Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 2
pintu, mendengarkan. Sepi di lantai bawah. Sepi di dapur. Aku menuruni tangga. Berjalan setengah berjingkatjingkat ke pintu, dan hampir menjerit saking kaget
ketika pintu dapur dibantingkan. Aku mengurut dada
yang seakan pecah, terengah-engah sebentar seraya
berpikir apa yang terjadi.
Lantas, tiba-tiba aku teringat.
Hem. Aku tersenyum. "Aku pergi dulu, okey" Nanti aku kembali," ujarku,
pamit. Pintu dapur terbuka. Berhenti sampai setengahnya.
Dan tidak tampak sesuatu apa pun, kecuali uap dingin
yang menebar ke seluruh ruangan. Aku mennggigil
kemudian bergegas ke pintu, membukanya, keluar,
menutupkannya, lalu berusaha agar tampak biasabiasa selagi mengayunkan langkah ke jalan,
meskipun betapa inginnya aku untuk berlari secepatcepatnya!
Dalam oplet, seseorang menegur: "Eh, nak Doli, mau
kemana"" Lamunanku buyar seketika. Aku melihat pak
Jayusman, salah seorang tetangga yang ikut
mengangkat barang bawaanku ketika pertama kali
tiba di daerah ini. Kucoba tersenyum dan mengatakan
tujuanku. la membalas senyumanku dan bertanya
apakah aku sakit. Tentu melihat wajahku pucat.
Kukatakan aku sehat saja, hanya agak pusing karena
bekerja sampai subuh. Kami berpisah di terminal.
Aku terus ke kantor pos, untuk memposkan naskah.
Kubeli sebuah majalah, dan duduk menghabiskan
waktu di taman tak jauh letaknya dari kantor pos.
Tetapi perhatianku tidak http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
tertuju kepada majalah itu.
Huruf-hurufnya menari-nari, berubah jadi telur rebus,
kopi, air yang mengucur, piring melayang-layang di
udara. "Ya Tuhan," aku mengeluh.
Kemudian berkeliling tidak menentu, sampai akhirnya
aku ketemu seorang kenalan lama. Kami bercakapcakap dengan riang. gembira, dan ia mengajakku
makan siang di sebuah restoran. Bekas teman
sekolahku itu mengatakan ia kini sudah punya
pekerjaan di sebuah perusahaan sebagai sales, dan
sedang tugas ke kota ini. la kuajak singgah, tetapi
katanya harus segera kembali.
"Isteriku akan curiga, kalau aku terlambat pulang!"
katanya, ketika kami berpisah dengan perasaan
enggan. Apakah dia yang di rumahku, curiga kalau aku
terlambat pulang" Tetapi, aku tidak ingin pulang sekarang. Pikiranku
belum tetap. Pengalaman yang ganjil itu terus
menggodaku. Telah kubuat ribuan analisa, tetapi tidak
satupun yang berhasil. Suara-suara gaib lumrah.
Wujud-wujud menyeramkan, ada, tetapi hanya dalam
cerita-cerita yang kudengar, kubaca atau kukarangkarang sendiri. Sentuhan-sentuhan sepihak, bukan
pula hal yang aneh. Tetapi segelas kopi, telur rebus dan air panas.
"Untuk melenyapkan kegundahan itu, aku masuk ke
sebuah gedung bioskop. Kubeli karcis dan mencari
kursi di pojok (bioskop kota kecil itu tempat duduknya
terbuat dari bangku memanjang tak diberi nomor.
Dan satu karcis bisa dipergunakan untuk dua
pertunjukan sekaligus!). Filmnya tidak menarik.
Bintang-bintangnya tidak kukenal. Warnanya pucat.
Mungkin ltali. Tetapi itu tidak penting.
Yang kuperlukan hanyalah sebuah tempat untuk
membuang pikiran susah. Kalau mengetik aku membutuhkan suasana sepi dan
tempat yang tenang. Kalau untuk tidur... Dan aku
segera jatuh pulas, begitu pertunjukan berjalan
sekitar lima menit. Malam sudah merangkak ketika aku tiba di rumah.
Suasana di dalam sepi. Segala sesuatu tampak bersih
dan rapih. Kamar tidurku sudah disapu, selimut dan
sprei sudah dibereskan. Dan sebagai sebuah surprise,
di atas meja sudah terhidang santapan untuk makan
malam! *** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 18 LAMA KELAMAAN, aku merasa benar-benar berada di
rumahku sendiri, dengan seorang teman yang tidak
terlihat tetapi baik hati, rajin dan menyenangkan.
Banyak pekerjaan-pekerjaan yang telah selesai
dengan sendirinya ketika aku bangun pagi, atau
ketika aku pulang setelah pergi ke luar untuk
berbagai keperluan. Segalanya sudah terbiasa begitu.
Bantuannya yang diberikan diam-diam.. Protes yang ia
berikan melalui suara gaduh kalau aku berbuat
sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya,
serta semakin banyaknya hal-hal ganjil yang harus
kualami. Misalnya, setrika listrik yang bergerak sendiri,
dapur yang sibuk, kamar mandi yang ramai, pakaian
dan segala macam benda yang melayang-layang di
udara bebas. la menghidangkan sarapan pagi secara
tetap. Kopi, telur rebus atau diseling dengan roti
panggang. Aku memang tidak biasa makan siang, dan
itu kuterangkan padanya ketika suatu hari ia
menyediakannya kira-kira jam sebelas pagi.
Menu makanan sore, selalu bervariasi. la menyesuai
diri dengan bahan yang kubeli sendiri ke pasar pada
tempo-tempo tertentu. Pakaianku dicuci jauh malam.
Ketika ayam berkokok, pakaian-pakaian itu sudah
terjemur di halaman samping yang sempit itu. Tentu
saja tidak lucu kalau ada orang melihat pakaianpakaianku melayang masuk rumah satu per satu,
maka ia membiarkan aku mengambil pakaian itu
setelah kering dan membawanya masuk ke dalam
rumah. Di dalam, segala sesuatu bebas melayang-layang
tanpa ada yang melarang. Benda-benda terbang yang
mirip kejadian sehari-hari di angkasa luar itu baru
terhenti kalau ada tamu mengetuk pintu.
"Menyenangkan sekali suasana rumah ini," tamu atau
tetangga-tetanggaku memuji dengan suara yang tulus
bercampur heran. "Biar aku betah." tak lupa aku memuji diri.
Tetapi sesekali, ada juga pertanyaan itu:
"Tidak ada yang mengganggu""
"Orang luar. Tidak."
"Eh, maksudku... penunggu rumah ini."
"Yang menunggu rumah ini, hanya aku sendiri,"
sahutku tertawa lebar. "Kalau begitu, mengapa tidak mengajak seorang
teman atau mempekerjakan seorang pembantu""
"0h. Aku lebih suka bekerja sendiri. Lumayan, bisa
melenyapkan rasa sepi..."
Dan kepada dia yang tidak terlihat, aku bersungut
setelah tamu-tamuku pergi:
"Kau dengar" Aku sudah bermulut besar!"
Kontak kami yang kedua, terjadi ketika aku demam
"karena kehujanan waktu pulang dari kantor pos. la
meraba diriku yang panas, mengelus lenganku yang
menggigil dengan tangannya yang dingin tetapi
lembut itu. Terasa kasih sayang yang tersembunyi di
kedinginan jari-jemari atau telapak tangannya.
Ketika ia menyuapkan bubur ke mulutku aku tahu ia
duduk di pinggir tempat tidur. Karena, dapat kulihat
kasur di bagian yang ia duduki membuat cembungan
dalam. Benda lurus dan dingin, menyentuh
pinggangku. Mungkin pahanya. Entah pakaian apa
yang ia kenakan. Ingin aku menyentuh udara hampa itu. Tetapi aku
sadar kalau itu kulakukan, ia akan segera
menghindar. Karena itu kutekan keinginanku, dan aku
menurut dengan patuh terhadap segala yang ia
lakukan atas diriku. Termasuk, ketika ia melap
tubuhku dengan handuk yang dibasahi air hangat,
karena aku tak mampu untuk turun ke kamar mandi.
Sendok bubur tertegun di udara, ketika aku berujar:
"Kau seorang wanita yang baik dan patut dikasihani."
Ketika ia melap tubuhku dengan tidak melepas celana
dalamku, aku mengatakan hal yang lebih menjurus:
"Baru kau seoranglah wanita yang pernah menjamah
tubuhku dalam keadaan begini rupa..."
Gerak lap tertegun lebih lama. Entah terharu oleh
ucapanku, entah tahu kalau aku berbohong. Tetapi
handuk basah itu terus bergerak, kadang-kadang
setengah menekan, memijit-mijit bagian-bagian
uratku yang kejang. Dan aku segera tertidur begitu ia
selesai menggarap pakaianku.
Dalam tidurku, gadis yang sama muncul.
Dengan gaun tidurnya yang putih, rambutnya yang
panjang. Tetapi senyumnya tidak lagi penuh rahasia,
serta matanya berkaca-kaca. la tidak minggat ke balik
kabut waktu aku menggapai. Tiba-tiba sa
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
ja, kami telah berpelukan. Tubuhnya dingin sedingin salju.
Ketika aku menciumnya bibirnya juga dingin. Kaget,
aku membuka mata. Aku yakin, kali ini aku tidak bermimpi. Aku tidak
melihat gadis itu. Tetapi aku dapat merasakannya.
Tepi tempat tidur lekuk ke dalam kemudian rata
kembali. Uap dingin menyapu wajahku. Kemudian
langkah-langkah kaki menjauh ke pintu, lenyap.
Tiga hari kemudian, aku bertamu ke rumah pak
Jayusman. Dengan jujur kuakui aku baru saja sembuh sakit,
ketika ia terkejut melihat wajahku yang lebih pucat
dari biasa. Setelah marah-marah karena aku tidak
memberitahu sehingga tidak ada yang menolongku
selama sakit menurut dia, tentu!
Pak Jayusman bertanya: "Tentu ada maksudmu datang ke mari nak Doli. Dapat
kulihat dari sinar matamu..."
Aku memilih pokok pembicaraan yang diplomatis.
"Tentang itu, pak. Desas-desus mengenai rumah yang
saya tempati..." Pak Jayusman memegang tanganku. Kuat. "Kau . . .
kau sudah bertemu dengannya"" tanyanya, bernafsu.
"Bertemu"" aku bingung.
"Maksudku, diganggunya."
"Ah... Tidak." Duduknya kembali tegak seperti semula. Matanya
memandang kecewa. "Lalu"" dengusnya, lirih.
"Ingin tahu saja, pak. Maklum... saya hidup dari kisahkisah seram seperti yang orang-orang disini ceritakan.
"Siapa tahu, barangkali ada kisah menarik yang bisa
kuangkat ke mesin tik..."
Meskipun masih kecewa, ia mau juga menceritakan:
Rumah yang kutempati dibangun oleh seorang lakilaki dari ibukuota, untuk isteri muda. Laki-laki itu
jarang berkunjung menemui isterinya. Tak heran,
kalau isteri yang masih muda belia itu tergelincir
menempuh jalan yang tidak terhormat. la mulai main
mata dengan pemuda-pemuda setempat. Mula-mula
diam-diam, lama-lama terang-terangan. Belakangan
suaminya mengetahui hal itu Terjadi pertengkaran
sengit, tentu saja. Hasilnya, si lelaki lebih sering
berkunjung dari biasa dan si wanita menolak uluran
cinta pemuda-pemuda yang selama ini mengisi
kesepian hatinya. Namun desas-desus yang keluar
lewat pembantu mereka yang mulutnya tidak pernah
terkatup: Suami isteri itu lebih sering bertengkar,
malah pernah berkelahi. Rupanya yang perempuan
tidak cinta sama sekali kepada yang lelaki. la mau
kawin dengan laki-laki itu, karena desakan ekonomi
keluarganya yang morat-marit. Sebaliknya si suami
mencintainya, tetapi takut menceraikan isteri pertama,
yang telah mengaruniai laki-laki itu setengah lusin
anak-anak. Beberapa kali perempuan muda itu minta
cerai, tetapi tak pernah dikabulkan.
Desas-desus agak reda setelah pembantu yang tak
bisa menyimpan rahasia itu diberhentikan dan diganti
oleh seorang pembantu yang jarang keluar rumah.
Beberapa hari kemudian, isteri muda belia itu tidak
tampak lagi batang hidungnya. Konon sang suami
sudah memberi ijin cerai, lantas mengusirnya tengah
malam buta. Laki-laki itu masih menetap di sana
selama berbulan-bulan serta membawa isteri tua dan
anak-anaknya sesekali untuk berlibur disana. Tetapi
sang isteri mengetahui siapa yang tinggal di rumah itu
bersama suaminya sehingga mereka pun bertengkar.
Cerai tidak terelakkan lagi.
Rumah itu kemudian dijual, dan sudah sering
berpindah tangan. "Tetapi tak lama..." pak Jayusman mengakhiri
ceritanya yang ringkas itu. "Karena kata orang, ada
hantunya..." "Hantu siapa"" desakku, ingin tahu.
"Mana aku tahu"" pak Jayusman angkat bahu. "Tak
pernah ada yang melihatnya secara nyata. Hanya
terdengar desas-desus yang sukar dipercaya
kepastiannya." "Mengenai apa pula itu""
"Sang isteri muda. Konon, ia tidak diusir. Tetapi
dibunuh!"
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menggigil, meski cerita itu kuharap memang
demikian pada akhirnya. "Tentu setelah mayatnya diketemukan!" aku
memancing. Pak Jayusman gelang kepala.
"Jangankan mayat. Kabar beritanya pun tidak pernah
terdengar lagi," katanya, setengah tertawa puas
karena ia dapat membalas kekecewaannnya dengan
membuatku mengalami hal yang sama. "ltu cuma
kabar bur http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
ung belaka. Polisi sudah pernah memeriksa
kesana, tetapi hasilnya" Nihil. Nak, itu cuma kabar
burung, bukan""
la yang memancing sekarang.
Dan aku mengkik balik dia seketika:
"Tentu. Karena di rumah itu tak ada hantu!"
Pak Jayusman mengantarku sampai di pintu dengan
"wajah malu. Aku agak menyesal juga. Tetapi yah...
hantu itu memang ada. Tetapi ia terlalu baik, terlalu
menyenangkan, terlalu sayang untuk digubah jadi
dongeng yang bisa menakut-nakuti anak-anak agar
segera masuk rumah tidak kelayapan malam di luar.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 19 HUJAN deras menggebu di luar rumah ketika malam
itu aku mengetik bagian-bagian terakhir dari naskah
yang akan kukirimkan ke Redaksi.
Topan membadai dengan suara yang riuh rendah.
Butir-butir air menghantam kaca jendela dengan
suara .yang membuatku khawatir kalau-kalau jendela
itu sampai pecah. Kumatikan rokok ke asbak. Lalu berjalan ke jendela,
menyingkapkan tirai. Tidak tampak apa-apa sama
sekali di luar, selain kegelapan yang hitam pekat.
Bagian luar jendela dialiri hujan yang deras seolah
ada sungai besar meluap dari langit. Ketika guntur
menggelegar, aku terguncang mundur. Darahku
tersirap sebentar. Benarkah guntur itu yang
membuatku tergoncang sebentar tadi"
Atau sesuatu yang lain, pada tempatku berpijak"
Aku mundur kembali ke kursi, menghadapi mesin tik.
Mungkin hanya dugaan saja, atau tadi aku terlalu letih
karena terus-terusan berdiri.
