Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 2
Malam itu, Ayna tidur senyum mengembang dan hati mantap bahwa ia tidak akan meninggalkan pesantren itu.
Tiga hari setelah kunjungannya ke Jogja, Bu Nyai Nur Fauziyah mengajaknya ngobrol. Ia masih ingat betul, Bu Nyai mengajaknya duduk di beranda belakang. Angin sejuk menggoyang bunga matahari di taman. Rembulan bersinar temaram. Bu Nyai Nur Fauziyah masih memakai mukena habus shalat Isya', wajahnya berseri anggun.
"Kalau kamu misal kuliah sambil nyantri di tempat Kyai Yusuf itu, kira-kira krasan nggak, Na?" tanya Bu Nyai kalem.
Ia agak kaget mendengar pertanyaan itu, sebab kuliah sambil nyantri seperti itu pernah terbersit dalam pikirannya. Namun ia mengukur diri, maka ia buang jauh-jauh keinginan itu.
"Njih krasan sanget, Mi. Pesantrennya bersih, adem, mahasiswi yang nyantri juga baik-baik dan berpikiran terbuka. Ideal sekali kalau kuliah bisa sambil nyantri di situ. Tapi untuk Ayna kok rasanya tidak mungkin itu menjadi kenyataan."
"Lho, kenapa nggak mungkin?"
"Dapat biaya dari mana? Yang realistis, kalau Ayna kuliah ya sambil nyambi kerja."
"Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah mengizinkan."
Bu Nyai Nur Fauziyah memandangi wajah Ayna dengan tersenyum.
"Ummi mau bilang sesuatu tapi kamu jangan kaget. Kamu dengarkan saja dulu, lalu kamu pikirkan baik-baik dalam dua atau tiga hari ya?"
Ayna mengangguk dengan dada berdesir. Dengan cepat pikirannya berkelebat, apakah Bu Nyai mau membiayai dirinya kuliah, atau menemukan orang yang akan membiayainya kuliah? Atau...?
"Begini, Na. Pak Kyai Yusuf Badrudduja matur kepada Ummi dan Abah, bahwa dia ingin melamarmu untuk dijadikan garwo-nya."
Ayna kaget luar biasa mendengar kalimat yang disampaikan Bu Nyai. Ia nyaris tidak percaya.
"Tidak mungkin itu, Mi?"
"Masak kamu tidak percaya sama Ummi, Na? Ini serius dan sungguhan. Itulah kenapa kami ajak dirimu jalan-jalan ke Jogja dan berlama-lama di rumah Kyai Yusuf. Supaya kau tahu dan merasakan sendiri kira-kira kalau tinggal di sana bagaimana?"
"Tapi apa saya layak, Mi? Beliau itu priyayi agung. Saya ini siapa?"
"Saya sudah ceritakan siapa kamu dan keluargamu kepadanya dan dia sudah mantap untuk menyunting dirimu jika kamu dan keluargamu menerima."
Ayna menunduk, air matanya basah.
"Kamu nggak usah jawab sekarang, kamu pikir-pikir saja. Sekarang aku akan sedikit cerita tentang Kyai Yusuf Badrudduja, supaya jadi tambahan informasi untukmu. Wajah, suara, kau sudah tahu. Kau juga tahu ia sudah punya dua anak. Lha, ini yang mau aku ceritakan. Yusuf Badrudduja dulu belajar di Lasem, lalu nyantri di Krapyak, lalu kuliah di Sudan, dan S2 di India. Selesai master, ia diterima menjadi dosen di universitas swasta di Jogja. Selama kuliah di Sudan dan di India, ia biasa nyambi kerja jadi guide haji hampir tiap tahun. Hasilnya ia tabung, ia belikan tanah di Kaliurang itu. Dalam waktu relatif cepat ia banyak ngisi majelis taklim, hingga seorang jamaah menawarkan putrinya, dan ia setuju menikahinya. Ia hidup bahagia bersama istrinya sampai punya dua anak, yaitu Faros dan Fina. Malangnya, istrinya kecelakaan ditabrak bus luar kota yang ugal-ugalan di Kalasan, daerah dekat bandara. Itu terjadi empat tahun yang lalu, saat Faros berusia tiga tahun dan Fina satu tahun. Sudah banyak yang menawari dia menikah tapi hatinya belum tergerak. Ia memilih puasa Daud. Beruntung ia dibantu adik bungsunya yang sedang kuliah di Jogja dalam mengasuh kedua anaknya."
"Mbak Farihah itu?"
"Iya, benar. Farihah menemani kangmas-nya menjaga Faros dan Fina sampai sekarang. Tapi kan nggak mungkin akan begitu terus. Farihah harus membangun masa depannya juga. Ia baru saja diterima kuliah S3 di Jerman dengan beasiswa full dari pihak kampus, dan bersiap untuk menikah sebelum berangkat ke Jerman. Ya otomatis dia akan meninggalkan Faros dan Fina. Maka Kyai Yusuf Badrudduja mau tidak mau harus mencari pendamping hidup sekaligus ibu untuk kedua anaknya. Umur Kyai Yusuf Badrudduja baru tiga puluh enam tahun. Masih muda. Ketika ngisi acara Haflah Akhirussanah itu, dia sampai meneteskan air mata melihat prestasimu. Habus acara itu dia sempat nanya-nanya tentang dirimu. Ya aku jelaskan apa adanya, termasuk kau suka menemani belajar si Naufal, dan lain sebagainya. Aku sendiri nggak berpikiran ia akan tertarik untuk melamarmu. Nggak sampai berpikir ke sana. Begitu, Na, kamu pikir baik-baik, kamu shalat istikharah yang benar. Kalau saya secara pribadi, jika kau menikah dengannya kau beruntung, insya Allah. Dia orang saleh insya Allah."
Malam itu Ayna tidak bisa memejamkan mata karena memikirkan apa yang dialaminya. Apakah secepat itu ia harus menikah? Tapi perempuan pada akhirnya akan menikah juga, kan? Kalau misal ia menerima pinangan itu, apakah Pakdenya akan setuju? Apa kira-kira kata teman-temannya kalau mereka tahu ia akan menikah dengan Kyai Yusuf Badrudduja? Terus apakah ia sudah pantas jadi ibu dengan dua anak yang berumur tujuh dan lima tahun? Bagaimana juga dengan selisih umur yang agak jauh? Ia baru delapan belas tahun dan calon suaminya tiga puluh enam tahun. Selisih delapan belas tahun. Apa tidak seperti Siti Nurbaya saat menikah dengan Datuk Maringgih? Ah, tidak juga. Kasusnya beda. Tidak bisa di-qiyaskan. Qiyas ma'alfariq namanya.
Benar kata Bu Nyai bahwa ia beruntung kalau menikah dengan Kyai Yusuf Badrudduja. Pernikahan itu akan mengubah warna hidupnya. Lingkungan kehidupannya selanjutnya adalah lingkungan ilmu, ilmu, ilmu, dan ilmu. Nuansanya adalah ibadah, dakwah, mengamalkan ilmu. Ia bisa kuliah, bahkan mungkin bisa sampai S2 atau S3. Dan ia akan banyak diskusi dengan para mahasiswi yang jadi santri Kyai Yusuf Badrudduja. Lebih dari itu semua, ia akan jadi Bu Nyainya mereka. Subhanallah. la akan jadi Bu Nyai? Apakah ini masuk akal? Anak seorang TKW dan bakul pecel di Pasar Tanggungharjo akan jadi Bu Nyai?
Ayna benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dan berputar dalam pikirannya. Jam setengah tiga dini hari ia bangkit, mengambil air wudhu lalu shalat istikharah, lalu berusaha memejamkan kedua matanya. Ia pasrahkan jalan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Mengatur nasib hamba-Nya.
BAGIAN 6 Setelah tiga malam berturut-turut melakukan istikharah, ia merasa bahwa orang saleh seperti Kyai Yusuf Badrudduja tidak bisa ia tolak. Ia merasa berdosa kalau sampai menolak orang saleh. Perbedaan umur setelah ia pikir-pikir tidak begitu masalah. Tiga puluh enam tahun belum terlalu tua. Wajah Kyai Yusuf juga masih muda. Masih tampak sepantaran18 dengan aktor yang jadi pemeran Fahri dalam film Ayat Ayat Cinta yang pernah ia tonton, atau semuda pemeran Syamsul di film Dalam Mihrab Cinta yang ia tonton ramai-ramai di halaman pesantren. Kalau memang Kyai Yusuf itu ditakdirkan sebagai jodohnya, ia terima dengan ikhlas seutuhnya. Dengan mantap ia menyampaikan hal itu kepada Bu Nyai Nur Fauziyah. "Semoga Pakde juga menerima," lirih Ayna.
"Iya, Ummi ngerti. Layaknya unggah-ungguh di Jawa, pihak keluargamu harus sepakat dan menerima dengan ikhlas. Sebab menikah pada hakekatnya menyatukan dua keluarga besar. Begini saja, kau pulanglah ke desamu, sampaikan kepada Pakde dan Budemu tentang masalah ini. Pekan depan, kebetulan Abah mau ke Kajen, Pati, nanti kami mampir ke tempatmu untuk ngatur rembug sama Pakdemu." Wajah Bu Nyai tampak semringah.
"Kalau misal Pakde nggak setuju, pripun, Ummi?"
"Pakdemu setuju atau tidak, ummi dan abah akan mampir ke tempatmu pekan depan. Kau berkemaslah dan pulang sana!"
"Injih, Mi." Ayna tidak membantah lagi.
Gerimis tipis turun ketika Ayna sampai di terminal Secang, diantar Mbak Ningrum dengan sepeda motor. Ia hanya membawa tas ransel berisi pakaian secukupnya. Yang agak berat adalah kardus titipan Bu Nyai untuk keluarga pakdenya. Sedemikian perhatian Bu Nyai pada dirinya. Dari Secang, ia naik bus patas Jogja-Semarang. Hujan turun sangat lebat ketika bus mulai berjalan menuju Semarang. Seharusnya ini adalah puncak musim kemarau, tetapi hujan masih kerap turun. Kapan musim hujan dan kapan musim kemarau ini susah diklasifikasikan. Mbak Ningrum pasti basah kuyup diguyur hujan. Ia tahu persis Mbak Ningrum tidak bawa jas hujan, sebab ketika keluar dari pesantren tidak ada tanda-tanda hujan meski langit tidak cerah. Ia berdoa semoga orang sebaik Mbak Ningrum dimuliakan oleh Allah SWT.
Hujan itu ternyata merasa sepanjang jalan menuju Semarang. Mulai Secang, Ambarawa, Bawen, Karangjati, Ungaran, hingga Pudak Payung, hujan turun sangat lebat. Barulah ketika bus memasuki tol Banyumanik hujan mulai reda. Ketika sampai di Kaligawe, matahari bersinar terang, sama sekali tidak ada setetes air hujan.
Akhirnya, ia sampai di terminal Terboyo. Suasananya sangat khas dari dulu. Air rob menggenang di mana-mana, dan bau amis yang menyengat. Itulah bau terminal Terboyo Semarang, yang lekat dalam otak bawah sadarnya. Ya, setiap daerah ia rasakan punya bau yang berbeda. Desa kelahirannya adalah bau kapur dan daun pohon jati. Sementara Candiretno, tempat ia menuntut ilmu adalah bau angin gunung, dan sayur terong. Itu yang melekat di alam bawah sadarnya. Sebab sayur terong adalah sayur paling banyak ia masak untuk para santri sekaligus paling banyak ia makan bersama para santri. Meskipun ada bau khas lainnya yang juga selalu ia ingat, yaitu bau kertas kitab kuning. Baunya khas. Bau itu selalu ia cium dan nikmati, sebab selesai ngaji ia punya kegemaran mencium halaman kitab kuningnya. Baunya sedap dan khas.
Ayna menyempatkan untuk shalat Ashar di masjid terminal. Usai shalat, ia rehat sejenak. Bau desa kelahirannya seolah telah tercium aromanya. Ada perasaan bahagia sekaligus getir menyusup begitu saja dalam dadanya. Bahagia karena ia akan melihat kembali rumah di mana ia menghabiskan masa kecil dan awal remajanya. Rumah yang penuh kenangan bersama simbah putri dan ibunya. Rumah kayu yang sederhana namun pernah menjadi surganya ketika ia bersama ibunya.
Dan getir. Kini setiap kali pulang, ada kegetiran menyesak dalam dadanya, karena ia akan melihat rumah kesayangannya itu merana. Layaknya rumah hantu tak berpenghuni. Padahal rumah itu ada di samping rumah pakdenya, dan sebelum meninggal ibunya sempat menitip pesan kepada pakdenya agar rumah itu dirawat. Tapi kenyataannya rumah itu ditelantarkan. Ia merasa hatinya getir setiap kali pulang, ia harus bersitegang dengan budenya tentang ruang tamu rumah itu yang dijadikan kandang kambing. Akhirnya ia akan bawa kambing itu ke bagian dapur, lalu ia bersihkan ruang tamunya dengan air mata menetes. Dan ia tidur sendiri di rumah itu. Di kamar yang dulu ia biasa tidur bareng ibunya. Pakde dan Budenya minta agar ia tidur di rumah mereka saja, tapi ia tidak bisa. Ia pernah mencoba sekali tidur di sana, tapi semalam suntuk tidak bisa tidur entah mengapa. Ia merasa tidak krasan di rumah itu. Ia lebih memilih tidur sendirian di rumah kayu yang sudah tua, yang berlantai tanah itu.
Ayna menghirup napas. Hari sudah sore. Mungkin ia akan sampai di desanya menjelang Maghrib. Kalau rumah itu masih kotor, kambing-kambing budenya masih di ruang tamu, yang tentu baunya adalah bau kandang, bagaimana ia bisa tidur? Ia tidak punya waktu yang cukup untuk membersihkan rumah itu. Belum lagi kalau saluran listriknya juga mati seperti empat bulan yang lalu, saat ia pulang kampung terakhir kalinya.
Ayna bangkit untuk melanjutkan perjalanan dengan muka sendu, tapi ia harus pulang, ia harus melangkah, tantangan hidup harus dihadapi.
Dari terminal Terboyo, ia naik bus mini jurusan Penggaron, Semarang bagian timur. Dari Penggaron, ia naik bus jurusan Purwodadi dan turun di Gubug. Dari gubug ia memilih naik ojek menuju desa kelahirannya yaitu Desa Kaliwenang yang masuk dalam wilayah Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan.
Pengendara ojek itu seorang kakek. Ia membawa sepeda motornya dengan sangat hati-hati, sehingga jalannya pelan. Ayna nyaris tidak sabar. Kalau boleh, ia ingin mengendarai sendiri sepeda motor Supra itu dengan cepat agar segera tiba di rumahnya lebih awal. Waktu seperempat jam lebih cepat itu lumayan untuk membersihkan rumah dan menata tempat tidur seadanya. Beberapa kali ia minta agar kakek-kakek itu mempercepat laju kendaraan. Sang kakek menjawab iya, tapi lajunya tetap tidak bertambah cepat. Akhirnya Ayna pasrah.
Benar seperti yang ia duga, ia sampai di depan rumah-nya tepat ketika adzan Maghrib berkumandang. Ia agak kaget melihat rumahnya yang tampak beda. Ia seperti mimpi. Ia nyaris tidak percaya. Tapi ia sadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Rumah kayu itu masih tetap berada di tempatnya. Dan tetap kayu. Bentuknya masih sama. Yang berbeda rumah itu tampak bersih. Telah dicat biru muda. Dan lantainya, oh lantainya telah dikeramik. Ayna menapaki beranda rumahnya dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan. Apakah cuma berandanya. Jendela kayu itu terbuka, ia melongok. Dalam keremangan cahaya senja, ia bisa melihat ruang tamu juga telah dikeramik. Dan tidak ada lagi kambing-kambing ditambatkan di sana. Dinding-dinding kayunya juga telah dicat rapi.
Siapakah yang melakukan ini semua? Apakah pakdenya? Apakah ia bisa percaya ini semua adalah perbuatan baik pakdenya? Kalau bukan pakdenya siapa?
Serentetan pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Ayna meletakkan tas bawa ransel dan kardus yang ia bawa.
Pintu rumah itu terkunci, ia harus ke rumah pakdenya yang berada persis di sebelah barat timur rumah itu. Antara rumah itu dan rumah pakdenya hanya terhalang sepetak kebun pisang yang tidak luas. Belum sempat melangkahkan kaki, ia mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Dik Ayna, kau pulang!"
Ayna tersenyum. Di jalan setapak yang membelah kebun pisang ia melihat sosok Atikah. Dengan penuh hangat Atikah menyerbu dan memeluknya.
"Selamat ya, sekali lagi selamat atas semua prestasimu. Orang kampung kita heboh ketika Pak Carik bawa koran yang memuat fotomu dan wawancaramu. Pak Kyai Ali Mukhlasin sampai menyampaikan dalam khotbah Jumat bahwa di desa ini sesungguhnya penuh potensi dan memiliki anak-anak yang cerdas. Buktinya adalah Ayna yang nilainya terbaik se-Indonesia! Kita harus bangga jadi warga Desa Kaliwenang!"
