Ceritasilat Novel Online

Bintang Di Atas Alhambra 2

Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen Bagian 2


Ia menimpali kalimatku dengan senyum. Aku juga ditawari buku-buku yang pernah diberikan kepadaku oleh orang yang datang sebelumnya.
"Kebetulan aku sudah diberi buku itu beberapa bulan yang lalu. Mungkin oleh kawan Bapak," tolakku ketika mereka menyodorkan buku.
Setelah berterima kasih dan berbasa-basi, tamu-tamu itu berpamitan. Aku menawari mereka sekali lagi untuk masuk, sekadar minum teh. Mereka menolak dan segera pergi.
"Siapa, Yah? Misionaris Jehovah?" istriku bertanya dari dapur. Ia sedang sibuk meneteki Amartya.
"Seperti biasa, Mbun."
Dua tamu yang datang itu-seperti tamu-tamu sebelumnya-adalah para sukarelawan dari Jemaah Gereja Saksi Jehovah. Mereka sangat aktif berdakwah. Juga tak pandang bulu. Baik umat Kristiani maupun Muslim akan mereka datangi. Untuk mendatangi orang-orang Indonesia yang tinggal di Melbourne, sukarelawan yang diutus juga berasal dari Indonesia atau setidaknya bisa berbahasa Indonesia. Aku selalu menerima mereka dengan baik. Kuambil dan kubaca semua buku dan selembaran yang mereka berikan. Aku merasa harus memperlakukan semua tamu yang datang ke rumahku dengan baik dan hormat, siapa pun mereka.
Aku mengetahui gerakan Jemaah Gereja Saksi Jehovah ini sudah lama, sejak kuliah di Ciputat. Aku juga tahu mereka termasuk kelompok yang militan dan rajin berdakwah menyerukan kepada siapa pun untuk menerima ajaran Kristiani. Jadi, ketika mereka datang, aku tidak kaget dan sudah mafhum.
Kedatangan tamu-tamu itu ada juga manfaatnya. Mereka sering memberi buku-buku. Buku-buku yang mereka berikan menjadi rujukan utama yang penting buatku untuk menjawab rasa penasaranku tentang Jehovah. Selama ini, aku hanya mendapat info mengenai gerakan mereka dari buku-buku karya orang lain. Aku hanya tahu Jehovah adalah sekte dalam agama Kristiani yang mungkin sedikit berbeda dari arus utama. Mereka memiliki konsep berbeda tentang ketuhanan Yesus yang dalam beberapa hal mirip Arianisme. Arianisme merujuk pada si pembawa ajaran yang bernama Arius. Aliran ini terlibat perseteruan dengan sekte Athanasian, aliran yang merujuk pada Athanasius. Arianisme adalah kelompok dalam Kristiani yang mengingkari Trinitas dan menolak ketuhanan Yesus. Menurut mereka, Yesus adalah manusia agung yang diturunkan untuk menyampaikan firman Tuhan Allah. Yesus manusia suci, tetapi bukan Tuhan.
Athanasian berpandangan sebaliknya. Yesus adalah Allah itu sendiri.
Sejarah perpecahan Kristiani ini bermula sekitar 325 Masehi. Konsili Nicea, semacam muktamar para pendeta Seantero dunia Kristiani yang diadakan pada masa Konstantin Agung, diyakini sebagai penyebab tumbuhnya dua sekte besar dalam Kristiani. Konsili yang ditujukan untuk menyelesaikan perdebatan doktrin dalam agama Kristen justru berujung sebaliknya. Dengan penuh kontroversi dan skandal, Konsili Nicea melahirkan kesepakatan-kesepakatan yang kelak disebut sebagai Syahadat Iman Nicea oleh saudara-saudara Kristiani. Kesepakatannya kurang lebih sama dengan keyakinan kaum Athanasian: Yesus adalah Tuhan Bapak itu sendiri. Inilah peristiwa yang menandai munculnya Trinitas. Keyakinan ini kelak menjadi keyakinan dominan dalam ajaran Kristiani.
Akan tetapi, sejak awal, kelompok Arian menolak mengakui ajaran ini. Mereka tetap pada dogma bahwa Yesus bukan Tuhan. Yesus adalah manusia agung dengan segala mukjizat yang diutus Tuhan untuk menjadi penyelamat manusia. Sekte Arian ini dianggap sesat dan kafir. Alasannya, mereka tidak mau menerima basis utama dogma yang dominan: Trinitas. Sejak perpecahan yang terjadi selepas Konsili Nicea tahun 325, para pengikut sekte Arian hidup dalam pengejaran. Namun, ideologi tidak akan pernah mati. Sebagian besar pengikutnya kemudian tersebar di kawasan timur Dunia Kristen yang saat itu meliputi kawasan Mediterania dan Jazirah Arab. Sementara itu, kredo Athanasian tersebar luas di Dunia Kristen Barat yang meliputi hampir semua daratan Eropa. Sekte dominan ini berpusat di Roma, berkoalisi dengan kekaisaran Romawi dan bermetamorfosis menjadi Kristen Katolik-Roma.
Tentu saja, sekarang ideologi Arian tetap hidup dan tersebar ke mana-mana, bukan hanya di kawasan sekitar Mediteranian. Mereka juga bermetamorfosis dan berubah. Di Amerika, kelompok Arian bermetamorfosis menjadi Kristen Unitarian. Di Melbourne juga banyak Kristen Unitarian. Di Indonesia juga ada. Gereja Apostolos, jika aku tidak keliru, juga mengimani ideologi Arian. Dari leaflet dan buku-buku yang dua orang tamu itu berikan kepadaku, aku yakin Saksi Jehovah secara ideologi lebih dekat kepada Arianisme.
Kedatangan dua orang juru dakwah itu disusul oleh kedatangan utusan Allah yang lain. Kejadiannya sekitar dua hari setelah tamu dari Saksi Yehovah datang. Entah mengapa, kedatangan mereka seolah-olah diatur agar berdekatan.
Mereka mengetuk pintu ketika aku sedang asyik bermain bersama Amartya selepas shalat Isya. Jagoanku tengah beraksi menendang-nendangkan kaki, mengemut jari, sambil berkicau. Saat itu, istriku memberi tahu kalau ia seperti mendengar suara ketukan pintu. Dengan mengenakan sarung dan kaus oblong, aku mengintip dari lubang pintu.
Kali ini yang datang juga dua orang. Namun, mereka tidak berpakaian necis. Terlihat jelas bahwa mereka orang Melayu atau Jawa. Dari lubang pintu, wajah orang yang ada di balik sana terlihat lebih besar, seperti melihat lewat lup atau kaca pembesar. Dari lubang pintu terlihat jelas janggut dan pakaian mereka yang putih. Salah seorang mengenakan kopiah haji, yang lain berkacamata dan berkopiah hitam. Mereka datang untuk tujuan mulia: berdakwah. Orang-orang itu merupakan anggota Jemaah Khuruj atau Jemaah Tabligh. Saat itu adalah kunjungan kali ketiga ke apartemenku.
Sekitar dua bulan sebelumnya, datang sekelompok Jemaah Khuruj asal Indonesia. Sesepuhnya berasal dari Sukabumi. Mereka membawa anggota baru, seorang mahasiswa yang sedang kuliah desain grafis di Brisbane dan baru bergabung sebulan sebelumnya. Ia sengaja dibawa untuk menarik agar mahasiswa lain mau bergabung. Semacam umpan.
Seperti pada kunjungan sebelumnya, aku langsung membuka pintu dan mempersilakan mereka masuk. Jika sukarelawan Jehovah selalu menolak masuk, pendakwah Jemaah Tabligh bersedia masuk dan menyempatkan diri minum teh sambil mengobrol ringan.
Yang datang malam itu adalah Jemaah Tabligh asal Singa-pura. Mereka berbicara dengan logat Melayu yang kental. Yang mengagetkan, mereka ternyata sudah tahu namaku. Rupanya nama dan alamat apartemenku sudah ada dalam daftar mereka. Apartemenku selalu dihuni mahasiswa Indonesia selama bertahun-tahun secara bergantian. Dan, rupanya mereka telah mendata apartemen mana saja yang biasanya dihuni mahasiswa Indonesia untuk didakwahi.
Setelah berbasa-basi, seperti umumnya pengikut Jemaah Tabligh yang lain, mereka mulai berdakwah. Dua orang itu mengingatkanku betapa pentingnya berdakwah; betapa mulianya para pendahulu yang telah menyebarkan Islam; betapa susahnya menjaga iman dan Islam; betapa kesalehan dan akhirat harus lebih diutamakan dibanding urusan duniawi dan lain-lain. Sesekali, ayat Al-Quran dikutip. Biasanya, aku hanya diam mendengarkan sambil sesekali menimpali singkat.
Untuk memecah kebuntuan, aku selalu menanyakan pertanyaan yang itu-itu saja kepada para pendakwah yang datang: Dari mana asal mereka? Sudah berapa lama bergabung dengan jemaah? Berapa lama akan tinggal di Melbourne? Sudah pemah berdakwah ke mana saja? dan seterusnya. Dari pertanyaan-pertanyaan sepele itu, aku banyak mendapatkan informasi unik.
Tamu yang datang kali itu sudah hampir 15 tahun berdakwah. Ia, dengan rendah hati, mengaku baru berdakwah ke lima belas negara. Orang-orang yang ikut Jemaah Tabligh membiayai perjalanan mereka dengan uang sendiri. Seorang yang lebih tua, dengan janggutnya yang mulai memutih dan berdahi hitam, mengaku sebagai pengusaha di Singapura. Ia menyisihkan sebagian keuntungannya setiap tahun untuk berdakwah.
Tamu jemaah yang datang sebelumnya memberi informasi yang lebih mengejutkan. Waktu itu, rombongan mereka terdiri atas 30-an orang dan akan berdakwah ke tiga negara selama hampir 90 hari. Di Australia, mereka akan berkeliling ke tiga kota: Melbourne, Perth, dan Sydney. Setelah itu, mereka akan ke Selandia Baru dan terakhir menyambangi sebuah negara kecil di Kepulauan Pasifik-aku lupa nama negaranya, mungkin Guam atau Tuvalu. Di negara Pasifik itu, mereka akan berdakwah kepada komunitas Muslim yang nenek moyangnya merupakan orang Jawa. Mereka bercerita bahwa Islam yang dianut orang-orang di sana mirip dengan ajaran kejawen di Jawa.
"Mereka shalat menghadap ke Jawa, bukan ke kiblat. Bagi orang-orang di sana, tanah suci bukan Mekah, tetapi Jawa," kata salah seorang jemaah. Aku kaget bukan kepalang mendapati informasi itu. Makanya, aku selalu ingat dan jadi penasaran. Namun, ketika kutelusuri di internet, belum ada konfirmasi mengenai kebenaran informasi itu. Makanya, aku masih ragu-ragu.
Kedatangan tamu dari jemaah membuatku teringat kampung halaman. Di Bojong, tiga orang kerabat jauhku bergabung dengan jemaah. Aku pun ketika kecil sempat ikut-ikutan. Mereka biasanya datang ke mushala-mushala kampung dengan bekal dan peralatan sendiri dan menetap selama beberapa minggu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para anggota jemaah ini memasak sendiri. Jangan aneh, ketika mereka mendarat di sebuah mushala, mereka akan membawa serta kompor, panci, kuali, dan peralatan masak sederhana lainnya. Dengan nada bercanda, sebagian pemuda di kampungku menyebut mereka "jemaah kompor" karena sering berpindah-pindah tempat dengan membawa kompor.
Selama menetap, mereka mengadakan berbagai acara dakwah seperti pengajian hadis (selalu merujuk pada buku karya Al-Khandalawi), pengajian anak-anak, dakwah door-to door, bersih-bersih mushala, dan lain-lain. Semacam pesantren kilat.
Awalnya, tak ada masalah dengan Jemaah Tabligh. Masyarakat di kampungku menerima dengan senang keberadaan mereka. Karena keberadaan mereka, mushala menjadi lebih ramai. Namun, masalah kemudian mulai muncul ketika beberapa orang kampung ikut bergabung. Terlebih, ketika mereka mulai ikut khuruj atau keluar kampung, berkelana ke kota lain, menginap dari mushala ke mushala untuk berdakwah.
Sebagian besar penduduk kampungku, termasuk orang-orang yang bergabung dengan jemaah, bukanlah orang mampu. Mereka hidup pas-pasan. Semangat berdakwah justru membuat keluarga mereka uring-uringan. Uang hasil kerja sebagai buruh bangunan atau bertani sering tidak masuk ke saku istri. Uang itu disimpan sendiri untuk membiayai perjalanan dakwah.
Aku masih ingat ketika beberapa orang kampung mengadu kepada ayahku yang tetua kampung. Mereka meminta Ayah menasihati orang-orang yang bergabung ke dalam jemaah dan sering berdakwah ke luar kota agar berhenti. Pertimbangannya logis. Lebih baik mengurusi anak-istri dan keluarga daripada mengurusi orang lain. Kecuali kalau sudah hidup berkecukupan. Kalau pas-pasan, lebih baik uangnya digunakan untuk menafkahi anak-istri. Menafkahi keluarga, kata Ayahku, jauh lebih penting daripada berdakwah.
Akhirnya, setelah Ayah menasihati mereka dan memberi solusi jalan tengah, para anggota jemaah dari kampungku tak lagi ikut khuruj ke luar kota. Sebagai gantinya, sebagaimana diusulkan Ayah, mereka aktif di mushala kampung. Mereka tetap di rumah, mencari nafkah, sambil tetap beribadah dan berdakwah.
Berbeda dengan para pengikut khuruj di kampungku, anggota jemaah yang datang ke apartemenku keren bukan kepalang. Dakwahnya bukan antarkampung atau antarkota, melainkan antarnegara. Bahkan, antarbenua. Tentu biaya yang harus mereka keluarkan tidak sedikit.
Tak hanya uang, mereka juga rela mengorbankan waktu, dan tenaga untuk berdakwah. Aku kagum pada militansi mereka yang menjelajahi hampir seluruh dunia untuk berdakwah.
Pak Tua dari Sukabumi bilang kepadaku bahwa anggota Jemaah dari Indonesia bahkan ada yang sudah pergi ke Argentina dan Peru untuk berdakwah. Di sana, seperti juga di Melbourne, mereka akan tinggal di rumah relawan atau mushala. Mereka datang ke rumah-rumah untuk sekadar menyampaikan satu-dua ayat atau mengajak shalat.
Aku menyebut mereka para utusan Tuhan. Mereka bertamu, berkunjung, karena satu misi, yakni menyeru ke jalan Tuhan. Buat pendakwah dari Saksi Yehovah, mereka ingin aku jadi domba yang tidak tersesat. Bagi anggota Jemaah Tabligh, mereka ingin aku menjadi bagian dari gerakan dakwah global. Mereka adalah aktor yang bermain dalam drama kehidupan bernama tradisi misionarisme atau dakwah. Drama ini telah berlangsung hampir sepanjang sejarah umat manusia. Adakalanya mereka datang bertamu membawa pedang atau senjata. Adakalanya datang dengan sekardus mi instan atau sembako. Pasukan Islam dari Arabia sudah sampai menguasai Pyrene, Prancis Selatan, dan Semenanjung Iberia beberapa puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw. Para misionaris Kristiani rela hidup terpisah ribuan mil dari kampung halamannya di Eropa untuk hidup dengan penduduk di pedalaman Timika atau Puncak Jaya. Perang Salib yang berlangsung ratusan tahun antara pasukan Islam dan Kristen juga tak lebih dari bentuk lain para utusan untuk mendakwahkan kebenaran.
Namanya juga dakwah atau mengajak, tentu yang dtajak selalu punya pilihan: ikut atau menolak. Aku, dengan senyum dan sikap ramah, lebih memilih untuk jadi tuan rumah yang baik tanpa perlu ikut bersama jalan mereka.
*** Berita dari Cidewa SETIAP ORANG punya mimpi. Aku juga. Sebagian mimpi itu kini sudah menjadi kenyataan. Sebagian yang lain masih dalam proses untuk diwujudkan. Salah satu mimpiku yang kini sudah menjelma adalah sekolah di sebuah universitas bagus di luar negeri tanpa harus mengeluarkan uang. Dulu, aku membayangkan Ummul Qura, Al-Azhar, Harvard, Yale, Oxford, Sydney, dan Leiden. Kini, aku duduk di lantai enam gedung Fakultas Hukum, Universitas Melbourne. Memang Melbourne tidak masuk dalam daftar mimpiku. Namun, bukan berarti duduk di sini adalah kesiasiaan. Kampus ini termasuk 20 besar kampus terbaik di dunia, terutama untuk jurusan Hukum International.
Di hadapanku, taman kampus terhampar indah. Pohon oak berbaris rapi. Kuncup-kuncup daunnya mulai bersemi. Sinar matahari membuat kuncup itu bergairah. Pohon mapel Jepang merah jingga mempertontonkan kemolekannya di sudut taman kampus. Ini bukan mimpi. Aku di sini, duduk bersama mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Ini semua berawal dari mimpi, 12 tahun lalu. Mimpi yang kugantungkan sebagai anak ingusan yang memukul-mukulkan kopiah ke tembok berlumut di teras lantai dua pesantren. Mimpi yang kubisikkan pada bintang layang-layang. Mimpi yang dinyalakan oleh Kang Hafid, alumnus pesantren yang berhasil kuliah di luar negeri. Mimpi yang kini benar-benar jadi nyata.
Mimpi itu dulu mulai kurajut di Karangtawang. Namun, saat itu, mimpiku terasa masih buram dan samar-samar. Mimpi itu lantas dirawat di suatu tempat pada suatu masa, ketika aku menginjak bangku SMA. Tempat itu bukan tempat luar biasa, melainkan telah melahirkan banyak orang luar biasa. Mimpi itu terus terjaga karena api semangat di dadaku terus-menerus disuluhi oleh wejangan seseorang di sana.
Tempat itu bernama Cidewa. Orang yang menyuluhi semangat di dadaku adalah Kiai Hilmi, pengasuh pesantren semasa aku SMA. Aku menyebutnya sebagai Kiai Cidewa.
Selepas madrasah tsanawiyah dan pesantren di Karang-tawang, aku dikirim ayah ke pesantren lain. Letaknya sedikit jauh karena berada di kabupaten yang berbeda. Ayah mendapat kabar dari sesama guru di madrasah tempatnya mengajar bahwa di Ciamis ada sebuah pesantren modern yang sangat bagus. Bukan hanya itu. Yang membuat Ayah mantap mengirimku ke Ciamis adalah karena pesantren itu memiliki program unggulan yang dibiayai negara lewat Kementerian Agama. Memang, masuknya agak susah karena harus mengikuti beberapa tahapan tes seleksi. Setiap tahun, hanya 40 santri yang diterima lewat program itu. Tes yang diujikan berupa hafalan Al-Quran, membaca kitab kuning, serta pengetahuan umum. Ayah yakin aku bisa masuk.
Aku setuju mesantren ke Ciamis.
Aku berhasil lolos seleksi meski di urutan hampir buncit. Aku berada di urutan ke-37. Tidak apa-apa, aku tetap senang sekali. Setidaknya, aku bisa mengungguli lima ratusan orang pendaftar. Itu saja rasanya sudah luar biasa. Aku meninggalkan pesantren salafiyah di Karangtawang pada 1996. Sarung, kopiah, ikan asin, tungku, kastrol, kangkung, lapangan becek, jampi-jampi, pematang sawah, dan madrasah reyot, kemudian menjadi kenangan yang kusimpan dalam laci hatiku. Kini, aku telah pindah ke pesantren modern. Aku tak lagi mengaji pakai sarung atau belajar menabuh rebana. Jampi-jampi tidak lagi dipakai. Aku mulai belajar sejarah Indonesia, Asia, dan dunia di samping juga belajar tentang sejarah kejayaan kekhalifahan Islam, mulai dari Damaskus hingga Al-Andalus. Aku jadi tahu peran Islam bagi kemajuan umat manusia lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. Aku juga belajar grammar di samping belajar nahwu-sharaf. Jika tertarik, pesantren juga menyediakan laboratorium musik untuk berlatih menabuh drum dan memetik gitar. Saat sekolah, santri memakai seragam berupa kemeja dan jas. Tak ada lagi sudut kelas yang becek karena bocor atau dinding kelas yang berlubang. Tempat ini benar-benar pesantren modern seperti yang kubayangkan.
Masa itu merupakan salah satu periode paling penting dalam sejarah hidupku. Tempat itu juga menjadi tempat yang paling berkesan. Kiai Cidewa adalah orang yang selalu hadir dalam alam bawah sadarku, bahkan setelah aku lulus. Cidewa adalah tempat aku bertransformasi, berubah menjadi lebih baik. Aku datang ke tempat itu sebagai seorang santri salaf, lulusan pesantren tradisional di kampung. Aku datang dengan segala kekolotan, fanatisme, dan keluguan. Namun, juga dengan semangat. Setelah digembleng di sana, kelak aku menjadi orang yang lebih terbuka dan moderat.
Kiai Cidewa terasa khusus bagiku meski aku bukan santri yang istimewa baginya. Aku santri yang biasa saja, tidak terlalu pandai. Hafalanku pas-pasan. Aku tidak terlalu pandai baca kitab kuning dan tidak pernah menjadi imam di masjid pesantren-yang menandai bahwa aku bukan pribadi yang menonjol. Aku juga tidak pernah menjadi pengurus pesantren. Pun, aku tidak punya prestasi apa-apa. Aku hanya seorang santri biasa yang sangat mengagumi Kiai Cidewa.
Ada banyak kenangan tentang beliau. Aku masih ingat beberapa cerita dan wejangan yang ia sampaikan dalam pengajian. Kata-katanya masih menempel kuat karena terus-menerus menjadi suluh dalam proses transformasi diriku.
"Anak-Anakku," kata Kiai Cidewa dalam sebuah pengajian, "dulu, Akang pernah diminta mengisi pengajian bagi para tentara di Kodim Ciamis sekali seminggu. Suatu hari, setelah selesai mengisi pengajian, Akang menemukan buku Di Bawah Bendera Revolusi yang nyaris dibuang. Kalian tahu buku apa itu?" Kiai Cidewa bertanya sambil menarik napas.
Suaranya yang sudah sepuh terasa lembut dan merdu di telinga. Menenteramkan.
"Buku itu disia-siakan dan dianggap racun karena ditulis oleh Presiden Soekarno yang dianggap pro-komunis. Pada zaman orde baru, semua hal yang berbau Soekarno dianggap berbahaya dan harus dijauhi. Akang tidak setuju dengan pandangan itu. Karenanya, Akang ambil buku itu lantas membacanya. Kenapa? Karena Akang tahu, buku yang disia-siakan itu adalah karya yang bagus dan berharga. Buku itu berisi pemikiran-pemikiran hebat dan genuine Bung Karno, Bapak Revolusi dan founding father bangsa kita," lanjutnya. "Kita harus cinta segala ilmu. Hiasilah kecintaan kepada ilmu itu dengan budi suci, dengan moral dan kesalehan agama, dengan ahlak yang mulia. Ingat, Anak-Anakku, knowledge is power, but character is more!"
Tidak seperti Kiai Karangtawang yang hanya fasih berbahasa Arab, Kiai Cidewa juga fasih berbahasa Inggris. Ia juga mengerti sedikit bahasa Mandarin dan Prancis.
"Jangan kalian alergi buku, apalagi alergi ilmu atau alergi pemikiran. Semua harus dibaca dan dipelajari. Akang tidak setuju dengan pendapat bahwa kita tidak boleh membaca filsafat karena bisa menjerumus pada kekufuran. Atau, pendapat bahwa membaca buku tentang komunisme bisa membuat seseorang menjadi ateis. Jangan juga alergi membaca buku yang ditulis oleh orang Barat karena beranggapan mereka punya kepentingan menghancurkan Islam. Bacalah semua, pelajarilah. Rasulullah menyuruh kita belajar sampai ke negeri China. Itu artinya, kita diwajibkan mempelajari ilmu apa saja dan mengambil manfaatnya. Namun ingat, hiasilah ilmu kalian, Anak-Anakku, dengan budi suci."
Kiai sepuh itu membetulkan letak kacamatanya sambil sesekali meneguk air putih.
"Kalian mungkin mengenal Al-Ghazali yang mengkritik filsafat. Bagaimana caranya mengkritik filsafat? Dengan membaca karya-karya para filsuf, terutama karya Al-Farabi dan Ibnu Sina yang ingin dikritiknya. Al-Ghazali mempelajari tulisan para filsuf itu secara serius sampai pada tingkatan ketika dirinya bisa dikatakan sebagai filsuf paling unggul pada masanya. Tidak mungkin Al-Ghazali bisa mengkritik secara tajam dan mengena jika tidak memahami filsafat secara menyeluruh," petuahnya panjang lebar. "Jika tidak setuju pada komunisme, ateisme, atau liberalisme, kalian, Anak-Anakku, pertama-tama harus mempelajarinya sebelum mengkritik dan membantah ajaran itu. Mengkritik tanpa pemahaman yang benar hanya akan berujung pada usaha sia-sia. Karena itu, jangan sekali-kali alergi pada suatu disiplin ilmu atau pemikiran sekalipun pemikiran itu tidak kita sepakati," pungkas Kiai Cidewa.
Kiai Cidewa adalah seorang yang moderat dan berwawasan luas. Bacaannya terbentang mulai dari kajian tafsir, fikih, filsafat, sastra, sampai sains. Nasihat dan wejangannya selalu bijak dan merasuk dihati. Karismanya membuat dia dihormati oleh hampir semua orang. Mungkin inilah salah satu hal yang paling berkesan buatku. Beruntung sekali aku memelihara kata-katanya dalam buku catatan harianku. Sesekali, aku membukanya kembali untuk selalu mengingat wejangannya.
Belakangan aku sadar bahwa Kiai Cidewa jugalah yang pertama-tama mengajarkan prinsip hidup moderat kepadaku. Prinsip itu disulut untuk meredam fanatisme dan taklid buta di dada anak ingusan yang sedang bersemangat membela agama. Sebagai alumnus pesantren tradisional yang lugu, ketika kali pertama menginjakkan kaki di Cidewa, aku adalah pendukung buta sebuah mazhab. Namun, Kiai Cidewa tak segan-segan "menggabungkan" mazhab-mazhab itu dan berpegang pada pendapat yang dianggap paling kuat.
"Jadilah muslim moderat, mukmin demokrat, muhsin diplomat, Anak-Anakku!"
Bagiku, semboyan itu terdengar luar biasa. Tidak hanya karena berima seperti sajak, tetapi juga karena penuh makna. Kalimat itu lantas dibakukan menjadi semboyan resmi Pesantren Cidewa dengan harapan santri-santri mendapatkan pendidikan untuk bisa menggabungkan nilai keislaman dengan ke-Indonesia-an, kekinian dengan tradisi, dan keimanan dengan toleransi.
Dalam suasana seperti itulah, aku berkenalan dengan banyak pemikir besar, mulai dari Socrates, Ibnu Khaldun sampai Nietzsche. Aku masih ingat saat membaca buku karya St. Sunardi tentang Nietzsche. Tanganku bergetar karena merasa berdosa dan terlibat dalam upaya makar terhadap Tuhan. Aku sedang membaca buku si Pembunuh Tuhan, pikirku saat itu. Ini subversi pada Tuhan. Sebuah dosa serius. Namun, bukankah Kiai Cidewa menyuruhku membaca buku apa saja?
Aku tertarik membaca buku itu karena Kiai Cidewa pernah bercerita tentang seorang filsuf Barat yang telah "membunuh tuhan". Kiai Cidewa berkisah, ia diberikan hadiah buku karya Nietzsche oleh seorang alumnus pesantren yang sedang belajar di Leiden, Belanda. Setelah selesai membaca, ia berbagi kisah mengenai isi buku itu dalam pengajian usai shalat Subuh. Aku masih mengingat dengan jelas saat itulah Kiai Cidewa bercerita tetang Sang Pembunuh Tuhan!
Buku Ecce Homo, dalam terjemahan bahasa Indonesia, kudapatkan seminggu setelah pengajian itu dari sebuah toko buku besar di Pasar Ciamis yang menjadi langganan santri dan mahasiswa beberapa kampus swasta. Aku menelusuri kalimat demi kalimat dalam buku itu tanpa tahu makna dan maksudnya. Buku itu terlalu berat untuk seorang santri kampung. Meski tidak memahami isinya, ada beberapa kata yang terus menempel di benakku setelah membaca buku itu: nihilisme, zaratustra, kembalinya segala sesuatu. Aku mengira kata-kata itu adalah pokok pemikiran Nietzsche. Tentu pada saat itu aku hanya menduga saja karena kata-kata itu diulang berkali-kali dalam buku. Aku mencatat rapi kata-kata itu di dalam diari dengan judul "Kata-Kata dari Sang Pembunuh Tuhan."
Aku juga membaca karya-karya terjemahan Machiavelli. Lagi-lagi karena Kiai Cidewa. Ketika aku duduk di kelas tiga madrasah aliyah, sehabis subuh, Kiai membedah buku ilmu tata negara Islam karangan Ibnu Taimiyah. Di sela-sela penjelasan, ia rajin mengutip Machiavelli sebagai perbandingan. Aku langsung penasaran dan ingin tahu tentang politik Machiavellian. Terjemahan II Principe lantas dilahap bergiliran oleh beberapa orang santri. Aku ingat betul bahwa Machiavelli adalah penasihat keluarga Medici yang saat itu tersingkir dari pusaran kekuasaan di Florence, Italia.
Di Cidewa pulalah aku mula-mula senang dengan dunia pemikiran. Wawasan Kiai Cidewa yang melewati batas-batas disiplin ilmu keislaman membuatku selalu ingin menjadi lebih dari sekadar santri. Dari sanalah, mimpiku menjadi kiai dan punya pesantren perlahan-lahan berubah. Aku lantas lebih tertarik menjadi pemikir hebat atau penulis ulung. Selain Mekah dan Kairo, di Cidewa aku dikenalkan pada mimpi-mimpi indah menuntut ilmu di kampus-kampus Barat: Harvard, Yale, Sorbonne, dan Leiden. Bintang layang-layang terlihat lebih bersinar dari pelataran Asrama Sibawaih, tempatku tinggal di Pesantren Cidewa. Di bintang-bintang itu, kini tergantung banyak impian baru. Harapan baru. Dunia baru.
Kini, aku duduk di perpustakaan kampus Universitas Melbourne. Ini bukan Harvard atau Yale atau Sorbonne. Melbourne tidak ada dalam daftar mimpiku dulu. Namun, mimpi selalu seperti itu. Ia tidak bisa sepenuhnya terwujud atau malah perlahan terwujud melalui beragam jalan. Dan, Melbourne menjadi semacam jalan untuk menggapai mimpiku yang lain.
Di sini, aku duduk menghadap taman kampus dalam proses transformasi yang tanpa henti. Aku yang sekarang bukanlah santri yang dulu. Aku mungkin tidak lagi lancar membaca kitab gundul. Yang kupegang di sini bukan lagi buku Ushul Fiqh tulisan Sayid Sabiq atau Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rushdi . Yang aku pegang adalah buku Bad Samaritans karya Ha-Joon Chang, Orientalism-nya Edward Said, dokumen-dokumen perjanjian hukum international sampai buku hukum adat karya Ter Haar dan Van Vollenhoven. Aku sepenuhnya lupa dan tidak lagi percaya pada jampi-jampi atau haos-haos. Namun, apa yang aku dapatkan di tempatku dulu itu tidak akan pernah hilang.
Di tengah kesibukanku menyelesaikan makalah, sebuah pesan singkat yang kuterima kemarin menggetarkan hatiku.
"Innalillahi, Kiai Cidewa meninggal dunia hari ini pada pukul 06.15."
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Bibirku tanpa perintah melafalkan doa kematian diakhiri Surah Al-Fatihah. Aku tidak sedang mengundang roh Pak Kiai untuk datang. Ini hanya doa untuk seorang guru tercinta yang telah menjadi inspirator hidupku.
Setelah itu, terkadang aku melamun mengingat sosoknya. Ingin sekali aku datang bertakziah ke makamnya. Menyesal tidak sempat bersilaturahmi kepadanya sebelum aku berangkat ke Australia. Penyesalan dan keinginan itulah yang sering membuatku tiba-tiba melamun. Seperti juga saat itu. Buku-buku dan fotokopian makalah jurnal terbengkalai di meja tanpa kusentuh. Pandanganku malah menerobos jendela perpustakaan, mendarat di taman. Pikiranku melayang-layang menemui sosok Kiai Cidewa. Nyiur melambai, kuliah subuh, pramuka, mukena putih santri putri, asrama Sibawaih, dan lapangan bola Cidewa hadir serentak bersama-sama. Kenangan itu membawaku ke lorong waktu untuk beberapa saat.
Hatiku berbisik, Pak Kiai tidak pernah wafat. Ia hanya kembali ke tempatnya yang abadi. Ia hidup di tempat lain dengan, insya Allah, penuh kedamaian dan kebahagiaan. Ia juga tidak pernah mati karena apa yang ia sampaikan akan terus bersemayam di dada para santri.
*** Lisa "HELLO, MA TE, long time no see, how are you going?" Suara perempuan yang tidak asing itu tiba-tiba memecah lamunan yang membawaku ratusan mil menyeberangi lautan.
"Hi, I'm good. Thanks," jawabku terkejut.
Tanganku masih memegang keypad laptop tanpa mengetik apa-apa. Aku menoleh ke perempuan cantik yang duduk persis di sampingku. Seutas senyuman kupasang di bibir.
"Sepertinya sedang melamun, Ip?" Lisa Maria Gomez, nama perempuan itu. Ia tahu aku sedang melamun.
Cukup lama kami tidak bertemu. Aku satu kelompok dengannya ketika mengikuti mata kuliah Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Ia berasal dari Santiago, Cile. Sama seperti aku, ia menyeberangi ribuan mil lautan untuk menempuh pendidikan pascasarjana. Ia datang ke Melbourne atas biaya Pemerintah Cile.
"Ah, tidak juga," jawabku setengah berbohong.
"Tidak mungkin. Aku memperhatikanmu sejak tadi. Tadinya, aku tidak berani menyapamu karena takut mengganggu, tetapi kau tidak terlihat sibuk dengan bacaan-bacaan itu."
Lisa Gomez menunjuk tumpukan buku dan jurnal di samping laptopku.
"Lebih baik kita pindah jika ingin terus ngobrol. Ini silent room."
Aku dan Lisa pergi ke ruangan lain. Aku biarkan buku-buku dan laptopku di tempatnya semula tanpa khawatir akan dicuri orang. Laptop sudah kukunci di meja dengan menggunakan kunci laptop yang disediakan cuma-cuma oleh perpustakaan.
Di dalam ruang baca perpustakaan, mahasiswa tidak diperkenankan mengobrol, apalagi dengan suara yang berisik karena pasti mengganggu mahasiswa lain. Ada ruangan khusus terpisah kaca tebal untuk para mahasiswa bersantai melepas lelah sambil mengobrol setelah seharian bergelut dengan tugas-tugas kuliah.
Kami duduk di sofa empuk berwarna merah darah, menghadap jendela, di sudut timur perpustakaan. Di hadapan kami, di bawah sana, membentang Jalan Elizabeth. Dari kejauhan, aku bisa melihat Pasar Victoria, tempatku jadi kuli. Mobil dan trem di bawah sana berlalu-lalang. Sepanjang Jalan Elizabeth, kuncup dedaunan mulai bermunculan dari batang pohon. Langit cerah sedikit berawan, membuat lanskap di balik jendela tampak seperti lukisan.
Lisa pergi ke sudut ruangan itu dan kembali lagi dengan secangkir kopi dan sepiring biskuit. Kopi, teh, susu, dan biskuit sengaja disediakan secara cuma-cuma untuk para mahasiswa. Jika ingin minum atau ngemil, tinggal ambil saja.
"So, what's up?" Dengan nada penasaran, Lisa bertanya kepadaku.
Aku menceritakan tentang Kiai Cidewa yang baru saja meninggal dunia. Sesekali, aku harus kerepotan menjelaskan detail istilah-istilah yang selalu ditanya Lisa dalam bahasa Inggris. Ia tidak tahu apa itu kiai, pesantren, santri, dan lain-lain. Tentang Indonesia, ia cuma tahu Jakarta dan Bali. Itu saja. Sama seperti aku yang hanya tahu Santiago.
Lisa orang yang selalu ingin tahu. Saat kami mengerjakan bersama tugas-tugas kelompok, ia banyak bertanya tentang Islam. Sejak saat itu, kami mulai dekat. Kami sering minum kopi bersama di Seven Seeds Cafe, warung kopi di belakang gedung Fakultas Hukum, sekadar untuk melepas lelah. Ia juga belakangan banyak membaca berita tentang Indonesia, terutama terkait isu terorisme dan imigran gelap dari Timur Tengah yang banyak transit di Indonesia sebelum menyeberang ke Australia. Yang terakhir ini malah menjadi fokus risetnya untuk tugas kuliah HAM.
"Apa kau tahu kenapa aku tertarik pada Islam?" Lisa bertanya setelah aku bercerita tentang wafatnya Pak Kiai Cidewa.
"Bisa aku duga, tetapi lebih baik aku bilang tidak tahu," jawabku. Sepertinya ada pengaruh bacaan yang berkecamuk di kepalanya sehingga tiba-tiba ia bertanya seperti itu.
"Tentu karena agamamu belakangan menjadi sorotan dunia. Dan, agamamu juga telah menjadi objek kesalahpahaman. Aku hidup dalam tradisi Katolik yang sangat taat dan kolot. Tradisi dan memori para pendahulu kami yang datang ratusan tahun sebelumnya dari Spanyol ke Cile masih rapi terjaga. Memori yang sebagian besar berisi prasangka dan phobia, ketakutan."
"Memori? Maksudmu?" aku memotong Lisa yang sedang berbicara serius.
"Maksudku tradisi Katolik dan memori tentang Islam. Kau tahu, Islam pernah berjaya lebih dari tujuh ratus tahun di Spanyol sebelum akhirnya para pahlawan Kristiani dari Castile dan Aragon-di bawah pimpinan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand-sedikit demi sedikit, jengkal demi jengkal, kota demi kota, mengembalikan tanah itu ke pangkuan pengikut Yesus. Sampai akhirnya, Granada yang saat itu dipimpin khalifah ke-22 Dinasti Nasrid, Boabdil, seseorang yang digelari El-Zogoybi atau si pembawa sial, bertekuk lutut pada 1492. Jatuhnya Granada adalah akhir dari reconquesta. Setelah Malaga, Sevilla, Baeza, Almeira, dan Salobrena jatuh ke tangan pasukan Aragon dan Castile, Granada berdiri sendiri, menyempil di antara kota-kota yang sudah ditaklukkan. Hanya tinggal menunggu waktu. Raja yang penakut dan lemah membuat Granada tak berdaya ketika Ratu Isabella menyerbu. El Zogoybi meninggalkan Granada setelah menandatangani perjanjian penyerahan diri. Kota itu tidak ditaklukkan, tetapi diberikan."
"Ya, ya, ya. Boabdil dalam bahasamu, Abu Abdullah dalam bahasaku, menyerahkan kunci istana megah Alhambra di Bukit Martyrs sebelum ia meninggalkan Semenanjung Iberia, menyeberang ke Afrika, mengemis pertolongan pada raja-raja lokal di sana. Kunci yang diberikan itu simbol hilangnya Islam dari Semenanjung Iberia setelah hampir seribu tahun berkuasa," aku meneruskan apa yang ingin disampaikan Lisa.
"Wonderful, kau tahu juga soal itu," potong Lisa dengan heran.
"Tidak juga, aku hanya tahu sedikit dari novelnya Tariq Ali...."
"Shadows ofthe Pomegranate Tree!" seru Lisa terkejut.
"Ya, aku membacanya dalam terjemahan bahasa Indonesia karena sampai sekarang belum menemukan buku aslinya. Aku hampir menangis membaca masa-masa sulit orang-orang Islam dan Yahudi di Spanyol setelah reconquesta. Meski dalam perjanjian yang ditandatangani Boabdil dan Ferdinand di Bukit Martyrs disebutkan orang-orang Moor- sebutan untuk orang Islam-dan Yahudi akan dilindungi. Pada kenyataannya tidak. Orang Islam diburu dan hanya punya tiga pilihan: keluar dari Spanyol menyeberangi Selat Gibraltar, pindah agama menjadi Katolik, atau mati."
"Dan, kau tahu, Ip? Banyak dari para keluarga bangsawan Muslim dan Yahudi yang selama berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun, hidup dengan dua wajah. Di luar, sehari-hari mereka adalah penganut Katolik yang taat. Bahkan, ada yang jadi pendeta. Namun, setiap waktu shalat, mereka bersembunyi di kamar untuk shalat menghadap Mekah."
"Sungguh?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal, aku sudah tahu juga tentang hal itu.
"Keadaan di Granada pasca-Penaklukan Kembali lebih mengerikan setelah Francisco Jimenez de Cisneros diangkat menjadi kardinal oleh Ratu Isabella, menggantikan Kardinal Hernando Taravera yang berpikiran lebih liberal dan toleran. Jimenez de Cisneros mulai memprakarsai cara-cara keras pengkristenan kembali Granada. Sebelumnya, Taravera selalu mengedepankan cara-cara damai dan halus. Jimenez melihat cara damai akan terlalu lama mendatangkan hasil. Ditambah lagi, dalam budaya Spanyol dan Granada, khususnya, Islam telah mengakar terlalu dalam. Butuh kekerasan untuk mencabutnya. Jimenez tahu tempat akar budaya itu berada: perpustakaan dan kampus-kampus. Karena itulah, pertama-tama ia membakar habis buku-buku di perpustakaan, masjid, dan madrasah. Lantas, ia memerintahkan pengancuran kolam-kolam pemandian publik yang menghiasi setiap sudut kota. Kolam-kolam itu dihancurkan karena sering dipakai untuk bersuci dan berwudu. Peradaban manusia ribuan tahun yang tersimpan di perpustakaan paling maju di dunia saat itu dihancurkan. Hanya beberapa saja yang bisa deselamatkan karena ada sedikit orang yang peduli. Buku-buku penting sebagian diselamatkan oleh pegawai perpustakaan dengan cara disembunyikan di gerobak pengangkut rumput, lantas dibawa keluar Spanyol."
"Sesuatu yang kelak sangat disesali oleh orang Kristen sendiri," aku menyela.
"Betul. Tetapi, yang paling mengerikan adalah inkuisisi. Tiga juta orang dipercaya mati, sementara setengah juta orang harus mengungsi karena program ini. Inkuisisi terus berlangsung sampai abad ke-17. Itu merupakan sejarah terkelam. Tetapi, inkuisisi itu juga simbol fobia dan ketakutan. Ketakutan yang kelak akan terus diwariskan kepada anak-cucu orang-orang Spanyol. Fobia itu akhirnya sampai juga ke Santiago seiring dengan proses imigrasi nenek moyangku ke Benua Amerika."
Penjelasan Lisa yang panjang lebar membuatku tidak sempat membuat kopi dan mengambil biskuit.
"Kau tahu cukup banyak tentang Spanyol," selaku ketika ia menyeruput kopi yang dipegangnya dari tadi.
"Orang Cile harus juga tahu sejarah Spanyol karena akar kami dari sana. Orang-orang Spanyol, nenek moyang kami, mula-mula datang ke Amerika untuk mencari emas. Awalnya ke Amerika Utara, kemudian menyusuri pantai selatan. Mereka terusir dan kalah oleh orang-orang Inggris dan Prancis yang datang belakangan. Amerika Selatan tidak pernah bisa direbut Inggris dan terus menjadi harta kekayaan Kerajaan Spanyol yang menjadikan wilayah ini sebagai koloni. Sampai sekarang, sebagian budaya di Amerika Latin merupakan warisan kebudayaan Spanyol. Bahasa mereka adalah bahasa Spanyol. Orang-orang Indian juga dipaksa untuk bisa berbicara Spanyol. Dari belajar sejarah Spanyol, aku jadi sedikit tahu tentang Islam. Dalam benak kami, Islam adalah agama penjajah, agama sesat, dan agama teroris. Memoriku tentang Islam bercampur dengan berita di media yang menyudutkan Islam sebagai agama penebar teror. Meski begitu, sebagai seorang terpelajar tentu aku tidak begitu saja percaya."
"Jika kau begitu saja setuju dengan semua prasangka itu, apa gunanya ruang kuliah dan perpustakaan yang megah dan lengkap ini," aku menimpalinya.
"Jangan salah, prasangka dan kesalahpahaman itu dimapankan oleh tradisi kesarjanaan. Kau pasti masih ingat diskusi kita di kelas dengan Prof. Otto tentang prasangka budaya. Buku-buku Edward Said, penulis pujaanmu itu, dengan terang benderang menggambarkan bagaimana kesalahpahaman dan prasangka dibuat, disosialisasikan, dan dimapankan oleh tradisi kesarjanaan Barat dan media."
"You're absolutely right, Lisa," sahutku.
Obrolan yang seru itu tidak terasa. Tiba-tiba, sudah hampir pukul tiga sore. Aku harus segera pergi ke Pasar Victoria untuk nguli. Namun, aku beralasan ke Lisa bahwa aku harus pamit karena ada urusan keluarga dan harus segera pulang.
"Selalu senang dan menarik berdiskusi dengan kau, Ip," ujar Lisa.
"Aku juga. Terima kasih atas kuliah sejarahnya. Sampai jumpa. Obrolan kita belum selesai. Kita harus lanjutkan lain kali," kataku.
"Dengan senang hati. Tetapi, lebih baik di Kafe Vittoria atau Seven Seeds sambil menikmati kopi latte atau mochaccino," jawabnya.
Obrolan seru dengan Lisa sedikit mengobati hariku yang sedang diliputi kesedihan setelah mendengar berita wafatnya Pak Kiai Cidewa.
*** Kejutan di Festival Indonesia
SEMINGGU SETELAH bertemu Lisa di perpustakaan, di sela-sela kuliah intensif yang melelahkan, kami bertemu lagi di kelas. Ketika sedang asyik mengobrol, Mathew-kawan kelas kami-datang membawa secangkir kopi.
Aku memperkenalkan Lisa sebagai mahasiswi yang berasal dari Santiago, Cile dan sedang mengambil pendidikan master hukum di Universitas Melbourne. Lisa adalah seorang pengelana. Ia pernah dua tahun tinggal di Moskwa, setelah itu pindah ke Taiwan, sebelum akhirnya berlabuh di Melbourne. Ia aktif di beberapa organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelum akhirnya capek dan memutuskan untuk menjadi PNS di Santiago sambil melanjutkan sekolah. Sementara itu, Mathew dulunya warga Inggris yang tinggal di London, tetapi sekarang telah menjadi warga negara Australia dan bekerja di perusahaan air minum Negara Bagian Victoria. Mathew juga sedang menempuh gelar master. Obrolan kami mengalir seperti hujan yang siang itu deras membasahi kaca jendela bangunan kampus Fakultas Hukum.
Obrolan kami berawal ketika Lisa bertanya tentang Indonesia.
"Kalau aku mau berkunjung ke Indonesia, kota mana yang paling indah dan menarik?"
"Bali," aku menjawab singkat.
Lisa bilang, ketika ia tinggal di Moskwa, hampir setiap jam ada iklan pariwisata Malaysia. Saking seringnya, iklan itu benar-benar terpatri di benaknya dan membuatnya ingin sekali ke Malaysia. Lisa ingin melihat eksotisme budaya Malaysia: keramahan warganya, tari-tariannya, baju-baju tradisionalnya, dan keindahan alamnya. Lisa bertanya, apakah memang benar Malaysia sangat indah dan "trulyAsia"?
Untuk beberapa saat aku tidak menjawab. Aku sibuk memilah jawaban yang tepat agar tidak terkesan bangga berlebihan kepada negeri sendiri dan menjelekkan negeri serumpun.
Mathew masuk dalam obrolan kami. Ia bilang tempat seperti Bali, Lombok, Bunaken, dan Raja Ampat, jauh lebih menarik dan indah ketimbang objek wisata di Malaysia. Ia pernah beberapa kali berkunjung ke Bali dan Raja Ampat.
Bagi anak muda di Australia pada umumnya, pergi ke Bali untuk berlibur sama seperti orang-orang Jakarta pergi ke Puncak, Bogor, untuk mencari udara segar. Bagi orang-orang Australia, pergi berlibur ke Bali atau Bangkok jauh lebih murah. Uang dolar sangat bernilai jika ditukarkan dengan rupiah atau bath yang harganya murah meriah.
"Apa yang kau tahu tentang Indonesia, selain Jakarta?" tanyaku kepada Lisa.
"Aku sudah bilang, aku hampir tidak tahu apa-apa. Hanya tahu Jakarta, Soeharto, dan Bali. Itu saja. selebihnya adalah informasi-informasi yang selalu kau berikan. C-a-d-u-w-a?," perempuan itu menjawab sambil menatapku dan Mathew sekaligus. Ia belum juga bisa mengeja kata Cidewa dengan benar.
"Kau tahu Obama berasal dari Indonesia?" tanyaku setengah bercanda.
"Ya, aku pernah mendengar itu," ia spontan menjawab.
"Tentu kau tahu Obama orang Amerika dengan ayah seorang imigran dari Kenya?"
"Tentu saja." "Tetapi, banyak orang tidak tahu Obama pernah menghabiskan sebagian masa kecilnya di Jakarta karena bapak tiri Obama adalah orang Indonesia. Ibu dan Bapak kandung Obama bercerai ketika Obama masih balita. Lantas, ibunya, Ann Dunham, menikah dengan Lolo Soetoro, seorang pemuda Indonesia, dan memboyong Obama pindah ke Jakarta."
"Really?" tanya Lisa setengah tidak percaya.
"Ia menjalani sekolah dasar di Jakarta. Setelah itu dikirim ke Hawaii untuk melanjutkan sekolah dan tinggal bersama kakek-neneknya, sementara sang ibu tetap tinggal di Jakarta. Jakarta dan Indonesia menjadi bagian penting dari kehidupan Ann Dunham karena ia kemudian menjadi antropolog ahli Indonesia. Ia meneliti para pembuat perkakas besi di Jawa."
"Menarik," Mathew menyela. "Sebaiknya, kau baca bukunya Obama yang terkenal itu, Lisa."
"Ya, aku akan coba cari."
Di tengah-tengah obrolan itu, aku menyalakan laptop untuk membuka peta dunia.
"Lihat, Lisa, negaraku adalah negara kepulauan terbesar di dunia, lebih dari tiga belas ribu pulau terhampar dari Sabang sampai Merauke"
"Tiga belas ribu pulau? Kau pasti bercanda!" sahut Lisa terkejut sambil menunjukkan air muka tidak percaya.
Tangan kananku menggerakkan tetikus komputer ke arah Pulau Sabang dan Kota Merauke di Papua. Aku bilang bahwa Pulau Weh adalah batas bagian barat negaraku dan Merauke adalah kota paling timur.
"Oh, berarti Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia dan Papua Nugini?"
Sialan, Malaysia lagi! Aku menerangkan lagi tentang Indonesia ke Lisa dan Mathew. Apa yang kusampaikan adalah hasil belajar geografi di SD dulu. Bayangan Pak Yoyo, guru geografi ketika aku SD, dengan tangan memegang lidi dan menunjuk gambar hamparan pulau, seketika hadir di pikiranku. Aku bilang juga kepada Lisa dan Mathew bahwa Indonesia itu bukan negara bangsa, nation-state, tetapi multi-nation-sate, satu negara dengan beragam etnik dan suku bangsa. Indonesia terdiri atas ratusan etnis dan budaya dengan adat dan bahasa yang berbeda.
"Indonesia itu sebuah ide baru. Dirumuskan pada awal abad 19 oleh para elite terpelajar Nusantara dan baru menjelma menjadi negara-bangsa pada 1945. Sangat muda. Namun, sebagian komponen budayanya, seperti Kerajaan Majapahit, Pajajaran, Bugis, dan yang lain, sudah ada jauh-jauh hari. Jawa sudah membuat Borobudur yang indah ketika peradaban Barat masih terlelap dalam tidur panjang masa kegelapan," aku menambahkan.
"Negara dunia ketiga seperti Indonesia adalah negara-negara muda yang dibentuk oleh kolonialisme." Mathew sepertinya gatal ingin berkomentar juga.
Tanganku menggerakkan lagi tetikus komputer, menunjuk batas merah di tengah-tengah Pulau Kalimantan.
"Lihat, garis ini tercipta karena kesepakatan antara Inggris dan Belanda. Belanda menguasai sebagian dan Inggris sebagian yang lain. Dengan seenaknya, mereka membuat garis. Garis itu yang membuat kami orang Indonesia berbeda negara dengan orang Malaysia meskipun kami masih satu rumpun etnis dan budaya. Belanda juga berbagi Papua dengan Jerman. Karena bagian timur Papua dikuasai Jerman, jadilah negara Papua Nugini, sementara bagian barat menjadi Provinsi Irian Jaya yang kemudian bersalin nama menjadi Papua Barat, sebagai bagian dari Negara Indonesia."
Lisa hanya bertopang dagu sambil menatapku dan Mathew.
"Mungkin ada baiknya," aku melanjutkan, "aku berterima kasih kepada Belanda. Sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan dari penjajahan, sebuah negara kesatuan bernama Indonesia lahir. Kalau tidak ada kolonialisme, bisa jadi di antara gugusan pulau di Nusantara sudah berdiri puluhan negara."
Lisa hanya termangu. Mathew terlihat sedikit kikuk, mungkin karena terbebani tumpukan sejarah. Inggris adalah negara penjajah terbesar meski selalu mengaku sebagai pencerah, bukan penjajah. Bukankah karena penjajahan, Asia, Afrika, Amerika, dan Australia jadi semakin beradab? Bukankah berkat kolonialisme, masyarakat primitif jadi mengenal produk-produk peradaban dunia modern seperti negara dan hukum?
Obrolan kali ini melanjutkan kelas kami sehari sebelumnya yang membahas kolonialisme, pembangunan dan pasar bebas. Prof. Jenn dan Prof. Gupta menjelaskan ide pembangunan yang oleh sebagian pemikir hukum dilihat sebagai kepanjangan tangan dari kolonialisme. Semacam neo-kolonialisme sebagaimana Bung Karno dulu bilang.
Merasa tidak nyaman dengan obrolan seputar kolonialisme, Mathew mengalihkan topik obrolan.
"Indonesia juga negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika dan India."
"Really?" Lisa bertanya lagi dengan penuh rasa penasaran. Aku bosan mendengarnya terkejut sambil bertanya, "Sungguh?" tanpa disertai komentar lain.
"Kami mungkin satu-satunya negara Muslim demokratis di dunia," aku menambahkan.
Lisa semakin kaget. Dari air mukanya, Lisa terlihat merasa bodoh karena ia tidak tahu apa-apa tentang Indonesia.
"Tetapi, sekarang aku sedang risau, Lisa," ujarku. Entah kenapa tiba-tiba aku mengeluh kepada orang yang sama sekali tidak tahu-menahu dengan yang terjadi di negaraku.
"Negaraku baru saja mengenyam udara demokrasi. Kebebasan di negeri kami masih terlalu muda, masih sangat rentan. Tiga kali pemilihan umum bukan jaminan pemerintah diktator dan despotik tidak terpilih."
Aku harus berhenti sejenak karena sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
"Bulan depan aku harus datang ke Kantor Kedutaan untuk mengikuti pemilihan presiden secara langsung. Pada 8 Juli nanti, jutaan warga Indonesia akan datang ke bilik-bilik suara untuk memilih presiden dalam pesta demokrasi. Tetapi, aku khawatir karena demokrasi tidak serta-merta memberi kesejahteraan kepada rakyat. Ini bahaya karena bisa-bisa orang tidak lagi percaya kepada demokrasi. Bukankah pada ujungnya periuk nasi lebih penting?"
"Kau mungkin terpengaruh suasana di Iran, Ip?" Mathew melihat kasus Iran sebagai perbandingan. Iran saat itu baru saja dilanda demonstrasi besar dan kerusuhan karena hasil pemilu yang dianggap tidak jujur dan adil. Kubu oposisi merasa dicurangi oleh Presiden Ahmadinejad. Kondisi ini mungkin juga dimanfaatkan oleh intelijen Amerika untuk memperkeruh suasana. Mathew khawatir pemilu nanti tidak berakhir mulus seperti yang diharapkan.
"Semoga tidak. Skenario ke arah sana kecil sekali," jawabku sambil berusaha membesarkan hati. Namun, hati kecilku tetap saja miris.
"Lisa, Mathew, lebih baik kita ambil kopi sebelum kelas dimulai lagi. Jika mau tahu lebih banyak Indonesia, datanglah ke Federation Square pada Sabtu atau Minggu besok. Ada Festival Indonesia."
Pesan pendek yang tadi masuk ke ponselku dikirim oleh pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) ranting Universitas Melbourne. Isinya mengingatkan agar mahasiswa datang membawa teman dan keluarga untuk mengikuti Festival Indonesia di Federation Square pada akhir pekan ini. Mathew dan Lisa sepakat untuk datang bersamaku.
Pada awal masa reformasi, citra Indonesia di mata dunia internasional sangat buruk. Ribuan toko, kebanyakan milik orang Tionghoa, dibakar massa yang mendadak beringas. Di Ambon, Poso, dan Sampit perang saudara pecah. Orang seperti tak punya pilihan, kecuali bertikai, helium omnium contra omnes, perang semua lawan semua. Konflik horizontal seolah tak ada ujungnya.
Tidak seperti di Thailand dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sejak 1998 tak juga kunjung reda. Inflasi tinggi, nilai tukar rupiah jatuh sampai pada kisaran 15 ribu per dolar Amerika. Kelompok radikal berbasis komunitas ataupun agama bermunculan di tengah masyarakat, tumbuh menjadi saingan polisi dalam upaya penegakan hukum dengan cara-cara inkonstitusional. Kelompok-kelompok radikal merazia kafe, bar, dan diskotik, bahkan menyerang kelompok lain yang dianggap menyimpang.
Hampir tak ada cahaya terang terlihat di ujung jalan Indonesia. Yang ada hanya muram dan mendung. Sebagian ilmuwan Barat memperkirakan Indonesia akan bernasib seperti Yugoslavia atau Uni Soviet yang hancur tercabik-cabik. Argumen ini cukup beralasan seiring dengan menguatnya gerakan separatisme di berbagai wilayah: Gerakan Aceh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka, dan Republik Maluku Selatan (RMS). Bahkan, Timor Timur telah lepas dari genggaman republik pascareferendum 1999.
Sedikit cahaya mulai terlihat selepas 2004. Pemilu yang dikhawatirkan akan ricuh dan berdarah, ternyata berjalan aman dan lancar, menujukkan proses yang demokratis dan transparan. Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mempertahankan demokrasi yang baru lahir.
Perhatian dunia kembali tertuju kepada Indonesia ketika pemerintah berhasil menginisiasi perjanjian damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Banyak ahli menilai bahwa Indonesia mulai masuk pada fase demokrasi penuh ketika pers bebas tumbuh, tidak ada lagi pengekangan dalam politik, dan konflik horizontal bisa diakhiri. Pertumbuhan ekonomi merangkak ke atas. Indonesia juga selalu menjadi contoh negara tempat Islam bisa cocok dengan demokrasi. Perlu diingat, hanya di Indonesia, Islam dan demokrasi tumbuh berdampingan. Hanya korupsi yang masih jadi masalah laten.
Dalam suasana penuh harapan itulah aku datang ke Federation Square, alun-alunnya Kota Melbourne. Aku dan Lisa telah berjanji untuk bertemu di Stasiun Kereta Flinders. Mathew tidak jadi datang karena ada urusan lain. Stasiun kereta itu terletak persis di seberang alun-alun Fed Square, hanya terpisah Jalan Swanston yang melintang dari utara ke selatan membelah Kota Melbourne. Semua kereta dari berbagai jurusan singgah di stasiun tua itu.
Lisa tinggal di Camberwell, kota kecil yang berada lumayan jauh di sebelah timur Melbourne. Tidak seperti Brunswick yang dekat dengan pusat kota, jarak ke Camberwell cukup jauh. Butuh waktu 30 menit naik kereta ke arah Lilydale, kota yang setiap musim semi ramai dikunjungi pelancong yang ingin melihat keindahan bunga tulip. Lisa sudah terlambat sekitar 10 menit. Aku tahu, keterlambatan itu bukan karena kereta yang datang terlambat akibat gangguan sinyal atau mati listrik. Bukan. Karena, di Melbourne semua kendaraan umum selalu tepat waktu. Aku menunggu di luar stasiun sambil menikmati Spanish doughnut, donat Spanyol yang bentuknya panjang-panjang dengan taburan cokelat dan karamel. Sambil duduk, aku memperhatikan orang berlalu-lalang.
"Hi, maaf telat," Lisa tiba-tiba muncul dan sedikit mengagetkanku. "Aku tadi telat beberapa menit datang ke stasiun. Jadi harus menunggu jadwal kereta berikutnya," lanjutnya lagi.
"Santai saja," jawabku sambil menyodorkan donat yang masih tersisa satu potong.
Suara gamelan mengalun samar dari alun-alun. Suara itu terdengar sangat merdu di telingaku. Terlebih, karena aku mendengar suara itu di negeri orang. Suasana dan lingkungan Kota Melbourne membuat suara gamelan terasa lebih syahdu. Sama seperti betapa singkong dan jengkol terasa lebih istimewa di sini.
Dari stasiun, panggung tempat pertunjukan itu jelas terlihat. Di samping panggung, sebuah televisi raksasa menayangkan pertunjukan di panggung utama secara langsung.
"Kau dengar suara itu?" tanyaku pada Lisa.
"Ya, sejenis musik etnik. Aku bisa menduga itu dari Indonesia. Dugaanku pasti tidak salah," katanya sedikit berkelakar.
"Tentu saja kau benar, bukankah kau mau ke Festival Indonesia?" ledekku. "Itu suara gamelan, musik etnik warisan leluhur kami," kataku bangga.
"Kita harus bergegas sebelum pertunjukan itu selesai," Lisa menarikku mendekat ke arah panggung.
Ia setengah berlari menyeberangi jalan, bergegas sebelum lampu tanda boleh menyeberang kembali merah. Kami berjalan berdampingan, sekilas tampak seperti sepasang kekasih.
Di Federation Square, muda-mudi yang kebanyakan pelajar dari Indonesia terlihat antusias datang untuk memeriahkan acara. Aku melihat banyak pelajar memakai kaus putih dengan tulisan besar-besar: I Love RI. Gambar burung garuda disablon merah menggantikan lambang hati sebagai simbol cinta. Sebagian yang lain memakai baju merah darah dengan lambang garuda di dada.
Panggung utama menyuguhkan beragam kesenian khas Indonesia seperti Tari Saman, Kuda Lumping, Jaipong, sampai Tari Musyoh, yaitu tarian penghormatan yang berasal dari Papua. Selain itu, ada juga pementasan lagu-lagu kontemporer Indonesia dan lagu-lagu daerah. Selain gamelan, terdapat juga alat musik sasando dari NTT. Musik gamelan dan atraksi pencak silat ditampilkan oleh mahasiswa Australia yang mempelajari budaya Indonesia.
Di samping Sungai Yarra, di dekat panggung utama, aneka makanan Indonesia dijual: gudeg, sate, bakso, batagor, gado-gado, dan beragam hidangan lezat lain. Suasana di Festival Indonesia terasa ingar bingar, penuh keceriaan dan menerbitkan kerinduan kepada kampung halaman.
Buatku pribadi, festival itu menyadarkan satu hal: betapa kaya dan uniknya Indonesia. Bayangkan, kita satu-satunya negara yang mempunyai budaya yang berakar pada tradisi India, Melayu, China, sampai Melanesia. Keragaman itu te-cermin dalam setiap pementasan. Ada banyak tarian dan alat musik yang baru aku lihat kali itu. Ironis memang. Mengapa aku tidak menyadari semua keanekaragaman budaya itu sedari dulu? Mungkin itulah hikmah merantau ke negeri orang. Aku jadi bisa lebih jernih melihat negeri sendiri.
Aku menyampaikan kepada Lisa bahwa istriku tidak bisa ikut karena repot mengurusi Amartya. Sebenarnya, aku merasa agak canggung karena berjalan berdua saja dengan Lisa. Aku selalu berusaha menjaga sikap agar orang tidak salah menduga. Di rumah, anak dan istriku selalu menantiku kembali dengan hati tanpa cabang. Selain itu, Lisa juga tahu aku sudah beranak-istri.
Aku dan Lisa mencari tempat yang teduh, duduk di tengah lapangan terlalu panas karena matahari mulai terik. Kami duduk sedikit ke tepi, di atas ubin kasar abu-abu. Dari tempat kami duduk, panggung utama terlihat jelas.
"Ip, aku punya berita mengejutkan," kata Lisa.
"Sony, apa???" seruku setengah berteriak. Suara gamelan dari pengeras suara membuat suara Lisa tidak terdengar jelas.
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan!" Lisa setengah berteriak kepadaku."Oh, tentang apa?" jawabku sambil ber-usaha menutupi kegugupan.
"Kau harus mengecek ini." Ia merogoh saku bajunya.
Lisa mengeluarkan telepon genggamnya. Ia membuka internet melalui ponselnya dan menunjukkan kepadaku sesuatu.
"Berita soal terorisme, mungkin kau tertarik."
Lisa memberi ponselnya kepadaku.
Aku membaca dengan lebih jelas. Ada foto seorang pria berkacamata di bawah judul berita di situs itu. Berita itu dimuat di halaman online The Age, koran utama Kota Melbourne. Awalnya, aku tidak terlalu mengerti yang ingin ditunjukan Lisa. Namun, setelah menelusuri beberapa kalimat, akhirnya aku mengerti.
Tulisan itu memberitakan seorang gembong teroris di Indonesia yang tertangkap. Abu Ismail namanya. Beberapa yang lain masih buron. Salah satu buron itulah yang fotonya terpampang. Masih sangat muda, seusiaku, berkacamata, rambut belah samping dengan poni sedikit panjang. Berita itu juga mengabarkan bahwa buronan teoris itu adalah seorang terpelajar lulusan sebuah pondok pesantren di Jawa Barat dan perguruan tinggi Islam swasta di Jakarta.
Geledek seperti tiba-tiba menyambarku siang itu. Kaget bukan kepalang. Foto itu kulihat kembali. Ukurannya aku perbesar. Gambar di ponsel terlalu kecil dan kurang jelas. Aku masih belum percaya. Setelah ukuran gambar diperbesar, hatiku semakin kencang berdetak. Kaget setengah mati. Kini, badai perasaan yang menerpaku. Aku memang benar-benar mengenali pria itu. Bukan hanya kenal, aku bahkan pernah tinggal satu kamar dengannya.
Ingatanku tiba-tiba terbang ke Cidewa.
Suara gamelan yang telah berganti menjadi musik dangdut tidak lagi jadi perhatianku.
"Ini sungguh mengejutkan. Aku belum sempat mengecek media-media di Indonesia, Lisa," sahutku sembari mencoba segera menarik kembali kesadaranku.
"Kata 'pesantren' di berita itu membuatku teringat kiaimu, Ip," kata Lisa.
"Kau mungkin kaget jika aku beri tahu bahwa orang yang sekarang sedang dikejar polisi itu adalah kawan dekatku semasa di pesantren."
"Tidak mungkin, kau pasti bercanda!" seru Lisa tidak percaya. Pandangannya yang tadi tertuju pada lenggak-lenggok penyanyi dangdut dialihkan ke arahku. Alisnya yang tebal dan bulu matanya yang lentik membuat sorot matanya kian tajam, membuatku tak sanggup menatapnya terlalu lama. Aku takut terjatuh dalam samudra matanya. Kini, ia memandangku dengan saksama. Penuh tanda tanya.
"Sungguh, aku tidak sedang bercanda. Itu yang membuatku kaget bukan kepalang."
"Pantas! Dunia ini sempit!"
Acara menikmati festival jadi terganggu gara-gara berita mengejutkan itu. Aku tidak lagi tertarik dengan segala keriuhan yang terjadi di sekelilingku. Setelah duduk sekitar satu jam, akhirnya kami memutuskan berjalan mengelilingi stan pameran di sekitar alun-alun. Sementara itu, pikiranku masih melayang-layang, mencari jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang serta-merta muncul. Namun, tugas untuk memperkenalkan Lisa kepada Indonesia harus tetap kutunaikan. Aku membawa Lisa ke stan penjual makanan. Aku membelikannya gado-gado, sate, dan teh botol. Aku meminta agar pesanan itu dibungkus karena kami ingin makan di luar arena festival. Lisa mengusulkan untuk menyantap makanan itu di pinggir Sungai Yarra yang rindang dan indah. Aku setuju. Kami bergegas ke sana. Air yang jernih mengalir diapit area rerumputan hijau yang senantiasa rapi. Pohon-pohon rindang membuat udara terasa sejuk. Dari kejauhan, beberapa kelompok pendayung yang tengah menjalankan latihan rutin seperti tak merasa terganggu oleh ingar bingar suara musik. Burung camar dan angsa hitam bermain-main di seberang sungai. Sekelompok anak muda bersepeda santai di sepanjang jalur sepeda yang disediakan khusus di tepian sungai. Kapal pesiar mini sesekali lewat membawa wisatawan berlayar sampai ke muara sungai di daerah Dockland, pelabuhan di timur Kota Melbourne.
Sambil berjalan, aku sibuk memperkenalkan Indonesia kepada Lisa: gado-gado, sate, gamelan, angklung, dangdut, pencak silat, dan Garuda Pancasila. Sesuatu yang tadinya terasa biasa saja menjadi luar biasa dan unik dalam kondisi tertentu. Juga seperti saat itu. Aku seperti guru SD yang sedang menerangkan hal-hal sepele kepada murid yang masih ingusan. Lisa menyimak dengan antusias. Sesekali, ia coba membandingkan dengan hal-hal lain yang ia tahu dari belahan dunia yang lain.
"Sekarang, kau harus menceritakan tentang lelaki dalam berita itu. Tadi kau bilang bahwa ia temanmu," Lisa menagih janjiku.
"Sebut saja namanya K," aku mulai bercerita.
Lisa memasang muka pura-pura serius sambil tersenyum simpul. Seperti berusaha menggodaku. Manis sekali senyumnya. Dahi yang dikerutkan membuat alis tebalnya menyatu. Di bawah alis itu, bola mata besar dengan bulu mata lentik berkedip. Aku melihat guratan wajah bangsa Moor di muka Latin-nya.
"Aku tidak mau menyebut nama sesungguhnya karena apa yang diberitakan belum pasti benar. Semoga saja prasangka itu tidak benar."
"Aku paham," jawabnya singkat.
"K adalah kawan dekatku di Pesantren Cidewa. Ia seseorang yang brilian. Dalam setiap pelajaran, ia mendominasi kelas dengan argumen-argumen yang logis dan kritis. Intonasi suaranya bagus. Bicaranya runut dan teratur. Setahuku, ia tidak pernah menjadi yang terbaik di kelas. Bukan karena kalah cerdas dibanding kawan-kawan lain, melainkan karena hafalan Al-Quran-nya tidak banyak. Sistem pesantren menuntut seorang santri mampu menghafal banyak hal untuk bisa menjadi yang terbaik. K tidak terlalu baik di bidang hafalan, tetapi mumpuni dalam beradu logika dan pemahaman mengenai persoalan."
"Hmmm, terus?" Lisa protes karena jedaku terlalu lama. Mulutku sibuk mengunyah makanan.
"Itulah sisa-sisa ingatanku tentang K. Kenangan di pesantren dulu semakin kabur setelah sekian lama masa itu aku tinggalkan. Namun, aku tidak pernah meragukan kecerdasan K."
"Apa kau sempat bertemu dengannya setelah lulus dari C-a-d-e-w-a?" tanya Lisa. Ia tetap belum bisa dengan benar mengucapkan "Cidewa".
"Terakhir aku bertemu dengannya pada semester 6. Kami bertemu di tempat kos seorang kawan. Kami masih sempat berdiskusi dan mengobrol mengenai banyak hal: dari cerita-cerita lucu di pesantren sampai diskusi Nietzsche yang waktu itu sedang benar-benar kusukai."
"Wow, Nietzsche, kau membacanya? Luar biasa. Pasti karena sedang puber intelektual," potong Lisa setengah mengejek.
"Saat pertemuan terakhir itu, aku merasa K sedikit berbeda dari K yang sebelumnya kukenal. Namun, aku menganggap wajar saja. Perbedaan pandangan ketika kami berdiskusi cukup tajam. Tak hanya puber intelektual, aku sedang puber liberal. Saat itu, aku merasa semua yang Nietzcshean dan Foucaultian itu paling keren dan benar.
Aku sedang terpesona pada pemikiran Derrida dan Heidegger, menganggap studi Islam sebagai masa lalu yang perlu kupahami dengan perspektif baru. K, di satu sisi, mulai bergerak ke arah lain. Ia mengkritikku sebagai orang yang mulai terbaratkan, tidak lagi menghargai tradisi dan menganggap cukup pengetahuan tentang Islam yang baru seujung jari. Namun, karena kami terbiasa berbeda pandangan sejak di pesantren, diskusi terakhir itu pergi begitu saja dari memoriku."
Lisa mengerutkan dahi. Aku tahu ia tidak sepenuhnya menangkap apa yang kusampaikan. Aku khawatir ada konteks yang hilang. Jarak Santiago dan Cidewa terlalu jauh untuk dijembatani. Oleh karena itu, sebisa mungkin aku menerangkan.
"Ketika itu, K sudah tidak lagi sekampus denganku di Ciputat. Katanya, ia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Arab Saudi. Setelah pertemuan itu, aku kehilangan kontak. Begitu juga dengan kawan-kawan yang lain ...."
"Sampai aku membawakan berita ini kepadamu?" Lisa memotong ceritaku sambil bertanya.
"Benar. Sekitar 3 tahun lalu, aku sempat mendengar kabar tentangnya. Saat itu, aku masih tinggal di Ciputat. Ketika menonton berita, aku melihat sosok yang begitu akrab sedang duduk di persidangan. Wajahnya menunduk, tetapi aku tahu betul siapa ia. K, itu memang K. Tetapi, kenapa ia di sana? Ia disangka terlibat sebuah peledakan bom di Depok. Untuk meyakinkan apa yang kulihat di televisi, aku mencoba mencari tahu dari kawan-kawan yang lain. Aku juga mencari tahu dari internet. Ternyata betul, beberapa media menyebut namanya."
"Oh, menyedihkan!" Lisa berseru.
"Tetapi, aku tetap ragu. Seorang kawan pernah bilang bahwa K menjadi guru mengaji di sebuah pesantren kecil di Sumedang. Katanya, K tidak mungkin terlibat kegiatan radikal."
Lagi-lagi, jarak Santiago, Sumedang, dan Depok terlalu jauh. Di sela-sela ceritaku, aku terpaksa menjelaskan tempat Sumedang dan Depok berada.
"Aku merasa penasaran sejak saat itu. Aku bertanya kepada kawan-kawan Pesantren Cidewa tentang nasib K. Apakah benar apa yang kulihat di televisi? Apakah benar ia terlibat terorisme? Kau tahu jawabannya, Lisa? Selalu tidak jelas."
"Kenapa K bisa terlibat gerakan radikal?" Lisa mengejutkanku dengan pertanyaan menyelidik.
"Kenapa seorang kawan tiba-tiba hilang? Kenapa anak muda yang penuh cita-cita harus menjadi martir? Bagaimana kita bisa menjelaskan seorang ustaz yang santun, seorang tukang bunga sederhana, seorang tukang kunci, seorang dosen di perguruan tinggi, seorang pegawai hotel, tiba-tiba berubah menjadi mesin yang mematikan bagi orang lain, yang rela mengorbankan hidupnya demi sebuah keyakinan?" aku bertanya balik kepada Lisa.
"Ada banyak teori tentang itu, Lisa." Aku mencoba menjawab pertanyaanku sendiri.
"Ah, Mister Iip mulai lagi berteori," ejek Lisa. "Tetapi, aku suka. Go aheadl" katanya lagi.
"Deprivasi relatif, semacam kekecewaan terhadap realitas, mungkin sebuah jawaban. Mereka merasa apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Orang-orang yang terjerumus karena mereka tidak menemukan jalan normal untuk mencapai yang diharapkan. Intinya, semua ini karena kekecewaan"
"Ah, tetapi bukankah banyak sekali orang yang mengalami kekecewaan? Aku kecewa karena hanya bisa mempunyai rumah kecil di San Jose de Maipo, kota di pinggiran Santiago dan bukan rumah yang lebih baik di pusat kota. Buruh selalu kecewa karena uang gajinya sudah pasti habis sebelum pertengahan bulan. Petani selamanya kecewa karena nasibnya tidak kunjung berubah. Deprivasi saja tidak cukup, Mister Iip," Lisa menimpali.
Yang disampaikannya sepenuhnya betul.
"Oke, kita harus mencari alasan lain. Mungkin karena ideologi," jawabku.
"Mereka kecewa, merasa dunia yang dihadapinya sudah rusak, kafir, menyimpang, dan bukan dunia yang seharusnya. Lantas, datanglah para ideolog pencuci otak dengan pembawaan kalem dan berkarisma, melakukan pendekatan kepada mereka yang kecewa. Bicaranya rendah, tidak meledak-ledak. Bahasa Arab-nya fasih. Sang ideolog itu menerangkan ajaran bahwa setiap muslim wajib beramar makruf nahi mungkar untuk memperbaiki kondisi umat; harus hijrah; berjihad adalah kewajiban semua orang; pahala surga dan seribu bidadari menanti bagi siapa pun yang mati sebagai syuhada; pemerintah, mulai dari presiden sampai ketua RT adalah kaum kafir karena tidak mau menjalankan syariat; memerangi kafir itu sebuah keniscayaan. Sebagai tahap awal berjihad dan berhijrah, para ideolog pencuci otak ini akan meminta jemaahnya untuk membatasi pergaulan dengan sesama jemaah. Sebisa mungkin tetap baik dengan lingkungan sekitar, tetapi mereka hidup dalam sebuah gelembung udara: ada batas imajiner antara jemaah yang 'islami' dan lingkungan sekitar yang kafir."
"Kau seperti sedang memaparkan ulang teori Della Porta?" Lisa memotong.
Sial, perempuan ini cerdas luar biasa, batinku.
"Bukan sok tahu, tetapi riset untuk makalah kuliahku tentang itu, Pak K-a-y-u-i Iip!" Dengan lafal tidak jelas Lisa menyebutku kiai.
"Ya, kau benar, Senorita," jawabku. Kini giliranku memanggilnya senorita, sebutan untuk 'nona', dalam bahasa Spanyol.
"Della Porta menyebut proses ini sebagai spiral encapsulation. Seseorang seperti masuk dalam kapsul spiral yang ujungnya runcing. Ketika seseorang menjadi aktivis gerakan radikal, akan semakin eksklusif pergaulannya dan semakin sedikit jumlah kawannya. Jembatan yang menghubungkan antara dirinya dan masyarakat, tetangga, atau kawan harus dimusnahkan," lanjutku.
"Itulah mungkin alasan temanmu seperti menghilang. Ia membakar jembatan yang menghubungkan dirinya dengan orang-orang di sekitarnya," Lisa menimpali.
Di tengah obrolan yang semakin serius itu, jam besar di menara Stasiun Flinders berdentang tiga kali. Pertanda hari beranjak sore. Seperti biasa, aku harus ke Pasar Victoria untuk bekerja sebagai kuli. Saatnya berpamitan dan berpisah dengan Lisa.
Lisa pulang ke Camberwell, sementara aku bergegas ke pasar.
Dalam perjalanan ke pasar, aku tak henti-henti memikirkan K.
Hidup adalah kesunyian nasib masing-masing! Siapa yang menyangka K pernah bercifa-cita jadi artis sinetron? Siapa yang menyangka pula ia akan menjadi buronan polisi? Siapa yang menyangka seorang kawan yang selalu berprestasi, punya bakat yang hebat sebagai pemimpin, tiba-tiba terlibat organisasi radikal?
Siapa yang menyangka Andrea Hirata akan mendarat di Eropa, menyusuri kanal-kanal di Venesia, menikmati senang dan menantangnya belajar di Eropa, sementara Lintang yang cemerlang tetap mondar-mandir di Belitong dengan truk pengangkut pasir?
Seorang kawan dekatku harus menghemat waktu tidur malam demi menjaga warung kopinya. Seorang kawan yang lain sedang bergulat dengan arsip-arsip kuno di sudut Kota Kairo. Sementara aku, sedang bergulat menjalani hidup di Melbourne.
Seperti Hirata dan Lintang, dulu aku dan K sekolah bersama-sama. Belajar di sebuah tempat yang sama, dengan guru yang sama, di lingkungan yang sama. Namun, nasib yang sunyi menyeretku ke sini dan K ke arah lain. Ah ... hidup. Hidup akan terus berjalan. Mungkin kelak K akan jadi presiden sedangkan aku pulang kampung jadi petani. Mungkin kawanku yang setiap malam begadang menjaga warungnya, 20 tahun lagi sudah menjadi pengusaha sukses. Siapa yang tahu.
Hidup mengalir ke arah yang tak terduga sebelumnya. Chairil Anwar menggambarkan semua ini dengan sebuah kalimat indah, "Hidup adalah kesunyian nasib masing-masing". Aku ingin menambahkan, "Hidup adalah kesetiaan pada proses". Manusia tidak boleh ditaklukkan oleh nasib! Usaha dan keuletan bisa mengalahkan jalan Tuhan!


Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika, ajaran para filsuf eksistensialis terngiang di telingaku. Setiap manusia adalah mahluk unik, kata mereka. Tak ada satu pun wajah yang sama, tak ada satu pun sidik jari yang serupa. Kepribadian masing-masing orang pun tidak ada yang sepenuhnya identik. Manusia ini adalah makhluk yang "menjadi", to be. Iip bukanlah Iip, melainkan ia meng-Iip. Artinya, terus-menerus berproses menjadi Iip. Identitasnya senantiasa diperbarui. Setiap kita, K, Udin, Lintang, dan semua manusia adalah mahluk yang akan terus menjadi, berproses dan berubah. Berubah adalah esensi manusia. Tidak ada gambaran utuh K karena K akan senantiasa bermetamorfosis, berubah menjadi.
Itu adalah hakikat dasar manusia. Sebelum anakku lahir, aku sama sekali tidak punya gambaran seperti apakah ia. Mungkin wajahnya merupakan gabungan wajahku dengan wajah istriku. Bukan wajah tetangga atau wajah Lisa. Namun, aku sama sekali tidak akan tahu siapa anakku sampai ia lahir, berproses, dan satu per satu mengumpulkan kecakapan membangun ke-diri-annya.
Itulah yang membedakan antara anakku dan kursi indah dari Jepara. Sebelum sebuah kursi "lahir" ke dunia, si pengrajin sudah memperoleh gambaran dan pengetahuan utuh tentang kursi yang ingin dilahirkannya. Kalau aku menulis kata "botol" atau "kursi", di benak kita pasti akan ada sebuah gambaran umum. Namun, jika aku menulis "Lisa" atau "Firman", setiap orang akan memiliki gambaran berbeda. "Manusia adalah makhluk yang eksistensinya ada mendahului esensinya, sedangkan esensi benda ada sebelum menjelma dalam kenyataan," begitu kata para filsuf eksistensialis.
Itulah kenapa hidup kadang terasa sunyi. Manusia akan menapaki jalur hidupnya masing-masing. Dalam keheningan, hakikat manusia akan terus menjadi dan berubah karena manusia bukan benda. Semoga semuanya akan berubah ke arah yang lebih baik, bergerak ke pendulum kedewasaan dan kebijaksanaan.
Akan tetapi, ingat, hidup adalah kesetiaan kita pada proses. Kita tidak boleh ditaklukkan nasib! Usaha dan keuletan bisa mengalahkan jalan Tuhan!
*** Terra Nullius ADA BAIKNYA kutipkan di sini renunganku yang sedikit sentimental yang kucatat dalam buku catatan harianku setelah mengikuti perkuliahan dengan Profesor Elizabeth. Sebuah renungan yang bisa jadi terlalu berlebihan:
Di Jazirah Australia, gagak berteriak tiap hari. Bukan teriakan yang menandakan kematian pada masa kini, bukan pula pertanda petaka. Teriakan gagak-gagak itu menandakan kematian pada masa silam. Mereka menangisi darah penduduk asli yang dulu tumpah hampir setiap hari. Mereka menangisi kepergian orang-orang Aborigin dari tanah mereka sendiri.
Mungkin gagak-gagak itu adalah reinkarnasi arwah orang-orang yang oleh pendatang kulit putih Eropa dulu tidak dianggap sebagai manusia sempurna. Ketika James Cook kali pertama menjangkarkan kapal pada 19 April 1770, orang Aborigin telah menghuni tanah ini ribuan tahun sebelumnya. Sayangnya, James Cook dan orang-orang yang datang setelahnya, tidak menganggap tanah ini berpenghuni. Mereka menggunakan doktrin hukum yang berlaku sejak zaman Romawi untuk menduduki tanah ini. Terra nullius! Artinya, 'tanah tak bertuan'. Siapa pun yang kali pertama menemukan dan menancapkan bendera di atas tanah tak bertuan akan menjadi pemilik sah. Dulu, ketika orang-orang Inggris datang, menurut mereka tanah ini adalah daerah tak berpenghuni!
Doktrin itu hingga saat ini menjadi doktrin utama di negeri ini. Beberapa puluh tahun silam, terra nullius dipakai untuk melegalisasi pengambilan lahan, bahkan pengambilan nyawa para penduduk asli. Nasib orang-orang Aborigin itu sama dengan nasib orang-orang Indian di Amerika yang terusir dari tanah mereka. Benua Eropa terlalu sempit untuk menampung penduduk yang beranak pinak. Karenanya mereka membutuhkan wilayah baru untuk mengembangkan peradaban. Mereka berlayar membawa serta semuanya: manusia, peradaban, hukum, sistem ketatanegaraan, bahkan mata uang. Jadilah Inggris baru, di tanah baru. Di belahan bumi barat jadilah Amerika, sementara di timur, Australia.
Lantas, ke mana orang-orang asli yang terusir dari tanah ini? Pertanyaan itu selalu saja menggangguku. Aku bertemu dengan mahasiswa dari seluruh dunia: Mozambik, Fiji, Vanuatu, Papua Nugini, Brasil, Portugal, Amerika, Cile, Argentina, Vietnam, Jerman, dan banyak lagi. Namun, kenapa tidak satu pun mahasiswa yang berasal dari penduduk asli tanah ini? Tak satu pun. Di kampusku, jelas terlihat ada pusat studi Aborigin yang terletak persis di samping gedung Fakultas Hukum di Jalan Barry. Namun, sulit sekali mencari seorang Aborigin di kampus.
Peradaban Aborigin beserta orang-orangnya di sini hanya menjadi hiasan semata. Kaus bersablon dengan motif Aborigin menjadi oleh-oleh khas Australia. Lukisan-lukisan Aborigin digantung di dinding kampusku. Perkakasnya disimpan di galeri dan museum. Namun, orang-orangnya "diamankan" di pedalaman, hidup bergerombol di pinggiran pedesaan atau di padang pasir. Mereka nyaris tak tersentuh peradaban modern. Semakin mereka terpinggirkan, kadang aku khawatir Aborigin hanya akan tersisa dalam literatur dan museum.
Lihat saja contohnya. Orang Aborigin di negara bagian Tasmania sudah lama punah. Sebelum 1803, penduduk Aborigin di Tasmania bisa dengan leluasa menanam ubi kentang di tanah mereka. Namun, setelah orang-orang kulit putih datang, mereka tersingkir. Pada 1833, selang tiga puluh tahun setelah kolonialisme kulit putih, penduduk Aborigin di Tasmania hanya tersisa ratusan orang, sementara ribuan lainnya menjadi korban. Pada 1869, Tasmania sepenuhnya bersih dari orang-orang Aborigin.
Memang, segelintir orang Aborigin masih tersisa di daratan Australia, hidup tersingkir di wilayah gurun pasir. Namun, keberadaan mereka hampir punah di kota-kota. Kota ini dihuni oleh hampir semua jenis ras: kulit putih Eropa, kuning langsat Asia, sawo matang Melayu, sampai hitam Afrika. Namun, sulit menemukan seorang Aborigin.
Ketika kali pertama tiba di Australia, aku disambut dengan hangat oleh seorang petugas yang mewakili pemerintah. Petugas itu berkata bahwa aku dan 300 orang mahasiswa dari seluruh dunia yang datang pada saat itu adalah pelengkap keberagaman kota ini. Namun, sejak hari pertama menginjakkan kaki di sini, hatiku tak henti-henti berkata: tak sempurna keindahan Kota Melbourne sampai aku bertemu seorang Aborigin. Dan, hari itu tiba.
Setelah sekian lama berada di Melbourne, akhirnya aku mendapat kesempatan untuk melihat seorang Aborigin. Ia keluar dari Pasar Brunswick dengan tergesa-gesa untuk mengejar trem yang hampir melaju. Lelaki itu memakai jin biru yang kusut. Kemeja kotak-kotak hijau tua yang dipakainya juga sudah kumal. Janggut di dagunya terlihat memutih dan berantakan. Entah sengaja atau tidak, topi yang ia kenakan menutupi separuh wajahnya. Ia duduk persis di depanku.
Lelaki itu tersenyum. Setelah itu hening. Hanya ada deru mesin trem. Sesekali, bel berbunyi untuk memberi tahu masinis ada penumpang yang hendak turun di halte depan. Mataku hanya sekali memandang matanya. Selebihnya, aku sapukan pandangan ke plang pertokoan di sepanjang Sydney Road: clearance sale, Chinese Shop, Vietnamese Restaurant, Chemist Shop, dan entah apa lagi. Mataku memandang ke luar, tetapi pikiranku tertuju pada lelaki yang duduk di hadapanku. Bagiku, ia adalah sosok yang melengkapi klaim indahnya keberagaman yang selalu didengung-dengungkan Pemerintah Kota Victoria.
Awalnya, aku diberondong pertanyaan: apa betul lelaki ini adalah orang Aborigin? Jangan-jangan ia adalah mahasiswa asal Papua atau Papua Nugini. Suku Aborigin, Papua, dan Maori di Selandia Baru berasal dari satu nenek moyang dan memiliki banyak kemiripan. Seperti halnya orang Jawa yang mirip dengan orang Malaysia dan Filipina karena berasal dari satu rumpun. Namun, entah mengapa, aku yakin lelaki yang duduk di hadapanku adalah penduduk asli benua ini. Namun, mengapa mereka begitu sulit ditemui? Kenapa eksistensi mereka seolah-olah hilang ditelan bumi?
Pertanyaan ini perlahan tersingkap ketika aku mulai masuk kelas di Fakultas Hukum. Gedung yang indah dengan arsitektur kubisme pascamodern, taman yang luas, perpustakaan ideal, dan dosen-dosen yang keren. Fasilitas yang aku dapatkan hampir tanpa batas. Dunia ada di ujung jari. Aku cukup menggerakkan telunjuk untuk menekan tombol "enter" maka seketika seluruh dunia akan terbuka. Dari kampusku, aku bisa masuk ke situs-situs mana pun dengan kecepatan akses yang luar biasa. Di sini, hanya butuh waktu dua detik untuk mengunduh satu jurnal bagus dari situs di Amerika. Aku juga bisa nonton live streaming konser grup band U2 lewat YouTube dengan koneksi internet yang lancar. Beragam buku juga tersedia. Aku tinggal mengecek di situs perpustakaan kampus apakah buku yang ingin kubaca tersedia. Jika buku yang kuinginkan tidak ada karena perpustakaan tidak memiliki koleksi buku yang dimaksud, asal tahu judul buku dan penerbitnya, pihak kampus akan mencarikan. Fasilitas super lengkap inilah yang justru membuka sisi gelap kota yang kucintai.
Sisi gelap kota ini mulai terlihat saat aku mengikuti mata kuliah Dasar-Dasar Hukum Inggris atau Common Law. Mata kuliah membosankan ini wajib diambil oleh mahasiswa international yang berasal dari negara yang menerapkan sistem hukum Eropa Daratan. Indonesia mewarisi hukum Eropa Daratan dari Belanda. Australia mengadopsi hukum Inggris, atau Eropa Seberang-Lautan, karena Australia adalah negara bekas jajahan Inggris. Orang-orang Inggris tidak hanya memindahkan sebagian penduduknya ke sini, tetapi juga membawa serta peranti hukum dan struktur pemerintahan.
Bagiku, meskipun membosankan, mata kuliah tersebut benar-benar bermanfaat. Dengan mempelajari dasar-dasar hukum Inggris, terbukalah peradaban dan masa lalu kota ini. Bukankah hukum adalah cerminan paling jelas dari peradaban? Ukuran beradab atau tidak suatu bangsa dapat dilihat dari tegak atau tidaknya hukum. Lewat koridor hukum, sendi-sendi kehidupan politik, budaya, ekonomi, sistem keluarga, dan hubungan sosial masyarakat jelas terlihat. Profesor Elizabeth yang mengampu Common Law, setiap Rabu sore menjelaskan satu demi satu proses dasar-dasar hukum negara Inggris dibuat.
Sejarah hukum Australia sebenarnya tidak terlalu menarik bagiku. Perhatianku tercurah pada pertanyaan yang sudah muncul ketika aku belajar di pesantren di Karangtawang, terutama setelah Kang Hafid, sang alumnus yang menjadi inspiratorku, berbicara tentang Sydney dan Australia. Tentang peradaban Barat yang maju. Tentang orang-orang bule yang berada di selatan, tak jauh dari Indonesia, bukan di negeri Barat.
Waktu itu, aku berpikir, kenapa bisa ada orang bule yang hidup di dekat Cidewa? Dalam bayanganku ketika itu, Australia hanya sepelemparan batu dari Ciamis. Namun, mereka berbeda dan bukan bagian dari dunia Timur. Australia adalah Barat yang dihuni orang-orang kulit putih, tetapi bertempat tinggal di seberang Ciamis. Australia seperti benua yang terasing di tengah kehangatan orang kulit berwarna Asia. Kenapa bisa begitu?
Orang-orang Inggris datang ke Australia belumlah terlalu lama. Jauh sebelum Inggris, nelayan Bugis dan Ambon berlayar ke Australia untuk berburu teripang dan menangkap ikan. Namun, mereka tidak pernah tinggal dan menetap. Tanah Australia yang gersang dan tandus bukanlah apa-apa dibanding tanah Nusantara yang subur. Para nelayan itu hanya datang sebentar, lalu kembali ke kampung halaman. Bahkan, sampai sekarang, orang-orang di Kabupaten Saum-laki, pulau di tengah Laut Arafuru, Maluku Selatan, masih memiliki tradisi berlayar ke selatan, ke arah Darwin di Australia Utara, sekali setiap tahun.
Baru ketika orang-orang Inggris datang, satu per satu batu bata kehidupan menggeliat di benua ini. Inggris menemukan Australia secara tidak sengaja. Saat itu, Inggris sedang mencari tempat untuk penjara. Mereka mengikuti jalur pelayaran yang pernah ditempuh pelaut Belanda, Abel Tasman, yang menemukan Tasmania. Biasanya, para pesakitan dari Inggris dibuang ke Amerika. Namun, tanah di seberang Atlantik itu tidak lagi mau menjadi tempat buangan, bahkan Amerika membelot dari kekuasaan Inggris dan menyatakan merdeka pada 1776. Bagi Inggris, menemukan Australia bagaikan menemukan harta karun yang terpendam. Selain sangat luas, benua ini juga jauh dari Eropa. Cocok untuk tempat pembuangan. Kalau di Indonesia mirip pulau Buru atau Nusakambangan. Orang Inggris yang awal-awal menghuni benua ini adalah narapidana dan petugas militer yang memantau para tahanan. Sesekali, pelancong dari Inggris juga datang untuk berlibur atau berkunjung.
Setelah emas ditemukan di daerah Ballarat, Melbourne, dan beberapa tempat lain, barulah benua yang awalnya senyap menjadi ramai. Gelombang orang-orang yang ingin berburu emas berdatangan. Cerita ini mirip dengan yang terjadi di Amerika. Beberapa tahun setelah Columbus datang ke benua itu, pertambangan emas ditemukan. Dalam sekejap, Amerika diserbu orang-orang yang ingin mengadu nasib. Spanyol menjadi kaya mendadak karena emas dari Amerika. Ketika orang Spanyol mulai banyak berdatangan, penduduk lokal mulai merasa terganggu. Orang-orang Indian, penduduk asli Amerika, mulai terlibat cekcok dengan para pedatang. Sesekali, pertikaian dan perang terjadi. Untuk mengamankan aset, Spanyol mengirimkan tentara dan pasukan perang. Dari sanalah kolonialisasi bermula.
Sejarah terus berulang. Orang-orang Eropa terus mencari tanah baru. Tanah baru, saat itu, berarti hidup baru. Dari tanah baru, mereka mengangkut emas, rempah-rempah, budak belian, dan sebagainya. Pada saatnya, orang-orang Inggris itu berdatangan ke Australia, menempuh ribuan mil selama berbulan-bulan di dalam kapal. Semua itu tak masalah. Di sini, mereka bisa mendulang emas. Seperti juga di Amerika, para pendatang menyebabkan masalah bagi penduduk asli benua ini.
Ketika Inggris datang, tanah ini dianggap sebagai tanah tak bertuan. Karenanya, siapa pun yang menemukannya berhak menjadi pemiliknya. Orang Bugis mungkin datang lebih dulu ketimbang orang Inggris. Namun, orang Bugis melupakan satu hal: hak paten. Hak paten itu berupa hukum. Orang Eropa selalu datang ke tanah baru dan menancapkan bendera beserta stempel paten sebuah doktrin: terra nullius.
Bukankah orang Aborigin sudah ada di Australia sejak ribuan tahun yang lalu? Sama seperti orang Indian sudah menghuni Amerika jauh-jauh hari sebelum Eropa datang. Masalahnya, bagi orang Eropa, orang Indian dan Aborigin tidak cukup beradab untuk mengurus dan mengklaim tanah yang luas ini. Mereka hidup nomaden, dengan pakaian primitif dan perkakas batu, hidup di gua-gua atau gubuk-gubuk. Lebih lagi, penduduk asli dianggap tidak memiliki peranti hukum untuk melindungi hak milik mereka. Tentu saja, dasar pemikiran ini adalah hukum kaum borjuasi Eropa.
Di sisi lain, orang-orang Aborigin tidak terima dianggap tidak beradab. Mereka sudah mempunyai hukum, pranata sosial, dan cara-cara tersendiri untuk mengatur hak milik. Mereka juga mempunyai peradaban sendiri. Mereka sudah menghuni pinggiran Sungai Yarra dan sudut-sudut tempat di benua ini selama ribuan tahun dan mengenal tanah adat suci yang tidak boleh dijamah.
'Ala kulli hal, peradaban Inggris dan Aborigin seperti langit dan bumi. Yang satu sudah menguasai dunia, yang lain baru mengenalnya. Jika ada dua kepentingan yang bertentangan, pihak yang memiliki kekuatan terbesar akan menang. Orang Aborigin tak bisa menghalangi kedatangan orang-orang putih ke tanah ini, terutama karena Inggris datang membawa bedil.
Di daerah sekitar Queensland, juga di seluruh daratan benua ini, orang-orang Aborigin mulai menjadi korban. Mereka dijadikan budak-budak yang dipaksa bekerja di perkebunan-perkebuan milik orang kulit putih. Di Tasmania, sebagaimana kuceritakan sebelumnya, kisah yang lebih mengerikan terjadi.
Orang-orang Aborigin, yang merupakan bagian dari bangsa Polinesia, oleh bendara-bendara bule sering disebut gagak. Dalam kamus bahasa Inggris, dikenal istilah black-birding yang berarti 'penculikan orang-orang negro, atau bangsa Polinesia untuk dijadikan budak dan dijual'. Para bendara kulit putih dulu menggunakan istilah "berburu gagak" jika hendak mendapatkan budak kulit hitam Polinesia. Orang-orang kulit hitam itu dulu diburu untuk dikumpulkan di suatu tempat sebelum kemudian dijadikan budak di perkebunan gula dan kapas. Mereka yang dijadikan budak biasa disebut kanakas, berasal dari bahasa Polinesia-Hawaii yang berarti 'manusia'. Namun, makna kata itu telah turun derajat menjadi 'manusia yang dijadikan budak'.
Blackbird sendiri sebenarnya adalah nama sejenis burung dari genus Icteridae atau Turdus merula, orang-orang di Pasifik menyebutnya sebagai burung Merle. Burung jantan jenis ini biasanya berbulu hitam dan berpelatuk kuning. Burung ini diburu untuk dijadikan binatang peliharaan karena bulunya yang indah dan kicauannya yang merdu seperti suara nyanyian.
Blackbirding marak berlangsung di Australia terutama pada 1847 sampai 1904. Baru pada pertengahan abad ke-19, perbudakan secara formal dilarang. Usaha pertama Pemerintah Queensland mengurangi perburuan orang kulit hitam dimulai pada 1868 dengan keluarnya Undang-Undang Buruh Polinesia. Undang-undang ini mengatur proses perbudakan agar lebih manusiawi. Secara teoretis, budak-budak itu kemudian dianggap sebagai buruh, yang dapat bekerja atas nama kebebasan dirinya. Mereka bisa mendapat lisensi untuk bekerja di perkebunan gula dan kapas bendara-bendara bule. Lisensi itu aku sebut dengan SIM (Surat Izin Membudak) karena peraturan ini, toh, sama sekali tidak mengurangi proses blackbirding di Selat Toress yang membentang di antara Queensland dan Papua.
Karena tidak efektifnya Peraturan Pemerintah Queensland itu, Pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan baru: Undang-Undang Perlindungan Penduduk Pasifik yang sering disebut juga dengan Undang-Undang Anti-Penculikan karena tujuannya memang untuk mencegah penculikan dan perburuan bangsa Polinesia.
Perburuan orang kulit hitam menurun secara drastis setelah pada 1904 Pemerintah Persemakmuran Australia mengeluarkan peraturan untuk memulangkan semua orang kulit hitam dari perkebunan-perkebunan di Queensland ke tempat asalnya, di pulau-pulau kecil di Selat Toress. Mereka dikirim kembali ke Pulau Murray, Warrabey, Masig, Coconut, Badu, Mabuiag, Dauian, dan pulau-pulau lain di selatan dan timur Papua.
"Aku kagum pada keberagaman Kota Melbourne. Aku juga kagum pada keberagaman di kampus ini. Tetapi, di mana di kampus ini aku bisa bertemu kawan-kawan mahasiswa dari suku Aborigin? Mereka penduduk pribumi, tetapi kenapa tidak seorang pun kutemukan di perpustakaan mewah di kampus kita atau duduk-duduk di taman hijau di depan kampus?" curhatku kepada Lisa. Saat itu, kami sedang duduk santai di halaman perpustakaan.
"Mungkin kalau kuliah di daerah Australia Barat atau di Darwin, kau akan banyak bertemu penduduk asli. Di Melbourne, sulit sekali menemukan anak muda Aborigin duduk mendengarkan kuliah hukum dan bergabung dalam diskusi," jawab Lisa. Raut wajah perempuan itu terlihat tidak ceria seperti biasanya. Mungkin ia sedang capek.
"Aku membayangkan reaksi mereka ketika mendengarkan ceramah hukum Profesor Elizabeth. Bisa jadi mereka memiliki cara pandang berbeda yang akan membuat diskusi di kelas semakin hangat."
"Sejauh ini, itu hanya lamunan, Ip" Lisa memotong. "Selama kuliah di sini, tak sekali pun aku berjumpa mahasiswa Aborigin. Mungkin bukan karena tidak ada. Bisa saja ada yang kuliah di sini dan aku hanya belum pernah bertemu saja," cerocos Lisa
"Ya, memang. Baru tiga kali aku bertemu mereka langsung di luar kampus. Kali pertama di trem. Kemudian, di Pasar Victoria melihat mereka berbelanja. Terakhir, ketika aku jalan-jalan ke tepi Sungai Yarra. Mereka sedang mengamen dengan meniup didjeridu atau yidaki, alat musik tradisional Aborigin," lanjutnya.
"Aku hanya pernah bertemu sekali. Ia naik trem dari Pasar Brunswick, lantas duduk persis di hadapanku," timpalku. "Kuliah Profesor Elizabeth membuka mataku akan sisi gelap kota ini, Lisa. Aku jadi menemukan hal-hal menyedihkan di balik keindahan kota ini."
"Tetapi, bukankah setiap peradaban memiliki dua sisi? Selalu ada sisi gelap dalam gemerlap peradaban. Dan, itu terjadi di mana-mana, Ip!" seru Lisa dengan nada agak tinggi.
"Jalan-jalan luas membentang. Trotoar untuk pejalan kali ditata rapi. Taman-taman kota hijau di setiap sudut, lengkap dengan area bermain untuk anak-anak. Sepanjang Sungai Yarra yang indah itu hanya ada gedung-gedung mewah dan kafe-kafe. Daerah perkantoran terpisah dengan daerah tempat penduduk kota ini tinggal. Tetapi, semua ini menyembunyikan sesuatu. Sebuah masa lalu yang kelam," sahutku tanpa peduli pendapatnya barusan.
"Ayolah, Ip, kenapa kau jadi melankolis?" ujar Lisa yang mulai jengah mendengar omonganku.
"Aku membayangkan tempat ini dulunya tanah lapang kosong, kemudian datang peradaban Eropa yang membuat kota dengan tata ruang modern. Orang-orang Aborigin yang ada di sekitar sungai yang indah itu dipaksa menyingkir, atau disingkirkan, demi tata ruang kota. Melbourne yang seindah ini tidak muncul secara alamiah, tetapi dibuat dengan mengorbankan eksistensi penduduk asli," aku melanjutkan tanpa peduli protes Lisa.
"Tetapi, bagaimanapun, aku tetap mencintai kota ini. Masa lalu tinggallah masa lalu. Toh, ada banyak usaha yang dilakukan Pemerintah Australia untuk memperbaiki kesalahan pada masa lalu," pungkasku.
"Yang paling monumental adalah ketika Perdana Menteri Kevin Rudd secara resmi, atas nama negara, pemerintah dan rakyat kulit putih Australia meminta maaf kepada suku Aborigin," Lisa menambahkan.
"Betul, Lisa." "Bendera Australia sekarang berkibar berdampingan sama tinggi dengan bendera Aborigin."
Maka, damailah untuk semua!
*** Bersepeda Cuci Mata WAKTU BERJALAN cepat sekali. Tak terasa, musim panas sudah tiba. Udara dingin yang terasa menyiksa, terutama pada pagi hari, sudah pergi. Penghangat ruangan di apartemen juga sudah tidak pernah dipakai karena udara sudah cukup hangat. Fajar menyingsing lebih pagi dan malam datang selalu terlambat. Padahal, ketika musim dingin, pukul lima sore langit sudah meremang, sedangkan pukul tujuh pagi masih terasa dingin dan gelap. Sekarang, fajar sudah datang pukul lima pagi dan gelap baru menyergap lewat pukul delapan malam.
Musim panas selalu penuh dengan sukacita. Di Melbourne, musim panas berarti musim festival.
Bagiku, musim panas adalah musim bersepeda. Selama ini, udara musim dingin kerap memaksaku membiarkan sepeda teronggok di bawah tangga apartemen. Hanya sesekali saja dipakai untuk pergi bekerja. Itu pun jika cuaca tidak terlalu ekstrem. Namun, kehangatan musim panas terlalu sayang jika disia-siakan. Jalur sepeda yang luas, jalanan yang tanpa polusi, panorama kota yang indah, dan kamera yang bagus membuat bersepeda di Melbourne selalu menyenangkan.
Sepeda yang kumiliki kubeli dari pasar online, eBay. Sebuah sepeda balap biru tahun 1980-an biru dengan sepuluh transmisi. Aku membeli sepeda itu seharga 70 dolar. Daren, si penjual, bilang bahwa ia menjual dengan harga murah karena sedang butuh uang. Ia baru di-PHK dua minggu sebelumnya karena krisis keuangan yang melanda dunia.
Minggu pagi itu, aku berjanji untuk bersepeda bersama teman-temanku, Lisa dan Dimas, sambil berkeliling Kota
Melbourne untuk mengisi hari libur. Lisa akan menjemputku di apartemen karena ingin sekalian bertemu istriku dan menengok Amartya. Dari tempat tinggalnya di daerah Camberwell, ia harus naik kereta dua kali, transit di Stasiun Pusat Kota, lalu pindah kereta ke arah Coburg dan turun di Stasiun Anstey. Dari sana ia mengayuh sepeda sampai ke apartemenku. Di Melbourne, sepeda hanya bisa diangkut menggunakan kereta, tidak bisa dengan bus atau trem.
Istriku sudah mengenal Lisa sejak acara perkenalan mahasiswa internasional. Setelah itu, beberapa kali mereka bertemu. Ketika Amartya lahir, Lisa menjenguk kami di rumah sakit dan membawakan bingkisan. Jadi, kunjungan ini bukanlah yang pertama. Dan, istriku tidak pernah cemburu kepadanya.
Lisa membawa kebab untuk kami bertiga sebagai oleh-oleh. Saat aku membuatkan teh di dapur, istriku mengajak Lisa berbincang dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Sekadar basa-basi atas nama kesopanan. Aku mencuri pandang ke arah mereka. Sebuah lukisan kusam menjadi saksi bisu dua orang perempuan dari belahan bumi yang berjauhan bercakap-cakap. Perempuan itu memancarkan aura yang berbeda. Lisa adalah seorang perempuan yang penuh percaya diri, cerdas, dan mudah bergaul. Sementara itu, istriku adalah perempuan yang anggun dengan kecantikan khas mojang Priangan, keibuan, dan sangat pengertian. Ah, aku bukan maharaja yang bisa memiliki mereka semua. Aku hanya orang kampung biasa yang sudah mejatuhkan pilihan hidup kepadanya. Kepada istriku.
Tak berapa lama, aku dan Lisa berpamitan untuk pergi bersepeda. Aku bilang kepada istriku bahwa Dimas akan bergabung dengan kami di Taman Princes di dekat kampus. Padahal, Dimas baru saja mengirim pesan bahwa dia belum tentu ikut bersepeda karena ada urusan. Aku tak mengatakan itu kepada istriku agar ia tidak terlalu khawatir aku berduaan saja dengan Lisa.
Istriku mengiyakan. Ia selalu mengizinkan aku memiliki me-time, waktu untuk menyenangkan diriku sendiri, lepas dari rutinitas dan hiruk pikuk sehari-hari. Mungkin ia kasihan kepadaku yang setiap hari sibuk memasak dan menulis, bolak-balik dapur dan perpustakaan, di samping bekerja di pasar. Maka, tak ada salahnya jika sesekali aku berlibur dan bersantai. Namun, aku tahu hatinya tak sepenuhnya mengizinkan. Istri siapa yang tak khawatir suaminya pergi berdua, apalagi dengan seorang perempuan cantik sekalipun itu teman. Aku memahami apa yang terpancar dari bola mata istriku ketika ia tersenyum melepas kami. Tatapannya menjadi ucapan dan perintah agar aku menjaga diri. Tatapannya adalah permintaan tulus agar suaminya kembali dengan hati utuh tak bercabang.
Sebelum pergi, aku berpesan agar istriku segera menelepon jika Amartya rewel. Istriku mengangguk.
Sepeda kami meluncur menelusuri Sydney Road melalui deretan pertokoan di sepanjang jalan itu. Jalanan tidak terlalu ramai. Udara sedang bersahabat. Tidak terlampau panas, juga tidak membuat tubuh menggigil seperti saat musim dingin. Selepas melewati supermarket Indonesia, kami pindah ke jalur khusus sepeda di sepanjang Taman Princes. Jalur itu melingkar mengelilingi hamparan rumput hijau dan pepohonan rindang. Beberapa orang sedang asyik joging sambil mendengarkan musik lewat earphone. Seorang ibu tengah baya terlihat tengah berjalan santai, sementara anak muda di seberang sibuk bermain dengan anjingnya.
Selepas taman itu, bangunan kampus Universitas Melbourne menyambut kami dari balik rimbun pepohonan. Sudah beberapa minggu ini aku pergi ke kampus dengan bersepeda. Sepeda sungguh alat transportasi menyenangkan, sehat, dan gratis. Kalau naik trem, aku harus mengeluarkan uang 7 dolar sehari dengan tiket bulanan seharga 110 dolar. Sementara, sepeda yang kubeli seharga 70 dolar ini bisa dipakai setidaknya 2 tahun.
Pagi itu, kami tak hendak ke kampus, tetapi meluncur menuju pusat kota. Selepas Pasar Victoria, kami berbelok ke kiri. Jika mengambil jalan lurus, kami akan melalui Jalan Elizabeth. Namun, jalan itu terlalu sempit dan ramai. Selain itu, sepanjang Jalan Elizabeth tidak ada jalur khusus sepeda. Karenanya, kami memilih berbelok ke kiri melewati Jalan Swanston. Selang beberapa blok, ada gereja dan perpustakaan kota. Dua bangunan tua yang selalu mengingatkanku pada masa lalu Kota Melbourne, sejarah kelamnya, dan pahit getir orang-orang menegakkan keindahan kota. Bangunan dengan arsitektur gotik yang menyimpan hitam-putih kisah masa lalu.
Kota Melbourne pagi itu indah sekali. Sejenak kami duduk di dekat Katedral St. Mary di Jalan Swanston sekadar untuk menikmati suasana kota yang ramai. Muda-mudi berkeliling kota menaiki delman model zaman Victoria. Mereka duduk di muka. Di pojok jalan, selepas pohon rindang di sudut dinding gereja, sepasang kekasih terlihat bermesraan. Perempuan berpakaian serbaminim berjemur di atas rumput hijau dekat kantor wali kota sambil bercengkerama atau sibuk membaca. Orang-orang berlalu-lalang. Musim panas menciptakan kemeriahan tersendiri.
Tak jauh dari sana, ke arah utara, di dekat Sungai Yarra, sebuah festival sedang digelar di alun-alun Federation Square. Festival Mumba namanya. Ke sanalah tujuan kami.
Ah, Sungai Yarra! Sungai itu selalu tampak cantik. Kala panas terik, airnya memantulkan bayangan kota. Saat langit berawan, arusnya terlihat lebih berwibawa. Di sepanjang tepian sungai itu, orang-orang berkumpul untuk bermacam tujuan. Kali ini, tujuannya adalah menghadiri festival musik. Kali yang lain pentas tenis dunia. Sebulan lalu, festival film tua. Setahun sekali Festival Indonesia.
Ada yang bilang Yarra berarti 'aliran'. Ada juga yang bilang artinya 'tempat berkumpul'. Konon, dulu orang-orang Aborigin bermukim di sepanjang sungai itu. Seperti lazimnya, sungai menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat tradisional. Ketika orang-orang dari Eropa datang dan mulai menempati daerah di sekitar Sungai Yarra, perlahan-lahan orang-orang Aborigin terdesak ke selatan dan barat, ke arah pedalaman. Kini, tak ada satu pun jejak peninggalan suku Aborigin di sana. Yang ada hanya bangunan tinggi, taman-taman, dan lapangan terbuka dengan tegel penuh motif tempat festival diadakan.
Bersepeda di sini membuatku merasakan kenyamanan yang sama dengan orang yang naik delman tua zaman Victoria, trem, atau mobil mewah pribadi. Bahkan, mungkin lebih menyenangkan. Aku bisa mengayuh sepeda sembari melihat detail kota, merasakan denyut nadinya.
"Sepanjang jalan, aku mengamati satu hal," ujarku kepada Lisa yang tengah duduk melepas lelah sambil meneguk air mineral.
"Apa yang kau amati, Ip?" sahut Lisa sambil mengelap bibirnya yang basah.
"Setidaknya, enam dari sepuluh perempuan yang kulihat di jalan berpakaian terbuka."
"So, what's the problem?" Lisa terlihat kaget dan tersinggung dengan ucapanku. Ia memakai kaus lengan panjang ketat.
"Jangan salah mengerti, oke?" aku segera memotong.
Bagiku yang sedari kecil diajari perihal betapa pentingnya menutup aurat perempuan, musim panas di Melbourne selalu penuh dilema: aku tahu itu aurat, tetapi masalahnya aurat itu ada di mana-mana. Ingin rasanya mengalihkan pandangan, tetapi ke mana pun mata memandang, aurat bertebaran. Tengok kanan ada, tengok kiri ada, jongkok lebih bahaya. "Apa yang bisa direnungkan dari cara perempuan di Melbourne berpakaian?" tanyaku meneruskan pembicaraan yang terpotong karena aku harus meneguk air putih. Musim panas membuat tenggorokan cepat kering.
"Bahkan, pada hari libur pun kau masih senang berteori. Kita sedang bersantai, bukan waktunya kuliah. Sudah, ayo kita lanjutkan bersepeda. Nikmati saja pemandangan di sekelilingmu!" seru Lisa.
Ia mengusap keringat yang mengalir sedikit deras di pelipisnya. Alisnya yang tebal seperti hutan tropis yang baru saja diguyur hujan.
"Aku melihat keseragaman cara berpakaian yang dibentuk oleh industri. Kalau musim dingin: orang berbondong-bondong memakai sepatu bot dengan hak tinggi, legging, dan baju ketat ditutup dengan jaket. Sementara, ketika musim panas, semua berpakaian serba-terbuka, kacamata hitam, dan topi," paparku tanpa menghiraukan protes Lisa.
"Bukan hanya itu, pakaian juga mencerminkan struktur budaya," Lisa selalu tertarik untuk menimpali diskusi meskipun awalnya menolak. Aku senang karena selalu bisa menjerumuskannya pada diskusi yang serius.
"Kau pasti sudah membaca Strategi Budaya yang ditulis Van Peursen, bukan?" Aku pura-pura bertanya. "Buku itu menjelaskan gambaran umum pergerakan kebudayaan Barat. Kata Van Peursen, gerak kebudayaan Barat bisa dibagi menjadi tiga tahapan: masa mitos atau masa purba, masa ontologis atau masa modern, dan masa fungsional atau masa pascamodern. Van Peursen membuat tiga contoh untuk melihat perubahan kebudayaan dalam setiap fase itu. Tiga hal itu adalah seks, penjelajahan, dan kematian. Tiga hal itu bisa menunjukkan proses perubahan budaya Barat," kataku panjang lebar.
"Ah, come on, Ip, ceramahmu terlalu berat. Besok saja kita lanjutkan di kampus," protes Lisa keberatan.
"Tetapi, kau tahu, Ip?" Lisa tiba-tiba bertanya. "Suatu ketika pada masa lalu, seks menjadi alat reproduksi manusia semata-mata." Rupanya, ia gatal ingin berkomentar. Sekali lagi, aku senang bisa menjerumuskannya ke dalam diskusi yang menurutnya terlalu berat.
"Pada masa itu, seks tabu dibicarakan orang-orang. Tubuh menjadi sakral dan penuh aura mistis, tidak boleh dipertontonkan. Kau tidak bakal melihat gadis-gadis berlalu-lalang dengan pakaian terbuka," Lisa menambahkan.
"Kini, seks dan tubuh benar-benar dinikmati dan dirayakan. Seks bukan lagi semata hanya untuk memproduksi keturunan. Seks memiliki tujuan pada dirinya sendiri, yaitu untuk kenikmatan," ujar Lisa. Obrolan dewasa yang terlalu pagi dibicarakan ini membuat suasana terasa canggung sejenak.
"Beberapa negara maju belakangan mengalami krisis karena penduduk usia produktif malas memiliki anak. Mereka berprinsip make love, not baby. Era yang kau ceritakan itu, Lisa, ketika seks menjadi hal yang tabu, terjadi pada masa Victoria," sahutku untuk mencairkan suasana.
"Tepat sekali, Ip. Dan, sekarang kita duduk di Negara Bagian Victoria," ujar Lisa setengah mengolok-olok. Kota Melbourne memang berada di Negara Bagian Victoria.
"Ketika seks dibatasi menjadi sebatas alat reproduksi, energi orang Barat tercurah pada hal lain: penjelajahan dan eksplorasi. Saat itu, orang juga menganggap kematian sebagai suatu hal mulia, bahkan merupakan keharusan sejarah. Bukankah risiko penjelajahan dunia baru adalah kematian?" Lisa menambahkan.
"Kau bisa melihat relief-relief yang ditemukan di gua-gua kuno. Di beberapa candi di negaraku, ditemukan relief kuno berbentuk alat reproduksi yang digambarkan dengan simbol lingga dan yoni. Bercinta adalah simbolisasi kesuburan. Pada masa ini, penjelajahan merupakan aktivitas yang tabu. Dunia di seberang ufuk adalah dunia para setan, dunia gelap yang tidak boleh dijamah," aku menimpali Lisa
"Kolonialisme muncul pertama-tama pada masa ontologis yang merupakan antitesis dari masa mitos. Fase ini ditandai dengan keberanian orang-orang Eropa mengarungi lautan gelap dan hitam, melawan setan-setan untuk menemukan dunia baru yang belum bernama. Columbus berlayar hingga ke Amerika dan Vasco da Gama ke India. Hasrat eksplorasi ini mendorong Eropa berkembang. Belajar dari para ahli navigasi Islam, seperti Ibnu Mayid, yang menuntun Vasco da Gama mencapai pantai India, Eropa terus berinovasi. Peta Al-Idrisi yang merupakan peninggalan umat Islam diperbaiki. Begitu juga dengan kompas sebagai alat navigasi. Pada saat itu, dunia baru adalah kehidupan yang menjanjikan: emas di Amerika yang mendatangkan kekayaan bagi Spanyol; rempah-rempah di Nusantara yang membawa kesejahteraan bagi Portugis dan Belanda. Dimulai pula revolusi industri dengan penemuan mesin uap yang mengawali penemuan-penemuan lain. Juga, penjelajahan bagian dunia yang lain, termasuk tanah yang sedang kita injak ini," ceramahku panjang lebar.
"Tunggu sebentar. Kau bilang orang-orang Spanyol dan Portugis itu datang ke Tanjung Harapan dan daratan Amerika karena dituntun orang-orang Islam? Kau serius, Ip?" tanya Lisa penasaran.
"Kau tahu kapan ekspedisi Columbus dimulai?" Aku bertanya.
"Ekspedisi itu dimulai pada 1493, setahun setelah istana megah Alhambra di Kota Granada, Spanyol, diserahkan oleh Boabdil ke tangan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand. Konon, sebelum memulai pelayaran, rombongan Columbus dijamu di istana yang dulunya menjadi kebanggaan umat Islam. Banyak yang percaya, ekspedisi menaklukkan lautan hanya mungkin dilakukan karena saat itu Spanyol memiliki teknologi navigasi paling canggih, juga ahli pembaca peta dan ahli perbintangan. Kau harus ingat, ekspedisi itu hanya berselang satu tahun dari kejatuhan Granada. Jadi, warisan Islam yang paling maju dan canggih pada masanya begitu saja dikuasai orang-orang Spanyol. Para sejarawan yakin bahwa sebagian anak buah kapal dan pembantu Columbus merupakan orang-orang Islam dan Yahudi. Mereka menguasai ilmu pelayaran karena mewarisi peta navigasi buatan Ibnu Mayid yang telah selesai menulis ensiklopedia navigasi pada 1490." Lisa terdiam, tampak terkejut mendengar informasi yang kusampaikan.
"Ayo, lanjutkan perjalanan, kita sudah beristirahat cukup lama," kata Lisa mencoba mengalihkan pembicaraan. Kami mengayuh lagi sepeda menyeberangi stasiun kereta Flinders, terus ke utara, ke arah jalan St. Kilda. Rerimbun pepohonan mengadang kami di depan. Sungai Yarra baru saja terlewati. Lisa tiba-tiba berbelok ke arah kiri, menelusuri jalur khusus sepeda beralas pasir. Aku tahu ia hendak ke mana. Aku mengikutinya dari belakang. Ia tidak ingin datang ke Festival Mumba, tempat yang awalnya ingin kami tuju.
Malapetaka Puncak Halimun 1 Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Panji Sakti 13

Cari Blog Ini