Di kejauhan, terdengar suara pohon besar, berderak.
Tumbang. Tanganku yang sedang memasukkan kertas tik ke
ban mesin, tertegun. Ada goncangan halus lagi terasa
di kakiku. Hanya sekilas, kemudian tenang.
Di luar, hujan reda. Namun suara angin masih
terdengar ribut, berkecamuk. Pintu terbuka tiba-tiba.
Angin dingin menerpa ke dalam. Aku me nggigil, dan
merasa tenang kembali setelah melihat sebuah baki
melayang di udara, setinggi dada. Di atas baki tampak
kopi tubruk kental beberapa potong singkong goreng
pada piring yang kesemuanya kemudian diletakkan
diatas meja tempatku bekerja.
Napas yang dingin menyentuh tengkukku sesaat.
"Terima kasih," aku bergumam, seperti biasa.
Terdengar langkah-langkah halus berjalan menjauh.
Pintu tertutup kembali. Selama beberapa saat aku
menunggu. Setelah mengunyah sepotong singkong dan mereguk
kopi yang panas, aku meneruskan ketikanku yang
tertunda. Baru berjalan setengah lembar, ketika napas
yang dingin menyentuh tengkukku lagi.
Berarti, ia tidak keluar.
Aku tertegun. Heran. "Kau masih di sini"" aku bertanya.
Sebagai jawabannya, kurasakan sentuhan halus dan
dingin di pundak kananku.
"Sudah larut malam," lanjutku. "Pergilah tidur.
Istirahat. Kau sudah lelah bekerja sepanjang hari. Jangan
merepotkan diri lagi denganku...!"
Langkah-langkah kaki itu berhenti.
"Lalu, Sreeeekkkkkk!
Kertas di ban mesin, tertarik sampai lepas, lalu:
reeeeetttreeeeetttt... Sobek dua, melayang di udara, jatuh kelantai tak
berdaya. Aku terkejut. Langkah-langkah halus lagi, tetapi terdengar gelisah.
Aku menggerakkan leher sesuai dengan arah irama
langkah, dan bersungut: "Ada apa dengan kau,
manis"" Diam. Di luar, sisa-sisa air hujan menerpa jendela.
"Kau tak bisa tidur""
Kuputar kursi, menghadap ke arah pintu masuk,
karena langkahnya yang terakhir aku dengar disana.
Tetapi segera berpindah lagi, ke arah tempat tidur.
Kuperhatikan kasur. Tidak ada yang melekuk, sprei
tidak berubah bentuk. Jadi, ia hanya berdiri saja di
sana. Kucoba tersenyum. "Aku tak tahu mengapa kau gelisah. Tetapi... adakah
sesuatu yang dapat kulakukan, untuk menyenangkan
hatimu"" Sepi. Sepi sekali. Lalu, napas dingin, langkah-langkah kaki yang lembut.
Tiba-tiba, kertas di lantai melayang di udara, pindah
dengan gerakan tetap ke atas meja. Sobekannya
dirapatkan, seolah-olah ingin menyatukannya kembali
dengan perasaan menyesal.
"Tak usah dipikirkan, sayang," aku bergumam, terharu.
"Toh jalan ceritanya masih kuingat. Aku bisa
mengetiknya kembali...."
Kureguk kopi panas yang ia hidangkan.
"Sungguh tak enak rasanya minum sendirian,
sementara engkau kedinginan..." ujarku. "Dan
singkong ini," aku mengunyah, "Bagaiman a kau
menggorengnya" Gurih dan enak sekali rasanya. "
Lama, tidak bereaksi. Apakah ia telah keluar melalui kemampuan empat
dimensinya" Barangkali ia ingin melihat aku bekerja.
Baiklah. Kuambil sehelai kertas, memasukkannya ke
ban mesin, dan pelan-pelan mengonsentrasi diri.
Tik-tak-tik-tak, mesin tik mulai mem
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
perdengarkan suara kembali. Tetapi agak tertegun-tegun, karena
kesadaran bahwa dia masih ada di dalam kamar,
sehingga konsentrasiku agak terpecah. Tiba-tiba,
musik mengalun lebih keras. Tidak terlalu hingar,
tetapi ternyata sangat cocok untuk mengatasi suara
angin di luar rumah. Tetapi barangkali buat dia sendiri, mungkin punya
pengaruh lain. Karena tahu-tahu saja aku sudah
merasakan hembusan dingin di pundak, disusul
sepasang lengan yang lembut melingkar ke depan
dan mendekap dadaku. Sesuatu yang lunak menekan
di punggung. Sepasang bukit kembar yang menonjol
lembut, sayang betapa dingin, namun aku tentu saja
sangat gugup dibuatnya. "Kau... kau kedinginan"" tanyaku, lirih.
Ia masih muda, dengan lekak-lekuk tubuh yang
apabila terlihat mungkin akan membuat hatiku
tergetar. Dan aku sangat yakin, bahwa ia
mengenakan gaun malam. Yang meski warnanya
tidak dapat kulihat, aku tahu tentulah berwarna putih
seperti yang sudah beberapa kali kulihat dalam
"mimpiku. Rambutnya yang panjang, menebarkan harum
semerbak ke hidungku. "Baiklah..." aku berbisik parau. "Kalau kau tak ingin
aku mengetik..." Aku memutar setengah tubuh di kursi, lalu menerima
ciuman yang lembut itu pada bibirku. Ia menggigitnya
sedikit, penuh getaran, pertanda kegemasannya.
Bagaimana pun aku membelalakkan mata, toh aku
tidak akan dapat melihat dia. Karena itu kupejamkan
mata. Lantas aku memeluk, dan membalas
ciumannya dengan hangat. Tekanan wajahnya kemudian terasa di dadaku,
disertai hembusan-hembusan napas yang terengahengah. Getaran ganjil mengaliri jalan darahku. Aku
seolah-olah memeluk makhluk perempuan yang
lembut dan hangat, dengan gairah yang minta
dipenuhi. Kubayangkan wujudnya yang sering kulihat
dalam mimpi, semakin lama semakin jelas....
Tetapi ketika aku menariknya ke tempat tidur... Ah,
sesungguhnya, dialah yang menarikku ke tempat
tidur, aku tidak melihat apa-apa, selain merasakan
kehadiran dirinya, sentuhan tangannya, desah
nafasnya yang serba dingin.
Anehnya, gairahku perlahan-lahan lepas dari kendali.
Aku mengikuti gerakannya dengan tertegun-tegun,
setengah gugup, setenggah berhasrat, kemudian kami
telah berbaring di tempat tidur.
Musik mengalun mendayu-dayu, penuh goda. Di luar,
angin masih menderu. Dingin sekali di sini. Tetapi pakaianku sudah dilepas
oleh tangan-tangan gaib, dan pada saat berikutnya
tubuhku telah menyentuh kulit tubuh yang licin, halus
dan dingin. Sentuhan itu secara lambat tetapi nyata
mulai berubah hangat. Barangkali oleh kobaran api
yang bergejolak dalam darahku, dan menebar dengan
liar di seputar kamar. Dengan lampu tetap menyala, kami bermain cinta.
Dan aku merasakan, betapa hebat gejolak birahinya,
seolah telah sekian lama terpendam, tanpa
menemukan pipa untuk menyalurkannya keluar....
*** Menjelang subuh, aku tersentak bangun oleh
goncangan yang hebat di dalam kamar. Aku segera
melompat turun dari tempat tidur dan kaget waktu
menyadari aku telanjang. Pakaian yang kukenakan
sebelumnya, tertumpuk dipojok ranjang.
Aku memperhatikan ke sekitarku, ketika goncangan
itu mereda. Kemudian aku melihatnya.
Bukan dia. Melainkan pakaianku yang melayang ke
udara, kemudian didesak-desakkan ke tanganku yang
gemetar. Seolah ingin berkata:
"Pakailahl Pakailah! Pakailah...!"
Masih dalam keadaan takjub oleh kontak kami yang
mesra itu. Kuterima pakaianku dan segera
mengenakannya. Aku mendengar bunyi srok srek
yang halus, mungkin suara pakaianku sendiri. Ataukah
mungkin juga suara gaun tidurnya, ketika ia
mengenakannya. Musik tahu-tahu berhenti. Tetapi angin di luar rumah,
tidak. Justru semakin keras semakin kencang. Hujan
deras kembali membadai. Butir-butir air menerpa kaca
jendela, menimbulkan suara tersentak-sentak yang
mengerikan. Rumah bergoncang lagi. Lantai tempat
berpijak terasa bergoyang.
"Hai!" aku berseru panik.
Kupandang berkeliling, mengharap ia memberitahu
aku apa yang tengah ia http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 20 lakukan. Tiba-tiba aku sadar, semua itu bukan berasal dari
dirinya. Karena di luar rumah, aku mendengar suara
yang lebih hiruk-pikuk. Seolah ada gunung yang belah
di kejauhan. Aku berdiri membeku. Sadar dengan apa yang terjadi, tetapi tidak cukup
sadar untuk berbuat sesuatu. Tempat tidur bergeser
ke sudut. Mula-mula menjadi miring, dan mesin tik
membentur dinding. Suara berderak membuat aku
berpaling. Ternyata sice terbalik, dan tape deck
menghambur jatuh ke lantai. Aku beranjak mau
mengangkatnya, ketika cengkeraman tangan yang
kuat dan dingin, membelit pergelangan tangan kiriku.
Aku tertarik ke arah pintu, setengah dipaksa.
Meskipun masih bingung dan panik, aku menurut juga
diseretnya ke luar dari kamar kemudian berlari-lari
menuruni tangga. Di tengah-tengah tangga, aku tertegun. Dia juga,
rupanya. Dengan mata mengecil kusaksikan
bagaimana suasana dapur berantakan. Lampu utama
di langit-langit telah lepas, dan jatuh berderai ke
lantai. Seketika suasana menjadi gelap gulita. Namun
sebelum kegelapan yang luar biasa itu menyerap
bumi aku masih sempat melihat lantai ruang bawah
itu telah rekah disana-sini.
Aku disentak tangan yang dingin itu lagi. Kemudian
didorong ke arah pintu keluar. Maklum peristiwa apa
yang tengah berlangsung, aku segera menghambur
ke pintu. Di sana, pegangannya lepas. Aku berusaha
meraba-raba seraya memanggil-manggil dalam
kegelapan. Sebuah tangan mendorongku keluar lewat pintu yang
terbuka. Aku terdesak mundur, sampai ke teras.
Naluriku membisikkan sesuatu yang membuat
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jantungku sangat kecut. Kembali aku meraba-raba
seraya berteriak-teriak: "Kesinilah! Mari keluar bersamaku!"
Kembali tangan itu mendesak-desak. Aku menyambar
pergelangannya. la tersentak berusaha menarik
mundur tangannya yang kupegang. Aku berusaha
memeluknya, tetapi ia dengan segera memukul dan
mencakar dengan tangannya yang lain, sehingga aku
merasa sakit di dada dan wajahku.
Hujan menderas, menyapu teras. Aku basah kuyup
seketika. Merasa kedinginan yang amat sangat. Angin
yang sudah gila menghempas-hempaskan daun pintu
dan jendela dengan liarnya, membuat kaca-kacanya
berpecahan. Tetapi aku tidak memperdulikannya. Aku
memusatkan perhatianku pada dia, yang meronta
sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
"Perlahan-lahan aku sadar akan satu hal. Gerakannya
menunjukkan bahwa ia hanya menghendaki aku
sendiri, yang lari menyelamatkan diri.
"Pergil Pergi! Pergi!" suara sayup-sayup seorang
perempuan, menyentuh telingaku.
Benarkah" Aku tertegun. Mendengarkan.
"Pergilah! Selamatkan dirimu," suara itu terdengar
lengking dan jauh, seolah suara angin. "Tinggalkan
aku di sini. Tempatku di rumah ini... Pergi! Pergilah,
kumohon....!" Lalu, hentakan keras yang tiba-tiba, membuat
tubuhnya terlepas dari pelukanku. Sebuah tangan
mendorongku, sehingga aku terhumbalang melampaui
teras, jatuh di atas rerumputan dengan kepala hampir
membentur batang pohon cemara.
"Tunggu!" aku berseru, lantang. Lalu menghambur
berdiri. Tetapi: Blam! Pintu telah ditutupkan, disusul: klak-kalak! Dikunci
dua kali. Hujan semakin deras, seolah air bah dari langit. Tanah
tempatku berpijak, terasa bergetar. Angin badai
bertiup kencang, membuatku bingung. Lalu dalam
kegelapan, petir menyambar.
Terang benderang seketika.
Aku melihat atap rumah seperti menghilang. Lalu
tanah tempatku berpijak bergetar lebih hebat. Tanpa
berpikir panjang lagi, aku berlari ke jalan raya.
Diantara suara hujan aku juga mendengar suarasuara orang-orang berteriak hampir di semua arah.
Lalu aku melihat banyak bayang-bayang kehitaman
berlari-larian disepanjang jalan. Kalang kabut. Ribut.
Di bagian tanah yang keras diseberang jalan, aku
berhenti. Dan menatap ke depan. Melihat bentuk samar-samar
dari rumah mungil itu yang perlahan-lahan mulai
roboh dengan suara yang riuh rendah. Sebilah papan
terbang kearahku. Jatuh di jalan, setengah meter dari
ujung kakiku yang telanjang. Berhenti disitu. Diam
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
AKHIR CERITA AKU berdiri diseberang jalan sampai hujan reda dan
angin telah kehabisan tenaga. Dari ufuk sebelah timur,
matahari mulai memancar, keluar dari sebelah sana
gunung yang kelabu. Lembah sawah menghampar
hijau. Sungai meluap. Pohon cemara itu masih berdiri.
Tetapi tegaknya sudah miring.
Aku juga dapat melihat rumput. Seonggok bunga.
Tembok teras setengah meter yang retak-retak dan
runtuh sebagian. Lalu bagian depan rumah yang
merupakan potongan sia-sia, lunglai tak berdaya.
Hanya itu! Rumah mungil itu telah lenyap. Aku sangat merasa
kehilangan. Kehilangan rumah mungilku tersayang.
Kehilangan seorang yang tidak kukenal, tetapi telah
memberikan limpahan kasih mesra. Perasaannya
demikian halus. Sangat mudah tersinggung, tetapi
sama mudahnya untuk memberi maaf.
Berdiri diam di seberang jalan, bermandi matahari
pagi yang hangat, aku mulai berpikir. Bahwa ia bukan
orang asing bagiku. Bahwa ia bukan makhluk yang
tidak kukenal. Aku mengenal dia, seperti aku mengenal diriku
"sendiri. Dan kini ia telah pergi. Aku merintih. Berharap ia muncul tiba-tiba, kembali ke pangkuanku.
Meski tanpa wujud yang nyata. Aku menginginkan
sentuhan-sentuhan tangannya, kecupan bibirnya yang
lembut, desah nafasnya yang menggetarkan, suara
bisikannya yang sayup: "Mengapa menangis, sayangku" Aku ada didekatmu!"
Aku menoleh ke samping, mengharap suara itu
berasal dari sebelah kiriku. Tetapi dengan getir aku
sadari. Suara itu keluar dari sanubariku yang
memendam rindu. Aku melihat seseorang mendekap.
Bukan dia. Tapi pak Jayusman yang berwajah kuyu dan mata
yang putus asa. "Setelah sekian puluh tahun, nak, kini terjadi lagi...
Longsor yang mengerikan ini, akan membunuh kita
semua perlahan-lahan..."
Tanpa menunggu komentarku ia kemudian berjalan
pergi. Langsung menuju dimana hari sebelumnya
terletak rumah tempat tinggal keluarganya, yang kini
hanya tinggal sisa-sisa. Tanpa sadar, kakiku terayun. Satu-satu.
Sekali aku mengeluh. Sakit.
Terdengar langkah-langkah kaki disekitarku. Hilir
mudik. Seorang anak kecil berteriak. Seorang ibu
memanggil-manggil. Di belakangku, ada suara-suara
bergumam. Suara-suara lelaki. Aku tak perduli. Terus
berjalan ke tempat di mana rumah mungilku
meninggalkan kesia-siaan yang memedihkan.
Aku berdiri di bibir tebing yang telah melebar sangat
dekat ke jalan raya. Tidak semua dari rumah mungil
itu terbawa bersama tanah yang longsor jauh ke
bawah. Sebagian masih berada di tempatnya semula,
meski porak poranda dan sesewaktu terancam akan
ikut longsor. Seseorang didekatku, mendesah:
"Mari kita lihat. Barangkali masih ada yang bisa
diselamatkan." Aku tidak tahu pada siapa ia berbicara. Dan aku tidak
suka suaranya. Terlalu serak. Terlalu menusuk. Sama
sekali tidak memberi harapan.
Ketika ia berjalan mundar-mandir diantara puing-puing
rumah barulah aku menyadari bahwa ia adalah
pemilik rumah lama, pada siapa aku telah membayar
uang kontrak, dan dari siapa aku memperoleh
jaminan: "Tembok ini masih kukuh sekitar enam tahun
lagi..." Berapa lamakah aku telah tinggal di rumah mungil
itu" Telah berapa lamakah aku kenal dan hidup bersama
"dia" (kukembalikan tanda kutip, karena yang kusebut
si dia, kini telah pergi).
Laki-laki itu tiba-tiba tertegun. la kemudian mengorekngorek sesuatu dengan kakinya ke dalam rekahan
tanah berlubang di bagian mana seingatku terletak
lantai bawah dengan seperangkat meja kursi
diatasnya. Waktu ia berdiri lagi, wajahnya pucat pasi.
"Kemarilah!" ia berseru. Tersendat.
Kali ini aku tahu pada siapa ia berseru. Maka aku
mendekat, ingin tahu. Dan di bekas lantai itu, tempat di mana aku terpaksa
harus mem-pel setelah oleh "dia" diguyur seember air
kotor, tampaklah tulang belulang manusia berserakan.
Aku merintih lagi. Orang itu bertanya, seolah pada diri sendiri.
"Tulang belulang siapakah ini gerangan""
la menatap wajahku, dan mendesis:
""Apakah kau tahu""
Aku mengangguk. la tercengang. "Siapa"" tanyanya tidak percaya.
"Dia," jawabku.
"Dia"" Kuulang. "Dia." Lalu aku berbalik. Meninggalkan dia termangu-mangu.
-SEKIANhttp://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 21 MEMENUHI JANJI TERKUTUK KELABANG api membersit sebentar ketika Bajuri
menekan puntung rokok kedalam asbak. Bau
tembakau menyengat hidungnya. Pengap dan busuk.
ltu batang rokok terakhir malam ini, ia boleh saja
mengisap dua tiga batang lagi. Tetapi ia tidak mau
hari-hari tuanya nanti digerogoti oleh paru-paru
berlubang. Sekarang saja, nafasnya sudah terasa
agak sesak. Bajuri terbatuk. la meraba dalam kegelapan
dipermukaan meja yang terletak di samping kursi
tempat ia duduk menunggu semenjak tadi. Jari
jemarinya seolah punya mata. Hanya dengan sekali
sentuh ia telah menemukan gelas yang ia cari.
Ketika ia dekatkan ke mulut, pantat gelas terpaksa ia
naikkan lebih tinggi untuk menumpahkan isinya ke
dalam tenggorokan. Tinggal sisa. Dan hanya beberapa
tetes. Kerongkongannya pun ikut kering. Kerontang
lagi. "Jadah!" ia memaki. Tanpa alamat.
Lalu kembali meratakan punggung serta belakang
kepalanya ke sandaran kursi. Kelopak matanya
memberat. Padahal Dudung sudah menyeduh kopi
sekental mungkin. Bajuri pun boleh saja keluar dan
minta segelas lagi. Namun hari-hari tua nanti kembali
meradang. Nikotin dari tembakau saling membunuh
dengan kopi. Akan tetapi kebanyakan kopi kadangkadang terasa membuat jantungnya lemah.
"Mengapa ia belum datang"" Bajuri mengeluh.
la menatap lurus ke depan. Menembus kegelapan
yang menghantui ruang pengap di mana ia telah
duduk menunggu begitu malam mulai jatuh. Hanya
kehitaman saja yang ada di kamar itu. Pekat.
Namun buat Bajuri, tidak demikian halnya. la dapat
melihat sebuah tempat tidur besar tak jauh dari kursi
yang ia duduki. Spreinya bersih, dikembangkan
dengan rapih. Demikian pula bantal, tersusun apik.
Sprei itu belum ditiduri. Bantal itu belum ditiduri.
Betapa ia ingin bangkit dari kursi. Lantas
menghempaskan tubuh yang sudah mulai letih ke
atas tempat tidur. Menguap sebentar, pejamkan mata,
maka segalanya akan berlalu dengan cepat.
Dan ia tidak berhak! Sebelum yang ditunggu, mempersilahkan ia naik ke
tempat tidur. Tidak. la tidak berhak. Pada hal tempat
tidur itu ia sendiri yang beli. Dengan uangnya pula.
Ruangan di mana ia berada juga merupakan hak
miliknya. Mutlak. Tak seorang pun akan berani
membantah hal itu. Bahkan mengusik juga tidak.
Kecuali dlia. Yang Bajuri tunggu.
Kelopak matanya semakin memberat. Selalu begitu.
"Biarpun telah hampir sebungkus rokok ia cekoki ke
paru-paru dan kopi kental pahit ia larutkan ke
lambung. Barangkali rokok maupun kopi itu tidak lagi
berpengaruh pada dirinya. Sudah kebal. Atau
barangkali sudah bertumpuk jadi racun, yang tinggal
menunggu bekerja saja. Lalu mati.
Tetapi yang dia tunggu selalu berkata:
"Kau takkan akan mati. Tidak, sebelum aku
menghendaki kau mati!"
Pernah ia menggeletar mendengar ucapan
mengerikan itu. Dan berpikir, apakah bukan Tuhan
yang menentukan hidup mati seseorang. Bah!
Mengapa pula Bajuri harus susah susah berpikir. Toh
ia sudah lama melupakan Tuhan. Sudah lama tidak
mengikuti perintahNya, dan sudah lama menjejaki
larangan-laranganNya. Tidak. la tidak berhak
memikirkan Tuhan. la hanya boleh memikirkan
kekuatan lain. Kekuatan yang kini dia tunggu.
Dan pemilik kekuatan itu selalu menghibur.
"Tenanglah Bajuri. Kau akan berumur panjang. Yang
penting, puaskan hawa nafsuku, dan kau akan
mereguk kesenangan sepanjang hidupmu. "
la memang telah mereguk kesenangan itu, setahap
demi setahap. Lambat memang, tatapi pasti.
Dimulai dari berjualan makanan kecil di jongko pinggir
jalan. Tukang-tukang becak atau abang-abang sayur
yang selalu berhutang, mulai membayar kontan.
Langganan bertambah dari hari ke hari. Maka ia
perbesar jongko. Masih belum memadai. Dalam
setahun, ia berhasil membangun sebuah warung
makan yang lumayan besar. Makanan khasnya, ikan
mas. Kalau dahulu cuma digoreng. Atau diacar. Tetapi
sekarang, dengan semakin bertambah pesat usaha
dan semakin beraneka ragam pengunjung rumah
makannya, jenis hidangan pun disesuaikan. Ikan mas
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
dipepes, dipais, dipanggang oleh seorang koki ahli.
Mahal memang bayaran koki itu, karena ia bekas
kepala koki sebuah hotel terkemuka di ibukota. Tetapi
masakan olahan koki kesayangan Bajuri telah
membuat rumah makan miliknya semakin sohor
kemana-mana. la lalu punya gedung megah di kota,
bungalow tempat beristirahat di kaki gunung, dua
buah mobil kelas menengah. la tidak punya simpanan
uang di bank. Tetapi sawahnya ada di mana-mana.
Berhektar-hektar. Belum lagi kolam ikan. Kolam di
mana bibit ditumpahkan begitu saja, lalu dalam
tempo tidak lama telah berubah jadi ikan-ikan mas
yang tumbuh subur dengan sendirinya, tanpa diberi
makanan khusus yang orang lain sering pusing
memikirkannya! Tidak, ia tidak Derlu memikirkan bagaimana cara
supaya penghuni kolamnya berkembang biak dengan
cepat. Pekerjaan itu, telah ada yang mengatur.
Dan dia yang kini ditunggu oleh Bajuri.
Dia.... Kelopak mata Bajuri yang telah mengatup tanpa ia
sadari tiba-tiba terbuka. Berat mula-mula, kemudian
menjadi ringan. Matanya kini menatap ke depan.
Nyalang. Bersinar-sinar. Selain kursi dan meja kecil
disampingnya, hanya tempat tidur besar itu sajalah
yang memenuhi ruangan. Tempat tidur itu tidak
kosong lagi sekarang! Bayangan sesosok tubuh tampak telah bersimpuh di
sana. Sosok tubuh itu membelakangi lubang-lubang
sebesar tinju tangan Bajuri pada tembok yang
"berseberangan dengan kepala tempat tidur. Cahaya
rembulan menerobos ke dalam. Dua tiga bintang
menari-nari dari satu ke lain lubang. Indah sekali.
Seindah bayangan tubuh yang pelan-pelan mulai
bergerak di atas tempat tidur. Begitu samar. Begitu
perlahan. Namun betapa gemulai. Mengundang birahi.
"... Bajuriiii!" terdengar suara memanggil. Sayup-sayup
sampai. "Bajuri bangunlah. Aku disini..."
Bajuri tidak segera bangkit.
Beberapa saat, ia hirup bau harum semerbak yang
berpencaran bersamaan dengan terdengarnya suara
tersebut. Uap tembakau dan kamar yang pepak,
dalam tempo singkat telah lenyap diserot oleh bau
harum semerbak yang memancar dari sosok tubuh di
tempat tidur. Semakin nyalang mata Bajuri
memandang, semakin jelas bentuk sosok tubuh itu. la
membelakangi sinar rembulan yang menerobos
melalui lubang-lubang tembok. Tetapi justru dengan
cara itu, silhonet tubuhnya semakin seronok. Bisa
putih gemerlap melapisi pinggiran rambut yang
panjang tergerai sampai ke pinggang, dan
menimbulkan garis-garis lekuk yang lembut dan halus
pada tubuhnya yang Bajuri yakin, tidak mengenakan
sehelai benang pun juga. Bajuri menghela nafas. Panjang. Dan berat.
Jantungnya tergoncang. "Aku... aku telah menunggu dari tadi," ia
mendesahkan semacam protes yang samar-samar.
Tawa lunak menyambut protes Bajuri. "Yang penting,
aku telah datang bukan""
"Hem..." "Mengapa tidak naik ke sini, sayangku""
Bajuri menahan nafas. "Biasanya, kau yang turun. Dan
membimbingku naik," ia mengeluh. "Lututku selalu
goyah tiap kali aku melihat penampilanmu..."
Tawa lunak kembali menggema. Sejuk. Mengguyur
kepala Bajuri yang tadi menyentak-nyentak karena
terlalu lama menanti. Tetapi sosok tubuh itu tetap
duduk bersimpuh di tempat tidur. Tidak bergerak
untuk turun. Hanya sinar matanya tampak berkilatkilat memecah kegelapan di dalam ruangan. Sering
Bajuri berpikir, sepasang mata milik sosok tubuh itu
tentulah lebih kecil dan lebih bundar dari mata
perempuan-perempuan yang pernah ditiduri Bajuri.
Tetapi mata yang ini, kilatannya lebih besar
pengaruhnya. Selalu Bajuri merasa seolah
ditelanjangi, kemudian ditarik dan dipaksa untuk tidak
melewatkan kesempatan berlalu barang setarikan
nafas pun jua. Dan nafas Bajuri sudah sesak karena tida k sabar.
Namun tubuh di tempat tidur tak juga meluncur turun
seperti biasa. Bajuri tidak kuat menahan hati. Ia
menuntut: "Keramahanmu palsu, bukan""
Terdengar helaan nafas. Lirih. Bagaikan suara dasau
angin disela pepohonan bambu.
Lalu: "Kalau kau mengerti, mengapa masih bertanya""
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 22 Nada suara yang datang dari tempat tidur, tidak lagi
seramah tadi, meski masih terdengar lembut dan
mengundang birahi. Bajuri menelan ludah. Berkali-kali.
Katanya: "Apakah aku telah berbuat sesuatu kesalahan""
"Ya!" Lantang benar sahutan itu. Tandas.
Bajuri gemetar. Kelelakiannya yang sempat
terangsang setelah menghirup bau semerbak dalam
ruangan, agak terlecut oleh nada suara tadi. Hatinya
berubah kecut. Sebuah kesalahan, biarpun sangat
kecil, masih untung kalau diberi peringatan. Orang lain
mungkin melakukan hal itu, tetapi tidak orang yang
berada di tempat tidur itu.
"Besok salah satu kolam milikmu akan mengering.
lkan-ikannya mati. Tak ada yang bisa dimakan..."
"Kau menghukumku..."
"Aku hanya memecutmu sedikit. Tak akan terasa
sakit!" "... Kolam mana yang kau maksud""
"Yang akan kau pancingkan hari Minggu depan!"
"Tetapi... tetapi aku telah menerima pembayaran dari
pemborong yang akan memancing di kolam itu."
"Mengapa bingung" Kembalikan saja uang mereka."
"Mereka akan menuntut ganti rugi berlebih!" Bajuri
memprotes. "Salah seorang diantara mereka, sangat
pemarah. la pernah kukecewakan dalam persoalan
yang sama. Akibatnya, ia tumpahkan sekaleng endrin
ke kolam lain yang bibitnya tengah membiak...."
"Itu resiko, Bajuri. Karena kau selalu membuat
kesalahan yang sama. Dan ingat, aku hanya
mengeringkan isi kolammu, dan seseorang mungkin
mengendrin kolam lainnya. Kau rugi tidak seberapa.
Bagaimana kalau aku..." diam sebentar, seakan
mengancamkan Bajuri untuk menyimak lanjutannya:
"... mengambil nyawa orang kesayanganmu""
"Jangan!" Bajuri terlonjak dari tempat duduknya.
Suaranya bergaung dalam ruangan. Karena gaung itu
sukar lolos dari lubang-lubang tembok, gaung tadi
memantul dari satu ke tembok lain. Berdentumdentum, membuat telinga Bajuri seakan mau pecah
karena teriakannya sendiri. Begitu dentuman itu reda,
dan kesepian kembali bergayut didalam ruangan,
telinga Bajuri menangkap pertanyaan yang sudah
lama ia duga akan ia terima juga:
"Mengapa kau menikah lagi""
Bajuri ingin duduk. Tetapi tubuhnya terasa kaku.
Dingin. "Aku..." "Hem. Jawabmu sudah kuduga. Kau akan beri kata,
kau laki-laki normal. Kau membutuhkan seorang
"wanita!" "Benar, seorang wanita yang bukan cuma sekedar
bisa ditiduri. Tetapi juga bisa diajak mendampingiku
sampai hati tua..." "Tidak akan, Bajuri. Tak akan..."
"Aku mencintainya. Dan ia mencintaiku!"
Sepi sejenak, lalu tawa serak. Kemudian:
"Bodoh!" Bajuri terbungkam. "Apakah aku kurang menggelorakan kelelakianmu
selama ini, Bajuri" Telah hilangkah daya pesona dan
gairah berapi-api yang senantiasa kuberikan padamu
tiap kali kita bercumbu""
Bajuri membasahi bibirnya yang kering. "Tak ada
perempuan lain yang bisa melebihi kau..." ia
bergumam. Lirih. "Lalu, mengapa Bajuri" Mengapa""
"Aku hanya bisa memilikimu selama satu minggu. Dan
itu dalam setahun!" Bajuri berseru. Marah.
"Dan aku selalu memuaskan engkau, bukan""
"Yeah. Dalam tujuh hari. Bagaimana dengan 358 hari
yang tersisa" Kau suruh aku beraonani""
"Tidak. Onani membuat jiwamu lemah."
"Kalau begitu, ijinkan aku meniduri pelacur."
"Jangan! Aku tak sudi kau dijangkiti penyakit kotor
dari manusia-manusia busuk itu..."
"Kau pun busuk. Dan..."
"Bajuri!" Bajuri tersentak diam. Dan jatuh terduduk di kursi,
"Maafkan aku..." keluhnya, seraya mengurut belakang
kepalanya yang berdenyut. "Sudilah!"
Desis lirih dan tajam menyapu ruangan. Tak ubahnya
gesekan kaca. Ngilu sampai ke tulang, menggigil, dan
merungkut di tempat duduk dengan gigi gemeletukan.
la terumbang-ambing dalam duduknya, seperti sebuah
kapal kecil yang dihempas-hempaskan badai di
tengah samudra. Persendian tulang-belulangnya
seolah berlepasan. Beribu-ribu jarum menusuk-nusuk
jantung serta paru-paru. Bajuri ingin menjerit, ingin berteriak minta ampun,
namun lidahnya membeku, keras bagaikan batu. la
sudah http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
hampir pingsan, ketika telapak tangan yang
halus dan hangat menyentuh pipinya dengan lembut.
"Bajuri"" "Hhhhh..." "Bajuri"" Bajuri menggerakkan leher. Berusaha tengadah.
Sepasang telapak tangan itu membantunya, ia
menatap ke wajah yang samar-samar diatasnya.
Dalam kegelapan ia dapat melihat wajah bujur sirih,
sepasang mata cemerlang, lekukan hidung yang
mancung, bibir merah merekah, dagu bertaut lembut,
leher jenjang, pundak yang bidang, kemudian
sepasang payudara yang kenyal dan begitu rapat ke
wajahnya sendiri. Hawa panas yang lembut mengalir
lewat telapak tangan yang mendekap
pipinya, merasuk dengan teratur ke sekujur tubuh,
dan mengembalikan kelelakian Bajuri dalam seketika.
"Sayangku..." ia gemetar. Tetapi gemetar yang tentu
saja berbeda. "Ya, Bajuri..."
"Bimbing aku ke tempat tidur itu."
"Bangunlah." "Aku tak kuat...."
"Kau ingin kita melakukannya disini, kalau begitu."
""Di mana saja. Di mana saja... oh!" dan Bajuri
merahup tubuh itu dalam satu renggutan keras dan
kasar. Bajuri seketika lupa diri. Tak ingat lagi dimana ia
berada, dengan siapa ia bercumbu. Bahkan ia tak
ingat siapa dirinya sendiri. la baru tersadar dari impian
indah itu ketika terdengar suara rintihan lembut:
"Aku lapar, Bajuri..."
"Sebentar lagi, Yang. Aku belum ..."
"... Nanti kita lanjutkan lagi," sosok tubuh hangat
dalam dekapannya, meronta halus untuk melepaskan
diri. "Aku ingin makan sekarang."
"Kau mau puas sendiri ya"" Bajuri mengerang. Kesal.
Tawa yang lunak menyentuh telinganya. Juga
peringatan halus: "Dalam hubungan kita, Bajuri, kepuasanku diatas
segala-galanya. Bukan kepuasanmu!"
Bajuri melepaskan pelukannya.
"Mana makanan itu""
Seolah menyadari ke alamat mana pertanyaan itu
ditujukan, sesuatu berkeresak-keresak di bawah meja
kecil. Kepak-kepak sayap yang tertahan memecah
kesepian di dalam ruangan, disusul suara berkotek
yang ribut. Bajuri beringsut turun dari tempat tidur. Kemudian
berjalan gontai ke dekat kursi, membungkuk lalu
mengeluarkan seekor makhluk kecil yang dan
malang. Warna bulunya putih. Cemerlang, kontras
dengan kegelapan yang hitam dalam ruangan.
Bersama dengan itu, Bajuri juga menjemput sebuah
piring diatas mana bertumpuk tujuh benda kecil
berwarna putih. Keranjang digepit Bajuri dengan keras
sehingga suara berisik makhluk didalamnya menyepi
sendiri. Sementara piring ditangan lain ia pegang
dengan hati-hati, khawatir benda-benda bersusun di
atasnya menggelinding dan jatuh ke lantai. Karena
benda-benda itu tak lain dari tujuh butir telur yang
masih segar dan baru. la letakkan piring lebih dulu di tempat tidur. Kemudian
tali pengikat ayam ia lepaskan dengan hati-hati.
Terdengar suara berkotek yang ribut, suara sayap
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkepak dan lengan Bajuri yang telanjang tercakar
oleh kuku-kuku tajam. Pastilah cakaran itu telah
menimbulkan luka gores, dan siapa tahu juga
berdarah. Rasanya perih. Menggigit.
"Dari koteknya, aku tahu ini ayam betina," gumam
teman bercumbu Bajuri, lembut dan bernafsu.
"He-eh." "Dan telur-telur ini, Bajuri. Aku percaya padamu,
ketujuh butir telur berasal dari ayam yang ini. Telurtelurnya yang pertama, bukan""
"He-eh!" "Hai. Kau kedengarannya agak kasar, Bajuri!"
Bajuri tidak menjawab. Ia menjauh dari tempat tidur,
memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai
dengan cara meraba-raba. Setelah menemukan
semuanya, ia berjalan ke arah kursi terletak sambil
mengenakan pakaian. Lalu duduk diam di kursi. Kaku.
Membeku. Dengan mata nanap, terbuka lebar,
berusaha menembus kegelapan di dalam ruangan,
melihat ke tempat tidur. Dangan bantuan cahaya
rembulan yang menerobos lewat
lubang-lubang tembok, ia melihat sepasang lengan
halus mencengkeram ayam bulu putih dan masih
muda, gemuk dan segar itu, dengan cengkeraman
kuat. Demikian kuatnya, sehingga terdengar suara
keok tertahan, disusul suara tulang-tulang halus
berpatahan, dan keok serta kepak
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 23 -kepak sayap yang berisik itu pun reda seketika. Bajuri mengatupkan
mata cepat-cepat. la tidak ingin melihatnya. Tidak. la
tidak sudi. Tetapi kekuatan gaib yang tak dapat
ditolak, menarik-narik kelopak matanya supaya tetap
terbuka. la berusaha berpaling namun kekuatan itu
juga ikut menggenggam lehernya, sehingga ia cemas
kalau lehernya pun akan patah-patah seperti leher
ayam itu. "Hem.. hem... hem..." ia mendengar suara orang
kelaparan itu tiba-tiba menemukan hidangan
kesenangan tersedia di depan mata. Lalu, pletakpletok, Bajuri pun mengerti, tidak ada lagi bagian
tulang-belulang ayam tadi yang masih utuh. la
merasakan percikan cairan hangat menerpa pipinya.
Bajuri menggerakkan tangan. Menyeka pipi, dan
mendekatkan jari-jemari ke mata. Dalam kegelapan,
ia tak melihat apa-apa, kecuali merasakan cairan
kental hangat pada jari-jemarinya. Apalagi kalau
bukan darah. la menggigil. Dan terus menggigil, selama sosok tubuh di tempat
tidur melahap makanannya dengan bernafsu. la
menunggu selama beberapa menit, dengan tubuh
tegang dan keringat dingin membanjir di sekujur
tubuh. Begitu terdengar suara desah nafas puas orang
kekenyangan, barulah ketegangan itu mengendor.
".... nikmat sekali," terdengar suara bergumam. Puas.
Bajuri diam saja. "Mendekatlah, sayangku."
Bajuri gemetar lagi. "Mengapa diam saja""
"Aku..." "Jangan bicara, sayangku. Mendekatlah. Tanggalkan
sekalian pakaianmu yang bau keringat itu. Aku ingin
mendekapmu, sebagaimana kau adanya ketika
dilahirkan..." Bajuri melaksanakan semua perintah itu, dengan
mata untung masih dapat ia pejamkan. Namun
hidungnya tidak bisa ia tutup. Ia dapat mencium
campuran bau beraneka ragam. Bau darah anyir, bau
bulu-bulu menyengat, dan telur mentah yang lebih
memualkan lagi. Semua berpadu menjadi satu di
tangan, sebagian tubuh, di wajah, juga rambut dan
terutama bibir yang pelan-pelan mencium bibir Bajuri.
la ingin mutah. Tetapi cumbu rayu sudah mendesak di telinganya:
"Lakukan lagi, sayangku. Lakukan lagi. Lagi. Lagi...!"
Bertahun-tahun silam, Bajuri selalu muntah. Tapi lama
kelamaan, hanya keinginan muntah saja yang ada.
Muntah itu sendiri tidak pernah keluar. Pengaruh gaib
"merasuki dirinya dengan cepat dan kembali membuat
ia melupakan segala-galanya. Pada periode selesai
makan, ia tahu, teman bercumbunya akan
memberikan segalanya, sehingga tak nanti Bajuri
merungut lagi: "Kau mau puas sendiri, ya""
Benar saja. Menjelang subuh, Bajuri terlelap. Dengan
seulas senyum puas bersemayam di bibir.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
LEWAT tengah hari Bajuri terbangun dengan sekujur
tubuh letih lesu. la merangkak turun dengan kepala
agak pusing. Cahaya matahari yang merembes
masuk lewat lubang-lubang tembok membentuk
lingkaran-lingkaran ganjil tidak saja pada tubuhnya,
tetapi juga diseluruh ruangan berukuran empat meter
persegi itu. Ruangan yang hanya diisi sebuah kursi,
sebuah meja kecil, dan sebuah tempat tidur besar.
Tak lebih. Tempat tidur itu acak acakan. Sprei bergulung
semrawut. Di sana sini merah kehitam-hitaman, bekas
darah mengering. Ada beberapa helai bulu ayam
berserakan di kasur, di lantai dan sehelai terbang
ditiup angin yang berputar dalam ruangan, tersedot
keluar lewat lubang-lubang tembok.
la rentangkan otot-otot beberapa saat, kemudian
menatap lewat lubang-lubang tembok ke alam bebas
di luar sana. Tampak lembah hijau dari sawah-sawah
miliknya, perkebunan teh di bukit-bukit, lalu
pegunungan yang sedikit kelabu nun di kejauhan.
Tiada tabir penghalang di luar tembok. Tentu saja.
Tanpa mengintai ke luar, karena memang lubanglubang itu terlalu sempit untuk memasukkan kepala,
Bajuri tahu, pundamen ruangan itu berakhir di ujung
bukit terjal, dengan lereng berbatu padas hampir
tegak lurus ke bawah. Tidak ada jalan ke luar sama
sekali. Kecuali pintu, ke arah mana kemudian Bajuri
melangkah. Pintu tidak mengeluarkan suara ketika dibuka.
Engselnya selalu diberi minyak, dan tepi-tepi rangka
pintu dilapisi karet tebal. Kecuali ke alam bebas di
tembok berlubang-lubang, maka bagian lain dari
ruangan itu kedap suara samasekali. Termasuk langitlangit yang terbuat dari beton bertulang, sama dengan
keempat bidang tembok bahkan bangunan rumah
seluruhnya, yang terletak di puncak bukit itu.
Yang pertama-tama ingin dilakukan Bajuri begitu ia
keluar nanti, adalah meminta segelas air bening dari
Dudung, pelayannya yang setia semenjak bertahuntahun, kemudian mandi. Sekujur tubuh dan
kerongkongannya senantiasa terasa agak kering, tiap
kali ia keluar dari kamar yang ia tempati sepanjang
malam. Sebenarnya ini merupakan siksaan juga,
namun karena ia sudah terbiasa, Bajuri
menganggapnya tak lebih dari panas matahari yang
menyengat kulit seseorang pejalan kaki di tempat
terbuka. la baru saja menutupkan pintu, ketika ia mendengar
suara kursi bergeser. Bajuri menoleh seketika. Seorang perempuan muda, cantik dan penampilannya
menunjukkan perempuan itu senantiasa tahu
menempatkan diri dalam setiap saat, bangkit dari
sebuah kursi. Satu-satunya kursi di korridor yang
menuju ke dapur disebelah kanan, dan ruang tamu
serta dua kamar dapur lain disebelah kiri. Sepasang
"mata perempuan itu berkilat. Namun jelas betapa ia
telah menahan kantuk semalam-malaman. Dia tegak
sedikit doyong, pertanda ia juga sepanjang malam
duduk menunggu dengan sabar di kursi tunggal
tersebut. "Erika!" dengus Bajuri, terkejut.
Perempuan muda dan cantik itu, tersenyum. Jelas
dipaksakan, namun tetap tampak manis dan punya
daya tarik tersendiri. ".... aku bawakan minuman untukmu mas," bisik si
perempuan, bernada getir.
la berjalan memdekat, dan segelas air bening di
tangan kanan. Bajuri mengernyitkan dahi. Hampir saja ia terlupa
untuk menutupkan pintu dibelakangnya. Lirikan mata
Erika cuma sekilas, namun cukup keras menyentuh
kesadaran Bajuri. Pintu ia bantingkan sampai tertutup,
lantas menguncinya sekaligus. Anak kunci ia masukan
ke dalam saku celana. Semua itu diperhatikan Erika dengan mata nanar.
"Ada yang kau cemaskan, mas"" tanyanya. Ramah.
Kecut, Bajuri menyeringai. la memutuskan tidak perlu
menjawab pertanyaan itu. Malah ia ajukan
pertanyaan balik: "Kapan kau datang""
"Kemaren petang, mas."
"Mengapa aku tak diberitahu""
"Mas..." Erika menggerakkan dagu kearah pintu di
belakang Bajuri. "Engkau sudah mengunci diri didalam
sana, mas." "Oh." "Minumanmu, mas..."
Bajuri menatap gelas yang ia terima dari tangan Erika,
dan sebelum meminumnya http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 24 ia bertanya: "Kau tahu apa yang kuinginkan, ya""
"Dudung memberitahu, mas."
"Hem!" Bajuri meneguk habis minumannya. Kerongkongannya
lebih segar sekarang. Tetapi tidak benaknya.
Benaknya tetap kering, dan sedikit resah. Karena Erika
terus menatap dirinya, hampir tanpa berkedip, Bajuri
semakin resah. la berpaling seraya berujar:
"Aku ingin mandi."
"Sudah kusiapkan segala sesuatunya, mas..."
"Tetapi, Erika..."
"Aku akan membantumu mandi. Naluriku
mengatakan, kau letih dan sakit..."
"Erika!" "Jangan membantah, mas.. Aku 'kan isterimu. Dan kau
tahu, aku seorang isteri yang selalu berusaha untuk
mengabdi pada suami yang dicintainya. Ayohlah mas,
jangan segan-segan. Bukankah di kota aku selalu
melakukan hal yang sama denganmu""
Bajuri benar-benar mati kutu. Sebelum ia sempat
membantah, Erika telah menariknya ke salah sebuah
kamar mandi yang pintunya terbuka. Setelah
menutupkan, pintu, Erika terus membimbing Bajuri ke
kamar mandi di pojok lain dari kamar mandi itu.
Segalanya lengkap di kamar mandi ini. Apapun yang
diinginkan seorang perempuan yang telah punya
suami untuk beristirahat dengan tenang, ada di sana.
Kecuali satu hal: tiada ketegangan itu di k amar mandi
ini, tadi malam! Akhirnya ia pasti Erika memutuskan
keluar dari kamar, menyeret salah sebuah kursi dan
menunggu di tempat tadi. Erika memandikan Bajuri seperti seorang ibu
memandikan anak bayinya. la merasa malu.
Perempuan ini agak berlebihan, pikirnya. Biasanya
Erika hanya membantu menanggalkan pakaian dan
menggosok punggungnya, sesekali membantunya
keramas apabila mereka sebelumnya habis bercumbu.
Tetapi sekarang... "Biarlah kuselesaikan sendiri, Erika. Kau tunggulah di
kamar," ia nyeletuk. Ragu-ragu. Karena ia tahu
hasilnya. Benar saja. Erika membentak: "Diamlah!" Bajuri tercengang. la pandang isterinya dengan
seksama. Perempuan itu berbeda usia belasan tahun
dengan usianya sendiri. Kadang-kadang, Erika
memperlakukannya tidak sebagai suami, tetapi juga
sebagai kakak, malah sekali dua Bajuri merasa
bahwa ia dianggap ayah oleh isterinya. Apapun
"bentuk sikap Erika, namun satu hal tak pernah
berubah: semuanya ia lakukan dengan perasaan cinta
kasih. "Kau marah, Erika""
Sambil menyabuni dada suaminya di dalam bak
mandi. Erika menyahut: "Ya." "Karena tidur berpisah tadi malam""
"Ya." "Tetapi aku pernah memperingatkan engkau,
bahwa...." "Ya, Ya. Ya. Pernah!"
"Lalu mengapa kini kau berubah galak""
Perempuan itu tertegun. Ada kilatan ganjil dimatanya,
namun hanya sekilas. Perlahan-lahan, sikapnya
berubah lembut, tatapan mata dan warna rona
wajahnya pun tampak seperti biasa kembali. Wajah
lembut, penyabar dan intelek. Tiga unsur pokok yang
membuat Bajuri nekad untuk menikahi Erika, selain
bagian-bagian tambahan pada diri perempuan itu,
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pinggul padat, langsing, dada penuh, dan gerakan
terampil, serba cekatan termasuk di atas tempat tidur!
"Ah.... aku berlaku dungu bukan, mas"" Erika
melahirkan senyum manis di bibirnya yang ranum.
Bibir itu kemudian maju ke depan. Mencercah di bibir
Bajuri. Sentuhan pendek, hanya akibatnya luar biasa.
Tubuh Bajuri dijangkiti uap panas dari kawah gunung
berapi. "Erika..." "Nggh"" "Kau mandilah sekalian."
"Akan mas. Akan. Setelah engkau selesai."
"Tidak. Sekarang saja!"
"ldih. Si mas, genit!" Erika mendelik seraya tertawa. la
masih tertawa ketika Bajuri menyeretnya masuk ke
dalam bak mandi. *** Selesai makan siang, mereka duduk berdua
menghadap taman di pekarangan depan bungalow.
Beberapa ratus meter diseberang taman, lalu lintas di
jalan raya tampak lengang. Namun kendaraankendaraan antar kota dan sedan-sedan milik pribadi,
bertumpuk di pekarangan sebuah rumah makan besar
dan megah. Tumpukan itu semrawut, karena sebagian
tidak beruntung dapat tempat parkir biasa, sehingga
disimpan begitu saja dikiri ka
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
nan jalan. "Ramai benar." Bajuri mendesah.
"Minggu, mas. Musim libur lagi."
"Oh ya. Aku lupa. Tentulah si Leo, kepala koki kita
sedang sibuk membentaki anakbuahnya di dapur..."
Bajuri tertawa. Leo memang begitu. Tidak seorang
pun anak buahnya boleh bermalas-malasan. Karena ia
tidak ingin ada tamu menunggu
hidangan lebih dari dua menit.
Dudung bergerak di belakang mereka.
"Whisky-nya tuan."
"Terima kasih, Dung," ucap Bajuri, seraya
memperhatikan pembantunya itu meletakkan dua
sloki minuman di atas meja.
Dudung menyadari arti pandangan majikannya. la
bergegas menghilang ke dapur, dengan pikiran
gundah. Ya. Tidak seharusnya ia, pembantu setia, membiarkan
orang lain menunggui majikannya di depan pintu
yang lebih sering tertutup daripada dibuka itu. Tidak
"seorang pun boleh masuk. Meskipun Erika sendiri.
Tetapi, tadi malam, isteri majikannya itu begitu
memelas, begitu memohon. Dan ia terlalu baik. Terlalu
cantik untuk ditolak. "Erika..." "Ngh"" Erika mereguk minumannya. Whisky membuat
kulit wajahnya bersemu merah. Atau sesuatu yang
lain" "Kok, tumben datang tanpa menelephone lebih
dahulu." Erika menoleh. la tatap wajah suaminya sejurus. Lalu,
dengan suara rendah dan dalam, ia memaklumkan:
"Aku mengandung mas!"
Sesaat, tidak ada reaksi apa-apa. Kemudian, kilatan
gembira dan bahagia bermain di wajah maupun mata
Bajuri. Ia meletakkan sloki di tangan, membungkuk
ke depan. la dekap kedua belah pipi isterinya, lantas
bibir ranum itu ia kecup. Sekali. Dua. Bahkan tiga.
Sehingga Erika terengah-engah.
"Mengapa tak kau katakan dari tadi," Bajuri setengah
menghardik. Manja. Erika tertawa. "Harusnya tahu sendiri dong,
mas!" "Uh! Main kejutan segala. Wah... aku bakal jadi
seorang ayah. Sesuatu yang selama ini hanya
merupakan impian belaka..." wajahnya berubah
muram. "Mas"" "Ah, ah. Tak apalah!" Bajuri mendengus, seraya
menggoyangkan kepala dengan keras. Seolah ada
sesuatu mengganggu di kepalanya, dan ia ingin
mencampakkannya jauh-jauh. Wajahnya kembali
berseri. Tetapi tidak matanya. Mata itu pudar. "Kita
harus merayakan kabar bahagia ini, Erika!"
Erika menatap suaminya. Tampaknya ia berpikir,
kemudian: "Tak usah repot repot, mas."
"Hai, Mengapa...."
"Sederhana. Anakku tak ingin dirayakan. Perayaan
selalu berbau kemegahan. Dan anakku, ingin dicinta.
Ingin dikasihi. Cinta dan kasih seorang ayah. Maukah
kau memberikannya, mas" Mau bukan""
"Erika, kau membuatku bingung."
"Berjanjilah!" Bajuri tersenyum. "Aku berjanji. Sayangku."
"Pada anakmu. Bukan padaku."
"Aku berjanji anakku."
"Pegang dia." "Ha" Mana bisa..."
"Perutku. Lambung yang ini..."
Erika menarik tangan kanan Bajuri, dan
menyentuhkannya ke lambung yang ia m aksud.
"Tak ada denyut apa-apa," Bajuri nyeletuk.
"Uh. Belum jadi janin, mas. Baru perpaduan benih kata
dokter. Tetapi reaksinya positip."
"Hem." "Ucapkan janjimu, mas."
"Sudah." "Sekali lagi." "Aku berjanji akan mengasihi dan mencintai anakku."
"Demi Tuhan, mas."
Bajuri gemetar dan sedikit pucat. Tetapi hanya
sebentar. Kemudian ia tertawa. Lantas bersumpah:
"Demi Tuhan, anakku. Demi Tuhan, aku berjanji."
Erika tersenyum. "Kau dengar"" tanyanya.
"Apa"" "Anakmu mengucapkan terima kasih."
"Uh. Kau ini!" Bajuri mencubit paha isterinya.
Erika terpekik. Kebahagiaan meliputi mereka sepanjang hari itu.
"Menjelang senja, seorang pegawai melaporkan
bahwa salah sebuah kolam mereka terbesar dan
sudah siap dipancingkan Minggu depan, telah
dibobolkan, semua ikan mengambang dipermukaan
air. Seperti diracun, kata si pegawai, lesu. Entah siapa
yang dengki, katanya melanjutkan. Barangkali,
pegawai Bajuri tersebut akan lebih bingung lagi, andai
saja ia menunggu sampai satu minggu.
Selama satu minggu itu air telah dialirkan ke kolam
tersebut, tetapi hanya menggenang
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 25 sebentar, kemudian lenyap ke dalam tanah. Begitu saja. Seolah
dasar bumi menyedotnya air itu kembali. Untunglah
Erika tidak mendengar laporan itu. Namun toh ia
murung juga, melihat wajah suaminya yang agak
murung dan pucat. "Ada apa mas"" ia bertanya.
"Kau harus pulang ke kota, Erika. Sekarang juga."
"Tetapi..." "Banyak yang mesti kukerjakan, Erika. Paling tidak,
selama enam hari berikut. Dan aku tidak ingin
membiarkan engkau menunggu sendirian di rumah
ini..." "Mas mau pergi""
"Ya." "Kemana"" "Tak usah kau tahu, Erika."
"Tetapi barangkali aku dapat membantu..."
"Tidak. lni pekerjaan laki-laki. Bukan perempuan.
Apalagi kau tengah mengandung...." wajah Bajuri
memelas. la genggam tangan Erika, dan memohon:
"Jaga anak kita baik-baik, Erika. Mau bukan"!"
"Demi kau, mas..."
Dan sepanjang perjalanan pulang ke kota, supir
terheran-heran melihat nyonya majikannya berubah
jadi pendiam. Sangat pendiam. Tidak seperti waktu
datang ke pegunungan ini kemarin, ia begitu riang
gembira, dan berceloteh tak henti-hentinya. la seorang
nyonya majikan yang baik dan menyenangkan.
Sayang, supir tidak tahu apa yang membuat nyonya
majikannya murung dan pucat. Kalau ia tahu, sedapat
mungkin ia tentu akan berusaha membantu.
Tidak. Tidak ada yang dapat membantu Erika. Karena
ia tahu, suaminya tidak akan pergi dari bungalow
yang telah ia tinggalkan. la tidak menikahi laki-laki itu
begitu saja. Bila ia tertarik pada seseorang, ia akan
mendekatinya. Dan bila orang itu ingin mengadakan
ikatan dengan dia, apalagi yang sifatnya batiniah, ia
akan menyelidiki orang itu terlebih dahulu. Dan Erika
telah bertanya kian kemari, sebelum dan setelah ia
menikah dengan Bajuri. la telah mendengar banyak.
Terutama dari keluarga-keluarga dua orang bekas
isteri Bajuri terdahulu. Apa yang ia ketahui,
seharusnya membuat Erika mundur. Tetapi jiwa
bertualangnya ketika ia masih remaja, kembali
melecut lecut. la serba ingin tahu. Bangku sekolah
maupun bangku kuliah tidak cukup memuaskan
hasrat bertualangnya. la berusaha mencapai apa saja
yang ia inginkan, meski untuk itu ia harus menempuh
resiko, termasuk yang bisa membahayakan dirinya.
Mungkin darah ayahnya yang kini veteran terkemuka,
"darah pamannya yang seorang ahli sejarah purba,
uwanya yang geologi dan kakeknya yang mendalami
kebatinan, bercampur jadi satu dalam dirinya. Semua
keahlian itu memerlukan jiwa yang spesifik. Erika
memilikinya, dan memutuskan untuk menikah dengan
Bajuri. Sekarang, jiwa bertualangnya telah ditantang. Nyata.
Dan anehnya, ia merasa takut. Semacam ketakutan,
yang belum pernah ia alami seumur hidupnya. la telah
membuktikan kebenaran desas-desus yang ia dengar.
Bajuri mengunci diri di kamar tersendiri, tak boleh
ditemui, tak boleh diganggu, tak boleh didekati. ltulah
sebabnya Bajuri terkejut melihat Erika telah
menunggu. Kejutan itu sudah bukup bagi Erika.
Sebenarnya, ia dapat saja lebih mengejutkan
suaminya. Misalnya dengan menanyakan, mengapa
kulit tubuhnya begitu kering. Mengapa ada bekas
darah dan goresan luka pada lengannya. Mengapa
ada benda-benda asing melekat diantara bulu-bulu
dada maupun paha suaminya.
Erika membuka tasnya. Benda aneh itu telah
dibungkus dalam kertas saputangan. Saputangan itu
kini terbentang dipangkuannya. Mobil terhempas
ketika melalui sebuah jalan berlubang. Tetapi bukan
hempasan itu yang membuat Erika tergoncang.
Melainkan, kesadaran pada benda apa yang
terpampang di depan matanya. Bulu tubuh maupun
rambut suaminya lembut dan halus. Warnanya pun
hitam... Namun bulu-bulu kasar dan coklat yang kini ia
pegang"! Erika terhenyak di jok. Matanya terpejam. Bibir
terkatup rapat. *** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
TIBA di kota, ia menyuruh supir agar tidak langsung
ke rumah, tetapi membawanya ke sebuah alamat.
Untunglah orang yang ingin ia temui, berada di
tempat. "Aku heran ketika menerima telepon-mu kemarin
pagi..." kata orang itu, seorang laki-laki berumur tiga
puluhan, berbadan kekar dan tampan wajahnya.
"Karena itu kuputuskan menunggu sepanjang hari ini.
Tak nyana, kau datang setelah malam..."
"Apa beda malam dan siang bagimu bujang lapuk""
rungut Erika tertawa. "Jangan menghina. Aku tinggal melambai, maka
perempuan akan tumbuh subur diselilingku."
"Lalu mengapa tidak melambai""
"Percuma. Satu-satunya perempuan pada siapa aku
pernah ingin melambai, telah diambil orang""
"Wah!" Erika bermuka merah. "Kau membuatku malu."
"Malu. Sayang, bukan kasmaran!"
"Hai. Hati-hati. Lama-lama kau bisa menyuruh aku
menghianati suamiku, Hendratmo."
Hendratmo, pemuda itu, tersenyum. Pahit.
"Apa yang membuat kau jatuh cinta pada laki-laki
yang hampir seusia dengan ayahmu itu""
"ltulah! Ayah tahunya berperang, atau ingin
menghentikan kekacauan di jaman damai ini. Paman
juga seperti dia. Selalu mengembara. Apa lagi uwa.
Dan kakek meski jarang meningglakan kota, tetapi ia
selalu menyepi. Demikianlah. Aku punya banyak
orang tua untuk bernaung. Sayang, mereka hampir
tidak pernah di rumah. Sibuk dengan pekerjaan
mereka sendiri. Apa salahnya aku mencari kasih
sayang dari seorang lelaki berumur macam Bajuri""
"Hendratmo tertawa. "Apakah ketika kau ditiduri
suamimu, kau tidak bayangkan ia sebagai ayahmu,
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pamanmu, uwamu atau kakekmu""
"Mereka semua laki-laki, bukan"" Erika balas bertanya.
"Jadi"" "Aku dan suamiku, manusia berlainan jenis. Di tempat
tidur, seperti kau katakan. Kami sama-sama orang
dewasa. Terlebih-lebih dia. Maka apalagi yang terpikir
olehku, selain bahwa dia seorang laki-laki"!"
"Bisa kau!" rungut Hendratmo. Lalu membahak. "Nah,
katakan urusan itu sekarang."
"Sudah kau siapkan""
Hendratmo mengeluarkan sebuah peti kardus yang
terbungkus rapih. Seperti jaksa yang ingin
membeberkan barang bukti di dapan hakim. la
berkata: "Tambang injuk, pengait besi berlapis karet,
sepatu mendaki, lampu baterei dan segala macam.
Heran. Erika. Buat apa semua ini" Kau toh tidak
bermaksud melakukan jurit malam sendirian" Bukan
jaman ketika kita masih sama-sama kuliah lagi
sekarang ini." "Jurit malam benar. Jaman lalu memang tidak."
"Kau memerlukan keberanian."
"Jangan lupa Hendra. Bukankah kau yang kupayang,
ketika jurit malam dulu kita kepergok kuburan yang
baru dibongkar binatang hutan" Waktu itu kau yang
pingsan. Bukan aku!"
Kehitam-hitaman cupang telinga Hendratmo.
"Lupakanlah!" rungutnya. Dongkol. "Apalagi yang
kurang"" "Obat-bius itu!"
"Ada di peti. Dalam bungkus plastik. Untung ayahku
dokter, kalau tidak... Ah, apa hubungan peralatan,
mendaki dengan serbuk beracun ini, Erika""
"Dalam hubungannya dengan kau, mudah-mudahan
tak ada. Kecuali sebagai penyalur."
"Bah! Sebagai penyalur, ingin aku suruh kau telan obat
bius itu sekarang juga."
"Untuk"" "Supaya kau mabok."
"Lalu"" "Kau kupayang. Dan merintih, lalu kuboyong ke
tempat tidur." "Setan kau!" Hendratmo angkat bahu. Seraya mengant ar Erika ke
pintu, ia mengeluh: "Bukan aku yang setan. Tetapi laki-laki yang merebut
kau dari sisiku, Erika."
Erika tertegun. Pucat. "Eh. Apa yang salah"" Hendratmo tercengang.
Helaan nafas panjang lepas dari hidung Erika.
"Malam", rungutnya, gemetar. "Sudah larut."
Hendratmo memandang tidak mengerti. Tetapi Erika
telah berjalan memasuki mobil. Supir menyimpan peti
kardus ke bagasi, duduk di belakang stir.
Mobil melaju. Hendratmo melambai. Tidak. Erika tidak
membalasnya. Hendratmo mengurut dada, menutup
pintu, lalu bersandar dengan wajah murung.
Erika benar, pikirnya. Aku harus melambai lagi. Bukan
pada Erika. Tapi mengapa hanya Erika saja gadis
tercantik dan termempesona di dunia ini"
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 26 DIBALIK PINTU TERTUTUP BAJURl merungkut di, tempat duduk, dengan wajah
pucat ketakutan. la tidak berani mengangkat muka
untuk melihat bagaimana sosok tubuh di atas tempat
tidur melampiaskan kemarahan dengan mencakar
dan mencabik-cabik apa saja yang terjangkau
olehnya. Kapuk kasur dan bantal berhamburan, sprei
jelas sudah tidak karuan lagi, robek berkeping-keping.
Diam-diam Bajuri merasa dirinyalah yang i ngin dicakar
dan dirobek oleh sesosok tubuh dalam kegelapan itu.
"Jadi, kau bakal punya anak dari perempuan itu!"
Bajuri mendengar suara setengah memekik. Marah.
Lalu suara-suara mencakar lagi, memukul-mukul,
disertai dengus nafas keras dan panas berapi-api.
Sinar tajam sepasang mata menembus kegelapan,
menatap lurus kearah Bajuri yang masih tetap
tertunduk. "Kau harus menggugurkannya!" jerit suara lengking itu
lagi. Barulah Bajuri mengangkat dagu. Terengah-engah ia
sebentar, untuk memilih kata-kata yang tepat dan
mudah-mudahan tidak menyinggung perasaan teman
bicaranya. "Tetapi... Tidak, sayangku. Aku tidak akan membunuh
anakku sendiri..." "Aku tidak memerintahkan kau mempergunakan
tanganmu sendiri. Tetapi bujuklah dia. Bujuk
perempuan jahanam yang tak tahu malu i tu."
"Kau terus menghina dia...." Bajuri dongkol dan mulai
marah pula. la mencintai Erika, benar-benar cinta dan
tiap saat ia akan bersedia membela nama baik Erika.
"Hem!" lawan bicaranya bersungut, dingin. "Kau mulai
menomor dua-kan aku ya"!"
"Bukan begitu...."
"Jadi apalagi" Kalau aku nomor satu, bujuklah dia."
"Tidakkah ada jalan lain"" Bajuri justru membujuk
teman bicaranya, dengan suara lemah lembut.
Sepi sebentar. Kemudian suara menggeram:
"Tidak!" "Tetapi sayangku..."
"Sayangku! Sayangku! Aku muak, Bajuri, Aku muak
mendengar panggilanmu terhadapku. Buktinya, kau
kawin lagi, kawin lagi dan kawin lagi! Sudah berapa
kali kau kuperingatkan agar berhati-hati menghadapi
perempuan. Kau tidak boleh termakan rayuan
mereka, sehingga kau terjerumus kedalam kesulitan.
Bukankah sudah pernah kubilang, kehadiran
perempuan justru akan mencelakakan hubungan
kita"" Bajuri menjadi panas. la nyeletuk kesal:
"Apakah kau sendiri bukan dari jenis perempuan, eh"
"Atau kau lebih suka aku menyebutku sebagai...
betina"" Sepi lagi. Mencengkam. Tidak ada reaksi apa-apa dari sosok tubuh diatas
tempat tidur, kecuali kebungkaman yang mengerikan.
Uap panas meletup-letup dalam ruangan
tertutup itu, membuat Bajuri mulai banjir keringat.
Nalurinya mengatakan darah teman bicaranya tengah
menggelegak karena murka luar biasa. Kesadaran itu
membuat Bajuri menyesali ucapan barusan. Ia
bermaksud meminta maaf, akan tetapi suara lengking
dan kasar tadi tiba-tiba berubah lembut dan lunak.
"Aku menerima sebutanmu untukku. Betina. Memang.
Dan sebagai betina, aku tidak ingin dising kirkan oleh
betina lain. Aku akan melakukan segala-galanya
untuk mempertahankan sang jantan, karena betina
pertama yang disetubuhi jantan itu adalah aku. Suatu
logika wajar bukan, Bajuri"" terdengar tawa halus,
disusul pertanyaan, tepatnya pernyataan:
"Katakanlah, semacam isteri tua!"
"Kita tidak terikat..."
"Dengan prosedur alam tempat kau berpijak,
memang. Tetapi kita berdua terikat pada ketentuanketentuan roh. Kau, terutama. Karena kau telah
mengucapkan janji. Kini kuperintahkan kau menepati
janjimu..." *** Bajuri mengeluh. la masih perjaka miskin, ketika ia
mendaki gunung, menuruni lembah, menerobos hutan
belantara untuk tiba di guha yang pernah diceritakah
orang. Ketika ia pulang ke kota, bukan saja
kemiskinannya mulai menunjukkan titik-titik terang. la
juga, harus mengakui, bahwa semenjak ia keluar dari
dalam guha, ia bukan lagi seorang perjaka.
"Permintaanmu terlalu berat untuk kulaksanakan," ia
memelas, sebagai usaha terakhir. "Seperti kau tahu,
aku belum pernah memperoleh keturunan dari Mira
dan Sulastri sampai kedua isteriku itu meninggal..."
Lawan bicaranya bersikap http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
semakin lunak. Malah kembali mesra seperti biasa, ketika ia berkata:
"Kau lupa, Bajuri. Kau tidak ingat, bukan dari
perempuan-perempuanmu itu saja kau dapat
memperoleh keturunan...."
Bajuri bergidik. "Maksudmu, kau..." Suaranya setengah
menghina, setengah panik.
Kemesraan teman bicaranya hilang lenyap karena
dapat menangkap nada penghinaan dalam kata-kata
Bajuri. Untuk kesekian kalinya, ia meledak :
"Bangsat! Kau merendahkan aku, Bajuri. Kau
meremehkan anak-anakmu sendiri...!"
"Anak-anakmu"" Bajuri terloncat dari tempat
duduknya. Terdengar suara terkekeh. Panjang. Teramat panjang,
sehingga Bajuri dapat membayangkan betapa sosok
tubuh di atas tempat tidur menekan perut untuk
menahan ketawanya tidak sampai berkepanjangan
lebih dari apa yang mampu ia keluarkan. Bajuri
menggigil. Tawa aneh itu tidak ramah. Tawa yang
mengandung kesakit-hatian!
"Apakah kau buta, Bajuri" Apakah kau kira hubungan
seksuil di antara kita yang telah berlangsung sekian
tahun, berlalu begitu saja seperti angin, atau berlalu
bersama-sama dengan kepergianku dari kamar ini
begitu hari mulai siang" Apakah
"begitu picik pikiranmu, Bajuri""
Bajuri seketika terduduk kembali di kursi. Peluh
semakin membanjir di tubuhnya. Kali ini, peluh dingin.
Berlimpah-limpah. Lututnya gemetar, lidahnya kelu,
jantung seakan lumpuh pelahan-lahan. Sesak
nafasnya, ia membayangkan punya keturunan dari...
"Mustahil!" ia bergumam.
"Apa" Mustahil"" perempuan itu menggeram lagi.
"Kau! Kau laki-laki busuk! Manusia berotak kerbau! Tidakkah
pernah kau hitung tahun-tahun yang telah berlalu"
Tidakkah pernah kau bayangkan aku seringkali
berbaring kesakitan di guha-guha gelap ketika
melahirkan anak-anakmu" Kau tak pernah melihat
dengan mata kepala sendiri, Bajuri. Kau tak pernah
menyaksikan betapa susah dan sakit aku melangkah
tiap kali kandunganku mulai membesar, dan betapa
mengerikan saat-saat darah-dagingmu memberojol
keluar tanpa bantuAan siapa pun..."
"Memberojol!" Bajuri semakin menggigil. "Maksudmu,
anakmu lahir dalam jumlah..."
"Anakku dan anakmu, Bajuri. Anak-anak ki-ta..." suara
itu melembut lagi, meski sisa kemarahan masih
terdengar nyata dari dengus nafas dan sinar matanya
dalam kegelapan. "Kau benar. Kalau kau sekali saja
mau mengingat siapa aku ini, kau tentu telah lama
menyadari, tiap kali melahirkan, tiap kali anak kita
bertambah empat lima orang, paling sedikit dua
orang..." "Ahhh...!" Bajuri bersungut gemetar, seraya menyapu
wajahnya dari kuyupan peluh. "Ah. Ah. Ah...!"
"Kau akan lebih kaget lagi, Bajuri, kalau kukatakan,
anak-anak kita telah pula beranak pinak. Kalau ingin
kuperjelas lagi, sebenarnya kau dan aku sudah jadi
kakek-kakek dan nenek-nenek."
Bajuri memejamkan mata. Perih alang kepalang, dan
kegelapan justru terasa semakin menyiksa. Dalam
kegelapan itu berbondong-bondong keluar makhlukmakhluk kecil dalam jumlah belasan, puluhan, bahkan
ratusan. Mungkin setelah sekian tahun berlalu, siapa
tahu telah menjadi ribuan. Dan semua makhluk itu
mengerumuninya, bukan untuk menggerogoti atau
membuat ia menderita secara pisik, melarikan untuk
menuntut belai kasih sayang seorang ayah. Dan
tuntutan itu, justru menyiksa dirinya secara mental!
"Ampun..." ia mengerang sakit.
"Kau juga meremehkan anak-anak serta cucu-cucumu,
Bajuri!" pekik si perempuan tiba-tiba, mengagetkan
Bajuri. "Kata ampunmu akan membuat marah mereka
semua. Andaikata mereka dengar, kau tahu apa
akibatnya" Tidak. Tidak. Tidak akan dapat kau
bayangkan, tidak akan dapat kuceritakan secara
terperinci. Hanya satu saja: kehancuran!"
Bajuri gemetar dan gemetar lagi. Rasanya ingin dia
berteriak, namun nafas terengah-engah, dan dada
sesaknya saja yang berhamburan keluar.
Samar-samar ketika ia membuka matanya, tampak
sosok tubuh di atas tempat tidur menyeringai, dengan
sinar mata menusuk tajam. Suaranya lebih
menyerupai bisikan letih, ketika dia berbicara:
"Berpikirlah secara akal sehat, Bajuri... Mengapa
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 27 kolam-kolammu selalu penuh tanpa pernah kau
tanami bibit" Dan mengapa ikan-ikan disana lebih
terasa gurih dan segar ketimbang ikan di kolamkolam lain" Karena, Bajuri, anak-anak beserta cucucucumu sudah membanting tulang mengisi kolamkolammu dari sungai-sungai yang masih liar. Lalu
sawahmu yang ratusan hektar, mengapa selalu
menghasilkan panen yang jauh lebih baik, dari
panenan di sawah orang lain" Juga Bajuri, berkat
pekerjaan mereka menyuburkan tanah-tanah milikmu
sambil di lain pihak, mereka sebarkan hama di tanahtanah milik orang lain.
Orang-orang yang kemudian menjual lahan tanahnya
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepadamu dengan harga murah. Lalu tanah tidak
subur itu, kembali menghasilkan dan menghasilkan,
semakin banyak setelah menjadi hak milikmu. ltu
semua berkat anak-anak dan cucu-cucumu, Bajuri.
Camkanlah itu!" Bajuri tidak bisa lagi mengangkat bicara. la hanya
diam membisu seribu bahasa, tak bernafsu untuk
mengatakan apapun, bahkan untuk mengucapkan:
"aku sangat letih dan sakit, sayangku, pergilah
sekarang, biarkanlah aku istirahat," atau kalau mau
lebih pendek lagi: "enyahlah dari mukaku!"
Akan tetapi ternyata bukan itu saja yang letih. Teman
bicaranya pun mengalami hal serupa.
"Aku capek, Bajuri. Bukan saja karena terlalu banyak
meluapkan emosi. Akan tetapi juga karena tingkah
lakumu belakangan ini, dan pikirkan bahwa kau bakal
punya keturunan... Coba kita lupakan barang
sebentar. Kemarilah, Bajuri. Naiklah ke tempat tidur.
Acak-acakan memang, tetapi kasur hanyalah sebagai
pelengkap kenikmatan, bukan""
Lama Bajuri masih terduduk, sampai tarikan mata
sosok tubuh di atas tempat tidur menghun jam dalam
ke otaknya, menyerak ke setiap sarap dan
menyadarkan dia untuk segera mematuhi perintah itu.
Lunglai, ia berdiri. Lungkali pula, ia naik ke tempat
tidur. Lebih lunglai lagi waktu menanggalkan
pakaiannya satu per satu, Sampai ia dengar suara
tidak sabar: "Kau tidak akan mengecewakan aku bukan, Bajuri""
Bajuri bergumam, lesu: "Tidak. Tidak. Tentu saja tidak..."
"Karena itu, bangkitlah semangat kelelakianmu.
Jangan loyo begitu!"
"Mengapa tidak kau sendiri yang
membangkitkannya"" Bajuri berujar, kesal.
Terdengar tawa halus, kemudian...
"Ah..." Bajuri mendesah, gejolak birahi teman
sekamarnya, perlahan-lahan membangkitkan pula
"nafsu kelelakiannya....
*** Waktu berlalu dalam sepi, hanya terdengar dengus
nafas saling bersahut, dan tiba-tiba, sosok tubuh itu
menegang. Diam. Lalu: "Kau dengar sesuatu"" ia berbisik.
Bajuri tertegun. Menajamkan telinga.
"Tidak..." "Mungkin ada orang..."
"Ah. Mana mungkin!" tukas Bajuri. "Selain pintu itu,
tidak ada jalan masuk ke kamar ini..."
"Maksudku, di luar."
"Di luar" Tebing itu memerlukan tekad berani mati
kalau ingin mendakinya, sayangku. Manusia berakal
sehat tidak akan berani mencobanya. Barangkali kau
hanya mendengar suara angin atau geseran
dedaunan..." Anggukan kepala terasa di dada Bajuri. "Ya, ya.
Mungkin aku salah dengar."
Sepi lagi. Desah nafas semakin sering menemani.
Ketika Bajuri berbaring lesu disebelah sosok tubuh
lainnya, ia terpaksa harus membuang keinginan untuk
tidur karena suara lembut dan mesra terdengar
berbisik di telinganya: "Bajuri, kekasih, aku lapar..."
Bajuri turun dari tempat tidur, berjalan ke kursi
tempat ia semula. Dari bawahnya ia ambilkan
santapan rutin teman tidurnya. Seekor ayam putih
gemuk, dan setumpuk telur di dalam piring. la tidak
berani duduk di tempat tidur selagi yang lain
bersantap. Takut kepercik darah ayam. Indera
keenamnya kemarin membisikkan Erika telah
menemukan sesuatu pada tubuhnya ketika ia
dimandikan oleh isteri ketiganya itu. Tentu percikan
darah ayam. Atau sesuatu yang lain" Ia coba
membayangkan sesosok tubuh di tempat tidur itu.
Selalu ia merasakan kulit halus lembut, tubuh montok
berisi, nafas dan keringat harum dan segar. Apakah
Erika mencium salah satu dari hal-hal itu melekat
pada tub http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
uh Bajuri" "Apakah ayam ini sakit, Bajuri""
Pertanyaan mendadak itu menyentakkan Bajuri dari
lamunannya. "Kukira tidak," ia menyahut, bingung. "Dudung cukup
tahu memilih hidanganmu...."
"Tetapi perlawanan ayam ini tidak seperti biasa. Tidak
begitu liar. Rasa dagingnya pun sedikit lain..."
"Mungkin karena terlalu lama dikurung Dudung!"
"Ah, ya. Boleh jadi....."
Kletak-kletuk tulang belulang lembut berpatahan,
menyentuh telinga Bajuri, disusul suara mengunyah
yang kasar dan rakus. la bersandar di tempat
duduknya. Diam. Menunggu. Tanpa tahu mengapa ia
harus diam, dan apa yang ditunggunya.
"Bajuri"" suara itu teramat lemah.
"Ya""' Bajuri membuka matanya. Hanya tampak
kegelapan belaka. Lalu sinar mata, tetapi tidak
nyalang dan setajam biasa. Sinar mata itu agak
lemah, agak kabur. "Aku mengantuk, Bajuri. Sangat mengantuk..."
"Tidurlah," rungut Bajuri seenaknya.
"Tidak. Hari hampir pagi!"
"Kalau begitu, pergilah."
"Kau kasar. Tetapi... aduh, Bajuri. Kepalaku pusing.
Pusing sekali. Berdenyut-denyut. Jantungku terasa
"melemah. Oh. Oh... aku tak bisa bangkit. Mataku...
mataku... mengapa begini berat" Bajuku, kau...
kau ....." suara itu kian melemah, tetapi nyata
mengandung kemarahan: "Kau meracuniku, Bajuri. Kau meracuniku. Meracuniku.
Meracun..." Sepi menyentak tiba-tiba. Bajuri terkesiap. Sesuatu
telah terjadi. Sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang
membahayakan dirinya. la berjalan mendekati tempat
tidur, dan dalam kegelapan, dengan bantuan sinar
rembulan yang menerobos lewat lubang-lubang
tembok, ia mengamat-amati sosok tubuh yang
berbaring di tempat tidur.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 28 Erika bagai terpacak di tonjolan batu tempatnya
berpijak. Dengan wajah memutih dan sinar mata
mengandung kegetiran, ia menyapukan pandang
kebawah. Ujung sepatu karetnya hanya beberapa
jengkal dari ujung tonjolan batu yang menjorok di
permukaan tebing di atas mana terletak bagian paling
sudut bungalow milik suaminya. Bermandikan cahaya
rembulan empat belas tampak lembah berbatu padas
pun jauh dibawah, terjal dan seakan menarik garis
lurus ke tempat ia berdiri.
Tak sampai tiga meter dari ujung tonjolan batu itu
tampak lekukan hitam menganga ke sebelah dalam
dan ia telah dapat merasakan betapa licin dan
mengerikan bagian melekuk itu. Tak ada gambaran
lain yang dapat dicapai mata kecuali lembah tadi,
anak sungai berbatu-batu dibawah, hamparan sawah,
hutan, belantara kemudian gunung kelabu kehitamhitaman di kejauhan, kontras dengan langit biru tak
berawan. Restoran yang pada waktu itu tentunya telah tutup,
tidak pula kelihatan, demikian pula pemandangan lain
kecuali bidang tembok kamar tertutup ke tempat
mana kini ia bersandar tidak saja lebih lesu, akan
tetapi juga takut dan panik. Karena kebas. la
gerakkan kakinya sedikit. Tak ada suara timbul.
Dengan sepatu karet itu ia telah berhasil mencapai
ketinggian yang fantastis ini. Tempat paling atas dari
bukit terjal. la beberapa kali tergelincir dan hampir
terhempas kebawah ketika mendaki. Betapa ia terlalu
nekad. Belum pernah ia melakukan pekerjaan
semacam itu dengan bersepatu karet, tidak
mempergunakan sepatu berpaku-paku.
Namun bukan ketinggian dan kenekatan itu yang
membuatnya bingung dan panik. Melainkan suarasuara yang barusan ia dengar lewat lubang-lubang
tembok. Semula ia berharap hanya mendengar
dengusan nafas keras, suara lolongan atau geram
menakutkan. Barangkali juga jeritan sakit dan putus
asa dari seorang manusia yang berubah bentuk di luar
kesadarannya. Tetapi betapa mengagetkan. la dengar
suara wajar manusia, tengah bertengkar. Suara Bajuri,
suaminya, seolah berdebat dengan seseorang. Tetapi
tiada suara lain dibalik tombol tertutup itu. Hanya
suara Bajuri, sekali lagi dan sekian kali lagi, hanya
suara Bajuri semata-mata.
Terkadang suaminya terdengar marah, di lain saat
lesu dan takut, lantas berubah panik, dan entah
mengapa memelas, mesra dan bergairah. Dialog diam.
Yang keluar dari mulutnya membingungkan, namun
lambat laun Erika dapat menggambarkan kejadian
apa yang tengah berlangsung didalam.
"Suaminya tak sendirian. Tetapi dengan siapa"
Pemikiran itulah dan ucapan-ucapan suaminya
didalam yang membuat Erika bingung dan panik.
Bukan bukit terjal mengerikan yang untuk
mendakinya orang lain mungkin berpikir seribu kali.
Kini, diam-diam ia merasa takut. Padahal sebelumnya,
ia tidak pernah merasa takut, kecuali ayahnya marah
dan memegang sapu lidi ketika ia masih kecil atau
membisu dengan dahi berkerut setelah Erika menjadi
dewasa. Rasa takut seolah bukan bagian dari hidupnya.
Ayahnya bekas seorang pejuang dan kemudian
pensiun dengan pangkat Kolonel. Paman yang
sejarawan dan uwa yang geolog, sudah kebal
terhadap tantangan alam sekeras apapun juga.
Demikian pula sang kakek yang konon menghadapi
makhluk-makhluk gaib pun masih dapat tersenyum.
Keberanian dan kenekatan mereka semua bergabung
dalam dirinya, menjadikannya seorang avonturir yang
serba ingin tahu, meski kadang-kadang tanpa
perhitungan. "Kau seorang perempuan, nak. Ingatlah itu!" ayahnya
pernah berkata, "Kelembutan, kasih sayang dan
kesetiaan, itulah bagian seorang perempuan."
Tetapi ia juga memiliki kasih sayang itu. Menurut dari
ibunya. Serta kesetiaan. Kalau tidak, ia telah lama
meninggalkan Bajuri setelah beberapa lama mereka
jadi suami isteri, Erika mendengar kabar-kabar buruk
mengenai suaminya. Selentingan yang terkadang
mengerikan, sekaligus menggidikkan.
Tetapi mereka telah terikat jadi suami isteri. Dan
bahkan ini, mereka akan jadi ibu dan ayah! Gemetar
tangan Erika memegang tali tambang yang terjuntai
dari bibi http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
r atau beton diatasnya. Ia pegang erat-erat,
sehingga tambang itu menegang
dan sedikit banyak membantunya untuk tetap
bertahan, tidak goyah. Kait besi berlapis karet itu
sungguh mengenai tempat yang tepat dan kokoh.
Dan hanya benda tak berharga itu saja yang
mendorongnya untuk jangan mundur begitu saja,
setelah berhasil mencapai tempat yang ia tuju.
Tempat yang selama beberapa minggu belakangan ia
selidiki diam-diam. Terutama berkat bantuan arsitek,
yang telah membangun bungalow ini.
"Mustahil," demikian arsitek itu berkata. "Bagian luar
kamar tertutup itu, terlalu muskil untuk dicapai. Keliru
sedikit saja melangkah, maut tantangannya. Dengan
tubuh remuk, apalagi..."
Namun Tuhan telah menolongnya. Tentu saja pula,
disertai tekad membara dan keinginan untuk
menyelamatkan suaminya, ayah dari calo n anaknya.
Dan, ternyata ia keliru. Selama ini ia menganggap
suaminya dalam perwujutan lain. Bulu-bulu keras,
kasar dan kecoklat-coklatan itu menurut seorang
dokter hewan, atau rambut hanya mungkin dimiliki
musang, rubah, bulus atau semacamnya. Tidak
mungkin lain. Erika sempat berharap, itu tentunya
bulu mawas atau orang hutan. Dan ia bayangkan
suaminya dalam wujut yang ia pikirkan. Penyakit
keturunan. Kutuk yang menimpa nenek moyang. Yang
muncul sesewaktu, tanpa korbannya mampu untuk
mengelak. "Sekali waktu, cucuku," kakek Erika pernah berkata.
"kau akan menemukan hal-hal musykil seperti
kakekmu ini sering mengalami."
""Omong kosong!" bentak ayahnya, seraya tertawa
membahak. "Hanya dengan untuk menakut-nakuti
anak nakal semata." Uwanya lebih mendingan. la hanya berkata:
"Jangan dengarkan kakek. la seorang pembual, tetapi
betapapun bualan kakekmu memang menarik untuk
didengar." Hanya paman yang sedikit mendukung kakek.
Sebagai seorang ahli purbakala, ia menganggukkan
kepala kalau kakek mulai bercerita tentang
pengalaman-pengalamannya yang menegangkan.
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Komentarnya lebih lunak: "Makhluk gaib, kakekmu bilang. Mungkin saja. Tetapi
dari sudut ilmu pengetahuan, kemungkinan makhlukmakhluk itu tercipta dari pergolakan dimensi waktu
dan tempat dari alam nyata. Baik juga kau
memperhatikan apa kata-katanya. Siapa tahu ada
manfaatnya bagimu..."
Lalu Erika setuju untuk menghafalkan ajian-ajian
yang diajarkan kakek. "Lakukan cara-cara yang kuceritakan," kakek berkata
dengan penuh keyakinan. "Pada waktunya rapalkan
aji-ajian itu kepada musuhmu, bila kelak sekali waktu
kau ketanggor dengan makhluk-makhluk gaib itu..."
Tadi sore ia telah siap. la telah mengelabui Dudung dengan cara membiarkan
ayam-ayam yang ia jaga dengan seksama lepas
berhamburan. Ketika itu suaminya tengah tidur di
kamar depan, setelah semalaman mengunci diri di
kamar tertutup. Dengan kecepatan terlatih Erika telah
menyapukan bubuk obat bius ke kulit paha ayam
yang ia pegang dengan bantuan perekat. Dudung
pernah mengatakan, bila pagi tiba, Bajuri
membersihkan sendiri kamar tertutup. Diantara debu
dan sampah selalu terdapat bulu-bulu ayam, tanpa
daging dan tulang. Juga percikan-percikan darah
mengering serta serpihan-serpihan kulit telor.
Dan Erika telah memilih tempat yang tepat. Baru
setelahnya sibuk membantu Dudung menangkap
ayam-ayamnya. Tentu saja berusaha membuat
pekerjaan itu sesulit mungkin, sehingga Dudung
hanya punya pilihan satu-satunya. Mengirimkan ayam
yang telah diberi "bumbu pelezat" oleh Erika tadi.
Demikianlah, ia kemudian dengan tenang pergi ke
kamar tidur lain, sementara suaminya bangun, mandi,
makan malam lalu masuk ke kamar tertutup tanpa
menyadari Erika telah datang berkunjung secara
diam-diam. Dudung pun tutup mulut, karena ia
percaya nyonya majikannya bermaksud baik.
Menolong tuan Bajuri yang menurut Dudung, telah
lama mengalami penderitaan batin di luar ketahanan
manusia biasa. "Menolong... Uh!" kini Erika mengeluh.
Pahit. Dan mulai putus asa. la benar-benar keliru.
Keliru telah menduga suaminya berubah wujut akibat
kutuk turunan, http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 29 Lalu mengunci diri di kamar tertutup.
Keliru menduga suaminya sendiri yang telah
menghabiskan ayam dan tujuh butir telur itu. Keliru
berharap kemudian suaminya, tidur untuk jangka
waktu tertentu. Cukup lama buat Erika melaksanakan niatnya.
Menjebol tembok dengan linggis, menerobos masuk
ke dalam kamar. Merapal aji-ajian, seraya membuka
mulut suaminya yang tentu sangat mengerikan
wujutnya, menggigit lidahnya, ke lidah mana Erika
harus menyapukan darah Erika sendiri.
Setelah itu, meludah ke bagian-bagian tertentu di
tubuh Bajuri. Menurut kakeknya, bila pagi mendatang,
Bajuri akan kembali ke bentuk semula, dan semenjak
hari itu ia terbebas sudah dari kutuk turunan.
"Lakukan diam-diam," kakeknya selalu
memperingatkan. "Sekali kau lakukan terangterangan, bahaya akan berbalik kearahmu. Karena
dalam keadaan berubah wujut, sasaranmu itu
memiliki naluri buas dan jahat. la tidak akan
mengenalmu, meskipun misalnya kau ini isterinya
sendiri...!" Seolah sang kakek telah meramalkan, Erika kelak
akan bersuamikan manusia berwujut rangkap itu!
"Tapi, kakek," ia pernah pula bertanya. "Mengapa aku
dapat, orang lain tidak""
"Karena pertalian batin. Dan, dalam darahmu,
mengalir darah kakekmu yang tangguh ini," sang kakek
menjawab, setengah memuji diri.
Sekarang, semuanya buyar. Semuanya berantakan.
Pantaslah Mira telah gagal. Demikian pula Sulastri.
Mira telah mencoba mencuri kunci kamar suaminya.
Ia buat duplikatnya, lalu berusaha masuk menjelang
tengah malam. Tetapi anak kunci asli selalu
menempel di dalam lubangnya. Mira merubah taktik.
la masuk sore hari, dikala suaminya tidur di kamar
depan, kemudian bersembunyi di bawah tempat tidur
satu-satunya di ruang tertutup itu, lalu menunggu.
Esok siangnya Mira pulang ke kota tanpa ingat siapa
diri bahkan namanya. Keluarganya mendapat kabar,
Mira memasuki guha-guha terlarang dimana terdapat
kuburan keramat di pegunungan itu. Mira kualat.
Belakangan Erika dapat memancing cerita Dudung,
dan mengetahui, pada tengah malam itu Mira berlari
keluar kamar tertutup dengan wajah tolol tak
berekspressi, mengoceh tidak menentu, menangis dan
tertawa tanpa aturan dan kemudian mati merana di
rumah sakit jiwa. Penderitaan berlarut-larut!
Meskipun lebih mengerikan, nasib Sulastri, isteri kedua
"Bajuri mungkin lebih beruntung. Ia telah mencoba
menerobos ke atap untuk mengintai. Tetapi bukan
saja langit-langit kamar tertutup itu berupa tembok
kedap suara. Malah atap sirapnya terlalu curam dan
licin, sehingga Sulastri melayang jatuh ke lembah, dan
keluarganya hanya bisa mengurut dada waktu orangorang mengantarkan jenazah anak mereka yang
sudah tidak bisa dikenal lagi, disertai keterangan:
"Lastri terpeleset ketika bermain di pinggir tebing."
Erika bergidik. Menatap ke lembah. Betapa
beruntungnya dia, masih bisa mencapai tempat ini. la
juga telah mencoba. Hanya diantara Erika dengan
kedua isteri Bajuri terdahulu, terdapat perbedaan
pendapat. Mira dan Sulastri curiga suami mereka
punya gendak, isteri gelap. Sedangkan Erika lebih
mendekati kenyataan: suaminya dipengaruhi atau
diperbudak, atau dirasuki roh-roh jahat.
Maka Erika melakukan upaya gila-gilaan ini. Dan,
hasilnya di luar dugaan. Suaminya tetaplah suaminya.
Bajuri yang utuh sebagai manusia. Terbukti ketika
Erika tersentak dari semua lamunannya, waktu
mendengar lewat lubang-lubang tembok. Bajuri
menggeram marah. Terdengar suara pintu direnggut
terbuka, lalu langkah-langkah berat tak teratur,
disusul suara suaminya memanggil-manggil dengan murka:
"Dudung! Dudung! Ke sini kau, budak yang tak tahu
membalas budi!" Ada langkah-langkah berlari mendekat, suara Dudung
yang gagap, dan bunyi tamparan di pipi. Keras
menggigit. Namun Dudung tidak menjerit, tidak
mengaduh. la hanya memelas, memohon ampun
kuasanya, yang menderu: "Mengapa kau racuni ayam itu, ha" Apa maksudmu,
sampai berani mengkhianati tuanmu""
Dudung bertahan mengatakan ia tidak berbuat apaapa, kemudian m
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
enjelaskan di bawah ancaman
tuannya, bahwa ia tidak tahu apa-apa. Dalam
kegugupannya Dudung akhirnya lepas kata:
"Barangkali nyonya yang..."
Sepi sebentar. Menyentak.
Lalu: "Erika" Dia di sini"" Bajuri mengeluh.
"Saya, Tuan..." Dudung tidak membuang kesempatan
untuk membela diri. "Setelah saya pikir-pikir, saya
juga heran mengapa ayam-ayam itu dapat lepas, dan
Nyonya memaksakan agar ayam yang ia pegang saja
dihidangkan malam ini...!"
Terdengar Bajuri mengerengkan sesuatu. Disusul suara
Dudung setengah menyesal:
"Aduh, Tuan. Nyonya... ia bermaksud baik. Katanya...."
"Di mana dia sekarang""
"Tidur, Tuan. Di kamar yang biasa yang menghadap ke
restoran." Terdengar langkah-langkah Bajuri menjauh, dan
suara-suara menyesali diri dari Dudung yang juga
menjauh, kemudian sepi mencekik. Angin kencang
dan dingin bertiup, menambah soak keberanian Erika.
Tidak. Tidak saja ia keliru. Tetapi juga tidak mungkin
untuk meluncur dengan tambang ke bawah bukit,
untuk kemudian lari memutar ke jalan raya dan
menyelinap ke kamar tidurnya. Dalam keadaan
tenang dan tabah, pekerjaan itu akan memakan
tempo lebih dari satu jam. Sekarang, ia tidak lagi
memiliki ketenangan. Apalagi ketabahan.
"Tanpa berpikir panjang lagi, linggis yang terikat ke tali
pinggang, ia lepas dengan tangan gemetar. Hati-hati
ia bergerak di tonjolan tebing batu yang sempit itu,
lalu mulai menghantam tembok. Lemah
mula-mula, namun semacam kekuatan gaib
mendorongnya untuk memukul lebih keras.
Tembok berlubang itu perlahan-lahan retak, kemudian
jebol. Setelah cukup tempat untuk meloloskan diri
kedalam, Erika segera menyelinap masuk. Sesaat,
matanya silau oleh cahaya lampu terang benderang
yang menerobos masuk dari koridor lewat pintu yang
mungkin tanpa disengaja telah dibiarkan terbuka oleh
Bajuri. Pada saat berikutnya, Erika tertegun. Wajahnya
semakin memutih. Sinar matanya semakin panik.
Lama bola matanya yang terbelalak lebar itu menatap
ke tempat tidur yang awut-awutan, kemudian
mulutnya yang ternganga lepas rintihan pendek.
Ayahnya tetap ayahnya, demikian pula paman, uwa
maupun kakek. Tetapi Erika tetap Erika. Seorang
perempuan, yang bagaimanapun pemberani dan
pantang menyerah, tetaplah memiliki kelemahan
seorang perempuan. Nyali yang terbatas!
la tidak tahu kapan ia melangkah meninggalkan
kamar mengerikan itu. Yang ia tahu, satu jam
kemudian ia memperoleh kembali semangatnya yang
sempat terbang. Sedikit demi sedikit, berkat bantuan
minuman keras yang diantarkan Dudung tergopohgopoh. Duduk dihadapannya, Bajuri seolah mabuk,
meski Bajuri tidak menyentuh gelas minumannya
samasekali. la terduduk dungu, dengan tatap mata
kosong melompong. la bahkan tak bergerak-gerak
atau menunjukkan reaksi apa-apa ketika dengan
suara setengah menangis Erika menceritakan apa
saja yang ia ketahui selama ini, serta tekadnya untuk
menolong suaminya. "Ternyata aku salah perhitungan, mas..." akhirnya
Erika mengeluh, lirih dan setengah putus asa.
Bajuri tidak menyahut. "Kau mendengarkan aku, mas""
Perlahan-lahan, Bajuri mengangguk. Tak bersemangat.
"Lantas apa kini yang harus kita lakukan""
"Aku tidak tahu, Erika. Aku tidak tahu.... Kukira,
segalanya akan segera berakhir....!"
Erika ingin menangkap tangan suaminya.
Mendekapkan ke dada. Tapi nalurinya melarang.
Suatu peringatan yang aneh, mendera otaknya
dengan kejam, sehingga air matanya meleleh lagi.
"Berakhir dengan buruk bukan, mas""
Bajuri mengangguk. Patah-patah.
"Kita... harus berpisah. Begitu""
Bajuri tiba-tiba memeluk Erika, dan berbisik di telinga
perempuan itu: "Aku mencintaimu, Erika. Aku mencintai anakku..."
"Lantas mengapa..."
Bajuri memotong. "Tidak ada pertanyaan lagi, Erika.
Aku... salah. Kutuk telah menimpa. Angan-angan
muluk di masa lampau, telah menjerumuskan aku ke
jalan sesat. Tak ada jalan lain, Erika..." ia tatap
isterinya dengan pandangan mata melekat dalam
seperti seorang laki laki
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"bab 30 laki yang bertepuk sebelah
tangan menatap pacarnya yang telah dilamar dan
siap untuk menikah dengan laki-laki lain.
Lanjutnya, getir: "Kau pulanglah ke orang tuamu. Sssst, jangan
membantah. Aku bukan mengusir. Dan maafkan, kau
pulang seperti ketika kau datang. ltulah yang lebih
mengerikan. Saat ini, aku memiliki segala-galanya
untuk membahagiakan kau dan anakku, tetapi
besok..." la kemudian melepaskan diri.
"Mas...!" Erika berubah cemas. "Apa yang akan kau
perbuat." "Menemui perempuan itu..."
"Perempuan"" Erika bertanya. Serak.
Bajuri menyeringai. Kecut dan putus asa.
"Demikianlah ia, makhluk itu, senantiasa menampilkan
diri didepan mataku. Hanya dua hal yang membuat ia
tampak dalam wujut aslinya, Erika. Pertama, bila
cahaya matahari menerobos masuk sebelum sempat
menyelinap ke dalam liang di lantai kasar tertutup itu.
Kedua, bila ia merasa, aku telah menghianati dirinya.
Melanggar janji...."
"Tetapi mas, seekor musang....." Erika bergidik.
"Musang!" Bajuri berbisik dengan suara kering.
"Musang. Tepatnya, roh jahat berbentuk musang. Kau
Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi dosis cukup tinggi untuk makhluk itu. Tetapi
apa yang kau lihat hanyalah raganya saja, yang telah
mati. Tidak rohnya...!"
Wajah Erika kian memutih.
"Mau ke mana, mas""
"Memenuhi janji..."
"Janji"" Bajuri tidak menyahut. Sekali lagi ia tatap mata Erika.
Tatapan hampa. Tanpa kehidupan. Lalu tanpa pamit ia
membalikkan tubuh dan bergegas kembali ke kamar
yang kini pintunya tidak lagi tertutup itu. Memang
tidak perlu. Toh jasad musang berbulu keras, kasar
kecoklat-coklatan itu bukan makhluk aneh yang
pantas ditakuti. Setelah masuk kedalam, Bajuri mengunci diri.
Orang tidak pernah tahu apa yang berlangsung di
balik pintu tertutup itu, tidak juga Erika. Bersama
datangnya matahari yang menembus lewat tembok
yang jebol, ujut musang di tempat tidur perlahanlahan mengabur, mengabur dan mengabur, sampai
kemudian hilang lenyap sama sekali.
Tetapi Bajuri! Bajuri bersimpuh di lantai dan perubahan itu pun
terjadi. Tubuhnya mulai menciut, menciut dan semakin
menciut. Bersamaan dengan itu rambut maupun bulu"bulu tubuhnya berubah kasar, keras kecoklat-coklatan.
Bulu-bulu itu tumbuh dengan cepat sekali, sehingga
hampir sekujur tubuhnya tidak tampak kulit lagi.
Kecuali mata sebesar biji kelereng, lubang hidung
berbentuk rata, mulut menggurat semakin lebar
hampir sampai telinga, dan taring-taring semakin
panjang dan runcing, sepanjang dan seruncing kukukuku dan jari-jemari tangan maupun kaki. atau ah....
keempat kaki-kakinya yang kecil dan pendek,
tepatnya. Disertai raungan aneh dan mendirikan bulu roma
makhluk lemah dan hina dina itu mencakar-cakar
lantai tempatnya berpijak. kemudian menyelinap
masuk ke dalam liang yang ia gali. Semakin dalam,
dalam dan dalam, kemudian lenyap tak berbekas,
seolah diserap bumi. Tinggal raungan sayup-sayup
saja yang terdengar. Raung mengerikan, sekaligus
memilukan hati. *** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
HENDRATMO memandangi Erika dengan mata tak
berkedip. "Lama tak berjumpa," akhirnya ia memecah kesepian
diantara mereka "Tetapi sungguh tak kusangka, kau
akan sekurus dan sakit-sakitan begini. Hampir-hampir
aku tidak mengenalimu lagi."
Seulas senyum pahit bermain di bibir Erika yang
pucat. "Terima kasih untuk pujianmu, bujang lapuk," katanya.
"Ah. Bujang lapuk. Kau benar. Aku sungguh-sungguh
lapuk sekarang. Dan sebelum aku semakin kering
kerontang juga, kuputuskan untuk datang
menemuimu..." "Untuk"" "Pertama, ikut bela sungkawa. Aku sedang dinas ke
luar negeri ketika kudengar bencana itu. Sungguh
pukulan yang sangat berat untuk kau dan anakmu.
Puncak bukit dimana terletak restoran dan bungalow,
longsor dilanda hujan badai. Sawah-sawah subur
diporak-porandakan hama, tanahnya mengering,
berubah jadi semak belukar yang tidak bernilai lagi.
Bahkan konon, tidak sepeserpun kau peroleh dari
perkawinanmu dengan Bajuri yang raib tak tentu
rimbanya itu. Rasanya sukar dipercaya, Erika..."
Erika menggigit bibir. "Untuk itukah kau datang"" ia bergumam.
"Sudah kukatakan, itu tujuan pertama."
"Lainnya""
"Melihat anakmu. Bocah manis dan lucu, kata orang.
Mana dia"" "Sekolah Taman kanak kanak. Masih kelas nol..." Erika
tersenyum lagi, tidak sepahit tadi. "Aku gembira kau
datang dan menaruh perhatian kepada diriku dan
anakku." "Eit. Nanti dulu," Hendratmo menukas dengan gerakan
lucu. "Kau barangkali tadi tidak mendengar, kukatakan
aku tidak ingin semakin kering kerontang...."
"Kau membuatku bingung, bujang lapuk."
"Itu dia!" Hendratmo berseru. "Aku sudah bosan dicap
bujang lapuk, Erika...!"
"Husy. Jangan berteriak. Ibuku kaget nanti. la sakit
jantung, kau tahu..." suara Erika setengah mengejek.
Brengsek dia ini, pikir Hendratmo dongkol, tidak
pernah menganggap aku lebih serius barang sedikit
saja! Saking dongkolnya, Hendratmo bersungut-sungut:
""Jadi kau tetap menolak, ya, Erika""
"Menolak apa"" Erika terbelalak.
"Si bujang lapuk!"
"Maksudmu..." "Apalagi. Si bujang terlalu lapuk untuk kaum perawan.
Tak ada jalan lain untuk melarikan diri. Kecuali
berlutut di depan seorang janda yang sakit-sakitan!"
"Kau!" bisik Erika, dengan wajah bersemu kemerahmerahan.
Hendratmo ternyata lebih brengsek lagi. la tiba-tiba
melompat dari tempat duduknya, lantas berlutut di
depan Erika. Kedua tangan Erika memegang pundak Hendratmo,
lalu mereka berdua tersenyum bahagia.
*** TAMAT http://cerita-silat.mywapblog.com
Renjana Pendekar 2 Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah Pendekar Guntur 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama