Ceritasilat Novel Online

Cinta Dibalik Bayangan 1

Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana Bagian 1


COVER ? 1? ? 2? oleh YANA SURYANA
BUKU SINAR
? 3? Hak pengarang dipegang oleh Yana Suryana. Dilarang
mengutip sebagian atau seluruhnya untuk cerpen
atau cergam.
Nama-nama dan peristiwa di dalam
buku ini hanya khayal belaka.
BUKU SlNAR dicetak dan diterbitkan
oleh: "SUNRISE" ? Jakarta
? 4? 1 HENTIKAN matahari bersinar. Hentikan angin meniup.
Hentikan hujan turun.
Tidak mungkin !
Aku pun tidak mungkin melupakan dia. Satusatunya lelaki di dunia ini yang hampir menghancur
kan kehidupanku.
Pertama kali aku memandang dia, dia pun balas
memandang. Seluruh dunia berubah bagiku. Sedang
saat itu, aku bukan aku lagi yang dulu. Semua berubah.
Semua berbeda. Semua tidak sama. Sikapku.
Kebiasaanku, kepercayaanku... tidak lagi seperti dulu.
Itu terjadi dengan mendadak. Ketika aku
dengan tunanganku berada di sebuah medan pesta.
Ya, aku mempunyai tunangan. Aku telah
bertunangan dengan Darwin selama enam bulan.
Selama itu aku sangat bahagia karena aku mempunyai
Darwin. Walaupun dia agak pendiam, namun
mempunyai rasa tanggung jawab. Dia mencintai aku
sungguh-sungguh dan ketika itu aku pun mencintai
? 5? dia. Aku merasa terlindung hidup didampingnya,
karena dia mempunyai cita-cita luhur.
Darwin bekerja disebuah perusahaan bahan
bangunan. Kini dia ditempatkan di bagian tata usaha,
namun dia ingin maju. Seringkali dia mengutarakan
cita-citanya padaku.
"Sulastini, aku akan memanjat tangga
penghidupan hingga di tingkat atas. Aku ingin at the
top!" katanya.
Girang aku mempunyai kekasih yang kelak
menjadi suamiku mempunyai cita-cita tinggi. Sambil
bersenyum aku menyahut. "Jangan kau gantungkan
cita-citamu pada bintang di langit."
"Aku yakin seyakin-yakinnya, Tini, bahwa kelak
aku akan menjadi seorang pengusaha Bukankah ada
pepatah: Everything will come true, if you only belief
?" Memang, cita-cita itu telah lama direncanakan
Darwin. Dia ingin menjadi seorang pengusaha.
Seorang yang memimpin sebuah perusahaan. Seorang
"penggede," namun bukan "gede" karena hasil
korupsi. Gede karena kepandaian, kerajinan dan
ketekunan.
? 6? Perkawinan kami pun telah direncanakan
Darwin. Dia ingin membimbing aku ke tangga
perkawinan setelah dia mempunyai cukup uang. Tidak
mau dia seperti kawan-kawannya yang menikah
dengan uang dari pinjaman, atau dengan uang yang
sangat minim, hingga setelah menikah tidak punya
uang lagi untuk beli beras.
"Enam bulan lagi, Tini. Enam bulan. Nantikanlah
dengan sabar saat itu. Saat aku akan menuntun kau
kemahligai kencana. Aku tidak dapat menempati kau
disebuah istana, namun sebuah rumah kecil pun akan
menjadi istana bagi kita berdua bila didalamnya
bersinar cemerlang sinar kasih.
Aku tersenyum, lalu meletakkan kepalaku
dibahunya.
Penuh kasih sayang Darwin membelai-belai rambutku
yang panjang dan menciuminya.
"Bukankah kita masih mempunyai cukup waktu,
Darwin." kataku. "Kau berusia dua puluh empat tahun
dan aku dua puluh tahun. Enam bulan tidak lama,
kasihku. Kendalikanlah hatimu selama itu dan hatilah
jangan sampai perasaanmu ditunggangi iblis.
Hilanglah kemurnian perkawinan, bila aku sudah
bukan gadis lagi."
? 7? Darwin tertawa terbahak-bahak.
"Aku bukan seorang Don Juan atau Playboy,
Tini." sahutnya.
"Aku emoh menikah dengan seorang Playboy
karena yang diidamkan hanya play saja."
Kembali Darwin tertawa dan akupun turut tertawa.
Darwin bekerja pada sebuah perusahaan bahan
bangunan dan aku bekerja pada sebuah perusahaan
asuransi. Akulah satu-satunya wanita yang bekerja
pada kantor asuransi tersebut.
Walaupun sama-sama bekerja, namun kami
sangat prihatin memakai uang. Untuk kesenangan
tidak banyak kami mengeluarkan uang. Jarang sekali
kami pergi keluar kota. Paling banyak sekali dalam
sebulan kami mengunjungi gedung bioskop.
Aku tinggal sama paman dan bibiku, karena
kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku berada di
sebuah desa dan aku ingin hidup dikota besar, di ibu
kota. Maka sudah lima tahun aku tinggal di rumah
pamanku yang kebetulan tidak mempunyai anak.
Paman dan bibiku mengetahui sedari semula
perhubunganku dengan Darwin. Kedua orangtua itu
tidak mengatakan apa-apa, malahan mereka sangat
? 8? gembira ketika aku mengutarakan rahasia hatiku.
Tidak tunggu lagi, pamanku mengirim surat kepada
ayah ibuku. Kedua orang tuaku menyerahkan
persoalan Itu kepada aku serta paman dan bibiku.
Betapa gembira hatiku, bahwa aku tidak
mendapat tantangan dari orang tua dan kerabatku
soal pertunanganku dengan Darwin. Malahan aku
mendapatkan doa restu mereka.
Karena aku mempunyai oom dan tante yang
sympatik, maka tidak segan-segan Darwin
mengunjungi aku ditempat kediamanku. Oom tante
yang baik hati itu selalu memberikan kami ketika
untuk berdua-duaan.
Bukan kepalang senangnya aku bahwa aku
dapat berdekatan selalu dengan Darwin. Mengapa ya,
di masa pertunangan orang selalu ingin berdekatan
dengan orang yang dicintainya? Entahlah! Aku sendiripun mengalaminya.
Pada suatu hari Darwin memberitahukan aku,
bahwa dia dan aku diundang oleh induk semangnya
untuk menghadiri pesta ulang tahun.
"Dimana pesta itu diselenggarakan, Darwin?"
tanyaku gembira.
? 9? Sudah lama aku tidak pernah mengunjungi
pesta apa pula pesta yang diselenggarakan oleh
seorang hartawan.
"Dirumahnya
menerangkan.
di jalan Madura,"
Darwin "Digedungnya yang besar itu? Hm, tentu akan
ramai sekali. Pasti ada band." Kegirangan aku
menubruk lalu merangkul tunanganku.
Aku mengenakan gaun menurut mode yang
paling akhir. Aku ingin Darwin merasa bangga
mempunyai tunangan aku. Dan aku ingin meyakinkan
induk semangnya bahwa Darwin tidak salah memilih
Sulastini sebagai isterinya. Seorang isteri yang dapat
mendanpingi selalu seorang suami yang mempunyai
ambekan besar, dan ingin memperoleh sukses di
dalam kehidupannya.
Paman dan bibiku tercenggang melihat aku
pada petang hari itu.
Sambil merangkapkan kedua tangan di dada
bibiku berkata: "Sulastini, sungguh cantik kau. Nak
Darwin akan merasa bangga di medan pesta."
Pamanku tidak berkata, la menganggukkan
kepalanya dan wajahnya tampak berseri-seri.
? 10 ? "Terima kasih, tante. Sebenarnya tidak ada yang
harus dipuji," sahutku senang. Memang, aku jarang
berdandan, maka sekali berdandan kelihatannya
cemerlang.
Darwin bersiul-buaya ketika mendapatkan aku.
"Tante, Sulastini berubah menjadi bidadari," kata
Darwin kepada bibiku.
"Memang, nak Darwin. Bidadarilah yang kini
berdiri di hadapan kita." sahut bibiku.
"Sulastini. bidadari, saja akan mati, bila ia
melanggar janji," kata Darwin berkelakar.
"Jangan kuatir, nak. Sulastini tidak akan
memutus cinta. Sungguh pasangan yang cocok kalian
berdua. Perjungkanlah kebahagiaan perkawinan
kalian, karena kebahagiaan perkawinan tidak datang
begitu saja," kata bibiku.
"Wah, bibimu sudah mulai mengasi kuliah.
Jangan panjang-panjang kuliahnya, bisa-bisa kalian
terlambat di medan pesta," kata pamanku lalu
tertawa meninggalkan kami.
Bibiku tersenyum memandang suaminya yang
melangkah pergi. Betapa bahagianya bibiku dan
pamanku. Rupanya mereka sama memperjuangkan
? 11 ? kebahagiaan perkawinan mereka. Dan mereka
berhasil! Belum pernah aku mendengar ribut-ribut
antara bibi dan pamanku. Tetapi mereka harus
dikasihani karena perkawinan mereka tidak diberkahi
anak. Walaupun Darwin mengajak aku naik becak,
namun aku sangat gembira. Wajahku tampak berseriseri. Begitupun Darwin.
Tetapi... sungguh aneh Ketika aku hendak
memasuki gedung mewah kepunyaan induk semang
Darwin, kedua kakiku terasa berat untuk melangkah.
Aku memandang gedung indah bagaikan istana itu
Didalamnya ramai terdengar suara bicara dan gelak
tertawa. Diluar gedung dan dihalaman tampak mobil
berderet-deret.
"Mestinya induk semangmu kaya raja," kataku
perlahan. Aku menarik napas dalam-dalam.
"Aku malu, Darwin."
Darwin memegang bahuku.
"Memang dia kaja, tetapi dia tidak sombong.
Lihatlah nanti, betapa senangnya kau bergaul dengan
dia dan keluarganya." bisik Darwin ditelingaku.
Bibirnya menyentuh pipiku.
? 12 ? Bapak dan ibu Rusmana ramah sekali
menyambut kedatangan kami. Ibu Rusmana
melontarkan pujian kepada Darwin dan aku. Manis
tutur katanya.
Aku dapat mengatasi perasaan rendah diri.
Maka aku tidak merasa canggung.
Segera aku terdampar didalam gelombang
pesta. Darwin memperkenalkan aku kepada kawankawan sekerjanya yang hadir di medan pesta itu. Di
sana-sini terdengar suara orang berkelakar dan
tertawa, dan akupun turut berkelakar dan tertawa,
namun sedapatnya aku menahan suara tawaku.
Suasana medan pesta sungguh meriah. Bapakbapak dan ibu-ibu dengan pakaian yang mentereng,
terutama ibu-ibu, bagaikan sedang memamerkan
kekayaan mereka. Sementara para bapak dan ibu
duduk berkelompok-kelompok, para teenagers
melangkah hilir mudik dan bercanda-canda dekat
Band. Sebuah Band yang kenamaan di ibukota
nonstop memainkan lagu-lagu irama hot. Suara
biduan yang melengking di udara tambah meramaikan
suasana pesta.
? 13 ? Minuman-minuman, dari minuman biasa
sampai minuman keras dan hidangan kecil diedarkan
gadis-gadis remaja dalam pakaian beraneka warna.
Sinar mata mereka bercahaya gembira dan senyuman
tak bosan-bosannya dilontarkan kepada para hadirin.
Pada umumnya diantara orang-orang yang
menghadiri pesta ada beberapa orang yang ber
kedudukan lebih rendah dari yang lainnya atau kurang
hartawan, kejangkitan perasaan rendah diri.
Akupun tidak terkecuali. Tadi diwaktu hendak
masuk, aku merasa takut. Namun kini perasaan takut
itu lenyap tak berbekas.
Kini Darwinlah yang tampak takut. Aku dapat
melihat pada sikap dan wajahnya. Dia menyeret aku
ke sudut ruang dimana suasana agak sunyi. Aku
mengikutinya dan berlagak tidak tahu apa yang
sedang berjangkit didalam jiwanya.
Seorang gadis dengan membawa baki terisi
minuman menghampiri kami. Aku mengambilnya
gelas terisi limun dan Darwin pun mengambilnya.
Kami menghaturkan terima-kasih dan gadis riang itu


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah pergi.
Darwin minum habis limunnya, Rupanya untuk
menenteramkan gejolak hatinya Pelahan-lahan aku
? 14 ? menempelkan pinggiran gelas yang kupegang ke
bibirku. Aku minum beberapa cengluk.
Aku sengaja tidak memandang Darwin.
Pandanganku ku lontarkan kesekeliling ruang yang
besar itu.
Darwin tidak berkata-kata dan aku pun diam
seribu basa.
Dengan sudut mataku aku memandang kearah
Darwin. Rupanya ia agak tentram, karena wajahnya
tidak setegang tadi.
Beberapa pemuda tampak menggulung
permadani ditengah ruang. Kursi-kursi yang berada di
tengah ruang digeser kesisi.
Tiba-tiba Band mengganti lagu-lagunya. Kini
mereka memainkan lagu-lagu irama agak tenang.
Beberapa pasang bapak-bapak dan ibu-ibu
sudah turun melantai.
Para muda-mudi sibuk mencari minuman,
karena kehausan. Tadi mereka tidak menghiraukan
hidangan dan minuman, jiwa mereka tengah
dirangsang lagu-lagu irama hot.
? 15 ? "Dance?" Darwin bertanya sambil menoleh kearahku. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Kami bergerak ditengah-tengah ibu-ibu bapakbapak. Di lain saat Darwin membimbing aku kesisi.
Baik Darwin maupun aku tidak berbicara. Aku tengah
menikmati keadaan.
Melewati bahu Darwin acuh tak acuh aku
memandang kearah pintu.
Tiba-tiba pandanganku tertarik kearah seorang
pendatang baru. Laki-laki itu berdiri sambil bercakapcakap dengan bapak dan ibu Rusmana.
Pengawakan laki-laki itu agak tinggi dan usianya
ku taksir lebih dari tiga puluh tahun namun kurang dari
tiga puluh lima tahun. Wajahnya tidak dapat dikatakan
cakap dan tubuhnya tidak seindah tubuh seorang
olahragawan. Orang itu bagaikan tak punya guna dan
tampaknya malas. Ah, siapakah aku ini? Seorang gadis
biasa, namun berani mengatakan dan menerka orang
masih asing bagiku. Terlampau bebas aku mengumbar
pikiranku. Walaupun aku tidak mengucapkannya,
namun tak boleh aku mempunya prasangka terhadap
seorang yang belum kukenal.
Pandanganku tetap mengarah laki-laki itu. la
masih saja bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya
? 16 ? rumah. Sebentar-sebentar bapak dan ibu Rusmana
tertawa. Rupanya laki-laki itu menceritakan sesuatu
yang lucu.
Tampak laki-laki itu tersenyum. Ia mengarahkan
pandangannya ke sekeliling ruang. Tiba-tiba
pandangannya berhenti pada pasangan-pasangan
yang sedang melantai. Sinar matanya yang menyala
menyambar kearahku. Ya, hanya sinar matanya yang
hidup yang aku kagumkan pada laki-laki itu. Agak lama
ia memandang aku. Aku pun tetap memandang
kearahnya. Kami saling pandang.
Mendadak kurasakan suatu perubahan pada
diriku. Suatu perasaan yang belum pernah aku
mengalaminya. Sinar mata laki-laki itu bagaikan
magnit membetot jantungku. Aneh! Sungguh aneh!
Mungkin tubuhku bergemetar, karena Darwin
bertanya, "Mengapa, Tini? Kau sakit, sayang?"
Terperanjat
Darwin. aku mendengar pertanyaan
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Malahan aku merasa
gembira dapat hadir di medan pesta ini," sahutku
sambil tersenyum. Sedapatnya aku menyembunyikan
perasaanku.
? 17 ? Darwin mengajak aku meninggalkan pasanganpasangan yang masih berdansa. Memang aku sudah
ingin lekas-lekas duduk.
Tuan dan nyonya rumah mengajak pendatang
baru itu keliling ruang untuk memperkenalkan dia
kepada para tamu. Ketika tiga orang itu tiba di
tempatku, sekuat tenaga aku menahan perasaanku
agar wajahku tidak pucat dan tubuhku tidak
bergemetar.
Ternyata Iaki-laki yang menarik perhatianku
bernama Suharman. la memiliki titel sarjana hukum.
Aku tidak berani bercakap-cakap dengan
Suharman S.H. kuatir nampak kegelisahanku.
Darwin bercakap-cakap sebentar dengan dia,
lalu dengan diiringi bapak dan ibu Rusmana, dia
meninggalkan kami.
Aku mengambil gelas limun dan sepotong rolkoek yang berada diatas meja dekat tempat dudukku.
Aku menawarkan kepada Darwin. la tidak suka akan
kue itu. la mengambil gelas terisi limun.
Ketika minum limunnya, Darwin mengerling kearahku. Rupanya ia dapat meiihat perubahan pada
diriku, namun ia tidak bertanya.
? 18 ? Darwin menyangka kesehatanku
agak terganggu, maka ia tidak mengatakan apa-apa.
Tengah Darwin melantai dengan ibu Rusmana,
tiba-tiba Suharman S.H, menghampiri aku. Senyum
nya mengambang dibibirnya.
"Dari tadi aku menantikan saat yang baik untuk
minta kau berdansa", la mengulurkan tangan kanannya kearahku.
Sejenak aku bersangsi.
meninggalkan tempat dudukku.
Dilain saat aku Pemain Band memainkan lagu yang bernada
romantis. Irama yang mengalun sukma bergema di
ruang dansa.
Aku merasakan tangannya hangat menjenluh
punggungku. Sambil melantai ia menundukkan
kepalanya memandang kearahku. Sinar matanya
beiijabja hangat menusuki hatiku. Aku tidak dapat
mengatakan bagaimana perasaanku saat itu.
Mendadak lampu diatas ruang dansa dipadam
kan tangan-tangan jahil. Hanya lampu-lampu kecil
disudut ruang tetap menyala.
? 19 ? Kami terbenam dalam cuaca remang-remang.
Tubuhku gemetar dan perasaanku tak keruan ketika
Suharman merapatkan tubuhku kearahnya.
Aku diam saja Suharman pun tidak berkatakata. Aku merasakan saat itu berduaan saja diruang
dansa. Suara kaki-kaki yang bergeseran dilantai hanya
Iapat-lapat terdengar ditelingaku.
Ketika Band menghentikan lagunya, lampulampu di ruang dansa dinyalakan kembali. Aku merasa
girang dapat terlepas dari perasaan tak keruan itu. Aku
bebaskan diriku dari pegangan Suharman. Ketika aku
menoleh, Darwin berada disisiku.
Suharman menghaturkan terima kasihnya, lalu
meninggalkan kami.
"Kepalaku pening, Darwin," kataku sambil
menyusuti keringat dikeningku.
Darwin tidak mengatakan apa-apa. Dari tadi
pun ia sudah menyangka bahwa aku sakit. Darwin
menghantarkan aku pulang.
? 20 ? 2 SUATU sore. Langit mendung. Menandakan hujan
akan turun.
Jam di dinding menunjukkan waktu untuk
menutup kantor. Tergesa aku berkemas-kemas, lalu
cepat-cepat aku meninggalkan kantor menuju tempat
perhentian bis.
Belum tiba ditempat yang kutuju, hujan turun
rintik-rintik. Aku percepat langkahku menyeberang
dipersimpangan jalan.
"Hei, tak mungkin kau dapat menghindarkan
hujan. Mari, naik." suara seorang lelaki menegur aku.
Aku mengangkat kepalaku melihat kedalam
mobil berkilat itu
"Mas Suharman!" mencetus nama Iaki-laki itu
dari bibirku. Aku terperanjat. Tak ku sangka
menjumpai dia di persimpangan jalan itu.
Suharman cenderungkan tubuhnya, mengulur
kan tangannya membuka pintu mobil.
? 21 ? Aku sudah mulai kebasahan. Tanpa pikir lagi aku
lompat kedalam mobil mewah itu. duduk disisi
Suharman. "Akan turun hujan besar," katanya.
Aku mengangguk.
Lampu tanda lalu-lintas diatas persimpangan
jalan bersinar hijau. Pengendara mobil dibelakang
membunyikan klakson.
"Di mana kau tinggal?" tanya Suharman.
Aku memberikan alamat tempat tinggalku,
sambil menoleh kearahnya.
Untuk seketika lamanya kami tidak berkatakata. Pandanganku ku tujukan ke muka. Acuh tak acuh
aku melihat geraknya ruitenwisser pada kaca mobil.
Beberapa hari telah berlalu sedari Darwin dan
aku mengunjungi pesta utang tahun induk semang
tunanganku. Peristiwa-peristiwa di dalam medan
pesta itu telah lenyap dari alam pikiranku. Juga
peristiwa-peristiwa dengan Suharman S.H yang
menggejolakkan hatiku tak kupikirkan lagi. Tetapi...
dua hari yang lalu tatkala aku duduk dibelakang meja
tulis tengah mengetik surat untuk induk semangku,
tiba-tiba teringat aku sentuhan tangan Suharman
? 22 ? pada punggungku ketika melantai dan kemhali
bergema suaranya ketika mengucapkan terima
kasihnya rubuhku bergemetar. Aku paksakan diri
untuk melanjutkan pekerjaanku.
Aneh. pikirku, mengapakah hatiku lemah
terhadap Suharman. Dari Darwin aku mendapat
keterangan bahwa Suharman telah berkeluarga, la
mempunyai seorang isteri cantik dan dua anak yang
mungil, satu laki dan satu perempuan. Setelah
mendapat keterangan tersebut aku tidak bertanya
pula pada Darwin tentang Suharman. Tidak perlu aku
mengetahui lebih banyak tentang diri Suharman. Dia
bukan kawan Darwin dan bukan kawanku pula.
Karena aku sudah bertunangan, maka aku tidak
boleh terlampau bebas bergaul dengan seorang pria
yang bukan menjadi sanak saudaraku. Terutama
dengan seorang lelaki yang sudah berkeluarga.
Tetapi Suharman didalam mobil berkelakuan
sangat sopan. Kata-katanya yang diucapkan tidak
mempunyai arti bercabang. Tidak pernah tangannya
melakukan gerakan yang disengaja untuk menyentuh
tubuhku. Aku agak bebas berbicara. Sebentar-sebentar ia
melucu. Sebentar-sebentar aku tertawa.
? 23 ? "Aku senang akan romantika dan gemar akan
humor," katanya. "Karena romantika dan humor
memanjangkan usia kita."
"Aku pun demikian?" sahutku jujur.
"Oh ya, jadi kita mempunyai dua persamaan
sifat."
"Hanya dua kesukaan kita yang bersamaan,
yang lainnya pasti tidak," kataku.
"Siapa tahu," kata Suharman sambil tersenyum.
"Aku yakin ada satu lagi kesukaan kita yang
bersamaan. Bukankah kau suka akan makanan dan
minuman yang lezat?"
"Sudah tentu," sahutku. "Siapa sih yang tidak
suka makan enak, selain orang sakit!"
"Jika demikian" ia membelokkan mobilnya.
"Kita akan ke restaurant yang menghidangkan
makanan-makanan lezat."
Suharman mengarahkan mobilnya kesebuah
restaurant yang mentereng di ibu kotayang kebetulan
berada tidak jauh dari jalan yang sedang dilintasi.
Pertama aku menolak ajakan Suharman, namun
ketika aku melihat wajahnya tampak kecewa dan
? 24 ? hatuu oun sebenarnya tergerak untuk memasuki
restaurant first-class itu yang belum pernah aku menginjaknya, aku menerima ajakan Iaki-laki itu.
Di dalam restaurant kelakuan Suharman tetap
sopan. Tidak ada tanda-tanda dia mempunyai maksud
tidak baik terhadap diriku. Maka aku tidak menyesal
menerima ajakannya. Dia bukan lelaki brengsek,
pikirku. Kembali kegelisahan menyelinap kedalam
hatiku seperti ketika pertama kali dia mempesonakan
aku di medan pesta, dan beberapa hari yang lalu saat
aku teringat akan sentuhan tangannya di punggungku.
Kedua memandang sanubariku.
matanya yang bercahaya terang
mesra, menyerap sekali kedalam
"Kau suka akan keindahan, bukan ?" tanya
Suharman.

Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengangguk. Aku memandang ke sekeliling
ruang yang sangat indah dan mentereng itu.
"Memang aku suka akan keindahan dan
kecantikan, tetapi sejak kecil aku tidak mendapatkan
kesempatan untuk menikmati keindahan," aku
menerangkan.
? 25 ? "Mengapa, Sulas Sulastri," tanya Suharman.
Rupanya dia telah lupa akan namaku.
"Sulastini,"
tersenyum.
aku membetulkan
sambil "Maaf," cepat-cepat Suharman berkata.
"Memang aku seorang yang sangat pelupa. Sementara
kau masih ingat namaku, aku telah melupakan nama
yang indah itu. Sulastini... Sulastini..."
Berulang dia menyebut namaku seakan-akan
hendak menatah namaku didalam benaknya.
Aku merasakan panas seluruh wajahku, bahna
malunya. Pasti wajahku tampak kemerah-merahan.
Aku tak melupakan namanya katanya sementara dia
telah melupakan namaku. Aku gelisah.
"Mengapa, Sulastini, kau kurang mendapat
kesempatan untuk menikmati keindahan?" kembali
Suharman bertanya.
Aku menekan perasaan gelisahku, ketika aku
berkata: "Aku seorang gadis desa, Mas. Dimana
seorang desa dapat kesempatan untuk menikmati
keindahan. Bukan keindahan, bukan kecantikan,
bukan kemewahan yang dikenal orang desa,
melainkan kemelaratan. Sejak kecil aku mengalamkan
? 26 ? kemelaratan. Bukan rumah yang indah, bukan gedung
yang mentereng seperti rumah gedungnya bapak
Rusmana, yang kami diami, tetapi sebuah rumah
gubuk yang dinding-dindingnya daripada pagar yang
sudah lapuk, ruang tidur yang atapnya disana-sini
sudah bocor, dan ruang dapur yang tidak berdinding
lagi. Aku sangat malu, untuk mengajak kawankawanku kerumahku."
Aku menghela napas dalam-dalam. "Maaf, Mas
Aku terlepasan mengatakan itu semua kepadamu.
Mungkin Mas tidak dapat merasainya."
Suharman memandang padaku seakan-akan
hendak menyelami jiwaku.
"Mungkin tidak seluruhnya aku dapat merasai
kepahitan hidupmu, Tini," katanya jujur "Memang
sedari kecil aku tidak mengenal arti kemelaratan.
Karena kebetulan aku dilahirkan dan hidup di dalam
keluarga berada. Namun seringkali aku turut merakan
kesusahaan kawan-kawanku."
"Jangan salah paham, Mas. Aku tidak
bermaksud melontarkan kritikan terhadap orangorang hartawan seperti Mas," kataku.
"Ah, tidak," sahutnya "Aku tidak berpendapat
demikian Bukankah pengalaman-pengalaman
? 27 ? seseorang berbeda satu sama lain. Seorang yang
hidupnya susah tidak boleh mengiri terhadap orang
yang hidupnya senang. Dan sebaliknya orang-orang
yang hidup selalu senang tidak boleh menyombong
kan dirinya atau memandang rendah sesamanya yang
hidup melarat Baik. iri-hati, maupun menyombongkan
diri adalah sifat-sifat yang negatip didalam kehidupan
manusia."
la terdiam sejenak. Sesaat kemudian ia berkata
pula: "Kau mengatakan bahwa kau adalah seorang
gadis desa Menurut pandanganku tak ada beda antara
kau dengan gadis-gadis kota. Dengan siapa kau tinggal
di Jakarta, Tini ?"
"Dengan paman dan bibiku," sahutku.
Suharman mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jangan kau mengatakan pula kepada siapapun juga
apa yang kau katakan tadi kepadaku, Tini. Semakin kau
menyesali kehidupanmu, semakin kau merasakan kepahitannya."
"Aku tidak malu mengakui kemelaratanku, Mas
Lagipula masih, tetap seorang gadis desa, walaupun
aku telah mendapat pendidikan gadis kota."
Tampak wajah Suharman berubah tegang
kekuatiran terlihat pada kedua matanya. Mungkin ia
? 28 ? kuatir aku marah atau sedikitnya tersinggung dengan
kata-katanya tadi.
"Sulastini, bukan itu maksudku. Dengan
mengungkapkan kemelaratanmu berarti kau
menyesali penghidupanmu.
Segala macam penyesalan bila terbenam di alam bawah sadar, suatu
saat akan membawa akibat tidak baik bagi kesehatan
mental. Penghidupan tidak perlu disesali, harus
diterima dan diperbaiki. Aku mengerti pengalaman
mu, Tini. Aku turut dan dapat merasakan kepahitan
penghidupanmu itu. Sungguh, aku bicara sungguhsungguh, Sulastini "
Aku tidak menyahut. Aku memandang
Suharman ketika dia bicara. Memang bicaranya
sungguh-sungguh dan wajahnya tampak serius. Tidak
tampak tanda-tanda kepalsuan pada sikapnya atau
nada suaranya.
Dia turut merasakan kemelaratanku. Dia
mengasihani aku? Tidak! Tidak!! Aku tidak perlu dia
kasihani. Ah, mengapakah aku begitu bodoh, bernapsu
menceritakan kemelaratanku kepadanya? Ini karena
aku selalu mempunyai perasaan sentimen terhadap
orang-orang yang beruang dan mempunyai
? 29 ? kedudukan tinggi. Diam-diam aku bencikan sikap
mereka yang menurut pandanganku dibuat-buat di
dalam pergaulan.
Aku telah perjuangkan untuk mendapatkan
kepercayaan pada diriku. Aku tidak mau menjadi
seorang gadis dungu dan tidak berpendidikan. Maka
aku telah meninggalkan desa tempat kelahiranku dan
tinggal di Jakana dengan paman dan bibiku yang
bijaksana. Lulus SMA aku tidak ke Universitas.
Walaupun paman serta bibiku menganjurkan aku
meneruskan pelajaran untuk memperoleh titel
sarjana, namun aku merasa tidak enak biaya sekolah
dan ongkos hidupku menjadi beban paman terus
menerus. Aku mengambil keputusan akan mencari
nafkah sendiri. Siang aku bekerja. Diwaktu sore dan
malam aku mengisi kekurangan pada diriku.
Aku mengatakan bahwa aku emoh menjadi
seorang gadis dungu dan kurang berpendidikan. Maka
aku mengikuti kursus-kursus bahasa Inggeris untuk
mendalamkan bahasa Inggerisku yang aku rasakan
masih kurang. Aku mengikuti kursus makeup dan
peragawati, agar aku tidak merasa canggung dalam
pergaulan. Bikin kue dan masak-memasak pun aku
pelajarinya, yang paling senang aku mengikuti kursus
menjahit, karena aku gemar membuat gaun mengikuti
? 30 ? aliran mode. Dari majalah-majalah luar negeri aku
mendapat banyak pelajaran. Pokoknya aku tidak mau
terbelakang.
Walaupun aku mengikuti berbagai kursus, tak
bosan-bosannya membaca special features tentang
pendidikan pribadi yang terdapat dalam majalahmajalah luar negeri, namun seringkah aku kejangkitan
perasaan rendah diri dan hilang kepercayaan kepada
diri sendiri. Begitu ada kesempatan, dimana saja aku
memperhatikan wanita-wanita yang ku jumpai. Aku
mengagumi mereka yang mempunyai personality.
Pakaian yang mereka kenakan pada tubuh mereka,
cara mereka berjalan, sikap mereka, bicara mereka,
ingin sekali aku seperti mereka. Ya, aku iri hati!
Aku mengagumi Mas Suharman, karena kuat
kepercayaan kepada dirinya.
"Kau sedang mimpi, Tini?" tegur Suharman.
Aku terperanjat! Serentak aku tersadar dari
lamunanku. Mungkin wajahku tampak merah. Aku
paksakan bersenyum.
"Aku mimpikan desaku, Mas," kataku. "Betapa
indahnya tempat ini dibandingkan dengan desa ku."
? 31 ? "Didesa kita dapat menikmati banyak
keindahan. Bukankah keindahan alam jauh lebih indah
daripada keindahan benda-benda yang terdapat
dalam ruang ini?"
Suharman memesan minuman pada pelayan
yang datang dengan tersipu-sipu. Dari tadi kami
dibiarkan tanpa pelayanan.
Tidak lama pelayan itu kembali membawa minuman.
"Bagaimana, Tini, kita makan saja disini?" tanya
Suharman. Namun belum sempat aku menyahut, dia sudah
berkata pula sambil bersenyum: "Ah, jangan. Maaf-,
kaulah aku Tidak baik orang melihat kau bersantap
berduan dengan aku."
"Memang," sahutku. "Tidak baik dilihat orang
kita bersantap berduan "
Mulutku berkata demikian, namun hatiku
berkata lain. Ingin sekali aku bersantap dengan
Suharman di restaurant yang gemilang itu. Tidak
salahnya, tidak ada jeleknya, bila hanya bersantap
tanpa mempunyai maksud lain. Tetapi...memang aku
mempunyai maksud lain. Aku ingin lebih lama berada
? 32 ? dengan Suharman. Laki-laki yang mempesonakan aku
dan meng gejolakkan hatiku.
Tiba-tiba pikiran sadar berkelebat didalam
benakku. Tidak! Tidak boleh aku mengumbar
perasaanku. Aku sudah terikat tali pertunangan
dengan Darwin. Aku harus mengakhiri pergaulanku
dengan Suharman.
? 33 ? 3 "SULASTINI, mengapakah kau kelihatan bingung
saja?" tanya bibiku suatu petang ketika aku tengah
menantikan kedatangan Darwin.
Aku terperanjat! Memang, akhir-akhir ini
kegelisan selalu mencengkam hatiku. Cepat-cepat aku
bersenyum.
"Terima-kasih,
tante. Tante sungguh memperhatikan. Tidak ada apa-apa, hanya pekerjaan
di kantor akhir-akhir ini memusingkan kepala." aku
berdusta. "Tidak baik bagi kesehatanmu, Tini. Bila
pekerjaan kantor sudah kau rasakan berat, kau perlu
minta cuti. Kau harus berlibur untuk tenangkan
pikiranmu," bibiku mengusulkan.
"Mana bisa? Sedang pekerjaan banyak, tidak
pantas saya minta cuti. Satu dua hari pun pikiran saja
akan tenang kembali," sahutku kembali berdusta.
"Tante kuatir kau sakit," kala bibiku sambil
melangkah pergi.
? 34 ? Aku telah menjanjikan bibiku bahwa dalam satu
dua hari pikiranku akan tenang kembali. Tidak
mungkin! Itu dusta. Aku yakin bahwa tak mungkin
pikiranku akan tenang kembali dalam waktu sesingkat
itu. Sedari itu malam Suharman mengajak aku
minum di restaurant yang mewah itu, aku telah coba
melupakan dia. Memang aku tidak memikirkan dia
pula. Namun aku mimpikan dia! Hampir setiap malam
aku mimpikan Suharman. Aku tidak dapat hentikan
mimpiku itu. Bila di pagi hari aku terjaga dari tidurku,
aku gelisah dan malu.
"Suami orang!" kataku pada diriku sendiri. Aku
marah-marah kepada diriku. ---Sulastini, kau
mimpikan suami orang! Gila kamu! Dia suami orang!
Suami orang!
Aku paksakan diriku memikirkan Darwin.
Seharusnya aku memikirkan dan mimpikan Darwin
karena dia tunanganku. Calon suamiku! Aku merasa
bersalah dan... berdosa !
Orang melakukan sesuatu yang aneh-aneh
untuk mendustakan dirinya. Aku telah berbuat yang
bukan-bukan untuk menggirangkan Darwin. Aku
memberikan dia hadiah-hadiah yang tidak berguna.
? 35 ? Lebih sering aku membuat hidangan-hidangan untuk
disajikan kepada tunanganku. Mungkin Darwin
melihat perubahan pada diriku itu, namun dia tidak
mengatakan apa-apa. Tampaknya dia sangat girang
mendapat extra perhatian dariku.
Walaupun aku melakukan itu semua dengan
maksud menggirangkan tunanganku, namun hatiku
tidak turut girang, bahkan bertambah gelisah.
Di waktu malam, bila Darwin minta diri dan
mencium aku, aku benci kepada diriku, karena hatiku
inginkan Suharman berada ditempat Darwin.


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap petang, di waktu aku menantikan bis,
selalu aku menekan harapanku agar Suharman lewat
dengan mobilnya dan mengajak aku. Kemudian aku
berdoa. Aku tidak ingin bertemu pula dengan
Suharman. Ah, semua itu tidak menolong. Makin hari
makin hebat kegelisahanku. Makin merangsang
hatiku. Rangsangan itu bagaikan tak terkendalikan
pula. Cinta! cinta! Inikah yang dinamakan cinta, hingga
melupakan segala? cinta sucikah? Bukan! cinta
murnikah. Juga bukan! cinta yang tak terkendalikan.
cinta liar!
? 36 ? Pikiranku seakan-akan tertutup kabut. Ceritacerita tentang seorang wanita yang merebut suami
orang atau seorang laki-laki yang suka menggondol
isteri orang memuakkan aku. Bila pada akhir cerita itu
si wanita atau si lelaki menjadi sengsara selalu aku
berkata : ? Rasain. Kamu mencari susah sendiri!
Tidak heran kini aku menjadi gelisah bukan
kepalang. Semestinya aku sadar. Seharusnya aku
insyaf. Memang aku sadar! Aku insyaf bahwa akhirnya
aku akan menghadapi malapetaka. Habis bagaimana,
kalau hatiku senantiasa merangsang-rangsang
kehadiran Suharman dan pikiranku selalu membayang
kan wajah laki-laki itu?
Suatu petang Suharman lewat dengan mobilnya
dimuka perhentian bis. Ketika itu aku meninggalkan
kantor terlambat dari biasa karena aku kerja lembur.
Sungguh aku tidak memikirkan Suharman saat itu. Aku
sedang berdiri menantikan bis. Cuaca sudah mulai
gelap. Pikiranku saat itu ingin lekas-lekas pulang.
Berbareng pandanganku bertemu dengan
pandangan Suharman. Jantungku memukul keras,
dadaku berdebar-debar, ketika dia hentikan mobilnya
dan membukakan pintu mobil untuk aku. Seluruh
? 37 ? tubuhku bergemetar dan aku tidak dapat menahan
kakiku melangkah masuk kedalam kendaraan itu.
Sepatah katapun aku tidak ucapkan. Mobil
meluncur dan kami tetap membisu. Sesaat kemudian
Suharman berkata: "Kau percaja atau tidak bahwa
setiap hari sengaja aku mengambil jalan lain agar tidak
bertemu dengan kau. Kebetulan aku pulang hari ini
agak terlambat. Tetapi, Sulastini... sungguh aku
kehilangan engkau."
"Jangan! Jangan mengatakan pula semacam
itu" suaraku terdengar parau.
la memperlambat lari mobilnya, lalu berpaling
kearahku. Sepasang mata yang mempesonakan aku
itu bersinar mesra. Belum pernah aku merasakan
seorang pria memandang aku sedemikian rupa.
Darwin pun belum pernah memandang aku semesra
itu. Menyerap sekali kedalam hatiku!
Aku tidak menegur, ketika Suharman
mengambil jalan lain yang bukan menuju tempat
tinggalku. Dia membelukkan mobilnya menuju keluar
kota. Seharusnya aku marah dan menegur dia. Dengan
maksud apa dia membawa aku keluar kota pada
malam hari itu. Aku tahu maksud Suharman, namun
? 38 ? aku membiaran. Aku tetap diam, seakan-akan itu
keinginanku juga.
Ya, pikiranku tak kuasa, hatiku tak kuat untuk
menegur Suharman, agar dia merubah kembali haluan
jalan mobilnya. Bahkan mulutku pun tak bisa
mengeluarkan ucapan agar dia menghentikan lari
mobilnya. Lemah! Bukan saja lemah, namun runtuh!
Runtuhlah benteng hatiku, direbut Suharman. Saat itu
aku tahu, aku insyaf bahwa aku jatuh cinta kepada
Suharman. Kesadaran akan cintaku itu mendebarkan
hatiku dan gemetarkan seluruh tubuhku. Aku seakanakan diserang meriang mendadak.
Benar-benar aku telah jatuh luluh dalam
gelumbang asmara. Belum sempat Suharman
menyentuh tubuhku, aku sudah ingin disentuh. Belum
sempat ia mencium aku kedua bibirku sudah
merasakan kehangatannya.
Suharman hentikan mobilnya disisi jalan sunyi.
Cuaca pada malam itu indah sekali. Sinar
rembulan bercahaya sejuk, keemas-emasan penuh
romantika. Bunyi binatang-binatang kecil yang
bersembunyi didalam semak-semak terdengar olehku
bagaikan berirama rayuan cinta.
? 39 ? Ketika turun dari mobil, pikiranku bagaikan
melajangi diantara sadar dan tidak sadar. Di dalam
pengaruh obat bius agaknya. Aku jalan duluan di jalan
kecil dan sunyi itu. Suharman melangkah dibelakangku. Aku tidak mengatakan apa-apa. Kembali
aku merasakan tubuhku bergemetar.
"Aku cinta padamu, Sulastini," terdengar suara
Suharman pelahan.
Cepat-cepat aku membalikkan tubuhku.
Disertai dengan sebuah jeritan aku menubruk
Suharman, jatuh ke dalam pelukannya. Penuh kasih
sayang ia menciumi rambut dan kedua mataku.
Akhirnya bibirku bertemu dengan bibirnya. Desak
kehangatan bergelombang aku rasakan di seluruh
tubuhku. Tidak ada jalan untuk kembali. Aku
menyerah! Kemudian, dengan lembut Suharman membelai-belai rambutku. Kami saling pandang.
Pandangannya mencerminkan hati yang mencinta.
Suatu pandangan yang menyerar benar kedalam
jiwaku. "Aku merasa heran, aku dapat mencintai
seorang wanita mati-matian," bisik Suharman.
? 40 ? "Begitupun aku" kataku pelahan. Jari-jariku
ngusap-usap pipinya.
Lama kami berada ditempat sunyi itu. Aku
mengangkat kepalaku. Tampak rembulan bercahaya
gemiIang jauh tinggi diawan
Suharman tidak berkata-kata. Rupanya dia
tengah tenggelam didalam pikrannya sendiri.
Aku pun terdiam, karena aku tengah menikmati
kesunyian yang diselubungi kasih mesra. Aku tidak
gelisah pula. Entah kemana kegelisahanku saat itu. Di
dekatku terdengar suara jangkrik berbunyi. Di
kejauhan terdengar suara bis dan mobil berlalu. Tibatiba Suharman mengajak aku pulang.
? 41 ? 4 AKU telah mengambil suatu keputusan. Aku harus
memutuskan pertunangan!
Kegelisahanku telah lenyap. Aku tidak bingung
pula. Aku sadar bahwa aku tidak mencintai Darwin
sungguh-sungguh. Sudah tentu aku merasa kesian
kepadanya.
Akil tidak dapat berbuat lain. Tidak mungkin aku
mencari penyelesaian dengan mengambil jalan
tengah. Aku harus memilih Darwin atau Suharman.
Bagaimana aku bisa menikah dengan Darwin, bila
pikiranku seluruhnya dipenuhi Suharman?
Ya, aku sendiri tidak kuasa. Aku tidak kuasa
melawan cinta!
Bukankah Darwin mencintai aku sungguhsungguh? Bukankah cinta yang suci bersedia untuk
berkorban? Kini cintanya meminta pengorbanan.
Darwin harus berkoroan untuk kebahagiaan orang
yang dicintainya.
Egoist? Terpaksa, karena aku tidak mempunyai
jalan lain. Sangat menyesal aku harus melukai hatinya.
? 42 ? Tibalah malam itu. Malam kami berjanji untuk
menonton film. Aku telah menjanjikan Darwin pada
sepekan yang lampau. Saat itu hatiku belum di gondol
Suharman. Saat itu aku masih kepunyaan Darwin.
Darwin terperanjat bukan kepalang ketika aku
minta kebebasanku pula. Dia terdiam bagaikan
terpaku. Untuk seketika lama dia tidak dapat berkata.
Aku menundukkan kepalaku memandang lantai
sambil mengepalkan jari-jariku untuk menahan
perasaanku.
"Kesalahan apa yang aku perbuat, sayang?"
akhirnya Darwin bertanya. Masih bingung ia
menghampiri aku. Ketika tangannya hendak
merangkul punggungku, aku menjauhkan diriku. Dia
tercenggang !
Aku menatap matanya. Aku ingin peristiwa yang tidak
enak ini lekas berakhir.
"Aku ingin memutuskan pertunangan kita,"
kataku berani. "Aku... aku tidak mencintai kau."
Setelah mendengar kata-kataku yang meletus
dari mulutku bagaikan peluru, Darwin menjatuhkan
dirinya dikursi. Tak mudah kulupakan perubahan pada
dirinya saat itu. Suatu kepiluan dan kedukaan
bercermin pada wajahnya.
? 43 ? "Apakah katamu sungguh-sungguh!" dia
bertanya bagaikan tak percaya akan pendengarannya.
Aku mengangguk, memastikan. la masukkan tangan
nya kedalam saku celanannya mencari rokok.
"Apakah aku telah berbuat sesuatu... sesuatu!
yang menyakiti hatimu?" Dia tidak menantikan
jawabanku, dia berkata lagi: "Apakah kau mencintai
laki-laki lain?"
"Ya." jawabku sambil menghela napas dalam.
"Percayalah, bahwa aku tidak bermaksud menyakiti
hatimu. Darwin. Sungguh, akupun merasa sedih."
"Siapakah gerangan yang kau cintai?" Darwin
hendak mengetahui saingannya.
Aku tidak akan menceritakan. Tidak. Darwin
tidak boleh tahu. "Seorang yang kau tidak kenal," aku
berdusta. "Aku tidak mengerti." Darwin bergumam "Aku
percaja dan yakin bahwa kita saling mencinta,
Sulastini. Pendapatku cinta kita tulen, suci dan murni
serta kuat dan kokoh."
Aku tidak menyahut.
Sesaat Darwin pun tidak mengucapkan katakata pula.
? 44 ? Hening, sepi suasana di ruang di mana kami
berada. Kesunyian itu mencengkam aku.
Mendadak Darwin bangkit, menghampiri aku.
Kedua tangannya dengan kasar memegang pipiku
mengangkat kepalaku.
"Laki-laki itu Suharman bukan!" katanya sengit.
Tubuhku bergemetar. Aku gerakkan badanku ke
belakang untuk melepaskan kedua tangannya dari
mukaku. "Tidak salah terkaanku," kata Darwin "Memang
setelah kau bertemu dengan dia di medan pesta
keluarga Rusmana, kelakuanmu sangat aneh. Kau
mengatakan kepalamu pening."
"Memang. Ketika itu aku merasakan kepalaku
sakit," sahutku dongkol.
Darwin tertawa getir, la mendorong bahuku.
"Kau sudah menjadi gila Sulastini." katanya
kasar. "Kau tidak mengetahui apa yang kau lakukan.
Dia seorang laki-laki yang berkeluarga. Aku kira kau
seorang gadis yang bermoral."
Kata-katanya yang kasar itu menyakiti hatiku.
Aku gusar. Penuh kemarahan aku berteriak :
? 45 ? "Aku seorang gadis suci!"
"Salahkah pandanganku? Apakah seorang gadis
suci merebut suami orang? Apakah seorang gadis suci
bermain cinta dengan seorang laki-laki yang sudah
mempunyai isteri dan anak? Sucikah itu, Sulastini?
Sucikah itu semua!"
Pasti kedua mataku bersinar merah padam.
Serentak aku bangkit dari tempat dudukku. Jariku
menunjuk kearah pintu.
"Pergi! Pergi! Dan jangan datang lagi kemari!
Aku tidak ingin berjumpa pula dengan kau!"
Darwin ingin mengucapkan kata-kata, namun ia
urungkan maksudnya. Tampak wajahnya tegang, la
menggigit bibirnya, menahan goncangan hatinya.
Cepat-cepat ia meninggalkan ruang. Dengan keras ia
menggabrukkan pintu.
Aku menangis. Aku menangis karena menyesal
dan malu. Aku menyesal harus mengalami peristiwa
tidak enak yang menyakiti hati Darwin. Dan malu,
karena memang benar aku telah bercintaan dengan
suami orang. Lama aku menangis. Airmata mengalir di
kedua pipiku.
? 46 ? Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki paman
dan bibiku masuk ke pekarangan rumah. Aku tidak
mau paman dan bibiku melihat aku sedih. Cepat-cepat
aku bangkit. Berlari-lari kedalam bilikku. Aku
mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Lalu jatuhkan
diri di atas kasur. Aku menekap wajahku dengan
bantal. Terdengar suara paman dan bibiku memasuki
ruang tamu.
? 47 ? 5 BEBAS! Aku telah bebas dari ikatan


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertunangan dengan Darwin. Aku telah mengingkari
janji. Aku telah memutus cinta. Entah apa lagi katakata tuduhan yang harus dilontarkan kearahku. Ya,
aku harus terima itu semua.
Sangkaku bebas dari Darwm aku akan bebas
pula dari kegelisahan. Namun kegelisahan ini tidak
lenyap. Bahkan makin hebat.
Aku tidak menceritakan paman dan bibiku,
bahwa aku tidak terikat pula dengan Darwin. Namun
mereka mengetahui bahwa ada sesuatu yang aku
sembunyikan, karena Darwin tidak pernah datang lagi
mendapatkan aku.
Kelakuan paman terhadap aku seperti biasa.
Bibiku lebih memperhatikan. Walaupun ia belum tahu
persoalannya tetapi tampaknya ia turut merasakan
kesukaranku. Sungguh bijaksana bibiku itu.
Tidak dapat Iama-lama aku merahasiakan
persoalanku. Pada suatu hari aku menceritakan
? 48 ? peristiwa itu tanpa memberikan alasan, karena aku
ingin tetap merahasiakan cintaku kepada Suharman.
Bibiku tidak terperanjat. Rupanya dia sudah
menduga-duga.
"Sungguh sayang," kata bibiku. "Darwin seorang
pemuda yang baik. Kalian berdua sangat cocok."
Hanya itulah kata yang pernah diucapkan
bibiku. Pamanku tidak memberikan pendapatnya.
Tidak pernah paman dan bibiku mengungkapkan pula
persoalanku.
Sementara itu aku tetap bergaul dengan
Suharman. Suharman tidak pernah datang mencari aku
dirumah. Biasanya kami bertemu disebuah toko buku
atau toko lainnya yang letak agak jauh dari tempat ke
diamanku. Selalu kami berlagak terperanjat diwaktu
bertemu, karena kami sama kuatir ada orang yang
dikenal melihatnya. Dalam pertemuan yang sesingkat
itu biasanya tidak banyak yang kami katakan. Kami
berbicara sebentar, lalu Suharman meninggalkan aku,
sebagai lazimnya seorang kenalan biasa yang
kebetulan berjumpa. Kemudian aku berlagak melihatlihat barang-barang yang dijaja di dalam toko. Suatu
ketika aku kebingungan karena aku melihat seorang
? 49 ? yang kukenal berada pula didalam toko dimana kami
berada. Aku gelisah karena dia melihat aku berbicara
dengan Suharman. Didalam kebingungan aku
membeli sebuah lipstiek yang warnanya tidak cocok
bagiku. Ketika aku ceritakan Suharman, dia tertawa
terbahak-bahak.
Kami telah berjanji pada suatu malam minggu
akan bertemu disebuah lorong yang agak gelap.
Melihat aku keluar dari lorong, dia melangkah pergi.
Aku mengikuti dia sedikit jauh. Bila ada orang yang
melihatnya, pasti dia tidak menyangka apa-apa karena
kelakuan kami seperti orang yang tidak kenal satu
sama lain.
Beberapa kali kelakuan itu tidak mengakibatkan
apa-apa dalam diriku. Namun lama kelamahan hatiku
berontak. Kembali bergema ditelingaku kata-kata yang
pernah diucapkan Darwin dalam kemarahannya : ?
Apakah seorang gadis suci bermain cinta dengan lakilaki yang sudah mempunyai isteri dan anak?
Selalu aku tekan perasaanku yang berontak itu.
Selalu aku mengatakan kepada diriku bahwa aku tidak
perdulikan itu semua. Darwin telah mengatakan aku
seorang gadis tidak bermoral. Masyarakat bahkan
? 50 ? dunia pun boleh mengatakan bahwa aku seorang
gadis tidak suci. Aku tidak menghiraukannya, asalkan
Suharman tidak berpendapat demikian.
Pernah aku bertanya kepada Suharman.
Bagaimana pendapatnya, apakah aku seorang gadis
bermoral atau bukan?
Tanpa pikir lagi. Suharman menyahut;
"Mengapa kau mempunyai pikiran demikian tentang
dirimu! Aku menganggap kau seorang gadis yang
bermoral tinggi. Jika orang mengetahui kau mencintai
aku, pasti orang itu akan menyalahkan kau, namun
sedikit pun aku tidak menyalahkannya, karena aku
sendiripun mengalaminya. Kau mencintai aku karena
desakan hati. Siapakah gerangan yang betul-betul
kuat dapat menahan desakan cinta yang sedahsyat
itu? Seorang gadis yang berperasaan, dan memiliki
hati yang tidak beku, tidak mungkin dapat menahan
suara nalurinya. Dia tidak kuasa memadamkan api
cinta yang makin lama makin menyala. Bila dia
paksakan dirinya dan berhasil membelenggu hatinya,
memadamkan api cinta, tidak ada kegairahan pula
dalam kehidupannya. Akan tampak pada wajahnya.
Terlihat pada sinar matanya yang mencerminkan hati
beku. Dia mati...sebelum mati!"
? 51 ? Aku terdiam. Kata-kata Suharman menyerap ke
dalam kalbuku. Uraian itu membungakan hatiku,
membesarkan jiwaku. Cinta Suharman bagaikan hujan
di musim kemarau. Dia menganalisa cinta menurut
pandangannya sendiri. Mungkin betul, mungkin juga
salah. Namun aku tidak peduli. Saat itu aku tidak dapat
berpikir, aku hanya mengikuti jalan pikirannya. Aku
tidak mau membantah, aku tidak mau bertengkar,
karena kata-kata itu enak terdengarnya bagi telingaku.
Seperti biasa Suharman membimbing aku
kemobilnya yang diparkir disudut lorong yang gelap.
Dia tidak pernah mencium aku sebelum berada di
tempat yang kita tuju. Sementara dia mengemudikan
mobil, aku duduk diam disisinya. Namun hatiku tidak
diam. Hatiku meronta karena tak sabar menanti.
Orang yang tidak mengenal kami melihat kami
di dalam mobil akan berpendapat bahwa kami adalah
sepasang suami istri.
Suami isteri? Betapa senangnya bila aku dapat
memastikan orang itu bahwa memang aku sepasang
suami isteri. Segera aku lenyapkan pikiran itu dari
dalam benakku. Suami isteri mempunyai rumah di
mana mereka dapal memupuk cinta mereka. Namun
aku hanya mempunyai tempat-tempat sepi, lorong? 52 ?
lorong gelap, ruang-ruang bioskop. Ditempat itulah
kami dapat berpegangan tangan dan aku harus
merasa puas dengan kehangatan berpegangan tangan
dan sentuhan bahu kami.
Belum pernah aku menanyakan Suharman
tentang isteri dan anak-anaknya, karena aku tidak
mau tahu dan tak mau dengar tentang keluarganya.
Ketika pergaulan kami bertambah erat, aku mimpikan
pernikahan. Aku ingin Suharman menjadi suamiku
yang sah dimata khalayak ramai. Namun kini keinginan
itu bagaikan tertutup kabut. Rasanya jauh sekali untuk
dicapai. Jauh tinggi diawan.
Aku terlampau sombong lagi pula merasa
bersalah untuk meminta Suharman menceraikan
isterinya. Teringatlah akan kata-kataku sendiri. Bila
aku membaca sebuah cerita atau mendengar orang
menceritakan seorang wanila yang merebut suami
orang selalu aku mengatakan : Biar dia rasain. karena
dia mencari susah sendiri. Kini aku sendiri yang
merasakan kepedihan itu.
Pada suatu hari Suharman mengajak aku ke
rumahnya. Aku tidak menolak karena dia menerang
kan isteri dan anak-anaknya sedang pergi keluar kota
mengunjungi rumah mentuanya. Aku tidak me
? 53 ? nyetujui karena memang aku tidak mau berkunjung ke
rumah Suharman dimana isterinya menjadi nyonya
rumah. Maka aku diam saja.
Saat Suharman memasuki mobil kedalam
pekarangan rumahnya, mendadak hatiku bergejolak.
Kedua mataku menatap kearah rumah gedung yang
kecil mungil itu. Disinilah Suharman dan isterinya serta
anak-anaknya tinggal.
Aku telah mengatakan bahwa aku tidak mau
tahu dan tidak mau mendengar tentang isteri
Suharman, selama itu aku menganggap Suharman
belum beristeri, belum berkeluarga. Menyaksikan
rumah gedung yang kecil mungil itu kedua mataku
terbuka melihat kenyataan.
Aku berdiam saja didalam mobil.
"Mari masuk, Tini," Suharman mengajak. "Tidak
seorang pun yang berada saat ini di rumahku."
Aku masuk tidak lebih jauh dari ruang tamu.
Tampak perabot-perabot rumah tangga yang berkilat
di dalam ruang itu.
"Itu foto Mariati, ia isteriku," kata Suharman
sambil melangkah kedalam meninggalkan aku seorang
diri. ? 54 ? Bagaikan tertarik besi berani aku menghampiri
foto didalam bingkai yang tergantung diatas dressoir.
Wanita itu lebih tua daripada aku. Wajahnya tampak
sombong dan sinar matanya mencerminkan keangkuh
an. Cepat-cepat aku membalikkan tubuhku. Tidak
mau aku melihat lama-lama fotonya seorang wanita
sombong. Lagi pula dia adalah sainganku, penghalang
keberuntunganku. Tetapi penglihatanku yang singkat
itu sudah cukup untuk melekatkan wajah wanita
sombong itu didalam benakku.
Suharman memasuki ruang tamu, mempersilah
kan aku duduk. Namun aku tetap berdiri mem
belakangi foto isterinya yang tergantung di dinding
diatas dressoir. Aku menundukkan kepalaku.
Rupanya Suharman mengetahui perasaanku
saat itu. la menghampiri aku dari belakang. Merangkul
aku lalu mencium tengkukku.
Aku melepaskan tubuhku dari rangkulannya.
Melangkah beberapa tindak menjauhkan diriku
daripada Suharman.
"Jangan sentuh aku, selama kita berada disini,"
kataku tetap menundukkan kepala.
? 55 ? Kepedihan mencengkam hatiku.
"Maafkanlah aku, sayang," kata Suharman.
"Sebenarnya tak boleh aku membawa kau kemari.
Mari kita pergi."
Suharman membimbing aku keluar dari ruang
tamu menuju ke mobilnya. Setelah aku duduk didalam
mobil, ia kembali untuk mengunci pintu rumahnya.
Tidak sepatah kata yang aku ucapkan. Tidak
sepatah kata yang Suharman katakan. Aku terdiam,
Suharman pun berdiam diri. Namun pikiranku bekerja
keras. Wajah Mariati bagaikan menghantui aku. Aku
merasa bagaikan dia berada ditengah-tengah kami.
Ketika mobil yang kami tumpangi meninggalkan
kota, Suharman membunyikan radio. Aku menyandar
kan kepalaku ke belakang, mendengarkan lagu yang
disiarkan oleh sebuah radio amatir.
Aku yakin saat itu Suharman pun merasa pedih
dan duka. Aku dapat melihat pada wajahnya.
Untuk menghiburkan Suharman aku berusaha
untuk melupakan perabaan pedihku. Namun aku
merasakan dadaku penuh.
"Mas, aku tidak tahu apa yang aku harus
katakan."
? 56 ? "Jangan mengatakan apa-apa," sahutnya.
Tangan kirinya memegang sebelah tanganku. Hangat
aku rasakan dekapan tangannya. Dengan berbuat
demikian dia seolah-olah hendak memberikan aku
kekuatan, "Sebentar kita akan bicarakan."
Aku menarik
melegakan dadaku.
napas dalam-dalam
untuk Lagu dari pemancar radio amatir memecahkan
kesunyian di dalam mobil. Sebuah lagu dari piringan
hitam. ? There it something baby about you that?s
really attracting me, yeah. And your sweet love
darling realy got a hold on me. I?ve got a litlle taste of
your love. And now I?m hooked on you, yeah. And I
keep falling, falling but what can I do.
Aku mengetahui lagu itu. Sebuah lagu
kesukaanku. "Too Weak To Fight" judul lagu itu.
Lemah untuk Melawan. Aku pun lemah untuk
melawan apa yang aku tengah hadapi. Lemah, karena
aku telah jatuh ke dalam curam yang tak bertepi.
"Kau menyukai lagu itu, Mas?" tanyaku tiba-tiba
kepada Suharman.
? 57 ? Suharman mengangguk. Rupanya dia pun
mendengarkan dengan seksama kata-kata yang
diucapkan penyanyi lagu itu, karena dia berkata: "Aku
sependapat dengan pencipta lagu itu. Aku pun lemah
dalam soal cinta, walaupun dalam soal lain aku dapat
bertindak keras dan tegas."
Aku tidak menyahut.
Suara penyanji mengakhiri lagunya: Too weak
to fight now, baby baby, baby... Too weak to fight.
Suatu pengakuan dari Suharman yang aku tidak
duga semula. Dia mengakui bahwa dia pun lemah
menghadapi hasrat hati yang merangsang cinta.
Kemudian di luar kota, disebuah lorong yang


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelap tempat biasa kami mengutarakan cinta, untuk
pertama kali Suharman mengutarakan soal per
kawinannya Aku mendengarkan dengan hati pedih
dan pilu. Dengan jujur dia mengungkapkan semua apa
yang terkandung didalam benaknya.
Kami duduk berdampingan diatas rumput.
Sebtlah tangannya merangkul punggungku. Pelahanlahan dan teratur bagaikan memilih kata-katanya
sebelum diucapkan. Mungkin kuatir aku akan
tersinggung, Suharman menceritakan pernikahannya
dengan Mariati.
? 58 ? "Aku pernah mendapat serangan tekanan jiwa
yang hebat, Sulastini," Suharman mulai dengan
penuturannya. "Beruntung aku tidak sampai perlu
dirawat didalam sebuah rumah sakit jiwa."
Aku terperanjat! Namun aku tidak berkata-kata.
Aku tidak mau memutuskan penuturannya.
"Aku mendapat tekanan jiwa itu karena aku
melihat kebencian yang merajalela pada manusiamanusia di sekitarku. Rumah-rumah tangga yang
hancur karena kedua pihak sama tidak mau mengerti
dalam menghadapi tekanan ekonomi. Wajah yang
selalu tampak tegang setiap saat dapat meledak.
Sikap keras dari manusia-manusia yang tidak
mengenal arti kasih. Pandangan yang negatip ini
makin lama makin menekan jiwaku. Aku tidak dapat
lari, tidak dapat menghindarkan diriku. Aku bagaikan
terselubung udara hitam. Tumbang harapanku,
hancur cintaku dan gelap aku melihat hari kemudian
aku menghadapi keguncangan jiwa, akhirnya hilanglah
kepercayaan kepada diriku sendiri."
Suharman melepaskan tangannya yang
merangkul punggungku. Wajahnya tampak gelisah,
rupanya berbayang pula kejadian-kejadian pahit yang
dulu menimpa dirinya. Ia mengambil sapu tangan dari
? 59 ? dalam saku celananya lalu menyusuti keringat pada
kening dan dahinya."
Aku menundukkan kepala. Aku turut merasakan
kepedihan Suharman.
Suharman menghela napas panjang.
"Akhirnya... " la meneruskan ceritanya. "Aku
sembuh, Sulastini. Kembali pula kepercayaan pada
diriku."
Aku mengangkat kepalaku dan bertanya:
"Siapakah gerangan orang-orang disekitarmu
itu?"
"Kawan-kawanku dan kerabatku, Sulastini.
Maka aku meninggalkan mereka. Aku meninggalkan
tempat kelahiran dan menuju ke Jakarta. Dan di sinilah
aku bertamu dengan Mariati," sahutnya.
Kembali aku menundukkan kepalaku. Saat itu
aku tidak mau bertanya lebih jauh tentang kerabat
sanak saudaranya.
"Setelah aku sembuh, di Jakarta aku mulai
hidup baru. Aku berhasil dapat meningkatkan
kehidupanku, berkat pertolongan dari relasi-relasiku
dan kawan-kawan baruku. Timbul pemikiran bahwa
? 60 ? aku harus berumah-tangga. Aku ingin menciptakan
sebuah rumah tangga tidak seperti yang aku telah
menyaksikan di tempat kelahiranku. Aku ingin
menciptakan rumah tangga bahagia menurut polaku
sendiri. Bila tercapai itu semua barulah hidupku
didalam dunia ini mempunyai arti."
"Untuk tercapainya cita-citaku, aku harus
menemukan seorang wanita berbudi untuk menjadi
isteriku dan kelak menjadi ibu bijaksana dan anakanakku. Seorang isteri yang selalu mengerti dan
memperhatikan suaminya. Di kala senang, di masa
duka, ia selalu mengambil sikap yang tepat."
"Sebulan setelah aku mencita-citakan berumah
tangga aku menjumpai Mariati. Beberapa
kali berkencan aku mengambil keputusan bahwa aku
mencintai dia. Dialah yang aku pilih sebagai raturumah tanggaku. Dialah yang akan menjadi ibu
bijaksana dari anak-anakku. Dialah yang akan
menyinarkan kasih pada saat-saat aku berada di dalam
kegelisahan Mariati pun mencintai aku. Dia ingin
lekas-lekas melangsungkan perkawinan. Perlu apa
menunggu-nunggu lama-lama bila sama saling
mencinta, Mariati berpendapat. Ya, perlu apa! Aku
membenarkan pendapatnya."
? 61 ? "Kami menikah..." Suharman menarik napas
panjang. "Namun... aku salah pilih. Malam ini aku tidak
berada berdua dengan kau di sini, bila aku tidak salah
memilih."
Aku gemetar.
Dengan lembut kedua tangannya mengangkat
mukaku kearahnya.
"Sulastini, aku menyakiti hatimu," kata
Suharman setengah berbisik. "Ketahuilah Tini, bahwa
hatiku bagaikan disayat-sayat sembilu. Sungguh,
bukan maksudku melukai hatimu. Aku tidak dapat
menghindarkan diriku dari gelombang asmara yang
terus-terus pasang. Aku lemah menghadapinya. Aku
bukan seorang pria yang suka mengubar-ubar wanita
Aku cinta padamu Sulastini. Tiada perempuan lain
didalam lubuk hatiku. Tidak pernah aku mencintai
seorang wanita, seperti aku mencintai kamu."
Suharman mengambil sebatang rokok, lalu
menyulutnya. Perlahan-lahan ia menghisapnya.
"Aku merasakan hidupku kosong dan sunyi. Apa
mau aku bertemu dengan kau, Sulastini. Aku tidak
mau mencintai kamu, namun aku menderita
karenanya. Ya, pria pun dapat menderita karena cinta.
Aku tidak menyalahkan kau, aku tidak menyalahkan
? 62 ? sang nasib yang telah pertemukan kita, aku tidak
menyalahkan siapa-siapa. Yang salah adalah aku
sendiri. Maka aku tidak bisa dan tidak berhak
menceraikan istriku. Tidak bisa aku menghancurkan
kehidupannya. Dia tidak bersalah. Bukan salahnya,
aku telah salah pilih dan tidak mencinta dia."
Aku menggigit bibirku untuk menahan
goncangan hatiku. Aku tidak mau menangis dihadapan
Suharman. Aku harus menguasai perasaanku. Luka
hatiku, namun aku tidak mau luka itu bercermin pada
wajahku dan dapat disaksikan Suharman.
"Aku tidak mencintai isteriku. namun aku
mencintai putera dan puteriku." kata pula Suharman.
Didalam kegelapan malam tangannya mencaricari tanganku. "Sulastini, kau cantik. Baik hati dan
berbudi. Kau membutuhkan seorang suami yang
dapat melindungimu dan membutuhkan juga anakanak yang mungil. Bukan aku, tetapi Darwin lah yang
dapat mendampingi kau selalu."
"Tidak!" aku setengah berteriak.
"Aku sadar, aku insyaf bahwa aku telah berbuat suatu
kesalahan besar, dan sangat egoist. Seharusnya aku
tidak mengikat kau dengan cintaku. Aku harus
melepaskan kau! Aku harus membebaskan kau!"
? 63 ? Kedua tangannya memegang bahuku dan kami
duduk berhadapan."Namun untuk kebaikanmu, untuk
keberuntunganmu, aku harus menjauhkan diriku."
Aku tersentak mendengar kata-katanya terakhir.
"Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau
meninggalkan aku. Hanya engkau Mas, satu-satunya
laki-laki yang aku cintai. Bagaimanapun beratnya
penderitaan, aku masih dapat menerima, asalkan kau
tetap di sampingku."
Aku kaget sendiri, mendengar kata-kataku yang
mencetus keluar dari hati yang tak terkendali.
Memang, itulah suara hatiku. Bila akulah yang
pertama berjumpa dengan Suharman sebelum ia
bertemu dengan Mariati, nasibku tidak seperti
sekarang. Timbullah rasa iri kepada Mariati. Aku benci
Mariati, walaupun belum pernah aku bertemu dengan
dia. "Sulastini, manisku, aku insyaf bahwa hatimu
terluka," Suharman berkata pula. "Namun untuk
kebaikanmu dan kebaikanku, untuk kebaikan kita
berdua, kita tidak dapat berbuat lain. Bukankah kau
mencintai aku, bila kau benar-benar mencintai aku,
kau dapat menerima ini semua."
? 64 ? "Dan mengorbankan cinta kita, Mas," sahutku.
"Tidak! Tidak! Apapun yang akan terjadi aku tidak mau
mengorbankan cintaku."
Sesak aku rasakan napasku.
Suharman merangkul aku.
? 65 ? 6 CINTA pangkal kebahagiaan. Cinta penuh kesenangan.
Cinta membawa kenikmatan. Namun cintaku penuh
penderitaan!
Walaupun sewaktu-waktu kami masih bertemu,
tetapi aku rasakan seakan-akan kami berada ditempat
yang berlainan, terhalang bayangan. Aku dapat
menyentuh tubuh-nya. Dia dapat mencium aku dan
rasakan kedua pasang bibir kami melekat hangat,
namun ditengah-tengahnya terselip bayangan.
Setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak
pula. Bila terlampau lelah aku tertidur juga, mimpi
yang hebat-hebat menggoda aku. Di dalam mimpi itu
aku kehilangan Suharman. Aku mencari dia. Meneriaki
namanya, namun tidak ada jawaban, yang datang
padaku, muncul dari dalam asap wajah seorang
perempuan menertawakan aku. Itulah wajah Mariati!
Suatu tengah malam aku tersentak bangun dari
tidurku karena ketakutan. Aku menjerit?
Bibiku terjaga dari tidurnya mendengar teriakan
ku yang setengah kalap. Cepat-cepat ia lari ke
? 66 ? kamarku. la menggoncang-goncangkan
sambil berseru:
tubuhku "Sulastini! Sulastini! Kau mimpi apa?"
Aku merangkul bibiku erat-erat dan menangis
tersedu-sedu.
Setelah tangisku redah dan tinggal isaknya saja,
bibiku bertanya : "Apakah yang terjadi pada dirimu,
Tini. Aku melihat perubanan sedari kau memutuskan
pertunangan dengan Darwin. Dan akhir-akhir ini aku
melihat kau menghadapi penderitaan hebat.
Pamanmu menegur aku, namun aku belum mau
bertanya kepadamu. Maukah kau menceritakan apa
yang kau sembunyikan di dalam lubuk hatimu?
Percayalah padaku, kau akan merasakan lebih enteng,
bila kau ceritakan itu semua."
Masih terisak-isak aku membongkar rahasia
hatiku. Aku menceritakan bibiku dari pertama aku
bertemu dengan Suharman hingga pertemuanku
terakhir. Tidak ada yang aku sembunjikan.
Bibiku kaget sekali. Aku melihat pada wajahnya
ketegangan yang sangat. Namun ia tidak memutus
ceritaku. ? 67 ? "Apakah yang saja harus berbuat, tantel"
tanyaku lalu menangis kembali.
Saja saja mencintai dia."
Bibiku mengelus-elus rambutku.
"Aku tidak dapat memberikan kau adpis apaapa, Tini. Dalam soal ini aku kurang mengerti, yang aku
ketahui bahwa cinta itu harus terang di mata umum,
cinta yang main gelap-gelapan menurut pendapatku
tidak baik." la memberikan aku sapu tangannya. "Ini
sapu tanganku, sekalah air matamu, aku akan
mengambil segelas air."
Tidak lama bibi kembali dengan membawa
segelam air teh. "Aku pikir lebih baik soal ini aku beritahukan ibumu."
"Jangan! Jangan beritahukan ibuku, tante!" aku
berseru, "Saya sudah mengetahui apa yang ibu akan
katakan." Tiba-tiba aku berteriak bagaikan gila: "Saya
berdosa di mata Tuhan. Kini saya menerima
hukumannya! Apakah tante yakin bahwa ibu dapat
menolong saya? Tidak! Tidak! Malahan saja tambah
sengsara bila ibu dan ayah mengetahui ini semua!"
"Minum tehmu," kata bibiku menjodorkan
gelas yang dipegangnya. "Tenangkanlah pikiranmu.
? 68 ? Jika kau terus menegangkan pikiranmu kau akan jatuh
sakit."
Keesokan hari ketika aku menjumpai Suharman
ditempat biasa, dia terperanjat melihat wajahku.
"Kau sakit, Tini!" tanyanya kuatir. Tampak
keningnya berkerut.
Aku bersenyum. "Tidak, aku tidak apa-apa.
Hanya aku merasa lelah karena terlampau banyak
kerja."
Aku tidak mau memusingkan kepalanya. Tidak
mau aku menceritakan kedukaanku. Walaupun
didalam hati aku tersiksa namun aku tidak mau
perlihatkan penderitaanku. Aku kuatir dia lebih lekas
meninggalkan aku. Memang saat dia meninggalkan
aku akan tiba, namun aku ingin lebih lama menahan
dia. Aku merasakan hatiku masih berat untuk
berpisah dengan Suharman.
Di dalam mobil Suharman kembali menanyakan
kesehatanku. Cepat-cepat aku menempelkan jariku
pada bibirnya.
Suharman menarik napas panjang. "Kekasihku


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sulastini, sungguh aku sangat bingung menghadapi
? 69 ? persoalan kita. Kau membuat aku sukar untuk
melakukan sesuatu yang aku anggap baik. Aku seorang
laki-laki lemah. Seorang pengecut!"
Aku tidak menyahut. Suharman menjalankan
mobilnya. Tidak, dia bukan seorang pengecut. Dimataku
dia laki-laki jantan yang aku junjung dan cintai. Soalnya
kami sama-sama merasa sukar untuk berpisah.
Tiba di luar kota di tempat biasa, di mulut lorong
yang gelap, Suharman menghentikan mobilnya. Kami
jalan berdampingan. Aku paksakan diriku untuk
berlaku gembira.
Kaki-kaki kami menginjak daun-daun rontok
berserakan di tanah. Aku tidak tahu harus berbuat apa
untuk menciptakan suasana gembira. Timbul sifat kekanakanku. Aku mengambil daun-daun kering itu, lalu
menggenggamnya ditanganku. Tiba-tiba aku melontar
kan daun-daun kering itu kearah muka Suharman.
Ia tertawa. Aku menjauhkan diriku, karena dia
hendak menjangkau aku. Suharman mengudak. Aku
berlari-lari digelap malam. Kelakuan kami saat itu
tidak bedanya seperti kanak-kanak tengah main
kejaran. Agak jauh dari Suharman aku masuk kedalam
? 70 ? semak-semak belukar. Suharman lari melewati
tempat persembunyianku.
Dari kejauhan ia meneriaki namaku.
Aku bergemetar. Sama benar peristiwa Ini
seperti di dalam mimpiku Namun di dalam mimpiku
akulah yang kehilangan Suharman dan memanggilmanggil namanya.
Cepat-cepat aku keluar dari tempat
sembunyiku. Aku berdiri ditengah jalan gelap.
"Aku di sini!" teriakku.
Suharman balik sambil berlari-lari. Ia tertawa
ketika tiba didekatku. "Aku kira kau meninggalkan
aku, sayang," katanya lalu mendekap tubuhku.
"Tidak! Aku tidak mau berpisah dengan kau,
Mas," aku meratap. "Bukankah kita saling mencinta!"
Ya, segala apa ada akhirnya. Sebuah cerita pun
ada tamatnya. Mau tidak mau aku pun harus
mengakhiri ceritaku. Kisah sebagian dari kehidupanku.
Kisah cinta dengan Suharman.
Malam itu adalah malam yang terakhir aku
berjumpa dengan Suharman. Malam yang tak mudah
kulupakan selama hidupku. Malam penghabisan!
? 71 ? Karena keesokan harinya. Diwaktu pagi, ketika
aku sudah berada dikanlor, aku menerima telepon
dari Suharman.
"Ada suatu urusan mendadak yang aku harus
kerjakan, sayang," suara Suharman di dalam telepon.
"Hari ini juga aku harus pergi ke Medan."
Induk semangku berdiri didekatku tengah
memeriksa surat-surat yang baru datang.
"Oh," sahutku terperanjat.
"Mungkin aku harus tinggal selama dua tiga
bulan di Medan," suara Suharman terdengar parau.
"Aku akan kehilangan kau, Sulastini. Aku akan menulisi
surat setiap malam. Selamat tinggal, kekasihku.
Jagalah dirimu baik-baik. Aku cinta padamu!"
"Selamat jalan," sahutku. Aku mendengar suara
ia meletakkan pula alat telepon ditempatnya.
Induk semangku memandang kearahku.
"Kabar jelek, Sulastini!" tanyanya
"Tidak," aku menyahut. Aku merasakan
kepalaku bagaikan dipalu. Tidak keruan rasa tubuhku
capai rasanya dan agak demam.
? 72 ? Masih saja induk-semangku memandang aku.
"Kau tampaknya sakit," ia mendesak.
"Aku tidak apa-apa," sahutku coba bersenyum.
Sudah terang aku tidak bisa bekerja dengan
baik. Berbagai-bagai pikiran berkecamuk dalam
benakku. Aku bingung!
Induk semangku melangkah pergi.
Seharian aku tidak dapat bekerja. Aku tidak
mengetik, karena aku tidak dapat membalas surat
yang aku kerjakan hanya membereskan surat-surat,
dan memasukkannya kedalam map-map. Hanya itulah
yang aku dapat kerjakan.
Pikiranku semakin kacau.
Aku akan diberhentikan induk semangku, bila aku tidak dapat
bekerja seperti biasa. Bila aku kehilangan pekerjaan
ku, apakah yang aku harus berbuat? Cari pekerjaan
lain, sangat sukar dewasa ini.
Aduh, Mas Suharman, mengapakah kau
meningalkan aku? Aku membutuhkan engkau, Mas!
Engkaulah harapanku. Bila kau meninggalkan aku,
tumbanglah harapanku. Musnahlah kehidupanku!
? 73 ? Gemetar tubuhku. Gemetar juga jari-jari
tanganku, aku meletakkan kedua tanganku diatas
daun meja lis. Aku merasakan mataku gelap. Dan
kapalaku sakit.
Sejenak aku memejamkan kedua mataku. Aku
menarik napas dalam-dalam untuk mencari kekuatan
dan menyalurkannya keseluruh tubuhku.
Dalam perjalanan pulang, aku masuk ke sebuah
apotheek untuk membeli obat tidur. Tidak mungkin
aku dapat tidur, jika tidak ditolong obat tidur.
"Apakah anda mempunyai resep dokter?" tanya
pegawai apotheek.
"Tidak. Tetapi mungkin anda dapat menolong
saya, karena saya membutuhkan sangat," aku
memaksa. "Maaf, sangant menyesal saya tidak dapat
memberikan obat tidur tanpa resep."
Cepat-cepat aku meninggalkan apotheek itu,
karena kedua mata pegawai itu menatap tajam
kearahku. Mungkin wajahku tampak pucat atau dia
dapat melihat kegelisahanku pada wajahku.
Tidak salah dugaanku. Semalam suntuk aku
tidak dapat tidur. Aku tidak berhasil menguasai
? 74 ? pikiranku. Walaupun sekuat telinga aku mencobanya.
Kedukaan yang hebat menekan hatiku. Namun setetes
airmata pun tidak keluar dari kedua mataku. Aku tidak
mau menangis. Apa gunanya menangis. Tidak ada
gunanya kini untuk menangis.
Aku rasakan bagaikan diselubungi kabut hitam
kelam. Kabut hitam lagi tebal itu aku rasakan menekan
aku. Sesak pernapasanku.
Ah, lebih baik aku mati, pikirku. Penghidupan ini
sangat kejam. Ya, tuhanku, aku menerima hukumanMu. Hambamu mengaku berdosa.
Tidak, aku tidak sesalkan siapa-apa. Tidak
Darwin, juga tidak Suharman. Aku menyesalkan diriku
sendiri. Memang hatiku lemah menghadapi
Suharman. Dari semula pun aku mengetahui apa yang
akan terjadi, namun ketika itu aku tidak mau mengerti.
Aku mencintai Suharman sungguh-sungguh, maka
pikiran sehat tidak pernah aku pertimbangkan. Kini
aku menerima akibat perbuatanku. Aku menderita.
Menderita karena cinta!
* * * ? 75 ? DINI HARI. Matahari belum muncul dipermuka
an bumi. Cuaca masih gelap.
Semalam suntuk sekejap pun aku tidak dapat
memejamkan mataku. Gelisah aku terhampar
dipembaringan, Aku mendengar tiap-tiap jam lonceng
berbunji. Aku mendengar dengkur paman dan
dengkur bibi sahut menyahut, yang tidur dibiiik
sebelah. Aku mendengar suara becak-becak yang
lewat dimuka rumah. Mendengar langkah kaki dan
bicara orang-orang yang gentayangan di tengah
malam. Tidak mungkin aku pergi kekantor dalam
keadaanku sekarang. Cepat-cepat aku bangun,
membuka pintu kamar lalu menuju kamar mandi. Aku
mencuci mukaku dan menggosok gigi. Sambil
membereskan rambut aku kembali kekamarku.
Aku terperanjat melihat wajahku didalam
cermin. Kedukaan merubah cepat paras wajahku. Aku
mengambil sisir. Namun baru beberapa kali aku
menyisiri rambutku aku merasakan kepalaku pening.
Aku merebahkan tubuhku di pembarlngan.
Maksudku untuk menghilangkan kepeningan yang
laksana jarum menusuk-nusuk kepalaku. Aku
memejamkan kedua mataku.
? 76 ? Tetapi sakit dikepalaku bukan hilang, malahan
makin menghebat. Aku terlentang, menarik napas
dalam-dalam. Lama aku berdiam tanpa menggerakkan
tubuhku Aku mendengar paman dan bibi meninggalkan
bilik mereka Tidak lama kemudian terdengar suara
bisik-bisik mereka.
Rasa sakit di kepalaku berkurang, tetapi kini aku
merasakan tubuhku sangat lemah. Hatiku berdebardebar.
Kedua tanganku kutekankan pada dadaku. Jarijari tanganku bergemetar. Rasa takut mencengkram
benakku. Entah apa yang aku takuti. Namun rasa takut
itu sangat dahsyat!
Saat itu bibiku masuk kedalam kamarku.
Sejenak bibiku memandang aku, lalu duduk dipembaringan disisiku. Penuh kecintaan tangannya
membelai-belai rambutku. Dengan sapu tangannya ia
menyusuti keringat pada kening dan daguku.
"Aku akan suruh paman menelpon ke
kantormu, bahwa kau tidak bisa datang hari ini," kata
bibi. ? 77 ? "Tante," suaraku terdengar pelahan. "Saya
takut."
la memegang tanganku.
"Apakah yang kau takuti?"
"Entahlah, namun saya merasa takut."
Tak tertahan lagi airmataku keluar mengucur
dan kelopak mataku. Aku menutup mukaku dengan
bantal. Aku menangis tersedu-sedu. Sesak aku
merasakan dadaku.
Ketika tangisku agak redah, aku mengetahui
bahwa bibiku tidak berada disisiku. Kembali ketakutan
yang hebat mencengkram aku.
"Tante!" aku berteriak. "Jangan tinggalkan
saya!"
Cepat-cepat bibi masuk ke dalam bilikku.
"Aku di sini, Tini," sahut bibiku. "Aku mendapat
kan paman sebentar, agar dia dari kantornya
menelepon kantormu dan menelpon juga dokter. Kau
perlu diperiksa dokter, Tini, karena tubuhmu panas."
Kini aku baru merasakan suhu tubuhku benarbenar panas.
? 78 ? "Jangan panggil dokter. Tante. Saya tidak
memerlukan dokter."
"Tenang, Tini. Kau memerlukan ketenangan,"
kata bibi.
Hawa panas mendesak kesuluruh tubuhku.
Kembali aku merasakan kepalaku sakit. Memang, aku
memerlukan ketenangan. Tetapi bagaimana aku bisa
tenang dalam keadaanku sekarang. Tidak mungkin!
Kembali aku menangis. Seluruh tubuhku
bergoncang keras.
"Tenang, Tini, tenang."
"Saya takut, tante Takut... TAKUT!"
? 79 ? 7 AKU telah merepotkan paman dan bibi. Karena
aku terus berteriak-teriak ketakutan, maka sebelum
dokter datang, bibi menyuruh orang menelpon
paman. Tidak lama
kebingungan.
paman pulang. Tampaknya Masih sempat aku mendengar percakapan
paman dan bibi.
"Aku telah menelpon dokter, katanya ia akan
datang selewatnya jam empat."
"Jam empat?" bibi kebingungan. "Kini baru jam
sebelas."
"Sebaiknya Sulastini dibawa ke Rumah Sakit,"
paman mengusulkan.
"Memang, terlalu lama untuk menantikan
sampai jam empat," kata pula bibi.
Aku tidak mau ke Rumah Sakit, namun aku tidak
menentangnya. Aku sudah tidak tahu apa yang aku
harus berbuat. Suhu tubuhku panas sekali, aku
? 80 ? merasakan sangat lemah dan sebentar-sebentar aku
dicengkam perasaan takut.
Malam itu aku berbaring didalam kamar Rumah
Sakit. Dokter Wiryanto seorang psychiater yang
memeriksa aku mengatakan bahwa aku diserang
tekenan jiwa. Sikap diri wajahnya tampak penuh
kesabaran dan ramah membenarkan hatiku.


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dokter... apa... apakah saya akan... menjadi...
gila?" aku bertanya terputus.
la senyum. Sinar matanya jernih mencerminkan
kasih "Tidak," sahutnya. "Aku yakin kau akan lekas
sembuh. Memang lebih baik kau dirawat di Rumah
Sakit."
Ketika dokter Wiryanto hendak meninggalkan
aku, dia berkata: "Aku telah memberikan kau obat
tidur. Jangan pikir apa-apa, Sulastini. Dalam waktu
yang singkat kau sudah boleh meninggalkan tempat
ini. Percayalah pada dokter."
Aku mengucapkan terima kasihku. Pamanku
telah pulang lebih dahulu namun bibiku masih berada
disisiku. ? 81 ? "Besok pulang saja, ya, tante. Mahal biayanya
disini," kataku.
"Bukankah dokter Wiryanto telah bilang bahwa
kau jangan pikirkan apa-apa. Tentramkanlah hatimu
dan tenangkanlah pikiranmu Tentang beaja
perawatan kau di Rumah Sakit ini pamanmu yang akan
tanggung semuanya."
"Jangan paman yang bayar semua. Saya pun
masih mempunyai uang simpanan." kataku.
"Sudah, jangan pikirkan itu. Kami berdua sangat
girang bila kau lekas sembuh," kata bibi lalu
memegang tanganku.
Selama tiga hari aku berada di Rumah Sakit,
sebentar-sebentar aku menangis. Aku sangat
takut...namun tidak tahu apa yang ditakuti. Aku tidak
tahu bagaimana aku dapat melewati hari dengan
penuh ketakutan. Namun tiga hari telah berlalu.
Juru rawat berganti-ganti membawakan aku
makanan dan obat. Aku harus memaksakan diriku
untuk menelan pil-pil dan kapsul-kapsul.
Setiap hari dua atau tiga kali dokter Wiryanto
menjenguk aku. Kedatangannya menyenangkan
hatiku. Aku merasa suka kepadanya karena ia sangat
? 82 ? sympatik. Aku menaruh kepercayaan besar kepadanya
karena kehadirannya membawa ketenangan dan
kedamaian di dalam jiwaku. Hilang rasa takut yang
mencengkram benakku bila dokter Wiryanto berada di
dekatku. "Kau sedang dilanda kedukaan, Sulastini," kata
dokter Wirjanto. "Ceritakanlah padaku semua yang
kau sembunyikan di balik hatimu."
Belum sempat aku menyahut airmataku turun
tak tertahankan lagi.
"Tears are forerunners of joy," kata dokter
Wiryanto tersenyum.
"Tidak bagiku, dokter. Aku tidak akan mengenal
pula kebahagiaan." sahutku terisak.
Dokter Wiryanto menepuk-nepuk bahuku.
"Mengapa berputus asa, Sulastini. Kedukaan
akan lenyap ditelan waktu," ia menghibur.
Aku terdiam.
"Maukah kau ceritakan semua rahasia hatimu
padaku, Sulastini! Aku dapat menolong engkau,
menolong engkau dari kegelapan," dokter Wiryanto
mendesak. ? 83 ? Aku menceritakan semua pengalamanku dengan
Suharman. Dokter Wiryanto mendengarkan dengan
penuh perhatian. Dia sangat sabar mendengarkan
pengalamanku hingga akhir, walaupun aku ucapkan
dengan terputus-putus karena terganggu isakku.
"Kini aku sedang menjalankan hukuman,
bukan?" kataku "Karena aku mencintai seorang lakilaki yang sudah beristeri."
"Kau yang menghukum dirimu sendiri," kata
dokter Wiryanto tetap sabar "Mencintai seseorang
tidak berdosa Sulastini. Walaupun kau mencintai
seorang yang sudah beristeri. Karena kau ingin
memiliki orang itu maka perasaanmu tidak dapat
menerima. Dari pertama pun kau sudah merasa
berdosa. Kau coba mengumpatkan perasaan dosa itu
dan dustakan dirimu. Namun kau tidak dapat terus
mendustakan dirimu. Tidak seorang pun yang dapat
berbuat demikian. Ketika Suharman meninggalkan
kau, mulailah perasan dosa itu timbul dari alam bawah
sadarmu, dan jiwamu menderita karenanja"
Dosa? kata dokter Wirjanto. Dosa!
"Tidak!" aku menjerit. "Tidak! Aku tidak berasa
berdosa! Pergi! Pergi! Pergi, dokter."
? 84 ? "Baik." sahut dokter Wiryanto penuh
kesabaran, "Istirahatlah sekarang. Sulastini dan coba
pikirkan kata-kataku."
Aku terlentang di atas pembaringan Rumah
Sakit. Kedua mataku memandang ke atas. Aku tidak
mau berpikir. Tidak! Aku tidak mau memikirkan itu
semua. Dosa. Aku tidak dapat melenyapkan perkataan
itu dalam pikiranku. Aku memejamkan kedua mataku.
Aku merintih, bahkan malu bila mengingat
pengalamanku.
Memang, dari pertama aku berjumpa dengan
Suharman dan merasakan bahwa dia lah laki-laki yang
dapat membahagiakan kehidupanku, aku sudah
merasa bahwa perasaanku itu tidak pada tempatnya.
Tetapi aku tidak dapat menjauhkan diriku dari
Suharman. Aku tidak menolak ciumannya. Bukan aku
menjauhkan diriku, bukan aku menolak cumbu
rayunya, tetapi sebaliknya aku mengatakan pada
diriku : Itulah cinta!
Selama hidupku belum pernah aku merasakan
hatiku begitu tertarik kepada seorang laki-laki.
Suharmanlah satu-satunya laki-laki itu. Suharman
adalah pria idaman hatiku, yang aku mimpikan. Aku
? 85 ? cinta padanya. Aku cinta padanya. Cinta yang begitu
murni dan begitu indah tak mungkin salah.
Itulah yang selalu aku dengungkan di telingaku.
Namun dokter Wiryanto mengatakan bahwa aku tidak
dapat mendustakan diriku tidak dapat menjembunyi
kan perasaan bersalah.
Aku bukan seorang gadis yang dapat
menyembunyikan cintanya di balik bayangan. Aku
tidak dapat merahasiakan cintaku yang terus
berkembang. Lain gadis atau lain wanita dapat
berbuat demikian. Namun aku tidak bisa!
Benar kata dokter Wiryanto, bila aku mencintai
Suharman tanpa ingin memiliki dirinya aku tidak
bersalah, karena aku tidak menyakiti hati siapapun
juga. Tetapi walaupun mulutku tidak mengucapkan
nya, hatiku ingin memiliki bukan saja cintanya
Suharman, namun juga dirinya. Aku inginkan dia
sebagai suamiku di mata khalayak ramai. Aku ingin dia
menjadi kepunyaanku. Aku ingin hidup bersama di
dalam satu rumah yang aku idamkan sebagai istanaku.
Dan aku tidak mau lain perempuan terikat kepadanya.
Apakah...itu berdosa! Ah, penghidupan sangat kejam.
Aku sedih, duka. Nasib telah merebut Suharman
dari pelukanku. Perasaan duka itu bercampur dengan
? 86 ? perasaan malu, karena aku tidak berhak memiliki
dirinya Suharman. Ya, tidak ada jalan lain. Aku tidak
boleh menjumpai Suharman pula. Aku harus
menamatkan kisah cintaku dengan Suharman.
Aku menangis. Ya, apa dayaku, selainya
menangis. Setelah sepuluh hari di Rumah Sakit, dokter
Wiryanto baru memberikan ijin aku pulang.
? 87 ? 8 WALAUPUN dokter Wiryanto telah membebaskan aku dari Rumah Sakit, namun
kesehatanku belum pulih kembali. Belum dapat aku
pergi ke kantor untuk bekerja sebagaimana biasa.
Aku memperlukan ketenangan. Memerlukan
suasana tenang untuk berpikir, berpikir dan berpikir.
Memikirkan perbuatanku yang telah lalu. Menganalisa
keadaanku untuk mencari penyelesaian. Penyelesaian
agar aku memperoleh kedamaian didalam hatiku.
Dokter Wiryanto telah mengatakan bahwa aku
bukan seorang gadis yang dapat menyembunyikan
cintanya. Dan aku menambahkan bahwa akupun
bukan seorang gadis kejam yang dapat memaksa
Suharman menceraikan Isterinya untuk menjadi isteri
kedua? Tidak! Tidak mau aku melakukan itu. Aku
menentang segala macam pendirian yang bersifat
polygami. Menurut pendapatku seorang wanita yang
bersedia menjadi isteri kedua akan hidup selalu di
balik bayangan. Dia akan menciptakan suasana tegang
di dalam kehidupan laki-laki yang menjadi suaminya.
? 88 ? Dia akan menyakiti hati wanita lain. Dan dia sendiri
tidak bebas seperti kawan-kawannya
Aku telah membayangkan. Bila aku termasuk
golongan wanita yang dapat menyembunyikan cinta
nya mungkin aku tidak memutuskan pertunanganku
dengan Darwin. Mungkin aku menikah dengan
Darwin. Tetapi, apakah itu pendirian yang benar?
Mungkinkah seorang wanita dapat mencintai dua Iakilaki dalam persamaan waktu? Menurut pendapatku:
tidak! Bila aku menjalankan itu, bila aku menikah juga
dengan Darwin, berarti aku menikah tanpa cinta.
Karena cintaku kepada Darwin telah lenyap disisik
oleh cintaku kepada Suharman.
Ya, penyelesaian yang aku harus cari.
Di dalam sepekan aku mendapatkan
penyelesaian tentang kata-kata dokter Wiryanto. Dia
mengungkapkan perasaanku yang katanya aku
sembunyikan di alam bawah sadarku. Dosa!
Air matakulah yang pelahan-lahan menghanyut
kan perasaan dosa itu dari alam pikiranku, tetapi
diganti dengan perasaan menyesal. Perasaan
menyesal ini menyakiti jiwaku. Aku tidak sesalkan
siapa-apa, aku sesalkan diriku sendiri.
? 89 ? Aku lebih dapat menanggung perasaan sesal
daripada perasaan dosa. Perasaan sesal menyakiti
kalbu namun rasa sakit itu dapat hilang pula ditelan
wakt Namun perasaan dosa mencengkam pikiran da
meninggalkan luka didalam hati.
Setelah perasaan dosa dan perasaan sesal
lenyap dari alam pikiranku, barulah aku dapat berpikir
dengan sehat.
Aku harus memutuskan perhubunganku denga
Suharman. Mudah mengambil keputusan namun
sukar menjalankannya.
Sungguh aneh. Ketika aku mengambil
keputusan memutuskan pertunanganku dengan
Darwin, mudah sekali aku menjalankannya, namun
untuk memutuskan perhubungan dengan Suharman
hatiku merintih.
Bagaimanapun berat aku harus menjalankan
keputusan itu. Berhari-hari aku sangat sedih dan duka.
Aku merasakan bagaikan kematian yang memisahkan
aku dengan laki-laki yang aku cinta.
Sejak aku sakit dua kali aku menerima surat dari
Suharman. Surat yang pertama biasa saja menerang
kan bahwa ia tiba dengan selamat di Medan, mohon
maafku karena tidak lantas tulis surat lalu
? 90 ? menceritakan pekerjaannya yang meminta penuh
perhatiannya.
Aku tidak membalas surat itu. Diapun tidak
minta balasan.
Surat yang kedua sama dinginnya seperti surat
yang pertama. Namun ia beritahukan bahwa ia belum
mendapatkan kepastian kapan ia akan kembali ke
Jakarta. Akhirnya tibalah saatnya
aku harus menjalankan keputusan itu. Aku harus membalas
surat Suharman dan memutuskan perhubungan kami,
sebelum ia mengirimkan suratnya yang ketiga.
Aku kuatkan hatiku. Aku kuatkan jari-jari
tanganku untuk menulis kata-kata yang sudah sejak
beberapa hari kukarang didalam benakku. Kata-kata
itu sudah hafal semuanya.
Namun beberapa helai kertas tulis kusobeksobek dan buang kedalam tempat sampah, karena aku
merasa tak puas dengan tulisanku.
Benar aku telah mengambil keputusan
memutuskan perhubungan kami, namun pikiranku tak
dapat mendustai hatiku yang masih mencintai
? 91 ? Suharman. Maka sukarlah untuk menulis dengan baik
surat yang aku telah rencanakan itu.
Setelah tertunda dan tertunda lagi, akhirnya
dapat juga aku menulis dengan baik. Aku
menceritakan sakitku dan selama dirumah sakit aku
mendapat perawatan baik. Menurut nasehat dokter
Wiryanto aku harus beristirahat beberapa hari lagi.


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian surat itu berbunyi : ?Mas, kini aku sadar,
aku insyaf, bahwa kita tidak akan bahagia menuruti
perasaan saja. Tak mungkin menyembunyikan cinta
dibalik bayangan. Cinta semacam itu akan membawa
kedukaan. Maka, untuk kebaikan kita bersama,
janganlah mas menulis surat lagi dan jangan
mendapatkan aku pula. Semoga Tuhan senantiasa
memberkahi engkau, mas.
Selesai menulis surat aku menangis sepuasnya.
Aku minta tolong pamanku untuk memposkan
surat itu.
Pada malam harinya setelah bersantap malam
aku masuk kedalam bilikku. Duduk dimuka meja
hiasku aku memandang wajahku didalam cermin
Tampak perubahan sangat besar pada wajahku.
? 92 ? Wajahku kurus, hingga tulang-tulang pipiku tampak
menonjol dan kedua mataku agak ke dalam.
Pamanku masuk kedalam bilikku. Sejenak ia
memperhatikan wajahku, lalu ia senyum.
"Ajaran Tuhan adalah maha besar, Sulastini,"
paman berkata. "Ajaran itu maha penting bagi
kehidupan manusia. Manusia percaya dan pula akan
kebesaran Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang,
namun manusia seringkali mengabaikan ajarannya.
Maka, manusia merasakan kepedihan, kedukaan,
kekecewaan dan penderitaan."
"Kau telah merasakan itu semua, Sulastini, kini
setelah kau sadar dan insyaf kau akan merasakan
kembali cinta kasih-Nya yang Maha Besar itu.
Kekuasaannya diluar kekuasaan manusia, nak."
Aku menekap wajahku dengan kedua tanganku.
Aku menangis. Paman menghampiri aku. Ia
memegang bahuku.
"Saya tidak akan bertemu pula dengan
Suharman, paman." kataku terisak-isak. "Bagaimana
saya dapat hidup tanpa dia!"
Paman menepuk-nepuk pundakku.
? 93 ? "Mohonlah penerangan dan kekuatan kepada
Tuhan yang Maha Kuasa," kata pamanku. "Dalam soal
ini aku tidak dapat menolong kamu. Nasehatku hanya,
jangan terlampau memikirkan dirimu sendiri. Di dalam
dunia ini bukan engkau saja yang merasakan
kepahitan cinta."
Ketika paman meninggalkan aku, bibiku meng
gantikan tempatnya. Penuh kasih sayang bibi
mengelus-elus rambutku.
"Aku akan menulis surat kepada ayah dan
ibumu bahwa kau sudah sehat kembali," kata bibiku.
Aku tidak menyahut. Aku menyeka airmata
yang berlinang di kedua pipiku. Di dalam hati aku
sangat berterima-kasih kepada paman dan bibiku.
Ketika bibi menutup pintu kamar, lalu
meninggalkan aku, aku bangkit menuju ke jendela.
Aku berdiri dimuka jendela memandang keluar. Cuaca
di luar gelap gelita, bila tidak dapat sinar dari
penerangan di kamarku.
Sama seperti alam pikiranku. Gelap gelita, bila
tidak dapat penerangan dari kesadaranku.
Cinta yang aku sangka semula gemilang
bergemerlapan, ternyata gelap menakuti. Aku
? 94 ? mendapat serangan cinta, serangan yang melukai
hatiku. Aku ingin mati. Berulang-ulang aku
mengatakan kepada diriku sendiri : Lebih baik aku
mati ? Lebih baik aku mati.
Tetapi dari dasar hatiku timbul suatu pikiran
yang sehat, suatu pikiran yang tidak putus asa, suatu
cahaja dari kesadaran : Aku ingin hidup!
Ya, aku ingin hidup. Aku masih muda. Masih
banyak tugasku didalam dunia. Kesimpulan inilah yang
membikin aku kuat. Wajah Suharman yang selalu
bersenyum dan senantiasa mengembang dibulu
mataku, makin lama makin pudar.
Angin malam bergilir kearahku. Segar. Aku
merasakan segar siliran angin itu yang meniup
rambutku. Berbayang dalam alam pikiranku ketika aku
masih berada didesaku. Tiupan angin menjatuhkan
daun dari batang-batang pohon yang terdapat disisi
rumah. Berbayang aku menyapu daun-daun yang
rontok itu dikala masih pagi.
Aku senang menyapui daun-daun yang rontok
yang masih basah terkena embun, walaupun agak
susah menyapuinya.
Ibuku selalu mengusulkan agar aku menyapui
daun itu di waktu sore, karena saat itu daun-daun itu
? 95 ? sudahi kering kejemur dan lebih cepat menyapuinya.
Namun aku lebih senang menyapui daun-daun itu di
waktu masih basah karena embun. Dan daun-daun itu
menyegarkan aku. Masih kurasakan bau kesegaran
daun rontok itu dan masih kurasakan hawa sejuk pagi
hari di desaku.
Ingin sekali aku merasakan kembali kesegaran
itu. Ya, aku akan menjenguk desaku, aku akan
mendapatkan kedua orang tuaku serta saudaraku
yang sudah lama tidak kujumpai, bila kesehatanku
telah pulih kembali.
* * * SEPULUH hari aku berada di Rumah Sakit.
Sepuluh hari aku istirahat dirumah. Akhirnya aku
merasa kuat untuk bekerja kembali.
Ternyata induk semangku seorang yang
bijaksana selama aku tidak dapat mengunjungi kantor,
ia telah mengambil seorang pegawai cadangan.
Gembira dia melihat aku duduk kembali di
belakang meja tulisku.
? 96 ? "Kau sudah sehat. Sulastini? Jangan paksakan
dirimu, bila kau merasa belum sehat kau dapat
mengambil cuti pula."
"Terimakasih," sahutku. "Aku sudah merasa
kuat untuk bekerja seperti sediakala."
"Syukur," kataanya pula. "Memang, banyak
pekerjaan hanya engkau dapat menyelesaikannya."
Beruntung bagiku, bahwa orang disekitarku
memperhatikan aku. Kepedihan hatiku makin lama
makin hilang.
Suatu petang tak kusangka-sangka Darwin
mengunjungi aku dirumah.
Aku terperanjat. Namun dia bersikap biasa.
"Aku mendengar kau sakit, Sulastini?" tanyanya.
Aku menundukkan kepalaku. Lalu aku ceritakan
tentang perawatan di Rumah Sakit dan kesembuhan
ku. Namun tentang Suharman aku tidak menceritakan
nya dan diapun tidak menanyakan.
"Kini kau sudah sembuh betul?" tanyanya pula.
"Aku sudah bekerja kembali," sahutku.
? 97 ? Aku mengangkai kepalaku. Kini baru aku
memperhatikan dia dengan seksama. Tampak wajah
nya bercahaya terang mencerminkan kebahagiaan.
Aku merasakan seolah-olah lama sekali aku tidak
bertemu dengan Darwin. Peristiwa-peristiwa yang aku
alamkan dengan Darwin rasanya tak teringat lagi.
Tanpa canggung Darwin memutuskan bahwa
dia telah menemukan seorang gadis idaman hatinya.
"Kini aku baru mengetahui bahwa cinta dan
cinta sangat berlainan," kawa Darwin. "Kali ini aku
mendapatkan yang tulen. Aku harap kaupun akan
mendapatkannya, Tini."
Dengan setulusnya hati aku menghaturkan
selamat kepada Darwin.
"Pada umumnya orang menganggap bahwa dia
telah menemukan cinta, tetapi sebenarnya itu bukan
cinta. Perasaanlah yang memegang peranan, bukan
hati. Khayalnya sendiri yang mendustakan hati dan
pikirannya. Banyak orang berduka karena ini. Dan
banyak pula yang menderita." Darwin menerangkan.
Aku mendengarkan dengan seksama uraian
Darwin. "Bagaimana membedakannya?" tanyaku.
? 98 ? "Maksudmu antara cinta yang penuh khayal
dan cinta yang tulen?"
Aku mengangguk, lalu memandang kembali ke
arah Darwin. Darwin tersenyum.
"Kelak kau akan merasakan sendiri, Tini,"
sahutnya. "Bagaimana aku dapat merasakan bila aku tidak
dapat membedakannya," aku penasaran.
"Percayalah padaku," sahut Darwin. "Kau akan
dapat merasakannya."
Setelah Darwin pergi, aku masih memikirkan
kata-katanya. Cinta dan cinta. Akhirnya aku tidak mau
memikirkan pula. Bukankah Darwin mengatakan
bahwa aku akan merasakannya?
Pada suatu hari dalam perjalanan pulang dari
kantor, hatiku bergoncang keras. Tubuhku pun turut
bergemetar, karena aku melihat Suharman.
Aku melihat Suharman di dalam toko buku
langgananku. Dia tidak melihat aku. Dia tengah
memeriksa buku yang bertumpuk di meja dengan
asyiknya. ? 99 ? Aku melihat dia dari kaca etalase. Tampak
wajahnya yang aku selalu impikan. Kedua mataku
menatap terus kearahnya.
Pernah aku berpendapat bahwa kekuatan cinta
dapat menggempur semua penghalang-penghalang.
Dapat menghancurkan batu-batu karang yang bagai
mana kokohpun. Saat itu bukan batu karang yang
menghalangi aku, bukan pintu baja, bukan gunung
tinggi, bukan samudera dahsyat, namun hanya
sekeping kaca etalage yang berada diantara aku dan
dia. Aku tidak perlu untuk menghancurkan kaca itu,
dengan hanya melangkahkan kakiku aku dapat
menjumpai Suharman. Inilah saat yang aku selalu
pikirkan dan takuti. Bagaimana jika aku bertemu
dengan Suharman? Kuatkah aku mempertahankan
pendirianku? Bagaimana jika hatiku lemah?
Bagaimana jika aku tak kuat untuk melawan
perasaanku?
Tetapi... saat itu didalam kebingungan muncul
dalam alam pikiranku suatu pikiran sehat. Cinta itu
tidak haik, bila harus mengabaikan yang lainnya.
Kepuasan diri sendiri tidak perduli orang lain menjadi
korban karenanya. Sungguh benar kata-kata Darwin,
bahwa ada cinta dan cinta.
? 100 ? Cepat-cepat aku meninggalkan toko buku itu.
Aku berseri gembira ketika menjumpai paman
dan bibiku.
"Kau menemukah apa? Tampaknya kau sangat
gembira?" tanya bibi.
"Saya melihat Suharman," sahutku.
Paman dan bibiku terperanjat.
"Kalian jangan salah terkah. Kegembiraanku
bukan karena melihat dia, namun saja sangat gembira
karena saja dapat mengatasi perasaan saja," sahutku.
"Kau bicara dengan dia?" tanya bibiku.
"Tidak. Sebelum dia sempat melihat saya, saya
meninggalkan dia," kataku dengan tegas.
Bibiku menghela napas lega.
Pamanku kearahku. mengacungkan
induk jarinya Ketika aku berada seorang diri didalam bilik;
aku memikirkan diriku. Setelah mengalami kepedihan
aku merasa bertambah dewasa. Luka pada hatiku
walaupun kini telah sembuh, masih meninggalkan
bekas. Bekas luka itu tidak lenyap meskipun rasa
? 101 ? sakitnya telah hilang. Bekas luka itu yang membuat
aku bertambah dewasa. Dari bekas luka itu aku
mendapatkan pelajaran dan mengetahui arti
kehidupan.
Semoga pada suatu ketika, aku akan berjumpa
dengan seorang pria yang aku cinta. Aku akan
mempersembahkan seluruh jiwa dan ragaku.
Semoga pula bekas luka dihatiku akan
mengingatkan aku selalu, bahwa aku harus menjadi
seorang wanita yang berharga untuk dicinta.
TAMAT Sebuah roman remaja
karya Yana Suryana
? 102 ? PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan bukubuku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang
kemudian di kompilasi menjadi file PDF.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
CREDIT untuk :


Cinta Dibalik Bayangan Karya Yana Suryana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? Awie Dermawan, beliau adalah sumber utama
dari karya Jana Surjana ini.
? Grup Kolektor E-Books
D.A.S ? 103 ? Empat Dedengkot Pulau Karang 3 Aji Mlati Serial Tujuh Manusia Harimau 6 Karya Motinggo Busye Petualangan Tom Sawyer 1

Cari Blog Ini