Ceritasilat Novel Online

Bidadari Bermata Bening 3

Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 3


"Ananda Ayna, apa ada yang mau disampaikan? Mungkin ada permintaan khusus atau apa?" tanya Pak Kusmono ramah. Saat itu Pak Kusmono berpenampilan mirip seorang kyai. Memakai sarung mahal, baju koko putih, dan peci hitam. Suaranya juga ngebas berwibawa.
"Boleh saya minta mushaf Al-Qur'an?"
"Oh tentu, sudah didaftar dalam barang-barang yang akan jadi mahar nanti. Selain perhiasan, uang, ada mushaf dan seperangkat alat shalat."
"Oh bukan itu, maksud saya. apa ada mushaf Al-Qur'an di sini, saya pinjam."
Pak Kusmono agak gelagapan.
"Minah, mana Minah!"
Seorang pembantu perempuan datang tergopoh-gopoh lalu ndeprok di dekat Pak Kusmono.
"Injih, Pak." "Kau punya Al-Qur'an kan?"
"Punya, nggak saya bawa."
"Kalau begitu, kau lari ke masjid sana, pakai motor, pinjam mushaf masjid."
"Injih, Pak." Ayna menunduk dengan hati masygul melihat kenyataan itu. Lima belas menit kemudian si Minah datang membawa mushaf ukuran besar dan menyerahkan pada Pak Kusmono dan langsung menyerahkan kepada Ayna. Ayna menerima mushaf itu dan menciumnya. Ia lalu berkata kepada Yoyok,
"Mas Yoyok ada wudhu?"
"Ah. Enggak ada."
"Boleh minta Mas Yoyok wudhu?"
Pak Darsun tampak tidak sabar,
"Ini apa sih, Na? Kamu kok aneh-aneh saja?"
"Lho, saya kan ditanya Pak Kusmono ada permintaan khusus atau tidak. Ini permintaan saya."
Pak Kusmono tersenyum, "Tidak apa, Pak Darsun. Toh ini tidak susah. Kalau untuk kebaikan kenapa tidak? Daripada nanti di belakang Ananda Ayna tidak puas. Sana Yok segera wudhu!"
Yoyok bergegas mengambil air wudhu. Tiga menit kemudian ia datang dengan wajah dan tangan tampak basah. Ayna menyerahkan mushaf kepada Yoyok.
"Tolong, Mas Yoyok buka awal surat Ali Imron!"
Muka Yoyok seketika pucat pasi. Ia membuka-buka mushaf itu dan agak bingung. Ayna diam saja. Yoyok terus membuka-buka mushaf itu, tapi ia seperti tidak yakin halaman yang mana. Minah yang masih ada di ruang tamu meskipun agak jauh seperti tidak tega. Minah datang mendekat dan membantu Yoyok.
"Ini Mas, awal Ali Imron," lirih Minah lalu beringsut mundur.
"I iya ini sudah aku buka Ali Imron," kata Yoyok gemetar. Keringat dingin keluar begitu saja. Entah kenapa ia merasa jadi seperti pencopet yang ketakutan mau dihajar massa. Pak Kusmono tegang, ada rasa tidak suka putra kebanggaannya ciut nyali seperti itu.
"Tolong dibaca, Mas! Saya ingin dengar seperti apa calon suami saya baca Al-Qur'an!" pinta Ayna tenang.
Yoyok merasa, suara Ayna itu bagai guntur yang menyambar kepalanya berulang kali. Jantung Yoyok berdegup kencang. Keningnya basah oleh keringat dingin. Tangannya gemetar memegang mushaf.
"Bo... boleh a. . aku bacanya kapan-kapan, ti... tidak sekarang?"
"Ayna ingin dengar sekarang. Tiga ayat saja, tidak banyak-banyak," tegas Ayna.
Suasana menjadi tegang. Wajah Yoyok semakin pucat.
"Ayo, baca bismillah terus baca, Yok! Mudah itu, kau kan dulu pernah ngaji. Nggak usah malu sama Ayna dan Pakdenya. Biasa aja kayak kalau kamu tadarusan di masjid pas bulan puasa kemarin itu! Santai saja," Pak Kusmono berusaha mencairkan suasana. Lelaki tua itu juga berusaha memuji anak lelakinya.
Yoyok membaca basmalah, lalu berusaha mengeja. "A - la - ma..."
Ayna menarik napas panjang, ada sembilu di ulu hatinya. Ia melirik Minah. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya seolah berkata bahwa tidak seperti itu seharusnya Yoyok membaca.
"Alif laaaam miiiim, bukan a-la-ma," lirih Ayna.
"Oh ya, alif laaam miiim. Maaf saya lu... lupa." Muka Yoyok semakin pucat.
"Sudah cukup, Mas Yoyok. Mohon maaf kalau apa yang saya lakukan ini tidak berkenan. Saya jadi punya satu permintaan untuk Mas Yoyok. Dan jika permintaan saya tidak disetujui maka rencana akad nikah kita batalkan saja!"
"Oh, jangan sampai dibatalkan Ananda Ayna. Kalau sampai batal, muka Bapak mau ditaruh di mana. Kabar Yoyok mau menikah ini sudah menyebar ke mana-mana. Pak Bupati dan Wakil Bupati juga sudah tahu."
"Maka permintaan saya harus disetujui!"
"Sampaikan saja, tidak ada yang tidak bisa dirembug, ya kan Pak Darsun?"
"Injih, Pak Kus."
"Permintaan saya sederhana saja, dan bagi pemuda yang biasa ke masjid itu mudah. Begini saya bersedia menikah dengan Mas Yoyok, namun saya tidak bersedia dia sentuh, sekali lagi saya tidak bersedia dia sentuh walaupun sudah akad nikah kecuali dia telah bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar. Yang penting lancar saja. Lalu hafal juz 'amma dan surah Yasin. Itu saja. Itu permintaan dan syarat saya yang harus disetujui dan disepakati!"
Semua yang ada di ruangan itu tampak kaget, apalagi Yoyok. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapatkan syarat seperti itu. Syarat yang baginya terasa sangat berat, ia seperti diminta memindahkan sebuah gunung.
"Itu kan bahasa lain dari kamu tidak mau menikah dengan aku, Ayna? Syarat itu sangat berat! Apa nggak ada syarat yang lain?"
"Astaghfirullah, kalau saya tidak mau menikah dengan Mas Yoyok mana mungkin saya mau diajak ke sini. Dan syarat ini sangat mudah, ini biasa sekali. Saya tidak mensyaratkan harus bisa baca Al-Qur'an dulu baru nikah, tidak. Saya ulangi, saya bersedia menikah dengan Mas Yoyok, namun saya tidak bersedia disentuh, sekali lagi saya tidak bersedia disentuh walaupun sudah akad nikah kecuali Mas Yoyok telah bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar. Lalu hafal juz 'amma dan surah Yasin. Itu saja. Kita bisa tetap melangsungkan akad nikah di waktu yang disepakati, status saya jadi istri Mas Yoyok, tapi Mas Yoyok tidak akan menyentuh saya kecuali telah memenuhi syarat saya itu! Jika tidak sanggup, ya kita batalkan saja rencana ini!"
"Yoyok setuju dan sanggup ya, Yok. Itu syarat yang baik. Ya wajar anak pesantren minta syarat seperti itu, kalau artis mungkin minta didatangkan penyanyi ini dan itu ya kan. Sudah ketuk palu!"
"Sebentar, nyuwun sewu Pak Kusmono. Saya ingin dengar kesanggupan dari lisan Mas Yoyok sendiri!"
"Rasanya berat, saya merasa syarat ini nggak masuk akal, terus terang saja!"
"Mbak Minah, Mbak Minah, ya namanya!" Ayna memanggil perempuan yang tadi bawa mushaf.
"Injih Mbak, saya!"
"Ke sini, Mbak."
"Injih." "Mbak dengar tadi syarat dan permintaan saya."
"Iya, saya dengar."
"Kau ngerti yang aku syaratkan?"
"Iya, saya paham dan mengerti."
"Tolong pandang wajah saya, jawab dengan jujur ya, Mbak. Yang jujur, demi Allah. Allah jadi saksinya, apakah syarat yang saya ajukan tadi berat, mengada-ada dan mustahil dipenuhi?"
"Nggak, nggak berat sama sekali. Mudah itu! Anak-anak kampung saya tidak perlu disyaratkan seperti itu juga sudah biasa itu. Keponakan saya kelas lima SDIT saja lancar baca Al-Qur'an, hafal juz 'amma, dan surah Yasin," jawab Minah tanpa ragu sambil terus memandang wajah Ayna.
"Terima kasih, Mbak. Mas Yoyok sudah dengar?"
Yoyok seperti Kaisar Jepang yang kalah perang dan harus mengaku kalah tanpa syarat kepada sekutu dalam perang dunia kedua.
"Baik, saya menyetujui syarat yang kau ajukan, Dik Ayna."
"Alhamdulillah."
Seminggu setelah itu, Ayna dan Atikah tampak sibuk mendaftar siapa-siapa yang akan diundang oleh Ayna. Pak Kusmono berpesan agar semua teman sekolah di SD, SMP, dan Aliyah agar diundang. Juga semua guru dan kenalan diundang. Ada tiga ratus pucuk surat undangan di ruang tamu Ayna.
Ada dua ratus nama lebih yang terdata. Ayna mencoba mengingat-ingat teman-temannya di SMP, siapa tahu ada yang terlupa.
"Ini saja dulu Dik, mulai kita cicil ditulisi. Mungkin sambil nulis nanti ada nama yang diingat," saran Atikah.
"Benar, Mbak." Keduanya lalu sibuk menuliskan nama-nama yang ada dalam daftar ke halaman depan surat undangan. Surat undangan itu berserakan begitu saja. Tiba-tiba terdengar suara perempuan memberi salam. Ayna hafal betul suara itu. Ia terperanjat begitu mengangkat kepala dan melihat ke arah pintu. Bu Nyai Nur Fauziah dan Pak Kyai Sobron berdiri di sana.
Ia merasa sangat bahagia, namun tiba-tiba kebahagiaan itu berganti menjadi kesedihan yang meremas hatinya. Tubuhnya gemetar. Tulang-tulang tubuhnya seolah tidak bisa menyangga tubuhnya. Kedua matanya berkaca-kaca begitu saja. Ia kuat-kuatkan hati dan jiwanya. Ia bangkit dan melangkah ke pintu lalu mencium tangan Bu Nyai dengan isak tangis yang tidak bisa dibendung. Bu Nyai memeluknya hangat.
"Sudah jangan menangis, ayo kita duduk rembugan. Itu Afif, Asyiq, Malihah, dan si kecil Naufal juga turut serta. Ayna memeluk Malihah, lalu memandang wajah Afif sekilas. Wajah itu terlihat lebih kurus, dan ia seperti ingin berkata, "kenapa baru datang sekarang?"
Begitu mereka duduk dan melihat ratusan surat undangan yang berserakan, kesedihan tiba-tiba menjalar begitu saja. Ayna tidak ingin masalah dirinya dan Gus Afif tercium oleh keluarga Pakdenya.
"Mbak Atikah, ini Pak Kyai, Bu Nyai dan keluarga. Saya minta tolong carikan es kelapa muda di Warung Bu Harsun, ya?"
"Oh iya, Dik," jawab Atikah langsung berangkat.
Bu Nyai Nur Fauziyah meraih surat undangan itu dan membacanya. Air matanya menetes di sana. Usai membaca, ia menyerahkan kepada Pak Kyai. Ayna hanya diam dengan air mata meleleh di pipi. Gus Afif mengambil satu dan membacanya. Ia menahan perih luar biasa dalam dadanya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ia mencoba menguatkan diri dan bertahan.
"Jadi kami datang terlambat?"Bu Nyai terisak. Suaranya parau.
Ayna hanya mengangguk, lalu tangisnya meledak.
Gus Afif merasa tidak kuat lagi menyangga kepalanya. Ia roboh di atas tikar. Kepala pemuda itu menimpa tumpukan surat undangan pernikahan gadis yang ia dambakan.
BAGIAN 10 Bu Nyai Nur Fauziyah lirih membaca Al-Qur'an. Wajahnya murung. Air matanya meleleh membahasi pipi hingga menetes ke baju kurung. Jam dinding di ruang itu berdenting-denting sembilan kali. Istri Kyai Sobron itu menyudahi wiridan Qur'annya. Ia menghela napas sedih. Pandangannya langsung tertuju ke pintu kamar Afif. Sejak siang putranya itu belum mau makan.
Kyai Sobron masuk dari pintu depan. Ia datang sambil menenteng kitab yang dibungkus serban. Ia baru saja selesai membacakan Kitab Tafsir Jalalain di masjid pesantren.
"Belum mau makan?"
Bu Nyai mengangguk lalu mengusap air matanya. "Dia paling suka pepes tahu jamur kemangi. Coba dibuatkan!"
"Sampun, Bah. Sudah dibuatkan Titin. Tapi tetap tidak mau. Makanannya diletakkan di kamarnya malah minta dibawa keluar. Katanya baunya bikin eneg."
"Coba yang lain, Mi."
"Ningrum lagi membuatkan mi godog jawa."
"Yah, itu dia juga suka. Nanti kalau dia tidak suka juga, biar abah yang makan."
"Abah kok malah begitu, nggak mikirkan anaknya?"
"Lho kan kalau tidak suka, dibuang kan mubadzir. Tidak memikirkan bagaimana? Justru sejak awal, Abah sudah memikirkan. Coba Ummi ingat, sejak awal mula abah sudah mengusulkan Ayna dinikahkan sama anak kita. Ummi yang bilang, Afif baru lulus Aliyah harus kuliah dulu, nanti bubrah semua. Lalu ketika Afif datang dari rumahnya Ayna dan menceritakan semuanya. Ia juga sampaikan rancangannya, mau kuliah ke Mesir tapi nikah dulu sama Ayna, ia akan bawa Ayna ke sana menemaninya belajar. Afif juga sudah jelaskan bagaimana cara dia nanti menghidupi keluarganya di sana. Bagi Abah, masuk akal dan rasional. Tapi menurut Ummi tidak masuk akal dan tidak rasional. Itu angan-angan yang utopia, terbawa indahnya drama cinta Korea. Ummi tetap tidak mau menjemput Ayna. Berapa kali Abah bilang, Afif sudah bukan anak-anak lagi, biarkan dia memilih jalan hidupnya. Ummi masih terus menganggap Afif baru lulus Aliyah, masih bayi. Lha, Abah harus bagaimana lagi? Di zaman akhir seperti ini, ada anak muda datang minta dinikahkan itu bagus. Afif kan minta dinikahkan dengan gadis pilihannya. Bukan minta pacaran atau lainnya? Kan bagus, Abah setuju, tapi Ummi terus saja ragu!"
Bu Nyai Nur Fauziyah menahan isak tangis. "Iya, kali ini Ummi yang khilaf, Bah. Maafkan Ummi. Ummi lupa kalau setiap anak itu beda. Masih ingat, dulu Asyiq juga pernah minta dinikahkan dengan siapa itu, santriwati dari Rembang?"
"Desi Ratnasari."
"Bukan, Abah ini. Ummi serius."
"Dina Wulandari."
"Ya, Dina Wulandari. Asyiq kan terus minta ngoyok. Dan tidak Ummi gubris, akhirnya lupa sendiri."
"Ummi lupa. Kalau Asyiq itu masih cinta monyet istilahnya. Itu kejadian kan pas Asyik kelas tiga MTs, masih mondok di Futuhiyyah Mranggen. Pas liburan pulang. Dia lihat si Desi itu, kan dia santri kitab bukan sekolah. Dia suka. Tidak Ummi gubris. Lalu Asyiq balik lagi ke pesantren dan lupa. Kalau Afif kan beda."
"Yah, Ummi juga lupa kalau kasusnya beda. Ummi cuma ingat, nanti akan lupa dengan kesibukan mencari ilmu. Ternyata Ummi salah langkah."
Ningrum datang membawa nampan berisi semangkok mie godog dan teh panas. Bu Nyai bangkit dari duduknya dan melangkah membuka pintu kamar Afif. Gelap. Bu Nyai menyalakan lampu. Tampak Afif tidur miring menghadap tembok memunggungi pintu. Ningrum meletakkan nampan itu dia atas meja lalu beringsut pergi. Bu Nyai duduk di samping Afif, ia lihat mata anaknya itu terpejam, tapi air matanya terus meleleh. Mukanya tirus pucat.
"Fif, makan ya, sayang. Ini ada mi godog jawa, kesukaanmu."
"Afif tidak lapar, Mi. Kasihkan saja mi itu pada abah," lirih Afif dengan tetap memejamkan mata dan tidak mengubah posisi tidurnya. Bu Nyai menengok ke belakang dan memandang wajah Kyai Sobron sambil mengacungkan tinju. Kyai Sobron mengangguk, mengaku salah.
"Sejak siang perutmu belum diisi, nanti kau bisa sakit. Ayo makan, sayang."
"Afif memang sudah lama sakit, Mi."
Bu Nyai diam. Rasa bersalahnya kembali datang menyergap. Kedua matanya kembali basah.
"Harus berapa kali lagi Ummi ngaku salah dan minta maaf, anakku," isaknya.
"Ummi jangan sedih, jangan menangis, Ummi sama sekali tidak salah. Sungguh. Afif sedikitpun tidak merasa Ummi yang salah. Yang salah itu Afif, Mi."
"Kalau Afif memaafkan Ummi atau menganggap Ummi tidak salah, ayo makan, Nak."
"Afif ingin makan, tapi Afif sama sekali tidak selera, Mi. Afif kalau makan mau muntah rasanya. Afif banyak dosa sama Ummi, maka Afif dihukum seperti ini. Kalau Afif dengarkan nasehat Ummi agar terus melanjutkan sekolah di Kudus mungkin penderitaan ini tidak Afif alami. Kalau Afif sekolah di Kudus sampai selesai Aliyah, Afif tidak akan bertemu Ayna, tidak akan kenal Ayna, tidak akan jatuh cinta sama Ayna, tidak akan bermimpi punya istri Ayna. Salahnya Afif kenapa bertemu Ayna Mardeya, kenapa kenal Ayna? Maafkan Afif, Ummi, maafkan Afif yang telah membuat Ummi sedih dan menangis. Kalau Afif nanti mati, tolong Ummi dan Abah jangan marah sedikitpun dan tidak ridha pada Afif."
Bu Nyai rebah di tempat tidur itu, ia memeluk anaknya sambil menangis terisak-isak. Pak Kyai Sobron menghela napas, menahan diri agar tangisnya tidak pecah. Kyai Sobron berpikir, ketika ia baca cerita Laila Majnun, kisah cinta yang merasuk sampai ke sumsum dan nyaris membuat gila hanya ada dalam cerita. Kini ia lihat sendiri hal itu terjadi pada putranya. Sudah delapan hari Afif tidak doyan makan. Ia hanya mengurung diri dalam kamar. Ia hanya bergerak ketika tiba waktu shalat, untuk wudhu dan shalat, setelah itu ia tiduran. Beberapa kali makan ia muntah, dan nyaris hanya air minum yang masuk ke dalam perutnya. Berulang kali dibujuk untuk berobat ke dokter, ia tidak mau. Kyai Sobron melihat cahaya hidup dalam wajah Afif semakin redup.
Tiba-tiba Pak Kyai Sobron berpikir obat satu-satunya mungkin adalah Ayna. Ia siap melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Meskipun ia harus mengemis pada Ayna supaya mau dinikahkan dengan Afif.
"Afif, Abah berpikir, besok akan ke Kaliwenang. Abah akan minta kepada Pakde dan Budenya Ayna juga kepada calon suaminya Ayna agar mereka mau membatalkan pernikahan itu, agar Ayna bisa Abah bawa ke mari untuk dinikahkan dengan dirimu. Abah bisa merasakan apa yang kau rasakan."
"Demi Allah, jangan lakukan itu, Bah. Jangan!"
"Kenapa? Itulah penawar sakit yang kau derita anakku."
"Jangan, Bah. Kalau Abah lakukan itu, Afif akan semakin menderita. Afif tidak mau menjadi penyebab Abah menabrak aturan Baginda Nabi. Seorang muslim tidak boleh melamar di atas lamaran saudaranya. Apalagi merusaknya, membatalkan akad nikah yang sudah siap dilaksanakan. Kita semua sudah tahu undangan sudah disebar, Abah. Jangan Abah, jangan. Abah jangan memberi contoh yang tidak baik kepada umat. Jangan Abah, demi Allah, jangan!" Afif terisak-isak.
Bersama terbit dan terbenamnya matahari, waktu terus berjalan. Bersama kering kemarau dan rintik hujan waktu terus berjalan. Bersama pergiliran siang dan malam, waktu terus berjalan. Bersama gemerisik dedauan, kicauan burung dan kumandang azan waktu terus berjalan. Bersama jiwa-jiwa suka dan jiwa-jiwa duka waktu terus berjalan. Waktu terus berjalan, tak bisa diminta balik mundur ke belakang. Waktu berjalan sesuai titah Tuhan.
Meskipun Ayna berharap waktu itu berhenti saja, supaya dirinya tidak bertemu dengan hari H yang disepakati bersama, waktu tidak memedulikannya. Waktu akhirnya mengantarkannya di awal bulan Dzulhijjah. Sejak itu kesibukan luar biasa terjadi di rumah Pakdenya.
Pada hari Kamis, dua hari sebelum akad nikah dilaksanakan, tratag didirikan. Tidak hanya di halaman rumah pakdenya, namun juga di jalanan. Mahligai pengantin ditata penuh wibawa dan kemegahan. Panggung hiburan disiapkan. Orang-orang Kaliwenang belum pernah melihat kemewahan yang seperti itu.
Sejak awal Dzulhijjah ia telah dipingit, tidak boleh ke mana-mana. Semua keperluan dan keinginannya sudah ada yang melayani. Gaun pengantin lima pasang yang dipesan pada desainer terkenal dari Jakarta telah tiba. Perias wajah artis dari Jakarta katanya juga sudah tiba di Purwodadi, menginap di salah satu hotel di sana. Semakin dekat dengan hari H, semakin besar kesedihan yang ia rasakan. Apa yang terjadi pada Gus Afif tidak bisa ia buang dari pikirannya begitu saja.
Sehari sebelum akad nikah, tepatnya siang hari usai shalat Jumat, Mbak Ningrum dan Titin datang. Di kamarnya Ayna menumpahkan segala perasaannya kepada orang yang telah ia anggap sebagai saudaranya sendiri itu. Ningrum menceritakan semua yang terjadi pada Gus Afif.
"Kalau kau bertemu dengannya di jalan, mungkin kau tidak akan mengenalinya lagi. Ia seperti pohon yang berbulan-bulan tidak kena sinar mentari. Cahaya hidup dan harapannya seperti mati. Ia seperti manusia yang nyawanya ada di tempat lain, tidak di raganya lagi. Nyawanya ada di sini. Nyawanya seperti ada dalam genggamanmu, Ayna. Tapi ini semua bukan salah kalian berdua. Aku tahu itu. Juga bukan salah Pak Kyai dan Bu Nyai. Bukan salah siapa-siapa. Ini semua memang harus terjadi, menjadi episode cerita yang mengalir bersama terbit dan tenggelamnya matahari."
"Aku harus bagaimana, Mbak?"
"Apakah aku harus lari?"
Ningrum menggeleng, "Jangan! Gus Afif juga belum tentu rela! Sebenarnya Pak Kyai telah berniat nekad untuk mendatangi Pakdemu dan keluarga calon suamimu untuk meminta dirimu baik-baik, agar rencana pernikahan ini dibatalkan dan kau bisa menikah dengan Gus Afif. Tapi Gus Afif mengingatkan bahwa seperti itu melanggar aturan Baginda Nabi, itu mencontohkan sesuatu yang tidak baik. Lebih dari itu, Gus Afif tidak mau kedua orang tuanya mengemis dan direndahkan oleh siapapun karena dirinya. Itu berarti dia tidak bisa mikul duwur mendem jero!"
Ayna merenung sambil terus meneteskan air mata, sesungguhnya apa yang salah pada dirinya? Dosa apa yang telah diperbuatnya sehingga ia harus menderita seperti itu? Ia cepat-cepat beristighfar kepada Allah kalau-kalau perasaannya baru saja adalah juga sebuah dosa.
Matahari bersinar cerah, dan ribuan orang tersenyum indah. Yoyok tampak gagah, dan Ayna benar-benar seumpama ratu bidadari Ainul Mardiyah seandainya wajahnya dihias senyum dan tidak pucat. Prosesi akad nikah berlangsung khidmat. Setelah khutbah nikah dibacakan oleh Kyai Badruddin, ketua KUA sebagai wali hakim menikahkan Haryo Bagus Karloto bin Kusmono dengan Ayna Mardeya binti Abdullah Jalai. Seluruh saksi menyatakan sah akad ijab qabul pagi itu. Semua bergembira. Beberapa ibu meneteskan air mata. Ningrum meneteskan air mata sebab ia tahu di balik akad nikah itu ada dua insan yang sangat menderita. Ayna berusaha menerima kenyataan yang ada. Untuk menguatkan batinnya ia ingat kembali pesan Bu Nyai.
"Kamu yang sabar ya, Na, kalau misal nanti kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu harus sabar."
Setelah akad nikah, pesta pernikahan berlangsung dengan sangat megah dan meriah. Jalan sepanjang lima puluh meter disulap menjadi tempat pesta. Tetamu datang dan pergi, mulai dari rakyat kecil hingga Bupati. Kepada Yoyok, Ayna berpesan agar memakai kaos tangan putih, pun dirinya. Ayna berbisik kepada Yoyok, bahwa meskipun sudah akad nikah perjanjiannya dengan Yoyok untuk tidak menyentuhnya sampai memenuhi syaratnya harus dipenuhi. Seluruh acara diatur oleh wedding organizer yang didatangkan dari Semarang. Makanan prasmanan dengan menu kelas hotel bintang lima berlimpah ruang seperti tidak pernah habis selama dua hari dua malam. Orang-orang kampung banyak yang datang sampai dua kali karena ingin mencicipi menu yang jarang mereka makan.
Setelah pesta usai, beberapa koran lokal Jawa Tengah menulis berita menghebohkan,
"PERAIH NILAI UN TERTINGGI SE-JATENG MENIKAH DENGAN KONGLOMERAT MUDA ASAL PURWODADI". Berita itu disertai foto Yoyok dan Ayna yang berdiri berdampingan sambil memegang surat nikah. Yoyok tampak tersenyum cerat, sementara Ayna berwajah muram meskipun tetap cantik menawan.
Pagi itu, Gus Afif ingin menghirup udara segar. Ia meminta Kang Bardi menuntunnya ke beranda belakang. Ia duduk di kursi sambi melihat ikan hias di dalam kolam. Secangkir teh panas dan sepiring mendoan pesanannya terhidang di meja kecil yang ada di depannya. Gus Afif juga melihat koran tergeletak di situ. Ia baca perlahan halaman perhalaman. Sampailah di sebuah halaman, ia melihat foto Ayna dan suaminya memakai baju pengantin dan memegang surat nikah. Dadanya terasa sesak, sejurus kemudian kepalanya terkulai lemah. Kang Bardi yang melihat hal itu panik luar biasa. Pak Kyai memeriksa denyut nadinya masih ada. Dengan cepat Gus Afif diantar ke rumah sakit diiringi Pak Kyai dan Bu Nyai yang sesenggukan sepanjang jalan.
"Maafkan Afif, Ummi, maafkan Afif yang telah membuat Ummi sedih dan menangis. Kalau Afif nanti mati, tolong Ummi dan Abah jangan sedikitpun marah dan tidak ridha pada Afif."
Kata-kata itu terus terngiang dalam pikiran Bu Nyai.
Ningrum memberi kabar kepada Ayna, tapi kabar itu tidak terbaca olehnya. Ayna masih sibuk melayani tetamu yang datang meski pesta sudah selesai sehari sebelumnya. Terutama adalah teman-teman Yoyok yang datang dari berbagai macam orang dan kalangan.
Setelah pesta ngunduh mantu di rumah Pak Kusmono usai, Ayna diboyong oleh Yoyok untuk menempati rumah baru mereka di Kota Purwodadi. Awalnya Ayna menolak, ia ingin tetap tinggal di rumahnya. Tetapi Yoyok menyindir bahwa istri yang salehah itu yang patuh pada suami. Yoyok juga menegaskan bahwa Ayna harus taat kepadanya selain yang terkait syarat yang disepakati. Sejak itu Ayna sadar bahwa statusnya kini adalah istri dari seorang lelaki bernama Haryo Bagus Karloto alias Yoyok.
Rumah itu dua lantai. Besar dan mewah, meskipun tidak sebesar rumah Pak Kusmono. Bau cat masih tercium. Semua perabotnya masih baru. Meskipun satu rumah, tapi Ayna tidak mau tidur dalam satu kamar.
"Baca Al-Qur'an hingga lancar, tunjukkan Mas Yoyok hafal juz 'amma dan Yasin! Tanpa diminta aku akan tidur seranjang dengan Mas Yoyok. Jika syarat itu tidak kau penuhi, maka mohon maaf, sampai kiamat datang aku tidak akan mau kau sentuh!"
Yoyok menelan ludahnya penuh kecewa.
Ayna seorang pembelajar yang cepat dan seorang pembaca keadaan yang cermat. Sebulan hidup bersama Yoyok ia sudah tahu beberapa bisnis yang dilakoni suaminya. Menurutnya semuanya tidak benar. Kecuali satu, jualan beras di pasar.
"Untuk makan dan keperluan sehari-hari saya hanya mau dari hasil jualan beras di pasar. Yang lain, silakan Mas simpan dan jangan sekali-kali dikasihkan saya."
"Kenapa?" "Syubhat atau haram! Ibadah saya nggak ada gunanya kau ada barang haram masuk ke dalam perut saya jadi darah dan daging."
"Kamu kok sampai segitunya, sih?"
"Mas Yoyok lupa, moyangnya umat manusia yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa, dulu mereka berada di surga dimuliakan oleh Allah. Begitu mereka makan barang haram, sekali lagi begitu makan barang haram, mereka langsung diusir oleh Allah dari surga! Mulia dan hina seseorang bermula dari barang yang dimakan manusia. Maka Al-Qur'an berpesan, kuluu minath thayyibat wa'maluu shaaliha. Makanlah makanan yang baik, yaitu baik lahir dan batin, dan beramallah yang saleh. Makan yang baik dahulu baru beramal saleh!"
"Kamu cerewet, banyak ceramah!"
"Berarti Mas salah pilih istri. Kenapa tidak cari saja perempuan di tempat-tempat karaoke itu? Kenapa malah milih yang lulusan pesantren?"
"Sudah-sudah, terserah apa maumu! Kalau maumu cuma yang dari hasil beras, ya terserah. Kau urus saja toko beras itu, keuntungannya semua untuk kamu, yang penting kamu nyaman!"
"Matur nuwun, Mas."
Ia merasa lega, satu hal musykil telah teratasi. Namun masih ada banyak hal-hal musykil yang berserakan dalam rumah tangganya yang harus ia atasi. Setiap hari selalu saja ada kejadian yang mengusik batinnya. Suaminya yang pulang larut malam dengan tubuh limbung dan bau minuman. Suaminya yang tidak mau shalat Shubuh. Suaminya yang mengajak teman-temannya bermain karaoke dan bernyanyi di rumahnya. Ia lihat sendiri bagaimana suaminya bisa begitu mesra menari-menari dengan wanita muda yang berpakaian tidak sopan. Usai acara itu, ia sempat marah dan melabrak suaminya kenapa menyentuh-nyentuh wanita itu. Dengan enteng suaminya menjawab, "Lha, mau nyentuh kamu tidak bisa, ya aku sentuh dia!"
Semua informasi tentang suaminya yang ia dengar dari orang-orang sebelum menikah, hampir bisa dikatakan benar. Ada yang memberitahunya bahwa suaminya itu tukang madat , madon , minum , main dan maling adalah benar. Maka saran Mbah Kamali dan Mbah Rukmini adalah benar. Apa yang dikatakan Bu Hajjah Muniroh, Bu Ahsani kepala sekolah SD-nya dulu, dan Endang Purwanti kakak kelasnya saat di SMP yang punya suami polisi itu, semuanya benar.
Yang menyakitkan hatinya adalah kecurigaan yang pernah disampaikan Bu Ahsani ternyata terkuak kebenarannya. Ia ingat betul kecurigaan Bu Ahsani, "Kalau dia baik seperti yang dikatakan pakdemu, semestinya ya dikasihkan si Aripah, anaknya. Masak dikasihkan kamu! Aku merasa pakdemu ada pamrih, atau hutang budi atau apa pada keluarga Kusmono calon besanmu!"
Dari Mbak Rosa yang dulu pernah pergi ke Lombok bersamanya, ia mendapat bocoran bahwa Pak Kusmono memaksa Yoyok menikah dengannya tujuan utamanya adalah politik. Yoyok yang sekarang menjadi anggota DPRD dan menjadi pengurus sebuah partai, telah digadang untuk maju sebagai calon bupati di daerah yang mayoritasnya kaum santri. Maka untuk meningkatkan citra harus dicari istri yang santri. Tidak hanya santri tapi juga istimewa. Begitu Pak Kusmono baca di koran seorang santriwati di Magelang asal Kaliwenang Grobogan punya prestasi istimewa langsung diincarnya. Bagai sumbu ketemu tutup, ternyata gadis itu -yang tak lain Ayna- adalah keponakan Pak Darsun, salah satu gedibal Pak Kusmono di Grobogan bagian barat. Pak Darsun dan istrinya bersedia menjamin perjodohan Yoyok dengan Ayna dengan imbalan akan dijadikan lurah di Kaliwenang.
"Lihat saja, minggu depan akhir pendaftaran calon lurah, Pakdemu di hari terakhir nanti akan daftar. Dan lihat saja, pas pemilihan lurah, Pakdemu pasti menang, sebab di belakangnya ada Kusmono yang siap menggelontorkan dana miliaran untuk membeli semua kepala di sana!" cerita Rosa suatu siang sambil makan bakso di alun-alun Purwodadi.
"Kenapa Mbak Rosa membuka ini semua?"
"Karena aku juga korban seperti dirimu. Hanya saja aku mulai insyaf, aku tidak ingin kau mengalami hal yang lebih parah dari diriku! Kalau ada celah untuk keluar jadi lingkaran busuk ini, pergilah!"
"Hal parah yang Mbak alami itu apa?"
"Tidak bisa aku ceritakan. Aku berdoa itu tidak terjadi padamu."
Seperti sabda seorang ratu yang sangat berkuasa, apa yang dikatakan Mbak Rosa itu benar. Pakdenya benar-benar maju mencalonkan diri jadi lurah, dan akhirnya benar-benar menang. Suatu hari, Atikah datang menemuinya dengan muka suram, "Aku tidak suka dengan cara Pak'e. Jadi lurah tapi dengan cara tidak benar. Nyebar uang tidak hitungan. Ditotal lebih dari satu miliar. Lha, tetangga desa sebelah jadi lurah cuma habis enam ratus juta. Ini Pak'e lebih dari satu miliar. Dan itu semua dari hutang pada Pak Kusmono. Dari mana nanti akan bayar hutang sebanyak itu? Tanah bengkok sebagai bayaran lurah kan tidak seberapa. Hasil lima tahun tidak akan cukup untuk bayar hutang sebanyak itu. Kalau Dik Ayna bisa ngomong sama Mas Yoyok, tolong Pak'e dibantu-bantu."
"Kalau lima tahun Pakdemu tidak bisa bayar hutang, yang terancam bahaya kedua anak gadisnya!" kata Mbak Rosa lain hari.
"Bahaya bagaimana, Mbak?"
"Pikir sendiri! Tapi jangan bilang ke Pakdemu dan sepupumu ya."
Rasa hormatnya pada Pakdenya kini hilang. Ia ingin tetap menghormati Pakdenya dan Budenya, tapi setelah tahu apa yang dilakukan mereka pada dirinya ia merasa tidak dianggap sebagai manusia, apalagi dianggap sebagai keluarga dekat. Ia hanyalah barang yang dijadikan alat transaksi politik belaka.
Setiap malam ia terus menangis kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar melindunginya dan memberinya jalan keluar dari segala jerat kelaliman. "Jagalah kesucianku, ya Allah sebagaimana Engkau menjaga kesucian Asiyah dari jahatnya Fir'aun," isaknya dalam sujudnya.
Untuk mengisi kegiatan keseharian selain menambah hafalan Al-Qur'an, ia mengambil kursus privat di sebuah LKP yang ada di Kota Purwodadi. Prinsipnya bertambah umur harus bertambah ilmu. Itu yang ia pegang. Ia juga kursus mengendarai mobil, sebab di rumahnya ada mobil Avanza yang nganggur. Setelah bisa mengendarai mobil, ia bisa lebih leluasa bergerak. Dua hari sekali ia bisa menyetor hafalan Al-Qur'an di Pesantren Al Badriyyah, Mranggen.
Tak terasa satu tahun lebih ia telah hidup satu atap dengan Yoyok, namun ia tetap bersikukuh tidak mau disentuh oleh suaminya itu sebelum memenuhi syaratnya. Segala cara nyaris dipakai Yoyok untuk menundukkannya. Cara halus maupun kasar.
"Jika kau hapus syaratmu itu, segala permintaanmu aku turuti. Mau kuliah lagi? Mau pergi haji? Mau jalan-jalan ke Eropa, atau Amerika? Itu semua aku turuti asal syarat itu kau hapus dan aku boleh menyentuhmu layaknya suami menyentuh istrinya," bujuk Yoyok.
"Jika seluruh isi dunia ini Mas kasihkan padaku, aku tidak akan menghapus syaratku itu. Satu ayat dari Al-Qur'an jauh lebih mulia dari dunia seisinya, Mas. Semestinya Mas sadar, syarat itu aku berikan untuk kebaikan Mas, kebaikan bangunan rumah tangga kita. Aku ingin agar darah yang mengalir dalam tubuh anakku kelak ada darah Al-Qur'annya. Bukan darah yang dicampuri minuman keras!"
Mendengar kata-katanya, Yoyok mendengus keras. Mukanya berapi-api penuh amarah tetapi ia tidak berkuti sama sekali. Sampai suatu malam, Yoyok pulang dalam kondisi mabuk, entah setan apa yang dilihat di jalan sehingga ia memaksa Ayna untuk memenuhi hasratnya. Ayna menolak tegas Yoyok marah luar biasa,
"Persetan dengan syarat itu! Kau adalah istriku yang sah, yang halal, dan aku berhak atas dirimu!"
"Ingat Mas, lelaki harus jantan! Janji dan syarat harus ditepati!"
"Persetan! Mau apa tidak, tidak mau maka akan aku paksa. Aku sudah biasa memaksa perempuan!" ceracaunya setengah mabuk.
Yoyok hendak memegang erat tangan Ayna dan menyeretnya ke kamar. Para pembantu yang terbangun dari tidur mereka tidak ada yang berani ikut campur. Ayna masih berusaha mengingatkan syarat itu. Tapi Yoyok sudah dikendalikan oleh setan. Ayna akhirnya mengambil sikap tegas, sebab jika ia terlambat bergerak maka ia akan benar-benar terkunci dan ia akan menyesal seumur hidupnya. Ayna melawan. Yoyok semakin bernafsu. Yoyok benar-benar ingin meringkus Ayna dan menggagahinya.
Ayna tidak menyerah begitu saja.
Ketika Ayna melihat kesempatan yang tepat, ia melancarkan tendangan keras menggunakan lututnya tepat mengenai selangkangan Yoyok yang membuatnya menjerit kesakitan dan melepaskan pegangannya. Begitu terbebas, Ayna langsung menyerang dengan tendangan Mae Geri keras ke dada Yoyok. Lelaki itu terpental satu langkah ke belakang. Belum puas juga. Ayna yang sudah dibakar amarah kini gantian sangat bernafsu untuk menghajar Yoyok. Sebuah tendangan Ushiro Geri menggunakan tumitnya sangat telak mengenai rahang Yoyok. Itu adalah tendangan andalan Ayna sejak dulu. Tendangan itu sangat keras. Yoyok terjengkang dan terkapar dilantai. Masih belum puas, Ayna melompat dan menggerek muka suaminya dengan telapak kakinya. Lalu ia melangkah keluar kamar. Sementara Yoyok mengerang kesakitan dengan hidung berdarah.
Karena peristiwa itu, Yoyok harus dirawat di rumah setengah bulan lamanya. Dua gigi depannya tanggal dan tulang hidungnya patah. Ia harus mengoperasi hidungnya untuk mengeluarkan patahan tulangnya.
Sejak kejadian itu Yoyok tidak berani macam-macam pada Ayna. Seorang pembantu mengingatkan bahwa Yoyok bisa saja menyuruh anak buahnya untuk mencelakainya. Ia menjawab dengan tidak takut sama sekali. "Aku malah ingin tahu dia laki-laki atau seorang banci yang beraninya hanya nyuruh anak buahnya!" Tantangan itu ternyata didengar oleh Yoyok. Lelaki itu akhirnya mengurungkan niatnya mengerahkan anak buahnya untuk meringkus Ayna. Harga dirinya terbit saat itu, ia tidak mau disebut banci oleh Ayna.
Sementara itu, berita tentang Gus Afif terus sampai kepadanya. Hampir tiap bulan Ningrum mengirim kabar lewat SMS. Gus Afif berulang kali keluar masuk rumah sakit untuk diagnosa penyakit yang bermacam-macam. Ia hanya menjawab dari jauh selalu mendoakan. Suatu pagi ia membaca SMS dari Ningrum, "Gus Afif sudah tiga hari di ICU rumah sakit, yang tersisa hanya tulang dan kulit. Apakah kamu tidak ingin menjenguknya?"
Ia ingin menjawab SMS itu tapi Mbak Rosa datang dengan tergopoh-gopoh wajah tegang.
"Gawat, Na. Gawat!"
"Ada apa, Mbak?"
"Ini, baca!" Ia membaca koran yang disodorkan Mbak Rosa.
"Yang ini!" "Pejabat ini ditangkap karena korupsi ya, Mbak?"
"Iya." "Terus gawat kenapa? Kan itu berita yang sudah biasa di Indonesia."
"Dengar, pejabat itu adalah rekanan proyek perusahaan suamimu, di mana di situ suamiku bekerja sebagai salah satu manajernya. Dan proyek yang terindikasi korupsi itu ya proyek yang dikerjakan oleh perusahaan suamimu. Setelah pejabat itu ditangkap berikutnya adalah suamimu dan suamiku. Ngerti!"
Ayna menarik napas, ia tidak tahu sedih atau bahagia dengan berita itu. Sebab ia tahu kejahatan korupsi yang dilakukan Yoyok tidak hanya itu. Apakah ia harus bersedih atas tertangkapnya maling yang jahat? Ataukah harus bahagia? Tapi walau bagaimanapun dia adalah suaminya.
"Sekarang aku harus bagaimana, Mbak?"
"Kalau kau punya barang berharga milik kamu pribadi, atau punya uang milik kamu pribadi, sebaiknya jangan kau simpan di rumah ini. Aku khawatir nanti rumah ini digeledah. Bahkan bisa jadi rumah ini nanti di sita!"
Ayna memejamkan mata, sambil mengatur napas ia banyak menyebut asma Allah. Sungguh ia tidak menduka akan berurusan dengan hal-hal seperti itu.
Nama suaminya mulai muncul di koran. Satu dua wartawan mulai datang ke rumah. Ia mulai merasa tidak nyaman. Ia minta izin kepada Yoyok untuk mencari ketenangan di Kaliwenang, dan diizinkan. Maka ia mengajak seorang pembantunya untuk pindah ke rumahnya di Kaliwenang. Ia hanya membawa barang-barangnya, dan sepeda motor hasil jualan beras di pasar.
Suatu pagi saat ia baru bangun untuk shalat malam, ponselnya berdering berkali-kali. Ia terkesiap kaget. Belum pernah ia mendapat telepon jam dua malam. Ia lihat, dari Mbak Ningrum.
"Assalamualaikum, Mbak Ningrum."
"Wa'alaikumussalam, ya Allah, Na, huhuhu." Ia mendengar Mbak Ningrum menangis tergugu.
"Ada apa, Mbak?"
"Gus Afif, Na. .. huhuhu."
"Kenapa Gus Afif?"
Tiba-tiba rasa takut menyergap dirinya. Ia takut mendengar kabar buruk bahwa pemuda itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
Mbak Ningrum masih menangis disambungan telepon
"Kenapa Gus Afif, Mbak?"
"Dia kritis, Na. Mungkin tak lama lagi sakaratul maut Kau harus dating, Na! Datanglah, Na!"
Ayna ikut terisak bersama tangisan Mbak Ningrum.
Ayna berpikir bagaimana cara tercepat menuju Magelang. Baru jam dua malam. Bus dari Purwodadi paling awal jam setengah lima. Itupun harus beberapa kali pindah bus baru sampai Magelang. Ia mengambil air wudhu untuk shalat malam dengan singkat lalu membangunkan pembantunya dan memboncengkannya ke rumah Yoyok di Purwodadi. Ketika ia masuk rumah itu, Yoyok tidak ada di rumah.
"Pak Yoyok lagi terbang ke Singapura. Tapi tidak boleh diberitahukan siapa-siapa," lapor Lik Kasbun yang malam itu ditugasi menjaga rumah itu.
Ia menuju kamarnya dan membuka lari almari pakaiannya. Kunci Avanza dan STNK masih ada di sana. Malam itu juga ia nekad mengendarai mobil menuju Magelang. Ia ingin segera sampai rumah sakit tempat Gus Afif dibaringkan. Sepanjang perjalanan air matanya terus mengalir tak bisa ditahan. Selama ini ia menderita tapi Gus Afif ternyata lebih menderita dari dirinya. Seandainya Gus Afif ditakdirkan meninggal, ia ingin menjadi orang yang pernah menalqinnya dengan kalimat thayyibah di ujung napasnya.
Mobil itu ia pacu dengan kecepatan tinggi. Belum pernah ia mengendarai mobil seperti itu. Memasuki tol Semarang-Bawen ia berkejaran dengan bus malam dari Jakarta. Saat adzan Shubuh berkumandang ia telah sampai
Ambarawa. Ia shalat di pom bensin lalu kembali memacu mobilnya.
Pak Kyai, Bu Nyai, Gus Asyiq, Mbak Malihah, Mbak Ningrum, Mbak Titin, Kang Bardi, dan beberapa santri lelaki tampak menunggu di lorong rumah sakit depan ICU. Wajah mereka semua sendu. Pipi mereka basah oleh air mata. Begitu melihat Ayna yang datang, Bu Nyai langsung menghambur memeluknya dengan tangis yang keras tersedu-sedu.
"Maafkan Ummi, maafkan Ummil"
"Ummi tidak salah!" isak Ayna.
"Sudah tiga hati ini Afif koma. Tak merespons apapun. Dokter sudah bilang agar diikhlaskan. Para santri sudah bergiliran membaca Al-Qur'an. Bicaralah padanya, talqinkan dia. Selain Allah, hanya namamu yang disebut-sebut saat bibirnya bergerak!"
Gus Asyiq memberitahu dokter dan perawat yang sedang menjaga Afif di ruang ICU. Ayna dipersilakan masuk. Dokter dan perawat keluar. Ayna duduk di kursi, wajahnya mendekat ke telinga Afif. Ayna tak mengira kondisi Afif akan sangat mengenaskan seperti itu. Pak Kyai dan Bu Nyai berdiri di belakang Ayna.
"Assalamu 'alaikum, Mas Afif. Boleh ya aku panggil Mas, bukan Gus. Sebab aku selalu berdoa kepada Allah agar bisa memanggilmu Mas. Dan kalau aku punya anak, maka aku dan anak-anakku akan memanggilmu Abi. Apa yang kau lakukan ini Mas Afif? Apa? Apa kau lupa dengan khotbahmu di masjid saat kau menjelaskan kaidah fiqh laa dharara wa laa dhirara. Dalam Islam tidak boleh melakukan perbuatan yang bahaya dan membahayakan. Haram! Kau jelaskan kaidah itu di dalamnya ada kandungan makna ayat wa laa tulqu bi aidikum ilat tahlilkah. Jangan kau jatuhkan dirimu dalam kebinasaan! Tapi kenapa kau langgar sendiri nasehatmu, kau langgar sendiri khotbahmu, Mas. Kenapa? Kenapa kau bahayakan dirimu sendiri? Kenapa kau binasakan dirimu sendiri? Kenapa kau bunuh dirimu sendiri? Kenapa kau putus asa, Mas? Aku masih ingat betul dan selalu kuingat siang dan malam janjimu itu, saat kau datang ke rumahku. Kau katakan begini padaku: ?Sebelum aku pamit, tolong dengarkan janjiku, Ayna. Dengar, demi Allah, jika aku jadi suamimu, aku janji akan memuliakan kamu, apapun yang kamu minta akan aku turuti selama aku mampu. Kau akan menjadi perempuan paling berbahagia karena mendapatkan curahan cinta dan kesetiaan paling besar yang dimiliki seorang lelaki kepada perempuan di atas muka bumi ini. Aku akan berusaha dengan seluruh kemampuanku untuk membahagiakan kamu. Sebab aku sangat mencintai kamu. Aku akan menjagamu lebih dari menjaga diriku sendiri. Aku akan menghormatimu seperti para nabi menghormati istri mereka.? Mas, kau mengatakan seperti itu kan? Kau masih ingat kan? Mas Afif, kau bilang akan menjagaku lebih dari menjaga dirimu sendiri. Kau akan menghormatiku seperti para nabi menghormati istri mereka. Bagaimana mungkin kau akan menjagaku, sementara kau tidak bisa menjaga dirimu, Mas? Ingat, Mas, saat itu kau bersumpah pakai nama Allah. Jangan main-main Mas, pakai nama Allah. Besar dosanya, kau tahu itu! Terus para nabi, apakah ada para nabi yang putus asa sampai merusak dirinya, Mas? Kau tidak bisa menghormati dirimu, bagaimana bisa kau bilang akan menghormati aku! Mas, ingat janjimu! Ingat sumpahmu! Jadilah Muhammad Afifuddin yang kukenal. Afifuddin yang aku cintai karena jiwa ksatrianya. Afifuddin yang jadi panutan para santri. Afifuddin yang tabah dan tidak putus asa!"
Ayna menangis tersedu-sedu di telinga Gus Afif. Pak Kyai dan Bu Nyai yang mendengar dan menyaksikan itu hanya bisa berdiri sambil terisak. Air mata mereka tiada berhenti mengalir. Tiba-tiba Bu Nyai melihat bibir Afif bergerak dan dari kedua matanya keluar air mata. Dokter yang mengawasi dari jendela mengangguk-angguk.
"Mas Afif aku yakin kau mendengarkan suaraku. Demi Allah, Mas, aku menunggu dirimu untuk menunaikan janjimu. Sekarang aku jualan beras di pasar, Mas. Hasilnya aku kumpulkan serupiah demi serupiah. Untuk apa? Aku masih yakin bahwa kita akan kesampaian belajar di Mesir. Aku kumpulkan hasil jualan beras tiap hari agar ketika tiba saatnya aku harus beli tiket untuk pergi ke Mesir, aku ada uang, Mas. Tapi apa yang kau lakukan? Apa yang kau kerjakan? Kenapa kau tidak bersemangat menatap hidup dan bekerja keras mengumpulkan modal? Mana buktinya kau lelaki yang bertanggung jawab dan bisa dipegang kata-katanya. Kau jangan salah sangka, Mas. Aku tidak marah padamu. Aku tidak meremehkanmu. Tidak, sama sekali tidak. Aku sampaikan ini semua karena aku sangat mencintaimu. Aku ingin bertemu denganmu sebagai Afifuddin yang sesungguhnya, bukan Afifuddin yang pesimis. Mas Afif, dengar baik-baik, Mas. Aku sangat yakin semua impian yang kau bayangkan, dan yang aku bayangkan bahwa kita akan menikah lalu pergi ke Mesi akan jadi kenyataan. Demi Allah, kau tidak boleh pesimis, Mas. Episode kita ini mirip seperti episode kisah cinta Sri Rama dengan Dewi Sinta. Suatu ketika mereka harus berpisah karena Sinta diculik Rahwana. Tapi luar biasa Rama, ia tetap tegar dan segala cara dia tempuh untuk mendapatkan kembali Dewi Sinta-nya. Meskipun Rama agak khawatir tentang kesucian Dewi Sinta ketika mereka bertemu, tapi Dewi Sinta tak kalah luar biasa ia siap membuktikan bahwa dirinya adalah perempuan bersih yang terus menjaga kesuciannya. Cara apapun akan ia tempuh untuk membuktikan itu dan ia tidak sama sekali meskipun harus membuktikan dengan masuk ke dalam kobaran api. Mas Afif, saat ini aku adalah Dewi Sinta yang ditawan Rahwana. Aku menunggu sikap ksatriamu, Mas. Kau tentu mengerti maksudku. Kau jangan malah lari tak jelas arahnya. Dalam kerangkeng Rahwana, aku berjuang mati-matian untuk menjaga kesucianku, Mas. Tapi mana Mas Afifku? Mana? Apakah kau santri yang mengenal syahadat, mengenal ajaran Baginda Nabi, kalah ksatria dengan Sri Rama, Mas? Kau tidak boleh kalah dengan Rama, Mas. Sebab aku yakin, demi Allah, kalau Sinta itu memang ada, aku tidak kalah dalam menjaga kesucianku dibandingkan Sinta. Allah dan Rasul-Nya menjadi saksi atas kata-kataku ini, Mas! "Bangun, Mas Afif. Apa jadinya jika Sinta terbebas dari Rahwana, tetapi Rama telah lari pergi meninggalkannya? Ayo, Mas Afif. Aku tahu, kau mendengarkan kata-kataku. Demi Allah, Mas, seandainya aku sudah halal bagimu, aku pasti sudah menciumimu penuh cinta karena Allah. Ayo, Mas, sebut nama Allah. Bangun, Mas, sebut nama Allah. Istighfar, istighfar. Siapa yang memperbanyak istighfar, Allah akan kasih jalan keluar. Istighfar, Mas!"
Tiba-tiba bibir Afif bergerak, lalu lirih terdengar ia mengucapkan, "Astaghfirullahl Allah! Astaghfirullahl"
Kata-kata Ayna yang diungkap secara jujur penuh cinta dari relung hati paling dalam mampu menembus alam bawah sadar Gus Afif. Bu Nyai dan Pak Kyai seperti melihat mukjizat di hadapan mereka. Ayna terus mengiringi Afif berdzikir, "Astaghfirullahl Allah! Astaghfirullahl"
Setelah dokter mengatakan bahwa Gus Afif telah melalui masa kritisnya, sebenarnya Ayna ingin langsung balik ke Purwodadi. Tetapi Bu Nyai memegangi kedua tangannya dan memintanya dengan sangat agar tetap di situ dua atau tiga hari. "Sampai Afif benar-benar kembali menemukan cahaya semangatnya yang selama ini redup. Ternyata suaramu, kehadiranmu, ketulusan kasih sayangmu adalah obat penyakitnya. Tolonglah Ayna, Ummi mohon!"
Ia tidak kuasa menolak permohonan perempuan yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Maka ia putuskan untuk di Magelang tiga hari lamanya. Ia memberi kabar kepada Lik Kasbun, posisi dan keberadaannya. Ia berpesan agar jika Yoyok pulang dimintakan izin untuk menginap di Magelang menemani Bu Nyai-nya. Meskipun ia tidak mau disentuh oleh Yoyok, tetapi etikanya sebagai seorang istri tetap ia jaga sebaik-baiknya. Ia tidak pernah menyembunyikan kegiatan dan keberadaaan dirinya kepada suaminya.
Di hari kedua, ia menunggui Gus Afif bersama Bu Nyai dan Pak Kyai, ia merasa sangat bahagia karena Afif telah benar-benar sadar dari komanya. Ia tersenyum pada pemuda itu, pemuda itu tersenyum padanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih," lirih Gus Afif.
"Sudah berapa lama, Mas Afif tidak muroja'ah Al-Qur'an?"
"Ka.. kau memanggilku Mas?"
"Apakah tidak boleh?"
Afif menoleh pada Bu Nyai dan Pak Kyai. Mereka berdua tersenyum dan mengangguk. Gus Afif tersenyum.
"Aku takut Al-Qur'an meninggalkanmu. Sudah berapa lama tidak muroja'ah?"
"Seingatku tiap hari aku muroja'ah."
"Sungguh?" Gus Afif mengangguk. "Coba lanjutkan, maa lakum idza qiila lakumun firuu fii sabiilillaahi tsaqoltum...!"
Gus Afif langsung menlanjutkan potongan ayat ke-38 surat At-Taubah dengan suara pelan, jelas dan lancar. Gus Afif terus membaca ayat-ayat berikutnya. Ayna diam khusyuk mendengarkan. Demikian juga Pak Kyai dan Bu Nyai. Hampir lima menit Gus Afif melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bu Nyai menyenggol tangan Ayna. Gadis itu tersadar, bahwa kondisi Gus Afif masih lemah.
"Cukup. Coba dengarkan!" Ayna lalu membaca ayat tujuh puluh surat Al-Isra'. Gus Afif menyimak dengan penuh perhatian. Ayna melanjutkan ayat setelaknya dan terus membaca dengan hafalannya, hingga ayat 84 lalu berhenti.
"Lanjutkan!" "Wa yas'alunaka 'anirruuh qulir ruuhu..." Gus Afif melanjutkan ayat berikutnya dengan lancar. Di ayat ke-88, Ayna menghentikan.
"Cukup. Alhamdulillah, Al-Qur'an tidak meninggalkanmu."
"Aku juga tidak pernah meninggalkannya."
"Alhamdulillah."
"Eh, kau, kau tadi, itu kau hafalan. Sudah berapa juz kau hafal?" tanya Gus Afif. Pak Kyai dan Bu Nyai baru sadar bahwa tadi itu Ayna melantunkan Al-Qur'an tanpa membaca mushaf.
"Saat di pesantren cuma lima juz. Alhamdulillah sudah tambah, sudah jadi sepuluh juz. Sinta selama dalam kerangkeng Rahwana diam-diam menghafal Al-Qur'an. Agar saat nanti bertemu Rama-nya yang katanya hafal Al-Qur'an, ia merasa pantas bersanding dengannya."
Gus Afif memejamkan kedua matanya mendengar itu. Dari pelupuk kedua matanya, air mata bening merembes ke pipinya. Api semangat dan cahaya hidupnya telah kembali mengalir dalam darah, sumsum dan syaraf-syarafnya. Gus Afif seperti mencium aroma masa depan yang indah, segar, semerbak wangi baunya.
Beberapa menit sebelum Ayna meninggalkan Gus Afif, gadis itu masih sempat memotivasi Gus Afif.
"Mas Afif, pernah dengar yang ditulis Jalaluddin Rumi tentang duka, tentang kesedihan?"
Gus Afif menggeleng. "Rumi menulis, kira-kira artinya begini, Duka lara itu tetaplah berkah. Ia tidak menorehkan luka sama sekali, justra ia membuka kesempatan untuk meminum air kehidupan yang hanya tersedia ketika kegelapan itu datang! Ngerti maksudnya?" Gus Afif mengangguk.
"Ambil saja sebagai contoh, seruling, misalnya. Seruling itu bisa mengeluarkan suara sangat indah yang bisa menyihir siapa yang mendengarnya setelah ia melewati masa duka lara dan rasa sakit berkali-kali. Bukankah seruling itu dulunya bambu yang hidup nyaman dan damai di pinggir hutan. Bambu itu harus ditebang, lalu dipotong-potong, lalu disayat-sayat, lalu lubangi. Barulah ia bisa mengeluarkan bunyi yang indah dan merdu! Saya pamit, Mas. Tolong ingat-ingat janjimu, Mas! Saat ini Ayna adalah Sinta dalam tawanan Rahwana. Tapi pasti akan tiba, Sinta terbebaskan dari penjara, dan berjumpa dengan Sri Rama, dengan pertolongan Allah."
Kedua mata Gus Afif berkaca-kaca mendengar nasihat gadis berjilbab biru muda yang pernah ia minta untuk menjadi istrinya itu.
"Hati-hati di jalan."
"Iya, Mas." BAGIAN 11 Beberapa nama disebut tersangkut korupsi. Pejabat yang disidang oleh Pengadilan Tipikor menyebut nama-nama yang terlibat dengannya. Di antara nama itu adalah Haryo Bagus Karloto, Kusmono, Budi Marjono, Joni Sunowo, dan tiga nama lainnya.
Ayna merasakan kegelisahan di wajah suaminya. Suatu siang ia melihat suaminya berbincang serius dengan ayah mertuanya yaitu Pak Kusmono. Mereka menghentikan pembicaraannya begitu ia mendekat membawa dua gelas jus jambu dan dua cawan pisang bakar buatannya.
"Kau ini menantu yang baik, tahu saja kalau Bapakmu ini suka pisang bakar dan jus jambu," kata Pak Kusmono sambil tersenyum. Jujur, entah kenapa ia tidak suka dengan senyum mertuanya itu. Namun ia berusaha membalas dengan senyum.
"Ah, Bapak pintar memuji," gumamnya.
"Bagaimana, Yoyok sudah memenuhi syarat itu?"


Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum." "Sudah kubilang, dia harus rehat dan meluangkan waktu untuk ngaji dan menghafal. Aku sudah sarankan untuk umrah dan bawa guru ngaji. Ngapalin di Mekkah satu bulan atau dua bulan mesti rampung. Kalau di sana pasti semua dosa rontok dan mudah menghafal. Tapi dia tidak mau. Tapi apa ya nggak ada kemurahan, atau diskon, atau dispensasi atau apalah namanya darimu. Misal, hafal Fatihah saja begitu."
"Tidak. Sampai kiamat dating, kalau Mas Yoyok tidak memenuhi syarat itu, ya saya akan tetap bertahan. Itu sudah jadi kesepakatan."
"Kayaknya kalian ini bukan jodoh yang pas. Perlu kalian pikirkan!"
Ayna heran dengan pola pikir mertuanya, bukanlah ia sebenarnya tahu sejak awal bahwa ia bukan jodoh yang tepat buat anaknya. Bukankah mertuanya yang merancang pernikahan gombal antara dirinya dan Yoyok. Tanpa menikahpun Yoyok sudah biasa main perempuan. Mengingat segala yang diceritakan Mbak Rosa kepadanya, ia harus lebih waspada. Sebab ia tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang dirancang dan dipikirkan oleh suaminya dan mertuanya.
Sore itu sinar matahari lembut menyepuh genting pesantren. Angin bertiup menggoyang dahan-dahan. Burung-burung menari berkicauan. Gus Afif tampak duduk di serambi masjid di kelilingi para santri pemula yang baru datang. Dengan fasih Gus Afif membaca dan mengajarkan kitab Qami' Al-Tughyan. Sebuah kitab yang mengulas cabang-cabang iman. Bu Nyai memandangi anaknya itu sambil tersenyum di kejauhan.
Sudah tiga bulan Gus Afif menjalani hidup norma di pesantren. Cahaya wajahnya yang dulu redup kini kembali terang. Tulang-tulangnya kini kembali kuat dan berdaging. Ia tampak lebih khusyuk dan lebih tenang. Ia jarang membicarakan kuliah, ia lebih sibuk membaca di ruang perpustakaan ayahnya dan muroja'ah hafalan Qur'an.
Suatu hari, ia bertanya kepada Abahnya, apakah pernah ngaji Kitab Risalatul Mustarsyidin karya Imam Harits Al Muhasibi. Kyai Sobron menjawab, pernah, ia pernah belajar kitab itu dari awal sampai akhir pada Syaikh Yasir di Makkah.
"Afif mohon waktu Abah, ba'da shubuh. Afif mau mengaji kitab itu pada ayah."
"Itu kitab yang mudah bahasanya, dalam isinya. Kau bisa baca sendiri dalam dua hari selesai. Kau mampu membacanya, tanpa harus Abah bacakan."
"Afif ingin ngaji persis seperti Abah dulu ngaji sama Syaikh Yasir. Abah, mohon!"
Kyai Sobron tidak bisa menolak desakan anak yang dicintainya. Apalagi yang diminta adalah kebaikan. Sejak itu setiap pagi, Afif talaqqi, ngaji kitab itu pada Abahnya. Kecenderungan Gus Afif pada kitab-kitab yang membahas penyucian jiwa semakin bertambah. Ia mulai jarang membicarakan hal di luar ibadah dan kedekatan kepada Allah. Bahkan ia tidak begitu antusias lagi ketika Bu Nyai membicarakan Ayna.
"Jangan bahas Ayna lagi, Mi?"
"Lho, kenapa?" "Dia telah mencapai apa yang belum aku capai. Aku malu. Jiwaku banyak penyakitnya, aku tidak layak menyebut namanya apalagi menyuntingnya. Sudahlah, jangan sebut-sebut dia lagi!"
Bu Nyai tidak membantah. Baginya putranya selamat dari kematian yang mengenaskan itu sudah harus ia syukuri. Ia tidak akan lagi memaksakan sesuatu padanya atau melarang sesuatu yang diinginkannya selama itu tidak salah dan dosa. Biarlah dia memilih jalan hidupnya.
Suatu pagi, Bu Nyai tidak melihat Gus Afif sampai siang. Biasanya ia melihat kelebatannya sarapan, atau ia mendengar suaranya membaca Al-Qur'an. Tapi pagi itu sampai jam sembilan ia tidak melihatnya. Ia menghampiri kamarnya, dan kaget ketika menemukan selembar kertas di atas tempat tidur putranya.
"Ummi, Abah, ini Afif mohon pamit. Afif pergi seperti Imam Asy Syibli dulu pergi untuk memperbaiki dirinya. Jangan mencari Afif kalau satu tahun atau dua tahun tidak pulang. Kalau setelah tiga tahun Afif tidak pulang anggap saja Afif meninggal dijalan mencari ilmu. Afif mohon ridha Ummi dan Abah. Tanpa ridha itu, hidup Afif akan sengsara. Maafkan segala salah Afif."
Bu Nyai Nur Fauziyah membaca tulisan putranya itu dengan mata berkaca-kaca. Pagi itu ia langsung shalat Dhuha dan shalat Hajat mendoakan keselamatan untuk putranya. Hal serupa dilakukan oleh Pak Kyai Sobron. "Aku titipkan keselamatan putraku, Afif, kepada-Mu ya
Allah," lirihnya dalam sujud. Bu Nyai lalu minta Ningrum menyalin tulisan Afif itu diponsel dan mengirimkannya kepada Ayna. Saat itu Ayna dalam kondisi terancam dan genting.
Ayna mengendarai sepeda motor menuju rumah mertuanya. Pikirannya bertanya-tanya kenapa mertuanya memanggilnya. "Kamu tidak boleh lengah, kau harus waspada dan menggunakan akalmu, kalau nanti dipanggil Pak Kusmono! Ingat, kata-katanya tidak boleh dibantah!" Ia masih ingat betul kata-kata Mbak Rosa ketika media memberitakan nama-nama yang akan dipanggil Pengadilan Tipikor sebagai saksi. Salah satu nama itu adalah Pak Kusmono.
Kira-kira jam setengah lima sore, Ayna memasuki rumah mertuanya. Mbak Minah mengantarkannya ke gazebo yang ada di taman belakang rumah. Pak Kusmono telah menunggu di sana.
"Benar-benar menantu Bapak yang baik. Sedang apa kau tadi?"
"Biasa Pak, di pasar, melihat kerja Mbah Mimin dan Wak Sartono di toko beras."
"Oh ya, itu Yoyok pernah cerita, kau suka bisnis recehan seperti itu. Ya nggak apa-apa. Latihan dari kecil dulu. Kalau langsung ngurusi bisnis besar malah repot."
Ayna tidak menanggapi kata-kata mertunya yang bernada meremehkan.
"Wonten wigatos nopo, nggih, Pak? "
"Oh begini, aku dan Yoyok mau minta pertolonganmu. Mau kan kau menolong kami?"
Ayna langsung waspada, ia teringat apa yang dikatakan Mbak Rosa. Ia harus bisa menata kata-katanya. Ia tidak boleh tampak ngerti dan pintar. Ia tidak boleh tampak menyelidik dan curiga.
"Saya kan menantu Bapak, ya sudah jadi kewajiban saya menolong, kalau saya mampu."
"Kamu pasti mampu. Matur nuwun, matur nuwun. Jadi begini..." Pak Kusmono mengernyitkan keningnya. "Aku dan suamimu, Yoyok dalam bahaya besar. Bisnis kami juga dalam bahaya besar. Bisa hancur belasan bisnis yang aku rintis bertahun-tahun dan berdarah-darah. Kami perlu pertolonganmu. Ini satu cara yang telah aku rembug dengan suamimu. Cara paling tepat untuk menyelamatkan keluarga besar ini dari kehancuran. Memang perlu sedikit pengorbanan, tapi harus dilakukan untuk keselamatan bersama. Begini, informan kami memberitahu bahwa dalam waktu tak lama lagi, paling sama satu bulan, kami akan dijadikan tersangka. Kau sudah tahu, kasus korupsi itu. Sebenarnya bisnis biasa saja, ya umumnya bisnis bukan korupsi. Tapi pejabat itu memang bodoh, sehingga rusak semua. Kalau kami jadi tersangka terus ditahan dan dipidana, hancur sudah keluarga besar ini. Aset-aset bisa disita semua. Informan kami memberi tahu satu celah kami bisa lolos dari jeratan hukum ini. Tapi hanya kau yang bisa melakukannya."
"Apa itu, Pak, apa yang bisa aku baktikan untuk keluarga besar ini?"
Pak Kusmono tampak senang dengan jawaban Ayna yang menampakkan ketulusan.
"Ini sedikit perlu pengorbananmu dan Yoyok. Tapi ah sepele. Penegak hukum kita ini kan ada yang brengsek. Tapi kadang-kadang yang brengsek ini bisa menolong kita. Lucu, ya. Begini, ada orang penting dari penegak hukum itu, yang brengsek. Dia suka perempuan. Kebetulan istrinya sudah tua dan sudah mati setahun lalu. Orang ini, sudah tua, seusia bapak mertuamu ini, tapi tangannya bisa mencengkeram di mana-mana. Lha, kau ingat waktu kau diajak sama Yoyok acara makan malam di restoran pinggir laut di Semarang itu?"
"Iya, ingat." "Itu makan malam bersepuluh orang. Orang penting semua. Ada orang tua pakai jas abu-abu kotak-kotak ingat?"
"Yang agak botak?"
"Yah, tepat! Itu namanya Pak Brams Margojaduk, SH., dia bisa mengatur semuanya. Saat makan malam itu ternyata dia tertarik padamu. Atau bahasa anak mudanya, jatuh cinta padamu. Ia banyak cerita pada informan kita itu. Lha, di sini celahnya, dia memberi isyarat kepada kita lewat informan kita, kalau Yoyok mau melepas kamu, lalu kamu bersedia jadi istrinya. Maka kita semua akan selamat. Bagaimana kau bisa kan menolong kami?"
Tubuh Ayna bergetar hebat tapi dia berusaha keras menguasai dirinya. Ingin rasanya menonjok dan menendang mertuanya itu. Ia merasa benar-benar dihina. Mertua mana yang rela menjual anak menantunya kepada lelaki tua bandot yang busuk. Dan, kepada Yoyok, ia tidak bisa memaafkan, bagaimana ia bisa mengizinkan hal ini. Tiba-tiba ia teringat semua cerita Mbak Rosa. Orang-orang yang telah diperbudak nafsu duniawi tidak lagi punya moral dan nilai harga diri. Yang ada dalam pikiran hanya harta dan harta.
"Ingat, kata-katanya tidak boleh dibantah!" Suara Mbak Rosa seperti mengingatkannya.
"Apa ini satu-satunya cara, Pak? Tidak ada cara yang lain?"
"Ini cara yang peluang berhasilnya paling besar. Aku sudah bicara panjang lebar pada Yoyok. Dia setuju. Kau jangan salah paham. Kami tetap sangat menghormatimu. Kau adalah bagian keluarga besar ini. Hanya kadang-kadang kita perlu sedikit berkorban untuk kejayaan bersama. Ini hanya sandiwara. Kau diceraikan sama Yoyok. Nanti tentang surat cerai bisa dipercepat. Lalu si Bandot Brams Margojaduk akan melamarmu. Kau menerimanya, kalian menikah. Kau buatlah dia senang sebagai suami. Seminggu setelah itu kita semua akan divonis bebas, tidak ada bukti kita terlibat skandal korupsi itu. Setelah kita siapkan kuda-kuda kuat, benteng-benteng legal hukum semua lini usaha kita kuati, aku akan kasih kode kepada dirimu. Kau gugat cerai. Aku akan siapkan orang yang lebih kuat dari si Bandot itu, dan kau bisa kembali ke suamimu!"
Jika ia membawa pedang, rasanya ia ingin menebas leher mertuanya yang jahat itu.
Ayna diam sesaat lamanya. Ia menahan amarahnya yang luar biasa. Air matanya meleleh ke pipi.
"Jangan menangis, aku tahu kau perempuan kuat dan penyayang keluarga. Kalau sampai kita ditangkap, Pakdemu dan Budemu juga kena. Dana yang digunakan buat ongkos Pakdemu jadi lurah itu dari dana proyek itu. Pengorbananmu akan menyelamatkan kita semua. Jasamu tidak akan kami lupakan. Aku janji, jika kau selamatkan kami, sepertiga aset perusahaan itu menjadi milikmu!"
Ayna ingin menjawab, bahkan jika isi seluruh bumi ini diberikan kepadanya ia tidak akan menjual dirinya pada si Bandot itu. Tapi itu hanya ia ucapkan dalam hati. Ia teringat salah satu nasehat guru karatenya,
"Gesit itu kunci menang! Tunggangilah ketidakmampuan lawan. Tempuhlah jalan yang tidak disangka-sangka. Dan seranglah di mana ia tidak siap!"
Konon itu kalimat terkenal seorang ahli strategi dari Tiongkok namanya Sun Zu.
Ia melihat, inilah saatnya ia merangcang taktik keluar dari jeratan para durjana. Inilah saatnya ia menunggangi ketidakmampuan lawan. Yoyok dan Kusmono ia anggap sebagai lawannya. Saat ini mereka sedang lemah, sedang tidak mampu. Ini saatnya ia menunggangi mereka. Lalu nanti di saat yang tepat ia akan menempuh jalan yang tidak disangka-sangka.
Ayna mengangguk, ia lalu memperlihatkan sikap tulus seraya berkata,
"Saya tidak memiliki keluarga kecuali keluarga besar ini dan keluarga Pakde saya. Saya akan lakukan apa saja untuk menolong keluarga yang saya cintai. Monggo kalau Mas Yoyok mau melaksanakan siasat ini. Monggo diatur. Masalah bagian tidak usah dibahas, sudah menjadi kewajiban saya membantu keluarga saya."
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Pak Kusmono.
Ayna mengangguk. Tiba-tiba wajah Pak Kusmono muram, entah bersandiwara atau tidak air matanya meleleh.
"Sebenarnya aku tidak tega menyerahkan kau pada si Bandot itu. Tapi inilah jalan terbaik yang aku lihat."
Ayna diam menunduk. Ibarat perang, ia adalah jenderal perang yang kini memimpin pasukan dan berhadapan dengan musuh. Maka ia harus waspada, cerdas dan menang. Pulang dari situ yang pertama kali ia lakukan adalah membayar semua hutangnya, terutama kepada para petani yang setor beras di pasar. Lalu menangih semua piutangnya. Lalu diam-diam ia menggadaikan BPKB motornya. Selebihnya ia beraktivitas normal seperti biasanya.
Rencana Pak Kusmono benar-benar dilaksanakan. Sangat cepat. Dua hari setelah ia bicara dengan Pak Kusmono di gazebo itu, Yoyok mengumumkan kalau telah mencerainya. Suaminya itu mengumumkan beberapa kali. Pertama, di hadapan para wartawan di alun-alun ketika usai jalan pagi bersama para pejabat. Lalu ia ulangi lagi ketika dialog menjadi bintang tamu sebuah radio swasta mengeni kasus korupsi yang menyebut namanya. Dia mengatakan, "Ya untuk diketahui oleh masyarakat bahwa saya sudah beberapa waktu tidak serumah dengan istri saya. Kami tidak cocok. Saya sudah menceraikannya. Ya, kami harus berpisah demi kebaikan bersama."
Lalu yang ketiga, ketika acara makan malam di Hotel Purwodadi Sentausa. Saat makan malam itu, ada si Bandot Brams Margojaduk. "Bapak ibu semua, untuk jadi perhatian ya, saya sudah menceraikan istri saya ini. Sebenarnya saya sudah lama ingin menceraikannya, masih banyak pikir-pikir saat itu. Kini kami sudah sepakat cerai. Jadi saya tidak punya tanggung jawab apa-apa atas transaksi bisnis yang mengatasnamakan dia. Terima kasih!"
Ia melirik si Bandot Margojaduk. Lelaki tua itu tampak manggut-manggut. Usai makan malam, si Bandot itu mendekatinya. Ketika itu Yoyok sedang ke toilet.
"Masih serumah sama dia?"
"Sudah lama pisah rumah, Pak. Saya di Kaliwenang, balik ke kampung saya, dia di tengah Kota Purwodadi. Ya kami memang tidak cocok."
"Malam ini balik ke mana?"
"Kaliwenang." "Ada yang mengantar."
"Saya bawa sepeda motor."
"Ah kasihan, bagaimana kalau sepeda motornya ditinggal di sini? Kau aku antar ke Kaliwenang. Biar pagi-pagi nanti orang hotel antar sepeda motormu."
"Aduh gimana ya, saya tidak enak dilihat suami saya nanti. Eh, mantan suami saya."
"Biar saya yang bicara, tenang saja."
Akhirnya ia pura-pura mau diantar. Selama perjalanan si Bandot itu tampak sopan dan baik. Lelaki tua itu tidak bicara yang macam-macam. Ia hanya kesepian setelah ditinggal istrinya tapi belum menemukan pengganti yang pas.
"Saya ingin ada orang yang tulus mendampingiku di hari tua. Lima bulan lagi saya pensiun, saya ingin hidup tenang. Sebelum pensiun saya mau abdikan diri saya sebaik-baiknya untuk negara. Ada banyak kasus hukum yang harus saya selesaikan. Saat saya pensiun saya ingin hidup tenang, ibadah, tiap tahun umrah. Sayang, saya belum ketemu perempuan yang cocok."
Ia tahu arahnya tapi ia diam saja.
Proses hukum menyangkut perceraiannya sangat cepat. Ia cuma sekali diminta datang ke pengadilan, lalu dalam waktu satu minggu setelah itu surat cerainya telah dia terima. Ia merasa lega keluar keluar dari sarang buaya. Masalahnya kini ular berbisa telah menunggu dirinya untuk dimangsa.
Usai menerima surat cerai, sorenya, Pak Kusmono dan Pakdenya datang menemuinya. Mereka memberi tahu langkah berikutnya. Bahwa tiga hari lagi si Bandot Brams Margojaduk akan datang melamarnya. Dan Pakdenya akan menerimanya. Ia mau protes, bahwa dalam fiqih untuk dilamar harus menunggu masa iddah. Mestinya nunggu tiga kali suci sejak Yoyok menjatuhkan talak. Tapi mereka tidak bisa diajak bicara seperti itu. Bagi mereka, surat cerai telah ada. Entah bagaimana caranya sedemikian cepat dapat surat cerai. Maka ia hanya mengangguk mengiyakan.
Yang terjadi memang persis seperti yang mereka rencanakan. Pak Brams Margojaduk datang bersama dua anaknya yang telah berkeluarga melamar dirinya. Pakdenya menerimanya. Si Bandot itu tampaknya sudah tidak sabar, maka ia mengusulkan nikah siri hari berikutnya. Ayna menolak mentah-mentah. Ia tidak mau dijerat oleh Bandot Tua itu.
"Bapak kan orang hukum, nikah siri itu secara hukum saya tidak punya pijakan apa-apa. Misalnya saya hamil terus anak saya tidak Bapak akui, maka ia akan terlantar. Saya tidak mau. Saya maunya nikah resmi ada catatan negaranya. Mau dipercepat secepatnya silakan!" Akhirnya si Bandot Brams Margojaduk menyetujui untuk menikah resmi dengan dihadiri orang terbatas saja dulu, pesta besarnya bisa nanti-nanti dicari waktu yang tepat.
"Yang penting sudah akad. Sah secara agama dan negara. Sah sebagai suami istri," ujar Pak Brams Margojaduk penuh keyakinan. Pakdenya menyetujui. Ayna pura-pura menyetujui.
Waktu terus berjalan. Ayna diam-diam telah menyusun rencananya dengan rapi. Satu hari sebelum akad nikah dilaksanakan terjadi peristiwa yang tidak diprediksi oleh Pak Kusmono maupun Brams Margojaduk. Untung saja, Mbak Rosa meneleponnya pagi-pagi sekali saat ia pulang dari shalat Shubuh.
"Sudah baca koran ?"
"Saya di Kaliwenang, tidak ada koran."
"Mantan suamimu dan mantan mertuamu ditetapkan sebagai tersangka dan akan ditahan!"
Ia kaget bukan kepalang. Sesuatu terjadi di luar rencana. Bukankah semestinya akad nikah, lalu Yoyok dan Kusmono tidak akan pernah ditahan? Ia tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi, kayaknya diantara para penjahat itu ada yang melanggar kesepakatan yang mereka buat. Ketika buaya dan ular berbisa sedang sibuk berkelahi, itulah saatnya bagi dirinya untuk lari.
Ia langsung mengemas barang-barangnya paling penting. Surat-surat penting, seluruh ijazah dan rapornya, uang, buku tabungan, perhiasan dan lain sebagainya ke dalam tas ranselnya. Ia hanya bawa satu pakaian ganti. Tentang pakaian bisa dibeli di mana saja. Ia memakai jaketnya lalu mengendarai motor matic-nya ke Kedung Jati. Awalnya ia mau menitipkan motornya di sana, lalu naik bus mini ke Salatiga. Ternyata ia tertinggal bus pertama. Bus mini berikutnya baru akan berangkat dua atau tiga jam lagi. Ia tidak bisa menunggu, maka ia nekat memacu motornya menembus hutan jati dan hutan karet menuju Salatiga. Akhirnya ia menitipkan motornya di Pasar Sapi Salatiga untuk naik bus ke Solo. Sampai di Terminal Tirtonadi Solo ia bingung mau ke mana. Ia teringat ibunya pernah berwasiat, agar jika kesusahan biasa hidup supaya menemui Bu Nurjanah di Cianjur.
"Dia teman ibu di Amman, dia pernah hutang pada ibu saat di Amman dulu. Kau bisa menagihnya!" pesan ibunya.
Ia mantap untuk mencari Bu Nurjanah, alamatnya ada di buku catatan ibunya yang ia bawa. Ia tanya ke penjual tiket bus cara ke Cianjur.
"Bisa lewat Bogor atau Bandung. Yang langsung tidak ada. Tapi bus-nya hanya ada pada sore hari."
Ia tidak bisa menunggu sampai sore. Ia putuskan untuk naik kereta. Akhirnya ia dapat kereta ke Bandung jam 11 siang. Sepuluh menit sebelum kereta jalan, ia teringat untuk membuang nomor teleponnya dan mengganti dengan yang baru. Sebelum membuang nomor itu ia sempat mengirim pesan kepada pihak pegadaian agar mengambil motornya di Salatiga.
Ia merasa tenang dan lega ketika sudah duduk di dalam kereta. Bunyi peluit panjang terdengar melengking. Pelan-pelan kereta berjalan meninggalkan Stasiun Balapan. Ia merasa seperti serdadu yang lolos dari kematian dalam pertempuran yang menegangkan.
Kereta mulai berjalan cepat melewati Stasiun Purwosari.
Ia membayangkan, saat itu Pakdenya dan Budenya mungkin sedang mencari-cari keberadaan dirinya. Orang-orang Brams Margojaduk mungkin juga sedang sibuk mencari dirinya. Dan ia yakin, hari itu mereka tidak begitu yakin dirinya minggat. Mereka hanya khawatir kalau acara akad nikah batal. Ia nyaris tidak meninggalkan tanda-tanda ia minggat. Sebab semua barangnya masih di kamar. Pakaian-pakaiannya masih lengkap. Ia hanya membawa barang-barang paling penting, bukan seperti orang yang akan bepergian jauh. Ia juga berpesan pada pembantunya bahwa jika ada yang mencarinya supaya bilang kalau sedang menagih piutang ke bakul beras di Karangawen, Gubug, Kedung Jati dan yang lainnya. Motor sengaja ia tinggal di Pasar Sapi Salatiga. Motor itu BPKB-nya telah ia gadaikan. Sengaja ia tinggal karena telah ia ikhlaskan agar diambil pihak pegadaian.
Kereta eksekutif itu meluncur sangat cepat. Kereta itu membelah hamparan sawah hijau di daerah Klaten. Seorang pramugara datang menawarkan makanan dan minuman. Ayna baru sadar kalau dirinya sejak pagi belum makan. Ia pesan nasi goreng dan susu cokelat panas. Ia melihat jam tangan, sebentar lagi Zhuhur datang. Sepanjang jalan, Ayna terus mengumamkan shalawat, "Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammadin wa asyghilizh zhalimin bizh zhalimin, wa akhrijna min bainihim salimin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.
BAGIAN 12 Jiwa seorang ibu selalu menyertai anaknya. Kerinduan seorang ibu kepada anak selalu lebih besar dan lebih dalam dari kerinduan seorang anak kepada ibunya. Bagi ibu, berpisah dari anak yang disayangi yang tidak jelas keberadaannya adalah derita tiada tara. Itulah yang dirasakan Bu Nyai Nur Fauziyah, meskipun ia yakin bahwa Muhammad Afifuddin anaknya pergi untuk mencari kebaikan, dan pasti Allah melindunginya. Itulah naluri seorang ibu. Ia selalu ingin melihat wajah anak yang dilahirkannya. Ia selalu ingin mendengar suara anaknya. Ia selalu ingin mencium bau anaknya.
Sudah empat bulan Gus Afif pergi, dan sama sekali tidak kirim berita. Maka Bu Nyai dan Pak Kyai mengirim beberapa santrinya untuk mencari keberadaannya. Pak Kyai juga menggunakan jaringan para alumni dan pesantren lain. Usaha itu menampakkan hasilnya. Seorang alumni bernama Sahuri dari daerah Gamping, Sleman, datang ke pesantren memberi laporan. Ia melihat seseorang mirip dengan Gus Afif, tiap hari jualan gula kapas atau gulali di depan SD Muhammadiyah Ambarketawang.
"Anak saya sekolah di SD itu, Pak Kyai. Jadi tiap hari saya lihat. Saya tanya tidak ngaku. Dia bilang mungkin saya salah orang. Tapi ini videonya, Pak Kyai, saya rekam diam-diam," kata Sahuri. Pak Kyai dan Bu Nyai melihat video itu dengan saksama. Mereka putar beberapa kali. Air mata Bu Nyai menetes.
"Itu dia. Itu Afif. Aku hafal betul, itu di pergelangan tangan kanannya ada tahi lalatnya. Dan suaranya itu saat ngomong sama anak-anak SD, itu suara Afif," gumam Bu Nyai sambil menyeka air matanya. "Ya Allah, dia sampai harus jualan gulali. Dipikul. Jalan kaki lagi. Aku tidak tega, Abah."
Dua hari berikutnya Pak Kyai dan Bu Nyai pergi ke Ambarketawang bermaksud mengajak Gus Afif pulang, tapi sosok Afif tidak ditemukan. Selama satu minggu, hampir tiap pagi mereka memburu Afif ke Ambarketawang dan sekitarnya tapi tidak menemukan anak muda penjual gulali itu.
Satu bulan setelah itu, didengar kabar bahwa Gus Afif ada di areal wisata Prambanan. Juga jualan gulali. Pak Kyai dan Bu Nyai langsung mencari ke sana, tapi tidak mendapatkannya. Malah mendapati pemuda lain yang jualan. Begitu terus berulang-ulang. Bu Nyai sangat yakin foto-foto yang dilaporkan itu adalah anaknya, tetapi Pak Kyai tidak yakin sepenuhnya.
"Masak sama anaknya sendiri tidak peka. Itu Afif seratus persen! Besok-besok lagi kalau ada kabar, hari itu juga kita jalan. Jangan nunggu-nunggu, dua hari lagi, tiga hari lagi. Hari itu juga kita kejar," desak Bu Nyai.
"Iya, Mi, insya Allah."
Hingga suatu sore, saat Pak Kyai sedang membacakan kitab Ibnu "Aqil, ponselnya berdering. Seorang kerabat jauh yang ada di Temanggung memberi tahu, ia melihat orang mirip Afif. Sore itu juga Pak Kyai dan Bu Nyai meluncur ke Temanggung. Tetapi hari sudah gelap saat mereka sampai di sana.
"Saya bertemu dengannya jualan gulali di depan MI Darul Falah, Batursari. Itu kawasan pesantren. Ramai anak-anak," jelas kerabat itu.
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Pak Kyai dan Bu Nyai pergi ke tempat yang dimaksud dengan memakai mobil kijang kotak milik kerabat itu. Mereka memarkir mobil di bawah pohon sawo, tak jauh dari gerbang MI Darul Falah. Para pedagang kecil ramai berjualan di situ. Ada yang jualan es lilin, siomay, pentol cilok, gorengan, ciki-ciki, juga mainan anak-anak.
"Mana, kok nggak ada?" tanya Bu Nyai.
"Sabar, Bu Nyai. Dia jalan kaki. Setengah jam lagi istirahat pertama. Sebentar lagi dia dating," jawab si kerabat.
Dan benar. Dari ujung jalan sebelah selatan, tampak tukang gulali memikul dagangannya. Pak Kyai dan Bu Nyai sengaja tetap di dalam. Tukang gulali itu bertopi hitam, bercelana komprang abu-abu, dan memakai kaos lengan panjang warna cokelat. Kaos itu sudah kusam.
"Afif, iya itu Afif, Bah!" desis Bu Nyai ketika tukang gulali itu sudah dekat. Pak Kyai memberi isyarat agar tenang. Kedua mata perempuan setengah baya itu tidak berkedip sedikit pun. Pelan-pelan air matanya mbrebes begitu saja.
Tukang gulali itu meletakkan daganganya di dekat penjual gorengan. Tempat itu masih kosong. Ia mengangguk ramah pada ibu penjual gorengan lalu menyalami bapak-bapak penjual mainan anak-anak. Sudah ada delapan gula kapas dibungkus plastik menggelembung yang dipasarkan. Tukang gulali mulai bekerja membuat gulali. Gula diputar hingga jadi seperti kapas. Lalu dimasukkan dalam plastik bening.
Lonceng berdentang. Anak-anak keluar dari kelasnya. Sebagian besar menyerbu ke pedagang jajanan di depan sekolah. Penjual cilok dan es krim paling laris. Enam anak membeli gulali. Sampai waktu istirahat habis. Hanya enam plastik gulali yang terjual. Sisanya masih banyak. Tukang gulali yang masih muda itu tampak guyonan dengan ibu-ibu tua penjual gorengan. Ia lalu berjalan membeli siomay dan menikmatinya sambil duduk menunggui dagangannya.
Seorang ibu muda menuntun anaknya lewat. Sang anak yang masih kecil menunjuk-nunjuk gulali. Namun sang ibu tidak mau membelikan dan menyeretnya pergi. Sang anak menangis meraung-raung. Sang ibu menabok pantatnya meminta diam. Sang anak semakin keras meraung. Tukang gulali itu meletakkan bungkusan plastik berisi siomay yang belum habis ia makan, ia mengejar anak itu sambil membawa gulali berwarna merah muda.
Sang ibu muda kaget dan menolak. Pemuda itu tetap memberikan pada anak itu yang menerimanya dengan tersenyum. Ketika ibu itu mau memberi uang, pemuda itu menolak.
"Hadiah untuk adik kecil yang pasti nanti rajin ngaji dan shalat," ucap pemuda itu yang lalu kembali duduk menikmati sisa siomaynya.
Bu Nyai dan Pak Kyai mengamati semua kejadian itu dari dalam mobil. Bu Nyai sudah tidak sabar, ia tidak bisa lagi dicegah. Pelan-pelan ia keluar dari mobilnya dan mendekati tukang gulali yang sedang menghitung uang recehan.
"Ummi boleh beli gulalinya?" suara Bu Nyai parau menahan tangis.
Tukang gulali yang tak lain adalah Gus Afif kaget bukan kepalang, telinganya bagai disambar halilintar. Gus Afif terdiam, ia menyaksikan wajah ibunya dengan mata yang pelan-pelan mengeluarkan air mata. Keduanya saling diam. Mulut Afif seperti terkunci. Kaki dan semua tubuhnya seperti kaku semua.
"Ummi boleh beli gulalinya?"
Afif bangkit mencium tangan ibunya, saat itu Pak Kyai Sobron keluar dari mobil. Afif lalu melangkah mendekati ayahnya dan mencium tangannya. Para pedagang dan orang-orang melihat peristiwa itu dengan diliput rasa heran. Afif memerhatikan itu.
"Abah, ummi, kita cari tempat yang enak buat bicara. Tidak enak di sini dilihat banyak orang."
"Iya. Lebih baik begitu."
"Di utara sana ada masjid. Kita bicara di sana saja. Sepi jam segini."
Mereka bertiga masuk mobil itu, si kerabat lalu membawa mobil itu ke arah masjid yang dimaksud oleh Afif. Di dalam mobil, Afif duduk di samping ibunya. Bu Nyai memeluk anaknya dan menciumi kepalanya dengan air mata berderai. Afif seperti anak kecil yang manut saja diapa-apakan oleh ibunya. Afif merasakan air mata ibunya membasahi kepalanya. Ia sendiri berusaha untuk tidak terisak. Ia tidak mau ibunya menangis semakin parah.
Di serambi masjid, mereka bertiga mencurahkan kerinduan. Sang kerabat hanya menyaksikan dengan haru.
"Ummi tidak tega melihatmu seperti ini, Fif. Ummi tidak tega. Ayo, kamu pulang saja. Kamu boleh melakukan apa saja, asal kamu di rumah. Masak anak Ummi dan Abah jualan gulali kayak begitu. Ora wangun rasanya."
"Nyuwun seru, kenapa ora wangun, Mi? Karena Afif seorang Gus? Putra ulama terpandang? Ummi, ini perjuangan Afif melawan kesombongan diri. Ini usaha Afif mengobati penyakit dalam diri Afif. Bukankah di surat itu sudah Afif sampaikan bahwa Afif pergi untuk memperbaiki diri seperti Imam Asy Syibli. Abah mohon ceritakan tentang Imam Asy Syibli. Tolong, Abah!"
"Ummi-mu tahu tentang cerita itu," lirih Kyai Sobron. Air mata Bu Nyai keluar lagi. Anaknya ternyata tidak main-main. Ia menempuh cara ulama besar itu dalam menempa batinnya.
Imam Syibli adalah salah satu murid kesayangan Imam Junaid Al Baghdadi, seorang ulama sufi terkemuka dari Baghdad. Konon sebelum masuk dunia pembersihan jiwa atau dunia kesufian, Imam Syibli adalah seorang pejabat tinggi di Irak, ada yang menyebut dia seorang gubernur di Propinsi Dimavind, Irak. Ketika itu para gubernur wajib mengenakan jubah kebesaran pemberian dari khalifah di Baghdad. Ia melihat seorang gubernur Rayy menyeka mulut dan hidungnya dengan jubah kebesaran itu. Tindakannya itu menyebabkan gubernur Rayy dipecat. Kejadian itu, membuatnya mundur dan menanggalkan jabatannya. Ia lalu ikut Khair an Nassaj yang mengantarkannya kepada majelis Imam Junaid Al Baghdadi.
"Imam, engkau dikenal sebagai ahli hikmah, berilah aku satu atau juallah satu saja kepadaku," kata Syibli kepada Imam Junaid.
"Engkau takkan mampu membayarnya, jika aku jual kepadamu. Namun jika aku memberikannya cuma-cuma kepadamu, engkau takkan menyadari nilainya karena mendapatkannya dengan begitu mudah. Lakukanlah apa yang telah aku lakukan. Benamkanlah dulu kepalamu di lautan, dan jika engkau mengunggu dengan sabar niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu." Begitulah cara Imam Junaid membimbing murid-muridnya.
Syibli digembleng untuk merasa sendiri bersama Tuhan di tengah keramaian. Tahun pertama ia berjualan belerang. Ternyata jualannya laris, sehingga dirinya tetap masyhur. Ia lalu pindah menjadi pengemis yang mbambung di Baghdad. Namun ia merasa, masih ada sisa-sisa ego keakuannya. Ia pulang ke Dimavind tempat ia pernah menjadi gubernur. Ia datangi semua rumah, terutama yang pernah ia zalimi, untuk minta maaf. Namun ia merasa masih ada satu orang yang pernah ia zalimi dan ia tidak menemukan keberadaannya untuk minta maaf. Ia tidak bisa tenang jiwanya. Ia banyak sedekah. Tapi tidak juga tenang. Ia banyak ibadah tapi tidak juga tenang. Hal itu ia lalu selama empat tahun. Ia lalu kembali ke Baghdad dan mengadukan hal itu kepada gurunya, Imam Junaid Al Baghdadi
"Masih ada sisa-sisa kesombongan dan keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah setahun lagi," jawab Imam Junaid.
Ia patuhi sepenuhnya perintah sang guru. Ia mengemis, bukan untuk dirinya. Semua hasilnya ia serahkan kepada gurunya, lalu gurunya menyedekahkan semuanya untuk kaum miskin. Setelah setahun berlalu, sesuatu yang ditunggu-tunggu terjadi.
"Bagaimana engkau memandang dirimu sekarang?" tanya Imam Junaid.
"Aku melihat diriku sebagai makhluk-Nya paling hina."
Sejak itu ia dianggap sebagai sahabat Imam Junaid Al Baghdadi.
Perilaku Imam Syibli sering dianggap aneh, namun mengandung pelajaran sangat berharga. Ia pernah membagikan permen kepada anak-anak yang mau menyebut nama 'Allah', juga memberikan dirham dan dinar kepada siapapun yang melakukannya. Setiap hari ia lakukan. Namun tiba-tiba ia melakukan tindakan yang membuat geger masyarakat. Ia menghunus pedang dan berkata, 'Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan kutebas kepalanya dengan pedang ini.' Seseorang bertanya, 'Sebelumnya engkau biasa memberikan permen dan emas. Namun mengapa sekarang engkau mengancam dengan pedang?' Beliau menjawab, 'Sebelum ini kukira mereka menyebut nama-Nya dengan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekadar kebiasaan. Aku tak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.' Ia melihat setelah tiap hari menerima permen usai menyebut nama Allah, banyak orang menyebut nama Allah karena sebutir permen. Berarti itu sangat merendahkan Allah. Nama Allah harganya tidak lebih dari sebutir permen. Itulah yang menyebabkannya menghunus pedang.
"Ummi tahu karepmu. Tapi ummi perintahkan kamu pulang, Anakku. Ada banyak jalan mendekatkan diri kepada Allah," kata Bu Nyai sambil memandang lekat-lekat wajah Afif.
"Ummi, Afif tidak mungkin membantah perintah Ummi. Afif tidak mau nasibnya seperti Juraij yang tidak menyahut ketika dipanggil ibunya saat ibadah. Yang ingin Afif tanyakan, saat ini ibaratnya Afif sedang khusyuk shalat, Afif baru rakaat pertama mau ke rakaat kedua. Apakah Ummi tega membatalkan shalat Afif? Afif belum pernah merasakan shalat sekhusyuk ini. Apakah Ummi rela Afif membatalkan shalat?" Bu Nyai kembali terisak.
"Ummi yang harus ngalah, baiklah Ummi tidak ingin kau batalkan shalatmu. Tapi ibu mohon, setelah salam jenguklah ibu barang sekejap. Kau boleh shalat lagi."
Afif memeluk ibunya sambil mengucapkan terima kasih.
"Tanpa ridha Ummi, semua perjalanan Afif akan sia-sia. Afif tidak mencari apa-apa kecuali merasakan nikmatnya dekat dengan-Nya. Afif janji, Ramadhan yang akan datang Afif akan pulang dan ngaji sama Abah di pesantren. Sekali lagi ngaji, bukan mengajar ngaji."
Sebelum berpisah Bu Nyai mengulurkan uang satu juta untuk Afif dan memaksa putra itu untuk menerimanya. Dua hari menjelang Ramadhan, Afif benar-benar pulang dan mengaji kitab Tanwirul Qulub pada Abahnya. Yang aneh, selama satu bulan penuh Afif hanya mau tidur di masjid pesantren. Hanya di waktu sahur dan buka puasa ia pulang untuk menemani ibunda dan ayahandanya menyantap hidangan sahur dan buka. Hari ketiga Syawal, Afif kembali pamit melanjutkan pengembaraannya. Dan tidak pulang sampai lebih dua tahun lamanya. Namun tiap bulan ia tidak lupa mengirim surat singkat kepada kedua orang tuanya dengan kalimat singkat,
"Alhamdulillah, Afif sehat dalam penjagaan Allah. Mohon doa dan ridha. Afifuddin."
Rumah kumuh itu berdiri tepat di pinggir sungai. Bahkan bisa disebut seperempat badan rumah itu ada di atas sungai. Berdiri di atas tiang-tiang bambu yang dipacak di sungai. Lantai rumah itu adalah bambu yang ditutup kardus. Dindingnya potongan-potongan triplek dan seng bekas. Atapnya seng. Belasan anak usia enam sampai tiga belas tahun tinggal di situ. Di asuh seorang nenek yang mulai renta. Beruntung bahwa nenek itu orang baik. Sehingga anak-anak itu cukup santun dibanding anak jalanan pada umumnya.
Sudah setengah tahun, Ayna membina anak-anak itu. Dengan kemampuan yang ia punya, ia ajar mereka pelajaran sekolah. Ia usahakan mereka untuk tetap mendapatkan pendidikan yang layak dengan cara homeschooling, atau sekolah di rumah.
Sore itu bersama dua relawan lain yaitu Lestari dan Mila ia mendatangi rumah kumuh itu. Ia harus memarkir Avanza yang dikendarainya di pinggir jalan besar. Sebab untuk sampai ke rumah itu, ia harus melewati gang berkelok-kelok.
Tiga gadis berjilbab itu menurunkan beberapa tumpuk nasi kotak, beberapa kardus berisi air mineral, jus buah, dan makanan. Di antara kardus itu ada satu kardus beras bertuliskan 'Roti Barokah'.
Ayna dan Lestari berjalan duluan membawa beberapa bungkus nasi kotak, sementara Mila menunggu di dekat mobil. Tak lama kemudian anak-anak datang untuk mengangkut semua barang. Wajah mereka tampak bersuka cita.
"Hmm baunya sedap, tambah lapar rasanya," celoteh Alim, anak lelaki gemuk berpipi tembem.
"Alhamdulillah, ini semua sumbangan dari Ibu Hajjah Mursyidah. Mohon nanti ketika berbuka puasa, kalian semua mendoakan beliau. Jangan lupa juga, doakan orang tua kalian, baik yang sudah tidak ada ataupun yang masih ada, tapi kalian tidak tahu di mana mereka," jelas Ayna.
"Apakah kita akan mengaji, Mbak Ayna?" tanya Lindri, anak berpipi lesung.
Ayna melihat jam tangannya.
"Lima belas menit lagi Maghrib. Ngajinya nanti saja setelah buka puasa dan shalat Maghrib. Ngaji sampai Isya'. Anak laki-laki ngaji sama Mbak Ayna, yang perempuan sama Mbak Lestari dan Mbak Mila. Oh ya, ada yang ingin kakak sampaikan untuk kalian sebuah kabar gembira."
"Apa itu, Mbak?" tanya Santi.
"Alhamdulillah, seperti yang pernah Mbak sampaikan sebulan yang lalu bahwa mbak sedang berusaha cari rumah yang layak. Dengan izin Allah dan dengan bantuan dari banyak orang-orang, para dermawan, juga pemerintah tentunya. Mbak dan teman-teman Mbak sudah menemukan rumah yang layak untuk kalian. Sekarang sedang dibenahi dan dicat ulang. Insya Allah, empat hari lagi kalian akan Mbak bawa tinggal di sana. Jadi kalian mulai berkemas dan siap-siap!"
"Tidak! Saya tidak mau pindah! Saya mau tetap tinggal di sini!" teriak Rodin.
"Kenapa?" "Saya tidak mau meninggalkan Mbok Sani. Nggak tega dia di sini sendirian."
"He, siapa juga yang tega meninggalkan beliau? Mbak lebih tidak tega lagi."
"Kalau begitu biar kami semua di sini, jangan pindah!"
"Bukan begitu caranya. Kalian semua harus pindah dari sini, adik-adikku. Tetap berbahaya kalau kalian tinggal di sini. Beruntung sungai airnya sedikit. Kalau banyak sedikit, atau banjir, rumah ini bisa roboh dan hanyut dibawa air. Kalian bisa celaka! Apa kalian mau mati dibawa banjir?"
"Tidaaak!" jawab anak-anak itu hampir serempak.
"Tidak usah khawatir dengan Mbok Sani. Dia juga akan Mbak ajak pindah, tetap serumah dengan kalian!"
"Asyiiik!" "Hanya masalahnya, sudah dua kali Mbak ajak, dia tidak mau pindah. Jadi tugas kalian untuk membujuk Mbok Sani, yah?"
"Yang pinter bujuk itu, si Lindri, Mbak!" sahut Rodin.
"Ya, Lindri tugasnya membujuk. Yang lain bantu. Mbok Sani kok belum juga pulang, ya?"
"Tadi pesan, pulangnya mungkin habis tarawih," jawab Lindri.
Menjelang Maghrib, Ayna mengajak mereka membaca dzikir sore. Azan berkumandang. Ayna dan dua temannya berbuka puasa bersama anak-anak jalanan di sebuah rumah kumuh di Kampung Muara, Bogor. Anak-anak itu begitu lahap menyantap ayam bakar yang masih terasa hangat. Usai shalat Maghrib, di rumah kumuh dengan penerangan minimal itu riuh oleh bacaan anak-anak mengeja Al-Qur'an. Lima menit menjelang Isya', Ayna dan dua gadis itu membimbing mereka ke masjid.
Usai tarawih, Ayna berjumpa Mbok Sani di depan masjid, dan pamit pulang. Ketika mau masuk mobil, gerimis turun dan suara guntur bergemuruh. Ayna langsung teringat anak-anak jalanan itu.
"Tari, kayaknya bakalan hujan. Bisa jadi deras. Aku khawatir aja sama anak-anak itu. Kalau sungainya meluap bagaimana?"
"Nggak usah khawatir, Mbak, selama ini aman-aman saja."
"Tidak bisa begitu, Lestari. Kau perhatikan nggak, itu rumah paling rendah di antara rumah-rumah lainnya. Dan paling ringkih. Itu sebelumnya cuma gudang barang rongsokan. Tiap malam kalau hujan turun aku selalu ingat anak-anak itu. Nggak bisa tidur aku."
"Terus bagaimana baiknya, Mbak Ayna?"
"Kita bagi tugas. Aku ke takmir masjid untuk minta izin agar anak-anak dan Mbok Sani boleh tidur di masjid malam ini. Lestari keluar cari makanan buat sahur, kalau mereka sahur cuma pakai 'Roti Barokah', kasihan. Dan Mila, kau temui anak-anak, tadi sudah pada pulang semua, ajak mereka kembali ke masjid. Beritahu malam ini mereka harus tidur di masjid."
Lestari dan Mila mengangguk. Tiga gadis berjilbab itu pun bergerak sesuai tugas yang dikomando oleh Ayna. Semua penghuni rumah kumuh itu mau tidur di masjid kecuali Mbok Sani. Ayna merasa tidak bisa memaksa. Hujan turun lebat. Ayna agak lega meninggalkan anak-anak dalam dekapan masjid.
Sudah hampir jam dua belas malam ketika Ayna sampai di gerbang rumah cukup mewah di dalam Perumahan Bogor Sentausa. Seorang satpam berlari menerjang hujan membukakan pintu. Ayna membawa mobilnya ke garasi.
Gadis itu masuk rumah sambil membawa bungkusan dalam kantong plastik. Di ruang tengah seorang perempuan separo baya berkerudung kuning tampak sedang tadarusan Al-Qur'an. Perempuan itu duduk santai di sofa. Ia menghentikan bacaannya begitu melihat Ayna masuk sambil mengucapkan salam.
"Wa'alaikutn salam. Sampai malam sekali, Na. Ke mana aja?"
Ayna lalu duduk di samping perempuan itu lalu menceritakan semuanya. Perempuan itu mengangguk-angguk.
"Ini Ayna bawa mi aceh vegetarian, Ibu mau ikutan makan?"
"Ah, kau tahu aja kalau ibu ingin yang hangat-hangat. Dan mi aceh itu kesukaan ibu. Tapi pedes nggak?"
"Nggak." "Ibu mau." Ayna lalu mengambil dua mangkok besar dan sendok, dan menuangkan dua bungkus mi itu ke dalam mangkok itu. Keduanya asyik berbincang begitu hangat layaknya ibu dan anaknya sendiri. Sebelum beranjak ke kamarnya, Ayna memastikan terlebih dulu bahwa bahan-bahan untuk membuat sahur telah disiapkan oleh Mbok Mur dan Mbok Ginah.
"Sudah setengah satu, Ibu nggak mau tidur?"
"Tanggung, empat halaman lagi. Nanti pas sahur kalau ibu susah dibangunin, paksa sampai bangun ya, Na?"
"Iya, Bu. Ada yang ibu inginkan sebelum Ayna tidur? Mau dibuatkan minuman panas?"
"Tidak usah, cukup."
Ayna melangkah ke kamarnya yang cukup besar. Lebih besar dari kamar rumahnya di Purwodadi dulu. Ayna memasang jam beker lalu merebahkan tubuhnya. Terasa nyaman. Kedua matanya nyaris merem, tapi ia ingat belum membaca wiridnya. Istighfar seratus kali, shalawat seratus kali dan "laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa 'ala kulli syaiin yadiir" seratus kali. Barulah ia nyaman memejamkan mata. Sejurus kemudian lirih terdengar gadis itu mendengkur. Sementara di luar, hujan sangat deras mengguyur.
"Sudah dua kali Ramadhan kau menemani Ibu di sini. Tak terasa, ya," gumam Bu Rosidah sambil menyeruput susu cokelat hangatnya. Perempuan setengah baya berwajah bersih terawat itu sudah selesai menyantap menu sahurnya.
"Iya, Bu. Tepatnya sudah dua tahun tujuh bulan sembilan hari saya bersama Ibu. Saya ucapkan terima kasih tidak terhingga atas segala kebaikan ibu. Atas kemurahan ibu yang memperlakukan saya seperti anak sendiri. Itu yang saya rasakan," jawab Ayna penuh perhatian. Gadis itu menghentikan sejenak aktivitas makannya.
"Justru semestinya Ibu yang berterima kasih. Ibu yang sangat beruntung kau mau tinggal di sini menemani ibu. Jujur, ibu seperti mendapatkan barokah. Dulu ibu tidak lancar baca Al-Qur'an. Karena ketelatenanmu, ibu bisa baca Al-Qur'an. Dulu yang ada dalam pikiran ibu bagaimana ngejar dunia. Yang ibu pikirkan cuma bisnis, bisnis dan bisnis. Kini dengan keberadaanmu, ibu mendapatkan ketenangan. Ibu mengerti bahwa ada kehidupan lebih panjang yang harus disiapkan. Dan anehnya, sejak kau di sini, bisnis ibu malah juga semakin berkembang."
"Segala puji hanya milih Allah, Bu. Alhamdulillah.
"Alhamdulillah."
"Tadi sore si Anton sebenarnya datang ke sini sama istrinya. Mau buka puasa dan sahur di sini, katanya. Tapi tiba-tiba mereka tengkar di beranda belakang. Saat itu ibu sedang shalat Ashar. Selesai shalat, si Martina sudah pergi. Anton bilang kalau dia rasanya sudah tidak bisa hidup bareng Tina. Istrinya itu kalau tersinggung sedikit saja marahnya luar biasa. Kata Anton, ia hanya bilang kalau kolak bikinan Mbok Mur dan Mbok Ginah itu lebih enak dari bikinan Tina. Langsung marah besar dan pergi begitu saja tanpa pamit sama mertuanya juga."
Ayna hanya diam mendengarkan.
"Sudah dua kali Anton bilang ke ibu ingin menceraikan istrinya. Tapi selalu ibu bilang jangan. Tadi sore itu kali ketiga bilang ke ibu. Anton bilang kalau dia salah pilih. Ibu berpikir, kalau seperti itu terus nggak ada rukunnya apa bisa hidup bahagia, mumpung belum punya anak mungkin sebaiknya mereka cerai. Menurutmu bagaimana, Na?"
"Sebaiknya tidak cerai. Ibu sebaiknya jadi pengayom mereka berdua. Ibu apakah sudah mendengar versi Mbak Martina. Bicara dari hati ke hati?"
"Belum. Ia tidak memberi kesempatan pada ibu untuk ngobrol. Rasanya ibu tidak bisa bicara yang dalam sama dia, kayak ibu bicara sama kamu."
"Ibu belum coba. Ibu semestinya bisa bicara lebih dalam dengan menantu ibu. Lha, dengan saya yang bukan siapa-siapa ibu saja bisa, masak dengan menantu tidak bisa."
"Jangan bilang kau bukan siapa-siapa ibu. Kau sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Kau anak angkat ibu, catat itu!"
"Iya, Bu." "Kadang ibu berpikir, tapi ini mungkin naif sekali, kenapa kau datang ke sini terlambat. Kau datang setengah tahun setelah Anton menikah. Kalau kau datang sebelum itu, mungkin kau yang jadi istri Anton."
Ayna kaget. "Ibu tidak boleh berpikiran seperti itu!" tegas Ayna.
"Malah tadi sore menjelang buka, ibu berpikir, Anton biar cerai saja sama Marlina, lalu nikah sama kamu. Kan ibu sudah cocok sama kamu. Anton itu kan anak bungsu ibu. Sebenarnya, ibu berharap dia tinggal di sini menemani ibu. Dan itu sudah ia lakukan. Tiga bulan pertama setelah dia nikah, ya tinggal di sini sama Martina. Tapi astaghfirullah, ibu harus banyak sabarnya. Semua yang ada di rumah ini mau diubah sama Marlina. Lukisan yang ibu beli di Italia sama almarhum ayahnya Anton yang ada di ruang tamu ingin dia ganti dengan lukisan yang ia beli di Bali. Masalahnya itu lukisan kenangan, dan yang memasang di situ dulu almarhum ayah. Ya, ibu tidak izinkan. Dia marah, dia bilang lukisan itu beraroma pesimis. Dan macem-macem lah. Akhirnya mereka pindah ke Jakarta, Anton ibu belikan apartemen di sana. Ibu membayangkan kalau yang jadi istri Anton itu kamu, kok akan jadi surga benar rumah ini."
"Ibu tidak boleh berpikir begitu. Tidak boleh! Ibu harus membantu mereka berdua rukun dan jadi suami istri yang sakinah ma.wadd.ah wa rahmah. Saya tidak mungkin menikah dengan Mas Anton, Bu. Tidak mungkin. Sekalipun misalnya dalam kondisi terburuk, Mas Anton cerai sama Mbak Marlina. Saya tidak mau nikah sama Mas Anton."
"Kenapa? Karena dia duda? Bukankah kau juga janda? Sama kan?"
"Bukan masalah itu, Bu. Saya tidak bisa jelaskan. Maka sebaiknya ibu tidak berpikir yang tidak-tidak. Saya sangat yakin orang berpendidikan seperti Mas Anton dan Mbak Marlina bisa harmonis asal keduanya mau sama-sama sering ke masjid. Jika hati mereka berdua sudah bernuansa masjid akan bersatu."
Bu Rosidah mengangguk. Sayup-sayup terdengar pengumuman dari arah masjid bahwa waktu imsak telah tiba, beberapa saat lagi azan Shubuh akan berkumandang. Ayna cepat-cepat menghabiskan nasi dan semur bandeng prestonya, lalu mengkhatami sahurnya dengan segelas jus apel dan seteguk air putih.
BAGIAN 13 Hujan terus turun. Sayup-sayup terdengar adzan shubuh berkumandang. Ayna shalat di mushalla rumah itu menjadi imam. Semua makmumnya perempuan; Bu Rosidah, Mbok Mur dan Mbok Ginah. Usai shalat dan wiridan, Ayna memimpin mereka tadarusan Al-Qur'an. Masing-masing membaca tiga ayat. Ayna menyimak dengan teliti dan meluruskan jika ada bacaan yang bengkong.
"Ibu mau tidur lagi sebentar, bangunkan jam setengah tujuh ya, Na. Nanti kamu antar ibu ke Jakarta," gumam Bu Rosidah usai tadarusan.
"Iya, Bu. Nanti ketemuan dengan direktur travel dari Kuala Lumpur jam sepuluh di Sudirman. Dan jam dua siang Ibu ada jadwal ketemu agent travel dari Taiwan."
"Iya. Paling lambat jam tujuh sudah harus berangkat kita.
Baik, Bu. Bu Rosidah bergegas meninggalkan mushalla dan masuk ke dalam kamarnya. Ayna masih duduk di atas karpet. Mbok Mur dan Mbok Ginah berdiri melepas mukena mereka.
"Mbok Mur dan Mbok Ginah!"
"Iya, Mbak Ayna," jawab dua orang pembantu itu ramah.
"Tolong nanti bikin kolak pisang untuk dua puluh lima porsi, dan nasi kuning dikasih ayam goreng ya, dua pilih lima juga. Terus diantar ke masjid untuk buka puasa. Saya dan Bu Rosidah mungkin pulang agak malam."
"Iya, Mbak, baik," jawab Mbok Ginah.
"Uang belanja masih ada?"
"Masih, Mbak, masih cukup."
Ayna lalu beranjak menuju kamarnya. Ia mau membuka ponselnya tapi masih di-charge. Ia rebahan sambil dzikir. Tiba-tiba kata-kata Bu Rosidah saat sahut terngiang begitu saja.
"Kadang ibu berpikir, tapi ini mungkin naif sekali, kenapa kau datang ke sini terlambat. Kau datang setengah tahun setelah Anton menikah. Kalau kau datang sebelum itu, mungkin kau yang jadi istri Anton."
Sudah beberapa kali Bu Rosidah menyindir dirinya untuk segera menikah, tapi ia tidak menyangka sama sekali kalau Bu Rosidah punya pikiran seperti itu. Dan sedikit pun ia tidak tertarik pada Anton, apalagi Anton masih punya istri.
Bukan hanya Bu Rosidah yang menawari dirinya seorang calon. Seingatnya sudah ada empat orang yang menawarinya. Salah satunya adalah dari Ustadzah Fatimah MA, ustadzah lulusan Universitas Yordania yang menjadi pengasuh tetap majelis taklim ibu-ibu kompleks perumahan sebelah. Tawaran Ustadzah Fatimah sebenarnya cukup menarik.
"Dia tidak tampan juga tidak jelek. Agak hitam kulitnya. Tapi insya Allah putih hatinya. Guru tahfizh di Yayasan Nurul Ourian Cibinong. Lulusan pesantren. Hafal Al-Qur'an, dan pernah tiga bulan belajar di Mesir untuk ambil sanad di sana, beasiswa dari yayasan. Dia punya bisnis toko buku online, kecil-kecilan. Hasilnya lumayan meskipun tidak sebesar bisnis yang kau jalankan," kata Ustadzah Fatimah kepadanya penuh kesungguhan. Tetapi ia tidak bisa mengiyakan.
Rasa cintanya kepada Gus Afif tidak bisa dienyahkan. Meskipun sudah lebih empat tahun tidak bertemu, tetapi ia masih menyimpan harapan yang diangankan suatu ketika menjadi kenyataan. Terakhir melihat wajah Gus Afif adalah ketika putra kyainya itu sakit di rumah sakit. Sejak itu ia tidak berjumpa lagi, apalagi ia memang lari dari Purwodadi dan belum pernah ke Jawa lagi.
Ayna merebahkan tubuhnya dan memandangi langit-langit kamarnya. Sungguh benar kata Imam Syafii, "Merantaulah, kau akan dapat ganti apa yang kau tinggalkan!" Ketika ia lari, ia meninggalkan semuanya. Dan Allah menggantinya. Ia kehilangan Bu Nyai, guru sekaligus sosok yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Dan kini, ia bersama dengan Bu Rosidah sebagai gantinya. Seorang konglomerat rendah hati yang memperlakukan dirinya layaknya anaknya sendiri. Dalam hal agama, Bu Rosidah masih belajar. Tetapi dalam hal bisnis, negosiasi, manajemen, dan bersikap kepada orang secara profesional, Bu Rosidah adalah guru besarnya.
Ayna jadi teringat perjalanan panjangnya hingga bisa rebahan di kamar itu. Perjalanan yang menegangkan, berliku, dan mendebarkan. Ia tak bisa melupakan saat dirinya diperlakukan sebagai alat transaksi oleh mantan mertua dan mantan suaminya. Saat itu ia pura-pura mau dijodohkan dengan si Bandot Tua Brams Margojaduk, SH. Itu adalah cara paling cepat ia bisa lepas dari cengkeraman Yoyok dan Kusmono.
Dalam kondisi tegang diliput amarah, ia memanfaatkan keadaan. Yang paling penting baginya adalah secepat mungkin surat cerai secara resmi. Maka ia pura-pura mengiyakan dilamar Brams, supaya tidak menimbulkan curiga. Supaya dirinya tampak sebagai gadis yang lugu dan manut saja. Ia sudah merencanakan akan minggat di saat yang tepat. Ketika Rosa pagi-pagi menelepon bahwa Yoyok dan Kusmono akan ditahan, maka pagi itu juga ia harus lari. Tak boleh terlambat sedikitpun. Itu waktu yang tepat, ketika buaya dan ular berbisa sedang sibuk bertarung ia harus bertindak.
Ia sangat bersyukur kepada Allah yang membimbingnya mengambil keputusan tepat.
Ia sempat memantau perkembangan lewat beli koran dan internet. Satu bulan setelah itu, Brams Margojaduk ditemukan tewas overdosis di hotel remang-remang di daerah Bandungan, Ambarawa. Apakah benar mati overdosis atau mati karena ada yang membunuhnya, ia tidak tahu pastinya. Yang pasti dengan matinya Bandot
Tua itu, ia merasa aman. Apalagi Yoyok dan Kusmono benar-benar masuk jeruji besi di Kedung Pane, Semarang. Aset-aset mereka juga banyak yang disita oleh negara. Ia beruntung, namanya tidak disebut sama sekali dalam kasus Yoyok. Rupanya pengumuman terbuka berkali-kali bahwa Yoyok menceraikannya itu menjadi berkah baginya.
Meski dirinya menghilang dari peredaran, diam-diam ia mengikuti perkembangan keluarganya dan teman-temannya. Dari Facebook ia bisa mengetahui berita mereka. Dari status-status Atikah ia tahu bahwa Pakdenya juga turut terseret kasus Kusmono. Pakdenya dicopot dari jabatan lurahnya dan ikut dijebloskan di Kedung Pane. Atikah akhirnya tahu cerita sebenarnya, semuanya. Lewat Facebook Atikah meminta maaf kepada Ayna.
"Dik Ayna, di mana pun kamu berada. Aku tahu semuanya, akhirnya. Secara pribadi aku minta maaf bahwa selama ini tidak bisa berbuat apa-apa. Dan aku minta maaf atas semua kejahatan yang dilakukan keluargaku kepadamu. Maafkan kami. Aku janji, rumahmu aku jaga. Sementara aku tempati bersama suamiku, sampai kau datang memintanya."
Atikah sudah menikah dengan Kisno, cucu Wak Kasmirin yang dikenal sebagai tukang urut paling mujarab di Desa Kaliwenang. Wak Kasmirin konon, bahkan bisa menyembuhkan kuda yang patah kakinya. Kisno tak lain adalah teman sepermainan Atikah sejak kecil.
Ayna merasa lega, sebab ia tahu Kisno lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Kisno lulus STM di Purwodadi jurusan listrik dan kini kerja di PLN Purwodadi. Atikah sendiri dapat kerja di BMT Ben Makmur, Gubug. Kini Atikah sudah punya anak satu, perempuan, dan diberi nama Adibah. Ia bersyukur bahwa Atikah hidup di jalur yang benar. Sehingga jika ia kembali ke kampung kelahirannya ia masih memiliki keluarga, tempat berbagi oleh-oleh dan cerita.
Dari status Atikah juga, ia tahu bahwa Aripah yang ternyata berkomplot dengan Pakdenya, kini telah menjadi janda dan mengadu nasib di Hong Kong. Setelah ia lari, si Bandot Brams Margojaduk tetap memaksakan agar akad nikah yang direncanakan tetap berjalan. Dan Brams Margojaduk meminta Aripah menggantikan dirinya yang lari. Si Bandot Brams memilih Aripah dibanding Atikah karena memang Aripah sedikit lebih cantik dan lebih putih. Terkadang tidak terlalu cantik itu sebuah keberuntungan. Pernikahan itu mirip nikah kontrak, karena dua minggu setelah itu Aripah diceraikan dan dikembalikan lagi ke orang tuanya. Padahal statusnya hanya nikah siri.
Yang membuatnya kaget, istri Pakdenya, yaitu Bude Mijah tega minta cerai dan nikah lagi ketika Pakdenya dipenjara. Keluarga Pakdenya benar-benar berantakan. Hanya Atikah yang kini hidup damai dan tenang di Desa Kaliwenang.
Dari mengintip Facebook juga, ia tahu perkembangan pesantren dan teman-teman seangkatannya, meski tidak semuanya. Sebab semua temannya tersambung dengan Facebook. Ia juga membuat akun Facebook ketika sudah hidup tenang di Bogor. Itu pun ia menggunakan nama samaran.
Mbak Ningrum, alhamdulillah sudah menikah dengan Kang Bardi. Tetapi mereka masih tetap mengabdi di pesantren. Pak Kyai memfasilitasi mereka membuat rumah kecil di Desa Candiretno tak jauh dari pesantren.
Gus Asyiq, putra Pak Kyai Sobron, sudah tambah dua anak. Gus Asif sudah menikah dengan putri Kyai Thayyib dari Cirebon dan kini tinggal di Cirebon. Pak Kyai sudah tiga kali keluar masuk rumah sakit karena masalah ginjal. Rata-rata teman-temannya sudah meraih gelar sarjana SI, termasuk Neneng. Anak itu kelihatannya lebih baik sekarang.
Yang benar-benar tidak ia temukan beritanya adalah Gus Afif. Yang ia tahu dari status Mbak Ningrum, Bu Nyai kini sedang dirundung sedih karena sudah dua tahun tidak bertemu Gus Afif, dan tidak tahu keberadaan dan beritanya.
Ia juga tahu dari status teman-temannya, mereka semua menanyakan keberadaan dirinya. Banyak di antara mereka yang mengungkapkan rasa kasihannya kepada dirinya. Ada di antara mereka yang menganggap dirinya tolol mau dinikahkan dengan orang tidak jelas agamanya, meskipun kaya raya. Ia bisa memaklumi semua komentar mereka tentang dirinya, sebab mereka tidak tahu cerita sebenarnya. Yang jelas, ia mendoakan semua temannya jadi orang-orang yang sukses di dunia dan di akhirat.
Perjalanan dirinya berliku dan panjang. Lari naik kereta ke Bandung. Sampai Bandung sudah malam, tidak punya siapa-siapa di sana. Untung dia sudah beberapa kali menginap di hotel, jadi ada pengalaman. Ia mencari hotel terdekat dan menginap semalam di Bandung. Paginya ia meluncur ke Cianjur mencari alamat Bu Nurjanah, teman ibunya. Alhamdulillah ketemu. Bu Nurjanah kaget, bahagia bercampur sedih. Bahagia bertemu dengannya, dan sedih karena tidak ada yang bisa digunakan membayar hutang itu.
Hampir seharian ia berada di rumah teman ibunya itu. Ia banyak mendengar cerita tentang ibunya, juga cerita bagaimana ibunya menyelamatkan nyawa Bu Nurjanah,
"Kalau tidak ditolong oleh ibumu, lewat keluarga majikan ibumu yaitu Tuan Abdullah yang jadi ayahmu itu, aku mungkin membusuk di Amman. Mereka menyelamatkan aku. Dan ibumu meminjami aku dua belas ribu dinar untuk membayar pengacara dan membeli tiket pulang. Sesungguhnya itu adalah uang tabungan ibumu sekian tahun kerja di Amman. Ceritanya aku dituduh membunuh anak balita majikanku. Padahal yang sebenarnya salah itu majikan perempuanku, bukan aku. Saat itu aku sedang di kamar kecil. Majikan perempuanku meletakkan balitanya di baby walker. Ia main-main sama bayinya di lantai dua, tiba-tiba ada telepon. Ia pergi untuk mengangkat telepon itu. Ternyata itu telepon dari teman lamanya. Ia keasyikan nelpon lupa sama bayinya. Ia baru tersadar ketika mendengar suara bayinya menjerit lalu diam. Ternyata bayinya jatuh di tangga dan entah posisinya bagaimana, mati seketika. Ia tidak mau disalahkan atau dipidanakan oleh suaminya, dengan enteng ia menjadikan aku sebagai kambing hitam. Prosesnya panjang, tapi akhirnya aku selamat, karena ditolong keluarga majikan ibumu, lewat bujukan ibumu. Sayangnya aku lagi bangkrut. Kau lihat sendiri rumahku ini. Cuma rumah kayu di bawah rimbunan bambu. Sebelumnya aku bisnis di Bandung dan cukup berhasil. Tapi kini sedang bangkrut. Aku janji, begitu aku bisa bangkit dan ada dana untuk membayar hutang itu akan aku bayar."
Ia lalu ke Bogor. Dan lagi-lagi tidak ada tempat yang jelas ia tuju. Ia sampai di Terminal Baranangsiang juga telah malam. Turun dari bus ia bingung mau ke mana. Di saat ia belum memastikan mau melangkah ke mana seorang perempuan muda mendekatinya dengan penuh keramahan. Setelah berbincang sepuluh menit ia merasa percaya padanya. Perempuan muda bernama Ratih itu menawarkan dirinya untuk ikut bersamanya.


Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paling tidak malam ini, Dik Ayna ada tempat untuk istirahat. Besok adik bisa berpikir jernih mau ke mana? Kalau iya, ayo ikut saya, ini sudah malam. Angkot sudah tidak ada." Begitu ramah. Dan ia mudah luluh jika bertemu orang ramah. Akhirnya ia ikut Mbak Ratih itu yang membawanya ke rumahnya dengan naik taksi.
Di rumah itu Mbak Ratih, saat itu cuma berdua dengan seorang pembantu sudah tua, namanya Mpok Warti. Ia bisa istirahat dengan tenang. Pagi harinya nasi goreng ikan asin yang disuguhkan Mbak Ratih membuatnya merasa kenyang. Sambil sarapan Mbak Ratih menawarkan kerja kepadanya.
"Kerja di kafe, dari jam dua siang sampai sembilan malam. Kalau mau, nanti aku daftarkan. Besok kau bisa kerja. Sekarang cari kerjaan tidak mudah. Ini mungkin rezekimu, tadi malam sebelum tidur seorang teman menginformasikan lowongan. Dipikir-pikir dulu. Nanti siang aku pulang semoga sudah ada keputusan."
Mbak Ratih lalu pergi, bilangnya berangkat kerja, tapi tidak lagi memaki jilbab. Ia memakai celana jeans dan kemeja putih lengan panjang. Rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja. Hari itu, Ayna istirahat di rumah kecil di pinggiran Kota Bogor itu. Akhirnya ia memutuskan menerima pekerjaan itu, sebab ia harus melanjutkan hidup. Tidak mungkin ia bergantung hanya pada bekal yang ia bawa. Bekal itu akan habis. Maka ia harus ikhtiar menjemput rezeki. Begitu pikirnya.
Hari berikutnya, ia ke tempat kerja diantar Mbak Ratih. Di sana ia diminta memakai seragam kafe. Seragamnya celana levis dan kaos lengan pendek biru muda. Ia menolak, ia memilih mengundurkan diri. Tapi sang manajer, seorang perempuan setengah baya mencegahnya. Ia diminta menunggu. Seorang anak buahnya datang dengan membawa celana kulot dan kaos putih lengan panjang. Ia minta memakai kaos putih dulu baru kaos seragam. Dan boleh pakai jilbab, tapi harus dimasukkan ke dalam kaos. Akhirnya ia mencobanya.
Ia merasa asing pada dirinya. Ia berusaha bekerja sebaik-baiknya. Dan pengunjung kafe itu begitu ramai. Datang dan pergi silih berganti. Seorang pengunjung laki-laki muda berdasi berbisik kepadanya ketika ia menyuguhkan secangkir kopi dan secawan pisang bakar, "Boleh tahu nama dan nomor kontaknya?" Ia kaget, namun ia diam saja. Ia merasa tidak nyaman, banyak pengunjung kafe itu yang menatapnya seperti hendak menelan tubuhnya.
Pulang dari kerja, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak kerja. Mbak Ratih kecewa, dan berusaha mencegahnya tetapi ia tetap bersikeras tidak bisa.
"Ya sudah. Sekarang terserah Dik Ayna saja. Rumah ini masih terbuka, mau tinggal di sini dulu sambil cari-cari lowongan silakan."
Sementara ia tinggal di rumah itu. Kalau siang ia jalan ke tengah kota melamar cari kerjaan. Sampai akhirnya ia diterima kerja di sebuah toko mainan anak-anak. Karena jarak dari rumah itu ke toko tempat bekerja jauh maka ia pamit kepada Ratih bahwa ia akan pindah. Ia merasa tidak enak numpang di rumah itu terus, sementara Ratih sendiri juga menyewa ternyata.
Pendekar Mata Keranjang 13 Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Pengawal Pilihan 1

Cari Blog Ini