahtangga itu tertawa. "Tentu saja ia
tidak tahu bahwa apa pun tidak akan mampu menahanmu untuk
melakukan apa yang kaukehendaki, bukankah begitu?"
********** Hari berikutnya, Hilda dan orangtuanya mengadakan pesta
perpisahan bagi gadis-gadis detektif itu beserta nyonya rumahnya,
nyonya Chambray. Cody dan Joseph juga hadir.
"Apa boleh kita minta kalian tinggal sedikit lebih lama di sini?"
tanya Hilda. "Sebetulnya memang sangat senang," kata Bess, berusaha keras
untuk tidak melirik ke Joseph yang selalu dekat dengan Hilda.
"Demikian pun aku," George mengaku. "Tetapi Nancy ...."
"Perjalananku belum akan selesai dalam seminggu ini," Cody
menyela. "Apakah engkau tidak dapat merubah pikiranmu?"
Nancy mengedipkan mata kepada teman-temannya.
"Yah, aku ingin bertemu Ned sebelum musim panas ini
berlalu," katanya. Pak Permeke lalu mengajak tamu-tamunya.
"Sungguh menakjubkan. Misteri yang telah begitu tua dapat
Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipecahkan." katanya. "Tetapi untuk itu diperlukan tiga dara Amerika!
Wah, jadi sangat indah."
"Dan kami sungguh-sungguh menikmati setiap menit
daripadanya," jawab Nancy. "Terimakasih yang tak berhingga atas
segala bantuan kalian!"
Hari berikutnya, ketiga gadis itu terbang kembali ke New York.
Dan kemudian diteruskan lagi ke River Heights. Pak Drew dan
Hannah baru saja mengucapkan selamat datang kepada Nancy, ketika
telepon berdering. "Aku yakin, itu telepon untukmu, Nancy!" kata pak Drew
kepada anak gadisnya. Nancy terkejut. Yang menelepon adalah John Miller, editor dari
Circle and Square. "Ha, engkau sudah pulang," katanya. "Nah, aku ada berita yang
bagus bagi gadis detektif kita, engkau memenangkan hadiah pertama
dalam sayembara." Nancy hampir saja tidak dapat bernapas.
"Aku memenangkan hadiah pertama?"
"Ya! Aku menerima berita dari polisi Belgia tadi malam, bahwa
Herbert Rocke telah ditahan di Airport Brussel. Ia berusaha untuk
melarikan diri kembali ke Amerika." Ia diam sejenak. "Aku sungguh
menyesal, bahwa dia selaku seorang editor kami berbuat demikian.
Aku minta maaf kepadamu ...."
"Itu tidak perlu," Nancy memotong. "Aku justru sangat terkesan
akan sayembara itu."
Ia mengeluarkan airmata kegirangan, ketika mengetahui bahwa
segala tantangan telah berakhir. Tetapi ke mana pula ia akan terseret
oleh petualangan yang berikutnya? Ia tidak tahu.
"Pak Miller," kata Nancy melanjutkan percakapannya. "Karena
kini aku telah berhasil menemukan pemecahan yang sebenarnya dari
teka-teki itu, bolehkah aku menuliskan bab yang terakhir bagi cerita
'Rahasia di dalam Renda Tua'?"
"Sudah tentu! Aku pasti akan menerbitkannya!" kata pak Miller
tertawa. "Dalam hati aku sudah yakin, bahwa engkau tentu dapat
mengungkap misteri itu."
TAMAT Pembalasan Ratu Mesum 2 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Puteri Es 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama