Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen Bagian 3
Sepuluh menit kemudian, kami tiba di Monumen Perang Dunia Kedua. Dari jauh, gedung itu terlihat mirip piramida: menjulang tinggi berbentuk segitiga abu-abu tua. Pohon cemara hijau tua berukuran seragam berbaris rapi.
Di halaman depan monumen, ada anak tangga yang menghubungkan gedung dengan lapangan luas yang di tengahnya terdapat lingkaran tempat obor api abadi dinyalakan. Di sekelilingnya, taman-taman rindang dan hijau membentang. Monumen itu dibuat untuk mengenang pahlawan perang Australia yang bergabung dengan Pasukan Sekutu untuk menghadapi Jepang dan Jerman. Sebagian besar pasukan Australia menjadi korban perang saat harus menghadapi Jepang di Pasifik. Di lingkaran api abadi, dibangun tembok berbentuk kubus bertuliskan nama kota dalam tinta emas. Beberapa kota tidak asing bagiku: Tarakan, Labuan, Borneo, Kupang, Jawa, dan lain-lain. Kota-kota itu menandai lokasi tempat para tentara Australia gugur melawan tentara Jepang.
Lisa meneguk air mineral sambil mengikat sepeda ke tiang penyangga. Aku mengikutinya dari belakang. Kulitnya yang putih berubah menjadi merah terbakar sinar matahari musim panas.
"Jangan-jangan, di darahku mengalir darah orang-orang Moors, Ip!" seru Lisa tiba-tiba mengungkit kami sebelumnya. "Sangat mungkin," jawabku.
"Hampir seribu tahun orang-orang muslim Moors menghuni Spanyol. Mereka telah kawin-mawin dengan orang-orang lokal dan beranak pinak. Kau pasti tahu bahwa penaklukan dunia oleh dinasti mana pun adalah penaklukan oleh laki-laki. Laki-laki yang jadi tentara meninggalkan tanah kelahirannya dan sebagian tidak kembali karena menikahi perempuan lokal untuk dua alasan: biologis dan politis. Dengan pernikahan, proses akulturasi dan penaklukan menjadi lebih cepat dan efektif," tandasku.
"Tiba-tiba, aku jadi gelisah dengan asal usulku," gumam Lisa. Matanya menatap jauh ke langit biru.
"Ah, jangan terlalu serius. Itu terjadi ratusan tahun yang lalu, Lisa. Tak ada hubungannya denganmu," sahutku.
"Nenek moyangku tiba di Santiago karena Columbus menemukan Amerika. Tanpa penemuan itu, mustahil aku menjadi orang Spanyol yang tinggal di daratan Amerika."
"Persis. Yang menarik, Spanyol, untuk waktu yang lumayan lama, menjadi negara penjelajah dan penjajah yang paling ditakuti. Spanyol adalah negara yang pertama-tama menguasai dunia dan menjadi kaya karena kolonialisasi. Bukan Inggris, Jerman, atau Prancis. Hanya Portugis yang bisa menyaingi Spanyol," aku menambahkan.
Lisa tampak tidak tertarik mendengarkan kata-kataku. Matanya masih menerawang. Seakan-akan menatap jauh ke masa lalu, menelusuri asal usulnya.
"Jangan-jangan nenek moyangku dulunya anak buah kapal Columbus atau ekspedisi-ekspedisi awal Spanyol ke Benua Amerika," kata Lisa. Aku tahu ia tidak sedang bercanda. Lisa lebih tertarik memikirkan asal usulnya, sementara aku lebih senang menelusuri sisa-sisa kejayaan Islam di tanah Spanyol.
"Aku harus ke sana. Ya, harus! Setidaknya untuk menjejaki tanah para leluhurku," gumam Lisa.
"Spanyol telah memiliki industri manufaktur wol sejak zaman khalifah Muslim berkuasa di sana. Hingga abad ke-16, Spanyol menjadi penguasa pasar wol dan sutra serta menjadi negara kaya di Eropa. Melihat keberhasilan Spanyol membangun industri, Belanda dan Venesia meniru. Belanda mengandalkan pengolahan ikan herring, sementara Venesia memonopoli industri garam. Berawal dari ikan dan garam, Belanda ataupun Venesia melangkah dengan membuka industri manufaktur lainnya."
Aku menyadari bahwa saat itu aku seperti berbicara pada angin. Lisa hanya menatapku dengan tatapan kosong. Mungkin ia bosan, tetapi aku terus berbicara.
"Inggris baru mengekor belakangan. Raja Inggris, Henry VII, ketika kecil hidup di Burgundy, kota di perbatasan antara Spanyol dan Prancis yang merupakan pusat pengolahan kain wol. Bahan baku kain wol itu, ironisnya, diimpor dari Inggris. Kelak ketika menjadi raja, Henry VII mulai berpikir untuk membuka pabrik pengolahan wol sendiri. Berkat industri pengolahan wol itulah industri di Inggris mulai menggeliat. Usaha Henry meniru hal yang dilakukan Spanyol oleh para ekonom disebut emulasi, semacam imitasi atau peniruan. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Jepang pada awal 1950-an dan yang dilakukan oleh China sekarang. Jepang membeli mobil dari Eropa, membongkar, mempelajari, lantas menirunya atau China yang membuat pemutar musik mirip iPod."
"Oh, tidak, Ip, cukup! Kau berbicara mulai dari pakaian terbuka sampai pada petualangan Columbus. Sekarang, kau mau mengoceh soal teori-teori ekonomi? Tidak!" Tangan Lisa menunjukkan penolakan.
"Bukan begitu. Aku hanya ingin bercerita tentang orang-orang Eropa yang maju karena awalnya meniru. Spanyol adalah negara yang pertama-tama ditiru karena saat itu peradaban Spanyol yang paling maju meskipun kemudian kalah di lautan dan keok di daratan oleh Inggris. Kemakmuran dan kemajuan membuat Eropa bisa menguasai, menjelajah, sekaligus menjajah dunia baru yang mereka temukan. Maka, terciptalah kota, gedung-gedung tinggi, taman-taman yang luas, bersih, rapi, dan indah. Penjajahan, meskipun sangat menyakitkan, tetap membawa hikmah buat yang dijajah. Sebagaimana kau bilang, berkah penjajahan Belanda di Nusantara adalah lahirnya Indonesia," paparku panjang lebar.
Kening Lisa berkerut, seakan mencoba menerka arah pembicaraanku.
"Selain itu, Spanyol adalah tanah yang penuh misteri bagi umat Islam. Andalusia menjadi masa lalu penuh kejayaan yang kemudian diratapi. Aku ingin suatu saat bisa pergi ke sana," lanjutku.
"Hmmm aku tahu, itulah alasan kau selalu menarik semua kejayaan Eropa dan dunia Barat pada asalusul Spanyol, begitu?" tanya Lisa, "Semata-mata agar kau bisa bilang bahwa orang Islam punya jasa bagi kemajuan Barat? Klasik," lanjut Lisa tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab. Ia serius mendebat argumenku.
Akan tetapi, yang dikatakan Lisa mungkin benar. Aku merasa konyol karena mencoba menghubungkan kemajuan dunia Barat dengan sejarah Islam di Spanyol. Sesuatu yang tanpa kusadari tertanam sejak di Pesantren Cidewa dulu.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Kuduga itu istriku. Betul saja.
"Ayah cepat pulang, ya. Amar rewel."
"Kenapa, Mbun, badannya panas atau?"
"Badannya panas, tetapi Bunda nggak tahu kenapa. Pokoknya, Ayah cepet pulang. Kasihan Amar yang sejak tadi menangis."
"Oke, sekarang juga ayah meluncur ke rumah. Bunda tenang saja, semua akan baik-baik saja."
Aku berkata kepada Lisa agar petualangan hari itu dihentikan saja karena aku harus segera pulang untuk mengurus Amartya. Ia setuju. Kami kembali meluncur ke arah kota. Lisa berhenti di Stasiun Flinders untuk kembali ke Camberwell dengan kereta. Aku terus mengayuh sepeda sampai ke Brunswick.
*** Amartya Berobat KETIKA AKU sampai di rumah, Amartya sedang menangis kencang dengan wajah memerah. Istriku sedang menggendongnya sambil menghiburnya dengan mainan. Dari suara tangisannya yang kelelahan, aku tahu ia sudah cukup lama menangis. Badannya panas. Beberapa bagian kulitnya mengelupas dan dipenuhi bintik merah. Aku curiga ia kena alergi kulit karena istriku habis melahap seafood.
Sehari sebelumnya, selepas bekerja di Pasar Victoria, aku mampir ke toko ikan. Aku membeli kepala ikan salmon untuk dibuat sup kepala ikan, makanan kesukaan kami. Kenapa kepala ikan? Di beberapa toko, kepala ikan kadang diberikan gratis. Tidak seperti cumi-cumi, udang, ikan segar, dan kepiting yang dipajang di etalase toko, kepala ikan disimpan di ruang belakang dan hanya ditunjukkan jika ada yang bertanya. Konsumennya rata-rata orang Asia. Dulu, kepala ikan adalah bagian yang dibuang karena tidak ada peminatnya. Biasanya, agar tidak malu, aku datang ke toko itu untuk membeli setengah kilo udang segar. Setelah itu, baru bertanya apakah si penjual punya kepala ikan.
"Yah, ini bagaimana, ya?" pertanyaan istriku membuyarkan kecurigaanku pada kepala ikan sebagai penyebab alergi anakku.
"Sebentar, Mbun jawabku dengan napas terengah-engah. Aku bergegas ke dapur, mengambil gelas dan meneguk air keran.
"Apa kita ke dokter, Yah?" Istriku bertanya lagi. Ia terlihat panik. Maklum, ibu baru. Aku mencoba tetap tenang dan tidak terpancing kepanikannya.
"Kita pakai parasetamol saja dulu, Mbun," sahutku. "Sudah dicek berapa suhu tubuhnya?" Aku bertanya sambil bergegas ke kamar mencari termometer yang disimpan di laci lemari rias.
"Belum, Yah," sahut istriku.
Amartya masih terus menangis. Entah apa yang dirasakannya. Istriku mencoba menyusuinya di ruang depan.
"Tiga puluh delapan derajat, Mbun. Pantas suhu badannya panas," kataku.
Sekali lagi, aku mengukur suhu tubuh Amartya. Termometer berbentuk seperti pipa cangklong rokok putih dengan sensor di ujung itu kutempelkan ke keningnya. Alat itu menunjukkan angka yang berbeda, 37,5 ?C. Kadang, alat pengukur panas yang ditempelkan di kening memang tidak terlalu akurat, tetapi setidaknya dapat menjadi patokan untuk mengukur suhu tubuh Amartya. Aku segera kembali ke dapur, bergegas ke arah kulkas untuk mengambil obat penurun panas buat bayi yang memang selalu tersedia.
"Mbun, kita bersabar saja dulu. Semoga setelah minum obat, panasnya akan turun."
"Tidakkah sebaiknya kita ke dokter sekarang, Yah?" Istriku merajuk. Ia terlihat sangat khawatir. Tangannya mengusap kepala Amartya sambil meniupi keningnya, seperti sedang melafalkan jampi-jampi dan doa agar Amar lekas sembuh.
"Sekarang sudah pukul lima sore, Mbun," jawabku singkat.
"Tidak bisa, ya, jam segini? Ayolah, kan, bisa ke ruang gawat darurat, Yah!"
"Tetapi, rasanya terlalu berlebihan kalau ke UGD hanya karena demam. Bunda ingat cerita Mbak Yus ketika bayinya sakit? Dokter cuma memberi parasetamol dan meminta agar bayi jangan sampai kedinginan."
"Iya, sih. Tetapi Bunda kasihan lihat Amartya rewel terus.
"Besok pagi-pagi, Ayah akan membuat janji dengan dokter di klinik kampus. Semoga siangnya bisa langsung periksa."
Istriku mengiyakan dengan suara lirih. Ia sadar bahwa pertimbanganku masuk akal. Berobat ke dokter di Melbourne tidak seperti berobat ke dokter di Indonesia. Di Indonesia, orang yang sakit bisa langsung datang ke tempat praktik dokter dan mengambil nomor antrean. Di Australia, pasien harus membuat janji terlebih dahulu, kecuali dalam keadaan darurat. Kecil kemungkinan dokter menerima pasien secara insidental.
Esoknya, aku menelepon klinik kesehatan kampus Universitas Melbourne. Telepon diterima oleh seorang perempuan paruh baya bersuara berat dan bijaksana. Dengan sabar, ia memintaku mengulang ejaan nama anakku. Maklum, meskipun sedang menempuh pendidikan master, aku masih kesulitan mengeja "a-b-c-d" dalam bahasa Inggris. Agar tidak salah, jika diminta mengeja sesuatu, aku biasanya memakai sandi police letters alphabet, kode yang dipakai oleh polisi atau petugas pemesanan tiket.
"Nama anakku Amartya. A for alpha, M for mama, Alpha, Romeo, Tanggo, Yankee, Alpha. Amartya." Aku menjawab pertanyaan petugas klinik di ujung telepon. Tentu dalam bahasa Inggris.
Setelah membuat janji, akhirnya kami mendapatkan jadwal berobat pada Kamis pukul sebelas pagi alias dua hari kemudian. Ini tentu tidak seperti yang kuharapkan. Alasannya sederhana. Ketika pegawai klinik bertanya apakah sakitnya butuh pertolongan segera, aku menjawab ragu-ragu. Aku akhirnya hanya bilang bahwa anakku sakit, suhu tubuhnya tinggi, dan beberapa bagian kulitnya yang memerah terkelupas. Mendengar penjelasanku, petugas klinik di ujung telepon hanya berkata singkat, "He will be fme, don't worry."
Meski sedikit kesal, istriku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu aku telah berusaha.
Meski masih rewel, setelah minum obat penurun panas, kondisi Amartya membaik. Pada sore harinya, kami mengajaknya berjalan-jalan ke Taman Warr yang berada di dekat rumah. Kami duduk di rumput yang baru saja dipangkas oleh petugas tata kota. Suasana sore itu sangat indah. Langit cerah dan angin bertiup gemulai. Dedaunan pada awal musim panas terlihat hijau berkilau disinari terik matahari.
"Yah, kapan, ya, kita bisa menikmati taman kota yang nyaman seperti ini di Indonesia?" istriku bertanya. Sejak datang ke Melbourne, ia selalu saja kagum dengan semua detail kota.
"Entahlah, Mbun. Mungkin seratus tahun lagi," jawabku sambil sedikit bercanda.
Amartya asyik dengan dot di mulutnya. Jaket tebal membungkus tubuhnya agar tetap hangat.
"Ada taman di setiap sudut kota dilengkapi arena bermain anak-anak, tempat untuk barbeku, kursi taman, rumput yang rapi, toilet bersih, dan fasilitas air minum. Kapan, ya, Indonesia bisa punya tempat seperti ini?" istriku lagi-lagi bertanya.
"Kita masih jauh mewujudkan mimpi itu, Mbun. Kita masih sibuk dengan urusan perut. Semua detail kehidupan seperti ini hanya mungkin terurus kalau perut sudah kenyang."
"Benar juga. Jangankan memikirkan fasilitas, mengatasi macet dan banjir saja tidak selesai-selesai," istriku mulai mengeluarkan unek-uneknya.
"Tetapi, Mbun, terlalu rapi dan tertata, teratur dan disiplin, ada juga tidak enaknya. Hidup jadi monoton, seperti tidak ada tantangan lagi," sahutku
"Benar juga, ya. Ayah masih ingat saat kita kehausan di kereta sepulang melihat bunga tulip di Lilydale? Ingin rasanya tiba-tiba kereta itu menjelma menjadi jalur kereta Jakarta-Bogor yang dipenuhi tukang jualan dan kita bisa beli air minum kapan saja," kata istriku mengenang liburan musim semi kami.
"Jangankan beli air, beli ayam juga bisa di kereta, Mbun! Coba tengok kereta jurusan Rangkasbitung. Setengah penumpangnya adalah pedagang. Mulai dari penjual air mineral, rokok, makanan, perhiasan, buah-buahan, sampai pakaian dalam dan peniti. Banyak juga orang yang kreatif di kereta. Melihat kereta kotor oleh sampah, beberapa orang menjelma menjadi petugas kebersihan dadakan. Mereka hilir mudik sibuk menyapu sampah sambil menyodorkan bekas bungkus permen, berharap diberi uang receh."
"Banyak pencopet juga!" sela istriku.
"Jika ada 20 orang penumpang di gerbong, bisa jadi 10 orang di antara mereka adalah pencopet, 5 pedagang asongan, dan hanya ada 5 yang benar-benar penumpang," cetusku.
Kami tertawa lepas. Obrolan ini membuat beban kami sedikit terlupakan.
Selama dua hari menunggu waktu Amartya berobat sebagaimana dijanjikan klinik, aku berdiam di rumah saja. Niat menyelesaikan beberapa tugas kuliah terpaksa ditangguhkan karena Amartya sakit. Untuk mengisi kesibukan, aku dan istriku berbelanja atau berjalan-jalan di taman. Jika waktu sedikit luang, aku sempatkan membaca satu atau dua tulisan jurnal. Sambil menemani istriku yang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, aku berselancar di dunia maya, membaca berita koran online sembari meng-update status di Facebook, Anakku sakit, semoga lekas sembuh, Sayang! Update status belakangan menjadi sangat penting dan telah membudaya. Buatku yang tinggal jauh dari keluarga, update status di Face-, book adalah sarana paling gampang dan murah untuk memberi kabar kepada keluarga dan kawan di seberang lautan.
Setelah menunggu dua hari, akhirnya jadwal berobat tiba. Pada pagi hari, sebuah pesan masuk ke ponselku, "Ini adalah Klinik Universitas. Kami ingin mengingatkan bahwa Anda mempunyai janji dengan dokter Mclntry pada pukul 11.00. Mohon tidak datang terlambat. Jika tidak datang, Anda akan dikenakan denda."
Sebuah pesan singkat yang sebenarnya biasa saja, tetapi bagiku dan istri, pesan ini terasa sangat luar biasa. Sarapan pagi itu diisi dengan obrolan betapa pentingnya remeh-temeh untuk peradaban. Obrolan itu meneruskan obrolan di taman dua hari sebelumnya. Jika ingin menilai sebuah negara beradab atau tidak, sederhana saja caranya: lihat bagaimana hal remeh-temeh diurus. Lihat jalan kotanya, halte busnya, taman kotanya, dan bangku-bangkunya. Lihat semua hal yang sepertinya sepele.
"Di sini mereka betul-betul ada untuk melayani."
"Maksud Bunda, pemerintah?"
"Bukan hanya pemerintah, melainkan semuanya. Sistem pelayanan publik berjalan sesuai fungsi masing-masing dengan satu prinsip: bagaimana memberikan pelayanan memuaskan."
"Betul, Mbun, betul sekali. SMS dari klinik menunjukkan bahwa hal sepele bisa menimbulkan kesan mendalam."
"Bunda jadi ingat waktu ayah marah dan kesal karena harus menunggu dokter yang terlambat tiga jam ketika ayah mau rontgen dada untuk keperluan pembuatan visa."
SMS itu memang mengingatkanku pada pengalaman kurang menyenangkan dengan dokter di Indonesia.
"Yup. Di Indonesia dokter datang terlambat adalah hal yang lumrah. Pasien harus berjam-jam menunggu. Alasannya macam-macam. Dokternya mendadak harus mengoperasi-lah, sedang menanganai pasien emergency-lah."
Ketika kami asyik ngobrol sambil menikmati segelas teh madu dengan sedikit campuran lemon, tiba-tiba ponselku berdering. Nomor lokal yang tidak kukenal.
"Hello, apakah ini orangtua dari Amartya?" Suara perempuan itu terdengar tak asing. Itu suara petugas klinik yang menerima teleponku dua hari yang lalu.
"Betul, saya orangtua Amartya. Maaf, ini dari siapa?" Aku bertanya sekadar untuk meyakinkan.
"Ini dari klinik universitas. Kami cuma ingin memastikan apakah Anda jadi membawa anak Anda ke sini? Kami telah mengirimkan SMS, tetapi tidak ada jawaban. Jika Anda tidak jadi datang, jadwal Anda akan dialihkan kepada orang lain," kata perempuan di ujung telepon.
"Oh, maaf sekali, saya tidak tahu bahwa SMS itu harus dibalas. Kami akan datang. Ini sedang bersiap-siap berangkat. Sorry for that."
Aku memang tidak tahu SMS itu harus dibalas. Ini peng-alaman pertama kami berobat ke dokter umum.
Kami bergegas mengejar trem yang akan lewat sepuluh menit lagi di halte nomor 26, tempat kami biasa menunggu trem atau bus. Kami tidak ingin terlambat. Malu, sudah diingatkan dua kali, masa masih terlambat? Istriku menggendong Amartya. Sengaja kami tidak membawa kereta bayi agar lebih cepat dan praktis. Meski kulit wajahnya penuh dengan bercak merah, Amartya tidak rewel sepanjang perjalanan.
Kami tiba di klinik kampus sepuluh menit sebelum jadwal yang telah ditentukan. Setelah mengisi formulir dan datang ke kantor asuransi di pojok ruangan, kami menunggu di kursi yang disiapkan di depan ruang periksa dokter. Sambil menunggu antrean, aku membaca majalah yang tersedia. Istriku memilih berdiri sambil menggendong Amartya.
Selang beberapa lama, seorang lelaki dengan jaket tebal abu-abu keluar dari ruang periksa. Dokter mengantarkan pasien itu sampai ke pintu sambil berbasa-basi, "Halo, Anda berikutnya. Tetapi, tunggu sebentar, ya, saya selesaikan dulu laporan kesehatan pasien barusan."
Sebelum aku sempat menjawab, dokter itu kembali masuk ke ruangan dan menutup pintu. Aku menunggu sekitar tiga menit sebelum akhirnya dipanggil.
"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" tanya dokter dengan ramah setelah mempersilakan kami duduk. Dokter itu seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun yang memakai baju krem bermotif bunga dengan jas putih bersih.
"Anak saya sakit. Sejak tiga hari lalu badannya panas. Kami sudah memberi obat penurun panas untuk bayi dan sekarang suhu tubuhnya sudah turun. Tetapi, penyakit kulitnya semakin parah," jawabku sambil menunjukkan luka di alis dan ubun-ubun Amartya yang semakin parah. Bercak-bercak merah juga mulai muncul di pipinya.
"Gejalanya seperti alergi," kata dokter. "Apakah ada di antara Anda berdua ada yang alergi cuaca?" tanya dokter itu lagi.
"Istri saya eczema kalau tidak salah. Ia melahirkan di The Royal Women Hospital dan dalam laporan kesehatannya dikatakan ia eczema, Dok," jawabku. Istriku hanya diam saja.
"Oke, akan saya cek. Siapa nama istri Anda?" dokter itu kembali bertanya
Setelah aku menyebutkan nama, dokter itu sibuk dengan komputernya. Kelihatannya ia sedang mencari data riwayat kesehatan istriku.
"Yes, istri Anda eczema. Ada laporan yang menyatakan demikian. Karena itu, saya yakin anak Anda hanya terkena alergi cuaca. Biasanya, nanti, setelah ia beranjak dewasa, alergi itu akan sembuh sendiri. Atau, biasanya akan sembuh saat ia pindah ke cuaca yang lebih cocok, misalnya ke tempat asal Anda di Indonesia," dokter itu menjelaskan.
"Terus harus diapakan, Dok?"
"Hmmm saya tidak mungkin memberi antibiotik atau obat lain karena anak Anda masih terlalu muda untuk diberi obat-obatan, tidak bagus. Berapa usianya sekarang?"
"Baru enam bulan tiga minggu, Dok."
"Baiklah, saya tidak akan memberi obat. Lagi pula, luka kulit itu tidak terlalu gatal. Untuk pengobatan, cukup dioleskan minyak zaitun saja di daerah yang luka."
"Minyak zaitun yang biasa digunakan untuk masak itu, Dok?"
"Betul. Juga usahakan tidak memakai penghangat ruangan karena tidak bagus untuk kulit anak Anda."
"Baik." "Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak perlu pakai obat. Jika kondisinya memburuk, Anda bisa datang lagi dan kita akan tangani." Dokter itu membesarkan hati kami. Kebanyakan dokter di sini tidak akan meresepkan obat kalau penyakit bisa sembuh tanpa obat. Berbeda dengan di Indonesia yang sedikit-sedikit memberi resep obat, bahkan obat keras semacam antibiotik.
"Anda harus tetap waspada. Eczema bisa berkembang menjadi penyakit asma. Anda harus tahu itu. Namun, tidak perlu khawatir. Itu hanya kemungkinan secara teoretis."
Aku dan istriku seketika kaget dan cemas.
"Tidak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja," dokter itu berusaha menenangkan.
Akhirnya, kami pulang dengan tangan kosong. Benar dugaanku sebelumnya. Beberapa kawan yang sakit dan datang ke dokter juga mengalami hal yang sama. Dokter tidak memberi obat sama sekali!
*** Perpisahan HAMPIR SEBULAN sejak periksa ke dokter, Amartya tidak juga kunjung membaik. Kerak radang di kulit kepalanya belum juga hilang. Alis dan pipinya juga masih dihiasi bekas luka. Kami mengolesinya minyak zaitun seperti disarankan dokter. Namun, sepertinya minyak zaitun tidak mengobati apa-apa. Minyak zaitun hanya mencegah luka itu meluas dan mempertahankan kelembapan kulit. Seorang kawan menyarankan agar kami membeli semacam losion khusus untuk obat eczema. Kami mencari di apotek. Atas saran pelayan apotek, aku akhirnya membeli obat itu. Aku baca detail aturan pakainya karena khawatir tidak cocok buat bayi. Meskipun tidak terlalu yakin, aku tetap membelinya. Aku juga mencari tahu lewat internet tentang cara penanganan terbaik penyakit itu. Jawabannya sama: sebisa mungkin ditangani secara alamiah, terutama pada anak. Penggunaan obat-obatan dari bahan kimia berlebih pada anak sangat tidak dianjurkan.
Yang paling terlihat tidak nyaman adalah istriku. Ia merasa tidak tega dan kasihan kepada Amartya. Kadang, kalau membawa Amartya jalan-jalan, ia sering merasa tidak enak karena muka Amartya penuh bekas luka. Ia jadi kurang percaya diri, khawatir dianggap ibu yang tidak becus mengurus anak. Juga, mungkin merasa bersalah karena penyakit itu menurun darinya. Sejak tinggal di Melbourne, kulitnya memang sering gatal-gatal dan muncul bercak merah. Namun, tidak parah. Sorbolen, semacam losion, cukup untuk membuat kulitnya kembali lembap dan mengurangi rasa gatal.
"Apa Bunda pulang saja ke Indonesia, ya, Yah?" Permintaan itu datang lagi ketika aku baru saja pulang dari kampus. Istriku menyodorkan segelas air sambil menggendong Amartya.
"Kok, tiba-tiba Bunda minta pulang. Kenapa?"
"Kasihan sama Amar, Ayah!"
"Ya, tetapi, kan, sakitnya tidak terlalu parah." Aku mengambil Amartya dari pangkuan istriku dan menimangnya.
"Ya, Dede, nggak apa-apa, ya, Sayang .... Bunda cuma ketakutan." Aku mengajak Amartya bicara sambil menciuminya. Kadang kami memanggilnya Dede, sebutan umum untuk anak kecil. Amar bercericau, seolah paham dengan yang kukatakan.
Usia Amartya sudah hampir tujuh bulan. Ia sudah bisa duduk dan merangkak, juga sudah pandai mengeluarkan suara vokal yang berakhiran "a".
Anak seusianya memang sedang lucu-lucunya, juga mulai belajar banyak hal. Aku dan istri secara tidak langsung banyak belajar dengan kehadirannya. Amartya mengajarkan kepada kami bahwa setiap saat adalah waktu untuk tumbuh dan berkembang. Ia mengajarkan tentang kemajuan. Setiap detik, jam, hari, aku melihatnya belajar dan menemukan hal baru. Jatuh-bangun tanpa lelah. Dilalui tanpa mengeluh.
Beberapa minggu lalu, Amartya sekuat tenaga berusaha duduk. Meski tubuhnya sering jatuh, kadang sampai tersungkur di kasur, ia pantang menyerah. Berkali-kali jatuh tidak membuatnya jera.
Setelah berhasil duduk tegak, hobi selanjutnya adalah menungging. Sejak bangun sampai hendak tidur lagi, kalau duduk di karpet atau kasur, ia akan segera mengambil posisi tiarap untuk kemudian mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Sesekali, ia menyemburkan ludah sambil memonyongkan mulut. Setelah beberapa menit, ia akan menjatuhkan tubuh ke kasur, kembali ke posisi tiarap, sebelum kemudian kembali mengangkat tangan dan kakinya.
Amartya lantas belajar merangkak. Awalnya, masih seperti undur-undur yang selalu bergerak mundur. Kadang mundurnya sangat cepat. Ketika ditinggal pergi sebentar ke kamar mandi, tiba-tiba ia sudah tengkurap di bawah kasur. Pernah sekali waktu, ia tiba-tiba bersembunyi di bawah meja rias di kamarku sambil berkicau.
Setelah itu, ia bisa merangkak maju. Aku dan istriku senang, tetapi juga dibuat sibuk. Ada banyak hal yang harus aku singkirkan agar tidak menghalangi laju merangkak jagoanku. Yang kali pertama kulakukan adalah mengamankan kabel-kabel yang berseliweran di kamar.
Ada yang menarik dari cara Amartya memandang dirinya. Sudah seminggu ia tersenyum di depan cermin saat melihat bayangan dirinya. Sebelumnya, ia tidak pernah begini. Belakangan, ia terlihat mulai mengidentifikasi dirinya sendiri. Proses identifikasi diri ini akan genap kelak ketika usianya menginjak tiga atau empat tahun.
Amartya juga sudah mulai makan selain ASI. Menu hariannya beragam: pumpkin with beef (labu kuning dicampur daging sapi), sweetpotato (ubi jalar), carrotwith chicken (wortel ditambah ayam), sesekali rice with chicken (bubur ayam) yang dihaluskan dengan blender. Ia juga makan pisang, jeruk manis, atau pir rebus. Juga, ada beberapa menu tambahan yang ia pilih sendiri: stabilo ayahnya, ponsel ibunya, Om Elephant (boneka gajah kesukaannya), kertas bekas, atau mobil mainan. Maklum, bagi anak seumur itu, semua hal yang ada di dunia ini "boleh dimakan".
Amartya mengajarkan bahwa setiap saat adalah waktu untuk pembelajaran dan kemajuan. Hari ini selalu lebih baik dari hari kemarin. Meski dengan langkah kecil dan tertatih, hidup harus terus maju. Ia juga mengajarkan untuk pantang menyerah dan menjalani setiap proses pembelajaran dengan senang.
Bayi adalah pengingat bagi kemajuan kedua orangtuanya.
"Nggak apa-apa gimana? Wajahnya penuh bekas luka begitu," suara istriku memecah lamunanku.
"Tanggung, Mbun. Nggak lama lagi, kan, kita pulang. Lebih baik bersabar sebentar lagi. Insya Allah, Amar tidak apa-apa. Kata dokter juga nanti sembuh sendiri setelah kembali ke Indonesia."
"Justru itu. Karena sebentar lagi, lebih baik kalau Bunda pulang lebih dulu supaya Amar lekas sembuh dan ayah semakin khusyuk dan fokus menyelesaikan kuliah."
"Mbun, kalau tidak ada Amartya dan Bunda, Ayah justru ( tidak khusyuk belajar karena teringat terus."
"Masa? Bukannya semakin khusyuk kalau tidak ada kita. Maksud Bunda, khusyuk sama Lisa Gomez, ehmmm, ehmmm," kata istriku sambil menggoda. Ia pura-pura batuk.
"Apa hubungannya sama Lisa, Mbun? Ada-ada saja. Kan, Bunda tahu sendiri Ayah dan Lisa hanya berteman."
"He, he, tidak, Ayah. Bunda cuma bercanda."
"Cemburu, ya?" balasku.
"Tidak. Tidak cemburu." Pipi istriku merah merona. Rona di pipinya lebih menggambarkan isi hatinya.
"Begini, lho, Yah. Kalau Bunda pulang duluan ke Indonesia, Amar jadi sehat. Uang beasiswa Ayah bisa dihemat karena ayah sendirian. Ayah juga bisa lebih fokus belajar, bisa lembur sampai malam di perpustakaan seperti kawan-kawan yang lain. Kalau sedang libur, Ayah bisa berjalan-jalan untuk refreshing dan tidak disibukkan oleh urusan domestik. Ayah juga akan punya lebih banyak waktu untuk bergaul bersama teman-teman."
"Maksud Bunda sama Lisa?" tanyaku sambil menggoda. Mataku tetap mengawasi Amartya yang sibuk bermain dan asyik dengan dunianya sendiri.
"Eh Yah, coba lihat, lama-lama kok, Lisa mirip Deva, ya?" istriku balas menggoda. Deva adalah gadis pujaanku ketika kuliah dulu. Aku dan Deva sempat hampir menikah sebelum hubungan itu kandas lantaran beberapa masalah. Beberapa kali, nama Deva muncul dalam kehidupan rumah tanggaku karena istriku kadang masih suka cemburu kepadanya tanpa sebab. Aku sudah berkali-kali mengingatkan istriku agar tidak lagi mengutak-atik masa lalu. Biarlah masa lalu menjadi bagian museum pribadi yang rapi tersimpan di laci hati. Namun, kadang-kadang nama itu tiba-tiba muncul, seperti juga pagi itu.
"Mbun ... please, Ayah bilang berkali-kali jangan lagi bawa-bawa nama Deva."
"Bukannya malah senang kalau namanya disebut-sebut?" goda istriku.
"Sudah, sudah," sahutku sambil beranjak ke kamar. Istriku menguntit dari belakang sambil kegirangan berhasil menggoda suaminya.
"Buktinya, Ayah suka nyuri-nyuri tahu kabarnya lewat Facebook."
"Kata siapa? Jangan menuduh sembarangan, Mbun."
"Hehe, feeling Bunda saja."
"Kalau Bunda cemburu, justru jangan pulang. Sebaiknya tetap di sini untuk menemani Ayah!"
"Bunda nggak cemburu, Bunda percaya kepada Ayah. Karena itu, Bunda minta izin untuk pulang ke Indonesia. Toh, ini demi kebaikan kita. Terutama demi Amar. Sebentar lagi, Ayah, kan, juga harus segera fokus pada tugas akhir," kali ini istriku bicara dengan kesungguhan.
"Ayah jangan marah. Kalau marah, berarti benar Ayah masih," istriku tidak melanjutkan.
"Masih kenapa? Masih cinta?" jawabku menyela. "Mbun ... kita sudah beranak satu. Ada banyak masa indah yang sudah kita lalui. Ada jalan panjang membentang yang akan kita lalui bersama," kataku dengan nada sedikit emosional. Istriku merasa bersalah. Suasana berubah menjadi sedikit tegang. Awalnya, aku tahu ia hanya menggoda.
"Iya, Ayah. Maafkan Bunda. Bunda cuma ingin menggoda Ayah!"
"Tetapi, jangan sebut-sebut orang ketiga, apalagi mantan ayah. Ayah ingin melupakan masa lalu. Bunda, kan, tahu waktu mau menikah, kita sepakat melupakan masa lalu. Melupakan masa lalu memang berat sekali. Apalagi Ayah. Bunda sendiri tahu semua ceritanya. Jadi, please, bantu Ayah melewati masa-masa berat melupakan masa lalu itu."
"Iya, Ayah. Tetapi, Bunda minta Ayah cerita kalau misalnya Ayah chatting dengannya di Facebook atau Yahoo! Messenger. Bunda kadang suka cemburu. Mungkin karena Bunda begitu mencintai Ayah. Bunda ingin Ayah mencintai Bunda dan Amartya seutuhnya. Bunda juga ingin mencintai Ayah dan Amartya tanpa jeda, tanpa syarat apa-apa. Utuh." Istriku memasang muka penuh kasih. Aku memeluknya. Lantas kami menyatu, terbenam dalam kasih. Dalam cinta yang datang dengan kemesraan dan membuat kami sementara lupa pada semesta raya.
"Enam bulan tidak lama, kok," ia membisikkan lagi permintaan itu.
"Nanti Ayah pikirkan lagi, ya," sahutku sambil memeluknya.
"Dulu juga Ayah bilang begitu," jawabnya.
"Kali ini serius. Tetapi, Ayah minta bunda pikir ulang juga. Ayah masih yakin Amartya sebaiknya tetap di sini. Toh, sakitnya tidak serius dan akan sembuh dengan sendirinya. "
"Bunda tidak tega. Anak sedang lucu-lucunya, kok, malah wajahnya penuh koreng. Bunda ingin Amar sembuh," rayu istriku.
"Bunda kenapa, sih, keukeuh banget ingin pulang? Nggak betah, ya, tinggal di sini?"
Istriku hanya menjawab dengan senyum. "Bunda harus pulang, demi kebaikan Ayah dan Amar. Oke, Sayang?" pungkasnya. Di saat seperti ini, kata-katanya selalu meluluhkan hatiku.
Akhirnya, aku menyerah pada kemauan istriku. Mungkin ada baiknya jika ia dan Amartya pulang lebih awal. Setelah kupertimbangkan, alasannya cukup masuk akal. Lagi pula, jika tidak ada perubahan, aku akan menyelesaikan kuliah dalam beberapa bulan. Jadi, kami tak akan terlalu lama tinggal berjauhan.
Dengan berat hati, aku membelikan tiket pulang ke Indonesia. Ketika itu, Garuda Indonesia baru saja memiliki rute penerbangan langsung Jakarta-Melbourne. Padahal sebelumnya harus transit di Bali atau Perth. Penerbangan langsung ini membuat hatiku tenang karena tahu istriku, tidak akan kerepotan dalam perjalanan. Di Bandara Soekarno-Hatta, orangtua kami akan menjemput kedatangan mereka. Amartya adalah cucu pertama buat Ayah dan Mimi, dan cucu laki-laki pertama mertuaku. Kepulangannya sangat dinantikan seluruh keluarga. Sejak Amartya lahir, keluarga kami hanya bisa melihatnya lewat foto dan video.
Aku sedih ketika harus berpisah dengan istriku dan Amartya meski kutahu perpisahan ini hanya sementara. Rasanya baru saja kemarin aku menjemput istriku yang sedang hamil tua di Bandara Tullamarine. Sekarang, aku harus mengantarnya kembali ke Tullamarine dengan seorang anak yang sedang lucu-lucunya. Waktu ternyata berlari cepat sekali. Aku berharap semoga perpisahan ini membawa kebaikan untuk keluarga kecilku. Angin musim gugur mengembuskan aroma eukaliptus. Aroma itu mengantarkanku berpisah dari keluarga kecilku untuk sementara waktu.
*** Musim Panas di Eropa MUNGKIN BEGINILAH takdir bekerja. Tak lama setelah istri dan anakku pulang ke Indonesia, ada skenario lain yang tak pernah kuduga. Beberapa hari setelah melepas kepergian istriku, Lisa menyampaikan sebuah informasi menarik: kesempatan beasiswa sekolah musim panas di Eropa. Kampusku bekerja sama dengan beberapa kampus di Eropa untuk menyelenggarakan program tersebut. Kata Lisa, setiap mahasiswa berhak mendaftar. Jadi, mahasiswa yang nanti lolos mengikuti beasiswa itu akan menghabiskan sisa semester untuk menulis tesis di Eropa. Ya, Eropa!
Aku tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Sudah lama aku bermimpi ingin berkunjung ke Eropa. Sekarang, kesempatan itu datang, gratis, dan untuk menuntut ilmu pula. Aku harus berjuang untuk menggapai impian itu.
Tiba-tiba, aku teringat dengan kata-kata Kang Hafid, sang alumnus. Tiba-tiba, aku teringat kepada Leiden.
Seperti biasa, jika sedang memimpikan sesuatu, aku akan membisikkan mimpi itu kepada bintang di angkasa. Malam itu, aku duduk sendirian di kursi dapur, di tempat yang dulu biasa diduduki istriku. Di luar langit cerah. Dari balik kaca jendela, bintang layang-layang tampak bersinar di atas salib gereja. Rasanya baru kemarin aku membisikkan mimpiku untuk menatap bintang itu dari negeri yang jauh. Sekarang, aku duduk di sini, beratus mil dari Pesantren Karangtawang, membisikkan mimpi baru pada bintang keberuntunganku. Aku ingin ke Eropa, berziarah ke Leiden dan
Sorbonne, bisikku pelan. Nyaris seperti merapal mantera keyakinan dan harapan.
Sehari setelah mendapatkan informasi beasiswa, aku datang ke kampus untuk menemui Steve Clark, pegawai yang bertugas mengurusi program tersebut. Bersama Lisa, aku menemuinya di lantai enam gedung fakultas hukum. Sebenarnya, semua informasi sudah bisa dibaca di situs kampus, termasuk tata cara bagaimana mendaftar dan lain-lain. Aku dan Lisa juga sudah mengeceknya. Namun, pengumuman itu tidak menjelaskan apakah mahasiswa internasional juga berhak mendaftar. Aku merasa perlu mendapatkan informasi yang lebih detail dengan bertanya secara langsung.
Steve Clark yang kelihatannya lebih tua beberapa tahun dariku menyambut kedatangan kami dengan senyuman. Meski saat itu adalah jam makan siang, ia merelakan sepuluh menit waktunya untuk menemui kami. Ruangannya yang kecil terlihat lebih sempit karena tumpukan buku dan jurnal, sementara meja kerjanya dipenuhi kertas dan dokumen. Beberapa pernak-pernik antik tergantung di dinding ruangan, salah satunya topeng Bali. Ia memberi kesan sebagai pribadi yang serius, tetapi hangat. Dengan ramah, ia mempersilakan kami duduk.
"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" Steve bertanya setelah kami memperkenalkan diri.
"Kami hanya ingin tahu lebih detail mengenai informasi beasiswa musim panas di Eropa," jawab Lisa.
"Pada dasarnya, semua informasi bisa kalian baca di situs kampus"
"Iya, betul. Tetapi, kami tidak menemukan informasi apakah mahasiswa internasional juga berhak untuk mendaftar. Kami ragu," kataku.
"Tentu saja," ujarnya singkat. "Tetapi, harus diperhatikan bahwa ini bukan program beasiswa penuh. Program ini hanya menanggung biaya tiket pergi-pulang dan biaya perkuliahan, tidak termasuk biaya hidup," ia melanjutkan.
Aku sedikit terkejut. Awalnya, aku mengira beasiswa itu akan menanggung semuanya, sebagaimana beasiswa yang diberikan Pemerintah Australia kepadaku saat ini. Ternyata tidak. Mimpiku seketika buram. Jika pun aku lolos seleksi, aku tidak tahu cara mendapatkan uang untuk biaya hidup selama enam bulan di Eropa.
"Dan, kemungkinan besar mahasiswa yang sudah memperoleh beasiswa dari Pemerintah Australia, lewat program apa pun, tidak bisa lolos. Hal ini untuk menghindari douhle scholarship atau beasiswa ganda. Mahasiswa bisa mengikuti program ini dengan beasiswa yang dicari sendiri dari tempat lain atau bahkan biaya sendiri," ujarnya lagi.
Kata-katanya menyambarku bagaikan geledek. Aku merasa tidak enak hati sebagai pihak yang sudah mendapat beasiswa, tetapi masih mencari beasiswa lain. Lisa terlihat santai karena ia kuliah di Melbourne atas biaya dinas Pemerintah Cile.
Setelah merasa cukup jelas, kami pamitan dan bergegas ke Portavia Cafe yang terletak di dekat pintu masuk fakultas.
"Ah, Lisa, aku harus mengubur mimpiku berkeliling Eropa itu," keluhku. Impian yang sudah kugantungkan pada bintang keberuntunganku seolah runtuh, berguguran seperti daun oak di halaman kampus.
"Kenapa? Selalu ada jalan jika kau punya mimpi, Ip!"
"Iya, tetapi aku tidak mungkin mendapatkan beasiswa itu. Kau, kan, tahu aku kuliah di sini atas biaya Pemerintah Australia," jawabku.
Aku dan Lisa memesan kopi dan sandwich. Kafe itu terlihat penuh, sehingga kami memutuskan untuk makan sambil duduk-duduk di bangku taman.
"Kau, kan, bisa mencari beasiswa dari tempat lain. Ayo, Ip, kita bisa ke Alhambra dan keliling Granada, juga mengunjungi kota-kota lain di Spanyol yang sering kita obrolkan itu," kata Lisa yang berusaha menyemangatiku.
Bibirnya yang merah tampak kecokelatan setelah meneguk cappuccino. Aku menunduk, berusaha meredam pikiranku yang berkelana terlalu jauh.
"Entahlah. Semoga ada jalan."
"Selalu ada jalan."
"Apakah kau akan mendaftar?" tanyaku.
"Itu pertanyaan bodoh. Tentu saja aku akan mendaftar, Mister Iip!" Lisa tersenyum. Ah, bibir itu mengingatkanku pada seseorang. Rambutnya yang berombak disapu angin, menutupi sebagian wajahnya. Tangannya yang lentik merapikan rambut itu dan mengaitkannya pada daun telinga.
Maafkan Ayah yang berdosa karena menatap wajahnya, Bunda, bisikku dalam hati.
"Hai, apa ada yang salah?" Pertanyaan Lisa mengagetkanku.
"O ... o ... oh, tidak ada apa-apa, kok. Aku hanya sedang memikirkan cara mendapatkan beasiswa itu," jawabku tergagap. Kaget. Matanya yang bulat menatapku tajam, heran dengan kegugupanku yang janggal.
"Ada baiknya juga kau sendirian di sini. Kau jadi bisa leluasa ikut program semacam ini," Lisa tahu istriku sudah pulang ke Indonesia. Istriku sendiri yang berpamitan kepadanya lewat Facebook.
"Kalau aku lolos, tentunya," jawabku.
"Tidak seru kalau aku lolos dan kau tidak, atau sebaliknya." Lisa menyemangatiku.
Setelah hari itu, aku berpikir keras mengenai cara mendapatkan sponsor untuk pergi ke Eropa. Aku tidak bisa berharap pada beasiswa yang ditawarkan kampus. Namun, aku yakin pasti ada jalan lain. Yang penting bermimpi dulu sembari berusaha. Selebihnya, serahkan kepada Allah lewat doa. Juga, jangan lupa bisikkan pada bintang di angkasa agar mimpi itu tetap terjaga. Dan, yang paling penting: yakinlah bahwa setiap usaha akan berbuah hasil.
Aku percaya sepenuhnya kepada mimpi, cita-cita, dan harapan. Aku yakin. Dulu saja aku tidak pernah tahu apakah mimpiku sekolah di luar negeri bisa terwujud atau tidak. Kini, aku sudah hampir menyelesaikan kuliahku di salah satu kampus terbaik di Australia. Ada hukum alam yang masyhur disebut self-fulfilling prophecy. Keyakinan kepada sesuatu dengan sendirinya akan menjelma menjadi kenyataan.
Didorong mimpi itu, hampir setiap hari, berjam-jam aku duduk di depan laptopku untuk mencari tahu beragam informasi beasiswa. Tentu, sekarang aku punya waktu lebih luang karena tidak terganggu tangisan Amartya. Meski tentu tangisan itu membawa kerinduan tersendiri pada hari-hariku. Tangisan dan ocehannya menjadi jeda yang menyenangkan dan menyegarkan setelah lelah seharian belajar atau bekerja. Kini, tangisan dan ocehan itu tidak ada dan aku harus mencari kesibukan lain untuk mengusir sepi. Salah satunya mengobrol dengan kawan-kawan lewat jejaring media sosial.
Ketika pencarian semakin melelahkan dan asa semakin sempit, seorang kawanku, Surahman, memberi informasi beasiswa dari Pemerintah Belanda. Aku mengenal Surahman sejak di Pesantren Cidewa. Ia sedang menempuh pendidikan master di Leiden. Sebelum melanjutkan S-2 ke Belanda, Surahman adalah seorang guru sekolah swasta di Jakarta. Ia meninggalkan pekerjaannya yang telah mapan untuk menebus mimpinya menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi.
Informasi dari Surahman menjadi semacam lentera penerang di tengah harapan yang mulai samar. Beasiswa itu jawaban sempurna untuk mewujudkan mimpiku. Beasiswa itu diberikan Pemerintah Belanda untuk 15 orang anak muda Indonesia setiap tahun. Namanya "Beasiswa Sekolah Musim Panas bagi Aktivis Muda Indonesia." Aku sangat bersemangat dan yakin bisa mendapatkan beasiswa itu. Surat rekomendasi dari kampus sekelas Melbourne bisa menjadi senjata ampuh. Jadi, jika lolos seleksi, aku akan menghabiskan satu semester di Belanda, tepatnya di kampus Universitas Utrecht dan Leiden. Aku harus mengambil dua mata kuliah, setelah itu menulis tesis. Dan, yang paling membuatku antusias, aku akan bisa mewujudkan impian untuk jalan-jalan keliling Eropa.
Aku girang luar biasa dan segera memberi tahu Lisa bahwa mimpiku menyala kembali.
"Sampai jumpa di Eropa!" kata Lisa singkat dalam pesan pendeknya.
Ya, sampai jumpa. Aku semakin percaya bahwa akan selalu ada jalan jika kita sungguh-sungguh menginginkan sesuatu.
Bayangan gedung-gedung tua Eropa seketika memenuhi benakku. Alhambra, aku akan datang! Amsterdam, Paris, Berlin, Utrecht, Praha, Leiden, Roma, Madrid, siapkanlah wajah terindahmu. Aku akan datang memelukmu. Bersolek-lah, kota-kota impianku!
*** Kolor van Utrecht SEMUANYA KARENA hal sepele: lupa bawa kunci. Pagi itu, aku hendak membuang sampah ke luar sambil menikmati secangkir teh manis. Karena hanya berniat keluar sebentar saja, aku tidak membawa kunci. Aku pikir pintu tidak perlu dikunci, toh, tidak akan ada yang masuk. Lagi pula, pintu apartemen miniku juga masih terlihat karena tong sampah terletak di dekat tangga persis di samping kamar.
Seolah tidak ada yang salah, aku kembali ke kamar. Teh sudah hampir habis. Pintu kamar aku dorong. Tidak terbuka. Sekali lagi aku coba. Tetap tidak terbuka. Hatiku mulai berdebar-debar. Ketika itulah, aku baru sadar bahwa rupanya pintu apartemen yang aku tempati dirancang untuk mengunci secara otomatis. Jadi, jika penghuninya keluar rumah tanpa mengunci pintu, pintu itu akan mengunci sendiri. Sebenarnya itu ide yang bagus. Setidaknya untuk alasan keamanan. Jika penghuninya buru-buru pergi dan lupa mengunci pintu, ia tidak perlu khawatir karena maling tidak akan bisa masuk. Namun, buatku saat itu, kunci otomatis adalah awal dari minggu pertama yang mengerikan di Eropa. Ketika keluar apartemen, aku hanya mengenakan celana pendek krem dan kaus panjang hitam. Sampah sudah dibuang. Tinggallah secangkir teh yang hampir habis dan mulai dingin di tanganku serta sebuah pemutar musik dengan earphone di telingaku.
Setelah menunggu beberapa saat, aku mencoba mendorong lagi pintu apartemenku, berharap insiden ini hanya ilusi. Aku berharap pintu serta-merta akan terbuka. Namun, pintu itu tidak juga bergerak. Aku mencoba lagi berkali-kali.
Sama saja. Pintu itu tak juga terbuka. Untuk yang satu ini keyakinan saja tidak cukup. Aku butuh kunci.
Pikiranku langsung melayang. Aku menyadari bahwa aku benar-benar terkunci di luar. Sialnya, aku tidak membawa apa-apa. Saat itu, Minggu dan baru pukul delapan pagi, waktu yang terlalu dini bagi penghuni lain untuk bangun. Tak ada seorang pun penghuni yang terlihat. Artinya, tak ada seorang pun yang bisa ditanyai atau dimintai tolong.
Matahari sudah muncul sejak pukul enam pagi karena saat itu awal musim panas. Udara sejuk sisa musim semi masih terasa, terutama pada pagi hari. Aku berjalan ke bangku-bangku di halaman sebelah kiri apartemen sekadar mencari sinar matahari. Aku hanya mengenakan celana pendek dan kaus, sinar matahari akan membuatku merasa lebih tenang dan hangat. Seekor kelinci tampak asyik berjemur sambil memakan rerumputan. Di seberang sana, domba-domba khusyuk menikmati santap paginya. Sementara itu, induk bebek liar sibuk mengasuh anak-anaknya, tak jauh dari bangku tempatku duduk.
Sekarang, aku tahu yang harus kulakukan: menelepon bagian emergency pengelola apartemen ini. Namun, tunggu dulu, bukankah ponselku tertinggal di dalam? Oke, kalau begitu aku harus mencari bantuan untuk menelepon bagian emergency.
Akhirnya, aku memutuskan untuk meminta pertolongan Florence, mahasiswi asal Afrika Selatan yang kebetulan tinggal di kompleks apartemen ini. Aku mengenalnya karena kami mengikuti program yang sama. Meski saat itu masih terlalu pagi, aku nekat saja. Apa mau dikata. Ini emergency.
Aku mengetuk pintu kamar Florence. Satu, dua, tiga kali ketukan. Tak ada jawaban. Sebenarnya, aku merasa bersalah mengganggunya sepagi itu, tetapi aku yakin ia akan mafhum dengan kondisiku. Aku coba sekali lagi. Berhasil. Dari dalam kamar terdengar ada suara. Ketika pintu dibuka, Florence memicingkan matanya yang silau melihat cahaya.
"Hi, Ip, ada apa?" tanya Florence dengan wajah kaget.
"Hi, Florence. Aku minta maaf karena mengganggumu sepagi ini. Tetapi, ini darurat."
"Ada apa?" tanyanya sambil mempersilakan aku masuk.
"Tadi pagi, saat hendak membuang sampah, aku tidak membawa kunci kamar karena aku tidak menyangka pintu terkunci otomatis. Sekarang, aku tidak bisa masuk kamar. Tinggallah aku seperti ini," kataku dengan wajah memelas.
"Oh ... really?So, how can Ihehpyou?" Florence menawarkan pertolongan.
"Boleh aku pinjam ponselmu? Aku ingin menelepon pengelola apartemen agar datang membantu."
"Oh, Ip, maaf sekali, pulsa di ponselku habis. Aku belum sempat beli lagi. Selama minggu pertama di sini, aku banyak sekali menelepon keluargaku di Jo'burg." Jo'burg adalah sebutan lain untuk Johannesburg, kota terbesar di Benua Afrika, tempat Florence tinggal.
Aku kembali memaksa otakku berpikir keras.
Baiklah jika begitu. Aku bisa memakai telepon internet.
Aku masih punya pulsa 10 dolar di Skype. Biasanya aku gunakan telepon internet itu untuk menelepon istriku karena menelepon antarnegara menggunakan telepon genggam sangatlah mahal. Aku sudah langganan Skype sejak di Melbourne dan pulsanya baru kuisi ulang menggunakan kartu kredit setiba di Utrecht seminggu yang lalu.
"Apakah kau punya earphone sekaligus mikrofon untuk telepon internet?" aku bertanya pada Florence dengan penuh harap.
"Oh, maaf, aku tidak punya. Aku hanya punya earphone biasa saja," Florence tampak merasa bersalah karena tidak bisa menolong.
Skenario kedua gagal. Saatnya otak diperas lagi untuk mencari pertolongan. Florence menyarankanku datang ke kamar mahasiswa lain sesama peserta Sekolah Musim Panas. Aku setuju. Namun, sebelum mengikuti sarannya, terlintas sebuah ide gila: pasang pengumuman di Facebook Perhimpunan Pelajar Indonesia di Utrecht. Aku tahu ada beberapa orang Indonesia tinggal dekat kompleks apartemen ini. Namun, aku belum kenal dan tidak tahu lokasi tepatnya mereka tinggal. Aku meminjam notebook Florence untuk log in ke Facebook dan memasang pengumuman:
Halo, Kawan-Kawan. Aku Iip, pendatang baru di Utrecht. Aku butuh pertolongan. Emergency. Kamarku terkunci secara otomatis, sementara aku tidak membawa kunci. Aku tinggal di kamar 15 N Bolognalaan, kompleks apartemen milik SSH di kompleks apartemen mahasiswa Universitas Utrecht. Mahasiswa Indonesia yang dekat sini, TOLONG AKU. Terima kasih. Iip Muhammad Syarip.
Pengumuman itu aku pasang di Facebook. Selama beberapa saat, tidak ada jawaban.
Sementara menunggu tanggapan dari kawan-kawan mahasiswa Indonesia, aku naik ke Lantai 3 apartemen. Florence menyarankan agar aku ke kamar Jin Hu, mahasiswi asal China. Aku berharap Jin Hu punya pulsa untuk menelepon.
Setelah mengetuk pintu berkali-kali, Jin Hu muncul dengan wajah acak-acakan selayak orang yang baru bangun tidur. Seperti sebelumnya, aku meminta maaf lantas menjelaskan kasus yang aku alami. Jin Hu langsung menyodorkan ponselnya kepadaku. Sial, aku lupa mencari tahu nomor telepon emergency pengelola apartemen. Aku terpaksa kembali ke kamar Florence di lantai satu dan meminjam laptopnya untuk mencari info tersebut lewat internet.
Pada akhirnya, aku bisa menghubungi bagian emergency.
Akan tetapi, rupanya keberuntungan belum berpihak kepadaku. Ketika menelepon, tiba-tiba sambungan telepon putus. "Tut... tut... tut." Sial, rupanya pulsa Jin Hu juga habis. Aku mulai kesal. Kesal kepada diri sendiri.
Kini, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu respons dari kawan-kawan sesama mahasiswa Indonesia di Facebook. Setelah 10 menit, muncul pesan dari beberapa orang. Ada yang memberi nomor telepon mahasiswa yang tinggal dekat situ. Ada yang malah meledek. Ada juga yang merasa kasihan dan bilang akan menelepon orang yang tinggal di sekitar tempat aku tinggal.
Tak berapa lama, sebuah pesan penuh harapan muncul. Aku diminta datang ke kamar 3C. Alhamdulillah, ternyata ada juga tetangga orang Indonesia bernama Mbak Melati yang bersedia menolongku. Aku bergegas ke kamar itu. Tak lupa berterima kasih kepada Florence.
Dengan senyum ramah, Mbak Melati menyambutku, sambil merasa lucu melihat pakaian yang kukenakan.
"Kasihan sekali, Dik. Kok, bisa?" Ia memanggilku "Adik", mungkin karena aku terlihat lebih muda.
"Aku benar-benar tidak tahu kalau pintunya mengunci otomatis, Mbak," aku menjawab sambil merutuki kebodohanku.
"Di Melbourne, pintu apartemenku tidak seperti itu."
"Iya, nggak apa-apa. Biar jadi pengalaman buatmu," kata Mbak Melati sambil menahan tawa.
Ia mempersilakanku masuk. Aku menyampaikan rencana untuk menelepon bagian emergency dan ia setuju.
"Itu satu-satunya jalan Adik bisa masuk," kata Mbak Melati. "Karena ini Minggu, biayanya pasti mahal. Bisa sampai 50 euro," lanjutnya.
Meski nilai itu kuanggap terlalu tinggi, aku tidak peduli. Yang penting bisa masuk ke apartemenku. Anggap saja 50 Euro sebagai uang buang sial.
Melalui telepon genggam, Mbak Melati menolongku menelepon pengelola apartemen. Hatiku mulai tenang. Kami disuruh menunggu. Orang dari bagian emergency balik menghubungi.
Hampir setengah jam berlalu. Tak ada juga telepon. Mbak Melati memberiku segelas jus apel. Saat itulah, kami berbincang mengenai latar belakangnya yang unik. Ia adalah lulusan kampus King Abdulaziz di Arab Saudi. Namun, ia tidak belajar hadis atau Al-Quran, melainkan belajar teknik lingkungan. Kampusnya menjalin kerja sama dengan Universitas Utrecht. Ketika selesai kuliah, profesornya di Utrecht menawarkan pekerjaan. Jadilah ia tinggal di sini dan menghuni apartemen dekat apartemenku tinggal. Telepon berdering. Telepon yang telah kami tunggu-tunggu. Aku girang tiada tara. Ini berarti sebentar lagi aku bisa kembali ke kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. "Dik, kamu harus membayar 100 Euro. 90. Euro uang fee dan 10 Euro u ituk administrasi. Kalau kamu bersedia membayar segitu, pengelola apartemen akan mengirimkan orang. Bagaimana?"
"Apa? S-e-r-a-t-u-s e-u-r-o? Terlalu! Itu namanya durjana. Aku nggak mau, Mbak. Biar saja aku tidur di emperan. Biar saja nanti pas hari kerja aku ambil kuncinya. Toh, kalau hari kerja gratis, tinggal meminjam kunci serep dari kantor pengelola," jawabku sambil menggerutu. Rasa kesalku memuncak
Setelah menyampaikan bahwa bagian emergency tidak perlu datang, Mbak Melati menghampiriku yang dirundung kekesalan. Aku berusaha tetap tenang. Dalam situasi normal, jantung orang dewasa berdetak 70 kali per menit. Saat itu, rasanya jantungku berdetak 200 kali per menit saking kesalnya.
"Ini hari libur, Dik. Jadi mereka meminta uang ekstra. Memang begitu peraturannya."
"Iya, Mbak. Tetapi, aku tidak menyangka akan semahal itu," jawabku kaget.
"Lantas, apa rencanamu sekarang?"
"Sementara aku akan mengungsi ke Leiden, Mbak. Itu opsi yang ada. Aku tidak punya kawan pria di sini. Tidak mungkin aku menumpang di tempat Mbak atau orang yang tidak kukenal."
"Tetapi, Leiden jauh. Tidak ada opsi lain?"
Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau ada tetangga Indonesia cowok dekat sini yang mau berbaik hati untuk kutumpangi, aku akan ambil pilihan itu. Tetapi, sepertinya nggak ada. Aku belum punya kenalan di sini. Mbak Melati orang Indonesia pertama yang kukenal di sini. Terpaksa aku harus ke Leiden."
"Apa kamu akan ke Leiden dengan pakaian seperti itu?"
"Mau bagaimana lagi, Mbak. Tak apalah yang penting selamat. Toh, ini, kan, musim panas, banyak orang bercelana pendek ke mana-mana," kataku sambil membesarkan hatiku sendiri.
Mbak Melati hanya tersenyum. Perjalanan dari Utrecht ke Leiden seperti perjalanan dari Cianjur ke Jakarta, tetapi dapat ditempuh hanya dalam 40 menit menggunakan kereta cepat. Di sana, aku akan menumpang di tempat tinggal Surahman. Aku bisa meminjam pakaiannya dan tentu lebih nyaman menginap di tempat orang yang kukenal baik.
Mbak Melati memberiku pinjaman uang 50 euro untuk ongkos ke Leiden. Bergegas, aku berjalan menuju halte bus terdekat.
Belum lagi aku jauh berjalan, Mbak Melati memanggilku, "Dik, kamu harus bawa identitas, takut terjadi apa-apa."
Aku hampir lupa pada hal yang sangat penting itu. Atas saran Mbak Melati, aku pergi ke kantornya di kampus untuk mencetak identitas yang kuunduh dari surel. Atas saran dari seorang profesorku di Australia, aku menyimpan identitas yang sudah dipindai di surel. Sekarang, terbukti bahwa saran itu sangat bermanfaat.
Sepanjang jalan, aku tidak berhenti meratapi nasib. Betapa sialnya aku hari itu. Hal sepele jadi masalah besar. Hanya karena ingin membuang sampah, aku jadi terlunta-lunta. Namun, ya, sudahlah. Sekarang aku akan ke Leiden dan menginap di sana dua hari. Senin lusa adalah hari libur nasional di Belanda. Kalau tidak salah hari raya Pinkster, semacam perayaan hari suci dalam agama Kristiani. Baru Selasa pagi aku akan kembali ke Utrecht untuk meminjam kunci serep ke pengelola apartemen.
Ketika sampai di halte bus Botanise Tuinen di dekat kampus, bus baru saja datang. Seperti biasa, bus selalu datang tepat waktu sesuai jadwal dan aku tidak perlu menunggu lama. Karena tidak membawa kartu langganan bus, aku menyodorkan satu-satunya uang yang kupegang kepada supir bus. Sopir itu terlihat kesal.
"Kau tidak bisa pakai uang pecahan 50 euro untuk membayar ongkos bus yang hanya 2 Euro. Aku tidak punya kembaliannya. Maaf!" kata supir itu.
"Terus bagaimana? Maaf, aku hanya punya uang ini, tidak ada lagi," jawabku sambil mengiba.
"Tidak bisa. Kamu harus cari pecahan lebih kecil di sana."
Sopir itu menunjuk kompleks pertokoan yang masih tutup. Ia terlihat terburu-buru dikejar waktu.
"Maaf, Anda tidak bisa menumpang bus ini. Kamu harus turun!"
Dengan lunglai, aku terpaksa keluar dari bus itu diiringi tatapan aneh penumpang yang lain.
Serta-merta aku merasa sebagai orang paling sial di dunia pada hari itu. Pagi-pagi sudah terkunci di luar kamar, kedinginan, dan kesulitan mencari bantuan. Giliran ada kawan yang mau membantu, ponselnya kehabisan pulsa. Setelah berhasil menelepon dan pihak emergency siap datang, aku diminta membayar biaya yang tak masuk akal. Sekarang, sopir bus mengusirku. Terlalu! Betapa nelangsanya terlunta-lunta di Eropa seorang diri, hanya mengenakan kolor dan kaus dalam tanpa membawa identitas resmi. Sedih.
Aku ingin hari itu segera berlalu, hari esok segera tiba dan semua penderitaan itu berhenti.
Aku kembali ke apartemen yang jaraknya lumayan jauh, hendak meminjam uang receh dari Florence untuk ongkos bus.
Aku berjalan ke arah timur menyusuri gedung-gedung kampus, pertokoan, dan kantin yang masih tutup, serta padang luas diselimuti rumput hijau. Angin yang berembus kencang menerbangkan plastik dan dedaunan.
Apartemenku adalah sebuah bangunan unik berbentuk mirip kontainer berwarna-warni yang disusun bertumpuk. Di belakang, ada kompleks bangunan modern yang merupakan kampus Universitas Utrecht. Di samping apartemen terdapat padang rumput tempat domba-domba digembalakan. Kelinci bebas berkeliaran. Burung-burung bernyanyi tiap pagi. Namun, keindahan De Uithof, nama distrik tempatku tinggal selama di Utrecht, benar-benar sirna karena kekalutan dan kesialan yang kualami pagi itu.
Singkat cerita, setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya aku tiba di Leiden pada pukul empat sore. Perut yang sedari pagi belum diisi membunyikan orkestra mahadahsyat. Aku bergegas ke restoran Indonesia tak jauh dari Stasiun Pusat Kota Leiden. Aku memesan ikan bumbu cabai dan sayuran. Di restoran itu, tidak ada siapa pun selain aku dan pelayan restoran, Pak Wahid namanya. Pria asli Makassar yang sudah 30 tahun tinggal di Belanda ini mengajakku berbincang. Pertanyaan pertamanya sudah bisa ditebak.
"Kok, cuma pakai celana pendek, habis olahraga, ya?"
"Iya, Pak, ingin olahraga. Mumpung libur. Sesekali olah-raga tidak ada salahnya, kan?"
Ketika akhirnya sampai dengan selamat di apartemen Surahman, aku masuk ke kamarnya sambil menggigil. Sementara itu, ia telah siap mendengarkan cerita konyol yang kualami pada minggu pertamaku di Eropa.
*** Sebulan di Belanda "Who had a beauty too much more than human? Oh, where are the snows ofyesteryear!" (Frangois Villon)
PERISTIWA KONYOL pada minggu pertamaku di Utrecht sudah berlalu. Aku sudah bisa menikmati hari-hari di De Uithof. Sore yang indah baru saja pergi. Aku mengantar matahari senja beranjak pergi dari jendela apartemenku sambil menitipkan salam rindu untuk istriku dan Amartya di kampung. Aku tahu, esok pagi, matahari senja akan menyapa keluargaku di suatu desa nun jauh di sana. Kelinci berlarian di dekat jendela, melompat ke sana kemari seakan merayakan kehangatan mentari sore. Domba-domba di seberang sana, seperti biasa, tidak peduli dengan situasi apa pun. Mereka hanya makan rumput.
Waktu terbang secepat kilat. Rasanya baru kemarin aku meninggalkan Melbourne. Kini sebulan sudah aku tinggal di Utrecht. Ternyata, berat sekali hidup jauh dari anak dan istri. Apalagi, ketika mendengar istriku bercerita tentang Amartya yang mulai meniru kata, mengenal benda, dan melafalkan nama. Hatiku rasanya semakin rindu. Aku tidak sepenuhnya rela jauh dari anakku yang sedang berada dalam masa emas pertumbuhannya.
Akan tetapi, di sisi lain, sudah sebulan aku menikmati Utrecht. Seperti umumnya kota-kota tua di Eropa, kota ini terdiri atas bangunan-bangunan tua macam gereja, museum, taman, dan pusat kota dengan pedestrian dari batu bata merah yang luas dan bebas kendaraan. Udara bersih dan segar. Tidak ada polusi.
Seperti di Melbourne, di sini orang lebih memilih menggunakan sepeda untuk bepergian, daripada mobil atau motor. Jalur sepeda ada di mana-mana. Meski begitu, sepeda kadang membuat kota sedikit semrawut. Orang seenaknya mengunci sepeda di mana pun mereka suka: di trotoar, tiang listrik, pagar besi, pohon, dan lain-lain, seolah-olah seluruh kota adalah pekarangan rumahnya. Sebenarnya, ada fasilitas parkir sepeda, tetapi selalu penuh sehingga tidak bisa menampung semua sepeda yang diparkir. Jika angin besar berembus atau seseorang menyenggol sepeda yang baris terparkir, sepeda-sepeda itu jadi berantakan karena jatuh bertumpukan.
Lebih dari yang lain, yang aku suka dari umumnya kota-kota di Belanda adalah kanal-kanalnya. Kanal-kanal itu dibuat hampir di setiap sudut kota. Kanal-kanal itu bersih dan rapi. Ada kayak, perahu, dan kapal pesiar mini berseliweran di kanal-kanal itu. Sepanjang sisinya, kafe-kafe dan perkantoran berbaris rapi dan tertata. Pada minggu pertama di sini, aku berkesempatan mencicipi naik kapal mewah bersama kawan-kawan peserta program Sekolah Musim Panas. Sebuah pengalaman yang menarik. Aku berkeliling kota dengan menyusuri kanal sambil menikmati minuman dan makanan. Yang lain menikmati wine dan bir, aku hanya minum jus jeruk.
Aku juga pernah mencoba kanal yang berada di dekat Kebun Raya Kota Utrecht, tak jauh dari De Uithof. Kanal ini lebih besar dan rupanya menjadi tempat tujuan wisata. Selama hampir tiga jam aku menggunakan perahu kayak menyusuri kanal jauh ke pedalaman. Untuk menyewa perahu itu, aku harus membayar 10 euro. Tidak terlalu mahal. Aku mendayung perahu itu melewati rimbun pepohonan, kebun bunga, peternakan, dan rumah-rumah warga. Kanal itu berujung di sebuah restoran pannenkoeken di dekat peternakan kuda dan sebuah hotel kecil. Di tempat itulah orang-orang menambatkan perahu masing-masing untuk beristirahat sambil menikmati makanan khas di daerah itu: panekuk.
Aku beberapa kali berusaha untuk jatuh cinta kepada panekuk, tetapi selalu gagal. Buatku, rasa kue itu terlalu datar. Hanya terbuat dari tepung dan sedikit gula yang dipanggang, kemudian disiram sedikit sirup. Bagiku, rasa martabak jauh lebih enak ketimbang kue panci itu. Aku pernah mencoba panekuk apel, nanas ,dan panekuk biasa. Namun tetap saja lidahku tidak mau menerimanya. Baru memakannya setengah, aku sudah mual. Setelah menikmati-tentu aku tidak menikmati-panekuk, aku mendayung perahu kembali ke hulu.
Aku masih akan tinggal di kota ini sebulan lagi. Program yang aku ikuti baru akan selesai akhir Juli. Setelah itu, aku harus pindah ke Leiden. Aku adalah satu-satunya mahasiswa Indonesia dalam program itu. Dari 34 orang peserta, sebagian besar merupakan mahasiswa asal Amerika dan Eropa. Ada dua orang dari Afrika Selatan-termasuk Florence- dan beberapa orang dari China.
Jadwal kuliahku masih sangat padat. Setiap hari, aku hanya pergi ke kelas dan pulang ke De Uithof. Kelasku berlangsung di Jalan Achter Sint Pieter, di daerah pusat kota. Aku biasanya turun di halte bus Janskerkhof dan sedikit jalan ke dekat patung Willibrordus yang sedang naik kuda. Patung itu dibuat pada 2006 untuk mengenang jasa pendakwah Kristen abad ke-6 bernama Willibrordus dari Northum-bria. Daerah itu kini berada di Inggris Utara. Willibrordus adalah Uskup Utrecht Pertama. Patung itu sengaja dibuat tidak menghadap ke jalan utama, tetapi menghadap ke jalan kecil berbata merah yang berujung di gereja tua yang biasa disebut Dom van Utrecht. Posisi patung menunjukkan seolah Willibrordus yang sedang naik kuda hendak pergi berkhotbah di gereja itu. Aku melewati jalan kecil berbata merah yang diapit kafe-kafe dan pertokoan itu setiap hari.
Jalan itu berujung di jalan simpang tiga persis di samping Dom. Menara dengan salib di atasnya sudah kelihatan dari jalan raya, tinggi menjulang, perkasa, tetapi terlihat kurang bahagia. Aku tahu, hampir setiap gereja di kota-kota di Belanda tidak lagi, atau jarang sekali, dipakai untuk acara kebaktian atau ibadah. Fungsinya telah berubah jadi, museum dan objek wisata. Banyak gereja yang telah dijual. Seorang pengusaha Indonesia membeli sebuah gereja di Den Haag untuk kemudian diubah menjadi masjid bagi masyarakat Indonesia di sana.
Setiap kali aku melewati gereja yang sudah tidak dipakai itu, aku membayangkan diriku sendiri sebagai biarawan yang belajar di monastery, semacam pesantren pada Abad Pertengahan. Tentu dulunya gereja tua yang disebut Dom itu adalah pesantren buat para biarawan menuntut ilmu-ilmu teologi agama Kristen. Di belakang gereja itu, ada taman yang dipagar dinding tinggi berlumut yang menghubungkan gereja dengan bangunan tua lain di belakangnya. Taman di dalam kompleks gereja itu disebut Pandhof, semacam pondokan bagi para rahib pengurus gereja. Di bangunan-bangunan itulah dulu para santri di monastery mempelajari Injil dan teologi Kristiani. Kini, bangunan di belakang gereja itu dipakai oleh kampus Universitas Utrecht.
Beberapa kali aku masuk ke taman itu. Di dalam Pandhof, ada papan kuning ditutup fiber bening bertuliskan cerita tentang taman, gereja, dan bangunan-bangunan itu saat dulu dipakai. Pandhof sendiri dibangun pada abad ke-15 dan dipakai oleh para biarawan dan santri-santrinya belajar, bermeditasi, dan lain-lain. Dulu, taman itu dilengkapi lentera raksasa yang cukup untuk menerangi seluruh taman. Sampai abad ke-18, Pandhof masih dipakai untuk pekuburan para biarawan dan pendeta di sana. Namun, ternyata Pandhof pernah sepenuhnya kehilangan fungsi keagamaannya. Pada abad ke-16, orang-orang sekitar gereja menggunakan taman itu untuk memelihara ayam, menjadikannya gudang penyimpanan gerobak tua, juga tempat minum-minum dan pesta pora. Bahkan, Pandhof juga pernah menjadi pasar daging dan gudang senjata.
Persis di depan pintu gerbang Pandhof yang bercat merah, di samping gereja, di dekat jalan menuju kelasku, patung seseorang bernama Francois Villon berdiri. Mengapa patung itu ditaruh di samping gereja? Mungkin karena selama hidupnya, Villon adalah seorang penyair, pengembara, pengkritik gereja, pemberontak, pembunuh, sekaligus buronan. Singkatnya, ia adalah seorang legenda. Karya-karyanya, terutama puisi, sangat penting dalam sejarah kesusastraan Barat Abad Pertengahan. Namun, pada masa itu, gereja tidak suka karena ia seorang pemberontak dan bohemian nyentrik. Berabad kemudian, barulah namanya diakui sebagai legenda. Patung Villon menyambut siapa pun yang berkunjung ke Pandhof dan mengawasi siapa pun yang melintasi jalan di samping gereja.
Selama ini, aku belum sempat main ke kota lain di Eropa selain Brussel di Belgia dan kota-kota di Belanda. Dua minggu lalu, aku sempat berkunjung ke Den Haag bersama seluruh peserta program. Kami berkunjung ke Peace Palace atau Istana Per-damaian, bangunan tua abad ke-18 yang sekarang dijadikan kantor dua lembaga hukum internasional sekaligus: Mahkamah Internasional dan Pengadilan Arbitrase Internasional.
Aku masuk ke ruang sidang, perpustakaan, dan ruang-ruang lain di gedung itu. Saat duduk di kursi tempat hakim Mahkamah Internasional memutuskan perkara, aku membayangkan mungkin suatu saat nanti akulah yang duduk di kursi itu.
Aku tiba-tiba teringat, di ruang yang megah, berwibawa, dan sedikit terasa angker itu, pada 17 Desember 2002, Hakim Gilbert Guillaume asal Prancis membacakan putusan yang menyakitkan: Indonesia kehilangan dua pulau, Sipadan dan Ligitan. Para hakim, setelah sidang beberapa kali dan mendengarkan argumen para pihak, memutuskan bahwa kedua pulau itu berada di bawah kedaulatan Malaysia. Indonesia keok di ruang sidang ini!
Relief-relief kaca berwarna-warni ukuran raksasa yang menghiasi langit-langit ruangan kayu itu seakan menjadi saksi bisu berpuluh-puluh kasus diperdebatkan dan diputuskan. Saksi atas kemenangan dan kekalahan.
Istana Perdamaian sendiri mempunyai cerita yang menarik dan berharga bagi dunia. Den Haag sejak dulu dikenal sebagai kota perdamaian. Pada Mei 1899, ratusan orang diplomat, politisi, ahli hukum, kalangan militer, dan tukang lobi dari seluruh dunia tumpah ruah ke ibu kota Belanda itu. Mereka berkumpul di Istana Huis ten Bosch untuk mengikuti acara Konferensi Perdamaian Internasional. Tentu saja, delegasi Indonesia tidak hadir karena Indonesia pada saat itu belum lahir.
Acara itu digagas setahun sebelumnya oleh Tsar Russia, Raja Nicholas II. Usulannya disambut Pangeran Edward VII, calon Raja Inggris yang merupakan keponakan Nicholas. Meski awalnya Edward menolak, untuk menghormati pamannya yang baru jadi Raja Rusia, akhirnya ia setuju untuk mengadakan Konferensi Perdamaian Internasional. Den Haag dipilih sebagai tuan rumah.
Banyak yang dihasilkan dari pertemuan itu, tetapi ada dua yang paling penting: berdirinya Pengadilan Arbitrase Internasional dan disepakatinya hukum dan aturan berperang yang dikenal dengan sebutan Konvensi Den Haag. Pengadilan Arbitrase didirikan agar para raja Eropa dan negara-negara lain yang terlibat perseteruan atau percekcokan tidak menyelesaikannya di medan perang, tetapi di atas meja perundingan. Alasan Tsar Nicholas cukup kuat. Para raja di Eropa semuanya bersaudara. Mereka bertalian darah. Rata-rata sepupu atau keponakan. Lantas, mengapa harus berperang satu sama lainnya? Lebih baik berdamai.
Akan tetapi, toh, jika pun perang jadi pilihan untuk menyelesaikan masalah, harus ada hukum yang mengatur perang yang baik. Absurd memang. Tidak ada perang yang baik. Ya, tetapi perang yang tidak baik bisa dibuat lebih manusiawi. Maka, disepakatilah hukum dan aturan berperang yang lantas disebut Konvensi Den Haag.
Setelah Mahkamah Arbitrase berdiri, tentunya dibutuhkan kantor untuk orang-orang mewujudkan dunia tanpa perang itu. Andrew Carnegie, pengusaha paling kaya di dunia asal Amerika saat itu, terketuk hatinya untuk membiayai pembangunan gedung yang kukunjungi itu. Ia menyumbangkan kurang lebih 2 juta dolar untuk membangun Istana Perdamaian. Carnegie membuat sayembara arsitektur terbuka bagi siapa pun di dunia untuk merancang gedung. Hasilnya, desain Louis-Marrie Cordonnier dari Lille, Prancis, memenangkan sayembara. Mulai dibangun pada Juli 1907, bangunan megah berarsitektur baroque itu baru selesai.
Hampir seratus tahun kemudian, seorang pemuda culun dari Desa Bojong mempunyai kesempatan masuk berkeliling ke setiap sudut ruangan di gedung itu, melihat patung-patungnya, melihat ornamen relief dari kaca, menginjak ubin marmernya, duduk di kursi hakim yang terbuat dari kayu megah seperti singgasana, berjalan-jalan di tamannya, dan makan di kantinnya.
Ada satu hal lagi yang unik dari Istana Perdamaian Den Haag. Setiap negara anggotanya diminta menyumbang ala kadarnya, baik bagi pembangunan maupun bagi perawatan gedung itu. Sumbangan itu bentuknya macam-macam dan tidak mesti uang. Jam gadang di atas menara bangunan istana yang mirip menara masjid itu disumbangkan oleh Swiss. Jika masuk ke ruang sidang Pengadilan Arbitrase dan melihat ke atap ruangan, ornamen kayu yang sangat indah dan simetris terlihat menutupi langit-langit. Konon, langit-langit itu dibuat dengan tidak menggunakan paku atau mur sedikit pun. Ornamen kayu di langit-langit itu adalah sumbangan dari Negara Paman Sam, Amerika.
Di sebelah kiri pintu masuk ruang sidang, ada patung besar dan beberapa patung kecil bercat emas berkilau. Benda itu sumbangan Prancis. Ubin marmer di seluruh ruangan adalah hasil sumbangan Italia. Jepang menyumbang lukisan kanvas raksasa bergambar perempuan-perempuan Jepang mengenakan kimono dengan latar hutan bambu di ruang sidang yang dinamai Ruang Jepang. Menurut pemandu yang mengantar kami, Jepang menyumbang bukan hanya lukisan, melainkan juga seluruh isi ruangan dan sejumlah uang untuk Istana Perdamaian. Di Ruang Jepang, itu ada sekitar 112 kursi ditata melingkar dengan meja ukuran sedang memanjang di tengah. Setiap kursi mewakili satu negara. Di setiap sandaran kursi beledu merah darah terpampang lambang-lambang negara anggota. Misalnya, ada gambar singa bermahkota dan kuda unicorn bertanduk memegang tiara dengan dua tulisan Latin: Dieu et mori droit dan Honi soit qui malypense. Setelah aku cek di kamus, tulisan lambang Kerajaan Inggris itu berarti 'Tuhan dan hakku' serta 'Mereka yang berpikir jahat akan dipermalukan'.
Dengan teliti, aku mencermati setiap gambar di kursi beledu merah darah itu, berharap Garuda, dengan tiga puluh empat bulu sayap, wajah menghadap ke kanan dan lima simbol di dada, bertengger di sana. Tidak ada. Sekali lagi, aku lihat secara lebih saksama. Aku sempat melihat sebuah gambar yang mirip dengan gambar yang tengah aku cari. Aku sempat senang, ini dia gerangannya. Namun, garuda itu ternyata berkaki seperi manusia. Makhluk itu sedang bersila dengan tangan bersayap. Itu memang garuda, tetapi garuda yang jadi lambang Thailand.
Garuda punya negara kita tidak ada di sana karena Indonesia ternyata belum menjadi anggota Pengadilan Arbitrase Internasional. Tidak seperti Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, dan negara lain di Asia, negara kita tercinta sampai sekarang belum terdaftar menjadi anggota. Bisa jadi karena Indonesia belum mendaftar. Mungkin karena pegawai urusan luar negeri terlalu sibuk mengurusi TKI. Tentu aku bercanda. Mereka sibuk tidak melakukan apa-apa.
Setelah puas berkeliling, aku dan rombongan diajak berkunjung ke markas Mahkamah Pidana Internasional. Letaknya tidak terlalu jauh dari Istana Perdamaian. Namun, aku sedikit kecewa. Sebelumnya, aku membayangkan akan masuk ke ruang sidang dan kantor-kantor di kompleks bangunan tua yang unik dan angker. Ternyata tidak. Bangunan ini bergaya modern dengan bentuk kubus dengan kaca-kaca. Hanya ada plang kecil biru dengan tulisan berbahasa Prancis dan Inggris Cour Penale Internationale/International Criminal Court yang berarti 'Mahkamah Pidana Internasional'. Tidak seperti Istana Perdamaian, kantor Mahkamah Pidana Internasional dijaga ketat oleh polisi dan pihak keamanan. Ada barikade kawat berduri di dekat pintu masuknya. Lucunya, langit-langit bangunan itu sangat pendek. Kawanku dari Amerika, James, yang mantan pemain tenis lapangan, sampai harus menunduk. "Maklum, dulunya kantor ini untuk gedung parkir," kata pegawai Mahkamah yang mengantar kami.
Tujuanku dan rombongan ke sana adalah untuk melihat proses persidangan berlangsung. Kami masuk ke ruangan kedap suara dengan lampu temaram mirip di bioskop. Kursi disusun menurun dengan balkon di belakang. Yang memisahkan ruangan itu dengan ruang sidang utama adalah kaca tebal kedap suara. Untuk mendengar apa yang dibicarakan oleh hakim dan para saksi di dalam ruang sidang, setiap pengunjung diberi earphone lengkap dengan remote. Di remote itu terdapat beberapa tombol. Tombol satu untuk bahasa Inggris, tombol dua untuk bahasa Prancis, dan tombol tiga untuk bahasa dari negara asal kasus yang sedang disidangkan. Satu lagi tombol untuk volume.
Yang kami saksikan saat itu adalah persidangan kasus kejahatan kemanusiaan di Kongo dan Republik Afrika Tengah. Kasus itu dinamakan "Kasus Bemba" karena terdakwa yang sedang disidang bernama Jean-Pierre Bemba Gombo. Bemba adalah seorang politisi dan pengusaha di Kongo yang memprakarsai, mendanai, dan menjadi komandan Gerakan Pembebasan Kongo (GPK). Bemba memerintahkan pasukan GPK untuk membantu kawannya, Presiden Republik Afrika Tengah, Ange-Felix Patasse, yang terancam dikudeta militer. Pasukan GPK terlibat aksi pembantaian dan pembunuhan warga sipil tak berdosa pada kurun 2002-2003. Bemba yang pernah menjadi Wakil Presiden Kongo itu dituduh bertanggung jawab atas kejahatan anak buahnya. Sejak kalah dari Presiden Joseph Kabila pada Pemilihan Umum Kongo 2006, Bemba hidup di pengasingan. Ia ditangkap di Brussel, Belgia. Belgia adalah negara tempat Bemba menempuh pendidikan magister dan doktoral, serta tempat ia menjalankan bisnis.
Bemba lantas diadili di Mahkamah itu. Persidangan yang kulihat tak ubahnya persidangan pada umumnya: hakim, pengacara, penuntut, terdakwa, dan para saksi. Bedanya, persidangan itu terasa berjalan begitu lambat karena setiap tahapan harus diterjemahkan kedalam tiga bahasa sekaligus. Cukup membosankan, tetapi itu adalah pengalaman berharga buatku
Hari beranjak sore. Tetapi terang tak juga beranjak pergi karena saat itu awal musim panas. Kami bergegas menuju tempat lain. Namun tempat yang satu ini bukan tempat-tempat para peserta Sekolah Musim Panas harus belajar. Kami hendak sedikit bersantai dan melepas senja yang telat datang di Pantai Scheveningen sambil minum-minum. Pantai itu berada di ujung utara Benua Eropa. Pantai dengan ombak yang tak bersahabat serta pasir yang dipenuhi lumut. Sepanjang pantai, restoran yang menawarkan beragam menu berbaris rapi. Angin yang membawa udara dingin dari kutub utara membuatku sedikit menggigil. Kami berkumpul mengelilingi perapian yang disediakan restoran sambil menikmati beragam hidangan. Kami tak juga beranjak pergi sampai hari menjadi gelap.
*** Leiden SEKALIBERMIMPI, bersiap-siaplah untuk hal-hal mengejutkan. Kadang mimpi itu menjelma lebih cepat dari dugaan kita.
Leiden adalah kampus impianku. Namanya kali pertama kudengar dari Kang Hafid, sang alumnus yang bercerita tentang mimpi dan pengalamannya. Alhamdulillah, aku berkesempatan belajar di kampus bersejarah sekaligus kampus tertua di Belanda. Kampus ini didirikan pada 1575 oleh Pangeran William van Orange yang merupakan kerabat dari pendiri Kerajaan Belanda, Raja Orange-Nassau.
Setelah masa kuliahku di Universitas Utrecht selesai aku pindah ke Leiden. Di sini aku harus menyelesaikan tesis. Kota ini tidak seramai Utrecht. Kota kecil yang asri, tetapi sangat bersejarah. Seperti kota lain di Belanda, kanal-kanal dan pusat perbelanjaan dengan kios-kios tua dan jalanan bertegel bata merah mendominasi pemandangan. Bedanya, di sini kincir angin besar yang terlihat menyembul dari balik pepohonan membuat suasana Belanda benar-benar terasa.
Hari-hari pertama di Leiden kuhabiskan dengan berjalan-jalan sekaligus mencari tahu tempat-tempat penting di sekitar kota. Aku mencari perpustakaan kampus, pusat perbelanjaan, toko Asia untuk membeli kebutuhan sehari-hari, toko daging halal, dan museum-museum. Surahman mengantarku berkeliling. Ia juga memberiku secara cuma-cuma sebuah sepeda ontel tua. Pedal dan rantainya sudah berkarat dan berbunyi ketika dikayuh, tetapi cukup layak untuk dikendarai pergi pulang dari Wassenaarseweg, distrik tempatku tinggal, ke kampus dan pusat kota.
Universitas Leiden memiliki koleksi lengkap literatur dan dokumen mengenai Indonesia. Para ilmuwan yang ingin mengetahui seluk-beluk sejarah Indonesia wajib datang ke sini. Leiden juga penting bagi sejarah bangsa Indonesia karena kampus Universitas Leiden menjadi pusat pendidikan calon PNS Belanda yang dikirim ke Nusantara pada masa penjajahan dulu.
Kebijakan kolonial juga banyak digodok di sini. Yang paling terkenal adalah kebijakan tentang Islam pemerintah kolonial Belanda dan strategi penaklukan Aceh. Di kampus inilah Christian Snouck Hurgronje belajar dan mengajar. Hurgronje adalah nama besar yang dipuja sekaligus dibenci. Ia dipuja karena merupakan seorang orientalis dan ilmuwan yang sangat berhasil. Belajar sejarah Indonesia belum sempurna kalau belum mengenal dan mempelajari karya-karya Hurgronje. Buku-bukunya tentang Aceh dan Mekah, selain puluhan karyanya yang lain, selalu menjadi rujukan penting.
Akan tetapi, Hurgronje juga dibenci karena dialah yang membuat Aceh bertekuk lutut kepada kompeni. Hurgronje meneliti Aceh selama bertahun-tahun dan memberi rekomendasi jitu untuk menaklukkan wilayah yang selama ratusan tahun masa penjajahan tak tertaklukkan itu. Selama sekitar 15 tahun, ia tinggal di Indonesia. Berkeliling di Pulau Jawa, dari Ciamis, Garut, Bandung, Jakarta, hingga Surabaya. Di Sumatra, ia berkelana dari Lampung hingga Aceh.
Selama di Indonesia, ia menggunakan nama samaran Haji Abdul Ghaffar. Ia bahkan menikahi dua perempuan pribumi. Konon, perjodohan untuk pernikahannya selama di Indonesia dibantu oleh Haji Hasan Mustopa, seorang pahlawan nasional yang saat itu menjabat penghulu Kota Bandung. Hasan Mustopa dan Hurgronje merupakan sepasang sahabat dekat semenjak keduanya sekolah di Mekah beberapa tahun sebelum Hurgronje datang ke Indonesia sebagai utusan khusus pemerintah kolonial untuk urusan Islam.
Hurgronje menikahi dua orang mojang Priangan. Istri pertama adalah putri penghulu Ciamis, Raden Haji Taik, bernama Nyai Sangkana. Setelah Nyai Sangkana meninggal dunia ketika melahirkan anak keempat, Hurgronje alias Abdul Ghaffar menikah lagi dengan anak gadis seorang menak Sunda yang juga menjabat wakil penghulu Bandung, Kalipah Apo. Istrinya yang kedua ini bernama Siti Saidah. Siti Saidah ditinggal pergi begitu saja oleh Hurgronje bersama seorang anak berusia 18 bulan yang dinamai Raden Yusuf. Setelah itu, Hurgronje tidak pernah lagi menginjakkan kaki di Indonesia sampai meninggal pada 1936.
Kini, anak-cucu dan cicit Hurgronje bertebaran di Ciamis, Bandung, dan Jakarta. Sebelum meninggal, konon Hurgronje meninggalkan sebuah surat wasiat buat anak-cucu dan cicitnya di Indonesia. Namun, surat wasiat itu tidak boleh dibuka sampai seratus tahun setelah kematiannya. Surat wasiat itu masih rapi tersimpan di Perpustakaan KITLV di Kampus Leiden, dan baru akan dibuka tahun 2036 sesuai dengan wasiatnya.
Aku akan mengerjakan tugas akhir kuliahku di sini, di kampus Hurgronje, sekaligus menghabiskan sisa musim panas. Tugas akhir berupa tesis itu nanti akan dikirim lewat surel ke kampusku di Australia. Pihak Universitas Leiden berbaik hati menyediakan meja di ruangan khusus di gedung Johan Huizinga. Sebenarnya, meja itu biasa digunakan oleh mahasiswa doktoral. Namun, karena yang bersangkutan sedang melakukan penelitian lapangan di Indonesia selama satu semester, aku diperkenankan memakainya. Di meja itulah aku bertapa menyelesaikan tugas akhirku.
Lewat pesan pendek, aku mengirim kabar ke istriku di kampung bahwa aku sudah pindah ke kampus Leiden. Seperti biasa, istriku hanya membalas dengan singkat dan diakhiri doa. Doa yang selalu menguatkanku, tentunya. Ia juga mengabarkan keadaan Amartya yang mulai belajar berjalan. Aku sungguh merindukan mereka berdua.
Lisa sudah dua kali bertanya kapan ia bisa berkunjung ke tempatku. Ia sudah tidak sabar ingin melancong ke Leiden. Dalam surelnya, ia mengaku sedikit menyesal karena tidak memilih kampus Leiden. Amsterdam, katanya, terlalu ramai dan sesak. Untuk belajar ia butuh kota yang tenang seperti Leiden.
Akhir pekan lalu, akhirnya aku mengundang Lisa untuk datang ke Leiden. Ia dengan senang hati menerima undanganku. Sebagaimana ketika aku berkunjung ke Amsterdam, aku berjanji akan menemaninya berkeliling Leiden.
Aku sudah mengantongi beberapa tempat yang akan kami kunjungi. Semua tempat itu bisa ditempuh dengan jalan kaki karena Leiden adalah kota kecil.
Aku menjemput Lisa di Stasiun Pusat Kota Leiden. Keretanya akan tiba pada pukul sembilan pagi dan aku sudah berada di stasiun lima menit sebelumnya. Aku bilang pada Lisa bahwa aku menunggu di kedai kopi Starbucks persis di samping kanan gerbang utama Stasiun Pusat Kota Leiden.
Akhirnya, aku melihatnya berjalan ke arahku. Rambutnya terlihat lebih panjang dari ketika kami bertemu di Amsterdam. Lisa mengenakan rok mini dengan legging hitam ketat dan sepatu bot yang membuatnya terlihat lebih feminin. Jaket kulit cokelat menutupi tubuhnya. Dari pintu warung kopi, ia melambaikan tangan sambil melemparkan senyum. Sebelum menghampiriku, ia membeli secangkir kopi dan sepotong muffm.
"Akhirnya, Leiden!"
"Ya, akhirnya. Waktu terbang begitu cepat, Lisa. Rasanya baru kemarin menjadi mahasiswa baru di Melbourne. Sekarang kita menikmati kopi di sebuah kafe di Leiden sambil pusing memikirkan tesis."
"Kadang sulit dipercaya!"
"Semua kuliahmu selesai, bukan?"
"Tentu saja, Mister Iip. Sama sepertimu, aku tinggal menyelesaikan tesis. Tetapi, sungguh malas. Hari-hariku terasa sangat membosankan. Amsterdam juga terlalu berisik," keluhnya.
"Seharusnya kau memilih Leiden sekalian menemaniku," godaku.
"Iya, seharusnya aku memilih Leiden juga. Sial. Tetapi, sudahlah. Terima saja."
"Jika kau bosan, kau bisa main ke Leiden kapan saja. Setiap akhir pekan juga boleh."
"Sungguh?" ia terlihat girang.
"Kadang aku juga bosan dan suntuk jika selama seminggu bertapa di dalam ruangan menyelesaikan tugas akhir. Butuh udara segar. Lebih segar jika ditemani yang segar-segar."
"Ups ... hati-hati. Jagalah hatimu selagi jauh dari anak-istri." Lisa rupanya tahu isi hatiku.
Setelah kopi tandas, kami bergegas keluar dan berjalan menyeberangi lapangan bertegel batu alam di depan Stasiun Pusat Kota. Udara sungguh bersahabat dan cerah. Padahal, pada hari sebelumnya hujan turun tanpa henti selama dua hari.
"Cuaca di sini tiba-tiba baik."
"Tentu karena mereka tahu aku mau datang, Ip."
"Aku kira begitu."
"Kita akan ke mana?"
"Pertama, kita mengunjungi kampusku, tentu saja. Setelah itu, kita bisa mengunjungi Botanicus dan museum akademis kampus. Keduanya berdekatan. Kau akan lihat sebagian riwayat nenek moyangmu, Lisa."
"Botanicus?" "Iya, taman kampus sekaligus pusat penelitian obat-obatan herbal dan pertanian. Di dalam kompleks itu ada taman bagus di samping kanal. Kau juga bisa melihat sejarah kota dan Universitas Leiden di museum akademik, tak jauh dari Botanicus."
"Nenek moyangku? Maksudmu?"
"Kau pasti tahu, Lisa, Belanda dahulu kala adalah bagian dari Kerajaan Spanyol."
"Ya, aku tahu, tetapi tidak banyak."
"Sampai abad ke-16, Belanda adalah bagian dari Kerajaan Spanyol. Kampus Leiden berdiri pada 1575 saat Belanda masih dalam masa pemberontakan untuk merdeka dari Spanyol."
"Hmmm ... aku baru tahu."
"Ya. Kau bisa lihat sertifikat pendirian kampus ini masih atas nama Raja Phillip II dari Spanyol yang merupakan musuh pendiri kampus ini. Ironis memang."
"Maksudmu?" tanya Lisa sedikit bingung.
"Kampus ini didirikan oleh Pangeran William, anggota keluarga Orange-Nassau. Ia juga adalah komandan pemberontak 17 provinsi di utara Kerajaan Spanyol yang saat itu ingin memerdekakan diri. Provinsi-provinsi itu kini menjadi bagian banyak negara seperti Belanda, Belgia, Luksemburg, Prancis, dan sebagian kecil masuk ke wilayah Jerman."
"Hubungannya dengan Leiden?" Perempuan Cile berdarah Spanyol itu terlihat tidak sabar. Kepadanya, perasaanku terkadang rancu: persahabatan dengan sebersit kagum dan rindu.
"Universitas Leiden didirikan sebagai hadiah karena Leiden menjadi benteng bagi pemberontak dalam menghadapi pasukan Kerajaan Spanyol yang berpusat di Amsterdam. Penduduk Leiden berjibaku melawan dan berhasil mengusir tentara kerajaan yang diperintah langsung oleh Duke Alva, Gubernur Jenderal Kerajaan Spanyol untuk wilayah Belanda saat itu."
"Menarik!" "Namun, setelah berdiri, karena butuh sertifikasi, terpaksa secara formal sertifikat pendiriannya ditandatangi oleh Raja Phillip II, Raja Spanyol saat itu, sekaligus juga musuh Pangeran William van Orange."
"Ironis. Kadang dengan musuh pun kita harus bergandengan tangan."
"Ya, kadang begitulah hidup."
"Pemberontakan Kemerdekaan Belanda yang berlangsung dari 1568 baru berakhir pada 1648 ketika akhirnya Belanda mendapatkan kemerdekaan dari Spanyol secara resmi dalam perjanjian perdamaian di Munster," tambahku.
"Betapa besarnya Kerajaan Spanyol saat itu."
"Yang menarik, Lisa, ketika kapal-kapal dagang dari Belanda di bawah bendera VOC berlabuh di Indonesia, saat itu ternyata mereka belum benar-benar merdeka dari Spanyol. Kapal-kapal VOC menjalankan operasi dagang negeriku sejak 1602. Hingga tahun 1800-an, VOC adalah kongsi dagang paling besar dan kuat di dunia. Hampir satu juta orang Belanda dan Eropa dikirim untuk menjadi pegawai VOC. Mereka memiliki hampir lima ribu kapal dagang yang tersebar di seluruh Asia, terutama di Nusantara, wilayah yang sekarang menjadi Indonesia."
"Ini yang aku senang darimu, Ip. Meski kadang menyebalkan, kau selalu memiliki hal baru untuk diceritakan. Bahkan, saat liburan kamu tidak berhenti menjejalkan informasi," Lisa mengejekku sambil tertawa.
"Tidak apa-apa, Nona Cantik. Aku tidak suka datang ke suatu kota hanya untuk melihat apa yang tampak saja. Gedung-gedung yang kita lewati telah menjadi saksi bisu peradaban manusia ratusan tahun. Sayang kalau kita tidak mengetahui roh setiap kota yang kita kunjungi."
"Betul. Aku setuju, Ip."
Tanpa terasa kami sudah berjalan melewati Blauwpoortsburg, jembatan di pusat Kota Leiden. Di seberang tampak Jalan Harlem yang merupakan area pusat pertokoan. Di samping kanan dan kiri jembatan itu berbaris kapal-kapal kecil yang diparkir. Kafe-kafe penuh sesak oleh pengunjung. Orang-orang bersantai di sepanjang kanal sambil menikmati secangkir kopi dan hangatnya sinar matahari.
"Ayo, kita mampir sebentar ke Kafe Albert Einstein."
"Apa, Kafe Einstein?"
"Betul, Lisa. Einstein pernah menjadi profesor tamu di kampus ini. Leiden juga adalah kota yang sering ia kunjungi. Profesor Paul Ehrenfest, kawan dekatnya, merupakan profesor fisika di kampus Leiden. Einstein datang ke sini biasanya untuk berlibur atau mencari suasana baru. Seorang mahasiswa sejarah sains belakangan menemukan manuskrip tulisan Einstein tentang teori fisika kuantum dan teori nuklir dari salah satu perpustakaan kampus. Konon, manuskrip itu sudah lama dicari dan hilang," uraiku.
"Tentu mahasiswa itu beruntung sekali telah menemukan sebuah misteri," sela Lisa.
"Einstein biasanya menghabiskan hari di sebuah kafe di Jalan Nieuwe Rijn di seberang Balai Kota Leiden."
"Wah, kini bertambahlah penyesalanku karena tidak mengambil kuliah di Leiden," kata Lisa.
"Bukan hanya itu, Lisa. Kau tahu Sigmund Freud?"
"Tentu. Apa sangkut paut psikoanalis Austria itu dengan kampus Leiden?"
"Ia menjadi profesor tamu juga di kampus ini. Selama di Leiden, Freud pernah memberi terapi kawannya yang merupakan komponis musik dunia ternama saat itu, Gustav Mahler. Mahler sedang stres karena pernikahannya dengan artis terkenal Austria, Alma Maria Schindler, berada di ujung tanduk. Alma yang usianya lebih muda 19 tahun mulai merasa tidak bahagia hidup bersamanya. Mahler bersedia datang jauh-jauh dari Wina, Austria, untuk bertemu dan berkonsultasi pada Freud di Leiden. Dalam sejarah psikologi, cerita konsultasi ini menjadi sangat terkenal dan biasa disebut sebagai Historical Walk Sigmund Freud with Mahler. Dua orang hebat pada masanya itu mengabiskan waktu berkonsultasi sambil berjalan-jalan santai di sepanjang kanal di depan Universiteits-bibliotheek, perpustakaan utama kampus pada sekitar 1910."
"Kita akan ke sana, bukan?"
"Tentu saja, Lisa. Itu kampus utama universitas Leiden sekarang."
Setelah menunjukkan Kafe Einstein dan beberapa tempat di sekitarnya, aku dan Lisa segera ke kampus. Kami mengunjungi perpustakaan kampus, museum akademis kampus, dan Taman Botanicus.
"Hugo Grotius juga belajar dan menjadi profesor di sini rupanya," seru Lisa yang masih penasaran dengan daftar orang-orang ternama yang pernah mengajar dan belajar di kampus Leiden. Saat itu, kami sedang duduk di Taman Botanicus yang berada persis di samping Museum Akademis. Bagi mahasiswa fakultas hukum di seluruh dunia, Hugo Grotius bukanlah nama asing. Grotius sering disebut sebagai bapak ilmu hukum internasional modern. Buku-bukunya sampai sekarang masih menjadi rujukan berharga dalam studi hukum internasional.
"Tentu saja, Lisa. Ia malah mulai belajar di kampus ini sejak usianya 11 tahun."
"Benarkah? Ah, tidak mungkin. Itu terlalu muda. Saat usia sebelas, aku masih asyik bermain boneka."
"Aku tidak tahu sistem pendidikan di Belanda saat itu. Yang jelas aku membaca informasi itu dalam pengantar bukunya," jawabku.
"Jika dibandingkan dengannya, kita menyia-nyiakan waktu terlalu lama."
"Ya, kita baru mulai kuliah pada usia 19 atau 20 tahun."
"Buatku, yang orang Indonesia, ada fakta lain yang sungguh menarik terkait Hugo Grotius dan perkembangan hukum internasional di dunia ini."
"Hmmm ... Indonesia, hukum internasional, dan Hugo Grotius? Bukankah negaramu saat itu belum ada?" Lisa memberondongku dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Tentu saja negaraku secara dejure belum ada. Indonesia baru merdeka pada 1945. Tetapi, sebelum penjajah Eropa datang, pulau-pulau di Nusantara sudah pernah disatukan oleh beberapa kerajaan. Yang terkenal adalah Majapahit
"Ulangi sekali lagi!" Lisa memotongku. Ia ingin aku mengulangi ucapanku.
"Ma-ja-pa-hit. Itu kerajaan besar di Indonesia yang kekuasaannya mencakup hampir semua daerah di Asia Tenggara".
"Oke, terus hubungannya dengan hukum internasional dan Hugo Grotius?"
"Orang-orang Belanda mulai datang ke Nusantara sejak abad ke-15. Aku sudah mengatakan kepadamu, saat itu Belanda sedang terlibat peperangan selama 80 tahun dengan Kerajaan Spanyol untuk memerdekakan diri, bukan?"
"Yup. Terus?" "Salah satu alasan Belanda ingin merdeka adalah karena ingin akses atas rute kapal yang berdagang di Nusantara. Mereka menuntut hak untuk bisa berdagang sendiri tanpa harus meminta izin dari Kerajaan Spanyol. Saat itu, mereka sudah punya kongsi dagang VOC. Dengan akses dan hak berdagang, Belanda bisa langsung membeli dan menjual rempah-rempah, sutra, keramik, dan barang-barang berharga lain dari Asia, terutama dari Nusantara yang saat itu terkenal karena menjadi lumbung rempah-rempah dunia."
"Rebutan lahan untuk dijadikan sapi perah. Seperti halnya nenek moyangku dari Spanyol yang getol berdakwah untuk menyebarkan misi agama ke tanah baru," kata Lisa.
"Hugo Grotius saat itu sudah jadi orang terkenal di kampus Leiden. Ia sudah jadi pengajar."
"Terus?" tanya Lisa terlihat tidak sabar.
"Tenang, Nona. Aku tidak ke mana-mana, cerita ini pasti kuteruskan."
Lisa memukul pelan pundakku sambil tersipu.
"Di antara bukunya yang paling terkenal"
"Free Sea atau Mare Liberum. Aku pernah membacanya," potong Lisa bersemangat.
"Tentu saja, semua anak hukum pasti tahu buku itu. Meski jarang yang membacanya langsung. Kau beruntung."
"Sebenarnya tidak terlalu beruntung karena aku belum selesai membacanya hingga tuntas. Susah!"
"Buku itu dibuat karena ada kontroversi internasional dan berujung pada ketegangan antara Portugis, Spanyol, dan Belanda yang saat itu belum juga merdeka."
"Kontroversi apa?"
"Portugis yang sudah berpuluh-puluh tahun menguasai perdagangan di Nusantara mulai merasa terusik. Sebuah kapal kargo bernama St. Catarina yang memuat barang-barang berharga pada Januari 1603 dibajak oleh para pelaut Belanda yang dikomandani oleh Jacob van Heemskerck di perairan Selat Malaka, tepatnya di dekat Kepulauan Riau."
"Apa kau serius?"
"Ya, Lisa. Portugis pantas marah karena ketika isi kapal kargo itu dilelang di Pelabuhan Amsterdam, hasil penjualannya mencapai tiga juta gulden."
"Apa? Tiga juta gulden dari satu kapal? Gila!"
"Ya. Jumlah itu hampir setara dengan pendapatan tahunan Pemerintah Inggris saat itu atau setara dengan dua kali lipat seluruh aset perusahaan English East India Company yang merupakan perusahaan saingan VOC, milik Pemerintah Inggris."
"Gila, satu kapal kargo bisa menghasilkan uang sebanyak itu? Dan, mereka beratus-ratus tahun bercokol di negaramu, Ip. Gila!"
"Hmmm ... itu juga yang dilakukan nenek moyangmu, Lisa."
Muka Lisa mendadak berubah. Bisa jadi ia sedikit tersinggung. Aku mendadak merasa tidak enak dan menyesal telah mengatakan hal semacam itu.
"Tidak perlu marah, Nona. Aku bercanda."
"Ya, aku malu dan meminta maaf untuk itu. Tetapi, itu masa lalu. Ayo, teruskan," Lisa mengalihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana.
"Oke. Intinya, buku Free Sea itu dibuat untuk menjustifikasi yang dilakukan oleh VOC di pulau-pulau Hindia Timur yang sekarang menjadi Indonesia. Dengan menggunakan argumen teori hukum alam, Grotius menuliskan bahwa Belanda memiliki hak untuk berlayar dan berdagang di lautan Nusantara."
"Ya, ya, ya, aku paham sekarang," Lisa mengangguk-angguk.
"Bahkan, ia menulis buku khusus tentang semua urusan VOC di Kepulauan Nusantara. Judul bukunya De Rebus Indicis yang dalam terbitan modern kemudian diterbitkan dengan judul Commentary on the Law of Prize and Booty."
"Oh" "So, begitulah hubungan Hugo Grotius dengan negaraku, Lisa."
"Jadi, ini hasil risetmu selama beberapa minggu tinggal di Leiden? Terima kasih untuk kuliah yang kau berikan," ujar Lisa setengah mengejek.
"Tidak, aku iseng-iseng membaca buku-buku Grotius. Ternyata di pengantar buku itu aku menemukan semua informasi ini. Aku juga agak terkejut ketika membaca itu. Ternyata hukum internasional bermula dari sengketa lautan di negaraku," sahutku bangga.
"Salah satunya," potong Lisa.
"Ya, Lisa. Tentu saja. Sebelumnya, para sarjana hukum dari Spanyol juga membuat beberapa karya yang tujuannya untuk melegalkan penjajahan Spanyol di Benua Amerika."
"Yes. Prof. Gupta pernah menyampaikan hal itu, bukan?" Lisa mengingatkanku pada Prof. Gupta dan diskusinya yang selalu menarik di kelas.
"Beruntung sekali kau bisa datang ke kampus yang sangat bersejarah dan penting ini."
"Kita, Lisa, bukankah kau juga sedang berkunjung?" aku meralat.
"Ya, kita." Diskusi yang menarik ini membuatku lupa lamanya kami beristirahat di Taman Botanicus. Kami keluar menuju pintu gerbang besi biru tua di depan kanal dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kami mampir di restoran Indonesia untuk makan sekaligus beristirahat. Menjelang petang, aku mengantar Lisa ke stasiun untuk kembali ke Amsterdam. Lisa terlihat senang sekali hari itu. Aku juga senang.
"Kita memang harus berziarah ke Spanyol untuk mengunjungi tempat peradaban Eropa modern bermula."
"Aku nanti akan bercerita tentang asalusul kotaku, Santiago. Tetapi, nanti saja, keretaku hampir datang. Aku harus kembali ke Amsterdam. Terima kasih untuk jalan-jalan yang mengasyikkan. Kalau ada waktu, bacalah The Pilgrimage karya Paulo Coelho. Bye, bye. Seeyou later."
Kereta yang akan membawa Lisa kembali ke Amsterdam sudah terlihat di ujung stasiun. Padahal, saat itu aku yang dihinggapi penasaran.
"Oke. Jangan lupa cerita Santiago itu."
"Tentu. Bye ... bye Kereta tak pernah berhenti lama di Leiden karena hanya transit. Lisa kembali ke Amsterdam dengan menitipkan sebuah rasa penasaran di benakku.
*** Berita dari Fakultas HATIKU SEDANG berbunga-bunga setelah menerima surel dari fakultasku di Melbourne. Surelnya pendek, tetapi cukup membuat semangatku membuncah. Aku diberi tahu bahwa fakultas meminta persetujuanku untuk menjadi profil mahasiswa yang akan dipublikasikan dalam buku tahunan serta situs fakultas.
Setiap awal tahun, fakultas menerbitkan sebuah buku eksklusif yang berisi semua informasi terkait Fakultas Hukum Universitas Melbourne. Dalam buku itu, misalnya, aku bisa mengetahui mata kuliah yang akan ditawarkan tahun depan, dosennya, lokasi kelasnya, waktu dimulainya, dan lain-lain. Juga, ada informasi lain seperti informasi gedung-gedung fakultas, koleksi buku perpustakaan, kehidupan mahasiswa, dan masalah keuangan. Setiap tahun, ada mahasiswa yang dipilih dan diminta menceritakan pengalaman dan kesannya selama kuliah. Fotonya akan terpampang satu halaman penuh. Halaman lain memuat hasil wawancara pihak kampus dengan mahasiswa tersebut. Buku itu dibagikan cuma-cuma kepada seluruh mahasiswa dan dikirim ke seluruh penjuru dunia sebagai ajang promosi kampus. Ketika dinyatakan lulus program beasiswa, aku juga mendapat kiriman buku tersebut.
Ada sepuluh mahasiswa yang foto, nama, dan hasil wawancaranya dipajang di buku. Aku satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Indonesia, bahkan dari Asia, yang akan jadi profil mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Melbourne tahun depan. Aku tahu informasi itu dari lampiran surel.
Aku mencari nama Lisa Maria Gomez. Tidak ada.
Jika, setuju untuk jadi salah satu profil kampus, aku akan diwawancarai secara tertulis oleh pihak fakultas. Daftar pertanyaan yang aku harus jawab pun sudah terlampir di surel itu. Aku tinggal mengirimkan kembali jawaban dalam waktu dua minggu.
Aku juga diminta mengirim foto terbaik. Jika ada, mereka meminta foto yang berpakaian formal. Karena foto itu akan dipasang besar-besar pada buku tahunan fakultas, aku harus memastikan bahwa foto terbaik yang nanti dipajang. Hobi fotografiku akhirnya membawa manfaat. Aku punya banyak foto bagus hasil jepretan kawan. Kalau sedang jalan-jalan sambil foto-foto, aku dan kawan-kawan suka bergantian difoto.
Ketika membaca surel itu, aku tidak habis pikir alasan mereka memilihku. Mengapa? Aku merasa prestasiku tidak luar biasa. Memang nilai-nilaiku yang sudah keluar bisa dikatakan lebih baik dibanding kawan lain sesama mahasiswa Indonesia. Namun, jika dibandingkan mahasiswa lain dari Australia, mungkin tidak ada apa-apanya. Dapat nilai bagus di Fakultas Hukum susahnya setengah mati. Sejauh ini hanya satu nilaiku yang "Honour 1". Yang lain "Honour 2". Ah, aku yakin, pasti bukan karena prestasi.
Saking penasarannya, dalam surel balasan kutanyakan alasan aku yang dipilih di antara ratusan mahasiswa lain. Sehari kemudian aku mendapat jawaban dari pegawai kampus yang bernama Kate. Ia adalah pegawai bagian marketing kampus. Ia mengatakan bahwa aku dipilih karena namaku direkomendasikan oleh Prof. Gupta dan Prof. Jenny. Dua orang profesorku itu memang menyukai kehadiranku di perkuliahan, juga senang dengan ide-ideku. Lagi pula, setelah selesai perkuliahan aku masih sering berkorespondensi dengan keduanya.
"Alasan lain," tulis Kate dalam surel, "karena Anda mewakili keragaman yang unik."
Aku agak bingung. "Latar belakang pendidikan S-1 Anda sebagai lulusan Fakultas Syariah dan Sarjana Hukum Islam sangat unik. Tidak banyak lulusan Fakultas Syariah yang belajar di Fakultas Hukum dan dapat berprestasi."
"Keterlibatan Anda dalam aktivitas kampus membuat kami tidak ragu menjadikan Anda salah satu profil mahasiswa untuk tahun depan."
Oh, ya, aku lupa bercerita bahwa hingga beberapa saat menjelang keberangkatanku ke Belanda, aku masihlah seorang presiden. Ya, seorang presiden!
Aku tak ingin jumawa, tetapi ada baiknya aku bercerita.
Di kampus Universitas Melbourne, sejak tahun 1990-an berdiri sebuah organisasi yang beranggotakan para penerima beasiswa dari Pemerintah Australia. Setiap mahasiswa yang kuliah di Melbourne dan dibiayai Pemerintah Australia otomatis menjadi anggota UMAC, University of Melbourne AusAid Club. Setiap tahun, organisasi itu memilih seorang presiden dan delapan anggota komite. Tahun lalu, namaku dicalonkan sebagai presiden oleh kawan-kawan mahasiswa Indonesia dan terpilih. Saat itu, aku harus menghadapi lawan berat seorang mahasiswi kedokteran gigi asal Pakistan dan seorang mahasiswa Vietnam yang sama-sama belajar hukum.
Berkat dukungan kawan-kawan Indonesia yang berkoalisi dengan kawan-kawan Afrika, ditambah dukungan mahasiswa dari negeri-negeri di Pasifik, jadilah Iip Muhammad Syarip, mahasiswa Indonesia asal Desa Bojong, menjadi seorang presiden. Ya, presiden organisasi mahasiswa! Semacam ketua OSIS, tetapi lebih keren sedikit.
Sebenarnya, penunjukanku sebagai calon presiden mewakili Indonesia adalah sebuah kecelakaan. Tanpa sepengetahuanku, seorang kawan sejak di kampus Ciputat dulu, Kukuh Khaerudin mendaftarkan namaku sebagai calon ke panitia pemilihan. Setelah itu, ia setengah memaksa agar aku mau menuruti kehendaknya. Katanya, aku harus mewakili mahasiswa Indonesia. "Akang tetap presidenku meski dulu gagal jadi presiden mahasiswa di kampus Ciputat. Sekarang, saatnya jadi presiden di Melbourne!" katanya penuh semangat. Tawarannya mengingatkanku pada masa perkuliahanku di Ciputat. Ketika itu, aku kalah dalam pemilihan presiden mahasiswa. Dan, Kukuh saat itu adalah salah seorang tim pemenanganku.
"Aku hanya mau dicalonkan kalau pasti menang, Kuh," kataku berkelakar.
"Siap, Kang!" jawabnya. "Pasukan sudah disiapkan. Dan, pasti menang karena suara kawan-kawan Indonesia cukup signifikan. Kawan-kawan Pasifik dan Afrika juga siap berkoalisi," ia menegaskan.
Dan, akhirnya terpilihlah Iip Muhammad Syarip jadi presiden. Ia boleh gagal di kampus Ciputat, tetapi tidak di Melbourne!
Sejak terpilih jadi presiden, setiap menit menjadi lebih berharga. Aku harus berbagi waktu antara kampus, organisasi, pasar, dan keluarga.
Akan tetapi, sejak kecil aku selalu punya prinsip: wa al-'ashri. Prinsip demi waktu Surah Al-'Ashr. Aku yakin, waktu sehari 24 jam pasti cukup untuk mewadahi semua kegiatan manusia, sesibuk apa pun. Tinggal mau atau tidak membagi waktu dengan benar. Justru bagiku, semakin sibuk semakin bagus karena artinya aku dituntut agar bisa membagi waktu. Jika memiliki waktu longgar, manusia cenderung berleha-leha karena berpikir, Ah, masih ada waktu yang tersisa. Tenang saja! Orang-orang tersibuk yang pernah kukenal selalu punya waktu untuk mengerjakan banyak hal. Sebaliknya, orang yang tidak pernah melakukan apa pun selalu mengeluh sibuk dan tidak punya waktu.
Prinsip hidup itu yang membawaku berkelana jauh hingga ke pelosok Eropa, hampir lulus dari kampus ternama, bahkan terpilih jadi profil mahasiswa! Ah, aku harus banyak bersyukur. Nikmat Tuhan apalagi yang kudustakan?
Aku tidak memberi tahu Lisa perihal rencana fakultas ini. Biar saja jadi kejutan. Juga, aku tak akan memberi tahu kawan yang lain. Aku baru akan mengabari mereka semua setelah fotoku terpampang di buku itu. Aku hanya memberi tahu istriku lewat pesan singkat. Ia kaget dan senang luar biasa.
Buku dan halaman online di internet itu akan dipublikasikan tiga bulan lagi, tepat ketika aku pulang ke Indonesia. Aku tak sabar menanti saat itu tiba. Namun, sekarang aku harus melanjutkan petualangan di Eropa terlebih dulu, menapaki satu tujuan akhir dari petualangan ini: Granada dan Alhambra. Apa pun risikonya, berapa pun biayanya, aku harus ke sana. Harus!
*** Santiago de Compostela AKU DAN Lisa sudah janji bertemu di Stasiun Pusat Kota Rotterdam. Tujuan perjalanan kami kali ini adalah Freiburg dan Heidelberg, dua kota di Jerman. Perjalanan selama sekitar tujuh jam akan kami tempuh dengan kereta ekonomi antarkota antarnegara. Rencananya, aku akan mengunjungi tetanggaku di kampung yang sudah 15 tahun tinggal di Jerman. Dua orang kerabat yang sedang kuliah di Konstanz dan Kaiserslautern juga akan menyusul. Jadi, ceritanya, kami- orang Bojong-akan bereuni di Freiburg. Aku mengajak Lisa ikut, sekalian jalan-jalan.
Kerabat yang akan aku kunjungi adalah Teh Titin. Ia orang pertama dari Desa Bojong yang sekolah ke luar negeri. Orangtuanya adalah pedagang sukses. Ketika aku masih duduk di bangku SD, Teh Titin sudah hampir lulus SMA, mengambil jurusan bahasa. Ketika aku di Pesantren Karang-tawang, ia sedang kuliah mengambil Jurusan Sastra Jerman di Universitas Padjadjaran. Setelah itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku hanya mendengar kabar Teh Titin melanjutkan kuliah di Jerman. Aku tahu sejak dulu bahwa kuliah di Jerman gratis, hanya perlu mengeluarkan uang untuk makan dan biaya hidup sehari-hari. Teh Titin mendapatkan pekerjaan bagus di kota tempatnya kuliah dan memutuskan menetap di Jerman, lalu menikah dengan seorang pemuda Swiss. Freiburg, kota tempat Teh Titin tinggal, adalah kota di selatan Jerman yang berbatasan dengan Kota Basel, Swiss. Berita pernikahan itu membuat seisi kampung heboh. Berita itu bahkan sampai ke telingaku yang saat itu sedang kuliah di Ciputat. Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak bertemu dengan Teh Titin.
Ketika aku mengajak Lisa ikut, awalnya ia tidak begitu tertarik. Selain itu, Lisa juga sedang fokus mengerjakan tesis. Aku merayu sekuat tenaga agar ia mau turut serta. Aku katakan kepadanya bahwa Freiburg dan Heidelberg adalah kota yang indah, selain juga bersejarah terutama bagi orang-orang yang bergelut dengan dunia akademis. Aku juga bilang akan sekalian mampir ke kampus tempat Martin Heidegger, Hannah Arendt, dan Gadamer mengajar. Lisa kaget dan baru sadar bahwa para pemikir besar Eropa yang sering ia baca karya-karyanya ternyata berasal dari Universitas Freiburg. Aku juga bilang akan mampir ke Universitas Heidelberg dalam perjalanan pulang. Setidaknya, untuk tahu kampus tempat Hegel, filsuf tenar dari Jerman itu, mengajar dan berkarier. Akhirnya, Lisa tergoda dan malah bersemangat untuk ikut melancong. Tak lupa, aku mengingatkan janjinya untuk menceritakan asalusul kotanya, Santiago, selama perjalanan ke Freiburg.
Dendam Berkarat Dalam Kubur 2 Candika Dewi Penyebar Maut V I Tembang Tantangan 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama