Ceritasilat Novel Online

Bukan Perpisahan 1

Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan Bagian 1


Satu "Acaranya nanti malam!" Danielle Sharp, gadis enam belas
tahun itu merasa darahnya menggelora, ketika teringat acara
mengasyikkan yang akan diadakan malam itu.
"Kamu sih beruntung. Kupikir Don James itu benar-benar
cowok yang oke," komentar Teresa sambil mengguncangkan botol cat
kuku. "Benar deh," celetuk Heather Barron dari ujung ruangan, di
mana ia sedang merapikan kuku-kukunya. "Apa lagi setelah dia jadi
jagoan kota Merivale, Don James adalah cowok paling beken di kota
kita." "Dan dia adalah cowokku!" Wajah Danielle bersinar bahagia,
sembari meniup kuku-kuku jari tangannya yang baru dipoles cat kuku.
Padahal beberapa bulan sebelumnya, kedua temannya itu selalu
mengolok-olok Danielle karena mau berakrab-akrab dengan Don
James. Tapi kini setelah keadaan jadi berbalik, Don adalah cowok
yang dipuja semua orang ? dan Danielle tak mau menyia-nyiakan
kesempatan ini. "Gimana acaranya nanti malam? Apa dia akan menjemputmu
dengan sepeda motornya?" tanya Teresa, sambil mengernyitkan
hidungnya yang berbintik-bintik.
"Huh, ngiri tuuuh," ujar Danielle dengan suara rendah agar para
pengunjung salon eksklusif lainnya tidak mendengar ucapannya. Ia
memicingkan matanya yang hijau. "Kayaknya aku belum dengar deh,
tentang rencana dengan cowokmu nanti malam!"
Waktu temannya tak menjawab, Danielle melihat kukukukunya yang telah rapi dengan rasa puas dan melangkah
meninggalkan meja manicure. Teresa memang suka menghina Don
James dengan berbagai macam ucapan. Terutama kalau tak ada cowok
yang mengajaknya kencan! Setelah rambut serta kuku-kukunya tertata rapi, rasanya
Danielle tak sabar lagi menantikan pesta yang akan diadakan di rumah
Ashley Sheppard nanti malam. Semua remaja top dari Akademi
Atwood akan berada di sana. Acara black-tie adalah puncak acara
pesta, dan Danielle akan berjalan masuk dalam gandengan tangan
cowok paling hebat di Merivale ? Don James.
"Giliran Anda untuk manicure, Nona Woods," ujar petugas
salon. Manor Born tampak ramai dengan lalu lalang para karyawan
yang berpakaian rapi serta celoteh wanita-wanita berbagai usia. Ketiga
gadis tadi datang ke salon mewah itu untuk bersolek dan
mempersiapkan diri untuk acara besar nanti malam.
Teresa menghempaskan tubuhnya ke dalam sebuah kursi,
sambil memperhatikan deretan cat kuku yang terpajang di atas
nampan kuning berukir. "Aku bingung nih, mau pilih Verry Berry
atau Mauve Magic." "Apa sih warna bajumu?" tanya Heather dari balik tirai.
"Agak kemerahan ? dan yang jelas keren!"
"Coba Five Alarm Fire, deh," saran Danielle. Ia merasa senang
telah memilih Really Ruby untuk kuku-kukunya. Warna merah yang
mengkilap tampak indah berpadu dengan baju hitamnya yang ketat.
"Ashley tahu nggak, kamu datang dengan cowok Merivale
paling beken tahun ini?" tanya Heather.
Keceriaan melintas di wajah Danielle, saat gadis itu
membayangkan penampilannya di depan umum bersama Don. "Justru
Ashley senang sekali waktu kuberitahu. Malahan aku dengar, ortunya
pingin sekali ketemu Don."
"Yah, paling tidak Don masih jadi cowok paling beken setelah
peristiwa penyelamatan yang luar biasa itu." Dengan pandangan
menerawang Heather menelengkan kepalanya ke samping.
Rambutnya yang lurus hitam berkilauan dalam cahaya lampu salon.
"Caranya dia menyelamatkan anak kecil itu?"
"Lilac Lunacy," celetuk Teresa. "Atau mungkin Perfectly
Peachy." "Teresa! Jangan gitu dong!" tegur Heather. " Don kan memang
gesit dan berani. Tapi karena dia keren, makanya doi jadi super hero."
Sambil menggigit bibir bawahnya, Danielle memikirkan katakata temannya itu. Meskipun ia begitu mengagumi mata hitam Don
James yang seksi itu, namun ia selalu berusaha menyembunyikan
perasaannya. Don James, cowok berusia tujuh belas tahun itu hidup di
lingkungan yang cukup keras. Dia tinggal di rumah pertanian yang
sederhana di pinggiran kota bersama beberapa cowok lain yang lebih
tua usianya, dan yang pasti tidak kaya. Cowok-cowok kasar, yang
selalu mengenakan jaket kulit hitam dan naik sepeda motor ? yang
sering membuat sebal para cewek kelas atas di Merivale.
Tadinya Don tidak masuk hitungan Danielle dan temantemannya ? sampai baru-baru ini. Waktu seorang anak kecil terjatuh
dari pagar pembatas Merivale Mall, dengan cepat Don bergerak dan
menangkap anak itu dengan tangannya. Cara berpikirnya yang cepat
dan keberanian cowok itu telah berhasil menyelamatkan nyawa anak
kecil itu. Sejak itulah si kambing hitam Merivale berubah jadi incaran
para cewek. Ebukulawas.blogspot.com
Dulu kalian selalu mencibir kalau aku bersama cowok itu, pikir
Danielle sembari mendengarkan celoteh teman-temannya tentang
siapa yang akan mengantar mereka ke pesta.
Sekarang mereka iri! Rasain deh. Teresa dan Heather adalah
sahabat karibnya, tapi mereka juga termasuk sombong. Mereka takkan
mau bergaul dengan cowok-cowok yang dianggap tak sesuai.
"Pernah coba Pink Persuasion, nggak?" suara Teresa
menyadarkan Danielle dari lamunannya.
"Nggak, tuh. Aku benci deh warna pink." Danielle
menyampirkan tas kulitnya ke bahunya, dan menatap jam tangan
emasnya. Sudah setengah empat!
Karena salon penuh sesak dengan para wanita yang ingin
mempercantik diri untuk acara malam minggu, bisa-bisa mereka
terlambat. "Kayaknya kalian berdua masih lama deh, padahal aku
masih harus membeli beberapa barang di mall. Sampai ketemu ya, di
pesta?" "Pakai warna yang keren, ya?" bisik Heather.
"Jam delapan, lho," Teresa mengingatkan.
Danielle mengangguk. "Don akan menjemput jam setengah
delapan, jadi kita masih punya waktu sedikit untuk ngobrol."
Mata cokelat Teresa membelalak iri. "Duh, untungnya!"
"Untung?" Di pintu keluar Danielle memutar tubuhnya,
rambutnya tergerai melewati bahunya bagaikan ayunan tirai. "Bukan
untung, itu namanya karisma!"
"Itu dia!" pekik Teresa, sambil meraih sebuah botol kecil cat
kuku dari baki tempat botol-botol cat kuku. "Ini dia warna yang tepat
untukku ?Coral Charisma!"
*********** Dari tempatnya di belakang meja kasir restoran Tios's Tacos,
Lori Randall melambaikan tangannya ke arah sepupunya. Danielle
membalas lambaiannya dengan sekejap sembari buru-buru melangkah
melintasi lantai pertama mall.
"Gila, bajunya!" ujar Isabel Vasquez, juru masak di Tio's. Gadis
itu berdiri di sisi Lori dan memandang ke arah Danielle, yang pada
saat itu masuk ke toko Platterpus, penjual kaset paling top.
"Berapa banyak ya, sapi yang kehilangan kulitnya untuk
membuat jeans itu," tambah Isabel sambil meraih kaleng besar berisi
tomat rebus. Mengenakan celana suede krem muda dan sweater warna
cokelat, Danielle benar-benar tampak menakjubkan. "Dia selalu
kelihatan keren," ujar Lori.
Meskipun mereka sepupu, namun Lori dan Danielle hidup
dalam dunia yang berbeda. Tiga tahun yang lalu, Paman Mike, ayah
Danielle, berhasil maju pesat dalam usahanya dalam membangun
proyek real estate, Merivale Mall. Sejak itulah Danielle pindah ke
sekolah lain dan bergaul dengan teman-teman yang lain ? dan
bahkan berbelanja di tempat yang berbeda pula.
Lori sama sekali tak merasa iri dengan keberuntungan
sepupunya itu, namun kadang-kadang ia merindukan keakraban yang
dulu ada di antara mereka.
Dibandingkan dengan pakaian Danielle yang mempesonakan
itu, Lori merasa seragamnya benar-benar buruk. Gadis itu menunduk
sambil mengerutkan keningnya. Celemeknya yang berwarna kuning
menyala itu kini ternoda percikan saus cabai merah yang tertumpah.
Saat makan siang selalu ramai. Agar tamu-tamu cepat terlayani, Lori
sampai tidak sempat istirahat.
Pintu kantor belakang terbuka dan sang manajer keluar, seraya
bersiul senang. "Kabar baik, Ernie?" tanya Lori pada bosnya.
"Yah, hari yang baik," jawab Ernie sambil tersenyum. "Kalau
acara makan siang padat terus seperti sekarang, aku akan terus bersiul
dan menyanyi." "Yah, siap-siap saja untuk repot," ujar Isabel sambil tersenyum
masam, dan kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak.
Sambil bercanda Ernie Goldbloom mengibaskan jarinya ke arah
kedua gadis itu, lalu berhenti dan menatap Lori. "Tunggu dulu,"
ujarnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah sekarang waktu
istirahatmu?" "Lori suka sekali masakanku, makanya dia nggak mau pergi
dari sini," goda Isabel.
Lori mengangkat bahunya waktu melihat Ernie tampak tak
setuju. "Habis antriannya panjang sih, aku jadi tak mungkin pergi," ia
menjelaskan. "Ayo, pergi!" perintah Ernie. "Aku suka para karyawan di sini
bekerja dengan hati yang senang. Tapi ini sih keterlaluan! Sana
istirahat!" "Iya deh, diusir," kata Lori melepas celemeknya yang kumal itu
dan melemparkannya ke bawah meja kasir. "Aku akan kembali lagi
dalam lima belas menit."
"Tiga puluh menit juga nggak apa-apa," sahut Ernie. "Tempat
ini bakalan sepi sampai saat makan malam."
Lori meninggalkan restoran fastfood Meksiko itu, lalu menuju
ke tempat yang cerah dan terbuka di Merivale Mall. Sungguh lega
rasanya waktu ia membuka ikat rambutnya dan membiarkan rambut
pirangnya yang halus itu jatuh tergerai.
Dengan rasa rindu gadis itu menatap cahaya lampu, yang
menyinari toko elektronik Hobart. Biasanya ia selalu menghabiskan
waktu istirahatnya bersama cowoknya, Nick Hobart, anak pemilik
toko elektronik itu. Tetapi hari ini Nick bekerja di gudang ayahnya,
menginventarisasi barang-barang yang ada.
Meskipun suasana di mall ramai dengan pengunjung, namun
bagi Lori mall itu tampaknya bagaikan sebuah taman bermain yang
sedang sepi. Sobatnya, Patsy Donovan hari itu sedang libur, jadi
percuma juga berkunjung ke Cookie Connection.
Namun kini ia berada di Merivale Mall. Dan Lori tak ingin
menyia-nyiakan waktu istirahatnya hanya karena teman-temannya
berada di tempat lain! Setelah melewati air mancur di mall itu, Lori berjalan menuju
eskalator dengan pegangan yang terbuat dari baja mengkilat. Mungkin
lebih baik melihat-lihat baju-baju keluaran terbaru di butik yang ada di
lantai atas. Waktu eskalator melewati lantai ke dua, Lori melihat seorang
wanita kurus yang tampaknya ringkih dan mengenakan topi baret
ungu duduk di atas bangku beton. Lori tersenyum pada wanita itu, tapi
Nora Pringle rupanya tidak melihatnya. Wanita itu terus saja
berkomat-kamit sendirian dan sibuk mencoret-coret buku catatannya.
Nora Pringle selalu menghabiskan hari-harinya dengan duduk
di atas bangku beton di udara terbuka yang tertimpa cahaya matahari
di Merivale Mall. Lori sudah terbiasa melihat wanita bertampang
sedih dan menggenakan pakaian butut yang berlapis-lapis itu. Jauh di
lubuk hatinya ia bersyukur bahwa Merivale Mall menyediakan tempat
perlindungan yang bersih dan hangat bagi wanita-wanita tuna wisma
seperti Nora. Eskalator terus bergerak naik, membawa Lori ke tingkat paling
atas. Pakaian-pakaian yang dipajang di balik etalase toko-toko di
tingkat empat itu betul-betul menggiurkan! Meskipun Lori tak mampu
membeli apa pun di toko para perancang beken di Merivale Mall itu,
namun ia suka sekali cuci mata di sana. Berbagai kancing, renda,
jumbaian di tepi jahitan, dan pernak-pernik lainnya ? menimbulkan
inspirasi dalam pikiran Lori.
Impiannya adalah menjadi seorang perancang pakaian terkenal,
dan Lori benar-benar bekerja keras agar impiannya itu dapat terwujud.
Ia selalu berusaha keras untuk membuat sesuatu yang menarik dengan
mesin jahitnya, dan mendapat beberapa dolar keuntungan untuk kreasi
pakaian santai atau kostum Halloween.
Sebuah baju mini rajutan yang terpajang di etalase Facades
menarik perhatiannya. Lori merasa terpikat dengan hiasan warna biru
yang disulam dengan cantiknya di tepi gaun tersebut, memberi tekstur
dan dimensi pada rancangannya. Lori mengingat-ingat dengan baik
teknik jahitannya, lalu berjalan ke etalase di sebelahnya.
Waktu Lori sampai di deretan terakhir toko-toko di mall
tersebut, ia sudah mendapatkan beberapa teknik yang mungkin bisa
diterapkan dalam kreasinya. Namun karena masih terlalu pagi untuk
kembali ke Tio's, Lori memutuskan untuk menuju ke tempat
perlindungan pribadinya, di dok tempat pemuatan barang-barang
Merivale Mall, dan beristirahat sejenak di sana.
Lift yang letaknya di belakang mall, membawanya langsung ke
tingkat paling bawah. Meskipun suasana di pertokoan lantai atas
sangat ramai dengan banyaknya orang yang berbelanja, namun
suasana di lantai paling bawah sangat tenang. Kebanyakan pengiriman
dilakukan pagi atau sore hari.
Di sinilah tempatnya yang istimewa. Lori sering datang ke
tempat ini untuk berpikir dan menenangkan hatinya, menyingkir dari
segala hirup- pikuk di mall.
Lori menjatuhkan dirinya ke atas sebuah peti kayu yang
bertuliskan PERLENGKAPAN ATLIT: SEPAK BOLA. Ia jadi
teringat pada Nick, penyerang tengah tim sepak bola Akademi
Atwood. Lori menarik kedua lututnya ke bawah dagunya, lalu tersenyum.
Ia telah terbiasa selalu bersama Nick ? cowok keren dan kece. Rasarasanya hidup ini begitu sepi tanpa cowok itu. Kini, Nick berada di
gudang ayahnya selama sehari, dan Lori tak henti-hentinya
memikirkannya. Pada saat itu pintu lift membuka. Lori terkejut. Tiba-tiba saja
Nora Pringle, sambil membawa kantung-kantung kertas dan skarfnya
yang butut itu, melintas cepat ke lantai tempat bongkar muat itu, tak
jauh dari Lori. Wanita itu terengah-engah kehabisan napas, dan
mendadak saja ia tersandung.
"Anda tak apa-apa?" tanya Lori, sambil melompat ke
sampingnya. Wanita tua itu telah kehilangan topi ungunya dan rambutnya
yang berwarna abu-abu tampak semrawut. Nora Springle terdiam dan
menyipitkan matanya dengan curiga, seakan-akan ia tak mempercayai
seorang pun juga. Suara berisik di tangga membuatnya mendongak.
Pintu lift membuka lagi, menyentuh tembok beton dengan suara
yang keras. Tiga orang anak laki-laki muncul, sambil melambaikan
topi baret ungu Nora dengan tertawa-tawa!
"Hei, Bu," teriak anak laki-laki dengan wajah yang berbintikbintik. "Nih, topinya ketinggalan."
Kedua cowok lainnya tertawa terkekeh-kekeh seolah-olah itu
adalah hal terlucu yang pernah mereka dengar. Lori tahu mereka
adalah anak-anak SMP Merivale. "Ngapain kalian di sini?" tegurnya.


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak cowok itu menghentikan usahanya mengejar Nora
dan menatap Lori. Setelah terdiam beberapa saat, cowok yang
berbintik-bintik tadi, yang tampaknya ketua geng itu, mengangkat
bahu dan melemparkan topi Nora ke lantai. "Yuk," ujarnya pada
teman-temannya. "Kita keluar saja!"
Dua "Maaf, non, rekaman yang terakhir sudah habis terjual."
"Masa, sih!" Danielle menggelengkan kepalanya, sehingga
segelintir rambutnya yang merah mengibas ke sudut matanya. "Kalian
pasti masih punya satu rekaman Bad Boys lagi," ujarnya pada pelayan
toko, seraya melemparkan senyumnya yang memikat. "Coba periksa
lagi, deh. Aku nggak peduli apakah itu kaset, rekaman atau CD-nya.
Pokoknya, aku harus mendapat Stardust Dreams!"
Pramuniaga itu menggelengkan kepalanya lagi. "Aku sudah
ngecek sampai di gudang. Kaset itu memang lagi ngetop, sampai kami
kewalahan melayani permintaan." Ia lalu mengangkat bahunya. "Coba
lagi deh, minggu depan."
"Aku memerlukannya sekarang!" Mata hijau Danielle tampak
berapi-api saat gadis itu berusaha menahan amarahnya. Kaset itu
adalah bagian terpenting dari rencananya malam ini. Tapi bagaimana
ia dapat menjelaskannya pada pelayan Platterpus yang bego itu.
"Minggu depan sih, sudah telat," bentaknya sebelum berjalan
meninggalkan meja kasir. Kok orang-orang itu bodoh benar, sih?
Padahal ia tak segan-segan membayar mahal untuk album tersebut,
tapi mereka sama sekali tidak punya persediaan!
Sambil menggerutu, gadis itu melihat tempat tumpukan kaset
sekali lagi, tapi tak ada rekaman Stardust Dreams di mana pun. Tibatiba matanya menangkap bayangan seorang gadis kecil yang sedang
asyik bermain-main di depan toko. Anak itu bersandar ke kaca etalase,
sambil menunjuk-nunjuk lampu yang berkerlap-kerlip di dalamnya
dan berkata, "Nyala!"
Saat itu juga secercah harapan muncul di kepala Danielle.
Etalase! Platterpus tentunya punya rekaman Stardust Dream yang
terpajang di situ! Danielle segera berlari ke tempat pajangan kaset dan berdiri di
belakang anak kecil tadi. Bagian belakang etalase toko itu tertutup,
namun ada celah kecil di bagian samping. Etalase itu terang
benderang dengan hiaskan poster yang menarik dan lampu yang
berkelap-kelip. Nah, itu dia! Di bagian pinggir etalase tampak dua
album Bad Boys dan satunya lagi CD- nya!
"Akhirnya!" pekik Danielle seraya menyingkirkan anak kecil
itu ke samping, sehingga tangannya dapat dijulurkan ke dalam kaca
etalase. "Nyala!" ulang si anak kecil tadi, sambil mencibirkan bibirnya.
Danielle harus mencondongkan tubuhnya ke depan, sampai-sampai ia
nyaris terjatuh ke dalam etalase. Tapi akhirnya, tangannya yang halus
dan terawat rapi itu berhasil meraih kedua album itu.
"Dapat juga!" pekiknya, sambil menarik album tadi. Tapi
rupanya ada sesuatu yang tak beres. Rasa-rasanya keduanya terlalu
ringan. Sampul album berwarna biru perak itu ternyata kosong!
"Sial!" Danielle melemparkan sampul kosong tadi ke lantai lalu
menjulurkan tangannya ke dalam tempat etalase sekali lagi.
Kali ini usahanya membuahkan hasil. Kotak CD itu masih
tersegel?di dalamnya terdapat compact disc dari lagu yang paling hot
dan romantis! "Maaf, non...," tegur sang pelayan dengan wajah tak senang.
"Aku mau beli ini." Danielle menyerahkan CD tadi dan
merogoh tasnya untuk mengambil dompetnya.
Pelayan itu mengernyitkan keningnya. "Kami tak boleh
membongkar pajangan di etalase."
"Nggak usah aneh-aneh deh," ujar Danielle bersikeras, sambil
melemparkan pandangan yang sombong. "Justru kamu tak boleh
memajang kaset yang tidak kamu punya. Nah, sekarang mau terima
uang ini nggak..., atau akan kuadukan ke manager-mu?"
Setelah terdiam beberapa saat pelayan toko itu menyerah.
Danielle tersenyum saat sang pelayan menyerahkan tanda terima.
Kini, rekaman Stardust Dream sudah ada di tangannya, dan malam
yang mengasyikkan dapat segera dimulai.
Sebagai seorang gadis yang perfeksionis, Danielle telah
merencanakan segala sesuatu untuk malam ini, sejak awal hingga
akhir. Ia telah merawat dirinya mulai dari kepala hingga ujung kaki di
'To the Manor Born'. Ia juga telah membeli baju yang keren, dan kini
ia telah memiliki lagu yang indah untuk melengkapi rencananya saat
Don datang ke rumahnya nanti.
Sekali memandang Danielle, Don pasti akan terpesona. Dan
begitu lagu terakhir dialunkan, maka Don akan menatap mata hijau
Danielle?tanpa henti-hentinya dan dengan penuh perasaan cinta!
*********** Mata Nora tampak ketakutan, saat wanita itu berdiri dengan
gemetaran di pojok areal dok pemuatan. Tubuhnya bersandar di
belakang kotak-kotak kardus, sambil memandang tajam ke arah anakanak tadi dengan ekspresi beku seperti seekor binatang buruan.
Tatapan mata wanita yang ketakutan itu meluluhkan perasaan
Lori. Untunglah anak-anak tadi telah menyingkir. Gema tawa anakanak cowok yang melarikan diri itu terdengar hingga di tangga,
membuat bulu kuduk Lori meremang. Sulit untuk mempercayai
kejadian buruk yang baru saja disaksikannya. Kok bisa-bisanya anakanak itu bertindak begitu kejam?
Saat Lori membelok di pintu keluar, barulah ia menyadari cara
hidup yang dijalani Nora Pringle. Berpindah dari satu bangku ke
bangku yang lain, mengais sisa-sisa makanan dari tempat sampah,
mengumpulkan tas-tas belanjaan bekas, mencorat-coret buku
catatannya, dan ia pun suka berbicara sendiri.
Ingin rasanya Lori menangis menyaksikan ketidakadilan yang
terpampang di hadapannya. Nora Pringle begitu miskinnya...
sedangkan apa yang diperolehnya lebih dari cukup.
Perbedaannya begitu mencolok, Lori mengerenyitkan
keningnya. Lori Randall dilimpahi dengan rumah yang nyaman,
keluarga yang mencintainya, teman-teman yang mengasyikkan, mobil
yang lumayan serta Nick, cowok yang luar biasa.
Saat Lori berjalan melintasi dok pemuatan, gadis itu berjanji
dalam hati. Suatu saat nanti, ia akan melakukan sesuatu yang khusus
untuk Nora Pringle. Pasti ada sesuatu yang dapat dilakukannya untuk
membantu wanita yang terlantar itu!
Mungkinkah ia membantu Nora untuk mendapatkan pekerjaan?
Atau siapa tahu ia dapat membantu mencarikan rumah baginya!
"Nona Pringle," panggil Lori. Dengan hati-hati gadis itu
berjalan mendekati tumpukan kotak kardus. Ia tak ingin membuat
takut wanita itu lagi, setelah penderitaan yang baru saja dialaminya.
"Nona Pringle," ulang Lori lagi.
Suasana di sudut itu tampak gelap dan menyeramkan. Lori
mengambil napas dalam-dalam, sebelum gadis itu berjingkat
mengitari tumpukan kotak kardus.
Tapi suasana di sudut itu tampak kosong. "Nona Pringle,"
panggil Lori lagi sambil mencari-cari di lorong sempit di antara pintu
dan ruangan itu. Tetapi tak seorang pun menjawab panggilannya. Hanya suara
Lori yang terdengar di seluruh ruangan yang kosong itu. Nora Pringle
telah pergi. *********** "Setiap kali kulihat wajahmu... stardust dreams..."
Alunan suara musik terdengar di seputar rumah besar keluarga
Sharp, memenuhi kamar Danielle dengan iringan petikan gitar dan
piano jazz. Sambil mengenakan pakaiannya, Danielle merasa terbuai
oleh alunan lagu tersebut.
Iramanya mengingatkan Danielle akan soundtrack romantis
yang menggunakan adegan film lama. Suasana muram yang
melatarbelakangi kamera menyorot wajah Greta Garbo, air mata
mengalir turun di pipi pemain film tersebut.
Danielle sangat mengagumi Greta. Ada sesuatu yang sangat
anggun dan misterius dalam diri artis tersebut... sesuatu yang
membuat laki-laki bertekuk lutut di hadapannya.
Rasanya Greta dan aku punya banyak persamaan, deh pikir
Danielle sambil mencoba tersenyum misterius di depan cermin. Ia
meraih botol parfum favoritnya? Fallen Angle ? lalu
menyemprotkannya di belakang kedua telinganya.
Don pasti takkan mampu berkedip, begitu melihat pakaian ini.
Ia tampak bagaikan Greta Garbo dalam 'Mata Hari.'
Danielle melangkah mendekati kaca besar, untuk
memperhatikan penampilannya dengan lebih saksama. Baju hitamnya
benar-benar mengagumkan. Dilengkapi dengan jaket chiffon sutra
yang berhiaskan manik-manik logam dan anting-anting berlian,
malam ini ia tampak betul-betul menakjubkan.
Begitu dia dan Don melangkahkan kaki ke rumah Ashley
Shepard, semua mata pasti akan menatapnya dengan terkagumkagum. Dan semua orang pasti setuju bahwa mereka merupakan
pasangan paling hot di Merivale abad ini!
"Setiap kali kudengar suaramu... stardust dreams...."
Setelah kedua orangtuanya berangkat untuk acara main kartu di
kediaman keluarga Miller, Danielle menyetel Compact Disc tadi di
ruang dalam, hingga suaranya menggema ke seluruh ruangan.
Mereka sama sekali tak punya waktu untuk memperhatikan aku
dan mengantar aku sampai di pintu. Pikiran itu membuat Danielle
merasa sedih. Serena dan Mike Sharp selalu sibuk dengan segala
macam urusan dan acara-acara sosial mereka, sampai mereka tak
punya waktu lagi bagi putri bungsu mereka.
Sambil mengerutkan keningnya Danielle duduk di atas meja
riasnya yang mengkilap. Disandarkannya tubuhnya ke kaca, lalu ia
membubuhkan selapis warna hijau lagi ke kelopak matanya.
Mungkin lebih baik orangtuanya tak melihatnya malam ini.
Ibunya pasti akan menganggap penampilan Danielle aneh, sedangkan
ayahnya paling-paling akan berbasa-basi memujinya sementara
pikirannya sedang melayang-layang ke tempat lain.
"Dan saat kau memelukku erat... stardust dreams..."
Tapi tidak boleh ada yang merusak acaranya malam ini. Kalau
orangtuanya tak bahagia, itu urusan mereka. Toh ia punya kencan
dengan seseorang yang khusus, dan Danielle berniat untuk menikmati
acaranya malam ini. Dengan make up yang komplit, Danielle bersandar dan
memandang bayangannya sendiri di dalam cermin.
"Hebat!" Rambutnya yang merah, panjang dan mengkilat itu
tergerai, tampaknya benar-benar sempurna. Danielle menatap jam
tangannya yang bertaburkan berlian. Nyaris terlambat, tapi itu tak
masalah. Cuma orang-orang bodoh dan cewek-cewek yang
sendirianlah yang datang ke pesta tepat pada waktunya. Tetapi waktu
sudah lewat dari jam delapan, seharusnya Don sudah datang dari tadi.
Mungkin cowok juga butuh waktu untuk bersolek, pikir
Danielle sembari berjalan menuruni tangga untuk memutar Stardust
Dreams sekali lagi. Setelah membalik disc-nya, Danielle melangkah mendekati
jendela besar yang terletak dekat serambi depan, lalu melongok ke
luar. Suasana malam itu begitu gelap, hanya terlihat seberkas cahaya
bulan menari-nari dekat pagar tanaman yang terpangkas rapi. Tak
tampak lampu apa pun di sekitar pekarangannya. Dan tak terdengar
deru satu mobil pun. Di mana sih, Don?
Sambil berusaha mengenyahkan rasa pedih yang tiba-tiba
timbul, Danielle menghela napas dan berjalan kembali ke atas untuk
memberikan sentuhan terakhir pada penampilannya.
"Bagai bayangan di malam hari... stardust dreams...."
Namun saat gadis itu menatap cermin kembali, ia melipat
tangannya dan mengangkat bahu. Ia tampak memikat! "Buat apa aku
mesti kelihatan begitu sempurna?" pekiknya dengan keras sambil
menghempaskan tubuhnya ke atas sofa kulit yang berada di kamarnya.
Menunggu Don membuatnya gugup ? apalagi ia bukan
termasuk tipe gadis yang penyabar. Sepuluh menit kemudian, Danielle
masih mengetuk-ngetukkan kuku-kukunya ke sandaran sofa kulitnya,
sambil mengerutkan keningnya.
Di mana sih, dia? Apa mungkin Don lupa? Baru saja gadis itu mau melangkah, ia mendengar deringan bel
rumah yang tak asing lagi. Akhirnya!
Danielle menatap jam tangannya, sambil berlari menuruni
tangga. Mereka pasti terlambat, tapi tak apalah. Toh pemunculannya
akan merupakan kejutan di pesta.
Di kaki anak tangga ia berhenti dan menarik napas dalamdalam, berusaha untuk tampak tenang dan santai. Ia tak ingin Don
melihatnya begitu kegirangan. Danielle membuka pintu depan ? dan
ketenangannya pun sirna dalam sekejap.
Don James berdiri di muka pintu. Penampilannya dekil dengan
jeansnya yang belel dan jaket hitamnya yang butut!
Tiga "Hei, Red," sapa Don dengan tersipu-sipu.
"Don..." mulut Danielle ternganga saat ia menatap cowok itu.
Apa Don sudah gila? Mana mungkin dia pergi ke pesta 'black
tie'-nya Ashley Shepard dengan pakaian seperti itu? Bahkan di bawah
kuku-kuku tangannya masih terdapat sisa-sisa oli!
Don bersandar di tiang pintu seolah-olah ia telah berada di situ
sepanjang malam. "Boleh aku masuk, Red?" tanyanya. "Atau kau akan
terus menatapku dengan pandangan sinis seperti itu?"
"Masuk deh," ujar Danielle. "Tapi aku nggak yakin deh, kau
berani muncul dengan pakaian seperti itu!" Danielle membuka pintu
lebar-lebar lalu melangkah ke dalam.
Kok tega-teganya Don memperlakukan dia seperti itu? Mana
mungkin ia pergi ke pesta Ashley bersama cowok slebor ini. Hancur
sudah rencananya malam ini. Terimakasih atas keterlambatan Don, ini
benar-benar kacau! Di ruang tamu Danielle menghempaskan tubuhnya ke atas kursi
yang empuk. Biarlah dia merengut saja agar Don merasa gugup atas
kesalahannya. Waktu Don mengikutinya ke ruang tamu, Danielle berniat
untuk mengabaikan cowok itu. Tapi ia membatalkan niatnya tadi
begitu ia melihat pandangan mata Don yang murung.
Don duduk mendekam di sudut sofa, seolah-olah ia terlalu
lemah untuk duduk dengan tegak. Tampaknya cowok itu sedang
pusing. "Ada apa, sih?" tanya Danielle. Ia masih merasa kesal dengan
acara pesta tadi, tapi kemuraman Don membuatnya penasaran.
Pasti ada sesuatu yang nggak beres, sampai Don membuatku
kecewa seperti ini. Danielle menunduk, memandangi kuku-kukunya.
"Kita kan mestinya pergi ke pesta Ashley malam ini."
Masih menerawang ke kejauhan, Don mengangguk. "Aku tahu.
Maaf ya, Red." Meskipun kata-katanya terdengar jujur, tetapi Danielle tahu
bahwa saat itu Don pasti tidak ingat akan pesta itu. Danielle berpindah
duduk, untuk dapat menatap Don lebih baik. Pasti ada masalah besar!
"Ada apa, sih?" desaknya.
Don menatapnya dengan pandangan kosong. "Aku lagi ada
masalah, Red." Wajah Don diselimuti awan mendung. "Kakakku akan
melepas tanggung jawabnya padaku. Dia akan melanjutkan sekolah,
jadi dia takkan dapat mengurusku lagi."
Bagi Danielle hal itu bukan merupakan masalah. Ia tak pernah
menyukai cara hidup Don yang tinggal bersama kakaknya dan cowokcowok pengendara motor yang kasar itu. Baginya, rumah yang penuh
sesak yang letaknya di pinggir kota itu bagaikan neraka. Tampaknya
Don merasa senang tinggal di lingkungan itu, selama ia tak tinggal
dengan orangtuanya. Tapi Danielle tak suka dengan teman-teman


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serumahnya yang aneh-aneh itu.
Secercah harapan terbersit di benak Danielle. Don kan bisa
menyewa apartemen sendiri, tak jauh dari pusat kota. Bahkan Danielle
dapat ikut membantu mendekorasinya. "Justru kini kau bisa tinggal
sendiri. Kan asyik."
Don menggelengkan kepalanya. "Dengan kesibukanku bekerja
di bengkel dan setahun lagi di Merivale High, mana bisa aku
menyewa kamar sendiri. Aku baru tujuh belas tahun. Ortuku ingin aku
kembali tinggal bersama mereka ? secepatnya."
Orangtua Don! Danielle nyaris melupakan mereka.
"Aku nggak tahu, mengapa tiba-tiba mereka ingin aku tinggal di
sana. Mereka nggak pernah menyayangi aku, dan selalu membuat
hidupku sengsara." Kini Danielle mengerti apa yang membuat Don begitu depresi.
Meskipun ia tak pernah bertemu dengan Bapak dan Ibu James, namun
Don pernah menceritakan tentang tingkah laku orangtuanya yang
aneh. Aneh! Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya tinggal dalam
suasana peperangan. Danielle bisa memahami perasaan Don.
"Bagaimana dengan kakakmu?" tanya Danielle lagi. "Kau tak
marah karena ia meninggalkanmu dalam kesulitan?"
Don berdiri dan menatap keluar dari jendela yang besar. "Aku
tak dapat menyalahkannya. Ini baru merupakan suatu permulaan
baginya?masuk sekolah memasak dan mencoba melakukan sesuatu
yang sesuai dalam hidupnya. Dia ingin sekali jadi seorang juru masak.
Kakakku itu suka sekali memasak, jadi kupikir tak apalah. Mudahmudahan segalanya berjalan lancar baginya."
Bayangan Don terpantul di kaca, tubuhnya yang berotot
setinggi seratus delapan puluh senti itu tampak begitu kokoh. Sulit
rasanya membayangkan cowok itu tak berdaya dalam situasi seperti
ini. Hampir tak dapat dipercaya bahwa hidup Don kini hancur
berkeping-keping. Danielle menunduk, menatap pakaiannya yang telah
disiapkannya dengan begitu cermat. Aneh, kini ia sama sekali tak
berhasrat dengan pesta Ashley yang kekanak-kanakan. Don
tampaknya benar-benar tertekan. Yang lebih penting kini adalah
menemani cowok itu?meskipun itu berarti ia kehilangan kesempatan
untuk menghadiri acara pertemuan paling oke saat ini.
Baginya pesta telah usai. Danielle melepas jaketnya yang
berhiaskan manik-manik logam, dan sepatu kulit ularnya yang berhak
tinggi, lalu melemparkannya ke atas karpet. Kemudian ia berjingkat
mendekati Don, yang sedang memandang ke luar jendela.
Apa yang akan dikatakannya? Ia tak terbiasa dengan masalah.
Dalam keluarga Sharp, semua masalah akan menguap dengan
sendirinya, tanpa ada yang mempedulikannya. Di rumah yang
tampaknya sempurna itu seakan-akan tak pernah ada masalah.
Bahkan teman-teman Danielle pun tampaknya bebas dari
masalah. Selama bertahun-tahun bergaul dengan Teresa dan Heather,
ketiga cewek itu tak pernah terlibat dalam krisis. Para anggota
kelompok paling eksklusif di Akademi Atwood itu selalu berpura-pura
bahwa mereka hidup dalam kebahagiaan. Satu masalah kecil saja bisa
menurunkan gengsi cewek-cewek top itu di Atwood.
Jantung Danielle berdebar saat ia berdiri di belakang Don, ingin
rasanya ia meraih dan membantu cowok itu. Baru sekali ini dalam
hidupnya ia kehilangan kata-kata.
"Ku-kuharap ada sesuatu yang dapat kukatakan... sesuatu yang
dapat kulakukan...."
Danielle terdiam, ia memahami ketegangan yang ada dalam diri
Don. Sebenarnya, tak ada yang dapat dilakukannya untuk membantu
Don kali ini. Kalau orangtuanya menginginkannya tinggal kembali
bersama mereka?di bawah kekuasaan mereka?maka di situlah Don
akan tinggal. Sekurang-kurangnya sampai tahun depan.
"Aku ikut menyesal," ujar Danielle.
"Nggak apa-apa." Don membalik dan menatap wajah gadis itu.
Tatapan matanya yang kehitaman itu membuat napas Danielle terasa
sesak. Sorot mata itu seakan menerobos menembus jantungnya, jauh
ke dalam relung hatinya. Mereka telah bersama-sama selama beberapa waktu. Dan
mungkin Don mengenal Danielle jauh lebih baik dari pada orang lain
di dunia ini. Ia tahu Danielle yang sebenarnya?perasaan dan
ketakutannya?dan cowok itu masih tetap menyukainya.
Don menyelipkan tangannya di pinggang Danielle. "Tahu
nggak, baru ngomongin masalahnya saja denganmu membuatku
merasa jauh lebih baik. Kau benar-benar pendengar yang baik, Red.
Dan lagi, kau betul-betul cantik, deh." Don menjauhkan Danielle dari
jangkauannya, mengangkat tangan gadis itu lalu membimbingnya
berputar, seolah-olah mereka sedang berdansa.
Danielle berputar dengan gemulai, lalu mengulurkan lengannya
bagaikan seorang model. Gerakannya yang indah itu membuat Don
tersenyum. "Aku harus pergi sekarang untuk membereskan segalanya."
Cowok itu mengangkat bahunya. "Sore ini, waktu kakakku datang ke
bengkel untuk menyampaikan berita itu, aku benar-benar kaget. Aku
berusaha untuk menenangkan diri, tapi yang ada dipikiranku cuma
bayangan?bahwa semuanya telah usai. Nggak ada lagi kebebasan."
Danielle mengerutkan keningnya. Tinggal dengan orangtua Don
kedengarannya seperti hidup dalam penjara saja.
"Begitu aku selesai kerja, pikiranku benar-benar kacau. Aku
lalu berputar-putar dengan sepeda motorku. Melintasi pegunungan,
mencoba mencari jalan keluar. Tanpa kusadari, matahari telah
terbenam ?dan aku baru sadar kalau hari telah malam. Kuarahkan
motorku ke sini." Don mengangkat tangannya. "Bahkan aku tak
sempat membersihkan sisa-sisa oli dari mesin yang kuperbaiki."
Sudut bibir Danielle terangkat, membentuk senyuman yang
menggoda. "Kalau yang itu sih, aku tahu cara mengatasinya. Ada
banyak sabun dan air kok di sini."
"Maksudku, tentang pesta itu. Aku tahu itu pasti penting
bagimu," ujar Don dengan jujur. "Maaf ya, Red."
Danielle mengibaskan tangannya yang telah rapi itu. "Ah, itu
nggak penting kok. Nggak penting-penting amat pergi ke acara blacktie itu, paling cuma hura-hura saja."
"Betul?" senyum Dori tampak ragu. "Yah, rasa-rasanya sayang
untuk menyia-nyiakan acara malam minggu bersama seorang cewek
cantik." "Nah, kenapa mesti disia-siakan?" balas Danielle, sembari
menyingkirkan beberapa helai rambut di bahunya.
Don tertawa. "Betul, Red. Kamu punya rencana apa lagi dalam
pikiranmu yang berliku-liku itu?"
"Nggak terlalu jelek, kok. Kupikir, karena ada tempat khusus di
sini buat kita berdua, kenapa kita nggak duduk-duduk saja sambil
nonton film?" "Bermalam minggu di rumah keluarga Sharp?" goda Don.
"Kenapa tidak?"
"Dan kalau kau duduk manis-manis, aku akan melihat kalaukalau ada camilan buat kita."
Don tersenyum masam. "Aduh Red. Kau masih ngomong
begitu sama cowok yang suka padamu sejak kelas enam. Kan aku
selalu manis padamu."
Saat Don memperhatikan koleksi video keluarga Sharp di ruang
duduk, Danielle melenggang ke dapur.
Waktu ayah Danielle merancang dan membangun rumah ini, ia
telah mengisi dapur dengan peralatan yang indah dan paling modern
yang ada waktu itu. Benar-benar menakjubkan, tapi yang paling sering
digunakan keluarganya hanyalah lemari es berukuran besar, yang
cukup besar untuk meletakkan nampan-nampan besar kiriman
Premiers Carterers. Serena Sharp merasa tersanjung jika orang-orang
menyangkanya seorang ahli masak yang handal, meskipun sebenarnya
dia tak bisa memasak air sekalipun.
"Coba lihat...," Danielle membuka pintu lemari es dan
bersandar di pintunya yang besar. Dikerutkannya hidungnya di atas
nampan besar berisi hidangan pembuka sisa pesta koktil ibunya.
Danielle mengambil sebuah piring berisi keju dan sekantung besar
popcorn. Saat ia kembali ke ruang duduk, dilihatnya Don duduk
berselonjor di sofa dengan film yang telah terpasang di VCR. Jaketnya
tergantung di kursi kosong, dan dari bau segar yang tercium, Danielle
tahu bahwa cowok itu baru saja berbasuh.
"Lumayan juga untuk hidangan pembuka," ujar Don saat
memperhatikan nampan berisi soda dan makanan kecil.
"Eh, kau kira aku nggak bisa masak ya," ujar Danielle seraya
menyerahkan mangkuk berisi popcorn tadi.
Film yang dipilih Don adalah film tua Greta Garbo, salah satu
film favorit Danielle. Begitu Danielle menjatuhkan diri di kursi, ia
merasa heran dengan apa yang terjadi malam ini.
Ini sih sepuluh kali lebih romantis daripada berdansa sambil
menghirup punch di pesta kanak-kanak itu. Dan mungkin saja, ia dan
Don jadi terkenal di Merivale. Namun Danielle yakin akan satu hal:
ketidakhadiran mereka malam ini akan menjadi bahan pembicaraan
besok. Terbuai dengan permainan Garbo di layar kaca, Danielle
menyandarkan tubuhnya ke sofa kulit hitam yang nyaman itu. Tangan
Don berada di belakangnya, dan kini cowok itu menggerakkan
tangannya lebih dekat lagi, sehingga ia dapat memainkan rambut
merah Danielle yang tergerai di atas bahunya.
Sentuhannya menimbulkan getaran dalam diri Danielle. Sesaat
kemudian cowok itu menyingkirkan rambut Danielle ke belakang dan
mengelus bahunya yang terbuka dengan lembut. Tangannya begitu
kasar, namun juga hangat dan lembut.
Saat Danielle menoleh untuk menatap mata cowok itu, wajah
Don berada begitu dekat dengannya, sampai-sampai ia dapat
merasakan napas cowok itu berhembus ke pipinya. Jantungnya
berdebar dua kali lipat, mungkin saja Don dapat merasakannya.
Danielle ingin bertanya tentang rencana Don, tetapi pikirannya
jadi bercampur aduk, saat cowok itu mengelus bahunya.
Wah gawat! Dia mau menciumku!
Saat Danielle menutup matanya, Don mengecup pipinya dengan
lembut, membuatnya gemetar dari kepala hingga ujung kaki.
********** "Setiap saat kulihat wajahmu... stardust dreams...."
Danielle membiarkan rekaman Bad Boys berputar sekali lagi,
saat ia menyelinapkan tubuhnya ke balik selimut tempat tidurnya. Ia
dan Don begitu terbuai dengan film tadi, sehingga ia tak sempat
memutarkan lagu itu untuk Don.
Tetapi dengan atau tanpa Stardust Dreams, Danielle Sharp
takkan dapat melupakan malam paling romantis dalam hidupnya itu.
Sambil meletakkan kepalanya ke atas bantal berenda, Danielle
teringat saat-saat ia berada dalam pelukan Don.
Oh, ia memang sudah pernah dicium sebelumnya. Tetapi malam
ini, benar-benar berbeda rasanya. Karena ia dicium oleh Don James.
Mereka menghabiskan waktu sepanjang malam dengan ngobrol
dan bercanda. Sesaat Danielle tergoda untuk menceritakan
masalahnya dengan orangtuanya pada Don. Hanya sedikit orang yang
tahu pertengkaran yang selalu terjadi antara Mike dan Serena Sharp.
Keduanya selalu berusaha menutup-nutupinya. Dan Danielle tak
sanggup untuk menceritakannya pada orang lain?kecuali pada Don.
Ada sesuatu yang khusus di balik senyumnya?sesuatu yang membuat
Danielle merasa berani untuk membagi dukanya pada Don.
Dan kini, Don telah mempercayainya. Danielle merasa lega.
Tak pernah ia merasa begitu dekat dengan seorang cowok
sebelumnya. Mungkin saja kisah cinta yang dibayangkannya benarbenar menjadi kenyataan!
Hanya ada satu ganjalan kecil di dalamnya. Segalanya terasa
begitu indah sekarang, tetapi bagaimana kalau Don harus pindah
kembali ke rumahnya? Beberapa hari lagi, Don akan kembali hidup di bawah tekanan
orangtuanya. Pasti akan ada gejolak lagi. Mungkinkah masalah Don di
rumahnya akan mempengaruhi hubungan mereka? Dari
pengalamannya Danielle tahu, bahwa bila di rumah sedang ada
peperangan, pasti kita akan sulit memikirkan tentang sesuatu ? atau
orang lain. Danielle membalikkan tubuhnya dan menepuk-nepuk bantal di
bawah kepalanya. Hatinya terasa pedih, saat memikirkan sakit hati
yang akan ditimbulkan orangtua Don pada cowok itu. Dan ia pasti
akan mati, kalau ayah dan ibu Don James memisahkannya dari cowok
itu. Danielle menepuk bantalnya sekali lagi sebelum mematikan
lampu. "Keributan dalam keluarga adalah hal yang paling buruk,"
bisiknya di tengah kegelapan dalam kamarnya.
Empat "Satu, dua, tiga, tendang! Belakang, dua, tiga, tendang!" Ann
Larson berteriak-teriak, memberi semangat pada kelas erobik
bimbingannya. Dengan baju senam warna perak dan celana hitamnya yang
seksi, Danielle menyelinap ke bagian belakang ruang latihan senam
yang berlapiskan karpet, di Body Shoppe, tempat senam paling
bergengsi yang letaknya di lantai tiga Merivale Mall.
Meskipun Danielle berusaha menyelinap di antara deretan
cewek-cewek tanpa sepengetahuan yang lainnya, namun kedua
sobatnya menoleh. Sambil menyingkirkan poni cokelatnya yang panjang, Teresa
memutar kepalanya untuk mengamati si pendatang baru itu. Waktu
tahu bahwa orang itu adalah Danielle, gadis itu membuat gerakan dua
kali, dan menyikut Heather.
Mata biru Heather menatap Danielle tajam, dengan penuh rasa
curiga. Apa-apaan sih, emangnya aku maling? Danielle mengertakkan
giginya dengan kesal sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan
meluruskan pinggangnya. Rupanya ia telah ketinggalan setengah
pelajaran. Sial memang! Waktu ia setuju untuk ikut latihan bersama
teman-temannya hari Minggu pagi ini, ia tak menyangka bahwa
semalam ia terpaksa tidur larut setelah menghabiskan waktunya
bersama Don James. Sebaliknya, ia mengira bahwa pertemuan pagi ini dengan kedua
sobatnya itu akan merupakan perayaan kemenangannya. Yakin bahwa
ia dan Don pasti berhasil membuat kejutan di pesta Ashley, Danielle
ingin sekali unjuk gigi sesudahnya.
Namun kini, Heather dan Teresa menatapnya dengan tajam,
seolah-olah mereka siap menelannya.
Peduli amat! Danielle terus mengikuti latihan penenangan, siap
menghadapi tantangan baru.
"Cukup sudah untuk hari ini," seru Ann. "Kalian semua hebat."
Meskipun Danielle dan teman-temannya menyukai kelas erobik
pimpinan Ann, namun mereka tidak bergaul dengan instruktur paruh
waktu yang bertubuh tinggi dan berambut cokelat itu. Sebagai siswa
Merivale Mall, Ann adalah teman baik Lori Randall. Salah seorang
dari kelompok kere itu, pikir Danielle. Meskipun Lori adalah seorang
gadis yang manis, namun Danielle selalu merasa malu memiliki
sepupu yang begitu sederhana, seindah pai apel dan sesegar matahari
musim panas. Huh, betapa membosankan!
"Waduh, Sinderela ya!" Teresa mengibaskan handuknya pada
Danielle. "Ada apa, sih? Apa labumu nggak mau berubah jadi kereta
kencana?" "Ada masalah dengan pacarmu, Danielle?" Heather melepas


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepangnya, lalu menggerai rambut hitamnya. "Apa Don tersayangmu
ingkar janji? Atau kau tak mau membawanya keluar?"
Darah Danielle mendidih saat mendengar sindiran kedua
temannya. Sialan! Sambil melingkarkan handuk di lehernya, gadis itu menatap
kedua temannya dengan tajam. "Aduuuh, maaf ya sudah bikin kalian
kecewa. Tapi Don dan aku memang sudah merencanakan untuk nggak
datang ke pesta susu dan kuenya Ashley-washley itu. Ada hal-hal
lebih penting yang harus kami kerjakan, daripada ke pesta anak-anak
ingusan itu. Betul kan?"
Sebelum keduanya menjawab, Danielle memutar tubuhnya dan
berjalan menuju ruang locker. Ia berusaha menyingkir untuk
menenangkan diri. Ia butuh waktu untuk berpikir. Ia harus dapat
mengarang cerita yang pasti akan membuat mereka geger, karena tak
mungkin ia menceritakan masalah Don pada orang-orang sombong
itu. Keduanya tak segan-segan untuk tertawa terbahak-bahak di atas
penderitaan orang lain! Sementara ini, mungkin Heather dan Teresa sedang
menghabiskan waktunya di sauna, ?untuk memuaskan rasa ego
mereka! Lima menit kemudian cewek-cewek itu bergabung dengannya.
Danielle baru saja menutup kedua matanya, terbuai dengan suara air
yang berdesir saat ia mendengar suara kedua orang yang masuk ke
dalam air yang memutar itu.
"Oke, Dan. Ceritain aja deh, apa yang sebenarnya terjadi. Ada
apa sih, tadi malam!" bujuk Heather.
Mata hijau Danielle membuka. "Ah, nggak ada apa-apa. Cuma
Don dan aku memutuskan untuk nggak datang aja ke pesta itu."
"Apa?" pekik keduanya serentak.
Senyuman misterius dan puas muncul di sudut bibir Danielle.
Satu nol untukku. "Si Ashley tersinggung lho, habis kau nggak kasih kabar sih,"
tambah Teresa. "Ah, nanti juga dia lupa." Danielle menarik napas, lalu
membenamkan tubuhnya di kolam, hingga air yang nyaman itu
menutupi bahunya yang lembut.
Mata kedua sobatnya terbelalak lebar.
"Jangan bercanda, deh," ujar Heather, bibirnya yang indah itu
berkerut masam. "Sumpah!" Tutup mulutmu! pikir Danielle. Kedua sobatnya itu
pasti penasaran setengah mati ingin tahu penjelasannya, dan ia merasa
senang melihat keduanya meliuk-liuk gelisah.
"Masa, sih?" ulang Teresa. "Yang benar!" Teresa menjentikkan
jarinya di permukaan air, membuat air terpercik ke wajah Danielle.
"Ayo dong, Dan. Kita kan pingin tahu cerita yang selengkapnya!"
"Yang paling lengkap, selengkap-lengkapnya!" tambah Heather
setuju, gadis itu tampak penasaran sekali.
Danielle tertawa mengejek. "Nggak percaya!" katanya dengan
perasaan puas. Gelisah dengan keingintahuannya, Teresa dan Heather saling
tukar pandang dengan kecewa.
"Yang perlu kalian ketahui adalah?" Danielle ragu-ragu sesaat.
"Yah, ada sesuatu yang menggemparkan antara aku dan Don tadi
malam ? untung nggak ada yang melihat ledakannya."
Ucapan tadi benar-benar mengejutkan keduanya. Sekali ini
Danielle berniat membuat kedua temannya bungkam.
"Ya," lanjut Danielle, "kisah romantis di Merivale masih
berjalan dong. Suasananya begitu indah, aku takkan heran segala
gosip di kota ini pasti kalah begitu mendengar bahwa aku dan Don
lagi deket-deketnya."
"Oooh!" desah Teresa.
Heather bersiul perlahan. "Gila! Kau memang licik!"
Merasa puas dengan kemenangannya lagi, Danielle menutup
matanya, dan bersandar ke belakang. Sekali-sekali gadis itu tersenyum
dan mengangguk, pura-pura mendengarkan ocehan teman-temannya
yang terus penasaran dengan rincian kisahnya tadi malam.
Namun sebenarnya pikiran Danielle sedang terombang-ambing
bagaikan arus deras di bak air panas itu. Kedua cewek itu terpesona
dengan kisahnya?sekarang. Tapi cepat atau lambat mereka pasti
ingin melihat buktinya bahwa Don benar tergila-gila padanya. Dan itu
pasti sulit, selama Don tinggal bersama kedua orangtuanya.
Tugasnya selesai sudah, dan ia berhasil mengalahkan tantangan.
Tak lama lagi, masalah orang tua Don usai. Danielle yakin akan hal
itu. Maka Don akan dapat berkonsentrasi penuh padanya ?dua puluh
empat jam dalam sehari. Dan itu karena, sekali lagi, Danielle memiliki
otak yang encer, brilian, serta segudang rencana. Dan Danielle Sharp
selalu berhasil memperoleh cowok yang diingininya.
********** Ck, ck, ck! Senyuman tersungging di wajah Lori Randall, saat gadis itu
memberi sentuhan terakhir pada baju barunya.
Sinar matahari pagi menyeruak, menerobos ke dalam kamarnya,
dan bau harum bolu gulung kayu manis yang dipanggang,
menggodanya untuk turun ke bawah.
Namun saat ia terbangun pagi itu, kreasi terbarunya telah
menunggu untuk diselesaikan?dan Lori tak dapat menundanya lagi.
Lagipula rok mini ini cukup indah untuk dikenakan dalam suasana
hangat hari ini. Begitu Lori menarik jelujuran benang keliman, rok denim itu
pun jatuh terkulai dengan lemasnya. Bayangan biru mudanya cukup
indah?hasil merendam bahan yang keras dalam cairan pemutih
sepanjang malam, dan setelah itu dicuci lagi dengan cairan pelembut
kain.... Dengan rasa gemetar, gadis itu mengenakan roknya dan
mengancingkan deretan kancing hias yang terpasang di pinggul
kanannya. Bagus! Lori memutar badannya di depan cermin dengan
kegembiraan yang meluap-luap. Rok mini itu memperlihatkan
keindahan kedua kakinya, dan bayangannya yang lembut tampak
menonjolkan kulitnya yang sehat dan mulus serta mata birunya.
Tapi yang paling menggembirakan adalah kreasinya. Ia
mengambil disain lain dari sketsanya untuk penyelesaian, dan hasilnya
membuatnya gembira. Jalanku sudah terbentang, pikir Lori saat ia mengenakan kaos
warna pink dan berlari menuruni langga. Suatu hari nanti, ia akan
menjadi seorang perancang mode terkenal. Tapi kini yang menjadi
prioritasnya adalah mengambil salah satu bolu gulung bikinan ibunya
yang lezat itu. "Selamat pagi, Lori," sapa ayahnya yang sedang berjalan keluar
dari dapur. Sambil membawa secangkir kopi dan koran hari Minggu,
George Randall berjalan menuju ruang duduk, untuk membaca koran.
"Hai, Yah. Ada lembaran modenya, nggak?"
Pak Randall membuka koran yang dipegangnya, sehingga Lori
dapat mengambil bagian yang diinginkannya.
"Trims." Ia lalu meletakkan koran itu di meja dapur, dan
menuang segelas jus jeruk.
"Eh, ada obral di D.B. Durrant," ujar ibunya, sambil
mengangkat kepalanya dari koran Minggu yang khusus memuat
tentang apa-apa yang ada di Merivale Mall. "Baju-bajunya bagus,
lho." "Makasih." Dengan gembira Lori duduk, meraih bolu
gulungnya, dan dengan penuh semangat membuka halaman favoritnya
dari koran hari Minggu. Sebuah artikel tentang topi memuat foto tentang ikat kepala,
berbagai kotak tempat topi, ikat kepala dan baret.
Gambar topi membuat Lori teringat akan Nora Pringle, dan
anak-anak berandal yang menggangu wanita itu kemarin.
"Ibu tahu Nora Pringle?" tanya Lori pada ibunya. Waktu Bu
Randall menggelengkan kepalanya, Lori menambahkan, "Ibu tahu
nggak? Wanita tua itu yang sering menghabiskan waktunya di
Merivale Mall? Dia selalu membawa-bawa tas-tas belanjaan dan
memakai baju yang compang-camping. Dia selalu memakai topi baret
ungu." Akhirnya, Cynthia Randall teringat pada wanita miskin yang
sering ada di mall itu. Wajahnya tampak kuatir saat Lori menceritakan
tentang apa yang terjadi antara wanita tua itu dan anak-anak berandal.
"Dasar berandalan!" Ibu Lori menggelenggelengkan kepalanya.
"Ibu tahu, sebenarnya mereka tidak berbahaya, tapi sungguh
memprihatinkan. Bayangkan, betapa teganya mereka mengganggu
wanita tua itu." Lori mengangguk-angguk sambil melahap kuenya. "Anak-anak
itu benar-benar menjengkelkan, tapi kejadian itu membuatku berpikir
tentang Nora Pringle. Dia tinggal sendirian saja, tanpa keluarga dan
rumah?juga uang." Mata Lori berbinar memancarkan tekad yang
kuat. "Aku ingin membantunya, Bu."
Bu Randall meletakkan koran yang dibacanya ke samping dan
menatap putrinya. "Itu bagus, sayang, tapi tak mudah menolong orang
yang perlu bantuan. Seberapa jauh kau mengenal Nora Pringle?"
"Aku melihatnya hampir tiap hari. Seolah-olah ia merupakan
bagian dari Merivale Mall."
"Tapi seberapa baik kau mengenalnya? Apa kau pernah
berbincang-bincang dengannya? Menanyakan soal rumah dan
keluarganya?" "Belum, sih." Lori mengangkat bahunya. "Aku tak begitu
mengenalnya. Dan aku tak berminat untuk tahu urusannya?"
"Karena kau menghormati keinginannya untuk tidak diusik,"
ujar Bu Randall melanjutkan ucapan anak gadisnya. "Itu bisa
dimengerti, Lor. Tapi mungkin saja Nora Pringle punya rumah yang
tidak ingin ditinggalinya. Mungkin juga ia punya keluarga dan orangorang yang mencintainya. Mungkin juga ia memilih untuk hidup
sendirian, bebas merdeka."
Bagaimana mungkin orang membiarkan keluarganya tinggal di
bangku keras di tengah-tengah mall? Tak mungkin Nora Pringle hidup
seperti itu. Tidak, pikirnya. Nora Pringle adalah seorang wanita yang
tak punya harapan apa-apa, dan sendirian. Ia yakin itu.
Ibu Lori menghela napas sebelum melanjutkan. "Dan ada
beberapa hal yang juga mesti diperhatikan. Semua orang punya harga
diri?bagaimanapun cara hidup mereka. Mungkin saja Nora merasa
gengsi untuk menerima bantuanmu."
Senyuman tersungging di wajah Lori. "Aku juga sudah
memikirkan hal itu. Jadi kuputuskan untuk membantu Nora Pringle
agar dia bisa mandiri. Aku bisa membantunya mencarikan pekerjaan,
ia toh tak perlu menerima derma ?atau mengais-ngais di tempat
sampah?tak perlu lagi."
"Ibu tak tahu..." Bu Randall masih tampak ragu. Selama
bertahun-tahun menjadi perawat, ia punya banyak pengalaman yang
berkaitan dengan para gelandangan dan orang-orang miskin. Dan
sejak ia mengkhususkan diri untuk merawat orang-orang tua, ia
seringkali menemui pasien yang sudah pikun atau sakit jiwa.
"Ibu punya nggak, teman yang khusus merawat orang-orang
seperti Nora?" desak Lori.
Ibunya mengangguk. "Lakukanlah usahamu dengan sebaikbaiknya, tapi jangan kecewa apabila Nona Pringle menolak
bantuanmu. Orang-orang gelandangan biasanya sulit diatur. Kadangkadang mereka merasa terhina kalau ada yang mau membantu. Sering
juga mereka menderita kelainan jiwa. Mungkin saja Nora bahkan tak
dapat bercakap-cakap secara wajar denganmu."
Cynthia Randall mulai mengaduk-aduk lemari dapurnya sampai
ia menemukan buku alamatnya. "Aku akan memberikan buku tentang
yayasan sosial yang ada di Merivale ini. Badan itu dikelola oleh
seorang wanita bernama Mimi Turner, bekas temanku di sekolah
perawat dulu. Kalau ada yang bisa membantu Nora, Mimilah
orangnya." Lori melongok dari bahu ibunya, saat beliau menuliskan nomor
telepon yayasan tersebut.
"Ibu bangga kau berusaha membantunya," tambah Bu Randall.
"Tapi jangan menaruh berharap terlalu banyak."
Lori mengangguk. "Akan kuusahakan." Tapi jauh dalam lubuk
hatinya gadis itu tahu, bahwa ia takkan menyerah sampai ia berhasil
membantu Nora Pringle untuk memperoleh kehidupan yang lebih
layak. Lima "Donald, ayahmu tak suka kalau kau memonopoli telepon."
Suara tinggi melengking itu terdengar lewat telepon, membuat
Danielle merasa risih. "Siapa sih, itu?" ia bertanya pada Don.
"Ibuku," gumam Don dari seberang. "Beliau memperlakukan
aku seperti anak umur dua tahun saja."
Danielle memindahkan telepon ke telinganya yang lain. Ia
terkejut mendengar interupsi kasar yang dilontarkan Bu James. Ibunya
sendiri terkadang mengeluh, tetapi Serena Sharp selalu berusaha agar
orang lain tak mendengar keluhannya.
"Dengar," ujar Don. "Lebih baik aku pergi sebelum beliau
mulai mendesakku lagi."
"Jangan...tunggu! Jadi nggak, kita nonton nanti malam?"
Tak terdengar jawaban apa-apa dari seberang. Danielle
berusaha menahan kekesalan yang timbul dalam hatinya. Sejak Don
pindah ke rumah orang tuanya tiga hari yang lalu, ia tak pernah
bertemu dengannya sekalipun. Ketemu saja susah, kayak mau kencan
dengan cowok dari bulan saja!
"Aku nggak tahu, Red," jawab Don pada akhirnya. "Semuanya
jadi makin kacau saja. Aku sendiri nggak bisa konsentrasi barang
sedetik pun." "Kenapa kau tak datang ke rumahku saja? Kita kan bisa dudukduduk dan ngobrol, seperti malam minggu kemarin?"
"Sulit, Red. Aku khawatir, aku nggak bisa jadi teman yang
menyenangkan." Danielle merasa amat kecewa begitu kata-kata Don memotong
kalimatnya dengan cepat. Don tak mengerti, betapa inginnya ia
bertemu dengannya, meskipun dia masih diliputi perasaan depresi dan
kecewa. Bagaimana mungkin ia dapat membantu Don, kalau ketemu
saja susah? "Dengar Don," ujarnya lagi, "Kupikir begini?"
"Donald..." ? terdengar suara Bu James yang mengeluh
jengkel ? "Letakkan teleponnya?sekarang!"
"Sudah dulu ya, Red. Ibu ngamuk lagi tuh. Nanti kutelepon
lagi...segera," janjinya.
Sambil berbaring di atas sofa kulit putih di kamarnya, Danielle
menjauhkan gagang telepon dari telinganya, kemudian menatapnya
sampai nadanya menghilang.
Semuanya tak berjalan sesuai dengan rencana. Sepanjang
minggu ia berusaha mencari jalan untuk dapat ke rumah Don,
berusaha untuk dapat bertemu dengannya, berusaha untuk dapat
menemukan cara untuk bertemu dengan orang tuanya yang tak
menyenangkan itu. Kalau saja ia dapat menganalisa bapak dan ibu
James, maka ia pasti dapat mendiagnosa titik kelemahan dan kekuatan
mereka. Dan ia dapat menolong Don James.
Tapi rasanya percuma saja melaksanakan rencananya itu. Kalau
menunggu sampai Don datang, bisa-bisa ia terus menunggu sampai
rambutnya beruban. Jam digital menunjukkan pukul empat lima puluh
dua ?hampir magrib. Sudah saatnya untuk bertindak.
Kalau Don tak dapat datang ke rumahnya, maka dialah yang
akan mendatangi cowok itu. Lagi pula, bukankah ia pandai mencari
akal? Untuk mendapatkan keinginannya, Danielle Sharp-lah jagonya


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di Merivale. Begitu suatu akal melintas di benaknya, Danielle buru-buru
bersiap melaksanakannya. Gadis itu melompat, mengenakan sepatu
boot kulit, lalu meraih kunci mobil dari atas meja riasnya.
Jika kau berada dalam situasi genting di medan perang, itulah
saatnya untuk menggunakan strategi cadangan.
********* Ini dia bloknya. Deretan rumah peternakan yang sederhana itu
tampak buruk dengan sebidang kecil padang rumput dan sedikit
kebun. Danielle tak keberatan untuk bersusah payah berkunjung ke
daerah yang sederhana itu, hanya untuk berjumpa dengan Don.
Ketika melewati rumah orang tua Don, Danielle terus
menjalankan mobilnya ke blok berikutnya. Ia meluncur terus,
kemudian berhenti tak seberapa jauh dari tikungan.
Karena Don adalah seorang ahli mekanik, maka kerusakannya
harus dibikin sesulit mungkin. Jadi akan sulit untuk memperbaikinya.
Tapi kalau Don menemukan mesin BMW-nya tidak ada kerusakan
apa-apa, maka kesempatannya akan gagal.
Apa yang mesti dilakukannya? Danielle menatap ke arah mesin
mobil yang ada di balik kap BMW-nya. Untuk mobil semahal itu,
mesin mobilnya tampak sangat kotor. Apakah montir ayahnya tak
pernah membersihkan mesinnya?
Danielle menggigit bibirnya saat ia memperhatikan berbagai
selang dan selubung besi yang simpang-siur. Ia tak tahu harus mulai
dari mana. Akhirnya, sebuah tempat plastik yang berisi cairan biru,
tampaknya cocok untuk menjadi korban.
Dengan senyum liciknya, Danielle menemukan paku logam
dalam dompetnya, lalu ia mulai menusuk wadah plastik itu. Begitu tak
terjadi apa-apa, Danielle lalu menyentakkan saluran yang terletak di
bawah. Setelah beberapa sentakan, saluran tadi terlepas, dan cairan
biru mengalir membasahi jalanan.
Tahap pertama selesai sudah.
Sekarang tahap kedua ?memasang tampang manis di depan
orang tua Don. Sambil berjalan menuju rumah Don, Danielle menghapus
kotoran yang melekat di tangannya. Meskipun bagian ini lebih sulit,
namun ia yakin pasti akan berhasil.
Siapa sih, yang bisa menolak seorang gadis sopan yang muncul
dengan senyuman yang semanis madu?
*********** "Apa pun yang kau jual, kami tak tertarik."
Danielle mengenali suara ibu Don yang melengking, namun
cepat-cepat ia menyelinapkan tubuhnya ke dalam sebelum wanita itu
menutup pintunya lagi. "Maaf mengganggu Anda, Bu James," ujarnya dengan cepat
dan sopan. "Tapi, mobil saya rusak di blok sebelah, dan saya pikir
mungkin saja Don dapat memperbaikinya. Saya teman baik dari...
Danielle Sharp." Wanita bertubuh mungil itu tak membanting pintu, namun juga
tak mempersilahkan Danielle masuk. Dipandanginya Danielle dengan
teliti, dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Tunggu di sini," ujarnya,
lalu menghilang ke balik pintu.
Bukan sambutan yang ramah, pikir Danielle, namun ia akan
memberikan kesempatan pada wanita itu untuk bersikap hangat
padanya. Sesaat kemudian Don muncul dari pintu. "Red, ngapain kau di
sini?" Rambutnya yang hitam tampak agak kusut, memberi kesan
keras, dan berantakan. Tiba-tiba Danielle teringat bahwa Don selalu dapat membaca
semua perbuatannya. Don pasti mengenal tipuan kecil seperti itu...
tapi ia tak mungkin mundur lagi.
"Mobilku rusak satu blok dari sini. Aku baru mau menelepon
klub mobil, tapi aku teringat bahwa rumahmu tak jauh, jadi kupikir?"
"Ngerti, Red." Don tersenyum, memotong penjelasan gadis itu.
"Akan kulihat. Masuklah." Don lalu membukakan pintu bagi
Danielle. Danielle melangkah ke ruang tamu dan duduk di atas sofa,
berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dari hiasan yang tak sesuai.
Rumah itu tampak bersih dan rapi, berisi barang-barang Mediteranian
yang ukurannya terlalu besar untuk ruangan itu. Tapi pilihan Bu
James tak begitu bagus, dan akibatnya? tampak berselera rendah.
Mula-mula Danielle tak memperhatikan seorang lelaki bertubuh
tinggi semampai yang duduk di sebuah kursi. Lelaki itu sedang nonton
televisi, dan terpaku dengan siaran berita yang terpampang di
hadapannya. "Oh, hai!" Danielle melemparkan senyumnya pada lelaki
itu. "Itu ayahku," ujar Don. "Ayah, ini Danielle Sharp, temanku."
"Apa kabar?" Lelaki itu melambaikan tangannya ke arah
Danielle, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi.
Saat Don berjalan ke dapur, Danielle berusaha untuk membuka
percakapan kecil dengan ayah Don. Tetapi lelaki itu tampaknya tak
ingin terganggu dari layar kaca. Ia hanya menggumam atau
mengangguk atas semua pertanyaan-pertanyaan sopan yang
dilontarkan Danielle. Tampaknya pikiran Pak James sedang melayang jauh.
Bagaimana mungkin Danielle dapat membuatnya terkagum-kagum,
sedang untuk menarik perhatiannya saja ia tak bisa?
Danielle menggigiti bibirnya sembari memikirkan masalahnya.
Ia telah berusaha untuk tampak sebagai gadis sopan dan bertanggung
jawab. Cepat atau lambat salah satu dari orang tua Don akan
mengetahui kualitasnya. Biasanya orangtua teman-temannya yang lain
tak pernah menolaknya. "Kamu mau minum, Danielle?" suara Bu James terdengar dari
dapur. "Ya, boleh." Danielle tersenyum. Kini, saatnya tiba juga! Ia
akan mulai membuka percakapan yang hangat saat ibu Don muncul
dari dapur membawa minumannya.
Tetapi Bu James tak pernah muncul kembali. Tak lama
kemudian Don kembali sembari membawa minuman bir. "Nih
untukmu. Di mana sih, mobilmu?"
"Di blok sana." Sembari meneguk minumannya, Danielle mulai
memikirkan kembali rencananya. Tampaknya keluarga James tak
tertarik dengan kunjungannya. Malah mereka tampaknya terganggu.
Don sendiri kelihatannya tak tenang, duduk bagaikan patung di ruang
tamu keluarganya sendiri.
"Bagaimana mula-mulanya?" tanya Don.
Danielle menunduk, memandangi sisa-sisa oli yang ada di
punggung tangannya. "Tadi lagi enak-enaknya nyetir mobil, tahu-tahu
itu? cairan biru mengalir keluar dari mesin."
Alis mata Don terangkat. "Cairan biru? Dari bawah??"
"Ssst! Lagi siaran berita nih," Pak James memotong kalimatnya.
Saat Don mengatupkan mulutnya, Danielle pun mengerti. Ia
dapat memahami bagaimana rasanya dianggap tak ada dalam rumah
sendiri. Don bagaikan orang asing di rumah orang tuanya sendiri?
yang bukan merupakan tempat yang menyenangkan. Begitu tegangnya
suasana, sampai terasa menggemaskan.
Setelah menghabiskan minumannya, Danielle memutuskan
untuk menghentikan niatnya. Tak mungkin menarik perhatian orang
tua Don atau mendekati mereka. Ia harus mulai dengan rencana lain,
yang dapat diterima orang tua Don.
Hampir tak tahan lagi dengan suasana rumah yang kumuh dan
penggap itu, Danielle duduk di atas sofa menunggu tanda dari Don.
Akhirnya cowok itu berdiri juga, Danielle mengikutinya ke dapur dan
mengucapkan terimakasih pada Bu James atas minumannya.
"Kembali," gumam Bu James. Saat ibu Don mendongak,
Danielle memperhatikan lingkaran abu-ubu yang ada di bawah
matanya. Untuk sesaat ia merasa iba pada wanita yang tampak letih
itu. Namun perasaan itu pudar begitu ia melangkahkan kakinya ke
ruang tamu. "Hanya karena kau harus membetulkan mobilnya," ujar Bu
James pada Don, "bukan berarti kau boleh pergi sampai malam. Satu
jam lagi, kau harus sudah kembali. Anak kecil macam kau tak boleh
berkeliaran di jalanan malam-malam."
Anak kecil? Danielle tak mempercayai pendengarannya. Umur
Don kan sudah tujuh belas tahun!
Meskipun kelihatannya berantakan dan bergaul dengan temanteman yang kasar, tapi Don adalah cowok paling dewasa yang pernah
dikenal Danielle. Ia membagi waktunya antara sekolah dan kerja
paruh waktunya di bengkel. Selain itu ia juga pahlawan kota, sejak
berhasil menyelamatkan anak kecil di Merivale Mall. Dan kini orang
tuanya memperlakukannya bagaikan seorang anak kecil.
********** Angin semilir di sore hari yang sejuk itu menerpa wajah
Danielle, mendatangkan perasaan bebas dan lega. Gadis itu mengikuti
Don berjalan menuruni jalanan, sambil mengagumi wajah Don yang
tampak keren dalam temaram cahaya kemerahan di senja hari itu.
Rencananya yang lain akan dibatalkannya saja, dan Danielle tak
merasa yakin apa yang akan dilakukannya kemudian. Ketidakadilan
situasi itu memang menyakitkan, membuatnya merasa iba pada Don.
Setelah bertahun-tahun, kenapa Pak dan Bu James ingin mengatur lagi
hidup Don? Kenapa mereka tak membiarkannya hidup sendiri?
Don menengok ke belakang, matanya tampak kelam dan sulit
untuk diterka, "jangan terganggu oleh tingkah orangtuaku. Mereka
lagi bingung karena masalah uang dan hal-hal lainnya." Don meraih
tangan Danielle dan membelainya untuk menenangkannya sebelum
mereka tiba di mobil. Begitu Don melihat ke balik kap mobil, ia segera menemukan
kerusakannya. "Oh, ini sih cuma air pembersih kaca mobil.
Sepertinya..." Suaranya menghilang saat ia mencondongkan tubuhnya
lebih dekat lagi ke mesin mobil.
"Apa serius Dr. James?" tanya Danielle, sambil menepuk
mobilnya dengan kuatir. "Nggak apa-apa, kok," jawab Don sambil menjauhkan tubuhnya
dari mobil dan mengusap-usapkan tangannya ke celana jeansnya.
"Sebenarnya nggak ada pengaruhnya dengan jalannya mobil." Don
lalu masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Terdengar
suara mesin mobil menderu dengan baiknya. Don mengerutkan
keningnya dengan curiga. "Suaranya bagus kok. Bukankah katamu
tadi mobilnya mogok?"
"Ya..." Dasar bodoh! Ia telah mengeringkan tempat air
pembersih kaca. Tapi tempatnya begitu besar dan mencolok, sehingga
ia mengira alat itu penting sekali. "Mungkin saja cairan biru itu
membanjiri mesin," ujar Danielle lagi, sambil menyingkirkan rambut
merah di bahunya. Ia harus cepat-cepat mencari alasan! "Tahu nggak,
Don, kamu pintar deh betulin mobil yang rusak."
Don tersenyum. "Yah. Tapi nggak perlu orang pintar untuk
membetulkan kerusakan macam ini."
Danielle meletakkan tangannya di pinggulnya dan menatap Don
dengan tajam, siap untuk memprotes. Namun Don telah
mencondongkan tubuhnya ke balik kap mesin lagi, jadi Danielle tak
jadi meneruskan tindakannya.
Lalu cowok itu menutup kap mobil. "Ayo kita tes jalannya." Ia
lalu masuk ke dalam, duduk di samping Danielle, dan menjalankan
mobil. Untuk sesaat keduanya berputar-putar tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, sambil mendengarkan suara radio dan menikmati
desiran angin yang menyeruak masuk melalui celah di atap mobil
yang terbuka. Begitu lagu Stardust Dreams diputar, Danielle merasa
dadanya sesak karena sedih. Lagu ini membuatnya selalu teringat pada
Don. Ia berencana untuk menikmatinya bersama-sama Don dalam
suasana yang indah dan nyaman.
Namun semuanya tidak berjalan dengan baik. Don tampak
sedih, sedangkan ia kebingungan.
"Setiap saat kulihat wajahmu... stardust dreams...."
Mestinya saat itu sungguh romantis, namun wajah Don tampak
kecapaian. "Aku sekarang tahu bagaimana sikap orangtuamu," ujar
Danielle. "Pasti nggak bakalan betah tinggal bersama-sama mereka."
"Itu dia. Sudah enam bulan ini ayahku berhenti kerja. Ia tak
tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Kadang-kadang perangainya
lepas kontrol. Tapi kebanyakan ia cuma duduk merenung. Ibuku
sering meninggalkannya sendirian. Tapi kini, begitu uang sudah mulai
menipis, mereka mulai saling menyalahkan. Terutama aku."
Don menghentikan mobil di pinggir jalan, tapi ia terus saja
menatap ke depan. "Mereka membuatku gila, Red. Aku berusaha
untuk tenang, tapi lama-lama kesabaranku habis juga."
Tangannya meremas setir mobil kuat-kuat, hingga ruas-ruas
jarinya memutih. "Harus ada perubahan. Keadaan makin lama makin
memburuk, bukannya semakin membaik."
Saat Don menoleh ke arah Danielle, matanya tampak redup.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, Red."
"Itu tak adil." Sudut-sudut bibir Danielle menurun membentuk
cibiran. "Mereka nggak senang kau tinggal di sana, tapi mereka juga
melarangmu tinggal sendiri. Apa kau tak punya seseorang lainnya ?
saudara kek, atau siapa sajalah di mana kau bisa tinggal selama kirakira setahun?"
"Tidak ada." Don menggelengkan kepalanya. "Hanya ayah dan
ibuku yang baik itu."
"Oh, rumahku yang nyaman," gumam Danielle.
Don tertawa. "Aku tahu kau pandai menebak karakter orang
lain." Lalu tangannya bergerak menyingkirkan helai-helai rambut
yang menutupi bahu Danielle, kemudian membelai pipinya yang
mulus. Sentuhannya membuat jantung Danielle berdebar. Gadis itu
berusaha tetap tenang saat Don meraih dagunya, mendekatkan
wajahnya ke wajah Don. "Dalam keadaan runyam begini, kau masih saja punya selera
humor. Itu yang kusuka darimu Red."
"Dan saat kau memelukku erat... stardust dreams...."
Saat Don mengecupnya, Danielle merasa pertarungannya telah
berakhir. Danielle Sharp yang tenang dan dingin, merasa bagaikan di
dunia yang lain begitu cowok itu memeluknya. Kecupan Don
memberikannya suatu perasaan indah, emosi-emosi itu ingin
dikuncinya rapat-rapat di suatu tempat yang tersembunyi. Inilah
getaran-getaran paling indah yang didambakan seorang gadis yang
sedang jatuh cinta pada pemuda impiannya.
"Dan, Red," bisik Don di telinganya. "Lain kali kalau kau ingin
menemuiku, katakan saja. Tak perlu mengutak-atik mobilmu lagi."
Enam "Maaf, Lori, kami tidak bisa melakukan apa-apa kecuali
temanmu sendiri yang datang dan meminta bantuan."
Melalui gagang telepon Trimline-nya yang berwarna pink, Lori
mendengarkan kata-kata Mimi Turner, yang menjelaskan tentang
kebijaksanaan yayasan tersebut. Suara wanita itu terdengar ramah, tapi
Lori mendengar berita itu dengan rasa kecewa.
Duduk dengan kaki bersilang di tempat tidurnya, Lori berbicara
sambil memutar-mutar kabel telepon di tangannya. "Masalahnya,"
jelasnya pada wanita pekerja sosial itu, "Saya pikir Nona Pringle
takkan mau mengajukan permohonannya sendiri. Dia pemalu sekali,
dan tampaknya dia sungkan untuk menerima bantuan dari orang lain."
Rasa iba terbayang di wajah Lori saat ia teringat kejadian
malam minggu di dok pemuatan. Nora tiba-tiba saja menghilang,


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah-olah wanita itu takut melihat Lori?gadis pirang setinggi kirakira seratus enampuluh senti itu.
Meskipun kejadian itu telah berlalu beberapa hari, Lori masih
belum dapat menghapus bayangan wajah wanita yang ketakutan itu
dari ingatannya. Ia tak dapat melupakan bagaimana Nora tampak
gemetaran di balik tumpukan kotak-kotak kardus, sementara matanya
membelalak ketakutan. Ia harus dapat menolong wanita malang itu!
"Bagaimana kalau aku saja yang datang dan membuat
permohonan baginya?" Suara Lori bergetar penuh harapan. "Atau aku
yang mengambil formulir pendaftarannya dan membawanya pada
wanita itu?" "Sayangnya tak bisa. Sudah peraturannya demikian," ujar Mimi
Tumer dengan nada menyesal. "Kami harus mewawancarai orang itu
secara pribadi, untuk memastikan bahwa dana yang tersedia memang
digunakan bagi yang benar-benar membutuhkannya."
Lori mengerutkan keningnya. "Saya kira?saya mengerti." Tapi
bagaimana dengan orang-orang yang membutuhkan juga, tapi gengsi
untuk menerima bantuan?"
Suara wanita itu terdengar lebih lembut. "Saya menghargai
perasaan Nona Pringle, tapi saya tak bisa apa-apa. Katakan saja
padanya bahwa kami buka selama lima hari dalam seminggu, dan
kami berada di sini untuk membantu orang-orang seperti dia. Kau
dapat memberikan nomor telepon kami, kalau kau mau."
"Terima kasih, Nona Turner," ujar Lori. "Akan saya lakukan
sebisa saya untuk membujuk Nora Pringle ke kantor Anda."
"Saya tahu, kau akan melakukan hal itu. Sungguh beruntung
Nora Pringle punya teman sepertimu."
Lori lalu mengucapkan salam penutup, dan menghela napas.
Tugasnya tak ringan. Pertama-tama, ia harus yakin di mana mencari
Nora Pringle. Setelah diganggu anak-anak berandal itu, seolah-olah
Nora hilang ditelan bumi.
Tapi Lori takkan menyerah. Setiap saat ia memikirkan wanita
miskin itu, niatnya membara, bagaikan api dalam sekam.
Kalau Nora Pringle membutuhkan bantuan, Lori tahu siapa
yang mesti diteleponnya. Lori meraih boneka binatang kesayangannya dengan sebelah
tangannya, sedang tangannya yang lain digunakan untuk memutar
nomor telepon Patsy Donovan.
"Halo Pats? Ini Lori. Dengar, kita punya masalah yang be-e-esar... deh!"
*********** Keesokan harinya saat bertemu dengan kedua sobatnya,
Danielle mendapat masalah dengan cerita yang dikarangnya sendiri.
"Eh, bagaimana kabar terbarumu dengan Don?" tanya Teresa,
sembari mengibas-ngibaskan sepotong wortel ke arah Danielle.
"Tambah asyik, nggak... atau justru runyam?"
"Yah," sambung Heather, sambil menyelipkan rambut hitamnya
yang mengkilat ke belakang telinganya. "Rasanya aku curiga deh,
jangan-jangan kisah cinta yang indah itu cuma ada dalam angananganmu saja." Ebukulawas.blogspot.com
Sementara kedua temannya itu tertawa terbahak-bahak,
Danielle menggengam erat-erat sedotannya, lalu menghujamkannya
ke dalam es di gelasnya. Ketawa saja terus, pikirnya. Mana mereka tahu asyiknya
bercinta. Tetapi kerasnya tawa mereka seolah-olah bergema di seluruh
kantin Atwood. Melalui bahunya, Danielle memandang sekitarnya.
Apakah itu cuma imajinasinya saja, atau memang orang-orang sedang
memandanginya, dan menganggapnya sebagai seseorang yang gagal?
"Memangnya semua cewek mesti ngumbar cerita tentang
pacarnya?" balas Danielle, mata birunya menatap berapi-api.
Kedua sobatnya saling bertukar pandang.
"Alah, Dan," bantah Teresa. "Kau kan nggak pernah malu
sebelumnya. Kita juga tahu kau bukan tipe orang yang suka menutupnutupi perilakumu. Kamu pergi dengan Donny-boymu itu kan tadi,
malam. Nah gimana ceritanya?"
Dengan gaya anggun, Heather mengangkat tangannya untuk
menghentikan interogasi Teresa. "Kalau Danielle nggak mau cerita,
mungkin memang karena nggak ada yang bisa diceritain...."
Dengan geram menahan amarah, Danielle mengertakkan
giginya. Ia merasa darahnya mengaliri deras ke wajahnya, hingga
merona merah. Tentu saja ada yang dapat diceritakannya! Ia selalu
merasa aneh?gelisah dan bergetar?setiap kali Don merangkulnya.
Tapi tentu saja kedua sobatnya itu takkan mau mendengar kisah
tentang ibu Don yang cerewet dan keadaan rumah Don yang kacaubalau. Keduanya begitu glamour, bergengsi dan selalu berhura-hura.
Mereka tak pernah puas dengan apa yang ada, tapi tentu saja Danielle
takkan membiarkan keduanya mengira bahwa kisah cintanya sedang
kacau. "Kau jadi nonton nggak sih, tadi malam?" desak Teresa.
"Nonton?" balas Danielle. "Wah, rasa-rasanya nggak tuh."
Mata Heather menyipit penasaran.
"Cerita dong sama kita...!" pinta Teresa.
"Begini," ujar Danielle kemudian. "Waktu kubuka pintu depan,
kulihat Don berdiri di sana membawa seikat besar bunga. Waktu itu
kupikir, sayang rasanya menghabiskan waktu di bioskop."
"Don James membawakan bunga untukmu?" nada suara
Heather terdengar penuh keraguan.
"Ya, banyaaak sekali!" ujar Danielle lagi, menambah-nambahi
kebohongannya. "Kamarku sampai penuh dengan bau bunga yang
segar." Makan deh ceritaku, pikir Danielle sambil tersenyum puas.
"Bunga, heh?" mata cokelat Teresa menatap curiga. "Terus apa
lagi? Apa kalian pergi ke Video Arcade, nonton pertandingan Star
Command?" Heather dan Teresa tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali." Danielle berusaha keras untuk membuat temantemannya itu berhenti mengejeknya. "Meskipun kencan yang
menyenangkan itu ide kalian, namun Don dan aku punya selera yang
lebih canggih. Ia mengajakku makan malam di rumah makan kecil di
pinggir kota... makan malam yang nikmat, di pinggir hutan... di bawah
sinar rembulan." Tanpa dapat ditahan lagi, kisah romantisnya mengalir
begitu saja dari mulutnya.
"Rumah makan kecil di pinggir kota? Di mana?" tanya Teresa
lagi. "Itu... yang tempatnya kecil dan eksklusif, tersembunyi di ujung
jalan... dekat Rute 32. Sesudah itu kami jalan-jalan menyusuri kolam
yang ada di sana. Sinar bulan memantulkan cahaya berwarna perak di
atas air kolam, dan langit tampak nya begitu indah bertaburkan ribuan
bintang yang berkerlap-kerlip...."
Begitu suara Danielle mulai lenyap, ia mencuri pandang ke arah
kedua sobatnya. Mereka tak berkata apa-apa, tapi juga belum
mempercayai kisah yang baru diceritakannya.
"Yah, aku sih masih belum percaya seratus persen," ujar
Heather, sambil melontarkan sebuah kismis ke dalam mulutnya.
"Sepertinya Don yang kukenal nggak seperti itu deh."
"Siapa tahu dia ingin sedikit penyegaran dalam kencannya,"
sela Teresa. Sambil mengangkat bahunya acuh tak acuh, Danielle berusaha
menutupi kejengkelannya. "Terserah deh, mau percaya atau nggak.
Yang penting, dialah cowok yang paling ideal."
Ia lalu mengambil segenggam penuh kismis dari tas Heather,
sambil mengira-ngira reaksi teman-temannya. "Kalian tahu nggak,
Don itu sebenarnya romantis lho. Dia cuma perlu cewek yang tepat
untuk bisa menggali kualitasnya yang terbaik."
Akhirnya kedua sobatnya itu tampak termakan omongannya
juga. Sikap Danielle yang menunjukkan sikap masa-bodoh-apa-yangkau-pikir, membuat mereka percaya bahwa ia melakukan sesuatu yang
romantis dengan Don. "Menarik sekaliii," gumam Heather.
Sembari menyingkirkan remah-remah yang menempel pada
blus suteranya, Teresa menambahkan, "Kedengarannya oke juga. Kok
bisa-bisanya, yah? Nah, apa rencana berikut pasangan paling hot di
Merivale ini?" Pikir cepat! Danielle harus cepat memikirkan sesuatu yang pasti
akan membuat Merivale gempar! Sesaat ia terdiam, lalu
menyingkirkan rambutnya yang tergerai sambil menghela napas sedih.
"Yah," ujarnya, "aku rasa apa yang ada di Merivale ini kurang
asyik deh untuk aku dan Don, pasangan paling romantis saat ini."
"Tentu saja," timpal Heather, sementara Teresa mengangguk
penuh semangat. "Nah... jadi rencana kami berikutnya, kami akan pergi ke luar
kota? ke Philadelphia!" ujar Danielle, dengan gagasan yang tiba-tiba
muncul. "Kami punya tiket untuk nonton konser Bad Boys di
Spectrum. Don yang merencanakannya sebagai kejutan untukku. Baik
nggak, dia?" "Bad Boys!" mulut Teresa ternganga lebar, sampai Danielle
khawatir kalau-kalau rahangnya tak bisa menutup kembali.
"Itu lho, cowok-cowok yang membawakan lagu Stardust
Dreams." tambah Heather. "Aku suka sekali lagu itu."
"Apa lagi cowok-cowok pemain bandnya," tambah Teresa
sambil mengedipkan matanya.
"Ke Philadelphia?" Heather tampak ragu-ragu. "Apa boleh kau
kencan ke luar kota sama ortumu?"
"Asal mereka nggak tahu, nggak apa-apa." Senyum Danielle
menunjukkan gigi-giginya yang rapi, hasil ketekunannya
menggunakan kawat penahan gigi selama bertahun-tahun. "Ortuku
akan pergi akhir pekan nanti. Mereka pasti takkan tahu jam berapa aku
pulang dari Philadelphia?jadi terserah akulah kapan mau pulang!"
"Kedengarannya licik, deh!" ujar Teresa. "Licik? tapi asyik."
"Oh ya?" ujar Danielle. Seandainya saja itu semua benar!
Ceritanya betul-betul meyakinkan, ia telah memperdayai dirinya
sendiri. Ide tentang akhir pekannya yang romantis bersama Don?
pergi ke Philadelphia untuk nonton konser Bad Boys, menyanyikan
lagu Stardus Dreams bersama?membuatnya bergetar senang.
Danielle telah mengarang cerita bohong yang begitu fantastik.
Bagaimana ia dapat menghadapi kenyataan yang ada? Dan kalau akhir
pekannya berlalu tanpa kencan yang indah, bagaimana caranya ia
menjelaskan kebohongannya pada teman-temannya?
********** Kebohongannya yang terakhir itu membuat Danielle cemas
sepanjang sore hari itu, dan kata-katanya terus terngiang-ngiang dalam
benaknya. Ibu DuChamps menanyakannya sebuah soal waktu pelajaran
Bahasa Perancis, dan karena pikirannya sedang melantur Danielle
melontarkan jawaban yang salah. Seisi kelas tertawa saat Danielle
menjawab dalam bahasa Perancis, "Saya ingin makan sepeda" dengan
rasa gugup. Akhirnya bel terakhir berbunyi, dan Danielle buru-buru
meloncat ke dalam mobil BMW-nya yang putih lalu mengendarainya
ke tempat kesayangannya, Merivale Mall. Dalam suasana mall yang
cerah dan segar, diliputi perasaan gembira untuk membelanjakan
uangnya, Danielle selalu merasa bagaikan dalam rumahnya.
Begitu pintu kuningan di belakangnya tertutup, Danielle
memandang ke luar dari tabung gelas lift yang sedang meluncur ke
atas. Di bawahnya terhampar kerajaan yang dibangun ayahnya.
Tempat indah yang diimpikan seorang gadis remaja.
Lift itu membawanya ke atas meninggalkan lantai pertama, dan
ia menangkap bayangan sepupunya Lori berdiri di samping air
mancur. Lori sedang ngobrol dengan teman-temannya. Bayangan Lori
dengan seragam pelayannya yang norak berwarna orange dan kuning
itu membuat Danielle menunduk. Sungguh menyebalkan mempunyai
sepupu yang membutuhkan pekerjaan. Tetapi kenyataan bahwa
sepupunya itu bekerja di tempat di mana ia biasa ngeceng lebih
menyebalkan lagi. Meskipun Lori adalah seorang gadis yang baik, tapi sepupunya
itu mengingatkan Danielle akan masa lalunya. Dan Danielle tak ingin
masa kanak-kanaknya itu terkuak kembali!
Syuuut! Istana Sepatu. The Magic Factory. Begitu lift bergerak
ke lantai atas, ia melihat bayangan lampu-lampu papan nama berbagai
toko yang ada di lantai kedua. Danielle lebih suka berbelanja di butikbutik mahal, dan ia biasanya terus menuju ke lantai empat.
Melewati lantai tiga ia menangkap bayangan spanduk besar
yang digantungkan dengan mencolok. BENSON'S - TIKET ANDA
UNTUK MENYAKSIKAN BAD BOYS! Lift itu lalu meluncur dan
berhenti di lantai atas. "Itu dia!" pekiknya, mengejutkan seorang wanita yang sedang
mengumpulkan anak-anaknya untuk keluar dari lift.
Kembali ke lantai tiga, Danielle merasa bersyukur berhasil
menemukan jalan keluar. Kebohongannya yang fantastis itu akan
menjadi kenyataan, kalau ia dan Don jadi pergi nonton konser di
Philadelphia! Benson adalah salah satu dari dua toserba di Merivale Mall
yang menjual tiket berbagai konser dan pertandingan olah raga besar
di kota itu. Tapi karena Bad Boys adalah konser rock and roll yang
menggemparkan, maka kecil kemungkinannya bahwa masih ada tiket
yang tersisa. Mudah-mudahan masih ada tiketnya! Mudah-mudahan!
Danielle terus berdoa sambil berjalan mendekati loket penjualan
karcis. "Anda beruntung, Nona," ujar si penjual tiket dari belakang
kaca. "Hampir semuanya habis terjual. Tinggal sedikit yang tersisa,
harganya tiga puluh tujuh setengah dolar, dan masih ada tempat yang
khusus di deretan paling atas. Harganya?"
"Aku beli," ujar Danielle tanpa menarik napas sedikit pun.
Diselipkannya kartu kreditnya lewat lubang. "Tempat paling baik
yang ada, untuk malam minggu."
Jantung Danielle berdebar kencang saat pegawai tadi
mengetikkan informasi ke dalam komputer. Tak lama kemudian dua
lembar tiket keluar dari mesin tadi.
"Trims." Hampir saja ia merobek tiket dari tangan pegawai tadi.
Itulah tiket ke kebahagiaannya, tiket ke popularitasnya.
Akhir pekan ini Danielle Sharp akan tercatat dalam lembaran
kisah cinta Merivale. Ia dan Don akan menikmati saat-saat yang
menyenangkan, sedangkan Heather dan Teresa pasti akan iri sekali.
Danielle menyelipkan karcisnya ke dalam dompet kulitnya, lalu
bergegas menuju toko video yang terletak di lantai dasar mall itu. Ia
ingin memberi kabar pada Don mengenai rencana akhir minggu
mereka yang menyenangkan, dan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat
menemui Don di belakang Astro-Blastersnya.
Langkah Danielle terasa ringan ketika ia melangkahkan kaki
menjelusuri Merivale Mall. Ia merasa senang menjadi seorang gadis
yang cantik, sedang jatuh cinta, dan memiliki beberapa kartu kredit.
Belanja memang benar-benar menyenangkan!
Tujuh "Waktu kita tak banyak," ujar Lori Randall pada kedua
sahabatnya. Dari tempatnya berdiri di samping air mancur, gadis itu
bahkan tak melihat sepupunya, Danielle, yang melintas masuk ke
dalam Video Arcade. Pikiran Lori sedang terpusat pada masalah yang lebih penting?
yaitu Proyek Pringle. Saat Patsy Donovan menatap jam tangannya, topi kokinya
merosot turun dari rambutnya yang cokelat dan bergelombang. "Tiga
puluh menit lagi, aku harus masuk." Patsy bekerja di Cookie
Connection, yang hanya berjarak dua pintu dari Tio's Tacos.
"Kuharap kita bisa segera menemukannya," ujar Ann Larson.
"Aku juga." Lori merasa cemas, karena sejak hari Sabtu lalu ia
belum pernah bertemu dengan Nora Pringle lagi. Padahal Lori
menghabiskan waktunya di Merivale Mall? selama tiga puluh jam


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam seminggu di Tio's Tacos.
"Kalau kita pakai walkie talkie mungkin akan lebih baik, Lor,"
ujar Patsy sambil menekan tombol bicara pesawat walkie talkie di
tangannya, untuk mencobanya. "Alat ini dapat menghemat waktu
kita? over, ganti." "Suaramu terdengar keras dan jelas, deh," sahut Ann sambil
tersenyum. "Teddy cemberut lho, waktu kupinjam mainan kesayangannya
ini. Tapi aku menjelaskan, kenapa kita ingin memakainya," cerita Lori
pada kedua temannya tentang adik laki-lakinya yang meminjamkan
perangkat walkie talkie-nya. Radio tersebut dapat membantu ketiga
gadis itu berkomunikasi, sementara mereka mencari-cari Nora Pringle
di mall. "Wah," ujar Patsy sambil menekan-nekan tombol pesawat
walkie talkie itu. "Rasanya kayak detektif swasta saja, nih."
"Trims ya, kalian mau membantuku," ujar Lori pada kedua
sobatnya. "Kalau aku sendiri yang melakukannya, pasti akan makan
banyak waktu." "Itu gunanya teman, kan?" goda Patsy.
"Kita bantu sebisanya deh," ujar Ann penuh semangat. Rambut
cokelatnya yang bergelombang dikepang dengan rapi, siap untuk
mengikuti latihan senam sore itu. "Kalau nggak ketemu sekarang,
nanti kubantu lagi deh? setelah latihan senam."
"Nggak usah," ujar Lori sambil menggelengkan kepalanya,
matanya yang biru tampak serius. "Aku ada di Tio's sampai tutup.
Hanya ingat, kalau kalian sudah menemukan Nora Pringle, jangan
membuat dia kaget. Mungkin saja wanita itu bersikap ekstra hati-hati,
setelah kejadian yang dialaminya dengan anak-anak berandal itu."
Patsy dan Ann mengangguk. Saat Lori menelepon temantemannya tadi malam, ia telah menceritakan segala yang diketahuinya
mengenai Nora Pringle. Kedua sobatnya itu mengerti kecemasan yang
dihadapi Lori. Sebenarnya Lori ingin meminta tolong Nick juga. Namun
cowok itu sedang sibuk sekali. Setiap sore Nick menghabiskan
waktunya di perpustakaan. Cowok itu sedang sibuk mencari bahanbahan untuk menyusun makalah tentang sejarah. Waktu Lori melihat
kesibukan yang dihadapinya, ia merasa tak tega untuk mengganggu
cowoknya dengan masalahnya sendiri.
"Gimana kalau kita masing-masing mencari di lantai yang
berbeda," saran Ann. "Aku bisa mulai dari lingkat atas terus ke bawah.
Sedang Patsy mulai dari tingkat dua?"
"Dan aku mencarinya di dok pemuatan, terus ke atas," sela Lori.
"Coba periksa," ujar Patsy, sambil mendorong topinya dengan
antena walkie talkie. "Siap untuk beraksi?"
"Sepuluh empat," Lori tersenyum pada teman-temannya. "Ayo
kita mulai, nona-nona."
Mata abu-abu Ann berputar-putar. "Kalian bukan kayak detektif
deh, tapi kayak gangster!"
"Aku baru saja mengecek Facades, dan kini menuju High Hats,"
lapor Ann lewat walkie talkie. "Tak ada tanda-tanda dari Nora."
Berikutnya suara Patsy masuk. "Isi Pats Patio lima puluh persen
jeans saja. Tak ada tanda-tanda dari Nona Pringle."
Sembari menyingkirkan kotak-kotak kardus ke samping, Lori
melongok ke dalam lorong kecil. Tetapi tak tampak tanda-tanda
kehidupan di ruang bawah tanah gedung tersebut. "Tak ada apa-apa di
dok pemuatan? tampaknya sih beberapa peti cokelat baru saja
dikirim untuk kantin di bioskop."
"Aduh bikin ngiler saja," ujar Ann. "Bisa ambilin satu nggak?"
Ann memang penggemar berat cokelat.
"Aduh maaf, Ann. Seleraku untuk cokelat lagi putus nih."
"Eh ada pegawai baru di Pen dan Paper," lapor Patsy. "Kece
deh. Kayaknya sih, doi peselancar yang baru pindah ke Merivale dari
California Selatan?"
"Patsy," potong Ann. "Irv pasti patah hati kalau kau melirik ke
cowok pantai itu." Irv Zalaznick adalah cowok Patsy, cowok paling kece di
Merivale, menurut Patsy. "Kau betul," ujar Patsy setuju. "Aku takkan melirik-lirik cowok
pantai? tapi nggak ada tanda-tanda dari Nora, tuh."
Begitu selesai menjelajahi dok pemuatan, Lori merasa kecewa.
Ia berharap akan dapat menemukan Nora di tempat favoritnya.
"Tingkat bawah kosong," lapornya pada teman-temannya. "Aku
bergerak ke atas." "Kita ketemu di lantai pertama," tambah Patsy. "Aku sudah
selesai keliling-keliling lantai dua."
"Dan aku menuju lantai tiga," lapor Ann. "Aku akan terus kirim
kabar." Berusaha untuk tidak patah semangat, Lori mempercepat
pencariannya. Gadis itu berhenti di setiap toko, bertanya-tanya pada
tiap pegawai dan manager toko. Semakin sering ia menanyakan
tentang Nora, makin banyak orang yang akan menyadari kehadiran
wanita itu. Pasti takkan sulit bagi orang-orang di Merivale Mall untuk
memperhatikan dan menolong wanita malang itu.
Tetapi setiap kali Lori bertanya pada mereka, orang-orang
hanya mengangkat bahu tanda tak peduli.
"Maaf, nona. Kami tak pernah melihatnya," ujar salah seorang
pramuniaga. "Pemilik toko tak memperbolehkannya masuk kemari," bisik
seorang kasir di O'Burger. "Dia takut wanita itu akan mengganggu
pengunjung lainnya."
"Tapi Nora takkan melukai seekor kutu pun!" protes Lori.
Pegawai itu mengangguk. "Ya, aku tahu wanita tua itu takkan
melukai siapa pun." Lalu ia merendahkan suaranya. "Tapi begitulah
kebijaksanaan pemilik toko."
Pencarian itu tak membuahkan hasil apa-apa, sementara waktu
terus bergulir. Gadis-gadis itu harus kembali bekerja? mereka tak
boleh terlambat. Saat Lori kembali bertemu dengan teman-temannya
di belakang pancuran, ia mendengar berbagai cerita tentang Nora
Pringle. "Ada-ada saja!" ujarnya pada teman-temannya. "Kalian pasti
tak percaya cerita-cerita yang kudengar tentang wanita miskin itu.
Salah seorang anak berkata bahwa Nora selalu mengoceh pada
makhluk angkasa luar!"
Ann merasa tersinggung. "Omong kosong!"
"Orang-orang itu ngomong sembarangan saja!" ujar Patsy
mendukungnya. Lori memasukkan antena walkie talkienya. "Menurutku,
terkadang orang mengarang-ngarang cerita yang mereka sendiri nggak
tahu." Keningnya berkerut. "Aku heran tak seorang pun yang mau
tahu? bahwa Nora itu seorang wanita tua yang miskin dan kesepian."
Patsy dan Ann saling bertukar pandang dengan iba.
"Jangan terlalu sedih, Lor," ujar Patsy. "Dia pasti akan muncul
besok. Dan aku yakin ia baik-baik saja. Bukankah Nora cukup tegar?"
Setelah terdiam beberapa saat Lori tersenyum. "Kalian benar."
"Maaf, kami cuma bisa membantu sampai di sini." Ann
menyerahkan walkie talkienya pada Lori. "Soalnya aku mesti buruburu mengajar."
"Kalian berdua sudah banyak membantu," Lori mengumpulkan
peralatan radio tadi di tangannya. "Trims banget."
"Kita coba lagi deh minggu ini," saran Patsy sambil merapikan
rok seragamnya. "Aku harus kerja nih, tapi bisa saja kucari Nora
selama waktu istirahat nanti."
"Ide yang bagus!" Lori merasa terhibur dengan dukungan
teman-temannya. "Tapi sekarang, sebaiknya kita kerja dulu? sebelum
tertimpa kesulitan!"
********** Untuk ketiga kalinya hari itu, Danielle menjenguk ke dalam
Video Arcade, mencari-cari Don James. Pertama kali menjenguk ke
sana dan tak berhasil menemukan Don, ia belum merasa gusar.
Banyak hal yang dapat dilakukannya di Merivale Mall.
Ada obral rok mini kulit yang bahannya lembut sekali di High
Hats. Kebetulan parfum Fallen Angle-nya sudah habis. D.B. Durrant
menawarkan minyak wangi mewah itu seharga seratus dollar untuk
setengah ounce. Memang mahal sih, tapi tak apalah. Ia pantas
mendapatkannya. Gadis itu berhenti beberapa saat. Matanya menerawang ke
ruangan yang temaram dengan sorot lampu yang berkelap-kelip itu. Di
mana sih Don? Biasanya cowok itu suka berkeliaran di sekitar Video Arcade.
Tetapi kini ia tak kelihatan di manapun. Danielle mulai gelisah, kalaukalau ada sesuatu yang terjadi. Apakah Don terperangkap di rumahnya
sendirian? Danielle mulai kehilangan kesabarannya. Ia ingin memastikan
rencana mereka untuk malam minggu. Tetapi ia tak bakalan mau
berkunjung ke sarang naga itu lagi. Cukup sudah pengalaman yang
dialaminya dengan Bapak dan Ibu James.
Segerombolan cowok berjaket kulit hitam dan jeans belel
menarik perhatiannya. Dua di antaranya duduk di mesin pinball
dengan kaki terjuntai santai. Sedangkan orang ketiga berdiri di
belakang mereka, bicara dengan suara pelan.
Mereka adalah teman-teman Don, anggota rombongan
pengendara motor yang kasar itu. Danielle pernah menyaksikan Don
pergi dengan cowok-cowok itu beberapa kali. Tetapi di mana Don?
Akhirnya Don muncul. Ia berjalan dengan santai ke arah temantemannya dan menyikut bahu salah seorang di antaranya.
"Sudah kukira aku akan menemukan kalian di sini," ujarnya
sambil tertawa kecil. Danielle merasa lega melihat kedatangan Don. Dengan
tubuhnya yang jangkung dan berkulit gelap, Don benar-benar tampak
istimewa! Kalau saja ia lebih hati-hati dalam memilih teman dekat!
Setelah menarik napas dalam-dalam, Danielle melangkah
mendekati cowok itu. Mata Don berbinar gembira saat melihatnya. "Coba, kalau
kalian bisa bertahan dua detik lagi," ujarnya pada teman-temannya
sambil melangkah pergi. Danielle pura-pura tersenyum malu, berusaha meluluhkan hati
cowok itu. Tetapi rencananya pudar, saat Don meraih tangannya dan
menggandengnya menuju ke dinding di mana ada beberapa mesin
yang menjual berbagai macam barang. Tatapannya yang teduh
membuyarkan semua keinginan Danielle.
"Ada apa, Red?" ujar Don sambil memasukkan beberapa koin
ke dalam mesin soft-drink, dan menarik sekaleng soda.
Dengan cepat, tanpa menarik napas sedikit pun, Danielle
menjelaskan tentang konser Bad Boys di Philadelphia. Don
mendengarkan dengan serius sambil menghirup minuman kalengnya.
"Tempat duduk yang kupesan bagus lho? dan hampir saja aku
kehabisan karcis!" Don mengangguk, seraya menelan sodanya. "Kedengarannya
asyik juga tuh." Mata hijau Danielle berbinar penuh harap. "Jadi...kau mau pergi
bersamaku? " "Tentu saja." Don mengangkat bahunya. "Kenapa tidak?"
Bagus! "Kalau begitu, kita sudah harus berangkat jam lima,
kalau nggak mau telat." Beberapa rencana pun timbul dalam pikiran
Danielle yang nakal itu. "Setelah itu kita bisa makan malam? ke
tempat yang mengasyikkan. Bagaimana kalau kita pesan makan
malam di?" "Hei James," panggil salah seorang teman Don. "Kita pergi
sekarang?" "Bentar, Zack." Don menatap Danielle lagi. "Maaf, Red. Ada
yang mesti kukerjakan. Tapi malam minggu nanti aku akan datang ke
rumahmu?" "Jam lima, ya? tepat!" ujar Danielle. "Tapi tunggu! Kenapa sih
buru-buru? Sulit sekali menemui kamu akhir-akhir ini. Ada rahasia
apa, sih?" "Cuma ada sesuatu yang harus kulakukan bersama-sama dengan
Zack dan anak-anak cowok lainnya."
"Mesin mobil?" desak Danielle lagi.
Don tertawa. "Nggak juga. Nanti kuberi tahu. Zack sudah mau
pergi tuh. Sampai ketemu hari Sabtu," ujar Don sambil membelai
tangannya, sebelum bergabung dengan teman-temannya.
Sentuhan cowok itu membuat hati Danielle bergetar. Gadis itu
berusaha untuk tersenyum, seraya berharap semoga saja emosinya
tidak tampak di wajahnya. Ia tak ingin Don tahu betapa rindunya ia
berada dalam pelukan cowok itu!
********** Akhirnya kesibukan makan malam usai juga. Dengan sepon di
tangan, Lori berusaha menghapus bercak-bercak yang ada di meja
kasir Tio's, saat ia mendengar sapaan yang tak asing lagi.
"Nick Hobart melapor, nona."
Suara itu terdengar begitu hangat, sehingga sepon yang
dipegangnya jatuh terlepas dari jari-jarinya. "Nick! Ngapain kau di
sini?" "Oh, begitu caranya menyambut seorang pacar?" goda Nick,
sambil menyingsingkan lengan panjang jaket Cougarnya. "Lagi pula,
aku ke sini untuk mengambil pembagian tugasku dalam Proyek
Pringle." "Kok tahu sih?" Lori meletakkan tangannya di pinggang, dan
menengadahkan kepalanya untuk dapat melihat cowok itu dengan
jelas. Dengan tinggi tubuh lebih dari seratus delapan puluh senti, Nick
terkadang tampak teramat tinggi baginya. Rambutnya yang cokelat
keemasan agak kusut terkena tiupan angin. Lori tak melanjutkan
tatapannya. Kadang-kadang sulit baginya untuk mempercayai
keberuntungan yang diraihnya. Nick Hobart, cowok idaman para
cewek yang juga penyerang tengah regu Rugby di Akademi Atwood,
adalah pacarnya! "Proyek Pringle?" Lori melipat tangannya. "Itu kan informasi
rahasia. Apalagi untuk cowok yang lagi sibuk ngerjain makalah yang
harus diserahkan hari Senin."
"Oh, itukah sebabnya kenapa aku tak diikutsertakan?" Nick
mengerutkan bibirnya. "Kau benar-benar pintar membuat cowok
penasaran. Semua orang di Merivale tahu apa yang diingini cewekku
ini? semua orang, kecuali aku!"
"Tapi aku punya alasan. Kamu kan lagi sibuk dengan
makalahmu, dan aku tak ingin mengganggumu."
"Itu nggak adil." Nick mencondongkan tubuhnya dan meraih
tangan cewek itu. "Aku ingin tahu, apa yang ada di pikiranmu, Lori.
Betul." Mata birunya menatap dengan serius.
Perasaan bahagia menyelinap masuk, begitu Nick mengelus
tangannya. Lembut sekali! "Kamu kan tahu, aku selalu jujur padamu,"
ujarnya, sambil menikmati pandangan hangat cowok itu. "Kupikir,
aku dapat menyelesaikan urusan ini sendiri."
Nick mengangguk. "Apa kamu sudah menemukan wanita itu?
Bagaimana kabarnya?"
"Kami belum beruntung. Kami sudah menyelusuri seluruh mall,
tapi... Nora nggak ketemu."
"Begini, aku punya beberapa berita bagus. Pertama-tama,
makalahku selesai lebih cepat. Yang kedua, aku akan bergabung
dengan Proyek Pringle ini, secepat mungkin."
Senyuman yang dilontarkan Nick sambil menyandarkan
tubuhnya ke kasir, membuat Lori merasa di awang-awang. "Kamu
mau aku mulai mencari dari mana, bos?"
"Oh, Nick, kamu hebat sekali!" mata biru Lori berbinar


Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegirangan. "Kamu bisa lihat ke lantai tiga nggak? Ann sudah mulai
dari sana, tapi ia tak punya waktu untuk melihat ke semua toko."
Nick memberi hormat sambil melemparkan senyumannya.
"Akan kulaksanakan."
Lori membungkuk ke bawah meja kasir lalu meraih walkie
talkienya, dan menyerahkannya pada Nick. "Kasih kabar ya, kalau kau
melihatnya." "Benar-benar hebat, bos." Sambil menatap radio di tangannya,
Nick melangkah ke luar saat seorang pelanggan mendekati meja kasir.
"Akan kuberi kabar. Panggil saja aku Sherlock Hobart!"
Delapan Hari telah berganti. Apa saja mungkin terjadi! Pikir Lori
Geger Dunia Persilatan 18 Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah Gema Di Ufuk Timur 9

Cari Blog Ini