Ceritasilat Novel Online

Bintang Di Atas Alhambra 4

Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen Bagian 4


Kereta yang kutumpangi tidak mampir di Amsterdam. Jadi, kami bertemu di Stasiun Rotterdam, tempat kereta transit selama lima belas menit. Kami sudah memesan tiket kereta ekonomi yang murah meriah untuk petualangan itu.
"Lisa! Hi, Lisa!" aku meneriaki Lisa yang seperti orang linglung mencariku di stasiun. Ia menoleh.
"Oh, aku sudah takut kau tidak muncul," ujarnya lega.
"Tidak mungkin. Kita, kan, sudah pesan tiket. Ini dia rute yang akan kita lalui," kataku sambil menunjukkan tiket yang bertuliskan rute perjalanan kami: Leiden-Rotterdam-Venlo-Kaldenkirchen-Breyell-Boisheim-Dulken-Viersen-Monchengladbach Hbf-Neuss-Diisseldorf-Koln-Bonn-Ko-blenz Hbf-Bingen-Mainz-Mannheim-Karlsruhe-Baden-Ba-den-Freiburg Hbf-Hugstetten-Gottenheim.
"Gila, ini betul-betul sebuah petualangan panjang!" serunya bersemangat.
"Apa mau dikata, kita harus memutar karena ini pilihan perjalanan termurah," jawabku.
"Gottenheim?" "Ya, itu tempat tinggal Teh Titin. Sekitar lima belas menit naik kereta dari Freiburg," jawabku.
"Jadi, kita tidak perlu bermalam di penginapan?"
"Tentu saja. Kita menumpang tidur saja di rumahnya. Teh Titin sudah menyiapkan kamar buat kita."
"Satu kamar berdua? Tidak!" Mukanya tersipu malu.
"Tentu saja tidak. Rumahnya cukup besar. Aku nanti tidur dengan kerabat yang akan datang dari Kaiserslautern. Tidur sekamar denganmu bisa berbahaya, Lisa," kataku bercanda. Lisa hanya senyum simpul. Ia tahu aku hanya bercanda.
Setelah membeli air minum dan makanan ringan dari toko kecil di sudut stasiun, kami bergegas menaiki gerbong kereta. Meski kelas ekonomi, kereta itu terasa nyaman. Bangkunya besar dan empuk, dibungkus kain beludru biru bermotif bunga. Kami duduk sembarang saja, mencari kursi yang menghadap ke arah laju kereta karena aku kadang pusing jika duduk berlawanan arah dengan laju kereta.
"Kau bawa paspor?" tanyaku pada Lisa.
"Tentu." "Setelah melewati Stasiun Venlo, biasanya ada pemeriksaan dari pihak keamanan dan bagian imigrasi Jerman. Mereka sedikit ketat karena khawatir ada penumpang yang membawa narkoba atau ganja."
"Oh, iya. Aku baru sadar. Di Belanda, terutama di Amsterdam, ganja dalam jumlah tertentu dilegalkan, sementara di Jerman dilarang. Bukankah begitu, Ip?"
"Betul," jawabku meniru mimik seorang ayah memuji anaknya yang masih kecil. "Lisa, mumpung perjalanan kita masih panjang, ayo, ceritakan tentang Santiago."
"Kau masih ingat saja janjiku, Ip."
"Terus terang, aku penasaran."
"Kau sudah baca buku yang aku bilang itu?"
"Belum sempat. Aku sibuk menyusun tesis. Lagi pula, aku ingin mendengarkan langsung kisah itu dari orang Santiago."
"Dasar," jawab Lisa manja.
Kereta yang kami tumpangi melesat cepat. Bayangan kereta kuning dua lantai sesekali terlihat dari kaca gedung yang kami lewati. Lisa berpikir harus memulai cerita dari mana. Aku sesekali menengok ke arahnya. Meski merasa nyaman duduk di samping seorang perempuan cantik yang juga sahabatku ini, hatiku selalu khawatir dan takut. Aku selalu khawatir melangkah melewati garis batas persahabatan dan masuk ke arena perselingkuhan. Menjaga agar persahabatan tidak terjerumus pada perselingkuhan susahnya setengah mati, apalagi saat jauh dari keluarga. Batas-batasnya juga sering tidak terlihat sehingga orang baru sadar setelah melewatinya. Itulah mungkin alasan ada banyak direktur yang berselingkuh dengan sekertarisnya. Atau, orang berselingkuh dengan teman sekantornya. Aku khawatir hal semacam ini akan terjadi antara aku dan Lisa.
"Kenapa, Ip? Ada yang salah?" Pertanyaan Lisa mengagetkanku.
"Oh, hmmm, tidak. Aku tiba-tiba teringat istriku. Mungkin akan lebih seru jika istriku dan Amartya ikut."
"Tentu," jawabnya singkat. Lisa sepertinya tidak suka mendengarku menyebut istriku. Air mukanya seketika berubah. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku.
"Lisa, boleh aku bertanya hal-hal pribadi tentangmu?" Aku meminta izin dengan canggung. "Kalau kau keberatan, aku tidak jadi bertanya," lanjutku.
"Jadi, aku tidak perlu bercerita tentang Santiago?"
"Perjalanan ini sangat jauh. Lebih dari 7 jam. Kau tidak akan kehabisan waktu menceritakan seluruh kisah hidupmu, Lisa," candaku.
Kereta yang kami tumpangi baru saja melewati Stasiun Eindhoven, melesat terus ke arah selatan menuju Venlo, kota perbatasan Belanda-Jerman. Selang beberapa ratus meter, di samping kanan rel kereta terlihat sebuah stadion besar markas klub sepak bola PSV Eindhoven, klub sepak bola kelas atas di Belanda yang menjadi saingan Ajax Amsterdam.
"Namanya Jose Huenuche. Aku mengenalnya ketika kami kuliah bersama di Universitas Santiago. Usianya lebih tua 3 tahun dariku."
"Kau sedang bercerita tentang
"Sesuai permintaanmu," Lisa memotongku.
"Ia mengambil jurusan psikologi, sedangkan aku kuliah hukum. Kami bertemu tanpa sengaja di depan kampus. Setelah pertemuan itu, kami belum kenal terlalu akrab. Ia Mapuche, sementara aku Hispanic. Mapuche adalah sebutan untuk penduduk asli Cile."
"Dan, Hispanic adalah penduduk Cile yang datang bermigrasi dari Spanyol?" potongku.
"Betul," jawab Lisa singkat.
"Sampai suatu ketika, entah kenapa ia sering menghubungiku lewat telepon. Aku mulai menyadari kalau ia punya perasaan kepadaku. Jose mahasiswa yang baik. Juga aktivis yang cukup terkenal di kampus. Sebagai perempuan, aku berusaha jual mahal. Aku tidak terlalu menghiraukannya. Apalagi, saat itu aku sedang naksir pria lain. Aku dengar Jose juga sedang mengejar gadis sesama aktivis."
"Cerita cinta sama saja di mana-mana, Lisa," potongku.
"Perempuan yang dikejar Jose rupanya tidak juga bisa ditundukkan. Jose menyerah. Aku juga. Lelaki yang kusukai tak kunjung memperhatikanku. Saat itulah, aku bertemu lagi dengan Jose saat sama-sama hendak ke perpustakaan. Jose mengantarkanku pulang ke asrama tempatku tinggal.
Sejak saat itu, kami mulai akrab. Tanpa kusadari, aku mulai jatuh hati kepada seorang Mapuche."
"Memang ada masalah jika seorang berdarah Spanyol berpacaran atau menikah dengan Mapuche?" tanyaku.
"Susah dijelaskan. Sebenarnya tidak. Kami para pendatang sudah terintegrasi dengan para penduduk asli. Tetapi, prasangka adat dan budaya masih kuat menghantui setiap orang. Pada praktiknya, lebih banyak orang berdarah Spanyol menikah dengan orang Spanyol dan Mapuche dengan Mapuche. Dalam sejarah panjang bangsa Cile, ada masa ketika Mapuche dianggap kelas rendah. Para pendatang Spanyol, nenek moyangku, pernah terlibat perang selama 300 tahun dengan nenek moyang Jose. Tetapi, itu dulu. Sekarang, semuanya relatif terintegrasi meski memang sisa-sisa prasangka adat dan budaya masih ada."
"Hal seperti itu terjadi di mana pun, Lisa. Di negaraku kadang orang-orang Arab sering pongah karena mengangap diri mereka lebih tinggi derajatnya dibanding kelompok lain. Mereka sering mengaku keturunan Nabi Muhammad dan tidak mau menikah kecuali dengan sesama mereka. Banyak orang Arab yang merasa enggan menikah dengan orang pribumi karena takut keturunannya tidak mendapat gelar habaib."
"Ha-ba-bib?" tanya Lisa.
"Ha-ba-ib. Itu istilah bagi keturunan Nabi Muhammad. Intinya, mereka ingin menunjukkan superioritas suku. Sisa-sisa rasisme yang masih dipelihara, bahkan disucikan," terangku.
"Oke. Intinya, secara umum tidak ada masalah jika seorang Hispanic berpacaran dengan Mapuche. Dan, akhirnya Jose menyatakan cintanya kepadaku di belakang kampus Fakultas Psikologi. Aku masih ingat tempat itu. Jose membawaku duduk di hamparan rumput yang menghadap danau kecil. Ketika ia mengungkapkan perasaannya, aku tak menjawab apa-apa. Hanya tersenyum. Tetapi, setiap lelaki tahu, senyum adalah tanda setuju."
"Berapa lama kalian berpacaran?" tanyaku.
"Hampir empat tahun. Kami melalui masa-masa indah ketika kuliah bersama. Dia sering mengajakku bepergian ke luar kota. Bahkan, dia beberapa kali mengajakku main ke rumahnya dan mengenalkanku kepada keluarganya. Keluarganya baik meski sepertinya kaget karena Jose membawa seorang Hispanic ke rumah. Namun, mereka menerimaku dengan baik. Perlahan-lahan aku merasa Jose adalah pasangan hidupku, cinta sejatiku. Napasnya telah menjadi napasku."
"Terus kenapa kalian berpisah?"
"Ceritanya rumit. Mungkin ini salahku yang egois. Aku baru menyadarinya belakangan. Aku mencintai Jose, tetapi ada sifatnya yang tidak kusukai. Ia terlampau idealis. Setelah lulus kuliah, ia tak kunjung mendapat pekerjaan yang bagus, malah terus sibuk dengan organisasi, demonstrasi, bepergian ke luar kota entah untuk urusan apa. Ia juga terlalu cuek. Mungkin karena ia sibuk. Aku sering merasa tak dihiraukan. Lalu, orang ketiga muncul dalam hubungan kami. Namanya Manuel Pochio Rivera, kawanku semasa SMA.
Masa lalu selalu lebih hijau dari masa kini. Kenangan masa SMA membuat pertemuan kembali menjadi istimewa buat kami. Manuel semakin sering mengubungiku. Ia tahu aku sedang berhubungan dengan Jose, tetapi memilih tidak peduli. Lagi pula, aku juga memberinya lampu hijau. Diam-diam, kami sering makan dan pergi bersama. Manuel adalah seorang Hispanic yang sukses. Ia manajer perusahaan periklanan di Santiago."
"Pantas kau merasa bersalah," potongku. Aku tahu ucapanku hanya memperberat penyesalannya. Aku pun sedikit menyesal berkomentar seperti itu.
Lisa memandang jauh ke depan. Wajahnya terlihat murung mengenang masa lalu. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Setelah itu aku sadar ,dan minta maaf kepada Jose. Jose begitu mencintaiku sehingga ia memaafkan apa pun kesalahanku. Aku sering terharu mengenangnya. Tetapi, diam-diam, ketika aku ketahuan jalan bersama Manuel, Jose sering menghubungi Ayelen. Aku tahu mungkin Jose malakukan itu sekadar untuk memanas-manasiku. Aku cemburu luar biasa kepadanya. Meski aku dan Jose kembali berpacaran, sejak kehadiran Manuel dan Ayelen hubungan kami tidak harmonis lagi. Kami putus-nyambung entah berapa kali."
"Tragis," jawabku.
"Begitulah cinta, Ip. Setelah bosan dengan pertengkaran dan hubungan yang putus nyambung, Jose akhirnya mengajakku menikah. Permintaannya serius. Aku saat itu sudah hampir selesai dan Jose sudah bekerja di sebuah lembaga penelitian di Universitas Santiago dengan gaji yang cukup untuk berumah tangga. Masalah muncul karena orangtuaku tidak terlalu setuju kami menikah meski sebenarnya mereka menyerahkan semuanya kepadaku. Karena belum yakin, aku meminta waktu untuk mempertimbangkan lamarannya. Jose memberiku waktu."
"Jose-mu sepertinya lelaki yang sangat baik. Kenapa kau melepasnya?"
"Ia terlalu baikPerempuan itu tenggelam dalam masa lalunya dan tak memedulikan pertanyaanku. Matanya merah. Setetes air mata yang jatuh tanpa sengaja segera diusapnya.
"Aku tidak juga memberikan jawaban. Jose berhenti menghubungiku. Sampai aku mendengar ia hendak melamar Ayelen. Aku marah. Kesal. Sedih. Semalaman aku menangis menyesali kebodohanku. Aku memintanya datang malam itu. Dan, ia datang. Aku meminta penjelasan atas isu yang kudengar. Jose berterus terang bahwa ia kehilangan kesabaran dan berpikir aku lebih memilih Manuel. Malam itu, ia juga bilang kepadaku bahwa mungkin perpisahan jalan terbaik buat kami. Pertengkaran yang sering terjadi adalah pertanda kami memang tidak cocok. Ia minta maaf dan berpamitan untuk pergi dari hidupku. Ia minta agar aku menerima semua keputusan ini. Aku seperti ditelan bumi. Hidupku sia-sia. Tak tahu mau hidup lagi atau tidak. Tak ada lagi bumi manusia yang bisa kupijak. Kiamat!"
"Kisahmu seperti novel roman. Menyedihkan," kataku kepada Lisa.
"Sejak saat itu, aku menyesali kenapa dulu aku tidak segera menerima lamarannya. Ketika aku menyadari Jose-lah yang terbaik, semua sudah terlambat. Jose sudah menikah dengan Ayelen dan hidup bahagia. Untuk melupakannya, aku mengembara ke Moskwa dan beberapa tempat lain. Aku ingin pergi jauh dari Santiago dan melupakan Jose."
"Maaf, karena aku mengingatkanmu kepadanya, Lisa." pintaku mengiba. Aku merasa bersalah karena telah membuatnya murung.
"Ah, jangan meminta maaf, Ip. Itu masa lalu. Bercerita tentang ini kepadamu justru membuatku merasa lebih lega. Aku berharap kau membawa pergi kisah itu agar aku bisa pulang ke Santiago tanpa beban. Kalau sampai sekarang aku masih sendiri, semata karena aku belum menemukan lelaki yang cocok. Aku malah sudah tidak ambil pusing urusan jodoh."
Lisa mengambil air mineral di saku kursi kereta dan meneguknya. Setelah itu, ia tidak berkata apa-apa. Tatapannya jatuh ke luar. Kereta melesat jauh. Gerbong yang kami tumpangi lengang. Hanya ada aku dan Lisa serta sepasang kakek-nenek di barisan kursi dekat pintu. Sesekali, masinis membacakan pengumuman dalam bahasa Belanda yang tidak kupahami. Paling-paling isinya pemberitahuan stasiun terdekat yang akan kami singgahi. Aku mengambil tiket dari dalam saku dan mencoret nama stasiun yang telah kami lewati. Tanpa terasa, Stasiun Venlo sudah terlewati dan kereta sekarang meluncur ke Dusseldorf.
"Siapkan paspormu, Lisa. Kita akan memasuki wilayah Jerman. Biasanya, antara Venlo dan Dusseldorf ada pemeriksaan dari pihak imigrasi."
"Baik," jawabnya singkat tanpa menoleh.
"Lebih baik kau bercerita tentang Santiago daripada melamun," aku mencoba memecah keheningan. Selama beberapa saat, deru mesin kereta menjadi satu-satunya suara yang terdengar.
"Ah, aku bingung harus mulai bercerita dari mana. Cerita tentang Santiago adalah cerita yang panjang."
"Terserah saja mau mulai dari mana, yang penting sampai ke Santiago. Ada banyak jalan menuju Roma. Juga, ada banyak jalan menuju Santiago."
"Kau tahu itu, Ip. Jadi, aku tidak perlu bercerita," jawab Lisa.
"No, no, Lisa. Apa maksudmu?"
"Kau bilang ada banyak jalan menuju Santiago, bukan? Aku kira kau sudah tahu cerita petualangan ke Santiago itu."
"Tidak, aku hanya menyuruhmu memulai bercerita, dari mana pun awalnya tidak masalah. Yang penting kau bercerita tentang Santiago."
"Baiklah. Yang jelas, Santiago adalah nama lain dari Saint James. Ia adalah murid ke-12 Yesus dan pahlawan bagi orang-orang Eropa. Dialah yang membawa Kristiani ke tanah Eropa, terutama di wilayah Spanyol, Portugal, dan Prancis."
"Jika tidak keliru, Saint James dipanggil Santo Yakobus dalam bahasaku," jawabku.
"Mungkin bahasamu mengambil dari istilah Ibrani, Jacob," jawab Lisa.
"Aku kira begitu."
"Asalusul pemberian nama Santiago tidak terlepas dari kehadiran orang Spanyol di Cile. Namun, yang menarik bukan cerita tentang Kota Santiago di Cile. Ada Kota Santiago lain yang selama berabad-abad dikenal sebagai tujuan berziarah umat Katolik dari seluruh dunia. Kotaku baru muncul belakangan meskipun kemudian jadi lebih terkenal karena menjadi ibu kota negara."
"Tempat berziarah seperti Mekah buat orang Islam, maksudmu?"
"Betul, Ip. Kau tahu, setiap agama pasti punya tradisi berziarah. Orang Islam datang ke Mekah atau Medinah. Orang-orang Kristiani selama berabad-abad berduyun-duyun datang ke Yerusalem dan Roma. Sebenarnya, ada juga tempat ziarah bagi kami orang Kristiani yang sangat terkenal selama Abad Pertengahan. Tempat itu bernama Santiago de Compostela. Letaknya di Spanyol. Konon, di sanalah Saint James atau Yakobus dikuburkan."
"Lantas, kenapa tempat itu tidak lagi banyak dikunjungi para peziarah?"
"Ada beberapa sebab. Salah satunya karena selama berabad-abad, Spanyol berada di bawah kekuasaan Khalifah Islam dari Jazirah Arab. Kau lebih tahu cerita kejayaan agamamu, bukan? Meski para khalifah tidak menghancurkan kuburan keramat dan tempat ziarah itu, jumlah pengunjung ke Santiago de Compostela berkurang drastis. Baru di pengujung masa kejayaan Islam di Spanyol, para peziarah kembali berdatangan," terang Lisa.
"Jadi, selama delapan ratus tahun kekhalifahan Islam di Spanyol, Santigo de Compostela sepenuhnya ditinggalkan para peziarah? Tetapi, setahuku, bukankah daerah di pegunungan utara Spanyol hanya beberapa saat saja dikuasai bangsa Arab?"
"Betul. Ketika hampir seluruh Jazirah Spanyol jatuh ke tangan Moorisco, ada tiga atau empat kerajaan Kristen yang bertahan di daerah utara. Yang paling terkenal adalah Kerajaan Asturia (atau Leon) dan Castile. Dua kerajaan itulah yang delpan ratus tahun kemudian memukul mundur orang-orang Arab di Spanyol. Santiago de Compostela berada di Kerajaan Leon. Meski berada di bawah kerajaan Kristen, jalur ke Santiago tetap saja menjadi rute yang berbahaya karena pertempuran antara pasukan Muslim dan Kristen sering terjadi."
"Tetapi, tradisi berziarah ke kuburan Santo Yakobus itu tidak berhenti sepenuhnya, kan?"
"Tentu saja. Bahkan, pada saat itu banyak orang yang nekat berkunjung ke sana. Bukankah semakin berbahaya dan menantang, makna ziarah semakin terasa? Setelah Al-Mansur, khalifah Islam di kerajaan yang sangat terkenal itu, meninggal pada 1002, konon, para raja Kristen di Spanyol Utara mulai membangun kekuatan. Krisis politik di selatan membawa berkah tersendiri. Para raja Kristen berani memberi jaminan keamanan bagi para peziarah," papar Lisa.
"Sejak kapan Santiago menjadi tujuan ziarah umat Kristiani?" tanyaku penasaran.
"Aku lupa tepatnya, Ip. Kalau tidak salah sekitar abad ke-8. Konon, penemuan makam Saint James juga pertanda awal kejayaan kembali bangsa Visigoth Kristen di Spanyol. Pada 844, terjadi peperangan di daerah Clavijo, kota perbatasan di antara kerajaan yang dikuasai Islam dan Kerajaan Asturia yang dikuasai Kristen. Konon, dalam pertempuran itu Saint James membantu pasukan Kristen yang dipimpin oleh Raja Ramiro I. Saint James dengan gagah menunggang kuda seperti bayang-bayang dari surga dan memukul mundur pasukan Islam. Dalam tradisi yang sampai ke keluargaku di Cile, perang ini sangat terkenal. Gambar Saint James yang sedang menunggang kuda sambil memenggal pasukan musuh diabadikan di dinding-dinding gereja. Sebutan Santiago Matamoro menjadi legenda yang sudah dikenal oleh anak sejak sekolah dasar."
"Santiago Matamoro?" potongku.
"Ya, Ip. Santiago si Penghancur Orang Moor. Konon, setelah perang itu, daerah Asturia di utara Spanyol tidak pernah lagi dikuasai pasukan Muslim. Daerah itu pula yang kelak memelopori penaklukan kembali Spanyol," lanjut Lisa.
"Dan, karena itu pula Santiago de Compostela menjadi terkenal, begitu?"
"Dalam tradisi Katolik dikenal istilah El Camino de Santiago de Compostela
"Apa?" selidikku. Istilah yang diucapkannya membuatku penasaran.
"El Camino de Santiago de Compostela." Lisa mengejakan kembali kata itu kepadaku perlahan-lahan.
Aku mencoba mengejanya sekali lagi.
"Apa itu?" tanyaku.
"Rute ziarah ke Santiago de Compostela. Compostela sendiri konon berarti 'tempat dikuburkan'. Diambil dari kata composita tella yang kalau tidak salah berasal dari bahasa Latin."
"Maksudmu... rute ziarah?"
"Orang-orang dari seluruh penjuru Eropa yang datang untuk berziarah berjalan ratusan kilometer menuju Santiago, biasanya dimulai dari Prancis. Jalur-jalur yang biasa mereka lalui, kemudian menjadi terkenal. Apalagi, kemudian tradisi menjadi sebuah doktrin bahwa hanya yang berjalan kaki menuju Santiago sajalah yang sah mendapat gelar Peziarah Santiago."
"Jadi, kalau aku ziarah menggunakan kendaraan, ziarahku tak diakui?"
"Betul. Hanya boleh jalan kaki. Rata-rata mereka menempuh perjalanan ziarah dengan berjalan kaki selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sebelum akhirnya tiba di Santiago. Ada empat rute terkenal zaman dulu. Jalur Taours atau Paris, Vezelay, Le Puy-en-Velay, dan Aries. Dari sana, orang mengikuti rute yang sudah baku. Rute itu masih dipakai sampai sekarang."
"Jadi, harus berjalan sejauh itu tanpa henti? Mustahil, Lisa. Mustahil. Terlalu berat."
"Tidak juga. Setiap malam para peziarah beristirahat di mana saja mereka mau. Pada Abad Pertengahan, para peziarah dibekali kulit kerang sebagai tanda bahwa ia adalah peziarah Santiago. Setiap gereja yang mereka lalui akan menyediakan tempat tidur secara cuma-cuma. Sekarang, tradisi itu dihidupkan kembali. Jadi, jika kau berziarah dari Paris atau jalur lain menuju Santiago, kau bisa beristirahat di setiap gereja yang kau lewati. Cukup tunjukkan kulit kerang, mereka akan paham," Lisa melanjutkan cerita.
"Luar biasa!" potongku.
"Ya, Ip. Bahkan, sekarang jalur ziarah ke Santiago itu sudah ditetapkan sebagai warisan dunia dan dilindungi UNESCO. Jalur menuju ke Santiago juga sudah dilengkapi dengan petunjuk yang jelas dengan menggunakan simbol kulit kerang."
"Apa kau sudah pernah berziarah ke sana?"
"Belum. Tentu aku ingin suatu saat pergi ke sana. Perjalanan sejauh itu butuh persiapan penuh. Otoritas di Santiago menetapkan bahwa seseorang harus berjalan kurang lebih 30 kilometer per hari jika ingin diakui sebagai peziarah. Naik mobil, motor, apalagi pesawat tidak diperkenankan. Jika melanggar aturan, mereka hanya akan dianggap sebagai turis, bukan peziarah. Meski berat, banyak anak muda Katolik yang menghabiskan masa libur musim panas dengan berziarah ke Santiago."
"Tapi, Lisa .... apa gunanya orang berjalan sejauh itu?"
"Pertanyaanmu terdengar konyol. Itu sama saja dengan pertanyaan kenapa orang-orang Islam mau berdesakan mengelilingi kubus batu?"
Aku tertawa menyadari kekonyolanku sendiri.
"Bagi kami, umat Katolik, berziarah adalah salah satu usaha untuk memurnikan jiwa dan melebur dosa-dosa. Pada abad ke-11, Paus mengumumkan bahwa setiap orang Katolik yang berpartisipasi dalam perang melawan orang Islam (reconquesta) atau melakukan ziarah ke makam Saint James, akan mendapatkan pengampunan dosa. Bayangkan, seluruh dosa akan diampuni. Pada 1122, Paus Calbctus II mengumumkan bahwa siapa pun yang melakukan ziarah ke Santiago, membuat pengakuan dosa, mengikuti misa di sana, dan memberi donasi bagi gereja, akan diampuni seluruh dosanya," Lisa menjelaskan.
"Menurutku, inti semua agama sama saja. Jika seorang muslim datang ke Mekah dan Madinah dan mengikuti semua ritual yang telah ditentukan, sepulang dari ziarah seluruh dosa akan diampuni. Tradisi itu disebut 'haji'."
"Bukankah agama datang dari satu Tuhan, Ip?" Lisa bertanya.
"Lantas, kenapa mereka saling membunuh?" aku balik bertanya.
"Entahlah. Perang-perang besar dalam sejarah manusia justru dilakukan untuk membela Tuhan masing-masing."
Tanpa kami sadari, kereta sudah jauh masuk ke teritori Jerman. Tidak ada pemeriksaan dari pihak imigrasi Jerman.
Lisa terlihat mulai capek dan mengantuk. Aku diam agar tidak mengganggunya. Tak berapa lama, tanpa sengaja ia menyandarkan kepala di pundakku dan tertidur.
Aku didera perasaan serbasalah. Aku tidak enak dan merasa berdosa, tetapi tidak tega membangunkan Lisa.
Tanpa kusadari, aku turut terlelap. Aku terbangun ketika seseorang menepuk pundakku. Aku tergagap. Lisa ikut kaget dan langsung duduk tegak. Orang yang membangunkanku ternyata petugas kereta yang sedang mengecek tiket. Aku merogoh saku untuk menunjukkan tiket. Lisa melakukan hal yang sama. Setelah sekilas melihat tiket kami, petugas berseragam putih dengan logo DB di saku bajunya itu segera pergi. "Vielen dank," katanya singkat sambil tersenyum ramah. Aku tahu petugas itu mengucapkan terima kasih.
Lisa celingukan. Ia melihat ke luar jendela untuk memastikan lokasi kami. Arloji di tanganku menunjukkan pukul dua siang.
"Sepertinya tidak lama lagi kita akan sampai."
"Kau tahu kita sudah sampai mana?"
"Tidak. Kita lihat saja stasiun berikutnya," jawabku.
Kereta yang kutumpangi sekarang melewati lembah dan sungai besar. Di sepanjang sungai, kapal-kapal berseliweran. Ramai sekali. Kanan dan kiri sungai dihiasi perkebunan anggur.
"Inilah Sungai Rhine yang terkenal itu, Lisa."
"Sepertinya begitu. Indah sekali. Dari sinilah peradaban bangsa Jerman bermula."
"Sungai itu berhulu di Pegunungan Alpen di Swiss, kemudian mengalir melewati Jerman, Prancis, dan Belanda sebelum akhirnya bermuara di Laut Atlantik," kataku.
"Ah, harusnya kita singgah di sini, Ip. Indah sekali," sahut Lisa terpesona. Kota-kota di bawah sana terlihat rapi dari atas. Kereta menyusuri bibir lembah, dan sesekali berhenti di kota-kota di sepanjang sungai. Sebelum aku berangkat, kerabat yang nanti akan menyusul ke Freiburg bilang bahwa kereta dari Belanda biasanya akan melewati jalur Sungai Rhine. Dan, katanya, jalur ini merupakan jalur kereta terindah di dunia. Aku kira pujian itu bukan sekadar bualan. Rhine memang benar-benar indah.
Pukul tiga sore kereta tiba di Stasiun Freiburg. Setelah berkeliling kota sebentar, aku dan Lisa menuju rumah Teh Titin. Dari stasiun Kota Freiburg aku menumpang kereta dalam kota menuju Stasiun Gotenheim. Orang yang sudah sekitar dua puluh tahun tidak aku jumpai itu menjemput kami di stasiun. Ia menyambut kedatangan kami dengan sukacita. Tak menyangka akan bertemu di tempat yang jauh dari kampung halaman. Aku memperkenalkan Lisa kepada Teh Titin yang mengira Lisa adalah kekasihku. Aku berbicara dengannya dalam bahasa Sunda halus. Suasana tiba-tiba menjadi syahdu karena berjumpa orang sekampung jauh di negeri orang.
Selama tiga hari, kami diajak berkeliling ke beberapa kota di sekitar Freiburg dan Heidelberg. Kami mengunjungi kampus-kampus yang sebelumnya hanya aku ketahui namanya dari buku-buku. Selain itu, kami juga mengunjungi musium, taman kota, dan tempat-tempat bersejarah lain. Sungguh sebuah petualangan yang menyenangkan sekaligus melelahkan.
*** Rendang de la Color DIWARNAI BANYAK petualangan, waktu berjalan begitu cepat. Aku tak punya banyak waktu lagi untuk menyelesaikan tesisku di Leiden. Aku sedikit cemas dan khawatir. Di tengah kerja kerasku menyelesaikan tesis, Lisa beberapa kali menelepon menanyakan kapan jadinya petualangan baru kami akan dimulai. Aku selalu menghindar. Bukan karena tidak berminat, melainkan karena aku harus menyelesaikan tugas utamaku membuat tesis. Bisa repot jika sampai tidak selesai. Apalagi kalau penyebabnya karena terlalu banyak berpelesir. Lisa memang sudah tidak sabar dengan petualangan kami berikutnya. Ia ingin segera menginjakkan kaki di tanah leluhurnya.
Omong-omong soal tesis, belakangan hampir setiap malam aku bergelut dengan jurnal-jurnal dan buku-buku. Catatan-catatan kuliah yang tersimpan di file komputer kembali kugali. Puasa tidur pun kulakoni. Alhamdulillah, setelah hampir sebulan maraton, akhirnya tesisku mendekati kelar. Beruntung aku sudah mengumpulkan semua bahan kajian dan mencicil riset pustaka sejak tiba di Belanda. Memang masih ada perbaikan di sana-sini, tetapi secara umum prosesnya menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Setelah mendapat lampu hijau dari dosen pembimbing, aku merasa perlu menanggapi keinginan Lisa untuk menjelajahi kota-kota di Spanyol.
Sebenarnya, aku pun sudah tidak sabar ingin melihat sisi lain kota-kota di Eropa. Jika selama ini aku berkeliling ke Eropa Utara dan Timur, sekarang aku ingin bertualang di Eropa Selatan. Hampir semua kota di Eropa yang pernah kukunjungi terlihat seragam: lanskap kota yang terdiri atas bangunan tua, museum, monumen, dan universitas. Arsitektur gotik bangunan tua dan gereja-gerejanya juga hampir serupa. Mungkin hanya wajah kota-kota di Jerman yang sedikit berbeda karena dihiasi banyak bangunan baru. Bangunan-bangunan tua di Jerman punah akibat dibombardir habis-habisan oleh sekutu pada Perang Dunia II. Ketika berkunjung ke Berlin, aku merasa seperti menyambangi New York atau Jakarta-meski tentu Berlin jauh lebih modern, rapi, dan teratur. Ketika main ke Koin, kondisinya juga sama. Peninggalan masa lalu yang masih tersisa hanyalah sebuah gereja tua di pinggir Sungai Rhine. Sementara di Heidelberg dan Freiburg, aku masih bisa menemukan bangunan tua dan unik. Di pusat Kota Heidelberg, terdapat sebuah kastel megah di puncak bukit yang separuh bangunannya hancur akibat perang. Kastel itu persis di atas kampus Universitas Heidelberg yang terkenal itu. Pemerintah Jerman membiarkan sisa-sisa kehancuran menjadi semacam monumen dan museum yang ramai dikunjungi wisatawan.
Lain Jerman, lain lagi Spanyol. Ada nuansa Islam yang kuat, setidaknya dari arsitektur bangunan-bangunan tua, yang menghiasi lanskap kota-kota di Spanyol. Tentu ini terjadi karena pengaruh Islam dan Arab yang berkuasa hampir seribu tahun. Bagiku, berkunjung ke Spanyol seperti berkunjung ke alam mimpi. Aku sudah mendengar cerita menyedihkan tentang kejatuhan Granada ke tangan Ratu Isabella ketika di Karangtawang. Kang Mpud, sang santri senior di pondok dulu, menceritakan kisah ini dengan penuh kesedihan. Sejarah kejayaan dan keruntuhan Islam di Spanyol atau Al-Andalusia kembali diajarkan di Cidewa. Di pesantren itu, aku belajar cara Islam mencapai puncak kejayaan peradaban. Pak Kiai selalu bilang cintailah segala ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan ilmu umum atau ilmu agama. Semua ilmu itu datangnya dari Allah. Tujuannya pun sama, yakni mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah agar manusia semakin beriman. Ilmu pengetahuan berusaha mengetahui tanda-tanda alam dan kebesaran Allah dengan menafsirkan alam atau ayat kauniyah. Sementara iman atau agama, berusaha mengungkap kebesaran Allah dengan membedah ayat-ayat yang tersurat, ayat qauliyah, ayat-ayat yang dilafalkan oleh para nabi. Pak Kiai selalu merujuk pada Al-An-dalus atau Spanyol sebagai contoh. Di sanalah ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum berintegrasi dan tak mengenal batas-batas. Ibnu Rusdi adalah ahli filsafat sekaligus ahli hukum. Ibnu Sina adalah tabib paling top pada masanya, selain juga merupakan ahli fikih dan filsafat.
Tentu kunjungan ke Spanyol adalah kunjungan wisata semata. Tidak ada lagi kebesaran yang dulu diagung-agungkan. Islam sudah ratusan tahun hilang dari tanah itu. Hanya tertinggal sisa-sisa kejayaan yang terutama tampak dari seni arsitektur dan bahasa. Lebih dari seperempat kosakata bahasa Spanyol merupakan serapan dari bahasa Arab. Namun, tentu peninggalan seni arsitektur lebih menonjol dan kasatmata.
Aku sudah membuat daftar kota yang ingin kukunjungi. Yang pasti, aku harus ke Granada, Sevilla, dan Kordoba. Santiago masuk dalam daftar kota yang diusulkan Lisa karena ia ingin melihat kota yang menjadi asalusul kota tempatnya tinggal di Cile.
Bagi Lisa, perjalanan ini adalah juga perjalanan ke dunia mimpi. Ia sudah berhasrat menjejaki tanah leluhurnya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Meski sudah ratusan tahun bermigrasi, keluarga-keluarga keturunan Spanyol di Amerika Latin, termasuk Cile, masih turun-temurun meriwayatkan asal usul keluarga mereka. Sama halnya dengan orang-orang Inggris dan Irlandia yang datang ke Amerika dan menyimpan rapi silsilah keluarga mereka. Ibunda Lisa berasal dari Granada, sementara ayahnya dari Malaga. Atas alasan itulah Lisa ingin sekali datang ke dua kota tersebut.
Lisa meneleponku dan memberi tahu kalau ia tengah mencari tiket pesawat murah. Untuk pergi ke Spanyol, hampir tidak mungkin memakai bus atau kereta. Terlalu jauh dan bisa memakan waktu hingga lebih dari 24 jam perjalanan. Lisa sudah menemukan penerbangan murah ke Sevilla. Sebuah maskapai penerbangan murah di Eropa, R-Air, menyediakan rute penerbangan dari Eindhoven ke Sevilla atau Madrid. Penerbangan itu bukan dari Bandara Schipol di Amsterdam yang merupakan bandara internasional utama di Belanda. Semua penerbangan murah berpusat di Bandara Eindhoven yang berjarak satu jam lebih naik kereta dari Leiden.
Perjalanan ke Spanyol bukan perjalanan sebentar dan murah. Kawanku, Surahman, pernah main ke sana dan menghabiskan uang setidaknya seribu euro. Terlalu mahal untuk kantong mahasiswa.
Karena kami sama-sama di Leiden, aku bermaksud mengunjungi Surahman di Wassenaarseweg, tak jauh dari kampus Fakultas Ilmu Pasti, Universitas Leiden. Selain karena sudah lama kami tidak berbincang, aku juga ingin menimba pengalaman cara menghemat uang untuk menjelajah Spanyol.
Sepeda butut yang berbunyi di seluruh persendiannya berhasil mengantarkanku dengan selamat meski sangat lambat. Surahman tinggal di sebuah kompleks asrama mahasiswa bersama beberapa orang pelajar Indonesia. Kompleks bangunan dua lantai itu terdiri atas delapan belas gedung asrama yang terletak di tengah padang rumput dan rawa-rawa di daerah Oegstgeest. Bangunan-bangunan itu dulunya bekas tempat para imigran atau pencari suaka, tetapi beberapa tahun terakhir dijadikan asrama mahasiswa. Sementara itu asrama permanen masih dalam proses pembangunan. Konon, harga sewanya sangat miring.
Aku berjalan ke asrama nomor 5 ruang 3C, tempat Surahman tinggal. Ia tidak pergi ke mana-mana karena aku sudah mengabari sebelumnya kalau hendak bertamu. Kamar itu selalu kuingat dengan baik. Berkat ruangan itulah aku tak jadi gelandangan di negeri orang ketika terkunci di luar apartemen Utrecht tempo hari. Surahman menyambutku dengan gayanya yang khas. Gaya itu tidak pernah berubah sejak aku kali pertama mengenalnya di Cidewa.
"Ip, ada berita heboh, sudah tahu?" Surahman bertanya ketika aku belum juga duduk.
"Ente pasti denger berita perampokan CIMB Niaga di Medan, ya?" jawabku. "Atau, berita tentang camp pelatihan teroris di Aceh?" lanjutku. Dua kejadian itu memang sedang jadi buah bibir di Indonesia. Meski aku tinggal di Belanda, setiap hari aku mengikuti perkembangan informasi di negeri sendiri lewat internet.
"Kawan kita, K, terlibat lagi. Perlahan, tetapi pasti dia jadi tokoh kelompok ekstremis," kata Surahman dengan nada datar. Berita perihal keterlibatan K dalam jaringan kelompok radikal memang sudah menyebar ke hampir semua kawan seangkatan kami di Pesantren Cidewa.
"Serius? maksud ente, dia terlibat perampokan di Medan itu?" tanyaku penasaran. Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut mendengar kabar itu dan aku bisa menduga arah pembicaraan Surahman.
"Pantas. Ane dengar beberapa waktu lalu polisi mengendus keberadaan kawan kita itu di Aceh Besar. Tak disangka, ternyata dia di sana untuk misi pelatihan rahasia itu," lanjutku.
"Sepertinya begitu. Jalan hidup orang aneh sekali, ya, Ip." Surahman menerawang jauh.
"Padahal, kurang bagus dan moderat apa pesantren kita."
"Betul. Dari ribuan santri, mungkin hanya satu yang menjadi seperti itu. Menurut ane, sih, itu karena pergaulannya waktu kuliah di kampus yang dibiayai Saudi itu."
"Kita sebagai kawan hanya bisa mendoakan semoga dia bisa kembali hidup normal. Kalau takdirnya tertangkap, semoga selamat. Semoga diberikan kemudahan untuk kembali ke jalan yang lurus," timpalku.
"Ip, ente jadi nggak ke Spanyol?" Surahman mengalihkan pembicaraan.
"Jadi, ane ke sini untuk urusan itu. Ceritain-lah, pengalaman ente dulu gimana?"
"Ip, ibaratnya, buat santri kaya kita ... yah, tidak sempurna perjalanan ke Eropa kalau belum ke Spanyol. Mungkin karena sejarah masa lalu Spanyol dekat dengan kita."
"Ane kira begitu."
"Memang, sih, pelesir ke sana mahal. Siap-siap saja kantong ente terkuras. Tetapi, duit, kan, bisa dicari, pengalaman dan kesempatan jarang datang dua kali."
"Sepakat!" "Tenang, buat mahasiswa semua biaya bisa diakali supaya lebih murah."
"Nah! Itu yang ane tunggu-tunggu. Ayo, keluarkan jurus ngirit ente yang paling yahud."
"Simpel. Beli daging sapi tiga kilo. Ente buat rendang!" Surahman menjawab enteng.
"Ha? Benar juga ente, itu ide sederhana, tetapi cemerlang. Kalau untuk urusan irit-mengirit, ente luar biasa cerdas, Man. Kadang malah lebih cerdas ketimbang Ilham" Kami tertawa mengenang masa di pesantren dulu. Ilham adalah kawan kami di Pesantren Cidewa yang berasal dari Padang Panjang.
"Terus, kalau mau lebih ngirit lagi, bawa rice cooker Fuad, tuh." Surahman menunjuk penanak nasi mini di sudut ruangan. Fuad adalah kawannya satu kamar di asrama itu.
"Jangan salah ya, rice cooker itu sudah berkelana ke tiga benua. Di beli di Indonesia, dulu rice cooker ini dibawa Fuad ke Australia waktu dia ambil program master. Habis itu dibawa keliling Eropa, hahaha Surahman tertawa. Bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia, rice cooker selalu jadi penolong. Roti belum bisa menggantikan kepulenan nasi putih. Apalagi jika dimakan bersama rendang.
"Ide cemerlang. Mantap ente. Mantap!"
"Cari youth hostel atau penginapan khusus backpacker. Biasanya mereka punya dapur yang bisa dipakai tamu. Tarifnya juga murah. Ente bisa masak di sana. Rendang tinggal diangetin," Surahman masih bersemangat menurunkan ilmu jitu menaklukkan Spanyol dengan modal pas-pasan.
Pengumuman dalam bahasa Belanda, Spanyol, dan Inggris dari pengeras suara di Bandara Eindhoven sudah terdengar. Pengumuman itu meminta seluruh penumpang jurusan Sevilla agar segera masuk ke ruang tunggu. Aku dan Lisa lekas berdiri dan siap-siap beranjak dari kursi di ruang keberangkatan. Saat itu pukul 14.45. Cuaca cerah, meski udara di luar terasa dingin. Awal musim gugur sudah dimulai. Angin di Belanda yang selalu berembus kencang membuat udara terasa lebih dingin. Kami berjalan menuju antrean di Gerbang 2. Di papan informasi keberangkatan tertulis jelas kota tujuan: Sevilla, Tangier, dan Lisboa. Tiga kota itu masing-masing berada di Spanyol, Maroko, dan Portugal.
"Semoga tidak ada masalah dengan bawaanku," setengah berbisik, kudekatkan wajahku ke telinga Lisa.
"Memang apa yang kau bawa, Ip?" tanya Lisa. Matanya menatapku curiga.
"Rahasia," jawabku singkat.
"Aku khawatir. Namamu Iip Muhammad Syarip. Jika curiga, mereka bisa membawamu ke ruang interogasi dan kau tak jadi berangkat."
"Tetapi, aku, kan, bukan teroris?"
"Ya, aku tahu. Tetapi, mereka tidak mau tahu. Jangan cari masalah!"
"Jangan khawatir, Nona. Aku tidak membawa bom."
"Lantas, kenapa kau khawatir dengan barang bawaanmu?"
"Sudahlah, tidak perlu khawatir. Tenang saja."
"Jangan sampai kejadian di Bandara Tullamarine terulang lagi. Hanya gara-gara nama. Sungguh gila dan paranoid, tetapi kita harus memahami juga kondisi mereka."
Lisa mengingatkanku agar tak mencari masalah. Aku sempat mendapat sedikit masalah di Bandara Tullamarine
Melbourne saat hendak terbang ke Belanda. Tak ada alasan yang jelas mengapa petugas bandara curiga kepadaku. Aku duga saat itu masalahnya hanya karena nama. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan namaku. Namaku adalah nama paling populer dan mungkin nama paling dimuliakan dalam Islam. Namun, semua orang yang punya nama berbau Arab belakangan memang sedang kurang beruntung, terutama saat hendak bepergian ke negara-negara Barat. Tentu itu semua terjadi setelah tragedi 11 September. Untung aku dengan mudah bisa menunjukkan kartu identitas pelajar, surat undangan dari Universitas Utrecht, dan dokumen-dokumen lain. Dengan segera, aku diizinkan meneruskan perjalanan.
Apa yang aku khawatirkan tidak terjadi di Bandara Eindhoven. Tak ada masalah dengan bagasi. Semua berjalan lancar-lancar saja. Setelah menunggu sekitar satu jam, pesawat yang kutumpangi lepas landas. Perjalanan menuju Sevilla ditempuh dalam waktu kurang lebih dua jam. Pesawat diperkirakan tiba pukul enam sore.
Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak melamun. Tak terasa, mimpi yang awalnya terasa mustahil, kini tengah kujalani. Seketika aku teringat Karangtawang dan Cidewa. Teringat Kang Mpud yang sering menceritakan cemerlangnya kejayaan Islam di negeri yang sebentar lagi aku datangi. Teringat almarhum Kiai Cidewa yang sering mengutip ulama dan ilmuwan Andalusia dalam pengajian. Teringat pada awal mula yang membangun mimpiku menjejaki tanah Spanyol. Lucunya, aku bisa sampai di negeri impian ini ditemani seseorang yang memiliki mimpi yang sama. Lisa dan aku datang ke tempat ini karena sebuah mimpi. Kami yang berasal dari ujung dunia yang berbeda, bersua di satu titik dan bersama meniti jalan ke tanah yang ratusan tahun silam menjadi pusat dunia.
Pilot mengumumkan sesuatu dalam bahasa Spanyol yang kira-kira artinya beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara San Pablo, Sevilla. Lisa melepaskan earphone dan menutup buku yang tengah dibacanya. Pesawat yang kutumpangi terasa mulai menurunkan ketinggian menjelang pendaratan. Beruntunglah aku duduk di dekat jendela. Lisa yang duduk di barisan tengah melongok-longok ingin melihat daratan. Dari jendela pesawat aku memandangi lanskap Kota Sevilla. Terlihat sedikit gersang meski dihiasi pepohonan yang berbaris rapi. Saking rapinya, pohon-pohon itu seperti ditanam dengan menggunakan penggaris. Jarak antara satu pohon dan pohon lain terlihat simetris. Entah pohon apa itu. Aku tidak tahu.
"Itu pohon zaitun, Ip," kata Lisa seperti menjawab pertanyaan dalam hatiku.
"Oh, ya? Rapi sekali," sahutku.
"Kau lihat lingkaran-lingkaran di tanah itu?" Lisa menunjuk pada garis-garis berbentuk lingkaran di tanah yang seperti dilukis melingkari setiap pohon zaitun. Lingkaran-lingkaran itu juga terlihat simetris. Seperti dilukis oleh alien.
"Ada ribuan pohon zaitun di setiap kebun. Tidak mungkin memanennya secara manual. Lingkaran-lingkaran di tanah itu adalah bekas mesin yang membantu petani memanen buah zaitun yang sudah matang. Dulu, orang-orang Moor yang pertama membawa pohon zaitun ke Spanyol. Kini, Spanyol merupakan negara penghasil minyak zaitun terbesar di dunia," papar Lisa.
Pesawat terbang semakin rendah. Pepohonan zaitun terlihat semakin jelas. Pepohonan rimbun nan hijau itu seperti oase di tengah tanah yang tandus. Dari jendela pesawat, aku juga kini bisa melihat Kota Sevilla. Ada sebuah sungai besar yang membelah kota. Sekonyong-konyong, aku ingat Yarra. Ya, sungai indah yang membelah Kota Melbourne. Apa kabarmu? Lama sudah aku tak menyapa keindahanmu. Tiba-tiba, aku merindukan juga Fed Square dan taman di sepanjang aliran sungai.
"Lisa, melihat sungai itu aku jadi ingat Yarra!"
"Iya, Ip. Itu pasti Yarra-nya Kota Sevilla," jawab Lisa.
"Sebentar, aku cari info dulu. Sungai apa gerangan itu?" timpalku. Aku membuka buku travel guide yang sengaja kubeli sebelum berangkat. "Sungai itu bernama Gu-a-dal-qu-i-vir. Oh, susah sekali."
"Coba kulihat!" Lisa merebut buku yang sedang kupegang.
"Ya, itu Sungai Guadalquivir. Sungai terpanjang kelima di Semenanjung Iberia. Sungai terpanjang kedua di Spanyol. Sungai itu melewati Kordoba dan Sevilla, berujung di Teluk Cadiz, di Lautan Atlantik."
"Hmmm ada informasi yang lain?" aku pura-pura bertanya.
"Ini yang pasti kau suka, Ip. Sungai ini diambil dari nama Arab al-wad al-kabir. Lisa tidak mengeja dengan benar nama Arab itu. Kini, giliran aku yang merebut buku dari tangannya. Kami seperti anak kecil yang sedang berebut mainan.
"Al-wad al-kabir. Artinya 'sungai besar', Nona Lisa!" Belum juga menginjak tanah Spanyol, aroma peradaban Arab sudah kucium. Kalau jeli, hampir semua hal di Spanyol, terutama terkait nama-nama dan sejarah, pasti berhubungan dengan peradaban Arab-Islam.
Pesawat telah mendarat. Aku dan penumpang lainnya antre keluar menuju ruang kedatangan. Matahari bersinar terang. Senja belum juga datang di Sevilla. Padahal saat itu sudah pukul enam sore. Semilir angin menghamburkan rambutku yang sudah lama tidak dipotong. Embusannya terasa seperti sambutan dari alam mimpi yang menanti kedatanganku selama berpuluh-puluh tahun. Aku berjalan seperti melayang. Namun, ini nyata. Ya, ini nyata. Aku tengah menginjakkan kaki di Bandara San Pablo sekarang. Di pintu gerbang bandara terdapat tulisan merah besar dengan latar belakang hitam berbunyi Bienvenida en Espana menyambut setiap penumpang yang datang. Tulisan itu berarti 'Selamat datang di Spanyol.' Aku berjalan mengikuti petunjuk arah yang bertuliskan sabda. Tanpa bertanya kepada Lisa, aku tahu itu adalah petunjuk arah keluar. Setelah berkeliling ke beberapa negara di Eropa, aku jadi tahu sedikit bahasa yang biasa dipakai dalam papan petunjuk di bandara. Di Jerman, petunjuk itu berbunyi aus-gang, di Prancis la sortie, di Italia uscita, di Belanda uitgang.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Lisa tersenyum ceria. Bisa jadi kali ini ia merasakan hal yang sama: bahagia tiada tara bisa tiba di negeri impian. Pada saaat itu, aku menyadari sesuatu: pada perempuan itu telah tumbuh seuntai rasa yang sulit kugambarkan, sebentuk perasaan di antara cinta dan persahabatan.
"Tak terasa. Tak kuduga. Aku kira obrolan kita di Perpustakaan Universitas Melbourne tempo hari akan berlalu begitu saja. Ternyata tidak. Obrolan itu telah memuluskan langkah kita menginjakkan kaki di sini. Aku sungguh senang," kata Lisa.
Wajah perempuan Latin yang setahun belakangan ini menjadi kawan baikku terlihat semringah. Kekuatan mimpi dan cita-cita memang luar biasa. Aku nyaris tidak percaya semua bisa terwujud begitu saja.
Dari bandara, kami beralih ke terminal bus. Beruntung aku datang bersama Lisa yang menguasai bahasa Spanyol. Seperti telah kuceritakan, lebih dari separuh penduduk Amerika Latin, orang Cile menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa resmi karena merupakan negara bekas koloni Spanyol. Kami akan menginap di Oasis Hostel, di Jalan Calle Almirante Ulloa, No. 1. Menurut petunjuk di peta, hotel itu ada di dekat kompleks kota tua Sevilla.
Tak sampai satu jam, aku tiba di Estacion de Autobuses di Plaza de Armas. Aku turun di terminal bus dan berjalan kaki beberapa blok ke arah timur menuju hostel. Sengaja aku dan Lisa mencari penginapan yang dekat dengan terminal bus dan pusat kota.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh di perutku. Ia sudah mulai berteriak meminta jatah. Aku mengajak Lisa mampir dulu ke tempat makan. Tak jauh dari stasiun, aku melihat restoran bernama Teteria Restaurante Marrakech. Sebuah restoran Maroko.
Aku dan Lisa bergegas ke sana. Karena sudah lapar, aku tidak berpikir panjang. Menu dan gambar makanan yang dijual di restoran itu dipajang di dekat pintu masuk sebelah kiri. Nama-nama masakan di restoran itu cukup aneh dan unik. Naluri santriku langsung mengendus nama-nama untuk mencari jejak-jejak serapan bahasa Arab. Aku mengeja nama-nama menu itu: Ensalada Arabe, Ensalada Ferenjena, Enscdada Espinacas, Tajin de Ternera con Manzana, Tajin de Ternera con Almendras, Tajin de Albondigas con Huevo, Cous Cous de Ternera con Verduras, Cous Cous con Polio y Passa....
Aku bingung sendiri. Ini memang seperti negeri di alam dongeng. Tak satu pun bisa kupahami artinya dan hanya bisa kuterka isinya dari gambar. Karena aku terlihat bingung, Lisa menyarankan aku mencoba Cous Cous de Ternera con Verduras. Kuskus adalah makanan khas Maroko dan Mediterania yang bentuknya mirip beras, tetapi dengan bulir yang sangat kecil. Rasanya mirip nasi dengan tekstur lebih keras. Seperti makan benyeur yang biasa diberikan sebagai pakan ayam di kampung dulu. Meski agak asing, rasanya lumayan enak. Kuskus itu disajikan dengan wortel, zucchini, dan potongan daging sapi. Aku teringat rendang yang kubawa dalam tas bagasi. Lisa belum tahu aku membawa rendang. Sengaja aku merahasiakannya. Ini kesempatan yang baik untuk membuka bekalku itu. Memang terkesan norak, sih, membawa bekal saat pelesir di Eropa. Namun, peduli amat. Tak ada orang yang kukenal. Lagi pula, aku, kan, hanya mahasiswa berkantong kempes. Paling-paling Lisa akan menertawakanku.
"Ini coba. Aku masak sendiri sebelum ke sini. Pasti nggak kalah enak. Cocok dimakan bareng kuskus. Makan saja. Tidak perlu protes, oke?" Lisa tampak kaget dan bingung. Aku menumpahkan tiga potong rendang ke piring dan Lisa mulai makan.
"Apa ini, Ip? Jadi, ini barang bawaan yang aku kira bom itu? Enak sekali!"
"Makanan ini namanya rendang, Lisa. Makanan khas Indonesia. Asalnya dari Sumatra Barat. Sekali-kali bisa berfungsi menjadi bom lidah."
"Tetapi, tidak mungkin kau memasaknya sendiri. Ini enak sekali. Kau sudah bisa buka restoran kalau bisa memasak seenak ini," kata Lisa tertawa lepas.
"Aku bisa memasak sendiri sejak kecil. Aku terbiasa hidup terpisah dengan orangtua dan belajar mandiri di pesantren. Jadi, hidup sekeras apa pun tidak masalah. Kalau hanya membuat rendang, sih, kecil. Apalagi, bumbu siap pakai dengan mudah bisa dibeli di toko Asia."
"Benarkah? Wah, kapan-kapan aku harus coba membuatnya. Ini benar-benar lezat," kata Lisa sambil menghabiskan rendang di piring.
Si penjual diam-diam memperhatikan kami di sudut ruangan. Dari wajahnya yang khas, aku bisa menduga bahwa ia adalah seorang Arab Maroko.
"Maaf, bisa minta air mineral?" tanyaku kepada si penjual dalam bahasa Arab.
"Ya, tentu saja!" jawab si pelayan dengan ramah. Ia terlihat kaget mendengarku bicara bahasa ibunya. Jika berhadapan dengan penjual asal Timur Tengah, aku kerap menerapkan trik ini. Saat berjalan-jalan di Eropa, terutama ke kota-kota di Prancis, trik ini terbukti berguna. Aku tidak bisa berbahasa Prancis, sementara para penjual kebanyakan tidak paham bahasa Inggris. Gara-gara sepatah dua patah kata bahasa Arab, aku sering mendapatkan bonus roti dan daging dari toko kebab. Rasanya tidak sia-sia belajar di pesantren bertahun-tahun.
Si pelayan berjalan ke arah kami sambil membawa sebotol air mineral. Lisa terlihat kebingungan melihat percakapan barusan. Ini sungguh hari yang aneh. Aku sedang makan rendang Padang di sebuah restoran Maroko di sudut Kota Sevilla bersama seseorang dari Santiago dan dilayani oleh penjual dari Tangier. Tangier adalah kota pelabuhan di Selat Gibraltar yang masuk wilayah Maroko. Mungkin ini adalah contoh sederhana globalisasi.
Setelah dari restoran, aku dan Lisa langsung ke penginapan dan menghabiskan sisa hari dengan beristirahat.
Sepanjang jalan, Lisa tak henti-henti memuji cita rasa rendang yang kubuat. Ia berjanji kepada dirinya untuk belajar memasak rendang dan kelak ingin menunjukkan keahlian itu kepada ibunya di Santiago.
Kami hanya akan menghabiskan dua hari di Sevilla. Jadi tak punya banyak waktu untuk menjelajahi kota ini. Keesokan harinya, pagi-pagi kami sudah bangun dan berjalan menelusuri gang-gang sempit yang diapit pertokoan. Kami hendak menuju Katedral St. Mary yang berada di pusat Kota Sevilla. Konon, tempat itu adalah katedral gotik terbesar di dunia dan merupakan gereja terbesar ketiga di dunia. Selesai dibangun pada abad ke-16, katedral itu sedianya adalah Masjid Agung Kota Sevilla. Setelah kota jatuh ke tangan pasukan Kristen pada 1248, perlahan masjid itu beralih fungsi.
Pada masa awal kejatuhan Sevilla, masjid itu masih difungsikan sebagaimana mestinya. Komunitas Muslim masih banyak yang tinggal di kota ini sampai akhir abad ke-12. Seiring dengan kebijakan inkuisisi, komunitas Muslim semakin hilang.
Pada 1356, terjadi gempa bumi yang meluluhlantakkan Spanyol dan kawasan di sekitarnya, termasuk masjid yang sudah rapuh karena tidak terawat itu. Pada 1401, dimulailah pembuatan katedral yang hingga sekarang berdiri megah. Katedral itu dibangun di atas fondasi masjid. Ketika aku datang, tak terlihat sama sekali sisa-sisa bangunan masjid. Hanya ada gilarda. Gilarda adalah bekas menara masjid yang bertahan dari terjangan gempa dan tidak ikut dihancurkan.
Selain gilarda, aku menemukan kejutan lain di sana. Ketika hendak masuk ke gerbang katedral, pintu tinggi yang terbuat dari besi menarik perhatianku. Pintu besi itu sudah kusam, tetapi masih terlihat kokoh. Dari jauh, aku bisa melihat samar-samar motif bunga-bunga simetris yang biasa dipakai dalam seni kaligrafi Islam. Ketika aku dekati, kaligrafi di pintu itu masih jelas terbaca: Laa Ilaaha lila Allah, Muhammad Rasulullah. Ternyata itu adalah pintu gerbang asli Masjid Agung Sevilla yang dibuat pada abad ke-9. Aku tertegun. Di halaman depan katedral, aku menjumpai pelataran luas yang ditumbuhi pohon jeruk. Aku menduga tempat itu dulunya adalah pelataran masjid. Tiang-tiang dan lengkungan berbentuk mirip kubah juga masih terlihat menyatu dengan tembok pembatas katedral.
Aku tak henti-hentinya bersyukur karena bisa datang ke tempat ini. Aku sibuk menjelaskan kepada Lisa beberapa hal yang kutahu: arti tulisan Arab di gerbang, arsitektur katedral, dan lain-lain. Namun, tujuan utamaku dan Lisa datang ke Katedral St. Mary adalah berziarah. Ya, berziarah. Bukan ke makam wali atau ulama. Memang, banyak ulama yang dulu menjadi tokoh sejarah peradaban manusia yang meninggal di sana. Namun, kuburan mereka tak lagi tersisa. Yang akan aku kunjungi adalah kuburan pahlawan terbesar Spanyol, yang juga salah seorang paling terkenal dalam sejarah. Di katedral yang dulunya masjid inilah dimakamkan jasad penemu Benua Amerika, Christopher Columbus. Kuburannya terletak di dekat pintu masuk sebelah selatan katedral, dihiasi patung empat orang raja yang sedang memikul keranda mayat. Patung itu menyimbolkan empat kerajaan yang ada di Spanyol saat itu, yaitu Aragon, Leon, Navarra, dan Castile yang sama-sama menghormati Columbus.
Ketika mendekati makam Columbus, lagi-lagi aku seperti berada dalam mimpi. Setiap langkahku seakan menembus bentangan waktu dan masa lalu. Aku bagaikan masuk ke dalam lorong waktu dengan cahaya berkilatan. Berkelebat bayangan kapal-kapal dengan layar raksasa yang dikomandoi seorang pemberani menembus lautan hitam hendak menemukan pulau yang bernama Hindia. Kapten kapal itu mendengar cerita bahwa Portugal berhasil menemukan surga rempah-rempah di Timur, di gugusan pulau yang mereka sebut Hindia Timur. Sang Kapten ingin membawa armadanya ke Timur untuk menemukan sumber rempah-rempah, tetapi mereka malah berlayar ke Barat. Dari awalnya sekadar ingin menempuh jalur baru, eksperimen itu berbuah penemuan besar. Setelah pelayaran selama berbulan-bulan, armada mendarat di sebuah benua yang awalnya dikira India. Karenanya, mereka menamakan penduduk lokal sebagai orang Indian. Namun, sesungguhnya itu bukanlah tanah India, melainkan sebuah benua baru: Amerika!
Lisa juga tertegun di dekat makam itu. Tulisan Mausoleo de Cristobal Colon yang terlihat jelas dipasang di sudut bawah nisan membawanya masuk ke lorong waktu.
"Colombus adalah orang yang menyebabkan aku lahir di Santiago. Jika ia tidak menemukan Amerika, nenek moyangku akan beranak pinak di sini," kata Lisa nyaris seperti bergumam.
"Orang inilah yang menjadikan wajah dunia seperti yang kita huni sekarang ini," jawabku. Aku dan Lisa bergantian mengambil foto di depan nisan Columbus. Setelah itu, Lisa meminta seorang pengunjung untuk mengabadikan foto kami berdua di sana.
Ternyata, masih ada kejutan lain menantiku pada hari pertama di Spanyol. Di seberang katedral, terpisah oleh lapangan berubin tegel yang tidak terlalu luas, berdiri sebuah benteng kuno yang telah lapuk, tetapi masih terlihat kokoh. Di balik benteng itu berdiri megah sebuah istana. Aku dan Lisa segera pergi ke sana, ikut mengantre tiket masuk Istana Alcazar seharga 15 Euro.
Alcazar adalah istana megah peninggalan kekhalifahan Islam Dinasti Almohades atau Dinasti Almuwahidun. Berpusat di Maroko, Dinasti Almuwahidun pernah menguasai Sevilla selama lebih dari seratus tahun, sebelum kemudian takluk oleh pasukan Kristen pada 1248. Setelah Sevilla takluk, istana itu secara turun-temurun menjadi tempat tinggal raja-raja Kristen. Kabarnya, Isabella dan Ferdinand menyusun strategi penaklukan Granada di sana.
Kompleks istana yang megah dan luas itu masih berdiri kokoh. Kaligrafi menghiasi setiap sudut bangunan istana, sentuhan gaya arsitektur Afrika Barat begitu terasa. Taman yang luas, indah, dan rindang menghampar di belakang Istana Alcazar. Alcazar juga sering disebut sebagai Alhambra kecil. Salah satu tujuan Khalifah Dinasti Nasrid membangun Alhambra adalah untuk menandingi Istana Alcazar yang sudah jatuh ke tangan pasukan Kristen.
Sambil menelusuri keindahan Istana Alcazar, aku tak henti-hentinya bersyukur. Nikmat apa lagi yang akan kau dustakan, Iip! hatiku berbisik. Subhanallah.
*** Murid ICMI di Albaicin PlGA HARI di Sevilla sama sekali tidak cukup bagiku. Masih banyak sudut kota yang belum sempat kami sambangi. Namun, biarlah, biar rasa penasaran yang belum habis membuatku berusaha kembali ke sini suatu saat nanti. Aku dan Lisa harus bergegas. Saat itu pukul tujuh pagi, sementara bus menuju Granada dari Terminal San Bernardo akan berangkat pukul delapan. Kami hanya punya waktu satu jam untuk bersiap-siap. Untung jarak terminal bus tidak terlalu jauh, cukup ditempuh sepuluh menit naik trem.
Aku dan Lisa segera keluar dari hotel tempat kami menginap, berjalan menelusuri jalan raya ke arah utara menuju tempat pemberhentian trem. Sepanjang jalan, pohon jeruk yang sedang berbuah ranum berbaris rapi. Warna oranye membuat pohon-pohon itu seperti menyala. Sayang, jeruk-jeruk itu tak bisa dimakan karena rasanya kecut pahit. Pohon-pohon jeruk itu ditanam hanya sebagai hiasan.
Kami menunggu trem yang akan datang empat menit lagi.
"Suatu hari, aku harus kembali ke kota ini, Lisa. Harus!"
"Tentu saja, Ip. Masih banyak tempat yang belum kita kunjungi."
"Ya. Tetapi, setidaknya kita sudah berziarah ke kuburan salah satu orang penting dalam sejarah."
"Dan, juga ke salah satu istana paling indah, Alcazar," timpal Lisa.
"Tetapi, kukira Alhambra adalah yang terindah. Kita buktikan saja nanti. Aku sudah tidak sabar ingin segera tiba di Kota Delima, Granada!"
"Tenang. Jika lancar, perjalanan ke Granada hanya butuh waktu 3,5 jam. Tidak terlalu lama. Kita akan sampai pada tengah hari."
Detik demi detik terasa lama. Aku sekali lagi menghirup dalam-dalam udara Kota Sevilla. Pikiranku menerawang jauh ke kampung halamanku. Suatu hari aku akan kembali lagi ke sini bersama istri dan anak-anakku. Mimpi baru sedang kusemai. Ya, semoga jejak yang kutinggalkan di Sevilla dapat kutelusuri kembali kelak.
Trem datang. Karena masih jam kantor, trem terisi penuh sesak. Aku dan Lisa meloncat masuk dengan sigap dan berdiri di dekat pintu. Terminal Pusat Sevilla, San Bernardo, hanya tiga pemberhentian dari halte tempat kami naik. Aku mencoba menikmati detik-detik terakhirku di Sevilla. Aku menghirup napas dalam-dalam, memastikan partikel-partikel atom kota ini menyatu dalam aliran darahku.
Turun dari trem, aku berjalan taklid di belakang Nona Lisa Gomez, menuju bus yang akan membawa kami meninggalkan Sevilla, kota yang oleh orang Arab dulu disebut Isbilia.
Di dalam bus, aku lebih banyak mengantuk dan melamun. Lisa juga sama. Kami tenggelam dalam lamunan masing-masing. Perkebunan zaitun mendominasi pemandangan di luar. Sesekali, aku melihat ternak banteng. Ya, banteng, bukan sapi seperti di Belanda. Itulah alasan negara ini punya tradisi masyhur adu banteng. Sesekali, kujumpai reruntuhan bekas menara pengawas yang dulu dibuat oleh para tentara Muslim. Pohon palem menjulang tinggi, kesepian di antara rerumputan tanah tandus dan pepohonan zaitun.
Di antara bayang-bayang pohon yang berlarian, lamunan masa kecilku bermunculan. Cerita guru mengaji di kampung tentang kejayaan Islam yang berujung tragis membuatku menjalani perjalanan itu dengan hati miris. Namun, sudahlah. Masa lalu tidak perlu terus diratapi. Kejayaan itu kini hampir tak bersisa di tanah Andalusia. Semua karena para pemimpin Islam waktu itu bebal dan dimabuk kejayaan.
Aku masih tak percaya, apakah saat itu aku benar-benar sedang menumpang bus ke Granada ditemani seorang gadis cantik dari Santiago? Jangan-jangan ini hanyalah lamunan?
Deru mesin bus meyakinkanku bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Tiba-tiba, hatiku disergap keharuan. Aku telah mengunjungi puluhan kota di Eropa, tetapi kunjungan ke Al-Andalus inilah yang paling menguras emosi dan perasaan. Aku tidak tahu alasannya. Bisa jadi karena kota ini dekat dengan sejarah Islam yang telah kupelajari sejak kecil.


Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tersentak, sementara Lisa masih tenggelam dalam lamunannya.
"Kau masih ingat K?" Pertanyaanku memecah keheningan.
Lisa sedikit kaget. Aku memutuskan mengajaknya mengobrol agar kami tidak makin larut dalam lamunan. Dari jauh, bukit-bukit batu terjal menyembul di antara rimbun pohon zaitun. Bukit itu terlihat angkuh dengan latar langit biru yang seakan tak berbatas dan gumpalan awan putih.
"Tentu. Temanmu yang diduga terlibat kelompok ekstrem itu, kan? Bagaimana nasibnya sekarang?" tanya Lisa.
"Aku menerima kabar dari kawan lewat Facebook semalam. Polisi akhirnya berhasil menangkap K di Lombok."
"Lombok itu pulau yang dekat dengan Bali?"
"Ya. Kau tahu, ia jadi apa di sana?"
"Guru mengaji?" tebak Lisa.
"Bukan. Ia menyamar jadi dokter gadungan."
"Hmmm ... benar-benar petualangan yang menarik!"
"Sampai sekarang aku tidak habis pikir alasan K mengambil jalur hidup seperti itu. Apa enaknya hidup terus-menerus dalam kejaran polisi?"
"Setiap orang punya garis tangan dan takdir masing-masing," timpal Lisa.
Pengumuman dari pengeras suara bus membuat obrolan kami sejenak terhenti.
"Kita akan tiba di Granada dalam dua puluh menit," Lisa menerjemahkan.
Kini, bus yang kami tumpangi melewati kota kecil. Pemandangan Spanyol umumnya, terutama di kawasan Al-Andalus yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Maroko, adalah gabungan antara lanskap Eropa dan Afrika. Tanahnya sedikit tandus dengan pepohonan keras. Cadas dan tebing batu banyak kulihat selama perjalanan.
Semakin dekat ke Granada, jalanan semakin berkelok. Bukit-bukit batu dan tebing terjal membuat perjalanan semakin menyenangkan.
Sepanjang jalan, aku tertarik memerhatikan papan pe-tunjuk arah. Nama kota-kota yang aku lewati cukup familier.
Bukan cuma karena berbau Arab, melainkan juga karena di kampungku sepak bola Liga Spanyol cukup digandrungi dan disiarkan gratis. Aku mengawasi dan menghitung berapa nama yang namanya pernah kutahu dari nama klub sepak bola. Sekarang bus sedang melewati Kota Santa Fe, kota kecil dekat Granada.
"Ah, hampir Granada!"
Hatiku dag-dig-dug tidak keruan. Terharu. Akhirnya, sampai juga aku di kota impian. Dari dalam bus aku bisa melihat betapa indahnya perbukitan di sekitar Granada. Pantas, dulu kota ini menjadi pusat peradaban dan pusat perebutan kekuasaan. Granada adalah kota yang dibangun di sepanjang Perbukitan Sierra Nevada yang indah. Tanah di Semenanjung Iberia yang begitu memesona. Seperti nirwana di alam dongeng.
Pemondokan White Nest berada di gang sempit bertegel batu. Ada puluhan penginapan di sepanjang Sungai Darro itu. Dari stasiun bus, aku dan Lisa sempat sedikit tersesat ketika mencari pemondokan ini. Namun, saat sedang bertualang, tersesat justru mengasyikkan. Kami menelusuri jalan dan lorong-lorong sempit. Tak ada trotoar luas seperti di Champs-Elysees, Paris, atau di Berlin. Di Granada, jalanan menyempil di antara bangunan-bangunan tua. Pejalan kaki berbagi ruang sempit dengan kendaraan. Jalan dan trotoar luas hanya terdapat di sepanjang Calle Gran Via de Colon dan Plaza de Santa Ana yang melintang sampai Calle Reyes Catolicos. Jalan modern itu menjadi semacam jalan protokol di Granada.
Setelah merasa tersesat, kami kembali ke jalan utama Gran Via de Colon ke arah patung besar di pusat Kota Granada yang menjadi perhatian banyak orang. Patung itu berada persis di simpang lima dikepung oleh hotel, pusat perbelanjaan, dan kampus. Aku dan Lisa memutuskan untuk bersantai sejenak di dekat patung. Patung itu sepertinya begitu penting dan bersejarah. Namun, kami tidak terlalu mengamati patung apa itu. Monumennya terlihat biasa saja. Ada ratusan patung serupa telah kulihat sepanjang keliling Eropa.
"Ke sini sebentar, Ip. Penting," Lisa memanggilku setengah berteriak kegirangan.
Aku berjalan pelan karena tas punggungku mulai terasa berat.
"Cepat, ini penting. Tadi monumen ini kita abaikan. Ternyata, ini adalah monumen untuk memperingati misi Columbus berlayar ke Amerika. Lihat, itu yang sedang duduk adalah Ratu Isabella dan yang membungkuk di hadapannya adalah Columbus atau Colon dalam bahasa Spanyol. Lihat itu." Tangan Lisa menunjuk ke arah patung yang menjulang di hadapan kami. Tulisan dalam monumen itu ditulis dengan aksara Latin yang agak susah dibaca. Dalam bahasa Spanyol pula. Untung ada Lisa yang bisa menerjemahkannya.
"Kemarin, kita telah berziarah ke makamnya di Sevilla," ucapku.
Sebagaimana pernah kuceritakan, Columbus memulai petualangan menemukan Amerika pada 1493, satu tahun setelah Granada jatuh. Isabella melepas rombongan Columbus dari istana megah Alhambra yang baru ditaklukkan. Patung ini dibuat untuk mengenang peristiwa bersejarah itu. Jalan dan bangunan di sekitar patung itu diberi nama sesuai nama kedua tokoh tersebut: Calle Grand Via de Colon dan Plaza de Isabella la Catolica.
Setelah puas melihat monumen, kami memutuskan kembali mencari penginapan. Kami hendak menyimpan tas sebelum kembali menjelajah kota. Kami memutuskan untuk menunda petualangan ke Alhambra karena hari sudah sore. Sambil melihat peta sekali lagi, Lisa bertanya kepada seseorang di dekat Caja Granada untuk menanyakan arah menuju penginapan. Ternyata, rute normal menuju ke penginapan White Nest sebenarnya mudah. Dari Caja Granada, kami cukup mengikuti Calle Reyes Catolicos sampai Plaza de Santa Ana, lalu berjalan terus sampai bertemu jalan menyempit dan berbatu. Hamparan batu hitam itu dikenal sebagai Carrera del Darro.
Aku semringah. Dengan jelas, aku bisa melihat Alhambra berdiri kokoh di bukit seberang jalan. Carrera del Darro persis berada di bawah benteng dan istana impianku, Alhambra. Di antaranya membentang aliran Sungai Darro. Konon, Alhambra sengaja dibangun di perbukitan yang dikelilingi Sungai Darro karena alasan keamanan.
Kami akhirnya menemukan tempat pemondokan yang kami cari, yaitu pemondokan sederhana dengan interior bermotif kaligrafi Arab Kufi bernuansa Moor Abad Pertengahan. Air mancur kecil menyambut para tamu di ruang tengah dekat lobi. Aku mendapatkan kamar di Lantai 2 di ruang barak mirip asrama berisi sekitar tujuh ranjang berderet. Pada pemondokan backpacker yang biasa disebut hostel itu, laki-laki dan perempuan berbagi kamar, tetapi tidur di ranjang terpisah. Dari jendela yang terbuka Istana Alhambra terlihat jelas. Bendera Spanyol berkibar perkasa di atas Benteng Alcazaba, Istana Alhambra.
"Ah, Granada. Di istana itu, Boabdil yang malang mengumpulkan kesatria Muslim yang tersisa untuk merumuskan strategi terakhir mempertahankan Granada. Di sana juga ia menerima utusan Isabella yang menawarkan suaka jika mau menyerah dan pergi dari Granada," aku berbisik kepada diri sendiri. Aku membayangkan enam atau tujuh ratus tahun silam kota kosmopolitan itu tengah dirundung huru-hara setelah berminggu-minggu dikepung para kesatria Kristen di bawah komando Ferdinand dan Isabella.
Lisa sedang sibuk merapikan pakaian ke loker baju di ujung ruangan. "Lekas kau rapikan bajumu, Ip. Kita kembali ke pusat kota. Tak ada banyak waktu. Besok seharian kita akan menghabiskan waktu di Alhambra"
"Bueno, Senora," Aku segera membereskan bawaanku. Sembarang saja, yang penting masuk loker.
Setelah beres, kami keluar hotel, berjalan menelusuri kembali Carrera del Darro. Aku sibuk mengambil gambar dengan kamera. Tujuan kami sekarang adalah Katedral Granada di pusat kota.
"Kau pernah bilang, nenek moyangmu berasal dari kota ini," kataku setengah bertanya.
"Aku tidak tahu pasti. Itu beratus tahun silam. Ibuku memiliki garis keturunan Granada, tetapi entah di mana. Pastinya, tidak ada lagi jejak keluarga kami di sini. Namun, setidaknya aku senang bisa menginjak tanah asal nenek moyangku." Lisa tersenyum.
Aku tahu Lisa berjalan dengan penuh ketakziman. Benaknya mungkin dipenuhi aneka duga-reka tentang sejarah nenek moyangnya dahulu.
Setelah melewati Caja Granada dan Calle de Zacatin, aku melihat bangunan berarsitektur gotik dengan salib besar. Itu adalah Katedral Granada. Dulu, katedral itu adalah Masjid Agung Granada yang megah. Kami berbelok ke Calle Oficios menuju katedral. Aku sebenarnya sudah tak tertarik lagi dengan katedral yang arsitekturnya selalu sama di mana pun di Eropa. Namun, tak ada salahnya hanya melihat yang satu ini. Katedral itu luar biasa besar.
Tak jauh dari katedral, berdiri Madraza de Granada dan sebuah pusat perbelanjaan yang disebut Alcaiceria. Konon, kompleks bangunan itu dibuat oleh Sultan Granada saat itu, Khalifah Yusuf I, pada 1349. Ia sengaja membangun kompleks masjid agung, madrasah atau universitas, dan bazar yang berdekatan.
Bangunan madrasah berlantai dua itu berdinding batu hitam dan pualam putih dengan jendela berteralis besi. Syahdan, di depan katedral bekas masjid dan Madraza de Granada dulunya ada sebuah kolam pemandian umum sekaligus tempat berwudu yang sangat bagus dan rapi. Kolam pemandian umum adalah khas lanskap Kota Granada dan kota-kota dinasti Islam pada saat itu. Semua kolam itu dihancurkan pada masa reconquesta setelah Granada jatuh pada 1492. Pada saat itu, semua yang berbau Islam dihancurkan. Jimenez de Cisneros, Kardinal Granada yang terkenal kejam, memimpin langsung penghancuran kolam-kolam di seantero Granada. Sayang, aku tidak sempat masuk ke Madraza karena ketika itu sedang direnovasi. Madraza dan beberapa bangunan di sekitar itu kini menjadi milik Universitas Granada.
"Kita tidak perlu masuk katedral," ujar Lisa. Aku sepakat. Dari segi arsitektur, tak ada bedanya dengan katedral lain di Eropa. Kami memilih kembali ke jalan utama, berbelok ke kiri menelusuri Gran Via. Lisa sibuk melihat peta yang dipegangnya.
"Ayo, kita ke Camino de San Nicolas di Albaicin," ajak Lisa.
"Buene, Sehora," jawabku dalam bahasa Spanyol meski pengucapannya keliru.
Albaicin adalah kota tua di Granada, persis di seberang Istana Alhambra. Keduanya dipisahkan oleh Sungai Darro. Dari penginapanku sebenarnya lebih dekat, tinggal menelusuri gang sempit bertegel batu ke arah belakang pemondokan. Di Albaicin, rumah dibangun di perbukitan. Jalan sempit yang kami lalui berkelok dan menanjak, diapit rumah-rumah bercat putih dengan jendela merah berteralis besi. Sesekali kutemui rimbun pohon jeruk dan palem yang menyempil di antara rumah-rumah. Angin senja yang berembus pelan membawa kesegaran angin Pegunungan Sierra Nevada.
Kami akhirnya tiba di Mirador de San Nicolas. Di Granada tempat itu sangat terkenal. Mirador de San Nicolas adalah tempat lapang di atas bukit di antara perumahan warga Albaicin. Tak jauh dari Mirador, berdiri megah Iglesia del Salvador, bangunan bekas Masjid Albaicin yang dulu dibangun pada masa Dinasti Almuwahidun. Masjid itu berubah jadi gereja pada 1527. Mirador de San Nicolas terkenal karena dari sanalah keindahan Granada terlihat jelas. Persis di seberang bukit sana Istana Alhambra berdiri dengan gagah perkasa. Dindingnya memerah disinari lembayung senja. Bangunan serbaputih dan Kota Granada terhampar dipeluk kemegahan Alhambra.
Malam hampir tiba, lampu-lampu kota sudah mulai menyala. Lampu sorot di perbukitan yang mulai bersinar menyala menerangi istana. Aku terpukau melihat pemandangan itu dari kejauhan. Lisa hanya termangu di bawah salib raksasa yang tak jauh dari tempatku berdiri. Ketika aku menatapnya, ia hanya tersenyum. Masing-masing kami sibuk menikmati keindahan.
Tiba-tiba, suara dari alam mimpi menyergapku. Aku mendengar sayup-sayup suara azan. Aku tidak percaya. Ini 2011, bukan 1349. Aku pasang telingaku baik-baik sekali lagi. Ya. Aku yakin itu azan. Sangat sayup dan merdu. Ah, rasanya seperti mimpi.
Kakiku beranjak mencari sumber suara. Aku berjalan seperti zombie, gentayangan setengah bermimpi. Tak jauh dari Mirador de San Nicolas, aku melihat menara yang sedikit berbeda dari bangunan lain. Antara menara itu dan Mirador de San Nicolas hanya terhalang sebuah bangunan dan jalan kecil. Aku menyelinap masuk dan melihat sebuah bangunan yang dirimbuni pepohonan. Di depannya memancar air mancur kecil. Aku berputar mencari pintu masuk. Tertegun dan setengah tidak percaya melihat tulisan "Centro Islamico" terpahat di marmer kecokelatan berukuran sedang. Plakat itu terpasang di atas pintu yang tertutup. Sesaat aku kecewa. Kemudian, aku melihat anak panah petunjuk arah dengan tulisan lain, "La Mezquita Mayor de Granada". Itu Masjid Agung Granada yang kucari. Setelah melewati gang sempit yang menanjak dengan undakan anak tangga, akhirnya aku sampai ke gerbang masjid. Masjid agung itu sangat sederhana. Hanya seperti rumah biasa yang diberi menara.
Saat itu, telah tiba waktu shalat Magrib. Aku masuk untuk menunaikan shalat. Seusai shalat, aku mengobrol dengan seorang lelaki setengah baya berjanggut tebal yang tengah duduk di dekat perpustakaan masjid. Nama lelaki itu Ricardo Shalah, pengurus masjid sekaligus pengurus Centro Islamico. Ia lahir dan besar di Madrid meski keluarganya dari Malaga. Telah lebih dari dua puluh tahun ia memeluk Islam.
"Anda berasal dari Indonesia?" tanya Ricardo dengan nada terkejut ketika aku memperkenalkan diri. Ia terlihat sangat antusias. Matanya penuh cahaya kebahagiaan.
"Betul, Ustaz." Sengaja aku memanggilnya ustaz sebagai bentuk penghormatan. Ricardo bisa bicara sedikit bahasa Arab. "Saya pernah dua kali ke Indonesia," katanya sambil tersenyum. Kini, giliran aku yang terkejut.
"Ke Indonesia? Sungguh?"
"Ya, beberapa belas tahun lalu. Saya berkunjung ke negara Anda atas undangan ICMI. Anda tahu Adi Sasono, bukan?"
Braaak! Aku seperti terjatuh dari Menara Alcazaba ke dasar Sungai Darro. Kaget bukan kepalang.
"Saat itu masih zaman Presiden Soeharto. Saya menjalani training selama satu minggu di Bogor. Tiga tahun kemudian, ICMI mengundang saya kembali. Bagi saya perjalanan ke Indonesia sungguh luar biasa penuh kesan mendalam. Saya juga berkunjung ke Borobudur. Negara Anda luar biasa. Indonesia adalah contoh negara tempat agama dan perbedaan menjadi rahmat."
Aku hanya tertegun. Sekali lagi tidak percaya. Bertemu dengan seorang imam di kota tua Granada dan imam itu pernah beberapa kali ke Indonesia. Sebuah kebetulan yang mengagetkan.
Ricardo masuk ke ruangannya, lalu kembali membawa plakat kenang-kenangan dan foto yang sudah sedikit kusam. Plakat khas Indonesia dengan tulisan ICMI hitam di atas fiber kaca bening dan foto Ricardo bersama kawan-kawannya sesama peserta pelatihan di pelataran Candi Borobudur membuat hatiku tiba-tiba mengharu biru. Perasaan aneh kembali menggulungku. Betapa kecilnya dunia. Jauh-jauh melanglang ke Albaicin, bertemu Ricardo Shalah, seorang muslim Spanyol yang pernah ke Indonesia.
Dari Ricardo pula aku jadi tahu sejarah Masjid Agung Granada. Konon, keinginan para penganut Islam di Granada yang sebagian besar penduduk asli Albaicin itu untuk membuat masjid sendiri telah disampaikan kepada pemerintah kota sejak tahun 1970-an, tetapi selalu kandas. Proposal itu baru dikabulkan pada 2003. Menurut Ricardo, Pemerintah Arab Saudi dan Maroko secara langsung meminta Pemerintah Spanyol mengizinkan warga Muslim Granada memiliki masjid sendiri. Masjid itu adalah masjid pertama di Granada pasca-reconquesta! Bayangkan, butuh waktu 520 tahun bagi warga Granada untuk kembali memiliki masjid.
Setelah berbincang cukup lama, aku berpamitan. Ricardo menahanku agar tidak pergi. Aku bilang kepadanya bahwa aku ditunggu seorang kawan.
"Mari kita makan malam bersama di restoran depan. Setelah itu, kalian berdua bisa melanjutkan perjalanan," dengan ramah Ricardo menawarkan diri untuk mentraktirku dan Lisa makan di restoran Estrellas de San Nicolas yang berada persis persis di seberang Masjid Agung Granada. Aku memperkenalkan Ricardo kepada Lisa. Ia tak kalah kaget ketika kuceritakan bahwa Ricardo pernah ke Indonesia.
Kami menghabiskan sisa malam di restoran itu. Kami berbicara sangat akrab seolah karib yang lama tak berjumpa. Ricardo berpenampilan necis, melepaskan peci putih yang tadi dipakainya. Malam sudah datang sempurna. Bintang berhamburan di langit Granada. Di seberang sana, Istana Alhambra menyala dalam terang. Lampu-lampu kota terhampar di hadapan kami. Ini sungguh bagaikan mimpi. Aku memandang langit dan mencari penampakan bintang layang-layang. Ah, itu, di sana bintang itu. Crux atau Bintang Layang-Layang.
Sambil bersandar pada sofa, aku memandang jauh ke angkasa, pada bintang-bintang itu. Lisa dan Ricardo Shalah tengah berbincang serius dalam bahasa Spanyol sambil sesekali tertawa lepas. Mereka terlihat begitu akrab. Ricardo malam itu menjelma menjadi Don Ricardo yang parlente, jauh dari gambaran ustaz yang tadi kujumpai di masjid. Mereka meminta maaf kepadaku karena terlalu asyik berbicara dalam Spanyol sambil sesekali menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar aku tidak merasa sendirian.
Aku tersenyum sambil membisikkan mimipi-mimpi baruku kepada bintang itu: Izinkan aku kembali ke Granada suatu saat nanti, bersama orang-orang yang kukasihi.
Dalam hati aku mengucap syukur. Nikmat Tuhan apa lagi yang kau dustakan?
*** Misteri Keluarga Lisa LISA, MAMA sudah lama ingin memberitahukan ini kepadamu. Tetapi, Mama merasa belum saatnya. Sekarang, ketika Mama tahu kau sedang berada di tanah leluhurmu, Mama ingin memberikan ini kepadamu. Ini waktu yang tepat. Dulu kakekmu, Pablo, yang memberikan ini kepadaku. Ini asal usul keluarga kita yang harus kau tahu.
Isabela Gomez, Mamamu yang selalu merindukanmu
Di Santiago pada abad ke-17, hiduplah dua kelompok kripto-Yahudi. Kelompok ini hidup dalam rahasia: sehari-hari mereka adalah Kristen yang taat. Namun, mereka adalah Yahudi seutuhnya. Mereka disebut Marrano: pengikut Yesus yang juga seorang Yahudi taat dalam diam-diam. Kelompok itu di Santiago didirikan oleh Simon Vaez dari Sevilla, pelarian Yahudi dari Spanyol yang masuk ke Cile lewat jalur bisnis dari Prancis.
Kelompok lain didirikan oleh seorang wanita bernama Leonor Nunez dari Granada. Leonor Nunez adalah leluhur keluarga kita, keluarga Gomez.
Leonor Nunez lahir di Madrid meski kemudian tumbuh dan besar di Granada. Ayahnya adalah keturunan kesatria Kristen sejati, sementara ibunya adalah Yahudi yang terpaksa harus menjadi seorang kristiani karena inkuisisi. Meski ayahnya berasal dari keluarga Kristen terhormat, ibunya tetap saja dihukum oleh Lembaga Inkuisisi di Granada pada 1634.
Leonor Nunez menikah dua kali. Tidak diketahui siapa suami-suaminya tersebut. Dalam tradisi Yahudi, jalur ibu lebih utama sehingga leluhur jalur ayah sering terlupakan . Dari kedua suaminya, Nunez memiliki empat anak: Farnasico Lopez Blandon, Maria Gomez, Isabela Gomez, dan Ana Gomez.
Ketika keluarga dari suami pertamanya ditangkap oleh Inkuisisi di Toledo (setelah bercerai, suami pertamanya pindah ke Toledo) pada 1603, Leonor Nunez beserta keluar-ganya yang lain juga anak-anaknya, segera pergi ke Prancis. Leonor dan suaminya adalah pengusaha sukses sehingga bisa dengan mudah menyogok para petugas kerajaan. Namun, mereka tahu jika terus di Granada, mereka tak akan selamat meski sudah menjadi Kristen sejati. Darah Yahudi di tubuh mereka bisa diendus para algojo inkuisisi.
Berkat pertolongan keluarga ayahnya yang memang seorang Kristen sejati, Leonor dan keluarganya berhasil berlayar ke Meksiko. Setelah itu, mereka pindah ke beberapa kota sebelum akhirnya menetap di Santiago. Namun, ternyata inkuisisi juga mewabah ke seluruh tanah yang di-kuasai Spanyol.
Nunez ditangkap oleh para algojo inkuisisi pada 1634. Tuduhannya: menjalankan praktik Yahudi diam-diam. Mereka Marrano! Harus dihukum karena berkhianat pada gereja. Semua keluarganya dihukum mati: dibakar dan dikubur hidup-hidup.
Akan tetapi, dua orang putrinya selamat karena berani bersaksi di depan gereja dan bertobat. Selama bertahun-tahun mereka terus diawasi oleh inkuisis di Santiago untuk memastikan mereka menjadi Kristen sejati.
Aku namakan anakku dan cucuku seperti nama leluhur mereka. Bukan agar mereka menjadi Yahudi sejati. Bukan. Hanya agar mereka tahu siapa nenek moyangnya.
Sekarang, dunia sudah berubah dan siapa pun bisa memeluk keyakinannya. Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Kita mungkin berasal dari keluarga Marrano. Namun, darah kita sudah bercampur baur dan menyatu dengan sakramen dan ekaristi.
Tablo. *** Alhambra INILAH SI jelita Alhambra. Bangunan itu telah beratus tahun diliputi oleh misteri dan takhayul. Banyak penduduk Granada yang yakin istana itu dibuat oleh sihir para jin karena manusia biasa tidak mungkin bisa membuat bangunan seindah itu. Banyak juga yang yakin istana itu dijaga roh jahat. Ketika Kardinal Jimenez memimpin penghancuran segala hal yang berbau Islam di Granada, Alhambra tetap kokoh berdiri. Istana itu hampir tak tersentuh. Padahal, ratusan ribu buku, perpustakaan, madrasah, dan masjid hancur lebur nyaris tak bersisa. Semua rata dengan tanah, lenyap dari ruang sejarah. Menurut legenda, Alhambra tak tersentuh lantaran dijaga oleh roh halus dan pasukan jin bangsa Moor.
Tentu itu bualan belaka. Alhambra tidak dihancurkan. Hati paling durjana sekalipun takkan rela membiarkan keindahan istana itu rusak. Raja Charles V, pemimpin Imperium Kristen Romawi waktu itu, memerintahkan untuk membuat istana yang dapat menyaingi kemegahan dan keindahan Al-hambra. Pedro Machua memulai pembangunan istana yang sekarang disebut Istana Charles V di dalam kompleks Istana Alhambra, persis dekat Istana Nasrid. Upaya itu berujung sia-sia. Arsitektur Istana Charles V tidak ada apa-apanya jika dibanding kompleks Istana Alhambra yang lain. Istana itu meniru model Colosseum di Roma dengan ruang bundar yang luas dikelilingi tiang-tiang penyangga. Tiang-tiang besar dan ukiran-ukiran patung binatang dan para santo mendominasi seluruh bangunan. Menurutku, Istana Charles itu tak lebih dari gambar keagungan dan keangkuhan yang rigid.
Sementara itu, arsitektur Istana Alhambra tidak hanya jelita, tetapi juga genius, elegan, dan agung. Istana itu dibuat kali pertama oleh Muhammad Ibn Ahmar Ibn Nasri atau Muhammad I, penguasa pertama Granada, dengan bantuan ilmu pengetahuan paling maju pada masanya. Bangunan itu berada di Bukit La Sabica yang tinggi dan dikelilingi Sungai Darro. Jika dilihat dari Albaicin, istana itu berlatar rangkaian pegunungan bersalju, Sierra Nevada.
Di dalam istana ada beberapa pemandian umum atau hammam dan kolam pribadi raja. Air mancur di taman istana juga memancarkan air bening yang penuh kesegaran. Dari mana air itu datang? Istana ini berada di puncak bukit. Aku tercengang ketika tahu bahwa air diambil dari Sungai Darro di bawah istana dengan teknologi pengairan yang canggih.
Dari pemandu wisata aku mendapat informasi bahwa kompleks Istana Alhambra terdiri atas tiga kumpulan bangunan utama. Benteng perkasa yang kulihat dari penginapan adalah kompleks benteng istana yang disebut Alcazaba. Yang paling penting dari kompleks Istana Alhambra adalah Palacios Nazaries atau Istana Raja Dinasti Narsid yang dibangun secara bertahap sejak istana itu kali pertama didirikan oleh Muhammad I pada 1232. Di ujung kompleks istana, taman besar di atas bukit yang rimbun dan hijau mengingatkanku pada gambaran surga sebagaimana digambarkan Al-Quran. Taman yang benar-benar indah, rapi, dan penuh makna. Air mengalir di antara rimbun pepohonan dan bangunan agung berukir kaligrafi Arab Kufi.
Aku berdiri di puncak Benteng Alcazaba. Matahari pagi masih terasa hangat. Bangunan benteng berbentuk setengah lingkaran itu ternyata cukup besar dan menjulang tinggi. Dari bentuknya, aku bisa merasakan bangunan itu adalah benteng pertahanan. Dibangun persis di atas tebing, dari sini aku bisa menyaksikan pemandangan luas tanpa batas ke arah Granada, tempat bangunan serbaputih di kompleks Albaicin tampak semakin jelita dihiasi rimbun pepohonan cemara.
"Kau lihat bukit di seberang sana?" Lisa menunjuk ke arah Bukit Martyrs.
"Di sanalah Abu Abdillah, Muhammad XII, yang dijuluki 'Boabdil yang Sial' menyerahkan kunci Alhambra, istana terakhir kerajaan Muslim di Semenanjung Iberia. Ia menyelinap pergi pada malam hari ditemani ibu dan para pengawal. Boabdil meminta ratu dan raja penguasa Spanyol saat itu untuk melindungi penduduk Granada sebagai syarat penaklukan. Ratu Isabella dan Raja Ferdinand setuju, tetapi janji itu tidak pernah ditepati," ujarku sambil menerawang jauh membayangkan masa-masa sulit setelah reconquesta.
"Sejak awal, para penguasa Muslim dari Dinasti Nasrid membangun kekuasaan mereka di atas fondasi rapuh yang bisa runtuh kapan saja. Dinasti itu berdiri semata-mata karena belas kasihan para raja Kristen. Setelah terkepung dimana-mana, pasukan Granada yang dipimpin oleh Ibnu Ahmar Muhammad I dipaksa berkoalisi dengan Ferdinand III untuk berperang menaklukkan kesultanan Islam di Sevilla. Menurut cerita, ia meninggalkan Sevilla dengan bercucuran air mata penuh dilema. Granada merdeka sebagai imbalan jasa karena telah menghancurkan kawannya sendiri, Sevilla. Betapa cerdik Ferdinand III saat itu. Ia tidak perlu keluar keringat untuk menghancurkan Sevilla. Cukup biarkan para penguasa Muslim saling membunuh. Sejak saat itu, Granada berdiri karena uang tebusan pada raja-raja Kristen. Satu per satu semua kota jatuh ke tangan Ferdinand. Kekuasaan Kristen semakin solid setelah dua penguasa Kristen yang sebelumnya bermusuhan menyatu. Isabella dari Castile dan Ferdinand dari Aragon menikah. Mereka semakin tak tertandingi." Lisa melirik dengan ujung matanya. Matanya memandang jauh.
"Cerita penaklukan adalah juga cerita pengkhianatan, Ip," ia berkomentar singkat.
"Kau tahu kenapa akhirnya Ferdinand dan Isabella memutuskan mengambil Granada?" tanyaku. "Padahal, mereka bisa mengambilnya kapan saja. Granada terkucil selama seratus tahun setelah dikepung daerah kekuasaan Kristen."
"Aku tidak tahu," jawab Lisa.
"Ini ibarat permainan catur. Pada 1453 daerah kekuasaan Romawi terakhir yang berada di Konstantinopel, Turki, jatuh ke tangan penguasa muslim Dinasti Usmaniyah. Jatuhnya Konstantinopel adalah pukulan paling menyakitkan bagi dunia Kristen saat itu. Gereja-gereja di Jerman, Prancis, dan Spanyol membunyikan lonceng setiap pagi memperingati jatuhnya Konstantinopel. Kondisi politik internasional memanas. Kristen Barat semakin ketakutan jika kelak Konstantinopel di bawah Usmaniyah memperluas wilayah kekuasaan hingga ke Barat dan menghabisi satu per satu dunia Kristen."
"Karena itu, sisa-sisa kekuasaan Muslim di Barat harus dihabisi?" sergah Lisa.
"Kurang lebih begitu."
Setelah puas berkeliling dan menikmati pemandangan luar biasa dari menara Benteng Alcazaba, kami kembali ke halaman depan istana melewati bangunan Istana Raja Charles V. Kini, saatnya memasuki Istana Nasrid yang terkenal itu.
Sekilas tak ada yang istimewa. Jalan masuk ke Istana Nasrid adalah gang sempit di antara Istana Charles V yang kokoh, tetapi kaku dengan bangunan tinggi berwana cokelat tanah. Gerbang berbentuk kubah dengan kaligrafi dari pahatan batu menyambutku. Aku tidak bisa menggambarkan keindahan ruangan-ruangan di dalam Istana Alhambra. Tidak mungkin. Hanya rasa takjub yang terus bertahan, bahkan setelah aku meninggalkan istana itu. Sejak masuk ruangan pertama yang disebut Mexuar sampai di ujung ruang istana yang disebut Mirador de Lindaraja, mataku tak berkedip menyaksikan indahnya interior Istana. Langit-langit dipenuhi ukiran pualam berbentuk simetris dan kaligrafi. Semuanya subtil dan terangkai dengan kerumitan yang menjelma keindahan. Tak ada patung atau gambar seperti yang kutemukan di gereja.
Konon, sepuluh ribu puisi dan ayat suci terpahat di dinding dan langit-langit istana. Warna emas dan cokelat tua membuat pahatan-pahatan itu terlihat hangat dan ceria ketika sinar matahari menerobos masuk dari sela-sela jendela. Ibnu Zambrak adalah penyair kerajaan yang paling banyak menuliskan puisi pujian bagi para sultan. Simbol Kerajaan Alhambra, yakni tulisan Laa Ghaliba lila Allah terpahat di mana-mana. Bangunan itu bagiku adalah puisi dalam arti sebenarnya. Alhambra adalah puisi yang diabadikan dalam arsitektur. Begitu menawan dan mengagumkan.
Kemudian, kami memasuki ruang utama istana dengan kolam yang simetris di tengah, dipagari pepohonan yang berbaris rapi. Air di kolam itu tenang tanpa riak meski di ujungnya, air mancur kecil terus menggerakkan air. Itulah Comares Palace, ruangan yang dulu oleh para sultan dipakai untuk menjamu para utusan tamu asing dan duta besar. Ruangan itu diapit oleh tiang-tiang pualam tinggi. Kolam itu dikelilingi ruangan besar berbentuk kotak dengan ukiran kaligrafi dari batu alam dan jendela-jendela yang membiaskan cahaya matahari. Ruangan-ruangan yang disebut Patio itu dulu dipakai sebagai mushala, ruang pertemuan, dan ruang istirahat sang sultan.
"Konon, di suatu tempat yang tersembunyi, tersimpan harta karun yang tak terkira jumlahnya, peninggalan para sultan yang mengira suatu saat mereka bisa kembali. Tetapi, sebagian penduduk Granada yakin bahwa harta karun itu dijaga para jin pengawal sultan yang masih bertahan di sini." Lisa mengagetkanku dengan ucapannya ketika kami bersandar pada tiang pualam di pinggir kolam. Setelah berkeliling cukup lama, kami merasa lelah. Namun, tak tersedia bangku untuk beristirahat. Semua pengunjung disuruh terus berjalan perlahan sampai ujung istana. Padahal, antrean masuk istana ini sangat panjang dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam.
"Juga ada ruang yang sampai sekarang tidak boleh dibuka atas permintaan Boabdil. Ruang itu adalah ruang terakhir Boabdil melakukan shalat dan keluar dari istana menuju kaki Bukit Martyrs sebelum bertemu Isabella dan Ferdinand," timpalku.
"Sebagian sejarah, sebagian takhayul," Lisa menjawab.
"Tentu saja. Selalu begitu. Itulah yang dinamakan legenda, Lisa."
"Istana ini seperti bidadari yang kesepian ditinggal pemiliknya. Indah, tetapi murung. Penuh misteri," lanjutku.
"Betul, Ip, istana ini penuh misteri. Tadi pemandu bilang bahwa ruang yang akan kita masuki setelah ini adalah Court of Lion dan Ruang Abencerrajes. Menurutnya, kedua ruangan itu penuh cerita aneh."
Kami berjalan ke sana. Ruang itu memiliki jalinan kaligrafi pualam yang terindah di seluruh istana. Patung dua belas singa yang memancarkan air dari mulut berada di tengah-tengah aula terbuka menampilkan pesona langit biru di atasnya berpadu dengan bayang-bayang pohon cemara. Aula itu dikelilingi tiang-tiang kubah berhias kaligrafi. Saluran air dari empat penjuru bertemu persis di tengah.
Ruang Abencerrajes menempel pada Aula Singa. Itulah ruang yang penuh misteri. Ruang itu diberi nama Abencerrajes merujuk pada tragedi pembantaian keluarga Ibnu Sarraj oleh Sultan Boabdil. Saat itu, Granada sudah memasuki masa genting. Persaingan politik memanas melibatkan dua kekuatan kesatria Granada, yakni keluarga Yusuf Ibnu Sarraj (lantas menjadi Abencerrajes dalam bahasa Spanyol) yang berusaha memberontak dan pihak kesultanan sendiri. Konon, Ibnu Sarraj memberontak karena muak dengan sifat lembek dan korup kerajaan di tengah situasi genting Granada yang dikepung pasukan Aragon dan Castile. Pemberontakan itu akhirnya bisa berhenti dan Abu Abdullah mengundang Abu Sarraj dan pengikutnya ke istana untuk menyelesaikan konflik secara baik-baik. Juga, untuk sebuah perjamuan. Namun, culas, Sultan Boabdil membantai Ibnu Sarraj dan semua pengawalnya. Darah mengalir memenuhi saluran air di tengah ruangan, berceceran hingga ke dinding kamar. Aku melihat bercak merah itu masih tersisa. Entah benar-benar bercak merah bekas pembantaian Ibnu Sarraj atau sengaja dibuat untuk mendukung takhayul. Legenda lokal menyebutkan bahwa pada malam hari, arwah Ibnu Sarraj dan para pengawalnya bergentayangan.
Matahari sudah bergerak ke arah barat. Sinarnya semburat di antara ukiran kaligrafi yang menghias jendela istana. Aku dan Lisa telah keluar dari istana dan duduk santai di bangku kayu di dekat Partai. Partai adalah taman indah di belakang istana dengan empat kolam besar yang airnya tenang kebiruan. "Aku masih tak percaya akhirnya kita bisa sampai di istana ini, Lisa."
"Aku juga tak menduga kita akan sampai ke sini."
"Dan, beberapa minggu lagi kau harus kembali ke Melbourne. Kapan penerbanganmu?"
"Aku lupa, tetapi awal bulan depan. Dan, kau akan langsung ke Indonesia, Ip?"
"Betul. Aku sudah berkorespondensi dengan Prof. Gupta. Aku akan menyerahkan tesisku dari Indonesia. Jadi, aku tidak perlu kembali ke Melbourne."
"Santiago de Compostela tidak bisa kita kunjungi. Lain kali saja. Biarkan sebagian kota ini menjadi misteri buat kita," ujar Lisa. Wajahnya terlihat sedih karena harus meninggalkan Spanyol tanpa sempat berkunjung ke Santiago.
"Uangku sudah habis karena terlalu sering jalan-jalan," sahutku.
"Bukankah pengalaman tidak bisa dibayar oleh uang, Ip? Kau bisa cari uang dengan mudah kelak. Namun, kesempatan mungkin tidak akan datang dua kali. Semua keindahan yang kita saksikan ini sungguh tak terbayar dengan uang. Aku berkesempatan berkunjung ke tanah leluhurku, sementara kau bisa menyaksikan sisa-sisa kejayaan Islam. Semua ini pengalaman tak ternilai."
Aku menarik napas dalam. Menikmati sisa sore di istana terindah di dunia. "Besok kita mendaki Bukit Sacromonte di Albaicin, lalu kembali ke Eindhoven. Bukan begitu, Nona Lisa?"
"Semoga suatu saat kita bisa kembali ke istana yang indah ini, ya, Ip!"
"Tentu saja. Amin."
*** Ruang Kaca AKU MENGEREM mendadak. Aku tahu, tempat yang kutuju hampir terlewati. Lama sudah aku tak menginjakkan kaki di daerah itu, banyak hal yang telah berubah. Namun, aku tak akan pernah lupa. Bau tanah yang benar-benar kuhafal. Juga, plang penunjuk arah Sekolah Dasar Karangtawang yang mulai kusam. Aku memarkir mobil di pinggir jalan.
Karena jalan masuk cukup jauh, aku menggendong Amartya yang meronta ingin berjalan sendiri. Maklum, ia baru benar-benar bisa berjalan tegap beberapa minggu terakhir. Setibaku di Indonesia, aku tak bisa terpisah darinya. Ke mana pun aku membawanya. Kami hanya pergi berdua. Istriku tidak bisa ikut karena sedang tidak enak badan. Ia menunggu di rumah orangtuaku di Bojong. Aku pamit keluar hanya sebentar untuk melihat-lihat kondisi sekolah masa kecilku.
Aku menggendong Amartya melewati lapangan bertegel semen. Tiang bendera masih berdiri tegak di sana. Di ujung, bangunan bercat putih dengan kosen biru menanti. Aku melangkah pelan seperti tengah memasuki kembali lorong waktu. Aku merasa melihat anak-anak kecil berseragam putih merah berlarian dan saling mengejar. Beberapa mengunyah permen dan minum es. Telingaku seakan mendengar suara riuh rendah anak-anak yang sibuk bermain menghabiskan waktu istirahat.
Aku memperhatikan, di dekat bangunan yang kutuju tak ada lagi pagar bambu seperti dulu. Pohon bunga sepatu yang rusak diinjak siswa juga tak lagi ada. Kini, pagar besi bercat hitam terlihat kokoh menjaga kelas-kelas.
Kompleks sekolah itu dahulu adalah bangunan tempat sekolahku semasa tsanawiyah. Sekolahnya menumpang pada bangunan SD Karangtawang karena pihak yayasan sekolah tidak mempunyai bangunan sendiri.
Tempat ini terlihat sepi. Tentu saja karena ini Minggu. Aku melongok ke dalam kelas lewat kaca jendela. Dulunya ini adalah ruangan kelas satu, kenangku dalam hati. Aku menjelma menjadi pemandu bagi diriku sendiri. Untung saja Amartya tidak rewel karena asyik mengemut gula-gula.
Aku melongok ke dalam ruang kelas. Kursi-kursi kosong berbaris rapi dan teratur. Kursi itu sekarang terlihat sangat kecil dari kacamataku sebagai orang dewasa. Aku menatap ke papan tulis hitam di depan kelas. Berkelebat bayangan guru-guru yang bersetia mengajar di depan kelas, juga sosok anak kecil yang harus menaiki bangku untuk menulis di papan tulis itu. Aku.
Aku tersenyum. Haru. Ini dulu ruang kelas dua yang jadi aula pertemuan ketika sekolah mengadakan acara, ujarku lagi dalam hati. Aku melongok dari balik jendela dengan saksama. Seakan ingin memastikan tak ada lagi langit-langit bocor dan dinding berlubang. Tidak. Semuanya rapi. Langit-langit eternit terawat. Dinding cat putih tak berlubang. Pintu seperti baru diganti. Di sudut ruangan masih ada podium yang biasa digunakan untuk acara-acara sekolah. Jika acara besar, papan tulis kayu penyekat ruangan bisa diturunkan sehingga ruangan menjadi lebih luas.
Aku seakan melihat kembali sosok Kang Hafid di podium itu, sibuk membagi pengalaman pada kami, anak-anak ingusan di sebuah madrasah reyot. Aku duduk di barisan paling depan dengan wajah terpukau. Saat itu, hujan dan air bocor menetes di sudut ruangan.
Dari sinilah semua mimpi besarku bermula. Dari sebuah madrasah tua. Tak terasa, setengah dunia kini sudah kuarungi. Tempat-tempat yang tadinya hanya kudengar namanya di ruang kelas, dari Paris hingga Granada, telah aku kunjungi. Semua bermula dari sini. Seketika haru biru menerpaku.
Khayalan itu buyar ketika aku mendengar seseorang menyapa. Suaranya telah berubah, tetapi tetap terasa akrab. Itu adalah suara bapak penjaga kompleks sekolah.
"Apa kabar, ada yang bisa abdi bantu, Pak?" Orang itu memanggilku "Bapak" dengan aksen Sunda yang kuat. Tiba-tiba, aku merasa tua.
"Hmmm, tidak usah, saya hanya melihat-lihat, Mang."
"Sepertinya abdi kenal Bapak."
"Tentu saja, Mang. Apa kabar? Saya Iip."
"Waduh, pantesan. Saya dari tadi teh inget-inget mukanya. Cuma takut salah. Kuhama damang?'
"Damang, Mang. Pengen lihat-lihat sekolah saja, sudah lama tidak main ke sini. Reuni juga tidak pernah datang."
"Oh, gituh? Jadi, tidak tahu yah sekolah tsanawiyah sudah pindah. Sekarang mah bagus, bangunan punya sendiri." Penjaga sekolah itu menyampaikan informasi mengejutkan itu kepadaku. Aku merasa bersalah karena mengabaikan perkembangan sekolah ini. Dulu, aku sempat mendengar kabar bahwa yayasan akan membangun bangunan baru. Namun, aku abai sepenuhnya.
"Bangunan besar, Sep."
Kini, ia memanggilku "Asep", sapaan umum untuk orang yang lebih muda.
Aku menelusuri gang bertegel paving block ke arah barat. Kolam dan sawah di belakang sekolah masih ada. Dahulu, kolam itu menjadi toilet para siswa. Angin berembus membawa aroma padi yang sudah menguning. Gunung Ceremai menyembul perkasa dari balik rumpun pisang. Amartya tak banyak protes. Kali ini ia baik sekali. Aku sengaja membawanya ke tempatku, ayahnya, kali pertama menggantungkan mimpi-mimpi.
Tak jauh, aku melihat kompleks bangunan bercat kuning dengan genting merah tua. Itulah bangunan sekolah yang baru. Sambil berjalan, aku tak henti-henti bersyukur. Sekolah itu kini menjadi sekolah yang benar-benar layak. Tidak lagi menumpang bangunan lain, tidak bolong, dan pastinya tidak bocor. Aku mencoba masuk, tetapi pintu gerbang terkunci. Memandangi bangunan itu dari luar cukup menjadi alasan bagiku untuk terus bersyukur. Sekolahku yang dulu kini jauh lebih baik.
Setelah puas melihat-lihat, aku kembali ke mobil dan mendudukkan Amartya di jok depan. Aku menyetir dengan perlahan, menikmati kenangan berkelebat sepanjang perjalanan. Saat itu, menjelang zuhur. Suara azan yang terdengar dari masjid di sebelah kanan jalan terdengar familier. Meski warung di pinggir jalan tempat aku dan kawan-kawan dulu jajan sudah tidak ada, ada banyak hal yang tak berubah.
Dari jalan raya, aku berbelok ke kiri menyusuri jalan kampung. Dulu, jalan itu berdebu dan berbatu. Saat musim hujan jalanan menjadi becek, sementara saat kemarau jadi sangat berdebu. Kini, jalan itu sudah diaspal dan menjadi jalan penghubung alternatif. Mataku menoleh kanan dan kiri. Tak jauh dari simpang tiga, aku mencari rawa tempat dulu mencari kangkung. Rawa itu sudah tak ada. Yang ada hanya bangunan setengah jadi berlantai dua.
Tak jauh dari bangunan itu aku berhenti dan keluar dari mobil, seorang laki-laki yang sedang duduk di warung pinggir jalan memperhatikanku. Mungkin bertanya-tanya siapa yang datang.
Aku tersenyum untuk memberi penghormatan. Lelaki di seberang sana melemparkan senyum. Aku masuk ke dalam dan terus berjalan ke arah barat. Di kanan-kiri, aku melewati rumah yang masih terlihat sama seperti dulu. Tak ada yang berubah. Aku berpapasan dengan beberapa orang yang wajahnya tidak asing, tetapi sudah tidak lagi kuingat namanya. Rumah panggung dengan cat putih kusam terlihat di ujung gang, di samping kolam ikan. Itulah pesantren tempat aku menimba ilmu. Di seberang kolam, ada hamparan rumput dan persawahan yang dulu menjadi lapangan bola. Kolam itu biasa dipakai para santri berwudu jika hendak shalat atau mengaji.
Ada beberapa tetangga pesantren yang kukenal dengan cukup baik. Ketika tak sengaja melihatku, mereka mendekat dan mengajakku mengobrol. Obrolan kami seputar pesantren yang kini tak lagi berpenghuni. Hampir tak ada lagi santri dari luar kampung yang datang untuk mondok. Padahal, dulu ada sekitar seratus orang santri dari luar daerah yang mondok di sini. Kini, bangunan pesantren itu hanya digunakan anak-anak kampung untuk mengaji setiap sore.
Aku meminta izin untuk menuju lantai dua. Sambil menggendong Amartya, aku menaiki satu per satu anak tangga. Tangga kayu itu masih kokoh seperti dulu. Susana sepi menyergap. Tak ada lagi lantunan suara santri yang sedang menghafal Al-Jurumiyah atau mengaji Al-Quran.
Di ujung tangga, terdapat koridor kayu yang menghubungkan barisan kamar santri di kanan-kiri. Aku memasuki area kamar santri, beberapa ruangan dibiarkan tak terkunci. Tempat ini benar-benar tidak terurus sehingga terasa apak dan kusam.
Aku mengingat saat dulu tempat ini masih ramai dan terawat. Dulu, setiap kamar dihuni empat sampai lima orang yang berasal dari desa atau kota yang sama. Kamar yang tengah kutengok ini dulunya adalah kamar para santri dari Banjarharjo, Brebes. Ah, Bedul, Usman, Sule, ke mana mereka sekarang? Bagaimana nasib mereka? Aku hampir tak pernah lagi mendengar kabar kawan-kawan santri pesantren ini. Semua seperti ditelan bumi.
Aku berjalan ke teras selatan, tempat favoritku yang lama sekali tak kujamah. Teras itu menghadap ke perkam pungan. Karena berada di lantai dua, pemandangan lurus ke arah selatan jelas terlihat di ujung sana, perbukitan kaki Gunung Ceremai. Salah satu bukit itu bernama Salahonje, diambil dari nama desa yang berada tepat di atas bukit. Aku teringat Dahlan, kawan santri yang berasal dari Salahonje itu. Aku ingat sekarung mangga yang ia bawa saat sedang musim.
Amartya sibuk bermain di lantai. Aku berdiri dan menatap lurus ke arah perbukitan. Itu bukan Sierra Nevada. Bukan. Itu Salahonje yang membentang di kaki Gunung Ceremai. Seketika aku merasa masuk ke lorong waktu. Di langit yang terang benderang siang ini, seakan aku bisa melihat jelas penampakan bintang layang-layang, tempat seluruh cita-citaku kutambatkan. Aku bukan lagi ingusan dengan kopiah hitam kumal yang bermimpi melihat bintang layang-layang dari negeri yang jauh. Aku telah berhasil melihatnya dari tempat-tempat yang kuimpikan.
Tiba-tiba, aku teringat Albaicin dan Sierra Nevada. Al-hambra! Perbukitan itu. Gua-gua itu. Sosok Paulo, lelaki mis-terius yang menghantuiku.
Ah, saatnya aku membuka amplop merah jingga itu!
Dengan rasa penasaran, aku merogoh saku celana dan meraih amplop yang sudah agak kumal. Amplop bermotif kaligrafi bunga delima itu kusobek di ujungnya.
Isinya selembar kartu yang ditulis dengan tinta biru. Tulisan tangan yang sangat kukenali.
Harta karun kehidupan berada di bawah reruntuhan rumah tua tempat sang penggembala memulai petualangan, bukan di balik piramida. Dan, mimpi terindahmu tersimpan di balik bebatuan sungai kehidupan di tanah kelahiranmu.
Aku akan merindukan masa-masa itu. Dan, delima itu akan menjadi pengikat rasa yang terpisah benua dan samudra. Aku akan merindukanmu, Sahabatku. Salamku buat Mira, istrimu. Dan Amartya, anakmu yang lucu. Aku yakin, kita masih bisa berjumpa lagi kelak.
Ketika kau membaca tulisan ini, aku sudah kembali ke Santiago. Aku akan kembali ke reruntuhan rumah tua tempat aku memulai petualangan hidup.
Penuh kasih, Lisa Maria Gomez Amplop merah itu ternyata dibuat sendiri oleh Lisa. Seolah-olah itu pemberian Paulo.
Aku telah berkelana mengelilingi setengah bulatan bumi. Dari Australia, Asia, sampai Eropa. Keliling hampir ke semua tempat dan kota terkenal. Mampir ke Istana Versailles peninggalan Raja Louis di Prancis. Datang ke Museum Holocaust di Berlin. Berziarah ke Kapel Sistina di Vatikan. Berjalan-jalan menelusuri Sungai Vltava di Praha sekaligus mampir ke bekas rumah Franz Kafka, sastrawan Eropa yang terkenal itu-tentu tak semuanya kuceritakan di sini. Singgah di kampus para filsuf terkenal Jerman seperti, Heidelberg dan Freiburg. Riset serius di kampus paling tua di Belanda. Berkunjung ke Alhambra dan menelusuri gang-gang sempit bertegel batu di kampung tua Albaicin. Dan, yang paling penting, berkunjung ke tempat penuh misteri dan legenda: Kordoba, Granada dan Sevilla.
Akan tetapi, itu semua hampir mustahil tanpa tempat ini. Tempat kusam di lantai dua pesantren masa kecilku, tempat aku menggantungkan mimpi pada bintang layang-layang.
Tiba-tiba, Paulo seperti berdiri di sampingku dan mengucapkan kata-kata yang ditulis Lisa di suratnya, "Dan, mimpi terindahmu tersimpan pada balik bebatuan sungai kehidupan di tanah kelahiranmu." Suaranya masih terdengar bening dan jelas. Aku tersenyum. Haru biru. Namun, mungkin pesan itu betul, tempat semua mata air mimpi selalu berada di tempat kita lahir dan besar. Bukan legenda di ujung dunia sana. Tanpa pondok kusam dan madrasah reyot ini, aku tak akan pernah memulai langkah mengejar mimpi.
*** Tentang Penulis Ang Zen adalah nama pena sekaligus nama sapaan dari Zezen Zaenal Mutaqin. Ia lahir dan besar di Kuningan, Jawa Barat. Sebelum kuliah di UIN Ciputat, Ang Zen menimba ilmu di Pesantren Darussalam Ciamis dan Darul Ulum Karangtawang, Kuningan. Tahun 2009, Ang Zen hijrah ke Melbourne untuk menempuh pendidikan master di Fakultas Hukum, Universitas Melbourne setelah mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia. Tahun 2011, tak lama setelah ia menyelesaikan pendidikan S-2, ia tinggal selama satu semester di Leiden dan Utrecht untuk mengikuti program Sekolah Musim Panas atas beasiswa dari Pemerintah Belanda.
Meski ini adalah novel pertamanya, Ang Zen telah aktif menulis semenjak mahasiswa. Bahkan, belakangan beberapa tulisannya dimuat di jurnal internasional. Pernah bergabung bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) selama enam tahun, ia kini tercatat sebagai dosen UIN Jakarta dan Asisten Penasehat Regional ICRC (International Committee of the Red Cross) Jakarta.
Twitter: zmutaqin Facebook: Zezen Zaenal Mutaqin
Blog: zenzaenal.wordpress.com
Surel: zenzaenal@gmail.com
Hantu Jatilandak 3 The Shape Of Love Karya Christina Juzwar Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 11

Cari Blog Ini