Ceritasilat Novel Online

Antara Dua Hati 2

Merivale Mall 08 Antara Dua Hati Bagian 2


kehidupannya yang menyenangkan membuatnya merasa senang dan
aman. Tetapi tunggu... Mungkinkah itu? Ya, benar, ia yakin! Vicki mengenal baik suara itu. Perlahanlahan senyumnya muncul menghias wajahnya. Semua ternyata
berjalan jauh lebih lancar daripada rencananya! Malahan lebih baik!
Sekarang tinggal soal waktu. Tak lama lagi Nick akan berada
dalam genggamannya kembali. Kenyataannya, kalau si cewek
murahan dari Merivale itu tidak membahayakan lagi, maka
peperangan akan berhenti setiap saat.
Tujuh "Sudah siap, Danielle?"
Pete sedang menunggunya saat ia keluar kelas. Kelihatannya
cowok itu serius benar melakukan tugas-tugasnya sebagai 'budak' dan
Danielle senang melihatnya.
"Nih, bawa!" ujar Danielle seraya meletakkan setumpuk buku
ke tangan Pete. Dengan entengnya Pete membawa buku-buku itu dengan tangan
kirinya. Buku-bukunya sendiri tak banyak, hanya sebuah buku catatan
dan buku Pengantar Aljabar.
"Ke mana?" ia bertanya.
Danielle berpikir sejenak. Jam berikutnya hari Jumat itu
kosong. Biasanya ia kembali ke perpustakaan dan Warren Harding
karena makalahnya harus sudah diserahkan dalam waktu kurang dari
seminggu. Tetapi hari ini perpustakaan tak terpikir olehnya dan tugas
penelitian rasanya terlalu intelektual.
"Gimana kalau kita pergi ke kantin dan minum soda?" sarannya.
"Aku lagi ada waktu luang nih."
"Ayo." Keduanya meninggalkan gedung bersama kira-kira seratus anak
lainnya dan mulai berjalan menyeberangi alun-alun. Cuaca dingin dan
udara sejuk membuat Atwood tampak indah.
Danielle merasa bangga saat ia memandang bangunan berbatu
bata merah yang tersembunyi di belakang deretan pohon perindang
dalam suasana musim gugur. Sekolahnya telah menghasilkan para
ilmuwan, senator dan sarjana yang terkenal dalam berbagai bidang.
Hampir saja Danielle melontarkan kekagumannya tersebut, tetapi ia
membatalkannya. Bisa-bisa Pete mengira bahwa ia cuma kagum pada
orang-orang pintar. "Sini?biar aku saja," ujar Pete seraya membuka pintu kantin.
"Trims, budakku." Danielle melemparkan senyum mautnya saat
ia melangkah masuk. Senang rasanya diperlakukan seperti seorang
lady. Mungkin ada baiknya ia mengajari Don bagaimana caranya
membukakan pintu, putusnya.
Di kantin Danielle memasukkan dua buah uang recehan ke
dalam mesin soda. Ditekannya tombol Coca-cola, tetapi tak ada yang
keluar. Tidak juga uang logamnya.
"Sial," gerutunya, lalu berusaha mencari uang kecil lagi.
"Minggir deh," ujar Pete. Setelah Danielle melangkah mundur,
cowok itu menyodok mesin minuman dengan bahunya. Mesin itu mati
sejenak dan menyala kembali. Lalu dua kaleng soda terlontar keluar.
"Wah, bayar satu dapat dua! Makasih," ujar Danielle berseriseri.
"Kembali, Danielle."
Keduanya lalu duduk di kursi dekat jendela. Danielle bertanya,
"Gimana kabarmu hari ini?"
Danielle tak ingin berbasa-basi, namun ia harus memberi waktu
pada Pete untuk mengajaknya keluar. Ia tak mau membuang-buang
kesempatan setelah membayar enam puluh dollar!
"Oke-oke saja," jawab Pete seraya membuka minumannya.
"Ada kabar baru?"
"Nggak, tuh." Berapa lama lagi ia mesti nunggu? Danielle mengetukngetukkan jarinya tak sabar. Tetapi Pete tak memperhatikan.
"Nah, Pete," ujar Danielle lagi. "Apa sih hobimu di waktu
luang?" "Rugby," jawabnya.
Itu sih, aku tahu. "Maksudku, di luar urusan sekolah."
"Nonton rugby di TV." Pete tersenyum. "Aku kan gila olah
raga." Itu sih jelas! Danielle menggigit bibirnya. Mungkin dia harus
lebih agresif lagi. "Apa kamu nggak, ke... kamu tahu kan, keluar sekali-sekali?" ia
bertanya. Untuk sesaat Pete berpikir. "Maksudmu, seperti pergi ke
bioskop?" tanyanya. "Ya, ke pesta, atau ke mall?"
"Aku suka pesta," ujar Pete.
Nah, ini dia! Danielle berbicara dengan menggebu-gebu.
"Bagus, aku juga suka pesta!" Aduh, ia merasa seperti seorang penipu.
Pete masih belum menangkap maksudnya. "Tapi kami para atlit
nggak boleh terlalu capek kalau sedang dalam training. Apa lagi ke
pesta-pesta liar. Bisa-bisa penampilan kita di lapangan hancur nanti."
Ingin rasanya Danielle mengocok kaleng sodanya dan
menyemburkan isinya ke muka Pete. Cowok-cowok lain pasti takkan
mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajaknya ke luar. Kenapa
cowok ini begitu 'telmi' sih?
Mungkin ia mesti lebih jelas lagi. Nggak masalah. Tanpa pikir
panjang, Danielle membasahi bibirnya dengan ujung lidahnya. "Kamu
tahu nggak, aku senang deh sekarang hari Jumat."
"Yah, besok pertandingan besar dan kami akan mengalahkan
mereka!" ujar Pete. Lalu cowok itu mengepalkan tinjunya sehingga
kaleng-kaleng minuman di meja berlompatan.
"Sebenarnya, yang aku pikirin acara malam ini," pancing
Danielle. Gadis itu menatap tajam mata biru Pete.
Kali ini cowok itu menangkap maksudnya. Perlahan-lahan ia
tersenyum. Tetapi tak lama kemudian senyumnya pun pudar. "Aduh,
sialan!" gerutunya. "Aku mesti ada di rumah malam ini."
"Di rumah? Kenapa?" tanya Danielle terheran-heran. Siapa sih
yang ada di rumah hari Jumat malam?
"Aku mesti belajar."
Aneh! "Astaga, kenapa?" pekik Danielle.
"Itu, aljabar sialan itu. Aku janji pada pelatihku untuk belajar
setiap malam." Oh, itu sebabnya! Pete masih khawatir akan nilainya.
"Memangnya kamu nggak lulus?" tanya Danielle lagi.
Cowok itu memandang sekelilingnya, untuk meyakinkan kalau
tak seorang pun mendengar percakapan mereka. "Nggak, aku dapat
nilai F," lapornya. Wajahnya tampak frustasi seolah-olah diliputi awan
yang mendung. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Danielle merasa frustasi. Rencananya tak berjalan dengan baik.
Gagal! Bagaimanapun caranya, ia harus menjauhkan pikiran cowok
itu dari matematika. Beberapa saat kemudian Danielle masih berusaha keras. Sia-sia.
Semua topik selalu kembali pada masalah rugby?atau matematika.
Dan Pete masih saja tak mengajaknya ke luar.
Akhirnya waktu hampir habis. Danielle berdiri, dan meraih
jaket denimnya. Masih ada sedikit waktu untuk membujuk cowok itu.
"Oke, budak. Ayo kita pergi," ujar Danielle.
Pete berdiri dan mengumpulkan buku-buku Danielle. "Ke mana
kita?" "Ke?" Danielle tak jadi meneruskan kata-katanya. Pelajaran
berikutnya adalah kalkulus! Dan ia tak dapat membiarkan Pete
mengantarnya ke sana. Kelas Pak Quinn dijuluki sebagai "koperasi
ayam" karena yang ada hanyalah anak-anak dengan intelegensi tinggi.
"Kenapa nggak istirahat, Pete?" Danielle menawarkan buruburu. "Biar kubawa buku-bukuku sendiri."
Pete menolak. "Nggak usah! Aku kan punya utang ke OSIS!"
"Ya deh. Tapi kau pasti capek kan."
"Nggak juga." Untuk membuktikannya cowok itu mengangkat
buku-buku Danielle ke atas dan ke bawah seperti timbangan. "Lihat
nggak?" Danielle merasa putus asa. Ia harus sudah masuk kelas beberapa
menit lagi, tetapi ia tak mau membiarkan Pete mengetahuinya.
"Pete, sebagai majikanmu hari ini, kuperintahkan kau
membiarkanku membawa buku-bukuku," ujarnya lagi. "Aku mesti
latihan." "Orang kurus macam kamu? Jangan bikin aku ketawa, deh."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Pete meraih jaketnya dari
belakang kursi dan mengenakannya sambil memindahkan buku-buku
Danielle dari satu tangan ke tangannya yang lain.
Danielle mengikuti cowok itu ke pintu keluar, sambil memutar
otaknya. Apa yang dapat dilakukannya? Ia mesti menghindar dari
cowok itu?sesegera mungkin.
Sampai di luar, sebuah ide muncul dalam kepalanya. "Oke Pete.
Kita ke Aula Greely."
"Kelas Bahasa, huh?" tanya Pete.
"Yah, sial memang," jawab Danielle, mengingat bahwa ia harus
pura-pura membenci segala sesuatu yang berbau intelektual.
Aula Greely terletak di seberang alun-alun dari tempat Danielle
sedang berjalan. Saat mereka tiba, Pete membukakan pintu.
"Ke atas?" "Di bawah saja. Aku ikut lab."
Sekali lagi Danielle berusaha mengambil alih buku-bukunya.
Tetapi Pete mempertahankannya. Sambil menghela napas Danielle
bergegas menuruni tangga.
"Makasih Pete," ujar Danielle di pintu lab. "Sampai ketemu
nanti." Tetapi Pete belum pergi juga. Ia membukakan pintu kelas. "Biar
aku saja." Di dalam ruangan, dua puluh anak mendongakkan kepala.
Semuanya mengenakan headphone. Danielle melangkah masuk dan
mengambil alih buku-bukunya.
"Trims?" "Di mana mejamu?" tanya Pete lagi, sambil menjauhkan bukubuku itu dari jangkauan Danielle.
"Di sana!" desis Danielle, menunjuk sebuah tempat tak jauh
dari pintu. "Mendingan kamu keluar aja deh."
Sambil nyengir, Pete meletakkan buku-bukunya di atas meja
dan menunggu sampai Danielle duduk dan memasang headphonenya.
Suara percakapan dalam bahasa Latin mengalir ke dalam telinganya.
Sambil tersenyum kaku Danielle menggoyang-goyangkan jarijarinya. Akhirnya Pete mundur dan melangkah ke luar.
********* Sepuluh menit kemudian, Danielle bergegas masuk ke dalam
kelas Pak Quinn dan mengambil tempat duduknya. Tak mungkin ia
datang terlambat tanpa diperhatikan anak-anak lainnya. Selain dia,
jumlah anggota kehormatan itu hanyalah enam orang.
"Maaf," gumamnya.
"Nggak apa-apa, tapi cepatlah," ujar Pak Quinn. "Nah, sampai
di mana kita tadi? Oh ya, Medali Matematika Atwood?"
Seketika itu juga Danielle menegakkan duduknya. Ia telah
memasukkan jawabannya kemarin pagi-pagi sekali, dan kini ia tak
sabar lagi untuk mengetahui hasilnya.
Danielle mencuri pandang sekilas ke arah Yukio Yamamoto
dan Freddie Archer. Yukio bertubuh pendek dengan rambut lurus
potongan pendek yang selalu menutupi matanya. Seperti biasanya,
cowok itu membenamkan diri di tempat duduknya dengan rasa puas
pada diri sendiri. Melihat penampilannya, Freddie Archer merupakan kutu buku
di kelas. Dia memakai kacamata tebal berbingkai hitam, kemeja
dengan kerah kaku, celana dari bahan polyester, kaos kaki putih dan
sepatu hitam yang tampaknya dipesan melalui katalog untuk para
masinis. Tetapi diam-diam Danielle mengagumi Freddie. Banyak
anak-anak yang menghinanya karena bacaannya adalah bacaan ilmiah
dan selalu makan sereal saat makan siang. Sesungguhnya, Freddie
adalah seorang jenius dalam matematika.
Wajarlah kalau Yukio dan Freddie ikut serta sebagai peserta
perlombaan. Tetapi apakah mereka lebih baik? Danielle berharap
tidak. Ia telah bekerja keras, memeriksa kembali soal-soalnya
sebanyak tiga kali. Yang pertama terlalu panjang?empat halaman.
Yang kedua hanya tiga halaman, namun masih dirasanya terlalu
panjang. Lalu saat ia sedang mandi, hari Kamis pagi itu, sesuatu yang
baru terlintas dalam kepalanya Untuk mengetesnya, ia menggarisgaris beberapa persamaan di kaca kamar mandinya yang berkabut
karena uap. Berhasil?dan panjangnya hanya setengah halaman!
Pertanyaannya kini, apakah Freddie dan Yukio menemukan
pemecahan yang sama? "Tidak semua jawaban peserta perlombaan lolos," lanjut Pak
Quinn. "Tapi dengan senang hati, Bapak laporkan bahwa para juri
telah mempelajari kembali beberapa yang masuk kemarin. Tiga di
antara kalian menjadi finalis: Yukio Yamamoto, Freddie Archer dan
Danielle Sharp." Yukio tak berkedip sedetik pun. Wajah Freddie berubah merah.
Danielle menyeringai senang. Benar-benar berita yang fantastis!
Tak sabar lagi ia ingin menceritakan berita itu? pada siapa?
Teresa dan Heather takkan mengerti. Mereka pasti akan meledeknya.
Ia pun tak dapat memberitahu Pete. Cowok itu pasti akan geram.
Orang-orang yang mungkin diberitahu adalah ayahnya, Lori dan
Don. Tetapi Don tak masuk hitungan; sudah tiga hari ini mereka tidak
pernah ngobrol. Lori pun rasa-rasanya tak mungkin, mereka jarang
pergi bareng. Satu-satunya yang tertinggal, hanyalah ayahnya. Beliau
pasti gembira. Tetapi bagaimanapun juga dia tidak bisa disamakan.
Pak Quinn mengambil sebatang kapur. "Nah, selamat dan
semoga sukses. Pemenangnya akan diumumkan pada saat penyerahan
piala akademi. Sekarang kita kembali ke Prakiraan Himmelstein.
Yang kita tinggalkan?"
Danielle membuka buku catatannya dan mulai bekerja. Waktu
serasa melayang saat ia sedang asyik dengan matematika. Tak lama
kemudian pelajaran hampir usai.
"Nah, jadi kalian lihat pemecahan Himmelstein benar-benar
asli," lanjut Pak Quinn sembari meletakkan kapurnya. "Hmm... waktu
hampir habis. Hari Senin kita akan melanjutkan dengan Dalil Tripp."
Danielle, Yukio dan Freddie menutup buku catatan mereka dan
meraih jaket mereka. Bel berbunyi. Kedua cowok itu bergegas keluar,
sedangkan Danielle berlambat-lambat di belakang. Ia berjalan menuju
ke depan kelas. "Pak Quinn?"
"Ya?" wajah Pak Quinn tampak gembira.
"Saya ingin tahu?apa Bapak sempat melihat soal matematika
saya yang ikut diperlombakan?"
"Karena Bapak termasuk salah satu juri, jelas saja Bapak
melihatnya." "Bagaimana menurut Bapak?"
Pak Quinn menghembuskan asap rokoknya. "Mau tahu
hasilnya, ya? Bapak rasa Bapak tak dapat menceritakannya secara
mendetil, Danielle."
"Oh." Danielle tampak kecewa.
"Ya, hasilnya tidak mengecewakan kok." Pak Quinn
menyandarkan tubuhnya ke depan. "Pembuktianmu benar-benar
hebat." Lalu beliau menepuk permukaan meja. "Yah, pembuktian
yang benar-benar hebat!"
Danielle berseri-seri. "Apa benar?"
"Ya, malah bisa dibilang klasik."
"Wauw! Terima kasih, Pak."


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembali. Kamu seharusnya merasa bangga. Selain itu,
namamu akan tercantum dalam The Reporter sore ini," tambah beliau.
Danielle merasa perutnya melilit. The Reporter adalah koran
sekolah. "Kenapa?"
"Karena kamu termasuk sebagai finalis. Bapak mengirimkan
daftarnya pagi ini."
Oh jangan! Danielle terkejut. Pete! Lalu ia bertanya. "Pak
Quinn, bisa nggak nama saya nggak usah dimuat di koran?"
"Kenapa? Apa kamu malu jadi finalis?"
"Tidak." Tak ada jalan lagi untuk menjelaskannya. "Saya cuma
takut gagal, itu saja."
"Omong kosong. Lagi pula sudah terlambat. The Reporter
sudah siap dicetak."
Dengan susah payah Danielle menelan ludah. Tak mungkin
membatalkan daftar itu dari penerbitan!
Wah gawat... benar-benar kacau. Sambil mengucapkan terima
kasih pada Pak Quinn, Danielle buru-buru berjalan kembali menuju
Aula Greely. Yang terpenting, dia harus berusaha mencegah Pete
melihat The Reporter Delapan "Asyik! Sepuluh menit lagi kita keluar dari sini!" ujar Patsy.
Pekik-pekik gembira terdengar dari mulut setiap anak yang
sedang menikmati makan siangnya. Hari ini pelajaran di SMA
Merivale High hanya setengah hari. Para guru akan mengadakan rapat
nanti sore. Setelah makan siang, mereka semua boleh pulang.
Ann berkomentar, "Untung guru-guru memilih hari Jum'at.
Rasanya kita dapat liburan tiga hari, deh."
"Aku mau ke pantai," ujar Ron Taylor, pacar Ann. Cowok itu
mampir untuk menjemput Ann. Pelajaran kuliahnya hanya sebentar.
Ron berambut hitam dan bertubuh tegap, hasil kerja paruh
waktunya sebagai intruktur Nautilus di Body Shoppe. Separuh cewekcewek di Merivale High menyukainya.
Ann memandang Ron seolah-olah cowok itu tak waras. "Yang
benar aja. Kita kan dua ratus mil jauhnya dari pantai."
"Lagi pula ini bulan November," tambah Irving Zalaznick,
pacar Patsy. Si mantan kutu buku sekolah, Irving, kini tampak trendy dan
bergaya?seperti cowok-cowok lainnya.
Itu berkat bimbingan Patsy.
"Cuma bercanda kok," ujar Ron sambil nyengir. "Kamu
gimana, Lor? Ada rencana nggak?" tanya Ann dengan ceria.
Lori tak mendengar pertanyaan itu. Ia sedang merobek-robek
tisunya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Ia benar-benar sedang
depresi. Ann mengumpulkan serpihan-serpihan itu dan menyebarkannya
di atas kepala Lori. "Spada?"
"Hei!" jerit Lori, sambil mengibaskan serpihan tadi dari
kepalanya. "Maaf, habis kamu ngelamun sih. Ada apa, sih?"
Air mata tergenang di pelupuk mata Lori, namun ia berusaha
menahannya. "Nggak ada apa-apa kok. Nick dan aku lagi bertengkar.
Itu saja." Anak-anak lainnya memandang dengan khawatir. Ann
mengerdipkan sebelah matanya pada Ron. "Pulang cepat sana, dan
bilang pada ibumu dia memerlukanmu
Ron mengangguk. "Yuk Irv. Kita pergi."
"Tapi yang dia katakan kayaknya nggak masuk akal deh," ujar
Irv bingung. "Ayo!" ajak Ron lagi seraya menarik Irv dari tempat duduknya.
"Kalian kan sudah pernah bertengkar sebelumnya," hibur Patsy
setelah cowok-cowok tadi menyingkir. "Pasti beres lagi, deh"
"Tapi kali ini aku nggak yakin," ujar Lori sembari
menelungkupkan tubuhnya ke atas meja. "Aku merasa terhina. Aku
marah pada Nick karena dia melecehkan aku. Sial! Bayangan Vicki
membeli Nick dalam acara lelang budak bikin aku gila."
"Aku bisa ngerti perasaanmu," ujar Ann sambil mengelus
lengan Lori. "Yah, cewek itu memang sial," timpal Patsy setuju.
"Aku tahu, tapi seharusnya aku mempercayai Nick. Apa yang
mesti kulakukan?" Sialnya, hampir tak ada yang dapat dilakukan Lori. Semuanya
jadi berantakan. Kalau saja ia dapat memutar waktu mundur dan
kembali ke hari sebelumnya!
Dan yang paling burtik, sekarang adalah 'Hari Budak'. Nick
pasti akan bersama-sama dengan Vicki seharian. Ibaratnya, Lori
menyerahkan Nick di atas talam perak kepada Vicky.
"Jangan kkawatir," ujar Ann, mengerti apa yang ada dalam
pikiran Lori. "Aku yakin nggak akan ada apa-apa."
"Kuharap sih begitu."
"Sudahlah, kira-kira apa sih yang terburuk?" tanya Ann.
"Yang terburuk? Nah, dia dan Vicki akan menikmati saat-saat
yang menyenangkan. Pasti dia merasa bahwa aku cuma pengganggu
dan Vicki seorang cewek yang menarik dan keren. Mungkin saja dia
akan jatuh cinta pada cewek itu lagi. Mungkin dia akan
menciumnya?" "Wah, lupakan deh," ujar Patsy. "Kamu percaya itu?"
"Nggak juga, sih," jawab Lori pilu. "Yang lebih buruk lagi,
mereka merencanakan untuk melarikan diri."
Teman-temannya tertawa. Lori jadi tersenyum.
"Oke deh, itu cuma khayalanku kok. Tapi yang lainnya boleh
jadi benar." "Jangan mikir yang kayak gitu ah. Yang wajar-wajar sajalah,"
nasihat Patsy. "Kalahkan Vicki," Ann memanaskan Lori.
Mereka benar. Betapa bodohnya dia. Tak ada alasan untuk
percaya ia telah kehilangan Nick? ataukah memang ada? Tetapi di
lain pihak, mungkin saja Nick dan Vicki sedang mengumpulkan
kenangan-kenangan masa lalu. Ayo kita mulai menyusun kembali
rencana kita yang sudah kita mulai....
Bel berbunyi. Empat ratus anak serentak berlarian menuju pintu
keluar. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya,
Lori melangkah menuju tempat parkir mobil. Perlu beberapa waktu
untuk menghidupkan Spitfirenya, namun tak lama kemudian mobil itu
menyala. Lori tinggal di lingkungan yang sederhana. Rumah keluarga
Randall adalah sebuah rumah peternakan berwarna putih di pinggir
jalan, di mana pohon-pohon baru ditanam dan kolam renang dibangun
di atas perbukitan. Ia memarkir mobilnya di luar; garasinya hanya
cukup untuk memarkir mobil wagon ayahnya dan Toyota ibunya.
Sampai di dalam Lori berjalan menuju kamarnya dan
menghempaskan dirinya ke atas tempat tidur. Suasana di rumah begitu
sepi. Ayahnya, kepala Sekolah Dasar Merivale, masih bekerja. Begitu
pula ibunya, seorang perawat. Adik-adiknya, Teddy dan Mark, belum
pulang, jadi ia hanya sendirian saja di rumah.
Lori berdiam diri. Di luar rumah sebuah mobil berlalu. Jarum
jam digital yang berada tak jauh dari tempat tidurnya bergerak terus.
Lori merasa ingin menangis, tetapi ia merasa terlalu tegang untuk
dapat menangis. Apa yang sedang terjadi di Atwood? Lori mencoba untuk tidak
memikirkan hal itu. Tetapi bayangan Nick dan Vicki terus menari-nari
di kepalanya. Saling bercanda, saling berpegangan tangan. Oh, gilagila! pikirnya. Ayo, lakukanlah sesuatu!
Lori menghela napas dan duduk. Kemudian ia mendekati
mejanya dan mulai membuat sketsa. Sudah waktunya untuk membuat
sketsa mode. Lori membiarkan tangannya bergerak-gerak membuat
pola. Tiba-tiba ia berhenti. Baju apa sih yang dibuatnya? Begitu
canggih dan sedikit lebih berani daripada sketsa-sketsanya yang lain.
Setelah mengamat-amati sejenak, ia pun tahu. Itulah model pakaian
yang biasa dipakai cewek-cewek Atwood! Berbahan lembut,
berkancing rendah, dan keren.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam pikirannya. Hari ini anakanak Atwood tidak pulang setengah hari! Ia bisa saja pergi ke sana
dan melihat situasinya. Tapi tidak, pikirnya. Ia tak boleh
melakukannya. Itu sama saja dengan memata-matai, dan menjadi
mata-mata bukanlah kepribadiannya.
Tetapi ia juga tidak betah tinggal di rumah. Bahkan ia jadi
semakin depresi. Lori berjalan menuju lemarinya dan mengaduk-aduk
pakaiannya. Dicarinya pakaian yang cocok untuknya.
Sepuluh menit kemudian ia telah siap. Ia memperhatikan
bayangan dirinya dalam kaca di kamar kecil. Sempurna. Kecuali
rambutnya. Semua orang akan mengenali rambutnya. Tak mungkin
dibiarkan begitu. Lori meraih sebuah topi besar dari laci dan melipat rambutnya
ke dalam topi. Dengan kacamata hitam, ia berharap tak seorang pun
akan mengenalinya. Kemudian Lori meraih kunci mobil serta tasnya
dan bergegas ke luar. Kali ini Spitfirenya cukup 'tokcer'.
********** "Pete, ngapain di sini? Memangnya nggak ada pelajaran?" tanya
Danielle. Pelajaran terakhir Danielle telah usai. Ia berdoa semoga Pete
masih ada satu pelajaran lagi. Tetapi cowok itu sudah berdiri di situ,
bersandar ke tembok di luar kelasnya. Kenapa sih cowok ini ulet
sekali? "Hari Jum'at aku nggak banyak pelajaran. Dan latihan masih
nanti jam tiga tiga puluh," jelasnya. "Harinya pendek. Jadi kita bisa
istirahat untuk hari Sabtu."
"Bagus." Tapi sungguh sial! "Gimana kalau kali ini aku bawa
sendiri buku-bukuku?"
"Aku keberatan, Danielle. Kelihatannya nggak pantas," bantah
Pete. Danielle melangkah turun menuju aula, tak jauh dari tangga.
"Jangan khawatir. Kerjamu bagus kok."
"Tapi...." Saat Danielle tiba di pintu keluar, seorang murid muncul dan
meletakkan setumpuk koran. Itu adalah "The Reporter'. Anak tadi
segera berbalik dan pergi.
"Hei, koran tuh!" ujar Pete seraya meraih selembar.
"Eh, bawakan dong buku-bukuku?nih!" ujar Danielle seraya
menyodokkan buku-bukunya ke perut Pete.
"Uuuf!" "Yuk, kita pergi dari sini. Aku ingin mencari udara segar,"
ujarnya dengan cepat. Danielle menarik Pete ke pintu lalu menuruni
tangga. "Jadi, gimana pertandingan besok? Kalian bakalan menang,
nggak?" "Kami akan?" "Menghancurkan mereka. Yap, aku tahu," sahut Danielle.
Syukurlah, ia berhasil mengalihkan perhatian cowok itu.
Namun di bawah tangga terletak tumpukan koran-koran. Pete
memindahkan buku-buku ke tangan satunya, sehingga tangannya yang
lain bebas untuk meraih salah satu koran!
Dengan cepat Danielle memeras otak. Pada akhirnya Pete toh
akan membaca koran itu juga, namun kini Danielle belum siap. Apa
yang ada dalam pikirannya tak begitu bagus. Namun hanya itu yang
bisa dilakukannya sekarang ini untuk membalas Don.
"Aduuuh!" jeritnya tiba-tiba. Tubuh Danielle mendadak
limbung. "Danielle, ada apa?" tanya Pete was-was.
"Oh, kayaknya kakiku terkilir waktu melangkah di anak tangga
tadi," ujar Danielle berbohong. "Aduh sakit!" Gadis itu lalu
melangkah dengan tertatih-tatih. "Nggak tahu kenapa nih. Tolonglah
aku, Pete." "Baik." Pete bergegas menghampiri Danielle dan melingkarkan salah
satu tangannya ke pinggang Danielle. Senyuman senang terukir di
bibirnya saat Danielle memegang tangannya.
"Jangan gunakan kakimu sepenuhnya," saran Pete. "Bersandar
saja ke aku." "Trims." Keduanya lalu berjalan ke luar. Saat mereka tiba di tempat yang
aman Danielle berkata, "Sudah agak lumayan, deh. Kayaknya aku
sudah bisa jalan." "Lho, kok cepat?" Pete memandang dengan terheran-heran.
"Padahal aku suka, lho."
Jantung Danielle berdebar kencang. Mungkinkah cowok itu
mulai terkena pancingannya? pikirnya ingin tahu saat ia akan
melepaskan diri dari Pete.
Itu pertanda bagus. Mungkin kali ini ia akan mengajaknya
keluar. Ia harus tetap memancing cowok itu itu, pikir Danielle. Tetapi
berapa lamakah ia dapat membuat Pete terhindar dari berita itu?
************ Di kelas, setelah pelajaran berakhir, Nick Hobart menghela
napas. 'Hari Budak' hampir berakhir. Rasa gelisah dan cemas
bercampur baur melanda dirinya.
Di sampingnya, Vicki berdiri dan meletakkan buku-bukunya di
atas meja. "Oke, budak, inilah perjalanan berakhir kita." Suaranya
terdengar penuh perintah, tetapi juga begitu menggoda. Gadis itu
melemparkan senyumnya yang mempesona.
Nick merasa perutnya melilit. Ia tahu, ia tak dapat menikmati
senyum itu, tetapi ia pun tak dapat menghindarinya. Apa yang sedang
terjadi padanya? Dia kan sudah punya cewek?Lori!
Berulang-ulang ia menyebut nama Lori dalam hati. Ia mencoba
menyingkirkan bayang-bayang godaan yang menyiksanya. Namun
percuma. Saat Vicki mendekat, Nick mencium bau yang tak asing
lagi. Samponyakah? Atau parfumnya? Apa pun juga, bau itu
mengingatkannya pada suatu malam di musim panas, dan sehelai
taplak yang dihamparkan di pinggiran Danau Barstow. Nick menutup
matanya dan membiarkan kenangan-kenangan itu menari-nari dalam
kepalanya.... "Nick, kamu nggak apa-apa?" tanya Vicki.
Nick membuka mata. "Ya? Ke mana kita? Ke tempat parkir?"
"Nggak, aku mau minum air mineral di kantin. Di sini ada air
mineral nggak, ya? Di Roma orang-orang minumnya air mineral, lho.
Aku suka deh." "Mari kita lihat di sana."
Nick berdiri, meluruskan badannya dan mengumpulkan bukubuku mereka. Ia merasa dirinya bagaikan 'zombie'?tak punya tenaga
sama sekali. Apa pun yang diinginkan Vicki, ia tak mampu
menolaknya. Sembilan Jantung Lori berdebar kencang saat ia membelokkan mobilnya
memasuki gerbang utama Akademi Atwood. Ia sudah pernah datang
ke sekolah Nick sebelumnya, tetapi belum pernah ia merasa begitu
takjub saat memasuki gerbang yang besar itu. Tanaman merambat
yang merambati kelas-kelas tampak bagai bayangan yang
menakutkan. Apa yang harus dilakukannya?
Ia harus berani! Lori menginjak rem mobilnya sambil mencari
tempat parkir. Ia melihat tempat parkir kosong agak di kejauhan.
Bagus, nggak ada salahnya melihat-lihat sebentar, pikirnya. Dan
tempat parkir itu cukup bagus untuk menyembunyikan Spitfirenya. Di
tempat lain mobilnya akan kelihatan mencolok.
Lori memutar mobilnya dan memarkirnya di belakang sebuah


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

van. Ia keluar, mengunci mobilnya lalu memeriksa sekali lagi
penampilannya di kaca mobil spionnya. Bagus?ia tahu ia tampak
keren dengan pakaian yang dikenakannya. Lori memakai kaca mata
hitamnya lalu mulai melangkahkan kakinya.
Sejenak ia merasa bingung, ke tempat mana ia akan pergi lebih
dahulu. Tampaknya pelajaran hari itu telah usai. Lori menjenguk
sebentar, lalu pergi lagi. Sekolah tampak riuh oleh ramainya pelajar.
Ia mendengar sekelompok murid sedang membandingkan sesuatu, dan
kelompok lain sedang berdebat tentang tempat liburan yang paling
asyik untuk main ski?Vail atau Switzerland. Suasananya benar-benar
berbeda dengan Merivale High.
Apa yang membuatnya bisa dekat dengan Nick? pikirnya. Nick
datang dari dunia yang sungguh berbeda. Bagaimana ia bisa mencari
Nick? Latihan football hari Jum'at baru akan dimulai pukul setengah
empat sore. Nick bisa saja ada di mana-mana. Lori memutuskan untuk
mencarinya di kantin. Lori menyeberangi taman berdinding batu bata lebar menuju
pintu depan sebuah bangunan besar. Lori mendorong pintu dan
memandang ke sekelilingnya. Di sebelah kirinya terdapat sebuah pintu
masuk menuju ke teater, sedang di sebelah kanannya terdapat sebuah
aula menuju ke ruang santai. Di depannya terdapat kantin. Lori
melangkahkan kakinya menuju ke kantin?dan langsung melihat
kedua orang itu. Mereka berdiri di depan papan menu sambil
memperhatikannya. Nick membawa setumpuk buku-buku dengan
kedua tangannya. Vicki berdiri rapat dan melingkarkan tangannya
pada lengan Nick. Lori merasa ingin mati saat itu. Ia ingin menjerit, menangis.
Memang nasibnya sial seperti dugaannya. Perutnya serasa terguncangguncang dan perih. Ia melihat Nick menoleh dan mengatakan sesuatu
pada Vicki. Lori tak dapat mendengarnya. Vicki tampak berseri-seri.
Jelas, ia merasa bahwa 'Hari Budak' benar-benar menyenangkan.
Vicki merapatkan badannya pada Nick.
Lori memutar tubuhnya dan beranjak pergi. Ia tak mampu
menyaksikan hal itu lagi. Tetapi kemudian sesuatu membuatnya
tertegun. Danielle, sepupunya, tampak berjalan menuju kantin! Ia
berjalan bersama seorang cowok tinggi, berbahu lebar dan berambut
pirang dengan potongan pendek. Pete O'Shay. Pemain tim Cougar.
Apakah mereka akan memergokinya?
Lori tak takut berlalu-lalang di antara orang-orang lainnya.
Tetapi karena Danielle adalah sepupunya, ia tak mau mengambil
risiko. Buru-buru ia duduk di sebuah bangku. Kedua tangannya
gemetaran. Ia akan keluar dari situ begitu rintangan itu telah lewat....
********** "Kamu yakin nggak apa-apa kalau kita makan hamburger dulu
sebelum latihan?" tanya Danielle.
Pete membukakan pintu menuju ke kantin. "Jelas dong, aku kan
mesti mengumpulkan tenaga."
"Oh, gitu. Hei, gimana kalau kita beli saja di mall? Di sana kan
lebih enak?" saran Danielle.
Pete tampaknya tidak tertarik. "Waktunya nggak cukup."
Sialan! maki Danielle dalam hati.
Danielle merasa gugup berada di lingkungan sekolahnya. The
Reporter telah beredar. Ada ribuan lembar tertumpuk di mana-mana.
Mungkin saja ia masih dapat membujuk Pete dengan mengajaknya
makan. Tetapi berapa banyak burger dapat menenangkan seorang
cowok sebesar Pete? Mungkin berlusin-lusin.
Saat Danielle melewati pintu, ia mencari tumpukan koran itu.
Untunglah tak ada. Danielle merasa aman?tetapi hanya untuk sesaat.
Ia merasa belum tenang, sampai Pete berada di lapangan lagi dan
berlatih dengan teman-temannya.
Suasana di kantin tidak begitu penuh. Di depan mereka tampak
Vicki Keller dan Nick Hobart. Keduanya tampak ceria, menurut
penglihatan Danielle. Vicki meminta air mineral, meskipun tak ada
dalam daftar menu. "Kok nggak ada, sih," protesnya pada wanita berseragam putih
di belakang meja kasir. "Di Eropa sih, air putih bisa didapat di manamana."
"Ya, pergi saja ke Eropa," bentak wanita itu. "Kau bisa kirimi
kami kartu pos." "Hai Nick," sapa Pete saat mereka berada di belakang pasangan
itu. "Hai Pete," balas Nick. "Ingat lho, latihannya setengah jam
lagi." "Aku pasti datang."
Nick mengangkat bahunya. "Kalian mau bergabung semeja?"
"Boleh," ujar Danielle. Pokoknya, yang penting Pete sibuk.
Setelah keluar dari antrian, Danielle berjalan ke meja bundar
lebar tak jauh dari pintu. Itulah tempat favorit anak-anak. Tak seorang
pun dapat datang dan pergi tanpa terlihat dari tempat itu.
Tak lama kemudian anak-anak lain pun bergabung, termasuk
Teresa dan Ben Frye. Teresa tampaknya tak senang. Dari raut muka
sahabatnya yang murung, Danielle menduga bahwa 'Hari Budak' tidak
berjalan lancar bagi Teresa dan Ben.
Makin lama makin banyak anak yang datang ke kantin. Tak
seorang pun bertanya, Danielle mengamati. Tetapi semua anak
tampaknya penasaran ingin tahu apa yang akan terjadi dengan Nick
dan Vicki. Sayangnya, tak banyak yang dapat dilihat. Vicki terus saja
tersenyum pada Nick, tetapi Nick tampaknya lebih sibuk
membicarakan masalah football dengan teman-teman setimnya.
Tiba-tiba Danielle terpana. Rob Matthew tampak berjalan ke
arah meja mereka?sambil membawa koran The Reporter!
"Hai semua," sapa Rob, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di
samping Danielle. "Kalian lagi asyik ya sama pertandingan?"
Rob baru saja pindah ke Atwood dari sekolahnya di California.
Cowok itu berambut pirang, matanya biru dan bicaranya berlogat
Pantai Laguna kental. "Kalau ngomong yang jelas dong," tegur Nick.
"Maksudku, kalian senang?"
"Nah, gitu dong," ujar Nick. Anggota tim lainnya meringis.
"Bol jug lah ya," tambah Rob lagi.
Pembicaraan itu masih berlanjut, tetapi Danielle tak
mendengarkan. Matanya tertuju pada The Reporter yang diletakkan
Rob di meja di depan Pete.
Akhirnya Rob mengambil koran itu dan membukanya. Danielle
merasa jantungnya seakan-akan berhenti berdetak.
"Hei, lihat nih!" pekik Rob tiba-tiba.
Dengan kasar Danielle merebut koran itu.
"Hei!" "Maaf, aku lihat sebentar. Kayaknya?kayaknya ada permen
karet menempel pada sepatuku," ujarnya. Danielle merobek koran itu
dan berpura-pura membersihkan sepatunya.
"Tapi kau kan nggak perlu merobek semuanya!" ujar Rob
kecewa. Danielle merasa lega, tetapi hanya untuk sesaat. Ketika Danielle
membungkuk, ia melihat seorang cewek masuk dan meletakkan
setumpuk koran baru di atas meja, tak jauh dari mereka. Jantungnya
berdebar kembali. Rob berdiri untuk mengambil sehelai koran. Bagus, pikir
Danielle. Rencananya untuk membuat Don cemburu tamat sudah.
Kecuali.... Sambil menegakkan tubuhnya, Danielle memandang ke
sekelilingnya mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Kalau
saja ada yang dapat menarik perhatian mereka semua, maka
rencananya akan dapat berhasil.
Tetapi apa? Tak ada yang tepat. Hanya ada beberapa anak yang
berlalu-lalang di dekat meja mereka. Mereka semua tampaknya asyik
mengobrol, kecuali seorang gadis yang sedang duduk sendirian di
seberang ruangan. Sebuah topi lebar menutupi kepalanya dan ia
mengenakan sebuah kacamata hitam.
Lucu juga?kok ada yang memakai kacamata hitam di dalam
ruangan?" Selain itu, sekilas pandang, wajah itu rasanya tak asing lagi
baginya. Wajah cantik dengan rahang yang halus dan kulit yang mulus
tanpa noda. Tapi?ah, nggak mungkin rasanya.
Ataukah memang dia? Ragu-ragu, Danielle berdiri dan
berteriak, "Lori Randall, itu kamu kan? Ngapain kamu di sini?"
Lori tahu bahwa hidupnya tamat sudah. Habislah riwayatnya?
dan ia akan jadi bahan tertawaan di Merivale. Lori membenamkan
tubuhnya dalam kursi, tetapi sia-sia.
"Itu kamu, kan?" kicau Danielle lagi. "Aduh, senang deh
ketemu kamu." Suara bisik-bisik terdengar di kantin itu. Persis seperti
dengungan lalat yang mengerubungi bangkai binatang.
Danielle berjalan melintasi ruangan dan berdiri di depan kursi
Lori. "Kenapa sembunyi di sini? Kok nggak bergabung dengan
kami?" "Danielle, jangan?" Lori memohon. "Pergi sana!"
"Tapi Lor, apa kau nggak ingin ngobrol dengan?" Tiba-tiba
mata Danielle menatap ke topi?kemudian ke kacamata hitam... lalu
ke pakaian Lori. "Oh Lor, kamu lagi memata-matai ya?"
"Aku mau ke luar," ujar Lori. Gadis itu lalu berdiri dan menuju
ke pintu. Tetapi Nick telah berada di situ. Cowok itu berdiri menghadang
di pintu keluar. "Ada apa, Lor?" desaknya.
"Tolong deh," pinta Lori. "Biarkan aku pulang."
"Nggak, sebelum kita ngomong." Nick menoleh ke arah temantemannya. Mata mereka melebar? terutama Vicki.
"Di luar saja."
Sambil menggandeng lengan Lori, Nick membimbing Lori ke
luar dari kantin menuju pintu depan. Sampai di luar, Nick menoleh.
Tampaknya ia marah, Lori tahu itu. Mata Nick berapi-api.
"Aku tak percaya ini! Bisa-bisanya kau memata-matai aku!"
Lori tak mengatakan sepatah kata pun. Wajahnya merona
merah. "Nah. Apa alasanmu kali ini?"
"Apa yang kamu ingin kukatakan? 'Aku melakukan hal yang
bodoh.' 'Aku merasa nggak enak.' 'Aku takkan melakukannya lagi
Itukah yang ingin kau dengar?"
Nick berjalan mondar-mandir. "Kamu tahu apa yang paling aku
nggak suka? Kamu nggak mempercayaiku."
Lori menundukkan kepalanya. Ia benar-benar merasa hancur.
"Nick, kau keliru. Aku percaya padamu. Hanya saja?Vicki mengejarngejar kamu terus. Dia ingin kamu kembali padanya."
"Oke, kalau dia memang mau? Kaupikir aku nggak bisa
mengatasi dia sendiri?"
"A...," Lori tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ingin
rasanya ia menjawab bahwa ia yakin. Tetapi bagaimana dengan
kejadian tadi yang dilihatnya di kantin?
"Asal tahu saja, Vicki dan aku cuma berteman," tegas Nick.
Amarah Lori meledak. "Oh ya? Karena itukah dia menempel
terus sama kamu?" Nick terperanjat. "Kamu tahu karena kamu memata-matai."
"Ya, aku melihatnya. Dan aku marah!"
"Kamu! Kamu memang suka memata-matai! Kamulah yang
bikin semuanya jadi kacau!"
Air mata menggenang di kedua pelupuk mata Lori. Nick benar.
Apa pun masalahnya, tak pantas ia memata-matai Nick. Percaya,
itulah kesepakatan mereka. Dan ia telah melanggarnya.
Anak-anak yang berlalu-lalang, memandang keduanya. Lori
menghapus air matanya dan bertanya, "Gimana kalau kita ngomong di
tempat lain saja?" Wajah Nick mengeras. "Aku sudah mengatakan apa yang harus
kukatakan. Kalau kamu mau, kita bicara kapan-kapan saja."
Lori tak dapat menahan air matanya lagi. "Bagaimana kalau
nanti malam?" "Nggak bisa, aku sibuk."
"A-apa maksudmu? Kita kan biasanya selalu pergi setiap hari
Jum'at?pulang kerja, ingat nggak?"
Nick menundukkan kepalanya. "Aku ada rencana lain. Aku
akan pergi ke pesta dengan Vicki."
Lori terpaku mendengar kalimat yang diucapkan Nick. Ia
merasa seolah-olah sebongkah batu besar menimpa kepalanya.
Mulutnya ternganga karena terperanjat.
"A?aku tak percaya! Kamu menganggap aku salah. Tapi
ternyata aku benar!"
"Apa maksudmu?" tanya Nick marah.
"Kubilang aku benar, aku memang nggak bisa percaya
padamu!" bentak Lori. "Kau diam-diam bikin janji dengan dia di
belakangku!" "Itu nggak benar!" balas Nick. "Itu bukan ideku. Vicki
memintaku untuk pergi, dan kukatakan aku mau sebab?" Nick
terdiam mencari kata-kata yang tepat. "Karena dia menyumbang
banyak untuk OSIS, dan kupikir aku berhutang padanya."
"Itu kan cuma alasan yang dicari-cari!" jerit Lori.
"Jadi, kau mau aku bilang apa?"
"Katakan yang jujur! Kamu mau pergi karena kamu memang
ingin pergi dengan dia."
"Memangnya kenapa? Itu kan nggak salah. Lagi pula Vicki baik
dan tidak memperlakukan aku seperti penjahat. Dia juga nggak
memata-matai aku!" Nah, itu dia. Lori tak tahan lagi. Ia mengangkat tangannya
untuk menampar Nick, tetapi ia menahan diri. Dia bukan gadis yang
kasar. Lori berbalik dan berlari menuju ke mobilnya. Pandangannya
tertutup oleh air mata, tetapi ia masih sempat melihat Vicki berdiri di
pintu kantin dengan senyum kemenangan menghias bibirnya.
Sepuluh Huuuh! Lori mengangkat bantal yang menutupi wajahnya, dan
membantingnya dengan sekuat tenaga.
Huuuh! Tempat tidurnya bergetar. Diangkatnya lagi bantal itu.
Huuuh! Akhirnya ia meletakkan kembali bantal itu di tempatnya. Ia
merasa agak lebih baik. Melampiaskan kekesalannya pada bantal
memang tak tepat, namun setidak-tidaknya ia merasa lebih lega.
Lori membalikkan badannya dan menghela napas. Anjinganjingannya, Oscar, yang biasanya tergeletak di ujung tempat
tidurnya, kini berada di lantai.
Waktu meraih mainannya itu, air mata membasahi mata Lori.
"Maaf ya Oscar," isaknya. "Kalau aku sampai kehilangan Nick,
hidupku hancur! Apa yang bisa kulakukan?"
Lori menangis terisak-isak. Ia merasa terabaikan. Lalu tak lama
kemudian, rasa gusar melanda dirinya. Lori mengertakkan giginya,
dan berkata pada Oscar, "Ooooh, aku kesal...kesal sekali! Apa sih
bagusnya ratu es itu? Apa!"
Lori merasa kesal pada dirinya sendiri, sama seperti amarahnya
pada cowoknya. Atau orang yang dianggapnya sebagai cowoknya.
Bagaimana sih hubungan mereka? Ia tak tahu. Nick mengatakan
bahwa dia dan Vicki hanya berteman saja, tetapi sikapnya sama sekali
tidak seperti itu. Sebaliknya, Lori sendiri merasa terpukul. Mematamatai adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Hanya anak-anak kecillah yang melakukan hal seperti itu. Benarbenar memalukan.


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lori mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menghampiri meja
gambarnya dan duduk di situ. Sesaat kemudian ia berdiri lagi. Ia tak
dapat membuat rancangan. Perasaannya sedang tak menentu. Ia
berjalan ke tempat tidurnya lagi, merebahkan badannya, dan menatap
mata Oscar yang terbuat dari kancing hitam.
"Oscar, bagaimana mungkin aku keluar lagi?" keluhnya. "Aku
pasti akan ditertawakan di seluruh Merivale."
Oscar tak menjawab. Ia tahu bahwa semua kisah memiliki dua
sisi. "Kau benar. Nick memang brengsek," jawab Lori panas. "Apa
aku harus mencekiknya? Atau menaruh baby oil dalam samponya?
Biar dia sadar." Oscar bergeming. Rupanya ia memilih cara damai saja.
"Oke kau benar. Tak ada gunanya membalas dendam," ujar
Lori. "Aku tahu, seharusnya aku ngomong sama dia. Tetapi mana
mungkin, Oscar? Dia kan lagi pesta sama cewek vampir dari Roma
itu...." Oscar menunggu. "Aku tulis surat saja ke dia," ujar Lori pada akhirnya. "Bukan
ide yang bagus sih. Tapi kalau kuletakkan surat di dalam kotak
suratnya, paling tidak dia tahu kalau aku ingin ketemu. Gimana?"
Menurut Oscar itu ide yang bagus.
"Oke deh." Lori berdiri lalu duduk kembali di mejanya dan mulai menulis.
Nick sayang, Rasanya kita perlu bicara. Maafkan kelakuanku yang buruk hari
ini, aku cuma ingin tahu apa yang terjadi. Mungkin aku lagi terserang
paranoid, tapi bisa nggak kita bicarakan hal ini?
Telepon ya? O ya, Oscar kirim salam.
Yang mencintaimu, Lori Lori melipat surat itu, memasukkannya ke dalam sebuah
amplop dan mengelemnya. Dituliskannya nama Nick pada bagian luar
amplop, lalu memasukkan surat itu ke dalam jaketnya. Setelah
berpamitan pada orangtuanya, ia keluar menghampiri mobilnya.
Sinar bulan purnama menerangi langit. Pohon-pohon
membentuk bayangan pucat di padang rumput dekat rumahnya.
Spitfirenya tampak berwarna ungu di bawah cahaya lampu. Lori
segera masuk ke dalam mobil itu dan menyalakan mesinnya. Tak lama
kemudian mobilnya meluncur melintasi jalan menuju Rute 73.
Rumah Nick agak jauh letaknya. Daerahnya tidak semewah
Wood Hollow Hills, di mana sepupunya tinggal, tetapi tetap saja
berkesan lebih mewah dari daerahnya. Lalu lintas lancar sehingga
dalam waktu kurang dari sepuluh menit, Lori telah berada di jalan
raya. Diopernya gigi, dan mobilnya melesat menuruni jalan ke rumah
Nick yang berkelok-kelok.
Ketika jalanan mulai menanjak mesin mobilnya mulai tersendat.
Ia melihat ukuran bensin. Penuh. Bukan itu masalahnya. Ia
memundurkan mobilnya dan menuruni kembali puncak bukit. Mesin
mobilnya mulai menderum dengan baik. Tak lama kemudian
mobilnya melaju kembali. Bagus, pikirnya. Mobil ini sudah harus di tune-up lagi minggu
depan. Sambil mengerem, Lori mengurangi kecepatan mobilnya. Ia
tahu hal itu akan menolongnya sejenak. Dengan kecepatan pelan, ia
bisa memperhatikan daerah di sekitarnya. Setelah melalui sebuah
kelokan, ia melihat mobil Nick sedang terparkir.
Tak salah lagi. Ia sangat mengenal mobil Chevy itu mulai dari
lampu depannya hingga penyok yang ada di bempernya. Juga plat
nomornya yang diberikan oleh ayah cowok itu: BELI VCRS. Pasti itu
mobil Nick. Tetapi itu kan bukan rumah Nick. Bukan juga rumah di mana
sedang ada pesta. Tak ada mobil lain diparkir di dalamnya. Juga tak
ada mobil-mobil terparkir di pinggir jalan. Saat Lori melintasi depan
rumah itu dengan perlahan, dilihatnya sebuah nama terpampang di
kotak pos. Keller. Itu rumah Vicki.
Detak jantung Lori bertambah kencang. Perutnya terasa kosong.
Ia memajukan kendaraannya beberapa meter lagi, kemudian
mematikan lampu mobil. Ia memutar mobilnya. Tak sulit menyupir
tanpa lampu, karena bulan purnama sedang bersinar terang.
Tak ada mobil lain yang berpapasan. Karena itulah Lori bisa
memarkir mobilnya dengan mudah untuk memperhatikan rumah itu.
Kalaupun ada, ia akan menyalakan lampu mobilnya dan pulang ke
rumah. Kini ia bisa menyusuri jalanan dan berhenti di tempat di mana
ia dapat memandang ke dalam rumah itu dengan jelas.
Kira-kira tiga puluh yard dari jalanan?cukup jauh, tetapi masih
cukup jelas untuk melihat ke tangga rumah?dan ke Vicki dan Nick!
Mereka berdiri berdua, dan saling berpelukan.
Tenggorokan Lori serasa tercekat. Nick sedang mencium Vicki
dengan mesra! Sebelas "Maju terus! Maju terus! Ya...terus!"
Teriakan para cheerleader membuat emosi para penonton
semakin meluap-luap. Tim Cougars telah ketinggalan 7-12 dalam jeda
ke empat. Tetapi diperlukan touchdown dulu untuk dapat
memenangkan permainan itu, dan pertama-tama Atwood harus dapat
merebut bola kembali. "Ayo, Pete!" teriak Danielle dari tempatnya. Sebenarnya
Danielle tidak begitu mengerti permainan itu, tetapi gadis itu turut
berteriak-teriak dengan harapan Pete mendengarnya.
Di sampingnya, Heather menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Danielle, Pete kan belum masuk lapangan."
"Apa katamu? Dia termasuk tim kita, kan?" tanyanya.
"Ya, tapi sekarang ini dia belum main. Dia kan pemain
penyerang." "Jadi, siapa yang main sekarang?"
"Tim penahan." "Aku nggak ngerti, deh."
Danielle mengipasi tubuhnya dengan kertas daftar acara.
Meskipun saat itu masih musim gugur, namun cuaca tak begitu dingin.
Udara hangat meliputi Merivale.
"Nah, sekarang sudah fourth down," ujar Teresa dengan
gembira. Danielle bertanya,"Jadi kita dapat bolanya?"
"Hanya kalau mereka nggak membuat first down," jelas Rob
Matthew, yang duduk dekat Heather?dan membuat Heather gembira.
"Tapi mereka sudah dapat first down tadi, kan?"
"Danielle, tenang deh, lihat saja nanti," gerutu Teresa.
Danielle menurut. Di lapangan, pemain lawan meraih bola.
Penyerang tengahnya menyelinap mundur?nyaris mendekati garis
gawang timnya sendiri. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, salah
seorang pemain Atwood dengan cepat menyerang ke arah penyerang
tengah dengan kostumnya yang bergaris-garis putih dan biru?dan
merebut bola! Para penonton bersorak.
Atwood mengambil alih bola dan perlahan-lahan bergerak
mendekati garis gawang. Kali ini tak sulit bagi Danielle untuk
menangkap sosok tubuh Pete. Ia bagaikan tank Sherman di tengahtengah barisan Cougars. Pete menggenakan nomor 00. Danielle
bersorak terus untuk Pete, tak peduli apakah Atwood sedang di atas
angin atau tidak. Akhirnya fourth down ke empat dan gol hampir terjadi. Pete
meraih bola dan Nick melangkah ke belakangnya. Tiba-tiba para
pemain mulai bergerak, dan Nick menendang bola ke udara. Bola itu
melambung, langsung ke tangan Ben Frye, yang lalu melompat dan
berseru gembira. Touchdown! Para penonton bersorak riuh. Terompet-teromper dibunyikan.
Kertas-kertas kecil berwarna-warni dihambur-hamburkan ke udara.
Sementara para pemain band membunyikan musik kemenangan. Tak
lama peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan.
Danielle bersorak-sorak gembira. Ia merasa senang. Ia memang
tak mengerti peraturan permainan itu, tetapi meskipun demikian ia tak
dapat menyembunyikan rasa gembiranya karena menang.
"Turun yuk," ajak Danielle.
Teresa dan Heather saling bertukar pandang. "Nggak sabar lagi
ya, mau kasih selamat ke Pete?" goda Heather.
"Memangnya kenapa?"
"Danielle, nyerah saja deh," saran Teresa. "Barangkali saja Don
James malah sudah lupa sama 'cowok barumu' itu."
"Jangan sok tahu deh," bantah Danielle. "Kalian kan nggak
kenal Don." "Memang nggak, tapi aku kenal Pete, dan ia takkan pernah
mengajakmu kencan," balas Teresa. "Sadar dong, Dan. Dia
kelihatannya nggak tertarik, deh."
Danielle tak mempedulikan kata-kata temannya itu. Pete pasti
akan mengajaknya pergi; ia merasa yakin. Lagi pula, ia telah
menghabiskan banyak waktu dan tenaga demi rencananya itu, tak
mungkin ia mundur lagi. Waktu ketiganya berjalan menuruni bangku-bangku menuju ke
lapangan, Teresa melontarkan pertanyaan, "Dan, kenapa bukan kau
saja yang memintanya? Pasti dia mau, deh!"
"Nggak bakal!" tegas Danielle, sambil menatap Teresa dengan
pandangan tak percaya. "Don pasti tahu bahwa itu hanya dibuat-buat.
Yakin deh, semuanya bisa kuatur, kalau nggak, matilah aku."
Di pinggir lapangan, para pemain saling menepuk punggung
teman-temannya dan juga saling peluk. Semuanya, kecuali Pete.
Cowok itu duduk sendirian saja di sebuah bangku panjang.
Danielle melangkah mendekatinya, dan menepuk punggung
cowok itu. "Selamat, Pete."
Perlahan-lahan Pete memutar kepalanya lalu samar-samar
mengangguk. "Makasih."
Apakah kepalanya retak gara-gara pertandingan? "Pete, kok
kamu murung sih?" tanya Danielle. "Ada apa?"
"Aljabar," erang Pete.
Jangan lagi deh! "Tapi ini kan hari Sabtu! Nggak ada
pelajaran." "Aku ada test hari Senin, dan kalau aku nggak lulus matilah
aku." "Berarti kau tak mungkin bersenang-senang sekarang?"
Jelas dong. Danielle mengertakkan giginya. Nasibnya bersama
Pete selalu lebih buruk dibandingkan dengan seorang juara yang kalah
telak. "Nggak, aku harus belajar. Akhir minggu ini aku mesti ada di
rumah dan belajar." Ia memandang ke lapangan dengan pandangan
yang lesu. "Jelas aku akan lebih sedih lagi kalau nggak boleh ikut
main minggu depan?" Hampir saja Danielle jatuh kasihan pada cowok itu. Hampir.
Namun ia lebih mengasihani dirinya sendiri. Ia merasa yakin bahwa
cowok itu akan mengajaknya kencan, dengan semangat kemenangan
dan kegembiraan. Tetapi tetap saja tak berhasil. Oh! Mungkin Teresa
benar. Mungkin juga rencananya cuma omong kosong belaka.
Danielle duduk di samping Pete. Ia berpikir, apakah sebaiknya
rencananya itu diteruskan, atau menyerah sampai di situ saja.
********** Tak jauh dari situ, Nick mengangkat sebelah tangannya ke atas.
Ben Frye melompat dan menepuknya. "Joss!" teriak keduanya
serentak. "Permainan yang hebat, Hobart," tegur seorang cewek dengan
suara merdu dan lembut. Vicki. Nick memutar tubuhnya, tetapi tiba-tiba tangan Vicki
telah terjulur dan memeluknya. Saat itu juga, seorang juru foto
mendekat dan memotret mereka. Nick meringis. Perlahan-lahan ia
melepaskan diri dari pelukan cewek itu.
"Hai," ujarnya.
"Hai," balas Vicki, dengan wajah memerah. "Kamu hebat deh
tadi. Tapi terus terang, aku nggak menyimak seluruh pertandingannya.
Aku teringat peristiwa tadi malam."
Dengan perasaan tak enak, Nick menundukkan kepalanya. "Uh,
Vicki, tentang itu?"
"Ssst!" Vicki meletakkan jari tangannya di bibir Nick. "Kau tak
perlu berkata apa-apa. Aku tahu perasaanmu."
Benarkah? Nick ragu. Ia merasa bersalah?lebih bersalah
daripada yang pernah dirasakan selama hidupnya. Mencium Vicki
adalah perbuatan yang salah. Saat teringat akan Lori, ia merasa malu.
Memang ia marah pada Lori, namun itu bukanlah alasan. Kalau kau
punya pacar, itu artinya kau harus setia padanya.
Apa yang sedang terjadi padanya? Ia tak dapat menjelaskannya.
Kalau ia berada dekat Vicki, ia merasa seolah-olah ada suatu kekuatan
yang menariknya. Seperti arus bawah lautan.
"Kau mau merayakannya?" tanya Vicki dengan manis. "Ada
pesta lagi malam ini. Dan pasti asyik banget, deh."
Nick menyeka keningnya. "Uh, nggak deh, makasih. Aku sudah
ada rencana." Rasa kecewa tampak sekilas di wajah Vicki, tetapi tak
berlangsung lama. Dalam sekejap wajah cewek itu telah
menyunggingkan senyuman manis. "Oh, tentu saja Nick. Nggak
masalah kok," ujarnya. "Besok kutelepon."
Nick berharap Vicki takkan menelponnya, meskipun ia
merasakan tarikan kuat yang tak asing lagi, saat gadis itu melenggang
pergi. Vicki begitu cantik, tak diragukan lagi: Seperti Nick juga,
cowok-cowok lain anggota tim mereka menatapnya dengan kagum
saat gadis itu lewat. Biarkan saja mereka melihatnya. Nick harus dapat
menerimanya. Dan ia bertekad untuk mempertahankan pendapatnya.
Kali ini ia akan membuktikannya.
********** Suasana di Tio's sedang ramai, dan Lori merasa senang.
Menyiapkan pesanan makanan dengan cepat membuatnya lupa akan
peristiwa yang dilihatnya tadi malam. Memang itu kesalahannya juga.
Memata-matai Nick adalah perbuatan terbodoh yang pernah
dilakukannya sepanjang hidupnya. Ia tak menyalahkan Nick yang
telah mencium Vicki. Bagaimanapun juga, rasanya sakit. Sayang, Nick sebenarnya
pantas mendapatkan yang lebih baik daripada Vicki. Nick begitu
manis dan baik hati; sedangkan Vicki dingin dan tak berperasaan. Saat
Lori membayangkan keduanya, ia menjadi gusar. Apa yang dapat
dilakukannya? Nick bukan miliknya? tidak, setelah ia membuat
kesalahan besar terhadap Nick.
Suasana mulai sepi. Lori menatap jam tangannya, jam tujuh dua
puluh. Sebentar lagi jam kerjanya usai. Lori bersiap-siap untuk
berkemas. "Ada rencana nggak, setelah kerja?" suara seorang lelaki
menegurnya. Lori memutar badannya. "Nick!"
"Hai," balas Nick. Ia berdiri dengan kaku di ujung meja kasir,
tangannya dimasukkan dalam kantung jaket kampusnya. Cowok itu
bagaikan impian yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Jantung Lori
berdebar-debar saat ia melihat cowok itu.
"M-maaf, aku nggak sempat nonton pertandinganmu. Gimana
hasilnya?" "Kami menang," jawab Nick cepat, "tapi kau tak kehilangan
sesuatu yang khusus."


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh." Tiba-tiba Lori merasa lidahnya kaku. Apa yang dapat kau
katakan dalam situasi seperti ini? Lalu sesuatu yang buruk melintas
dalam benaknya: Bagaimana kalau Nick mengatakan bahwa hubungan
mereka sudah putus? "Jadi, gimana?" tanya Nick dengan kaku. "Kamu bisa pergi
nggak, pulang kerja?"
Lori tergagap-gagap, "B-begini?kalau kau ingin memutuskan
hubungan kita, katakan saja sekarang. Aku lebih suka mendengarnya
langsung dan cepat." Nah berakhir sudah, pikir Lori.
"Memutuskan hubungan kita? Kamu gila ya?" Nick tersenyum,
dan dalam sekejap Nick yang lama telah kembali lagi. "Sekarang kan
malam minggu, dan?yah, cowok kan biasanya ngajak ceweknya
keluar. Gimana kalau kita makan malam?"
Secercah harapan timbul dalam hati Lori, tetapi segera lenyap
begitu ia teringat akan ciuman Nick pada Vicki. "Makan malam?
boleh. Tunggu ya, kira-kira dua puluh menit."
Sembilan belas menit kemudian Lori telah rapi dan siap untuk
pergi. Ia mengenakan sepatu kets, celana jeans, kaos dan jaket satin
baseball berwarna pink. Santai sajalah. Toh Nick juga mengenakan
jeans. Mungkin ia akan mengajaknya makan di O'Burgers.
"Aku siap." Nick memainkan kunci mobilnya. "Bagus, yuk kita pergi."
"Kita nggak makan di mall?" tanya Lori dengan heran.
"Nggak. Sebaiknya kita ke tempat lain yang lebih mahal."
Keduanya pergi dengan mobil Nick, menuju utara ke arah pusat
kota. Lori duduk dengan gelisah, sambil mempermainkan kancing
jaketnya. Beberapa menit berlalu dalam suasana kaku.
"Uh?gimana pekerjaanmu?"
"Bagus. Gimana pertandingannya?"
"Kita menang." "Oh. Tadi kau sudah bilang."
Sunyi kembali. Apa yang terjadi denganku? pikir Lori.
Sebelumnya ia selalu menemukan topik untuk dibicarakan!
Akhirnya mereka tiba juga di daerah yang dipenuhi dengan
deretan pertokoan dan restoran. Nick membelokkan mobilnya menuju
ke sebuah tempat yang disebut Villa Capri.
"Nick, ini kan restoran Itali," sembur Lori panik.
"Ya, memangnya kau nggak suka makanan Itali?"
Dulu sih suka, pikir Lori. Sebelum mantan pacarmu kembali
dari Roma! Saat keduanya masuk ke dalam, Lori berusaha menenangkan
perasaannya. Mulutnya gatal untuk menanyakan tentang ciuman Nick
yang dilihatnya tadi malam, tetapi ia tak mampu. Kalau ia
menanyakannya, Nick pasti akan menuduhnya telah mematamatainya lagi. Lalu mereka akan ribut, dan hal itu justru akan
membuat Nick semakin menjauh? mungkin saja langsung menuju ke
pelukan Vicki. "Ada tempat untuk dua orang?" ujar Nick pada pelayan.
Keduanya lalu duduk, dan beberapa menit kemudian Nick
memesan makanan bagi mereka berdua.
Pelayan mengambil daftar makanan, lalu meninggalkan
keduanya sendirian. Tak seorang pun yang berkata-kata. Lori
memainkan garpunya. Namun garpu itu tergelincir dari tangannya dan
jatuh berdencing di piringnya.
"Maaf." "Nggak apa-apa."
Sunyi kembali. Lori memandang sekitarnya. Restoran itu dipenuhi dengan
pasangan-pasangan, dan semuanya tampak bahagia. Semua, kecuali
mereka. Tak lama kemudian sang pelayan datang, membawakan roti,
mentega dan soda. Lalu ia datang lagi membawa goreng-gorengan
dalam wadah plastik. Tampaknya seperti onion rings, tetapi baunya
berbeda. "Calamari Anda," ujar si pelayan sebelum menjauh.
Lori mengambil sepotong dan mencobanya. Lalu ia bertanya,
"Apa sih ini?" "Aku juga nggak begitu tahu," ujar Nick. "Tapi seseorang
mengatakan bahwa rasanya seperti?uh-oh." Tiba-tiba suatu
kenyataan menikam hati Nick. "Uh, Lori, kita bisa saja pergi ke
tempat lain kalau kau mau."
Lori dapat menduga siapa yang dimaksud "seseorang" itu oleh
Nick. Amarah yang ditahannya meluap. "Biar saja. Kita kan sudah
pesan." Keduanya lalu menikmati goreng-gorengan tadi. Lori ingin
mengatakan sesuatu yang ada dalam pikirannya, tetapi ia tak bisa?ia
tak mampu! Ribut lagi dengan Nick, bisa berarti hubungan mereka
tamat sampai di sini. Nick pun tampaknya tak senang. Matanya menatap ke atas, ke
bawah, ke dinding?ke mana saja, kecuali ke Lori.
Lori merasa bagaikan seorang penderita kusta. Amarahnya
bangkit kembali. Akhirnya, pelayan melewati meja mereka. Lori
menghentikannya dan bertanya: "Maaf?apa nama makanan yang
kami pesan ini?" "Calamari?cumi-cumi."
Lori menjatuhkan makanan yang dipegangnya ke piring, seolaholah benda itu hidup. Ia merasa mual. Dan marah. Apakah ini
semacam permainan? Ia menatap Nick dengan pandangan menuduh.
Namun wajah cowok itu pun tampak kacau.
Lori menggigit bibirnya. Tenang, ujarnya pada dirinya. Jangan
sampai meledak, Lori?jangan!
Ketika pasta mereka tiba, Lori tahu bahwa ini adalah kencan
mereka yang paling buruk?padahal mereka baru melewati separuh
waktu. Mana mungkin ia dapat bertahan? Lori tak tahu.
Dengan kesal, ia menancapkan garpunya ke dalam spaghetti
dan melilitnya dengan kasar.
Dua belas Esok harinya adalah hari Minggu. Lori tak perlu bekerja sampai
jam lima sore. Jadi ia punya banyak waktu luang. Sebenarnya Lori
ingin membuat pe-er-nya, namun ia tak dapat berkonsentrasi. Ia masih
merasa penasaran dengan kencannya bersama Nick tadi malam.
Bagian akhir kencan mereka malahan lebih buruk dari awalnya.
Mereka tak saling bercakap-cakap. Tidak juga pergi ke Overlook.
Tidak saling berciuman mengucapkan selamat malam?untung saja!
Nick mengantarnya hingga ke mall, di mana Lori kemudian
mengambil mobilnya dari tempat parkir.
Lori masih merasa kesal dan frustasi. Apa pun yang ingin
dilakukannya, pasti akan tampak jelas di wajahnya. Kalau ia marah
pada Nick, mereka pasti akan ribut lagi?dan apa akibatnya baginya!
Tetapi kalau ia tak berkata apa-apa, ia pasti akan tersingkir. Dan tak
ada yang akan dapat menghentikan Vicki.
Situasinya memang serba salah.
Dengan sedih, Lori menggeratak di dalam kamarnya, sambil
mencoba-coba mengkombinasikan beberapa baju. Dia sedang
berusaha mencari-cari sesuatu yang tepat untuknya. Baju yang dapat
membuat Nick terpesona, sehingga cowok itu takkan lepas
menatapnya. Kesempatan yang bagus, pikirnya, sambil memandang
bayangannya di dalam cermin. Hadapi kenyataan Lor, kamu kan
bukan wanita perusak. Itu memang sifat Vicki.
Kalau saja dia bisa sedikit licik! Kalau saja dia bisa berbuat
curang, atau punya pikiran untuk memanipulasi, seperti halnya Vicki!
Sayang dia tak bisa. Dia hanyalah seorang gadis sederhana, yang tak
pernah berbohong. Sepengetahuannya, selain Vicki, cewek lainnya
yang bisa merebut cowok orang adalah Danielle Sharp....
Tentu saja! Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam pikirannya.
Danielle! Kenapa sebelumnya tak terpikir akan sepupunya itu!
Jangan membuang-buang waktu lagi. Lori sudah akan
menelepon Danielle, tetapi kemudian membatalkannya. Ancaman
Vicki benar-benar serius. Ia perlu berunding dulu sebelum memulai
peperangan. ************ Wood Hollow Hills selalu membuat Lori terpesona. Perbedaan
antara daerah itu dan daerah tempat tinggalnya ibarat membandingkan
antara bulu kelinci dan cerpelai. Keduanya dapat membuat kita merasa
hangat di musim dingin, tetapi jelas bulu cerpelai lebih baik!
Lori membelokkan mobilnya melewati pintu pagar besi yang
lebar di ujung pekarangan rumah sepupunya itu. Jalanannya berkelokkelok melalui deretan pepohonan tinggi sebelum akhirnya rumah
sepupunya itu tampak di kejauhan. Rumah itu bertingkat, dengan
sudut-sudut dan jendela-jendela yang tinggi menjulang. Bagi Lori
rumah itu bagaikan sebuah istana modern.
Ia mematikan mesin Spitfirenya, lalu berjalan ke arah pintu. Ibu
Danielle yang menjawab belnya. "Halo, Bibi Serena."
"Wah, halo," sambutan bibinya terdengar dingin, tetapi memang
begitulah gayanya pada semua orang. Serena Sharp adalah seorang
wanita cantik dengan tulang pipi yang menonjol tinggi, mata biru dan
rambut berwarna abu-abu perak. Ia selalu kelihatan bosan, seolah-olah
wanita itu lebih suka tinggal di tempat lain?seperti halnya London
atau New York, Lori tahu itu.
"Danielle ada?"
"Dia ada di kamarnya. Kamu tahu kan tempatnya."
Saat Lori berjalan menaiki tangga menuju kamar Danielle, ia
melewati beberapa foto keluarga Sharp. Dirinya pun ada dalam fotofoto itu, bersama Danielle. Dulu, ia dan sepupunya itu cukup akrab.
Tetapi itu sebelum pamannya, Paman Mike berhasil dalam usahanya.
Kemudian keluarga Sharp pindah ke Wood Hollow Hills.
"Masuk," jawab Danielle menjawab ketukan di pintunya.
Lori mendorong pintu kamar sepupunya itu. Kamar Danielle
bagaikan dalam mimpi saja: terang dan segar, dihiasi dengan
perabotan yang mengkilat. Sebuah permadani besar berwarna pastel
menutupi lantai kamarnya. Dan dalam sebuah ruang kecil, dekat
jendela terletak sebuah sofa kecil terbuat dari kulit, berwarna putih.
Lori menarik napas. Danielle juga mempunyai sebuah kamar
mandi sendiri, ruang kloset yang cukup besar dan seperangkat alat
musik yang terletak di salah satu dinding kamarnya.
"Lori, ada apa kamu ke sini?" tanya Danielle. Sepupunya itu
tampak kaget, tetapi juga senang melihatnya.
Lori langsung menceritakan masalahnya. "Dani, kau harus
membantuku. Aku perlu suatu rencana. Aku ingin membuat Vicki
menyingkir dari Nick, tapi aku nggak tahu caranya. Tolonglah beri
tahu bagaimana caranya."
Danielle mengerutkan keningnya. Gadis itu duduk sambil
menyelonjorkan kakinya di tempat tidur. "Wah, tugas ini sulit juga,
Lor. Mudah-mudahan sih berhasil."
"Mesti dong. Kamu kan tahu caranya. Lagi pula dulu kau
pernah berusaha merebut Nick dariku kan? Ingat nggak?" desak Lori.
Danielle mengernyitkan keningnya, namun ia segera
mengangguk. "Ya, dulu. Nah?sekarang kau mau apa?"
"Apa sajalah. Pokoknya segala macam rencana licik yang ada di
kepalamu." "Wah, perlu waktu beberapa tahun dong." Danielle tertawa.
"Kita coba yang gampang dulu, deh. Pertama-tama, kau tahu kan
bahwa Vicki itu nggak sempurna. Kelihatan dia memang begitu."
Lori menjadi bingung. "Apa maksudmu?"
"Kamu pasti bisa mengalahkannya. Asal kamu mau
menunjukkan kelebihanmu, pasti si Vicki bisa kamu lumatkan
menjadi debu." "Bagaimana caranya?"
Danielle menggeleng-gelengkan kepalanya. "Itu cuma masalah
kepribadian. Kamu cuma harus yakin bahwa kamu lebih baik daripada
dia." Lori berusaha. Ia duduk di lantai dan memejamkan matanya,
berusaha untuk berkonsentrasi selama beberapa menit. "Aku nggak
bisa," ujarnya kemudian. "Vicki punya segala-galanya, yang aku
nggak miliki. Uang, tampang, keren?"
"Tunggu! Kalau uang, aku percaya," potong Danielle. "Tapi
tampang? Aduh Lor, kamu bisa mengalahkannya."
"Masa, ya?" "Ya, matamu jauh lebih menarik. Dan rambutmu? ya, kamu
tahu sendiri deh. Vicki punya bibir yang lumayan?mestinya, kalau
saja senyumnya nggak dibuat-buat."
Lori tertawa. "Benar lho, dia kelihatannya seperti plastik saja."
"Sedangkan soal keren," lanjut Danielle lagi.
"Menurutku bukan itu yang disukai Nick. Kalau Nick memang
menyukainya, ada begitu banyak cewek lainnya yang bisa didapatnya.
Tapi buktinya, Nick justru memilih kamu."
Lori berpikir, apakah Danielle menghinanya, namun akhirnya ia
tahu bahwa sepupunya itu benar. Ia dapat mengerti maksud Danielle.
Ia tak pernah mengerti mengapa Nick memilih dia daripada cewekcewek lain di Merivale. Namun kini ia tahu.
Mengapa? Lori berpikir keras. Mencari kelebihan dirinya bukanlah tugas
yang mudah. Akhirnya ia menyerah. Kenyataan yang paling sederhana
adalah Nick mencintainya?atau setidak-tidaknya pernah
mencintainya. Dan ia pun mencintai cowok itu. Mungkin, ini yang dimaksud
Danielle bahwa ia punya kelebihan dibandingkan rivalnya itu. Ia
punya sesuatu yang tidak dimiliki Vicki: cinta.
Dan itu nilainya berjuta-juta.
"Aku tahu!" pekiknya. "Danielle, kamu memang jenius!"
"Aku? Oh ya aku tahu," ujar Danielle.
"Kamu tahu apa yang akan kulakukan? Aku akan membuat
Nick menyadari bahwa aku mencintainya sepenuh hati. Dan aku akan
melakukannya dengan gayaku."
"Lori, apa maksudmu?"
"Aku belum yakin sih, tapi pasti oke deh. Lihat aku. Aku kan
cukup kreatif. Vicki memang punya kemampuan, tapi aku punya
seni!" Danielle menatap sepupunya dengan ekspesi yang mengatakan,
Bagus?aku berhasil menciptakan seekor monster!
************ Danielle memarkir mobil BMW-nya di tempat parkir Merivale
Mall lalu melangkah ke luar. Ia merasa kecewa. Sepupunya punya
rencana untuk mengalahkan rivalnya?mungkin?tetapi rencananya
sendiri untuk memikat dan membelenggu Don James tak berjalan
lancar. Mungkin sebaiknya ia membatalkan saja rencananya itu. Ia
belum melaksanakannya, tetapi tampaknya itulah tindakan yang
terbaik saat ini. Pete tampaknya terlalu sibuk untuk mengajaknya
keluar. Siapa tahu pergi berbelanja akan membuat pikirannya segar,
batinnya. Paling tidak, ia akan merasa lebih baik.
Danielle mengunci mobilnya kemudian melangkah ke dalam
mall. Danielle menaiki eskalator menuju ke lantai dua saat suara serak
terdengar di telinganya. "Hei, Red!"
Danielle tertegun. "Don James, jangan gitu deh! Aku kan
kaget!" Don menyunggingkan senyumnya. Cowok itu berdiri satu
tangga di bawah Danielle. "Ke mana saja sih? Sudah lama aku tak
melihatmu." "Memangnya kenapa? Aku kan sibuk."


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menghabiskan waktu dengan cowok misterius itu ya?"
"Bukan urusanmu."
"Tentu saja," ujar Don. "Jangan berpura-pura deh, Red. Aku
kan tahu permainanmu. Kamu cuma mau bikin aku cemburu, kan?"
Wajah Danielle memerah. Sambil melangkah ke luar dari
eskalator ia berkata, "Ngapain juga buang-buang waktu untuk bikin
kamu cemburu." "Oooooo!" seru Don seakan-akan terkena tikaman pisau yang
menyobek jantungnya, saat cowok itu mengikutinya. "Kau betul-betul
tahu bagaimana caranya menyakiti hati seorang cowok!"
Danielle menatap Don, sambil berkacak pinggang. "Dengar
bego, kukira kau tak tertarik untuk kencan denganku."
Don mengangkat bahunya. "Suka dong. Aku cuma ingin tahu
apa yang sedang terjadi."
"Inilah yang sedang terjadi?aku mau belanja. Dan kau kalah."
Danielle bergegas ke eskalator berikutnya. Dasar sial! pikirnya.
Dasar jelek, nyebelin, angkuh?tapi oke?
Stop! tegurnya pada dirinya sendiri. Dia pasti akan begitu lagi!
Kau harus membuat dia cemburu, bukan sebaliknya!
Eskalator itu membawanya ke atas dengan cepat. Saat Danielle
hampir sampai di atas, ia memandang ke bawah. Don masih berada di
tempat tadi. Dia masih mengikuti Danielle dengan pandangannya,
sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
Nah ini dia. Don mesti diberi pelajaran yang pahit, pikir
Danielle. Ya memang perlu! Ia akan tetap melaksanakan rencananya.
Tak lama lagi, Don akan cemburu sampai cowok itu akan mengemis
kepadanya memohon ampun! ebukulawas.blogspot.com
Tiga belas Akhir-akhir ini Danielle belum sempat bertemu lagi dengan
Pete. Pertama-tama, ia harus menyelesaikan makalah Warren
Hardingnya. Lalu ia mesti belajar bahasa Inggris untuk testnya. Dan
akhirnya ia merasa puas saat testnya telah selesai hari Rabu. Saat ia
meninggalkan kelas, Teresa dan Heather berjalan mendampinginya.
"Gimana hasilnya?" tanya Teresa.
"Baik," jawab Danielle. "Tapi rasanya aku agak bingung juga
deh antara Huck Finn dan Tom Sawyer."
"Kita juga begitu," jawab Heather. "Kamu mau ikutan ke
pertemuan pengurus, nggak?"
"Pertemuan pengurus?"
"Iya, periode terakhir. Apa kamu belum terima jadwal acara
yang dikirim Atwood?"
"Belum, tuh. Bosan sih!"
Teresa merangkul pundak Danielle. "Nggak usah dipikirin, deh.
Ayo, kita pergi. Ada acara yang ingin kulihat, deh."
Di luar gedung Danielle melihat beberapa anggota pengurus
murid dan sekolah berjalan ke arah ruang olahraga.
"Eh, Dan," tanya Teresa. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan
padamu?apa betul yang ditulis dalam artikel The Reporter? Kamu
tahu kan, dalam salah satu artikel diberitakan bahwa kamu adalah
seorang ahli kalkulus. Apa Pete telah membacanya?"
Danielle mengangguk. "Kukatakan bahwa The Reporter salah
tulis, seharusnya Danielle Shipley."
"Dia percaya, nggak?"
"Kenapa nggak? Dia kan orang paling tolol di muka bumi ini,"
ujar Danielle. "Lagi pula itu kan cuma berita. Kenapa sih?"
"Nggak apa-apa," ujar Teresa sambil tersenyum malu. "Oh
lihat?itu Pete!" Memang benar, Pete berjalan perlahan melintasi alun-alun,
dengan kepala tertunduk. Tiba-tiba Danielle teringat akan rencananya.
"Sampai ketemu lagi nanti," ujarnya. "Ada sesuatu yang harus
kulakukan." Dengan cepat gadis itu berjalan mengejar Pete, dan
menjajari langkahnya. "Hai!" tegurnya. "Mau ke pertemuan?"
"Oh, hai Danielle," balasnya. "Yah, nggak ada pilihan lain, sih.
Ini kan kewajiban." "Oh ya?" Kenapa aku nggak memperhatikan jadwal acara sih,
pikirnya. "Gimana kalau kita pergi bareng?"
"Boleh." Mereka berjalan berdua tanpa berkata-kata.
Sementara itu pikiran Danielle dipenuhi dengan berbagai
strategi. Kali ini Danielle bertekad untuk membuat cowok itu
mengajaknya pergi. Teruskan atau putus. Don James harus mendapat
ganjaran. "Apa kabar?" tanya Danielle. "Gimana test aljabarmu?"
"Tadi nilainya sudah keluar," ujar Pete murung. "Aku nggak
lulus." "Oh Pete, maaf! Jadi kamu nggak ikut bertanding hari Sabtu,
dong?" Rahang cowok itu mengeras. "Kata pelatihku sih, nggak."
Danielle merasa senang. Akhirnya kegelisahannya dalam
penantian berakhir sudah. Kini Pete dapat melupakan matematikanya
dan berkonsentrasi penuh padanya!
"Kalau kamu nggak bertanding hari Sabtu, berarti kamu bisa
pulang malam dong hari Jumatnya?" goda Danielle.
"Mungkin juga," gumam Pete.
"Aku sukaaa... deh hari Jumat malam. Asyik untuk jalan-jalan."
Pete tak menjawab sepatah kata pun. Danielle memutuskan
untuk tidak mengusiknya lagi. Pasti dia akan segera melupakan
masalahnya begitu pertemuan dimulai.
Di pintu masuk ruang olah raga, tampak kerumunan anak-anak
memadati ruangan. Pete menyeruak masuk di antara anak-anak itu,
sementara Danielle mengikuti di belakangnya. Tangannya memegang
fotocopi acara tersebut. Tetapi baru setelah mereka mendapat duduk,
Danielle membaca acara pada lembaran tersebut.
Darahnya serasa membeku seketika. Dalam acara itu tertera:
Upacara Penyerahan Akademi Awards. Ia baru menyadari bahwa
pertemuan ini adalah untuk mengumumkan siapa yang meraih Medali
Matematika Atwood! Danielle berusaha menenangkan dirinya. Mungkin tak ada yang
perlu dikhawatirkannya. Pak Quinn memang mengatakan bahwa cara
pemecahan yang diajukannya adalah "klasik," tetapi itu tak berarti
apa-apa kan? Mungkin saja medalinya akan jatuh ke tangan Yukio
atau Freddie. "Aku benci omong kosong ini," gerutu Pete, sambil meremasremas kertas acara dan melemparkannya ke bawah bangku. "Buangbuang waktu saja."
Danielle terpana. Biasanya Pete bersikap lembut. Sikap itulah
yang membuat cowok itu tampak menarik. Di lapangan ia bagaikan
buldoser, namun hatinya lembut.
Tak lama kemudian acara pun dimulai. Kepala akademi
mengucapkan selamat datang pada pengunjung, kemudian langsung
ke masalah award. "Pertama-tama, yang memperoleh angka rata-rata tertinggi
dalam semester pertama akan mendapat sertifikat, yang akan
diserahkan pada?Yukio Yamamoto."
Suara tepuk tangan menyambut Yukio yang berjalan ke atas
panggung. Yukio tak menunjukkan ekspresi apa-apa saat ia menerima
sertifikat dan bersalaman dengan kepala akademi. Danielle tak ingat
lagi kapan seseorang memperoleh nilai rata-rata tertinggi seperti
Yukio. "Dasar cumi," bisik Pete di telinganya. "Lihat deh. Apa sih yang
dimakannya?otak ikan barangkali?"
Danielle menoleh dengan heran. Rasa-rasanya ia ingin
membentak cowok itu. Kamu nggak ada apa-apanya dibanding
mereka, bego, tetapi gadis itu tak berkata apa-apa. Ia masih ingin
mereka berkencan. Namun ia masih tetap bingung, kenapa komentar
Pete begitu kasar? "Selamat Yukio?dan sekarang, juara kedua yang memperoleh
angka rata-rata tertinggi. Yang akan memperoleh sertifikat berikutnya
adalah?Brenda Wagner."
Brenda tersipu-sipu dan berjalan menuju ke panggung.
"Si kutu buku," bisik Pete lagi. "Jangan-jangan dia tumbuh
dalam tabung. Lihat deh kacamatanya! Tampangnya tolol sekali."
Danielle merasa makin gusar. Kata-kata kasar seperti itu tak
pantas untuk diucapkan. Memang Yukio kelihatan nyentrik, dan
Brenda juga nggak oke. Tetapi mereka berdua telah berusaha keras
hingga bisa berhasil. Apa salahnya?
Danielle pun merasa gelisah. Kapan penyerahan medali
diberikan? Ia membaca daftar acara. Masih di bawah.
"Masih lama ya?" tanya Pete. "Rasanya sudah seabad deh."
Danielle tak menghiraukannya. Dengan penuh perhatian ia
mendengarkan penghargaan yang diberikan kepada para penulis esai,
cerita pendek dan puisi Bahasa Inggris. Semula Danielle tak begitu
menaruh perhatian pada hal tersebut. Namun kini ia menyadari bahwa
para pemenang itu tentu telah bekerja sama kerasnya dalam bidang
mereka seperti halnya ia mengerjakan soal pembuktiannya. Kini ia
merasa lebih menghargai mereka.
Upacara terus berlanjut hingga penyerahan penghargaan untuk
bidang ilmu pengetahuan. Ia makin tertarik. Nah, inilah bidang yang
ia mengerti! Mungkin ia juga harus berusaha lebih keras di bidang
kimia, pikirnya. Siapa tahu? Semester depan ia akan menjadi
pemenangnya. "Dasar kepala digit!" Pete meringis saat Yukio dipanggil lagi ke
atas panggung untuk ketiga kalinya. "Ditendang juga mental."
Danielle menoleh dan menatap Pete. Awas kalau kau ganggu
Yukio! nyaris saja ia berkata. Namun ia berusaha keras untuk
menahan amarahnya. Tingkah laku Pete seperti seekor kera baboon saja!
Tiba-tiba suatu perasaan mendesaknya: Tak ada yang lebih
diingininya selain medali itu. Ia telah memeras keringat untuk
mengerjakan pembuktiannya itu. Lagi pula, ia merasa bangga. Ia
pantas untuk menang. Danielle mengatupkan tangannya dan
mengabaikan komentar-komentar Pete yang kasar.
Pemenang medali matematika tak lama lagi akan diumumkan.
Saat kepala akademi membuka kotak berisi medali itu, jantung
Danielle berdebar keras. Gadis itu menoleh ke bangku di depannya.
Tampak Yukio duduk dengan tenang. Sementara Freddie Archer
gelisah di tempat duduknya. Kedua orang itu tampaknya berhasrat
sekali untuk menang, pikir Danielle. Gadis itu menahan napasnya saat
kepala akademi mulai berbicara.
"Berikut ini adalah peraih Medali Atwood di bidang
matematika untuk keberhasilannya memberikan pembuktian paling
tepat. Bapak Quinn, kepala bidang matematika mengatakan pada saya
bahwa kompetisi tahun ini adalah yang paling berat?"
Jantung Danielle berdebar keras.
"Dengan bangga saya umumkan, bahwa untuk pertama kalinya
dalam sejarah Atwood, medali ini diraih oleh seorang murid wanita?
Danielle Sharp!" Waktu seakan-akan berhenti. Untuk sesaat Danielle tak
mempercayai pendengarannya. Tetapi kemudian ia sadar?dia
menang! Pembuktiannyalah yang terbaik!
Kegembiraan Danielle meluap. Gadis itu berdiri, tetapi sebelum
ia melangkah tiba-tiba sebuah tangan meraihnya.
Pete tampak kebingungan. "Ini lelucon, bukan?" tanyanya.
Danielle menatapnya. Saat itu juga ia merasa heran mengapa ia
begitu berminat untuk berkencan dengan cowok itu. Orang yang
menghina anak-anak pintar hanyalah orang yang bodoh.
"Lepaskan tanganku, otak udang! Ini bukan lelucon," ujar
Danielle. Mulut Pete ternganga. Danielle menghentakkan tangan cowok itu, lalu maju untuk
menerima medali penghargaannya. Belum pernah dalam hidupnya,
pikirnya, ia merasa sebangga itu.
Empat belas Setelah upacara selesai Danielle berdiri di lobi ruang olah raga.
Teman-temannya berkumpul untuk mengucapkan selamat kepadanya.
"Ih, Danielle," ujar Teresa. "Kamu nggak akan memakai medali
itu kan?" "Jangan aneh-aneh deh, Ter," gerutu Heather. "Mana mau
Danielle memakai benda murahan seperti itu?betul nggak?"
Danielle tersenyum. Ia telah mempertimbangkan hal itu. Medali
itu terbuat dari emas, digantung dengan pita bergaris putih dan biru.
Katanya, "Kayaknya cocok deh kalau dipakai dengan celana
gombrang abu-abu dan sweater wol hitamku, iya kan?"
"Danielle!" protes Heather.
"Kupikir dia serius," ucap Teresa dengan takjub.
Danielle membiarkan teman-temannya menggodanya. Ia tak
peduli. Ia tahu bahwa sebenarnya kedua sahabatnya itu diam-diam
kagum padanya. Tak mungkin kedua temannya yang ber IQ jongkok
itu mampu memenangkan penghargaan akademi seperti dia!
Nick Hobart berjalan menghampiri. Vicki Keller
mendampinginya. Saat itu juga pikiran Danielle melayang ke arah
Lori. Bagaimana dengan rencana sepupunya itu? Tampaknya sih tak
berjalan baik. "Hebat, Dan," ujar Nick. "Dapat nilai A saja dalam trig aku
sudah senang. Kok kamu nggak pernah bilang sih, kalau kamu jago
matematika?" "Kamu juga nggak pernah tanya."
Nick nyengir. "Itulah dia. Siapa yang tahu dalamnya lautan."
Vicki mengeluh, "Nick, kita pergi yuk? Aku haus nih."
Ada sebuah tempat air minum yang jauhnya sepuluh kaki dari
situ. Namun Vicki menganggapnya tak sesuai untuknya. Bagi Vicki,
dia harus mendapatkan air mineral, atau tak usah minum sama sekali.
"Sampai nanti, Dan," ujar Nick sambil melangkah pergi. Vicki
meraih tangan cowok itu. Wajah Nick tampak kacau, antara senang
dan bersalah. Danielle telah siap untuk pergi. Saat ia meletakkan
bukubukunya dan mengenakan jaketnya, Pete datang menghampiri.
Danielle merasa tegang. "S-selamat," ucap Pete tergagap-gagap. "Maafkan kata-kataku
tentang kutu buku itu, Danielle. Maksudku sih bukan kamu."
"Nggak apa-apa kok," sahut Danielle dengan lembut. Ia merasa
heran dengan permintaan maaf cowok itu.
"Wah, kamu benar-benar membuatku terkejut! Kalau saja aku
tahu kamu jago matematika, aku akan minta tolong padamu," ujar Pete
dengan lirih. "Aku kan sudah menawarkan untuk menjadi pembimbingmu,
ingat nggak?" tanya Danielle.
Pete tersenyum malu. "Ya, aku ingat. Kupikir aku terlalu
sombong untuk menerima tawaranmu. Aku tak mau terlihat bodoh,
apa lagi di depanmu."
Tiba-tiba Danielle merasa iba. Kasihan Pete. Ia telah
membohongi cowok itu, rasanya sungguh tak adil. Kasihan, dan
sekarang tampaknya Pete benar-benar menyukainya. Danielle merasa
tak enak?meskipun ia tetap tak mau mengakui kenyataannya! Sayang
cowok itu bukan Don. "Begini, Pete?tentang kencan yang ku?" ucap Danielle.
"Maaf Dan, aku tak bisa," jawab Pete. "Mulai sekarang aku
akan belajar setiap malam. Aku nggak punya waktu untuk keluar
lagi." Danielle menghela napas lega. Ia lepas dari kesulitan! "Sayang!
Mungkin lain kali saja yah. C'est la vie, begitulah."
Danielle segera keluar menuju BMW-nya dan menyalakan


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mesin mobilnya. Sambil tersenyum ia menjalankan mobilnya pulang.
Ia merasa tak sabar lagi melihat bagaimana reaksi ayahnya, saat ia
menceritakan tentang medali yang diraihnya.
************ Malam itu Danielle berjalan menuruni tangga untuk makan
malam. Ia mengenakan celana gombrang abu-abu dan sweater wol
hitam, sedangkan medali matematika tergantung di lehernya. Ia
bertanya pada ayahnya, "Yah, kalung baruku bagus nggak? Dari emas,
lho." Ayahnya sedang menuang minuman bagi dirinya sendiri. Ia
membelakangi Danielle. "Aduh Dani," keluhnya, "kamu kan sudah
punya banyak?" Setelah membalikkan badan ayahnya tak melanjutkan lagi
ucapannya. Matanya membelalak lebar.
"Gimana, bagus nggak?" tanya Danielle.
"Itu medali matematikamu?"
"Ya, betul." Ia meletakkan minumannya dan memeluk anak gadisnya eraterat. "Oh sayang, Ayah sampai nggak tahu lagi mau bilang apa! Ayah
sangat bangga. Bangga padamu."
Wajah Danielle berseri-seri bahagia. Ia pun membalas pelukan
ayahnya dengan erat. Hidup ini ada kalanya begitu menyenangkan!
Dan sekarang, kalau saja ia dapat memikirkan sebuah rencana untuk
mempermainkan Don James....
Namun, setelah berpikir lagi masak-masak, Danielle merasa
sebaiknya tak usah saja. Mungkin rencana yang paling baik adalah
menjernihkan pikirannya dan memecahkan masalahnya dengan kepala
dingin. *********** Kamar Lori tampak berantakan. Di sekitarnya berhamburan
potongan-potongan pola, guntingan-guntingan bahan, dan benangbenang. Lori telah bekerja keras sejak ia pulang dari sekolah. Sambil
membungkukkan badan di atas meja setrika, ia menyelesaikan
sentuhan terakhir hasil karyanya itu.
Nah?akhirnya selesai juga. Sambil tersenyum, Lori
melemparkan pandangannya berganti-ganti dari sketsa di meja
gambarnya hingga baju di tangannya. Tunggulah sampai Nick
melihatnya! Dia pasti akan terkagum-kagum!
Cepat-cepat Lori menuju ke kamar mandi dan mandi. Kembali
ke kamarnya, ia mengeringkan tubuhnya dan menaburkan bedak,
memoleskan eyeliner dan sedikit pemerah pipi. Ia tak membutuhkan
banyak make-up. Terakhir, ia menyisir rambutnya dan mengikatnya di
belakang lehernya dengan kain satin warna hitam.
Sekarang ia telah siap! Dengan perasaan gembira tak terkira,
Lori mengenakan bajunya dan menarik ritsletingnya. Sekali lagi ia
mematut dirinya di kaca. Keren! Baju mini ketat warna hitam yang
melilit tubuhnya tampak cocok sekali. Kemudian dilengkapinya
dengan celana ketat warna hitam dan sepatu bertumit rendah.
Ia berkaca sekali lagi. Fantastis! Ia tampak benar-benar hot.
Jam delapan?saatnya untuk pergi. Lori meraih buku
catatannya, kunci-kunci dan jaketnya, lalu beranjak menuju ruang
tamu. Adik-adiknya mengalihkan pandangan mereka dari televisi.
Mark yang berusia delapan tahun, bersiul. Sedangkan Teddy yang
berusia sebelas tahun berkata, "Gile, keren banget."
Dari sofa kedua orangtuanya saling bertukar pandang dengan
heran. "Sayang, kau sudah yakin dengan rencanamu ini?" tanya
ibunya. Ibunya berambut pirang, sama seperti Lori, namun matanya
yang biru sedikit berwarna abu-abu. Ayahnya bertubuh tinggi, kurus
dan bermata cokelat. Beliau mengelus rambut cokelatnya dengan jarijari tangannya.
Kata ayahnya, "Ayah pikir, sebaiknya kau telepon Nick dulu,
kalau-kalau dia punya waktu luang."
"Tapi Yah, saya nggak mau begitu! Saya ingin memberinya
kejutan!" bantah Lori. "Kalau telepon dulu, jadi nggak lucu dong."
Untuk kedua kalinya, orangtuanya saling bertukar pandang.
Lori meraih jaketnya. "Pokoknya, jangan khawatir deh. Nick
biasanya punya waktu luang kok, setiap hari Rabu. Pulang kerja dia
langsung pulang, makan malam, bikin pe-er lalu meneleponku. Yah,
begitulah." Ibunya menarik napas. "Tapi?"
"Percayalah, segalanya pasti beres. Aku pergi sekarang ya,
kalau nggak bisa terlambat nonton filmnya. Oh ya, sesudahnya aku
mau ajak Nick makan es krim atau apalah. Kalau boleh, aku pulang
agak malam ya?" bujuk Lori pada orangtuanya.
"Yah?" ucap ayahnya.
"Makasih! Ayah dan Ibu benar-benar baik deh!"
Sambil tersenyum, Lori mencium kedua orangtuanya dan
bergegas menuju ke pintu. Rasanya ia sangat bahagia. Rencananya
sempurna. Nick pasti akan menyukainya. Berapa banyak sih cowok-cowok
yang pernah merasakan ditraktir oleh cewek keren pada malam yang
khusus? Ya, mungkin malam ini hubungan mereka dapat mulai dibina
kembali dari awal! Lima belas Lori merasa perutnya semakin melilit saat ia mendekati rumah
Nick. Untung saja Spitfirenya lancar-lancar saja.
Apakah Nick akan terkejut atas kedatangannya? Pasti, tak
diragukan lagi. Apa ia juga menerima pesannya? Lori yakin Nick pasti
memahaminya. Ia telah menyampaikannya secara jelas dan gamblang.
Nick benar-benar cowok paling hebat di bumi ini. Dan untuk merebut
hatinya kembali, Lori tak segan-segan melakukan usaha ekstra.
Sambil membelokkan mobilnya ke sudut yang sudah
dikenalnya, Lori memandang sekilas ke rumah Vicki. Mobil Nick tak
ada di pekarangan cewek itu, syukurlah.
Lori terus mengendarai mobilnya. Akhirnya ia tiba juga di
rumah Nick. Jantungnya berdebar-debar saat ia memasuki pekarangan
rumah cowok itu. Untuk sesaat ia merasa ragu kalau-kalau seharusnya
ia menelepon terlebih dahulu?tetapi tidak, ia memutuskan. Waktunya
tak banyak lagi. Lori menaiki anak tangga dan membunyikan bel. Ibu Nick yang
membuka pintu. Ia tipe seorang wanita aktif yang selalu mengenakan
baju kerja dan celana jeans. Ia tersenyum saat melihat Lori. Keduanya
saling menyukai. Tetapi kemudian senyum Bu Hobart menghilang. "Lori, kenapa
kau ke sini?" Lori tak dapat menahan senyumnya. "Saya ingin mengejutkan
Nick. Dia ada nggak?"
"Oh ya?" ujarnya. Anehnya wanita itu tak mengundang Lori
masuk. "Oh, asyik. Mudah-mudahan dia lagi nggak banyak pe-er." Lori
merasa senyumnya makin melebar. Kalau ia tersenyum lebih lebar
lagi, pipinya mungkin akan menggelembung seperti balon.
Bu Hobart menarik napas dan membuka pintu.
"Nick ada di ruang belajar, tapi Lor?"
"Ya?" tanya Lori seraya melangkah masuk.
"Oh, nggak apa-apa. Sebaiknya kau masuk saja."
Untuk sesaat Lori merasa ragu-ragu. Begitu ia masuk ke dalam
ruang kerja, tubuhnya serasa membeku.
Nick ada di sana. Ia duduk di sofa. Vicki pun ada di sana, duduk
di sampingnya. Mereka hanya duduk berdampingan, tetapi dari posisi
duduk keduanya tak diragukan lagi beberapa saat sebelumnya mereka
pasti berpegangan tangan.
"Oh!" pekik Lori.
"Lori, ada apa?" tanya Nick. Cowok itu tak marah, hanya
terkejut. Lori tak dapat berpikir lagi. Dalam sekejap semua kata-kata
yang ingin diucapkannya menguap dari pikirannya. Dari tempat
duduknya di sofa, Vicki memandang Lori acuh tak acuh. Matanya
menatap Lori dengan pandangan meremehkan, lalu gadis itu
memalingkan mukanya. Hanya ada satu hal yang dapat dilakukannya. Sambil menarik
napas dalam-dalam, Lori berusaha untuk tetap tenang dan
melaksanaka rencananya. "Nick, a-aku ingin mengajakmu nonton film. Aku yang traktir.
Maksudku, kalau kau tak sibuk dengan sesuatu yang lain...."
Duh, kata-katanya benar-benar ngawur! Sudah jelas Nick
sedang sibuk dengan seseorang.
Tanpa pikir panjang, Lori meneruskan kalimatnya. "Aku tahu,
kita belum bikin rencana. Tapi aku ingin memberimu kejutan. Aku
malahan sudah bikin baju yang khusus ini untukmu, lihat kan?"
Lori melepas jaketnya. Vicki tertawa sembari mendengus.
Sementara Nick dengan susah payah berusaha menelan ludahnya.
Sambil berdiri, ia menatap Lori dengan takjub. "Kau membuatnya ?
khusus untukku?" "Yah, sebenarnya sih aku membuatnya untukku sendiri," ujar
Lori. "Tapi, maksudnya untukmu, kecali?yah, kau tahu apa
maksudku." "Tentu." Vicki membuka mulutnya. "Nick, acara tv-nya sebentar lagi
mulai, lho. Apa sebaiknya kau?" Ia menepiskan tangannya seolaholah mengusir seekor lalat untuk menjauhi sepotong kue.
Raut wajah Nick berubah kecewa, "Duh, Lori, kayaknya aku
nggak bisa pergi denganmu."
"K-kau nggak bisa?"
"Maaf, aku sudah punya rencana lain."
Lori merasa dirinya hancur berkeping-keping. Tadinya ia
berharap?meskipun kemungkinannya kecil?Nick akan berusaha
mengabaikan Vicki. Tetapi apa kenyataannya? Harapannya tak terwujud. Malahan,
Nick lebih memilih Vicki, dan semua usaha dan waktunya sia-sia saja.
Lori membalikkan badannya dan menjauh.
"Lori tunggu!" Lori menoleh. Jaketnya terjatuh di lantai, tetapi ia merasa
terlalu lemas untuk meraihnya. "Ya, Nick?"
Dengan cemas Nick berganti-ganti menatap Lori dan Vicki.
Mata Lori menatapnya penuh harap; sedang Vicki menatapnya tajam.
Tak seorang pun yang berbicara, tetapi dalam kesunyian itu, jelaslah
bahwa Vicki tampaknya memenangkan pertarungan. Ia yang pertamatama mendatangi Nick.
"M-maaf, Lor," ujar Nick pada akhirnya. "Tapi terima kasih,
kamu sudah mampir." Lori ingin menangis, tetapi ia diam saja. Ia tak mampu lagi
melalukan apa pun saat itu. Lori membalik, lalu menghambur ke luar.
Sesampai di mobilnya, rasa pedih karena gagal menghantam
dadanya. Hatinya tercabik-cabik. Ingin rasanya ia menjerit. Di atas
segalanya, ia merasa benar-benar bodoh.
Lori masuk ke dalam mobilnya dan mengendarainya menjauhi
rumah Nick, dengan keyakinan bahwa ia takkan pernah menginjak
rumah itu lagi. Enam belas Saat mendengar suara mobil meraung meninggalkan
pekarangan rumah Nick, Vicki menarik napas lega.
Selesai sudah?dia menang! Tak dapat disangkal lagi bahwa si
manis Lori Randall mengalami kekalahan yang begitu telaknya!
Kencan tanpa menelepon lebih dahulu? Dasar bodoh!
Dan bajunya itu! Memang sih, cewek itu punya body yang oke.
Vicki mengakuinya. Bajunya lumayan bagus. Tetapi tetap saja bikinan
rumah. Hasil karyanya sendiri. Cukup keren sih. Tampaknya juga
profesional. Namun tetap saja kurang polesan.
Sambil bersandar Vicki menepuk-nepuk kursi di sampingnya.
"Nick?" "Huh?" terkejut Nick memutar tubuhnya.
"Kamu nggak mau duduk lagi?"
Nick tampaknya tak mendengar kata-kata Vicki. Pikirannya
melayang-layang, matanya menatap ke kejauhan. Apa yang terjadi
dengannya? Bukankah pilihannya sendiri untuk tetap tinggal bersama
Vicki? Nick merasa tercampak. Memandang Lori berjalan ke luar
ruangan itu merupakan hal paling berat yang pernah dirasakannya.
Lori tampak begitu menarik! Dan juga begitu manis. Itulah daya tarik
cewek itu. Ia bisa tampak begitu seksi, manis, tenang, juga
menggairahkan?berbagai sifat yang berbeda dalam waktu yang
bersamaan. Namun Nick telah melakukan hal yang semestinya
dilakukannya. Ada beberapa aturan dalam hidup ini, dan kita tak boleh
melanggarnya. Salah satu di antaranya adalah, jangan membatalkan
kencan kecuali kau akan mati. Rasanya tak adil membuat rencana
dengan seseorang, lalu membatalkannya hanya karena ada orang lain
yang lebih baik muncul. Tetapi, mengapa ia merasa begitu kacau? Apakah ia telah
melanggar aturan yang paling penting?jangan pernah menyakiti
seseorang yang kau sayangi? Nick tak tahu. Mungkin ya. Tapi toh itu
kesalahan Lori juga. Seharusnya Lori meneleponnya lebih dahulu,
kalau-kalau ia punya waktu luang.
Vicki mengatakan sesuatu. Sekilas Nick mendengar kata-kata
tentang duduk. "Nick, kau nggak mau nonton TV?" desak Vicki.
"Nggak," jawab Nick. "Lupakan saja deh."
"Oke, nah gimana kalau kita ngobrol saja. Kita bisa bikin
rencana. Misalnya saja, akhir minggu ini?ada pesta di tempat
Heather Barron. Mau nggak kita ke sana? Keluarganya kaya lho,
sebaiknya kita lebih akrab dengan dia."
Nick tak berkata apa-apa. Apa Vicki nyebut-nyebut soal pesta?
"Tentang liburan musim dingin?keluargaku akan bermain ski
di Perancis. Kamu bisa mampir, kan? Kamu pasti senang, deh. Kita
bisa main ski sama-sama. Dan, oh musim panas nanti... kudengar
ayahmu mau pergi ke Afrika. Nick, sebaiknya kamu nggak usah ikut
deh. Tempat yang paling asyik cuma Eropa. Kamu bisa ikut dengan
keluargaku." Ski? Apa Vicki bicara tentang liburan musim dingin?
"Dan hari Sabtu? belanja bareng yuk. Kayaknya kamu perlu
baju baru, deh. Coba lihat dandananmu, kacau sekali. Maksudku, lihat
jaket sekolahmu itu! Jelek banget!"
"Hei, apa maksudmu?" Tiba-tiba Nick tersadar. "Kamu
menyuruhku membuang jaket itu? Aku kerja keras untuk
memperolehnya, tahu?"
Vicki terpana. "Oh, aku tak bermaksud menghina, cuma?"
"Jangan dipakai. Ya, aku tahu."
Kini semuanya terbayang kembali! Nick teringat mengapa ia
putus dengan Vicki setahun yang lalu. Gadis itu begitu posesif. Seperti
seekor lintah. Vicki ingin segalanya? seluruh waktu Nick, semua
perhatiannya?bahkan dia pun selalu mengatur cara Nick berpakaian.
Nick tak dapat berbuat apa-apa!
Lori adalah justru sebaliknya. Dia seorang gadis yang penuh
pengertian. Dia sekolah, di samping bekerja?sama halnya seperti dia.
Lori tahu bagaimana menghargai waktu, dan bagaimana capek
rasanya di waktu malam. Dia tak banyak menuntut. Kalau Nick tidak meneleponnya
setiap hari, Lori tak pernah cerewet. Memang, minggu lalu dia marahmarah, tetapi mereka kan sudah berdamai. Masalahnya, dia
meragukan perasaan Nick. Sebenarnya, Lori juga sering membuatnya merasa khusus
dengan caranya. Seperti malam ini?bayangkan saja segala jerih
payah yang dihadapinya demi memberi kejutan pada Nick! Vicki


Merivale Mall 08 Antara Dua Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takkan pernah melakukan hal seperti itu. Kalau begitu, apa yang
dilakukannya bersama Vicki sekarang ini? Persetan dengan segala
macam aturan! Nick menoleh ke arah Vicki. Kini ia dapat melihat kebenaran
yang selama ini tertutup oleh pandangannya. Ya, cewek ini memang
keren. Dia begitu percaya diri. Dan dia begitu menginginkan Nick,
yang tentu saja sangat menyenangkan egonya.
Tetapi dia bukan Lori. Lorilah gadis yang disayanginya. Benar,
ia memang tertarik pada Vicki. Siapa yang tak tertarik pada mantan
pacar? Tetapi bagaimanapun juga, itu bukan suatu alasan untuk
menyakiti gadis yang kau cintai. Malam itu ia memang mencium
Vicki. Itu karena gadis itu pergi sebelum asmara mereka padam.
Namun kalau Vicki tinggal di Merivale, ia pun pasti sudah putus
dengannya lama sebelumnya!
Sambil melipat tangannya, Nick menatap mata Vicki dengan
tajam. "Oke, Vicki, mari kita bicara...."
************* Ibu Lori merangkul Lori dan memeluknya. "Sudah, sudahlah
sayang. Nanti juga beres lagi."
"Nggak mungkin! Aku membuat kacau semuanya! Aku takkan
melihatnya lagi?" Lori menyusupkan kepalanya di bahu ibunya dan menangis
tersedu-sedu. Mereka berdua duduk di tempat tidur. Tak jauh dari
mereka, ayah Lori berjalan mondar mandir. Teddy dan Mark
menonton dari pintu masuk, mata kedua anak itu menatap lebar, ingin
tahu. "Aku sudah merasa, seharusnya tadi kita melarangnya," ujar
ayahnya dengan sedih. "Ya, benar," ujar ibunya. "Dan sekarang aku menyesal."
Lori meluruskan tubuhnya, lalu membersihkan hidung dan
menghapus air matanya dengan tisu. "Bukan salah Ayah dan Ibu.
Semua itu adalah ideku. Ayah dan Ibu telah berusaha memberitahu,
tapi aku tak mau mendengarkan."
"Tunggu saja, Nick pasti akan datang, sayang" ujar ibunya.
"Percayalah, cepat atau lambat ia pasti sadar bahwa apa yang kau
lakukan itu sebenarnya baik."
Lori mendengus. "Mana mungkin. Apa lagi setelah aku
mempermalukannya." "Kamu mempermalukannya?" Ayahnya menggaruk kepalanya.
"Apa bukan sebaliknya?"
"Bukan, itu karena?eh, karena?"
Lori berusaha untuk dapat menemukan kata-kata yang tepat,
tetapi ia tak berhasil. Benar-benar celaka. Sekarang Lori menyesal karena menuruti
nasihat Danielle. Segala sesuatu yang berbau mewah memang cocok
untuk sepupunya itu, tetapi tidak untuknya. Seharusnya ia lebih
menuruti kata hatinya. Ia cuma harus mencintai Nick, itu saja.
Tentu saja Vicki juga bisa menang dengan cara itu....
Sayup-sayup terdengar bel pintu berbunyi. Teddy dan Mark
berlari untuk membuka pintu. Tak berapa lama kemudian keduanya
kembali. "Lori, Lori," ujar Mark terengah-engah. "Nick datang."
Lori terlonjak. Kepalanya berdenyut-denyut. Ada apa?
Di pintu depan ia terpaku. Tampak Nick memegang sesuatu
yang berbentuk kerucut. Di dalamnya terdapat selusin bunga mawar
berwarna merah. "Aku sudah memikirkan tentang hubungan kita," ujar Nick.
"Kamu tahu, nggak? Rasanya sayang deh, membiarkan bajumu yang
indah itu dinikmati orang lain."
Senyum Lori mengembang. "Kamu masih ingin nonton?" tanya Nick.
Saat itu Lori sudah tak tertarik lagi, namun itu bukan masalah.
Diambilnya bunga-bunga mawar itu lalu menjatuhkannya di lantai.
Sesaat kemudian ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Nick. Nick
menciumnya, tepat di depan seluruh keluarganya! Lori mendengar
Teddy tertawa cekikikan di belakangnya.
Ia tak peduli, yang penting mereka telah bersatu kembali. Lori
lalu menarik tubuhnya dan tersenyum pada Nick.
"Aku mencintaimu," bisik Nick.
Wajah Lori merona. Mulai sekarang ia akan percaya pada Nick,
tekadnya dalam hati. Tak perlu diragukan lagi, jika dua hati yang
saling mencintai telah memadu janji!END
Kisah Si Naga Langit 13 Si Pemaki Tuhan Karya Karl May Pendekar Aneh Naga Langit 33

Cari Blog Ini