"Bukan se-Indonesia, salah itu!"
"Wis pokoknya begitu."
"Siapa yang ndandani rumah ini, Mbak?" tanya Ayna, ia ingin segera menghapus penasarannya.
"Pak'e." "Pakde?" "Iya." Atikah membuka pintu yang terkunci lalu menyalakan lampu.
"Kau pasti nggak percaya kan pak'e mau memperbaiki rumah ini? Aku saja tidak percaya."
"Apa sebenarnya yang terjadi? Apa rumah ini mau dijual?" tanya Ayna cemas.
"Tidak tahu, Dik. Nanti kau tanyakan saja sama Pak'e dan Buk'e."
"Mereka ada di rumah?"
"Bakda Ashar tadi pergi ke Kedung Jati. Mungkin pas Isya nanti pulang."
"Kamarmu juga bersih. Lihat itu. Kadang-kadang aku tidur di situ."
"Nanti malam temani aku ya? Kamar sebelah juga bersih dan rapi. Aku nanti tidur di kamar sebelah."
"Wah, senang sekali kau mau menemani."
"Di belakang, kamar mandi juga bersih."
"Ada airnya?" "Oh tenang, ada. Kamu nggak perlu ngangsu lagi. Pak Marjono sudah bikin sumur artetis. Seluruh penduduk kampung kita nyalur air dari sana. Bayar perbulan ada meterannya. Sama Pak'e sudah dipasangkan saluran ke sini."
"Alhamdulillah."
"Yang belum lengkap cuma bagian dapur, belum diapa-apakan masih seperti aslinya. Kau bersih-bersih dulu ya, aku carikan makan. Mau apa? Nasi goreng apa ayam goreng atau apa?"
"Nggak usah repot-repot, Mbak."
"Nggak usah pakewuh begitu. Masalahnya di rumahku juga lagi tidak ada apa-apa. Mbak Ripah malam ini nggak pulang, katanya kerjanya lembur. Aku juga lapar."
"Yo wis, pecel lele saja kalau ada, kalau nggak ada ayam goreng. Sama jeruk panas."
"sip." "Eh sebentar, ini uangnya."
"Udah nggak usah, kayak kau punya uang saja. Anggap aja kau kasih hadiah atas prestasimu."
"Matur nuwun ya, Mbak Tikah."
"Yo, podo-podo."
Ayna masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan badannya sesaat di kasur. Terasa nikmat. Kenangan bersama ibunya di rumah itu hadir begitu saja. Ia memejamkan mata. Ia seperti merasa dibelai oleh tangan halus ibunya. Bau baju ibunya yang khas seperti tercium olehnya. Kebahagiaan dan keindahan sesaat menyusup mengaliri syarafnya. Namun ia sadar sesuatu. Tiba-tiba keindahan itu seperti di lukiskan kebun bunga yang sedap dipandang yang dirusak oleh coretan spidol. Apa sesungguhnya niat pakde dan budenya memperbaiki rumah itu? Apakah akan dijual? Atau karena apa? Ia merasa ada yang aneh.
Malam itu, usai menyantap Pecel Lele yang dibelikan Atikah. Ayna bergegas sowan menemui Pakde dan Budenya. Dengan takzim ia mencium tangan mereka berdua. Ayna melihat sambutan Pakde dan Budenya berasa berbeda. Mereka tersenyum kepadanya, ramah dan hangat.
"Itu hadiah dari Pakde buat prestasimu. Prestasi yang mengharumkan nama keluarga besar kita dan nama desa kita. Piye warna catnya, kamu suka kan?"
"Injih, suka Pakde. Matur nuwun sanget. Seprai yang di kamar tidur Ayna juga bagus motif bunganya. Ayna suka sekali."
"Lha, kalau itu aku yang pilih. Itu hadiah dariku. Bude Tumijah, he he he," sahut Bude Mijah dengan tawa lebar.
"Matur nuwun, Bude."
"Katanya Pak Lurah juga mau kasih hadiah. Apa bener, Pak'e?" tanya Atikah.
"Yo, itu pas baca koran di Balai Desa, bilang begitu. Nanti biar aku tagih."
"Bisa nambah biaya kuliahnya Dik Ayna."
"Insya Allah." Malam itu Ayna agak krasan ngobrol panjang di rumah pakdenya. Ia menceritakan kenapa pulang. Ia menceritakan rencananya setelah lulus Madrasah Aliyah. Ia ceritakan semua saran Bu Nyai. Ia juga cerita pengalamannya jalan-jalan ke Jogja, hingga mampir di rumah Kyai Yusuf Badrudduja.
"Yang sering keluar di televisi itu?"
"Iya." "Wuih keren." Lalu Ayna menceritakan tentang lamaran Kyai Yusuf lewat Bu Nyai dan Pak Kyai. Padke dan Bude tampak kaget mendengarnya, namun berusaha menutupi kekagetannya.
"Nggak boleh ditolak. Kau gadis paling beruntung di desa ini, Dik!" ujar Atikah dengan mata berbinar.
Ayna lalu menjelaskan istikharahnya dan keputusan yang ia ambil.
"Keputusan yang tepat!" sahut Atikah.
"Tapi, saya kan punya orang tua, yaitu Pakde dan Bude. Saya minta pertimbangan dan restu dari Pakde. Pakde adalah orang tua saya, setelah kedua orang tua saya tidak ada. Pak Kyai dan Bu Nyai pekan depan akan mampir di sini untuk rembugan."
Pakde Darsun dan Bude Mijah saling berpandangan.
"Yah, Pakde menunggu kedatangan Pak Kyaimu. Kita rembug nanti. Semoga Pakde dan Bude bisa memberikan rembug yang terbaik."
Hati Ayna adem mendengar jawaban Pakdenya itu. Tiba-tiba ia merasa berdosa selama ini menyimpan perasaan tidak nyaman kepada Pakde dan Budenya. Ternyata, menurut apa yang ia lihat saat itu, Pakde dan Budenya bisa lembut, dan baik padanya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau bentuk hadiah dari mereka adalah memperbaiki rumah yang ia sayangi.
Akhirnya Ayna pamit karena ia merasa sangat letih dan harus istirahat.
"Biar dikawani Tikah ya, Na. Itu bawa air panas sama gula dan teh, siapa tahu malam-malam ingin minum."
"Matur nuwun, Bude."
"Oh ya, Na, mumpung ingat, Pakde mau tanya."
"Inggih Pakde, tanya apa ya?"
"Itu sertifikat tanah rumah yang kau tempati ada di mana ya? Pakde cari-cari kok nggak ada?"
Ayna kaget sekali mendengar pertanyaan itu. Tapi ia mampu menyembunyikan kekagetannya.
"Lha, apa sama almarhum ibu tidak dititipkan sama Pakde? Urusan tanah biasanya kan Pakde?" Ayna balik tanya.
"Iya. Aku kok lupa. Tapi aku merasa ibumu nggak nitipkan sertifikat. Ya udahlah, pakde sudah tua, sering lupa. Sana istirahat. Besok bisa bincang-bincang lagi."
"Injih, Pakde. Ayna pamit dulu."
Ayna melangkah keluar diikuti Atikah yang menenteng termos berisi air panas dan kresek plastik berisi gula, teh dan kopi.
Ayna merasa kalau ia langsung tidur, maka ia tidak akan bangun tahajjud. Maka ia putuskan untuk shalat tahajjud sebelum tidur meski cuma dua rakaat, disambung shalat witir tiga rakaat dua kali salam. Usai shalat witir, Ayna merenung di atas sajadahnya. Pertanyaan pakdenya tentang sertifikat tanah itu mengusik kebahagiaan yang baru saja ia rasakan. Kebahagiaan mendapati rumahnya seperti baru, serta sambutan hangat dari Pakde dan Budenya yang membuatnya haru.
Tapi,... Ia berpikir, apakah ini semua hanya sebuah siasat? Siasat untuk sebuah tujuan tertentu. Apakah benar ini semua murni sebuah kebaikan tulus dari seorang Pakde untuk keponakannya? Kenapa menanyakan sertifikat tanah? Untuk apa? Apa mau dijual? Atau mau dijadikan jaminan buat minjam uang di bank?
Tiba-tiba ia jadi ingat pesan ibunya kira-kira tiga bulan sebelum wafatnya. Saat itu hari Jumat pagi, ibunya datang menjenguknya di pesantren, dan mengajaknya berbincang berdua sambil duduk di bangku di bawah pohon sawo yang ada di depan halaman pesantren. Ibunya menyerahkan map yang isinya adalah sertifikat tanah. Ia juga kaget, kenapa sertifikat tanah sampai diberikan kepadanya di pesantren. Sangat tidak lazim ada santri belajar di pesantren juga menyimpan sertifikat tanah. Tapi ibunya memaksa agar ia menyimpannya. Ia masih ingat kata-kata dan cerita ibunya yang panjang lebar tentang ihwal sertifikat itu dan masa lalu keluarganya dan keluarga pakdenya.
"Nduk, ini sertifikat tanah di mana rumah ini berdiri. Sudah atas nama ibu. Karena kau satu-satunya anak ibu, nanti kau yang mewarisinya. Ini dijaga baik-baik. Jangan boleh diminta siapapun. Jangan boleh dipinjam siapapun. Termasuk jika pakde dan budemu yang pinjam. Jangan dikasihkan. Ibu mau cerita supaya kamu ngerti, kenapa pakdemu sering bersikap tidak pas sama kamu. Begini Nduk, ibu sama pakdemu itu saudara seibu beda ayah. Mbah Suimah, simbahmu itulah ibu yang mengandung pakdemu yang juga mengandung ibu. Tapi ayah kami beda. Dulu Mbah Suimah itu pernah nikah dengan Mbah Joyo, lengkapnya Joyo Sentono dari Desa Kradenan, di Grobogan bagian timur. Pokoknya jauh dari desa kita ini. Mbah Suimah diboyong ke sana. "Dari pernikahan itu lahirlah anak laki-laki diberi nama Nyoto Sentono. Mbah Joyo memberi nama Nyoto karena gandrung dengan tokoh PKI yang namanya Nyoto. Mbah Joyo ikut-ikutan PKI. Mbah Suimah berkali-kali minta agar Mbah Joyo tidak usah ikut-ikut PKI, tapi tidak digubris. Meski demikian Mbah Suimah tetap setia sebagai istri. Sampai akhirnya Mbah Joyo kepincut sama seorang perempuan penari tayup dari Desa Crewek, namanya Sri Sumaryanah. Suatu malam Mbah Joyo dan Sri Sumaryanah digerebek oleh orang-orang kampung, di sebuah rumah kosong di pinggir Desa Crewek karena berbuat serong. Mereka diarak keliling kampung dan akhirnya dipaksa menikah. Karena kejadian itu, Mbah Suimah minta cerai. Setelah dicerai, Mbah Suimah balik lagi ke sini, tapi anak lelakinya yang bernama Nyoto Sentono tetap diasuh Mbah Joyo. Setengah tahun setelah itu, Mbah Suimah nikah dengan seorang pemuda petugas kereta api yang nyewa rumah di daerah Tanggungharjo. Namanya Sujak. Lha, dua bulan setelah pernikahan itu terjadi peristiwa mengerikan di Indonesia. Yaitu pemberontakan G 30 S/PKI. PKI ingin menguasai Indonesia dengan cara licik dan berdarah. Sebelumnya PKI pernah melakukan pemberontakan berdarah tahun 1948 di Madiun. Umat Islam bersatu dengan TNI berhasil menumpas pemberontakan G 30 S/PKI. Akhirnya PKI yang ingin menjadikan Indonesia negara komunis dibubarkan dan dilarang di Indonesia. Dulu, Kabupaten Grobogan itu termasuk daerah yang dijadikan basis PKI di Jawa Tengah. Maka, akibat pemberontakan PKI itu, terjadi pembersihan oleh tentara. Yang kasihan, orang-orang yang ikut-ikutan dan tidak tahu apa-apa, mereka ada yang jadi korban. Termasuk keluarga Mbah Joyo, bekas suami Mbah Suimah. Keluarga besar Mbah Joyo banyak yang ditangkap tentara karena Mbah Joyo dikenal sebagai gembong PKI di desa itu. Sri Sumaryanah istri Mbah Joyo termasuk yang ditangkap. Beruntung Mbah Joyo bisa meloloskan diri saat ditangkap. Ia bagai belut yang selalu dapat lolos dari sergapan. Ada yang bilang dia punya ilmu kesaktian yang disebut Ajian Welut Putih. Tidak tahu benar apa tidak, intinya Mbah Joyo tidak berhasil ditangkap. Saat itu suasana sangat genting. Banyak kyai dan aparat pemerintah yang dibunuh PKI. Akibatnya, orang-orang dendam pada PKI. Saling bunuh membunuh terjadi di mana-mana. Banyak kyai yang namanya telah didaftar oleh PKI untuk dibunuh, namun PKI itu kalah cepat oleh Banser Ansor dan tentara, sehingga kyai-kyai yang telah didaftar itu selamat. Dalam kondisi genting seperti itu, Mbah Suimah teringat anaknya. Berhari-hari tidak bisa tidur karena memikirkan anaknya. Bagaimana nasib anaknya? Sebab ia tahu ayah anaknya itu terlibat PKI. Mbah Suimah terus menangisi anaknya dalam shalatnya. Seperti itulah seorang ibu. Mbah Suimah yang saat itu boleh disebut masih pengantin baru, minta kepada suaminya yaitu Sujak agar diantar mencari anaknya di Kradenan. Mbah Suimah terus memaksa. Akhirnya Mbah Sujak minta tolong kepada kenalannya seorang polisi untuk membantu mengawalnya ke Kradenan. Perasaan tidak enak Mbah Suimah ternyata benar. Anaknya, Si Nyoto Sentono yang baru berumur enam tahun ternyata di rumah sendirian, sudah berhari-hari tidak makan. Sebab ayahnya lari menyelamatkan diri dan ibu tirinya ditangkap. Tetangganya juga ditangkap. Si Nyoto yang berumur enam tahun ditemukan Mbah Suimah sedang makan cicak. Mbah Suimah sampai nangis tersedusedu melihat nasib anaknya itu. Anak itu lalu dibawa ke desa ini, diasuh oleh Mbah Suimah. Atas saran Mbah Kyai Romli sesepuh desa ini ketika itu, nama Nyoto Sentono sebaiknya diubah sebab itu nama PKI, khawatir nanti urusannya jadi panjang di belakang. Akhirnya namanya diganti Mat Darsun, sampai tua. Itulah Pakdemu. Setelah itu Mbah Suimah hidup tenteram bersama Mbah Sujak dan si kecil Mat Darsun. Tak lama setelah itu Mbah Suimah hamil dan lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Istiqomah. Itulah aku, ibumu. Dua tahun setelah itu, Mbah Suimah melahirkan anak lagi, laki-laki diberi nama Qomari, tapi meninggal ketika umurnya baru setahun. Lha, kenapa pakdemu kalau sama ibu kok dingin. Begini ceritanya, kira-kira lima tahun setelah itu Mbah Joyo tahu-tahu datang ke rumah. Ia sudah jadi orang sukses di Singapura. Ternyata Mbah Joyo berhasil lari ke Singapura, lalu bekerja di sana. Dan sukses. Namanya juga sudah ganti, bukan Joyo lagi, ibu lupa nama barunya itu siapa. Mbah Joyo juga sudah jadi warga negara Singapura. Saat itu, kondisi orang-orang di desa ini sedang susah. Lha, Mbah Joyo itu datang meminta supaya Mbah Suimah balik lagi ke dia, akan ia ajak hidup enak di Singapura. Mbah Joyo terang-terangan minta kepada Mbah Sujak, saat itu agar mau menceraikan Mbah Suimah dan memberikan kepadanya. Sebagai imbalan ia akan memberikan uang yang cukup banyak. Sebagai seorang laki-laki, Mbah Sujak sangat terhina dan merasa kehormatannya diinjak-injak. Mbah Sujak menjawab permintaan Mbah Joyo, 'Kalau mau aku bisa laporkan kamu ke Koramil agar ditangkap dan dipenjara hingga membusuk di dalam penjara. Aku juga bisa mengerahkan penduduk sini untuk meringkus dan menghabisi kamu! Tapi aku tidak akan memakai cara tidak jantan dan tidak beradab kayak PKI! Begini saja, aku tantang kau duel di hutan jati selatan desa. Kalau aku mati, jandaku itu silakan kau ambil, kalau dia mau!? Terjadilah duel, kayak carok di Madura. Singkat cerita, akhirnya Mbah Joyo mati tertusuk golok Mbah Sujak. Sementara Mbah Sujak luka parah, rojah-rajeh oleh sabetan golok Mbah Joyo. Mbah Sujak sempat dibawa ke rumah sakit. Tapi dua minggu setelah itu beliau wafat. Mbah Suimah lalu menjanda sampai tua. Lha, pakdemu, Si Mat Darsun, saat itu sudah ndolor , sudah mengerti apa yang terjadi. Pakdemu merasa bahwa bapaknya itu dibunuh oleh Mbah Sujak, bapak tirinya, ayah kandung ibu. Itulah kenapa sejak itu pakdemu dingin dan seperti dendam pada ibu, juga pada dirimu. Suatu ketika saat ibu kelas dua SMP, Pakdemu pernah berkata pada ibu, 'Bapakmu itu bodo, kalau saja dia izinkan ibu dibawa oleh bapakku ke Singapura, kita semua hidup makmur dan mulia. Tidak sengsara kayak gini!' Ibu diam saja tidak menjawab saat itu, meskipun ibu bisa menjawab dengan jawaban yang akan membuatnya diam seribu bahasa. Sebab ibu tahu persis bahwa yang benar saat itu adalah Mbah Sujak, ayahnya ibu. Hanya suami rendahan yang menyerahkan istrinya kepada orang lain. Ibu hanya khawatir jawaban ibu nanti malah semakin membuat Pakdemu sakit hati, persaudaraan akan semakin renggang. Lha, tanah ini semua sesungguhnya adalah milik Mbah Sujak. Dibeli dari uang tabungannya kerja di Jawatan Kereta Api. Mbah Sujak itu kan bukan ayah kandung Pakdemu, hanya ayah tiri. Semestinya Pakdemu itu nggak berhak dapat bagian dari warisan yang ditinggalkan Mbah Sujak. Tapi Mbah Suimah sebagai ibu tetap memberi pakdemu bagian tanah. Bahkan Pakdemu itu telah mengambil tak kurang dari tiga perempat tanah warisan Mbah Sujak. Lha, tanah di mana rumah ini berdiri satu-satunya yang tidak dia ambil. Dia mengambil dengan cara nakal, karena dia bermain dengan orang-orang di kelurahan saat ibu jadi TKW di Yordania. Tanda tangan Mbah Suimah dipalsukan. Mbah Suimah tidak tahu tapi ibu tahu itu, dan ibu tidak mau ribut sama satu-satunya kakak ibu, meskipun beda ayah. Itulah kenapa ibu berwasiat agar sertifikat ini dijaga betul-betul, dan jangan kau pinjamkan kepada siapapun termasuk pakdemu. Nduk, ini semua ibu ceritakan hanya sekadar agar kamu tahu. Supaya kamu bisa bersikap yang pas. Ibu sama sekali tidak bermaksud agar kamu benci pakdemu dan keluarganya, tidak. Justru ibu minta kamu tetap menghormati pakdemu seperti kamu menghormati ayahmu sendiri. Dan menghormati budemu layaknya kamu menghormati ibu."
Ayna seperti berdialog langsung dengan ibunya. Suaranya masih ia hafal betul. Air muka ibunya juga ada di pelupuk mata. Tak terasa air mata Ayna merembes, mengalir di pipinya. Ia merasa apa yang dilakukan ibunya itu mungkin semacam firasat bahwa umurnya tidak akan panjang, sekaligus naluri seorang ibu untuk menjaga anaknya semampu yang ia bisa lakukan.
"Tanah itu kalau kau sangat kepepet nanti, boleh kau jual, Nduk. Hasilnya bisa kau gunakan untuk menata masa depanmu. Kalau tidak kepepet sebaiknya tidak kau jual. Ibu selalu berdoa hidupmu bahagia, selamat dan mulia. Ibu juga berpesan agar kau melanggengkan amalan yang dilanggengkan oleh kakekmu yaitu Mbah Sujak, dan dilanggengkan oleh nenekmu yaitu Mbah Suimah, lalu diwasiatkan kepada ibu dan ibu langgengkan. Amalannya tiap pagi dan sore jangan lupa beristighfar seratus kali, membaca shalawat kepada Baginda Nabi seratus kali, dan membaca kalimat thayyibah seratus kali."
Begitu pesan terakhir ibunya di bawah pohon sawo di halaman pesantren waktu itu. Dan sejak itu ia melanggengkan amalan itu. Ayna mengusap air matanya, besok pagi-pagi sekali ia harus berziarah ke makam ibunya, juga ke makam kakek dan neneknya.
Ayna bangkit melipat sajadahnya. Ia membuka kamarnya dan melihat kamar sebelah telah tertutup dan lampunya telah di matikan. Atikah telah lelap. Ia beranjak mematikan lampu ruang tamu lalu kembali ke kamarnya untuk mengistirahatkan badan dan pikiran.
BAGIAN 7 Ya Nabi salam 'alaika, Ya Rasul salam 'alaika, Ya Habib salam 'alaika, Shalawatullah 'alaika. Ayna memimpin shalawatan dalam pengajian rutin pekanan ibu-ibu di kampungnya. Empat hari di kampung ia sudah langsung menyatu dengan denyut kehidupannya. Semua menyambutnya dengan penuh bangga. Anak-anak remaja memintanya untuk membagi pengalamannya belajar di pesantren dan pengalamannya bisa meraih nilai UN yang menjakjubkan. Guru-gurunya di SMP dulu memintanya menjadi pembicara pengajian OSIS menyambut bulan Ramadhan. Beberapa pesantren kecil yang ada di sekitar desanya meminta kepadanya agar berbagi ilmu dengan para santri. Tiba-tiba ia merasa diuwongke.
Malam itu, setelah shalawatan selesai, Bu Hajjah Muniroh, istri ketua RW yang sekaligus pemimpin para ibu-ibu di kampungnya memintanya untuk memberikan mau'izhah hasanah. Ia menolak, tapi terus dipaksa. Baginya itu bukan sesuatu yang susah sebenarnya. Sebab di pesantren ia biasa latihan khithobah bergantian tiap malam Jumat dengan teman-temannya. Tetapi ia khawatir dianggap anak yang tidak tahu unggah-ungguh kalau ujug-ujug mau menjadi pembicara di hadapan ibu-ibu.
"Monggo, Bu Hajjah Muniroh saja, saya kan sudah memimpin shalawatan, masak juga yang ngisi mau'izhah hasanah, mosok saya borong sendiri. Sanes wekdal insya Allah," jawab Ayna halus penuh takzim. Akhirnya mau 'izhah hasanah diisi oleh Bu Hajjah Muniroh. Jamaah pengajian sudah mewanti-wanti agar pertemuan berikutnya Ayna yang ngisi.
Kalau ia tidak berprestasi, akankah mendapatkan perlakuan indah seperti yang ia terima akhir-akhir ini? Kalau berita prestasinya tidak dimuat di koran, akankah ia mendapat sambutan sebesar ini? Dulu, ketika lulus SMP ia juga lulus dengan nilai terbaik sesekolahan, tapi tanggapan orang biasa-biasa saja. Tapi sekarang berbeda. Karena prestasi yang ia torehkan atas rahmat Allah- berbeda. Ia berprestasi tingkat provinsi dan nasional. Tidak hanya koran lokal Jawa Tengah yang memuat beritanya, tapi juga media-media nasional. Di internet berita tentang prestasinya juga telah viral.
Berprestasi itu indah. "Kau harus lanjut ke universitas-universitas papan atas Indonesia; UGM, UI, IPB, Unair, Unpad, atau Undip. Harus! Itu akan mengangkat sekolah kita. Bahwa alumninya ada yang tembus masuk kampus-kampus top!" Bu Latifah, guru Matematika saat SMP dulu bicara padanya dengan mata membelalak-belalak kayak Habibie dan mulut seperti berkobar.
"Jika aku punya rezeki, aku akan kirim kau ke Mesir, kuliah di Al Azhar, kau pulang lagi nanti buat pesantren di desa kita ini. Di sana kau akan ketemu banyak santri-santri hebat yang kuliah di sana, lha kau pulang nanti sambil bawa satu lulusan sana untuk jadi suamimu. Buat pesantren di sini, biar desa ini bercahaya." Mbah Kamali, Imam Masjid paling tua di desanya berkata lirih penuh harap kepadanya.
"Belum ada anak muda secerdas kamu di desa ini. Aku tahu kamu sejak kecil. Aku juga tahu darah yang mengalir dalam tubuhmu. Mbah Sujak, kakekmu itu bukan orang sembarangan. Ia pernah jadi muridnya Kyai Maksum Demak dan Kyai Tarmidi Kendal. Ayahmu, juga bukan orang sembarangan, ibumu banyak cerita kepadaku. Mungkin ada darah ulama mengalir dalam diri ayahmu yang asli Palestina. Imam Syafii itu lahir di Palestina," lanjut Mbah Kamali. "Sayang aku nggak punya rezeki cukup untuk mengirimmu ke Mesir, Nduk. Sebenarnya itu penting, agar para orang tua di sini sadar anak itu, khususnya anak perempuan, harus juga disekolahkan yang tinggi!"
Sejak kecil, salah satu orang yang paling ia suka di kampungnya setelah ibu dan neneknya- adalah Mbah Haji Kamali. Berdekatan dengannya seperti berada di tengah taman bunga yang disinari mentari pagi yang hangat. Berbincang dengannya itu seperti membuka pintu-pintu gudang hikmah dan semangat.
Itu awal pekan kedua bulan Juli, Atikah masih libur sekolah, sehingga bisa menemani dan mengantar dirinya ke mana-mana dengan motor matic-nya. Semua orang menyambut dan terenyum kepadanya. Namun, dalam kehidupan, ada suka ada tidak suka. Orang sebaik dan sehebat apapun selalu ada yang tidak suka. Apalagi dirinya yang cuma gadis biasa. Ia tidak bisa membuat semua orang di kampungnya suka kepadanya. Dalam keluarga dekatnya sendiri, Sri Aripah, yang biasa ia panggil Mbak Ripah, anak sulung pakdenya, tampak tidak menyukainya. Sejak bertemu dengannya belum sama sekali ia tidak melihat wajah ramah dan senyumnya.
Maka, sungguh sebuah hal yang luar biasa menurutnya, ketika malam itu, saat pulang dari pengajian ibu-ibu, ia mendapati Sri Aripah menunggunya di rumah dan
Ia tidak tahu, kenapa sejak kecil Aripah memusuhinya. Sejak kecil yang paling sering menjahatinya adalah Mbak Ripah. Di SD dan SMP yang menjadi dalang dan menggerakkan teman-temannya untuk mengejeknya sebagai anak haram TKW juga dia. Ia pernah meninjunya saat kelas 6 SD hingga hidung Aripah mimisan. Itu karena ia tidak kuat lagi menahan amarahnya. Tapi akibatnya ia dihukum sama ibunya dan dimarahi Pakde dan Budenya habis-habisan. Hanya Mbah Suimah, neneknya, yang membelanya. Sejak itu, ibunya berpesan agar jangan pernah membalas penghinaan Aripah. "Anggap aja itu suara embikan kambing! Ojok digagasi" pesan ibunya.
Maka, sungguh sebuah hal yang luar biasa menurutnya, ketika malam itu, saat pulang dari pengajian ibu-ibu, ia mendapati Sri Aripah menunggunya di rumah dan tersenyum kepadanya. Sri Aripah tersenyum kepadanya? Ia nyaris tidak percaya? Apakah kakak sepupunya itu telah mendapatkan hidayah? Terlalu berlebihan mungkin ia menyebut hidayah.
"Dik, aku ada sedikit hadiah untukmu."
"Serius, Mbak?"
"Ya, serius lah. Nggak boleh ya aku kasih hadiah padamu?"
"Ya, boleh lah. Seneng banget aku. Apa hadiahnya?"
"Itu, buka aja!"
Ayna melihat kotak dibungkus kertas bunga-bunga hijau muda ada di meja kamarnya. Kedua mata Ayna berbinar. Ia berlari mengambilnya diikuti Atikah.
"Boleh nggak aku yang buka. Penasaran banget. Nggak biasanya Mbak Ripah baik hati begini, aku yang adik kandungnya aja nggak pernah dikasih hadiah," cerocos polos Atikah.
"Ya ya, nanti kalau kau lulus UN seperti Ayna aku beliin hadiah."
Dengan hati-hati Atikah membuka kertas pembungkus kotak itu. Ternyata itu kotak sepatu. Begitu isinya ia keluarkan, sontak ia menjerit histeris,
"Waah.. sepatu sport yang cantik! Branded!"
"Aduh Mbak Ripah, ini pasti mahal!" sahut Ayna.
"Kau suka kan?" Aripah kembali tersenyum.
"Suka banget. Seumur-umur belum pernah punya sepatu bagus kayak gini."
"Coba lihat nomornya, kalau tidak pas bisa ditukar."
"Tiga delapan. Pas banget."
"Enak buat jalan-jalan. Ini aku belikan buat kamu, karena aku mau ajak jalan-jalan kamu?"
Mendengar itu Ayna agak kaget. Ia langsung teringat kejadian tiga tahun lalu. Saat itu ia lulus SMP, Sri Aripah yang lebih tua setahun darinya juga lulus SMP. Suatu sore Aripah mengajaknya jalan-jalan ke Semarang bareng teman-temannya. Ia dipaksa ikut, akhirnya ia ikut. Ternyata di Semarang nyewa tiga kamar, Aripah dan teman-temannya bikin acara sampai malam. Ia tidak kuat lalu tidur. Jam tiga malam, kamar digerebek polisi. Teman-teman Aripah ternyata pada minum-minum dan menghisap narkoba. Semua digelandang ke kantor polisi termasuk dirinya. Lalu beritanya termuat di koran lengkap dengan foto mereka. Untung saja dia dinyatakan negatif, alias tidak mengonsumsi narkoba. Karena kejadian itulah ibunya mengirimnya ke pondok. Dan ia mensyukuri sikap tegas ibunya itu. Jika ibunya tidak mengirimnya ke pondok pesantren, ia tidak akan mengenal indahnya ajaran para ulama salaf.
"Kenapa bengong, Dik Ayna?" tanya Aripah
"Eh nggak, mau jalan-jalan ke mana, Mbak?"
"Pokoknya surprise. Yang jelas kita naik pesawat, Dik. Kita naik pesawat. Aku juga belum pernah naik pesawat. Bakalan seru, Dik!"
"Jangan percaya, Dik Ayna, Mbak Ripah PHP itu, Pemberi Harapan Palsu. Naik pesawat? Uangnya dari mana? Dari Hong Kong?" Sengit Atikah.
"Kalau aku bohong, potong kupingku! Ini serius, kau juga boleh ikut, Dik Tikah."
"Kalau nggak jelas aku nggak mau, nanti kayak kejadian waktu itu, yang digerebek polisi di Semarang itu. Emang enak dikerangkeng sama polisi?" samber Atikah menyindir. Ayna tersenyum dalam hati, kata-kata Atikah itu mewakili apa yang hendak ia ungkapkan.
"Ya nggaklah, aku sudah tobat. Ada teman mbak yang baik sekali, dia sudah baca profil Dik Ayna di koran, dia mau ajak kita jalan-jalan ke Lombok, yang katanya pantainya putih kayak di surga!"
"Serius, Mbak? asyik banget! Kapan kita berangkat? Dari mana kita berangkat? Maksudku naik pesawat apa, terbang dari mana?" cecar Atikah.
"Nafsu banget sih kamu. Yang utama itu, Dik Ayna, mau nggak? Kalau nggak mau, ya batal."
Atikah lalu merengek-rengek pada Ayna agar mau. Akhirnya ia menjawab mau dengan syarat tidak ada bau maksiat. Atikah sangat girang mendengarnya sampai melompat-lompat. Malam itu sebelum tidur ia mendapat SMS dari Ningrum bahwa Bu Nyai akan datang besok. Maju sehari dari jadwal seharusnya. Pagi-pagi sekali setelah bangun tidur ia memberitahukan kabar itu kepada pakde dan budenya. Budenya minta agar Pak Kyai dan Bu Nyai diterima di rumah Ayna saja.
"Bude lagi ada pesanan okekah. Nanti rumah ini akan bau prengus. Diterima di rumahmu saja. Kau bisa pinjam tikar RT. Nggak apa-apa, kan, duduk di lantai saja?" Nada suara Budenya agak ketus. Ayna tidak membantah. Ia malah sangat bahagia Pak Kyai dan Bu Nyai diterima di rumahnya. Santri mana yang tidak bahagia rumahnya didatangi kyainya.
Pagi itu juga, ia pinjam tikar RT. Ia juga pinjam karpet pada Bu Hajjah Muniroh. Ia tahu, beliau punya karpet yang dibeli dari Saudi waktu haji. Lalu ia mengajak Atikah ke Pasar Gubug untuk mencari jajan pasar dan kelapa kopyor. Ia tahu Pak Kyai dan Bu Nyai sangat suka es kelapa kopyor. Ia memperkirakan mereka akan tiba menjelang Zhuhur.
Jam sebelas siang mobil Innova silver memasuki halaman rumah Ayna. Bu Nyai Nur Fauziyah dan Pak Kyai Sobron keluar dari mobil. Berikutnya seorang khadimah, dan seorang santri yang menyopiri mobil itu juga keluar. Ayna tergogoh keluar dari pintu rumahnya menyambut mereka penuh takzim.
Ayna tidak bisa melukiskan kebahagiaannya melihat Pak Kyai dan Bu Nyai berkenan duduk di atas karpet.
"Nyuwun sewu, Pak Kyai dan Bu Nyai hanya seperti ini tempatnya, seadanya," bibir Ayna bergetar, kedua matanya berkaca-kaca.
"Oh nggak apa-apa, Na. Lho, kan biasa tho kita duduk seperti ini. Rumah ini enak. adem. Aku sudah membayangkan kalau akan kepanasan, tapi ini adem," wajah Bu Nyai tampak segar.
"Pakde dan Bude sedang dipanggilkan, rumahnya di samping. Saya ke belakang sebentar."
"Nggak usah repot-repot, Na, aku bantu ya?" Sahut santriwati yang mendampingi Bu Nyai.
"Nggak usah, Mbak Titin duduk manis saja."
Ayna bangkit ke belakang, Titin juga bangkit mengikuti. Sampai di dapur Ayna kaget ketika tahu Titin juga ke dapur.
"Waduh nggak enak aku, tamu kok ikut repot."
"Udah biasa aja, koyok sopo wae," santai Titin.
Mereka berdua lalu mengeluarkan es kelapa muda, pisang goreng, jajan pasar, dan buah mangga yang sudah diiris-iris dalam dua piring. Pak Kyai dan Bu Nyai begitu menikmati suguhan itu tanpa rikuh sedikit pun.
"Wah, seger tenan. Kadang-kadang sesuatu yang kelihatannya tidak umum atau tidak normal itu jadi rahmat dan nikmat. Tidak semua yang tampak tidak umum itu jelek. Ini contohnya, kelapa kopyor. Kelapa umumnya kan tidak begini. Yang ini tidak umum. Kopyor. Istilahnya sebenarnya buah kelapa ini tidak normal, tapi malah nikmat untuk kondisi tertentu. Tapi kelapa kopyor ini tidak bisa dibuat bothok seperti kelapa normal," gumam Pak Kyai sambil menyeruput es kelapa yang ada di tangan kanannya.
Tak lama kemudian Pakde dan Budenya datang dan menyalami mereka dengan penuh hormat. Bude menyampaikan rasa terima kasih atas perkenan Pak Kyai dan Bu Nyai berkunjung ke Kaliwenang, juga menyampaikan terima kasih atas oleh-oleh dari Bu Nyai yang dibawakan Ayna. Mereka lalu berbincang ke sana ke mari seputar kondisi keluarga, kondisi Desa Kaliwenang dan Desa Candiretno. Hingga akhirnya Pak Kyai menyampaikan hajat utamanya yaitu melamar Ayna untuk adik sepupu Bu Nyai Nur Fauziyyah, yaitu Kyai Yusuf Badrudduja.
"Jika diterima, kami akan datang lagi secara resmi bersama Kyai Yusuf dan keluarga besar kami, untuk melamar secara lebih resmi. Begitu Pak Darsun," Pak Kyai Sobron menyampaikan maksudnya dengan bahasa yang tertata, halus dan elegan.
Pak Darsun yang kurang bisa bicara, meminta istrinya untuk menjawab.
"Nyuwun sewu, kulo namun dados talangipun atur Pak Darsun. Begini Pak Kyai, Pak Darsun tidak bisa bicara karena saking bahagianya atas kerawuhan Pak Kyai dan Bu Nyai. Juga atas lamaran yang sungguh tidak pernah kami bayangkan. Siapalah kami, siapalah ananda Ayna sampai dilamar keluarga dari kyai besar. Namun demikian, mohon maaf, kami belum bisa memberikan jawaban saat ini. Izinkan kami berpikir, minta petunjuk Yang Mencipta Hidup. Kami perlu menimbang yang menurut kami terbaik baik keponakan kami, Ayna. Insya Allah, dalam pekan ini, paling lambat tujuh hari lagi, kami akan sowan ke Candiretno untuk memberikan jawaban."
Pak Kyai dan Bu Nyai mengangguk-angguk mendengar penjelasan istri Pak Darsun.
"Baik, kalau begitu, kami menunggu kerawuhannya di Candiretno. Semoga nanti yang kami terima adalah kabar yang baik," jawab Kyai Sobron pelan.
Yang ada di ruangan itu mendengarkan pembicaraan penting itu dengan saksama, apalagi Ayna. Sebab pembicaraan itu menyangkut nasib dirinya selanjutnya. Tidak ada satu kalimat pun yang lepas dari pendengarannya. Tidak ada yang salah dalam pembicaraan itu, juga tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan Budenya.
Hanya saja, ia merasa ada yang tidak pas di hati. Kenapa Bude tidak langsung menjawab menerima lamaran itu? Bukankah ia sudah menyampaikan kepada mereka bahwa dirinya menerima lamaran itu. Kenapa masih mikir dan nanti jawabannya akan disampaikan di Candiretno?
Acara selanjutnya adalah makan siang. Pak Kyai dan Bu Nyai disuguhi gule kambing, tengkleng kambing dan sate kambing yang membuat mereka sampai gembrobyos berkeringat.
"Wah, seger tenan, aku akan sering ke sini kalau begini," ujar Pak Kyai semringah.
"Injih monggo, Pak Kyai, kami siapkan yang lebih enak dari ini insya Allah," tukas Pakde Darsun.
"Nggak bisa, menurutku nggak ada daging yang lebih enak dari daging kambing," sergah Pak Kyai guyon.
"Wah nggih, bener itu Pak Kyai, setuju," sahut Pakde Darsun semangat.
Suasana terasa hangat dan cair. Usai makan siang Pak Kyai dan rombongan shalat Zhuhur dan ashar jama' tadqim dan qashar di situ, lalu melanjutkan perjalanan ke Pati. Malam harinya, Ayna tidak bisa tidur mencerna semua kejadian yang berlangsung selama Pak Kyai berkunjung di rumahnya. Ia masih belum sreg dengan jawaban Budenya yang tidak langsung menerima lamaran itu. Ia juga terus memikirkan kalimat yang dibisikkan ke telinganya di dapur ketika akan mengambil wudhu sebelum shalat Zhuhur.
"Kamu yang sabar ya, Na, kalau misal nanti kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu harus sabar."
Saat itu ia tidak berani menanyakan maksud kalimat Bu Nyai, sebab kondisinya tidak tepat. Budenya berdiri tak jauh dari mereka. Bu Nyai juga tidak punya waktu yang longgar untuk berbincang-bincang sebab harus melanjutkan perjalanan ke Kajen, Pati.
Seperti malam sebelumnya, malam itu Ayna kembali tidak bisa tidur nyenyak. Sambil rebahan ia memandangi genting di langit-langit kamarnya. Suara jangkrik bersahutan di kebun pisang. Jiwa dan pikirannya benar-benar tidak bisa tenang. Jawaban Budenya ketika ia tanya alasan tidak langsung menerima lamaran itu membuat hidupnya terasa gamang.
"Tenanglah, Ayna, serahkan masalah jodohmu pada Bude dan Pakdemu. Kami akan carikan yang terbaik untukmu. Tidak harus kyai, kan? Tapi kalau kami pikir kyai itu yang terbaik untukmu, kenapa tidak? Kamu tenang saja, kami masih menimbang banyak hal."
Menimbang apa lagi? Bukankah semua sudah jelas dan terang di depan mata? Kyai Yusuf Badrudduja, apanya yang masih harus dipertimbangkan? Kalau dia duda dua anak dan sedikit berumur dari dirinya, tapi dirinya kan sudah bilang ikhlas lahir batin. Masih mau nimbang-nimbang apa lagi? Kalau bukan karena wasiat ibunya agar memperlakukan mereka layaknya orang tua sendiri, maka ia tidak akan minta pendapat mereka. Ia tahu persis, saat ia mengaji kitab Fathul Mu'in, bahwa wali nikah itu dari jalur ayah. Ayah, kakek dari jalur ayah bukan jalur ibu, saudara kandung, saudara seayah, paman dari jalur ayah dan seterusnya. Kerabat dari jalur ibu tidak bisa jadi wali.
Dan Pakde Darsun itu saudara ibunya, bukan saudara ayahnya. Itupun saudara ibu beda ayah. Jadi bukan wali dia sama sekali. Akan nikah pun nanti tidak akan sah kalau walinya dia, menurut mayoritas ulama. Tapi kenapa mereka sok merasa menguasai dirinya? Merasa merekalah yang menentuka nasib dan hidupnya?
Air mata Ayna meleleh. Besok pagi adalah waktu untuk jalan ke Lombok. Ia sama sekali tidak bergairah. Ingin rasanya membatalkan keikutsertaannya ke Lombok. Tapi, jika ia urung maka perjalanan itu akan urung. Akibatnya ia akan jadi musuh Sri Aripah dan bahkan Dwi Atikah yang sangat menginginkannya. Segala persiapan telah mereka lakukan. Ayna memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang seraya menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Pagi itu matahari bersinar terang. Wajah Aripah dan Atikah tampak riang. Mereka berdiri di beranda rumah Ayna sambil bermain ponsel dan sesekali melongok ke jalan. Sebuah mobil Pajero hitam datang memasuki halaman. Senyum mereka seketika mengembang. Sepasang lelaki dan perempuan keluar dari mobil lalu menengok ke kiri dan ke kanan.
"Mas Bud, Mbak Rosa, kece banget pakaiannya," sapa Aripah.
"Heh, Yoyok mana? Belum datang?" "Belum, Mas! Nggak bareng sampean tho?" sahut Aripah.
"Saya jemput, nggak mau dia. Terus adikmu yang dari pesantren itu mana?"
"Di dalam, lagi shalat."
"Shalat apa, jam segini? Shubuh? Masak anak pesantren jam segini baru shubuhan," sambar Rosa.
"Dia nggak pernah ninggal shalat Dhuha, sejak masih SMP," jelas Atikah.
"Wah, hebat dong, beruntung banget nanti yang jadi suaminya," sahut Rosa.
"Yang jadi suami Mbak Rosa juga beruntung banget. Bener, kan, Mas Budi?" guyon Aripah.
"Untung nggak ya... he he he..." seloroh Budi santai.
"Bilang nggak untung, aku sembelih kamu!"
"Ya deh, untung deh, sadis banget... he he he."
"Kalau kamu nggak merasa untung, kamu mau cari yang seperti apa lagi? Aku ini kembang desa, pinter masak, pinter dandan, pinter menyenangkan suami, manut sama suami. Kurang apa, hah!?"
"Kurang judes!"
"Asem!" Aripah dan Atikah tertawa ngikik menyaksikan guyonan sepasang suami istri yang masih muda itu.
Tiba-tiba sebuah mobil Fortuner putih datang dan pelan-pelan masuk halaman.
"Itu, Mas Yoyok datang!" teriak Aripah dan Atikah hampir bersamaan.
"Sudah siap semua?" sapa Yoyok sambil menurunkan kaca jendela. Ia tidak turun.
"Sebentar, saya panggil Dik Ayna. Tikah, itu tas kita dinaikkan mobil!"
"Iya mbak." "Saya sudah siap Mbak," lirih Ayna ketika Aripah membalikkan badan mau masuk rumah.
"Serius kau pakai pakaian begitu? Celana Jeans yang aku belikan kenapa nggak dipakai? Ini kita mau rekreasi bukan mau ngisi pengajian!" ketus Aripah.
"Saya nggak bisa pakai Jeans, Mbak. Kalau nggak diajak nggak papa kok!"
"Eh sudah, sudah, nggak apa-apa, santai aja, ayo Dik Ayna, kau ikut aku aja! Aripah dan Atikah biar naik mobilnya Mas Budi. Kita jalan beriringan ke Semarang. Kita naik pesawat dari sana!"
Semua ikut komando Yoyok. Sejurus kemudian dua mobil itu bergerak beriringan meninggalkan Desa Kaliwenang menuju Semarang. Sepanjang jalan, Ayna lebih banyak diam. Pikirannya masih kusam. Ayna hanya bicara jika ditanya oleh Yoyok. Gadis itu lebih banyak memandang ke depan. Dan tanpa sepengetahuannya Yoyok sering melirik mencuri pandang.
Ayna sedikit melupakan masalahnya ketika ia dan rombongan sampai di bandara Ahmad Yani Semarang. Itu adalah kali pertama ia naik pesawat. Ia penasaran bagaimana caranya? Apa seperti naik bis? Seperti apa tiketnya? Sebab ia tidak memegangnya. Apa langsung naik pesawat terus di dalam nanti diperiksa tiket kayak naik bis?
Dan ini akan menjadi perjalanannya paling jauh. Selama ini, sejak kecil, ia tidak pernah pergi jauh.
Seingatnya, bepergian agak jauh paling sering adalah ke tengah kota Purwodadi atau ke Simpang Lima Semarang bersama ibunya. Lalu ia belajar di Secang Magelang. Rekreasi paling jauh bersama ibunya adalah ke Pantai Kartini Jepara. Selebihnya ia tidak pernah rekreasi ke mana-mana sampai ia diajak Bu Nyai jalan-jalan ke Jogja. Mungkin, diantara teman-temannya di Madrasah Aliyah, ia adalah paling tidak banyak jalan-jalan.
Dan kali ini ia akan pergi ke Lombok. Naik pesawat terbang. Meski ada perasaan tidak nyaman, entah karena apa, ia didera penasaran. Bagaimana rasanya terbang menembus awan?
Ternyata proses naik pesawat tidak sesederhana naik bis. Barang-barang bawaan diperiksa lewat alat detektor. Lapor dulu untuk mendapatkan nomor tempat duduk dan mendapatkan kertas yang disebut boarding pass. Dan dua puluh menit sebelum pesawat terbang, penumpang dipanggil untuk naik pesawat.
Ia merasa beruntung karena dapat tempat duduk di samping jendela. Meskipun ia agak kurang nyaman karena tepat di sampingnya adalah Mas Yoyok. Ia berharap yang ada disampingnya adalah Atikah sehingga bisa banyak bercerita sepanjang jalan. Tepat di depannya adalah Atikah dan Aripah. Dan di depannya lagi Mbak Rosa dan Mas Budi.
Matanya tidak berkedip memandang ke luar jendela ketika pesawat mulai naik. Oh, seperti ini rasanya naik pesawat terbang. Sungguh beruntung udara cerah. Pesawat terus naik dan terbang ke arah timur. Ia merasakan keindahan tersendiri melihat Kota Semarang dari atas.
Ia melihat kawasan Simpang Lima dengan Masjid Baiturrahman-nya. Lalu Masjid Agung Jawa Tengah. Pesawat semakin naik, rumah-rumah semakin tampak kecil. Jalanan seperti ular panjang, ada yang seperti garis. Pesawat terus ke timur. Ia yakin gerumbulan rumah kecil itu Kota Mranggen. Lalu Karangawen. Lalu Gubug. Itu jalan bercabang di Gubug. Ia lalu memandang agak ke bagian selatan sedikit ke barat, itu desanya.
Pesawat terus meninggi menembus awan. Selanjutnya ia menikmati hamparan putih yang menakjubkan. Inilah awan putih yang sering ia pandang dari bawah. Oh Maha Suci Allah.
Tiba-tiba Atikah dan Aripah heboh berfoto. Demikian juga Mbak Rosa dan suaminya, Mas Budi. Ia diam saja, sebab ia hanya punya HP murahan yang penting bisa untuk SMS dan menerima telepon. HP yang ia beli dari uang hadiah Pak Bupati Magelang. Selebihnya uang itu ia gunakan untuk bayar hutang, lalu ia tabung.
"Dik Ayna, aku foto ya? Untuk kenangan, jarang-jarang kita naik pesawat. Entah kapan lagi bisa naik pesawat." Tanpa menunggu persetujuan Ayna, Aripah langsung mengambil gambar Ayna tidak tahu seperti apa hasilnya. Atikah dan Aripah lalu heboh ngobrol ngalor-ngidul. Mereka begitu menikmati perjalanan itu. Ia senang, tapi entah kenapa tidak begitu menikmatinya.
Ia nyaris tidak berbicara dengan Mas Yoyok yang ada di sampingnya. Ia tidak begitu kenal sehingga tidak tahu harus ngomong apa. Hanya satu dua kali Mas Yoyok bicara. Pertama memberikan apresiasi atas prestasinya. Ia mengaku membacanya di koran. Dan kedua, menanyakan rencananya mau lanjut kuliah di mana. Ia pun menjawab pertanyaan itu dengan singkat dan seperlunya. Selebihnya Mas Yoyok tampak asyik menonton film di layar video yang ada di depannya. Ia lebih banyak melihat ke jendela menikmati hamparan awan. Rasanya ia ingin keluar dan tidur bergumul dengan awan.
Mereka transit di Bandara Juanda Surabaya lalu pindah pesawat untuk terbang ke Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pukul satu siang waktu setempat mereka keluar dari pintu kedatangan Lombok International Airport, Mataram. Belasan turis bule juga keluar dari bandara itu.
Seorang anak muda itu berambut keriting memakai kaos merah memegang kertas bertuliskan "Bapak Haryo Bagus Karloto". Yoyok mendekati anak muda itu dan menyapanya,
"Saprul ya?" "Iya, benar. Bapak Haryo?"
"Ya, saya Haryo. Tapi panggil saya Mas Yoyok."
"Oh, iya baik. Ini rombongannya?"
"Iya." "Mari kita ke mobil. dekat kok."
Mereka menuju parkiran lalu naik bus mini mewah yang disopiri oleh Saprul.
"Bapak ibu semua, kenalkan nama saya Saprul. Saya asli Lombok Timur. Saya yang akan memandu dan menemani Bapak, ibu, mas dan mbak semua selama tiga hari di sini. Jadwal kita hari ini, sebelum masuk hotel, kita makan siang dulu. Untuk hotel, mohon maaf tidak bisa berkumpul dalam satu hotel. Sebab persediaan kamar untuk hotel bintang lima yang diminta sudah penuh. Terpaksa dibagi dua hotel. Tapi berdekatan," Saprul terus nyerocos sambil mengendari bus mini mewah.
"Nanti akan saya bagi kertas initerary acara kita, mohon diperhatikan waktunya, biar sama-sama nyaman. Mohon untuk pembagian kamar hotelnya nanti jangan protes ke saya. Itu yang saya dapat dari pihak travel, kalau mau protes silakan langsung ke pihak travel."
"Ini rumah makan ayam Taliwang paling enak. Para menteri makan di sini."
Usai makan siang, Saprul mengarahkan laju bus mini itu ke Hotel Nusantara Jaya, sebuah hotel berbintang lima di pantai Senggigi. Ia menyerahkan dua kunci.
"Pak Budi Marjono dan Ibu Rosamalia Sari, ini kuncinya. Sri Aripah dan Dwi Atikah, ini kuncinya. Sudah. Cuma dua kamar."
"Lha, saya di mana, Mas?" tanya Ayna.
Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti di hotel sebelah sama Mas Yoyok," jawab Saprul.
"Satu kamar?" "Iya." "Saya tidak mau! Tidak mungkin saya sekamar berdua dengan lelaki."
"Saya dapatnya dari pihak travel begitu. Silakan protes sama travel."
"Tenang, Dik Ayna. Nanti saya yang urus. Kita nggak akan satu kamar berdua. Ayo kita ke sana supaya bisa segera istirahat."
Ayna masuk di Hotel Senggigi Sentosa.
"Silakan kamarnya Dik Ayna pakai sendiri saja. Biar diantar sama boy room untuk menunjukkan di mana kamarnya. Resepsionis bilang dari jendela kamar akan lihat laut. Indah katanya," kata Yoyok saat menyerahkan kunci hotel pada Ayna.
"Terus, Mas Yoyok, gimana?"
"Tenang, saya bisa ngurus diri saya. Nggak usah dicemaskan," jawab Yoyok sambil tersenyum.
Ayna memasuki kamar yang mewah dan indah. Itu kali pertama ia kenal hotel dan masuk hotel. Benar, dari jendela kamar ia melihat laut dengan pasir putih yang cantik. Sesaat ia melupakan masalahnya. Ingin rasanya segera berlari ke pantai, berlari-lari di pasir putih yang lembut. Tapi ia merasa tubuhnya sangat letih, tadi malam ia nyaris tidak tidur. Ayna mengambil air wudhu shalat jama' Zhuhur dengan Ashar, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dalam hitungan detik, ia telah pulas tertidur.
Karena kedinginan oleh udara AC, Ayna terbangun dari tidurnya. Ia sangat kaget, ketika membuka tirai jendela hari telah gelap. Cepat-cepat ia melihat jam di hapenya. Sudah jam delapan malam.
" Astaghfirullah, aku kehilangan waktu Maghrib."
Ayna menangis. Itulah untuk pertama kalinya sejak ia masuk pesantren, ia kehilangan waktu shalat. Maghrib telah lewat. Ia merasa sangat berdosa. Ia merasa sangat menderita. Ia mereguk satu kenikmatan dunia, tapi kehilangan satu nikmat ibadah.
Cepat-cepat ia shalat mengqadha Maghrib lalu shalat Isya'. Setelah itu ia bingung harus berbuat apa? Perutnya terasa lapar. Ia kontak nomor Aripah dan Atikah, tapi tidak aktif. Ia mencoba keluar kamar dan menuju lobi hotel.
Di sana, ia menemukan Yoyok duduk sendirian. Ia merasa memiliki teman. Ya di situ, satu-satunya yang telah ia kenal, ya Yoyok.
"Sudah bangun? Agaknya sangat pulas tidurnya, ya? Tadi, sebelum Maghrib teman-teman ke sini. Acara kita sebenarnya shalat Maghrib di masjid raya terus makan di pinggir pantai. Resepsionis berkali-kali menelepon ke kamarmu tapi tidak kau angkat. Atikah mengetuk kamarmu tapi tidak juga kau buka. Akhirnya mereka berangkat, dan aku nunggu di sini. Kasihan kalau kau bangun tidak ada siapa-siapa. Kita makan malam di sini saja, ya?"
Mendengar penjelasan Yoyok itu ia mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa tidur seperti kerbau kekenyangan. Mungkin kerbau lebih baik dari dirinya. Na'udzubillah, lirihnya dalam hati. Mereka akhirnya, makan di restoran hotel berdua. Ayna tidak punya pilihan lagi.
Tiga hari di Lombok, ia merasa garing. Nyaris waktunya banyak ia habiskan sendirian di kamar, atau bertemu Yoyok. Entah kenapa, banyak momen-momen yang seharusnya pergi bersama Aripah dan Atikah tetapi ia tertinggal. Hari terakhir sebelum pulang sedikit beruntung ia pergi berlayar ke Gili Trawangan bersama rombongan.
Ayna bukan gadis yang bodoh. Bahwa ia gadis yang lurus, baik dan jujur, iya. Tetapi ia bodoh, tidak. Ayna merasa ada sesuatu yang tidak beres selama ia ada di Lombok. Tapi ia belum menemukan itu apa. Ia hanya merasa, kenapa selama di Lombok ia lebih banyak bertemu dan bersama Yoyok. Kenapa ia tidak boleh tukar tempat dengan Aripah? Ia ingin Aripah pindah ke kamarnya dan dirinya bersama Atikah. Tapi Aripah tidak mau.
Entah kenapa, tiba-tiba ada rasa khawatir menyusup halus dalam kesadarannya. Anehnya ia tidak tahu ia harus mengkhawatirkan apa? Ia hanya bisa berdoa, agar Allah menjaganya dari segala keburukan dan fitnah. Baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
BAGIAN 8 "Ini sudah jadi keputusan Pakde! Tidak bisa diubah lagi!"
"Pakde, tolong dengarkan Ayna, yang akan menjalani Ayna, Pakde. Tolong Pakde jangan tolak lamaran itu! Ayna sudah mantap menerima lamaran itu, Pakde."
Namun rintihan dan permintaan penuh mengiba itu tidak juga menggoyahkan hati Darsun.
"Tidak! Pakde tidak mungkin merestui kau menikah dengan duda beranak dua. Tidak, Na! Pakde sudah mikir sangat matang. Sudah minta petunjuk Gusti Allah bermalam-malam. Pakde ingin kau hidup mulia. Pakde sudah mendapatkan calon untukmu!"
"Kalau Pakde tidak restui Ayna nikah dengan Pak Kyai Yusuf, Ayna akan nekad."
"Nekad apa, hah?! Nekad apa? Ngomong!"
"Ayna akan nekad tetap nikah tanpa restu Pakde! Ayna tidak peduli!"
Darsun malah terkekeh. "Lha, kalau kamu tidak peduli kenapa datang minta restu Pakde! Silakan sana! Nikahlah dengan Kyai duda itu. Tapi sejak itu berarti kamu tidak punya ikatan apapun dengan pakde dan keluarga pakde! Kau bukan keponakanku lagi! Ikatan kekeluargaan kita putus!"
Hati Ayna terasa perih. Batinnya berdarah.
"Nduk Ayna, dengarkan Bude. Selain yang dikatakan Pakdemu, Bude juga punya alasan kenapa Bude tidak bisa menerima lamaran itu. Tiga malam yang lalu, saat kau di Lombok, kira-kira jam dua malam Bude mimpi didatangi almarhum ibumu. Ibumu itu menangis dan minta kepada Bude supaya tidak mengizinkan kamu menikah dengan Kyai Yusuf. Kata ibumu, jangan sampai kau mengulang nasib ibumu yang menikah dengan pria yang sudah punya anak. Begitu Nduk. Bude sampai merinding malam itu. Ibumu itu seolah-olah hidup lagi dan menemui Bude."
Ayna tidak menjawab, ia menundukkan kepala dan menutup mukanya dengan kedua tangannya. Isak tangisnya lirih terdengar. Dadanya seperti ditusuk berkali-kali dengan belati berkarat. Ia jadi teringat bisikan Bu Nyai Nur Fauziyah saat berkunjung ke rumahnya,
"Kamu yang sabar ya, Na, kalau misal nanti kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu harus sabar."
Ruang tamu Kyai Sobron itu biasanya adem dan lapang, tetapi siang itu suasananya terasa sumpek seolah dipenuhi asap menyesakkan dada. Kyai Sobron dan Bu Nyai Nur Fauziyah merasa seperti ada yang menyesak dalam dada mereka ketika mendengar kata-kata yang disampaikan Bu Tumijah mewakili Pak Darsun.
Mereka berdua diam tak tahu harus darimana menata kata. Sementara Ayna hanya bisa menunduk dengan air mata tak bisa dibendungnya. Ia mati-matian menahan diri agar tangisnya tidak meledak saat itu.
"Ini bukan kabar baik yang ingin kami dengar, terus terang saja. Dan terus terang kami kecewa, tapi kami tidak punya hak apa-apa. Ayna adalah keponakan kalian. Kami hanya bisa berharap dalam dua-tiga hari ke depan Pak Darsun dan Bu Tumijah berubah pikiran," suara Bu Nyai memecah keheningan.
"Kami tidak akan berubah pikiran kecuali jika Pak Kyai dan Bu Nyai menikahkan Ayna dengan salah satu putra Pak Kyai dan Bu Nyai. Jadi Ayna yang masih perawan dapat perjaka. Itu baru kufu. Kalau Ayna dijodohkan dengan duda beranak dua, ya tidak kufu, menurut kami. Mohon maaf kalau kami lancang!" sahut Bu Tumijah.
Muka Bu Nyai dan Pak Kyai memerah, baru kali ini ada orang menggurui mereka dengan nada nyelekit. Ayna sendiri sangat kaget mendengar kata-kata Budenya itu. Ia tidak hanya kaget, kesedihannya kini bercampur rasa malu yang mendalam kepada Bu Nyai dan Pak Kyai.
"Mohon maaf yang menginginkan menikahi Ayna kebetulan adik kami, Kyai Yusuf, bukan putra kami. Yah, intinya kami memahami alasan Pak Darsun dan Bu Tumijah. Kami hanya bisa mendoakan semua Ayna nanti dapat jodoh yang lebih baik dari Kyai Yusuf dan sebaliknya Kyai Yusuf dapat ganti yang lebih baik dari Ayna."
"Matur nuwun. Sekalian matur, Ayna juga akan kami boyong pulang ke kampung. Artinya ia tidak akan melanjutkan ngajinya di sini. Kami berpikir ia bisa mengamalkan ilmunya di kampung sambil kuliah jarak jauh. Kebetulan ada kampus di Semarang yang buka kelas jarak jauh. Jadi kami mohon izin akan membawa balik Ayna."
"Kami tidak bisa menahan Ayna, semuanya terserah Ayna dan keluarganya. Kami hanya bisa terus mendoakan semua santri kami menjadi manusia yang bermanfaat dan sukses dunia akhirat."
"Aamiin." "Sebentar lagi Ashar, sebelum pulang, mohon berkenan itu mencicipi hidangan ala kadarnya di rumah tamu. Santri kami akan mengantar. Ayna mungkin perlu waktu untuk mengemasi barangnya."
"Oh ,injih matur nuwun, Bu Nyai. Sekali lagi, kami mohon maaf jika ada tindak tanduk dan tutur kata kami yang tidak berkenan."
"Sama-sama, demikian juga kami."
"Maafkan saya dan keluarga saya Bu Nyai! Saya tidak tahu lagi harus bagaimana? Saya sudah bilang kalau tidak direstui saya akan tetap nekad menikah dengan Pak Kyai Yusuf. Pakde saya bilang, silakan nekad tapi ikatan kekeluargaan kita putus. Jangan kau anggap lagi punya kerabat di desa ini! Begitu Ummi."
"Kau masih ingat pesanku di dapur rumahmu dulu itu?" lirih Bu Nyai sambil melepaskan pelukannya.
"Injih, Mi." "Ummi saat itu sudah menangkap firasat ini. Ummi sudah menangkap nada penolakan dari bahasa diplomasi budemu itu. Kau mungkin akan menghadapi sesuatu yang lebih besar dari ini, Na."
"Ayna takut tidak bisa bersabar, Mi. Ayna mau nekad tetap nikah sama Pak Kyai Yusuf saja, tidak peduli Pakde memutuskan tali kekeluargaan!"
"Sebaiknya jangan, Na. Alasan mereka ketemu nalar, yaitu tidak ingin keponakannya dapat duda beranak dua. Kita lihat dalam dua-tiga hari semoga ada perubahan. Kalau tidak berubah juga, semoga calon yang mereka siapkan untukmu itu baik. Kalau kau nekad, kau kehilangan keluarga satu-satunya yang kau miliki. Tapi kalau kau bersama mereka, kau tidak akan kehilangan kami, Na. Ummi dan abahmu tidak akan berubah sikap kepadamu. Kau tetap santri kami yang akan kami sayangi dan kami doakan."
"Firasatku kalau Ayna ikut mereka akan banyak repotnya. Bagaimana kalau begini Mi, kita nikahkan saja Ayna dengan Asif atau Afif? Asif lebih tepat, dua bulan lagi dia selesai masternya. Tadi kan kalau dinikahkan dengan putra kita mereka tidak akan menolak?"
"Abah, dengarkan Ummil Bu Tumijah itu mulutnya licin, dia tidak bilang tidak akan menolak. Dia hanya bilang mungkin akan berubah pikiran. Saya juga merasa sayang kalau Ayna tidak menikah dengan lelaki yang benar-benar santri. Tapi dengan Asif rasanya tidak mungkin. Bagaimana nanti jawaban kita pada Kyai Thayyib Cirebon? Kalau Afif? Dia baru saja lulus bareng Ayna. Dia harus kuliah dulu. Kalau dia nikah, bubar semuanya. Lagian kalau Ayna kita nikahkan saat ini dengan putra kita, apa yang akan kita katakan pada Dik Yusuf? Apa tidak malu kita pada dia? Dia minta tolong kita untuk melamarkan Ayna, kok malah Ayna kita jodohkan dengan anak kita."
Kyai Sobron membenarkan semua penjelasan istrinya, ia hanya bisa menghela napas panjang. Ayna memahami posisi Bu Nyai yang tidak mudah. Namun kata-kata Kyai Sobron yang sempat berniat hendak menjodohkan dirinya dengan salah satu dari putranya sungguh di luar dugaannya. Ia merasa terharu bahwa dirinya dipandang sedemikian berharga oleh ulama besar sekaliber Kyai Sobron.
"Ummi, izinkan saya berkemas. Sementara saya harus ikut Pakde dan Bude pulang kampung. Saya mohon terus didoakan. Dan mohon berkenan menyampaikan salam takzim saya kepada yang sangat saya hormati Romo Kyai Yusuf Badrudduja. Demi Allah, saya tidak menolak lamarannya. Tapi kondisinya seperti ini." Ayna mengucapkan itu sambil terisak. Bu Nyai kembali meraih tubuh Ayna dan memeluknya penuh cinta sambil menangis terisak.
"Pakde bisa saja menikahkan Yoyok itu dengan Aripah atau Atikah. Bisa, dan Pakde yakin dia mau. Tapi tidak
Pakde lakukan karena Pakde lebih memikirkan kamu, keponakan Pakde. Untuk ukuran masyarakat sini, Yoyok itu calon suami yang ideal. Masih lajang, artinya tidak duda. Dari keluarga terpandang yang kaya raya. Dia sendiri punya usaha, Pakde dengar dia punya tiga perusahaan. Salah satunya usaha perumahan di Semarang. Terus dia juga anggota DPRD. Orangnya juga sopan dan baik. Oh ya, dia juga berpendidikan, lulus SI Ekonomi di Jakarta. Oh ya, wajahnya juga lumayan ganteng. Masih kurang apa? Dia memang bukan lulusan pesantren, bukan kyai, tapi pakde pernah lihat dia shalat!"
"Tapi Ayna tidak suka Pakde. Ayna lebih memilih Kyai Yusuf dibandingkan Mas Yoyok. Ayna tidak cinta sama Mas Yoyok. Ayna tidak bisa Pakde!" jawab Ayna tegas dengan dada sesak dan kedua mata berkaca-kaca.
"Dengarkan Budemu, Nduk. Ikutilah Pakdemu. Dia tulus. Ini semua demi kebaikan dan masa depanmu. Ya sekarang memang belum cinta, tapi nanti lama-lama akan cinta. Wiwiting tresno jalaran soko kulino. Bude ini contohnya! Bude dulu musuh bebuyutan Pakdemu ketika masih kecil dan masih gadis. Poyok-poyokan setiap hari. Akhirnya kami dinikahkan. Ya akhirnya bisa rukun, lahir tiga anak dari pernikahan kami."
"Tapi Ayna tidak mau nikah sama Mas Yoyok. Biarlah dia nikah sama Mbak Aripah atau Mbak Atikah. Dan biarlah Ayna menikah dengan Kyai Yusuf. Apapun yang nanti terjadi di belakang hari akibat menikah dengan Kyai Yusuf biar Ayna yang menanggungnya. Ayna tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Itu pilihan Ayna!"
"Pikiranmu wis ora waras, Nduk! Mesti kamu sudah diguna-guna sama Kyai itu! Begini, Pakde kasih waktu tujuh hari, pikirkanlah masak-masak. Jika kau tetap mau nikah sama Kyai itu, ambillah barang-barangmu kembalilah ke pesantren sana! Anggap pakdemu dan budemu sudah mati! Anggap kita tidak ada ikatan apa-apa! Kau bebas!" bentak Darsun dengan muka memerah.
Lelaki setengah baya itu lalu bangkit keluar meninggalkan ruang tamu rumah Ayna diikuti istrinya. Tangis Ayna kembali meledak. Dalam tangisnya terbit amarahnya. Jiwa berontaknya membela kehormatannya menyala. Ia bangkit menuju kamarnya dan mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Detik itu tekadnya menyala bersama emosinya; ia akan kembali ke pesantren, tidak ada urusan dengan pakde dan budenya.
Namun ketika melangkah keluar rumahnya dan menutup pintunya, pesan ibunya agar tidak memutus tali kekeluargaan kembali menggema dalam relung batinnya. Lalu kata-kata lembut Bu Nyai kembali terngiang di telinganya,
"Kalau kau nekad kau kehilangan keluarga satu-satunya yang kau miliki. Tapi kalau kau bersama mereka, kau tidak akan kehilangan kami, Na. Ummi dan abahmu tidak akan berubah sikap kepadamu. Kau tetap santri kami yang akan kami sayangi dan kami doakan."
Ayna menyeret tasnya dan kembali masuk rumah. Ia menangis tersedu-sedu.
"Ya Allah ya Rabbi, belas kasihi hamba-Mu yang lemah ini," batinnya dalam isak tangisnya.
Sejak itu Ayna lebih banyak di rumah, mengisi hari-harinya dengan membaca Al-Qur'an, shalat, dan dzikir. Undangan mengisi pengajian remaja di beberapa tempat ia tolak. Setiap hari Atikah dengan sabar menemani dan mencarikan makan untuk Ayna. Sebelum berangkat sekolah, anak bungsu Pak Darsun itu mengantar sarapan. Pulang sekolah ia langsung menemani Ayna. Atikah tahu penderitaan Ayna, ia pun ikut protes kepada ayah dan ibunya. Ia ikut membela Ayna, tapi selalu dibentak oleh ayahnya,
"Anak masih bau kencur, diam saja!"
Ayna juga tahu perjuangan yang dilakukan oleh Atikah untuk membelanya. Dan ia tahu itu sia-sia belaka berhadapan dengan kekerasan hati Pakde dan Budenya.
Waktu tujuh hari yang diultimatum oleh Pakdenya telah lewat. Berarti ia dengan terpaksa memilih apa yang dirancang oleh Pakde dan Budenya. Tepatnya bukan begitu, ia memilih mengorbankan dirinya demi mempertahankan tali kekeluargaan. Demi bakti pada ibunya. Ia berharap bahwa tindakannya itu ditulis oleh Allah sebagai amal saleh dan pahalanya dikirimkan kepada ibu, nenek, kakek dan ayahnya di alam barzakh sana.
Ia pasrah. Ia menunggu kedatangan pakde dan budenya untuk berembug lagi rencana mereka, seperti hewan korban yang telah diikat menunggu disembelih oleh tukang jagal.
"Kamu yang sabar ya, Na, kalau misal nanti kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu harus sabar," kata-kata Bu Nyai itu muncul begitu saja dalam ingatannya.
Siang itu matahari seperti membakar Desa Kaliwenang. Tanah berlapis kapur yang terpanggang menguapkan hawa panas. Ayna merasa gerah. Ia hanya memakai sarung dan kaos lengan pendek. Ia istirahat di kamarnya dengan tangan kanan memegang tasbih. Kedua matanya terpejam tapi tidak terlelap. Bibirnya bergetar menyebut asma Allah.
Subhanallah, astaghfirullah
Subhanallah, astaghfirullah
Subhanallah, astaghfirullah
Subhanallah, astaghfirullah
Subhanallah, astaghfirullah
Subhanallah, astaghfirullah
Subhanallah, astaghfirullah
Sayup-sayup ia mendengar pintu rumahnya diketuk pelan. Ia memang mengunci pintu depan dari dalam. Ia melihat jam dinding di kamarnya. Jam dua siang. Itu saatnya Atikah pulang. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah keluar lalu membuka pintu dengan tenang.
Pintu terbuka, ia mengira akan mendapati wajah Atikah, namun sosok yang ada di depan pintu itu membuatnya kaget bukan kepalang.
"Astaghfirullah, Gus Afif!"
Gus Afif juga kaget melihat Ayna tidak memakai jilbab dan hanya memakai kaos lengan pendek. Belum pernah ia melihat Ayna tanpa jilbab seperti itu. Jantungnya berdesir hebat, sebab Ayna tampak berbeda, dan sangat memesona. Ketika memakai jilbab, Ayna begitu anggun dan cantik, dan ketika tidak pakai jilbab ia tampak jelita.
Ayna cepat-cepat menutup pintu. Ia lari ke kamarnya dengan dada berdegup kencang.
"Ya Allah, astaghfirullah, Gus Afif melihat diriku tidak pakai jilbab dan hanya pakai kaos lengan pendek. Astaghfirullahl Dasar ceroboh, mestinya tanya dulu siapa sebelum buka pintu! Bodoh!" Marah Ayna dalam hati pada dirinya sendiri.
Ayna cepat-cepat berganti pakaian. Ia memakai jubah lengan panjangnya di atas sarung dan kaos lengan pendeknya lalu mengenakan jilbabnya. Suasana panas dan gerah tidak lagi ia rasa. Ia menuju cermin dan melihat wajahnya. Setelah dirasa tidak ada yang aneh, ia kembali ke pintu dan membukanya.
"Monggo Gus, monggo pinarak!" sapanya dengan menundukkan kepala. Rasa malu masih mendera batinnya.
"Assalamualaikum," Gus Afif juga menundukkan kepala.
"Wa'alaikumussalam."
Ayna mundur. Gus Afif melangkah dan duduk di hamparan tikar plastik yang ada di tengah ruang tamu. Ruang tamu itu memang kosong tidak ada apa-apanya. Ayna juga duduk di atas tikar itu. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia memilih menunduk diam. Sesaat lamanya keduanya saling diam.
"Panas sekali, yah," suara Gus Afif memecah keheningan.
"Iya, Gus. Sudah satu minggu tidak hujan. Siang dan malam sama saja gerahnya. Makanya mohon maaf kalau tadi saya tampak tidak sopan, maaf, saya kira yang datang si Atikah."
"Saya yang minta maaf, datang mengganggu istir
"Ah, tidak apa. Gus Afif sendirian?"
"Tidak, sama Kang Bardi."
"Mana dia?" "Tadi kan pas lewat pertigaan di timur sana ada es degan, saya pas lihat belum pengin, eh pas turun depan rumah ini terasa panas terus pengin. Ya saya minta dia balik kanan beli es degan."
"Oh iya, itu yang jual Bu Harsun. Iya benar, ada tulisannya Es Degan Bu Harsun."
"Saya tidak tahu harus ngomong apa. Mimpi apa saya semalam, kok siang ini Gus Afif sampai di rumah saya. Katanya mau ke Mesir, belum berangkat Gus?"
"Sedang diurus. Test di Kemenag sudah keluar hasilnya, alhamdulillah saya lulus, artinya dianggap layak kuliah di Al Azhar. Kalau jadi ke Mesir, mungkin berangkat bulan September. Insya Allah."
"Kok, kalau jadi?"
"Ya, kan kemungkinan lain bisa terjadi."
"Iya, sih." "Kalau boleh tanya. Ini, aduh, bagaimana saya ngomongnya? Ada urusan apa Gus Afif sampai kemari. Pasti ada yang penting, ya? Nggak mungkin cuma dolan kan?"
"Iya, benar. Ada hal penting yang saya bawa dan harus saya sampaikan kepadamu."
"Apa itu, Gus?"
"Ada dua hal, pertama, saya diminta Ummi sama Abah menyampaikan surat undangan ini."
Gus Afif mengeluarkan surat undangan pernikahan jari tas kecil yang ia bawa dan memberikan kepada Ayna.
Dengan hati-hati, Ayna membuka bungkus plastik dan membuka surat undangan itu. Kedua matanya berkaca-kaca membacanya. Tertulis di sana bahwa H. YUSUF BADRUDDUJA BIN H. SHOLIHIN akan melangsungkan akad nikah dengan INDAH NURUL ADILLAH BINTI H. HAMBALI, pada hari Jumat pertengahan Ramadhan yang akan datang.
Ayna menyeka air matanya.
"Alhamdulillah, itu Teh Indah Nurul Adillah, alumni pesantren kita yang lanjut ngafalin Qur'an di Annur, Ngrukem ya?"
"Iya, benar." "Iya, dia memang layak mendampingi Kyai Yusuf."
"Kau menangis sedih, ya?"
Ayna menghela napas. "Tidak tahu. Yang jelas qaddarullah."
"Kau akan datang?"
"Tidak tahu juga."
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Ternyata Kang Bardi.
"Bawa sini, Kang!"
Kang Bardi masuk sambil membawa kantong plastik berisi es degan dan gorengan.
"Wah, tamunya malah yang repot cari minum. Mana Kang, biar aku masukkan ke gelas."
Ayna mengambil kantong plastik itu dan membawanya ke dapur. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan membawa nampan berisi tiga gelas besar berisi es kelapa muda, sepiring gorengan, dan sekotak kecil tisu.
"Kang Bardi, ambil es deganmu, sama gorengan dan makan di luar sana!"
Kang Bardi menuruti perintah Gus Afif tanpa membantah sedikitpun.
"Justru apa tidak lebih baik Kang Badri di sini? Kan kata Pak Kyai tidak boleh kita berdua-duaan seperti ini," protes Ayna pelan begitu Kang Badri sudah ada di luar.
"Kau benar. Tapi aku tidak punya pilihan. Sebentar saja, setelah hal kedua aku sampaikan aku pamit, sebab aku harus mengantar undangan ke beberapa kyai di Kudus, Pati dan Jepara. Kalau aku macem-macem mau menjahati kamu atau ngajak maksiat kamu, tinggal kamu teriak saja yang keras! Orang-orang kampung akan menghabisiku!"
Ayna tersenyum. Gus Afif berdesir melihat senyum gadis yang ada di hadapannya. Untuk menenteramkan dirinya, ia menyeruput es degan yang ia pegang dengan tangan kanannya. Ayna ikut-ikutan menyeruput es degannya.
"Jadi apa yang kedua, Gus?"
"Yang kedua, masih berkaitan dengan surat undangan itu. Agak berat aku mau menyampaikan sebenarnya. Tapi kalau tidak disampaikan, aku khawatir menyesal seumur hidup," Gus Afif sedikit gugup dan gemetar. Ayna mendengarkan dengan pikiran penuh tanda tanya, apa yang membuat Gus Afif khawatir menyesal seumur hidup kalau tidak disampaikan?
Gus Afif menghela napas, ia tampak ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Ia mengangkat wajahnya dan melirik Ayna sekejap. Pada saat yang sama, Ayna juga mengangkat wajahnya dan memandang Gus Afif. Pandangan mereka bertemu.
"Sampaikan aja. Saya siap mendengarnya," gumam Ayna sambil menundukkan pandangannya.
"Begini. Aduh dari mana saya harus memulai? Eh begini, apa yang menimpa kamu, atau cerita tentang apa yang kau alami aku tahu semua. Abah dan Ummi yang cerita. Kadang kami membahas sambil makan. Intinya, sebenarnya Abah dan Ummi merasa sayang kalau kau sampai nikah dengan orang yang tidak tepat. Abah beberapa kali masih mengungkit kalimat budemu, bahwa jika kau dinikahkan dengan salah satu putranya Abah akan disetujui. Lha, Ummi kan tetap tidak enak sama Paklik Kyai Yusuf. Karena sekarang Paklik Kyai Yusuf sudah jelas akan menikah. Jadi apa yang pernah dipikirkan Abah bisa dilaksanakan. Bagaimana menurutmu?"
Ayna agak kaget mendengar apa yang disampaikan Gus Afif. Ia memahami arahnya tapi belum yakin.
"Maksud Gus Afif bagaimana? Abah mau menikahkan saya dengan Gus Asif, Kangmas Njenengan? Bukankah dia sudah bertunangan dengan putrinya Kyai Thayyib?"
"Nggak, nggak, bukan dengan Mas Asif. Ummi sudah pasti tidak akan setuju. Sebab Kyai Thayyib itu teman karib Abah, sementara Bu Nyai Fatonah, istri Kyai Thayyib itu teman mondok Ummi."
"Terus?" "Bagaimana kalau Abah dan Ummi aku minta untuk melamarmu untuk jadi istriku?"
Ayna kaget bukan main. Napasnya nyaris lepas dari tubuhnya. Sesaat ia terdiam mencerna kalimat yang baru ia dengar. Meskipun ia sangat paham maksudnya. Kalimat itu tidak pakai sanepo atau majas sama sekali. Tidak juga muter-muter dan mbulet. Kalimat itu jelas maknanya, seperti peluru yang ditembakkan tepat pada sasarannya.
"Gus Afif sedang tidak bercanda, kan?"
"Bagaimana mungkin aku bercanda untuk urusan penting seperti ini. Kau sudah tahu diriku. Aku bahkan tidak pernah satu kalipun menggodamu atau mencandaimu selama kau berkhidmah pada kedua orang tuaku. Aku serius, Ayna. Demi Allah, aku serius! Dan aku ke sini bukan dengan niat mengajak maksiat, tapi ibadah!"
Air mata Ayna tidak bisa dibendung mendengar jawaban tegas Gus Afif, putra kyainya yang sangat ia hormati. Santri putra terbaik yang ada di pesantren Kanzul Ulum. Hafal Al-Qur'an dan Alfiyyah Ibnu Malik. Juara pertama lomba baca kitab kuning se-Jawa Tengah. Juga muballigh muda yang sudah sering menggantikan abahnya ngisi pengajian akbar di mana-mana. Putra kyainya yang juga sering jadi buah bibir para santri putri itu kini menyatakan serius ingin memperistrinya.
Ayna diam, betapa sulit ia merangkai kata untuk memberikan jawaban. Yang keluar adalah isak tangisnya, karena didorong rasa haru yang menyergapnya begitu saja. Gus Afif terbawa suasana. Panas udara Desa Kaliwenang tidak lagi ia rasakan. Yang ia rasakan adalah hati yang sedang musim semi menanti jawaban orang yang dicinta. Dan orang itu ada di hadapannya.
"Bukan Ummi dan Abah yang punya kerso, tapi Njenengan?" lirih Ayna terbata-bata.
"Iya, aku yang menginginkan. Ummi dan Abah belum tahu. Jika kau setuju, aku akan bicara pada mereka. Aku yakin mereka akan merestui."
Ayna memejamkan kedua matanya, air matanya terus mengalir di pipinya. Dialog Pak Kyai dan Bu Nyai itu kembali diputar dalam pikirannya.
"Firasatku, kalau Ayna ikut mereka akan banyak repotnya. Bagaimana kalau begini Mi, kita nikahkan saja Ayna dengan Asif atau Afif? Asif lebih tepat, dua bulan lagi dia selesai masternya. Tadi kan kalau dinikahkan dengan putra kita mereka tidak akan menolak?"
"Abah, dengarkan Ummil Bu Tumijah itu mulutnya licin, dia tidak bilang tidak akan menolak. Dia hanya bilang mungkin akan berubah pikiran. Saya juga merasa sayang kalau Ayna tidak menikah dengan lelaki yang benar-benar santri. Tapi dengan Asif, rasanya tidak mungkin. Bagaimana nanti jawaban kita pada Kyai Thayyib Cirebon? Kalau Afif? Dia baru saja lulus bareng Ayna. Dia harus kuliah dulu. Kalau dia nikah, bubar semuanya. Lagian kalau Ayna saat ini kita nikahkan dengan putra kita, apa yang akan kita katakan pada Dik Yusuf? Apa tidak malu kita pada dia? Dia minta tolong kita untuk melamarkan Ayna, kok malah Ayna kita jodohkan dengan anak kita."
Kata-kata Bu Nyai itu masih ia ingat betul, "Kalau Afif? Dia baru saja lulus bareng Ayna. Dia harus kuliah dulu. Kalau dia nikah, bubar semuanya!"
Ayna menghembuskan napas berkali-kali. Perasaan bahagia dan pedih seolah menyatu dalam darahnya. Perasaan itu seolah menjadi racun yang kini menyebar dalam seluruh tubuhnya. Jika ia mengiyakan lamaran Kyai Yusuf di antaranya karena rasa hormatnya yang tinggi kepadanya. Cinta belum hadir di sana. Ia hanya merasa akan bisa menghadirkan cinta seiring berjalannya waktu. Benih-benih untuk tumbuhnya cinta ia lihat telah ada, tinggal menanamnya. Sedangkan kini, permintaan Afif, adalah permintaan dari pemuda yang ia hormati sekaligus diam-diam juga ia cintai. Namun ia terus menepis perasaan itu sebab ia merasa tidak layak memiliki rasa cinta seperti itu. Dan ia merasa bagaikan seekor katak ingin terbang meraih bintang. Sesuatu yang mustahil terjadi.
Kini pemuda itu memintanya untuk menjadi istrinya? Apakah itu bukan mimpi? Ya bukan, itu bukan mimpi. Kalimat-kalimat Gus Afif itu ibarat tangan malaikat yang melemparkan benih cinta ke tanah yang subur, dan benih itu seketika menjelma menjadi pohon cinta yang berdaun lebat dalam waktu singkat. Pohon cinta itu tinggal menunggu berbuah saja. Namun ia tahu, pohon itu tidak boleh berbuah. Pohon itu harus menahan dirinya untuk tidak berbuah bahkan mematikan dirinya, agar pohon-pohon yang lain tumbuh dan berbuah. Pohon cinta yang dilarang berbuah itu kini tumbuh dalam relung jiwanya paling dalam. Dan dirinya sendirilah yang mengharuskan pohon itu tidak boleh berbuah. Itulah racun yang sedang ia rasakan.
"Gus Afif tidak boleh menikahi saya, tidak boleh?!"
"Kenapa tidak boleh? Siapa yang melarang?"
"Kita seusia, kita baru sama-sama lulus. Kalau Gus Afif menikah nanti, carilah yang lebih muda dari Gus Afif. Sebaiknya Gus Afif memikirkan masa depan Gus Afif. Berangkatlah ke Mesir! Gus Afif adalah generasi penerus para ulama. Jangan sibuk dengan urusan remeh seperti ini! Jangan karena kasihan kepada saya lalu Gus Afif mengorbankan masa depan Gus Afif. Tidak boleh, itu tidak boleh terjadi!"
"Aku hargai pendapatmu Ayna. Tapi kau salah. Tentang mencari yang lebih muda. Ketahuilah umurku lebih tua darimu dua tahun. Memang kita lulus aliyah sama, tapi aku lebih tua dua tahun darimu. Aku sudah lihat tanggal lahirmu. Aku tahu, sebelas hari yang lalu umur kamu masuk 19 tahun. Dan satu bulan lagi umurku masuk 21 tahun."
Ayna tersipu, ketika Gus Afif hafal tanggal kelahiran-nya. Ia sendiri malah tidak mengingat kalau sebelas hari yang lalu ia ulang tahun. Gus Afif melanjutkan,
"Asal kamu tahu Ayna, setelah lulus MI aku mondok di Pesantren Mathaliul Falah, Kajen. Sebelum masuk MTs Kajen aku harus masuk kelas takhassus selama satu tahun. Barulah lanjut MTs selama tiga tahun. Setelah itu lanjut ke Kudus, khusus untuk menghafal Al-Qur'an selama satu tahun. Dapat dua puluh juz berhenti dan pulang ke Candiretno lalu lanjut di Madrasah Aliyah sambil merampungkan hafalan Al-Qur'an. Jadi meskipun kita lulus bareng, aku ini lebih tua darimu dua tahun."
"Tentang kuliah ke Mesir. Iya aku akan ke Mesir, jika Allah mengizinkan. Sampai sekarang aku belum berpikir membatalkan rencana kuliah ke Mesir. Dan kau jangan berpikir kalau aku menikah lantas batal kuliah. Tidak. Justru aku berpikir, sebelum berangkat ke Mesir aku menikahimu, lalu aku bawa sekalian kau ke Mesir. Kita kuliah bersama. Suka duka kita jalani bersama di sana. Aku sudah dapat banyak cerita dari teman-temanku di Kajen dulu yang kini kuliah di Kairo, bahwa di Mesir banyak mahasiswa yang kuliah sambil berkeluarga. Ya, hidupnya memang sederhana tapi bisa survive. Aku akan lakukan apa saja untuk bisa survive di sana. Tak masalah jika harus bikin tempe atau bakso kayak Azzam di film Ketika Cinta Bertasbih."
Gus Afif menyampaikan rancangannya dengan penuh kesungguhan. Ayna bisa membaca dari air muka pemuda itu. Ia sedang tidak main-main.
Mendengar penuturan pemuda itu, sesungguhnya hati Ayna sudah luluh. Tak ada alasan sedikitpun untuk menolaknya. Itu adalah mimpi indah yang bahkan para bidadari di surga pun tidak akan sanggup mewujudkannya. Bahkan mereka akan menangis cemburu jika ia berhasil mewujudkannya. Dalam hati Ayna menjawab, "Jika benar aku jadi istri Njenengan dan Njenengan bawa serta kuliah di Mesir, maka aku akan lakukan apa saja yang penting halal untuk survive di sana. Di Mesir cukuplah Njenengan kuliah dan aku akan jadi khadimah Njenengan lahir batin."
Tapi jawaban itu tidak keluar dari mulutnya. Ia malah kembali teringat kata-kata Bu Nyai, "Kalau Afif? Dia baru saja lulus bareng Ayna. Dia harus kuliah dulu. Kalau nikah bubar semuanya!"
Ayna memejamkan kedua matanya, ia tidak mau menjadi biang yang merusak tatanan yang telah dirancang Bu Nyai untuk anak-anaknya.
"Tidak sesederhana itu, Gus. Njenengan tetap tidak boleh menikahi saya!"
"Kenapa? Kenapa tidak boleh? Apakah kau termasuk mahramku, perempuan-perempuan yang haram menikah denganku? Kau bukan adik kandungku? Bukan adik sesusuan denganku? Kenapa tidak boleh? Sekarang, tolonglah jujur Ayna, tolong jujur. Sebab aku telah jujur padamu. Aku telah nekad mengungkapkan apa yang kurasakan padamu. Aku diam-diam sangat mencintaimu, maka aku nekad datang ke sini memintamu untuk mau jadi istriku. Sekarang jujurlah, apakah kau cinta padaku? Atau ada sedikit saja perasaan cinta padaku? Setetes saja sudah cukup bagiku. Jawablah, Ayna."
Ayna menutup mukanya dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu. Selama ini belum ada lelaki yang menanyakan seperti itu kepadanya. Dan kini, pemuda yang diam-diam ia cintai, begitu berterus terang dan minta ia mengucapkan kalimat yang sebenarnya telah ada dalam hatinya.
"Malam-malam jam sembilan, para santri asyik menonton wayang, aku memilih mencuci pakaian. Dan jam tiga pagi ketika para santri masih nyenyak tidur, aku bangun untuk melihat pakaian yang aku cuci itu sudah kering atau belum. Ternyata belum kering. Aku berusaha menyetrikanya hingga kering. Aku melakukan itu dengan hati sangat bahagia penuh cinta. Kenapa, karena pakaian-pakaian itu adalah baju koko, sarung dan serban seorang pemuda yang diam-diam aku cintai. Pemuda itu harus subuhan di Masjid Raya Secang untuk ngisi pengajian, dengan pakaian-pakaian itu. Apakah cinta selalu harus diucapkan dengan kata-kata verbal?"
Kini tubuh Afif yang menggigil penuh haru.
"Kalau begitu, kenapa aku tidak boleh menikahi dirimu? Siapa yang melarangnya? Pakdemu? Kau tidak harus dapat izin Pakdemu, dia bukan walimu!"
"Yang melarang bukan pakdeku, tapi Ummi, ibumu!"
"Tidak mungkin!"
"Gus Afif, mohon dengarkan. Setelah ibuku wafat, saat itu aku kelas satu aliyah, aku lalu memutuskan tetap di pesantren dengan menjadi khadimah. Sejak itu, Ummi sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri. Sabda beliau sakral bagiku, seperti sabda ibuku sendiri. Aku pulang ke sini, karena sabda Ummi. Demi Allah, kalau yang meminta aku menjadi istrimu adalah Bu Nyai Nur Fauziyah, ibundamu, aku tidak akan menolaknya. Tapi jika beliau tidak merestui, seribu kali kau minta, meskipun jujur aku memiliki perasaan yang sama dengan Njenengan, aku tidak bisa mengabulkannya."
"Baik, secepatnya Ummi akan kemari menjemputmu."
"Semoga datang di waktu yang tepat. Semoga tidak terlambat."
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Tanyakan ke Ummi, beliau lebih tahu."
"Sebelum aku pamit, tolong dengarkan janjiku, Ayna. Dengar, demi Allah, jika aku jadi suamimu, aku janji akan memuliakan kamu, apapun yang kamu pinta akan aku turuti selama aku mampu. Kau akan menjadi perempuan paling berbahagia karena mendapatkan curahan cinta dan kesetiaan paling besar yang dimiliki seorang lelaki kepada perempuan di atas muka bumi ini. Aku akan berusaha dengan seluruh kemampuanku untuk membahagiakan kamu. Sebab aku sangat mencintai kamu. Aku akan menjagamu lebih dari menjaga diriku sendiri. Aku akan menghormatimu seperti para nabi menghormati istri mereka. Aku akan..."
"Cukup, cukup, itu sudah cukup, jangan ditambah lagi. Sebab janji harus ditepati. Aku tidak kuat mendengarnya. "
"Ini karena sungguh aku sangat mencintaimu."
"Sudah, sudah. Aku percaya. Tinggal kita berdoa, semoga Allah melimpahkan taufik-Nya."
"Semoga, Aamiin."
Mereka tidak menyadari bahwa di luar, Kang Bardi mendengarkan pembicaraan itu dengan air mata basah. Melihat Gus Afif yang lebih muda berani secara ksatria melamar orang yang dicintainya untuk membangun rumah tangga, ia seperti tersindir. Ia yang sudah berkepala tiga harus memiliki keberanian yang sama. Kang Bardi bertekad bahwa begitu sampai di pesantren, ia akan bicara terus terang kepada Pak Kyai agar melamarkan Ningrum untuk jadi istrinya.
BAGIAN 9 Ungkapan cinta itu memberikan tambahan nyawa dalam jiwa. Itu yang ia rasakan. Meskipun ia tidak yakin apakah akan berjodoh dengan pemuda yang ia cintai dan mencintainya, tetapi ungkapan cinta itu memberikan gairah baru menatap hidup. Cukuplah ia tahu bahwa di sana ada orang yang mencintai dirinya, itu sudah jadi semacam doa baginya.
Ia tidak bercerita kepada siapapun tentang apa yang diungkapkan Gus Afif kepadanya. Cukuplah ia saja yang tahu. Dan jika Bu Nyai merestui, biarlah beliau langsung datang bersama Pak Kyai untuk menjemputnya seperti yang dijanjikan Gus Afif. Tapi ia tidak sepenuhnya yakin Bu Nyai akan mengikuti keinginan putranya. Bukan karena Bu Nyai tidak suka kepada dirinya, atau merasa dirinya tidak pantas untuk putranya. Ia yakin, jika Bu Nyai tidak merestui keinginan putranya karena lebih memikirkan masa depan putranya itu. Bu Nyai orang yang berpendidikan, ia pasti akan menimbang dengan pemikiran yang matang, bukan sekadar menuruti perasaan anak muda yang sedang jatuh cinta. Kalau ia berada di posisi Bu Nyai, mungkin ia akan juga tegas meminta putranya yang baru lulus Madrasah Aliyah untuk menuntut ilmu dan menimba pengalaman luas terlebih dahulu, tidak langsung menikah.
Tapi, siapa tahu Gus Afif bisa meyakinkan kedua orang tuanya. Dan siapa tahu mukjizat itu datang, seperti mukjizat yang datang menghampiri Cinderella yang diselamatkan oleh pangeran gagah berkuda putih. Ia merasa terlalu berkhayal dan terbawa oleh perasaan.
Mana mungkin dongeng Cinderella terjadi padanya.
Bu Nyai dan Pak Kyai setuju, lalu Pakde dan Budenya setuju. Saat bulan suci Ramadhan, tanggal pernikahan ditetapkan. Dan pada bulan Syawal, akad nikah dilangsungkan. Lalu satu bulan berikutnya, ia diboyong Gus Afif berangkat ke Kairo, Mesir. Lalu ia menemani suaminya kuliah di Al Azhar. Ia akan menghafal Al-Qur'an dan belajar bahasa Arab. Itu saja sudah cukup. Jika ada kurang biaya, tanah di mana rumah yang kini ditempatinya bisa ia jual. Bukankah belajar memang perlu ragat, perlu biaya. Dan Ibundanya Imam Malik sampai menjual papan rumahnya untuk membiayai Imam Malik menuntut ilmu. Demikian ia pernah dengar dari Pak Kyai. Alangkah indahnya jika itu menjadi kenyataan. Mana mungkin itu terjadi, mana mungkin? Jika itu terjadi, maka itu lebih indah dari cerita Cinderella.
Tiba-tiba ia teringat kembali pesan Bu Nyai, "Kamu yang sabar ya, Na. Kalau misal nanti kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu harus sabar."
Sampai bulan suci Ramadhan datang, ia belum juga mendapat kabar apa-apa dari Candiretno. Ia bertanya tentang kondisi pesantren kepada Mbak Ningrum, hanya dijawab dengan informasi kitab-kitab yang dibaca selama Ramadhan.
"Pak Kyai Sobron ngaji kitab Bulughul Marom, dari jam delapan pagi sampai Zhuhur, lalu dilanjutkan ba'da Zhuhur sampai Ashar. Diperkirakan khatam tanggal tujuh belas. Bu Nyai Nu Fauziyah mengaji kitab Bidayatul Hidayah, khusus untuk santriwati, waktunya sama dengan Pak Kyai. Neng Malihah, ngaji kitab Risalatul Mu'awanah, juga khusus untuk santri putri, ba'da Zhuhur. Gus Asyiq, ngaji Sullamut Taufiq, ba'da shubuh. Dan Gus Afif ngaji kitab Nashaihul 'Ibad, ba'da tarawih."
Ada rasa bangga melihat nama Gus Afif disebut ikut membacakan kitab.
Sebenarnya ia ingin mendapatkan informasi yang lebih dari itu. Ia berharap Mbak Ningrum tahu tentang apa yang dilakukan Gus Afif. Bagaimana usahanya meyakinkan kedua orang tuanya? Apakah benar-benar dilakukan? Apakah benar-benar gigih?
Tapi mungkin saja masalah Gus Afif adalah masalah yang tidak boleh keluar dari keluarga Pak Kyai, sehingga khadimah pun tidak tahu. Ia sendiri telah berusah menyelidiki kemungkinan yang terjadi jika Pak Kyai dan Bu Nyai datang meminangnya untuk Gus Afif. Ia pernah menjajagi sikap Budenya setelah ia beritahu bahwa Kyai Yusuf Badrudduja akan menikah dengan seniornya.
"Ya, sudah Bude tebak, begitu tidak jadi sama kamu, ya pasti langsung cari yang lain. Yang penting kamu tidak nikah sama duda anak dua."
"Kalau misal, ini kalau misal lho, Bude."
"Misal apa?" "Misalnya, Pak Kyai dan Bu Nyai melamar aku untuk putranya, apa benar Bude dan Pakde merestui?"
"Ya, jelas. Masak tidak kami restui? Alasannya apa tidak merestui. Kan sudah Bude sampaikan waktu di rumah Pak Kyaimu itu. Kalau kau dilamar untuk salah satu putranya yang masih perjaka, ya kami berikan. Gadis ya dapat perjaka, gitu."
"Benar ini, Bude? Nanti misal Pak Kyai dan Bu Nyai benar-benar datang kemari melamarku untuk putranya, Bude dan Pakde nggak berubah pikiran kan?"
"Ambil pisau itu, bawa, nanti kalau benar itu yang terjadi dan Bude berubah pikiran, ini potong saja telinga Budemu! Kau kok kayak yakin saja mereka akan datang. Dengar ya, Na, Bude itu sudah banyak makan asam garam, nggak bakalan kyaimu itu datang melamarmu untuk putranya. Nggak mungkin! Untuk putranya ya akan dicarikan putrinya kyai siapa gitu? Kyai-kyai itu kalau menjodohkan anaknya nomor satu yang dilihat nasab. Anaknya siapa? Keturunan siapa? Nasabmu itu agak nggak jelas! Sudah nggak usah bahas keluarga kyaimu lagi. Kau siap-siap saja nerima kenyataan jodohmu orang sini. Jika Yoyok melamarmu itu kau sudah jadi gadis paling beruntung di desa ini. Berdoalah siang malam agar Yoyok dan keluarganya memilihmu, mumpung mau puasa Ramadhan."
Hatinya tenang mendengar jawaban itu. Pakde dan Budenya tidak masalah, tinggal menunggu kedatangan Gus Afif dan keluarganya. Tetapi sampai pekan pertama Ramadhan tidak ada kabar apa-apa.
Akhirnya ia putuskan untuk datang ke pesta walimah Kyai Yusuf di Kaliurang. Agar punya teman, ia janjian dengan Fara yang satu pondok dengan pengantin putri.
Di acara walimah itu, ia berjumpa dengan Bu Nyai dan keluarga besar Kyai Yusuf, tetapi tidak ada pembicaraan yang istimewa. Bu Nyai dan Neng Malihah, ia lihat sibuk among tamu dan melayani tetamu penting. Ia melihat Gus Afif di kejauhan, di bagian tamu lelaki. Tampaknya Gus Afif tidak melihatnya. Ingin rasanya menanyakan prosesnya sampai di mana? Ingin rasanya ia meminta Gus Afif agar segera datang melamarnya bersama Pak Kyai dan Bu Nyai. Tetapi ia tidak mungkin melakukannya. Hingga pulang kembali ke Kaliwenang dan menunggu beberapa hari lamanya, ia tidak mendapatkan kabar dan berita yang ia harapkan. Artinya ia harus menata diri menerima segala kenyataan.
Selama Ramadhan ia tidak banyak melakukan kegiatan. Juga tidak sesibuk ketika ia masih di pesantren. Ia tidak perlu bangun jam setengah dua untuk menyiapkan sahur ratusan santri. Juga tidak perlu berkutat di dapur sejak siang untuk menyiapkan buka mereka. Tapi orang yang terbiasa sibuk, tiba-tiba tidak banyak kerjaan malah merasa tidak nyaman. Itu yang ia rasakan. Meskipun demikian, ia bersyukur bahwa selama Ramadhan ia merampungkan dua kali khataman Al-Qur'an dan sempat mengaji beberapa hari di pesantren Brabu, untuk tabarrukan.
Ramadhan akhirnya pamitan, dan Syawal datang. Semua orang merayakan kemenangan. Namun ia merasa kemenangan yang ia harapkan belum juga datang. Akhirnya ia menyadari bahwa mengharapkan dirinya dilamar dan diboyong Gus Afif ke Candiretno Magelang adalah berlebihan.
Biasanya saat lebaran hari pertama dan kedua, ia masih di pesantren membantu Bu Nyai dan Pak Kyai. Tamu mereka terus mengalir sampai hari ke sepuluh Syawal. Hari ketiga biasanya ia pamit pulang untuk berlebaran pada Pakde dan Budenya serta orang-orang Kaliwenang. Tiga atau empat hari di rumah baru ia balik lagi ke pesantren.
Ia bingung, apakah ia harus sowan ke pesantren? Mbak Ningrum, Mbak Titin dan khadimah yang lain sudah menanyakan kapan ia akan ujung-ujung ke pesantren. Ia tidak tahu bagaimana harus menata kalimat untuk memberikan jawaban. Patutnya, jika ia sowan ke pesantren tidak sendiri, tapi dengan pakde dan budenya. Dan itu adalah hal yang tidak mudah diwujudkan. Akhirnya ia menjawab dengan diplomatis bahwa ia sedang mencari kesempatan.
Waktu terus berjalan. Dan di akhir bulan Syawal, terjadilah apa yang ia khawatirkan. Keluarga besar Haryo Bagus Karloto alias Yoyok datang ke rumah Pakdenya untuk melamarnya. Mereka datang membawa banyak barang dan hadiah. Ia seperti tikus masuk dalam jebakan, tak berkutik sama sekali, kecuali menjerit dengan suara lirih dalam diri. Ia harus menerima kenyataan secara resmi telah dipinang oleh Yoyok yang baru dikenalnya, bukan oleh Gus Afif yang ia damba. Tanggal akad dan pesta walimah juga masih dicari oleh dua keluarga. Ada hitung-hitungan rumit yang tidak masuk dalam nalarnya. Hal itu memberikan waktu baginya untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Yoyok. Selama ini, informasi yang ia terima hanya datang dari keluarga Pakdenya yang semuanya selalu memuji-muji Yoyok. Seolah-olah ia adalah pahlawan keluarga itu.
Kabar pertunangannya dengan Yoyok dengan cepat menyebar ke mana-mana. Orang-orang yang berjumpa dengannya ada yang antusias mengucapkan selamat, tapi banyak yang melihat dirinya dengan pandangan kasihan. Ia jadi bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
Suara jangkrik bersahutan. Sesekali terdengar lengkingan kokok ayam jantan. Ayna keluar dari rumahnya menembus kegelapan. Ia berjalan menuju masjid sambil terus wiridan. Semestinya ia cukup shalat Shubuh di rumah saja. Tetapi pagi itu ia kangen sekali dengan suasana pesantren. Ia kangen dengan shalat Shubuh di masjid.
Jalanan lengang. Rumah-rumah masih menutup rapat pintunya. Aroma pagi yang khas kampung itu ia hirup dalam-dalam. Aroma itu dari sejak ia kecil sampai jadi gadis siap nikah tidak banyak perubahan. Masih aroma khas tandusnya tanah kapur dan daun-daun jati.
Azzan Shubuh terdengar nyaring bersahutan. Rerumputan dan ilalang seperti bangun siap sembahyang. Lima puluh meter dari masjid ia berjumpa Mbah Ngatni, Pak Salim dan Mbah Girun yang juga menuju masjid. Semuanya orang tua, tidak ada anak muda. Ke mana mereka yang kuat naik gunung? Ke mana mereka yang mampu begadang berjam-jam nonton bola pertandingan klub-klub Eropa? Kenapa melangkahkah kaki beberapa meter saja ke masjid tidak kuat? Kenapa bangun shalat lima menit saja berjamaah tidak mampu?
Shalat Shubuh pagi itu diimami oleh Mbah Kamali. Makmumnya hanya tujuh orang, tiga laki-laki dan empat perempuan. Tiga itu adalah Pak Salim, Mbah Girun dan Wak Kasmirin. Dan empat orang perempuan itu adalah Mbah Rukmini istri Mbah Kamali, Mbah Ngatni, Bude Romlah dan dirinya. Usai shalat ia tetap tidak beranjak dari duduknya. Ia baca wirid wasiat ibunya, lalu wirid yang biasa dibaca di pesantren habus shalat Shubuh, kemudian membaca Al-Qur'an. Ia ingin iktikaf sampai waktu Dhuha datang.
Sinar mentari sudah terasa hangat ketika ia keluar dari masjid. Mbah Kamali memanggilnya dari beranda rumahnya yang tertelak di sebelah utara masjid. Kampung itu menggeliat. Orang-orang sudah mulai beraktivitas. Anak-anak berangkat sekolah. Ibu-ibu mengendarai sepeda motor ke pasar. Pak Carik sudah tiba di balai desa memulai kerja.
Ayna duduk di kursi kayu ruang tamu Mbah Kamali. Ia mengitarkan pandangannya. Rumah itu masih seperti yang dulu. Tidak ada yang berubah. Hanya ada tambahan tempelan foto keluarga Mbah Kamali bersama anak-anak dan cucu-cucunya.
"Semua sudah berkeluarga ya, Mbah?"
Mbah Kamali tersenyum. "Alhamdulillah. Tapi jadi kesepian. Ya, bagaimana lagi, kan nggak mungkin kumpul terus. Yang paling dekat ya si Kusni, dapat istri orang Mrisi situ dan tinggal di situ. Kalau malam minggu, dia sekeluarganya datang nginap di sini. Anak ragilku, si Tofa, baru nikah setahun lalu dapat orang Solo, teman kuliah. Diterima PNS di Wonogiri, ya sudah. Memang begitu catatannya."
Mbah Rukmini keluar dengan membawa nampan berisi tiga gelas cangkir kopi dan mendoan. Baunya terasa sedap dan segar.
"Kamu nggak pantangan kopi tho, Nduk? Ini kopi numbuk sendiri. Asli!"
"Tidak, Mbah. Baunya mantap."
Mbah Kamali langsung menyeruput kopinya. Tiba-tiba mengerut mukanya.
"Ini terlalu pahit! Keliru ini yang milikmu!" protes Mbah Kamali sengit.
"Oh, iyo. Bawa sini!" sahut Mbah Rukmini santai. "Ini coba dicicipi, kalau masih pahit, ya sana bawa ke dapur tambahi gula sendiri! Ayo, Nduk, diminum!"
Ayna menyeruput kopi yang hitam dan kental itu. Terasa mantap rasanya. Sudah lama ia tidak merasakan kopi seperti itu.
"Jadi benar, kamu tunangan dengan anaknya Kusmono itu? Siapa namanya, Yoyok?" tanya Mbah Kamali.
"Iya, Mbah. Namanya Haryo Bagus Karloto bin Kusmono, biasa dipanggil Yoyok."
"Anggota DPRD, ya?"
"Katanya begitu. Saya juga belum terlalu kenal, Mbah."
"Kenapa kamu mau?"
"Semua Pakde dan Bude yang atur, Mbah."
"Sungguh, aku kaget dengar kabar itu? Sayang banget kalau kamu semuda ini sudah nikah. Zaman sudah berubah, Nduk. Belajar dulu, kuliah dulu! Kalau pun nikah, ya Allah, kenapa sama anaknya Kusmono itu? Apa nggak ada yang lain?"
"Saya tidak paham maksud, Mbah?"
"Kamu belum ngerti ya, siapa Kusmono dan anak-anaknya?"
Ayna menggelengkan kepalanya.
"Aku ingin cerita tapi takut ghibah. Begini saja, nikah itu jangan karena harta duniawi, Nduk. Jangan! Harta itu bisa hilang kapan saja. Apalagi harta yang cara mendapatkannya tidak jelas, tidak berkah. Hidup bebrayan itu carilah yang sama-sama mendatangkan berkah. Sedikit penuh berkah lebih baik dari banyak tapi tidak berkah. Cucunya Mbah Sujak yang santri tidak pas kalau dapat anaknya Kusmono. Mestinya kau dapat suami yang pernah mondok di Mranggen, Brabu, Njragung, atau Kudus. Bukan yang.... ah, sudahlah..."
Mbah Kamali menggelengkan kepalanya.
"Benar kata Mbah Kamali, Nduk. Nikah itu kan untuk selamanya. Suamimu nanti akan jadi orang yang paling dekat dan paling sering membersamaimu. Pilih yang agamanya baik. Kami tidak bisa cawe-cawe?. Kami hanya bisa kasih pepenget!" sambung Mbah Rukmini.
"Ingat ya, Nduk, lebih baik hampir celaka daripada hampir selamat! Lebih baik hampir masuk neraka daripada hampir masuk surga! Semoga kita diberi kebaikan dunia akhirat."
"Aamiin." Pagi itu ia mendapat satu masukah berharga. Ia tahu Mbah Kamali dan Mbah Rukmini adalah orang-orang baik, orang-orang yang hatinya ikhlas. Maka wejangan Mbah Kamali sangat ia camkan. Ia jadi semakin penasaran untuk tahu siapa itu Haryo Bagus Karloto alias Yoyok, dan siapa itu Kusmono ayahnya. Ia lalu mengagendakan untuk bersilaturahim dan bertanya kepada orang-orang yang ia kenal baik. Kepada Bu Hajjah Muniroh, Bu Ahsani kepala sekolah SD-nya dulu, dan Endang Purwanti kakak kelasnya saat di SMP yang sudah menikah dengan anggota polisi.
Dari ketiga orang itu ia banyak mendapat informasi yang sangat bertolak belakang dengan yang ia dapat dari keluarga Pakdenya. Kusmono adalah salah satu orang paling kaya di Kabupaten Grobogan, sekaligus biangnya kemungkaran di Purwodadi dan sekitarnya.
"Kusmono di kampung kita ini tidak begitu terkenal, tapi di tengah Kota Purwodadi, terus Grobogan bagian timur sangat dikenal. Asalnya daerah timur sana. Pokoknya begini deh, kalau Ibu misal bertamu ke rumah Kusmono disuguhi makan dan minum, mungkin tidak Ibu sentuh. Bisnisnya model karaoke remang-remang!" penjelasan Bu Ahsani membuat Ayna kaget bukan kepalang.
"Kata suamiku yang polisi, kalau ada calon suami yang lain mending cari yang lain deh. Jangan Haryo Bagus Karloto alias Yoyok anaknya Pak Kusmono! Kalau Yoyok yang lain boleh. Suamiku punya teman namanya Yoyok, orang Mranggen, orangnya baik, kalau mau sama dia saja," jelas Endang.
"Kalau dia baik seperti yang dikatakan pakdemu, semestinya ya dikasihkan si Aripah, anaknya. Masak dikasihkan kamu! Aku merasa pakdemu ada pamrih, atau hutang budi atau apa pada keluarga Kusmono calon besanmu! Masih ada waktu untuk memperbaiki keadaan!" Nasehat dan saran Bu Hajjah Muniroh membuat kedua matanya terbuka. Ia selama ini memang terlalu polos dan terlalu berprasangka baik pada siapa saja.
Ia masih terus mendengar dan mengumpulkan informasi. Ia mencoba adil menilai semua informasi yang ia dapat. Akhirnya ia menarik kesimpulan jika diprosentase tujuh puluh persen orang-orang melihat Yoyok dan Kusmono, ayahnya, bukan orang baik-baik. Berbekal itu semua ia memberanikan diri bicara pada Pakdenya untuk membatalkan pertunangan dengan Yoyok. Pakdenya tampak menahan amarah yang meluap. Pakdenya mengambil pisau, Ayna kaget. Ia langsung waspada jika Pakdenya melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Pakdenya mendekatinya dan memberikan pisau kepadanya.
"Ini pisau, ini leher pakde. Sekarang, lebih baik kau gorok leher pakde daripada harus membatalkan akad nikah itu!" ujar Pakdenya sambil meletakkan lututnya di tanah.
Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo, goroklah leher Pakde, sekarang, Na!"
Ayna sama sekali tidak menduga Pakdenya akan merespons permintaannya seperti itu.
"Ayo, goroklah leher pakde, sekarang! Itu lebih baik daripada kau minta pakde membatalkan pertunangan itu. Sebab dengan membatalkan pertunangan, itu sama saja kau menggorok leher pakde, bude, mbakyu-mbakyumu dan diri kamu sendiri."
Ayna merasa seperti terperangkap dalam ruang gelap nan pengap, tak ada ventilasi udara, tak ada lubang sedikipun untuk masuk cahaya, tidak ada jalan keluar. Ia hanya bisa menangis kepada Tuhan,
"Laa ilaaha illa Anta, subhaanaka innii kuntu minazh zhaalimiin."
Pertemuan dua keluarga untuk membahas hari dan tanggal akad nikah, dan walimatul ursy serta segala tetek benget terkait hal itu diadakan di rumah Pak Kusmono, ayah Yoyok. Ia dan keluarga pakdenya dijemput oleh Yoyok memakai Fortuner putihnya. Rumah Pak Kusmono besar berlantai dua, dengan halaman luas dan dikelilingi pagar tembok yang kokoh. Pak Kusmono sendiri tampak seperti seorang raja. Pembantunya banyak, gerbang rumahnya saja ada penjaga yang bertugas membuka dan menutup pintunya.
Ia baru tahu bahwa di dunia ini ada orang-orang kaya model seperti itu. Acara itu dimulai dengan makan siang dengan menu prasmanan melimpah. Seorang tukang syuting terus menguntitnya. Usai makan barulah acara resmi musyarawah dimulai.
Pakde dan Pak Kusmono menyepakati akad nikah dilakukan di hari Sabtu pertama bulan Dzulhijjah, dilanjutkan acara walimah selama dua hari. Semuanya bertempat di rumah Pakde Darsun. Lalu acara ngunduh mantu, akan dilaksanakan di rumah Pak Kusmono di hari Ahad terakhir bulan Dzulhijjah. Mereka berdua menghindari acara masuk bulan Muharram, atau bulan Suro. Ayna tidak terlalu memedulikan tanggal dan hari. Baginya semua hari itu baik. Selama mereka berembug, ia terus berpikir mencari celah untuk meminimalisir madharat yang mungkin akan menimpanya di kemudian hari. Ibarat ia terperosok masuk kandang harimau, bagaimana caranya ia tidak dimangsa oleh harimau. Syukur jika ia bisa menaklukkan harimau itu.
Kematian Sang Durjana 1 Dewa Arak 55 Perintah Maut Permainan Maut 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama